ISSN: 1907-4336 ISSN: 1907-4336 PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM Mustajab A. Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang melebihi negaranegara lain, negara yang tidak saja multi-suku, multi-etnik, multiagama, akan tetapi juga multi-budaya. Kemajemukan tersebut pada satu sisi merupakan kekuatan sosial dan keragaman yang indah apabila satu sama lain bersinergi dan saling bekerja sama untuk membangun bangsa. Namun, apabila kemajemukan tersebut apabila tidak diurus dan dikelola dengan baik, justru akan menjadi bomerang atau pemicu dan penyulut terjadinya konflik dan kekerasan yang pada akhirnya akan dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bangsa. Dalam konstelasi kehidupan semacam ini, konflik menjadi sesuatu yang kian mudah dan bahkan sering terjadi. Bangsa Indonesia masih dibenturkan dengan berbagai masalah SARA yang semakin fluktuatif, tapi pada akhir-akhir ini berbagai permasalahan SARA itu mengkerucut pada konflik antar golongan meskipun permasalahan yang lain mempunyai potensi yang besar untuk bergejolak lagi. Salah satu konflik antar golongan seperti pertikaian antar kaum ahmadiyah dengan kaum muslim tradisonal maupun modern yang sampai saat ini tidak ada titik temu. Selain itu juga terjadinya konflik yang bernuansa politik STAIN Jember Pendidikan Multikultural dalam Perspektif Islam yang baru-baru ini terjadi di Ambon, dimana hanya persoalan hasil Pemilukada yang kemudian harus menghancurkan fasilitas umum seperti lembaga-lembaga pendidikan yang jelas-jelas mengorbankan pendidikan anak-anak generasi bangsa. Yang lebih ironi lagi adalah bahwa terjadinya konflik itu melibatkan anakanak usia pendidikan tingkat dasar untuk ikut dalam peperangan terkait dengan masalah tersebut. Kejadian ini menunjukkan bahwa bagaimana pendidikan multikultural sangat dibutuhkan di tengah-tengah kekalutan bangsa, dimana pendidikan multikultural ini menjadi jalan bagi bangsa untuk melakukan sesuatu ataupun bertindak secara dewasa. Tindakan-tindakan kekerasan yang sering terjadi di mungkinkan karena pendidikan yang diterapkan selama ini bagi sebagian masyarakat, dianggap tidak memiliki kekuatan apa-apa, kecuali hanya sebatas rutinitas yang menjenuhkan, sehingga harus ada pendidikan alternatif yang bisa membawa manusia berfikir secara rasional dan dewasa. Dengan melihat fenomena ini, penulis berkeyakinan bahwa mungkin hanya dengan menerapkan pendidikan multi kultural yang dapat merubah mind set daripada masyarakat Indonesia di seluruh Nusantara. Selain itu, pertikaian antar golongan atau kelompok tidak hanya terjadi pada wilayah sosial-masyarakat, tetapi juga terjadi di lembaga-lembaga pendidikan, misalnya, tawuran yang terjadi antara para pelajar di sekolah-sekolah negeri maupun swasta yang ditimbulkan hanya persoalan sepele (rebutan cewek) seperti yang terjadi di salah satu SMP Negeri di Kabupaten Bondowoso baru-baru ini, juga terjadi di SMP Negeri I Gondang Kab Mojokerto yang berawal dari persahabatan sepak bola, namun, kemudian terjadi percek-cokan antar sporter yang kemudian berujung pada perkelahian yang mengakibatkan empat siswa terluka. Padahal, dua sekolah tersebut niatnya baik, yaitu; menjalin tali persaudaraan antara lembaga satu dengan yang lainnya dalam rang- Mustajab ka memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas 02 Mei).1 Konflik-konflik tersebut merupakan salah satu bentuk permasalahan yang sampai saat ini belum bisa diatasi secara baik dan solutif, padahal Bangsa Indonesia dikenal dengan negara multikultural yang berasaskan pancasila dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” (berbeda-beda tetapi tetap satu jua). Mengapa selalu terjadi berbagai problematika seperti itu? Apakah ada yang salah dengan cara pandang atau paradigma bangsa ini?, atau jangan-jangan, ini erat kaitannya dengan kondisi pendidikan di tanah air. Mungkin saja, pendidikan kita sekarang sudah tidak sejalan lagi dengan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003, BAB II pasal 3, tentang Tujuan Pendidikan Nasional, yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.2 Di samping itu, pendidikan pada umumnya merupakan sarana untuk mengadakan perubahan individu secara mendasar, membawa perubahan sampai ke akar-akarnya. Pendidikan juga mempunyai misi merobohkan “tumpukan pasir jahiliah” (kebodohan), membersihkan, kemudian akan mengantinya dengan bangunan nilai-nilai baru yang lebih baik, kokoh dan bertanggung jawab.3 Oleh karena itu, sesuatu yang perlu disadari bersama bahwa unsur budaya nasional dalam proses pendidikan merupa- 1 2 3 http://www.scribd.com/doc/4057829/FENOMENA-TAWURANANTAR-PELAJAR UU Sistem Pendidikan Nasional RI No 20 Tahun 2003, (Jakarta: Sinar grafika),7. Nurul Zariah, Pendidikan Moral Dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008),5. Pendidikan Multikultural dalam Perspektif Islam kan proses pembudayaan dan cita persatuan bangsa.4 Pendidikan multikultural yang sudah diperkenalkan di Indonesia memiliki eksistensi dan potensi yang sangat signifikan untuk