ISSN - eJournal IAIN Jember

advertisement
ISSN: 1907-4336
ISSN: 1907-4336
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Mustajab
A. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang melebihi negaranegara lain, negara yang tidak saja multi-suku, multi-etnik, multiagama, akan tetapi juga multi-budaya. Kemajemukan tersebut
pada satu sisi merupakan kekuatan sosial dan keragaman yang
indah apabila satu sama lain bersinergi dan saling bekerja sama
untuk membangun bangsa. Namun, apabila kemajemukan tersebut apabila tidak diurus dan dikelola dengan baik, justru akan
menjadi bomerang atau pemicu dan penyulut terjadinya konflik
dan kekerasan yang pada akhirnya akan dapat menggoyahkan
sendi-sendi kehidupan bangsa.
Dalam konstelasi kehidupan semacam ini, konflik menjadi
sesuatu yang kian mudah dan bahkan sering terjadi. Bangsa Indonesia masih dibenturkan dengan berbagai masalah SARA yang
semakin fluktuatif, tapi pada akhir-akhir ini berbagai permasalahan SARA itu mengkerucut pada konflik antar golongan meskipun permasalahan yang lain mempunyai potensi yang besar
untuk bergejolak lagi. Salah satu konflik antar golongan seperti
pertikaian antar kaum ahmadiyah dengan kaum muslim
tradisonal maupun modern yang sampai saat ini tidak ada titik
temu. Selain itu juga terjadinya konflik yang bernuansa politik

STAIN Jember
Pendidikan Multikultural dalam Perspektif
Islam
yang baru-baru ini terjadi di Ambon, dimana hanya persoalan
hasil Pemilukada yang kemudian harus menghancurkan fasilitas
umum seperti lembaga-lembaga pendidikan yang jelas-jelas mengorbankan pendidikan anak-anak generasi bangsa. Yang lebih
ironi lagi adalah bahwa terjadinya konflik itu melibatkan anakanak usia pendidikan tingkat dasar untuk ikut dalam peperangan
terkait dengan masalah tersebut.
Kejadian ini menunjukkan bahwa bagaimana pendidikan
multikultural sangat dibutuhkan di tengah-tengah kekalutan
bangsa, dimana pendidikan multikultural ini menjadi jalan bagi
bangsa untuk melakukan sesuatu ataupun bertindak secara dewasa. Tindakan-tindakan kekerasan yang sering terjadi di mungkinkan karena pendidikan yang diterapkan selama ini bagi sebagian masyarakat, dianggap tidak memiliki kekuatan apa-apa,
kecuali hanya sebatas rutinitas yang menjenuhkan, sehingga harus ada pendidikan alternatif yang bisa membawa manusia berfikir secara rasional dan dewasa. Dengan melihat fenomena ini,
penulis berkeyakinan bahwa mungkin hanya dengan menerapkan
pendidikan multi kultural yang dapat merubah mind set daripada
masyarakat Indonesia di seluruh Nusantara.
Selain itu, pertikaian antar golongan atau kelompok tidak
hanya terjadi pada wilayah sosial-masyarakat, tetapi juga terjadi
di lembaga-lembaga pendidikan, misalnya, tawuran yang terjadi
antara para pelajar di sekolah-sekolah negeri maupun swasta
yang ditimbulkan hanya persoalan sepele (rebutan cewek) seperti
yang terjadi di salah satu SMP Negeri di Kabupaten Bondowoso
baru-baru ini, juga terjadi di SMP Negeri I Gondang Kab Mojokerto yang berawal dari persahabatan sepak bola, namun, kemudian terjadi percek-cokan antar sporter yang kemudian berujung
pada perkelahian yang mengakibatkan empat siswa terluka. Padahal, dua sekolah tersebut niatnya baik, yaitu; menjalin tali persaudaraan antara lembaga satu dengan yang lainnya dalam rang-
Mustajab
ka memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas 02 Mei).1
Konflik-konflik tersebut merupakan salah satu bentuk permasalahan yang sampai saat ini belum bisa diatasi secara baik dan solutif, padahal Bangsa Indonesia dikenal dengan negara multikultural yang berasaskan pancasila dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” (berbeda-beda tetapi tetap satu jua).
Mengapa selalu terjadi berbagai problematika seperti itu?
Apakah ada yang salah dengan cara pandang atau paradigma
bangsa ini?, atau jangan-jangan, ini erat kaitannya dengan kondisi
pendidikan di tanah air. Mungkin saja, pendidikan kita sekarang
sudah tidak sejalan lagi dengan tujuan pendidikan nasional yang
tercantum dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun
2003, BAB II pasal 3, tentang Tujuan Pendidikan Nasional, yaitu
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.2
Di samping itu, pendidikan pada umumnya merupakan
sarana untuk mengadakan perubahan individu secara mendasar,
membawa perubahan sampai ke akar-akarnya. Pendidikan juga
mempunyai misi merobohkan “tumpukan pasir jahiliah” (kebodohan), membersihkan, kemudian akan mengantinya dengan
bangunan nilai-nilai baru yang lebih baik, kokoh dan bertanggung jawab.3
Oleh karena itu, sesuatu yang perlu disadari bersama
bahwa unsur budaya nasional dalam proses pendidikan merupa-
1
2
3
http://www.scribd.com/doc/4057829/FENOMENA-TAWURANANTAR-PELAJAR
UU Sistem Pendidikan Nasional RI No 20 Tahun 2003, (Jakarta: Sinar
grafika),7.
Nurul Zariah, Pendidikan Moral Dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008),5.
Pendidikan Multikultural dalam Perspektif
Islam
kan proses pembudayaan dan cita persatuan bangsa.4 Pendidikan
multikultural yang sudah diperkenalkan di Indonesia memiliki
eksistensi dan potensi yang sangat signifikan untuk di transformasikan di lingkungan pendidikan dalam rangka menjawab
berbagai masalah atau konflik-konflik yang terjadi pada bangsa
Indonesia.
