6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Sampah Organik Berdasarkan jenisnya sampah dibedakan menjadi dua macam, yaitu sampah anorganik dan sampah organik. Sampah anorganik merupakan sampah yang pada umumnya dihasilkan dari makhluk tak hidup dan merupakan jenis sampah yang sulit terurai (undegradable). Sedangkan sampah organik adalah jenis sampah yang dihasilkan dari makhluk hidup, dan mudah terurai atau membusuk, contohnya sisa makanan seperti kulit pisang, daun-daun yang telah mengering, dan sebagainya. Perilaku mengkonsumsi sebagai pemenuhan kebutuhan jasmaniah khususnya manusia tidak akan lepas dari hasil pembuangan yang sering kita kenal dengan sampah. Ditambah lagi dengan semakin pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk dan perekonomian juga menjadi permasalahan nyata akan dampak negatif khususnya pada lingkungan dalam hal ini adalah sampah organik rumah tangga. Penduduk indonesia perharinya membuang sampah sekitar 51.400.000 ton sampah (Muslihah, 2012). Menurut Muslihah (2012) pasar khusus seperti pasar sayur-mayur, pasar buah ataupun pasar ikan, jenis sampah yang dihasilakan relatif seragam dan sebagian besar (95 %) adalah sampah organik. Sedangkan sampah dari pemukiman umumnya sangat beragam, tapi secara umum minimal 75 % terdiri dari sampah organik dan sisanya adalah sampah anorganik. Sumber penghasil sampah di Indonesia sebagian besar berasal dari perumahan (70-75%) dan (25-30%) berasal dari non perumahan. Secara umum 7 komposisi sampah terdiri dari jenis organik, kertas, plastik, gelas, logam dan lainlain. Sampah di Indonesia rata-rata masuk dalam kategori sampah basah yang dengan kandungan organik cukup tinggi (70-80%) dan anorganiknya (20-30%) serta memiliki kadar air 60%, berat jenis rata-rata 250 kg/m3 serta nilai kalor (1.100-1.500) k.cal/kg. Sampah ini akan terdekomposisi menjadi bentuk padat, cair dan gas (Rahman, tanpa tahun) Sampah yang belum teolah secara baik akan menimbulkan dampak yang buruk bagi lingkungan seperti, banjir, tempat bersarangnya nyamuk yang akan menjadi sumber penyakit, dan tumpukan sampah yang besar memberikan bau tak sedap, serta kegiatan pembersihan dengan cara membakar juga memberikan dampak polusi dan pencemaran udara. Oleh sebab itu sampah merupakan salah satu masalah serius yang perlu segera ditemukan jalan keluar penanganannya . Menurut Artiani (2010) selama ini sampah dipandang sebagai buangan yang tidak lagi bermanfaat, sementara di sisi lain pemerintah kesulitan menangani pengelolaan sampah secara tuntas. Dari adanya kondisi ini, maka harus dicari alternatif untuk menyelesaikan masalah yang ada, yaitu memanfaatkan sampah secara optimal sekaligus dapat memperpanjang umur TPA. Beberapa alternatif bagaimana cara memanfaatkan sampah, sehingga mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi antara lain sampah dapat dimanfaatkan menjadi kompos, biogas (energi alternatif), papan komposit (komposit serbuk kayu plastik daur ulang), bahan baku dalam pembuatan bata (briket), pengisi tanah, penanaman jamur, media produksi vitamin, media produksi Protein Sel Tunggal (PST), dan lain-lain. (Saputro dkk, 2006). 