Ekonomi dan Diversifikasi Media Massa Formas Juitan Lase dan Adde Oriza Rio Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Indonesia Email: [email protected] dan [email protected] Abstract: This research tried to reveal how the process of diversification of mass media in Indonesia, particularly the print media to electronic media and digital were influenced by the power of the capital. Logically, mass media must expand to be able in media market. Because the media run by business logic, the media must be eager to have a lot of media units through diversification strategies, to create capital accumulation. By using the political economy theory, this study attempts to examine why the Media Group uses diversification and how the diversification process was carried out. The results showed that the Media Group did the diversify as a logical consequence of economic determinism to reap the benefits of advertising in the new media market opportunities, the consequences of media ownership that makes the media as a political instrument, and the consequences of the technological revolution that creates market opportunities for the segmented audience . Keywords: diversification, economic determinism, media group Abstract Penelitian ini mencoba mengungkap bagaimana proses terjadinya diversifikasi media massa di Indonesia khususnya media cetak ke media elektronik dan digital yang dipengaruhi oleh kekuatan modal. Untuk bisa bertahan di pasar media, maka secara logis sebuah media massa harus melakukan ekspansi. Karena media berjalan berdasarkan logika bisnis, maka sebuah media akan berambisi untuk memiliki banyak unit media melalui strategi diversifikasi, untuk menciptakan akumulasi modal. Dengan menggunakan Teori ekonomi politik media, penelitian ini mencoba menelaah mengapa Media Group menggunakan diversifikasi dan bagaimana proses diversifikasi itu dilaksanakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Media Group melakukan diversifikasi sebagai konsekuensi logis dari determinisme ekonomi untuk meraih keuntungan iklan dari peluang pasar di media baru, konsekuensi kepemilikan media yang menjadikan media sebagai instrumen politik, dan konsekuensi revolusi teknologi yang menciptakan peluang pasar yakni khalayak yang telah tersegmentasi. Kata Kunci: diversifikasi, determinisme ekonomi, media group Persaingan media pun menjadi sangat ketat, sementara media tidak hanya bisa hidup dari idealisme Media massa kini tidak lagi dianggap sebagai dan mengusung kepentingan publik, karenanya media entitas tunggal institusi masyarakat, hal ini dipengaharus memiliki basis ekonomi yang kuat. Untuk dapat ruhi oleh beberapa faktor di antaranya, (1) Perubahan bertahan, media melakukan kreativitas ekspansi. Tren media massa yang menjadi industri; (2) Perubahan yang tampak adalah media melakukan spasialisasi sistem politik yang turut mengubah kebijakan media; baik dalam bentuk integrasi horizontal maupun intedan (3) Dorongan revolusi teknologi yang turut megrasi vertikal (Mosco, 2009) dan dalam bentuk divermengaruhi pertumbuhan dan penyebarluasan usaha sifikasi (Noor, 2010). media massa. Masuknya unsur modal, juga menghaBeberapa kelompok usaha media, seperti MNC ruskan media massa memikirkan pasar demi memGroup, Bakrie Group, Trans Corporation, Jawa Pos peroleh keuntungan, baik dari penjualan maupun dari News Network, Media Group, dan Kompas-Gramedia iklan. Pendahuluan 15 JURNAL INTERAKSI, Vol III No.1, Januari 2014 : 15-23 Group tengah melakukan ekspansi horizontal, vertikal dan diversifikasi untuk memperkuat dan memperluas jaringan medianya. Kompas-Gramedia Group sendiri menerapkan horizontal dan vertikal dalam memperluas jaringan medianya. Ia tidak hanya bergerak di bidang usaha media di mana telah memiliki 9 suratkabar, 5 tabloid, 14 majalah, 3 radio dan 1 televisi, tetapi ia juga bergerak di bidang penerbitan buku, perusahaan perjalanan wisata, hotel supermarket, asuransi, bank, industri periklanan, tambak udang, mebel rotan, pabrik tisu, perusahaan perfilman, dan lembaga pendidikan. Ini artinya, Kompas-Gramedia Group tidak hanya melakukan perluasan usaha dalam core media saja, tetapi juga di luar core bisnis media. Demikian juga dengan Media Indonesia di bawah holding Media Group yang melakukan spasialisasi ke bisnis lainnya di luar core bisnis media, tetapi dalam core bisnis media, Media Indonesia konsisten melakukan diversifikasi ke media elektronik yaitu Metro TV, kemudian ke media online yaitu www. mediaindonesia.com dan www.metrotvnews.com. Dalam penelitian ini, penulis meneliti proses diversifikasi yang dilakukan oleh korporasi Media Group, di mana diversifikasi menjadi strategi yang digunakan oleh manajemen media untuk meningkatkan peluang usaha dan keuntungan. Penelitian ini hanya berfokus pada bentuk-bentuk pengambilan kebijakan manajamen Media Group sendiri yang memilih melakukan diversifikasi sebagai strategi ekspansi medianya dibandingkan menggunakan strategi ekspansi lain seperti meger dan akuisisi. Selain itu, penelitian ini juga akan dibatasi hanya pada bentuk diversifikasi pada core media. Penelitian ini dilakukan ketika Media Group mulai melakukan ekspansi ke media elektronik, hingga merambah ke media online. