POLA KOMUNIKASI ORGANISASI AKSI CEPAT TANGGAP (ACT) DALAM PENANGANAN BENCANA GUNUNG KELUD DI KECAMATAN PARE KABUPATEN KEDIRI Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) Disusun oleh : MUHAMMAD RIFKI 109051000045 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H./ 2014 M LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi persyratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlalu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 1 juli 2014 Muhammad Rifki ABSTRAK Muhammad Rifki Pola Komunikasi Organisasi Aksi Cepat Tanggap (ACT) Dalam Penanganan Bencana Gunung Kelud di Kecamatan Pare Kabupaten Kediri. Aksi Cepat Tanggap (ACT) adalah organisasi kemanusiaan yang menggerakkan humanity (kemanusiaan), philanthropy (kedermawanan), dan volunteerism (kerelawanan). Komunikasi dalam suatu organisasi sangat diperlukan. Dengan adanya komunikasi, maka tujuan dari suatu organisasi akan mudah tercapai. Karena itu, diperlukan pola komunikasi yang efektif dan efisien baik melalui lisan dan tulisan. Dalam menyampaikan informasi perusahaan kepada semua karyawan. Berdasarkan konteks di atas, maka pertanyaan mayornya adalah bagaimana pola komunikasi organisasi ACT dalam penanganan bencana gunung Kelud di Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri? Adapun pertanyaan minornya adalah apa pola komunikasi yang digunakan pada bagian pra-bencana? Apa pola komunikasi yang digunakan pada bagian saat bencana? Apa pola komunikasi yang digunakan pada bagian pasca-bencana? Pola komunikasi organisasi yang digunakan oleh ACT adalah pola lingkaran. Pola lingkaran adalah semua anggota organisasi dapat berkomunikasi dengan yang lainnya, tidak mempunyai pemimpin serta setiap anggota bisa berkomunikasi dengan dua anggota lain di sisinya. Dimana semua anggota ACT dapat berkomunikasi dengan siapa saja baik secara langsung maupun tidak langsung. Serta adanya komunikasi berjenjang yang dilakukan tiap harinya. Sehingga komunikasi berjalan dengan baik. Teori yang digunakan adalah pola komunikasi organisasi. Pola adalah bentuk (struktur) yang tepat. Komunikasi adalah pesan yang disampaikan dari komunikator kepada komunikan melalui lisan atau tulisan kemudian terjadinya feedback. Organisasi adalah sejumlah individu yang diorganisasi untuk mencapai tujuan tertentu. Pola komunikasi ini terbagi menjadi lima yaitu pola roda, rantai, Y, lingkaran, dan bintang atau semua saluran. (DeVito, 2011). Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, dengan pendekatan kualitatif. Tahapan penelitiannya menggunakan pedoman wawancara dan dokumentasi. Waktu penelitiannya adalah Desember 2013 sampai Maret 2014. Teknik pengumpulan datanya adalah data primer dan data sekunder. Pola komunikasi pada saat pra-bencana, saat bencana dan pasca-bencana cenderung menggunakan pola lingkaran. Ini tampak pada rapat-rapat manajemen dan saat mitigasi bencana. Pada saat bencana dan pasca-bencana, pola lingkaran ini digunakan berdasarkan struktur yang dibuat dilapangan. Tetapi tetap melakukan briefing yang menjadi pola dasar dari ACT. Briefing dilakukan untuk evaluasi dan persiapan tim dilapangan agar tidak ada kendala dalam berkomunikasi dilapangan. Pola komunikasi yang digunakan ACT adalah pola lingkaran. Pola lingkaran, komunikasi yang dilakukan secara berjenjang melalui rapat-rapat manajemen. Komunikasi yang dilakukan tidak hanya pekerjaan. Tetapi kedekatan emosional dan spritual serta campaign, mengedukasi masyarakat, happening art, dan unjuk kepedulian di area publik pun mereka lakukan. Media yang digunakan adalah bbm, e-mail, group facebook, , maupun secara langsung. Kata Kunci : Komunikasi, Organisasi, Pola, ACT, dan bencana. i KATA PENGANTAR Bismillahirrohmaanirrohim Pertama-tama penulis mengucapkan puji syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, Dialah Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah memberikan nikmat Iman, Islam dan Ihsan kepada seluruh umat manusia yang ada di muka bumi ini. Dialah Tuhan yang menciptakan akal sebagai mediator untuk berfikir dan merenung tentang kekuasaan-Nya, untuk mempelajari lautan ilmu-Nya, dan yang terpenting, untuk menyadari, mengetahui, mengingat dan menyaksikan akan eksistensi-Nya setiap saat. Bersama rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana dan merupakan kewajiban akademis di Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW, keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan seluruh pengikutnya yang senantiasa istiqamah dalam mengikuti dan memegang teguh ajaran-Nya dan menjalankan agama Allah SWT. Semoga uswatu hasanah yang beliau contohkan, menjadikan penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya pengikut yang senantiasa mengikutinya dalam kehidupan sehari-hari. ii KATA PENGANTAR Assalamu’alaikumWr. Wb. Tiada kata yang patut kita lantunkan selain puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan yang Maha Agung yang dengan limpahan anugerah dan nikmat yang tak terukur kepada peneliti, sehingga dapat memulai dan menyelesaikan penelitian ini. Shalawat teriring salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan baginda Nabi Besar Muhammad SAW. Amin. Peneliti menyadari adanya kekurangan dan kelemahan yang melekat pada diri peneliti, khususnya pada penyelesaian skripsi ini. Namun, Alhamdulillah dengan keterbatasan dan kekurangan ini akhirnya peneliti bias menyelesaikan penelitian ini. Hal ini tidak terwujud sendirinya melainkan karena dukungan dan bantuan dari banyak pihak baik moril maupun materil, sehingga banyak ucapan terimakasih peneliti ucapkan kepada: 1. Dr. Arief Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Pembantu Dekan Bidang Akademik Dr. Suprato, M.ED, Pembantu Dekan Bidang Adminitrasi Drs. Jumroni, M.SI, Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan Drs. Sunandar MAg. 2. Rachmat Baihaky, MA selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam yang telah memberikan sarana dan prasarana yang baik selama peneliti berada di kampus ini. ii 3. Umi Musyarofah selaku Sekertaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan nilai akademis di kampus tercinta ini. 4. Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph.D. selaku pembimbing yang telah sabar dalam membimbing peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan telah meluangkan waktunya untuk membolehkan dating kerumah, hingga lebih dari 10 kali untuk mengarahkan, membimbing, dan membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi. 5. Bapak Drs. Masran, MA selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah memandu dan memberikan dukungan sejak pertama kuliah hingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan. 6. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, khususnya jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam yang telah memberikan wawasan keilmuan, mendidik dan mengarahkan peneliti selama peneliti berada pada masa kuliah. 7. Segenap staf akademik dan staf Perpustakaan Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah membantu peneliti dalam mencari berbagai literatur yang menunjang untuk skripsi ini. 8. Terimakasih kepada aktivis dan pimpinanACT beserta stafnya sebagai objek penelitian, dan yang telah membantu peneliti dalam observasi, wawancara, dan dokumentasi untuk melengkapi penyelesaian skripsi. iii 9. Terimakasih kepada Ayah saya, Muhammad Ali yang telah ikut memberikan semangat, membelikan buku, dan menanyakan selalu sudah sampai mana skripsi yang peneliti buat. 10. Terimakasih kepada Ibu saya, Ibu Mulyani yang telah menyarankan peneliti untuk berdiskusi, meminta bantuan dengan saudara-saudara, dan ikut membantu mendoakan peneliti supaya cepat menyelesaikan skripsi. 11. Terimakasih kepada Adik dan Kakak saya yang ikut memberikan semangat setiap hari kepada peneliti. 12. Teman-teman KPI B angkatan 2009 yang telah bersama-sama berjuang dan menimba ilmu di kampus tercinta dan terus menjaga kekompakkan satu sama lain. 13. Teman-teman KKN Ceria 2009 yang telah memberikan ilmu pendidikan kepada masyarakat di daerahCisarua Bogor. 14. Teman-teman dekat yang selalu membantu, mendukung, dan bertukar pikiran sehari-hari. 15. Serta pihak-pihak yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu namun tidak mengurangi rasa hormat dan ucapan terimakasih kepada mereka semua. Peneliti merasa perlu memberikan ucapan terimakasih yang sebanyakbanyaknya kepada mereka yang telah peneliti sebutkan di atas, berkat dukungan, semangat, serta do’a yang tulus kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. Tentu saja skripsi ini jauh dari nilai kesempurnaan, namun besar harapan peneliti iv bahwa skripsi ini dapat member manfaat khususnya bagi peneliti dan umumnya bagi pembaca. Amin Wassalamu’alaikumWr. Wb. Jakarta, 31 Maret2014 Muhammad Rifki 109051000045 v DAFTAR ISI ABSTRAK ...................................................................................................... i KATA PENGANTAR .................................................................................... ii DAFTAR ISI ................................................................................................... vi DAFTAR TABEL .......................................................................................... viii BAB I BAB II BAB III PENDAHULUAN A. LatarBelakang ......................................................................... 1 B. Identifikasi, Batasan, danRumusanMasalah ........................... 5 C. TujuandanManfaatPenelitian .................................................. 6 D. TinjauanPustaka ...................................................................... 8 E. BingkaiTeori ........................................................................... 10 F. MetodePenelitian..................................................................... 12 G. SistematikaPenulisan .............................................................. 15 LANDASAN TEORITIS A. PolaKomunikasiOranisasi ....................................................... 17 1. PengertianPolaKomunikasiOrganisasi .............................. 17 2. Macam-macamPolaKomunikasiOrganisasi ...................... 20 B. Bencana ................................................................................... 24 1. PengertianBencana ............................................................ 24 2. Jenis-jenisBencana ............................................................ 25 3. LetusanGunungKelud ....................................................... 25 C. TahapanPenangananBencana .................................................. 27 D. PenangananBencananTerpadu ................................................ 30 GAMBARAN UMUM AKSI CEPAT TANGGAP A. SejarahBerdirinyaOrganisasiAksiCepatTanggap (ACT) ........ 39 B. VisidanMisiAksiCepatTanggap (ACT) ................................. 40 C. StrukturOrganisasiAksiCepatTanggap (ACT) ....................... 41 D. Program KegiatanOrganisasiAksiCepatTanggap (ACT) ....... 42 vi BAB IV BAB V TEMUAN DAN HASIL ANALISIS A. PolaKomunikasi ...................................................................... 47 1. Pra-Bencana ...................................................................... 50 2. SaatBencana ...................................................................... 56 3. Pasca-Bencana................................................................... 60 B. Interpretasi............................................................................... 62 PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................. 65 B. Saran ....................................................................................... 66 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 68 LAMPIRAN vii DAFTAR TABEL 1. BINGKAI TEORI .............................................................................. 10 2. POLA KOMUNIKASI ...................................................................... 22 3. PENANGANAN BENCANA ............................................................ 32 viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebuah bencana yang disebabkan oleh manusia menciptakan serangkaian "bencana alam" yang merangsang bencana sosial dalam jangka waktu yang panjang yang melebihi masa hidup manusia normal. Bencana ini sangat berdampak pada kelangsungan hidup orang banyak serta membuat peradaban manusia menjadi rusak. Para manusia yang mendapatkan dampak besar seperti kehilangan tempat tinggal, keluarga, harta benda maupun yang lainnya. hal ini di sebabkan perubahan iklim yang ekstrim, perang, sistem ekonomi yang terjebak dunia dalam krisis global. Ini tentu mendapat perhatian khusus bagi setiap Negara untuk membentuk sebuah tim pemerintahan dalam mengantisipasi maupun memberikan pertolongan dengan cepat kepada para korban. Di Indonesia sendiri telah banyak instansi pemerintah maupun lembagalembaga lokal untuk ikut berpartisipasi dalam menangani bencana tersebut. Salah satunya adalah Aksi Cepat Tangap (ACT). yang berdiri di Jakarta tahun 2005. Sebuah organisasi kemanusiaan yang menggerakkan humanity (kemanusiaan), philanthropy (kedermawanan), dan volunteerism (kerelawanan). Humanity adalah wujudnya desain program kemanusiaan, kedermawanan menjadi salah satu sumber pembiayaannya yang digalang dengan mekanisme kampanye diberbagai media komunikasi, dan kerelawanan menjadi sumber daya pelaksanaan/implementasi program kemanusiaan.1 1 Wawancara pribadi dengan Ikbal Setyarso, Direktur Komunikasi ACT, Jakarta, Menara 165, 20 Desember 2013. 1 2 ACT berdiri pada tahun 2005 sebagai institusi resmi dan mandiri. Program yang ditangani berkembang tidak lagi hanya berkisar pada bencana alam, namun juga mengembangkan konsentrasinya pada bencana sosial atau bencana kemanusiaan. Termasuk di antaranya, gizi buruk, rawan pangan, anak-anak, masalah kesehatan dan sanitasi lingkungan, pendidikan, pemberdayaan ekonomi, pembangunan masyarakat, hingga konflik sosial. Tak hanya memberikan bantuan kepada para korban bencana, ACT juga memiliki aktivitas yang meliputi: pelatihan, konsultasi, dan penelitian berbasis keahlian akademis praktis dan empiris di bidang penanganan bencana alam dan sosial secara terpadu. Pelatihan, konsultasi, dan penelitian yang dilakukan mencakup mitigasi, kesiapsiagaan, emergensi, rehabilitasi, rekonstruksi, hingga prosedur mutu dalam tugas-tugas kemanusiaan dan kebencanaan. Hal ini tentu tidak lepas dari hubungan komunikasi yang dibangun antara pegawai dan manajemen ACT, sehingga terhindar dari masalah konflik yang biasanya sering terjadi dalam sistem organisasi dan hubungan antara bawahan dan atasan sangat akrab dan harmonis. Komunikasi merupakan suatu aktivitas manusia yang sanga penting. Bukan hanya dalam suatu organisasi, tetapi dalam kehidupan manusia secara umum. Tiada hari tanpa komunikasi, sepanjang nafas dan detak jantung masih ada komunikasi sangat diperlukan. Tanpa komunikasi, kita tidak dapat berinteraksi dengan sesama manusia dan memahami apa yang sedang dilakukan oleh manusia. Komunikasi tidak hanya melalui lisan, tetapi dapat juga dilakukan melalui tulisan. Komunikasi menduduki suatu tempat yang 3 utama karena susunan keluasan dan cakupan organisasi secara keseluruhan ditentukan oleh teknik komunikasi.2 “Komunikasi memberikan sesuatu kepada orang lain dengan kontak tertentu atau dengan memergunakan sesuatu alat. Banyak komunikasi terjadi dan berlangsung tetapi kadang-kadang tidak tercapai kepada sasaran tentang apa yang dikomunikasikan itu.”3 Menurut William J. Seller komunikasi adalah proses dengan di mana simbol verbal dan nonverbal dikirimkan, diterima, dan diberi arti. Hakikatnya komunikasi merupakan pengiriman pesan yang akan diinterpretasikan oleh si penerima pesan.4 Sementara itu menurut Harold Lasswell, “dalam berkomunikasi dia menggunakan lima pertanyaan yang perlu dipertanyakan dan dijawab dalam bila komunikasi, yaitu who (siapa), says what (mengatakan apa), in which medium (melalui media apa), to whom (kepada siapa), dan dengan what effect (apa efeknya).”5 Komunikasi menjadi lebih terstruktur dan terhubung saat dikaitkan dengan organisasi. Suatu pendekatan objektif yang menyarankan bahwa sebuah organisasi adalah sesuatu yang bersifat fisik dan kongkrit, dan merupakan sebuah wadah yang mengumpulkan orang-orang dan mempunyai tujuan yang sama. Sementara itu, pendekatan yang subjektif memandang organisasi adalah proses atau tindakan-tindakan, yang dilakukan orang-orang dalam struktur organisasi.6 2 Veithzal Rivai, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 337. 3 H.A.W. Widjaja, Komunikasi & Hubungan Masyarakat (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h..5. 4 Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 4-5. 5 Michael Burgoon, Approachingn Spech/Communication Process (New York, Holt, Rinehart dan Winston, 1974), h. 10 6 R. Wayne Pace dan Doon F. Faules, Komunikasi Organisasi Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 11. 4 Untuk memajukan organisasi, maka sangat diperlukan komunikasi yang baik. Oleh karena itu, kita harus mengetahui lebih banyak mengenai sistem secara keseluruhan dan bagaimana mencocokkan ke dalam sistem yang lebih luas.7 Dalam organisasi, manusia membutuhkan komunikasi yang efektif agar cepat mencapai tujuan yang diinginkan. Setiap individu harus mampu berkomunikasi yang baik agar terciptanya keharmonisan sehinga terhindar dari konflik. Keharmonisan komunikasi dan kepuasan kerja menunjukkan secara tidak langsung bahwa pegawai haruslah mempunyai informasi yang diperlukan untuk megerjakan pekerjaan. Komunikasi memungkinkan orang untuk mengoordinir kegiatan untuk mencapai tujuan bersama, tetapi komunikasi itu tidak hanya menyampaikan informasi atau mentransfer makna saja.8 Dalam suatu organisasi, diperlukan komunikasi yang efektif dan efisien. Karena, jika dalam suatu organisasi tidak melakukan komunikasi kepada atasan maupun sesama pegawai, maka organisasi tersebut tidak dapat mengoordinasi tugas yang harus dilaksanakan, tidak adanya keterbukaan di antara para pegawai, dan tidak tercapainya tujuan bersama. Komunikasi dalam organisasi menjadi sistem aliran yang menghubungkan dan membangkitkan kinerja antar bagian dalam organisasi sehingga menghasilkan sinergi. Dibandingkan pada lembaga lain, ACT merupakan lembaga nonprofit sehingga dibangun komunikasi yang baik di dalamnya. Dalam mencapai tujuan dan harapan di suatu organisasi, maka organisasi tersebut harus membangun komunikasi yang efektif dan efesien di dalam internal organisasi tersebut. Oleh 7 Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, h. 92. Abdullah Masmuh, Komunikasi Organisasi dalam Perspektif Teori dan Praktik (Malang: UMM Press, 2008), h. 7. 8 5 karena itu, sebuah organisasi tidak terlepas dari adanya komunikasi. Tanpa komunikasi organisasi, tidak akan berjalan dengan baik untuk mencapai tujuan bersama. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “Pola Komunikasi Organisasi Aksi Cepat Tanggap (ACT) dalam Penanganan Bencana Gunung Kelud di Kecamatan Pare Kabupaten Kediri.” B. Identifikasi, Batasan, dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Masalah yang ingin diteliti adalah hanya pada pola komunikasi yang digunakan ACT dalam menangani bencana. Kendala dalam komunikasi yang biasa terjadi adalah miss komunikasi, yang menimbulkan konflik maupun salah paham, keadaan alam sekitar yang tidak mendukung, alat komunikasi yang minim, dan adanya kesenjangan jabatan yang membuat komunikasi menjadi tidak efektif. Masalah-masalah ini yang perlu diminimalir dalam komunikasi, oleh karena itu peneliti mencoba membahas pola komunikasi apa yang digunakan dalam penanganan bencana di gunung Kelud. 2. Batasan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, pembatasan masalah hanya menekankan pada pola komunikasi yang digunakan Aksi Cepat Tanggap (ACT) saat menangani bencana di fase pra-bencana, fase saat bencana, dan fase pascabencana pada kejadian letusan gunung Kelud di Kecamatan Pare Kabupaten Kediri. 6 3. Rumusan Masalah Pertanyaan utama penelitian ini adalah bagaimana pola komunikasi organisasi Aksi Cepat Tangap (ACT) dalam penanganan bencana letusan gunung Kelud? sedangkan pertanyaan minor adalah: a. Pola komunikasi apa yang digunakan pada bagian pra-bencana? b. Pola komunikasi apa yang digunakan pada bagian saat bencana? c. Pola komunikasi apa yang digunakan pada bagian pasca-bencana? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Dengan mengacu pada latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adala mengetahui bagaimana pola komunikasi organisasi di Aksi Cepat Tanggap (ACT) dalam penanganan bencana letusan gunung Kelud, khususnya: a. Mengetahui apa pola komunikasi yang digunakan pada bagian prabencana. b. Mengetahui apa pola komunikasi yang digunakan pada bagian saat bencana. c. Mengetahui apa pola komunikasi yang digunakan pada bagian pascabencana. 