di transformasikan di lingkungan pendidikan dalam rangka menjawab berbagai masalah atau konflik-konflik yang terjadi pada bangsa Indonesia. B. Pembahasan 1. Multikulturalisme dan Pengertiannya Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun1950-an di Kanada. Kata multikulturalisme tersebut dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/faham). Sedangkan secara hakiki, multikulturalisme mengandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitas dan kebudayaannya masing-masing yang unik.5 Multikulturalime menurut Scoott Lash dan Mike Featherstone, berarti “keberagaman budaya”.6 Ada beberapa istilah yang sering digunakan secara bergantian dalam menggambarkan masyarakat yang terdiri dari beragam suku, agama, ras dan budaya (SARA), yaitu; pluralitas (plurality), keragaman (diversity) dan yang terakhir multikultur (multikultural). Konsep pluralitas mengambarkan adanya “hal-hal yang lebih dari satu” (many), keragaman menunjukkan “sesuatu yang lebih dari satu” itu berbeda-beda, hetrogen, bahkan tidak bisa disamakan antara yang satu dengan yang lainnya. Sedangkan konsep multikulturalisme, merupakan konsep yang lebih baru dibandingkan dua konsep tersebut. Namun, multikulturalisme 4 Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2008), VIII. 5 Mahfud, Pendidikan Multikultural,75. 6 Mahfud, Pendidikan Multikultural,74. Mustajab memiliki corak yang mencolok di bandingkan pluralisme dan keberagaman. Konsep multikulturalisme berdasarkan pengamatan Parsudi Suparlan, menurutnya konsep tersebut tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa (ethnic group) atau kebudayaan suku bangsa (ethnic culture) yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.7 Selaras dengan itu, Azyumardi Azra mengungkapkan dalam buku pendidikan agama Islam dalam persepektif multikulturalisme, inti dari multikulturalisme adalah, “pandangan dunia, yang pada akhirnya diimplementasikan dalam kebijakan- tentang kesediaan menerima kelompok lain secara sama, sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, gender, bahasa ataupun agama”.8 Dari perspektif historisitas, multikulturalisme lahir di Amerika sebagai perwujudan dari postmodernisme.9 Multikulturalisme adalah varian teori perbedaan yang mengambil ide dari gagasan postmodernisme bahwa perbedaan manusia secara analitis lebih penting dari pada kesamaan mereka. Oleh karena itu, kenyataan yang sangat relevan bagi postmodernisme adalah multikulturalisme. Sedangkan di Indonesia, menurut analisisnya Muhaemin el-Ma’hady, lahirnya multikuturalisme, sedikitnya selama tiga dasa warsa yang diakibatkan karena, kebijakan yang sentralistis dan pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memikirkan, 7 Babun Suharto, Pendidikan Multikultural Dalam Pendidikan Islam: Integrasi Konsep dan Aplikasi dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Absolute Media, 2010),18. 8 Pengembangan Agama Jakarta, Pendidikan Agama Islam,7. 9 http//www. Dampak dan Solusi Multikulturalisme di Indonesia « Iwan Purnawan's Weblog.htm Pendidikan Multikultural dalam Perspektif Islam membicarakan dan memecahkan persoalan yang muncul karena adanya perbedaan secara terbuka, rasional dan damai.10 Masdar Hilmy, juga berpandangan bahwa, adanya keberagaman budaya bagi bangsa Indonesia merupakan kenyataan sosial yang sudah niscaya. 11 Berbagai Kekerasan yang sering terjadi di berbagai kawasan negara Indonesia, yang meledak secara sporadis sejak akhir tahun 1990-an sampai sekarang, menunjukkan bahwa, betapa rentannya rasa kebersamaan, betapa kentalnya prasangka antar kelompok dan rendahnya rasa toleransi antar beragama, hal ini menunjukkan, bangsa Indonesia memiliki tingkat pemahaman nilai-nilai multikulturalisme yang sangat rendah. Terlebih konflik agama yang selalu datang bertubi-tubi, mulai konflik yang sangat sederhana hingga konflik yang sangat besar. Misalnya, antara jamaah Ahmadiyah dengan jamaah Islam tradisional maupun modern yang berujung pada pertumpahan darah di berbagi daerah di bumi Nusantara. Hal ini, merupakan kenyataan yang tidak bisa kita elakkan bahwa, Indonesia merupakan bangsa multikultural yang amat besar kontribusinya terhadap tatanan kenegaraan, dan bahkan melebihi dari negara-negara yang lain. Namun, multikulturalisme tersebut, jauh dari idealnya. Yang mana nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, pluralitas agama, demokrasi dan HAM, cenderung minim dimiliki oleh sebagian besar kalangan masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman mengenai konsep multikulturalisme sangat penting untuk ditransformasikan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, guna menghindari konflik-konflik yang sering terjadi dan mampu meredamnya. 