94 BAB IV KESIMPULAN Pada periode 1980’an-1990’an perkembangan pariwisata di Indonesia, utamanya Yogyakarta sedang berada pada fase puncak. Hal ini dibuktikan dengan statistik kunjungan wisatawan yang mengalami lonjakan dari tahun ke tahun. Hal tersebut kemudian berdampak pada kemunculan unit-unit usaha baru yang berkaitan dengan sarana pendukung kegiatan pariwisata, yang dimaksud dalam hal ini adalah penginapan. Penginapan sendiri menjadi fenomena penting yang akan mengubah wajah kampung di sekitar pusat tujuan pariwisata seperti Malioboro di Yogyakarta, khususnya kampung-kampung di wilayah Sosromenduran. Berdasarkan asumsi tersebut, dapat dimengerti bahwa sejarah masyarakat Sosromenduran akan lebih baik dimengerti melalui konteks pariwisata. Sebab pariwisata bagi Sosromenduran membawa perubahan terkait peluas pengusahaan penginapan. Selain itu pariwisata di sini membawa serta segala aspeknya, mulai dari modal sampai pusat perbelanjaan, termasuk losmen dan hotel sebagai faktor-faktor utama yang mengubah kehidupan ekonomi masyarakat Sosromenduran. Malioboro seperti yang telah dijelaskan dalam bab dua, menjadi sebuah fenomena penting terkait mengapa wilayah disekitar Malioboro berubah wajahnya 95 secara ekonomi. Yakni hadirnya Malioboro sebagai wahana penting bagi tujuan pariwisata Yogyakarta yang turut pula menghantarkan wilayah di sekitarnya untuk mendukung gemerlapnya Malioboro, yakni melalui jasa penginapan. Sebelumnya perlu dimengerti bahwa Sosromenduran berada dalam lingkup administratif Kecamatan Gedong Tengen. Kecamatan Gedong Tengen yang terdiri atas dua kelurahan, Sosromenduran dan Pringgokusuman, praktis kedua wilayah ini merupakan wilayah yang paling sibuk dalam hal usaha penginapan. Sosromenduran lebih dulu maju dalam bidang usaha penginapan dibanding dengan Pringgokusuman. Pringgokusuman sendiri pada perkembangannya berangsur-angsur “mengikuti jejak” Sosromenduran dalam pengembangan usaha penginapan. Usaha penginapan sendiri, khususnya di wilayah Sosromenduran, mulai bergeliat pada pertengahan tahun 1960 hingga periode awal tahun 1970. Pada perkembangan selanjutnya era tahun 1980’an di Sosromenduran berangsur menuju fase puncak pertumbuhan usaha penginapan semacam ini. Tak heran jika kemudian Kampung Sosromenduran pada dekade 1990an telah mengalami perubahan yang amat jauh ketimbang pada dekade 1960’an, yakni dengan identifikasi penduduknya pada sektor ekonomi pariwisata. kebergantungan 96 Pada dekade 1990’an sendiri tujuan pariwisata di Yogyajarta semakin diperbanyak. Selain menggeliatnya usaha akomodasi di kawasan Malioboro, utamanya di Sosromenduran, yang mana tidak lepas dari eksistensi Malioboro sebagai jantung ekonomi mikro di Yogyakarta yang terus dipertahankan. Terdapat berbagai sarana yang mendukung berkembangnya wilayah sekitar Malioboro sebagai tujuan pariwisata. Diantaranya keberadaan stasiun Tugu sebagai salah satu pintu gerbang utama masuknya wisatawan domestik. Kemudian berbagai tujuan pariwisata di Yogyakarta yang makin mudah dijangkau dari kawasan Malioboro. Sehingga tidaklah mengherankan jika para turis maupun pengunjung di Yogyakarta merasa betah jika memilih penginapan di sekitar Malioboro, termasuk Sosromenduran, utamanya penginapan di Sosrowijayan. Terkait Sosrowijayan sendiri, telah dipahami melaui penjelasan dalam bab tiga, bahwa sentra penginapan banyak terdapat di kawasan Sosrowijayan Wetan. Selain yang terdapat pada Sosrowijayan Wetan, wilayah Sosromenduran pada perkembangannya telah pula mengembangkan penginapan. Hal ini dapat dilacak dari keberadaan salah satu pioner usaha penginapan diantaranya adalah hotel Peti Emas, yang berada tepat di jl. Dagen. Hotel ini dimiliki oleh Hj. Mudjono, awalnya ia 97 merubah fungsi rumah dari rumah tinggal menjadi rumah sewa. Baru kemudian hal ini banyak menginspirasi para penduduk yang lain untuk kemudian mengembangkan usaha penginapan. Meskipun begitu usaha penginapan bukan berarti tiada kendala. Kendala terbatasnya modal menjadi faktor mengapa para penduduk di wilayah Sosromenduran tetap bertahan dalam bentuk penginapan losmen ataupun hotel kecil, bukan berupa hotel yang mewah, seperti Melia Purosani atau Hotel Inna Garuda, yang dahulu bernama Hotel Merdeka. Keterbatasan modal sebagai pemicu terbatasnya perkembangan penginapan di Sosromenduran, rupanya tidak menyurutkan eksistensi usaha penginapan di wilayah Sosromenduran. Selain keterbatasan modal, ketersediaan lahan turut menjadi faktor mengapa usaha penginapan dan losmen lebih menjamur di wilayah Sosromenduran daripada mendirikan hotel berbintang. Meskipun kemudian mulai banyak pengusaha luar, yang kemudian menginvestasikan uangnya dalam usaha penginapan di wilayah Sosromenduran, diantaranya Hotel All Season yang sekarang berubah nama menjadi Hotel Ibis. Perubahan fungsi rumah di wilayah Sosromenduran, kemudian memunculkan kelas-kelas ekonomi baru. Ekonomiekonomi pendukung, macam tour guide, persewaan motor, agen 98 wisata, money changer, berangsur-angsur menunjukkan esistensinya seiring perkembangan usaha penginapan ini, tanpa melupakan faktor pariwisata yang dominan, wisatawan itu sendiri. Keberadaan Malioboro pun menjadi salah satu faktor penentu akan Sosromenduran. perkembangan munculnya usaha para akomodasi pedagang emperan di toko Malioboro yang mayoritas datang dari luar Yogyakarta merupakan pengguna jasa penginapan yang utama selain wisatawan. Meskipun begitu perlu dimengerti bahwa terdapat perubahan yang signifikan, diakibatkan dominanannya usaha penginapan. Selain mulai minimnya diversifitas atau keberagaman profesi di kalangan penduduk Sosoromenduran, khususnya menjelang era 1990’an ketika mulai maraknya pamor pariwisata di Yogyakarta. Walaupun terjadi penurunan turis pada akhir dekade 1990’an saat terjadi kerusuhan yang berujung pada reformasi 1998. Namun dari sini dapatlah dimengerti penjelasan mengenai dinamika dan perubahan yang terjadi di Sosromenduran terkait profesi penduduk dalam usaha penginapan akibat dampak meluas dan massifnya perkembangan pariwisata di Yogyakarta.