2. Manfaat Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: a. Manfaat akademis memperkaya ilmu komunikasi organisasi melalui lembaga kemanusiaan nasional seperti ACT. 7 b. Manfaat praktis, secara praktis penelitian ini diharapkan akan menjadi sebuah masukan dan menambah wawasan bagi mahasiswa dan masyarakat. Serta bagi para praktisi komunikasi dalam hal pola komunikasi organisasi penangan bencana, tulisan ini dapat dijadikan masukan buat lembaga kemanusian lain di Indonesia. 3. Pernyataan Penelitian Pada dasarnya ACT telah menggunakan pola komunikasi yang berstruktur dalam berkomunikasi sesama karyawan. Pada saat penangangan bencana di gunung Kelud, pola komunikasi yang digunakan oleh ACT adalah pola lingkaran dan pola rantai. Pola lingkaran terjadi pada saat pra-bencana, di mana terjadi komunikasi berjenjang. Sedangkan, pola rantai terjadi pada saat bencana dan pasca-bencana karena adanya komunikasi ke atas dan ke bawah melalui tingkatan hirarki yang bersifat kaku. Keadaan terpusat juga terdapat di sini. Orang yang berada di posisi tengah lebih berperan sebagai pemimpin dari pada mereka yang berada di posisi lain. Pola komunikasi ini memungkinkan para relawan dan aktivis penanganan bencana yang ada untuk mempermudah mengoordinir kegiatan mereka di lapangan untuk mencapai tujuan bersama. Komunikasi itu dilakukan berdasarkan tingkatan hirarki yang beralaku. Hal ini bertujuan untuk mengurangi tingkat penyimpangan dalam berkomunikasi di lapangan. Komunikasi ini juga di lakukan dengan adanya rapat-rapat manager baik di kantor maupun di lapangan. 8 D. Tinjauan Pustaka Langkah awal sebelum melakukan penelitian suatu karya ilmiah adalah proses penelaahan peneliti terlebih dahulu, kemudian peneliti memeriksa skripsi dan penelitian sebelumnya yang mempunyai judul atau objek dan subjek penelitian yang sama atau hampir sama dengan yang diteliti. Dengan demikian, peneliti dapat mengetahui apa yang diteliti sebelumnya. Sehingga, penelitian karya ilmiah ini tidak sama dengan penelitian skripsi terdahulu. Setelah mengadakan suatu penelitian kepustakaan skripsi yang memiliki judul hampir sama dengan yang akan diteliti, judul skripsi tersebut adalah: 1. Maulisa Suderajat, mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam angkatan tahun 2014 berjudul, “Pola Komunikasi Organisasi Di Lembaga Kemanusiaan Nasional Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU).” Skripsi ini menjelaskan tentang pola komunikasi yang digunakan dalam PKPU adalah pola bintang. PKPU menggunakan komunikasi dua arah. Teknik ini Perbedaan skripsi ini dengan yang diteliti ini terletak pada subjek penelitiannya.9 2. Dini Novianti, mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam angkatan tahun 2009 berjudul, “Pola Komunikasi Organisasi Di Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah II Kampung utan Tangerang.” Skripsi ini menjelaskan bahwa pola komunikasi yang digunakan adalah komunikasi ke bawah, komunikasi ke atas, komunikasi horizontal dan informal. Media yang digunakan adalah melalui website, telepon, radio, 9 Maulisa Suderajat, “Pola Komunikasi Organisasi Di Lembaga Kemanusiaan Nasional Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU).” (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014), h. 70. 9 fax, email, brosur dan koran untuk pelayanan jasa. Perbedaan skripsi ini dengan yang diteliti terletak pada objek penelitian.10 3. Ika Soleha, mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam angkatan tahun 2013 berjudul, “Pola Komunikasi Organisasi Di PT. Arga Bangun Bangsa ESQ Leadership Center.” Skripsi ini menjelaskan tentang pola komunikasi yang digunakan PT. Arga Bangun Bangsa ESQ Leadership Center adalah pola bintang. Perbedaan pada skripsi ini adalah objek penelitiiannya.11 4. Andreas Meissner, dkk, pada tahun 2002 membuat jurnal yang berjudul “Design Challenges for an Integrated Communication and Information System.” 12 Disaster Management Jurnal ini menjelaskan bahwa pola komunikasi yang digunakan dalam penanganan bencana secara terpadu menggunakan komunikasi buttom-up. Perbedaan skripsi ini dengan yang diteliti terletak pada objek penelitian. 10 Dini Novianti, “Pola Komunikasi di Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah II Kampung Utan Tangerang.” (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 59. 11 Ika Soleha, “Pola Komunikasi Organisasi Di PT. Arga Bangun Bangsa ESQ Leadership Center.” (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013), h. 80. 12 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System,” The First IEEE Workshop on Disaster Recovery Network, New York City, 24 Juni 2002. h. 1. 10 E. Bingkai Teori GAMBAR 1.1 Pola komunikasi organisasi Joseph A. DeVito Pola Lingkaran Pola Roda Pola Bintang Pola Y Aksi Cepat Tanggap (ACT) Pra-Bencana) Saat Bencana Korban Letusan Gunung Kelud PascaBencana Pola Rantai 11 Gambar 0.1 menjelaskan, bahwa pola komunikasi merupakan bentuk yang digunakan dalam memberikan informasi. Beberapa teori digunakan untuk mengetahui pola yang digunakan sebuah organisasi tanggap bencana. ACT adalah lembaga kemanusiaan yang bergerak membantu korban bencana alam maupun bencana sosial. Sejak berdirinya pada tahun 2005, ACT telah banyak ikut berpartisipasi dalam membantu wilayah-wilayah yang terkena bencana, seperti di gunung Sinabung, gunung Merapi, dan banjir Jakarta. Hal ini tentu saja tidak lepas dari komunikasi yang dibangun ACT. Pola komunikasi yang digunakan ACT inilah yang membuat ACT lebih dikenal masyarakat. Pola yang di bangun ACT memudahkan proses penyampaian informasi kepada semua pegawai dan relawan ACT. Dalam proses penyampaian pesan, biasanya dalam komunikasi internal organisasi, proses penyampaiannya terbagi menjadi dua, yakni vertikal dan horizontal. Proses penyampaian pesan vertikal, yakni komunikasi ke bawah berupa tugas-tugas, maupun intruksi, dan ke atas yang berupa laporan maupun masukan untuk perusahaan. Sedangkan horizontal adalah penyampaian pesan ke sesama kayawan berupa koordinasi maupun kesiapan yang dibutuhkan. Dalam menyampaikan informasi, baik komunikasi ke bawah, ke atas, dan horizontal membutuhkan sarana komunikasi, baik media elektronik maupun non elektronik, sehinga komunikasi dalam menyampaikan informasi ke semua pegawai ACT dapat menghemat cost, tenaga, dan waktu. Hal inilah yang hendak diteliti, yakni bagaimana pola komunikasi organisasi dalam lembaga ACT. 12 F. Metode Penelitian Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut: 1. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian ini dilaksanakan sejak tanggal 20 Desember sampai tanggal 20 Maret pada tahun 2014. Lokasi penelitian dalam hal ini bertempat di perkantoran Ciputat Indah Peramai, Tangerang Selatan dan Menara ESQ Center 165, jalan TB Simatupang Kav. 1 Cilandak Timur, Jakarta Selatan, dan sempat melakukan observasi di lokasi bencana letusan gunung Kelud kecamatan Pare kabupaten Kediri, tanggal 23 Febuari 2014. 2. Subjek dan Objek Penelitian Subjek peneltian ini adalah organisasi ACT dan okjek penelitiannya adalah bagaimana pola komunikasi yang diterapkan oleh ACT dalam penanganan bencana letusan gunung Kelud. 3. Metode Penelitian Adapun penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif, dengan pendekatan kualitatif. Peneliti berusaha untuk menggambarkan secara jelas yang terjadi di lapangan dan kemudian dianalisis untuk mendapatkan hasil yang digunakan sebagai bahan penelitian. Pendekatan kualitatif ini menitik beratkan pada data-data penelitian yang akan dihasilkan melalui pengamatan, dan wawancara. Selain itu, jenis penelitian ini bersifat deskriptif, yakni berusaha memberikan gambaran rinci mengenai pola komunikasi ACT dalam penanganan bencana letusan gunung Kelud. 13 Pendekatan kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang ada. Objek analisis dalam pendekatan kualitatif adalah makna dan gejala-gejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan dan masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh kategorisasi.13 4. Data Penelitian a. Field Research (penelitian lapangan) Penelitian ini dilaksanakan dengan terjun langsung ke lokasi penelitian yang dalam hal ini bertempat di Menara ESQ Center 165 lantai 11 dan 14 juga tempat kejadian bencana letusan gunung Kelud di Kediri Jawa Timur tanggal 23 Febuari 2014. b. Library Research (penelitian kepustakaan) Peneliti mengumpulkan dan menelaah beberapa literatur seperti, bukubuku ilmiah, jurnal, surat kabar, majalah, brosur, dan sumber-sumber lain yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Cara ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai kerangka teoritis dan pendapat para ahli dan lembaga yang terkait dengan masalah ini. 5. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi Observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuan hanya dapat berkerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi.14 Observasi merupakan pengamatan dan pencatatan dengan sistematika dengan fenomena yang diselidiki. 13 Jumroni. Metode-Metode Penelitian Komunikasi (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 28. 14 309. Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi Mixed Methods (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 14 Dengan metode ini penulis akan mengetahui tentang bagaimana pola komunikasi organisasi di ACT dalam penanganan bencana letusan gunung Kelud. b. Wawancara Wawancara adalah salah satu alat untuk mengumpulkan atau memperoleh informasi langsung tentang beberapa jenis data.15 Wawancara ini berkaitan dengan masalah penelitian, sehingga dapat menemukan data atau keterangan mengenai pola komunikasi organisasi dalam lembaga ACT dalam penanganan bencana letusan gunung Kelud. Wawancara ini dilakukan di menara ESQ 165 bersama bapak Iqbal Setyarso Direktur Komunikasi ACT, serta Insan Nurrahman Vice Presiden ACT, Erlid Riandilanta Relawan ACT, Totok AP Ketua Induk Posko Daerah MRI Bojonegoro. c. Studi Dokumentasi Studi ini digunakan untuk mengambil data dari berbagai dokumen yang telah dimiliki kantor ACT berupa buku, bulletin, dan foto-foto yang kemudian akan menjadi rujukan untuk kemudian diteliti lebih lanjut. “Dokumen-dokumen ini dapat mengungkapkan bagaimana subjek mendefinisikan dirinya sendiri, lingkungan, dan situasi yang dihadapinya suatu saat, dan bagaimana kaitan antara definisi diri tersebut dalam hubungan dengan orang-orang di sekelilingnya dengan tindakantindakannya.”16 15 Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Jogjakarta: Andi Offset, 1983), h. 49. Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), h. 195. 16 15 6. Teknik Pengolahan Data Dalam menyederhanakan data, peneliti melakukan beberapa tahap, yaitu data dikelompokkan, disederhanakan, lalu dikemas dalam tabel, grafik, maupun bagan. Dan dalam penulisan ini, peneliti berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) terbitan CeQDA (Center for Quality Development and Assurance).17 7. Teknik Analisis Data Analisis data kualitatif adalah menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena sosial dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut dan menganalisis makna yang ada di balik informasi, adat, dan proses suatu fenomenan sosial itu.18 G. Sistematika Penulisan Dalam sistematika penulisan skripsi ini, penulis menguraikannya ke dalam beberapa bab sebagai berikut: Peneliti memulai skripsi ini dengan sebuah pendahuluan. Bab I ini berisikan: latar belakang masalah, identifikasi masalah, fokus dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, pernyataan penelitian, bingkai teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan yang merupakan gambaran umum dalam penulisan skripsi. Selanjutnya, kajian teoritis peneliti tempatkan pada bab II, yang meliputi: penjelasan teori yang relevan digunakan untuk menganalisis dan merancang sistem yang diperoleh dari berbagai sumber seperti buku referensi maupun 17 Tim Penulis, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Jakarta: CeQDA, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007). 18 Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif (Jakarta: Kencana, 2010), h. 153. 16 internet yang menjadi landasan penulisan skripsi ini di antaranya tentang pola komunikasi organisasi. Adapun gambaran umum lembaga Aksi Cepat Tanggap, diuraikan pada bab III. Dalam bab ini, penulis kemukakan aspek sejarah ACT, kemudian visi dan misi ACT, selanjutnya program-progam kegiatan ACT, serta struktur lembaga ACT. Inti skripsi ini ada pada bab temuan dan analisis. Bab IV ini berisi tentang pola komunikasi organisasi di ACT, pola komunikasi bintang, pola komunikasi y, pola komunikasi rantai, pola komunikasi lingkaran, dan pola komunikasi roda. Akhirnya, peneliti tutup skripsi ini, dengan format kesimpulan dan saran. Bab V ini, penulis menjawab pertanyaan minor yang dikemukakan pada bab pendahuluan. Di akhir skripsi ini terdapat daftar bacaan dan disusul dengan lampiran. BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Pola Komunikasi Organisasi 1. Pengertian Pola Komunikasi Organisasi Pola komunikasi terdiri atas pola dan komunikasi. Pola dikatakan sebagai model, yaitu cara untuk menunjukkan sebuah objek yang mengandung kompleksitas proses di dalamnya dan hubungan antara unsur-unsur pendukungnya.1 Sementara, komunikasi organisasi merupakan serangkaian kata dari dua kata, yaitu komunikasi dan organisasi. Untuk lebih jelasnya, dari dua kata tersebut akan diuraikan dengan penjelasan masing-masing. Menurut Onong Uchjana Effendi “istilah komunikasi berasal dari bahasa Inggris yaitu communication yang berarti ‘pemberitahuan’ atau ‘pertukaran pikiran.’ Maka hakikat dari communication itu berarti ‘sama’ atau ‘kesamaan arti.”’2 Sedangkan secara terminologi, komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain yang disampaikan baik secara langsung yakni berupa lisan atau tatap muka maupun secara tidak langsung melalui media yang bertujuan untuk memberitahukan atau mengubah sikap, pendapat, dan prilaku, orang lain.3 Organisasi berasal dari bahasa Latin organigare, yang secara umum berarti sistem dari bagian-bagian yang satu sama lainnya saling bergantung. Organisasi adalah orang-orang yang berkumpul yang mempunyai suatu tujuan yang sama 1 Wiryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta: Grasindo, 2004), h. 9. Onong Uchjana Effendi, Spektrum Komunikasi (Bandung: Bandar Maju, 1992), h. 1. 3 Onong Uchayana Effendi, Dinamika Komunikasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), cet. ke-empat, h. 3-4. 2 17 18 dengan melalui pembagian tugas kerja dan saling bergantungan dengan yang lain untuk mencapai tujuannya.4 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa seseorang yang berkomunikasi berarti mengharapkan agar orang lain ikut berpartisipasi atau bertindak sesuai dengan tujuan, harapan, dan isi pesan yang disampaikan. Jadi di antara orang yang terlibat dalam kegiatan komunikasi harus memiliki kesamaan makna atau arti pada lambang-lambang yang digunakan untuk berkomunikasi, dan harus bersamasama mengetahui hal-hal yang dikomunikasikan. Menurut Veithzal Rivai, organisasi adalah wadah yang memungkinkan masyarakat dalam meraih hasil yang sebelumnya tidak dapat dicapai oleh individu secara sendiri-sendiri. Organisasi merupakan suatu unit yang terkoordinasi yang terdiri setidaknya dua orang berfungsi mencapai satu sasaran tertentu atau serangkaian sasaran.5 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, organisasi adalah kesatuan (susunan dsb) yang terdiri atas bagian-bagian (orang dsb) dalam perkumpulan untuk tujuan tertentu, kelompok kerjasama antara orang-orang yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama.6 Sondang P. Siagian dalam bukunya yang berjudul Peranan Staf dan Manajemen menyatakan bahwa: “organisasi adalah setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama, dan terkait secara formal dalam satu ikatan hirarki di mana selalu terdapat hubungan antara seseorang 4 Nurani Suyomukti, Pengantar Ilmu Komunikasi (Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), h. 179 5 Veithzal Rivai, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, h. 188. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-tiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 803. 6 19 atau sekelompok orang yang disebut pimpinan dan seorang atau sekelompok orang yang disebut bawahan.”7 Sementara itu komunikasi organisasi dapat dikatakan juga komunikasi antar manusia (human communication) yang terjadi dalam konteks organisasi di mana terjadi jaringan-jaringan pesan satu sama lain yang saling bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan yang sama. Dengan demikian, komunikasi organisasi adalah “komunikasi yang terjadi dalam suatu organisasi antara pemimpin dengan pegawai atau sesama pegawai untuk mencapai suatu tujuan tertentu baik melalui media maupun face to face.”8 Sementara itu menurut Dedy Mulyana, komunikasi organisasi adalah komunikasi yang terjadi yang berlangsung di dalam jaringan kelompok yang besar dan komunikasinya bersifat formal mapun informal.9 R. Wayne Pace dan Don F. Faules mendefinisikan komunikasi organisasi menjadi dua bagian penting yaitu definisi fungsional yang menyatakan bahwa komunikasi organisasi sebagai suatu bentuk hubungan yang hirarkis dalam proses kegiatan penafsiran pesan dalam unit-unit komunikasi yang menjadi bagian dari struktur organisasi tertentu. Sedangkan definisi interpretatif menyatakan komunikasi organisasi lebih berfokus kepada sebuah proses kegiatan penafsiran pesan lebih lanjut yang terdapat dalam ruang lingkup batasan organisasi dilihat dari dua aspek pandangan subjektif dan objektif.10 7 Sondang P. Siagian, Peranan Staf dan Manajemen (Jakarta: Gunung Agung, 1976), cet. ke-satu, h. 20. 8 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2007), h. 274. 9 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007),h.83. 10 R. Wayne Pace dan Don F. Faules, Komunikasi Organisasi Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006, h. 34 20 Dari berbagai definisi pola komunikasi organisasi di atas, dapat disimpulkan bahwa pola komunikasi organisasi adalah bentuk pengiriman dan penerimaan informasi dalam organisasi yang kompleks. Yang mencakup dalam bidang ini adalah komunikasi internal, komunikasi eksternal, hubungan persatuan pengelola, komunikasi ke bawah atau komunikasi dari atasan kepada bawahan, komunikasi ke atas atau dari bawahan kepada atasan dan komunikasi dari orang-orang yang sama tingkatnya dalam organisasi, menulis dan komunikasi evaluasi program. Karena dengan adanya komunikasi ke bawah, ke atas, dan horizontal, koordinasi pekerjaan dapat berjalan lancar dan tujuan organisasi bisa dicapai. 2. Macam-macam Pola Komunikasi Organisasi Pola komunikasi organisasi adalah bentuk komunikasi yang digunakan dalam organisasi yang kompleks. Dalam suatu organisasi para anggota pasti saling bertukar pesan dengan anggota lainnya. Pertukaran pesan tersebut terjadi dengan melalui suatu jalan yang dinamakan pola aliran informasi atau jaringan komunikasi.11 Dalam organisasi ada beberapa pola yang biasa digunakan untuk berkomunikasi, menurut Joseph A. DeVito dan Sthephen P. Robbins ada lima pola komunikasi yang biasa digunakan dalam berkomuniikasi, yakni: a. Pola Lingkaran Menurut Joseph A. DeVito dalam pola lingkaran semua anggota organisasi dapat berkomunikasi dengan yang lainnya, mereka tidak 11 Abdullah Masmuh, Komunikasi Organisasi dalam Perspektif Teori dan Praktik, h. 57 21 mempunyai pemimpin serta setiap anggota bisa berkomunikasi dengan dua anggota lain di sisinya.12 Di sisi lain menurut Stephen P. Robbins pola lingkaran adalah adanya interaksi pada setiap tiga tingkatan hirarki, namun tidak adanya interaksi lanjutan pada hirarki yang lebih tinggi. Misalnya komunikasi terjadi secara interaksi antar sesama bawahan dengan atasannya langsung (komunikasi berjenjang).13 b. Pola Roda Menurut Joseph A. DeVito, pola roda disini memiliki pimpinan yang jelas, sehingga kekuatan pimpinan berada pada posisi sentral dan berpengaruh dalam proses penyampaian pesannya yang mana semua informasi yang berjalan harus terlebih dahulu disampaikan kepada pimpinan.14 Sementara itu Stephen P. Robbins, pola roda merupakan sistem jaringan komunikasi yang menjadikan semua laporan, instruksi, perintah kerja dan kepengawasan terpusat satu orang yang memimpin dengan empat bawahan atau lebih dan tidak adanya komunikasi sesama bawahan yang lain.15 c. Pola Rantai Menurut Joseph A. DeVito, pola rantai ini tidak memiliki pemimpin sama halnya pola lingkaran. Tetapi orang yang berada diposisi tengah 12 Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia, Penerjemah Agus Maulana (Pamulang: KARISMA Publising Grup, 2011), edisi ke-lima, h. 383. 13 Stephen P. Robbins, Organization Behaviour (New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2009), h. 134. 14 Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia, h. 383. 15 Stephen P. Robbins, Organization Behaviour, h. 134. 