10 11 Pengembangan Agama Jakarta, Pendidikan Agama Islam,87. Mahfud, Pendidikan Multikultural, 78. Mustajab 2. Sekilas tentang Konsep Pendidikan Multikultural Pendidikan merupakan salah satu media yang paling efektif untuk melahirkan generasi yang memiliki pandangan yang mampu menjadikan keragaman sebagai bagian yang harus diapresiasi secara konstruktif. Sehingga wajar apabila akhrinya lahir konsep pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural mencoba menjawab dinamika konflik yang terjadi, baik yang dipicu oleh agama, ras, suku atau budaya. Selain itu, lebih jauh lagi eksistensi pendidikan multikultural tiada lain untuk membangun kesadaran masyarakat secara umum akan nilai persatuan dan kesatuan, karena pendidikan multikultural tidak terlepas dari konsep multikulturalisme, yang merupakan ideologi dan faham yang mengakui adanya perbedaan dalam kesetaraan baik secara individu maupun budaya. Pengertian pendidikan multikultural, secara sederhana dapat didefenisikan sebagai "pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan".12 Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.13 James A.Banks mengungkapkan, pendidikan berwawasan mutilkuturalisme merupakan konsep, ide atau falsafah sebagai 12 13 Suharto, Pendidikan Multikultural,30. Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, cet. 1,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 75. Pendidikan Multikultural dalam Perspektif Islam suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keberagaman budaya dan etnis dalam pentas kehidupan.14 Lebih jauh James A.Banks menjelaskan, pendidikan multikulturalisme memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan: content integration, the knowledge construction processs, an equity pedagogy dan prejudice reduction.15 Pertama, content integration. Yakni, mengintegrasikan berbagai kultur dan kelompok yang ada, guna untuk mencapai sebuah tujuan, yakni; mengimplementasikan konsep dan teori dalam disiplin ilmu. Dengan seperti itu, maka akan lebih mudah untuk tercapainya sebuah tujuan tersebut. Kedua, the knowledge construction process, yaitu mengantarkan peserta didik, untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah disiplin ilmu. Ketiga, an equity pedadogy. Membuat metode pengajaran yang sesuai dengan cara belajar peserta didik dengan tujuan memfasilitasi prestasi akademik peserta didik yang berlatar belakang agama, ras, budaya, dan sosial yang beragam. Dengan kata lain, metode pembelajaran bersifat kontekstual. Keempat, prejudice reduction. Melatih peserta didik berinteraksi dengan temannya dan seluruh pengajar yang mempunyai latar belakang agama, etnis, dan budaya yang berbeda dalam berbagai aktivitas untuk menciptakan budaya akademik. Tujuannya tiada lain adalah, mereduksi segenap prasangka buruk antar agama dan budaya. Pendidikan multikultural selain memiliki beberapa dimensi, juga memiliki beberapa ciri, diantaranya; 14 Pengembangan Agama Jakarta, Pendidikan Agama Islam,8. Tim Antologi Karya Mahasiswa Program DPP Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Belantara Filsafat Dan Diaspora Menuju Tuhan, (Yogyakarta: Teras),210-211. 15 Mustajab tujuannya membentuk “manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya (berperadaban)”. b. materi yang diajarkannya mengenai nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai kelompok etnis (kultur) c. metode yang digunakan bersifat demokratis, dalam artian menghargai perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis yang ada. d. penilaian terhadap tingkah laku anak yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lain, merupakan bahan evaluasi dalam pendidikan multikulturalisme.16 Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa, pendidikan multikultural merupakan konsep yang sangat relevan dengan kondisi saat ini. Dengan demikian, kurikulum pendidikan saat ini harus mengadopsi tema-tema tentang pendidikan multikultural seperti, toleransi, pluralitas agama, demokrasi, penyelesaian konflik, HAM dan hal-hal lain yang objektif dengan realitas saat ini. a. 3. Persepsi Islam tentang Multikulturalisme Islam adalah agama kontekstual, bukan tekstual, walaupun Islam memiliki al-Qur’an yang mutlak kebenarannya dan tidak pernah terbantahkan oleh siapapun. Namun dalam aplikasinya ajaran Islam sangat lentur dan menghargai pada semua tradisi yang ada di lingkungan umat dimana manusia hidup. AlQur’an sebagai pedoman bagi umat Islam khususnya, tidak pernah terjebak dengan isinya sendiri walaupun ada sebagian kelompok Islam tertentu sangat tekstual dalam memahami dan memaknai daripada isi al-Qur’an itu sendiri. Sehingga karena pemahaman yang tekstual itu, maka akhirnya sebagian umat 16 Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, 187. Pendidikan Multikultural dalam Perspektif Islam menjadi ekslusif dan tidak bisa toleran pada sesama bahkan bersikap ekstrem Padahal Islam adalah salah satu agama yang mengedepankan sikap terbuka dan menerima perbedaan (pluralisme, multikulturalisme). Dalam Islam berteologi secara inklusif dengan menampilkan wajah agama secara santun dan ramah sangat dianjurkan. Islam bahkan memerintahkan umat Islam untuk dapat berinteraksi terutama dengan agama Kristen dan Yahudi dan dapat menggali nilai-nilai keagamaan melalui diskusi dan debat intelektual/teologis secara bersama-sama dan dengan cara yang sebaik-baiknya,17 tentu