core stability exercise lebih baik meningkatkan aktivitas

advertisement
TESIS
CORE STABILITY EXERCISE LEBIH BAIK
MENINGKATKAN AKTIVITAS FUNGSIONAL DARI
PADA WILLIAM’S FLEXION EXCERCISE
PADA PASIEN NYERI PUNGGUNG BAWAH
MIOGENIK
INDAH PRAMITA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
TESIS
CORE STABILITY EXERCISE LEBIH BAIK
MENINGKATKAN AKTIVITAS FUNGSIONAL DARI
PADA WILLIAM’S FLEXION EXCERCISE
PADA PASIEN NYERI PUNGGUNG BAWAH
MIOGENIK
INDAH PRAMITA
NIM: 1290361018
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI FISIOLOGI OLAHRAGA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
i
CORE STABILITY EXERCISE LEBIH BAIK
MENINGKATKAN AKTIVITAS FUNGSIONAL DARI
PADA WILLIAM’S FLEXION EXCERCISE
PADA PASIEN NYERI PUNGGUNG BAWAH
MIOGENIK
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Fisiologi Olahraga
Konsentrasi Fisioterapi, Program Pascasarjana
Universitas Udayana
INDAH PRAMITA
NIM: 1290361018
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI FISIOLOGI OLAHRAGA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DIUJI KELAYAKAN
PADA TANGGAL 2 OKTOBER 2014
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. dr. Alex Pangkahila, M.Sc, Sp. And
NIP. 19440201 196409 1 001
Sugijanto, Dipl.PT, M.Fis
NIDN. 0317025201
Mengetahui
Ketua Program Fisiologi Olahraga
Program pascasarjana
Universitas Udayana,
Direktur
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Dr. dr. Susy Purnawati, M.KK, AIFO
NIP. 10680929 199903 2 001
Prof.Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP. 19590215 198510 2 001
iii
LEMBAR PENETAPAN PANITIA UJIAN TESIS
Tesis ini Telah Diuji pada
Tanggal 16 Oktober 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana, No 3472/UN.14.4/HK/2014, Tanggal 22 September 2014
Ketua
: Prof. Dr. Dr. Alex Pangkahila, M.Sc, Sp. And
Anggota
:
1. Sugijanto, Dipl.PT, M.Fis
2. S. Indra Lesmana, SKM, SST.Ft, M.Or
3. Prof Nyoman Agus Bagiada, S.P, Biok
4. Dr.dr. Bagus Komang Satriyasa, M.Repro
iv
KATA PENGANTAR
Om Swastiastu,
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehinga penulis dapat
menyelesaikan penulisan thesis ini.
Thesis ini disusun guna melengkapi tugas dan memenuhi syarat kelulusan
Program Pendidikan Magister Fisiologi Olahraga konsentrasi Fisioterapi Program
Pasca Sarjana Universitas Udayana dengan judul “Penambahan Core Stability
Excercise Pada Williams Flexion Excercise Lebih Meningkatkan Aktivitas
Fungsional Dari Pada Latihan Konvensional Pada Pasien Nyeri Punggung Bawah
Musculoskeletal”.
Penyusunan tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada :
1
Bapak Rektor Universitas Udayana, Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan Pascasarjana di Universitas Udayana.
2
Bapak Prof. Dr. Dr. Alex Pangkahila, M.Sc, Sp. And sebagai Ketua Program
magister Fisiologi Olahraga Universitas Udayana dan sebagai pembimbing I,
atas saran, petunjuk dan bimbingannya.
3
Bapak Sugijanto, Dipl.PT, M.Fis sebagai pembimbing II yang telah bersedia
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan.
v
4
Para Dosen Program Magister Fisiologi Olahraga Universitas Udayana, atas
segala dorongan semangat dan bimbingannya.
5
Ayah dan Ibu yang senantiasa memberikan dorongan semangat dan doa.
6
Suami tercinta yang selalu memberikan dorongan serta arahan dan doa.
7
Pihak-pihak yang tidak sempat penulis sebutkan, yang telah membantu dalam
penyusunan penelitian ini
Harapan penulis, semoga tesis ini dapat memberikan manfaat yang
maksimal bagi para pembaca. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu, segala saran dan kritik atas kekurangan dalam
penulisan ini sangat saya harapkan. Akhir kata mengucapkan banyak terima kasih.
Denpasar, September 2014
Penulis
vi
ABSTRAK
CORE STABILITY EXERCISE LEBIH BAIK MENINGKATKAN
AKTIVITAS FUNGSIONAL DARI PADA WILLIAM’S FLEXION
EXCERCISE PADA PASIEN NYERI PUNGGUNG BAWAH
MIOGENIK
Nyeri punggung bawah miogenik merupakan nyeri di sekitar punggung
bawah yang disebabkan karena gangguan atau kelainan pada unsur otot dan
tendon tanpa disertai gangguan neurologis. NPB miogenik dapat mengakibatkan
nyeri, spasme otot dan imbalance muscle, sehingga stabilitas otot perut dan
punggung bawah mengalami penurunan, mobilitas lumbal terbatas,
mengakibatkan penurunan aktivitas fungsional. Latihan yang biasa diberikan di
rumah sakit berupa SWD dikombinasi dengan william’s flexion exercise (WFE).
Adanya metode baru core stability exercise (CSE) sangat penting bagi pasien
NPB miogenik. CSE berfungsi mengaktivasi gerakan yang harmonis antara
keempat group otot inti. Aktivasi keempat otot inti ini akan memberikan
satabilitas pada punggung bawah. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui core
stability exercise lebih baik meningkatkan aktivitas fungsional dari pada william’s
flexion exercise pada pasien nyeri punggung bawah miogenik.
Penelitian ini mengunakan rancangan quasi eksperimental dengan pre-test
and post-test control group design. Penelitian dilaksanakan di klinik di daerah
Denpasar. Subjek sebanyak 28 pasien yang memenuhi kriteria yang ditetapkan
peneliti. Peningkatan aktivitas fungsional diukur dengan oswestry disability index
(ODI) sebelum dan sesudah pelatihan. Subjek dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok perlakuan diberikan SWD dan CSE tiga kali seminggu dan kelompok
kontrol diberikan SWD dan WFE tiga kali semingu.
Hasil uji statistik didapatkan, terjadi penurunan skor ODI pada kelompok
perlakuan I dengan nilai p=0,001 dan pada kelompok perlakuan II dengan nilai
p=0,001. Ini berarti kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sama-sama dapat
meningkatkan aktivitas fungsional secara bermakna. Dari uji komparasi data
dengan t-test menggunakan data selisih pada kedua kelompok didapatkan nilai
p<0,05, yang berarti secara bermakna.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa core stability exercise
lebih meningkatkan aktivitas fungsional dari pada william’s flexion exercise pada
pasien nyeri punggung bawah miogenik. Penelitian diharapkan bermanfaat pada
pasien nyeri punggung bawah miogenik dalam meningkatkan aktivitas fungsional.
Kata kunci : core stability exercise, william’s flexion exercise, SWD, aktivitas
fungsional, nyeri punggung bawah miogenik, ODI
vii
ABSTRACT
CORE STABILITY EXERCISE BETTER THAN WILLIAM'S FLEXION
EXERCISE TO INCREASING FUNCTIONAL ACTIVITY IN PATIENTS
WITH MYOGENIC LOW BACK PAIN
Lower back pain is pain around of the lower back mucle or a disorder caused by
abnormalities in the muscles and tendons of elements without neurological
disorders. Low back pain may result in pain, muscle spasm and muscle
imbalance, so that the stability of abdominal and lower back muscles decreased,
lumbar mobility is limited, resulting in a decrease in functional activity. Exercise
is usually given in a hospital Short Wave Diathermy combined with William's
Flexion Exercise (WFE). The existence of a new method of core stability exercise
(CSE) is very important for patients with myogenic back pain . CSE function
activates the movement of harmony between the four core muscle group.
Activation of these four core muscles will give stability on the lower back. The
purpose of this study to determine better core stability exercise increases the
functional activity of the William's Flexion Exercise in patients with myogenic
back pain.
This study uses a quasi experimental design with pre-test and post-test control
group design. The experiment was conducted in a clinic in Denpasar. Subjects
were 28 patients who met the criteria established researchers. Increased functional
activity was measured with the Oswestry Disability Index (ODI) before and after
training. Subjects were divided into two groups, the treatment group was given
SWD and CSE three times a week and a control group given SWD and WFE three
times a week.
Statistical test results obtained, a decrease in ODI scores in the first treatment
group with p = 0.001 and in the second treatment group with p = 0.001. This
means the treatment group and the control group alike can significantly improve
functional activity. From the comparative test data by t-test using the difference in
the two groups of data obtained p value <0.05, which means significantly.
From these results it can be concluded that the core stability exercises further
enhance the functional activity of the William's Flexion Exercise in patients with
myogenic back pain. The study is expected to be beneficial in patients with
myogenic back pain to improving functional activity.
Keywords: core stability exercise, William's Flexion Exercise, SWD, functional
activity, myogenic back pain, ODI
viii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ...................................................................................................
i
PRASYARAT GELAR ....................................................................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN............................................................................. iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................ iv
KATA PENGANTAR .....................................................................................
v
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
ABSTRACT ..................................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xvi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................
1
1.1
Latar Belakang ...........................................................................
1
1.2
Rumusan Masalah ......................................................................
7
1.3
Tujuan Penelitian .......................................................................
8
1.4
Manfaat Penelitian .....................................................................
9
BAB II KAJIAN PUSTAKA .......................................................................... 10
2.1
2.2
Nyeri Punggung Bawah Miogenik .............................................. 10
2.1.1
Definisi ......................................................................... 10
2.1.2
Etiologi ......................................................................... 11
2.1.3
Patofisiologi Nyeri Punggung Bawah Miogenik .......... 14
2.1.4
Tanda dan Gejala .......................................................... 16
Aktifitas Fungsional .................................................................... 16
ix
2.3
Pemeriksaan Aktivitas Fungsional pada Nyeri Punggung Bawah
Miogenik ..................................................................................... 17
2.4
Anatomi Fungsional dan Biomekanikal Vertebra ...................... 19
2.4.1
Anatomi Terapan dan Biomekanika Vertebra Secara
Umum.............................................................................. 19
2.5
2.4.2
Anatomi Terapan dan Biomekanika Lumbal ................. 21
2.4.3
Biomekanika Vertebra Lumbal ...................................... 49
Core Stability Exercise ................................................................ 54
2.5.1 Pengertian Core Stability Exercise ................................. 54
2.5.2 Macam Latihan ............................................................... 57
2.5.3 Mekanisme Core Stability Exercise Meningkatkan Aktivitas
Fungsional Pada Pasien NPB ...................................................... 61
2.6
William’s Flexion Exercise ......................................................... 62
2.6.1
Macam Latihan William’s Flexion Exercise ................... 63
2.6.2 Mekanisme William’s Flexion Exercise Dalam Meningkatkan
Aktivitas Fungsional Pada Pasien NPB ...................................... 67
2.7
Terapi Dasar ................................................................................ 68
2.7.1
Short Wave Diathermy (SWD) ........................................ 68
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS ................. 70
3.1
Kerangka Berpikir ...................................................................... 70
3.2
Kerangka Konsep ....................................................................... 72
3.3
Hipotesis ..................................................................................... 73
BAB IV METODE PENELITIAN ................................................................. 74
4.1
Rancangan Penelitian ................................................................. 74
4.2
Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................... 75
4.3
Populasi Dan Sampel ................................................................. 75
4.3.1
Populasi .......................................................................... 75
4.3.2
Populasi Terjangkau ........................................................ 75
x
4.4
4.5
4.6
4.7
4.3.3
Sampel ............................................................................ 75
4.3.4
Besaran Sampel ............................................................... 77
Variabel Penelitian ..................................................................... 79
4.4.1
Variabel Bebas ............................................................... 79
4.4.2
Variabel Terikat ............................................................. 79
Definisi Operasional ................................................................... 79
4.5.1
Pasien Nyeri Punggung Bawah Miogenik ..................... 79
4.5.2
Core Stability Exercise ................................................... 80
4.5.3
William’s Flexion Exercise ............................................. 80
4.5.4
Terapi Dasar ................................................................... 80
4.5.5
Kemampuan Fungsional ................................................. 81
4.5.6
Oswestry Dissability Index .............................................. 81
Metode Pengumpulan Data ........................................................ 82
4.6.1
Alat Ukur Penelitian........................................................ 82
4.6.2
Pelaksanaan Penelitian .................................................... 82
4.6.3
Prosedur Penelitian ......................................................... 82
Tahap Pelaksanaan ...................................................................... 83
4.7.1
Tahap Persiapan .............................................................. 83
4.7.2
Tahap Penelitian .............................................................. 83
4.8
Alur Penelitian ............................................................................ 84
4.9
Analisis Data ............................................................................... 84
4.9.1
Statistik Deskriptif .......................................................... 85
4.9.2
Uji Normalitas Data ........................................................ 85
4.9.3
Uji Homogenitas Data ..................................................... 85
4.9.4
Uji Kompatabilitas .......................................................... 85
4.9.5
Uji Hipotesis ................................................................... 85
BAB V HASIL PENELITIAN ........................................................................ 87
xi
5.1
Deskripsi Karakteristik Subjek ................................................... 87
5.2
Analisis Data Deskriptif Skor ODI pada Aktivitas Fungsional NPB
Miogenik Kelompok Kontrol Dan Kelompok Perlakuan ........... 88
5.3
Uji Normalitas Dan Homogenitas............................................... 90
5.4
Pengujian Penurunan Skor ODI Pada Kelompok Kontrol Dalam
Meningkatkan Aktivitas Fungsional Pada NPB Miogenik ......... 91
5.5
Pengujian Penurunan Skor ODI Pada Kelompok Perlakuan Dalam
Meningkatkan Aktivitas Fungsional Pada NPB Miogenik ......... 92
5.6
Uji Perbedaan Skor ODI Sebelum Pelatihan Kelompok Kontrol
Dan Sebelum Pelatihan Kelompok Perlakuan ............................ 93
5.7
Uji Beda Penurunan Skor ODI Setelah Pelatihan Antara Kelompok
Kontrol Dan Kelompok Perlakuan Dalam Meningkatkan Aktivitas
Fungsional Pada NPB Miogenik................................................. 94
BAB VI PEMBAHASAN ................................................................................ 97
6.1
Kondisi Subjek Penelitian ........................................................... 97
6.2
Distribusi Dan Varians Subjek Penelitian .................................. 99
6.3
Pengujian William’s Flexion Exercise Pada Terapi Dasar Dapat
Menurunkan Skor ODI Pada Aktivitas Fungsional Pada Pasien Npb
Miogenik ..................................................................................... 100
6.4
Core Stability Exercise Pada Terapi Dasar Dapat Menurunkan Skor
ODI Pada Aktivitas Fungsional Pada Pasien NPB Miogenil .... 103
6.5
Core Stability Exercise Lebih Meningkatkan Aktivitas Fungsional
Pada Pasien Npb Miogenik Dari Pada William’s Flexion
Exercise ....................................................................................... 107
6.6
Kelemahan Peneliti ..................................................................... 109
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 110
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 111
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Ciri Khusus Vertebra Lumbal ......................................................... 24
Tabel 2.2 Otot-Otot Intrinsik ........................................................................... 35
Tabel 2.3 Perhitungan Tekanan Intra Diskal Pada Berbagai Posisi Tubuh ..... 54
Tabel 4.1 Hubungan Antara Aktifitas Fungsional ODI dengan Kriteria yang
Ditetapkan Menurut ICF.................................................................. 82
Tabel 5.1 Karakteristik subjek penelitian ........................................................ 89
Tabel 5.2 deskriptif skor ODI pada aktivitas fungsional NPB miogenik kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan ..................................................... 90
Tabel 5.3 hasil uji normalitas dan homogenitas penurunan skor ODI sebelum dan
sesudah pelatihan ............................................................................. 91
Tabel 5.4 uji hipetesis skor ODI pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah
pelatihan .......................................................................................... 92
Tabel 5.5 deskriptif skor ODI pada aktivitas fungsional NPB miogenik kelompok
perlakuan dan kelompok perlakuan ................................................. 93
Tabel 5.6 rerata skor ODI sebelum pelatihan pada kedua kelompok ............. 94
Tabel 5.7 uji beda penurunan skor ODI setelah pelatihan pada kedua
kelompok ......................................................................................... 95
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Tulang Vertebra ......................................................................... 21
Gambar 2.2 Vertebra Lumbal Dengan Pandangan Superior........................... 22
Gambar 2.3 Vertebra Lumbal Dengan Pandangan Lateral ............................. 23
Gambar 2.4 Diskus Intervertebralis ................................................................ 25
Gambar 2.5 Anulus Fibrosus Dan Nukleus Pulposus .................................... 27
Gambar 2.6 Posisi Columna Vertebralis Saat Melakukan Gerakan ............... 27
Gambar 2.7 Facet Joint ............................................................................. ...... 29
Gambar 2.8 Ligamen-Ligamen Columna Vertebralis ..................................... 30
Gambar 2.9 Otot-Otot Abdominal .................................................................... 32
Gambar 2.10 Otot-Otot Vertebral .................................................................... 34
Gambar 2.11 Irisan Transversal Regio Punggung Bawah ............................... 36
Gambar 2.12 Otot Transversus Abdominus ..................................................... 39
Gambar 2.13 Otot Multifidus ........................................................................... 39
Gambar 2.14 Otot Diaphragma ....................................................................... 40
Gambar 2.15 Otot Pelvis Dilihat Dari Atas ..................................................... 43
Gambar 2.16 Otot Pubococygeus ..................................................................... 44
Gambar 2.17 Sudut Lumbosacral .................................................................... 51
Gambar 2.18 Shear Force ................................................................................ 52
Gambar 2.19 Posisi Columna Vertebralis Saat Melakukan Gerakan
Sederhana ..................................................................................................... 52
Gambar 2.20 Bridging ...................................................................................... 57
Gambar 2.21 Single Leg Bridging.................................................................... 58
Gambar 2.22 Modified Plank ........................................................................... 59
Gambar 2.23 Front Plank ................................................................................ 60
Gambar 2.24 Side Plank................................................................................... 60
xiv
Gambar 2.25 Pelvic Tilting .............................................................................. 63
Gambar 2.26 Single Knee To Chest ................................................................. 64
Gambar 2.27 Double Knee To Chest................................................................ 65
Gambar 2.28 Partial Sit Up ............................................................................. 65
Gambar 2.29 Hamstring Stretches ................................................................... 66
Gambar 2.30 Squart ......................................................................................... 67
xv
DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN
LAMBANG
SINGKATAN
NPB
Nyeri Punggung Bawah
SWD
Shortwave Diathermy
ODI
Oswestry Dissability Index
WFE
William’s Flexion Exercise
CSE
Core Stability Exercise
CS
Core Stability
TKAF
Tingkat Kemampuan Aktivitas Fungsional
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Informed Consent .......................................................................
Lampiran 2 Kuesioner Disabilitas Nyeri Punggung Bawah Oswestry ..........
Lampiran 3 Formulir Pemeriksaan Penelitian ...............................................
Lampiran 4 Data rekapitulasi kelompok perlakuan .........................................
Lampiran 4 Data rekapitulasi kelompok kontrol .............................................
Lampiran 5 Analisis data .................................................................................
Lampiran 6 Dokumentasi Foto.........................................................................
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Daya konsumsi masyarakat semakin hari semakin meningkat, baik dari
kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Kebutuhan akan suatu produk
tertentu harus diimbangi dengan kemampuan untuk membeli dan memelihara.
Masyarakat terkadang harus bekerja lebih giat dan tekun sehingga terkadang
melupakan unsur penting keseimbangan dalam hidup yakni pemeliharaan
kesehatan. Kondisi tersebut menjadi sangat menarik dan penting untuk dibahas
karena banyak sekali masyarakat yang bekerja tidak memperhitungkan waktu
untuk istirahat. Sikap kerja yang kurang baik, posisi atau tehnik saat
menyelesaikan pekerjaan
yang kemudian banyak menimbulkan masalah
kesakitan, salah satunya keluhan sakit pinggang yang biasa dikenal dengan istilah
Nyeri Punggung Bawah (NPB).
Nyeri punggung bawah (NPB) adalah suatu sindroma klinik yang ditandai
dengan gejala utama rasa nyeri atau perasaan lain yang tidak enak di daerah tulang
punggung bagian bawah dan sekitarnya (Tiger, 2010). Sebagian besar orang
dewasa pernah mengalami NPB dan merupakan salah satu keluhan nyeri yang
sering dijumpai di masyarakat. NPB sendiri diartikan sebagai nyeri mulai dari
bawah iga hingga lipatan pantat dengan atau tanpa rasa nyeri menjalar ke kaki
(Meliala dan Pinzon, 2004). Angka kejadian nyeri punggung bawah hampir sama
pada semua populasi masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju maupun
1
2
negara berkembang, diperkirakan 60% - 85% dari seluruh populasi masyarakat di
dunia pernah merasakan nyeri punggung bawah semasa hidupnya (Elders dan
Burdoff, 2003).
Setiap tahun prevalensi nyeri punggung bawah di negara Amerika Serikat
dilaporkan sebesar 15% - 45% dan angka kejadian tersebut terbanyak didapatkan
pada usia 35 th - 55 th (Tulder dan Koes, 2001). Berdasarkan Copcord Indonesia
(Community Oriented Program for Controle of Rhematic Disease) menunjukan
prevalensi nyeri punggung bawah 18,2% pada laki-laki dan 13,6% pada wanita
(Wirawan, 2004). Berdasarkan survei sekitar 11% - 12% pasien menjadi cacat
akibat kasus ini dan kecenderungan untuk kambuh cukup tinggi yaitu sekitar 26%
- 37%, sehingga menyebabkan penderita kembali tidak bekerja atau kurang
produktif (Marpaung dan Sjah, 2006). Berdasarkan data yang diperoleh dari
poliklinik Rehabilitasi Medik Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
jumlah pasien NPB yang menjalani rawat jalan sebanyak 152 pasien, tahun 2010
sebanyak 249 pasien (RSUP Sanglah Denpasar, 2010). Jumlah pasien NPB yang
datang ke tempat praktek perseorangan dua tahun terakhir berjumlah 270 pasien
(Kurniasih, 2012). Tingginya angka kekambuhan ini secara implisit menunjukan
pengobatan dan penanganan NPB yang belum memuaskan.
Permasalahan yang ditimbulkan NPB cukup besar, tetapi sebagian besar
keluhan dapat hilang sendirinya tanpa adanya penanganan medis (Kravitz, 2006).
Masa penyembuhan NPB biasanya berlangsung antara 3-4 bulan. Hilangnya
keluhan NPB masih menimbulkan permasalahan yaitu resiko untuk kambuh
kembali yang salah satunya disebabkan karena adanya penurunan fungsi stabilitas
3
otot-otot tulang belakang bagian dalam. Pasien NPB yang tidak melakukan latihan
secara khusus memiliki resiko 12 kali untuk kambuh dalam jangka waktu tiga
tahun (Knudsen, 2003).
Penyebab NPB bervariasi dari yang ringan (misal sikap tubuh yang salah)
sampai yang berat dan serius (misal keganasan). NPB miogenik merupakan
penyebab terbanyak yang sering terjadi. NPB miogenik lebih kurang 90%
disebabkan oleh faktor mekanik yaitu NPB pada struktur anatomi normal yang
digunakan secara berlebihan atau akibat dari trauma atau deformitas, yang
menimbulkan stress atau strain pada otot, tendon dan ligamen ( Borenstein dan
Wiesel, 2004). NPB miogenik berhubungan dengan aktivitas sehari-hari yang
berlebihan, mengangkat beban yang berat, terlalu lama berdiri atau duduk dengan
posisi yang salah.
