Untitled

advertisement
Novel Kupinjam Napas Iblis karya Mira Wijaya tergolong sebagai novel
populer yang bersifat kontemporer dan bertemakan cinta dengan tokoh utama
seorang perempuan. Meskipun demikian, banyak diminati pembaca karena
dikemas secara menarik dengan bahasa yang lugas, mudah dimengerti, dan
ceritanya pun tidak jauh dari kehidupan sehari-hari, sehingga dapat dinikmati oleh
banyak orang.
Menurut Abraham Kaplan dalam makalah Redyanto Noor yang berjudul
Segi-Segi Intrinsik Cerkan (Novel) Populer tahun 2006, sastra populer sebenarnya
tidak berbeda dengan seni populer. Seni populer bukanlah seni yang buruk,
ukurannya tidak terletak pada ketakmampuannya memenuhi tuntutan kritik.
Masalahnya adalah keberhasilan apa yang telah ia capai dan manfaat apa yang
telah ia berikan. Memang ada kalanya seni populer buruk, tetapi tidak berarti
setiap seni yang buruk adalah seni populer. Seni populer dianggap hanya
memenuhi cita rasa rendah, meskipun sebenarnya seni populer bukan merupakan
perwujudan kemerosotan cita rasa, tetapi hanya kebelumdewasaan cita rasa. Oleh
karena sastra populer merupakan bagian seni populer, maka dengan sendirinya
memiliki ciri-ciri yang identik dengan ciri-ciri seni populer, yaitu:
1. Dari segi bentuk.
a. Sederhana; tidak berstruktur rumit.
b. Merupakan pernyataan langsung, tanpa kualifikasi.
c. Stereotipe; memiliki pola struktur yang mirip satu sama lain, hanya
membatasi diri pada segala sesuatu yang telah dikenal dan dipahami.
d. Skematis; pola struktur dan formula isi mudah di-skemakan.
26
27
e. Starsistem (sistem bintang); perhatian hanya difokuskan pada unsure yang
menonjol, yang menguasai unsure-unsur lain.
f. Anti makna ganda; bagi seni populer makna ganda membuat tidak
tentram.
g. Tidak perlu pemahaman estetis; hanya sekadar dinikmati, bukan untuk
dipahami, artinya isyarat dan lambing-lambang yang ada tidak perlu
ditafsirkan secara kreatif.
2. Dari segi perasaan.
a. Hiburan; pembaca dibiarkan asyik dengan dirinya sendiri, dengan segala
sesuatu yang telah dikenalnya dengan akrab. Adegan-adegan dalam sastra
populer merupakan isyarat baik bagi pembaca untuk menenggelamkan diri
dalam kenangan dan angan-angan yang indah-indah dan menyenangkan.
b. Sentimental; begitu banyak mengundang perasaan yang berlebihan, tetapi
begitu sedikit yang bias dihayati.
c. Seni pelarian; wajah cantik, tampan, hidup enak, banyak uang dengan
segala kemudahan hidup, sangat tepat sebagai obat untuk sejenak
melupakan kesulitan hidup. Pembaca melarikan diri dari dunia nyata ke
dunia angan-angan yang persis menggambarkan keinginan yang mereka
dambakan.
Menurut Darma dalam makalah Redyanto Noor yang berjudul Segi-Segi
Intrinsik Cerkan (Novel) Populer tahun 2006, novel-novel Indonesia belum
mampu melepaskan diri sepenuhnya dari dominasi ciri-ciri kepopuleran sebuah
28
karya sastra. Hal itu terbukti dari ciri-ciri intrinsik novel populer yang
ditemukannya:
1. Realis harfiah; hanya bercerita tentang fakta semata.
2. Melodramatis; serba berlebihan, melampaui batas kewajaran sehingga terasa
dibuat-buat.
3. Tuntas; tidak ada persoalan yang tidak selesai dalam novel populer Indonesia.
4. Latah; tidak ada satu pun novel populer yang tidak memiliki kemiripan
dengan novel populer lainnya. Lakunya tema cinta akan diikuti oleh tematema cinta yang lain, lakunya tema air mata akan diikuti oleh tema-tema yang
semakin memeras air mata.
Sumardjo dalam makalah Redyanto Noor yang berjudul Segi-Segi Intrinsik
Cerkan (Novel) Populer tahun 2006, memberi istilah novel populer dengan light
novel atau novel ringan, di Inggris atau Amerika novel demikian biasanya dicetak
dalam bentuk paperback, yaitu buku saku atau throwaway books, buku yang
sekali dibaca langsung dibuang. Berdasar pengamatannya terhadap sebagian novel
populer Indonesia yang terbit tahun 1970-1980, ciri-ciri novel demikian
disebutkan antara lain:
1. Romantis-sentimental; kisah (isi cerita) cenderung merobek-robek perasaan
pembaca.
2. Judul sensasional; mengandung kesan berlebihan, tetapi sulit ditafsirkan
maknanya. Contoh: Kabut Sutera Ungu, Bilur-bilur Penyesalan, Anggrek Tak
Pernah Berdusta, dan lain-lain.
3. Tema; berkisar cinta dan kehidupan rumah tangga.
29
4. Alur; disusun manis, lurus, penuh surprise.
5. Dialog kontemporer; gaya cakapan yang terpengaruh “trend” yang hidup di
lingkungan sosial tertentu, misalnya lingkungan remaja kota besar, keluarga
kaya, keluarga terpelajar, juga ragam “gaul”.
6. Latar; gambaran fisik dari lingkungan keluarga kaya, keluarga terpelajar,
kampus, dan tempat-tempat hiburan.
7. Perwatakan spektakuler dan eksplosif; kekuatan atau kelemahan tokoh
digambarkan secara berlebihan sehingga malah terasa janggal dan tidak masuk
akal.
