BAB II KEDUDUKAN SIRAH DALAM STUDI HADIS TENTANG USIA

advertisement
BAB II
KEDUDUKAN SIRAH DALAM STUDI HADIS TENTANG USIA
PERNIKAHAN KHADIJAH DENGAN NABI MUHAMMAD SAW
A. Definisi Sirah Nabawiyah
Sirah berasal dari bahasa Arab, merupakan kata isim dari fi‟il Saara yang
bermakna perjalanan, kisah, ajaran, sejarah, biografi, riwayat hidup seseorang, dan
sebagainya.1 Sirah secara semantik2 berarti perjalanan. Dalam terminologi
historiografi, sirah berarti perjalanan hidup atau biografi. Apabila disebut sirah
saja, tanpa dikaitkan dengan nama tokoh tertentu sesudahnya, maka yang
dimaksudkan adalah perjalanan hidup atau biografi Nabi Muhammad Saw. Hal itu
karena banyaknya karya sirah yang berhubungan dengan riwayat hidup Nabi
Muhammad Saw.3
Menurut Murtadha Muthahhari,4 dalam bahasa Arab kata sirah berakar
dari sair yang berarti jalan atau gerak. Kata sirah bersajak fi‟lah yang
menunjukkan tipe tindakan yang dilakukan oleh seseorang. Demikian juga dengan
jalsah dan jilsah secara berturut-turut berarti duduk dan tipe duduk. Perbedaan
1
Lihat Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhd lor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,
(Yogyakarta: Multi Karya Grafika,tt) hlm. 1104. Lihat juga A. W. Munawwir, Kamus AlMunawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 684.
2
Semantik adalah telaah makna. Semantik menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda
yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap
manusia dan masyarakat. Oleh karena itu, semantik mencakup makna-makna kata,
perkembangannya dan perubahannya. Secara etimologis kata semantik berasal dari bahasa Yunani
semantickos „penting; berarti‟. Semantik menelaah serta menggarap makna kata dan makna-makna
yang diperoleh oleh masyarakat dari kata-kata. Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik,
(Bandung: Angkasa, 1995), hlm. 7-8. Lihat juga Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 2.
3
Badri Yatim, Historiografi Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 196.
4
Murtadha Muthahhari, Akhlak Suci Nabi Yang Ummi, terjemahan Dicky Sofwan dan
Agustin, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 79-80.
19
makna ini sangat halus karena sair (isim fa‟il dari saara) adalah perilaku
seseorang, sedangkan sirah adalah tipe perilaku seseorang, yang penting adalah
mengetahui bentuk perilaku khusus Rasulullah Saw. Para sarjana yang menulis
tentang sirah, sebenarnya telah menunjuk pada perilaku Rasulullah, oleh karena
itu buku-buku tentang sirah lebih tepat disebut buku-buku sair. Sirah Al-Halabiah
contohnya, sesungguhnya merupakan sair bukan sirah karena berbicara tentang
perilaku Rasulullah bukan tentang gaya, metode, dan sikap beliau dalam berbagai
situasi.
Perkembangan penulisan biografi dalam sejarah (historiografi) Islam
dimulai dengan penulisan riwayat hidup Nabi Muhammad Saw yang lebih dikenal
dengan sirah al-Nabi wa Maghazih (riwayat hidup Nabi Saw dan perangperangnya) atau disingkat dengan al-sirah al-Maghazi (riwayat hidup dan perangperang Nabi Saw) saja. Menyusul setelah itu, biografi para sahabat, para tabi‟in,
dan tabi‟ al-tabi‟in, terutama mereka yang meriwayatkan hadis.5
Penulisan biografi Nabi Muhammad Saw (al-Sirah al-Nabawiyah), para
sahabat, dan para perawi hadis tersebut dapat dikatakan merupakan salah satu
bentuk penulisan sejarah Islam yang pertama. Karena subjek karya biografi itu
adalah Nabi Muhammad Saw, para sahabat, dan para perawi hadis. Maka terlihat
dengan jelas bahwa penulisan biografi itu sangat berhubungan erat dengan
kepentingan ilmu hadis. Salah satu tolok ukur terpenting yang berkaitan dengan
sahih-tidaknya sebuah hadis adalah kekuatan hapalan, kejujuran, dan ketakwaan
5
Yatim Op. Cit., hlm 195-196.
20
perawinya. Tolok ukur itulah yang memotivasi para sejarawan pertama menyusun
biografi para perawi hadis.6
Ketika umat Islam sudah mencapai kemajuan dalam penulisan sejarah,7
menurut „Abd al-Mun‟im Madjid seperti yang dikutip Badri Yatim bahwa tidak
ada bangsa lain pada waktu itu yang menulis sejarah seperti halnya kaum
muslimin. Mereka memandang sejarah sebagai ilmu yang sangat bermanfaat.
Tokoh-tokoh sejarawan menulis ribuan buku dengan judul yang berbeda-beda
yang mengambarkan isinya. Pertama-tama, karya sejarah yang paling banyak
dikarang adalah dengan tujuan mengambil manfaat dan teladan, karena mereka
mendapatkan hal yang sama di dalam Al-Qur‟an tentang kisah-kisah umat-umat
yang telah lalu.8
Oleh karena itu, karya-karya sejarah pertama berisi berita penciptaan
bumi, turunnya Nabi Adam, kisah para Nabi, riwayat hidup Nabi Muhammad
Saw. Kebanyakan karya seperti itu berjudul Akhbar (berita), Siyar (biografi),
Maghazi (perang [zaman Nabi] ), Tarikh (sejarah), Futuh (penaklukan). Karena
karya-karya seperti itu sebagian besar sangat panjang dan isinya berulang-ulang,
maka muncul karya-karya yang hanya bersandar kepada sumber-sumber di atas.
Karya-karya itu merupakan ringkasan dari karya-karya sejarah di atas, Judul
6
Ibid., hlm. 196.
Histiografi awal Islam pada hakikatnya merupakan historiografi Arab yang berkembang
dalam periode sejak Islam pertama kali disampaikan Nabi Muhammad Saw sampai abad ke-3 H,
ketika historiografi Islam awal mengambil bentuk relatif mapan. Sulit dibantah, bahwa
historiografi awal ini mempunyai sumber dasar keagamaan. Adalah Islam yang memberikan
kesadaran sejarah kepada kaum muslimin, baik melalui Al-Qur‟an –dengan banyak ayat yang
mengandung dimensi historis dan quasihistoris- maupun melalui Nabi Muhammad sendiri sebagai
figure historis. Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas dan Aktor
Sejarah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 19.
8
Yatim, Op. Cit., hlm. 9.
7
21
karya-karya seperti itu di antaranya Mukhtashar (ringkasan), Zayl (catatan
tambahan/lampiran), Syarh (keterangan), Hasyiyah (catatan).9
Dari sisi lain, sejarah ditulis untuk mengekalkan ingatan. Sebagian besar
karya dengan tujuan ini berjudul al-Ansab (silsilah), al-Tarajim (biografi), atThabaqat (tingkatan, isinya juga biografi), al-Wafayat (orang-orang yang wafat,
isinya adalah biografi tokoh berdasarkan tahun wafatnya), al-Ma‟ajim
(ensiklopedi,
maksudnya
juga
kumpulan
biografi).
Hampir
seluruhnya
menitikberatkan pada persoalan waktu kelahiran dan kematian.10
Sejarawan muslim juga mengkaitkan sejarah dengan berbagai disiplin ilmu
seperti sastera, politik, sosial, fiqih, geografi, dan rihlah (kisah-kisah perjalanan).
Judul karya-karya seperti ini di antaranya Gharib (yang asing), Tuhfat
(pengambaran), Uqud (Transaksi), Durr (permata), Nuzhah (wisata), al-Hasan
(yang baik), Haqa‟iq (hakikat), Rawdhah (taman), Hadiqah (taman), al-Kharidah
dan Khuthath (garis).11
Akan tetapi sayang karya-karya itu sebagian besar tidak sampai zaman
sekarang. Malapetaka yang diderita umat Islam tidak terbatas pada pertumpahan
darah, tetapi juga permusnahan buku-buku. Diceritakan, pembumihangusan kota
Bahdad oleh tentara Hulagu Khan pada 1258 M telah memusnahkan banyak
perpustakaan dan mesjid yang berisi kitab-kitab yang ditulis cendikiawan muslim
sampai saat itu. Permusuhan Syi‟ah dan Sunnah, juga mengakibatkan banyaknya
buku-buku yang musnah. Setelah Daulat Fathimiyah jatuh (di Mesir) pada tahun
567 H/1171 M, Daulat sesudahnya, terutama Ayyubiyah yang sangat fanatik
9
Ibid., hlm. 10.
Ibid.
11
Ibid.
10
22
terhadap Sunnah, berusaha menghapus kebesaran Syi‟ah di Mesir terutama bukubukunya.12
Sebagaimana yang penulis kutip di bab 1 bahwa dalam bukunya
Moenawar Khalil dinyatakan
ada dua term yang banyak digunakan dalam
penulisan sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw, yaitu sirah dan tarikh. Sirah
hanya
mengungkapkan
peristiwa-peristiwa
penting,
sedangkan
tarikh
mengungkapkan secara global sampai yang detail-detail.13 Orang-orang biasa
menyatakan “tarikh Nabi-nabi” dan “tarikh Nabi Muhammad”, padahal arti
perkataan “tarikh” itu adalah seperti yang telah diuraikan di atas (fotenote).
Apakah ungkapan tarikh Nabi-nabi itu telah sesuai dengan makna asalnya? Jika
kembali pada asal arti perkataan tarikh menurut bahasa, memang belum dapat
dikatakan tepat atau sesuai apabila istilah tarikh digunakan sebagai ganti
perkataan “riwayat”, “sirah”, atau “kisah”. Riwayat artinya cerita, sirah artinya
perjalanan, dan kisah artinya cerita. Oleh sebab itu, jika buku hanya berisi riwayat
perjalanan seorang Nabi Muhammad Saw misalnya perjalanan Nabi Muhammad
Saw, sebaiknya dinamakan buku riwayat, sirah, atau kisah Nabi Muhammad
Saw.14
12
Ibid., hlm. 10-11.
Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, (Jakarta: Gema Insani, 2001)
Jilid 1, hlm. V.
Di dalam bukunya (halaman 1), ia menjelaskan bahwa istilah tarikh berasal dari bahasa
Arab yang artinya menurut lughat (bahasa) adalah „ketentuan masa‟. Adapun menurut istilah (cara
yang tetap terpakai) dalam kitab-kitab adalah „keterangan yang menerangkan hal ihwal umat dan
segala sesuatu yang telah terjadi di kalangannya pada masa yang telah lampau atau pada masa
yang masih ada‟. Selain itu juga dipakai juga dalam arti perhitungan tahun dan buku sejarah
dengan tahunnya. Adapun ilmu tarikh itu sendiri adalah suatu pengetahuan yang bermanfaat untuk
mengetahui keadaan atau kejadian-kejadian yang telah lampau dalam kehidupan umat dan
keadaan-keadaan atau kejadian-kejadian yang masih ada (sedang terjadi) di dalam kehidupannya.
14
Ibid., hlm. 5.
13
23
Menurut ‟Effat al-Sharqawi, pemahaman terhadap timbulnya kata sejarah
(dalam bahasa Arab, al-tarikh) dalam makna terminologisnya dalam kebudayaan
Islam. Terutama kata al-tarikh dalam bahasa Arab mempunyai makna zaman dan
juga periode. Namun seperti diketahui, kata itu dalam makna terminologisnya
tidak terdapat dalam syair zaman jahiliyah, demikian pula kita tidak akan
mendapatkannya di dalam Al-Qur‟an dan hadis Nabi. Para peneliti sendiri pun
telah berbeda pendapat mengenai asal-usul kata ini. Sebagian mereka berpendapat
bahwa kata itu berasal dari al-arkhu atau al-irkhu yang berarti anak banteng.
Sementara peneliti lainnya menyatakan bahwa kata itu diarabisasi dan diambil
dari kata ma ruz dalam bahasa Persia, di mana ma berarti berarti bulan dan ruz
berarti hari, yang kemudian diarabisasi menjadi mu‟arrikh. Para peneliti lain
berpendapat bahwa asal kata al-tarikh diambil dari bahasa Arab Selatan.15
Akan tetapi pendapat yang dianggap terkuat menganggap bahwa kata altarikh berasal dari kata dalam bahasa Semit yang berarti bulan, yang dalam bahasa
Akadean adalah kata arkhu, dan dalam bahasa Ibrani yarkhu. Pendapat ini
menperoleh dukungan dari H. A. R. Gibb dan Husein Nasr. Seperti diketahui
bangsa Semit menetukan bulan-bulan mereka berdasar peredaran bulan dan bukan
berdasar peredaran matahari. Ringkasnya, ada berbagai peristiwa yang
menunjukkkan bahwa kata tarikh dipergunakan untuk pertama kalinya dalam
sastera Arab bersama-sama berita-berita penyusunan tahun hijriah. Kata ini
kemudian berkembanglah artinya menjadi sejarah seperti sekarang dengan
15
‟Effat al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, terjemahan Ahmad Rafi‟ Usmani,
(Bandung: Pustaka, 1986), hlm. 260-262.