NPB miogenik dapat mengakibatkan spasme pada otot yang mana dapat
menimbulkan penderita merasakan nyeri. Spasme otot yang berkepanjangan dapat
menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah yang mengakibatkan iskemia,
sehingga penderita akan membatasi adanya gerakan yang dapat menimbulkan
nyeri (Meliala dan Pinzon, 2004). Keadaan yang berlangsung lama dapat
menimbulkan otot mengalami kontraktur yang nantinya menimbulkan trauma
kinetiologi yang menyebabkan perubahan postur. Pemendekan pada otot iliopsoas
akan membatasi gerakan fleksi hip sehingga posisi hip akan cenderung
hiperekstensi, dengan keadaan yang demikian akan mengakibatkan kompensasi di
daerah lumbal yaitu lumbal menjadi hiperlordosis. NPB miogenik juga dapat
menimbulkan atrofi otot dalam waktu yang lama. Otot yang mengalami atrofi
4
dalam jangka waktu lama maka akan terjadi penurunan kekuatan otot. Penurunan
kekuatan otot ini nantinya akan dapat menyebabkan penurunan stabilitas di daerah
lumbal yang selanjutnya menimbulkan penurunan tingkat aktivitas fungsional
pasien (Hills, 2006). Aktivitas fungsional yang terhambat seperti keterbatasaan
saat bangun dari duduk, saat aktivitas membungkuk, saat berdiri lama dan saat
berjalan jauh.
Sebagian besar NPB miogenik merupakan ganguan yang dapat sembuh
dengan sendirinya, pasien dengan NPB miogenik akan mengalami penyembuhan
secara berkala dalam tempo lebih dari 2 minggu. Sekitar 90% membaik dalam dua
bulan dan 10% pasien akan mengalami nyeri dalam waktu beberapa bulan bahkan
tahun sehingga akan mengalami disabilitas berkelanjutan (Borenstein dan Wiesel,
2004).
Fisioterapi dalam pelayanan kesehatan profesional bertanggung jawab atas
kesehatan individu, keluarga maupun masyarakat khususnya dalam perbaikan
gerak dan fungsi selama daur kehidupan (Sujatno, 2003). Fisioterapi mempunyai
peranan penting dalam penanganan nyeri punggung bawah. Pemilihan modalitas
terapi yang tepat menjadi suatu keharusan bagi seorang fisioterapis.
Pendekatan fisioterapi yang dapat dipilih untuk kasus NPB adalah short
wave diathermy (SWD), Transcutaneus Electical Nerve Stimulation(TENS) dan
terapi latihan diantaranya Core Stability Excercise, William’s Flexion Excercise,
Mc Kenzie Exercise, Back shcool exercise dan masih banyak lagi metode latihan
yang baik untuk permasalahan NPB. Modalitas fisioterapi yang diberikan pada
NPB biasanya hanya bertujuan untuk mengurangi nyeri dan rileksasi pada pasien,
5
sedangkan untuk meningkatkan aktivitas fungsional belum didapatkan modalitas
yang tepat. Penanganan yang umum dilakukan oleh seorang fisioterapi di klinik
atau rumah sakit adalah dengan pemberian short wave diathermy (SWD) biasanya
ditambah latihan William’s flexion exercise.
Menurut Mariani (2002) melaporkan bahwa penggunaan SWD dengan daya
60 Watt selama 20 menit, 3 kali seminggu selama 2 minggu berturut-turut (total 6
sesi terapi) ternyata dapat mengurangi nyeri punggung bawah miogenik secara
bermakna.
William’s flexion exercise (WFE ) adalah jenis latihan terdiri dari 6 bentuk
gerakan yang dirancang membuka foramen intervertebralis dan sendi faset,
mengulur otot fleksor hip dan ekstensor lumbal, menguatkan otot abdominalis dan
otot gluteal serta meningkatkan mobilitas jaringan ikat bagian posterior
lumbosakral joint. Latihan fleksi lumbal lebih sesuai untuk mengurangi nyeri dan
peningkatan LGS lumbal pada kasus NPB
(Borenstein dan Wiesel, 2004).
Penelitian yang dilakukan oleh dr.Paul William tentang efek program WFE
dikontrol dengan menggunakan kontraksi aktifitas EMG pada nyeri punggung
bawah mekanik kronik usia 50 tahun ke bawah yang mempunyai lordosis pada
lumbal yang berlebihan. Latihan ini bertujuan untuk mengurangi nyeri punggung
bawah dan meningkatkan stabilitas trunk bagian bawah dengan latihan aktif pada
otot-otot abdominal, serta pasif stretching pada otot-otot gluteus maximus,
hamstring, fleksor hip dan otot sacrospinalis. Menurut William bahwa latihan ini
dapat menyeimbangkan antara kelompok otot postural fleksor dan ekstensor.
6
Kesimpulan dari penelitian tersebut pasien yang mendapat perlakuan WFE terjadi
penurunan nyeri yang signifikan.
Belakangan telah dikembangkan suatu metode baru yang terkenal dengan
latihan “Core stability”. Core stabiliy exercise (CSE) adalah sebuah latihan yang
sedang trend diberikan pada pasien NPB dibeberapa negara. CSE merupakan
aktifasi sinergis yang meliputi otot-otot bagian dalam dari thrunk yakni otot core
(inti). Fungsi core yang utama adalah untuk memelihara postur tubuh (Brandon
dan Raphael, 2009). Kepopuleran program latihan ini didasarkan pada keyakinan
bahwa core strength and endurance ( inti kekuatan dan ketahanan) adalah hal
penting untuk memelihara kesehatan punggung bawah dan untuk mencegah
terjadinya cedera terutama dalam peningkatan aktivitas fungsional. Otot inti yang
lemah atau tidak seimbang akan mengakibatkan adanya rasa sakit di daerah
punggung bawah.
Core muscle terdiri dari otot silinder yang menyelimuti lapisan dalam
dari perut, yang terdiri dari 4 grup otot utama yaitu, (1) otot transversus
abdominis, yang berada di bawah otot oblikus internus, oblikus eksternus dan
rektus abdominis, (2) otot multifidus, yang berada diantara tulang vertebra, (3)
otot diafragma, merupakan otot primer untuk bernapas, (4) otot-otot dasar
panggul. Keempat grup otot ini bekerja secara harmonis dan berkontraksi secara
bersama-sama, mereka akan menjaga posisi stabil pada vertebra (the netral zone).
Penguatan pada grup otot postural akan menurunkan gejala NPB dan
memperbaiki aktivitas fungsional.
7
Core stability exercises ini menggambarkan sebuah program inti yang
diterapkan untuk pasien NPB dengan latihan menumpu berat badan yang
melibatkan proprioseptif dan keseimbangan. Menurut Quinn (2011), bahwa
program latihan yang termasuk penguatan inti sangat diperlukan bagi pasien NPB.
Secara umum teknik core stability exercises digunakan dalam program
latihan yang dirancang untuk mencegah cedera ligament cruciatum anterior pada
atlet perempuan. Penelitian tentang apakah core stability exercises dapat
mencegah cedera adalah terbatas, tetapi ada yang berpendapat bahwa kelemahan
otot inti dikaitkan dengan NPB.
Penelitian yang dilakukan oleh Koumantakis GA et al, 2005,
membuktikan bahwa pasien dengan kondisi NPB lebih bermanfaat dan
menguntungkan jika sejak awal diberikan latihan core stability exercises secara
berulang untuk mencegah ketidakstabilan dari otot-otot trunk dibanding hanya
diberikan program general exercises saja.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti ingin meneliti
apakah pemberian Core Stability Exercise lebih baik dalam meningkatkan
aktivitas fungsional dari pada William’s Flexion Exercise pada NPB miogenik.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut :
8
1
Apakah penerapan William’s flexion exercise pada terapi dasar dapat
meningkatkan aktivitas fungsional pada pasien nyeri punggung bawah
miogenik?
2
Apakah penerapan Core stability exercise pada terapi dasar dapat
meningkatkan aktivitas fungsional pada pasien nyeri punggung bawah
miogenik?
3
Apakah Core stability exercise lebih baik dalam meningkatkan aktivitas
fungsional pada terapi dasar dari pada William’s flexion exercise pada
pasien nyeri punggung bawah miogenik?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1 Untuk mengetahui penerapan William’s flexion exercise pada terapi
dasar dalam meningkatkan aktivitas fungsional pada pasien nyeri
punggung bawah miogenik.
2 Untuk mengetahui penerapan Core stability exercise pada terapi dasar
dalam meningkatkan aktivitas fungsional pada pasien nyeri punggung
bawah miogenik.
3
Untuk
mengetahui
Core
stability
exercise
lebih
baik
dalam
meningkatkan aktivitas fungsional pada terapi dasar dari pada William’s
flexion exercise pada pasien nyeri punggung bawah miogenik.
9
1.4. Manfaat Penelitian
1. Bagi Fisioterapi
a.
Dalam penelitian ini diharapkan fisioterapis mamp menerapkan Core
Stability exercise pada kasus nyeri punggung bawah
b.
Untuk menambah wawasan terhadap karakteristik latihan Core
stability exercise dan William’s flexion exercise dalam aplikasi kasus
Nyeri Punggung Bawah
2. Bagi Peneliti
Manfaat bagi peneliti adalah dengan adanya tesis ini akan memberikan
pengetahuan sejauh mana pemberian latihan core stability exercise dan
william’s flexion exercise dapat meningkatkan kemampuan fungsional
pada pasien nyeri punggung bawah miogenik. Dan untuk membuktikan
sebuah teori dengan cara membuktikan dalam praktek klinis.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan referensi bagi mahasiswa fisioterapi yang membutuhkna
pengetahuan lebih terhadap penanganan dan intervensi fisioterapi dalam
meningkatkan aktifitas fungsional pada pasien nyeri punggung bawah
miogenik.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Nyeri Punggung Bawah Miogenik
2.1.1 Definisi
Menurut The International Association for the Study of Pain, nyeri
didefinisikan sebagai suatu rasa yang tidak menyenangkan dan merupakan
pengalaman emosional yang berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual
maupun potensial dan terkadang nyeri digunakan untuk menyatakan adanya
kerusakan jaringan (Parjoto, 2006). Nyeri diartikan sebagai proses normal tubuh
dalam mempertahankan jaringan pada saat terjadi kerusakan. Akibat adanya rasa
nyeri dapat terjadi spasme otot, yang mana dapat diketahuidengan cara palpasi
(Melzack dan Wall, 1999).
NPB merupakan salah satu keluhan yang dapat menimbulkan adanya
penurunan produktivitas manusia, dimana 50%-80% penduduk di negara industri
pernah mengalami NPB. Prosentasi kejadian NPB selalu meningkat dan berkaitan
erat dengan bertambahnya usia dan mengakibatkan pengurangan jam kerja yang
sangat besar (Sugijanto, 2004).
Nyeri punggung bawah miogenik adalah nyeri pada punggung bawah yang
disebabkan oleh gangguan pada unsur tendomusculer tanpa disertai dengan
gangguan neurologis antara vertebra torakal 12 sampai dengan bagian bawah
pinggul dan anus (Paliyama, 2003). NPB miogenik dapat timbul akibat adanya
10
11
potensi kerusakan pada: dermis, pembuluh darah, fascia, musculus, tendon,
kartilago, tulang, ligamen, meniscus, bursa (Paliyama, 2003).
NPB miogenik berhubungan dengan gangguan otot di daerah punggung
bawah, tendon, dan ligamen yang bisa timbul pada saat melakukan aktifitas
sehari-hari secara berlebihan, seperti duduk lama, berdiri lama atau mengangkat
beban berat dengan cara yang salah, dimana nyeri bersifat tumpul dan tidak
menjalar ke tungkai ( Magee, 2013)
Gangguan yang terjadi pada NPB miogenik yaitu nyeri tekan pada regio
lumbal, spasme otot-otot punggung bawah, sehingga dapat mengakibatkan
ketidakseimbangan antara otot abdominal dan paravertebrae, yang dapat
mengakibatkan terjadinya keterbatasan gerak. Adanya ketidakseimbangan tersebut
akan menyebabkan penurunan mobilitas lumbal akibat adanya nyeri, spasme,
ketidakseimbangan otot tersebut, sehingga aktivitas fungsional terganggu,
terutama aktivitas yang memerlukan gerak membungkuk dan memutar badan
(Meliana dan Pinzon, 2004).
2.1.2 Etiologi
Menurut Borenstein dan Wiessel (2004), faktor-faktor penyebab nyeri
punggung bawah dapat diklasifikasikan menjadi 2 kategori, yaitu :
2.1.2.1. Faktor statik
Faktor mekanik statik adalah deviasi sikap atau postur tubuh yang
menyebabkan peningkatan sudut lumbosakral (sudut antara segmen Vertebra L5
dan Vertebra S1) yang normalnya 30-34, atau peningkatan lengkung lordotik
12
lumbal dalam waktu yang cukup lama, serta menyebabkan pergeseran titik pusat
berat badan (center of gravity/CoG), yang normalnya berada di garis tengah
sekitar 2,5 cm di depan segmen Vertebra S2. Peningkatan sudut lumbosakral dan
pergeseran CoG tersebut akan menyebabkan peregangan pada ligamen dan
berkontraksinya otot-otot yang berusaha untuk mempertahankan postur tubuh
yang normal, akibatnya dapat terjadi sprain atau strain pada ligamen atau otot-otot
sekitar punggung bawah yang menimbulkan nyeri (Pandono, 2008).
Kemungkinan faktor penyebab statik pada NPB adalah :
a.
Pergeseran titik pusat berat badan bergeser ke depan. Adapun yang dapat
menimbulkan pergeseran antara lain:
1. Kebiasaan tubuh yang tidak benar
2. Obesitas dan kehamilan
3. Pemendekan tendo achiles atau terlalu sering memakai sepatu dengan
tumit tingi
4. Kelemahan otot-otot dinding perut, serta kelainan atau pemendekan otototot pungung
b.
Pergeseran titik pusat berat badan bergeser ke samping
c.
Terganggunya ritme lumbal-pelvis
2.1.2.2. Faktor dinamik
Faktor mekanik dinamik atau kinetik yaitu terjadinya stress atau beban
mekanik abnormal pada struktur jaringan (ligamen atau otot) di daerah punggung
bawah saat melakukan gerakan. Stress atau beban mekanik tersebut melebihi
13
kapasitas fisiologik atau toleransi otot maupun ligamen di daerah punggung
bawah. Timbulnya nyeri adalah akibat kelainan pada ritme lumbal pelvis yaitu
karena fungsinya tidak sempurna. Gerakan yang potensial menimbulkan nyeri
punggung bawah muskuloskeletal adalah gerakan kombinasi terutama fleksi dan
rotasi, dan bersifat repetitif, apalagi disertai dengan beban, misalnya ketika sedang
mengangkat beban yang berat (Pandono, 2008).
Menurut Bull dan Archad (2007), faktor-faktor resiko pada nyeri punggung
bawah dapat dibagi menjadi 2 kelompok utama, yaitu faktor eksternal atau
pekerjaan dan faktor internal.
1) Faktor eksternal atau pekerjaan
Faktor eksternal atau pekerjaan antara lain : (1) pekerjaan fisik yang berat,
yang terutama memberikan tekanan yang cukup besar pada punggung bawah; (2)
pekerjaan yang berhubungan dengan posisi statik yang berkepanjangan, misalnya
berdiri atau duduk yang cukup lama, apalagi disertai dengan vibrasi atau getaran
pada tubuh, misalnya mengendarai mobil, truk, atau mengoperasikan alat-alat
perindustrian; (3) pekerjaan yang dilakukan dengan gerakan membungkuk atau
memutar tubuh secara berulang-ulang; (4) pekerjaan yang membosankan,
repetitif, atau tidak memberikan kepuasan.
2) Faktor internal
Faktor internal berkaitan dengan individu itu sendiri, antara lain : (1) usia,
dari berbagai studi epidemiologik, kejadian nyeri punggung bawah meningkat
pada usia 35 tahun dan mencapai puncaknya pada usia sekitar 55 tahun; (2)
14
antropometrik, berhubungan dengan berat badan, individu dengan obesitas
mempunyai resiko yang lebih besar mengalami nyeri punggung bawah karena
obesitas menyebabkan hiperlordosis lumbal sehingga terjadi pergeseran titik pusat
berat badan ke depan.
2.1.3 Patofisiologi NPB miogenik
Keluhan utama pasien NPB miogenik adalah adanya nyeri, spasme, dan
keterbatasan fungsional yang berhubungan dengan mobilitas lumbal. Nyeri
merupakan pengalaman sensori yang tidak menyenangkan akibat kerusakan
jaringan pada tubuh (Meliana dan Pinzon, 2004).
Nyeri terjadi jika saraf sensori perifer, yang disebut nociseptor terpicu oleh
rangsang mekanik, kimiawi maupun thermal maka impuls nyeri akan dihantarkan
ke serabut-serabut afferen cabang spinal. Dari medula spinalis impuls diteruskan
ke otak melalui traktus spinotalamikus kolateral. Selanjutnya akan memberikan
respon terhadap impuls saraf tersebut. Respon tersebut berupa upaya untuk
menghambat atau mensupresi nyeri dengan pengeluaran substansi peptida
endogen yang mempunyai sifat analgesik yaitu endorphin. Disamping itu impuls
nyeri yang mencapai medulla spinalis, akan memicu respon reflek spinal
segmentak yang menyebabkan spasme otot dan vasokonstriksi (Tan, 2006).
Spasme otot yang terjadi disini adalah merupakan suatu mekanisme proteksi,
karena adanya spasme otot akan membatasi gerakan sehingga dapat mencegah
kerusakan lebih berat, namun dengan adanya spasme otot, juga terjadi
15
vasokonstriksi pembuluh darah yang menyebabkan iskemia dan sekaligus menjadi
titik picu terjadinya nyeri (Meliala dan Pinzon, 2004).
Pada nyeri miogenik, aktivasi nosiceptor umumnya disebabkan oleh
rangsangan mekanik, yaitu penggunaan otot yang berlebihan (Bernard, 2003).
Penggunaan otot yang berlebihan dapat terjadi pada saat tubuh dipertahankan
dalam posisi statik atau posisi yang salah dalam jangka waktu yang cukup lama,
dimana otot-otot di daerah punggung akan berkontraksi untuk mempertahankan
postur tubuh yang normal (Sidharta, 1994).
Penggunaan otot yang berlebih ini akan menimbulkan iskemia atau
inflamasi sehinga akan terjadi peningkatan berbagau mediator inflamasi seperti
histamine,
bradikinin,
serotonin,
atau
5-hydroxytriptamine
(5-HT)
dan
prostaglandin (PGE 2) (Meliala dan Pinzon, 2004). Mediator onflamasi tersebut
akan mensensitisasi nociseptor otot, akibatnya otot menjadi lebih sensitif,
stimulasi yang seharusnya tidak menimbulkan nyeri dapat menimbulkan
terjadinya nyeri. Setiap gerakan pada otot dapat menimbulkan nyeri sekaligus
menambah spasme otot. Adanya spasme otot menyebabkan ketidakseimbangan
otot abdominal dan paravertebrae, maka akan membatasi mobilitas lumbal
terutama untuk gerakan membungkuk (fleksi) dan memutar (rotasi) (Hills, 2006).
Nyeri dan spasme otot seringkali membuat individu takut menggunakan otot-otot
punggungnya untuk melakukan gerakan lumbal, selanjutnya akan menyebabkan
perubahan fisiologi pada otot tersebut yaitu berkurangnya massa otot dan
penurunan kekuatan otot, akhirnya menimbulkan penurunan tingkat aktivitas
fungsionalnya (Hills, 2006).
16
2.1.4. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala NPB miogenik adalah ditemukannya nyeri otot yang
dikenal sebagai nyeri miogenik, yaitu nyeri yang tidak wajar yang tidak sesuai
dengan distribusi saraf serta dermatom dengan reaksi yang sering berlebihan.
Nyeri tersebut ditandai dengan adanya nyeri tekan pada daerah yang bersangkutan
(triger point), kehilangan ruang gerak kelompok otot yang bersangkutan (loss of
range motion), spasme otot punggung bawah. Adanya spasme otot daerah
lumbosakral, ketidakseimbangan otot stabilisator dan fiksator trunk, mobilitas
lumbosakral terbatas, sehingga mengalami penurunan aktivitas fungsional.
keluhan akan hilang apabila kelompok otot lumbosakral diregangkan (Soedomo,
2002)
2.2
Akivitas Fungsional
Aktivitas fungsional adalah suatu gambaran kemampuan pasien NPB dalam
melakukan aktivitas fungsional sehari-hari seperti : perawatan diri, aktivitas
mengangkat, berjalan, duduk, berdiri, tidur, jongkok.
Adapun aktivitas fungsional yang berhubungan dengan mobilitas lumbal
yaitu aktifitas yang menimbulkan terjadinya gerakan pada daerah lumbal,
misalnya gerakan mengangkat, membungkuk, memutar, jongkok dan lain-lain.
Aktivitas fungsional yang menggunakan otot berlebihan dapat terjadi pada
saat tubuh mempertahankan posisi dalam jangka waktu yang lama, dimana pada
saat itu otot-otot di daerah punggung bawah akan berkontraksi secara terus
menerus untuk mempertahankan postur yang normal. Keadaan tersebut juga dapat
17
terjadi pada saat melakukan gerakan yang menimbulkan beban berlebih di daerah
punggung bawah, misalnya mengangkat beban berat dengan posisi yang salah.
Pengunaan otot-otot punggung bawah secara berlebihan dapat menimbulkan
nyeri. Setiap gerakan pada otot tersebut akan menimbulkan nyeri sekaligus
menyebabkan spasme otot. Adanya otot abdominal dan paravertebrae, hal tersebut
akan membatasi gerakan dari lumbal terutama pada saat melakukan gerakan
membungkuk (fleksi) dan memutar (rotasi) (Hills, 2006). Adanya nyeri dan
spasme otot akan membuat seseorang takut menggunakan otot punggungnya
untuk melakukan gerakan lumbal, selanjutnya akan mengakibatkan perubahan
fisiologis pada otot-otot tersebut, yaitu berkurangnya massa otot (atropy) dan
menurunnya kekuatan otot, akhirnya individu tersebuta akan mengalami
penurunan tingkat aktivitas fungsional (Hills, 2006).
2.3
Pemeriksaan Aktivitas Fungsional pada NPB miogenik
Keterbatasan aktivitas fungsional pada pasien NPB sering sulit dilakukan,
oleh karena itu dikembangkan metode kuisioner untuk menilai dampak NPB
terhadap aktivitas sehari-hari. Ada beberapa alat ukur untuk menilai keterbatasan
fungsional pada pasien NPB, diantaranya: Oswestry disability index (ODI),
Rolland Morris dissability questionnaire (RMDQ), Disability rating index (DRI),
dan sebagainya (Davidson dan Keating, 2002). Kuisioner tersebut diisi
berdasarkan penilaian pasien terhadap kondisinya (subyektif). Pada penelitian ini,
untuk menilai aktivitas fungsional hanya menggunakan kuisioner Oswestry
18
disability index (ODI), karena berdasarkan uji reliability analysis memiliki nilai
r=0,99.
Kuisioner ODI berupa formulir berisi 10 item pernyataan yang disusun
untuk memberikan gambaran terhadap kemampuan fungsional pasien NPB, yang
terdisi dari: item pertama mengukur intensitas nyeri dan 9 item lainnya mengukur
pengaruh nyeri terhadap aktivitas sehari hari yaitu perawatan diri, mengangkat,
berjalan, berdiri, duduk, tidur, aktivitas seksual, aktivitas sosial, dan tamasya.
Sebelum mengisi kuisioner tersebut, terlebih dahulu pasien diberi penjelasan
tentang cara pengisian dan pasien harus memberikan tanda cek (√) pada kotak
yang disediakan. Pasien diminta memilih salah satu pernyataan yang
menggambarkan ketidakmampuan aktivitas fungsional. Tiap seksi di skor dalam
skala 0-5 dan hasil yang dapat diberikan pada skala 0-50. Penilaian menggunakan
nilai total skor ODI/Total Skor (50) x 100%. Tingkat kemampuan aktifitas
fungsional dikategorikan sebagai berikut :
1. Minimal disability (TKAF = 0% - 20%)
2. Moderat disability (TKAF = 21% - 40%)
3. Berat disability (TKAF = 41% - 60%)
4. Sangat terbatas aktivitas (TKAF = 61% - 80%)
5. Tidak mampu beraktivitas (TKAF = 81% - 100%)
19
2.4.