B. Pembahasan
1. Multikulturalisme dan Pengertiannya
Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun1950-an di Kanada. Kata multikulturalisme tersebut
dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/faham). Sedangkan secara hakiki, multikulturalisme mengandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam
komunitas dan kebudayaannya masing-masing yang unik.5
Multikulturalime menurut Scoott Lash dan Mike Featherstone, berarti “keberagaman budaya”.6 Ada beberapa istilah yang
sering digunakan secara bergantian dalam menggambarkan
masyarakat yang terdiri dari beragam suku, agama, ras dan budaya (SARA), yaitu; pluralitas (plurality), keragaman (diversity)
dan yang terakhir multikultur (multikultural).
Konsep pluralitas mengambarkan adanya “hal-hal yang
lebih dari satu” (many), keragaman menunjukkan “sesuatu yang
lebih dari satu” itu berbeda-beda, hetrogen, bahkan tidak bisa
disamakan antara yang satu dengan yang lainnya. Sedangkan
konsep multikulturalisme, merupakan konsep yang lebih baru
dibandingkan dua konsep tersebut. Namun, multikulturalisme
4
Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2008), VIII.
5
Mahfud, Pendidikan Multikultural,75.
6
Mahfud, Pendidikan Multikultural,74.
Mustajab
memiliki corak yang mencolok di bandingkan pluralisme dan
keberagaman.
Konsep multikulturalisme berdasarkan pengamatan Parsudi Suparlan, menurutnya konsep tersebut tidak dapat
disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa
(ethnic group) atau kebudayaan suku bangsa (ethnic culture) yang
menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme
menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.7
Selaras dengan itu, Azyumardi Azra mengungkapkan dalam buku pendidikan agama Islam dalam persepektif multikulturalisme, inti dari multikulturalisme adalah, “pandangan dunia,
yang pada akhirnya diimplementasikan dalam kebijakan- tentang
kesediaan menerima kelompok lain secara sama, sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, gender, bahasa ataupun agama”.8
Dari perspektif historisitas, multikulturalisme lahir di
Amerika sebagai perwujudan dari postmodernisme.9 Multikulturalisme adalah varian teori perbedaan yang mengambil ide dari
gagasan postmodernisme bahwa perbedaan manusia secara analitis lebih penting dari pada kesamaan mereka. Oleh karena itu,
kenyataan yang sangat relevan bagi postmodernisme adalah multikulturalisme.
Sedangkan di Indonesia, menurut analisisnya Muhaemin
el-Ma’hady, lahirnya multikuturalisme, sedikitnya selama tiga
dasa warsa yang diakibatkan karena, kebijakan yang sentralistis
dan pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah
menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memikirkan,
7
Babun Suharto, Pendidikan Multikultural Dalam Pendidikan Islam: Integrasi Konsep dan Aplikasi dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Absolute Media, 2010),18.
8
Pengembangan Agama Jakarta, Pendidikan Agama Islam,7.
9
http//www. Dampak dan Solusi Multikulturalisme di Indonesia « Iwan
Purnawan's Weblog.htm
Pendidikan Multikultural dalam Perspektif
Islam
membicarakan dan memecahkan persoalan yang muncul karena
adanya perbedaan secara terbuka, rasional dan damai.10 Masdar
Hilmy, juga berpandangan bahwa, adanya keberagaman budaya
bagi bangsa Indonesia merupakan kenyataan sosial yang sudah
niscaya. 11
Berbagai Kekerasan yang sering terjadi di berbagai kawasan negara Indonesia, yang meledak secara sporadis sejak akhir
tahun 1990-an sampai sekarang, menunjukkan bahwa, betapa
rentannya rasa kebersamaan, betapa kentalnya prasangka antar
kelompok dan rendahnya rasa toleransi antar beragama, hal ini
menunjukkan, bangsa Indonesia memiliki tingkat pemahaman
nilai-nilai multikulturalisme yang sangat rendah. Terlebih konflik
agama yang selalu datang bertubi-tubi, mulai konflik yang sangat
sederhana hingga konflik yang sangat besar. Misalnya, antara jamaah Ahmadiyah dengan jamaah Islam tradisional maupun
modern yang berujung pada pertumpahan darah di berbagi daerah di bumi Nusantara.
Hal ini, merupakan kenyataan yang tidak bisa kita elakkan
bahwa, Indonesia merupakan bangsa multikultural yang amat
besar kontribusinya terhadap tatanan kenegaraan, dan bahkan
melebihi dari negara-negara yang lain. Namun, multikulturalisme
tersebut, jauh dari idealnya. Yang mana nilai-nilai kemanusiaan,
toleransi, pluralitas agama, demokrasi dan HAM, cenderung minim dimiliki oleh sebagian besar kalangan masyarakat.
Oleh karena itu, pemahaman mengenai konsep multikulturalisme sangat penting untuk ditransformasikan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, guna menghindari konflik-konflik yang sering terjadi dan mampu meredamnya.
10
11
Pengembangan Agama Jakarta, Pendidikan Agama Islam,87.
Mahfud, Pendidikan Multikultural, 78.
Mustajab
2. Sekilas tentang Konsep Pendidikan Multikultural
Pendidikan merupakan salah satu media yang paling efektif untuk melahirkan generasi yang memiliki pandangan yang
mampu menjadikan keragaman sebagai bagian yang harus diapresiasi secara konstruktif. Sehingga wajar apabila akhrinya lahir
konsep pendidikan multikultural.
