budaya organisasi dalam isu manajemen sumber daya

advertisement
BUDAYA ORGANISASI DALAM ISU
MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA PENDIDIKAN
1.
Latar Belakang
Organisasi merupakan sekumpulan sekumpulan manusia yang bekerja
sama untuk mencapai tujuan tertentu dengan memanfaatkan seluruh sumber daya
yang dimiliki. Ketercapaian tujuan organisasi sangat dipengaruhi oleh
kemampuan sumber daya manusia (SDM) dalam merealisasikan rencana kerja
yang telah ditetapkan oleh pimpinan organisasi melalui penetapan visi, misi,
tujuan, dan strategi. Rencana strategik (renstra) yang merupakan perumusan
tujuan jangka panjang serta rencana operasional (renop) yang merupakan
perumusan jangka pendek dimungkinkan tercapai dengan adanya aktivitas
manusia pendukung di dalam organisasi.
Peranan vital yang dimiliki manusia di dalam suatu organisasi
mensyaratkan dikelolanya SDM secara baik. Fenomena persaingan antar
organisasi baik profit maupun non-profit yang marak terjadi saat ini memunculkan
tantangan baru dan kesempatan bagi organisasi untuk memahami dan membuat
konsep pengelolaan yang efektif melalui pengelolaan atau manajemen SDM.
Dengan demikian, manajemen SDM dianggap sebagai isu global dan integral dari
daya saing organisasi. Dapat dikatakan bahwa keberhasilan suatu organisasi untuk
memiliki keunggulan kompetitif banyak dipengaruhi oleh kualitas kinerja
manusia-manusia penggerak organisasi bersangkutan.
1
Upaya meraih keunggulan kompetitif dapat dilakukan jika organisasi
fleksibel dalam merespon perubahan dan perkembanga di lingkungan yang ada
melalui transformasi organisasi maupun SDM dengan pendekatan reengineering,
rethinking, restructuring terhadap desain organisasi yang telah berkembang dalam
literatur-literatur manajemen baru. Untuk membangun tatanan baru suatu
organisasi diperlukan transformasi shared values (nilai yang dianut bersama) yang
dipengaruhi oleh strategy, structure, system, staff, style (gaya budaya organisasi,
bagaimana manajer-manajer kunci berperilaku dalam mencapai tujuan organisasi),
serta skill atau kemampuan khusus dari personil organisasi secara keseluruhan
(McKynsey 7-S Framework, dalam Asri Laksmi Riani (2011).
Structure
Strategy
Systems
Shared
Values
Skills
Style
Staff
Gambar 1 McKynsey 7-S Framework
J.M. Ivancevich (2010) melihat budaya organisasi sebagai faktor
lingkungan internal yang berpengaruh terhadap Human Resource Management
2
(Manajemen SDM) di antara faktor internal yang lain seperti strategi usaha, tujuan
(visi, misi organisasi), kondisi pekerjaan, pola bekerja kelompok, dan gaya
kepemimpinan). Dengan demikian, budaya organisasi merupakan bagian integral
dari isu-isu strategis tentang SDM. Dalam kerangka yang lebih besar, SDM dan
pengembangan organisasi (PO) ditempatkan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari manajemen strategik suatu perusahaan di mana visi, misi, tujuan,
dan renstra serta renop dianalisis dan dirumuskan untuk mengisi gap
(kesenjangan) antara keadaan saat ini sebagai hasil dari evaluasi diri organisasi
dengan visi yang merupakan gambaran ideal keadaan organisasi di masa depan.
Dari uraian di atas terlihat bahwa budaya organisasi merupakan bagian
integral dari strategi transformasi organisasi untuk meraih keunggulan kompetitif
di era persaingan global saat ini. Dengan kata lain, untuk mengubah suatu
organisasi diperlukan suatu perubahan paradigma organisasi tentang bagaimana
cara memberikan perspektif
dalam 1) mengembangkan nilai-nilai baru yang
dianut bersama; 2) memperlakukan SDM sebagai pemeran utama dalam suatu
kegiatan organisasi; 3) merekrut SDM baru; dan 4) mengembangkan potensi SDM
yang sudah dimiliki melalui pemberdayaan staf.
2.
Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan
Manajemen SDM merupakan rangkaian dari kata manajemen dan SDM
dan komposisi dari keduanya akan melahirkan beragam definisi. Namun
demikian, meskipun terdapat variasi yang besar dari para ahli dalam menafsirkan
3
makna manajemen SDM, kiranya penelaahan secara singkat tentang terminologi
manajemen dan SDM di bawah ini akan memberikan sedikit pemahaman tentang