8 2.2. Tanaman Jagung Tanaman jagung (Zea mays L.) termasuk dalam famili rumput-rumputan (Gramineae) tanaman ini di Indonesia sudah dikenal sejak 400 tahun yang lalu, yang pertama kali dibawa oleh bangsa portugis dan spanyol ( Shofiyanto 2008). Berikut adalah klasifikasi tanaman jagung (Zea mays L.) : Divisi Sub Divisi Kelas Bangsa Suku Marga Jenis : Spermatophyta : Angiospermae : Monocotyledonae : Graminales : Graminae : Zea : Zea mays L. Di Indonesia, jagung merupakan komoditas pangan dengan tingkat permintaan yang terus meningkat. Badan Pusat Statistik (2008) memperkirakan pada tahun 2008 produksi jagung pipil kering di Indonesia sebanyak 14.854.050 ton. Jumlah ini dihasilkan oleh propinsi-propinsi penghasil jagung terbesar seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, NTT, dan Gorontalo (Susilowati, 2011). Sedangkan pada tahun 2009 Badan Pusat statistik melaporkan bahwa, produksi tanaman jagung di indonesia yaitu 4,2 ton/ha. Dari produksi tersebut proporsi limbah tanaman jagung per persen bahan kering terdiri dari 50 % batang, 20 % daun, 20 % tongkol dan 10 % klobot (Retnani dkk; 2009) Meskipun batang, daun, tongkol, dan kelobot jagung hanya merupakan limbah hasil panen, bagian-bagian tanaman ini masih dapat dimanfaatkan sebagai bahan yang memiliki daya guna dan dapat menghasilkan beragam produk. Berikut 9 diberikan dalam dalam Gambar 2.1 potensi-potensi yang dimiliki dari tumbuhan jagung. Daun 1. Pakan 2. Kompos 1. Pakan 2. Kompos 3. Industri Rokok Kulit/ Kelobot Grit 1. Pakan 2. Kompos 1. Pakan 2. Pangan 3. Bahan Baku Industri Tepung Jagung Pipilan Tanaman jagung Pati Buah Jagung 4. Pakan 5. Pangan 6. Bahan Baku Industri Lembaga Kulit Ari Tongkol Rambut Batang 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 1. Minyak 1. Bahan Baku Industri Pakan Pulp Kompos Bahan Bakar 1. Kompos Pakan Pulp Kertas Bahan Bakar Gambar 2.1 Potensi Pemanfaatan Tanaman Jagung (Anonim, 2005 dalam Subekti 2011). 10 Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa salah satu potensi dari batang jagung adalah sebagai bahan bakar, maka dari 50 % limbah batang jagung untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar merupakan potensi yang besar. Menurut Muniroh dan Luthfi (2011) Biomassa batang jagung merupakan sampah yang sejauh ini masih belum banyak dimanfaatkan menjadi produk yang memiliki nilai tambah (added value). Batang jagung yang termasuk biomassa mengandung lignoselulosa sangat dimungkinkan untuk dimanfaatkan menjadi bioetanol karena memiliki kandungan selulosa yang cukup banyak. Tabel 2.1 berikut menunjukan kandungan komponen-komponen ligneselulosa yang terdapat pada batang jagung. Tabel 2.1 Kandungan dalam batang jagung (Muniroh dan Luthfi 2011) Komponen Selulosa Hemiselulosa Lignin Abu Kadar Air Jumlah 30-50 % 15-35 % 13-30 % 6% 9-13 % 2.3. Lignoselulosa Bahan lignoselulosa merupakan komponen organik berlimpah di alam. Lignoselulosa terdiri dari tiga polimer alam yaitu selulosa (kerangka), hemiselulosa (matriks) dan lignin (pembungkus) yang terdapat pada tumbuhan. Lignoselulosa terdapat di bahan kayu, jerami, rumput – rumputan, limbah pertanian hutan, limbah industri (kayu dan kertas), dan yang lainnya (Octafiani, 2013). Kebanyakan selulosa berasosiasi dengan lignin sehingga sering disebut sebagai lignoselulosa (Subekti, 2006). Molekul