2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Sargassum sp Sargassum adalah salah satu genus dari kelompok rumput laut coklat yang merupakan genera terbesar dari family sargassaceae. Klasifikasi Sargassum sp (Anggadiredja et al. 2006) adalah sebagai berikut : Divisio : Thallophyta Kelas : Phaeophyceae Bangsa : Fucales Suku : Sargassaceae Marga : Sargassum Jenis : Sargassum polyfolium Sargassum crassifolium Sargassum merupakan alga coklat yang terdiri dari kurang lebih 400 jenis di dunia. Jenis-jenis Sargassum sp yang dikenal di Indonesia ada sekitar 12 spesies, yaitu : Sargassum duplicatum, S. histrix, S. echinocarpum, S. gracilimun, S. obtusifolium, S. binderi, S. policystum, S. crassifolium, S. microphylum, S. aquofilum, S. vulgare, dan S. polyceratium (Rachmat 1999). Bentuk Sargassum sp dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Rumput laut coklat (Sargassum sp) Sumber : Kadi (2010). 4 Sargassum sp. memiliki bentuk thallus gepeng, banyak percabangan yang menyerupai pepohonan di darat, bangun daun melebar, lonjong seperti pedang, memiliki gelembung udara yang umumnya soliter, batang utama bulat agak kasar, dan holdfast (bagian yang digunakan untuk melekat) berbentuk cakram. Pinggir daun bergerigi jarang, berombak, dan ujung melengkung atau meruncing (Anggadiredja et al. 2008). Sargassum biasanya dicirikan oleh tiga sifat yaitu adanya pigmen coklat yang menutupi warna hijau, hasil fotosintesis terhimpun dalam bentuk laminaran dan alginat serta adanya flagel (Tjondronegoro et al. 1989). Sargassum tersebar luas di Indonesia, tumbuh di perairan yang terlindung maupun yang berombak besar pada habitat batu. Di Kepulauan Seribu (Jakarta) alga ini biasa disebut oseng. Zat yang dapat diekstraksi dari alga ini berupa alginat yaitu suatu garam dari asam alginik yang mengandung ion sodium, kalsium dan barium (Aslan 1999). Pada umumnya Sargassum tumbuh di daerah terumbu karang (coral reef) seperti di Kepulauan Seribu, terutama di daerah rataan pasir (sand flat ). Daerah ini akan kering pada saat surut rendah, mempunyai dasar berpasir dan terdapat pula pada karang hidup atau mati. Pada batu-batu ini tumbuh dan melekat rumput laut coklat (Atmadja dan Soelistijo 1988). Rumput laut jenis Sargassum umumnya merupakan tanaman perairan yang mempunyai warna coklat, berukuran relatif besar, tumbuh dan berkembang pada substrat dasar yang kuat. Bagian atas tanaman menyerupai semak yang berbentuk simetris bilateral atau radial serta dilengkapi bagian sisi pertumbuhan. Umumnya rumput laut tumbuh secara liar dan masih belum dimanfaatkan secara baik.. Rumput laut coklat memiliki pigmen yang memberikan warna coklat dan dapat menghasilkan algin atau alginat, laminarin, selulosa, fikoidin dan manitol yang komposisinya sangat tergantung pada jenis (spesies), masa perkembangan dan kondisi tempat tumbuhnya (Maharani dan Widyayanti 2010). Komponen utama dari alga adalah karbohidrat sedangkan komponen lainnya yaitu protein, lemak, abu (sodium dan potasium) dan air 80-90% (Chapman 1970). Komposisi kimia Sargassum menurut Yunizal (2004) dapat dilihat pada Tabel 1. 