TESIS CORE STABILITY EXERCISE LEBIH BAIK MENINGKATKAN AKTIVITAS FUNGSIONAL DARI PADA WILLIAM’S FLEXION EXCERCISE PADA PASIEN NYERI PUNGGUNG BAWAH MIOGENIK INDAH PRAMITA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 TESIS CORE STABILITY EXERCISE LEBIH BAIK MENINGKATKAN AKTIVITAS FUNGSIONAL DARI PADA WILLIAM’S FLEXION EXCERCISE PADA PASIEN NYERI PUNGGUNG BAWAH MIOGENIK INDAH PRAMITA NIM: 1290361018 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI FISIOLOGI OLAHRAGA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 i CORE STABILITY EXERCISE LEBIH BAIK MENINGKATKAN AKTIVITAS FUNGSIONAL DARI PADA WILLIAM’S FLEXION EXCERCISE PADA PASIEN NYERI PUNGGUNG BAWAH MIOGENIK Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Fisiologi Olahraga Konsentrasi Fisioterapi, Program Pascasarjana Universitas Udayana INDAH PRAMITA NIM: 1290361018 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI FISIOLOGI OLAHRAGA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 ii Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DIUJI KELAYAKAN PADA TANGGAL 2 OKTOBER 2014 Pembimbing I, Pembimbing II, Prof. Dr. dr. Alex Pangkahila, M.Sc, Sp. And NIP. 19440201 196409 1 001 Sugijanto, Dipl.PT, M.Fis NIDN. 0317025201 Mengetahui Ketua Program Fisiologi Olahraga Program pascasarjana Universitas Udayana, Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Dr. dr. Susy Purnawati, M.KK, AIFO NIP. 10680929 199903 2 001 Prof.Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 19590215 198510 2 001 iii LEMBAR PENETAPAN PANITIA UJIAN TESIS Tesis ini Telah Diuji pada Tanggal 16 Oktober 2014 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No 3472/UN.14.4/HK/2014, Tanggal 22 September 2014 Ketua : Prof. Dr. Dr. Alex Pangkahila, M.Sc, Sp. And Anggota : 1. Sugijanto, Dipl.PT, M.Fis 2. S. Indra Lesmana, SKM, SST.Ft, M.Or 3. Prof Nyoman Agus Bagiada, S.P, Biok 4. Dr.dr. Bagus Komang Satriyasa, M.Repro iv KATA PENGANTAR Om Swastiastu, Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehinga penulis dapat menyelesaikan penulisan thesis ini. Thesis ini disusun guna melengkapi tugas dan memenuhi syarat kelulusan Program Pendidikan Magister Fisiologi Olahraga konsentrasi Fisioterapi Program Pasca Sarjana Universitas Udayana dengan judul “Penambahan Core Stability Excercise Pada Williams Flexion Excercise Lebih Meningkatkan Aktivitas Fungsional Dari Pada Latihan Konvensional Pada Pasien Nyeri Punggung Bawah Musculoskeletal”. Penyusunan tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1 Bapak Rektor Universitas Udayana, Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Pascasarjana di Universitas Udayana. 2 Bapak Prof. Dr. Dr. Alex Pangkahila, M.Sc, Sp. And sebagai Ketua Program magister Fisiologi Olahraga Universitas Udayana dan sebagai pembimbing I, atas saran, petunjuk dan bimbingannya. 3 Bapak Sugijanto, Dipl.PT, M.Fis sebagai pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan. v 4 Para Dosen Program Magister Fisiologi Olahraga Universitas Udayana, atas segala dorongan semangat dan bimbingannya. 5 Ayah dan Ibu yang senantiasa memberikan dorongan semangat dan doa. 6 Suami tercinta yang selalu memberikan dorongan serta arahan dan doa. 7 Pihak-pihak yang tidak sempat penulis sebutkan, yang telah membantu dalam penyusunan penelitian ini Harapan penulis, semoga tesis ini dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi para pembaca. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, segala saran dan kritik atas kekurangan dalam penulisan ini sangat saya harapkan. Akhir kata mengucapkan banyak terima kasih. Denpasar, September 2014 Penulis vi ABSTRAK CORE STABILITY EXERCISE LEBIH BAIK MENINGKATKAN AKTIVITAS FUNGSIONAL DARI PADA WILLIAM’S FLEXION EXCERCISE PADA PASIEN NYERI PUNGGUNG BAWAH MIOGENIK Nyeri punggung bawah miogenik merupakan nyeri di sekitar punggung bawah yang disebabkan karena gangguan atau kelainan pada unsur otot dan tendon tanpa disertai gangguan neurologis. NPB miogenik dapat mengakibatkan nyeri, spasme otot dan imbalance muscle, sehingga stabilitas otot perut dan punggung bawah mengalami penurunan, mobilitas lumbal terbatas, mengakibatkan penurunan aktivitas fungsional. Latihan yang biasa diberikan di rumah sakit berupa SWD dikombinasi dengan william’s flexion exercise (WFE). Adanya metode baru core stability exercise (CSE) sangat penting bagi pasien NPB miogenik. CSE berfungsi mengaktivasi gerakan yang harmonis antara keempat group otot inti. Aktivasi keempat otot inti ini akan memberikan satabilitas pada punggung bawah. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui core stability exercise lebih baik meningkatkan aktivitas fungsional dari pada william’s flexion exercise pada pasien nyeri punggung bawah miogenik. Penelitian ini mengunakan rancangan quasi eksperimental dengan pre-test and post-test control group design. Penelitian dilaksanakan di klinik di daerah Denpasar. Subjek sebanyak 28 pasien yang memenuhi kriteria yang ditetapkan peneliti. Peningkatan aktivitas fungsional diukur dengan oswestry disability index (ODI) sebelum dan sesudah pelatihan. Subjek dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok perlakuan diberikan SWD dan CSE tiga kali seminggu dan kelompok kontrol diberikan SWD dan WFE tiga kali semingu. Hasil uji statistik didapatkan, terjadi penurunan skor ODI pada kelompok perlakuan I dengan nilai p=0,001 dan pada kelompok perlakuan II dengan nilai p=0,001. Ini berarti kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sama-sama dapat meningkatkan aktivitas fungsional secara bermakna. Dari uji komparasi data dengan t-test menggunakan data selisih pada kedua kelompok didapatkan nilai p<0,05, yang berarti secara bermakna. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa core stability exercise lebih meningkatkan aktivitas fungsional dari pada william’s flexion exercise pada pasien nyeri punggung bawah miogenik. Penelitian diharapkan bermanfaat pada pasien nyeri punggung bawah miogenik dalam meningkatkan aktivitas fungsional. Kata kunci : core stability exercise, william’s flexion exercise, SWD, aktivitas fungsional, nyeri punggung bawah miogenik, ODI vii ABSTRACT CORE STABILITY EXERCISE BETTER THAN WILLIAM'S FLEXION EXERCISE TO INCREASING FUNCTIONAL ACTIVITY IN PATIENTS WITH MYOGENIC LOW BACK PAIN Lower back pain is pain around of the lower back mucle or a disorder caused by abnormalities in the muscles and tendons of elements without neurological disorders. Low back pain may result in pain, muscle spasm and muscle imbalance, so that the stability of abdominal and lower back muscles decreased, lumbar mobility is limited, resulting in a decrease in functional activity. Exercise is usually given in a hospital Short Wave Diathermy combined with William's Flexion Exercise (WFE). The existence of a new method of core stability exercise (CSE) is very important for patients with myogenic back pain . CSE function activates the movement of harmony between the four core muscle group. Activation of these four core muscles will give stability on the lower back. The purpose of this study to determine better core stability exercise increases the functional activity of the William's Flexion Exercise in patients with myogenic back pain. This study uses a quasi experimental design with pre-test and post-test control group design. The experiment was conducted in a clinic in Denpasar. Subjects were 28 patients who met the criteria established researchers. Increased functional activity was measured with the Oswestry Disability Index (ODI) before and after training. Subjects were divided into two groups, the treatment group was given SWD and CSE three times a week and a control group given SWD and WFE three times a week. Statistical test results obtained, a decrease in ODI scores in the first treatment group with p = 0.001 and in the second treatment group with p = 0.001. This means the treatment group and the control group alike can significantly improve functional activity. From the comparative test data by t-test using the difference in the two groups of data obtained p value <0.05, which means significantly. From these results it can be concluded that the core stability exercises further enhance the functional activity of the William's Flexion Exercise in patients with myogenic back pain. The study is expected to be beneficial in patients with myogenic back pain to improving functional activity. Keywords: core stability exercise, William's Flexion Exercise, SWD, functional activity, myogenic back pain, ODI viii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................... i PRASYARAT GELAR .................................................................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN............................................................................. iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................ iv KATA PENGANTAR ..................................................................................... v ABSTRAK ....................................................................................................... vii ABSTRACT ..................................................................................................... viii DAFTAR ISI .................................................................................................... ix DAFTAR TABEL ......................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xii DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xvi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvii BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 7 1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................... 8 1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................... 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA .......................................................................... 10 2.1 2.2 Nyeri Punggung Bawah Miogenik .............................................. 10 2.1.1 Definisi ......................................................................... 10 2.1.2 Etiologi ......................................................................... 11 2.1.3 Patofisiologi Nyeri Punggung Bawah Miogenik .......... 14 2.1.4 Tanda dan Gejala .......................................................... 16 Aktifitas Fungsional .................................................................... 16 ix 2.3 Pemeriksaan Aktivitas Fungsional pada Nyeri Punggung Bawah Miogenik ..................................................................................... 17 2.4 Anatomi Fungsional dan Biomekanikal Vertebra ...................... 19 2.4.1 Anatomi Terapan dan Biomekanika Vertebra Secara Umum.............................................................................. 19 2.5 2.4.2 Anatomi Terapan dan Biomekanika Lumbal ................. 21 2.4.3 Biomekanika Vertebra Lumbal ...................................... 49 Core Stability Exercise ................................................................ 54 2.5.1 Pengertian Core Stability Exercise ................................. 54 2.5.2 Macam Latihan ............................................................... 57 2.5.3 Mekanisme Core Stability Exercise Meningkatkan Aktivitas Fungsional Pada Pasien NPB ...................................................... 61 2.6 William’s Flexion Exercise ......................................................... 62 2.6.1 Macam Latihan William’s Flexion Exercise ................... 63 2.6.2 Mekanisme William’s Flexion Exercise Dalam Meningkatkan Aktivitas Fungsional Pada Pasien NPB ...................................... 67 2.7 Terapi Dasar ................................................................................ 68 2.7.1 Short Wave Diathermy (SWD) ........................................ 68 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS ................. 70 3.1 Kerangka Berpikir ...................................................................... 70 3.2 Kerangka Konsep ....................................................................... 72 3.3 Hipotesis ..................................................................................... 73 BAB IV METODE PENELITIAN ................................................................. 74 4.1 Rancangan Penelitian ................................................................. 74 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................... 75 4.3 Populasi Dan Sampel ................................................................. 75 4.3.1 Populasi .......................................................................... 75 4.3.2 Populasi Terjangkau ........................................................ 75 x 4.4 4.5 4.6 4.7 4.3.3 Sampel ............................................................................ 75 4.3.4 Besaran Sampel ............................................................... 77 Variabel Penelitian ..................................................................... 79 4.4.1 Variabel Bebas ............................................................... 79 4.4.2 Variabel Terikat ............................................................. 79 Definisi Operasional ................................................................... 79 4.5.1 Pasien Nyeri Punggung Bawah Miogenik ..................... 79 4.5.2 Core Stability Exercise ................................................... 80 4.5.3 William’s Flexion Exercise ............................................. 80 4.5.4 Terapi Dasar ................................................................... 80 4.5.5 Kemampuan Fungsional ................................................. 81 4.5.6 Oswestry Dissability Index .............................................. 81 Metode Pengumpulan Data ........................................................ 82 4.6.1 Alat Ukur Penelitian........................................................ 82 4.6.2 Pelaksanaan Penelitian .................................................... 82 4.6.3 Prosedur Penelitian ......................................................... 82 Tahap Pelaksanaan ...................................................................... 83 4.7.1 Tahap Persiapan .............................................................. 83 4.7.2 Tahap Penelitian .............................................................. 83 4.8 Alur Penelitian ............................................................................ 84 4.9 Analisis Data ............................................................................... 84 4.9.1 Statistik Deskriptif .......................................................... 85 4.9.2 Uji Normalitas Data ........................................................ 85 4.9.3 Uji Homogenitas Data ..................................................... 85 4.9.4 Uji Kompatabilitas .......................................................... 85 4.9.5 Uji Hipotesis ................................................................... 85 BAB V HASIL PENELITIAN ........................................................................ 87 xi 5.1 Deskripsi Karakteristik Subjek ................................................... 87 5.2 Analisis Data Deskriptif Skor ODI pada Aktivitas Fungsional NPB Miogenik Kelompok Kontrol Dan Kelompok Perlakuan ........... 88 5.3 Uji Normalitas Dan Homogenitas............................................... 90 5.4 Pengujian Penurunan Skor ODI Pada Kelompok Kontrol Dalam Meningkatkan Aktivitas Fungsional Pada NPB Miogenik ......... 91 5.5 Pengujian Penurunan Skor ODI Pada Kelompok Perlakuan Dalam Meningkatkan Aktivitas Fungsional Pada NPB Miogenik ......... 92 5.6 Uji Perbedaan Skor ODI Sebelum Pelatihan Kelompok Kontrol Dan Sebelum Pelatihan Kelompok Perlakuan ............................ 93 5.7 Uji Beda Penurunan Skor ODI Setelah Pelatihan Antara Kelompok Kontrol Dan Kelompok Perlakuan Dalam Meningkatkan Aktivitas Fungsional Pada NPB Miogenik................................................. 94 BAB VI PEMBAHASAN ................................................................................ 97 6.1 Kondisi Subjek Penelitian ........................................................... 97 6.2 Distribusi Dan Varians Subjek Penelitian .................................. 99 6.3 Pengujian William’s Flexion Exercise Pada Terapi Dasar Dapat Menurunkan Skor ODI Pada Aktivitas Fungsional Pada Pasien Npb Miogenik ..................................................................................... 100 6.4 Core Stability Exercise Pada Terapi Dasar Dapat Menurunkan Skor ODI Pada Aktivitas Fungsional Pada Pasien NPB Miogenil .... 103 6.5 Core Stability Exercise Lebih Meningkatkan Aktivitas Fungsional Pada Pasien Npb Miogenik Dari Pada William’s Flexion Exercise ....................................................................................... 107 6.6 Kelemahan Peneliti ..................................................................... 109 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 110 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 111 xii DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Ciri Khusus Vertebra Lumbal ......................................................... 24 Tabel 2.2 Otot-Otot Intrinsik ........................................................................... 35 Tabel 2.3 Perhitungan Tekanan Intra Diskal Pada Berbagai Posisi Tubuh ..... 54 Tabel 4.1 Hubungan Antara Aktifitas Fungsional ODI dengan Kriteria yang Ditetapkan Menurut ICF.................................................................. 82 Tabel 5.1 Karakteristik subjek penelitian ........................................................ 89 Tabel 5.2 deskriptif skor ODI pada aktivitas fungsional NPB miogenik kelompok kontrol dan kelompok perlakuan ..................................................... 90 Tabel 5.3 hasil uji normalitas dan homogenitas penurunan skor ODI sebelum dan sesudah pelatihan ............................................................................. 91 Tabel 5.4 uji hipetesis skor ODI pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah pelatihan .......................................................................................... 92 Tabel 5.5 deskriptif skor ODI pada aktivitas fungsional NPB miogenik kelompok perlakuan dan kelompok perlakuan ................................................. 93 Tabel 5.6 rerata skor ODI sebelum pelatihan pada kedua kelompok ............. 94 Tabel 5.7 uji beda penurunan skor ODI setelah pelatihan pada kedua kelompok ......................................................................................... 95 xiii DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Tulang Vertebra ......................................................................... 21 Gambar 2.2 Vertebra Lumbal Dengan Pandangan Superior........................... 22 Gambar 2.3 Vertebra Lumbal Dengan Pandangan Lateral ............................. 23 Gambar 2.4 Diskus Intervertebralis ................................................................ 25 Gambar 2.5 Anulus Fibrosus Dan Nukleus Pulposus .................................... 27 Gambar 2.6 Posisi Columna Vertebralis Saat Melakukan Gerakan ............... 27 Gambar 2.7 Facet Joint ............................................................................. ...... 29 Gambar 2.8 Ligamen-Ligamen Columna Vertebralis ..................................... 30 Gambar 2.9 Otot-Otot Abdominal .................................................................... 32 Gambar 2.10 Otot-Otot Vertebral .................................................................... 34 Gambar 2.11 Irisan Transversal Regio Punggung Bawah ............................... 36 Gambar 2.12 Otot Transversus Abdominus ..................................................... 39 Gambar 2.13 Otot Multifidus ........................................................................... 39 Gambar 2.14 Otot Diaphragma ....................................................................... 40 Gambar 2.15 Otot Pelvis Dilihat Dari Atas ..................................................... 43 Gambar 2.16 Otot Pubococygeus ..................................................................... 44 Gambar 2.17 Sudut Lumbosacral .................................................................... 51 Gambar 2.18 Shear Force ................................................................................ 52 Gambar 2.19 Posisi Columna Vertebralis Saat Melakukan Gerakan Sederhana ..................................................................................................... 52 Gambar 2.20 Bridging ...................................................................................... 57 Gambar 2.21 Single Leg Bridging.................................................................... 58 Gambar 2.22 Modified Plank ........................................................................... 