saja tanpa harus menimbulkan prejudice atau kecurigaan di antara mereka. Karena menurut al-Qur’an sendiri, sebagai sumber normatif bagi suatu teologi inklusif. Karena bagi kaum muslimin, tidak ada teks lain yang menempati posisi otoritas mutlak dan tak terbantahkan selain Alqur’an. Maka, Alqur’an merupakan kunci untuk menemukan dan memahami konsep persaudaraan Islamterhadap agama lain. Pluralitas adalah salah satu kenyataan objektif komunitas umat manusia, sejenis hukum Allah atau Sunnah Allah, sebagaimana firman Allah SWT: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal”18 Kalau kita membaca dari ayat tersebut, secara kritis dan penuh keterbukaan, pastilah kita akan menemukan suatu kesimpulan bahwa Allah SWT sendiri sebenarnya secara tegas telah menyatakan bahwa ada kemajemukan di muka bumi ini. Perbedaan laki-laki dan perempuan, perbedaan suku bangsa; ada 17 18 Q. S al-Ankabut (29): 46. Q.S. Al Hujurat (49): 13. Mustajab orang Indonesia, Jerman, Amerika, orang Jawa, Sunda atau bule, adalah realitas pluralitas yang harus dipandang secara positif dan optimis. Perbedaan itu, harus diterima sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin atas dasar kenyataan itu. Bahkan kita disuruh untuk menjadikan pluralitas tersebut, sebagai instrumen untuk menggapai kemuliaan di sisi Allah SWT, dengan jalan mengadakan interaksi sosial antara individu, baik dalam konteks pribadi atau bangsa. Kenapa kita diperintah untuk saling mengenal dan berbuat baik sama orang lain, meskipun berbeda agama, suku dan kulit dan dilarang untuk memperolok-olok satu sama lain? Jawabannya adalah bahwa hanya Allah yang tahu dan dapat menjelaskan, di hari akhir nanti, mengapa manusia berbeda satu dari yang lain, dan mengapa jalan manusia berbeda-beda dalam beragama. “Untuk masing-masing dari kamu (umat manusia) telah kami tetapkan Hukum (Syari’ah) dan jalan hidup (minhaj).19 Bahkan konsep unity in diversity, dalam Islam telah diakui keabsahanya dalam kehidupan ini. Untuk mendukung pernyataan ini, kita dapat melacak kebenaranya dalam perjalanan sejarah yang telah ditunjukkan oleh al-Qur’an, bahwa Islam telah memberi karakter positif kepada komunitas non-Muslim, Ini bisa dilihat, misalnya, dari berbagai istilah eufemisme, mulai dari ahl al-kitab, shabih bi ah al-kitab, din Ibrahim sampai dinan hanifan. Dan secara spesifik, Islam malahan mengilustrasikan karakter para pemuka agama Kristen sebagai manusia dengan sifat rendah hati (la yastakbirun) serta pemeluk agama Nasrani sebagai kelompok dengan jalinan emosional (aqrabahum mawaddatan) terdekat dengan komunitas Muslim.20 19 20 QS. Al Maidah (4) : 48 Q.S. Al Maidah (4): 82. Pendidikan Multikultural dalam Perspektif Islam Dalam kaitannya yang langsung dengan prinsip untuk dapat menghargai agama lain dan dapat menjalin persahabatan dan perdamaian dengan ‘mereka’ inilah Allah, di dalam alQur’an, menegur keras Nabi Muhammad SAW ketika ia menunjukkan keinginan dan kesediaan yang menggebu untuk memaksa manusia menerima dan mengikuti ajaran yang disampaikannya, sebagai berikut: “Jika Tuhanmu menghendaki, maka tentunya manusia yang ada di muka bumi ini akan beriman. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia, di luar kesediaan mereka sendiri?.21 Dari ayat tersebut tergambar dengan jelas bahwa persoalan kemerdekaan beragama dan keyakinan menjadi “tanggung jawab” Allah SWT, dimana kita semua dituntut toleran terhadap orang yang tidak satu dengan keyakinan kita. Bahkan Nabi sendiri dilarang untuk memaksa orang kafir untuk masuk Islam. Maka dengan begitu, tidaklah dibenarkan “kita” menunjukkan sikap kekerasan, paksaan, menteror dan menakut-nakuti orang lain dalam beragama. Apalagi kalau kita mau memahami secara benar, bahwa pada dasarnya menurut al-Qur’an, pokok pangkal kebenaran universal Yang Tunggal itu ialah paham Ketuhanan Yang Maha Esa, atau tauhid. Tugas para Rasul adalah menyampaikan ajaran tentang tauhid ini, serta ajaran tentang keharusan manusia tunduk dan patuh hanya kepada-Nya saja22 dan justru berdasarkan paham tauhid inilah, al-Qur’an mengajarkan paham kemajemukan keagamaan. Dalam pandangan teologi Islam, sikap ini menurut Budy Munawar Rahman dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan kepada semua agama yang ada; bahwa semua agama itu pada mulanya menganut prinsip yang sama,23 dan persis karena alasan 21 Q.S. Yunus (8): 99. Q. S. al-Anbiya’ (13) : 92 23 Budy Munawar Rahman, Islam Pluralis, (Jakarta: Paramadina 2001), hlm. 15. 