8. Selalu ditutup dengan happy ending atau sad ending yang cenderung tragis.
Novel Kupinjam Napas Iblis ini bercerita tentang kehidupan seorang pria
bernama Hariman yang menggantungkan hidupnya sebagai pengarang dan juga
karyawan di biro perjalanan. Dengan hanya berbekal gaji pas-pasan Hariman
melamar Renata, seorang gadis manis yang baik hatinya. Mereka saling mencintai
dan dikaruniai satu orang putri. Namun, tiada terduga prahara muncul ditengahtengah kebahagiaan mereka. Hariman berselingkuh dengan Jennifer, seorang
gadis muda, cantik, dan menarik. Sebenarnya, Jenny dianggap layaknya iblis
wanita penggoda, tetapi pada kenyataannya justru dialah yang berhasil
mewujudkan impian Hariman menjadi pengarang sukses, terkenal, dan banyak
uang. Mengetahui itu Renata memilih bercerai dari Hariman. Dan, dalam
perjalanan hidupnya, Renata dipertemukan lagi dengan seorang pria kaya, tampan,
serta terpelajar bernama Trianto. Namun, desas-desus mengatakan kalau dia gay.
Mula-mula hubungan Trianto dengan Renata hanya sebatas teman yang saling
30
membutuhkan namun akhirnya mampu membawa lembaran kisah cinta baru.
Akhir cerita, Renata dengan Trianto hidup berbahagia tetapi Hariman menderita
dan mati mengenaskan.
Sebenarnya, penelitian ini dilakukan karena saat ini ada beragam
karakteristik dan problematika hidup yang dijalani seseorang, seperti misalnya
kini semakin marak saja perselingkuhan yang dilakukan oleh pasangan suami-istri
di dalam kehidupan masyarakat secara nyata, bahkan hingga terekspos oleh media
massa, maupun dalam kehidupan tokoh-tokoh di dalam dunia sastra, seperti novel.
Hal
demikian
yang
membuat
penulis
ingin
mengetahui
apa
yang
melatarbelakanginya, sehingga akan mudah menghindari dan/mencegah tindakan
tidak terpuji (menyimpang) tersebut, yang melanggar tata aturan dalam kehidupan
sosial masyarakat maupun agama, sekaligus dapat mengetahui sejauh mana novel
ini mencerminkan kenyataan. Karena seringnya dikatakan bahwa sastra
mencerminkan kenyataan dan sastra juga dituntut agar mencerminkan kenyataan.
Penelitian terhadap novel Kupinjam Napas Iblis peneliti batasi pada aspek
struktural, seperti: tema dan amanat, alur (plot), latar cerita (setting) serta tokoh
(character). Selain itu juga aspek sosial, seperti perselingkuhan, yang meliputi:
tingkatan, alasan utama, ciri-ciri, akibat, serta selingkuh yang dapat berubah
menjadi zina.
Penulis berharap melalui penelitian ini akan dapat dilihat aspek-aspek
struktur yang membangun cerita dalam novel Kupinjam Napas Iblis oleh Mira
Wijaya. Penulis juga berharap melalui penelitian ini akan dapat dilihat gambaran
menyeluruh mengenai permasalahan hidup dalam berumah tangga yang
31
mengakibatkan perselingkuhan seperti dalam novel Kupinjam Napas Iblis oleh
Mira Wijaya, sehingga akan mudah menghindari, mencegah, serta menemukan
cara
penyembuhannya
sebagai
jalan
keluar/penyelesaian
atas
persoalan
sedemikian rupa.
Menurut Sumardjo dan Saini (1994: 3) sastra adalah ungkapan pribadi
manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan
dalam suatu bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona dengan alat
bahasa. Novel misalnya, merupakan bentuk prosa rekaan modern yang lebih
pendek daripada roman. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam Siswanto,
2008: 141), novel diartikan sebagai karangan prosa yang panjang, mengandung
rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya dengan
menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.
Noor (2004: 29) mengatakan bahwa setiap karya sastra mengandung
unsur-unsur instrinsik dan ekstrinsik. Unsur instrinsik, yaitu unsur-unsur yang
membangun karya sastra dari dalam. Unsur ekstrinsik, yaitu unsur-unsur dari luar
yang memengaruhi isi karya sastra. Apabila unsur-unsur intrinsik dapat dianggap
sebagai struktur (kerangka), maka unsur-unsur ekstrinsik adalah isi yang
mewarnai karya sastra. Dengan demikian, keduanya sesungguhnya merupakan
satu kesatuan yang bersifat integral sehingga tidak mungkin dapat dipisahpisahkan.
Mengingat adanya dua segi karya sastra, maka penelitian sastra juga harus
memanfaatkan dua pendekatan, yaitu pendekatan instrinsik dan ekstrinsik.
Meskipun demikian, karena keberadaan karya sastra lebih ditentukan oleh segi
32
instrinsiknya, maka biasanya pendekatannya pun mendahulukan segi instrinsiknya
tanpa mengabaikan segi ekstrinsik (Noor, 2004: 29).
Dengan demikian, teori yang digunakan sebagai alat utama dalam
penelitian ini adalah Strukturalisme.
1. Strukturalisme
Dalam pandangan Noor (2004: 78), struktur adalah keseluruhan relasi antara
berbagai unsur sebuah teks. Sedangkan, strukturalisme adalah ilmu dan kritik
yang memusatkan perhatian pada relasi-relasi antar unsur.
Menurut Pradopo (2005: 141) bersumber dari pemikiran Teeuw, analisis
struktural ini merupakan prioritas utama sebelum yang lain-lain, tanpa itu
kebulatan makna intrinsik yang hanya dapat digali dari karya itu sendiri, tidak
akan tertangkap. Makna unsur-unsur karya sastra hanya dapat dipahami dan
dinilai sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu dalam
keseluruhan karya sastra.
Tujuan analisis struktural oleh Teeuw (1984: 135) adalah untuk
membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, dan semendalam mungkin
keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersamasama menghasilkan makna menyeluruh.
Strukturalisme mengandung rangkaian kesatuan seperti yang dikemukakan
oleh Pradopo (2005: 119) mengutip pendapat Jean Peaget, meliputi tiga ide dasar.