59 Gambar 2.23 Front Plank ................................................................................ 60 Gambar 2.24 Side Plank................................................................................... 60 xiv Gambar 2.25 Pelvic Tilting .............................................................................. 63 Gambar 2.26 Single Knee To Chest ................................................................. 64 Gambar 2.27 Double Knee To Chest................................................................ 65 Gambar 2.28 Partial Sit Up ............................................................................. 65 Gambar 2.29 Hamstring Stretches ................................................................... 66 Gambar 2.30 Squart ......................................................................................... 67 xv DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN LAMBANG SINGKATAN NPB Nyeri Punggung Bawah SWD Shortwave Diathermy ODI Oswestry Dissability Index WFE William’s Flexion Exercise CSE Core Stability Exercise CS Core Stability TKAF Tingkat Kemampuan Aktivitas Fungsional xvi DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Informed Consent ....................................................................... Lampiran 2 Kuesioner Disabilitas Nyeri Punggung Bawah Oswestry .......... Lampiran 3 Formulir Pemeriksaan Penelitian ............................................... Lampiran 4 Data rekapitulasi kelompok perlakuan ......................................... Lampiran 4 Data rekapitulasi kelompok kontrol ............................................. Lampiran 5 Analisis data ................................................................................. Lampiran 6 Dokumentasi Foto......................................................................... xvii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Daya konsumsi masyarakat semakin hari semakin meningkat, baik dari kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Kebutuhan akan suatu produk tertentu harus diimbangi dengan kemampuan untuk membeli dan memelihara. Masyarakat terkadang harus bekerja lebih giat dan tekun sehingga terkadang melupakan unsur penting keseimbangan dalam hidup yakni pemeliharaan kesehatan. Kondisi tersebut menjadi sangat menarik dan penting untuk dibahas karena banyak sekali masyarakat yang bekerja tidak memperhitungkan waktu untuk istirahat. Sikap kerja yang kurang baik, posisi atau tehnik saat menyelesaikan pekerjaan yang kemudian banyak menimbulkan masalah kesakitan, salah satunya keluhan sakit pinggang yang biasa dikenal dengan istilah Nyeri Punggung Bawah (NPB). Nyeri punggung bawah (NPB) adalah suatu sindroma klinik yang ditandai dengan gejala utama rasa nyeri atau perasaan lain yang tidak enak di daerah tulang punggung bagian bawah dan sekitarnya (Tiger, 2010). Sebagian besar orang dewasa pernah mengalami NPB dan merupakan salah satu keluhan nyeri yang sering dijumpai di masyarakat. NPB sendiri diartikan sebagai nyeri mulai dari bawah iga hingga lipatan pantat dengan atau tanpa rasa nyeri menjalar ke kaki (Meliala dan Pinzon, 2004). Angka kejadian nyeri punggung bawah hampir sama pada semua populasi masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju maupun 1 2 negara berkembang, diperkirakan 60% - 85% dari seluruh populasi masyarakat di dunia pernah merasakan nyeri punggung bawah semasa hidupnya (Elders dan Burdoff, 2003). Setiap tahun prevalensi nyeri punggung bawah di negara Amerika Serikat dilaporkan sebesar 15% - 45% dan angka kejadian tersebut terbanyak didapatkan pada usia 35 th - 55 th (Tulder dan Koes, 2001). Berdasarkan Copcord Indonesia (Community Oriented Program for Controle of Rhematic Disease) menunjukan prevalensi nyeri punggung bawah 18,2% pada laki-laki dan 13,6% pada wanita (Wirawan, 2004). Berdasarkan survei sekitar 11% - 12% pasien menjadi cacat akibat kasus ini dan kecenderungan untuk kambuh cukup tinggi yaitu sekitar 26% - 37%, sehingga menyebabkan penderita kembali tidak bekerja atau kurang produktif (Marpaung dan Sjah, 2006). Berdasarkan data yang diperoleh dari poliklinik Rehabilitasi Medik Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar jumlah pasien NPB yang menjalani rawat jalan sebanyak 152 pasien, tahun 2010 sebanyak 249 pasien (RSUP Sanglah Denpasar, 2010). Jumlah pasien NPB yang datang ke tempat praktek perseorangan dua tahun terakhir berjumlah 270 pasien (Kurniasih, 2012). Tingginya angka kekambuhan ini secara implisit menunjukan pengobatan dan penanganan NPB yang belum memuaskan. Permasalahan yang ditimbulkan NPB cukup besar, tetapi sebagian besar keluhan dapat hilang sendirinya tanpa adanya penanganan medis (Kravitz, 2006). Masa penyembuhan NPB biasanya berlangsung antara 3-4 bulan. Hilangnya keluhan NPB masih menimbulkan permasalahan yaitu resiko untuk kambuh kembali yang salah satunya disebabkan karena adanya penurunan fungsi stabilitas 3 otot-otot tulang belakang bagian dalam. Pasien NPB yang tidak melakukan latihan secara khusus memiliki resiko 12 kali untuk kambuh dalam jangka waktu tiga tahun (Knudsen, 2003). Penyebab NPB bervariasi dari yang ringan (misal sikap tubuh yang salah) sampai yang berat dan serius (misal keganasan). NPB miogenik merupakan penyebab terbanyak yang sering terjadi. NPB miogenik lebih kurang 90% disebabkan oleh faktor mekanik yaitu NPB pada struktur anatomi normal yang digunakan secara berlebihan atau akibat dari trauma atau deformitas, yang menimbulkan stress atau strain pada otot, tendon dan ligamen ( Borenstein dan Wiesel, 2004). NPB miogenik berhubungan dengan aktivitas sehari-hari yang berlebihan, mengangkat beban yang berat, terlalu lama berdiri atau duduk dengan posisi yang salah. NPB miogenik dapat mengakibatkan spasme pada otot yang mana dapat menimbulkan penderita merasakan nyeri. Spasme otot yang berkepanjangan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah yang mengakibatkan iskemia, sehingga penderita akan membatasi adanya gerakan yang dapat menimbulkan nyeri (Meliala dan Pinzon, 2004). Keadaan yang berlangsung lama dapat menimbulkan otot mengalami kontraktur yang nantinya menimbulkan trauma kinetiologi yang menyebabkan perubahan postur. Pemendekan pada otot iliopsoas akan membatasi gerakan fleksi hip sehingga posisi hip akan cenderung hiperekstensi, dengan keadaan yang demikian akan mengakibatkan kompensasi di daerah lumbal yaitu lumbal menjadi hiperlordosis. NPB miogenik juga dapat menimbulkan atrofi otot dalam waktu yang lama. Otot yang mengalami atrofi 4 dalam jangka waktu lama maka akan terjadi penurunan kekuatan otot. Penurunan kekuatan otot ini nantinya akan dapat menyebabkan penurunan stabilitas di daerah lumbal yang selanjutnya menimbulkan penurunan tingkat aktivitas fungsional pasien (Hills, 2006). Aktivitas fungsional yang terhambat seperti keterbatasaan saat bangun dari duduk, saat aktivitas membungkuk, saat berdiri lama dan saat berjalan jauh. Sebagian besar NPB miogenik merupakan ganguan yang dapat sembuh dengan sendirinya, pasien dengan NPB miogenik akan mengalami penyembuhan secara berkala dalam tempo lebih dari 2 minggu. Sekitar 90% membaik dalam dua bulan dan 10% pasien akan mengalami nyeri dalam waktu beberapa bulan bahkan tahun sehingga akan mengalami disabilitas berkelanjutan (Borenstein dan Wiesel, 2004). Fisioterapi dalam pelayanan kesehatan profesional bertanggung jawab atas kesehatan individu, keluarga maupun masyarakat khususnya dalam perbaikan gerak dan fungsi selama daur kehidupan (Sujatno, 2003). Fisioterapi mempunyai peranan penting dalam penanganan nyeri punggung bawah. Pemilihan modalitas terapi yang tepat menjadi suatu keharusan bagi seorang fisioterapis. Pendekatan fisioterapi yang dapat dipilih untuk kasus NPB adalah short wave diathermy (SWD), Transcutaneus Electical Nerve Stimulation(TENS) dan terapi latihan diantaranya Core Stability Excercise, William’s Flexion Excercise, Mc Kenzie Exercise, Back shcool exercise dan masih banyak lagi metode latihan yang baik untuk permasalahan NPB. Modalitas fisioterapi yang diberikan pada NPB biasanya hanya bertujuan untuk mengurangi nyeri dan rileksasi pada pasien, 5 sedangkan untuk meningkatkan aktivitas fungsional belum didapatkan modalitas yang tepat. Penanganan yang umum dilakukan oleh seorang fisioterapi di klinik atau rumah sakit adalah dengan pemberian short wave diathermy (SWD) biasanya ditambah latihan William’s flexion exercise. Menurut Mariani (2002) melaporkan bahwa penggunaan SWD dengan daya 60 Watt selama 20 menit, 3 kali seminggu selama 2 minggu berturut-turut (total 6 sesi terapi) ternyata dapat mengurangi nyeri punggung bawah miogenik secara bermakna. William’s flexion exercise (WFE ) adalah jenis latihan terdiri dari 6 bentuk gerakan yang dirancang membuka foramen intervertebralis dan sendi faset, mengulur otot fleksor hip dan ekstensor lumbal, menguatkan otot abdominalis dan otot gluteal serta meningkatkan mobilitas jaringan ikat bagian posterior lumbosakral joint. Latihan fleksi lumbal lebih sesuai untuk mengurangi nyeri dan peningkatan LGS lumbal pada kasus NPB (Borenstein dan Wiesel, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh dr.Paul William tentang efek program WFE dikontrol dengan menggunakan kontraksi aktifitas EMG pada nyeri punggung bawah mekanik kronik usia 50 tahun ke bawah yang mempunyai lordosis pada lumbal yang berlebihan. Latihan ini bertujuan untuk mengurangi nyeri punggung bawah dan meningkatkan stabilitas trunk bagian bawah dengan latihan aktif pada otot-otot abdominal, serta pasif stretching pada otot-otot gluteus maximus, hamstring, fleksor hip dan otot sacrospinalis. Menurut William bahwa latihan ini dapat menyeimbangkan antara kelompok otot postural fleksor dan ekstensor. 6 Kesimpulan dari penelitian tersebut pasien yang mendapat perlakuan WFE terjadi penurunan nyeri yang signifikan. Belakangan telah dikembangkan suatu metode baru yang terkenal dengan latihan “Core stability”. Core stabiliy exercise (CSE) adalah sebuah latihan yang sedang trend diberikan pada pasien NPB dibeberapa negara. CSE merupakan aktifasi sinergis yang meliputi otot-otot bagian dalam dari thrunk yakni otot core (inti). Fungsi core yang utama adalah untuk memelihara postur tubuh (Brandon dan Raphael, 2009). Kepopuleran program latihan ini didasarkan pada keyakinan bahwa core strength and endurance ( inti kekuatan dan ketahanan) adalah hal penting untuk memelihara kesehatan punggung bawah dan untuk mencegah terjadinya cedera terutama dalam peningkatan aktivitas fungsional. Otot inti yang lemah atau tidak seimbang akan mengakibatkan adanya rasa sakit di daerah punggung bawah. Core muscle terdiri dari otot silinder yang menyelimuti lapisan dalam dari perut, yang terdiri dari 4 grup otot utama yaitu, (1) otot transversus abdominis, yang berada di bawah otot oblikus internus, oblikus eksternus dan rektus abdominis, (2) otot multifidus, yang berada diantara tulang vertebra, (3) otot diafragma, merupakan otot primer untuk bernapas, (4) otot-otot dasar panggul. Keempat grup otot ini bekerja secara harmonis dan berkontraksi secara bersama-sama, mereka akan menjaga posisi stabil pada vertebra (the netral zone). Penguatan pada grup otot postural akan menurunkan gejala NPB dan memperbaiki aktivitas fungsional. 7 Core stability exercises ini menggambarkan sebuah program inti yang diterapkan untuk pasien NPB dengan latihan menumpu berat badan yang melibatkan proprioseptif dan keseimbangan. Menurut Quinn (2011), bahwa program latihan yang termasuk penguatan inti sangat diperlukan bagi pasien NPB. Secara umum teknik core stability exercises digunakan dalam program latihan yang dirancang untuk mencegah cedera ligament cruciatum anterior pada atlet perempuan. Penelitian tentang apakah core stability exercises dapat mencegah cedera adalah terbatas, tetapi ada yang berpendapat bahwa kelemahan otot inti dikaitkan dengan NPB. Penelitian yang dilakukan oleh Koumantakis GA et al, 2005, membuktikan bahwa pasien dengan kondisi NPB lebih bermanfaat dan menguntungkan jika sejak awal diberikan latihan core stability exercises secara berulang untuk mencegah ketidakstabilan dari otot-otot trunk dibanding hanya diberikan program general exercises saja. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti ingin meneliti apakah pemberian Core Stability Exercise lebih baik dalam meningkatkan aktivitas fungsional dari pada William’s Flexion Exercise pada NPB miogenik. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 8 1 Apakah penerapan William’s flexion exercise pada terapi dasar dapat meningkatkan aktivitas fungsional pada pasien nyeri punggung bawah miogenik? 2 Apakah penerapan Core stability exercise pada terapi dasar dapat meningkatkan aktivitas fungsional pada pasien nyeri punggung bawah miogenik? 3 Apakah Core stability exercise lebih baik dalam meningkatkan aktivitas fungsional pada terapi dasar dari pada William’s flexion exercise pada pasien nyeri punggung bawah miogenik? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah: 1 Untuk mengetahui penerapan William’s flexion exercise pada terapi dasar dalam meningkatkan aktivitas fungsional pada pasien nyeri punggung bawah miogenik. 2 Untuk mengetahui penerapan Core stability exercise pada terapi dasar dalam meningkatkan aktivitas fungsional pada pasien nyeri punggung bawah miogenik. 3 Untuk mengetahui Core stability exercise lebih baik dalam meningkatkan aktivitas fungsional pada terapi dasar dari pada William’s flexion exercise pada pasien nyeri punggung bawah miogenik. 9 1.4. Manfaat Penelitian 1. Bagi Fisioterapi a. Dalam penelitian ini diharapkan fisioterapis mamp menerapkan Core Stability exercise pada kasus nyeri punggung bawah b. Untuk menambah wawasan terhadap karakteristik latihan Core stability exercise dan William’s flexion exercise dalam aplikasi kasus Nyeri Punggung Bawah 2. Bagi Peneliti Manfaat bagi peneliti adalah dengan adanya tesis ini akan memberikan pengetahuan sejauh mana pemberian latihan core stability exercise dan william’s flexion exercise dapat meningkatkan kemampuan fungsional pada pasien nyeri punggung bawah miogenik. Dan untuk membuktikan sebuah teori dengan cara membuktikan dalam praktek klinis. 3. Bagi Institusi Pendidikan Sebagai bahan referensi bagi mahasiswa fisioterapi yang membutuhkna pengetahuan lebih terhadap penanganan dan intervensi fisioterapi dalam meningkatkan aktifitas fungsional pada pasien nyeri punggung bawah miogenik. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Nyeri Punggung Bawah Miogenik 2.1.1 Definisi Menurut The International Association for the Study of Pain, nyeri didefinisikan sebagai suatu rasa yang tidak menyenangkan dan merupakan pengalaman emosional yang berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial dan terkadang nyeri digunakan untuk menyatakan adanya kerusakan jaringan (Parjoto, 2006). Nyeri diartikan sebagai proses normal tubuh dalam mempertahankan jaringan pada saat terjadi kerusakan. Akibat adanya rasa nyeri dapat terjadi spasme otot, yang mana dapat diketahuidengan cara palpasi (Melzack dan Wall, 1999). NPB merupakan salah satu keluhan yang dapat menimbulkan adanya penurunan produktivitas manusia, dimana 50%-80% penduduk di negara industri pernah mengalami NPB. Prosentasi kejadian NPB selalu meningkat dan berkaitan erat dengan bertambahnya usia dan mengakibatkan pengurangan jam kerja yang sangat besar (Sugijanto, 2004). Nyeri punggung bawah miogenik adalah nyeri pada punggung bawah yang disebabkan oleh gangguan pada unsur tendomusculer tanpa disertai dengan gangguan neurologis antara vertebra torakal 12 sampai dengan bagian bawah pinggul dan anus (Paliyama, 2003). NPB miogenik dapat timbul akibat adanya 10 11 potensi kerusakan pada: dermis, pembuluh darah, fascia, musculus, tendon, kartilago, tulang, ligamen, meniscus, bursa (Paliyama, 2003). NPB miogenik berhubungan dengan gangguan otot di daerah punggung bawah, tendon, dan ligamen yang bisa timbul pada saat melakukan aktifitas sehari-hari secara berlebihan, seperti duduk lama, berdiri lama atau mengangkat beban berat dengan cara yang salah, dimana nyeri bersifat tumpul dan tidak menjalar ke tungkai ( Magee, 2013) Gangguan yang terjadi pada NPB miogenik yaitu nyeri tekan pada regio lumbal, spasme otot-otot punggung bawah, sehingga dapat mengakibatkan ketidakseimbangan antara otot abdominal dan paravertebrae, yang dapat mengakibatkan terjadinya keterbatasan gerak. Adanya ketidakseimbangan tersebut akan menyebabkan penurunan mobilitas lumbal akibat adanya nyeri, spasme, ketidakseimbangan otot tersebut, sehingga aktivitas fungsional terganggu, terutama aktivitas yang memerlukan gerak membungkuk dan memutar badan (Meliana dan Pinzon, 2004). 2.1.2 Etiologi Menurut Borenstein dan Wiessel (2004), faktor-faktor penyebab nyeri punggung bawah dapat diklasifikasikan menjadi 2 kategori, yaitu : 2.1.2.1. Faktor statik Faktor mekanik statik adalah deviasi sikap atau postur tubuh yang menyebabkan peningkatan sudut lumbosakral (sudut antara segmen Vertebra L5 dan Vertebra S1) yang normalnya 30-34, atau peningkatan lengkung lordotik 12 lumbal dalam waktu yang cukup lama, serta menyebabkan pergeseran titik pusat berat badan (center of gravity/CoG), yang normalnya berada di garis tengah sekitar 2,5 cm di depan segmen Vertebra S2. Peningkatan sudut lumbosakral dan pergeseran CoG tersebut akan menyebabkan peregangan pada ligamen dan berkontraksinya otot-otot yang berusaha untuk mempertahankan postur tubuh yang normal, akibatnya dapat terjadi sprain atau strain pada ligamen atau otot-otot sekitar punggung bawah yang menimbulkan nyeri (Pandono, 2008). Kemungkinan faktor penyebab statik pada NPB adalah : a. Pergeseran titik pusat berat badan bergeser ke depan. Adapun yang dapat menimbulkan pergeseran antara lain: 1. Kebiasaan tubuh yang tidak benar 2. Obesitas dan kehamilan 3. Pemendekan tendo achiles atau terlalu sering memakai sepatu dengan tumit tingi 4. Kelemahan otot-otot dinding perut, serta kelainan atau pemendekan otototot pungung b. Pergeseran titik pusat berat badan bergeser ke samping c. Terganggunya ritme lumbal-pelvis 2.1.2.2. Faktor dinamik Faktor mekanik dinamik atau kinetik yaitu terjadinya stress atau beban mekanik abnormal pada struktur jaringan (ligamen atau otot) di daerah punggung bawah saat melakukan gerakan. Stress atau beban mekanik tersebut melebihi 13 kapasitas fisiologik atau toleransi otot maupun ligamen di daerah punggung bawah. Timbulnya nyeri adalah akibat kelainan pada ritme lumbal pelvis yaitu karena fungsinya tidak sempurna. Gerakan yang potensial menimbulkan nyeri punggung bawah muskuloskeletal adalah gerakan kombinasi terutama fleksi dan rotasi, dan bersifat repetitif, apalagi disertai dengan beban, misalnya ketika sedang mengangkat beban yang berat (Pandono, 2008). Menurut Bull dan Archad (2007), faktor-faktor resiko pada nyeri punggung bawah dapat dibagi menjadi 2 kelompok utama, yaitu faktor eksternal atau pekerjaan dan faktor internal. 1) Faktor eksternal atau pekerjaan Faktor eksternal atau pekerjaan antara lain : (1) pekerjaan fisik yang berat, yang terutama memberikan tekanan yang cukup besar pada punggung bawah; (2) pekerjaan yang berhubungan dengan posisi statik yang berkepanjangan, misalnya berdiri atau duduk yang cukup lama, apalagi disertai dengan vibrasi atau getaran pada tubuh, misalnya mengendarai mobil, truk, atau mengoperasikan alat-alat perindustrian; (3) pekerjaan yang dilakukan dengan gerakan membungkuk atau memutar tubuh secara berulang-ulang; (4) pekerjaan yang membosankan, repetitif, atau tidak memberikan kepuasan. 2) Faktor internal Faktor internal berkaitan dengan individu itu sendiri, antara lain : (1) usia, dari berbagai studi epidemiologik, kejadian nyeri punggung bawah meningkat pada usia 35 tahun dan mencapai puncaknya pada usia sekitar 55 tahun; (2) 14 antropometrik, berhubungan dengan berat badan, individu dengan obesitas mempunyai resiko yang lebih besar mengalami nyeri punggung bawah karena obesitas menyebabkan hiperlordosis lumbal sehingga terjadi pergeseran titik pusat berat badan ke depan. 