Gaya Hidup Kaum Urban Dalam Iklan 3 (Three)

advertisement
GAYA HIDUP KAUM URBAN DALAM IKLAN 3
(THREE)
(Analisis Semiotika Roland Barthes terhadap Iklan Operator Selluler 3
(Three) Versi Indie+ “Jadi Orang Gede Menyenangkan, Tapi Susah
Dijalani”)
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Konsentrasi Hubungan Masyarakat
Program Studi Ilmu Komunikasi
Oleh:
Resti Septriana Putri
NIM 6662101202
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG, NOVEMBER 2014
LEMBAR MOTTO
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah
selesai (dari suatu urusan) kerjakan dengan sesungguhnya (urusan) yang lain dan
hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”.
(QS. Al-insyiroh:6-8)
“Dan, cukuplah Rabb-mu menjadi Pemberi Petunjuk dan Penolong”
(QS. Al-Furqon: 31)
“Ketika kita sudah Ikhtiar dan Tawakal dengan maksimal Insya Allah Gusti Allah
akan selalu memberi jalan yang terbaik untuk hamba-hambanya yang sabar”.
(Suprapto, SE)
“Tidak ada perjuangan yang berakhir sia-sia, kegagalan adalah keberhasilan
yang tertunda, maka bersabarlah”.
(Resti Septriana Putri)
Allah lagi, Allah terus, Allah selalu
LEMBAR PERSEMBAHAN
Dengan Rahmat dan Ridho Allah yang maha kuasa, ku berucap Syukur hanya
kepada Allah SWT, skripsi ini dapat terselesaikan tanpa ada kendala yang cukup
berarti.
Kupersembahkan karya ini untuk :
Ibuku tercinta (Kathryn Kristiani), yang senantiasa memberikan semangat dan
doa yang luar biasa sehingga begitu banyak kemudahan yang aku dapatkan
dalam menyelesaikan tugas ini
Kakakku tercinta (Wulan Astarina Dewi) yang selalu mengajarkan untuk menjadi
sosok yang pemberani, mandiri, yang memiliki prinsip kuat dalam kehidupan.
Adikku tersayang (Nurul Anggraini), yang senantiasa memberikan semangat dan
menghilangkan rasa jenuh dengan kisah hari-hari yang menyenangkan.
Sheila Ambarwati, sahabat terbaikku dan teman seperjuangan konsentasi humas
2010 untuk semua canda tawa, keluh kesah, semangat, dan kebersamaan kita
dalam berjuang menyelesaikan skripsi.
ABSTRAK
Resti Septriana Putri. 6662101202. SKRIPSI. GAYA HIDUP KAUM
URBAN DALAM IKLAN 3 (Analisis Semiotika Terhadap Iklan Operator
Selluler 3 (Three) Versi Indie+ “Jadi Orang Gede Menyenangkan, Tapi
Susah Dijalani). Program Ilmu Komunikasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 2012.
Saat ini iklan telah tumbuh sebagai industri kreatif yang tidak hanya memiliki
nilai jual suatu produk atau jasa. Selain bersifat persuasif, iklan televisi juga
merupakan bentuk komunikasi massa yang mengandung banyak tanda yang
menampilkan realitas sosial tertentu, di mana khalayak dapat melakukan
interpretasi makna yang ada dalam iklan. Tanda-tanda itu antara lain terdiri dari
tanda verbal (judul, jargon, dan naskah iklan) dan tanda nonverbal (visualisasi,
ilustrasi, dan sinematik). Iklan Operator Selluler 3 (Three) adalah salah satu iklan
televisi yang tanda dan maknanya mengarah pada suatu realitas sosial, yaitu
realitas sosial gaya hidup kaum urban. Tujuan utama dari penelitian ini adalah
untuk menemukan dan mengungkapkan tentang: (1) Makna denotasi dan konotasi
yang terdapat dalam iklan 3 versi Indie+, (2) Mitos yang dibangun melalui sistem
tanda dalam 3 versi Indie+. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kualitatif dengan metode semiotika dari Roland Barthes. Melalui metode
semiotika, tanda verbal dan nonverbal dalam iklan dapat dianalisis melalui
kombinasi petanda dan penandanya, lalu dianalisis berdasarkan tataran denotatif
dan konotatif, sehingga peneliti menemukan mitos-mitos yang menyertainya.
Subjek penelitian mengambil iklan televisi operator selluler 3 versi Indie+ yang
ditayangkan pada tahun 2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa iklan 3
mencitrakan mitos dan ideologi yang ada dalam gaya hidup urban, dimana
profesi, bahasa, dan kekayaan materi mengkonotasikan status, kelas, dan prestise
masyarakat urban. Serta perilaku masyarakat urban yang selalu mengikuti gaya
hidup modern yang mengarah pada konsumerisme, materialisme, dan hedonisme
yang diukur sebagai kebahagiaan hidup. Semua itu berakhir pada satu tujuan,
yaitu eksistensi diri sebagai masyarakat modern yang seutuhnya. Disisi lain, gaya
hidup kaum urban merupakan dilema yang melanda kelas sosial tertentu.
Maksudnya disini adalah kelas menengah bawah masyarkat perkotaan, karena
tidak hanya kaum elit saja yang menjadi bagian dari gaya hidup kaum urban
mengingat gaya hidup kini bukan lagi lintas kelas, melainkan kebebasan yang
menjadi hak golongan atau kelas manapun, tidak terkecuali golongan menengah
ke bawah. Itulah yang terjadi pada masyarakat modern yang menjadi korban dari
penjajahan dominasi barat serta industri kapitalis terhadap negara dunia ketiga.
Kata Kunci: Gaya Hidup Kaum Urban, Iklan, 3 (Three), Semiotika
ABSTRACT
Resti Septriana Putri. 6662101202. THESIS. URBAN LIFESTYLE IN 3
Commercial Ads (Semiotics Analysis of Roland Barthes to 3 (Three)
Commercial Ads Indie+ Version “Jadi Orang Gede Menyenangkan, Tapi Susah
Dijalani). Communication Science. Faculty of Social and Politics Science.
Sultan Ageng Tirtayasa University. 2012.
Currently, there are so many advertising grow as creative industries and not only
selling-product oriented. Television advertising not only about a persuasive
message, but also a form of mass communication contains a lot of signs that show
a certain social reality, in which audience can interpret the meaning that
contained in the ad. The following signs are verbal signs (titles, jargon, ad copy)
and nonverbal signs (visualization, illustration, cinematic). 3 (Three) commercial
ads Indie+ version is one of the television commercials which its signs and its
meaning reflects a social reality, specifically the social reality of urban lifestyle.
The main objective of this research is to discover and reveal about: (1) The
meaning of denotation and connotation contained in advertisements Indie + 3
version, (2) Myths are built through the system of signs in 3 (Three) commercial
ads Indie+ version. The approach in this study is qualitative method of Roland
Barthes semiotics. Through the method of semiotics, verbal and nonverbal signs
in advertisements can be analyzed through a combination of signifier, and
analyzed by denotative and connotative level, so that researchers can discover the
hidden meaning and the following myths in the message. The subject of research
taking a television commercial ads of provider 3 (Three) Indie+ version which is
aired in 2011. The results showed that 3 (Three) commercial ads Indie+ version
represents myths and ideologies that exist in the urban lifestyle. Where the urban
society opinion that profession, language, and material can elevate status, class,
and someone prestige. More, urban society behavior always follow the modern
lifestyle that leads to consumerism, materialism, and hedonism which is measured
as the joy of life. All that thing is ended in one goal, where urban society want the
existence of a whole modern society. On the other side, urban lifestyle is a
dilemma that struck a particular social class, like the lower middle class urban
society. Because not only the elite who can become a part of the urban lifestyle,
considering the lifestyle is no longer a cross-class, but a human rights of freedom,
even the lower middle class. That's what happens now in modern society who are
the victims of western collonialiation and capitalist industry to the third world
countries.
Keyword: Urban Lifesyle, Advertising, 3 (Three), Semiotics
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb.
Segala Puji dan Syukur hanya kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
segalanya,hingga dapat terselesaikannya skripsi ini yang berjudul Gaya Hidup
Kaum Urban Dalam Iklan 3 (Analisis Semiotika Roland Barthes Terhadap Iklan
Operator Selluler Versi Indie+ “Jadi Orang Gede Menyenangkan, Tapi Susah
Dijalani) ini. Sesungguhnya hidayah itu adalah hidayah-Mu, rahmat itu adalah
rahmat-Mu, keindahan itu adalah keindahan-Mu, kekuatan itu adalah kekuatanMu, kekuasaan itu adalah kekuasaan-Mu dan pemeliharaan itu adalah
pemeliharaan-Mu. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad SAW.
Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan dalam
menempuh pendidikan tingkat Strata Satu Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten.
Di dalam proses penyusunan, penulis berterima kasih kepada:
1.
Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.pd. selaku Rektor Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.
2.
Dr. Agus Sjafari, M. Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
3.
Neka Fitriyah, S.Sos., M.Si., selaku Ketua Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dan Dosen
Pembimbing I yang telah memberikan kesempatan, izin, dan fasilitas
i
selama menyelesaikan sarjana Ilmu Komunikasi, serta masukan, kesabaran,
ilmu dan bimbingannya dalam proses penyelesaian skripsi ini.
4.
Teguh Iman Prasetya, SE, M.Si., selaku Dosen Pembimbing II, terima kasih
telah meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan masukan, serta
saran untuk menyempurnakan skripsi ini.
5.
Seluruh Dosen dan staff Program Studi Ilmu Komunikasi, staff
Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, dan staff Perpustakaan
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Serta bagi seluruh pihak yang telah memberikan dukungan baik moril
maupun materil, yang tidak tercantum dalam halaman ini, hanya ucapan terima
kasih yang bisa penulis sampaikan, semoga Allah membalas kebaikan kalian.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, maka
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun yang dapat menjadi
masukan bagi penelitian selanjutnya di masa mendatang. Semoga penelitian ini
dapat bermanfaat untuk para pembaca terutama untuk penelitian serupa di masa
mendatang.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Serang, Oktober 2014
Penulis
ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
LEMBAR PERSETUJUAN
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
ABSTRAK
ABSTRACT
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... vi
BAB I
PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1
Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah .......................................................................... 10
1.3
Identifikasi Masalah ....................................................................... 10
1.4
Tujuan Penelitian ........................................................................... 11
1.5
Manfaat Penelitian ......................................................................... 11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 13
2.1
Ilmu Komunikasi .......................................................................... 13
2.2
Konsep Gaya Hidup ..................................................................... 16
2.3
Masyarakat Perkotaan Dalam Kajian Sosiologi Perkotaan .......... 19
2.4
Budaya Populer ............................................................................ 23
2.5
Periklanan ..................................................................................... 27
2.6
Ilmu Semiotika ............................................................................. 33
2.7
Konsep Semiotika Roland Barthes ............................................... 35
2.7.1 Denotasi dan Konotasi ........................................................ 38
2.7.2 Mitos ................................................................................... 42
2.8
Analisis Pesan Iklan Menurut Pemikiran Barthes ........................ 44
2.9
Kerangka Berpikir ........................................................................ 47
iii
2.10 Penelitian Terdahulu .................................................................... 48
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN ................................................. 54
3.1
Subjek Penelitian .......................................................................... 55
3.2
Jenis Penelitian ............................................................................. 55
3.3
Paradigma Penelitian ..................................................................... 57
3.4
Sifat Penelitian ............................................................................. 58
3.5
Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 59
3.6
Unit Analisis Penelitian ................................................................ 60
3.7
Teknik Analisis Data ..................................................................... 62
3.8
Teknik Keabsahan Penelitian ........................................................ 63
3.9
Jadwal Penelitian ........................................................................... 65
3.10 Keterbatasan dan Kelemahan Penelitian ...................................... 65
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................... 67
4.1
Profil Perusahaan 3 (Three) .......................................................... 67
4.2
Karakteristik Data ........................................................................ 69
4.3
Hasil Analisis dan Interpretasi Data .............................................. 69
4.3.1 Pembahasan 1 ..................................................................... 70
4.3.2 Pembahasan 2 ...................................................................... 75
4.3.3 Pembahasan 3 ..................................................................... 81
4.3.4 Pembahasan 4 ...................................................................... 85
4.3.5 Pembahasan 5 ...................................................................... 90
4.3.6 Pembahasan 6 ...................................................................... 95
4.3.7 Pembahasan 7 ...................................................................... 98
4.4
Kecerdikan Produk dalam Memanfaatkan Realitas Sosial
Sebagai Bentuk Persuasif Iklan ..................................................... 102
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 105
5.1
Kesimpulan ................................................................................... 105
5.2
Saran ............................................................................................. 107
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 108
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Model Kajian Semiotik Berdasar Unsur Denotasi dan Konotasi ....... 41
Tabel 2.2
Kode Sinematik ................................................................................. 46
Tabel 2.3
Tinjauan Perbandingan Penelitian Terdahulu ................................... 52
Tabel 3.1
Unit Analisis Penelitian .................................................................... 60
Tabel 4.1
Penerapan Peta Tanda Roland Barthes Pada Scene 1 ........................ 71
Tabel 4.2
Penerapan Peta Tanda Roland Barthes Pada Scene 2 ........................ 75
Tabel 4.3
Penerapan Peta Tanda Roland Barthes Pada Scene 3 ................ ....... 81
Tabel 4.4
Penerapan Peta Tanda Roland Barthes Pada Scene 4 ........................ 85
Tabel 4.5
Penerapan Peta Tanda Roland Barthes Pada Scene 5 ................ ....... 90
Tabel 4.6
Penerapan Peta Tanda Roland Barthes Pada Scene 6 ................ ....... 95
Tabel 4.7 Penerapan Peta Tanda Roland Barthes Pada Scene 7 ................ ....... 98
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes............................................................... 39
Gambar 2.1 Alur Kerangka Berpikir ................................................................... 48
Gambar 4.1 Potongan Scene 1 .............................................................................. 70
Gambar 4.2 Potongan Scene 2 .............................................................................. 75
Gambar 4.3 Potongan Scene 3 ............................................................................. 81
Gambar 4.4 Potongan Scene 4 .............................................................................. 85
Gambar 4.5 Potongan Scene 5 ............................................................................. 90
Gambar 4.6 Potongan Scene 6 ............................................................................. 95
Gambar 4.7 Potongan Scene 7 ............................................................................. 98
Gambar 4.8 Potongan Scene Slogan Produk....................................................... 104
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertumbuhan kreatifitas iklan televisi berhubungan erat dengan
kompetisi antara pengiklanan dan pertumbuhan media sebagai sarana beriklan.
Kini perkembangan media massa dengan realitas kehidupan terutama televisi
dengan segala tampilannya menjadi semakin menarik. Saat ini televisi telah
menjadi bagian dari kebudayaan audiovisual baru dan merupakan medium
yang paling kuat pengaruhnya dalam membentuk sikap dan kepribadian baru
masyarakat luas.
Saat ini iklan yang biasa-biasa saja sudah tidak banyak mendapatkan
reaksi yang baik dari khalayak, sehingga menyulitkan bagi iklan untuk
menarik perhatian khalayak untuk melangkah ke tahap berikutnya. Berangkat
dar hal itulah para pengiklan harus mampu membuat khalayak tetap bertahan
menyaksikan iklan dari awal sampai akhir dengan kemasan iklan yang
menarik. Efek visual sangat penting untuk meningkatkan rangsangan
terhadap pesan yang disampaikan. Kesempatan awal yang diraih dari sebuah
penyajian iklan harus memunculkan sebuah skenario dengan daya rangsang
yang sangat tinggi sehingga perhatian khalayak dapat terpaku pada iklan dari
awal sampai akhir.1
1
Soemanagara, Rd. 2008. Strategic Marketing Communication (Konsep Strategis dan Terapan).
Bandung: Alfabeta.
1
Sebagai salah satu bentuk komunikasi massa, iklan televisi merupakan
sebuah pesan yang kini semakin beragam strategi penyajiannya sebab iklan
televisi tidak hanya pesan yang berwujud kata-kata (audio), namun juga
dengan gambar-gambar yang mendukung kata-kata tersebut (visual). Pesan
yang diciptakan muncul dalam bentuk verbal dan visual yang menyatu dalam
konsep total antara kata-kata dan visual.2 Pada akhirnya tampilan pesan iklan
yang menarik dapat mempengaruhi khalayak untuk membeli produk yang
dipasarkan. Strategi kreatif dari sisi internal dalam proses penciptaan
komunikasi pemasaran memegang kunci penting dalam keberhasilan suatu
produk atau jasa.3
Jika ditinjau berdasarkan ilmu komunikasi massa, iklan mengandung
tanda-tanda komunikatif dimana agensi periklanan sebagai komunikator dan
audiens sebagai komunikan. Lewat tanda-tanda itulah suatu pesan iklan
menjadi bermakna. Tanda-tanda itu antara lain terdiri dari tanda verbal (judul,
jargon, dan naskah iklan) dan tanda nonverbal (visualisasi, ilustrasi, tipografi,
dan sinematik), sehingga iklan tidak hanya merupakan jalur promosi namun
juga sebuah jalur penyampaian pesan akan tanda dan lambang yang memiliki
interpretasi tertentu.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada dasarnya tanda atau
lambang yang digunakan dalam iklan terdiri atas dua jenis, yaitu yang verbal
dan nonverbal. Lambang verbal adalah bahasa yang kita kenal; lambang yang
2
th
J. Thomas Russel; and W. Ronald Lane. 2006. Kleppner’s Advertising Procedure, 14 edition.
Prentice Hall, New Jersey. h. 470.
3
A. Jerome Jewler, and Bonnie L Drewniany. 2004. Creative Strategy in Advertising. Wadsworth
Publishing. h. 23.
2
nonverbal adalah bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan, yang tidak
secara khusus meniru rupa atas bentuk realitas. Disinilah pengiklan dapat
mengemas sebuah pesan yang mewakili suatu realitas sosial tertentu dan
realitas sosial itu sendiri harus berkaitan dengan karakteristik produk yang
dipasarkan.
Iklan televisi banyak menampilkan realitas sosial, di mana khalayak
melakukan interpretasi makna yang ada dalam suatu pesan iklan televisi.
Meskipun proses interpretasi menghasilkan makna yang berbeda-beda karena
karena khalayak berasal dari ruang dan kelompok sosial yang berbeda-beda
ruang dan kelompok sosialnya, namun di satu sisi iklan televisi sudah pasti
berusaha menyampaikan pesan dengan bahasa yang universal karena pada
dasarnya tujuan utama iklan adalah untuk mempengaruhi keputusan khalayak
itu sendiri.
Saat ini perkembangan iklan cenderung mengarah pada sales
entertainment yaitu iklan yang tidak hanya berorientasi pada peningkatan
penjualan tetapi juga memperhatikan unsur hiburan atau sesuatu yang mampu
menggelitik perhatian konsumen. Iklan semacam ini merupakan bentuk iklan
simbolik, yaitu iklan yang menggunakan bahasa dan simbol-simbol tertentu
dan menggunakan makna-makna tertentu yang hanya bisa dipahami oleh
kalangan-kalangan tertentu.4 Hal ini berkaitan dengan penentukan segmentasi
pasar yang disesuaikan dengan karakteristik produk yang ditawarkan,
4
Burhan Bungin. 2001. Imaji Media Massa. Yogyakarta: Penerbit Jendela. h. 80.
3
sehingga kemungkinan terjadinya kegagalan komunikasi periklanan dapat
dihindari.
Di satu sisi, realitas iklan dapat menjadi representasi realitas sosial,
artinya iklan mengacu atau memiliki referensi pada realitas yang dialami di
kehidupan masyarakat. Di sisi lain iklan juga mampu mengkonstruksi apa
yang dianggap sebagai realitas oleh masyarakat melalui penciptaan citra dan
makna yang tidak selalu memiliki rujukan pada realitas sosial. Di antara
kedua pendapat tersebut ada juga yang memiliki anggapan bahwa iklan
memiliki ruang realitasnya sendiri. Bahwa pada saat yang sama iklan
mencerminkan realitas sosial sekaligus menyajikan permainan citra, makna
rekaan pada masyarakat.
Penelitian ini membahas tentang makna gaya hidup kaum urban dalam
sebuah iklan yang dianalisis melalui metode dan teori semiotika Roland
Barthes. Barthes memberikan sebuah pemikiran tentang mitos-mitos yang
terdapat pada iklan atau budaya massa kontemporer, salah satunya iklan.
Disini iklan menyimpan beragam ideologi tergantung tujuannya dalam
melakukan transmisi pesan. Iklan yang dianalisis merupakan iklan yang
muncul pada tahun 2011 dimana iklan tersebut adalah iklan jasa layanan
telekomunikasi atau lebih dikenal dengan operator selluler bernama karena
penyajiannya yang unik sekaligus persuasif.
Iklan operator selluler 3 (Three) menyajikan sebuah pesan yang isinya
mewakili realitas sosial yang ada di masyarakat, yaitu realitas sosial gaya
hidup kaum urban. Beberapa waktu lalu, iklan ini cukup mengundang
4
perhatian khalayak dan menjadi perbincangan di berbagai kalangan. Iklan
tersebut menggambarkan potret gaya hidup populer kaum urban, dengan
menampilan anak-anak sebagai bintang utama iklan tersebut serta ilustrasi
dan visualialisi pesan yang terasa nyata dan membawa khalayak masuk ke
dalam dunia yang digambarkan dalam iklan tersebut.
Konsep gaya hidup kaum urban pada iklan operator selluler 3 (Three)
versi Indie+ merujuk pada definisi gaya hidup yang dikemukakan oleh Kotler
(2002:192), gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang
diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup juga dapat
didefinisikan sebagai suatu frame of reference atau kerangka acuan yang
dipakai seseorang dalam bertingkah laku, dimana individu tersebut berusaha
membuat seluruh aspek kehidupannya berhubungan dalam suatu pola
tertentu, dan mengatur strategi begaimana ia ingin dipersepsikan oleh orang
lain.5
Berkaitan dengan pendapat Kotler tersebut, gaya hidup kaum urban
merupakan suatu fenomena pergeseran budaya ketimuran yang mulai berganti
dengan budaya barat sebagai dampak dari proses modernisasi belakangan ini.
Fenomena tersebut berdampak pada perubahan aktivitas, minat, dan opini
masyarakat urban itu sendiri. Meskipun hal-hal yang masih bersifat
tradisional dimasyarakat menjadi filter atau penyaring ketat masih
menyebabkan sulitnya masuk budaya tertentu, namun ternyata proses
5
Kurnia Wijayanti. 2004. Fenomena Pusat Kebugaran dalam Perkembangan Kota (Studi Kasus:
Mall Puri Indah dan Fitness First Menara BCA Thamrin). Skripsi (tidak diterbitkan) : Depok. h. 1.
5
peleburan budaya barat telah terjadi secara perlahan-lahan dengan masyarakat
dalam jangka waktu yang cukup lama dan telah menciptakan pergeseran
budaya yang saat ini sedang terjadi.
Diantara bagian dari gaya hidup kaum urban yang digambarkan dalam
iklan operator selluler 3 (Three) versi Indie+ adalah gaya hidup modern yang
lekat dengan mitos kesenangan hidup serta pemuasan akan produk-produk
konsumsi yang ditawarkan kapitalis yang melanda kehidupan orang dewasa.
Disinilah terjadi false need, dimana sesuatu yang sebenarnya tidak kita
butuhkan atau hanya berupa keinginan berubah menjadi kebutuhan yang
harus dipenuhi. Sebuah produk mendoktrin, memanipulasi, menyebarkan
kesadaran palsu yang menjadi gaya hidup (way of life).6 Aktivitas, minat, dan
opini masyarakat urban yang digambarkan dalam iklan tersebut meliputi
trend “ngopi” di kafe mahal, “nongkrong” di Mall, berpenampilan “eksmud”
(eksekutif muda), kebiasaan hangout, lebih suka berbicara bahasa inggris
karena berpikir dengan berbicara bahasa inggris dapat meningkatkan gengsi
seseorang, serta kebiasaan-kebiasaan lain yang tanpa kita sadari mewakili
realitas sosial gaya hidup modern masyarakat urban.