22 Mustajab inilah al-Qur’an mengajak kepada titik pertemuan (kalimatun sawa’): Katakanlah: "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, …24 Implikasi dari kalimatun sawa’ ini menurut Alqur’an adalah: siapapun dapat memperoleh “keselamatan” asalkan dia beriman kepada Allah, kepada hari kemudian, dan berbuat baik”. Jadi, dalam prespektif ini, al-Qur’an tidak mengingkari kasahihan pengalaman transendensi agama, semisal Kristen bukan? Islam malah mengetahui dan bahkan mengakui daya penyelamatan kaum lain (termasuk Kristen) itu dalam hubunganya dengan lingkup monoteisme yang lebih luas: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan yang beragama Yahudi, Kristen, dan Shabiin, barang siapa dari mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan mengerjakan amal baik, maka mereka akan dapat ganjaran dari Tuhan mereka; dan tidak ada ketakutan dan tidak ada duka cita atas mereka”.25 Hal itu sejalan dengan ajaran bahwa monoteisme merupakan dogma yang diutamakan dalam Islam. Monoteisme, yakni percaya kepada Tuhan yang Maha Esa, dipandang jalan untuk keselamatan manusia. Dalam al-Qur’an ayat 48 dan 116 surah alNisa’ menerangkan bahwa Allah tidak mengampuni dosa orang yang mempersekutukan Tuhan tetapi mengampuni dosa selainnya bagi barang siapa yang dikehendaki Allah. Kedua ayat ini mengandung arti bahwa dosa dapat diampuni Tuhan kecuali dosa syirik atau politeis. Inilah satu-satunya dosa yang tak dapat diampuni Tuhan. Alqur’an, dengan demikian, sebagaimana ditegaskan oleh Abdulaziz Sachedina dalam bukunya The Islamic Roots of Democratic Pluralism, adalah jelas memandang dirinya sebagai mata 24 25 Q.S. Al Imron (3) : 64 Q.S al-Baqarah (2) : 62. Pendidikan Multikultural dalam Perspektif Islam rantai kritis dalam pengalaman pewahyuan umat manusia—satu jalan universal yang dimaksudkan untuk semua makhluk.26 Secara khusus, Islam juga memiliki etos biblikal dan Kristen, dan Islam memiliki sikap yang luar biasa inklusif terhadap Ahli Kitab, yang dengan merekalah Islam terhubungkan melalui manusia pertama di muka bumi. Sedangkan secara umum, pandangan Islam terhadap agama lain (Ahli Kitab—pen) sangat positif dan sangat kontruktif. Hal ini dapat dilihat dari nilai dan ajarannya yang memberikan peluang dan mendorong kepada umat Islam untuk dapat melakukan interaksi sosial, kerja sama dengan mereka. Tentang hal ini, Farid Asaeck telah menunjukkan bukti-bukti sebagai berikut; Pertama, Ahli Kitab, sebagai penerima wahyu, diakui sebagai bagian dari komunitas. Ditujukan kepada semua nabi, al-Qur’an mengatakan: “Dan sungguh inilah umatmu, umat yang satu”.27 Sehingga konsep Islam tentang para pengikut Kitab Suci atau Ahli Kitab yaitu konsep yang memberikan pengakuan tertentu kepada para penganut agama lain, yang memiliki Kitab Suci dengan memberikan kebebasan menjalankan ajaran agamanya masingmasing. Kedua, dalam dua bidang sosial terpenting, makanan dan perkawinan, sikap murah hati al-Qur’an terlihat jelas, bahwa makanan “orang-orang yang diberi Alkitab” dinyatakan sebagai sah (halal) bagi kaum muslim dan makanan kaum muslim sah bagi mereka.28 Demikian juga, pria muslim diperkenankan mengawini “wanita suci dari Ahli Kitab”. Jika kaum Muslim diperkenankan hidup berdampingan dengan golongan lain dalam hubungan yang seintim hubungan perkawinan, ini menunjukkan secara ek- 26 Abdulaziz Sachedina, The Islamic Roots of Democratic Pluralism, (New York: Routledge, 2002), hlm. 59. 27 Q. S. al-Mu’minun: 52. 28 Q. S. al-Maidah (4) : 5. Mustajab splisit bahwa permusuhan tidak dianggap sebagai norma dalam hubungan Muslim-kaum lain. Ketiga, dalam bidang hukum agama, norma-norma dan peraturan kaum Yahudi dan Nasrani diakui29 dan bahkan dikuatkan oleh Nabi ketika beliau diseru untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka.30 Keempat, kesucian kehidupan religius penganut agama wahyu lainnya ditegaskan oleh fakta bahwa izin pertama yang pernah diberikan bagi perjuangan bersenjata dimaksudkan untuk menjamin terpeliharanya kesucian ini31, “Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagai manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja dan sinagogsinagog orang Yahudi, dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak di sebut nama Allah”.32 Perintah Islam agar umatnya bersikap toleran, bukan hanya pada agama Yahudi dan Kristen, tetapi juga kepada agamaagama lain. Ayat 256 surat al-Baqarah mengatakan bahwa tidak ada paksaan dalam soal agama karena jalan lurus dan benar telah dapat dibedakan dengan jelas dari jalan salah dan sesat. Terserahlan kepada manusia memilih jalan yang dikehendakinya. Telah dijelaskan mana jalan benar yang akan membawa kepada kesengsaraan. Manusia merdeka memilih jalan yang dikehendakinya. Kemerdekaan ini diperkuat oleh ayat 6 surah al-Kafirun yang mengatakan: Bagimulah agamamu dan bagiku agamaku. Bagaimana Piagam Madinah yang telah memberikan gambaran kepada manusia bahwa memang selayaknyalah toleransi dalam beragama tidak bisa dipungkiri karena itu adalah fitrah yang harus kita terima. Nabi Muhammad adalah contoh pemimpin yang pertama kali menancapkan pondasi toleransi 29 Q. S al-Maidah (4) : 47 Q. S al-Maidah (4) : 42-43 31 Farid Asaeck, Qur’an, Liberation, and Pluralism, terj. Watung A. Budiman, (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 206-207. 32 Q. S al-Hajj (19) : 40. 