BAB II KEDUDUKAN SIRAH DALAM STUDI HADIS TENTANG USIA PERNIKAHAN KHADIJAH DENGAN NABI MUHAMMAD SAW A. Definisi Sirah Nabawiyah Sirah berasal dari bahasa Arab, merupakan kata isim dari fi‟il Saara yang bermakna perjalanan, kisah, ajaran, sejarah, biografi, riwayat hidup seseorang, dan sebagainya.1 Sirah secara semantik2 berarti perjalanan. Dalam terminologi historiografi, sirah berarti perjalanan hidup atau biografi. Apabila disebut sirah saja, tanpa dikaitkan dengan nama tokoh tertentu sesudahnya, maka yang dimaksudkan adalah perjalanan hidup atau biografi Nabi Muhammad Saw. Hal itu karena banyaknya karya sirah yang berhubungan dengan riwayat hidup Nabi Muhammad Saw.3 Menurut Murtadha Muthahhari,4 dalam bahasa Arab kata sirah berakar dari sair yang berarti jalan atau gerak. Kata sirah bersajak fi‟lah yang menunjukkan tipe tindakan yang dilakukan oleh seseorang. Demikian juga dengan jalsah dan jilsah secara berturut-turut berarti duduk dan tipe duduk. Perbedaan 1 Lihat Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhd lor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika,tt) hlm. 1104. Lihat juga A. W. Munawwir, Kamus AlMunawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 684. 2 Semantik adalah telaah makna. Semantik menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Oleh karena itu, semantik mencakup makna-makna kata, perkembangannya dan perubahannya. Secara etimologis kata semantik berasal dari bahasa Yunani semantickos „penting; berarti‟. Semantik menelaah serta menggarap makna kata dan makna-makna yang diperoleh oleh masyarakat dari kata-kata. Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik, (Bandung: Angkasa, 1995), hlm. 7-8. Lihat juga Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 2. 3 Badri Yatim, Historiografi Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 196. 4 Murtadha Muthahhari, Akhlak Suci Nabi Yang Ummi, terjemahan Dicky Sofwan dan Agustin, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 79-80. 19 makna ini sangat halus karena sair (isim fa‟il dari saara) adalah perilaku seseorang, sedangkan sirah adalah tipe perilaku seseorang, yang penting adalah mengetahui bentuk perilaku khusus Rasulullah Saw. Para sarjana yang menulis tentang sirah, sebenarnya telah menunjuk pada perilaku Rasulullah, oleh karena itu buku-buku tentang sirah lebih tepat disebut buku-buku sair. Sirah Al-Halabiah contohnya, sesungguhnya merupakan sair bukan sirah karena berbicara tentang perilaku Rasulullah bukan tentang gaya, metode, dan sikap beliau dalam berbagai situasi. Perkembangan penulisan biografi dalam sejarah (historiografi) Islam dimulai dengan penulisan riwayat hidup Nabi Muhammad Saw yang lebih dikenal dengan sirah al-Nabi wa Maghazih (riwayat hidup Nabi Saw dan perangperangnya) atau disingkat dengan al-sirah al-Maghazi (riwayat hidup dan perangperang Nabi Saw) saja. Menyusul setelah itu, biografi para sahabat, para tabi‟in, dan tabi‟ al-tabi‟in, terutama mereka yang meriwayatkan hadis.5 Penulisan biografi Nabi Muhammad Saw (al-Sirah al-Nabawiyah), para sahabat, dan para perawi hadis tersebut dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk penulisan sejarah Islam yang pertama. Karena subjek karya biografi itu adalah Nabi Muhammad Saw, para sahabat, dan para perawi hadis. Maka terlihat dengan jelas bahwa penulisan biografi itu sangat berhubungan erat dengan kepentingan ilmu hadis. Salah satu tolok ukur terpenting yang berkaitan dengan sahih-tidaknya sebuah hadis adalah kekuatan hapalan, kejujuran, dan ketakwaan 5 Yatim Op. Cit., hlm 195-196. 20 perawinya. Tolok ukur itulah yang memotivasi para sejarawan pertama menyusun biografi para perawi hadis.6 Ketika umat Islam sudah mencapai kemajuan dalam penulisan sejarah,7 menurut „Abd al-Mun‟im Madjid seperti yang dikutip Badri Yatim bahwa tidak ada bangsa lain pada waktu itu yang menulis sejarah seperti halnya kaum muslimin. Mereka memandang sejarah sebagai ilmu yang sangat bermanfaat. Tokoh-tokoh sejarawan menulis ribuan buku dengan judul yang berbeda-beda yang mengambarkan isinya. Pertama-tama, karya sejarah yang paling banyak dikarang adalah dengan tujuan mengambil manfaat dan teladan, karena mereka mendapatkan hal yang sama di dalam Al-Qur‟an tentang kisah-kisah umat-umat yang telah lalu.8 Oleh karena itu, karya-karya sejarah pertama berisi berita penciptaan bumi, turunnya Nabi Adam, kisah para Nabi, riwayat hidup Nabi Muhammad Saw. Kebanyakan karya seperti itu berjudul Akhbar (berita), Siyar (biografi), Maghazi (perang [zaman Nabi] ), Tarikh (sejarah), Futuh (penaklukan). Karena karya-karya seperti itu sebagian besar sangat panjang dan isinya berulang-ulang, maka muncul karya-karya yang hanya bersandar kepada sumber-sumber di atas. Karya-karya itu merupakan ringkasan dari karya-karya sejarah di atas, Judul 6 Ibid., hlm. 196. Histiografi awal Islam pada hakikatnya merupakan historiografi Arab yang berkembang dalam periode sejak Islam pertama kali disampaikan Nabi Muhammad Saw sampai abad ke-3 H, ketika historiografi Islam awal mengambil bentuk relatif mapan. Sulit dibantah, bahwa historiografi awal ini mempunyai sumber dasar keagamaan. Adalah Islam yang memberikan kesadaran sejarah kepada kaum muslimin, baik melalui Al-Qur‟an –dengan banyak ayat yang mengandung dimensi historis dan quasihistoris- maupun melalui Nabi Muhammad sendiri sebagai figure historis. Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 19. 8 Yatim, Op. Cit., hlm. 9. 7 21 karya-karya seperti itu di antaranya Mukhtashar (ringkasan), Zayl (catatan tambahan/lampiran), Syarh (keterangan), Hasyiyah (catatan).9 Dari sisi lain, sejarah ditulis untuk mengekalkan ingatan. Sebagian besar karya dengan tujuan ini berjudul al-Ansab (silsilah), al-Tarajim (biografi), atThabaqat (tingkatan, isinya juga biografi), al-Wafayat (orang-orang yang wafat, isinya adalah biografi tokoh berdasarkan tahun wafatnya), al-Ma‟ajim (ensiklopedi, maksudnya juga kumpulan biografi). Hampir seluruhnya menitikberatkan pada persoalan waktu kelahiran dan kematian.10 Sejarawan muslim juga mengkaitkan sejarah dengan berbagai disiplin ilmu seperti sastera, politik, sosial, fiqih, geografi, dan rihlah (kisah-kisah perjalanan). Judul karya-karya seperti ini di antaranya Gharib (yang asing), Tuhfat (pengambaran), Uqud (Transaksi), Durr (permata), Nuzhah (wisata), al-Hasan (yang baik), Haqa‟iq (hakikat), Rawdhah (taman), Hadiqah (taman), al-Kharidah dan Khuthath (garis).11 Akan tetapi sayang karya-karya itu sebagian besar tidak sampai zaman sekarang. Malapetaka yang diderita umat Islam tidak terbatas pada pertumpahan darah, tetapi juga permusnahan buku-buku. Diceritakan, pembumihangusan kota Bahdad oleh tentara Hulagu Khan pada 1258 M telah memusnahkan banyak perpustakaan dan mesjid yang berisi kitab-kitab yang ditulis cendikiawan muslim sampai saat itu. Permusuhan Syi‟ah dan Sunnah, juga mengakibatkan banyaknya buku-buku yang musnah. Setelah Daulat Fathimiyah jatuh (di Mesir) pada tahun 567 H/1171 M, Daulat sesudahnya, terutama Ayyubiyah yang sangat fanatik 9 Ibid., hlm. 10. Ibid. 11 Ibid. 10 22 terhadap Sunnah, berusaha menghapus kebesaran Syi‟ah di Mesir terutama bukubukunya.12 Sebagaimana yang penulis kutip di bab 1 bahwa dalam bukunya Moenawar Khalil dinyatakan ada dua term yang banyak digunakan dalam penulisan sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw, yaitu sirah dan tarikh. Sirah hanya mengungkapkan peristiwa-peristiwa penting, sedangkan tarikh mengungkapkan secara global sampai yang detail-detail.13 Orang-orang biasa menyatakan “tarikh Nabi-nabi” dan “tarikh Nabi Muhammad”, padahal arti perkataan “tarikh” itu adalah seperti yang telah diuraikan di atas (fotenote). Apakah ungkapan tarikh Nabi-nabi itu telah sesuai dengan makna asalnya? Jika kembali pada asal arti perkataan tarikh menurut bahasa, memang belum dapat dikatakan tepat atau sesuai apabila istilah tarikh digunakan sebagai ganti perkataan “riwayat”, “sirah”, atau “kisah”. Riwayat artinya cerita, sirah artinya perjalanan, dan kisah artinya cerita. Oleh sebab itu, jika buku hanya berisi riwayat perjalanan seorang Nabi Muhammad Saw misalnya perjalanan Nabi Muhammad Saw, sebaiknya dinamakan buku riwayat, sirah, atau kisah Nabi Muhammad Saw.14 12 Ibid., hlm. 10-11. Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, (Jakarta: Gema Insani, 2001) Jilid 1, hlm. V. Di dalam bukunya (halaman 1), ia menjelaskan bahwa istilah tarikh berasal dari bahasa Arab yang artinya menurut lughat (bahasa) adalah „ketentuan masa‟. Adapun menurut istilah (cara yang tetap terpakai) dalam kitab-kitab adalah „keterangan yang menerangkan hal ihwal umat dan segala sesuatu yang telah terjadi di kalangannya pada masa yang telah lampau atau pada masa yang masih ada‟. Selain itu juga dipakai juga dalam arti perhitungan tahun dan buku sejarah dengan tahunnya. Adapun ilmu tarikh itu sendiri adalah suatu pengetahuan yang bermanfaat untuk mengetahui keadaan atau kejadian-kejadian yang telah lampau dalam kehidupan umat dan keadaan-keadaan atau kejadian-kejadian yang masih ada (sedang terjadi) di dalam kehidupannya. 14 Ibid., hlm. 5. 13 23 Menurut ‟Effat al-Sharqawi, pemahaman terhadap timbulnya kata sejarah (dalam bahasa Arab, al-tarikh) dalam makna terminologisnya dalam kebudayaan Islam. Terutama kata al-tarikh dalam bahasa Arab mempunyai makna zaman dan juga periode. Namun seperti diketahui, kata itu dalam makna terminologisnya tidak terdapat dalam syair zaman jahiliyah, demikian pula kita tidak akan mendapatkannya di dalam Al-Qur‟an dan hadis Nabi. Para peneliti sendiri pun telah berbeda pendapat mengenai asal-usul kata ini. Sebagian mereka berpendapat bahwa kata itu berasal dari al-arkhu atau al-irkhu yang berarti anak banteng. Sementara peneliti lainnya menyatakan bahwa kata itu diarabisasi dan diambil dari kata ma ruz dalam bahasa Persia, di mana ma berarti berarti bulan dan ruz berarti hari, yang kemudian diarabisasi menjadi mu‟arrikh. Para peneliti lain berpendapat bahwa asal kata al-tarikh diambil dari bahasa Arab Selatan.15 Akan tetapi pendapat yang dianggap terkuat menganggap bahwa kata altarikh berasal dari kata dalam bahasa Semit yang berarti bulan, yang dalam bahasa Akadean adalah kata arkhu, dan dalam bahasa Ibrani yarkhu. Pendapat ini menperoleh dukungan dari H. A. R. Gibb dan Husein Nasr. Seperti diketahui bangsa Semit menetukan bulan-bulan mereka berdasar peredaran bulan dan bukan berdasar peredaran matahari. Ringkasnya, ada berbagai peristiwa yang menunjukkkan bahwa kata tarikh dipergunakan untuk pertama kalinya dalam sastera Arab bersama-sama berita-berita penyusunan tahun hijriah. Kata ini kemudian berkembanglah artinya menjadi sejarah seperti sekarang dengan 15 ‟Effat al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, terjemahan Ahmad Rafi‟ Usmani, (Bandung: Pustaka, 1986), hlm. 260-262. 