Fenomena gaya hidup kaum urban seperti yang digambarkan dalam
iklan operator selluler 3 (Three) versi Indie+ menimpa sebagian besar
masyarakat perkotaan, yang pada awalnya menjunjung tinggi adat dan tradisi
ketimuran, kini perlahan-lahan beradaptasi dengan gaya hidup yang modern
sejalan dengan masuknya era modernisasi. Contoh sederhana dari pergesaran
6
John Storey. 2009. Cultural Theory and Popular Culture. h. 63
6
gaya hidup ketimuran menjadi gaya hidup kaum urban yang sedang
berlangsung saat ini adalah penampilan fisik masyarakat yang pada awalnya
berestetika, kini berganti dengan penampilan glamour. Jika dibandingkan,
sepuluh tahun yang lalu menggunakan baju minim merupakan hal yang masih
dianggap tabu sekarang telah menjadi hal yang lumrah dan malah menjadi
trend fashion yang digemari oleh masyarakat perkotaan.
Gaya hidup kaum urban yang meliputi masyarakat perkotaan berkaitan
dengan bagaimana seseorang ingin dipersepsikan oleh orang lain disekitarnya
terutama orang-orang yang dianggap berpengaruh di kehidupannya, sehingga
gaya hidup tergolong berkaitan dengan bagaimana ia membentuk image di
mata orang lain, yang pada akhirnya berkaitan dengan status sosial yang
dicerminkan seseorang. Menurut Susanne K. Langer, salah satu kebutuhan
pokok manusia adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang.
Simbol-simbol ini digunakan untuk merefleksikan status dan gaya hidup yang
dianut, yang sangat berpengaruh dalam perilaku konsumsi pemakainya.7
Meskipun setiap individu berhak untuk menentukan gaya hidup yang
diinginkan, namun faktor lingkungan seringkali menuntut seseorang untuk
mengikuti gaya hidup setempat agar mendapat pengakuan di masyarakat
setempat itu sendiri. Misalnya, jika seseorang tinggal di lingkungan yang
masih menjunjung tinggi adat ketimuran seperti masyarakat pedesaan, maka
gaya hidup yang dipilih sebaiknya mengikuti gaya hidup setempat yang
masih mengikuti budaya ketimuran. Sedangkan jika seseorang tinggal di
7
Deddy Mulyana. 2000. Ilmu Komunikasi. Suatu Pengantar. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
7
lingkungan perkotaan, maka seseorang akan berusaha untuk mengikuti gaya
hidup perkotaan yaitu gaya hidup modern yang identik dengan kesenangan
hidup belaka.
Iklan yang berdurasi kurang lebih satu menit ini mengarahkan pemirsa
atau khalayak untuk mencitrakan dan membangun makna dari representasi
fisik berupa penampilan dan perilaku masyarakat urban yang digambarkan
dalam aspek verbal dan nonverbal dalam iklan tersebut. Berkaitan dengan
banyaknya tanda dalam sebuah pesan iklan televisi, semiotika merupakan
metode yang tepat untuk menganalisis pesan berdasarkan penanda dan
petanda yang ada di dalamnya.
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Iklan operator
selluler 3 (Three) versi Indie+ adalah salah satu iklan yang di dalamnya
terdapat penanda dan petanda yang menghasilkan suatu makna yang mewakili
realitas sosial tertentu. Dalam hal ini makna yang dimaksud adalah realitas
gaya hidup kaum urban yang dicitrakan melalui penanda yang ditandai
dengan aspek audio dan petanda ditandai dengan aspek visual pesan. Dalam
memaknai penanda dan petanda, semiotika Roland Barthes adalah metode
yang telah banyak digunakan untuk mengkaji suatu pesan dalam bentuk
gambar bergerak seperti iklan dan film.
Pemaknaan penanda dan petanda menurut analisis semiotika Roland
Barthes yaitu pada tahap pemaknaan yang terdiri dari makna denotasi,
konotasi, dan mitos. Aspek audio dan visual iklan operator selluler 3 (Three)
versi Indie+ yang merefleksikan kehidupan nyata masyarakat urban memiliki
8
dua tingkatan makna yaitu makna denotatif dan konotatif, pemaknaan
konotatif itulah yang akan mengarah pada mitos-mitos yang ada dalam gaya
hidup kaum urban.
Sebagaimana Barthes mengatakan bahwa mitos adalah suatu tipe
wicara, bukan kata tetapi ‘sesuatu’.8 Mitos memuat sesuatu yang bersifat
ideologis namun, tidak dapat dirasa. Menurut Althusser, ideologi merupakan
sistem representasi yang membentuk subjek dan tidak dapat dilepaskan dari
relasi kuasa.9 Representasi ditampilkan lewat citra-citra dan fungsinya
sebagai pemosisian subjek dalam realitas sosial.
Berkaitan
dengan
penjabaran
di
atas,
peneliti
tertarik
untuk
menganalisis pesan iklan berdasarkan analisis semiotika Roland Barthes,
yaitu dengan menganalisis aspek audio berupa kata-kata (penanda) dalam
iklan dan aspek visual berupa scene (petanda) yang mendukung isi pesan di
dalam iklan tersebut yang mewakili realitas sosial gaya hidup modern kaum
urban, sehingga dari latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas,
maka peneliti memberi judul penelitian ini Gaya Hidup Kaum Urban
dalam Iklan 3 (Analisis Semiotika Roland Barthes Terhadap Iklan
Operator
Selluler
3
(Three)
Versi
Indie+
“Jadi
orang
gede
menyenangkan, tapi susah untuk dijalani”)
8
9
Roland Barthes. 2009. Mitologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. h. 151.
Chris Barker. 2011. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana. h. 59.
9
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian singkat mengenai latar belakang diatas, maka
perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana makna gaya hidup kaum urban dalam iklan operator
selluler 3 (Three) versi Indie+ “Jadi orang gede menyenangkan, tapi susah
untuk dijalani” jika dikaji berdasarkan teori semiotika Roland Barthes?
3. Identifikasi Masalah
Berkaitan dengan rumusan masalah yang telah ditentukan, adapun
identifikasi masalah yang akan menjadi fokus penelitian ini, diantaranya:
1. Bagaimana penanda yang ada dalam iklan operator selluler 3 (Three)
versi Indie+ “Jadi orang gede menyenangkan, tapi susah dijalani”?
2. Bagaimana petanda yang ada dalam iklan operator selluler 3 (Three)
versi Indie+ “Jadi orang gede menyenangkan, tapi susah dijalani”?
3. Bagaimana makna denotasi yang terkandung iklan operator selluler 3
(Three) versi Indie+ “Jadi orang gede menyenangkan, tapi susah
dijalani”?
4. Bagaimana makna konotasi yang terkandung iklan operator selluler 3
(Three) versi Indie+ “Jadi orang gede menyenangkan, tapi susah
dijalani”?
5. Bagaimana mitos yang terkandung iklan operator selluler 3 (Three)
versi Indie+ “Jadi orang gede menyenangkan, tapi susah dijalani”?
10
4. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti sesuai dengan identifikasi
masalah yang diuraikan di atas diantaranya:
1. Untuk mengetahui penanda yang ada dalam iklan operator selluler 3
(Three) versi Indie+ “Jadi orang gede menyenangkan, tapi susah
dijalani”?
2. Untuk mengetahui petanda yang ada dalam iklan operator selluler 3
(Three) versi Indie+ “Jadi orang gede menyenangkan, tapi susah
dijalani”?
3. Untuk mengungkap dan menganalisis makna denotatif dalam iklan
operator selluler 3 (Three) versi Indie+ “Jadi orang gede
menyenangkan, tapi susah dijalani”?
4. Untuk mengungkap dan menganalisis makna konotatif dalam iklan
operator selluler 3 (Three) versi Indie+ “Jadi orang gede
menyenangkan, tapi susah dijalani”?
5. Untuk mengungkap mitos dalam iklan operator selluler 3 (Three)
versi Indie+ “Jadi orang gede menyenangkan, tapi susah dijalani”?
5. Manfaat Penelitian
Terdapat dua manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini, yaitu :
1. Manfaat Teoritis
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan secara
ilmiah bagaimana proses pemaknaan salah satu realitas sosial di kehidupan
11
bermasyarakat dalam sebuah iklan, yaitu gaya hidup kaum urban. Dalam
kaitannya
dengan
penelitian
ini,
analisis
pesan
iklan
dengan
mengaplikasikan teori semiotika Roland Barthes berdasarkan penanda dan
petanda yang terkandung dalam aspek verbal (dialog) dan nonverbal
(ilustrasi dan visualisasi) iklan operator selluler 3 (Three) versi Indie+ akan
menunjukkan sejauh apa teori semiotika berkontribusi dalam proses
pemaknaan suatu pesan media massa, terutama iklan yang tidak hanya
sebatas pesan persuasif, namun juga pesan yang mengandung banyak tanda
didalamnya.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Perguruan Tinggi
untuk menambah pengetahuan dan sebagai salah satu referensi dalam karya
ilmiah khususnya mengenai permasalahan fenomena mengenai gaya hidup
kaum urban yang tercermin dalam sebuah iklan televisi. Selain itu,
penelitian ini beguna untuk masyarakat sebagai tambahan sumber informasi
dan wawasan agar dapat dapat bersikap arif serta bijaksana dalam
menyikapi pengaruh isi pesan dalam sebuah iklan dari media masa seperti
televisi. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai masukan bagi agensi
periklanan
mengenai
strategi
dan
pendekatan
yang
tepat
dalam
mengiklankan suatu produk agar dapat diterima dengan baik dalam setiap
segmentasi yang dituju terutama untuk agensi periklanan pada perusahaan
operator selluler 3 (Three).
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam suatu penelitian teori berperan untuk mendorong pemecahan suatu
permasalahan dengan jelas dan sistematis. Hal ini sangat berkaitan erat dengan
pengertian teori yakni serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi dan
proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara
merumuskan antar konsep.10
Berdasarkan pemaparan di atas penulis memahami bahwa teori adalah
himpunan konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang saling berhubungan
tentang suatu fenomena. Teori-teori yang digunakan peneliti sebagai acuan
penelitian berakar dari payung ilmu komunikasi, sehingga peneliti merumuskan
teori relevan yang digunakan dalam penulisan ini sebagai berikut.
2.1 Ilmu Komunikasi
Sebagai satu corak khas (karakteristik) penelitian dalam bidang ilmu
komunikasi, kajian bentuk-bentuk pesan media massa (analisis isi, analisis
wacana hingga analisis semiotika) merupakan salah satu kajian yang cukup
banyak dilakukan dalam pengembangan ilmu komunikasi itu sendiri.
Komunikasi adalah suatu hal yang mesti terjadi dan tak dapat dihindari
dalam hubungan sosial kita sebagaimana dalam aksiomanya we can`t not to
communication. Di mana dalam proses komunikasi, lambang, simbol atau
10
Masri Singarimbun. 1995. Metode Penelititan Survei. LP3S, Jakarta. h. 37.
13
tanda (signs) menjadi faktor penting dalam pertukaran makna pesan atau
maksud berkomunikasi. Penyampaian informasi di media massa juga
merupakan salah satu bentuk komunikasi satu arah, yang melibatkan audiens
sebagai penerima pesan atau komunikan. Iklan operator selluler 3 (Three)
adalah salah satu bentuk komunikasi massa dimana pengiklan menjadi
komunikator dan masyarakat menjadi komunikannya, sedangkan televisi
adalah medium penyampaian pesan yang dimaksud.
Berbeda dengan iklan-iklan yang secara langsung mempersuasif
khalayak untuk membeli produknya, iklan operator selluler 3 (Three) versi
Indie+ adalah iklan yang temanya berkaitan dengan realitas sosial gaya hidup
modern sebagai pesan iklan yang dikaitkan dengan produk bernama Indie+.
Pesan yang disampaikan tentunya menggunakan seluruh tanda verbal (judul,
jargon, dan naskah iklan) dan tanda nonverbal (visualisasi, ilustrasi, tipografi,
dan sinematik) menjadi pesan yang merefleksikan realitas sosial tertentu yaitu
gaya hidup modern kaum urban.
Iklan televisi merupakan salah satu bentuk komunikasi massa yang
disalurkan oleh media. Lasswell (1948/1960) mencatat ada 3 fungsi media
massa: pengamatan lingkungan, korelasi bagian-bagian dalam masyarakat
untuk merespons lingkungan, dan penyampaian warisan masyarakat dari satu
generasi ke generasi selanjutnya. Selain ketiga fungsi ini, Wright (1959)
menambahkan fungsi keempat, yaitu hiburan.11 Berkaitan dengan nilai-nilai
serta ideologi mengenai gaya hidup modern kaum urban yang tercermin
11
Werner J. Severin, dan James W. Tankard, Jr. 2011. Teori Komunikasi: Sejarah. Metode, dan
Terapan di Dalam Media Massa. Jakarta: Kencana. h. 386.
14
dalam iklan operator selluler 3 (Three) versi Indie+, iklan tersebut berarti
memiliki fungsi penyampaian warisan sosial melalui media massa.
Penyampaian warisan sosial merupakan suatu fungsi dimana media
menyampaikan informasi, nilai, dan norma dari satu generasi ke generasi
berikutnya atau dari anggota masyarakat ke kaum pendatang. Dengan cara
ini, mereka bertujuan untuk meningkatkan kesatuan masyarakat dengan cara
memperluas dasar pengalaman mereka.12
Agar komunikasi efektif, dalam arti terjadi kesamaan berpikir antara
pengirim pesan dengan penerima pesan, maka pengirim harus menggunakan
stimuli yang dapat dimengerti oleh penerima pesan. Dengan kata lain dalam
menerjemahkan gagasan yang ingin disampaikan, pengirim pesan harus
menggunakan tanda-tanda yang diketahui oleh bidang pengalaman (field of
experience) kedua belah pihak. Semakin besar pertemuan bidang pengalaman
antara pengirim dan penerima pesan, maka semakin besar kemungkinan
pesan akan diterjemahkan secara tepat untuk penerima pesan, dengan kata
lain semakin besar kemungkinan terjadinya komunikasi yang efektif.
Memahami bahasa dan seperangkat tanda dalam suatu pesan menjadi
sesuatu yang mutlak untuk menemukan makna dari suatu pesan. Dalam hal
ini iklan operator selluler 3 (Three) melibatkan bidang pengalaman (field of
experience) khalayak untuk dapat memahami informasi serta nilai-nilai dalam
pesan iklan yang berkaitan dengan realitas sosial gaya hidup masyarakat masa
kini. Masyarakat indonesia yang sebagian besar kini telah menjadi
12
Ibid. h. 388
15
masyarakat modern tentunya dapat memahami makna yang tersirat dalam
iklan melalui naskah iklan yang terasa nyata dalam kehidupan sehari-hari
mereka. Sebagaimana definisi komunikasi yang dikemukakan oleh Raymond
S. Ross “komunikasi adalah suatu proses menyortir, memilih, dan
mengirimkan simbol-simbol sedemikian rupa sehingga membantu pendengar
membangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang serupa dengan yang
dimaksudkan komunikator”.
Berbekal dari definisi komunikasi yang paling populer dari Harold
Lasswell, yakni “Who says what in which channel to whom and with what
effects”, yakni komunikator (who), pesan (what), media atau sarana
(channel), komunikan (whom), dan pengaruh atau akibat (effect), analisis
iklan televisi yang merupakan salah satu teks media berdasarkan kajian
semiotika merupakan sebuah paket penelitian yang lengkap dalam penelitian
ilmu komunikasi karena tidak hanya melibatkan konsep Lasswell, namun
juga bagaimana tanda-tanda (signs) berkontribusi dalam proses komunikasi
massa. Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan unsur pesan dari konsep
5W+1H Lasswell yaitu isi pesan dalam iklan operator selluler 3 (Three) versi
Indie+, sehingga diharapkan penelitian akan mencapai tujuan yang telah
ditentukan sebelumnya.
2.2 Konsep Gaya Hidup
Gaya hidup menurut Kotler (2002) adalah pola hidup seseorang di
dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup
16
menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan
lingkungannya. Gaya hidup juga menunjukkan bagaimana orang hidup,
bagaimana membelanjakan uangnya, dan bagaimana mengalokasikan waktu
dalam kehidupannya, juga dapat dilihat dari aktivitas sehari-harinya dan
minat apa yang menjadi kebutuhan dalam hidupnya.
Gaya hidup menggambarkan seluruh pola seseorang dalam beraksi dan
berinteraksi di dunia. Menurut Assael (1984), gaya hidup adalah “A mode of
living that is identified by how people spend their time (activities), what they
consider important in their environment (interest), and what they think of
themselves and the world around them (opinions)”.
Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu
orang dengan orang lainnya. Pola-pola kehidupan sosial yang khusus pada
akhirnya seingkali disederhanakan dengan istilah budaya dikarenakan sifanya
yang seringkali mengakar. Salah satu faktor yang mempengaruhi gaya hidup
seseorang adalah faktor lingkungan, misalnya ketika seseorang berinteraksi
dengan kelompok sosial tertentu, seperti kelompok sosial kelas atas yang
selalu berpakaian serba mahal dan ber merk, makan di restoran yang mewah
dan berbelanja di Mall, maka ketika kita bergaul dengan kelompok tersebut,
kita akan mudah terbawa arus dan mengikuti gaya hidup mereka.13 Sementara
itu, gaya hidup tergantung pada bentuk-bentuk kultural, tata krama, cara
menggunakan barang-barang, tempat dan waktu tertentu yang merupakan
karakteristik suatu kelompok. Seseorang dalam sebuah kelompok masyarakat
13
Bagong Suyanto. 2013. Sosiologi Ekonomi: Kapitalisme dan Konsumsi di Era Masyarakat PostModernisme. Jakarta: Prenada Media. h. 17.
17
akan dinilai mempunyai selera hidup yang tinggi ketika mampu
memanfaatkan
waktu
luang
dengan
nyaman,
nyaman
disini
bisa
diidentifikasikan sebagai suatu ruang komsumsi yang cenderung materialis.
Menurut Pilliang (2003) gaya hidup adalah cara manusia konsumer
mengaktualisasikan dirinya lewat semiotisasi kehidupan. Semiotisasi
kehidupan tersebut merupakan suatu tanda-tanda dan kode-kode dimana
diwujudkan dalam bentuk waktu, uang dan barang. Didalam dunia
konsumerisme, apapun dapat dikontruksi sebagai bagian dari gaya hidup,
selama ia dapat dirubah menjadi citra, tanda dan gaya. Sejalan dengan
pendapat A.B Susanto (1998) bahwa gaya hidup adalah cara seseorang
mengkonsumsi waktu dan uangnya untuk mengaktualisasikan dirinya.
Chaney juga memahami gaya hidup sebagai proses aktualisasi diri
dimana para aktor secara refleksif terkait dengan bagaimana mereka harus
hidup dalam suatu konteks interdependensi global.14 Dari berbagai pendapat
mengenai gaya hidup, konsep gaya hidup yang dipakai dalam penelitian ini
adalah cara seseorang mengaktualisasikan diri serta menampilkan identitas
dirinya lewat penggunaan waktu, uang dan barang.
Pesan dalam iklan operator selluler 3 (Three) versi Indie+
menggambarkan tentang realitas sosial gaya hidup modern kaum urban yang
secara disadari atau tidak disadari menimpa hampir seluruh masyarakat
perkotaan dari berbagai kalangan, terutama orang-orang atau kelompok yang
mengikuti arus modernisasi atau menerima proses modernisasi itu sendiri.
14
David Chaney. 1996. Lifestyles (Sebuah Pengantar Komprehensif). Yogyakarta: Jalasutra. h. 36.
18
Iklan
tersebut
menggambarkan
bagaimana
masyarakat
perkotaan
menghabiskan uang dan waktunya, contohnya karyawan kantoran yang
menyukai kebiasaan “ngopi” di kafe mahal, bagaimana sebagian besar
masyarakat perkotaan kini lebih senang menggunakan bahasa asing ketika
berkomunikasi, juga bagaimana seseorang agar tidak dipandang kurang
pergaulan atau ketinggalan zaman.
Amstrong (dalam Nugraheni, 2003) menyatakan bahwa terdapat dua
faktor yang mempengaruhi gaya hidup, yaitu dari dalam diri individu
(internal) dan luar (eksternal).15 Faktor internal diantaranya meliputi sikap,
pengalaman dan pengamatan, kepribadian, konsep diri yaitu bagaimana
individu memandang dirinya akan mempengaruhi minat terhadap suatu objek,
motif dimana jika motif seseorang terhadap kebutuhan akan prestise itu besar,
maka akan membentuk gaya hidup yang cenderung mengarah kepada gaya
hidup hedonis, dan persepsi. Sedangkan faktor eksternal meliputi kelompok
referensi, keluarga, kelas sosial dimana hierarki kelas sosial masyarakat
menentukan pilihan gaya hidup, kebudayaan. Hal-hal tersebut yang pada
akhirnya akan membentuk perilaku, minat, dan opini seseorang yang
merefleksikan suatu gaya hidup tertentu di kehidupan bermasyarakat.
2.3 Konsep Masyarakat Urban dalam Kajian Sosiologi Perkotaan
Sosiologi perkotaan merupakan salah satu kajian sosiologis mengenai
kota-kota, seperti perilaku masyarakat kota, pola interaksi masyarakat kota,
15
http://sosiologibudaya.wordpress.com/2011/05/23/gaya-hidup-2/
19
hubungan sosial masyarakat kota, problematika dalam masyarakat kota dan
lain-lain.
Kota merupakan salah satu tempat tinggal manusia. Pengertian kota
adalah lokasi dimana terdapat kemungkinan adanya suatu lingkungan
kehidupan yang beraneka ragam dan gaya hidup yang berbeda-beda. Dalam
kamus Merriam Webster, city atau kota diartikan sebagai ”an inhabited place
of greater size, population, or importance than a town or village”.16
Menurut Moore (1988 : 65) ”masyarakat adalah sekelompok orang
yang hidup ditempat yang sama, berpemerintahan yang sama, dan
mempunyai kebudayaan dan sejarah yang umumnya turun temurun”.
Soerjono Soekanto mengatakan “masyarakat perkotaan atau urban
community adalah masyarakat kota yang tidak tertentu jumlah penduduknya.
Tekanan pengertian “kota” terletak pada sifat serta ciri kehidupan yang
berbeda dengan masyarakat pedesaan”.17
Masyarakat perkotaan yang mana kita ketahui itu selalu identik dengan
sifat yang individual, matrealistis, penuh kemewahan,di kelilingi gedunggedung yang menjulang tinggi, perkantoran yang mewah, dan pabrik-pabrik
yang besar.18
Menurut ahli Geografi Indonesia, Prof. Bintarto (1984:36), “kota dapat
diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai
dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya yang materialistis,
16
Arthur Gallion & Simon Eisner. 1975. The Urban Pattern. h. 3
Soerjono Soekanto. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. h. 138
18
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi : Pemahaman Fakta Dan Gejala
Permasalahan Sosial Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta : Kencana. Cet. I. 2011. h. 852
17
20
atau dapat pula diartikan sebagai benteng budaya yang ditimbulkan oleh
unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala-gejala pemutusan penduduk
yang cukup besar dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan
materialistis dibandingkan dengan daerah belakangnya.”
Seperti yang kita ketahui, masyarakat perkotaan atau urban kerap kali
tak lepas dari aktivitas yang mengarah kepada nilai-nilai konsumerisme,
hedonisme, dan materialisme dimana hal tersebut seperti menjadi tradisi dari
pola hidup yang lebih banyak mencari kesenangan, seperti lebih banyak
menghabiskan waktu di luar rumah, lebih banyak bermain, selalu ingin
menjadi pusat perhatian, senang pada keramaian kota, senang membeli
barang mahal yang disenanginya dan menghabiskan uang untuk mendapatkan
suatu hal yang kecil dan dibayarkan dalam jumlah besar, karena perilaku
tersebut dianggap akan mencerminkan prestise
yang tinggi di mata
masyarakat sekitarnya.
Secara fisik kota dinampakkan dengan adanya gedung-gedung yang
menjulang tinggi, hiruk pikuknya kendaraan, pabrik, kemacetan, kesibukan
warga masyarakatnya, persaingan yang tinggi, polusinya, dan sebagainya.
