upaya meningkatkan kemampuan menulis matematis siswa dalam

advertisement
Prosiding Seminar
Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk
Membangun Kualitas Pustaka
(Upaya Peningkatan Bahan Pustaka di Tengah Canggihnya Teknologi Informasi)
i
Membudayakan Menulis Tingkat Dunia
Untuk Membangun Kualitas Pustaka
Editor
Lilik Wahyuni
Umi Salamah
PurWiyanto
Cover Design:
Yudhista
Layout :
Dayat
Penerbit
Surya Pena Gemilang
Anggota IKAPI Jatim
Jln. Rajawali Tutut Arjowinangun 12
Malang - Jawa Timur
Tlp. 082140357082
Fax. (0341) 751205
e-mail: [email protected]
Jumlah: vi + 226 hlm.
Ukuran: 20 x 28 cm
Juni 2015
ISBN: 978-602-17895-8-4
Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.
ii
Kata Pengantar
Segala puja dan puji syukur senantiasa saya panjatkan kepada Allah swt., Tuhan Yang
Maha Esa pengayom segenap alam yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga
Seminar Internasional yang bertema Membudayakan Menulis Tingkat Dunia untuk Membangun
Kualitas Pustaka ini bisa terselenggara. Kegiatan ini diselenggarakan dalam upaya peningkatan
kompetensi menulis masyarakat sehingga dapat meningkatkan kualitas pustaka.
Untuk bisa “duduk bersanding” bersama negara-negara dengan tradisi menulis kelas dunia,
semua masyarakat bangsa harus mampu menulis bahan pustaka kelas dunia. Dengan kata lain,
tulisan yang dibuat harus sejalan dengan budaya dan tatacara tulisan kelas dunia.
Ada pepatah mengatakan “dekat dengan penjual minyak wangi akan bau minyak wangi”.
Pepatah tersebut dapat diterapkan dalam kegiatan menulis. Kalau ingin bisa menulis karya sastra,
mendekatlah dengan sastrawan. Kalau ingin bisa menulis artikel, mendekatlah dengan penulis
artikel. Kalau ingin mempunyai tulisan yang diterbitkan, mendekatlah dengan penerbit. Kalau
ingin mempunyai tulisan dimuat dalam jurnal internasional, mendekatlah dengan pengelola jurnal
internasional. Kalau ingin mempunyai tulisan ditaruh di perpustakaan, mendekatlah dengan
pustakawan.
Bertolak dari latar belakang di muka, para “bidan” yang ikut melahirkan Jurnal Ilmiah
SINAR (Berkontemplasi dan Bernalar) merasa terpanggil dan bertanggung jawab untuk ikut
menyadarkan arti penting pembentukan budaya menulis demi meningkatkan koleksi bahan pustaka
berkualitas. Oleh sebab itu, melalui penyelenggaraan seminar internasioanl ini diharapkan akan
terbentuk komunitas menulis tingkat dunia. Dengan begitu, tulisan yang dihasilkan dapat
dipublikasikan dan tidak saja dibaca oleh masyarakat Indonesia tetapi juga masyarakat dunia.
Malang, Juni 2015
Panita,
iii
iv
Daftar Isi
Kata Pengantar .................................................................................................................
Daftar Isi
..................................................................................................................
iii
v
1. Needed Writing Achievement untuk Menjadi Produktif dalam Menulis ......................
1
2. Paradigma Riset Ilmu Sosial: Peruntukan Publikasi Berorientasi ‘Rigorous’
dan ‘Internasional’ ........................................................................................................
9
3. Bahasa Uzbek dan Sistem Pengajarannya Di Uzbekistan............................................ 27
4. Kealpaan Berpikir Ilmiah dalam Karya Ilmiah ............................................................ 31
5. Strategi PIA Susi dalam Penumbuhan Budaya Menulis Siswa .................................... 37
6. Menulis sebagai Arena Konstruksi Diri Siswa Secara Harmonis ................................ 43
7. Sistem Penulisan Morfologi dalam Bahasa Jawa ........................................................ 50
8. Kiat Mudah Menulis: Optimalisasi Potensi Berbahasa, Tanpa Terbelenggu Frame
Bahasa Baku ................................................................................................................. 55
9. Training Of Scientific Writing For Efl Teachers In Papua: Writing A Classroom
Action Research Proposal ............................................................................................ 62
10. Upaya Meningkatkan Kemampuan Menulis Matematis Siswa dalam Pembelajaran
Matematika .................................................................................................................. 67
11. Penggunaan Mind Mapping untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Laporan
Pengamatan Siswa Kelas V SD Inpres Perumnas I Jayapura....................................... 73
12. Karya Sastra sebagai Stimulus dalam Kompetensi Menulis Fiksi di Era Globalisasi
Berbasis K3 .................................................................................................................. 84
13. Memahami Struktur Naratif Ruth Finnegan dalam Aplikasi Cerita Jaka Kandung ..... 90
14. Pengembangan Minat Keterampilan Menulis di SDN Kauman 3 Sebagai Upaya
Peningkatan Daya Kritis dan Kreativitas Siswa........................................................... 99
15. Menumbuhkembangkan Karakter Siswa Sekolah Dasar Melalui Penerapan Media
Pembelajaran Film Bertema Cinta Tanah Air .............................................................. 104
16. Lad: Piranti Reseptif dan Produktif yang Luar Biasa................................................... 109
17. Strategi Pembelajaran Menulis Kreatif untuk Anak..................................................... 113
18. Lagu dan Cerpengram: Strategi Efektif dan Menyenangkan Bagi Siswa dalam
Menulis Cerpen ............................................................................................................ 120
19. Abstrak Pengembangan Perangkat Pembelajaran Segi Empat dengan Pendekatan
Open-ended di Kelas VII Sekolah Menengah Pertama ................................................ 126
20. Pembelajaran Matematika pada Anak Usia 1 – 2 Tahun.............................................. 132
21. Literasi Keuangan Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa dalam
Mengelola Keuangan ................................................................................................... 138
22. Pengembangan Buku Ajar Bahasa Indonesia Berbasis Jender Sebagai Upaya
Demokratisasi Pendidikan ........................................................................................... 147
23. Manajemen Pendidikan Humas pada Sekolah Inklusi di SMPN 1 dan SMP Dwijendra
di Kota Mataram (Studi Multikasus) .......................................................................... 153
24. Penerapan Pembelajaran Kooperatif Model Snowball Throwing pada Mata Pelajaran
IPS di Sekolah Dasar.................................................................................................... 161
25. Penerapan Problem Solving dalam Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar ..................... 168
v
26. Keterampilan Sosial dan Kesetaraan Gender Dalam Pembelajaran IPS
di Sekolah Dasar ..........................................................................................................
27. Menulis, Wujud Eksistensi dan Ekspresi Diri*) ..........................................................
28. Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Spiritual terhadap Kepemimpinan
Transformasional Serta Implikasinya terhadap Kinerja Karyawan pada Yayasan
Pembinaan Anak Cacat di Jawa Timur ............................................................................
29. Dari Mana Menulis dan Bagaimana Pengembangan Model Pembelajarannya? .................
30. Pentingnya Bahasa Santun untuk Meningkatkan Etika Bahasa Tulis ..................................
31. Analisis Kritis Pentingnya Mengetahui Gaya Belajar Siswa sebagai Upaya Meningkatkan
Pembelajaran Menulis ....................................................................................................
32. Makalah Berprakmatik, Etika Berkomunikasi .................................................................
33. Pemanfaatan Lagu Berita Kepada Kawan Karya Ebiet G. Ade untuk Menulis
Puisi di Smp ..................................................................................................................
34. Pemanfaatan Video Perawatan Jenazah untuk Pembelajaran Fiqih
di Madrasah Tsanawiyah ................................................................................................
vi
175
181
182
188
195
201
211
216
222
NEEDED WRITING ACHIEVEMENT
UNTUK MENJADI PRODUKTIF
DALAM MENULIS
Oleh Wahyudi Siswanto
Apa untungnya menjadi penulis? Itulah pertanyaan yang sering disampaikan orang tentang seorang penulis.
Kalau kita mau sedikit teliti kita akan mendapatkan data bahwa dengan menulis orang bisa kaya dan
terkenal. Berikut ini beberapa contohnya.
J.K. Rowling memiliki kekayaan bersih $1 milliar atau Rp 11,9 triliun. Ia penulis terkaya di dunia. J.K.
Rowling adalah penulis seri Harry Potter yang diadaptasi menjadi sebuah film. Novel pertamanya, Harry
Potter and the Philosopher’s Stone yang diterbitkan pada tahun 1997 berhasil meraih kesuksesan dalam
singkat. Pada tahun 2007, Harry Potter and The Deathly Hallows, menjadi buku paling cepat terjual
sepanjang masa yaitu 15 juta copy terjual dalam waktu 24 jam.
Stephen King memiliki kekayaan bersih $400 juta atau Rp 4,76 triliun. Ia memiliki blibliografi yang luas
dan banyak menerima penghormatan dari kalangan sastra. Novel-novelnya pada umumnya bergenre horor,
fiksi ilmiah, dan fantasi. Novel The Dark Tower dianggap sebagai karya terbaik Stephen King.
Danielle Steel memiliki kekayaan bersih $375 juta atau Rp 4,46 triliun. Dia dapat dikatakan sebagai
penulis paling sukses di dunia terkait jumlah buku karyanya yang sudah terjual. Sejak tahun 1978 Danielle
sudah menjual novel sebanyak 800 juta copy. Biasanya setiap tahun Danielle menerbitkan novel barunya.
James Patterson mampu mengumpulkan kekayaan bersih $310 juta atau Rp 3,69 triliun. Tom Clancy
memunyai kekayaan bersih $300 juta atau Rp 3,57 triliun. John Grisham memiliki kekayaan bersih $200
juta atau Rp 2,83 triliun. Jackie Collins memunyai kekayaan bersih $180 juta atau Rp 2,14 triliun. Nora
Roberts mendapatkan kekayaan bersih $150 juta atau Rp 1,78 triliun. Dean Koontz memiliki kekayaan
bersih $145 juta atau Rp 1,72 triliun. Stephenie Meyer mendapatkan kekayaan bersih $125 juta atau Rp
1.48 triliun. Semuanya dari kegiatan menulis. (http://www.wowmenariknya.com/2014/07/10-penulis-paling-kaya-raya-di-muka-bumi.html). Mengapa mereka bisa menjadi penulis yang hebat? Tulisan ini akan
mencoba memberikan uraian secara singkat, mulai dari dorongan menulis, bekal menulis, hingga dorongan
spiritual dalam menulis.
Dorongan Menulis
Apa yang mendorong seseorang untuk
menulis? Jawaban terhadap pertanyaan ini bisa
dicari pada dorongan hidup manusia. Menurut
Murray Banks (dalam Elfiky, 2011:246) ada
empat kebutuhan dasar manusia. Keempat
kebutuhan itu adalah kebutuhan untuk: hidup,
mencintai dan dicintai, merasa penting, dan
mengalami keberagaman.
Menurut Elfiky (2011:247) ada lima
kebutuhan dasar manusia. Kelima kebutuhan
dasar manusia itu adalah kebutuhan fisiologis,
emosional, psikologis, mental, dan spiritual.
Kebutuhan fisiologis mencakup kebutuhan
untuk bertahan hidup, seperti makanan, air,
udara, kehangatan tubuh, tidur, keamanan, dan
kenyamanan. Kebutuhan emosional berkaitan
dengan kebutuhan cinta. Setelah itu berangsur
angsur kita memerlukan terpenuhinya kebutuhan psikologis, mental, dan spiritual.
Menurut Koentjoroningrat (1989: 109—
110) ada tujuh macam dorongan naluri, yaitu
(1) dorongan untuk mempertahankan diri, (2)
dorongan seks, (3) dorongan untuk mencari
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
1
makan (4) dorongan untuk bergaul atau berinteraksi dengan sesama manusia, (5) dorongan
untuk meniru tingkah laku sesamanya, (6)
dorongan untuk berbakti, dan (7) dorongan akan
keindahan.
Ada satu dorongan yang jarang dibicarakan, yaitu dorongan berprestasi. McClelland
mempertanyakan, mengapa ada bangsa bangsa
tertentu yang rakyatnya bekerja keras untuk
maju, dan ada yang tidak. Dia memperbandingkan bangsa Inggris dan Spanyol, yang pada
abad ke 16 merupakan dua negara raksasa yang
kaya raya, namun sejak itu Inggris terus
berkembang menjadi makin besar, sedangkan
Spanyol menurun menjadi negara yang lemah.
Setelah semua diperiksa, dan dia tidak juga
menemukan penyebabnya, dia mulai memperhatikan hal lain: cerita dan dongeng anak anak
yang terdapat di dua negeri itu. Di sini dia
menemukan jawaban yang dicarinya (Marahimin, 2003).
Kelihatannya, dongeng dan cerita anak­­
anak di Inggris pada awal abad ke 16 itu
mengandung semacam ‘virus’ yang menyebabkan pendengar atau pembacanya terjangkiti
penyakit butuh berprestasi’, the need for
achievement, yang kemudian disimbolkan
dengan ‘n Ach’, yang menjadi sangat terkenal.
Sedangkan cerita anak dan dongeng yang di
Spanyol justru menina­bobokkan, tidak me­
ngandung ‘virus’ tersebut (Marahimin, 2003).
Kebutuhan akan berprestasi melalui menulis inilah yang tampaknya begitu menonjol
pada penulis dunia. Tidak heran bila karya
mereka sering menjadi karya best seller
sepanjang masa. Charles Dickens dikenal
karena karya-karya besarnya. Sebuah ‘Kisah
Dua Kota “adalah karyanya yang menjadi buku
terlaris di seluruh dunia. Ini novel sejarah yang
ditulis pada masa Revolusi Perancis dengan
latar belakang London, Paris, Inggris dan
Perancis. The Lord of the Rings adalah sebuah
novel fantasi yang sangat luas dan terdiri atas
tiga bagian. Karya JRR Tolkien ini telah dibuat
menjadi film . Agatha Christie dikenal sebagai
2
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
pengarang fiksi detektif. Karyanya Dan
Kemudian Apakah Ada Tidak Ada dikenal dunia
sebagai salah satu buku terlaris dari jenis ini.
The Da Vinci Code karya penulis Dan Brown
adalah salah satu novel misteri yang paling
populer dan dibuat film dengan judul yang
sama. Anne of Green Gables karya Lucy Maud
Montgomery awalnya dimaksudkan untuk
semua umur, tetapi akhirnya disebut sebagai
buku anak-anak. Ia menulis buku ini terinspirasi
oleh cerita yang ia tulis selama masa kecilnya.
Banyak tempat wisata dikembangkan dengan
berdasarkan cerita ini. Black Beauty karya
Anna Sewell merupakan otobiografi kuda yg
berketurunan baik dan kisah hidupnya. The
Alchemist karyaPaulo Coelho. Cerita ini tentang
seorang anak bernama Santiago yang memiliki
mimpi tentang harta karun. Harry Potter karya
JK Rowling mengungkap kisah tentang seorang
penyihir muda bernama Harry Potter dan seri
petualangan dengan teman-teman, Ron Weasley
dan Hermoine Granger. Novel ini juga dibuat
film. To Kill a Mockingbird karya Harper Lee
yang membahas banyak masalah dengan
sentuhan humor halus telah memenangkan
penghargaan Pulitzer dan difilmkan dengan
meraih piala Oscar. Gone with the Wind karya
Margaret Mitchell dan telah memenangkan
penghargaan Pulitzer. Demikian juga dengan
Rich Dad Poor Dad, The Wind in the Willows
ditulis Kenneth Grahame, Godfather karya
Mario Puzo, Charlie and the Chocolate Factory karya Roald Dahl, Winnie-the-Pooh ditulis
oleh AA Milne, Chicken Soup for Soul ini,
James Bond Seri, dan Guinness World Records,
The Kite Runner, The Sidney Sheldon, Danielle
Steel, The Pelican Brief, The Count Monte
Cristo, Anna Karenina (Leo Tolstoy), The Picture of Dorian Gray, Pride and Prejudice (karya
Jane Austen), A Midsummer Night’s Dream,
Romeo dan Juliet, Hamlet, Macbeth (karya
William Shakespeare) merupakan contohcontoh buku yang menjadi buku best seller.
(https://adilesmana.wordpress.com/2011/01/
04/buku-best-seller-sepanjang).
Bagaimana dengan penulis Indonesia?
Kita cukup bangga dengan perkembangan
penulis Indonesia. Seorang anak dari Belitong,
Andrea Hirata, tiba-tiba saja namanya melambung. Mengapa? Karena tulisannya! Melalui
novelnya, ia menjadi dikenal di seluruh Indonesia. Ia sering tampil di TV dan diundang oleh
berbagai pihak untuk mengungkapkan pengalamannya. Melalui royalti dari novelnya, ia
mampu menyumbangkan milyaran rupiah
untuk kemajuan pendidikan di Belitong. Andrea Hirata sukses menulis novel bergenre
biografi dan ilmiah berupa novel tetralogi:
Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan
Maryamah Karpov. Laskar Pelangi saja
mampu terjual lebih dari 600.000 buah. Hal ini
ditambahan dengan menjual karyanya untuk
difilmkan: Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi.
Habiburrahman El Shirazy mencoba
menawarkan novel bergenre novel religi.
Hampir semua karya Habiburrahman menjadi
best seller. Ayat-Ayat Cinta dicetak ulang
puluhan kali lalu difilmkan dan disaksikan oleh
3,5 juta orang. Novel yang lain Ketika Cinta
Bertasbih juga diterima menyamai Ayat-ayat
Cinta. Novel Bumi Cinta juga menjadi best
seller. Bonus tambahan yang ia dapatkan dari
novelnya yang diangkat ke layar lebar yaitu
Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih dan
Migrab Cinta.
Mira W. merupakan sastrawan yang
produktif. Dengan menulis karya sastra
menempatkan penulis yang juga dokter umum
ini berada di peringkat ketiga penulis terkaya
di Indonesia. Mira W. melahirkan lebih dari 20
novel best seller. Dewi Lestari atau sering
disebut Dee mencoba memperkenalkan novel
yang bermuatan filsafat. Novelnya Supernova
Putri, Ksatria dan Bintang Jatuh, Supernova
Petir, dan Supernova Akar mampu menyaingi
novel-novel teenlit dan Chiklit. Perahu Kertas
adalah novel terbaru Dee. Sebelum itu, Dee
mengeluarkan kumpulan tulisannya dalam
Rectoverso. Penulis Indonesia lain yang
bukunya menjadi best seller adalah Agnes
Davonar, Raditya Dika, Agnes Jessica, Asma
Nadia ( http://www.jurukunci.net/2011/12/8penulis-fenomenal-dengan-pendapatan.html).
Bila kita masuk toko buku, banyak
penulis yang buku-bukunya selalu menjadi best
seller seperti buku Ippho Santosa, Ary Ginanjar,
Mario Teguh, Andy Nagoyan, Abdullah
Gymnastiar, dan Yusuf Mansyur. Yang juga
menggembirakan adalah munculnya karya anak
anak dan remaja yang berupa cerpen, novel,
motivasi, kisah perjalanan, kecantikan,
perjalanan, atau buku lainnya.
Saya sering bertemu guru dan siswa di
berbagai daerah di Indonesia. Mereka sering
mengeluh sulit menulis. Mungkin saja mereka
tidak tahu bagaimana caranya menulis, tidak
mampu menulis, atau tidak mau menulis. Ini
merupakan tantangan yang harus dihadapi.
Buat golongan ini kita perlu mendorong mereka
agar menulis. Memberitahukan kepada mereka
bahwa menulis itu mudah dan menyenangkan.
Persoalan lain yang perlu ditangani adalah
meningkatkan kualitas dan prestasi penulis agar
mereka menjadi penulis dunia.
Untuk menjadi penulis, Siswanto (2014)
memberikan idenya sebagai bekal untuk
menulis. Bekal itu adalah keberanian, kemauan,
kepekaan, pengetahuan, kreativitas, kerja
keras, cerdas, tuntas, dan ikhlas.
Bekal Menulis
Sebelum Anda belajar tentang bagaimana
teknik menulis, marilah kita persiapkan perbekalan sebelum menulis. Apa saja bekalnya?
Bekal utama menulis yang paling mudah adalah
alat tulis dan kertas atau laptop. Langkah yang
paling mudah untuk menulis adalah langsung
menulis apa saja yang ingin Anda tulis!
Bagaimana kalau masih belum bisa menulis?
Pokoknya tulis apa saja! Jangan memperdulikan apakah tulisan Anda bagus ataukah
tidak, bermutu ataukah tidak, karena ini urusan
kedua. Yang penting Anda harus menulis
dahulu. Tapi seandainya Anda ingin lebih dari
itu, Anda bisa membaca bagian berikut ini!
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
3
Kemauan
Kemauan merupakan salah satu modal
utama bagi Anda yang ingin menulis. Kemauanlah yang mampu membangkitkan semangat
pantang menyerah untuk mengatasi segala
kendala dalam menulis.
Kepekaan
Dalam dunia tulis-menulis, kalau kita
mempunyai kepekaan, semua yang kita lihat,
dengar, rasa, alami akan menjadi ide tulisan.
Anda bisa melatih rasa kepekaan ini dengan
berjalan-jalan dan mengamati berbagai aktivitas
orang-orang di sekitar Anda. Kemudian,
munculkan pertanyaan bagaimana jika aku
menjadi dia? Apa yang saya lakukan jika
menjadi dia? Apa yang saya rasakan jika
menjadi dia? Serentetan pertanyaan tersebut
bisa melatih kepekaan untuk memahami dunia
orang lain. Misalnya, Anda bertemu dengan
para pengamen cilik di bus, bayangkan jika itu
adalah Anda. Apa yang kamu rasakan?
Jawaban-jawaban yang muncul bisa menjadi
ide tulisan.
Selain itu, Anda juga bisa menghayati
kehidupan keseharian Anda. Misalnya, Anda
seorang murid. Apa yang Anda rasakan selama
menjadi seorang murid? Andrea Hirata begitu
menghayati kehidupan masa kecilnya sehingga
lahirlah novel Laskar Pelangi. Sebuah novel
yang menggambarkan betapa pekanya sosok
Andrea Hirata memotret keadaan pendidikan
di tempat tinggalnya.
dan pembelajarannya. Bila ia diminta untuk
menulis makalah, duduk sebentar sudah jadi
satu makalah.
Memang, penulis yang pengetahuannya
banyak, dia akan mudah untuk mendapatkan
dan menuangkan ide tulisan. Ide tulisan tersebut
bisa dikembangkan menjadi satu tulisan yang
utuh. Salah satu cara yang bisa Anda lakukan
untuk mendapatkan pengetahuan adalah
melalui membaca. Gola Gong mendapatkan ide
tulisannya melalui membaca. Dari membaca
itulah, ia mendapatkan serangkaian pengetahuan.
Pengetahuan yang lebih luas memberikan pilihan yang lebih banyak; ini membentuk
pribadi yang kuat. Sebelum menciptakan karya
sastra, Budi Darma terlebih dahulu memperkaya diri dengan membaca apa saja, menonton
apa saja, mendengarkan apa saja, dan berjalanjalan, dan memperkaya pengalaman. Oleh
karena itu, sebelum menulis karya sastra, akan
baik bila kita melakukan kegiatan memperkaya
pengetahuan. Cara yang mudah untuk mencari
gagasan bisa dengan membaca (buku, koran,
majalah, artikel, dsb.), mendengarkan (musik,
dongeng, orang bercerita, orang berpendapat,
dsb.) melihat (pemandangan, peristiwa, dsb.),
mengalami (naik perahu, naik pesawat terbang,
mendaki gunung, menyusuri goa, berbelanja,
berdagang, menjadi ketua regu, dsb.). Kegiatan
eksplorasi ini bisa dipilih salah satu atau digabungkan dengan topik yang sama (misalnya
membaca berita tentang yatim piatu yang
berprestasi, berkunjung ke panti asuhan, dan
mewawancarai anak yatim piatu).
Pengetahuan
Orang yang tahu banyak akan bisa
berbuat banyak. Saya mempunyai seorang
teman yang suka membaca. Setiap saya bertemu
dengannya, ia selalu membawa buku baru.
Setiap saya lihat, buku yang ia bawa selalu
berbeda dengan yang ia bawa sebelumnya.
Koleksi bukunya demikian banyak. Buku apa
saja ia baca, terutama yang berhubungan
dengan bidang yang ia tekuni: bahasa, sastra,
4
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Menemukan Ide
Kalau Anda mencari, Anda akan bertemu. Kegiatan penemuan berupa penemuan
topik atau tema yang dijadikan karya sastra,
penemuan kata-kata atau ungkapan yang
menjadi pemicu diciptakannya karya sastra.
Kegiatan eksplorasi juga bisa berupa kegiatan
penjabaran ide. Hal ini bisa dilakukan dengan
kegiatan (1) curah pendapat (brainstorming),
(2) pengelompokan, dan (3) menulis cepat.
Kegiatan ini diakhiri dengan kegiatan penciptaan karya sastra. Bila Anda sudah menemukan ide, jangan tunda untuk ditulis, paling
tidak judul, topik, atau garis besar ceritanya.
Ada baiknya bila Anda membawa buku kecil
dan alat tulis. Bisa juga ide ini Anda tulis di HP
atau laptop.
Kreativitas
Apa yang membuat penulis mampu menulis? Kreativitas! Apa kreativitas itu? Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kreativitas
diartikan sebagai (1) kemampuan untuk
mencipta; daya cipta; (2) perihal berkreasi.
Fisher (1993) mengemukakan hasil penelitian
yang menghubungkan kemampuan ini pada
satu atau empat aspek kreativitas: (1) ide atau
produk kreatif, (2) proses kreatif, (3) orang
kreatif, dan (4) lingkungan kreatif.
Dengan demikian, kreativitas adalah
sesuatu pada orang kreatif yang digunakan
untuk menghasilkan produk kreatif. Ide atau
produk kreatif adalah ide atau produk yang asli.
Produk kreatif mencakup karya seni, sain, juga
ide imajinatif.
Kreativitas juga kumpulan sikap dan
kemampuan yang membimbing seseorang
untuk menghasilkan pikiran, ide, atau imajinasi
kreatif. Kreativitas oleh Fisher dikatakan
berhubungan dengan berpikir kritis, terdapat
pada semua bidang, perlu usaha keras, tidak ada
kaitannya dengan tingginya tingkat IQ.
Kreativitas adalah penemuan sambil
berjalan. Kreativitas adalah obsesi. Kreativitas
berhubungan dengan masalah estetika, intelektualisme, dan intuisi. Intuisi adalah bakat.
Pendidikan atau latihan hanya bersifat menambah ketajaman intuisi. (Darma, 1995: 57—61).
Yang lebih perlu adalah proses yang dapat
melahirkan kreativitas. Seniman harus bekerja
keras, tidak diam atau hidup tidak keruan.
Selain semuanya bergantung pada bakat, Budi
Darma juga setuju bahwa untuk mencapai
sesuatu, orang memerlukan satu persen
inspirasi dan sembilan puluh sembilan
persen perspirasi alias kerja keras. Dia
bekerja keras menjadi intelektual, yang selalu
ingin tahu, menambah ketajaman pandangannya, dan menambah ketajaman otaknya.
Pengarang sebaiknya juga seorang peneliti yaitu
selalu mencari, mengkaji, dan hidup dengan
baik. (Darma, 1984: 13, 19—20).
Menurut Fisher (1993:39) ada beberapa
tahap yang dilalui dalam proses kreatif. Tahap
itu secara ringkas adalah (1) stimulus, (2)
eksplorasi, (3) perencanaan, (4) aktivitas, (5)
review. Ada beberapa lat ihan yang bisa
dilakukan untuk melatih kreativitas. Latihan itu
bisa berupa (1) kelancaran, (2) keluwesan, (3)
elaborasi, (4) gambar, (5) cerita, (6) brainstorming, dan (7) menggambar (Fisher, 1993).
Kerja Keras, Cerdas, dan Tuntas
Pada tahun 1990-an, kondisi Cina hampir
sama dengan Indonesia—kecuali jumlah
penduduknya yang lebih banyak. Cina mempunyai satu kota besar seperti Jakarta. Berkat
kerja kerasnya, sepuluh tahun kemudian hampir
di semua provinsi di Cina mempunyai kota
sebesar Jakarta. Sekitar lima tahun yang lalu,
perekonomian Cina mampu mengalahkan
seluruh negara Eropa. Tiga tahun yang lalu,
Jepang mampu dikalahkan.
Damien Dematra, selama 2 tahun menulis
80 atau 81 novel. Dalam 4 hari, ia mampu
menyelesaikan satu novel. Buku After Life
setebal 1.500 halaman ditulis dalam 7 hari. Ia
mendapatkan 9 rekor dunia. Ini tidak akan
dicapai kalau dia tidak bekerja keras. Oleh
karena itu, kalau Anda ingin menulis, saya
sarankan agar Anda mau bekerja keras.
Apakah hanya cukup bekerja keras?
Menurut saya perlu ditambah dengan kerja
cerdas. Kerja cerdas dalam menulis bisa Anda
lakukan dengan belajar menulis dari sastrawansastrawan yang telah terkenal. Apa yang bisa
dipelajari? Anda bisa belajar apa saja, mulai
dari bagaimana mereka meimilih tema,
menyampaikan pesan, mengungkapkannya
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
5
hu­bungan sosial, ekonomi, teknologi, politik,
dan bahkan merasuk ke dalam krisis moral,
intelektual, dan krisis spiritual. Fenomena krisis
manusia tersebut sebenarnya berasal dan
bermuara pada “krisis spiritual” yang bercokol
dalam diri kita. Hipotesisnya adalah bahwa nilai
nilai moral itu me­rupakan buah dari agama.
Logikanya, bila merebak krisis moral, berarti
itulah buah dari krisis spiritual keagamaan
dalam diri kita. Kita sudah terjangkit penyakit
spiritual atau krisis spiritual. Carl Gustav Jung,
me­nyebut krisis spiritual sebagai penyakit
eksistensial (exis­tential illness), di mana
eksistensi diri kita mengalami penyakit alienasi
(keterasingan diri), baik dari diri sen­diri,
lingkungan sosial, maupun teralienasi dari
Tu­hannya. Kondisi psikologis seperti itu
dirumuskan oleh Zohar dan Marshall sebagai
bentuk keterputusan diri, baik dari diri sendiri
(cut off from myself), dari orang lain di
sekelilingnya (from others around me), dan
Kebutuhan Berprestasi di Bidang bahkan dari Tuhannya (from God) (Sukidi,
2004).
Spiritual dalam Menulis
Itulah sebabnya, orang ingin mengetahui
Selama bertahun tahun, kita telah ter- jawaban sebab penyakit spiritual itu. Tahun
pesona dengan penemuan Barat tentang IQ (In- 2000 orang mengungkapkan adanya kecerdasan
telligence Quotient). Bahwa orang yang cerdas spiritual. Kecerdasan spiritual (SQ), yang meruadalah mereka yang memiliki nilai intelektual pakan temuan terkini secara ilmiah, pertama
tinggi yang dapat diukur secara kuantitatif kali digagas oleh Danah Zolhar dan Ian
melalui berbagai test. IQ telah menjadi mitos Marshall, masing masing dari Harvard Universebagai satu satunya alat ukur atau parameter sity dan Oxford University melalui riset yang
kecerdasan manusia, sampai akhirnya Daniel sangat komprehensif. Pembuktian ilmiah
Goleman memperkenalkan EQ (Emotional In- tentang kecerdasan spiritual yang dipaparkan
telligence) dengan menunjukkan bukti empiris Zohar dan Marshall dalam SQ:, Spiritual Quodari penelitiannya bahwa orang orang yang IQ tient, The Ultimate Intelligence (Lon­don,
tinggi tidak menjamin untuk sukses. Sebalik- 2000). Dua di antaranya adalah: Pertama, riset
nya, orang yang memiliki EQ, banyak yang ahli psikologi/syaraf, Michael Persinger pada
menempati posisi kunci di dunia eksekutif awal tahun 1990 an, dan lebih mutakhir lagi
(Tasmara, 2001; Satiadarma dan Waruwu, tahun 1997 oleh ahli syaraf V.S. Rarnachandran
2003).
dan timnya dari California University, yang
Posisi sukses ini ternyata dianggap semu. menemukan eksistensi God Spot dalam otak
Orang banyak mengalami krisis. Krisis ini manusia. Ini sudah built in sebagai pusat spiribersifat global. Krisis global yang kom­pleks tual (spiritual center) yang terletak di antara
dan multidimensional ini, sudah merambah jaringan syaraf dan otak. Sedangkan bukti
setiap sudut kehidupan kita mulai dari kese- kedua adalah riset ahli syaraf Austria, Wolf
hatan, mata pencaharian, kualitas lingkungan, Singer pada era 1990 an atas The Binding Probdalam gaya dan teknik penulisan, mengembangkan tokoh, watak, penokohan, perwatakan,
memilih latar, atau mungkin mengembangkan
urutan peristiwa. Anda bisa juga belajar cerdas
dengan mempelajari cara menulis cerita seperti
buku ini.
Bekerja tuntas dalam menulis cerita
menantang Anda untuk menulis cerita hingga
selesai. Banyak penulis yang berbakat.
Sayangnya, setelah menulis cerita, mereka
kehabisan minat atau tenaga untuk menyelesaikannya. Dalam konteks seperti ini, cerita
yang baik adalah cerita yang selesai. Sebaik apa
pun sebuah cerita, bila belum selesai, belum
bisa dikatakan sebuah cerita. Ini seperti halnya
seorang pelari, ia harus menyentuh garis finis.
Mungkin saja jarak untuk menyentuh garis finis itu tinggal satu langkah. Untuk itu, Anda
harus sabar, siapa tahu untuk menyelesaikan
cerita Anda memang tinggal satu langkah saja.
6
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
lem, yang menunjukkan ada proses syaraf
dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada
usaha yang mempersatukan dan memberi
makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu
jaringan syaraf yang secara literal “mengikat”
pengalaman kita secara bersama untuk “hidup
lebih bermakna”. Pada God Spot inilah
sebenarnya terdapat fitrah manusia yang
terdalam (Agustian,2005).
Secara terminologi, kecerdasan spiritual
merupakan kecerdasan pokok yang dengannya
dapat memecahkan masalah masalah makna
dan nilai, menempatkan tindakan atau suatu
jalan hidup dalam konteks yang lebih luas, kaya,
dan bermakna. (Zohar dan Marshall, 2002).
Kecerdasan spiritual lebih merupakan sebuah
konsep yang berhubungan dengan bagaimana
seseorang cerdas dalam mengelola dan
mendayagunakan makna makna, nilai nilai, dan
kualitas kualitas kehidupan spiritualnya.
Kehidupan spiritual meliputi hasrat untuk
bermakna (the will to meaning) yang memotivasi kehidupan seseorang untuk senantiasa
mencari makna hidup (the meaning of life) dan
mendambakan hidup bermakna (the meaningful life) (Mujib dan Mudzakir, 2001:324).
Akan tetapi SQ dari barat itu, atau Spiritual Intellegent tersebut belum atau bahkan
tidak menjangkau ketuhanan. Pembahasannya
baru sebatas tataran biologi atau psikologi
semata, tidak bersifat transendental. Akibatnya
kita masih merasakan adanya “kebuntuan”
(Agustian,2005; Tasmara, 2001). Oleh karena
itu, Agustian (2005) menyempurnakannya
dengan menambahkan dan menggabungkan
dengan kecerdasan emosional sehingga
menjadi ESQ (Emotional Spiritual Quotient)
dan Tasmara (2001) menyempurnakannya
dengan sebutan Kecerdasan Ruhani.
Dalam tulisan ini Kecerdasan Spiritual
seseorang merujuk pada kemampuan seseorang
yang memiliki kecakapan t ransenden,
kesadaran yang tinggi untuk menjalani
kehidupan, menggunakan sumber sumber spiritual untuk memecahkan permasalahan hidup,
dan berbudi luhur. Ia mampu berhubungan
dengan baik dengan Tuhan, manusia, alam dan
dirinya sendiri.
Dengan dorongan ini membuat seorang
penulis tidak pernah memperhitungkan apakah
ia nanti akan terkenal, dapat uang banyak, atau
tujuan praktis lainnya. Ia berkarya untuk
mengabdi pada Tuhan. Ia sadar bahwa
tangannya bisa bergerak menulis karena ada
yang menggerakkan. Apakah kita tidak boleh
menerima honor dari tulisan kita? Tentu saja
boleh! Bahkan ada beberapa pengarang yang
kaya karena karya sastranya. Apakah kita tidak
boleh menjadi terkenal? Tentu saja boleh,
karena ada banyak orang terkenal yang berasal
dari sastrawan. Menurut saya, dorongan ini
merupakan kekuatan dasyat yang bisa
mengalahkan popularitas dan kekayaan.
Dengan dorongan spiritual ini, banyak
penulis yang bukunya dibaca oleh jutaan orang
dan dibaca sepanjang masa. Sayang hal ini tidak
pernah diberitakan. Coba saja kita cermati karya
mereka.
Imam Syafi‘ie menulis kitab Ar-Risalah.
Karyanya ini menjadi kitab rujukan utama bagi
para ulama dalam ilmu ushul fiqih sampai hari
ini. Di samping itu, beliau juga menulis kitab
Musnad As-Syafi‘ie , berupa kumpulan hadits
Nabi shallallahu alaihi wa alihi wasallam yang
diriwayatkan oleh beliau; dan kitab Al-Um
berupa kumpulan keterangan beliau dalam
masalah fiqih.
Imam Malik (Malik bin Anas Abi Amir
al Ashbahi) menyusun kitab Al Muwaththa
selama 40 tahun yang menghimpun 100.000
hadits. Imam Malik menerima hadits dari 900
orang (guru), 300 dari golongan Tabiin dan 600
dari tabiin tabiin.
Imam Al Bukhari (Muhammad bin
Ismail bin Ibrahim) menyusun kitab besar AlJami’ ash Shahih yang merupakan kitab paling
shahih. Hadits yang ia dengar sendiri dari
gurunya lebih dari 70.000 buah, ia dengan tekun
mengumpulkannya selama 16 tahun. Al
Bukhari mempunyai banyak kitab, antara lain,
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
7
At-Tawarikh ats Tsalatsah al-Kabir wal Ausath
wash Shaghir (Tiga Tarikh: Besar, sedang, dan
Kecil), Al-Kuna, Al-Wuhdan,Al-AdabAlMufrad, dan Adl-Dlu’afa.
Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir alQurasyi al-Bushrawi ad-Dimasyqi, lebih
dikenal dengan nama Ibnu Katsir. Berkat
kegigihan belajarnya, beliau menjadi ahli tafsir
ternama, ahli hadits, sejarawan serta ahli fiqih
besar abad ke-8 H. Kitab beliau dalam bidang
tafsir yaitu Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim menjadi
kitab tafsir terbesar dan tershahih hingga saat
ini. Selain Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, beliau
juga menulis kitab-kitab lain yang berkualitas
dan menjadi rujukan bagi generasi sesudahnya,
di antaranya adalah al-Bidayah Wa an-Nihayah
yang berisi kisah para nabi dan umat-umat
terdahulu, Jami’ Al Masanid yang berisi
8
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
kumpulan hadits, Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits
tentang ilmu hadits, Risalah Fi al-Jihad tentang
jihad.
Di Indonesia, kita mengenal Hamka.
Sewaktu dipenjara oleh pemerintah pada
Januari 1964 hingga Mei 1966, Hamka mampu
menulis Tafsir Al Azhar sebanyak 30 buku.
Buku ini merupakan tafsir Alquran.
Menyimak ini, meskipun tanpa pemberitaan besar-besaran, tulisan orang-orang yang
berkarya dengan dorongan spiritual dibaca oeh
jutaan orang dan sepanjang masa. Jika kita mau
berbesar hati, seharusnya karya mereka inilah
yang harus disebutkan terlebih dahulu saat orang berbicara masalah tulisan tingkat dunia.
Semoga penulis dari Indonesia mampu menyumbangkan tulisannya yang berguna bagi
umat dan mampu mendunia.
Paradigma Riset Ilmu Sosial: Peruntukan
Publikasi Berorientasi ‘Rigorous’ dan
‘Internasional’
Eko Ganis Sukoharsono
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya
Pendahuluan
Filsafat Paradigma Riset
Filsafat Paradigma ‘Konvensional’
Penyeleksian Paradigma Riset Ilmu Sosial
Strategi dan Teknik Riset
Hasil Riset Untuk Siapa?
Daftar Rujukan
Lampiran 1: Editor Policy of IJABS
Lampiran 2: Revised paper Policy of IJABS
Pendahuluan
Judul diatas sengaja ditulis dengan menempatkan kata ‘paradigma’ di depan kata yang
lain dengan maksud bahwa menulis hasil riset
sangat diperlukan perspektif apa yang melatar
belakangi. Banyak publikasi ilmiah kering akan
pemahaman perspektif yang ditulis.Tidak
jarang tulisan ilmiah tersebut tanpa kejelasan
perspektif. Sering peneliti tidak memahami
dengan baik dan serius makna perspektif dalam
meneliti. Kesulitan ini membawa akibat sulitnya hasil penelitian tersebut dipetakan.
Perlu dicermati bahwa perkembangan
dunia riset ilmu sosial telah tumbuh dengan
menggembirakan, khususnya di negara-negara
maju seperti Australia, Canada, Amerika
Serikat dan Inggris. Dunia riset menjadi sarana
wacana sosial untuk menumbuh kembangkan
disiplin ilmu sosial dan menjadi landasan dalam
aplikasi kehidupan sehari-hari. Hasil riset di
negara-negara tersebut telah dijadikan elemen
dasar untuk proses dan penerapan dalam kehidupan mereka (Sukoharsono, 1996 dan
Creswell, 1994). Tidak jarang kemudian
mereka selalu menumpukan harapan dalam
perubahan perilaku dan praktek ilmu sosial
melalui hasil riset nya.Misra (1989) membenarkan apa yang mereka katakan dalam ungkapan
(r)esearch is a process and a means to
acquire knowledge about any natural or
human phenomena. Rapid social, economic and technological changes of modern times are causes as well as effects of
new discoveries, inventions and findings
in various walks of life. It is often said
that research is one of the biggest industries of modern times ... (Misra, 1989:1)
Makalah ini diperuntukan bahan bacaan dan presentasi Seminar Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun
Kualitas Pustaka, Malang 13-14 Juni 2015.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
9
Apa yang dikatakan Misra ini bukan
tanpa alasan. Dia berpendapat bahwa apa yang
sedang diperbuat manusia modern ini adalah
hasil temuan dan kajian riset. Dalam kehidupan
modern sekarang ini, manusia selalu dijastifikasi kebenarannya dengan alat pembenaran
hasil riset. Tanpa hasil riset, pernyataan dan
ungkapan hanya akan dijadikan sebagai bahan
yang tanpa mempunyai signifikansi nilai. Tak
heran kemudian, riset benar-benar menjadi
tulang punggung kehidupan dunia dan
dijadikan sebagai alat pembenaran.
Sekalipun fenomena masyarakat modern
sudah dibiasakan dengan aktivitas ‘riset’, tidak
jarang masyarakat sendiri kurang memahami
makna yang terkandung didalam istilah
tersebut. Masih banyak kalangan pemakai jasa
riset dan mungkin bahkan dari kalangan
akademiawan masih samar-samar akan makna
nya. What is research? Who is a researcher?
Where do research problem originate? How
should the researcher go about solving the
problem? Where should he/ she go for his information and How does he/ she know if and
when he has solved his problem? Pertanyaan
ini mempunyai implikasi yang sangat luas dan
tidak mudah untuk dijawab. Jawabnya pun sulit
sekali dapat memuaskan semua orang dalam
memahami pertanyaan ini. Bahkan, jawaban
yang tersaji dapat menimbulkan perdebatan
yang sangat panjang. Mengapa demikian? perlu
disadari bahwa untuk memahami dan
mengeksplorasi riset diperlukan paradigma.
Berawal dari paradigma ini, setiap individu
akan mempunyai pandangan yang berbeda
dengan yang lain. Hirschman (1992) mengemukakan bahwa tidak mudah memahami
permasalahan paradigma setiap individu dan
bahkan dia sendiri memberikan antisipasi
pemahaman paradigma dari posisi positivistik
ke postmodern. Ini menandakan bahwa
kompleksitas memahami paradigma sulit untuk
dipecahkan, masing-masing mempunyai dasar
ontologi dan epistemologi yang berbeda.
Filsafat Paradigma Riset
Perlu difahami bahwa dalam pelaksanaan
awal riset diperlukan penyeleksian terhadap
topik bahasan dan paradigma. Paradigma ini
adalah satu usaha untuk membantu memahami
fenomena sosial yang akan diriset (Firestone
[1978], Gioia and Pitre [1990] dan Kuhn
[1970]). Kuhn secara tegas mengkonseptualkan
paradigma dengan terdiri dari teori-teori dan
metode. Sekalipun banyak para ilmuwan yang
berbeda pendapat dengan Kuhn (1970), tetapi
popularitas pembahasan”paradigma Kuhnian
ini sulit untuk ditandingi (Phillips, 1987).
Di dalam ilmu sosial banyak para ahli
mengkarakteristikan tentang paradigma riset.
Burell dan Morgan (1994) mengkatagoriskan
paradigma didalam ilmu sosial ada empat, yaitu
paradigma fungsionalis, interpretive, radical humanist dan radical structuralis. Dari empat paradigma ini, masing-masing mempunyai konsekuensi yang berbeda dalam penelaahan riset.
Dan dapat dipastikan bahwa setiap paradigma
akan mempunyai penekanan dalam membahas/
meneliti suatu masalah/ fenomena yang akan
diriset. Dari ke empat paradigma ini bersumber
pada mekanisme asumsi yang bersumber pada
dua dimensi ekstrem, yaitu dimensi subjective
dan objective (Burrell and Morgan, 1994:3).
The Subjective - Objective Dimension
The Subjectivist Approach to Social Science The Objectivist Approach to Social Science
10
Nominalism
Ontology
Realism
Anti-positivism
Epistemology
Positivism
Voluntarism
Human Nature
Determinism
Ideographic
Methodology
Nomothetic
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Pandangan paradigma riset Burrell dan
Morgan diatas berlandaskan pada asumsi
bahwa ‘semua teori-teori organisasi bersumber
pada filsafat ilmu dan teori kemasyarakatan.
Yang sangat menarik dari cara pandang Burrell
dan Morgan ini adalah memberikan asumsi
filsafat ilmu sosial dengan berlandaskan pada
empat dimensi, yaitu dimensi ontology, epistemology, human nature dan methodology
(Burrell dan Morgan, 1994: 1). Ke empat
dimensi ini adalah central tesis dari mereka
yang menggambarkan tentang kompleksitas
fissafat ilmw dan asumsi yang membatasinya.
Dimensi ini telah dipakai oleh banyak peneliti
dalam membahas kasanah methodologi dan
cara pandang sebuah ilmu untuk memecahkan
masalah yang muncul (lihat, Morgan and
Smircich, 1980). Pada disiplin ilmu sosial,
kerangka dimensi Burrell dan Morgan tidak
asing, khususnya pada bahasan riset yang selalu
mengedepankan hakekat filsafat ilmu sebelum
melakukan riset lebih jauh. Kebiasaan ini jarang
ditemukan (kalau tidak ingin dikatakan ‘tidak
ada’) di Indonesia. Kebiasaan riset di Indonesia lebih bertumpu pada penelaahan masalah
dan pemecahan masalah tanpa harus menelusuri
kembali hakekat sesungguhnya filsafat ilmu.
Tidak jarang kemudian adopsi yang ‘membabi
buta’ akan methodologi riset dilakukan, tanpa
melihat makna yang sesungguhnya. Sehingga,
muncul anggapan bahwa ‘kebenaran’ yang
muncul hanya ‘semu’ dan bahkan sering ‘mengada-ada’.
Dilard (1994) memberikan argumentasi
terhadap kerangka dimensi Burrell dan Morgan sebagai alternatif yang sangat baik untuk
dikembangkan pada disiplin ilmu sosial. Dia
dengan sengaja mengadopsi kerangka tersebut
sebagai bahan kajian untuk menjelaskan
fenomena dalam menjelaskan ruang lingkup
filsafat ilmu. Dilard tenyata bukan orang
pertama yang mengenal kerangka dimensi
Burrell dan Morgan tersebut, Chua (1986)
adalah satu dari beberapa ahli ilmu sosial dunia
yang pertama kali menyajikan bahasan khusus
tentang methodologi akuntansi dengan judul
‘Radical Development of Accounting’ yang
diterbitkan Accounting Review. Sekalipun
Chua (1986) tidak secara seratus persen mengadopsi kerangka Burrell dan Morgan (1979), tapi
dia melakukan modifikasi atas kerangka
tersebut yang disesuaikan dengan pemahamannya tentang gejala-gejala sosial terhadap cara
melakukan riset. Sekalipun demikian, Chua
(1986) memberikan bahasan khusus pula
tentang kerangka dimensi Burrell dan Morgan
untuk akuntansi.
Kembali pada bahasan ‘the subjective objective dimension’ diatas, Burrell dan Morgan memberikan asumsi bahwa dalam dunia
riset, semua ilmuwan sosial melakukan pendekatan terhadap fenomena yang akan diinvestigasi dengan mendekatkan subject-nya kepada
asumsi eksplisit dan implisit tentang perilaku
dunia sosial. Pertama, asumsi filsafat yang
melandasi adalah ontologi. Asumsi ini memberikan perhatian terhadap hakekat realitas
fenomena yang akan diinvestigasi/ riset.
Sebagaimana Burrell dan Morgan mengatakan,
there are assumptions of an ontological
nature - assumptions which concern the
very essense of the phenomena under investigation. Social scientists, for example,
are faced with a basic ontological question: wherher the ‘reality’ to be investigated is external to the individual - imposing itself on invidual conciousness
from without - or the product of individual conciousness: whether ‘reality’ is
of an ‘objective’ nature, or the product of
individual cognition; whether ‘reality’ is
a given ‘out there’ in the world, or product of one’s mind (Burrell and Morgan,
1994: 1).
Filsafat realitas ini memberikan arahan
tentang keberadaan fenomena yang akan
diinvestigasi atas keberadaannya. Fenomena
tersebut apakah ‘ada’ karena campur tangan
manusia secara sadar atau secara objective ‘ada’
karena diluar ‘kuasa’ manusia atau sosial.
Filsafat realitas ini secara hakekat akan
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
11
membawa penjelasan yang rinci unt uk
‘keberadaan’ disiplin ilmu sosial. Apakah
disiplin ilmu sosial ‘ada’ dan fenomena yang
akan diinvestigasi ‘ada’ karena ‘kuasa’ manusia
atau tidak. Secara singkat dapat dijelaskan
disini bahwa disiplin ilmu sosial tidak dapat
‘tidak’ mempunyai kaitan erat dengan ‘kuasa’
manusia untuk merekayasa fenomena sosial dan
menjadikannya sebagai pengaruh dalam
kehidupan modern.
Kedua adalah asumsi filsafat tentang sifat
epistemogi. Penekanan terhadap istilah epistemology ini adalah tentang grounds of knowledge, yaitu untuk memberikan penjelasan
tentang bagaimana seseorang memahami ilmu
pengetahuan. Epistemologi ini memberikan
berhatian terhadap bagaimana kita menyerap
knowledge dan dikomunikasikan untuk kepentingan manusia. Upaya untuk menjastifikasi
‘kebenaran’ dalam ilmu pengetahuan juga
menjadi ciri utama dari$epistemologi. Apa yang
difahami dengan menggunakan pendekatan
subjectivist (anti-positivism), memberikan
penekanan bahwa knowledge adalah sangat
subjective, spiritual atau bersifat transcendental yang didasarkan atas pengalaman dan
pandangan dari manusia. Hal berbeda dengan
pendekatan objectivist (positivism) yang selalu
berpandangan bahwa knowledge itu adalah
dalam bent uk t angible (yang biasanya
diilustrasikan seperti hard, real, dan capable
of being transmitted to others) (Burrell and
Morgan, 1994: 1).
Pandangan dari asumsi filsafat yang
ketiga adalah human nature (manusia). Burrell
dan Morgan (1994) memandang bahwa filsafat
ilmu juga harus mampu melihat keterkaitan
antara human beings dan environment.
Pendekatan voluntarism memberikan penekanan pada esensi manusia ‘berada’ di dunia
ini untuk memecahkan fenomena sosial sebagai
‘free will and choice’. Manusia pada sisi ini
dilihat sebagai ‘creator ’ dan mempunyai
perspektif untuk menciptakan fenomena sosial
dengan daya kreatifitasnya. Sebaliknya,
12
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
pendekatan determinism mempunyai corak lain
yang esensinya manusia ditempatkan pada sisi
‘dikendalikan’. Hal ini mempunyai misi bahwa
manusia tidak mempunyai ‘will of choices’.
Dimensi asumsi filsafat yang keempat
adalah melengkapi ketiga asumsi sebelumnya,
ontology, epistemology, dan human nature,
yang dinamakan methodology.
Each one has important consequences for
the way in which one attempts to investigate and obtain ‘knowledge’ about the
social world. Different ontologies, epistemologies dan models of human nature
are likely to incline social scientists toward different metodologies (Burrell and
Morgan, 1994: 2).
Asumsi filsafat ini memberikan arti
bahwa penentuan methodology tidak lain
adalah sebagai akibat dari penetapan tiga
asumsi filsafat yang terdahulu. Methodologi
difahami sebagai cara untuk menjastifikasi dan
menentukan teknik yang tepat untuk memperoleh knowledge. Satu sisi ektrim pendekatan
atas methodologi disebut pendekatan ideographic. Pendekatan ideographic yang
mempunyai unsur utama subjectivism
melandaskan pada pandangan bahwa sesorang
akan dapat memahami dunia sosial (the social
world) dan fenomena yang diinvestigasi, bila
ia memperolehnya atas dasar first-hand knowledge. Pandangan ini tidak lain memberikan
gambaran terhadap ‘daya-dekat’ manusia dan
fenomena yang diinvestigasi. Hal ini memberikan penekanan bahwa analisa subjectivitas
dan keterlibatan dalam kehidupan akan mempunyai validitas yang tinggi dalam memecahkan permasalahan sosial. Sebaliknya, pendekatan nomothetic mempunyai sistem yang baku
untuk melakukan penyelidikan/ riset yang
biasanya disebut dengan systematic protocol
dan technique. Sistematika ini sering dijumpai
dalam penelaahan dan melakukan riset di dunia
ilmu pasti (natural sciences).
Filsafat Paradigma ‘Konvensional’
Filsafat paradigma yang dikemukakan
Burrell dan Morgan adalah merupakan alternatif yang relatif ‘kompleks’ untuk difahami.
Sekalipun demikian, Filsafat Burrell dan Morgan telah memberikan peluang untuk mengembangkan paradigma-paradigma kontemporer
yang dalam dekade terakhir ini bermunculan.
Dan Burrell dan Morgan dapat mengakomodasi
perkembangan tersebut, tanpa harus mereduksi
bahasan dari esensi ilmiah dan makna yang
terkandung. Filsafat paradigma tidak hanya
satu. Ada beberapa pandangan dan pendekatan
tentang filsafat paradigma dalam ilmu pengetahuan. Chalmers (1988) memberikan pandangan tentang paradigma di ilmu pengetahuan
yang antara lain rationalism versus relativism,
invidualism versus objectivism dan ada beberapa yang lain. Dalam bahasan ini akan
didiskusikan tentang filsafat paradigma yang
dikemukakan oleh Creswell (1994). Filsafat
paradigma Creswell ini telah mendominasi cara
berfikir para ilmuwan yang beranggapan adanya
dichotomi dalam kehidupan manusia. Dia
memberikan dichotomi antara qualitative dan
quantitative.