makna gabungan yang menghasilkan istilah manajemen SDM yang semakin
populer belakangan ini.
Manajemen memiliki pengertian yang cukup beragam, namun pada
dasarnya memiliki empat fungsi utama yaitu planning (perencanaan), organizing
(pengorganisasian), actuating (pelaksanaan), dan controlling (pengendalilan).
Salah satu pengertian yang mudah dipahami adalah manajemen sebagai seni untuk
menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain (Mary Parker Follett dalam T. Hani
Handoko, 2010). Secara umum dapat dikatakan bahwa manajemen adalah upaya
mengerahkan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuan
organisasi.
Sedangkan secara sederhana, SDM dapat dikatakan sebagai tenaga kerja,
atau personalia, atau pegawai yang bekerja di lingkungan organisasi atau
perusahaan. Hakikat individualitas SDM sebagai manusia menuntut kemampuan
para manajer untuk melakukan SDM di lingkungannya lebih manusiawi dengan
menghormati hak-haknya sebagai pribadi. Para manajer harus mampu berperilaku
adil, bijaksana dengan tidak memperlakukan pegawai dengan perilaku yang tidak
disukainya sebagai manusia. Dari segi sosialitas, manusia sebagai makhluk sosial
senantiasa memerlukan kelompok untuk saling berkomunikasi, saling membantu,
dan saling menghormati sehingga terbentuk masyarakat yang hidup dalam
kebersamaan. Hal ini pula berarti bahwa kegiatan pengembangan organisasi tidak
mungkin dilaksanakan di lingkungan yang para manajernya mengingkari hakikat
4
sosialitas manusia, misalnya berperilaku nepotisme, kolusi, korupsi. Dengan kata
lain dalam kondisi realisasi hakikat sosialitas yang buruk sebagai pencerminan
organisasi yang tidak sehat akan sangat sulit untuk melaksanakan kegiatan
pengembangan organisasi.
Berkaitan dengan SDM, Flippo (dalam T. Hani Handoko, 2010)
mengemukakan bahwa manajemen sumber daya manusia (manajemen personalia)
adalah perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan kegiatankegiatan pengadaan, pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegrasian,
pemeliharaan dan pelepasan sumberdaya manusia agar tercapai berbagai tujuan
individu, organisasi dan masyarakat. T. Hani Handoko (2010) dalam
kesimpulannya menyatakan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah
penarikan, seleksi, pengembangan, pemeliharaan, dan penggunaan sumberdaya
manusia untuk mencapai baik tujuan-tujuan individu maujpun organisasi.
H. Hadari Nawawi (2005) dalam salah satu definisi manajemen SDM
untuk organisasi non-profit (termasuk di dalamnya organisasi pendidikan) yang
dirumuskannya menyatakan bahwa manajemen SDM adalah usaha mewujudkan
organisasi non-profit yang eksistensinya dibutuhkan oleh masyarakat, melalui
perencanaan dan tindakan pemberian pelayanan umum dan pelaksanaan
pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat, yang berfokus pada peningkatan
kemampuan kerja pelaksananya secara berkelanjutan berdasarkan etika dan
tanggung jawab sosial yang tinggi dalam bekerja.
Untuk meningkatkan kompetensi SDM dalam proses transformasi perlu
dilakukan peran fungsi SDM dan repositioning. Lancourt dan Saavage (dalam
5
Lina Anatan, 2007) mengemukakan bahwa pergeseran peran sumber daya
manusia berkaitan dengan pergeseran tanggung jawab fungsional ke line
manager, SDM sebagai mitra bisnis, pengembangan karir dan kompetensi SDM,
sistem imbalan berupa moneter dan non moneter yang diberikan berdasarkan
keterampilan dan egalitarian organization. Sedangkan Dave Ulrich (dalam Lina
Anatan, 2007) menyatakan bahwa fungsi SDM adalah sebagai line manager’s
partner dalam pelaksanaan perencanaan strategik, pelaksana kerja yang kompeten
dalam
menciptakan
efisiensi
administrasi
untuk
menjamin
tercapainya
peningkatan kualitas hasil sementara biaya menurun, pemberi kontribusi melalui
komitmen terhadap perusahaan dan sebagai agen perubahan.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa SDM adalah tenaga kerja atau
personil yang harus diperlakukan sebagai mitra bagi manajer atau pemimpin.
SDM juga berperan sebagai agen perubahan dalam rangka menciptakan efisiensi
pelaksanaan pekerjaan untuk tercapainya peningkatan dengan hak untuk