Alasan itulah yang melandasi masyarakat perkotaan dikategorikan sebagai
masyarakat modern.19
Tidak selamanya pula masyarakat kota dikatakan sebagai masyarakat
yang modern. Karena yang di maksud sebagai masyarakat yang modern
dalam bahasan ini adalah kelompok masyarakat yang berada di daerah
19
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi : Pemahaman Fakta Dan Gejala
Permasalahan Sosial Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta : Kencana. Cet. I. 2011. h. 852
21
keramaian dan lebih mudah mengalami perubahan atau pengaruh dari
kehidupan masyarakt perkotaan. Sedangkan disisi lain ini masih ada
masyarakatnya yang tertinggal, termasuk masalah informasi dan tekhnologi.20
Dalam masyarakat modern, sering dibedakan antara masyarakat
pedesaan dengan masyarakat perkotaan. Sebenarnya perbedaan tersebut tidak
mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat sederhana karena dalam
masyarakat modern, seberapapun kecilnya desa, pasti ada pengaruh-pengaruh
dari kota. Pembedaan antara masyarakat pedesaan dengan masyarakat
perkotaan, pada hakikatnya bersifat gradual. Agak sulit untuk memberikan
batasan yang dimaksudkan dengan perkotaan karena adanya hubungan
konsentrasi
penduduk
dengan
gejala-gejala
sosial
yang
dinamakan
urbanisme.21
Masyarakat urban menurut peneliti dari Sosiologi UI, dapat
distratifikasikan dalam lima strata, yaitu lapisan elite, lapisan menengah,
lapisan peralihan, lapisan bawah, dan lapisan terendah. Lapisan Elite Kota
adalah lapisan teratas yang mempunyai penghasilan tinggi, generasi mudanya
memiliki gaya hidup kosmopolit, mempunyai akses informasi dan politik
yang sangat besar, serta mobilitas lintas negara yang tinggi. Di bawahnya
terdapat lapisan menengah yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi
walaupun secara finansial lebih rendah dari lapisan elit.22
20
Ibid. h. 856
Soerjono Soekanto. “Sosiologi Suatu Pengantar”. Jakarta : Rajawali Pers. 2009. h. 52
22
Himawan Wijanarko, Gaya Hidup dalam (dimuat dalam Majalah Trust)
http://www.jakartaconsulting.com/art-01-35.htm)
21
22
Dalam masyarakat urban yang pluralistik, status sosial ini dengan
mudah dapat dimanipulasi. Tidak mudah melacak apakah status sosial sesuai
dengan kelas sosialnya atau tidak. Seseorang mempunyai pilihan apakah dia
ingin memproyeksikan diri sesuai dengan kelas sosialnya, lebih tinggi atau
justru bersikap low profile. Kelas sosial yang sama memang menghasilkan
gaya hidup tertentu, tetapi dalam rentang yang sangat lebar. Sehingga
melahirkan variasi gaya hidup dalam kelas sosial yang sama.
Pada masyarakat urban yang membentuk konstruksi gaya hidup urban
saat ini telah memunculkan konsumerisme yang menghasilkan kebutuhan
palsu dan membangun bentuk dari kontrol sosial gaya hidup. Gaya hidup
urban merupakan ciri sebuah dunia modern. Maksudnya adalah siapa pun
masyarakat yang hidup sebagai masyarakat modern akan menggunakan
gagasan tentang gaya hidup modern untuk menggambarkan tindakannya
sendiri maupun orang lain. Alex Inkeles mengemukakan bahwa ada sikapsikap tertentu yang menandai manusia dalam setiap masyarakat modern. Dan
di antara sikap-sikap ini, ada kecenderungan menerima gagasan-gagasan baru
serta mencoba metode-metode baru.23
2.4 Budaya Populer
Untuk membahas pengertian “budaya populer” ada baiknya kita
pahami dulu tentang kata “budaya”, dan selanjutnya tentang “pop”.
23
Ishomuddin. 2005. Sosiologi Perspektif Islam. Malang: UMM Press.
23
Selanjutnya untuk mendefinisikan budaya pop kita perlu mengkombinasikan
dua istilah yaitu ”budaya” dan ”populer”.
Menurut William, budaya berarti pandangan hidup tertentu dari
masyarakat , periode, atau kelompok tertentu.24 Sedangkan kata ”pop”
diambil dari kata ”populer”. Terhadap istilah ini Williams memberikan empat
makna yakni: (1) banyak disukai orang; (2) jenis kerja rendahan; (3) karya
yang dilakukan untuk menyenangkan orang; (4) budaya yang memang dibuat
oleh orang untuk dirinya sendiri.25 Kemudian untuk mendefinisikan budaya
pop kita perlu mengkombinasikan dua istilah yaitu ”budaya” dan ”populer”.
Dengan demikian jika berbicara tentang budaya pop, berarti
menggabungkan makna budaya dan pop di atas. Makna mengenai pandangan
hidup tertentu memungkinkan kita untuk berbicara tentang praktik-praktik
gaya hidup seperti budaya “nongkrong”, kegemaran bahasa inggris,
menjamurnya tren kafe dan fast food resto mendekati contoh-contoh budaya
populer. Semua hal ini dapat disebut sebagai budaya-budaya yang hidup
sebagai praktik-praktik budaya.
Kebudayaan popular berkaitan dengan masalah keseharian yang dapat
dinikmati oleh semua orang atau kalangan orang tertentu seperti mega
bintang, kendaraan pribadi, fashion, model rumah, perawatan tubuh, dan
sebagainya. Menurut Ben Agger Sebuah budaya yang akan masuk dunia
hiburan maka budaya itu umumnya menempatkan unsure popular sebagai
24
25
Raymond Williams. 1983. Pop Culture. London: Fontana. h. 90
Ibid. h. 273
24
unsure utamanya. Budaya itu akan memperoleh kekuatannya manakala media
massa digunakan sebagai penyebaran pengaruh di masyarakat.26
Budaya pop (singkatan dari budaya populer) disebut juga budaya massa
karena kontennya diproduksi secara massif untuk tujuan komersialisasi. Ciriciri budaya pop antara lain: sangat dipengaruhi oleh media dan pasar,
kontennya bersifat universal namun cepat punah dan tergantikan, dan
orientasi produksi secara massal. Menurut McQuail, wujud budaya pop
beraneka macam, misalnya: bahasa, tekhnologi, busana, musik, dan tata
cara/perilaku. Serta, objek sasaran budaya ini adalah para pemuda.27
Storey juga menyebutkan budaya pop adalah budaya yang berasal dari
“rakyat”. Budaya pop adalah budaya otentik “rakyat”. Budaya pop seperti
halnya budaya daerah merupakan budaya dari rakyat untuk rakyat. Budaya
populer, atau budaya pop, adalah budaya rakyat yang berlaku di masyarakat
manapun. Isi dari budaya pop ditentukan oleh interaksi sehari-hari, kebutuhan
dan keinginan, dan waktu kebudayaan yang membentuk patokan dalam
kehidupan sehari-hari.28
Sosiolog Prancis, Pierre Bourdieau pernah mengatakan bahwa
perbedaan budaya seringkali dimanfaatkan untuk memperlebar dan
memelihara perbedaan kelas. ”Selera” misalnya, bisa disebut sebagai sebuah
kategori ideologis yang difungsikan sebagai ciri ”kelas” (pemakaian istilah
”kelas” dalam hal ini diposisikan dalam arti ganda, yaitu kategori sosial
26
Bungin, Burhan. 2009. Sosiologi Komunikasi. Jakarta : Kencana. h. 100.
Denis McQuail. 1996. Teori Komunikasi Massa: Suatu pengantar. Jakarta: Erlangga. h. 36.
28
John Storey. 2004. Teori Budaya dan Budaya Pop Memetakan Lanskap
Konseptual Cultural Studies. Yogyakarta: Qalam. h. 17-18.
27
25
ekonomi dan tingkat kualitas tertentu). Bourdieu menyebut satu contoh.
”konsumsi budaya”. Baginya konsumsi budaya sudah ditentukan, sadar dan
disengaja, atau tidak untuk tujuan memenuhi fungsi sosial pengabsahan
perbedaan sosial.29
Menurut Richard Malthy, budaya pop memberi ruang bagi ”eskapisme
yang bukan hanya lari dari, atau ke tempat tertentu, tetapi suatu pelarian dari
utopia kita sendiri”.30 Dalam hal ini, praktik budaya seperti nongkrong” di
kafe, pergi ke bioskop, serta perilaku konsumsi lainnya bisa dikatakan
berfungsi layaknya sebuah mimpi. Mereka mengartikulasikan dalam bentuk
yang tersamar secara kolektif dan menghegemoni, dimana mereka ada dalam
kondisi menekan dan tertekan, serta keinginan dan harapan yang
dimotivasikan oleh kebutuhan akan status sosial tertentu.
Seperti halnya merujuk pada pemikiran Herbert Marcuse dalam
bukunya One Dimensional Man bahwa kebanyakan kebutuhan yang
ditawarkan
untuk
rileks,
bersenang-senang
untuk
berperilaku
dan
mengkonsumsi sesuai dengan iklan adalah termasuk kebutuhan palsu.
Kebutuhan-kebutuhan
palsu
ini
merupakan
tuntutan
sosial
yang
perwujudannya berupa nilai-nilai dalam relasi sosial seperti status sosial,
prestise, eksistensi, dan citra, yang dinyatakan melalui berbagai komoditas
yang diperoleh dengan jalan konsumerisme.31
29
Pierre Bourdieu. 1984. Distintion: A Social Critique of the Judgment of Taste, terjemahan
Richard Nice. Cambridge. MA: Harvard University Press. h. 5.
30
Richard Maltby. 1989. “Introduction” dalam Dreams for Sale: Popular Culture in the 20th
Century, disunting oleh Richard Malthy, London: Routledge. h. 14.
31
Herbert Marcuse. 1964. One Dimensional Man. Boston: Beacon. h. 35.
26
Proses membuat budaya, menurut Fiske, merupakan perjuangan kelas.
Bertentangan dengan kritik yang sering diajukan orang bahwa budaya pop tak
lain dari –eksploitasi komersial yang kapitalistik atau “budaya massa”, Fiske
berpendapat bahwa pop tercipta sebagai hasil perlawanan terhadap dan
pengelakan dari kekuatan-kekuatan ideologis dan budaya dominan.
“kesenangan –kesenangan pop pasti selalu merupakan kesenangankesenangan kaum tertindas; kesenangan-kesenangan itu pasti mengandung
unsur-unsur oposisi, mengelak, skandal, menghina, vulgar, dan menentang.
Kesenangan-kesenangan yang ditawarkan oleh konfromitas ideologis sifatnya
patuh dan hegemonis; dan jelas bukanlah kesenangan pop dan bertentangan
dengannya”.32
2.5 Periklanan
Peran media sangat penting karena menampilkan sebuah cara dalam
memandang realita. Media massa mempunyai kekuatan dan merupakan suatu
alat kekuasaan yang efektif untuk menarik perhatian umum secara langsung,
membujuk opini dan kepercayaan publik ataupun mempengaruhi perilaku.
Karena media massa memiliki peluang yang sangat besar dalam
mempengaruhi makna, maka media sesungguhnya memainkan peran khusus
dalam mempengaruhi budaya tertentu melalui penyebaran informasi melalui
banyak bentuk penyajian pesan, salah satunya iklan.
32
John Fiske. 1989. Understanding Popular Culture. London: Unwin Hyman. h. 147.
27
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia iklan dapat diartikan sebagai
berita pesanan untuk mendorong, membujuk khalayak ramai agar tertarik
pada barang dan jasa yang ditawarkan.33 Dalam literatur pemasaran, iklan
atau advertising didefinisikan sebagai kegiatan berpromosi (barang atau jasa)
lewat media massa.34
Menurut Bovee, iklan adalah suatu proses komunikasi, proses
pemasaran, proses sosial dan ekonomi, proses public relations, atau proses
informasi dan persuasi yang kesemuanya bergantung dari cara memandang
kita.35
Dari definisi diatas, terdapat beberapa komponen utama dalam sebuah
iklan yakni mendorong dan membujuk. Dengan kata lain, sebuah iklan harus
memiliki sifat persuasi. Jadi, pada kesimpulannya pengertian iklan secara
sederhana adalah upaya promosi untuk memasarkan produk atau jasa untuk
dibeli oleh konsumen.
Sebagai media komunikasi komersial, iklan seperti wahana bagi
produsen untuk membangun kesadaran dan mempengaruhi perilaku calon
konsumen agar bertindak sesuai dengan pesan yang disampaikan. Iklan
dirancang sedemikian rupa agar mampu menarik kesadaran akan informasi
yang disampaikan, sehingga terjadi perubahan sikap atau tindakan dari calon
konsumennya yang diharapkan oleh para produsen (pengiklan) yang sifatnya
mencari keuntungan.
33
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2005), Cet. Ke-3, hal. 421.
34
Wahyu Wibowo. 2003. Sihir Iklan “Format Komunikasi Mondial dalam Kehidupan Urban
Kosmopolit”. Jakarta: Gramedia. h. 5.
35
Bovee CL dan WF Arens. (1986). Contemporary Advertising. Illinois: Invin Homewood. h. 22.
28
Bila dikaji berdasarkan jenis, tujuan, manfaat, dan strategi periklanan,
nyatanya iklan tidak hanya berkenaan dengan kata “promosi” namun juga
bagaimana iklan menjadi salah satu bentuk komunikasi massa yang di
dalamnya menyimpan banyak tanda yang berkaitan dengan realitas sosial di
kehidupan bermasyarakat.
Sikap skeptis khalayak terhadap iklan membuat para pengiklan kini
perlu menciptakan sebuah iklan dengan tampilan yang unik, mencolok, dan
menggugah perasaan ingin tahu khalayak. Minimal iklan bisa menarik
khalayak untuk sekedar menyentuh aspek alam bawah sadar mereka, tanpa
harus mengubah keinginan konsumen untuk membeli atau memiliki produk
yang diiklankan tersebut. Tentunya hal tersebut terkait dengan bentuk
tampilan iklan.
Dalam tampilan iklan yang muncul di berbagai media tersebut terdapat
berbagai macam tanda yang dibuat oleh pengiklan dalam usahanya untuk
menarik minat khalayak. Berbagai macam tanda itulah yang hendak dikaji
dalam sebuah kasus tampilan iklan melalui pendekatan semiotika.
Iklan berusaha untuk mempengaruhi perhatian, menciptakan hasrat, dan
menstimulasi kegiatan yang berujung pada pembelian produk dan jasa seperti
yang diiklankan. Iklan bukan hanya menawarkan barang, namun juga
seksualitas, keindahan, kemudaan, kemodernan, kebahagiaan, kesuksesan,
status dan kemewahan (Wilson, 1989 : 263), yang kesemuanya ini pada
dasarnya sekedar harapan, mimpi, atau khayalan.
29
Suatu hal bisa diangkat menjadi iklan dengan berdasarkan pada suatu
referensi atau rujukan sosial, karena khalayak dianggap tidak mampu
memahami iklan jika tidak memiliki referensi sosial. Iklan yang tidak
memiliki rujukan sosial dapat diabaikan oleh khalayak. Apalagi jika iklan
tersebut tidak dikemas secara apik dan menarik. Namun apabila sebuah pesan
iklan (tema yang diangkat) memiliki konteks dalam kehidupan sosial seharihari dan pengemasan iklannya juga menarik, maka hampir bisa dipastikan
iklan tersebut akan melekat di benak khalayak, minimal orang tahu dan
mudah untuk mengingat iklan tersebut.
Pesan dalam iklan operator selluler 3 (Three) versi Indie+ yang
mengangkat realitas sosial gaya hidup kaum urban sebagai pesan iklan
dengan penyajian yang unik (dengan menggunakan anak-anak sebagai
bintang iklan) bermaksud untuk membuat khalayak tetap tertarik untuk
menyaksikan iklan dari awal sampai akhir sebab iklan operator selluler 3
(Three) versi Indie+ cukup berbeda dalam menunjukkan sisi promosinya
yang tidak terlalu eksplisit, dimana kebanyakan iklan secara terang-terangan
mempromosikan produknya. Hal itu justru menjadi poin tambahan agar
khalayak dapat mengingat iklan tersebut dengan baik, iklan yang mudah
diingat tentunya akan memudahkan khalayak untuk mengingat ciri khas suatu
produk.
Dalam desainnya, karakter produk atau jasa harus benar-benar mewujud
dalam pesan komunikasi yang diciptakan. Pesan kemudian dikirim kepada
target bidik yang karakternya harus bersenyawa dengan karakter produk.
30
Maka dalam hal ini kekuatan pesan sangat ditentukan oleh creative strategy
secara terpadu.36
Iklan operator selluler 3 (Three) versi indie+ adalah salah satu iklan
yang menggunakan strategi kreatif dalam memasarkan produknya. Jika
dahulu para pengiklan secara langsung mempromosikan produknya dengan
kalimat-kalimat yang mempersuasif khalayak, maka iklan operator selluler 3
(Three) telah mendorong industri periklanan untuk semakin mampu
mengembangkan minat khalayak untuk menyaksikan iklan di televisi dalam
kemasan yang apik dan cerdas karena iklan yang hanya menggunakan kalimat
“ayo beli” kini sudah tidak lagi mampu mempengaruhi ketertarikan khalayak
terhadap sebuah produk.
Disinilah iklan menjadi salah satu bentuk komunikasi massa yang
menyajikan banyak tanda yang merefleksikan sebuah realitas sosial tertentu.
Dalam konteks penelitian ini, iklan operator selluler 3 (Three) dipahami
sebagai teks media yang di dalamnya terdapat banyak tanda, dan semiotika
merupakan salah satu pendekatan dalam menelaah sesuatu yang berhubungan
dengan tanda, maka analisis semiotika dianggap mampu menguraikan dan
menemukan makna di balik tanda yang ada dalam sebuah iklan baik tanda
verbal maupun nonverbal.
Analisis semiotika berupaya menemukan makna tanda termasuk hal-hal
yang tersembunyi di balik sebuah tanda yang ada dalam berbagai teks media.
Karena sistem tanda sifatnya amat kontekstual dan bergantung pada pengguna
36
Tom Altstiel dan Jean Grow. 2006. Advertising Strategy: Creative Tactics from the Outside/In.
Sage Publications. h. 19.
31
tanda tersebut. Pemikiran pengguna tanda merupakan hasil pengaruh dari
berbagai konstruksi sosial di mana pengguna tanda tersebut berada.37
Wernick (1991) melihat iklan sebagai promosi budaya, dan iklan sebetulnya
merupakan sarana ekspresi simbolik budaya. Iklan dapat menjadi wacana
dalam masyarakat, karena iklan bermain dalam dunia tanda dan bahasa. Imaji
menjadi mimpi yang ingin ditawarkan.38
Semua tanda yang ada di dalam iklan operator selluler 3 (Three) indie+
tentunya memiliki makna tersembunyi, yang secara tidak langsung merujuk
pada suatu makna tertentu. Anak-anak sebagai bintang iklan yang
melambangkan mitos tertentu, serta jargon iklan “jadi orang gede
menyenangkan, tapi susah dijalani” pada iklan merupakan salah satu kode
pesan yang maknanya perlu dirasakan sendiri oleh khalayak sebagai
pengguna tanda. Slogan tersebut memberikan kode akan makna yang
dimaksud dalam pesan iklan, yang menggambarkan tentang dua sisi dari
kehidupan modern masyarakat saat ini. Disatu sisi gaya hidup modern
memberikan kepuasan tersendiri bagi seseorang, disisi lain gaya hidup
modern nyatanya tidak sepenuhnya menguntungkan bagi kaum urban itu
sendiri.
Iklan sebagai salah satu isi media pada hakikatnya adalah hasil
konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Sedangkan
bahasa bukan saja sebagai alat merepresentasikan realitas, namun juga bisa
37
Rachmat Kriyantono. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group. h.262.
38
Andrew Wernick. 1991. Promotional Culture: Advertising, Ideology and Symbolic Expression.
London: Sage publicarions. h. 32.
32
menentukan relief seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang
realitas tersebut. Akibatnya, media massa mempunyai peluang yang sangat
besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas
yang dikonstruksikannya.39
2.6 Ilmu Semiotika
Ilmu yang mempelajari tanda disebut semiotika. Semiotika berasal dari
bahasa Yunani: semeion, yang berarti tanda. Dalam pandangan Piliang,
penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang
keilmuan, hal ini dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk memandang
berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa
dapat dijadikan dasar dalam berbagai wacana sosial. “Berdasarkan pandangan
semiotika, bila seluruh praktik sosial dapat dianggap sebagai fenomena
bahasa, maka semuanya dapat juga dipandang sebagai tanda. Hal ini
dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri.”40
Secara lengkap, semiotika dapat dijelaskan pula sebagai ilmu yang
mempelajari tentang tanda, berfungsinya tanda, dan produksi makna. Tanda
dapat memiliki arti yang berbeda pada diri setiap orang dengan orang lain.
Seperti menurut Van Zoest dalam Piliang, segala sesuatu yang dapat diamati
atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas
39
Alex Sobur. 2009. Analisis Teks Media: Suatu pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. h. 88.
Yasraf Amir Piliang. 2004. PosRealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika.
Yogyakarta: Jalasutra. h. 262.
40
33
pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang
ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut tanda.41
Berkaitan dengan bidang kajian semiotika, maka yang menjadi pusat
perhatian dari pendekatan semiotik adalah tanda (sign). Menurut John Fiske
terdapat tiga area penting dalam studi semiotik, yaitu :42
1. Tanda itu Sendiri. Hal ini berkaitan dengan beragam tanda yang berbeda,
seperti cara mengantarkan makna dan cara menghubungkannya dengan orang
yang menggunakannya. Tanda adalah buatan manusia dan hanya bisa
dimengerti oleh orang-orang yang menggunakannya. Dalam iklan operator
selluler 3 (Three) versi Indie+, tanda yang digunakan berupa tanda verbal dan
nonverbal, yaitu bahasa yang berupa naskah iklan, dan scene yang
mendukung penyampaian makna pesan yang dimaksud.
2. Kode atau sistem di mana lambang-lambang disusun. Studi ini meliputi
bagaimana beragam kode yang berbeda dibangun untuk mempertemukan
dengan kebutuhan masyarakat dalam sebuah kebudayaan.
3. Kebudayaan di mana kode dan lambang itu beroperasi. Secara etimologis,
istilah semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda
itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang
terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain.
Penelaahan makna dan tanda-tanda visual dalam dalam sebuah bentuk
komunikasi visual (gambar bergerak) digunakan dengan dua cara yaitu
pemaknaan denotatif dan pemaknaan konotatif yang akan dijelaskan secara
41
42
Ibid. h. 12.
Alex Sobur. 2009. Analisis Teks Media: Suatu pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. h. 94.
34
lengkap dalam semiologi Roland Barthes. Makna tanda maupun simbol yang
ada biasanya bersifat refleks atau secara alamiah. Tetapi ada juga yang
merupakan representasi simbolik dan interpretasi manusia berdasarkan
budaya atau peraturan yang telah disepakati bersama dalam masyarakat.
Simbol-simbol yang diciptakan dalam masyarakat tertentu disebarkan melalui
komunikasi sehingga simbol-simbol tersebut dimiliki secara luas dan
distandarisasi maknanya.
2.7 Konsep Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga menengah Protestan di
Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di
sebelah barat daya Prancis. Dia dikenal sebagai salah seorang pemikir
stukturalis yang getol mempraktekkan model lingustik dan semiologi
Saussure.43 Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukkan kalimat dan
cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada
kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang
berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan
interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya,
interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan
diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of
signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan
43
Alex Sobur. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: Rosdakarya. h. 63.
35
konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di
sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap
mempergunakan istilah signifier-signified (penanda-petanda) yang diusung
Saussure. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang
menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat
kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda
tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua
dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna
konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna
denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Contoh dari pemikiran Barthes adalah pemaknaan tentang pohon
beringiin, pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi
“keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi
“keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat
pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan
lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan
tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya
dianggap sebagai sebuah Mitos.
Semiotika Roland Barthes adalah salah satu dari beberapa model
semiotika post-strukturalis, dimana Roland Barthes mengelompokkan kodekode dalam pesan menjadi lima kisi-kisi kode, yakni kode hermeneutik, kode
semantik, kode simbolik, kode narasi, dan kode kebudayaan. Kode-kode yang
terkandung dalam sebuah tampilan suatu desain tersebut mempunyai
36
pemaknaan yang lebih mendalam dari arti sebuah tanda. Uraian kode-kode
tersebut dijelaskan Pradopo sebagai berikut:44
1. Kode Hermeneutik, yaitu artikulasi berbagai cara pertanyaan, teka-teki,
respons, enigma, penangguhan jawaban, akhirnya menuju pada jawaban.