Pertama, ide keseluruhan (wholness), dalam arti bahwa bagian-bagian atau
unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang
menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya. Kedua, ide
33
transformasi (transformation), struktur itu menyanggupi prosedur transformasi
yang terus-menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga, ide
keteraturan yang mandiri (self regulation) yaitu tidak memerlukan hal-hal di luar
dirinya untuk memertahankan prosedur transformasinya, struktur itu otonom
terhadap rujukan sistem lain.
Dalam pandangan Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 2) yang bersumber
dari pemikiran Stanton, unsur pembangun sebuah novel dibedakan ke dalam tiga
bagian, yaitu fakta, tema, dan sarana sastra. Dalam sebuah cerita, fakta meliputi
karakter (tokoh cerita), plot, dan setting. Ketiga unsur tersebut harus dipandang
sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah satu dengan yang lain.
Berdasarkan pendapat tersebut, Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 2)
menyimpulkan bahwa unsur-unsur pembentuk novel (struktur novel) yang utama
meliputi tema, tokoh, alur (plot), dan latar (setting).
Berikut ini akan dibicarakan konsep masing-masing unsur struktur
tersebut:
a. Tema dan Amanat
Dalam pandangan Siswanto (2008: 161) yang bersumber dari pemikiran
Aminuddin, tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Menurut sumber
tersebut, tema berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan
karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara
makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya. Seorang
pengarang
memahami
tema
cerita
yang
akan
dipaparkan
sebelum
melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat
34
memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur yang
menjadi media pemapar tema tersebut, menyimpulkan makna yang
dikandungnya serta mampu menghubungkan dengan tujuan penciptaan
pengarangnya.
Dalam menemukan tema, pembaca juga dapat menemukan nilai-nilai
didaktis yang berhubungan dengan masalah manusia dan kemanusiaan serta
hidup dan kehidupan. Nilai-nilai yang ada di dalam cerita rekaan biasa disebut
amanat. Amanat oleh Siswanto (2008: 162) adalah gagasan yang mendasari
karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau
pendengar.
Ginarsa dkk. (1985: 21) berdasarkan pendapat Robson, menyatakan
bahwa tema, ide, atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang memang
merupakan sesuatu yang abstrak, tidak kelihatan. Kesulitan memahami tema
atau makna suatu karya sastra telah ditunjukkan oleh Ginarsa dkk. (1985: 21)
yang berasal dari Saad, dengan menunjuk pendapat Wimsatt Jr. dan Beardsley
yang menyatakan sebagai berikut.
Amanat pengarang tidak pernah kita ketahui, kata Wimsatt. Dalam
ihwal yang demikian, satu-satunya yang mungkin kita lakukan
(sebagai pembaca) ialah mencoba mengira-ngirakan amanat yang
termuat dalam karya itu sendiri karena memang itulah yang sampai
kepada kita.
Amanat yang termuat dalam cerita rekaan itu disebut Wimsatt makna
muatan (actual meaning), sedangkan niat untuk amanat pengarang
disebutnya makna niatan (intentional meaning). Jika terdapat
persesuaian antara makna muatan dan makna niatan, bersyukurlah kita.
Jika terdapat perbedaan antara keduanya, makna muatanlah yang harus
dipegang. Dan kita pun harus bersyukur juga.
35
b. Tokoh (Character)
Tokoh menunjuk pada orang sebagai pelaku cerita. Menurut Wahyuningtyas
dan Santosa (2011: 3) yang berasal dari Abrams memaparkan tokoh cerita
adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama
yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki moral dan kecenderungan tertentu
seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakan. Penokohan sekaligus mengacu pada teknik perwujudan dan
pengembangan tokoh dalam sebuah cerita. Tokoh cerita menempati posisi
strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu
yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.
Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 3) membedakan tokoh-tokoh cerita
dalam sebuah fiksi menjadi:
1) Tokoh utama dan tokoh tambahan
tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam prosa
yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan,
baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Sedangkan,
tokoh tambahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam
cerita tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk mendukung tokoh
utama.
2) Tokoh protagonis dan tokoh antagonis
Tokoh protagonis adalah tokoh yang memegang peranan pimpinan dalam
cerita. Tokoh ini ialah tokoh yang menampilkan sesuatu sesuai dengan
pandangan kita, harapan-harapan kita, dan merupakan pengejawantahan
36
norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita. Adapun tokoh antagonis
adalah tokoh penentang dari tokoh protagonis sehingga menyebabkan
konflik dan ketegangan.
Menurut Siswanto (2008: 143) mengutip pendapat Aminuddin
mengungkapkan bahwa bila dilihat dari perkembangan kepribadian tokoh,
tokoh dapat dibedakan atas tokoh dinamis dan tokoh statis. Tokoh dinamis
adalah tokoh yang kepribadiannya selalu berkembang. Tokoh statis adalah
tokoh yang mempunyai kepribadian tetap. Dan bila dilihat dari masalah yang
dihadapi tokoh, dapat dibedakan atas tokoh yang mempunyai karakter
sederhana dan kompleks. Tokoh yang mempunyai karakter sederhana adalah
tokoh yang hanya mempunyai karakter seragam atau tunggal. Tokoh yang
mempunyai karakter yang kompleks adalah tokoh yang mempunyai
kepribadian yang kompleks.
Siswanto (2008: 143) yang bersumber dari pemikiran Sukada,
merangkum keempat pembagian di atas menjadi tokoh datar (flat character),
yakni tokoh yang sederhana dan bersifat statis, dan tokoh bulat (round
character), yaitu tokoh yang memiliki kekompleksan watak dan bersifat
dinamis.
Teknik penggambaran tokoh menurut Wahyuningtyas dan Santosa
(2011: 4-5) berdasarkan pendapat Altenbernd dan Lewis, sebagai berikut:
1) Secara analitik, yaitu pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan
memberikan deskripsi, uraian, dan penjelasan secara langsung.
