BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gaya Hidup Gaya hidup. Life Style. Itulah istilah yang bisa dikatakan sedang naik daun saat ini di kalangan peminat Cultural Studies dinegeri kita. Namun, bisa jadi, tanpa kita sadari, mencuatlah kerancuan ketika istilah gaya hidup dengan mudahnya dilekatkan kepada apapun. Dan, akhirnya, istilah gaya hidup pun telah menjelma menjadi segala sesuatu, sehingga pada saat yang bersamaan pula istilah tersebut menjadi tidak bermakna apa pun. Setiap manusia itu unik, maka gaya hidup mereka pun unik. Gaya hidup dipahami sebagai tata cara hidup yang mencerminkan nilai dan sikap dari seseorang. Gaya hidup merupakan adaptasi aktif individu terhadap kondisi social dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk menyatu dan bersosialisasi dengan orang lain. Cara berpakaian, konsumsi makanan, cara kerja, dan bagaimana individu mengisi kesehariannya merupakan unsur-unsur yang membentuk gaya hidup.4 4 Agung Hujatnikajennong, dkk. 2006 Resistensi Gaya Hidup : Teori dan realitas ( Yogyakarta : Jalasutra) hal : 9. 10 Gaya Hidup merupakan pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang lain.maksudnya adalah siapapun yang hidup dalam masyarakat modern akan menggunakan gagasan tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri maupun orang lain.5 Sedangkan pengertian “gaya hidup” menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah : pola tingkah laku sehari-hari segolongan manusia di dalam masyarakat.6 Persoalan gaya hidup tidak sesederhana seperti halnya potret kehidupan kelas menengah, Orang Kaya Baru, orang sukses, atau selebriti di kalangan gaya hidup media popular. Urusan gaya hidup bukan pula selalu dimonopoli orang berduit. Orang yang miskin sekalipun masih bisa memakai model gaya hidup tertentu, meskipun mungkin hanya bersandiwara, meniru-niru atau berpura-pura. Gaya hidup pada masyarakat saat ini, memang telah mengalami perubahan yang sangat pesat akibat berkembangnya tekhnologi. Kita bisa melihat Masyarakat dahulu tidak terlalu mementingkan urusan penampilan dan berbanding terbalik dengan keadaan saat ini. Mereka, lebih mementingkan urusan penampilan dan hanya meningkatkan prestise di lingkungannya. Terlebih lagi, gaya hidup kini bukan lagi monopoli suatu kelas, tapi sudah lintas kelas. Mana yang kelas atas, menengah, dan bawah semua sudah bercampur baur dan terkadang dipakai berganti-ganti. 5 Op.Cit, David Chaney, LIFE STYLE sebuah pengantar komprehensif, (Yogyakarta : JALASUTRA,1996) 40. 6 http://kamusbahasaindonesia.org/sosial/mirip/17-10-2014/pukul20:13 11 Lantas, kalau kita menyelami dan merefleksikan karya Chaney dengan kehidupan kita sehari-hari, betapa akan mencengangkannya bahwa ternyata pilihan gaya hidup yang kita buat dari sekian banyak pilihan gaya hidup yang kita buat dari sekian banyak pilihan model gaya hidup yang ditawarkan dalam masyarakat adalah hasil dari pergulatan diri kita dalam pencarian identitas dan sensibilitas kita dengan lingkungan di mana kita hidup. Sekalipun mungkin kita tidak menyadari bahwa kini dalam banyak hal kita sudah banyak berubah, namun kita tidak tahu persis apa sebenarnya yang paling dominan yang membentuknya-nilai, cita rasa, gaya-hingga tampilan diri kita seperti sekarang ini. Kita seolah-olah hanya menentukan pilihan dari sekian banya pilihan gaya hidup.7 Gaya Hidup merupakan gambaran keseluruhan diri seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya dalam menunjukkan bagaimana orang mengatur kehidupan pribadinya, kehidupan masyarakat, perilaku di depan umum, dan upaya membedakan statusnya dari orang lain melalui lambing-lambang sosial. Ketika suatu gaya hidup menyebar kepada banyak orang dan menjadi mode yang diikuti, pemahaman terhadap gaya hidup sebagai satu keunikan tidak memadai lagi digunakan. Gaya hidup bukan lagi semata tata cara atau kebiasaan pribadi dan unik dari individu, tetapi menjadi sesuatu yang popular diadopsi oleh sekelompok orang. Sifat unik tak lagi dipertahankan. Istilah gaya hidup, baik dari