Atau dengan kata lain, Kode Hermeneutik berhubungan dengan teka-teki
yang timbul dalam sebuah wacana. Siapakah mereka? Apa yang terjadi?
Halangan apakah yang muncul? Bagaimanakah tujuannya? Jawaban yang
satu menunda jawaban lain.
2. Kode Semantik, yaitu kode yang mengandung konotasi pada level
penanda. Misalnya konotasi feminitas, maskulinitas. Atau dengan kata lain
Kode Semantik adalah tanda-tanda yang ditata sehingga memberikan suatu
konotasi maskulin, feminin, kebangsaan, kesukuan, loyalitas.
3. Kode Simbolik, yaitu kode yang berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis,
kemenduaan, pertentangan dua unsur, skizofrenia.
4. Kode Narasi atau Proairetik yaitu kode yang mengandung cerita, urutan,
narasi atau antinarasi.
5. Kode Kebudayaan atau Kultural, yaitu suara-suara yang bersifat kolektif,
anomin, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral,
psikologi, sastra, seni, legenda.
Inti dari teori Barthes adalah dua tingkat makna, yaitu tingkat pertama
tanda ini disebut denotasi menunjukan pada “makna langsung”, atau “makna
44
Rachmat Djoko Pradopo. 1995. Beberapa Teori Sastra. Metode Kritik dan Penerapannya,
Pustaka Pelajar. Yogyakarta. h. 80-81
37
tidak langsung”, dimana kedua tanda ini disebut konotasi yang merujuk pada
makna terembunyi dibalik makna denotasi akan tetapi tergantung situasinya.
Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukan signifikasi
tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda
bertemu dengan perasaan dan emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari
kebudayaannya.
2.7.1 Denotasi dan Konotasi
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut yang dikenal
dengan istilah “two order of signification”.45 Two orders of
signification (signifikasi dua tahap atau dua tatanan pertandaan) Barthes
terdiri dari first order of signification yaitu denotasi, dan second orders
of signification yaitu konotasi. Tatanan yang pertama atau signifikasi
tahap pertama mencakup penanda dan petanda yang berbentuk tanda.
Tanda inilah yang disebut makna denotasi.46
Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan
antara tanda dan rujukan pada realitas, yang menghasilkan makna yang
eksplisit, langsung, dan pasti. Sedangkan konotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda,
45
Rachmat Kriyantono. 2006. Teknik Praktis Roset Komunikasi, Ed. I. Jakarta: Kencana Predana
Media Group. h. 268.
46
M. Antonius Birowo. 2004. Metode Penelitian Komunikasi: Teori dan Aplikasi, Yogyakarta:
Gitanyali. h. 56
38
yang di dalamnya beroperasi makna yang bersifat implisit dan
tersembunyi.47
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri
atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan,
tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal
tersebut merupakan unsur material: hanya jika anda mengenal tanda
singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian
menjadi mungkin.48
Bathes menyebutkan penanda pada konotasi disebut konotator
karena konotator adalah gabungan ekspresi dan isi pada sistem
denotasi, maka konotator sebetulnya merupakan sebuah tanda. Suatu
konotator bisa saja tidak hanya terdiri atas satu tanda denotasi,
melainkan kumpulan dari beberapa tanda denotasi, dengan satu syarat,
47
48
Tommy Christomy. 2004. Semiotika Budaya, Depok: UI h. 94.
Alex Sobur. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: Rosdakarya. h. 69.
39
bahwa kumpulan beberapa tanda denotasi saling berhubungan dengan
satu petanda.49
Petanda konotasi, menurut Barthes adalah satu serpihan dari
ideologi, sedang ideologi itu sendiri adalah kumpulan sejumlah pesan.
Pesan konotasi berhubungan dengan kebudayaan, pengetahuan, dan
sejarah hidup yang dialami oleh seseorang. Melalui petanda-petanda ini
dunia sekitar memasuki sistem signifikasi.50
Pada iklan operator selluler 3 (Three) versi Indie+, penanda dan
petanda didasarkan pada dialog iklan dan scene pendukung. Dialog
diantaranya adalah apa yang dibicarakan pemain iklan (anak-anak kecil)
mengenai gaya hidup orang dewasa. Sedangkan adegan-adegan dalam
scene serta setting iklan yang memusatkan kawasan perkotaan
merupakan petanda yang tidak hanya melahirkan makna denotasi,
namun juga makna konotasi. Berdasarkan penerapan peta tanda Roland
Barthes, cerita dan adegan mengenai kehidupan orang dewasa serta
setting perkotaan mengkonotasikan tentang gaya hidup masyarakat
perkotaan.
Pada peta tanda Roland Barthes tersebut diatas dapat diuraikan
secara lebih sederhana bahwa munculnya sebuah makna denotasi tidak
terlepas dari adanya sebuah penanda dan juga petanda. Namun tanda
denotasi juga dapat membuat persepsi kepada sebuah penanda konotasi.
49
Roland Barthes. 1967. Elements of Semiology. New York: Hill and Wang. h. 91. (1967 edisi
terjemahan Inggris oleh Annette Lavers dan Colin Smith diterbitkan Jonathan Cape. (1973), edisi
pertama di Amerika Serikat oleh New York: Hill and Wang; tahun 2000 cetakan ke-22).
50
Ibid.
40
Berbeda lagi jika dapat mengenal adanya bentuk seperti “bunga
mawar”. maka persepsi petanda konotasi yang akan muncul dari bunga
mawar adalah cinta, romantis, dan kelembutan.
Contoh lainnya ada pada tabel di bawah ini yang menjelaskan
tentang tahap pemaknaan denotasi dan konotasi model kajian semiotik
pada obyek yang diketahui secara umum:
Tabel 2.1
Model Kajian Semiotik Berdasar Unsur Denotasi dan Konotasi51
Tabel di atas menjelaskan bahwa suatu obyek memiliki makna
denotatif dan konotatif, dimana makna denotatif memang sudah
melekat pada obyek itu. Sedangkan makna konotatif bergantung pada
interpretasi individu berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan
atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya.
Konotasi memiliki makna yang subyektif yang dimana di
dalamnya terdapat intepretasi beberapa orang yang mendefinisikan
tanda-tanda tersebut berdasarkan pandangan subyektifnya. Pemilihan
kata-kata kadang merupakan pilihan terhadap konotasi, misalnya kata
51
(http://sherlyfirismapraselin.student.esaunggul.ac.id/files/2012/11/topik4-1024x721.jpg)
41
“penyuapan” dengan “memberi uang pelicin”. Dengan kata lain,
denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah subyek,
sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya.
2.7.2 Mitos
Menurut KBBI, mitos adalah yang berhubungan dengan
kepercayaan primitif tentang kehidupan alam gaib, yang timbul dari
usaha manusia yang tidak ilmiah dan tidak berdasarkan pada
pengalaman
yang nyata untuk menjelaskan dunia atau alam
disekitarnya.
Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau
memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam.
Mitos merupakan produk kelas social yang sudah mempunyai
suatu dominasi. Mitos primitif, misalnya, mengenai hidup dan
mati, manusia dan dewa, dan sebagainya. Sedangkan mitos masa
kini misalnya mengenai feminitas, maskulinitas, ilmu
pengetahuan, dan kekerasan (Fiske, 1990: 88).52
Teori mitos yang dikemukakan Barthes berbeda dengan teori
mitos yang secara umum dipahami yaitu mitos sebagai suatu bentuk
narasi. Teori mitos Barthes adalah suatu pendekatan semiotik terhadap
kenyataan sehari-hari. Secara singkat mitos Barthes dapat dijelaskan
bahwa: signifikasi akan fenomena kehidupan sehari-hari dapat
berlangsung secara denotasi (sistem semiotika pertama) dan konotasi
(sistem semiotika kedua), dan bahwa mitos adalah sistem signifikasi
yang didasarkan pada konotasi. Mitos mengandung makna-makna
52
Alex Sobur. 2009. Analisis Teks Media: Suatu pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. h. 128.
42
konotasi yang tercangkokkan secara parasitis pada makna denotasi
(dalam Nöth, 1990).53
Jika pada umumnya iklan menjanjikan perihal masa depan. Iklan
yang peneliti kaji ini (iklan operator selluler versi Indie+) memiliki
mitos masa kini yang berkaitan dengan realitas sosial gaya hidup kaum
urban. Dari analisa yang dilakukan peneliti, penanda dan petanda yang
terdiri dari adegan, naskah, serta setting perkotaan dalam iklan operator
selluler 3 (Three) versi Indie+ yang mengkonotasikan gaya hidup kaum
urban serta mitos-mitos yang terkait dengan gaya hidup masyarakat
perkotaan.
Dengan bertopang pada teori Barthes (1964), dikemukakan bahwa
makna sekunder yang mengembangkan bentuk tanda dengan tetap
mengacu pada makna primernya disebut metabahasa. Sedangkan makna
sekunder yang mengembangkan isi tanda tanpa harus mengacu ke
makna primernya disebut konotasi. Bila konotasi menjadi tetap maka
disebut mitos dan bila mitos menjadi mantap, ia disebut ideologi (Hoed,
1994: 16).
Mitos dalam pemahaman Barthes adalah pengkodean makna dan
nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbiter atau konotatif) sebagai sesuatu
yang dianggap alamiah. Mitos menurut Barthes adalah suatu tipe
53
W Noth. 1990. Handbook of Semiotics. Bloomington/Indianapolis: Indiana University Press. h.
367.
43
wicara, bukan kata tetapi ‘sesuatu’.54 Mitos memuat sesuatu yang
bersifat ideologis namun, tidak dapat dirasa.
Ideologi menurut Roland Barthes berfungsi terutama pada level
konotasi, makna sekunder, makna yang seringkali tidak disadari, yang
ditampilkan oleh teks dan praktik, atau yang bisa ditampilkan oleh
apapun.55 Menurut Althusser, ideologi merupakan sistem representasi
yang membentuk subjek dan tidak dapat dilepaskan dari relasi kuasa.56
Representasi ditampilkan lewat citra-citra dan fungsinya sebagai
pemosisian subjek dalam realitas sosial.
Barthes memberikan sumbangan besar ketika budaya massa
kontemporer mulai merebak. Ia memberikan suatu wawasan tentang
kritik dan pembongkaran tanda yang dapat dimungkinkan juga
menguak ideologi laten yang sedang bersembunyi. Ideologi dapat
terselip dalam benda-benda budaya seperti iklan. Barthes seperti yang
dinyatakan Kurzweil ingin menunjukkan semua
pandangan dan
ideologi palsu.57
2.8 Analisis Pesan Iklan Menggunakan Pemikiran Barthes
Perlu diketahui, versie “Indie+” yang dimaksud adalah nama produk
yang diluncurkan oleh operator selluler 3 (Three) itu sendiri, dimana Indie
54
Roland Barthes. 2009. Mitologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. h. 91.
John Storey. 2004. Teori Budaya dan Budaya Pop Memetakan Lanskap Konseptual Cultural
Studies. Yogyakarta: Qalam. h. 8.
56
Chris Barker. 2011. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana. h. 59.
57
Edith Kurzweil. 2010. Jaring Kuasa Strukturalisme: Dari Levi Strauss hingga Foucault.
Yogyakarta: Kreasi Wacana. h. 246.
55
44
berasal dari bahasa inggris Independent yang berarti kebebasan. Pengertian
tersebut merujuk pada keunggulan produk yang bernama Indie+ dimana
konsumen dapat menggunakan layanan operator selluler 3 sepuasnya tanpa
perlu memikirkan cost yang berlebih sesuai dengan slogan produknya “Pakai
dulu, bayar kapan kamu suka”.
Menurut Roland Barthes, “semua objek kultural dapat diolah secara
tekstual. Teks di sini dalam arti luas. Teks tidak hanya berkaitan dengan
aspek linguistik, namun semiotik dapat meneliti teks di mana tanda-tanda
terkodefikasi dalam sebuah sistem”. Dengan demikian, semiotik dapat
meneliti bermacam-macam teks seperti berita, film, fiksi, puisi, drama,
fashion dan iklan.
Analisis pada bentuk komunikasi visual (iklan) akan difokuskan pada
proses identifikasi dari sistem penandaan pada setiap adegan. Pada analisis
gambar per frame dalam iklan akan dijelaskan mengenai kode sinematik
meliputi ukuran pengambilan gambar (shot size) dan sudut pengambilan
gambar (camera angle) yang sering digunakan untuk penanda dan petanda
(makna). (Selby & Cowdery, 1995: 57-58 dalam tesis):58
58
Rosalina. 2012. MASKULINITAS PADA IKLAN TELEVISI (Analisis Semiotik Iklan Produk Khusus
Pria: Extra Joss, Surya Pro Mild dan Vaseline Men Face Moisturiser). Jakarta: Tesis. h.
45
Tabel 2.2
Kode Sinematik
Lewat simbol-simbol yang ditampilkan, maka makna yang terkandung
dalam iklan tersebut dapat ditangkap oleh khalayak. Untuk dapat
mengintepretasikannya, maka makna-makna tersebut harus diungkapkan atau
dikodekan dalam kata-kata. Dalam iklan operator selluler 3 (Three) tanda
yang menonjol dalam pesan iklan adalah bahasa yang ada di dalam iklan
tersebut, yaitu kalimat-kalimat yang menjadi dialog dalam iklan tersebut.
Keterlibatan anak-anak kecil sebagai tokoh dalam cerita di iklan tersebut juga
menjadi simbol tersendiri dari maksud penyampaian pesan iklan.
Dalam bahasan yang akan digunakan untuk mencari pemaknaan
terhadap kajian iklan pada kasus ini menggunakan pendekatan pada
pemikiran Barthes yang merupakan salah satu tokoh semiotik ternama.
Karena dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna
tambahan namun juga mengandung kedua bagian makna denotatif yang
melandasi keberadaanya.
46
2.9 Kerangka Berpikir
Peneliti berusaha melakukan pemaknaan pesan iklan operator selluler 3
(Three) mengenai realitas sosial gaya hidup kaum urban dengan mengungkap
makna denotasi, konotasi, serta mitos yang dikaji dari aspek audio, visual,
serta ilustrasi yang ada pada iklan.
Analisis pesan iklan dalam bentuk gambar bergerak (video) akan
dipermudah dengan membagi masing-masing scene yang diwakili dengan
naskah dan adegan pada tiap scene dalam iklan operator selluler 3 (Three)
versi Indie+, dimana nantinya pada kajian iklan operator selluler 3 (Three)
versi Indie+ akan dibagi kedalam pemaknaan terhadap bagian-bagian mana
yang merupakan denotatif lalu kelanjutan dari makna denotatif yaitu
pemaknaan konotatif dari kemunculan iklan tersebut juga berinterpretasi
terhadap pemaparan pada kandungan arti terhadap gaya hidup kaum urban
yang dicerminkan dalam iklan tersebut.
Pada denotasi: peneliti menjelaskan pemaknaan visualisasi yang terlihat
pada setiap scene yang ada pada iklan dalam bentuk kata-kata. Pada konotasi:
penulis menjelaskan hasil denotasi yang telah diinterpretasi pada setiap scene
dalam iklan tersebut yang diperkuat oleh dialog iklan, setelah itu peneliti
menjelaskan makna pesan dengan mengaitkan nilai-nilai sosial yang ada di
masyarakat. Setelah menemukan makna denotasi dan konotasi, peneliti akan
mengkritisi mitos dan ideologi dalam iklan yang berkaitan dengan realitas
sosial gaya hidup kaum urban.
47
Peneliti menguraikan alur kerangka berpikir melalui bagan di bawah ini
untuk lebih memperjelas langkah penelitian:
Bagan 2.1
Alur Kerangka Berpikir
Iklan Operator Selluler 3 (Three) Versi Indie+
“Jadi Orang Gede Menyenangkan, Tapi Susah
Dijalani”
Realitas Sosial Gaya Hidup Modern
Kaum Urban Dalam Salah Satu
Bentuk Komunikasi Massa (Iklan)
Teori Semiotika
(Penanda dan Petanda)
Analisis Semiotika
Roland Barthes
Denotatif
Konotatif
Mitos
Pemaknaan Pesan Mengenai Gaya Hidup Kaum Urban Dalam Iklan
3 (Three) Versi Indie+
“Jadi Orang Gede Menyenangkan, Tapi Susah Dijalani”
2.10 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan representasi gaya hidup
dalam teks media (iklan, film, berita) telah penulis cari melalui jurnal-jurnal
penelitian yang telah sebelumnya diteliti oleh para akademisi. Tujuan dari
48
mengumpulkan penelitian terdahulu adalah agar peneliti dapat melakukan
analisa terhadap objek penelitian secara sistematis karena berpacu pada teoriteori yang sejenis serta berpedoman pada penyajian hasil analisis yang baik.
Dari hasil yang ditemukan objek penelitian yang pernah diteliti adalah film
dan iklan televisi. Penelitian tersebut antara lain:
Penelitian pertama berjudul Perbandingan Representasi Gaya Hidup
Remaja Perkotaan Dalam Film “Catatan Si Boy 1987” Dan “Catatan
Harian Si Boy 2011” yang ditulis oleh Merdina Nestya, Mahasiswa program
studi Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Petra Surabaya tahun 2013.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penggambaran
gaya hidup remaja perkotaan dalam dua film ini. Peneliti menggunakan
elemen-elemen gaya hidup Anthony J. Veal (2000) sebagai rujukan dalam
melihat penggambaran gaya hidup dalam kedua film tersebut. Penelitian ini
menggunakan metode semiotika dengan kode sosial John Fiske (1987). Hasil
penelitian perbandingan representasi gaya hidup remaja perkotaan dalam film
“Catatan Si Boy 1987” dan film “Catatan Harian Si Boy 2011” menunjukan
perbedaan
muncul
pada
penggambaran
situasi
keluarga,
hubungan
pertemanan, dan aktivitas yang dilakukan pada waktu senggang (leisure).
Sedangkan persamaan yang ditemukan adalah kedua film ini sama-sama
menekankan pada penggambaran gaya hidup urban perkotaan masa kini
dengan kelas sosial ekonomi atas. Peneliti menemukan gambaran gaya hidup
yang
dipengaruhi
westernisasi
pada
kedua
film
tersebut,
tanpa
menghilangkan nilai-nilai keagamaan.
49
Penelitian Kedua adalah skripsi berjudul Representasi Gaya Hidup
Dalam Iklan Molto Ultra (Analisa Semiotika Iklan Animasi Televisi Molto
Ultra Versi Keluarga Kain) yang ditulis oleh Adam Firmansyah, mahasiswa
program studi Ilmu Komunikasi, fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik,
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta tahun 2012.
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara keseluruhan
makna gaya hidup yang terdapat dalam penayangan iklan animasi Molto
Ultra dengan mengkaji secara keseluruhan tanda untuk merepresentasikan
gaya hidup. Manfaat penelitian diharapkan dapat memberikan masukan bagi
pengembangan ilmu komunikasi serta dapat menjadi pengetahuan dan
menjadi masukan bagi agensi periklanan. Kajian Teoritis berisikan konsep
dan teori tentang gaya hidup, gaya hidup keluarga, representasi, periklanan,
media televisi, iklan televisi, animasi, semiotika dalam menginterpretasikan
tanda, semiotika iklan televisi. Metodologi Penelitian yang digunakan adalah
kualitatif interpretatif dengan pendekatan semiotika Charles S. Peirce tentang
segitiga makna yang diungkapkannya. Hasil Penelitian Molto Ultra merubah
tema beriklan menjadi animasi bertujuan untuk mengkonstruksi gaya hidup
dengan memberikan gambaran kehidupan keluarga yang modern serta
harmonis, serta Molto Ultra merupakan sebuah produk yang digunakan oleh
keluarga sebagai bentuk pengembangan segmentasi mereka. Kesimpulan
Molto Ultra merepresentasikan gaya hidup lewat tanda – tanda yang terdapat
dalam iklannya, yaitu dengan memasukan instrumen yang menandakan
bahwa keluarga kain merupakan keluarga yang modern, mulai dari jenis
50
perumahan, jenis pakaian, nama dari karakter kartun serta mainan yang
digunakan dalam iklan tersebut, dan story line dari iklan Molto Ultra
menunjukan kedekatan keluarga yang harmonis.
Penelitian ketiga berjudul Gaya Hidup Materialistis Dalam Iklan
(Studi Semiotika Roland Barthes Tentang Representasi Gaya Hidup
Materialistis Dalam Iklan Xl Super Ampuh Versi Tukul) yang ditulis oleh
Irfanul Yusiska, 210120100037, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas
Padjajaran tahun 2012. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk
menemukan dan mengungkapkan tentang: (1) Makna denotasi dan konotasi
tanda-tanda yang terdapat dalam iklan XL Super Ampuh versi Tukul, (2)
Mitos yang dibangun melalui sistem tanda dalam iklan XL Super Ampuh
versi Tukul. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif
dengan metode semiotika dari Roland Barthes. Melalui metode semiotika,
tanda-tanda dalam iklan dapat dianalisis melalui kombinasi petanda dan
penandanya. Data penelitian diperoleh dengan cara meng-capture tayangan
iklan tersebut. Tanda-tanda verbal dan nonverbal yang ada dalam iklan
dipisahkan terlebih dahulu dan kemudian diuraikan berdasarkan penanda dan
petandanya, dan dianalisis berdasarkan tataran denotatif dan konotatif,
sehingga peneliti menemukan mitos-mitos yang menyertainya. Dari hasil
penelitian yang telah dilakukan, kesimpulan yang dapat diambil dari analisis
adegan dalam iklan XL Super Ampuh versi Tukul adalah mitos materi
sebagai ukuran kebahagiaan, kemakmuran, dan kesuksesan, dimana mitos
tersebut menganggap bahwa tanda-tanda kebahagiaan dan kemakmuran bagi
51
sebagian orang di Indonesia masih identik dengan materi seperti seberapa
banyak kekayaan yang diraih, mobil yang dimiliki, dan diukur dengan
seberapa banyak harta benda yang diperlihatkan.
Perbandingan penelitian sejenis
terdahulu dengan penelitian yang
dilakukan peneliti dapat dirangkum dalam bentuk tabel sebagai berikut :
Tabel 2.3:
Tinjauan Perbandingan Penelitian Sejenis Terdahulu
Judul
Penelitian
Peneliti
Lembaga
dan Tahun
Masalah
Penelitian
Tujuan
Penelitian
Teori
Metode
Penelitian
Hasil
Penelitian
Perbandingan
Representasi Gaya
Hidup Remaja
Perkotaan Dalam
Film “Catatan Si
Boy 1987” Dan
“Catatan Harian
Si Boy 2011”
Merdina Nestya,
Representasi Gaya
Hidup Dalam Iklan
Molto Ultra
(Analisa Semiotika
Iklan Animasi
Televisi Molto Ultra
Versi Keluarga
Kain)
Adam Firmansyah
Gaya Hidup Materialistis
Dalam Iklan (Studi
Semiotika Roland
Barthes Tentang
Representasi Gaya
Hidup Materialistis
Dalam Iklan Xl Super
Ampuh Versi Tukul)
Irfanul Yusiska
Universitas Kristen
Petra Surabaya
Tahun 2012
Universitas
Pembangunan
Nasional “Veteran”
Jakarta tahun 2012.
Bagaimana makna
makna gaya hidup
yang terdapat dalam
penayangan iklan
animasi Molto Ultra?
Untuk
menggambarkan
secara keseluruhan
makna gaya hidup
yang terdapat dalam
penayangan iklan
animasi Molto Ultra
Universitas Padjajaran
Tahun 2012
Bagaimana
penggambaran gaya
hidup remaja
perkotaan dalam
dua film tersebut?
Untuk memperoleh
perbandingan
makna mengenai
gaya hidup remaja
perkotaan dari
kedua film tersebut
Metode Semiotika
John Fiske
Kualitatif
Deskriptif
Teori Semiotika
Charles S. Pierce
Kualitatif
Interpretatif
Perbandingan
representasi gaya
hidup remaja
perkotaan dalam
film “Catatan Si
Boy 1987” dan film
“Catatan Harian Si
Boy 2011”
Molto Ultra merubah
tema beriklan
menjadi animasi
bertujuan untuk
mengkonstruksi gaya
hidup dengan
memberikan
gambaran kehidupan
Bagaimana penggambaran
gaya hidup materialis
dalam iklan tersebut?