30 Pendidikan Multikultural dalam Perspektif Islam yang di wujudkan dan di buktikan pada pasal-pasal yang ada didalam Piagam Madinah sebanyak 47 pasal, dimana dalam pasal-pasal tersebut tidak ada satupun kalimat tentang Islam, hadits, maupun al-Qur’an. Padahal seandainya Nabi Muhammad mau menggunakan kekuasaannya, baik sebagai Kholifah maupun Rasul sangat memungkinkan untuk bersikap otoriter, sekaligus membumi hanguskan semua agama selain agama Islam. Tetapi kenyataanya bahwa ternyata apa yang telah di contohkan beliau menjadi kenyataan yang mentradisi di tengah-tengah masyarakat yang majemuk dan pluralis. Demikianlah beberapa prinsip dasar al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah pluralisme dan anjuran untuk dapat menunjukkan sikap saling menghormati, ramah dan bersahabat dengan agama Kristen, secara khusus. Dengan begitu, jauh-jauh hari, al-Qur’an sesungguhnya telah mensinyalir akan munculnya bentuk “truth claim”.33 Baik itu dalam wilayah intern umat beragama maupun wilayah antar-umat beragama. Kedua-duanya, sama-sama tidak favourable dan tidak kondusif bagi upaya membangun tata pergaulan masyarakat pluralistik yang sehat. Oleh al-Qur’an, kecendrungan manusia untuk mengantongi “truth claim” yang potensial untuk ekplosif dan destruktif itu, kemudian dinetralisir dalam bentuk anjuran untuk selalu waspada terhadap bahaya ektrimitas dalam berbagai bentuknya. Dan manusia Muslim sendiri dituntut untuk senantiasa merendahkan hati dan bersedia dengan “kebenaran” (al-haq) dan kesabaran (al-Shabar) dalam setiap langkah dalam perjalanan hidupnya.34 Paling tidak, dalam dataran konseptual, al-Qur’an telah memberi resep atau arahan-arahan yang sangat diperlukan bagi manusia Muslim untuk memecahkan masalah kemanusiaan uni33 Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 68. 34 Q.S. al-Ashr (123): 1-3. Mustajab versal, yaitu realitas pluralitas keberagamaan manusia dan menuntut supaya bersikap toleransi terhadap kenyataan tersebut demi tercapainya perdamaian di muka bumi. Karena Islam menilai bahwa syarat untuk membuat keharmonisan adalah pengakuan terhadap komponen-komponen yang secara alamiah berbeda. Dengan begitu, dapat pula dikatakan konsepsi pluralisme dalam Islam sudah terbawa pada misi awal agama ini diturunkan, yakni membawa kasih terhadap seluruh alam tanpa batas-batas atau benturan-benturan dimensi apapun. Semua orang yang mengaku Islam haruslah menunjukkan sikap saling “mengasihi” kepada sesama manusia. Karena seseorang bisa disebut sebagai seorang muslim, menurut kanjeng nabi adalah Al-Muslimu man salima Al-muslimuna min lisanihi wa yadihi. Maksudnya adalah seorang muslim yang senantiasa menebarkan sikap damai dan rasa aman dihati masyarakatnya. 4. Pendidikan Multikulturalisme dalam Perspektif Islam Telah disinggung diatas, bahwa dalam surat al-Hujurat ayat 13, dengan tegas Allah menyampaikan bahwa di ciptakannya manusia dengan berbeda-beda suku, bangsa, ras dan etnis, dengan tujuan agar saling mengenal, dan juga agar supaya manusia menyadari bahwa perbedaan itu adalah sunnatullah. Berbeda bukan berarti harus bermusuhan, tapi justru menyadari bahwa dengan perbedaan itu akan lebih meyakini terhadap eksistensi Tuhannya. Tuhan telah memberikan contoh ada siang ada malam, ada senang ada susah, ada laki-laki ada perempuan, semua contoh ini bukti bahwa sebenarnya Tuhan akan menyampaikan pada manusia bahwa hidup itu harus berdampingan satu sama lain. Kemajemukan, toleransi, kebebasan berfikir, demokrasi, kesa- Pendidikan Multikultural dalam Perspektif Islam maan hak adalah sebuah keniscayaan yang harus kita terima dan harus di lestarikan bersama-sama. Dan kalau boleh penulis menilai, bagaimana sosok almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah mampu mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam bentuk pluralisme, demokrasi, kesamaan hak, pada kehidupan sehari-hari, baik dalam konteks hubungan antar sesama manusia, sesama agama maupun antar negara. Oleh karena itu, pendidikan multikultural menurut pandangan Islam sangat dibutuhkan sebagai jembatan untuk proses demokratisasi, pluralisme, karena hanya dengan pendidikan multikultural, manusia bisa menerima dan memahami terhadap adanya perbedaan yang ada. Islam sendiri merespon secara positif terhadap munculnya pendidikan multikultural demi tercapainya pendidikan yang merata terhadap semua golongan tanpa pandang suku, ras, agama dan bangsa, sehingga tercipta hubungan yang harmonis bagi seluruh umat manusia di seluruh dunia. Apalagi Islam adalah agama yang rahmatal lil alamin, yang artinya tidak hanya untuk umat Islam sendiri, tapi untuk semua umat manusia di muka bumi. Berangkat dari kesadaran adanya fenomena bahwa “satu Tuhan, banyak agama” merupakan fakta dan realitas yang dihadapi manusia sekarang. Maka, manusia sekarang harus didorong menuju kesadaran bahwa pluralisme memang sungguhsungguh fitrah kehidupan manusia. Mendorong setiap orang untuk dapat menghargai “keanekaragaman” adalah sangat penting segera dilakukan, terutama sekali di negara Indonesia yang pluralistik ini. Dampak krisis multi-dimensional yang melandanya, menyebabkan bangsa Indonesia menghadapi berbagai problem sosial. Salah satu problem besar adalah dimana peran agama meredam terhadap ter- Mustajab jadinya konflik etnis, kultur dan