2.1.3 Patofisiologi NPB miogenik Keluhan utama pasien NPB miogenik adalah adanya nyeri, spasme, dan keterbatasan fungsional yang berhubungan dengan mobilitas lumbal. Nyeri merupakan pengalaman sensori yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan pada tubuh (Meliana dan Pinzon, 2004). Nyeri terjadi jika saraf sensori perifer, yang disebut nociseptor terpicu oleh rangsang mekanik, kimiawi maupun thermal maka impuls nyeri akan dihantarkan ke serabut-serabut afferen cabang spinal. Dari medula spinalis impuls diteruskan ke otak melalui traktus spinotalamikus kolateral. Selanjutnya akan memberikan respon terhadap impuls saraf tersebut. Respon tersebut berupa upaya untuk menghambat atau mensupresi nyeri dengan pengeluaran substansi peptida endogen yang mempunyai sifat analgesik yaitu endorphin. Disamping itu impuls nyeri yang mencapai medulla spinalis, akan memicu respon reflek spinal segmentak yang menyebabkan spasme otot dan vasokonstriksi (Tan, 2006). Spasme otot yang terjadi disini adalah merupakan suatu mekanisme proteksi, karena adanya spasme otot akan membatasi gerakan sehingga dapat mencegah kerusakan lebih berat, namun dengan adanya spasme otot, juga terjadi 15 vasokonstriksi pembuluh darah yang menyebabkan iskemia dan sekaligus menjadi titik picu terjadinya nyeri (Meliala dan Pinzon, 2004). Pada nyeri miogenik, aktivasi nosiceptor umumnya disebabkan oleh rangsangan mekanik, yaitu penggunaan otot yang berlebihan (Bernard, 2003). Penggunaan otot yang berlebihan dapat terjadi pada saat tubuh dipertahankan dalam posisi statik atau posisi yang salah dalam jangka waktu yang cukup lama, dimana otot-otot di daerah punggung akan berkontraksi untuk mempertahankan postur tubuh yang normal (Sidharta, 1994). Penggunaan otot yang berlebih ini akan menimbulkan iskemia atau inflamasi sehinga akan terjadi peningkatan berbagau mediator inflamasi seperti histamine, bradikinin, serotonin, atau 5-hydroxytriptamine (5-HT) dan prostaglandin (PGE 2) (Meliala dan Pinzon, 2004). Mediator onflamasi tersebut akan mensensitisasi nociseptor otot, akibatnya otot menjadi lebih sensitif, stimulasi yang seharusnya tidak menimbulkan nyeri dapat menimbulkan terjadinya nyeri. Setiap gerakan pada otot dapat menimbulkan nyeri sekaligus menambah spasme otot. Adanya spasme otot menyebabkan ketidakseimbangan otot abdominal dan paravertebrae, maka akan membatasi mobilitas lumbal terutama untuk gerakan membungkuk (fleksi) dan memutar (rotasi) (Hills, 2006). Nyeri dan spasme otot seringkali membuat individu takut menggunakan otot-otot punggungnya untuk melakukan gerakan lumbal, selanjutnya akan menyebabkan perubahan fisiologi pada otot tersebut yaitu berkurangnya massa otot dan penurunan kekuatan otot, akhirnya menimbulkan penurunan tingkat aktivitas fungsionalnya (Hills, 2006). 16 2.1.4. Tanda dan Gejala Tanda dan gejala NPB miogenik adalah ditemukannya nyeri otot yang dikenal sebagai nyeri miogenik, yaitu nyeri yang tidak wajar yang tidak sesuai dengan distribusi saraf serta dermatom dengan reaksi yang sering berlebihan. Nyeri tersebut ditandai dengan adanya nyeri tekan pada daerah yang bersangkutan (triger point), kehilangan ruang gerak kelompok otot yang bersangkutan (loss of range motion), spasme otot punggung bawah. Adanya spasme otot daerah lumbosakral, ketidakseimbangan otot stabilisator dan fiksator trunk, mobilitas lumbosakral terbatas, sehingga mengalami penurunan aktivitas fungsional. keluhan akan hilang apabila kelompok otot lumbosakral diregangkan (Soedomo, 2002) 2.2 Akivitas Fungsional Aktivitas fungsional adalah suatu gambaran kemampuan pasien NPB dalam melakukan aktivitas fungsional sehari-hari seperti : perawatan diri, aktivitas mengangkat, berjalan, duduk, berdiri, tidur, jongkok. Adapun aktivitas fungsional yang berhubungan dengan mobilitas lumbal yaitu aktifitas yang menimbulkan terjadinya gerakan pada daerah lumbal, misalnya gerakan mengangkat, membungkuk, memutar, jongkok dan lain-lain. Aktivitas fungsional yang menggunakan otot berlebihan dapat terjadi pada saat tubuh mempertahankan posisi dalam jangka waktu yang lama, dimana pada saat itu otot-otot di daerah punggung bawah akan berkontraksi secara terus menerus untuk mempertahankan postur yang normal. Keadaan tersebut juga dapat 17 terjadi pada saat melakukan gerakan yang menimbulkan beban berlebih di daerah punggung bawah, misalnya mengangkat beban berat dengan posisi yang salah. Pengunaan otot-otot punggung bawah secara berlebihan dapat menimbulkan nyeri. Setiap gerakan pada otot tersebut akan menimbulkan nyeri sekaligus menyebabkan spasme otot. Adanya otot abdominal dan paravertebrae, hal tersebut akan membatasi gerakan dari lumbal terutama pada saat melakukan gerakan membungkuk (fleksi) dan memutar (rotasi) (Hills, 2006). Adanya nyeri dan spasme otot akan membuat seseorang takut menggunakan otot punggungnya untuk melakukan gerakan lumbal, selanjutnya akan mengakibatkan perubahan fisiologis pada otot-otot tersebut, yaitu berkurangnya massa otot (atropy) dan menurunnya kekuatan otot, akhirnya individu tersebuta akan mengalami penurunan tingkat aktivitas fungsional (Hills, 2006). 2.3 Pemeriksaan Aktivitas Fungsional pada NPB miogenik Keterbatasan aktivitas fungsional pada pasien NPB sering sulit dilakukan, oleh karena itu dikembangkan metode kuisioner untuk menilai dampak NPB terhadap aktivitas sehari-hari. Ada beberapa alat ukur untuk menilai keterbatasan fungsional pada pasien NPB, diantaranya: Oswestry disability index (ODI), Rolland Morris dissability questionnaire (RMDQ), Disability rating index (DRI), dan sebagainya (Davidson dan Keating, 2002). Kuisioner tersebut diisi berdasarkan penilaian pasien terhadap kondisinya (subyektif). Pada penelitian ini, untuk menilai aktivitas fungsional hanya menggunakan kuisioner Oswestry 18 disability index (ODI), karena berdasarkan uji reliability analysis memiliki nilai r=0,99. Kuisioner ODI berupa formulir berisi 10 item pernyataan yang disusun untuk memberikan gambaran terhadap kemampuan fungsional pasien NPB, yang terdisi dari: item pertama mengukur intensitas nyeri dan 9 item lainnya mengukur pengaruh nyeri terhadap aktivitas sehari hari yaitu perawatan diri, mengangkat, berjalan, berdiri, duduk, tidur, aktivitas seksual, aktivitas sosial, dan tamasya. Sebelum mengisi kuisioner tersebut, terlebih dahulu pasien diberi penjelasan tentang cara pengisian dan pasien harus memberikan tanda cek (√) pada kotak yang disediakan. Pasien diminta memilih salah satu pernyataan yang menggambarkan ketidakmampuan aktivitas fungsional. Tiap seksi di skor dalam skala 0-5 dan hasil yang dapat diberikan pada skala 0-50. Penilaian menggunakan nilai total skor ODI/Total Skor (50) x 100%. Tingkat kemampuan aktifitas fungsional dikategorikan sebagai berikut : 1. Minimal disability (TKAF = 0% - 20%) 2. Moderat disability (TKAF = 21% - 40%) 3. Berat disability (TKAF = 41% - 60%) 4. Sangat terbatas aktivitas (TKAF = 61% - 80%) 5. Tidak mampu beraktivitas (TKAF = 81% - 100%) 19 2.4. Anatomi Fungsional dan Biomekanik Vertebra 2.4.1. Anatomi Terapan dan Biomekanik Vertebra Secara Umum Columna vertebralis merupakan pilar utama trunk (batang tubuh) sebagai penyangga dan peredam kejut sekaligus sebagai penggerak. Columna vertebralis membentuk struktur dasar batang tubuh, jumlah columna vertebralis terdiri dari 33 – 34 ruas vertebra dan discus intervertebralis, dimana 24 tulang saling bersendi membentuk columna yang fleksibel. Vertebra dibagi menjadi : 7 vertebra cervical, 12 vertebra thoracal, 5 vertebra lumbal, 5 vertebra sacrum, dan 4 – 5 vertebra cocccygeus (Werner, 2008). Columna vertebralis pada orang dewasa mempunyai beberapa kurvatura pada bidang sagital tubuh ada 4 kurvatura yakni lordosis pada vertebra servicalis, kifosis pada vertebra thorakal, lordosis pada vertebra lumbalis dan sacral membentuk sudut terhadap garis horizontal (Werner, 2008) Semua kerja anggota gerak atas maupun anggota gerak bawah selalu memerlukan dukungan columna vertebralis sebagai stabilisator maupun inisiator gerak. Anggota gerak atas melalui os sternoclavicular dan os costae, sedangkan anggota gerak bawah melalui os sacro illiaca (pelvis). Columna vertebralis merupakan persendian dengan banyak segmen, merupakan satu kesatuan fungsional yang mempunyai fungsi secara umum sebagai penopang badan dengan perantaraan discus intervertebralis, yang lengkungannya memberi fleksibilitas dan memungkinkan gerak ke segala arah tanpa patah, sebagai peredam kejut pada saat menggerakkan badan, misalnya saat berlari atau meloncat, dengan demikian 20 otak dan sumsum tulang belakang terlindungi terhadap goncangan, sebagai penghubung antara anggota gerak atas dan anggota gerak bawah, menunjang posisi tetap tegak dan sebagai perlekatan otot-otot anggota gerak, melindungi spinal cord dan memungkinkan serabut saraf dan pembuluh darah lewat tanpa terjadi cedera saat gerak vertebralis, discus intervertebralis merupakan unsur elastis bila ditekan atau diregang secara unilateral (Syaifudin, 1994) Komponen fungsional columna vertebralis dapat dibagi menjadi anterior pillar yang merupakan komponen penyangga berat dan posterior pillar yang terdiri dari 2 pilar minor dan berperan dalam gerakan columna vertebralis. Antara anterior pillar dan posterior pillar terdapat hubungan fungsional yang dapat digambarkan seperti sistem lever (tuas) dengan prosesus articularis sebagai fulcrum. Sistem ini menghasilkan absorpsi gaya kompresi aksial yang diterima columna vertebralis melalui 2 mekanisme yaitu : (1) absorpsi aktif dan langsung pada discus intervertebralis, dan (2) absorpsi aktif dan tidak langsung oleh otototot paravertebral (Kapandji, 2010). 21 Gambar 2.1 : Tulang Vertebra (Putz R dan Pabst R, 2006) 2.4.2. Anatomi Terapan dan Biomekanik Vertebra Lumbal Vertebra lumbal memiliki mobilitas yang besar dan spesifik, sehingga menuntut konsekuensi stabilitas yang besar dan spesifik pula yang dibentuk secara pasif oleh jaringan kontraktil. Dalam pembahasan anatomi terapan dan biomekanik vertebra lumbal, meliputi struktur tulang vertebra lumbal, discus intervertebralis, facet joint, ligamen, otot-otot vertebra lumbal, struktur jaringan saraf lumbal serta gerakangerakan yang terjadi pada lumbal (Borenstein dan Wiesel, 1989) 22 2.4.2.1. Struktur Tulang Secara umum, vertebra Lumbal terdiri dari Corpus vertebra, arcus vertebra dan tujuh prosesus. Corpus vertebra adalah bagian anterior vertebra yang besar, kuat, silindris membentuk kekuatan columna vertebralis dan menyangga berat badan. Arcus vertebralis terletak di sebelah posterior Corpus vertebra, tersusun oleh dua pedikel dan lamina (kanan dan kiri). Arcus vertebralis dan permukaan posterior Corpus vertebra akan membentuk foramen vertebralis. Susunan foramen vertebralis dalam columna vertebralis akan membentuk kanalis spinalis yang berisi medulla spinalis dan akar saraf spinalis. Tujuh prosesus yang keluar dari arcus vertebralis adalah 1 prosesus spinosus, 2 prosesus transverses dan 4 prosesus articularis (Moore dan Dalley, 2004) Gambar 2.2. Vertebra Lumbal dari pandangan superior (Moore dan Dalley, 2004) 23 Gambar 2.3 Vertebra lumbal dari pandangan lateral (Moore dan Dalley, 2004) Vertebra lumbal berada di punggung bawah di antara toraks dan sacrum. Karakteristik vertebra lumbal dapat dilihat pada tabel 2.2. Karena penumpuan berat badan yang semakin besar pada bagian inferior columna vertebralis, maka vertebra lumbal memiliki korpus yang besar. Prosesus articularisnya lebih vertical dengan facet articularis cenderung ke arah sagital pada segmen awal, namun semakin mengarah ke bidang frontal pada segmen kaudal. Facet artikularis dari prosesus articularis inferior vertebra di atas yang menghadap ke lateral berhubungan dengan facet articularis dari prosesus articularis superior vertebra di bawahnya, sehingga memfasilitasi gerakan fleksi – ekstensi, sedikit fleksi lateral dan menghambat rotasi (Moore dan Dalley, 2004). 24 Tabel 2.1. Ciri khusus vertebra lumbal (Moore dan Dalley, 2004) BAGIAN KARAKTERISTIK Korpus Besar, seperti ginjal bila dilihat dari superior Foramen vertebralis Triangular, lebih besar dari torakal dan lebih kecil dari servikal Prosesus transverses Panjang & ramping, ada prosesus aksesorius pada permukaan posterior tiap basis prosesus Prosesus articularis Facet superior mengarah ke postero-medial (atau medial), facet inferior ke antero-lateral (atau lateral) Prosesus spinosus Pendek & kuat, tebal, lebar dan berbentuk kubus Vertebra Lumbal 5 adalah vertebra terbesar yang dapat bergerak dan menyangga seluruh berat vertebra di atasnya. Vertebra Lumbal 5 berbeda dari vertebra yang lain dengan korpus dan prosesus transversusnya besar. Korpusnya lebih dalam di anterior, sehingga berperan besar bagi sudut lumbo-sacral (Moore dan Dalley, 2004). Sakrum berbentuk trianguler, biasanya tersusun dari lima vertebra sacral yang menyatu. Sakrum menyangga columna vertebralis dan menyusun bagian posterior pelvic girdle. Posisi sakrum sedikit miring (tilt) sehingga hubungannya dengan lumbal akan membentuk sudut lumbosakral yang besarnya antara 1300 – 1600(Moore dan Dalley, 2004). 25 2.4.2.2. Discus Intervertebralis Diantara dua korpus vertebra dihubungkan oleh discus intervertebralis, merupakan fibrocartílago kompleks yang membentuk artikulasio antara korpus vertebra dikenal sebagai symphisis joint. Discus merupakan bantalan sendi dengan fungsi untuk memungkinkan gerak ke segala arah antara kedua corpus dan stabilisasi terhadap tegangan, serta mendistribusikan beban aksial menjadi tangensial. Discus dibentuk oleh nucleus sebagai inti di tengah seperti fungsi bola, yang dibungkus oleh berlapis serabut fibrocollagen untuk menerima beban tangensial (Borenstein dan Wiesel, 1989) Gambar 2.4. Discus Intervertebralis (Putz R dan Pabst R, 2006) 26 Setiap discus terdiri atas 2 komponen, yaitu : a) Nucleus pulposus Merupakan substansia gelatinosa yang berbentuk jelly dan transparan, mengandung 90% air, sisanya adalah colagen dan proteoglican yang merupakan unsur-unsur khusus yang bersifat mengikat atau menarik air. Nucleus pulposus tidak mempunyai kandungan cairan yang sangat tinggi maka dia dapat menahan beban kompresi serta berfungsi untuk mentransmisikan beberapa gaya ke annulus sebagai shock absorber (Borenstein dan Wiesel, 1989). b) Annulus fibrosus Tersusun oleh serabut konsentrik jaringan colagen yang tampak menyilang o satu sama lain. Serabut yang saling menyilang secara vertikal sekitar 30 satu sama lainnya menyebabkan struktur ini lebih sensitif pada strain rotasi daripada beban kompresi. Serabut-serabutnya sangat penting dalam fungsi mekanikal dari discus intervertebralis, susunan serabut yang kuat melindungi nucleus didalamnya. Secara mekanis annulus fibrosus berperan sebagai coiled spring (gulungan pegas) untuk mempertahankan korpus vertebra ketika melawan tahanan dari nucleus pulposus yang bekerja seperti bola (Borenstein dan Wiesel, 1989). 27 Gambar 2.5 Anulus fibrosus dan nucleus pulposus (Putz R dan Pabst R, 2006) Discus intervertebralis akan mengalami pembebanan pada setiap perubahan postur tubuh. Tekanan yang timbul pada pembebanan discus intervertebralis disebut tekanan intradiskal. Tekanan intradiskal berhubungan erat dengan perubahan postur tubuh. Tekanan intadiskal pada lumbal yaitu pada L - L , 3 4 karena L - L menerima beban intradiskal yang terbesar pada regio lumbal 4. 3 4 Tekanan dalam regangan terbesar ditemukan pada pusat discus intervertebralis, sehingga adanya tekanan intradiskal yang besar dapat menghasilkan kerobekan yang besar pada daerah discus (Victor, 2006). Gambar 2.6. Posisi Columna Vertebralis saat melakukan pergerakan (Victor and Margarettha, 2006). 28 Tekanan mekanik pada discus intervertebralis diawali dengan adanya pergeseran nucleus pulposus ke arah posterior atau posterolateral yang diakibatkan karena posisi tubuh yang salah pada saat melakukan suatu pekerjaan, sehingga pada saat melakukan suatu gerakan terutama fleksi lumbal akan menyebabkan terjadinya penekanan pada discus. Apabila hal tersebut berlangsung terus menerus akan menyebabkan discus teriritasi dan lama kelamaan dapat terjadi kerobekan pada discus intervertebralis (Victor, 2006). 2.4.2.3. Facet Joint Merupakan sendi antara vertebra yang dibentuk oleh procesus inferior dan superior artikular, dimana arah permukaan sendi dalam bidang sagital, sehingga memungkinkan luasnya gerak lumbal dominan ke arah fleksi-ekstensi, tetapi juga menerima beban aksial sehingga sering dijumpai patologi arthritis (Borenstein dan Wiesel, 1989). Pada regio lumbal kecuali sendi lumbosacral facet articularis nya terletak lebih dekat ke dalam bidang sagital, facet bagian atas menghadap ke arah lateral dan sedikit anterior. Facet bagian atas mempunyai permukaan sedikit konkaf dan facet bagian bawah adalah konveks. Bentuk facet inilah yang menyebabkan gerakan rotasi lumbal sangat terbatas (Bogduk, 2005) Tekanan mekanik pada facet terjadi karena adanya perubahan posisi tubuh terhadap centre of gravity. Beban yang berlebihan mempengaruhi terjadinya perubahan pada postur tubuh yaitu meningkatnya kurva lumbosacral , sehingga menyebabkan sendi facet pada daerah tersebut akan lebih berdekatan, dimana 29 facet tersebut menjadi bidang tumpu dari beban (berat badan) yang menyebabkan iritasi pada sinovial dan inflamasi pada sendi (Borenstein dan Wiesel, 1989). Gambar 2.7. Facet Joint (Putz R dan Pabst R, 2006) 2.4.2.4. Ligamen Ligamen longitudinalis anterior adalah sebuah pita fibrous yang lebar dan kuat, menghubungkan bagian antero-lateral korpus vertebra dan Discus Intervertebralis. Ligamen ini terbentang dari sacrum sampai tuberkel anterior vertebra C1 dan os oksipital. Fungsinya adalah mencegah hiperekstensi columna vertebralis dan menjaga stabilitas sendi antar vertebra (gambar 2.8) (Yanuar, 2002). 30 Gambar 2. 8 : ligamen-ligamen columna vertebralis (Putz R dan Pabst R, 2006) Ligamen longitudinalis posterior lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan ligamen longitudinalis anterior. Ligamen ini berada dalam kanalis vertebralis di sepanjang bagian posterior korpus vertebra, terbentang dari C2 sampai ke sacrum. Ligamen ini lemah dalam menahan hiper-fleksi columna vertebralis namun dapat membantu mengarahkan kembali herniasi nucleus pulposus. Memiliki banyak ujung saraf nosiseptif (nyeri) (Yanuar, 2002). Selain kedua ligamen utama di atas, columna vertebralis masih diperkuat dengan ligamen aksesorius. Ligamen flavum terbentang vertical dari lamina di atas ke lamina di bawahnya, membentuk sebagian dinding posterior kanalis vertebralis dan berfungsi mencegah terpisahnya lamina vertebra akibat fleksi mendadak serta melindungi Discus Intervertebralis. Ligamen interspinosus dan supraspinosus menghubungkan prosesus spinosus, sedangkan ligamen intertransversus menghubungkan antar prosesus transverses (gambar 2.8) (Yanuar, 2002). 31 2.4.2.5. Otot – Otot Vertebra Lumbal Sistem otot / muscular pada regio punggung bawah bila dilihat pada irisan transversal, dapat dikelompokkan menjadi dinding anterior, lateral dan posterior. Namun karena tidak ada batas jelas antara dinding anterior dan lateral maka lebih mudah bila memakai istilah antero-lateral. Dinding antero-lateral ini disusun oleh otot-otot abdominal dan fascia abdominalis, sedangkan dinding posterior oleh otot-otot paravertebral dan columna vertebralis. 1. Dinding Antero Lateral Otot-otot abdominal (dinding antero-lateral) tersusun atas tiga lapisan. Lapisan pertama adalah otot oblikus eksternus abdominis, lapisan ke dua adalah otot oblikus internus sedangkan lapisan ke tiga adalah otot transversus abdominis dan otot rektus abdominis. a. Otot oblikus eksternus berorigo di permukaan eksternal kosta ke 5 – 12; insersio pada linea alba, tuberkulum pubikum dan setengah bagian anterior krista iliaka; fungsi untuk fleksi dan rotasi trunk. b. Otot oblikus internus berorigo dari fascia torakolumbal, 2/3 bagian anterior krista iliaka dan separuh bagial lateral ligamen inguinal; insersio pada sisi posterior kosta ke 10 – 12, linea alba dan pekten pubis; fungsinya dalam kompresi dan penyanggaan viscera abdominal serta fleksi dan rotasi trunk. c. Otot transversus abdominis berorigo dari permukaan internal kartilago kosta ke 7 – 12, fascia torakolumbal, krista iliaka dan 1/3 lateral ligamen 32 inguinal; insersio pada linea alba, krista pubikum, lapisan anterior selubung rectus dan pekten pubis; berfungsi menarik dan mengencangkan dinding abdominal, kompresi/menekan serta menyangga viscera abdominal. d. Otot rektus abdominis berorigo pada simpisis pubis dan krista pubikum, insersio di prosesus xifoideus dan kartilago kosta ke 5 – 7, fungsinya untuk fleksi trunk, menekan viscera abdominal dan mengontrol tilting pelvis (antilordosis). m. rectus abdominis m. transversus abdominis aaAbdo m. oliqus internus m. psoas minor m. psoas mayor m. quadratus lumborum m. transversus abdominis m. iliacus Gambar 2.9 Otot-otot abdominalis (Putz R dan Pabst R, 2006) 33 Bagian Lateral abdomen terdapat otot quadratus lumborum dan otot psoas dapat dimasukkan ke dalam lapisan otot deep dari dinding lateral (Kapandji, 2010). Otot quadratus lumborum memiliki tiga jenis serabut yaitu serabut yang berjalan dari kosta 12 ke krista iliaka, serabut dari kosta 12 ke prosesus transversus vertebra lumbal dan serabut dari prosesus transversus vertebra lumbal 1-4 ke krista iliaka. Otot psoas terdiri dari psoas mayor dan psoas minor. Origo kedua otot ini adalah di sisi lateral vertebra torakal 12 – lumbal 5 dan prosesus transversus vertebra lumbal, insersio psoas mayor pada trokantor minor femur dan psoas minor pada linea pektinea. 