Novel Kupinjam Napas Iblis karya Mira Wijaya tergolong sebagai novel populer yang bersifat kontemporer dan bertemakan cinta dengan tokoh utama seorang perempuan. Meskipun demikian, banyak diminati pembaca karena dikemas secara menarik dengan bahasa yang lugas, mudah dimengerti, dan ceritanya pun tidak jauh dari kehidupan sehari-hari, sehingga dapat dinikmati oleh banyak orang. Menurut Abraham Kaplan dalam makalah Redyanto Noor yang berjudul Segi-Segi Intrinsik Cerkan (Novel) Populer tahun 2006, sastra populer sebenarnya tidak berbeda dengan seni populer. Seni populer bukanlah seni yang buruk, ukurannya tidak terletak pada ketakmampuannya memenuhi tuntutan kritik. Masalahnya adalah keberhasilan apa yang telah ia capai dan manfaat apa yang telah ia berikan. Memang ada kalanya seni populer buruk, tetapi tidak berarti setiap seni yang buruk adalah seni populer. Seni populer dianggap hanya memenuhi cita rasa rendah, meskipun sebenarnya seni populer bukan merupakan perwujudan kemerosotan cita rasa, tetapi hanya kebelumdewasaan cita rasa. Oleh karena sastra populer merupakan bagian seni populer, maka dengan sendirinya memiliki ciri-ciri yang identik dengan ciri-ciri seni populer, yaitu: 1. Dari segi bentuk. a. Sederhana; tidak berstruktur rumit. b. Merupakan pernyataan langsung, tanpa kualifikasi. c. Stereotipe; memiliki pola struktur yang mirip satu sama lain, hanya membatasi diri pada segala sesuatu yang telah dikenal dan dipahami. d. Skematis; pola struktur dan formula isi mudah di-skemakan. 26 27 e. Starsistem (sistem bintang); perhatian hanya difokuskan pada unsure yang menonjol, yang menguasai unsure-unsur lain. f. Anti makna ganda; bagi seni populer makna ganda membuat tidak tentram. g. Tidak perlu pemahaman estetis; hanya sekadar dinikmati, bukan untuk dipahami, artinya isyarat dan lambing-lambang yang ada tidak perlu ditafsirkan secara kreatif. 2. Dari segi perasaan. a. Hiburan; pembaca dibiarkan asyik dengan dirinya sendiri, dengan segala sesuatu yang telah dikenalnya dengan akrab. Adegan-adegan dalam sastra populer merupakan isyarat baik bagi pembaca untuk menenggelamkan diri dalam kenangan dan angan-angan yang indah-indah dan menyenangkan. b. Sentimental; begitu banyak mengundang perasaan yang berlebihan, tetapi begitu sedikit yang bias dihayati. c. Seni pelarian; wajah cantik, tampan, hidup enak, banyak uang dengan segala kemudahan hidup, sangat tepat sebagai obat untuk sejenak melupakan kesulitan hidup. Pembaca melarikan diri dari dunia nyata ke dunia angan-angan yang persis menggambarkan keinginan yang mereka dambakan. Menurut Darma dalam makalah Redyanto Noor yang berjudul Segi-Segi Intrinsik Cerkan (Novel) Populer tahun 2006, novel-novel Indonesia belum mampu melepaskan diri sepenuhnya dari dominasi ciri-ciri kepopuleran sebuah 28 karya sastra. Hal itu terbukti dari ciri-ciri intrinsik novel populer yang ditemukannya: 1. Realis harfiah; hanya bercerita tentang fakta semata. 2. Melodramatis; serba berlebihan, melampaui batas kewajaran sehingga terasa dibuat-buat. 3. Tuntas; tidak ada persoalan yang tidak selesai dalam novel populer Indonesia. 4. Latah; tidak ada satu pun novel populer yang tidak memiliki kemiripan dengan novel populer lainnya. Lakunya tema cinta akan diikuti oleh tematema cinta yang lain, lakunya tema air mata akan diikuti oleh tema-tema yang semakin memeras air mata. Sumardjo dalam makalah Redyanto Noor yang berjudul Segi-Segi Intrinsik Cerkan (Novel) Populer tahun 2006, memberi istilah novel populer dengan light novel atau novel ringan, di Inggris atau Amerika novel demikian biasanya dicetak dalam bentuk paperback, yaitu buku saku atau throwaway books, buku yang sekali dibaca langsung dibuang. Berdasar pengamatannya terhadap sebagian novel populer Indonesia yang terbit tahun 1970-1980, ciri-ciri novel demikian disebutkan antara lain: 1. Romantis-sentimental; kisah (isi cerita) cenderung merobek-robek perasaan pembaca. 2. Judul sensasional; mengandung kesan berlebihan, tetapi sulit ditafsirkan maknanya. Contoh: Kabut Sutera Ungu, Bilur-bilur Penyesalan, Anggrek Tak Pernah Berdusta, dan lain-lain. 3. Tema; berkisar cinta dan kehidupan rumah tangga. 29 4. Alur; disusun manis, lurus, penuh surprise. 5. Dialog kontemporer; gaya cakapan yang terpengaruh “trend” yang hidup di lingkungan sosial tertentu, misalnya lingkungan remaja kota besar, keluarga kaya, keluarga terpelajar, juga ragam “gaul”. 6. Latar; gambaran fisik dari lingkungan keluarga kaya, keluarga terpelajar, kampus, dan tempat-tempat hiburan. 