I. PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya alam terutama sumberdaya lahan dan air, mudah mengalami kerusakan atau degradasi. Pengelolaan sumberdaya lahan dan air di dalam sistem DAS (Daerah Aliran Sungai) mempunyai peranan yang semakin penting, terutama dalam upaya pemanfaatannya secara berkelanjutan. Kerusakan sumberdaya lahan terutama di bagian hulu DAS akan menurunkan produktivitas lahan, yang selanjutnya mempengaruhi fungsi produksi, fungsi ekologis, dan fungsi hidrologis DAS (World Bank 1993). Degradasi lahan yang diakibatkan erosi di wilayah hulu suatu DAS akan berpengaruh buruk pada wilayah on-site maupun wilayah off-site. Pada wilayah on-site yaitu berupa penurunan produktivitas lahan, penurunan pendapatan petani, dan terjadinya lahan kritis. Sedangkan pada wilayah off-site yaitu sedimentasi, polusi air, kekeringan, dan banjir. Dengan ataupun tanpa memperhatikan wilayah hilir (off-site), permasalahan degradasi lahan akan lebih dirasakan dan berdampak negatif di wilayah hulu (on-site). Menurut Holy (1980), keberhasilan pengelolaan sumberdaya lahan pada daerah hulu selain menguntungkan daerah tersebut juga akan dapat menyelamatkan daerah hilirnya, karena menurunnya sedimentasi, polusi air, resiko banjir dan kekeringan. Fenomena kerusakan lahan terutama di daerah hulu DAS di Indonesia terus meningkat, hal ini dapat dilihat berdasarkan jumlah DAS prioritas yang semakin bertambah dari tahun ke tahun. Pada tahun 1984 terdapat 22 DAS super prioritas (Arsyad 2006); pada tahun 1999 terdapat 62 DAS prioritas I, 232 DAS prioritas II dan 178 DAS prioritas III (Ditjen RRL Dephut 1999); dan pada tahun 2004 jumlah DAS prioritas I meningkat menjadi 65 DAS (Ditjen Sumberdaya Air 2004). Daerah Aliran Sungai (DAS) Progo merupakan salah satu DAS yang mewakili gambaran umum kondisi DAS di Indonesia (khususnya DAS di pulau Jawa) yang menunjukan kerusakan lahan di daerah hulu, yaitu terutama di SubDAS Progo Hulu. Sub-DAS Progo Hulu merupakan wilayah volkan dari gunung Sumbing dan gunung Sindoro yang sebenarnya memiliki lahan relatif subur, 2 dengan ketinggian lebih dari 400 m sampai 3250 m dpl; kemiringan lahan dari landai, bergelombang, berbukit, agak curam, curam sampai sangat curam; kepadatan penduduk relatif tinggi dengan mata pencaharian pokok bertani tanaman tembakau, jagung, sayuran, dan padi sawah. Di wilayah Sub-DAS Progo Hulu, sistem usahatani lahan kering berbasis tembakau (UTLKBT) memiliki nilai keunggulan komparatif dan telah memberikan kesejahteraan bagi masyarakat sejak masa lalu secara turun temurun. Nilai keunggulan komparatif dan nilai strategis tanaman tembakau di wilayah Sub-DAS Progo hulu diantaranya, yaitu : (a) secara agroklimat sebagai komoditas yang dapat dibudidayakan pada musim kemarau (april-september), mempunyai nilai ekonomi tinggi dan laku dipasar; (b) tembakau rajangan yang dihasilkan mempunyai ciri spesifik aromatis berperan sebagai pemberi rasa dan aroma pada rokok kretek yang sulit dicari penggantinya, hampir semua pabrik rokok kretek membutuhkannya (Mukani & Isdijoso 2000); (c) menyumbang 7080% total pendapatan petani (Balittas 1994, diacu dalam Rochman dan Suwarso 2000); (d) berkontribusi dalam pengembangan industri pedesaan (pembuatan rigen, keranjang, mesin perajang/gobang); (e) berkontribusi dalam pengembangan jasa transportasi untuk pengangkutan pupuk kandang (dibutuhkan sekitar 40.600 truk pengangkut pupuk kandang per tahun), saprodi, dan hasil panen; (f) terdapat sekitar 650 pedagang tembakau dalam tataniaga tembaku (pengolah hasil, pedagang pengumpul, pedagang besar, dan perwakilan