BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Sampah Organik Berdasarkan

advertisement
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Sampah Organik
Berdasarkan jenisnya sampah dibedakan menjadi dua macam, yaitu
sampah anorganik dan sampah organik. Sampah anorganik merupakan sampah
yang pada umumnya dihasilkan dari makhluk tak hidup dan merupakan jenis
sampah yang sulit terurai (undegradable). Sedangkan sampah organik adalah jenis
sampah yang dihasilkan dari makhluk hidup, dan mudah terurai atau membusuk,
contohnya sisa makanan seperti kulit pisang, daun-daun yang telah mengering,
dan sebagainya.
Perilaku mengkonsumsi sebagai pemenuhan kebutuhan jasmaniah
khususnya manusia tidak akan lepas dari hasil pembuangan yang sering kita kenal
dengan sampah. Ditambah lagi dengan semakin pesatnya pertumbuhan jumlah
penduduk dan perekonomian juga menjadi permasalahan nyata akan dampak
negatif khususnya pada lingkungan dalam hal ini adalah sampah organik rumah
tangga. Penduduk indonesia perharinya membuang sampah sekitar 51.400.000 ton
sampah (Muslihah, 2012).
Menurut Muslihah (2012) pasar khusus seperti pasar sayur-mayur, pasar
buah ataupun pasar ikan, jenis sampah yang dihasilakan relatif seragam dan
sebagian besar (95 %) adalah sampah organik. Sedangkan sampah dari
pemukiman umumnya sangat beragam, tapi secara umum minimal 75 % terdiri
dari sampah organik dan sisanya adalah sampah anorganik.
Sumber penghasil sampah di Indonesia sebagian besar berasal dari
perumahan (70-75%) dan (25-30%) berasal dari non perumahan. Secara umum
7
komposisi sampah terdiri dari jenis organik, kertas, plastik, gelas, logam dan lainlain. Sampah di Indonesia rata-rata masuk dalam kategori sampah basah yang
dengan kandungan organik cukup tinggi (70-80%) dan anorganiknya (20-30%)
serta memiliki kadar air 60%, berat jenis rata-rata 250 kg/m3 serta nilai kalor
(1.100-1.500) k.cal/kg. Sampah ini akan terdekomposisi menjadi bentuk padat,
cair dan gas (Rahman, tanpa tahun)
Sampah yang belum teolah secara baik akan menimbulkan dampak yang
buruk bagi lingkungan seperti, banjir, tempat bersarangnya nyamuk yang akan
menjadi sumber penyakit, dan tumpukan sampah yang besar memberikan bau tak
sedap, serta kegiatan pembersihan dengan cara membakar juga memberikan
dampak polusi dan pencemaran udara. Oleh sebab itu sampah merupakan salah
satu masalah serius yang perlu segera ditemukan jalan keluar penanganannya .
Menurut Artiani (2010) selama ini sampah dipandang sebagai buangan
yang tidak lagi bermanfaat, sementara di sisi lain pemerintah kesulitan menangani
pengelolaan sampah secara tuntas. Dari adanya kondisi ini, maka harus dicari
alternatif untuk menyelesaikan masalah yang ada, yaitu memanfaatkan sampah
secara optimal sekaligus dapat memperpanjang umur TPA.
Beberapa alternatif bagaimana cara memanfaatkan sampah, sehingga
mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi antara lain
sampah dapat
dimanfaatkan menjadi kompos, biogas (energi alternatif), papan komposit
(komposit serbuk kayu plastik daur ulang), bahan baku dalam pembuatan bata
(briket), pengisi tanah, penanaman jamur, media produksi vitamin, media
produksi Protein Sel Tunggal (PST), dan lain-lain. (Saputro dkk, 2006).
8
2.2. Tanaman Jagung
Tanaman jagung (Zea mays L.) termasuk dalam famili rumput-rumputan
(Gramineae) tanaman ini di Indonesia sudah dikenal sejak 400 tahun yang lalu,
yang pertama kali dibawa oleh bangsa portugis dan spanyol ( Shofiyanto 2008).