2. Dinding Posterior Otot-otot dinding posterior dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu otot-otot ekstrinsik dan intrinsik. a. Kelompok ekstrinsik meliputi lapisan otot-otot superficial dan intermediate yang berfungsi menghasilkan dan mengontrol gerakan ekstremitas serta respirasi. Otot ekstrinsik yang sampai ke regio punggung bawah hanyalah latissimus dorsi. Otot ini berorigo di Krista iliaka, 4 kosta terbawah, 6 vertebra torakal terbawah dan fascia torakolumbal, insersio di fossa intertuberkularis humeri. Fungsinya lebih banyak pada gerakan ekstensi sendi bahu. b. Otot-otot intrinsik terbagi menjadi tiga lapisan yaitu superficial, intermediate dan deep. Namun pada regio punggung bawah hanya terdapat lapisan intermediate dan deep. Otot-otot intrinsik berperan 34 utama pada gerakan kolumna vertebralis dan pemeliharaan postur. Otototot pada regio punggung bawah sebagian besar termasuk kelompok intrinsik. Pada lapisan intermediate terdapat otot paravertebral / erector spine yaitu otot iliocostalis, otot longissimus dan otot spinalis. Otot-otot ini disebut “otot panjang” punggung, merupakan otot dinamik yang menghasilkan gerakan ekstensi saat beraksi secara bilateral. Lapisan deep disusun oleh otot-otot yang berjalan oblik, terdiri dari otot semispinalis,otot multifidus dan otot rotator. Otot-otot ini berasal dari prosesus transversus vertebra di bawah dan melekat pada prosesus spinosus vertebra di atasnya. Kerja otot-otot ini relatif inaktif pada posisi berdiri santai, namun aksinya sangat diperlukan sebagai otot postural statik untuk menjaga stabilitas columna vertebralis (Moore dan Dalley, 2004). m. Rotatores m. Longissimus thoracis m. Iliocostalis thoracis m. Iliocostalis lumborum m. Multifidus m. intertransversarii medialis lumborum m. intertransversarii lateralis lumborum m. Errector spinae Gambar 2.10 Otot-otot paravertebral (Putz R dan Pabst R, 2006) 35 Tabel 2. 2 Otot-otot intrinsik (Moore dan Dalley, 2004) Otot Erector spinae : Iliokostalis Longissimus Spinalis Origo Melalui tendon dari bagian posterior krista iliaka & sacrum, ligamen sakroiliaka, prosesus spinosus lmbal & sacral, lig. Supraspinosus Insersio Iliokostalis lumborum : angulus kosta bawah. Longissimus thoracis : kosta & prosesus transverses v. Th Spinalis thoracis : prosesus spinosus v. Th 4 – 6 segmen C4- Prosesus spinosus vertebra di atasnya Semispinalis Prosesus transversus T12 Multifidus Posterior os sacrum, SIPS, aponeurosis erector spinae, lig. Sakroiliaka, prosesus transversus Th1-3 Berjalan superomedial 2-4 segmen dari origo melekat pada prosesus spinosus thoracal dan lumbal Rotatores Prosesus transverses Berjalan superomedial melekat pada lamina & prosesus spinosus 2 segmen di atasnya Fungsi Aksi bilateral : ekstensi kolumna vertebralis, kontrol gerak fleksi dengan aksi eksentrik. Aksi unilateral : lateral fleksi kolumna vertebralis Ekstensi & rotasi kontralateral kolumna vertebralis, Bilateral : Stabilisasi vertebra selama gerakan kolumna vertebralis. Unilateral : ekstensi dan rotasi Stabilisasi vertebra, membantu ekstensi & rotasi kolumna vertebralis 36 Otot–otot dinding abdominal/antero lateral dan otot-otot dinding posterior tersebut diatas, bila dilihat pada potongan sagital akan membentuk lingkaran yang menyelubungi vertebra lumbal. 6 5 4 3 2 1 7 8 9 10 11 12 13 14 16 15 18 17 Gambar 2.11. Irisan transversal regio punggung bawah (Moore dan Dalley, 2004) 37 Keterangan gambar 2.11 : 1. Corpus vertebra 10. Quadratus lumborum 2. Fascia transversalis 11. Iliokostalis 3. Linea alba 12. Longissimus 4. Oblikus internus superficial sheath 13. Transversospinalis 5. Oblikus internus deep sheath 14. Fascia lumbalis 6. Rektus abdominis 15. Serratus posterior 7. Oblikus eksternus 16. Spinalis 8. Oblikus internus 17. Psoas 9. Transversus abdominis 18. Latissimus dorsi Kerja sinergis dari otot-otot di atas akan menghasilkan dynamic bracing yang diperlukan untuk stabilisasi vertebra lumbal. Otot-otot stabilisator utama pada lumbal disusun oleh lapisan dalam dari otot paravertebral dan otot abdominal, yaitu: otot-otot transversospinalis (otot multifidus, otot intertransversarii, dan otot rotatores ), dan otot transversus abdominis. Fungsi otot-otot ini sebagai stabilisator sangat sesuai dengan jenis serabut ototnya yang memiliki karakteristik serabut otot tipe I atau tipe tonik (Knudsen, 2003). Selain otot-otot tersebut di atas, dalam mekanisme kontrol postural dan fungsi lumbo-pelvic complex juga melibatkan otot-otot yang melintasi hip joint yaitu otot dasar panggul. Otot-otot tersebut berfungsi sebagai fiksator pelvis yang merupakan perlekatan dari sebagaian otot-otot stabilisator lumbal. Suatu 38 gangguan atau kelainan pada otot-otot ini secara tidak langsung akan mempengaruhi aksi otot-otot stabilisator lumbal. Dari uraian tersebut disimpulkan, dari ketiga lapisan otot diatas adalah otot lapisan paling dalam yang berperan sebagai stabilisator gerak tubuh yakni otot transfersus abdominus, otot multifidus, otot diafragma thorak dan yang berfungsi sebagai fiksator otot dasar panggul. 1. Otot transfersus abdominus (Dorland, 2011) Otot transfersus abdominus berasal dari permukaan dalam kosta enam sebelah kaudal, fasia torakolumbal, prosessus transfersus vertebra lumbalis, krista iliaka, sepertiga lateral ligamentum inguinale. Otot tersebut melekat di linea arkuata melalui sarung rektus ke bawah bergabung dengan tendon di tulang pubis. Mendapat persarafan dari saraf interkostalis bagian kaudal dan cabang dari pleksus lumbalis, saraf iliohipogastrik, saraf ilioinguinal, dan saraf genitofemoralis. Fungsi otot ini bila berkontraksi menarik dan mengencangkan dinding perut/abdominal masuk ke arah dalam (kearah spine) dan kranial. (gambar: 2.12). 39 Gambar 2.12 Otot transversus abdominus (Irfan, 2010) 2. Otot Multifidus Origo di fascies dorsalis os sakrum, ligametum sakroiliaka, proc mamilaris lumbal, prosessus transfersus thorakalis, prosessus transfersus cervikalis. Insersio pada vertebraspinalis yang berdekatan diatasnya, mendapat persarafan dari rami dorsalis nervus spinalis. Kontraksi unilateral otot ini adalah gerak ekstensi, rotasi kolomna vertebralis, kontraksi bilateral otot ini adalah stabilisasi (gambar: 2.13). . Gambar 2.13 Otot multifidus (Irfan, 2010) 40 3. Otot Diafragma Thorak Diafragma dalam bahasa Yunani berarti pembatas. Merupakan struktur muskulotendinous, bagian perifer berotot dan bagian tengah berupa aponeurosis disebut sentrum tendineum. Diafragma thorak berbentuk kubah di kanan dan kiri memisahkan rongga abdomen dengan rongga dada. Diafragma ini alasnya berbentuk cembung dan atapnya cekung (Anggraeni, 2006). Serabut otot diafragma bertaut secara radial kesentrum tendineum, terdiri dari 3 bagian sesuai dengan tempat letaknya (gambar: 2.14). Gambar 2.14. Otot diphragma (Subotta, 2010 ) (1) Bagian sternalis diafragma: Dibentuk oleh dua jurai otot yang melekat pada permukaan dorsal prosessus siphoideus thorak. 41 (2) Bagian diafragma kostalis: Berupa jurai-jurai otot yang lebar berasal dari permukaan dalam ke enam kosta paling kaudal, berikut kartilago kostalisnya. (3) Bagian diafragma lumbal: Berasal dari vertebrae lumbal satu (L1) sampai dengan lumbal 3 (L3) dengan perantaraan dua kaki dari ligamentum akruatum. Sentrum tendineum merupakan urat dimana semua serabut otot diafragma melebar pada permukaan kaudal jaringan ikat perikardium, tidak memiliki perlekatan pada tulang, dan sebagian terbagi menjadi 3 helai daun yang secara keseluruhan berbentuk seperti daun semanggi. Persarafan otot diafragma berasal dari saraf motoris dari saraf frenikus C3-5, persarafan sensoris dari sentral saraf frenikus C3-5, sedang syaraf perifer oleh saraf interkostalis T5-11, dan saraf subkostalis T12. Fungsi otot diafragma thorak adalah sebagai otot pernafasan terutama saat inspirasi. Ketika inspirasi, kubah akan menurun sebab bagian perifer diafragma melekat pada tepi kaudal dada serta vertebra lumbal bagian kranial, dan kosta tempat perlekatannya akan melebar ke samping sehingga akan menambah luas kavum thorakalnya. Pada ekspirasi kubah kanan bisa naik sampai setinggi kosta 5 sedang kosta kiri lebih rendah sampai interkosta 5. Dengan demikian kosta yang tertarik kesamping saat inspirasi akan menurun kembali ke posisi seberapa banyak ekspirasi dicapai. Ketinggian kubah berubah-ubah sesuai dengan fase pernafasan, posisi tubuh, serta luas dan derajat mengembang viscera abdomen. 42 4. Otot Dasar Panggul 4.1. Sistem Otot Dasar Panggul Menurut Sapsford (2011), dasar panggul terdiri dari organ-organ pelvis diluar peritoneum, fasia endopelvis, dan tiga lapisan grup otot yang terdiri dari otot diaphragma pelvis yang merupakan bagian dari sekelompok otot yang dilapisi fascea yang menutup pintu bawah panggul dan terletak pada lapisan yang terdalam, otot diaphragma uroginetalis terletak pada lapisan tengah, dan lapisan terluar adalah otot-otot sphingter rektum dan traktus uroginetalis. 1. Diafragma pelvis (Lapisan terdalam) Istilah otot dasar panggul (ODP) atau pelvic floor muscle atau diafragma pelvis ditujukan pada sekelompok otot yang bekerja bersama dan sebagai sekat yang memisahkan rongga pelvis dari anatomikal perineum, membentang dari rami pubis hingga ke tulang koksegius. Diafragma pelvis terbentuk dari otot levator ani dan otot koksigeus (Sapsford, 2011). a. Otot levator ani Otot levator ani terdiri dari tiga set otot yakni otot puborektalis, pubokoksigeus, otot iliokoksigeus. Bagian atas dari otot levator ani berbentuk cekung dan melandai ke arah bawah-belakang-tengah ditutupi oleh lapisan parietal fasia pelvis. Permukaan bawah dari levator ani berbentuk cembung ditutupi oleh fasia anal. Levator ani yang ditutupi oleh fasia inilah yang disebut diafragma pelvis. Ketiga otot ini menyatu di tengah pada mediorafe dan 43 menyisakan tempat di bagian depan bagi uretra, dan vagina disebut trigonum uroginetale dan bagian posterior hiatus rektalis untuk tempat rektum (Sapsford, 2011). 1) Otot Puborektalis: Otot Puborektalis berasal dari permukaan posterior tulang pubis, bekerja sama dengan otot pubokoksigeus, berjalan ke arah belakang sepanjang uretra, vagina dan rektum, otot ini bergabung dengan otot dari sisi lain di sebelah belakang anus membentuk sling berbentuk ”U” (Sapsford, 2011). Gambar 2.15. Otot pelvis dilihat dari atas (Sobotta, 2010) Otot ini yang melingkari anorektal bergabung dengan spingter ani internal. Otot puborektalis menarik bagian depan persimpangan anorektal, ke arah depan, 44 membantu penutupan anus. Puborektalis dengan spingter ani eksternal bekerja dalam satu kesatuan (Sapsford, 2011) 2) Otot pubokoksigeus Otot pubokoksigeus berasal dari permukaan belakang tulang pubis dan fasia yang menutupi obturator internus berjalan ke arah belakang, sebagian dari otot tersebut bersama dengan otot puborektalis membentuk sling ke vagina, tubuh perineal, dan rektum (Sapsford, 2011). . Gambar 2.16. Otot pubococygeus (Newmen, 2000) Otot ini menyatu dengan otot dari sisi lain di belakang anus membentuk ligamen koksigeal dan melalui ligamen ini melekat pada koksik bagian depan. Saat berkontraksi otot pubokoksigeus cenderung menarik koksik ke arah depan dan mengangkat semua organ pelvis, menekan rektum dan vagina (Sapsford, 2011). 45 3) Otot Iliokoksigeus Otot iliokoksigeus berasal dari fasia di atas obturator internus dan iskial spine, berjalan ke posteromedial untuk bergabung dengan otot dari sisi lainnya, belakang ke anus dan bawah ke pubokoksigeus. Otot iliokoksigeus melekat di dalam serabut anokoksigeal dan tepi luar dari permukaan bawah koksik. Kontraksi otot iliokoksigeus cenderung menarik koksik dari sisi ke sisi atau bila berkontraksi bersama kosik bergerak ke arah fleksi, dan mengangkat rektum yang berada di levator plate. Levator plate adalah istilah yang di pakai untuk menggabungkan lapisan pubokoksigeus dan lapisan iliokoksigeus yang menyatu di belakang persimpangan anorektal dan masuk ke koksik. Pada bagian depan otot dasar panggul membuka di antara dua pubokoksigeus yang sering diistilahkan sebagai levator hiatus (Sapsford, 2011). 4) Otot iskiokoksigeus Otot iskiokoksigeus berasal dari ischial spine dan ligamen sakrospinosus. Otot iskiokoksigeus berinsersi (melekat) di tepi luar koksik bagian atas dan sakrum bagian bawah. Fungsi otot tersebut selain memberikan penyanggaan isi pelvis, juga berkontribusi sebagai stabilitas sendi sacro iliaka (Sapsford, 2011). 46 2. Diafragma uroginetale (lapisan tengah) Merupakan lapisan muskulomembran yang terletak superfisial dari diafragma pelvis, dibentuk oleh aponeurosis otot transfersus perinei profondus dan otot transfersus perinei superfisialis (menyebar di antara rami iskiopubis mengelilingi duktus uroginetalis), dan spingter uretrovaginal. Fungsi diafragma uroginetalis menekan uretra dan dinding depan vagina, menyangga tubuh perineal dan introitus (Kisner, 2012). 3. Lapisan terluar dasar panggul Lapisan terluar dasar panggul dibentuk oleh otot-otot bulbospongiosus, iskhiokavernosus, bulbokavernosus, dan transfersus perinei superfisialis (Sapsford, 2011). a. Otot bulbospongiosus: berasal dari badan perineal dan melingkari vagina dan uretra. Otot bulbospongiosus ber insertio menyilang pada badan klitoris. Bulbospongiosus menutup saluran vagina. b. Otot iskhiokavernosus berasal dari tuberositas iskii, ber insersio pada permukaan bawah dan sisi dari kaki klitoris. Gerakan kedua otot ini terhadap klitoris memungkinkan terjadinya respon/ereksi seksual wanita. c. Otot bulbokavernosus mempunyai fungsi untuk mengecilkan intruitus vagina, disamping memperkuat fungsi otot spingter uretrae internus yang terdiri dari otot polos. 47 d. Otot transfersus perinei superfisialis: berasal dari tuberositas iskhii dan melekat ke badan perineal. Otot ini merupakan struktur fibromuskular yang berada pada bagian tengah perineum, antara anus dan vagina. Merupakan kerja otot superfisial yang kompleks dan mempunyai fungsi yang efisien untuk mengkontribusi stabilitas dan menopang kanal anal. Serat-serat dari levator ani juga menyatu dengannya. Peregangan dan perobekan jaringan fibromuskular tersebut bisa terjadi selama proses melahirkan. Oleh karena itu stabilitas badan perineal sangat diperlukan. 4.2. Fungsi otot dasar panggul Menurut Sapsford (2011), otot dasar panggul mempunyai banyak fungsi diantaranya: 1) Menyangga organ pelvis dan isi abdomen terutama ketika berdiri tegak. Diafragma pelvis / levator ani memegang peranan penting dalam menyokong kandung kemih, kandungan, dan tiga lumen yakni uretra, vagina dan rektum. Otot ini harus mampu berkontraksi secara volunter dan cepat pada suatu waktu tetapi juga harus dapat mempertahankan tonus saat istirahat secara berkelanjutan. 2) Mempertahankan tekanan intra abdominal. Saat otot levator ani berkontraksi, vagina terangkat keatas dan otot tersebut juga membantu menahan gaya yang timbul setiap terjadi peningkatan tekanan intra abdominal pada kandung kemih misalnya saat batuk, bersin, tertawa keras, atau saat melompat. 48 3) Memelihara sudut anorectal. Sudut pertemuan antara rektum dan anus sekitar 90 dalam keadaan istirahat spingter anal eksternal dan otot Sudut ini berkurang saat otot puborektails berkontraksi untuk menunda defekasi dalam waktu dekat karena situasi yang tidak tepat. 4) Menutup uretral. Kontraksi otot dasar panggul yang mendadak dan kuat akan menutup uretra dengan cepat untuk menahan keluarnya urin. Selama meningkatnya tekanan dalam perut, kontraksi otot dasar panggul akan mengangkat leher kandung kemih ke dalam daerah tekanan perut. 5) Menyangga beban dari tulang punggung. Beban pada tubuh bagian atas dalam posisi yang benar akan disalurkan pada tulang punggung jika tekanan dalam perut kosong. Tekanan statis dihasilkan dari silinder trunk/otot core yang keras yang dapat bergerak untuk menyangga bagian atas tubuh dan dengan demikian mengurangi beban tulang punggung. Tekanan statis ini di bentuk oleh otot transfersus abdominus, otot multifidus, diafragma thorak, dan otot dasar panggul. 6) Stabilisasi pelvispinal. Otot Isciokoksigeus membantu menstabilkan sendi sacroiliaka dan sendi sacrokoksigeus. 7) Fungsi seksual. Otot-otot perineal superfisial yang ber insersi di sekitar kaki dan badan klitoris mempengaruhi peredaran darah dari organorgan tersebut yang menghambat kembalinya darah balik, dan kemungkinan mengkontribusi respon seksual. 49 2.4.3. Biomekanik Vertebra lumbal Biomekanik adalah studi tentang struktur dan fungsi dari sistem biologis dengan mekanika. Ditinjau dari keluasan gerak sendinya, sendi tersebut termasuk amphiartrosis (hyaline joint). Adapun bidang geraknya antara lain bidang gerak sagital , transversal dan frontal. Sedangkan gerakan yang terjadi yaitu fleksi, ekstensi, rotasi, dan latero fleksi. Pada pemeriksaan gerakan dari columna vertebralis ini mengambil titik pusat pada sendi lumbosacral (Kapandji, 2010). 1) Gerakan fleksi lumbal Gerakan ini menempati bidang sagital dengan axis gerakan frontal. Sudut yang normal gerakan fleksi lumbal sekitar 600. Gerakan ini dilakukan oleh otot fleksor yaitu otot rectus abdominis dibantu oleh otot-otot ekstensor spine (Kapandji, 2010). 2) Gerakan Ekstensi lumbal Gerakan ini menempati bidang sagital dengan axis frontal. Sudut ekstensi lumbal sekitar 350. Gerakan ini dilakukan oleh otot spinalis dorsi, otot longisimus dorsi dan iliocostalis lumborum (Kapandji, 2010). 3) Gerakan Rotasi Terjadi di bidang horizontal dengan aksis melalui processus spinosus dengan sudut normal yang dibentuk 450 dengan otot penggerak utama m. iliocostalis lumborum untuk rotasi ipsi lateral dan kontra lateral, bila otot berkontraksi terjadi rotasi ke pihak berlawanan oleh m. obliqus eksternus abdominis. 50 Gerakan ini dibatasi otot rotasi samping yang berlawanan dan ligamen interspinosus (Kapandji, 2010). 4) Gerakan Lateral Fleksi Gerakan pada bidang frontal dan sudut normal yang dibentuk sekitar 300 dengan otot penggerak m. obliqus internus abdominis, m. rektus abdominis (Hislop and Montgomery, 2013). Pada posisi berdiri, bila dilihat dari samping punggung bawah belakang tampak cekung ke depan yang disebut lordosis. Lordosis ini wajar pada setiap orang normal. Pada posisi berdiri normal sudut lumbosakral untuk laki-laki 300 dan wanita 340. Sudut lumbosakral adalah sudut yang dibentuk oleh garis datar dan garis melalui tulang sacral. Semakin besar sudut lumbosakral, semakin besar kurva lordosis, begitu pula sebaliknya (Kapandji, 2010). Diketahui bahwa L5 sebagai titik tumpu terletak diatas sacrum yang mempunyai bidang miring karena beban berat diatasnya. Maka sacrum kadangkadang tidak dapat menahan VL5 dan akhirnya meluncur disertai tekanan yang bersifat menggunting atau shearing stress. Caillet menyatakan bahwa sudut lumbosakral 300 tekanan menggunting 50% dari beban yang disangganya, sudut lumbosakral 400 tekanan menggunting 65% dan sudut lumbosakral 500 tekanan mengguntingnya 75% (Kapandji, 2010). 51 Gambar 2.17. Sudut lumbosakral (Cailliet, 2003) Kekuatan yang bekerja sepanjang columna vertebra dapat menyebabkan kompresi atau ketegangan pada discus . Beban yang dapat disokong oleh sub sistem pasif sebelum adanya penekukan disebut dengan “beban kritis dari columna spinalis”. Pada penelitian in vitro beban yang dapat menyebabkan terjadinya penekukan tulang belakang terjadi pada berat 20 N (2kg) di T1 dan 90N (9kg) di L5 yang jumlahnya sama dengan dua hingga tiga kali berat badan (140-210kg). Pembebanan dengan cara berputar (shear) akan menyebabkan terjadinya translasi struktur-struktur. Sebagai contoh pada saat tulang belakang fleksi, terdapat kecenderungan adanya pergeseran relatif vertebra ke depan terhadap vertebra dibawahnya. Gaya seperti ini normalnya terjadi pada vertebra lumbal karena adanya kurva lordosis/lordotik, terutama pada sendi lumbosakral dimana permukaannya melandai keanterior (Hamill ,2009). 52 Gambar 2.18. Shear force (Hamill , 2009) Gambar 2.19. Posisi Collumna Vertebralis saat melakukan gerakan sederhana (Cailliet, 2003) 53 Keterangan: A. Posisi collumna pada saat beristirahat B. Posisi collumna pada saan teregang C. Posisi collumna pada saat terkompresi D. Posisi collumna pada saat ekstensi, tulang vertebra di atas bergerak ke posterior sehingga nucleus terdorong ke anterior. Pada pergerakan normal, seharusnya semua komponen struktur stabilitator punggung terjadi harmonisasi gerak, yaitu antara otot dan ligamentum. Bagian lumbal mempunyai kebebasan gerak yang besar sehingga mempunyai kemungkinan cidera yang besar walaupun tulang-tulang vertebra dan ligament di daerah punggung lebih kokoh (Cailiet, 2003). Pada gerakan fleksi trunk 50% juga berasal dari rotasi pelvis, demikian juga gerakan dari posisi membungkuk ke berdiri (fleksi ke ekstensi) juga akan terjadi rotasi pelvis ke depan yang diikuti ekstensi tulang belakang. Pada keadaan fleksi tulang belakang, beban pergerakan dari fleksi 90° ke 45° akan ditanggung oleh ligament, sedangkan beban dari fleksi 45° ke posisi tegak akan ditanggung oleh otot. Tekanan intra discus di daerah lumbal pada posisi tidur terlentang 20 kg, tidur miring 75 kg, duduk tegak 175 kg, duduk membungkuk 190 kg. Jadi tekanan intradiskus pada posisi tegak lebih rendah daripada posisi membungkuk, dan tekanan intradiskus yang paling kecil adalah pada posisi tidur terlentang (Cailiet, 2003). Sebagai standar tekanan intradiskal dapat diselidiki pada berbagai sikap tubuh dan keadaan. Patokan awal tekanan intradiskal adalah saat berdiri tegak. 