5 Tabel 1 Komposisi Kimia Sargassum sp dari Kepulauan Seribu Komposisi Kimia Persentase (%) Karbohidrat 19,06 Protein 5,53 Lemak 0,74 Air 11,71 Abu 34,57 Serat Kasar 28,39 Sumber : Yunizal 2004 2.2 Alginat dan Ekstraksi Alginat Alginat adalah fikokoloid atau hidrokoloid yang diekstraksi dari Phaeophyceae (alga coklat). Senyawa alginat merupakan suatu polimer linier yang terdiri dari dua satuan monomerik, ß -D -asam manuronat dan α -L -asam guluronat (Horn 2000). Rumput laut coklat yang potensial untuk digunakan sebagai sumber penghasil alginat diantaranya adalah jenis Macrocystis, Turbinaria, Padina dan Sargassum sp. Kandungan alginat pada rumput laut coklat tergantung musim, tempat tumbuh, umur panen dan jenis rumput laut. Alginat terdapat pada semua jenis alga coklat sebagai komponen penyusun dinding sel seperti hal selulose dan pektin. Secara kimia, asam alginat adalah senyawa komplek yang termasuk karbohidrat koloidal hidrofilik hasil polimerisasi D asam Mannuronat dengan rumus kimianya (C6H8O6)n dimana nilai n diantara 80 sampai 83 (Maharani dan Widyayanti 2010). Pada prinsipnya ekstraksi alginat dilakukan dengan memasak ganggang coklat dalam suasana basa dengan larutan Na 2CO3 atau NaOH, kemudian larutan alginat kasar ini ditambahkan asam mineral kuat sehingga asam alginat mengendap. Beberapa proses pemurnian produk ini melibatkan proses penjernihan, pemucatan, dan pengendapan kalsium alginat. Produk akhir umumnya dijadikan bentuk garam alginat yang dapat larut dalam air, terutama natrium alginat (Maharani dan Widyayanti 2010). Proses pembuatan alginat menurut Rasyid (2010) dimulai dengan perendaman rumput laut dengan HCl 5% selama 1 jam untuk menghilangkan sisa- 6 sisa kotoran yang masih menempel sehingga mempermudah proses pembentukan asam alginat, kemudian dicuci dengan akuades untuk menghilangkan sisa asam. Sampel yang sudah dicuci ditambahkan larutan natrium karbonat 4% untuk pembentukan natrium alginat sambil diaduk sampai menjadi pasta. Pasta yang terbentuk diencerkan dengan aquades sambil diaduk kemudian disaring. Selanjutnya dipucatkan dengan menambahkan larutan hidrogen peroksida 25% ke dalam filtrat dan kemudian ditambahkan larutan kalsium klorida 5% sehingga terbentuk endapan berwarna putih. Ke dalam endapan yang terbentuk ditambahkan larutan asam klorida 5%. Asam alginat yang terbentuk ditandai dengan timbulnya gumpalan di bagian atas cairan. Setelah disaring, residu yang diperoleh ditambah dengan larutan natrium hidroksida 10%. Untuk proses pemurnian dan memudahkan penyaringan, ke dalam campuran ditambahkan isopropanol 95%. Endapan bersama kertas saring yang telah diketahui bobotnya dikeringkan dalam oven suhu 600C. Endapan yang telah kering ditimbang bersama kertas saring untuk penentuan kadar natrium alginat. Hasil yang diperoleh adalah natrium alginat, selanjutnya dihaluskan dan dianalisis kadar natrium alginat, kadar air dan nilai viskositasnya. 2.3 Limbah Rumput Laut Berdasarkan catatan statistik Departemen Kelautan dan Perikanan 2007 (DKP 2008) produksi rumput laut nasional pada tahun 2004 baru mencapai 410.570 ton. Pada tahun 2005 jumlah produksi tersebut meningkat menjadi 910.636 ton, kemudian pada tahun 2006 terus meningkat hingga mencapai 1.079.850 ton. Pada tahun 2007, tercatat sebanyak 1.343.700 ton rumput laut dihasilkan dalam waktu satu tahun. Nilai produksi yang sangat besar ini dikarenakan permintaan rumput laut sebagai bahan baku industri sangat besar baik di dalam maupun di luar negeri. Peningkatan ini didukung oleh kegiatan intensif budi daya rumput laut yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Indonesia memiliki potensi sebanyak 540 jenis rumput laut tetapi sampai saat ini, jenis rumput laut yang banyak dibudidayakan hanya berkisar kurang dari 10 jenis, Pengolahan dari 100% rumput