BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Rumput Laut Rumput laut merupakan bagian dari alga berbentuk poliseluler dan hidup di laut (Yunizal, 2004). Rumput laut tergolong dalam kelompok Thallophyta karena tidak memiliki akar, batang, dan daun sejati. Seluruh bagian tumbuhan disebut thallus, sehingga rumput laut tergolong tumbuhan tingkat rendah (Susanto dan Mucktianty, 2002). Secara umum rumput laut memiliki klorofil atau pigmen yang berfungsi untuk proses fotosintesis. Menurut Zatnika, (2009), berdasarkan klorofil yang dimiliki, rumput laut diklasifikasikan menjadi tiga kelas yaitu, alga hijau (Chlorophyceae), alga merah (Rhodophyceae), dan alga coklat (Phaeophyceae). Saat ini sebanyak 782 jenis rumput laut yang terdiri atas 196 jenis alga hijau, dan 452 jenis alga merah telah diidentifikasi dan diinventarisasi (Zatnika, 2009; Wiratmaja, 2011). Rumput laut dari kelas alga merah (Rhodophyceae) menempati urutan terbanyak dari jumlah jenis yang tumbuh di perairan laut Indonesia yaitu sekitar 452 jenis, setelah itu alga hijau (Chlorophyceae) sekitar 196 jenis dan alga coklat (Phaeophyceae) sekitar 134 (Winarno, 1996). Rumput laut atau lebih dikenal dengan sebutan seaweed merupakan salah satu sumber daya hayati yang sangat melimpah di perairan Indonesia. Rumput laut merupakan salah satu komoditi perairan Indonesia yang sangat berpotensi untuk dikembangkan karena permintaan terhadap rumput laut semakin meningkat baik 6 di pasar lokal maupun di pasar internasional (Rahmat, 2011). Tiap tahun dilaporkan produksi rumput laut semakin meningkat dari tahun 2007 sebesar 135 ribu ton, tahun 2008 sebesar 150 ribu ton (Budiono, 2008), meningkat kembali pada tahun 2009 sebesar 2,574 jut a ton, tahun 2010 sebesar 3,083 juta ton dan terus meningkat karena pemerintah terus menambah klaster untuk memacu produksi dengan target sebesar 10 juta ton sampai tahun 2014. Luas wilayah yang menjadi habitat rumput laut di Indonesia mencapai 1,2 juta hektar atau terbesar di dunia (Wawa, 2005). Menurut Dahuri (2003), prospek industri pengolahan rumput laut di Indonesia cukup besar dengan potensi lahan budidaya sekitar 26.700 hektar. Budidaya rumput laut dilakukan pada kedalaman 30-50 cm, karena kedalamn ini memungkinkan rumput laut tidak mengalami kekeringan, tetapi masih mendapat cukup cahaya matahari untuk berfotosintesis (Anggadiredjo dkk., 2006). Beberapa jenis rumput laut membutuhkan perairan yang cukup dalam untuk dapat dibudidayakan (Azizah, 2006; Widyorini, 2010). Waktu panen pada rumput laut tergantung pada jenisnya. Kelompok genus Gracilaria dan Eucheuma, dipanen setelah berumur 1,5 bulan (Wiratmaja, 2011). Rumput laut, selain berperan sebagai ekologis tempat hidup sekaligus perlindungan bagi biota lain, golongan makroalga ini memiliki potensi ekonomis yaitu sebagai bahan baku dalam industri dan kesehatan (Suparmi dan Achmad, 2009). Budidaya rumput laut dapat berefek positif pada lingkungan dengan kemampuan penyerapan CO2 mencapai 36,7 ton per hektar, lebih besar 5-7 kali dibandingkan tanaman kayu. 7 Komponen utama rumput laut adalah karbohidrat (gula atau vegetable gum), protein, lemak, dan abu yang sebagian besar merupakan senyawa garam natrium dan kalium (Angka dan Suhartono, 2000). Komposisi kimia rumput laut bervariasi tergantung pada spesies, tempat tumbuh, dan musim (Ulvana, 2010). Komponen terbesar dalam rumput laut adalah mineral dan karbohidrat (serat pangan). Selain itu, komponen lain yang terdapat dalam jumlah kecil diantaranya adalah protein, lemak, dan vitamin (Matanjun, 2009). Menurut Suparmi dan Achmad (2009), keanekaragaman rumput laut di Indonesia merupakan yang terbesar dibandingkan dengan negara lain. Namun demikian, pemanfaatan rumput laut di Indonesia, terutama untuk keperluan industri dan kesehatan masih belum optimal. Walaupun telah lama dikenal dan dimanfaatkan, publikasi rumput laut baru dimulai pada abad ke-17 oleh negara Jepang dan Cina (Indriani dan Suminarsih, 2005). Potensi rumput laut perlu terus digali, mengingat tingginya keanekaragaman