7. Perwatakan spektakuler dan eksplosif; kekuatan atau kelemahan tokoh digambarkan secara berlebihan sehingga malah terasa janggal dan tidak masuk akal. 8. Selalu ditutup dengan happy ending atau sad ending yang cenderung tragis. Novel Kupinjam Napas Iblis ini bercerita tentang kehidupan seorang pria bernama Hariman yang menggantungkan hidupnya sebagai pengarang dan juga karyawan di biro perjalanan. Dengan hanya berbekal gaji pas-pasan Hariman melamar Renata, seorang gadis manis yang baik hatinya. Mereka saling mencintai dan dikaruniai satu orang putri. Namun, tiada terduga prahara muncul ditengahtengah kebahagiaan mereka. Hariman berselingkuh dengan Jennifer, seorang gadis muda, cantik, dan menarik. Sebenarnya, Jenny dianggap layaknya iblis wanita penggoda, tetapi pada kenyataannya justru dialah yang berhasil mewujudkan impian Hariman menjadi pengarang sukses, terkenal, dan banyak uang. Mengetahui itu Renata memilih bercerai dari Hariman. Dan, dalam perjalanan hidupnya, Renata dipertemukan lagi dengan seorang pria kaya, tampan, serta terpelajar bernama Trianto. Namun, desas-desus mengatakan kalau dia gay. Mula-mula hubungan Trianto dengan Renata hanya sebatas teman yang saling 30 membutuhkan namun akhirnya mampu membawa lembaran kisah cinta baru. Akhir cerita, Renata dengan Trianto hidup berbahagia tetapi Hariman menderita dan mati mengenaskan. Sebenarnya, penelitian ini dilakukan karena saat ini ada beragam karakteristik dan problematika hidup yang dijalani seseorang, seperti misalnya kini semakin marak saja perselingkuhan yang dilakukan oleh pasangan suami-istri di dalam kehidupan masyarakat secara nyata, bahkan hingga terekspos oleh media massa, maupun dalam kehidupan tokoh-tokoh di dalam dunia sastra, seperti novel. Hal demikian yang membuat penulis ingin mengetahui apa yang melatarbelakanginya, sehingga akan mudah menghindari dan/mencegah tindakan tidak terpuji (menyimpang) tersebut, yang melanggar tata aturan dalam kehidupan sosial masyarakat maupun agama, sekaligus dapat mengetahui sejauh mana novel ini mencerminkan kenyataan. Karena seringnya dikatakan bahwa sastra mencerminkan kenyataan dan sastra juga dituntut agar mencerminkan kenyataan. Penelitian terhadap novel Kupinjam Napas Iblis peneliti batasi pada aspek struktural, seperti: tema dan amanat, alur (plot), latar cerita (setting) serta tokoh (character). Selain itu juga aspek sosial, seperti perselingkuhan, yang meliputi: tingkatan, alasan utama, ciri-ciri, akibat, serta selingkuh yang dapat berubah menjadi zina. Penulis berharap melalui penelitian ini akan dapat dilihat aspek-aspek struktur yang membangun cerita dalam novel Kupinjam Napas Iblis oleh Mira Wijaya. Penulis juga berharap melalui penelitian ini akan dapat dilihat gambaran menyeluruh mengenai permasalahan hidup dalam berumah tangga yang 31 mengakibatkan perselingkuhan seperti dalam novel Kupinjam Napas Iblis oleh Mira Wijaya, sehingga akan mudah menghindari, mencegah, serta menemukan cara penyembuhannya sebagai jalan keluar/penyelesaian atas persoalan sedemikian rupa. Menurut Sumardjo dan Saini (1994: 3) sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Novel misalnya, merupakan bentuk prosa rekaan modern yang lebih pendek daripada roman. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam Siswanto, 2008: 141), novel diartikan sebagai karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Noor (2004: 29) mengatakan bahwa setiap karya sastra mengandung unsur-unsur instrinsik dan ekstrinsik. Unsur instrinsik, yaitu unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Unsur ekstrinsik, yaitu unsur-unsur dari luar yang memengaruhi isi karya sastra. Apabila unsur-unsur intrinsik dapat dianggap sebagai struktur (kerangka), maka unsur-unsur ekstrinsik adalah isi yang mewarnai karya sastra. Dengan demikian, keduanya sesungguhnya merupakan satu kesatuan yang bersifat integral sehingga tidak mungkin dapat dipisahpisahkan. Mengingat adanya dua segi karya sastra, maka penelitian sastra juga harus memanfaatkan dua pendekatan, yaitu pendekatan instrinsik dan ekstrinsik. Meskipun demikian, karena keberadaan karya sastra lebih ditentukan oleh segi 32 instrinsiknya, maka biasanya pendekatannya pun mendahulukan segi instrinsiknya tanpa mengabaikan segi ekstrinsik (Noor, 2004: 29). Dengan demikian, teori yang digunakan sebagai alat utama dalam penelitian ini adalah Strukturalisme. 1. Strukturalisme Dalam pandangan Noor (2004: 78), struktur adalah keseluruhan relasi antara berbagai unsur sebuah teks. Sedangkan, strukturalisme adalah ilmu dan kritik yang memusatkan perhatian pada relasi-relasi antar unsur. Menurut Pradopo (2005: 141) bersumber dari pemikiran Teeuw, analisis struktural ini merupakan prioritas utama sebelum yang lain-lain, tanpa itu kebulatan makna intrinsik yang hanya dapat digali dari karya itu sendiri, tidak akan tertangkap. Makna unsur-unsur karya sastra hanya dapat dipahami dan dinilai sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan karya sastra. Tujuan analisis struktural oleh Teeuw (1984: 135) adalah untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersamasama menghasilkan makna menyeluruh. Strukturalisme mengandung rangkaian kesatuan seperti yang dikemukakan oleh Pradopo (2005: 119) mengutip pendapat Jean Peaget, meliputi tiga ide dasar. Pertama, ide keseluruhan (wholness), dalam arti bahwa bagian-bagian atau unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya. Kedua, ide 33 transformasi (transformation), struktur itu menyanggupi prosedur transformasi yang terus-menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga, ide keteraturan yang mandiri (self regulation) yaitu tidak memerlukan hal-hal di luar dirinya untuk memertahankan prosedur transformasinya, struktur itu otonom terhadap rujukan sistem lain. Dalam pandangan Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 