24 digunakannya secara bertahap kata itu oleh buku-buku sejarah (hauliy) secara umum sejak abad ketiga hijriah.16 Walaupun demikian, tidak ada salahnya jika buku itu dinamai Tarikh Nabi Muhammad karena perkataan tarikh itu mengandung arti lebih luas dan lebih umum daripada sirah atau riwayat. Di dalam sirah atau riwayat seorang Nabi, seperti Nabi Muhammad Saw, terkandung beberapa peristiwa yang besar, kejadian-kejadian yang mengagumkan, keadaan-keadaan yang mengherankan, dan lain-lain yang semuanya telah sesuai dengan arti perkataan tarikh.17 Begitu pula Jalaluddin Rakhmat menggunakan term tarikh, menurutnya bahwa Tarikh Nabi Muhammad Saw sebagai dasar agama. Ia berpendapat dengan mengutip pendapat Bierce “sejarah adalah laporan yang kebanyakan keliru tentang berbagai peristiwa yang kebanyakan tidak penting disebarkan oleh para penguasa yang kebanyakan tidak jujur dan tentara yang kebanyakan tolol.” Berbeda dengan tarikh umat-umat yang lain, tarikh Nabi Muhammad Saw dijadikan rujukan bukan saja untuk memberikan legitimasi politik, tetapi juga untuk mengatur semua aspek kehidupan lainnya. Tarikh Nabi Muhammad Saw adalah kumpulan hadis, dan dari hadis bersumber sunnah.18 Menurut Azyumardi Azra, materi hadis yang luar biasa banyaknya merupakan tambang informasi bagi tulisan sejarah Islam di masa awal, seperti Maghazi (razia atau serangan militer), sirah (biografi), asma al-rijal (biografi 16 Ibid. Chalil, Op. Cit., hlm. 5. 18 Jalaluddin Rakhmat, Al-Mushthafa Manusia Pilihan yang Disucikan, (Bandung: Simbiosa Rakatama Media, 2008), hlm. 20. 17 25 perawi hadis) dan semacamnya.19 Tulisan sejarah semacam ini dalam perkembangannya lebih lanjut mendorong munculnya penulisan sejarah universal dan lokal. Pada saat yang sama, pada saat yang sama, metode isnad dalam periwayatan hadis, dan penggunaan metode kronologis dalam karya biografis. Juga mempengaruhi metode historiografi awal Islam. Pertumbuhan ilmu sejarah dalam kalangan kaum muslim bercampur aduk dengan ilmu hadis dari segi materi dan metodenya. Materinya membahas tentang kisah Nabi Muhammad Saw dan perperangan kaum muslimin, adapun metodenya lebih diarahkan untuk mengemukakan sanad-sanad dan mengukuhkan riwayatnya dalam mendeskripsikan setiap berita.20 Penjelasan bahwa sejauh menyangkut maghazi dan sirah sebagai bentuk historiografi awal Islam adalah Muhamad ibn Syaihab Al-Zuhri (w. 124 H/ 741 M),21 yang melakukan studi maghazi dalam cara yang lebih sesuai dengan metode penelitian sejarah. Menurut Duri sebagaimana yang dikutip Azyumardi Azra, bahwa Al-Zuhri adalah orang pertama yang dapat disebut sebagai sejarawan yang sebenarnya di masa awal ini. Tidak membatasi diri dengan sekedar melengkapi riwayat maghazi Urwah ibn Zubayr (w. 94 H/712 M),22 Al-Zuhri melakukan kegiatan berskala besar untuk mengumpulkan riwayat dan hadis yang beredar di Madinah; ia menuliskan apa pun yang ia temukan untuk membantu hapalannya. Ia adalah orang yang pertama memakai istilah sirah, merekontruksi sirah Nabi dengan struktur yang baku dan menggariskan kerangka 19 Azra, Op. Cit., hlm. 29. al-Sharqawi, Op. Cit., hlm. 264. 21 Azra, Loc. Cit. 22 al-Sharqawi, Op. Cit., hlm. 264-265. 20 26 dalam bentuk yang jelas. Tetapi ia tetap memakai istilah maghazi ketimbang sirah sebagai judul karyanya.23 Karya Al-Zuhri tentang sirah yang ada sampai sekarang hanya dalam bentuk bagian yang ditemukan terutama di dalam karya Ibn Ishaq, Al-Waqidi, AlThabari, Al-Baladzuri, dan Ibn Sayyyid Al-Nas. Formatnya sirahnya, kurang lebih mulai dengan pemberian informasi tentang masa pra-Islam sejauh relevan dengan kehidupan Nabi Muhammad Saw. Kemudian ia menguraikan aspek-aspek penting periode Mekkah dalam kehidupan Nabi Muhammad Saw, dan hijrahnya ke Madinah. Selanjutnya ia membahas kegiatan militer Nabi Muhammad Saw, penaklukan Mekkah, beberapa utusan yang dilepasnya, dan delegasi yang datang kepadanya. Al-Zuhri juga mengungkapkan kegiatan lain Nabi Muhammad Saw; sakit terakhir dan kematiannya. Ia dengan ketat mengikuti tata urutan kronologis dalam melukiskan berbagai kejadian dalam sirah sembari memberikan tanggal bagi peristiwa-peristiwa terpenting.24 Studi maghazi atau sirah dikembangkan lebih lanjut oleh tiga murid AlZuhri: Musa ibn Uqbah (w. 141/758), Ma‟mar ibn Rasyid (96-154/714-771) dan Muhammad ibn Ishaq (w. 151/761). Karya Musa dan Ma‟mar tidak sampai ke zaman sekarang, kecuali dalam bentuk abstraksi dan kutipan-kutipan panjang dalam karya Ibn Sa‟ad, Al-Waqidi, dan Al-Thabari.25 Yang paling termasyhur di antara murid Al-Zuhri tentu saja adalah Muhammad ibn Ishaq ibn Yasar, yang lebih terkenal sebagai Ibn Ishaq. Ia menyusun berjilid-jilid sirah Nabi Muhammad Saw dengan menggunakan materi yang sangat banyak. Menurut suatu pendapat, 23 Azra, Loc. Cit. Ibid. 25 Ibid., hlm. 36. 24 27 teks ini sampai ke zaman sekarang hanya dalam bentuk ringkas sirah yang ditulis Ibn Hisyam, dan kutipan panjang di dalam Tarikh dan Tafsir Al-Thabari. Khusus melalui Ibn Hisyam, Ibn Ishaq mewariskan sirah tertua yang hampir sepenuhnya lengkap.26 Kelihatannya kerangka dasar Ibn Ishaq terdiri dari tiga bagian: almubtada‟ melukiskan sejarah di antara masa penciptaan dunia sampai datangnya panggilan Islam; al-mab‟ats; menggambarkan kehidupan Nabi di Mekah, hijriah, dan juga tahun pertama aktivitasnya di Madinah; al-maghazi menguraikan sejarah Nabi di Madinah sejak perang pertama dengan kaum kafir sampai waktu wafatnya. Dalam menyusun sirah Nabi, Ibn Ishaq menggunakan berbagai macam sumber. Sumber utama al-mubtada‟ adalah Al-Qur‟an, hadis yang diriwayatkan terutama oleh Wahb ibn Munabbih dan Ibn Abbas, pernyataan sastrawan Yahudi, Kristen, dan Biblikal. Sekalipun bisa dipandang sebagai sumber acuan sejarah zaman jahiliah dan permulaan Islam, namun penyusunnya agak membebaskan diri dari metode riwayat menurut para ahli hadis telah mendapat sejumlah kritik dari para ahli hadis.27 Dalam al-mab‟ats, ia hampir sepenuhnya bersandar pada hadis yang diriwayatkan ahl Al-Madinah, dan dokumen-dokumen tertulis lainnya. Dalam bagian ini, ia kadang-kadang memakai isnad. Sedangkan dalam maghazi ia juga memakai hadis dan isnadnya secara kuat.28 Terdapat empat penulis maghazi dan sirah lainnya: Abu Ma‟syar Al-Sindi (w. 170/787), Muhammad ibn Umar Al-Waqidi (130-207/748-823), Ali ibn Muhammad Al-Mada‟ini 9135-225/753-840), dan Muhammad ibn Sa‟ad (w. 26 Ibid. Ibid. lihat juga al-Sharqawi, Op. Cit., hlm. 225-266. 28 Azra, Op. Cit., hlm. 36. 27 28 230/844). Karya Abu Ma‟syar tentang maghazi dipercaya telah hilang, kecuali kutipan pendek di dalam karya-karya yang muncul lebih belakangan dari AlWaqidi, Ibn Sa‟ad, dan Al-Thabari. Dari kutipan yang terdapat dalam karya Ibn Sa‟ad tentang biografi Nabi hampir bisa dipastikan bahwa maghazi Abu Mas‟yhar membahas keseluruhan riwayat hidup Nabi. Ia dikenal menggunakan isnad dalam kebanyakan periwayatannya29. Al-Mada‟ini dipercayai menyusun sekitar 240 karangan tentang berbagai topik sejak sejarah Nabi sampai sejarah Dinasti Abbasiyah. Apa yang penting dari karya Al-Madan‟ini bagi kita adalah bahwa ia tampaknya mengikuti metode muhaddis dalam kritisismenya atas sumber-sumbernya. Metode isnad lebih kuat mempengaruhi ketimbang para pendahulunya.30 Studi maghazi atau sirah berkembang lebih jauh dalam karya Al-Waqidi, Kitab Fihrits Ibn Al-Nadim memberikan daftar 24 karya Al-Waqidi. Dalam menulis Al-Maghazi, Al-Waqidi menggunakan seluruh sumber yang dapat dikumpulkannya, ia menawarkan banyak sekali bahan yang tidak ditemukan sama sekali dalam karya Ibn Ishaq.31 Menurut Duri seperti yang dikutip Azyumardi Azra, Al-Waqidi lebih ketat dari Ibn Ishaq tidak hanya segi metode, tetapi juga dalam penggunaan isnad, ketepatan penetapan tanggal kejadian dan tempat terjadinya pertempuran. Al-Waqidi terkenal moderat dalam menggunakan syair, dan mengurangi unsur folklore dalam periwayatannya. Al-Waqidi juga sangat kritis terhadap sumber-sumbernya. Melihat metode Al-Waqidi, Azyumardi Azra mengutip pendapat Gibb yang menyimpulkan bahwa ilmu sejarah yang berasal 29 Ibid., hlm. 37. Ibid. 31 Ibid., hlm. 39. 