24
digunakannya secara bertahap kata itu oleh buku-buku sejarah (hauliy) secara
umum sejak abad ketiga hijriah.16
Walaupun demikian, tidak ada salahnya jika buku itu dinamai Tarikh Nabi
Muhammad karena perkataan tarikh itu mengandung arti lebih luas dan lebih
umum daripada sirah atau riwayat. Di dalam sirah atau riwayat seorang Nabi,
seperti Nabi Muhammad Saw, terkandung beberapa peristiwa yang besar,
kejadian-kejadian yang mengagumkan, keadaan-keadaan yang mengherankan,
dan lain-lain yang semuanya telah sesuai dengan arti perkataan tarikh.17
Begitu pula Jalaluddin Rakhmat menggunakan term tarikh, menurutnya
bahwa Tarikh Nabi Muhammad Saw sebagai dasar agama. Ia berpendapat dengan
mengutip pendapat Bierce “sejarah adalah laporan yang kebanyakan keliru
tentang berbagai peristiwa yang kebanyakan tidak penting disebarkan oleh para
penguasa yang kebanyakan tidak jujur dan tentara yang kebanyakan tolol.”
Berbeda dengan tarikh umat-umat yang lain, tarikh Nabi Muhammad Saw
dijadikan rujukan bukan saja untuk memberikan legitimasi politik, tetapi juga
untuk mengatur semua aspek kehidupan lainnya. Tarikh Nabi Muhammad Saw
adalah kumpulan hadis, dan dari hadis bersumber sunnah.18
Menurut Azyumardi Azra, materi hadis yang luar biasa banyaknya
merupakan tambang informasi bagi tulisan sejarah Islam di masa awal, seperti
Maghazi (razia atau serangan militer), sirah (biografi), asma al-rijal (biografi
16
Ibid.
Chalil, Op. Cit., hlm. 5.
18
Jalaluddin Rakhmat, Al-Mushthafa Manusia Pilihan yang Disucikan, (Bandung:
Simbiosa Rakatama Media, 2008), hlm. 20.
17
25
perawi hadis) dan semacamnya.19 Tulisan sejarah semacam ini dalam
perkembangannya lebih lanjut mendorong munculnya penulisan sejarah universal
dan lokal. Pada saat yang sama, pada saat yang sama, metode isnad dalam
periwayatan hadis, dan penggunaan metode kronologis dalam karya biografis.
Juga mempengaruhi metode historiografi awal Islam.
Pertumbuhan ilmu sejarah dalam kalangan kaum muslim bercampur aduk
dengan ilmu hadis dari segi materi dan metodenya. Materinya membahas tentang
kisah Nabi Muhammad Saw dan perperangan kaum muslimin, adapun metodenya
lebih diarahkan untuk mengemukakan sanad-sanad dan mengukuhkan riwayatnya
dalam mendeskripsikan setiap berita.20 Penjelasan bahwa sejauh menyangkut
maghazi dan sirah sebagai bentuk historiografi awal Islam adalah Muhamad ibn
Syaihab Al-Zuhri (w. 124 H/ 741 M),21 yang melakukan studi maghazi dalam cara
yang lebih sesuai dengan metode penelitian sejarah. Menurut Duri sebagaimana
yang dikutip Azyumardi Azra, bahwa Al-Zuhri adalah orang pertama yang dapat
disebut sebagai sejarawan yang sebenarnya di masa awal ini. Tidak membatasi
diri dengan sekedar melengkapi riwayat maghazi Urwah ibn Zubayr (w. 94 H/712
M),22 Al-Zuhri melakukan kegiatan berskala besar untuk mengumpulkan riwayat
dan hadis yang beredar di Madinah; ia menuliskan apa pun yang ia temukan untuk
membantu hapalannya. Ia adalah orang yang pertama memakai istilah sirah,
merekontruksi sirah Nabi dengan struktur yang baku dan menggariskan kerangka
19
Azra, Op. Cit., hlm. 29.
al-Sharqawi, Op. Cit., hlm. 264.
21
Azra, Loc. Cit.
22
al-Sharqawi, Op. Cit., hlm. 264-265.
20
26
dalam bentuk yang jelas. Tetapi ia tetap memakai istilah maghazi ketimbang sirah
sebagai judul karyanya.23
Karya Al-Zuhri tentang sirah yang ada sampai sekarang hanya dalam
bentuk bagian yang ditemukan terutama di dalam karya Ibn Ishaq, Al-Waqidi, AlThabari, Al-Baladzuri, dan Ibn Sayyyid Al-Nas. Formatnya sirahnya, kurang
lebih mulai dengan pemberian informasi tentang masa pra-Islam sejauh relevan
dengan kehidupan Nabi Muhammad Saw. Kemudian ia menguraikan aspek-aspek
penting periode Mekkah dalam kehidupan Nabi Muhammad Saw, dan hijrahnya
ke Madinah. Selanjutnya ia membahas kegiatan militer Nabi Muhammad Saw,
penaklukan Mekkah, beberapa utusan yang dilepasnya, dan delegasi yang datang
kepadanya. Al-Zuhri juga mengungkapkan kegiatan lain Nabi Muhammad Saw;
sakit terakhir dan kematiannya. Ia dengan ketat mengikuti tata urutan kronologis
dalam melukiskan berbagai kejadian dalam sirah sembari memberikan tanggal
bagi peristiwa-peristiwa terpenting.24
Studi maghazi atau sirah dikembangkan lebih lanjut oleh tiga murid AlZuhri: Musa ibn Uqbah (w. 141/758), Ma‟mar ibn Rasyid (96-154/714-771) dan
Muhammad ibn Ishaq (w. 151/761). Karya Musa dan Ma‟mar tidak sampai ke
zaman sekarang, kecuali dalam bentuk abstraksi dan kutipan-kutipan panjang
dalam karya Ibn Sa‟ad, Al-Waqidi, dan Al-Thabari.25 Yang paling termasyhur di
antara murid Al-Zuhri tentu saja adalah Muhammad ibn Ishaq ibn Yasar, yang
lebih terkenal sebagai Ibn Ishaq. Ia menyusun berjilid-jilid sirah Nabi Muhammad
Saw dengan menggunakan materi yang sangat banyak. Menurut suatu pendapat,
23
Azra, Loc. Cit.
Ibid.
25
Ibid., hlm. 36.
24
27
teks ini sampai ke zaman sekarang hanya dalam bentuk ringkas sirah yang ditulis
Ibn Hisyam, dan kutipan panjang di dalam Tarikh dan Tafsir Al-Thabari. Khusus
melalui Ibn Hisyam, Ibn Ishaq mewariskan sirah tertua yang hampir sepenuhnya
lengkap.26
Kelihatannya kerangka dasar Ibn Ishaq terdiri dari tiga bagian: almubtada‟ melukiskan sejarah di antara masa penciptaan dunia sampai datangnya
panggilan Islam; al-mab‟ats; menggambarkan kehidupan Nabi di Mekah, hijriah,
dan juga tahun pertama aktivitasnya di Madinah; al-maghazi menguraikan sejarah
Nabi di Madinah sejak perang pertama dengan kaum kafir sampai waktu
wafatnya. Dalam menyusun sirah Nabi, Ibn Ishaq menggunakan berbagai macam
sumber. Sumber utama al-mubtada‟ adalah Al-Qur‟an, hadis yang diriwayatkan
terutama oleh Wahb ibn Munabbih dan Ibn Abbas, pernyataan sastrawan Yahudi,
Kristen, dan Biblikal. Sekalipun bisa dipandang sebagai sumber acuan sejarah
zaman jahiliah dan permulaan Islam, namun penyusunnya agak membebaskan diri
dari metode riwayat menurut para ahli hadis telah mendapat sejumlah kritik dari
para ahli hadis.27 Dalam al-mab‟ats, ia hampir sepenuhnya bersandar pada hadis
yang diriwayatkan ahl Al-Madinah, dan dokumen-dokumen tertulis lainnya.
Dalam bagian ini, ia kadang-kadang memakai isnad. Sedangkan dalam maghazi ia
juga memakai hadis dan isnadnya secara kuat.28
Terdapat empat penulis maghazi dan sirah lainnya: Abu Ma‟syar Al-Sindi
(w. 170/787), Muhammad ibn Umar Al-Waqidi (130-207/748-823), Ali ibn
Muhammad Al-Mada‟ini 9135-225/753-840), dan Muhammad ibn Sa‟ad (w.
26
Ibid.
Ibid. lihat juga al-Sharqawi, Op. Cit., hlm. 225-266.
28
Azra, Op. Cit., hlm. 36.
27
28
230/844). Karya Abu Ma‟syar tentang maghazi dipercaya telah hilang, kecuali
kutipan pendek di dalam karya-karya yang muncul lebih belakangan dari AlWaqidi, Ibn Sa‟ad, dan Al-Thabari. Dari kutipan yang terdapat dalam karya Ibn
Sa‟ad tentang biografi Nabi hampir bisa dipastikan bahwa maghazi Abu Mas‟yhar
membahas keseluruhan riwayat hidup Nabi. Ia dikenal menggunakan isnad dalam
kebanyakan periwayatannya29.
Al-Mada‟ini dipercayai menyusun sekitar 240 karangan tentang berbagai
topik sejak sejarah Nabi sampai sejarah Dinasti Abbasiyah. Apa yang penting dari
karya Al-Madan‟ini bagi kita adalah bahwa ia tampaknya mengikuti metode
muhaddis dalam kritisismenya atas sumber-sumbernya. Metode isnad lebih kuat
mempengaruhi ketimbang para pendahulunya.30
Studi maghazi atau sirah berkembang lebih jauh dalam karya Al-Waqidi,
Kitab Fihrits Ibn Al-Nadim memberikan daftar 24 karya Al-Waqidi. Dalam
menulis Al-Maghazi, Al-Waqidi menggunakan seluruh sumber yang dapat
dikumpulkannya, ia menawarkan banyak sekali bahan yang tidak ditemukan sama
sekali dalam karya Ibn Ishaq.31 Menurut Duri seperti yang dikutip Azyumardi
Azra, Al-Waqidi lebih ketat dari Ibn Ishaq tidak hanya segi metode, tetapi juga
dalam penggunaan isnad, ketepatan penetapan tanggal kejadian dan tempat
terjadinya pertempuran. Al-Waqidi terkenal moderat dalam menggunakan syair,
dan mengurangi unsur folklore dalam periwayatannya. Al-Waqidi juga sangat
kritis terhadap sumber-sumbernya. Melihat metode Al-Waqidi, Azyumardi Azra
mengutip pendapat Gibb yang menyimpulkan bahwa ilmu sejarah yang berasal
29
Ibid., hlm. 37.
Ibid.
31
Ibid., hlm. 39.