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perumusan masalah dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: Mengapa Media Group memilih diversifikasi menjadi strategi ekspansinya? Bagaimana diversifikasi itu berlangsung? Bagaimana implikasi diversifikasi yang dilakukan Media Group terhadap kepentingan ekonomi dan politik? dalam menyebarluaskan unit usaha dan pengaruhnya dalam pasar media serta masyarakat. Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu sumbangan pemikiran tentang pengaplikasian Teori Ekonomi Politik Media dalam bidang Ilmu Komunikasi. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pemikiran kepada pihak-pihak tertentu, baik di lingkungan universitas, pengambil kebijakan dan pengamat media terkait dengan persoalan yang tampak selama ini dilakukan media massa melalui strategi diversifikasi untuk melakukan ekspansi media massa di Indonesia. Sementara pada lingkup sosial, penelitian ini memberikan gambaran bahwa diversifikasi media massa bisa menjadi hal yang positif dan juga negatif bagi masyarakat. Dengan banyaknya ragam pilihan media bagi masyarakat maka suguhan informasi juga semakin beragam. Masyarakat dapat bebas memilih apa saja yang dia inginkan dan tersedia. Tetapi, hal ini menjadi negatif jika diversifikasi media massa ini hanya dimonopoli oleh satu pemilik saja, karena dikelola di dapur yang sama. Sehingga infomasi yang disuguhkan juga terbatas dan yang terjadi adalah homogenisasi konten. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber pengetahuan bagi masyarakat untuk lebih kritis dalam memilih dan melihat informasi yang disuguhkan oleh media-media tersebut. Kerangka Pemikiran 1. Teori Ekonomi Politik Media Menurut Mosco (2009:129) ekspansi media menghasilkan kekuatan yang lebih besar lagi dalam mengendalikan masyarakat melalui sumber-sumber produksi media berupa teknologi, jaringan dan lainnya. Selain itu tentunya juga profit bagi pengusaha. Memang diakui bahwa industri komunikasi massa tidak menghindari tuntutan faktor ekonomi dan politik. Dalam pendekatan ekonomi politik media dapat dilihat bahwa faktor produksi, distribusi dan konsumsi media massa merupakan proses timbal balik yang terus menerus dialami oleh setiap pelaku dan organisasi media massa. Menurut Mosco (2009), ada tiga entry point dalam kajian ekonomi politik komunikasi yaitu komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi. Komodifikasi Signifikansi Penelitian berbicara tentang bagaimana upaya mengubah apapun Dalam tataran akademis penelitian ini memba- menjadi komoditas atau barang dagangan sebagai alat has bagaimana berlangsungnya diversifikasi di me- untuk mendapatkan keuntungan. Spasialisasi berkaidia massa yang digunakan sebagai strategi ekspansi tan dengan sejauh mana media mampu menyajikan 16 Formas Juitan Lase dan Adde Oriza Rio, Ekonomi dan Diversifikasi Media Massa produknya di depan audiens dalam batasan ruang dan waktu. Pada taraf ini maka struktur kelembagaan media, menentukan perannya di dalam memenuhi jaringan dan kecepatan penyampaian produk media di hadapan khalayak. Sedangkan, strukturasi dijelaskan sebagai proses di mana struktur sosial saling ditegakkan oleh para agen sosial, dan bahkan masing-masing bagian dari struktur mampu bertindak melayani bagian yang lain. Strukturasi menjelaskan tentang relasi ide antaragen masyarakat, proses sosial dan praktik sosial. Namun, dalam penelitian ini untuk menguji proses penyebarluasan usaha sebagai strategi kebijakan media yang digunakan adalah spasialisasi. ratkabar, televisi dengan televisi menggabungkan kekuatan. Strategi ditujukan untuk memperluas pangsa pasar dan merasionalisasi sumber daya dan keuntungan skala ekonomi. Kedua, ekspansi secara vertikal, melalui merger yakni dua atau lebih perusahaan media yang berlainan jenisnya, namun berkaitan satu sama lain, misalnya suratkabar dengan percetakan sehingga lebih terintegrasi. Dengan terintegrasi usaha media secara vertikal mulai dari hak cipta, biaya produksi, distribusi, ritel hingga format