30 29 dari hadis mendekati cara pengumpulan materi sejarah sebagaimana yang dilakukan dalam filologi, sementara mempertahankan metode penyajian yang khas.32 Pengarang maghazi atau sirah terakhir disinggung adalah Ibn Sa‟ad yang juga dikenal sebagai sekretaris Al-Waqidi. Karya Ibn Sa‟ad telah disunting Edward Sachau dalam kerja sama dengan sejumlah orientalis lain termasuk Otto Loth yang menulis sebuah monograf tentang Ibn Sa‟ad. Ibn Sa‟ad menulis dua buku: Kitab Akhbar Al-Nabi volume Ia, Ib, IIa, dan Iib dalam edisi Berlin mempunyai bagian pendahuluan yang mengungkapkan sejarah Nabi-nabi terdahulu, kemudian diikuti riwayat masa kanak-kanak Nabi Muhammad Saw sampai hijrah ke Madinah. Bagian kedua volume pertama mencakup periode Madinah, dan bagian pertama volume kedua diabadikan pada pertempuranpertempuran yang dihadapi Nabi atau maghazi dalam pengertian sempit; sedangkan bagian kedua volume ini memberikan kesimpulan tentang biografi pribadi Nabi.33 Tidak dapat dibantah, dalam menyusun kitab-kitabnya, Ibn Sa‟ad banyak bersandar pada karya Al-Waqidi. Tetapi ia melampaui Al-Waqidi dalam pengorganisasian dan pembagian sistematika karyanya ke dalam bab-bab. Ia juga memperkenalkan penambahan penting kepada studi sirah dengan menambahkan bagian-bagian tentang “tanda misi kenabian” („alamat al-nubuwwah), dan tentang sifat kebiasaan dan karakteristik Nabi (shifat akhlaq Al-Nabi). Perkembangan ini, menurut Gibb merupakan satu tahap lebih maju dalam pengatuan unsur hadis asli 32 Ibid., hlm. 39-40 Ibid., hlm. 40 33 30 dengan arus kedua literatur seperti terlihat dan Ibn Ishaq yang bertumpu pada seni kisah rakyat seperti dikembangkan Wahb Ibn Munabbih.34 Dengan arah baru sirah ini, karya Ibn Sa‟d akhirnya secara kuat memapankan struktur sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw. Seluruh sirah yang ditulis sesudah itu mengikuti kerangka yang sama dan bersandar terutama pada bahan-bahan yang disajikan dalam karya-karya yang disebutkan di atas.35 Menurut Abu Suqqah, sirah itu mengungkap seluruh kehidupan Nabi Muhammad Saw yang meliputi pula sebagian besar ucapan, perbuatan, dan ketetapan beliau yang termasuk kategori sunnah dan dijadikan suri teladan oleh kaum muslim sepanjang hidupnya. Oleh karena itu, sirah sangat perlu diungkapkan kepada seluruh kaum muslim dengan tingkat kredibitas yang sempurna sehingga mereka dapat menempuh hidayah dan mereka akan tenang dengan kesahihan riwayat yang mereka terima.36 Penelitian ini tampaknya tidak akan sempurna bila hanya didekati dari aspek “one men show” (pribadi dan tindakan Nabi Muhammad Saw) saja, tanpa melibatkan pola dan perilaku para sahabat Nabi –yang memang keseharian berkumpul dengan Nabi, bahkan tanpa mereka, proses kewahyuan mustahil menjadi sebuah fenomena- merupakan aspek yang harus dimunculkan secara utuh.37 Di mana pada penelitian ini, penulis akan lebih khusus membahas tentang 34 Ibid. Ibid. 36 Abu Syuqqah, Jati Diri Wanita Menurut Al-Qur‟an dan Hadis, terjemahan Mujiyo, (Bandung: Al-Bayan, 1995), hlm. 38. 37 Ajid Thohir, Kehidupan Umat Islam pada Masa Rasululah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 41-42. 35 31 riwayat-riwayat tentang usia pernikahan Khadijah menikah dengan Nabi Muhammad Saw. Jadi dari berbagai pengertian dan penjelasan sirah di atas, dapat disimpulkan pengertian sirah nabawiyah adalah seluruh kehidupan perilaku Nabi Muhammad Saw mulai dari lahir hingga wafatnya, baik sebelum beliau diangkat menjadi Rasul atau sesudahnya (termasuk pengertian hadis dan sunnah), dan termasuk orang-orang yang berada di sekitarnya (para sahabat) yang memang keseharian bergaul dan berkomunikasi dengan beliau. Di mana tanpa mereka proses Asbabun Nuzul dan Asbabul Wurud mustahil menjadi sebuah fenomena yang merupakan aspek yang harus dimunculkan secara utuh. 32 B. Fungsi Sirah dalam Studi Hadis Dalam berbagai ayat Al-Qur‟an Allah Swt menyajikan kisah sejarah sebagai dukungan yang memperkuat pribadi Nabi Muhammad Saw (QS. Hud: 120). Kisah-kisah yang Allah Swt ungkapkan itu punya fungsi yang besar, diantaranya “Ma Nutsabbitu bihi fuadak” (apa yang dengannya kami perkuat hatimu). Tema ayat ini merupakan salah satu sasaran memahami sirah atau fiqih sirah. Sebagai pewaris Rasul, mestinya para ulama pun mendapatkan tatsbit dan tsabat dalam mempelajari sirah. Sehingga dengan sendirinya diketahui ramburambu dengan jelas dalam kehidupan dunia ini.38 Menurut Muhammad Sa‟id Ramadhan Al-Buthi dalam bukunya Fiqhus Sirah seperti yang dikutip Fadhli Bahri menjelaskan secara rinci tujuan mempelajari sirah nabawiyah: 1. Untuk memahami pribadi kenabian Rasulullah Saw melalui sisi-sisi kehidupan dan kondisi yang pernah dihadapinya untuk menegaskan bahwa beliau bukan semata seorang yang terkenal genial di antara kaumnya. Namun sebelum itu, beliau seorang Rasul yang didukung Allah Swt dengan wahyu dan taufik dari-Nya. 2. Agar manusia mendapat gambaran keteladanan tertinggi dalam seluruh aspek kehidupan untuk mereka jadikan undang-undang dan pedoman hidup mereka. Tidak disangsikan lagi, bahwa jika manusia mencari salah satu keteladanan tertinggi dalam salah satu aspek kehidupan, ia pasti menemukannya di 38 Munir Muhammad Al Ghadban, Al Minhaj al-Haraki Lis Sirah An Nabawiyah, (Maktabul Manar, 1984). Diterjemahkan oleh Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Manhaj Haraki Dalam Sirah Nabi Saw(Buku Satu), (Jakarta: Robbani Press, 1992), hlm. xviii-xix. 33 kehidupan Rasulullah Saw secara jelas dan sempurna, karena Allah Swt menjadikan beliau sebagai qudwah untuk seluruh manusia. 3. Agar manusia mendapat sesuatu yang dapat membantunya dalam memahami Kitabullah, karena banyak di antara ayat-ayat Al-Qur‟an baru bisa ditafsirkan dan dijelaskan maksudnya melalui peristiwa-peristiwa yang pernah dihadapi Rasulullah Saw dan sikapnya. 4. Dengan mengkaji Sirah Nabawiyah, seorang muslim dapat mengkoleksi sekian banyak pengetahuan Islam yang benar, karena kehidupan Rasulullah Saw adalah gambaran konkrit tentang sejumlah prinsip dan hukum Islam. 5. Agar setiap dai memiliki contoh hidup tentang cara-cara pembinaan dan dakwah, karena Rasulullah Saw adalah seorang dai, pemberi nasehat, dan pembina yang baik yang selalu mencari cara-cara pembinaan terbaik dalam beberapa tahapan dakwahnya. Di antara hal terpenting yang menjadikan sirah nabawiyah cukup untuk memenuhi tujuan di atas ialah bahwa seluruh kehidupan Rasulullah Saw itu mencakup seluruh aspek sosial dan kemanusian yang ada pada manusia.39 Demikian pentingnya pengetahuan tentang sejarah perjalanan hidup Nabi Muhammad Saw, membuat sirah dipandang sebagai ilmu yang sangat penting dalam keilmuan Islam. Badri Yatim dengan mengutip pendapat Muhammad alZuhayli di dalam kitabnya Marja‟ al-„Ulum al-Islamiyyah: Ta‟rifuha, Tarikhuha, A‟imma‟uha, Mashadiruha, Kutubuha, menempatkan ilmu sirah sejajar dengan 39 Ibnu Hisyam, Sirah Ibnu Hisyam, terjemahan Fadhli Bahri, (Jakarta: PT Darul Falah, 2009), hlm. viii-ix. 34 ilmu kalam, ilmu fiqih, ushul fiqih, tasawuf, tafsir dan hadis serta menempati sisi pendidikan Islam.40 Arti penting lainnya adalah bahwa perjalanan hidup Nabi Muhammad Saw merupakan terjemahan praktis dari Al-Qur‟an. Aisyah isteri Nabi Muhammad Saw pernah berkata, “Akhlak Nabi adalah Al-Qur‟an”. Sehubungan dengan itu, ajaran-ajaran yang berkaitan dengan iman, akidah, ibadah, dan muamalah diterjemahkan oleh Nabi Muhammad Saw melalui riwayat hidupnya sendiri. Oleh karena itu, mengetahui sirah akan menolong seseorang untuk memahami AlQur‟an dan Islam. Di samping itu, perjuangan Nabi Muhammad Saw dalam berdakwah dan menjalankan pemerintahan Islam, selalu berada di bawah bimbingan Allah Swt, sehingga dengan melalui sirah metode Islam dalam berdakwah dan menegakkan pemerintahan dan lembaga-lembaga politik dapat diketahui.41 Menurut Badri Yatim,42 bahwa kajian historiografi Islam ada beberapa faedah yang dapat ditarik. Di antaranya untuk mengetahui pandangan, metode penelitian, dan metode penulisan sejarah yang dilakukan para sejarawan muslim di masa silam, sehingga dapat dilakukan kajian kritis terhadap karya-karya sejarah mereka. Perlu diketahui latar belakang dan faktor yang mendorong penulisan sejarah oleh sejarawan itu, pendapat-pendapat sejarah mereka, cara mereka meriwayatkan sejarah dalam tulisan, pandangan mereka tentang pentingnya arti sejarah dan perannya dalam kehidupan intelektual dan kehidupan umum. 40 Yatim, Op. Cit., hlm. 197. Ibid. 42 Ibid., hlm. 20. Kata fungsi-berfungsi bermakna berguna, lihat Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia,(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm. 443. 41 35 Perlu diketahui juga faktor-faktor keterlibatan mereka dalam historiografi, pengaruh politik dan aliran, pengaruh cerita rakyat, pengaruh syu‟ubiyyah (gerakan kebangsaan), pengaruh aliran agama, dan pengaruh perkembangan umum dalam perkembangan penulisan sejarah.43 Tanpa mengkaji aspek-aspek ini sulit untuk memahami nilai materi sejarah yang terbuka lebar, atau untuk melakukan kritik terhadap karya orang lain, atau untuk menjernihkan sejarah Islam dari kesalahan-kesalahan, baik di masa lalu maupun di masa kini. Menurut Jalaluddin Rakhmat,44 bahwa fungsi analisis historis (termasuk sirah menurut penulis) yaitu: 1. Pada masa sahabat, hadis-hadis yang disampaikan sangat diwarnai oleh suasana politik pada waktu itu. Hanya dengan mengetahui suasana politik di zaman itu, dapat menjelaskan inkonsistensi dalam periwayatan hadis. Sejarah dapat membantu untuk menolak, menerima, atau mentarjih hadis.45 2. Untuk memahami hadis, terlebih dahulu perlu mengetahui latar belakang politik dari rijal hadis, termasuk kedalamnya sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw. Buku-buku rijal seperti Al-Ishabah, Al-Isti‟ab, Mizan AlI‟tidal, Tahdzib Al-Tahdzib, Usud Al-Ghabah, hendaknya dilengkapi kitabkitab tarikh klasik. Historiografi Islam dapat membantu dalam menganalisis hadis secara kritis.46 3. Karena kepemihakan politis, para perawi hadis sering mengurangi atau setidak-tidaknya mengaburkan matan hadis. Ketika Bukhari menyatakan, 43 Yatim, Op. Cit., hlm. 20-21. Rakhmat, Op. Cit., hlm. 97. 45 Ibid., hlm. 97-98. 46 Ibid., hlm. 98. 44 36 “Berkata Abdurrahman bin Abu Bakar „sesuatu‟”, ia tidak ingin mengungkapkan kritik Abdurrahman pada Muawiyah. Karena itu analisis historis dapat menolong untuk menjelaskan hal-hal kabur. Penjelasan seperti ini dapat dapat menetapkan apakah kalimat-kalimat dalam suatu hadis mubham, mujmal, muthlaq, muqayyad „am atau khash (bahkan juga nasikh dan mansukh).47 4. Karena disimpulkan sunnah dari hadis, maka latar belakang sejarah (sirah) dari suatu peristiwa menjadi sangat penting. Di mana, tidak semua berita yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw adalah sunnah.48 Menurut Jalaluddin Rakhmat,49 dengan memperluas definisi hadis sehingga juga memasukkan perilaku para sahabat dan tabi‟in, yaitu mengamalkan juga sunnah para sahabat, yang tidak jarang bertentangan dengan sunnah Rasulullah Saw; kerancuan definisi ini membawa kepada ikhtilaf mengenai apa yang disebut sunnah. Adapun sunnah menurutnya dengan mengambil pendapat Fazlur Rahman dalam Membuka Pintu Ijtihad (1983) menegaskan adanya unsur penafsiran manusia dalam sunnah. Sunnah adalah perumusan para ulama mengenai kandungan hadis. Ketika terjadi perbedaan paham, maka yang disebut sunnah adalah pendapat umum; sehingga pada awalnya sunnah sama dengan ijmak karena sunnah adalah hasil penafsiran, nilai sunnah tentu saja tidak bersifat mutlak seperti Al-Qur‟an. 47 Ibid. menurut penulis poin ketiga ini tidak termasuk bagian sirah nabawiyah karena terjadi di luar perjalanan Nabi Muhammad Saw dari lahir hingga wafat. 