laut segar menghasilkan limbah olahan yang belum diolah dan dioptimalkan dengan baik di Indonesia. Besarnya potensi dan 7 prospek pengolahan rumput laut masih belum diimbangi dengan penanganan pengolahan limbahnya. Sehingga limbah pengolahan rumput laut cenderung terbuang dan hanya menjadi sampah organik. Pada tahun 2008 limbah dari pengolahan rumput laut sekitar 1.682.542 ton. Jumlah yang besar ini sangat disayangkan jika tidak diolah dan dimanfaatkan dengan baik (Harvey 2009). Perlu adanya pemanfaatan dan pengolahan limbah sehingga dapat menerapkan prinsip “zero waste industry”. Produk olahan limbah tersebut dapat menjadi suatu produk yang memiliki nilai tambah yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai produk awalnya. Limbah hasil olahan rumput laut tersebut masih mengandung selulosa dan kadar selulosa yang dikandung oleh limbah mencapai 15-25%. Selulosa tersebut merupakan bahan baku yang berpotensi untuk pembuatan bioetanol (Kim et al. 2007). 2.4 Hidrolisis Enzim Hidrolisis adalah reaksi kimia yang memecah molekul air (H2O) menjadi kation hydrogen (H+) dan anion hidroksida (OH-) melalui suatu proses kimia. Proses ini biasanya digunakan untuk memecah polimer tertentu, contohnya polimer organik yang memiliki rantai karbon. Ada tiga metode hidrolisis yang biasa digunakan, yaitu 1) hidrolisis asam encer (dilute acid hydrolysis), 2) hidrolisis asam pekat (concentrated acid hydrolisis) dan 3) hidrolisis enzim (enzyme hydrolysis). Hidrolisis selulosa menjadi gula-gula sederhana dapat dilakukan menggunakan tiga metode di atas. Namun dari beberapa penelitian melaporkan bahwa proses hidrolisis secara enzimatis lebih menguntungkan dari pada menggunakan asam yaitu tidak menimbulkan korosi, proses dapat berlangsung pada kondisi mild (pH 4,8 dan suhu 500C) dan rendemen lebih tinggi (Duff dan Murray 1996). Proses hidrolisis selulosa secara enzimatis menghasilkan gula pereduksi (glukosa). Selanjutnya glukosa tersebut digunakan sebagai substrat dalam produksi etanol melalui proses fermentasi. Selulase adalah enzim yang dapat mengkatalis terjadinya reaksi hidrolisis selulosa menjadi glukosa. Tiga enzim utama yang terdapat dalam selulase kompleks adalah endoglukonase, eksoglukonase, dan selobiase (β-glukosidase). Endoglukonase menghidrolisis 8 ikatan 1,4-β-glikosidik secara acak pada daerah amorf selulosa menghasilkan glukosa, selubiosa dan selodekstrin. Eksoglukanase menghidrolisis selodektrin dengan memutus unit selubiosa dari ujung rantai polimer, sedangkan selobiose menghidrolisis selubiosa dan selo-oligosakarida menjadi glukosa (Syamsudin 2006). Hemiselulase adalah kelompok enzim yang mempunyai kemampuan menghidrolisis hemiselulosa. Hidrolisis dari hemiselulosa dapat dipantau dari jumlah D-xilosa, L-arabinosa, D-glukosa, D-mannosa, D-galaktosa dan L-amnosa yang dihasilkan. Karena kemampuannya dalam menghidrolisis xilan, maka hemiselulase biasa disebut juga dengan xilanase. Trichoderma viride merupakan salah satu mikroorganisme yang dapat menghasilkan enzim selulase untuk memecah selulosa menjadi gula-gula sederhana. T. viride termasuk dalam genus Trichoderma, famili Moniliceae dan ordo Moniliales. Kapang ini mudah dilihat karena penampakannya berserabut seperti kapas namun jika spora telah timbul akan tampak berwarna hijau tua (Domsch dan Gams 1972). T. viride mampu memproduksi kompleks enzim selulase yang lengkap yaitu endoselulase dan eksoselulase yang dapat menghidrolisis selulosa