Berikut adalah klasifikasi tanaman jagung (Zea mays L.) :
Divisi
Sub Divisi
Kelas
Bangsa
Suku
Marga
Jenis
: Spermatophyta
: Angiospermae
: Monocotyledonae
: Graminales
: Graminae
: Zea
: Zea mays L.
Di Indonesia, jagung merupakan komoditas pangan dengan
tingkat
permintaan yang terus meningkat. Badan Pusat Statistik (2008) memperkirakan
pada tahun 2008 produksi jagung pipil kering di Indonesia sebanyak 14.854.050
ton. Jumlah ini dihasilkan oleh propinsi-propinsi penghasil jagung terbesar seperti
Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, NTT,
dan
Gorontalo (Susilowati, 2011). Sedangkan pada tahun 2009 Badan Pusat
statistik melaporkan bahwa, produksi tanaman jagung di indonesia yaitu 4,2
ton/ha. Dari produksi tersebut proporsi limbah tanaman jagung per persen bahan
kering terdiri dari 50 % batang, 20 % daun, 20 % tongkol dan 10 % klobot
(Retnani dkk; 2009)
Meskipun batang, daun, tongkol, dan kelobot jagung hanya merupakan
limbah hasil panen, bagian-bagian tanaman ini masih dapat dimanfaatkan sebagai
bahan yang memiliki daya guna dan dapat menghasilkan beragam produk. Berikut
9
diberikan dalam dalam Gambar 2.1 potensi-potensi yang dimiliki dari tumbuhan
jagung.
Daun
1. Pakan
2. Kompos
1. Pakan
2. Kompos
3. Industri Rokok
Kulit/
Kelobot
Grit
1. Pakan
2. Kompos
1. Pakan
2. Pangan
3. Bahan Baku Industri
Tepung
Jagung
Pipilan
Tanaman jagung
Pati
Buah
Jagung
4. Pakan
5. Pangan
6. Bahan Baku Industri
Lembaga
Kulit Ari
Tongkol
Rambut
Batang
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
1. Minyak
1. Bahan Baku Industri
Pakan
Pulp
Kompos
Bahan Bakar
1. Kompos
Pakan
Pulp
Kertas
Bahan Bakar
Gambar 2.1 Potensi Pemanfaatan Tanaman Jagung (Anonim, 2005 dalam Subekti
2011).
10
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa salah satu potensi dari batang
jagung adalah sebagai bahan bakar, maka dari 50 % limbah batang jagung untuk
dimanfaatkan sebagai bahan bakar merupakan potensi yang besar. Menurut
Muniroh dan Luthfi (2011) Biomassa batang jagung merupakan sampah yang
sejauh ini masih belum banyak dimanfaatkan menjadi produk yang memiliki nilai
tambah (added value). Batang jagung yang termasuk biomassa mengandung
lignoselulosa sangat dimungkinkan untuk dimanfaatkan menjadi bioetanol
karena memiliki kandungan selulosa yang cukup banyak. Tabel 2.1 berikut
menunjukan kandungan komponen-komponen ligneselulosa yang terdapat pada
batang jagung.
Tabel 2.1 Kandungan dalam batang jagung (Muniroh dan Luthfi 2011)
Komponen
Selulosa
Hemiselulosa
Lignin
Abu
Kadar Air
Jumlah
30-50 %
15-35 %
13-30 %
6%
9-13 %
2.3. Lignoselulosa
Bahan lignoselulosa merupakan komponen organik berlimpah di alam.
Lignoselulosa terdiri dari tiga polimer alam yaitu selulosa (kerangka),
hemiselulosa (matriks) dan lignin (pembungkus) yang terdapat pada tumbuhan.