Anatomi Fungsional dan Biomekanik Vertebra
2.4.1. Anatomi Terapan dan Biomekanik Vertebra Secara Umum
Columna vertebralis merupakan pilar utama trunk (batang tubuh) sebagai
penyangga dan peredam kejut sekaligus sebagai penggerak. Columna vertebralis
membentuk struktur dasar batang tubuh, jumlah columna vertebralis terdiri dari
33 – 34 ruas vertebra dan discus intervertebralis, dimana 24 tulang saling
bersendi membentuk columna yang fleksibel. Vertebra dibagi menjadi : 7
vertebra cervical, 12 vertebra thoracal, 5 vertebra lumbal, 5 vertebra sacrum,
dan 4 – 5 vertebra cocccygeus (Werner, 2008). Columna vertebralis pada orang
dewasa mempunyai beberapa kurvatura pada bidang sagital tubuh ada 4 kurvatura
yakni lordosis pada vertebra servicalis, kifosis pada vertebra thorakal, lordosis
pada vertebra lumbalis dan sacral membentuk sudut terhadap garis horizontal
(Werner, 2008)
Semua kerja anggota gerak atas maupun anggota gerak bawah selalu
memerlukan dukungan columna vertebralis sebagai stabilisator maupun inisiator
gerak. Anggota gerak atas melalui os sternoclavicular dan os costae, sedangkan
anggota gerak bawah melalui os sacro illiaca (pelvis). Columna vertebralis
merupakan persendian dengan banyak segmen, merupakan satu kesatuan
fungsional yang mempunyai fungsi secara umum sebagai penopang badan dengan
perantaraan discus intervertebralis, yang lengkungannya memberi fleksibilitas
dan memungkinkan gerak ke segala arah tanpa patah, sebagai peredam kejut pada
saat menggerakkan badan, misalnya saat berlari atau meloncat, dengan demikian
20
otak dan sumsum tulang belakang terlindungi terhadap goncangan, sebagai
penghubung antara anggota gerak atas dan anggota gerak bawah, menunjang
posisi tetap tegak dan sebagai perlekatan otot-otot anggota gerak, melindungi
spinal cord dan memungkinkan serabut saraf dan pembuluh darah lewat tanpa
terjadi cedera saat gerak vertebralis, discus intervertebralis merupakan unsur
elastis bila ditekan atau diregang secara unilateral (Syaifudin, 1994)
Komponen fungsional columna vertebralis dapat dibagi menjadi anterior
pillar yang merupakan komponen penyangga berat dan posterior pillar yang
terdiri dari 2 pilar minor dan berperan dalam gerakan columna vertebralis. Antara
anterior pillar dan posterior pillar terdapat hubungan fungsional yang dapat
digambarkan seperti sistem lever (tuas) dengan prosesus articularis
sebagai
fulcrum. Sistem ini menghasilkan absorpsi gaya kompresi aksial yang diterima
columna vertebralis melalui 2 mekanisme yaitu : (1) absorpsi aktif dan langsung
pada discus intervertebralis, dan (2) absorpsi aktif dan tidak langsung oleh otototot paravertebral (Kapandji, 2010).
21
Gambar 2.1 : Tulang Vertebra
(Putz R dan Pabst R, 2006)
2.4.2. Anatomi Terapan dan Biomekanik Vertebra Lumbal
Vertebra lumbal memiliki mobilitas yang besar dan spesifik, sehingga
menuntut konsekuensi stabilitas yang besar dan spesifik pula yang dibentuk secara
pasif oleh jaringan kontraktil.
Dalam pembahasan anatomi terapan dan biomekanik vertebra lumbal,
meliputi struktur tulang vertebra lumbal, discus intervertebralis, facet joint,
ligamen, otot-otot vertebra lumbal, struktur jaringan saraf lumbal serta gerakangerakan yang terjadi pada lumbal (Borenstein dan Wiesel, 1989)
22
2.4.2.1. Struktur Tulang
Secara umum, vertebra Lumbal terdiri dari Corpus
vertebra, arcus
vertebra dan tujuh prosesus. Corpus vertebra adalah bagian anterior vertebra
yang besar, kuat, silindris membentuk kekuatan columna vertebralis dan
menyangga berat badan. Arcus vertebralis terletak di sebelah posterior Corpus
vertebra, tersusun oleh dua pedikel dan lamina (kanan dan kiri). Arcus vertebralis
dan permukaan posterior Corpus vertebra akan membentuk foramen vertebralis.
Susunan foramen vertebralis dalam columna vertebralis akan membentuk kanalis
spinalis yang berisi medulla spinalis dan akar saraf spinalis. Tujuh prosesus yang
keluar dari arcus vertebralis adalah 1 prosesus spinosus, 2 prosesus transverses
dan 4 prosesus articularis (Moore dan Dalley, 2004)
Gambar 2.2. Vertebra Lumbal dari pandangan superior
(Moore dan Dalley, 2004)
23
Gambar 2.3 Vertebra lumbal dari pandangan lateral
(Moore dan Dalley, 2004)
Vertebra lumbal berada di punggung bawah di antara toraks dan sacrum.
Karakteristik vertebra lumbal dapat dilihat pada tabel 2.2. Karena penumpuan
berat badan yang semakin besar pada bagian inferior columna vertebralis, maka
vertebra lumbal memiliki korpus yang besar. Prosesus articularisnya lebih
vertical dengan facet articularis cenderung ke arah sagital pada segmen awal,
namun semakin mengarah ke bidang frontal pada segmen kaudal. Facet artikularis
dari prosesus articularis inferior vertebra di atas yang menghadap ke lateral
berhubungan dengan facet articularis dari prosesus articularis superior vertebra
di bawahnya, sehingga memfasilitasi gerakan fleksi – ekstensi, sedikit fleksi
lateral dan menghambat rotasi (Moore dan Dalley, 2004).
24
Tabel 2.1. Ciri khusus vertebra lumbal (Moore dan Dalley, 2004)
BAGIAN
KARAKTERISTIK
Korpus
Besar, seperti ginjal bila dilihat dari superior
Foramen vertebralis
Triangular, lebih besar dari torakal dan lebih kecil
dari servikal
Prosesus transverses
Panjang & ramping, ada prosesus aksesorius pada
permukaan posterior tiap basis prosesus
Prosesus articularis
Facet superior mengarah ke postero-medial (atau
medial), facet inferior ke antero-lateral (atau lateral)
Prosesus spinosus
Pendek & kuat, tebal, lebar dan berbentuk kubus
Vertebra Lumbal 5 adalah vertebra terbesar yang dapat bergerak dan
menyangga seluruh berat vertebra di atasnya. Vertebra Lumbal 5 berbeda dari
vertebra yang lain dengan korpus dan prosesus transversusnya besar. Korpusnya
lebih dalam di anterior, sehingga berperan besar bagi sudut lumbo-sacral (Moore
dan Dalley, 2004).
Sakrum berbentuk trianguler, biasanya tersusun dari lima vertebra sacral
yang menyatu. Sakrum menyangga columna vertebralis dan menyusun bagian
posterior pelvic girdle. Posisi sakrum sedikit miring (tilt) sehingga hubungannya
dengan lumbal akan membentuk sudut lumbosakral yang besarnya antara 1300 –
1600(Moore dan Dalley, 2004).
25
2.4.2.2. Discus Intervertebralis
Diantara dua korpus vertebra dihubungkan oleh discus intervertebralis,
merupakan fibrocartílago kompleks yang membentuk artikulasio antara korpus
vertebra dikenal sebagai symphisis joint. Discus merupakan bantalan sendi dengan
fungsi untuk memungkinkan gerak ke segala arah antara kedua corpus dan
stabilisasi terhadap tegangan, serta mendistribusikan beban aksial menjadi
tangensial. Discus dibentuk oleh nucleus sebagai inti di tengah seperti fungsi bola,
yang dibungkus oleh berlapis serabut
fibrocollagen untuk menerima beban
tangensial (Borenstein dan Wiesel, 1989)
Gambar 2.4. Discus Intervertebralis
(Putz R dan Pabst R, 2006)
26
Setiap discus terdiri atas 2 komponen, yaitu :
a) Nucleus pulposus
Merupakan substansia gelatinosa yang berbentuk jelly dan transparan,
mengandung 90% air, sisanya adalah colagen dan proteoglican yang merupakan
unsur-unsur khusus yang bersifat mengikat atau menarik air. Nucleus pulposus
tidak mempunyai kandungan cairan yang sangat tinggi maka dia dapat menahan
beban kompresi serta berfungsi untuk mentransmisikan beberapa gaya ke annulus
sebagai shock absorber (Borenstein dan Wiesel, 1989).
b) Annulus fibrosus
Tersusun oleh serabut konsentrik jaringan colagen yang tampak menyilang
o
satu sama lain. Serabut yang saling menyilang secara vertikal sekitar 30 satu
sama lainnya menyebabkan struktur ini lebih sensitif pada strain rotasi daripada
beban kompresi. Serabut-serabutnya sangat penting dalam fungsi mekanikal dari
discus intervertebralis, susunan serabut
yang kuat melindungi
nucleus
didalamnya. Secara mekanis annulus fibrosus berperan sebagai coiled spring
(gulungan pegas) untuk mempertahankan korpus vertebra ketika melawan tahanan
dari nucleus pulposus yang bekerja seperti bola (Borenstein dan Wiesel, 1989).
27
Gambar 2.5 Anulus fibrosus dan nucleus pulposus
(Putz R dan Pabst R, 2006)
Discus intervertebralis akan mengalami pembebanan pada setiap perubahan
postur tubuh. Tekanan yang timbul pada pembebanan discus intervertebralis
disebut tekanan intradiskal. Tekanan intradiskal berhubungan erat dengan
perubahan postur tubuh. Tekanan intadiskal pada lumbal yaitu pada L - L ,
3
4
karena L - L menerima beban intradiskal yang terbesar pada regio lumbal 4.
3
4
Tekanan dalam regangan terbesar ditemukan pada pusat discus intervertebralis,
sehingga adanya tekanan intradiskal yang besar dapat menghasilkan kerobekan
yang besar pada daerah discus (Victor, 2006).
Gambar 2.6. Posisi Columna Vertebralis saat melakukan pergerakan
(Victor and Margarettha, 2006).
28
Tekanan mekanik pada discus intervertebralis diawali dengan adanya
pergeseran nucleus pulposus ke arah posterior atau posterolateral yang
diakibatkan karena posisi tubuh yang salah pada saat melakukan suatu pekerjaan,
sehingga pada saat melakukan suatu gerakan terutama fleksi lumbal akan
menyebabkan terjadinya penekanan pada discus. Apabila hal tersebut berlangsung
terus menerus akan menyebabkan discus teriritasi dan lama kelamaan dapat terjadi
kerobekan pada discus intervertebralis (Victor, 2006).
2.4.2.3. Facet Joint
Merupakan sendi antara vertebra yang dibentuk oleh procesus inferior dan
superior artikular, dimana arah permukaan sendi dalam bidang sagital, sehingga
memungkinkan luasnya gerak lumbal dominan ke arah fleksi-ekstensi, tetapi juga
menerima beban aksial sehingga sering dijumpai patologi arthritis (Borenstein dan
Wiesel, 1989).
Pada regio lumbal kecuali sendi lumbosacral facet articularis nya terletak
lebih dekat ke dalam bidang sagital, facet bagian atas menghadap ke arah lateral
dan sedikit anterior. Facet bagian atas mempunyai permukaan sedikit konkaf dan
facet bagian bawah adalah konveks. Bentuk facet inilah yang menyebabkan
gerakan rotasi lumbal sangat terbatas (Bogduk, 2005)
Tekanan mekanik pada facet terjadi karena adanya perubahan posisi tubuh
terhadap centre of gravity. Beban yang berlebihan mempengaruhi terjadinya
perubahan pada postur tubuh yaitu meningkatnya kurva lumbosacral , sehingga
menyebabkan sendi facet pada daerah tersebut akan lebih berdekatan, dimana
29
facet tersebut menjadi bidang tumpu dari beban (berat badan) yang menyebabkan
iritasi pada sinovial dan inflamasi pada sendi (Borenstein dan Wiesel, 1989).
Gambar 2.7. Facet Joint
(Putz R dan Pabst R, 2006)
2.4.2.4. Ligamen
Ligamen longitudinalis anterior adalah sebuah pita fibrous yang lebar dan
kuat, menghubungkan bagian antero-lateral korpus vertebra dan Discus
Intervertebralis. Ligamen ini terbentang dari sacrum sampai tuberkel anterior
vertebra C1 dan os oksipital. Fungsinya adalah mencegah hiperekstensi columna
vertebralis dan menjaga stabilitas sendi antar vertebra (gambar 2.8) (Yanuar,
2002).
30
Gambar 2. 8 : ligamen-ligamen columna vertebralis
(Putz R dan Pabst R, 2006)
Ligamen longitudinalis posterior lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan
ligamen longitudinalis anterior. Ligamen ini berada dalam kanalis vertebralis di
sepanjang bagian posterior korpus vertebra, terbentang dari C2 sampai ke sacrum.
Ligamen ini lemah dalam menahan hiper-fleksi columna vertebralis namun dapat
membantu mengarahkan kembali herniasi nucleus pulposus. Memiliki banyak
ujung saraf nosiseptif (nyeri) (Yanuar, 2002).
Selain kedua ligamen utama di atas, columna vertebralis masih diperkuat
dengan ligamen aksesorius. Ligamen flavum terbentang vertical dari lamina di
atas ke lamina di bawahnya, membentuk sebagian dinding posterior kanalis
vertebralis dan berfungsi mencegah terpisahnya lamina vertebra akibat fleksi
mendadak serta melindungi Discus Intervertebralis. Ligamen interspinosus dan
supraspinosus
menghubungkan
prosesus
spinosus,
sedangkan
ligamen
intertransversus menghubungkan antar prosesus transverses (gambar 2.8)
(Yanuar, 2002).
31
2.4.2.5. Otot – Otot Vertebra Lumbal
Sistem otot / muscular pada regio punggung bawah bila dilihat pada irisan
transversal, dapat dikelompokkan menjadi dinding anterior, lateral dan posterior.
Namun karena tidak ada batas jelas antara dinding anterior dan lateral maka lebih
mudah bila memakai istilah antero-lateral. Dinding antero-lateral ini disusun oleh
otot-otot abdominal dan fascia abdominalis, sedangkan dinding posterior oleh
otot-otot paravertebral dan columna vertebralis.
1. Dinding Antero Lateral
Otot-otot abdominal
(dinding antero-lateral) tersusun atas tiga lapisan.
Lapisan pertama adalah otot oblikus eksternus abdominis, lapisan ke dua adalah
otot oblikus internus sedangkan lapisan ke tiga adalah otot transversus abdominis
dan otot rektus abdominis.
a. Otot oblikus eksternus berorigo di permukaan eksternal kosta ke 5 – 12;
insersio pada linea alba, tuberkulum pubikum dan setengah bagian
anterior krista iliaka; fungsi untuk fleksi dan rotasi trunk.
b. Otot oblikus internus berorigo dari fascia torakolumbal, 2/3 bagian
anterior krista iliaka dan separuh bagial lateral ligamen inguinal; insersio
pada sisi posterior kosta ke 10 – 12, linea alba dan pekten pubis;
fungsinya dalam kompresi dan penyanggaan viscera abdominal serta
fleksi dan rotasi trunk.
c. Otot transversus abdominis berorigo dari permukaan internal kartilago
kosta ke 7 – 12, fascia torakolumbal, krista iliaka dan 1/3 lateral ligamen
32
inguinal; insersio pada linea alba, krista pubikum, lapisan anterior
selubung
rectus
dan
pekten
pubis;
berfungsi
menarik
dan
mengencangkan dinding abdominal, kompresi/menekan serta menyangga
viscera abdominal.
d. Otot rektus abdominis berorigo pada simpisis pubis dan krista pubikum,
insersio di prosesus xifoideus dan kartilago kosta ke 5 – 7, fungsinya
untuk fleksi trunk, menekan viscera abdominal dan mengontrol tilting
pelvis (antilordosis).
m. rectus
abdominis
m. transversus
abdominis
aaAbdo
m. oliqus
internus
m. psoas minor
m. psoas mayor
m. quadratus
lumborum
m. transversus
abdominis
m. iliacus
Gambar 2.9 Otot-otot abdominalis
(Putz R dan Pabst R, 2006)
33
Bagian Lateral abdomen terdapat otot quadratus lumborum dan otot psoas
dapat dimasukkan ke dalam lapisan otot deep dari dinding lateral (Kapandji,
2010). Otot quadratus lumborum memiliki tiga jenis serabut yaitu serabut yang
berjalan dari kosta 12 ke krista iliaka, serabut dari kosta 12 ke prosesus
transversus vertebra lumbal dan serabut dari prosesus transversus vertebra
lumbal 1-4 ke krista iliaka. Otot psoas terdiri dari psoas mayor dan psoas minor.
Origo kedua otot ini adalah di sisi lateral vertebra torakal 12 – lumbal 5 dan
prosesus transversus vertebra lumbal, insersio psoas mayor pada trokantor minor
femur dan psoas minor pada linea pektinea.
2.
Dinding Posterior
Otot-otot dinding posterior dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu
otot-otot ekstrinsik dan intrinsik.
a. Kelompok
ekstrinsik
meliputi
lapisan
otot-otot
superficial
dan
intermediate yang berfungsi menghasilkan dan mengontrol gerakan
ekstremitas serta respirasi. Otot ekstrinsik yang sampai ke regio
punggung bawah hanyalah latissimus dorsi. Otot ini berorigo di Krista
iliaka, 4 kosta terbawah, 6 vertebra torakal terbawah dan fascia
torakolumbal, insersio di fossa intertuberkularis humeri. Fungsinya lebih
banyak pada gerakan ekstensi sendi bahu.
b. Otot-otot intrinsik terbagi menjadi tiga lapisan yaitu superficial,
intermediate dan deep. Namun pada regio punggung bawah hanya
terdapat lapisan intermediate dan deep. Otot-otot intrinsik berperan
34
utama pada gerakan kolumna vertebralis dan pemeliharaan postur. Otototot pada regio punggung bawah sebagian besar termasuk kelompok
intrinsik.
Pada lapisan intermediate terdapat otot paravertebral / erector spine yaitu
otot iliocostalis, otot longissimus dan otot spinalis. Otot-otot ini disebut “otot
panjang” punggung, merupakan otot dinamik yang menghasilkan gerakan ekstensi
saat beraksi secara bilateral.
Lapisan deep disusun oleh otot-otot yang berjalan oblik, terdiri dari otot
semispinalis,otot multifidus dan otot rotator. Otot-otot ini berasal dari prosesus
transversus vertebra di bawah dan melekat pada prosesus spinosus vertebra di
atasnya. Kerja otot-otot ini relatif inaktif pada posisi berdiri santai, namun aksinya
sangat diperlukan sebagai otot postural statik untuk menjaga stabilitas columna
vertebralis (Moore dan Dalley, 2004).
m. Rotatores
m. Longissimus
thoracis
m. Iliocostalis
thoracis
m. Iliocostalis
lumborum
m. Multifidus
m. intertransversarii
medialis lumborum
m.
intertransversarii
lateralis lumborum
m. Errector
spinae
Gambar 2.10 Otot-otot paravertebral
(Putz R dan Pabst R, 2006)
35
Tabel 2. 2 Otot-otot intrinsik (Moore dan Dalley, 2004)
Otot
Erector spinae :
Iliokostalis
Longissimus
Spinalis
Origo
Melalui
tendon
dari
bagian
posterior
krista
iliaka & sacrum,
ligamen
sakroiliaka,
prosesus spinosus
lmbal & sacral,
lig. Supraspinosus
Insersio
Iliokostalis
lumborum
:
angulus
kosta
bawah.
Longissimus
thoracis : kosta &
prosesus
transverses v. Th
Spinalis thoracis :
prosesus spinosus
v. Th
4 – 6 segmen
C4- Prosesus spinosus
vertebra di atasnya
Semispinalis
Prosesus
transversus
T12
Multifidus
Posterior
os
sacrum,
SIPS,
aponeurosis
erector spinae, lig.
Sakroiliaka,
prosesus
transversus Th1-3
Berjalan
superomedial 2-4
segmen dari origo
melekat
pada
prosesus spinosus
thoracal
dan
lumbal
Rotatores
Prosesus
transverses
Berjalan
superomedial
melekat
pada
lamina & prosesus
spinosus 2 segmen
di atasnya
Fungsi
Aksi bilateral :
ekstensi
kolumna
vertebralis,
kontrol
gerak
fleksi
dengan
aksi eksentrik.
Aksi unilateral :
lateral
fleksi
kolumna
vertebralis
Ekstensi
&
rotasi
kontralateral
kolumna
vertebralis,
Bilateral
:
Stabilisasi
vertebra selama
gerakan
kolumna
vertebralis.
Unilateral :
ekstensi
dan
rotasi
Stabilisasi
vertebra,
membantu
ekstensi
&
rotasi kolumna
vertebralis
36
Otot–otot dinding abdominal/antero lateral dan otot-otot dinding posterior
tersebut diatas, bila dilihat pada potongan sagital akan membentuk lingkaran yang
menyelubungi vertebra lumbal.
6
5
4 3
2
1
7
8
9
10
11
12 13 14
16
15
18
17
Gambar 2.11. Irisan transversal regio punggung bawah
(Moore dan Dalley, 2004)
37
Keterangan gambar 2.11 :
1.
Corpus vertebra
10. Quadratus lumborum
2.
Fascia transversalis
11. Iliokostalis
3.
Linea alba
12. Longissimus
4.
Oblikus internus superficial sheath
13. Transversospinalis
5.
Oblikus internus deep sheath
14. Fascia lumbalis
6.
Rektus abdominis
15. Serratus posterior
7.
Oblikus eksternus
16. Spinalis
8.
Oblikus internus
17. Psoas
9.
Transversus abdominis
18. Latissimus dorsi
Kerja sinergis dari otot-otot di atas akan menghasilkan dynamic bracing
yang diperlukan untuk stabilisasi vertebra lumbal. Otot-otot stabilisator utama
pada lumbal disusun oleh lapisan dalam dari otot paravertebral dan otot
abdominal,
yaitu:
otot-otot
transversospinalis
(otot
multifidus,
otot
intertransversarii, dan otot rotatores ), dan otot transversus abdominis. Fungsi
otot-otot ini sebagai stabilisator sangat sesuai dengan jenis serabut ototnya yang
memiliki karakteristik serabut otot tipe I atau tipe tonik (Knudsen, 2003).
Selain otot-otot tersebut di atas, dalam mekanisme kontrol postural dan
fungsi lumbo-pelvic complex juga melibatkan otot-otot yang melintasi hip joint
yaitu otot dasar panggul. Otot-otot tersebut berfungsi sebagai fiksator pelvis yang
merupakan perlekatan dari sebagaian otot-otot stabilisator lumbal. Suatu
38
gangguan atau kelainan pada otot-otot ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi aksi otot-otot stabilisator lumbal.
Dari uraian tersebut disimpulkan, dari ketiga lapisan otot diatas adalah otot
lapisan paling dalam yang berperan sebagai stabilisator gerak tubuh yakni otot
transfersus abdominus, otot multifidus, otot diafragma thorak dan yang berfungsi
sebagai fiksator otot dasar panggul.
1. Otot transfersus abdominus (Dorland, 2011)
Otot transfersus abdominus berasal dari permukaan dalam
kosta enam
sebelah kaudal, fasia torakolumbal, prosessus transfersus vertebra lumbalis, krista
iliaka, sepertiga lateral ligamentum inguinale. Otot tersebut melekat di linea
arkuata melalui sarung rektus ke bawah bergabung dengan tendon di tulang
pubis. Mendapat persarafan dari saraf interkostalis bagian kaudal dan cabang dari
pleksus
lumbalis,
saraf
iliohipogastrik,
saraf
ilioinguinal,
dan
saraf
genitofemoralis. Fungsi otot ini bila berkontraksi menarik dan mengencangkan
dinding perut/abdominal masuk ke arah dalam (kearah spine) dan kranial.