54 Tekanan inrtadiskal berbeda dalam berbagai sikap dan keadaan adalah sebagai berikut: Tabel 2.3. Perhitungan tekanan intradiskal pada berbagai posisi tubuh Sikap/posisi tubuh Berdiri Duduk Berjalan Batuk Loncat Menbungkuk 20° ke depan Mengangkat benda 20 kg dengan lutut sedikit menekuk Mengangkat benda 20 kg dengan lutut lurus Duduk bersandar lebih dari 90° Tekanan Intradiskal 0 ( standar) % + 30 % + 15 % + 50 % + 50 % +8% + 300 % + 500 % - 10-20 % Tekanan intradiskal yang meningkat pada berbagai keadaan sikap dan keadaan itu diimbangi oleh tenaga otot abdominal dan torakal. Kontraksi otot abdominal dan torakal yang sesuai dan tepat dapat meringankan beban tulang belakang sehingga tenaga otot yang relevan merupakan mekanisme yang melindungi tulang belakang (Sidharta, 1994) 2.5 Core Stability Excercise 2.5.1. Pengertian Core Stability Exercise Menurut Kibler, Press and Sciascia (2006), Core stability didefinisikan kemampuan untuk mengontrol posisi dan gerakan bagian atas panggul dan kaki untuk memungkinkan produksi yang optimal saat melakukan transfer dan kontrol gerakan ke bagian tubuh bawah pada saat melakukan aktifitas. 55 Sedangkan Panjabi (2013), dalam artikelnya menjelaskan core melalui tiga sistem, yaitu : pasif subsistem, aktif subsistem, dan kontrol saraf subsistem. Ketiga subsistem ini sangat terintegrasi dan teroptimalisasi satu dengan yang lain. Ketiganya diperlukan dalam normalisasi biomekanika tulang belakang. Adanya gangguan pada salah satu subsistem akan mengakibatkan ketidakstabilan tulang belakang, yang dapat menimbulkan terjadinya cidera, disfungsi dan nyeri. Komponen subsistem pasif melibatkan ligamen tulang belakang yang memberikan stabilitas pada rentang akhir gerakan. Aktif subsistem melibatkan otot dan tendon yang berada pada tulang belakang, yang mana menghasilkan kekuatan yang diperlukan untuk mempertahankan stabilitas tulang belang. Subsistem kontrol saraf bertugas menerima informasi dari aktif subsistem dan menentukan kekuatan yang diperlukan untuk menjaga stabilitas tulang belakang. Core stability exercise didefinisikan sebagai latihan untuk meningkatkan kemampuan neuromuscular dalam mengontrol dan melindungi tulang belakang dari cidera. Latihan ini ditujukan untuk meningkatkan kontrol dari pada lumbopelvic. Peningkatan lumbopelvic ini dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu: (1) meningkatkan koordinasi dan kontrol dari otot-otot lumbopelvic, (2) meningkatkan kekuatan otot-otot lumbopelvic ( Lawrence, 2013). Model core stability exercise didasarkan pada stabilitas tulang belakang tergantung pada kontribusi otot. Dengan kata lain aktivitas otot diperlukan untuk mempertahankan posisi tulang belakang. Menurut beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas dan ko-aktivitas otot antagonis tulang belakang dapat meningkatkan kontrol tulang 56 belakang pada pasien NPB. Secara umum pendapat tersebut mendorong pemeliharaan dari posisi lumbopelvic yang stabil. Kontrol model Core stability exercise berdasarkan bahwa fungsi lumbopelvic, terutama otot penggeraknnya. Stabilitas dan kontrol tulang belakang tidak hanya tergantung pada otot tetapi juga pada central nervous sistem (CNS) yang mana akan menentukan perencanaan dan pelaksanaan untuk mempertahankan stabilitas tulang belakang (Panjabi, 2013). Banyak otot yang berada pada lumbopelvic dan berkontribusi untuk kontrol dan stabilitas tulang belakang. Dalam core stability fokusnya adalah pelatihan ulang fungsi deep muscle (transver abdominis dan multifidus) dan mengintegrasi aktivitas deep muscle dan global muscle pada tugasnya. Dikoordinasikannya deep muscle sangat penting dalam gerak segmen intervertebra dari tulang belakang dan pelvic, meskipun otot tersebut tidak memberi kontribusi besar pada tulang belakang tapi sangat penting untuk menstabilkan tulang belakang. Kedua otot lumbopelvic, yaitu transver abdominis dan multifidus memiliki kemampuan yang minimal untuk menggerakkan tulang belakang. Transver abdominis berkontribusi mempertahankan stabilitas tulang belakang dengan meningkatkan tekanan intra abdominal. Peningkatan tekanan intra abdominal tersebut akan mengakibatkan ketegangan dari tulang belakang sehingga tulang belakang menjadi stabil Cresswell et all, 1992 dikutip Crossley, 2013). Multifidus adalah deep muscle yang memiliki peran sangat kecil untuk mengontrol tulang belakang, tetapi multifidus dapat mengendalikan gerakan intervertebra. 57 2.5.2. Macam latihan Ada berbagai model latihan yang termasuk ke dalam core stability exercise. Disini penulis memilih jenis latihan yang mudah diterapkan oleh pasien secara mandiri. Adapun macam core stability tersebut adalah sebagai berikut : 2.5.2.1. Bridging Posisi berbaring punggung tetap datar, temukan tulang belakang dalam keadan netral dan tarik perut bawah masuk ke dalam. Pelan-pelan tekankan kedua kaki dan mengangkat pantat ke atas sehingga trunk lurus (bahu, panggul,dan lutut pada satu garis). Ambil napas saat angkat pantat lalu buang napas saat pantat diturunkan. Pertahankan 10 hitungan saat mengangkat dan berpikirlah pantat ditekan ketika pantat diangkat (pengulangan 10 kali). Gambar 2.20 Bridging (dokumentasi pribadi) 58 2.5.2.2. Single leg bridging Posisi berbaring punggung tetap datar, temukan tulang belakang dalam keadan netral dan tarik perut bawah masuk ke dalam. Pelan-pelan angkat salah satu kaki dan tekankan kaki yang lainnya dan mengangkat pantat ke atas sehingga trunk lurus (bahu, panggul,dan lutut pada satu garis). Ambil napas saat angkat pantat lalu buang napas saat pantat diturunkan. Pertahankan 10 hitungan saat mengangkat dan berpikirlah pantat ditekan ketika pantat diangkat (pengulangan 10 kali) Gambar 2.21 Single leg bridging (dokumentasi pribadi) 2.5.2.3. Modified plank Tempatkan siku pada lantai dan bahu dilebarkan terpisah langsung di bawah bahu. Badan disangga pada siku dan lutut, pastikan tubuh berada dalam garis lurus (tidak menekuk atau melengkung pada tulang punggung dan pantat terlipat ke dalam). Menjaga tulang belakang pada posisi netral dan tarik perut bawah. Tahan 59 posisi ini 20 detik dan istirahat selama 30 detik, ulangi 3 kali. Jika merasa kuat, pertahankan posisi tersebut dalam waktu lama. Gambar 2.22 Modified plank (dokumentasi pribadi) 2.5.2.4. Front plank Posisi tengkurap letakkan siku di lantai kemudian sangga badan dengan menggunakan siku dan ujung jari. Pertahankan badan dalam satu garis lurus, mulai dari punggung sampai ke pantat. Tahan selama 20 detik kemudian istirahat selama 30 detik dan ulangi sebanyak 3 kali pengulangan. 60 Gambar 2.23 Front plank (dokumentasi pribadi) 2.5.2.5. Side plank Posisi miring letakkan salah satu siku di lantai kemudian sangga badan dengan menggunakan siku dan lateral ankle. Pertahankan badan dalam satu garis lurus, mulai dari punggung sampai ke pantat. Tahan selama 20 detik kemudian istirahat selama 30 detik dan ulangi sebanyak 3 kali pengulangan. Gambar 2.24 Side plank (dokumentasi pribadi) 61 2.5.3. Mekanisme Core Stability Dalam Meningkatkan Aktivitas Fungsional Pada Pasien NPB Efek latihan core stability akan mengembangkan kerja otot-otot dynamic muscular corset. Dengan terjadinya kontraksi yang terkoordinasi dan bersamaan (Co-Contraction) dari otot-otot tersebut akan memberikan rigiditas celender untuk menopang trunk, akibatnya tekanan intradiskal berkurang dan akan mengurangi beban kerja dari otot lumbal, sehingga jaringan tidak mudah cidera, ketegangan otot lumbal yang abnormal berkurang (Kisner, 2011). Dengan terjadinya pelemasan otot diharapkan akan terjadi perbaikan muscle pump yang berakibat meningkatkan sirkulasi darah pada jaringan otot punggung. Dengan demikian suplai makanan dan oksigen di jaringan otot menjadi lebih baik, nyeri yang ditimbulkan karena spasme akan berkurang. Selain itu teraktivasinya otot core yang berfungsi sebagai otot stabilisator tulang belakang akan membuat otot global muscle yang tadinya spasme menjadi rileks, dengan demikian didapatkan pula stabilitas tulang belakang yang baik dan posisi tulang belakang dalam keadaan netral (Kisner, 2011). Dengan stabitas tulang belakang yang baik seseorang akan lebih mudah dalam melakukan aktivitas fungsional. Selain itu berkurangnya tekanan intadiskal akan membuat pasien lebih mudah dalam melakukan aktivitas fungsional, antara lain pasien akan lebih mudah dalam melakukan aktivitas mengangkat, berjalan, duduk, berdiri dan saat melakukan aktivitas rekreasi. 62 2.6 Williams Flexion Excercise Metode ini pertama kali dikembangkan oleh Dr. Paul William’s pada tahun 1937 (Knudsen, 2003). Tujuan dari William’s flexion exercise ini adalah untuk mengurangi tekanan oleh beban tubuh pada sendi faset (articular weight bearing stress) dan meregangkan otot dan fasia di daerah dorsolumbal, serta bermanfaat mengkoreksi postur tubuh yang salah (Hills, 2006). William’s flexion exercise ini juga dapat meningkatkan stabilitas lumbal karena secara aktif melatih otot-otot abdominal , gluteus maksimus dan hamstring. Disamping itu William’s flexion exercise dapat meningkatkan tekanan intra abdominal yang mendorong kolumna vertebralis ke arah belakang, dengan demikian akan membantu mengurangi hiperlordosis lumbal dan mengurangi tekanan pada diskus intervertebralis (Hooper, 1999). Secara teoritis, William’s flexion exercise ini dapat membantu mengurangi nyeri dengan cara mengurangi gaya kompresi pada sendi facet, dan meregangkan fleksor hip dan ektensor lumbal (Weinstein,1998). Kontraindikasi dari William’s flexion exercise ini adalah sebagai berikut : instabilitas atau hipermobilitas segmental dari kolumna vertebralis lumbal, misalnya pada keadaan spondilosis, spondilolistesis dan disfungsi sendi facet; hernia diskus; penjalaran nyeri ke tungkai bawah (nyeri radikuler). Latihan ini meningkat tekanan intra abdominalis, maka sebaiknya latihan ini dilakukan secara hati-hati bahkan dihindari pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler seperti hipertensi yang tidak terkontrol, riwayat infak miokard akut dan stroke (Tan, 2006). 63 Menurut Hooper (1999), dari penelitian yang pernah dilakukan tentang efek William’s flexion exercise dibandingkan dengan modalitas fisik yang lain pada nyeri punggung bawah muskuloskeletal dalam penelitian tersebut menggunakan metode a randomized controlled trial (RCT) dengan jumlah sampel 85 pasien dalam waktu 6 bulan. Kesimpulan dari penelitian tersebut pasien yang mendapat perlakuan William’s flexion exercise terjadi penurunan nyeri yang signifikan dan perbaikan mobilitas lumbal. 2.6.1. Macam latihan William’s Flexion exercise antara lain: 2.6.1.1. Pelvic tilting Posisi pasien berbaring terlentang dengan posisi kedua lutut fleksi dan posisi kaki datar di atas matras. Tekan atau luruskan punggung ke arah matras. Gerakan ini dipertahankan selama 10 detik ( gambar 2.4). Latihan ini bertujuan untuk menguatkan otot-otot abdominal dan memobilisasi lumbal bagian bawah. Gambar 2.25 Pelvic tilting (Hooper, 1999) 64 2.6.1.2. Single knee to chest Posisi pasien berbaring terlentang dengan kedua lutut fleksi dan kedua kaki datar di atas matras. Secara perlahan, tarik lutut kanan dengan kedua tangan sejauh mungkin mendekati dada dan pertahankan selama 10 detik. Kemudian kembali ke posisi semula secara perlahan lahan dan ulangi gerakan yang sama untuk lutut kiri (gambar 2.5). Latihan ini bertujuan untuk menguatkan otot abdominal dan untuk rileksasi back mucle secara unilateral. Gambar 2.26 Single knee to chest (Hooper, 1999) 2.6.1.3. Double knee to chest Posisi awal seperti pada gerakan pertama dan kedua, namun sekarang gerakan kedua lutut ditarik bersama sama dengan kedua tangan ke arah dada semaksimal mungkin. Pertahankan selama 10 detik dan kemudian kembali ke posisi awal secara perlahan lahan ( gambar 2.6). Latihan ini bertujuan untuk menguatkan otot abdominal dan untuk rileksasi back mucle secara bilateral. 65 Gambar 2.27 Double knee to chest (Hooper, 1999) 2.6.1.4. Partial sit up Lakukan gerakan pelvic tilting dan pada saat bersamaan naikkan kepala, leher, dan bahu dari atas matras. Pertahankan dalam waktu 10 detik dan kemudian kembali perlahan ke posisi semula ( gambar 2.7). Latihan ini bertujuan untuk menguatkan otot-otot abdominal. Gambar 2.28 Partial sit up (Hooper, 1999) 66 2.6.1.5. Hamstring stretches Berbaring terlentang dengan kedua tungkai lurus, kemudian salah satu tungkai diangkat dalam posisi lutut lurus mengarah lurus ke atas, kedua tangan menopang pada bagian belakang paha, pertahankan selama 10 detik, kemudian perlahan lahan tungkai turun ke posisi semula. Lakukan gerakan yang sama untuk tungkai yang lain (gambar 2.8). Latihan ini bertujuan untuk meregangkan otot punggung bawah dan hamstring yang memendek. Gambar 2.29 Hamstring stretches (Hooper, 1999) 2.6.1.6. Squat Posisi berdiri dengan punggung lurus dan kedua lengan diluruskan ke depan. Posisi kedua kaki sejajar. Kemudian perlahan-lahan jongkok, dengan kedua lengan masih lurus ke depan. Pertahankan 10 detik (gambar 2.9 ). Latihan ini bertujuan untuk menguatkan otot quadriceps. 67 Gambar 2.30 Squat (Hooper, 1999) Latihan ini dilakukan dengan pengulangan 10 kali untuk masing-masing gerakan dan gerakan yang dilakukan dipertahankan selama 5 detik (Basmajian, 1987). 2.6.2. Mekanisme William’s Flexion Exercise Dalam Meningkatkan Aktivitas Fungsional Pada Pasien NPB William’s flexion exercise merupaka suatu latihan dengan tujuan untuk mengulur otot-otot bagian posterior dan juga meningkatkan kekuatan otot abdominal. Dengan terulurnya golgi tendon dan muscle spindel maka diharapkan terjadi efek rileksasi. Adanya rileksasi pada otot-otot daerah dorsal punggung diharapkan akan mempermudah pasien dalam melakukan aktivitas fungsional yang dengan kata lain akan meningkatkan kemampuan aktivitas fungsional pasien 68 (Hill, 2006). Selain itu pada WFE juga secara aktif melatih otot-otot abdominal, gluteus maksimus dan hamstring, yang mana dapat meningkatkan stabilitas di daerah lumbal. Dengan meningkatnya stabilitas di daerah lumbal diharapkan akan terjadi peningkatan aktivitas fungsional pada pasien NPB miogenik. 2.7 Terapi Dasar 2.7.1. Short Wave Diathermy(SWD) SWD merupakan modalitas panas melalui aplikasi arus listrik radio frekuensi tinggi dengan frekuensi 27,12 MHz dan panjang gelombang 11,06 nm (Klein, 2006). Perbedaan struktur jaringan tubuh menyebabkan efek fisiologis yang dihasilkan SWD akan berbeda untuk tiap jaringan. Jaringan ikat akan mengalami peningkatan elastisitas 5 – 10 kali lebih besar akibat turunnya viskositas matriks jaringan. Selain meningkatkan elastisitas otot, SWD juga dapat menurunkan tonus otot melalui normalisasi nosisensorik. Jaringan saraf akan mengalami peningkatan elastisitas pembungkus jaringan saraf dan ambang rangsang (thresshold). Efek fisiologis tersebut akan memunculkan efek terapeutik yaitu peningkatan proses reparasi jaringan secara fisiologis, penurunan nyeri, normalisasi tonus otot dan perbaikan sistem metabolisme (Sugijanto, 2006). Efek penurunan nyeri dengan aplikasi SWD didapatkan dari modulasi nyeri pada level sensoris akibat peningkatan metabolisme sebesar 18% yang diikuti dengan perubahan PO2, PCO2 dan pH jaringan. Akibatnya akan terjadi pembukaan sphincter prekapiler dan arteriole yang menyebabkan vasodilatasi dan 69 peningkatan aliran darah sebesar 300 ml/100 gram jaringan, sehingga pasokan nutrisi dan pembuangan zat-zat penyebab nyeri akan meningkat dan hasilnya nyeri akan berkurang. Efek lainnya adalah meningkatnya elastisitas jaringan colagen dalam struktur myofascial akibat penurunan viskositas matrik colagen sehingga jaringan akan lebih mudah digerakkan dan kelenturannya bertambah (Sugijanto, 2006). BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Berpikir Kerangka berpikir ini berkaitan pada teori Penyebab timbulnya nyeri pada nyeri punggung bawah miogenik adalah karena pengaruh dari faktor-faktor berikut : (1) faktor eksternal yaitu pekerjaan fisik yang berat, posisi statik yang berkepanjangan disertai vibrasi, membungkuk atau memutar tubuh berulangulang, serta pekerjaan yang membosankan, repetitif, tanpa kepuasan; (2) faktor internal yaitu usia dan antopometrik. Hal-hal tersebut menimbulkan adanya beban atau stress pada otot-otot punggung bawah sehingga timbul nyeri dan spasme yang menyebabkan terjadinya nyeri punggung bawah miogenik. Selain itu akan terjadi adanya kontraktur otot yang mana hal tersebut dapat mengakibatkan kinetic trauma. Apabila NPB berkepanjangan akan mengakibatkan muscle atropi terutama akan terjadi pada beberapa otot yaitu : pada otot abdoment, pelvic floor yang menimbulkan stabilitas tulang belakang mengalami penurunan, hal tersebut nantinya dapat mengakibat penurunan dalam aktivitas fungsional. Pemberian modalitas William’s flexion exercise sudah sejak lama digunakan dalam menangani NPB dikalangan fisioterapis. Efektifitasnyapun dapat mengurangi nyeri yang ditimbulkan karena NPB miogenik dan diharapkan dengan berkurangnya nyeri akan dapat meningkatkan kemampuan fungsional seseorang. Dalam era sekarang telah banyak metode baru bermunculan yang digunakan dalam menangani NPB miogenik, antara lain : core stability exercise. Core 70 71 stability exercise adalah sebuah metode yang berfungsi meningkatkan kekuatan dari pada otot inti yang mana otot inti tersebut berperan sangat besar dalam menstabilkan lumbal, sehingga diharapkan apabila stabilitas lumbal meningkat akan dapat meningkatkan kemampuan fungsional. 72 3.2. Kerangka Konsep - Core Stability Exercise + SWD - William’s Flexion Exercise + SWD Faktor resiko eksternal : Faktor resiko internal : - Pekerjaan fisik berat - Posisi statik yang berkepanjangan dan vibrasi - Membungkuk/memutar tubuh berulang-ulang - Pekerjaan yang membosankan, repetitif, tanpa kepuasan - Usia - antropometrik Aktifitas Fungsional menurut ODI : -Intensitas nyeri pada punggung bawah - Perawatan diri (mandi, berpakaian) -Aktifitas mengangkat -Berjalan -Duduk -Berdiri -Tidur -Aktifitas seksual -Kehidupan sosial -Bepergian/melakukan perjalanan 73 3.3. Hipotesis Hipotesis pada rencana penelitian ini adalah: 1 Pemberian William’s flexion exercise pada terapi dasar dapat meningkatkan aktivitas fungsional pada pasien nyeri punggung bawah miogenik. 2 Pemberian Core stability exercise pada terapi dasar dapat meningkatkan aktivitas fungsional pada pasien nyeri punggung bawah miogenik. 3 Core stability exercise lebih baik dalam meningkatkan aktivitas fungsional dari pada William’s flexion exercise pada terapi dasar pada pasien nyeri punggung bawah miogenik. 74 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini bersifat eksperimental dengan rancangan pre-test and post-test control group design, dimana pembagian sampel menjadi dua kelompok dilakukan secara acak atau random (Pocock, 2008). Bagan rancangan pre-test and post-test control group design penelitian adalah sebagai berikut : P1 Purpossive O1 sampling P S O2 MA P2 O3 O4 Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian Keterangan : P = Populasi S = Sampel MA = Matching allocation O1 = Observasi kelompok perlakuan I (CSE+SWD) sebelum interverensi O2 = Observasi kelompok perlakuan I (CSE+SWD) setelah interverensi O3 = Observasi kelompok perlakuan II (WFE +SWD) sebelum interverensi O4 = Observasi kelompok perlakuan II (WFE +SWD) setelah interverensi 74 75 P1 = perlakuan : pemberian metode Core Stability Exercise dan SWD P2 = perlakuan : pemberian metode William’s Flexion Exercise dan SWD 4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di tempat praktek Fisioterapi di wilayah Denpasar. Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2014 4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi Target Pasien nyeri punggung bawah miogenik yang berusia antara 25 - 50 tahun, nyeri punggung bawah telah melewati masa akut, yaitu minimal lebih dari 10 hari, penderita wanita tidak sedang hamil, tidak adanya kelainan neurologis, dapat berkomunikasi dengan baik dan kooperatif. 4.3.2. Populasi terjangkau Populasi penelitian ini adalah seluruh penderita nyeri punggung bawah miogenik yang datang ke tempat praktek fisioterapi di Denpasar pada bulan April sampai Juni 2014. 4.3.3. Sampel Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purpossive sampling dengan menggunakan pemeriksaan fisioterapi dan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan peneliti. Teknik pengambilan sampel ini dilakukan berdasarkan 76 pertimbangan untuk mendapatkan gambaran hasil pengujian suatu teknik perlakuan dengan memilih orang-orang yang secara kebetulan mewakili kriteria yang telah ditetapkan. Kriterian pengambilan sampel : a) Kriteria inklusi : 1. Subyek dengan nyeri punggung bawah miogenik yang didiagnosa oleh dokter 2. Usia antara 25-50 tahun 3. Nyeri punggung bawah telah melewati masa akut, yaitu minimal lebih dari 10 hari b) 4. Penderita wanita tidak sedang hamil 5. Tidak adanya kelainan neurologis 6. Dapat berkomunikasi dengan baik 7. Kooperatif dan bersedia mengikuti program penelitian. Kriteria eksklusi : 1. Mempunyai gangguan kardio (jantung) 2. Ada hnp 3. Ada gangguan syaraf paraesthesi 4. Tumor ganas. 