selulosa merupakan mikrofibril 11 dari glukosa yang terikat satu dengan lainya membentuk rantai polimer yang sangat panjang. Rantai selulosa terdiri dari satuan glukosa anhidrida yang saling berkaitan melalui atom karbon pertama dan keempat. Ikatan yang terjadi adalah ikatan 𝛽 -1,4-glikosidik (Shofiyanto, 2008) Struktur kimia dan ikatan 𝛽 -1,4glikosidik selulosa dapat dilihat pada Gambar 2.2. berikut : CH2OH O O OH CH2OH O O OH CH2OH O OH OH OH O OH Gambar 2.2. Struktur Selulosa (Fessenden dan Fessenden, 1982) Pada umumnya jumlah selulosa dalam tanaman lignoselulosa adalah 23 25 % pada berat keringnya. Berikut adalah Tabel 2.2. yang menunjukan kadungan selulosa pada beberapa tanaman lignoselulosa. Tabel 2.2 Kandungan Selulosa Pada Beberapa Tanaman Lignoselulosa (Octafiani, 2013) Tanaman Lignoselulosa Jerami gandum Jerami padi Tebu Batang tanaman jagung Tongkol jagung Kandungan Selulosa (%) 38,6 36,5 38,5 39,2 43,2 Hemiselulosa merupakan heteropolymers (matrix polysaccharides) yang berisi 200 monomer gula. Hemiselulosa berada bersama-sama dengan selulosa 12 pada dinding sel, dan keduanya diikat oleh pektin. Strukturnya yang terbesar adalah amorphous dan sebagian kecil berupa kristalin. Hemiselulosa mudah dihidrolisis dengan asam encer, basa, atau enzim. Hemiselulosa mengandung beberapa monomer gula yaitu: xylosa, mannosa, galaktosa, rhamnosa, arabinosa, dan glukosa. Xylosa merupakan gula yang paling banyak terkandung dalam hemiselulosa (Sukadarti dkk, 2010). Sedangkan lignin adalah heteropolimer amorf yang terdiri dari tiga unit fenilpropan (p-coumaryl, coniferil dan sinapyl alkohol) yang terikat dengan ikatan yang berbeda (Anindyawati, 2010) Komponen lignoselulosa merupakan sumber utama untuk menghasilkan produk bernilai seperti gula dari hasil fermentasi, bahan kimia, bahan bakar cair, sumber karbon dan energi (Anindyawati, 2010). Menurut Anindyawati (2010). Berbagai produk nilai tambah dari limbah lignoselulosa diantaranya adalah untuk pupuk organik, bioetanol, biogas, biodiesel, biohidrogen, industri kimia. Pembuatan bioetanol dari limbah tumbuhan yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan sampel batang jagung yang diketahui mengandung komponenkomponen lignoselulosa. Akan tetapi dikarenakan ikatan kompleks antara lignin dan komponen selulosa, serta hemiselulosa sangat kuat, maka dalam perlakuannya perlu dilakukan pretreatment yaitu memisahkan komponen-komponen tersebut untuk mendapatkan glukosa yang dibutuhkan pada proses fermentasi. Dalam proses degradasi, penggunaannya sebagai substrat harus melalui beberapa tahapan antara lain delignifikasi untuk melepas selulosa dan hemiselulosa dari ikatan kompleks lignin dan depolimerisasi untuk mendapatkan gula bebas (Anindyawati, 2010) 13 2.4. Bioetanol Bioetanol merupakan produk etanol yang dihasilkan dari proses biologis yaitu fermentasi gula dari sumber karbohidrat dengan menggunakan bantuan mikroorganisme. Etanol atau etil alkohol yang dipasaran lebih dikenal sebagai alkohol merupakan senyawa organik dengan rumus kimia C2H5OH. Karakteristik etanol antara lain : berupa zat cair, tidak berwarna, berbau khas, mudah terbakar, mudah menguap, dan dapat bercampur dengan air dengan segala perbandingan (Muslihah, 2012). Secara umum penggunaan etanol yaitu sebagai pelarut, spritus, campuran minuman keras dan yang menjadi inovasi sekarang adalah penggunaannya sebagai bahan bakar alternatif. Bioetanol memiliki kelebihan dari energi alternatif yang lainnya yaitu etanol memiliki kandungan oksigen yang tinggi sehingga terbakar lebih sempurna, bernilai oktan lebih tinggi, dan ramah lingkungan (Handayani, 2007 dalam Budhiutami, 2011). Bioetanol dapat dihasilkan dari bahan yang mengandung lignoselulosa dan pada penelitian ini menggunakan batang tanaman jagung. Menurut Fitriana, (2009) sebanyak 11,7 kg tepung jagung dapat dikonversi menjadi 7 liter etanol. Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar dicampur dengan bensin yang biasa disebut gasohol. Gasohol adalah campuran antara bioetanol dan bensin dengan porsi bioetanol sampai dengan 25% yang dapat langsung digunakan pada mesin mobil bensin tanpa perlu memodifikasi mesin. Hasil pengujian kinerja mesin mobil bensin menggunakan gasohol menunjukkan gasohol E-10 (10% bioetanol ) dan gasohol E-20 (20% bioetanol) menunjukkan kinerja mesin yang lebih baik dari premium dan setara dengan pertamax (Anonim, 2008 dalam Komarayati dan 14 Gusmailina, 2010). Dengan demikian manfaat penggunaan bioetanol bukan hanya pada proses pembuatannya yang memanfaatkan limbah yang tidak terpakai akan tetapi manfaatnya dapat dirasakan juga ketika menggunakan bioetanol sebagai bahan bakar, karena selain ramah lingkungan, kinerja mesin kendaraan yang menggunakan bahan bakar bioetanol akan lebih awet dan terjaga kualitas kerjanya. Produksi etanol/bioetanol yang menggunakan bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat, dilakukan melalui proses biokonversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) yang larut dalam air (Fitriana, 2009). Glukosa dapat dibuat dari pati-patian dengan menghidrolisis untuk memecahnya menjadi molekul glukosa dengan menggunakan asam (misalnya asam sulfat), kemudian dilakukan proses peragian atau fermentasi gula menjadi etanol dengan menambahkan yeast atau ragi. Reaksi yang terjadi pada proses ini secara sederhana adalah : Hidrolisis Asam (H2SO4) (C6H10O5)n n C6H10O6 Pati Glukosa Ragi (C6H10O6)n 2 C2H5OH + 2 CO2 Glukosa Etanol Reaksi pembuatan bioetanol (Fitriana, 2009) Pada proses fermentasi, glukosa dipecah menjadi dua molekul asam piruvat melalui jalur Embden Meyerhof Parnas (EMP) atau glikolisis. Menurut Schlegel (1994), kemudian pirufat diubah menjadi alkohol melalui dua tahap. Tahap pertama, piruvat didekarboksilasi menjadi asetaldehid oleh piruvat 15 dekarboksilase dengan melibatkan tiamin pirofospat. Tahap kedua asetaldehid oleh alkohol dehidrogenase direduksi dengan NADH menjadi etanol. Dimana dari satu molekul glukosa akan terbentuk dua molekul alkohol dan dua karbondioksida. Perubahan glukosa menjadi alkohol dapat dilihat pada gambar 2.3. Glukosa 2 piruvat 2 NAD 2NADH 2 CO2 Enzim alkoholdehidrogenase 2 Etanol 2 Asetaldehid Gambar 2.3 Perubahan glukosa menjadi alkohol (Schlegel, 1994) 2.5. Hidrolisis Asam Proses pembuatan bioetanol secara garis besar terdiri dari proses hidrolisis, fermentasi, destilasi, dan dehidrasi. Menurut Yuniwati (2011) hidrolisis adalah suatu reaksi peruraian antara