(gambar: 2.12).
39
Gambar 2.12 Otot transversus abdominus
(Irfan, 2010)
2.
Otot Multifidus
Origo di fascies dorsalis os sakrum, ligametum sakroiliaka, proc mamilaris
lumbal, prosessus transfersus thorakalis, prosessus transfersus cervikalis. Insersio
pada vertebraspinalis yang berdekatan diatasnya, mendapat persarafan dari rami
dorsalis nervus spinalis. Kontraksi unilateral otot ini adalah gerak ekstensi, rotasi
kolomna vertebralis, kontraksi bilateral otot ini adalah stabilisasi (gambar: 2.13).
.
Gambar 2.13 Otot multifidus
(Irfan, 2010)
40
3.
Otot Diafragma Thorak
Diafragma dalam bahasa Yunani berarti pembatas. Merupakan struktur
muskulotendinous, bagian perifer berotot dan bagian tengah berupa aponeurosis
disebut sentrum tendineum. Diafragma thorak berbentuk kubah di kanan dan kiri
memisahkan rongga abdomen dengan rongga dada. Diafragma ini alasnya
berbentuk cembung dan atapnya cekung (Anggraeni, 2006). Serabut otot
diafragma bertaut secara radial kesentrum tendineum, terdiri dari 3 bagian sesuai
dengan tempat letaknya (gambar: 2.14).
Gambar 2.14. Otot diphragma
(Subotta, 2010 )
(1) Bagian sternalis diafragma: Dibentuk oleh dua jurai otot yang melekat
pada permukaan dorsal prosessus siphoideus thorak.
41
(2) Bagian diafragma kostalis: Berupa jurai-jurai otot yang lebar berasal dari
permukaan dalam ke enam kosta paling kaudal, berikut kartilago
kostalisnya.
(3) Bagian diafragma lumbal: Berasal dari vertebrae lumbal satu (L1) sampai
dengan lumbal 3 (L3) dengan perantaraan dua kaki dari ligamentum
akruatum.
Sentrum tendineum merupakan urat dimana semua serabut otot diafragma
melebar pada permukaan kaudal jaringan ikat perikardium, tidak memiliki
perlekatan pada tulang, dan sebagian terbagi menjadi 3 helai daun yang secara
keseluruhan berbentuk seperti daun semanggi.
Persarafan otot diafragma berasal dari saraf motoris dari saraf frenikus C3-5,
persarafan sensoris dari sentral saraf frenikus C3-5, sedang syaraf perifer oleh saraf
interkostalis T5-11, dan saraf subkostalis T12. Fungsi otot diafragma thorak adalah
sebagai otot pernafasan terutama saat inspirasi. Ketika inspirasi, kubah akan
menurun sebab bagian perifer diafragma melekat pada tepi kaudal dada serta
vertebra lumbal bagian kranial, dan kosta tempat perlekatannya akan melebar ke
samping sehingga akan menambah luas kavum thorakalnya. Pada ekspirasi kubah
kanan bisa naik sampai setinggi kosta 5 sedang kosta kiri lebih rendah sampai
interkosta 5. Dengan demikian kosta yang tertarik kesamping saat inspirasi akan
menurun kembali ke posisi seberapa banyak ekspirasi dicapai. Ketinggian kubah
berubah-ubah sesuai dengan fase pernafasan, posisi tubuh, serta luas dan derajat
mengembang viscera abdomen.
42
4. Otot Dasar Panggul
4.1. Sistem Otot Dasar Panggul
Menurut Sapsford (2011), dasar panggul terdiri dari organ-organ pelvis
diluar peritoneum, fasia endopelvis, dan tiga lapisan grup otot yang terdiri dari
otot diaphragma pelvis yang merupakan bagian dari sekelompok otot yang dilapisi
fascea yang menutup pintu bawah panggul dan terletak pada lapisan yang
terdalam, otot diaphragma uroginetalis terletak pada lapisan tengah, dan lapisan
terluar adalah otot-otot sphingter rektum dan traktus uroginetalis.
1.
Diafragma pelvis (Lapisan terdalam)
Istilah otot dasar panggul (ODP) atau pelvic floor muscle atau diafragma
pelvis ditujukan pada sekelompok otot yang bekerja bersama dan sebagai sekat
yang memisahkan rongga pelvis dari anatomikal perineum, membentang dari rami
pubis hingga ke tulang koksegius. Diafragma pelvis terbentuk dari otot levator ani
dan otot koksigeus (Sapsford, 2011).
a.
Otot levator ani
Otot levator ani terdiri dari tiga set otot yakni otot
puborektalis,
pubokoksigeus, otot iliokoksigeus. Bagian atas dari otot levator ani berbentuk
cekung dan melandai ke arah bawah-belakang-tengah ditutupi oleh lapisan
parietal fasia pelvis. Permukaan bawah dari levator ani berbentuk cembung
ditutupi oleh fasia anal. Levator ani yang ditutupi oleh fasia inilah yang disebut
diafragma pelvis. Ketiga otot ini menyatu di tengah pada mediorafe dan
43
menyisakan tempat di bagian depan bagi uretra, dan vagina disebut trigonum
uroginetale dan bagian posterior hiatus rektalis untuk tempat rektum (Sapsford,
2011).
1) Otot Puborektalis:
Otot Puborektalis berasal dari permukaan posterior tulang pubis, bekerja
sama dengan otot pubokoksigeus, berjalan ke arah belakang sepanjang uretra,
vagina dan rektum, otot ini bergabung dengan otot dari sisi lain di sebelah
belakang anus membentuk sling berbentuk ”U” (Sapsford, 2011).
Gambar 2.15. Otot pelvis dilihat dari atas
(Sobotta, 2010)
Otot ini yang melingkari anorektal bergabung dengan spingter ani internal.
Otot puborektalis menarik bagian depan persimpangan anorektal, ke arah depan,
44
membantu penutupan anus. Puborektalis dengan spingter ani eksternal bekerja
dalam satu kesatuan (Sapsford, 2011)
2) Otot pubokoksigeus
Otot pubokoksigeus berasal dari permukaan belakang tulang pubis dan
fasia yang menutupi obturator internus berjalan ke arah belakang, sebagian dari
otot tersebut bersama dengan otot puborektalis membentuk sling ke vagina, tubuh
perineal, dan rektum (Sapsford, 2011).
.
Gambar 2.16. Otot pubococygeus
(Newmen, 2000)
Otot ini menyatu dengan otot dari sisi lain di belakang anus membentuk
ligamen koksigeal dan melalui ligamen ini melekat pada koksik bagian depan.
Saat berkontraksi otot pubokoksigeus cenderung menarik koksik ke arah depan
dan mengangkat semua organ pelvis, menekan rektum dan vagina (Sapsford,
2011).
45
3) Otot Iliokoksigeus
Otot iliokoksigeus berasal dari fasia di atas obturator internus dan iskial
spine, berjalan ke posteromedial untuk bergabung dengan otot dari sisi lainnya,
belakang ke anus dan bawah ke pubokoksigeus. Otot iliokoksigeus melekat di
dalam
serabut anokoksigeal dan tepi luar dari permukaan bawah koksik.
Kontraksi otot iliokoksigeus cenderung menarik koksik dari sisi ke sisi atau bila
berkontraksi bersama kosik bergerak ke arah fleksi, dan mengangkat rektum yang
berada di levator plate. Levator plate adalah istilah yang di pakai untuk
menggabungkan lapisan pubokoksigeus dan lapisan iliokoksigeus yang menyatu
di belakang persimpangan anorektal dan masuk ke koksik. Pada bagian depan
otot dasar panggul membuka di antara dua pubokoksigeus yang
sering
diistilahkan sebagai levator hiatus (Sapsford, 2011).
4) Otot iskiokoksigeus
Otot iskiokoksigeus berasal dari ischial spine dan ligamen sakrospinosus.
Otot iskiokoksigeus berinsersi (melekat) di tepi luar koksik bagian atas dan
sakrum bagian bawah. Fungsi otot tersebut selain memberikan penyanggaan isi
pelvis, juga berkontribusi sebagai stabilitas sendi sacro iliaka (Sapsford, 2011).
46
2.
Diafragma uroginetale (lapisan tengah)
Merupakan lapisan muskulomembran yang terletak superfisial dari
diafragma pelvis, dibentuk oleh aponeurosis otot transfersus perinei profondus
dan otot transfersus perinei superfisialis (menyebar di antara rami iskiopubis
mengelilingi duktus uroginetalis), dan spingter uretrovaginal. Fungsi diafragma
uroginetalis menekan uretra dan dinding depan vagina, menyangga tubuh perineal
dan introitus (Kisner, 2012).
3.
Lapisan terluar dasar panggul
Lapisan terluar dasar panggul dibentuk oleh otot-otot bulbospongiosus,
iskhiokavernosus,
bulbokavernosus, dan
transfersus perinei superfisialis
(Sapsford, 2011).
a. Otot bulbospongiosus: berasal dari badan perineal dan melingkari vagina
dan uretra. Otot bulbospongiosus ber insertio menyilang pada badan
klitoris. Bulbospongiosus menutup saluran vagina.
b. Otot iskhiokavernosus berasal dari tuberositas iskii, ber insersio pada
permukaan bawah dan sisi dari kaki klitoris. Gerakan kedua otot ini
terhadap klitoris memungkinkan terjadinya respon/ereksi seksual wanita.
c. Otot bulbokavernosus mempunyai fungsi untuk mengecilkan intruitus
vagina, disamping memperkuat fungsi otot spingter uretrae internus
yang terdiri dari otot polos.
47
d. Otot transfersus perinei superfisialis: berasal dari tuberositas iskhii dan
melekat ke badan perineal. Otot ini merupakan struktur fibromuskular
yang berada pada bagian tengah perineum, antara anus dan vagina.
Merupakan kerja otot superfisial yang kompleks dan mempunyai fungsi
yang efisien untuk mengkontribusi stabilitas dan menopang kanal anal.
Serat-serat dari levator ani juga menyatu dengannya. Peregangan dan
perobekan jaringan fibromuskular tersebut bisa terjadi selama proses
melahirkan. Oleh karena itu stabilitas badan perineal sangat diperlukan.
4.2. Fungsi otot dasar panggul
Menurut Sapsford (2011), otot dasar panggul mempunyai banyak fungsi
diantaranya:
1) Menyangga organ pelvis dan isi abdomen terutama ketika berdiri tegak.
Diafragma pelvis / levator ani memegang peranan penting dalam
menyokong kandung kemih, kandungan, dan tiga lumen yakni uretra,
vagina dan rektum. Otot ini harus mampu berkontraksi secara volunter
dan cepat pada suatu waktu tetapi juga harus dapat mempertahankan
tonus saat istirahat secara berkelanjutan.
2) Mempertahankan tekanan intra abdominal. Saat otot levator ani
berkontraksi, vagina terangkat keatas dan otot tersebut juga membantu
menahan gaya yang timbul setiap terjadi peningkatan tekanan intra
abdominal pada kandung kemih misalnya saat batuk, bersin, tertawa
keras, atau saat melompat.
48
3) Memelihara sudut anorectal. Sudut pertemuan antara rektum dan anus
sekitar 90 dalam keadaan istirahat
spingter anal eksternal dan otot
Sudut ini berkurang saat otot
puborektails berkontraksi untuk
menunda defekasi dalam waktu dekat karena situasi yang tidak tepat.
4) Menutup uretral. Kontraksi otot dasar panggul yang mendadak dan
kuat akan menutup uretra dengan cepat untuk menahan keluarnya urin.
Selama meningkatnya tekanan dalam perut, kontraksi otot dasar
panggul akan mengangkat leher kandung kemih ke dalam daerah
tekanan perut.
5) Menyangga beban dari tulang punggung. Beban pada tubuh bagian atas
dalam posisi yang benar akan disalurkan pada tulang punggung jika
tekanan dalam perut kosong. Tekanan statis dihasilkan dari silinder
trunk/otot core yang keras yang dapat bergerak untuk menyangga
bagian atas tubuh dan dengan demikian mengurangi beban tulang
punggung. Tekanan statis ini di bentuk oleh otot transfersus abdominus,
otot multifidus, diafragma thorak, dan otot dasar panggul.
6) Stabilisasi pelvispinal. Otot Isciokoksigeus membantu menstabilkan
sendi sacroiliaka dan sendi sacrokoksigeus.
7) Fungsi seksual. Otot-otot perineal superfisial yang ber insersi di sekitar
kaki dan badan klitoris mempengaruhi peredaran darah dari organorgan tersebut yang menghambat kembalinya darah balik, dan
kemungkinan mengkontribusi respon seksual.
49
2.4.3. Biomekanik Vertebra lumbal
Biomekanik adalah studi tentang struktur dan fungsi dari sistem biologis
dengan mekanika. Ditinjau dari keluasan gerak sendinya, sendi tersebut termasuk
amphiartrosis (hyaline joint). Adapun bidang geraknya antara lain bidang gerak
sagital , transversal dan frontal. Sedangkan gerakan yang terjadi yaitu fleksi,
ekstensi, rotasi, dan latero fleksi. Pada pemeriksaan gerakan dari columna
vertebralis ini mengambil titik pusat pada sendi lumbosacral (Kapandji, 2010).
1) Gerakan fleksi lumbal
Gerakan ini menempati bidang sagital dengan axis gerakan frontal. Sudut
yang normal gerakan fleksi lumbal sekitar 600. Gerakan ini dilakukan oleh
otot fleksor yaitu otot rectus abdominis dibantu oleh otot-otot ekstensor spine
(Kapandji, 2010).
2) Gerakan Ekstensi lumbal
Gerakan ini menempati bidang sagital dengan axis frontal. Sudut ekstensi
lumbal sekitar 350. Gerakan ini dilakukan oleh otot
spinalis dorsi, otot
longisimus dorsi dan iliocostalis lumborum (Kapandji, 2010).
3) Gerakan Rotasi
Terjadi di bidang horizontal dengan aksis melalui processus spinosus dengan
sudut normal yang dibentuk 450 dengan otot penggerak utama m. iliocostalis
lumborum untuk rotasi ipsi lateral dan kontra lateral, bila otot berkontraksi
terjadi rotasi ke pihak berlawanan oleh m. obliqus eksternus abdominis.
50
Gerakan ini dibatasi otot rotasi samping yang berlawanan dan ligamen
interspinosus (Kapandji, 2010).
4) Gerakan Lateral Fleksi
Gerakan pada bidang frontal dan sudut normal yang dibentuk sekitar 300
dengan otot penggerak m. obliqus internus abdominis, m. rektus abdominis
(Hislop and Montgomery, 2013).
Pada posisi berdiri, bila dilihat dari samping punggung bawah belakang
tampak cekung ke depan yang disebut lordosis. Lordosis ini wajar pada setiap
orang normal. Pada posisi berdiri normal sudut lumbosakral untuk laki-laki 300
dan wanita 340. Sudut lumbosakral adalah sudut yang dibentuk oleh garis datar
dan garis melalui tulang sacral. Semakin besar sudut lumbosakral, semakin besar
kurva lordosis, begitu pula sebaliknya (Kapandji, 2010).
Diketahui bahwa L5 sebagai titik tumpu terletak diatas sacrum yang
mempunyai bidang miring karena beban berat diatasnya. Maka sacrum kadangkadang tidak dapat menahan VL5 dan akhirnya meluncur disertai tekanan yang
bersifat menggunting atau shearing stress. Caillet menyatakan bahwa sudut
lumbosakral 300 tekanan menggunting 50% dari beban yang disangganya, sudut
lumbosakral 400 tekanan menggunting 65% dan sudut lumbosakral 500 tekanan
mengguntingnya 75% (Kapandji, 2010).
51
Gambar 2.17. Sudut lumbosakral
(Cailliet, 2003)
Kekuatan yang bekerja sepanjang columna vertebra dapat menyebabkan
kompresi atau ketegangan pada discus . Beban yang dapat disokong oleh sub
sistem pasif sebelum adanya penekukan disebut dengan “beban kritis dari
columna spinalis”. Pada penelitian in vitro beban yang dapat menyebabkan
terjadinya penekukan tulang belakang terjadi pada berat 20 N (2kg) di T1 dan
90N (9kg) di L5 yang jumlahnya sama dengan dua hingga tiga kali berat badan
(140-210kg). Pembebanan dengan cara berputar (shear) akan menyebabkan
terjadinya translasi struktur-struktur. Sebagai contoh pada saat tulang belakang
fleksi, terdapat kecenderungan adanya pergeseran relatif vertebra ke depan
terhadap vertebra dibawahnya. Gaya seperti ini normalnya terjadi pada vertebra
lumbal karena adanya kurva lordosis/lordotik, terutama pada sendi lumbosakral
dimana permukaannya melandai keanterior (Hamill ,2009).
52
Gambar 2.18. Shear force
(Hamill , 2009)
Gambar 2.19. Posisi Collumna Vertebralis saat melakukan gerakan sederhana
(Cailliet, 2003)
53
Keterangan:
A.
Posisi collumna pada saat beristirahat
B.
Posisi collumna pada saan teregang
C.
Posisi collumna pada saat terkompresi
D.
Posisi collumna pada saat ekstensi, tulang vertebra di atas bergerak
ke posterior sehingga nucleus terdorong ke anterior.
Pada pergerakan normal, seharusnya semua komponen struktur stabilitator
punggung terjadi harmonisasi gerak, yaitu antara otot dan ligamentum. Bagian
lumbal mempunyai kebebasan gerak yang besar sehingga mempunyai
kemungkinan cidera yang besar walaupun tulang-tulang vertebra dan ligament di
daerah punggung lebih kokoh (Cailiet, 2003).
Pada gerakan fleksi trunk 50% juga berasal dari rotasi pelvis, demikian
juga gerakan dari posisi membungkuk ke berdiri (fleksi ke ekstensi) juga akan
terjadi rotasi pelvis ke depan yang diikuti ekstensi tulang belakang. Pada keadaan
fleksi tulang belakang, beban pergerakan dari fleksi 90° ke 45° akan ditanggung
oleh ligament, sedangkan beban dari fleksi 45° ke posisi tegak akan ditanggung
oleh otot. Tekanan intra discus di daerah lumbal pada posisi tidur terlentang 20
kg, tidur miring 75 kg, duduk tegak 175 kg, duduk membungkuk 190 kg. Jadi
tekanan intradiskus pada posisi tegak lebih rendah daripada posisi membungkuk,
dan tekanan intradiskus yang paling kecil adalah pada posisi tidur terlentang
(Cailiet, 2003).
Sebagai standar tekanan intradiskal dapat diselidiki pada berbagai sikap
tubuh dan keadaan. Patokan awal tekanan intradiskal adalah saat berdiri tegak.
54
Tekanan inrtadiskal berbeda dalam berbagai sikap dan keadaan adalah sebagai
berikut:
Tabel 2.3. Perhitungan tekanan intradiskal pada berbagai posisi tubuh
Sikap/posisi tubuh
Berdiri
Duduk
Berjalan
Batuk
Loncat
Menbungkuk 20° ke depan
Mengangkat benda 20 kg dengan
lutut sedikit menekuk
Mengangkat benda 20 kg dengan
lutut lurus
Duduk bersandar lebih dari 90°
Tekanan Intradiskal
0 ( standar) %
+ 30 %
+ 15 %
+ 50 %
+ 50 %
+8%
+ 300 %
+ 500 %
- 10-20 %
Tekanan intradiskal yang meningkat pada berbagai keadaan sikap dan
keadaan itu diimbangi oleh tenaga otot abdominal dan torakal. Kontraksi otot
abdominal dan torakal yang sesuai dan tepat dapat meringankan beban tulang
belakang sehingga tenaga otot yang relevan merupakan mekanisme yang
melindungi tulang belakang (Sidharta, 1994)
2.5
Core Stability Excercise
2.5.1. Pengertian Core Stability Exercise
Menurut Kibler, Press and Sciascia (2006), Core stability didefinisikan
kemampuan untuk mengontrol posisi dan gerakan bagian atas panggul dan kaki
untuk memungkinkan produksi yang optimal saat melakukan transfer dan kontrol
gerakan ke bagian tubuh bawah pada saat melakukan aktifitas.
55
Sedangkan Panjabi (2013), dalam artikelnya menjelaskan core melalui tiga
sistem, yaitu : pasif subsistem, aktif subsistem, dan kontrol saraf subsistem.
Ketiga subsistem ini sangat terintegrasi dan teroptimalisasi satu dengan yang lain.
Ketiganya diperlukan dalam normalisasi biomekanika tulang belakang. Adanya
gangguan pada salah satu subsistem akan mengakibatkan ketidakstabilan tulang
belakang, yang dapat menimbulkan terjadinya cidera, disfungsi dan nyeri.
Komponen subsistem pasif melibatkan ligamen tulang belakang yang memberikan
stabilitas pada rentang akhir gerakan. Aktif subsistem melibatkan otot dan tendon
yang berada pada tulang belakang, yang mana menghasilkan kekuatan yang
diperlukan untuk mempertahankan stabilitas tulang belang. Subsistem kontrol
saraf bertugas menerima informasi dari aktif subsistem dan menentukan kekuatan
yang diperlukan untuk menjaga stabilitas tulang belakang.
Core stability exercise didefinisikan sebagai latihan untuk meningkatkan
kemampuan neuromuscular dalam mengontrol dan melindungi tulang belakang
dari cidera. Latihan ini ditujukan untuk meningkatkan kontrol dari pada
lumbopelvic. Peningkatan lumbopelvic ini dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu:
(1) meningkatkan koordinasi dan kontrol dari otot-otot lumbopelvic, (2)
meningkatkan kekuatan otot-otot lumbopelvic ( Lawrence, 2013). Model core
stability exercise didasarkan pada stabilitas tulang belakang tergantung pada
kontribusi otot. Dengan kata lain aktivitas otot diperlukan untuk mempertahankan
posisi tulang belakang.
Menurut beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas dan
ko-aktivitas otot antagonis tulang belakang dapat meningkatkan kontrol tulang
56
belakang pada pasien NPB. Secara umum pendapat tersebut mendorong
pemeliharaan dari posisi lumbopelvic yang stabil. Kontrol model Core stability
exercise berdasarkan bahwa fungsi lumbopelvic, terutama otot penggeraknnya.
Stabilitas dan kontrol tulang belakang tidak hanya tergantung pada otot tetapi juga
pada central nervous sistem (CNS) yang mana akan menentukan perencanaan dan
pelaksanaan untuk mempertahankan stabilitas tulang belakang (Panjabi, 2013).
Banyak otot yang berada pada lumbopelvic dan berkontribusi untuk kontrol
dan stabilitas tulang belakang. Dalam core stability fokusnya adalah pelatihan
ulang fungsi deep muscle (transver abdominis dan multifidus) dan mengintegrasi
aktivitas deep muscle dan global muscle pada tugasnya. Dikoordinasikannya deep
muscle sangat penting dalam gerak segmen intervertebra dari tulang belakang dan
pelvic, meskipun otot tersebut tidak memberi kontribusi besar pada tulang
belakang tapi sangat penting untuk menstabilkan tulang belakang. Kedua otot
lumbopelvic, yaitu transver abdominis dan multifidus memiliki kemampuan yang
minimal untuk menggerakkan tulang belakang. Transver abdominis berkontribusi
mempertahankan stabilitas tulang belakang dengan meningkatkan tekanan intra
abdominal. Peningkatan tekanan intra abdominal tersebut akan mengakibatkan
ketegangan dari tulang belakang sehingga tulang belakang menjadi stabil
Cresswell et all, 1992 dikutip Crossley, 2013). Multifidus adalah deep muscle
yang memiliki peran sangat kecil untuk mengontrol tulang belakang, tetapi
multifidus dapat mengendalikan gerakan intervertebra.