sudut pandang 7 Op.Cit David Chaney, LIFE STYLE sebuah pengantar komprehensif, (Yogyakarta : JALASUTRA,1996) 12 12 individual maupun kolektif mengandung pengertian bahwa gaya hidup mencakup sekumpulan kebiasaan, pandangan, dan pola respons terhadap hidup, serta terutama perlengkapan untuk hidup.8 Gaya hidup bukan lagi semata-mata tata cara atau kebiasaan pribadi dan unik dari individu, tetapi menjadi suatu identitas yang diadopsi oleh sekelompok orang. Sebuah gaya hidup bisa menjadi popular dan diikuti oleh banyak orang. Mereka tak segan-segan mengikutinya jika dianggap baik oleh orang banyak.9 8 Imy Ferica, 2006. Konsumsi Media Sebagai Gaya Hidup : Dominasi Sistem Tanda Dalam Konsumsi Buku Impor Kaum Urban Jakarta. Volume V. Nomor 3, September-Desember. Hal 3 9 Op.Cit, Agung Hujatnikajennong, dkk. 2006 Resistensi Gaya Hidup : Teori dan realitas ( Yogyakarta : Jalasutra) hal : 37. 13 2.2 Teori Interaksi Simbolik Perspektif Interaksi Simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka.10 Bersamaan dengan perspektif fenomenologis, pendekatan ini berasumsi bahwa pengalaman manusia ditengahi oleh penafsiran. Objek, orang, situasi, dan peristiwa tidak memiliki pengertiannya sendiri, sebaliknya pengertian itu diberikan untuk mereka.11 George Herbert Mead dipandang sebagai pembangun paham interaksi simbolik ini. Ia mengajarkan bahwa makna muncul sebagai hasil interaksi di antara manusia, baik secara verbal maupun non verbal. Melalui aksi dan respons yang terjadi, kita memberikan makna ke dalam kata-kata atau tindakan, dan karenanya kita dapat memahami suatu peristiwa dengan cara-cara tertentu. Menurut paham ini, masyarakat muncul dari percakapan yang yaling berkaitan di antara individu.12 10 Aaron V. Cicourel. Method and Measurement in Sociology. New York :Free Press, 1964, hlm. 1. Dr. Lexy J. Moleong, M.A, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA, 2004) hal : 10. 12 Morissan, Teori Komunikasi : Komunikator, Pesan, Percakapan, dan Hubungan (Interpersonal) (Bogor: Ghalia Indonesia, 2013), 75. 11 14 Mengacu pada karya mead yang paling terkenal yang berjudul Mind, Self, and Society. Hal pertama yang harus dicatat adalah bahwa tiga konsep ini saling mempengaruhi satu sama lain dalam term interaksionisme simbolik. Dari itu, pikiran manusia (Mind) dan interaksi sosial (diri/Self dengan yang lain)digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society) dimana kita hidup.13 Menurut teoretisi interaksi simbolik, kehidupan social pada dasarnya adalah “interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol.” Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi social. Penganut interaksionisme simbolik berpandangan, perilaku manusia pada dasarnya adalah bentuk pikiran manusia (Mind) dari interpretasi mereka atas dunia di sekelilingnya, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan, sebagaimana dianut teori behavioristik atau teori struktural.14 13 Op.Cit, Ardianto Elvinaro & Q-Aness Bambang, Filsafat Ilmu Komunikasi. hal : 136 14 Goffman, 1959, hlm.32 15 George Ritzer meringkaskan teori interaksi simbolik ke dalam prinsip-prinsip, sebagai berikut : 1. Manusia, tidak seperti hewan lebih rendah, diberkahi dengan kemampuan berpikir. 2. Kemampuan berpikir itu dibentuk oleh interaksi social. 3. Dalam interaksi social orang belajar makna dan simbol yang memungkinkan mereka menerapkan kemampuan khas mereka sebagai manusia, yakni berpikir. 4. Makna dan simbol memungkinkan orang melanjutkan tindakan (action) dan interaksi yang khas manusia. 5. Orang mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan interpretasi mereka atas situasi. 6. Orang mampu melakukan modifikasi dan perubahan ini karena, antara lain, kemampuan mereka berinteraksi dengan diri sendiri, yang memungkinkan mereka memeriksa tahapan-tahapan tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relative, dan kemudian memilih salah satunya. 