Lignoselulosa terdapat di bahan kayu, jerami, rumput – rumputan, limbah
pertanian hutan, limbah industri (kayu dan kertas), dan yang lainnya (Octafiani,
2013). Kebanyakan selulosa berasosiasi dengan lignin sehingga sering disebut
sebagai lignoselulosa (Subekti, 2006). Molekul selulosa merupakan mikrofibril
11
dari glukosa yang terikat satu dengan lainya membentuk rantai polimer yang
sangat panjang. Rantai selulosa terdiri dari satuan glukosa anhidrida yang saling
berkaitan melalui atom karbon pertama dan keempat. Ikatan yang terjadi adalah
ikatan 𝛽 -1,4-glikosidik (Shofiyanto, 2008) Struktur kimia dan ikatan 𝛽 -1,4glikosidik selulosa dapat dilihat pada Gambar 2.2. berikut :
CH2OH
O O
OH
CH2OH
O O
OH
CH2OH
O
OH
OH
OH
O
OH
Gambar 2.2. Struktur Selulosa (Fessenden dan Fessenden, 1982)
Pada umumnya jumlah selulosa dalam tanaman lignoselulosa adalah 23 25 % pada berat keringnya. Berikut adalah Tabel 2.2. yang menunjukan kadungan
selulosa pada beberapa tanaman lignoselulosa.
Tabel 2.2 Kandungan Selulosa Pada Beberapa Tanaman Lignoselulosa (Octafiani,
2013)
Tanaman Lignoselulosa
Jerami gandum
Jerami padi
Tebu
Batang tanaman jagung
Tongkol jagung
Kandungan Selulosa (%)
38,6
36,5
38,5
39,2
43,2
Hemiselulosa merupakan heteropolymers (matrix polysaccharides) yang
berisi 200 monomer gula. Hemiselulosa berada bersama-sama dengan selulosa
12
pada dinding sel, dan keduanya diikat oleh pektin. Strukturnya yang terbesar
adalah
amorphous dan sebagian kecil berupa kristalin. Hemiselulosa mudah
dihidrolisis dengan asam encer, basa, atau enzim. Hemiselulosa mengandung
beberapa monomer gula yaitu: xylosa, mannosa, galaktosa, rhamnosa, arabinosa,
dan glukosa. Xylosa merupakan gula yang paling banyak terkandung dalam
hemiselulosa (Sukadarti dkk, 2010). Sedangkan lignin adalah heteropolimer amorf
yang terdiri dari tiga unit fenilpropan (p-coumaryl, coniferil dan sinapyl alkohol)
yang terikat dengan ikatan yang berbeda (Anindyawati, 2010)
Komponen lignoselulosa merupakan sumber utama untuk menghasilkan
produk bernilai seperti gula dari hasil fermentasi, bahan kimia, bahan bakar cair,
sumber karbon dan energi (Anindyawati, 2010). Menurut Anindyawati (2010).
Berbagai produk nilai tambah dari limbah lignoselulosa diantaranya adalah untuk
pupuk organik, bioetanol, biogas, biodiesel, biohidrogen, industri kimia.
Pembuatan bioetanol dari limbah tumbuhan yang dilakukan pada penelitian
ini menggunakan sampel batang jagung yang diketahui mengandung komponenkomponen lignoselulosa. Akan tetapi dikarenakan ikatan kompleks antara lignin
dan komponen selulosa, serta hemiselulosa sangat kuat, maka dalam perlakuannya
perlu dilakukan pretreatment yaitu memisahkan komponen-komponen tersebut
untuk mendapatkan glukosa yang dibutuhkan pada proses fermentasi. Dalam
proses degradasi, penggunaannya sebagai substrat harus melalui beberapa tahapan
antara lain delignifikasi untuk melepas selulosa dan hemiselulosa dari ikatan
kompleks lignin dan depolimerisasi untuk mendapatkan gula bebas (Anindyawati,
2010)
13
2.4. Bioetanol
Bioetanol merupakan produk etanol yang dihasilkan dari proses biologis
yaitu fermentasi gula dari sumber karbohidrat dengan menggunakan bantuan
mikroorganisme. Etanol atau etil alkohol yang dipasaran lebih dikenal sebagai
alkohol merupakan senyawa organik dengan rumus kimia C2H5OH. Karakteristik
etanol antara lain : berupa zat cair, tidak berwarna, berbau khas, mudah terbakar,
mudah menguap, dan dapat bercampur dengan air dengan segala perbandingan
(Muslihah, 2012). Secara umum penggunaan etanol yaitu sebagai pelarut, spritus,
campuran minuman keras dan yang menjadi inovasi sekarang adalah
penggunaannya sebagai bahan bakar alternatif. Bioetanol memiliki kelebihan dari
energi alternatif yang lainnya yaitu etanol memiliki kandungan oksigen yang
tinggi sehingga terbakar lebih sempurna, bernilai oktan lebih tinggi, dan ramah
lingkungan (Handayani, 2007 dalam Budhiutami, 2011).