rumput laut di perairan Indonesia. Perairan Indonesia sebagai wilayah tropis memiliki sumber daya plasma nutfah rumput laut sebesar 6,42% dari total biodiversitas rumput laut dunia (Santosa, 2003; Surono, 2004). Keberadaan rumput laut sebagai sumber energi alternatif tidak akan mengganggu pemanfaatan tanaman darat (Suparmi dan Achmad, 2009). Rumput laut memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan tanaman darat, diantaranya memiliki masa panen yang cepat mencapai 4-6 kali pertahun, berbeda dengan tanaman darat yang hanya 1-2 kali pertahun (Kim dkk., 2007). Hasil panen per hektar rumput laut sebesar 565 ton/ha jauh berbeda dengan 8 tanaman darat yang hanya sekitar 180 ton/ha (Kim dkk., 2007). Menurut Dahuri (2005), baik dalam program jangka pendek maupun panjang, rumput laut khususnya bidang bioteknologi rumput laut termasuk sektor ekonomi kelautan yang layak dikembangkan untuk memecahkan berbagai persoalan bangsa. Rumput laut juga memiliki keutamaaan lain yaitu memiliki kadar lignin yang cukup rendah sehingga mudah untuk dihidrolisis (Wi dkk., 2009). Rumput laut mulai disorot menjadi salah satu sumber dalam pembuatan energi alternatif karena kandungannya yang memiliki kandungan lignin sedikit atau sama sekali tidak terdapat lignin dan cara pembiakannya yang tergolong mudah (Jang dkk., 2012; Yanagisawa dkk., 2011). 2.2 Karakteristik dan Klasifikasi Gracilaria sp. Gracillaria sp. merupakan salah satu alga merah yang mengandung senyawa hidrokoloid yang disebut agar (Widyorini, 2010). Gracilaria sp. memiliki ciri-ciri antara lain: permukaan tubuhnya halus atau berbintil dengan diameter thallus 0,5-2 mm, panjangnya dapat mencapai 30 cm, umumnya tumbuh pada arus yang cukup stabil dengan salinitas 5 dan 43% dan pH 6-9 thallus berwarna hijau, bentuk thallusnya yang kecil, menipis, silindris, dan bentuk percabangan yang tidak teratur (Anggadiredjo dkk., 2006). Sifat substansi thallus bervariasi, ada yang lunak seperti gelatin, keras diliputi atau mengandung zat kapur, dan berserabut (Brief, 2013). Secara alami, rumput laut Gracilaria sp. tumbuh pada areal pasang surut, dengan ciri lahan pasir berlumpur, dan merupakan daerah sedimentasi (Komarawidjaja, 2005). Rumput laut ini mendiami wilayah 300-1000 m dari garis 9 pantai. Pertumbuhan Gracilaria sp. diketahui lebih baik di tempat dangkal yang memiliki intensitas cahaya tinggi dari pada di tempat dalam. Rumput laut jenis Gracillaria ditemukan hampir di seluruh wilayah perairan (tropis dan non tropis) dan merupakan spesies yang mengandung komponen agar. Rumput laut jenis ini hidup berasosiasi dengan makroalga yang lain. Gracilaria sp. termasuk rumput laut yang bersifat euryhalin (dapat beradaptasi dengan kadar salinitas), sifat tersebut dapat terlihat dari kemampuan hidupnya pada perairan bersalinitas 15-30 ppt. Suhu yang optimum untuk pertumbuhan adalah 20oC-28oC dan pH optimum antara 6-9. Gracilaria sp. banyak dibudidayakan di daerah tambak atau pantai, karena perawatannya sangat mudah, bibitnya murah dan mudah diperoleh, serta memiliki sifat yang toleran terhadap faktor-faktor lingkungan (Widyorini, 2010). Klasifikasi rumput laut Gracillaria sp. menurut Silva (1996), adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Division : Rhodophyta Class : Rhodophyceae Ordo : Gigartinales Family : Gracilariaceae Genus : Gracilaria Species : Gracilaria sp. 10 2.3 Manfaat dan Kandungan Rumput Laut Rumput laut memiliki banyak peranan penting bagi manusia. Ilalqisny dan Widyartini (2000), melaporkan bahwa sejak tahun 2700 SM, rumput laut telah dimanfaatkan sebagai bahan pangan manusia. Pemanfaatan rumput laut sebagai makanan karena mempunyai gizi yang cukup tinggi yang sebagian besar terletak pada karbohidrat, selain lemak dan protein. Pada awal 1980 perkembangan permintaan rumput laut di dunia meningkat seiring dengan peningkatan pemakaian rumput laut untuk berbagai keperluan antara lain di bidang industri, makanan, tekstil, kertas, cat, kosmetika, dan farmasi (obat-obatan) (Atmadja dkk., 1996). Menurut Suparmi