22 lebih berperan sebagai pemimpin daripada orang yang berada di posisi lain. Serta orang yang paling ujung hanya dapat berkomunikasi dengan satu orang saja.16 Sedangkan menurut Stephen P. Robbins, pola komunikasi rantai di sini terdapat lima tingkatan dalam jenjang hirarkisnya dan hanya dikenal sebagai sistem komunikasi arus ke atas (upward) dan ke bawah (downward) begitu juga sebaliknya. Artinya model tersebut menganut hubungan komunikasi garis langsung (komando) baik ke atas atau ke bawah tanpa terjadi suatu penyimpangan.17 d. Pola Bintang atau Semua Saluran Menurut Joseph A. DeVito, dalm pola ini semuanya anggota memiliki kekuatan yang sama untuk memengaruhi anggota lainnya dan setiap anggota lainnya memungkinkan adanya partisipasi anggota secara optimum.18 Sedangkan menurut Stephen P. Robbins dalam pola ini semua tingkatan dalam jaringan ini dapat melakukan interaksi timbal balik tanpa melihat siapa yang menjadi tokoh sentralnya. dan setiap staf/bawahan tidak dibatasi dan bebas melakukan interaksi dengan berbagai pihak/pimpinan atau sebaliknya.19 e. Pola Y 16 Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia, h. 383. Stephen P. Robbins, Organization Behaviour, h. 134. 18 Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia, h. 383. 19 Stephen P. Robbins, Organization Behaviour, h. 134. 17 23 Menurut Joseph A. DeVito, pola Y juga terdapat pimpinan yang jelas dan setiap anggota dapat mengirimkan dan menerima pesan dari dua orang lainnya.20 Menurut Stephen P. Robbins, pola Y ini terdapat empat level jenjang hirarki, satu supervisor mempunyai dua bawahan dan dua atasan yang mungkin berbeda devisi atau department.21 Bagan 02. Pola Komunikasi Sumber: Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia.22 Pola-pola yang telah disebutkan merupakan pola aliran informasi yang biasa digunakan dalam organisasi dan digunakan hanya untuk berkomunikasi secara internal, atau hanya dalam lingkup organisasi saja. 20 Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia, h. 383. Stephen P. Robbins, Organization Behaviour, h. 134. 22 Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia, h. 383. 21 24 B. Bencana 1. Pengertian Bencana Istilah bencana dapat diartikan sebagai sesuatu yang “menimbulkan kesusahan, kerugian, penderitaan, malapetaka, kecelakaan dan marabahaya.”23 Bencana merupakan “kejadian yang luar biasa, di luar kemampuan normal seseorang menghadapinya, menakutkan dan juga mengancam keselamatan jiwa. Akibatnya, berbagai bangunan penting hancur, korban jiwa berjatuhan dan memengaruhi kondisi psikologis dari mereka yang terkena dampak bencana.”24 “Bencana merupakan gangguan atau kekacauan pada pola normal kehidupan. Gangguan atau kekacauan ini biasanya hebat, terjadi tiba-tiba, tidak disangkasangka dan wilayah cangkupan sangat luas.” 25 Adapun dampak kepada manusia seperti kehilangan jiwa, luka-luka dan kerugian harta benda. Dampak yang paling utama yakni struktur sosial dan ekonomi seperti kerusakan infrastruktur berupa sistem jalan, air bersih, listrik, komunikasi dan pelayanan penting lainnya. Dalam UU RI No. 24 tahun 2007 dikatakan bahwa: “bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan serta penghidupan masyarakat yang disebabkan baik faktor alam atau non-alam maupun faktor manusia sendiri, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.”26 Dengan demikian, maka dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian bencana yaitu suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang dapat menimbulkan ancaman dan gangguan terhadap kehidupan masyarakat yang 23 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005) h. 100. 24 Nani Nurrachman, ed. Pemulihan Trauma: Pandan Praktis Pemulihan Trauma Akibat Bencana Alama (Jakarta, LPSP3Fakultas Psikologi UI, 2007), h. 3. 25 Robert J. Kodoatie dan Roestam Sjarief, Pengelolaan Bencana Terpadu, h. 67. 26 Sentosa Sembiring, Himpunanan Peraturan Perundang-undangan RI; Penanggulangan Bencana, h. 11. 25 melebihi batas kemampuannya, sehingga mengakibatkan kerusakan, kerugian serta penderitaan bahkan sampai jatuhya korban jiwa, baik terjadi karena alam ataupun non-alam ataupun karena faktor keduanya. 2. Jenis-Jenis Bencana Dalam UU RI No. 24/2007 berdasarkan jenis dan klasifikasinya, bencana yang terjadi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:27 a. Bencana Alam Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angina topan, dan tanah longsor. b. Bencana Non-Alam Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemik, dan wadah penyakit. c. Bencana Sosial Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa karena manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan terorisme. 3. Letusan Gunung Kelud “Letusan gunung merupakan peristiwa yang terjadi akibat endapan magma di dalam perut bumi yang didorong keluar oleh gas yang bertekanan tinggi.”28 Dari letusan-letusan seperti inilah gunung berapi terbentuk. Letusannya yang 27 Sentosa Sembiring, Himpunanan Peraturan Perundang-undangan RI; Penanggulangan Bencana, h. 10. 28 “Letusan Gunung,” diakses pada hari Sabtu 1 Maret 20014 dari www.Wikipedia.org.id. 26 membawa abu dan batu menyembur dengan keras sejauh radius 18 km atau lebih, sedangkan lavanya bisa membanjiri daerah sejauh radius 90 km. Letusan gunung berapi bisa menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang besar sampai ribuan kilometer jauhnya dan bahkan bisa memengaruhi putaran iklim di bumi ini. Hasil letusan gunung berapi berupa; gas vulkanik, lava dan aliran pasir serta batu panas, Lahar, Abu Letusan.29 Letusan gunung api adalah bagian dari aktivitas vulkanik yang dikenal dengan istilah erupsi. Bahaya letusan gunung api dapat berupa awan panas, lontaran material (pijar), hujan abu lebat, lava, gas racun, tsunami dan banjir lahar.30 “Gunung Kelud (sering disalah tuliskan menjadi Kelut yang berarti "sapu" dalam Bahasa Jawa; dalam Bahasa Belanda disebut Klut, Cloot, Kloet, atau Kloete) adalah sebuah gunung berapi di Provinsi Jawa Timur, Indonesia, yang tergolong aktif.”31 Gunung ini berada di perbatasan antara Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Malang , kira-kira 27 km sebelah timur pusat Kota Kediri. Gunung Kelud dikenal sebagai gunung api dengan kawah berupa danau yang terbentuk akibat dari letusan pada tahun 2007.32 Gunung Kelud merupakan salah satu gunung aktif di Jawa Timur yang “erupsinya didominasi oleh erupsi-erupsi eksplosif yang menghasilkan endapan 29 Abdillah Rikito, “Pengertian Gunung Meletus,” diakses pada hari Sabtu 1 Maret 2014 dari http://alampenuhbencana.blogspot.com/p/gunung-meletus.html. 30 Pusat Data dan Informasi dan Humas, “Definisi dan Jenis Bencana”, diakses pada hari Sabtu 1 Maret 2014 dari www.bnpb.go.id. 31 Faiz Wildan, “Sejarah Letusan Gunung Kelud diakses pada hari Sabtu 1 Maret 2014 dari http://guswildancenter.blogspot.com/2014/02/sejarah-letusan-gunung-kelud.html . 32 Palupi Annisa Auliani, “Gunung Kelud, Sejarah Panjang dan Anomali Letusan,” kompas.com, diakses pada hari Sabtu 1 Maret 2014. 27 aliran dan jatuhan piroklastik.”33 Oleh karena itu di sebagian utama bentuk gunung tersebut banyak dikelilingi oleh endapan-endapan tersebut. Sehingga kubah lava, sumbat lava, dan aliran lava yang ada hanya terdapat di daerah sekitar pusat erupsi utama dan erupsi samping gunung Kelud. Sementara itu, Gubernur Jawa Timur, Bapak Soekarwo menyatakan, masa tanggap darurat erupsi gunung Kelud mulai 13 Februari hingga 12 Maret 2014 sedangkan Pemerintah Daerah Provinsi DIY memutuskan masa tanggap darurat berlaku selama tujuh hari dimulai 14 Februari hngga 20 Februari 2014.34 C. Tahapan Penanganan Bencana Tahapan penanggulangan bencana dapat diartikan sebagai suatu proses yang berkelanjutan untuk meminimalisir dampak suatu bencana, hal ini ditandai dengan “serangkaian kegiatan berupa pencegahan bencana, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekontruksi.”35 Berikut tahapan penanggulangan bencana, yang meliputi kegiatan pra-bencana (pencegahan, kesiapsiagaan, mitigasi), tanggap darurat (saat bencana), dan pasca-bencana (rehabilitas, rekonstruksi). 1. Pra-Bencana Persiapan menghadapi bencana adalah berbagai kegiatan yang dipersiapkan untuk menghadapi kemungkinan timbulnya bahaya dari bencana.36 Upaya yang dilakukan pada saat pra bencana antara lain: 33 Akhmad Zaennuddin, “Prakiraan Bahaya Erupsi Gunung Kelud,” Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Vol. 4 No. 2, Agustus 2009, h. 1. 34 Dompet Dhuafa, “Situasi Respons Erupsi Gunung Kelud,” Disaster Manangement Dompet Dhuafa (14-17 Februari 2014), h. 2. 35 Warto, dkk, Uji Coba Pola Manajemen Penanggulangan Korban Bencana Alam pada Era Otonomi Daerah (Yogyakarta: Departemen Sosial RI, 2003), h. 15. 36 Warto, dkk, Uji Coba Pola Manajemen Penanggulangan Korban Bencana Alam pada Era Otonomi Daerah, h. 12. 28 a. Pencegahan, adalah “serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan resiko bencana, baik melalui pengurangan bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana.”37 b. Kesiapsiagaan, adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencan melalui pengorganisasian dan langkah yang tepat guna serta berdaya guna.38 c. Mitigasi, adala segala “kegiatan yang bertujuan memperkecil kerugian yang timbul akibat peristiwa bencana, terutama terhadap jiwa raga manusia, harta benda dan berbagai bangunan.”39 2. Saat Bencana Penanganan saat terjadi bencana adalah kegiatan yang dilakukan ketika bencana melanda, yang tujuannya adalah menyelamatkan korban manusia (jiwa-raga) dan harta benda untuk meminimalisir jatuhnya korban jiwa. Kegiatan yang biasanya dilakukan saat kejadian yaitu; evakuasi korban ke tempat penampungan sementara, penyelenggaraan dapur umum, distribusi atau penyaluran bantuan dalam bentuk pangan, sandang, obat-obatan, bahan bangunan, peralatan ekonomis-produktif (seperti alat pertanian dan pertukangan), serta uang sebagai modal awal hidup pasca-bencana, pendataan korban dan jumlah kerugian material.40 37 Sentosa Sembiring, Himpunanan Peraturan Perundang-undangan RI; Penanggulangan Bencana, h.12. 38 Sentosa Sembiring, Himpunanan Peraturan Perundang-undangan RI; Penanggulangan Bencana, h.11. 39 Warto, dkk, Uji Coba Pola Manajemen Penanggulangan Korban Bencana Alam pada Era Otonomi Daerah, h. 15. 40 Warto, dkk, Uji Coba Pola Manajemen Penanggulangan Korban Bencana Alam pada Era Otonomi Daerah, h. 12. 29 Rencana darurat biasanya dibangun dan disesuaikan dengan konteks di mana rencana darurat itu beroperasi, biasanya rencana darurat yang “mencangkup komunikasi, search and rescue, mengoordinasikan tugas-tugas emergency, sektor transportasi, kesejahteraan sosial, kesehatan dan tenaga medis, polisi dan keamanan, militer dan tenaga sukarelawan.”41 Fase tanggap darurat adalah di mana pemerintah bersama-sama masyarakat melakukan langkah tanggap darurat, termasuk diantaranya mengumumkan status bencana. Kemudian melakukan penyelamatan dokumen-dokumen Negara, menyediakan informasi kepada publik mengenai korban bencana, melakukan prosesi pemakaman korban meninggal, menyediakan posko informasi, menyediakan rumah sakit darurat, melakukan koordinasi sesama lembaga terkait, masyarakat dan instansi pemerintah.42 “Jangka waktu masa tanggap darurat, beragam sesuai dengan besar kecilnya skala bencana. Umumnya adalah dua minggu sampai satu bulan setelah terjadinya bencana dan dapat diperpanjang berdasarkan keputusan dari Presiden/Kepala Daerah.”43 3. Pasca-bencana Pasca-bencana lebih disebut dengan massa recovery. Recovery menurut UU RI No. 24/ 2007 adalah “serangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan 41 A.B. Susanto, Sebuah pendekatan strategi manajemen: disaster Manangement di Negeri Rawan Bencana (Jakarta: PT Aksara Grafika Pratama, 2006), h. 76. 42 Saru Arifin, “Model Kebijakan Mitigasi Bencana Alam Bagi Difabel: Studi Kasus di Kabupaten Bantul”, Yogyakarta,” Jurnal Fenomena Volume 6-Nomor 1 (Maret 2008): h. 8. 43 Syamsul Maarif, “Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor Enam Tahun 2008: Penggunaan Dana Siap Pakai,” Perka BNPB (Desember 2008), h. 12. 30 memfungsikan kembali kelembagaan, pra-sarana dan sarana dengan melakukan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi.”44 Rehabilitasi menurut UU RI NO. 24/ 2007 adalah “perbaikan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat untuk normalisasi semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.”45 Tindakannya meliputi; perbaikan prasarana dan sarana umum, pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat, pemulihan sosial psikologis, pelayanan kesehatan dan lain-lain. Rekonstruksi Menurut UU RI No. 24/ 2007 adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah bencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama yaitu tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pasca-bencana.46 D. Penanganan Bencana Terpadu Secara geografis Indonesia berada di kawasan rawan bencana alam, akibat kegagalan teknologi dan akibat ulah manusia lainnya. Masalah yang terjadi akibat bencana alam menyebabkan timbulnya kerugian berupa gangguan kehidupan dan penghidupan manusia dan kerusakan lingkungan. Adanya diskoordinasi dan kelemahan manajemen penanggulangan bencana merupakan hal yang harus 44 Sentosa Sembiring, Himpunanan Peraturan Perundang-undangan RI; Penanggulangan Bencana, h.12. 45 Sentosa Sembiring, Himpunanan Peraturan Perundang-undangan RI; Penanggulangan Bencana, h. 33. 46 Sentosa Sembiring, Himpunanan Peraturan Perundang-undangan RI; Penanggulangan Bencana, h.12. 31 diatasi. Perbaikan koordinasi dan manajemen penanggulangan di daerah rawan bencana merupakan salah satu prioritas upaya kesiapsiagaan. Upaya kesiapsiagaan dan penaggulangan bencana dijelaskan Andreas Meissner, dkk, mereka mengidentifikasi sebuah sketsa komunikasi dan sistem informasi terpadu untuk tanggap bencana dan pemulihan bencana, mereka juga memasukan pokok pembahasan mengenai jaringan, layanan dan konfigurasi perangkat, manajemen data dan penjadwalan sumber daya. Dalam rangka menerapkan arsitektur sistem tersebut.47 Lebih jauh Meissner, dkk membuat sebuah gambar sketsa komunikasi “Lembaga Pemadam Kebakaran” yang digunakan dalam penangan bencana kebakaran. Mereka mengambarkan secara deskriptif bagaimana aliran informasi dan komunikasi saling terhubung di antara personil garis depann, pos komando kantor pusat yang terhubung satu sama lain dengan pemerintah yang saling berkomunikasi menggunakan alat komunikasi tertentu.48 Bagan 03. Sketsa Komunikasi 47 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System,” The First IEEE Workshop on Disaster Recovery Network, New York City, 24 Juni 2002. h. 1. 48 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System,” h. 2. 32 Bagan 03. menunjukkan sebuah hubungan komunikasi yang tersambung secara sistematis antara pemerintah, kantor pusat (HQs), pos komando dan personil garis depan. Andreas Meissner, dkk, menggambarkan “ketika pos komando menetapkan lokasi bencana, mereka terhubung oleh link nirkabel atau satelit terestrial ke markas masing-masing. Untuk "hot spot" di tempat komunikasi, LAN nirkabel (infrastruktur, ad hoc, atau keduanya) sudah diatur.”49 Maksudnya, saat bencana terjadi pos komando membuat sebuah jaringan nirkabel (wireless) yang terhubung dengan markas masing-masing. “hot spot” berguna sebagai penghubung komunikasi antar personil garis depan dan antar pos komando. Hal ini digunakan untuk menciptakan konektivitas dan untuk mambantu personil garis depan mengindentifikasi masalah-masalah yang mereka hadapi saat proses penanganan bencana. Menciptakan konektivitas komunikasi saat menanggulangi bencana memang menghendaki kecepatan dan keefektifan kerja. Maka dari itu dalam proses tersebut memerlukan alat komunikasi yang dapat menyelesaikan masalah komunikasi. Dengan dukungan teknologi, keanekaragaman pesan dapat disebarkan dengan baik, sebagaimana pendapat Wood, bahwa “teknologi komunikasi dapat mempercepat laju pengaruh interaksi antar manusia, bagaimana kita berpikir, bekerja dan membentuk hubungan yang lebih kohesif.”50 Dengan mempercepat laju informasi, diharapkan proses penanggulangan bencana dapat berjalan cepat dan terkoordinasi dengan baik. 49 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System,” h. 2. 50 Julia T. Wood. Communication Theories in Action, (Canada: Thomson – Wadsworth Publishing, 2004). H. 19. 33 Meissner, dkk, mengambil pendekatan bottom-up untuk menggambarkan bagaimana arus informasi mengalir dari personil garis depan seperti petugas pemadam kebakaran dan pekerja penyelamat saat beroperasi di medan yang sulit. Berikut penerjemahan penulis atas kutipan meissner, dkk : "Peralatan pemadam kebakaran sering kali berisi sensor dan detektor, misalnya untuk radiasi atau gas mudah meledak. Pembacaan secara tradisional ditularkan oleh komunikasi suara kepada para pemimpin skuad. Transmisi data yang lebih cepat dan handal dapat dicapai dengan menggunakan sensor cerdas terkait, melalui jaringan, ke komputer di dalam kendaraan pemimpin regu, di mana mereka akan segera dianalisis dan dimasukkan ke dalam konteksnya."51 Ungkapan di atas menjelaskan sistem komunikasi dari petugas pemadam sebagai sumber data. Sebagai sumber data petugas akan menginformasikan segala kendala yang dihadapinya di lokasi. Setiap informasi itu kemudian akan diolah dan diinformasikan kembali kepada petugas, sehingga mereka dapat bertugas dengan cepat dan terkoordinasi dengan baik. Petugas akan mendapatkan data seperti, pesan, peringatan tentang bahan-bahan berbahaya, peta, dan data orang hilang yang ditransmisikan ke perangkat mobile yang mereka gunakan.52 Di sisi lain, staf di kantor pusat harus sering membuat penjadwalan dan melakukan koordinasi pekerjaan, dan mereka bertindak sebagai penghubung untuk instansi dan masyarakat, karena jarak fisik mereka ke lokasi bencana yang jauh, sehinga mereka bergantung pada informasi-informasi baru. Dalam terjemahan penulis, Meissner, dkk mengatakan: “HQs biasanya memiliki sejumlah besar data yang tersimpan, misalnya pada bahan-bahan berbahaya, yang mungkin perlu diakses secara on-site personil. Ini panggilan untuk aplikasi terintegrasi bangunan di area luas link data antara kantor pusat dan pos komando situs. Jika bencana 51 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System,” h. 2. 52 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System,” h. 2. 34 meluas, bahkan HQs mungkin perlu direlokasi, atau direktur operasi dapat memutuskan untuk bergerak lebih dekat ke tempat kejadian, sehingga sangat penting untuk menyediakan "lingkungan informasi portabel" siap untuk relokasi. Ini menempatkan persyaratan tambahan pada database dan lingkungan koperasi disediakan untuk HQs.”53 Kantor pusat harus selalu menyimpan data-data penting yang dapat membantu petugas. Hal ini, untuk membangun aplikasi yang terintegrasi pada jaringan antara kantor pusat dan pos komando. Sehingga jika bencana menyebar sudah dapat diatasi bagaimana langkah untuk merelokasi tempat bantuan bencana. 1. Jaringan Komunikasi (Communication Networks) a. Komunikasi Luas (Wide Area Communications) Meissner, dkk mengusulkan “Dengan demikian akan, misalnya, memanfaatkan panggilan grup, prioritas, dan enkripsi kemampuan TETRA (alat komunikasi internet) ini.”54 Namun menurutnya, setiap peralatan yang digunakan mempunyai kelemahan. Penggunaan satelitpun bisa menjadi alternatif setidaknya untuk komunikasi dua arah. Di sini pos komando bertindak sebagai gateway antara WAN dan jaringan situs hot spot. b. Hot Spot Communications (Komunikasi Hot spot) Komunikasi Hot spot di daerah bencana dibagi oleh Meissner, dkk, menjadi dua kategori yaitu sebagai daerah kritis dan komunikatif. Menurut Meissner, dkk yang penulis terjemahkan sebagai berikut: " Sebagian besar daerah kritis: ini adalah tempat pusat bahaya dan titik fokus untuk menghentikan atau mengendalikan bagian utama dari bencana. Terutama di daerah yang paling kritis personil garis depan yang terlibat dalam memerangi bencana perlu 53 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System,” h.2. 54 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System,” h. 3. 35 berkonsentrasi sebanyak mungkin pada sumber bencana dan jelas dalam situasi yang paling berbahaya dan kritis. Oleh karena itu mereka perlu diinformasikan segera dan tanpa penundaan dalam kasus situasi meningkat dan baik parameter lingkungan mendekati ambang kritis atau orang tertentu parameter penting menjadi kritis. Selain itu mereka perlu untuk tetap berhubungan dengan tim pengawas memberikan informasi yang dikumpulkan dari sumbersumber tidak langsung tersedia bagi personil garis depan. Dalam hal apapun semua informasi harus diberikan kepada orang-orang ini tanpa mengharuskan mereka untuk secara manual berinteraksi dengan setiap jenis perangkat. Informasi harus diberikan secara otomatis dan sebagian pidato dikontrol melalui teknologi tampilan yang sesuai, pengeras suara dan indikator lainnya.”55 Ungkapan di atas menjelaskan bentuk komunikasi hot spot sebagai daerah kritis. Dapat digambarkan bahwa bentuk komunikasi hot spot saat daerah kritis adalah sebagai tempat pusat bahaya dan "focal point" untuk menghentikan bagian utama dari bencana. Di sana personil garis depan yang terlibat dalam menangani bencana perlu berkonsentrasi sebanyak mungkin pada sumber bencana. Oleh kerena itu mereka memerlukan informasi dengan segera dan tanpa penundaan. Bagaimana pun informasi harus diberikan secara otomatis tanpa harus setiap personil bergerak sendiri.56 Sebagai daerah komunikatif, penulis terjemahkan ungkapain Meissner, dkk: "Ini adalah tempat di mana informasi dari semua sumber yang berbeda yang relevan harus tersedia, dianalisis, dikombinasikan atau, dalam istilah umum, segera diproses. Sumber informasi mungkin statis seperti sistem lokal komputer atau peralatan pengukuran, semi-dinamis seperti informasi yang diterima melalui koneksi berbasis jaringan (telepon, internet), atau dinamis seperti perangkat mobile (misalnya komputasi berbasis PDA atau perangkat penyimpanan) bergerak masuk dan keluar dari 55 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System,” h. 3. 