Kecenderungan Selingkuh pada Suami yang Berusia Lebih Muda Sejak kematian putri diana pada 31 Agustus 1997, kata selingkuh menjadi sangat populer. Selingkuh berasal dari bahasa Jawa yang artinya perbuatan tidak jujur, sembunyisembunyi, atau menyembunyikan sesuatu yang bukan haknya. Dalam makna tersebut ada kandungan makna perbuatan serong. Dalam lafal sehari-hari selingkuh muncul secara nasional dalam bahasa Indonesia dengan makna khusus “hubungan gelap” atau tingkah laku serong orang yang sudah bersuami atau beristri dengan pasangan lain. Selain kematian sang putri, perbuatan serong artis Indonesia dan dunia kerap mewarnai media massa, membuat kata selingkuh makin terkenal. Masyarakat tak asing lagi dengan kata ini. Selingkuh menjadi semacam virus pada sebuah pernikahan, dengan tudingan suami sebagai pihak yang paling sering berselingkuh Esai ini mencoba mengkaji perselingkuhan dengan memfokuskan pada usia suami; apakah usia suami, terutama suami yang lebih muda daripada istrinya berpengaruh dalam perselingkuhan. Pernikahan yang Penting Banyak orang menganggap pernikahan sebagai peristiwa yang paling penting dalam hidupnya, saat yang tak akan pernah dilupakan begitu saja. Setiap detil menuju pelaminan menjadi perhatian, menguras tenaga dan biaya. Demi menghadirkan sebuah pernikahan yang istimewa tak jarang kedua calon pengantin beserta keluarganya menghabiskan biaya dan tenaga sangat besar. Pernikahan menjadi penting karena di sanalah terjadi penyatuan dua insan yang disyahkan oleh agama, pemerintah, dan masyarakat (wikipedia: 2007). Calon pengantin harus memenuhi hukum dan syarat agama dan pemerintah. Adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat setempat secara kuat ikut mengikat. Jika ada syarat dan hukum tidak terpenuhi, pernikahan akan cacat; secara agama mungkin syah, namun secara hukum tidak, begitu juga sebaliknya. Hubungan seintim apapun antara laki-laki dan perempuan menjadi halal setelah pernikahan. Seorang istri berhak atas suaminya, seorang istripun demikian. Keduanya juga memiliki kewajiban satu sama lain. Bersama mereka saling memberi dan menerima; memenuhi kebutuhan yang tak bisa diperoleh pada bentuk ikatan lain, kecuali melalui pernikahan. Pernikahan yang sehat dapat memberi rasa aman, memperpanjang usia, membuat kedua pasangan lebih sehat, meningkatkan rasa percaya diri, mampu menangkal stres dan membuat pasangan suami istri nampak awet muda. (Budiman, 2003). Dalam pernikahan kebutuhan biologis dan psikologis suami maupun istri terpenuhi, sehingga tak heran beberapa masalah yang kerap dihadapi pada masa lajang terpecahkan. Tetapi, dalam pernikahan akan muncul juga masalah-masalah baru. Dua orang yang sejak kecil hidup dalam lingkungan sosial dan cara pengasuhan berbeda harus menyesuaikan diri satu sama lain. Keberhasilan kedua pihak mengatasi masalah-masalah kecil maupun besar tersebut akan mendewasakan keduanya, mengantar keduanya agar siap menempuh jenjang kedewasaan berikutnya. Usia Pernikahan Lelaki dan perempuan mempunyai kematangan biologis dan psikologis yang berbeda. Seorang anak perempuan mulai memasuki masa pubertas pada usia 10-11 tahun, ditandai dengan perubahan fisik seperti mengalami menstruasi, membsarnya dada dan pinggul, jaringan lemak cenderung berkembang. Sedangkan anak laki-laki mulai bermetamorfosa layaknya laki-laki dewasa pada usia 12-13 tahun. Suara anak laki-laki mulai pecah, tumbuh kumis, janggut, dan rambut di ketiak dan kemaluan, jaringan otot lebih berkembang merupakan sebagain kecil perubahan yang terjadi pada masa pubertas anak laki-laki. Metabolisme