dan Achmad (2009), rumput laut dapat dijadikan sebagai makanan tambahan maupun obat-obatan, kosmetik, pakan ternak, dan pupuk organik di negeri Jepang, dan Cina. Di Indonesia, pemanfaatan rumput laut untuk industri dimulai untuk industri agar-agar (Gelidium dan Gracilaria) kemudian untuk industri kerajinan (Eucheuma) serta untuk indutri alginat (Sargassum) (Suparmi dan Achmad, 2009). Dinding sel dari rumput laut tersusun dari bahan berlignoselulosa. Kandungan selulosa dan polisakarida berbentuk gel yang tinggi ini membuat rumput laut memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar bioetanol (Hanna, 2001). Rumput laut Gracilaria sp mengandung selulosa 20,17% (Sari dk., 2013). Komposisi kimia rumput laut pada umumnya tersusun dari air, karbohidrat, protein, lemak, dan serat. Menurut Angka dan Suhartono (2000), komponen utama rumput laut adalah karbohidrat (gula atau vegetable gum), protein, lemak, dan abu yang sebagian besar merupakan senyawa garam natrium 11 dan kalium. Komponen terbesar dalam rumput laut adalah mineral dan karbohidrat (serat pangan). Selain itu, komponen lain yang terdapat dalam jumlah kecil diantaranya adalah protein, lemak, dan vitamin (Matanjun, 2009). Menurut Sandi (2014), rumput laut Gracilaria sp. yang diambil dari pantai Serangan, Bali, mengandung komposisi kimia yang terdiri dari protein (1,60 %), karbohidrat (73,66 %), lemak (3,34 %), dan abu (14,03%). 2.4 Lignoselulosa Lignoselulosa merupakan biomassa yang berasal dari tanaman dengan komponen utama selulosa, hemiselulosa dan lignin. Ketersediaan lignoselulosa yang cukup melimpah, terutama sebagai limbah pertanian, perkebunan, dan kehutanan (Hermiati dkk, 2010). Struktur dari ketiganya dapat dideskripsikan sebagai kerangka selulosa yang menempel pada ikatan silang matriks hemiselulosa serta dikelilingi oleh lignin sebagai kulitnya (Yuanisa dkk., 2015). Kandungan dari ketiga komponen lignoselulosa bervariasi tergantung dari jenis- jenis bahannya (Anindyawati, 2009). Secara umum material lignoselulosa terdiri dari selulosa (35-50% berat), hemiselulosa (20-35% berat) dan lignin (10-25% berat) (Schacht dkk., 2008). Kandungan selulosa dan hemiselulosa yang besar inilah yang membuat material lignoselulosa sangat potensial untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. Lignoselulosa ketersediaannya cukup melimpah dan tidak digunakan sebagai bahan pangan sehingga, penggunaannya sebagai sumber energi tidak mengganggu pasokan bahan pangan (Hermiati dkk., 2010). 12 Lignoselulosa dapat dikonversi menjadi produk lain misalnya, pupuk organik, bioetanol, biogas, biohidrogen, dan industri kimia (Anindyawati, 2010). Salah satu proses konversi bahan lignoselulosa yang banyak diteliti adalah proses konversi lignoselulosa menjadi bioetanol (Schacht dkk., 2008; Shi dkk., 2009). Selulosa dan hemiselulosa digunakan sebagai sumber glukosa yang dapat difermentasi untuk menghasilkan bioetanol (Karman, 2012). 2.4.1 Lignin Lignin adalah bagian utama dari dinding sel tanaman yang merupakan polimer terbanyak setelah selulosa dan hemiselulosa (Osvaldo dkk., 2012). Lignin memberikan bentuk yang kokoh dan memberikan proteksi terhadapa serangga dan patogen (Perez, 2002). Jumlah komponen ligni dalam suatu bahan sangat berpengaruh pada sifat resisten bahan tersebut untuk didegradsi secara kimia maupun enzimatik (Taherzade dan Karimi, 2008). Struktur molekul lignin terdiri dari p-koumarin alkohol, koniferil alkohol, dan sinapil alkohol) yang tersusun oleh monomer aromatik yang dihubungkan oleh ikatan eter dan karbon (Anggarawati, 2012). Semakin banyak komponen lignin dalam suatu bahan, semakin sulit dan lama bahan itu untuk didegradasi. Lignin dapat membentuk ikatan kovalen dengan beberapa komponen hemiselulosa, seperti ikatan benzil ester dengan grup karboksil dari asam 4-O-metal-D-glukoronik dalam ksilan (Octavia dkk, 2011). Adanya lignin disekeliling selulosa merupakan hambatan utama dalam menghidrolisis selulosa. Lignin dapat didegradasi oleh enzim-enzim lignolitik, seperti lakase (polifenol oksidase), lignin peroksidase (Li-P), dan mangan peroksidase (Mg-P) 13 (Anindyawati, 2009). Enzim-enzim tersebut merupakan multi enzim ektraseluler yang berperan dalam proses depolimerisasi lignin. 