56 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System,” h. 3. 36 komunikatif hot spot. Dalam rangka untuk mengumpulkan, menggabungkan dan mengolah informasi dari berbagai sumber, mekanisme dinamis, jaringan sebagian nirkabel ad hoc harus dikembangkan dan diimplementasikan untuk berbagai perangkat dan teknologi jaringan. "57 Meissner, dkk, menjelaskan ini sebagai tempat informasi dari semua sumber yang berbeda, yang relevan dan harus tersedia, dianalisis, dikomunikasikan atau, dalam istilah umum, segera diproses.58 2. Service and Device Configuration Dalam pandangan Meissner, dkk, sistem yang diusulkan harus dapat mengelola data dalam jumlah besar di semua tingkatan. bertukar data secara real time antara entitas yang tepat adalah tantangan utama.59 a. Motivation for Auto-configuration (Motivasi untuk konfigurasi otomatis) Meissner, dkk, menyebutkan “Tanpa konfigurasi yang benar dari host dalam jaringan, mereka tidak dapat menemukan satu sama lain, atau untuk berkomunikasi satu sama lain”.60 Maka tanpa konfigurasi dari host dalam jaringan, mereka tidak dapat berkomunikasi satu sama lain. Oleh karena itu, konfigurasi perangkat adalah penting. Hal ini dapat dilakukan baik statis atau 57 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System,” h. 3. 58 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System,” h. 4. 59 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System,” h. 4. 60 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System,” h. 4. 37 dinamis. Perangkat yang permanen terhubung ke jaringan biasanya ukuran konfigurasi menjadi tugas administrator. b. Communication Spheres Meissner, dkk menyebutkan ada tiga jenis pelaku dalam sistem yang berkaitan dengan tingkat mobilitas dalam pengangan bencana:61 1) Stationary actors: Polisi, Kantor Pusat (misalnya kantor pemadam, dokter, dll) Pemerintah, dan bahkan pemerintah asing atau organisasi swasta. 2) Semi-mobile actors: pos komando. 3) Mobile actors: personil garis depan, misalnya petugas pemadam kebakaran. Komunikasi yang dilakukan dalam struktur hirarki yang jelas. Sehingga komunikasi bersifat komando hal ini yamg memudahkan informasi tanpa adanya penyimpangan. c. Configuration of Devices (perangkat konfigurasi) Meissner, dkk, menjelaskan setiap data serta sumber data harus mengetahui sedang berkonfigurasi dengan siapa dalam berkomunikasi. Perangkat antarmuka harus dikonfigurasi dengan alamat yang unik (kode). Tugas duplikasi alamat harus terdeteksi, dan tabrakan pesan harus dikelola.62 Lebih jauh penulis kitipkan terjemahan pendapat Meissner, dkk: “Biasanya, aktor ponsel akan beroperasi (baik secara manual atau secara otomatis) perangkat sensor, yang mengumpulkan 61 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System,” h. 4. 62 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System,” h. 4. 38 berbagai jenis data. Beberapa data, seperti jumlah gas meledak di udara, relevan baik untuk dirinya secara pribadi, serta untuk pos komando. Data lain, seperti informasi posisi, mungkin tidak penting bagi aktor mobile, melainkan untuk atasannya di pos komando.”63 Mobile actors akan beroperasi menggunakan perangkat sensor, yang bertugas mengumpulkan berbeda jenis data baik untuk dirinya, ataupun untuk pos komando. 63 Andreas Meissner, dkk, “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System,” h. 4. BAB III GAMBARAN UMUM AKSI CEPAT TANGGAP (ACT) A. Sejarah Berdirinya Organisasi ACT Aksi Cepat Tanggap (ACT) foundation adalah organisasi kemanusiaan yang berfokus pada penanganan bencana alam dan kemanusiaan terpadu, meliputi darurat, penyelamatan, medis, bantuan, rekonstruksi dan pemulihan. ACT didirikan pada 2005 sebagai lembaga resmi dan independen.1 Program-program yang kami ditangani telah berkembang melampaui bencana alam, tetapi juga fokus pada bencana sosial atau bencana kemanusiaan. Masalah ini termasuk gizi buruk, kelaparan, anak-anak, kesehatan dan sanitasi, pendidikan, pemberdayaan ekonomi, pengembangan masyarakat, dan juga konflik sosial. Dengan visi kami untuk menjadi pelopor untuk kebangkitan jiwa kasih sayang dengan dasar kesukarelaan menuju kemandirian masyarakat, ACT selalu membawa nilai-nilai compassion, pengabdian masyarakat, dan masyarakat kemerdekaan dalam setiap proyek tunggal yang kita lakukan. ACT bersifat independen, objektif netral, non-diskriminatif, transparan, dan akuntabel. Oleh karena itu, ACT membantu semuanya, ACT tidak membedakan suku, ras, agama, atau pihak ketika melakukan program dalam negeri dan juga internasional. ACT, asal dana program berasal dari sumbangan masyarakat dan perusahaan, Corporate Social Responsibility (CSR) dana, yang pemanfaatannya akan di audit oleh akuntan publik sebagai bentuk transparansi kepada stakeholder. Untuk mencapai manfaat menyebar ke daerah-daerah terpencil, ACT dalam melaksanakan program-program yang dikembangkan jaringan relawan lokal di 1 Wawancara pribadi dengan Ibu Hidayatun Ni’mah, Public Relation ACT, Jakarta, Menara 165, 29 Oktober 2013. 39 40 bawah bendera Masyarakat Relawan Indonesia (MRI), Indonesia Volunteer Society. Keberadaan MRI membuat pelaksanaan ACT, maupun program ACT lebih efisien dan efektif . ACT juga mendirikan Disaster Management Institute of Indonesia (DMII) yang merupakan pusat referensi dari seluruh ACT, pengetahuan dan pengalaman dalam mengelola bencana ACT. DMII memberikan pelatihan bencana dan darurat ke beberapa perusahaan, sekolah, pemerintah, dan lembaga-lembaga publik. DMII berfokus pada sosialisasi Pengurangan Risiko Bencana (PRB). DMII juga telah merumuskan Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk bencana dan manajemen darurat, dan juga menjadi konsultan untuk pusat pendidikan kebencanaan. B. Visi dan Misi Organisasi ACT Visi: 1. Pelopor dalam mengubah jiwa-jiwa dalam berbasis kerelawanan menuju kemandirian masyarakat. Misi 1. Mengembangkan model manajemen bencana terpadu (MBT). 2. Memperkuat sinergi kemitraan. 3. Memperkuat komunikasi lembaga. 4. Mengerakkan partisipasi kepedulian masyarakat. 5. Memperkuat komunitas donator.2 2 Wawancara pribadi dengan Ibu Hidayatun Ni’mah, Public Relayion ACT, Jakarta Selatan, Menara 165, 29 Oktober 2013. 41 C. Struktur Organisasi ACT 1. Presiden. 2. Senior Vice President Glbal Strategi Comunications a. Public Relation. b. General Philanthropy Media. c. Creative Comunication. d. Digital marketing. 3. Vice Presiden Philanthropy Network Development a. CSR Management & development. b. Community Philanthropy development. 4. Vice President Operational a. Finance Accounting. b. Information Tchnology. c. Head Resource Development. d. General Affair. 5. Senior Vice Presiden Humanity Network & Development a. Program: 1) Disaster Emergency Response. 2) Comdev. b. Masyarakat Relawan Indonesia. c. Disaster Management Institut of Indonesia. d. Global Qurban.3 3 www.act.or.id. 42 D. Program Kegiatan Organisasi ACT 1. GHR (Global Humanity Response) GHR adalah “bagian dari ACT yang siap merespon peristiwa kemanusiaan global seperti bencana alam, dan konflik yang mengakibatkan ribuan orang mengungsi dan menderita. Bermitra dengan lembaga-lembaga kemanusiaan di Negara tujuan,” 4 program ini merupakan program pemberian bantuan emergency, dan relief untuk korban bencana seperti bahan pangan, sandang, obat-obattan, juga layanan kesehatan. Program GHR mengajak relawan-relawan yang berasal dari Indonesia yang tinggal di Negara terdampak bencana atau mengajak relawan lokal untuk terlibat membantu pengungsi. 2. Masyarakat Relawan Indonesia (MRI) MRI merupakan kepanjangan dari Masyarakat Relawan Indonesia (Indonesia Volunteer Society). Kontruksi MRI terdiri dari tiga penggal kata, yaitu: Masyarakat, Relawan, dan Indonesia. Masyarakat merupakan kumpulan individuindividu dari satu komunitas, baik komunitas mikro maupun makro. Relawan merupakan individu atau sekumpulan individu yang bersedia berkontribusi terhadap perubahan posistif pada lingkungannya atas dasar prinsip kesukarelaan, tanpa pamrih. Indonesia merupakan suatu identitas dari sebuah negara.5 3. Tabungan Qurban Qurban sejatinya adalah “kesediaan setiap muslim untuk peduli terhadap kepentingan orang lain karena ibadah qurban merupakan salah satu bentuk tanggung jawab sosial masyarakat muslim kepada sesamanya.”6 Program ini 4 www.act.or.id. www.act.or.id. 6 www.act.or.id. 5 43 bertujuan untuk melatih jiwa kedermawanan sosial (philanthropy), sehingga potensi luar biasa yang dimiliki qurban bisa berperan sebagai solusi untuk mengatasi kemiskinan dan membangun kesejahteraan. ACT yang berdiri pada tahun 2005 adalah lembaga kemanusiaan yang bergerak dalam penanganan bencana alam dan bencana kemanusiaan secara terpadu. Sejak berdiri, salah satu program yang unggulan yang dijalankan ACT adalah program qurban yang disalurkan kepada masyarakat korban bencana, daerah minus, dan daerah rawan pangan. Sepanjang perjalanannya, program Qurbanku telah mendistribusikan “qurban di daerah gempa, banjir, tsunami, longsor, daerah minus serta daerah endemi penyakit & gizi buruk di Sumatera Barat, Lampung, Banten, Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur.”7 Konsisten untuk berbagi kebahagiaan dengan saudara-saudara kita yang diuji keterbatasan dan bencana. “Program global qurban tahun 2012 mengangkat tema qurban untuk 1.000.000 Penerima Manfaat.” Lebih dari itu, ikhtiar gobal qurban adalah memberi nilai lebih qurban masyarakat, dan memastikannya sampai ke tangan mereka yang benar-benar membutuhkan. Sasaran baru calon penerima qurban selain melanjutkan program sebelumnya adalah pengungsi Suriah, Rohingya, dan Afghanistan. Global qurban berupaya memberikan layanan terbaik bagi pengqurban melalui transaksi donasi qurban yang sangat mudah dan transparan dengan dukungan teknologi sms dan rekening virtual (virtual account). Global Qurban juga terus mengembangkan kapasitasnya untuk dapat menggugah, menampung, 7 www.act.or.id. 44 dan menyalurkan donasi qurban dari mereka-meraka di luar negeri dengan memanfaatkan account paypal. Sudah saatnya qurban menjadi bukti indahnya persaudaraan, dari muslim dunia untuk muslim dunia bersama global qurban. 4. Komite Indonesia Untuk Solidaritas Somalia “Bencana kelaparan dahsyat melanda Somalia, hingga saat ini tidak kurang 29.000 balita merenggang nyawa akibat kelaparan. Jutaan lagi terancam jiwanya jika tidak mendapat pertolongan segera.” 8 ACT sebagai lembaga kemanusiaan global menggagas Komite Indonesia Untuk Solidaritas Somalia (KISS) untuk membantu para korban di Somalia. 5. Sympathy of Solidarity Palestina Sympathy of Solidarity Palestina atau SOS Palestina adalah program internasional ACT untuk membantu masyarakat Palestina yang menderita akibat konflik dan penjajahan berkepanjangan. SOS Palestina merupakan program nyata masyarakat Indonesia.9 6. CSR Management dan Development CSR sebagai sebuah kepedulian dan tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat dan memperkuat eksistensi dan keamanan asset perusahaan. Diharapkan program CSR akan menjadi solusi ketertinggalan masyarakat baik di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan sosial sampai pada penyediaan fasilitas umum yang akan membuat masyarakat lebih baik. 7. Management Institute of Indonesia (DMII) “Program edukasi dan manajemen kebencanaan untuk masyarakat yang mengusung konsep Manajemen Bencana Terpadu (MBT) dengan aktivitas 8 9 www.act.or.id. www.act.or.id 45 meliputi; pelatihan, konsultasi dan penelitian berbasis keahlian akademis praktis dan empiris di bidang penanganan bencana alam dan sosial secara terpadu.”10 Pelatihan, konsultasi dan penelitian yang dilakukan mencakup mitigasi, kesiapsiagaan, emergency, rehabilitasi, rekonstruksi hingga prosedur mutu dalam tugas-tugas kemanusiaan dan kebencanaan. Adapun visi dan misi program ini adalah: a. VISI 1) Menjadi institusi terdepan dalam pengembangan ilmu dan manajemen kebencanaan berbasis Total Disaster Management (TDM). b. MISI 1) Mengembangkan wawasan keilmuan tentang kebencanaan berbasis akademis dan pengalaman praktis (based practice), Mengembangkan sinergi dan kemitraan dalam pengurangan resiko bencana (disaster risk reduction). 2) Mewujudkan masyarakat sadar & siaga bencana. Sebagai bentuk keseriusan ACT Foundation dalam penanganan bencana, ACT Foundation membentuk Disaster management Institute of Indonesia (DMII), yang merupakan pusat referensi dari seluruh pengetahuan dan pengalaman praktis ACT dalam perjalanannya menangani bencana sejak lebih dari 15 tahun yang lalu. DMII memberikan training emergency dan kebencanaan, di berbagai perusahaan, sekolah, lembaga pemerintahan dan publik, dengan penekanan pada pemasyarakatan Pengurangan Resiko Bencana 10 www.act.or.id 46 atau mitigasi (Disaster Risk Reduction – DRR). DMII juga telah menghasilkan Standard Operational Procedure (SOP) penanggulangan bencana dan kondisi darurat, selain juga menjadi konsultan untuk pusat-pusat pendidikan kebencanaan. 8. ACT Community Development ACT community development mendasarkan setiap aktivitas pada sebuah cita-cita membangun kemandirian masyarakat. ACT menyadari bahwa kemandirian sejati merupakan akumulasi dari kemandirian pada setiap sendi kehidupan. Oleh sebab itu ACT memulai program dengan membenahi sendisendi substansial dalam kehidupan masyarakat.11 11 www.act.or.id. BAB IV TEMUAN DAN HASIL ANALISIS A. Pola Komunikasi Aksi Cepat Tanggap Berdasarkan hasil di atas, penulis berusaha menganalisi pola komunikasi ACT dalam penanganan bencana di gunung Kelud. Sebelum membahas pola komunikasi maka harus berbicara tentang komunikasi organisasi, berarti membahas komunikasi dan organisasi, artinya ada hubungan yang harus kita fahami dari dua unsur ini, dan keberhasilan komunikasi yang terjadi di dalamnya. Memperbaiki organisasi biasanya ditafsirkan sebagai, memperbaiki hal-hal untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain, orang mempelajari komunikasi organisasi diharapkan juga mengembangkan untuk menjadi pemimpin yang lebih baik. Begitu pun komunikasi yang dibangun ACT. Hal ini pun diperjelas oleh pak Ikbal selaku direktur komunikasi ACT, yang menyatakan bahwa. “Organisasi tanpa komunikasi, lumpuh; komunikasi tanpa organisasi hanya obrolan yang tak akan menghasilkan sesuatu yang bernilai strategis. Komunikasi mengaktivasi gagasan, mengontrol proses dan mengakselerasi program yang mengalami kelambatan; memecahkan stagnasi lintas lini; menjamin keberadaan organisasi tetap hidup: tumbuh dan berkembang. Organisasi dengan komunikasi yang sehat, mengedukasi semua SDM di dalamnya”1 Pada dasarnya ACT telah mempunyai pola tersendiri dalam berkomunikasi yakni pola manajemen terpadu. Hal ini seperti yang di ungkapkan oleh Pubik Relation ACT yakni “.Pola yang kami gunakan biasanya intergreted manajemen dimulai dari level emergency, rescue, rehabilitasion, dan recovery.”2 1 Wawancara pribadi dengan Ikbal Setyarso, Direktur Komunikasi ACT, Jakarta, Menara 165, 20 Desember 2013. 2 Wawancara pribadi dengan Hidayatun Ni’mah, Public Relation ACT, Jakarta, Menara 165, 29 Oktober 2013. 47 48 Akan tetapi bila dilihat dari pola komunikasi yang digunakan di dalam organisasi ACT, serta merujuk pada teori pola komunikasi Joseph A. DeVito, dari lima pola komunikasi yang ada, ACT termasuk menggunakan pola komunikasi lingkaran. Pola lingkaran adalah semua anggota organisasi dapat berkomunikasi dengan yang lainnya, mereka tidak mempunyai pemimpin serta setiap anggota bisa berkomunikasi dengan dua anggota lain di sisinya.3 Bila dilihat dari pengertian pola lingkaran hal ini sesuai dengan pernyataan Bu ni,mah yakni: “Setiap habis rapat manejemen setiap senin, itukan hanya manajemen, dari manajemen itu di lanjutkan rapat direktorat, nah itu hasil dari manejemen berupa penugasan, kebijakan itu disampaikan kepada bawahan melalui briefing, manajemen direktorat itu, jadi kami mempunyai jadwal masing-masing yang rutin. Misal jadwal direktorat komunikasi punya rapat hari apa, yang dilanjutkan dari hasil rapar manajemen tiap hari senin itu. Itu yang disampaikan, jadi terus mengalir gitu, artinya tidak terputus sampai rapat manajemen saja, tetapi keputusan hasil rapat manajemen sampai ke bawahan”4 Hal ini rangat relevan dimana dengan pola komunikasi lingkaran berdasarkan teori Joseph A. DeVito dimana komunikasi dapat dilakukan dengan siapa saja dan tidak mempunyai pemimpin yang tetap meskipun dalam struktur organisasi ACT mempunya pemimpin. Tetapi pemimpin ACT bila dalam rapat masuk kedalam rapat manajemen sehingga sama dengan para pegawai ACT yang berposisi sebagai manager di ACT. Selain itu, karena ACT mengadakan rapat-rapat berjenjang sesuai dengan struktur yang ada, maka komunikasi sesama pegawai ACT bisa kapan saja dilakukan bahkan dengan beda departemen maupun beda jabatan. “karena di ACT engga ada sekat, antar divisi kami bebas, keliling bisa kemana saja, divisi-divisi lain bahkan department lain, bahkan koordinasi itu udah engga 3 Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia, Penerjemah Agus Maulana (Pamulang: KARISMA Publising Grup, 2011), edisi ke-lima, h. 383 4 Wawancara pribadi dengan Hidayatun Ni’mah, Public Relation ACT, Jakarta, Menara 165, 29 Oktober 2013. 49 ada sekat-sekat, kami juga punya milis yang terbuka untuk yayasan, jadi semua informasi itu benar-benar hanya satu ACT yang tahu. Bahkan dari level atas sampai bawah semuanya tahu, tapi tentu ada informasi-informsi yang hanya pada level tertentu dan memberikan laporan hanya pada atasan atau setiap departemen.”5 Selain itu semua anggota dapat berkomunikasi dengan siapa pun sesuai dengan keperluannya. ”Komunikasi terjalin dengan lancar, semua lini bisa membicarakan apa saja seperti; ide, saran dan masukannya, jika tidak langsung menghadap bisa menggunakan media seperti email, telp, WA dll”6 Pernyataan ini merelevankan pola lingkaran yang biasanya ACT gunakan dalam struktur organisasi ACT bahwa para karyawan ACT dapat berkomunikasi dengan dua anggota lain di sisinya yakni dengan departemen lain maupun dengan direktorat lainnya. Dalam kasus penanganan bencana ACT melakukan upaya penerapan manajemen penanggulangan bencana terpadu, melalui 3 (tiga) tahapan sebagai berikut:7 1. Tahap pra-bencana yang dilaksanakan ketika sedang tidak terjadi bencana dan ketika sedang dalam ancaman potensi bencana. 2. Tahap tanggap darurat yang dirancang dan dilaksanakan pada saat sedang terjadi bencana. 3. Tahap pasca-bencana yang dalam saat setelah terjadi bencana. 5 Wawancara pribadi dengan Hidayatun Ni’mah, Public Relation ACT, Jakarta, Menara 165, 29 Oktober 2013. 6 Wawancara pribadi dengan Yhogi S Gunawan, Manager HRL ACT, Jakarta, Menara 165, 20 November 2013. 7 Wawancara pribadi dengan Erlid Setiawan ACT, Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014. 50 1. Fase Pra-Bencana Peneliti hendak menjelaskan dahulu temuan mengenai kegiatan pada fase prabencana yang dilakukan ACT selama menangani bencana letusan gunung Kelud di Pare Jawa Timur. Pra-bencana merupakan pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan pada faktor-faktor yang mengurangi resiko secara terencana, terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh pada saat sebelum terjadinya bencana. Pada fase pra-bencana ada beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain; “pertama melakukan pencegahan bencana yakni serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana. Kedua mitigasi, yakni serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Serta yang ketiga kesiapsiagaan, yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Dalam fase ini juga terdapat peringatan dini yaitu serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.” 8 Dalam upaya pencegahan bencana, ACT telah melakukan berbagai kegiatan salah satunya adalah penanaman pohon, hal tersebut dilakukan sebagai upaya mencegah bencana banjir yang kerap kali terjadi.9 Selain untuk mencegah banjir, kegiatan tersebut juga dapat mengurangi jumlah polusi yang dapat menyebabkan terjadinya global warming. Cuaca buruk akibat global warming sendiri masih ada kaitannya dengan stabilitas gunung berapi, jika global warming terjadi maka 8 Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, Modul Khusus Fasilisator, Pengolahan Penanganan Bencana, diakses pada hari Minggu, 09 Maret 2014 dari http://www.p2kp.org/ 9 Wawancara pribadi dengan Pak Insan Nurrahman, Vice Presiden ACT, Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014. 