Catatan Anggota DPR RI dari COP 21 Paris Posted By: AQSon: December 09, 2015In: Energi, Featured, Opinion Oleh: Inas N Zubir *) La Defense (09/12/2015). Negara kaya bukan saja berat mengucurkan dananya untuk perubahan iklim dunia bahkan Amerika dan China enggan berbicara tentang penurunan emisi-nya. Para negosiator dan menteri yang akan membuat kerangka kerja global mengenai perubahan iklim, masih berdebat alot tentang siapa saja yang harus menyediakan dana untuk mengatasi climate change tersebut. Adalah sangat tidak mungkin bahwa perjanjian yang bermakna tahan lama, dan efektif akan tuntas tanpa menyelesaikan masalah pendanaan karena isu perdebatan ini tidak terbatas hanya sebatas berapa besar dana yang diperoleh tapi juga jumlah yang cukup untuk membantu negara-negara berkembang mengambil tindakan untuk mengatasi perubahan iklim. Negara-negara berkembang telah secara konsisten mempertahankan bahwa berdasarkan ketentuan Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim, pendanaan adalah tanggung jawab dari negara-negara industri kaya untuk memberikan pembiayaan ke negara-negara berkembang sehingga mereka dapat mengambil langkah-langkah yang akan mengurangi jumlah polusi karbon dioksida dan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim. Negosiator negara-negara berkembang juga mempertegas bahwa ini bukan “bantuan” tapi kewajiban negara industri terutama Amerika dan China untuk memimpin dunia mengatasi berbahaya perubahan iklim yang ireversibel. Seharusnya negara-negara maju wajib menyediakan sumber daya keuangan, termasuk transfer teknologi dan peningkatan kapasitas untuk semua negara-negara berkembang. Ini adalah Kewajiban dibawah kerangka kerja PBB tentang konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC). Indonesia secara fakta memiliki hutan darat dan bakau yang menjadi paru-paru dunia, akan tetapi sulit memasarkan karbon di oksida yang sudah terserap, karena belum memiliki formula perhitungan yang bisa diterima oleh semua fihak dan selain itu kebijakan Indonesia untuk mengatas kerusakan dan kebakaran hutan yg tidak jelas. Peran Legislator Tanggal 5 Desember 2015, Legislator/ Anggota Parlemen dari seluruh dunia membahas peran mereka dalam pelaksanaan, pemantauan dan menegakkan perjanjian utama yang akan di rilis oleh COP 21 untuk periode 2015 s/d 2030. Agenda pembangunan berkelanjutan, dan kesepakatan yang diharapkan dari Konferensi Perubahan Iklim Paris(COP 21). Lebih dari 300 anggota legislatif dari 67 negara berpartisipasi dalam COP 21 legislator Summit tersebut yang diselenggarakan 4-5 Desember 2015 di sela-sela Konferensi Perubahan Iklim Paris. Acara difokuskan pada topik : “Towards Coherence and Impact: The challenge of Paris and the Post-2015 Agenda for a prosperous and sustainable world.” Para pembicara umumnya menggarisbawahi peran parlemen dalam menerjemahkan tiga perjanjian internasional ke dalam tindakan nyata di lapangan, termasuk melalui menanggapi pertanggungjawaban pemerintah, revisi undang-undang dan membuat alokasi anggaran yang cukup. Salah satu pembicara menekankan bahwa legislator akan memiliki pekerjaan rumah baru untuk membuat undang-undang baru yang menerapkan perkembangan terkini dari COP 21 agar tercipta keselarasan upaya mengatasi perubahan iklim kedepan. Disela-sela jeda makan siang, saya sempat berbincang-bincang dengan salah seorang legislator dari Korea, tentang rencana Parlemen Korea menyikapi COP 21. Sangat luar biasa, Karena selama COP 21 ini, masing-masing anggota parlemen dan birokrat yang dikirim ke Paris sudah dibekali aplikasi internet untuk mengirim semua informasi yang diperoleh dari COP 21 untuk kemudian diolah legislator atau birokrat lain-nya yang berada di negaranya, untuk kemudian dijadikan masukan dalam persiapan kerangka Undang-Undang Perubahan Iklim yang baru. Bagaimana dengan Indonesia? Saya merenung dengan dahi berkerut, karena kami legislator yang dikirim dari Indonesia justru diminta membuat laporan tertulis oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan setelah kembali dari Paris dan apakah laporan tersebut akan dibahas oleh Kementrian LHK tersebut? Saya yakin bahwa dibacapun tidak!. Karena laporan tersebut dibuat bukan untuk mengumpulkan informasi, melainkan sekedar melengkapi laporan penggunaan anggaran saja. Padahal informasi dari masing-masing Delegasi Republik Indonesia seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menyusun database demi kepentingan kebijakan tentang lingkungan hidup kedepan. [AQS] *) Anggota Komisi VII DPR RI, Fraksi Partai HANURA http://jurnalmaritim.com/2015/12/catatan-anggota-dpr-ri-dari-cop-21-paris/