2.4.2 Selulosa Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman dan hampir tidak pernah ditemui dalam keadaan murni dialam melainkan berikatan dengan lignin dan hemiselulosa membentuk lignoselulosa (Lynd, 2002). Selulosa tersusun dari molekul-molekul anhidro D-glukosa yang berikatan dengan β-1,4 glukosidik dengan ikatan hydrogen (Foyle dkk., 2007. Struktur yang linier menyebabkan selulosa bersifat kristalin dan tidak mudah larut (Osvaldo dkk., 2012). Selulosa dapat dikonversi menjadi produk-produk yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti glukosa, etanol, dan pakan ternak melalui proses hidrolisis dengan bantuan enzim selulase atau dengan proses hidrolisis asam-basa (Immanuel dkk., 2001). Rumput laut mengandung selulosa yang berbeda-beda terkantung jenis dan tempat hidupnya. Kadar selulosa pada berbagai jenis rumput laut dapat disajikan pada Tabel 2.1. Table 2.1 Kadar Selulosa Berbagai Jenis Rumput Laut. Jenis Rumpur Laut Gelidium amansii Eucheuma cotonii Gracilaria sp. Codium fragile Undaria pinattinda Laminaria japonica Sumber: Kim dkk., 2008 Kadar Selulosa (%) 16,8 7,1 19,7 10,9 2,4 6,7 14 2.4.3 Hemiselulosa Hemiselulosa merupakan polisakarida yang larut dalam larutan alkali dan mempunyai berat molekul lebih kecil daripada selulosa. Hemiselulosa sangat dekat asosiasinya dengan selulosa dalam dinding sel tanaman (Fengel dan Wegener 1984; Howard dkk., 2003). Menurut Girio dkk. (2010) hemiselulosa tersusun atas beberapa gula seperti α-L-rhamnose dan α-L-fucose dalam jumlah kecil dan grup gula hidroksil yang dapat disubtitusi dengan grup asetil. Berbeda dari selulosa yang merupakan homopolisakarida dengan monomer glukosa rantai utama hemiselulosa dapat terdiri atas hanya satu jenis monomer (homopolimer), seperti xilan, atau terdiri atas dua jenis atau lebih monomer (heteropolimer), seperti glukomannan (Schacht dkk., 2008). Hemiselulosa dapat didegradasi dengan enzim hemiselulase yang merupakan multi enzim yang teridiri atas xilanase, β-manannase, α-Larabinofuranosidase, α -D-glucuronidase, β -xylosidase, dan hemiseluloti esterase dengan komponen utama C5 yang terdiri atas polimer heteropolisakarida (Wiratmaja, 2011). 2.5 Selulase Enzim merupakan biokatalosator dalam reaksi kimia. Selulase merupakan enzim yang berperan dalan menghidrolisis selulosa menjadi monomer-monomer glukosa. Saat ini, perhatian sudah diarahkan pada penggunaan selulase untuk menghidrolisis selulosa. Hidrolisis enzimatik lebih diutamakan karena memiliki beberapa keuntungan dibandingkan hidrolisis kimiawi, antara lain: tidak terjadi degradasi gula hasil hidrolisis, kondisi proses yang lebih lunak (suhu dan tekanan 15 rendah), serta proses enzimatik merupakan proses yang ramah lingkungan (Gunam dkk., 2011). Nama selulase merupakan nama umum bagi semua enzim yang dapat memutuskan ikatan β-1,4-glukosida dalam selulosa, selodekstrin, selobiosa serta turunan selulosa yang lain (Sekarsari, 2003). Terdapat empat kelompok enzim utama sebagai komponen penyusun selulase berdasarkan spesifikasi substrat masing-masing enzim (Yunasfi, 2008), yaitu: 1. Endo-β-1,4-glukanase (EC 3.2.1.4) menghidrolisis ikatan β-1,4-glikosida secara acak. Enzim ini tidak menyerang selobiosa tetapi menghidrolisis selodekstrin, selulosa yang telah dilongarkanoleh asam fosfat dan selulosa yang telah disubstitusi seperti CMC dan HES (Hidroksi Etil Selulosa). 2. β-1,4-D-glukan selobiohidrolase (EC.3.2.1.91), menyerang ujung rantai selulosa non pereduksi dan menghasilkan selobiosa. Enzim ini dapat menyerang selodekstrin tetapi tidak menyerang selulosa yang telah disubstitusi serta tidak dapat menghidrolisis selobiosa. 