2) yang bersumber dari pemikiran Stanton, unsur pembangun sebuah novel dibedakan ke dalam tiga bagian, yaitu fakta, tema, dan sarana sastra. Dalam sebuah cerita, fakta meliputi karakter (tokoh cerita), plot, dan setting. Ketiga unsur tersebut harus dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah satu dengan yang lain. Berdasarkan pendapat tersebut, Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 2) menyimpulkan bahwa unsur-unsur pembentuk novel (struktur novel) yang utama meliputi tema, tokoh, alur (plot), dan latar (setting). Berikut ini akan dibicarakan konsep masing-masing unsur struktur tersebut: a. Tema dan Amanat Dalam pandangan Siswanto (2008: 161) yang bersumber dari pemikiran Aminuddin, tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Menurut sumber tersebut, tema berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya. Seorang pengarang memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat 34 memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemapar tema tersebut, menyimpulkan makna yang dikandungnya serta mampu menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarangnya. Dalam menemukan tema, pembaca juga dapat menemukan nilai-nilai didaktis yang berhubungan dengan masalah manusia dan kemanusiaan serta hidup dan kehidupan. Nilai-nilai yang ada di dalam cerita rekaan biasa disebut amanat. Amanat oleh Siswanto (2008: 162) adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. Ginarsa dkk. (1985: 21) berdasarkan pendapat Robson, menyatakan bahwa tema, ide, atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang memang merupakan sesuatu yang abstrak, tidak kelihatan. Kesulitan memahami tema atau makna suatu karya sastra telah ditunjukkan oleh Ginarsa dkk. (1985: 21) yang berasal dari Saad, dengan menunjuk pendapat Wimsatt Jr. dan Beardsley yang menyatakan sebagai berikut. Amanat pengarang tidak pernah kita ketahui, kata Wimsatt. Dalam ihwal yang demikian, satu-satunya yang mungkin kita lakukan (sebagai pembaca) ialah mencoba mengira-ngirakan amanat yang termuat dalam karya itu sendiri karena memang itulah yang sampai kepada kita. Amanat yang termuat dalam cerita rekaan itu disebut Wimsatt makna muatan (actual meaning), sedangkan niat untuk amanat pengarang disebutnya makna niatan (intentional meaning). Jika terdapat persesuaian antara makna muatan dan makna niatan, bersyukurlah kita. Jika terdapat perbedaan antara keduanya, makna muatanlah yang harus dipegang. Dan kita pun harus bersyukur juga. 35 b. Tokoh (Character) Tokoh menunjuk pada orang sebagai pelaku cerita. Menurut Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 3) yang berasal dari Abrams memaparkan tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Penokohan sekaligus mengacu pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 3) membedakan tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi menjadi: 1) Tokoh utama dan tokoh tambahan tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam prosa yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Sedangkan, tokoh tambahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerita tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk mendukung tokoh utama. 2) Tokoh protagonis dan tokoh antagonis Tokoh protagonis adalah tokoh yang memegang peranan pimpinan dalam cerita. Tokoh ini ialah tokoh yang menampilkan sesuatu sesuai dengan pandangan kita, harapan-harapan kita, dan merupakan pengejawantahan 36 norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita. Adapun tokoh antagonis adalah tokoh penentang dari tokoh protagonis sehingga menyebabkan konflik dan ketegangan. Menurut Siswanto (2008: 143) mengutip pendapat Aminuddin mengungkapkan bahwa bila dilihat dari perkembangan kepribadian tokoh, tokoh dapat dibedakan atas tokoh dinamis dan tokoh statis. Tokoh dinamis adalah tokoh yang kepribadiannya selalu berkembang. Tokoh statis adalah tokoh yang mempunyai kepribadian tetap. Dan bila dilihat dari masalah yang dihadapi tokoh, dapat dibedakan atas tokoh yang mempunyai karakter sederhana dan kompleks. Tokoh yang mempunyai karakter sederhana adalah tokoh yang hanya mempunyai karakter seragam atau tunggal. Tokoh yang mempunyai karakter yang kompleks adalah tokoh yang mempunyai kepribadian yang kompleks. Siswanto (2008: 143) yang bersumber dari pemikiran Sukada, merangkum keempat pembagian di atas menjadi tokoh datar (flat character), yakni tokoh yang sederhana dan bersifat statis, dan tokoh bulat (round character), yaitu tokoh yang memiliki kekompleksan watak dan bersifat dinamis. Teknik penggambaran tokoh menurut Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 4-5) berdasarkan pendapat Altenbernd dan Lewis, sebagai berikut: 1) Secara analitik, yaitu pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, dan penjelasan secara langsung. 