48 Ibid. Jalaluddin Rakhmat memberikan penjelasan lihat Kasykul, hlm 26-35 di dalam bukunya yang sama tentang Kerancuan Pengetahuan Hadis dan Sunnah. 49 Ibid., hlm. 33. 37 Karena adanya perbedaan-perbedaan dalam menentukan pengertian sunnah baik secara etimologi maupun terminologi, berikut adanya dampak dari perbedaan-perbedaan itu, maka perlu diteliti lebih dulu apa sebenarnya maksud kata sunnah. Dengan berbagai penjelasan M. M. Azami menyimpulkan bahwa sunnah diartikan secara khusus untuk „tata cara Nabi Saw‟.50 Pangkal perselisihan dalam peristilahan ini ialah perbedaan dalam tekanan mengenai tujuan yang dikehendaki oleh masing-masing kelompok ahli ilmu.51 Adapun istilah-istilah hadis dengan memperhatikan definisi-definisinya, sekalipun tersirat adanya perbedaan namun secara substansial nampaknya dapat dikemukakan bahwa hadis, sunnah, maupun atsar dan khabar pada prinsipnya kembali pada suatu pengertian yang sama yakni makna hadis itu sendiri di mana Rasulullah Saw menjadi sandaran dan sumber utama sebagai pembawa risalah.52 Tugas ulama hadis adalah mencari, mencatat, dan mentashih apa saja atau semua aspek yang dapat dipandang bersumber dari atau berkaitan dengan Nabi yang mereka sebut hadis. Apakah hadis itu berhubungan dengan agama atau tidak, hal itu tidak menjadi perhatian mereka. Kalaupun ada ulama hadis yang ikut berbicara dalam hal substansi hadis, maka mereka itu yang berkapasitas sebagai fuqaha. Umumnya, para ahli hadis kenamaan masuk kategori fuqaha.53 Alangkah naifnya, jika menolak sebuah hadis karena kemampuan belum dapat mencerna dengan baik hadis itu. Padahal sudah diterangkan bahwa bila mendengar hadis, 50 M. M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kondifikasinya, terjemahan Ali Musthafa Yaqub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), hlm. 14-26. 51 Lebih jelasanya lihat Musthafa Al-Siba‟i, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, terjemahan Nurcholis Madjid (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hlm. 1-3. 52 Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Golziher dan Joseph Schacht, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 17-24. 53 Lebih jelasnya lihat Juned, Op. Cit., hlm. 75-83. 38 sikap seorang muslim haruslah patuh dan menerimanya, tanpa ada catatan. Jika bertentangan dengan akal (kemampuan akal) manusia, yang salah adalah informasi yang dicapai akal manusia, bukan hadisnya. Kecuali jika terbukti hadis itu tidak sahih dalam penelitian ahli-ahli hadis.54 Dengan sirah nabawiyah dengan siapa saja Nabi Muhmamad Saw bertemu, bergaul, mengetahui waktu kapan terjadinya bahkan kondisi sosial dan lain-lain, di mana salah satunya dapat diketahui hadis yang nasikh dari yang mansukh, seperti hadis Syaddah bin Aus: (Telah berbuka (batal puasanya-pen) orang yang berbekam dan yang dibekam). (HR. Abu Daud) Hadis ini telah dihapus oleh hadis Ibnu Abbas bahwa Nabi Muhammad Saw berbekam, padahal beliau sedang melakukan ihram dan berpuasa (HR. Muslim). Melalui berbagai jalur hadis dari Syaddad diketahui bahwa hal itu terjadi pada waktu Fathul Makkah. Sedangkan Ibnu Abbas menemani beliau pada waktu haji wada‟.55 54 Daud Rasyid, Sunnah di Bawah Ancaman dari Snouck Hurgronje hingga Harun Nasution, (Bandung: Syaamil, 2006), hlm. vi-xii. 55 Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis, terjemahan Abu Fuad (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2010), hlm. 70. Hadis lengkapnya yaitu Sunan Abu Daud (Kitab: Puasa, Bab: Orang yang berpuasa melakukan bekam, no. 2021) yaitu; ِعلَ َْه َ ُصلَي الَله َ ِحَّدَثَنَا هُوسَي تْيُ ِإسْوَعَِلَ حَّدَثَنَا وُهَ َْةٌ حَّدَثَنَا أٍَُوبُ عَيْ أَتٌِ ِقلَا َتحَ عَيْ أَتٌِ الَْأشْ َعثِ عَيْ شَّدَادِ تْيِ أَ ْوسٍ أَىَ َرسُولَ الَله جنُ وَالْوَحْجُومُ قَالَ أَتُو دَاوُد ِ خَلتْ هِيْ رَ َهضَاىَ فَقَالَ َأفْطَزَ الْحَا َ َعشْزَج َ ِجنُ وَهُوَ آخِذٌ تِ َّدًِ لِثَوَاى ِ َعلَي رَجُلٍ تِالْثَقَِعِ وَهُوَ ٍَحْت َ سَلنَ أَتَي َ َو ُوَرَوَى خَالِّدٌ الْحَذَاءُ عَيْ أَتٌِ ِقلَا َتحَ تِِإسْنَادِ أٍَُوبَ هِ ْثَله Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Abu Qilabah dari Abu Al Asy'ats dari Syaddad bin Aus bahwa Rasulullah Saw datang kepada seseorang di Baqi' sementara orang tersebut sedang berbekam, sementara beliau menggandeng tanganku- selama delapan belas hari yang telah berlalu pada Bulan Ramadhan. Kemudian beliau berkata: "Telah batal puasa orang yang membekam dan yang dibekam." Abu Daud berkata; dan Khalid Al Hadzdza` telah meriwayatkan dari Abu Qilabah dengan sanad Ayyub seperti itu. Dikutip dari Lidwa Pusaka Web Kitab 9 Imam Hadits (Lembaga Ilmu dan Dakwah Publikasi Sarana Keagamaan), lihat Matabah Syamilah dan lihat juga Mausu‟at al-Hadits al-Syarif. 39 Di dalam hadis-hadis banyak mengisahkan tentang Khadijah, di antaranya hadis wanita terbaik, hadis berprilaku baik kepada suaminya, hadis kemulian kecerdasan dan tawakal, hadis kelembutannya pada Nabi, hadis melahirkan keturunan bagi Nabi, hadis kecintaan Nabi, hadis penghargaan Nabi, hadis Rasulullah banyak menyebutnya, hadis penghargaan Allah.56 Adapun riwayatriwayat sirah tentang usia Khadijah menikah dengan Nabi Muhammad Saw berfungsi untuk memaknai, melengkapi, dan memperkaya (mensyarah) teks-teks hadis yang terlalu tekstual (sempit). Bahkan dengan mempelajari sirah (sejarah secara umum) dapat mengkritisi pemahaman yang salah terhadap teks-teks hadis, dan memperkaya tentang informasi kehidupan Rasulullah. 56 Syuqqah, Op. Cit., hlm. 194-197. 40 C. Metode Kritik Sirah dan Hadis Menurut Daniel Juned,57 mengutip pendapat Muhammad „Ajjaj al-Khatib bahwa sirah digolongkan dalam pengertian hadis. Pemaknaan ini sesungguhnya didasari pada kenyataan sejarah. Pada saat itu kitab hadis memuat bukan hanya hadis Nabi melainkan juga hadis yang bersumber dari sahabat dan tabi‟in. Akan tetapi, sejak abad ketiga hadis yang memuat dalam kitab hadis hanya yang bersumber dari Nabi. Sementara yang bersumber dari sahabat dibukukan secara terpisah. Selanjutnya, yang menyangkut dengan sirah digolongkan ke dalam bagian sejarah. Dari perbedaan inilah akan muncul istilah muhadissin yang memfokuskan diri pada hadis, dan akhabariyin yang lebih tertarik pada khabar (sirah). Ini bagi orang yang membedakan antara hadis dan khabar. Menurut Muhammad Amhazun,58 hendaknya peneliti sejarah mempelajari situasi yang mengitari suatu peristiwa, keadaan psikologis, sosial dan ekonomi. Ia juga perlu memperhatikan sebab-sebab yang dapat membuat kesalahan sebelum kesimpulan tertentu diambil, sehingga hasilnya lebih mendekati kebenaran. Muhammad Amhazun mengajukan tiga tahapan untuk melakukan terapi kesalahan peristiwa secara tepat dan adil. 57 Daniel Juned, Ulumul Hadis Paradigma Baru dan Rekontruksi Ilmu Hadis, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), hlm. 75-77. Hadis dalam pengertian ahli hadis menurut Daniel Juned mengutip pendapat Muhammad „Ajjaj al-Khathib: “Semua yang diwariskan dari Nabi berupa perkataan, perbuatan, taqrir (pengakuan), atau sifat; baik sifat fisikal maupun moral ataupun sirah, baik sebelum menjadi Nabi atau sesudahnya.” Menurutnya, apa yang dirumuskan oleh tokoh analisis hadis modern al-Khatib ini, merupakan suatu kristalisasi dari berbagai macam redaksi yang digunakan dalam mendefinisikan hadis. Pengertian ini dapat dijadikan acuan, bahwa demikianlah pemahaman mayoritas ahli hadis dalam memaknai kata “hadis” dalam dimensi terminologinya. 58 Muhammad Amhazun, Fitnah Kubro (Tragedi Pada Masa Sahabat) Klarifikasi Sikap Serta Analisa Historis dalam Perspektif Ahli Hadits dan Imam al-Thabary, terjemahan Daud Rasyid, (Jakarta: LP2SI Al-Haramain, 1994), hlm. 11. 41 Tahapan pertama, meyelidiki benar tidaknya terjadi kesalahan peristiwa. Dalam kasus ini penyelidikan itu tentu saja sesuai dengan jalan sumber-sumber yang paling terpercaya yakni wahyu. Tahapan kedua, tahapan pemantapan diiringi penjelasan berbagai sebab yang mendorong terjadinya kesalahan. Itu terlihat dalam Ucapan Nabi Muhammad Saw kepada Hatib: “Apa yang menyebabkanmu berbuat seperti itu?”59 tahap ini penting, karena apabila setelah mengajukan pertanyaan ini, ternyata di sana terdapat alasan yang sah („uzur syara‟) dalam hal melakukan kesalahan, maka formulasi (tahapan kedua) selesai sampai disini. Namun bila alasan itu tidak dapat diterima secara syara‟, baru masuk tahapan berikutnya. Tahapan ketiga, mengabungkan kebaikan dan perbuatan baik dari diri si pelaku dan meletakkan kebaikan-kebaikan tadi di samping kesalahannya. Boleh jadi kesalahan atau kejelekan itu lenyap dalam lautan kebaikannya. Inilah cara yang ditempuh oleh Nabi Muhammad Saw terhadap Hatib, ketika ia menyatakan kepada Umar yang meminta izin hendak membunuh Hatib: ”Bukankah ia ahli Badar?” kemudian ia berkata: “Semoga (hanya) Allah Swt lebih mengetahui tentang ahli Badar”, kemudian Nabi Muhammad Saw menyatakan: “berbuatlah sekehendakmu, kalian (memang) seharusnya masuk surga, atau (dosa) kamu telah diampuni”.60 59 Shahih Bukhari, (Kitab: Peperangan, Bab: Keutamaan orang-orang yang ikut perang Badar, no. 3684). lihat Lidwa Pusaka Web Kitab 9 Imam Hadits (Lembaga Ilmu dan Dakwah Publikasi Sarana Keagamaan), lihat Matabah Syamilah dan lihat juga Mausu‟at al-Hadits al-Syarif. 60 Amhazun, Op. Cit., hlm. 11. 