3. β-1,4-D-glukan glukohidrolase (EC.3.2.1.74), menyerang ujung rantai selulosa non pereduksi dan menghasilkan glukosa. Enzim ini menyerang selulosa yang telah dilonggarkan dengan asam fosfat, selo-oligosakarida dan CMC. 4. β-1,4-D-glukosidase (EC.3.2.1.21), menghidrolisis selobiosa dan selooligosakarida rantai pendek serta menghasilkan glukosa. Enzim selulase biasanya diproduksi oleh mikroba contohnya fungi, bakteri, dan juga protozoa selain itu juga diproduksi oleh tanaman dan hewan (Morana dkk., 2011). Enzim selulase terdapat pada jamur dan bakteri baik yang aerobik dan 16 anaerobik. Jamur mesofilik aerobik Trichoderma reesei dan mutannya merupakan jamur yang sering banyak dipelajari sumber selulasenya. Jamur lainnya yang memproduksi selulase yaitu T. viride, T. lignorum, T. koningii, Penicillium spp., Fusarium spp., Aspergillus spp., dan Sclerotium rolfsii. Handoko dkk. (2012), melaporkan bahwa aktivitas enzim selulase berkisar pada pH antara 4,5-5,5, dan temperatur 40oC-50oC. 2.6 Saccharomyces cerevisiae Saccharomyces cerevisiae merupakan mikroba bersel tunggal yang berukuran 5-20 mikron. S. cerevisiae tergolong eukariot yang secara morfologi hanya membentuk blastospora berbentuk bulat lonjong, silindris, oval atau bulat telur yang dipengaruhi oleh strainnya (Heru, 2011). Menurut Judoamidjojo (1990), dalam ragi terdapat banyak jenis khamir, tetapi hanya satu spesies yang dikenal dapat mengkonversi gula menjadi etanol yang sangat tinggi yaitu Saccaromyces cereviceae. Jenis ini menghasilkan enzim invertase dan zimase. Enzim invertase berfungsi sebagai pemecah sukrosa menjadi monosakarida (glukosa dan fruktosa). Sedangkan enzim zimase mengubah glukosa menjadi etanol. S. cerevisiae merupakan khamir yang paling penting pada fermentasi, karena mampu memproduksi alkohol dengan konsentrasi tinggi dan fermentasi spontan (Sudarmadji, 1998). S. cerevisiae berkembang biak secara aseksual yaitu dengan bertunas. Menurut Fardiaz (1992), S. cerevisiae memiliki kisaran suhu untuk pertumbuhan antara 20oC-30oC. Tetapi Kumalasari (2011), menyatakan bahwa S. cerevisiae akan tumbuh optimal dalam kisaran suhu 30oC-35oC dan puncak produksi alkohol 17 dapat dicapai pada suhu 33oC. Jika suhu terlalu rendah maka fermentasi akan berjalan dengan lambat dan sebaliknya maka S. cerevisiae akan mati sehingga proses fermentasi tidak akan berlangsung (Asizah dkk., 2012). Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu faktor yang penting yang perlu diperhatikan pada saat fermentasi. Menurut Roukas (1994), kisaran pertumbuhan S. cerevisiae pada pH 3,5-6,5. Ditambahkan oleh Elevri dan Putra (2006), produksi bioetanol oleh S. cerevisiae paling maksimal dapat dicapai pada pH 4,5. Taksonomi Saccharomyces cerevisiae menurut (Sanger, 2004) adalah sebagai berikut : Super Kingdom : Eukaryota Phylum : Fungi Subphylum : Ascomycota Klas : Saccharomycetes Order : Saccharomycetales Family : Saccharomycetaceae Genus : Saccharomyces Species : Saccharomyces cerevisiae Mekanisme pembentukan etanol oleh khamir melalui jalur Embden Meyerhorf Parnas (EMP) atau glikolisis. Hasil dari EMP adalah memecahkan glukosa menjadi 2 molekul piruvat. Setelah melalui tahap glikolisis, piruvat yang terbentuk kemudian dirubah menjadi asetaldehid dan CO2 oleh enzim piruvat dekarboksilase, setelah itu oleh enzim alkohol dehidrogenase dirubah menjadi 18 etanol (Zaldivar dkk., 2001). Jalur EMP dapat di tunjukan pada gambar 1 dibawah ini: D-Glukose heksokinase Glukose-6-P fosfoheksoisomerase Fructose-6-P fosfoheksokinase Fructoce-1,6-diP fosfotriosaisomeras Glyseraldehide-3P enolase Phosphoenol pyruvate piruvatkinase pyruvate acetaldehyde etanol Gambar 2.1 Pembentukan Etanol Melalui Jalur Embden-Meyerhof-Parnas (Moat dan Foster, 1988) 2.7 Bioetanol Bioetanol adalah etanol yang berasal daari makluk hidup, dalam hal ini adalah bahan nabati yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan gula, pati, dan selulosa (Kristina dkk., 2012), dengan bantuan mikroorganisme. Produk bioetanol yang memenuhi standar tidak mempunyai efek samping yang merugikan. 