output, menjadi berkurang. Selain itu, juga memberikan peluang bagi perusahaan untuk mengontrol seluruh akses pasar. Ketiga, ekspansi secara diagonal atau lateral adalah ekspansi terjadi ketika perusahaan media melakukan 2. Diversifikasi, Spasialisasi dan Teknologi diversifikasi ke bidang bisnis baru seperti dari media Penyebarluasan usaha media dilakukan karena cetak ke media elektronik atau kedua-duanya melakuadanya ruang dan waktu yang tersedia sebagai pelu- kan diversifikasi ke media baru.” Dalam penelitian ang untuk memperluas usaha. Ruang dan waktu ini ini, yang digunakan adalah konsep diversifikasi yang dalam bahasa Mosco disebut spasialisasi. Mosco, kemukakan oleh Henry Faisal Noor. (2009: 159) menjelaskan bahwa spasialisasi adalah “The process of overcoming the constraints of space Metode Penelitian and time in social life”. Sementara, seorang sosiolog Penelitian ini menggunakan pendekatan kualiPrancis, Henri Levebfre (dalam Mosco, 2009:157) tatif. Pemilihan informan dilakukan dengan mengguberpendapat bahwa spasialisasi adalah “The institu- nakan purposive sampling. Informan dalam penelitian tional extension of corporate power in the commu- ini adalah Direktur Pemberitaan di Media Indonesia nication industry”. Bahwa spasialisasi merupakan yang juga menjabat sebagai anggota Dewan Redaksi proses perpanjangan institusional media melalui ben- Media Group. Selain itu, sumber data primer yang lain tuk korporasi dan besarnya badan usaha media. didapatkan dari hasil wawancara dengan pengamat Mosco menjelaskan bahwa ukuran badan usaha media yaitu Ade Armando yang juga mantan anggota media dapat bersifat horizontal maupun vertikal. In- KPI. Data primer diperoleh dari hadil wawancara tegrasi horizontal diartikan ketika pengusaha media mendalam (In-Depth Interview), dan data sekunder membeli atau menggabungkan berbagai jenis media menggunakan bahan dari dokumen, surat kabar, madalam satu kontrol kepemilikan. Ciri tipikal integrasi jalah. Analisis data yang digunakan adalah analisis ini adalah pembelian yang dilakukan pemilik media data kualitatif dari Miles dan Huberman yang terdiri konvensional seperti suratkabar terhadap televisi dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan maupun media online. Artinya, bentuk badan usaha yaitu: reduksi data, penyajian data, penarikan kesimmedia tersebut adalah bentuk-bentuk konglomerasi, pulan/verifikasi (Miles dan Huberman, 1992:16). dan monopoli. Sementara proses spasialisasi yang bersifat vertikal adalah proses penyebarluasan usaha Hasil Penelitian dan Pembahasan media antara induk perusahaan dan anak perusahaanMedia Indonesia sebelumnya adalah milik Teunya yang dilakukan dalam satu garis bisnis untuk ku Youslah Syah yang didirikan pada tahun 1969, memperoleh sinergi, terutama untuk memperoleh dan mulai terbit pada tanggal 19 Januari 1970 denkontrol dalam produksi media (Mosco, 2009:159). gan jumlah empat halaman. Tetapi, tidak lama kemuSementara, menurut Henry Faisal Noor (2010: dian, Media Indonesia mengalami persoalan keuan85) menjelaskan penyebutan lain atas bentuk-bentuk gan yang berat. Pada saat itulah, Surya Paloh yang spasialisasi yang dilakukan oleh media massa, yakni juga sedang mencari SIUPP baru untuk suratkabarnya dalam bentuk horizontal, vertikal dan diversifikasi. Prioritas yang diberedel pada tanggal 29 Juni 1987, “Pertama, ekspansi secara horizontal, melalui merger menyuntikkan dana ke Media Indonesia dari perusayakni dua atau lebih perusahaan media yang sejenis, haannya PT Surya Persindo. Media Indonesia kemumisalnya radio dengan radio, suratkabar dengan su- dian menjalin kerja sama dengan Surya Paloh sebagai 17 JURNAL INTERAKSI, Vol III No.1, Januari 2014 : 15-23 salah satu pemiliknya. Sejak Media Indonesia ditangani oleh tim manajem Surya Paloh di bawah payung PT Citra Media Nusa Purnama, visi dan misi yang diusung tidak bisa dipisahkan dari andil Surya Paloh. Antara Prioritas dengan Media Indonesia memiliki kesamaan alih-alih Media Indonesia adalah Prioritas yang hidup kembali dengan wajah baru. Pada tahun 1985, Surya Paloh melebarkan sayap usahanya di bisnis percetakan dengan mendirikan PT Surya Persindo, di bawah payung inilah Prioritas berkembang menjadi suratkabar yang cukup gemerlap pada saat itu. Namun setelah Prioritas diberedel, Surya Paloh tetap berkiprah ke bisnis media ini dengan menjalin kerja sama pada bulan Januari 1988 dengan penerbit majalah hiburan yang sirkulasinya mencapai 12.000 yaitu Majalah Vista. Setelah menyuntikkan dana sebesar Rp 11,5 miliar, Surya Paloh memulai diversifikasi pertamanya dengan menjadikan Majalah Vista menjadi Vista