Dua paradigma ini, qualitative dan quantitative, sangat populer dikalangan para peneliti
pada awal abad ke 20-an. Kemudian paradigma
ini terkenal dengan sebutan filsafat paradigma
abad ke 20. Istilah ini sering pula disebut
sebagai istilah konvenskonal dan lasim dipakai
untuk melakukan kajian terhadap pemecahan
permasalahan sosial. Paradigma qualitative
berlandaskan pada pemahaman t entang
pendekatan-pendekatan kontemporer seperti
pendekatan constructivist atau naturalistc (Lincoln and Guba, 1985), pendekatan interpreta-
tive (Smith, 1983), post-positivist (Quantz,
1992) dan Post-modernist (Smart, 1985,
Sukoharsono, 1993b). Dan paradigma ini juga
sekaligus sebagai ‘countermovement’ keberadaan paradigma positivist. Sementara, paradigma qualitative secara sederhana diistilahkan
dengan traditional, positivist, experimental,
atau empiricist. Pemikiran ini berlandaskan
pada faham yang dikembangkan oleh para
pendahuluan sebagai tradisi yaitu Comte, Mill,
Durkheim, Newton dan Locke ( Smith, 1983).
Secara prinsip pendekat an yang
dilakukan dengan menggunakan label qualitative dan quantitative ini adalah relatif sama
dengan apa yang dikemukakan pada bahasan
sebelumnya dari Burrell dan Morgan. Tetapi,
paradigma ini mempunyai penjelasan yang
secara spesifik dan karakteristik yang tidak
dijelaskan secara detail oleh Burrell dan Morgan (1994) yaitu tentang axiology dan rethoric.
Asumsi filsafat axiology memberikan perhatian
pada peran nilai (role of value) dalam riset. Pada
paradigma quantitative peran peneliti dan nilai
yang termuat dalam makna riset terdapat
‘jarak’. Laporan hasil riset sedapat mungkin
menghindari personal statement dan sangat
menekankan dengan pengungkapan ‘impersonal language’. Quantitative dalam bahan ini
tidak lain mempunyai makna yang relatif sama
dengan Paradigma Objectivist nya Burrell dan
Morgan. Filsafat axiology dalam paradigma
qualitative mempunyai makna bahwa peneliti
membawa nilai-nilai sosial yang diletakkan
dalam menjastifikasi fenomena yang diinvestigasi. ‘Bias’ dan pengalaman peneliti menjadi
unsur penting dalam pemecahan masalah atas
fenomena yang diteliti. Dibawah ini adalah
asumsi-asumsi filsafat yang melatar-belakangi
paradigma qualitative dan quantitative.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
13
Asumsi-asumsi Filsafat paradigma qualitative dan quantitative
Adpted from Firestone (1987), Guba &
Lincoln (1988) and McCracken (1988).
Asumsi-asumsi filsafat diatas mempunyai kemiripan dengan apa yang telah didiskusikan sebelumnya dari Burrell dan Morgan
(1994). Hal ini tampak dari asumsi yang dipakai
oleh keduanya mirip. Ontology, epistemology
dan Methodology mempunyai bahasan yang
sama. Asumsi filsafat axiology dan rhetorica
pada paradigma qualitative dan quantitative
adalah sebagai pengganti human nature (sifat
manusia) pada paradigma subjectivist dan objectivist. Perlu dicermati disini adalah manusia
sebagai makluh sosial mempunyai unsur akan
pemahaman nilai (role of value) dan rhetorica.
Kedua hal ini sebagai unsur filsafat ilmu yang
melekat dalam rangka wacana sosial dan
kehidupan yang saling bergantung satu dan
indivisu yang lain.
14
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Penyeleksian Paradigma Riset Ilmu
Sosial
Banyak para peneliti ilmu sosial tidak
menyadari akan pvoses pemilihan paradigma.
Kebiasaan yang muncul riset dilakukan tanpa
mengenal akan filsafat jastifikasi ‘kebenaran’
(‘truth’). Ketidak-sadaran peneliti akan hal ini
akan membawa dampak bahwa hasil riset
mereka tanpa mempunyai proses pegangan
ilmiah yang ‘sadar’ akan keberadaannya. Riset
dilakukan semata-mata hanya untuk memperoleh hasil atau solusi, tanpa mengenal dan
memahami proses pembenaran secara ilmiah
dapat dipertanggungjawakan. Tidak heran
kemudian banyak hasil penelitian ilmu sosial
‘sulit’ (kalau tidak ingin dikatakan ‘tidak
dapat’) diaplikasikan dalam real world.
Pertanyaan ini pernah dilontarkan oleh banyak
ahli (eg., Burchell et al, 1980 and 1985).
Gaffikin dalam pandangannya tentang ‘keharusan memahami’ paradigma,
... it is important for those working in any
discipline to know the basis on which they
rest their claims to knowledge. (lihat,
Sukoharsono, 1995).
Pernyataan ini mempunyai makna bahwa
paradigma riset harus diketahui terlebih dahulu
sebelum riset dilakukan. Bila hal ini tidak
dilakukan, akibat yang akan muncul adalah
dalam bahasa jawa disebut ‘ngebo bingung’,
yang akan membawa arti ‘tidak tahu’ claim
pembenaran hasil riset. Seyogyanya, penelahaan paradigma riset harus dilakukan secara
dini untuk memberikan fondasi dan pilar
jastifikasi riset atas fenomena social yang akan
diinvestigasi.
Dibawah ini akan diungkapkan beberapa
kriteria yang dapat dipakai sebagai arahan
dalam menentukan paradigma apa yang harus
ditetapkan dan apa konsekuensi atas paradigma
tersebut.
Pada kriteria perspektif peneliti,
dimaksudkan peneliti untuk mendefinisikan
asumsi filsafat yang melatar-belakangi
pelaksanaan riset dan mendefinisikan realitas
sosial yang ingin dicapai. Pada kriteria ini,
pendefinisian ontology, epistemology, axiology
dan rhetorica sangat diperlukan. Sebagai
contoh, pada kriteria ini peneliti dapat menentukan realitas disiplin dan fenomena yang akan
diinvestigasi. Jika, peneliti mempunyai persepsi
bahwa realitas sosial adalah subjectif dan
berkeinginan untuk berinteraksi lebih dekat
dengan sumber masalah riset, mereka harus
melakukan dan menentukan paradigma riset
subjectivist. Atau mungkin peneliti yang lain
ingin menggunakan paradigma objectivism
yang menggunakan teknik riset experimental
instrumen atau survey dengan menggunakan
kuestioner. Dalam penentuan kriteria ini sangat
mempunyai keterkaitan dengan kriteria kedua
yaitu experiment dan skill peneliti. Kritevia
kedua ini menyangkut masalah teknis pelaksanaan yang antara lain teknis penulisan, scientific kriteria, program statistic computer, dan
wacana logis. Kesemua ini menjadi syarat
dalam penentuan paradigma yang akan dipilih.
Ketidak tahuan akan contoh diatas mengakibatkan ‘kurang bermanfaat’ hasil riset yang
diperoleh. Creswell (1994) mengingatkan
bahwa kriteria kedua ini mempunyai daya
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
15
dukung yang cukup besar untuk keberhasilan
pelaksanaan riset dan makna hasil yang
diperoleh.
Kriteria ketiga dan keempat mempunyai
spesifikasi akan metode yang dipakai untuk
menginvestigasi. Pengadopsian paradigma
quantitative, misalnya, harus difahami ‘general
rules’ yang biasanya dilakukan sehingga tidak
menyimpang dari apa yang disebut dengan ‘scientific approach’. Paradigma ini harus mentaati
kaidah umum yang berlaku untuk melakukan
riset yang antara lain tentang pemisahan
kasanah teori dengan fenomena yang diinvestigasi. Teori, menurut pandangan ini, sebagai
suatu yang terpisah dan dilaporkan dalam kumpulan yang disebut dengan tinjauan pustaka.
Begitu juga dalam kaitannya dengan kriteria
yang keempat, harus menjelaskan secara
gamblang variabel-variabel apa saja yang akan
dijadikan obyek bahasan dan bila mungkin akan
dilakukan uji tes untuk melihat ‘kebenaran’
yang ada. Tidak jarang (dan hampir keseluruhan
laporan hasil riset dengan menggunakan
paradigma quantitative) selalu akan muncul
hipothesa uji.
Perbedaan dengan paradigma objectivism, subjectivism lebih melihat akan esensi
keterlibatan peneliti dalam nuanwa rkset. Tidak
mengenal prosedur dan hukum yang baku untuk
pelaksanaan riset. Daya kreativitas peneliti dan
self-jastifikasi keperluan sangat mendominasi
kebijaksanaan riset. Tidak juga mengenal variable-variable yang dinyatakan secara eksplisit
dan tidak juga dilakukan tes untuk mengkonfirmasi validitas variable tersebut. Hipothesa
ada, tetapi tidak dinyatakan secara eksplisit
untuk melihat pengaruhnya. Hipothesa lebih
mempunyai makna, bilamana peneliti melakukan partisipasi aktif dalam proses menjawab
hipothesa tersebut.
Kriteria kelima yaitu ‘audience for the
study’ adalah upaya untuk mengantisipasi
pemakai dari laporan ilmiah tersebut. Perbedaan dalam menset audience/ pembaca dapat
mengakibatkan perbedaan dalam membuat
laporan ilmiah. Penyajian untuk jurnal editor
16
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
akan mempunyai pengaruh terhadap hasil riset
bilamana dilaporkan dalam bentuk ‘long’ format. Begitu pula, setting untuk penyajian program doktor akan mempunyai nuansa yang
berbeda dengan format yang lain. Kesemua ini
memberikan acuan bahwa kehidupan sosial ini
penuh dengan dinamika dan proses pembaharuan. Waktu adalah perubahan, ini bermakna
bahwa dinamika perbedaan merupakan hal
yang lazim dalam kehidupan bersosial.
Strategi dan Teknik Riset
Untuk mengawali bahasan ini, sebuah
meta-level research harus didefiniskan. Pehaman tentang riset kadangkala membuat peneliti
lupa akan hakekat maknanya. Riset adalah
proses untuk mencari ‘kebenaran’ yang dilakukan dengan penuh pertimbangan dan kehatihatian. Secara operasional riset mensaratkan
minimal 6 (enam) hal yang harus dipertimbangkan;
(1) an orderly investigation of a defined problem
(2) appropriate scientific methods used
(3) adequate and representative evidence gathered
(4) logical,
(5) demonstrated the reasonableness or validity of the conclusions
(6) cumulative results of research in a given
area yield general principles or laws that
may be applied with confidence under similar conditions in the future (Buckley et al,
1976 and Pattillo, 1980).
Murdick (1966) menklarifikasi definisi
riset dengan memberikan contoh tentang yang
tidak disebut sebagai riset. Aneh kedengarnya.
Memang demikian, dia mempunyai alasan yang
berbeda dengan yang lain. Dia membeberkan
“intuition, creativity, and speculation” yang
sering berperan secara luas dalam memberikan
masukkan dan arahan riset, hal ini tidak dapat
disebut sebagai riset. Buckley et al (1976) memberikan kriteria yang bukan riset antara lain,
Research is not simply gathering and classifying facts, it is not an exercise in the
application of a technique or toll; it is not
the study in which no conclusions are
drawn (Buckle et al., 1976: 28).
Research is an intrinsic aspect of science
and interacts with the basic building blocks for
advancing science and solving significant problems (Murdick, 1966: 15-16).
Dari apa yang dikatakan oleh Murdick ini
memberikan pengertian bahwa riset dan science
(ilmu) mempunyai hubungan yang erat. Riset
dilakukan untuk menjembatani dan menguji
gap antara ‘fantasy’ dengan ‘fakta’. Kedua hal
ini perlu ada klarifikasi sehingga riset mempunyai kemampuan untuk menjelaskan fakta
dan/ atau fenomena sosial.
Dalam pelaksanaan riset dikenal berbagai
fungsi yang tergantung kepada siapa dan untuk
apa riset dilakukan. Sebagai ilustrasi untuk
melakukan strategi riset apa yang akan dilakukan akan dijelaskan dibawah ini tentang
peran peneliti dan orientasi peneliti sebagai
berikut:
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
17
18
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Hasil Riset Untuk Siapa?
Penjelasan diatas menunjukkan bagaimana riset mempunyai kompleksitas. Tidak
begitu saja riset dibangun dengan masalah yang
dimunculkan tetapi perlu pula diketahui paradigma apa yang dipakai untuk mendekatkan
masalah yang akan diriset. Belum lagi persoalan
metodologi dan sifat dari pengetahuan memerlukan perhatian khusus. Pada sub bahasan ini
akan didiskusikan terkait dengan kepada siapa
riset tersebut diperuntukan. Peruntukkan hasil
riset adalah penting untuk diketahui. Masingmasing peruntukan mempunyai karakteristik
yang berbeda format dan model diskusi tu
dituangkan dalam hasil riset. Tidaklah jauh
berbeda dengan pemahaman terhadap jenis
laporan antara skripsi, tesis dan disertasi. Ketiga
bentuk ini mempunyai karakteristik yang
berbeda dalam format kedalaman isi diskusi dan
metodologi.
Berikut ini adalah hasil riset dengan
berbagai peruntukannya:
Dari ke 6 peruntukan diatas, dapat menggambarkan keberagaman standar hasil penelitian yang
masing-masing mempunyai standar yang berbeda.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
19
Daftar Rujukan
Buckley, JW. et al. 1976. Research Methodology & Business Decisions. NAA & SIAC.
Burchell, S., C. Clubb, A.G. Howood, J.
Hughes, and J. Nahapiet. 1980. The Roles
of Accounting in Organizations and Society. Accounting, Organizations and
Society. pp.5-27.
Burchell, S., C. Clubb, A.G. Howood. 1985.
Accounting in Its Social Context: Towards a History of Value Added in the
UK. Accounting, Organizations and Society, Vol 10. No 4. pp.381-413.
Firestone, WA. 1987. Meaning in Method: The
Rhetoric of Quantitative and Qualitative
Research. Educational Researcher. 16(7).
16-21.
Capra, Fritjof. 2000. The Tao of Physics. 4th
Edition. Terjemahan. 2005. Jalasutra.
Yogyakarta.
Guba, EG., and Y. Lincoln. 1988. Do Inquiry
Paradigms Imply Inquiry Methodolodies?
In DM. Fetterman (Eds.). Qualitative
Approaches to Evaluation in Education.
New York: Praeger. pp. 89-115.
Lincoln, YS., and EG. Guba. 1985. Naturalistic Inquiry. Beverly Hills, CA: Sage.
McCracken, G. 1988. The Long Interview.
Newbury Park, CA: Sage.
Murdick, RF. 1966. Business Research: Concept and Practice. Scranto: International
Textbook Company.
Pattillo, JW. 1980. The Role of Applied Research in Accounting. In Jk Courtis (Eds).
Research and Methodology in Accounting and Financial Management. AFM
Exploratoy Series No.9.
Quantz, RA. 1992. On Critical Ethnography
(with some postmodern considerations).
In M.D. LeCompte, WL. Millroy and J.
Preissle (Eds). The Handbook of Qualitative Research in Education. New York:
Academic Press.
Smart, B. 1985. Michel Foucault. England:
Ellis Horwood Ltd.
20
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Smith, JK. 1983. Quantitative and Qualitative
Research: An Attempt to Clarify the Issue. Educational Researcher. pp. 6-13.
Sukoharsono E.G., and M.J.R. Gaffikin. 1993a.
“The Genesis of Accounting in Indonesia: The Dutch Colonialism in the Early
17th Century.” The Indonesian Journal
of Accounting and Business Society. Vol
1. No 1.
Sukoharsono, EG. 1995. A Power and Knowledge Analysis of Indonesian Accounting
Though. PhD Dissertation. University of
Wollongong.
Sukoharsono, EG., and MJR. Gaffikin. 1993b.
Power and Knowledge in Accounting:
Some Analyses and Thoughts on Social,
Political, and Economic Forces in Accounting and Profession in Indonesia
1800 - 1950s. Working Papers Series No.
4. University of Wollongong.
Sukoharsono, Eko Ganis. 2000. Bookeeping to
Professional Accounting: A University
Power in Indonesia, International Journal of Accounting and Business Society,
Vol 8, No 1
Sukoharsono, Eko Ganis. 2004a. How Fast
Tobacco Can Be: The Logistical Process
At Rothmans Of Pall Mall Indonesia In
The 1997 Indonesian Economic Crisis
(Joint Research with R.J.E. van der
Heijden and B.G. Wagner of the Fontys
University), International Journal of Accounting and Business Society, Vol 12,
No 1
Sukoharsono, Eko Ganis. 2004b. The Internal
Management of UPT Bidang Studi Pusat
Bahasa The University of Jember. TPSDP
Grant
Sukoharsono, Eko Ganis and Gaffikin, Michael.
2005a. The Genesis of Accounting in Indonesia: Dutch Colonialism in the Early
17th Century. Critical and Historical
Studies in Accounting. W. Funnell and
R. Williams (Ed). London: Prentice Hall
Inc.
Sukoharsono, Eko Ganis.2005b (Forthcoming).
Alt ernatif Riset Kualit atif Sains
Akuntansi: Biografi, Phenomenologi,
Grounded Theory, Critical Ethnografi dan
Case Study. Fakultas Ekonomi. Universitas Brawijaya
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
21
22
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
23
24
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
25
26
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Bahasa Uzbek Dan sistem pengajarannya
Di Uzbekistan
Markhabo Djumanova
Uzbekistan
[email protected]
Artikel ini memberikan informasi dalam mengajar bahasa Uzbek sesudah Uzbekistan menjadi negara
merdeka. Bahasa Uzbek merupakan satu-satunya bahasa resmi di negara Uzbekistan dan sejak tahun
1992 resmi ditulis dalam abjad Latin. Semua orang ketika berkeliling Uzbekistan dapat mendengar secara
jelas bahasa Uzbek Sound. Uzbek adalah bahasa resmi Uzbekistan, yang merupakan bahasa Turki Timur
dan mirip dengan Bahasa Turki lainnya sebagai Kazakhstan, Kyrgyzstan, Turkmenistan, Azerbaijan dengan
sekitar 23,5 juta penutur terutama di Uzbekistan, tetapi juga di Australia, Cina, Jerman, Israel, Kazakhstan,
Kyrgyzstan, Rusia, Tajikistan, Turki (Asia), Turkmenistan, Ukraina dan Amerika Serikat. Artikel ini terutama
menunjukkan bahasa Uzbek di tempat-tempat pendidikan sebagai alat komunikasi utama dalam pengajaran.
Pendahuluan
Nama “Uzbek” kemungkinan besar
berasal dari nama penguasa Muslim Oz Beg
Khan, yakni pemimpin Golden Horde,
kelompok kuat suku Turki, 1212-1341.Seri kata
Uzbek Altaimerupakan rumpun bahasa bahasa
Turki yang mampu membedakan dengan
bahasa lain. Hukum negara diadopsi pada 21
oktober 1989.21 desember 1995.
Kemerdekaan Republik Uzbekistan
menjadikan orang asing tertarikpada bahasa
uzbekdan sejarah budaya dalam studi monumen
kuno. Pada beberapa tahun terakhir ini, tingkat
ketertarikan orang asing terhadap bahasa Usbek
semakin meningkat.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
27
Penulisan
baikdalam bentuk lisan maupun sebagai upaya
Pada awalnya, secara historis bahasa pembentukan dan pengembangan keterampilan
Uzbekdigunakan untuk menulis huruf. Pada berbahasa. Pada perkembangannya, Presiden
tahun 1928 orang-orang berpendidikan dalam Kesembilan Oily Majlis Republic Uzbekistan,
berbicara masih menggunakan tulisan Arab. menekankan bahwa tujuan utama pengajaran
Selanjutnya, dari tahun 1928 sampai dengan bahasa Usbek di sekolah untuk melatih siswa
1940 digunakan aksara Latin.Pada tahun 1940 menjadi kreatif, berpikir independen, mampu
sampai dengan tahun 1992dalam menulis berpidato sesuai dengan kondisi, baik dalam
digunakan huruf Cyrillic. Pada perkembangan bentuk lisan maupun tertulis sesuai dengan
terakhirnya, tahun 1993 di Uzbekistan secara kondisi yang dimasuki sebagai upaya pembenresmi mulai digunakan penulisan huruf latin tukan dan pengembangan keterampilan. Dalam
lagi. Pada saat ini, di lingkungan pendidikan pidatonya, Presiden Kesembilan Oliy Majlis
Republik Uzbekistan berbicara tentang refordigunakan di aksaralatin.
Di lingkungan pendidikan Usbekistan, masi pendidikan yang isinya secara ringkas
unt uk memasyarakatkan bahasa Usbek menyatakan bahwa sangat diperhatikan mutu
digunakan berbagai langkah. Pada awalnya, di lulusan, pendidikan sekolah, dan pelatihan bagi
lingkungan sekolah, untuk mengenalkan masyarakat. Dalam pidato ini, ditekankan pula
hukum-hukum bahasa Usbekdiajarkan konsep- pentingnya pindidikan anak-anak dalam suatu
konsep bahasa.Selanjutnya, pada awal tahun lingkungan masyarakat demokratis. Lebih-lebih
kemerdekaan, yaitu pada tanggal 15 oktober bagi seorang pria harus mempunyai pandangan
1993 bahasa Usbek disetujui oleh Departemen hidup yang luas sebagai perwujudan pemikiran
Pendidikan Nasional Republik Uzbekistan bebas.
Untuk melatih berpikir anak-anak secara
sebagai bahasa resmi. Ada berbagai tujuan
efektif
tersebut, tidak bisa dilepaskan dari dunia
utama dengan pengajaran bahasa usbek di
sekolah, di antaranya melatih kreativitas, pendidikan. Untuk itu perlu diselaraskanantara
berpikir independen, belajar berpidat o, bahasa resmi pendidikan dan bahasa ibu.
28
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Adapan tujuan utama penyelarasan bahasa di
lingkungan pendidikan, bahasa pengajaran,
bahasa dalam masyarakat semata-mata untuk
melaksanakan peran dan tanggung jawab sosial.
Adapun tujuan penyelarasan bahasa untuk
beberapa ribu tahun ke depan, di antaranya
sebagai alat komunikasi antara anggota
masyarakat dan menangkal gangguan, mendokumentasikan hasil pemikiran dan ide-ide
seseorang, baik secara lisan maupun tertulis,
sebagai sarana untuk mengungkapkan perasaan
batin masyarakat. Sebaliknya, bahasa ibu
berfungsi melatih memahami pikiran orang
laindan produk.Artinya, untuk mengajarkan
pengembangan literasi komunikatif. Untuk ini
diperlukan pengembangan bahasa ibu secara
utuh dengan melibatkan orang berpendidikan.
Buku Pembelajaran Bahasa Ibudan
Program Ilmu Pengetahuan
Dirancang untuk siswa SMA “bahasa”
program pendidikan selama pendidikan lima
tahun mengacu pada siswa kelas 5-9 untuk
mempelajari materi. Murid sekolah di semua
bidang departemen sastra Uzbek, diberikan
informasi tentang bagian-bagian yang selama
ini belum tersedia. Namun, terlepas dari
pelajaran bahasa linguistik tersebut, siswa
merupakan bagian ut ama dari bahasa
Uzbekyang harus diberikan materi fonetik,
kosakata, tata bahasa, pengucapanyang benar
dan ejaan aturan,punktuasidan teknik.Di
samping itu, juga perlu diberikan kamus ilmu
pengetahuan umum. Dari kamus ini, semua
bahan bisa digunakan untuk memahami aspek
kehidupan sehari-hari, seperti mengenal
hukum, seni, ilmu pengetahuan, sastra, politik.
Dari sini pula dapat dijelaskan masalah
keterampilan dan keterampilan praktis.Pada
akhirnya, semuanya merupakan tugas secara
komprehensif dari insan yang berpendidikan.
Secara sederhana, urutan pelatihan
belajar berbahasa didasarkan pada konten yang
terkait. Oleh karena itu, sintaksis diberikan pada
di kelas 5 kelas kuartal pertama. Materi itu,
seperti konsep yang diperlukan, fakta sederhana
dan sendi di dengah kata, kalimat ekstrak.Pada
level ini, materi dikhususkan untuk pengembangan tanda baca. Pada awal belajar
leksikalogi dan morfologi konsep penting yang
diberikan berkisar pada arti dan makna,
sinonim, danlawan kata. Pada saat ini, siswa
kelas 6 dan kelas 5 diberikan “bahasa ibu” yang
sedikit berbeda dari buku teks untuk pelajaran
morfologi.
Metode Ilmu Mengajar
Met ode pengajaran bahasa Inggris
merupakansalah satu pedagogi Ilmu di Universitas Pedagogi Fakultas Filologi dari Fanlari.
Metode ini dianggap sebagai tujuan kursus,
konten, alat, metode, bentuk organisasi penelitian.
Di antara mata pelajaran dalam kurikulum di sekolah menengah, bahasa memainkan peran penting. Untuk tugas pertama metode
pengajaran bahasa ibu dengan dasar-dasar dan
sastra metodologis. Awal pembelajaran bahasa
ibu di perguruan tinggi terjadi sejak tahun 1930.
Buku pembelajaran dan manualnya dibuat sejak
tahun 1940. Sebelumnya, dunia pendidikan
menggunakan metode o’zo’qitish dalam
pembelajarannya. Metode tersebut mempunyai
kontribusi yang signifikan terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan. Selanjutnya,
metode pemelajaran”bahasa ibu”secara modern dikembangkan pada tahun 1940.
Munculnya buku, SA Fessalonitskiyning (1940),
merupakan tonggak pembaharuan metodologi
pengajaran bahasa Uzbek modern. Buku
tersebut mempunyai peran khusus dalam
sejarah teori dan VCR.
Dalam manual pembelajaran bahasa ibu
diuraikanberbagai skema, tabel, tata bahasa,
serta orfografisebagai panduaan penggunaan
bahasa. Perhatian utama difokuskan pada
pengembangan metode pidato, “kasus Prediksi
priyomlar”, “meningkatkan citra pidato”,
“pidato tertulis”, “tulisan”. Sejak tahun 1950
mulai muncul sejumlah manual. Pada tahun
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
29
1960 dan tahun-tahun berikutnya mulai
banyaklingkup pekerjaan di bidang metodologi
penelitian ilmiah. Para guru mulai meninggalkan berbagai edisi khusus: “Sekolah Soviet”
(sekarang disebut “Bahasa dan Sastra Pendidikan”) dan “surat kabar Guru” (sekarang
disebut “Pencerahan”).
Pembelajaran bahasa Uzbek dilakukan
melalui pembelajaran di dalam kelas. Setelah
lulus dari sekolah tinggi, mereka begas untuk
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa
Uzbek dalam berbagai bidang ekonomi dan
sosial budaya hidup.
Tujuan dan sasaran dari metode REFERENSI
pengajaran bahasa asli
1. I. Karimov Tinggi spiritualitas - kekuatan
Tujuan utama dari metodologi pengajaran
bahasa Inggris adalah siswa berani berbahasa
secara bebas, benar, dan tepat, meningkatan
keterampilan, mempunyai kesadaran komunikatif, sehingga meningkat kan budaya
nasional dan budaya oriental. Dengan demikian,
kelas bahasa mampu mendidik anak-anak
menjadi kreatif, berpikir independen,fasih
berbicara secara lisan dan tulis secara ekspresif.
Tugas utama dari metode pengajaran
bahasa asli Uzbek bagi siswa adalah agar
mereka mampu menggunakan bahasa sastra
Uzbek secara standar. Selain itu, siswa mampu
menguasai orfografi dan pungtuasi dalam
menulis. Selain itu, mereka akan dapat mematuhi norma-norma bahasa sast ra dan
pengucapan lisan dan tulisan melalui berbagai
latihan.
Simpulan
Bahasa Uzbek diawali dari rumpun
bahasa Turki. Sejalan dengan perkembanga
bangsa, bahasa Uzbek menggunakan format
penulisan latin. Hal itu dilakukan agar bahasa
mereka dapat beradaptasi dengan sistem
pendidikan. Sejalan dengan perkembangan
sosial-ekonomi, bahasa Uzbek mulai penggunaan teknologi informasi canggih dalam
mengajar di dalam kelas.
30
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
yang tak terkalahkan. -: Spiritualitas, 2008.
- 173 p.
2. harmonis dikembangkan mimpi generasi.
Tashkent: Universitas keadaan penerbitan
ilmiah, 2000. - 245 p.
3. Undang-Undang Republik Uzbekistan.
Pendidikan. Dalam pendidikan tinggi.
Peraturan dan metodologis dokumen.
Tashkent: “kemerdekaan” penerbitan anak
kepala editorial 2004. Halaman 3-8.
4. Bahasa aturan ejaan bahasa Inggris. Bahasa
Uzbek di Cyrillic dan abjad Latin, ejaan
kamus. Tashkent: “Shark” editorial, 2004.
pp 8-48.
II. Literatur ilmiah:
1. Abdurahmonov GD. Shukurov Sh Turki
tata bahasa sejarah. Tashkent: Guru 1973.
2. Bahasa Akhmedova H. Inggris mengajar
teknologi modern. - T: “kecerdasan”, 2012..
3. Pekerjaan penyiapan kualifikasi, pendaftaran dan perlindungan. Pengembangan
Jumaboyev A. Tukhvatulin FX, Yakubov
AA - Samarkand: SSU 2011.
Kealpaan Berpikir Ilmiah
Dalam Karya Ilmiah
Fitri Amilia
Universitas Muhammadiyah Jember
[email protected]
Abstrak
Kata kunci: kealpaan, kekeliruan, kaidah, karya ilmiah
Menulis karya ilmiah merupakan kegiatan menyampaikan gagasan secara jelas, tepat, logis, sistematis
dan koheren dalam bahasa tulis. Ketiadaan kejelasan, ketepatan, kelogisan, kesistematisan, dan kekoherenan
disebut kealpaan. Kealpaan juga diartikan sebagai bentuk kelalaian dalam menaati kaidah berpikir dan
aturan yang ditetapkan. Kealpaan tersebut menyebabkan kehilangan esensi ilmiah pada karya ilmiah.
Dari kelima ciri tersebut, kelogisan merupakan ciri utama dalam karya ilmiah karena kebenaran gagasan
disampaikan dengan bukti-bukti yang tepat. Pelanggaran pada kaidah ilmiah akan menyebabkan kegagalan
transfer gagasan dari penulis kepada pembaca. Pelanggaran tersebut disebut kealpaan berpikir ilmiah.
Ada beberapa bentuk kealpaan yang sering ditemukan dalam karya ilmiah, yaitu kekeliruan bahasa dan
ambiguitas. Kekeliruan penggunaan bahasa dan ambiguitas akan menyebabkan kekacauan makna gagasan.
Untuk menghindari kealpaan, diperlukan ketelitian dan ketekunan dalam penerapan kaidah berpikir dan
berbahasa. Ketelitian dan ketekunan merupakan modal utama dalam mengoptimalkan kemampuan berpikir
ilmiah. Ketelitian merupakan usaha untuk menerapkan kaidah ilmiah secara konsisten. Ketekunan berarti
kemauan kuat untuk bisa menaati kaidah ilmiah.
Pendahuluan
Kegiatan menulis merupakan keterampilan berbahasa yang biasanya dikuasai setelah
ketiga keterampilan berbahasa lainnya. Menulis
bukan menyalin tulisan, namun, menyampaikan
ide atau gagasan dengan bahasa tulis untuk
dapat dipahami orang lain. Dengan demikian,
menulis merupakan keterampilan berbahasa
yang menuntut seseorang untuk dapat menggunakan kalimat efektif agar ide dan gagasan
dapat dipahami dengan baik dan benar.
Banyak bentuk kegiatan menulis seperti
menulis sastra dan menulis bahasa. Menulis
sastra dan menulis bahasa memiliki karakteristik yang berbeda. Karakteristik tersebut
berupa penggunaan bahasa, tujuan penulisan,
ide dan gagasan yang berbeda.
Karakteristik menulis sastra lebih menekankan pada unsur estetis penuangan gagasan
dan ide kreatif dengan tujuan rekreasi jiwa.
Selain itu, produk yang dihasilkan bertujuan
untuk menciptakan khatarsis dalam diri manusia. Untuk itu, daya imaji dalam tulisan harus
bisa membuat pembaca ikut merasakan setiap
kejadian dalam tulisan. Dengan demikian,
menulis sastra lebih mementingkan unsur keindahan dan kemanfaatan karya yang dihasilkan.
Berbeda dengan menulis sastra, menulis
bahasa lebih menekankan penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar serta sesuai
dengan kaidah Ejaan yang Disempurnakan.
Tujuan menulis bahasa adalah untuk mentransfer ide atau gagasan untuk bisa saling
memahami dan menemukan solusi sari sebuah
permasalahan. Berdasarkan tujuan tersebut,
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
31
menulis bahasa akan memungsikan kaidah
berpikir logis untuk dapat mencapai tujuan
penulisan.
Berdasarkan uraian perbedaan karakteristik tersebut, kegiatan menulis bahasa lebih
menuntut seseorang menggunakan dan menerapkan kaidah berpikir ilmiah. Kaidah berpikir
ilmiah tersebut berupa penataan kaidah logika
dalam berpikir.
Kemampuan berpikir secara ilmiah
merupakan salah satu bentuk anugerah Allah
kepada manusia. Kemampuan berpikir berada
dalam otak manusia yang dilengkapi dengan
seperangkat piranti lunak. Piranti lunak tersebut
disebut sebagai LAD atau language acquicition
device. Selain piranti tersebut, otak manusia
disebut sebagai bukti pembeda antara manusia
dengan makhluk lainnya. Dengan otak tersebut
manusia dapat membedakan setiap fenomena
dengan baik. Dilihat dari segi kemampuan
berpikir kebahasaan, Jackendoff (2002: 130)
menyatakan otak manusia adalah penyimpan
bahasa dalam kapasitas yang besar dan dalam
waktu yang relatif lama, meliputi kata, frasa dan
kalimat.
Otak manusia diciptakan dengan kemampuan yang berbeda. Dardjowidjojo (2014:202)
menyatakan otak manusia berbeda dengan otak
binatang. Perbedaan tersebut terletak pada kemampuan berpikir dan kemampuan menggunakan bahasa. Meskipun secara ukuran dan
bobot, ada beberapa otak binatang yang lebih
berat dan lebih besar daripada otak manusia
seperti otak gajah dan binatang dengan ukuran
besar lainnya. Kemampuan tersebut menjadi
ciri utama manusia yang dapat disebut sebagai
keutamaan manusia dibandingkan makhluk
lainnya.
Dilihat dari keutamaan manusia dibandingkan makhluk lainnya, setiap manusia
memiliki kesempatan dan kemampuan berpikir
tersebut. Namun, yang membedakan kualitas
kemampuan tersebut adalah kemampuan
berpikir secara genetik dan kemauan untuk
mengasah kemampuan tersebut. Kemampuan
secara genetik dapat diturunkan oleh orang tua
32
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
terhadap anaknya. Namun, yang lebih utama
dari kemampuan secara genetik adalah
kemauan untuk mengasah dan meningkatkan
kemampuan tersebut.
Kemauan yang kuat akan mengantarkan
seseorang memiliki kemampuan. Dalam
konteks ini adalah kemampuan berpikir secara
ilmiah. Disadari atau tidak, pada hakikatnya
Allah telah memberikan modal untuk bisa
berpikir. Namun, tidak semua orang memiliki
kesadaran untuk mau memiliki kemampuan
berpikir yang baik.
Banyak faktor yang mengindikasi kan
adanya ketidakmampuan berpikir. Faktor utama
adalah kelengahan dalam mengoptimalkan
kemampuan berpikir yang ada dalam diri setiap
manusia, ketidakmauan berlatih untuk menerapkan kaidah berpikir dalam kegiatan menulis.
Kedua faktor tersebut merupakan penyebab
adanya kealpaan berpikir dalam diri seseorang,
khususnya dalam menulis karya ilmiah.
Berdasarkan observasi, ditemukan kedua
faktor tersebut dakan diri mahasiswa. Kelengahan dapat berbentuk ketidaktelitian dalam
menulis, ketidakopmtimalan target, gagasan
dalam tulisan, ketidakteraturan konsep tulisan.
Ketidakmauan berlatih tampak dari kemalasan,
ketidaksemangatan, dan keengganan untuk
mengoptimalkan gagasan dalam bentuk tulisan
yang baik.
Berdasarkan kondisi tersebut, ditemukan
beberapa bentuk kealpaan berpikir dalam karya
ilmiah yang ditulis oleh mahasiswa. Bentukbentuk kealpaan tersebut akan diuraikan dalam
pembahasan.
Pembahasan
Karya ilmiah merupakan tulisan yang
berisi gagasan atau ide yang disusun secara
sistematis berdasarkan kaidah tertentu yang
menekankan pada pengajian secara induktif
untuk mendeskripsikan fenomena, menguji
teori, mendukung teori atau bahkan menemukan teori baru. Oleh sebab itu, Pat eda
(Rohmadi, dkk: 2008: 51) menyatakan karya
ilmiah identik dengan hasil pemikiran ilmiah
yang disusun secara sistematis dengan bahasa
yang baik dan benar. Untuk itu, dalam menulis
karya ilmiah diperlukan bahasa yang efektif
agar gagasan dapat dipahami oleh pembaca.
Ada beberapa ciri bahasa efektif dalam karya
ilmiah yaitu singkat, jelas, tepat, logis, dan
koheren (Indriati, 2001: 34). Komaidi (2008:
143) menambahkan kaidah sistematis dan
objektif sebagai ciri karya ilmiah.
Makna jelas dalam karya ilmiah adalah
tidak ambigu atau tidak menimbulkan tafsiran
ganda. Untuk itu, kejelasan tampak pada
ketegasan gagasan dan penggunaan kata yang
tepat. Dengan demikian, kejelasan bahasa
dalam karya ilmiah akan tampak pada kejelasan
ide dan gagasan pembicaraan melalui pilihan
kata yang tepat.
Makna tepat adalah penggunaan kata
sesuai dengan makna yang diinginkan.
Ketepatan ini akan tampak pada penggunaan
bahasa standar dan bahasa ilmiah. Keraf (2007:
104-105) menyatakan bahasa standar adalah
dialek bahasa yang menunjukkan kelas sosial
atas, seperti ilmuwan; sedangkan bahasa ilmiah
adalah bahasa standar ilmuwan dalam menulis
karya ilmiah. Bahasa ilmiah atau bahasa
standar dalam karya ilmiah identik dengan
bahasa baku. Sumarsono ( 2007: 27) menyatakan bahasa baku mengacu pada tolok ukur
yang berlaku untuk kuantitas dan kualitas dan
ditetapkan berdasarkan kesepakatan. Istilah
baku mengacu pada ragam bahasa yang
“bermutu”.
Makna logis berart i lancar dalam
mengemukakan pendapat disertai bukti-bukti
dan simpulan sesuai dengan kaidah pengajian
secara induktif. Selain itu, kelogisan juga
dibuktikan dengan sikap objektif terhadap
fenomena.
Makna koheren berarti ada kesatuan ide
dalam tiap-tiap paragraf, sehingga antar
paragraf terdapat kesatuan dan kesalinghubungan. Kesatuan dan kesalinghubungan
gagasan antar paragraf dapat menggunakan alat
bantu berupa kerangka berpikir sebagai pedo-
man dalam penyusunan paragraf.
Untuk menaati kaidah tersebut, dibutuhkan ketelitian dan ketekunan berpikir. Ketelitian dan ketekunan menjadi pengasah dalam
menghindari kealpaan berpikir. Dengan kedua
hal tersebut, gagasan dalam karya ilmiah akan
dipahami pembaca. Hal ini sesuai dengan
tujuan penulisan karya ilmiah yaitu menyampaikan gagasan kepada orang lain (Indriati,
2001: 34). Penulis yang gagal menyampaikan
gagasan ditandai dengan kegagalan pembaca
dalam memahami esensi gagsan dalam karya
ilmiahnya. Oleh sebab itu, peranan bahasa yang
efektif sangat berpengaruh dalam kesuksesan
menulis karya ilmiah.
Mundiri (2012: 211-224) menyatakan ada
tiga bentuk kekeliruan berpikir, yaitu kekeliruan
formal, informal dan kekeliruan bahasa.
Kekeliruan bahasa merupakan bentuk kelalaian
yang paling sering dijumpai pada penulis
pemula. Ada lima bentuk kekeliruan berbahasa,
yaitu kekeliruan komposisi, kekeliruan pembagian, kekeliruan tekanan, kekeliruan amfiboli
dan kekeliruan penggunaan kata. Kekeliruan
penggunaan kata disebut sebagai ambiguitas.
Aminudin (2001: 151) menggunakan istilah
kekaburan makna untuk ambiguitas. Kekaburan
makna dibedakan menjadi ekuivokasi,
amfiboli, aksentualitas, komposisi, dan devisi.
Kelima istilah tersebut memiliki kesamaan
konsep dengan kelima bentuk kekeliruan
berbahasa yang diungkap oleh Mundiri.
Berdasarkan uraian tersebut, ambiguitas
melanggar asas ketepatan dalam penulisan
karya ilmiah.
Ada dua bentuk kealpaan berpikir ilmiah
yang dominan dalam penulisan karya ilmiah,
yaitu kekeliruan penggunaan bahasa dan
ambiguitas. Kekeliruan penggunaan bahasa
merupakan kealpaan berpikir berupa ketidaksesuaian ragam bahasa. Telah dijelaskan
sebelumnya, karya ilmiah menggunakan bahasa
standar, bahasa ilmiah dan ragam bahasa tulis.
Kekeliruan penggunaan bahasa ini menunjukkan ketidaktelitian penulis. Ketidaktelitian
menunjukkan sikap inkonsistensi penulis
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
33
terhadap kaidah ilmiah. Mundiri (2012: 214)
menyatakan inkonsistensi merupakan kekeliruan berpikir karena tidak konsisten dalam
menerapkan kaidah penulisan.
Bahasa Indonesia memiliki beberapa
ragam sesuai dengan tujuan dan pemakaiannya
(Chaer, dkk: 2010: 68) . Dilihat dari sarananya,
bahasa dibedakan antara ragam tulis dan ragam
lisan. Pembagian ragam tersebut harus digunakan sesuai dengan pemakaian, fungsi, gaya,
tingkat keformalan dan sarana penggunaan.
Kekeliruan penggunaan bahasa ditemukan dalam bentuk penggunaan bahasa lisan.
Bentuk bahasa lisan adalah penggunaan kalimat
subjektif, kalimat tanya dan kalimat ajakan.
Penggunaan bahasa lisan subjektif terdapat
pada penggunaan kata saya, kita, kami. Berikut
data bahasa lisan subjektif yang ditemukan.
(1) Saya telah melakukan observasi bahwa ...
(A.L. 1)
(2) Mari kita amati kurikulum di sekolah ...
(A.L.2)
(3) Telah kita ketahui bersama ... (A.L.3)
dan tepat sesuai dengan kaidah bahasa tulis
ilmiah.
Bentuk kekeliruan penggunaan bahasa
yang kedua adalah penggunaan kalimat tanya.
Pada hakikat nya, kalimat t anya bisanya
digunakan untuk mendapatkan informasi.
Penggunaan kalimat tanya dalam latar belakang
penelitian merupakan kealpaan berpikir secara
tepat. Selain kalimat tanya, kalimat ajakan atau
seruan juga merupakan bentuk kekeliruan penggunaan bahasa. Berikut data yang ditemukan:
(4) apakah kalian telah mengaji ketepatan
kurilum bahasa Indonesia ? (A.T. 1)
(5) Sudahkah kalian pahami? (A.T. 2)
(6) Mari, kita amati aktivitas belajar siswa...
(A.S.1)
(7) Hendaknya kita meneliti permasalahan ini
... (A.S.2)
Kalimat (4) dan (5) merupakan kalimat
tanya yang ditemukan di latar belakang
penelitian, sedangkan kalimat (6) dan (7) adalah
kalimat seruan atau ajakan.
Latar belakang berisi uraian urgensi
Ketiga kalimat tersebut menunjukkan penelitian. Urgensi tersebut meliputi kadar
unsur subjektivitas dalam penuangan gagasan. kualitas penelitian, manfaat penelitian, dan tarDalam bahasa Indonesia baku terdapat kaidah get dalam penyempurnaan teori. Penggunaan
ketegasan dan objektivitas. Penggunaan kata kalimat tanya pada data (4) dan (5) dan kalimat
saya dan kita menunjukkan penegasan pada ajakan (6) dan (7) merupakan bentuk kelalaian
subjek pelaku penelitian atau peneliti. Peneliti berpikir dan kelalaian berbahasa baku. Pengbukan merupakan unsur yang diutamakan atau gunaan dua klaimat tersebut akan menggangu
ditegaskan. Unsur yang ditegaskan adalah kaidah ilmiah pada kejelasan dan ketepatan
gagasan peneliti. Dengan demikian, perlu ada bahasa yang digunakan.
penggantian penegasan pada kalimat tersebut.
Bentuk kealpaan kedua adalah ambiKalimat (1) dapat diperbaiki menjadi:
guitas. Ambiguitas akan menyebabkan adanya
(1a) berdasarkan observasi, ditemukan tafsiran ganda terhadap gagasan. Tafsiran ganda
bahwa ...
merupakan bentuk kegagalan transfer gagasan
Kalimat (1a) menunjukkan adanya unsur dari penulis kepada pembaca. Kegagalan transobjektivitas bahasa. Penegasan gagasan dalam fer gagasan ditandai dengan adanya perbedaan
kalimat tersebut adalah observasi, bukan saya. pemahaman.
Kata observasi merupakan gagasan yang ingin
Berikut beberapa data ambiguitas.
disampaikan. Penegasan gagasan dalam karya (8) Kebutuhan siswa yang tidak terpenuhi
tulis yang objektif merupakan ciri dari ragam
(A.A. 1)
baku atau ragam ilmiah. Begitu pula pada (9) Penelitian ini ingin meneliti penggunaan
kalimat (2) dan (3), perlu penataan yang baik
bahasa (A.A.2)
34
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Kalimat (8) dapat menimbulkan tafsiran
ganda berupa ketidakjelasan makna kebutuhan
siswa. Makna kebutuhan siswa dapat mengacu
pada kondisi belajar yang efektif, media yang
sesuai, metode pembelajaran yang menyenangkan dan lainnya. Penulisan kebutuhan siswa
tidak dapat dipahami pembaca dengan baik
karena penulis tidak menggunakan kata yang
tepat sesuai dengan makna yang diinginkan.
Terdapat pengulangan makna pada
kalimat (9), penelitian dan meneliti. Pengulangan makna dengan bentuk kata yang berbeda
ini juga akan menyababkan kesalahan pemahaman pembaca pada gagasan penulis. Pembaca (mungkin) akan memahami adanya
penelitian yang tidak meneliti.
Data ambiguitas juga terdapat dalam data
berikut.
(10) Menurut pendapat Guru Bahasa Indonesia sulit untuk memahami karya sastra
(A.A.3)
Data (10) menunjukkan adanya ketiadaan
gagasan yang disampaikan. Pembaca sulit
memahami maksud kalimat tersebut, siapa
yang sulit memahami karya sastra, guru atau
siswa.
Berdasarkan uraian tersebut, ada dua
bentuk kealpaan berpikir yaitu kekeliruan
penggunaan bahasa dan ambiguitas. Kekeliruan
penggunaan bahasa berupa penggunaan bahasa
lisan, penggunaan kalimat tanya dan seruan.
Ambiguitas merupakan kekaburan makna
akibat ketidakjelasan konsep gagasan. Dua
bentuk kealpaan tersebut terjadi akibat ketidaktelitian dan ketidaktekunan dalam menerapkan
kaidah berpikir ilmiah dalam kegiatan menulis
ilmiah.
Penutupan
Kealpaan berpikir ilmiah dapat dihindari
dengan cara berlatih secara konsisten. Berlatih
secara konsisten merupakan bentuk dari
ketekunan untuk mengoptimalkan kemampuan
berpikir. Ketekunan yang terus menerus akan
menghasilkan ketelitian dalam menerapkan
kaidah berpikir. Dengan ketelitian dan ketekunan tersebut, dapat dipastikan adanya peningkatan kemampuan berpikir ilmiah.
Daftar Rujukan
Aminuddin. 2001. Semantik Pengantar Studi
Tentang Makna. Bandung: Sinar Baru
Algesindo
Chaer. 2006. Bahasa Indonesia dalam
Masyarakat Telaah Semantik. Jakarta:
Rineka Cipta
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010.
Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta:
Rineka Cipta
Dardjowidjojo, Soenjono. 2013. Psikolinguistik
Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia
Indriati, Etty. 2001. Menulis Karya Ilmiah.
Online. https://books.google.co.id/
books?hl=i d&lr=&id=2GwcodeGTw4C
& o i = f n d & p g = P R
7& dq= de finisi+ka r ya +ilmiah
&ots=8J6Y1DY55v&sig=_tD3ZyZqKpF
eI YTMcN4DnqE r yK0&r edir _
esc=y#v=one page&q=definisi%20
karya%20ilmiah&f=false (diakses 28
Mei 2015)
Jackendoff . 2002. Fondations of Language,
Brain, Meaning, Grammar, Evolution.
Online. https://books.google.co.id/
bo o ks?hl=id&lr=&id =d9O9w1c1j4C&oi=fnd&pg=PP5&d
q=Jackendoff+&ots=6nihaL_EDg&sig=
9 b0 3 5 w B C U t 4 N fu k _ 4 B Q q 8 Q iV F I & r e d i r _ e s c = y# v = o n e p a g e &
q=Jackendoff&f=false (diakses 28 Mei
2015)
Keraf, Gorys. 2007. Diksi dan Gaya Bahasa.
Online. https://books.google.co.id/
books?hl=id&lr=&id=2zm9pAbUHP8C&oi=
fnd&pg=PR5&dq=keraf+argumentasi
+da n+na r asi&o t s =KznT bKWCgg
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
35
&sig=IcK86pzkfvZ07PevwJNOgDmX
ZkQ&redir_esc=y#v=onepage&q=keraf%
20argumentasi%20dan%20narasi&f=false
(diakses tanggal 28 Mei 2015)
Komaidi. 2008. Aku Bisa Menulis. Yogyakarta:
Sabda Media
Mundiri. 2012. Logika. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Rohmadi,Muhammad, dkk. 2008. Teori dan
Aplikasi Bahasa Indonesia di Perguruan
Tinggi. Surakarta: Penerbitan dan Percetakan UNS
Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
dalam nama tersebut, orang tua saya memiliki
harapan agar saya selalu memiliki cinta-cita
yang suci, orang yang selalu memiliki kemauan
yang suci. Suci adalah makna dari kata Fitri.
Dengan menulis artikel ini, saya ingin
menyampaikan bahwa saya percaya pada anugerah Allah dalam setiap hambanya. Kepandaian bukan hanya dipengaruhi oleh unsur
genetis. Kepandaian itu berasal dari kemauan
yang kuat untuk menjadi tahu, paham, dan mau
berbagi ilmu dengan sesama.
Pandangan tersebut, tidak langsung hadir
begitu saja. Pandangan tersebut sesuai dengan
pengalaman saya dalam menjalani kehidupan.
Di SD, saya termasuk siswa yang tidak pandai,
bahkan tidak memiliki kepercayaan diri yang
baik. Di SMP, saya mulai tertantang. Kemauan
Tentang Penulis
saya untuk belajar terinspirasi seorang teman.
Saya dilahirkan dari keluarga petani di
Dari SMP ini, saya mulai memiliki prestasi
sebuah desa, pinggiran kota Jember. Lahir dari
belajar, dan begitu pun ketika masuk MA.
keluarga yang tidak sempat mengenyam
Di jenjang pendidikan tinggi, kemauan
pendidikan, karena kondisi ekonomi dan
dan pandangan tentang kepandaian saya terasah
ketidaktersediaan sarana pendidikan pada tahun
dengan baik. Bahwa saya bisa pandai jika saya
60-an. Hal tersebut menjadi salah satu motivasi
mau dan berusaha, bukan hanya saya, semua
untuk bisa memiliki kesempatan menikmati
orang yang mau dan berusaha untuk bisa, Alpendidikan yang sama dan setara dengan
lah akan menjawab ikhtiyar setiap hamba-Nya.
teman-teman lainnya.
Hingga hari ini, saya masih percaya,
Saya Fitri Amilia. Nama tersebut
bahwa kemampuan, kepandaian dan kecerdirangkai karena saya dilahirkan di bulan
dasan adalah anugerah Allah untuk setiap
syawal bertepatan dengan hari raya ketupat
hamba-Nya. Hanya butuh usaha untuk bisa
pada tanggal 7 syawal, 31 tahun hijriyah lalu.
memilikinya.
Namun, setelah saya memahami makna kata
36
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
STRATEGI PIA SUSI DALAM
PENUMBUHAN
BUDAYA MENULIS SISWA
Oleh:
Elfy Rachmanita
Email: [email protected]
Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Sastra dan Bahasa Indonesia
Universitas Muhammadiyah Malang
ABSTRAK
Menulis merupakan kegiatan menyampaikan ide, gagasan atau pesan dengan menggunakan tulisan sebagai
media. Saat ini budaya menulis siswa telah banyak ditinggalkan dan digantikan dengan kegiatan lain,
seperti bermain game dan gadghet. Budaya menulis harus dibiasakan mulai dari anak-anak. Pembiasaan
menulis dapat dilakukan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah sebagai dasar budaya menulis
siswa di masa yang akan datang. Pembelajaran menulis di sekolah dapat dilakukan dengan strategi dan
inovasi pembelajaran yang membuat siswa aktif dan bersemangat, tetapisaat ini pembelajaran menulis di
sekolah kurang diminati oleh siswa karena dianggap membosankan. Oleh sebab itu, tulisan ini akan
menjelaskan tentang strategi Pia Susi (Pilih Ambil Susun Kreasi) sebagai salah satu alternatif strategi
pembelajaran menulis.Tujuan tulisan iniadalahmenjelaskan (1) struktur strategi Pia Susi dalam pembelajaran
menulis dan (2) desain strategi Pia Susi. Nama strategi Pia Susi diambil dari singkatan langkah-langkah
menulis, yakni pilih (memilih gambar), ambil (mengambil kata yang sesuai dengan gambar yang dipilih),
susun (menyusun kalimat dari kata yang dipilih), kreasi (mengkreasikan kalimat menjadi sebuah wacana
utuh). Strategi Pia Susi dapat digunakan sebagai alternatif pilihan strategi untuk pembelajaran menulis.
Tulisan ini dapat dimanfaatkan oleh guru dalam proses belajar mengajar menulis diberbagai tingkat
pendidikan dan untuk siswa tulisan ini dapat dijadikan sarana untuk meningkatkan keterampilan menulis,
baik menulis ilmiah ataupun menulis fiksi.
Kata Kunci: budaya menulis siswa, pembelajaran menulis, strategi Pia Susi
1. PENDAHULUAN
Berbagai penelitian mengungkapkan
bahwa orang Indonesia minim akan budaya
menulis. Budaya menulis seakan menjadi
budaya langka di negeri ini. Menulis yang
dimaksud di sini adalah menulis sesuatu yang
bermutu, positif, bermanfaat dan bisa menginspirasi orang-orang dalam hal ini para pembaca
untuk melakukan sesuatu yang positif. Dari hal
itu bisa menjadikan masyarakat sejahtera yang
diperoleh dari kegiatan membaca dan menulis
tersebut.