51 sistem alam akan berubah dan bencana gunung berapi semakin sulir diprediksi atau boleh jadi malah menyebabkan terjadinya letusan gunung berapi. Kegiatan lain yang dilakukan ACT dalam upaya fase pra-bencana adalah melakukan rapat-rapat koordinasi secara formal di kantor pusat yang berada di Menara 165 tepatnya lantai 11 dan 14 Jakarta Selatan. Kegiatan ini bertujuan untuk merumuskan Standar Oprasional Prosedur (SOP) penanggulangan bencana secara keseluruhan. Pembuatan SOP dimaksudkan agar nantinya relawan tidak kebingungan saat melaksanakan tugas dilapangan. Sehingga para relawan akan secara sistematis bekerja dan mereka tidak kebingungan mencari informasi saat bertugas. Kebutuhan informasi amat penting saat kondisi seperti bencana gunung Kelud. Hal seperti ganggunan jaringan dan keterbatasan sarana membuat relawan dan masyarakat akan mencoba mencari dari mana saja tenang informasi yang mereka butuhkan. Dengan komunikasi yang baik, maka dapat menciptakan suatu fleksibilitas dalam melaksanakan kegiatan organisasi tanpa harus melakukan penyimpangan terhadap peraturan yang ada. Dengan demikian, komunikasi dapat menciptakan fleksibilitas dalam pelaksanaan kegiatan, namun tetap berpijak kepada aturan dan norma yang disepakati bersama. Menurut Iqbal Setyarso,“Direktur Komunikasi ACT” menyebutkan, ACT selalu melakukan rapat setiap hari Senin rutin, diikuti level manager ke atas. Rapat hari Kamis khusus Departemen. Rapat hari Jumat, khusus BOD Holding. Di luar hari-hari itu secara fleksibel bisa dilakukan rapat direktorat. 10 Komunikasi lainnya berupa: 10 Wawancara pribadi dengan Pak Ikbal Setyarso, Direktur Komunikasi ACT, Jakarta, Menara 165, 20 Desember 2013. 52 1. Evaluasi SDM: Tahap Pertama, self assesment pertahun dari bawahan disampaikan ke atasan berupa form isian standar, memuat sejumlah: a. Item evaluasi kinerja yang skornya versi bawahan dicek atasan langsung; b. Pendapat karyawan tentang diriya dalam konstalasi organisasi; c. Rencana kerja dan harapannya dalam organisasi; d. Pembekalan/pelatihan/arahan yang masih diperlukannya untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya dalam organisasi; e. Rekomendasi atasan langsung serta pendapat atasan dari atasan langsung. Tahap Kedua, Evaluasi SDM di tingkat Bord of Director yang hasil akhirnya berupa pengumuman promosi/demosi/mutasi karyawan pada pertemuan pleno karyawan di akhir renstra (pembayaran online) tahunan. Pada kesempatan ini semua karyawan saling mengenal dan mendengarkan orasi top leader (dari Presiden ACT).11 2. Evaluasi Kelembagaan. Pertama, berlangsung per-catur wulan. PerDirektorat dan per-Departemen melakukan evaluasi sendiri dan hasilnya diplenokan (semua Departemen). Di sini menjadi ajang eksplorasi kapasitas SDM lintas Departemen, saat pimpinan Departemen memberi kesempatan para Direkturnya mempresentasikan summary evaluasi Direktorat. Kedua, renstra tahunan, mengkritisi presentasi lintas Departemen (diikuti perwakilan Departeman, Direktur dan SDM yang dipandang strategis untuk hadir dalam event tahunan. Ini ajang 11 Wawancara pribadi dengan Pak Ikbal Setyarso, Direktur Komunikasi ACT, Jakarta, Menara 165, 20 Desember 2013. 53 mengedukasi level leader dari pimpinan Departemen hingga para manager. Top leader (Presiden ACT) menyampaikan inspiring speech di awal renstra, mengikuti dan mengkritisi seluruh rangkaian presentasi Departemen dan Direktorat, meliputi aspek: Evaluasi Tahun Berjalan (SWOT), perencanaan strategis memuat program dan budgeting.12 3. Pembinaan Karyawan. Ada pembinaan spiritual/kajian keagamaan karyawan dua pekan sekali (rabu) bergantian dengan in house training seputar peningkatan kemampuan manajerial level manager ke bawah. 13 ACT juga mewajibkan level Manager ke atas hingga Board of Directors menggunakan Blackberry. Dengan Blacberry ini dibuat sejumlah group– berlapis/berjenjang: group BOD Holding, group BOD Jejaring, group Management dan group ACT (representasi). Selain itu, ada group Direktorat, Group Departemen, Group Antar-Departemen. Melalui Blackberry Messenger, pembahasan isu-isu kelembagaan berlangsung setiap hari: arahan manajemen yang terkait dengan pengambilan keputusan; pencerahan leader (baik top leader maupun di bawahnya); informasi ringan untuk relaksasi (hiburan), foto-foto aktivitas lapangan. Melalui BBM Group, top leader mengetahui dan mengarahkan tim leaders; memantau potensi dan sikap serta narasi manejerial para bawahan. Melalui BBM, anak buah bisa melaporkan kinerjanya, progress report harian dan pekanan, mempersiapkan kompilasi untuk penyusunan final report, dll.14 12 Wawancara pribadi dengan Pak Ikbal Setyarso, Direktur Komunikasi ACT, Jakarta, Menara 165, 20 Desember 2013. 13 Wawancara pribadi dengan Pak Ikbal Setyarso, Direktur Komunikasi ACT, Jakarta, Menara 165, 20 Desember 2013. 14 Wawancara pribadi dengan Pak Ikbal Setyarso, Direktur Komunikasi ACT, Jakarta, Menara 165, 20 Desember 2013. 54 Kegiatan rapat tersebut menunjukkan sebuah pola komunikasi berjenjang. Pola komunikasi tersebut mengoptimalkan setiap divisi melakukan rapat yang secara terorganisir, praktis dan efisien. Komunikasi dilakukan secara hirarki ke atas dan ke bawah. Komunikasi berlangsung secara struktural dan sistematis. Komunikasi ini dapat dikatakan pola komunikasi lingkaran, di mana ada komunikasi yang berjenjang. Hal ini seperti yang di ungkapkan oleh Pak Totok: “koordinasi antar komandan dan posko rutin dilakukan pada pagi dan malam hari. Bentuknya briefing pagi sebelum ke lapangan, biasanya jam 05.30-06.30 Wib, berisi pemantapan agenda kerja hari itu, lengkap dengan pembagian tugas personil dan teknis pelaksanaannya. Kemudian, briefing malam, biasanya jam 20.00-22.00 Wib, berisi evaluasi tugas hari bersangkutan dan rencana tugas hari esoknya.”15 Pernyataan di atas, komunikasi dilakukan oleh para pemimpin komandan yang dibentuk berdasarkan hasil rapat yang dilakukan di kantor pusat ACT. tentu saja ini relevan dengan pola lingkaran dimana komunikasi dilakukan dengan yang lainnya. Briefing pada tahapan ini dilakukan untuk melakukan beberapa tindakan seperti perencanaan pencegahan bencana, mitigasi, dan kesiapsiagaan. Kegiatan dilakukan oleh kantor pusat di Jakarta. Setiap kegiatan direncanakan dahulu dengan matang sehingga saat bencana datang, ACT akan bergerak secara sitematis dan praktis menanggapi bencana. Tidak hanya bencana letusan gunung Kelud, kegiatan ini dimaksudkan untuk semua bencana baik bencana alam maupun bencana non-alam. Erlid Riandilanta, salah satu relawan ACT menyebutkan “pada fase prabencana biasa kita mitigasi yaitu kita buat peta, cari jalur-jalurnya evakuasi dan 15 Wawancara pribadi dengan Pak Totok AP Ketua Induk Posko Daerah MRI Bojonegoro ACT, Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014. 55 mengedukasi masyarakat untuk mengungsi.”16 Erlid menjelaskan tugasnya saat pertama kali dikirim oleh ACT ke lokasi letusan gunung Kelud. Ketika Erlid dikirim ke lokasi bencana bukan tanpa tugas yang jelas melainkan sudah dibekali SOP dari pihak ACT sehingga dia tidak kebingungan saat sampai di lokasi bencana. Hal ini diberikan ACT kepada para relawan berdasarkan struktur yang telah dibuat. Erlid memberikan gambaran soal SOP yang telah dibuat ACT dan cara menjalankan SOP itu dilaksanakan oleh Erlid sebagai relawan. Tentu koordinasi di lapangan saat relawan bekerja sudah diperhatikan oleh ACT. Sebagai organisasi berpengalaman, ACT membentuk sebuah jaringan komunikasi seperti: 1. Memasang sarana diseminasi informasi, termasuk: ”dedicated link” (saluran Komunikasi khusus). 2. Membuat peta jalur evakuasi dan zona evakuasi dan rambu–rambu bahaya. 3. Membangun shelter pengungsian yang dilengkapi dengan jalan dari pemukiman penduduk ke shelter, serta sarana dan prasarana darurat di pengungsian. 4. Mengadakan pelatihan evakuasi baik untuk masyarakat. 5. Memfasilitasi peningkatan pemahaman masyarakat melalui pendidikan formal dan nonformal. 16 Wawancara pribadi dengan Erlid Setiawan, Relawan ACT, di Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014. 56 2. Fase Saat Bencana Dalam fase darurat bencana atau lebih dikenal dengan tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.17 Dalam fase ini, ACT melakukan empat tindakan yakni: emergency, rescue, medis dan relief. Dari masing-masing tindakan tersebut mempunyai kegiatankegiatan tersendiri dalam menangani bencana yakni “evakuasi dan mendirikan posko, dan memberikan bantuan dasar, mendirikan posko kesehatan, dan suplai makanan.”18 Dalam tahapan ini pula komunikasi dilakukan dengan sistem komando, akan tetapi koordinasi yang dilakukan lebih luas, yakni dengan melibatkan pemerintah maupun instansi lainnya. “Kita semua koordinasi dengan pak camat, pak lurah dan instasi lainnya, termasuk melakukan evakuasi, medis, trauma healing, dan relief bantuan untuk pengunggsi dan dapur umum.”19 Serta adanya ketua posko untuk mengontrol dan mengawasi kinerja para tim relawan. Pada saat bencana, koordinasi di lapangan hanya menggunakan radio HT maupun HP. Hal ini dikarnakan pada fase ini membutuhkan kecepatan dan ketepatan dalam bertindak. Dalam melakukan segala kegiatan di lapangan, relawan bekerja berdasarkan SOP yang ada, sehingga lebih mudah dalam 17 Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, modul khusus Fasilisator, Pengolahan Penanganan Bencana, diakses pada hari Minggu, 09 Maret 2014 dari http://www.p2kp.org/. 18 Wawancara pribadi dengan Pak Totok AP Ketua Induk Posko Daerah MRI Bojonegoro ACT, Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014. 19 Wawancara pribadi dengan Pak Insan Nurrahman, Vice Presiden ACT, Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014. 57 menjalankan tugas. Biasanya para relawan pada fase ini dilengkapi peralatan untuk mempermudah dan menjadi pelindung para relawan. Alat yang disediakan biasanya “senter, HT, masker untuk evakuasi,kaca mata, mobile, HP, kendaraan, topi, jaket.”20 Pertama-tama ACT melakukan tindakan Emergency atau tanggap darurat bencana. Emergency atau tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.21 Pada tahapan ini, tim ACT di Kelud ini ACT/MRI membatasi masa emergency selama sepekan atau seminggu pasca bencana, 14-20 Februari 2014. Selain itu juga mengikuti batas waktu tanggap darurat yang ditetapkan pemerintah, baik kabupaten, provinsi ataupun pusat, yakni sebulan pasca bencana dari 14 Februari 2014 hingga 14 Maret 2014. Pada tahapan ini, tim ACT melakukan beberapa kegiatan yakni: 1. Evakuasi pengungsi ke tempat pengungsian di Kecamatan Pare (Masjid Agung Annur dan Gedung Serba Guna). 2. Membuat dapur umum untuk pengungsi di halaman Kantor Kecamatan Pare. 20 Wawancara pribadi dengan Erlid Setiawan, Relawan ACT, di Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014. 21 Awi Mulyadi Wijaya, “Pentingnya Tanggap Darurat Bencana Pada Kejadian Bencana,” diakses pada tanggal 18 Maret 2014 dari http://www.infodokterku.com/component/content/article/13-macam-macam-info/yangperlu-anda-ketahui/118-pentingnya-tanggap-darurat-bencana-pada-kejadianbencana.html. 58 3. Suplai logistik kepada pengungsi untuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan. 4. Pelayanan kesehatan keliling. 5. Trauma healing di posko pengungsian. Pada tahapan ini ACT menurunkan dari 100 orang relawan plus 200 relawan lokal desa, untuk melakukan tugasnya masing-masing maka para relawan terbagi dalam tujuh tim, yakni: “Tim rescue (15 relawan), Tim dapur umum (10 relawan), Tim logistik (15 relawan), Tim kesehatan (15 relawan), Tim trauma healing (10 relawan), Tim administrasi dan dokumentasi (10 relawan), Tim assesment dan mapping (30 relawan).”22 Selain itu pada tahapan ini juga dilakukan penyelamatan (rescue) yang bertugas menyelamatkan warga maupun ternak atau harta benda warga ke daerah aman dari bencana. Seperti yang dikatakan mas Toto sebagai berikut: “Sebenarnya tidak dikenal istilah tahapan rescue, yang ada tim rescue, yang masuk tahapan emergency. Secara bahasa rescue itu artinya penyelamatan jiwa warga, bahkan ternak, di wilayah terdampak erupsi Kelud. Menghindarkan warga dan ternak dari ancaman bahaya material erupsi Kelud, seperti batu, pasir, abu vulkanik, awan panas dan lahar dingin.”23 Biasanya tim rescue tidak diperbolehkan berkoordinasi secara berlebihan, karenan sistem pekerjaannya otomatis dengan apa yang terjadi di lapangan. Oleh sebab itu tugas penting tim rescue adalah menyelamatkan warga ke tempat yang aman, sehingga di perlukan kerja yang cepat dan tepat serta tanggap bertindak. Adapun koordinasi yang biasa dilakukan yakni brefing pagi maupun sore sebelum 22 Wawancara pribadi dengan Pak Totok AP Ketua Induk Posko Daerah MRI Bojonegoro ACT, Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014. 23 Wawancara pribadi dengan Pak Totok AP Ketua Induk Posko Daerah MRI Bojonegoro ACT, Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014. 59 turun ke lapangan. Alat komunikasi yang digunakan berupa HP, SMS, Holky Tollki (HT), BBM, maupun Form. Selain itu, pada tahapan ini pula dilakukan kegiatan medis, yang masuk tahapan emergency. Tim medis ini melayani pemeriksaan kesehatan dan pengobatan jika ada korban Kelud yang sakit. Kegiatan yang dilakukan pada tim ini biasanya pemeriksaan kesehatan dan pengobatan kepada warga terdampak letusan Kelud di posko-posko pengungsian. Kadang diselingi juga penyuluhanpenyuluhan hidup sehat. Untuk mengurangi dampak buruk yang diterima oleh warga. Pada tim medis ini jumlah personil yang terlibat terbagi dalam dua tim medis, masing-masing tujuh atau delapan relawan. Tiap tim terdiri satu atau dua dokter, dua perawat/apoteker dan sisanya relawan pembantu umum. Pada tahapan ini biasanya masalah yang dihadapi oleh relawan yakni makanan, tempat tinggal yang layak, tikar, masker, MCK, listrik, maupun yang lainnya. Hal ini seperti yang di ungkapkan oleh salah satu relawan “karena saya tim pertama yang turun ke sana, yakni pada awal datang ke posko pengungsian. Paling umum itu makan, tempat tidur yang layak, matras ini kita bagikan, meskipun mereka sudah bawa tikar, dan masker, dan air.”24 Meskipun begitu, ada pun kendala yang paling penting, yakni memberikan setidaknya 1.500 nasi bungkus tiap harinya untuk kebutuhan para pengunggsi. Serta pada tahapan ini pula dilakukan tindakan relief, yakni penanganan pengungsi bencana letusan gunung Kelud, terutama yang ditampung di poskoposko pengungsian, pada tahapan ini kegiatan yang dilakukan adalah pemenuhan kebutuhan pokok warga pengungsi, seperti air bersih, air minum, pangan, 24 Wawancara pribadi dengan Erlid Setiawan, Relawan ACT, Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014. 60 sandang, papan yang nyaman. Termasuk juga bimbingan psikologis dan trauma healing, serta kesehatan. Personil yang diturukan pada tahapan ini sekitar 50 orang yang terbagi dalam; tim dapur umum, tim logistik, tim trauma healing dan tim medis.25 Penjelasan di atas menunjukkan pola komunikasi yang saat-bencana di atas menunjukkan sebuah pola komunikasi, yaitu tentang rentetan aliran informasi yang mengalir dari setiap pelaku organisasi ACT. Komunikasi bisa terjadi secara formal ataupun non-formal tergantung dari kondisinya. Peneliti melihat bahwa pola komunikasi ACT dalam menangani bencana letusan gunung Kelud pada fase saat bencana menggunakan pola lingkaran. Dimana komunikasi yang dilakukan dengan berkoordinasi dengan pak camat, pak lurah dan instasi lainnya, tetapi tetap dilakukan dengan briefing yang dilakukan pagi dan malam untuk mengevaluasi serta koordinasi satu sama lain, baik secara tatap muka maupun menggunakan HP dan HT. hal ini relevan dengan pola lingkaran dimana setiap anggota komunikasi dapat berkomunikasi dengan dua anggota lainnya. Dalam briefing yang dilakukan ini untuk menentukan bantuan berupa suplai logistik kepada pengungsi, bantuan kesehatan dan tenda” darurat. 3. Fase Pasca-Bencana Pasca-bencana atau lebih dikenal dengan massa pemulihan adalah pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan pada faktor-faktor yang dapat mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana secara 25 Wawancara pribadi dengan Pak Totok AP Ketua Induk Posko Daerah MRI Bojonegoro ACT, Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014. 61 terencana, terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh setelah terjadinya bencana dengan fase-fasenya. Salah satunya dengan mengadakan tahapan rekonstruksi. Rekonstruksi adalah perbaikan kembali fasilitas dan rumah yang rusak akibat letusan Kelud. Rekonstruksi ini termasuk bagian dalam tahapan recovery, yakni tahapan pemulihan pasca bencana menuju kepada kembalinya kemandirian para korban selamat dalam melanjutkan kehidupan diri dan keluarganya.26 Dalam fase pasca-bencana ACT melakukan tahapan recovery dengan mengembalikan warga ke rumah masing-masing. “Sekarang sudah recovery warga sudah kembali ke rumah masing-masing.”27 Masalah yang dihadapi dalam pasca-bencana sangat beragam, terutama genteng, “ada program lagi yang kita survey banyak genteng yang bocor, jadi kita buat donasi paket bantuan 10.000 genteng buat satu rumah. Targetnya 5000 rumah. Mungkin itu juga yang baru terlaksana.”28 Fase pasca-bencana di atas menunjukkan sebuah pola komunikasi, yaitu tentang renteran aliran informasi yang mengalir dari setiap pelaku organisasi ACT. Komunikasi bisa terjadi secara formal ataupun non-formal tergantung dari kondisinya. Bentuk koordinasi masih sama, “yakni briefing pagi dan malam. Namun dalam tahapan recovery, koordinasi bisa dilaksanakan juga di lapangan 26 Wawancara pribadi dengan Pak Totok AP Ketua Induk Posko Daerah MRI Bojonegoro ACT, Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014. 27 Wawancara pribadi dengan Erlid Setiawan, Relawan ACT, Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014. 28 Wawancara pribadi dengan Erlid Setiawan, Relawan ACT, Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014. 62 pada waktu kapan saja selama perlu dan ada sesuatu yang mendesak dikoordinasikan.”29 Peneliti melihat pola komunikasi ACT dalam menangani bencana letusan gunung Kelud pada fase pasca bencana menggunakan pola lingkaran, karena setiap anggota dapat berkomunikasi dengan adanya briefing yang dilakukan di posko dan hasil diskusi tersebut dilaporkan ke atasan untuk di proses, bisa lewat form maupun datang langsung. Hal ini relevan dengan pengertian pola lingkaran dapat berkomunikasi dengan semua anggota organisasi. Pada fase ini, briefing dilakukan untuk membahas apa kebutuhan yang sangat di perlukan oleh warga. Kebutuhan warga pada fase ini adalah genteng, karena banyak rumah warga yang rusak akibat terkena dampak letusan. Briefing dilakukan pagi dan sore agar tidak menggagu aktivitas pada siang hari dan membantu warga membangun kembali semua fasilitas yang ada. B. Interpretasi Berdasarkan hasil di atas, penulis berusaha menganalisi pola komunikasi ACT dalam penanganan bencana di gunung Kelud. Pada dasarnya ACT telah mempunyai pola tersendiri dalam berkomunikasi yakni pola manajemen terpadu. Hal ini terlihat dengan adanya tim dalam penanganan bencana yang ACT bentuk dan sudah professional yakni tim emergency, tim rescue, rehabilitasion, dan recavry. Pola ini yang digunakan ACT dalam penangangan bencana-bencana di Indonesia. Akan tetapi bila dilihat dari pola komunikasi yang digunakan di dalam organisasi ACT, serta merujuk pada teori pola komunikasi Joseph A. DeVito, dari lima pola komunikasi yang ada, ACT termasuk menggunakan pola komunikasi 29 Wawancara pribadi dengan Pak Totok AP Ketua Induk Posko Daerah MRI Bojonegoro ACT, Kediri Jawa Timur, 23 Febuari 2014. 