suatu senyawa dengan air agar senyawa tersebut pecah atau terurai. Proses penguraian (hidrolisis) dapat dilakukan dengan katalis asam, katalis kombinasi asam dan enzim maupun katalis enzim dengan enzim. Asam sulfat merupakan salah satu asam yang biasa digunakan untuk untuk katalisator dalam proses hidrolisis (Fachruroji dkk, 2009) Menurut Kosaric (1983 dalam Subekti, 2006) hidrolisis asam dapat dikategorikan melalui dua pendekatan umum, yaitu hidrolisis asam konsentrasi tinggi pada suhu rendah dan hidrolisis asam konsentrasi rendah pada suhu tinggi. 16 Namun karena harga asam kuat cukup mahal, hidrolisis selulosa dengan asam konsentrasi tinggi jarang diterapkan secara komersial. Pemilihan antara dua cara tersebut pada umumnya didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu laju hidrolisis, tingkat degradasi, produk dan biaya total proses produksi. Asam yang biasa digunakan untuk menghidrolisis selulosa adalah asam sulfat, asam klorida, atau asam fosfat (Subekti, 2006). Menurut Tsao et al., (1978 dalam Subekti 2006), hidrolisis asam biasanya dilakukan dalam dua tahap untuk meminimumkan hasil samping yang tidak diinginkan. Kedua tahap tersebut adalah (1) tahap yang melibatkan asam encer, yaitu 1 % asam sulfat pada 80- 120°C selama 30-240 menit dan (2) tahap yang menggunakan asam lebih keras, yaitu 5-20 % asam sulfat dan suhu lebih tinggi mendekati 180°C. Tujuan tahap pertama adalah untuk mengekstrak fraksi hemiselulosa khususnya pentosa, sedangkan tahap kedua dilakukan untuk menghidrolisis selulosa membentuk glukosa. Hidrolisis dalam suasana asam menghasilkan pemecahan ikatan glikosida, yang berlangsung dalam tiga tahap. Mekanisme reaksinya dapat dilihat pada Gambar 2.3 berikut. 17 CH2OH O OH CH2OH O OH OH OH HO O OH OH O+ O H+ H OH OH HO O OH CH2OH OH (I) CH2OH (II) OH CH2OH HO O OH C+ H OH HO O OH CH2OH OH (III) H2O OH CH2OH O OH HO OH + OH HO O OH H+ OH CH2OH Gambar 2.2. Mekanisme Reaksi Hidrolisis Asam Pada tahap pertama proton yang berkelakuan sebagai katalisator asam berinteraksi cepat dengan oksigen glikosida yang menghubungkan dua unit gula (I), membentuk yang disebut asam konyugat (II). Langkah ini diikuti dengan pemutusan yang lambat dari ikatan C-O, dalam kebanyakan hal menghasilkan zat antara kation karbonium siklis (III). Akhirnya kation karbonium mulai mengadisi molekul air dengan cepat, membentuk hasil akhir yang stabil dan melepaskan proton (Fengel dan Wegener, 1995). Protonasi juga dapat terjadi pada oksigen 18 cincin yang menghasilkan pembukaan cincin dan kation karbonium non siklik. Tidak ada kepastian ion karbonium mana yang paling mungkin dibentuk, kedua bentuk protonasi dapat terbentuk dengan kemungkinan terbesar pada karbonium siklik (Wijayamti, 2005 dalam anonim, 2011) 2.6. Fermentasi Fermentasi adalah salah satu proses kimia tertua yang dikenal manusia. Fermentasi ini digunakan untuk membuat produk makanan, minuman, obat-obatan, dan kimia (Muniroh dan Luthfi, 2011). Menurut Budhiutami, (2011) Fermentasi etanol atau alkoholisasi adalah proses perubahan gula menjadi alkohol dan karbon dioksida oleh mikroba, terutama oleh khamir S. cerevisiae. Mikroba ini biasanya dikenal dengan baker’s yeast dan metabolismenya telah dipelajari dengan