Menulis merupakan kegiatan menyampaikan pesan dengan menggunakan tulisan
sebagai media. Pesan yang dimaksud berupa
isi atau muatan yang terkandung dalam suatu
tulisan. Adapun tulisan merupakan sistem
komunikasi antarmanusia yang menggunakan
simbol atau lambang bahasa tulis yang dapat
dilihat dan disepakati pemakainya. Dengan
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
37
demikian, paling tidak menulis mengandung
empat unsur. Keempat unsur itu meliputi
penulis sebagai penyaji pesan, pesan atau isi
tulisan, saluran atau medium tulisan, dan
pembaca sebagai penerima pesan.
Budaya menulis harus dibiasakan mulai
dari anak-anak, salah satunya adalah dalam
proses pembelajaran. Buadaya menulis dapat
dimasukkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah sebagai dasar budaya menulis
seseorang di masa yang akan datang, mulai dari
menulis fiksi sampai menuli non fiksi.
Keterampilan menulis yang baik diperoleh dengan latihan yang berulang-ulang dan
memerlukan waktu yang tidak sebentar,
mengingat kegiatan menulis sangat komplek
dalam arti melibatkan berbagai keterampilan
untuk mengungkapkan ide, pikiran, pengetahuan, dan pengalaman-pengalaman hidup
dalam bahasa tulis yang jelas, runtut, ekspresif,
dan mudah dipahami. Dalam kegiatan
pembelajaran menulis, siswa diarahkan untuk
mampu berkomunikasi dengan menggunakan
bahasa tulis, anak didik diharapkan mampu
menuangkan gagasan atau idenya secara runtut
dengan diksi yang tepat, struktur yang benar
sesuai dengan konteksnya.
Menulis salah satu kegiatan yang harus
dihadapi siswa dalam proses pembelajaran,
terutama untuk mata pelajaran bahasa dan sastra
Indonesia. Melalui kegiatan menulis diharapkan siswa dapat menuangkan ide-ide atau
gagasan baik yang bersifat ilmiah maupun
imajinatif. Oleh karena itu, sekolah tempat
mengenyam pendidikan diharapkan dapat
memberikan pembelajaran tentang menulis
dengan baik melalui metode yang t epat
sehingga potensi dan daya kreatifitas siswa
dapat tersalurkan.
Pembelajaran menulis sudah sejak lama
dilaksanakan dengan berbagai metode namun
sampai sekarang belum ada hasil yang optimal. Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh
Sutama dkk. (1998 dalam Nurhayati 2000:13)
“siswa belum dapat dikatakan mampu berbahasa Indonesia secara baik dan benar, baik
38
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
lisan maupun tulisan, mulai Sekolah Dasar
sampai dengan Sekolah Menengah Umum”.
Siswa masih bingung dan mengalami kesulitan
ketika harus menulis. Fenomena tersebut
memunculkan upaya sebagai bentuk solusi
mengatasi permasalahan tersebut.
Tarigan (1986:3) sebagai ahli yang
menyebutkan bahwa menulis merupakan suatu
keterampilan berbahasa yang dipergunakan
untuk berkomunikasi secara tidak langsung,
tidak secara tatap muka dengan orang lain.
Sementara menurut Gie (2002:3) mengarang
atau menulis adalah segenap rangkaian kegiatan
seseorang mengungkapkan gagasan dan
menyampaikannya melalui bahasa tulis kepada
masyarakat pembaca untuk dipahami. Melalui
bahasa tulis, penulis atau pengarang berusaha
mengungkapkan ide-idenya agar dipahami
pembaca.
Wiyanto (2004:1-2) mengemukakan
bahwa menulis mempunyai dua kegiatan
ut ama. Kegiatan yang pert ama adalah
mengubah bunyi yang dapat didengar menjadi
tanda-tanda yang dapat dilihat, sedangkan yang
kedua kegiatan mengungkapkan gagasan secara
tertulis. Orang yang melakukan kegiatan ini
dinamakan penulis dan hasil kegiatannya
berupa tulisan.
Hal ini dapat disimpulkan menulis
merupakan kegiatan mengubah bunyi menjadi
tulisan sebagai upaya untuk mengungkapkan
gagasan untuk mengungkapkan gagasan
menjadi bahasa tulis memerlukan sejumlah
potensi pendukung yang untuk mencapainya
dibutuhkan kesungguhan, kemauan keras,
bahkan belajar dengan sungguh-sungguh
(Nursisto 1999:4). Dengan demikian, wajar
menurut Nursisto bila dikatakan menciptakan
iklim budaya tulis-menulis atau mengarang
akan mendorong seseorang untuk lebih aktif,
kreatif, dan cerdas. Untuk menciptakan budaya
menulis memerlukan waktu yang tidak
sebentar.
Menurut Keraf (1995:6) tujuan umum
menulis dipengaruhi oleh kebutuhan dasar
manusia, yaitu: 1) keinginan untuk memberi
informasi kepada orang lain dan mendapatkan
informasi dari orang lain mengenai suatu hal,
2) keinginan untuk menyakinkan seseorang
menganai suatu kebenaran akan suatu hal, dan
lebih jauh mempengaruhi sikap dan pendapat
orang lain, 3) keinginan untuk menggambarkan
atau menceritakan bagaimana bentuk atau
wujud suatu barang atau objek, atau mendeskripsikan cita rasa suatu benda, hal, atau
bunyi, dan 4) keinginan untuk menceritakan
kepada orang lain tentang kejadian-kejadian
atau peristiwa-peristiwa yang terjadi, baik yang
dialami maupun yang didengar dari orang lain.
Seorang tergerak menulis karena
memiliki tujuan objektif yang bisa dipertanggungjawabkan dihadapan publik pembacanya.
Karena tulisan pada dasarnya adalah sarana
untuk menyampaikan pendapat atau gagasan
agar dapat dipahami dan diterima orang lain.
Tulisan dengan demikian menjadi salah satu
sarana berkomunikasi yang cukup efektif dan
efesien untuk menjangkau khalayak masa yang
luas. Atas dasar pemikiran inilah, maka tujuan
menulis dapat dirunut dari tujuan-tujuan komunikasi yang cukup mendasar dalam konteks
pengembangan peradapan dan kebudayaan
mesyarakat itu sendiri.
Adapun tujuan penulisan tersebut adalah
sebagai berikut. Pertama, menginformasikan
segala sesuatu, baik itu fakta, data maupun
peristiwa termasuk pendapat dan pandangan
terhadap fakta, data dan peristiwa agar khalayak
pembaca memperoleh pengetahuan dan pemahaman baru tentang berbagai hal yangdapat
maupun yang terjadi di muka bumi ini.
Kedua, membujuk; melalui t ulisan
seorang penulis mengharapkan pula pembaca
dapat menentukan sikap, apakah menyetujui
atau mendukung yang dikemukakan. Penulis
harus mampu membujuk dan meyakinkan
pembaca dengan menggunakan gaya bahasa
yang persuasif. Oleh karena itu, fungsi persuasi
dari sebuah tulisan akan dapat menghasilkan
apabila penulis mampu menyajikan dengan
gaya bahasa yang menarik, akrab, bersahabat,
dan mudah dicerna.
Ketiga, mendidik adalah salah satu tujuan
dari komunikasi melalui tulisan. Melalui
membaca hasil tulisan wawasan pengetahuan
seseorang akan terus bertambah, kecerdasan
terus diasah, yang pada akhirnya akan
menentukan perilaku seseorang. Orang-orang
yang berpendidikan misalnya, cenderung lebih
terbuka dan penuh toleransi, lebih menghargai
pendapat orang lain, dan tentu saja cenderung
lebih rasional.
Terakhir, menghibur; fungsi dan tujuan
menghibur dalam komunikasi, bukan monopoli
media massa, radio, televisi, namun media
cetak dapat pula berperan dalam menghibur
khalayak pembacanya. Tulisan-tulisan atau
bacaan-bacaan “ringan” yang kaya dengan
anekdot, cerita dan pengalaman lucu bisa pula
menjadi bacaan penglipur lara atau untuk
melepaskan ketegangan setelah seharian sibuk
beraktifitas (Syarif, Zulkarnaini, dan Sumarmo,
2009:6).
Observasi yang dilakukan penulis
menemukan bahwa keterampilan menulis yang
diajarkan di sekolah selama ini menggunakan
metode klasikal atau metode konvensional,
yakni ceramah tanpa disertai upaya-upaya dari
guru guna menarik perhatian siswa. Dengan
metode tersebut seringkali menimbulkan
kebosanan bagi siswa sehingga karya yang
dihasilkan tidak maksimal. Metode ceramah
yang menarik dapat juga membantu siswa
antusias dalam mengikuti pelajaran misalnya
membuat contoh yang sedang marak dibicarakan. Yang sering penulis temui pada saat
obsevasi metode ceramah yang digunakan
monoton, contoh yang digunakan sama dengan
yang ada pada buku acuan. Metode klasikal ini
kurang membantu menumbuhkan minat belajar
siswa.Oleh karena itu, dalam tulisan ini, penulis
ingin mengembangkan strategi menulis yaqng
dapat diterapkan dalam proses pembelajaran
menulis di sekolah yang diberi nama strategi
PIA SUSI (Pilih Ambil susun Kreasi).
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
39
2. STRUKTUR STRATEGI PIA bagaimana melakukan sesuat u (Syarif,
SUSI DALAM PEMBELAJA- Zulkarnaini, dan Sumarmo, 2009:15).
Dalam metode langsung, terdapat lima
RAN MENULIS
Kegiatan pembelajaran menulis dirancang untuk memberikan pengalaman belajar
menulis yang melibatkan proses mental dan
fisik melalui interaksi antarpeserta didik, peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber
belajar lainnya dalam rangka pencapaian
kompetensi dasar menulis. Pengalaman belajar
yang dimaksud dapat terwujud melalui penggunaan pendekatan pembelajaran yang bervariasi dan berpusat pada peserta didik. Pengalaman belajar memuat kecakapan hidup yang
perlu dikuasai peserta didik.
Adapun strategi meliputi pendekatan,
metode, dan teknik. Pendekatan adalah konsep
dasar yang melingkupi metode dengan cakupan
teoritis tertentu. Metode merupakan jabaran
dari pendekatan. Satu pendekatan dapat
dijabarkan ke dalam berbagai metode. Metode
adalah prosedur pembelajaran yang dapat yang
fokuskan kepada pencapaian tujuan. Dari
metode, teknik pembelajaran diturunkan secara
aplikasi. Satu metode dapat diaplikasikan
melalui berbagai teknik pembelajaran metode
dan teknik pembelajaran menulis (Syarif,
Zulkarnaini, dan Sumarmo, 2009:14).
Dalam pembelajaran menulis dengan
strategiPIA SUSI (Pilih Ambil susun Kreasi) ini
menggunakan pendekatan SCL (Student Centre Learning) di mana siswa menjadi pusat
pembelajaran. Siswa melakukan proses
pembelajaran secara mandiri dan aktif.
Metode yang digunakan dalam pembelajaran menulis ini adalah metode langsung.
Metode pengajaran langsung dirancang secara
khusus untuk mengembangkan belajar siswa
tentang pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif yang terstruktur dengan baik
dan dapat dipelajari selangkah demi selangkah.
Metode tersebut didasari anggapan bahwa pada
umumnya pengetahuan dibagi dua, yakni
pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural. Deklaratif berarti pengetahuan tentang
40
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
fase yang sangat penting. Guru mengawali
dengan penjelasan tentang tujuan dan latar
belakang pembelajaran serta mempersiapkan
siswa untuk menerima penjelasan guru. Hal itu
disebut fase persiapan dan motivasi. Fase
berikutnya adalah fase demontrasi, pembimbingan, pengecekan, dan pelatihan lanjutan.
Pada metode langsung bisa dikembangkan
dengan teknik pembelajaran menulis dari
gambar atau menulis objek langsung dan atau
perbandingan objek langsung. Teknik menulis
dari gambar atau menulis objek langsung
bertujuan agar siswa dapat menulis dengan
cepat berdasarkan gambar yang dilihat. Misalnya, guru menunjukkan gambar kebakaran yang
melanda sebuah desa atau melihat langsung
kejadian kebakaran sebuah desa, Dari gambar
tersebut siswa dapat membuat tulisan secara
runtut dan logis berdasarkan gambar. Teknik
yang digunakan yakni teknik pelaksanaan di
kelas secara operasional yakni dengan pembelajaran mandiri. Guru hanya menjadi
fasilitator dalam pembelajaran menulis.
Strategi yang digunakan dalam pembelajaran menulis ini adalah strategiPIA SUSI (Pilih
Ambil Susun Kreasi) yang lebih lanjut akan
dijelaskan pada bagian desain strategiPIA SUSI
(Pilih Ambil Susun Kreasi).
3. DESAIN STRATEGI PIA SUSI
DALAM PEMBELAJARAN
MENULIS
Strategi PIA SUSI (Pilih Ambil Susun
Kreasi)merupakan strategi yang dikembangkan
oleh penulis yang diambil dari proses
pembelajaran menulis. Dalam pembelajaran
dengan menggunakan strategi ini, guru
diharapkan hanya menjadi fasilitator dan motivator untuk siswa dalam mengembangkan
kreatifitasnya dalam kegiatan menulis.
Pertama,Pilihmemilih gambar yang
sesuai dengan tema yang akan dijadikan ide
atau perangsang ide penulisan. Kurangnya ide
atau tidak tergalinya ide memang dapat
membuat seseorang menemui kebuntuan saat
menulis. Tidak hanya pada penulis pemula,
pada penulis profesional pun sering mengutarakan betapa mereka sering hehilangan minat
menulis ketika kekurangan data atau mengalami kebuntuan ide (Winarno, 2012:66). Oleh
karena itu, salah satu cara untuk merangsang
ide adalah dengan cara melihat gambar yang
sesuai dengan tema atau topik yang dipilih.
Kedua, Ambilyakni mengambil kata yang
sesuai dengan gambar yang akan dijadikan
dasar pengembangan penulisan. Pada bagian
ini, siswa diharapkan menjadi pribadi yang
inisiatif. Inisiatif merupakan kekayaan dasar
yang harus dimiliki oleh penulis. Tidak semua
orang memiliki kemampuan dan keberanian
untuk berinisiatif mengemukakan ide-idenya
yang terpendam. Ide-ide cemerlang merupakan
awal yang baik untuk memulai kebiasaan
menulis yang baik. Inisiatif ini dapat diwujudkan dengan pengambilan kata-kata dalam
gambar yang digunakan sebagai rangsangan
ide.
Ketiga, Susunyakni menyusun kalimat
menggunakan kata yang telah diambil dari
gambar sehingga menghasilkan kalimat utama
untuk dikembangkan menjadi paragraf. Untuk
meyusun kalimat dalam bagian ini dibutuhkan
kebebasan mengungkapkan isi hati dalam
tulisan. Dari bagian ini diharapkan, siswa
menjadi pribadi yang kritis, karena apa yang
dituangkan penulis dalam tulisannya merupakan uneg-unegatau isi hati yang dipertajam oleh
sikap kritis penulis yang menjadikan tulisan
diminati oleh pembaca.
Terakhir, Kraesiyakni mengkreasikan
kalimat utama menjadi paragraf yang utuh yang
disempurnakan dengan kalimat penjelas dan
kata hubung yang menghasilkan paragraf utuh
yang sesuai dengan tema dan jenis paragraf
yang diinginkan.
Strategi ini dapat digunakan untuk
pembelajaran menulis berbagai jenis tulisan,
baik fiksi maupun non fiksi, sastra maupun
karya ilmiah.Tulisan fiksi yang dapat dihasilkan
misalnya saja puisi, cerpen, novel, dan lain-lain.
Pembelajaran menulis karya non fiksi juga
dapat dilaksanakan menggunakan strategi PIA
SUSIini.
Diharapkan setelah menggunakan
strategi PIA SUSI (Pilih Ambil Susun
Kreasi)dalam pembelajaran menulis, siswa
terbiasa memakai strategi ini untuk menulis
berbagai tulisan baik dalam pembelajaran
menulis maupun menulis untuk hiburan semata,
sehingga menulis dapat menjadi budaya.
4. SIMPULAN DAN SARAN
Menulis tidak lagi menjadi hal yang
disukai oleh seseorang. Bahkan, menulissudah
merupakan kegiatan yang langka dilakukan.
Untuk melatih kebiasaan tersebut dapat
dilakukan dalam pembelajaran di sekolah,
terutama pembelajaran bahasa Indonesia.
Strategi PIA SUSI (Pilih Ambil Susun Kreasi)
dapat dijadikan salah satu alternatif strategi
pembelajaran menulis, baik menulis fiksi
maupun non fiksi. Tulisan ini dapat dimanfaatkan oleh guru dalam proses belajar
mengajar menulis di berbagai tingkat pendidikan dan untuk siswa tulisan ini dapat
dijadikan sarana untuk meningkatkan keterampilan menulis, baik menulis ilmiah ataupun
menulis fiksi.
DAFTAR PUSTAKA
Gie, The Liang. 2002. Terampil Mengarang.
Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Keraf, Gorys. 2004. Diksi dan Gaya Bahasa.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama. Nurhayati. 2000. Pembelajaran
Menulis. Jurnal Ilmiah. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Nursisto.1999. Penuntun Mengarang.
Yogyakarta: Adicita.
Syarif, Elina., Zulkarnaini, dan Sumarmo. 2009.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
41
Pembelajaran Menulis. Jakarta: Pusat
Pengembangan dan Pemberdayaan
Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Bahasa.
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Menulis Sebagai
Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa.
Winanro. 2012. Kiat Sukses Menjadi Penulis.
Jakarta: Platinum.
Wiyanto, Asnul. 2004. Menulis Paragraf.
Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
42
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Biografi Penulis
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Malang Prodi
Magister Pendidikan Sastra Dan Bahasa Indonesia. Penulis juga seorang Guru SMA Negeri
1 Singosari Kabupaten Malang. penulis lahir
di Kota Malang pada tanggal 7 Maret 1992.
Pendidikan terakhirnya adalah sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Negeri
Malang. Penulis berkosentrasi pada bidang
Pendidikan dan Pembelajaran Bahasa Indonesia karena keinginannya untuk membuat
pembelajaran Bahasa Indonesia disenangi dan
diminati oleh siswa yang merupakan generasi
penerus yang nantinya akan memakai dan
menjaga Bahasa Indonesia.
Menulis sebagai Arena Konstruksi
Diri Siswa secara Harmonis
Oleh:
Nurcholis Sunuyeko
Lilik Wahyuni
Ahmad Lani
IKIP Budi Utomo Malang, Jl. Simpang Arjuno 14B Malang
Abstrak: Pembelajaran yang lebih menekankan pada transfer of knowledge berdampak pada hubungan
siswa dengan sekolah dan guru cenderung bersifat mekanis. Keadaan tersebut menimbulkan
ketidakharmonisan hubungan guru dan siswa. Hal tersebut bisa diatasi dengan dengan interaksi yang
efektif melalui pembelajaran menulis. Fokus kajian ini meliputi (1) kedudukan menulis dalam Kurikulum
2013, (2) menulis sebagai arena konstruksi ideologi, dan (3) menulis sebagai arena penyampai struktur
kognitif. Hasil kajiannya adalah pertama, dalam kurikulum 2013, siswa mempelajari menulis prosedur
kompleks, narasi, deskripsi, argumentasi, dan persuasi agar bisa menjelaskan suatu urutan kejadian sehingga
menambah pengetahuan pembaca. Kedua, menulis merupakan kegiatan konstruksi ideologi. Ketiga,
menulis merupakan praktik penyampaian struktur kognitif penuturnya melalui interaksi aktif dengan mitra
tuturnya.
Key word: menulis, arena, konstruksi habitus, Harmonis
Pembelajaran di sekolah selama ini lebih
menekankan pada transfer of knowledge
mengkonstuk diri siswa yang cenderung hanya
mengembangkan kecerdasan otak. Para guru
dan juga orang tua merasa puas jika siswa
mendapatkan nilai baik pada hasil ulangannya.
Mereka jarang, atau bahkan tidak pernah,
memikirkan bagaimana proses untuk mendapatkan nilai tersebut. Kecerdasan emosional
dan spiritual selama ini kurang diperhatikan
dengan serius.
Fakta pembelajaran tersebut berdampak
pada hubungan siswa dengan sekolah dan guru
cenderung bersifat mekanis. Di antara mereka
tidak ada rasa saling memiliki dan menyayangi.
Siswa sering bertindak anarkis, bahkan melakukan perusakan sekolah dan pengeroyokan
guru. Sebagaimana dapat dilihat pada hari
Kamis, 06 Pebruari 2014, siswa kelas 10 dan
11 di SMA Negeri 6 Makassar, Sulsel
melakukan perusakan terhadap 27 ruang kelas
dan fasilitas sekolah lainnya dirusak dan
menuntut pencopotan kepala sekolah SMA
Negeri 6 Makassar yang diduga menyelewengkan dana perbaikan fasilitas sekolah (http:/
/www.tribunnews.com/ images/regional/view/
1010222/siswa-sma-negeri-6-makassarmerusak-sekolahnya). Selain itu, SMPN 1
Telagasari, Karawang dikeroyok oleh sekelompok pemuda mabuk, yang di dalamnya terdapat
muridnya (http://www.radar-karawang.com/
2014/ 11/ guru- babak- belur- diker oyo kmurid.html). Di sisi lain, seorang siswa kelas
VIII SMPN 1 Pondidaha, Kabupaten Konawe,
Sulawesi Tenggara, Kevin, harus dirawat di
rumah sakit jiwa setelah dipukul dua orang guru
dan enam teman Kevin (http://regional.kompas.
com/r ead/2013/ 04/ 02/ 18483956/ Diker o yo k . G u r u . d a n. Te ma n. . S i s w a . S M P.
Masuk.RSJ).
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
43
Kasus di atas menunjukkan bahwa
pembelajaran yang hanya menekankan transfer of knowledge dapat menimbulkan
ketidakharmonisan hubungan guru dan siswa.
Siswa seolah-olah hanya membutuhkan
pengetahuan saja dari sekolah. Padahal tujuan
esensial pembelajaran adalah membina siswa
secara holistik, baik aspek kognitif, psikomotorik, maupun aspek afektif. Sebagaimana
dikatakan oleh Armstrong dalam Fierros (2004)
bahwa kurikulum tidak hanya menyediakan
guru dengan kemampuan untuk melakukan
pendidikan secara personal terhadap siswa,
akan tetapi juga untuk membantu menumbuhkan gairah hidup dan untuk kepentingan
karir. Dengan begitu, guru harus mampu
melakukan pembelajaran secara harmonis.
Hubungan harmonis bisa diciptakan guru
melalui interaksi yang efektif. Dalam proses
pembelajaran, siswa harus mendengarkan
penuh perhatian, berdebat secara baik, menghormati orang yang sedang berbicara. Keadaan
tersebut diantisipasi oleh kurikulum 2013
melalui pembelajaran otentik dan penempatan
bahasa Indonesia sebagai penghela mata
pelajaran lainnya. Melalui pembelajaran
bahasa, salah satunya keterampilan menulis,
siswa diharapkan mampu melakukan pembelajaran secara cepat dan menyenangkan.
Sebagaimana dikatakan oleh Hasani (2005:2)
bahwa keterampilan menulis merupakan
keterampilan yang bersifat mekanistis. Keterampilan menulis tidak mungkin dikuasai hanya
melalui teori saja, tetapi harus dilaksanakan
melalui latihan dan praktik yang teratur
sehingga menghasilkan tulisan yang tersusun
dengan baik. Kejelasan organisasi tulisan
bergantung pada cara berpikir, penyusunan
yang tepat, dan struktur kalimat yang baik.
Melalui pembelajaran menulis, guru
melatih siswa untuk berpikir secara sistematis
rasional dan ilmiah, sehingga diharapkan dapat
mempengaruhi prestasi belajar siswa. Melalui
menulis siswa dilatih untuk mengorganisasikan
ide, gagasan, pendapat, atau tanggapan. Dengan
44
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
begitu akan tercipta hubungan kausal yang
tinggi. Sebagaimana dikatakan oleh Keraf
(1999:74) bahwa agar memiliki kepekaan yang
tinggi terhadap permasalahan yang ada di
lingkungannya diperlukan sikap kritis dengan
sering melakukan pengamatan yang jeli atau
melakukan analisis kausal yang dikaitkan
dengan analisis sebab akibat. Analisis kausal
atau sebab akibat adalah hubungan yang melibatkan suatu objek atau lebih yang dianggap
menjadi timbulnya atau terjadinya hal yang lain.
Untuk melihat peran menulis sebagai
arena konstruksi diri secara harmonis, berikut
dilakukan kajian yang difokuskan pada (1)
kedudukan menulis dalam Kurikulum 2013, (2)
menulis sebagai arena konstruksi ideologi, dan
(3) menulis sebagai arena penyampai struktur
kognitif.
Kedudukan Menulis dalam Kurikulum 2013
Dalam Kurikulum 2013, mata pelajaran
bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang
sangat strategis. Mata pelajaran bahasa Indonesia ditempatkan sebagai penghela mata
pelajaran lain. Peran mata pelajaran bahasa Indonesia tersebut menjadi sangat dominan, yaitu
sebagai saluran untuk mengantarkan kandungan materi dari semua sumber kompetensi
kepada siswa. Kandungan materi mata pelajaran lain dijadikan sebagai isi dalam penggunaan jenis teks yang sesuai dalam mata
pelajaran bahasa Indonesia.
Sebagaimana dikatakan oleh Bilash
(2011) bahwa salah satu tujuan utama dari guru
bahasa adalah untuk memberi siswa alat untuk
bisa menjadi komunikator yang efektif. Ketika
siswa mengerjakan proyek dan tugas, siswa
sering kurang kemampuan praktis untuk
menghasilkan bahasa yang aktual sehingga
jelas. Dalam kasus ini, siswa mungkin mempunyai pengetahuan yang baik yang diperlukan
untuk menyelesaikan tugas, tapi mungkin
mereka tidak mampu mengungkapkan dengan
bahasa yang komunikatif. Karena itu, guru
seharusnya perlu melakukan pembelajaran
bahasa dengan mempertimbangkan pendekatan
komunikatif, berfokus pada fungsi bahasa,
untuk membekali siswa untuk menyelesaikan
tugas yang diberikan secara benar. Hal ini
sejalan dengan orientasi kurikulum 2013 yang
menempatkan mata pelajaran lain menyatu
dengan mata pelajaran bahasa.
Dalam kurikulum 2013, pembelajaran
bahasa Indonesia digunakan untuk mengantarkan pemahaman terhadap pengetahuan lain.
Sebagai contoh dapat dilihat pada kurikulum
SMA/MA kelas X, KD 2.1 yang berbunyi “2.1
Menunjukkan sikap tanggung jawab, peduli,
responsif, dan santun dalam menggunakan
bahasa Indonesia untuk membuat anekdot
mengenai permasalahan sosial, lingkungan,
dan kebijakan publik”. Dari KD tersebut dapat
dilihat bahwa pembelajaran bahasa Indonesia,
guru dapat digunakan untuk menyajikan mata
pelajaran IPS yakni tentang permasalahan
sosial, lingkungan, dan kebijakan publik.
Dalam kurikulum SD/MI, KD 4.1 yang
berbunyi “4.1 Mengamati dan menirukan teks
deskriptif tentang anggota tubuh dan
pancaindra, wujud dan sifat benda, serta
peristiwa siang dan malam secara mandiri
dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis yang
dapat diisi dengan kosakata bahasa daerah
untuk membantu penyajian” dapat dilihat
bahwa melalui pembelajaran bahasa Indonesia,
guru dapat mengajarkan materi IPA. Dari
contoh di atas dapat dilihat bahwa materi
pembelajaran dalam kurikulum 2013, pembelajaran bahasa Indonesia lebih bersifat kontekstual jika dibandingkan dengan kurikulum
sebelumnya. Melalui pembelajaran bahasa Indonesia yang kontekstual, kompetensi siswa
dapat dikembangkan secara lebih lengkap
secara logis dan sistematis.
Salah satu aspek pembelajaran yang
ditekankan dalam kurikulum 2013 yaitu
keterampilan menulis. Keterampilan menulis
yang dipelajari dalam mata pelajaran Bahasa
Indonesia adalah menulis prosedur kompleks,
narasi, deskripsi, argumentasi, dan persuasi.
Melalui menulis, siswa bisa menjelaskan suatu
urutan kejadian sehingga menambah
pengetahuan pembaca.
Dari semua ket erampilan berbasa,
menulis merupakan keterampilan yang paling
sulit karena dalam keterampilan menulis
dibutuhkan penguasaan terhadap bahasa,
kognitif, dan kompetensi sosial budaya.
Sebagaimana dikatakan oleh Barkaoui (2007)
bahwa melalui kegiatan menulis, siswa
diharapkan mempunyai kemampuan untuk
menghasilkan teks panjang yang memiliki fitur
metadiscourse yang sesuai (misalnya, contohnya, hubungannya, dan batasanya) dan bervariasi, canggih kosa kata dan struktur sintaksisnya, untuk menggunakan pola yang berbeda
dari berbagai jenis teks (misalnya, deskripsi,
narasi, argumentasi), dan untuk menggabungkan ide-ide dan teks lain dalam tulisan mereka
sendiri secara efektif.
Karena pentingnya kegiatan menulis,
peran guru sangat diperlukan dalam kegiatan
menulis. Guru harus menggunakan pendekatan
yang tepat agar siswa mau berjuang keras untuk
menulis. Sebegaimana dikatakan oleh Graham
(2009) bahwa mengingat kompleksnya kegiatan
menulis, sampai saat ini belum ada model atau
teori penulisan yang sepenuhnya atau cukup
mampu mengajarkan semua kegiatan secara
sempurna. Salah satu pendekatan konseptual
yang ada untuk belajar menulis hanya difokuskan pada penulis individu dan lebih
berkonsentrasi pada pemahaman kognitif dan
lebih ditekankan pada proses motivasional
dalam penyusunan. Pendekatan motivasional
merupakan contoh model yang berpengaruh
dalam pembelajaran menulis yang dikembangkan oleh Hayes pada tahun 1996. Model ini
memperhitungkan, setidaknya sebagian, interaksi antara lingkungan tugas menulis dan
kemampuan internal penulis. Lingkungan tugas
meliputi komponen sosial (misalnya, penonton,
teks-teks lain yang dibaca ketika menulis, dan
kolaborator) serta komponen fisik (misalnya,
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
45
teks yang telah dibaca selama ini dan media
menulis, seperti pengolah kata).
Model motivasional tersebut dapat
dijadikan secagai acuan dalam pembelajaran
bahasa, khususnya keterampilan menulis.
Melalui pembelajaran motivasional, siswa akan
mampu melakukan pembelajaran secara
otentik. Pembelajaran bahasa akan betul-betul
arena untuk mempelajari mata pelajaran
lainnya. Sebagaimana dikatakan oleh Abidin
(2012: 6) bahwa dalam konteks persekolahan,
bahasa digunakan siswa bukan hanya untuk
kepentingan pembelajaran bahasa, melainkan
untuk mempelajari berbagai macam ilmu
pengetahuan yang dibelajarkan di sekolah. Oleh
karena itu, pembelajaran bahasa harus haromonis, bermutu, dan bermartabat. Haromonis
berarti guru dan siswa bekerja secara efektif
sesuai dengan peran masing-masing. Di sini
guru berperan sebagai mediator, fasilitator,
motivator, dan semacamnya; siswa berperan
sebagai subyek aktif yang membentuk keterampilan dan pengalaman berlandaskan kinerja
konstruktivis. Bermutu berarti pembelajaran
berorientasi pada pencapaian tujuan utama
sambil tetap memperhatikan secara cermat
dampak pengiring melalui penggunaan prinsip,
pendekatan/strategi, metode, dan teknik yang
memadai. Bermartabat berarti pembelajaran
mencerminkan nilai-nilai sosiokultural yang
melingkupi kehidupan siswa.
Melalui kegiatan menulis, penulis mengungkapkan apa yang dipikir dan dirasakannya. Sebagaimana dikatakan oleh Donovan
(2012) bahwa dalam menulis, penulis menggabungkan pengalaman batin kita dan perasaan
dengan apa yang dirasakan di dunia luar dan
memasukkannya ke dalam kata-kata. Ketika
penulis mampu menyampaikan peristiwa yang
terjadi di dunia luar dan persepsi dirinya secara
seimbang, maka akan terjadi “sweet spot”. Titik
indah yang mampu menghubungkan fakta
dengan pembaca http://www.writingforward.
com/creative-writing/self-expression-in-creative-writing.
Dalam kegiatan menulis, penulis mempergunakan kata-katanya untuk mempengaruhi
dan mengubah pola pikir pembacaranya.
Penulis menyusun kalimat yang koheren dan
paragraf utuh dan padu untuk membentuk
koherensi, kepaduan, dan keutuhan pola pikir
pembacanya. Sebagaimana dikatakan oleh lubis
(2010) bahwa penulis membuat pembacanya
hanyut dan larut baik lewat rasa maupun
pikiran. Berkutat serta berperang di dalam batin
serta nalar. “Kemasukan” roh tulisan yang
“diisi” oleh sang penulisnya.
Istilah “kemasukan” roh tulisan di atas
sejalan dengan pengertian fungsi politis
komuniasi menurut Bourdieau. Melalui kegiatan menulis, penulis mengutarakan maksudnya
kepada pembaca. Penulis melakukan kegiatan
Menulis sebagai arena Konstruksi politis, yakni mempengaruhi pembaca dengan
memasukkan roh tulisan agar bisa membuat
Ideologi
pembaca dengan sukarela mengikuti keinginanMenulis merupakan kegiatan mengeks- nya. Sebagaimana dikatakan oleh Bourdieu
presikan diri. Dalam kegiatan menulis, penulis (1994:168) bahwa dalam proses komunikasi
menginternalisasi dunia luar (internalisasi selalu terdapat maksud-maksud yang tersemeksterior) dan mengeksternalisasi pikiran dan bunyi di balik simbol-simbol yang digunakan.
perasaannya (eksternalisasi interior) (lihat Simbol-simbol yang digunakan penut ur
Bourdieau, 1994). Dalam konteks ini, menulis tersebut mempunyai fungsi politis, yaitu sebamenjadi jantung dari komunikasi. Sebagaimana gai instrumen untuk memenuhi hasrat untuk
dikatakan oleh Donovan (2012) bahwa ekspresi menguasai orang lain. Penulis dengan segala
diri merupakan jantung dan jiwa dari segala dominasinya akan menyebarkan pengaruhbentuk penulisan kreatif http://www.writing- pengaruh ideologis dengan melegitimasi
forward.com/creative-writing/self-expression- kebenaran dirinya.
in-creative-writing.
46
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Praktik legitimasi dilakukan dengan
praktik negosiasi, dalam hal ini penulis tetap
memperhatikan pemaham dan perbedaan
konseptual-fundamental. Sebagaimana dikatakan oleh (Simmel, 1910) bahwa dalam interaksi
terdapat pemahaman dan perbedaan konseptual-fundamental antara aku (I) dan kamu
(you), dan di sinilah terjadi negosiasi antara diri
(self) dan yang lain (others). Perbedaan antara
aku (I) dan kamu (you), dibangun dalam
tindakan interaksi serta interpretasi yang
didasarkan pada landasan a priori. Dengan
begitu akan tercipta kehidupan yang harmonis.
Idologi dalam diri individu dibentuk,
dinegosiasikan, dan dibentuk kembali dalam
tulisan. Jiwa dan diri merupakan sesuatu yang
dikonstruk melalui internalisasi dialog-dialog
tulisan. Sebagaimana dikatakan Bakhtin bahwa
pemikiran merupakan dialog internal, yang
berasal dari internalisasi perdebatan publik
(Bakhtin, 1981). Dialog-dialog sosial yang
membentuk dasar “diri” terdiri atas wacanawacana dan naratif-naratif kultural yang
memposisikan individu dalam kategori sosial.
Anak-anak mengembangkan rasa dirinya
dengan cara menginternalisasikan posisi
mereka pada kategori-kategori yang terdapat
dalam wacana-wacana yang berbeda. Dengan
menyimak uraian tentang dunia, anak-anak
mempelajari cara-cara yang tepat dalam
membicarakan dirinya sendiri dan orang lain,
termasuk pikiran dan emosinya. Selain itu,
melalui cerita-cerita yang disampaikannya
sendiri, anak-anak meggambarkan, mencobakan, dan menegosiasikan aspek-aspek
dirinya (Wetherell dan Maybin, 1996). Melalui
menulis terjadi proses pengkonstruksian diri
dan sosial secara terus menerus sepanjang
kehidupan individu..
Menulis sebagai arena penyampai
struktur kognitif
Sebagai bagian dari kegiatan berbahasa,
menulis merupakan praktik penyampaian
struktur kognitif penuturnya. Dalam menulis,
penulis melakukan interaksi aktif dengan mitra
tuturnya. Sebagaimana dikatakan oleh Bourdieu
(1994) bahwa bahasa sebagai praktik sosial
merupakan hasil interaksi aktif antara struktur
sosial (arena) yang objektif dengan habitus
linguistik yang dimiliki pelaku sosial.
Pandangan Bourdieu tersebut dipengaruhi oleh
Wittgenstein dengan teorinyanya language
game dan form of life yang berpandangan
bahwa dalam sebuah permainan, aturan
permainan satu tidak bisa dipakai untuk aturan
bagi permainan yang lain. Dengan demikian
dalam bahasa tidak ada aturan yang universal,
ataupun gramatika yang universal mencakup
semua bahasa. Setiap bahasa harus dipahami
dengan gramatikanya masing-masing dan
dipahami persamaan-persamaannya.
Menulis merupakan jaringan relasi yang
terstruktur mengatur posisi-posisi individu,
dalam hal ini penulis, dan dunia sosial. Dalam
menulis, penulis menggunakan strategi yang
cerdik dalam menata ujarannya. Penulis tidak
sekedar menghasilkan rangkaian kalimatkalimat yang secara gramatikal terbentuk
dengan baik, melainkan sebaliknya penulis
mengungkapkan kapasitas untuk menghasilkan
ungkapan-ungkapan yang tepat bagi situasisituasi tertentu, yakni kapasitas unt uk
memproduksi ungkapan-ungkapan (lihat
Bourdieu, 1994, Foucault, 2002). Karena itu,
menulis dapat dikatakan sebagai alat mengkarakteristikkan jenis kompetensi yang dimiliki
oleh penutur sebenarnya. Sebagaimana dikatakan oleh Bourdieu (1994) bahwa penutur aktual
memiliki kompetensi praktis/‘rasa praktis’,
yang dengannya mereka mampu memproduksi
ujaran-ujaran yang tepat sesuai dengan
lingkungan/situasi yang membentuknya.
Ketika menulis, penulis tidak berangkat
dengan kondisi kosong akan tetapi dengan
membawa modal, baik modal budaya, modal
sosial, dan modal simbolik. Sebagaimana
dikatakan Bourdieu dalam Haryatmoko
(2003:12) menjelaskan yang termasuk modal
budaya ialah ijazah, pengetahuan yang sudah
diperoleh, cara berbicara, kemampuan menulis,
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
47
cara pembawaan, sopan santun, cara bergaul,
dan sebagainya yang berperan di dalam
penent uan dan reproduksi kedudukankedudukan sosial. Yang termasuk modal sosial
ialah hubungan-hubungan dan jaringan
hubungan-hubungan yang merupakan sumber
daya yang berguna dalam penentuan dan
reproduksi kedudukan sosial. Yang termasuk
modal simbolik yaitu kekuasaan yang
memungkinkan untuk mendapatkan setara
dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan
fisik dan ekonomi, berkat akibat khusus suatu
mobilisasi. Modal simbolik bisa berupa kantor
yang luas di daerah mahal, mobil dengan
sopirnya, namun bisa juga petunjuk-petunjuk
yang tidak mencolok mata yang menunjukkan
stratus tinggi pemiliknya: misalnya gelar
pendidikan yang dicantumkan di kartu nama,
cara bagaimana membuat tamu menanti, cara
mengafirmasi otoritasnya. Semakin banyak
modal yang dimiliki, penulis akan semakin
mampu menciptakan strategi pembentukan
orientasi pembaca.
Kata-kata dibebani dengan beban yang
tidak sama bergantung pada siapa yang
menuturkannya dan bagaimana mereka bertutur. Beberapa kata yang diujarkan dalam
keadaan tertentu mempunyai daya dan
keyakinan yang tidak sama dengan jika
diujarkan pada tempat yang berbeda. Sejalan
dengan pemikiran Bourdieu, Thomson dalam
Bourdieu (1994:1) mengatakan bahwa penutur
mempunyai keahlian dalam menyusun strategi
secara cerdik dalam menggunakan kata-kata
sebagai alat kekerasan dan pemaksaan, sebagai
alat intimidasi dan menyiksa, sebagai tanda
sopan santun, sikap rendah diri, dan mencela.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa tulisan yang diproduksi bukan sekedar
wacana diharapkan dapat dipahami oleh
penerima. Tulisan merupakan kumpulan tanda
atau simbol yang bertujuan untuk dinilai dan
diapresiasi atau bertujuan untuk dipatuhi dan
dipercaya oleh pembaca. Otoritas ini adalah
bentuk kekuasaan tertinggi, yaitu kekuasaan
simbolik. Kekuatan kata atau ucapan bukan
48
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
hanya terletak pada kata dan ucapan itu sendiri
akan tetapi juga pada siapa yang mengucapkannya. Karena itu, dengan melalui kegiatan
menulis, siswa dapat dilatih untuk memproduksi rasa percaya diri dan otoritasnya.
Penutup
1. Keterampilan menulis merupakan salah
satu aspek pembelajaran yang ditekankan
dalam kurikulum 2013. Keterampilan
menulis yang dipelajari dalam mata
pelajaran Bahasa Indonesia adalah menulis
prosedur kompleks, narasi, deskripsi,
argumentasi, dan persuasi.
2. Menulis merupakan kegiatan konstruksi
ideologi melalui kegiatan internalisasi
dunia luar (internalisasi eksterior) dan
eksternalisasi pikiran dan perasaannya
(eksternalisasi interior)
3. Sebagai bagian dari kegiatan berbahasa,
menulis merupakan praktik penyampaian
struktur kognitif penuturnya. Dalam
menulis, penulis melakukan interaksi aktif
dengan mitra tuturnya.
Daftar Rujukan
Abidin, 2012. Pembelajaran Membaca Berbasis
Pendidikan Karakter. Bandung: PT
Refika Aditamo.
Bakhtin, M.M. 1981. The Dialogic Imagination: Four Essays. Ed. Michael Holquist.
Austin and London: University of Texas
Press.
Barkaoui, Khaled. 2007. Teaching Writing to
Second Language Learners: Insights from
Theory and Research. https://ojs.lib.
byu.edu/spc/index.php/TESL/article/
viewFile/32304/30503. Diunduh tanggal
24 Maret 2015. Pukul 21.57.
Bilash, O. 2011. Function of Language. http://
www.educ.ualberta.ca/staff/olenka.
bila sh/be st % 20 o f% 2 0bila sh/
funct ionsof%20lang.ht ml.Diunduh
tanggal 24 Maret 2015. Pukul 21.35.
Bourdieu, Pierre. 1994. Language and Symbolic Power. Cambridge, Massachusetts:
Harvard University Press.
Donovan, M. 2012. Self-Expression in Creative
Writing. http://www.writingforward.com/
creative-writing/self-expression-in-creative-writing. Diunduh tanggal 24 Maret
2015. Pukul 22.57.
Fierros, Edward Garcia. 2004. How Multiple
Intelligences Theory Can Guide Teachers’ Practices:Ensuring Success for Students with Disabilities. http://www.
ur banscho ols.o rg/pdf/ onPOI NT S.
multiple.intelligences. DOCUMENT.
style.LETTERSIZE.pdf. Diunduh
tanggal 24 Maret 2015. Pukul 22.07.
Graham, Steve. 2009. Learning and Teaching
Writing. http://www.education.com/reference/article/ learning-and-teaching-writing/. Diunduh tanggal 24 Maret 2015.
Pukul 22.23.
Haryatmoko. 2003. Menyingkap Kepalsuan
Budaya Penguasa dalam BASIS No. 11—
12, Desember 2003.
Hasani, A. 2005. Ikhwal Menulis. Serang: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Press.
Keraf, G. 1999. Eksposisi: Komposisi Lanjutan
II. Jakarta: PT Grasindo.
Lubis, M. 2010. Tulisan yang Berpengaruh.
https://bilikml.wordpress.com/2010/08/
16/tulisan-yang-berpengaruh/ Diunduh
tanggal Pebruari 2015. Pukul 21.07.
Simmel Georg. 1910. How is Society Possible,
dalam American Journal of Sociology
Vol. 16. Dalam Simmel Home Page.
Wetherell, M and Maybin, J. 1996. The distributed self: A social construcionist perspective. In: Stevens, Richard ed. Understanding the Self. London: Sage.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
49
SISTEM PENULISAN MORFOLOGI
DALAM BAHASA JAWA
Heny Sulistyowati
STKIP PGRI Jombang
heny.sulistyowati @gmail.com
Abstrak
Bahasa Jawa memiliki kombinasi tertentu dalam penulisan sistem morfologi. Perbedaan penulisan sistem
morfologi berakibat pada makna yang dihasilkan oleh setiap kata. Bahasa Jawa sangat beragam dan
keragaman itu ditemulan baik dalam bentuk tuturan lisan maupun melalui dokumentasi tertulis. Dalam
hal ini bahasa Jawa juga mengalami proses morfologi seperti bahasa lain seperti afiksasi, reduplikasi
dan komposisi.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Wujud data penelitian berupa
tuturan yang diperoleh melalui teknik perekaman. Data dianalisis dengan menggunakan kajian
distribusional. Prosedur analisis data dilakukan melalui empat tahap kegiatan, yaitu (1) pengumpulan
data, (2) pereduksian data, (3) penyajian data, dan (4) penyimpulan temuan penelitian dan verifikasi.
Hasil penelitian hasil penelitian sistem penulisan morfolologi dalam bahasa Jawa dapat disimpulkan ada
beberapa bentuk, yaitu, (1) bentuk dasar, (2) bentuk dasar + nasalisasi (m, n, ng, dan ny), dan (3) perulangan.
Kata kunci: sistem morfologi, bahasa Jawa
Morphological Writing System In Javanese Language
Javanese language has a certain combination of morphological writing system. The differences of morphological writing system affected to meanings generated by every single word. Javanese language is very
diverse and that diversity can be both in the form of speech (orally) and written documentation. In this
case the Javanese language also undergoes morphological processes as other languages such as affixation, reduplication and composition.
The approach used in this study is a qualitative approach. Data was obtained in the form of speech through
recording techniques. Data were analyzed using distributional studies. Data analysis procedures carried
out through four stages of activity, namely (1) data collection, (2) data reduction, (3) presentation of data,
and (4) the conclusion of the research findings and verification. The results of the research study can be
concluded that there is some form, namely, (1) the basic shape, (2) form the basis + nasalization (m, n, ng,
and ny), and (3) iteration.
Keywords: morphological system, Java language
A. PENDAHULUAN
Telah diketahui bahwa ada kaidah-kaidah
yang mengatur susunan morfologis, fonetis
dalam setiap bahasa. Begitu juga dalam bahasa
Jawa, ada kombinasi tertentu dalam penulisan
yang sering tidak memperhatikan kaidah
penulisan. Perbedaan penulisan bentuk yang
50
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
ditemukan seperti dalam bahasa Jawa berakibat
pada perbedaan makna yang dihasilkan.
Bahasa Jawa sangat beragam dan keragaman ini masih terpelihara sampai sekarang,
baik karena dituturkan maupun melalui dokumentasi tertulis. Bahasa yang digunakan masyarakat sangat beragam, artinya meskipun sebuah
bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu
yang sama, namun karena bahasa itu digunakan
oleh penutur yang heterogen yang mempunyai
latar belakang sosial dan kebiasaan yang
berbeda maka bahasa itu menjadi beragam baik
dalam tataran fonologi, morfologi, sintaksis,
maupun dalam tataran leksikon..
Setiap bahasa termasuk bahasa Jawa
memiliki kemiripan dan perbedaan dengan
bahasa lain dalam hal pembentukan kata.
Dalam hal ini bahasa Jawa juga mengalami
proses morfologi layaknya bahasa lain seperti
dalam afiksasi. Misalnya, penambahan prefik
(ater-ater) /ma-/ + gawe = magawe ‘bekerja’;
penambahan infiks (seselan) /-um/ + ayu =
kumayu ‘merasa cantik’.
B. Morfologi
Secara etomologi kata morfologi berasal
dari kata morf yang berarti bentuk dari kata logi
yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah kata
morfologi berarti ilmu mengenai bentuk dan di
dalam kajian linguistik morfologi berarti ilmu
mengenai bentuk-bentuk dan pembentukan kata
sedangkan di dalam kajian biologi morfologi
berarti ilmu yang mempelajari bentuk-bentuk
sel-sel tumbuhan atau jasad-jasad hidup.
Menurut Verhaar (1089:11) morfologi menyangkut struktur “internal” kata.
Morfologi adalah bagian dari ilmu bahasa
yang membicarakan atau mempelajari selukseluk bentuk kata serta pengaruh perubahanperubahan bentuk kata terhadap golongan dari
arti kata, atau bentuk kata. Pandangan serupa
diberikan oleh Uhlenbeck (1982:13) menyatakan bahwa d idalam kata ada dua jenis
morfem, yaitu morfem leksikal yang makna dan
bentuknya sedikit banyak sama dengan leksem
dan morfem gramatikal, yaitu satuan pembentuk kata yang sedikit banyak menyebabkan
leksem itu mempunyai makna gramatikal.
Uraian tersebut berlaku bagi proses pembentukan kata sebagai satuan sintaksis, karena
bahan dasar kata ialah leksem dan proses ini
menyangkut pembentukan kata maka subsistem
ini disebut morfologi leksikal atau morfologi
derivative.
Dengan demikian, pengertian morfologi
dapat disimpulkan sebagai bagian dari tata
bahasa yang membicarakan bentuk kata atau
juga bisa dikatakan bahwa morfologi adalah
cabang ilmu bahasa yang membicarakan atau
mempelajari tentang bentuk kata dan morfem.
Afiksasi
Dalam istilah linguistik dikenal bermacam-macam afiks dalam proses pembentukan
kata. Menurut Chaer (2008:23) afiksasi dibagi
menjadi enam yaitu:
1. Prefiks adalah afiks yang dibubuhkan di
awal atau di kiri bentuk dasar, yaitu prefiks
ber-, prefiks me-, prefiks per-, prefiks di-,
prefiks ter-, prefiks se-, dan prefiks ke-.
2. Infik ialah fiks yang dibubuhkan di tengah
kata, biasanya di tengah kata, biasanya pada
suku awal kata, yaitu infiks –el-, infiks –
em-, dan infiks –er.
3. Sufik ialah afiks yang dibubuhkan di akhir
atau di kanan bentuk dasar, yaitu sufiks –
kan, sufiks –i, sufiks –an, dan sufiks –nya
4. Konfiks ialah afiks yang dibubuhkan di kiri
dan di kanan bentuk dasar secara
bersamaan karena konfiks ini merupakan
satu kesatuan afiks. Konfiks yang ada
dalam Bahasa Indonesia adalah: ke-an, beran, pe-an, per-an, dan se-nya.
5. Simulfiks ialah kata yang dibubuhi afiks
pada kiri dan kanannya tetapi pembubuhannya tidak sekaligus, melainkan
bertahap, misalnya: memper-, memper-kan,
memper-i, diper-kan, diper-i, terper-kan.
6. Nasalisasi
Dalam bahasa Indonesia ada empat macam
tipe verba dalam kaitannya dengan proses
nasalisasi. Keempat verba itu adalah a)
verba berprefiks me- (termasuk me-kan dan
me-i); b) verba berprefiks me- dengan
pangkal per , per-kan, dan per-i; c) verba
berprefiks ber; dan d) verba dasar (tanpa
afiks apapun).
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
51
Afiksasi Bahasa Jawa
Menurut Palguno dan Rahayu (2013:79)
afiksasi dalam bahasa Jawa dibedakan atas
awalan (ater-ater), akhiran (penambang), dan
sisipan (seselan) yaitu:
a. Ater-ater (awalan)
1. Ater-ater: a (ma)
a +
kudhung —> akudhung
a +
tulis
—> anulis
a +
karya —> akarya —> makarya
2 Ater-ater: ka
ka +
gawa
—> kagawa
ka +
tuku
—> katuku
3. Ater-ater: dak, ko, di
dak +
suwek
—> daksuwek
ko +
suwek
—> kosuwek
di +
suwek
—> disuwek
4. Ater-ater: n, ny, ng, m
n +tandur
—> nandur
ny + sapu
—> nyapu
ng + ombe
—> ngombe
m + pundhut
—> mundhut
5. Ater-ater: sa, pa, pi, pra, pari, tar
sa +
wengi
—> sawengi
pa +
mudha
—> pamudha
tar +
kadhang
—> tarkadhang
6. Ater-ater: kuma, kapi, kami
kami +
gila (n)
—> kamigilan
kapi +
tuna (n)
—> kapitunan
7. Panambang (akhiran)
i. Panambang: ku, mu, e
buku + ku —> bukuku
radhio + e —> radhione (bukan
radhioe)
sega + e —> segane (bukan segae)
ii. Panambang: an
turu + an —> turon (bukan turuan)
lali + an —> lalen (bukan lalian)
gawa + an —> gawan (bukan
gawaan)
iii. Panambang: i
suwek + i —> suweki
ombe + i —> ombeni (bukan ombei)
tuku + i —> tukoni (bukan tukui)
iv. Panambang: a, na, ana, en
52
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
jupuk + a —> jupuka
sapu + a —> (ny) sapu + a —>
nyapua
sapu + na —> sapokna (bukan
sapuna)
v. Panambang: ake
tulis + ake —> tulisake
tali + ake —> talekake (bukan
taliake)
ombe + ake —> ombekake (bukan
ombeake)
vi. Panambang: ne, ing
laku + ne —> lakune
bapak + ne —> bapake —
>
bapakne
abang + ing —> abanging —
>
abange
jero + ing
—> jeroning —
>
jerone
8. Seselan (sisipan)
i. Seselan: in
sigar +
in
—> sinigar
ii. Seselan: um
tindak +
um
—> tumindak
iii. Seselan: l, r
siwer +
l
—> sliwer
centhel +
r
—> crenthel
3. METODE dan TEKNIK PENELITIAN
Berdasarkan teknik penelitian ini dirancang dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Hal ini seperti dikatakan Bogdan dan
Biklen (1982:2) bahwa penelitian kualitatif
(qualitative research) sebagai payung memiliki
beberapa karakteristik tertentu.
Sumber data: penutur bahasa Jawa di
kabupaten Jombang. Wujud data penelitian ini
adalah kosa kata bahasa Jawa yang digunakan
dalam komunikasi. Data dianalisis dengan
menggunakan kajian distribusional. Prosedur
analisis data dilakukan melalui empat tahap
kegiatan, yaitu (1) pengumpulan data, (2)
pereduksian data, (3) penyajian data, dan (4)
penyimpulan temuan penelitian dan verifikasi.
4. HASIL PENELITIAN
No.
A. Bentuk Morfologi Kosa Kata di
Kabupaten Jombang
No.
Kosakata
1.
Bekerja
2.
Berbaring
3.
Berbicara
4.
5.
Berenang
Berjalan
Kosakata
6.
Melempar
7.