42 Perlu diketahui bahwa beberapa peristiwa yang terjadi pada permulaan Islam tidak dibenarkan kecuali oleh situasi yang terjadi waktu itu. Jangan memvonis dengan logika atau situasi dengan zaman sekarang, atau situasi kehidupan orang lain di luar mereka sebagai pelaku peristiwa. Jika tidak, maka kesimpulan yang diambil akan kehilangan landasan objektifitasnya. Dengan demikian, pandangan penilai terhadap peristiwa-peristiwa ini tidak memenuhi alat hukum dan penilain yang benar, sehingga lahirlah kesimpulan yang tidak sesuai dengan kejadian yang sebenarnya.61 Menurut Muhammad Abdul Wahid Hijazi,62 studi-studi sejarah harus memiliki semangat penegakan hak bagi seluruh manusia dengan benar dan jujur tidak boleh merampas hak-hak orang lain baik berupa ilmu pengetahuan maupun pemikiran, tidak boleh merampas hak-hak peradaban orang lain untuk selanjutnya diberikan kepada pihak-pihak lain yang tidak berhak mengklaim secara tidak benar atas peradaban tersebut karena didorong semangat superioritas atau semangat rasialisme. Sudah menjadi sebuah keharusan di dalam studi dan penelitian-penelitian sejarah untuk melakukannya dengan jujur, agar ukuranukuran sejarah bisa benar dan adil. Karena ukuran-ukuran atau standar penilain (kritik) sejarah mudah untuk disalahgunakan dan sulit digunakan untuk menyingkap kebenaran. Untuk itu sudah menjadi sebuah keharusan untuk mendefinisikan dengan baik dan cermat ukuran-ukuran atau standar penilaian (kritik) sejarah tersebut. 61 Ibid. Lebih jelas lihat Muhammad Abdul Wahid Hijazi, Metode Yahudi dalam Mendistorsi Sejarah, terjemahan Mujiburrahman dan Masturi Irham, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), hlm. 57-74. 62 43 Muhammad Abdul Wahid Hijazi63 membahas tentang ukuran atau standar penilaian (kritik) sejarah itu; 1. Ukuran atau standar penilaian seorang sejarahwan harus didasarkan atas pemikiran, moral, akidah, sense, dan imajinasi. Kelima unsur ini tidak akan bisa menjadi sebuah ukuran yang baik bagi seorang sejarahwan selama ia tidak membentuk sebuah ukuran atau standar yang utuh dan integral dari kelima unsur ini di dalam studi sejarah yang dilakukannya. 2. Di antara ukuran penilaian sejarah adalah sesuatu yang berkaitan dengan masalah rumor atau desas-desus sejarah. 3. Waspada terhadap sikap tendensus dan pemihakan sejarah yang tidak lain didasari oleh hawa nafsu belaka. 4. Sikap waspada terhadap terjadinya kerancuan ukuran atau standar penilaian sejarah, seperti meletakkan pujian dan sanjungan di tempat celaan, kecaman, dan kritikan. 5. Ukuran yang digunakan jangan sampai hanya berupa penuturan kejadiankejadian sejarah saja, akan tetapi juga harus berupa penilaian terhadap manusia seputar apa yang telah mereka lakukan dan mereka mampui. 6. Dari ukuran atau standar sejarah nomor lima di atas, mengambil ukuran atau standar yang keenam yaitu faktor-faktor psikologis. 7. Ukuran sejarah berupa pengungkapan tentang manipulasi sejarah. 8. Sikap waspada terhadap orang-orang yang memiliki karakter penjilat dan oportunis atau orang-orang yang dibentuk menjadi penjilat dan oportunis. 63 Ibid. 44 9. Seorang sejarahwan harus mewaspadai fanatisme dan semangat buta. Beberapa banyak kejahatan yang dilakukan oleh fanatisme terhadap sejarah, perkembangan periode-periodenya, tokoh-tokohnya, dan tujuan-tujuannya. 10. Di antara ukuran atau timbangan sejarah adalah manusia harus waspada terhadap alasan-alasan palsu atau menerapkan standar ganda. 11. Di antara ukuran atau standar sejarah adalah seorang sejarahwan harus mengoreksi dengan baik ukuran atau standar-standar yang ada. Sedangkan untuk mencapai penulisan sejarah, maka upaya merekonstruksi masa lampau dari objek yang diteliti itu ditempuh melalui metode sejarah (historical method) Louis Gottchalk sebagaimana yang dikutip Toni Victor M. Wanggai64 mensistematiskan langkah-langkah metode sejarah sebagai berikut: (1) Heuristik yaitu pengumpulan objek yang berasal dari suatu zaman dan pengumpulan bahan-bahan tertulis dan lisan yang relevan; (2) Verifikasi atau Kritik yaitu menyingkirkan bahan-bahan (atau bagian-bagian dari padanya) yang 64 Toni Victor M. Wanggai, Rekontruksi Sejarah Umat Islam Di Tanah Papua, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agam RI, 2009), hlm. 15. Untuk memperoleh tarikh Nabi Muhammad Saw yang sahih, perlu dengan cermat memisahkan fakta dari fiksi, kebenaran dari dusta, dan informasi dari disinformasi. Jalaluddin Rakhmat mengusulkan tiga teknik dalam menguji keabsahan tarikh Nabi Muhammad Saw. Pertama, menguji tarikh Nabi Muhammad Saw dengan dokrin Al-Qur‟an bahwa Nabi Muhammad Saw adalah teladan utama (QS, Al-Ahzab: 21) dan bahwa beliau “mempunyai akhlak agung.” (QS. Al-Qalam: 4). Kedua, mempertemukan riwayat Nabi Muhammad Saw itu dengan pesan ilahi dalam Al-Qur‟an. Al-Qur‟an dijadikan tolok ukur kebenaran riwayat atau hadis Nabi Muhammad Saw. Jika hadis itu sesuai dengan pesan Al-Qur‟an, ia diterima; jika tidak, ia ditolak. Ketiga, masih tetap akan menggunakan kriteria pengujian hadis dalam ulumul hadis yakni kritik sanad dan matan dengan tambahan kritik aliran politik dari periwayat hadis. Selanjutnya, Jalaluddin Rakhmat menyatakan langkah yang ketiga itu praktiknya diletakkan pada yang pertama, maknanya bahwa hadis harus dibuktikan dahulu keabsahannya. Jika sebuah hadis terbukti sahih berdasarkan ilmu hadis, kita mengujinya lagi dengan meneliti apakah tidak ada pertentangan di dalamnya. Kemudian kita cocokkan dengan citra Nabi Muhammad Saw sebagai manusia teladan dan dengan pesan-pesan Al-Qur‟an lainnya. Tiga teknik itu boleh saja disebut sebagai tiga asumsi dasar (basic assumptions) yang harus diterima sebagai dasar dari seluruh analis. Jika asumsi dasar ini tidak diterima, seluruh proposisi lain yang berhubungan dengan itu juga tidak diterima. Dengan demikian jika terjadi perbedaan pendapat di antara kita, kita harus merujuk lagi pada ketiganya. Rakhmat, Op. Cit., hlm. 38-39. 45 tidak otentik; (3) Interpretasi yaitu menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya berdasarkan bahan otentik; dan (4) Historiografi yaitu penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya itu menjadi suatu kisah atau penyajian yang berarti. Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, untuk mengkritik sirah nabawiyah penulis mengupayakan untuk menggunakan kritik hadis. Kajian ilmu ini sejak lama telah dikristalkan dalam kajian ilmu takrij al-hadis, dan dalam bahasa ilmu hadis lebih dikenal ilmu kritik sanad (kritik ekstern hadis) untuk menganalisa sanad (dengan pendekatan studi hadis khususnya ilmu jarh dan ta‟dil), dan kritik matan (kritik intern hadis) yang mengacu pada analisis rasional matan (teks hadis). 1. Metode Kritik Sirah dan Hadis dalam Pembuktian Kebenaran a. Menganalisa Sanad Secara bahasa sanad adalah al-mu‟tamad (tempat bersandar). Disebut seperti itu karena hadis disandarkan atau menyandarkan kepadanya. Adapun secara istilah, sanad merupakan urutan para perawi hadis yang kemudian berlanjut kepada matan.65 Dalam metode keislaman, sanad dipandang sebagai tulang punggung berita. Ia merupakan media kritik terhadap suatu khabar, karena dengan diketahui siapa-siapa periwayatnya maka akan dapat diketahui pula nilai khabar itu. Sanad yang bersambung lagi sahih merupakan karakteristik umat Islam. Kegunaannya adalah untuk memberikan rasa tentram dan percaya pada khabar yang diriwayatkan dengan cara seperti ini, karena didalamnya terhimpun sejumlah 65 Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis, terjemahan Abu Fuad (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2010), hlm. 14. 46 bukti dan pendukung berupa perawi-perawinya bersifat „adil, tsiqah dan dhabit. Dari sejumlah pendukung itulah kesahihan suatu khabar yang diriwayatkan menjadi kokoh.66 Kegunaan lainnya, bahwa riwayat-riwayat yang disandarkan pada sanad jauh lebih utama dibandingkan riwayat atau khabar yang disampaikan dengan tanpa sanad, karena sanad dalam suatu riwayat itu dapat digunakan untuk melacak otentisitas riwayat tersebut. Mekanisme kritik dan pengujiannya juga dapat dilakukan dengan cara yang lebih jauh sempurna dibandingkan dengan khabar-khabar yang tidak bersanad. Dengan demikian tujuan penetapan sanad adalah memastikan kesahihan (kebenaran) suatu nas (teks) atau berita, serta melenyapkan kepalsuan, dan kebohongan yang mungkin ada padanya.67 Nilai penting sanad sebenarnya tidak terbatas untuk hadis-hadis Nabawi saja, lebih jauh itu juga masuk pada sejumlah cabang ilmu-ilmu lainnya seperti tafsir, tarikh (sirah), sastra, bahkan sepertinya telah mendominasi metode pengkodifikasian ilmu-ilmu keislaman yang beraneka ragam. Dalam bidang tarikh (sejarah), karena penyebutan sanad (al-isnad) akan membantu pelacakan kebenaran suatu riwayat dan kritik informasi, maka oleh karena itu para ulama tetap mempertahankan eksistensi sanad. Mereka para ulama (terdahulu) telah melakukan tugas pengumpulan dan pengkodifikasian, baik dalam bidang sejarah hidup Nabi Muhammad Saw (sirah nabawiyah), atau pun informasi historis. Sebagaimana hal ini telah dilakukan oleh Aban Ibn „Utsman, Urwah Ibn 66 67 Amhazun, Op. Cit., hlm. 39. Ibid. 47 Zubair,68 al-Zuhri, khalifah Ibn Khayyath, Ya‟qub Ibn Sufyan al-Fasawi, Abu Zur‟ah al-Damasyqi, al-Thabary dan sebagainya. Para ulama telah melakukan usaha keras untuk meluruskan kedustaan yang ada dalam khabar dengan melalui dua aspek, yaitu: (1) aspek teoritis, penetapan kaidah-kaidah yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kedustaan; (2) aspek praktis, yaitu penjelasan tentang pribadi-pribadi yang disinyalir pendusta dan seruannya pada umat manusia agar bersikap hati-hati terhadap mereka. Dalam aspek teoritis metode kritik pada para ulama telah berhasil sampai pada peletakan kaidah-kaidah ilmu periwayatan yang canggih dan sangat teliti sebagai puncak kreasi yang dihasilkan oleh kemampuan manusia.69 Untuk mengetahui ketelitian metode ilmiah yang diikuti ulama yang berkecimpung dalam bidang ini, maka cukuplah dengan membaca karya-karya yang mereka hasilkan dalam bentuk kaidah-kaidah al-jarh dan al-ta‟dil. Pengertian istilah-istilah yang tercakup dalam dua kategori itu, urutan hirarkhisnya yang dimulai dari yang teratas ta‟dil sampai tingkatan yang terbawah. Syarat-syarat penerimaan suatu riwayat, di mana mereka tetapkan dua syarat pokok terhadap perawi itu yang bisa diterima periwayatannya, yaitu: (1) Al„adalah; perawi itu harus muslim, baligh, berakal, jujur, terbatas dari sebab kefasikan, serta terhindar dari hal-hal yang merusak muru‟ah (martabat); dan (2) Al-dhabit; perawi menguasai apa yang diriwayatkannya, hafal atas apa yang diriwayatkan kalau dia meriwayatkannya, hafal atas apa yang diriwayatkan kalau 68 Ibid. „Urwah Ibn al-„Awwam, Abu „Abdillah, salah seorang dari tujuh ahli fiqih di Madinah. Ibn Sa‟ad berkata tentang beliau: “‟Urwah seorang tsiqah, tsabat, ma‟mun, hadisnya banyak, juga seorang faqih dan „alim. Kitab-kitabnya sampai kepada kita melalui karangan Ibn Ishaq, al-Waqidi, dan al-Thabary mengenai sirah Nabi saw. Wafat tahun 93 H (712 M). 