religius, atau yang lebih dikenal dengan SARA. Kegagalan agama dalam memainkan perannya sebagai problem solver bagi persoalan SARA erat kaitanya dengan pengajaran agama secara eklusif. Maka, agar bisa keluar dari kemelut yang mendera bangsa Indonesia terkait persoalan SARA, adalah sudah saatnya bagi bangsa Indonesia untuk memunculkan wajah pendidikan agama yang inklusif dan humanis. Pada tataran teologis, dalam pendidikan agama perlu mengubah paradigma teologis yang pasif, tektualis, dan eklusif. Menuju teologi yang saling menghormati, saling mengakui eksistensi, berfikir dan bersikap positif, serta saling memperkaya iman. Hal ini dengan tujuan untuk membangun interaksi umat beragama yang tidak hanya berkonsistensi secara harmonis dan damai, tetapi juga bersedia aktif dan pro-aktif kemanusiaan. Sebenarnya masyarakat Indonesia telah lama akrab dengan diktum Bhinneka Tunggal Ika. Namun sayangnya, konsep ini telah mengalami pemelintiran makna dan bias interpretasi, terutama sepanjang pemerintahan Orde Baru. Kebijakan sosialpolitik saat itu cenderung uniformistik, sehingga tampaknya budaya milik kelompok dominanlah yang diajarkan dan disalurkan oleh sekolah dari satu generasi kepada generasi lainya. Sekolah pada saat itu juga ditengarai hanya merefleksikan dan menggemakan stereotip dan prasangka antar kelompok yang sudah terbentuk dan beredar dalam masyarakat, tidak berusaha menetralisir dan menghilangkanya. Bahkan, ada indikasi bahwa sekolah ikut mengembangkan prasangka dan mengeskalasi ketegangan antarkelompok melalui perundang-undangan yang mengkotak-kotakkan penyampaiaan pendidikan agama, isi kurikulum yang etnosentris, dan dinamika relasi sosial antar sekolah Pendidikan Multikultural dalam Perspektif Islam yang segregatif.35 Bukan tak mungkin segregasi sekolah berdasarkan kepemelukan agama juga ikut memperuncing prasangka dan proses demonisasi antara satu kelompok dengan kelompok lainya, baik secara langsung maupun tidak langsung . Padahal, menurut S. Hamid Hasan, “keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi adalah suatu realita masyarakat dan bangsa Indonesia. Namun demikian, keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan aspirasi politik yang seharusnya menjadi faktor yang diperhitungkan dalam penentuan filsafat, teori, visi, pengembangan dokumen, sosialisasi kurikulum, dan pelaksanaan kurikulum, nampaknya belum dijadikan sebagai faktor yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan kurikulum pendidikan di negara kita”.36 Maka, akibatnya, wajar manakala terjadi kegagalan dalam pendidikannya (termasuk pendidikan agama), terutama sekali dalam menumbuhkan sikap-sikap untuk menghargai adanya perbedaan dalam masyarakat. Selain itu, Kautsar Azhari Noer menyebutkan, paling tidak ada empat faktor penyebab kegagalan pendidikan agama dalam menumbuhkan pluralisme. Pertama, penekanannya pada proses transfer ilmu agama ketimbang pada proses transformasi nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak didik; kedua, sikap bahwa pendidikan agama tidak lebih dari sekedar sebagai “hiasan kurikulum” belaka, atau sebagai “pelengkap” yang dipandang sebelah mata; ketiga, kurangnya penekanan pada penanaman nilai-nilai moral yang mendukung kerukunan antar agama, seperti cinta, kasih sayang, persahabatan, suka menolong, suka damai Yayah Khisbiyah, Yayah at al., (2000), “Mencari Pendidikan Yang Menghargai Pluralisme” dalam Membangun Masa Depan Anak-anak Kita, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 156-157. 36 S. Hamid Hasan, “Pendekatan Multikultural Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional”, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Edisi Bulan Januari-November, 2000, hlm. 511. 35 Mustajab dan toleransi; dan keempat, kurangnya perhatian untuk mempelajari agama-agama lain.37 Melihat realitas tersebut, bahkan ditambah dengan adanya banyak konflik, kekerasan, dan bahkan kekejaman yang dijalankan atas nama agama, sebagaimana tersebut di atas, seharusnyalah yang menjadi tujuan refleksi atas pendidikan agama adalah mampu melakukan transformasi kehidupan beragama itu sendiri dengan melihat sisi ilahi dan sosial-budayanya. Pendidikan agama harus mampu menanamkan cara hidup yang lebih baik dan santun kepada peserta didik. Sehingga sikap-sikap seperti saling menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman agama dan budaya dapat tercapai di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan menyadari bahwa masyarakat kita terdiri dari banyak suku dan beberapa agama, jadi sangat pluralis. Maka, pencarian bentuk pendidikan alternatif mutlak diperlukan. Yaitu suatu bentuk pendidikan yang berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkanya kepada generasi berikutnya, menumbuhkan akan tata nilai, memupuk persahabatan antara siswa yang beraneka ragam suku, ras, dan agama, mengembangkan sikap saling memahami, serta mengerjakan keterbukaan dan dialog. Bentuk pendidikan seperti inilah yang banyak ditawarkan oleh “banyak ahli” dalam rangka mengantisipasi konflik keagamaan