57
2.5.2.
Macam latihan
Ada berbagai model latihan yang termasuk ke dalam core stability exercise.
Disini penulis memilih jenis latihan yang mudah diterapkan oleh pasien secara
mandiri. Adapun macam core stability tersebut adalah sebagai berikut :
2.5.2.1.
Bridging
Posisi berbaring punggung tetap datar, temukan tulang belakang dalam
keadan netral dan tarik perut bawah masuk ke dalam. Pelan-pelan tekankan kedua
kaki dan mengangkat pantat ke atas sehingga trunk lurus (bahu, panggul,dan lutut
pada satu garis). Ambil napas saat angkat pantat lalu buang napas saat pantat
diturunkan. Pertahankan 10 hitungan saat mengangkat dan berpikirlah pantat
ditekan ketika pantat diangkat (pengulangan 10 kali).
Gambar 2.20 Bridging
(dokumentasi pribadi)
58
2.5.2.2. Single leg bridging
Posisi berbaring punggung tetap datar, temukan tulang belakang dalam
keadan netral dan tarik perut bawah masuk ke dalam. Pelan-pelan angkat salah
satu kaki dan tekankan kaki yang lainnya dan mengangkat pantat ke atas sehingga
trunk lurus (bahu, panggul,dan lutut pada satu garis). Ambil napas saat angkat
pantat lalu buang napas saat pantat diturunkan. Pertahankan 10 hitungan saat
mengangkat dan berpikirlah pantat ditekan ketika pantat diangkat (pengulangan
10 kali)
Gambar 2.21 Single leg bridging
(dokumentasi pribadi)
2.5.2.3. Modified plank
Tempatkan siku pada lantai dan bahu dilebarkan terpisah langsung di bawah
bahu. Badan disangga pada siku dan lutut, pastikan tubuh berada dalam garis lurus
(tidak menekuk atau melengkung pada tulang punggung dan pantat terlipat ke
dalam). Menjaga tulang belakang pada posisi netral dan tarik perut bawah. Tahan
59
posisi ini 20 detik dan istirahat selama 30 detik, ulangi 3 kali. Jika merasa kuat,
pertahankan posisi tersebut dalam waktu lama.
Gambar 2.22 Modified plank
(dokumentasi pribadi)
2.5.2.4. Front plank
Posisi tengkurap letakkan siku di lantai kemudian sangga badan dengan
menggunakan siku dan ujung jari. Pertahankan badan dalam satu garis lurus,
mulai dari punggung sampai ke pantat. Tahan selama 20 detik kemudian istirahat
selama 30 detik dan ulangi sebanyak 3 kali pengulangan.
60
Gambar 2.23 Front plank
(dokumentasi pribadi)
2.5.2.5. Side plank
Posisi miring letakkan salah satu siku di lantai kemudian sangga badan
dengan menggunakan siku dan lateral ankle. Pertahankan badan dalam satu garis
lurus, mulai dari punggung sampai ke pantat. Tahan selama 20 detik kemudian
istirahat selama 30 detik dan ulangi sebanyak 3 kali pengulangan.
Gambar 2.24 Side plank
(dokumentasi pribadi)
61
2.5.3. Mekanisme Core Stability Dalam Meningkatkan Aktivitas Fungsional
Pada Pasien NPB
Efek latihan core stability akan mengembangkan kerja otot-otot dynamic
muscular corset. Dengan terjadinya kontraksi yang terkoordinasi dan bersamaan
(Co-Contraction) dari otot-otot tersebut akan memberikan rigiditas celender untuk
menopang trunk, akibatnya tekanan intradiskal berkurang dan akan mengurangi
beban kerja dari otot lumbal, sehingga jaringan tidak mudah cidera, ketegangan
otot lumbal yang abnormal berkurang (Kisner, 2011). Dengan terjadinya
pelemasan otot diharapkan akan terjadi perbaikan muscle pump yang berakibat
meningkatkan sirkulasi darah pada jaringan otot punggung. Dengan demikian
suplai makanan dan oksigen di jaringan otot menjadi lebih baik, nyeri yang
ditimbulkan karena spasme akan berkurang. Selain itu teraktivasinya otot core
yang berfungsi sebagai otot stabilisator tulang belakang akan membuat otot global
muscle yang tadinya spasme menjadi rileks, dengan demikian didapatkan pula
stabilitas tulang belakang yang baik dan posisi tulang belakang dalam keadaan
netral (Kisner, 2011). Dengan stabitas tulang belakang yang baik seseorang akan
lebih mudah dalam melakukan aktivitas fungsional. Selain itu berkurangnya
tekanan intadiskal akan membuat pasien lebih mudah dalam melakukan aktivitas
fungsional, antara lain pasien akan lebih mudah dalam melakukan aktivitas
mengangkat, berjalan, duduk, berdiri dan saat melakukan aktivitas rekreasi.
62
2.6
Williams Flexion Excercise
Metode ini pertama kali dikembangkan oleh Dr. Paul William’s pada tahun
1937 (Knudsen, 2003). Tujuan dari William’s flexion exercise ini adalah untuk
mengurangi tekanan oleh beban tubuh pada sendi faset (articular weight bearing
stress) dan meregangkan otot dan fasia di daerah dorsolumbal, serta bermanfaat
mengkoreksi postur tubuh yang salah (Hills, 2006). William’s flexion exercise ini
juga dapat meningkatkan stabilitas lumbal karena secara aktif melatih otot-otot
abdominal , gluteus maksimus dan hamstring. Disamping itu William’s flexion
exercise dapat meningkatkan tekanan intra abdominal yang mendorong kolumna
vertebralis ke arah belakang, dengan demikian akan membantu mengurangi
hiperlordosis lumbal dan mengurangi tekanan pada diskus intervertebralis
(Hooper, 1999). Secara teoritis, William’s flexion exercise ini dapat membantu
mengurangi nyeri dengan cara mengurangi gaya kompresi pada sendi facet, dan
meregangkan fleksor hip dan ektensor lumbal (Weinstein,1998).
Kontraindikasi dari William’s flexion exercise ini adalah sebagai berikut :
instabilitas atau hipermobilitas segmental dari kolumna vertebralis lumbal,
misalnya pada keadaan spondilosis, spondilolistesis dan disfungsi sendi facet;
hernia diskus; penjalaran nyeri ke tungkai bawah (nyeri radikuler). Latihan ini
meningkat tekanan intra abdominalis, maka sebaiknya
latihan ini dilakukan
secara hati-hati bahkan dihindari pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler
seperti hipertensi yang tidak terkontrol, riwayat infak miokard akut dan stroke
(Tan, 2006).
63
Menurut Hooper (1999), dari penelitian yang pernah dilakukan tentang efek
William’s flexion exercise dibandingkan dengan modalitas fisik yang lain pada
nyeri punggung bawah muskuloskeletal dalam penelitian tersebut menggunakan
metode a randomized controlled trial (RCT) dengan jumlah sampel 85 pasien
dalam waktu 6 bulan. Kesimpulan dari penelitian tersebut pasien yang mendapat
perlakuan William’s flexion exercise terjadi penurunan nyeri yang signifikan dan
perbaikan mobilitas lumbal.
2.6.1. Macam latihan William’s Flexion exercise antara lain:
2.6.1.1. Pelvic tilting
Posisi pasien berbaring terlentang dengan posisi kedua lutut fleksi dan
posisi kaki datar di atas matras. Tekan atau luruskan punggung ke arah matras.
Gerakan ini dipertahankan selama 10 detik ( gambar 2.4). Latihan ini bertujuan
untuk menguatkan otot-otot abdominal dan memobilisasi lumbal bagian bawah.
Gambar 2.25 Pelvic tilting
(Hooper, 1999)
64
2.6.1.2. Single knee to chest
Posisi pasien berbaring terlentang dengan kedua lutut fleksi dan kedua kaki
datar di atas matras. Secara perlahan, tarik lutut kanan dengan kedua tangan
sejauh mungkin mendekati dada dan pertahankan selama 10 detik. Kemudian
kembali ke posisi semula secara perlahan lahan dan ulangi gerakan yang sama
untuk lutut kiri
(gambar 2.5). Latihan ini bertujuan untuk menguatkan otot
abdominal dan untuk rileksasi back mucle secara unilateral.
Gambar 2.26 Single knee to chest
(Hooper, 1999)
2.6.1.3. Double knee to chest
Posisi awal seperti pada gerakan pertama dan kedua, namun sekarang
gerakan kedua lutut ditarik bersama sama dengan kedua tangan ke arah dada
semaksimal mungkin. Pertahankan selama 10 detik dan kemudian kembali ke
posisi awal secara perlahan lahan ( gambar 2.6). Latihan ini bertujuan untuk
menguatkan otot abdominal dan untuk rileksasi back mucle secara bilateral.
65
Gambar 2.27 Double knee to chest
(Hooper, 1999)
2.6.1.4. Partial sit up
Lakukan gerakan pelvic tilting dan pada saat bersamaan naikkan kepala,
leher, dan bahu dari atas matras. Pertahankan dalam waktu 10 detik dan kemudian
kembali perlahan ke posisi semula ( gambar 2.7). Latihan ini bertujuan untuk
menguatkan otot-otot abdominal.
Gambar 2.28 Partial sit up
(Hooper, 1999)
66
2.6.1.5. Hamstring stretches
Berbaring terlentang dengan kedua tungkai lurus, kemudian salah satu
tungkai diangkat dalam posisi lutut lurus mengarah lurus ke atas, kedua tangan
menopang pada bagian belakang paha, pertahankan selama 10 detik, kemudian
perlahan lahan tungkai turun ke posisi semula. Lakukan gerakan yang sama untuk
tungkai yang lain (gambar 2.8). Latihan ini bertujuan untuk meregangkan otot
punggung bawah dan hamstring yang memendek.
Gambar 2.29 Hamstring stretches
(Hooper, 1999)
2.6.1.6. Squat
Posisi berdiri dengan punggung lurus dan kedua lengan diluruskan ke
depan. Posisi kedua kaki sejajar. Kemudian perlahan-lahan jongkok, dengan
kedua lengan masih lurus ke depan. Pertahankan 10 detik (gambar 2.9 ). Latihan
ini bertujuan untuk menguatkan otot quadriceps.
67
Gambar 2.30 Squat
(Hooper, 1999)
Latihan ini dilakukan dengan pengulangan 10 kali untuk masing-masing
gerakan dan gerakan yang dilakukan dipertahankan selama 5 detik (Basmajian,
1987).
2.6.2. Mekanisme
William’s
Flexion
Exercise
Dalam
Meningkatkan
Aktivitas Fungsional Pada Pasien NPB
William’s flexion exercise merupaka suatu latihan dengan tujuan untuk
mengulur otot-otot bagian posterior dan juga meningkatkan kekuatan otot
abdominal. Dengan terulurnya golgi tendon dan muscle spindel maka diharapkan
terjadi efek rileksasi. Adanya rileksasi pada otot-otot daerah dorsal punggung
diharapkan akan mempermudah pasien dalam melakukan aktivitas fungsional
yang dengan kata lain akan meningkatkan kemampuan aktivitas fungsional pasien
68
(Hill, 2006). Selain itu pada WFE juga secara aktif melatih otot-otot abdominal,
gluteus maksimus dan hamstring, yang mana dapat meningkatkan stabilitas di
daerah lumbal. Dengan meningkatnya stabilitas di daerah lumbal diharapkan akan
terjadi peningkatan aktivitas fungsional pada pasien NPB miogenik.
2.7
Terapi Dasar
2.7.1. Short Wave Diathermy(SWD)
SWD merupakan modalitas panas melalui aplikasi arus listrik radio
frekuensi tinggi dengan frekuensi 27,12 MHz dan panjang gelombang 11,06 nm
(Klein, 2006).
Perbedaan struktur jaringan tubuh menyebabkan efek fisiologis yang
dihasilkan SWD akan berbeda untuk tiap jaringan. Jaringan ikat akan mengalami
peningkatan elastisitas 5 – 10 kali lebih besar akibat turunnya viskositas matriks
jaringan. Selain meningkatkan elastisitas otot, SWD juga dapat menurunkan tonus
otot melalui normalisasi nosisensorik. Jaringan saraf akan mengalami peningkatan
elastisitas pembungkus jaringan saraf dan ambang rangsang (thresshold). Efek
fisiologis tersebut akan memunculkan efek terapeutik yaitu peningkatan proses
reparasi jaringan secara fisiologis, penurunan nyeri, normalisasi tonus otot dan
perbaikan sistem metabolisme (Sugijanto, 2006).
Efek penurunan nyeri dengan aplikasi SWD didapatkan dari modulasi
nyeri pada level sensoris akibat peningkatan metabolisme sebesar 18% yang
diikuti dengan perubahan PO2, PCO2 dan pH jaringan. Akibatnya akan terjadi
pembukaan sphincter prekapiler dan arteriole yang menyebabkan vasodilatasi dan
69
peningkatan aliran darah sebesar 300 ml/100 gram jaringan, sehingga pasokan
nutrisi dan pembuangan zat-zat penyebab nyeri akan meningkat dan hasilnya
nyeri akan berkurang. Efek lainnya adalah meningkatnya elastisitas jaringan
colagen dalam struktur myofascial akibat penurunan viskositas matrik colagen
sehingga jaringan akan lebih mudah digerakkan dan kelenturannya bertambah
(Sugijanto, 2006).
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS
3.1. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir ini berkaitan pada teori Penyebab timbulnya nyeri pada
nyeri punggung bawah miogenik adalah karena pengaruh dari faktor-faktor
berikut : (1) faktor eksternal yaitu pekerjaan fisik yang berat, posisi statik yang
berkepanjangan disertai vibrasi, membungkuk atau memutar tubuh berulangulang, serta pekerjaan yang membosankan, repetitif, tanpa kepuasan; (2) faktor
internal yaitu usia dan antopometrik. Hal-hal tersebut menimbulkan adanya beban
atau stress pada otot-otot punggung bawah sehingga timbul nyeri dan spasme
yang menyebabkan terjadinya nyeri punggung bawah miogenik. Selain itu akan
terjadi adanya kontraktur otot yang mana hal tersebut dapat mengakibatkan
kinetic trauma. Apabila NPB berkepanjangan akan mengakibatkan muscle atropi
terutama akan terjadi pada beberapa otot yaitu : pada otot abdoment, pelvic floor
yang menimbulkan stabilitas tulang belakang mengalami penurunan, hal tersebut
nantinya dapat mengakibat penurunan dalam aktivitas fungsional. Pemberian
modalitas William’s flexion exercise sudah sejak lama digunakan dalam
menangani NPB dikalangan fisioterapis. Efektifitasnyapun dapat mengurangi
nyeri yang ditimbulkan karena NPB miogenik dan diharapkan dengan
berkurangnya nyeri akan dapat meningkatkan kemampuan fungsional seseorang.
Dalam era sekarang telah banyak metode baru bermunculan yang digunakan
dalam menangani NPB miogenik, antara lain : core stability exercise. Core
70
71
stability exercise adalah sebuah metode yang berfungsi meningkatkan kekuatan
dari pada otot inti yang mana otot inti tersebut berperan sangat besar dalam
menstabilkan lumbal, sehingga diharapkan apabila stabilitas lumbal meningkat
akan dapat meningkatkan kemampuan fungsional.
72
3.2. Kerangka Konsep
- Core Stability
Exercise + SWD
- William’s Flexion
Exercise + SWD
Faktor resiko eksternal :
Faktor resiko
internal :
- Pekerjaan fisik berat
- Posisi statik yang
berkepanjangan dan vibrasi
- Membungkuk/memutar
tubuh berulang-ulang
- Pekerjaan yang
membosankan, repetitif,
tanpa kepuasan
- Usia
- antropometrik
Aktifitas Fungsional menurut ODI :
-Intensitas nyeri pada punggung
bawah
- Perawatan diri (mandi, berpakaian)
-Aktifitas mengangkat
-Berjalan
-Duduk
-Berdiri
-Tidur
-Aktifitas seksual
-Kehidupan sosial
-Bepergian/melakukan perjalanan
73
3.3.
Hipotesis
Hipotesis pada rencana penelitian ini adalah:
1
Pemberian William’s flexion exercise pada terapi dasar dapat
meningkatkan aktivitas fungsional pada pasien nyeri punggung bawah
miogenik.
2
Pemberian Core stability exercise pada terapi dasar dapat meningkatkan
aktivitas fungsional pada pasien nyeri punggung bawah miogenik.
3
Core stability exercise lebih baik dalam meningkatkan aktivitas
fungsional dari pada William’s flexion exercise pada terapi dasar pada
pasien nyeri punggung bawah miogenik.
74
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini bersifat eksperimental dengan rancangan pre-test
and post-test control group design, dimana pembagian sampel menjadi dua
kelompok dilakukan secara acak atau random (Pocock, 2008).
Bagan rancangan pre-test and post-test control group design penelitian
adalah sebagai berikut :
P1
Purpossive
O1
sampling
P
S
O2
MA
P2
O3
O4
Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian
Keterangan :
P
= Populasi
S
= Sampel
MA = Matching allocation
O1
= Observasi kelompok perlakuan I (CSE+SWD) sebelum interverensi
O2
= Observasi kelompok perlakuan I (CSE+SWD) setelah interverensi
O3
= Observasi kelompok perlakuan II (WFE +SWD) sebelum interverensi
O4
= Observasi kelompok perlakuan II (WFE +SWD) setelah interverensi
74
75
P1
= perlakuan : pemberian metode Core Stability Exercise dan SWD
P2
= perlakuan : pemberian metode William’s Flexion Exercise dan SWD
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di tempat praktek Fisioterapi di wilayah Denpasar.
Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2014
4.3. Populasi dan Sampel
4.3.1. Populasi Target
Pasien nyeri punggung bawah miogenik yang berusia antara 25 - 50 tahun,
nyeri punggung bawah telah melewati masa akut, yaitu minimal lebih dari 10 hari,
penderita wanita tidak sedang hamil, tidak adanya kelainan neurologis, dapat
berkomunikasi dengan baik dan kooperatif.
4.3.2. Populasi terjangkau
Populasi penelitian ini adalah seluruh penderita nyeri punggung bawah
miogenik yang datang ke tempat praktek fisioterapi di Denpasar pada bulan April
sampai Juni 2014.
4.3.3. Sampel
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purpossive sampling
dengan menggunakan pemeriksaan fisioterapi dan sesuai dengan kriteria yang
telah ditetapkan peneliti. Teknik pengambilan sampel ini dilakukan berdasarkan
76
pertimbangan untuk mendapatkan gambaran hasil pengujian suatu teknik
perlakuan dengan memilih orang-orang yang secara kebetulan mewakili kriteria
yang telah ditetapkan.
Kriterian pengambilan sampel :
a)
Kriteria inklusi :
1.
Subyek dengan nyeri punggung bawah miogenik yang didiagnosa oleh
dokter
2.
Usia antara 25-50 tahun
3.
Nyeri punggung bawah telah melewati masa akut, yaitu minimal lebih
dari 10 hari
b)
4.
Penderita wanita tidak sedang hamil
5.
Tidak adanya kelainan neurologis
6.
Dapat berkomunikasi dengan baik
7.
Kooperatif dan bersedia mengikuti program penelitian.
Kriteria eksklusi :
1.
Mempunyai gangguan kardio (jantung)
2.
Ada hnp
3.
Ada gangguan syaraf paraesthesi
4.
Tumor ganas.
77
c)
Kriteria drop out jika :
1. Tidak melakukan terapi 2 kali berturut-turut atau tidak berturut-turut
2. Penderita selama penelitian tidak teratur mengikuti prosedur
penelitian
3. Pasien meninggal dunia.
4. Gangguan bladder dan bowel
5. Gangguan sensasi meningkat dan otot menjadi lemah
4.3.3. Besaran Sampel
Besar sampel yang diperlukan dalam penelitian ini akan dihitung dengan
menggunakan rumus Pocock, 2008 :
2σ2
∫(α,β)
n=
2
1 2
(µ - µ )
Ket :
n = Jumlah sampel
σ = Simpang baku
α = Tingkat kesalahan I (ditetapkan 0,05)
Interval kepercayaan (1-α) = 0,95
β = Tingkat kesalahan II (ditetapkan 0,20)
78
Tingkat kekuatan uji (1-β) = 0,80
∫(α,β) = interval kepercayaan 7,9
µ1 = rerata nilai aktifitas fungsional (skor ODI ) pada kelompok kontrol
µ2 = rerata harapan peningkatan aktivitas fungsional (skor ODI semakin
menurun)
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu didapatkan hasil rerata aktifitas
fungsional pada kelompok kontrol, µ1= 29,43 , standar deviasi 12,46 dengan
harapan peningkatan aktinitas fungsional (skor ODI menurun) setelah perlakuan
sebesar 64% yaitu rerata nilai aktifitas fungsional pada kelompok perlakuan
sebesar µ2 = 15,86. Dengan demikian dapat dihitung sebagai berikut :
2σ2
∫(α,β)
n =
2
1
(µ - µ )
n =
2(12,46)2
(15,86-29,43)
n =
310,70
7,9
2
7,9
184,14
n = 13,3
Dari hasil penghiungan di atas didapatkan nilai 13,3 yang dibulatkan
menjadi 14, maka sampel ditetapkan berjumlah 28 sampel. Sampel akan dibagi
79
menjadi dua kelompok masing-masing 14 orang. Untuk mengantisipasi adanya
droupout makan jumlah sampel akan ditambah 20% yaitu menjadi 16 sampel
masing-masing kelompok.
4.4. Variabel Penelitian
4.4.1. Variabel bebas adalah : variabel yang mempengaruhi variabel terikat.
Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah : Metode core
stability ditambah SWD dan william’s flexion exercise ditambah SWD.
4.4.2. Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas.
Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah aktivitas
fungsional pasien NPB miogenik.
4.5. Definisi Operasional Variabel
4.5.1. Pasien Nyeri punggung bawah miogenik yaitu Suatu jenis kelainan pada
sistem miogenik terutama pada daerah punggung bawah, yang berhubungan
dengan stress/strain otot yang ditandai dengan keluhan nyeri tumpul, dapat
terlokalisir atau dapat meluas sekitar gluteal, nyeri tidak disertai parestesi,
tidak menjalar sampai ke tungkai, spasme otot, dan keterbatasan gerak
lumbosakral, serta mengalami penurunan aktivitas fungsional sehari-hari.
Dimana pada pasien dengan nyeri punggung bawah miogenik tidak di
temukan adanya kelainan pada tulang, sendi, maupun persarafannya,
melainkan pada otot-otot disekitar punggung bawah.
80
4.5.2. Core stability exercise adalah Suatu jenis latihan koaktivasi otot dalam dari
trunk bawah untuk mengontrol selama terjadi pergerakan seperti
perpindahan berat badan, aktivitas fungsional dari ekstremitas seperti
meraih dan melangkah. Latihan dibagi dalam 5 jenis latihan, antara lain :
bridging, single leg bridging, modified plank, fron plank, dan side plank.
Latihan ini dilakukan selama 6 kali terapi dan durasi 20 menit, repetisi
untuk penguatan 10-15 kali perset, dilakukan secara perlahan tanpa
menimbulkan rasa sakit, pertahankan 5–10 detik, kembali ke posisi awal
lalu rileks. Terapi latihan core stability exercises ini hanya diberikan pada
kelompok perlakuan I
4.5.3. William’s flexion exercise adalah suatu jenis latihan yang ditujukan untuk
mengurangi beban pada sendi faset dan meregangkan otot pada daerah
punggung. Latihan ini terdiri dari 6 jenis latihan, antara lain: pelvic tilting,
single knee to chest, double knee to chest, partial sit up, hamstring
stretches, dan squat. Latihan ini dilakukan selama 6 kali dan dilakukan
perlahan tanpa menimbulkan rasa sakit, pertahankan 5-10 detik, kembali ke
posisi awal lalu rileks. Terapi WFE ini hanya diberikan pada kelompok
perlakuan II.
4.5.4. Terapi Dasar
Terapi dasar yang diberikan di rumah sakit pada NPB miogenik yaitu SWD.
