LEMBAR INFORMASI berpotensi terkena dampak harus sudah dilakukan sebelum pemerintah dan pemrakarsa proyek memutuskan rencana yang hendak dikerjakan. PERLINDUNGAN BERBASIS HAK Rights-Based Safeguards (RBS) I. Sejarah Safeguards Safeguards pertama kali dipopulerkan oleh Bank Dunia dan kemudian meluas ke lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya yang menyediakan dukungan pendanaan bagi proyek-proyek pembangunan di berbagai negara. Safeguards lahir sebagai reaksi Bank Dunia atas kritikan yang dilancarkan masyarakat sipil atas dampak sosial dan masalah lingkungan dari proyek-proyek yang didanai Bank Dunia. Kritik ini gencar dilakukan di tahun 1970-an sampai 1980-an. Di Indonesia, utang maupun hibah Bank Dunia digunakan Pemerintah Soeharto dalam program transmigrasi, yang nyatanya memindahkan berbagai komunitas lokal secara paksa demi alasan modernisasi. Demikian halnya dengan pembangunan waduk Kedung Ombo yang mendapat suntikan utang USD 156 juta dari Bank Dunia dan USD 25,2 juta dari Bank Exim Jepang1 telah menggusur paksa lebih dari 5000 warga tanpa ganti rugi yang jelas. Di berbagai negara, dana Bank Dunia malah memperkuat kekuasaan pemerintahan otoriter, seperti Soeharto yang sewenang-wenang bertindak terhadap warganya sendiri dengan membungkam kritik, melakukan intimidasi, penyiksaan, diskriminasi rasial hingga genosida. Kondisi di atas mendorong tekanan di dalam maupun dari luar bank dunia untuk membuat kebijakan pencegahan dini terhadap dampak proyek yang didanai Bank Dunia. Tahun 1980, melalui upaya beberapa orang di dalam bank seperti pakar pemukiman kembali, Dr. Michael Cernea dan pakar ekologi Dr. Goodland, Bank Dunia akhirnya mengeluarkan kebijakan Pemukiman Kembali Secara Paksa (Involuntary Resettlement Policy). Di tahun 1981 lahir kebijakan tentang Masyarakat Adat (Indigenous People Policy), diikuti dengan dengan kebijakan Penilaian Lingkungan (Environmental Assessment). Pada tahun1993, Bank Dunia membentuk Panel Inspeksi sebagai wadah bagi komunitas yang terkena dampak proyek untuk mengadu jika merasa bahwa Bank Dunia melanggar kebijakan safeguardsnya sendiri. Pada tahun 1997, Manajemen Senior Bank Dunia, memberi nama upaya-upaya ini sebagai kebijakan safeguards Bank Dunia dan memberikan porsi serta kekuatan politik yang lebih besar bagi struktur yang membidangi safeguards di Bank Dunia.2 Inisiatif Bank Dunia untuk mengembangkan kebijakan Safeguards, diikuti oleh Bank Pembangunan Asia (ADB) sejak tahun 2005, dan saat ini berbagai lembaga pendanaan internasional, bank komersial, dan perusahaan-perusahaan internasional telah mulai mengadopsi kebijakan safeguards. Lembaga-lembaga PBB juga mulai mengembangkan safeguards. Dalam regim perubahan iklim di bawah UNFCCC (United Nation Framework on Climate Change) safeguards dapat ditemui di Pasal 3 Konvensi, Protokol Kyoto dan beberapa keputusan Konferensi Para Pihak (COP) dalam lima tahun belakangan ini. Misalnya, keputusan COP 16 di Cancun dan keputusan COP 17 di Durban. II. Perjuangan Hak Asasi Manusia Berbagai rujukan awal safeguards berangkat dari perjuangan hak asasi manusia yang mengemuka pada era 1970an ketika ekspansi kapitalisme melalui sokongan lembaga keuangan internasional melanggar bahkan meniadakan hak-hak dan martabat kemanusiaan. Ketika itu, konsep HAM belum terbangun di berbagai negara berkembang. Karena itu, tuntutan untuk menggerakan dan membuat HAM bekerja ditujukan kepada lembaga-lembaga keuangan internasional yang dianggap memahami konsep tersebut dan tidak menutup mata dalam penerapannya pada aktivitas pembangunan yang mereka biayai. Konsep