Untuk mengungkapkan
makna denotasi dan
konotasi tanda-tanda yang
terdapat dalam iklan XL
Super Ampuh versi Tukul
serta Mitos yang dibangun
melalui sistem tanda dalam
iklan XL Super Ampuh
versi Tukul
Teori semiotika Roland
Barthes
Kualitatif Deskriptif
Mitos materi sebagai
ukuran kebahagiaan,
kemakmuran, dan
kesuksesan, dimana mitos
tersebut menganggap
bahwa tanda-tanda
kebahagiaan dan
kemakmuran bagi sebagian
52
menunjukan
perbedaan muncul
pada penggambaran
situasi keluarga,
hubungan
pertemanan, dan
aktivitas yang
dilakukan pada
waktu senggang
(leisure).
Sedangkan
persamaan yang
ditemukan adalah
kedua film ini
sama-sama
menekankan pada
penggambaran gaya
hidup urban
perkotaan masa kini
dengan kelas sosial
ekonomi atas.
Peneliti
menemukan
gambaran gaya
hidup yang
dipengaruhi
westernisasi pada
kedua film tersebut,
tanpa
menghilangkan
nilai-nilai
keagamaan.
keluarga yang
modern serta
harmonis. Molto
Ultra
merepresentasikan
gaya hidup lewat
tanda - tanda yang
terdapat dalam
iklannya, yaitu
dengan memasukan
instrumen yang
menandakan bahwa
keluarga kain
merupakan keluarga
yang modern, mulai
dari jenis perumahan,
jenis pakaian, nama
dari karakter kartun
serta mainan yang
digunakan dalam
iklan tersebut, dan
story line dari iklan
Molto Ultra
menunjukan
kedekatan keluarga
yang harmonis.
orang di Indonesia masih
identik dengan materi
seperti seberapa banyak
kekayaan yang diraih,
mobil yang dimiliki, dan
diukur dengan seberapa
banyak harta benda yang
diperlihatkan
53
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Secara umum metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.59 Tujuan dan kegunaan
yang dimaksud adalah metode-metode yang digunakan untuk menyelesaikan
sebuah permasalahan yang diangkat dalam suatu penelitian. Demikian halnya
metode penelitian komunikasi termasuk dalam salah satu metode penelitian sosial
lainnya, sehingga seseorang dapat memahami fenomena atau gejala-gejala sosial
yang berkaitan dengan pengembangan ilmu komunikasi.
Penelitian komunikasi telah banyak dilakukan, para ahli bertanya tentang
siapa, apa yang dikatakan, menggunakan channel yang mana, ditujukan pada
siapa, dan apa efeknya. Namun perkembangan selanjutnya, muncul pertanyaan
yang lebih mendasar tentang bagaimana komunikasi dan ‘efeknya’ dimediasikan
dalam wacana. Pertanyaan yang muncul tidak hanya apa yang dilakukan media
terhadap audiens, atau apa yang audiens lakukan terhadap media, tetapi lebih pada
bagaimana media dan audiens berinteraksi sebagai agen-agen kehidupan tanda
dalam masyarakat, dengan implikasi pada nilai kehidupan sehari-hari maupun
struktur sosial, disinilah ilmu semiotika berkaitan dengan kajian ilmu
komunikasi.60
59
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D).
Bandung: Alfabeta. h. 2.
60
Bambang Mudjiyanto & Emilsyah Nur. 2013. Semiotika Dalam Metode Penelitian Komunikasi
Semiotics In Research Method of Communication. Jurnal: Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Komunikasi dan Informatika Makassar.
54
3.1 Subjek penelitian
Subjek penelitian ini berkaitan dengan munculnya berbagai iklan yang
menggunakan strategi kreatif dalam menyampaikan pesannya. Dari berbagai
iklan-iklan di televisi, peneliti memilih iklan operator selluler 3 (Three) versi
Indie+ yang menggambarkan nilai-nilai gaya hidup kaum urban dimana iklan
yang dikaji berdurasi satu menit. Iklan sebagai salah satu bentuk teks media
massa akan dikaji secara mendalam melalui teori-teori yang telah ditentukan
pada bab ii: kajian pustaka yang bertujuan untuk mengetahui makna
tersembunyi pada iklan tersebut.
Sebagai salah satu penelitian dalam bidang komunikasi, iklan
merupakan subjek penelitian yang tepat agar peneliti mampu mengkaji teoriteori komunikasi yang dipelajari selama ini, dimana iklan adalah salah satu
bentuk komunikasi massa. Iklan operator selluler 3 (Three) versi Indie+
mengandung sistem tanda yang merefleksikan realitas sosial di kehidupan
nyata, sehingga dalam penelitian ini iklan tidak hanya dikaji dari sudut
pandang bauran promosi, namun juga sebagai suatu seni komunikasi yang
membuktikan bagaimana bahasa, simbol, dan tanda bekerja sama menjadi
satu keutuhan makna tertentu yang dimaksudkan komunikator (pengiklan)
kepada komunikan (khalayak).
3.2 Jenis Penelitian
Berdasarkan masalah yang diajukan dalam penelitian ini yang lebih
menekankan pada refleksi nilai-nilai gaya hidup modern kaum urban dalam
55
sebuah bentuk komunikasi massa yaitu iklan, maka jenis penelitian ini adalah
penelitian kualitatif, yaitu data yang dikumpulkan berwujud kata-kata dalam
kalimat atau gambar yang mempunyai arti lebih dari sekedar angka dan
jumlah. Berisi catatan-catatan yang menggambarkan situasi sebenarnya.61
Kalimat atau gambar yang dimaksud adalah aspek audio dan visual
dalam iklan yaitu dialog dan adegan yang ada di setiap scene. Salah satu hal
yang menarik dalam iklan operator selluler 3 (Three) versi Indie+ adalah
tokoh iklan yang dibintangi oleh anak-anak. Bila dikaji berdasarkan ilmu
semiotika, pemaknaan anak-anak sebagai tokoh iklan tersebut dapat
melahirkan makna denotatif dan konotatif yang mengarah pada suatu mitos
tertentu, sehingga peneliti menggunakan dua tahap pemaknaan Roland
Barthes untuk mengkaji secara dalam keseluruhan makna pesan dalam iklan
tersebut.
Jenis atau metode penelitian ini akan mampu menangkap berbagai
informasi kualitatif dengan deskripsi guna memperoleh penafsiran tertentu
akan suatu masalah yang diangkat. Dalam penelitian ini tidak diajukan
hipotesa
sebab
jenis
penelitian
deskriptif
hanya
mengembangkan,
menghimpun fakta, kemudian menganalisanya, tetapi tidak menguji hasil
hipotesa. Peneliti mencoba menganalisis data sedekat mungkin dengan
bentuk aslinya.
Selain itu, melalui metode ini peneliti akan menjelaskan fenomena
sosial secara lebih mendalam dan subjektif, karena akan banyak dipengaruhi
61
H.B Sutopo. Metodologi Penelitian Kualitatif:Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian.
Universitas Sebelas Maret. Surakarta. 2002. h. 6
56
oleh beberapa hal seperti konteks sosial, latar belakang sosio-kultural, dan
subjektivitas peneliti sendiri. Karena menggunakan metode semiotika, maka
penelitian ini merupakan bagian dari bentuk analisis isi kualitatif, di mana
yang menjadi tujuannya adalah untuk melihat isi komunikasi yang tersirat.62
3.3 Paradigma Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam semiotika adalah interpretatif,
maka paradigma yang digunakan peneliti adalah paradigma konstruktivis.
Mengingat pandangan semiotika Roland Barthes lebih mengacu kepada
paradigma konstruktivis, karena paradigma konstruktivis lebih relevan jika
digunakan untuk melihat realitas signifikannya objek yang akan diteliti salah
satunya merupakan sebuah iklan yang merupakan bagian dari media massa,
dari paradigma konstruktivis dapat dijelaskan melalui empat dimensi seperti
diutarakan oleh (Hidayat dalam Wibowo, 2010: 28) sebagai berikut:
1. Ontologis: relativism, realitas merupakan konstruksi sosial. Kebenaran
suatu realitas bersifat relatif, berlaku seseuai konteks spesifik yang dinilai
relevan oleh pelaku sosial.
2. Epstemologis: transactionalist/subjectivist, pemahaman tentang suatu
realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi antara
peneliti dengan yang diteliti.
3. Axiologis: Nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian tak terpisahkan
dari suatu penelitian. Peneliti sebagai passionate participant, fasilitator yang
62
Indiwan Seto Wahyu Wibowo. 2011. Semiotika Komunikasi - Aplikasi Praktis Bagi Penelitian
dan Skripsi Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media. h. 21.
57
menjebatani keragaman subjektivitas pelaku sosial. Tujuan penelitian lebih
kepada rekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan
pelaku sosial yang diteliti.
4. Metodologis: menekankan empati dan interaksi dialektis antara peneliti
dengan objek penelitian yang merekonstruksi realitas yang diteliti.
3.4 Sifat Penelitian
Gagasan Semiotika Barthes yang dikenal dengan “Two Order of
Significations” (dua tahap tatanan pertandaan), terdiri dari denotasi dan
konotasi yang merujuk pada suatu mitos tertentu. Ini berarti untuk dapat
menganilisis iklan tersebut, peneliti perlu menginterpretasikan keseluruhan isi
pesan iklan secara jelas dan rinci.
Karena menggunakan analisis semiotik, maka sifat penelitian ini adalah
kualitatif interpretatif, di mana peneliti melakukan pengamatan secara
menyeluruh dari semua isi tanda dalam Iklan operator seluler 3 (Three) versi
Indie+ “Jadi orang gede menyenangkan, tapi susah untuk dijalani”, termasuk
cara penyampaiannya dan istilah-istilah yang digunakan dalam iklan tersebut.
Peneliti akan memperhatikan koherensi makna antar bagian dalam iklan
tersebut dan melakukan interpretasi-interpretasi alternatif untuk kemudian
dimengerti, dipahami, dan dimaknai.
Untuk memenuhi unsur objektif dalam penelitian ilmiah, maka peneliti
akan
meminimalkan
sifat
subjektivitas
peneliti
dengan
cara
58
menginterpretasikan iklan tersebut sesuai dengan apa yang telah disepakati
oleh masyarakat, dalam hal ini yaitu peneliti dan lingkungan sekitar peneliti.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
1. Observasi
Nasution (1998) menyatakan bahwa, observasi adalah dasar semua ilmu
pengetahuan. Para ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu
fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui obeservasi.63
Marshall (1995) menyatakan bahwa melalui observasi, peneliti belajar
tentang perilaku, dan makna dari perilaku tersebut.64 Dalam observasi ini,
peneliti mengamati langsung hal-hal yang terjadi di sekitar yang berkaitan
dengan permasalahan penelitian yaitu fenomena gaya hidup modern kaum
urban. Sebagai mahasiswa, peneliti juga sedikit banyak merasa terlibat
dalam fenomena gaya hidup modern kaum urban itu sendiri, sehingga
semakin memudahkan peneliti untuk menyelesaikan penelitian ini.
2. Dokumentasi
Metode pengumpulan data ini akan dilakukan dengan menganalisis data
berupa adegan shot to shot yang diperoleh dengan mengunduh iklan
operator selluler 3 (Three) versi Indie+ dari situs unggah dan unduh video
youtube dan memilah-milahnya berdasarkan adegan-adegan yang berbeda
dan signifikan.
63
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D).
Bandung: Alfabeta. h. 403.
64
Ibid.
59
3. Studi Literatur
Dalam penelusuran literatur, peneliti akan mengumpulkan data yang
relevan dari beraneka ragam buku yang berkaitan dengan variabel-variabel
penelitian. Peneliti juga mencoba menelusuri berbagai data relevan lainnya
seperti media internet serta sejumlah dokumen lain yang senantiasa dapat
memperkuat penelitian ini.
3.6 Unit Analisis
Unit analisis yang akan diteliti adalah scene iklan operator selluler
versi Indie+ yang peneliti anggap memiliki makna yang berkaitan dengan
realita gaya hidup kaum urban (perkotaan). Terdapat 7 unit analisis penelitian
yang terdiri dari 7 potongan scene dalam iklan berdurasi kurang lebih satu
menit, yang dapat dilihat pada tabel 3.1 di bawah ini:
Tabel 3.1
Unit Analisis Penelitian
No
Timeline
1
Scene ke-1
pada durasi
00.16
Potongan Gambar
Penjelasan
Menggambarkan
bagaimana gaya
hidup anak-anak
kecil zaman
sekarang
terpengaruh oleh
gaya hidup orang
dewasa.
60
2
Scene ke-2
pada durasi
00.04
3
Scene ke-3
pada durasi
00.10
4
Scene ke-4
pada durasi
00.30
5
Scene ke-5
pada durasi
00.17
6
Scene ke-6
pada durasi
00.40
Menggambarkan
bagaimana
sebuah pekerjaan
berkaitan dengan
kebutuhan
aktualisasi dalam
lingkungan ia
bersosialisasi.
Menggambarkan
bagaimana
menggunakan
bahasa inggris
menjadi salah
satu bagian gaya
hidup urban yang
modern.
Menggambarkan
bagaimana gaya
hidup urban yang
identik dengan
perilaku
konsumtif dan
hedonis.
Menggambarkan
bagaimana
masyarakat
urban berupaya
memperoleh
eksistensi akan
status sosial
tertentu.
Menggambarkan
satir gaya hidup
masyarakat
perkotaan yang
dikaitkan dengan
pesan persuasif
iklan.
61
7
Scene ke-7
pada durasi
00.46
Menggambarkan
dua sisi gaya
hidup modern
kaum urban,
yaitu
menyenangkan,
namun juga sulit
dijalani.
3.7 Teknik Analisis Data
Dalam penelitian mengenai makna gaya hidup modern kaum urban
ini, peneliti melihat iklan operator seluller 3 (Three) yang diteliti sebagai
sebuah teks yang terdiri dari gambar dan suara. Sebagai tahap awal penelitian,
peneliti akan melakukan pengamatan terhadap kedua versi iklan tersebut.
Setelah itu, iklan akan dipenggal menjadi beberapa adegan. Adegan-adegan
ini kemudian diseleksi berdasarkan tanda-tanda yang terdapat di dalamya.
Setelah itu, peneliti akan memilih adegan-adegan yang sesuai dengan unit
analisis.
Jadi dalam penelitian ini, adegan-adegan yang dipilih adalah adeganadegan yang memuat tanda-tanda yang menggambarkan realitas sosial gaya
hidup modern kaum urban dalam iklan tersebut. Setelah dipilih adeganadegan yang memuat tanda-tanda dominan, peneliti menganalisis adeganadegan tersebut sehingga diketahui kesesuaian antara makna gaya hidup
modern kaum urban yang digambarkakan dalam iklan dengan realitas sosial
yang ada di sekitar.
Dalam proses siginifikasi ini, pertama-tama peneliti menentukan
penanda dan petanda untuk mencari makna denotasi. Makna denotasi ini
62
termasuk ke dalam penandaan tahap pertama. Kemudian, makna denotasi
yang telah dihasilkan tersebut menjadi penanda konotatif. Sama halnya
dengan pada proses pembentukan makna denotatif, penanda konotatif juga
menghasilkan petanda, yaitu petanda konotatif. Penanda dan petanda
konotatif ini memunculkan makna konotatif. Makna konotatif merupakan
signifikasi tingkat kedua dalam sistem penandaan dua tahap Barthes.
Peneliti juga meneliti makna konotatif yang beroperasi pada tahap
kedua pada sistem dua tahap penandaan Barthes. Sehingga diketahui mitos
yang muncul dan ideologi dalam iklan yang menggambaran gaya hidup kaum
urban yang identik dengan nilai-nilai hedonisme, materialisme, dan
konsumerisme.
3.8 Teknik Keabsahan Penelitian
Teknik pemeriksaan kesahihan dan keabsahan data penelitian ini
penulis menggunakan jenis trustworthiness yaitu menguji kebenaran dan
kejujuran subjek dalam mengungkap realitas menurut apa yang dialami,
dirasakan atau dibayangkan. Trustworthiness ini mencakup dua hal yaitu:
a.
Authenticity;
pengungkapan
periset
memberi
kesempatan
konstruksi
personal
yang
lebih
dan
memfasilitasi
detail,
sehingga,
mempengaruhi mudahnya pemahaman yang lebih mendalam.
b. Analisis triangulasi; menganalisis jawaban subjek dengan meneliti
kebenarannya dengan data empiris (sumber data lainnya) yang tersedia.
Jawaban dicross-check dengan dokumen yang ada.
63
Menurut Dwidjowinoto (2002:9) ada beberapa macam triangulasi:
- Triangulasi Sumber; membandingkan atau mengecek ulang derajat
kepercayaan suatu informasi yang diperoleh dari sumber yang berbeda.
Misalnya
membandingkan
hasil
pengamatan
dengan
wawancara;
membandingkan apa yang dikatakan umum dengan yang dikatakan pribadi.
- Triangulasi waktu; berkaitan dengan perubahan suatu proses dan perilaku
manusia, karena manusia dapat berubah setiap waktu.
- Triangulasi Teori; memanfaatkan dua atau lebih teori untuk dipadu atau
diadu, maka diperlukan rancangan riset, pengumpulan data dan analisis data
supaya hasilnya komprehensif.
- Triangulasi Periset; menggunakan lebih dari satu periset dalam mengadakan
observasi atau wawancara. Karena masing-masing periset mempunyai gaya,
sikap dan persepsi yang berbeda dalam mengamati fenomena maka hasil
pengamatan bisa berbeda meskipun fenomenanya sama.
- Triangulasi Metode; dilakukan dengan menggunakan lebih dari satu teknik
pengumpulan data untuk mendapatkan yang sama.
Dalam penelitian ini teknik keabsahan dan kesahihan penelitian yang
digunakan adalah triangulasi teori atau kegiatan berteori yaitu dengan
mengaitkan hasil pemaknaan denotatif, konotatif, dan mitos yang ada dalam
iklan operator selluler 3 (Three) versi Indie+ dengan teori-teori serta artikelartikel yang memperkuat argumentasi peneliti.
64
1
Pra Penelitian dan
Penentuan Fokus
Penelitian
2
Penyusunan Bab 1 –
Bab 3
3
Sidang Out line
4
Revisi Bab 1 – Bab 3
5
Analisis Data dan
Penyusunan Bab 4 dan
Bab 5
6
Pelaksanaan Sidang
Desember
November
Oktober
September
Agustus
Juli
Kegiatan
Juni
No
Mei
3.9 Jadwal Penelitian
3.10 Keterbatasan dan Kelemahan Penelitian
Dalam melakukan penelitian kualitatif tentang makna gaya hidup kaum
urban dalam iklan operator selluler 3 (Three) versi Indie+, peneliti
menemukan beberapa keterbatasan dan kelemahan, diantaranya adalah:
1. Peneliti ini tidak melakukan wawancara mendalam yang idealnya dapat
menggambarkan secara empiris bagaimana unsur kognisi pembuat teks iklan
dalam melakukan penggambaran atas kondisi dalam lingkungan sosial
budaya yang lebih luas, dalam hal ini adalah narasumber yang berwenang
pada rumah produksi iklan lokal, turut menentukan hasil akhir dari sebuah
teks iklan yang kelak akan disajikan di dalam media televisi.
65
3. Analisis dan interpretasi pada penelitian ini merupakan refleksi subyektif
peneliti, sehingga rentan terjadinya sejumlah kelemahan dan kekurangan
dengan apa yang diungkapkan. Di samping itu, penulis memiliki keterbatasan
dalam merangkum semua interpretasi yang ada sebagai sebuah kesatuan yang
tak terpisahkan. Dikarenakan keterbatasan diri penulis dalam hal penguasaan
pengetahuan, teknik perolehan data, dan literatur yang digunakan.
66
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Profil Perusahaan 3 (Three)
PT. H3I adalah perusahaan penyedia jasa telekomunikasi yang
berkembang pesat dan beroperasi dengan lisensi nasional 2G/GSM 1800
MHz dan 3G/WCDMA di Indonesia. H3I menyediakan layanan internet
bergerak yang berkualitas dan inovatif, serta layanan komunikasi telepon dan
SMS yang terjangkau dengan merek “3” (baca: Tri), dan terus melakukan
ekspansi cakupan layanan HSDPA hingga ke seluruh wilayah negeri untuk
menghadirkan pengalaman berinternet kelas dunia bagi Indonesia. Pertama
beroperasi secara komersial di Indonesia pada tanggal 30 Maret 2007, dengan
komitmen menghadirkan layanan telekomunikasi yang inovatif, terjangkau
dan memiliki nilai penawaran terbaik. H3I merupakan anggota dari grup
Hutchison Whampoa yang menyediakan layanan telekomunikasi bergerak di
Indonesia, Vietnam, Sri Lanka, Australia, Austria, Denmark, Hong Kong,
Irlandia, Italia, Macau, Swedia dan Inggris.65
Fokus 3 (Three) adalah menghadirkan kebebasan berinternet bagi
Indonesia, mengkombinasikan akses cepat dan layanan yang lebih mudah
digunakan. Tri telah memperluas jangkauannya hingga mencakup sebagian
besar wilayah kepulauan Indonesia dengan jumlah pelanggan sebanyak 40
juta pada Q1 2014. Jaringan Tri diperkuat oleh 33.219 BTS, 14.000
diantaranya adalah 14.512 BTS 3G yang terbentang di pulau Sumatra, Jawa,
65
http://tri.co.id/about
67
Bali, Kalimantan dan Sulawesi. Cakupan layanan HSDPA Tri telah melayani
lebih dari 86% populasi penduduk Indonesia dengan sinyal di lebih dari 278
kabupaten/kotamadya di 25 provinsi. Tri terus mengembangkan berbagai
inovasi dan terobosan yang memaksimalkan keseluruhan pengalaman
pengguna dalam menikmati layanan mobile internet.66
3 (Three), operator GSM yang dikelola oleh PT Hutchison 3 Indonesia,
telah meraih pengakuan atas kinerja layanan internet bergerak dan
telekomunikasi selular dari MarkPlus, Inc – konsultan integrated marketing
terkemuka di Indonesia. Pada tanggal 11 September 2014 lalu 3 (Three) telah
dinobatkan sebagai “WOW Brand Champion 2014” dua kategori sekaligus
yaitu operator internet bergerak dan operator telekomunikasi selular.67
Saat ini 3 (Three) telah menghadirkan beragam layanan berbasis data
yang
memberikan
pengalaman
baru
dalam
berinternet.
Beberapa
layanan mobile internet yang telah dinikmati para pelanggan setia Tri di
antaranya AlwaysOn, PakeTri, Paket BlackBerry 6 Bulan, aplikasi pengingat
interaktif BimaTri serta layanan terbarunya Indie+ layanan prabayar dengan
kenyamanan setara layanan pascabayar. Produk Indie+ tersebut dipromosikan
dalam iklan televisi yang akan menjadi obyek penelitian ini.
Indie+ adalah layanan yang menggabungkan keuntungan prabayar
dengan kenyamanan paskabayar. Pada setiap pembelian Indie+, selain
mendapatkan pulsa kamu juga akan mendapatkan kantong kredit. Kantong
66
http://tri.co.id/mediacentre/tri-raih-pengakuan-sebagai-wow-brand-champion-2014-2kategori-penyedia-layanan-internet
67
Ibid.
68
kredit adalah pulsa senilai tertentu yang dapat ditukarkan dengan pulsa
telpon, sms atau internetan. Bedanya dengan pulsa biasa, kantong kredit bisa
dipakai terlebih dulu dan dibayar belakangan, seperti layaknya paskabayar.
Pengguna tidak perlu takut biaya tagihan meledak, karena jumlah kantong
kredit bisa diatur sesuai pilihan individu. Kantong kredit bukan uang tunai,
tidak dapat ditransfer dan hanya dapat ditukarkan dengan pulsa dan kuota Tri.
4.2 Karakteristik Data
Iklan operator selluler 3 (Three) versi Indie+ adalah iklan televisi yang
mengandung unsur tanda verbal dan nonverbal. Iklan ini berdurasi satu
menit. Analisis data akan dilakukan dengan analisis per scene dan dialog
yang akan dibuat menjadi satu frame analisis yang utuh melalui pendekatan
sintaksis, dimana seluruh rangkaian objek dalam sistem pertandaan,
misalnya dalam satu fragmen iklan akan dihubungkan. Tahap ini adalah
tahap yang menggabungkan tahapan sebelumnya yang terpecah dari
berbagai fokus selanjtunya digabung dan dihubungkan karena sangat
berpengaruh pada makna yang dihasilkan, setelah itu peneliti akan berusaha
mengungkap makna denotasi, konotasi, serta mitos yang ada pada setiap
keutuhan frame yang telah ditentukan.