tubuh anak perempuan mulai stabil pada usia 18 tahun sedangkan laki-laki pada usia 21 tahun. Pada masa ini baik laki-laki maupun perempuan secara biologis siap untuk bereproduksi dengan memasuki jenjang pernikahan. Perbedaan kematangan biologis inilah yang kemudian membuat usia pernikahan didominasi oleh lelaki yang berusia lebih tua daripada wanita atau calon istrinya. Wikipedia (wikipedia.org, 2007) melansir usia rata-rata pernikahan pertama di beberapa negara. Di Indonesia, laki-laki umumnya menikah pada usia 25 tahun, sedangkan perempuan pada 22 tahun. Kisaran usia pernikahan pada 20-25 tahun dengan usia laki-laki yang lebih tua beberapa tahun juga terlihat pada beberapa negara asia seperti Malaysia, Thailand, Myanmar, India, Bangladesh. Sedangkan negara-negara asia yang mengalami pertumbuhan industri dan ekonomi cukup pesat seperti Jepang, Korea, dan Cina, kisaran usia pernikahan meningkat: laki-laki, kebanyakan menikah pada usia 30 tahun sedangkan perempuan pada usia 28 tahun. Fenomena semakin tuanya usia pernikahan juga terlihat pada sebagian besar negara di Eropa dan Amerika. Pekerjaan, jenjang karier membuat banyak orang muda di negara-negara maju menunda usia pernikahannya. Setelah cukup mapan, mereka baru mengambil langkah untuk menikah. Meskipun dalam pernikahan kebanyakan laki-laki berusia lebih tua daripada calon istrinya, beberapa kasus pernikahan memperlihatkan usia suami yang lebih muda daripada istrinya. Rentang usia bervariasi, mulai dari perbedaan usia 1-2 tahun sampai usia perempuan yang lebih tua 10 tahun hingga lebih daripada calon suaminya. Perbedaan usia yang mecolok tak menghalangi mereka menikah dan menjalani kehidupan layaknya pasangan usia pernikahan normal pada umunya. Suami Lebih Muda Banyak alasan kenapa laki-laki yang lebih muda menikahi perempuan yang lebih tua. Salah satunya karena sudah cinta setengah mati, tak bisa berpisah lagi. Si laki-laki sudah merasa sangat cocok dengan si perempuan. Ia tak mempermasalahkan usia yang penting bagaimana caranya agar segera bersanding dengan si perempuan. Pihak perempuanpun merasa tersanjung; ada lelaki muda ingin menjadi pasangan hidupnya. Ia rela berkorban, bahkan terkadang siap menjadi penanggung biaya pernikahan dan siap menghidupi suami untuk sementara. Teori Mother Complex Jung juga bisa menjelaskan kenapa laki-laki muda mau menikah dengan perempuan yang lebih tua. Ada ciri fisik atau sifat-sifat ibu dalam diri calon istrinya. Kekaguman pada sang ibu membuat laki-laki tersebut menaruh harapan istrinya kelak akan menjadi sosok yang mirip dengan ibunya. Masalah dalam rumah tangga akan muncul bila harapan akan sosok ibu tersebut tidak muncul. Cepat atau lambat seorang suami harus menyadari bahwa seorang istri berbeda dengan ibu, tak bisa sama persis dengan sosok ibu yang diidamkannya. Beberapa hambatan yang mungkin muncul pada pasangan dengan suami yang berusia lebih muda adalah: 1. Anggapan Miring Masyarakat Masyarakat Indonesia masih menilai: salah satu kriteria pernikahan ideal adalah pernikahan di mana usia istri lebih muda daripada suami. Jika tidak, pernikahan dengan laki-laki yang lebih muda bisa menjadi bahan obrolan, terutama pada masyarakat yang hubungan kekerabatan dan sosial masih kuat. Orang tua juga umumnya lebih mendukung anak laki-lakinya menikah dengan perempuan yang lebih muda. Orang tua khawatir pernikahan anak laki-lakinya kelak tak bahagia; sulit mendapatkan keturunan. Pengaruh publikasi media akan makna kebahagiaan pernikahanpun turut mempengaruhi. Masyarakat lebih sering menyaksikan bahwa kisah cinta laki-laki yang lebih tua dengan perempuan muda berakhir bahagia. Misalnya film Pretty Woman yang berakhir ‘manis dan indah’ Sedangkan film Mrs. Robinson memberi gambaran pahitnya hubungan cinta jika perempuan lebih tua daripada pasangannya. 