30
29
dari hadis mendekati cara pengumpulan materi sejarah sebagaimana yang
dilakukan dalam filologi, sementara mempertahankan metode penyajian yang
khas.32
Pengarang maghazi atau sirah terakhir disinggung adalah Ibn Sa‟ad yang
juga dikenal sebagai sekretaris Al-Waqidi. Karya Ibn Sa‟ad telah disunting
Edward Sachau dalam kerja sama dengan sejumlah orientalis lain termasuk Otto
Loth yang menulis sebuah monograf tentang Ibn Sa‟ad. Ibn Sa‟ad menulis dua
buku: Kitab Akhbar Al-Nabi volume Ia, Ib, IIa, dan Iib dalam edisi Berlin
mempunyai bagian pendahuluan yang mengungkapkan sejarah Nabi-nabi
terdahulu, kemudian diikuti riwayat masa kanak-kanak Nabi Muhammad Saw
sampai hijrah ke Madinah. Bagian kedua volume pertama mencakup periode
Madinah, dan bagian pertama volume kedua diabadikan pada pertempuranpertempuran yang dihadapi Nabi atau maghazi dalam pengertian sempit;
sedangkan bagian kedua volume ini memberikan kesimpulan tentang biografi
pribadi Nabi.33
Tidak dapat dibantah, dalam menyusun kitab-kitabnya, Ibn Sa‟ad banyak
bersandar pada karya Al-Waqidi. Tetapi ia melampaui Al-Waqidi dalam
pengorganisasian dan pembagian sistematika karyanya ke dalam bab-bab. Ia juga
memperkenalkan penambahan penting kepada studi sirah dengan menambahkan
bagian-bagian tentang “tanda misi kenabian” („alamat al-nubuwwah), dan tentang
sifat kebiasaan dan karakteristik Nabi (shifat akhlaq Al-Nabi). Perkembangan ini,
menurut Gibb merupakan satu tahap lebih maju dalam pengatuan unsur hadis asli
32
Ibid., hlm. 39-40
Ibid., hlm. 40
33
30
dengan arus kedua literatur seperti terlihat dan Ibn Ishaq yang bertumpu pada seni
kisah rakyat seperti dikembangkan Wahb Ibn Munabbih.34
Dengan arah baru sirah ini, karya Ibn Sa‟d akhirnya secara kuat
memapankan struktur sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw. Seluruh sirah
yang ditulis sesudah itu mengikuti kerangka yang sama dan bersandar terutama
pada bahan-bahan yang disajikan dalam karya-karya yang disebutkan di atas.35
Menurut Abu Suqqah, sirah itu mengungkap seluruh kehidupan Nabi
Muhammad Saw yang meliputi pula sebagian besar ucapan, perbuatan, dan
ketetapan beliau yang termasuk kategori sunnah dan dijadikan suri teladan oleh
kaum muslim sepanjang hidupnya. Oleh karena itu, sirah sangat perlu
diungkapkan kepada seluruh kaum muslim dengan tingkat kredibitas yang
sempurna sehingga mereka dapat menempuh hidayah dan mereka akan tenang
dengan kesahihan riwayat yang mereka terima.36
Penelitian ini tampaknya tidak akan sempurna bila hanya didekati dari
aspek “one men show” (pribadi dan tindakan Nabi Muhammad Saw) saja, tanpa
melibatkan pola dan perilaku para sahabat Nabi –yang memang keseharian
berkumpul dengan Nabi, bahkan tanpa mereka, proses kewahyuan mustahil
menjadi sebuah fenomena- merupakan aspek yang harus dimunculkan secara
utuh.37 Di mana pada penelitian ini, penulis akan lebih khusus membahas tentang
34
Ibid.
Ibid.
36
Abu Syuqqah, Jati Diri Wanita Menurut Al-Qur‟an dan Hadis, terjemahan Mujiyo,
(Bandung: Al-Bayan, 1995), hlm. 38.
37
Ajid Thohir, Kehidupan Umat Islam pada Masa Rasululah, (Bandung: Pustaka Setia,
2004), hlm. 41-42.
35
31
riwayat-riwayat tentang usia pernikahan Khadijah menikah dengan Nabi
Muhammad Saw.
Jadi dari berbagai pengertian dan penjelasan sirah di atas, dapat
disimpulkan pengertian sirah nabawiyah adalah seluruh kehidupan perilaku Nabi
Muhammad Saw mulai dari lahir hingga wafatnya, baik sebelum beliau diangkat
menjadi Rasul atau sesudahnya (termasuk pengertian hadis dan sunnah), dan
termasuk orang-orang yang berada di sekitarnya (para sahabat) yang memang
keseharian bergaul dan berkomunikasi dengan beliau. Di mana tanpa mereka
proses Asbabun Nuzul dan Asbabul Wurud mustahil menjadi sebuah fenomena
yang merupakan aspek yang harus dimunculkan secara utuh.
32
B. Fungsi Sirah dalam Studi Hadis
Dalam berbagai ayat Al-Qur‟an Allah Swt menyajikan kisah sejarah
sebagai dukungan yang memperkuat pribadi Nabi Muhammad Saw (QS. Hud:
120). Kisah-kisah yang Allah Swt ungkapkan itu punya
fungsi yang besar,
diantaranya “Ma Nutsabbitu bihi fuadak” (apa yang dengannya kami perkuat
hatimu). Tema ayat ini merupakan salah satu sasaran memahami sirah atau fiqih
sirah. Sebagai pewaris Rasul, mestinya para ulama pun mendapatkan tatsbit dan
tsabat dalam mempelajari sirah. Sehingga dengan sendirinya diketahui ramburambu dengan jelas dalam kehidupan dunia ini.38
Menurut Muhammad Sa‟id Ramadhan Al-Buthi dalam bukunya Fiqhus
Sirah seperti yang dikutip Fadhli Bahri menjelaskan secara rinci tujuan
mempelajari sirah nabawiyah:
1. Untuk memahami pribadi kenabian Rasulullah Saw melalui sisi-sisi
kehidupan dan kondisi yang pernah dihadapinya untuk menegaskan bahwa
beliau bukan semata seorang yang terkenal genial di antara kaumnya. Namun
sebelum itu, beliau seorang Rasul yang didukung Allah Swt dengan wahyu
dan taufik dari-Nya.
2. Agar manusia mendapat gambaran keteladanan tertinggi dalam seluruh aspek
kehidupan untuk mereka jadikan undang-undang dan pedoman hidup mereka.
Tidak disangsikan lagi, bahwa jika manusia mencari salah satu keteladanan
tertinggi dalam salah satu aspek kehidupan, ia pasti menemukannya di
38
Munir Muhammad Al Ghadban, Al Minhaj al-Haraki Lis Sirah An Nabawiyah,
(Maktabul Manar, 1984). Diterjemahkan oleh Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Manhaj Haraki Dalam
Sirah Nabi Saw(Buku Satu), (Jakarta: Robbani Press, 1992), hlm. xviii-xix.
33
kehidupan Rasulullah Saw secara jelas dan sempurna, karena Allah Swt
menjadikan beliau sebagai qudwah untuk seluruh manusia.
3. Agar manusia mendapat sesuatu yang dapat membantunya dalam memahami
Kitabullah, karena banyak di antara ayat-ayat Al-Qur‟an baru bisa ditafsirkan
dan dijelaskan maksudnya melalui peristiwa-peristiwa yang pernah dihadapi
Rasulullah Saw dan sikapnya.
4. Dengan mengkaji Sirah Nabawiyah, seorang muslim dapat mengkoleksi
sekian banyak pengetahuan Islam yang benar, karena kehidupan Rasulullah
Saw adalah gambaran konkrit tentang sejumlah prinsip dan hukum Islam.
5. Agar setiap dai memiliki contoh hidup tentang cara-cara pembinaan dan
dakwah, karena Rasulullah Saw adalah seorang dai, pemberi nasehat, dan
pembina yang baik yang selalu mencari cara-cara pembinaan terbaik dalam
beberapa tahapan dakwahnya.
Di antara hal terpenting yang menjadikan sirah nabawiyah cukup untuk
memenuhi tujuan di atas ialah bahwa seluruh kehidupan Rasulullah Saw itu
mencakup seluruh aspek sosial dan kemanusian yang ada pada manusia.39
Demikian pentingnya pengetahuan tentang sejarah perjalanan hidup Nabi
Muhammad Saw, membuat sirah dipandang sebagai ilmu yang sangat penting
dalam keilmuan Islam. Badri Yatim dengan mengutip pendapat Muhammad alZuhayli di dalam kitabnya Marja‟ al-„Ulum al-Islamiyyah: Ta‟rifuha, Tarikhuha,
A‟imma‟uha, Mashadiruha, Kutubuha, menempatkan ilmu sirah sejajar dengan
39
Ibnu Hisyam, Sirah Ibnu Hisyam, terjemahan Fadhli Bahri, (Jakarta: PT Darul Falah,
2009), hlm. viii-ix.
34
ilmu kalam, ilmu fiqih, ushul fiqih, tasawuf, tafsir dan hadis serta menempati sisi
pendidikan Islam.40
Arti penting lainnya adalah bahwa perjalanan hidup Nabi Muhammad Saw
merupakan terjemahan praktis dari Al-Qur‟an. Aisyah isteri Nabi Muhammad
Saw pernah berkata, “Akhlak Nabi adalah Al-Qur‟an”. Sehubungan dengan itu,
ajaran-ajaran yang berkaitan dengan iman, akidah, ibadah, dan muamalah
diterjemahkan oleh Nabi Muhammad Saw melalui riwayat hidupnya sendiri. Oleh
karena itu, mengetahui sirah akan menolong seseorang untuk memahami AlQur‟an dan Islam. Di samping itu, perjuangan Nabi Muhammad Saw dalam
berdakwah dan menjalankan pemerintahan Islam, selalu berada di bawah
bimbingan Allah Swt, sehingga dengan melalui sirah metode Islam dalam
berdakwah dan menegakkan pemerintahan dan lembaga-lembaga politik dapat
diketahui.41
Menurut Badri Yatim,42 bahwa kajian historiografi Islam ada beberapa
faedah yang dapat ditarik. Di antaranya untuk mengetahui pandangan, metode
penelitian, dan metode penulisan sejarah yang dilakukan para sejarawan muslim
di masa silam, sehingga dapat dilakukan kajian kritis terhadap karya-karya sejarah
mereka. Perlu diketahui latar belakang dan faktor yang mendorong penulisan
sejarah oleh sejarawan itu, pendapat-pendapat sejarah mereka, cara mereka
meriwayatkan sejarah dalam tulisan, pandangan mereka tentang pentingnya arti
sejarah dan perannya dalam kehidupan intelektual dan kehidupan umum.
40
Yatim, Op. Cit., hlm. 197.
Ibid.
42
Ibid., hlm. 20.
Kata fungsi-berfungsi bermakna berguna, lihat Tim Penyusun, Kamus Bahasa
Indonesia,(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm. 443.
41
35
Perlu diketahui juga faktor-faktor keterlibatan mereka dalam historiografi,
pengaruh politik dan aliran, pengaruh cerita rakyat, pengaruh syu‟ubiyyah
(gerakan kebangsaan), pengaruh aliran agama, dan pengaruh perkembangan
umum dalam perkembangan penulisan sejarah.43 Tanpa mengkaji aspek-aspek ini
sulit untuk memahami nilai materi sejarah yang terbuka lebar, atau untuk
melakukan kritik terhadap karya orang lain, atau untuk menjernihkan sejarah
Islam dari kesalahan-kesalahan, baik di masa lalu maupun di masa kini.
Menurut Jalaluddin Rakhmat,44 bahwa fungsi analisis historis (termasuk
sirah menurut penulis) yaitu:
1. Pada masa sahabat, hadis-hadis yang disampaikan sangat diwarnai oleh
suasana politik pada waktu itu. Hanya dengan mengetahui suasana politik di
zaman itu, dapat menjelaskan inkonsistensi dalam periwayatan hadis. Sejarah
dapat membantu untuk menolak, menerima, atau mentarjih hadis.45
2. Untuk memahami hadis, terlebih dahulu perlu mengetahui latar belakang
politik dari rijal hadis, termasuk kedalamnya sahabat-sahabat Nabi
Muhammad Saw. Buku-buku rijal seperti Al-Ishabah, Al-Isti‟ab, Mizan AlI‟tidal, Tahdzib Al-Tahdzib, Usud Al-Ghabah, hendaknya dilengkapi kitabkitab tarikh klasik. Historiografi Islam dapat membantu dalam menganalisis
hadis secara kritis.46
3. Karena kepemihakan politis, para perawi hadis sering mengurangi atau
setidak-tidaknya mengaburkan matan hadis. Ketika Bukhari menyatakan,
43
Yatim, Op. Cit., hlm. 20-21.
Rakhmat, Op. Cit., hlm. 97.
45
Ibid., hlm. 97-98.
46
Ibid., hlm. 98.
44
36
“Berkata Abdurrahman bin Abu Bakar „sesuatu‟”, ia tidak ingin
mengungkapkan kritik Abdurrahman pada Muawiyah. Karena itu analisis
historis dapat menolong untuk menjelaskan hal-hal kabur. Penjelasan seperti
ini dapat dapat menetapkan apakah kalimat-kalimat dalam suatu hadis
mubham, mujmal, muthlaq, muqayyad „am atau khash (bahkan juga nasikh
dan mansukh).47
4. Karena disimpulkan sunnah dari hadis, maka latar belakang sejarah (sirah)
dari suatu peristiwa menjadi sangat penting. Di mana, tidak semua berita yang
dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw adalah sunnah.48
Menurut Jalaluddin Rakhmat,49 dengan memperluas definisi hadis
sehingga juga memasukkan perilaku para sahabat dan tabi‟in, yaitu mengamalkan
juga sunnah para sahabat, yang tidak jarang bertentangan dengan sunnah
Rasulullah Saw; kerancuan definisi ini membawa kepada ikhtilaf mengenai apa
yang disebut sunnah. Adapun sunnah menurutnya dengan mengambil pendapat
Fazlur Rahman dalam Membuka Pintu Ijtihad (1983) menegaskan adanya unsur
penafsiran manusia dalam sunnah. Sunnah adalah perumusan para ulama
mengenai kandungan hadis. Ketika terjadi perbedaan paham, maka yang disebut
sunnah adalah pendapat umum; sehingga pada awalnya sunnah sama dengan
ijmak karena sunnah adalah hasil penafsiran, nilai sunnah tentu saja tidak bersifat
mutlak seperti Al-Qur‟an.