memperoleh imbalan baik bersifat materi maupun non-materi.
Lebih jauh lagi H. Hadari Nawawi (2005) mengemukakan bahwa konsep
utama dari manajemen SDM organisasi non profit adalah pemberdayaan SDM
yang dimiliki organisasi agar memberikan kontribusi yang terbaik bagi
perwujudan eksistensinya melalui peningkatan keterampilan/keahlian dalam
melaksanakan tugas pemberian pelayanan umum (public service) dan pelaksanaan
pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat. Pemberdayaan tersebut dilakukan
melalu pengintegrasian SDM dengan sumber daya lainnya, sejalan dengan
kegiatan
pengembangan
organisasi
yang
6
dilakukan
untuk
meningkatan
keterampilan/keahlian SDM yang dapat dipergunakan dalam peningkatan
produktivitas dan kualitas. Dari sumber daya yang dimiliki oleh suatu organisasi
yang berupa 5M + I: a) material (sumber daya material), b) money (sumber daya
finansial), c) man (sumber daya manusia), d) machine (sumber daya mesin dan
teknologi), dan e) information (sumber daya informasi), maka SDM harus
ditempatkan sebagai faktor sentral dengan memperlakukannya secara manusiawi
sehingga kegiatan manajemen SDM akan mampu mengakomodasikan perbaikan,
penyempurnaan, peningkatan dan inovasi cara bekerja yang berdampak
meningkatkan produktivitas dan kualitas produk organisasi non profit termasuk
organisasi pendidikan.
3.
Budaya Organisasi
Karakteristik setiap organisasi berbeda-beda dan direpresentasikan oleh
manusia-manusia yang berada di dalamnya. Nilai, norma serta asumsi dasar yang
dianut anggota organisasi tercermin dalam artifak seperti logo, ritual, dan jargon.
Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap organisasi memiliki sebuah budaya
yang unik berbeda satu dari yang lain. Shein (1992) dalam Gary Yukl (2010)
mendefinisikan budaya dari sebuah kelompok atau organisasi sebagai asumsi dari
keyakinan bersama tentang dunia dan tempat mereka di dalamnya, sifat dari
waktu dan ruang, sifat manusia, dan hubungan manusia.
Robin dan Judge (2007) dalam Danang Sunyoto (2011) mendefinisikan
budaya organisasi sebagai sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para
7
anggota organisasi yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi yang
lain. Sementara itu Hendyat Sutopo (2010) mengemukakan bahwa budaya
organisasi berkenaan dengan keyakinan, asumsi, nilai norma-norma perilaku,
ideologi, sikap, kebiasaan, dan harapan-harapan yang dimiliki oleh organisasi
(dalam hal ini termasuk organisasi universitas swasta).
Melville Herskowitz
(1948)
dalam
Kusdi (2011)
mengemukakan,
“A construct describing the total body of belief, behaviour, knowledge, sanctions,
values, and goals that make up the way of life of a people.” Dengan kata lain,
budaya organisasi adalah sebuah struktur yang menggambarkan keyakinan,
perilaku, pengetahuan, sanksi, nilai-nilai yang mengatur cara hidup anggotaanggota organisasi.
Dari uraian di atas dapat ditarik benang merah bahwa budaya organisasi
adalah sekumpulan nilai-nilai, norma, persepsi, aturan dan cara hidup yang dianut
dan diyakini bersama oleh anggota organisasi.
Lebih lanjut Schein (1988) dalam Kusdi (2011) mengemukakan bahwa
gagasan dasar yang terkandung dalam hampir semua definisi kultur organisasi
adalah adanya “sesuatu” yang dimiliki atau dijadikan pegangan bersama oleh
anggota-anggotanya (shared or held in common). Tentang apakah “sesuatu” itu,
para ahli mengajukan pandangan yang berbeda-beda sebagaimana tertera di
bawah ini.
1. Keteraturan pola perilaku ketika orang berinteraksi: keteraturan pola
bahasa, adat istiadat (custom) dan tradisi, serta ritual-ritual yang
8
mereka gunakan secara berulang-ulang dalam berbagai situasi yang
berbeda.
2. Norma-norma kelompok (group norms): standar dan nilai-nilai yang
secara tersirat berlaku pada sekelompok orang yang bekerja pada unit
yang sama.
3. Expoused value: prinsip atau nilai-nilai yang dinyatakan secara
eksplisit dan terbuka oleh sebuah kelompok sebagai suatu tujuan
yang hendak mereka capai, misalnya “kualitas produk” atau “harga
bersaing”.
4. Filosofi formal: kebijakan umum atau prinsip-prinsip ideologis yang