69 Ibid., hlm. 41. 48 dia meriwayatkannya dengan metode hafalan, cermat dengan kitabnya kalau dia meriwayatkannya dengan melalui tulisan, harus memahami makna hadis yang diriwayatkan, serta kuat ingatannya (tidak pelupa).70 Di antara kaidah-kaidah periwayatan itu yaitu dengan menghindari pengambilan riwayat (informasi) dari narasumber yang dha‟if (lemah) dan sebaliknya selalu memilih riwayat dari perawi yang amanah (tidak lemah). Mensyaratkan kejujuran, karena kebodohan dan kedustaan itu menyebabkan gugurnya sifat „adalah, tidak meriwatkan dari orang yang kacau hafalannya dan berubah-ubah serta perawi yang dalam riwayatnya diwarnai oleh kejanggalan (syawadz), kebatilan (manakir) dan keanehan (gharaib), tidak menjadikan riwayat-riwayat seperti ini sebagai hujjah. Dan tidak menjadikannya sebagai hujjah, hadis-hadis yang berasal dari perawi yang banyak keliru dan kesalahan dalam periwayatan, menolak riwayat Ahl al-ghaflah (pelupa) dan perawi yang terkenal sangat longgar dalam menilai suatu riwayat (tasahul), serta menghindari periwayatan dari pengumbar nafsu (ahl al-mujun) dan porno (al-khala‟ah).71 Adapun dari aspek praktis adalah seperti penyebutan para perawi, curriculum vitea-nya, serta penjelasan kualitas atau penilaian terhadapnya. Untuk kepentingan ini ulama-ulama spesialis yang telah menyusun sejumlah besar karya dengan kategori yang beragam, yang diantaranya ada karya-karya yang khusus menyebutkan orang yang “tsiqah” saja. Ada pula karya-karya yang khusus memuat keterangan tentang orang-orang “dha‟if” saja, dan ada juga karya-karya yang memadukan keduanya al-tsiqat wa al-dhu‟afa (orang-orang yang terpercaya 70 71 Ibid., hlm. 41. Lihat juga Thahan, Op. Cit., hlm. 186 Amhazun, Op. Cit., hlm. 42. 49 dan orang-orang lemah) dalam satu kitab beserta penyebutan istilah-istilah al-jarh wa al-ta‟dil yang tepat untuk setiap perawi. Sebagai contoh dari kitab-kitab yang dimaksudkan adalah72: (1) Kitab-kitab yang khusus menguraikan perihal orang-orang tsiqah antara lain: Kitab al-Tsiqah karya Abu al-Hasan Ahmad Ibn Abdillah al-„ijli, Kitab al-Tsiqah karya „Umar Ibn Ahmad Ibn Syahin. (2) Kitab-kitab tentang dhu‟afa; kitab al-Dhu‟afa al-Shaghir dan Dhu‟ afa alKabir karya Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Kitab al-Dhu‟afa wa alMatrukin karya Abu Zur‟ah al-Razi. (3) Kitab yang mengabungkan keduanya, yaitu al-Jarh dan al-Ta‟dil karya Ibn Abi Hatim al-Razi, koleksi kitab-kitab Tarikh karya Imam al-Bukhari yang terdiri dari tiga kitab, yakni al-Kabir, al-Ausath dan al-Shaghir. Sesuatu hal yang tidak diragukan lagi bahwa karya-karya tentang kaidahkaidah periwayatan dan tentang perawi-perawi itu telah memberikan andil yang cukup besar, demi (terwujudnya) sunnah yang bersih lagi suci dan darinya pula dapat diambil manfaat untuk studi tarikh Islam. Karena dari kaidah-kaidah periwayatan hadis akan tersingkaplah persoalan-persoalan pelik tentang aturan transmissi (penyampaian) dan hal-ikhwal perawi sehingga akan menjadi jelas mana riwayat yang dhaif dan mana pula yang kuat atau mana riwayat yang benar dan mana yang palsu. Dan dengan itu pula para pengkaji dan sejarahwan dapat mengetahui nilai dari masing-masing riwayat (khabar), yang kemudian khabarkhabar yang dhaif lagi palsu dibuang dan sekaligus memberikan peringatan 72 Ibid., hlm. 42. 50 kepada umat agar menjauhinya. Sebaliknya riwayat-riwayat yang shahih diambil dan diberi penjelasan, lebih-lebih karena sasaran mempelajari sejarah adalah untuk mengungkap hakikat-hakikat kebenaran. Hal ini, merupakan cita-cita yang didamba-dambakan oleh setiap peneliti yang jujur dan objektif.73 Syarat-syarat riwayat yang diterima, di antara kesulitan mengaplikasikan metode kritik muhadditsin pada setiap berita-berita kesejarahan jika para ulama bermaksud mererapkan persyaratan pada sejarahwan sesuai dengan persyaratan ahli hadis dalam periwayatan hadisnya, yang terdiri atas empat hal berikut: (1) berakal, (2) dhabit (kuat ingatan), (3) Islam, (4) „adalah (adil),74 padahal sesungguhnya informasi-informasi kesejarahan itu kekokohan dan ke „adalahan perawinya, serta ketersambungan sanadnya tidak akan mencapai tingkatan seperti hadis nabawi, terkecuali kalau informasi-informasi itu berkaitan dengan riwayat tentang sirah (sejarah Nabi), Khulafa al-Rasyidin, yang memang validitasnya telah menjadi begitu kuat karena adanya beberapa jalur sanad dalam kitab-kitab sunnah. Adapun mayoritas berita sejarah itu, maka boleh digali dari para informan dengan sanad munqathi‟ (terputus), yang di dalamnya banyak sanad yang berasal dari kalangan orang yang tidak dikenal (majhul), lemah (dhu‟afa), dan tidak terpakai (matrukin).75 Atas dasar pertimbangan inilah ulama membedakan antara berita-berita yang harus diperlakukan dengan ketat (tasyaddud) dengan berita-berita yang boleh diperlakukan dengan longgar (tasahul) sesuai dengan jenis materi yang diriwayatkannya. Hanya saja perlu digarisbawahi bahwa pengaplikasian kaidah73 Ibid., hlm 42-43. Ibid., hlm. 46. 75 Ibid. 74 51 kaidah kritik hadis pada sejarah merupakan perkara nisbi yang ditentukan oleh materi riwayat-riwayat itu berhubungan dengan Nabi Muhammad Saw atau salah seorang dari sahabat, maka harus lebih teliti terhadap perawinya dan berlaku kritis terhadap mereka.76 Sama dengan hal ini juga adalah riwayat yang mengandung hujatan pada salah seorang ulama dan imam yang telah disepakati sifat ke‟adalahannya, atau riwayat (informasi) yang bernada miring terhadap mereka serta mentadlis (memalsukan) keadaan mereka di hadapan orang banyak, riwayat sejenis ini tentu tidak terpakai, karena setiap orang yang telah mapan ke „adalahannya, tidak akan diterima kritikan terhadapnya, sampai hal itu dapat dibuktikan dengan sebab perkara yang tidak mungkin bermakna lain kecuali kritikan (al-Jarh).77 Begitu pula kalau perkara itu menyangkut ketentuan aqidah atau tematema pokok agama seperti penetapan hukum halal dan haram, maka haruslah diteliti perawinya dan diketahui cara periwayatannya dan kalau menyangkut tematema ini maka tidak akan ada riwayat yang dapat diterima kecuali dari perawi yang benar-benar dipercaya (tsiqah) dan kuat ingatannya (dhabit). Adapun bila khabar yang diriwayatkan itu tidak berkaitan sedikit pun dengan hukum-hukum syar‟iyyah (agama) sekalipun seharusnya juga perlu mendapat perhatian yang serupa, maka boleh bersikap longgar terhadapnya sebagai analogi terhadap apa yang oleh ulama hadis diistilahkan dalam “Bab al-tasyaddud dalam hadis-hadis ahkam dan bersikap tasahul dalam hadis-hadis tentang fadla „il a‟mal”.78 76 Ibid. Ibid. 78 Ibid. 77 52 Perlu diketahui bahwa tasahul ini tidak berarti boleh meriwayatkan dari perawi yang sudah dikenal pendusta dan telah gugur keadalahannya, karena orang yang telah gugur sifat „adalah (adilnya) seharusnya tidak boleh dijadikan sebagai narasumber periwayatan. Oleh ulama istilah tasahul hanyalah dimaksudkan sebagai penerimaan terhadap riwayat hadis yang perawinya, lemah kedhabitannya dengan sebab kelupaan atau sering keliru atau tidak bersambung sanadnya seperti hadis mursal atau munqathi‟. Menurut kaidah ini, sebagian fuqaha‟ membolehkan beramal dengan hadis dhaif tentang fadhail a‟mal (keutamaan suatu amalan), targhib (dorongan atau stimulasi untuk beramal) dan tarhib (ancaman atau hukuman bagi pelaku perbuatan terlarang).79 Atas dasar uraian di atas, apabila riwayat kesejarahan itu tidak berkaitan dengan penetapan masalah hukum (syara‟) atau dengan orang perorang misalnya para shahabat Nabi Muhammad Saw atau masalah hukum halal-haram maka persoalannya jadi berbeda. Dalam kasus seperti ini, akan diterima riwayat-riwayat yang lemah itu yang dalam kasus lain tidak diterima sebelumnya karena riwayat tersebut dapat dijadikan sebagai informasi pendukung. Sebab kadangkala riwayatriwayat tersebut mempunyai titik temu dengan riwayat-riwayat sahih lainnya tentang akar kejadian. Juga riwayat-riwayat lemah itu mungkin digunakan sebagai keterangan tambahan tentang rincian-rincian peristiwa, oleh karenanya diupayakan pengkompromian antara suatu riwayat dengan riwayat lainnya yang lebih terpercaya sanadnya.80 79 80 Ibid. Ibid. 53 Akram Dhiya‟ al-„Umari seperti yang dikutip Muhammad Amhazun berkata, “Riwayat-riwayat sejarah yang disusun oleh para ahli sejarah waktu dulu tidak diberlakukan ketat seperti hadis, akan tetapi riwayat-riwayat sejarah itu diperlakukan dengan longgar. Sebab jika kita menolak metode mereka tersebut dalam arti kita bersikap ketat terhadap informasi sejarah sebagaimana halnya hadis, maka terjadilah kekosongan dan keterputusan dalam episode sejarah. Sebagai jurang yang amat dalam yang memisahkan. Hal ini akan melahirkan kebingungan, kehampaan, perpecahan, dan keterputusan. Namun hal itu tidak berarti meninggalkan secara total metode ahli hadis dalam kritik sanad untuk riwayat sejarah. Metode ahli hadis itu dapat kita gunakan sebagai “alat” untuk memilih mana yang terkuat di antara riwayat-riwayat yang bertentangan. Juga menjadi “alat” terbaik yang membantu kita dalam menentukan sikap menerima atau menolak sebagian teks sejarah yang rancu, yang mengandung kejanggalan dari bingkai umum sejarah umat kita.81 Perbedaan sikap terhadap informasi sejarah antara sikap ketat dan relatif longgar, dapat kita lihat dengan nyata pada sikap al-Hafizh Ibn Hajar seperti yang dikutip Muhammad Amhazun ketika mengabungkan sejumlah riwayat dalam kitabnya “Fathul Bari”. Walaupun Ibn Hajar menegaskan penolakannya terhadap riwayat Muhammad Ibn Ishaq bila ia tidak menegaskan proses perolehan riwayat itu dengan secara langsung mendengar (sama‟), tetapi hanya dengan menyebut „an (dari) seseorang juga penolakan yang sama terhadap riwayat Al-Waqidi, karena statusnya di mata ahli ilmu Jarh dan Ta‟dil sebagai matruk (tidak 81 Ibid., hlm. 48. 