TV. Seiring berkembang usaha medianya, Surya Paloh akhirnya menemukan SIUPP baru dari suratkabar yang didirikan oleh Teuku Yousli Syah, Media Indonesia. Pada tanggal 11 Maret 1989, Media Indonesia diluncurkan dengan posisi Surya Paloh sebagai direktur utamanya. Manajemen Media Indonesia membuat beberapa strategi untuk memimpin pasar media, yaitu dengan menjalin kerja sama dengan sejumlah perusahaan taksi, dan menggarap pembeli impulsif di jalan-jalan. Kurang lebih 20 bulan, strategi tersebut menuai hasil dengan meningkatnya jumlah sirkulasi yang mencapai 85.000 per hari (Hill, 2011:111). Bersama PT Surya Persindo, Surya Paloh telah memulai diversifikasi usahanya ke media eletronik yaitu Vista TV. Tidak puas dengan itu, ia kemudian melakukan ekspansi vertikal ke penerbitan di daerah. Di tahun 1989-1990, ia menanamkan modal berbentuk asistensi redaksional dan manajemen terhadap 10 penerbitan lokal di Banda Aceh (mingguan Peristiwa dan Aceh Pos), di Medan (harian Mimbar Umum), di Padang (harian Semangat), di Palembang (Sumatera Express), di Sumatera Selatan (harian Lampung Pos), di Bandung (harian Gala), di Yogyakarta (harian Yogya Post), di Pontianak (Dinamika Berita), di Manado (Cahaya Siang), dan di Denpasar (Nusa Tenggara, lebih dikenal dengan nama Nusa) (Hill, 2011:112). Di antara media yang ia suntikkan dana, hanya Lampung Pos yang bertahan, dimana posisinya sekarang berada di bawah payung Media Group. Sementara yang lain gagal tercapai, meskipun Surya Paloh telah mengeluarkan biaya sebesar Rp 100 juta per bulan untuk semua suratkabar tersebut (Hill, 2011:112). 18 Konsekuensi Determisme Ekonomi: Ruang Baru sebagai Pasar Baru Pada tahun 1998 ketika jatuhnya rezim Orde Baru yang menandai era reformasi itulah yang memberi peluang bagi Media Group untuk melakukan diversifikasi usahanya lagi. Pada masa itu ratusan surat kabar dan beberapa stasiun televisi mulai bermunculan. Diversifikasi ini dilakukan untuk memenangkan pertarungannya di pasar media agar tidak tersingkir dari para kompetitor media lainnya yang juga terus melakukan ekspansi. Peluang yang dihadirkan oleh situasi politik yang memungkinkan untuk memiliki banyak media juga menjadi sebuah peluang yang sangat baik. Dan pada saat itu, Media Group melihat televisi menjadi peluang utama yang bisa mendatangkan keuntungan yang lebih besar, sementara medium lain seperti media online, pergerakannya belum semasif sekarang ini. Hal ini terbukti dengan strategi ekspansi yang dilakukan oleh Media Indonesia di bawah Media Group yang melakukan ekspansi diagonal atau diversifikasi pada media elektronik dengan mendirikan Metro TV pada 2000. Dalam sisi ekonomi, diversifikasi menjadi penting untuk dilakukan mengingat peluang pasar yang bisa mendatangkan keuntungan yang berlipat ganda dari tarif iklan. Dengan memiliki banyak media yang saling bersinergi maka biaya produksi lebih efesien, dan keuntungan menjadi bertambah. Pelipatgandaan keuntungan menjadi salah satu tujuan dilakukannya diversifikasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Stanley J. Baran dan Dennis K. Davis (2012:49) yang mengatakan: “To survive, older media corporations are forced into cutthroat competition with each other and with the companies that use new technology to deliver content to audiences. Most corporations controlling network television have already diversified their holdings and purchased companies that operate the new media.” Media Group menunjukkan secara terbuka bahwa motif utama dilakukannya diversifikasi usaha medianya adalah untuk kepentingan ekonomi. Secara umum, diversifikasi dilakukan tidak sekedar memenuhi kebutuhan ekonomi tetapi lebih kepada profit oriented. Diversifikasi ke media televisi seperti yang diprediksi oleh Media Group akan perolehan iklan yang lebih tinggi, menunjukkan pendapatan iklan bersih di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di Asia. Dan pendapatan tersebut terus bertambah setiap tahun, dengan jumlah terbesar datang dari industri pertelevisian. Formas Juitan Lase dan Adde Oriza Rio, Ekonomi dan Diversifikasi Media Massa Media Group tidak bisa memungkiri diversifikasi yang dilakukan adalah untuk mencari pasar baru. Ini berarti bahwa peluang pasar media cetak semakin sempit karena persaingan dengan grup media lain. Tentu juga dipengaruhi oleh menjamurnya media-media ‘baru’. Meskipun Metro TV mengklaim dirinya sebagai satu-satunya televisi berita (news television) pelopor pertama pada industri pertelevisian Indonesia, persaingan televisi berita sekarang ini sudah mulai terasa dengan kehadiran TV One milik Bakrie Group. Televisi yang telah hadir