hak asasi manusia yang kita kenal saat ini bersumber dari pengalaman umat manusia selama berabad-abad. Namun, permulaannya dalam bentuk tertulis dan menjadi hukum paling tidak dimulai oleh Raja John dari Inggris. Pada 1215, karena melanggar kebiasaan yang sudah lama dipakai Inggris, Raja John dipaksa untukmenandatangani Magna Charta atau Piagam Agung yang menguraikan satu per satu sejumlah hal yang kemudian hari dikenal dalam pemikiran hak asasi manusia. Di antara hak-hak yang tertuang, antara lain disebutkan hak gereja untuk bebas dari intervensi pemerintahan, hak semua warga Negara bebas3 untuk memiliki dan mewarisi properti yang bebas dari pajak yang berlebihan. Piagam tersebut juga memberi landasan bagi hak para janda yang memiliki properti untuk memilih tidak kawin lagi dan juga meletakan dasar bagi prinsip perlakuan yang adil dan setara depan hukum. Di samping itu juga berisi ketetapan yang melarang penyuapan dan perlakuan aparat yang buruk.4 1 http://dte.gn.apc.org/Aiu20.htm 2 Lihat Kirk Herbertson and Athena Ballesteros, 2011, WRI Working Paper:An Overview of the Global Safeguards Debate, USA: WRI 3 Disebut warga Negara bebas karena ada kategori warga Negara yang tidak bebas seperti tahanan dan juga ada budak yang tidak menjadi bagian dari warga Negara tapi merupakan properti dari pemiliknya. 4 Lihat A Short History of the Human Rights Movement, http://www.hrweb.org/history.html, Netherlands, 23 September 2008 c. Informed (terinformasi) artinya informasi yang terbuka dan seluas-luasnya mengenai proyek yang akan dijalankan baik sebab maupun akibatnya. Informasi yang dimaksud adalah informasi yang benar dan cukup. Artinya, pemrakarsa proyek menginformasikan tentang seluruh seluk beluk proyek, antara lain: baik buruk dari proyek, jenis, ukuran dan cakupan aktivitas/proyek yang diusulkan, jangka waktu, luasan wilayah yang terpengaruh, kajian awal mengenai kemungkinan dampak yang terjadi, alasan dan tujuan aktivitas/proyek, pihak-pihak yang kemungkinan terlibat dalam fase konstruksi maupun operasional proyek/aktivitas (sponsor atau penyandang dana, masyarakat lokal, periset, dll). Dalam menyampaikan informasi tersebut, pemberi informasi harus menggunaan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh masyarakat di lokasi yang potensial terkena dampak proyek. Selain itu, pemberian informasi juga dilakukan pada waktu yang tepat dan tidak berubah-ubah secara sepihak tapi harus disepakati dengan masyarakat di wilayah yang potensial terkena dampak proyek. Juga harus ada kejelasan mengenai proses dan tahapan pemberian informasi. d. Consent (persetujuan) artinya persetujuan diberikan oleh masyarakat sendiri. Konsultasi dan partisipasi yang penuh dari masyarakat yang potensial terpengaruh oleh proyek mengenai semua aspek (kajian awal, perencanaan, penerapan, pengawasan, dan penutupan proyek). Persetujuan diberikan oleh otoritas yang mempunyai hak memberi persetujuan. Untuk sampai pada persetujuan harus dilakukan dengan menggunakan hukum lokal. Dan yang tidak kalah pentingnya, FPIC harus didokumentasikan dan mengikat secara hukum. 