16 7. Pola-pola tindakan dan interaksi yang jalin menjalin ini membentuk kelompok dan masyarakat.15 Pada pandangan interaksi simbolik, makna suatu objek social serta sikap dan rencana tindakan tidak merupakan sesuatu yang terisolir satu sama lain. Seluruh ide paham interaksi simbolik menyatakan bahwa makna muncul melalui interaksi. Orang-orang terdekat memberikan pengaruh besar dalam kehidupan kita. Mereka adalah orang-orang dengan siapa kita memiliki hubungan dan ikatan emosional seperti orang tua dan saudara. Mereka memperkenalkan kita dengan kata-kata baru, konsep-konsep tertentu atau kategori-kategori tertentu yang kesemuanya memberikan pengaruh kepada kita dalam melihat realitas. Orang terdekat membantu kita belajar membedakan antara diri kita dan orang lain sehingga kita terus memiliki sense of self.16 Inti dari teori interaksi simbolik adalah teori tentang “diri” (self) dari George Herbert Mead, yang juga dapat dilacak hingga definisi diri dari Charles Horton Cooley. Mead, seperti juga Cooley, menganggap bahwa konsepsi – diri adalah suatu proses yang berasal dari interaksi social individu dengan orang lain. 15 Dr. Deddy Mulyana, M.A, Metodologi Penelitian Kualitatif : Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu social lainnya (Bandung : PT Remaja Rosdakarya,2006), 73. 16 Op.Cit Morissan, Teori Komunikasi : Komunikator, Pesan, Percakapan, dan Hubungan (Interpersonal), 75. 17 Teori tindakan yang dikembangkan George Herbert Mead melalui empat tahap, yakni 1). Impulse; 2). Perception; 3). Manipulation; dan 4). Consummation. Tahap impulse atau menangkap fenomena luar diri aktor yang terjadi sejak ia dilahirkan dalam realitas social; tahap perception terjadi saat diri aktor akan menyeleksi situasi dan kondisi yang hidup disekitarnya; tahap manipulation dibangun atas asumsi yang diformulasikan dalam bentuk pertanyaan: “apa yang harus saya perbuat ?”. pemaknaan situasi berjalan seiring dengan peran yang harus dijalankan oleh diri (Self) actor. Pada posisional ini, George Herbert Mead menggaris bawahi kemampuan makhluk hidup untuk memecahkan persoalannya dengan berbagai cara, oleh sebab itu, tahap keempat kepenuhan tindakan (consummation) dipastikan sesuai dengan peran yang dimainkan oleh diri actor. Melihat tahap-tahapan pada teori tindakan tersebut, nyata pembedaan utama antara manusia dan makhluk lain, yaitu pada tahap ketiga (manipulation).17 Penafsiran bukanlah tindakan bebas dan bukan pula ditentukan oleh kekuatan manusia atau bukan. Orang-orang menafsirkan sesuatu dengan bantuan orang lain seperti orang-orang masa lalu, penulis, keluarga, pemeran di televisi, dan pribadipribadi yang ditemuinya dalam latar tempat mereka berkerja atau bermain, namun orang lain tidak melakukan-nya untuk mereka. Melalui interaksi seseorang membentuk pengertian. 17 Ibid, Hal 149. 18 Teori interaksi simbolik ialah konstrak tentang “diri”. Diri itu tidak dilihat sebagai yang berada dalam individu seperti “aku” atau “kebutuhan yang teratur”, “motivasi”, dan “norma” serta “nilai” dari dalam. Diri adalah subjek dari fenomena pengalaman sendiri : persepsi, emosi, pikiran. Dalam fenomenologi, hal itu dipahami sebagai suatu pengalaman, dan tidak ada yang mengalami tanpa mengalaminya sendiri. Oleh karena itu, Diri adalah definisi yang diciptakan orang (melalui interaksi dengan yang lainnya) di tempat ia berbeda. Dalam mengkonstruk atau mendefinisikan aku, manusia mencoba melihat dirinya sebagai orang lain, melihatnya dengan jalan menafsirkan tindakan dan isyarat yang diarahkan kepada mereka dan dengan jalan menempatkan dirinya dalam peranan orang lain. Dengan singkat, kita melihat diri kita sendiri sebagai bagian dari orang lain melihat kita. Jadi diri itu juga merupakan konstrak social, yaitu hasil persepsi seseorang terhadap dirinya dan kemudian mengembangkan definisi melalui proses interaksi. Cara konseptualisasi diri ini telah mengarahkan pada penelitian tentang self-fulfilling prophecy dan menyediakan latar belakang tentang apa yang dinamakan labeling approach terhadap perilaku menunjang.18 Pandangan Mead tentang diri terletak pada konsep “pengambilan peran orang lain” (taking the role of the other). Konsep Mead tentang diri merupakan penjabaran “diri social” (social self) yang dikemukakan William James dan pengembangan dari teori Cooley tentang diri. Bagi Mead dan pengikutnya, individu bersifat aktif, inovatif 18 Ibid, Dr. Lexy J. Moleong, M.A, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2004) hal : 13. 