Berjatuhan
Bentuk Morfologi
Bahasa Jawa
nyambut
ny + sambut (Nsl ny-)
glendang
ng + glendang (Prf ng-)
ng + omong (Prf ng-)
Makna Bahasa
Jawa
nyambut gawe
8.
Marah
9.
Membakar
lumah-lumah
10.
Membawa
bluron (BD)
mlaku
m + laku (Prf m-)
bluron (BD)
Mlaku
m + laku (Prf m-)
omong-omong
Berdasarkan data 1 kata nyambut merupakan bentuk morfologi yang mengalami
proses morfologi nasalisasi dari kata dasar
sambut mendapat imbuhan nasal ny- bertemu
fonem /s/ melebur menjadi /ny/ menjadi
nyambut.
(Data 2) berbaring : ng+ glendang —>
ngglendang
Pada data 2, kata ngglendang merupakan
bentuk morfologi yang mengalami proses
nasalisasi dari kata dasar /glendang/ mendapat
imbuhan nasal /ng-/ bertemu fonem /g/ menjadi
ngglendang,
(Data 3) berbicara : ng+omong ’!
ngomong
Data 3, kata /ngomong/ merupakan
bentuk morfologi yang mengalami proses
nasalisasi dari kata dasar /omong/ mendapat
imbuhan nasal /ng/- bertemu fonem /o/ menjadi
ngomong.
(Data 4) berenang : bluron ’! bluron
Berdasarkan data 4, kata bluron,
merupakan bentuk dasar yang tidak mengalami
proses morfologi.
(Data 5) berjalan : m + laku ’! mlaku
Pada data (5) kata mlaku merupakan
bentuk morfologi yang mengalami proses
morfologi dari kata dasar/ laku/ mendapat
imbuhan nasal /m/ menjadi /mlaku/
Bentuk Morfologi
nyawat
ny + sawat (Nsl ny-)
rutuh (BD)
Makna
Bahasa Jawa
nyawat
tiba (BD)
muring-muring
srengen (BD)
muring (Red Ut)
ngobong
ngobong
ng + obong (Nsl ng-)
nggowo
nggowo
ng + gowo (Nsl ng-)
Data (6) melempar : ny + sawat
’! nyawat
Kata/ nyawat/ merupakan bent uk
morfologi yang mengalami proses morfologi
nasalisasi dari kata dasar /sawat/ mendapat
imbuhan nasal/ ny/- bertemu fonem /s/ melebur
menjadi /ny/ menjadi nyawat
Data (7) berjatuhan
: rutuh
’! rutuh
Kata /rutuh/ merupakan bentuk dasar
yang tidak mengalami proses morfologi.
Data (8) marah-marah :
muring – muring ’! muring-muring
Kata /muring-muring/ merupakan bentuk
morfologi yang mengalami proses reduplikasi
yaitu jenis reduplikasi sejati.
Data (9) membakar
:
ng+
obong ’! ngobong
Kata/ ngobong/ merupakan bentuk
morfologi yang mengalami proses morfologi
dari kata dasar /obong / mendapat imbuhan
nasal /ng/- menjadi /ngobong/.
Data (10) membawa
:
n g +
gowo ’!
nggowo
Kata /nggowo/ merupakan bentuk
morfologi yang mengalami proses morfologi
yaitu dari kata dasar /gowo / mendapat imbuhan
nasal /ng-/ menjadi /nggowo/.
5. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian sistem penulisan morfolologi dalam bahasa Jawa dapat
disimpulkan ada beberapa bentuk, yaitu, (1)
bentuk dasar, (2) bentuk dasar + nasalisasi (m,
n, ng, dan ny), dan (3) perulangan.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
53
DAFTAR PUSTAKA
Anomin. 1992. Tata Bahasa Baku Bahasa
Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Bogdan, R.C. dan Biklen, S.K. 1998. Qualitative Research in Education: An Introduction to Theory and Method. USA: Allyn
Bacon
Chaer, Abdul. 2006. Tata Bahasa Praktis
Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Uhlenbeck, E,M. 1982. Kajian Morfologi
Bahasa Jawa. Jakarta: Djambatan.
54
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Sumadi dkk. 1995. Sistem Morfemis Adjektiva
Bahasa Jawa-Indonesia. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Verhaar, J.M.W. 19989. Asas-asas Linguistik
Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
KIAT MUDAH MENULIS:
OPTIMALISASI POTENSI
BERBAHASA,TANPA TERBELENGGU
FRAME BAHASA BAKU
Oleh:
Umi Salamah
IKIP Budi Utomo Malang
Abstrak: Tulisan yang disajikan dalam makalah ini akan berbagi tentang bagaimana seharusnya menulis
itu menjadi kebiasaan dan kebutuhan.Suatu kondisi yangcukup memprihatinkan bahwa menulis masih
merupakan keterampilan yang sulit bagi sebagian besar pelajar, mahasiswa, guru, bahkan dosen di Indonesia. Ironisnya, para penulis besartermasuk para sastrawan besar tidak lahir dari Jurusan Bahasa dan
Sastra Indonesia. Editorhebat juga tidak lahir dari Jurusan Bahasa Indonesia.Padahal tulisan yang diedit
menggunakan bahasa Indonesia.Adaapa dengan pembelajaran bahasa Indonesia di negeriini.Anehnya,
orang asing yang belajar bahasa Indonesia selama dua tahun saja sudah pandai menulis dengan bahasa
Indonesia.Makalah ini akanberbagi pengalaman menulis denganmengoptimalisasi kemampuan berbahasa
untuk menulis, baik menulis karya ilmiah maupun karya sastra. Dengan demikian, para pengguna
bahasadapat mengembangkan potensi di bidangnya secarakreatif-produktiftanpa terbelengguframebahasa
baku terlebih dahulu
Kata kunci: Kiat, menulis itu mudah, terbelenggu bahasa baku
A. Pendahuluan
Tulisan yang disajikan dalam makalah ini
akanberbagi tentang bagaimana seharusnya
menulis itu menjadi kebiasaan dan kebutuhan.
Tentu saja bukan dengan cara merusak bahasa,
tetapi menggunakan bahasa dalam wacana yang
lebih luas,lebih fungsional, dan lebih dinamis
tidak dalam frame struktur bahasa yang sangat
sempit dan kaku.Bahasa baku memang sangat
penting untuk dipelajari tetapi lebih penting lagi
apabila dapat menggunakan secara tepat sesuai
dengan konteks dan proses penulisan.
Bahasa Indonesia sebagaimana bahasabahasa lainnya merupakan diskursus yang
sangat luas.Ia bisa sebagai sumber pengetahuan,
alat komunikasi, alat interaksi, alat menjalin
relasi, media ekspresi, dan lain-lain. Jadi sangat
naif jika penggunaan bahasa Indonesia hanya
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
55
dipandang dari sudut pandang struktur bahasa
atau penilaian benar dan salah dari satu kaidah
saja.
Kadang-kadang terbersit dalam pikiran,
mengapa penulis besar tidak lahir dari mahasiswa atau alumni Jurusan/Prodi bahasa dan
sastra Indonesia?Kalau pun ada jumlahnya
sangat kecil (sangat tidak presentatif) dibanding
dengan jumlah lulusan prodi bahasa dan sastra
Indonesia di seluruh Indonesia.Apa yang
dilakukan oleh dosen, guru, dan sarjana Jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia saat ini? Apakah
yang menjadi “momok” sehingga mereka
kurang berani menulis.
Di sisilain, kondisi yang juga cukup
memprihatinkan adalah sangat terbatasnya
jumlah jurnal ilmiah di perguruan tinggi yang
sudah terakreditasi dan jumlah buku sastra yang
cocok untuk pembelajaran di sekolah, terutama
untuk anak-anak SD, SMP, dan SMA. Tidak
dapat dibayangkan jika siswa SD dan SMP
disuguhi karya-karya seperti Saman Ayu Utami
dan Wajah VaginaJenar Maesa Ayu. Untuk itu
jelas masih diperlukan banyak pengarang yang
memiliki kepedulian menulis cerita yang cocok
dengan karakter anak usiasekolah dasar dan
menengah. Tanggung jawab siapakah ini?Para
sarjana bahasa dan sastra Indonesia, pengambil
kebijakan di bidang pendidikan, para guru,
ataukah kita semua.
Saya menduga ‘kegagalan’ pembelajaran
bahasa dan sastra Indonesia di sekolah tidak
hanya disebabkan oleh guru yang tidak mengajarkan bahasa dan sastra kepada siswasesuai
dengan pendekatan kurikulum, tetapi juga
terbatasnya bahan bacaan yang cocok untuk
siswa sesuai dengan tingkatan umur dan pendidikan karakter siswa. Ini sebenarnya merupakan
peluang besar bagi para guru, mahasiswa, dan
penulis lainnya untuk berkontribusi kepada
bangsa dan negara sekaligus menambah memperkuat eksistensi sebagai intelektual. Apalah
artinya pandai, cerdas, apabila tidak memiliki
karya tulis.
Pabila menulis sudah menjadi kebiasaan
dan kebutuhan, maka karya sastra makin
56
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
berkembang dan makin memenuhi toko buku
dan perpustakaan diIndonesia. Karya Ilmiah
makin meningkat jumlah dan kualitasnya. Guru
dan siswa tidak lagi kesulitan mencari literatur
sastra, baik buku cerita maupun puisi maupun
literatur ilmiah berbahasa Indonesia.Bahkan
apabila Guru menugasi siswa membaca lima
novel atau kumpulan puisi yang sesuai dengan
tingkatan umur dan pendidikan karakter siswa,
maka akan mudah didapatkan. Apa yang kita
impikan bersama, yaknikebiasaan membaca
sejak dini akan terwujud jika semua pihak
memiliki kemauan baik untuk melakukannya.
Selain itu, yang cukup memprihatinkan
adalah sulitnya mempublikasikan karya tulis
yang sudah dibuat, baik dalam bentuk karya
sastra maupun artikel ilmiah. Kesulitan ini
disebabkan oleh minimnya informasi, jaringan,
atau sangat sedikitnya jurnal ilmiah yang sudah
terakreditasi, serta penerbit yang sudah tersertifikasi.Kesulitan itu juga dapat menjadi pemicu
melemahnya semangat para penulis untuk
mewujudkan karyanya. Dalam forum ini kita
akan berbagi bagaimana kiat mudah menerbitkan karya kita pada jurnal ilmiah maupun
penerbit.
Marilah merenung sejenak, apa yang
salah dengan pembelajaran menulis mulai dari
SD sampai Perguruan tinggi. Apakah kebiasaan
menulis sudah dirumuskan dalam target yang
jelas dan kongkret dalam setiap jenjangnya
sehingga menjadi suatu kebutuhan. Ataukah
para guru dan dosen hanya berbicara masalah
teori tanpa mampu memberi contoh implementasi tulisan dalam bentuk karya nyata.
Apakah sudah terjalin komunikasi yang baik
antara para penulis dengan para penerbit maupun mengelola jurnal?
B. Hakikat Menulis
Beberapa pakar juga turut andil untuk
memberikan definisi terkait menulis.Menurut
Tarigan (1995) menulis berarti mengekspresikan secara tertulis gagasan, ide, pendapat, atau
pikiran dan perasaan.Sarana mewujudkan hal
itu adalah bahasa. Isi ekspresi melalui bahasa
itu akan dimengerti orang lain atau pembaca
bila dituangkan dalam bahasa yang teratur,
sistematis, sederhana, dan mudah dimengerti.
Pendapat Tarigan tersebut menegaskan bahwa
terjadi hubungan yang sangat erat antara bahasa
sebagai sarana dan pikiran sebagai substansi
tulisan. Mana yang lebih dahulu ada, substansinya atau sarananya? Subst ansinya
diadakan terlebih dahulu, baru ditata dengan
sarana bahasa yang sesuai konteksnya.
Sementara itu, Byrne (1988) berpendapat
bahwa menulis tidak hanya membuat satu
kalimat atau hanya beberapa hal yang tidak
berhubungan, tetapi menghasilkan serangkaian
hal yang teratur, yang berhubungan satu dengan
yang lain, dan dalam gaya tertentu. Rangkaian
kalimat itu bisa pendek, mungkin hanya dua
atau tiga kalimat, tetapi kalimat itu diletakkan
secara teratur dan berhubungan satu dengan
yang lain, dan membentuk kesatuan yang
masuk akal. Pendapat Byrne secara tersirat juga
mengedepankan substansi. Tulisan itu harus
memuat gagasan yang utuh, bukan kalimatkalimat lepas yang tidak membangun kesatuan
gagasan.
Lebih lanjut, menurut Syafie’ie (1988),
tujuan menulis dapat diklasifikasikan sebagai
berikut: (1) mengubah keyakinan pembaca, (2)
menanamkan pemahaman sesuatu terhadap
pembaca,(3) merangsang proses berpikir
pembaca,(4) menyenangkan atau menghibur
pembaca; (5) memberitahu pembaca, dan (6)
memotivasi pembaca. Pendapat tersebut
menegaskan betapa penting substansi suatu
tulisan dan sarana yang membangunnya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas
dapat disederhanakan bahwa menulis hakikatnya adalah kemampuan dan keterampilan
seseorang dalam mengemukakan gagasanpikiran, perasaan, dan sikap kepada orang lain
dengan dengan media tulisan, sehingga maksud
penulis bisa diketahui banyak orang orang
melalui tulisannya. Sebagai kemampuan, menulis dapat dipelajari, dan sebagai keterampilan
menulis dapat dilatih.
C. Menulis itu Mudah
Sebagian besar penulis mengatakan,
menulis itu mudah, mulailah menulis, dengan
rangkaian kata-kata yang kita miliki meskipun
sangat sederhana.Mindsetkita tentang menulis
akan mempengaruhi semangat dan keberanian
kita untuk menulis. Apabiladalam mindsetkita
menulis itu susah, maka kita akan malas dan
takut menulis, sebaliknya jika mindsetkita
menulis itu mudah maka kita akan berani dan
senang menulis.Untuk itu, mulai sekarang,
marilah kita mengubah mindsetkita dari
menulis itu susah, menjadi menulis itu mudah,
maka kita akan gemar menulis, dan menulis
akan menjadi kebiasaan dan kebutuhan kita
sehari-hari.
Mulailah menulis dengan tema yang
sederhana, dengan kata-kata sederhana, kalimat
demi kalimat sederhana, ungkapkan apa saja
yang ingin disampaikan tanpa takut salah. Apa
yang ada dalam pikiran, yang ada dalam
perasaan, dan yang ada dalam imajinasi/
bayangan, tuangkan saja dengan bahasa kita
kuasai tanpa terbelenggu oleh frame struktur
bahasa baku terlebih dulu. Biarkan mengalir
dengan bahasa apa saja yang kita miliki.
Keberhasilan menulis adalah being
(proses menjadi). Tidak ada penulis besar, yang
terjadi secara isntan atau sekali menulis
langsung bagus.Chairil Anwar pernah memikirkan untuk memilih satu kata saja sampai
berbulan-bulan.Jadi mulailah sekarang untuk
berani penulis. Keberanian menulis merupakan
modal utama bagi seorang menulis untuk
mewujutkan karyanya.
Langkah awal untuk menjadi penulis
adalah bagaimana membangkitkan semangat
dan keberanian dalam menulis. Selanjutnya bila
menulis sudah menjadi kebiasaantinggal
membenahi bahasa yang akan dituangkan
dalam tulisan.Salah satu cara memperbaiki
runtutan bahasa dan aturan-aturan baku menulis
adalah dengan membaca. Biasakan membaca
buku berkualitas, terutama dari pengarang yang
mampu merangkai kata menjadi t ulisan
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
57
sederhana tapi menarik, bahasa-bahasa yang
terangkai dalam pikiran otomatis menyensor
kejanggalan bahasa yang telah tertulis(ini yang
disebut proses editing). Proses editorial tulisan
akan mengoreksi bagaimana penulisan kata,
pemenggalan kata, efektifitas penggunaan kata
(diksi), ejaan, dan efektifitas penggunaan
kalimat dalam setiap paragraf. Menyeleksi kata
yang tidak perlu, memperbaiki rangkaian kata
yang terkesan panjang dan berbelit-belit.
Otomatisasi ini akan selalu berlangsung setiap
saat sehingga setelah beberapa lama menekuni
dunia tulis-menulis sensor otak akan secara
refleks mengedit hal-hal yang tidak seharusnya
ditulis.Selanjutnya kita tinggal memilih bentuk
tulisan. Sesuaikan bentuk tulisan dengan cara
penulisan masing-masing bentuk yang kita
tentukan/pilih.
Menyit ir pengalaman menarik dari
seorang penulis kompasianer IGN Joko Dwiatmoko. Iamerasa lebih nyaman menuliskan
segala unek-unek daripada berteriak-teriak dan
mengumpat secara spontan. Menulis dapat
menjadi terapi yang efektif untuk meredam
emosi yang meletup-letup. Dengan menulis
detak jantung menjadi lebih teratur karena
fokus pada pikiran dan memori-memori yang
dialirkan ke tangan.Sampai saat ini ia masih
belajar bagaimana merangkai kata, menciptakan tulisan yang mampu menghipnotis
pembaca larut dalam tulisannya. Dalam proses
pencariannya, iasering membaca tulisan Gunawan Mohammad (dengan Catatan Pinggirnya),
Seno Gumira Aji Darma, Radhar Panca
Dahana, Arswendo Admowiloto, F. Rahadi,
Romo Mangun, Sindhunata, sampai tulisan
Pramudya Ananta Tour pernah. Tulisan Pengarang Ernest Hemingway, Karl May dibacanya
(http://www.kompasiana.com/dwiatmoko/ category/prosa/2/dwiatmo-ko).
Berdasarkan uraian dan pengalaman
salah satu kompasianer di atas, maka untuk
memulai menulis dibutuhkan keberanian dan
semangat.Segera melakukan dengan hal-hal
yang sederhana dengan dengan bahasa yang
58
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
sederhana.Kita bisa memulai dengan mengkreasikan cerita yang sudah ada. Indonesia yang
dulu disebut sebagai Nusantara sangat kaya
akan cerita. Ambil saja satu contoh cerita yang
sangat akrab di telinga orang Indonesia, yaitu
cerita si Kancil.Saya yakin, kita semua sudah
sangat mengenal karakter Kancil yang kaya
strategi namun licik.Bagaimana mengubah
karakter Kancil sesuai dengan visi pendidikan
karakter bangsa Indonesia yang pemberani,
semangat, inovatif, kaya strategi, namun juga
bermanfaat bagi orang di lingkungannya.Cerita
semacam ini sangat diperlukan untuk membangun karakter di tingkat Pendidikan Dasar.
Apabila seluruh pikiran, perasaan, dan
imajinasi sudah tertuang dalam tulisan, proses
selanjutnya adalah menyunting, baik isi maupun bahasa yang digunakan. Isi maupun bahasa
tulisan dapat dimatangkan dengan menimba
pengalaman dari buku-buku bacaan yang
sesuai, berdiskusi dengan teman sejawat, terbuka menerima kritik dan saran, serta bergegas
membenahi tulisan.
D. LANGKAH-LANGKAH PENULISAN
Berikut beberapa langkah praktis untuk
membuat tulisan.
1. Menentukan topik
Sebelum melangkah ke tahap menulis,
pertama-tama yang harus dilakukan adalah
menentukan topik yang akan ditulis. Topik
adalah hal yang akan dibicarakan dalam sebuah
tulisan. Apa saja bisa menjadi topik tulisan.
Yang penting seorang calon penulis harus
menguasai masalah dan topiknya menarik bagi
yang bersangkutan.Topik yang menarik adalah
topik yang jelas arahnya (fokus) sedang hangathangatnya dibicarakan atau mejadi isu terkini,
bermanfaat, dan mudah mencari bahannya.
2. Identifikasi topik
Identifikasi topik adalah menjelaskan apa
saja yang bisa dijelaskan dari topik yang sudah
dipilih menjadi subtopik-subtopik. Identifikasi
sebanyak mungkin yang dapat dilakukan untuk
menjelaskan topik.
3. Batasan topik
Apabila identifikasi topik sudah dilakukan, langkah selanjutnya adalah membuat
batasan terhadap topik tersebut agar tulisan
yang akan dikembangkan menjadi lebih jelas
dan fokus dari sudut pandang calon penulis.
Batasan topik dilakukan untuk menyortir/
menyeleksi hasil identifikasi topik. Pertimbangannya adalah relevansi subtopik dengan topik
yang sudah ditentukan, kemudahan mencari
bahan, dan kemenarikan bagi pembaca. Di
dalam karya ilmiah batasan topik ini selanjutnya
dirumuskan menjadi rumusan masalah, sedang
di dalam karya sastra akan mejadi kerangka
penulisan yang akan dikembangkan menjadi
tubuh tulisan.
Beberapa tips praktis dalam memilih
topik adalah sebagai berikut.
a) Pilihah topik yang menyangkut masalah
yang tengah dihadapi masyarakat
luas. Misalnya, ketika masyarakat saat ini
sedang kesulitan mendapatkan beras murah
maka dengan membuat tulisan tentang
“makanan pokok alternatif yang murah,
sehat, dan bergizi” akan menarik banyak
pembaca.
b) Pilihlah topik yang bersifat how to. Ketika
memilih menulis tentang makanan pokok
alternatif yang murah, sehat, dan bergizi,
maka isinya sebaiknya tidak hanya tentang
apa itu makanan pokok alternatif yang
murah, sehat, dan bergizi, namun juga
bagaimana membuat dan mendapatkannya.
c) Pilihlah topik yang terkait orang-orang
ternama atau peristiwa yang menjadi
perbincangan. Usahakan apa yang diulas
adalah sesuatu yang spektakuler yang
belum pernah diulas sebelumnya. Seperti
trending topik di televisi, di Indonesia terjadi kasus imporberas plastik. Tulis tentang
cara mengenali dan bahanya konsumsi
beras plastik.
4. Mengumpulkan bahan sesuai dengan
topik
Setelah topik sudah ditentukan dan sudut
pandang sudah jelas, maka langkah selanjutnya
adalah mengumpulkan bahan sesuai dengan
topik tersebut.Pengumpulan bahan dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya merunut
buku-buku yang membicarakan masalah
tersebut (studi literatur), membaca jurnal atau
tulisan ilmiah yang pernah diterbitkan, membaca hasil penelitian, melakukan pengamatan,
wawancara dengan nara sumber, mencari
informasi dari surat kabar atau internet, dan
majalah.
5. Menuangkan topik menjadi tulisan
Proses penulisan dapat dilakukan dengan
cara menuliskan pembukaan terlebih dahulu,
dilanjutkan dengan penjelasan masalah sesuai
rumusan masalah, dilanjutkan analisis-analisis
yang diperlukan, dan penutup (simpulan dan
saran). Proses penulisan dengan model ini biasa
terlihat pada penulisan buku atau karya ilmiah
lain. Sementara itu untuk proses penulisan yang
lebih sederhana cukup mencakup: pendahuluan,
isi, dan penutup.
Pertanyaan yang sering menjadi
hambatan bagi penulis pemula adalah dari mana
memulai menulis pendahuluan? Jawabannya
gampang: bisa dari mana saja, bisa dimulai dari
isu terkini, pendapat ahli atau teori, hasil riset,
bahkan bisa dimulai dari pertanyaan retorik.
Apabila pendahuluan dimulai dari isu terkini
yang sedang berkembang, dapat dikaitkan
dengan pendapat ahli dan hasil riset/penelitian.
Selanjutnya dijelaskan objek yang dikaji, cara
menkaji, dan manfaat hasil kajian bagi
pembaca. Untuk karya sastra dapat dimulai dari
awal peristiwa yang akan diceritakan atau
dideskripsikan sampai peristiwa itu selesai.
Selanjutnya tulislah apa saja yang terlintas di
pikiran, dan biarkan mengalir sampai semuanya
tuntas. Jangan dipusingkan masalah urutan
maupun bahasanya. Gunakan bahasa apa saja
yang penting apa yang terlintas dipikiran bisa
dituangkan.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
59
6. Penyuntingan/Editing
Setelah yang dipahami dan diinginkan
calon penulis sudah dituangkan dalam bentuk
tulisan, langkah selanjutnya yaitu membaca
kembali tulisan sekaligus mengedit dan merapikan sajian agar urutannya lebih runtut dan
logis. Urutan sajian ini penting, karena apabila
tulisan tidak runtut atau melompat-lompat,
maka orang lain mengalami kesulitan untuk
memahami tulisan. Dengan demikian tujuan
untuk menyampaikan informasi kepada
pembaca tidak akan tercapai. Penyuntingan/
editing dimulai dari menata ulang tulisan sesuai
dengan urutan yang diinginkan, menyesuaikan
format tulisan, dan bahasa yang digunakan.
Adapun caranya adalah dengan membaca
kembali semua yang sudah dituliskan, kemudian mengurutkan tulisan sesuai dengan rumusan masalah (jika itu karya ilmiah), kelogisan
(dari yang sudah diketahui ke yang belum
diketahui, dari yang sederhana ke yang
kompleks atau yang canggih).Setelah isi tulisan
lengkap dan urut, langkah selanjutnya
memasukkan ke dalam format atau sistematika
tulisan dengan cara memberi penomoran/
pengkodean sesuai dengan sistem yang dipilih
(menggunakan sistem digit atau huruf). Hal
terakhir yang dilakukan dalam proses penyuntingan adalah menyunting bahasa. Membaca
kembali tulisan, untuk menyelaraskan pengetikan (akar tidak terjadi salah ketik), ejaan, tata
bahasa, pilihan kata, keefektifan kalimat, dan
pengembangan paragraf. Bahkan kalau perlu
juga mengedit kalimatnya, atau urut an
paragrafnya.Dengan demikian setelah diteliti
kembali, tulisan menjadi lebih baik dan tentu
saja mudah ditangkap informasi yang ingin
disampaikan kepada pembaca.
PENUTUP
Menulis sebenarnya sangat mudah, hanya
membutuhkan kemauan, keberanian, dankomitmen untuk duduk dan menulis.Peka terhadap
isu terkini merupakan modal yang sangat bermakna. Membiasakan mencatat topik meru60
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
pakan modal untuk menjadi penulis besar.
Banyak membaca dapat memperkaya topik,
kosakata, pengetahuan, dan wawasan menulis
yang baik. Meluangkan waktu untuk menulis.
Banyak orang memiliki waktu luang hanya
digunakan untuk hal-hal yang kurang bahkan
tidak bermanfaat. Menggunakan waktuuntuk
menulis merupakan cara yang tepat untuk
menjadi penulis. Memilih waktu untuk menulis
adalah satu cara untuk bisa melahirkan suatu
tulisan. Penulis yang berhasil, sebagian besar
adalah orang yang mampu memaksa dirinya
untuk duduk dan menulis satu-dua kalimat
menjadi satu—dua halaman setiap hari. Dari
satu-dua halaman itulah nantinya dapat menjadi
ratusan halaman dalam beberapa waktu ke
depan. Menulis itu harus memiliki kemauan
dan keberanian, terutama keberanian untuk
memulai.Mari kita mulai sekarang.
Bahan Bacaan
Brown, Thomas. “Writing the Novel û
Setting”.dalamhttp://www.suite101.com/
Dwiatmoko, IGN Joko. ht tp://edukasi.
kompasiana.com/2010/05/21/proseskreatif-menulis/.
Pasaribu, Truly Almendo.http://pelitaku.
sabda.org/proses_ kreatif_menulis_novel
Salamah, Umi. 2014. Menulis Kreatif. Malang:
Anak Ceria Kreatif Production.
Saukah, Ali (Ed). 2009. Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah. Malang: Universitas
Negeri Malang.
Tarigan, HG. 1988. Menulis. Jakarta: Gramedia
ht t p: //idkf.bo gor.net /yuesbi/ e-DU.KU/
edukasi.net/Peng.Pop/Kiat.Belajar/
Menulis.Mudah/all.htm.
http://writingcenter.unc.edu/handouts/sciences/
http://www.writersdigest.com/editor-blogs/
there-are-no-rules/keep-it-simple-keysto-realistic-dialogue-part-ii
http://www.lifehack.org/articles/communication/a-guide-to-becoming-a-bett erwriter-15-practical-tips.html
https://www.insidehighered.com/news/2013/
08/29/study-finds-too-many-adjectivesand-adverbs-detract-academic-writing
ht t p : / / w w w. flo g g in g t he q u ill. c o m/
flo g g ing _ t he _ q uill/ 2 0 0 6/ w e ek 6 /
index.html
http://literarydevices.net/cliche/
http://writingcenter.unc.edu/handouts/cliches/
http://www.shmoop.com/news/2010/07/13/
b e s t - o p e n in g - lin e s - lit e r a t u r e /
Shmoop.com
h t t p s : / / w w w. e s s e x . a c . u k / m y s k i l l s /
How_to_improve_your_academic_writing.pdf
http://spinsucks.com/entrepreneur/reading-fiction-helps-your-career/ Spinsucks
https://www.themuse.com/advice/10-simpleways-to-become-a-better-writer
https://www.themuse.com/advice/10-simpleways-to-become-a-better-writer
Moto
Kita tidak harus hebat saat memulai
Tetapi kita bisa memulai utuk menjadi hebat
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
61
Training of Scientific Writing for EFL
Teachers in Papua:
Writing A Classroom Action Research
Proposal
LaluSuhirman
Abstract
The aims of this paper are: (1) to enhance EFL Teachers’ competence and skill in writing scientific paper
of investigation result, (2) to produce scientific articles of EFL teachers’ investigation (minimally produce an action research proposal).This training was given to PLPG teachers’ group of certification.
There were 33 EFL teachers active in this training activity. The contents of the materials are how to
discovery theme and the topic, how to write a proposal of classroom action research, and how to arrange
a report of classroom action research, then how to create it into a scientific article. By having these skills,
it is expected that they are able to arrange their own action research and change it into scientific article so
that raise their position and prosperity. The training activities took 10 hours and at the end of the training
the participants were obliged to submit a classroom action research proposal. The instructor of this training offers them a complete assistance for those who want to conduct real classroom action research. After
evaluated each proposal project submitted by the EFL teachers, all of them had misconception of deciding
research design, 45,45% EFL teachers were able to identify the research problems, themes, topics well,
30,30% of them described the frame of research theory, quoted and paraphrased expert’s ideas or sentences well and only 7 or 21,21% of them used and stated references 20 or more than 20 titles.
Key Words: training, scientific writing, classroom action research, article, paper
Law is to establish a good quality national
teaching power, proûcient in the four key comAround the world, there has been an inpetency domains, namely pedagogical, profescreasing shift away from concern with access
sional, personal and social.
to a concern with quality in the educational
Arguably, the new policy is the culminasystems of developing countries. If Indonesia
tion of several previous attempts to improve
is to keep up with global trends in this regard,
the quality of teachers as a means to improving
it must actively campaign to improve the qualthe overall quality of education, following a
ity of its teachers, with the poor performance
number of preceding policies and strategies
of Indonesian students attributed to the general
initiated to improve the quality and competency
inadequacies of its teachers, Jalal et al, 2009).
of teachers (Jalal et al, 2009). These policies
To address this issue, the government enacted
and strategies were established in response to
the Teacher and Lecturer Law (The Law No.
the situation and dynamics of the education
14 Year 2005, hereafter called Teacher Law) in
sector at particular points in time. We know,
order to provide a much-needed incentive for
there were changes brought by the Teacher Law
teachers to improve their qualiûcations and pro14/2005, the teacher certification program is a
fessional skills. The rationale of the Teacher
Introduction
62
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
culmination of several attempts to improve
teacher quality. Learning from past experiences,
the government designed the new program to
tackle various aspects for improvement, including competency, academic qualiûcation,
certiûcation, welfare, and status and reward
systems for teachers.
Given the complexity of teachers’ problems in Indonesia, the key challenge is how to
implement suitable policy and strategy in line
with the context of the environment (Jalal et
al, 2009). The Teacher Law 14/2005 has been
the most comprehensive strategy yet adopted
for overall teacher quality improvement. Its
design has directed a signiûcant number of interrelated strategies and activities towards
teacher quality improvement. Its chance of success is therefore greater than in the past. Still
on the Teacher Law, it mandates a package of
reforms to improve teacher quality and applies
these equitably to the whole teaching service.
This is the ûrst time such a comprehensive and
uniûed strategy has been adopted.
Essentially, the teacher certiûcation program attempts to improve on the previous teaching license program. According to the Teacher
Law, teachers are required to meet two conditions. First, all teachers are required to have a
minimum academic qualiûcation of at least four
years of post-secondary education (S1 or D4).
Second, having achieved this academic
qualiûcation, in-service teachers have to pass a
portfolio test. Pre-service teachers have to undertake one or two semesters of professional
training in order to obtain training credits and
pass a certiûcation examination before they can
enter the teaching profession.
To provide suûcient incentive for teachers to conform with the Teacher Law, certiûed
teachers will receive the professional allowance, which will essentially double their base
salary as a civil servant. In addition to that,
certiûed teachers, who are assigned to remote
or disadvantaged areas, will receive a special
allowance which is also equal to their base sal-
ary. Therefore, certiûed teachers who are deployed in a remote and disadvantage areas, can
earn up to three times the salary of their noncertiûed counterparts. It is important, however,
to ensure that the monetary incentive really
improves teacher classroom performance. It is
also important to complement this monetary
incentive with other incentives in order to ensure that there will be sustained professional
development among teachers.
Certified teachers are admitted as professional teachers who have mastered four teachers’ competencies as stated in Teacher Law,
namely pedagogical, professional, personal and
social. One of important professional development for teacher is writing scientific paper
which is triggered on enhancing instructional
quality through classroom action research,
(Hendaryana, 2010, Kemendikbud, 2012).
Based on the Ministry of PAN and RB regulation No. 16 year 2009 about teacher’s functional
post ant its credit points indicated the types of
activity for teacher’s continuous professional
development (CPD) includes personal development (training and education), scientific publication (research result or innovative ideas on
field of formal education, and instructional textbooks, reinforcement textbooks and teacher’s
book guide), innovative work (finding effective technology, finding or create art work, create and modify instructional media), and take
part on composing test standard, (Kemendikbud, 2012).
Indeed, theactivities ofteacher certificationin the formPLPG(Education and Training
Professional Teacher) listedone of thetraining
materialsis about classroom action researchandwriting scientific paper. Number oftraining
hoursfor this subject matter listed 10hours, divided into twoforms ofactivities, 4hours for
classroom lecturing and discussingand the
rest6hoursused topracticewriting proposalsin
dividually. Within 6hoursisused by participantstothe consultationandassistance toitsCAR
(Classroom Action Research)proposalfor betProsiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
63
ter result. At theend of the programparticipantsare required tosubmit aresearch proposal
ofclassroomaction research.
The participants of this training were EFL
teachers who had nominated and registered
PLPG participants at LPMP (Educational Quality Assurance Institution)in Papua. They were
33 EFL teachers, 25 of them were Secondary
High School teachers and the rest, 8 of them
were Senior High School teachers. All of them
were graduations of S-1. Beforetraining
onwriting scientific papersandCARunderway,
the instructorconductedFGD(Focus Group Discussion) to find outhow manyof theparticipantswho have experiencein writingscientific
papers. FGD results, noneof the33English
teacherswhoparticipatedin PLPG(Education
and Training Teacher ’s Profession) has
experienceon writingscientific papers. When
the instructor askedabout thescientific
activitiesthat have been attended by the participants, such asseminars of researchresults,
theyalsoclaimed that theynever participated. If
thelatestpromotionrule isapplied, it will be
manyteachersface difficultyfor the higher
promotionbecause they do nothave scientific
articles. Therefore, it seemsthat necessary to
conduct anactivitythat can improvethe
understandingandskills of teachersin the field
ofprofessional development work, especiall
ywritingscientificarticlesand research results.
This will be donethroughPLPG activity.
Problems
Considering the teachers’ understanding
and skill that are lacking on writing scientific
paper, therefore the teachers consider it necessary to hold this activity immediately. Identification and formulation problems based on the
teachers’ information in FGD, then some of the
problems were identified as follows: (1) the
teachers do not have any experience, knowledge and skill about writing scientific papers,
(2) the performance of teachers in conducting
scientific activities are still lacking.
64
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Objectives
The aims of this paper are: (1) to enhance
EFL Teachers’ competence and skill in writing
scientific paper of investigation result. (2) produce scientific articles of EFL teachers’ investigation (minimally produce an action research
proposal).
Significance
The significance of this activity is to (1)
deliver the template of writing scientific article, and (2) contribute direct experiences to
EFL teachers about the procedure of writing
scientific article, therefore the EFL teachers are
able to produce scientific article which is possibly ready to be published on accredited journal.
Methods
Training activity was conducted by using various methods including FGD (Focus
Group Discussion) which asked participants’
experiences in writing scientific papers or attending scientific forums and found out the reasons in accordance with the experience of writing scientific papers/ research or attending other
scientific forums (seminar, symposium, conference). Furthermore, ice breaking as the beginning of this activity was to encourage the participants began to focus on training activity of
writing scientific articles and CAR (Classroom
Action Research) only. In addition, the method
used is a tutorial or lecture, dialogue, and practice. In the tutorial session, participants was
presented how the systematic of scientific writing and CAR was, as well as how to transform
research results into reports of scientific articles
for publication in the journal. At the end of the
activity, participants were given the opportunity individually to practice their writing scientific papers in the form of classroom action
research proposal. Trainees are given the freedom to determine the topics and titles of scientific papers each, but must be related to the
theme of EFL instruction.
CAR proposal made by the participants
corrected and evaluatedby the instructor. Then,
each proposal returned back to the owner/writer
with some corrections as feedback, finally the
writers can revise their own proposal and they
are able to conduct CAR at their own school.
As long as theyconduct classroom action research, they aregiven the opportunity toconsulttheirresearch reportsviamentor’s/instructor’s email address.
Results and Discussions
Evaluation ofthe resultsas describedin
themethodology above, training ofscientific
thesiswas divided intotwo stages, namely
thelearning phase or lecturing in the classroom
todiscuss thetheoryandsystematic of writingscientific papersand the second stagewasthe
practice ofwritingscientific papers. At this stage
ofthe practice ofwritingscientific workwas
focusedonhowto writea research proposalin a
classroom action researchin accordance with
thesystematicsdescribed inthe lecturephase.
SystematicsCARproposalbeginsby revealing
theidealconditionsthatmust be achieved inthe
learning process. Then it was continued with
the identificat ion ofproblemsthat come
fromstudents, teachers, facilities and infrastructure andthe environment. After that, presentedsolutions offeredinclude sexcessandrationaleapproach, method, techniqueormedia
offered.
Training analysis in the form of quality
was aimed at threethings, namely thelecturing,
practicewritingscientific papers, and paperproductsin the form ofCARproposal. It could be
concludedthat this activitywas going well. It
was basedon the observationsduringthe training process. Whatwas observedwasthat participantstook partina seriousbut relaxedandenergetic. During thetraining processtook
place, boththe first sessionandthe second session, the participants wereaskeda lot to dowith
the writing processand theelements thatshould
be writtenin theCARproposal. Allparticipants
continued tofollowthe entire processuntil
theactivityends. Almost nosignifican tobstac
leforthe implementation ofthese activities. The
participants were veryenthusiasticto ask
questionsandwrote downtheir CAR proposals.
On the stage ofthe practice ofwriting scientific papers(CAR proposal), theywroteserio
uslyandeachparticipantgeneratedaCAR proposal because they rememberedtheenactment
oflegislationof the Ministryof Admini stra
tiveand Bureaucratic Reform16in year 2009
about the Teacher’s functional position and
credit point states that one ofteachers’ professional developmentthroughscientific papershad
to becarried outby teacherssince takingrankIII/
b. Problems in the field showe dthatteache
rsinthese groupsexperience barriersin the preparation ofscientific workasone of there quirements inthe promotion/ position on higherlevel.
These obstaclesare possible becauseof teacher
competencein writing scientific papersare still
notin accordancewith the requirements.
Interview andfocus group discussions
withparticipantsindicatedthatall thepar ticipan
tsclaimed that they did not experiences of writing scientific papers. Althoughthey weregra
duations of S-1buttheywere notwriting a
thesisorpaper. Thenthe results ofthe evaluation
ofproduct in form CAR proposalt hatall
participantssubmitted them.After evaluatingthe
content ofthe participants’ CAR proposals, It
was foundthat15 (45.45%) of participants composed CARproposalwassuitablewith the systematic ofrealCARproposal, whiletherest 18
(54.54%) of participantscomposeduntidy. On
thebackground ofthe problem,15(45.45%) participants could describe completely, while
54.54% participants incomplete.
All participants had misconception of
deciding research design, whereas the characteristic of CAR is cyclic step (Norton, 2009,
Mertler, 2009). It was found that there 15
(45,45%) EFL teachers were able to identify
the research problems, themes, topics well. 10
(30,30%) of them described the frame of reProsiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
65
search theory, quoted and paraphrased expert’s
ideas or sentences well, while the rest 23
(69,70%) were not clear. In the usage of reference, only 7 (21,21%) participants utilized
references 20 or more than 20 titles, 5 (15,15%)
used 10 titles of books, while the rest 21
(36,37%) used references less than 10 titles of
books.
Conclusions
It can be concludedthat this activitywas
going well. It was basedon the observations
duringthe trainingprocess. The participantstook
partintraining activity seriouslybut relaxe
dandenergetic. During thetraining processtook
place, boththe first sessionandthe second session, the participants wereaskeda lot to dowith
the writing processand theelements thatshould
be writtenin theCARproposal. Allparticipants
continued tofollowthe entire processuntil
theactivityends. Almost nosignifican tobsta
cleforthe implementation ofthese activities. The
participants were veryenthusiasticto ask question sandwrote downtheir CAR proposals.On
the stage ofthe practice ofwritingscientific papers (CAR proposal), theyw rote seriouslyan
deachparticipantgeneratedaCAR proposal.
Recommendations
The activity of scientific writing possibly programed well by the stakeholders to give
much opportunity for teachers to hone their
writing skills and also the product of their writing or other form of scientific activities will be
useful for teachers’ future position.
66
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
References
Hendaryana . 2010. Penguatan Kemitraan
Kelembagaan antara Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI) dengan
PemerintahProvinsiJawa Barat. UPI
Jalal, F., Samani,M., Chang, M.C., Stevenson,
R., Ragatz, A.B., Negara, S.D., 2009.
Teacher Certiûcation in Indonesia: A
Strategy for Teacher Quality Improvement. Jakarta: Ministry of National Education, Directorate General of Higher
Education.
Kemendikbud. 2012. Kebijakan Pengembanagan Profesi Guru: Materi
Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru.
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Mertler, C.A., 2009. Action Research: Teachers as Researchers in the Classroom.
(2Ed.) Singapore: Sage.
Norton, L.S., 2009. Action Research: in Teaching and Learning. New York: Routledge
UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN
MENULIS MATEMATIS SISWA DALAM
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Yuniawatika ([email protected])
Harti Kartini([email protected])
Jurusan KSDP Prodi PGSD Universitas Negeri Malang
ABSTRAK
Permasalahan dalam tulisan ini adalah kemampuan menulis siswa masih rendah. Kemampuan menulis
merupakan salah satu aspek dari kemampuan komunikasi matematis yang perlu dikembangkan dalam
pembelajaran matematika. Kemampuan menulis matematis dapat dilakukan melalui representasi matematis,
yaitu (a) aspek drawing, yakni memunculkan model konsep, seperti gambar, diagram, tabel, dan grafik;
(b) aspek mathematical expressions, yakni membentuk model matematis; dan (c) aspek written text, yakni
argumentasi verbal yang didasarkan pada gambar dan konsep-konsep formal.Dalam tulisan ini akan dibahas
mengenai alternatif strategi pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan menulis
matematis pada pembelajaran matematika yaitu strategi Writing from a Prompt dan Writing in Performace
Tasks (WPWT) dan Think Talk Write (TTW).
Kata Kunci: kemampuan menulis matematis, Writing from a Prompt dan Writing in Performace
Tasks(WPWT), Think Talk Write (TTW).
A. Pendahuluan
National Council of Teacher Mathematics (2000)menetapkan bahwa terdapat 5
keterampilan proses yang perlu dimiliki siswa
melalui pembelajaran matematika yang tercakup dalam standar proses, yaitu: (1) pemecahan masalah (problem solving); (2) Penalaran
dan pembuktian (reasoning and proof); (3)
Komunikasi (communication); (4) Koneksi
(connection); dan (5) Representasi (representation). Keterampilan-keterampilan tersebut
termasuk pada berpikir matematika tingkat
tinggi (high order mathematical thinking) yang
harus dikembangkan dalam proses pembelajaran matematika.
Kemampuan-kemampuan matematis di
atas khususnya kemampuan siswa dalam komunikasi matematik sangat diperlukan. Kemampuan komunikasi matematik merupakan
salah satu kompetensi dasar yang harus dimiliki
siswa dalam pembelajaran matematika yang
mencakup kegiatan siswa dalam menyampaikan laporan, gagasan dan ide, baik secara
lisan maupun tulisan(yuniawatika, 2011:4).
Baroody (Ansari, 2003) menyebutkan sedikitnya ada dua alasan pent ing mengapa
komunikasi dalam pembelajaran matematika
perlu ditumbuhkembangkan. Pertama, mathematics as language, artinya matematika tidak
hanya sekedar alat bantu berpikir, alat untuk
menemukan pola, menyelesaikan masalah atau
mengambil kesimpulan, tetapi matematika juga
digunakan sebagai alat untuk menyampaikan
ide atau gagasan secara jelas, ringkas, dan tepat.
Kedua, mathematics learning as social activity, artinya sebagai aktivitas sosial dalam pembelajaran matematika, matematika juga sebagai
wahana interaksi antar siswa, dan juga
komunikasi antara guru dan siswa. Hal ini
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
67
merupakan bagian penting untuk memelihara
potensi matematis siswa.
Pentingnya kemampuan komunikasi
matematis diungkapkan oleh NCTM (2000)
yang menyatakan bahwa komunikasi adalah
proses penting dalam belajar matematika,
melalui komunikasi siswa dapat merenungkan
dan memperjelas ide-ide matematika dan
menghubungkan antar konsep matematika
sehingga siswa menjadi jelas, meyakinkan dan
tepat dalam menggunakan bahasa matematika.
Baroody (Ansari, 2003:21) menyatakan bahwa
ada lima aspek dalam kegiatan komunikasi
matematis, yaitu (a) representing, (b) listening,
(c) reading, (d) discussing dan (e) writing.
Mengacu pada pandangan di atas, dapat
dikatakan bahwa menulis merupakan salah satu
dari aspek komunikasi matematis yang perlu
dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Kemampuan menulis tidak saja
diperlukan untuk bahasa Indonesia, matematikapun memerlukan kemampuan menulis
matematis. Dengan menulis siswa dapat
mengungkapkan atau merefleksikan gagasan
dan ide-idenya lewat tulisan dan dari tulisan
matematis dapat diketahui sejauhmana siswa
dapat mengungkapkan pemahaman matematisnya dan kemampuan menuliskan apa yang
dipahaminya tersebut secara tertulis. Banyak
orang mampu mengungkapkan ide atau gagasan
dalam bentuk komunikasi lisan namun ketika
diungkapkan dalam bentuk tulisan tidak semua
orang mampu melakukannya. Pada tulisan ini
akan dibahas mengenai alternatif strategi
pembelajaran yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kemampuan menulis matematis
pada pembelajaran matematika.
B. Kemampuan Menulis Matematis
Menurut KBBI, pengertian menulis
adalah melahirkan pikiran atau perasaan
(seperti mengarang, membuat surat) dengan
tulisan.Menulis berarti menuangkan isi hati dan
pikiran penulis ke dalam bentuk tulisan,
sehingga maksud dari penulis bisa diketahui
68
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
banyak orang melalui tulisan yang dituliskan.
Aktivitas menuangkan ide-ide atau gagasan
secara tertulis yang berkaitan dengan matematika merupakan bagian dari menulis
mat emat is.Aktivitas menulis mat emat is
merupakan representasi dari ide/gagasan
matematis seseorang yang divisualisasikan
dalam bentuk simbol-simbol grafis maupun
simbol-simbol matematis.
Wujud representasi yang sering digunakan dalam mengomunikasikan matematika
dalam bentuk tulisan antara lain tabel (tables),
gambar (drawing), grafik (graph), ekspresi atau
notasi matematis (mathematical expressions),
serta menulis dengan bahasa sendiri baik formal maupun informal (written text).
Beberapa hal berikut ini perlu diperhatikan dalam menulis matematis. Knuth
(Junaedi, 2007:28) menyatakan bahwa dalam
menulis matematis seharusnya mengikuti cara
berikut ini.
1. Memisahkan simbol-simbol yang berbeda
dari kata
Kurang Baik : Perhatikan Sq, q < p
Baik : Perhatikan Sq, dengan q < p
2. Tidak memulai kalimat dengan simbol
Kurang Baik
: xn – a, dengan n ‘“ 0
Baik : suku banyak xn – a, dengan n ‘“ 0
3. Tidak menggunakan simbol-simbol Û, Þ,
$, \, ‘, “, dan lain-lain di awal teks kalimat,
kecuali digunakan pada logika
4. Menulis kalimat atau teorema secara
lengkap
Kurang Baik : h kontinu
Baik : fungsi h merupakan fungsi yang
kontinu terhadap x
Tokoh yang lain mencoba mengklasifikasi konsep menulis. Menurut Sipka
(Junaedi, 2007:29) menulis matematis dibagi
dalam dua kategori yaitu kategori informal dan
formal. Menulis matematis yang termasuk
dalam kategori informal meliputi: (a) in-class
writing; (b) math autobiographies; (c) reading logs; (d) journals; dan (e) letters. Yang
termasuk dalam kategori menulis matematis
formal meliputi (a) proof; (b) process papers;
(c) summaries of journal articles; (d) solution
of journal problems; (e) research papers; dan
(f) lecture/learning notes.
Tipe menulis in-class writing dibagi
menjadi dua yakni focused writing dan free
writing. Pembelajaran menulis melalui focused
writing dit andai dengan terlebih dahulu
menentukan topik-topik atau tugas-tugas
matematis. Penentuan pemilihan topik atau
tugas dapat dilakukan oleh guru maupun oleh
siswa. Kemampuan menulis matematis dapat
dikembangkan dengan cara pemberian tugas
seperti: menyelesaikan soal uraian, membuat
rangkuman (summary), menuliskan hasil
diskusi mengidentifikasi atau menentukan
langkah-langkah menyelesaikan suatu soal,
tugas-tugas matematis, atau mendiskusikan
topik-topik tertentu.
Untuk mengungkap kemampuan menulis
matematis dapat dilakukan dengan berbagai
cara. Salah satunya dengan memberikan tugastugas matematis. Tugas-tugas tersebut tentunya
harus disesuikan dengan tingkat perkembangan
mental siswa. Misalnya dalam memberikan
tugas menulis pada siswa yang berada pada
tahap operasi konkrit, siswa dapat dibantu
dengan gambar atau alat peraga yang
memudahkan siswa dalam menuangkan
gagasan atau ide-idenya. Tugas-tugas menulis
matematis dapat membantu guru dalam
memantau kinerja dan pemahaman siswa.
Dengan menulis guru dapat melihat proses
maupun hasil dari apa yang siswa pikirkan dan
pahami yang kemudian dituangkan melalui
tulisan.
Aktivitas menulis matematis tersebut
dapat dilakukan melalui representasi matematis
(Ansari, 2004). Ada tiga kategori dalam
representasi matematis, yaitu (a) aspek drawing, yakni memunculkan model konsep, seperti
gambar, diagram, tabel, dan grafik; (b) aspek
mathematical expressions, yakni membentuk
model matematis; dan (c) aspek written text,
yakni argumentasi verbal yang didasarkan pada
gambar dan konsep-konsep formal.Secara
lengkap bentuk-bent uk operasional dari
representasi matematik dapat dilihat pada Tabel
berikut.
Tabel 1. Bentuk-bentuk Operasional Representasi Matematik
No
Representasi
1 Representasi Visual:
a. Diagram, grafik atau tabel
2
3
ï‚·
b. Gambar
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Persamaan atau ekspresi
matematik
ï‚·
Kata-kata atau teks tertulis
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Bentuk-bentuk Operasional (Indikator)
Menyajikan kembali data atau informasi dari suatu representasi ke
representasi diagram, grafik, atau tabel
Menggunakan representasi visual untuk menyelesaikan masalah
Membuat gambar pola-pola geometri
Membuat gambar bangun geo metri untuk memperjelas masalah
dan memfasilitasi penyelesaiannya
Membuat persamaan atau model matematika dari representasi lain
yang diberikan
Membuat konjektur dari suatu pola bilangan
Penyelesaian masalah dengan melibatkan ekspresi matematika
Membuat situasi masalah berdasarkan data atau representasi yang
diberikan
Menuliskan interpretasi dari suatu representasi
Menuliskan langkah-langkah penyelesaian masalah matematika
dengan kata-kata
Menyusun cerita yang sesuai dengan sesuatu representasi yang
disajikan
Menjawab soal dengan menggunakan kata-kata atau teks tertulis
Sumber: Yuniawatika, 2011:26
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
69
C. Pembahasan
Keterampilan menulis (kemahiran menulis) tidak datang dengan sendirinya. Trianto
(Junaedi, 2007:22) menyatakan bahwa
kemahiran menggunakan bahasa tulis adalah
kemahiran yang diperoleh melalui pengajaran,
pembelajaran, dan pelatihan, yang dilakukan
secara bertahap. Salah satu Pembelajaran matematika yang dapat meningkatkan kemampuan
menulis matematis adalah pembelajaran dengan
strategi Writing from a Prompt dan Writing in
Performace Tasks(WPWT) dan Think Talk
Write (TTW).
1. Strategi Writing from a Prompt dan Writing in Performace Tasks (WPWT)
Strategi pembelajaran Writing from a
Prompt dan Writing in Performace Tasks
(WPWT)ini dirancang untuk membantu siswa
menjelaskan pemahaman-pemahaman matematis siswa yang telah dipelajari melalui tugas.
Tugas-tugas menulis matematis diupayakan
memuat urutan-urutan atau prosedur kerja
sehingga tujuan yang hendak dicapai menjadi
jelas. Berikut salah satu cara untuk meningkatkan kualitas menulis matematis: (a) tulis
solusi dari suatu masalah sehingga pembaca
mengetahui permasalahannya; (b) tunjukkan
semua pekerjaan atau proses solusinya, termasuk perhitungan; (c) tulisan diorganisir ke
dalam tahap demi tahap, buatlah diagram atau
tabel sehingga mudah dibaca; (d) baca kembali
apa-apa yang telah dikerjakan termasuk katakata dan perhitungannya; dan (e) tampilkan
pekerjaan yang terbaik, rapi, dan mudah untuk
dibaca (NCTM, 2000).
Penerapan strategi Writing from a Prompt
dan Writing in Performace Tasks (WPWT)
dilakukan denganlangkah-langkah pembelajaran sebagai berikut ini (Aryani, 2010:38).
a. Guru sebelum pembelajaran dimulai
terlebih dahulu menentukan tujuan pembelajaran dan menyampaikan hasil yang
diharapkan set elah pembelajaran ini
dilakukan. Misalnya diakhir pembelajaran
70
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
b.
c.
d.
e.
f.
g.
siswa harus dapat membuat kesimpulan
atau rangkuman materi pembelajaran
secara tertulis.
Sebelum pembelajaran dimulai terlebih
dahulu ditentukan apakah pembelajaran
akan dilakukan secara klasikal at au
kelompok kecil (4-5 orang).
Guru menyediakan dan memberikan tugastugas matematis kepada siswa. Tugas-tugas
ini dirancang dengan disertai beberapa
alternatif prompt.