pabrik/”grader”) (Andrias et al. 2003); (g) penyerapan tenaga kerja padat karya dari budidaya sampai pasca panen; (h) mendukung pengembangan roda perekonomian daerah dan pendapatan daerah, pada tahun 2002 kontribusi komoditas tembakau terhadap PDRB Kabupaten Temanggung sebesar Rp. 215.610.380.000,- atau 10,4% (Mamat 2006); (i) secara tidak langsung berfungsi sebagai kawasan “konservasi biotik/genetik” dari beberapa jenis kultivar tembakau lokal (seperti kemloko, gober dan sitieng) yang selama ini telah berkembang dan beradaptasi di lereng gunung Sumbing dan gunung Sindoro yang sering disebut sebagai tembakau ”srintil”. Didukung oleh lingkungan usaha yang telah terbentuk, UTLKBT di SubDAS Progo Hulu telah membuat petani tidak melakukan diversifikasi usaha. 3 Adanya pertambahan kepadatan penduduk telah mengakibatkan tekanan terhadap lahan. Tekanan penduduk terhadap lahan mengakibatkan perlakuan ”over intensif” terhadap lahan kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air (KTA), serta telah memanfaatkan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi dan kemampuannya terutama di lereng gunung Sumbing dan gunung Sindoro yang memiliki kemiringan lereng diatas 30% (Gambar 1). Akibat dari teknik budidaya yang kurang memperhatikan kaidah KTA, pada kemiringan agak curamcuram, dan curah hujan yang tinggi di wilayah ini telah menyebabkan terjadinya erosi yang parah dan degradasi lahan (Djajadi 2000; GGWRM-EU 2004). Gambar 1 a. Kondisi lahan pada UTLKBT di lereng Gunung Sumbing Gambar 1 b. Kondisi lahan pada UTLKBT di lereng Gunung Sindoro Gambar 1. Kondisi lahan pada UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu Besarnya prediksi erosi yang terjadi pada UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu rata-rata 47,51 ton/ha/tahun (Proyek Pusat Pengembangan Pengelolaan DAS 1990). Besarnya laju erosi pada lahan dengan kemiringan 62% tercatat 53,72 ton/ha/tahun (Djajadi et al. 1994). Berdasarkan peta tingkat bahaya erosi, dapat dikriteriakan bahwa sebagian besar wilayah usahatani lahan kering di Sub-DAS Progo Hulu termasuk daerah dengan tingkat bahaya erosi yang berat sampai sangat berat (Fak. Geografi UGM dan Sub-BRLKT Opak-Progo 1987, diacu dalam Djajadi 2000). Hal ini dapat dimengerti karena lahan usahatani tersebut 4 mempunyai kelas kemiringan lereng 15-30% (36,7%) dan kemiringan lereng >30% (28,4%), dengan curah hujan yang tinggi (> 2.000 mm/tahun). Degradasi lahan akibat erosi pada UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu telah menyebabkan penurunan kesuburan tanah, penurunan produktivitas lahan, serta kerusakan lahan dan terjadinya lahan kritis. Penurunan kesuburan tanah ditandai dengan kebutuhan pupuk kandang dari tahun ke tahun yang semakin meningkat. Menurut Rachman et al. (1988) dosis pupuk kandang untuk tanaman tembakau semula cukup sekitar 22,5 ton/ha, dan pada tahun 2000 telah mencapai sekitar 30 ton/ha (Djajadi 2000). Penurunan produktivitas lahan ditunjukkan oleh tingkat produktivitas tembakau rajangan yang relatif rendah yaitu berkisar 0,28-0,52 ton/ha dengan rata-rata 0,429 ton/ha (Isdijoso & Mukani 2000), lebih rendah dibandingkan tembakau rajangan Madura yang mempunyai produktivitas berkisar 0,58-0,66 ton/ha (Hartono et al. 1991) dan jauh lebih rendah dibandingkan tembakau asepan Boyolali yang mempunyai produktivitas sekitar 1,2 ton/ha (Syukri 1991). Sedangkan kerusakan lahan ditandai dengan hilangnya lapisan top soil serta kenampakan adanya erosi alur (rill erosion), erosi parit (gully erosion), dan bahan induk tanah, serta terjadinya lahan kritis seluas 3.029 ha (GGWRM-EU 2004). Menurut Sinukaban (2003), terjadinya lahan kritis disebabkan oleh adanya proses degradasi lahan. Degradasi lahan merupakan suatu proses kemunduran kualitas lahan atau produktivitas lahan menjadi lebih rendah, baik bersifat sementara maupun permanen, sehingga pada akhirnya lahan tersebut berada pada tingkat kekritisan tertentu (Dent 1993). Apabila mengacu pada kondisi biofisik lahan dan cara-cara budidaya yang dilakukan petani, dapat diprediksi bahwa degradasi lahan akan semakin meningkat dan mengancam keberlanjutan sistem UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu. Apabila tidak segera dilakukan upaya perbaikan agroteknologinya menyebabkan sistem UTLKBT tidak berkelanjutan dan terjadinya lahan kritis (lahan tidak produktif) yang pada gilirannya berdampak pada pemiskinan petani. Untuk itu perlu dilakukan perbaikan/penyempurnaan sistem UTLKBT yang sedang berjalan menjadi Sistem Pertanian Konservasi (SPK). SPK adalah merupakan sistem pertanian yang mengintegrasikan tindakan/teknik konservasi 5 tanah dan air ke dalam sistem pertanian yang telah ada dengan tujuan untuk menekan erosi atau mengendalikan degradasi lahan (erosi ≤ erosi yang dapat ditoleransikan), meningkatkan pendapatan petani (pendapatan ≥ nilai kebutuhan hidup layak) dengan menggunakan agroteknologi yang memadai serta bersifat site specifik (khas kondisi setempat) (Sinukaban 2007). Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian tentang Pengembangan Usahatani Lahan Kering Berkelanjutan Berbasis Tembakau di Sub-DAS Progo Hulu, yang meliputi : kajian kondisi eksisting UTLKBT tentang kondisi biofisik lahan dan karakteristik usahatani, dan kajian pengaruh teknologi KTA spesifik lokasi terhadap limpasan permukaan dan erosi. Karakteristik kondisi biofisik lahan dan karakteristik usahatani, serta teknologi KTA spesifik lokasi tersebut sangat diperlukan dalam merumuskan perencanaan SPK yang komprehensif untuk pengembangan usahatani lahan kering berkelanjutan berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu (Kabupaten Temanggung Propinsi Jawa Tengah). Perumusan Masalah Adapun permasalahan yang menjadi pokok perhatian dan pendekatan dalam penelitian ini adalah : 1. Sistem usahatani lahan kering berbasis tembakau (UTLKBT) di Sub-DAS Progo Hulu selama ini telah memberikan kesejahteraan kepada petani secara turun temurun, disamping itu juga telah menyebabkan terjadinya pemanfaatan lahan secara ”over intensif” kurang memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air. Erosi tanah pada kawasan UTLKBT sudah berlangsung cukup lama dan disinyalir telah menyebabkan terjadinya degradasi lahan, ditandai dengan hilangnya lapisan tanah bagian atas (top soil) yang subur, menurunnya kesuburan tanah dan produktivitas lahan, serta menyebabkan usahatani menjadi semakin tidak efisien karena input usahatani terutama pupuk yang semakin meningkat. 2. Tingkat degradasi lahan yang telah berlangsung selama ini sudah mengancam keberlanjutan sistem UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu. Apabila dibiarkan dan tidak segera dilakukan upaya perbaikan/penyempurnaan dalam teknologi 6 konservasi tanah dan air (KTA), lahan yang telah mengalami proses degradasi tersebut akan menjadi tambah rusak, dan akhirnya menjadi lahan kritis (lahan tidak produktif) yang selanjutnya berdampak pada pemiskinan petani. SPK merupakan solusi tepat untuk mengatasi permasalahan degradasi lahan dan upaya pengembangan sistem usahatani lahan kering (UTLK) berkelanjutan berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu. Untuk itu diperlukan kajian pengembangan usahatani lahan kering berkelanjutan berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu, dengan memperhatikan kondisi biofisik lahan dan kondisi sosial ekonomi petani. Berdasarkan permasalahan di atas, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana kondisi eksisting usahatani lahan kering berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu, dari aspek biofisik lahan dan sosial ekonomi (karakteristik usahatani)? 