Pendidikan multikultural mencoba menjawab dinamika
konflik yang terjadi, baik yang dipicu oleh agama, ras, suku atau
budaya. Selain itu, lebih jauh lagi eksistensi pendidikan multikultural tiada lain untuk membangun kesadaran masyarakat secara
umum akan nilai persatuan dan kesatuan, karena pendidikan
multikultural tidak terlepas dari konsep multikulturalisme, yang
merupakan ideologi dan faham yang mengakui adanya perbedaan dalam kesetaraan baik secara individu maupun budaya.
Pengertian pendidikan multikultural, secara sederhana
dapat didefenisikan sebagai "pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan
kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia
secara keseluruhan".12
Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan
bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu
menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.13
James A.Banks mengungkapkan, pendidikan berwawasan
mutilkuturalisme merupakan konsep, ide atau falsafah sebagai
12
13
Suharto, Pendidikan Multikultural,30.
Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, cet. 1,(Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006), 75.
Pendidikan Multikultural dalam Perspektif
Islam
suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang
mengakui dan menilai pentingnya keberagaman budaya dan etnis
dalam pentas kehidupan.14
Lebih jauh James A.Banks menjelaskan, pendidikan multikulturalisme memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan:
content integration, the knowledge construction processs, an equity
pedagogy dan prejudice reduction.15
Pertama, content integration. Yakni, mengintegrasikan
berbagai kultur dan kelompok yang ada, guna untuk mencapai
sebuah tujuan, yakni; mengimplementasikan konsep dan teori
dalam disiplin ilmu. Dengan seperti itu, maka akan lebih mudah
untuk tercapainya sebuah tujuan tersebut.
Kedua, the knowledge construction process, yaitu mengantarkan peserta didik, untuk memahami implikasi budaya ke dalam
sebuah disiplin ilmu.
Ketiga, an equity pedadogy. Membuat metode pengajaran
yang sesuai dengan cara belajar peserta didik dengan tujuan
memfasilitasi prestasi akademik peserta didik yang berlatar
belakang agama, ras, budaya, dan sosial yang beragam. Dengan
kata lain, metode pembelajaran bersifat kontekstual.
Keempat, prejudice reduction. Melatih peserta didik berinteraksi dengan temannya dan seluruh pengajar yang mempunyai latar belakang agama, etnis, dan budaya yang berbeda dalam
berbagai aktivitas untuk menciptakan budaya akademik.
Tujuannya tiada lain adalah, mereduksi segenap prasangka buruk
antar agama dan budaya.
Pendidikan multikultural selain memiliki beberapa dimensi, juga memiliki beberapa ciri, diantaranya;
14
Pengembangan Agama Jakarta, Pendidikan Agama Islam,8.
Tim Antologi Karya Mahasiswa Program DPP Fakultas Ushuluddin UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, Belantara Filsafat Dan Diaspora Menuju Tuhan, (Yogyakarta: Teras),210-211.
15
Mustajab
tujuannya membentuk “manusia budaya” dan menciptakan
“masyarakat berbudaya (berperadaban)”.
b. materi yang diajarkannya mengenai nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai kelompok etnis (kultur)
c. metode yang digunakan bersifat demokratis, dalam artian
menghargai perbedaan dan keberagaman budaya bangsa
dan kelompok etnis yang ada.
d. penilaian terhadap tingkah laku anak yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lain, merupakan bahan evaluasi dalam pendidikan multikulturalisme.16
Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa,
pendidikan multikultural merupakan konsep yang sangat relevan
dengan kondisi saat ini. Dengan demikian, kurikulum pendidikan
saat ini harus mengadopsi tema-tema tentang pendidikan multikultural seperti, toleransi, pluralitas agama, demokrasi,
penyelesaian konflik, HAM dan hal-hal lain yang objektif dengan
realitas saat ini.
a.
3. Persepsi Islam tentang Multikulturalisme
Islam adalah agama kontekstual, bukan tekstual, walaupun Islam memiliki al-Qur’an yang mutlak kebenarannya dan
tidak pernah terbantahkan oleh siapapun. Namun dalam aplikasinya ajaran Islam sangat lentur dan menghargai pada semua
tradisi yang ada di lingkungan umat dimana manusia hidup. AlQur’an sebagai pedoman bagi umat Islam khususnya, tidak
pernah terjebak dengan isinya sendiri walaupun ada sebagian kelompok Islam tertentu sangat tekstual dalam memahami dan
memaknai daripada isi al-Qur’an itu sendiri. Sehingga karena
pemahaman yang tekstual itu, maka akhirnya sebagian umat
16
Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, 187.
Pendidikan Multikultural dalam Perspektif
Islam
menjadi ekslusif dan tidak bisa toleran pada sesama bahkan bersikap ekstrem
Padahal Islam adalah salah satu agama yang
mengedepankan sikap terbuka dan menerima perbedaan (pluralisme, multikulturalisme). Dalam Islam berteologi secara inklusif
dengan menampilkan wajah agama secara santun dan ramah sangat dianjurkan. Islam bahkan memerintahkan umat Islam untuk
dapat berinteraksi terutama dengan agama Kristen dan Yahudi
dan dapat menggali nilai-nilai keagamaan melalui diskusi dan
debat intelektual/teologis secara bersama-sama dan dengan cara
yang sebaik-baiknya,17 tentu saja tanpa harus menimbulkan prejudice atau kecurigaan di antara mereka.
Karena menurut al-Qur’an sendiri, sebagai sumber normatif bagi suatu teologi inklusif. Karena bagi kaum muslimin,
tidak ada teks lain yang menempati posisi otoritas mutlak dan tak
terbantahkan selain Alqur’an. Maka, Alqur’an merupakan kunci
untuk menemukan dan memahami konsep persaudaraan Islamterhadap agama lain. Pluralitas adalah salah satu kenyataan objektif komunitas umat manusia, sejenis hukum Allah atau Sunnah
Allah, sebagaimana firman Allah SWT: “Hai manusia, sesungguhnya
kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal”18
Kalau kita membaca dari ayat tersebut, secara kritis dan
penuh keterbukaan, pastilah kita akan menemukan suatu kesimpulan bahwa Allah SWT sendiri sebenarnya secara tegas telah
menyatakan bahwa ada kemajemukan di muka bumi ini. Perbedaan laki-laki dan perempuan, perbedaan suku bangsa; ada
17
18
Q. S al-Ankabut (29): 46.
Q.S. Al Hujurat (49): 13.