47
Ibid. menurut penulis poin ketiga ini tidak termasuk bagian sirah nabawiyah karena
terjadi di luar perjalanan Nabi Muhammad Saw dari lahir hingga wafat.
48
Ibid. Jalaluddin Rakhmat memberikan penjelasan lihat Kasykul, hlm 26-35 di dalam
bukunya yang sama tentang Kerancuan Pengetahuan Hadis dan Sunnah.
49
Ibid., hlm. 33.
37
Karena adanya perbedaan-perbedaan dalam menentukan pengertian
sunnah baik secara etimologi maupun terminologi, berikut adanya dampak dari
perbedaan-perbedaan itu, maka perlu diteliti lebih dulu apa sebenarnya maksud
kata sunnah. Dengan berbagai penjelasan M. M. Azami menyimpulkan bahwa
sunnah diartikan secara khusus untuk „tata cara Nabi Saw‟.50 Pangkal perselisihan
dalam peristilahan ini ialah perbedaan dalam tekanan mengenai tujuan yang
dikehendaki oleh masing-masing kelompok ahli ilmu.51 Adapun istilah-istilah
hadis dengan memperhatikan definisi-definisinya, sekalipun tersirat adanya
perbedaan namun secara substansial nampaknya dapat dikemukakan bahwa hadis,
sunnah, maupun atsar dan khabar pada prinsipnya kembali pada suatu pengertian
yang sama yakni makna hadis itu sendiri di mana Rasulullah Saw menjadi
sandaran dan sumber utama sebagai pembawa risalah.52
Tugas ulama hadis adalah mencari, mencatat, dan mentashih apa saja atau
semua aspek yang dapat dipandang bersumber dari atau berkaitan dengan Nabi
yang mereka sebut hadis. Apakah hadis itu berhubungan dengan agama atau tidak,
hal itu tidak menjadi perhatian mereka. Kalaupun ada ulama hadis yang ikut
berbicara dalam hal substansi hadis, maka mereka itu yang berkapasitas sebagai
fuqaha. Umumnya, para ahli hadis kenamaan masuk kategori fuqaha.53 Alangkah
naifnya, jika menolak sebuah hadis karena kemampuan belum dapat mencerna
dengan baik hadis itu. Padahal sudah diterangkan bahwa bila mendengar hadis,
50
M. M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kondifikasinya, terjemahan Ali Musthafa
Yaqub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), hlm. 14-26.
51
Lebih jelasanya lihat Musthafa Al-Siba‟i, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan
Hukum Islam, terjemahan Nurcholis Madjid (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hlm. 1-3.
52
Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz
Golziher dan Joseph Schacht, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 17-24.
53
Lebih jelasnya lihat Juned, Op. Cit., hlm. 75-83.
38
sikap seorang muslim haruslah patuh dan menerimanya, tanpa ada catatan. Jika
bertentangan dengan akal (kemampuan akal) manusia, yang salah adalah
informasi yang dicapai akal manusia, bukan hadisnya. Kecuali jika terbukti hadis
itu tidak sahih dalam penelitian ahli-ahli hadis.54
Dengan sirah nabawiyah dengan siapa saja Nabi Muhmamad Saw
bertemu, bergaul, mengetahui waktu kapan terjadinya bahkan kondisi sosial dan
lain-lain, di mana salah satunya dapat diketahui hadis yang nasikh dari yang
mansukh, seperti hadis Syaddah bin Aus:
(Telah berbuka
(batal puasanya-pen) orang yang berbekam dan yang dibekam). (HR. Abu Daud)
Hadis ini telah dihapus oleh hadis Ibnu Abbas bahwa Nabi Muhammad Saw
berbekam, padahal beliau sedang melakukan ihram dan berpuasa (HR. Muslim).
Melalui berbagai jalur hadis dari Syaddad diketahui bahwa hal itu terjadi pada
waktu Fathul Makkah. Sedangkan Ibnu Abbas menemani beliau pada waktu haji
wada‟.55
54
Daud Rasyid, Sunnah di Bawah Ancaman dari Snouck Hurgronje hingga Harun
Nasution, (Bandung: Syaamil, 2006), hlm. vi-xii.
55
Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis, terjemahan Abu Fuad (Bogor: Pustaka Thariqul
Izzah, 2010), hlm. 70.
Hadis lengkapnya yaitu Sunan Abu Daud (Kitab: Puasa, Bab: Orang yang berpuasa
melakukan bekam, no. 2021) yaitu;
ِ‫علَ َْه‬
َ ُ‫صلَي الَله‬
َ ِ‫حَّدَثَنَا هُوسَي تْيُ ِإسْوَعَِلَ حَّدَثَنَا وُهَ َْةٌ حَّدَثَنَا أٍَُوبُ عَيْ أَتٌِ ِقلَا َتحَ عَيْ أَتٌِ الَْأشْ َعثِ عَيْ شَّدَادِ تْيِ أَ ْوسٍ أَىَ َرسُولَ الَله‬
‫جنُ وَالْوَحْجُومُ قَالَ أَتُو دَاوُد‬
ِ ‫خَلتْ هِيْ رَ َهضَاىَ فَقَالَ َأفْطَزَ الْحَا‬
َ َ‫عشْزَج‬
َ ِ‫جنُ وَهُوَ آخِذٌ تِ َّدًِ لِثَوَاى‬
ِ َ‫علَي رَجُلٍ تِالْثَقَِعِ وَهُوَ ٍَحْت‬
َ ‫سَلنَ أَتَي‬
َ ‫َو‬
ُ‫وَرَوَى خَالِّدٌ الْحَذَاءُ عَيْ أَتٌِ ِقلَا َتحَ تِِإسْنَادِ أٍَُوبَ هِ ْثَله‬
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il, telah menceritakan kepada kami
Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Abu Qilabah dari Abu Al Asy'ats dari
Syaddad bin Aus bahwa Rasulullah Saw datang kepada seseorang di Baqi' sementara orang
tersebut sedang berbekam, sementara beliau menggandeng tanganku- selama delapan belas hari
yang telah berlalu pada Bulan Ramadhan. Kemudian beliau berkata: "Telah batal puasa orang yang
membekam dan yang dibekam." Abu Daud berkata; dan Khalid Al Hadzdza` telah meriwayatkan
dari Abu Qilabah dengan sanad Ayyub seperti itu. Dikutip dari Lidwa Pusaka Web Kitab 9 Imam
Hadits (Lembaga Ilmu dan Dakwah Publikasi Sarana Keagamaan), lihat Matabah Syamilah dan
lihat juga Mausu‟at al-Hadits al-Syarif.
39
Di dalam hadis-hadis banyak mengisahkan tentang Khadijah, di antaranya
hadis wanita terbaik, hadis berprilaku baik kepada suaminya, hadis kemulian
kecerdasan dan tawakal, hadis kelembutannya pada Nabi, hadis melahirkan
keturunan bagi Nabi, hadis kecintaan Nabi, hadis penghargaan Nabi, hadis
Rasulullah banyak menyebutnya, hadis penghargaan Allah.56 Adapun riwayatriwayat sirah tentang usia Khadijah menikah dengan Nabi Muhammad Saw
berfungsi untuk memaknai, melengkapi, dan memperkaya (mensyarah) teks-teks
hadis yang terlalu tekstual (sempit). Bahkan dengan mempelajari sirah (sejarah
secara umum) dapat mengkritisi pemahaman yang salah terhadap teks-teks hadis,
dan memperkaya tentang informasi kehidupan Rasulullah.
56
Syuqqah, Op. Cit., hlm. 194-197.
40
C. Metode Kritik Sirah dan Hadis
Menurut Daniel Juned,57 mengutip pendapat Muhammad „Ajjaj al-Khatib
bahwa sirah digolongkan dalam pengertian hadis. Pemaknaan ini sesungguhnya
didasari pada kenyataan sejarah. Pada saat itu kitab hadis memuat bukan hanya
hadis Nabi melainkan juga hadis yang bersumber dari sahabat dan tabi‟in. Akan
tetapi, sejak abad ketiga hadis yang memuat dalam kitab hadis hanya yang
bersumber dari Nabi. Sementara yang bersumber dari sahabat dibukukan secara
terpisah. Selanjutnya, yang menyangkut dengan sirah digolongkan ke dalam
bagian sejarah. Dari perbedaan inilah akan muncul istilah muhadissin yang
memfokuskan diri pada hadis, dan akhabariyin yang lebih tertarik pada khabar
(sirah). Ini bagi orang yang membedakan antara hadis dan khabar.
Menurut Muhammad Amhazun,58 hendaknya peneliti sejarah mempelajari
situasi yang mengitari suatu peristiwa, keadaan psikologis, sosial dan ekonomi. Ia
juga perlu memperhatikan sebab-sebab yang dapat membuat kesalahan sebelum
kesimpulan tertentu diambil, sehingga hasilnya lebih mendekati kebenaran.
Muhammad Amhazun mengajukan tiga tahapan untuk melakukan terapi
kesalahan peristiwa secara tepat dan adil.
57
Daniel Juned, Ulumul Hadis Paradigma Baru dan Rekontruksi Ilmu Hadis, (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2010), hlm. 75-77.
Hadis dalam pengertian ahli hadis menurut Daniel Juned mengutip pendapat Muhammad
„Ajjaj al-Khathib:
“Semua yang diwariskan dari Nabi berupa perkataan, perbuatan, taqrir (pengakuan), atau
sifat; baik sifat fisikal maupun moral ataupun sirah, baik sebelum menjadi Nabi atau sesudahnya.”
Menurutnya, apa yang dirumuskan oleh tokoh analisis hadis modern al-Khatib ini,
merupakan suatu kristalisasi dari berbagai macam redaksi yang digunakan dalam mendefinisikan
hadis. Pengertian ini dapat dijadikan acuan, bahwa demikianlah pemahaman mayoritas ahli hadis
dalam memaknai kata “hadis” dalam dimensi terminologinya.
58
Muhammad Amhazun, Fitnah Kubro (Tragedi Pada Masa Sahabat) Klarifikasi Sikap
Serta Analisa Historis dalam Perspektif Ahli Hadits dan Imam al-Thabary, terjemahan Daud
Rasyid, (Jakarta: LP2SI Al-Haramain, 1994), hlm. 11.
41
Tahapan pertama, meyelidiki benar tidaknya terjadi kesalahan peristiwa.
Dalam kasus ini penyelidikan itu tentu saja sesuai dengan jalan sumber-sumber
yang paling terpercaya yakni wahyu. Tahapan kedua, tahapan pemantapan diiringi
penjelasan berbagai sebab yang mendorong terjadinya kesalahan. Itu terlihat
dalam Ucapan Nabi Muhammad Saw kepada Hatib: “Apa yang menyebabkanmu
berbuat seperti itu?”59 tahap ini penting, karena apabila setelah mengajukan
pertanyaan ini, ternyata di sana terdapat alasan yang sah („uzur syara‟) dalam hal
melakukan kesalahan, maka formulasi (tahapan kedua) selesai sampai disini.
Namun bila alasan itu tidak dapat diterima secara syara‟, baru masuk tahapan
berikutnya.
Tahapan ketiga, mengabungkan kebaikan dan perbuatan baik dari diri si
pelaku dan meletakkan kebaikan-kebaikan tadi di samping kesalahannya. Boleh
jadi kesalahan atau kejelekan itu lenyap dalam lautan kebaikannya. Inilah cara
yang ditempuh oleh Nabi Muhammad Saw terhadap Hatib, ketika ia menyatakan
kepada Umar yang meminta izin hendak membunuh Hatib: ”Bukankah ia ahli
Badar?” kemudian ia berkata:
“Semoga (hanya) Allah Swt lebih mengetahui tentang ahli Badar”,
kemudian Nabi Muhammad Saw menyatakan: “berbuatlah sekehendakmu, kalian
(memang) seharusnya masuk surga, atau (dosa) kamu telah diampuni”.60
59
Shahih Bukhari, (Kitab: Peperangan, Bab: Keutamaan orang-orang yang ikut perang
Badar, no. 3684). lihat Lidwa Pusaka Web Kitab 9 Imam Hadits (Lembaga Ilmu dan Dakwah
Publikasi Sarana Keagamaan), lihat Matabah Syamilah dan lihat juga Mausu‟at al-Hadits al-Syarif.