81
a. Short Wave Diathermy (SWD)
SWD adalah suatu jenis modalitas aplikasi energi elektromagnetik
27,12 MHz, diberikan dengan metode koplanar selama 15 menit untuk tiap
sesi terapi, intensitas 80-90 Hz, dengan dosis terapi submitis (Klein, 2006).
Terapi SWD ini diberikan pada kelompok perlakuan I maupun kelompok
perlakuan II selama 6 kali terapi.
4.5.5. Kemampuan fungsional
Suatu gambaran kemampuan seseorang dalam melakukan aktifitas seharihari. Kemampuan fungsional ini nantinya dikaitkan dengan adanya nyeri yang
dialami pasien pada saat melakukan aktifitas sehari-hari.
4.5.6. Oswestry Disability Index
Suatu index atau quisioner untuk mengukur kemampuan fungsional
seseorang dalam aktifitas sehari-hari yang berkaitan dengan timbulnya nyeri pada
punggung bawah. Quisioner ini terdiri 10 sesi yaitu : intensitas nyeri, perawatan
diri, aktifitas mengangkat, aktifitas berjalan, duduk, berdiri, tidur, aktifitas
seksual, kehidupan sosialdan pada saat bepergian.
82
Tabel 4.1 Hubungan Antara Aktifitas Fungsional ODI Dengan Kriteria Yang
Ditetapkan menurut ICF
Aktifitas fungsional
Intensitas nyeri
Kriteria menurut ICF
Function
Perawatan diri (mandi, berpakaian)
Activities limitation
Aktifitas mengangkat
Activities limitation
Berjalan
Activities limitation
Duduk
Activities limitation
Berdiri
Activities limitation
Tidur
Activities limitation
Aktifitas seksual
Participation restriction
Kehidupan sosial
Participation restriction
Bepergian/melakukan perjalanan
Participation restriction
4.6. Metode Pengumpulan Data
4.6.1. Alat ukur penelitian
Alat ukur menggunakan Oswestry Disability Index yang mana mengukur
keterbatasan fungsional pasien oleh karena nyeri.
4.6.2. Pelaksanan penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai dengan Juni 2014 di
Poliklinik Fisioterapi daerah Denpasar.
83
4.6.3. Prosedur penelitian
Tehnik pengumpulan data pada penelitian ini melalui dua tahap yaitu tahap
sebelum diberikan tindakan atau perlakuan dan tahap setelah 2 minggu diberikan
tindakan atau perlakuan. Evaluasi dilakukan secara bertahap sebelum diberikan
terapi dan sesaat setelah terapi diberikan.
4.7. Tahap Pelaksanaan Penelitian
4.7.1. Tahap Persiapan
Langkah pertama diawali dengan persiapan penelitian meliputi pengajuan
ijin penelitian, ijin peminjaman ruangan dan fasilitas yang mendukung
terlaksananya penelitian kepada Direktur Klinik Fisioterapi di Denpasar.
Langkah kedua mencari pasien yang memenuhi kriteria insklusi yang akan
menjadi subyek penelitian yang datang ke lapangan untuk diberikan penjelasan
dan perencanaan jadwal tentang rencana penelitian, manfaat penelitian dan
program penelitian. Penjelasan tersebut diberikan kepada semua pasien yang
menjadi subyek supaya mengerti dan memahami maksud dan tujuan penelitian.
Subyek yang bersedia ikut dalam penelitian diminta mengisi dan menandatangani
surat persetujuan (Informed Consent).
4.7.2. Tahap Penelitian
Langkah pertama, asessment pasien guna mengetahui keluhan khusus dan
umum pasien. Langkah kedua, mengukur nilai keterbatasan fungsional pasien
serta pemeriksaan penunjang lainya. Langkah ketiga, pengukuran post-test untuk
84
mengetahui peningkatan kemampuan fungsionalnya setelah pasien mendapatkan
perlakuan.
4.8. Alur Penelitian
NBP miogenik kronis
Pasien
Assesment
Sampel
Kelompok I
Pre test
CSE dan terapi
dasar
Kelompok II
WFE dan terapi dasar
Evaluasi nilai aktivitas fungsional dengan oswestry
dissability index (Post test)
Analisa Data
Hasil
4.9. Analisis Data Penelitian
Data yang diperoleh akan dianalisis dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
85
4.9.1. Statistik Diskriptif
Digunakan untuk menggambarkan karakteristik fisik sampel yang meliputi
umur, jenis kelamin, aktivitas pekerjaan, dan skor ODI .
4.9.2. Uji Normalitas Data
Uji normalitas data digunakan untuk mengetahui apakah data yang akan
dianalisis berdistribusi normal atau tidak. Analisis statistik yang digunakan untuk
menguji normalitas data yaitu Shapiro-wilk test dan Kolmogorov-smirnov test.
Jika nilai probabilitas (p>0,05) maka distribusi data dinyatakan normal. Jika pada
uji normalitas data nilai probabilitas nilai (p<0,05) maka distribusi data
dinyatakan tidak normal
4.9.3. Uji Homogenitas Data
Uji homogenitas data (Skor ODI ) dengan uji Levene’s test, bertujuan untuk
mengetahui apakah varian kedua data yang akan dianalisa bersifat homogen atau
tidak. Batas kemaknaan atau tingkat kepercayaan yang digunakan adalah α=0,05
4.9.4. Uji kompatibilitas sebelum pelatihan pada kelompok I dan sebelum
pelatihan pada kelompok II dengan menggunakan Independent Sample Test
4.9.5. Uji Hipotesis
4.9.5.1. Hipotesis 1
a) Karena pada uji normalitas sebelum dan sesudah perlakuan data
berdistribusi normal maka akan menggunakan Paired sample T-test.
86
Pengambilan
keputusan
perdasarkan
perbandingan
probabilitas
dengan tingkat signifikansi 95% adalah jika probabilitas (p<0,05)
maka Ha diterima dan jika probabilitas (p> 0,05) maka Ha ditolak.
4.9.5.2. Hipotesis 2
a) Karena pada uji normalitas sebelum dan sesudah perlakuan salah satu
atau keduanya berdistribusi tidak normal maka akan menggunakan
Wilcoxon match pair test. Pengambilan keputusan perdasarkan
perbandingan probabilitas dengan tingkat signifikansi 95% adalah jika
probabilitas (p<0,05) maka Ha diterima dan jika probabilitas (p> 0,05)
maka Ha ditolak.
4.9.5.3. Hipotesis 3 diuji dengan statistik sebagai berikut :
a) Karena pada uji normalitas selisih pada kelompok I dan selisih pada
kelompok II didapatkan hasil keduanya berdistribusi normal maka
akan menggunakan Independent Sample Test. Pengambilan keputusan
perdasarkan perbandingan probabilitas dengan tingkat signifikansi
95% adalah jika probabilitas (p<0,05) maka Ha diterima dan jika
probabilitas (p> 0,05) maka Ha ditolak.
BAB V
HASIL PENELITIAN
Pengambilan data penelitian telah dilaksanakan di klinik daerah Denpasar
dengan menggunakan rancangan Quasi experiment dengan pre and post test
group design. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang mengeluh
nyeri punggung bawah yang telah dilakukan pemeriksaan. Pengambilan sampel
diambil secara matching allocation dan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan
hingga jumlah memenuhi yang ditargetkan.
Subjek penelitian berdasarkan rumus Pocock berjumlah 28 orang, yang
dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 14 orang.
Setiap kelompok mendapatkan terapi dengan frekuensi 3 kali perminggu selama 2
minggu, pengambilan sampel dilakukan dari bulan April 2014 sampai Juni 2014.
Masing-masing kelompok dinilai kemampuan aktivitas fungsional dengan
oswestry disability index (ODI) sebelum dan sesudah pelatihan.
5.1
Deskripsi Karakteristik Subjek
Karakteristik subjek penelitian meliputi: umur, jenis kelamin dan aktivitas
pekerjaan. Deskripsi karakteristik subjek penelitian disajikan pada tabel 5.1
berikut:
87
88
Tabel 5.1
Karakteristik subjek penelitian
Karakteristik subjek
Rentangan
Kel Perlakuan I
Kel Perlakuan II
(n=14)
(n=14)
n
%
n
%
21-30
4
28,6
3
21,4
31-40
4
28,6
2
14,3
41-50
6
42,8
9
64,3
Laki-laki
10
71,4
9
64,3
Perempuan
4
28,6
5
35,7
Duduk
9
64,3
6
42,9
Berjalan
1
7,1
2
14,3
Berdiri
3
21,4
1
7,1
Membungkuk
0
0
1
7,1
Mengangkat
1
7,1
4
28,6
Umur
Jenis kelamin
Aktivitas pekerjaan
Sumber: (Data primer, 2014)
Keterangan:
n = Jumlah sampel
5.2
Analisis data deskriptif skor ODI pada aktivitas
fungsional NPB
miogenik kelompok perlakuan I dan kelompok perlakuan II
Penilaian aktivitas fungsional dilakukan untuk mengetahui gambaran
kemampuan pasien nyeri punggung bawah (NPB) dalam melakukan aktivitas
fungsional sehari-hari dari masing-masing subjek dengan menggunakan oswestry
dissability index. Subjek diminta untuk memilih salah satu pernyataan yang
89
menggambarkan ketidakmampuannya dengan memberikan tanda cek (√) pada
kotak yang disediakan. Subjek sebelumnya diberikan penjelasan cara mengisinya ,
kemudian untuk mendapatkan hasil skor ODI dihitung dengan menggunakan
rumus = Total Skor / 50 x 100%. Penilaian skor ODI dilakukan sebelum dan
sesudah pelatihan yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 5.2 berikut :
Tabel 5.2
Deskriprif Skor ODI Aktivitas Fungsional pada NPB Miogenik Kelompok
Perlakuan I dan Kelompok Perlakuan II
Skor ODI
Kelompok Perlakuan I
Kelompok Perlakuan II
(n=14)
(n=14)
Sebelum
Sesudah
Selisih
Sebelum
Sesudah
Selisih
26
4
14
10
8
2
70
42
38
58
46
26
Range
44
38
24
48
38
24
Rerata(%)
42,14
13,29
28,86
37,43
22,29
15,14
Simpang
12,340
12,269
6,916
15,989
12,048
7,635
Nilai
minimal(%)
Nilai
maksimal(%)
baku(%)
Sumber: (Data primer, 2014)
Berdasarkan hasil tabel 5.2 di atas, menunjukkan bahwa rerata penurunan
skor ODI pada kelompok perlakuan I sebesar 28,86%, sedangkan rerata
penurunan skor ODI pada kelompok perlakuan II sebesar 15,14%. Dengan
demikian rerata penurunan skor ODI pada kelompok perlakuan I lebih besar
dibandingkan pada kelompok perlakuan II.
90
5.3
Uji Normalitas dan Homogenitas Data
Sebagai prasarat untuk menentukan uji statistik yang akan digunakan, maka
dilakukan uji normalitas dan homogenitas data dari hasil tes sebelum dan sesudah
pelatihan. Uji normalitas dengan menggunakan uji Saphiro Wilk, sedangkan uji
homogenitas mengunakan Levene test, hasilnya dapat dilihat pada tabel 5.3
berikut:
Tabel 5.3
Hasil uji normalitas dan homogenitas penurunan skor ODI sebelum dan
sesudah pelatihan pada kedua kelompok
Saphiro Wilk test
Levene
(p)
test
Skor ODI
Kel perlakuan I
Kel perlakuan II
(p)
Sebelum perlakuan
0,194
0,159
0,189
Sesudah perlakuan
0,001
0,161
0,914
Selisih
0,485
0,526
0,510
Berdasarkan hasil uji normalitas (Saphiro wilk test) data penurunan skor
ODI sebelum dan sesudah pelatihan pada kelompok perlakuan I sebelum pelatihan
didapatkan nilai p>0,05 sehingga dinyatakan data sebelum pelatihan pada
kelompok perlakuan I berdistribusi normal, sedangkan pada data setelah pelatihan
pada kelompok perlakuan I didapatkan nilai p<0,05 sehingga dinyatakan data
setelah pelatihan pada kelompok pelatihan berdistribusi tidak normal. Pada
kelompok perlakuan II didapat nilai p>0,05 sehingga dinyatakan data pada
kelompok kontrol berdistribusi normal. Data selisih nilai ODI pada kelompok
91
perlakuan I dan kelompok perlakuan II didapatkan nilai p>0,05 sehingga
dinyatakan berdistribusi normal.
Hasil uji homogenitas (Levene test) data penurunan skor ODI menunjukkan
pada kedua kelompok sebelum pelatihan didapatkan p= 0,189 (p>0.05) yang
berarti data homogen. Data sesudah pelatihan didapatkan nilai p= 0,914 (p>0,05)
yang berarti data homogen. Data selisih antara kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan didapatkan nilai p=0,510 (p>0,05) yang berarti data homogen.
5.4
Pengujian penurunan skor ODI pada kelompok perlakuan I dalam
meningkatkan aktivitas fungsional pada NPB miogenik
Dari data uji normalitas skor ODI sebelum pelatihan pada kelompok
perlakuan I dinyatakan data berdistribusi normal, sedangkan skor ODI setelah
perlakuan dinyatakan bahwa data berdistribusi tidak normal. Untuk mengetahui
penurunan skor ODI pada kelompok perlakuan I dilakukan uji dengan
menggunakan Wilcoxon match pair test karena salah satu data berdistribusi tidak
normal, yang hasilnya tertera pada tabel 5.4 berikut:
Tabel 5.4
Uji hipotesis penurunan skor ODI pada kelompok perlakuan I sebelum dan
sesudah pelatihan
Median±SB
Kelompok I
n
Sebelum pelatihan
14
42±12,34
Setelah pelatihan
14
8±12,269
Uji wilcoxon rank test
z
p
-3,301
0,001
92
Tabel 5.5 memperlihatkan penurunan skor ODI antara sebelum dan sesudah
pelatihan pada kelompok perlakuan yang dianalisis dengan uji wilcoxon match
pair test dengan nilai p=0,001. Hasil nilai tersebut menyatakan secara signifikan
pelatihan Core Stability Exercise pada terapi dasar meningkatkan aktivitas
fungsional pada pasien NPB miogenik.
5.5
Pengujian penurunan skor ODI pada kelompok perlakuan II dalam
meningkatkan aktivitas fungsional pada NPB miogenik
Dari data uji normalitas skor ODI sebelum dan sesudah pelatihan pada
kelompok perlakuan II dinyatakan berdistribusi normal dengan nilai p>0,05 maka
untuk mengetahui penurunan skor ODI sebelum dan setelah pelatihan pada
kelompok kontrol digunakan uji t berpasangan, yang hasilnya tertera pada tabel
5.5 berkut:
Tabel 5.5
Uji hipotesis penurunan skor ODI pada kelompok II sebelum dan sesudah
pelatihan
Rerata±SB
Kelompok II
n
Sebelum pelatihan
14
37,43±15,989
Setelah pelatihan
14
22,29±12,048
Uji t berpasangan
t
p
7,421
0,001
Tabel 5.5 memperlihatkan penurunan skor ODI antara sebelum dan sesudah
pelatihan pada kelompok kontrol yang dianalisa dengan uji t berpasangan dengan
nilai p=0,001. Hasil tesebut menyatakan secara signifikan latihan William’s
93
Flexion Exercise pada terapi dasar dapat meningkatkan aktivitas fungsional pada
pasien NPB miogenik.
5.6
Uji perbedaan skor ODI sebelum pelatihan kelompok perlakuan I dan
sebelum pelatihan kelompok perlakuan II
Berdasarkan data variabel skor ODI sebelum pelatihan pada kelompok
perlakuan I berdistribusi normal dengan nilai p=0,194 (p>0,05), sedangkan data
variabel skor ODI sebelum pelatihan pada kelompok perlakuan II berdistribusi
normal dengan nilai p=0,159 (p>0,05). Maka uji perbedaan ini bertujuan untuk
membandingkan rerata ODI sebelum pelatihan kelompok perlakuan I dan sebelum
pelatihan kelompok perlakuan II. Hasil analisis kemaknaan dengan uji tindependent yang disajikan pada tabel 5.6 berikut:
Tabel 5.6
Rerata skor ODI sebelum pelatihan pada kedua kelompok
Kelompok
n
Rerata±SB
t
p
Kel perlakuan I
14
42,14±12,340
0,873
0,390
Kel perlakuan II
14
37,43±15,989
Tabel 5.6 di atas menunjukkan bahwa rerata ODI sebelum pelatihan pada
kedua kelompok didapatkan nilai p=0,390. Hal ini berarti bahwa rerata skor ODI
sebelum pelatihan di antara kedua kelompok tidak ada perbedaan signifikan. Dari
pernyataan di atas dapat disimpulkan, bahwa tidak ada perbedaan sebelum
pelatihan pada kedua kelompok.
94
5.7
Uji beda penurunan skor ODI setelah pelatihan antara kelompok
perlakuan I dan kelompok perlakuan II dalam meningkatkan aktivitas
fungsional pada NPB miogenik
Skor selisih ODI pada kelompok perlakuan I berdistribusi normal dengan
nilai p=0,485 dan skor selisih ODI pada kelompok perlakuan II berdistribusi
normal dengan nilai p=0,526, maka pengujian menggunakan uji parametrik. Hasil
analisis kemaknaan dengan uji t-test pada tabel 5.7 berikut:
Tabel 5.7
Rerata selisih penurunan skor ODI pada aktivitas fungsional sebelum
dan setelah pelatihan
Kelompok
n
Rerata±SB
Selisih Kel perlakuan I
14
28,86±6,916
Selisih Kel Perlakuan II
14
15,14±7,635
t
p
4,981
0,001
Berdasarkan hasil analisis uji t-test seperti tabel 5.7 di atas, menunjukkan
bahwa skor ODI setelah perlakuan pada kelompok perlakuan I dan kelompok
perlakuan II didapatkan hasil nilai p=0,001 yang artinya terdapat perbedaan secara
signifikan antara kelompok perlakuan I dan kelompok perlakuan II dalam
meningkatkan aktivitas fungsional pada pasien NPB miogenik. Dari data
deskriptif perbandingan hasil pada tabel 5.2 antara rerata nilai selisih perlakuan I
28,86 lebih besar dari rerata selisih perlakuan II sebesar 15,14. Disimpulkan
95
bahwa pelatihan Core Stability Exercise lebih baik dalam meningkatkan aktivitas
fungsional dari pada William’s flexion exercise pada terapi dasar pada psien NPB
miogenik.
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1
Kondisi Subjek Penelitian
Data karakteristik subjek penelitian yang didapat adalah umur, jenis
kelamin, aktivitas pekerjaan dan data awal kemampuan aktivitas fungsional.
Berdasarkan distribusi subjek menurut umur menunjukkan pada kelompok
perlakuan I golongan umur 41-50 tahun merupakan jumlah terbanyak yaitu
sejumlah 9 orang (64,3%). Keadaan serupa terlihat pada kelompok perlakuan II
dimana golongan umur 41-50 tahun merupakan jumlah terbanyak yaitu sejumlah
6 orang (42,8%). Hasil persentase umur dalam penelitian ini sesuai dengan
beberapa pendapat. Menurut Turder dan Koes (2001), bahwa setiap tahun
prevalensi NPB di negara Amerika Serikat dilaporkan sebesar 15%-45% dan
angka kejadian NPB terbanyak ditemukan di usia 35-55 tahun. Kisner (2014),
menyatakan bahwa angka kejadian NPB terjadi pada umur 20-55 tahun dan paling
banyak terjadi dipertengahan umur 30-40 tahun. Andri (2008), menyatakan bahwa
NPB dialami sejak saat masa remaja atau saat dewasa, yaitu pada umur 25 tahun
dan 55 tahun. Rentang umur subjek tersebut menunjukkan bahwa semua subjek
tergolong umur yang produktif. Dimana justru pada umur produktif akan
menunjukkan dampak dikemudian hari apabila tidak mendapatkan penanganan
secara serius.
Karakteristik subjek menurut jenis kelamin pada kedua kelompok
menunjukkan bahwa subjek terbanyak kelamin laki-laki yaitu pada kelompok
96
97
kontrol sebanyak 9 orang (64,3%) dibandingkan subjek perempuan sebanyak 5
orang (35,7), sedangkan pada kelompok perlakuan subjek laki-laki sebanyak 10
orang (71,4) dibandingkan subjek perempuan sebanyak 4 orang (28,6%). Kondisi
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Copcord Indonesia (community
oriented program or controle of rhematic disease) menunjukkan prevalensi NPB
18,2% pada laki-laki dan 13,6% pada perempuan (Wirawan, 2004)
Karakteristik subjek penelitian berdasarkan aktivitas pekerjaan juga sangat
mempengaruhi ada tidaknya peningkatan aktivitas fungsional. Dalam penelitian
ini ditemukan pada kedua kelompok aktivitas pekerjaan yang paling sering
dilakukan adalah aktivitas duduk lama yaitu pada kelompok kontrol sebesar
42,9% dan pada kelompok perlakuan sebesar 64,3%.
Hasil di atas sesuai dengan hasil penelitian Hills (2000), melaporkan bahwa
NPB banyak terjadi pada pekerja atau karyawan yang bekerja dalam posisi duduk
lama, berdiri lama, dan pekerjaan berat lainnya seperti pekerjaan yang banyak
aktivitas membungkuk secara berulang, atau mengangkat dan menurunkan beban
berat dengan cara yang salah.
Pernyataan di atas menguatkan dugaan bahwa pada rentang umur 30 tahun
keatas dan berjenis kelamin laki-laki lebih beresiko terjadi NPB miogenik. Hal ini
kemungkinan dilihat dari umur yang sudah memasuki masa degenerasi baik
secara anatomis dan fungsional akibat adanya faktor penuaan dan dapat pula
akibat gaya hidup yang tidak sehat. Sedangkan jenis kelamin laki-laki,
kemungkinan dilihat dari pekerjaan yang sering mereka lakukan, misalnya
kesalahan dalam cara mengangkat benda berat, berdiri dalam waktu lama, duduk
98
dalam waktu lama, atau kesalahan posisi yang dilakukan berulang dalam jangka
waktu yang lama.
6.2
Distribusi Dan Varians Subjek Penelitian
Distribusi subjek penelitian kedua kelompok sebelum dan setelah
pelatihan dilakukan uji normalitas dengan Shapiro-Wilk test, sedangkan
homogenitas varians antara kedua kelompok diuji dengan Levene test. Variabel
yang diuji adalah penurunan skor ODI pada aktivitas fungsional NPB miogenik
sebelum dan setelah pelatihan pada masing-masing kelompok dan selisih
penurunan skor ODI
sebelum dan setelah pelatihan pada masing-masing
kelompok.
Hasil uji normalitas (tabel 5.3), didapatkan skor penurunan ODI pada
kelompok perlakuan I sebelum pelatihan didapatkan nilai p=0,194 (berdistribusi
normal), dan setelah pelatihan didapatkan nilai p=0,001 (berdistribusi tidak
normal) sehingga pengujian selanjutnya dengan uji non parametrik. Sedangkan uji
normalitas skor penurunan ODI pada kelompok II sebelum pelatihan p=0,159 dan
setelah pelatihan didapatkan nilai p=0,161 (berdistribusi normal) sehingga
pengujian selanjutnya dengan uji paramentrik. Hasil uji normalitas selisih
kelompok I didapat nilai p=0,489 dan selisih kelompok II didapatkan nilai
p=0,526 (berdistribusi normal) sehingga uji selisih kedua kelompok menggunakan
uji parametrik.
99
Hasil uji homogenitas (tabel 5.3) penurunan skor ODI
sebelum dan
setelah pelatihan didapatkan nilai p>0,05 (data homogen), dan pada sellisih kedua
kelompok juga didapatkan nilai p>0,05 yang berarti data homogen.