sebelumnya, seperti RCTI, SCTV, ANTV, Indosiar dan TPI adalah televisi komersial dan lebih mengedepankan program hiburan. Pendapatan terbesar Metro TV berasal dari iklan. Ini berarti, Metro TV sebenarnya sangat menggantungkan diri dari perolehan iklan untuk bisa memenuhi kebutuhan ekonominya serta biaya produksi dan distribusi. Karena itu diversifikasi menjadi jelas sebagai konsekuensi logis bagi Media Group semata-mata untuk memperoleh keuntungan dari iklan. Selain untuk mencari keuntungan dari iklan, tujuan diversifikasi juga dilakukan untuk mengefesiensi biaya produksi serta memperluas kekuasaan dan pengaruhnya di pasar media. Diversifikasi yang dilakukan oleh Media Group adalah semata-mata karena konsekuensi logis dari determinisme ekonomi yang mendesak atas persaingan dalam kontestasi pasar media, sehingga ketika media melakukan ekspansi bisa dipastikan akan terus melakukan aktifitas-aktifitas yang mengefesiensi biaya produksi baik dengan melakukan komodifikasi konten maupun sinergi-sinergi program media yang mengarah pada perolehan iklan yang berlipat ganda. Media Group memperluas bisnisnya dengan masuk ke ranah media lain untuk memastikan bahwa medianya bisa tetap eksis pada persaingan di bisnis media ini dan dapat memiliki cakupan bisnis yang lebih luas. Kemudian, pakem permainan bisnis dipraktekkan di mana produksi massal dari konten digunakan ke semua unit media untuk menjaga biaya produksi secara keseluruhan tetap rendah. Dengan demikian, program-program yang ada di Media Indonesia juga dapat ditayangkan di Metro TV dan di media onlinenya, baik www.mediaindonesia.com maupun www.metrotvnews.com, akibatnya diversity of content menjadi hilang karena hanya menayangkan konten yang sama di media yang berbeda. Padahal, diversity of content merupakan suatu hal yang penting dalam mempertahankan fungsi media untuk kepentingan publik. Hal ini sesuai dengan gagasan Saverin dan Tankard (2011:433) yang menjelaskan bahwa gagasan sinergi atau ide yang menumbuhkan interaksi antara kegiatan tambahan yang diperoleh atau karena dilakukannya diversifikasi, merger dan akuisi akan menimbulkan peningkatan efek gabungan. Secara kritis, hal ini tidak hanya dilihat sebatas sinergitas, tetapi mernjadi salah satu faktor pendorong yang memunculkan komodifikasi konten seperti yang diyakini Murdock (1997) bahwa dalam sistem budaya yang dibangun di sekitar sinergi tidak berarti berbeda, hal tersebut berarti komoditas dasar yang sama muncul di pasar yang berbeda dan dalam bentuk yang seragam (dalam McQuail, 2011:259). Setelah melakukan diversifikasi ke media elektronik, Media Group terus merambah ke media online dengan menerbitkan mediaindonesia.com dan metrotvnews.com. Gagasan McLuhan bahwa media baru sering memanfaatkan media lama di mana isinya (konten) juga dapat diterapkan pada internet. Beberapa penulisan telah mendokumentasikan kecenderungan suratkabar online untuk mengemas kembali materi-materi dari suratkabar cetak (Gubman dan Greer, 1997; Tandkard dan Ban, 1998 dalam Werner J. Severin, 2009:458). Inilah yang dipraktekkan oleh Media Group dalam melebarkan sayap dan meraih segmentasi baru yaitu pasar media baru, di mana sekarang ini jumlah pengguna internet semakin meningkat. Pada tahun 2011, dari 238.600.000 jiwa penduduk Indonesia sebanyak 39.600.000 jiwa atau sekitar 16,5 persen penduduk telah menjadi pengguna internet. Jumlah tersebut diperkirakan akan semakin meningkat dengan semakin banyaknya wilayah di Indonesia yang terakses jaringan internet (Kominfo, 2011). Jumlah pengguna internet yang mencapai 16,5 persen penduduk Indonesia itu yang diperebutkan oleh para pengelola media online. Bisa dikatakan pasar media baru memiliki biaya produksi yang rendah, sementara keuntungan yang dihasilkan dari iklan lebih besar, apalagi yang memiliki sinergi dengan media cetak dan media elektronik seperti Media Indonesia dan Metro TV. Konsekuensi Kepentingan Pemilik: Pemanfaatan Media sebagai Instrumen Politik Tujuan lain dari strategi diversifikasi ini adalah tentu untuk kepentingan agenda politik pemilik media. Altschull (1984) mengatakan bahwa pemilik media sangat menentukan sifat media. Konten media selalu mencerminkan kepentingan mereka yang 19 JURNAL INTERAKSI, Vol III No.1, Januari 2014 : 15-23 membiayainya (dalam McQuail, 2011:254). Tidak sedikit dari pemberitaan Media Indonesia, Metro TV, dan media onlinenya memberikan ruang lebih banyak terhadap berita-berita menyangkut kepentingan Surya Paloh. Berita mengenai Partai Nasional Demokrat yang sekarang ini sedang memekarkan diri ke daerah-daerah menjadi salah satu agenda politik yang menggunakan media