2. Perbedaan Karakter Usia Sebagian besar lelaki muda suka menghabiskan waktu luangnya dengan nongkrong di café atau tempat hiburan lainnya, berkumpul dengan teman-teman sebaya. Sedangkan perempuan yang lebih tua umumnya menyukai aktivitas yang lebih tenang; diam di rumah mengerjakan pekerjaan rumah tangga atau menikmati waktu senggang di rumah, misalnya dengan membaca buku. Laki-laki yang lebih muda cenderung tidak menyukai aktivitas rumahan tersebut; bisa membuatnya bosan. Dalam aktivitas seksual, laki-laki dengan rentang usia 25-35 berada di titik puncak. Jika perempuan yang lebih tua tidak bisa mengimbangi akan terjadi masalah yang dampaknya bisa merambah dalam segala aspek kehidupan berumah tangga. Seiring usia aktivitas seksual yang diinginkan perempuan cenderung menurun, sedangkan lakilaki bisa konstan, bahkan menginginkan lebih. 3. Persepsi Daya Tarik Hambatan yang berbahaya adalah konsep diri sang istri. Menjelang masa menopause, seorang istri sering menganggap dirinya tidak menarik lagi. Kondisi fisik yang mulai menurun; merasa tua, sedangkan suami yang terlihat lebih muda. Anggapan yang menyatakan perempuan akan lebih cepat tua jika menikah dengan lelaki yang lebih muda seolah menjadi benar. Rasa memiliki yang besar akan membuat istri cemburu buta bila melihat suaminya dekat dengan perempuan muda. Hembusan gosip dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab akan menambah panas suasana rumah tangga. Siaran dan berita media massa tentang perselingkuhan dan poligami dapat menambah kekhawatiran seorang istri. Ancaman Selingkuh Selingkuh bisa didefinisikan sebagai perbuatan seorang suami atau istri dalam bentuk menjalin hubungan dengan seseorang di luar ikatan pernikahan yang menyakiti, menghianati, melanggar kesepakatan, di luar komitmen pernikahan (Asya, 2000). Selingkuh yang ringan dapat berupa kencan atau menjalin hubungan asmara dengan melibatkan emosi mendalam. Tingkat selingkuh yang berat adalah melakukan hubungan seksual baik sekali maupun berkali-kali. Purwanto (2003) dalam makalah Selingkuh; Abnormal yang dinikmati menguraikan beberapa penyebab selingkuh: 1. Faktor Utama a. Predisposisi Kepribadian. Sebagian orang memiliki gairah seks yang besar sehingga membutuhkan pemenuhan di luar standar orang biasa. Ia memerlukan variasi ketika melakukan kebutuhan seksual. Jika ia tidak mengomunikasikan keinginanya tersebut atau pasangan resmi tidak dapat memenuhi kebutuhan biologisnya, ia akan mencari kepuasan dari orang lain. Bentuknya mulai dari melampiaskan pada WTS atau PTS, memelihara pasangan tak resmi guna berhubungan seks atau menjalin hubungan mesra tanpa aktivitas seksual. Dan semua bentuk pelampiasan tersebut cenderung abnormal dan abnorma. b. Desakralisasi Lembaga Perkawinan. Ketika rumah tangga tak lagi dianggap sebagai lembaga sakral untuk mencapai kesenangan dan kebutuhan bersama, selingkuh menjadi hal biasa untuk dilakukan. Rumah tangga hanya rutinitas yang dilakoni sekedarnya saja. Bukan lagi sebagai sarana ibadah yang harus dipertanggung jawabkan pada Yang Kuasa. Lemahnya pemahaman agama akan semakin meruntuhkan lembaga perkawinan yang skaral tersebut. c. Deidealisasi Lembaga Rumah Tangga. Pernikahan kerap berawal dengan cita-cita yang sama dari dua insan; laki-laki dan perempuan Punya keturunan yang baik, materi yang cukup, masa depan yang bahagia adalah hal