menjadi pedoman sebuah kelompok dalam hubungannya dengan
pemegang saham, pekerja, pelanggan, atau pemangku kepentingan
lainnya.
5. Aturan-aturan main (rules of the game): aturan-aturan implisit yang
berlaku dalam sebuah organisasi yang harus dipelajari oleh anggota
baru untuk diterima sebagai bagian dalam organisasi itu.
6. Iklim organisasi (climate): suasana perasaan yang meliputi suatu
kelompok berdasarkan penataan ruang fisik (physical layout) dan
cara anggota organisasi memperlakukan satu sama lain dengan
pelanggan atau orang luar.
7. Keahlian khusus (embedded skills): kompetensi khusus yang
ditunjukkan
oleh
anggota-anggota
suatu
kelompok
dalam
menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tertentu, kemampuan membuat
9
hal-hal tertentu yang diturunkan dari saatu generasi ke generasi
berikutnya yang terkadang tidak dinyatakan dalam bentuk tertulis.
8. Pola berfikir, mental models, atau paradigma linguistik: peta kognitif
yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu kelompok yang menjadi
pedoman persepsi, pikiran, dan bahasa yang digunakan, dan diajarkan
kepada anggota baru melalui sosialisasi.
9. Makna bersama (shared meaning): pemahaman yang muncul
(emergent understandings) yang diciptakan oleh anggota-anggota
kelompok dalam interaksi mereka satu sama lain
10. “Root metaphors” atau simbol-simbol integratif: gagasan, perasaan,
dan citra-citra yang dikembangkan suatu kelompok sebagai ciri
mereka yang terkadang tidak diciptakan secara sadar, tetapi terlihat
dari bentuk bangunan, tata ruang kantor, dan artifak-artifak material
lainnya.
Kandungan konsep-konsep yang menyatakan isi dari budaya organisasi
pada intinya merupakan keyakinan yang mendasar dari sebuah kelompok atau
organisasi dalam merespons permasalahan bertahan dalam lingkungan eksternal
dan masalah integrasi internal. Permasalahan eksternal terkait dengan filosofi
keberadaan organisasi tersebut, visi, misi serta strategi untuk mencapai tujuan
serta cara mengevaluasi keberhasilan. Sedangkan permasalahan internal memiliki
fokus penanganan masalah-masalah konflik, stress, kepuasan kerja yang terjadi
dialami oleh anggota organisasi.
10
Gary Yukl (2010) menegaskan bahwa sebuah fungsi utama dari budaya
adalah
membantu
memahami
lingkungan
dan
menentukan
bagaimana
meresponnya, yang karenanya mengurangi kecemasan, ketidakpastian, dan
kebingungan. Permasalahan internal dan eksternal amat saling terkait, dn
organisasi harus menghadapi mereka secara simultan. Saat solusi dikembangkan
melalui pengalaman, mereka menjadi asumsi bersama yang diturunkan kepada
anggota baru.
4.
Transformasi Sumber Daya Manusia Melalui Budaya Organisasi
Dari uraian sebelumnya terlihat bahwa SDM memegang peranan sentral
dalam sebuah organisasi. Keterkaitan SDM dengan budaya organisasi diibaratkan
sebagai ikan dan air. Budaya organisasi adalah atribut yang melekat dan tercermin
dalam interaksi antar anggota maupun dengan lingkungan eksternal. Mereka
merespon perubahan yang terjadi dengan menggunakan nilai-nilai serta normanorma yang diyakini dan tertanam dalam budaya organisasi sebagai acuan. Suatu
transformasi organisasi tidak dapat dilakukan tanpa memperhatikan karakteristik
SDM dan budaya organisasinya. Schein
(1992) dalam Kusdi (2011)
mengemukakan “Organizational learning, development, and planned change
cannot be understood without considering culture as a primary sources of
resistance to change.” Dengan kata lain, transformasi organisasi dapat dilakukan
dengan mengubah paradigma berpikir serta nilai dan norma-norma yang dianut
oleh SDM organisasi bersangkutan.
11
Banyak
upaya
perubahan
organisasi
–
yaitu
program-program
restrukturisasi, rekayasa ulang, perubahan strategi, akuisisi, perampingan,
program-program kualitas (TQM), dan lain-lain mengalami hambatan atau bahkan
gagal sama sekali kendati telah disusun secara terencana dan teliti (Cameron dan
Quinn, 1999). Para peneliti budaya organisasi berkeyakinan bahwa sumber
penolakan terhadap perubahan itu terdapat pada nilai-nilai dan norma-norma yang
terkandung di dalam budaya organisasi. Kegagalan atau lambatnya perubahan