tersebut sebagai instrumennya. Jika merunut seperti yang dikatakan oleh Nimmo, bahwa efek penggambaran realitas politik oleh media massa pertama-tama, berkenaan dengan citra suatu kekuatan dan atau para aktor politik, tetapi selanjutnya diyakini berpengaruh pada kehidupan politik secara nyata (Nimmo dalam Hamad, 2004:30). Meskipun tidak diakui secara terang-terangan, tetapi pola pemberitaan Media Indonesia, Metro TV dan media onlinenya menunjukkan secara gamblang kepentingan Surya Paloh sangat dominan. Keberanian melakukan diversifikasi usaha media dimana merambah ke media elektronik adalah salah satu wujud dukungan kekuatan politik bagi Surya Paloh. Melihat posisi Surya Paloh sebagai pemilik tunggal Media Group, latar belakangnya sebagai seorang pengusaha dan politisi dapat diuraikan bahwa sebagai pendiri sekaligus Pemimpin Umum Partai Nasional Demokrat memiliki relasi erat dengan sejumlah pemberitaan Media Indonesia, Metro TV maupun di media onlinenya dalam pemberitaannya. Dan jelas bahwa Surya Paloh menggunakan medianya untuk kepentingan agenda politiknya. Padahal ketika bicara media massa, meskipun hal itu tidak bisa dilakukan, apalagi menyangkut televisi karena ia menggunakan frekuensi yang adalah milik publik dan lebih penting lagi, televisi-televisi yang bersiaran ini memiliki tugas untuk kepentingan publik, sehingga mereka seharusnya mempertimbangkan dalam memproduksi informasi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dalam pandangan Westerstahl, media massa berkewajiban untuk menyediakan pasokan yang menyeluruh atas berita yang relevan dan objektif dalam artian memiliki bentuk yang faktual, akurat, jujur, utuh, dan jujur terhadap realitas, dan dapat diandalkan dalam artian dapat diperiksa dan memisahkan antara fakta dan opini. Informasi harus berimbang dan adil (tidak memihak), melaporkan sudut pandang alternatif dan penafsiran dengan acara yang sedapat mungkin tidak sensasional atau bias (McQuail, 2011:224). Ini jelas menunjukkan telah merebut kesempatan publik untuk memahami dunia yang sebenarnya (Badgikian, 2004: xviii). Dengan begitu, ia menyem20 bunyikan informasi yang mungkin penting bagi publik. Kita melihat saat ini, bagaimana pemilik media menggunakan medianya sebagai alat untuk menyampaikan kepentingan-kepentingannya. Situasi ini semakin memburuk ketika pemilik media juga menjadi politisi dan menggunakan media sebagai alat kampanye politik untuk mempengaruhi opini publik, dan ini mempengaruhi netralitas dari media. Hal ini mendukung mereka untuk memaksimalkan tingkat profit mereka, sementara mereka tidak terlalu peduli dengan faktor-faktor lain seperti keadaan sosial, lingkungan, kebudayaan dan lain-lain. Konsekuensi Revolusi Teknologi: Terciptanya Ruang Baru Perkembangan teknologi komunikasi juga menjadi faktor pendorong dilakukannya diversifikasi unit media. Perkembangan teknologi yang diikuti oleh perubahan-perubahan sosial serta hadirnya ruang baru dalam hal ini khalayak di media baru—menjadi sebuah peluang usaha untuk melakukan morfosis. Media Group melakukan diversifikasi ke media eletronik dan media online sekarang ini semata-mata karena menjadi keharusan bagi setiap media, kalau tidak maka ia akan tertinggal karena tersaingi oleh kompetitor lain yang juga masif membuka media online. Fidler telah mengungkapkannya, bahwa media berevolusi menuju daya tahan hidup yang lebih tinggi dalam sebuah lingkungan yang selalu berubah (dalam Severin Tankard, 2011:459). Lingkungan yang dimaksud Fidler adalah masyarakatnya yang berangsur-angsur beralih ke masyarakat informasi yang peka terhadap perkembangan teknologi dan menggunakannya untuk mengakses informasi. Dalam pandangan Winston (dalam Fidler, 2003: 29) juga mengatakan akselerator yang mendorong perkembangan berbagai teknologi media baru adalah kebutuhan sosial yang muncul akibat perubahan (supervening social necessities). Ini dipahami sebagai “hubungan timbal balik antara masyarakat dan teknologi”. Kebutuhan ini berasal dari kebutuhan perusahaan, tuntutan akan teknologi lain, penetapan regulasi/hukum, dan kekuatan-kekuatan sosial. Selain itu, t������������������������������������������ eknologi komunikasi tidak bisa dipisahkan dengan proses industrialisasi. Seluruh alasan ekonomi dalam industri mendapatkan alat untuk semakin memantapkan posisi ekonomi dalam teknologi (Albaran, 1996:37). Perkembangan media online sekarang ini mengalami peningkatan yang sangat masif. Asosiasi Peny- Formas Juitan Lase dan Adde Oriza Rio, Ekonomi dan Diversifikasi Media Massa edia Jasa Internet Indonesia (APJII) melaporkan bahwa angka pengguna internet meroket dari