19 Bioetanol tidak berwarna, mudah menguap, titik didih 78,332oC, larut dalam air dan eter, memiliki bau yang khas, dan dapat dipakai sebagai pelarut dalam dunia farmasi dan industri (Sari, 2010). Bioetanol dapat dijadikan bahan bakar alternatif bensin (Idral dkk., 2012). Beberapa kelebihan bioetanol sebagai bahan bakar alternatif yaitu mengandung 35% oksigen, memiliki nilai oktan yang tinggi sebesar 96-113, bersifat ramah lingkungan karena gas buangannya rendah terhadap senyawa-senyawa yang berpotensi sebagai polutan seperti karbon monoksida, karbon dioksida, nitrogen oksida serta bioetanol dapat diperbaharui (Hambali dkk, 2007). Menurut Hambali dkk. (2007) berdasarkan kadar alkoholnya, etanol dibagi menjadi tiga tingkatan, antara lain: 1. Tingkat industri dengan kadar alkohol 90-94% 2. Netral dengan kadar alkohol 96-99,5%. Umumnya digunakan untuk minuman keras atau bahan baku industri farmasi. 3. Tingkat bahan bakar dengan kadar alkohol 99,5%.diatas 2.8 Manfaat Bioetanol Etanol digunakan dalam beragam industri seperti campuran untuk minuman keras seperti sake atau gin, bahan baku farmasi, kosmetika, dan campuran bahan bakar kendaraan (Sari, 2010). Etanol digunakan sebagai bahan bakar karena dapat meningkatkan daya dan torsi dari kendaraan (Saragih dan Djoko, 2013). Bioetanol mengandung 35% oksigen, sehingga dapat meningkatkan efisiensi pembakaran, ramah lingkungan karena emisi gas buangnya rendah kadar karbon monoksidanya, nitrogen oksida, dan gas-gas rumah kaca yang menjadi 20 polutan, mudah terurai dan aman karena tidak mencemari lingkungan (Sari, 2010). Bioetanol dijadikan sebagai bahan bakar alternatif, yang dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar bensin. Bioetanol juga digunakan sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah. Bioetanol mempunyai kelebihan selain ramah lingkungan, penggunaannya sebagai bahan bakar kompor terbukti lebih hemat dan efisien proses pembakarannya (Hapsari dan Alice, 2013). 2.9 Teknologi Pengolahan Bioetanol Secara umum, produksi bioetanol dari bahan berbasis selulosa mencakup 4 rangkaian proses yaitu pretreatment, hidrolisis, fermentasi, dan destilasi. 2.9.1 Preatreatment Proses pengolahan awal (pretreatment) merupakan proses perombakan struktur dan komposisi kimia dari lignoselulosa, agar selulosa lebih mudah diakses oleh enzim yang memecah polimer polisakarida menjadi monomer gula (Kristina dkk., 2012). Pretreatment diperlukan untuk menghilangkan lignin dan hemiselulosa dan menurunkan tingkat kekristalan selulosa. Tujuan dari pretreatment adalah untuk membuka struktur lignoselulosa, agar selulosa menjadi lebih mudah diakses oleh enzim yang memecahkan polisakarida menjadi monomer glukosa. Menurut Novia dkk. (2014), pretreatment dapat meningkatkan kadar glukosa, hal ini terjadi karena jumlah lignin rendah dalam biomassa sehingga enzim lebih fokus untuk menghidrolisis selulosa. Menurut Mosier dkk. (2005), tanpa pretreatment menghasilkan gula hanya 20% sedangkan melalui pretreatment akan meningkatkan 50% kadar gula. 21 Pretreatment yang baik dapat mempermudah proses hidrolisis dan mengurangi jumlah enzim selulase yang digunakan serta menekan biaya dalam proses hidrolisis (Anindyawati, 2010). Pretreatment dapat dilakukan dengan menggunakan asam, alkali ataupun mikroorganisme. Pretreatment alkali dapat meningkatkan kandungan selulosa dan efektif untuk menghilangkan lignin (Kristina dkk., 2012) Menurut (Sun dan Cheng 2002), pretreatment seharusnya memenuhi kebutuhan berikut ini: 1. Meningkatkan pembentukan gula atau kemampuan menghasilkan gula pada proses berikutnya melalui hidrolisis enzimatik. 2) Menghindari degradasi atau kehilangan karbohidrat. 3) Menghindari pembentukan produk samping yang dapat menghambat proses hidrolisis dan fermentasi, dan biaya yang dibutuhkan ekonomis. 2.9.2 Hidrolisis Hidrolisis merupakan reaksi kimia yang memecah molekul menjadi dua bagian dengan penambahan molekul air (H2O), dengan tujuan untuk mengkonversi polisakarida menjadi monomer-monomer sederhana (Osvaldos dkk., 2012). Metode yang banyak digunakan untuk memecah rantai selulosa menjadi glukosa adalah hidrolisis dengan asam dan enzim. Hidrolisis asam dapat dikelompokkan menjadi hidrolisis asam pekat dan hidrolisis asam encer (Kardono, 2010). Beberapa asam yang umum digunakan untuk hidrolisis asam antara lain adalah asam sulfat (H2SO4) dan asam HCl (Sari, 2010). 