37
2) Secara dramatik, yaitu pengarang tidak langsung mendeskripsikan sifat,
sikap, dan tingkah laku tokoh, tetapi melalui beberapa teknik lain, yaitu:
a) Teknik cakapan (percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita
untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan).
b) Teknik tingkah laku (teknik untuk menunjukkan tingkah laku verbal
yang berwujud kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku yang
menyaran pada tindakan non verbal atau fisik).
c) Teknik pikiran dan perasaan (teknik penuturan untuk menggambarkan
pikiran dan perasaan tokoh).
d) Teknik arus kesadaran (teknik yang berusaha menangkap pandangan
dan aliran proses mental tokoh di mana tanggapan indera bercampur
dengan kesadaran dan ketaksadaran pikiran, perasaan, ingatan,
harapan, serta asosiasi-asosiasi acak).
e) Teknik reaksi tokoh (teknik sebagai reaksi tokoh terhadap suatu
kejadian, masalah, keadaan, kata dan sikap (tingkah laku) orang lain,
dan sebagainya berupa rangsang dari luar diri tokoh yang
bersangkutan).
f) Teknik reaksi tokoh lain (teknik sebagai reaksi yang diberikan oleh
tokoh lain terhadap tokoh utama).
g) Teknik pelukisan latar (suasana latar dapat dipakai untuk melukiskan
kedirian seorang tokoh).
h) Teknik pelukisan fisik (teknik melukiskan keadaan fisik tokoh).
38
c. Alur (Plot)
Menurut Aristoteles yang dikutip Teeuw (1984:121) menyatakan bahwa
dalam tragedi action, tindakan, bukan character, watak, yang terpenting. Efek
tragedi dihasilkan oleh aksi plotnya, dan untuk menghasilkan efek yang baik
plot harus mempunyai keseluruhan, wholeness; untuk itu harus dipenuhi
empat syarat utama, yang dalam terjemahan Inggris disebut order, amplitude,
atau complexity, unity dan connection atau coherence. Order berarti urutan
atau aturan: urutan aksi harus teratur, harus menunjukkan konsekuensi dan
konsistensi yang masuk akal; terutama harus ada awal, pertengahan dan akhir
yang tidak sembarangan. Amplitude (atau complexity) berarti bahwa luasnya
ruang lingkup dan kekomplekan karya harus cukup untuk memungkinkan
perkembangan peristiwa yang masuk akal ataupun yang harus ada untuk
menghasilkan peredaran dari nasib baik ke nasib buruk atau sebaliknya. Unity
berarti bahwa semua unsur dalam plot harus ada, tidak mungkin tiada, dan
tidak bisa bertukar tempat tanpa mengacaukan ataupun membinasakan
keseluruhannya. Connection atau coherence berarti bahwa sastrawan tidak
bertugas untuk menyebut hal-hal yang sungguh-sungguh terjadi, tetapi hal-hal
yang mungkin atau harus terjadi dalam rangka keseluruhan plot itu.
Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 6) berdasarkan pendapat Abrams,
mengemukakan bahwa plot merupakan struktur peristiwa-peristiwa, yaitu
sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa
untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu.
39
Ada berbagai pendapat mengenai tahapan-tahapan atau pengurutan dan
penyajian peristiwa dalam suatu cerita, salah satunya oleh Wahyuningtyas dan
Santosa (2011: 6) yang berasal dari Tasrif membedakan tahapan plot menjadi
lima bagian, yaitu:
1) Tahap situation (penyituasian), berisi pelukisan dan pengenalan situasi
(latar) dan tokoh cerita.
2) Tahap generating circimtances (pemunculan konflik), berisi masalahmasalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik (mulai
dimunculkan).
3) Tahap rising action (peningkatan konfliks), berarti konflik yang
dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang.
4) Tahap climax (klimaks), berisi konflik atau pertentangan yang terjadi pada
tokoh cerita ketika mencapai titik puncak.
5) Tahap denouement (penyesuaian), berisi penyesuaian dari konflik yang
sedang terjadi.
Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 6-7), membedakan alur atau plot
menjadi tiga macam berdasarkan kriteria urutan waktu, yaitu:
1) Plot lurus (plot maju atau plot progresif), berisi peristiwa-peristiwa yang
dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa pertama diikuti peristiwa
selanjutnya atau ceritanya runtut dimulai dari tahap awal sampai tahap
akhir.
2) Plot sorot-balik (plot flash back atau plot regresif), berisi peristiwaperistiwa yang dikisahkan tidak kronologis (tidak runtut ceritanya).
40
3) Plot campuran, berisi peristiwa-peristiwa gabungan dari plot progresif dan
plot regresif.
Menurut Siswanto (2008: 160-161) yang mengutip pendapat Sudjiman
juga membagi alur atas:
1) Alur utama dan alur bawahan.
Alur utama merupakan rangkaian peristiwa utama yang menggerakkan
jalan cerita. Alur bawahan adalah alur kedua atau tambahan yang
disusupkan di sela-sela bagian-bagian alur utama sebagai variasi. Alur
bawahan merupakan lakuan tersendiri tetapi yang masih ada hubungannya
dengan alur utama.
2) Alur erat (ketat) dan alur longgar.
Alur erat adalah jalinan peristiwa yang sangat padu di dalam suatu karya
sastra; apabila salah satu peristiwa ditiadakan, keutuhan cerita akan
terganggu. Alur longgar adalah jalinan peristiwa yang tidak padu di dalam
suatu karya sastra, tidak akan mengganggu jalan cerita meskipun
meniadakan salah satu peristiwa.
d. Latar Cerita (Setting)
Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 7) mengutip pendapat Abrams
menyatakan bahwa latar adalah landas tumpu, penyaran pada pengertian
tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan. Latar juga dibedakan menjadi tiga unsur pokok
41
oleh Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 7) yang bersumber dari pemikiran
Nurgiyantoro, yaitu:
1) Latar tempat (menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam karya sastra, seperti desa, sungai, jalan, hutan, dan lain-lain).