Bioetanol dapat dihasilkan dari bahan yang mengandung lignoselulosa dan
pada penelitian ini menggunakan batang tanaman jagung. Menurut Fitriana,
(2009) sebanyak 11,7 kg tepung jagung dapat dikonversi menjadi 7 liter etanol.
Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar dicampur dengan bensin yang biasa
disebut gasohol. Gasohol adalah campuran antara bioetanol dan bensin dengan
porsi bioetanol sampai dengan 25% yang dapat langsung digunakan pada mesin
mobil bensin tanpa perlu memodifikasi mesin. Hasil pengujian kinerja mesin
mobil bensin menggunakan gasohol menunjukkan gasohol E-10 (10% bioetanol )
dan gasohol E-20 (20% bioetanol) menunjukkan kinerja mesin yang lebih baik
dari premium dan setara dengan pertamax (Anonim, 2008 dalam Komarayati dan
14
Gusmailina, 2010). Dengan demikian manfaat penggunaan bioetanol bukan hanya
pada proses pembuatannya yang memanfaatkan limbah yang tidak terpakai akan
tetapi manfaatnya dapat dirasakan juga ketika menggunakan bioetanol sebagai
bahan bakar, karena selain ramah lingkungan, kinerja mesin kendaraan yang
menggunakan bahan bakar bioetanol akan lebih awet dan terjaga kualitas
kerjanya.
Produksi etanol/bioetanol yang menggunakan bahan baku tanaman yang
mengandung pati atau karbohidrat, dilakukan melalui proses biokonversi
karbohidrat menjadi gula (glukosa) yang larut dalam air (Fitriana, 2009). Glukosa
dapat dibuat dari pati-patian dengan menghidrolisis untuk memecahnya menjadi
molekul glukosa dengan menggunakan asam (misalnya asam sulfat), kemudian
dilakukan proses peragian atau fermentasi gula menjadi etanol dengan
menambahkan yeast atau ragi. Reaksi yang terjadi pada proses ini secara
sederhana adalah :
Hidrolisis Asam (H2SO4)
(C6H10O5)n
n C6H10O6
Pati
Glukosa
Ragi
(C6H10O6)n
2 C2H5OH + 2 CO2
Glukosa
Etanol
Reaksi pembuatan bioetanol (Fitriana, 2009)
Pada proses fermentasi, glukosa dipecah menjadi dua molekul asam
piruvat melalui jalur Embden Meyerhof Parnas (EMP) atau glikolisis. Menurut
Schlegel (1994), kemudian pirufat diubah menjadi alkohol melalui dua tahap.
Tahap pertama, piruvat didekarboksilasi menjadi asetaldehid oleh piruvat
15
dekarboksilase dengan melibatkan tiamin pirofospat. Tahap kedua asetaldehid
oleh alkohol dehidrogenase direduksi dengan NADH menjadi etanol. Dimana dari
satu molekul glukosa akan terbentuk dua molekul alkohol dan dua
karbondioksida. Perubahan glukosa menjadi alkohol dapat dilihat pada gambar
2.3.
Glukosa
2 piruvat
2 NAD
2NADH
2 CO2
Enzim alkoholdehidrogenase
2 Etanol
2 Asetaldehid
Gambar 2.3 Perubahan glukosa menjadi alkohol (Schlegel, 1994)
2.5. Hidrolisis Asam
Proses pembuatan bioetanol secara garis besar terdiri dari proses hidrolisis,
fermentasi, destilasi, dan dehidrasi. Menurut Yuniwati (2011) hidrolisis adalah
suatu reaksi peruraian antara suatu senyawa dengan air agar senyawa tersebut
pecah atau terurai. Proses penguraian (hidrolisis) dapat dilakukan dengan katalis
asam, katalis kombinasi asam dan enzim maupun katalis enzim dengan enzim.