22 Hidrolisis dilakukan dengan menggunakan asam pekat akan mempercepat proses hidrolisis tetapi akan menurunkan hasil hidrolisis karena glukosa mudah sekali diuraikan (Ulfana, 2010). Komponen terlarut yang utama pada hasil hidrolisis akhir adalah xilosa, arabinosa, glukosa, galaktosa, mannosa, hidroksimetil furfural dan asam-asam organik seperti asam formiat dan asam asetat (Osvaldo dkk., 2012). Kekurangan dari hidrolisis asam adalah terbentuknya senyawa-senyawa inhibitor yang mengganggu proses fermentasi, sehingga berpengaruh terhadap tingkat produksi bioetanol (Susmiati, 2011), memerlukan peralatan yang tahan korosif, dan menimbulkan pencemaran lingkungan. Produk sisa yang dapat menghambat proses fermentasi berupa furfural, 5-hydroxy methyl furfural (HMF), asam lefulenat, asam asetat, asam format, dan asam uronat. Selain asam, hidrolisis dapat menggunakan metode enzimatik. Enzim merupakan protein yang bersifat katalis sehingga disebut biokatalis. Hidrolisis enzim memiliki kemampuan untuk memproduksi glukosa dengan kadar tinggi (75-95%) dan tidak berlangsung pada suhu tinggi. Enzim bekerja secara spesifik sehingga enzim harus sesuai dengan polisakarida yang akan dihidrolisis (Saha, 2003). Enzim yang digunakan adalah enzim selulase berjenis Cellusoft L. Enzim Cellusoft L terdiri dari campuran tiga jenis enzim, yaitu endoselulase, eksoselulase dan selobiase. Menurut Saha (2003), enzim selulase bekerja spesifik untuk mengubah selulosa menjadi glukosa melalui tiga tahap. Pada tahap pertama enzim endoselulase memecah ikatan kristal selulosa yang semula berupa ikatan silang menjadi ikatan selulosa rantai lurus. Pada tahap ke 23 dua, enzim eksoselulase memecah selulosa berantai lurus menjadi selobiose, yaitu senyawa yang terdiri atas dua molekul glukosa. Pada tahap ke tiga, enzim selobiase mengubah selobiose menjadi molekul-molekul glukosa. Hidrolisis enzim mempunyai kelebihan dan kekurangan. Beberapa kelebihan hidrolisis enzim selulase dibandingkan hidrolisis asam, antara lain tidak terjadi degradasi gula hasil hidrolisis, tidak terjadi reaksi samping, lebih ramah lingkungan, dan tidak melibatkan bahan-bahan yang bersifat korosif (Schacht dkk., 2008), toksisitas yang rendah, dan dapat berlangsung pada pH dengan kisaran 4,5-5,5 (AlJibouri 2012). Suhu optimum aktivitas enzim selulase berkisara antara 40oC-50oC (Gautam dkk., 2011). Kekurangan dari hidrolisis enzim adalah harga enzim cukup mahal dan membutuhkan waktu yang lebih lama bisa mencapai 72 jam (Kardono, 2010). 2.8.3 Fermentasi etanol Fermentasi merupakan proses perubahan kimia pada substrat organik, baik karbohidrat, protein, lemak, atau lainnya melalui kegiatan enzim atau mikroba spesifik (Kristina dkk., 2012). Fermentasi karbohidrat oleh yeast merupakan proses penghasil etanol dan karbondiaoksida secara anaerob (Sudarmadji dkk, 1989). Bioproses bioetanol terdiri atas dua metode yaitu metode Separated Hydrolysis and Fermentation (SHF) dan metode Simultaneous Saccharification and Fermentation (SSF). SHF merupakan metode hidrolisis dan fermentasi dilakukan secara terpisah. Bahan baku yang mengandung selulosa mengalami proses hidrolisis secara terpisah dari proses fermentasi. Hal ini dimaksudkan 24 untuk memudahkan pengontrolan terhadap tiap tahap, agar tercapai hasil yang diingin (Irna dkk., 2013). Sakarifikasi dan fermentasi simultan (SSF) merupakan salah satu metode untuk konvsersi karbohidrat menjadi etanol. Pada tahap sakarifikasi, selulosa diubah menjadi selobiosa dan selanjutnya menjadi gula-gula seperti glukosa (Hermiati dkk., 2010). Pada metode SSF hidrolisis dan fermentasi dilakukan secara bersamaan dalam satu reaktor. Pada metode ini menggunakan selulase dan Sacchromyces cerevisiae dalam memproduksi glukosa dan fermentasi menjadi etanol (Irna dkk., 2013). Kelebihan metode ini ialah dapat meningkatkan kecepatan hidrolisis dengan