37 2) Secara dramatik, yaitu pengarang tidak langsung mendeskripsikan sifat, sikap, dan tingkah laku tokoh, tetapi melalui beberapa teknik lain, yaitu: a) Teknik cakapan (percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan). b) Teknik tingkah laku (teknik untuk menunjukkan tingkah laku verbal yang berwujud kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku yang menyaran pada tindakan non verbal atau fisik). c) Teknik pikiran dan perasaan (teknik penuturan untuk menggambarkan pikiran dan perasaan tokoh). d) Teknik arus kesadaran (teknik yang berusaha menangkap pandangan dan aliran proses mental tokoh di mana tanggapan indera bercampur dengan kesadaran dan ketaksadaran pikiran, perasaan, ingatan, harapan, serta asosiasi-asosiasi acak). e) Teknik reaksi tokoh (teknik sebagai reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata dan sikap (tingkah laku) orang lain, dan sebagainya berupa rangsang dari luar diri tokoh yang bersangkutan). f) Teknik reaksi tokoh lain (teknik sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama). g) Teknik pelukisan latar (suasana latar dapat dipakai untuk melukiskan kedirian seorang tokoh). h) Teknik pelukisan fisik (teknik melukiskan keadaan fisik tokoh). 38 c. Alur (Plot) Menurut Aristoteles yang dikutip Teeuw (1984:121) menyatakan bahwa dalam tragedi action, tindakan, bukan character, watak, yang terpenting. Efek tragedi dihasilkan oleh aksi plotnya, dan untuk menghasilkan efek yang baik plot harus mempunyai keseluruhan, wholeness; untuk itu harus dipenuhi empat syarat utama, yang dalam terjemahan Inggris disebut order, amplitude, atau complexity, unity dan connection atau coherence. Order berarti urutan atau aturan: urutan aksi harus teratur, harus menunjukkan konsekuensi dan konsistensi yang masuk akal; terutama harus ada awal, pertengahan dan akhir yang tidak sembarangan. Amplitude (atau complexity) berarti bahwa luasnya ruang lingkup dan kekomplekan karya harus cukup untuk memungkinkan perkembangan peristiwa yang masuk akal ataupun yang harus ada untuk menghasilkan peredaran dari nasib baik ke nasib buruk atau sebaliknya. Unity berarti bahwa semua unsur dalam plot harus ada, tidak mungkin tiada, dan tidak bisa bertukar tempat tanpa mengacaukan ataupun membinasakan keseluruhannya. Connection atau coherence berarti bahwa sastrawan tidak bertugas untuk menyebut hal-hal yang sungguh-sungguh terjadi, tetapi hal-hal yang mungkin atau harus terjadi dalam rangka keseluruhan plot itu. Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 6) berdasarkan pendapat Abrams, mengemukakan bahwa plot merupakan struktur peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu. 39 Ada berbagai pendapat mengenai tahapan-tahapan atau pengurutan dan penyajian peristiwa dalam suatu cerita, salah satunya oleh Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 6) yang berasal dari Tasrif membedakan tahapan plot menjadi lima bagian, yaitu: 1) Tahap situation (penyituasian), berisi pelukisan dan pengenalan situasi (latar) dan tokoh cerita. 2) Tahap generating circimtances (pemunculan konflik), berisi masalahmasalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik (mulai dimunculkan). 3) Tahap rising action (peningkatan konfliks), berarti konflik yang dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang. 4) Tahap climax (klimaks), berisi konflik atau pertentangan yang terjadi pada tokoh cerita ketika mencapai titik puncak. 5) Tahap denouement (penyesuaian), berisi penyesuaian dari konflik yang sedang terjadi. Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 6-7), membedakan alur atau plot menjadi tiga macam berdasarkan kriteria urutan waktu, yaitu: 1) Plot lurus (plot maju atau plot progresif), berisi peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa pertama diikuti peristiwa selanjutnya atau ceritanya runtut dimulai dari tahap awal sampai tahap akhir. 2) Plot sorot-balik (plot flash back atau plot regresif), berisi peristiwaperistiwa yang dikisahkan tidak kronologis (tidak runtut ceritanya). 40 3) Plot campuran, berisi peristiwa-peristiwa gabungan dari plot progresif dan plot regresif. Menurut Siswanto (2008: 160-161) yang mengutip pendapat Sudjiman juga membagi alur atas: 1) Alur utama dan alur bawahan. Alur utama merupakan rangkaian peristiwa utama yang menggerakkan jalan cerita. Alur bawahan adalah alur kedua atau tambahan yang disusupkan di sela-sela bagian-bagian alur utama sebagai variasi. Alur bawahan merupakan lakuan tersendiri tetapi yang masih ada hubungannya dengan alur utama. 2) Alur erat (ketat) dan alur longgar. Alur erat adalah jalinan peristiwa yang sangat padu di dalam suatu karya sastra; apabila salah satu peristiwa ditiadakan, keutuhan cerita akan terganggu. Alur longgar adalah jalinan peristiwa yang tidak padu di dalam suatu karya sastra, tidak akan mengganggu jalan cerita meskipun meniadakan salah satu peristiwa. d. Latar Cerita (Setting) Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 7) mengutip pendapat Abrams menyatakan bahwa latar adalah landas tumpu, penyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan. Latar juga dibedakan menjadi tiga unsur pokok 41 oleh Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 7) yang bersumber dari pemikiran Nurgiyantoro, yaitu: 1) Latar tempat (menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam karya sastra, seperti desa, sungai, jalan, hutan, dan lain-lain). 2) Latar waktu (menyaran pada “kapan” terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra misalnya tahun, musim, hari, dan jam). 