Mustajab
orang Indonesia, Jerman, Amerika, orang Jawa, Sunda atau bule,
adalah realitas pluralitas yang harus dipandang secara positif dan
optimis. Perbedaan itu, harus diterima sebagai kenyataan dan
berbuat sebaik mungkin atas dasar kenyataan itu. Bahkan kita
disuruh untuk menjadikan pluralitas tersebut, sebagai instrumen
untuk menggapai kemuliaan di sisi Allah SWT, dengan jalan
mengadakan interaksi sosial antara individu, baik dalam konteks
pribadi atau bangsa.
Kenapa kita diperintah untuk saling mengenal dan berbuat baik sama orang lain, meskipun berbeda agama, suku dan
kulit dan dilarang untuk memperolok-olok satu sama lain? Jawabannya adalah bahwa hanya Allah yang tahu dan dapat menjelaskan, di hari akhir nanti, mengapa manusia berbeda satu dari
yang lain, dan mengapa jalan manusia berbeda-beda dalam beragama.
“Untuk masing-masing dari kamu (umat manusia) telah kami
tetapkan Hukum (Syari’ah) dan jalan hidup (minhaj).19
Bahkan konsep unity in diversity, dalam Islam telah diakui
keabsahanya dalam kehidupan ini. Untuk mendukung pernyataan ini, kita dapat melacak kebenaranya dalam perjalanan sejarah yang telah ditunjukkan oleh al-Qur’an, bahwa Islam telah
memberi karakter positif kepada komunitas non-Muslim, Ini bisa
dilihat, misalnya, dari berbagai istilah eufemisme, mulai dari ahl
al-kitab, shabih bi ah al-kitab, din Ibrahim sampai dinan hanifan. Dan
secara spesifik, Islam malahan mengilustrasikan karakter para
pemuka agama Kristen sebagai manusia dengan sifat rendah hati
(la yastakbirun) serta pemeluk agama Nasrani sebagai kelompok
dengan jalinan emosional (aqrabahum mawaddatan) terdekat
dengan komunitas Muslim.20
19
20
QS. Al Maidah (4) : 48
Q.S. Al Maidah (4): 82.
Pendidikan Multikultural dalam Perspektif
Islam
Dalam kaitannya yang langsung dengan prinsip untuk
dapat menghargai agama lain dan dapat menjalin persahabatan
dan perdamaian dengan ‘mereka’ inilah Allah, di dalam alQur’an, menegur keras Nabi Muhammad SAW ketika ia menunjukkan keinginan dan kesediaan yang menggebu untuk memaksa
manusia menerima dan mengikuti ajaran yang disampaikannya,
sebagai berikut: “Jika Tuhanmu menghendaki, maka tentunya manusia
yang ada di muka bumi ini akan beriman. Maka apakah kamu hendak
memaksa manusia, di luar kesediaan mereka sendiri?.21
Dari ayat tersebut tergambar dengan jelas bahwa persoalan kemerdekaan beragama dan keyakinan menjadi “tanggung
jawab” Allah SWT, dimana kita semua dituntut toleran terhadap
orang yang tidak satu dengan keyakinan kita. Bahkan Nabi
sendiri dilarang untuk memaksa orang kafir untuk masuk Islam.
Maka dengan begitu, tidaklah dibenarkan “kita” menunjukkan
sikap kekerasan, paksaan, menteror dan menakut-nakuti orang
lain dalam beragama.
Apalagi kalau kita mau memahami secara benar, bahwa
pada dasarnya menurut al-Qur’an, pokok pangkal kebenaran
universal Yang Tunggal itu ialah paham Ketuhanan Yang Maha
Esa, atau tauhid. Tugas para Rasul adalah menyampaikan ajaran
tentang tauhid ini, serta ajaran tentang keharusan manusia tunduk
dan patuh hanya kepada-Nya saja22 dan justru berdasarkan paham tauhid inilah, al-Qur’an mengajarkan paham kemajemukan
keagamaan. Dalam pandangan teologi Islam, sikap ini menurut
Budy Munawar Rahman dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan
kepada semua agama yang ada; bahwa semua agama itu pada
mulanya menganut prinsip yang sama,23 dan persis karena alasan
21
Q.S. Yunus (8): 99.
Q. S. al-Anbiya’ (13) : 92
23
Budy Munawar Rahman, Islam Pluralis, (Jakarta: Paramadina 2001),
hlm. 15.
22
Mustajab
inilah al-Qur’an mengajak kepada titik pertemuan (kalimatun
sawa’):
Katakanlah: "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu
kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu,
…24
Implikasi dari kalimatun sawa’ ini menurut Alqur’an adalah: siapapun dapat memperoleh “keselamatan” asalkan dia
beriman kepada Allah, kepada hari kemudian, dan berbuat baik”.