8. Hak Untuk Tidak Diteror, Mendapat Perlindungan Hukum Walaupun pasal 28D Undang-Undang Dasar telah menjadi dasar kesamaan hukum bagi masyarakat, namun banyak kasus menunjukkan bahwa pendekatan teror dan kekerasan justru masih kerap dilakukan aparat negara terhadap masyarakat yang lemah, terutama dalam isu-isu konflik sumber daya alam. Alat ukur: a. Adanya jaminan secara legal formal yang diberikan oleh Negara lewat aparat penegak hukum kepada warga masyarakat yang menyampaikan pendapat dan atau membuat keputusan yang tidak sesuai dengan keinginan Pemerintah maupun mayoritas (tidak di kriminalisasi). b. Warga masyarakat baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama bebas untuk berpendapat dalam setiap proses pengambilan keputusan terkait dengan proyek yang direncanakan/dijalankan. V. Lembaga dan Negara yang memuat Perlindungan Berbasis Hak (RBS) Prinsip-prinsip perlindungan berbasis hak diatas sebetulnya sebagian besar dapat ditemui dalam berbagai deklarasi, perjanjian, peraturan dan hukum dalam skala nasional maupun internasional, maupun dalam tingkat bilateral dan multilateral, seperti: • Konvensi internasional, seperti Konvensi ILO 169, Kovenan Hak Sosial dan Budaya, Kovenan Hak Sipil dan Politik, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), Konvensi Keanekaan Hayati, dan Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP). • Negara-negara maju dan berkembang telah sepakat untuk mendukung HAM melalui perjanjian internasional dan bantuan pembangunan. The Development Assistance Committee (DAC) dan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) pada bulan Februari 2007 mengeluarkan dan memyepakati sebuah policy paper mengenai HAM dan pembangunan, di mana ini untuk pertama kalinya negara-negara anggota DAC dan OECD mendorong supaya isu-isu HAM dimasukkan secara sistematis dalam kerjasama pembangunan mereka; • Bank Dunia adalah pemain penting dalam REDD di Indonesia meskipun secara jumlah, uang yang mereka berikan tidak begitu besar. Namun kebijakan safeguards Bank Dunia kerap menjadi acuan berbagai lembaga lain seperti JBIC dan UNREDD. Selain itu, Bank Dunia dipercaya negara-negara maju sebagai pengelola berbagai dana perubahan iklim, dan memosisikan dirinya sebagai perantara (broker) bagi pasar karbon di masa datang; • Bank Pembangunan Multilateral (Multilateral Development Bank) di tingkat regional seperti Asian Development Bank (ADB) memiliki seperangkat safeguards yang cukup kuat. Dengan adanya peran ADB dalam Forest Investment Program (FIP) untuk Indonesia, besar kemungkinan bahwa kebijakan safeguards ADB akan digunakan sebagai acuan; • Lembaga-lembaga bantuan (Aid Agencies) dan Departemen Perubahan Iklim negara-negara donor biasanya memiliki seprangkan kebijakan sendiri sehubungan dengan programnya yang sedikit banyak berkaitan dengan REDD. Terutama bagi lembaga yang terlibat dalam implementasi, mereka biasanya memiliki kebijakan berkaitan dengan masyarakat adat dan kebijakan berbasis hak lainnya. Jl. Jati Agung No.8, Jati Padang-Pasar minggu, Jakarta Selatan 12540 Telp. +62 (21)780 6959, 788 45871, Fax. +62 (21) 780 6959 Email. [email protected]@cbn.net.id 5. Hak atas Sumber Daya Hutan Hutan merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Ketergantungan yang tinggi pada hutan membuat pola-pola ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan menjadi pola yang berbasis pada daya dukung hutan. Kehilangan hutan dan akses pada hutan akan mengakibatkan terputusnya sumber kehidupan utama masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Hal itu akan berdampak pada tidak terpenuhinya kebutuhan dasar yang mengancam penghidupan (livelihood) dan hak untuk hidup. Alat ukur: a. Pengakuan Hak Tenurial. Harus ada pengakuan hak masyarakat adat di dalam maupun sekitar kawasan hutan untuk mengatur dan mengurus hutan yang dikuasainya secara turun temurun baik sebelum maupun selama REDD diterapkan. Pengakuan ini harus tercantum dalam hukum, kebijakan pedoman negara maupun pemrakarsa proyek yang berhubungan dengan hutan dan kawasan hutan. b. Prosedur yang mudah dan TIDAK dipungut