2. Bagaimana teknologi konservasi tanah dan air (KTA) spesifik lokasi yang sesuai dan memadai? 3. Bagaimana merumuskan perencanaan sistem pertanian konservasi untuk mewujudkan sistem UTLK berkelanjutan berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu ? Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian : 1. Mengkaji kondisi biofisik lahan dan karakteristik usahatani lahan kering berbasis tembakau di Sub-DAS Progo hulu. 2. Mengkaji pengaruh teknologi konservasi tanah dan air (KTA) spesifik lokasi terhadap limpasan permukaan dan erosi. 3. Merumuskan perencanaan sistem pertanian konservasi untuk mewujudkan sistem usahatani lahan kering berkelanjutan berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu. 7 Manfaat Penelitian : 1. Memberikan gambaran kondisi eksisting usahatani lahan kering berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu. 2. Menjadi bahan pertimbangan bagi petani, pemerintah daerah, dan peneliti di dalam pengembangan usahatani lahan kering berkelanjutan berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu. 3. Sebagai data dasar (benchmark data) untuk penelitian selanjutnya di bidang konservasi tanah dan air, serta bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam merumuskan sistem usahatani lahan kering berkelanjutan. Kerangka Pemikiran dan Landasan Teori Usahatani lahan kering berbasis tembakau merupakan sistem usahatani lahan kering dimana tanaman tembakau sebagai komoditas unggulan sehingga petani lebih memilih menanam tembakau dibandingkan komoditas lain. Tanaman tembakau ditanam petani pada musim kemarau (april-september), sedangkan tanaman jagung dan sayuran (cabe, bawang daun, bawang putih, kubis, bawang merah, tomat, dan lainnya) ditanam petani pada musim penghujan (oktobermaret). Permasalahan utama pada usahatani lahan kering berbasis tembakau (UTLKBT) di Sub-DAS Progo Hulu adalah kemunduran daya dukung lahan (degradasi lahan) akibat erosi yang parah dan telah berlangsung selama ini (Djajadi 2000; GGWRM-EU 2004). Degradasi lahan pada UTLKBT di Sub-DAS Progo Hulu telah menyebabkan penurunan kesuburan tanah, penurunan produktivitas lahan, serta kerusakan lahan dan terjadinya lahan kritis. Penurunan kesuburan tanah ditandai dengan kebutuhan pupuk kandang dari tahun ke tahun yang semakin meningkat, menurut Rachman et al. (1988) dosis pupuk kandang untuk tanaman tembakau semula cukup sekitar 22,5 ton/ha, dan pada tahun 2000 telah mencapai sekitar 30 ton/ha (Djajadi 2000). Penurunan produktivitas lahan ditunjukkan oleh tingkat produktivitas tembakau rajangan yang relatif rendah yaitu berkisar 0,28-0,52 ton/ha dengan rata-rata 0,429 ton/ha (Isdijoso & Mukani 2000), lebih rendah dibandingkan tembakau rajangan Madura yang mempunyai produktivitas berkisar 0,58-0,66 ton/ha (Hartono et al. 1991). Sedangkan kerusakan lahan ditandai 8 dengan hilangnya lapisan top soil serta kenampakan adanya erosi alur (rill erosion), erosi parit (gully erosion), dan bahan induk tanah, serta terjadinya lahan kritis seluas 3.029 ha (GGWRM-EU 2004). Perencanaan Sistem Pertanian Konservasi (SPK) merupakan solusi tepat untuk mengatasi permasalah degradasi lahan dan