77 c) Kriteria drop out jika : 1. Tidak melakukan terapi 2 kali berturut-turut atau tidak berturut-turut 2. Penderita selama penelitian tidak teratur mengikuti prosedur penelitian 3. Pasien meninggal dunia. 4. Gangguan bladder dan bowel 5. Gangguan sensasi meningkat dan otot menjadi lemah 4.3.3. Besaran Sampel Besar sampel yang diperlukan dalam penelitian ini akan dihitung dengan menggunakan rumus Pocock, 2008 : 2σ2 ∫(α,β) n= 2 1 2 (µ - µ ) Ket : n = Jumlah sampel σ = Simpang baku α = Tingkat kesalahan I (ditetapkan 0,05) Interval kepercayaan (1-α) = 0,95 β = Tingkat kesalahan II (ditetapkan 0,20) 78 Tingkat kekuatan uji (1-β) = 0,80 ∫(α,β) = interval kepercayaan 7,9 µ1 = rerata nilai aktifitas fungsional (skor ODI ) pada kelompok kontrol µ2 = rerata harapan peningkatan aktivitas fungsional (skor ODI semakin menurun) Berdasarkan hasil penelitian terdahulu didapatkan hasil rerata aktifitas fungsional pada kelompok kontrol, µ1= 29,43 , standar deviasi 12,46 dengan harapan peningkatan aktinitas fungsional (skor ODI menurun) setelah perlakuan sebesar 64% yaitu rerata nilai aktifitas fungsional pada kelompok perlakuan sebesar µ2 = 15,86. Dengan demikian dapat dihitung sebagai berikut : 2σ2 ∫(α,β) n = 2 1 (µ - µ ) n = 2(12,46)2 (15,86-29,43) n = 310,70 7,9 2 7,9 184,14 n = 13,3 Dari hasil penghiungan di atas didapatkan nilai 13,3 yang dibulatkan menjadi 14, maka sampel ditetapkan berjumlah 28 sampel. Sampel akan dibagi 79 menjadi dua kelompok masing-masing 14 orang. Untuk mengantisipasi adanya droupout makan jumlah sampel akan ditambah 20% yaitu menjadi 16 sampel masing-masing kelompok. 4.4. Variabel Penelitian 4.4.1. Variabel bebas adalah : variabel yang mempengaruhi variabel terikat. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah : Metode core stability ditambah SWD dan william’s flexion exercise ditambah SWD. 4.4.2. Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah aktivitas fungsional pasien NPB miogenik. 4.5. Definisi Operasional Variabel 4.5.1. Pasien Nyeri punggung bawah miogenik yaitu Suatu jenis kelainan pada sistem miogenik terutama pada daerah punggung bawah, yang berhubungan dengan stress/strain otot yang ditandai dengan keluhan nyeri tumpul, dapat terlokalisir atau dapat meluas sekitar gluteal, nyeri tidak disertai parestesi, tidak menjalar sampai ke tungkai, spasme otot, dan keterbatasan gerak lumbosakral, serta mengalami penurunan aktivitas fungsional sehari-hari. Dimana pada pasien dengan nyeri punggung bawah miogenik tidak di temukan adanya kelainan pada tulang, sendi, maupun persarafannya, melainkan pada otot-otot disekitar punggung bawah. 80 4.5.2. Core stability exercise adalah Suatu jenis latihan koaktivasi otot dalam dari trunk bawah untuk mengontrol selama terjadi pergerakan seperti perpindahan berat badan, aktivitas fungsional dari ekstremitas seperti meraih dan melangkah. Latihan dibagi dalam 5 jenis latihan, antara lain : bridging, single leg bridging, modified plank, fron plank, dan side plank. Latihan ini dilakukan selama 6 kali terapi dan durasi 20 menit, repetisi untuk penguatan 10-15 kali perset, dilakukan secara perlahan tanpa menimbulkan rasa sakit, pertahankan 5–10 detik, kembali ke posisi awal lalu rileks. Terapi latihan core stability exercises ini hanya diberikan pada kelompok perlakuan I 4.5.3. William’s flexion exercise adalah suatu jenis latihan yang ditujukan untuk mengurangi beban pada sendi faset dan meregangkan otot pada daerah punggung. Latihan ini terdiri dari 6 jenis latihan, antara lain: pelvic tilting, single knee to chest, double knee to chest, partial sit up, hamstring stretches, dan squat. Latihan ini dilakukan selama 6 kali dan dilakukan perlahan tanpa menimbulkan rasa sakit, pertahankan 5-10 detik, kembali ke posisi awal lalu rileks. Terapi WFE ini hanya diberikan pada kelompok perlakuan II. 4.5.4. Terapi Dasar Terapi dasar yang diberikan di rumah sakit pada NPB miogenik yaitu SWD. 81 a. Short Wave Diathermy (SWD) SWD adalah suatu jenis modalitas aplikasi energi elektromagnetik 27,12 MHz, diberikan dengan metode koplanar selama 15 menit untuk tiap sesi terapi, intensitas 80-90 Hz, dengan dosis terapi submitis (Klein, 2006). Terapi SWD ini diberikan pada kelompok perlakuan I maupun kelompok perlakuan II selama 6 kali terapi. 4.5.5. Kemampuan fungsional Suatu gambaran kemampuan seseorang dalam melakukan aktifitas seharihari. Kemampuan fungsional ini nantinya dikaitkan dengan adanya nyeri yang dialami pasien pada saat melakukan aktifitas sehari-hari. 4.5.6. Oswestry Disability Index Suatu index atau quisioner untuk mengukur kemampuan fungsional seseorang dalam aktifitas sehari-hari yang berkaitan dengan timbulnya nyeri pada punggung bawah. Quisioner ini terdiri 10 sesi yaitu : intensitas nyeri, perawatan diri, aktifitas mengangkat, aktifitas berjalan, duduk, berdiri, tidur, aktifitas seksual, kehidupan sosialdan pada saat bepergian. 82 Tabel 4.1 Hubungan Antara Aktifitas Fungsional ODI Dengan Kriteria Yang Ditetapkan menurut ICF Aktifitas fungsional Intensitas nyeri Kriteria menurut ICF Function Perawatan diri (mandi, berpakaian) Activities limitation Aktifitas mengangkat Activities limitation Berjalan Activities limitation Duduk Activities limitation Berdiri Activities limitation Tidur Activities limitation Aktifitas seksual Participation restriction Kehidupan sosial Participation restriction Bepergian/melakukan perjalanan Participation restriction 4.6. Metode Pengumpulan Data 4.6.1. Alat ukur penelitian Alat ukur menggunakan Oswestry Disability Index yang mana mengukur keterbatasan fungsional pasien oleh karena nyeri. 4.6.2. Pelaksanan penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai dengan Juni 2014 di Poliklinik Fisioterapi daerah Denpasar. 83 4.6.3. Prosedur penelitian Tehnik pengumpulan data pada penelitian ini melalui dua tahap yaitu tahap sebelum diberikan tindakan atau perlakuan dan tahap setelah 2 minggu diberikan tindakan atau perlakuan. Evaluasi dilakukan secara bertahap sebelum diberikan terapi dan sesaat setelah terapi diberikan. 4.7. Tahap Pelaksanaan Penelitian 4.7.1. Tahap Persiapan Langkah pertama diawali dengan persiapan penelitian meliputi pengajuan ijin penelitian, ijin peminjaman ruangan dan fasilitas yang mendukung terlaksananya penelitian kepada Direktur Klinik Fisioterapi di Denpasar. Langkah kedua mencari pasien yang memenuhi kriteria insklusi yang akan menjadi subyek penelitian yang datang ke lapangan untuk diberikan penjelasan dan perencanaan jadwal tentang rencana penelitian, manfaat penelitian dan program penelitian. Penjelasan tersebut diberikan kepada semua pasien yang menjadi subyek supaya mengerti dan memahami maksud dan tujuan penelitian. Subyek yang bersedia ikut dalam penelitian diminta mengisi dan menandatangani surat persetujuan (Informed Consent). 4.7.2. Tahap Penelitian Langkah pertama, asessment pasien guna mengetahui keluhan khusus dan umum pasien. Langkah kedua, mengukur nilai keterbatasan fungsional pasien serta pemeriksaan penunjang lainya. Langkah ketiga, pengukuran post-test untuk 84 mengetahui peningkatan kemampuan fungsionalnya setelah pasien mendapatkan perlakuan. 4.8. Alur Penelitian NBP miogenik kronis Pasien Assesment Sampel Kelompok I Pre test CSE dan terapi dasar Kelompok II WFE dan terapi dasar Evaluasi nilai aktivitas fungsional dengan oswestry dissability index (Post test) Analisa Data Hasil 4.9. Analisis Data Penelitian Data yang diperoleh akan dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut: 85 4.9.1. Statistik Diskriptif Digunakan untuk menggambarkan karakteristik fisik sampel yang meliputi umur, jenis kelamin, aktivitas pekerjaan, dan skor ODI . 4.9.2. Uji Normalitas Data Uji normalitas data digunakan untuk mengetahui apakah data yang akan dianalisis berdistribusi normal atau tidak. Analisis statistik yang digunakan untuk menguji normalitas data yaitu Shapiro-wilk test dan Kolmogorov-smirnov test. Jika nilai probabilitas (p>0,05) maka distribusi data dinyatakan normal. Jika pada uji normalitas data nilai probabilitas nilai (p<0,05) maka distribusi data dinyatakan tidak normal 4.9.3. Uji Homogenitas Data Uji homogenitas data (Skor ODI ) dengan uji Levene’s test, bertujuan untuk mengetahui apakah varian kedua data yang akan dianalisa bersifat homogen atau tidak. Batas kemaknaan atau tingkat kepercayaan yang digunakan adalah α=0,05 4.9.4. Uji kompatibilitas sebelum pelatihan pada kelompok I dan sebelum pelatihan pada kelompok II dengan menggunakan Independent Sample Test 4.9.5. Uji Hipotesis 4.9.5.1. Hipotesis 1 a) Karena pada uji normalitas sebelum dan sesudah perlakuan data berdistribusi normal maka akan menggunakan Paired sample T-test. 86 Pengambilan keputusan perdasarkan perbandingan probabilitas dengan tingkat signifikansi 95% adalah jika probabilitas (p<0,05) maka Ha diterima dan jika probabilitas (p> 0,05) maka Ha ditolak. 4.9.5.2. Hipotesis 2 a) Karena pada uji normalitas sebelum dan sesudah perlakuan salah satu atau keduanya berdistribusi tidak normal maka akan menggunakan Wilcoxon match pair test. Pengambilan keputusan perdasarkan perbandingan probabilitas dengan tingkat signifikansi 95% adalah jika probabilitas (p<0,05) maka Ha diterima dan jika probabilitas (p> 0,05) maka Ha ditolak. 4.9.5.3. Hipotesis 3 diuji dengan statistik sebagai berikut : a) Karena pada uji normalitas selisih pada kelompok I dan selisih pada kelompok II didapatkan hasil keduanya berdistribusi normal maka akan menggunakan Independent Sample Test. Pengambilan keputusan perdasarkan perbandingan probabilitas dengan tingkat signifikansi 95% adalah jika probabilitas (p<0,05) maka Ha diterima dan jika probabilitas (p> 0,05) maka Ha ditolak. BAB V HASIL PENELITIAN Pengambilan data penelitian telah dilaksanakan di klinik daerah Denpasar dengan menggunakan rancangan Quasi experiment dengan pre and post test group design. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang mengeluh nyeri punggung bawah yang telah dilakukan pemeriksaan. Pengambilan sampel diambil secara matching allocation dan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan hingga jumlah memenuhi yang ditargetkan. Subjek penelitian berdasarkan rumus Pocock berjumlah 28 orang, yang dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 14 orang. Setiap kelompok mendapatkan terapi dengan frekuensi 3 kali perminggu selama 2 minggu, pengambilan sampel dilakukan dari bulan April 2014 sampai Juni 2014. Masing-masing kelompok dinilai kemampuan aktivitas fungsional dengan oswestry disability index (ODI) sebelum dan sesudah pelatihan. 5.1 Deskripsi Karakteristik Subjek Karakteristik subjek penelitian meliputi: umur, jenis kelamin dan aktivitas pekerjaan. Deskripsi karakteristik subjek penelitian disajikan pada tabel 5.1 berikut: 87 88 Tabel 5.1 Karakteristik subjek penelitian Karakteristik subjek Rentangan Kel Perlakuan I Kel Perlakuan II (n=14) (n=14) n % n % 21-30 4 28,6 3 21,4 31-40 4 28,6 2 14,3 41-50 6 42,8 9 64,3 Laki-laki 10 71,4 9 64,3 Perempuan 4 28,6 5 35,7 Duduk 9 64,3 6 42,9 Berjalan 1 7,1 2 14,3 Berdiri 3 21,4 1 7,1 Membungkuk 0 0 1 7,1 Mengangkat 1 7,1 4 28,6 Umur Jenis kelamin Aktivitas pekerjaan Sumber: (Data primer, 2014) Keterangan: n = Jumlah sampel 5.2 Analisis data deskriptif skor ODI pada aktivitas fungsional NPB miogenik kelompok perlakuan I dan kelompok perlakuan II Penilaian aktivitas fungsional dilakukan untuk mengetahui gambaran kemampuan pasien nyeri punggung bawah (NPB) dalam melakukan aktivitas fungsional sehari-hari dari masing-masing subjek dengan menggunakan oswestry dissability index. Subjek diminta untuk memilih salah satu pernyataan yang 89 menggambarkan ketidakmampuannya dengan memberikan tanda cek (√) pada kotak yang disediakan. Subjek sebelumnya diberikan penjelasan cara mengisinya , kemudian untuk mendapatkan hasil skor ODI dihitung dengan menggunakan rumus = Total Skor / 50 x 100%. Penilaian skor ODI dilakukan sebelum dan sesudah pelatihan yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 5.2 berikut : Tabel 5.2 Deskriprif Skor ODI Aktivitas Fungsional pada NPB Miogenik Kelompok Perlakuan I dan Kelompok Perlakuan II Skor ODI Kelompok Perlakuan I Kelompok Perlakuan II (n=14) (n=14) Sebelum Sesudah Selisih Sebelum Sesudah Selisih 26 4 14 10 8 2 70 42 38 58 46 26 Range 44 38 24 48 38 24 Rerata(%) 42,14 13,29 28,86 37,43 22,29 15,14 Simpang 12,340 12,269 6,916 15,989 12,048 7,635 Nilai minimal(%) Nilai maksimal(%) baku(%) Sumber: (Data primer, 2014) Berdasarkan hasil tabel 5.2 di atas, menunjukkan bahwa rerata penurunan skor ODI pada kelompok perlakuan I sebesar 28,86%, sedangkan rerata penurunan skor ODI pada kelompok perlakuan II sebesar 15,14%. Dengan demikian rerata penurunan skor ODI pada kelompok perlakuan I lebih besar dibandingkan pada kelompok perlakuan II. 90 5.3 Uji Normalitas dan Homogenitas Data Sebagai prasarat untuk menentukan uji statistik yang akan digunakan, maka dilakukan uji normalitas dan homogenitas data dari hasil tes sebelum dan sesudah pelatihan. Uji normalitas dengan menggunakan uji Saphiro Wilk, sedangkan uji homogenitas mengunakan Levene test, hasilnya dapat dilihat pada tabel 5.3 berikut: Tabel 5.3 Hasil uji normalitas dan homogenitas penurunan skor ODI sebelum dan sesudah pelatihan pada kedua kelompok Saphiro Wilk test Levene (p) test Skor ODI Kel perlakuan I Kel perlakuan II (p) Sebelum perlakuan 0,194 0,159 0,189 Sesudah perlakuan 0,001 0,161 0,914 Selisih 0,485 0,526 0,510 Berdasarkan hasil uji normalitas (Saphiro wilk test) data penurunan skor ODI sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok perlakuan I sebelum pelatihan didapatkan nilai p>0,05 sehingga dinyatakan data sebelum pelatihan pada kelompok perlakuan I berdistribusi normal, sedangkan pada data setelah pelatihan pada kelompok perlakuan I didapatkan nilai p<0,05 sehingga dinyatakan data setelah pelatihan pada kelompok pelatihan berdistribusi tidak normal. Pada kelompok perlakuan II didapat nilai p>0,05 sehingga dinyatakan data pada kelompok kontrol berdistribusi normal. Data selisih nilai ODI pada kelompok 91 perlakuan I dan kelompok perlakuan II didapatkan nilai p>0,05 sehingga dinyatakan berdistribusi normal. Hasil uji homogenitas (Levene test) data penurunan skor ODI menunjukkan pada kedua kelompok sebelum pelatihan didapatkan p= 0,189 (p>0.05) yang berarti data homogen. Data sesudah pelatihan didapatkan nilai p= 0,914 (p>0,05) yang berarti data homogen. Data selisih antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan didapatkan nilai p=0,510 (p>0,05) yang berarti data homogen. 5.4 Pengujian penurunan skor ODI pada kelompok perlakuan I dalam meningkatkan aktivitas fungsional pada NPB miogenik Dari data uji normalitas skor ODI sebelum pelatihan pada kelompok perlakuan I dinyatakan data berdistribusi normal, sedangkan skor ODI setelah perlakuan dinyatakan bahwa data berdistribusi tidak normal. Untuk mengetahui penurunan skor ODI pada kelompok perlakuan I dilakukan uji dengan menggunakan Wilcoxon match pair test karena salah satu data berdistribusi tidak normal, yang hasilnya tertera pada tabel 5.4 berikut: Tabel 5.4 Uji hipotesis penurunan skor ODI pada kelompok perlakuan I sebelum dan sesudah pelatihan Median±SB Kelompok I n Sebelum pelatihan 14 42±12,34 Setelah pelatihan 14 8±12,269 Uji wilcoxon rank test z p -3,301 0,001 92 Tabel 5.5 memperlihatkan penurunan skor ODI antara sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok perlakuan yang dianalisis dengan uji wilcoxon match pair test dengan nilai p=0,001. Hasil nilai tersebut menyatakan secara signifikan pelatihan Core Stability Exercise pada terapi dasar meningkatkan aktivitas fungsional pada pasien NPB miogenik. 5.5 Pengujian penurunan skor ODI pada kelompok perlakuan II dalam meningkatkan aktivitas fungsional pada NPB miogenik Dari data uji normalitas skor ODI sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok perlakuan II dinyatakan berdistribusi normal dengan nilai p>0,05 maka untuk mengetahui penurunan skor ODI sebelum dan setelah pelatihan pada kelompok kontrol digunakan uji t berpasangan, yang hasilnya tertera pada tabel 5.5 berkut: Tabel 5.5 Uji hipotesis penurunan skor ODI pada kelompok II sebelum dan sesudah pelatihan Rerata±SB Kelompok II n Sebelum pelatihan 14 37,43±15,989 Setelah pelatihan 14 22,29±12,048 Uji t berpasangan t p 7,421 0,001 Tabel 5.5 memperlihatkan penurunan skor ODI antara sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok kontrol yang dianalisa dengan uji t berpasangan dengan nilai p=0,001. Hasil tesebut menyatakan secara signifikan latihan William’s 93 Flexion Exercise pada terapi dasar dapat meningkatkan aktivitas fungsional pada pasien NPB miogenik. 5.6 Uji perbedaan skor ODI sebelum pelatihan kelompok perlakuan I dan sebelum pelatihan kelompok perlakuan II Berdasarkan data variabel skor ODI sebelum pelatihan pada kelompok perlakuan I berdistribusi normal dengan nilai p=0,194 (p>0,05), sedangkan data variabel skor ODI sebelum pelatihan pada kelompok perlakuan II berdistribusi normal dengan nilai p=0,159 (p>0,05). Maka uji perbedaan ini bertujuan untuk membandingkan rerata ODI sebelum pelatihan kelompok perlakuan I dan sebelum pelatihan kelompok perlakuan II. Hasil analisis kemaknaan dengan uji tindependent yang disajikan pada tabel 5.6 berikut: Tabel 5.6 Rerata skor ODI sebelum pelatihan pada kedua kelompok Kelompok n Rerata±SB t p Kel perlakuan I 14 42,14±12,340 0,873 0,390 Kel perlakuan II 14 37,43±15,989 Tabel 5.6 di atas menunjukkan bahwa rerata ODI sebelum pelatihan pada kedua kelompok didapatkan nilai p=0,390. Hal ini berarti bahwa rerata skor ODI sebelum pelatihan di antara kedua kelompok tidak ada perbedaan signifikan. Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan, bahwa tidak ada perbedaan sebelum pelatihan pada kedua kelompok. 94 5.7 Uji beda penurunan skor ODI setelah pelatihan antara kelompok perlakuan I dan kelompok perlakuan II dalam meningkatkan aktivitas fungsional pada NPB miogenik Skor selisih ODI pada kelompok perlakuan I berdistribusi normal dengan nilai p=0,485 dan skor selisih ODI pada kelompok perlakuan II berdistribusi normal dengan nilai p=0,526, maka pengujian menggunakan uji parametrik. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-test pada tabel 5.7 berikut: Tabel 5.7 Rerata selisih penurunan skor ODI pada aktivitas fungsional sebelum dan setelah pelatihan Kelompok n Rerata±SB Selisih Kel perlakuan I 14 28,86±6,916 Selisih Kel Perlakuan II 14 15,14±7,635 t p 4,981 0,001 Berdasarkan hasil analisis uji t-test seperti tabel 5.7 di atas, menunjukkan bahwa skor ODI setelah perlakuan pada kelompok perlakuan I dan kelompok perlakuan II didapatkan hasil nilai p=0,001 yang artinya terdapat perbedaan secara signifikan antara kelompok perlakuan I dan kelompok perlakuan II dalam meningkatkan aktivitas fungsional pada pasien NPB miogenik. Dari data deskriptif perbandingan hasil pada tabel 5.2 antara rerata nilai selisih perlakuan I 28,86 lebih besar dari rerata selisih perlakuan II sebesar 15,14. Disimpulkan 95 bahwa pelatihan Core Stability Exercise lebih baik dalam meningkatkan aktivitas fungsional dari pada William’s flexion exercise pada terapi dasar pada psien NPB miogenik. BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Subjek Penelitian Data karakteristik subjek penelitian yang didapat adalah umur, jenis kelamin, aktivitas pekerjaan dan data awal kemampuan aktivitas fungsional. Berdasarkan distribusi subjek menurut umur menunjukkan pada kelompok perlakuan I golongan umur 41-50 tahun merupakan jumlah terbanyak yaitu sejumlah 9 orang (64,3%). Keadaan serupa terlihat pada kelompok perlakuan II dimana golongan umur 41-50 tahun merupakan jumlah terbanyak yaitu sejumlah 6 orang (42,8%). Hasil persentase umur dalam penelitian ini sesuai dengan beberapa pendapat. Menurut Turder dan Koes (2001), bahwa setiap tahun prevalensi NPB di negara Amerika Serikat dilaporkan sebesar 15%-45% dan angka kejadian NPB terbanyak ditemukan di usia 35-55 tahun. Kisner (2014), menyatakan bahwa angka kejadian NPB terjadi pada umur 20-55 tahun dan paling banyak terjadi dipertengahan umur 30-40 tahun. Andri (2008), menyatakan bahwa NPB dialami sejak saat masa remaja atau saat dewasa, yaitu pada umur 25 tahun dan 55 tahun. Rentang umur subjek tersebut menunjukkan bahwa semua subjek tergolong umur yang produktif. Dimana justru pada umur produktif akan menunjukkan dampak dikemudian hari apabila tidak mendapatkan penanganan secara serius. Karakteristik subjek menurut jenis kelamin pada kedua kelompok menunjukkan bahwa subjek terbanyak kelamin laki-laki yaitu pada kelompok 96 97 kontrol sebanyak 9 orang (64,3%) dibandingkan subjek perempuan sebanyak 5 orang (35,7), sedangkan pada kelompok perlakuan subjek laki-laki sebanyak 10 orang (71,4) dibandingkan subjek perempuan sebanyak 4 orang (28,6%). Kondisi ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Copcord Indonesia (community oriented program or controle of rhematic disease) menunjukkan prevalensi NPB 18,2% pada laki-laki dan 13,6% pada perempuan (Wirawan, 2004) Karakteristik subjek penelitian berdasarkan aktivitas pekerjaan juga sangat mempengaruhi ada tidaknya peningkatan aktivitas fungsional. Dalam penelitian ini ditemukan pada kedua kelompok aktivitas pekerjaan yang paling sering dilakukan adalah aktivitas duduk lama yaitu pada kelompok kontrol sebesar 42,9% dan pada kelompok perlakuan sebesar 64,3%. Hasil di atas sesuai dengan hasil penelitian Hills (2000), melaporkan bahwa NPB banyak terjadi pada pekerja atau karyawan yang bekerja dalam posisi duduk lama, berdiri lama, dan pekerjaan berat lainnya seperti pekerjaan yang banyak aktivitas membungkuk secara berulang, atau mengangkat dan menurunkan beban berat dengan cara yang salah. Pernyataan di atas menguatkan dugaan bahwa pada rentang umur 30 tahun keatas dan berjenis kelamin laki-laki lebih beresiko terjadi NPB miogenik. Hal ini kemungkinan dilihat dari umur yang sudah memasuki masa degenerasi baik secara anatomis dan fungsional akibat adanya faktor penuaan dan dapat pula akibat gaya hidup yang tidak sehat. Sedangkan jenis kelamin laki-laki, kemungkinan dilihat dari pekerjaan yang sering mereka lakukan, misalnya kesalahan dalam cara mengangkat benda berat, berdiri dalam waktu lama, duduk 98 dalam waktu lama, atau kesalahan posisi yang dilakukan berulang dalam jangka waktu yang lama. 6.2 Distribusi Dan Varians Subjek Penelitian Distribusi subjek penelitian kedua kelompok sebelum dan setelah pelatihan dilakukan uji normalitas dengan Shapiro-Wilk test, sedangkan homogenitas varians antara kedua kelompok diuji dengan Levene test. Variabel yang diuji adalah penurunan skor ODI pada aktivitas fungsional NPB miogenik sebelum dan setelah pelatihan pada masing-masing kelompok dan selisih penurunan skor ODI sebelum dan setelah pelatihan pada masing-masing kelompok. Hasil uji normalitas (tabel 5.3), didapatkan skor penurunan ODI pada kelompok perlakuan I sebelum pelatihan didapatkan nilai p=0,194 (berdistribusi normal), dan setelah pelatihan didapatkan nilai p=0,001 (berdistribusi tidak normal) sehingga pengujian selanjutnya dengan uji non parametrik. Sedangkan uji normalitas skor penurunan ODI pada kelompok II sebelum pelatihan p=0,159 dan setelah pelatihan didapatkan nilai p=0,161 (berdistribusi normal) sehingga pengujian selanjutnya dengan uji paramentrik. Hasil uji normalitas selisih kelompok I didapat nilai p=0,489 dan selisih kelompok II didapatkan nilai p=0,526 (berdistribusi normal) sehingga uji selisih kedua kelompok menggunakan uji parametrik. 