2) Latar waktu (menyaran pada “kapan” terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya sastra misalnya tahun, musim, hari, dan jam).
3) Latar sosial (menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan
dalam karya sastra, misalnya kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi,
keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir, dan bersikap).
2. Sosiologi Sastra
Sebelum membicarakan sosiologi sastra, ada baiknya dibahas pengertian sosiologi
lebih dahulu, sebab pada dasarnya sosiologi sastra ada kaitannya dengan
sosiologi.
a. Sosiologi
Istilah sosiologi untuk pertama kalinya digunakan oleh Auguste Comte
seorang ahli filsafat bangsa Perancis pada tahun 1839. Sosiologi berasal dari
kata Latin socius dan kata Yunani logos. Socius artinya kawan dan logos
artinya kata atau berbicara, jadi sosiologi berarti berbicara mengenai
masyarakat (Wahyuningtyas & Santosa, 2011: 18). Dengan demikian, Nagi
Auguste Comte dalam Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 18) menyatakan
42
bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang
merupakan hasil terakhir daripada perkembangan ilmu pengetahuan.
Dalam pandangan Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 20) yang
bersumber dari pemikiran Soemardjo (1979: 11) dan Pollak (1979: 6)
didapatkan pengertian yang senada bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan
yang memelajari masyarakat dalam keseluruhannya bukan sesuatu segi khusus
masyarakat, terutama yang berhubungan dengan aspek-aspek masyarakat yang
menyangkut interaksi dan interelasi antar manusia, syarat-syaratnya dan
akibat-akibatnya. Sehubungan dengan kegiatan interaksi sosial, menurut
Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 20) berdasarkan pendapat Soekanto
menyatakan bahwa bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial. Oleh
karena itu, interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitasaktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis
antar kelompok manusia. Interaksi sosial itu tidak mungkin terjadi apabila
tidak memiliki dua syarat, yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi sosial.
Adapun bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama, persaingan
dan dapat pula berbentuk pertikaian atau pertentangan.
Lebih lanjut, menurut Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 21) yang
mengutip pendapat Soekanto, membicarakan tentang fungsi dan tujuan
sosiologi. Fungsi sosiologi adalah untuk memahami perilaku manusia karena
peranan kehidupan manusia sangat dipengaruhi oleh subsistem sosialnya.
Subsistem sosial tersebut, pada dasarnya, mencakup unsur-unsur individu atau
pribadi dalam masyarakat maupun kehidupan yang dihasilkan oleh masyarakat
43
tersebut. Kesadaran bahwa kehidupan manusia mencakup aneka macam aspek
yang sangat dipengaruhi oleh subsistem sosialnya, menyebabkan semakin
besarnya kegunaan pendekatan sosiologi. Sosiologi meneliti dan mencari apa
yang menjadi prinsip-prinsip atau hukum-hukum interaksi antara manusia dan
juga perihal sifat, hakikat, isi dan struktur masyarakat manusia.
Menurut Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 22) yang menunjuk
pendapat Soekanto, yang dimaksud masyarakat adalah:
Sekelompok manusia yang hidup bersama dan berkumpul dalam waktu
yang lama. Dengan berkumpulnya manusia maka akan timbul
manusia-manusia baru. Manusia itu juga bercakap-cakap, merasa dan
mengerti, dan mempunyai keinginan-keinginan untuk menyampaikan
kesan-kesan atau perasaan-perasaannya. Sebagai akibat hidup bersama
itu timbullah sistem komunikasi dan timbul pula peraturan-peraturan
yang mengatur hubungan antarmanusia dan kelompok tersebut.
Mereka sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan dalam suatu
sistem hidup bersama. Sistem hidup bersama menimbulkan
kebudayaan, oleh karena itu setiap anggota merasa dirinya terikat satu
dengan lainnya.
b. Sosiologi Sastra
Menurut Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 23-24), karya sastra itu unik
karena merupakan perpaduan antara imajinasi pengarang dengan kehidupan
sosial yang kompleks. Oleh sebab itu, sering dikatakan bahwa karya sastra
dapat dianggap sebagai cermin kehidupan sosial masyarakatnya karena
masalah yang dilukiskan dalam karya sastra merupakan masalah-masalah
yang ada di lingkungan pengarangnya sebagai anggota masyarakat.
44
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, menurut Wahyuningtyas dan
Santosa (2011: 24) berdasarkan pendapat Damono menyatakan bahwa sastra
adalah:
Lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium, bahasa itu
sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran
kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah kenyataan sosial. Dalam
pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat,
masyarakat dengan orang seorang, antarmanusia, antarperistiwa yang
terjadi dalam batin seseorang. Yang sering menjadi bahan sastra adalah
pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan
masyarakat.
Sebenarnya, ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologi
sastra oleh Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 24) mengutip pendapat
Damono, yang antara lain adalah pendekatan yang berdasarkan pada anggapan
bahwa sastra merupakan cermin proses sosial ekonomi belaka dan pendekatan
yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan yang kemudian
dicari aspek-aspek sosial dari karya sastra tersebut.
Dalam buku Pemandu Di Dunia Sastra karangan Dick Hartoko dan B.
Rahmanto dalam Noor (2004: 89), dipaparkan bahwa sosiologi sastra adalah
cabang ilmu sastra yang memelajari sastra dalam hubungannya dengan
kenyataan sosial. Kenyataan sosial mencakup pengertian konteks pengarang
dan pembaca (produksi dan resepsi) dan sosiologi karya sastra (aspek-aspek
sosial dalam teks sastra). Pembicaraan tentang konteks sosial pengarang dan
pembaca disebut sosiologi komunikasi sastra dan pembicaraan sosiologi karya
sastra disebut penafsiran teks sastra secara sosiologis.
45
Penafsiran teks secara sosiologis dalam pandangan Noor (2004: 90-91)
yang bersumber dari pemikiran Hartoko adalah menganalisis gambaran
tentang dunia dan masyarakat dalam sebuah teks sastra, sejauh mana
gambaran itu serasi atau menyimpang dari kenyataan.