6.3
Pengujian William’s Flexion Exercise Pada Terapi Dasar Dapat
Menurunkan Skor ODI Pada Aktivitas Fungsional Pada Pasien NPB
Miogenik
Berdasarkan analisis data skor ODI sebelum dan setelah pelatihan pada
kelompok perlakuan II dengan menggunakan uji t berpasangan (dua sampel
berpasangan) tertera pada tabel 5.4, didapatkan rerata sebelum pelatihan
37,43±15,989 dan setelah pelatihan 22,29±12,048 dengan nilai p=0,001 (p<0,05),
sehingga kelompok perlakuan II terjadi penurunan skor ODI .
Dengan hasil di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian pelatihan
William’s Flexion Exercise pada terapi dasar dapat meningkatkan aktivitas
fungsional pada pasien NPB miogenik.
Terapi dasar yang diberikan disini adalah dengan menggunakan SWD di
daerah lumbosakral 3x seminggu selama 2 minggu. Pemberian SWD tersebut
berdasarkan teori mempunyai efek fisiologis dan efek terapeutik. Dimana
penambahan SWD pada William’s Flexion Exercise tidak berlawanan dengan efek
fisiologisnya, kombinasi latihan ini justru akan meningkatkan hasil yang lebih
maksimal. Mekanisme penurunan nyeri dan perbaikan aktifitas fungsional ditinjau
dari efek fisiologis, dimana perbedaan struktur jaringan tubuh menyebabkan efek
yang dihasilkan akan berbeda untuk tiap jaringan. Jaringan ikat akan mengalami
100
peningkatan elastisitas akibat turunnya viskositas matriks jaringan karena
homeostasis lokal sehingga jaringan akan mudah digerakkan dan kelenturannya
bertambah, sehingga waving efek akan mudah didaoatkan dan reseptor saraf Aδ
dan C yang terjebak akibat tekanan jaringan fibrous akan terbebas sehingga nyeri
berkurang (Sugijanto, 2006)
Ditinjau dari efek terapeutik mekanisme penurunan nyeri dengan pemberian
SWD didapatkan dari modulasi nyeri pada level sensori. Pemberian SWD akan
meningkatkan aktivitas metabolisme sebesar 18%, yang diikuti dengan perubahan
PO2, PCO2, dan Ph jaringan. Akibatnya akan terjadi terbukanya sphincter
prekapiler dan arteriole, bersamaan itu pula akan terjadi vasodilatasi dan
peningkatan aliran darah sebesar 300ml/100 gram jaringan, sehingga pasokan
nutrisi ke jaringan miofacial dan pembuangan zat-zat iritan akan meningkat.
Dengan meningkatnya pembuangan zat iritan akan mengakibatkan spasme otot
menurun, maka nyeri berkurang (Sugijanto,2006). Adanya efek fisiologi dan
terapeutik di atas secara tidak langsung akan memfasilitasi terjadinya peningkatan
aktivitas fungsional.
Menurut Magee (2013), bahwa SWD
dapat mengurangi spasme otot,
meningkatkan vasodilatasi pembuluh darah, perbaikan metabolisme sel, dan
mempercepat penyembuhan pada jaringan lunak, sehingga perbaikan aktivitas
fungsional terjadi.
Pengurangan nyeri berdasarkan mekanisme di atas hampir serupa dengan
penelitian yang dilakukan oleh Mariani (2002), dimana didapatkan hasil bahwa
terapi SWD di regio lumbosakral dengan 60 W selama 15 menit memberikan
101
manfaat berupa pengurangan nyeri dan perbaikan aktivitas fungsional pada NPB
mekanik.
Pada kelompok perlakuan II diberikan terapi dasar berupa SWD
dikombinasi dengan latihan William’s Flexion Exercise. William’s Flexion
Exercise adalah sebuah program latihan dengan tujuan untuk mengurangi tekanan
oleh beban tubuh pada sendi facet dan meregangkan otot dan fascia di daerah
dorsolumbal, serta bermanfaat mengkoreksi postur tubuh yang salah. Latihan ini
juga dapat meningkatkan stabilitas lumbal karena secara aktif melatih otot-otot
abdominal, gluteus maksimus dan hamstring. Disamping itu WFE juga dapat
meningkatkan tekanan abdominal yang mendorong kolumna vertebralis ke arah
belakang, dengan demikian akan membantu mengurangi hiperlordosis lumbal dan
mengurangi tekanan pada diskus intervertebralis. Secara teoritis, WFE dapat
mengurangi nyeri dengan cara mengurangi gaya kompresi pada sendi facet dan
meregangkan fleksor hip dan ekstensor lumbal (Hills, 2006).
Adanya peregangan otot di daerah lumbal maka terjadi penguluran golgi
tendon dan muscle spindel, sehingga akan didapatkan efek rileksasi di area
tersebut. Rileksnya otot-otot di daerah punggung bawah berarti didapatkan
spasme otot menurun. Menurunnya spasme otot akan mengembalikan fungsi otot
di daerah punggung bawah sehingga otot akan bekerja sesuai fungsinya lagi,
dengan demikian akan dapat meningkatkan aktivitas fungsional pada pasien NPB
miogenik.
Hooper (1999), dari penelitian yang pernah dilakukan tentang efek
William’s flexion exercise dibandingkan dengan modalitas fisik yang lain pada
102
nyeri punggung bawah muskuloskeletal, dalam penelitian tersebut menggunakan
metode A randomized controlled trial (RCT) dengan jumlah sampel 85 pasien
dalam waktu 6 bulan. Kesimpulan dari penelitian tersebut pasien yang mendapat
perlakuan William’s flexion exercise terjadi penurunan nyeri yang signifikan.
Penelitian tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Dachlan (2009),
tentang pengaruh back exercise pada nyeri punggung bawah, dimana didaptkan
hasil bahwa latihan WFE dapat menurunkan nyeri dan meningkatkan mobilitas di
daerah lumbal pada pasien NPB.
Kurniawan (2004), melakukan penelitian tentang pengaruh WFE terhadap
mobilitas lumbal dan aktivitas fungsional pada pasien NPB mekanik subakut dan
kronik, dimana didapatkan hasil bahwa latihan WFE secara bermakna dapat
meningkatkan mobilitas lumbal dan aktivitas fungsional pasien NPB.
6.4
Core Stability Exercise Pada Terapi Dasar Dapat Menurunkan Skor
ODI Pada Aktivitas Fungsional Pada Pasien NPB Miogenik
Berdasarkan analisis data skor ODI sebelum dan setelah pelatihan pada
kelompok perlakuan I dengan menggunakan uji Wilcoxon match pair test (dua
sampel berpasangan) tertera pada tabel 5.5, didapatkan data rerata sebelum
pelatihan 42±12,34 dan setelah pelatihan 8±12,269 dengan p=0,001 (p<0,05),
sehingga kelompok perlakuan terjadi penurunan skor ODI .
Dengan hasil di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian pelatihan Core
Stability Exercise pada terapi dasar dapat meningkatkan aktivitas fungsional pada
pasien NPB miogenik.
103
Hal ini disebabkan pertama, mekanisme yang didapatkan dari efek fisiologis
dan efek terapeutik dari terapi dasar. Pemberian SWD pada Core Stability
Exercise tidak memiliki efek fisiologis yang berlawanan, melainkan apabila
dikombinasi dengan CSE akan lebih meningkatkan hasil. Terapi dasar merupakan
terapi thermal yang efektif diberikan sebelum pelatihan. Mekanisme dari kedua
efek tersebut mengakibatkan jaringan ikat akan lebih mudah digerakkan dan
kelenturannya bertambah (Sugijanto, 2006). Kondisi seperti itu sangat membantu
program pelatihan Core Stability Exercise yang diberikan.
Kedua, pemberian pelatihan Core Stability Exercise. NPB miogenik
berhubungan dengan ganguan pada otot-otot punggung yang dapat timbul karena
aktivitas sehari-hari secara berlebih. Gangguan yang dapat terjadi pada NPB
miogenik yaitu nyeri tekan pada daerah punggung bawah, spasme pada otot-otot
punggung bawah, sehingga potensial terjadi ketidakseimbangan antara otot
abdominal dan paravertebrae yang dapat menimbulkan keterbatasan saat
bergerak. Hal ini akan mengakibatkan penurunan mobilitas lumbal akibat adanya
nyeri, spasme, ketidakseimbangan otot abdominal dan paravertebrae, sehingga
aktivitas fungsional terganggu (Meliana dan Pinzon, 2004)
Core Stability Exercise mempunyai kemampuan untuk mengontrol posisi
dan gerakan pada bagian pusat tubuh (Brandon dan Raphael, 2009), karena target
utama latihan ini adalah otot yang letaknya dalam dari perut, yang terkoneksi
dengan tulang belakang, panggul, dan bahu. CSE bermanfaat untuk memelihara
kesehatan punggung bawah, statik stabilisasi, dan dinamik trunk serta mencegah
terjadinya cedera (pada punggung dan ekstremitas bawah) terutama dalam
104
meningkatkan aktivitas fungsional. Ketika otot inti lemah atau tidak ada
keseimbangan (imbalance muscle), yang terjadi adalah rasa sakit di daerah
punggung bawah. Dengan CSE keseimbangan otot abdominal dan paravertebrae
akan membentuk suatu hubungan yang lebih baik karena terjadi koaktivitas otot
dalam dari trunk bawah sehingga dapat mengontrol selama terjadinya pergerakan
perpindahan berat badan, aktivitas fungsional dari ekstremitas seperti meraih dan
melangkah (Panjabi, 2013).
Core muscle terdiri dari otot silinder yang menyelimuti lapisan dalam dari
perut, yang terdiri dari 4 group otot utama yaitu, (1) otot tranversus abdominis,
yaitu bagian otot perut dalam yang berada di bawah otot oblikus internus, oblikus
eksternus, dan rektus abdominis, otot ini dianggap menjadi korset yang
menyangga stabilitas, (2) otot multifidus, yaitu otot punggung bagian dalam yang
berada diantara tulang vertebra yang menghubungkan tiap tulang vertebra bagian
lumbal, fungsinya mengulur vertebra secara baik dan menjaga otot postural ini
yang menjaga vertebra tetap tegak, (3) otot diafragma, merupakan otot primer
untuk bernapas. Ketika otot trasversus abdominis berkontraksi, diafragma
mengencang untuk mempertahankan tekanan pada perut sehingga menghasilkan
stabilitas dari vertebra, (4) otot dasar panggul yang terdiri dari organ pelvis diluar
peritoneum, fasia endopelvis, dan tiga lapisan grup otot yang terdiri dari otot
diaphragma pelvis yang merupakan bagian dari sekelompok otot yang dilapisi
fascea yang menutup pintu bawah panggul dan terletak pada lapisan yang
terdalam, otot diaphragma uroginetalis terletak pada lapisan tengah, dan lapisan
terluar adalah otot-otot sphingter rektum dan traktus urogenitalis. Otot-otot ini
105
berkontraksi bersama-sama dengan otot transversus abdominis yang membentuk
otot silinder bagian bawah. Ketika keempat group otot ini bekerja secara harmonis
dalam serangkaian kontraksi kompleks dengan puluhan otot-otot di tulang
belakang, batang tubuh dan sekitarnya dibutuhkan kestabilan sehingga dicapai
posisi netral selama gerakan tubuh dan menjaga posisi stabil pada vertebra (the
netral zone) (Kisner, 2011)
Menurut Irfan (2010), CSE (core stabilization exercise) adalah kemampuan
untuk mengontrol posisi dan gerak dari trunk sampai pelvis yang digunakan untuk
melakukan gerakan secara optimal dalam proses perpindahan, kontrol tekanan dan
gerakan saat aktivitas sehari-hari. CS (core stability) merupakan salah satu
komponen penting dalam memberikan kekuatan lokal dan keseimbangan untuk
memaksimalkan aktivitas gerakan secara efisien. Petterson (2002), mengatakan
bahwa CSE efektif mengurangi nyeri serta meningkatkan aktivitas fungsional dan
secara teoritis memberi pengaruh dalam penururnan spasme otot, peningkatan
ektensibilitas, stabilitas dan penguatan otot.
Richardson (2002), juga membenarkan bahwa kelemahan otot inti dikaitkan
dengan NPB yang dipengaruhi oleh derajat asimetri dari kekuatan dan fleksibilitas
otot-otot punggung bawah dan pinggul. Hodges (1999), menunjukkan bahwa
latihan dari otot multifidus dapat meningkatkan kekuatan antar segmen vertebra
walaupun hanya 5% tetapi memiliki manfaat yang signifikan dalam mengatasi
NPB dan meningkatkan aktivitas fungsional.
Hasil di atas sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hodges (1999),
mengatakan bahwa terapi latihan berupa CSE ini merupakan cara yang efektif
106
untuk mengobati juga mencegah NPB dan cedera ekstremitas bawah terutama
dalam peningkatan aktivitas fungsional yang melibatkan otot inti yaitu otot
transversus abdominis, otot multifidus, otot diafragma thorak dan otot-otot dasar
panggul. Otot-otot ini semua bekerja secara harmonis untuk memberikan
stabilisasi bagi tubuh (the neutral zone). Dengan memperkuat otot-otot yang
mendukung dan meningkatkan postur tulang belakang, efektif menurunkan gejalagejala NPB dan memperbaiki aktivitas fungsionalnya. Koumantakis et al., (2005),
membuktikan bahwa pasien dengan kondisi NPB lebih bermanfaat dan
menguntungkan jika sejak awal diberikan latihan CSE secara berulang untuk
mencegah ketidakstabilan
dari otot-otot trunk dibandingkan hanya diberikan
program general exercise saja.
6.5
Core Stability Exercise Lebih Meningkatkan Aktivitas Fungsional Pada
Pasien NPB Miogenik Dari Pada William’s Felxion Exercise
Berdasarkan Tabel 5.6 menunjukkan bahwa rerata skor ODI
sebelum
pelatihan pada kedua kelompok didapatkan nilai p=0,390 (p>0,05). Hal ini berarti
bahwa rerata skor ODI sebelum pelatihan di antara kedua kelompok tidak ada
perbedaan yang signifikan. Untuk mengetahui perbedaan peningkataan aktivitas
fungsional pada kelompok I dan pada kelompok II memanfaatkan data selisih
pelatihan pada kedua kelompok.
Berdasarkan tabel 5.7 menunjukkan bahwa uji beda skor ODI
dengan
menggunakan nilai selisih pelatihan pada kelompok perlaluan I dan pada
kelompok perlakuan II didapatkan nilai p=0,001 (p<0,05), yang artinya terdapat
107
perbedaan pengaruh yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan. Dari data deskriptif perbandingan hasil pada tabel 5.2 antara rerata
selisih perlakuan I lebih besar dari rerata selisih perlakuan II. Disimpulkan bahwa
pelatihan Core Stability Exercise lebih meningkatkan aktivitas fungsional dari
pada William’s Flexion Exercise pada terapi dasar pada pasien NPB miogenik.
Kelompok perlakuan II, dimana subjek mendapatkan terapi dasar berupa
SWD yang dilanjutkan dengan latihan William’s Flexion Exercise menunjukkan
peningkatan aktivitas fungsional, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Kurniawan (2004), menunjukkan bahwa William’s Flexion Exercise
meningkatkan mobilitas lumbal dan aktivitas fungsional pada pasien NPB
mekanik subakut dan kronis. William’s Flexion Exercise memiliki prinsip
rileksasi otot paravertebra yang merupakan global muscle yang berfungsi sebagai
penggerak fleksi dan ekstensi trunk (Hills, 2006). Pada pasien NPB miogenik
terjadi spasme pada otot paravertebrae dengan latihan WFE otot tersebut menjadi
rileks sehingga mobilitas fleksi dan ekstensi trunk meningkat, nyeri berkurang dan
aktivitas fungsional meningkat.
Kelompok perlakuan I, dimana subjek mendapatkan terapi dasar berupa
SWD yang dilanjutkan dengan pemberian terapi latihan berupa pelatihan Core
Stability Exercise menunjukkan peningkatan aktifitas fungsional yang lebih besar
dibandingkan pada kelompok kontrol, yang mendapatkan terapi dasar berupa
SWD dan dilanjutkan dengan pelatihan William’s Flexion Exercise. Hasil ini
sesuai dengan hipotesis penelitian, bahwa latihan Core Stability Exercise lebih
108
meningkatkan aktivitas fungsional dari pada William’s Flexion Exercise pada
terapi dasar pada pasien NBP miogenik.
Hasil analisis di atas sesuai dengan teori bahwa prinsip latihan CSE adalah
mengaktifkan kerja dari pada core muscle yang merupakan deep muscle yang
pada pasien NPB miogenik mengalami kelemahan. Teraktifasinya core muscle ini
akan meningkatkan stabilitas tulang belakang, karena core muscle yang aktif akan
meningkatkan tekanan intra abdominal dan hal tersebut akan membentuk
abdominal brace yang akan meningkatkan stabilitas dari tulang belakang (Kisner
and Colby, 2011). Menurut Panjabi (2000), peningkatan aktivitas dan co-aktivitas
antagonis otot trunk dapat meningkatkan kontrol tulang belakang pada individu
NPB hal tersebut mendorong pemeliharaan dari posisi lumbopelvic agar tetap
stabil. Pemberian terapi latihan berupa core stability exercise pada terapi dasar
yang dilakukan dengan benar dapat memberikan peningkatan kekuatan otot yang
mengalami kelemahan sekaligus dapat mengurangi rasa nyeri dan meningkatkan
aktivitas fungsional. Stabilitas yang baik lebih diperlukan pada pasien NPB
miogenik daripada mobilitas, karena permasalah pada NPB miogenik adalah
berkurangnya stabilitas pada punggung bawah.
6.6
Kelemahan Peneliti
Peneliti menyadari bahwa penelitian yang telah dilakukan masih banyak
kelemahannya. Kelemahan dalam penelitian ini adalah konsumsi obat-obatan
tidak diperhitungkan, keterbatasan gerak lumbopelvik tidak diperhitungkan,
postur saat bekerja tidak diperhatikan, sudut lumbosakral tidak diperhatikan dan
109
berat badan subjek (BMI) tidak diperhitungkan, serta efek jangka panjang tidak
diteliti.
Peneliti tidak mengontrol sampel dari pekerjaannya, termasuk aktivitas
pasien di lingkungan kerja dan trempat tinggal, dan tidak mempermasalahkan
durasi latihan yang dilakukan di luar terapi, oswestry dissalibity index yang
digunakan telah diubah kedalam bahasa Indonesia tetapi belum dibakukan.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis penelitian ini didapatkan kesimpulan:
1. Pelatihan william’s flexion exercise dapat meningkatkan aktifitas
fungsional pada pasien nyeri punggung bawah miogenk.
2. Pelatihan core stability exercise dapat meningkatkan aktifitas fungsional
pada pasien nyeri punggung bawah miogenk.
3. Core stability exercise lebih meningkatkan aktivitas fungsional
dibandingkan dengan william’s flexion exercise pada terapi dasar pada
pasien nyeri punggung bawah miogenik
7.2
Saran
Metode latihan core stability exercise perlu ditambahkan pada terapi dasar,
mengingat bahwa peningkatan aktivitas fungsional pada pasien NPB miogenik
lebih besar setelah diberikan latihan core stability exercise dibandingkan dengan
pemberian william’s flexion exercise.
110
DAFTAR PUSTAKA
Albar, Z. 2000. Sistematik pendekatan pada nyeri pinggang. Cermin dunia
kedokteran 2000, hal. 14-19.
Andri. 2008. Program Fisioterapi untuk Nyeri Punggung Bawah. 13 Mei 2014.
Available from: Home Made-in Riko My friendster Free Blog Template
Pakdenono.Com Al-Sofwah.Com.
Anggraini, R.D. 2006. Anatomi dan Aspek Diaphragma Thorax. [Cited 20
Pebruari 2014]. Available from: http://library.usu.ac.id/download/fk/
06001192.pdf.
Atlas, S.J. and Deyo RA. 2001. Evaluating and Managing acute low back pain in
the primary care setting. J.genintern Med, hal. 120-131.
Basmajian, J. 1987. Therapeutic Exercise. Third Edition. The William and
Wilkins Co, Ontario, hal. 424-483.
Bernard, T.N. 2003. Managing Low Back Pain a challenge for the next millenium.
Hughston
sport
medicine
foundation
Available
from:
http:/www.Hughston.com
Borestein and Wissel. 2004. Low back pain Medical diagnosis and comprehensive
management. WB Saunders Company. Philadelphia, hal. 147- 169.
Brandon dan Raphael. 2009. Core stability training and Core stability program.
[Cited
2014
Jan,
11].
Available
from:
http://www.sportinjurybulletin.com/archive/core-stability.html.
Bull, E. 2007. Nyeri Punggung. Erlangga. Jakarta, hal. 4-6, 38-40.
Cailliet, R. 2003. Spine Disorder and Deformities. fourth edition WB Saunders
Company. Philadelphia, hal. 792-809.
Chusid, J. G. 1993. Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional. Edisi ke-4.
Yogjakarta : Gajah Mada University Press. Diakses Januari 2014.
Available from: http://eprints.undip.ac.id/14741/1/2002PPDS551.pdf
Dachlan, M. Leo, 2009. Pengaruh Back Exercise Pada Nyeri Punggung Bawah,
Magister kedokteran Keluarga Minat Utama Pendidikan Profesi Kesehatan
Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Dorland. 2011. Kamus Kedokteran. Edit oleh Harjono, M.R. Cetakan 6. Jakarta:
EGC
111
112
Elders, L.A.M. and Burdoff, A. 2003. Prevalence incidence and recurrence of low
back pain in Scaffolders during a three year follow up study. In : Elders
LAM, ed work related musculoskeletal disorder in Scaffolders. Rotterdam,
hal. 19-30.
Fairbank, J.C Pynsent P.B. 2000. The Oswestry Disability Index. Spine, 25: 29402950.
Hamill, J. 2009. Biomechanical Basis of Human Movement. Lippincott Williams
& Wilkins. Hal.262.
Hills, E.C. 2006. Mechanical low back pain. Retrieved: 10/12/2013, Available
from: http://www.emedicine.com
Hislop, H. J.K and Montgomery. 2013. Muscle Testing of Manual Examination.
sixth edition, WB Saunders Company. Philadelphia, hal. 34-39.
Hodges, P.W, and Richardson, C.A. (1999). Altered trunk muscle recruitment in
people with low back pain with upper limb movement at different speeds.
Archives of Physical medicine ang rehabilitation, hal 1005-1012.
Hooper, P. 1999. Whatever Happened to Williams' Flexion Exercises?. Diakses
Retrieved 10/12/2013. Available from: http://www.chiroweb.com
Irfan, M. 2010. Prolaps Uteri. Diakses Retrieved 10/12/2013. Available from:
http://050285.wordpress.com.
Kapandji. 2010. The Physiology of The Joint. sixth edition. Churchil Living
Stone. New York, hal. 76-80.
Kapandji. 2010. The Physiology of The Joint. Volume Two. Churchill Living
Company, USA, hal. 68-81.
Kibler, B.W., Press, J., and Sciascia, A. (2006). The Role of Core Stability in
Athletic Function. Sports Medicine, 36 (3), 189-198.
Kisner, C. 2011. Therapeutic Exercise Foundation and Techniques. Sixth edition.
Philadelphia: F.A Davis Company.
Klein, M.J. 2006. Deep Heat. Diperoleh tanggal 10 Januari 2014. Available from:
http://www.emedicine.com/pmr/topic203.htm.
Klein, M.J. 2006. Deep Heat. Diperoleh tanggal 2 Pebruari 2014. Available from:
http://www.emedicine.com/pmr/topic203.htm.
Knudsen, H.A. 2003. William’s Flexion versus Mc. Kenzie Extension for LBP. PT
Doctor Information products inc [online], dari http://homeexerciseprogram.
113
com/William’s-Flexion-Versus-Mckenzie-Extension-Exercises-ForLowBack Pain. html.
Koumantakis, G.A., Watson, P. J., Oldham, J. A. 2005. Trunk Muscle
Stabilization Training Plus General Exercise Versus General Exercise
Only: Randomized Controlled Trial of Patients with Recurrent Low Back
Pain. London : Phys Ther. vol. 85. Hal 209 – 225.