19 yang tidak saja tercipta secara social, namun juga menciptakan masyarakat baru yang perilakunya tidak dapat diramalkan.19 Dalam Principles of psychology, William James (1890, dalam Sarwono, 1997) menyebut diri sebagai segala sesuatu yang dapat dikatakan orang tentang dirinya sendiri, bukan hanya tentang tubuh dan keadaan psikisnya saja, melainkan juga tentang tentang anak istri, rumah, pekerjaan, nenek moyang, teman-teman, milik dan juga uangnya.20 Dorongan Biologis memberikan motivasi bagi perilaku atau tindakannya, dan dorongan-dorongan tersebut mempunyai sifat social yang tinggi di lingkaran realitas social mereka sendiri. Artinya, ada faktor-faktor yang bersifat “mempengaruhi” tindakan social actor terutama dalam lingkaran realitas social mereka sendiri. Pada konteks yang demikian George Herbert Mead sangat memperhitungkan faktor eksternal seperti konflik dan status social dalam interaksi social. Interaksi simbolik menjadi paradigma konseptual melebihi “dorongan dari dalam”, sifat-sifat pribadi”, “motivasi yang tidak disadari”, “kebetulan”, status social ekonomi”, kewajiban-peranan”, “resep budaya”, “mekanisme pengawasan masyarakat”, atau lingkungan fisik lainnya. Faktor-faktor tersebut sebagian adalah 19 Prof. Deddy Mulyana, M.A, Ph.D., Cetakan Ke-Delapan, Metodologi Penelitian Kualitatif : Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu social lainnya (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2013), 75. 20 Drs. Alex Sobur, M. Si., Filsafat Komunikasi : Tradisi dan Metode Fenomenologi (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2013), hal : 109. 20 konstrak yang digunakan para ilmuwan social dalam usahanya untuk memahami dan menjelaskan perilaku. Para interaksionis simbolik tidak menolak kenyataan bahwa konsep teoretik tersebut mungkin ber-manfaat.21 Posisional teori interaksionisme simbolik yang paling kontras adalah dengan behaviorisme radikal, terlebih dalam konsep stimulus-respons yang dikembangkan oleh behaviorisme radikal tersebut. Teori interaksionisme simbolik menilai, actor ketika ada stimulus yang ada ia tidak akan langsung merespons stimulus tersebut. Actor akan terlebih dahulu memahami dan menafsirkan stimulus tersebut untuk direspons dalam bentuk tindakan.22 Pendekatan teori interaksionisme simbolik mengikuti pendekatan Max Weber (Pendekatan yang berusaha mengerti makna yang mendasari dan mengitari peristiwa social dan historis) dalam teori aksi yang menyatakan bahwa actor memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang dan yang telah dilakukan. Proposisi ini memiliki hampir memiliki kesamaan dengan teori-teori yang dikembangkan oleh interaksionisme simbolik dengan memperhatikan secara menyeluruh tindakan social yang dilakukan oleh actor. 21 Op.Cit, Dr. Lexy J. Moleong, M.A, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA, 2004) hal : 11. 22 Umiarso Elbadiansyah, Interaksionisme simbolik dari era klasik hingga modern (Jakarta : PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2014) hal :61. 21 Namun, titik tekan pada kedua teori ini walaupun sama-sama memfokuskan pada tindakan social yang dilakukan actor memiliki ruang yang berbeda di mana teori interaksionisme simbolik lebih memaknai tindakan actor sebagai proses pemaknaan simbol untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (Society). Simbol pada lingkaran ini merupakan sesuatu yang digunakan dalam berkomunikasi untuk menyampaikan pesan yang dimaksud actor, sebagaimana seperti dalam teori yang digunakan dan dipopulerkan oleh George Herbert Mead.23 Simbol tersebut menjadi medium yang sangat efektif dalam interaksi yang dilakukan actor untuk menyampaikan pikiran atau perasaan, maksudnya, atau tujuannya kepada orang lain. 2.3 Definisi Tekhnologi Komunikasi Sebelum memilah definisi tekhnologi komunikasi, ada baiknya coba kita perhatikan tentang sikap kita ketika muncul teknologi modern dengan sebuah inovasi baru alat komunikasi yang dinamakan Hand Phone (HP). Dewasa ini tekhnologi Hand Phone sudah sedemikian maju fiture layanannya, dahulu hanya digunakan untuk menerima dan menelepon serta mengirim dan menerima Short Message System (SMS), namun sekarang sudah dipadukan dengan teknologi audio dan video, sehingga bisa mengirim gambar dan suara. 