biaya. Hukum dan kebijakan yang mengakui hak masyarakat atas hutan harus mudah dipahami, dan dikemas dalam bahasa maupun bentuk lain yang bisa dimengerti. Selain itu, proses pengakuan tersebut tidak boleh dipungut biaya. c. Tidak terikat prosedur formal. Pengakuan terhadap hak dilakukan berbasis fakta empirik yang dibuktikan sendiri oleh masyarakat yang menguasai kawasan hutan. Syarat formal seperti prosedur perijinan, sertifikat maupun tahapan pengakuan tidak boleh dijadikan sebagai penghalang untuk pemenuhan hak masyarakat atas sumber daya alam. 6. Hak atas Nilai-nilai dan Adat Istiadat yang Berkaitan dengan Hutan Hutan memiliki arti budaya bagi sebagian besar masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Hutan sebagai tempat pemujaan dimana ritual-ritual dilakukan. Hutan juga menjadi dasar pembentukan nilai-nilai yang menentukan pola dan rantai produksi dan konsumsi. Untuk masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan, nilai-nilai dan norma-norma dalam kebudayaan sangat ditentukan oleh relasi mereka dengan hutan. Pembatasan hak atas kawasan hutan hingga penghilangan hak tersebut secara langsung akan menghapus kebudayaan mereka. Alat Ukur: a. Hukum, kebijakan, pedoman negara maupun pemrakarsa proyek yang berhubungan dengan hutan dan kawasan hutan mengakui dan melindungi nilai-nilai dan norma-norma yang dimiliki masyarakat atas kawasan hutan; b. Hukum, kebijakan, pedoman negara maupun pemrakarsa proyek yang berhubungan dengan hutan dan kawasan hutan memperkuat nilai-nilai dan norma-norma masyarakat yang mendukung keberlanjutan hutan dan kawasan hutan. 7. Hak Untuk Menentukan/ Menolak (Free, and Prior Informed Consent) Bagi masyarakat adat, hutan memiliki fungsi sebagai tempat penyimpanan air (aquifer) sebagai penyangga ekologi, sebagai lahan pertanian, sebagai tempat berkembangbiaknya flora dan fauna, dan sebagai tempat pemenuhan kebutuhan pangan, obat-obatan dan papan. Bahkan jauh sebelum Negara Republik Indonesia terbentuk masyarakat adat telah mendiami hutan dan bergantung hidup darinya. Sehingga berbagai rencana pemanfaatan hutan untuk kepentingan nasional harus mempertimbangkan implikasinya terhadap keberlanjutan hidup masyarakat adat. Karena itu, masyarakat adat memiliki hak untuk secara bebas tanpa tekanan menyatakan setuju atau menolak sebuah proses pembangunan yang ditawarkan, atau dengan kata lain masyarakat berhak untuk memutuskan jenis kegiatan pembangunan macam apa yang mereka perbolehkan untuk berlangsung dalam wilayah mereka. Untuk itu mereka harus memperoleh informasi penuh dan dapat dipahami sebelum sebuah program atau proyek pembangunan dilaksanakan dalam wilayah mereka dan berdasarkan informasi tersebut. Alat ukur: a. Free (bebas) berkaitan dengan keadaan bebas tanpa paksaan. Artinya kesepakatan hanya mungkin dilakukan di atas berbagai pilihan bebas masyakarat. Prinsip umum dalam hukum adalah persetujuan dikatakan tidak sah jika diperoleh melalui atau berlangsung di bawah tekanan maupun manipulasi (khilaf, tekanan, manipulasi. Lihat pasal 1320 KUHpdt). Selain itu, walaupun tidak ada aturan hukum dan kebijakan yang memadai, mekanisme tetap harus dibangun supaya memastikan bahwa persetujuan diperoleh lewat proses yang bebas. b. Prior (sebelum) artinya sebelum proyek atau kegiatan tertentu diijinkan pemerintah terlebih dahulu harus mendapat ijin masyarakat. Untuk itu, harus ada jangka waktu yang jelas untuk memastikan bahwa pihak yang terkena dampak memiliki waktu yang cukup untuk memahami informasi yang diterima, meminta informasi tambahan atau klarifikasi dari pihak pemrakarsa proyek, mencari