baik. Produk metabolit utama adalah etanol, karbon dioksida, dan air, sedangkan beberapa produk lain dihasilkan dalam jumlah sedikit. Khamir ini bersifat fakultatif anaerobik. S. cerevisiae memerlukan suhu 30 oC dan pH 4,0 - 4,5 agar dapat tumbuh dengan baik. Selama proses fermentasi akan timbul panas. Bila tidak dilakukan pendinginan, suhu akan terus meningkat sehubungan proses fermentasi terhambat (Oura, 1983 dalam Shofiyanto, 2008). Menurut Azizah (2012) S. cerevisiae memiliki beberapa kelebihan dibandingan mikroba penghasil alkohol yang lain, S. cerevisiae adalah salah satu spesies khamir yang memiliki daya konversi gula menjadi etanol sangat tinggi, dapat mengkonversi gula lebih cepat, dalam waktu 72 jam S. cerevisiae dapat menghasilkan alkohol hingga 2 %, toleran terhadap etanol yang cukup tinggi 1218% (v/v) toleran terhadap gula tinggi, dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-23 ◦C (Harrison dan Graham, 1970 dalam Anonim, 2011). Sela jugin itu 19 juga diketahui bahwa selain dipergunakan dalam fermentasi S. cerevisiae juga dimanfaatkan sebagai suplemen nutrisi karena mengandung mineral seperti selenium dan chromium serta vitamin B kompleks yang berfungsi untuk menunjang kerja sistem saraf dan otot-otot saluran pencernaan serta memelihara kesehatan kulit, mata, dan hati (UMMC, 2009 dalam Anonim, 2011) Lama fermentasi juga berkaitan dengan pertumbuhan dari S. cerevisiae. Seperti mikroba yang lain, pertumbuhan dari S. cerevisiae dapat digambarkan dengan kurva pertumbuhan yang menunjukan masing-masing fase pertumbuhan. Ada empat fase yang meliputi fase adaptasi, fasih tumbuh cepat, fase stasioner, dan fase kematian. Fase adaptasi digambarkan dengan garis kurva dari keadaan nol kemudian sedikit ada kenaikan. Di dalam fase ini S. cerevisiae mengalami masa adaptasi dengan lingkungan dan belum ada pertumbuhan. Fase tumbuh cepat yang digambarkan dengan garis kurva yang mulai menunjukan adanya peningkatan yang tajam. Pada fase ini S. cerevisiae mengalami pertumbuhan yang sangat cepat. Di dalam fase ini terjadi pemecahan gula secara besar-besaran guna memenuhi kebutuhan pertumbuhan S. cerevisiae. Hasil pemecahan gula oleh S. cerevisiae dalam keadaan anaerob menghasilkan alkohol. Kemungkinan dihasilkan alkohol paling tinggi pada fase ini. Fase stasioner digambarkan dengan garis kurva mendatar yang menunjukan jumlah S. cerevisiae yang hidup sebanding dengan jumlah yang mati. Fase kematian digambarkan denga penurunan garis kurva. Pada fase ini jumlah S. cerevisiae yang mati lebih banyak sampai akhirnya semua S. cerevisiae mati (Azizah dkk, 2012) Berikut adalah Gambar 2.4 grafik pertumbuhan mikroba. Jumlah Pertumbuhan Mikroba 20 Fase Stasioner Fase Eksponensial Fase Kematian Fase Lag Waktu (t) Gambar 2.4 grafik pertumbuhan mikroba Etanol yang digunakan dalam minuman diperoleh dari peragian karbihidrat yang berkatiliskan enzime (fermentasi gula dan pati). Sumber karbohidrat untuk peragian bergantung pada ketersediaannya dan pada tujuan penggunaan alkohol. Peragian buah-buahan, sayuran atau biji-bijian berhenti bila kadar alkohol telah mencapai 14-16 %. Jika diinginkan kadar yang lebih tinggi, campuran itu harus disuling. distilat (sulingan) berupa campuran azeotrop 