4.3 Hasil Analisis dan Interpretasi Data
Metode semiotika Barthes dan pembagian tingkat
penandaan
dimungkinkan akan memperpanjang tulisan dan akan menyebabkan penulisan
69
hal-hal yang tak perlu. Untuk menghindari hal tersebut, gambar-gambar yang
nanti akan dicantumkan merupakan denotasinya. Penulis hanya akan
mengupas ke inti konotasi dan sedikit menjelaskan proses penandaan pada
tingkat denotasinya. Peneliti bermaksud untuk dapat mengungkap mitos serta
ideologi dalam iklan yang diperoleh dari pemaknaan konotatif. Peneliti akan
menyajikan potongan- potongan gambar yang diperoleh dari proses capture
iklan untuk menunjukkan penanda visual. Peneliti juga menyajikan penanda
audio/suara yang mengiringi scene yang berjalan. Diharapkan dari cara
tersebut peneliti dapat memperoleh simbolisasi gaya hidup modern kaum
urban dalam setiap frame yang dianalisis.
4.3.1 Pembahasan 1
Gambar 4.1
Angle: Medium Shot
70
Tabel 4.1
Penerapan Peta Tanda Roland Barthes Pada Scene 1
1. Penanda
Dalam potongan scene ini terlihat
dua anak kecil sedang duduk
menghadap lapangan golf dengan
gaya seperti orang dewasa
2. Petanda
Secara bersamaan dialog iklan
dalam potongan scene tersebut
adalah “nongkrong bareng
sesama eksmud, ngomongin
proyek besar biar keliatan
sukses”
3. Tanda Denotatif
Scene tersebut menceritakan dua orang anak kecil yang mengikuti
kebiasaan “nongkrong” orang dewasa di lapangan golf.
4. Penanda Konotasi
Scene ini memvisualisasikan
realita anak-anak perkotaan yang
suka meniru perilaku (gaya
hidup) orang dewasa
5. Petanda Konotasi
“Nongkrong” sebagai gaya
hidup orang masyarakat urban
tidak hanya dilakukan oleh
orang dewasa, namun juga
anak-anak sebagai representasi
generasi muda perkotaan.
6. Tanda Konotasi
Generasi muda perkotaan telah mengenal dan melakukan perilaku
orang dewasa yang ditunjukkan dalam gaya hidup.
7. Mitos
Scene ini merepresentasikan mitos pendewasaan dini yang terjadi
pada generasi muda yang berada dalam lingkaran gaya hidup
perkotaan.
Gambar di atas adalah potongan scene yang berada pada posisi,
dimana pengambilan gambar dalam scene tersebut menggunakan teknik
medium shot yang berarti memfokuskan pada perilaku objek. Setting
lapangan golf dalam suasana perkotaan mengkonotasikan kemewahan
serta kelas sosial.
71
Berdasarkan penanda scene mengenai dua anak yang bergaya
seperti orang dewasa di lapangan golf dan penanda dialog anak kecil
yang membicarakan kehidupan orang dewasa, secara denotasi scene
tersebut menceritakan dua orang anak kecil yang mengikuti kebiasaan
“nongkrong” orang dewasa di lapangan golf.
Dari makna denotasi, peneliti melihat scene ini berusaha
memvisualisasikan realita anak-anak perkotaan yang suka meniru
perilaku orang dewasa. Dalam realitanya, kini “nongkrong” sebagai
gaya hidup orang masyarakat urban tidak hanya dilakukan oleh orang
dewasa, namun juga anak-anak sebagai representasi generasi muda
perkotaan.
Scene ini mengkonotasikan kondisi generasi muda perkotaan
yang telah mengenal dan melakukan perilaku orang dewasa yang
ditunjukkan dalam gaya hidup. Cara duduk dan mimik dua anak kecil di
lapangan golf dengan salah satu anak kecil memegang tongkat golf
dalam scene tersebut menggambarkan seolah-olah ia sudah mahir
bermain golf, sedangkan golf adalah olahraga orang dewasa yang cukup
sulit untuk dilakukan anak-anak, selain itu olahraga golf dikenal
sebagai olahraga untuk kalangan menengah atas sebab biaya yang
diperuntukkan olahraga golf tergolong mahal. Lantas, apa hubungan
antara kelas sosial dan golf? Golf adalah salah satu simbol olahraga
kelas atas. Selain itu, kelas menengah punya kebiasaan suka berkumpul
72
(komunitas). Dan olahraga golf sangat erat sekali dengan nuansa
komunitasnya.68
Makna konotasi ini berkaitan dengan generasi muda perkotaan
yang cenderung labil karena ada dalam posisi yang ambivalen. Menurut
Grosseberg generasi atau anak muda merupakan posisi yang ambivalen
dimana anak muda adalah penanda ideologis yang dibebani citra utopis
masa depan bahkan ketika dia ditakutkan oleh orang lain sebagai
ancaman norma dan regulasi yang ada.69 Jadi, anak-anak sebagai
generasi muda dapat menjadi pihak yang diharapkan sekaligus yang
dikhawatirkan. Diharapkan disini adalah sebagai generasi muda yang
akan membuat perkembangan di masa depan. Dikhawatirkan disini
adalah karena sifat anak muda yang masih belum mampu mengontrol
emosi dalam dirinya yang masih labil, sehingga anak muda dapat
menggeser norma-norma yang ada di masyarakat. Hal itulah yang
menyebabkan generasi muda saat ini sudah tidak lagi memahami
masanya, sehingga sering bertindak di luar kendalinya.
Berdasarkan pengamatan peneliti, mitos yang terkandung dalam
scene ini yaitu mitos pendewasaan dini yang terjadi pada generasi muda
yang berada dalam lingkaran gaya hidup perkotaan, dimana seringkali
anak mencontoh perilaku orang tua yang gaya hidupnya modern. Selain
itu, konstruksi media yang banyak menyajikan konten-konten dewasa
juga mempengaruhi perkembangan pola pikir generasi muda yang
68
69
http://radarmalang.co.id/golf-dan-araya-11560.htm, diakses tgl 18 oktober 1.33
Chris Barker. 2011. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana. h. 341.
73
cenderung mengikuti apa yang ditayangkan di televisi. Seperti yang
diketahui, arus modernisasi dan globalisasi telah banyak membawa
pengaruh untuk perubahan sikap pada masyarakat indonesia, tidak
terkecuali anak-anak sebagai generasi muda.
Berdasarkan buku “Hurried Child, Growing Up Too Fast Too
Soon”, mitos pendewasaan dini ini sesuai dengan pendapat David
Elkind, seorang ahli psikologi anak yang menyebut pendewasaan dini
dengan
istilah
the hurried
child.
Elkind
mengatakan
bahwa
pendewasaan dini terjadi bukan hanya karena gaya hidup orang tua
yang diterapkan pada anak, namun juga pengaruh media terhadap
percepatan perkembangan anak yang dihadapkan pada model yang telah
matang secara emosional dan intelektual, yang akhirnya membuat
mereka berperilaku lebih matang pula, tidak sesuai dengan tahap
perkembangan usia mereka.70
Salah satu faktor yang mendukung proses pendewasaan dini pada
anak adalah kemajuan teknologi informasi didukung perangkat canggih
yang bisa diakses siapa pun tanpa batas tempat dan usia, termasuk
anak-anak. Gaya hidup lingkungan sekitar juga memberikan warna
dalam perkembangan anak-anak secara mental dan biologis.71 Orang
dewasa sebagai masyarakat perkotaan seringkali sengaja melibatkan
anak-anak pada dunia mereka, seperti memberikan gadget sejak dini,
70
71
http://www.scribd.com/doc/33097846/David-Elkind
Tri Wahyuni Sukesi. 2013. Dalam artikel Kota Layak Anak, Penyelamat Generasi Bangsa.
74
mengajak anak ke pusat perbelanjaan, dan perilaku-perilaku yang
sejenisnya yang kerap kita temui dalam kehidupan perkotaan masa kini.
4.3.2 Pembahasan 2
Gambar 4.2
Angle: Extreme Long Shot
Tabel 4.2
Penerapan Peta Tanda Roland Barthes Pada Scene 2
1. Penanda
Dalam potongan scene ini terlihat
seorang anak kecil dengan
seragam sekolah dasar sedang
duduk di tengah2 lingkungan
rumah susun yang kumuh.
2. Petanda
Secara bersamaan dialog iklan
dalam potongan scene tersebut
yaitu “kalau aku udah gede,
aku mau jadi eksmud”
3. Tanda Denotatif
Scene tersebut menceritakan seorang anak kecil dari kelas
menengah bawah yang memiliki cita-cita menjadi eksekutif muda.
4. Penanda Konotasi
Scene ini memvisualisasikan
kondisi masyarakat perkotaan
kelas menengah bawah yang
5. Petanda Konotasi
Eksekutif muda adalah salah
satu pekerjaan yang banyak
diinginkan oleh sebagian besar
75
berusaha (bercita-cita) untuk
masyarakat perkotaan.
mendapatkan kehidupan yang
layak.
6. Tanda Konotasi
Setiap
orang
memerlukan
sebuah
medium
untuk
mengaktualisasikan diri, yaitu dengan sebuah pekerjaan yang
dianggap baik.
7. Mitos
Masyarakat perkotaan yang menganggap bahwa pekerjaan
kantoran dapat menaikkan status sosial-ekonomi seseorang.
Penanda yang ada dalam potongan scene ini ditunjukkan dengan
seorang anak kecil dengan seragam sekolah dasar yang sedang duduk di
tengah2 lingkungan rumah susun yang kumuh. Secara bersamaan dialog
iklan dalam potongan scene tersebut yaitu “kalau aku udah gede, aku
mau jadi eksmud” menjadi petanda dalam scene ini.
Berdasarkan penanda dan petanda yang telah diatas, secara
denotasi scene tersebut menceritakan seorang anak kecil dari kelas
menengah bawah yang memiliki cita-cita menjadi eksekutif muda.
Teknik extreme long shot dalam pengambilan scene menunjukkan
setting lingkungan rumah susun yang kumuh, yang menggambarkan
realitas sosial kehidupan perkotaan yang begitu penuh dengan kesulitan
dan meningkatkan kualitas kehidupan merupakan suatu keharusan bagi
masyarakat perkotaan sebab kehidupan perkotaan sangat penuh
persaingan.
Scene ini memvisualisasikan kondisi masyarakat perkotaan kelas
menengah bawah yang berusaha (bercita-cita) untuk mendapatkan
kehidupan yang layak. Eksekutif muda adalah salah satu pekerjaan
76
yang banyak diinginkan oleh sebagian besar masyarakat perkotaan.
Jadi, peneliti menarik makna konotasi dari scene tersebut dimana setiap
orang memerlukan sebuah medium untuk mengaktualisasikan diri,
yaitu dengan sebuah pekerjaan yang dianggap baik.
Selain untuk memperoleh kehidupan yang layak, pekerjaan juga
merupakan salah satu bentuk aktualisisi diri seseorang, seperti
pencapaian status sosial tertentu. Pada dasarnya, status sosial
merupakan salah satu kebutuhan manusia setelah kebutuhan yang
bersifat material, karena status sosial berhubungan dengan bagaimana
seseorang dapat menunjukkan siapa dirinya terhadap orang lain di
sekitarnya. Eksekutif muda misalnya, yang termasuk dalam golongan
menengah atas karena pekerjaannya berada pada posisi atas (top
management), sehingga diidentikkan dengan status sosial yang tinggi di
masyarakat.
Anak kecil atau siswa sekolah dasar yang mengenakan seragam
merah putih mengkonotasikan sebuah level awal dari kehidupan
sebelum ia menuju pada level kehidupan yang sesungguhnya, yaitu
kehidupan orang dewasa. Cita-cita untuk menjadi “eksmud” berkaitan
dengan kehidupan kaum urban dalam dunia pekerjaan. “Eksmud”
adalah singkatan dari eksekutif muda, maksudnya disini adalah orangorang yang berkarir di kantoran. “Eksmud” identik dengan gaya hidup
kaum urban, bahkan eksmud merupakan suatu golongan serta kelas dari
77
masyarakat urban, sebab lingkungan dimana eksmud bersosialisasi
adalah di kawasan perkotaan.
Keinginan dan ambisi untuk menjadi pria atau wanita karir serta
memperoleh kedudukan dan jabatan yang mengarah pada pencapaian
status sosial tertentu seperti yang tercermin dari scene 1 dan 2
merupakan suatu hal yang manusiawi. Sebagaimana ahli-ahli dari teori
humanistik menunjukkan bahwa (1) tingkah laku individu pada
mulanya ditentukan oleh bagaimana mereka merasakan dirinya sendiri
dan dunia sekitarnya, dan (2) individu bukanlah satu-satunya hasil dari
lingkungan mereka seperti yang dikatakan oleh ahli teori tingkah laku,
melainkan langsung dari dalam (internal), bebas memilih, dimotivasi
oleh keinginan untuk aktualisasi diri (self-actualization) atau memenuhi
potensi keunikan mereka sebagai manusia.72
Maslow (1968) berpendapat bahwa ada hierarki kebutuhan
manusia. Kebutuhan untuk tingkat yang paling rendah yaitu tingkat
untuk bisa survive atau mempertahankan hidup dan rasa aman, dan ini
adalah kebutuhan yang paling penting. Tetapi jika manusia secara fisik
terpenuhi kebutuhannya dan merasa aman, mereka akan distimuli untuk
memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi, yaitu kebutuhan untuk
memiliki dan dicintai dan kebutuhan akan harga diri dalam kelompok
mereka sendiri. Jika kebutuhan ini terpenuhi orang akan kembali
72
Sri Esti W. Dwijandon. 2008. Psikologi (Rev-2). Jakarta: Grasindo. h. 181.
78
mencari kebutuhan yang lebih tinggi lagi, prestasi intelektual,
penghargaan estetis dan akhirnya self-actualization.
Cita-cita yang diinginkan anak kecil tersebut untuk menjadi
“eksmud”
mengkonotasikan
bahwa
selain
untuk
memperoleh
kehidupan yang layak, profesi, kedudukan, dan jabatan dapat
meningkatkan status dan kelas sosial agar seseorang lebih dipandang
dan dihargai dengan baik di mata orang lain. Untuk hidup di perkotaan,
seseorang harus mampu menunjukkan sisi istimewanya, agar dapat
memperoleh pengakuan di tengah-tengah heterogenitas masyarakat
perkotaan. Dalam hal ini, profesi “eksmud” dan “bos” adalah salah satu
wujud kebutuhan akan harga diri, prestasi intelektual, penghargaan
estetis, dan self-actualization.
Mitos yang terdapat dalam scene ini adalah anggapan sebagian
besar masyarakat perkotaan yang menganggap bahwa pekerjaan
kantoran dapat menaikkan status sosial-ekonomi seseorang. Hal ini
sesuai dengan pendapat Rianto Adi dalam bukunya:
“Kebanyakan yang digunakan untuk mengukur status sosialekonomi seseorang adalah pendidikan, pekerjaan, penghasilan,
dan kekayaan yang dimilikinya. Pendidikan, pekerjaan,
penghasilan, dan kekayaan adalah konsep-konsep yang
menggambarkan suatu fenomena yang lebih nyata dibandingkan
dengan konsep status sosial-ekonomi. Konsep pendidikan,
pekerjaan, penghasilan, dan kekayaan lebih bisa kita ukur dalam
dunia nyata (empiris) yang bersama-sama dapat dipakai untuk
mengukur tinggi rendahnya status sosial-ekonomi seseorang.”73
73
Rianto Adi. 2001. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit. h. 39.
79
Disadari atau tidak bahwa kelas sosial adalah suatu yang tak
terpisahkan dari masyarakat urban. Menurut Lenin, kelas sosial
dianggap sebagai golongan sosial dalam sebuah tatanan masyarakat
yang ditentukan oleh posisi tertentu dalam proses produksi. namun,
menurut Marx sendiri, kelas sosial merupakan gelaja khas masyarakat
feodal, dimana mereka menyadari diri sebagai kelas, suatu golongan
khusus dalam masyarakat, dan memiliki kepentingan-kepentingan
spesifik serta mau memperjuangkannya.74
Dalam kaitannya dengan gaya hidup kaum urban, status dan kelas
sosial merupakan sebuah anggapan (opini) dan minat yang ditunjukkan
oleh sebagian besar masyarakat yang tinggal di kawasan perkotaan.
Opini maksudnya disini adalah anggapan bahwa menjadi eksmud dan
bos dapat menaikkan taraf hidup masyarakat, sedangkan minat
berkaitan dengan cita-cita, tujuan, dan harapan masyarakat perkotaan
itu sendiri.
74
http://semacam-catatan.blogspot.com/2013/02/tempat-nongkrong-gaya-hidup-ataukarena.html
80
4.3.3 Pembahasan 3
Gambar 4.3
Angle: Medium Shot
Tabel 4.3
Penerapan Peta Tanda Roland Barthes Pada Scene 3
1. Penanda
Dalam potongan scene ini terlihat
seorang anak kecil sedang
melakukan aktivitas sehari-hari
yaitu menuang minuman ke
dalam gelas.
2. Petanda
Melanjutkan scene ingin jadi
eksmud, dialog iklan dalam
potongan scene ini yaitu “harihari ngomong campur bahasa
inggris”.
3. Tanda Denotatif
Scene tersebut menceritakan seorang anak kecil yang sehari-hari
ingin berbicara bahasa inggris.
4. Penanda Konotasi
5. Petanda Konotasi
Scene ini memvisualisasikan
Menggunakan bahasa inggris
realita kegemaran menggunakan
dalam kegiatan sehari-hari
bahasa inggris di zaman modern
merupakan
sebuah
trend
ini.
komunikasi di masyarakat.
6. Tanda Konotasi
Bahasa inggris adalah salah satu simbol dari kehidupan modern.
7. Mitos
Scene ini berkaitan dengan anggapan masyarakat terutama
masyarakat yang hidup di kota besar bahwa dengan berbahasa
inggris seseorang dipandang lebih berkelas.
81
Scene ini adalah kelanjutan dari scene 2 yang masih berbicara
tentang suatu keinginan. Teknik pengambilan gambar medium shot
menunjukkan perilaku objek. Penanda terdiri dari potongan scene
dimana seorang anak kecil sedang melakukan aktivitas sehari-hari yaitu
menuang minuman ke dalam gelas. Secara bersamaan, dialog iklan
dalam potongan scene ini yaitu “hari-hari ngomong campur bahasa
inggris” menjadi petanda yang akan menentukan makna denotasinya.
Secara denotasi, scene tersebut menceritakan seorang anak kecil yang
sehari-hari ingin berbicara bahasa inggris.
Scene ini memvisualisasikan realita kegemaran menggunakan
bahasa inggris di zaman modern ini. Saat ini, menggunakan bahasa
inggris dalam kegiatan sehari-hari merupakan sebuah trend komunikasi
di masyarakat. Secara konotasi, scene ini mengaitkan bahasa inggris
sebagai salah satu simbol dari kehidupan modern. Menurut Robertson,
globalisasi adalah masalah kehidupan modern yang tak terhindarkan.
Kehidupan modern tersebut tercermin lewat makanan, gaya berpakaian,
pekerjaan, musik dan hiburan, dan juga bahasa. Bahasa inggris
dianggap sebagai bahasa internasional yang harus dikuasai setiap orang
agar dapat berhubungan dengan bangsa lain.75
Dalam kaitannya dengan gaya hidup, trend berbahasa inggris
merupakan aktivitas digambarkan dalam keseharian masyarakat urban.
75
Khairul Hidayati, M.Si dan Ricky Genggor, S.IP (ed). 2007. Sosiologi. Jakarta: Esis. h. 76-77.
82
Penggunaan bahasa inggris kini menjadi sebuah gaya hidup, terutama
gaya hidup kaum urban. Orang yang hidupnya berada di tengah-tengah
kelompok yang gemar menggunakan bahasa inggris pastinya akan
terbawa dengan perilaku tersebut. Kekhususan dalam masing-masing
kelompok bisa ditandai oleh adanya penggunaan variasi bahasa yang
digunakan dalam suatu interaksi oleh pemakainya.76
Pada kenyataannya memang kemampuan berbahasa inggris
sebagai bahasa yang mendunia telah menjadi keharusan agar seseorang
mampu berkomunikasi dengan begitu banyak hal. Hal ini terbukti pada
kenyataan
bahwa
hampir
seluruh
aspek
komunikasi
terutama
masyarakat urban melibatkan bahasa inggris di dalamnya. Seperti yang
dikatakan Zia Permata Buana dalam bukunya:
“Saat ini, bahasa inggris mendominasi sebagai bahasa percakapan
dan komunikasi di seantero dunia. lebih dari 80 % situs web di
internet disajikan dalam bahasa inggris. bahasa terbesar kedua,
Jerman, hanya menguasai 1,5 % sementara bahasa Jepang hanya
menguasai 3,1 %. tercatat pula 60% - 85% e-mail yang terkirim
dikemas dalam bahasa inggris. dan satu dari lima orang di muka
bumi ini dapat berbahasa inggris, meskipun hanya pada level
kompetensi tertentu.”
Meskipun tidak semua masyarakat urban menggunakan bahasa
inggris secara keseluruhan dalam kegiatan komunikasi sehari-hari,
namun sedikit banyak bahasa inggris dicampurkan dalam bahasa
indonesia seperti kata misscall, pending, searching, handphone, dan
masih banyak lagi kata-kata yang lebih nyaman untuk digantikan
dengan bahasa Inggris dibandingkan bahasa Indonesia itu sendiri.
76
Suseno Kartomihardjo. 1988. Bahasa Cermin Kehidupan Masyarakat. Jakarta: P2LPTK. h. 4
83
“Ledakan pertumbuhan kota-kota selama abad kedua puluh dan
perkembangan fenomenal sistem-sistem komunikasi tengah
menciptakan budaya perkotan global yang mempengaruhi seluruh
umat manusia. Bahasa inggris adalah bahasa yang
menghubungkan para pengambil keputusan dalam budaya
perkotaan yang muncul. Anak muda mengenakan blue jeans;
mereka mendengarkan lagu-lagu pop Amerika; mereka menonton
MTV.”77
Dari scene tersebut, peneliti menemukan mitos mengenai
anggapan masyarakat terutama masyarakat yang hidup di kota besar
bahwa dengan berbahasa inggris seseorang dapat dipandang lebih
berkelas. Penelitian Labov (1966) membuktikan bahwa seorang
individu dari kelas sosial tertentu, umur tertentu, jenis kelamin tertentu
akan menggunakan variasi bentuk bahasa tertentu; sehingga dengan
cara ini kita sekarang dapat membuat korelasi antara ciri-ciri
kebahasaan (linguistik) dengan kelas sosial.78 Singkatnya, bahasa
inggris selain digunakan untuk berkomunikasi, juga dibutuhkan sebagai
simbol identitas diri seseorang.
Bahasa tidak hanya berguna sebagai alat komunikasi semata
tetapi juga sebagai indikator identitas pembicara. Menurut Hecht dan
Ribeaue menyatakan bahwa identitas dikomunikasikan melalui pesan
selama interaksi (Fong, 2004:12). Bahasa adalah kunci untuk jantung
sebuah budaya. Bahasa berfungsi dalam identitas budaya karena bahasa
adalah lambang dari kelompok. Ketika seseorang berbicara dengan
77
David W Shenk. 2006. Ilah-ilah Global: Menggali Peran Agama-agama Dalam Masyarakat
Modern. (Diterjemahkan oleh Agustini Setiawidi). Jakarta: Gunung Mulia. h. 54
78
Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda dan Pustaka Pelajar. h. 49.
84
bahasa yang sama, merupakan tanda dari solidaritas kelompok dan
hubungan. (Ting-Toomey, 1999:91).79
4.3.4 Pembahasan 4
Gambar 4.4
Angle: Medium Shot
Tabel 4.4
Penerapan Peta Tanda Roland Barthes Pada Scene 4
1. Penanda
Dalam potongan scene ini terlihat
dua anak kecil yang sedang
berbincang satu sama lain.
2. Petanda
Dialog iklan dalam potongan
scene ini yaitu “tiap jumat
pulang kantor, nongkrong
bareng
sesama
eksmud,
ngomongin proyek besar, biar
keliatan sukses”.