setengah juta pada tahun 1998 menjadi 4,5 juta di tahun 2002 – naik sebesar 770%; dan hampir menjadi dua kali lipat dari 16 juta pada tahun 2005 ke 31 juta di tahun 2010 (APJII, 2010). Kementerian Komunikasi dan Informasi bahkan melaporkan angka terakhir pengguna Internet mencapai 45 juta atau 18% dari total penduduk (Kominfo, 2011). Diversifikasi Sebagai Upaya Penetrasi Pasar Morfosis yang dilakukan oleh Media Group melalui strategi diversifikasi adalah sebuah konsekuensi logis ketika media dilihat dalam logika bisnis, kepentingan pemilik dan dorongan teknologi. Ketiga faktor tersebut memiliki hubungan timbal balik yang erat terhadap ruang dan peluang yang hadir di masyarakat Indonesia yang semakin mengalami peningkatan terhadap akses informasi. Dampaknya terhadap masyarakat juga harus diakui. Perkembangan teknologi menjadikan khalayak semakin terfragmentasi, segmennya semakin dibatasi menjadi lebih sempit (Baran, 2012:63) berdasarkan karakteristik media massanya. Hal ini yang kemudian menjadikan pengusaha media berambisi untuk memiliki semua jenis media massa dalam konteks menjangkau segmen-segmen masyarakat yang terfragmentasi tersebut. Tentu hal ini tidak lepas dari logika bisnis yang kemudian mendorong pemanfaatan secara maksimal berbagai sinergitas baik isi media, iklan maupun biaya produksi yang kemudian memunculkan yang namanya konvergensi. Dampak Ekonomis dan Politik A.J. Liebling seorang kolumnis veteran New Yorker pada sebuah majalah sering menyatakan bahwa kebebasan pers dijamin hanya bagi mereka yang memilikinya (Baran, 2012:410). Pernyataan tersebut sekaligus menegaskan penelitian ini bahwa ekspansi yang dilakukan oleh media massa membawa dampak besar bagi masyarakat. Akibatnya, tren ekspansi media massa membawa konsekuensi ke arah konsentrasi kepemilikan media yang dapat merugikan masyarakat. Pertama, terjadinya keseragama program Media Indonesia, Metro TV dan media onlinenya. Kedua, menurunnya kualitas konten, karena informasi dan berita yang ditayangkan seragam. Maka tidak ada sumber berita yang bisa menjadi pembanding untuk diakses oleh masyarakat. Padahal jika ketiga jenis media itu bisa bekerja berdasarkan kebijakan newsroom- nya masing-masing maka seharusnya satu peristiwa yang diliput oleh tiga jurnalis pasti akan menghasilkan berita yang berbeda, sehingga berita dan informasi tersebut semakin kaya untuk bisa diakses oleh masyarakat. Apa yang dikhawatirkan oleh Lowry Mays menjadi terbukti dengan tren konsentrasi tersebut. Ia mengatakan kita tidak berada di dalam bisnis media yang menyediakan berita dan informasi. Kita hanya berada dalam bisnis yang menjual produk kepada konsumen (Higtower 2004 dalam Baran, 2012:59). Akibatnya Media Indonesia, Metro TV tidak lagi berfungsi untuk menyediakan informasi berkualitas kepada publik, tetapi lebih kepada bagaimana konten yang dikemas bisa dikomparasikan guna efesiensi biaya produksi dan bagaimana bisa mendapatkan keuntungan yang bersinergi dari iklan. Ketiga, makin sempitnya ruang kebebasan pers karena konsentrasi kepemilikan. Kebebasan media massa itu adalah hasil perjuangan untuk digunakan sebagaimana fungsinya sebagai mata telinga masyarakat dalam memperoleh informasi objektif, jujur, berimbang dan tidak memiliki kepentingan terhadap kelompok atau individu tertentu termasuk terhadap pemilik media. Tetapi, kenyataannya berbanding terbalik. Pengaruh Surya Paloh tidak bisa dipisahkan dalam setiap agenda setting ketiga jenis media tersbeut. Secara terbuka Media Indonesia, Metro TV dan media online digunakan sebagai instrumen agenda politik Surya Paloh baik dalam pemberitaan Partai Nasional Demokrat maupun terhadap lawan-lawan politiknya seperti Aburizal Bakrie dalam kasus Lapindo. Akibatnya ketidakberimbangan tersebut membawa implikasi kepada masyarakat yang akhirnya mendapatkan informasi yang tidak akurat dan tidak berimbang dan hal ini bisa berpengaruh ke hal yang paling buruk dalam pembentukan opini publik. Penutup Simpulan Media Group untuk bisa bertahan di pasar media, maka logikanya harus melakukan ekspansi. Strategi yang paling logis digunakan adalah strategi diversifikasi, karena Media Group tergolong korporasi yang kecil, sehingga tidak memungkinkan untuk memilih akuisisi. Diversifikasi ini kemudian oleh pemiliknya digunakan sebagai instrumen politik, karena paham bahwa media mempunyai kekuatan politik untuk memengaruhi publik. Pengaruh pemilik media ini memang tidak bisa dielakkan oleh para pekerja di dalam media itu sendiri, meskipun secara tidak langsung 21 JURNAL INTERAKSI, Vol III No.1, Januari 2014 : 15-23 disampaikan atau ikut dalam rapat-rapat