60
Amhazun, Op. Cit., hlm. 11.
42
Perlu diketahui bahwa beberapa peristiwa yang terjadi pada permulaan
Islam tidak dibenarkan kecuali oleh situasi yang terjadi waktu itu. Jangan
memvonis dengan logika atau situasi dengan zaman sekarang, atau situasi
kehidupan orang lain di luar mereka sebagai pelaku peristiwa. Jika tidak, maka
kesimpulan yang diambil akan kehilangan landasan objektifitasnya. Dengan
demikian, pandangan penilai terhadap peristiwa-peristiwa ini tidak memenuhi alat
hukum dan penilain yang benar, sehingga lahirlah kesimpulan yang tidak sesuai
dengan kejadian yang sebenarnya.61
Menurut Muhammad Abdul Wahid Hijazi,62 studi-studi sejarah harus
memiliki semangat penegakan hak bagi seluruh manusia dengan benar dan jujur
tidak boleh merampas hak-hak orang lain baik berupa ilmu pengetahuan maupun
pemikiran, tidak boleh merampas hak-hak peradaban orang lain untuk selanjutnya
diberikan kepada pihak-pihak lain yang tidak berhak mengklaim secara tidak
benar atas peradaban tersebut karena didorong semangat superioritas atau
semangat rasialisme. Sudah menjadi sebuah keharusan di dalam studi dan
penelitian-penelitian sejarah untuk melakukannya dengan jujur, agar ukuranukuran sejarah bisa benar dan adil. Karena ukuran-ukuran atau standar penilain
(kritik) sejarah mudah untuk disalahgunakan dan sulit digunakan untuk
menyingkap kebenaran. Untuk itu sudah menjadi sebuah keharusan untuk
mendefinisikan dengan baik dan cermat ukuran-ukuran atau standar penilaian
(kritik) sejarah tersebut.
61
Ibid.
Lebih jelas lihat Muhammad Abdul Wahid Hijazi, Metode Yahudi dalam Mendistorsi
Sejarah, terjemahan Mujiburrahman dan Masturi Irham, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), hlm.
57-74.
62
43
Muhammad Abdul Wahid Hijazi63 membahas tentang ukuran atau standar
penilaian (kritik) sejarah itu;
1. Ukuran atau standar penilaian seorang sejarahwan harus didasarkan atas
pemikiran, moral, akidah, sense, dan imajinasi. Kelima unsur ini tidak akan
bisa menjadi sebuah ukuran yang baik bagi seorang sejarahwan selama ia
tidak membentuk sebuah ukuran atau standar yang utuh dan integral dari
kelima unsur ini di dalam studi sejarah yang dilakukannya.
2. Di antara ukuran penilaian sejarah adalah sesuatu yang berkaitan dengan
masalah rumor atau desas-desus sejarah.
3. Waspada terhadap sikap tendensus dan pemihakan sejarah yang tidak lain
didasari oleh hawa nafsu belaka.
4. Sikap waspada terhadap terjadinya kerancuan ukuran atau standar penilaian
sejarah, seperti meletakkan pujian dan sanjungan di tempat celaan, kecaman,
dan kritikan.
5. Ukuran yang digunakan jangan sampai hanya berupa penuturan kejadiankejadian sejarah saja, akan tetapi juga harus berupa penilaian terhadap
manusia seputar apa yang telah mereka lakukan dan mereka mampui.
6. Dari ukuran atau standar sejarah nomor lima di atas, mengambil ukuran atau
standar yang keenam yaitu faktor-faktor psikologis.
7. Ukuran sejarah berupa pengungkapan tentang manipulasi sejarah.
8. Sikap waspada terhadap orang-orang yang memiliki karakter penjilat dan
oportunis atau orang-orang yang dibentuk menjadi penjilat dan oportunis.
63
Ibid.
44
9. Seorang sejarahwan harus mewaspadai fanatisme dan semangat buta.
Beberapa banyak kejahatan yang dilakukan oleh fanatisme terhadap sejarah,
perkembangan periode-periodenya, tokoh-tokohnya, dan tujuan-tujuannya.
10. Di antara ukuran atau timbangan sejarah adalah manusia harus waspada
terhadap alasan-alasan palsu atau menerapkan standar ganda.
11. Di antara ukuran atau standar sejarah adalah seorang sejarahwan harus
mengoreksi dengan baik ukuran atau standar-standar yang ada.
Sedangkan untuk mencapai penulisan sejarah, maka upaya merekonstruksi
masa lampau dari objek yang diteliti itu ditempuh melalui metode sejarah
(historical method) Louis Gottchalk sebagaimana yang dikutip Toni Victor M.
Wanggai64 mensistematiskan langkah-langkah metode sejarah sebagai berikut: (1)
Heuristik yaitu pengumpulan objek yang berasal dari suatu zaman dan
pengumpulan bahan-bahan tertulis dan lisan yang relevan; (2) Verifikasi atau
Kritik yaitu menyingkirkan bahan-bahan (atau bagian-bagian dari padanya) yang
64
Toni Victor M. Wanggai, Rekontruksi Sejarah Umat Islam Di Tanah Papua, (Jakarta:
Badan Litbang dan Diklat Departemen Agam RI, 2009), hlm. 15.
Untuk memperoleh tarikh Nabi Muhammad Saw yang sahih, perlu dengan cermat
memisahkan fakta dari fiksi, kebenaran dari dusta, dan informasi dari disinformasi. Jalaluddin
Rakhmat mengusulkan tiga teknik dalam menguji keabsahan tarikh Nabi Muhammad Saw.
Pertama, menguji tarikh Nabi Muhammad Saw dengan dokrin Al-Qur‟an bahwa Nabi Muhammad
Saw adalah teladan utama (QS, Al-Ahzab: 21) dan bahwa beliau “mempunyai akhlak agung.”
(QS. Al-Qalam: 4). Kedua, mempertemukan riwayat Nabi Muhammad Saw itu dengan pesan ilahi
dalam Al-Qur‟an. Al-Qur‟an dijadikan tolok ukur kebenaran riwayat atau hadis Nabi Muhammad
Saw. Jika hadis itu sesuai dengan pesan Al-Qur‟an, ia diterima; jika tidak, ia ditolak. Ketiga, masih
tetap akan menggunakan kriteria pengujian hadis dalam ulumul hadis yakni kritik sanad dan matan
dengan tambahan kritik aliran politik dari periwayat hadis. Selanjutnya, Jalaluddin Rakhmat
menyatakan langkah yang ketiga itu praktiknya diletakkan pada yang pertama, maknanya bahwa
hadis harus dibuktikan dahulu keabsahannya. Jika sebuah hadis terbukti sahih berdasarkan ilmu
hadis, kita mengujinya lagi dengan meneliti apakah tidak ada pertentangan di dalamnya.
Kemudian kita cocokkan dengan citra Nabi Muhammad Saw sebagai manusia teladan dan dengan
pesan-pesan Al-Qur‟an lainnya. Tiga teknik itu boleh saja disebut sebagai tiga asumsi dasar (basic
assumptions) yang harus diterima sebagai dasar dari seluruh analis. Jika asumsi dasar ini tidak
diterima, seluruh proposisi lain yang berhubungan dengan itu juga tidak diterima. Dengan
demikian jika terjadi perbedaan pendapat di antara kita, kita harus merujuk lagi pada ketiganya.
Rakhmat, Op. Cit., hlm. 38-39.
45
tidak otentik; (3) Interpretasi yaitu menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya
berdasarkan bahan otentik; dan (4) Historiografi yaitu penyusunan kesaksian yang
dapat dipercaya itu menjadi suatu kisah atau penyajian yang berarti.
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, untuk mengkritik sirah
nabawiyah penulis mengupayakan untuk menggunakan kritik hadis. Kajian ilmu
ini sejak lama telah dikristalkan dalam kajian ilmu takrij al-hadis, dan dalam
bahasa ilmu hadis lebih dikenal ilmu kritik sanad (kritik ekstern hadis) untuk
menganalisa sanad (dengan pendekatan studi hadis khususnya ilmu jarh dan
ta‟dil), dan kritik matan (kritik intern hadis) yang mengacu pada analisis rasional
matan (teks hadis).
1. Metode Kritik Sirah dan Hadis dalam Pembuktian Kebenaran
a. Menganalisa Sanad
Secara bahasa sanad adalah al-mu‟tamad (tempat bersandar). Disebut
seperti itu karena hadis disandarkan atau menyandarkan kepadanya. Adapun
secara istilah, sanad merupakan urutan para perawi hadis yang kemudian berlanjut
kepada matan.65
Dalam metode keislaman, sanad dipandang sebagai tulang punggung
berita. Ia merupakan media kritik terhadap suatu khabar, karena dengan diketahui
siapa-siapa periwayatnya maka akan dapat diketahui pula nilai khabar itu. Sanad
yang bersambung lagi sahih merupakan karakteristik umat Islam. Kegunaannya
adalah untuk memberikan rasa tentram dan percaya pada khabar yang
diriwayatkan dengan cara seperti ini, karena didalamnya terhimpun sejumlah
65
Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis, terjemahan Abu Fuad (Bogor: Pustaka Thariqul
Izzah, 2010), hlm. 14.
46
bukti dan pendukung berupa perawi-perawinya bersifat „adil, tsiqah dan dhabit.
Dari sejumlah pendukung itulah kesahihan suatu khabar yang diriwayatkan
menjadi kokoh.66
Kegunaan lainnya, bahwa riwayat-riwayat yang disandarkan pada sanad
jauh lebih utama dibandingkan riwayat atau khabar yang disampaikan dengan
tanpa sanad, karena sanad dalam suatu riwayat itu dapat digunakan untuk
melacak otentisitas riwayat tersebut. Mekanisme kritik dan pengujiannya juga
dapat dilakukan dengan cara yang lebih jauh sempurna dibandingkan dengan
khabar-khabar yang tidak bersanad. Dengan demikian tujuan penetapan sanad
adalah memastikan kesahihan (kebenaran) suatu nas (teks) atau berita, serta
melenyapkan kepalsuan, dan kebohongan yang mungkin ada padanya.67
Nilai penting sanad sebenarnya tidak terbatas untuk hadis-hadis Nabawi
saja, lebih jauh itu juga masuk pada sejumlah cabang ilmu-ilmu lainnya seperti
tafsir, tarikh (sirah), sastra, bahkan sepertinya telah mendominasi metode
pengkodifikasian ilmu-ilmu keislaman yang beraneka ragam.
Dalam bidang tarikh (sejarah), karena penyebutan sanad (al-isnad) akan
membantu pelacakan kebenaran suatu riwayat dan kritik informasi, maka oleh
karena itu para ulama tetap mempertahankan eksistensi sanad. Mereka para ulama
(terdahulu) telah melakukan tugas pengumpulan dan pengkodifikasian, baik dalam
bidang sejarah hidup Nabi Muhammad Saw (sirah nabawiyah), atau pun informasi
historis. Sebagaimana hal ini telah dilakukan oleh Aban Ibn „Utsman, Urwah Ibn
66
67
Amhazun, Op. Cit., hlm. 39.
Ibid.
47
Zubair,68 al-Zuhri, khalifah Ibn Khayyath, Ya‟qub Ibn Sufyan al-Fasawi, Abu
Zur‟ah al-Damasyqi, al-Thabary dan sebagainya.
Para ulama telah melakukan usaha keras untuk meluruskan kedustaan yang
ada dalam khabar dengan melalui dua aspek, yaitu: (1) aspek teoritis, penetapan
kaidah-kaidah yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kedustaan; (2)
aspek praktis, yaitu penjelasan tentang pribadi-pribadi yang disinyalir pendusta
dan seruannya pada umat manusia agar bersikap hati-hati terhadap mereka. Dalam
aspek teoritis metode kritik pada para ulama telah berhasil sampai pada peletakan
kaidah-kaidah ilmu periwayatan yang canggih dan sangat teliti sebagai puncak
kreasi yang dihasilkan oleh kemampuan manusia.69
Untuk mengetahui ketelitian metode ilmiah yang diikuti ulama yang
berkecimpung dalam bidang ini, maka cukuplah dengan membaca karya-karya
yang mereka hasilkan dalam bentuk kaidah-kaidah al-jarh dan al-ta‟dil.