23 Ibid, Hal 63. 22 Pada tahun-tahun belakangan ini kebutuhan manusia untuk saling berkomunikasi semakin berkembang pesat. Perkembangan ini disebabkan oleh kian bertambah ruwetnya berbagai masalah yang harus dicapai dan diselesaikan dalam waktu cepat dan singkat. Atau mungkin juga disebabkan makin hebatnya saling kebergantungan sesama manusia yang satu dengan manusia lainnya dalam melengkapi keperluan hidup mereka sehari-hari. Perkembangan teknologi bidang telekomunikasi yang begitu cepat dan masif, telah berimplikasi secara langsung perekonomian, baik yang bertautan dengan industri tekhnologi maupun jasa bidang telekomunikasi itu sendiri. Sekarang kita akan membahas Tekhnologi, Tekhnologi adalah “a design for instrumental action that reduces the uncertainly in cause-effect relationships involvein achieving a desired outcome”. Tekhnologi merupakan seperangkat untuk membantu aktivitas kita dan dapat mengurangi ketidak pastian yang disebabkan oleh hubungan sebab akibat yang melingkupi dalam mencapai suatu tujuan. Tekhnologi selalu memiliki dua aspek, yakni Hardware (yang terdiri dari obyek material atau fisik) dan software (terdiri dari informasi untuk mengoperasikan hardware). Hardware bersifat visible (dapat dilihat), mungkin inilah yang membuat 23 persepsi tentang tekhnologi selalu pada hardware, berdiri sendiri dan terpisah dengan fenomena sosial kemasyarakatan.24 2.4 Fenomenologi Penelitian fenomenologi berorientasi untuk memahami, menggali dan menafsirkan arti dari peristiwa-peristiwa, fenomena-fenomena dan hubungan dengan orang-orang yang biasa dalam situasi tertentu. Ini biasa disebut dengan penelitian kualitatif dengan menggunakan pengamatan terhadap fenomena-fenomena atau gejala-gejala social yang alamiah (nature), digunakan sebagai sumber data, pendekatan ini berdasarkan kenyataan lapangan (empiris). Peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi tertentu. Sosiologi Fenomenologis pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh filsuf Edmund Husserl dan Alfred Schultz. Pengaruh lainnya berasal dari Weber yang memberi tekanan pada Verstehen, yaitu pengertian interpretative terhadap pemahaman manusia. Fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orangorang yang sedang diteliti oleh mereka. Inkuiri fenomenologis memulai dengan diam. Diam merupakan tindakan untuk menangkap pengertian sesuatu yang sedang diteliti. Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis ialah aspek subjektif dari perilaku orang. 24 Agoeng Noegroho, Teknologi Komunikasi, Cetakan Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hal.2- 3 24 Para fenomenolog percaya bahwa pada makhluk hidup tersedia berbagai cara untuk menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa pengertian pengalaman kitalah yang membentuk kenyataan.25 Menurut Bogdan dan Biklen (1982) dalam Asmadi Alsa (2003) penelitian dengan pendekatan fenomenologi berusaha memahami makna dari suatu peristiwa atau fenomena yang saling berpengaruh dengan manusia dalam situasi tertentu.26 Dalam penelitian fenomenologi, interaksi simbolik merupakan suatu tipe kerangka kerja penelitian utama yang harus diperhatikan peneliti. Adapun bentukbentuk kerangka kerja interaksi simbolik, sebagai berikut : i. Perspektif fenomenologi menyatakan bahwa interaksi simbolik berasumsi bahwa pengalaman manusia di mediasi oleh interpretasi atau penafsiran terhadap peristiwa yang terjadi. ii. Di dalam perspektif fenomenologi obyek, manusia, situasi dan peristiwa-peristiwa tidak memiliki makna, selain makna yang diberikan oleh obyek manusia, dan peristiwa-peristiwa tersebut. Makna yang diberikan oleh informan penelitian bukan secara kebetulan, melainkan suatu esensial. 