Kravitz. 2006. Low Back Stability Training. diakses tanggal 20 Januari 2014.
Available from: www.unm.edu/~lkravitz/pages.
Kurniawan, Hadi. 2004. Pengaruh William’s Flexion Exercise Terhadap
Mobilitas Lumbal Dan Aktivitas Fungsional Pada Pasien-Pasien Dengan
Nyeri Punggung Bawah (NPB) Mekanik Subakut Dan Kronis, Program
Studi Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Semarang.
Magee, D.J. 2013. Orthopaedics condition and treatment . sixth edition, WB
Saunders Company, Philadelpia, hal. 209-230.
Magee, D.J. 2013. Orthopedic Physical Assessment. Sixth Edition, W.B. Saunders
Company, Philadelphia
Mancini, R.M. 1985. Musculoskeletal pain. In: Halstead LS, Grabois M, Editors,
Medical Rehabilitation,Raves Press, New York, hal. 87-115.
Mariani E.S, Handoyo R, Pudjonoko D, 2002. Pengurangan nyeri dan perbaikan
fungsional pada NPB mekanik, perbandingan efek terapi laser berdaya
rendah dengan MWD. M. med Indonesia. Jakarta, hal. 156-165.
Mariani, ES, Handoyo R, Pudjonoko D. 2002. Pengurangan nyeri dan perbaikan
fungsional pada NPB mekanik, perbandingan efek terapi laser berdaya
rendah dengan MWD. M. med Indonesia. Jakarta, hal. 156-165.
Marpaung, B., Sjah M. 2006. Penatalaksanaan nyeri pinggang kronis. dalam,
Setiyohadi, Kasjmir, editor. Temu Ilmiah Reumatologi 2006, Jakarta, hal.
14 -17.
Meliala, L dan Pinzon, R. 2004. Patofisiologi dan Penatalaksanaan Nyeri
Pinggang Bawah.
Dalam: Meliala L, Rusdi I, Gofir A, editor. Pain
Symposium: Towards Mechanim Based Treatment, Jogjakarta, hal. 109116.
Moore, K. L., dan Dalley, A. F. 2004. Clinical Oriented Anatomy. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins.
Nuartha, A. B. N. 1989. Beberapa Segi Klinik dan Penatalaksanaan Nyeri
Punggung
Bawah,
Retrieved
23/11/2013
Available
from:
114
http://www.kalbe.co.id
penatalaksanaannya.
/files/cdk/files/
5410
beberapasegiklinik
and
Pandono, S.T. 2008. Perbedaan Pengurangan Nyeri Antara Latihan Mc.Kenzie
dengan Latihan Fleksi Williams pada Penderita Nyeri Punggung Bawah
Muskuloskeletal. Politeknik Kesehatan Surakarta, Surakarta
Panjabi, M.M. 2013. The Stabilizing system of the Spine. Part I. Function,
Dysfunction, Adaptation, and Enhancement. Journal of Spinal Disorder,
hal 194-200.
Panjabi, M.M. 2013. The Stabilizing system of the Spine. Part II. Neutral Zone and
Instability Hypothesis. Journal of Spinal Disorder, hal 390-396
Parjoto, S. 2006 . Terapi latihan pada nyeri pinggang bawah. Pelatihan nasional
30 jam kupas tuntas LBP dari aspek intervensi fisioterapi terkini,
Surakarta, hal. 1-16.
Peterson,T. 2002. The effect of McKenzie therapy as compared with that of
intensive strengthening training for the treatment of patients with subacute
or chronic low back pain: A randomized controlled trial. Diperoleh
tanggal
12
Desember
2011.
Available
from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12195058.
Pocock, J. Stuart. 2008. Clinical Trials: A Practical Approach. Chichester: John
Wiley & Sons.p. The Society of Obstetricians and Ginaecologist of
Canada 2003.
Putz, R., dan Pabst, R. 2006. Atlas Anatomi Manusia Sobotta. Jakarta : Buku
Kedokteran, EGC.
Quinn,
Elizabeth. 2011. It's More Than Just Abs It's More Than Just Abs.
Retrieved
Jan,
16,
2014.
Available
from:
http://sportsmedicine.about.com/od/
abdominalcorestrength1/a/NewCore.htm.
Richardson, C. A. (2002). The Relation Between Transversus abdominis muscles,
sacroiliac joint mechanics, and low back pain. Spine. The spine journal,
hal 399-405.
Sapsford, R. 2011. The Pelvic Floor and Related Organ. In: Sapsford, et all.
Woman’s Health A Textbook for Physitherapist. 2nd edition, London: W.
B. Saunders. Page 56-7.
Sidharta, Priguna. 1984. Sakit Neuromuskuloskeletal dalam Praktik Umum. Dian
Rakyat, Jakarta.
115
Soedomo. 2002. Aspek Klinis Nyeri Punggung Bawah. Dalam : Simposium
Pelantikan Dokter 142. Surakarta.
Sugijanto. 2006. Perbedaan Pengaruh Pemberian Short Wave Diathermy (SWD)
dan Contract Relax And Stretching Dengan Short Wave Diathermy dan
Transvers Friction Terhadap Pengurangan Nyeri Pada Sindroma Nyeri
Miofasial Otot Levator Skapula. Fisioterapi Indonesia, 6 (1). Hal. 46-66.
Tan, J.T. 1998. Pratical manual of physical medicine and rehabilitation. St.
Louis, Mosby, hal. 133-155, 607-644.
Tiger, White. Lapkas Low Back Pain rehab medik unsrat, Retrieved
November,23, 2013. Available from: http:// www.whitetigermtc76.co.cc
Tulder, M., Koes B.2001. Low back pain and Sciatica. Clinical evidence,
Retrieved:
December,
12,
2006,
Available
from:
http://www.Emedicine.com, hal. 1-19.
Weinstein, S.M., Herring, S.A., Cole, A.J. 1998. Rehabilitation of the patient with
spine pain. dalam : Delisa JA, Gans BM, editors, Rehabilitation medicine
principle and practice,third edition, Lippincott Raven publishers,
Philadelphia, hal. 1423-1451.
Werner, P. 20008. Sistem Lokomotor dan Topografi. Edisi 6. Jakarta: EGC.
White, A. Panjabi M. 1978. Clinical Biomechanics of The Spine. JB Lippincott
company, Philadelphia, hal. 78-80.
Wirawan, R.B. 2004. Diagnosis dan Manajemen Nyeri Pinggang. Jogjakarta:
Dalam Pain Simposium. Towards Mechanism Based Treatment. 5
Desember, hal. 36, 105 – 108.
Yanuar, Andre. 2002. Anatomi, Fisiologi dan Biomekanika Tulang Belakang,
Simposium Managemen Terpadu Nyeri Punggung Bawah, Surakarta.
Lampiran 1
SURAT PERNYATAAN
KESEDIAAN MENJADI SUBJEK PENELITIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :
Nama
:
Alamat
:
Umur
:
Pekerjaan
:
Setelah mendapatkan penjelasan dari peneliti tentang maksud, tujuan
peneliti, cara pelaksanaan dan manfaat penelitian. Maka dengan ini menyatakan :
1. Bersedia mengikuti dan menjalankan petunjuk atau prosedur penelitian
yang diberikan dengan sungguh-sungguh dan bertanggung jawab.
2. Bersedia menghubungi peneliti apabila ada hal-hal yang kurang
dipahami serta melaporkan ke peneliti bila ada keluhan-keluhan yang
mencul selama maupun setelah pelaksanaan program latihan dalam
penelitian ini.
3. Tidak membebani peneliti berkaitan dengan biaya dan keluhan diluar
hal-hal yang berhungan dengan program dan prosedur dalam
penelitian.
Demikian surat pernyataan kesedian mengikuti program penelitian ini saya
setujui dengan tanpa paksaan dari pihak manapun, untuk kiranya menjadi
pegangan bagi peneliti dan pihak yang berkepentingan dalam penelitian ini.
Denpasar,
2014
Yang memberi penjelasan
Yang membuat pernyataan
(………………………)
(..........................................)
Lampiran 2
Kuesioner Disabilitas Nyeri Punggung Bawah Oswestry
Isilah pernyataan dibawah ini dengan memilih salah satu jawaban dari pernyataan
yang menggambarkan kondisi kemampuan aktifitas fungsional anda saat ini sebagai
akibat nyeri punggung yang anda derita, dengan memberikan tanda cek (√ )
Nama subyek
:……………………
Umur
:……………………
Jenis kelamin
:……………………
Alamat
:…………………….
Kelompok
: Pelatihan Kombinasi Core Stability Exercises dan Terapi dasar
Tanggal penilaian post test: ………..
Seksi 1 : Intensitas nyeri
0.
Saat ini saya tidak merasa nyeri.
1.
Saat ini nyeri saya sangat ringan.
2.
Saat ini saya nyeri sedang.
3.
Saat ini nyeri cukup berat.
4. Saat ini nyeri sangat berat.
5.
Saat ini adalah paling nyeri yang dapat dibayangkan.
Seksi 2 : Perawatan diri
0.
Saya dapat mengurus diri sendiri secara normal tanpa bertambah nyeri.
1.
Saya dapat mengurus diri sendiri secara normal tetapi sangat nyeri.
2.
Saya merasa nyeri ketika mengurus diri sendiri, sehingga saya melakukannya
secara perlahan dan hati-hati.
3.
Saya memerlukan sedikit bantuan, tetapi melakukan sebagian besar perawatan
diri.
4.
Saya memerlukan bantuan setiap hari dalam sebagian aspek perawatan diri.
5.
Saya tidak dapat memakai baju, mencuci sulit dan berbaring
di ranjang.
Seksi 3 : Mengangkat
0.
Saya dapat mengangkat beban berat tanpa bertambah nyeri
1.
Saya dapat mengangkat beban berat tetapi menyebabkan bertambah nyeri.
2.
Nyeri membatasi saya untuk mengangkat berat dari lantai, tetapi saya dapat
melakukannya jika benda tersebut diatur dulu letaknya, diletakkan di atas meja.
3.
Nyeri membatasi saya untuk mengangkat beban berat dari lantai, tetapi saya
dapat mengangkat beban ringan atau sedang jika benda tersebut diatur dulu
letaknya
4.
Saya hanya dapat mengangkat beban yang sangat ringan.
5.
Saya sama sekali tidak dapat mengangkat atau menjinjing apapun
Seksi 4 : Berjalan
0.
Nyeri tidak membatasi saya berjalan berapapun jaraknya.
1.
Nyeri membatasi saya berjalan > 1 mil.
2.
Nyeri membatasi saya berjalan > ¼ mil.
3.
Nyeri membatasi saya berjalan > 100 yard.
4.
Saya hanya dapat berjalan dengan memakai tongkat atau kruk.
5.
Saya hampir selalu berbaring diranjang, dan harus merangkak jika hendak ke
kamar kecil.
Seksi 5 : Duduk
0.
Saya dapat duduk dikursi manapun sesuka saya.
1.
Saya dapat duduk dikursi favorit saya sesuka saya.
2.
Nyeri membatasi saya untuk duduk > 1 jam.
3.
Nyeri membatasi saya untuk duduk > ½ jam.
4.
Nyeri membatasi saya untuk duduk > 10 menit.
5.
Nyeri membuat saya sama sekali tidak bisa duduk.
Seksi 6 : Berdiri
0.
Saya dapat berdiri selama saya mau tanpa bertambah nyeri.
1.
Saya dapat berdiri selama saya mau tetapi menyebabkan bertambah nyeri.
2.
Nyeri membatasi saya untuk berdiri > 1 jam.
3.
Nyeri membatasi saya untuk berdiri > ½ jam.
4.
Nyeri membatasi saya untuk berdiri > 10 menit.
5.
Nyeri membuat saya sama sekali tidak bisa berdiri.
Seksi 7 : Tidur
0.
Tidurku tidak pernah terganggu oleh nyeri.
1.
Tidurku kadang-kadang terganggu oleh nyeri
2.
Karena nyeri saya hannya tidur < 6 jam.
3.
Karena nyeri saya hannya tidur < 4 jam.
4.
Karena nyeri saya hannya tidur < 2 jam.
5.
Nyeri membuat saya sama sekali tidak bisa tidur.
Seksi 8 : Kehidupan seksual
0.
Kehidupan seksual saya normal tanpa bertambah nyeri
1.
Kehidupan seksual saya normal tetapi menyebabakan sedikit bertambah nyeri.
2.
Kehidupan seksual saya mendekati normal tetapi sangat nyeri.
3.
Kehidupan seksual saya sangat terbatas oleh karena nyeri.
4.
Kehidupan seksual saya hampir tidak ada karena nyeri.
5.
Nyeri membatasi sama sekali kehidupan seksual saya.
Seksi 9 : Kehidupan Sosial
0.
Kehidupan sosial saya normal tanpa bertambah nyeri.
1.
Kehidupan sosial saya normal tetapi memperberat nyeri.
2.
Nyeri tidak mempengaruhi kehidupan sosial saya secara berarti, kecuali dalam
aktifitas yang lebih energetik, misalnya : olah raga.
3.
Nyeri membatasi
kehidupan sosial saya, sehingga saya tidak keluar rumah
sesering dulu.
4.
Nyeri membatasi kehidupan sosial, saya hannya di rumah.
5.
Saya tidak bersosialisasi karena nyeri.
Seksi 10 : Bepergian
0.
Saya dapat bepergian kemanapun tanpa nyeri.
1.
Saya dapat bepergian kemanapun tetapi bertambah nyeri.
2.
Nyerinya berat tetapi saya masih dapat bepergian > 2 jam.
3.
Nyerinya berat tetapi saya masih dapat bepergian < 1 jam.
4.
Nyeri membatasi saya hannya untuk bepergian singkat dan penting, < 30 jam.
5.
Nyeri membatasi saya untuk bepergian kecuali berobat.
Total score : ….....
Lampiran 3
FORMULIR PEMERIKSAAN
Tanggal pemeriksaan
:
No. urut
:
A. Identitas penderita
1. No reg.
:
2. Nama
:
3. Umur
:
4. Jenis Kelamin
: 1 = laki-laki, 2 = wanita
5. Pendidikan
: 1 = buta huruf
2 = rendah (s/d tamat SD / sederajad)
3 = sedang (SLTP hingga SLTA/ sederajat)
4 = tinggi (perguruan tinggi / sederajad)
6. Status perkawinan
: 1 = belum , 2 = nikah, 3= cerai/janda/duda
7. Pekerjaan
:
Sebutkan pekerjaan yang terbanyak dilakukan, 1=duduk, 2=berjalan,
3=berdiri, 4=membungkuk, memutar tubuh berulang,
5= mengangkat/menurunkan barang, 6= lain-lain.
8. Alamat
:
9. Nilai oswetry pre-test
:
Nilai oswestry post-test :
B. Riwayat penyakit
1. Lokasi nyeri : nyeri punggung terasa pada area seperti pada gambar (subyek
menggambar sendiri)
2. Sifat :
1 = tajam
2 = tumpul
3. Faktor pencetus (nyeri punggung bawah saat melakukan aktivitas) :
1 = tak jelas
7 = membungkuk
2 = mengangkat barang
8 = memuntir
3 = menjinjing
9 = terpeleset
4 = menurunkan barang
10 = duduk lama
5 = menarik
11 = paparan alat/vibrasi
6 = mendorong
12 = berulang
4. Lamanya nyeri (nyeri telah dirasakan selama) :
1 = sub akut ( 8 hari – 6 bulan)
2 = kronik (> 6 bln/ kambuh >3x)
5. Hal-hal yang memperberat keluhan terutama :
1 = bangun tidur
4 = setelah berjalan seharian
2 = setelah duduk lama
5 = setelah kerja seharian
3 = setelah berdiri lama
6 = sepanjang hari
6. Hal-hal yang meringankan keluhan terutama :
1 = istirahat/ berbaring
2 = digosok-gosok
3 = minum obat
4 = lain-lain…………..(sebutkan)
C. Pemeriksaan nyeri (VAS) :
Tidak ada nyeri
Nyeri tak tertahankan
DATA REKAPITULASI KELOMPOK PERLAKUAN II
Nama
Umur
Jenis
Aktivitas
Odi pre
Odi post
Selisih pre
(tahun)
kelamin
pekerjaan
(%)
(%)
dan post
(%)
A
50
Laki-laki
duduk
50
24
26
B
50
Laki-laki
membungkuk
30
20
10
C
48
Laki-laki
mengangkat
40
20
20
D
26
Perempuan
berjalan
48
24
24
E
34
Laki-laki
duduk
24
8
16
F
49
Perempuan
duduk
18
8
10
G
48
Perempuan
berjalan
10
8
2
H
50
Laki-laki
mengangkat
12
8
4
I
45
Laki-laki
mengangkat
40
20
20
J
50
Laki-laki
duduk
58
34
24
K
25
Perempuan
duduk
54
46
8
L
40
Perempuan
duduk
48
28
20
M
42
Laki-laki
mengangkat
52
40
12
N
30
Laki-laki
berdiri
40
24
16
DATA REKAPITULASI KELOMPOK PERLAKUAN I
Nama
Umur
Jenis
Aktivitas
Odi pre
Odi post
Selisih pre
(tahun)
kelamin
pekerjaan
(%)
(%)
dan post
(%)
A
33
Perempuan
Berdiri
36
6
30
B
50
Laki-laki
Duduk
48
10
38
C
50
Perempuan
Duduk
70
42
28
D
44
Laki-laki
Duduk
26
6
20
E
37
Perempuan
Berdiri
48
34
14
F
42
Laki-laki
Berdiri
62
30
32
G
26
Laki-laki
Mengangkat
44
8
36
H
35
Laki-laki
Duduk
44
8
36
I
26
Laki-laki
Duduk
30
8
22
J
42
Laki-laki
Duduk
34
6
28
K
29
Laki-laki
Duduk
30
4
26
L
26
Laki-laki
Duduk
34
8
26
M
50
Laki-laki
Berjalan
44
8
36
N
40
Perempuan
Duduk
40
8
32
DESKRIPSI SKOR ODI PADA KELOMPOK PERLAKUAN I (SWD+CSE)
Descriptive Statistics
N
Range
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
ODI_pre
14
44
26
70
42.14
12.340
ODI_post
14
38
4
42
13.29
12.269
Selisih_ODI
14
24
14
38
28.86
6.916
Valid N (listwise)
14
UJI NORMALITAS SKOR ODI PADA KELOMPOK PERLAKUAN I (SWD+CSE)
Descriptives
Statistic
ODI_pre
Mean
95% Confidence Interval for
Mean
42.14
Lower Bound
35.02
Upper Bound
49.27
5% Trimmed Mean
41.49
Median
42.00
Variance
3.298
152.286
Std. Deviation
ODI_post
Std. Error
12.340
Minimum
26
Maximum
70
Range
44
Interquartile Range
15
Skewness
.991
.597
Kurtosis
.812
1.154
13.29
3.279
Mean
95% Confidence Interval for
Lower Bound
6.20
Mean
Upper Bound
20.37
5% Trimmed Mean
Median
12.21
8.00
Variance
150.527
Std. Deviation
12.269
Minimum
4
Maximum
42
Range
38
Interquartile Range
Selisih_ODI
9
Skewness
1.669
.597
Kurtosis
1.358
1.154
Mean
28.86
1.848
95% Confidence Interval for
Lower Bound
24.86
Mean
Upper Bound
32.85
5% Trimmed Mean
29.17
Median
29.00
Variance
47.824
Std. Deviation
6.916
Minimum
14
Maximum
38
Range
24
Interquartile Range
11
Skewness
Kurtosis
-.658
.597
.023
1.154
Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov
Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
ODI_pre
.175
14
.200
*
.916
14
.194
ODI_post
.391
14
.000
.657
14
.000
Selisih_ODI
.135
14
.200
*
.945
14
.485
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
UJI SKOR ODI SEBELUM DAN SETELAH LATIHAN PADA KELOMPOK PERLAKUAN I
(SWD+CSE) DENGAN WILCOXON TEST
Ranks
N
ODI_post - ODI_pre
Mean Rank
a
7.50
105.00
b
.00
.00
Negative Ranks
14
Positive Ranks
0
Ties
0
Total
14
a. ODI_post < ODI_pre
b. ODI_post > ODI_pre
c. ODI_post = ODI_pre
b
Test Statistics
ODI_post ODI_pre
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Based on positive ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test
a
-3.301
.001
Sum of Ranks
c
DESKRIPSI SKOR ODI PADA KELOMPOK PERLAKUAN II (SWD+WFE)
Descriptive Statistics
N
Range
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
ODI_pre
14
48
10
58
37.43
15.989
ODI_post
14
38
8
46
22.29
12.048
Selisih_ODI
14
24
2
26
15.14
7.635
Valid N (listwise)
14
NORMALITAS SKOR ODI KELOMPOK PERLAKUAN II (SWD+WFE)
Descriptives
Statistic
ODI_pre
Mean
95% Confidence Interval for
Mean
37.43
Lower Bound
28.20
Upper Bound
46.66
5% Trimmed Mean
37.81
Median
40.00
Variance
4.273
255.648
Std. Deviation
15.989
Minimum
10
Maximum
58
Range
48
Interquartile Range
28
Skewness
Kurtosis
ODI_post
Std. Error
Mean
-.582
.597
-1.010
1.154
22.29
3.220
95% Confidence Interval for
Lower Bound
15.33
Mean
Upper Bound
29.24
5% Trimmed Mean
21.76
Median
22.00
Variance
145.143
Std. Deviation
12.048
Minimum
8
Maximum
46
Range
38
Interquartile Range
22
Skewness
Selisih_ODI
.462
.597
Kurtosis
-.348
1.154
Mean
15.14
2.040
95% Confidence Interval for
Lower Bound
10.73
Mean
Upper Bound
19.55
5% Trimmed Mean
15.27
Median
16.00
Variance
58.286
Std. Deviation
7.635
Minimum
2
Maximum
26
Range
24
Interquartile Range
12
Skewness
Kurtosis
-.264
.597
-1.059
1.154
Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov
Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
ODI_pre
.207
14
.107
.910
14
.159
ODI_post
.168
14
.200
*
.911
14
.161
Selisih_ODI
.166
14
.200
*
.948
14
.526
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
UJI SKOR ODI SEBELUM DAN SETELAH LATIHAN PADA KELOMPOK PERLAKUAN I
(SWD+WFE) DENGAN PAIRED SAMPLES TEST
Paired Samples Statistics
Mean
Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
ODI_pre
37.43
14
15.989
4.273
ODI_post
22.29
14
12.048
3.220
Paired Samples Correlations
N
Pair 1
ODI_pre & ODI_post
Correlation
14
Sig.
.889
.000
Paired Samples Test
Paired Differences
95% Confidence
Interval of the
Mean
Pair 1
Std.
Std. Error
Deviation
Mean
Difference
Lower
Upper
t
df
Sig. (2-tailed)
ODI_p
re ODI_p
ost
15.143
7.635
2.040
10.735
19.551 7.421
13
.000
UJI PERBEDAAN SKOR ODI SEBELUM PELATIHAN PADA KELOMPOK PERLAKUAN I DAN
SEBELUM PELATIHAN PADA KELOMPOK PERLAKUAN II
Group Statistics
kelompok
ODI_pre
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
kelompok 1
14
42.14
12.340
3.298
kelompok 2
14
37.43
15.989
4.273
Independent Samples Test
Levene's
Test for
Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
Sig.
(2F
ODI_pre
Sig.
t
df
tailed)
Mean
Std.
95% Confidence
Error
Interval of the
Differen Differen
ce
ce
Difference
Lower
Upper
Equal
varian
ces
1.819
.189
.873
26
.390
4.714
5.398
-6.381
15.810
.873 24.431
.391
4.714
5.398
-6.416
15.845
assum
ed
Equal
varian
ces
not
assum
ed
Gambar 1 : Aplikasi SWD pada NPB Miogenik
Gambar 2: Aplikasi CSE pada pasien NPB miogenik
Gambar 3: Aplikasi CSE pada pasien NPB miogenik
Gambar 4: Beberapa Latihan WFE pada pasien NPB miogenik
Download