nasihat atau pendapat pihak ketiga (ahli, dll), dan menentukan maupun menegosiasikan keadaan yang mereka alami. Perundingan dengan pihak yang Era abad ke-18 dan 19 di Eropa, beberapa filsuf mengusulkan konsep hak alamiah atau kodrati (natural rights) yakni sebuah hak yang dimiliki seseorang karena kodratnya dan juga keberadaannya sebagai manusia. Pada akhir era 1700-an, dua revolusi terjadi yang secara kuat menggerakan konsep hak. Tahun 1776, sebagian besar koloni Inggris di Amerika Utara memproklamasikan kemerdekaan mereka dari kontrol Inggris lewat sebuah dokumen yang menginspirasi dan memicu perdebatan, Deklarasi Kemerdekatan Amerika Serikat (U.S. Declaration of Independence). Tahun 1789 rakyat Perancis menggulingkan monarki mereka dan membangun Republik Perancis yang pertama. Revolusi ini melahirkan “Deklarasi Hak-Hak Manusia” (Declaration of the Rights of Man). Istilah hak-hak kodrati pada akhirnya tidak disukai tetapi konsep hak-hak universal diterima secara luas. Filsuf seperti Thomas Paine, John Stuart Mill, dan Henry David Thoreau memperluas konsep tersebut. Thoreau merupakan filsuf pertama yang menggunakan istilah hak asasi manusia (human rights) yang dituangkan dalam tulisannya “Civil Disobedience”. Karya ini dengan kuat mempengaruhi secara individual orang-orang seperti Leo Tolstoy, Mahatma Gandhi, dan Martin Luther King. Gandhi dan King, secara khusus mengembangkan gagasan-gagasan mereka tentang perlawanan tanpa kekerasan terhadap tindakan pemerintah yang tidak etis dalam menjalakan pekerjaannya.5 Sementara, John Stuart Mill, filsuf asal Inggris mengeluarkan karya Essay on Liberty yang banyak berhubungan dengan hak asasi manusia. Demikian halnya dengan teoritikus politik Amerika, Thomas Paine mengeluarkan karya, The Rights of Man. Abad pertengahan dan akhir abad 19 memperlihatkan sejumlah isu penting yang pada akhir abad ke20 diperhitungkan sebagai isu hak asasi manusia. Isu-isu tersebut mencakup perbudakan, kerja paksa, kondisi kerja yang kejam, upah yang sangat rendah, pekerja anak dan di Amerika ada masalah Indian yang merupakan masyarakat asli yang muncul pada masa itu. Di Amerika, perang berdarah karena alasan perbudakan hampir meremukan Negara itu, hanya 8 tahun setelah mereka mengumumkan “semua manusia diciptakan sama” (1861–1865). Rusia membebaskan pekeja paksa dari kebun dan ladang-ladang tuan tanah pada tahun ketika perang saudara Amerika dimulai (1861). Tidak hanya emansipasi budak di Amerika tapi juga pelepasan pekerja paksa Rusia paling tidak memperlihatkan derajat gerakan emansipasi kebebasan yang nyata atau hak-hak dasar dalam banyak dekade sejarah manusia.6 Tahun 1919, sebagai salah satu reaksi atas Perang Dunia Pertama, Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) terbentuk lewat perjanjian Versailles dengan tujuan mempromosikan kerja sama Internasional untuk mencapai perdamaian dan keamanan (to promote international cooperation and to achieve peace and security). Pada kesempatan yang sama juga dibentuk Organisasi Buruh Internasional (The International Labour Organization) yang langsung berada di bawah LBB.7 Pada perkembangan berikutnya, kegagalan LBB mencegah Perang Dunia Kedua, melahirkan organisasi baru yang disebut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada 1 Januari 1942, di bawah hiruk pikuk Perang Dunia II, diumumkan “Declaration by United Nations” oleh 26 perwakilan bangsa-bangsa yang mendesak komitmen pemerintah mereka untuk terus berjuang bersama menghadapi kekuatan Negara-negara Axis (Jerman, Jepang, Italia). Pada United Nations Conference on International Organization