Jadi, dalam prespektif ini, al-Qur’an tidak mengingkari kasahihan
pengalaman transendensi agama, semisal Kristen bukan? Islam
malah mengetahui dan bahkan mengakui daya penyelamatan
kaum lain (termasuk Kristen) itu dalam hubunganya dengan
lingkup monoteisme yang lebih luas: “Sesungguhnya orang-orang
yang beriman dan yang beragama Yahudi, Kristen, dan Shabiin, barang
siapa dari mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan
mengerjakan amal baik, maka mereka akan dapat ganjaran dari Tuhan
mereka; dan tidak ada ketakutan dan tidak ada duka cita atas mereka”.25
Hal itu sejalan dengan ajaran bahwa monoteisme merupakan dogma yang diutamakan dalam Islam. Monoteisme, yakni
percaya kepada Tuhan yang Maha Esa, dipandang jalan untuk
keselamatan manusia. Dalam al-Qur’an ayat 48 dan 116 surah alNisa’ menerangkan bahwa Allah tidak mengampuni dosa orang
yang mempersekutukan Tuhan tetapi mengampuni dosa
selainnya bagi barang siapa yang dikehendaki Allah. Kedua ayat
ini mengandung arti bahwa dosa dapat diampuni Tuhan kecuali
dosa syirik atau politeis. Inilah satu-satunya dosa yang tak dapat
diampuni Tuhan.
Alqur’an, dengan demikian, sebagaimana ditegaskan oleh
Abdulaziz Sachedina dalam bukunya The Islamic Roots of Democratic Pluralism, adalah jelas memandang dirinya sebagai mata
24
25
Q.S. Al Imron (3) : 64
Q.S al-Baqarah (2) : 62.
Pendidikan Multikultural dalam Perspektif
Islam
rantai kritis dalam pengalaman pewahyuan umat manusia—satu
jalan universal yang dimaksudkan untuk semua makhluk.26
Secara khusus, Islam juga memiliki etos biblikal dan Kristen, dan
Islam memiliki sikap yang luar biasa inklusif terhadap Ahli Kitab,
yang dengan merekalah Islam terhubungkan melalui manusia
pertama di muka bumi.
Sedangkan secara umum, pandangan Islam terhadap
agama lain (Ahli Kitab—pen) sangat positif dan sangat kontruktif.
Hal ini dapat dilihat dari nilai dan ajarannya yang memberikan
peluang dan mendorong kepada umat Islam untuk dapat
melakukan interaksi sosial, kerja sama dengan mereka. Tentang
hal ini, Farid Asaeck telah menunjukkan bukti-bukti sebagai berikut; Pertama, Ahli Kitab, sebagai penerima wahyu, diakui sebagai
bagian dari komunitas. Ditujukan kepada semua nabi, al-Qur’an
mengatakan: “Dan sungguh inilah umatmu, umat yang satu”.27 Sehingga konsep Islam tentang para pengikut Kitab Suci atau Ahli
Kitab yaitu konsep yang memberikan pengakuan tertentu kepada
para penganut agama lain, yang memiliki Kitab Suci dengan
memberikan kebebasan menjalankan ajaran agamanya masingmasing.
Kedua, dalam dua bidang sosial terpenting, makanan dan
perkawinan, sikap murah hati al-Qur’an terlihat jelas, bahwa makanan “orang-orang yang diberi Alkitab” dinyatakan sebagai sah
(halal) bagi kaum muslim dan makanan kaum muslim sah bagi
mereka.28 Demikian juga, pria muslim diperkenankan mengawini
“wanita suci dari Ahli Kitab”. Jika kaum Muslim diperkenankan
hidup berdampingan dengan golongan lain dalam hubungan
yang seintim hubungan perkawinan, ini menunjukkan secara ek-
26
Abdulaziz Sachedina, The Islamic Roots of Democratic Pluralism, (New
York: Routledge, 2002), hlm. 59.
27
Q. S. al-Mu’minun: 52.
28
Q. S. al-Maidah (4) : 5.
Mustajab
splisit bahwa permusuhan tidak dianggap sebagai norma dalam
hubungan Muslim-kaum lain.
Ketiga, dalam bidang hukum agama, norma-norma dan peraturan kaum Yahudi dan Nasrani diakui29 dan bahkan dikuatkan oleh
Nabi ketika beliau diseru untuk menyelesaikan perselisihan di antara
mereka.30 Keempat, kesucian kehidupan religius penganut agama
wahyu lainnya ditegaskan oleh fakta bahwa izin pertama yang
pernah diberikan bagi perjuangan bersenjata dimaksudkan untuk
menjamin terpeliharanya kesucian ini31, “Dan sekiranya Allah tiada
menolak (keganasan) sebagai manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja dan sinagogsinagog orang Yahudi, dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak di
sebut nama Allah”.32
Perintah Islam agar umatnya bersikap toleran, bukan hanya pada agama Yahudi dan Kristen, tetapi juga kepada agamaagama lain. Ayat 256 surat al-Baqarah mengatakan bahwa tidak
ada paksaan dalam soal agama karena jalan lurus dan benar telah dapat
dibedakan dengan jelas dari jalan salah dan sesat. Terserahlan kepada
manusia memilih jalan yang dikehendakinya. Telah dijelaskan
mana jalan benar yang akan membawa kepada kesengsaraan.
Manusia merdeka memilih jalan yang dikehendakinya. Kemerdekaan ini diperkuat oleh ayat 6 surah al-Kafirun yang
mengatakan: Bagimulah agamamu dan bagiku agamaku.
Bagaimana Piagam Madinah yang telah memberikan
gambaran kepada manusia bahwa memang selayaknyalah toleransi dalam beragama tidak bisa dipungkiri karena itu adalah
fitrah yang harus kita terima. Nabi Muhammad adalah contoh
pemimpin yang pertama kali menancapkan pondasi toleransi
29
Q. S al-Maidah (4) : 47
Q. S al-Maidah (4) : 42-43
31
Farid Asaeck, Qur’an, Liberation, and Pluralism, terj. Watung A. Budiman,
(Bandung: Mizan, 2000), hlm. 206-207.