54 terpakai), apalagi informan-informan selain mereka berdua yang sama sekali tidak mempunyai riwayat yang dikutip dalam kitab-kitab hadis semisal „Awanah, alMada‟iny, namun Ibn Hajar mengambil riwayat-riwayat mereka sebagai pendukung dan informasi pelengkap untuk rincian-rincian peristiwa tertentu. Lalu selanjutnya, ia berupaya mengkombinasikan antara riwayat-riwayat tersebut dengan riwayat lain yang mempunyai sanad (sandaran) yang lebih kokoh.82 Hal ini menunjukkan bahwa beliau menerima khabar-khabar dari mereka tentang bidang-bidang yang mereka tekuni seperti perhatian pada sejarah dan berita. Itulah metode yang absah di kalangan para ulama peneliti, walaupun mereka tidak mau menerima riwayat-riwayat sejarahwan mengenai hukum-hukum syara‟. Dalam kaitan ini dapat kita lihat Muhammad Amhazun mengutip pendapat Ibn Hajar di dalam Thabaqat al-Mudallisin, berkomentar tentang Ibn Ishaq: “Imam dalam bidang Maghazi, tetapi shoduq Yudallis (jujur tetapi mau mentadlis)”.83 Muhammad Amhazun masih mengutip pendapat Ibn Hajar di dalam al-Taqrib berkomentar tentang al-Waqidi: “Matruk (tidak terpakai), walaupun ilmunya luas”. Terhadap Saif Ibn „Umar, ia berkata: “Ia dhaif dalam hadis, tetapi bisa dijadikan pegangan dalam sejarah.84 b. Menganalisa Matan Secara bahasa matan adalah tanah yang keras dan naik ke atas. Sedangkan secara istilah matan merupakan perkataan terakhir dari sanad85 atau susunan kalimat yang tercantum pada akhir sanad yang berarti teks dari khabar itu sendiri. 82 Ibid. Ibid. 84 Ibid. 85 Thahan, Loc. Cit. 83 55 Yang dimaksudkan dengan studi matan di sini adalah mempelajari nas dari berbagai seginya; di antaranya ada yang memfokuskan pada penelitian di seputar kesahihannya, apabila tidak bertentangan dengan watak (alami) sesuatu dan informasi-informasi kesejarahan yang sudah valid, atau tidak mengandung sesuatu yang tidak mungkin atau kemustahilan, dan lain-lain. Di antaranya pula, studi matan itu ada yang memfokuskan pada upaya pemahaman (makna) nas itu sendiri, baik menyangkut pemahaman atas muatan hukumnya, dalalah (konotasinya), atau pemahaman segi bahasa dan lafadznya.86 Penting untuk ditegaskan sesungguhnya jerih payah ulama itu ternyata tidak hanya difokuskan pada upaya penelitian atau kritik sanad saja, tetapi juga berupa kritik (penelitian) matan karena ternyata illat (cacat) suatu riwayat itu tidak hanya terjadi pada sanad melainkan boleh jadi juga pada matan. Atas dasar bahwa hadis yang lemah sanadnya tidak harus lemah pula matannya, dan sebaliknya hadis yang sahih sanadnya juga belum tentu sahih (pula) matannya; maka boleh jadi ada hadis yang sanadnya lemah (dhaif) tetapi matannya sahih karena ada riwayat dari sanad lain yang mendukung kesahihannya. Dan mungkin pula sanadnya sahih tetapi matannya tidak sahih, karena adanya kejanggalankejanggalan (syudzudz) dan illat (cacat) yang merusak dalam matan itu.87 Untuk itulah para ulama meletakkan metode ilmiah yang begitu teliti (rinci), sehingga mereka tidak begitu saja memvonis semua riwayat itu dhaif hanya karena perawinya lemah. Karena seorang yang dhaif boleh jadi benar dan jujur dalam riwayat tertentu. Jika demikian halnya, maka ini jelas termasuk 86 87 Amhazun, Op. Cit., hlm. 43. Ibid. 56 penolakan terhadap kebenaran. Sebab, terkadang bisa saja orang yang dhaif itu benar dan bisa saja sesekali orang yang jujur itu tersalah.88 Dan karena ini pulalah, para ulama hadis terkadang berdalil dengan hadishadis yang sanadnya dhaif namun sepanjang perawi itu tidak sampai pada tingkat dituduh berdusta dan memalsukan hadis ketika matan (isi) hadis atau inti khabar tersebut telah terbukti kuat melalui jalur lain. Ini artinya bahwa para ulama hadis telah memberikan perhatian serius pada matan hadis sebagaimana mereka juga memperhatikan sanadnya. Sebab penerimaan mereka terhadap suatu matan padahal isnadnya mengandung cacat, hal itu jelas menunjukkan betapa dalamnya penelitian mereka mengenai kritik nas (matan), dan bahwa sanad yang dhaif tidak mengahalangi mereka untuk menerima matan yang sahih atau ma‟ruf dari jalur sanad yang lain.89 Sungguh telah ada metode sahabat untuk meneliti suatu riwayat dan menyelidiki kesahihannya, bukan dalam pengertian mereka menuduh para perawinya berdusta. Dalam kaitan ini ada sebuah kasus sahabat yang ditemukan Aisyah ra. bahwasanya ia mendengar sebuah hadis90 yang bersumber dari Umar Ibn al-Khathab dan putranya Abdullah Ibn Umar ra, sesungguhnya Nabi Muhammad Saw berkata: “Sesungguhnya mayat itu akan disiksa dengan sebab tangisan keluarga atasnya”. Maka berkomentarlah Aisyah ra, : Semoga Allah merahmati Umar. Demi Allah! Rasulullah Saw tidak pernah menyatakan bahwa 88 Ibid. Ibid., hlm. 43-44. 90 Shahih Bukhari (Kitab: Jenazah, Bab: Sabda Nabi Saw tentang Mayat Akan Disiksa Disebabkan Tangisan Keluarganya, no. 1206). Lihat Lidwa Pusaka Web Kitab 9 Imam Hadits (Lembaga Ilmu dan Dakwah Publikasi Sarana Keagamaan), lihat Matabah Syamilah dan lihat juga Mausu‟at al-Hadits al-Syarif. 89 57 Allah akan menyiksa orang mukmin dengan sebab tangisan seseorang, tetapi yang disabdakan oleh Rasulullah Saw adalah “Sesungguhnya Allah akan menambah siksaan orang kafir dengan sebab tangisan keluarganya atas kematiannya”. Berkata Aisyah ra, : Cukuplah kamu berpegang terhadap ayat, " (Seseorang tidak memikul kesalahan orang lain). Dalam riwayat muslim, Aisyah menjelaskan: ُ (Sesungguhnya kamu benar-benar menceritakan kepadaku tanpa berdusta sama sekali dan tidak dituduh dusta, akan tetapi pendengaran bisa saja keliru).91 Dengan memperhatikan kritik (penelitian) matan di kalangan sahabat, fuqaha dan muhaddisin, maka dalam konteks ini terlihat beberapa kriteria yang telah mereka rumuskan untuk melakukan kritik nas (matan), umpamanya: membandingkan matan suatu hadis dengan ayat Al-Qur‟an. Apabila keberadaan matan itu memang kontradiksi dengan Al-Qur‟an sehingga tidak mungkin dilakukan pengkompromian (al-Jam‟u) maka mereka menolaknya, tentu setelah tidak ada kemungkinan untuk ditakwilkan. Kemudian dengan melakukan perbandingan antara satu sunnah dengan sunnah lainnya, di mana para muhaddisin itu dapat membandingkan beberapa riwayat menyangkit topik bahasan yang sama satu sama lain. Dari perbandingan ini akan lahirlah beberapa kesimpulan yang berperan dalam mengoreksi suatu nas, yang mungkin hal itu berhubungan dengan tambahan-tambahan dari perawi atau kekeliruannya. 91 Shahih Muslim (Kitab: Jenazah, Bab: Mayit disiksa dengan tangisan keluarganya, no. 1543). Ibid. 58 Kriteria lain yang ditawarkan ulama, ialah menolak suatu matan bila bertentangan dengan prinsip-prinsip syar‟iyyah yang sudah baku dan hukumhukum agama yang sudah pasti. Di samping itu ada pula kriteria penggunaan argumen-argumen rasional dan informasi-informasi kesejarahan yang sudah valid dalam melakukan kritik matan.92 Sebagai contoh dalam hal ini adalah peristiwa yang terjadi tahun 447 H (1055 M), di mana sebagian orang Yahudi menunjukkan sebuah tulisan yang di dalam surat itu ada kesaksian beberapa sahabat dan mereka mengklaim bahwa itu adalah tulisan Rasulullah Saw yang isinya penghapusan kewajiban membayar jizyah (pajak) dari orang (Yahudi) penduduk Khaibar. Ketika tulisan itu diserahkan pada wazir (asisten) Khalifah al-Qa‟im al-Abbasiy, ia mengirimkan kitab itu kepada seorang ahli sejarah yaitu Abu Bakr al-Khatib al-Baqhdadi. Tulisan itu pun ditelitinya, akhirnya ia berkomentar: “Tulisan telah dipalsukan!”. Ketika ditanya, “dari mana anda tahu hal ini”, al-Baghdadi menjawab: “Di dalam riwayat tersebut ada kesaksian Mu‟awiyah, padahal dia baru masuk Islam pada tahun „am al-fath (pembukaan kota Mekah) yaitu tahun 8 H, sedangkan perang Khaibar terjadi pada tahun ke 7 H. Lagi pula di dalam tulisan itu ada kesaksian Sa‟ad Ibn Mu‟adz, padahal dia telah meninggal pada perang Bani Quraizhah (5 H), yaitu dua tahun sebelum perang Khaibar meletus.93 Demikianlah Khatib al-Baghdadi dengan kecermatannya menggunakan informasi-informasi sejarah yang sudah pasti, dapat menyingkapkan kepalsuan teks dokumen tersebut. Kemudian wazir mempedomani informasi yang 92 93 280. Amhazun Op. Cit., hlm. 44-45. Al-Zahabi, al-Siyar „Alam al-Nubala, (Beirut: Muassatu al-Risalah, 1984), juz 18, hlm. 59 disampaikan oleh al-Baghdadi tersebut, dan sebaliknya ia melarang orang Yahudi berpegang pada keterangan yang ada dalam tulisan mereka itu. Sejalan dengan peristiwa ini, apa yang telah disampaikan oleh Sufyan al-Tsauri. Ketika ada para perawi yang menggunakan dusta, maka untuk mengomentarinya dengan fakta sejarah.94 Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kaidah-kaidah yang ditetapkan para ulama untuk mengetahui nas yang sahih sekalipun awalnya hanya digunakan untuk bidang hadis ternyata relevan untuk diaplikasikan pada berbagai ilmu keislaman, khususnya tarikh Islam (sirah Nabawiyah). Karena para sejarahwan periode awal mengikuti cara muhaddisin dalam metode penyajian dan meredaksikan riwayat yaitu dengan penyebutan sanad-sanad (mata rantai sumber).95 Sejarah sebenarnya tidak lain dari kumpulan berita, dokumen, dan teksteks yang tidak dapat diketahui kesahihannya, kecuali dengan menerapkan kaidahkaidah metodologis ini. Banyak sejarahwan modern benar-benar menemukan nilai positif dari metode ini ditambah kaidah-kaidahnya yang kritis dan halus, sehingga mereka menyarankan agar menggunakan metode ini melalui karya-karya mereka. Ada di antara mereka yang menyadur pasal-pasal tertentu dari karya-karya ulama hadis seperti Khatib al-Baqhdadi, Ibn „Abd al-Barr, Ibn Shalah dan lain sebagainya. Bahkan lebih dari itu, salah seorang dari mereka seorang Nasrani 94 95 Amhazun Op. Cit., hlm. 45. Ibid. 60 membuat judul bukunya dengan menggunakan istilah yang biasa dipakai oleh ulama hadis.96 Jadi jelas sekali bahwa tidak mudah melakukan kritik sejarah periwayatan (sirah). Namun secara formal para ahli membuat beberapa prinsip kritik sejarah periwayatan seperti yang ditawarkan oleh Shibli Nu‟mani dan Syed Ameer Ali yang dikutip Badri Khaeruman97 yaitu: kritik terhadap teks, penggunaan analisis filologi dan kritik redaksi. Untuk menetapkan otentitas teks-teks sejarah, Shibli Nu‟mani mengembangkan prinsip-prinsip kritik tekstual yaitu; keabsahan suatu riwayat pertama, tergantung pada kecocokannya dengan Al-Qur‟an. Kedua, kecocokannya dengan hadis sahih. Ketiga, apabila riwayat tentang peristiwa tersebut tidak bisa dikonfirmasikan secara langsung melalui Al-Qur‟an dan hadis sahih, maka ahli sejarah harus mencari dukungan dari hadis lain (misalnya yang tidak sahih), yang terakhir di dalam kitab-kitab sirah yang terkenal.98 Jika ada ketidakcocokan antara suatu riwayat dalam kitab-kitab sirah dengan satu riwayat dalam suatu hadis, maka yang didahulukan adalah apa yang ada dalam hadis. Begitu pula jika ketidakcocokan ditemukan antara riwayatriwayat dalam kitab-kitab hadis dan riwayat seorang muhadis yang juga seorang faqih, maka yang terakhir ini yang diambil.99 96 Ibid., hlm. 45-46. Lebih jelas lihat Badri Khaeruman, Otentitas Hadis Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 9-23. 