Asam sulfat merupakan salah satu asam yang biasa digunakan untuk untuk
katalisator dalam proses hidrolisis (Fachruroji dkk, 2009)
Menurut Kosaric (1983 dalam Subekti, 2006) hidrolisis asam dapat
dikategorikan melalui dua pendekatan umum, yaitu hidrolisis asam konsentrasi
tinggi pada suhu rendah dan hidrolisis asam konsentrasi rendah pada suhu tinggi.
16
Namun karena harga asam kuat cukup mahal, hidrolisis selulosa dengan asam
konsentrasi tinggi jarang diterapkan secara komersial. Pemilihan antara dua cara
tersebut pada umumnya didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu laju
hidrolisis, tingkat degradasi, produk dan biaya total proses produksi.
Asam yang biasa digunakan untuk menghidrolisis selulosa adalah asam
sulfat, asam klorida, atau asam fosfat (Subekti, 2006). Menurut Tsao et al., (1978
dalam Subekti 2006), hidrolisis asam biasanya dilakukan dalam dua tahap untuk
meminimumkan hasil samping yang tidak diinginkan. Kedua tahap tersebut
adalah (1) tahap yang melibatkan asam encer, yaitu 1 % asam sulfat
pada 80-
120°C selama 30-240 menit dan (2) tahap yang menggunakan asam lebih keras,
yaitu 5-20 % asam sulfat dan suhu lebih tinggi mendekati 180°C. Tujuan tahap
pertama adalah untuk mengekstrak fraksi hemiselulosa khususnya pentosa,
sedangkan tahap kedua dilakukan untuk menghidrolisis selulosa membentuk
glukosa.
Hidrolisis dalam suasana asam menghasilkan pemecahan ikatan glikosida,
yang berlangsung dalam tiga tahap. Mekanisme reaksinya dapat dilihat pada
Gambar 2.3 berikut.
17
CH2OH
O
OH
CH2OH
O
OH
OH
OH
HO
O
OH
OH
O+
O
H+
H
OH
OH
HO
O
OH
CH2OH
OH
(I)
CH2OH
(II)
OH
CH2OH
HO
O
OH
C+
H
OH
HO
O
OH
CH2OH
OH
(III)
H2O
OH
CH2OH
O
OH
HO
OH
+
OH
HO
O
OH
H+
OH
CH2OH
Gambar 2.2. Mekanisme Reaksi Hidrolisis Asam
Pada tahap pertama proton yang berkelakuan sebagai katalisator asam
berinteraksi cepat dengan oksigen glikosida yang menghubungkan dua unit gula
(I), membentuk yang disebut asam konyugat (II). Langkah ini diikuti dengan
pemutusan yang lambat dari ikatan C-O, dalam kebanyakan hal menghasilkan zat
antara kation karbonium siklis (III). Akhirnya kation karbonium mulai mengadisi
molekul air dengan cepat, membentuk hasil akhir yang stabil dan melepaskan
proton (Fengel dan Wegener, 1995). Protonasi juga dapat terjadi pada oksigen
18
cincin yang menghasilkan pembukaan cincin dan kation karbonium non siklik.
Tidak ada kepastian ion karbonium mana yang paling mungkin dibentuk, kedua
bentuk protonasi dapat terbentuk dengan kemungkinan terbesar pada karbonium
siklik (Wijayamti, 2005 dalam anonim, 2011)
2.6. Fermentasi
Fermentasi
adalah salah satu
proses
kimia tertua
yang dikenal
manusia. Fermentasi ini digunakan untuk membuat produk makanan, minuman,
obat-obatan, dan kimia (Muniroh dan Luthfi, 2011). Menurut Budhiutami, (2011)
Fermentasi etanol atau alkoholisasi adalah proses perubahan gula menjadi alkohol
dan karbon dioksida oleh mikroba, terutama oleh khamir S. cerevisiae.