Pengertian istilah-istilah yang tercakup dalam dua kategori itu, urutan
hirarkhisnya yang dimulai dari yang teratas ta‟dil sampai tingkatan yang
terbawah. Syarat-syarat penerimaan suatu riwayat, di mana mereka tetapkan dua
syarat pokok terhadap perawi itu yang bisa diterima periwayatannya, yaitu: (1) Al„adalah; perawi itu harus muslim, baligh, berakal, jujur, terbatas dari sebab
kefasikan, serta terhindar dari hal-hal yang merusak muru‟ah (martabat); dan (2)
Al-dhabit; perawi menguasai apa yang diriwayatkannya, hafal atas apa yang
diriwayatkan kalau dia meriwayatkannya, hafal atas apa yang diriwayatkan kalau
68
Ibid. „Urwah Ibn al-„Awwam, Abu „Abdillah, salah seorang dari tujuh ahli fiqih di
Madinah. Ibn Sa‟ad berkata tentang beliau: “‟Urwah seorang tsiqah, tsabat, ma‟mun, hadisnya
banyak, juga seorang faqih dan „alim. Kitab-kitabnya sampai kepada kita melalui karangan Ibn
Ishaq, al-Waqidi, dan al-Thabary mengenai sirah Nabi saw. Wafat tahun 93 H (712 M).
69
Ibid., hlm. 41.
48
dia meriwayatkannya dengan metode hafalan, cermat dengan kitabnya kalau dia
meriwayatkannya dengan melalui tulisan, harus memahami makna hadis yang
diriwayatkan, serta kuat ingatannya (tidak pelupa).70
Di antara kaidah-kaidah periwayatan itu yaitu dengan menghindari
pengambilan riwayat (informasi) dari narasumber yang dha‟if (lemah) dan
sebaliknya selalu memilih riwayat dari perawi yang amanah (tidak lemah).
Mensyaratkan kejujuran, karena kebodohan dan kedustaan itu menyebabkan
gugurnya sifat „adalah, tidak meriwatkan dari orang yang kacau hafalannya dan
berubah-ubah serta perawi yang dalam riwayatnya diwarnai oleh kejanggalan
(syawadz), kebatilan (manakir) dan keanehan (gharaib), tidak menjadikan
riwayat-riwayat seperti ini sebagai hujjah. Dan
tidak menjadikannya sebagai
hujjah, hadis-hadis yang berasal dari perawi yang banyak keliru dan kesalahan
dalam periwayatan, menolak riwayat Ahl al-ghaflah (pelupa) dan perawi yang
terkenal sangat longgar dalam menilai suatu riwayat (tasahul), serta menghindari
periwayatan dari pengumbar nafsu (ahl al-mujun) dan porno (al-khala‟ah).71
Adapun dari aspek praktis adalah seperti penyebutan para perawi,
curriculum vitea-nya, serta penjelasan kualitas atau penilaian terhadapnya. Untuk
kepentingan ini ulama-ulama spesialis yang telah menyusun sejumlah besar karya
dengan kategori yang beragam, yang diantaranya ada karya-karya yang khusus
menyebutkan orang yang “tsiqah” saja. Ada pula karya-karya yang khusus
memuat keterangan tentang orang-orang “dha‟if” saja, dan ada juga karya-karya
yang memadukan keduanya al-tsiqat wa al-dhu‟afa (orang-orang yang terpercaya
70
71
Ibid., hlm. 41. Lihat juga Thahan, Op. Cit., hlm. 186
Amhazun, Op. Cit., hlm. 42.
49
dan orang-orang lemah) dalam satu kitab beserta penyebutan istilah-istilah al-jarh
wa al-ta‟dil yang tepat untuk setiap perawi. Sebagai contoh dari kitab-kitab yang
dimaksudkan adalah72:
(1) Kitab-kitab yang khusus menguraikan perihal orang-orang tsiqah antara
lain: Kitab al-Tsiqah karya Abu al-Hasan Ahmad Ibn Abdillah al-„ijli,
Kitab al-Tsiqah karya „Umar Ibn Ahmad Ibn Syahin.
(2) Kitab-kitab tentang dhu‟afa; kitab al-Dhu‟afa al-Shaghir dan Dhu‟ afa alKabir karya Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Kitab al-Dhu‟afa wa alMatrukin karya Abu Zur‟ah al-Razi.
(3) Kitab yang mengabungkan keduanya, yaitu al-Jarh dan al-Ta‟dil karya
Ibn Abi Hatim al-Razi, koleksi kitab-kitab Tarikh karya Imam al-Bukhari
yang terdiri dari tiga kitab, yakni al-Kabir, al-Ausath dan al-Shaghir.
Sesuatu hal yang tidak diragukan lagi bahwa karya-karya tentang kaidahkaidah periwayatan dan tentang perawi-perawi itu telah memberikan andil yang
cukup besar, demi (terwujudnya) sunnah yang bersih lagi suci dan darinya pula
dapat diambil manfaat untuk studi tarikh Islam. Karena dari kaidah-kaidah
periwayatan hadis akan tersingkaplah persoalan-persoalan pelik tentang aturan
transmissi (penyampaian) dan hal-ikhwal perawi sehingga akan menjadi jelas
mana riwayat yang dhaif dan mana pula yang kuat atau mana riwayat yang benar
dan mana yang palsu. Dan dengan itu pula para pengkaji dan sejarahwan dapat
mengetahui nilai dari masing-masing riwayat (khabar), yang kemudian khabarkhabar yang dhaif lagi palsu dibuang dan sekaligus memberikan peringatan
72
Ibid., hlm. 42.
50
kepada umat agar menjauhinya. Sebaliknya riwayat-riwayat yang shahih diambil
dan diberi penjelasan, lebih-lebih karena sasaran mempelajari sejarah adalah
untuk mengungkap hakikat-hakikat kebenaran. Hal ini, merupakan cita-cita yang
didamba-dambakan oleh setiap peneliti yang jujur dan objektif.73
Syarat-syarat riwayat yang diterima, di antara kesulitan mengaplikasikan
metode kritik muhadditsin pada setiap berita-berita kesejarahan jika para ulama
bermaksud mererapkan persyaratan pada sejarahwan sesuai dengan persyaratan
ahli hadis dalam periwayatan hadisnya, yang terdiri atas empat hal berikut: (1)
berakal, (2) dhabit (kuat ingatan), (3) Islam, (4) „adalah (adil),74 padahal
sesungguhnya informasi-informasi kesejarahan itu kekokohan dan ke „adalahan
perawinya, serta ketersambungan sanadnya tidak akan mencapai tingkatan seperti
hadis nabawi, terkecuali kalau informasi-informasi itu berkaitan dengan riwayat
tentang sirah (sejarah Nabi), Khulafa al-Rasyidin, yang memang validitasnya telah
menjadi begitu kuat karena adanya beberapa jalur sanad dalam kitab-kitab
sunnah. Adapun mayoritas berita sejarah itu, maka boleh digali dari para informan
dengan sanad munqathi‟ (terputus), yang di dalamnya banyak sanad yang berasal
dari kalangan orang yang tidak dikenal (majhul), lemah (dhu‟afa), dan tidak
terpakai (matrukin).75
Atas dasar pertimbangan inilah ulama membedakan antara berita-berita
yang harus diperlakukan dengan ketat (tasyaddud) dengan berita-berita yang
boleh diperlakukan dengan longgar (tasahul) sesuai dengan jenis materi yang
diriwayatkannya. Hanya saja perlu digarisbawahi bahwa pengaplikasian kaidah73
Ibid., hlm 42-43.
Ibid., hlm. 46.
75
Ibid.
74
51
kaidah kritik hadis pada sejarah merupakan perkara nisbi yang ditentukan oleh
materi riwayat-riwayat itu berhubungan dengan Nabi Muhammad Saw atau salah
seorang dari sahabat, maka harus lebih teliti terhadap perawinya dan berlaku kritis
terhadap mereka.76
Sama dengan hal ini juga adalah riwayat yang mengandung hujatan pada
salah seorang ulama dan imam yang telah disepakati sifat ke‟adalahannya, atau
riwayat (informasi) yang bernada miring terhadap mereka serta mentadlis
(memalsukan) keadaan mereka di hadapan orang banyak, riwayat sejenis ini tentu
tidak terpakai, karena setiap orang yang telah mapan ke „adalahannya, tidak akan
diterima kritikan terhadapnya, sampai hal itu dapat dibuktikan dengan sebab
perkara yang tidak mungkin bermakna lain kecuali kritikan (al-Jarh).77
Begitu pula kalau perkara itu menyangkut ketentuan aqidah atau tematema pokok agama seperti penetapan hukum halal dan haram, maka haruslah
diteliti perawinya dan diketahui cara periwayatannya dan kalau menyangkut tematema ini maka tidak akan ada riwayat yang dapat diterima kecuali dari perawi
yang benar-benar dipercaya (tsiqah) dan kuat ingatannya (dhabit). Adapun bila
khabar yang diriwayatkan itu tidak berkaitan sedikit pun dengan hukum-hukum
syar‟iyyah (agama) sekalipun seharusnya juga perlu mendapat perhatian yang
serupa, maka boleh bersikap longgar terhadapnya sebagai analogi terhadap apa
yang oleh ulama hadis diistilahkan dalam “Bab al-tasyaddud dalam hadis-hadis
ahkam dan bersikap tasahul dalam hadis-hadis tentang fadla „il a‟mal”.78
76
Ibid.
Ibid.
78
Ibid.
77
52
Perlu diketahui bahwa tasahul ini tidak berarti boleh meriwayatkan dari
perawi yang sudah dikenal pendusta dan telah gugur keadalahannya, karena orang
yang telah gugur sifat „adalah (adilnya) seharusnya tidak boleh dijadikan sebagai
narasumber periwayatan. Oleh ulama istilah tasahul hanyalah dimaksudkan
sebagai penerimaan terhadap riwayat hadis yang perawinya, lemah kedhabitannya
dengan sebab kelupaan atau sering keliru atau tidak bersambung sanadnya seperti
hadis mursal atau munqathi‟. Menurut kaidah ini, sebagian fuqaha‟ membolehkan
beramal dengan hadis dhaif tentang fadhail a‟mal (keutamaan suatu amalan),
targhib (dorongan atau stimulasi untuk beramal) dan tarhib (ancaman atau
hukuman bagi pelaku perbuatan terlarang).79
Atas dasar uraian di atas, apabila riwayat kesejarahan itu tidak berkaitan
dengan penetapan masalah hukum (syara‟) atau dengan orang perorang misalnya
para shahabat Nabi Muhammad Saw atau masalah hukum halal-haram maka
persoalannya jadi berbeda. Dalam kasus seperti ini, akan diterima riwayat-riwayat
yang lemah itu yang dalam kasus lain tidak diterima sebelumnya karena riwayat
tersebut dapat dijadikan sebagai informasi pendukung. Sebab kadangkala riwayatriwayat tersebut mempunyai titik temu dengan riwayat-riwayat sahih lainnya
tentang akar kejadian. Juga riwayat-riwayat lemah itu mungkin digunakan sebagai
keterangan
tambahan
tentang
rincian-rincian
peristiwa,
oleh
karenanya
diupayakan pengkompromian antara suatu riwayat dengan riwayat lainnya yang
lebih terpercaya sanadnya.80
79
80
Ibid.
Ibid.
53
Akram Dhiya‟ al-„Umari seperti yang dikutip Muhammad Amhazun
berkata, “Riwayat-riwayat sejarah yang disusun oleh para ahli sejarah waktu dulu
tidak diberlakukan ketat seperti hadis, akan tetapi riwayat-riwayat sejarah itu
diperlakukan dengan longgar. Sebab jika kita menolak metode mereka tersebut
dalam arti kita bersikap ketat terhadap informasi sejarah sebagaimana halnya
hadis, maka terjadilah kekosongan dan keterputusan dalam episode sejarah.
Sebagai jurang yang amat dalam yang memisahkan. Hal ini akan melahirkan
kebingungan, kehampaan, perpecahan, dan keterputusan. Namun hal itu tidak
berarti meninggalkan secara total metode ahli hadis dalam kritik sanad untuk
riwayat sejarah. Metode ahli hadis itu dapat kita gunakan sebagai “alat” untuk
memilih mana yang terkuat di antara riwayat-riwayat yang bertentangan. Juga
menjadi “alat” terbaik yang membantu kita dalam menentukan sikap menerima
atau menolak sebagian teks sejarah yang rancu, yang mengandung kejanggalan
dari bingkai umum sejarah umat kita.81
Perbedaan sikap terhadap informasi sejarah antara sikap ketat dan relatif
longgar, dapat kita lihat dengan nyata pada sikap al-Hafizh Ibn Hajar seperti yang
dikutip Muhammad Amhazun ketika mengabungkan sejumlah riwayat dalam
kitabnya “Fathul Bari”. Walaupun Ibn Hajar menegaskan penolakannya terhadap
riwayat Muhammad Ibn Ishaq bila ia tidak menegaskan proses perolehan riwayat
itu dengan secara langsung mendengar (sama‟), tetapi hanya dengan menyebut
„an (dari) seseorang juga penolakan yang sama terhadap riwayat Al-Waqidi,
karena statusnya di mata ahli ilmu Jarh dan Ta‟dil sebagai matruk (tidak
81
Ibid., hlm. 48.