organisasi, menurut mereka, harus dilacak dari norma-norma dan nilai-nilai lama
yang belum berubah. Dengan kata lain, anggota organisasi secara sadar atau tidak
masih terikat kepada kultur lama, yang tertanam secara kuat di dalam sikap dan
perilaku mereka selama bertahun-tahun lamanya. Hal ini menyebabkan perubahan
yang dilakukan hanya memberikan hasil yang bersifat permukaan, sama sekali
tidak menyentuh nilai-nilai dan norma-norma yang ada secara mendalam (Kusdi,
2011).
Terdapat perbedaaan pendapat atas isu apakah budaya dapat diatur atau
tidak. Bagi mereka yang percaya, perubahan dapat dikelola melalui manajemen
kultur misalnya pada rekrutmen anggota baru, sisstem kopmpensasi dan reward,
atau bahkan dengan hal yang ringan seperti mengubah dekorasi, tata ruang, jadwal
kerja dan lain-lain (Peters, 1978 dalam Kusdi). Bagi kelompok yang tidak
meyakini, perubahan hanya dapat dilakukan oleh manajemen organisasi yang
menekankan kekuatan simbolik pemimpin atau para manajer sebuah organisasi.
Peran pemimpin menjadi sangat penting di dalam perubahan budaya
sebuah organisasi. Mereka dapat menggunakan lima mekanisme aspek-aspek
12
untuk ditanamkan dan menguatkan aspek budaya (Schein, 1992). Kelima aspek
tersebut adalah:
Mekanisme utama:
1.
Perhatian. Para pemimpin menyampaikan prioritas, nilai-nilai yang akan
dipertahankan atau yang akan digantikan oleh nilai-nilai baru melalui pujian,
komentar, dan kecaman.
2.
Reaksi terhadap krisis. Respon emosi seorang pemimpin yang menyertai
tindakan bijaksana yang mencerminkan nilai-nilai budaya organisasi yang
dianutnya.
3.
Pembuatan model peran. Para pemimpin memberikan contoh dengan
menjadikan diri mereka sebagai pelaksana nilai dan harapan tercermin dalam
tindakan sehari-hari.
4.
Alokasi penghargaan. Kriteria yang digunakan sebagai dasar untuk
mengalokasikan penghargaan memberikan tanda apa yang dihargai oleh
organisasi.
5.
Kriteria untuk Seleksi dan Pemberhentian. Para pemimpin dapat memilih
kriteria perekrutan, seleksi, promosi, dan memberhentikan orang berdasarkan
nilai-nilai yang ingin dikembangkan.
Mekanisme Sekunder:
1.
Rancangan
direncanakan,
Sistem
dan
laporan,
Prosedur.
tinjauan
kerja,
13
Anggaran
dan
formal,
program
sesi
yang
perkembangan
manajemen dapat digunakan untuk menekankan beberapa aktivitas dan
kriteria.
2.
Rancangan Struktur Organisasi. Rancangan struktur sering kali lebih
dipengaruhi oleh asumsi mengenai hubungan internal atau teori implisist atas
manajemen. Sebuah struktur terpusat mencerminkan keyakinan bahwa hanya
pemjimpin yang dapat menentukan apa yang terbaik.
3.
Rancangan Fasilitas. Para pemimpin dapat merancang fasilitas untuk
mencerminkan nilai dasar, misalnya layout kantor terbuka adalah konsisten
dengan nilai untuk komunikasi terbuka.
4.
Cerita, Legenda, dan Mitos. Cerita tentang peristiwa penting dan orangorang dalam organisasi membantu memindahkan nilai dan asumsi.
5.
Pernyataan Formal. Pernyataan publik dari nilai-nilai oleh pemimpin dan
pernyataan nilai secara tertulis, piagam dan filosofi.
Dalam merancang suatu perubahan, dengan memanfaatkan mekanisme
yang mungkin dipilih untuk mempengaruhi perubahan budaya organisasi, perlu
dikemukakan tentang gap yang terjadi antara kondisi nyata saat ini dengan nilainilai ideal yang seharusnya diwujudkan, serta bagaimana strategi yang diperlukan
untuk meraih kondisi ideal dimaksud. Menurut Lewin (1958), proses perubahan
berlangsung dalam tiga tahapan pokok, yaitu pencairan (unfreezing) equilibrium
lama, menggerakkan perubahan (moving), dan membekukan kembali pada
equilibrium yang baru (refreezing) ketika organisasi telah mencapai keadaan baru
yang diinginkan.
14
Gary Yukl (2010) menyatakan bahwa implementasi perubahan yang
berhasil membutuhkan kisaran luas perilaku kepemimpinan. Perilaku ini dapat
dikelompokkan ke dalam dua kategori berbeda tetapi saling tumpang-tindih yang
disebut “tindakan politis atau organisatoris” dan “tindakan yang berorientasi
manusia”. Secara teknis kedua kategori tersebut dituangkan dalam Pedoman
untuk Menerapkan Perubahan sebagai berikut.
Pedoman untuk Tindakan Politis atau Organisatoris:

Menentukan siapa yang dapat melawan atau memudahkan perubahan

Membangun sebuah koalisi luas untuk mendukung perubahan itu

Mengisi posisi penting dengan agen-agen perubahan yang kompeten

Menggunakan satuan tugas untuk memandu implementasi

Membuat perubahan dramatis dan simbolis yang mempengaruhi pekerjaan
itu

Jika perlu, terapkan perubahan pada awalnya pada skala kecil

Mengubah aspek relevan dari struktur organisasi

Mengawasi kemajuan perubahan itu
Pedoman untuk Tindakan yang Berorientasi Manusia:

Menciptakan perasaan mendesak mengenai kebutuhan akan perubahan

Menyiapkan orang untuk menyesuaikan diri dengan perubahan

Membantu orang menghadapi beratnya perubahan

Memberikan kesempatan untuk keberhasilan awal
15

Tetap memberikan informasi mengenai kemajuan perubahan kepada
orang-orang
5.

Memperhatikan komitmen berkelanjutan terhadap perubahan

Memberikan kewenangan kepada orang untuk menetapkan perubahan
Formulasi Transformasi dalam Dunia Pendidikan (Sekolah)
Sumber daya manusia pendidikan dapat berupa tenaga pendidik, tenaga
kependidikan, siswa, dan masyarakat pengguna institusi pendidikan. Dari SDM
yang terlibat dalam dunia pendidikan, selalu menjadi perdebatan menarik dan
menjadi pusat perhatian ketika isu-isu di dunia pendidikan dikaitkan tenaga
pendidik atau guru. Misalnya isu lama tentang rendahnya kesejahteraan finansial
dan profesionalitas guru dan jawaban yang diberikan berupa program sertifikasi.
Euforia sertifikasi guru masih berlangsung tetapi isu baru tentang pendidikan
karakter bangsa yang menjadi keprihatinan sampai kritikan terhadap stagnannya
kinerja guru menggeser isu lama tentang kesejahteraan. Tidak kurang kepala
negara melontarkan kritik atas masih mandegnya kinerja guru meskipun sudah
bersertifikat dan secara legal formal dinyatakan sebagai tenaga profesional.
Kritikan dari beberapa kalangan tentang profesionalitas guru merupakan
sebuah sinyalemen akan adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan
tentang produk dunia pendidikan. Meskipun terlalu sederhana untuk menimpakan
beban permasalahan pendidikan kepada guru, tetapi patut disepakati tentang
16
perlunya upaya dan perubahan yang harus dilakukan terhadap kondisi nyata dunia
pendidikan sekarang.
Kepala sekolah sebagai seorang pemimpin dan top manajer di sekolah,
memegang peranan penting untuk menjawab tantangan perubahan. Seperti yang
telah disampaikan di muka bahwa kekuatan simbolik pemimpin atau para manajer
sebuah organisasi sangat berpengaruh dan memiliki kapasitas untuk mengubah
atau mewarnai budaya organisasi dengan nilai-nilai baru. Melalui kepemimpinan
transformasional kepala sekolah dan dengan asumsi bahwa pendidik adalah SDM
utama di sekolah, maka diperlukan langkah-langkah strategik untuk mengubah
paradigma lama para pendidik melalui pendekatan budaya organisasi dalam
menjawab tantangan atas kritik-kritik yang dilontarkan.
Tahapan penyadaran akan adanya tantangan eksternal berupa kritikan
terhadap kinerja tenaga pendidik harus disampaikan pada setiap kesempatan
sebagai sebuah langkah awal (unfreezing) manajemen perubahan. Tahap
selanjutnya adalah analisis eksternal dan internal dengan menggunakan analisis
terhadap kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan, SWOT (strength,
weakness, opportunity, threat) yang dimiliki/dihadapi organisasi pendidikan