Mikroba ini biasanya dikenal dengan baker’s yeast dan metabolismenya
telah dipelajari dengan baik. Produk metabolit utama adalah etanol, karbon
dioksida, dan air, sedangkan beberapa produk lain dihasilkan dalam jumlah
sedikit. Khamir ini bersifat fakultatif anaerobik. S. cerevisiae memerlukan suhu
30 oC dan pH 4,0 - 4,5 agar dapat tumbuh dengan baik. Selama proses fermentasi
akan timbul panas. Bila tidak dilakukan pendinginan, suhu akan terus meningkat
sehubungan proses fermentasi terhambat (Oura, 1983 dalam Shofiyanto, 2008).
Menurut Azizah (2012) S. cerevisiae memiliki beberapa kelebihan dibandingan
mikroba penghasil alkohol yang lain, S. cerevisiae adalah salah satu spesies
khamir yang memiliki daya konversi gula menjadi etanol sangat tinggi, dapat
mengkonversi gula lebih cepat, dalam waktu 72 jam S. cerevisiae dapat
menghasilkan alkohol hingga 2 %, toleran terhadap etanol yang cukup tinggi 1218% (v/v) toleran terhadap gula tinggi, dan tetap aktif melakukan fermentasi pada
suhu 4-23 ◦C (Harrison dan Graham, 1970 dalam Anonim, 2011). Sela jugin itu
19
juga diketahui bahwa selain dipergunakan dalam fermentasi S. cerevisiae juga
dimanfaatkan sebagai suplemen nutrisi karena mengandung mineral seperti
selenium dan chromium serta vitamin B kompleks yang berfungsi untuk
menunjang kerja sistem saraf dan otot-otot saluran pencernaan serta memelihara
kesehatan kulit, mata, dan hati (UMMC, 2009 dalam Anonim, 2011)
Lama fermentasi juga berkaitan dengan pertumbuhan dari S. cerevisiae.
Seperti mikroba yang lain, pertumbuhan dari S. cerevisiae dapat digambarkan
dengan kurva pertumbuhan yang menunjukan masing-masing fase pertumbuhan.
Ada empat fase yang meliputi fase adaptasi, fasih tumbuh cepat, fase stasioner,
dan fase kematian. Fase adaptasi digambarkan dengan garis kurva dari keadaan
nol kemudian sedikit ada kenaikan. Di dalam fase ini S. cerevisiae mengalami
masa adaptasi dengan lingkungan dan belum ada pertumbuhan. Fase tumbuh
cepat yang digambarkan dengan garis kurva yang mulai menunjukan adanya
peningkatan yang tajam. Pada fase ini S. cerevisiae mengalami pertumbuhan yang
sangat cepat. Di dalam fase ini terjadi pemecahan gula secara besar-besaran guna
memenuhi kebutuhan pertumbuhan S. cerevisiae. Hasil pemecahan gula oleh S.
cerevisiae dalam keadaan anaerob menghasilkan alkohol. Kemungkinan
dihasilkan alkohol paling tinggi pada fase ini. Fase stasioner digambarkan dengan
garis kurva mendatar yang menunjukan jumlah S. cerevisiae yang hidup
sebanding dengan jumlah yang mati. Fase kematian digambarkan denga
penurunan garis kurva. Pada fase ini jumlah S. cerevisiae yang mati lebih banyak
sampai akhirnya semua S. cerevisiae mati (Azizah dkk, 2012) Berikut adalah
Gambar 2.4 grafik pertumbuhan mikroba.
Jumlah Pertumbuhan Mikroba
20
Fase Stasioner
Fase
Eksponensial
Fase Kematian
Fase Lag
Waktu (t)
Gambar 2.4 grafik pertumbuhan mikroba
Etanol yang digunakan dalam minuman diperoleh dari peragian karbihidrat
yang berkatiliskan enzime (fermentasi gula dan pati). Sumber karbohidrat untuk
peragian bergantung pada ketersediaannya dan pada tujuan penggunaan alkohol.