umum yang dicitakan dalam sebuah pernikahan. Setelah menjalani kehidupan rumah tangga, impian tersebut nyatanya tak mudah meraihnya. Jalan buntu, sikap pesimis dan rasa putus asa pasangan suami istri dalam menghadapi masalah rumah tangga membuat keduanya melupakan mimpi dan berusaha merangkai cita-cita baru dengan orang lain; berharap impiannya tercapai dengan orang lain. d. Dekadensi Moral. Rumah tangga adalah lembaga moral terbesar dalam masyarakat, sebuah universitas kehidupan bagi seorang laki-laki untuk menjadi suami dan ayah, sekolah tak kenal lelah bagi perempuan sebagai istri dan ibu. Berbagai ilmu rumah tangga akan didapat dengan cara coba dan koreksi. Ketika seseorang tidak lagi menyadari fungsi rumah tangga sebagai lembaga moral terbesar, ia akan jatuh dalam perilaku amoral. Salah satunya dengan cara selingkuh. 2. Faktor Pendukung a. Fasilitasi Sosial. Lemahnya institusi masyarakat dalam mengatasi masalah moral sosial dan hukum seperti selingkuh akan mendukung perilaku selingkuh. Tak ada tindakan tegas dari lingkungan bagi individu yang jelas-jelas melakukan selingkuh. Sifat individualistis; merasa bukan urusan saya, mempermudah seseorang untuk berselingkuh. Sikap permisivitas masyarakat memfasilitasi kebejatan moral atau memperbolehkan selingkuh. Tak ada yang berani mengambil tindakan terlebih bila pelaku selingkuh adalah orangorang yang secara sosial berada di srata tinggi. b. Ketersediaan Kelompok secara Sosial. Beberapa orang mengaggap selingkuh adalah selingan ringan asal keluarga utuh. Tak masalah berselingkuh selama keluarga baik-baik saja. Mereka berkumpul, tahu sama tahu dan membentuk semacam komunitas perselingkuhan. Dalam komunitas tersebut selingkuh bisa dianggap sebagai prestasi keperkasaan atau keseksian. Bangga bila menggaet daun muda, menjerat suami orang, menaklukkan si bos. Komunitas ini subur bersemi di lingkungan kerja yang membebaskan interaksi laki-laki-perempuan sesukanya (Purwanto, 1999) c. Lemahnya Sangsi Sosial dan Hukum. Sejauh ini tidak ada tindakan tegas secara sosial maupun hukum bagi pelaku selingkuh. Seseorang yang maling ayam akan dijatuhi hukuman kurung, juga sangsi sosial yang kejam dari masyarakat. Sedangkan untuk kasus perselingkuhan, masyarakat terkesan mudah memaafkan. Padahal dari kacamata agama perbuatan selingkuh sudah terlalu jauh dan sangat fatal. Sedikit sekali kasus selingkuh diproses menjadi kasus hukum d. Media Massa. Seseorang bisa mendapatkan ide untuk berselingkuh dari novel, lagu, sinetron, dan film. Lagu Teman tapi mesra yang dipopulerkan oleh Ratu sangat jelas menganjurkan untuk selingkuh. Teori selingkuh bertebaran di mana-mana, tinggal memungut dan mempraktekkannya. Perilaku selingkuh para artis yang berkecimpung di dunia musik, film dan sinetron membuat selingkuh menjadi hal yang biasa, membuat orang beranggapan selingkuh tak ada salahnya jika dicoba. Dan seburuk apapaun perlaku selingkuh oarng terkenal mereka tetap dipuja, Putri Diana contohnya. e. Era hedonisme. Globalisasi membuat semua hal terkesan boleh dan bisa. Selama keluarga di rumah aman dan tentran, ekonomi keluarga tak terganggu, apa salahnya selingkuh. Yang penting hati senang, puas. Beberapa orang memang mencaci tapi banyak juga yang memuji selingkuh sebagai prestasi, bisa menaikkan gengsi. Kesenangan individu menduduki hirarki tertinggi karena kebutuhan yang sifatnya biologis dan psikologia untuk keluarga sudah dipenuhi. 