kristalin dan selulosa non kristalin. Pada enzim selulosa dapat terjadi sinergisme antara endoselulase dan eksoselulase, dan juga antar eksoselulase. Pertumbuhan T. viride optimal pada pH sekitar 4 sedangkan untuk produksi enzim selulase mendekati pH 3. Selama produksi enzim, pH harus dipertahankan dalam kisaran 3-4 karena inaktivasi enzim akan terjadi di bawah pH 2. Suhu optimum pertumbuhan sekitar 32 – 350 C dan produksi enzim sekitar 25 – 300 C. Karakteristik dari enzim selulase adalah memiliki pH optimum 4 dan akan tetap stabil pada pH 3 – 7. Suhu optimum adalah 500 C dan aktivasinya akan menurun jika suhunya lebih dari 500 C (Waluyo 2004). Trichoderma viride selain mampu memproduksi enzim selulase, juga dapat menghasilkan enzim endo-1,4-xilanase yang dapat mendegradasi xilan. Berat molekul xilanase yang dihasilkan dari Trichoderma viride adalah sebesar 22.000 dalton. T. viride mampu secara simultan melakukan proses detoksifikasi dan produksi enzim secara simultan pada hidrolisat asam yang mengandung senyawa- 9 senyawa inhibitor seperti furfural dan hydroxymethylfurfural. Kapang ini juga mampu memetabolisme gula dari golongan pentosa maupun heksosa dan tidak terlalu sensitif terhadap material-material lignoselulosik. 2.5 Sakarifikasi dan Fermentasi Simultan Secara umum sintesa bioetanol yang berasal dari biomassa terdiri atas dua tahap utama, yaitu hidrolisis dan fermentasi. Pada metode terdahulu proses hidrolisis dan fermentasi dilakukan secara terpisah dan yang terbaru adalah proses sakarifikasi dan fermentasi simultan. Sakarifikasi dan fermentasi simultan (SFS) adalah kombinasi antara hidrolisis enzim dan fermentasi yang dilakukan dalam suatu reaktor. Proses ini memiliki keuntungan yaitu polisakarida yang terkonversi menjadi monosakarida tidak kembali menjadi polisakarida karena monosakarida langsung difermentasi menjadi etanol (Samsuri et al. 2007). Pada proses SFS, hidrolisis selulosa dan fermentasi gula tidak dilakukan secara terpisah atau bertahap, tetapi secara simultan. Mikrob yang digunakan pada proses SFS biasanya adalah jamur penghasil enzim selulase, seperti T. reesei, T.viride, dan khamir S. cerevisiae. Suhu optimal proses SFS adalah 38°C, yang merupakan perpaduan suhu optimal hidrolisis (45–50°C) dan suhu optimal fermentasi (30°C). Proses SFS memiliki keunggulan dibandingkan dengan proses hidrolisis dan fermentasi bertahap. Beberapa keunggulan tersebut adalah: 1) meningkatkan kecepatan hidrolisis dengan mengonversi gula yang terbentuk dari hasil hidrolisis selulosa yang menghambat aktivitas enzim selulase, 2) mengurangi kebutuhan enzim, 3) meningkatkan rendemen produk, 4) mengurangi kebutuhan kondisi steril karena glukosa langsung dikonversi menjadi etanol, 5) waktu proses lebih pendek, dan 6) volume reaktor lebih kecil karena hanya digunakan satu reaktor (Sun dan Cheng 2002). 2.6 Mikroba Penghasil Etanol Fermentasi adalah suatu proses perubahan kimia pada substrat organik, baik karbohidrat, protein, lemak atau lainnya, melalui kegiatan katalis biokimia yang dikenal sebagai enzim dan dihasilkan oleh jenis mikroba yang spesifik (Prescot 10 dan Dunn 1981). Menurut Oura di dalam Dellweg (1983), secara sederhana proses fermentasi alkohol dari bahan baku yang mengandung gula (glukosa) terlihat pada reaksi berikut : C6H12O6 2C2H5OH + 2 CO2 Dari reaksi di atas, 70% energi bebas yang dihasilkan dibebaskan sebagai panas. Secara teoritis 51,5% karbohidrat diubah menjadi etanol