redaksi, tetapi kepentingan pemilik itu akan secara tidak langsung dapat diterjemahkan melalui pemberitaannya. Perkembangan teknologi menjadikan khalayak semakin tersegmentasi. Segmentasinya semakin dibatasi menjadi lebih sempit berdasarkan karakteristik media massanya. Hal ini yang kemudian menjadikan Media Group berambisi memiliki semua jenis media massa dalam konteks menjangkau segmen-segmen masyarakat yang tersegmentasi tersebut, berdasarkan logika bisnis yang kemudian mendorong pemanfaatan secara maksimal berbagai sinergitas baik isi media, iklan maupun biaya produksi yang kemudian memunculkan yang namanya konvergensi. Saran Sesuai dengan paradigma ekonomi politik kritis yang digunakan dalam penelitian ini, ditemukan bahwa media massa tidak lagi murni sebagai mata telinga masyarakat dalam memberitakan suatu informasi dan berita tetapi lebih mengedepankan motif ekonomi, instrumen agenda politik pemilik media yang tampak. Sehingga, hasil penelitian ini membuktikan bahwa diversifikasi yang dilakukan oleh Media Group diperuntukkan untuk dapat bertahan dalam kontestasi pasar media itu sendiri. Karena itu, penelitian ini dapat disarankan menjadi salah satu upaya untuk memahami sekaligus dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan penelitian dalam memetakan industri media massa di Indonesia. Dewan redaksi memiliki otoritas yang tinggi dalam menentukan kebijakan pemberitaan dalam halhal yang praksis, tetapi meskipun demikian tidak bisa dihindari bahwa pengaruh pemilik media dalam menentukan arah dan sifat media sangat dominan. Dari hasil penelitian ini, disarankan agar pemilik media tidak boleh ikut campur dan dengan sengaja mengarahkan medianya untuk memenuhi kepentingan politiknya apalagi menyangkut persaingan politik pencitraan, dan ketidakobjektifan dalam penyajian berita. Diversifikasi yang dilakukan Media Group akan mengarah kepada konsentrasi kepemilikan. Bersama unit-unit media itu pemilik bisa menggunakannya untuk membentuk opini publik dalam setiap pemberitaannya. Karen itu, disarankan agar pemerintah membuat regulasi yang jelas untuk membatasi praktek-praktek tersebut, jika tidak maka kebebasan informasi publik hanya akan dimonopoli atau dioligopoli oleh korporasi-korporasi yang memiliki kepentingan 22 tertentu. Media massa yang dijadikan sebagai instrumen politik juga seharusnya dilarang, sehingga konten media massa tidak hanya disuguhi oleh kampanyekampanye terselubung pemilik media. Kemudian, homogenitas atau keseragaman isi media akibat diversifikasi juga membawa dampak negatif bagi publik karena itu media massa seharusnya kembali pada fungsi utamanya yaitu bertugas untuk kepentingan publik—menjalankan fungsi budaya, politik, sosial dan ekonomi dalam ukuran yang seimbang. Daftar Pustaka Albaran, Alan, B. (1996). Media Economic: Understanding Markets industries and conscepts. USA, Iowa State University Press. Bagdikian, B. (2004). The New Media Monopoly. Boston, Beacon Press. Baran, Stanley J. (2012). Pengantar Komunikasi Massa Melek Media dan Budaya, (terj. oleh S. Rouli Manalu, Introduction to mass Communication Media Literacy and Culture, 2008). Jakarta, Penerbit Erlangga. Fidler, Roger. (2003). Mediamorfosis: Memahami Media Baru, (terj. oleh Hartono Hadikusumo, Mediamorfosis: Understanding New Media), Cetakan ke-1. Yogyakarta, Bentang Budaya. Golding, Peter dan Murdock, Graham. (1997). The Political Economy of a Media. USA, Edward Elgar Publishing. Hill, David T, 2011. Pers di Masa Orde Baru. Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia. McQuail, Denis. (2011). Teori Komunikasi Massa. Edisi keenam. Jakarta, Salemba Humanika. Miles, B. Matthew dan Huberman, A.Michael. (1992). Analisis data Kualitatif, Penerjemah: Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta, Universitas Indonesia. Mosco, Vincent. (2009). The Politicak Economy of Communication. London, SAGE Publications, Thousand Oaks. Noor, Henry Faizal, (2010). Ekonomy Media. Jakarta, PT Rajagrafindo Persada. Severin, Werner J, Tandkard, Jr, James W. (2009). Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa. Jakarta, Kencana. Stanley J. Baran dan Dennis K. Davis. (2012). Mass Communication Theory, Foundation, Ferment, and Future, 6th Edition USA, WADSWORTH Cengange Learning. Formas Juitan Lase dan Adde Oriza Rio, Ekonomi dan Diversifikasi Media Massa Tabloid dan Internet APJII. (2010, Diakses 25 Juni 2012). Indonesia Internet Users. (http://www.apjii.or.id/v2/index.php/ read/page/halaman-data/9/statistik.html) Kominfo. (2010). Tabloid Komunika. Edisi 1, Tahun VIII Januari. Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika 23