3) Latar sosial (menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra, misalnya kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir, dan bersikap). 2. Sosiologi Sastra Sebelum membicarakan sosiologi sastra, ada baiknya dibahas pengertian sosiologi lebih dahulu, sebab pada dasarnya sosiologi sastra ada kaitannya dengan sosiologi. a. Sosiologi Istilah sosiologi untuk pertama kalinya digunakan oleh Auguste Comte seorang ahli filsafat bangsa Perancis pada tahun 1839. Sosiologi berasal dari kata Latin socius dan kata Yunani logos. Socius artinya kawan dan logos artinya kata atau berbicara, jadi sosiologi berarti berbicara mengenai masyarakat (Wahyuningtyas & Santosa, 2011: 18). Dengan demikian, Nagi Auguste Comte dalam Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 18) menyatakan 42 bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil terakhir daripada perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 20) yang bersumber dari pemikiran Soemardjo (1979: 11) dan Pollak (1979: 6) didapatkan pengertian yang senada bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang memelajari masyarakat dalam keseluruhannya bukan sesuatu segi khusus masyarakat, terutama yang berhubungan dengan aspek-aspek masyarakat yang menyangkut interaksi dan interelasi antar manusia, syarat-syaratnya dan akibat-akibatnya. Sehubungan dengan kegiatan interaksi sosial, menurut Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 20) berdasarkan pendapat Soekanto menyatakan bahwa bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial. Oleh karena itu, interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitasaktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis antar kelompok manusia. Interaksi sosial itu tidak mungkin terjadi apabila tidak memiliki dua syarat, yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi sosial. Adapun bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama, persaingan dan dapat pula berbentuk pertikaian atau pertentangan. Lebih lanjut, menurut Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 21) yang mengutip pendapat Soekanto, membicarakan tentang fungsi dan tujuan sosiologi. Fungsi sosiologi adalah untuk memahami perilaku manusia karena peranan kehidupan manusia sangat dipengaruhi oleh subsistem sosialnya. Subsistem sosial tersebut, pada dasarnya, mencakup unsur-unsur individu atau pribadi dalam masyarakat maupun kehidupan yang dihasilkan oleh masyarakat 43 tersebut. Kesadaran bahwa kehidupan manusia mencakup aneka macam aspek yang sangat dipengaruhi oleh subsistem sosialnya, menyebabkan semakin besarnya kegunaan pendekatan sosiologi. Sosiologi meneliti dan mencari apa yang menjadi prinsip-prinsip atau hukum-hukum interaksi antara manusia dan juga perihal sifat, hakikat, isi dan struktur masyarakat manusia. Menurut Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 22) yang menunjuk pendapat Soekanto, yang dimaksud masyarakat adalah: Sekelompok manusia yang hidup bersama dan berkumpul dalam waktu yang lama. Dengan berkumpulnya manusia maka akan timbul manusia-manusia baru. Manusia itu juga bercakap-cakap, merasa dan mengerti, dan mempunyai keinginan-keinginan untuk menyampaikan kesan-kesan atau perasaan-perasaannya. Sebagai akibat hidup bersama itu timbullah sistem komunikasi dan timbul pula peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antarmanusia dan kelompok tersebut. Mereka sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan dalam suatu sistem hidup bersama. Sistem hidup bersama menimbulkan kebudayaan, oleh karena itu setiap anggota merasa dirinya terikat satu dengan lainnya. b. Sosiologi Sastra Menurut Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 23-24), karya sastra itu unik karena merupakan perpaduan antara imajinasi pengarang dengan kehidupan sosial yang kompleks. Oleh sebab itu, sering dikatakan bahwa karya sastra dapat dianggap sebagai cermin kehidupan sosial masyarakatnya karena masalah yang dilukiskan dalam karya sastra merupakan masalah-masalah yang ada di lingkungan pengarangnya sebagai anggota masyarakat. 44 Berkaitan dengan hal tersebut di atas, menurut Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 24) berdasarkan pendapat Damono menyatakan bahwa sastra adalah: Lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium, bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, masyarakat dengan orang seorang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Yang sering menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat. Sebenarnya, ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologi sastra oleh Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 24) mengutip pendapat Damono, yang antara lain adalah pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial ekonomi belaka dan pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan yang kemudian dicari aspek-aspek sosial dari karya sastra tersebut. Dalam buku Pemandu Di Dunia Sastra karangan Dick Hartoko dan B. Rahmanto dalam Noor (2004: 89), dipaparkan bahwa sosiologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang memelajari sastra dalam hubungannya dengan kenyataan sosial. Kenyataan sosial mencakup pengertian konteks pengarang dan pembaca (produksi dan resepsi) dan sosiologi karya sastra (aspek-aspek sosial dalam teks sastra). Pembicaraan tentang konteks sosial pengarang dan pembaca disebut sosiologi komunikasi sastra dan pembicaraan sosiologi karya sastra disebut penafsiran teks sastra secara sosiologis. 