Beberapa penulis telah mencoba untuk membuat klasifikasi tentang
sosiologi sastra. Berikut ini klasifikasinya menurut Wahyuningtyas dan
Santosa (2011: 26) berdasarkan pendapat Wellek dan Warren: (1) sosiologi
pengarang yang memermasalahkan status sosial, ideology sosial, dan lain-lain.
Yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra, (2) sosiologi karya
sastra yang memermasalahkan karya sastra itu sendiri; yang menjadi pokok
penelaahannya adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang
menjadi tujuannya, dan (3) sosiologi sastra yang memermasalahkan pembaca
dan pengaruh sosial karya sastra.
Menurut Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 27) pengutip pendapat
Damono mengungkapkan bahwa pendekatan sosiologi sastra yang paling
banyak dilakukan orang saat ini, antara lain hanya menaruh perhatian yang
besar terhadap aspek dokumenter sastra. Landasannya adalah suatu gagasan
bahwa sastra merupakan cermin langsung dari berbagai struktur sosial,
hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas dan lain-lain. Dalam hal ini, tugas
ahli sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayali
dan situasi ciptaan pengarang, dengan sejarah yang merupakan asal-usulnya.
Dengan demikian tema dan gaya dalam karya sastra yang bersifat pribadi
harus diubah menjadi hal-hal yang sosial sifatnya.
46
Menurut Endraswara (2008: 79) sosiologi sastra adalah penelitian yang
terfokus pada masalah manusia. Sastra sering mengungkapkan perjuangan
umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi,
perasaan, dan intuisi. Dari pendapat ini, tampak bahwa perjuangan panjang
hidup manusia akan selalu mewarnai teks sastra. Dalam pandangan
Endraswara (2008: 79) yang bersumber dari pemikiran Goldmann
mengemukakan bahwa dalam perjuangan panjang tersebut memiliki tiga ciri
dasar, yaitu: (1) kecenderungan manusia untuk mengadaptasikan dirinya
terhadap lingkungan, dengan demikian ia dapat berwatak rasional dan
signifikan di dalam korelasinya dengan lingkungan, (2) kecenderungan pada
koherensi dalam proses penstrukturan yang global, dan (3) dengan sendiri ia
mempunyai sifat dinamik serta kecenderungan untuk merubah struktur
walaupun manusia menjadi bagian struktur tersebut.
Dalam pandangan Endraswara (2008: 78) yang bersumber dari pemikiran
Laurenson dan Swingewood, sosiologi dan sastra mempunyai perbedaan tertentu
namun sebenarnya dapat memberikan penjelasan terhadap makna teks sastra. Hal
ini dapat dipahami, karena sosiologi objek studinya tentang manusia dan sastra
pun demikian. Sastra adalah ekspresi kehidupan manusia yang tidak lepas dari
akar masyarakatnya. Meskipun sosiologi dan sastra adalah dua hal yang berbeda
namun dapat saling melengkapi.
Apalagi ada pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya penafsiran
teks sastra secara sosiologis tidak berbeda dengan penelitian segi-segi ekstrinsik
sebuah teks sastra. Yang dimaksud segi-segi ekstrinsik teks sastra adalah segi-segi
47
atau unsur-unsur sosial di luar teks sastra yang membangun totalitas makna
sebuah teks sastra. Segi-segi atau unsur-unsur sosial itu, seperti bahasa, psikologi,
sosiologi, dan lain-lain.
3. Perkawinan dan Selingkuh
Sebelum penulis membicarakan masalah perselingkuhan, terlebih dahulu penulis
akan mendeskripsikan pengertian perkawinan. Sebab perselingkuhan merupakan
salah satu konflik keluarga dan keluarga berasal dari perkawinan. Dalam
memaparkan sepintas tentang perkawinan, penulis merangkum pendapat Mustofa
Hasan dalam bukunya yang berjudul Pengantar Hukum Keluarga (2011).
Dalam pandangan Hasan (2011: 9) perkawinan adalah akad yang
menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan karena
ikatan suami istri, dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan yang bukan mahram.
Sementara itu, Hasan (2011: 9) mengutip pendapat Anwar Harjono
menyatakan bahwa kata perkawinan sama dengan kata nikah atau zawaj dalam
istilah fiqh.
Berdasarkan hal tersebut di atas, kata nikah berasal dari bahasa Arab
(aaaaaaaaaaa) yang merupakan masdar atau asal dari kata kerja
Sinonimnya (
.
) kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan perkawinan. Kata nikah telah dibakukan menjadi bahasa Indonesia. Oleh
karena itu, secara sosial, kata pernikahan dipergunakan dalam berbagai upacara
perkawinan (Hasan, 2011: 10).
48
Para fuqaha dan Mazhab Empat dalam Hasan (2011: 10) sepakat bahwa
makna nikah atau zawaj adalah suatu akad atau suatu perjanjian yang
mengandung arti sahnya hubungan kelamin. Dengan demikian, perkawinan adalah
suatu perjanjian untuk melegalkan hubungan kelamin dan untuk melanjutkan
keturunan.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9
tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam, tidak menggunakan kata “nikah atau
pernikahan”, tetapi menggunakan kata “perkawinan”. Hal tersebut berarti bahwa
makna nikah atau kawin berlaku untuk semua yang merupakan aktivitas
persetubuhan. Karena kata “nikah” adalah bahasa Arab, sedangkan kata “kawin”
adalah bahasa Indonesia (Hasan, 2011: 10).
Dan, untuk memaparkan sepintas tentang selingkuh, penulis merangkum
pendapat Abdul Aziz Ahmad dalam bukunya All About Selingkuh: Problematika
dan Jalan Keluarnya, Dilengkapi 54 Kasus Nyata (2009).