95 % alkohol-5%. Distilat ini dapat dicampurkan kembali ke campuran peragian untuk meningkatkan kadar alkoholnya, atau dapat ditambahi air untuk mendapatkan kadar yang diinginkan (Fessenden dan Fessenden; 1986) Menurut Campbell (2002 dalam Muslihah, 2012) proses fermentasi terdiri atas glikolisis dan reaksi yang menghasilkan NAD+ melalui transfer elektron dari NADH ke piruvat. Glikolisis merupakan proses pengubahan satu molekul glukosa menjadi dua molekul piruvat. Pada fermentasi alkohol, piruvat diubah menjadi etanol dalam dua langkah. Langkah pertama yaitu dengan melepaskan 21 karbondioksida dari piruvat selanjutnya diubah menjadi menjadi senyawa asetaldehida berkarbon dua. langkah kedua asetaldehida direduksi oleh NADH menjadi etanol. 2.7 Destilasi Bioetanol yang dihasilkan dari fermentasi bahan nabati umumnya memiliki konsentrasi berkisar antara 5-10% (vol) etanol. Konsentrasi etanol dari proses fermentasi ini tergantung dari bahan nabati yang digunakan, proses fermentasi dan mikroorganisme yang dilibatkan. Etanol selanjutnya dimurnikan untuk mendapatkan etanol absolut. Pemurnian etanol dilakukan dengan dua tahap, yaitu pemurnian dengan destilasi hingga konsentrasi 95,6 % etanol serta dehidrasi etanol untuk mendapatkan etanol absolut. Pemurnian etanol tidak dapat dilakukan hanya dengan satu tahap (destilasi sederhana) karena etanol dan air membentuk campuran azerotrop (Kusuma dan Dwiatmoko, 2009) Pemurnian awal dengan destilasi. Prinsip dasar kerja alat destilasi ini yaitu pemisahan yang didasarkan pada perbedaan titik didih atau titik cair dari masingmasing zat penyusun dari campuran homogen. Dalam proses destilasi terdapat dua tahap proses yaitu tahap penguapan dan dilanjutkan dengan tahap pengembangan kembali uap menjadi cair atau padatan. Atas dasar ini maka perangkat peralatan destilasi menggunakan alat pemanas dan alat pendingin (anonim, 2011). Destilasi ini dilakukan untuk pemisahan alkohol dari pengotornya, dimana komponen yang terbanyak adalah air, hingga konsentrasi 95,6 % etanol. Pemisahan etanol dilakukan dengan destilasi karena adanya perbedaan titik didih etanol (78,4 ◦C atau sekitar 173 F) dan air (100 ◦C atau sekitar 212 F) pada 22 tekanan atmosfer. Jika campuran alkohol dan air dididihkan, uap yang mengandung konsentrasi alkohol yang lebih tinggi akan terbentuk dan cairan yang mengandung konsentrasi alkohol yang lebih rendah akan tertinggal (Kusuma dan Dwiatmoko, 2009) Umumnya kadar bioetanol dari proses fermentasi masih rendah yaitu 10%. Jika bioetanol ingin digunakan sebagai bahan bakar (biofuel), maka konsentrasi ini perlu ditingkatkan hingga 99% sebagai persyaratan fuel grade ethanol (FGE). Salah satu cara untuk meningkatkan kadar bioetanol adalah dengan proses dehidrasi untuk memperoleh etanol dengan kadar lebih besar dari 99% (Onuki, 2006 dalam Khaidir, 2012). 