45 Penafsiran teks secara sosiologis dalam pandangan Noor (2004: 90-91) yang bersumber dari pemikiran Hartoko adalah menganalisis gambaran tentang dunia dan masyarakat dalam sebuah teks sastra, sejauh mana gambaran itu serasi atau menyimpang dari kenyataan. Beberapa penulis telah mencoba untuk membuat klasifikasi tentang sosiologi sastra. Berikut ini klasifikasinya menurut Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 26) berdasarkan pendapat Wellek dan Warren: (1) sosiologi pengarang yang memermasalahkan status sosial, ideology sosial, dan lain-lain. Yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra, (2) sosiologi karya sastra yang memermasalahkan karya sastra itu sendiri; yang menjadi pokok penelaahannya adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya, dan (3) sosiologi sastra yang memermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Menurut Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 27) pengutip pendapat Damono mengungkapkan bahwa pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan orang saat ini, antara lain hanya menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra. Landasannya adalah suatu gagasan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari berbagai struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas dan lain-lain. Dalam hal ini, tugas ahli sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayali dan situasi ciptaan pengarang, dengan sejarah yang merupakan asal-usulnya. Dengan demikian tema dan gaya dalam karya sastra yang bersifat pribadi harus diubah menjadi hal-hal yang sosial sifatnya. 46 Menurut Endraswara (2008: 79) sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia. Sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi. Dari pendapat ini, tampak bahwa perjuangan panjang hidup manusia akan selalu mewarnai teks sastra. Dalam pandangan Endraswara (2008: 79) yang bersumber dari pemikiran Goldmann mengemukakan bahwa dalam perjuangan panjang tersebut memiliki tiga ciri dasar, yaitu: (1) kecenderungan manusia untuk mengadaptasikan dirinya terhadap lingkungan, dengan demikian ia dapat berwatak rasional dan signifikan di dalam korelasinya dengan lingkungan, (2) kecenderungan pada koherensi dalam proses penstrukturan yang global, dan (3) dengan sendiri ia mempunyai sifat dinamik serta kecenderungan untuk merubah struktur walaupun manusia menjadi bagian struktur tersebut. Dalam pandangan Endraswara (2008: 78) yang bersumber dari pemikiran Laurenson dan Swingewood, sosiologi dan sastra mempunyai perbedaan tertentu namun sebenarnya dapat memberikan penjelasan terhadap makna teks sastra. Hal ini dapat dipahami, karena sosiologi objek studinya tentang manusia dan sastra pun demikian. Sastra adalah ekspresi kehidupan manusia yang tidak lepas dari akar masyarakatnya. Meskipun sosiologi dan sastra adalah dua hal yang berbeda namun dapat saling melengkapi. Apalagi ada pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya penafsiran teks sastra secara sosiologis tidak berbeda dengan penelitian segi-segi ekstrinsik sebuah teks sastra. Yang dimaksud segi-segi ekstrinsik teks sastra adalah segi-segi 47 atau unsur-unsur sosial di luar teks sastra yang membangun totalitas makna sebuah teks sastra. Segi-segi atau unsur-unsur sosial itu, seperti bahasa, psikologi, sosiologi, dan lain-lain. 3. Perkawinan dan Selingkuh Sebelum penulis membicarakan masalah perselingkuhan, terlebih dahulu penulis akan mendeskripsikan pengertian perkawinan. Sebab perselingkuhan merupakan salah satu konflik keluarga dan keluarga berasal dari perkawinan. Dalam memaparkan sepintas tentang perkawinan, penulis merangkum pendapat Mustofa Hasan dalam bukunya yang berjudul Pengantar Hukum Keluarga (2011). Dalam pandangan Hasan (2011: 9) perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan karena ikatan suami istri, dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram. Sementara itu, Hasan (2011: 9) mengutip pendapat Anwar Harjono menyatakan bahwa kata perkawinan sama dengan kata nikah atau zawaj dalam istilah fiqh. Berdasarkan hal tersebut di atas, kata nikah berasal dari bahasa Arab (aaaaaaaaaaa) yang merupakan masdar atau asal dari kata kerja Sinonimnya ( . ) kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan perkawinan. Kata nikah telah dibakukan menjadi bahasa Indonesia. Oleh karena itu, secara sosial, kata pernikahan dipergunakan dalam berbagai upacara perkawinan (Hasan, 2011: 10). 48 Para fuqaha dan Mazhab Empat dalam Hasan (2011: 10) sepakat bahwa makna nikah atau zawaj adalah suatu akad atau suatu perjanjian yang mengandung arti sahnya hubungan kelamin. Dengan demikian, perkawinan adalah suatu perjanjian untuk melegalkan hubungan kelamin dan untuk melanjutkan keturunan. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam, tidak menggunakan kata “nikah atau pernikahan”, tetapi menggunakan kata “perkawinan”. Hal tersebut berarti bahwa makna nikah atau kawin berlaku untuk semua yang merupakan aktivitas persetubuhan. Karena kata “nikah” adalah bahasa Arab, sedangkan kata “kawin” adalah bahasa Indonesia (Hasan, 2011: 10). Dan, untuk memaparkan sepintas tentang selingkuh, penulis merangkum pendapat Abdul Aziz Ahmad dalam bukunya All About Selingkuh: Problematika dan Jalan Keluarnya, Dilengkapi 54 Kasus Nyata (2009). Ahmad (2009: 81) menyatakan bahwa selingkuh adalah menyerahkan sesuatu hal positif, seperti cinta, pengharapan, birahi, pelayanan, dan lain-lain yang seharusnya diserahkan hanya kepada suami atau istri kepada orang lain yang bukan suami atau istri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa edisi keempat (2008: 1253) selingkuh diartikan sebagai suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri, tidak berterus terang, tidak jujur, curang, serong; suka menggelapkan uang, korupsi; serta suka menyeleweng. 49 Sebagian besar suami atau istri berselingkuh karena alasan cinta. Padahal sebenarnya cinta adalah sesuatu yang netral, namun jarang ada orang yang mampu mengendalikannya dengan benar. Akhirnya mereka diseret oleh cinta, lalu tersesat dan terjerumus ke dalam jurang kehancuran. Apabila seseorang mampu mengendalikan cinta dengan benar, niscaya dia akan mampu menggunakan cinta untuk kebahagiaan hidupnya (Ahmad, 2009: 22). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa edisi keempat (2008: 268) cinta diartikan sebagai suka sekali, sayang benar; kasih sekali, terpikat (antara laki-laki dan perempuan); ingin sekali, berharap sekali, rindu; serta susah hati (khawatir), dan risau. Ahmad mencoba mendefinisikan cinta. Cinta dalam pandangan Ahmad (2009: 21) adalah suatu proses di dalam hati, berupa kecenderungan yang dibarengi gejolak emosi, yang menimbulkan gerakan hati menuju sesuatu yang sesuai dengan seleranya. Sedangkan, selera cinta itu sendiri menurut Ahmad (2009: 21) adalah rasa yang dianugerahkan oleh Allah SWT kedalam hati manusia, agar ia dapat menemukan hal-hal yang sesuai dengannya. Jika ia menemukan hal-hal yang sesuai dengan seleranya, niscaya akan timbul kecenderungan dan gejolak emosi, yang membuat hati selalu bergerak menuju sesuatu yang sesuai dengan selera cinta tersebut. Berkaitan dengan hal/sumber tersebut di atas, Ahmad (2009: 36-40) menyatakan bahwa landasan sebagian besar cinta manusia—khususnya cinta yang menyebabkan perselingkuhan—adalah hawa nafsu. Jadi sangat tepat jika hawa nafsu yang menjadi landasan cinta dan perselingkuhan. 50 Secara etimologis, hawā atau hawa nafsu (aaaaaaaa) berarti kecenderungan, sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS Ibrahim: 37. Sedangkan, secara terminologis hawa nafsu berarti: kecenderungan jiwa terhadap sesuatu yang dapat membuatnya memertahankan kelangsungan hidupnya atau meningkatkan kualitasnya. Atau kecenderungan karekter manusia terhadap apapun yang sesuai dengannya, baik berkonotasi cinta maupun tidak (Ahmad, 2009: 36-37). Selain definisi, selingkuh juga mempunyai beberapa tingkatan, alasan, ciriciri, akibat, serta selingkuh yang dapat berubah menjadi zina, sebagai berikut: a. Tingkatan Selingkuh Menurut Ahmad (2009: 81-83) selingkuh terbagi menjadi tiga tingkatan, sesuai dengan besar kecilnya hal positif yang diserahkan kepada orang lain, yaitu: 1) Selingkuh berat, selingkuh jenis ini terjadi jika seseorang melakukan tindakan persetubuhan atau senggama dengan lawan jenis yang bukan pasangannya. Selingkuh berat sudah pasti merupakan bentuk perzinaan. 2) Selingkuh tingkat sedang, selingkuh jenis ini terjadi jika seseorang melakukan kontak fisik secara langsung dengan lawan jenis yang bukan pasangannya. 3) Selingkuh ringan, selingkuh jenis ini terjadi jika seseorang melakukan berbagai aktivitas fisik dengan lawan jenis yang bukan pasangannya. 51 b. Alasan Utama Selingkuh Ahmad (2009: 85-153) menyatakan bahwa selingkuh tidak akan mungkin terjadi begitu saja tanpa adanya alasan atau pencetusnya. Dengan demikian, alasan utama perselingkuhan adalah: 1) Perasaan tidak puas terhadap pasangan Alasan ketidakpuasan seseorang terhadap pasangannya kebanyakan disebabkan oleh: kondisi fisik; pelayanan; tingkah laku, tingkah laku yang menyebabkan ketidakpuasan tentunya adalah tingkah laku yang buruk, seperti misalnya: kurang perhatian, sikap kasar, cerewet, dan kata-kata menyakitkan, lebih mementingkan pihak lain; serta kondisi sosial, strata, dan penghasilan. 2) Kelemahan iman Lemahnya keimanan seseorang biasanya terjadi karena: salah didik/kurang terdidik agama, terutama dalam hal akidah; kurang khusyu’ dalam beribadah. Penghalang khusyu’: maksiat. Dan, di antara kemaksiatan yang dapat menghalangi kekhusyu’an adalah: riba, perbuatan mesum, korupsi/mencuri, mengkonsumsi makanan haram, riya’, durhaka kepada kedua orang tua, mentato tubuh dan mengenakan rambut palsu, mengikir gigi dan mencukur alis, menolak ajakan suami untuk bersetubuh tanpa alasan yang benar, memajang patung dan/lukisan benda-benda hidup, dan lain-lain, selain maksiat ada pula terlalu sibuk dalam urusan dunia, bid’ah; serta tidak ikhlas dalam kehidupan. 