Siswa diminta menyelesaikan tugas dengan
terlebih dahulu diberi kesempatan mengerjakan tugas tanpa memperoleh bantuan
prompt, baik pembelajaran secara klasikal
maupun secara kelompok kecil. Respon
siswa terhadap suatu tugas dilakukan secara
tertulis
Bila siswa gagal menyelesaikan tugas,
maka guru memberikan bantuan berupa
prompt. Untuk pembelajaran dengan kelompok kecil prompt diberikan secara
kelompok, demikian juga untuk pembelajaran secara klasikal prompt diberikan
secara klasikal atau individual
Setelah siswa memperoleh prompt, siswa
diminta untuk menyelesaikan tugas kembali
Hasil kerja siswa disajikan secara tertulis.
Untuk siswa yang bekerja secara berkelompok maupun klasikal tetap diminta untuk
menuliskan hasil secara individual. Semua
hasil karya siswa didokumentasikan
sebagai bagian tugas-tugas menulis
matematis dan dinilai perkembangannya
oleh guru
Melalui strategi ini, secara bertahap siswa
akan terbiasa menuliskan konsep matematis
dengan bahsa sendiri. Dengan demikian,
strategi ini dirasa tepat dan sangat mendukung
dalam upaya peningkatan kemampuan menulis
matematis.
2. Strategi Think Talk Write (TTW)
Strategi pembelajaran TTW ini pada
intinya yaitu proses pembelajaran matematika
yang dimulai dengan berpikir, berbicara, dan
diakhiri dengan menulis. Secara umum, proses
pembelajaran TTW ini dimulai dengan aktivitas
siswa untuk berpikir (think) setelah diberikan
permasalahan matematika yang dapat diberikan
dalam bentuk LAS (lembar aktivitas siswa).
Pada tahapan ini, siswa memikirkan kemungkinan solusi dari permasalahan matematika
yang diberikan.
Tahap kedua yaitu berbicara (talk) atau
mendiskusikan bersama kelompoknya yang
heterogen mengenai permasalahan matematika
yang sudah dipikirkan sebelumnya oleh tiaptiap individu. Pada tahapan ini siswa
menggunakan bahasa untuk menyajikan ide
kepada temannya, membangun teori bersama,
berbagi strategi solusi, dan membuat definisi,
proses tersebut dapat melatih kemampuan
komunikasi lisan siswa. Selanjutnya, siswa
diminta menjelaskan ide-ide yang diperolehnya
dari tahap pertama dan kedua dalam bentuk
tulisan (write). Aktivitas siswa pada tahap write
ini menurut Ansari (2003), adalah:
a. menulis solusi terhadap masalah/pertanyaan yang diberikan termasuk perhitungan,
b. mengorganisasikan semua pekerjaan
langkah-demi-langkah. Baik penyelesaiannya ada yang menggunakan diagram,
grafik, ataupun tabel agar mudah dibaca
dan ditindaklanjuti,
c. Mengoreksi semua pekerjaan sehingga
yakin t idak ada pekerjaan ataupun
perhitungan yang ketinggalan, dan
d. meyakini bahwa pekerjaannya yang terbaik
yaitu lengkap, mudah dibaca dan terjamin
keasliannya.
Strategi dirasa tepat dan sangat mendukung dalam upaya peningkatan kemampuan
menulis matematis. Dalam TTW, terdapat tiga
strategi yang harus diterapkan dalam pem-
belajaran, yaitu: Think(berpikir), Talk
(berbicara), dan Write (menulis). Dalam tiga
strategi tersebut terlihat bahwa strategi ini dapat
membantu merangsang untuk meningkatkan
kemampuan menulis matematis siswa. Pada
tahap pertama yaitu think, siswa diminta untuk
memikirkan kemungkinan-kemungkinan solusi
dari permasalahan yang diberikan oleh guru.
Pada strategi ini menuntut guru untuk dapat
memberikan permasalahan-permasalahan yang
memungkinkan siswa terlibat secara aktif
berpikir seperti soal-soal yang mempunyai
jawaban divergen atau open ended task serta
permasalahan-permasalahan yang kemungkinan solusinya dapat dituliskan dalam berbagai
bentuk, misalnya tabel, gambar, notasi-notasi
matematis maupun dalam bentuk kata-kata.
Dari penjelasan diatas terlihat bahwa strategi
think dapat memfasilitasi kegiatan siswa dalam
proses menulis matematis.
Strategi yang kedua yaitu Talk, siswa
dapat saling berbagi pendapat dan membandingkan pendapat yang ia punya dan
dapatkan dari tahap pertama dengan temanteman kelasnya di kelompok kecil yang heterogen. Pada tahap ini, membuat siswa menyatukan berbagai pendapat menjadi satu kesimpulan logis terhadap konsep yang sedang
dipelajari.Pemberian kesempatan untuk berdiskusi dengan teman sebayanya ini membuat
proses belajar mengajar menjadi lebih mudah
dan menyenangkan, karena pemahaman
masalah dan penjelasan solusi dari masalah
dengan menggunakan bahasa mereka sendiri.
Proses diskusi yang terjadi akan membantu
siswa untuk mengevaluasi kebenaran jawaban
yang telah diperoleh untuk kemudian dapat
dijelaskan didepan teman-teman kelasnya. Hal
ini mengasah keberanian dan kepercayadirian
siswa untuk mengungkapkan apa yang mereka
pahami serta meningkatkan kemampuan komunikasi lisan siswa. Guru memonitor, menilai,
dan mendorong siswa untuk berpartisipasi
secara aktif.
Kemampuan menulis matematis siswa
diasah dalam strategi write ini, dimana kemungkinan solusi yang didapatkan dari think
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
71
dan talkdirepresentasikan dalam bentuk tulisan.
Melalui penjabaran di atas dapat terlihat bahwa
st rategi TTW dapat mempengaruhi dan
mengasah kemampuan menulis matematis
siswa. Diharapkan dari strategi ini dapat
meningkatkan kemampuan menulis matematis
siswa.
Aryani, K. (2010). Peningkatan Kemampuan
Menulis dan Pemahaman Konsep Matematika Melalui Pembelajaran dengan
Strategi Writing From A Prompt dan Writing In Performance Tasks Pada Siswa
SMP. Tesis PPS UPI Bandung: tidak
diterbitkan.
Hudiono, B. (2005). Peran Pembelajaran
Diskursus Multi Representasi terhadap
D. Penutup
Pengembangan Kemampuan Matematik
Kemampuan menulis matematis dapat
Siswa SLTP. Disertasi Pada Program
dilakukan melalui representasi matematis, yaitu
Pasca Sarjana UPI Bandung: tidak
(a) aspek drawing, yakni memunculkan model
diterbitkan.
konsep, seperti gambar, diagram, tabel, dan
Junaedi, I. (2007). Pembelajaran Matematika
grafik; (b) aspek mathematical expressions,
dengan Strategi Writing In Performance
yakni membentuk model matematis; dan (c)
Tasks (Wipt) Untuk Meningkatkan
aspek written text, yakni argumentasi verbal
Kemampuan Menulis Matematis. http://
yang didasarkan pada gambar dan konsepdownload.portalgaruda.org/art icle.
konsep formal.
php?article=136803&val=5678. [online]
Alternatif pembelajaran matematika yang
[23 Mei 2015].
dapat meningkatkan kemampuan menulis
Junaedi, I. (2007). Meningkatkan Kemampuan
matematis yaitu pembelajaran dengan strategi
Menulis dan Pemahaman Matematis
Writing from a Prompt and Writing in
Melalui Pembelajaran dengan Strategi
Performace Tasks (WPWT) dan Think Talk
Writing From a Prompt and Writing In
Write (TTW). Adapun rekomendasi yang dapat
Performance Tasks pada Siswa
diajukan dalam artikel ini yaitu diperlukan
Madrasah Ibtidaiyah. Disertasi Pada Prokajian yang mendalam (penelitian) yang
gram Pasca Sarjana UPI Bandung: tidak
berkaitan dengan impelementasi strategi Writditerbitkan
ing from a Prompt and Writing in Performace
National Council of Teacher of Mathematics.
Tasks (WPWT) dan Think Talk Write (TTW).
(2000). Principles and Standards for
School Mathematics. Reston: NCTM.
Yuniawatika. (2008). Penerapan Metode ThinkBIBLIOGRAFI
ing Aloud Pair Problem Solving (TAPPS)
untuk Meningkatkan Kemampuan
Ansari, B.I. (2003). Menumbuhkan KemamKomunikasi Matematik Siswa SMP.
puan Pemahaman dan Komunikasi Siswa
SKripsi Sarjana UPI Bandung: tidak
SMU Melalui Strategi Think-Talk-Write.
diterbitkan.
Disertasi PPS UPI Bandung: tidak
diterbitkan.
72
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
PENGGUNAAN MIND MAPPING UNTUK
MENINGKATKAN KETERAMPILAN
MENULIS LAPORAN PENGAMATAN
SISWA KELAS V SD INPRES PERUMNAS I
JAYAPURA
Oleh:
Ribut Kusmiwati
ABSTRAK
Kusmiwati, Ribut (2011) Penggunaan Model Mind Mapping untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis
Laporan Pengamatan Siswa Kelas V SD Inpres Perumnas I – Jayapura.
Kata Kunci: Mind Mapping, Menulis Laporan Pengamatan.
Rendahnya kemampuan siswa dalam
menulis atau mengarang diindikasi adanya
perlakuan yang kurang tepat pada proses
pembelajaran. Guru masih melakukan pembelajaran tradisional dan mendominasi pembicaraan. Sedangkan siswa menjadi pendengar
dan penerima materi pembelajaran. Penelitian
ini dilakukan untuk melihat tingkat keberhasilan pembelajaran dan pengaruhnya terhadap kemampuan siswa dalam menulis
laporan pengamatan dengan menggunakan
metode mind mapping.
Mind mapping dicetuskan oleh Tony
Buzan, merupakan peta pikiran yang membantu
mempermudah mengingat informasi. Tujuan
dari penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan
peningkatan keterampilan menulis laporan
pengamatan siswa kelas V SDN Inpres Perumnas I-Jayapura, dengan menggunakan metode
mind mapping;(2) mengembangkan kemampuan berpikir siswa guna melaporkan pengamatan siswa kelas V SDN Inpres Perumnas IJayapura, secara sinergis sesuai model mind
mapping, dan (3) mengetahui apakah penggunaan metode mind mapping dapat meningkatkan keterampilan menulis siswa kelas V
SDN Inpres Perumnas I-Jayapura.
Rancangan penelitian yang digunakan
adalah Penelitian Tindakan Kelas yang dilaksanakan dalam tiga siklus, berdasarkan skematik penelitian Suyadi dengan adaptasi model
Arikunto yang mengikuti empat langkah, yaitu
(1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi. Penelitian ini melibatkan peneliti, teman sejawat, kepala sekolah,
pengawas sekolah, dan dosen pembimbing
untuk menentukan perencanaan, pelaksanaan,
observasi, dan refleksi pada setiap siklusnya.
Penelitian ini dilaksanakan pada semester
genap tahun pembelajaran 2011-2012. Subjek
penelitian adalah siswa kelas V SD Inpres
Perumnas I sebanyak 31 siswa.
Keberhasilan dan kekurangberhasilan
tindakan berdasarkan hasil tulisan siswa yang
berupa laporan pengamatan yang dilakukan
pada setiap siklusnya. Peningkatan kemampuan
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
73
siswa dapat dilihat dari nilai rata-rata yang
dihasilkan siswa sejak prasiklus sebesar 56,74
dengan kriteria kurang berhasil, pada siklus I
sebesar 62,03 masih dalam kriteria kurang
berhasil, siklus II sebesar 71,35 dengan kriteria
cukup berhasil, dan siklus III sebesar 77,65
dengan kriteria berhasil. Berdasarkan hasil
penelitian, disarankan kepada para guru untuk
menggunakan metode mind mapping dalam
pembelajaran.
A. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Setiap manusia dibekali dengan kemampuan dasar. Kemampuan dasar ini tumbuh
dan berkembang apabila dibina dan dilatih.
Dalam proses pembelajaran di sekolah, siswa
dibina dan dilatih oleh guru untuk mengembangkan kemampuan dasar tersebut, agar
menjadi keterampilan secara intelektual, sosial,
maupun fisik. Siswa tidak hanya tahu ‘apa yang
harus dipelajari’ tetapi lebih penting siswa harus
menyadari ‘bagaimana cara mempelajarinya’.
Menurut Abdillah (2002) dalam Aunurrahman
(2009:35) belajar merupakan “Suatu usaha
sadar yang dilakukan oleh individu dalam
perubahan tingkah laku baik melalui pelatihan
dan pengalaman yang menyangkut aspek-aspek
kognitif, afektif, dan psikomotorik untuk
memperoleh tujuan tertentu.”
Kecerdasan merupakan alat untuk belajar,
menyelesaikan masalah, dan menciptakan
semua hal yang bisa digunakan oleh manusia.
Gardner dalam As’adi Muhammad (2010:78)
mengatakan: “Kecerdasan linguistik adalah
kemampuan untuk menyusun pikiran dengan
jelas dan mampu menggunakan bahasa secara
kompeten melalui kata-kata, seperti bicara,
membaca, dan menulis.” Semua bidang kajian
ilmu senantiasa berawal dari bahasa. Oleh
karena itu, pengetahuan tent ang bahasa
merupakan bekal yang sangat penting bagi
siswa dalam meningkatkan kemampuan
dasarnya. Pembelajaran bahasa Indonesia di
74
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
sekolah meliputi empat keterampilan berbahasa
yang harus dikuasai oleh siswa, yaitu keterampilan menyimak, keterampilan berbicara,
keterampilan membaca, dan keterampilan
menulis. Keempat keterampilan berbahasa
tersebut saling berkaitan dan melalui urutan
yang teratur. Umumnya keterampilan menyimak mendahului oleh keterampilan berbicara, kemudian keterampilan membaca, dan
terakhir keterampilan menulis.
Keterampilan menulis merupakan salah
satu keterampilan berbahasa yang memegang
peranan penting dalam pembelajaran bahasa
Indonesia yang harus dikuasai oleh setiap siswa
di sekolah. Seperti yang dikemukakan oleh
Suparno & Mohamad Yunus (2007: 1.7) bahwa:
“Menulis dan membaca adalah kegiatan
berbahasa tulis. Pesan yang disampaikan
penulis dan diterima oleh pembaca dijembatani
melalui lambang bahasa yang dituliskan.”
Menulis merupakan kegiatan yang
dilakukan seseorang untuk menghasilkan
sebuah tulisan. Kemampuan menulis merupakan kemampuan yang sangat kompleks,
karena dalam menulis atau mengarang dituntut
untuk mampu menggunakan ejaan yang benar,
kosa kata yang tepat, kalimat yang efektif, serta
penggunaan kerangka karangan yang baik.
Siswa dapat mengembangkan daya nalar
dan menyusun kerangka karangan dengan
mudah apabila kemampuan berpikirnya dikembangkan seluas-luasnya. Untuk itu mind mapping diperlukan karena dapat membantu otak
untuk belajar dan berpikir secara kreatif.
Dengan memahami cara kerja otak, maka kita
akan semakin mudah melakukan kinerja yang
sangat baik. mind mapping merupakan suatu
sistem pembelajaran yang dapat membantu
menggunakan kemampuan berpikir dan belajar
dengan mengoptimalkan daya pikir otak,
sehingga siswa akan dapat menuangkannya
dalam bentuk tulisan.
Telah banyak penelitian tentang menulis
dengan memaksimalkan kinerja otak yang
dilakukan oleh peneliti terdahulu. Hasilnya
antara lain: Menurut Erna Febru (2008:3),
bahwa proses dan hasil peningkatan keterampilan menulis deskripsi siswa kelas IV SD
Islam Sabilillah Malang melalui strategi roulette writing mengalami peningkatan pada
aspek-aspek: (1) penuangan ide, (2) pengorganisasian ide, (3) pemilihan dan penggunaan
kosakata, serta (4) penerapan unsur mekanik.
Hal ini mendukung pendapat Admin (2010:9)
dalam penelitiannya pada siswa SDN Tanjakan
kelas VA Cicadas-Bandung dalam menulis
karangan prosa dengan menggunakan media
gambar. Penggunaan media gambar dapat
meningkatkan pengembangan model pembelajaran secara nyata. Hal ini dapat dilihat dari
pola interaksi guru dan siswa yang ditunjukkan
dengan adanya peningkatan minat, partisipasi
aktif dan kreativitas siswa selama mengikuti
pembelajaran.
Begitu pula hasil penelitian Rini Mulyani
(2008:11) pada siswa kelas V SDN Kencana 3
Kota Bogor, mengatakan bahwa “Metode mind
map dapat membantu anak unt uk
mempermudah dalam menulis karangan prosa
yang dibantu dengan media gambar yang
disesuaikan dengan materi pelajaran yang
disampaikan.” Sejalan dengan pandangan Rini
Mulyani, Kusmellyati (2010) mengatakan
bahwa “Penerapan metode mind mapping dapat
meningkatkan kemampuan siswa kelas VII A
SMP Negeri Ambunten Kabupaten Sumenep
dalam menarasikan teks hasil wawancara
pada matapelajaran Bahasa Indonesia.
Penelitian-penelit ian di atas dapat
dijadikan acuan dalam penggunaan metode
mind mapping untuk menulis laporan hasil
pengamatan. Dengan Penggunaan mind mapping dapat membantu siswa untuk memetakan
pikirannya terhadap objek yang diamati agar
dapat dideskripsikan dalam sebuah tulisan.
1.2. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian adalah
untuk meningkatkan keterampilan menulis
laporan hasil pengamatan melalui pendekatan
mind mapping. Secara khusus tujuan penelitian
ini adalah:
(1) Untuk mendeskripsikan penggunaan model
mind mapping dalam peningkat an
ket erampilan menulis laporan hasil
pengamatan siswa kelas V SDN Inpres
Perumnas I-Jayapura.
(2) Unt uk mengembangkan kemampuan
berpikir siswa guna melaporkan hasil
pengamatan siswa kelas V SDN Inpres
Perumnas I-Jayapura, secara sinergis sesuai
model mind mapping.
(3) Untuk mengetahui apakah penggunaan
mind mapping dapat meningkatkan
keterampilan menulis siswa kelas V SDN
Inpres Perumnas I-Jayapura.
1.3. Manfaat Penelitian
Berdasarkan judul penelitian “Peningkatan Keterampilan Menulis Melalui Mind
Mapping Siswa Kelas VA SDN Inpres
Perumnas I”, sehingga diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi siswa, guru, dan
sekolah.
(1) Bagi siswa, melalui proses pembelajaran
dengan menggunakan mind mapping
diharapkan dapat mengembangkan daya
nalar dan memberikan motivasi untuk lebih
mengembangkan keterampilan menulis. Di
samping itu, penelitian ini diharapkan dapat
menciptakan konsep kerjasama dan
menumbuhkan kecintaan siswa untuk
belajar.
(2) Bagi guru, hasil penelitian ini diharapkan
dapat memperkaya wawasan, meningkatkan strategi pembelajaran, serta mendapatkan data siswa-siswi yang memiliki
bakat kecerdasan linguistik, yang selanjutnya akan digunakan untuk membina dan
mengarahkan siswa, agar dapat mengembangkan bakat atau kecerdasannya secara
maksimal.
(3) Bagi sekolah, hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan keterampilan
menulis para siswa, sehingga dapat
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
75
meningkatkan mutu lulusan yang akan
membawa nama baik sekolah dan akan
menjadikan sekolah unggulan di mata
masyarakat.
diatur agar siswa duduk berhadapan, sehingga
memudahkan siswa untuk berdiskusi dan
mengerjakan tugas kelompok. Cara pengaturan
ruang kelas ini berbeda pada pertemuan kedua.
Pada pertemuan kedua pengaturan meja tetap
secara berkelompok tetapi dengan bentuk
memanjang. Hal ini dimaksudkan agar tidak
B. PEMBAHASAN PENELITIAN
terjadi diskusi atau saling menyontek pekerjaan
2.1 Paparan Data Penelitian
teman dan siswa pun bisa lebih berkonsentrasi
Penelitian dengan judul “Penggunaan dalam menulis laporan hasil pengamatannya.
Selain mengajar, selama proses pemModel Mind Mapping Untuk Meningkatkan
Ket erampilan Menulis Laporan Hasil belajaran guru juga melakukan observasi
Pengamatan Siswa Kelas V SDN Inpres terhadap keaktifan siswa dalam mengikuti
Perumnas I – Jayapura” ini dilaksanakan dalam pelajaran. Hasil observasi digunakan oleh guru
tiga siklus berpangkal pada nilai siswa saat pra untuk memperoleh informasi reaksi siswa
siklus. Setiap siklus dilaksanakan sebanyak dua terhadap model pembelajaran, selain itu inforkali pertemuan, pertemuan pertama dilaksana- masi juga diperoleh melalui lembar wawancara
kan selama tiga jam pelajaran dan pertemuan yang dilakukan setelah proses pembelajaran di
kedua selama dua jam pelajaran. Materi siklus luar jam belajar.
Guru menggali informasi melalui peI adalah ’Tempat yang Berhubungan dengan
Pengobatan’, siklus II ’Pasar Swalayan’, dan ngamat/observer untuk mengetahui bagaimana
siklus III ’Kegiatan yang ada di Lingkungan kesan siswa selama pembelajaran menulis
Sekolah’. Data dipaparkan secara sistematis laporan hasil pengamatan dengan mengdari data awal, data siklus I , data siklus II, dan gunakan metode mind mapping. Selain itu
data siklus III dengan menggunakan metode untuk mengetahui kekurangan yang telah
penelitian deskriptif. Teknik persentase digu- dilakukan selama proses pembelajaran
nakan untuk mengukur peningkatan kualitas sehingga dapat digunakan sebagai bahan
pembelajaran menulis laporan hasil penga- refleksi untuk melakukan perbaikan pada siklus
berikutnya.
matan.
Sebelum melaksanakan tindakan pembeSebelum melaksanakan tindakan pembelajaran, guru menyusun RPP pada setiap siklus. lajaran, guru menyusun RPP pada setiap siklus.
Kompetensi dasar yang dipilih adalah menulis Kompetensi dasar yang dipilih adalah menulis
laporan pengamatan atau kunjungan berdasar- laporan pengamatan atau kunjungan berdasarkan tahapan (catatan, konsep awal. perbaikan, kan tahapan (catatan, konsep awal. perbaikan,
dengan memperhatikan penggunaan ejaan. dengan memperhatikan penggunaan ejaan.
Selain itu guru mempersiapkan lembar LKS Selain itu guru mempersiapkan lembar LKS
dengan mengumpulkan foto-foto yang diambil dengan mengumpulkan foto-foto yang diambil
dari tempat-tempat yang berhubungan dengan dari tempat-tempat yang berhubungan dengan
pengobatan, misalnya di rumah sakit, Pus- pengobatan, misalnya di rumah sakit, Puskesmas, Apotek, dan klinik terdekat. Foto-foto kesmas, Apotek, dan klinik terdekat. Foto-foto
yang sudah diambil selanjutnya disortir sesuai yang sudah diambil selanjutnya disortir sesuai
dengan tugas yang diberikan pada tiap dengan tugas yang diberikan pada tiap
kelompok.
kelompok.
Agar proses pembelajaran lebih inovatif,
Agar proses pembelajaran lebih inovatif,
maka pada pertemuan pertama ruang kelas maka pada pertemuan pertama ruang kelas
76
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
diatur agar siswa duduk berhadapan, sehingga
memudahkan siswa untuk berdiskusi dan
mengerjakan tugas kelompok. Cara pengaturan
ruang kelas ini berbeda pada pertemuan kedua.
Pada pertemuan kedua pengaturan meja tetap
secara berkelompok tetapi dengan bentuk
memanjang. Hal ini dimaksudkan agar tidak
terjadi diskusi atau saling menyontek pekerjaan
teman dan siswa pun bisa lebih berkonsentrasi
dalam menulis laporan hasil pengamatannya.
Selain mengajar, selama proses pembelajaran guru juga melakukan observasi terhadap
keaktifan siswa dalam mengikuti pelajaran.
Hasil observasi digunakan oleh guru untuk
memperoleh informasi reaksi siswa terhadap
model pembelajaran, selain itu informasi juga
diperoleh melalui lembar wawancara yang
dilakukan setelah proses pembelajaran di luar
jam belajar.
Guru menggali informasi melalui pengamat/observer untuk mengetahui bagaimana
kesan siswa selama pembelajaran menulis
laporan hasil pengamatan dengan menggunakan metode mind mapping. Selain itu
untuk mengetahui kekurangan yang telah
dilakukan selama proses pembelajaran
sehingga dapat digunakan sebagai bahan
refleksi untuk melakukan perbaikan pada siklus
berikutnya.
2.2.1 Pelaksanaan Tindakan Pembelajaran
Siklus I
Langkah pertama sebelum persiapan
pembelajaran adalah membagi siswa menjadi
enam kelompok. Pada siklus I ini, t iap
kelompok ditugaskan untuk mengamati tempattempat yang berhubungan dengan pengobatan.
Tugas ini dilakukan di luar jam pelajaran dan
setiap kelompok mendapatkan tugas yang
berbeda tempat pengamatannya. Pembentukan
kelompok didasarkan gaya belajar siswa. Setiap
kelompok diwakili oleh siswa yang bertipe auditorial, visual, dan kinestik. Anggota setiap
kelompok terdiri dari laki-laki dan perempuan
yang berjumlah 5-6 orang siswa, yang digabung
antara siswa yang berkemampuan kurang,
sedang, dan pandai.
Sebelum dimulai proses pembelajaran,
terlebih dulu dipersiapkan segala sesuatu yang
dibutuhkan dalam proses pembelajaran dengan
menggunakan model mind mapping. Setelah
segala sesuatunya siap, dilakukan apersepsi
melalui tanya jawab dengan siswa mengenai
hal-hal yang berhubungan dengan materi yang
akan dipelajari. Setelah itu barulah disampaikan
materi pelajaran, serta tujuan setelah proses
pembelajaran selesai.
Pada saat proses pembelajaran, siswa
ditunt un untuk membuat mind mapping
berdasarkan gambar rumah sakit yang ditempel
di tengah selembar kertas manila, kemudian
dilakukan tanya jawab dengan siswa mengenai
gambar tersebut. Jawaban siswa akan ditulis
pada cabang-cabang yang memancar dari
gambar sentral dengan menggunakan spidol
warna-warni sehingga membentuk peta pikiran.
Tujuan penggunaan spidol warna-warni agar
menarik dan merangsang daya nalar siswa pada
saat proses pengamatan terhadap gambar
tersebut. Setelah pembuatan mind mapping
selesai dilaksanakan, siswa dituntun untuk
menyusun kerangka karangan berdasarkan
mind mapping tersebut. Setelah diketahui
langkah-langkah pembuatan mind mapping,
kemudian dibagikan LKS berisi foto yang
berbeda kepada setiap kelompok sesuai tugas
yang telah diberikan sebelum proses pembelajaran, dan masing-masing kelompok diberi
tugas untuk membuat mind mapping melalui
foto yang sudah dipasang di lembar LKS.
Selanjutnya siswa menyusun kerangka karangan berdasarkan model mind mapping yang
telah dibuat dalam kelompok. Pada pertemuan
pertama, kegiatan hanya sampai penyusunan
kerangka karangan.
Pertemuan kedua kegiatan dilanjutkan
dengan membuat laporan hasil penelitian secara
mandiri dengan menggunakan kerangka
karangan yang telah disusun serta tetap
memperhatikan model mind mapping yang
telah dibuat bersama teman sekelompok.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
77
Setelah selesai menulis, siswa diminta untuk
menukarkan hasil laporannya dengan kelompok
lain agar mendapatkan koreksi dari teman. Pada
saat memeriksa ini siswa berusaha mencari
kesalahan tanda-tanda baca, penulisan huruf
yang tidak sesuai dengan EYD, atau penggunaan diksi yang kurang tepat. Setelah pekerjaannya selesai diperiksa oleh teman, kemudian
siswa memperbaikinya agar hasilnya lebih
sempurna.
Pembelajaran ditutup dengan melakukan
refleksi bersama siswa. Refleksi pembelajaran
dilakukan dengan mengulang materi
pembelajaran melalui tanya jawab. Pemberian
penghargaan dilakukan oleh guru dengan
menentukan kelompok terbaik dan mengajak
semua siswa bertepuk tangan. Semua siswa
diberi semangat untuk selalu belajar dan rajin
membaca agar mempunyai perbendaharaan
kosa kata yang semakin banyak, sehingga lebih
mudah menuangkan pikirannya ke dalam
tulisan.
2.2.2 Analisis Keberhasilan Tindakan Pada
Siklus I
Pada tahap ini keterlibatan siswa sudah
mulai tampak, tetapi tidak semuanya. Hal ini
disebabkan masih ada siswa yang belum
konsentrasi dalam mengerjakan tugas yang
diberikan, ada siswa yang masih terlihat
canggung untuk mengerjakan tugas yang
diberikan, sedangkan siswa yang lain terlihat
masih ada yang tidak mau membantu teman
dalam kelompok.
Suasana kelas yang menarik penuh
dengan tantangan dirasakan oleh siswa. Kelas
terasa hidup, suasana santai dan penuh
kerjasama menambah semangat siswa dalam
mengerjakan tugas-tugas. Pembelajaran yang
penuh dengan t antangan dan kerjasama
kelompok ini berdampak pada peningkatan
kemampuan siswa. Keberhasilan dapat dilihat
dari perbedaan nilai yang diperoleh siswa
sebelum pelaksanaan tindakan dan sesudah
proses pembelajaran berlangsung.
78
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Pada siklus I ini kriteria “berhasil” dicapai oleh 3 siswa atau sebesar 9,68%. Perolehan akhir siswa dalam pembelajaran siklus I
dapat dilihat pada table berikut.
Tabel 1 Nilai Laporan Pengamatan Siklus I
Rentang
Nilai
92 - 100
Frekuensi
0
Presentase
(%)
0
Keterangan
Sangat Berhasil
82 - 91,9
0
0
Berhasil Sekali
72 - 81,9
3
9,68
Berhasil
62 - 71,9
10
32,26
Cukup Berhasil
52 – 61,9
17
54,84
Kurang Berhasil
42 – 51,9
1
3,22
Belum Berhasil
Tabel di atas menunjukkan perolehan
nilai siswa berdasarkan sebaran nilai. Jumlah
siswa dalam sebaran nilai 72 – 81,9 sebanyak
3 siswa, 10 siswa dalam sebaran nilai 62 – 71,9,
dan 17 siswa dalam sebaran nilai 52 – 61,9,
serta sebanyak 1 siswa dalam sebaran nilai 42
– 51,9.
2.3.1 Pelaksanaan Tindakan Pembelajaran
Siklus II
Tindakan siklus II merupakan perbaikan
proses pembelajaran pada siklus I. Tema yang
diangkat pada siklus II adalah Pasar swalayan.
Berdasarkan rencana pelaksanaan pembelajaran
yang telah disusun, guru menyampaikan
pembelajaran dengan menggunakan peralatan
LCD untuk menayangkan rekaman video yang
telah dipersiapkan. Penggunaan LCD akan
menarik perhatian siswa untuk ingin tahu lebih
banyak, sehingga siswa lebih antusias dalam
mengikuti proses pembelajaran.
Sebelum pelaksanaan proses pembelajaran, terlebih dahulu guru memeriksa kesiapan kelas, memeriksa kehadiran siswa, dan
menyiapkan media pembelajaran. Setelah itu
guru melakukan apersepsi dengan menggiring
siswa pada materi pelajaran melalui tanya jawab
yang berkaitan dengan tema pelajaran. Setelah
itu guru menginformasikan materi pembelajaran dan tujuan pembelajaran kepada siswa.
Pembelajaran diawali dengan penayangan rekaman video tentang pasar tradisional.
Setelah menonton tayangan film, guru mengajak siswa untuk membuat mind mapping
bersama-sama dan menyusunnya sampai
menjadi sebuah kerangka karangan. Pada
kegiatan ini siswa dilibatkan secara aktif untuk
menuangkan peta pikirannya pada cabangcabang mind mapping yang dibuat di papan
tulis. Sebagai tayangan untuk tugas yang akan
dikerjakan oleh siswa, guru menampilkan
rekaman video pasar swalayan. Siswa diminta
untuk membuat mind mapping dan menyusun
kerangka karangan bersama teman sekelompoknya. Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan
pada siklus II pertemuan pertama.
Pada pertemuan kedua siswa menulis
karangan berdasarkan kerangka karangan yang
sudah disusun, kemudian menukarkan hasil
pekerjaannya dengan teman lain unt uk
dikoreksi, setelah itu memperbaiki tulisannya
berdasarkan koreksi dari teman.
Pada akhir kegiatan pembelajaran, siswa
diajak untuk menyimpulkan kegiatan pembelajaran yang sudah terlaksana pada pertemuan
hari itu, selain itu guru bersama-sama dengan
siswa merefleksi proses pembelajaran yang
sudah berlangsung, dan sebagai penguatan guru
memberi tugas kepada siswa untuk banyakbanyak membaca buku apa pun, karena buku
adalah sumber pengetahuan, sehingga siswa
akan memiliki kosa kata yang semakin banyak.
Hasil observasi pembelajaran pada siklus
II melalui lembar pengamatan yang dilakukan
di sela-sela proses pembelajaran menunjukkan
bahwa reaksi belajar siswa semakin menunjukkan adanya peningkatan. Selain dengan
lembar pengamatan, guru juga memperoleh
informasi melalui lembar wawancara yang
dilakukan setelah proses pembelajaran di luar
jam belajar.
Dari hasil pengamatan para pengamat,
guru dapat menggali informasi yang lebih
banyak untuk mengetahui bagaimana kesan
siswa selama pembelajaran menulis laporan
hasil pengamatan dengan menggunakan model
mind mapping. Selain itu, guru juga mendapatkan beberapa masukan untuk mengetahui
kekurangan yang telah dilakukan selama proses
pembelajaran sehingga dapat digunakan
sebagai bahan refleksi untuk melakukan
perbaikan pada siklus berikutnya.
2.3.2 Analisis Keberhasilan Tindakan
Pada saat proses pembelajaran sedang
berlangsung, semua siswa tampak sudah terlibat
secara aktif. Suasana kelas yang menarik penuh
dengan tantangan dirasakan oleh siswa. Kelas
terasa hidup, suasana santai dan penuh
kerjasama menambah semangat siswa dalam
mengerjakan tugas-tugas. Pembelajaran yang
penuh dengan t antangan dan kerjasama
kelompok ini berdampak pada peningkatan
kemampuan siswa. Hasil penilaian proses pada
siklus II menunjukkan adanya kemajuan
dibandingkan pada siklus I Rata-rata siswa
mengikuti pembelajaran dengan semangat. Ada
suasana kompetisi antar kelompok. Hasil yang
dicapai pada siklus II lebih meningkat. Ratarata perolehan nilai 71,35 dengan kriteria cukup
berhasil. Jumlah siswa yang berhasil sebanyak
15 siswa atau 48,39 %. Berikut adalah data
perolehan nilai yang diperoleh pada siklus II.
Tabel 4.2 Nilai Laporan Pengamatan Siklus II
Rentang
Nilai
Frekuensi
Presentase
(%)
Keterangan
92 - 100
0
0
Sangat Berhasil
82 - 91,9
0
0
Berhasil Sekali
72 - 81,9
15
48,39
Berhasil
62 - 71,9
14
45,16
Cukup Berhasil
52 – 61,9
2
6,45
Kurang Berhasil
42 – 51,9
0
0
Belum Berhasil
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
79
Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan
bahwa jumlah siswa dalam sebaran nilai 72 81,9 sebanyak 15 siswa, 14 siswa dalam sebaran
nilai 62 - 71,9, dan 2 siswa dalam sebaran nilai
52 – 61,9, serta tidak ada siswa dalam sebaran
nilai 40 – 52,5.
2.4.1 Pelaksanaan Tindakan Pembelajaran
Siklus III
Tindakan siklus III merupakan perbaikan
proses pembelajaran pada siklus II. Tema yang
diangkat adalah lingkungan sekitar sekolah.
Berdasarkan rencana pelaksanaan pembelajaran
yang telah disusun, guru menyampaikan pembelajaran dengan menggunakan peralatan LCD
untuk menayangkan film karton yang telah
dipersiapkan.
Sebelum pelaksanaan proses pembelajaran, terlebih dahulu guru memeriksa
kesiapan kelas, memeriksa kehadiran siswa,
dan menyiapkan media pembelajaran. Setelah
itu guru melakukan apersepsi dengan mengajak
siswa menyanyikan lagu ’Bangun Tidur ’
dilanjutkan dengan tanya jawab yang mengantar siswa pada kegiatan yang ada di rumah.
Hal ini berhasil membuat siswa penuh perhatian
secara fisik dan mental, sehingga siswa akan
lebih berantusias dalam mengikuti pelajaran.
Setelah guru menyampaikan tujuan pembelajaran.
Guru menayangkan film karton tentang
kegiatan rutin yang dilakukan oleh sebuah
keluarga yang memiliki dua orang anak dan
mengerjakan semua pekerjaan secara bergotong-royong. Setelah menonton tayangan film
tersebut, guru mengajak siswa untuk membuat
mind mapping bersama-sama dengan membuat
gambar di tengah papan tulis dan meminta
siswa untuk menuliskan kata-kata kunci pada
cabang-cabang dan anak-anak cabang mind
mapping. Pada kegiatan ini siswa dilibatkan
secara aktif untuk menuangkan pikirannya pada
cabang-cabang mind mapping yang dibuat di
papan tulis. Setelah menyusun kerangka
karangan, guru menayangkan contoh kerangka
80
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
karangan yang dinarasikan dalam sebuah
karangan.
Kegiatan berikutnya adalah pemberian
tugas pengamatan kepada siswa. Sebelum siswa
melaksanakan tugasnya, terlebih dahulu guru
menjelaskan teknis pelaksanaan tugas. Setelah
siswa memahami tugas yang dijelaskan oleh
guru, guru pun meniup peluit dan para siswa
segera keluar kelas untuk memulai pengamatan
terhadap lingkungan sekitar sekolah. Setelah
kurang lebih sepuluh menit siswa mengamati,
guru meniup peluit untuk kedua kalinya sebagai
tanda pengamatan telah selesai dan saatnya
siswa untuk mengerjakan tugas berikutnya.
Setelah itu siswa diminta untuk membuat
mind mapping secara berkelompok. Siswa
berkumpul di kelompoknya masing-masing dan
mendiskusikan hasil pengamatannya, kemudian
menuangkannya dalam peta pikiran model mind
mapping. Setelah mind mapping terbentuk,
barulah siswa menyusun kerangka karangan
agar pada pertemuan berikutnya dapat diuraikan
dalam laporan hasil pengamatannya.
Pada pertemuan berikutnya siswa menulis karangan berdasarkan kerangka karangan
yang sudah disusun, kemudian menukarkan
hasil pekerjaannya dengan teman di kelompok
lain untuk mendapatkan koreksi. Setelah hasil
pekerjaannya dikembalikan, kemudian setiap
siswa memperbaiki tulisannya berdasarkan
koreksi dari teman.
Pada akhir kegiatan pembelajaran, siswa
diajak untuk menyimpulkan kegiatan pembelajaran yang sudah terlaksana pada pertemuan hari itu. Selain itu, guru bersama-sama
dengan siswa merefleksi proses pembelajaran
yang sudah berlangsung dengan mengadakan
kuis yang dilaksanakan dengan menyanyi lagu
’Potong Bebek Angsa’ sambil bergantian
memegang kotak soal. Barang siapa memegang
kotak pada saat lagu dihentikan, maka dia harus
mengeluarkan satu soal kemudian membacakan
soal tersebut dan menjawabnya. Sebagai
penguatan guru memberi tugas kepada siswa
untuk menerapkan pembuatan mind mapping
pada pelajaran apa pun karena dapat membantu
mempermudah mengingat pelajaran yang sudah
disampaikan oleh guru. Agar pengetahuan
semakin luas, maka siswa harus banyak
membaca buku apa pun karena buku adalah
sumber pengetahuan.
Guru melakukan pengamatan terhadap
siswa selama proses pembelajaran berlangsung.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui keaktifan
siswa dalam mengikuti pelajaran. Hasil
observasi pembelajaran yang dilakukan pada
siklus III melalui lembar pengamatan yang
dilakukan di sela-sela proses ini pembelajaran
menunjukkan bahwa reaksi belajar siswa
semakin meningkat. Hal ini juga ditunjukkan
oleh hasil yang diperoleh siswa semakin
menunjukkan adanya peningkatan yang cukup
signifikan.
Hasil pengamatan, guru dapat menggali
informasi yang lebih banyak untuk mengetahui
bagaimana kesan siswa selama pembelajaran
menulis laporan hasil pengamatan dengan
menggunakan metode mind mapping. Selain itu
guru juga mendapatkan beberapa masukan
untuk mengetahui kekurangan yang telah
dilakukan selama proses pembelajaran, sehingga dapat digunakan sebagai bahan masukan
untuk melakukan peningkatan pada kegiatan
pembelajaran berikutnya.
2.4.2 Analisis Keberhasilan Tindakan Pada
Siklus III
Seperti halnya pada siklus-siklus sebelumnya, analisis dan keberhasilan tindakan
dilakukan selama dan sesudah pelaksanaan
pembelajaran. Pengamat dan kolaborator
mengamati perilaku siswa dan guru dengan
menggunakan lembar observasi. Fokus pengamatan terhadap siswa mencakup keterlibatan
siswa dari awal hingga akhir pelajaran.
Kelas terasa hangat dengan adanya
nyanyian dan permainan, yang membuat siswa
lebih bersemangat untuk belajar, Suasana santai
dan penuh kerjasama menambah semangat
siswa dalam mengerjakan tugas-tugas. Pembelajaran yang penuh dengan tantangan dan
kerjasama kelompok ini berdampak pada
peningkatan kemampuan siswa. Antusias siswa
menonjol, terutama saat menjawab pertanyaan
atau pun menyampaikan ide yang ada dalam
pikirannya. Pencapaian hasil pada siklus III
lebih meningkat dibanding hasil pada siklus II.
Rata-rata perolehan nilai adalah 77,65 dengan
kriteria berhasil. Jumlah siswa yang berhasil
sekali sebanyak 2 siswa atau 6,45 %. Berikut
adalah data perolehan nilai yang berhasil
dikumpulkan pada siklus III.
Tabel 4.3 Nilai Laporan Pengamatan Siklus III
Rentang
Nilai
Frekue nsi
Presentase
( %)
Keterangan
92 - 100
0
0
Sangat Berhasil
82 - 91,9
2
6,45
Berhasil Sekali
72 - 81,9
27
87,10
Berhasil
62 - 71,9
2
6,45
Cukup Berhasil
52 – 61,9
0
0
Kurang Berhasil
42 – 51,9
0
0
Belum Berhasil
Berdasarkan tabel di atas, dapat dijelaskan bahwa jumlah siswa dalam sebaran
nilai 82 – 91,9 sebanyak 2 siswa, dan 27 siswa
dalam sebaran 72 - 81,9, serta 2 siswa dalam
sebaran nilai 62 – 71,9. Tidak ada lagi siswa
yang mendapatkan nilai dalam sebaran 52 –
61,9 dan 42 – 51,9. Peningkatan siswa pada
siklus III cukup tajam. Hal ini disebabkan
pengamatan siswa yang tidak lagi melalui media gambar atau rekaman video, tetapi langsung
pada objek yang diteliti.
Perbedaan hasil yang dicapai siswa sejak
masa pra siklus, Siklus I, Siklus II, dan Siklus
III dapat dilihat pada grafik berikut.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
81
C. PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan tujuan penelitian, analisis
data, dan pembahasan yang telah dilakukan,
dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut:
(1) Keterampilan menulis laporan hasil pengamatan bagi siswa kelas V SD Inpres
Perumnas I Jayapura dapat ditingkatkan
Grafik 4.4 Perbandingan Nilai Prasiklus, Siklus I,
dengan menggunakan metode mind mapSiklus II, dan Siklus III
ping. Cabang-cabang mind mapping dapat
memacu daya pikir siswa agar semakin berBerdasarkan grafik di atas dapat dilihat
kembang luas ke anak-anak cabang, dengan
hasil penilaian sejak pra penelitian hingga siklus
penggunaan warna-warni yang membantu
III menunjukkan adanya kenaikan. Siswa dalam
daya imajinasi siswa untuk mengingat lebih
kategori ’berhasil’ menunjukkan adanya pebanyak tentang apa yang dipikirkannya.
ningkatan sebanyak 52,38%, sedang siswa yang
Perumnas I Jayapura,
dalam kategori ’cukup berhasil’ menunjukkan (2) Untuk melaporkan hasil pengamatannya,
penurunan yang cukup tajam (45,23%),
dapat dilihat dari hasil tulisan siswa yang
sehingga siswa yang dikategorikan ’kurang
semakin meningkat dari siklus I, siklus II,
berhasil’ pun sudah tidak tampak lagi, hal ini
hingga siklus III.
berarti menurun sebesar 7,15%. Pada siklus III (3) Dengan menggunakan metode mind mapini sudah tidak ada siswa yang dimasukkan
ping prestasi siswa dalam menulis laporan
dalam kategori ’kurang berhasil’ dan ’tidak
hasil pengamatan semakin menunjukkan
berhasil,’ sehingga penggunaan metode mind
adanya peningkatan. Hal ini terbukti dari
mapping dalam menulis laporan hasil pengahasil olah nilai yang diperoleh siswa setelah
matan ini dapat dikatakan brazil.
proses pembelajaran dari siklus I, siklus II,
Keberhasilan siswa selama mengikuti
hingga siklus III. Sebelum dilakukan
pembelajaran dengan menggunakan model
penelitian prestasi rata-rata siswa kelas V
mind mapping, ialah siswa dapat mengemSD Negeri Inpres 5.81 Perumnas I Waena
- kota Jayapura hanya 56,74. Pada siklus I
bangkan daya pikirnya secara tertulis dengan
prestasi siswa meningkat sebesar 5,27,
membuat peta pikir model mind mapping.
sehingga menjadi 62,03. Pada siklus II
Menurut Tony Buzan (2010:4) Mind map
prestasi rata-rata siswa meningkat lagi
adalah cara termudah untuk menempatkan
sebesar 9,32, sehingga menjadi 71,35. Pada
informasi ke dalam otak yang diambil dari luar
siklus III meningkat lagi sebesar 6,30,
otak, mind map adalah cara mencatat kreatif,
sehingga menjadi 77,65.
efektif, dan secara harfiah yang akan memetakan pikiran-pikiran kita. Dengan membuat
peta pikir model mid map, siswa akan dapat 3.2 Saran-saran
mengembangkannya sehingga menjadi kerangBerdasarkan keberhasilan yang dicapai
ka karangan yang padu. Berdasarkan kerangka dan simpulan-simpilan yang disajikan, maka
karangan yang padu itulah, siswa akan dapat guru dapat memberikan beberapa saran yang
menulis sebuah karangan yang berbentuk berkaitan dengan pengembangan model pembelaporan hasil pengamatan.
lajaran yang menyenangkan bagi siswa, antara
lain:
82
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
(1) Setiap guru hendaknya memiliki kemauan
untuk meningkatkan wawasan, pengetahuan, dan keterampilan dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran di kelas. Peningkatan
kualitas guru dalam pembelajaran akan
berdampak pada keberhasilan siswa dalam
proses pembelajaran, sehingga siswa
mendapat tambahan ilmu, pengetahuan,
keterampilan, dan dapat mengembangkan
bakat melalui proses yang menyenangkan
dan bermakna.
(2) Setiap guru hendaknya memahami metode
mind mapping, sehingga dapat menerapkan
metode ini dalam proses pembelajaran,
terutama untuk melaporkan hasil pengamatan siswa terhadap suatu objek.
(3) Metode mind mapping juga dapat diterapkan pada mata pelajaran lain. Dengan
menuangkan materi pelajaran yang telah
dipelajari pada cabang-cabang mind mapping, siswa dapat menghemat waktu belajar
dan mengingat lebih banyak apa yang telah
dipelajarinya. Buku yang tebal bisa
dipelajari dalam satu lembar atau beberapa
lembar kertas saja.
(4) Mind mapping juga dapat digunakan oleh
para guru untuk merencanakan semua
kegiatan yang akan dilakukannya, sehingga
tidak akan ada hal yang terlewatkan dan
pekerjaan dapat dilaksanakan dengan rapi
dan tuntas.
(5) Para peneliti selanjutnya diharapkan agar
dapat melakukan penelitian yang lebih
variatif untuk memperoleh hasil yang lebih
baik pada kompetensi dasar yang lain,
sehingga dapat diketahui keunggulan
model mind mapping dan mendapat solusi
pemecahan atas kelemahannya.
DAFTAR PUSTAKA
Admin. 2010. Penggunaan Media Gambar
Untuk Meningkatkan Keterampilan
Menulis Karangan Prosa (On Line).
Tesis tidak diterbitkan Bandung: Pasca-
sarjana UPI (http://ind.sps.upi.edu/
?p=144, diakses 15 Oktober 2010).
Aunurrahman. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Buzan, Tony. 2010. Buku Pintar Mind map.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Buzan, Tony. 2008. Buku Pintar Mind map
untuk Anak Agar Mudah Menghafal dan
Berkonsentrasi. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Buzan, Tony. 2008. Buku Pintar Mind map
untuk Anak Agar Anak Lulus ujian
dengan Nilai Bagus. Jakart a: PT
Gramedia Pustaka Utama. Buzan, Tony.
2010. Super Learning Cemter Official
Buzan Licenced Instructor Mind map
Super memory, Mind map, Speed Reading (On Line). (mindmapcenter@ymail.
com, diakses 14 Agustus 2010)
Febru, Erna. 2008. Meningkatkan Keterampilan
Menulis Deskripsi Siswa Kelas IV
Sekolah Dasar Islam Sabilillah Malang
melalui Strategi Roulette Writing (On
Line). Malang: Disertasi dan Tesis Program Pascasarjana. (http://karya-ilmiah.
um.ac.id/index.php/disertasi/article/
view/857, diakses 15 Desember 2010).
Kusmellyati, Um. 2010. Peningkatan Kemampuan Menarasikan Teks Hasil Wawancara dengan Menggunakan Metode Mind
mapping Siswa Kelas VII- A SMPN 1
Ambunten (On Line), Skripsi UM tidak
diterbitkan (http://karya-ilmiah.um.ac.id/
index.php/sastra-indonesia/article/ view/
8207, diakses 29 Desember 2010).
Muhammad, As’Adi. 2010. Misteri Otak
Tengah Manusia. Yogyakarta: Buku Biru.
Mulyani, Rini. 2010. Upaya Peningkatan
Keterampilan Menulis Karangan Prosa
Melalui Metode Pembelajaran Mind map
(On Line). PTK tidak diterbitkan. (http:/
/ r inimu lya nibu k it c ima ngg u villa .
blogspot.com/2008/05/mind-mapping.
html, diakses 15 Desember 2010.).
Suparno, Yunus, Mohammad. 2002. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: Universitas Terbuka.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
83
KARYA SASTRA SEBAGAI STIMULUS
DALAM KOMPETENSI MENULIS FIKSI DI
ERA GLOBALISASI BERBASIS K3
Arditiya
Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Muhammadiyah Malang
[email protected]
Abstrak
Globalisasi menjadi perhatian dari berbagai kalangan disiplin ilmu. Penemuan dan penggunaan teknologi
mutakhir menjadi identitas kehidupan era globalisasi. Kemajuan era globalisasi dari berbagai aspek telah
menghasilkan masyarakat menjadi praktis dan konsumtif dalam menjalani aktivitas kehidupannya.
Kebergantungan terhadap teknologi informasi menghasilkan keprihatinan terhadap eksistensi para penulis.
Keprihatinan ini dilihat dari bergesernya penilaian mengenai kualitas bahan bacaan jika dibandingkan
dengan teknologi informasi yang lebih inovatif. Kemampuan penciptaan bahan bacaan berkualitas dalam
menjawab fenomena era globalisasi merupakan perhatian utama. Melalui apresiasi sastra dengan berbagai
substansi filosofis di dalamnya, dihasilkan stimulus untuk mengajarkan cara berpikir yang kritis, kreatif,
dan kompeten (K3) dalam menghasilkan bahan bacaan yang baik oleh penulis. Karya sastra dalam berbagai
genre memunculkan kesan kritis dari isu-isu sosial dan kemanusiaan yang terdapat di dalamnya, sehingga
menimbulkan stimulus kepada pembaca hasil apresiasi karya sastra untuk membuat tulisan yang bersifat
lebih kreatif dari karya sastra yang dibaca dan menghasilkan tulisan yang lebih berkualitas. Karya sastra
dengan nilai logika, etika dan estetika sebagai konstruksinya, dinilai mampu untuk melahirkan para
pengapresiasi yang dapat melanjutkan topik-topik aktual dalam membuat tulisan yang lebih bernilai,
sehingga mampu menjawab kebutuhan era globalisasi. Menulis secara imajinatif dengan pola kritis, kreatif
dan kompeten dengan strategi apresiasi sastra dinilai lebih memiliki kekuatan yang bersifat universal
dalam memandang lemahnya aktivitas penulisan di era globalisasi.
Kata kunci: karya sastra, k3, globalisasi, menulis fiksi
A. PENDAHULUAN
ketertinggalan dari berbagai bidang. Kreativitas
Goerge Ritzer (2012:980) menyatakan merupakan hal yang diharapkan mampu menbahwa globalisasi adalah pandangan bahwa jawab aktivitas globalisasi dengan menghasildunia di dominasi oleh perihal ekonomi dan kan berbagai produk sebagai bentuk masyarakat
bahwa kita sedang menyaksikan kemunculan yang siap dan aktif menyongsong globalisasi.
Berbagai kreativitas yang diharapkan
hegemoni pasar dunia kapitalis dan ideologi
neoliberal yang menyangganya. Dalam akti- mampu menjawab aktivitas globalisasi dinilai
vitasnya, globalisasi menuntut masyarakat perlu untuk terus dikembangkan. Menghasilkan
berperilaku aktif dan represif dalam mengawasi karya tulis dengan pendekatan menulis fiksi
perjalanan globalisasi dalam aktivitas sosialnya. merupakan bentuk kreativitas masyarakat
Kecenderungan masyarakat hanya menjadi dalam mencapai upaya meningkatkan kualitas
penonton dalam era globalisasi menyebabkan individu dan bangsa.
84
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Menulis fiksi merupakan perwujudan
perilaku kreatif dalam mengaplikasikan kemampuan menjawab fenomena-fenomena yang
terdapat dalam aktivitas masyarakat. Pujiharto
(2012:14) menyatakan bahwa selain sebagai
manifestasi pengalaman estetis, karya fiksi
dimaksud juga merupakan manifestasi pengalaman kemanusiaan pengarang yang unik dan
universal. Dalam hal ini menulis fiksi memiliki
peran dalam upaya menjawab fenomenafenomena globalisasi dengan isu kemanusian
sebagai topiknya.
Dalam membaca karya sastra sebagai
pemicunya, secara khusus terdapat efek yang
dialami oleh pembaca sebagai bentuk sublimasi
dan katarsis dalam proses apresiasinya.
Kemampuan karya sastra dalam menjernihkan
batin pembaca dari segala kompleksitas batin
setelah pembaca melaksanakan kegiatan
apresiasi secara akrab dan sungguh-sungguh
dinilai penting, sehingga terjadi semacam
peleburan antara pembaca dan dunia-dunia
yang diciptakan pengarangnya, hal ini adalah
bentuk dari katarsis. Bentuk realitas yang
diciptakan pengarang mampu menjadi
semacam pengganti atau memberikan kepuasan
dan kesegaran baru bagi pembaca merupakan
bentuk dari sublimasi. Kedua efek ini merupakan representasi dari nilai kritis, kreatif dan
kompeten dari karya sastra dalam perwujudannya.
