“Community Development” di Wilayah Lahan

advertisement
“Community Development” di Wilayah Lahan Gambut
Oleh Gumilar R. Sumantri
Bagaimanakah menata kehidupan sosial di permukiman gambut? Pertanyaan ini
tampaknya masih belum banyak dibahas dalam wacana pengembangan lahan gambut satu
juta hektar di Kalimantan Tengah. Padahal aspek sosial ini merupakan salah satu faktor
penentu keberhasilan megaproyek di atas.
Penataan kehidupan sosial di lahan gambut sebaiknya memanfaatkan pendekatan
community development. Pendekatan menekankan aspek pemberdayaan masyarakat
melalui penumbuhan lembaga dan organisasi sosial setempat sebagai wahana partisipasi
masyarakat. Petani lahan gambut mengatasi masalah mereka secare bersama-sama dalam
kerangka lembaga dan organisasi yang ada. Sehingga mereka tidak bergantung pada
pemerintah atau pihak lainnya dalam melahirkan kesejahteraan. Singkat kata, dengan cara
berorganisasi petani lahan gambut menciptakan kemajuan yang menampak pada keajegan
komunitas mereka sendiri (community-based development).
Pangan dan gambut
Seperti diketahui dewasa ini tengah dibuka lahan pertanian gambut seluas satu
juta hektar di Kalimantan Tengah (Keppres nomor 88 tahun 1995). Lahan seluas ini
merupakan 4 persen dari seluruh potensi lahan gambut yang dimiliki Indonesia yang
mencapai 20 juta hektar. Secara geografis, megaproyek ini terletak di bagian selatan
wilayah propinsi Kalimantan Tengah. Di sebelah barat dan utara masing-masing dibatasi
oleh sungai Sebangau dan jalan raya Buntok-Palangkaraya. Sedangkan batas sebelah
timur dan selatan adalah Laut Jawa.
Pembukaan lahan gambut dalam skala raksasa tampaknya dapat dipandang
sebagai salah satu persiapan antisipatif bangsa Indonesia dalam menyongsong
kedatangan abad baru mendatang. Abad 21 kian menjelang lengkap dengan bayangan
krisis pangan global yang merisaukan. Betapa tidak, pasokan pangan kian berkurang.
Sementara, jumlah penduduk bumi mencapai lebih dari 4 milyar orang. Permaslahan ini
tampaknya cukup serius terutama bagi bangsa Indonesia yang termasuk masyarakat padat
penduduknya. Dan pangan bukanlah masalah yang sederhana bagi negeri 200 juta
penduduk ini.
Hal di atas menarik jika dikaitkan dengan pernyataan salah satu badan PBB, FAO
(Food and Agriculture Organization), pada hari pangan tahun 1995. Badan internasional
ini menyatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Pasifik yang
termasuk kategori LIFC (Low Income Food Countries) atau negara berpendapatan rendah
kurang pangan. Pernyataan ini jelas bukanlah hal yang harus dicari apologinya. Ini adalah
hal serius yang jika tidak ditangani secara sungguh-sungguh akan membawa bangsa pada
kesengsaraan kekurangan pangan yang menakutkan.
Tentu saja pernyataan FAO mengejutkan kita semua. Mengingat bangsa ini
pernah meraih prestasi besar di bidang pengadaan pangan, yaitu pada tahun 1984
Indonesia meraih swasembada pangan. Artinya, Indonesia tidak lagi tergantung pada
impor di dalam pengadaan bahan makanan pokok, khususnya beras. Prestasi ini
membanggakan. Betapa tidak, pada tahun 1969, Indonesia merupakan pengimpor beras
ketiga terbesar di dunia, setelah kurang lebih dua dekade bekerja keras membangun,
predikat buruk itu berganti dengan pujian dari masyarakat internasional.
Swasembada pangan, khususnya beras, bila mengacu pada pernyataan FAO diatas
kini tidak ada lagi. Pertanyaan kita adalah, mengapa produksi pangan khususnya beras
mengalami penurunan? Menurunnya produksi beras Indonesia dijelaskan dengan
menengok dua faktor berikut.