52 3) Hasrat seksual yang tidak terkendali Selain faktor genetik, ada beberapa faktor lain yang dapat membuat hasrat seksual menjadi tidak terkendali, antara lain: hawa nafsu yang selalu dituruti; pola makan yang buruk; tingkat usia; dan terlalu banyak terkena rangsangan seksual. 4) Godaan setan Setan memiliki berbagai sarana untuk menjerumuskan manusia ke dalam cinta terlarang atau perselingkuhan, antara lain: suasana yang menunjang; berduaan atau khalwah; kenangan yang tertancap kuat; kondisi hati yang menunjang; kuatnya daya tarik atau rayuan lawan jenis; mengikuti langkah-langkah setan dengan teratur; kemarahan dan balas dendam; dan pengaruh sahabat atau teman dekat atau cerita. 5) Penyakit hati Hati atau qalb dalam bahasa Arab atau heart dalam bahasa Inggris bukanlah hati yang berada pada jasad kasar manusia. Hati yang dimaksud adalah suatu tempat atau organ yang terletak pada ruh manusia yang berfungsi mengolah berbagai informasi, atau hasil olahan informasi yang berupa ilmu, atau hasil olahan ilmu yang berupa kecenderungan. Hati juga merupakan pusat kendali dan kontrol kehidupan manusia. Karena hati hidup, maka dia memiliki beberapa sifat, yaitu: dapat dimasuki sesuatu di luar kehendak manusia dengan izin Allah SWT, dapat menjadi bersih atau kotor, dan dapat mengeras dan melunak. 53 c. Ciri-Ciri Selingkuh Dalam pandangan Ahmad (2009: 164-167) ada ciri-ciri perselingkuhan, yaitu: 1) Selingkuh karena masalah rumah tangga. Sebab ini muncul ditandai dengan beberapa ciri yang terjadi antara lain: kehilangan gairah seksual terhadap pasangan sahnya; sehingga dia akan mencari-cari alasan untuk menjauh dan menghindar dari hubungan seksual; masalah rumah tangga semakin meruncing; lesu saat berada di rumah, dan berbinar-binar saat akan berangkat keluar rumah; malas beribadah; kurang peduli terhadap diri sendiri maupun anggota keluarga lain saat berada di rumah; cepat naik darah saat dicurigai berselingkuh; bicara seadanya, cenderung agak gugup; dan suka berdusta. 2) Selingkuh tanpa masalah rumah tangga, ada beberapa ciri yang nampak, antara lain: menjadi lebih sayang kepada pasangan yang sah; gairah seksual terhadap pasangan yang sah agak meningkat; menjadi lebih perhatian kepada anggota keluarga di rumah; menjadi gemar mengurus diri sendiri; memerbesar otot, menjaga kebugaran, berdandan dan lain-lain; cenderung lebih gemar beribadah; lebih tenang dan tertutup, meski menjadi suka berdusta tapi tidak terlalu gugup. 3) Penggabungan dari keduanya. Meski demikian, ciri-ciri tersebut bisa saja tidak tampak, karena sudah terbiasa berselingkuh atau berbuat mesum, sehingga tidak lagi nampak riak psikologis pada penampilannya serta memiliki bakat ketenangan yang luar 54 biasa. Keadaan ini biasanya merupakan hasil bentukan lingkungan keluarga dan sedikit banyak ada juga faktor keturunan. d. Akibat Selingkuh Menurut Ahmad (2009: 167-186) ada beberapa akibat perselingkuhan di dunia, yaitu: padamnya cinta dan gairah seksual terhadap pasangan yang sah; adanya rasa ketagihan; terkena berbagai penyakit kelamin; menurunnya perolehan rizki; rusaknya hubungan dengan keluarga dekat; pikiran menjadi kacau dan tidak tenang; ibadah tidak khusyu’ dan tidak terasa nikmat; merasa jauh dari Allah SWT; merasa dijauhi oleh orang-orang salih; kehancuran karir dan penghidupan; terjadi saling menzalimi dan saling bunuh diri di antara oknum selingkuh. e. Zina Zina terkait dengan perselingkuhan. Sebab, selingkuh tingkat berat merupakan bentuk perzinaan. Sebaliknya, perzinaan belum tentu merupakan perselingkuhan, apabila tidak ada pihak yang sudah memiliki pasangan yang sah. Zina menurut istilah syara’ yaitu: seorang pria yang menyetubuhi wanita yang bukan miliknya atau keserupaan dengan miliknya, dari arah vaginanya (Ahmad, 2009: 271-272). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa antar unsur struktur dalam novel Kupinjam Napas Iblis karya Mira Wijaya saling berkaitan satu sama 55 lain dan tidak bisa terpisahkan. Keterkaitan cerita ini justru membuat jalinan cerita menjadi sangat menarik. Ada sebab dan ada akibatnya. Perselingkuhan dan perzinaan yang dilakukan Hariman dengan Jennifer merupakan perilaku seksual yang tidak lazim, menyimpang. Dikatakan menyimpang sebab tindakan mereka melanggar nilai-nilai atau norma sosial sebagai akibat dari ketidaksempurnaan proses sosialisasi yang mereka jalani, baik dilingkungan keluarga maupun di tengah-tengah masyarakat pada umumnya. Hariman berselingkuh, berzina, bahkan berperilaku menyimpang lainnya, seperti berjudi, minum-minuman keras, merokok apalagi yang mengandung ganja karena hasil dari proses belajar atau yang dipelajarinya dari Jennifer. Penyimpangannya tersebut dipelajari oleh Hariman dalam interaksinya dengan Jennifer dan melibatkan proses komunikasi yang intens, intim, serta akrab. Halhal yang Hariman pelajari dari Jennifer dalam proses terbentuknya perilaku menyimpang adalah: teknis-teknis penyimpangan, yang kadang-kadang sangat rumit, tetapi kadangkala sederhana; petunjuk khusus tentang motivasi, dorongan, rasionalisasi. Bagi Hariman, bahkan juga Jennifer menyimpang dianggap lebih menguntungkan daripada tidak, karena tidak ada proses belajar yang unik untuk memeroleh cara-cara menyimpang. Apalagi perilaku menyimpang Hariman sebagai ekspresi kebutuhan dan nilai masyarakat yang umum.