Peragian buah-buahan, sayuran atau biji-bijian berhenti bila kadar alkohol telah
mencapai 14-16 %. Jika diinginkan kadar yang lebih tinggi, campuran itu harus
disuling. distilat (sulingan) berupa campuran azeotrop 95 % alkohol-5%. Distilat
ini dapat dicampurkan kembali ke campuran peragian untuk meningkatkan kadar
alkoholnya, atau dapat ditambahi air untuk mendapatkan kadar yang diinginkan
(Fessenden dan Fessenden; 1986)
Menurut Campbell (2002 dalam Muslihah, 2012) proses fermentasi terdiri
atas glikolisis dan reaksi yang menghasilkan NAD+ melalui transfer elektron dari
NADH ke piruvat. Glikolisis merupakan proses pengubahan satu molekul glukosa
menjadi dua molekul piruvat. Pada fermentasi alkohol, piruvat diubah menjadi
etanol dalam dua langkah. Langkah pertama yaitu dengan melepaskan
21
karbondioksida dari piruvat selanjutnya diubah menjadi menjadi senyawa
asetaldehida berkarbon dua. langkah kedua asetaldehida direduksi oleh NADH
menjadi etanol.
2.7 Destilasi
Bioetanol yang dihasilkan dari fermentasi bahan nabati umumnya memiliki
konsentrasi berkisar antara 5-10% (vol) etanol. Konsentrasi etanol dari proses
fermentasi ini tergantung dari bahan nabati yang digunakan, proses fermentasi dan
mikroorganisme
yang
dilibatkan.
Etanol
selanjutnya
dimurnikan
untuk
mendapatkan etanol absolut. Pemurnian etanol dilakukan dengan dua tahap, yaitu
pemurnian dengan destilasi hingga konsentrasi 95,6 % etanol serta dehidrasi
etanol untuk mendapatkan etanol absolut. Pemurnian etanol tidak dapat dilakukan
hanya dengan satu tahap (destilasi sederhana) karena etanol dan air membentuk
campuran azerotrop (Kusuma dan Dwiatmoko, 2009)
Pemurnian awal dengan destilasi. Prinsip dasar kerja alat destilasi ini yaitu
pemisahan yang didasarkan pada perbedaan titik didih atau titik cair dari masingmasing zat penyusun dari campuran homogen. Dalam proses destilasi terdapat dua
tahap proses yaitu tahap penguapan dan dilanjutkan dengan tahap pengembangan
kembali uap menjadi cair atau padatan. Atas dasar ini maka perangkat peralatan
destilasi menggunakan alat pemanas dan alat pendingin (anonim, 2011).
Destilasi ini dilakukan untuk pemisahan alkohol dari pengotornya, dimana
komponen yang terbanyak adalah air, hingga konsentrasi 95,6 % etanol.
Pemisahan etanol dilakukan dengan destilasi karena adanya perbedaan titik didih
etanol (78,4 ◦C atau sekitar 173 F) dan air (100 ◦C atau sekitar 212 F) pada
22
tekanan atmosfer. Jika campuran alkohol dan air dididihkan, uap yang
mengandung konsentrasi alkohol yang lebih tinggi akan terbentuk dan cairan yang
mengandung konsentrasi alkohol yang lebih rendah akan tertinggal (Kusuma dan
Dwiatmoko, 2009)
Umumnya kadar bioetanol dari proses fermentasi masih rendah yaitu 10%.
Jika bioetanol ingin digunakan sebagai bahan bakar (biofuel), maka konsentrasi
ini perlu ditingkatkan hingga 99% sebagai persyaratan fuel grade ethanol (FGE).
Salah satu cara untuk meningkatkan kadar bioetanol adalah dengan proses
dehidrasi untuk memperoleh etanol dengan kadar lebih besar dari 99% (Onuki,
2006 dalam Khaidir, 2012).
2.8. Metoda Spektroskopi
Metoda spektroskopi merupakan metode utama pada kimia modern untuk
identifikasi struktur molekul. Pada kimia organik, metoda spektroskopi digunakan
untuk menentukan dan mengkonfirmasi struktur molekul, untuk memantau reaksi
dan untuk mengetahui kemurnian suatu senyawa.