upaya pengembangan UTLK berkelanjutan berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu dalam kerangka pengelolaan DAS yang lestari. Perencanaan SPK bertujuan untuk mewujudkan sistem usahatani yang berkelanjutan, yang merupakan salah satu pendekatan atau implementasi dari pembangunan berkelanjutan (upaya mensinkronkan dan memberi bobot yang sama terhadap tiga aspek, yaitu aspek ekologi, aspek ekonomi, dan aspek sosial budaya). Menurut Sinukaban (2007), Sistem Pertanian Konservasi (SPK) adalah sistem pertanian yang mengintegrasikan tindakan/teknik konservasi tanah dan air ke dalam sistem pertanian yang telah ada dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan kesejahteraan petani dan sekaligus menekan erosi, sehingga sistem pertanian tersebut dapat berlanjut secara terus menerus tanpa batas waktu (sustainable). SPK merupakan sistem pertanian yang khas kondisi setempat (site specifik), dengan demikian maka pemilihan tindakan konservasi tanah, sistem pertanian dan pengelolaannya, serta agroteknologi yang akan diterapkan harus disesuaikan dengan keadaan setempat. Langkah-langkah yang harus dilakukan di dalam perencanaan SPK adalah, meliputi : (a) inventarisasi keadaan biofisik daerah, (b) inventarisasi keadaan sosial ekonomi petani, dan (c) inventarisasi pengaruh luar (Sinukaban 2007). Inventarisasi keadaan biofisik wilayah, seperti aspek penggunaan lahan, iklim, geologi, topografi, dan sifat-sifat tanah. Data ini akan diperlukan untuk menganalisis kelas kemampuan lahan, tingkat degradasi lahan yang sudah terjadi, prediksi erosi dan nilai erosi yang dapat ditoleransikan (ETol), menentukan agroteknologi yang diperlukan, serta teknik konservasi yang cocok dan memadai. Inventarisasi keadaan sosial ekonomi petani, seperti : jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, pemilikan lahan, pengetahuan teknologi budidaya dan pasca panen, pendapatan usahatani, serta persepsi tentang erosi dan perspektif keberlanjutan usahatani. Inventarisasi pengaruh luar, seperti pasar/pemasaran 9 hasil, perangkat penyuluhan, lembaga keuangan pedesaan, dan organisasi yang berkaitan dengan petani. Kondisi biofisik dan sosial ekonomi merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan perencanaan SPK untuk pengembangan sistem usahatani lahan kering berkelanjutan berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu, sedangkan faktor luar (eksternal) merupakan pendukung implementasi perencanaan tersebut. Oleh karena itu SPK nantinya dapat diterapkan secara optimal sesuai konsep sistem pertanian berkelanjutan, yaitu pemilihan alternatif agroteknologi dan komoditi dapat mengurangi erosi ≤ nilai ETol, dapat menjamin pendapatan yang cukup tinggi (pendapatan petani ≥ nilai kebutuhan hidup layak), serta dapat diterima (acceptable) dan dapat dikembangkan (replicable) oleh petani. Berdasarkan pemikiran diatas, maka dilakukan kajian pengembangan usahatani lahan kering berkelanjutan berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu, dengan melakukan berbagai kajian/analisis kondisi biofisik lahan dan karakteristik usahatani, serta percobaan teknologi KTA spesifik lokasi untuk pengembangan usahatani lahan kering berkelanjutan berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu, sebagaimana disajikan dalam diagram alir kerangka pemikiran pada Gambar 2. 