dan 48,9% menjadi CO2. Khamir yang sering digunakan dalam proses fermentasi etanol adalah Saccharomyces cereviceae, karena jenis ini dapat berproduksi tinggi, toleran terhadap etanol yang cukup tinggi (12-18% v/v), tahan terhadap kadar gula tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-320 C (Harrison dan Graham 1970) Saccharomyces cereviceae merupakan salah satu mikroorganisme penghasil bioetanol melalui proses fermentasi. S. cereviceae termasuk ke dalam kelas Ascomucetes yang dicirikan dengan pembentukan askus yang merupakan tempat pembentukan askopora. S. cereviceae memperbanyak diri secara aseksual yaitu dengan bertunas (Pelezar dan Chan 1986). Saccharomyces cereviceae sering digunakan dalam fermentasi etanol karena sangat tahan dan toleran terhadap kadar etanol yang tinggi (12-18% v/v), tahan pada kadar gula yang cukup tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-320C. S. cereviceae mempunyai aktivitas optimum pada suhu 30-340C dan tidak aktif pada suhu lebih dari 400C. S. cereviceae dapat memfermentasi glukosa, sukrosa, galaktosa serta rafinosa (Kunkee dan Mardon 1970). Biakan S. cerviceae mempunyai kecepatan fermentasi optimum pada pH 4,48 (Harrison dan Graham 1970). Rendemen alkohol dari heksosa dalam fermentasi menggunakan khamir dari genus Saccharomyces dapat mencapai 90% (Boyles 1984 diacu dalam Arnata 2009). Proses fermentasi oleh Saccharomyces adalah proses pengubahan sebagian besar energi dari gula ke dalam bentuk etanol. Efisiensi pengubahan energi tersebut dapat mencapai 97% (Campbel 1983). Mekanisme pembentukan etanol oleh khamir melalui jalur Embden-Meyerhorf-Parnas Pathway (EMP) atau glikolisis. Hasil dari EMP adalah memecah glukosa menjadi 2 molekul piruvat. Setelah melalui tahap glikolisis, piruvat yang terbentuk kemudian dirubah menjadi 11 asetaldehid dan CO2 oleh enzim piruvat decarboksilase, setelah itu oleh enzim alkohol dehidrogenase dirubah menjadi etanol (Zaldivar et al. 2001) 2.7 Bioetanol Etanol merupakan produk fermentasi yang dapat dibuat dari substrat yang mengandung karbohidrat (gula, pati, atau selulosa). Etanol adalah salah satu senyawa alkohol dengan rumus kimia C2H5OH yang berupa cairan yang tidak berwarna, jernih, mudah menguap, memiliki bau yang sangat halus dan rasa yang pedas (Hambali et al. 2007). Bioetanol merupakan salah satu bahan bakar alternatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak. Karena masyarakat kita sudah sangat familiar dengan bahan cair yaitu BBM maka bioetanol diharapkan dapat mensubsitusi kebutuhan terhadap bensin. Bioetanol bersifat multi-guna karena dicampur dengan bensin pada komposisi berapapun memberikan dampak yang positif. Campuran anatara gasoline (bensin) dengan alkohol(bioetanol) disebut gasohol (Prescott dan Dunn 1981). Proses pembentukan bioetanol dengan bahan baku tanaman yang mengandung selulosa, dilakukan melalui proses penguraian selulosa menjadi gula (glukosa) larut air. Proses pembuatan glukosa dibantu oleh hidrolisis asam dan enzim. Hidrolisis asam salah satunya dengan menggunakan asam sulfat, kurang dapat berkembang sehingga yang umum saat ini digunakan adalah penambahan air dan enzim. Kemudian dilakukan proses fermentasi gula menjadi bioetanol dengan penambahan ragi (yeast) (Nurdyastuti 2008). Pembuatan bioetanol dengan bahan baku selulosa terdiri dari beberapa proses yaitu proses hidrolisis enzim, proses fermentasi dan proses pemurnian bioetanol (Irawati 2006 dan Subekti 2006).