99 Hasil uji homogenitas (tabel 5.3) penurunan skor ODI sebelum dan setelah pelatihan didapatkan nilai p>0,05 (data homogen), dan pada sellisih kedua kelompok juga didapatkan nilai p>0,05 yang berarti data homogen. 6.3 Pengujian William’s Flexion Exercise Pada Terapi Dasar Dapat Menurunkan Skor ODI Pada Aktivitas Fungsional Pada Pasien NPB Miogenik Berdasarkan analisis data skor ODI sebelum dan setelah pelatihan pada kelompok perlakuan II dengan menggunakan uji t berpasangan (dua sampel berpasangan) tertera pada tabel 5.4, didapatkan rerata sebelum pelatihan 37,43±15,989 dan setelah pelatihan 22,29±12,048 dengan nilai p=0,001 (p<0,05), sehingga kelompok perlakuan II terjadi penurunan skor ODI . Dengan hasil di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian pelatihan William’s Flexion Exercise pada terapi dasar dapat meningkatkan aktivitas fungsional pada pasien NPB miogenik. Terapi dasar yang diberikan disini adalah dengan menggunakan SWD di daerah lumbosakral 3x seminggu selama 2 minggu. Pemberian SWD tersebut berdasarkan teori mempunyai efek fisiologis dan efek terapeutik. Dimana penambahan SWD pada William’s Flexion Exercise tidak berlawanan dengan efek fisiologisnya, kombinasi latihan ini justru akan meningkatkan hasil yang lebih maksimal. Mekanisme penurunan nyeri dan perbaikan aktifitas fungsional ditinjau dari efek fisiologis, dimana perbedaan struktur jaringan tubuh menyebabkan efek yang dihasilkan akan berbeda untuk tiap jaringan. Jaringan ikat akan mengalami 100 peningkatan elastisitas akibat turunnya viskositas matriks jaringan karena homeostasis lokal sehingga jaringan akan mudah digerakkan dan kelenturannya bertambah, sehingga waving efek akan mudah didaoatkan dan reseptor saraf Aδ dan C yang terjebak akibat tekanan jaringan fibrous akan terbebas sehingga nyeri berkurang (Sugijanto, 2006) Ditinjau dari efek terapeutik mekanisme penurunan nyeri dengan pemberian SWD didapatkan dari modulasi nyeri pada level sensori. Pemberian SWD akan meningkatkan aktivitas metabolisme sebesar 18%, yang diikuti dengan perubahan PO2, PCO2, dan Ph jaringan. Akibatnya akan terjadi terbukanya sphincter prekapiler dan arteriole, bersamaan itu pula akan terjadi vasodilatasi dan peningkatan aliran darah sebesar 300ml/100 gram jaringan, sehingga pasokan nutrisi ke jaringan miofacial dan pembuangan zat-zat iritan akan meningkat. Dengan meningkatnya pembuangan zat iritan akan mengakibatkan spasme otot menurun, maka nyeri berkurang (Sugijanto,2006). Adanya efek fisiologi dan terapeutik di atas secara tidak langsung akan memfasilitasi terjadinya peningkatan aktivitas fungsional. Menurut Magee (2013), bahwa SWD dapat mengurangi spasme otot, meningkatkan vasodilatasi pembuluh darah, perbaikan metabolisme sel, dan mempercepat penyembuhan pada jaringan lunak, sehingga perbaikan aktivitas fungsional terjadi. Pengurangan nyeri berdasarkan mekanisme di atas hampir serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Mariani (2002), dimana didapatkan hasil bahwa terapi SWD di regio lumbosakral dengan 60 W selama 15 menit memberikan 101 manfaat berupa pengurangan nyeri dan perbaikan aktivitas fungsional pada NPB mekanik. Pada kelompok perlakuan II diberikan terapi dasar berupa SWD dikombinasi dengan latihan William’s Flexion Exercise. William’s Flexion Exercise adalah sebuah program latihan dengan tujuan untuk mengurangi tekanan oleh beban tubuh pada sendi facet dan meregangkan otot dan fascia di daerah dorsolumbal, serta bermanfaat mengkoreksi postur tubuh yang salah. Latihan ini juga dapat meningkatkan stabilitas lumbal karena secara aktif melatih otot-otot abdominal, gluteus maksimus dan hamstring. Disamping itu WFE juga dapat meningkatkan tekanan abdominal yang mendorong kolumna vertebralis ke arah belakang, dengan demikian akan membantu mengurangi hiperlordosis lumbal dan mengurangi tekanan pada diskus intervertebralis. Secara teoritis, WFE dapat mengurangi nyeri dengan cara mengurangi gaya kompresi pada sendi facet dan meregangkan fleksor hip dan ekstensor lumbal (Hills, 2006). Adanya peregangan otot di daerah lumbal maka terjadi penguluran golgi tendon dan muscle spindel, sehingga akan didapatkan efek rileksasi di area tersebut. Rileksnya otot-otot di daerah punggung bawah berarti didapatkan spasme otot menurun. Menurunnya spasme otot akan mengembalikan fungsi otot di daerah punggung bawah sehingga otot akan bekerja sesuai fungsinya lagi, dengan demikian akan dapat meningkatkan aktivitas fungsional pada pasien NPB miogenik. Hooper (1999), dari penelitian yang pernah dilakukan tentang efek William’s flexion exercise dibandingkan dengan modalitas fisik yang lain pada 102 nyeri punggung bawah muskuloskeletal, dalam penelitian tersebut menggunakan metode A randomized controlled trial (RCT) dengan jumlah sampel 85 pasien dalam waktu 6 bulan. Kesimpulan dari penelitian tersebut pasien yang mendapat perlakuan William’s flexion exercise terjadi penurunan nyeri yang signifikan. Penelitian tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Dachlan (2009), tentang pengaruh back exercise pada nyeri punggung bawah, dimana didaptkan hasil bahwa latihan WFE dapat menurunkan nyeri dan meningkatkan mobilitas di daerah lumbal pada pasien NPB. Kurniawan (2004), melakukan penelitian tentang pengaruh WFE terhadap mobilitas lumbal dan aktivitas fungsional pada pasien NPB mekanik subakut dan kronik, dimana didapatkan hasil bahwa latihan WFE secara bermakna dapat meningkatkan mobilitas lumbal dan aktivitas fungsional pasien NPB. 6.4 Core Stability Exercise Pada Terapi Dasar Dapat Menurunkan Skor ODI Pada Aktivitas Fungsional Pada Pasien NPB Miogenik Berdasarkan analisis data skor ODI sebelum dan setelah pelatihan pada kelompok perlakuan I dengan menggunakan uji Wilcoxon match pair test (dua sampel berpasangan) tertera pada tabel 5.5, didapatkan data rerata sebelum pelatihan 42±12,34 dan setelah pelatihan 8±12,269 dengan p=0,001 (p<0,05), sehingga kelompok perlakuan terjadi penurunan skor ODI . Dengan hasil di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian pelatihan Core Stability Exercise pada terapi dasar dapat meningkatkan aktivitas fungsional pada pasien NPB miogenik. 103 Hal ini disebabkan pertama, mekanisme yang didapatkan dari efek fisiologis dan efek terapeutik dari terapi dasar. Pemberian SWD pada Core Stability Exercise tidak memiliki efek fisiologis yang berlawanan, melainkan apabila dikombinasi dengan CSE akan lebih meningkatkan hasil. Terapi dasar merupakan terapi thermal yang efektif diberikan sebelum pelatihan. Mekanisme dari kedua efek tersebut mengakibatkan jaringan ikat akan lebih mudah digerakkan dan kelenturannya bertambah (Sugijanto, 2006). Kondisi seperti itu sangat membantu program pelatihan Core Stability Exercise yang diberikan. Kedua, pemberian pelatihan Core Stability Exercise. NPB miogenik berhubungan dengan ganguan pada otot-otot punggung yang dapat timbul karena aktivitas sehari-hari secara berlebih. Gangguan yang dapat terjadi pada NPB miogenik yaitu nyeri tekan pada daerah punggung bawah, spasme pada otot-otot punggung bawah, sehingga potensial terjadi ketidakseimbangan antara otot abdominal dan paravertebrae yang dapat menimbulkan keterbatasan saat bergerak. Hal ini akan mengakibatkan penurunan mobilitas lumbal akibat adanya nyeri, spasme, ketidakseimbangan otot abdominal dan paravertebrae, sehingga aktivitas fungsional terganggu (Meliana dan Pinzon, 2004) Core Stability Exercise mempunyai kemampuan untuk mengontrol posisi dan gerakan pada bagian pusat tubuh (Brandon dan Raphael, 2009), karena target utama latihan ini adalah otot yang letaknya dalam dari perut, yang terkoneksi dengan tulang belakang, panggul, dan bahu. CSE bermanfaat untuk memelihara kesehatan punggung bawah, statik stabilisasi, dan dinamik trunk serta mencegah terjadinya cedera (pada punggung dan ekstremitas bawah) terutama dalam 104 meningkatkan aktivitas fungsional. Ketika otot inti lemah atau tidak ada keseimbangan (imbalance muscle), yang terjadi adalah rasa sakit di daerah punggung bawah. Dengan CSE keseimbangan otot abdominal dan paravertebrae akan membentuk suatu hubungan yang lebih baik karena terjadi koaktivitas otot dalam dari trunk bawah sehingga dapat mengontrol selama terjadinya pergerakan perpindahan berat badan, aktivitas fungsional dari ekstremitas seperti meraih dan melangkah (Panjabi, 2013). Core muscle terdiri dari otot silinder yang menyelimuti lapisan dalam dari perut, yang terdiri dari 4 group otot utama yaitu, (1) otot tranversus abdominis, yaitu bagian otot perut dalam yang berada di bawah otot oblikus internus, oblikus eksternus, dan rektus abdominis, otot ini dianggap menjadi korset yang menyangga stabilitas, (2) otot multifidus, yaitu otot punggung bagian dalam yang berada diantara tulang vertebra yang menghubungkan tiap tulang vertebra bagian lumbal, fungsinya mengulur vertebra secara baik dan menjaga otot postural ini yang menjaga vertebra tetap tegak, (3) otot diafragma, merupakan otot primer untuk bernapas. Ketika otot trasversus abdominis berkontraksi, diafragma mengencang untuk mempertahankan tekanan pada perut sehingga menghasilkan stabilitas dari vertebra, (4) otot dasar panggul yang terdiri dari organ pelvis diluar peritoneum, fasia endopelvis, dan tiga lapisan grup otot yang terdiri dari otot diaphragma pelvis yang merupakan bagian dari sekelompok otot yang dilapisi fascea yang menutup pintu bawah panggul dan terletak pada lapisan yang terdalam, otot diaphragma uroginetalis terletak pada lapisan tengah, dan lapisan terluar adalah otot-otot sphingter rektum dan traktus urogenitalis. Otot-otot ini 105 berkontraksi bersama-sama dengan otot transversus abdominis yang membentuk otot silinder bagian bawah. Ketika keempat group otot ini bekerja secara harmonis dalam serangkaian kontraksi kompleks dengan puluhan otot-otot di tulang belakang, batang tubuh dan sekitarnya dibutuhkan kestabilan sehingga dicapai posisi netral selama gerakan tubuh dan menjaga posisi stabil pada vertebra (the netral zone) (Kisner, 2011) Menurut Irfan (2010), CSE (core stabilization exercise) adalah kemampuan untuk mengontrol posisi dan gerak dari trunk sampai pelvis yang digunakan untuk melakukan gerakan secara optimal dalam proses perpindahan, kontrol tekanan dan gerakan saat aktivitas sehari-hari. CS (core stability) merupakan salah satu komponen penting dalam memberikan kekuatan lokal dan keseimbangan untuk memaksimalkan aktivitas gerakan secara efisien. Petterson (2002), mengatakan bahwa CSE efektif mengurangi nyeri serta meningkatkan aktivitas fungsional dan secara teoritis memberi pengaruh dalam penururnan spasme otot, peningkatan ektensibilitas, stabilitas dan penguatan otot. Richardson (2002), juga membenarkan bahwa kelemahan otot inti dikaitkan dengan NPB yang dipengaruhi oleh derajat asimetri dari kekuatan dan fleksibilitas otot-otot punggung bawah dan pinggul. Hodges (1999), menunjukkan bahwa latihan dari otot multifidus dapat meningkatkan kekuatan antar segmen vertebra walaupun hanya 5% tetapi memiliki manfaat yang signifikan dalam mengatasi NPB dan meningkatkan aktivitas fungsional. Hasil di atas sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hodges (1999), mengatakan bahwa terapi latihan berupa CSE ini merupakan cara yang efektif 106 untuk mengobati juga mencegah NPB dan cedera ekstremitas bawah terutama dalam peningkatan aktivitas fungsional yang melibatkan otot inti yaitu otot transversus abdominis, otot multifidus, otot diafragma thorak dan otot-otot dasar panggul. Otot-otot ini semua bekerja secara harmonis untuk memberikan stabilisasi bagi tubuh (the neutral zone). Dengan memperkuat otot-otot yang mendukung dan meningkatkan postur tulang belakang, efektif menurunkan gejalagejala NPB dan memperbaiki aktivitas fungsionalnya. Koumantakis et al., (2005), membuktikan bahwa pasien dengan kondisi NPB lebih bermanfaat dan menguntungkan jika sejak awal diberikan latihan CSE secara berulang untuk mencegah ketidakstabilan dari otot-otot trunk dibandingkan hanya diberikan program general exercise saja. 6.5 Core Stability Exercise Lebih Meningkatkan Aktivitas Fungsional Pada Pasien NPB Miogenik Dari Pada William’s Felxion Exercise Berdasarkan Tabel 5.6 menunjukkan bahwa rerata skor ODI sebelum pelatihan pada kedua kelompok didapatkan nilai p=0,390 (p>0,05). Hal ini berarti bahwa rerata skor ODI sebelum pelatihan di antara kedua kelompok tidak ada perbedaan yang signifikan. Untuk mengetahui perbedaan peningkataan aktivitas fungsional pada kelompok I dan pada kelompok II memanfaatkan data selisih pelatihan pada kedua kelompok. Berdasarkan tabel 5.7 menunjukkan bahwa uji beda skor ODI dengan menggunakan nilai selisih pelatihan pada kelompok perlaluan I dan pada kelompok perlakuan II didapatkan nilai p=0,001 (p<0,05), yang artinya terdapat 107 perbedaan pengaruh yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Dari data deskriptif perbandingan hasil pada tabel 5.2 antara rerata selisih perlakuan I lebih besar dari rerata selisih perlakuan II. Disimpulkan bahwa pelatihan Core Stability Exercise lebih meningkatkan aktivitas fungsional dari pada William’s Flexion Exercise pada terapi dasar pada pasien NPB miogenik. Kelompok perlakuan II, dimana subjek mendapatkan terapi dasar berupa SWD yang dilanjutkan dengan latihan William’s Flexion Exercise menunjukkan peningkatan aktivitas fungsional, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan (2004), menunjukkan bahwa William’s Flexion Exercise meningkatkan mobilitas lumbal dan aktivitas fungsional pada pasien NPB mekanik subakut dan kronis. William’s Flexion Exercise memiliki prinsip rileksasi otot paravertebra yang merupakan global muscle yang berfungsi sebagai penggerak fleksi dan ekstensi trunk (Hills, 2006). Pada pasien NPB miogenik terjadi spasme pada otot paravertebrae dengan latihan WFE otot tersebut menjadi rileks sehingga mobilitas fleksi dan ekstensi trunk meningkat, nyeri berkurang dan aktivitas fungsional meningkat. Kelompok perlakuan I, dimana subjek mendapatkan terapi dasar berupa SWD yang dilanjutkan dengan pemberian terapi latihan berupa pelatihan Core Stability Exercise menunjukkan peningkatan aktifitas fungsional yang lebih besar dibandingkan pada kelompok kontrol, yang mendapatkan terapi dasar berupa SWD dan dilanjutkan dengan pelatihan William’s Flexion Exercise. Hasil ini sesuai dengan hipotesis penelitian, bahwa latihan Core Stability Exercise lebih 108 meningkatkan aktivitas fungsional dari pada William’s Flexion Exercise pada terapi dasar pada pasien NBP miogenik. Hasil analisis di atas sesuai dengan teori bahwa prinsip latihan CSE adalah mengaktifkan kerja dari pada core muscle yang merupakan deep muscle yang pada pasien NPB miogenik mengalami kelemahan. Teraktifasinya core muscle ini akan meningkatkan stabilitas tulang belakang, karena core muscle yang aktif akan meningkatkan tekanan intra abdominal dan hal tersebut akan membentuk abdominal brace yang akan meningkatkan stabilitas dari tulang belakang (Kisner and Colby, 2011). Menurut Panjabi (2000), peningkatan aktivitas dan co-aktivitas antagonis otot trunk dapat meningkatkan kontrol tulang belakang pada individu NPB hal tersebut mendorong pemeliharaan dari posisi lumbopelvic agar tetap stabil. Pemberian terapi latihan berupa core stability exercise pada terapi dasar yang dilakukan dengan benar dapat memberikan peningkatan kekuatan otot yang mengalami kelemahan sekaligus dapat mengurangi rasa nyeri dan meningkatkan aktivitas fungsional. Stabilitas yang baik lebih diperlukan pada pasien NPB miogenik daripada mobilitas, karena permasalah pada NPB miogenik adalah berkurangnya stabilitas pada punggung bawah. 6.6 Kelemahan Peneliti Peneliti menyadari bahwa penelitian yang telah dilakukan masih banyak kelemahannya. Kelemahan dalam penelitian ini adalah konsumsi obat-obatan tidak diperhitungkan, keterbatasan gerak lumbopelvik tidak diperhitungkan, postur saat bekerja tidak diperhatikan, sudut lumbosakral tidak diperhatikan dan 109 berat badan subjek (BMI) tidak diperhitungkan, serta efek jangka panjang tidak diteliti. Peneliti tidak mengontrol sampel dari pekerjaannya, termasuk aktivitas pasien di lingkungan kerja dan trempat tinggal, dan tidak mempermasalahkan durasi latihan yang dilakukan di luar terapi, oswestry dissalibity index yang digunakan telah diubah kedalam bahasa Indonesia tetapi belum dibakukan. BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil analisis penelitian ini didapatkan kesimpulan: 1. Pelatihan william’s flexion exercise dapat meningkatkan aktifitas fungsional pada pasien nyeri punggung bawah miogenk. 2. Pelatihan core stability exercise dapat meningkatkan aktifitas fungsional pada pasien nyeri punggung bawah miogenk. 3. Core stability exercise lebih meningkatkan aktivitas fungsional dibandingkan dengan william’s flexion exercise pada terapi dasar pada pasien nyeri punggung bawah miogenik 7.2 Saran Metode latihan core stability exercise perlu ditambahkan pada terapi dasar, mengingat bahwa peningkatan aktivitas fungsional pada pasien NPB miogenik lebih besar setelah diberikan latihan core stability exercise dibandingkan dengan pemberian william’s flexion exercise. 110 DAFTAR PUSTAKA Albar, Z. 2000. Sistematik pendekatan pada nyeri pinggang. Cermin dunia kedokteran 2000, hal. 14-19. Andri. 2008. Program Fisioterapi untuk Nyeri Punggung Bawah. 13 Mei 2014. Available from: Home Made-in Riko My friendster Free Blog Template Pakdenono.Com Al-Sofwah.Com. Anggraini, R.D. 2006. Anatomi dan Aspek Diaphragma Thorax. [Cited 20 Pebruari 2014]. Available from: http://library.usu.ac.id/download/fk/ 06001192.pdf. Atlas, S.J. and Deyo RA. 2001. Evaluating and Managing acute low back pain in the primary care setting. J.genintern Med, hal. 120-131. Basmajian, J. 1987. Therapeutic Exercise. Third Edition. The William and Wilkins Co, Ontario, hal. 424-483. Bernard, T.N. 2003. Managing Low Back Pain a challenge for the next millenium. Hughston sport medicine foundation Available from: http:/www.Hughston.com Borestein and Wissel. 2004. Low back pain Medical diagnosis and comprehensive management. WB Saunders Company. Philadelphia, hal. 147- 169. Brandon dan Raphael. 2009. Core stability training and Core stability program. [Cited 2014 Jan, 11]. Available from: http://www.sportinjurybulletin.com/archive/core-stability.html. Bull, E. 2007. Nyeri Punggung. Erlangga. Jakarta, hal. 4-6, 38-40. Cailliet, R. 2003. Spine Disorder and Deformities. fourth edition WB Saunders Company. Philadelphia, hal. 792-809. Chusid, J. G. 1993. Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional. Edisi ke-4. Yogjakarta : Gajah Mada University Press. Diakses Januari 2014. Available from: http://eprints.undip.ac.id/14741/1/2002PPDS551.pdf Dachlan, M. Leo, 2009. Pengaruh Back Exercise Pada Nyeri Punggung Bawah, Magister kedokteran Keluarga Minat Utama Pendidikan Profesi Kesehatan Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Dorland. 2011. Kamus Kedokteran. Edit oleh Harjono, M.R. Cetakan 6. Jakarta: EGC 111 112 Elders, L.A.M. and Burdoff, A. 2003. Prevalence incidence and recurrence of low back pain in Scaffolders during a three year follow up study. In : Elders LAM, ed work related musculoskeletal disorder in Scaffolders. Rotterdam, hal. 19-30. Fairbank, J.C Pynsent P.B. 2000. The Oswestry Disability Index. Spine, 25: 29402950. Hamill, J. 2009. Biomechanical Basis of Human Movement. Lippincott Williams & Wilkins. Hal.262. Hills, E.C. 2006. Mechanical low back pain. Retrieved: 10/12/2013, Available from: http://www.emedicine.com Hislop, H. J.K and Montgomery. 2013. Muscle Testing of Manual Examination. sixth edition, WB Saunders Company. Philadelphia, hal. 34-39. Hodges, P.W, and Richardson, C.A. (1999). Altered trunk muscle recruitment in people with low back pain with upper limb movement at different speeds. Archives of Physical medicine ang rehabilitation, hal 1005-1012. Hooper, P. 1999. Whatever Happened to Williams' Flexion Exercises?. Diakses Retrieved 10/12/2013. Available from: http://www.chiroweb.com Irfan, M. 2010. Prolaps Uteri. Diakses Retrieved 10/12/2013. Available from: http://050285.wordpress.com. Kapandji. 2010. The Physiology of The Joint. sixth edition. Churchil Living Stone. New York, hal. 76-80. Kapandji. 2010. The Physiology of The Joint. Volume Two. Churchill Living Company, USA, hal. 68-81. Kibler, B.W., Press, J., and Sciascia, A. (2006). The Role of Core Stability in Athletic Function. Sports Medicine, 36 (3), 189-198. Kisner, C. 2011. Therapeutic Exercise Foundation and Techniques. Sixth edition. Philadelphia: F.A Davis Company. Klein, M.J. 2006. Deep Heat. Diperoleh tanggal 10 Januari 2014. Available from: http://www.emedicine.com/pmr/topic203.htm. Klein, M.J. 2006. Deep Heat. Diperoleh tanggal 2 Pebruari 2014. Available from: http://www.emedicine.com/pmr/topic203.htm. Knudsen, H.A. 2003. William’s Flexion versus Mc. Kenzie Extension for LBP. PT Doctor Information products inc [online], dari http://homeexerciseprogram. 113 com/William’s-Flexion-Versus-Mckenzie-Extension-Exercises-ForLowBack Pain. html. Koumantakis, G.A., Watson, P. J., Oldham, J. A. 2005. Trunk Muscle Stabilization Training Plus General Exercise Versus General Exercise Only: Randomized Controlled Trial of Patients with Recurrent Low Back Pain. London : Phys Ther. vol. 85. Hal 209 – 225. Kravitz. 2006. Low Back Stability Training. diakses tanggal 20 Januari 2014. Available from: www.unm.edu/~lkravitz/pages. Kurniawan, Hadi. 2004. Pengaruh William’s Flexion Exercise Terhadap Mobilitas Lumbal Dan Aktivitas Fungsional Pada Pasien-Pasien Dengan Nyeri Punggung Bawah (NPB) Mekanik Subakut Dan Kronis, Program Studi Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang. Magee, D.J. 2013. Orthopaedics condition and treatment . sixth edition, WB Saunders Company, Philadelpia, hal. 209-230. Magee, D.J. 2013. Orthopedic Physical Assessment. Sixth Edition, W.B. Saunders Company, Philadelphia Mancini, R.M. 1985. Musculoskeletal pain. In: Halstead LS, Grabois M, Editors, Medical Rehabilitation,Raves Press, New York, hal. 87-115. Mariani E.S, Handoyo R, Pudjonoko D, 2002. Pengurangan nyeri dan perbaikan fungsional pada NPB mekanik, perbandingan efek terapi laser berdaya rendah dengan MWD. M. med Indonesia. Jakarta, hal. 156-165. Mariani, ES, Handoyo R, Pudjonoko D. 2002. Pengurangan nyeri dan perbaikan fungsional pada NPB mekanik, perbandingan efek terapi laser berdaya rendah dengan MWD. M. med Indonesia. Jakarta, hal. 156-165. Marpaung, B., Sjah M. 2006. Penatalaksanaan nyeri pinggang kronis. dalam, Setiyohadi, Kasjmir, editor. Temu Ilmiah Reumatologi 2006, Jakarta, hal. 14 -17. Meliala, L dan Pinzon, R. 2004. Patofisiologi dan Penatalaksanaan Nyeri Pinggang Bawah. Dalam: Meliala L, Rusdi I, Gofir A, editor. Pain Symposium: Towards Mechanim Based Treatment, Jogjakarta, hal. 109116. Moore, K. L., dan Dalley, A. F. 2004. Clinical Oriented Anatomy. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. Nuartha, A. B. N. 1989. Beberapa Segi Klinik dan Penatalaksanaan Nyeri Punggung Bawah, Retrieved 23/11/2013 Available from: 114 http://www.kalbe.co.id penatalaksanaannya. /files/cdk/files/ 5410 beberapasegiklinik and Pandono, S.T. 2008. Perbedaan Pengurangan Nyeri Antara Latihan Mc.Kenzie dengan Latihan Fleksi Williams pada Penderita Nyeri Punggung Bawah Muskuloskeletal. Politeknik Kesehatan Surakarta, Surakarta Panjabi, M.M. 2013. The Stabilizing system of the Spine. Part I. Function, Dysfunction, Adaptation, and Enhancement. Journal of Spinal Disorder, hal 194-200. Panjabi, M.M. 2013. The Stabilizing system of the Spine. Part II. Neutral Zone and Instability Hypothesis. Journal of Spinal Disorder, hal 390-396 Parjoto, S. 2006 . Terapi latihan pada nyeri pinggang bawah. Pelatihan nasional 30 jam kupas tuntas LBP dari aspek intervensi fisioterapi terkini, Surakarta, hal. 1-16. Peterson,T. 2002. The effect of McKenzie therapy as compared with that of intensive strengthening training for the treatment of patients with subacute or chronic low back pain: A randomized controlled trial. Diperoleh tanggal 12 Desember 2011. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12195058. Pocock, J. Stuart. 2008. Clinical Trials: A Practical Approach. Chichester: John Wiley & Sons.p. The Society of Obstetricians and Ginaecologist of Canada 2003. Putz, R., dan Pabst, R. 2006. Atlas Anatomi Manusia Sobotta. Jakarta : Buku Kedokteran, EGC. Quinn, Elizabeth. 2011. It's More Than Just Abs It's More Than Just Abs. Retrieved Jan, 16, 2014. Available from: http://sportsmedicine.about.com/od/ abdominalcorestrength1/a/NewCore.htm. Richardson, C. A. (2002). The Relation Between Transversus abdominis muscles, sacroiliac joint mechanics, and low back pain. Spine. The spine journal, hal 399-405. Sapsford, R. 2011. The Pelvic Floor and Related Organ. In: Sapsford, et all. Woman’s Health A Textbook for Physitherapist. 2nd edition, London: W. B. Saunders. Page 56-7. Sidharta, Priguna. 1984. Sakit Neuromuskuloskeletal dalam Praktik Umum. Dian Rakyat, Jakarta. 115 Soedomo. 2002. Aspek Klinis Nyeri Punggung Bawah. Dalam : Simposium Pelantikan Dokter 142. Surakarta. Sugijanto. 2006. Perbedaan Pengaruh Pemberian Short Wave Diathermy (SWD) dan Contract Relax And Stretching Dengan Short Wave Diathermy dan Transvers Friction Terhadap Pengurangan Nyeri Pada Sindroma Nyeri Miofasial Otot Levator Skapula. Fisioterapi Indonesia, 6 (1). Hal. 46-66. Tan, J.T. 1998. Pratical manual of physical medicine and rehabilitation. St. Louis, Mosby, hal. 133-155, 607-644. Tiger, White. Lapkas Low Back Pain rehab medik unsrat, Retrieved November,23, 2013. Available from: http:// www.whitetigermtc76.co.cc Tulder, M., Koes B.2001. Low back pain and Sciatica. Clinical evidence, Retrieved: December, 12, 2006, Available from: http://www.Emedicine.com, hal. 1-19. Weinstein, S.M., Herring, S.A., Cole, A.J. 1998. Rehabilitation of the patient with spine pain. dalam : Delisa JA, Gans BM, editors, Rehabilitation medicine principle and practice,third edition, Lippincott Raven publishers, Philadelphia, hal. 1423-1451. Werner, P. 20008. Sistem Lokomotor dan Topografi. Edisi 6. Jakarta: EGC. White, A. Panjabi M. 1978. Clinical Biomechanics of The Spine. JB Lippincott company, Philadelphia, hal. 78-80. Wirawan, R.B. 2004. Diagnosis dan Manajemen Nyeri Pinggang. Jogjakarta: Dalam Pain Simposium. Towards Mechanism Based Treatment. 5 Desember, hal. 36, 105 – 108. Yanuar, Andre. 2002. Anatomi, Fisiologi dan Biomekanika Tulang Belakang, Simposium Managemen Terpadu Nyeri Punggung Bawah, Surakarta. Lampiran 1 SURAT PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI SUBJEK PENELITIAN Yang bertanda tangan di bawah ini, saya : Nama : Alamat : Umur : Pekerjaan : Setelah mendapatkan penjelasan dari peneliti tentang maksud, tujuan peneliti, cara pelaksanaan dan manfaat penelitian. Maka dengan ini menyatakan : 1. Bersedia mengikuti dan menjalankan petunjuk atau prosedur penelitian yang diberikan dengan sungguh-sungguh dan bertanggung jawab. 2. Bersedia menghubungi peneliti apabila ada hal-hal yang kurang dipahami serta melaporkan ke peneliti bila ada keluhan-keluhan yang mencul selama maupun setelah pelaksanaan program latihan dalam penelitian ini. 3. Tidak membebani peneliti berkaitan dengan biaya dan keluhan diluar hal-hal yang berhungan dengan program dan prosedur dalam penelitian. Demikian surat pernyataan kesedian mengikuti program penelitian ini saya setujui dengan tanpa paksaan dari pihak manapun, untuk kiranya menjadi pegangan bagi peneliti dan pihak yang berkepentingan dalam penelitian ini. Denpasar, 2014 Yang memberi penjelasan Yang membuat pernyataan (………………………) (..........................................) Lampiran 2 Kuesioner Disabilitas Nyeri Punggung Bawah Oswestry Isilah pernyataan dibawah ini dengan memilih salah satu jawaban dari pernyataan yang menggambarkan kondisi kemampuan aktifitas fungsional anda saat ini sebagai akibat nyeri punggung yang anda derita, dengan memberikan tanda cek (√ ) Nama subyek :…………………… Umur :…………………… Jenis kelamin :…………………… Alamat :……………………. Kelompok : Pelatihan Kombinasi Core Stability Exercises dan Terapi dasar Tanggal penilaian post test: ……….. Seksi 1 : Intensitas nyeri 0. Saat ini saya tidak merasa nyeri. 1. Saat ini nyeri saya sangat ringan. 2. Saat ini saya nyeri sedang. 3. Saat ini nyeri cukup berat. 4. Saat ini nyeri sangat berat. 5. Saat ini adalah paling nyeri yang dapat dibayangkan. Seksi 2 : Perawatan diri 0. Saya dapat mengurus diri sendiri secara normal tanpa bertambah nyeri. 1. Saya dapat mengurus diri sendiri secara normal tetapi sangat nyeri. 2. Saya merasa nyeri ketika mengurus diri sendiri, sehingga saya melakukannya secara perlahan dan hati-hati. 3. Saya memerlukan sedikit bantuan, tetapi melakukan sebagian besar perawatan diri. 4. Saya memerlukan bantuan setiap hari dalam sebagian aspek perawatan diri. 5. Saya tidak dapat memakai baju, mencuci sulit dan berbaring di ranjang. Seksi 3 : Mengangkat 0. Saya dapat mengangkat beban berat tanpa bertambah nyeri 1. Saya dapat mengangkat beban berat tetapi menyebabkan bertambah nyeri. 2. Nyeri membatasi saya untuk mengangkat berat dari lantai, tetapi saya dapat melakukannya jika benda tersebut diatur dulu letaknya, diletakkan di atas meja. 3. Nyeri membatasi saya untuk mengangkat beban berat dari lantai, tetapi saya dapat mengangkat beban ringan atau sedang jika benda tersebut diatur dulu letaknya 4. Saya hanya dapat mengangkat beban yang sangat ringan. 5. Saya sama sekali tidak dapat mengangkat atau menjinjing apapun Seksi 4 : Berjalan 0. Nyeri tidak membatasi saya berjalan berapapun jaraknya. 1. Nyeri membatasi saya berjalan > 1 mil. 2. Nyeri membatasi saya berjalan > ¼ mil. 3. Nyeri membatasi saya berjalan > 100 yard. 4. Saya hanya dapat berjalan dengan memakai tongkat atau kruk. 5. Saya hampir selalu berbaring diranjang, dan harus merangkak jika hendak ke kamar kecil. Seksi 5 : Duduk 0. Saya dapat duduk dikursi manapun sesuka saya. 1. Saya dapat duduk dikursi favorit saya sesuka saya. 2. Nyeri membatasi saya untuk duduk > 1 jam. 3. Nyeri membatasi saya untuk duduk > ½ jam. 4. Nyeri membatasi saya untuk duduk > 10 menit. 5. Nyeri membuat saya sama sekali tidak bisa duduk. Seksi 6 : Berdiri 0. Saya dapat berdiri selama saya mau tanpa bertambah nyeri. 1. Saya dapat berdiri selama saya mau tetapi menyebabkan bertambah nyeri. 2. Nyeri membatasi saya untuk berdiri > 1 jam. 3. Nyeri membatasi saya untuk berdiri > ½ jam. 4. Nyeri membatasi saya untuk berdiri > 10 menit. 5. Nyeri membuat saya sama sekali tidak bisa berdiri. Seksi 7 : Tidur 0. Tidurku tidak pernah terganggu oleh nyeri. 1. Tidurku kadang-kadang terganggu oleh nyeri 2. Karena nyeri saya hannya tidur < 6 jam. 3. Karena nyeri saya hannya tidur < 4 jam. 4. Karena nyeri saya hannya tidur < 2 jam. 5. Nyeri membuat saya sama sekali tidak bisa tidur. Seksi 8 : Kehidupan seksual 0. Kehidupan seksual saya normal tanpa bertambah nyeri 1. Kehidupan seksual saya normal tetapi menyebabakan sedikit bertambah nyeri. 2. Kehidupan seksual saya mendekati normal tetapi sangat nyeri. 3. Kehidupan seksual saya sangat terbatas oleh karena nyeri. 4. Kehidupan seksual saya hampir tidak ada karena nyeri. 5. Nyeri membatasi sama sekali kehidupan seksual saya. Seksi 9 : Kehidupan Sosial 0. Kehidupan sosial saya normal tanpa bertambah nyeri. 1. Kehidupan sosial saya normal tetapi memperberat nyeri. 2. Nyeri tidak mempengaruhi kehidupan sosial saya secara berarti, kecuali dalam aktifitas yang lebih energetik, misalnya : olah raga. 3. Nyeri membatasi kehidupan sosial saya, sehingga saya tidak keluar rumah sesering dulu. 4. Nyeri membatasi kehidupan sosial, saya hannya di rumah. 5. Saya tidak bersosialisasi karena nyeri. Seksi 10 : Bepergian 0. Saya dapat bepergian kemanapun tanpa nyeri. 1. Saya dapat bepergian kemanapun tetapi bertambah nyeri. 2. Nyerinya berat tetapi saya masih dapat bepergian > 2 jam. 3. Nyerinya berat tetapi saya masih dapat bepergian < 1 jam. 4. Nyeri membatasi saya hannya untuk bepergian singkat dan penting, < 30 jam. 5. Nyeri membatasi saya untuk bepergian kecuali berobat. Total score : …..... Lampiran 3 FORMULIR PEMERIKSAAN Tanggal pemeriksaan : No. urut : A. Identitas penderita 1. No reg. : 2. Nama : 3. Umur : 4. Jenis Kelamin : 1 = laki-laki, 2 = wanita 5. Pendidikan : 1 = buta huruf 2 = rendah (s/d tamat SD / sederajad) 3 = sedang (SLTP hingga SLTA/ sederajat) 4 = tinggi (perguruan tinggi / sederajad) 6. Status perkawinan : 1 = belum , 2 = nikah, 3= cerai/janda/duda 7. Pekerjaan : Sebutkan pekerjaan yang terbanyak dilakukan, 1=duduk, 2=berjalan, 3=berdiri, 4=membungkuk, memutar tubuh berulang, 5= mengangkat/menurunkan barang, 6= lain-lain. 8. Alamat : 9. Nilai oswetry pre-test : Nilai oswestry post-test : B. Riwayat penyakit 1. Lokasi nyeri : nyeri punggung terasa pada area seperti pada gambar (subyek menggambar sendiri) 2. Sifat : 1 = tajam 2 = tumpul 3. Faktor pencetus (nyeri punggung bawah saat melakukan aktivitas) : 1 = tak jelas 7 = membungkuk 2 = mengangkat barang 8 = memuntir 3 = menjinjing 9 = terpeleset 4 = menurunkan barang 10 = duduk lama 5 = menarik 11 = paparan alat/vibrasi 6 = mendorong 12 = berulang 4. Lamanya nyeri (nyeri telah dirasakan selama) : 1 = sub akut ( 8 hari – 6 bulan) 2 = kronik (> 6 bln/ kambuh >3x) 5. Hal-hal yang memperberat keluhan terutama : 1 = bangun tidur 4 = setelah berjalan seharian 2 = setelah duduk lama 5 = setelah kerja seharian 3 = setelah berdiri lama 6 = sepanjang hari 6. Hal-hal yang meringankan keluhan terutama : 1 = istirahat/ berbaring 2 = digosok-gosok 3 = minum obat 4 = lain-lain…………..(sebutkan) C. Pemeriksaan nyeri (VAS) : Tidak ada nyeri Nyeri tak tertahankan DATA REKAPITULASI KELOMPOK PERLAKUAN II Nama Umur Jenis Aktivitas Odi pre Odi post Selisih pre (tahun) kelamin pekerjaan (%) (%) dan post (%) A 50 Laki-laki duduk 50 24 26 B 50 Laki-laki membungkuk 30 20 10 C 48 Laki-laki mengangkat 40 20 20 D 26 Perempuan berjalan 48 24 24 E 34 Laki-laki duduk 24 8 16 F 49 Perempuan duduk 18 8 10 G 48 Perempuan berjalan 10 8 2 H 50 Laki-laki mengangkat 12 8 4 I 45 Laki-laki mengangkat 40 20 20 J 50 Laki-laki duduk 58 34 24 K 25 Perempuan duduk 54 46 8 L 40 Perempuan duduk 48 28 20 M 42 Laki-laki mengangkat 52 40 12 N 30 Laki-laki berdiri 40 24 16 DATA REKAPITULASI KELOMPOK PERLAKUAN I Nama Umur Jenis Aktivitas Odi pre Odi post Selisih pre (tahun) kelamin pekerjaan (%) (%) dan post (%) A 33 Perempuan Berdiri 36 6 30 B 50 Laki-laki Duduk 48 10 38 C 50 Perempuan Duduk 70 42 28 D 44 Laki-laki Duduk 26 6 20 E 37 Perempuan Berdiri 48 34 14 F 42 Laki-laki Berdiri 62 30 32 G 26 Laki-laki Mengangkat 44 8 36 H 35 Laki-laki Duduk 44 8 36 I 26 Laki-laki Duduk 30 8 22 J 42 Laki-laki Duduk 34 6 28 K 29 Laki-laki Duduk 30 4 26 L 26 Laki-laki Duduk 34 8 26 M 50 Laki-laki Berjalan 44 8 36 N 40 Perempuan Duduk 40 8 32 DESKRIPSI SKOR ODI PADA KELOMPOK PERLAKUAN I (SWD+CSE) Descriptive Statistics N Range Minimum Maximum Mean Std. Deviation ODI_pre 14 44 26 70 42.14 12.340 ODI_post 14 38 4 42 13.29 12.269 Selisih_ODI 14 24 14 38 28.86 6.916 Valid N (listwise) 14 UJI NORMALITAS SKOR ODI PADA KELOMPOK PERLAKUAN I (SWD+CSE) Descriptives Statistic ODI_pre Mean 95% Confidence Interval for Mean 42.14 Lower Bound 35.02 Upper Bound 49.27 5% Trimmed Mean 41.49 Median 42.00 Variance 3.298 152.286 Std. Deviation ODI_post Std. Error 12.340 Minimum 26 Maximum 70 Range 44 Interquartile Range 15 Skewness .991 .597 Kurtosis .812 1.154 13.29 3.279 Mean 95% Confidence Interval for Lower Bound 6.20 Mean Upper Bound 20.37 5% Trimmed Mean Median 12.21 8.00 Variance 150.527 Std. Deviation 12.269 Minimum 4 Maximum 42 Range 38 Interquartile Range Selisih_ODI 9 Skewness 1.669 .597 Kurtosis 1.358 1.154 Mean 28.86 1.848 95% Confidence Interval for Lower Bound 24.86 Mean Upper Bound 32.85 5% Trimmed Mean 29.17 Median 29.00 Variance 47.824 Std. Deviation 6.916 Minimum 14 Maximum 38 Range 24 Interquartile Range 11 Skewness Kurtosis -.658 .597 .023 1.154 Tests of Normality a Kolmogorov-Smirnov Statistic df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. ODI_pre .175 14 .200 * .916 14 .194 ODI_post .391 14 .000 .657 14 .000 Selisih_ODI .135 14 .200 * .945 14 .485 a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. UJI SKOR ODI SEBELUM DAN SETELAH LATIHAN PADA KELOMPOK PERLAKUAN I (SWD+CSE) DENGAN WILCOXON TEST Ranks N ODI_post - ODI_pre Mean Rank a 7.50 105.00 b .00 .00 Negative Ranks 14 Positive Ranks 0 Ties 0 Total 14 a. ODI_post < ODI_pre b. ODI_post > ODI_pre c. ODI_post = ODI_pre b Test Statistics ODI_post ODI_pre Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Based on positive ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test a -3.301 .001 Sum of Ranks c DESKRIPSI SKOR ODI PADA KELOMPOK PERLAKUAN II (SWD+WFE) Descriptive Statistics N Range Minimum Maximum Mean Std. Deviation ODI_pre 14 48 10 58 37.43 15.989 ODI_post 14 38 8 46 22.29 12.048 Selisih_ODI 14 24 2 26 15.14 7.635 Valid N (listwise) 14 NORMALITAS SKOR ODI KELOMPOK PERLAKUAN II (SWD+WFE) Descriptives Statistic ODI_pre Mean 95% Confidence Interval for Mean 37.43 Lower Bound 28.20 Upper Bound 46.66 5% Trimmed Mean 37.81 Median 40.00 Variance 4.273 255.648 Std. Deviation 15.989 Minimum 10 Maximum 58 Range 48 Interquartile Range 28 Skewness Kurtosis ODI_post Std. Error Mean -.582 .597 -1.010 1.154 22.29 3.220 95% Confidence Interval for Lower Bound 15.33 Mean Upper Bound 29.24 5% Trimmed Mean 21.76 Median 22.00 Variance 145.143 Std. Deviation 12.048 Minimum 8 Maximum 46 Range 38 Interquartile Range 22 Skewness Selisih_ODI .462 .597 Kurtosis -.348 1.154 Mean 15.14 2.040 95% Confidence Interval for Lower Bound 10.73 Mean Upper Bound 19.55 5% Trimmed Mean 15.27 Median 16.00 Variance 58.286 Std. Deviation 7.635 Minimum 2 Maximum 26 Range 24 Interquartile Range 12 Skewness Kurtosis -.264 .597 -1.059 1.154 Tests of Normality a Kolmogorov-Smirnov Statistic df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. ODI_pre .207 14 .107 .910 14 .159 ODI_post .168 14 .200 * .911 14 .161 Selisih_ODI .166 14 .200 * .948 14 .526 a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. UJI SKOR ODI SEBELUM DAN SETELAH LATIHAN PADA KELOMPOK PERLAKUAN I (SWD+WFE) DENGAN PAIRED SAMPLES TEST Paired Samples Statistics Mean Pair 1 N Std. Deviation Std. Error Mean ODI_pre 37.43 14 15.989 4.273 ODI_post 22.29 14 12.048 3.220 Paired Samples Correlations N Pair 1 ODI_pre & ODI_post Correlation 14 Sig. .889 .000 Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Mean Pair 1 Std. Std. Error Deviation Mean Difference Lower Upper t df Sig. (2-tailed) ODI_p re ODI_p ost 15.143 7.635 2.040 10.735 19.551 7.421 13 .000 UJI PERBEDAAN SKOR ODI SEBELUM PELATIHAN PADA KELOMPOK PERLAKUAN I DAN SEBELUM PELATIHAN PADA KELOMPOK PERLAKUAN II Group Statistics kelompok ODI_pre N Mean Std. Deviation Std. Error Mean kelompok 1 14 42.14 12.340 3.298 kelompok 2 14 37.43 15.989 4.273 Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means Sig. (2F ODI_pre Sig. t df tailed) Mean Std. 95% Confidence Error Interval of the Differen Differen ce ce Difference Lower Upper Equal varian ces 1.819 .189 .873 26 .390 4.714 5.398 -6.381 15.810 .873 24.431 .391 4.714 5.398 -6.416 15.845 assum ed Equal varian ces not assum ed Gambar 1 : Aplikasi SWD pada NPB Miogenik Gambar 2: Aplikasi CSE pada pasien NPB miogenik Gambar 3: Aplikasi CSE pada pasien NPB miogenik Gambar 4: Beberapa Latihan WFE pada pasien NPB miogenik