Senyawa organik dapat menyerap radiasi elektomagnetik. Absorpsi dalam
daerah infra merah mengakibatkan eksitasi vibrasi dari ikatan-ikatan. Anekaragam
ikatan membutuhkan energi untuk eksitasi vibrasi dalam kuantitas yang berbedabeda. dalam suatu spektrum inframerah, daerah 1400-4000 cm-1 merupakan
daerah yang berguna untuk menentukan gugus fungsional, sedangkan gugus di
luarnya merupakan daerah sidik jari. (Fesenden dan Fessenden, 1982).
Spektrofotometer infra merah merupakan instrumen atau alat yang dapat
digunakan untuk mengukur resapan radiasi infra merah pada berbagai panjang
23
gelombang. Secara sederhana bagan alat spektrofotometer infra merah diberikan
pada gambar 2.5.
Sel Rujukan
Sumber
Cahaya
Ke detektor
dan perekam
Kisi
Sel Contoh
Sumber cahay memancarkan cahaya infra merah pada semua panjang
gelombang. Cahaya dari sumber ini dipecah oleh sistem cermin (tdk ditunjukan)
menjadi dua berkas cahaya, berkas rujukan (reverensi) dan berkas contoh. Setelah
masing-masing melewati sel rujukan (pelarut murni, jika pelarut itu digunakan
dalam contoh, atau kosong jika contoh tidak menggunakan pelarut) dan sel
contoh, kedua berkas ini digabung kembali dalam pemenggal (chopper, suatu
sistem cermin lain), menjadi satu berkas yang berasal dari kedua berkas itu, yang
selang seling bergantian. Berkas selang seling ini didifraksi oleh suatu kisi
sehingga berkas itu terpecah menurut panjang gelombang. Detektor mengukur
beda intensitas antara kedua macam berkas tadi pada tiap-tiap gelombang dan
meneruskan informasi ini ke perekam, yang menghasilakn spektrum (Fessenden
dan Fessenden, 1982)
2.9. Kromatografi Gas
Kromatografi pertama kali digunakan oleh ramsey pada tahun 1905 untuk
memisahkan campuran gas dan campuran uap. Sejumlah percobaan pertama ini
menggunakan penyerapan selektif oleh penyerap padat seperti arang aktif. Tahun
24
berikutnya Tswett memperoleh sejumlah pita berwarna yang terpisah-pisah pada
kolom kromatografi. Ia menggunakan istilah ‘kromatografi’ (secara harfiah berarti
‘penulisan warna’) (McNair dan Bonelli, 1988)
Kromatografi gas adalah suatu cara untuk memisahkan senyawa atsiri
dengan meneluskan arus gas melalui fase diam. Bila fase diam berupa zat padat
cara ini disebuat sebagai kromatografi gas-padat (KGP), sedangkan bila fase
diamnya berupa zat cair maka disebut kromatgrafi gas-cair (KGC). Perbedaan ini
didasarkan pada sifat penyerapan kemasan kolom untuk memisahkan cuplikan.
Dasar pemisahan secara kromatografi gas adalah penyebaran cuplikan diantara
dua fase. Dimana fasa diam yang permukaannya relatif luas, dan fase gas yang
menelusuri fase diam (McNair dan Bonelli, 1988).
Ada bebeapa keuntungan kromatografi gas yaitu sebagai berikut :
1.
Kecepatan,
analisis
dengan menggunakan
kromatografi
gas
dapat
diselesaikan dalam waktu relatif singkat.
2.
Resolusi (daya pisah) suatu alat kromatografi gas cair dapat memisahkan
senyawa-senyawa titik didihnya berdekatan, yang tidak mungkin dapat
dilakukan dengan cara penyulingan atau cara lain.
3.
Kromatografi gas dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif
4.
Kepekaan, yaitu dapat mendeteksi sampai 0,01 % (100 bpj = bagian per
juta). Selain itu beberapa mikroliter saja cukup untuk dilakukannya suatu
analisis cuplikan.
5.
Kesederhanaan alat kromatogafi gas yang mudah dijalankan dan mudah
dipahami.
Download