32
Q. S al-Hajj (19) : 40.
30
Pendidikan Multikultural dalam Perspektif
Islam
yang di wujudkan dan di buktikan pada pasal-pasal yang ada
didalam Piagam Madinah sebanyak 47 pasal, dimana dalam
pasal-pasal tersebut tidak ada satupun kalimat tentang Islam,
hadits, maupun al-Qur’an. Padahal seandainya Nabi Muhammad
mau menggunakan kekuasaannya, baik sebagai Kholifah maupun Rasul sangat memungkinkan untuk bersikap otoriter,
sekaligus membumi hanguskan semua agama selain agama Islam.
Tetapi kenyataanya bahwa ternyata apa yang telah di contohkan
beliau menjadi kenyataan yang mentradisi di tengah-tengah
masyarakat yang majemuk dan pluralis.
Demikianlah beberapa prinsip dasar al-Qur’an yang
berkaitan dengan masalah pluralisme dan anjuran untuk dapat
menunjukkan sikap saling menghormati, ramah dan bersahabat
dengan agama Kristen, secara khusus. Dengan begitu, jauh-jauh
hari, al-Qur’an sesungguhnya telah mensinyalir akan munculnya
bentuk “truth claim”.33 Baik itu dalam wilayah intern umat beragama maupun wilayah antar-umat beragama. Kedua-duanya,
sama-sama tidak favourable dan tidak kondusif bagi upaya membangun tata pergaulan masyarakat pluralistik yang sehat.
Oleh al-Qur’an, kecendrungan manusia untuk mengantongi “truth claim” yang potensial untuk ekplosif dan destruktif
itu, kemudian dinetralisir dalam bentuk anjuran untuk selalu
waspada terhadap bahaya ektrimitas dalam berbagai bentuknya.
Dan manusia Muslim sendiri dituntut untuk senantiasa merendahkan
hati dan bersedia dengan “kebenaran” (al-haq) dan kesabaran (al-Shabar)
dalam setiap langkah dalam perjalanan hidupnya.34
Paling tidak, dalam dataran konseptual, al-Qur’an telah
memberi resep atau arahan-arahan yang sangat diperlukan bagi
manusia Muslim untuk memecahkan masalah kemanusiaan uni33
Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 68.
34
Q.S. al-Ashr (123): 1-3.
Mustajab
versal, yaitu realitas pluralitas keberagamaan manusia dan
menuntut supaya bersikap toleransi terhadap kenyataan tersebut
demi tercapainya perdamaian di muka bumi. Karena Islam
menilai bahwa syarat untuk membuat keharmonisan adalah
pengakuan terhadap komponen-komponen yang secara alamiah
berbeda.
Dengan begitu, dapat pula dikatakan konsepsi pluralisme
dalam Islam sudah terbawa pada misi awal agama ini diturunkan,
yakni membawa kasih terhadap seluruh alam tanpa batas-batas
atau benturan-benturan dimensi apapun. Semua orang yang
mengaku Islam haruslah menunjukkan sikap saling “mengasihi”
kepada sesama manusia. Karena seseorang bisa disebut sebagai
seorang muslim, menurut kanjeng nabi adalah Al-Muslimu man
salima Al-muslimuna min lisanihi wa yadihi. Maksudnya adalah
seorang muslim yang senantiasa menebarkan sikap damai dan
rasa aman dihati masyarakatnya.
4. Pendidikan Multikulturalisme dalam Perspektif Islam
Telah disinggung diatas, bahwa dalam surat al-Hujurat
ayat 13, dengan tegas Allah menyampaikan bahwa di ciptakannya
manusia dengan berbeda-beda suku, bangsa, ras dan etnis,
dengan tujuan agar saling mengenal, dan juga agar supaya
manusia menyadari bahwa perbedaan itu adalah sunnatullah.
Berbeda bukan berarti harus bermusuhan, tapi justru menyadari
bahwa dengan perbedaan itu akan lebih meyakini terhadap eksistensi Tuhannya.
Tuhan telah memberikan contoh ada siang ada malam,
ada senang ada susah, ada laki-laki ada perempuan, semua contoh ini bukti bahwa sebenarnya Tuhan akan menyampaikan pada
manusia bahwa hidup itu harus berdampingan satu sama lain.
Kemajemukan, toleransi, kebebasan berfikir, demokrasi, kesa-
Pendidikan Multikultural dalam Perspektif
Islam
maan hak adalah sebuah keniscayaan yang harus kita terima dan
harus di lestarikan bersama-sama.
Dan kalau boleh penulis menilai, bagaimana sosok
almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah mampu
mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam bentuk pluralisme,
demokrasi, kesamaan hak, pada kehidupan sehari-hari, baik dalam konteks hubungan antar sesama manusia, sesama agama
maupun antar negara.
Oleh karena itu, pendidikan multikultural menurut pandangan Islam sangat dibutuhkan sebagai jembatan untuk proses
demokratisasi, pluralisme, karena hanya dengan pendidikan multikultural, manusia bisa menerima dan memahami terhadap
adanya perbedaan yang ada.
Islam sendiri merespon secara positif terhadap munculnya
pendidikan multikultural demi tercapainya pendidikan yang
merata terhadap semua golongan tanpa pandang suku, ras, agama dan bangsa, sehingga tercipta hubungan yang harmonis bagi
seluruh umat manusia di seluruh dunia. Apalagi Islam adalah
agama yang rahmatal lil alamin, yang artinya tidak hanya untuk
umat Islam sendiri, tapi untuk semua umat manusia di muka
bumi.
Berangkat dari kesadaran adanya fenomena bahwa “satu
Tuhan, banyak agama” merupakan fakta dan realitas yang
dihadapi manusia sekarang. Maka, manusia sekarang harus didorong menuju kesadaran bahwa pluralisme memang sungguhsungguh fitrah kehidupan manusia.