98 Ibid. 99 Ibid. 97 61 2. Metode Interpretasi Sirah (sejarah) Berpijak pada penjelasan sebelumnya sirah digolongkan ke dalam bagian sejarah. Adapun yang dimaksud dengan interpretasi sejarah adalah pengetahuan tentang benang merah yang menghubungkan peristiwa dan kejadian yang berbeda untuk mengetahui motivasi peristiwa tersebut, titik tolak, konklusi, serta pelajaran yang dapat dipetik di balik peristiwa itu. Metode interpretasi itu dibangun di atas konsep-konsep dan nilai-nilai, apabila ia benar maka metode tersebut dengan sendirinya akan benar dan lurus. Demikian pula sebaliknya jika konsep dan nilai itu rancu dan menyimpang maka hal yang sama akan mempengaruhi sebuah metode. Seperti yang dimaklumi bahwa setiap umat memiliki konsep tersendiri tentang manusia, kehidupan, dan alam. Atas dasar tersebut terbentuklah nilai, kehidupan masyarat, politik, dan ekonomi. Melalui konsep atau pemahaman itu pula manusia memandang berbagai persoalan, peristiwa-peristiwa, dan manusia.100 Sesungguhnya metode penulisan sejarah Islam adalah metode komprehensif yang mencakup seluruh motivasi dan nilai yang membuat sejarah tidak berhenti pada batas kejadian secara inderawi dan pandangan fisik semata, tetapi memberi kesempatan untuk melihat jauh ke depan agar ahli sejarah dapat memberikan penilaian objektif dan original yang lebih melekat dengan peristiwaperistiwa yang sesungguhnya dalam sejarah kemanusiaan. Metode penulisan sejarah Islam adalah sebuah metode yang mampu menjelaskan peran kemanusian beserta tanggung jawabnya akan perubahan sosial, dan perubahan sejarah dalam 100 Amhazun, Op. Cit., hlm. 49-50. 62 bingkai kehendak ilahi. Jadi metode ini sangat memperhitungkan sejauh mana pengaruh faktor-faktor materi dan kejiwaan yang mengitari manusia serta mengukur bobot masing-masing, tidak melebih-lebihkan satu aspek lainnya melebihi porsinya. Namun sebelum faktor-faktor itu harus diperhitungkan ketentuan Allah dan putusan-Nya yang pasti, tidak satu kekuatan pun yang mampu menolaknya.101 Maka hendaklah diperhatikan semua unsur-unsur yang berperan aktif dalam peristiwa-peristiwa sejarah, dan jika tidak dilakukan maka interpretasi sejarah itu senantiasa timpang. Kemudian bagi seorang peneliti seharusnya mempunyai gambaran yang benar tentang faktor-faktor tersebut. Sebagaimana juga peneliti perlu mempunyai wawasan ilmu syari‟ah untuk mengetahui paradigma kejiwaan secara keseluruhan, baik ruhaniah, pemikiran, dan aspek fisiknya. Dan ini tidak terpenuhi oleh seorang non muslim, sebab gambaran yang benar akan kasus yang berpengaruh dan aktif dalam peristiwa sejarah tidak dapat diketahui, melainkan dengan jalan wahyu yang terbebas dari kekeliruan, yaitu AlQur‟an dan Al-Sunnah.102 Sejarah Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari studi keislaman. Ia merupakan sejarah umat yang memiliki aqidah yang menggerakkan umat Islam dan yang mengendalikan segala aktifitas dan tujuan-tujuannya. Di bawah ini beberapa kaidah mengenai sumber yang seharusnya diperhatikan oleh orang yang menulis sejarah Islam, secara khusus dalam penulisan sejarah generasi pertama (sahabat) yaitu: 101 102 Ibid., hlm. 52. Ibid. 63 1. Berpedoman pada sumber-sumber Syari‟ah (hukum) dan lebih mengutamakannya dari sumber-sumber lain, dalam ketentuan yang telah digariskan menyangkut berita, parameter (dhawabith) dan persoalan hukum (ahkam).103 2. Pemahaman iman yang benar. Pemerhati sejarah Islam yang tidak mengetahui peran iman dalam kehidupan umat Islam, niscaya tidak akan mampu memberikan penilaian ilmiah serta realistis atas peristiwa sejarah Islam.104 3. Mengetahui level dan kondisi suatu masyarakat. Dalam kaitan ini, Usman ibn Affan ra. Pernah berkomentar: “Perhatikanlah posisi setiap orang. Berikan kepada mereka apa yang menjadi haknya secara proporsional. Ketahuilah, bahwa dengan tingkat pengenalan terhadap masyarakat akan mewujudkan keadilan.105 4. Mengetahui batas-batas informasi yang boleh diterima dari sumber-sumber penganut faham atau aliran yang mempunyai ambisi-ambisi tertentu (ashhabul-ahwa‟ wal-firaq).106 5. Mengetahui kriteria penggunaan literatur dari kalangan non muslim. Bila dalam disiplin ilmu sejarah Islam dikenal kaidah, prinsip, dan rambu-rambu syar‟i yang harus dipatuhi oleh seorang sejarawan muslim, agar penelitian dan kreasinya tetap berada dalam jalur-jalur legal, maka di antara kaidah itu 103 Ibid., hlm. 53. Ibid., hlm. 54. 105 Al-Thabary, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, (Mesir: Darul Ma‟rif, 1970), juz 4, hlm. 104 279). 106 Amhazun Op. Cit., hlm. 59. 64 ialah yang berkaitan dengan kewaspadaan dalam menggunakan sumbersumber di luar Islam sebagai literatur.107 6. Memprioritaskan penggunaan istilah Islami. Salah satu dampak pemikiran (ghazwul fikri) barat terhadap kaum muslimin, banyaknya tersebar istilahistilah yang asing dalam budaya dan sejarah umat Islam, dan penggunaannya begitu meluas dalam tulisan-tulisan.108 Menurut Muhammad Qutb (kaifa Naktubu al-Tarikh al-Islam) seperti yang dikutip Ajid Thohir menganjurkan kepada setiap penulis sejarah terutama pada masa kenabian dan permulaan Islam untuk selalu melakukan penafsiran yang tidak jauh dari semangat kewahyuan. Di mana pendekatan sosiologis dan antropologis Barat pada beberapa konteks, menurutnya tidak sepenuhnya bisa menjawab secara sempurna, bahkan terkadang menyimpangkan. Untuk itu, mutlak masih diperlukan pendekatan eskatologis.109 Menurut Muhammad Qutb misalnya, sikap penolakan kuffar Quraisy dan masyarakat Jahiliyah secara umum, terutama para pembesarnya terhadap dakwah Rasulullah Saw bukan diakibatkan pada pribadi Nabi Muhammad Saw serta pergeserannya pengaruh kewibawaan mereka dan sebagainya (secara sosiologis), tapi justru penolakan yang paling penting adalah pada kalimat utama laa illaaha illallah. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Al-Qur‟an, “…karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu tetapi orang-orang zalim itu yang mengingkari ayat-ayat Allah” (Q.S. [6] : 33). Muhammad Qutb menganjurkan kepada para pengstudi sejarah Islam untuk lebih 107 Ibid., hlm. 61. Ibid., hlm. 62. 109 Thohir, Loc. Cit. 108 65 menekankan pada pendekatan tekstual daripada pendekatan kontekstual, sebagaimana yang dilakukan orientalis (Barat). Sementara itu, Husein Mu‟nis (Dirasat fi al-Sirah al-Nabawiyah) seperti yang dikutip Ajid Thohir menyarankan agar tidak terlalu berlebihan dalam menjelaskan kenyataan-kenyataan Sejarah Islam, dan tidak terjebak pada visi emosional keagamaan. Sejarah Islam perlu ditulis secara manusiawi dan penuh kewajaran. Lebih tegas Mu‟nis menjelaskan, bukan maksud mempertentangkan pendekatan historis dengan semangat keagamaan, karena keduanya bisa saling mendukung. Semangat keagamaan dapat memenuhi kebutuhan religious setiap muslim, sedangkan pendekatan historis memiliki kelebihan karena berpotensial menyakinkan dan mempertebal iman seseorang yang sudah beriman, atau bahkan dapat menarik non-muslim untuk memeluk Islam. Nabi Muhammad Saw ketika menyosialisasikan gagasan dakwahnya haruslah dilihat sebagai sesuatu yang berada dalam “hukum kemanusian”. Karena Allah Swt menjamin keberhasilan risalah-Nya yang sepenuhnya dipercayakan kepada Nabi Muhammad Saw dan membiarkannya mengarungi perjuangan di dunia manusia dengan cara-cara manusiawi. Bahkan bila dominasi Tuhan terlalu berlebihan dalam hal ini, bisa jadi Tuhan tidak menempatkan kewibawaan dan kesempurnaan pribadi Muhammad Saw sebagai pilar utama keberhasilan dakwahnya. Perspektif ini takpaknya perlu banyak mendapat perhatian serius dari para pengkaji Sirah Nabi.110 Husein Mu‟nis, berupaya melakukan studi historis terhadap setiap peristiwa yang dibicarakan secara metodologis dengan mempertimbangkan bahwa kehidupan 110 Ibid. 66 Rasulullah Saw seluruhnya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipilah-pilah. Oleh karena itu formulasi sirah, ia mengusulkan berupaya merumuskan keseluruhan kegiatan dengan kegiatan lainnya atau satu kebijakan dengan kebijakan lainnya ibarat episode-episode cerita yang runtut. Setiap episode mencerminkan kebijakan yang ditempuh untuk mencapai target tertentu.111 Setelah menjelaskan metode kritik sirah dan hadis di atas, penulis menyimpulkan bahwa pada bidang sirah penyebutan sanad akan membantu pelacakan kebenaran suatu riwayat sebagaimana hadis. Adapun menyangkut penerimaan riwayat-riwayat sejarah (sirah) sebaiknya penerimaannya disesuaikan dengan materinya, karena sirah di waktu dulu tidak diberlakukan secara ketat seperti hadis. Sebab jika bersikap ketat terhadap informasi sirah sebagaimana halnya hadis, maka terjadilah kekosongan dan keterputusan dalam episode sirah. 111 Husein Mu‟nis, Al-Sirah Al-Nabawiyah Upaya Reformulasi Sejarah Perjuangan Nabi Muhammad Saw, terjemahan Muhammad Nursamad Kamba, (Jakarta: Adigna Media Utama, 1999), hlm ix-x.