konversi gula, mengurangi kebutuhan enzim, meningkatkan rendemen produk, dapat mengurangi kebutuhan sterilisasi karena glukosa langsung dikonversi menjadi etanol, serta waktu proses lebih pendek (Hermiarti, 2010). Samsuri (2007) melaporkan, dengan mengunakan metode sakarifikasi dan fermentasi simultan kadar etanol yang dihasilkan dari bagas residu padat pengolahan tebu lebih besar dibandingkan dengan metode terpisah. Menurut Budiyanto (2003), untuk mendapatkn hasil fermentasi yang optimum perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Kadar gula yang terlalu tinggi dapat menghambat aktivitas khamir. Konsentrasi gula yang optimum untuk menghasilakan kadar etanol yang optimum adalah 14-18%. 2. Suhu yang baik untuk fermentasi adalah 30oC. Semakin rendah suhu fermentasi, maka semakin tinggi kadar etanol yang dihasilakn. Hal ini dikarenakan pada suhu rendah CO2 lebih sedikit dihasilkan. 25 3. Derajat keasaman akan mempengaruhi kecepatan fermentasi. pH yang optimum untuk fermentasi khamir adalah 4-4,5. Untuk pengaturan pH dapat digunakan NaOH untuk menaikan pH dan asam sitrat untuk menurunkan pH. pH ideal untuk fermentasi adalah 4-6 (Saroso, 1998). Proses fermentasi umumnya dijumpai empat fase pertumbuhan mikroba yaitu fase lag, log, stasioner, dan kematian (Jamilatun, 2010). Menurut Fardiaz (1992), fermentasi etanol meliputi dua tahap yaitu: 1. Pemecahan rantai karbon dari glukosa dan pelepasan paling sedikit dua pasang atom hydrogen melalui jalur EMP (Embden Meyerhoff Parnas), menghasilkan senyawa karbon lainnya yang lebih teroksidasi daripada glukosa. 2. Senyawa yang teroksidasi tersebut direduksi kembali oleh atom hydrogen yang dilepaskan dalam tahap pertama, membentuk senyawa-senyawa hasil fermentasi yaitu etanol. Dari satu mol glukosa akan terbentuk dua molekul etanol dan dua molekul CO2 sehingga berdasarkan bobotnya secara teoritis 1 gram glukosa akan menghasilakn 0,51 gram etanol (Judoamidjojo, 1990). Reaksi pembentukan etanol sebagai berikut: C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2 Kecepatan fermentasi etanol dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti susunan substrat, kecepatan pemakaian zat gizi, tingkat inokulasi, keadaan fisiolagi khamir, aktivitas enzim-enzim jalur EPM, toleransi khmir terhadap gula, dan kadar alkohol serta kondisi selama fermentasi (Astuti, 1991). 26 2.8.4 Destilasi Destilasi atau penyulingan adalah suatu metode pemisahan larutan berdasarkan perbedaan titik didih (Kristina dkk., 2012). Menurut Nurdyastuti (2006), untuk meningkatkan kemurnian bioetanol hasil fermentasi, maka harus melalui proses destilasi. Titik didih etanol murni adalah 78oC sedangkan air adalah 100oC (kondisi standar) (Kristina dkk., 2012). 2.10.4 Penentuan Kadar Etanol Untuk mengetahui kadar etanol yang dihasilkan dari proses destilasi, maka perlu dianalisa atau diukur kadarnya. Metode yang biasa digunakan untuk pengukuran kadar etanol yaitu metode berat jenis (piknometer), massa jenis destilat diukur dengan rumus (AOAC, 1984) dan gas kromattografi. Berat jenis dihitung dengan rumus berikut: D-P A= W-P Keterangan : A: Berat jenis larutan standar etanol (g/ml) D: Massa destilat (g) W: Massa piknometer berisis aquades (mL) P: Massa piknometer kosong (g) Kadar etanol dihitung menggunakan persamaan kurva baku konversi massa jenis etanol. Massa jenis larutan etanol semakin kecil, maka kadar etanol di dalam larutan tersebut semakin besar. Hal ini dikarenakan etanol mempunyai berat jenis lebih kecil daripada air sehingga semakin kecil berat jenis larutan berarti jumlah/kadar etanol semakin banyak (Mardoni, 2007). Selain metode berat 27 jenis, untuk menentukan kadar etanol dapat digunakan kromatografi Gas (GC). Penentuan kadar etanol dilakukan dengan pendekatan luas area yang dibandingkan dengan luas area standar. Standar etanol yang digunakan adalah etanol 99,98 %. Kemudian kadar etanol dihitung dengan rumus yang digunakan oleh Subekti (2006), sebagai berikut: Luas area sampel Kadar etano (%) = x % konsentrasi standar Luas area standar 28