63 lingkaran. Pola lingkaran adalah semua anggota organisasi dapat berkomunikasi dengan yang lainnya, mereka tidak mempunyai pemimpin serta setiap anggota bisa berkomunikasi dengan dua anggota lain di sisinya.30 Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, komunikasi yang dilakukan ACT sangat terbuka, dimana setiap anggota dapat berkomunikasi dengan yang lainnya secara langsung maupun tidak langsung. Dimana setiap anggota dapat berkomunikasi dengan anggota dari departemen lain tanpa adanya batasan. Hal ini karenakan setiap anggota ACT sudah mengetahui tanggung jawab dan peranan masing-masing di ACT. Komunikasi ke atas dan ke bawah di ACT dilakukan dengan rapat berjenjang, dari mulai rapat manajemen, rapat direktorat, maupun rapat yang lainnya. Dalam hal ini sangat relevan dengan penjelasan pola lingkaran, dimana dengan pola komunikasi lingkaran berdasarkan teori Joseph A. DeVito, semua anggota dapat berkomunikasi dengan anggota lainnya dan tidak mempunyai pemimpin, meskipun dalam struktur organisasi ACT mempunyai pemimpin. Tetapi pemimpin ACT bila dalam rapat masuk kedalam rapat-rapat manajemen sehingga sama dengan para pegawai ACT yang berposisi sebagai manager di ACT. serta setiap anggota dapat berkomunikasi dengan dua anggota disisinya, yakni para karyawan ACT dapat berkomunikasi dengan dua anggota lain di sisinya yakni dengan departemen lain maupun dengan direktorat lainnya. Setiap anggota berkomunikasi mengenai koordinasi, penyelesaian tugas, motivasi maupun yang lainnya. Komunikasi yang terjalin sangat lancar, semua lini bisa membicarakan apa saja seperti; ide, saran dan masukannya, jika tidak langsung menghadap bisa menggunakan media seperti email, telp, WA. 30 Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia, Penerjemah Agus Maulana (Pamulang: KARISMA Publising Grup, 2011), edisi ke-lima, h. 383 64 Bila dilihat dari kasus penanganan bencana yang dihadapi, ACT tetap menggunakan pola lingkaran Dalam kasus penanganan bencana di gunung Kelud, ACT membuat beberapa struktur sesuai dengan SOP yang ada di ACT. pada situasi penangangan bencana struktur dan proses komunikasi menggunakan sistem komando, yang terbagi dalam tingkatan, Komandan Besar (misi-visi strategis), Komandan Area (terjemah strategis dan taktis) wilayah, Komandan Lapangan (teknis), Komandan Posko (teknis aplikatif), Relawan Lapangan (aplikatif realisasi). Hal ini sangat berkaitan dengan pola rantai, akan tetapi meskipun struktur penanganan bencana yang ACT buat dalam penanganan bencana gunung Kelud sistem komando, dalam aktifitas komunikasinya tetap menggunakan briefing yang dilakukan setiap pagi dan malam hari untuk mengadakan evaluasi dan memberikan intruksi sebelum kelapangan. Dalam penanganan bencana ACT menggunakan tiga tahapan, yakni prabencana, saat bencana, dan pasca bencana. Dalam setiap tahapan tersebut ACT tetep menggunakan pola lingkaran yang sudah terbentuk di oraganisai ACT. Dimana setiap anggota bebas berkomunikasi dengan anggota lainnya dan anggota yang lain dapat berkomunikasi dengan dua anggota di sisinya serta dengan mengadakan briefing yang menjadi agenda rutin tiap struktur yang ada untuk di evalusi di kantor ACT maupun di tempat kejadian. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Pola komunikasi organisasi yang digunakan di Aksi Cepat Tanggap (ACT) dalam penanganan bencana gunung Kelud di kecamatan Pare kabupaten Kediri adalah pola lingkaran. Pola lingkaran adalah semua anggota organisasi dapat berkomunikasi dengan yang lainnya, mereka tidak mempunyai pemimpin serta setiap anggota bisa berkomunikasi dengan dua anggota lain disisinya. 1. Pola komunikasi yang digunakan pada pra-bencana yakni pola lingkaran Pola lingkaran digunakan pada saat melalui rapat-rapat manajemen sebelum adanya bencana untuk menyiapkan SOP yang akan dilakukan di sana serta melakukan mitigasi bencana. 2. Pola komunikasi yang digunakan saat bencana pola lingkaran. Dimana setiap anggota yang diterjukan ke lokasi bencana dapat berkomunikasi dengan siapa saja tetapi tetap pada struktur yang ada. Dan setiap anggota yang ada dapat berkomunikasi dengan dua anggota di sisinya baik secara langsung maupun tidak langsung. Serta melakukanbriefing sebagai pola komunikasi yang biasa dilakukan di ACT untuk mengevalusi tentang kebutuhan logistik, kebutuhan kesehatan. 3. Pola komunikasi yang digunakan pasca-bencana adalah pola lingkaran. Dimana setiap anggota dapat berkomunikasi dengan siapa saja tetapi tetap pada struktur yang ada. Dan anggota yang ada dapat berkomunikasi dengan dua anggota di sisinya baik secara langsung maupun tidak 65 66 langsung. Serta adanya briefing yang biasa dilakukan pagi dan sore untuk mengevaluasi prasana dan saran apa saja yang akan di bangun. Media komunikasi yang digunakan dalam menyampaikan informasi adalah briefing, grup facebook, e-mail, bbm, sms, dantelepon. Selain itu, komunikasi secara langsung tatap muka maupun langsung juga dilakukan bila keadaan dilapangan memungkinkan, halini bertujuan untuk mempermudah koordinasi antar sesama karyawaan. B. Saran Dari uraian yang dikemukakandanfakta yang ditemukan.Maka saran-saran penulis sebagai berikut: 1. Penulis berharap ACT diharapkan lebih banyak melakukan aksi-aksi bantuan kemanuasiaan baik dalam maupun luar Negeri. 2. Dalam tahapan pra bencana peneliti berharap ACT melakukan aksikasinyata terutama memberikan bimbingan atau pelatihan kepada msayarakat maupun kesekolah-sekolah yang tinggal di daerah rawan bencana, sehingga pada saat bencana masyarakat telah memahami apa yang akan dilakukan. Serta peyampaikan informasi tentang ACT atau pun pekerjaan kepada seluruh karyawannya sebaiknya dilakukan melalui media tulisan juga, karena jika hanya menggunakan media online dan tidak semua karyawan selalu update membuka jejaring sosial yang digunakan, serta terkendalanya tempat maupun jaringan sinyal yang ada. 3. Dalam tahapan saat bencana sebaiknya ACT pusat menyediakan perlengkapan yang lebih baik lagi kepada para relawan saat berada di tempat kejadian, sehingga keselamatan relawaan lebih diutamakan. Serta 67 komunikasi dengan pimpinan di lapangan harus selalu terjaga dengan baik dan nyaman, karena pimpinan berkepentingan dalam segala hal. Sehingga terbentuklah rasa persaudaraan, dan pekerjaan dapat lebih efektif dan effesien.Serta lebih banya lagi para relawan atau pegawai ACT yang terlibat, sehingga mempermudah saat melakukan evakuasi maupun yang lainnya. 4. Pada tahapan pasca bencana, peneliti berharap ACT menyediakan bantuan yang lebih banyak, dengan mengajak atau mengadakan kerjasama dengan instansi atau perusahan lain, dan membantu secara terus-menerus tanpa batas, demi menjaga persaudaraan dan terbentuknya rasa kekeluargaan. DAFTAR PUSTAKA. Agama. Kementrian RI.Al-Qur’an dan Terjemahnya.Jakarta: PT. Tehazed, 2010. Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif, Jakarta: Kencana, 2010. Bungin, Burhan.Sosiologi Komunikasi.Jakarta: Kencana, 2007. Departemen Pendidikan Nasional.Kamus Besar Bahasa Indonesia.Edisi ke-tiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2005. DeVito, Joseph A.Komunikasi Antarmanusia, Penerjemah Agus Maulana. Edisi kelima. Pamulang: KARISMA Publising Grup, 2011. Hadi, Sutrisno.Metodologi Research. Yogjakarta: Andi Offset, 1983. Jumroni. Metode-Metode Penelitian Komunikasi. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006. Kodoatie, Robert J. dan Roestam Sjarief.Pengelolaan Bencana Terpadu.Jakarta: Yarsif Watampone, 2006. Littlejohn, Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss.Teori Komunikasi (Theories of Human Communication). terjemahan Mohammad Yusuf Hamdan, Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2009. Masmuh, Abdullah.Komunikasi Organisasi dalam Perspektif Teori dan Praktek. Malang: UMMPress, 2008. Meissner, dkk, Andreas. “Design Challenges for an Integrated Disaster Management Communication and Information System.” The First IEEE Workshop on Disaster Recovery Network, Juni 2002. Muhammad, Arni.Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara, 2011. Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007. Nurrachman, Nani. ed. Pemulihan Trauma: Pandan Praktis Pemulihan Trauma Akibat Bencana Alam.Jakarta, LPSP3 Fakultas Psikologi UI, 2007. 68 69 Pace R. Wayne, dan Doon F. Faules.Komunikasi Organisasi Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006. P. Robbins, Stephen. Organization Behaviour. New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2009. Rivai, Veithzal.Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi.Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. Sembiring,Sentosa.Himpunanan Peraturan Perundang-undangan Penanggulangan Bencana.Bandung: Nuansa Aulia, 2009. RI; Soyomukti, Nurani.Pengantar Ilmu Komunikasi.Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010. Siagian, Sondang P.Peranan Staf dan Manajemen.Jakarta: Gunung Agung, cet. kesatu, 1976. Sugiyono.Metode Penelitian Kombinasi Mixed Methods.Bandung: Alfabeta,2011. Susanto, A.B. Sebuah Pendekatan Strategi Manajemen: disaster Manangement di Negeri Rawan Bencana. Jakarta: PT Aksara Grafika Pratama, 2006. Uchjana Effendi, Onong.Dinamika Komunikasi.Bandung: PT Remaja Rosdakarya, cet. ke-empat, 2000. Uchjana Effendi,Onong.Spektrum Komunikasi. Bandung: Bandar Maju, 1992. Warto dkk.UjiCoba Pola Manajemen Penanggulangan Korban Bencana Alam pada Era Otonomi Daerah. Yogyakarta: Departemen Sosial RI, 2003. Jurnal Arifin, Saru. “Model Kebijakan Mitigasi Bencana Alam Bagi Difabel: Studi Kasus di Kabupaten Bantul”, Yogyakarta,” Jurnal FenomenaVol. 6 No.1. Maret 2008. Dhuafa, Dompet. “Situasi Respon Erupsi Gunung Kelud,” Disaster Manangement Dompet Dhuafa. 14-17 Februari 2014. Maarif, Syamsul. “Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor Enam Tahun 2008: Penggunaan Dana Siap Pakai,”Perka BNPB. Desember 2008. 70 Zaennuddin, Akhmad. “Prakiraan Bahaya Erupsi Gunung Kelud.” Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi.Vol. 4 No. 2. Agustus 2009. Web. Annisa Auliani, Palupi “Gunung Kelud; Sejarah Panjang dan Anomali Letusan.” kompas.com, diakses pada hari Sabtu 1 Maret 2014 www.act.or.id, di akses tanggal 22 Desember 2013 pukul 11.00 WIB. “Letusan Gunung,” diakses www.Wikipedia.org.id. pada hari Sabtu 1 Maret 2014 dari Pusat Data dan Informasi dan Humas, “Definisi dan Jenis Bencana,” diakses pada hari Sabtu 1 Maret 2014 dari www.bnpb.go.id. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, Modul Khusus Fasilisator, Pengolahan Penanganan Bencana. Modul Khusus Fasilisator, Pengolahan Penanganan Bencana. diakses pada hari Minggu, 09 Maret 2014 dari http://www.p2kp.org/ Rikito, Abdillah. “Pengertian Gunung Meletus,” diakses pada hari Sabtu 1 Maret 2014 dari http://alampenuhbencana.blogspot.com/p/gunung-meletus.html. Wildan, Faiz “Sejarah Letusan Gunung Kelud,” diakses pada hari Sabtu 1 Maret 2014 dari http://guswildancenter.blogspot.com/2014/02/sejarah-letusan-gunungkelud.html. Skripsi Novianti, Dini. “Pola Komunikasi Organisasi Di Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah II Kampung Utan Tangerang.” Skripsi S1 Fakultas Ilmukomunikasi dan Dakwah, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2009. Soleha, Ika “Pola Komunikasi Organisasi Di PT. Arga Bangun Bangsa ESQ Leadership Center.”Skripsi S1 Fakultas Ilmu komunikasi dan Dakwah, Universitas Islam Negeri Jakarta, tahun 2013. Suderajat, Maulisa, “Pola Komunikasi Organisasi Di Lembaga Kemanusiaan Nasional Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU).” Skripsi S1 Fakultas Ilmukomunikasi dan Dakwah, Universitas Islam Negeri Jakarta, tahun 2014. LAMPIRAN-LAMPIRAN Nama : Totok AP Jabatan : Ketua Induk Posko Daerah MRI Bojonegoro Hari, Tanggal : 23 Febuari 2014 Lokasi : Kecamatan Pare, Kediri Bertugas : Relawan Posko Logistik Assalamualaikum Nama saya Muhammad Rifiki. Saya mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah yang sedang mengerjakan tugas akhir skripsi. Izinkan saya untuk mewawancarai bapak untuk keperluan akademis saya. Atas kerjasamanya saya ucapkan terima kasih. Penelitian saya berkenaan dengan program bantuan yang ACT lakukan di wilayah bencana gunung Kelud. Saya ingin mengetahui bagaimana pola komunikasi dan organisasi ACT dalam menangani bantuan yang diberikan kepada warga korban bencana gunung Kelud. Mohon kerjasama bapak/ibu/saudara membantu saya menyelesaikan keperluan akademis saya. 1. Apa yang dimaksud dengan tahapan emergency dalam penanganan bencana di Kelud? Tahap emergency adalah tahap tanggap-darurat penanggulangan korban bencana pada saat terjadi bencana dan berlanjut setelahnya hingga batas waktu yang ditentukan kemudian. Untuk di Kelud ini ACT/MRI membatasi masa emergency selama sepekan atau seminggu pasca bencana, 14-20 Februari 2014. Selain itu juga mengikuti batas waktu tanggap darurat yang ditetapkan pemerintah, baik kabupaten, provinsi ataupun pusat, yakni sebulan pasca bencana dari 14 Februari 2014 hingga 14 Maret 2014. 2. Apa saja kegiatan yang dilakukan pada tahapan emergency dalam penanganan bencana di Kelud? Yang dilakukan pada tahap emergency: a. Evakuasi pengungsi ke tempat pengungsian di Kecamatan Pare (Masjid Agung Annur dan Gedung Serba Guna) b. Membuat dapur umum untuk pengungsi di halaman Kantor Kecamatan Pare c. Suplai logistik kepada pengungsi untuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan d. Pelayanan kesehatan keliling e. Trauma healing di posko pengungsian 3. Berapa personil/relawan yang diterjunkan pada tahapan emergency dalam penanganan bencana di Kelud? Personil yang diterjunkan lebih dari 100 orang relawan plus 200 relawan lokal desa 4. Apa saja tugas masing-masing tiap personil pada tahapan emergency dalam penanganan bencana di Kelud? Para relawan terbagi dalam 7 tim, yakni: a. Tim rescue (15 relawan) b. Tim dapur umum (10 relawan) c. Tim logistik (15 relawan) d. Tim kesehatan (15 relawan) e. Tim trauma healing (10 relawan) f. Tim administrasi dan dokumentasi (10 relawan) g. Tim assesmen dan mapping (30 relawan) 5. Bagaimana proses komunikasi keatas dan kebawah pada tahapan emergency dalam penanganan bencana di Kelud? Pada situasi penangangan bencana tahap emergency struktur dan proses komunikasi menggunakan sistim komando, yang terbagi dalam tingkatan: - Komandan Besar (misi-visi strategis) - Komandan Area (terjemah strategis dan taktis) - Komandan lapangan (teknis) - Komandan Posko (teknis aplikatif) - Relawan lapangan (aplikatif realisasi) Proses komunikasi dari atas dan bawah dilakukan bertahap menurut jenjang struktur komando. Jadi misalnya komandan besar tidak perlu memerintah langsung komandan posko atau relawan lapangan. Begitu juga sebaliknya. 6. Bagaimana bentuk koordinasi sesama personil pada tahapan emergency dalam penanganan bencana di Kelud? Pada fase emergency, koordinasi antar komandan dan posko rutin dilakukan pada pagi dan malam hari. Bentuknya briefing pagi sebelum ke lapangan, biasanya jam 05.30-06.30 Wib, berisi pemantapan agenda kerja hari itu, lengkap dengan pembagian tugas personil dan teknis pelaksanaannya. Kemudian, briefing malam, biasanya jam 20.00-22.00 Wib, berisi evaluasi tugas hari bersangkutan dan rencana tugas hari esoknya. Sementara untuk koordinasi saat tugas di lapangan, siang harinya, biasanya para relawan dan komandan berkoordinasi lewat telepon dan HT. 7. Apa yang dimaksud dengan tahapan rescue dalam penanganan bencana di Kelud? Bagaimana jawabnya ya? sebenarnya tidak dikenal istilah tahapan rescue, yang ada tim rescue, yang masuk tahapan emergency. Secara bahasa rescue itu artinya ya penyelamatan jiwa warga, bahkan ternak, di wilayah terdampak erupsi Kelud. Menghindarkan warga dan ternak dari ancaman bahaya material erupsi Kelud, seperti batu, pasir, abu vulkanis, awan panas dan lahar dingin. 8. Apa saja kegiatan yang dilakukan pada tahapan rescue dalam penanganan bencana di Kelud? Paling inti ya mengevakuasi warga, juga hewan ternak, daerah terdampak, keluar dari ring 1 dan ring 2 daerah bencana, yakni diluar jarak 20 kilometer dari puncak Kelud. 9. Berapa personil/relawan yang diterjunkan pada tahapan rescue dalam penanganan bencana di Kelud? Sekira 15 relawan 10. Apa saja tugas masing-masing tiap personil pada tahapan rescue dalam penanganan bencana di Kelud? Pembagian tugas ini biasanya otomatis terjadi saat beraksi di lapangan. Misalnya yang pasti ada ya sopir mobil rescue, yang lain itu menyesuaikan kondisi lapangan dan korban. Yang pasti tugas pokonya adalah penyelamatan jiwa. 11. Bagaimana proses komunikasi keatas dan kebawah pada tahapan rescue dalam penanganan bencana di Kelud? Proses komunikasi ke atas dan ke bawah harus tetap mematuhi jenjang strata komando. Kalau di lapangan ya cukup lewat HT dan telepon. 12. Bagaimana bentuk koordinasi sesama personil pada tahapan rescue dalam penanganan bencana di Kelud? Kalau tim rescue itu tidak boleh banyak koordinasi he...he...he...mereka harus cepat dan tepat, serta tanggap bertindak. Biasanya kalau relawan rescue itu “insting” penolongnya akan bereaksi otomatis. Koordinasi dilakukan pada pagi, sebelum beraksi, dan malam hari saja. 13. Apa yang dimaksud tahapan medis dalam penanganan bencana di Kelud? Juga tidak dikenal tahapan medis, yang ada tim medis, yang masuk tahapan emergency. Tim medis ini melayani pemeriksaan kesehatan dan pengobatan jika ada korban Kelud yang sakit. 14. Apa saja kegiatan yang dilakukan pada tahapan medis dalam penanganan bencana di Kelud? Kegiatan intinya, ya pemeriksaan kesehatan dan pengobatan kepada warga terdampak erupsi Kelud di posko-posko pengungsian. Kadang diselipi juga penyuluhanpenyuluhan hidup sehat. 15. Berapa personil/relawan yang diterjunkan pada tahapan medis dalam penanganan bencana di Kelud? Sekira 15 relawan 16. Apa saja tugas masing-masing tiap personil pada tahapan medis dalam penanganan bencana di Kelud? Terbagi dua tim medis, masing-masing 7 atau 8 relawan. Tiap tim terdiri 1 atau 2 dokter, 2 perawat/apoteker dan sisanya relawan pembantu umum. 17. Bagaimana proses komunikasi keatas dan kebawah pada tahapan medis dalam penanganan bencana di Kelud? Proses komuniksi ke atas dan ke bawah harus tetap mematuhi jenjang strata komando. Kalau di lapangan ya cukup lewat HT dan telepon. 18. Bagaimana bentuk koordinasi sesame personil pada tahapan medis dalam penanganan bencana di Kelud? Koordinasi dilakukan pada pagi, sebelum beraksi, dan malam hari saja 19. Apa yang dimaksud relief dalam penanganan bencana di Kelud? Relief itu penanganan pengungsi bencana erupsi Kelud, terutama yang ditampung di posko-posko pengungsian. 20. Apa saja kegiatan yang dilakukan pada tahapan relief dalam penanganan bencana di Kelud? Kegiatannya adalah pemenuhan kebutuhan pokok warga pengungsi, seperti air bersih, air minum, pangan, sandang, papan yang nyaman. Termasuk juga bimbingan psikologis dan trauma healing, serta kesehatan. 21. Berapa personil/relawan yang diterjunkan pada tahapan relief dalam penanganan bencana di Kelud? Sekira 50 relawan 22. Apa saja tugas masing-masing tiap personil pada tahapan relief dalam penanganan bencana di Kelud? Personil terbagi dalam; tim dapur umum, tim logistik, tim trauma healing dan tim medis. 23. Bagaimana proses komunikasi keatas dan kebawah pada tahapan relief dalam penanganan bencana di Kelud? Proses komunikasi ke atas dan ke bawah harus tetap mematuhi jenjang strata komando. Kalau di lapangan ya cukup lewat HT dan telepon. 24. Bagaimana bentuk koordinasi sesame personil pada tahapan relief dalam penanganan bencana di Kelud? Koordinasi dilakukan pada pagi, sebelum beraksi, dan malam hari saja 25. Apa yang dimaksud rekontruksi dan recovery dalam penanganan bencana di Kelud? Rekonstruksi adalah perbaikan kembali fasilitas dan rumah yang rusak akibat erupsi Kelud. Rekonstruksi ini termasuk bagian dalam tahapan recovery, yakni tahapan pemulihan pasca bencana menuju kepada kembalinya kemandirian para korban selamat dalam melanjutkan kehidupan diri dan keluarganya. 26. Apa saja kegiatan yang dilakukan pada tahapan rekontruksi dan recovery dalam penanganan bencana di Kelud? Kegiatan rekonstruksi yang dilakukan adalah memperbaiki dan mengganti atap genteng rumah warga dan fasilitas umum dan ibadah yang pecah akibat tertimpa material vulkanis Kelud. Saat ini ACT sudah menyerahkan 200 ribu biji genteng baru kepada korban Kelud di Desa Satak, kec. Puncu dan Desa Asmarabangun, Kec, Puncu. Selanjutnya bantuan ini akan terus bertambah seiring banyaknya donasi dan wakaf genteng dari publik dan perusahaan. Secara umum recovery, nanti ada juga pemulihan kondisi ekonomi dan sosial yang berorientasi pada terjadinya multiplier effect, berkelanjutan dan berbasis sumber daya lokal. 27. Berapa personil/relawan yang diterjunkan pada tahapan rekontruksi dan recovery dalam penanganan bencana di Kelud? Sekira 200 relawan, mayoritas relawan lokal dari desa terdampak 28. Apa saja tugas masing-masing tiap personil pada tahapan rekontruksi dan recovery dalam penanganan bencana di Kelud? Tugas disesusaikan kondisi di lapangan, misalnya ada yang jadi relawan pemetaan dan pendekatan pada warga yang daerahnya menjadi sasaran program, ada yang menjadi fasilitator program, relawan tukang kayu, relawan pendamping, administratur, dan sebagainya 29. Bagaimana proses komunikasi keatas dan kebawah pada tahapan rekontruksi dan recovery dalam penanganan bencana di Kelud? Karena tahap recovery berbeda dengan tahap emergency, maka proses komunikasinya lebih partisipatif. Artinya, proses komunikasi berlangsung cair, meskipun tetap mempertimbangkan strata komando. Kapan saja dan dengan siapa saja proses komunikasi bisa dilakukan. Media komunikasinya bisa linsan, tertulis, lewat telepon, sms, HT, email, BBM dan lainnya. 