3. Tanda Denotatif
Scene tersebut menceritakan anak-anak kecil yang berbicara
tentang kebiasaan nongkrong eksekutif muda.
4. Penanda Konotasi
Scene ini memvisualisasikan
5. Petanda Konotasi
“nongkrong” yang dilakukan
79
Tito Edy Priandono. 2014. Komunikasi Dalam Keberagaman. Bandung: Departemen Ilmu
Komunikasi FPIPS UPI. h. 171.
85
budaya “nongkrong” yang
kelompok pekerja kantoran
populer, terutama pada
(eksmud) dianggap mampu
masyarakat perkotaan.
mencitrakan image sukses.
6. Tanda Konotasi
“Nongkrong” identik dengan perwujudan eksistensi diri.
7. Mitos
Scene ini berkaitan dengan anggapan masyarakat bahwa orang
yang eksis adalah orang yang sering menghabiskan waktunya
untuk “nongkrong”.
Secara denotasi, scene 4 bercerita tentang dua anak kecil yang
sedang berbincang meniru gaya orang dewasa. Dialog “tiap jumat
pulang kantor, nongkrong bareng sesama eksmud, ngomongin proyek
besar, biar keliatan sukses” menggambarkan tentang kebiasaan
kelompok pekerja yang sering “nongkrong” dengan motif berdiskusi
perihal bisnis dan dunia kerja yang dijalankan. Antara “nongkrong” dan
diskusi mengenai proyek kerja, nyatanya ada motif lain yang
diharapkan oleh para eksekutif muda. Dari titik itulah peneliti melihat
makna konotasi dari scene ini yaitu “nongkrong” antara eksekutif muda
identik dengan perwujudan eksistensi status sosial suatu golongan,
dalam scene tersebut yang digambarkan adalah golongan eksekutif
muda. Dikutip dari salah satu situs berita online warta.com mengenai
kaitan “nongkrong” dengan eksistensi diri:
“Budaya nongkrong, kongkow, atau apa pun namanya,
belakangan memang menjadi semacam trend gaya hidup bagi
kaum urban, eksekutif, tidak terkecuali juga kelas menengah. Hal
itu dapat dipahami karena pada dasarnya mereka merupakan
kumpulan dari individu-individu sosial yang membutuhkan
86
interaksi dan pengakuan sebagai bagian dari komunitas tertentu
untuk menunjukkan eksistensi diri.”80
Setting lapangan golf juga melambangkan kelas sosial beserta
kemewahannya. Lapangan golf juga berkaitan dengan para eksekutif
muda sebab aktivitas bisnis banyak dilakukan di sana. Seperti dikutip
dari salah satu artikel internet mengenai olahraga golf, “bagi
masyarakat Indonesia, golf bukan hanya sekedar olah raga semata
ataupun kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu luang. Golf
sudah menjadi gaya hidup tersendiri yang melingkupi banyak aspek,
dimana berbagai kegiatan seperti transaksi bisnis dan pembicaraan
penting lainnya terjadi diatas lapangan golf.”81
“Nongkrong” dapat dikaitkan dengan gaya hidup karena
“nongkrong” adalah salah satu cara manusia menggunakan dan
menghabiskan waktunya. Selain menghabiskan waktu, “nongkrong”
identik dengan menghambur-hamburkan uang sebagaimana menurut
Assael (1984), gaya hidup adalah “A mode of living that is identified by
how people spend their time (activities), what they consider important
in their environment (interest), and what they think of themselves and
the world around them (opinions)”.
Scene tersebut mengkonotasikan usaha manusia dengan cara yang
bermacam-macam dalam memperoleh eksistensi status dirinya. Hal ini
80
Hatta. 2013. Dalam Artikel “KELAS MENENGAH: MENEMBUS BATAS KONGKOW”. Dari
(http://wartaekonomi.co.id/berita7570/kelas-menengah-menembus-batas-kongkow-bagiiii.html).
81
(http://www.studymode.com/essays/Golf-Industry-In-Indonesia-Indonesian-668443.html)
87
sesuai dengan pendapat Hatta dalam tulisannya di situs berita
warta.com:
“Pengejawantahan eksistensi itulah yang kemudian diterjemahkan
dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa orang memilih jejaring
sosial atau dunia maya sebagai wadah untuk menunjukkan diri
segemilang-gemilangnya. Sementara itu, beberapa orang lainnya
membutuhkan orang-orang lain untuk berada di sekelilingnya.
Poin terakhir itulah yang menjadi esensi utama dari apa yang kita
kenal dengan istilah nongkrong, hang out, atau kongkow.”82
Mitos yang terkandung dalam scene tersebut yaitu mengenai
anggapan masyarakat bahwa orang yang eksis adalah orang yang sering
menghabiskan waktunya untuk “nongkrong”. Hal ini berkaitan dengan
pemahaman eksistensialisme yang berasal dari kata “eks” yang berarti
keluar dan “sistensi” dari kata “eksistere” yang berarti tampil,
menempatkan diri, berdiri, ialah cara manusia berada di dunia ini.83
Scene tersebut menjelaskan tindakan manusia dalam memperoleh
eksistensi diri dalam lingkungan dimana seseorang bersosialisasi.
Seseorang yang berdiam diri tanpa menunjukkan siapa dirinya tentunya
tidak akan memperoleh eksistensi diri.
Action (tindakan), itulah kata kunci yang mau ditunjukkan Jean
Paul Sartre kepada kita guna memberi makna pada kemanusiaan. Action
dan bukan quietism. Dengan kata lain, “Man is nothing else but what he
purposes, he exists only in so far as he realises himself. He is therefore
nothing else but the sum of his actions, nothing else but what his life
82
Hatta. 2013. Dalam Artikel “KELAS MENENGAH: MENEMBUS BATAS KONGKOW”. Dari
(http://wartaekonomi.co.id/berita7570/kelas-menengah-menembus-batas-kongkow-bagiiii.html).
83
A. Gunawan Setiaardja. 1990. Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat
Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. h. 59.
88
is.”84 Jadi, jelas di sini bahwa realisasi diri manusia lewat tindakan
adalah yang sesungguhnya membuat dirinya menjadi manusia, namun
tindakan ini bukan hanya tindakan tunggal pada saat tertentu saja.
Tindakan di sini dimengerti sebagai totalitas dari rangkaian tindakantindakan yang sudah, sedang dan akan dilakukannya sepanjang
hidupnya. What counts is the total commitment, and it is not by a
particular case or particular action that you are committed
altogether.”85
Kaitannya “nongkrong” dengan gaya hidup kaum urban yaitu
“nongkrong” adalah tindakan yang dilakukan mayoritas kaum urban
guna mendapatkan pengakuan dalam lingkungan dan kelompok ia
bersosialisasi. Nongkrong di tempat-tempat mahal seperti kafe,
lapangan golf, mall, dianggap suatu pendongkrak status sosial
seseorang sebagai manusia modern yang berkelas. Itulah yang berusaha
diraih oleh mayoritas kaum urban, dengan mendapatkan eksistensi diri
maka seseorang akan merasa puas dan menjadi manusia seutuhnya.
Dalam hal ini masyarakat urban beropini bahwa individu yang eksis
adalah individu yang melakukan hal serupa yang dilakukan mayoritas
orang lain (kaum urban itu sendiri).
84
Walter Kauffman. 1956. Existentialism from Dostoevsky to Sartre. Cleveland: The World
Publishing Company. h. 300.
85
Ibid. h. 302.
89
4.3.5 Pembahasan 5
Gambar 4.5
Angle: Close Up
Tabel 4.5
Penerapan Peta Tanda Roland Barthes Pada Scene 5
1. Penanda
Dalam potongan scene ini terlihat
seorang perempuan yang sedang
nongkrong di kafe bersama
teman-temannya dengan ekspresi
wajah yang senang.
2. Petanda
Secara bersamaan, dialog iklan
dalam potongan scene ini yaitu
“kalau weekend, sarapan di
kafe sambil laptopan. Pesan
secangkir kopi harga 40
ribuan, minumnya pelanpelan, biar tahan sampai siang
demi wi-fi gratis”.
3. Tanda Denotatif
Scene ini menceritakan seorang perempuan yang senang
menghabiskan uang dan waktunya di kafe.
4. Penanda Konotasi
5. Petanda Konotasi
Scene ini memvisualisasikan
Perilaku
konsumtif
tidak
trend gaya hidup konsumtif
dianggap
sebagai
beban,
masyarakat urban yang gemar ke namun kebutuhan hidup untuk
kafe.
mendapatkan prestise tertentu.
6. Tanda Konotasi
Kafe berkaitan dengan prestise masyarakat modern.
7. Mitos
Scene ini berkaitan dengan anggapan masyarakat bahwa jika orang
yang tidak suka ke kafe dinilai “udik” atau ketinggalan zaman.
90
Scene 5 yang diambil berdasarkan teknik pengambilan gambar
close up ini menggambarkan ekspresi dari objek itu sendiri. Secara
denotasi, scene ini bercerita tentang orang dewasa yang memiliki hobi
sarapan di kafe sambil laptop-an sambil “ngopi” yang harga
secangkirnya 40 ribuan. Seperti yang kita ketahui “nongkrong” di kafe
atau restoran cepat saji (fast food) kini telah menjadi gaya hidup yang
menjamur di kehidupan modern masa kini serta melanda seluruh
kalangan baik anak sekolah, mahasiswa, dan pekerja. Dikutip dari salah
satu harian online, menurut penelitian The Nielsen Regional Retail
Highlights, ramainya kawula muda mengunjungi resto-resto seperti itu
karena konsep tempat dianggap sesuai dengan gaya hidup orang
Indonesia, khususnya ibukota Jakarta.86
Berdasarkan makna konotasi yang ada dalam scene ini, warung
kopi atau dikenal dengan istilah kafe mencerminkan prestise
masyarakat modern, yang mengindikasikan kelas atau status sosial
tertentu. Seiring dengan meningkatnya mobilitas dan gaya hidup yang
modern, warung kopi kini menjelma dengan kemasan yang beragam.
Fungsinya pun macam-macam, bisa sebagai tempat pertemuan dengan
rekan bisnis, arisan, bahkan tempat nongkrong kawula muda. Bahkan,
warung kopi menjadi identitas eksistensi dan simbol prestise.87
86
Illa Kartika. 2012. Dalam artikel ““Nongkrong” di kafe jadi gaya hidup”. Dari
(http://www.antaranews.com/berita/300726/nongkrong-di-cafe-jadi-gaya-hidup).
87
Rani Hardjanti. 2012. Dalam artikel “Ngobrol di Warung Kopi Okezone, Beda!”. Dari
(http://news.okezone.com/read/2012/11/08/61/715809/ngobrol-di-warung-kopi-okezone-beda)
91
Istilah kafe sendiri banyak digunakan oleh masyarakat perkotaan
karena dianggap lebih modern sebab lebih banyak menawarkan
berbagai konsep, mulai dari penyediaan menu, tempat baca dan adapula
kafe yang mengusung konsep gemerlap, hingga penyediaan fasilitas
internet yang saat ini sudah banyak diminati oleh para pengunjung.88
Orang yang menghabiskan uangnya untuk “nongkrong” di kafe
dapat dikatakan mengkonsumsi sebuah trend gaya hidup modern.
Sebagai mana ditegaskan Celia Lury, sosiolog dari University of
London, Inggris, dalam bukunya Consumer Culture (1996), kegemaran
mengkonsumsi tren gaya hidup modern ini bisa dipahami sebagai
perjuangan memperoleh posisi atau status sosial tertentu. Karena itulah
mereka tidak ingin ketinggalan zaman mengikuti berbagai trend gaya
hidup baru.89
Dengan membeli trend gaya hidup seperti nongkrong di kafe,
mayarakat urban berpikir mereka telah membentuk citra dan prestise
terntentu. Dalam bahasa sederhana, mereka ingin mendapat sebutan
keren, kaum berduit, berkelas, dan sejenisnya. “Nongkrong” di kafe
memang tidak selalu memprioritaskan tujuan tersebut, namun juga
bermanfaat untuk pertemuan bisnis, diskusi komunitas, dan kegiatan
penting lainnya. Tapi jika dikritisi lebih jauh, masih banyak tempat
nyaman lain yang bisa digunakan oleh para komunitas selain kafe yang
88
Alfian Padirman. 2008. Budaya Nongkrong Di Kafe Mal Panakkukang Makassar. Jurusan
Antropologi FISIP UNHAS. Makassar. (Skripsi, tidak diterbitkan).
89
Rusman Nurjaman. 2013. Dalam artikel “Gaya Hidup: Diikuti Salah, Ditinggal Juga Salah” dari
(http://www.intisari-online.com/read/gaya-hidup-diikuti-salah-ditinggal-juga-salah).
92
tidak memerlukan pengeluaran yang besar, namun kenyataannya
anggapan kafe yang nyaman karena memiliki fasilitas-fasilitas
penunjang seperti ac, sound system, tv, wifi dan sebagainya telah
menjadi mindset masyarakat perkotaan untuk lebih memilih kafe
dibandingkan tempat lainnya.
“...juga akses wi-fi yang cepat semakin menambah kenyamanan
pengunjung yang kebanyakan ABG (anak SMA-kuliahan) serta
eksekutif muda. Tetapi memilih makan di restoran cepat saji dan
dilanjutkan dengan ngopi di kafe mendorong orang menjadi
konsumtif. Harga kopi saja berkisar Rp 10.000 hingga Rp 20.000
per gelas...”90
Mitos yang peneliti ungkap dari scene ini adalah anggapan
masyarakat bahwa jika orang yang tidak suka ke kafe dinilai “udik”
atau ketinggalan zaman. Hal ini membuat orang yang awalnya tidak
memujai kafe menjadi berusaha untuk masuk ke dalam realita tersebut
agar ia dapat diterima oleh lingkungan atau orang-orang dimana ia
bersosialisi, dimana hal ini sangat banyak terjadi pada masyarakat
perkotaan yang tentunya disuguhi begitu banyak kafe atau resto dari
kelas bawah sampai kelas mewah. Seperti yang dikatakan pakar
sosiologi Abdul Kholek yang dikutip dari artikel harian online antara
news:
“Generasi muda lebih suka makan dan menghabiskan waktu ke
cafe dan resto untuk menyantap makanan-makanan ala barat yang
siap saji. Hal ini sejalan dengan pendapat George Ritzer bahwa
dampak fast-food sampai pada tataran luas yang begitu mendalam
pada berbagai posisi. Ia mengutip pendapat sosiolog Susongko
bahwa ada penciptaan norma baru di masyarakat seolah-olah
90
Tonitok. 2012. Dalam artikel “Tren Nongkrong di Kafe Membeli Gaya”. Dari
(http://www.mediasemarangonline.com/2014/05/tren-nongkrong-bareng-di-kafemembeli.html)
93
orang akan menjadi udik dan ketinggalan zaman bila belum
pernah menyantap pizza, hamburger, dan berbagai produk pangan
lainnya.”91
Hal tersebut telah menjadikan masyarakat perkotaan kerap kali
mengukur kesenangan hidup dari materi, selain itu masyarakat
perkotaan berharap objek-objek konsumsi tertentu mampu menentukan
prestise, status dan simbol-simbol sosial tertentu bagi pemakainya. Ada
beberapa konseptualisasi dalam istilah konsumsi. Konsumsi, menurut
Yasraf, dapat dimaknai sebagai sebuah proses objektifikasi, yaitu
proses eksternalisasi atau internalisasi diri lewat objek-objek sebagai
medianya.92
Maksudnya,
bagaimana
kita
memahami
dan
mengkonseptualisasikan diri maupun realitas di sekitar kita melalui
objek-objek material.
Industri kapitalis nyatanya telah menjadikan manusia satu-satunya
pihak yang memberi keuntungan amat besar. Bagaimana tidak, hampir
seluruh masyarakat perkotaan menghabiskan uangnya untuk makan
atau minum di kafe yang hanya bertujuan untuk membeli trend gaya
hidup dan prestise. Kafe kini menjadi bagian gaya hidup yang lahir dari
dunia barat dan pilihan favorit remaja bahkan orang dewasa kini.
Pilihan "resto" atau tempat makan bergaya luar negeri tersebut bukan
91
Illa Kartika. 2012. Dalam artikel ““Nongkrong” di kafe jadi gaya hidup”. Dari
(http://www.antaranews.com/berita/300726/nongkrong-di-cafe-jadi-gaya-hidup).
92
Yasraf Amir Piliang. 2004. Dunia yang dilipat : Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan.
Bandung : Jalasutra. h. 180.
94
hanya karena sajian menu makanannya, tetapi juga karena tersedianya
sebuah prestise yang tidak bisa didapatkan di tempat makan yang lain.93
4.3.6 Pembahasan 6
Gambar 4.6
Angle: Medium Shot
Tabel 4.6
Penerapan Peta Tanda Roland Barthes Pada Scene 6
1. Penanda
Dalam potongan scene ini terlihat
anak kecil di sebuah swalayan
yang sedang melihat ke bagian
etalase mie instan.
2. Petanda
Secara bersamaan, dialog iklan
dimana anak kecil mengatakan
yaitu “kalau tanggal tua
makannya mie instan, kalau
mau nelpon bisanya cuma
miscall”.
3. Tanda Denotatif
Scene ini menceritakan seorang anak kecil yang mengkritik
dampak dari gaya hidup orang dewasa yang boros yang pada akhir
bulan hanya mampu makan dengan mie instan, ditambah lagi tidak
bisa membeli pulsa.
4. Penanda Konotasi
5. Petanda Konotasi
Scene ini memvisualisasikan
Kebutuhan primer seringkali
93
A Budi Susanto. 2005. Penghibur(an) Masa Lalu dan Budaya Hidup Masa Kini Indonesia.
Yogyakarta: Kanisisus. h. 78
95
realita masyarakat urban yang
disepelekan
sedangkan
tidak mampu memenuhi
kebutuhan sepele lebih di
kebutuhan hidup yang utama
tuhankan.
karena seringkali
memprioritasikan kebutuhan yang
semu.
6. Tanda Konotasi
Mie instan dan misscall mensatirkan gaya hidup konsumtif
masyarakat urban yang telah menjadi budaya pop.
7. Mitos
Scene ini berkaitan dengan mitos bahwa masyarakat kota
diidentikkan dengan perilaku yang boros.
Dalam potongan scene ini terlihat anak kecil di sebuah swalayan
yang sedang melihat ke bagian etalase mie instan. Secara bersamaan,
dialog iklan dimana anak kecil mengatakan yaitu “kalau tanggal tua
makannya mie instan, kalau mau nelpon bisanya cuma miscall”.
Secara denotasi, scene ini menceritakan seorang anak kecil yang
mengkritik dampak dari gaya hidup orang dewasa yang boros yang
pada akhir bulan hanya mampu makan dengan mie instan, ditambah
lagi tidak bisa membeli pulsa. Seperti yang telah digambarkan pada
scene-scene sebelumnya mengenai perilaku boros membeli secangkir
kopi mahal di kafe, yang mengakibatkan masyarakat tidak mampu
memenuhi kebutuhannya di masa-masa krisis seperti akhir bulan.
Scene ini memvisualisasikan realita masyarakat urban yang tidak
mampu memenuhi kebutuhan hidup yang utama karena seringkali
memprioritasikan kebutuhan yang semu. Selama hal yang dilakukan
dinilai mampu membuat dirinya eksis, masyarakat urban akan
96
cenderung terus menerus menghabiskan uangnya untuk membeli tren
gaya hidup yang sebetulnya bisa dijadikan nomor sekian.
Kebutuhan primer seringkali disepelekan sedangkan kebutuhan
sepele lebih di tuhankan. Mie instan dan misscall mensatirkan gaya
hidup konsumtif masyarakat urban yang telah menjadi budaya pop.
Berpenghasilan tinggi atau rendah bagi masyarakat urban yang telah
terjerumus pada konsumerisme gaya hidup tidak akan berpengaruh
pada
perilaku
boros
masyarakat.
Seperti
dalam
www.radarnusantara.com:
“Dengan semakin tingginya penghasilan mereka, maka semakin
tinggi pula nilai uang yang bisa mereka bisa gunakan unutk
dibelanjakan. Dunia konsumtif sudah menjadi kebiasaan hidup
sehari-hari.
Menurut
sejumlah
cendekiawan,
budaya
konsumerisme yang mewabah saat ini tidak terlepas dari
perkembangan budaya kapitalisme yang menempatkan konsumsi
sebagai titik sentral kehidupan dalam tatanan sosial masyarakat.
Masyarakat seakan-akan berlomba untuk menjadi manusia
konsumtif.”94
Scene ini berkaitan dengan mitos bahwa masyarakat perkotaan
terutama pekerja kantoran identik dengan perilaku yang boros.
Mengingat pembangunan fasilitas pembelanjaan diseluruh kota
bertujuan untuk memanjakan masyarakat untuk berbelanja. Bahkan
tanpa disadari oleh masyarakat selalu diposisikan sebagai konsumen
potensial
untuk
meraup
keuntungan
bisnis
Sang
Kapitalis.
Perkembangan kapitalisme global membuat dan seakan memaksa
94
http://www.radarnusantara.com/2012/05/gaya-hidup-metropolis-yang-konsumtif.html
97
masyarakat
pada
suatu
kondisi
dimana
seolah-olah
‘hasrat’
mengkonsumsi lebih diutamakan.95
4.3.7 Pembahasan 7
Gambar 4.7
Angle: Close Up
Tabel 4.7
Penerapan Peta Tanda Roland Barthes Pada Scene 7
1. Penanda
Dalam potongan scene ini terlihat
anak kecil di sebuah restoran
yang sedang memainkan sedotan
dalam minumannya dengan
ekspresinya yang jengkel.
2. Petanda
Secara bersamaan, dialog iklan
dimana anak kecil mengatakan
yaitu “jadi orang gede
menyenangkan, tapi susah
dijalani”.
3. Tanda Denotatif
Scene ini menceritakan seorang anak kecil yang mengkritik
kehidupan orang dewasa yang menyenangkan tapi juga sulit
dijalani.
4. Penanda Konotasi
5. Petanda Konotasi
Scene ini memvisualisasikan
Gaya
hidup
masyarakat
realita masyarakat perkotaan
perkotaan memiliki dua sisi,
95
http://www.radarnusantara.com/2012/05/gaya-hidup-metropolis-yang-konsumtif.html.
98
yang terbelenggu dalam gaya
menyenangkan namun sulit
hidup modern.
dijalani.
6. Tanda Konotasi
Di sisi lain, gaya hidup modern menjadi dilema kehidupan
masyarakat perkotaan itu sendiri.
7. Mitos
Scene ini berkaitan dengan anggapan masyarakat bahwa ia akan
mendapat sanksi sosial berupa pengucilan jika tidak mengikuti apa
yang dilakukan masyarakat komoditas.
Scene ini diambil berdasarkan teknik pengambilan gambar close
up. Dalam pengambilan gambar secara close up, tampilan background
menjadi hal kedua yang diperhatikan. Yang terpenting adalah profil,
bahasa tubuh dan emosi tokoh utama dalam bingkai gambar ini dapat
terlihat dengan jelas.96 Dalam hal ini ekspresi adalah bagian dari makna
sebuah pesan yang disampaikan.
Secara denotasi, scene ini memiliki makna tentang kehidupan
orang dewasa yang menyenangkan, tapi susah dijalani. Ekspresi dilema
anak kecil serta dialog “jadi orang gede menyenangkan, tapi susah
dijalani mengkonotasikan gaya hidup kaum urban yang beserta
dilemanya.
Disadari atau tidak disadari, selain dapat membuat masyarakat
menjadi masyarakat modern seutuhnya, gaya hidup kaum urban
memiliki sisi dilema yang melanda kelas sosial tertentu maksudnya
disini adalah kelas menengah bawah masyarkat perkotaan. Seperti yang
kita ketahui, tidak hanya kaum elit saja yang menjadi bagian dari gaya
96
Naratama. 2004. Menjadi sutradara televisi. Jakarta: Gramedia. h. 76.
99
hidup kaum urban, sebab gaya hidup kini bukanlah lintas kelas,
melainkan kebebasan yang menjadi hak golongan atau kelas manapun
sekalipun golongan menengah ke bawah.
Seperti menurut sosiolog UI, Himawan Wijanarko dalam artikel
yang dimuat dalam majalah Trust:
“Masyarakat Urban menurut peneliti dari Sosiologi UI, dapat
distratifikasikan dalam lima strata, yaitu lapisan elite, lapisan
menengah, lapisan peralihan, lapisan bawah, dan lapisan terendah.