54
terpakai), apalagi informan-informan selain mereka berdua yang sama sekali tidak
mempunyai riwayat yang dikutip dalam kitab-kitab hadis semisal „Awanah, alMada‟iny, namun Ibn Hajar mengambil riwayat-riwayat mereka sebagai
pendukung dan informasi pelengkap untuk rincian-rincian peristiwa tertentu. Lalu
selanjutnya, ia berupaya mengkombinasikan antara riwayat-riwayat tersebut
dengan riwayat lain yang mempunyai sanad (sandaran) yang lebih kokoh.82
Hal ini menunjukkan bahwa beliau menerima khabar-khabar dari mereka
tentang bidang-bidang yang mereka tekuni seperti perhatian pada sejarah dan
berita. Itulah metode yang absah di kalangan para ulama peneliti, walaupun
mereka tidak mau menerima riwayat-riwayat sejarahwan mengenai hukum-hukum
syara‟. Dalam kaitan ini dapat kita lihat Muhammad Amhazun mengutip pendapat
Ibn Hajar di dalam Thabaqat al-Mudallisin, berkomentar tentang Ibn Ishaq:
“Imam dalam bidang Maghazi, tetapi shoduq Yudallis (jujur tetapi mau
mentadlis)”.83 Muhammad Amhazun masih mengutip pendapat Ibn Hajar di
dalam al-Taqrib berkomentar tentang al-Waqidi: “Matruk (tidak terpakai),
walaupun ilmunya luas”. Terhadap Saif Ibn „Umar, ia berkata: “Ia dhaif dalam
hadis, tetapi bisa dijadikan pegangan dalam sejarah.84
b. Menganalisa Matan
Secara bahasa matan adalah tanah yang keras dan naik ke atas. Sedangkan
secara istilah matan merupakan perkataan terakhir dari sanad85 atau susunan
kalimat yang tercantum pada akhir sanad yang berarti teks dari khabar itu sendiri.
82
Ibid.
Ibid.
84
Ibid.
85
Thahan, Loc. Cit.
83
55
Yang dimaksudkan dengan studi matan di sini adalah mempelajari nas dari
berbagai seginya; di antaranya ada yang memfokuskan pada penelitian di seputar
kesahihannya, apabila tidak bertentangan dengan watak (alami) sesuatu dan
informasi-informasi kesejarahan yang sudah valid, atau tidak mengandung sesuatu
yang tidak mungkin atau kemustahilan, dan lain-lain. Di antaranya pula, studi
matan itu ada yang memfokuskan pada upaya pemahaman (makna) nas itu
sendiri, baik menyangkut pemahaman atas muatan hukumnya, dalalah
(konotasinya), atau pemahaman segi bahasa dan lafadznya.86
Penting untuk ditegaskan sesungguhnya jerih payah ulama itu ternyata
tidak hanya difokuskan pada upaya penelitian atau kritik sanad saja, tetapi juga
berupa kritik (penelitian) matan karena ternyata illat (cacat) suatu riwayat itu
tidak hanya terjadi pada sanad melainkan boleh jadi juga pada matan. Atas dasar
bahwa hadis yang lemah sanadnya tidak harus lemah pula matannya, dan
sebaliknya hadis yang sahih sanadnya juga belum tentu sahih (pula) matannya;
maka boleh jadi ada hadis yang sanadnya lemah (dhaif) tetapi matannya sahih
karena ada riwayat dari sanad lain yang mendukung kesahihannya. Dan mungkin
pula sanadnya sahih tetapi matannya tidak sahih, karena adanya kejanggalankejanggalan (syudzudz) dan illat (cacat) yang merusak dalam matan itu.87
Untuk itulah para ulama meletakkan metode ilmiah yang begitu teliti
(rinci), sehingga mereka tidak begitu saja memvonis semua riwayat itu dhaif
hanya karena perawinya lemah. Karena seorang yang dhaif boleh jadi benar dan
jujur dalam riwayat tertentu. Jika demikian halnya, maka ini jelas termasuk
86
87
Amhazun, Op. Cit., hlm. 43.
Ibid.
56
penolakan terhadap kebenaran. Sebab, terkadang bisa saja orang yang dhaif itu
benar dan bisa saja sesekali orang yang jujur itu tersalah.88
Dan karena ini pulalah, para ulama hadis terkadang berdalil dengan hadishadis yang sanadnya dhaif namun sepanjang perawi itu tidak sampai pada tingkat
dituduh berdusta dan memalsukan hadis ketika matan (isi) hadis atau inti khabar
tersebut telah terbukti kuat melalui jalur lain. Ini artinya bahwa para ulama hadis
telah memberikan perhatian serius pada matan hadis sebagaimana mereka juga
memperhatikan sanadnya. Sebab penerimaan mereka terhadap suatu matan
padahal isnadnya mengandung cacat, hal itu jelas menunjukkan betapa dalamnya
penelitian mereka mengenai kritik nas (matan), dan bahwa sanad yang dhaif tidak
mengahalangi mereka untuk menerima matan yang sahih atau ma‟ruf dari jalur
sanad yang lain.89
Sungguh telah ada metode sahabat untuk meneliti suatu riwayat dan
menyelidiki kesahihannya, bukan dalam pengertian mereka menuduh para
perawinya berdusta. Dalam kaitan ini ada sebuah kasus sahabat yang ditemukan
Aisyah ra. bahwasanya ia mendengar sebuah hadis90 yang bersumber dari Umar
Ibn al-Khathab dan putranya Abdullah Ibn Umar ra, sesungguhnya Nabi
Muhammad Saw berkata: “Sesungguhnya mayat itu akan disiksa dengan sebab
tangisan keluarga atasnya”. Maka berkomentarlah Aisyah ra, : Semoga Allah
merahmati Umar. Demi Allah! Rasulullah Saw tidak pernah menyatakan bahwa
88
Ibid.
Ibid., hlm. 43-44.
90
Shahih Bukhari (Kitab: Jenazah, Bab: Sabda Nabi Saw tentang Mayat Akan Disiksa
Disebabkan Tangisan Keluarganya, no. 1206). Lihat Lidwa Pusaka Web Kitab 9 Imam Hadits
(Lembaga Ilmu dan Dakwah Publikasi Sarana Keagamaan), lihat Matabah Syamilah dan lihat juga
Mausu‟at al-Hadits al-Syarif.
89
57
Allah akan menyiksa orang mukmin dengan sebab tangisan seseorang, tetapi yang
disabdakan oleh Rasulullah Saw adalah “Sesungguhnya Allah akan menambah
siksaan orang kafir dengan sebab tangisan keluarganya atas kematiannya”.
Berkata Aisyah ra, : Cukuplah kamu berpegang terhadap ayat,
"
(Seseorang tidak memikul kesalahan orang lain). Dalam riwayat muslim, Aisyah
menjelaskan:
ُ
(Sesungguhnya kamu
benar-benar menceritakan kepadaku tanpa berdusta sama sekali dan tidak dituduh
dusta, akan tetapi pendengaran bisa saja keliru).91
Dengan memperhatikan kritik (penelitian) matan di kalangan sahabat,
fuqaha dan muhaddisin, maka dalam konteks ini terlihat beberapa kriteria yang
telah mereka rumuskan untuk melakukan kritik nas (matan), umpamanya:
membandingkan matan suatu hadis dengan ayat Al-Qur‟an. Apabila keberadaan
matan itu memang kontradiksi dengan Al-Qur‟an sehingga tidak mungkin
dilakukan pengkompromian (al-Jam‟u) maka mereka menolaknya, tentu setelah
tidak ada kemungkinan untuk ditakwilkan. Kemudian dengan melakukan
perbandingan antara satu sunnah dengan sunnah lainnya, di mana para muhaddisin
itu dapat membandingkan beberapa riwayat menyangkit topik bahasan yang sama
satu sama lain. Dari perbandingan ini akan lahirlah beberapa kesimpulan yang
berperan dalam mengoreksi suatu nas, yang mungkin hal itu berhubungan dengan
tambahan-tambahan dari perawi atau kekeliruannya.
91
Shahih Muslim (Kitab: Jenazah, Bab: Mayit disiksa dengan tangisan keluarganya, no.
1543). Ibid.
58
Kriteria lain yang ditawarkan ulama, ialah menolak suatu matan bila
bertentangan dengan prinsip-prinsip syar‟iyyah yang sudah baku dan hukumhukum agama yang sudah pasti. Di samping itu ada pula kriteria penggunaan
argumen-argumen rasional dan informasi-informasi kesejarahan yang sudah valid
dalam melakukan kritik matan.92
Sebagai contoh dalam hal ini adalah peristiwa yang terjadi tahun 447 H
(1055 M), di mana sebagian orang Yahudi menunjukkan sebuah tulisan yang di
dalam surat itu ada kesaksian beberapa sahabat dan mereka mengklaim bahwa itu
adalah tulisan Rasulullah Saw yang isinya penghapusan kewajiban membayar
jizyah (pajak) dari orang (Yahudi) penduduk Khaibar. Ketika tulisan itu
diserahkan pada wazir (asisten) Khalifah al-Qa‟im al-Abbasiy, ia mengirimkan
kitab itu kepada seorang ahli sejarah yaitu Abu Bakr al-Khatib al-Baqhdadi.
Tulisan itu pun ditelitinya, akhirnya ia berkomentar: “Tulisan telah dipalsukan!”.
Ketika ditanya, “dari mana anda tahu hal ini”, al-Baghdadi menjawab: “Di dalam
riwayat tersebut ada kesaksian Mu‟awiyah, padahal dia baru masuk Islam pada
tahun „am al-fath (pembukaan kota Mekah) yaitu tahun 8 H, sedangkan perang
Khaibar terjadi pada tahun ke 7 H. Lagi pula di dalam tulisan itu ada kesaksian
Sa‟ad Ibn Mu‟adz, padahal dia telah meninggal pada perang Bani Quraizhah (5
H), yaitu dua tahun sebelum perang Khaibar meletus.93
Demikianlah Khatib al-Baghdadi dengan kecermatannya menggunakan
informasi-informasi sejarah yang sudah pasti, dapat menyingkapkan kepalsuan
teks dokumen tersebut. Kemudian wazir mempedomani informasi yang
92
93
280.
Amhazun Op. Cit., hlm. 44-45.
Al-Zahabi, al-Siyar „Alam al-Nubala, (Beirut: Muassatu al-Risalah, 1984), juz 18, hlm.
59
disampaikan oleh al-Baghdadi tersebut, dan sebaliknya ia melarang orang Yahudi
berpegang pada keterangan yang ada dalam tulisan mereka itu. Sejalan dengan
peristiwa ini, apa yang telah disampaikan oleh Sufyan al-Tsauri. Ketika ada para
perawi yang menggunakan dusta, maka untuk mengomentarinya dengan fakta
sejarah.94
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kaidah-kaidah yang
ditetapkan para ulama untuk mengetahui nas yang sahih sekalipun awalnya hanya
digunakan untuk bidang hadis ternyata relevan untuk diaplikasikan pada berbagai
ilmu keislaman, khususnya tarikh Islam (sirah Nabawiyah). Karena para
sejarahwan periode awal mengikuti cara muhaddisin dalam metode penyajian dan
meredaksikan riwayat yaitu dengan penyebutan sanad-sanad (mata rantai
sumber).95
Sejarah sebenarnya tidak lain dari kumpulan berita, dokumen, dan teksteks yang tidak dapat diketahui kesahihannya, kecuali dengan menerapkan kaidahkaidah metodologis ini. Banyak sejarahwan modern benar-benar menemukan nilai
positif dari metode ini ditambah kaidah-kaidahnya yang kritis dan halus, sehingga
mereka menyarankan agar menggunakan metode ini melalui karya-karya mereka.
Ada di antara mereka yang menyadur pasal-pasal tertentu dari karya-karya ulama
hadis seperti Khatib al-Baqhdadi, Ibn „Abd al-Barr, Ibn Shalah dan lain
sebagainya. Bahkan lebih dari itu, salah seorang dari mereka seorang Nasrani
94
95
Amhazun Op. Cit., hlm. 45.