Pertama, adalah perubahan tata guna lahan (Land use). Sebagaimana diketahui,
lumbung padi dan pangan nasional yang utama dewasa ini adalah pulau Jawa, Bali dan
Lombok. Dinamika pembangunan yang luar biasa pesat di pulau berpenduduk terpadat
asia tenggara ini, tampaknya berdampak pada penyusutan lahan pertanian. Data statistik
membuktikan, setiap tahun pulau Jawa kehilangan kurang lebih seratus ribu hektar lahan
sawah. Kawasan pertanian ini berganti fungsi menjadi permukiman baru (real-estate),
komplek industri, jalan raya, perkantoran dan sebagainya.
Sedangkan alasan kedua, dari menurunnya produksi beras bertalian dengan
keengganan petani di beberapa kawasan Indonesia untuk menanam padi. Harga gabah
yang relatif rendah dan kurang stabil mendorong petani untuk mengalihfungsikan
penggunaan lahan sawah pada perkebunan kelapa dan sayuran. Berkebun kelapa tidak
memerlukan pupuk khusus dan perawatan yang rumit. Akan tetapi petani dapat panen
setiap bulan. Harga kelapa bahan kopra pun cenderung naik dari waktu ke waktu.
Demikian pula dalam memproduksi sayuran, petani relatif dapat memetik keuntungan
lebih dibanding bertanam padi.
Sampai titik ini, jelaslah pembukaan lahan gambut satu hektar diharapkan dapat
menjadi alternatif pengadaan pangan khususnya beras di masa datang. Oleh karena itu,
kita seyogyanya cermat dan komprehensif dalam rencana dan realisasi megaproyek ini.
Salah satunya adalah aspek sumber daya manusia dan kehidupan sosialnya. Jika aspek
sosial seperti pengembangan masyarakat tidak diperhatikan secara serius (sentral), bukan
mustahil proyek ini gagal total.
Secara umum pengamat melihat beberapa titik lemah dari megaproyek ini.
Pertama proyek tidak produktif karena alasan ekologis. Misalnya gagalnya panen akibat
hama. Kedua, panen mengalami penurunan terus menerus karena faktor kesuburan tanah
berkurang. Ketiga, petani memilih untuk berimigrasi ke kota. Konsentrasi penduduk kirakira satu juta orang mendukung untuk munculnya suatu kota baru dengan struktur
okupasi dan kesempatan ekonomi lebih menarik bagi petani. Keempat, produksi panan
terganggu akibat hubungan antar kelompok etnik kurang baik. Dan sebagainya.
Kendala-kendala di atas penyelesaiannya bersifat sosial. Bertani adalah salah satu
bentuk tindakan sosial. Dan ia dikonstruksi secara sosial. Mereka melakukan aktifitas tani
tidak secara soliter, akan tetapi tergantung pada keberadaan jaringan sosial, organisasi
sosial
dan
lembaga-lembaga
sosial
setempat.
Dengan
demikian,
mengatasi
keberlangsungan megaproyek di atas harus mulai dari penataan aspek kehidupan
sosialnya.
”Community development”
Pertanian di lahan gambut merupakan hal yang tidak asing bagi masyarakat
Indonesia. Pertanian lahan gambut dilakukan transmigran di Sumatera, penduduk
setempat di Kalimantan Barat dan Tengah dan sebagainya. Menurut sementara orang,
secar sosial budaya, sistem produksi pangan di atas tanah bergambut ini ”tidak ada
masalah”. Pemikiran semacam ini tidak tepat dan menyesatkan.
Saat ini skala proyek pengembangan lahan gambut sudah relatif besar (satu juta
hektar). Namun, pengalaman pemerintah maupun masyarakat mengenai hal ini masih
terbatas pada lahan gambut yang relatif skalanya kecil. Kompleksitas megaproyek satu
juta hektar lahan gambut ini begitu tinggi dan belum pernah dihadapi sebelumnya oleh
masyarakat kita. Sementara itu, meskipun dinyatakan lebih dari 50 persen calon petani
adalah perambah hutan dan penduduk di Kalimantan Tengah. Namun diduga jumlah
transmigran asal pulau padaat penduduk seperti Jawa, Bali dan Lombok akan menjadi
dominan. Hal ini bertalian dengan upaya pemerataan penduduk melalui transmigrasi
yang menjadi salah satu perhatian pokok dari pembangunan nasional.