tahun 1945, di San Francisco, yang dihadiri oleh perwakilan 50 negara, piagam PBB ditandatangani. Organisasi ini kemudian resmi didirikan tanggal 24 Oktober 1945 ketika hampir semua Negara menandatangani, termasuk Uni Soviet, Prancis, China, Inggris dan Amerika Serikat.8 Organisasi ini kemudian memainkan peranan penting dalam mengkerucutkan nilai-nilai kemanusiaan ke dalam kesepakatan-kesepakatan Internasional antarbangsa, baik yang bersifat ajakan maupun mengikat secara hukum. Salah satu dasar pertama yang diletakan adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration on Human Rights) 1948, sebagai refleksi bersama pasca kehancuran luar biasa akibat Perang Dunia II. Di Indonesia, konsep hak asasi manusia diperdebatkan dalam pembentukan konstitusi tahun 1945. Namun kompromi terjadi antara konsep integralistik Supomo yang cenderung alergi dengan perluasan hak individual dengan Bung Hatta yang tetap menjaga jarak antara penyelenggara negara dengan rakyat melalui demokrasi. Kompromi hanya menghasilkan beberapa pasal mendasar yang berkaitan dengan HAM. Baru pada awal reformasi, berbagai rumusan HAM masuk menjadi usulan amandemen dan diterima sebagai bagian dari konstitusi. III. Mengapa Perlu Perlindungan Berbasis Hak (RBS) Hak Asasi Manusia berurusan dengan dua hal. Pertama, menyangkut hak dan kedua, mengenai manusia. Hak pertama-tama merupakan bagian dari hak moral yang bersemayam dalam kemanusiaan seseorang.9 Hak moral adalah hak yang didasarkan atas norma-norma dan nilai-nilai moral. Sehingga, sumber langsung HAM 5 6 7 8 9 Ibid ibid http://www.un.org/aboutun/history.htm Ibid Hak diartikan sebagai tuntutan (claim) yang sah, yang dibenarkan (justified) yang dibuat seseorang, maupun sekelompok orang terhadap orang atau kelompok lain atas obyek tertentu sebagai miliknya. Atas dasar itu, orang yang mempunyai hak dibenarkan, dan bertindak sah dan wajar bila menuntut orang lain menghormati kepemilikannya atas suatu obyek. Lihat Frans Ceunfin (ed), 2004, Hak-Hak Asasi Manusia, jilid 1, Ledalero, Maumere, NTT adalah martabat luhur yang merupakan nilai yang melekat dalam diri setiap manusia. Karena itu, secara harafiah, hak-hak asasi manusia berarti hak yang dimiliki seseorang semata-mata karena ia seorang manusia (Donnelly dalam Ceunfin, 2004: 6). Kesadaran akan pentingnya hak-hak semakin menguat seiring dengan kesadaran moral umat manusia yang juga makin berkembang. Penghargaan dan pengakuan terhadap hak-hak, berhubungan erat dengan penghayatan nilai-nilai, khususnya moral. Dalam hubungannya dengan HAM, penghargaan tersebut merupakan suatu perintah moral dan bukan soal belas kasih dan keputusan pribadi (Ceunfin, 2004: xxi). Perintah tersebut hadir ke permukaan sebagai kebajikan manusia yang melahirkan keyakinan tentang adanya hak-hak dasar yang tidak boleh dilanggar. Pelanggaran atau pengurangan hak-hak tersebut akan mengurangi martabat manusia, sehingga untuk alasan apa pun hak-hak tersebut tidak boleh dikurangi, dilanggar maupun diabaikan. Meskipun seseorang melakukan perjanjian untuk menyerahkan atau mengurangi kebebasannya, kontrak tersebut tidak akan dianggap sah dan esensi HAMnya tidak akan dikurangi (Onaga & Manuel, 2004: 8). Karena itu, pendekatan berbasis hak sebetulnya mengukuhkan semangat agar manusia yang berhadapan dengan suatu proyek diperlakukan benar-benar sebagai manusia. Seseorang dihargai, diterima, dilibatkan hingga sampai pada kesepakatan tertentu, semata-mata karena dia diperlakukan sebagai manusia, bukan karena belas kasihan atau hanya memenuhi tuntutan metodologi. IV. Substansi Perlindungan Berbasis Hak