10 P E R M A S A L A H A N Pengelolaan Lahan Kurang Sesuai Kaidah Konservasi Penurunan Kualitas Biofisik (Lahan kritis, Kesuburan tanah menurun, Produktivitas menurun) DEGRADASI LAHAN Usahatani Lahan Kering Berbasis Tembakau di Sub-DAS Progo Hulu • • • Karakteristik Biofisik : Tanah, geologi, tofografi Penggunaan lahan Iklim Kelas Kemampuan Lahan Indikator Erosi ≤ ETol Prediksi Erosi & Nilai ETol Penurunan Kesejahteraan Petani (Pendapatan petani menurun, Kebutuhan hidup layak kurang terpenuhi) Karakteristik Sosial-Ekonomi Petani : • Karakteristik petani & usahatani • Perspektif keberlanjutan usahatani (keterlibatan konservasi) Tingkat Degradasi Lahan Percobaan Petak Erosi Analisis Usahatani (Plot Erosi) Perencanaan Sistem Pertanian Konservasi (Simulasi Agroteknologi) Usahatani Lahan Kering Berkelanjutan Berbasis Tembakau di Sub-DAS Progo Hulu Gambar 2. Diagram alir kerangka pemikiran dalam penelitian Indikator Pendapatan ≥ KHL 11 Batasan dan Ruang Lingkup Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah pengembangan usahatani lahan kering berkelanjutan berbasis tembakau di Sub-DAS Progo hulu. Penelitian ini difokuskan pada kawasan lahan kering di Sub-DAS Progo Hulu yang digunakan untuk usahatani berbasis tembakau, jadi tidak termasuk lahan sawah, kebun campuran, dan hutan. Adapun ruang lingkup penelitian meliputi : 1. Lokasi penelitian adalah kawasan usahatani lahan kering berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu. Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air selama periode sebagian besar waktu dalam setahun (lahan tegalan). Usahatani berbasis tembakau merupakan sistem usahatani dimana tanaman tembakau sebagai komoditas unggulan (utama) sehingga petani lebih memilih menanam tembakau dibandingkan komoditas lain. 2. Penelitian kondisi eksisting usahatani lahan kering berbasis tembakau di SubDAS Progo hulu, meliputi kondisi biofisik lahan (kelas kemampuan lahan, prediksi erosi dan ETol, tingkat degradasi lahan) dan karakteristik usahatani (jenis pola tanam, karakteristik petani, analisis usahatani dan kelayakan usahatani). 3. Penelitian valuasi kerugian ekonomi akibat erosi difokuskan pada ”on site” (lokasi kejadian erosi). 4. Penelitian pengaruh teknologi KTA spesifik lokasi terhadap limpasan permukaan dan erosi dilakukan pada ”teras batu” (teras bangku yang diperkuat dengan batu) dan teras bangku miring, dengan pemberian mulsa sisa tanaman berupa batang tembakau sisa panen dan rumput Setaria spacelata sebagai penguat teras. 5. Pengembangan usahatani lahan kering berkelanjutan berbasis tembakau di Sub-DAS Progo Hulu diwujudkan dengan perencanaan sistem pertanian konservasi (SPK) yang dilakukan dengan pendekatan secara komprehensif (mengintegrasikan aspek biofisik dan aspek sosial ekonomi) dan teknologi KTA bersifat ”site specific” (khas kondisi setempat). 6. Usahatani lahan kering berkelanjutan merupakan sistem usahatani lahan kering yang mampu mensinkronkan dan memberi bobot yang sama pada tiga aspek 12 (aspek ekologi, ekonomi, dan sosial-budaya) dalam satu hubungan yang sinergis untuk mencapai produktivitas dan pendapatan yang cukup tinggi secara terus menerus (umur guna 250 tahun), sumberdaya alam (lahan, air dan genetik tanaman) terpelihara atau tidak terdegradasi, serta sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat. Kebaruan (Novelty) Kebaruan (novelty) dari penelitian yang berjudul ”Pengembangan Usahatani Lahan Kering Berkelanjutan Berbasis Tembakau di Sub-DAS Progo Hulu, adalah perumusan pengembangan usahatani lahan kering berkelanjutan berbasis tembakau dengan menggunakan tiga indikator keberlanjutan yaitu : (a) indikator ekologi (nilai prediksi erosi ≤ nilai ETol), (b) indikator ekonomi (pendapatan petani ≥ nilai KHL), dan (c) indikator sosial (teknologi dapat diterapkan dan dikembangkan petani); serta teknologi KTA bersifat spesifik lokasi.