Alasan lain adalah karakteristik lahan gambut bervariasi. Sehingga produktifitas
ekonomi tampaknya harus ditunjang oleh keberadaan sistem dan kelembagaan sosial
komunitas tani yang kontekstual untuk masing-masing karakteristik di atas. Terdapat
lahan gambut yang subur, akan tetapi terdapat pula yang sebaliknya. Menghadapi situasi
seperti ini, petani tidak mungkin bertahan dan sukses tanpa kerjasama dengan yang lain
dalam kerangka organisasi sosial setempat yang mengakar kontekstual.
Terakhir, jumlah petani yang akan dilibatkan relatif besar yaitu 300 ribu keluarga.
Secara teoritis, megaproyek ini akan menciptakan aglomerasi penduduk sebanyak satu
juta jiwa. Sebagai akibatnya, tidak dapat dihindari akan lahir pusat-pusat pertumbuhan
yang akan berkembang menjadi kota. Kota ”gambut” ini harus mulai diantisipasi agar
menjadi titik pusat yang secara sosiologis menunjang pengembangan pertanian gambut
berkelanjutan. Keberadaan kota yang tidak terkendali dalam beberapa tinngkatan dapat
menggagalkan megaproyek yang dimaksudkan sebagai lumbung padi dan pangan.
Migrasi petani dan pergeseran struktur okupasi dapat turut mengalihkan proyek pada arah
yang tidak dikehendaki.
Paparan di atas menunjukan tingginya proses kompleksitas permasalahan sosial
pengembangan lahan gambut satu juta hektar. Tampaknya, salah satu cara yang dapat
ditempuh dalam menata kehidupan sosial lahan gambut adalah penerapan pendekatan
community development.
Pendekatan ini menitikberatkan pembangunan pada aspek partisipasi masyarakat
(citizen participation). Dipahami kini, pembangunan merupakan urusan bersama
pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Tampaknya sektor masyarakat relatif belum
berkiprah sejauh kedua sektor lainnya. Masyarakat mempunyai potensi untuk
membangun lingkungan mereka sehingga dapat mengatasi masalah mereka tanpa
tergantung pada pemerintahan. Pemberdayaan semacam ini dapat dilakukan dengan
perorganisasian masyarakat.
Penataan kehidupan sosial di lahan gambut satu juta hektar dilakukan pertamatama dengan mempersiapkan calon petani dan petani dalam wawasan, ketrampilan sosial,
bahkan sistem nilainya. Mereka perlu mengikuti program pendidikan dan latihan
masyarakat. Pada program ini diajarkan mengenai masalah pangan dan lahan gambut,
prinsip dasar dan manfaat pengembangan komunitas, aspek-aspek teknis yang bertalian
denga lahan ini, dan sebagainya. Setelah mereka bermukim di lokasi, perlu diturunkan
para penggerak masyarakat terlatih sebagai fasilitator. Penggerak masyarakat merangsang
petani gambut berorganisasi. Misalnya dalam suatu sistem organisasi dan kelembagaan
sosial tertentu mereka melakukan pemupukan lahan, pengaturan air, mengatasi hama,
pemanenan hasil tanaman, serta penanganan tanah pasca panen. Pembekalan ketrampilan
sosial lain juga penting. Misalnya teknik pengelolaan konflik, menggalang dana
setempat, berkoperasi, melakukan usaha bersama dan sebagainya.
Warga masyarakat yang mampu mengatasi masalah dengan cara di atas, pada
dasarnya mempunyai landasan komunitas yang kukuh. Mereka diharapkan menjadi
warga komunitas yang secara internalized menganut nilai dan perilaku rukun, peduli,
mandiri dan maju / sejahtera. Semoga.
* Gumilar R Sumantri, doktor sosiologi Universitas Bilefeld, Jerman (1995),
dosen FISIP Universitas Indonesia; tinggal di Bogor, Jawa Barat.
Download