Mendorong setiap orang untuk dapat menghargai
“keanekaragaman” adalah sangat penting segera dilakukan, terutama sekali di negara Indonesia yang pluralistik ini. Dampak
krisis multi-dimensional yang melandanya, menyebabkan bangsa
Indonesia menghadapi berbagai problem sosial. Salah satu problem besar adalah dimana peran agama meredam terhadap ter-
Mustajab
jadinya konflik etnis, kultur dan religius, atau yang lebih dikenal
dengan SARA.
Kegagalan agama dalam memainkan perannya sebagai
problem solver bagi persoalan SARA erat kaitanya dengan
pengajaran agama secara eklusif. Maka, agar bisa keluar dari kemelut yang mendera bangsa Indonesia terkait persoalan SARA,
adalah sudah saatnya bagi bangsa Indonesia untuk memunculkan
wajah pendidikan agama yang inklusif dan humanis.
Pada tataran teologis, dalam pendidikan agama perlu
mengubah paradigma teologis yang pasif, tektualis, dan eklusif.
Menuju teologi yang saling menghormati, saling mengakui eksistensi, berfikir dan bersikap positif, serta saling memperkaya iman.
Hal ini dengan tujuan untuk membangun interaksi umat beragama yang tidak hanya berkonsistensi secara harmonis dan damai,
tetapi juga bersedia aktif dan pro-aktif kemanusiaan.
Sebenarnya masyarakat Indonesia telah lama akrab
dengan diktum Bhinneka Tunggal Ika. Namun sayangnya, konsep ini telah mengalami pemelintiran makna dan bias interpretasi,
terutama sepanjang pemerintahan Orde Baru. Kebijakan sosialpolitik saat itu cenderung uniformistik, sehingga tampaknya budaya milik kelompok dominanlah yang diajarkan dan disalurkan
oleh sekolah dari satu generasi kepada generasi lainya.
Sekolah pada saat itu juga ditengarai hanya merefleksikan
dan menggemakan stereotip dan prasangka antar kelompok yang
sudah terbentuk dan beredar dalam masyarakat, tidak berusaha
menetralisir dan menghilangkanya. Bahkan, ada indikasi bahwa
sekolah ikut mengembangkan prasangka dan mengeskalasi
ketegangan antarkelompok melalui perundang-undangan yang
mengkotak-kotakkan penyampaiaan pendidikan agama, isi kurikulum yang etnosentris, dan dinamika relasi sosial antar sekolah
Pendidikan Multikultural dalam Perspektif
Islam
yang segregatif.35 Bukan tak mungkin segregasi sekolah berdasarkan kepemelukan agama juga ikut memperuncing prasangka dan
proses demonisasi antara satu kelompok dengan kelompok
lainya, baik secara langsung maupun tidak langsung .
Padahal, menurut S. Hamid Hasan, “keragaman sosial,
budaya, ekonomi, dan aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi
adalah suatu realita masyarakat dan bangsa Indonesia. Namun
demikian, keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan aspirasi politik yang seharusnya menjadi faktor yang diperhitungkan dalam
penentuan filsafat, teori, visi, pengembangan dokumen, sosialisasi
kurikulum, dan pelaksanaan kurikulum, nampaknya belum dijadikan sebagai faktor yang harus dipertimbangkan dalam
pelaksanaan kurikulum pendidikan di negara kita”.36 Maka, akibatnya, wajar manakala terjadi kegagalan dalam pendidikannya
(termasuk pendidikan agama), terutama sekali dalam menumbuhkan sikap-sikap untuk menghargai adanya perbedaan dalam
masyarakat.
Selain itu, Kautsar Azhari Noer menyebutkan, paling tidak ada empat faktor penyebab kegagalan pendidikan agama dalam menumbuhkan pluralisme. Pertama, penekanannya pada
proses transfer ilmu agama ketimbang pada proses transformasi
nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak didik; kedua, sikap
bahwa pendidikan agama tidak lebih dari sekedar sebagai “hiasan
kurikulum” belaka, atau sebagai “pelengkap” yang dipandang
sebelah mata; ketiga, kurangnya penekanan pada penanaman
nilai-nilai moral yang mendukung kerukunan antar agama, seperti cinta, kasih sayang, persahabatan, suka menolong, suka damai
Yayah Khisbiyah, Yayah at al., (2000), “Mencari Pendidikan Yang
Menghargai Pluralisme” dalam Membangun Masa Depan Anak-anak
Kita, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 156-157.
36
S. Hamid Hasan, “Pendekatan Multikultural Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional”, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta,
Edisi Bulan Januari-November, 2000, hlm. 511.
35
Mustajab
dan toleransi; dan keempat, kurangnya perhatian untuk mempelajari agama-agama lain.37
Melihat realitas tersebut, bahkan ditambah dengan adanya
banyak konflik, kekerasan, dan bahkan kekejaman yang dijalankan atas nama agama, sebagaimana tersebut di atas, seharusnyalah yang menjadi tujuan refleksi atas pendidikan agama adalah
mampu melakukan transformasi kehidupan beragama itu sendiri
dengan melihat sisi ilahi dan sosial-budayanya. Pendidikan agama harus mampu menanamkan cara hidup yang lebih baik dan
santun kepada peserta didik. Sehingga sikap-sikap seperti saling
menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman agama dan budaya dapat tercapai di tengah-tengah masyarakat plural.
Dengan menyadari bahwa masyarakat kita terdiri dari
banyak suku dan beberapa agama, jadi sangat pluralis. Maka,
pencarian bentuk pendidikan alternatif mutlak diperlukan. Yaitu
suatu bentuk pendidikan yang berusaha menjaga kebudayaan
suatu masyarakat dan memindahkanya kepada generasi berikutnya, menumbuhkan akan tata nilai, memupuk persahabatan
antara siswa yang beraneka ragam suku, ras, dan agama,
mengembangkan sikap saling memahami, serta mengerjakan
keterbukaan dan dialog. Bentuk pendidikan seperti inilah yang
banyak ditawarkan oleh “banyak ahli” dalam rangka mengantisipasi konflik keagamaan dan menuju perdamaian abadi, yang
kemudian terkenal dengan sebutan “pendidikan pluralisme”.