(sekolah). Dari tahapan ini akan lahir perumusan rencana strategik termasuk di
dalamnya perumusan nilai-nilai dan norma baru yang harus dijadikan pedoman
untuk mengganti nilai-nilai dan norma lama. Tahapan kedua ini merupakan
tahapan moving pada manajemen perubahan. Tahapan terakhir adalah penetapan
kembali (refreezing) atau pembekuan kembali nilai-nilai, norma, aturan baru yang
diimplementasikan dalam seluruh aktivitas organisasi.
17
Untuk menjamin terlaksananya manajemen perubahan pada setiap
tahapannya, seorang kepala sekolah, manajer, atau pemimpin gugus tugas (team
work) dapat menggunakan pedoman Tindakan Politis atau Organisatoris dan
Pedoman untuk Tindakan yang Berorientasi Manusia dari Gary Yukl.
Rumusan ulang dari pedoman tersebut yang dapat diusulkan di sini adalah:
1. Menciptakan
perasaan
mendesak
mengenai
kebutuhan
akan
perubahan dengan mengemukakan tantangan yang dihadapi sekolah,
misalnya menurunnya jumlah pendaftar peserta didik baru di sekolah
bersangkutan.
2. Menyiapkan orang untuk menyesuaikan diri dengan perubahan
melalui pemberdayaan SDM sedbagai inti dari SDM organisasi non
profit. Pemberdayaan ini dapat dilakukan melalui pelatihan dan
pengembangan kemampuan tenaga pendidik. Misalnya, kemajuan
pesat dalam dunia teknologi informasi dan komunikasi diantisipasi
dengan mempersiapkan sarana prasarana serta pelatihan pemanfaatan
produk TIK dalam memfasilitasi kegiatan pembelajaran dan
pengelolaan administrasi guru.
3. Menempatkan orang-orang kompeten sebgai agen perubahan dalam
posisi-posisi penting sekolah, misalnya posisi-posisi strategis wakil
kepala sekolah. Semangat “arisan” atau sharing “kekuasaan” tetap
dipelihara untuk memberikan kesempatan memperoleh pengalaman
bagi tenaga pendidik dengan mengombinasikan tenaga-tenaga
kompeten senior sebagai mentor bagi pemangku jabatan baru. Tanpa
18
memperhatikan kompetensi individu, maka semangat ini akan
menghasilkan pemerataan di satu sisi akan tetapi mengorbankan
rencana strategik yang telah disusun di sisi lain sehingga perubahan
yang diharapkan tidak terealisasi.
4. Memberikan
kewenangan
kepada
orang
untuk
menerapkan
perubahan. Semangat pemberdayaan memungkinkan terjadinya arus
bottom-up dalam menciptakan perubahan. Melalui brainstorming
dapat diketahui apa yang dirasakan kurang dan bagaimana strategi
untuk menutupi kekurangan tersebut.
5. Membangun koalisi luas untuk perubahan dan mengeliminir
resistensi yang diperoleh dengan memanfaatkan dukungan yang ada.
Nilai-nilai lama budaya organisasi dipandang sebagai penghalang
bagi terjadinya perubahan secara perlahan harus digantikan oleh
nilai-nilai baru melalui perluasan koalisi dan komunikasi efektif.
6. Menerapkan perubahan dimulai dari skala kecil dan terus menerus
menginformasikan perkembangan serta memandu implementasi
rencana strategik yang telah dirumuskan.
Transformasi organisasi dengan pendekatan perubahan budaya organisasi
dengan memperhatikan SDM sebagai fokus perhatian diketahui sebagai sesuatu
yang sulit dilakukan karena pada dasarnya budaya organisasi bersifat paradoks. Di
satu sisi, budaya organisasi harus adaptabel dan fleksibel dalam menghadapi
tantangan internal, di sisi lain budaya organisasi cenderung mempertahankan
19
nilai-nilai lama yang menjadikan anggota-anggota organisasi enggan untuk keluar
dari zona nyaman.
Sebuah tantangan tersendiri bagi seorang pemimpin atau manajer ketika