Lapisan Elite Kota adalah lapisan teratas yang mempunyai
penghasilan tinggi, generasi mudanya memiliki gaya hidup
kosmopolit, mempunyai akses informasi dan politik yang sangat
besar, serta mobilitas lintas negara yang tinggi. Di bawahnya
terdapat lapisan menengah yang memiliki pendidikan yang lebih
tinggi walaupun secara finansial lebih rendah dari lapisan elit.”97
Lapisan terendah yang di maksud Himawan itulah yang
mengalami dilema dalam mengekspresikan gaya hidupnya. Kaum alay
misalnya, yang memaksakan diri untuk memperoleh eksistensisme diri.
Kalangan menengah atas biasanya “pamer” mobil mahal, sedangkan
kaum alay pamer dengan “motor-motoran”. Jika kaum menengah atas
suka nongkrong di ke kafe, kaum alay juga melakukan hal serupa,
namun bedanya di di tempat yang kelasnya berbeda, serta tidak dalam
lingkungan elit seperti mall, real-estate, dan sebagainya.
Bagi kelas menengah atas gaya hidup modern tidak akan
menimbulkan sisi dilema, karena mereka memiliki modal materi yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka baik kebutuhan materi
ataupun kebutuhan non materi. Namun bagi masyarakat yang
97
Himawan Wijanarko, Gaya Hidup dalam (dimuat dalam Majalah Trust)
http://www.jakartaconsulting.com/art-01-35.htm)
100
berpenghasilan terbatas, gaya hidup perkotaan akan menjadi sebuah
dilema sebab gaya hidup perkotaan identik dengan pemenuhan
kepuasan materi yang tak ada habisnya yang berujung pada tekanan
sosial.
“Situasi serupa itulah yang kini dihadapi seorang
Magdalena. Dia belum genap dua tahun bekerja di ibu kota.
Namun rupanya itu sudah cukup bagi karyawan di sebuah stasiun
televisi swasta ini untuk merasakan tekanan sosial hidup di kota
besar. Tekanan kerja tinggi dengan jadwal yang padat membuat
dia tak punya cukup waktu untuk bersantai.
Karakter orang yang umumnya cenderung individualis juga
membuat dia kesulitan menjalin interaksi. Sementara berdiam di
kos malah membuat suasana hatinya tambah galau. Untuk
mengusir stress, nongkrong di kafe dan bergawai ria menjadi
pilihan dara yang dibesarkan di Tasikmalaya ini. “Kalau
nongkrong di kafe, asalkan ada uang, membuat perasaan saya
lebih rileks,” ungkap dia.
Hanya saja, Magdalena cukup sadar untuk tidak larut ikut
arus gaya hidup kota besar. Karena itu, dia berusaha untuk tak
berganti-ganti gawai, betapa pun hal ini bakal membuatnya
disebut ketinggalan zaman. Kalau terus menuruti tuntutan gaya
hidup modern tak akan ada habisnya, begitu pikir perempuan
bernama lengkap Magdalena Windiana Siahaan ini. Walau
begitu, dia beranggapan jika bisa check in di sebuah tempat yang
dianggap keren di Facebook membuat dirinya bangga.”98
Tulisan di atas dikutip dari salah satu situs berita di internet yaitu
(www.intisari-online.com) yang melibatkan pendapat langsung dari
salah satu masyarakat yang mengalami dilema gaya hidup.
Paparan narasumber di atas membuktikan bahwa gaya hidup
urban tidak selalu menimbulkan kepuasan hidup, namun juga
menciptakan self-pressure atau kegelisahan. Menurut Kierkegaard,
98
Rusman Nurjaman. 2013. Dalam artikel “Gaya Hidup: Diikuti Salah, Ditinggal Juga Salah” dari
(http://www.intisari-online.com/read/gaya-hidup-diikuti-salah-ditinggal-juga-salah).
101
salah seorang filsuf humanisme, kegelisahan adalah pusat dari
kehidupan manusia modern.
“Menurut Kierkegaard, kehidupan ini sama sekali tidak memiliki
sisi nyaman dan menyenangkan. Kalaupun ada, kenyamanan dan
kesenangan tersebut hanyalah kepura-puraan yang dibuat manusia
untuk menutupi penderitaannya. Pada akhirnya, manusia tetap
akan kembali ke dalam keputusasaan akibat realitas yang tidak
bisa terelakkan. Dalam perspektifnya, kegelisahan dan
keputusasaan merupakan kondisi universal manusia. Kita
menderita baik ketika kita menghadapi sebuah masalah maupun
ketika kita tidak memiliki objek kegelisahan. Kierkegaard
mengatakan bahwa hal itu disebabkan oleh kegelisahan yang
sama sekali tidak objektif. Di dalam hati kecil kita, kegelisahan
itu bersifat subjektif.”99
Akar persoalannya terletak pada penafsiran yang keliru tentang
gaya hidup modern. Disini mindset gaya hidup yang hanya diidentikkan
dengan kesenangan hidup, status sosial, prestise, dan sejenisnya telah
mengakar pada kehidupan masyarakat perkotaan. Tidak peduli akan sisi
lain yang justru menimbulkan tekanan, gaya hidup modern telah
menjadi ideologi mayoritas masyarakat urban itu sendiri.
4.4 Kecerdikan Produk dalam Memanfaatkan Realitas Sosial Sebagai
Bentuk Persuasif Iklan
Dengan strategi kreatifnya dalam mengangkat realitas sosial gaya hidup
kaum urban, iklan operator selluler 3 (Three) pada dasarnya sama dengan
iklan-iklan lainnya yang masih berfungsi sebagai ajang berdagang produk dan
jasa, dimana pada kasus iklan operator selluler 3 (Three) iklan memiliki
tujuan komersial. Pada titik itulah sebuah iklan dapat dikritisi maknanya,
99
(http://syarifmaulana.blogspot.com/2013/05/kelas-filsafat-pertemuan-3.html)
102
terutama dalam hal realitas sosial yang berkaitan dengan karakteristik produk
serta segmentasi pasar. Iklan operator selluler 3 (Three) dapat dikatakan
cerdik sebab mampu mencari sebuah realitas sosial (gaya hidup kaum urban)
yang sangat berkaitan erat dengan karakteristik produk yaitu layanan selluler
dimana masyarakat urban merupakan segmentasi pasar yang sangat tepat
untuk produk tersebut.
Pada analisis scene ke 7 dimana disebutkan “kalau nelpon bisanya cuma
miscall”, iklan operator selluler 3 (Three) versi Indie+ menyindir secara
langsung bagaimana sulit dan mahalnya membeli pulsa. Iklan operator
selluler 3 (Three) versi Indie+ juga secara tidak langsung menyinggung
realita yang terkait dengan penggunaan pulsa yang cepat habis terutama saat
kondisi finansial kaum urban di akhir bulan yang semakin menipis.
Iklan 3 berusaha menyiratkan perbandingan antara mie instan dan pulsa.
Kalimat “kalau tanggal tua pagi siang sore makannya mie instan”
menggambarkan kondisi keuangan masyarakat perkotaan yang ketika akhir
bulan sudah menipis akibat dari gaya hidup yang konsumtif, materialis, dan
hedonis seperti yang dijelaskan dalam iklan, sehingga kaum urban cenderung
melakukan pemborosan ketika di awal bulan tanpa memikirkan dampak yang
terjadi ketika akhir bulan. Kaitannya dengan persuasif iklan yaitu
keistimewaan produknya yang bernama Indie+, dimana konsumen tidak perlu
khawatir tentang penggunaan pulsa ketika masa-masa pailit seperti slogan
produknya “pakai dulu, bayar kapan kamu suka”. Disini berarti 3 (Three)
menawarkan kemudahan untuk konsumen dari segi pemakaian dan juga
103
pembayaran dengan cost yang seminimal mungkin, terutama untuk
masyarakat urban yang sangat bergantung pada jasa komunikasi.
Gambar 4.8
Pada bagian akhir, iklan 3 (Three) versi Indie+ berusaha menyiratkan
pesan keluhan masyarakat urban dari kelas tertentu (kalangan menengah
bawah) dalam penggunaan pulsa. Hal ini dapat dilihat dari penanda
“misscall”. Miscall disimbolkan dengan keadaan ekonomi seseorang yang
terbatas untuk membeli pulsa. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, gaya
hidup masyarakat perkotaan tidak selalu menimbulkan kepuasan, namun juga
dapat menyebabkan kerugian serta kegelisahan bagi kelas tertentu karena
kaum urban tidak hanya terdiri kaum elit, namun juga kaum menengah bawah
yang memaksakan dirinya untuk masuk ke dalam golongan kaum urban yang
modern.
Iklan operator selluler versi Indie+ menawarkan layanan prabayar
dengan kenyamanan pascabayar dengan cost terjangkau namun kualitas yang
terlampau, dimana operator selluler 3 (Three) memberikan fasilitas layanan
operator selluler yang sama bagi kalangan menengah kebawah untuk
menikmati kenyamanan layanan operator selluler kalangan menengah atas.
104
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Penanda yang ada dalam iklan operator selluler 3 (Three) versi Indie+
adalah berupa tujuh scene iklan yang didalamnya terdapat anak-anak yang
membicarakan perilaku orang dewasa, dimana terdapat visualisasi adeganadegan yang menunjukkan perilaku-perilaku masyarakat yang tinggal di
kawasan perkotaan. Setting iklan mengambil latar perkotaan seperti lapangan
golf, kawasan perkantoran, gedung-gedung tinggi, kafe, dan swalayan
menjadi penanda yang lebih spesifik untuk menentukan makna pesan.
2. Petanda yang ada dalam iklan operator selluler 3 versi Indie+ adalah
berupa dialog yang memperjelas serta mempertegas maksud dari aspek visual
iklan. Dialog tersebut secara bersamaan mengiringi masing-masing scene
yang mewakili realitas gaya hidup kaum urban itu sendiri, seperti pemilihan
kata “eksmud” yang merupakan singkatan dari eksekutif muda mempertegas
penanda setting perkantoran, “nongkrong” yang mempertegas setting kafe,
“sukses” yang mempertegas setting lapangan golf, serta mie instan dan
misscall yang mempertegas perilaku konsumsi kaum urban.
3. Makna denotasi yang diungkapkan dalam iklan operator selluler 3 (Three)
versi Indie+ adalah anak-anak yang berkomentar mengenai rumitnya
perilaku-perilaku orang dewasa yang tinggal di kawasan perkotaan, seperti
lebih memilih berbicara menggunakan bahasa inggris, “nongkrong” agar
dilihat oleh orang lain, perilaku boros membeli secangkir kopi mahal di kafe,
105
sehingga pada akhir bulan mengalami krisis keuangan dan tidak bisa
memenihi kebutuhan sepele seperti pulsa, bahkan hanya bisa makan dengan
mie instan. Ditambah dengan sebutan eksekutif muda (pekerja kantoran) yang
begitu dinginkan sebagian besar orang dewasa karena dipandang sebagai
suatu pencapaian yang besar.
4. Makna konotasi dari pesan yang ada dalam pesan operator selluler 3
(Three) versi Indie+ yaitu mengenai gaya hidup masyarakat urban yang ironi.
“Orang dewasa” mengkonotasikan masyarakat komoditas yang tinggal di
kawasan perkotaan, hal ini diperkuat dengan penanda setting perkotaan pada
visualisasi iklan. Penanda dan petanda di atas mengkonotasikan perilaku serta
opini masyarakat urban dalam memandang sebuah kehidupan yang modern,
dimana penggunaan bahasa inggris mengkonotasikan suatu kelas, pekerjaan
kantoran yang mengkonotasikan status sosial yang tinggi, “nongkrong” yang
mengkonotasikan suatu eksistensi diri, serta perilaku konsumsi yang
mengkonotasikan prestise. Di satu sisi gaya hidup modern yang melanda
mayoritas masyarakat urban menjadi suatu ironi yang tidak terelakkan,
dimana masyarakat urban itu sendiri mengalami kesulitan bertahan dalam
lingkaran gaya hidup modern. Meskipun banyak dari masyarakat urban tahu
apa yang harus mereka lakukan bukanlah selalu hal yang mudah dan
menyenangkan, tapi tidak sedikit pula dari mereka yang memaksakan untuk
bertahan dalam lingkaran gaya hidup modern tersebut.
5. Mitos dari pesan yang ditampilkan operator selluler 3 (Three) versi Indie+
adalah mitos mengenai anggapan masyarakat perkotaan bahwa orang yang
106
mengikuti gaya hidup modern akan dinilai sebagai individu yang eksis,
berkelas, bergengsi, atau sebagainya. Sebaliknya, jika tidak mampu
mengikuti gaya hidup yang dianut sebagian besar masyarakat di lingkungan
sekitarnya (perkotaan), maka orang tersebut akan mendapatkan sanksi sosial
seperti dikucilkan oleh orang-orang sekitar, disebut ketinggalan zaman atau
“kuper” (kurang pergaulan), yang pada intinya mengakibatkan seseorang
tidak mendapatkan pengakuan di lingkungan ia bersosialisasi atau tinggal.
5.2 Saran
Dalam penelitian ini terdapat beberapa saran untuk berbagai
kepentingan. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Bagi Mahasiswa
a. Analisis pengaruh gaya hidup modern terhadap iklan dalam penelitian
ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Penelitian lain untuk lebih
memperdalam analisis memang sangat diperlukan pada kesempatan lain di
masa depan, terutama diperlukan kepekaan yang mendalam terhadap
perkembangan gaya hidup dan permasalahan sosial pada masyarakat.
3. Bagi Industri Kreatif
Pemahaman mengenai pengaruh gaya hidup modern terhadap visualisasi
iklan televisi akan membantu proses penciptaan iklan yang lebih matang
dan dekat dengan realita pada masyarakat. Hal ini berarti para pengiklan
harus dengan cermat dan apik mengangkat sebuah realitas sosial menjadi
sebuah pesan yang lebih menarik minat dan perhatian khalayak.
107
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Adi, Rianto. 2001. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit
Al-Fandi, Haryanto. 2011. Desain Pembelajaran yang Demokratis & Humanis.
Jogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Altstiel, Tom; dan Jean Grow. 2006. Advertising Strategy: Creative Tactics from
the Outside/In. Sage Publications.
Barker, Chris. 2011. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Barthes, Roland. 1967. Elements of Semiology. New York: Hill and Wang. (1967
edisi terjemahan Inggris oleh Annette Lavers dan Colin Smith diterbitkan
Jonathan Cape. (1973), edisi pertama di Amerika Serikat oleh New York:
Hill and Wang; tahun 2000 cetakan ke-22)
, 2009. Mitologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Birowo, M. Antonius. 2004. Metode Penelitian Komunikasi: Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta: Gitanyali.
Bourdieu, Pierre. 1984. Distintion: A Social Critique of the Judgment of Taste,
terjemahan Richard Nice. Cambridge. MA: Harvard University Press
Bungin, Burhan. 2001. Imaji Media Massa. Yogyakarta: Penerbit Jendela.
, 2009. Sosiologi Komunikasi. Jakarta : Kencana
Chaney, David. 1996. Lifestyles (Sebuah Pengantar Komprehensif). Yogyakarta:
Jalasutra.
Christomy, Tommy. 2004. Semiotika Budaya. Depok: UI.
CL, Bovee; dan WF Arens. 1986. Contemporary Advertising. Illinois: Invin
Homewood.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet ke-.
Jakarta: Balai Pustaka, 2005).
Emanuel Wora. 2006. Perenialisme Kritik
Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius
Atas
Modernisme
dan
108
Eriyanto. 2001. Pengantar Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:
Lkis.
Fiske, John. 1989. Understanding Popular Culture. London: Unwin Hyman
Gallion, Arthur and Simon Eisner. 1975. The Urban Pattern.
Hidayati, Khairul. M.Si dan Ricky Genggor, S.IP (ed). 2007. Sosiologi. Jakarta:
Esis.
Ishomuddin. 2005. Sosiologi Perspektif Islam. Malang: UMM Press
Jewler, A. Jerome Jewler and Bonnie L Drewniany. 2004. Creative Strategy in
Advertising. Wadsworth Publishing
Kartomihardjo, Suseno. 1988. Bahasa Cermin Kehidupan Masyarakat. Jakarta:
P2LPTK
Kauffman, Walter. 1956. Existentialism from Dostoevsky to Sartre. Cleveland:
The World Publishing Company.
Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Maltby, Richard. 1989. “Introduction” dalam Dreams for Sale: Popular Culture
in the 20th Century, disunting oleh Richard Malthy. London: Routledge
Marcuse, Herbert. 1964. One Dimensional Man. Boston: Beacon
Mulyana, Deddy. 2000. Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
McQuail, Denis. 1996. Teori Komunikasi Massa: Suatu pengantar. Jakarta:
Erlangga
Naratama. 2004. Menjadi sutradara televisi. Jakarta: Gramedia
Noth, W. 1990. Handbook of Semiotics. Bloomington/Indianapolis: Indiana
University Press.
Phillipson, R.H.L. 1992. Linguistics Imperialism. Oxford University Press.
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang dilipat : Tamasya Melampaui BatasBatas Kebudayaan. Bandung : Jalasutra.
, 2004. PosRealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika.
Yogyakarta: Jalasutra
109
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra. Metode Kritik dan
Penerapannya, Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Priandono, Tito Edy. 2014. Komunikasi Dalam Keberagaman. Bandung:
Departemen Ilmu Komunikasi FPIPS UPI.
Russel, J. Thomas; and W. Ronald Lane. 2006. Kleppner’s Advertising
Procedure, 14th edition. Prentice Hall, New Jersey.
Schiller, H. 1991. Not Yet The Post-imperial Era, In Critical Studies In mass
Communications. New York. Beacon press.
Setiaardja, A. Gunawan. 1990. Dialektika Hukum dan Moral Dalam
Pembangunan Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. h. 59.
Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi : Pemahaman Fakta Dan
Gejala Permasalahan Sosial Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta :
Kencana. Cet. I. 2011.
Severin, Werner J; dan James W. Tankard, Jr. 2011. Teori Komunikasi: Sejarah.
Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa. Jakarta: Kencana.
Shenk, David W. 2006. Ilah-ilah Global: Menggali Peran Agama-agama Dalam
Masyarakat Modern. (Diterjemahkan oleh Agustini Setiawidi). Jakarta:
Gunung Mulia.
Singarimbun, Masri. 1995. Metode Penelititan Survei, LP3S, Jakarta.
Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: Rosdakarya.
, 2009. Analisis Teks Media: Suatu pengantar. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Soekanto, Soerjono. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Soemanagara, Rd. 2008. Strategic Marketing Communication (Konsep Strategis
dan Terapan). Bandung: Alfabeta.
Storey, John. 2004. Teori Budaya dan Budaya Pop Memetakan Lanskap
Konseptual Cultural Studies. Yogyakarta: Qalam.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R&D). Bandung: Alfabeta.
Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda dan Pustaka Pelajar.
110
Susanto, Budi A. 2005. Penghibur(an) Masa Lalu dan Budaya Hidup Masa Kini
Indonesia. Yogyakarta: Kanisisus.
Storey, John. 2004. Teori Budaya dan Budaya Pop Memetakan Lanskap
Konseptual Cultural Studies. Yogyakarta: Qalam
Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan
Terapannya dalam Penelitian. Universitas Sebelas Maret: Surakarta.
Suyanto, Bagong. 2013. Sosiologi Ekonomi: Kapitalisme dan Konsumsi di Era
Masyarakat Post-Modernisme. Jakarta: Prenada Media.
Tinarbuko, Sumbo. 2008. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra.
Waluya, Bagja. 2007. Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat.
Bandung: Setia Purnama Inves
Wernick, Andrew. 1991. Promotional Culture: Advertising, Ideology and
Symbolic Expression. London: Sage publicarions
Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. 2011. Semiotika Komunikasi - Aplikasi Praktis
Bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Wibowo, Wahyu. 2003. Sihir Iklan “Format Komunikasi Mondial dalam
Kehidupan Urban Kosmopolit”. Jakarta: Gramedia.
Williams, Raymond. 1983. Pop Culture. London: Fontana
Yatim, Debra A. 1998. “Perempuan dan Media Massa, Oleh Pria untuk
Priakah?”, dalam Idi Subandi Ibrahim dan Hanif Suranto (Ed). Wanita dan
Media, Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru.
Bandung: Remaja Rosda Karya.
Jurnal dan Skripsi:
Mudjiyanto, Bambang & Emilsyah Nur. 2013. Semiotika Dalam Metode
Penelitian Komunikasi, Semiotics In Research Method of Communication.
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika
Makassar. Jurnal.
Padirman, Alfian. 2008. Budaya Nongkrong Di Kafe Mal Panakkukang
Makassar. Jurusan Antropologi FISIP UNHAS. Makassar. Skripsi.
Rosalina. 2012. MASKULINITAS PADA IKLAN TELEVISI (Analisis Semiotik
Iklan Produk Khusus Pria: Extra Joss, Surya Pro Mild dan Vaseline Men
Face Moisturiser). Skripsi.
111
Wijayanti, Kurnia. 2004. Fenomena Pusat Kebugaran dalam Perkembangan Kota
(Studi Kasus: Mall Puri Indah dan Fitness First Menara BCA Thamrin).
Skripsi.
Internet:
http://uinsby.ac.id/index.php/component/content/article/19-uinsa/kolomakademisi/84-life-style-dan-kapitalisme
http://tri.co.id/
http://radarmalang.co.id/golf-dan-araya-11560.htm
http://www.studymode.com/essays/Golf-Industry-In-Indonesia-Indonesian668443.html
http://www.antaranews.com/berita/300726/nongkrong-di-cafe-jadi-gaya-hidup
http://www.intisari-online.com/read/gaya-hidup-diikuti-salah-ditinggal-juga-salah
http://www.scribd.com/doc/33097846/David-Elkind
http://wartaekonomi.co.id/berita7570/kelas-menengah-menembus-bataskongkow-bagi-iii.html
http://www.jakartaconsulting.com/art-01-35.htm
http://news.okezone.com/read/2012/11/08/61/715809/ngobrol-di-warung-kopiokezone-beda
http://maulinniam.wordpress.com/2008/09/15/realita-iklan-antara-ada-dan-tiada/
http://sosiologibudaya.wordpress.com/2011/05/23/gaya-hidup-2/
http://ceritaanni.wordpress.com/2011/10/08/teori-humanistik-maslow-roger/
http://sherlyfirismapraselin.student.esaunggul.ac.id/files/2012/11/topik41024x721.jpg
http://syarifmaulana.blogspot.com/2013/05/kelas-filsafat-pertemuan-3.html
http://www.mediasemarangonline.com/2014/05/tren-nongkrong-bareng-di-kafemembeli.html
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/07/20/231528/KotaLayak-Anak-Penyelamat-Generasi-Bangsa
112
IKLAN 3 VERSI INDIE+ BESERTA KOMENTAR KHALAYAK
PENJELASAN PRODUK INDIE+
http://www.intisari-online.com/read/gaya-hidup-diikuti-salah-ditinggal-juga-salah
http://www.mediasemarangonline.com/2014/05/tren-nongkrong-bareng-di-kafemembeli.html
Daftar Riwayat Hidup
Data Pribadi
Nama
: Resti Septriana Putri
Jenis Kelamin
: Perempuan
Tempat, tanggal lahir
: Jakarta, 03 September 1992
Kewarganegaraan
: Indonesia
Status perkawinan
: Belum menikah
Agama
: Islam
Alamat rumah
: Perumahan Villa Bekasi Indah 2 Blok K3/34, Kel. Sumber
Jaya, Tambun - Bekasi
Telepon, HP
: 081912410355
08998681268
E-mail
: [email protected]
Pendidikan Formal :
1998 – 2004
: SDN Mangun Jaya 06, Tambun Selatan – Bekasi
2004 – 2007
: SMP Negeri 03 Tambun Selatan – Bekasi
2007 – 2010
: SMA Negeri 1 Tambun Selatan – Bekasi
2010 – Sekarang
: Program Studi Ilmu Komunikasi konsentrasi Humas
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang – Banten
Pengalaman Organisasi
:
-
Vocal Group di SMP Negeri 3 Tambun Selatan sebagai Anggota
-
Organisasi Jurnalistik di SMAN 1 Tambun Selatan sebagai Anggota
Prestasi :
-
Juara II Lomba Company Profile se-Banten.
Download