Apakah sebenarnya pendidikan pluralisme itu? Kalau kita
melacak referensi tentang pendidikan pluralisme, banyak sekali
literatur mengenai pendidikan tersebut atau sering dikenal orang
dengan sebutan “pendidikan multikultural”. Namun literatur-
37
Kautsar Azhari Noer dalam Sumartana, et al., Pluralisme, Konflik, dan
Pendidikan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001),
hlm. 239-240.
Pendidikan Multikultural dalam Perspektif
Islam
literatur tersebut menunjukkan adanya keragaman dalam
pengertian istilah ini. Dia mengartikan pendidikan multikultural
sebagai any set of proces by which schools work with rather than against
oppressed group. Banks, dalam bukunya Multicultural education:
historical development, dimension, and practice menyatakan bahwa
meskipun tidak ada konsensus tentang itu ia berkesimpulan bahwa di antara banyak pengertian tersebut maka yang dominan
adalah pengertian pendidikan multikultural sebagai pendidikan
untuk people of color.
Lebih jelasnya, menariklah kalau kita memperhatikan suatu defenisi tentang pendidikan pluralisme yang disampaikan
Frans Magnez Suseno yaitu suatu pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin
luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya
dan agama kita sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki baik perbedaan maupun
kesamaan cita-cita. Inilah pendidikan akan nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.38
Senada dengan itu, Ainurrofiq Dawam menjelaskan defenisi pendidikan multikultural sebagai proses pengembangan
seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya etnis, suku,
dan aliran (agama). Pengertian pendidikan multikultural yang
demikian, tentu mempunyai implikasi yang sangat luas dalam
pendidikan. Karena pendidikan itu sendiri secara umum dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat.
Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki
penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap
harkat dan martabat manusia dari mana pun dia datangnya dan
berbudaya apa pun dia. Harapannya, sekilas adalah terciptanya
kedamaian yang sejati, keamanan yang tidak dihantui kecemasan,
38
SKH Suara Pembaharuan, 23 September, 2000.
Mustajab
kesejahteraan yang tidak dihantui manipulasi, dan kebahagiaan
yang terlepas dari jaring-jaring manipulasi rekayasa sosial.
Muhammad Ali menyebut pendidikan yang berorientasi
pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis secara agama
sekaligus berwawasan multikultural, seperti itu, dengan sebutan
“pendidikan pluralis multikultural”. Menurutnya, pendidikan
semacam itu harus dilihat sebagai bagian dari upaya komprehensif mencegah dan menaggulangi konflik etnis agama, radikalisme
agama, separatisme, dan integrasi bangsa, sedangkan nilai dasar
dari konsep pendidikan ini adalah toleransi.
Azyumardi Azra ketika membandingkan antara pendidikan secara umum dengan pendidikan Islam, ia menyebutkan
adanya tujuh karakteristik yang dimiliki oleh Pendidikan Islam.39
Pertama,penguasaan ilmu pengetahuan. Hal ini selaras dengan
ajaran dasar Islam yang mewajibkan umatnya untuk mencari dan
menguasai ilmu pengetahuan. Kedua, pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu yang telah dikuasai harus diberikan dan dikembangkan kepada lain. ketiga, penekanan pada nilai-nilai akhlak
dalam penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Keempat, penguasaan dan pengembangan ilmu tersebut hanyalah untuk pengabdian kepada Allah dan kemaslahatan umum. Kelima,
penyesuaian pada perkembangan anak. Pendidikan diberikan
sesuai dengan umur, kemampuan, perkembangan jiwa, dan bakat
anak. Keenam, pengembangan kepribadian. Perkembangan ini
berkaitan dengan seluruh nilai dan system Islam, sehingga setiap
anak didik diarahkan untuk mencapai tujuan Islam. Dan ketujuh,
penekanan pada amal shaleh dan tanggung jawab.
Oleh karena itu, pendidikan Islam merupakan media yang
pas untuk mentransformasikan nilai-nilai atau konsep multikulturalisme guna menjawab tantangan zaman dan setidaknya pen-
39
Naim & Sauqi, Pendidikan Multikultural, 30.
Pendidikan Multikultural dalam Perspektif
Islam
didikan Islam berwawasan multikultural diharapkan dapat
merdam terjadinya konflik yang kian bertubi-tubi.
DAFTAR PUSTAKA
Azhari, Kautsar. 2001. Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdullah, Amin. 1999. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hasan, Hamid. 2000. Pendekatan Multikultural Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional”. Jakarta : Jurnal Pendidikan
dan Kebudayaan Edisi Bulan Januari-November
http://www.scribd.com/doc/4057829/FENOMENA-TAWURANANTAR-PELAJAR
Naim, Ngainun Dkk. 2011. Pendidikan Multikultural Konsep dan
Aplikasi.cet III. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta. 2009. Pendidikan
Agama Islam dalam Persepektif Multikulturalisme. cet.I. Jakarta: PT. Saadah Cipta Mandiri.
UU Sistem Pendidikan Nasional RI No 20 Tahun 2003. Jakarta: Sinar
Grafika.
Suharto, Babun. 2010. Pendidikan Multikultural Dalam Pendidikan
Islam: Integrasi Konsep dan Aplikasi dalam Pendidikan. Yogyakarta: Absolute Media.
http//www. Dampak dan Solusi Multikulturalisme di Indonesia «
Iwan Purnawan's Weblog.htm.
Zariah, Nurul. 2008. Pendidikan Moral Dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Download