Dalam membaca hasil apresiasi karya
sastra, dalam tahap membaca kreatif, kecenderungan karya sastra pada perwujudannya
dapat menerapkan pemahaman dari kegiatannya sebagai bentuk pengaplikasian dari berbagai kegiatan lanjutannya. Aminuddin
(2013:21) menyatakan bahwa membaca kreatif
yakni kegiatan membaca yang dilatari tujuan
menerapkan perolehan pemahaman dari
membaca untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang bersifat aplikatif. Dalam tahap ini
tanpa disadari karya sastra telah memberikan
stimulus/rangsangan kepada pembaca dalam
mengaplikasikan kegiatan membaca dalam
berbagai bentuk seperti menulis fiksi.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah (a) nilai kritis, kreatif dan kompeten yang melatari karya sastra (b) berbagai
temuan mengenai stimulus karya sastra dalam
pembentukan kompetensi menulis fiksi.
B. KAJIAN PUSTAKA
Studi penelitian ini berjudul “Teori,
Metode, dan Teknik Penelitian Sastra” (Nyoman Kutha Ratna, 2011) yang menggambarkan
mengenai keberadaan sastra dengan perspektif
globalisasi sebagai objek penelitian. Karya
sastra dalam perwujudannya menggambarkan
gejala sosial yang melatarbelakangi penciptaan
karya sastra dengan bermacam-macam struktur
pembangunnya sebagai respresentasi dari
bentuk kritis, kreatif dan kompetensi pengarang.
Dalam pandangan “Pengantar Apresiasi
Sastra” (Aminuddin, 2013) menyatakan bahwa
dalam cipta sastra mengandung berbagai
macam unsur yang sangat kompleks, antara lain
(1) unsur keindahan, (2) unsur kontemplatif
yang berhubungan dengan nilai-nilai atau
renungan tentang keagamaan, filsafat, politik,
serta berbagai macam kompleksitas permasalahan kehidupan, (3) media pemaparan , baik
berupa media kebahasaan maupun struktur
wacana, serta (4) unsur-unsur interinsik yang
berhubungan dengan ciri karakteristik cipta
sastra itu sendiri sebagi suatu teks. Dalam hal
ini kemampuan karya sastra pada proses apresiasi secara substansif memberikan stimulus
berupa pemahaman mengenai konstruksi karya
sastra dalam perwujudannya terhadap bentuk
apapun.
Ditinjau dari aktivitas menulis fiksi,
terdapat dua jenis terkait hasil yang diciptakan
dalam teori fiksi, yaitu karya fiksi serius dan
karya fiksi popular. Dalam struktur karya fiksi
serius dan popular pada dasarnya memiliki
tingkat persamaan yang melandasi keduanya,
hanya saja pada bagian tertentu fiksi serius dan
poluler dikatakan memiliki perbedaan.
Pendapat lain menyatakan bahwa fiksi popular
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
85
mudah dibaca karena benar-benar ‘mengisahkan sesuatu’ sedangkan fiksi serius lebih sukar
karena mengandung dua elemen tambahan;
tema atau gagasan utama yang harus digali
pembaca dan sarana-sarana artistik yang harus
diketahui dan dihargai olehnya (Robert Stanton,
2012:4).
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dengan metode deskriptif. Data
dikumpulkan melalui proses pembacaan karya
sastra dan penandaan terhadap satuan-satuan
cerita atau unit unit motivasional yang memuat
ide dasar cerita yang mendasari tema. Analisis
data menggunakan pendekatan sosiopsikologis
karya sastra yang menekankan pada pencarian
amanat cerita. Hasil analisis dipaparkan dalam
uraian deskriptif-argumentatif. Sumber data
penelitian berupa novel Bumi Manusia
(Pramoedya Ananta Toer,2011), puisi Aku
(Chairil Anwar, 1943) dan naskah drama
Topeng- topeng (Rachman Sabur,1988).
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Nilai kritis, kreatif dan kompeten yang
melatari karya sastra.
1) Novel Bumi Manusia mengisahkan
tokoh Minke, seorang pemuda pribumi
yang berpendidikan tinggi lulusan
H.B.S yang hidup dalam belenggu
hegemoni kolonial. Sosok Minke
mencoba membuktikan bahwa keberadaan masyarakat pribumi pada
masa it u ternyata mampu unt uk
bersaing dan memiliki status sama di
tengah keberadaan feodalisme kolonial. Penerapan paham otoritarianisme
dan kapitalisme penguasa pada zaman
itu merupakan tantangan yang harus
dihadapi masyarakat pribumi dengan
penggambaran tokoh Minke yang
dihadirkan oleh Pramoedya Ananta
Toer sebagai pengarang. Masyarakat
86
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
pribumi sebagai bagian yang tersubordinasikan atas tanah kelahiran
mereka mencoba bertahan at as
kekuasaan kolonial belanda dengan
selalu memperjuangkan hak-hak atas
berbagai aspek kehidupan mereka.
Nilai kritis yang dihadirkan oleh
pengarang dapat dilihat dari penggambaran Minke yang dihadapkan dari
berbagai konflik dalam novel tersebut.
Pengarang telah membuktikan bahwa
novel Bumi Manusia merupakan
wujud kreativitas yang dibingkai
dengan baik sekalipun masalah yang
dihadirkan dalam novel tersebut cukup
kompleks. Pada akhirnya pengarang
membuktikan bahwa kompetensi karya
sastra yang dihasilkan telah mampu
menggungah khalayak untuk mampu
bersikap sebagaimana seharusnya.
2) Puisi Aku menceritakan mengenai
seorang pengarang yang menyembunyikan kegelisahan tentang keadaan
masyarakat yang terbelenggu dengan
sistem-sistem yang memarginalkan
rakyat Indonesia dalam kuasa kolonial
Jepang. Ungkapan dalam puisi “Aku”
bersifat mendarah daging dengan
kiasan-kiasan, sehingga gambaran
keadaan memang menjadi sangat
konkrit, citra-citra yang dapat diindra,
kemudian menjadi nyata dan seolah
dapat dilihat, serta dirasakan sakitnya.
Untuk menyatakan semangat yang
nyala-nyala dan sebagai bentuk
perlawanan keras, digunakan kiasan
”Aku mau hidup seribu tahun lagi”.
Dapat dilihat bahwa gambaran si aku
penuh vetalitas mau mereguk kebebasan dengan bertahan selamalamanya. Jadi berdasarkan dasar
konteks itu harus ditafsirkan bahwa
Chairil Anwar dalam puisi “aku” dapat
didefinisikan sebagai bentuk pemetaforaan bahasa atau kiasan bahwa
yang hidup seribu tahun adalah semangat untuk keluar dari sistem
hegemoni kolonial Jepang dan bukan
berbicara mengenai fisik.
Pengarang telah menghadirkan bentuk
kritis atas keadaan masyarakat dalam
rezim militerianisme Jepang pada saat
itu. Kreativitas pengarang dilihat
dalam penngunaan kata-kata yang
bersifat metafor sebagai alat penyampai pesan di balik karyanya. Kompetensi pengarang t erbukti dengan
pemanfaatan puisi ini dalam media
pembelajaran terkait nilai historis
perjuangan bangsa melawan penjajahan pada masa itu.
3) Naskah drama Topeng-topeng mengisahkan tentang kehidupan Waska,
sesorang yang hidup dalam kesakitan
dan perjuangan tanpa henti untuk
berdiri di atas kepentingan orang
banyak. Sekalipun dalam perjalanan
cerita, nama Waska sering digunakan
sebagai topeng atau tameng seseorang
dalam menjalankan aktivitas yang
bersebrangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Anak panggung dalam naskah
drama tersebut menggambarkan keadaan Waska yang tersiksa batin dan
jiwanya karena kemampuan dalam
memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan sudah sangat susah. Musuh
yang dihadapi Waska adalah para
penguasa yang berusaha mencitrakan
dirinya baik dengan meminjam nama
Waska dalam usahanya, namun pada
perilaku di kehidupannya para penguasa itu telah menyengsarakan orang banyak. Rachman Sabur sebagai
pengarang telah menggambarkan suatu
keadaan kritis yang menempatkan pada
pencitraan seorang penguasa sebagai
pemimpin suatu bangsa dengan berbagai kejahatan yang berada di balik
sikap baiknya di hadapan banyak or-
ang. Kreativitas pengarang dapat
dilihat dalam alur atau plot yang menjadi struktur naskah drama Topengtopeng. Susunan alur yang destruktif
membuat naskah drama ini terlihat
menarik dengan tujuan bahwa pembaca disarankan jangan terlalu cepat
menyimpulkan mengenai status tokoh
yang berada dalam naskah drama ini.
kompetensi pengarang tergambarkan
dengan berbagai penghargaan yang
didapat sebagai pengakuan pada karyakarya yang mampu bersanding di
tingkat dunia, termasuk naskah drama
ini.
b. Temuan yang Terkait mengenai stimulus
karya sastra dalam pembentukan kompetensi menulis fiksi.
Berdasarkan hasil analisis terhadap ketiga
karya sastra dapat ditemukan nilai kritis,
kreatif dan kompeten. Secara umum nilai
yang ditemukan adalah
(1) Pengarang menyampaikan mengenai
makna sebuah perjuangan yang harus
dilakukan oleh siapa saja dalam
menjalankan aktivitas kehidupannya.
Belenggu penguasa dalam aktivitas
sosial masyarakat tidak terlepas pada
sistem kapitalisme yang akan menyengsarakan masyarakat banyak.
Melawan sebuah sistem yang bersebrangan dengan nilai kemanusiaan
dilakukan melalui karya sastra sebagai
gambaran bahwa sastra secara hakikatnya merupakan representasi dari
gejala yang terdapat dalam masyarakat.
(2) Pengarang dalam ketiga genre karya
sastra ini, memiliki kepiawaian dalam
membingkai kompleksitas cerita,
sehingga gambaran perlawanan atas
nilai-nilai kemanusiaan yang diperjuangkan oleh pengarang dalam karyanya dapat terus ada di tengah-tengah
masyarakat sebagai media dalam
proses pembelajaran. Sekalipun
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
87
pengarang novel dan puisi ini hudup
di masa yang cukup menyulitkan dan
kecenderungan pengasingan jika
melawan sistem yang berlaku, tetapi
keteguhan sebagai pengarang yang
memiliki prinsip ternyata mampu
melahirkan karya yang dikenang
hingga sepanjang masa.
(3) Penerbitan ketiga genre karya sastra ini
beragam. Pada penerbitan novel,
terdapat beragam kendala sebagai
bentuk penentangan pada karya-karya
yang mengindikasikan pergolakan
sosialis pada era kolonial hingga era
orde baru. Penerbitan puisi pada saat
itu juga memperoleh tekanan dari
penguasa kolonial jepang sebagai
bentuk perlawanan atas gerakangerakan yang dapat mengancam
pemerintahan jepang saat menduduki
Indonesia, sekalipun pada saat ini
kumpulan puisi dari pengarang telah
disatukan menjadi antologi. Pada
penerbitan naskah drama, proses yang
dihadapi tidak seperti kedua genre
karya sastra dengan berbagai penentangan atas penerbitannya. Secara
histori naskah drama ini dihasilkan
pada era orde baru sebagai bentuk
penentangan pengarang pada sistem
yang diterapkan pada saat itu, namun
karena pada masa itu telah bergerak
menuju era modern, dengan bentuk
penjajahan gaya modern maka terdapat
variasi mengenai kendala yang
dihadapi sebagaimana kedua genre
karya sastra yang lain. Namun atmosfer
yang dirasakan dalam penggambaran
naskah drama ini tetaplah sama dalam
menjunjung nilai kemanusiaan.
c. SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan
dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1) Nilai kritis, kreatif dan kompeten yang
didapatkan dalam ketiga genre karya
sastra meliputi kemampuan pengarang
88
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
dalam menangkap gejala sosial yang
dihadapi sebagai pertarungan ideologis
dengan nilai-nilai kemanusian sebagai
gambaran pemikiran kritis. Kepiawaian pengarang dalam membingkai
kompleksitas cerita dan berbagai unsure dalam bangunan karya sastra,
merupakan gambaran kreativitas yang
dihasilkan oleh pengarang. Karya
sastra yang dihasilkan pengarang
ternyata mampu dijadikan sebagai
bahan pembelajaran kepada siapapun
terkait dari nilai-nilai perjuangan yang
dinilai relevan ketika dihadapkan pada
masa ini, sekalipun objek perlawanannya bukan lagi kolonial, melainkan
penguasa bangsa sendiri.
2) Temuan penelitian menunjukkan
bahwa ketiga genre karya sastra ini
termasuk pada karya sastra fiksi serius.
Kecenderungan ketiga karya sastra ini
dijadikan sebagai bahan dalam pembelajaran sastra sangat memungkinkan,
karena dapat melatih nilai kritis pada
proses pembacaannya dan penemuan
maknanya, nilai kreatif pada identifikasi struktur dan gaya bahasanya, dan
nilai kompeten jika dilihat dari
kemampuan karya sastra ini dalam
mewakili keadaan masyarakat dalam
berbagai perspektif pada konteks
sosialnya.
E. DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 2013. Pengantar Apresiasi Sastra.
Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Anwar, Chairil. 2011. Aku ini Binatang Jalang.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Budi Wurianto, Arif. 2015. Pergeseran Nilai
Dan Pesan Humanisme Sastra Penerbitan
Novel Mutakhir (Studi Terhadap Novel
Queer). Yogykarata: Prosiding SPKIK.
Pujihart o. 2012. Pengantar Teori Fiksi.
Yogyakarta: Ombak.
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Teori, Metode,
dan Teknik Penelitian Sastra. Yogykarata:
Pustaka Pelajar
Sabur, Rachman.1988. Topeng-t openg.
Bandung: Payung Hitam
Stanton, Robert. 2012. Teori Fiksi Robert
Stanton. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Toer, Pramoedya Ananta.2011. Bumi Manusia.
Jakarta: Lentera Dipantara
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
89
Memahami Struktur Naratif Ruth Finnegan
dalam Aplikasi Cerita Jaka Kandung
oleh:
Rokhyanto
ABSTRAK
Penyusunan cerita bisa melalui bukti-bukti yang sudah ada, bisa berupa peninggalan batu, kedung, bukit,
alat-alat zaman dahulu, atau sesuatu yang dikeramatkan. Cerita Jaka Kandung ini, pada mulanya cerita itu
tidak begitu dikenal oleh masyarakat Blitar, karena faktor ketidaktahuan terhadap cerita. Hanya saja,
sebagian kecil masyarakat mengetahui tokoh Nilo Suwarno, seorang adipati di Blitar, tetapi secara struktur
cerita yang sebenarnya tidak mengetahui keberadaannya. Berdasarkan sumber informasi yang diperoleh,
legenda Jaka Kandung ini tidak bisa disebut secara tepat kronologis waktunya, karena prasasti babad kota
Blitar masih samar-samar.
Dalam cerita Jaka Kandung yang terdengar di masyarakat itu akhirnya oleh kelompok pecinta seni yaitu
Siswa Budoyo untuk dipentaskan agar masyarakat Blitar, Tulungagung, dan Kediri mengetahui keberadaan
cerita tersebut. Setelah Dewi Kemuning melahirkan seorang bayi lelaki yang kemudian diberi nama Jaka.
Nama Kandung di wilayah Tulungagung, merupakan tempat bermain Jaka, ketika masih anak-anak. Oleh
karena, desa itu bernama Kandung maka sebagai pelengkap nama anak Dewi Kemuning itu diberi nama
tambahan Jaka Kandung.
Di desa Kepatihan digunakan untuk bertahannya para punggawa Arya Blitar I gelar dari Nilo Suwarno,
dan para prajuritnya saat menghindari kejaran prajurit Ki Ageng Sengguruh dan desa kepatihan tempat
mengadakan perundingan dan rencana penyerbuhan kembali dari kekuasaan Ki Ageng Sengguruh.
Ada rasa kepenasaran dalam hati Jaka Kandung, dia segera menemui paman patih untuk memintanya
agar mengantarkannya ke tempat di mana ayahnya berada. Mereka segera berangkat ke kedung Gayaran,
di mana Nilo Suwarno pernah meninggal. Sesampainya di sana dia mendapat bisikan gaib dari ayahnya
setelah meditasi, agar segera merebut kembali kadipaten Blitar dari tangan Ki Ageng Sengguruh.
Setelah itu, Jaka Kadung berunding dengan paman patih Kalambung menyarankan agar untuk sementara
waktu sambil menunggu Jaka Kandung menjadi dewasa, maka dia mengabdi dulu kepada Ki Ageng
Sengguruh. Pengabdian itu dengan tujuan untuk memudahkan penyerangan. Sesuai dengan rencana, Jaka
Kandung berhasil membunuh Ki Ageng Sengguruh dengan menggunakan sebilah keris milik ayahnya
yang bernama Kyai Panjer dan tewasnya Ki Ageng Sengguruh itu, maka Jaka Kandung berhak menduduki
tahta adipati, sebagai pewaris tunggal yang sah dan dia dinobatkan sebagai Arya Blitar ke II.
Kata kunci: struktur, naratif, aplikasi, cerita
PENDAHULUAN
Cerita rakyat adalah cerita dari zaman
dahulu yang berkembang dan hidup di kalangan
masyarakat secara turun-temurun yang disampaikan secara lisan. Cerita rakyat yang
berkembang secara lisan akan mengakibatkan
cerita tersebut mengalami pergeseran dari
aslinya bahkan bias jadi hilang. Oleh karena
90
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
itu, perlu adanya upaya untuk menyelamatkan.
Salah satu cara yakni dengan menginventarisasi
ke dalam bentuk tulisan yang kemudian dibukukan.
Cerita rakyat adalah cerita pada masa
lampau yang menjadi ciri khas setiap bangsa
yang memiliki kultur budaya yang beraneka
ragam mencakup kekayaan budaya dan sejarah
yang dimiliki masing-masing bangsa. Cerita
rakyat merupakan salah satu karya sastra yang
hidup di masyarakat secara turun-temurun.
Cerita rakyat hampir dimiliki oleh setiap daerah
bahkan negara, baik dalam jumlah besar
maupun sedikit, tergantung pada peran dan
peristiwa yang dimiliki daerah atau negara
tersebut pada awal perkembangan atau sejarah
dari budaya manusia yang hidup di negara itu.
Jika dilihat, diamati, dan dipahami secara
lebih mendalam cerita rakyat, khususnya yang
berkembang di Indonesia, sangatlah banyak
jumlahnya. Hal itu karena adanya pengaruh
peran dan peristiwa yang terjadi di Indonesia,
yang beraneka ragam jumlahnya. Peran di sini
dapat diartikan keikutsertaan orang-orang
manca negara yang datang ke negara ini (Indonesia) baik sebagai pedagang maupun sebagai
penjajah yang pernah berkesempatan menikmati kekayaan alam ini, ternyata juga
meninggalkan banyak cerita-cerita yang tidak
sedikit dan juga cerita yang ditinggalkan ternyata sangat menarik. Peristiwa itu berhubungan dengan kejadian-kejadian atau partisipasinya orang luar dalam membuat sejarah
atau mengukir peristiwa yang terjadi di suatu
tempat (Indonesia). Cerita-cerita ini biasanya
bisa terkontaminasi dari sumber aslinya dengan
tempat-tempat yang ada di daerah atau wilayah
cerita itu disampaikan oleh para pendatang
(penjajah dan pedagang) tersebut.
Pentingnya mengkaji nilai-nilai yang
terkandung dalam cerita rakyat, karena cerita
rakyat itu memiliki fungsi kultural. Lahirnya
suatu cerita rakyat bukan semata-mata di
dorong oleh keinginan penutur untuk menghibur masyarakatnya melainkan dengan penuh
kesabaran ia ingin menyampaikan nilai-nilai
luhur kepada generasi penerusnya.
Hal ini sejalan dengan pendapat Djamaris (2002:15) cerita rakyat adalah golongan
cerita yang hidup dan berkembang secara
turun-temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Disebut cerita rakyat karena cerita
ini hidup di kalangan rakyat dan hampir semua
lapisan masyarakat mengenal cerita itu. Cerita
rakyat milik masyarakat bukan milik seseorang.
Cerita rakyat biasanya disampaikan
secara lisan oleh tukang cerita yang hafal alur
ceritanya. Itulah sebabnya cerita rakyat disebut
sastra lisan. Cerita disampaikan oleh tukang
cerita sambil duduk-duduk di suatu tempat
kepada siapa saja, anak-anak dan orang dewasa
(Djamaris, 2002:6).
Cerita rakyat ini bagian dari folklor lisan
yang memang murni, sedangkan pengertian
folklore yaitu sebagian kebudayaan suatu
kolektif macam apa saja. Secara tradisional
dalam versi yang berbeda bahwa dalam bentuk
lisan maupun contoh yang disertai dengan
gerakan isyarat atau alat pembantu pengingat.
Disisi lain pengertian dan fungsi cerita
rakyat dalam bukunya yang berjudul Sastra
lisan sebagai cerita rakyat adalah suatu
kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di
tengah-tengah masyarakat itu yang diwarisi
secara lisan sebagai milik bersama. Cerita
rakyat tidak hanya berfungsi sebagai alat
hiburan, pengisi waktu senggang serta penyalur
perasaan bagi penuturnya serta pendengarnya,
melainkan juga sebagai pencerminan sikap dan
angan-angan kelompok, alat pendidikan, alat
pengesahan pranata, dan lembaga kebudayaan
serta pemeliharaan norma masyarakat.
Sementara itu, menurut Gaffar (1991:3)
cerita rakyat adalah salah satu bentuk tradisi
lisan yang memakai media bahasa. Pengertian
ini akan kabur bila mana diperhadapkan dengan
bentuk sastra lisan yang juga memakai media
bahasa seperti teka-teki dan ungkapan.
Salah satu bentuk cerita rakyat yang
menarik untuk diteliti adalah cerita rakyat yang
berkenaan dengan asal-usul penamaan suatu
tempat. Cerita rakyat t ersebut apabila
dikelompokkan, termasuk pada genre cerita
rakyat legenda setempat (local legends).
Penamaan suatu tempat tidak muncul begitu
saja, tetapi berkaitan dengan berbagai hal yang
pada intinya menyangkut kebudayaan suatu
masyarakat.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
91
Cerita rakyat tidak sekedar hidup dan
tersebar dalam masyarakat, namun juga
memiliki arti penting dan fungsi-fungsi tertentu
bagi kolektif pemiliknya. Pengkajian terhadap
cerita rakyat bisa dijadikan sarana yang tepat
untuk penamaan nilai-nilai dan norma-norma
dalam masyarakat yang kini sudah banyak
dilupakan, selain untuk perkembangan sastra
lisan itu sendiri.
Usaha untuk menggali, memperkenalkan,
menghidupi dan mengembangkan budaya
tradisional yang bernilai positif itu sangat perlu
dan tidak hanya untuk tradisi itu sendiri, tetapi
lebih luas juga berguna dalam menunjang
pembangunan nasional. Cerita rakyat Jaka
Kandung salah satu dari bentuk cerita rakyat.
Dengan memperhatikan beberapa hal di atas,
timbul ketertarikan penulis untuk mengetahui
secara mendalam mengenai cerita rakyat yang
berkaitan dengan asal-usul Jaka Kandung dan
penyebarannya yang terdapat dalam cerita
rakyat tersebut. Atas dasar itulah penulis
melakukan penelusuran terhadap cerita rakyat
di Kota Blitar tersebut.
Menurut Finnegan (Imran, 1999:12), ada
tiga pokok permasalahan dalam sastra lisan,
yaitu: komposisi (takaran atau ukuran), performance (dipertunjukkan), dan transmisi (penyebaran). Transmisi masih dibagi lagi menjadi dua
macam, yaitu resepsi dan intertekstual.
KOMPOSISI
Komposisi yaitu bagaimana cerita itu
disusun dengan baik dan layak disajikan serta
dihidupkan kembali agar masyarakat dapat
menikmatinya. Penyusunan cerita atau penggalian cerita bisa melalui bukti-bukti yang
sudah ada, bisa berupa peninggalan batu,
kedung, bukit, alat-alat zaman dahulu, atau
sesuatu yang dikeramatkan. Bila sudah
menemukan bukti, hal itu bisa ditanyakan
kepada penduduk setempat ada cerita apa
dengan keberadaan bukti tersebut atau bisa
ditanyakan kepada tokoh yang dianggap
mengetahui atau tokoh yang dianggap paling
92
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
tua di daerah itu. Bisa juga penyusunan cerita
it u memang sudah ada lalu kita menghimpunnya kembali menjadi satu kesatuan agar
tidak bercerai-berai kemudian disajikan kepada
masyarakat.
Berhubungan dengan cerita Jaka
Kandung ini, pada mulanya cerita itu tidak
begitu dikenal oleh masyarakat Blitar, karena
faktor ketidaktahuan terhadap cerita. Hanya
saja, sebagian kecil masyarakat mengetahui
tokoh Nilo Suwarno, seorang adipati di Blitar,
tetapi secara struktur cerita yang sebenarnya
tidak mengetahui keberadaannya. Cerita itu
mulai berkembang di masyarakat, dengan
waktu yang sangat lambat. Cerita itu dituturkan
hanya dari mulut ke mulut, dari seseorang
kepada kelompok masyarakat kecil, dari
sekelompok masyarakat kecil hingga kelompok
masyarakat luas.
Berdasarkan sumber informasi yang
diperoleh, legenda Jaka Kandung ini tidak bisa
disebut secara tepat kronologis waktunya,
karena prasasti babad kota Blitar dan bukti keris
pun kurang jelas. Hal itu dikarenakan sering
adanya lahar dari letusan gunung Kelud dan
perlu diketahui juga bahwa cerita itu di
dalamnya berkaitan dengan beberapa desa
sebagai tempat kejadian. Yang oleh masyarakat
dipercaya berhubungan dengan struktur cerita
tersebut. Adapun tempat-tempat itu, antara lain:
desa Lodoyo, kedung Gayaran, desa Srengat,
desa Kandung, desa Kepatihan, desa Pakunden,
dan gunung Pegat.
Cerita Jaka Kandung tidak dimiliki oleh
siapa-siapa, pemiliknya adalah masyarakat
Blitar, tetapi kini kelompok kesenian Siswo
Budoyo yang sering mementaskan cerita
tersebut. Cerita tersebut belum pernah dibukukan dan belum pernah juga ada yang
berusaha membukukan. Hanya saja mungkin
oleh kelompok ketoprak Siswo Budoyo di
Tulungagung mempunyai garis-garis besar
struktur cerita, karena kelompok kesenian tersebut yang meresepsi dari cerita di masyarakat.
PERFORMANCE
Suatu cara perilaku komunikasi dan tipe
peristiwa komunikasi yang memiliki dimensi
proses komunikasi yang bermuatan sosiokultural dan estetik sebagai tindakan komunikasi, pertunjukkan memiliki mode tindakan
dengan tanda tertentu yang dapat ditafsirkan
sehingga tindakan komunikasi dapat dipahami.
Tindakan komunikasi diperagakan; diperkenalkan dengan obyek luar dan dibangun dari
lingkungan kontekstualnya. Pemirsa dan
pendengar pertunjukan diberi kesempatan
untuk memahami dan menelitinya dengan
cermat. Pertunjukkan budaya merupakan
konteks pertunjukan yang paling menonjol
dalam suasana komunikasi dan memiliki ciriciri yang sama yaitu (a) pertunjukan tersebut
dijadwalkan, disusun, dan dipersiapkan, (b)
peristiwa dalam pertunjukan dibatasi oleh ruang
dan waktu (kapan diadakan, berapa lama, dan
di mana tempatnya).
Ceita Jaka Kandung yang dipertunjukkan
itu, baik melalui pertujukkan ketoprak sampai
sekarang masih digunakan sebagai media
komunikasi untuk menyampaikan pesan-pesan
tertentu kepada masyarakat. Pesan yang disampaikan itu berkaitan dengan unsur kepahlawanan, pendidikan, dan ketabahan hati seseorang.
Pertujukan cerita Jaka Kandung ini
biasanya dipentaskan di halaman alun-alun
kabupaten Blitar. Pementasan cerita Jaka
Kandung biasanya ditempatkan pada awal atau
akhir jadwal pertunjukkan (1–31 Agustus), bila
cerita Jaka Kandung dipentaskan pada awal
cerita (1 Agustus) maka biasanya pada akhir
pertunjukkan (31 Agustus) sudah tidak dipentaskan lagi. Hal Ini berarti selama pertunjukkan yang memakan waktu 30 hari hanya
cerita Jaka Kandung dipentaskan selama 1 kali
saja. Sebelum pementasan dimulai tentu saja
ada upacara sesajen yang dilakukan oleh
kelompok kesenian tersebut. Sudah menjadi
tradisi bahwa sebelum mementaskan lakon
cerita itu terlebih dahulu para anggota ketoprak
mendatangi makan Jaka Kandung yang ada di
desa Pakunden Blitar, untuk menyekar (tabur
bunga) sekaligus memohon izin untuk mementaskan cerita tersebut.
Pada sore hari, menjelang petang, tepatnya sebelum pentas dimulai diadakan pembakaran dupa ratus atau kemenyan untuk suguh
(permisi) kepada para dayang yang mbaurekso
(menguasai) daerah sekitar tempat pertunjukkan. Prosesi seperti itu dilakukan hanya satu
kali selama satu bulan saja, khususnya bila mau
mementaskan cerita Jaka Kandung saja.
Pertunjukkan Jaka Kandung melalui
melalui ketoprak membutuhkan waktu kurang
lebih 3 atau 4 jam. Pertunjukkan itu biasanya
pada malam hari mulai pukul 20.30-01.00 WIB.
Dalam hal pertunjukkan itu diiringi seperangkat
bebunyian lengkap, seperti gender, barong
penerus, bonang penerung, kendang, kenongkempol, gong, saron, siter, slentem, dhemung,
peking, rebab, dan keplak.
Tembang-tembang yang dinyanyikan
untuk mengiringi ketoprak, seperti pangkur,
soran, puji rahayu, sinom, dan pucung.
Kelompok ketoprak biasanya beranggotakan
sekitar 75 orang dengan rincian sebagai berikut.
Pimpinan dan wakil 2 orang, para penabuk
(wiyogo) 15 orang, para pemain 49 orang,
tukang karcis, tukang dekor, tukang panggung,
humas, perlengkapan, dan lain-lain berjumlah
10 orang.
Pertunjukkan ketoprak secara garis besar
tidak terikat adanya pakem tertentu seperti
wayang. Pertunjukkan ketoprak agak sedikit
bebas, karena yang dipentingkan unsur
dramatiknya. Hanya saja biasanya pertunjukkan
ketoprak ada dialog di dalam taman keputren,
pasewakan, adanya humor atau pelawak, taritarian, peperangan, perebutan putri atau
perebutan kekuasaan, dan penutup bisa happy
end atau bisa sad end.
Adapun pakaian atau kostum yang
digunakan oleh para pemain seniman, disesuaikan dengan lakon ketoprak (ludruk)
tersebut, bila seorang raja, patih, bupati, dan
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
93
panglima tentu pakaian yang dikenakan berupa
pakaian kebesaran kerajaan, bila prajurit tentu
pakaian yang dikenakan berupa seragam
prajurit, demikian juga pakaian emban dan
pesuruh keraton pakaian yang digunakan
berupa pakian sehari-hari.
TRANSMISI
Ada dua hal yang perlu diperhatikan
berkaitan dengan transmisi (penyebaran) cerita
itu. Pada transmisi ini, bagaimana penyebaran
cerita dikemas, disampaikan atau ditunjukkan
agar sampai pada masyarakat, hal itu bisa
berupa: (1) resepsi atau tanggapan dari masyarakat; (2) intertekstualitas, ada hubungan cerita
satu dengan cerita yang lain atau adanya
kesamaan cerita tetapi berbeda versinya.
Resepsi
Adanya penyebaran, penurunan yang
terkadang tidak sama dengan aslinya. Banyak
mengalami pergeseran, pergantian karena
disesuaiakan dengan resepsi masyarakat setempat, adanya respon dari masyarakat setempat.
Menurut Steiner (1982:110), resepsi sastra bisa
juga dikatakan sebagai usaha untuk meneliti
teks sastra berdasarkan pada tanggapan yang
diberikan pembaca tentang teks tersebut.
Sebuah karya sastra selalu berubah di bawah
perubahan kondisi waktu, tempat, masyarakat,
dan bahkan individu. Problem resepsi sastra
yang terpenting adalah studi konkretasinya.
Keragaman interpretasi dari penikmat karya
sastra bisa menjadikan pemahaman, pembacaan, dan penilaiannya yang berbeda-beda.
Menurut Vodicka (Matejka, 1972:197),
kebebasan pembaca jauh lebih besar. Masyarakat pembacalah yang menikmati, menafsirkan, mengevaluasi secara estetis karya tersebut sehingga mencapai realisasinya sebagai
obyek estetik.
Dalam cerit a Jaka Kandung yang
terdengar di masyarakat itu akhirnya oleh
kelompok pecinta seni yaitu Siswa Budoyo
94
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
dibuat garis-garis besar struktur cerita. Seringkali kelompok ini meresepsi cerita untuk dipentaskan agar masyarakat Blitar, Tulungagung,
dan Kediri mengetahui keberadaan cerita
tersebut. Ketika pertunjukkan ketoprak di kota
Blitar, masyarakat sangat menyenangi dan
antusias mengikuti jalannya cerita tersebut. Dari
pementasan cerita itu, akhirnya masyarakat
yang tidak mengetahui menjadi tahu dan paham
bahwa di kotanya mempunyai kisah salah satu
tokoh adipati yang bernama Nilo Suwarno
dibunuh secara kejam oleh Ki Ageng Sengguruh dari Malang.
Ada juga masyarakat yang merekam
melalui kaset pribadi dari cerita Jaka Kandung
itu untuk didengarkan ulang di rumah masingmasing, bila kelompok kesenian Siswo Budoyo
sedang mengadakan pertunjukkan di Blitar.
Intertekstualitas
Dalam sastra lisan ada unsur intertekstual
dalam proses transmisinya. Ada hubungan
antarteks, ada kemiripan, pengambilan sebagian
tertentu dari suatu karya ke dalam karya lain.
Menurut Julia Kristeva (Culler, 1977:139),
intertekstualitas sebagai ringkasan pengetahuan
yang memungkinkan teks mempunyai arti;
sekali kita berpendapat tentang arti teks sebagai
tergantung pada teks lain yang diserap,
ditransformasi, maka di situ pula intersubyektif
terpasang, yaitu intertekstualitas.
Setiap teks merupakan mozaik, serapan,
sitiran, dan transformasi dari teks terdahulu,
merupakan jumlah pengetahuan yang memungkinkan teks itu bermakna. Maksud dari pernyataan Julia Kristiva (Imran T.A., 1994:159)
itu, setiap teks itu mengambil hal-hal yang baik
dari teks lain berdasarkan respon-responnya dan
diolah kembali dalam karyanya atau ditulis
setelah melihat, meresapi, menyerap hal yang
menarik baik secara sadar maupun tidak sadar.
Setelah menanggapi teks lain dan menyerap
konvensi sastra, konsep estetik atau pikiranpikirannya kemudian ditransformasikan ke
dalam karya sendiri dengan ide dan konsep
estetik sendiri sehingga terjadi perpaduan baru.
Konvensi dan ide yang diserap itu dapat
dikenalin apabila kita membandingkan teks
yang menjadi hypogramnya dengan teks baru
itu.
Misalnya: dalam cerita rakyat Jaka
Kandung, nama Jaka pada umumnya sebuah
nama yang diberikan kepada anak laki-laki,
yang ada di daerah Jawa. Nama Jaka merupakan nama kebanggaan orang tua, khususnya
bila anak itu lahir pertama laki-laki. Anak lakilaki di daerah Jawa biasa dikudang-kudang
(disanjung-sanjung) agar mikul dhuwur lan
mendhem jero artinya bisa mengangkat
setinggi-tingginya dan menanam sedalamdalamnya diharapkan bisa memuliakan dan
membuat nama orang tua menjadi baik serta
terangkat derajatnya.
Nama Jaka banyak dimasyarakat
khususnya di daerah Jawa karena nama suatu
kebanggaan tersendiri bagi orangtua pada
zaman dahulu. Sudah menjadi hal yang biasa
bila nama itu ada kesamaan (ada intertekstual)
seperti Jaka Kendil, kanon menurut cerita
berbadan hitam, perutnya gendut karena
kebanyakan makandan tidur. Jadi, seperti kendil
bulat dan jelek. Nama Jaka Umbaran kanon
menurut cerita jejaka ini tidak terurus (terlalu
diumbar) oleh orangtuanya sehingga dia hidup
di luar rumah dan kurang pendidikan
orangtuanya. Tidak ketinggalan pula, nama
Jaka Tinggkir, yang menurut cerita seorang
anak muda itu lahir di desa Tingkir. Jaka Tarub,
anak muda itu karena anak seorang
panembahan bernama Ki Ageng Tarub, setelah
meninggal nama Tarub ditambahkan kepada
anaknya.
Di samping itu, ada intertekstualitas
dengan yang lain, yaitu adanya kesamaan alur
cerita Jaka Kandung dengan cerita yang lain,
membuktikan bahwa pada zaman dahulu para
pencerita sedikit banyak berpatokan pada cerita
yang sudah pernah ada. Contoh, kesamaan itu
bisa dilihat pada cerita Damarwulan dan Jaka
Kandung, di mana dalam cerita tersebut sama-
sama terjadi suatu kelicikan, yang dilakukan
pada tokoh antagonis. Pada cerita Damarwulan
kelicikan dilakukan Layang Seta dan Layang
Kumitir terhadap Damarwulan, sementara itu
pada cerita Jaka Kandung kelicikan dilakukan
oleh Ki Ageng Sengguruh kepada Nilo
Suwarno. Pada cerita Damarwulan sang tokoh
tidak mengalami kematian, hanya mengalami
kesulitan saja, yaitu tidak bisa membawa bukti
kepala Adipati Minakjingga kehadapan Sang
Prabu Kenya Kencanawungu. Akan tetapi, pada
cerita Jaka Kandung tokoh utama (Nilo
Suwarno) mengalami kematian yang anggapan
masyarakat menghilang dengan raganya.
UNSUR KESEJARAHAN TOKOH
DAN LATAR
Menurut struktur cerita Dewi Kemuning
(Sri Wulan) istrinya Nilo Suwarno, yang sedang
hamil itu mengidam ikan Baderbang Sisik
Kencana. Sebetulnya nama ikan itu tidak ada
hanya saja untuk memunculkan permasalahan
atau untuk menyulitkan pada sang tokoh si
empunya cerita memberi permasalahan seperti
itu. Untuk memenuhi keinginan istrinya itu,
Nilo Suwarno membuat sayembara “barang
siapa yang bisa menunjukkan di mana adanya
ikan Baderbang Sisik Kencana, maka akan
diberi hadiah yang sangat besar.”
Ki Ageng Sengguruh, tokoh sebuah
padepokan yang berada di Malang mendengar
akan hal tersebut dan memang dia sudah lama
mempunya keinginan menjadi adipati di
kadipaten Blitar. Dia segera pergi menunjukkan
tempat adanya ikan tersebut yang hanya ada di
kedung Gayaran (kini bernama Bendungan
Wlingi, yang digunakan untuk PLTA).
Setelah mendengar hal itu Nila Suwarna
dan abdi dalem langsung pergi menuju ke
tempat tersebut. Akan tetapi, apa yang ditemukan di sana?, ternyata dia dihujani batu dan
kerikil oleh anak buah Ki Ageng Sengguruh,
dengan tujuan agar Nilo Suwarno tewas dengan
cara yang tidak mencolok (halus). Akan tetapi,
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
95
diluar dugaannya Nilo Suwarno ternyata masih
bisa berlindung di dalam gua yang ada di bagian
dalam kedung itu, untuk menghindari hujan
kerikil dan batu tersebut. Kedung itu bernama
Gayaran di desa Lodoyo, sekarang sudah
dibangun bendungan PLTA.
Sementara itu, abdinya Nilo Suwarno
bermaksud segera pulang ke kadipaten untuk
melaporkan kejadian yang menimpa atasannya
itu, dengan membawa pakaian dan keris Kyai
Panjer milik adipati Nilo Suwarno. Namun,
keris itu berhasil di rebut oleh anak buah Ki
Ageng Sengguruh. Setelah kejadian itu Nilo
Suwarno tidak bisa ditemukan oleh anak buah
Ki Ageng Sengguruh, sehingga dianggap dia
telah musnah bersama raganya.
Oleh karena itu, Ki Ageng Sengguruh
segera meninggalkan tempat tersebut untuk
menduduki kadipaten Blitar, menggantikan
Nilo Suwarno. Sementara itu, abdi dalem yang
sudah sampai lebih dahulu di kadipaten segera
membawa Dewi Kemuning mengungsi di
gunung Pegat, untuk menghindari pencarian Ki
Ageng Sengguruh dan anak buahnya. Adapun
gunung Pegat di desa Srengat memiliki cerita
yang unik, konon kalau ada sepasang mudamudi yang sedang menjalin cinta dan mendatangi tempat tersebut, maka kemungkinan akan
putus hubungan mereka.
Setelah beberapa waktu berlalu, Dewi
Kemuning melahirkan anaknya yang pertama,
seorang bayi lelaki yang kemudian diberi nama
Jaka. Nama Kandung sebuah nama desa di
wilayah Tulungagung, menurut cerita para
sesepuh pada zaman dahulu merupakan tempat
bermainnya Jaka, ketika masih anak-anak. Desa
itu memang bernama Kandung. Oleh karena,
desa itu bernama Kandung maka sebagai
pelengkap nama anak Dewi Kemuning itu
diberi nama tambahan Jaka Kandung.
Hari berganti minggu, minggu berganti
bulan, bulan pun berganti tahun, Jaka Kandung
sudah tumbuh menjadi seorang perjaka yang
gagah dan tampan. Jaka Kandung pun sudah
tidak tinggal lagi dengan ibunya. Para prajurit
96
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
yang masih sisa sebagian tersebar di manamana untuk mencari informasi demi merebut
kembali tahta kadipaten Blitar. Ada sebagian
lagi di desa kepatihan, desa itu juga digunakan
untuk bertahannya para punggawa Arya Blitar
I gelar dari Nilo Suwarno, dan para prajuritnya
saat menghindari kejaran prajurit Ki Ageng
Sengguruh. Di desa kepatihan tempat mengadakan perundingan dan rencana penyerbuhan
kembali dari kekuasaan Ki Ageng Sengguruh.
Sampai sekarang desa tersebut masih ada,
letaknya sebelah barat kadipaten Blitar. Cukup
jauh juga dari kadipaten Blitar, makanya para
prajurit pun bersembunyi dan merencanakan
penyerbuan dari sana.
Pada suatu hari, ketika bertandang ke
desa tetangga ia diberi tahu temannya bahwa,
paman abdi yang membesarkannya itu bukanlah
ayahnya. Oleh karena itu, sesampainya di
rumah ia segera menanyakan kebenaran cerita
itu kepada ibunya. Pertanyaan tersebut ternyata
menimbulkan kesedihan di hati Dewi Kemuning, hingga ia meneteskan air matanya, tetapi
ia mau memberi tahu siapa yang bisa menunjukkan di mana ayahnya berada. Begitu
mendapat jawaban dari ibunya, Jaka Kandung
segera menemui paman patih untuk menanyakan hal tersebut dan meminta paman patih
agar mengantarkannya ke tempat di mana
ayahnya berada. Maka dari itu, mereka segera
berangkat ke kedung Gayaran, di mana Nilo
Suwarno pernah meninggal. Sesampainya di
sana Jaka Kandung menyatukan pikiran dengan
Sang Hyang Tunggal, lalu dia mendapat bisikan
gaib dari ayahnya agar segera merebut kembali
kadipaten Blitar dari tangan Ki Ageng Sengguruh.
Setelah Jaka Kadung musyawarah
dengan paman patih dan beberapa prajurit lain
yang masih setia. Dalam musyawarah itu paman
patih memberikan beberapa saran sebagai
persiapan merebut kembali tahta adipati. Untuk
itu segera dipersiapan segala sesuatunya agar
penyerangan tersebut bisa segera terlaksana dan
berhasil dengan baik. Sebagai salah satu usaha
untuk melaksankan tujuannya, paman patih
Kalambung menyarankan agar untuk sementara
waktu sambil menunggu Jaka Kandung
menjadi dewasa, maka sebaiknya dia mengabdi
dulu kepada Ki Ageng Sengguruh. Pengabdian
itu dengan tujuan untuk memudahkan penyerangan. Ternyata akhirnya Ki Ageng Sengguruh
terlena dengan perangai Jaka Kandung, yang
sesungguhnya berpura-pura menjadi anak yang
baik dan penurut.
Sesuai dengan rencana Jaka Kandung
berhasil membunuh Ki Ageng Sengguruh
dengan menggunakan sebilah keris milik
ayahnya yang bernama Kyai Panjer, yang
tersimpan di museum, lalu dicurinya. Dengan
tewasnya Ki Ageng Sengguruh itu, maka Jaka
Kandung berhak menduduki tahta adipati,
sebagai pewaris tunggal yang sah setelah
ayahanda meninggal, lalu dia dinobatkan
sebagai Arya Blitar ke II.
PENUTUP
Cerita Jaka Kandung termasuk dalam
legenda perseorangan karena sang tokoh tidak
memberi nama-nama tempat sepanjang cerita
atau alur itu berkembang. Hanya saja masyarakat menghubungkan cerita tersebut dengan
keberadaan tempat-tempat tersebut.
Penyebaran cerita Jaka Kandung melalui
masyarakat dari orang-seorang, lalu dari
kelompok kecil ke kelompok besar dan
akhirnya menyebar ke wilayah Blitar dan
sekitarnya. Dari cerita masyarakat tersebut, lalu
diresepsi oleh kelompok kesenian, yaitu
ketoprak untuk ditampilkan atau dipentaskan
agar masyarakat mengetahui struktur yang jelas
keberadaan kisah dan legitimasi kisah tersebut.
Di samping itu, cerita tersebut merupakan salah
satu aset atau kekayaan budaya daerah.
Dalam pementaskan lakon Jaka
Kandung tampak masyarakat sangat responsif
dan apresiatif, terbukti apabila ada pertunjukkan ketoprak di kabupaten Blitar, masya-
rakat di wilayah Blitar melalui Bapak Camat
meminta kepada ketua rombongan untuk
mementaskan cerita Jaka Kandung. Cerita
tersebut ada intertekstualnya dengan cerita lain.
Tokoh antagonis yang menggunakan kelicikan,
seperti tokoh Layang Seta dan Layang Kumitir
menyingkirkan Damarwulan, sedangkan Ki
Ageng Sengguruh menyingkirkan Jaka
Kandung. Di samping itu, ada juga tempattempat yang sekarang masih bisa dilihat, seperti
kedung Gayaran kini menjadi bendungan
Wlingi untuk PLTA, gunung Pegat kini tempat
rekreasi bagi masyarakat setempat, desa Patihan, desa Kandung di wilayah Tulungagung.
DAFTAR RUJUKAN
Abdullah, Imran, T. 1999. Suplemen
Penyebaran Ilmu Kesusastraan dan
Penerapannya. Yogyakarta: Fakultas
Sastra Universitas Gadjah Mada.
Culler, Jonathan. 1977. Structuralist Poetics.
London: Methuen & Co. Ltd.
Djamaris, Edwar. 2002. Pengantar Sastra
Rakyat Minangkabau. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Danandjaja, James. 1986. Folklor Indonesia,
ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain.
Jakarta: Pustaka Grafiti Pers.
Finnegan, Ruth. 1984. Oral Traditions and The
Verbal Arts, a guide to research practices.
London and New York: Routledge.
Gaffar, Zainal Abidin. 1991. Sastra Lisan Kayu
Agung. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Imran, T.A. 1994. Teori Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia Universitas Ahmad Dahlan.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra.
Jakarta: PT. Gramedia
Wawancara dengan pimpinan ketoprak, yaitu
Bapak Suhari, pada bulan Desember
2000, di desa Bangsri II, Nglegok, Blitar.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
97
Biografi Penulis
Rokhyanto lahir di desa Kedungmiri
Batang (Jateng), pada 17 April 1964.
Menyelesaikan pendidikan SD, SMP, dan
SMEA di Kotanya, kemudian melanjutkan S-1
IKIP Bandung 1984-1989, S-2 UGM
98
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Yogyakarta 2000-2003, dan kini berstatus
menjadi mhs. pascasarjana Univ. Islam Malang
(Pend. Bhs. Ind). Mulai tahun 1990 s.d sekarang
masih membantu teman-teman yang kerepotan
mengajar di IKIP-BU Malang.
Pengembangan Minat Keterampilan Menulis
di SDN Kauman dan sebagai Upaya
Peningkatan Daya Kritis dan Kreativitas Siswa
Mukhamad Hermanto
Mahasiswa PPs Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Muhammadiyah Malang
[email protected]
Abstrak
Menulis merupakan keterampilan dalam Pendidikan Bahasa Indonesia. Dalam menulis siswa lebih bisa
membuka pikiran. Siswa lebih bisa berimajinasi dan berekspresi untuk menuangkan ide-ide yang ada
dalam pemikirannya. Canggihnya teknologi membuat siswa malas atau tidak mau menulis, karena mereka
menganggap menulis itu sesuatu yang kuno dan sulit. Siswa Sekolah Dasar sekarang lebih suka dengan
teknologi yang ada pada dewasa ini. Mereka lebih suka dengan SMS, BBM, Facebook, dan WA itu semua
aplikasi yang sangat disenangi oleh siswa terutama pada tingkat Sekolah Dasar. Menulis dianggap sulit
dan tidak ada gunanya bagi siswa sekolah dasar. Guru berperan aktif dalam hal ini, dimana siswa bisa
menyukai dan mencintai keterampilan menulis. Keterampilan menulis pada siswa sekolah dasar bisa
diaplikasikan pada menulis cerita pendek (cerpen). Siswa sebetulnya mempunyai segudang ide untuk
dituangkan dalam tulisan, tetapi dalam hal ini tidak ada yang membimbing. Pengembangan minat siswa
dalam keterampilan bisa menggunakan cara pembiasaan. Pembiasaan yang dimaksud siswa sekolah dasar
kelas 5 terutama pada SDN Kauman 3, setiap pagi diberi waktu sepuluh menit untuk menulis dua atau tiga
kalimat. Sebelum siswa mengarah kesana, siswa diberi pengarahan dalam tata cara menulis sederhana.
Siswa dilatih menulis dua atau tiga kalimat yang mengandung daya kritis dan kreatifitas siswa. Kegiatan
seperti ini bisa dilakukan selama satu bulan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
denganmetodedeskriptif. Tujuan penelitian ini adalah untuk menumbuhkan keterampilan siswa dalam
menulis, guru sekolah dasar supaya lebih bisa berinovasi. Pengembangan minat keterampilan menulis ini
juga bisa menumbuhkan rasa percaya siswa dalam mengungkapkan semua ide yang ada dalam pikirannya.
Kata kunci : Pengembangan Minat, Menulis, SDN Kauman 3
A. PENDAHULUAN
Menulis merupakan salah satu keterampilan di dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Menulis dapat dilakukan dengan berbagai
cara, pada pembelajaran kegiatan menulis
banyak sekali dilakukan. Kegiatan menulis
dalam pembelajaran antara lain menulis puisi,
pidato, karangan, dan menulis cerpen. Pada era
kemajuan teknologi kegiatan menulis harus
lebih maju bukan mundur, tetapi dalam kenyataannya kegiatan menulis ini mundur
terutama dalam kegiatan pembelajaran. Dalam
pembelajaran bahasa Indonesia kegiatan menulis tidak lagi ditekankan, kebanyakan siswa
diarahkan untuk mendengarkan dan menyimak.
Hal, ini terlihat pada pendidikan dasar atau SD.
Pada Sekolah Dasar kegiatan menulis tidak
pernah dilakukan. Siswa mempunyai minat dan
bakat dalam menulis tetapi hal ini tidak pernah
digali oleh guru dan siswa. Minat dan bakat
siswa ini perlu digali lagi supaya siswa dapat
menghasilkan sebuah karya kecil.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
99
Minat menulis pada siswa sekolah dasar
perlu dikembangkan. Menulis yang diajarkan
pada siswa sekolah dasar harus mengandung
daya kristis dan kreativitas siswa. Pada Sekolah
Negeri Kauman 3 kegiatan menulis sangatlah
kurang, siswa tidak pernah diajari bagaimana
menulis yang baik dan benar. Maka, daya pikir
seorang siswa menjadi kurang karena tidak
pernah diajari menulis yang kreatif dan kritis.
Keterampilan menulis yang baik diperoleh dengan latihan yang berulang-ulang dan
memerlukan waktu yang tidak sebentar, mengingat kegiatan menulis sangat komplek
dalam arti melibatkan berbagai keterampilan
untuk mengungkapkan ide, pikiran, pengetahuan, dan pengalaman-pengalaman hidup
dalam bahasa tulis yang jelas, runtut, ekspresif,
dan mudah dipahami. Dalam kegiatan pembelajaran menulis, siswa diarahkan untuk
mampu berkomunikasi dengan menggunakan
bahasa tulis, anak didik diharapkan mampu
menuangkan gagasan atau idenya secara runtut
dengan diksi yang tepat, struktur yang benar
sesuai dengan konteksnya.
Menurut Keraf (1995:6) tujuan umum
menulis dipengaruhi oleh kebutuhan dasar
manusia, yaitu: 1) keinginan untuk memberi
informasi kepada orang lain dan mendapatkan
informasi dari orang lain mengenai suatu hal,
2) keinginan untuk menyakinkan seseorang
menganai suatu kebenaran akan suatu hal, dan
lebih jauh mempengaruhi sikap dan pendapat
orang lain, 3) keinginan untuk menggambarkan
atau menceritakan bagaimana bentuk atau
wujud suatu barang atau objek, atau mendeskripsikan cita rasa suatu benda, hal, atau bunyi,
dan 4) keinginan untuk menceritakan kepada
orang lain tentang kejadian-kejadian atau
peristiwa-peristiwa yang terjadi, baik yang
dialami maupun yang didengar dari orang lain.
Keterampilan menulis sudah sejak lama
dilaksanakan dengan berbagai metode namun
sampai sekarang belum ada hasil yang optimal. Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh
Sutama dkk. (1998 dalam Nurhayati 2000:13)
100
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
“siswa belum dapat dikatakan mampu berbahasa Indonesia secara baik dan benar, baik
lisan maupun tulisan, mulai Sekolah Dasar
sampai dengan Sekolah Menengah Umum”.
Siswa masih bingung dan mengalami kesulitan
ketika harus menulis. Fenomena tersebut memunculkan upaya sebagai bentuk solusi mengatasi permasalahan tersebut.
Tarigan (1986:3) sebagai ahli yang menyebutkan bahwa menulis merupakan suatu
keterampilan berbahasa yang dipergunakan
untuk berkomunikasi secara tidak langsung,
tidak secara tatap muka dengan orang lain.
Sementara menurut Gie (2002:3) mengarang
atau menulis adalah segenap rangkaian kegiatan
seseorang mengungkapkan gagasan dan menyampaikannya melalui bahasa tulis kepada
masyarakat pembaca untuk dipahami. Melalui
bahasa tulis, penulis atau pengarang berusaha
mengungkapkan ide-idenya agar dipahami
pembaca.