3. Faktor Pemicu lain Ketidakmampuan memelihara pandangan, pendengaran dan pikiran tentang hasrat seksual bisa ikut memicu terjadinya perselingkuhan. Obrolan dan candaan yang berbau pornografi, senang menonton porno bersama rekan atau teman dekat menimbulkan inspirasi untuk melakukan aktivitas seksual tertentu. Hal tersebut makin diperburuk dengan banyaknya gadis cantik berpakaian minim atau lelaki tampan yang menggoda di lingkungan sekitar. Hasrat yang semakin kuat ini apabila tak tersalurkan dengan pasangan resmi maka selingkun seolah jadi alternatif pemecahan masalah. Awalnya hanya cobacoba, merasa asyik; sulit menghentikan, jadilah selingkuh yang berkelanjutan. Media pornografi dan pornoaksi juga mudah dan murah diperoleh. VCD atau DVD film porno bajakan, bacaan-bacaan dan foto yang merangsang hasrat seksual seperti kacang kulit di pinggir jalan. Dan internet menjadi multi media yang paling atraktif dalam menyuguhkan pornografi dan pornoaksi. Bagi orang-orang yang mempunya hasrat seks cukup tinggi atau mudah terangsang, stimulan tersebut akan mendorongnya untuk mencari pelampiasan segera, bukan dengan pasangan resminya. Kecanggihan teknologi di bidang lain seperti dalam dunia kesehatan turut mendukung perselingkuhan. Penelitian Kainuna (2001) mengindikasikan bahwa teknologi kehamilan memberikan 70% kontribusi pada keberanian seseorang untuk melakukan seks bebas dengan rasa aman dari kehamilan. Seorang perempuan tak begitu mencemaskan kehamilan yang tak diinginkan lagi. Cukup dengan pil anti hamil, kemungkinna hamil bisa ditekan seminimal mungkin. Bahagia Bukan Karena Usia Usia pasangan suami istri tak begitu menunjukkan keterkaitan dengan perselingkuhan. Banyak faktor lain yang dominan daripada usia suami yang lebih muda. Benang merah dari sebab perselingkuhan adalah komitmen; terhadap pasangan, sosial masyarakat dan kepada Yang Kuasa. Pasangan suami istri sebelum menikah sudah berkomitmen untuk saling setia satu sama lain. Keduanya harus memegang teguh komitmen tersebut agar tegar menghadapi badai kehidupan. Seorang perempuan yang menikah dengan lelaki yang lebih muda sudah meyakini: usia suami yang lebih tua bukan jaminan untuk membina sebuah rumah tangga nan nyaman, damai dan menentramkan. Suamipun sudah berkomitmen: usia bukan masalah untuk mereguk bahagia. Ketika keduanya telang menghitung baik-buruk dan risiko pernikahan dan merencanakan pemecahan masalah di tangan, tak ada alasan untuk menunda pernikahan. Usia tua seringkali kurang bisa menggambarkan pemikiran dan kematangan psikologis guna menjalankan roda rumah tangga. Banyak lelaki yang lebih muda bersikap dewasa dan mampu menjadi pemimpin bagi istrinya. Banyak lelaki usia tua punya sifat kekanak- kanakan. Tak sedikit lelaki lebih muda mempunyai sifat lebih dewasa dapat membuat perempuan nyaman di dekatnya. Daftar Pustaka : Budiman, Herjani (2003). Komunikasi Psikologis dalam Hubungan Seksual dengan Pasangannya, Rumah Sakit HUSADA Jakarta Biddulph, Steve (2005) Raising Boy, Gramedia, Jakarta. L, Zulkifli (1986) Psikologi Perkembangan, Remaja Rosdakarya, Bandung. Majalah Lisa. Pria Yang Jauh dari Istrinya Cenderung Selingkuh, Februari 2003 Majalah Qiblati. Data Selingkuh di Indonesia, edisi 06 tahun II, Maret 2007 Marzuki Umar Sa’abah, Seks dan Kita, Gema Insani Press, Jakarta 1998 Purwanto, Yadi. Selingkuh: Abnormal yang dinikmati, e-classified. http://www.psikologiums.net Ridha, Dr. Akram (2005), Puber Tanpa Masalah, Pustaka Hidayah, Bandung. Widyarini, Nilam. Untuk Apa Menikah? Tabloid Senior, 7 Sep 2007 Wikipedia. Age at first marriage, http://www.wikipedia.org Wikipedia. Marriage, http://www.wikipedia.org Yerianto. Selingkuh? Please deh, Kompas 28 Januari 2005 http://solechudin.multiply.com/journal/item/2