Ibid.
60
membuat judul bukunya dengan menggunakan istilah yang biasa dipakai oleh
ulama hadis.96
Jadi jelas sekali bahwa tidak mudah melakukan kritik sejarah periwayatan
(sirah). Namun secara formal para ahli membuat beberapa prinsip kritik sejarah
periwayatan seperti yang ditawarkan oleh Shibli Nu‟mani dan Syed Ameer Ali
yang dikutip Badri Khaeruman97 yaitu: kritik terhadap teks, penggunaan analisis
filologi dan kritik redaksi.
Untuk
menetapkan
otentitas
teks-teks
sejarah,
Shibli
Nu‟mani
mengembangkan prinsip-prinsip kritik tekstual yaitu; keabsahan suatu riwayat
pertama,
tergantung
pada
kecocokannya
dengan
Al-Qur‟an.
Kedua,
kecocokannya dengan hadis sahih. Ketiga, apabila riwayat tentang peristiwa
tersebut tidak bisa dikonfirmasikan secara langsung melalui Al-Qur‟an dan hadis
sahih, maka ahli sejarah harus mencari dukungan dari hadis lain (misalnya yang
tidak sahih), yang terakhir di dalam kitab-kitab sirah yang terkenal.98
Jika ada ketidakcocokan antara suatu riwayat dalam kitab-kitab sirah
dengan satu riwayat dalam suatu hadis, maka yang didahulukan adalah apa yang
ada dalam hadis. Begitu pula jika ketidakcocokan ditemukan antara riwayatriwayat dalam kitab-kitab hadis dan riwayat seorang muhadis yang juga seorang
faqih, maka yang terakhir ini yang diambil.99
96
Ibid., hlm. 45-46.
Lebih jelas lihat Badri Khaeruman, Otentitas Hadis Studi Kritis atas Kajian Hadis
Kontemporer, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 9-23.
98
Ibid.
99
Ibid.
97
61
2. Metode Interpretasi Sirah (sejarah)
Berpijak pada penjelasan sebelumnya sirah digolongkan ke dalam bagian
sejarah. Adapun yang dimaksud dengan interpretasi sejarah adalah pengetahuan
tentang benang merah yang menghubungkan peristiwa dan kejadian yang berbeda
untuk mengetahui motivasi peristiwa tersebut, titik tolak, konklusi, serta pelajaran
yang dapat dipetik di balik peristiwa itu. Metode interpretasi itu dibangun di atas
konsep-konsep dan nilai-nilai, apabila ia benar maka metode tersebut dengan
sendirinya akan benar dan lurus. Demikian pula sebaliknya jika konsep dan nilai
itu rancu dan menyimpang maka hal yang sama akan mempengaruhi sebuah
metode. Seperti yang dimaklumi bahwa setiap umat memiliki konsep tersendiri
tentang manusia, kehidupan, dan alam. Atas dasar tersebut terbentuklah nilai,
kehidupan masyarat, politik, dan ekonomi. Melalui konsep atau pemahaman itu
pula
manusia
memandang
berbagai
persoalan,
peristiwa-peristiwa,
dan
manusia.100
Sesungguhnya
metode
penulisan
sejarah
Islam
adalah
metode
komprehensif yang mencakup seluruh motivasi dan nilai yang membuat sejarah
tidak berhenti pada batas kejadian secara inderawi dan pandangan fisik semata,
tetapi memberi kesempatan untuk melihat jauh ke depan agar ahli sejarah dapat
memberikan penilaian objektif dan original yang lebih melekat dengan peristiwaperistiwa yang sesungguhnya dalam sejarah kemanusiaan. Metode penulisan
sejarah Islam adalah sebuah metode yang mampu menjelaskan peran kemanusian
beserta tanggung jawabnya akan perubahan sosial, dan perubahan sejarah dalam
100
Amhazun, Op. Cit., hlm. 49-50.
62
bingkai kehendak ilahi. Jadi metode ini sangat memperhitungkan sejauh mana
pengaruh faktor-faktor materi dan kejiwaan yang mengitari manusia serta
mengukur bobot masing-masing, tidak melebih-lebihkan satu aspek lainnya
melebihi porsinya. Namun sebelum faktor-faktor itu harus diperhitungkan
ketentuan Allah dan putusan-Nya yang pasti, tidak satu kekuatan pun yang
mampu menolaknya.101
Maka hendaklah diperhatikan semua unsur-unsur yang berperan aktif
dalam peristiwa-peristiwa sejarah, dan jika tidak dilakukan maka interpretasi
sejarah itu senantiasa timpang. Kemudian bagi seorang peneliti seharusnya
mempunyai gambaran yang benar tentang faktor-faktor tersebut. Sebagaimana
juga peneliti perlu mempunyai wawasan ilmu syari‟ah untuk mengetahui
paradigma kejiwaan secara keseluruhan, baik ruhaniah, pemikiran, dan aspek
fisiknya. Dan ini tidak terpenuhi oleh seorang non muslim, sebab gambaran yang
benar akan kasus yang berpengaruh dan aktif dalam peristiwa sejarah tidak dapat
diketahui, melainkan dengan jalan wahyu yang terbebas dari kekeliruan, yaitu AlQur‟an dan Al-Sunnah.102
Sejarah Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari studi
keislaman. Ia merupakan sejarah umat yang memiliki aqidah yang menggerakkan
umat Islam dan yang mengendalikan segala aktifitas dan tujuan-tujuannya. Di
bawah ini beberapa kaidah mengenai sumber yang seharusnya diperhatikan oleh
orang yang menulis sejarah Islam, secara khusus dalam penulisan sejarah generasi
pertama (sahabat) yaitu:
101
102
Ibid., hlm. 52.
Ibid.
63
1. Berpedoman
pada
sumber-sumber
Syari‟ah
(hukum)
dan
lebih
mengutamakannya dari sumber-sumber lain, dalam ketentuan yang telah
digariskan menyangkut berita, parameter (dhawabith) dan persoalan hukum
(ahkam).103
2. Pemahaman iman yang benar. Pemerhati sejarah Islam yang tidak mengetahui
peran iman dalam kehidupan umat Islam, niscaya tidak akan mampu
memberikan penilaian ilmiah serta realistis atas peristiwa sejarah Islam.104
3. Mengetahui level dan kondisi suatu masyarakat. Dalam kaitan ini, Usman ibn
Affan ra. Pernah berkomentar: “Perhatikanlah posisi setiap orang. Berikan
kepada mereka apa yang menjadi haknya secara proporsional. Ketahuilah,
bahwa dengan tingkat pengenalan terhadap masyarakat akan mewujudkan
keadilan.105
4. Mengetahui batas-batas informasi yang boleh diterima dari sumber-sumber
penganut faham atau aliran yang mempunyai ambisi-ambisi tertentu (ashhabul-ahwa‟ wal-firaq).106
5. Mengetahui kriteria penggunaan literatur dari kalangan non muslim. Bila
dalam disiplin ilmu sejarah Islam dikenal kaidah, prinsip, dan rambu-rambu
syar‟i yang harus dipatuhi oleh seorang sejarawan muslim, agar penelitian
dan kreasinya tetap berada dalam jalur-jalur legal, maka di antara kaidah itu
103
Ibid., hlm. 53.
Ibid., hlm. 54.
105
Al-Thabary, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, (Mesir: Darul Ma‟rif, 1970), juz 4, hlm.
104
279).
106
Amhazun Op. Cit., hlm. 59.
64
ialah yang berkaitan dengan kewaspadaan dalam menggunakan sumbersumber di luar Islam sebagai literatur.107
6. Memprioritaskan penggunaan istilah Islami. Salah satu dampak pemikiran
(ghazwul fikri) barat terhadap kaum muslimin, banyaknya tersebar istilahistilah yang asing dalam budaya dan sejarah umat Islam, dan penggunaannya
begitu meluas dalam tulisan-tulisan.108
Menurut Muhammad Qutb (kaifa Naktubu al-Tarikh al-Islam) seperti yang
dikutip Ajid Thohir menganjurkan kepada setiap penulis sejarah terutama pada
masa kenabian dan permulaan Islam untuk selalu melakukan penafsiran yang
tidak jauh dari semangat kewahyuan. Di mana pendekatan sosiologis dan
antropologis Barat pada beberapa konteks, menurutnya tidak sepenuhnya bisa
menjawab secara sempurna, bahkan terkadang menyimpangkan. Untuk itu, mutlak
masih diperlukan pendekatan eskatologis.109 Menurut Muhammad Qutb misalnya,
sikap penolakan kuffar Quraisy dan masyarakat Jahiliyah secara umum, terutama
para pembesarnya terhadap dakwah Rasulullah Saw bukan diakibatkan pada
pribadi Nabi Muhammad Saw serta pergeserannya pengaruh kewibawaan mereka
dan sebagainya (secara sosiologis), tapi justru penolakan yang paling penting
adalah pada kalimat utama laa illaaha illallah. Sebagaimana yang ditegaskan
dalam Al-Qur‟an, “…karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu tetapi
orang-orang zalim itu yang mengingkari ayat-ayat Allah” (Q.S. [6] : 33).
Muhammad Qutb menganjurkan kepada para pengstudi sejarah Islam untuk lebih
107
Ibid., hlm. 61.
Ibid., hlm. 62.
109
Thohir, Loc. Cit.
108
65
menekankan pada pendekatan tekstual daripada pendekatan kontekstual,
sebagaimana yang dilakukan orientalis (Barat).
Sementara itu, Husein Mu‟nis (Dirasat fi al-Sirah al-Nabawiyah) seperti
yang dikutip Ajid Thohir menyarankan agar tidak terlalu berlebihan dalam
menjelaskan kenyataan-kenyataan Sejarah Islam, dan tidak terjebak pada visi
emosional keagamaan. Sejarah Islam perlu ditulis secara manusiawi dan penuh
kewajaran. Lebih tegas Mu‟nis menjelaskan, bukan maksud mempertentangkan
pendekatan historis dengan semangat keagamaan, karena keduanya bisa saling
mendukung. Semangat keagamaan dapat memenuhi kebutuhan religious setiap
muslim, sedangkan pendekatan historis memiliki kelebihan karena berpotensial
menyakinkan dan mempertebal iman seseorang yang sudah beriman, atau bahkan
dapat menarik non-muslim untuk memeluk Islam. Nabi Muhammad Saw ketika
menyosialisasikan gagasan dakwahnya haruslah dilihat sebagai sesuatu yang
berada dalam “hukum kemanusian”. Karena Allah Swt menjamin keberhasilan
risalah-Nya yang sepenuhnya dipercayakan kepada Nabi Muhammad Saw dan
membiarkannya mengarungi perjuangan di dunia manusia dengan cara-cara
manusiawi. Bahkan bila dominasi Tuhan terlalu berlebihan dalam hal ini, bisa jadi
Tuhan tidak menempatkan kewibawaan dan kesempurnaan pribadi Muhammad
Saw sebagai pilar utama keberhasilan dakwahnya. Perspektif ini takpaknya perlu
banyak mendapat perhatian serius dari para pengkaji Sirah Nabi.110 Husein
Mu‟nis, berupaya melakukan studi historis terhadap setiap peristiwa yang
dibicarakan secara metodologis dengan mempertimbangkan bahwa kehidupan
110
Ibid.
66
Rasulullah Saw seluruhnya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipilah-pilah.
Oleh karena itu formulasi sirah, ia mengusulkan berupaya merumuskan
keseluruhan kegiatan dengan kegiatan lainnya atau satu kebijakan dengan
kebijakan lainnya ibarat episode-episode cerita yang runtut. Setiap episode
mencerminkan kebijakan yang ditempuh untuk mencapai target tertentu.111
Setelah menjelaskan metode kritik sirah dan hadis di atas, penulis
menyimpulkan bahwa pada bidang sirah penyebutan sanad akan membantu
pelacakan kebenaran suatu riwayat sebagaimana hadis. Adapun menyangkut
penerimaan riwayat-riwayat sejarah (sirah) sebaiknya penerimaannya disesuaikan
dengan materinya, karena sirah di waktu dulu tidak diberlakukan secara ketat
seperti hadis. Sebab jika bersikap ketat terhadap informasi sirah sebagaimana
halnya hadis, maka terjadilah kekosongan dan keterputusan dalam episode sirah.
111
Husein Mu‟nis, Al-Sirah Al-Nabawiyah Upaya Reformulasi Sejarah Perjuangan Nabi
Muhammad Saw, terjemahan Muhammad Nursamad Kamba, (Jakarta: Adigna Media Utama,
1999), hlm ix-x.
Download