Pemenuhan hak-hak di bawah ini adalah tanggung jawab utama Negara melalui cara administrasi, peraturan, maupun penganggaran yang memadai. Pihak lain di luar Negara dapat melakukan usaha pemenuhan hak – hak di bawah ini, namun tidak melepaskan tanggung jawab Negara untuk menjamin terpenuhinya hak-hak tersebut. Negara harus memastikan pemenuhan hak itu terjadi dan bertanggung jawab jika terjadi pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh piha ketiga, maupun oleh penyelenggara Negara itu sendiri. Safeguards berbasis hak ini mengambil REDD sebagai contoh kasus, tetapi pada dasarnya safeguards ini berlaku pada proyek pembangunan. 1. Hak atas Rehabilitasi dan Pemulihan Hak atas Lingkungan Ketergantungan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan sangat tinggi terhadap hutan. Akan tetapi, banyak kebijakan pembangunan masa lalu menghilangkan hak masyarakat dan memberi dampak buruk pada lingkungan. Sebelum proyek REDD (sebagai kebijakan pembangunan baru) dijalankan, hak masyarakat dan lingkungan yang rusak harus terlebih dahulu dipulihkan. Alat Ukur: a. Tersedianya kebijakan dan hukum dari negara yang menjamin keberlanjutan fungsi-fungsi hutan, terutama bagi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan dan memulihkan fungsi-fungsi hutan yang rusak akibat pola pembangunan masa lalu. b. Adanya kebijakan yang memulihkan hak masyarakat di dalam maupun sekitar kawasan hutan yang diambilalih secara sistematis oleh kebijakan maupun proyek dan program pemerintah dan pihak lain di masa lalu. c. Adanya kebijakan maupun proyek di atas kawasan hutan yang menyediakan instrument untuk menjamin tidak terjadinya pembatasan, pengusiran hingga hilangnya hak masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan tersebut. 2. Hak Dasar atas Informasi Informasi adalah hak yang memungkinkan masyarakat berpartisipasi dan menentukan pilihannya,.karena itu informasi harus diberikan tepat waktu, menyeluruh dan membuka kemudahan akses masyarakat, sehingga ada kepastian dan jaminan perlindungan terhadap pemenuhan hak atas informasi bagi masyarakat. d. Apabila ada pembatasan informasi, maka harus ada kriteria yang jelas: • Apa saja yang dikecualikan. • Masyarakat harus mempunyai hak untuk mempertanyakan alasan pengecualian informasinya dan mengadukan pembatasan informasi yang dirasa merugikan. 3. Hak Prosedural untuk Melakukan Partisipasi Masyarakat di dalam dan sekitar hutan memiliki hak mutlak untuk menentukan apakah wilayahnya dapat dijadikan sebagai tempat implementasi REDD atau tidak. Untuk ini, masyarakat memiliki hak untuk terlibat dalam keseluruhan tahap proses pengambilan keputusan (dari perencanaan hingga pelaksanaan). Partisipasi dapat dikatakan efektif ditentukan dari akses keterlibatan masyarakat pada keseluruhan tahapan proses pengambilan keputusan, keberagaman kelompok masyarakat (terutama kelompok yang marjinal menurut ukuran sosial, ekonomi, dan gender), serta akses atas informasi yang berkualitas. Alat Ukur: a. Adanya Kapasitas dan Kesadaran Masyarakat untuk berpartisipasi. b. Proses partisipasi yang tidak memberatkan masyarakat di dalam dan sekitar hutan, baik dari segi biaya maupun mekanisme. Negara harus aktif menjangkau masyarakat di pedalaman. c. Harus ada kepastian bahwa semua orang di komunitas (terlepas kelompok, jenis kelamin, umur, maupun elit masyarakat) memiliki hak yang setara untuk berpartisipasi dan mengutarakan keinginannya. Perlu pendekatan khusus untuk merengkuh semua pihak, dengan perhatian khusus kepada kelompok rentan. d. Harus ada sistem dokumentasi dari proses partisipasi yang dapat dijadikan pegangan semua pihak. e. Aspirasi masyarakat harus tercermin dalam keputusan akhir. Apabila dalam kondisi mendesak hal tersebut tidak dapat dilakukan, maka harus tercantum jelas alasan yang disetujui maupun yang tidak disetujui oleh masyarakat. f. Ketersediaan infrastruktur untuk menampung proses partisipasi wajib disediakan oleh Pemerintah sebagai penyelenggara negara. 