Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Hak, Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan Gender serta Keadilan Lingkungan: Tinjauan untuk Pengelolaan Sumberdaya Hutan Mia Siscawati, Ph.D. Program Studi Kajian Gender Program Pascasarjana (Multidisiplin) Universitas Indonesia disampaikan dalam: Lokakarya Kesetaraan Gender dalam REDD+ Jakarta, 22 April 2015 Pembangunan ekonomi (economic development): Pembangunan manusia (human development); ◦ difokuskan pada upaya untuk memperbaiki beragam aspek yang berpengaruh pada kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, kemampuan dan kapasitas manusia. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) Pembangunan berkelanjutan berbasis hak (rights-based sustainable development) Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) ◦ Konsep pembangunan berkelanjutan diperkenalkan oleh Komisi Bundtland (1987) ◦ Didefinisikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengorbankan generasi masa depan Mengacu pada persamaan hak, tanggung jawab dan kesempatan perempuan dan laki-laki dan anak perempuan dan anak lakilaki. Kesetaraan gender berarti bahwa kepentingan, kebutuhan dan prioritas perempuan dan laki-laki dipertimbangkan, dengan mengakui keragaman berbagai perempuan dan laki-laki dari berbagai kelompok sosial Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dipandang baik sebagai isu hak asasi manusia dan sebagai prasyarat bagi, dan indikator, pembangunan berkelajutan yang berpusat pada rakyat /berbasis pada hak perlakuan yang adil bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya sosial, ekonomi, politik, hukum dan informasi, berdasarkan pengakuan terhadap perbedaan biologis dan sosial, yang tidak menjadikan perbedaan tersebut sebagai hambatan untuk menikmati hak-haknya sebagai warga negara Keadilan lingkungan terkait erat dengan dimensi kesetaraan, hak asasi manusia, hakhak kolektif dan tanggung jawab sejarah dalam kaitannya dengan perubahan iklim. Salah satu pusat perhatian konsep keadilan lingkungan adalah mengenali dan mengatasi fakta bahwa mereka yang paling sedikit bertanggung jawab atas perubahan iklim harus menghadapi dampak terbesarnya. Istilah keadilan lingkungan juga digunakan dengan mengacu pada sistem hukum, di mana keadilan dicapai melalui aplikasi dan pengembangan hukum di bidang perubahan iklim. Keadilan lingkungan iklim juga merupakan visi untuk menghilangkan dan mengurangi beban yang timpang yang diciptakan oleh pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam serta masalah-masalah lingkungan yang ditimbulkan. Keadilan lingkungan berisi perlakuan yang adil terhadap semua orang, termasuk perempuan dan warga rentan, serta berisi langkah pengembangan rangkaian kebijakan dan program yang mengatasi penyebab-penyebab kerusakan lingkungan iklim dan segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan terkait kerusakan lingkungan Keadilan lingkungan juga merupakan suatu kerangka kerja yang digunakan untuk menempatkan aspek kesetaraan dan keadilan sosial serta aspek kerentanan (vulnerability) upaya mengatasi krisis akibat kerusakan lingkungan. Keadilan lingkungan juga mengakui keprihatinan dan situasi yang berbeda yang dihadapi perempuan dan laki-laki dari berbagai kelompok sosial yang tinggal di wilayah perkotaan dan mereka yang tinggal di daerah pedesaan. Dengan demikian, keadilan lingkungan tidak terlepas dari keadilan gender. Pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam serta kerusakan-kerusakan lingkungan terkait erat dengan dengan beragam isu gender. Oleh karena itu, dalam menganalisis pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam dan krisis lingkungan yang terjadi, serta dalam merumuskan ragam alternatif solusinya kita perlu mempertimbangkan dengan serius aspek gender dan mengupayakan untuk menghindari pendekatan yang melanggengkan ketidakadilan gender Secara umum negosiasi perubahan iklim mengabaikan prinsip kunci dari kerangka negosiasi perubahan iklim : tanggung jawab bersama yang berbeda (common but differentiated responsibilities) Negara-negara industri menghasilkan emisi gas rumah kaca jauh lebih banyak dibanding negara-negara “berkembang” sehingga seharusnya mereka memiliki memiliki tanggung jawab dan beban terbesar dalam mengatasi perubahan iklim Gagasan " keadilan iklim " biasanya diabaikan oleh banyak negara-negara kaya dan media mainstream mereka Dalam Tata Kuasa Hutan Dalam Tata Kelola Hutan Dalam Tata Ijin Dalam Mekanisme Kelembagaan Siapa yang “memiliki” tanah dan sumberdaya tertentu (lahan, hutan, pepohonan, hasil hutan non-kayu, dll)? Siapa yang menguasai sumberdaya-sumberdaya tersebut? Bentuk-bentuk pengelolaan tanah dan sumberdaya hutan seperti apa yg dikembangkan oleh berbagai pihak? Siapa yang memanfaatkan sumberdaya tertentu (tanah, hutan, pohon, dll)? Siapa yang memperoleh keuntungan dari sumberdaya tersebut? Siapa yang mengambil keputusan atas akses dan kontrol atas sumberdaya tsb? Siapa yang mengambil keputusan atas pembagian keuntungan dari sumberdaya tsb? Sejak kapan pola akses dan kontrol