25 Op.Cit, Dr. Lexy J. Moleong, M.A, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA, 2004) hal : 9. 26 Dr. Iskandar, M.Pd., Metodologi Penelitian Kualitatif : Aplikasi Untuk Penelitian Pendidikan, Hukum, Ekonomi & Manajemen, Sosial, Humaniora, Politik, Agama dan Filsafat (Jakarta : Gaung Persada, 2009) hal : 51. 25 iii. Interpretasi atau penafsiran bukan suatu pekerjaan otonom peneliti, namun interpretasi dapat dilakukan melalui interkasi dengan orang lain dalam penafsiran suatu peristiwa yang terjadi. iv. Interpretasi merupakan interaksi simbolik dalam paradigm internal, sifat, kepribadian, kebutuhan, motif tak disadari, status social ekonomi, dan budaya. Faktor-faktor tersebut merupakan konstruk bagi ilmuwan social dan pendidikan menggambarkan dalam usaha mereka memahami perilaku obyek, manusia, dan peristiwa yang terjadi. v. Teori bukan aturan, regulasi, norma, atau apapun yang krusial dalam memahami perilaku, akan tetapi bagaimana teori ini didefinisikan dan dipakai didalam situasi-situasi khusus.27 Pertama dan prinsip paling dasar dari fenomenologi- yang secara jelas dihubungkan dengan idealism jerman adalah bahwa pengetahuan tidak dapat ditemukan dalam pengalaman eksternal tetapi dalam diri kesadaran individu. Jadi, fenomenologi lebih mengitari penelitian untuk pemahaman subjektif ketimbang mencari objektivitas sebab akibat dan penjelasan universal. Kedua, makna adalah derivasi dari potensialitas sebuah objek atau pengalaman yang khusus dalam kehidupan pribadi. Ketiga, kalangan fenomenolog percaya bahwa dunia dialami- dan makna dibangun- melalui bahasa.28 27 Ibid, hal : 53. 28 Op. Cit Ardianto Elvinaro & Q-Aness Bambang, Filsafat Ilmu Komunikasi. Hal : 127 26 Dalam pengertian yang paling inti, istilah fenomenologi menunjuk pada suatu teori spekulatif tentang penampilan pengalaman, dan dalam penggunaan awal, pengertian fenomenologi dikaitkan dengan dikotomi “phenomenon-noumenon,” suatu perbedaan antara yang tampak (phenomenon) dan yang tidak tampak (noumenon). Namun dalam penelitian ini, Peneliti menggunakan Teori Fenomenologi Husserl karena teori yang ia kemukakan merupakan usaha spekulatif untuk menentukan hakikat yang seluruhnya didasarkan atas pengujian dan penganalisisan terhadap yang tampak. Husserl sendiri menekankan kemiripannya atas Descartes: keduanya berupaya mencari kepastian untuk filsafat, dan menemukannya dalam Cogito, dalam kepastian “ Aku berpikir”. Namun pada titik ini, Husserl memisahkan diri dari Descartes. Husserl tidak setuju dengan pernyataan cogito-nya Descartes telah menetapkan kepastian zat berpikir, melainkan sekadar kepastian kesadaran. Terlebih lagi, kata Husserl, kesadaran selalu merupakan hal terpenting, selalu diniatkan, ditujukan langsung pada sebuah objek. Dengan demikian, landasan pengetahuan bukan dari kepastian zat berpikirnya Descartes, yang terpisah dari objek di dunia, yang eksistensi dan alamnya dipertanyakan. Landasan Husserl adalah kesadaran dan objek yang dimaksudkannya: kesadaran tidak terpisah dengan dunia, tetapi bergabung melalui niatan.29 29 Op.Cit, Drs. Alex Sobur, M. Si., Filsafat Komunikasi : Tradisi dan Metode Fenomenologi (Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA, 2013), hal : 32. 27 Dari rentangan makna fenomenologi di atas, akhirnya kita dapat menyimpulkan tiga konsep dasar fenomenologi (Deetz, 1973, dalam Little john & Foss, 2008 ). Pertama, pengetahuan diperoleh secara langsung lewat pengalaman sadar kita akan mengetahui dunia ketika kita berhubungan dengannya. Kedua, makna benda terdiri atas kekuatan benda dalam kehidupan seseorang. Dengan kata lain, bagaimana anda berhubungan dengan benda, menentukan maknanya bagi anda. Ketiga, bahasa pada dasarnya merupakan kendaraan makna.30 30 Ibid, hal : 19. 28