Menurut Keraf (1995:6) tujuan umum
menulis dipengaruhi oleh kebutuhan dasar manusia, yaitu: 1) keinginan untuk memberi
informasi kepada orang lain dan mendapatkan
informasi dari orang lain mengenai suatu hal,
2) keinginan untuk menyakinkan seseorang
menganai suatu kebenaran akan suatu hal, dan
lebih jauh mempengaruhi sikap dan pendapat
orang lain, 3) keinginan untuk menggambarkan
atau menceritakan bagaimana bentuk atau
wujud suatu barang atau objek, atau mendeskripsikan cita rasa suatu benda, hal, atau
bunyi, dan 4) keinginan untuk menceritakan
kepada orang lain tentang kejadian-kejadian
atau peristiwa-peristiwa yang terjadi, baik yang
dialami maupun yang didengar dari orang lain.
Menulis merupakan bentuk perwujudan
imajinasi yang tertulis. Siswa selalu diajak
untuk berimajinasi dalam melakukan pekerjaan
menulis. Siswa SDN Kauman 3 dalam hal harus
ditumbuhkan rasa menulis yang tinggi untuk
meningkatkan daya imajinasi siswa.
B. KAJIAN PUSTAKA
Studi pendahuluan penelitian ini berjudul
Pengembangan Minat Keterampilan Menulis di
SDN Kauman 3 sebagai Upaya Peningkatan
Daya Kritis dan Kreatifitas Siswa. Siswa akan
di asah daya pikir dan kreativnya dalam pembelajaran menulis. Siswa harus mempunyai
tujuan dalm pembelajaran menulis. Tujuan menulis menurut Syarif, Zulkarnaini, dan
Sumarmo, (2009:6) adalah sebagai berikut.
Pertama, menginformasikan segala sesuatu,
baik itu fakta, data maupun peristiwa termasuk
pendapat dan pandangan terhadap fakta, data
dan peristiwa agar khalayak pembaca memperoleh pengetahuan dan pemahaman baru
tentang berbagai hal yangdapat maupun yang
terjadi di muka bumi ini.
Kedua, membujuk; melalui t ulisan
seorang penulis mengharapkan pula pembaca
dapat menentukan sikap, apakah menyetujui
atau mendukung yang dikemukakan. Penulis
harus mampu membujuk dan meyakinkan
pembaca dengan menggunakan gaya bahasa
yang persuasif. Oleh karena itu, fungsi persuasi
dari sebuah tulisan akan dapat menghasilkan
apabila penulis mampu menyajikan dengan
gaya bahasa yang menarik, akrab, bersahabat,
dan mudah dicerna.
Ketiga, mendidik adalah salah satu tujuan
dari komunikasi melalui tulisan. Melalui
membaca hasil tulisan wawasan pengetahuan
seseorang akan terus bertambah, kecerdasan
terus diasah, yang pada akhirnya akan menentukan perilaku seseorang. Orang-orang yang
berpendidikan misalnya, cenderung lebih terbuka dan penuh toleransi, lebih menghargai
pendapat orang lain, dan tentu saja cenderung
lebih rasional.
Terakhir, menghibur; fungsi dan tujuan
menghibur dalam komunikasi, bukan monopoli
media massa, radio, televisi, namun media
cetak dapat pula berperan dalam menghibur
khalayak pembacanya. Tulisan-tulisan atau
bacaan-bacaan “ringan” yang kaya dengan
anekdot, cerita dan pengalaman lucu bisa pula
menjadi bacaan penglipur lara atau untuk
melepaskan ketegangan setelah seharian sibuk
beraktifitas .
Dari t ujuan-tujuan di atas siswa
diharapkan mampu untuk menulis terutama
menulis cerpen untuk mengembangkan daya
pikir yang kritis dan kreatif. Murujuk pada
tujuan penulisan di atas siswa SDN Kauman 3
diharapkan bisa mengahsilkan sebuah karya
dalam menulis.
C. METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan menggunakan
metode deskriptif. Data dikumpulkan melalui
proses penulisan sebuah cerpen yang dilakukan
siswa kelas lima SDN Kauman 3 sebelum
kegiatan pembelajaran dimulai. Pengumpulan
data ini dilakukan selama sepuluh menit dengan
menuliskan dua sampai tiga kalimat setiap hari.
Menggunakan metode ini, sangat diharapkan
siswa bisa menulis sebuah cerita pendek. Hasil
penulisan siswa akan dikumpulan setiap
harinya untuk dirangkai menjadi sebuah tulisan
yang menarik. Hal ini perlu dilakukan agar
imajinasi siswa untuk menulis selalu terasah
dan terpacu dalam pembelajaran menulis untuk
menghasilkan sebuah karya.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengembangan minat keterampilan
menulis di SDN Kauman 3 sebagai upaya
peningkatan daya kritis siswa dengan menggunakan metode pengumpulan dua sampai
dengan tiga kalimat sebelum pembelajaran
dimulai sangat efektif. Guru dan siswa dalam
hal ini harus berperan aktif. Siswa dalam
melakukan kegiatan menulis setiap pagi selalu
didampingi oleh guru. Kegiatan menulis yang
dikerjakan oleh siswa selalu dilakukan pada
alam terbuka yang ada di Sekolah Dasar Negeri
Kauman 3. Hal ini dilakukan bertujuan untuk
mengembangkan imajinasi dan kreativitas
siswa dalam menulis.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
101
Menggunakan metode dua tiga sepuluh
setiap hari siswa selalu mendapatkan ide dalam
melanjutkan cerita yang ditulis. Siswa merasa
senang dengan metode ini. Hasil pekerjaan
siswa sudah bisa memberikan berbagai judul
karya cerita pendek yang siswa tulis. Hasil
tulisan siswa sudah memberikan karya yang
kreatif, beberapa judul karya siswa Sekolah
Dasar Negeri Kauman 3 adalah sebagai berikut,
(1) Franky, judul ini mengisah seorang siswa
yang pintar tetapi usianya hanya seumur jagung.
(2) Si Pemarah, judul ini juga ditulis oleh siswa
SDN Kauman 3 tokoh dalam Si Pemarah adalah
salah satu teman dari Aini yang selalu marah
tetapi sangat baik hati. Si Pemarah merupakan
tulisan yang dibuat oleh siswa dari kehidupan
di sekolah. (3) Sahi dan Kemalasan,cerpen
dengan judul ini mengisahkan seorang siswa
yang begitu malas dalam belajar dan sekolah
sehingga tokoh Sahi tidak bisa mengikuti
pelajaran, sampai pada waktunya Sahi terkena
masalah yang besar. (4) Miskin,judul yang
menarik bagi siswa kelas lima sekolah dasar,
cerpen ini mengisahkan kemiskinan seorang
temannya di kehidupan sekolah. Tokoh dalam
cerpen Miskin mempunyai watak yang begitu
gigih dan semangat dalam sekolah. (5)
Indahnya Kejujuran,judul ini juga mengisahkan
siswa SDN Kauman 3 yang mempunyai sikap
yang jujur dalam kehidupan pribadinya, dimana
tokoh dalam cerita menjadi contoh untuk
teman-temannya karena selalu bersikap jujur.
(6) Surat untuk Bunda, cerpen ini mengisahkan
anak yang merindukan sosok seorang ibu, tokoh
yang ditulis oleh siswa kelas lima ini sangat
memilukan. Seorang anak yang ditinggal
ibunya bekerja jauh demi biaya anaknya untuk
bersekolah. (7) Menggapai Impian, mengisahkan cita-cita seorang siswa yang berharap
bisa menggapai cita-cita yang diharapkan
dengan keterbatasan fisik. Tokoh dalam judul
ini memiliki keterbatasan fisik, melainkan
memiliki keinginan yang sangat tinggi dalam
menggapai cita-cita. (8) Duka Hari Senin,
mengisahkan seorang siswa kelas enam yang
102
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
selalu terlambat datang ke sekolah dengan
berbagai alasan. Tokoh dalam cerita selalu
menyembunyikan kehidupan pribadinya dari
guru kelasnya, sampai suatu ketika guru kelas
berkunjung ke rumah si tokoh. (9) Mutiara
Terpendam, judul ini juga ditulis oleh siswa
SDN Kauman 3. Cerita yang ditulis adalah
mengisahkan soerang penjaga sekolah yang
memiliki kepribadian yang gigih dalam bekerja
dan selalu menolong siswa yang kesusahan
pada waktu sekolah dalam hal kebaikan. (10)
Kebohongan menjadi Petaka, judul ini juga
sangat menarik yang ditulis oleh siswa kelas
lima, judul ini mengisahkan tentang temannya
yang selalu berbohong dalam segala hal, sampai
pada suatu ket ika tokoh dalam cerita
mendapatkan petaka dalam kebohongannya
sendiri.
Hasil dari metode dua tiga sepuluh menghasilkan beberapa judul cerita pendek karya
siswa SDN Kauman 3, dari pengembangan
minat keterampilan menulis sebagai upaya
peningkatan daya kritis dan kreavitasnya. Judul
di atas merupakan hasil metode yang harus
dilakukan secara berkelanjutan dan tidak boleh
terputus untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
E. SIMPULAN
Keterampilan menulis sangat dibutuhkan
dalam dewasa ini. Seoarang siswa kalau tidak
dilatih sejak dini dalam bidang keterampilan
menulis maka tidak akan pernah bisa menulis.
Metode dua tiga sepuluh adalah salah satu
bentuk metode yang harus dilaksanakan untuk
melatih siswa bisa menulis. Kegiatan menulis
sangatlah sulit, dari kesulitan itu harus dilakukan untuk menjadi sesuatu hal yang mudah.
Berdadarkan metode dua tiga sepuluh
sudah bisa melatih siswa untuk belajar menulis,
dari metode ini siswa bisa menulis dengan
beberapa judul. Analisis judul pada hasil dan
pembahasan, sudah bisa menunjukan siswa bisa
menulis dengan metode dua tiga sepuluh untuk
meningkatkan daya kritis dan kreativitas siswa.
F. DAFTAR PUSTAKA
Keraf, Gorys. 2004. Diksi dan Gaya Bahasa.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama. Nurhayati. 2000. Pembelajaran
Menulis. Jurnal Ilmiah. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Syarif, Elina., Zulkarnaini, dan Sumarmo. 2009.
Pembelajaran Menulis. Jakarta: Pusat
Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bahasa.
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Menulis Sebagai
Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
103
Menumbuhkembangkan Karakter Siswa
Sekolah Dasar Melalui Penerapan Media
Pembelajaran Film Bertema Cinta Tanah Air”
Oleh:
Anggi Fridianto (STKIP PGRI JOMBANG)
Novia Hardiyanti (STKIP PGRI JOMBANG)
Muyasaroh (STKIP PGRI JOMBANG)
Wahyu Linda Sari (STKIP PGRI JOMBANG)
Dr. Ninik Sudarwati, M.M. (STKIP PGRI JOMBANG)
Abstrak:
Pendidikan merupakan alat untuk mengembangkan potensi yang ada dalm manusia agar menjadi insan
yang lebih baik. Sebagaimana hal itu telah tertuang dalam UURI No.20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS
Pasal 1 : 65 bahwa pendidikan dilaksankan agar peserta didik mampu mengembangkan potensi yang ada
dalam dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia yang mana kelak akan berguna bagi bangsa dan Negara. Terdapat 4 pilar pendidikan agar
sebuah roda pendidikan berjalan dengan baik yakni; guru sebagai pengajar, siswa sebagai peserta didik,
pemerintah sebagai penyedia dana serta sapras dan peran serta masyrakat yang mendukung proses berjalanya
pendidikan. Di dalam era globalisasi ini, peran teknlogi juga berpengaruh dalam proses pendidikan di
Indonesia. Peran teknologi memberikan dampak positif dan negatif dalam proses pemebelajaran. Peran
positif contohnya teknologi sebagai penunjang proses pembelajaran, sebagai media yang mampu
mendukung proses belajar mengajar yang dapat memberikan kemudahan untuk mengakses informasi yang
lebih cepat, tetapi teknologi juga dapat memberikan peran negatif apabila seorang peserta didik mendapatkan
perhatian yang kurang dari pihak yang lebih dewasa seperti guru, kepala sekolah ataupun orang tua.
Peranan negatif seperti hal nya menggunakan hand phone saat kegiatan belajar mengajar ataupun
menggunakan teknologi penunjang lainya dalam KBM akan memberikan dampak negatif seperti malas
belajar, berkurangnya rasa ingin tau, selalu mengandalkan teknologi dan sering mengacuhkan guru saat
pembelajaran. Beranjak dari permasalahan tersebut, peneliti telah melakukan penelitian pendidikan dalam
hal penumbuhkembangan karakter siswa sekolah dasar dengan menerapkan film bertema nasionalisme
sebagai media pembelajran. Penelitian ini diterpakan pada siswa sekolah dasar kelas 5 di SDN Pulo Lor
2 dengan menggunakan metode one group pre-tes post-test design sebagi metode penelitian. Instrument
dalam penelitian ini adalah angket untuk mengukur nilai karakter siswa. Hasil dari penelitian ini yakni
menunjukan peningkatan nilai karakter pada siswa sebgaimana hasil hipotesis diterima.
Kata kunci: karakter, siswa sekolah dasar, pembelajaran, praktek
siswa dengan pebelajaran media film bertema
cinta tanah air yang berisikan tentang seorang
Karakter siswa sekolah dasar dapat disiswa SD yang semangat belajar, berhemat,
tumbuhkan dengan pembelajaran menggunaberbakti kepada orang tua dan peduli terhadap
kan media Film cinta bertema tanah air sebagai
lingkungan. Hasil total skor terjadi peningkatan
sarana untuk merubah perilaku atau karakter
karakter siswa dan hasil uji beda meunujkkn
siswa menjadi lebih baik. Kegiatan eksperimen
PENDAHULUAN
104
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
terdapat perbedaan karakteer siswa sebelum
pembelajaran menggunakan film dan setelah
pembelajaran menggunkan film. dampaknya
siswa menjadi lebih semangat dalam belajar,
peduli terhadap lingkungan ddan berbakti
kepada orang tua.
Pemerintah Indonesia menggalakkan
pendidikan karakter sejak tahun 2010 yang
menanamkan pendidikan karakter pada siswa.
Pada tahun tersebut Kementrian pendidikan
Nasional indonesia telah memperkenalkan
bahwa pendidikan karakter merupakan suatu
tonggak dasar demi berdirinya sutu bangsa yang
kokoh. Pendidikan karakter secara umum
sesuai dengan tujuan bangsa indonesia yang
tercantum dalam GBHN yaitu menuju bangsa
yang mengembangkan nilai-niali budaya dan
juga menuju bangsa yang berakhlak mulia,
berkarakter baik dan berbudi pekerti luhur serta
diperjelas dalam undng-undang NO.20 tahun
2003 tentang sistem pendidikan nasional bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
perdaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka menceraskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembngkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia beriman dan
bertaqwa kepada tuhan yang maha esa,
berahklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Proses globalisasi telah berjalan yang
membawa dampak positif dan negatif. Dampak
positif globalisasi antara lain kompetisi, kerjasama, intregasi antar negara. Sedangkan
dampak negatif globalisasi melalui sarana
internet, koran, handphone antara lain lahirnya
generasi instan (generai sekarang, langsung bisa
menikmati keinginan tanpa proses perjuangan
dan kerja keras), dekadensi moral berupa cara
berpakaian, cara etika berinteraksi tidak sesuai
dengan adat ketimuran. Begitu permasalahan
pada siswa sebagai generasi muda sering terjadi
perkelaian antar remaja kurang peduli sosial,
kurang tangguh terhadap tantangan kerja,
bersikap instan dan mudah putus asa. Sehingga
untuk membentuk karakter siswa yang lebih
baik diperlukan pendidikan karakter sejak dini
didalam pendidikan formal.
Salah satu solusi mengurangi dampak
negative globalisasi dan terdinya penuunan
karakter bangsa dari bangsa dari generesai
muda dengan cara menuimbuhkemmbangkan
pendidikan karakter dlam lingkup pendidikan
formal anatara lain proses pembelajaran yang
berbasi karakter.kegiatan menumbuhkan
pendidkkan karatek bdalam pbm sangat
dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu peran
guru yang maksimal, bahan ajar yang variatif,
media pemebelajaran yang sesuai dengan
perkembangan teknologi dan tututan siswa,
fasilitas dan sarana pembelajaran yang menunjang pendidikan karakter siswa.
Permasalahn dalam media pembelajaran
untuk meningkatkan pendidikan karakter masig
sangat terbatas dan memerlukn inovasi inovasi
baru yang dapat menarik minat belajar siswa
dan dapat menumbuhkembangkan karakter
siswa.erdasarkan latar belakang diats maka
diperlukan media film cinta tanah air sebagai
sarana untuk menumbuhkembangkan karakter
siswa dalam proses pembelajaran dikelas.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini jenis penelitian eksperimen
pada objek tunggal, dengan pendeketan
kuantitatif menggunakan uji beda atau uji t,
untuk mengukur efektifitas eksperimen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan
perubahan karakter pada siswa sekolah dasar
kelas 5 sebelum dan sesudah diberikan pembelajaran dengan menerapkan film bertema
nasionalisme, Obyek penelitian dilakukan pada
35 siswa SD negeri pulo Lor 2 Jombang,
variabel dalam penelitian ini adalah Variabel
X1: hasil skor karakter siswa sebelum
penerapan media pembelajaran berbasis film;
2) Variabel X2: hasil skor karakter siswa
sesudah penerapan media pembelajaran berbasis film Hipotesis yang diajukan:
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
105
H0 = tidak ada “perbedaan dari hasil pada
penerapan menggunkan media bertema cinta
tanah air pada siswa tingkat sekolah dasar”
Ha = ada “perbedaan “perbedaan dari hasil pada
penerapan menggunkan media bertema cinta
tanah air pada siswa tingkat sekolah dasar”
Indikator hasil skor pada siswa, adalah:
(1) Karakter individu: religious, jujur, disiplin,
Kerja keras, kreatif dan mandiri, (2) Karakter
sosial: toleransi, rasa ingin tahu, peduli lingkungan dan peduli social, (3) Karakter kepemimpinan: tanggung jawab, demokratis.
Metode untuk pengumpulan data dengan
metode questioner dengan instrument angket
untuk memperoleh informasi karakter siswa.
Proses dalam pengumpulan data ini berlangsung setelah diterapkanya proses belajar
mengajar menggunkan media bertema film
cinta tanah air. Metode wawancara dengan instrument lembar observasi terstruktur kepada
guru tentang pelaksanaan penerapan media
pembelajaran berbasis film.
Skala pengukuran menggunakan menggunakan skala likert, setiap masing-masing
jawaban diberi penilaian sesuai dengan
ketentuan 4 (empat) tipe ini dimasukkan untuk
memberikan beberapa alternative jawaban
responden yaitu : Jawaban nomor 4 skor = 4;
Jawaban nomor 3, skor = 3; Jawaban nomor 2,
skor = 2; Jawaban nomor 1, skor = 1.
Keterangan skor diatas menunjukkan alternatif
jawaban dari responden skor 4 adalah Sangat
baik dengan keterangan Selalu, Skor 3 kadang
kadang, skor 2 jarang dan skor 1 berarti tidak
pernah sama sekali dan negatif.
Teknik analisis data menggunakan
pengujian perbedaan rata-rata dengan teknik T
tes dua sampel besar yang satu sama lain saling
berhubungan. Dengan rumus sebagai berikut:
M1 - M2
t0 = SEM1-M2
(Montgomery, 2001)
Keterangan :
SEM1-M2 = Standart error perbedaan mean antara
sampel I dan sampel II.
106
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
M1 - M2 = Perbedaan variabel sebelum(X1)
dengan mean variabel sesudah (X2)
Uji hipotesis diuji signifikansinya dengan
membandingkan hasil perhitungan uji beda atau
uji t “t” hitung dan “t ” tabel dengan
memperhatikan pada derajat kebebasan (df) =
35+35-2=68. Nilai t tabel dan diperoleh dengan
taraf signifikan 0, 05.
HASIL PENELITIAN
Untuk membandingkan karakter siswa
dalam pembelajaran antara menggunakan media film dan sebelum penerapan media film.
Peneliti menyajikan data tersebut melalui
angket yang berhubungan dengan karakter
siswa. Angket akan dibagikan dua kali yaitu
sebelum penerapan media dan sesudah
penerapan media berjumlah 35 siswa. Peneliti
menyiapkan 20 soal angket untuk menguji
karakteristik siswa sebelum pembelajaran ( pre
test ) dan sesudah pembelajaran ( post test ).
Setelah data terkumpul, peneleti akan mulai
menganalisis data dari hasil pre test dan
dilanjutkan analisis hasil post test. Analisis
terakhir dari penelitian ini adalah uji hipotesis
yang digunakan untuk mengetahui kebenaran
hipotesis yang telah direncanakan
A. Analis hasil pre-test (Tabel 1 Hasil Pre
test Siswa)
No
1
2
3
4
Code
Siswa
Selalu
A-1
A-2
A-3
A-4
10
4
10
4
34
A-34
35
A-35
Jumlah
Prosentase
10
3
195
27,86%
Respon Siswa
KadangJarang
kadang
5
4
3
10
4
3
5
9
Tidak
pernah
1
2
3
2
4
4
159
22.71%
1
1
72
10.29%
5
12
274
39.14%
Dari hasil analisis tabel pre-test di atas
dapat disimpulan bahwa dari jumlah seluruh
siswa yaitu 35 siswa menunjukan prosentase
tertinggi dengan jawaban jarang lalu diikuti
jawaban selalu, kemudian diikuti oleh jawaban
kadang-kadang dan terakhir jawaban paling
sedikit yaitu tidak pernah.
Dari hasil interpretasi diatas dapat
dikatakan bahwa nilai karakter pada siswasiswi SDN Pulo Lor 2 masih dalam kategori
“kurang baik”dalam hal aspek 3 karakter yaitu
karakter kepribadian, karakter sosial dan
karakter tanggung jawab.
analisa yang kedua yaitu membuktikan hasil uji
hipotesis. Uji hipotesis dalam penelitian ini
menggunakan statistik infrensial dengan
statistik parametrik, karena data yang akan
dianalisis berdistrbusi normal dan homogen. Uji
hipotesis penelitian dilakukan berdasarkan data
peningkatan nilai karakter siswa, yaitu data
selisih hasil dari pre-test dan post test. Berikut
uji hipotesis dengan rumus t test.
Di ketahui data dari hasil penelitian
X1 = 76,75
Varian1 = 21,5
X2= 67,04
Varian2= 42,01
n1= 35
n2=35
B. Analis hasil pre-test (Tabel 2 Hasil Posttest Siswa)
No
1
2
3
4
Code
Siswa
Selalu
A-1
A-2
A-3
A-4
3
8
9
9
34 A-34
35 A-35
Jumlah
Prosentase
Respon Siswa
KadangJarang
kadang
5
10
4
7
6
5
4
6
10
9
3 06
43,71%
5
5
172
24,57%
5
4
187
26,71%
Tidak
pernah
2
1
0
1
0
2
35
5%
Dari hasil analisis tabel post-test di atas
dapat disimpulan bahwa dari jumlah seluruh
siswa yaitu 35 siswa menunjukan prosentase
tertinggi dengan jawaban “selalu” lalu diikuti
jawaban “jarang”, kemudian diikuti oleh
jawaban “kadang-kadang” dan terakhir jawaban
paling sedikit yaitu tidak pernah.
Dari hasil interpretasi diatas dapat
dikatakan bahwa nilai karakter pada siswasiswi SDN Pulo Lor 2 sudah dalam kategori
“sangat baik”dalam hal aspek 3 karakter yaitu
karakter kepribadian, karakter sosial dan
karakter tanggung jawab
PEMBAHASAN
Setelah diketahui bahwa terdapat hasil
perbedaan pada hasil pre dan post-test maka
Hasil t tabel adalah sebesar 1,67 dengan
signifikan 0,05%. Dan derajat kebebasan
35+35-2=68. Sedangkan dari hasil t-hitung
adalah sebesar 1,27. Jadi hipotesis diterima
karena hasil t hitung < hasil t-tabel
Dari hasil di atas, dapat dilihat bahwa ada
perbedaan skor dari hasil pada pre-test dan post
test. Sehingga dapat dapat diinterpretasikan
bahwa media film dapat menumbuhkembangkan nilai karakter pada siswa sekolah
dasar.
KESIMPULAN
Dari hasil uji analisa diatas dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran dengan
menggunakan media film dengan tema cinta
tanah air di SDN Pulo Lor 2 Jombang berhasil
karna uji hipotesis diterima dan dapat dikatakan
bahwa nilai karakter pada siswa bekembang
khusunya dalam mata pelajaran kewargaProsiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
107
negaraan dan umumnya pada 3 karakter peserta
didik yakni karakter kepribadian, sosial dan
karakter tanggung jawab.
SARAN
Terdapat beberapa saran yang menjadi
tinjauan kedepan dalam penelitin ini;
1. Sebagai guru pengajar pada tingkat sekolah
dasar Penerapan media sangatlah mendukung, sebab di masa era globalisasi ini
peranan media dapat menjadi salah satu
minat siswa guna meningkatkan prestasi
mereka.
2. Dalam era modern atau globalisasi ini,
peranan orang tua terhadap perkembangan
anak sangat di utamakan, karena orang tua
sebagai fasilitator utama di rumah. Pembatasan penggunaan media elektronik
dirumah sangant penting demi masa depan
dan karakter mereka di usia dewasa.
108
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
DAFTAR PUSTAKA
Montgomery, D. C., 2001, Design And Analysis Of Experiments, Fifth Edition, by
Jhon Wiley & Sons, Inc., New York, the
United States of America.
Slavin, R.E., 2005, Cooperative Learning:
theory, research and practice, Allyn and
Bacon London.
UU No.15 Tahun 2005 Tentang Guru Dan
Dosen Dan UU RI No.20 Tahun
2003.Tentang Sistem Pendidikan
Nasional,Jakarta.
Tirta Raharja,Umar dan La Sula.2005.
Pengantar Pendidikan.Jakarta: Rineka
Cipta.
Wardiyatmoko.K. 2006.Geografi Unt uk
SMA.Jakarta : Erlangga.
Mulyasa E.2002.Manajemen Berbasis Sekolah.
Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
LAD: PIRANTI RESEPTIF DAN
PRODUKTIF YANG LUAR BIASA
Astri Widyaruli Anggraeni
Universitas Muhammadiyah Jember
Email: [email protected]
ABSTRAK
LAD (Language Acquisition Device) sebagai proses pemerolehan bahasa memiliki kemampuan untuk
dapat mengorganisir sebuah ‘data kebahasaan’ menjadi beberapa unit bahasa dan dapat pula melakukan
penilaian yang konstan terhadap sistem kebahasaan yang akan terus berkembang agar dapat membangun
sistem bahasa yang sederhana. Hal itulah yang membuat seseorang mampu mengembangkan keterampilan
berbahasa, dimana keterampilan berbahasa tersebut seharusnya dimulai melalui masukan (input) bukan
keluaran (output) atau adalah berasal dari sebuah pemahaman, bukan hasil keterampilan berbahasa tersebut.
Proses penerimaan bahasa yang baik akan secara tidak langsung ‘terprogram’ dalam diri seseorang yang
nantinya akan memengaruhi keterampilan berbahasa mereka. Kosakata, pemaknaan, konsep bahasa,
pemahaman yang tersimpan rapi dalam proses pemerolehan bahasa dapat diperkuat melalui keterampilan
membaca dan menulis. Hakikatnya adalah untuk dapat ‘mengaktifkan’ keterampilan menulis, mulailah
dengan membaca.Ringkasnya belajar menulis melalui membaca.Kegiatan reseptif dan produktif ini tidak
dapat dipisahkan. Kedua piranti ini bersama-sama dengan pemerolehan bahasa akan membentuk ‘kotakkotak intelektual’ yang nantinya akan menjadi pemicu berkembangnya kemahiran berbahasa. Melalui
membaca untuk mencari sebuah pemaknaan, pemahaman, dan informasi baru, penulis dapat menyimpan
banyak kosakata yang telah didapatkan, dapat mengembangkan kemampuan dan memahami pengembangan
kalimat dan paragraf, serta gaya penulisan bahasa yang nantinya dapat dikembangkan. Pelestarian budaya
baca-tulis sebagai ‘tameng’ dari sebuah krisis kemampuan baca-tulis untuk menghadapi tuntutan masyarakat
modern yang kompleks saat ini.
Key words: LAD, reseptif, produktif
PENDAHULUAN
Chomsky memiliki pendapat bahwa
pemerolehan bahasa itu berdasarkan pada nature karena menurutnya ketika anak dilahirkan
ia telah dibekali dengan sebuah alat tertentu
yang membuatnya mampu memelajari suatu
bahasa. Alat tersebut dikenal dengan sebutan Piranti Pemerolehan Bahasa (PPB) atau
Language Acquisition Device (LAD) yang
bersifat universal yang dibuktikan oleh adanya
kesamaan pada anak-anak dalam proses
pemerolehan bahasa mereka (Dardjowidjojo,
2003:235-236). Adanya hipotesis mengenai
LAD ini semakin memperkuat pandangan para
ahli di bidang pemerolehan bahasa, bahwa
kanak-kanak sejak lahir telah diberi kemampuan untuk memperoleh bahasa ibunya.
Buktinya, meskipun masukan yang berupa
ucapan-ucapan penuh dengan kalimat-kalimat
yang salah, tidak lengkap, dan dengan struktur
yang tidak gramatikal, namun ternyata kanakkanak dapat saja menguasai bahasa ibunya itu.
Tampaknya bahasa ibu dapat saja diperoleh oleh
kanak-kanak dalam keadaan yang beragamragam dan dengan corak yang bagaimana pun
(Chaer, 2009:170).
Berawal dari hipotesis ini jika dihubungkan dalam keterampilan berbahasa, pemerolehan bahasa ini menjadi jalan utama dalam
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
109
proses kemampuan bahasa dan berbahasa pada
manusia. Kosakata, pemaknaan, konsep bahasa,
struktur bahasa, pemahaman yang tersimpan
rapi dalam proses pemerolehan bahasa dapat
diperkuat melalui keterampilan berbahasa, yaitu
pada kegiatan membaca (reseptif) dan menulis
(produktif). Membaca dan menulis merupakan
suatu kegiatan yang menjadikan penulis sebagai
pembaca dan pembaca sebagai penulis. Seseorang akan mampu menulis setelah membaca
karya orang lain atau secara tidak langsung akan
membaca karangannya sendiri. Ketika seseorang membaca karangan orang lain ia akan
berperan juga seperti penulis, ia akan menemukan topik dan tujuan, gagasan, serta mengorganisasikan bacaan dari karangan yang dibaca
(Suparno dan Yunus, 2008: 1.4-1.5). Menurut
hemat penulis, dalam kegiatan berbahasa
peranan ‘perasaan’ linguistik tidak boleh kita
abaikan, artinya ‘perasaan’mengenai pemakaian kata-kata yang tepat dalam suatu kalimat,
sehingga kalimat tersebut benar, tidak bermakna ganda dan logis.Disinilah peran LAD
yang sangat luar biasa berhubungan dengan
kemampuan berbahasa seseorang.
KETERIKATAN MEMBACA DAN
MENULIS
Riset dengan jelas menunjukkan bahwa
kita belajar menulis lewat membaca. Untuk
lebih tepatnya, kita memperoleh gaya tulisan,
bahasa khusus penulisan dengan membaca.
Kita sudah melihat banyak bukti yang menegaskan hal ini: Anak-anak yang berpartisipasi
dalam program membaca-bebas, menulis
dengan lebih baik (misalnya, Elley dan
Mangubhai, 1983; McNeil dalam Fader, 1976)
dan mereka yang melaporkan bahwa semakin
banyak mereka membaca semakin baik
tulisannya (misalnya, Kimberling et al., 1988
sebagaimana dilaporkan dalam Krashen 1978,
1984; Applebee, 1978; Alexander, 1986; Salyer,
1987; Janopoulus, 1986; Kaplan dan Palhinda,
1981; Applebee et al., 1990 dalam Hernowo:
2003: 105-116).
110
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Dalam proses membaca, proses yang
dapat terjadi adalah bagaimana seseorang yang
membaca mampu meretrif kata, kalimat, makna
tersebut dalam pemahamannya. Stimulus yang
terdapat pada proses membaca, harus dapat
diproses menjadi makna kata yang terkait
dengan referennya, bebas dari sifat ambiguitas,
sampai pada kelogisan bahasa dan makna.
Selain itu, pembaca juga harus memiliki
kemampuan untuk ‘mereka-reka’istilah yang
baru pada bahan bacaan, kata baru atau kata
yang pemakaiannya tidak sama dengan apa
yang selalu kita pikirkan atau kita gunakan
sebelumnya. Kemampuan dari aspek awal
dalam membaca tersebut, nantinya dapat
diterapkan pada aspek produktif (menulis),
dimana menulis memerlukan runtutangagasan–
gagasan yang tersusun secara logis, diekspresikan dalam bentuk tulisan dengan jelas dan
menarik, yang nantinya dapat membantu
pengembangan dalam hal pengembangan
kalimat, bentuk dan gaya penulisan bahasa.
Secara singkat, penulis merumuskan hubungan
membaca dan menulis dalam kemampuan
berbahasa:
RUMUS BACA
A + B = AB
KREASI PRODUKTIF
A + B1+2
AB12
A2 + B1
AB12
dst..
Tabel hubungan keterampilan reseptif dan produktif
Piranti reseptif dan produktif ini bersama
membentukkemahiran berbahasa seseorang.
Proses membaca untuk mencari sebuah pemaknaan, pemahaman, dan informasi baru, sehingga nantinya dapat menyimpan banyak kosakata
yang telah diperoleh agar dapat memahami dan
mengembangkannya secara logis, efektif dan
berterima.
MENULIS DENGAN BEKAL LAD
DAN MEMBACA
Menulis ilmiah setidaknya tidak bisa
lepas dari struktur kalimat yang hemat, siste-
matis, logis, pararel, padu, dan padan.Misalnya,
kita sudah mampu meretrifal kata minyak
goreng dalam benak kita sebagai bahan
penghantar panas, penambah citarasa makanan,
dan digunakan untuk memasak. Ketika diterapkan dalam kalimatutuh, dari kata minyak goreng
misalnya dapat menjadi kalimat:
(1) Minyak goreng sebagai media penghantar
panas.
(2) Konsumsi minyak goreng meningkat
dalam 5 tahun terakhir ini sebanyak 80%.
Kalimat (1) dan (2) dapat berterima,
sesuai dengan struktur dan makna kalimat.
Konstituen dalam kalimat tersebut merupakan
realita psikologis bahasa, bukan manasuka kita
menggabungkannya..Pemaknaan pada kata
minyak goreng dipahami sebagai bentuk bahan
sebagai penghantar panas, penambah citarasa
makanan dan pemakaian minyak goreng
semakin meningkat. Bekal awal dalam membaca inilah yang akan dipahami, sebelum
akhirnya dapat menuliskan dalam bentuk
kalimat yang berterima. Konsep minyak goreng
sebagai konsep awal yang dipahami pembaca
menjadi pedoman makna dalam keberterimaan
kalimat tersebut. Kelogisan, kehematan, dan keefektifan, sehingga kalimat tersebut berterima
sebagai konstituen yang utuh juga harus
diperhitungkan dalam menulis. Misalnya pada
kalimat (1) kita ubah menjadi:
(1a) Minyak goreng adalah bahan untuk
mengisi bahan bakar pada kompor.
Kalimat (1a) tersebut tidak melanggar
aturan gramatikal apa pun, tapi jika kita mengirimnya dalam kotak semantik, kalimat tersebut
akan diteliti kembali, apakah sesuai makna
dalam kalimat tersebut? Minyak goreng
memang memiliki fitur makna sebagai bahan
untuk penghantar panas, digunakan dalam
proses memasak, namun kalimat selanjutnya
tidak menjelaskan demikian. Kerancuan makna
pada fungsi minyak goreng sebagai bahan untuk
mengisi bahan bakar kompor menjadi tidak
berterima dan tidak logis.
Ketika membaca, pembaca harus dapat
memahami makna dari setiap kat a yang
dibacanya, sehingga dapat mengembangkan
kata yang dibacanya dalam aktivitas menulis
selanjutnya.Pemahaman minyak goreng dalam
contoh di atas merupakan hasil dari pemahaman
membaca kata tersebut terlebih dahulu, pemahaman makna minyak goreng yang telah lolos
dari interpretasi leksikon, namun masih tertahan
pada tahap makna. Maka, pembaca (a) dapat
menolak kata tersebut sebagai acuan yang bertentangan dengan maknanya atau (b) mencari
perbedaan kata dengan kalimat yang sebenarnya akan dituliskan. Misalnya pada kasus
kalimat (1a), konstituen kata minyak goreng
dapat diubah menjadi kalimat Minyak tanah
adalah bahan untuk mengisi bahan bakar pada
kompor.Hal ini dikarenakan penggunaan
minyak tanah lebih tepat untuk menginterpretasikan makna yang tertulis pada kalimat
bahan untuk mengisi bahan bakar pada kompor.
Dalam menentukan kelas kata, secara
intuisi pembaca dapat menentukan kelas kata
yang terdapat pada kalimat tersebut.Sebagai
contoh, konstituen kata goreng ketika berdiri
sendiri merupakan bentuk verba (V), tapi saat
bergabung dengan kat a minyak goreng
berbentuk frasa nomina (FN).Hal ini tidak
menjadi permasalahan serius, saat kita mengetahui makna dalam pemakaian kalimat
tersebut.Dengan adanya LAD sebagai dasar
pembentukan dan pemerolehan bahasa menjadi
‘penguat’ dalam penguasaan berbahasa.
Pemahaman awal tersebut menjadi dasar agar
penulis mampu mengembangkan lebih lanjut
dalam paragraf, menentukan gaya penulisannya
dan menjadikannya sebuah tulisan yang
menarik.Kemampuan ini tidak dapat lepas dari
adanya LAD sebagai dasar kemahiran berbahasa.Intuisi pembaca menentukan pembentukan konstituen yang terhubung dari “kotakkotak intelektual” manusia.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
111
Pendidikan TK di Sangata-Kalimantan
Timur, SD YPPSBKalimantan Timur. SMPN
Membaca dan menulis merupakan proses
13 Mataram, SMAN 2 Mataram Nusa Tenggara
yang kompleks karena menyangkut berbagai
Barat (NTB) membuat saya mengenal betapa
kemampuan linguistik dan pengetahuan ekstraindahnya bahasa daerah, selain bahasa Indonelinguistik yang memanfaatkan LAD sebagai
sia sebagai kecintaan saya tentunya. Berbekal
anugerah yang tiada duanya. Aktivitas menulis
penguasaan bahasa Indonesia sejak kecil, dan
sama seperti halnya belajar berenang. Seperti
bentuk kecintaan terhadap bahasa Indonesia,
belajar berenang; untuk dapat berenang kita
saya memutuskan untuk menempuh pendidikan
harus betul-betul praktik berenang dengan
di Sastra Indonesia, Jember mengambil konresiko tenggelam.Penulis yang baik pasti adalah
sentrasi linguistik.Menjadi bagian dari keluarga
pembaca yang rajin.
besar Fakultas Sastra Universitas Jember
semakin membuat saya jatuh cinta pada Indonesia, khususnya linguistik bahasa Indonesia.
DAFTAR RUJUKAN
Kembali saya mendalami linguistik bahasa InChaer, 2009.Psikolinguistik Kajian Teoretik. donesia di Universitas Gadjah Mada yang
membuat saya semakin kagum dengan bahasa
Jakarta:PT. Rineka Cipta
Hernowo. 2003. Quantum Writing. Bandung: Indonesia yang luar biasa. Saat ini, saya
mengabdi di programstudi Pendidikan Bahasa,
MLC
Dalman. 2012. Keterampilan Menulis. Jakarta: Sastra Indonesia dan Daerah FKIPUniversitas
Muhammadiyah Jember sejak tahun 2011
PT. Raja Grafindo Persada
Dardjowidjojo,
Soenjono.2003. denganmengampu mata kuliah Linguistik
Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman (Psikolinguistik, SintaksisBahasa Indonesia,
Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Semantik Bahasa Indonesia, dan Pragmatik).
Jika orang lain melirik sebelah mata pada
Indonesia
kajian
bahasa Indonesia, saya mengamatinya
Suparno dan Yunus, M. 2008.Keterampilan
Dasar Menulis. Jakarta:Universitas untuk menemukan kekuatan yang tersimpan
dalam bahasa. Kekuatan itu bernama LAD
Terbuka
(Language Acquicition Device). Tanpa LAD,
manusia tidak bisa mengaji ilmu pengetahuan,
karena LAD adalah kunci dan pintu utama
TENTANG PENULIS
masuknya ilmu pengetahuan dalam diri
Nama saya Astri Widyaruli Anggraeni. manusia.
Lahir pada 10 Januari 1986, di keluarga yang
Artikel ini mengaji kekuatan LAD,
selalu berpindah-pindah tempat tinggal, sebagai piranti reseptif dan produktif.LAD ini
menjadi latar belakang penggunaan bahasa In- tidak hanya berfungsi pada kajian bahasa, tetapi
donesia sebagai bahasa ibu. Meski ayah ibu juga pada pemahaman dan peregenerasian ilmu
berbahasa Jawa, tapi, saya dilatih dan dikenal- pengetahuan.Dengan LAD ini, dipastikan
kan dengan bahasa Indonesia.Wajar, saya tidak semua orang memiliki kemampuan untuk
bisa menguasai bahasa Jawa dengan baik.Saya memahami dan menuangkan ide dalam bentuk
biasa dipanggil ACI (Aku Cinta Indonesia) kegiatan tulis menulis.
menjadi kebanggaan dalam setiap guyonan
bersama teman-teman.
PENUTUP
112
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
STRATEGI PEMBELAJARAN MENULIS
KREATIF UNTUK ANAK
Nurhidayati
Jurusan Sastra Arab Fakultas Sastra
Universitas Negeri Malang
Email:[email protected]
Abstrak
Pembelajaran menulis kreatif adalah suatu upaya yang berkenaan dengan bagaimana cara mendorong
siswa untuk menggunakan secara penuh apa yang ada dalam diri mereka berupa ide, kesan, perasaan,
harapan, imajinasi dengan menggunakan bahasa yang dikuasai.Dalam proses belajar berbahasa di sekolah,
siswa mengembangkan kemahiran berbahasa secara vertikal, bukan secara horizontal. Maksudnya mereka
sudah dapat mengungkapkan pesan secara lengkap meskipun belum sempurna.Semakin lama kemahiran
tersebut menjadi semakin sempurna, dalam arti strukturnya menjadi semakin benar, pilihan katanya semakin
tepat, dan kalimat-kalimatnya semakin bervariasi.Manfaat yang diperoleh siswa dengan menulis kreatif
ini adalah sebagai (1) alat untuk mengekspresikan diri, (2) alat untuk membangun kepuasan pribadi,
kebanggaan dan harga diri, (3) alat untuk meningkatkan kesadaran dan persepsi lingkungan seseorang, (4)
alat untuk melibatkan seseorang menjadi aktif, dan (5) alat untuk menciptakan pemahaman dan kemampuan
untuk menggunakan bahasa
Kata Kunci: Strategi Pembelajaran, menulis kreatif, anak
PENDAHULUAN
Untuk mengukur kecakapan dan kemajuan belajar sekolah-sekolah di Indonesia
mempunyai kebiasaan dengan menggunakan
tes prestasi belajar dalam berbagai bentuk.
Kebiasaan tersebut akan mengurangi perhatian
kita pada aspek kreatifitas.
Guilford merupakan tokoh yang sangat
besar jasanya dalam menyatakan konsep
kreatifitas dengan membedakan kemampuan
berpikir konfergen dan divergen. Pemikiran
konfergen adalah kegiatan pemikiran yang
mempunyai tujuan pada suatu jawaban yang
benar, dan merupakan proses yang mendasari
tes intelegensi tradisional. Sedang pemikiran
divergen adalah pemikiran yang menghasilkan
bermacam-macam gagasan, dan ini merupakan
indikator yang paling nyata dari aspek kreatif.
Pembelajaran bahasa untuk anak, khususnya untuk anak seusia TK dan MI/SD tahap
awal yaitu kelas 1, 2, dan 3 masih didominasi
oleh model pembelajaran dengan strategi
pemerolehan yang difokuskan pada tingkat
bentuk, sedang model pembelajaran bahasa
untuk anak pada tahap lanjut yaitu untuk kelas
4, 5, dan 6 MI/SD dilakukan model pembelajaran dengan strategi pembelajaran bahasa
yang juga sebagian besar difokuskan pada
tingkat bentuk dan sebagian kecil waktu bisa
dimasukkan materi yang berfokus pada aspek
makna. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Murdibyono (1988) bahwa pada tingkat pemula
pembelajaran bahasa perlu diprioritaskan pada
tingkat bentuk, sedang pada tingkat menengah
dan lanjut pengajaran berfokus pada makna.
Adapun sumber media yang dapat menarik
perhatian dalam pembelajaran bahasa untuk
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
113
anak adalah sebagaimana dikemukakan oleh
Kasbollah (2004) adalah gambar, dongeng, dan
permainan.
Dalam proses belajar berbahasa di sekolah, siswa mengembangkan kemahiran berbahasa secara vertikal, bukan secara horizontal. Maksudnya mereka sudah dapat mengungkapkan pesan secara lengkap meskipun belum
sempurna.Semakin lama kemahiran tersebut
menjadi semakin sempurna, dalam arti
strukturnya menjadi semakin benar, pilihan
katanya semakin tepat, dan kalimat-kalimatnya
semakin bervariasi (Rofi’uddin, 2002:75).
Berkaitan dengan keterampilan menulis
kreatif Ellis (1989:182) menyatakan bahwa
menulis kreatif adalah eksplorasi diri dan
mengekspresikannya dalam komunikasi.
Sedang Percy (1981:1) menyatakan bahwa
pembelajaran menulis kreatif adalah suatu
upaya yang berkenaan dengan bagaimana cara
mendorong siswa untuk menggunakan secara
penuh apa yang ada dalam diri mereka berupa
ide, kesan, perasaan, harapan, imajinasi dengan
menggunakan bahasa yang dikuasai. Dengan
demikian mengajar menulis kreatif adalah
mengajar siswa untuk berpikir.
Manfaat yang diperoleh siswa dengan
menulis kreatif ini adalah sebagai (1) alat untuk
mengekspresikan diri, (2) alat untuk membangun kepuasan pribadi, kebanggaan dan
harga diri, (3) alat untuk meningkatkan
kesadaran dan persepsi lingkungan seseorang,
(4) alat untuk melibatkan seseorang menjadi
aktif, dan (5) alat untuk menciptakan pemahaman dan kemampuan untuk menggunakan
bahasa (Percy, 1981).
perbuatan yang dapat diamati, yang juga
memungkinkan mencakup tindakan kognitif
yang tidak bisa diamati.Oxford (2002:124)
menyatakan bahwa strategi belajar bahasa
merupakan tindakan khusus, tingkah laku,
tahapan, atau teknik yang digunakan pembelajar untuk meningkatkan kemajuan dalam
pengembangan keterampilan berbahasa.
Strategi-strategi tersebut dapat digunakan untuk
pemrosesan (internalitation), penyimpanan
(starage), pengambilan (retrival), dan penggunaan bahasa yang baru dipelajari.Strategistrategi tersebut juga merupakan seperangkat
alat untuk mengarahkan diri sendiri untuk
mengembangkan kemampuan komunikasi.
Choudron dalam (Irhamni, 2002:3)
mendefinisikan strategi pembelajaran sebagai
kesadaran kognitif yang diaplikasikan dalam
pembelajaran, yang dikelompokkan ke dalam
(1) strategi alam, dan (2) strategi budaya.
Strategi alam merupakan inti pengembangan
strategi budaya. Strategi alam bersifat induk,
primordial, azali, menjadi rujukan, statis, dan
inspiratif, sedangkan strategi kultur bersifat
pengembangan, kreatif, bergerak, adaptif, dan
tidak mempunyai kemapanan konseptual.
Pembelajaran dengan strategi alam dapat
terwujud antara laindalam teknik pembelajaran
dengan peniruan (imitation), dan pembelajaran
gramitika dalam pendekatan komunikatif yang
menolak rekayasa pembelajaran semisal drill.
Adapun yang dimaksud strategi kultur
atau budaya adalah pembelajaran yang berbasis
pada pengolahan peristiwa pembelajaran
bahasa ibu dan bahasa asing. Strategi ini akan
melahirkan analisis kesalahan (error analysis),
lab bahasa, hafalan teks percakapan, urutan
STRATEGI BELAJAR DAN pemerolehan bahasa, teks-teks kaidah berbahasa, dan sebagainya.
PEMBELAJARAN BAHASA
Brown (dalam Huda, 1999:144) menePengertian strategi belajar bahasa seba- kankan konsep strategi belajar sebagai tingkah
gaimana dikemukakan oleh Oxford (1989:235) laku yang tidak teramati di dalam diri pemadalah tingkah laku atau tindakan yang dipakai belajar. Brown membedakan antara strategi
oleh pembelajar, agar pembelajaran bahasa belajar (learning strategy) dan strategi komulebih berhasil, terarah, dan menyenangkan. Dari nikasi (Communication Strategy). Strategi
pengertian tersebut strategi belajar merupakan belajar berkaitan dengan pemrosesan,
114
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
penyimpanan, dan pengambilan masukan
pemerolehan bahasa, sedangkan strategi
komunikasi berkenaan dengan keluaran
pemerolehan bahasa.
Strategi belajar merupakan hal yang
sangat penting dalam belajar bahasa, karena ia
merupakan sarana untuk mengaktifkan diri
siswa, pengarah diri untuk berkembang,
khususnya mengembangkan kompetensi
komunikasi berbahasa (Oxford, 1991:1). Nur
(2004:6) menyebutkan strategi belajar mengacu
pada prilaku dan proses-proses berfikir yang
digunakan oleh siswa yang mempengaruhi apa
yang dipelajari, termasuk proses memori dan
metakognitif .Pressley (1991) menyebutkan
bahwa strategi belajar adalah operator-operator kognitif meliputi dan di atas proses-proses
yang secara langsung terlibat dalam menyelesaikan suatu tugas belajar.Strategi-strategi
tersebut merupakan strategi-strategi yang
digunakan siswa untuk memecahkan masalah
belajar tertentu. Sebagai contoh ketika siswa
ditugasi untuk mengerjakan tugas-tugas belajar
tertentu misalnya mengisi suatu lembar kerja
dalam pembelajaran membaca misalnya, maka
untuk menyelesaikan tugas-tugas belajar ini
memerlukan keterlibatan dalam proses-proses
berfikir dan prilaku tertentu, seperti menskim
atau membaca sepintas judul-judul utama, meringkas, dan membuat catatan, serta memonitor
jalan berfikir diri sendiri.
Dengan berpijak pada pengertian strategi
belajar sebagaimana dipaparkan maka dapat
disimpulkan bahwa strategi pembelajaran
merupakan rencana, metode, siasat, dan teknik
yang digunakan guru untuk mengaktifkan
siswa, dan mengembangkan diri untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.Strategi pembelajaran adalah strategi yang
digunakan guru untuk menjadikan siswa belajar
dengan menggunakaan strategi belajar tertentu.
Konsep Menulis
Menulis merupakan aktivitas pengekspresian ide, gagasan, pikiran, atau perasaan ke
dalam lambang-lambang kebahasaan.Kegiatan
menulis melibatkan aspek penggunaan tanda
baca dan ejaan, penggunaan diksi dan kosakata,
penataan kalimat, pengembangan paragraf,
pengolahan gagasan, serta pengembangan
model karangan.Dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa kegiatan menulis melibatkan
aspek isi dan aspek bahasa.Aspek isi atau topik
berkenaan dengan masalah pengembangan
topik ke dalam ide-ide atau pikiran-pikiran yang
relevan serta pengorganisasiannya.Aspek
bahasa berkenaan dengan penggunaan tatabahasa, kosakata, serta ejaan untuk mewadahi
topik.Kelly (dalam Read, 1991) menyatakan
bahwa kegiatan menulis merupakan upaya
menghasilkan ide dan bahasa sebagai sarana
pengekspresiannya.
Pengertian Kreatif
Kata kreatif berasal dari bahasa latin Create yang artinya mencipta, melahirkan, dan
mencapai. Reilly dan Lewis (1983) membedakan istilah kreatif ke dalam dua kategori,
yaitu Traits Approach dan Learned Behavior
Approach.Traits Approach memandang bahwa
kreatif itu merupakan suatu karakteristik dan
kecenderungan tertentu dari individu. Hal itu
berarti bahwa sikap kreatif itu merupakan aspek
bawaan dan lingkungan berfungsi sebagai alat
bantu untuk menunjang kreatifitas yang ada.
Terkait dengan ketrampilan menulis kreatif,
Edward, dkk (2003:vii) mengartikan kreatif
sebagai proses mengekspresikan ide dan mengeksplorasi imajinasi dengan menggunakan
berbagai bentuk tulisan baik fiksi, nonfiksi,
maupun puisi.
Adapun yang dimaksud dengan learned
behavior approach adalah pendekatan yang
memandang bahwa aspek kreatif merupakan
akibat atau hasil dari pengalaman yang berbentuk keahlian dan perilaku pada setiap individu. Dengan demikian setiap individu secara
potensial kreatif, dan lingkungan yang mempengaruhi perbedaan kreatifitas seseorang.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
115
Munandar (1988) memandang aspek
kreatif dari segi pribadi, pendorong, produk dan
proses, dan ia menyatakan bahwa lingkungan
yang dapat mendorong munculnya tingkah laku
kreatif meliputi lingkungan keluarga, sekolah,
masyarakat, dan lingkungan kebudayaan. Dari
segi proses Munandar menyatakan bahwa
pengertian kreatif sama dengan kemampuan
berpikir kreatif. Adapun ciri-ciri berpikir kreatif
adalah terampil berpikir orisinil, memperinci/
mengelaborasi, dan menilai. Sedang dilihat dari
segi produk sikap kreatif merupakan produk
kreatif yang oleh Vernan (1982) dinyatakan
bahwa produk kreatif mempunyai kriteria (1)
produk itu harus nyata, (2) produk itu harus
baru, dan (3) produk itu adalah hasil dari
kualitas unik individu dalam interaksi dengan
lingkungannya.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kreatifitas seseorang dapat ditingkat kan melalui pengelolaan lingkungan
sebagaimana dinyatakan oleh Clark (1983)
bahwa bila faktor lingkungan mendorong, maka
bakat berkembang, tetapi bila lingkungan
menghambat maka bakat itu akan menciut.
Dengan demikian pengembangan kreatifitas
anak dapat dilaksanakan melalui pembelajaran
kreatif.
Startegi Pembelajaran Kreatif
Pembelajaran kreatif menurut Semiawan
(1988) adalah pembelajaran yang memungkinkan meningkatnya perilaku kreatif pebelajar.
Pembelajaran kreatif ini memungkinkan
pebelajar belajar kreatif, yaitu belajar yang
mengasyikkan, yang mengerahkan potensi
kreatifitas, dan menimbulkan berbagai getaran
penemuan terhadap hal-hal yang sebelumnya
belum diketahui, dikenal atau dipahaminya.
Pengembangan kemampuan kreatif
berhubungan erat dengan strategi pembelajaran.