dihadapkan pada situasi eksternal yang menuntut perubahan sementara situasi
internal kurang mendukung terjadinya perubahan tersebut. Perlu kerja keras untuk
melakukan perubahan dengan kesadaran bahwa hasil suatu perubahan kultur baru
dapat dirasakan setelah 5-6 tahun perjuangan. Kusdi (2011) mengemukakan,
kinerja organisasi dapat diperbaiki, ditingkatkan, bahkan melampaui harapan
melalui pembentukan kultur organisasi yanhg kuat, adaptif, dan memiliki nilai
keunikan. Akan tetapi, dalam praktiknya, tidak ada cara yang sederhana untuk
menempatkan kultur organisasi sebagai soolusi cepat terhadap persoalanpersoalan yang dihadapi organisasi.
6.
Simpulan
Tenaga pendidik sebagai SDM utama di sekolah memiliki karakteristik
unik yang ditunjukkan dalam perilaku berorganisasi mereka. Suatu perubahan
sebagai respon terhadap tantangan eksternal dapat direalisasikan dengan
memodifikasi nilai-nilai, norma, artifak, simbol budaya organisasi dalam hal ini
sekolah di mana tenaga pendidik berada. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
untuk mengubah SDM tenaga pendidik suatu sekolah, salah satu pendekatan yang
dapat digunakan adalah melalui transformasi budaya organisasi.
20
Diperlukan
kepemimpinan
transformasional
yang
mampu
mengartikulasikan permasalahan-permasalahan dan membawa organisasi melalui
perubahan untuk mewujudkan tatanan baru gambaran ideal masyarakat dan
organisasi yang diinginakan di masa datang. Tatanan baru tersebut hendaknya
memiliki keterkaitan dengan nilai-nilai budaya organisasi dan mewakili idealisme
yang sesuai dengan sistem nilai yang dianut. Hughes (2006) mengemukakan,
transformational leaders articulate the problems in the current system and have a
compelling vision of what a new society or organization could be. This new vision
of society is intimately linked to the values of both the leader and the followers; it
represents an ideal that is congruent with their value systems.
Perubahan, betapapun berat tantangannya harus dilakukan dalam
kerangka menghadapi tantangan karena sebuah organisasi termasuk di dalamnya
sekolah akan bertahan dalam situasi apapun dengan kemampuannya untuk
berubah dan beradaptasi. Sebaliknya, sebuah organisasi yang kaku tidak dapat
bertahan dan pada akhirnya akan ditinggalkan oleh masyarakat atau para
pengguna jasa institusi pendidikan.
21
DAFTAR PUSTAKA
Anatan, Lina. Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Bisnis Modern.
Bandung: Alfabeta, 2007.
Handoko, T. Hani. Manajemen Personalia & Sumberdaya Manusia. Yogyakarta:
BPFE, 2010.
Hughes, Ginnett, Curphy. leadership, Enhancing the Lessons of Experience.
Singapore: McGrow-Hill, 2006.
Kusdi. Budaya Organisasi (Teori, Penelitian, dan Praktik). Jakarta: Salemba
Empat, 2011.
Nawawi, H. Hadari. Manajemen Strategik Organisasi Non Profit Bidang
Pemerintahan dengan Ilustrasi di Bidang Pendidikan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2005.
Riani, Asri Laksmi. Budaya Organisasi. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011.
Soetopo, Hendyat. Perilaku Organisasi (Teori dan Praktik di Bidang Pendidikan).
Bandung: Universitas Negeri Malang dan PT Remaja Rosakarya, 2010.
Sunyoto, Danang. Perilaku Organisasional. Jakarta: Caps, 2011.
Yukl, Gary (dialihbahasakan oleh Budi Supriyanto). Leadership in Organization.
Jakarta: Indeks, 2010.
22
Download