30. Bagaimana bentuk koordinasi sesame personil pada tahapan rekontruksi dan recovery dalam penanganan bencana di Kelud? Bentuk koordinasi yang baku masih sama, yakni briefing pagi dan malam. Namun dalam tahapan recovery, koordinasi bisa dilaksanakan juga di lapangan pada waktu kapan saja selama perlu dan ada sesuatu yang mendesak dikoordinasikan. Lebih fleksibel daripada tahapan emergency 31. Apakah relawan/personil bias langsung memberikan informasi/laporan ke kantor ACT pusat? Setiap relawan diberi hak dan kewajiban untuk memberikan informasi atau laporan terkait bencana dan program penanganannya, kepada kantor ACT Pusat. Informasilaporan bisa dilakuakn secara lisan lewat telepon, atau tertulis lewat sms, FB, BBM, WA, tweeter, email atau media lain. Narasumber Totok AP pewawancara (Muhammad Rifki) HASIL WAWANCARA Nama : Insan Nurrahman Jabatan : Vice Presiden ACT (Ketua Posko Bantuan Nasional ACT). Hari/Tanggal : Sabtu, 23 Febuari 2014. Lokasi : Posko Logistik ACT. Assalamualaikum Nama saya Muhammad Rifiki. Saya mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah yang sedang mengerjakan tugas akhir skripsi. Izinkan saya untuk wawancara dalam keperluan akademis saya. Atas kerjasamanya saya ucapkan terima kasih. Penelitian saya berkenaan dengan program bantuan yang ACT lakukan di wilayah bencana gunung Kelud. Saya ingin mengetahui bagaimana pola komunikasi dan organisasi ACT dalam menangani bantuan yang diberikan kepada wagra korban bencana gunung Kelud. Mohon kerjasama bapak/ibu/saudara/i membantu saya menyelesaikan keperluan akademis saya. Pertanyaan: 1. Berapa umur bpk/ibu/sdr? 42 tahun 2. Apa saja tugas pos komando (bpk/ibu/sdr) dalam program bantuan ini? Yah, kita punya induk posko nasional di Jakarta yang membawahi seluruh bencana Naisonal, saya baru ketua posko Nasional di Jakarta, kita engga cuma di Kelud, ada di Sinabung. Masih membangun infrastruktur dan air bersih, kita juga punya program di manado. Pantura dan di Kelud, Dll. Maka kita sebut posko Nasional. Tiap wilayah kita punya nama nya posko induk atau posko wilayah, kalo Kelud karena ada 3 kabupaten maka di buat posko induk. Yah tugasnya memastikan semua kegiatan penanganan bencana ditanggap darurat dan memasuki fase recovery inikan sudah setengah recovery, seluruh kegiatan kita di posko harus bertangung jawab, mulai dari logistic kesehatan yang belum disini trauma healling. Tapi besok baru trauma healling, kita di undang kak Setto di 2 sekolah. Kita semua koordinasi dengan pak Camat, pak Lurah dan instasi lainnya. Serta adanya Srimullat. Yah semacam menghiburlah, agar mereka melepas lelah, termasuk melakukan evakuasi, medis, trauma healling, dan relief bantuan untuk pengunggsi dan dapur umum, dari tanggal 14 sampai hari ini, sekarang masuk recovery memberikan bantuan sekitar 190.000 genteng sampai hari ini, kita kan terus berlanjut termasuk infrastruktur kelurahan dan sekolah satta, posko induk memastikan semuanya, yakni bagaimana mengelola relawan, resous, membangun kemitraan, butuh data dari sakorlak, dan instasi lain di sini, kaya besok saya bertemu dengan Dinas Sosial, kepala Dinas UKM, bagaimana memastikan recovery nya jalan. Kita komando ada di pemerintah, Saya bertemu meraka agar fase recovery tidak over lepping dengan mereka. Saya sampe pak Camat, dan en aarok, lainnya. Posko induk bisa berjalan, sehingga temen di lapangan berkoordinasi dengan baik, posko induk kita juga berkomunikasi dengan pusat tentang bantuan makanan, sumber daya lapangan, dan bantuan dari pusat, posko induk menjadi pusat komando laporan informasi dilapangan. Kalo posko unit, untuk mempermudah jangkauan-jangkauan kita, untuk berkomunikasi dan berkordinasi kebutuhan kita. Disini karena kita kurang kuat jadi Cuma mendirikan induk posko unit di sini. 3. Apa saja bentuk informasi yang diberikan pos komando (bpk/ibu/sdr) kepada para relawan? Yah posko kan punya pengurus atau struktur, bicara komando, saya punya alur komando, di sinilah struktur berjalan, saya engga semudah langsung ke bawah, walaupun saya punya wewenang itu, saya disini bukan sebagai komando wilayah disini, saya memang punya staf di sini dari Jakarta, yang menjadi komandan saya disni, saya merepisi temen-temen untuk membentuk posko induk disini, saya tetep berkoordinasi dengan pusat, yang tugasnya memastikan struktur di sini dapat berjalan. Kalo langsung ke bawah saya hanya memberikan arahan, dan motivasi, tapi intruksi dari staf saya dan komandan saya disini, mas Andika namanya. Dari sanalah beliau yang men-delivery kegiatan kesehatan, relief dan recovery, trauma healling. Kita punya sub komando. 4. Apa aplikasi yang digunakan pos komando (bpk/ibu/sdr) untuk mengolah dan menganalisis laporan/informasi dari para relawan? Saya mempunyai struktur komando, saya punya grup sendiri tentang posko wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat, saya punya grup dengan puluhan wilayah, aplikasinya WA (WhatsAap) dan BBM (Blackberry Messenger) untuk menjalankan roda organisasi, semua bergabung dengan MRI, bagian dari anggotanya ACT, jadi kejadian yang terjadi di relawan maupun dilapangan saya mengetahui. Kerena kan relawan butuh di manenite. 5. Bagaimana cara pos komando (bpk/ibu/sdr) menanggapi informasi/laporan yang diberikan relawan? yah pertama itu kita kroscek dulu, bila dari tim kami ada yang kenal dengan relawan tersebut, dan relawan tersebut merupakan relawan kami, maka kami akan memproses laporan yang diberikan dan langsung di proses di pos komando kemudiaan memberikan apa yang di butuhkan oleh relalawan. 6. Apa saja alat yang disediakan pos komando (bpk/ibu/sdr) untuk para relawan? Radio dan HT serta radio ralling untuk mengetahui keadaan relawaan dilapangan, sehingga bila ada bencana langsung saya kasih tau pada relawan dilapangan. 7. Bagaimana cara pos komando (bpk/ibu/sdr) membagi informasi penting samapi tidak penting? Kita kan punya informasi tidak satu pihak, setelah dapat informasi, di kroscek, jejaring lokal itu penting, karena saya mendapat informasi dari penyeimbang juga seperti dari media maupun warga setempat, misal ada posko yang belum terkena itu informasi dari setiap posko, kalo dari sakorlak itu berartikan formal, dan penting. Bila ada informasi tidak penting itu belum terjadi, kecuali ada seseorang yang melapor dan tidak kenal baru saya tidak respon. Karenan ini organisasi jadi struktur dan fungsi jelas. Jadi kami tau semua. 8. Bagaimana proses penginformasian yang dilakukan pos komando (bpk/ibu/sdr) kepada para relawan? Dari organisai, karena saya orang kedua lah dari organisasi, dari pusat. Saya dapet informasi dari atas, saya sampaikan ke posko Nasional, ke posko induk, posko daerah, baru kerelawan. begitu dapat informasi dari kroscek, keatasaan saya. Tahapannya Induk posko Nasional, wilayah, daerah, relawan. Disampaikan bisa melalui rapat, biasanya kalo formal bertahap, bisa langsung informal. 9. Bagaimana cara pos komando (bpk/ibu/sdr) membagi jaringan komunikasi atas ke bawah (top down)? Setiap perintah harus ada laporan, missal saya kasih genteng, yang di bawakan tidak tau berapa genteng? Bisa instruksi ke atasnya dalam bentuk laporan, Saya punya infrotime, alat komunikasi yang berisikanan grup untuk menyampaikan laporan. Kalo grup komando berisi instruksi informasi. Dari grup ini bentuk laporan foto, data korban, dan lainnya untuk ke atas, dan informasi dan instruksi dan motivasi maupun lainnya untuk kebawahan.. 10. Bagaimana cara pos komando (bpk/ibu/sdr) berkoordinasi dengan kantor pusat (HQ)? Sama punya teknologi kita koordinasi lewat telpon, maupun lewat grup BBM maupun WA karena saya punya grup tentang manajemen ACT. harus imbang antara komunikasi dan manajement. grup komunikasi dan grup acara. 11. Apa saja informasi/laporan yang diberikan pos komando (bpk/ibu/sdr) kepada kantor pusat (HQ)? Kalo program, ya informasi lapangan, berita acara yang akan di adakan, kegiatan, relawan yang terlibat. 12. Menurut pos komando (bpk/ibu/sdr) sepeti apa bentuk follow up yang dilakuan kantor pusat (HQ)dalam menanggapi laporan/informasi dari pos komando? Cukup baiklah, karena sesuai kebutuhan yang diperlukan, dan langsung di flow up oleh HQ data primer biasanya. 13. Menurut pos komando (bpk/ibu/sdr) apakan kantor pusat (HQ) bersikap sigap (koopratif) terhadap informasi atau laposan yang diberikan? Sangat koopratif Karena kan tiap organisasi itu harus cepat dan terstuktur. Harus terintergrasi. 14. Menurut pos komando (bpk/ibu/sdr) bagaimana sebaiknya cara agar bantuan dapat mengalir dengan baik kepada para korban/pengungsi/warga Kelud? Yang pertama itu Intergritas, baik intergritas manajemen maupun integritas personal, karena masalahnya amanah dan tanggung jawab, kita personal fisik, nilai-nilai dan visi itu penting, walaupun semua orang bisa jadi relawan, tapi manjemen yang mengatur. Harus responsive juga, dan menyesuaikan kebutuan masyarakat. 15. Menurut pos komando (bpk/ibu/sdr) apakah bantuan yang diberikan ACT sudah cukup baik? Baik. Berikan alasannnya, karena semuanya terkendali dengan baik dan cepat. TERIMA KASIH BANYAK ATAS KERJASAMA YANG BPK/IBU/SDR BERIKAN Narasumber Pewawancara Insan Nurrahman Muhammad Rifki HASIL WAWANCARA Nama : Erlid Riandilanta Jabatan : Relawan ACT Hari, Tanggal : Minggu, 23 Febuari 2014 Lokasi : posko logistik Assalamualaikum Nama saya Muhammad Rifiki. Saya mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah yang sedang mengerjakan tugas akhir skripsi. Izinkan saya wawancara dalam keperluan akademis saya. Atas kerjasamanya saya ucapkan terima kasih. Penelitian saya berkenaan dengan program bantuan yang ACT lakukan di wilayah bencana gunung Kelud. Saya ingin mengetahui bagaimana pola komunikasi dan organisasi ACT dalam menangani bantuan yang diberikan kepada wagra korban bencana gunung Kelud. Mohon kerjasama bpk/ibu/sdr membantu saya menyelesaikan keperluan akademis saya. Pertanyaan 1. Berapa umur bpk/ibu/sdr? 38tahun 2. Izinkan saya mengetahui “alasan pribadi” bpk/ibu/sdr ikut bergabung dalam kegiatan Program Bantuan Gunung Kelud? Kemanusiaan, pengalaman dan ikatan dinas organisasi. panggilan jiwa. 3. Apakah bpk/ibu/sdr sebelumnya pernah ikut “Program Bantuan” yang sama? a. Nama Progrram program siaga serasi b. Lemba LMI c. Bencana Banjir bojonegoro 2007-2008 4. Apa saja tugas yang diberikan ACT kepada bpk/ibu/sdr sebagai seorang relawan? Awalnya kita, evakuasi, tim rescue, dapur umum, tiap hari 1500 bungkus, tim posko lapangan, cari data penyaluran logistik, kalo kami dari tim logistik mengirimkan bantuan logistik ke posko-posko yang ada, nanti mereka yang turun kelapangan, tim medis (kesehatan), trauma healling. Tapi itu ada fasenya. Kalo tim rescue itu fasenya selama satu hari atau, selama bencana berlangsung. Kan ACT ini punya 5 fase itu tolong jelaskan kelima fase tersebut? Fasenya sebelum bencana udah ada, Sebelum bencana sudah ada, kayanya di Jakarta kita tanam seribu pohon. Klo disini tim pertama yang turun meefing, yakni mencari titik-titik mana aja yang nanti menentukan posko yang akan di bangun dan menentukan alur pemerintah, karena yang punya pemerintah daerah, sebelumnya. Kejadiannya jumat, kita senin dah di sini. Saat bencana terjadi yah evakuasi, itu namanya saat bencana terjadi, Cuma evakuasi selama 2 sampai 3 jam, jum’at pagi ada dapur umum, hari pertama 100 bungkus, di Masjid An-Nur dan kecamatan Pare. Sekarang kita dirikan dapur umum, yang dekat dengan rumah warga. Karena kebatasan rumah warga. ada program lagi yang kita survey banyak genteng yang bocor, jadi kita buat donasi paket bantuan 10.000 genteng buat satu rumah Targetnya 5000 rumah. Mungkin itu juga yang baru terlaksana. Berarti baru 3 fase yang terlaksana?? ia memang.. mungkin kedepannya kaya ternak yang mati, atau yang lainya itu kita pikirkan lagi bisa dibantu atau tidak. Sebetulnya ada 3 fase. Pra bencana, saat bencana, pasca bencana. 1. Pra bencana biasa kita mitigasi kita buat peta, cari jalur-jalurnya, edukasi masyarakat untuk mengungsi. 2. Saat bencana evakuasi dan mendirikan posko, dan memberikan bantuan dasar.mendriikan posko kesehatan, dan suplai makanan. Sekarang sudah recovery warga sudah kembali ke rumah masingmasing. Jadi saat bencana baru mulai fase emergency?? Ia betul mas.. 3. Paska bencana ada recovery dan relief. Recovery mengembalikan mereka kerumah masing-masing, dan relief nanti kita bangun mereka kembali. Memang tahapnya lum selesai. 5. Menurut bpk/ibu/sdr masalah apa saja yang paling sering/banyak dihadapi oleh korban/pengungsi/warga yang ada di kelud? (masalah yang dirasakan oleh para korban secara umum) Karena saya tim pertama yang turun ke sana, yakni pada awal datang ke posko pengungsian. Paling umum itu Makan, tempat tidur yang layak, matras ini kita bagikan, meskipun mereka sudah bawa tikar, dan masker, air dan listrik. 6. Menurut bpk/ibu/sdr, kira-kira apa masalah yang Paling Penting dan membutuhkan penyelesaian cepat yang dihadapi bpk/ibu/sdr sendiri dalam membantu para korban/pengungsi/warga? Makanan dan masker karena hari pertama datanya banyak berubah sehingga perlu penanganan yang tepat. Jadi kalo ada warga yang belum dapat makan, yah kita beli. Dan masker yang terbatas sehingga mencaricari. Tapi dalam penanganan bencana disini, sudah cukup baiklah roll nya, Karena baik pemerintahnya mapun instasi lain itu cukup baik. masalah yang dirasakan korban tetapi harus segera mendapatkan pertolongan relawan 7. Munurut bpk/ibu/sdr apa saja masalah yang bpk/ibu/sdr hadapai saat membantu para korban/pengungsi/warga? (masalah relawan secara pribadi saat sedang membantu korban) Engga ada tapi susahnya mengatur pengungsi, masalah tempat pengunggusian karena banyak korban yang mengungsi tidak tinggal 1 posko dan 1 keluarga mereka, jadi data banyak yang berubah-berubah karena mereka mencari keluarga mereka di posko lain. 8. Apa alat komunikasi yang bapak gunakan untuk berkoordinasi dengan pos komando? Hp, dan HT. 9. Apa aplikasi yang digunakan dalam alat komunikasi tersebut? WA (WhatsAap), BBM (Blackberry Messenger), telpon semua jaringan Telkom 10. Apa saja kendala yang bpk/ibu/sdr hadapi saat berkoordinasi dengan pos komando? Sulit menghubungi pada hari-hari bencana dan listrik yang tidak terjangkau, Karena masih terganggu oleh abu yang tebal. Dan terbatasnya jarak. 11. Menurut bpk/ibu/sdr bentuk koordinasi yang dilakukan pos komando kepada relawan apakah sudah berjalan dengan baik? jika belum berikan alasannya? Karena SOP nya dah berjalan dengan baik jadi menurut saya dah baik. Contoh permintaan logistik, dari posko lapangan minta logistik. Kita melihat kebutuhan pengungsi apa, jadi kita tinggal lapor ke posko logistik. Cukup baik lah koordinasi dari lapangan ke posko. Contoh dapur umum, dapur umumkan tidak hanya 1, banyak dari TNI, LSM, dan lain-lain, nah ternyata 1 pengungsian itu banyak anak kecil, engga suka makan pedas, kita respon itu, kita lihat ternyata anak-anak itu engga suka karena makanannya pedas, karena dapur umum di-pukul rata sama aja, kita respon jadi khusus malem kita buat untuk anak-anak yakni opor Klo bapak sendiri koordinasi ke posko ini, tentang apa?? Apa aja, kaya makanan, tenda, bahan makanan, bantuan pakaian layak, alat tidur, dan lain-lain. Kalo dari pos komando logistik bisa kirim, kita tunggu, kalo tidak bisa kita yang ambil. 12. Apa saja alat bantu yang diberikan/disedikan ACT untuk para relawan dalam membantu korban/pengungsi/warga kelud? Senter, HT, masker untuk evakuasi, kaca mata, mobil, Hp, kendaraan, topi, jaket. Izinkan saya mengetahui setiap fungsi dari tiap alat-alat tersebut. 13. Seperti apa bentuk laporan yang bpk/ibu/sdr berikan kepada pos komando? (laporan diberikan dalam bentuk buku, sms, tlp, dll) Sebutkan! Laporan berbentuk form, sebagai bentuk tanggung jawab kita kepada donator. 14. Menurut bpk/ibu/sdr seperti apa biasanya bentuk reaksi (follow up) dari pos komando terhadap laporan yang bpk/ibu/sdr berikan? Yah karena ini sudah SOP kami, yah Alhamdulillah bagus, karena sudah sesuai yang kita minta, kadang-kadang kita hanya laporan surat penerima barang. misal, beras habis, jadi kita minta aja, dan itu langsung di respon oleh yang di sana. 15. Menurut bpk/ibu/sdr apakah follow up dari laporan relawan cukup cepat ditanggapi oleh pos komando atau tidak? Berikan alasannya! Iya sangat cepat, karena pengungsi adalah manusia jadi harus penanganan yang tepat. 16. Menurut bpk/ibu/sdr apakah infomasi yang diberikan ACT (pos komando) saat bertugas cukup koopratif? Jika belum, berikan alasannya! Sangat. Yah karena lewat radio bisa di pantau jadi langsung di respon. Misal kita lagi distribusi nasi, terus di atas Kelud lagi ujan, jadi kita di suruh berhati-hati karena ujan, gitu. 17. Menurut bpk/ibu/sdr bagaimana sebaiknya cara agar bantuan dapat mengalir dengan baik kepada para korban/pengungsi/warga kelud? Koordinasi dengan baik yakni warganya butuh apa, diturunkan kebawah, baru kita berikan dan datangkan bantuan. 18. Menurut bpk/ibu/sdr apakah bantuan yang diberikan ACT sudah cukup baik? Berikan alasannya? Sangat baik. 19. Menurut bpk/ibu/sdr apa kekurangan ACT dalam membantu para korban/pengungsi/warga kelud agar kedepannya dapat lebih baik lagi? Tidak ada. mungkin kepada bantuannya aja. TERIMA KASIH BANYAK ATAS KERJASAMA YANG BPK/IBU/SDR BERIKAN Narasumber Wawancara Erlid Riandilanta Muhammad Rifki HASIL WAWANCARA Nama : Bu Ni’mah Jabatan : Public relation Tempat dan Waktu : Menara 165 29 Desember 2013 1. Bagaimana Sejarah terbentuknya ACT? ACT terbentuk pada tanggal 21 april 2005, dan ACT ini lembaga yang bergerak dibidang kemanusiaan, dan “fokus kita bencana”. Tapi yang mesti digaris bawahi, bencana itu adalah bukan hanya bencana alam, dan itu yang selalu kita campaignkan eduksikan kemasyarakat, bahwa bencana itu bukan hanya bencana alam tapi juga ada bencana sosial, konflik antar suku, krisi air, krisis pangan, gizzi buruk, masalah kesehatan, itu juga termasuk bencana, itu kan mengakibatkan masalah kemanusiaan, jadi ada kematian, korban, manusia yang telah menjadi korban, jadi itu sudah menjadi masalah kemanusiaan bukan hanya becana alam. Termasuk di jalur Gaza ini, gak ada bencana alam disana, tapi hanya konflik antara Palestina dan Israel, itukan banyak orang yang menjadi korban, nah itu ada masalah kemanusiaan di situ. 2. Bagaimana pola komunikasi ACT yang dignakan dalam program pelaksanan terpadu di Palestina.? Palestina itukan dasarnya konflik jadi, dari pimpinn brifing, lembaga, atau lnstuisi. Brifing-nya terbatas. Hanya para pimpinan. Di kontruksi ke level emergency. Pola yang kami gunakan biasanya intergreted manajemen. Pola ini dilakukan dari level emergency, rescue, rehabilitasion, dan recavry. Biasanya emergency dulu, ke rescue, ke rehalition, recavery , Cuma klo Palestina ini karena lokasi yang jauh dan sudah lama, konfliknya juga lama sekali bahkan sudah lama di umur ACT, jadi mungkin kami lebih ke tahapan itu. Kaya kemarin banjir di Jakarta, itukan dah keliatan mulai dari emergency, menyiapkan kapal-kapal, rescue di lokasi, penyelamatan korban, rehabilitasi kita bangun posko dan recavery, bagaimana mereka kembali dan membangun rumah mereka kembali. Untuk di Palestina ini karena sudah sangat lama kita tidak menggunakan pola itu, dan itukan bukan model-model bencana yang beda, bencananya kan bukan bencana alam, polanya sudah bisa kelihatan, kalo bencana alam kan polanya, selesai bencana yah pasti sudah selesai, klo Palestina kan masalah konflik dan bencana sosial, konflik yang suatu saat pasti akan meledak lagi, tuh kita engga bisa prediksi. Tapi sejauh ini bantuan yang di berikan ke Palestina recavery, jadi kita kirimkan bantuan, berupa pangan, lebih ke medis, mungkin kalo medis masuk ke rescue-nya, tapi saya kurang tau, karena saya masih baru disini, mungkin nanti di tanya. Untuk program kita mau bangun sekolah putri di Palestina, jadi kan sudah massa recavery, untuk mengurus infrastruktur, pendidikn di Palestina yang hancur karena konflik. 2. Kalo Presiden sendiri memberikan keleluasaan tidak kepada bawahan dalam memberikan tugas.? Presiden sendiri terbuka dalam hal ide-ide, untuk apa yang terbaik, meskipun terbatas, level atas, presiden dan direktur. 3. Apakah atasan siap dikritik dan diberi saran oleh bawahan? Karena setiap senin diadakan breafing setiap manajemen, maka di sana pasti ada masukkan dan kritikan maupun yang lainnya, jadi tidak hanya komunikasi tentang laporan pekerjaan, tetapi bisa berupa masukan maupun yang lainnya. 4. Bagaimana sitem komuniasi informasi di ACT? Sangat struktural dan sangat berstruktur, informasi yang disampaikan secara langsung. 5. Apakah bawahan leluasa berkomunikasi sesama bawahan.? Iya, karena di ACT tidak ada sekat, antar divisi. kami bebas, keliling bisa kemana saja, ke divisi-divisi lain bahkan department lain, bahkan koordinasi itu sudah tidak ada sekat-sekat, kami juga punya milis yang terbuka untuk yayasan, jadi semua informasi itu bener-bener hanya satu ACT yang tahu. Bahkan dari level atas sampai bawah semuanya tahu, tapi tentu ada informasi-informsi yang hanya pada level tertentu dan memberikan laporan hanya pada atasan atau tiap departemen. 6. Apa saja yang dikomunikasikan dari atasan ke bawahan.? Setiap habis rapat manejemen setiap senin, itukan hanya manajemen, dari manajemen itu di lanjutkan rapat Direktorat, nah itu hasil dari manejemen itu di sampaikan kepada bawahan melalui breafing, manajemen direktorat itu, jadi kami mempunyai jadwal masing-masing yang rutin. Misal jadwal Direktorat komunikasi punya rapat hari apa, yang di lanjutkan dari hasil rapar manajemen tiap hari senin itu. Itu yang disampaikan, jadi terus mengalir gitu, artinya tidak terputus sampai rapat manajemen saja, tetapi keputusan hasil rapat manajemen sampai kebawahan. 