dan menuju perdamaian abadi, yang kemudian terkenal dengan sebutan “pendidikan pluralisme”. Apakah sebenarnya pendidikan pluralisme itu? Kalau kita melacak referensi tentang pendidikan pluralisme, banyak sekali literatur mengenai pendidikan tersebut atau sering dikenal orang dengan sebutan “pendidikan multikultural”. Namun literatur- 37 Kautsar Azhari Noer dalam Sumartana, et al., Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 239-240. Pendidikan Multikultural dalam Perspektif Islam literatur tersebut menunjukkan adanya keragaman dalam pengertian istilah ini. Dia mengartikan pendidikan multikultural sebagai any set of proces by which schools work with rather than against oppressed group. Banks, dalam bukunya Multicultural education: historical development, dimension, and practice menyatakan bahwa meskipun tidak ada konsensus tentang itu ia berkesimpulan bahwa di antara banyak pengertian tersebut maka yang dominan adalah pengertian pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Lebih jelasnya, menariklah kalau kita memperhatikan suatu defenisi tentang pendidikan pluralisme yang disampaikan Frans Magnez Suseno yaitu suatu pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama kita sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Inilah pendidikan akan nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.38 Senada dengan itu, Ainurrofiq Dawam menjelaskan defenisi pendidikan multikultural sebagai proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya etnis, suku, dan aliran (agama). Pengertian pendidikan multikultural yang demikian, tentu mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan. Karena pendidikan itu sendiri secara umum dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia dari mana pun dia datangnya dan berbudaya apa pun dia. Harapannya, sekilas adalah terciptanya kedamaian yang sejati, keamanan yang tidak dihantui kecemasan, 38 SKH Suara Pembaharuan, 23 September, 2000. Mustajab kesejahteraan yang tidak dihantui manipulasi, dan kebahagiaan yang terlepas dari jaring-jaring manipulasi rekayasa sosial. Muhammad Ali menyebut pendidikan yang berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis secara agama sekaligus berwawasan multikultural, seperti itu, dengan sebutan “pendidikan pluralis multikultural”. Menurutnya, pendidikan semacam itu harus dilihat sebagai bagian dari upaya komprehensif mencegah dan menaggulangi konflik etnis agama, radikalisme agama, separatisme, dan integrasi bangsa, sedangkan nilai dasar dari konsep pendidikan ini adalah toleransi. Azyumardi Azra ketika membandingkan antara pendidikan secara umum dengan pendidikan Islam, ia menyebutkan adanya tujuh karakteristik yang dimiliki oleh Pendidikan Islam.39 Pertama,penguasaan ilmu pengetahuan. Hal ini selaras dengan ajaran dasar Islam yang mewajibkan umatnya untuk mencari dan menguasai ilmu pengetahuan. Kedua, pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu yang telah dikuasai harus diberikan dan dikembangkan kepada lain. ketiga, penekanan pada nilai-nilai akhlak dalam penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Keempat, penguasaan dan pengembangan ilmu tersebut hanyalah untuk pengabdian kepada Allah dan kemaslahatan umum. Kelima, penyesuaian pada perkembangan anak. Pendidikan diberikan sesuai dengan umur, kemampuan, perkembangan jiwa, dan bakat anak. Keenam, pengembangan kepribadian. Perkembangan ini berkaitan dengan seluruh nilai dan system Islam, sehingga setiap anak didik diarahkan untuk mencapai tujuan Islam. Dan ketujuh, penekanan pada amal shaleh dan tanggung jawab. Oleh karena itu, pendidikan Islam merupakan media yang pas untuk mentransformasikan nilai-nilai atau konsep multikulturalisme guna menjawab tantangan zaman dan setidaknya pen- 39 Naim & Sauqi, Pendidikan Multikultural, 30. Pendidikan Multikultural dalam Perspektif Islam didikan Islam berwawasan multikultural diharapkan dapat merdam terjadinya konflik yang kian bertubi-tubi. DAFTAR PUSTAKA Azhari, Kautsar. 2001. Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Abdullah, Amin. 1999. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hasan, Hamid. 2000. Pendekatan Multikultural Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional”. Jakarta : Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi Bulan Januari-November http://www.scribd.com/doc/4057829/FENOMENA-TAWURANANTAR-PELAJAR Naim, Ngainun Dkk. 2011. Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi.cet III. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta. 2009. Pendidikan Agama Islam dalam Persepektif Multikulturalisme. cet.I. Jakarta: PT. Saadah Cipta Mandiri. UU Sistem Pendidikan Nasional RI No 20 Tahun 2003. Jakarta: Sinar Grafika. Suharto, Babun. 2010. Pendidikan Multikultural Dalam Pendidikan Islam: Integrasi Konsep dan Aplikasi dalam Pendidikan. Yogyakarta: Absolute Media. http//www. Dampak dan Solusi Multikulturalisme di Indonesia « Iwan Purnawan's Weblog.htm. Zariah, Nurul. 2008. Pendidikan Moral Dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.