atas sumberdaya tsb. berlangsung? (sejarah) Apa dampak dari mekanisme akses dan kontrol atas sumberdaya tsb bagi perempuan dan laki-laki dari berbagai kelompok sosial? Total luasan hutan negara: sktr136 juta hektar Hutan produksi tetap meliputi wilayah seluas sekitar 34 juta hektar, pengelolaannya berada di tangan 537 yang memperoleh ijin konsesi pembalakan, hutan tanaman industri dan restorasi ekosistem. Hutan produksi yang dapat dikonversi meliputi wilayah sekitar 20 juta hektar. Perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan merupakan pihak-pihak yang memperoleh ijin untuk mengelola wilayah ini. Wilayah-wilayah yang dialokasikan untuk diekstraksi merupakan wilayah yang menghadapi beragam masalah ketidakadilan gender Kurang dari 2 juta hektar diijinkan pemerintah untuk dikelola oleh kelompok-kelompok masyarakat melalui beberapa skema kehutanan masyarakat (Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan/HKm, Hutan Tanaman Rakyat/HTR). Wilayah-wilayah yg memperoleh ijin kehutanan masyarakat masih memarjinalkan perempuan Skema kehutanan masyarakat belum betul-betul menyentuh keluarga-keluarga marjinal, termasuk yang dipimpin perempuan kepala keluarga. Jumlah seluruh desa Desa terkait kawasan hutan 31.957 (36,17%) 88.361 Dalam Kawasan Tepi Kawasan Sekitar Kawasan 1.305 (4,08%) 7.943 (24,86%) 22.709 (71,06%) Kalteng = 208 desa Jateng = 1.581 desa Jateng = 6.795 desa Sumber: Renstra Kemenhut 2010-2014; BPS, 2010 Kemiskinan di Kawasan Hutan Penduduk Miskin di kawasan hutan, 10,02 juta Total Penduduk Miskin, 31,02 juta Sumber: Renstra Kemenhut 2010-2014, BPS 2010. Sebagian besar wilayah tersebut memiliki tingkat kemiskinan cukup tinggi, tingkat pendidikan rendah, dan tingkat kesehatan rendah. Data statistik kabupaten di mana kampung halaman Banang dan Galu menunjukkan rata-rata lama sekolah pada tahun 2012 adalah 7,18 tahun. Masih terdapat 6,65 persen warga perempuan berusia di atas 10 tahun yang buta huruf. Tingkat buta huruf perempuan di atas usia 10 tahun lebih tinggi dibanding laki-laki pada kelompok usia sama. Jumlah perempuan yang menikah dini 30,34 persen untuk usia 16-18 tahun, dan 6,75 persen untuk usia di bawah 15 tahun. Angka kematian ibu melahirkan di kabupaten tersebut meningkat dalam empat tahun terakhir. Propinsi Kalimantan Barat sendiri merupakan salah satu propinsi yang memiliki angka kematian ibu melahirkan, yang melampaui angka nasional pada tahun 2012. Dua angka kematian lainnya, yakni kematian neonatal dan kematian bayi umur 29 hari hingga 11 bulan di propinsi ini juga tinggi. Propinsi ini juga termasuk salah satu propinsi sumber perdagangan perempuan. Memfasilitasi proses perubahan kebijakan dalam tata kuasa hutan dan tata kelola hutan di berbagai tingkatan (nasional, daerah, lokal) yang mampu mengatasi ketimpangan penguasaan sumberdaya hutan dan mendorong diwujudkannya kebijakan untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya hutan yang berkeadilan gender Menempatkan perspektif keadilan gender ke dalam proses reformasi kerangka kebijakan dan peraturan Mendorong pengembangan mekanisme kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang mengadopsi perspektif keadilan gender Memberikan ruang bagi perempuan dan kelompok marjinal lainnya utk terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan terkait tata kuasa, tata kelola dan tata ijin di semua tingkatan (rumah tangga, marga, masyarakat, negara, pasar) Strategi Nasional REDD+ menyebutkan secara eksplisit usulan perubahan kerangka pikir dan pola tindak dalam pengelolaan sumberdaya hutan agar lebih sensitif gender, terutama dengan cara memberi perhatian pada kesetaraan peran, kebutuhan dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki PRISAI, sistem safeguard yang dikembangkan oleh Satgas Nasional REDD+ secara khusus menyebutkan partisipasi penuh, efektif dan setara antara perempuan dan laki-laki di dalam keseluruhan proses REDD+. Namun secara substansi, PRISAI perlu ditinjau ulang Di dalam mekanisme kelembagaan REDD+ Di dalam kerangka hukum dan kebijakan terkait REDD+ Di dalam program-program strategis: ◦ Konservasi dan rehabilitasi ◦ Pengelolaan sumberdaya hutan, sumberdaya pertanian dan sumberdaya alam lainnya secara berkelanjutan Keterlibatan intensif dari perempuan dari berbagai kelompok sosial dan kelompok marjinal lain di dalam keseluruhan proses REDD+ Perubahan-perubahan di dalam mekanisme internal lembaga-lembaga yang terlibat dalam REDD+ Di ranah kebijakan (nasional, propinsi, kabupaten, dan desa) ◦ Kebijakan pembaruan agraria ◦ Kebijakan pembaruan tata kuasa hutan ◦ Kebijakan yang melindungi hak-hak masyarakat adat dan masyarat lokal, termasuk perempuan adat dan perempuan lokal Di ranah mekanisme kelembagaan (kementrian dan lembaga negara terkait) Di ranah perijinan pengelolaan sumberdaya hutan (pemberian lisensi konsesi) Di ranah Demonstration Activities (DAs) maupun pilot project lainnya Di ranah akar rumput; mendorong gerakan membangun kemandirian desa/kampung dengan perspektif kesetaraan dan keadilan gender serta keadilan lingkungan