7. Apa harapan anda kedepannya? Lebih baik, pegawai keluar masuk, jadi lebih baik orang-orang di organisasi bisa bertahan lebih lama, jadi mereka, kalo lebih lama kan bisa lebih paham, sistemnya seperti apa, akan belajar dari awal, terutama level atas, karena klo yang masuk level atas, dia belajar baru tentu lebih susah. 8. Apa hambatan komunikasi di ACT? Ada miss komunikasi, miss koordinasi, kadang kita kan butuh cepat saat bencana, kadang ada yang terlewat, tapi engga yang fatal. 9. Apa tujuan anda kedepamnya? Saya sebagai PR ingin membawa nama lembaga lebih baik di masyarakat. 10. Usaha ACT untuk dikenal? Lebih terlibat di berbagai event, banyak melakukan aksi dan edukasi, serta eventevent yang berbasis kerjasama-sama, kegiatan masyarakat seperti community. 11. Bagaimana arus informasi yang ibu sampaikan kebawahan. Kalo saya hanya menyapaikan kepada media-media cetak informasi yang masuk. 12. Bagaimana cara ACT dalam mensukseskan program ini? Edukatif, campaign, mungkin media melalui website berita-berita majalah benefit 2 bulan sekali, twitter, mercendise dengan tema program tersebut. Narasumber Pewawancara Hidayatun Ni’mah Muhammad Rifki JAWABAN Narasumber : Iqbal Setyarso Jabatan : Direktur Komunikasi ACT Tempat dan waktu : Menara 165, 20 Desember 2013 1. Bagaimana komunikasi yang terjalin dalam organisasi ACT antara atasan kepada bawahan atau sebaliknya dan sesama karyawan? Komunikasi antara Atasan-Bawahan dan Bawahan-Atasan ACT menjalankan komunikasi formal berjenjang melalui rapat-rapat manajemen. Rapat setiap hari Senin rutin, diikuti Manager ke atas. Rapat hari Kamis khusus Departemen. Rapat hari Jumat, khusus BOD Holding. Di luar hari-hari itu secara fleksibel bisa dilakukan rapat direktorat. Komunikasi lainnya berupa: 1. Evaluasi SDM: Tahap Pertama, Self Assesment pertahun dari bawahan disampaikan ke atasan berupa form isian standar, memuat sejumlah: (a) item evaluasi kinerja yang skornya versi bawahan dicek atasan langsung; (b) pendapat karyawan tentang diriya dalam konstalasi organisasi; (c) rencana kerja dan harapannya dalam organisasi; (d) pembekalan/pelatihan/arahan yang masih diperlukannya untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya dalam organisasi; (e) rekomendasi atasan langsung serta pendapat atasan dari atasan langsung. Tahap Kedua, Evaluasi SDM di tingkat Bord of Director yang hasil akhirnya berupa pengumuman promosi/demosi/mutasi karyawan pada pertemuan pleno karyawan di akhir Renstra Tahunan. Pada kesempatan ini semua karyawan saling mengenal dan mendengarkan orasi top leader (dari Presiden ACT). 2.Evaluasi Kelembagaan. Pertama, Berlangsung Per Catur Wulan. Per Direktorat dan per Departemen melakukan evaluasi sendiri dan hasilnya Diplenokan (semua Departemen). Di sini menjadi ajang eksplorasi kapasitas SDM lintas departemen, saat pimpinan departemen memberi kesempatan para direkturnya mempresentasikan summary evaluasi direktorat. Kedua, Renstra Tahunan, mengkritisi presentasi lintas Departemen (diikuti perwakilan Departeman, Direktur dan SDM yang dipandang strategis untuk hadir dalam Event Tahunan). Ini ajang mengedukasi level leader dari Pimpinan Departemen hingga para Manager. Top Leader (Presiden ACT) menyampaikan inspiring speech di awal Renstra, mengikuti dan mengkritisi seluruh rangkaian presentasi departemen dan direktorat, meliputi aspek: Evaluasi Tahun Berjalan (SWOT), Perencanaan Strategis memuat Program dan Budgeting. 3. Pembinaan Karyawan. Ada pembinaan spiritual/kajian keagamaan karyawan dua pekan sekali (Rabu) bergantian dengan in house training seputar peningkatan kemampuan manajerial level manager ke bawah. Komunikasi Atasan dan Bawahan Virtual ACT mewajibkan level Manager ke atas hingga Board of Directors menggunakan Blackberry. Dengan Blacberry ini dibuat sejumlah group – berlapis/berjenjang: group BOD Holding, group BOD Jejaring, group Management dan group ACT (representasi). Selain itu ada group Direktorat, Group Departemen, Group AntarDepartemen. Melalui Blackberry Messenger, pembahasan isu-isu kelembagaan berlangsung setiap hari: arahan manajemen yang terkait dengan pengambilan keputusan; pencerahan leader (baik top leader maupun di bawahnya); informasi ringan untuk relaksasi (hiburan), foto-foto aktivitas lapangan. Melalui BBM Group, Top leader mengetahui dan mengarahkan Tim Leaders; memantau potensi dan sikap serta narasi manejerial para bawahan. Melalui BBM, anak buah bisa melaporkan kinerjanya, progress report harian dan pekanan, mempersiapkan kompilasi untuk penyusunan final report, dll. 2. Menurut saudara/i, apakah komunikasi itu sangat diperlukan dalam sebuah organisasi? Sangat! Organisasi tanpa komunikasi, lumpuh; komunikasi tanpa organisasi hanya obrolan yang tak akan menghasilkan sesuatu yang bernilai strategis. Komunikasi mengaktivasi gagasan, mengontrol proses dan mengakselerasi program yang mengalami kelambatan; memecahkan stagnasi lintas lini; menjamin keberadaan organisasi tetap hidup: tumbuh dan berkembang. Organisasi dengan komunikasi yang sehat, mengedukasi semua SDM di dalamnya. 3. Bagaimana pola komunikasi yang digunakan ACT? Jawaban soal Nomor (1), untuk menjelaskan pola komunikasi internal ACT. Selain hal ini, dari Pihak HRL (Human Resources and Legal) ada group email di mana arahan, informasi kekaryawanan disampaikan. Dari urusan absensi, rekruitmen lintasbagian, pengumuman pembinaan (inhouse training), hingga ucapan selamat untuk karyawan yang menikah, melahirkan dan berulangtahun serta kabar dukacita diinformasikan di group ini. Sedangkan penjelasan mengenai Komunikasi Eksternal ACT, sebagai berikut: Pertama, ACT memiliki Departemen Global Partnership & Communications (GPC), membawahi Direktorat: 1. Creative Strategic Comunications; 2. Global Philanthropy Media, 3. Integrated Public Relations; 4. Global Partnership Network. Keempat direktorat ini sesuai mandatnya, merancang bagaimana ACT berkomunikasi keluar. Penjelasan singkat empat direktorat di GPC: Creative Strategic Communications: merancang substansi kreasi mengarahkan gagasan kreatif yang akan dieksekusi diremtorat lainnya di dalam Departemen GPC; produk-produk komunikasi. Global Philanthropy Media: memproduksi piranti komunikasi (communications tools) berupa: cetakan (majalah, flyer, poster, spanduk, tabloid, buku dll), audio visual (campaign video), on line media, media sosial, visual design for email blasting, internet tv. Integrated Public Relations: menangani media relations (placement iklan berbayar maupun barter di media cetak, elektronik maupun media on line), events (baik untuk awarenes maupun public fundraising), out door campaign (spanduk publik, flyering/sebar brosur). Global Partnership Network: merancang kerjasama internasional untuk awarenes, kemitraan operasional maupun fundraising, diplomasi kemanusiaan dalam rangka advokasi dan mendorong kepedulian global untuk kemanusiaan. Selain itu, di level Pimpinan lembaga, komunikasi keluar dikelola Corporate Secretary yang mengelola agenda-agenda internal lintas departemen, maupun agenda eksternal. 4. Apa pola komunikasi yang digunakan sudah efektif? Sangat efektif. Strategi, metode, kebijakan komunikasi internal ACT meningkatkan kapasitas Tim karena demikian intensifnya komujnikasi dalam organisasi ACT. Proses menakar kapasitas SDM, bisa dimulai dengan assesment komunikasi. Memberi pertanyaan-pertanyaan strategis, mengungkap stimulanstimulan inspiratif, melakukan evaluasi dan pendalamannya melalui cara-cara komunikasi yang sudah dijelaskan di atas, menggerakkan organ-organ organisasi dengan baik. 5. Bagaimana komunikasi yang terjalin sesama karyawan di dalam organisasi ACT? Imbas dari pola komunikasi intensif, budaya komunikasi di semua level organisasi ACT, membuat setiap karyawan sadar peran dan fungsi masing-masing (perna formal). Sikap keteladanan yang ditunjukkan para leaders, juga mendorong setiap karyawan berperilaku baik. Hormat-menghormati, saling menghargai, saling mendukung dalam urusan formal organisasi, diikuti dengan kepedulian antarkaryawan. Hubungan karyawan satu sama lain relatif baik. Apalagi secara regular Direktorat HRL (Human Resources & Legal) di bawah Departemen Operasional, mengumumkan informasi karyawan yang menikah, melahirkan, atau berulang-tahun. Setiap informasi personal ini disampaikan, seluruh karyawan akan merespon dengan tulus. Sadar lembaga ini mengelola isu kemanusiaan, setiap karyawan pantang tidak berkepedulian, termasuk peduli dengan sesama karyawan. 6. Bagaimana komunikasi antara anda dengan bawahan? Sangat baik. Komunikasi formal dan informal berjalan seimbang. Berjalannya peran dan fungsi seluruh bawahan, berkat komunikasi yang baik, sebagaimana berlangsung di lini-lini lainnya di lingkungan ACT. Sebagaimana proses komunikasi pada level yang lebih tinggi, Direktorat Komunikasi memiliki group BBM di mana diskusi informal sampai urusan izin dan progres program dikemukakan di dalamnya. Dalam situasi tertentu saya lakukan pembinaan personal, pembinaan kolektif berupa briefing (maksimal satu jam), dan meeting manajemen direktorat, maupun pembinaan kolektif terkat dengan pembangunan kapasitas (bidang komunikasi, sesuai mandat terhadap direktorat yang saya pimpin). 7. Apa saja yang dikomunikasikan antara anda dengan bawahan? Pertama, seputar pekerjaan. Komunikasi memuat upaya mengoptimalkan keseharian karyawan dengan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) nya. Kedua, pembinaan mental-spiritual karyawan mengingat sebagian kekuatan tim disumbang oleh kekuatan mental-spiritual tim (bawahan). Ketiga, motivasi. Menguatkan bawahan (meski saya tidak menempatkan sumberdaya dalam direktorat saya dengan logika “atasan” dan “bawahan”) terhadap visi direktorat maupun visi lembaga. Keempat, meletakkan dasar-dasar perencanaan karir, bagaimana prestasi dan penguasaan keahlian profesional, keahlian manajerial dan leadership tim terus diasah dan terproyeksi karirnya. Di posisi ini atasan menjadi pelatih bagi tim-nya. Kelima, dalam situasi tertentu, juga diperbincangkan empati, simpati dan kehangatan atas kondisi tim, menanyakan keluarganya, mendoakan dan memberi naishat seperlunya. Secara umum atasan mengambil peran: pimpinan, saudara, sahabat dalam suka dna duka, pelatih dan motivator. Dengan itu, komunikasi personal maupun kolektif, terus memperkuat tim. 8. Bagaimana komunikasi antara anda dengan pimpinan? Intensif sekali. Dalam komunikasi verbal dan tatap muka. Kerap mendiskusikan hal-hal strategis di luar forum resmi. Kadang tak ada urusan dengan forum resmi, semata-mata melepas ketegangan berpikir dengan bertemu rileks di ruang kerja atau di luar, sekadar berbincang hangat dengan beberapa pimpinan setingkat (sejumlah direktur yang di bawahi top leader/presiden) 9. Apa saja yang dikomunikasikan antara anda kepada pemimpin? Pertama, perkembangan penting dan strategis instansi yang saya kelola. Kedua, pada kesempatan lain, mengeksplorasi masukan selayaknya binaan terhadap mentornya. Ketiga, sesekali tentang hal-hal yang personal, selayaknya saudara dan sahabat. Saling membuka diri tentang hal-hal yang bisa menguatkan satu sama lain di luar urusan dinas. 10. Bagaimana komunikasi antara anda dengan sesama karyawan? Sangat baik. Diskusi formal dan informal berjalan baik, tertulis (via group BBM, maupun lisan. Saling salam dan mendoakan di berbagai kesempatan. Hubungan intens dan hangat, yang tumbuh alamiah. Selain yang alamiah, juga dibangun secara sistem, didekatkan dengan berbagai kesempatan yang distimulasi pihak manajemen (peringatan milad, in house training dan informasi kekaryawanan, gathering karyawan dan gathering keluarga). 11. Apa saja yang di komunikasikan anda kepada sesama karyawan? Apa saja. Dari hal-hal ringan dna menghibur, hingga eksplorasi situasi kondisi yang berkaitan dengan visi-misi lembaga, isu-isu moral. Apresiasi atas capaian personal maupun tim. 12. Adakah hambatan yang terjadi dalam berkomunikasi?. Tidak ada. 13. Hambatan apa saja yang terjadi? Tidak ada 14. Media apa yang digunakan dalam menyampaikan informasi? Tatap muka, virtual (bbm, sms), menelepon, menulis pandnagan dna masukan untuk lembaga. 15. Adakah konflik yang terjadi di ACT? Ada. Orang-orang di ACT manusia biasa yang kadang lemah dan lalai. Bukan ada-tidaknya konflik yang menarik dikaji, melainkan bagaimana mengatasinya dan menjadikannya sebagai kesempatan menjadi lebih baik. 16. Konflik apa saja yang terjadi? Pertama, konflik sebagai mekanisme alami memulihkan dari kelalaian pada visi misi dan koridor kelembagaan. Kedua, konflik karena stimulasi ritme tugas yang kadang memuncak dihadapkan pula dengan sempitnya waktu. Ketiga, konflik yang terjadi karena soal-soal manusiawi. 17. Bagaimana cara mengatasi konflik tersebut? Penanggulangan konflik, berjenjang. Jika terjadi di pimpinan, mekanisme dialog dan mediasi antar pimpinan, menjadi cara mengembalikan konflik menuju harmoni. Konflik di tengah kedewasaan mental dan kedewasaan organisasi, meningkatkan pemahaman antar pimpinan dan seluruh sumberdaya manusia yang terlibat didalamnya, makin faham kapasitas, kekurangan dan kelebihan satu sama lain. Jika konflik terjadi di luar para pimpinan dan memerlukan pengambilan keputusan, HRL (Human Resources and Legal) melakukan eksplorasi akar konflik, dan akhirnya harus ada pengambilan keputusan. Penyelasaian dengan musyawarah dan saling pengertian lebih dikedepankan sebelum penyelesaian administratif dan legal. 18. Apa harapan Anda kedepannya? Institusi yang sehat, dibangun di atas landasan kepercayaan. Sikap saling percaya mendorong setiap personal organisasi bekerja dengan hati dan pikiran. Dengan hati karena sadar visi dan menuntun diri bekerja di atas landasan nilai; menempatkan kerja sebagai ibadah. Dengan pikiran, semua bekerja terencana, prudent, kreatif dan visioner. Mengasah kecakapan sosial dan profesional demi mengembangkan kemaslahatan lembaga seluas-luasnya. Dengan hati dan pikiran terbaik, institusi temoat kita bekerja, bukan hanya menjadi media perolehan pendapatan melainkan penebar manfaat yang luar biasa bagi sebanyak-banyaknya orang di dunia ini, dan pantas menjadi rujukan. 19. Bagaimana cara anda mempertanggung jawabkan tugas yang anda terima? Bekerja dengan visi, taat azas pada prinsip organisasi, kreatif dan produktif, menjaga komitmen untuk berkarya yang terbaik serta menjaga kualitas kerja tim, saling mengingatkan dan membangun satu sama lain dengan koridor yang disepakati secara kelembagaan serta menjaga nama baik lembaga. 20. Bagaimana cara anda dalam berpartisipasi dalam memberikan keputusan dalam memajukan ACT? Pertama, Disiplin dalam perencanaan (kreativitas, inovatif, akseleratif) hal-hal penting dalam organisasi (sesuai bagian yang saya tangani: direktorat komunikasi). Kedua, mengontrol prosesnya, mengevalusi person-person di dalamnya, membangun motivasi, memberi reward dan punishment sewajarnya. Ketiga, kreatif mendisiplinkan diri mengontrol visi dan menakar kesesuaiannya secara periodik (tahunan). Keempat, mengembangkan diri untuk terus-menerus bisa mentransformasi nilai (keteladanan) dan kreativitas (gagasan). 21. ACT itu organisasi seperti apa? ACT organisasi kemanusiaan yang menggerakkan humanity (kemanusiaan), philanthropy (kedermawanan), dan volunteerism (kerelawanan). Humanity wujudnya desain program kemanusiaan, kedermawanan menjadi salah satu sumber pembiayaannya yg digalang dg mekanisme kampanye berbagai media komunikasi, dan kerelawanan menjadi sumberdaya pelaksanaan/implementasi program kemanusiaan di dalam maupun luar negeri. 22. Atas dasar apa ACT dibentuk? 3 filosofi yakni philanthropy, humanity dan volunteerism. Ikut terlibat menjaga peradaban manusia yang lebih baik, krn bencana-bencana ini membuat peradaban menjadi rusak. 23. Siapa penggagas terbentuknya ACT? Bapak Ahyudin dan kawan-kawannya 24. Kenapa orang lain perlu tahu soal ACT? ACT lahir mengedukasi publik, bukan yayasan keluarga atau bertopang pada perusahaan tertentu. Keberadaannya tidak lepas dari upaya edukasi berkesinambungan. Tanpa diketahui, dikenal dan difahami orang lain, ACT tidak mungkin berkarya kemanusiaan, dan dengan berbagi pengetahuan dan visinya ACT juga menjalan perannya sebagai agen penyadaran kemanusiaan. 25. Siapa saja mitra ACT? 26. Apakah donator atau mitra-mitra itu ikut memperngaruhi pengambilan keputusan di act? Ia, tapy dalam hal diskusi, kita menawarkan,, mereka setuju jalan, bila mereka tidak setuju maka, diskusi apa yang bisa disesuaikan dan dicocokan dengan program, jadi kita bukan di perintahkan yang punya duit, tapi kita yang menyiapkan orang, karena kita yang aktif datang komunikasi, melalui media, untuk melibatkan diri, orang lain terlibat. 27. Apakah ACT memiliki kepentingan lain di luar mengirimkan bantuan ke yang lainnya? Tidak, hanya ingin meringkan beban mereka yang terkena musibah, 28. Keuntungan untuk ACT pada setiap program itu apa? Banyak, menjadi manusia, kita kan klo membantu itu bukan menjadi lemah, kita menjadi kuat, dimna-mana yang memberi itu kuat, mmberipun dengan cara mengajak, jadi kita memberi itu dengn pikiran dan tenaga, ada orang lain memberi dengan hartanya, keahliannya, kita semua mengumpulkn ke kompakkan itu, kita yg mikir, kita yang turun, kita mengajak orang sehingga orang lain terlibat, Narasumber pewawancara Iqbal Setyarso Muhammad Rifki JAWABAN WAWANCARA Nama : Yhogi S Gunawan Jabatan : Manager HRL Tempat dan waktu : Menara 165, Lt 11 dan 20 Nov 2013 1. Bagaimana komunikasi yang terjalin dalam organisasi ACT antara atasan kepada bawahan atau sebaliknya dan sesama karyawan? J: Komunikasi terjalin dengan lancar, semua lini bisa membicarakan apa saja ide, saran dan masukannya, jika tidak langsung menghadap bisa menggunakan media seperti email, telp, WA dll. 2. Menurut saudara/i, apakah komunikasi itu sangat diperlukan dalam sebuah organisasi? J: sangat diperlukan, karena tanpa adanya komunikasi organisasi tidak akan berjalan. 3. Bagaimana pola komunikasi yang digunakan ACT? J: pola komunikasi dua arah. 4. Apa pola komunikasi yang digunakan sudah efektif? J: ya. 5. Bagaimana komunikasi yang terjalin sesama karyawan didalam organisasi ACT? J: komunkasi sesama terbuka, semua karyawan dapat secara bebas dalam berkomunikasi dalam penyelesaian tugas. 6. Apa saja yang di komunikasikan antara anda dengan bawahan? J: seputar koordinasi seputar penyelesaian tugas, serta motivasi dan konseling. 7. Apa saja yang di komunikasikan antara anda kepada pemimpin? J: koordinasi terkait penyelesaian tugas, konseling serta mengemukakan usulan ide ataupun strategi perbaikan sistem. 8. Apa saja yang di komunikasikan anda kepada sesama karyawan? J: komunikasi personal sehari-hari, koordinasi penyelesaian tugas, motivasi. 9. Adakah hambatan yang terjadi dalam berkomunikasi? J: ada, karena tidak selalu komunikasi berjalan mulus. 10. Hambatan apa saja yang terjadi? J: adanya perbedaan pemahaman dan keterbatasan waktu. 11. Media apa yang digunakan dalam menyampaikan informasi? J: Email, Telephone, membuat group WhatsUp dan group mailing list. 12. Adakah konflik yang terjadi di ACT? J: tidak ada. 13. Konflik apa saja yang terjadi? J: tidak ada 14. Bagaimana cara mengatasi konflik tersebut? J: Jika ada konflik dikomunikasi secara baik dengan pihak-pihak yang terkait sehingga terselesaikan masalahnya. 15. Apa harapan anda kedepannya? J: komunikasi seluruh karyawan dapat terlaksana dengan baik. 16. Bagaimana cara anda mempertanggung jawabkan tugas yang anda terima? J: melaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan berbuat yang terbaik untuk lembaga ini. 17. Bagaimana cara anda berpartisipasi dalam memberikan keputusan dalam memajukan ACT? J: mengkomunikasikan secara terbuka, memberikan pemahaman melalui orang lain, memberikan saran atau ide-ide yang membangun. 18. Kapan pertama kali ACT memberikan bantuan kemanusian ke Negara luar? J: sejak 2008 kami sudah memberikan bantuan ke Palestina. 19. Apa saja hambatan yang di alami dalam menyalurkan bantuan kemanusiaan ke Negara tersebut? J: perizinan dan keamanan. 20. Bagaimana hubungan ACT dengan Negara tersebut saat ini? J: Baik, sampai sekarang masih terjalin kerjasama untuk merelasisasikan programprogram lanjutan yang sudah berjalan. Narasumber Pewawancara Yhogi S Gunawan Muhammad Rifki Struktur Organisasi Aksi Cepat Tanggap Lampiran Foto-Foto Observasi Foto bersama relawan ACT Foto ini diambil setelah peneliti selesai wawancara pada tanggal 23 Febuari 2014 pukul 11.29 WIB bertempat Posko Logistik ACT. Foto bersama Direktur Komunikasi ACT Foto ini diambil setelah peneliti selesai wawancara pada tanggal 20 Desember 2013 pukul 11.29 WIB bertempat Menara 165 lantai 14. Foto-fotokegiatanpararelawan ACT di gunungKeludKabupaten Kediri, JawaTimur. Foto-fotokegiatanparapengungsiwarga di poskoACT di Kediri JawaTimur. Fotokegiatan-kegiatanwargasetelahletusangunungKelud di Kediri, JawaTimur.