Ahmad (2009: 81) menyatakan bahwa selingkuh adalah menyerahkan
sesuatu hal positif, seperti cinta, pengharapan, birahi, pelayanan, dan lain-lain
yang seharusnya diserahkan hanya kepada suami atau istri kepada orang lain yang
bukan suami atau istri.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa edisi keempat
(2008: 1253) selingkuh diartikan sebagai suka menyembunyikan sesuatu untuk
kepentingan sendiri, tidak berterus terang, tidak jujur, curang, serong; suka
menggelapkan uang, korupsi; serta suka menyeleweng.
49
Sebagian besar suami atau istri berselingkuh karena alasan cinta. Padahal
sebenarnya cinta adalah sesuatu yang netral, namun jarang ada orang yang mampu
mengendalikannya dengan benar. Akhirnya mereka diseret oleh cinta, lalu tersesat
dan terjerumus ke dalam jurang kehancuran. Apabila seseorang mampu
mengendalikan cinta dengan benar, niscaya dia akan mampu menggunakan cinta
untuk kebahagiaan hidupnya (Ahmad, 2009: 22).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa edisi keempat
(2008: 268) cinta diartikan sebagai suka sekali, sayang benar; kasih sekali,
terpikat (antara laki-laki dan perempuan); ingin sekali, berharap sekali, rindu;
serta susah hati (khawatir), dan risau.
Ahmad mencoba mendefinisikan cinta. Cinta dalam pandangan Ahmad
(2009: 21) adalah suatu proses di dalam hati, berupa kecenderungan yang
dibarengi gejolak emosi, yang menimbulkan gerakan hati menuju sesuatu yang
sesuai dengan seleranya. Sedangkan, selera cinta itu sendiri menurut Ahmad
(2009: 21) adalah rasa yang dianugerahkan oleh Allah SWT kedalam hati
manusia, agar ia dapat menemukan hal-hal yang sesuai dengannya. Jika ia
menemukan hal-hal yang sesuai dengan seleranya, niscaya akan timbul
kecenderungan dan gejolak emosi, yang membuat hati selalu bergerak menuju
sesuatu yang sesuai dengan selera cinta tersebut.
Berkaitan dengan hal/sumber tersebut di atas, Ahmad (2009: 36-40)
menyatakan bahwa landasan sebagian besar cinta manusia—khususnya cinta yang
menyebabkan perselingkuhan—adalah hawa nafsu. Jadi sangat tepat jika hawa
nafsu yang menjadi landasan cinta dan perselingkuhan.
50
Secara
etimologis,
hawā
atau
hawa
nafsu
(aaaaaaaa)
berarti
kecenderungan, sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS Ibrahim: 37.
Sedangkan, secara terminologis hawa nafsu berarti: kecenderungan jiwa terhadap
sesuatu yang dapat membuatnya memertahankan kelangsungan hidupnya atau
meningkatkan kualitasnya. Atau kecenderungan karekter manusia terhadap
apapun yang sesuai dengannya, baik berkonotasi cinta maupun tidak (Ahmad,
2009: 36-37).
Selain definisi, selingkuh juga mempunyai beberapa tingkatan, alasan, ciriciri, akibat, serta selingkuh yang dapat berubah menjadi zina, sebagai berikut:
a. Tingkatan Selingkuh
Menurut Ahmad (2009: 81-83) selingkuh terbagi menjadi tiga tingkatan,
sesuai dengan besar kecilnya hal positif yang diserahkan kepada orang lain,
yaitu:
1) Selingkuh berat, selingkuh jenis ini terjadi jika seseorang melakukan
tindakan persetubuhan atau senggama dengan lawan jenis yang bukan
pasangannya. Selingkuh berat sudah pasti merupakan bentuk perzinaan.
2) Selingkuh tingkat sedang, selingkuh jenis ini terjadi jika seseorang
melakukan kontak fisik secara langsung dengan lawan jenis yang bukan
pasangannya.
3) Selingkuh ringan, selingkuh jenis ini terjadi jika seseorang melakukan
berbagai aktivitas fisik dengan lawan jenis yang bukan pasangannya.
51
b. Alasan Utama Selingkuh
Ahmad (2009: 85-153) menyatakan bahwa selingkuh tidak akan mungkin
terjadi begitu saja tanpa adanya alasan atau pencetusnya. Dengan demikian,
alasan utama perselingkuhan adalah:
1) Perasaan tidak puas terhadap pasangan
Alasan ketidakpuasan seseorang terhadap pasangannya kebanyakan
disebabkan oleh: kondisi fisik; pelayanan; tingkah laku, tingkah laku yang
menyebabkan ketidakpuasan tentunya adalah tingkah laku yang buruk,
seperti misalnya: kurang perhatian, sikap kasar, cerewet, dan kata-kata
menyakitkan, lebih mementingkan pihak lain; serta kondisi sosial, strata,
dan penghasilan.
2) Kelemahan iman
Lemahnya keimanan seseorang biasanya terjadi karena: salah didik/kurang
terdidik agama, terutama dalam hal akidah; kurang khusyu’ dalam
beribadah. Penghalang khusyu’: maksiat. Dan, di antara kemaksiatan yang
dapat menghalangi kekhusyu’an adalah: riba, perbuatan mesum,
korupsi/mencuri, mengkonsumsi makanan haram, riya’, durhaka kepada
kedua orang tua, mentato tubuh dan mengenakan rambut palsu, mengikir
gigi dan mencukur alis, menolak ajakan suami untuk bersetubuh tanpa
alasan yang benar, memajang patung dan/lukisan benda-benda hidup, dan
lain-lain, selain maksiat ada pula terlalu sibuk dalam urusan dunia, bid’ah;
serta tidak ikhlas dalam kehidupan.
52
3) Hasrat seksual yang tidak terkendali
Selain faktor genetik, ada beberapa faktor lain yang dapat membuat hasrat
seksual menjadi tidak terkendali, antara lain: hawa nafsu yang selalu
dituruti; pola makan yang buruk; tingkat usia; dan terlalu banyak terkena
rangsangan seksual.