4. Benefit Sharing (Berbagi-Kemanfaatan) Benefit bukan merupakan offset10 (penghapusan kewajiban untuk mengurangi emisi karbon) dari pemanfaatan tradisional yang sudah dilakukan oleh komunitas, melainkan manfaat tambahan yang diperoleh dari perbaikan ekosistem karena pengembangan REDD. Kegiatan semacam ini memperoleh insentif dari dana publik. Benefit sharing penting untuk memastikan bahwa segala keuntungan (dan resiko) yang timbul dari pelaksanaan skema REDD (atau skema kehutanan lainnya) mendukung hak konstitusional masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Alat ukur: a. Seluruh kemungkinan biaya, potensi keuntungan maupun potensi resiko, serta kategori dan ukurannya yang akan timbul dari penerapan REDD harus dianalisa dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang relevan (terutama masyarakat yang potensial maupun terkena dampak) dari semua level sejak awal proses. b. Jika dalam kondisi tertentu, REDD menimbulkan kerugian bagi masyarakat pemegang hak, maka proyek harus dihentikan, dan Negara bertanggung jawab untuk mengganti kerugian tersebut. c. Memastikan partisipasi penuh, efektif, dan bebas diskriminasi dari semua pemangku kepentingan yang relevan, dengan menekankan pada tindakan khusus sementara (affirmative action) terhadap kelompok rentan dan marjinal, dalam membicarakan proses pengambilan keputusan dan mekanisme distribusi manfaat yang adil di masyarakat. Alat ukur: d. Kebijakan dan panduan untuk melakukan pembagian keuntungan harus dikembangkan, disepakati dan disebarluaskan di dalam komunitas maupun di kalangan pelaku lain yang terlibat. a. Ketepatan dan kelengkapan dari informasi: e. Prosedur administratif untuk pengelolaan dan distribusi dana maupun keuntungan lain haruslah efektif dan efisien dari sisi waktu maupun biaya. • Informasi yang diberikan harus utuh mencakup seluruh informasi yang terkait dengan proyek REDD yang akan diimplementasikan. Serta menjelaskan potensi dampak (baik positif maupun negatif ) dari skema atau proyek REDD tersebut. • informasi harus valid dan diberikan dalam jangka waktu yang memadai agar masyarakat dapat berpartisipasi. • informasi harus dikemas dalam bahasa yang mudah dipahami oleh publik. b. Informasi harus dapat menjangkau masyarakat di tingkat lokal yang berada di dalam dan sekitar wilayah hutan di mana proyek REDD akan dilaksanakan. Dalam hal ini, masyarakat harus dapat mengakses informasi dengan mudah, baik dari segi tempat maupun biaya. Harus ada pendekatan khusus kepada kelompok rentan seperti perempuan, anak, Lansia, maupun kaum miskin. c. Tersedianya lembaga informasi dan sistem informasi yang harus menjadi kesatuan dengan pelaksanaan kegiatan REDD, termasuk adanya lembaga yang mengelola keluhan masyarakat. f. Skema pembagian keuntungan harus mencakup tersedianya mekanisme pengajuan keberatan yang transparan dan terjangkau. g. Mekanisme monitoring atas pelaksanaan distribusi pembagian keuntungan perlu untuk disiapkan di tingkat nasional dan daerah. h. Mekanisme benefit sharing harus memiliki sistem pelaporan dan evaluasi yang terintegrasi dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan melalui proses yang transparan dan akuntabel, dan dengan bahasa yang dapat dipahami.