2.8. Metoda Spektroskopi Metoda spektroskopi merupakan metode utama pada kimia modern untuk identifikasi struktur molekul. Pada kimia organik, metoda spektroskopi digunakan untuk menentukan dan mengkonfirmasi struktur molekul, untuk memantau reaksi dan untuk mengetahui kemurnian suatu senyawa. Senyawa organik dapat menyerap radiasi elektomagnetik. Absorpsi dalam daerah infra merah mengakibatkan eksitasi vibrasi dari ikatan-ikatan. Anekaragam ikatan membutuhkan energi untuk eksitasi vibrasi dalam kuantitas yang berbedabeda. dalam suatu spektrum inframerah, daerah 1400-4000 cm-1 merupakan daerah yang berguna untuk menentukan gugus fungsional, sedangkan gugus di luarnya merupakan daerah sidik jari. (Fesenden dan Fessenden, 1982). Spektrofotometer infra merah merupakan instrumen atau alat yang dapat digunakan untuk mengukur resapan radiasi infra merah pada berbagai panjang 23 gelombang. Secara sederhana bagan alat spektrofotometer infra merah diberikan pada gambar 2.5. Sel Rujukan Sumber Cahaya Ke detektor dan perekam Kisi Sel Contoh Sumber cahay memancarkan cahaya infra merah pada semua panjang gelombang. Cahaya dari sumber ini dipecah oleh sistem cermin (tdk ditunjukan) menjadi dua berkas cahaya, berkas rujukan (reverensi) dan berkas contoh. Setelah masing-masing melewati sel rujukan (pelarut murni, jika pelarut itu digunakan dalam contoh, atau kosong jika contoh tidak menggunakan pelarut) dan sel contoh, kedua berkas ini digabung kembali dalam pemenggal (chopper, suatu sistem cermin lain), menjadi satu berkas yang berasal dari kedua berkas itu, yang selang seling bergantian. Berkas selang seling ini didifraksi oleh suatu kisi sehingga berkas itu terpecah menurut panjang gelombang. Detektor mengukur beda intensitas antara kedua macam berkas tadi pada tiap-tiap gelombang dan meneruskan informasi ini ke perekam, yang menghasilakn spektrum (Fessenden dan Fessenden, 1982) 2.9. Kromatografi Gas Kromatografi pertama kali digunakan oleh ramsey pada tahun 1905 untuk memisahkan campuran gas dan campuran uap. Sejumlah percobaan pertama ini menggunakan penyerapan selektif oleh penyerap padat seperti arang aktif. Tahun 24 berikutnya Tswett memperoleh sejumlah pita berwarna yang terpisah-pisah pada kolom kromatografi. Ia menggunakan istilah ‘kromatografi’ (secara harfiah berarti ‘penulisan warna’) (McNair dan Bonelli, 1988) Kromatografi gas adalah suatu cara untuk memisahkan senyawa atsiri dengan meneluskan arus gas melalui fase diam. Bila fase diam berupa zat padat cara ini disebuat sebagai kromatografi gas-padat (KGP), sedangkan bila fase diamnya berupa zat cair maka disebut kromatgrafi gas-cair (KGC). Perbedaan ini didasarkan pada sifat penyerapan kemasan kolom untuk memisahkan cuplikan. Dasar pemisahan secara kromatografi gas adalah penyebaran cuplikan diantara dua fase. Dimana fasa diam yang permukaannya relatif luas, dan fase gas yang menelusuri fase diam (McNair dan Bonelli, 1988). Ada bebeapa keuntungan kromatografi gas yaitu sebagai berikut : 1. Kecepatan, analisis dengan menggunakan kromatografi gas dapat diselesaikan dalam waktu relatif singkat. 2. Resolusi (daya pisah) suatu alat kromatografi gas cair dapat memisahkan senyawa-senyawa titik didihnya berdekatan, yang tidak mungkin dapat dilakukan dengan cara penyulingan atau cara lain. 3. Kromatografi gas dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif 4. Kepekaan, yaitu dapat mendeteksi sampai 0,01 % (100 bpj = bagian per juta). Selain itu beberapa mikroliter saja cukup untuk dilakukannya suatu analisis cuplikan. 5. Kesederhanaan alat kromatogafi gas yang mudah dijalankan dan mudah dipahami.