4) Godaan setan
Setan memiliki berbagai sarana untuk menjerumuskan manusia ke dalam
cinta terlarang atau perselingkuhan, antara lain: suasana yang menunjang;
berduaan atau khalwah; kenangan yang tertancap kuat; kondisi hati yang
menunjang; kuatnya daya tarik atau rayuan lawan jenis; mengikuti
langkah-langkah setan dengan teratur; kemarahan dan balas dendam; dan
pengaruh sahabat atau teman dekat atau cerita.
5) Penyakit hati
Hati atau qalb dalam bahasa Arab atau heart dalam bahasa Inggris
bukanlah hati yang berada pada jasad kasar manusia. Hati yang dimaksud
adalah suatu tempat atau organ yang terletak pada ruh manusia yang
berfungsi mengolah berbagai informasi, atau hasil olahan informasi yang
berupa ilmu, atau hasil olahan ilmu yang berupa kecenderungan. Hati juga
merupakan pusat kendali dan kontrol kehidupan manusia. Karena hati
hidup, maka dia memiliki beberapa sifat, yaitu: dapat dimasuki sesuatu di
luar kehendak manusia dengan izin Allah SWT, dapat menjadi bersih atau
kotor, dan dapat mengeras dan melunak.
53
c. Ciri-Ciri Selingkuh
Dalam pandangan Ahmad (2009: 164-167) ada ciri-ciri perselingkuhan, yaitu:
1) Selingkuh karena masalah rumah tangga. Sebab ini muncul ditandai
dengan beberapa ciri yang terjadi antara lain: kehilangan gairah seksual
terhadap pasangan sahnya; sehingga dia akan mencari-cari alasan untuk
menjauh dan menghindar dari hubungan seksual; masalah rumah tangga
semakin meruncing; lesu saat berada di rumah, dan berbinar-binar saat
akan berangkat keluar rumah; malas beribadah; kurang peduli terhadap diri
sendiri maupun anggota keluarga lain saat berada di rumah; cepat naik
darah saat dicurigai berselingkuh; bicara seadanya, cenderung agak gugup;
dan suka berdusta.
2) Selingkuh tanpa masalah rumah tangga, ada beberapa ciri yang nampak,
antara lain: menjadi lebih sayang kepada pasangan yang sah; gairah
seksual terhadap pasangan yang sah agak meningkat; menjadi lebih
perhatian kepada anggota keluarga di rumah; menjadi gemar mengurus diri
sendiri; memerbesar otot, menjaga kebugaran, berdandan dan lain-lain;
cenderung lebih gemar beribadah; lebih tenang dan tertutup, meski
menjadi suka berdusta tapi tidak terlalu gugup.
3) Penggabungan dari keduanya.
Meski demikian, ciri-ciri tersebut bisa saja tidak tampak, karena sudah
terbiasa berselingkuh atau berbuat mesum, sehingga tidak lagi nampak riak
psikologis pada penampilannya serta memiliki bakat ketenangan yang luar
54
biasa. Keadaan ini biasanya merupakan hasil bentukan lingkungan keluarga
dan sedikit banyak ada juga faktor keturunan.
d. Akibat Selingkuh
Menurut Ahmad (2009: 167-186) ada beberapa akibat perselingkuhan di
dunia, yaitu: padamnya cinta dan gairah seksual terhadap pasangan yang sah;
adanya rasa ketagihan; terkena berbagai penyakit kelamin; menurunnya
perolehan rizki; rusaknya hubungan dengan keluarga dekat; pikiran menjadi
kacau dan tidak tenang; ibadah tidak khusyu’ dan tidak terasa nikmat; merasa
jauh dari Allah SWT; merasa dijauhi oleh orang-orang salih; kehancuran karir
dan penghidupan; terjadi saling menzalimi dan saling bunuh diri di antara
oknum selingkuh.
e. Zina
Zina terkait dengan perselingkuhan. Sebab, selingkuh tingkat berat merupakan
bentuk
perzinaan.
Sebaliknya,
perzinaan
belum
tentu
merupakan
perselingkuhan, apabila tidak ada pihak yang sudah memiliki pasangan yang
sah. Zina menurut istilah syara’ yaitu: seorang pria yang menyetubuhi wanita
yang bukan miliknya atau keserupaan dengan miliknya, dari arah vaginanya
(Ahmad, 2009: 271-272).
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa antar unsur struktur
dalam novel Kupinjam Napas Iblis karya Mira Wijaya saling berkaitan satu sama
55
lain dan tidak bisa terpisahkan. Keterkaitan cerita ini justru membuat jalinan cerita
menjadi sangat menarik. Ada sebab dan ada akibatnya.
Perselingkuhan dan perzinaan yang dilakukan Hariman dengan Jennifer
merupakan perilaku seksual yang tidak lazim, menyimpang. Dikatakan
menyimpang sebab tindakan mereka melanggar nilai-nilai atau norma sosial
sebagai akibat dari ketidaksempurnaan proses sosialisasi yang mereka jalani, baik
dilingkungan keluarga maupun di tengah-tengah masyarakat pada umumnya.
Hariman berselingkuh, berzina, bahkan berperilaku menyimpang lainnya,
seperti berjudi, minum-minuman keras, merokok apalagi yang mengandung ganja
karena hasil dari proses belajar atau yang dipelajarinya dari Jennifer.
Penyimpangannya tersebut dipelajari oleh Hariman dalam interaksinya dengan
Jennifer dan melibatkan proses komunikasi yang intens, intim, serta akrab. Halhal yang Hariman pelajari dari Jennifer dalam proses terbentuknya perilaku
menyimpang adalah: teknis-teknis penyimpangan, yang kadang-kadang sangat
rumit, tetapi kadangkala sederhana; petunjuk khusus tentang motivasi, dorongan,
rasionalisasi. Bagi Hariman, bahkan juga Jennifer menyimpang dianggap lebih
menguntungkan daripada tidak, karena tidak ada proses belajar yang unik untuk
memeroleh cara-cara menyimpang. Apalagi perilaku menyimpang Hariman
sebagai ekspresi kebutuhan dan nilai masyarakat yang umum.
Download