Dalam situasi pembelajaran yang menaruh
kepercayaan terhadap kemampuan anak untuk
berpikir dan berani mengemukakan gagasan
baru, dan ketika siswa diberi kesempatan untuk
116
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
bekerja sesuai dengan minat dan kebutuhannya
maka kemampuan kreatif dapat tumbuh dengan
subur.
Clark (1983) mengatakan bahwa strategi
pembelajaran yang berhasil mengembangkan
aspek kreatifitas adalah yang mempunyai ciriciri sebagai berikut.
1) Lebih banyak melakukan aktivitas-aktivitas
berpikir.
2) Menggunakan lebih sedikit akt ivitas
ingatan.
3) Memberikan kesempatan untuk mempergunakan pengetahuan secara kreatif.
4) Menggunakan evaluasi untuk diagnosis.
5) Mendorong ekspresi spontan.
6) Memberikan suasana penerimaan.
7) Memberikan stimulasi yang kaya dan
bervariasi.
8) Mengajukan pertanyaan-pertanyaan profokatif.
9) Tidak menolak ide siswa yang baru dan
mendorongnya untuk menguji sendiri ideide barunya.
10) Memberikan latihan dan percobaan yang
tidak dievaluasi.
11) Mengajar keterampilan berpikir kreatif
seperti orisinalitas, kelancaran, keluwesan,
elaborasi, menemukan ide secara sengaja,
penilaian yang ditunda, berpikir alternatif,
dan menyusun hipotesis.
12) Mengajar keterampilan meneliti, seperti
inisiatif mengeksplorasi, mengobservasi,
mengklasifikasi, bertanya, menyusun, dan
menggunakan informasi, mencatat, menerjemahkan, menyimpulkan, menguji kesimpulan, menyajikan kembali pengalaman
dan observasi, mengkomunikasikan, menggeneralisasi, dan menyederhanakan.
Prinsip Pembelajaran Menulis
Kreatif
Prinsip- prinsip pembelajaran menulis
kreatif menurut Ellis (1989:182-183) adalah:
(1) melakukan observasi dan menulis, (2)
mengasosiasikan kata, (3) menemukan
informasi, (4) menemukan cara alternatif untuk
melihat sesuatu, (5) menulis apa yang dilihat,
jangan menceritakan secara lisan, (6) membuat
kalimat yang biasa menjadi luar biasa, (7)
memilih kata yang tepat, dan (8) menulis
metafora/analogi.
1) Melakukan Observasi dan Menulis
Kegiatan ini dapat dimulai dengan
mengamati objek atau benda misalnya buahbuahan, mainan, atau bisa juga anak diminta
untuk membawa majalah untuk melakukan
pengamatan pada gambar-gambar yang ada
pada majalah. Kemudian guru atau siswa lain
mengajukan pertanyaan terhadap objek yang
diobservasi tersebut. Jawaban-jawaban dari
pertanyaan tersebut ditulis untuk disusun
menjadi puisi atau prosa deskripsi.
2) Mengasosiasikan Kata
Guru meminta siswa untuk mengasosiasikan kata-kata tertentu, dan guru atau siswa
lain dapat membantu dengan memberikan
pertanyaan-pertanyaan. Hasil jawaban siswa
disusun menjadi karya tulis kreatif.
3) Menemukan Informasi
Siswa diberi kesempatan untuk menemukan informasi dari apa yang dirasakan dan
dipikirkan, dan menuangkannya dalam bentuk
tulisan.
4) Menemukan Cara Alternatif untuk
Melihat Sesuatu
Yaitu dengan meminta siswa untuk mengungkapkan kesenangan dan keinginan yang
mendalam.
5) Menulis Apa yang Dilihat
Guru mengajak siswa melihat sesuatu
objek, kemudian siswa diberi kesempatan untuk
mendeskripsikan apa yang dilihat menurut versi
sendiri.
6) Membuat Hal-Hal yang Biasa Menjadi
Luar Biasa
Guru menajak siswa membaca sebuah
cerita kemudian siswa diminta untuk mengubah
perwatakan tokoh dalam cerita, konflik, dan
sebagainya sesuai dengan kreativitas masingmasing siswa.
7) Menggunakan Metafora
Yaitu meminta siswa menggunakan
ungkapan perbandingan, perumpamaan, bahasa
majas atau kiasan dalam karangan mereka.
Menulis kreatif menurut Edwards, dkk.
(2003:vii) adalah kegiatan mengekspresikan ide
dan mengeksplorasi imajinasi dengan menggunakan berbagai bentuk tulisan misalnya fiksi,
nonfiksi, atau puisi.Melalui kegiatan menulis
fiksi seorang anak dapat menuangkan imajinasinya secara bebas yang dapat berbetuk cerita
pendek maupun narasi secara umum.
Melaluikegiatan menulis nonfiksi pebelajar
dilatih untuk melakukan kegiatan menulis
tentang laporan cuaca, laporan kegiatan out
bond, rekreasi, kegiatan ekstra kurikuler, dan
seterusnya.Elalui kegiatan menulis puisi
pebelajar berlatih mengekspresikan imejinasinya terkait dengan ungkapan kata frasa dan
kalimat yang sesuai dengan aturan penulisan
puisi.
Beberapa kegiatan kreatif yang dapat
menunjang kegiatan menulis kreatif menurut
Edwards, dkk.(2003:14-16) adalah kegiatan
menjadi kolektor kata dan menjadi detektif
bahasa. Sebagai kolektor kata pebelajar
dimotivasi untuk selalu menambah kosakata
yang dimiliki melalui kegiatan (1) membuat
kartu kata, (2) kartu bergambar, (3) lembaran
kamus, (4) kamus elektronik,(5) papan siap tulis
dan hapus, (6) keranjang atau kotak kata, atau
amplop kata, (7) daftar kata berdasar alpahabet
atau kategori sukukata tertentu. Sebagai detektif
bahasa pebelajar diarahkan untuk melakukan
kegiatan berikut. (1) Memilih beberapa kata
yang mempunya sukukata awal sama, (2)
memilih kata kata yang mempunyai akar kata
sama, (3) memisahkan kata kata dari gabungannya, (4) mengelompokkan kata kata yang
mempunyai kesamaan bentuk, (5) mengubah
kata menjadi berbagai variasi bentuk kata, (6)
menyusun kalimat dengan bantuan kata
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
117
tertentu, dan (7) membuat daftar arti kata yang
diperoleh dari teks lisan maupun tulis.
Munandar, S.C.U. 1987. Mengembangkan
Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah.
Jakarta: PT Gramedia.
Munandar, S.C.U. 1988. Memupuk Kreativitas
Anak Usia Pra Sekolah. Dalam: S.C.
Daftar Rujukan
Utami Munandar (Ed) Kreativitas
Clark, B. 1983.Growing up Gifted. Colombus:
Sepanjang Masa. Jakarta: Pustaka Sinar
Merril Publication. CO.
Harapan.
Edwards, Sharon A.; Maloy, Robert W.;
Murdibyono, A. W. 1995. Bahasa Inggris untuk
O’Loughlin, Rut h Ellen Verock.
Sekolah Dasar: Tujuan Pengembangan
2003.Ways of Writing with Young Kids:
dan Karakteristik Pembelajar. Dalam:
Teaching Creativity andConventions
Bahasa dan Seni. Tahun 23.No. 2.
Unconventionally. Boston: Pearson EduNur, M. & Wihandari, P.R. 2000. Pengajaran
cation, Inc.
Berpusat kepada Siswa dan Pendekatan
Effendy, A. F. 1993. Lagu dan Permainan
Konstruktivis dalam Pengajaran.
sebagai Media Pengajaran Bahasa Arab
Surabaya: Pusat Sains dan Matematika
di Madrasah Ibtidaiyah. Majalah Nadi
Sekolah Unesa: University Press.
Tahun II No: 1
Oxford, R.L. 1989. Use of Learning Strategies:
Effendy, A.F. 2004. Strategi pembelajaran
a Synthesis of Studies with Implications
Duru:s Arabiyyah Muktsafah (DAM).
for Strategy Training. Dalam: System, 12,
Makalah disampaikan pada Konsultasi
2: 235-247.
tenaga ahli pembelajaran bahasa Arab di
Oxford, R. L. 1990. Language Learning StratJurusan Sastra Arab Fakultas Sastra Uniegies. What Every Teacher Should Know.
versitas Negeri Maaalang.
USA: Newbury House Publishers.
Ellis, A. , Pumau, J. , Standal T., dan Rummel,
Oxford, R.L. 2002.Language Learning StrateM. K. 1989. Elementary Language Arts
gies in a Nutshell: Update and
Instruction. New Jersey: Prentice Hall.
ESLSuggestions. Dalam: Methodology in
Everet, W. 1987. Apopular Song as A Teaching
Language Teaching. Richards J. C. &
Instrumen.Forum, Vol XXV.
Renandya W.A. (Eds). Cambridge: UniHuda, N. 1999. Pengajaran Bahasa Kedua
versity Press.
Berbasis St rategi Belajar. Dalam:
Percy, B. 1981.The Power of Creative Writing.
Bahasadan Seni. Tahun: 27, 2: 143-145.
London: Prentice Hall International, Inc.
Irhamni. 2002. Strategi Pembelajaran ALA.
Read, John. 1991. The Validity of Writing Test
Makalah disajikan dalam seminar
Tasks. Dalam Sarinee Anivan (ed), CurPelatihan Pembelajaran bahasa Arab
rent Developments in Language Testing.
untuk Anak (ALA) di Jurusan Sastra Arab
Singapore: SEAMEO RELC.
Fakultas Sastra Universitas Negeri
Reilly, R.R. dan E.L. Lewis. 1983. Educational
Malang.
Psychology Aplications for Classroom
Kasbolah, K. 2004. Pengajaran Bahasa Inggris
Learning and Instruction. New York: MC
di Sekolah Dasar: Kebijakan,
Millan Publishing.Co.
Implementasi, dan Kenyataan. (Pidato
Risakotta, I. 1990. Beberapa Contoh Permainan
Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang
Unt uk Pengajaran Bahasa dalam
Pengajaran Bahasa Inggris pada fakultas
Kelompok Besar, dalam Learnen Und
Sastra Universitas Negeri Malang,
Lehren no. I Februari 1990.
Disampaikan pada Tanggal 12 Januari
Rofi’uddin, A. 2002. Teknik Peningkatan
2004).
Kemampuan Berbicara untuk Murid
118
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Sekolah Dasar Kelas Tinggi. Dalam :
Bahasa dan Seni. Tahun 30. No 1
Februari.
Semiawan, C. 1988. Belajar Kreatif untuk
Mengembangkan Bakat Kreatifitas pada
Masa Usia Sekolah. Dalam SC. Utami
Munandar (Ed) Kreativitas Sepanjang
Masa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Ur, P. and Wright, A. 1992.Five Minutes Activities: A Reseurce Book of Short Activities. Cambridge University Press.
Vernan, P.E. (Ed) 1982.Creativity. Baltimore:
Penguin.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
119
LAGU DAN CERPENGRAM:
STRATEGI EFEKTIF DAN
MENYENANGKAN BAGI SISWA
DALAM MENULIS CERPEN
Oleh
Aleda Mawene
(PBS Universitas Cenderawasih)
Menulis cerpen merupakan kegiatan kreatif yang sangat dipengaruhi oleh motif penulis. Motif mendorong
seseorang untuk tetap fokus dalam menyelesaikan tulisannya. Namun, menulis cerpen bagi sebagian siswa
dianggap sebagai ‘beban’ dalam belajar. Hal itu disebabkan siswa tidak tahu apa yang harus ditulis dan
untuk apa ia menulis cerpen. Untuk membangkitkan motivasi siswa, guru dapat memanfaatkan lagu sebagai
media pembelajaran. Media ini mampu merefleksi pengalaman siswa secara optimal dan menyenangkan
serta membebaskan siswa dari situasi belajar yang monoton, kaku, dan berpusat pada guru. Melalui
rekaman lagu, siswa dapat mengingat kembali pengalaman atau peristiwa yang pernah dialaminya tanpa
beban. Guru berperan sebagai motivator yang membimbing siswa agar rekaman-rekaman pengalaman itu
bersifat kronologis dan kausalitas. Dari segi substansi sastra, siswa telah menghimpun keseluruhan peristiwa
(fabula) yang akan disampaikan secara teknis (sujet) kepada pembaca. Meskipun bersifat faktual,
pengalaman itu berfungsi sebagai motif yang kuat bagi siswa untuk menulis cerpen.Realitas itu kemudian
diubah menjadi realitas imajiner dengan metode cerpengram. Cerpengram merupakan serangkaian daftar
berisi deskripsi tentang nama dan profil tokoh, penampilan fisik tokoh, anatomi cerpen, isi cerpen, dan
foto atau gambar. Daftar ini dibuat oleh pengarang sebelum menulis cerpen. Dengan cerpengram, siswa
dapat mengemas dunia realitas ke dalam dunia rekaan sesuai dengan kebutuhan tema cerpen. Teknik ini
dianggap efektif membantu siswa dalam membangun dunia rekaan yang diinginkannya tanpa interfensi
berlebihan dari guru. Guru dapat mengatur waktu belajar agar siswa dapat menyelesaikan kegiatan menulis
di rumah sesuai dengan kemampuannya. Jadi, kolaborasi antara media lagu dan teknik cerpengram dapat
membantu siswa memproduksi teks cerpen secara efektif dan menyenangkan.
Kata Kunci: lagu, cerpengram, strategi, menulis cerpen.
PENDAHULUAN
Menulis sangat potensial bagi pengembangan diri. Ketika menulis, penulis berupaya
menuangkan gagasan-gagasannya secara
proporsional ke dalam tulisannya. Ide-ide
kreatif itu disampaikan dengan diksi dan
kalimat yang tepat agar dapat dipahami oleh
pembaca. Ghazali (2010:335) menegaskan
proses menulis mengharuskan siswa menerapkan beragam pengetahuan, seperti kemampuan
berbahasa, aturan-aturan penulisan, topik
120
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
tulisan, tujuan penulisan, dan pembaca yang
dituju oleh tulisan. Proses penyatuan ide dan
bahasa memerlukan keterampilan yang terus
diasah. Oleh sebab itu, orang yang sering
menulis memiliki tingkat kreativitas yang
tinggi. Mereka mampu mengaktualisasikan diri
melalui tulisan-tulisan yang dibuatnya sehingga
potensi dirinya berkembang secara optimal.
Menulis cerpen merupakan kegiatan
kreatif yang sangat dipengaruhi oleh motif
menulis.Ada berbagai motif yang mendorong
seseorang menulis cerpen, antara lain: untuk
menyampaikan sesuatu kepada pembaca,
berbagi pengalaman dengan pembaca, mengekspresikan diri, mencari kesenangan, dan
mendapatkan honor (Peng, 2013:2-3).Motif
yang baik dan jelas akan mendorong seseorang
untuk tetap fokus dalam menyelesaikan
tulisannya.Dengan motif yang jelas, penulis
didorong untuk menulis dalam berbagai
suasana hati, baik gembira maupun sedih.
Pada kenyataannya menulis cerpen bagi
sebagian siswa dianggap sebagai pelajaran yang
membosankan. Bahkan cenderung menjadi
‘beban’ dalam belajar. Mereka belum memiliki
motif yang jelas dalam hal menulis cerpen.
Beberapa di antaranya mengakui tidak tahu apa
yang harus ditulis dan untuk apa mereka
menulis cerpen.Padahal, menulis cerpen merupakan salah satu kompetensi yang harus
dikuasai oleh siswa SMP dan SMA. Melalui
menulis siswa dapat mengekspresikan ide-ide
kreatifnya secara optimal. Dengan sendirinya
keterampilan berbahasa siswa dapat diasah dan
dikembangkan melalui aktivit as menulis
cerpen.Oleh sebab itu, guru perlu mencari strategi pembelajaran yang efektif dan menyenangkan, yakni kolaborasi antara media belajar
dan teknik menulis cerpen yang tepatagar siswa
dapat memproduksi teks cerpen sesuai dengan
target pembelajaran.
PEMBAHASAN
benak pendengarnya. Oleh sebab itu, sangat
mudah bagisiswa untuk mengikuti alur kisah
atau cerita dalam syair lagu dan menghayati
isinya.
Berkaitan dengan itu, lagu dapat
dimanfaatkan sebagai media pembangkit motif siswa untuk menulis cerpen. Hasil observasi
terhadap pembelajaran di beberapa sekolah
menunjukkan bahwa lagu terbukti mampu
meningkatkan kompetensi siswa dalam menulis
cerpen. Hal ini diperkuat oleh penelitian Sugiyanti (2015) pada siswa SMP Negeri 3 Aimas
Kabupaten Sorong. Hasil penelitian membuktikan bahwa media lagu mampu membangkitkan motivasi siswa dalam menulis
sekaligus sebagai sumber inspirasi bagi siswa
dalam menemukan ide-ide kreatif bagi
tulisannya.
Menurut Pranoto (2011:31) menulis
kreatif diawali dengan kegiatan mencari ide,
mengolah ide, dan proses menulis. Pada kenyataannya, setiap pengarang memiliki proses
kreatif yang berbeda-beda dalam melahirkan
karya-karyanya. Sebagai penulis pemula, siswa
sering mengalami kesulitan untuk menemukan
ide menulis cerpen. Untuk mengatasi hal
tersebut, guru dapat menggunakan teks lagu
sebagai bahanmenulis cerpen serta media untuk
menemukan motif dan ide-ide penulisan.
Meminjam konsep Hernowo ‘main-main
dengan teks’ (2004:2) guru dapat menggunakan
teks lagu dalam konteks menulis cerpen secara
menyenangkan dan tidak memberatkan siswa.
Lagu Sebagai Bahan dan Media Pembelajaran Menulis Cerpen
Lagu atau nyanyian terdiri atas komposisi
musik dan syair. Syair sebuah lagu pada
dasarnya memiliki karakteristik puisi balada
dan prosa liris. Sebuah lagu diciptakan melalui
proses kontemplasi pengarang terhadap realitas
yang ada. Lagu selalu dihadirkan bersama
dengan notasi musiknya. Makna lagu menjadi
semakin jelas ketika ditampilkan dengan musik
pengiring yang harmonis. Keterpaduan itu
menghasilkan nuansa makna yang khas dalam
Lagu Sebagai Bahan Menulis Cerpen
Guru dapat memanfaatkan lagu sebagai
bahan untuk menulis cerpen. Untuk tujuan ini
guru dapat memanfaatkan syair-syair lagu yang
berisi kisah atau peristiwa dalam kehidupan
sehari-hari, seperti lagu-lagu ciptaan Ebiet G.
Ade, Doel Sumbang, dan Franky Sahilatua.
Cara ini dianggap tepat apabila siswa kesulitan
menemukan ide-ide bagi karangannya. Dengan
teknik parafrase, siswa dapat mengembangkan
syair lagu menjadi sebuah cerita pendek sesuai
dengan keinginannya.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
121
Dalam pandangan Laksana (2013:37) isi
syair lagu diumpamakan batu, pasir, dan semen
yang kemudian akan disusun menjadi sebuah
bangunan. Ketika mendengarkan rekaman lagu,
guru memandu siswa untuk mencatat dan
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik cerita
yang tercermin dalam syair lagu, misalnya
struktur alur, tokoh dan karakter, latar, sudut
pandang, dan amanat cerita. Guru dapat menggandakan syair lagu dan membagikan kepada
siswa agar mempermudah mereka dalam
melakukan identifikasi unsur-unsur cerita.
Lagu yang digunakan sebaiknya liriknya
disesuaikan dengan karakteristik siswa. Lirik
lagu ciptaan Doel Sumbang berjudul “Martini”
dianggap cocok digunakan pada pembelajaran
menulis cerpen di SMA kelas X.Lagu ini
mengisahkan tentang seorang anak laki-laki
yang diberi nama Martini. Akibatnyaia selalu
diolok-olok karena namanya itu. Sampai
dewasa pun nama Martini masih menjadi bahan
ejekan. Ia dianggap bencong, walaupun
sebenarnya ia laki-laki. Merasa harga dirinya
direndahkan, Martini berkelahi dengan orang
yang mengejeknya. Perkelahian itu menyebabkan lawannyaterbunuh. Akhirnya, Martini
ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara.
Ayah Martini datang menjenguk anaknya di
penjara. Ketika itulah Martini mengetahui
alasan sang ayah memberi nama itu kepadanya.
Berikut ini kutipan beberapa bait isi lagu tersebut.
Pemanfaatan lirik lagu di atas sebagai
bahan menulis cerpen dilakukan melalui
langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut
ini.
1) Guru membagikan teks lagu Martini
ciptaan DoelSumbangkepada siswa dan
memperdengarkan rekaman lagu tersebut.
2) Siswa menyimak secara cermat lirik lagu
dan dapat mengikutinya dengan santai tapi
tertib.
3) Siswa dipanduguru untukmenandaiunsurunsurceritadalamlagutersebut, yakni:tokoh,
karakter,strukturalur, latar, dan sudut
pandang. Guru memusatkan bimbingan
pada identifikasi struktur alur yang akan
berfungsi sebagai kerangka cerpen, yaitu:
(1) tahap eksposisi/pengenalan, (2) tahap
komplikasi/tahap timbulnya permasalahan,
(3) tahapklimaks/puncakketegangan, (4)
tahapantiklimaks/keteganganmenurun, dan
(5) tahap konklusi/penyelesaian.
4) Setiap kelompok diminta untuk menyampaikan temuannya untuk menyamakan
persepsi terhadap struktur alur cerita.
5) Siswa mengembangkan kerangka karangan
menjadi sebuah cerpen dengan bimbingan
guru. Setiap siswa dapat menggunakan
gaya dan sudut pandang tertentu sesuai
dengan keinginannya. Dengan cara ini,
siswa diajak berkreasi denganalur yang
sama, tetapidengancarapenyampaian yang
berbeda-beda.
Kuanggap ayah nekat sekali/dinamakannya aku Martini/padahal aku ini/
lelaki tulen//
Nama Martini membuat repot/teman
sekolah memanggil Tince /dan aku jengkel bercampur marah/emangnya perek//
Aku tanyakan pada ayahku/apa sebabnya
namaku Martini/jawab ayah nanti engkau
paham/ anakku//
Kemana-mana menanggung malu/ garagara namaku Martini/ aku benci tapi tak
berdaya/ sungguh mati//
Lagu Sebagai Media Pembelajaran Menulis
Cerpen
Media lagu mampu merefleksi pengalaman siswa secara optimal dan menyenangkan.
Hal ini disebabkan irama dan musik dapat
memberi kenyamanan bagi siswa. Guru dapat
mengajak siswa bersenandung mengikuti lirik
dan irama lagu. Dengan cara ini siswa dapat
dituntunmenggali ide-ide secara optimal tanpa
tekanan. Siswa juga terbebas dari situasi belajar
yang monoton dan berpusat pada guru.
122
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Melalui rekaman lagu, siswa dapat
mengingat kembali pengalaman atau peristiwa
yang pernah dialaminya secara kronologis.
Guru berperan sebagai motivator yang membimbing siswa agar rekaman-rekaman pengalaman mereka dapat mengalir tanpa beban. Dari
segi substansi sastra, siswa telah menghimpun
keseluruhan peristiwa (fabula) yang akan
disampaikan secara teknis (sujet) kepada
pembaca. Pengalaman tersebut bersifat faktual
dan berfungsi sebagai motif yang akan
memandu siswa dalam menulis cerpen.
Lagu yang dipilih sebagai media pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan tingkat
kognitif dan perkembangan bahasa siswa.
Dalam hal ini guru dapat memilih lirik yang
tepat sesuai dengan karakteristik siswanya.
Lirik lagu yang bertema kasih sayang dalam
keluarga merupakan pilihan yang tepat bagi
siswa SMP. Pengalaman dan kenangan para
siswa bersama keluarga masih begitu dekat
sehingga lebih memudahkan mereka dalam
mengekspresikan ide-idenya.
Siswa tetap membutuhkan contoh teks
cerpen yang tepat sebagai model menulis.
Keterbatasan waktu pembelajaran di kelas
menyebabkan siswa tidak dapat menulis efektif
tanpa contoh atau model. Alangkah baiknya
apabila guru telah menyiapkan satu contoh teks
cerpen yang dikarang oleh guru sendiri. Dengan
begitu, guru akan lebih efektif membimbing
siswa menulis cerpen. Siswa pundapat lebih
terarah mengembangkan karangan berdasarkan
contoh yang ada. Berikut ini dikemukakan salah
satu contoh penggunaan lirik lagu sebagai media pembelajaran menulis cerpen di SMP
kelasVII.
1) Guru memancing siswa untuk menemukan
ide-ide menulis cerpen dengan memutarkan
lagu “Ayah” ciptaan Ebbiet G. Ade. Setelah
itu, guru memandu siswa menggali isi
cerita atau informasi dari lirik lagu tersebut.
2) Siswa mengidentifikasi tokoh, karakter,
alur, latar, sudut pandang, dan amanat yang
dapat digali dari lagu tersebut dengan
panduan dan bimbingan guru.
3) Guru membagikan teks cerpen yang
berjudul Ayah dan memint a siswa
mencermatinya.
4) Untuk mempertegas relevansi isi cerpen
dengan lirik lagu, guru memut arkan
kembali rekaman lagu dan meminta siswa
untuk mengaitkan isi teks cerpen dengan
lirik lagu.
5) Siswa mengomentari relevansi isi teks
cepren dan lirik lagu dan dilanjutkan
dengan pemantapan dan motivasi oleh guru
untuk membangkitkan motif siswa terhadap ide-ide yang akan dijadikan bahan
cerpennya.
6) Guru memutarkanlagu yang berjudul
Tabahlah Mama yang dinyanyikan oleh
Yulius Sitanggang.
7) Siswa menyimaklagutersebut dan diizinkan
untuk bersenandung mengikuti lirik dan
irama lagu tersebut.
8) Siswa dibimbing oleh guru untuk menggali
pengalamannya bersama ibunya.
9) Siswa menyusun rangkaian peristiwa
(kerangka alur) dan kesan yang dialaminya
bersama tokoh ibu secara logis-kronologis.
Rangkaian peristiwa itu dianggap sebagai
realitas faktual yang akan diubah menjadi
realitas imajiner dengan metode cerpen
gram.
10) Siswa mengembangkankerangka alur yang
dibuatnya menjadi sebuah cerita utuh
dengan menggunakan metode cerpengram.
Metode Cerpengram dalam Penulisan
Cerpen
Cerpengram merupakan serangkaian
daftar berisi deskripsi tentang nama dan profil
tokoh, penampilan fisik tokoh, anatomi cerpen,
isi cerpen, serta foto atau gambar yang dibuat
oleh seorang pengarang sebelum menulis
cerpen. Cerpengram merupakan metode
menulis cerpen secara terstruktur dan sistematis
sehingga memudahkan siapa saja mengarang
cerpen secara kreatif (Peng, 2013). Dengan
cerpengram, siswa dapat mengemas dunia
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
123
realitas ke dalam dunia rekaan sesuai dengan
kebutuhan tema cerpen. Teknik ini dianggap
efektif membantu siswa dalam membangun
dunia rekaan yang diinginkannya tanpa
interfensi guru. Guru dapat mengatur waktu
belajar agar siswa dapat menyelesaikan kegiatan menulis di rumah sesuai dengan
kemampuannya.
Cerpengram dibuat oleh siswa beberapa
hari sebelum pertemuan menulis cerpen. Guru
dapat memandu siswa membuat cerpengram
dengan beberapa tema sederhana yang telah
direncanakan. Peng (2013) membagi
cerpengram menjadi lima (5) subunit.
1) Cerpengram I: Nama dan Profil Tokoh
Nama dan profil tokoh merupakan satu
kendala dalam menulis cerpen. Kadangkadang seorang penulis merasa kurang puas
dengan nama tokoh untuk cerita yang
ditulisnya. Masalah ini sering membuat
penulis berhenti menulis beberapa waktu.
Oleh sebab itu, penulis perlu menyediakan
sejumlah nama dan profil yang bisa dipilih
menjadi tokoh cerpennya.Cerpengram I
merupakan kumpulan tokoh fiktif hasil
imajinasi penulis yang memudahkan penulis memberi nama para tokoh cerpen.
Disarankan untuk menghindari nama dan
profil tokoh yang nyata sebagaimana
dikenal oleh penulis dan disesuaikan
dengan latar sosial dan budaya cerpen yang
ditulis.
Contoh:
NAMA PRIA
Jez (Jehezkiel Maruanaya)
Danny (Daniel Setiawan)
NAMA WANITA
Debby (Debora Maruanaya)
Karin (Karina Margaretha)
PROFIL
Anak
Guru
Contoh:
KULIT
Putih
hitam
RAMBUT
semir
perak
MATA
sinis
merah
HIDUNG
besar
kecil
ALIS
hitam
putih
DAGU
berlipat
berjanggut
MULUT
lebar
kecil
BIBIR
pucat
merah
KUMIS
hitam
putih
3) Cerpengram III: Anatomi Cerpen
Cerpengram III berisi anatomi cerpen,
meliputi: pembukaan, narasi, dan penutup.
Anatomi cerpen merupakan garis besar
cerpen, bukan detil cerpen. Daftar ini memudahkan penulis dalam memilih bagianbagian yang tepat untuk membuka cerita,
membuat narasi, dan menutup cerita.
Contoh:
PEMBUKA
T ak ada yang menarik
p ada dirinya ketika aku
p ertama kali melihatnya.
Seorang anak perempuan
b erumur tujuh tahun.
Kurus. Kotor. Tidak
mengenakan alas kaki.
NARASI
Tidak pernah kusangka
bahwa aku bisa jatuh
cinta pada kampus ini.
Tidak sama sekali.
Adalah suatu hal yang
memalukan bagiku
dulu jika harus menjadi
mahasiswa Fakultas
Sastra.
PENUTUP
B tidak boleh
mengurung dirinya
untuk selamanya di
sini. Suatu hari dia
harus kembali ke
tengah-tengah
keluarganya. Dan kalau
dia pulang nanti,
semoga keluarganya
sudah cukup dewasa
menerimanya.
4) Cerpengram IV: Isi Cerpen
Cerpengram IV berisi daftar dialog,
deskripsi, dan konflik yang dibuat oleh
penulis berdasarkan hasil imajinasinya atau
kreasi dari beberapa cerita yang pernah
dibacanya. Tujuannya untuk memudahkan
penulis menulis dialog, deskripsi, dan konflik dari cerita yang disusunnya.
Contoh:
DIALOG
“Tap i kami punya anak,
Dokter, “ keluhku
b ingung. “Baru empat
tahun.”
“Sebaiknya anak Ibu
minum obat untuk
p encegahan. Ibu kan
tahu, anak-anak daya
tahannya masih lemah.”
DESKRIPSI
Burung-burung gereja
beterbangan di antara
dedaunan poho n akasia.
Sesekali terdengar cicit
mereka di sela-sela suara
klakson dan deru
kendaraan yang lalu
lalang.
KONFLIK
Dada Rena sesak oleh
sesal yang tertahan.
Deadline skripsi berakhir
hari ini. Sedang Kezia
dengan santai menonton
film kesayangannya. Tak
peduli sanksi yang bakal
diterima. Sia-sia berbicara
pada Kezia. Keras kepala.
2) Cerpengram II: Penampilan Fisik Tokoh
Cerpengram II merupakan daftar berisi ciri- 5) CerpengramV: Beranda Foto dan Gambar
ciri at au penampilakn fisik tokoh.
Cerpengram V berisidaftar beranda foto
Cerpengram II sangat membantu penulis
dan gambar yang dibuat oleh penulis untuk
memilih penampilan fisik tokoh sesuai
kepentingan dekripsi latar peristiwa dalam
dengan karakter yang hendak dibangun.
cerpen. Cerpengram V merupakan salah
satu cara untuk melatih imajinasi penulis
dalam mendeskripsikan suatu tempat atau
124
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
objek kejadian. Dengan gambar yang
disediakan, penulis dapat berimajinasi
membayangkan berbagai hal berkaitan
dengan isi cerita yang ditulis.
Bentuk cerpengram di atas dianggap
cukup bermanfaat bagi penulis pemula. Namun,
guru dapat menyederhanakannya sesuai dengan
kebutuhan pembelajaran. Bimbingan dan
arahan guru akan mempermudah siswa dalam
merangkai alur cerita secara logis. Untuk
mendapatkan hasil yang memadai, kegiatan
menulis kreatif tidak dibatasi di dalam ruang
kelas. Guru dapat memberi kesempatan kepada
siswa untuk melanjutkan kegiatan ini di rumah
agar imajinasi siswa dapat berkembang dengan
baik. Hasil karya siswa yang terbaik dapat
dipajang atau diikutkan pada lomba-lomba
menulis cerpen. Hal ini dapat memotivasi siswa
dan temannya yang lain untuk aktif menulis
cerpen.
PENUTUP
Pembelajaran menulis cerpen merupakan
suatu momen penting untuk melatih keterampilan berbahasa siswa. Sebagai aktivitas kreatif,
menulis cerpen memberikan kontribusi terhadapdaya kreativitas dan pengembangan diri
siswa. Siswa dapat mengaktualisasikan diri
melalui tulisan-tulisan yang dibuat. Aktivitas
ini akan merangsang keingintahuan dan minat
baca siswa terhadap masalah-masalah yang
belum diketahuinya.Dengan demikian, potensi
dirinya semakin berkembang secara optimal.
Jika dirancang dengan baik, pembelajaran menulis dapat berlangsung lebih efektif
dan menyenangkan. Untuk itu, diperlukan
kreativitas guru dalam memilih strategi yang
tepat dalam pembelajaran menulis cerpen.
Salah satunya dengan memadukan media lagu
dan metode cerpengram. Cerpengram merupakan salah satu metode yang inovatif sehingga
diperlukan pemahaman yang baik agar guru
dapat menerapkannya secara tepat. Sebaiknya
guru dapat membekali diri melalui latihanlatihan yang intensif dengan metode ini
sebelum memandu siswa menulis cerpen.
Dengan cara ini, guru dapat membimbing siswa
mengekspresikan ide-ide mereka dengan lebih
bermakna.
DAFTAR RUJUKAN
Ghazali, Abdul Syukur. 2010. Pembelajaran
Keterampilan Berbahasa dengan
Pendekatan Komunikatif-Interaktif.
Bandung: PT Refika Aditama.
Hernowo. 2004. Main-main dengan Teks
Sembari Mengasah Potensi Kecerdasan
Emosi.Bandung: Kaifa.
Laksana, A.S. 2013. Creative Writing: Tips dan
Strategi Menulis Cerpen dan Novel.
Jakarta: Gagas Media.
Peng, Kheng Shun. 2013. Cerpengram: Metode
Mudah dan Menyenangkan Menulis
Cerpen Bagi Pemula. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo.
Pranoto, Naning. 2011. 24 Jam Memahami
Creative Writing.Yogyakarta: Kanisius.
Sugiyanti. 2015. Meningkatkan Kemampuan
Menulis Cerpen dengan Model pembelajaran Kooperatif STAD dan Metode
Latihan Terbimbing dengan Media Teks
Lagu. TesisMagister Pendidikan Bahasa
Indonesia. Jayapura: Universitas Cenderawasih.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
125
ABSTRAK
PENGEMBANGAN PERANGKAT
PEMBELAJARAN SEGI EMPAT DENGAN
PENDEKATAN OPEN-ENDED DI KELAS
VII SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
Asmedy
FKIP Universitas Muhammadiyah Jember
e-mai: [email protected]
Perangkat pembelajaran yang menekankan pada kemampuan berpikir kreatif siswa salah satunya adalah
dengan pendekatan open-ended, dan berdasarkan pengamatan peneliti, proses belajar mengajar yang
menekankan tidak hanya pada hasil belajar saja tapi juga kemampuan berpikir kreatif siswa masih kurang.
Pendekatan open-ended karena aktivitas pembelajaran di kelas penuh dengan ide-ide matematis. Selain
itu, baik siswa yang mempunyai kemampuan yang lebih maupun yang kurang, dapat memaparkan ide-ide
yang mereka pikirkan melalui pemecahan masalah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan
proses pengembangan perangkat pembelajaran segi empat dengan pendekatan open-ended yang berkualitas
baik dan menghasilkan perangkat pembelajaran segi empat dengan pendekatan open-ended yang berkualitas
baik. Kriteria perangkat pembelajaran yang berkualitas baik adalah perangkat pembelajaran yang
dikembangkan sesuai dengan prosedur pengembangan perangkat serta memenuhi lima dari enam kategorikategori berikut dengan catatan THB valid, reliabel, dan sensitif, serta ketuntasan belajar tercapai: (1)
valid menurut penilaian pakar, (2) efektif untuk aktivitas siswa, (3) efektif untuk kemampuan guru mengelola
pembelajaran, (4) positif untuk respon siswa terhadap pembelajaran, (5) valid, reliabel, dan sensitif untuk
THB, dan (6) tuntas untuk hasil belajar. Jenis penelitian ini merupakan penelitian pengembangan perangkat
pembelajaran segi empat dengan pendekatan open-ended di kelas VII SMP. Model pengembangan perangkat
yang digunakan adalah “model 4-D Thiagarajan” yang telah dimodifikasi. Perangkat pembelajaran yang
dikembangkan yaitu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, Lembar Kegiatan Siswa, dan Tes Hasil Belajar.
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Muhammadiyah 1 Rambipuji-Jember tahun ajaran
2014/2015 yang meliputi lima kelas paralel. Peneliti memilih satu kelas dari tiga kelas secara acak untuk
dijadikan kelas uji coba, kelas yang dipilih adalah kelas VIIb. Berdasarkan hasil analisis deskriptif pada
tahap pengembangan diperoleh kesimpulan bahwa perangkat pembelajaran segi empat dengan pendekatan
open-ended berkualitas baik, karena memenuhi kategori: (1) valid berdasarkan penilaian ahli, (2) aktivitas
siswa efektif, (3) kemampuan guru mengelola pembelajaran efektif, (4) respon siswa terhadap pembelajaran
positif (5) valid, reliabel, dan sensitif untuk THB, dan (6) hasil belajar tuntas secara klasikal.
Kata Kunci: Pengembangan Perangkat Pembelajaran, Model 4-D Thiagarajan, Segi Empat, Pendekatan
Open-ended
BAB I. PENDAHULUAN
Pendidikan matematika seharusnya memperhatikan dua tujuan, yaitu (1) tujuan yang
bersifat formal, yaitu menekankan pada
126
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
penataan nalar serta pembentukkan kepribadian, dan (2) tujuan yang bersifat material,
yaitu menekankan pada penerapan matematika
dan keterampilan matematika. Kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa pengajaran
mat emat ika yang dilakukan di sekolah,
khususnya di SMP Muhammadiyah 1 Rambipuji Jember, masih berjalan secara konvensional; yaitu, mengikuti urutan sajian mulai
diajarkan definisi, teorema, diberikan contoh,
dan terakhir diberikan latihan menyelesaikan
soal-soal. Cara penyajian seperti ini menimbulkan kesan bahwa guru cenderung mendominasi proses belajar mengajar, dan siswa
kadang-kadang tidak memahami apa yang
mereka pelajari. Yuwono (2001) menyebutkan
bahwa pengajaran matematika secara konvensional mengakibatkan siswa hanya bekerja
secara prosedural dan memahami matematika
tanpa dituntut berpikir kreatif. Selain itu, salah
satu keluhan yang sering ditemukan dalam
dunia pendidikan matematika adalah kurangnya
keterkaitan matematika di sekolah dengan
dunia nyata dan kehidupan sehari-hari siswa.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas,
adapun masalah dalam penelitian ini adalah
“Bagaimana proses dan hasil pengembangan
perangkat pembelajaran Segi Empat di kelas
VII SMP Muhammadiyah Rambipuji-jember
dengan pendekatan open-ended yang
berkualitas baik?”. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mendeskripsikan proses pengembangan
dan menghasilkan perangkat pembelajaran Segi
Empat di kelas VII SMP Muhammadiyah
Rambipuji-jember dengan pendekatan openended yang berkualitas baik.
Menurut Shimada (1998), pembelajaran
matematika merupakan rangkaian dari
pengetahuan keterampilan, konsep, prinsip atau
aturan yang diberikan kepada siswa biasanya
melalui langkah demi langkah. Tentu saja,
rangkaian ini tidak diajarkan secara terpisah
atau saling lepas. Namun, harus disadari
sebagai rangkaian yang terintegrasi dengan
kemampuan dan sikap dari setiap siswa.
Pembelajaran kooperatif dengan pendekatan
open-ended merupakan model pembelajaran
yang dikembangkan oleh Shimada (1997).
Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan open-ended memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menyelidiki berbagai
strategi dan cara yang diyakini sesuai dengan
kemampuan mengelaborasi soal.
Menurut Suherman dkk (2003) masalah
yang diformulasikan memiliki multijawaban
yang benar disebut masalah tak lengkap atau
sering disebut open-ended problem atau soal
terbuka. Siswa yang dihadapkan dengan soal
terbuka, t ujuan ut amanya bukan unt uk
mendapatkan jawaban, tetapi lebih menekankan
pada bagaimana sampai pada suatu jawaban.
Sehingga, siswa tidak terpaku pada jawaban
yang harus dikumpulkan pada gurunya. Dengan
demikian, dalam menyelesaikan masalah openended tidak hanya satu metode atau cara untuk
mendapatkan jawaban. Namun, terdapat
beberapa atau banyak cara. Sifat “keterbukaan”
dari suatu masalah dikatakan hilang apabila
hanya ada satu cara dalam menjawab permasalahan yang diberikan atau hanya ada satu
jawaban yang mungkin untuk masalah tersebut.
Pernyataan ini sejalan dengan pernyataan yang
dikemukakan oleh Shimada (1997) yaitu:
… ‘open-ended approach,’ an ‘incomplete’ problem is presented first. The lesson then
proceeds by using many correct answers to the
given problem to provide experience in finding
something new in the process. This can be done
through combining students’ own knowledge,
skills, or ways of thinking that have previously
been learned.
Yaniawati (2001) menyatakan bahwa,
pendekatan open-ended adalah salah satu
pendekatan yang membantu siswa melakukan
pemecahan masalah dan menghargai keragaman berpikir selama proses pemecahan
masalah. Sedangkan Khabibah (2006:15)
menyatakan bahwa, soal terbuka dapat dibagi
menjadi dua yaitu: hasil akhir ganda (openended) dan respon ganda (open respond).
Pendapat ini bertolak dari pernyataan Billstein
(dalam Khabibah, 2006:15) yang menyatakan
bahwa “suatu soal terbuka mempunyai banyak
penyelesaian dan banyak cara untuk mendapatkan suatu penyelesaian”.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
127
Tabel 2.1. Fase-fase Model Pembelajaran Matematika dengan pendekatan open-ended
Fase-fase
Aktivitas Guru
Aktivitas Siswa
1. Orientasi
Guru memotivasi sis wa dengan soal yang
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari siswa,
juga menjelaskan tujuan yang akan dicapai
setelah pembelajaran.
Siswa mendengar penjelasan
guru,
menjawab
atau
mengerjakan soal jika ada
pertanyaan atau soal yang
disampaikan oleh guru.
1. Pembekalan
dan penyajian
soal terbuka
Guru memberikan penjelasan umum ten tang
materi yang akan dipelajari siswa. Penjelasan
umum ini dimaksudkan agar siswa dalam
menyelesaikan soal yang bersifat terbuka yang
akan diselesaikan pada fase berikutnya tidak
dalam keadaan “kosong”. Apabila materi itu
bukan materi baru, artinya siswa sudah
mempunyai konsep-konsep dasar matematika,
pembekalan bisa berupa permainan untuk
membekali siswa dalam menyelesaikan soal
terbuka
yang
akan
diberikan. Guru
menyampaikan tugas-tugas atau soal yang
harus dikerjakan atau diselesaikan oleh siswa
baik secara individu maupun kelompok.
Siswa mendengarkan penjelasan
guru dan mencatat soal yang
diberikan
atau
menerima
lembaran soal jika soal sudah
dalam bentuk lembaran.
2. Pengerjaan
soal terbuka
secara
individu
Guru mengambil hasil pekerjaan siswa setelah
habis waktu yang diberikan,
Siswa
secara
individu
mengerjakan soal harus mereka
selesaikan. Untuk menyelesaika
soal, siswa dibagikan lembar
jawaban dan buram yang
nantinya baik lembar jawaban
maup un
buram
harus
dikumpulkan.
3. Diskusi
kelompok
tentang soal
terbuka
Guru meminta siswa bergabung dengan
kelompok untuk berdiskusi menyelesaikan
tugas kelompok. (soal yang didiskusikan
dalam kelompok sama dengan tugas individu
pada fase sebelumnya).
Siswa
secara
kelompok
berdiskusi untuk menyelesaikan
tugas kelompok.
4. Presentasi
hasil diskusi
kelompok
Guru menunjuk salah seorang dari ang gota
kelompok untuk mempresentasikan hasil
diskusi kelompok.
- Siswa mempresentasikan hasil
diskusi kelompoknya.
- Siswa yang lain dari tiap
kelompok harus menanggapi
atau bertanya kepada siswa
yang presentasi.
6. Penutup
Guru bersama siswa menyimpulkan ide atau Siswa mencatat
konsep yang telah diperoleh pada hari itu. yang diperoleh.
Teknik yang digunakan seperti guru
memberikan pertanyaan-pertanyaan yang
merangsang siswa untuk memperoleh poinpoin penting yang diharapkan.
Dikutip dari Khabibah (2006).
128
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
kesimpulan
Prosedur Pengembangan
Pengembangan perangkat dalam penelitian ini menggunakan Model 4-D, Prosedur
pengembangan perangkat pembelajaran dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1
(diadaptasi dari Thiagarajan, semmel dan
semmel, 1974) berikut ini:
BAB II. PEMBAHASAN
Rancangan Penelitian
Penelitian ini digolongkan ke dalam jenis
penelitian pengembangan. Adapun yang akan
dikembangkan dalam penelitian ini adalah
perangkat pembelajaran dan instrumen. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan meliputi:
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, Lembar
Kerja Siswa, dan Tes Hasil Belajar untuk materi
segi empat dengan pendekatan open-ended di
kelas VII SMP yang bertujuan untuk menuntaskan hasil belajar siswa.
Analisis awal akh ir
Analisis materi
An alisis siswa
Spesifikasi tujuan pembelajaran
Pemilihan media
Analisis tugas
P emilih an format
ya
Peranc awal
Draft I
Valid as i/p enilaian
Valid ?
tidak
Draft II
Uji keterb acaan
Data
Revis i
Draft 1
Analis is uji keterbacaan
Uji coba
Analisis
Baik ?
Revisi (jika p erlu)
Draft III
tidak
Revisi
ya
Perangkat final
keterangan:
: Jenis kegiatan
: Garis siklus
: Hasil kegiatan
: Garis pelaksana
: Pengambilan keputusan
: Define
: Design
: Develop
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
129
1. Tahap Pendefinisian
Tahap ini bertujuan untuk menentukan dan
mendefinisikan syarat-syarat yang dibutuhkan dalam pembelajaran. Adapun kegiatankegiatan yang dilakukan pada tahap pendefinisian adalah analisis awal-akhir, analisis
siswa, analisis konsep, analisis tugas, dan
spesifikasi tujuan pembelajaran.
2. Tahap Perancangan
Tahap ini dilakukan untuk merancang
perangkat pembelajaran sehingga diperoleh
prototype (perangkat pembelajaran dan
instrumen), kegiatan ini meliputi: (a)
pemilihan media, (b) pemilihan format, (c)
perancangan awal.
3. Tahap Pengembangan
Tujuan tahap pengembangan adalah untuk
menghasilkan draft perangkat pembelajaran yang telah direvisi berdasarkan
masukan para ahli dan data yang diperoleh
dari uji coba. Kegiatan yang dilakukan pada
tahap pengembangan terdiri dari: validasi
ahli, revisi hasil validasi, uji keterbacaan,
revisi hasil uji keterbacaan, uji coba, revisi
hasil uji coba, dan pelaporan.
draft II. Sebelum draft II diimplementasikan
atau diujicobakan di lapangan terlebih dahulu
dilakukan uji keterbacaan. Uji keterbacaan
dilakukan dengan cara memberikan draft II
(meliputi LKS dan THB) kepada 3 orang siswa
kelas VII SMP Muhammadyah Rambipuji
Jember yang memiliki kemampuan akademik
tinggi, sedang, dan rendah (masing-masing satu
orang). Hasil uji keterbacaan menunjukkan
bahwa LKS dan THB perlu diperbaiki.
Perbaikan tersebut dilakukan agar LKS dan
THB lebih mudah dipahami oleh siswa. Hasil
revisi draft II yang telah dinyatakan valid
dinamakan draft III yang akan digunakan untuk
uji coba.
1) Hasil penilaian kemampuan guru mengelola pembelajaran
Berdasarkan kategori kemampuan guru
mengelola pembelajaran mengindikasikan
bahwa pembelajaran efektif. Hasil ini
diperoleh karena rata-rata skor setiap aspek
kemampuan guru mengelola pembelajaran
yang dinilai pada setiap RPP mencapai
kategori minimal “baik”.
2) Hasil pengamatan aktivitas siswa selama
pembelajaran
Jumlah siswa yang diamati 4 orang, yaitu
HASIL PENELITIAN
1 orang dari kelompok atas, 2 orang dari
Hasil Validasi Perangkat
kelompok tengah, dan 1 orang dari
kelompok bawah. Pengamatan dilakukan
Hasil Validasi Rencana Pelaksanaan
oleh satu orang. Hasil pengamatan terhadap
Pembelajaran (RPP) Secara umum, validator
aktivitas siswa dapat dilihat pada Tabel
menyatakan bahwa RPP bernilai sangat baik
4.12. Berdasarkan kriteria keefektifan
dan dapat digunakan dengan revisi kecil,
aktivitas siswa yang telah diuraikan pada
Lembar Kegiatan Siswa (LKS), hasil penilaian
Bab III, Tabel 4.12 menunjukkan bahwa uji
secara umum terhadap LKS menunjukkan
coba ini dikategorikan efektif. Hal ini
bahwa LKS berkualitas sangat baik. Sehingga
dikarenakan hasil pengamatan menunjukdapat digunakan dengan sedikit revisi, Tes Hasil
kan bahwa setiap aspek aktivitas siswa
Belajar (THB), Hasil penilaian secara umum
untuk semua rencana pelaksanaan pemterhadap THB yang menunjukkan bahwa THB
belajaran (RPP) berada pada interval
berkualitas sangat baik sehingga dapat
kriteria batas toleransi waktu ideal.
digunakan dengan sedikit revisi.
3) Hasil angket respon siswa
Angket respon siswa dibagikan kepada
Uji Keterbacaan
siswa setelah pembelajaran matematika
Perangkat pembelajaran yang telah
dengan pendekatan open-ended selesai.
diperoleh berdasarkan hasil validasi dinamakan
130
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Adapun rekapitulasi hasil angket respon
siswa dapat dilihat pada Tabel 4.13. Tabel
4.13 menunjukkan bahwa respon siswa
terhadap pembelajaran dengan pendekatan
open-ended lebih dari 70% siswa memberikan respon dengan kategori positif.
4) Hasil uji coba tes hasil belajar (THB)
Berdasarkan hasil analisis validitas butir
tes, reliabilitas tes, dan sensitivitas butir tes.
Maka, THB dapat dikategorikan baik.
5) Hasil Belajar dan Ketuntasan belajar
Postes
Uji coba
Banyaknya siswa yang tuntas secara
individu
23 siswa atau 85%
Banyaknya siswa yang tidak tuntas
secara individu
3 siswa atau 15%
Ketuntasan belajar secara klasikal
BAB III.
Tuntas
PENUTUP
Berdasarkan tujuan dan hasil penelitian
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Prosedur pengembangan perangkat pembelajaran segi empat dengan pendekatan
open-ended menggunakan model 4-D yang
dimodifikasi menjadi tiga tahap sesuai
dengan tujuan penelitian; yaitu: (1) Tahap
Pendefinisian. Kegiatan yang dilakukan
dalam tahap ini adalah analisis awal-akhir,
analisis siswa, analisis konsep, analisis
tugas, dan spesifikasi tujuan pembelajaran;
(2) Tahap Perancangan. Hasil kegiatan pada
tahap ini yaitu rancangan awal perangkat
pembelajaran berupa RPP, LKS, dan THB;
(3) Tahap Pengembangan. Hasil kegiatan
pada tahap ini yaitu Draft II, uji keterbacaan
menghasilkan Draft III, dan kegiatan akhir
yaitu uji coba Draft III, data hasil uji coba
dianalisis dan dapat disimpulkan bahwa,
perangkat pembelajaran berada pada
kategori “baik”.
2. Berdasarkan hasil analisis deskriptif,
perangkat pembelajaran segi empat dengan
pendekatan open-ended diketegorikan baik.
Karena keenam kriteria perangkat pembelajaran yang baik terpenuhi, yaitu: (1)
Valid menurut validator, (2) Efektif untuk
kemampuan guru mengelola pembelajaran,
(3) Efektif untuk aktivitas siswa dalam
pembelajaran, (4) Positif untuk respon
siswa terhadap pembelajaran, (5) Valid,
reliabel, dan sensitif untuk THB, dan (6)
Ketuntasan belajar secara klasikal tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2005. Dasar-dasar Evaluasi
Pendidikan Matematika. Edisi Revisi.
Jakarta: Bumi Aksara.
Hudojo, H. 2003. Pengembangan Kurikulum
dan Pembelajaran Matematika. Edisi
Revisi. Technical Cooperation Project
for Development of Science and Mathematics Teaching For Primary and Secondary Education In Indonesia
(IMSTEP).
Khabibah, Siti. 2006. Pengembangan Model
Pembelajaran Matematika dengan Soal
Terbuka untuk Meningkatkan Kreativitas
Siswa Sekolah Dasar. Disertasi. Surabaya: Program Pascasarjana UNESA.
Ratumanan, Tanwey G, dan Laurens, Theresia.
2003. Evaluasi Hasil Belajar yang
Relevan dengan Kurikulum Berbasis
Kompetensi. YP3IT dan Unesa University Press.
Sawada, Toshio. 1997. Developing Lesson
Plan. Bahan Kuliah Pembelajaran
Matematika IB.
Shimada, Shigeru. 1977. The Open-Ended Approach: A New Proposal for Teaching
Mathematics. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). Virginia.
Thiagarajan, S., Semmel, D.S., dan Semmel,
M.I. 1974. Instructional Development for
Training Teacher of Exceptional Children. Minnesota: University of Minnesota.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
131
PEMBELAJARAN MATEMATIKA PADA
ANAK USIA 1 – 2 TAHUN
Christine Wulandari 1)
1)
Program Studi Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan
Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Jember, Jalan Karimata 49 Jember Kode Pos 68121
E-mail: [email protected]
Abstrak:
Matematika sering dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit, menyeramkan dan membebani, sehinnga
banyak orang yang tidak menyukai matematika. Ilmu matematika digunakan manuasi sejak lahir sampai
akhir hayat. Mengingat patingnya matematika dalam kehidupan sehari-hari. Maka matematika hendaknya
diajarkan mulai usia dini. Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mendeskripsikan model pembelajaran
matematika pada anak usia 1 – 2 tahun, (2) Untuk mengetahui respon orang tua terhadap pembelajaran
matematika pada anak usia 1 – 2 tahun.Lokasi penelitian merupakan tempat diadakannya penelitian yaitu
di Posyandu Jeruk 01 Dusun Semboro Lor, Desa Semboro, Kec Semboro, Kabupaten Jember. Pendekatan
Penelitian adalah deskriptif dengan rancangan kualitatif. Metode pengumpulan data adalah metode
wawancara,, observasi dan dokumentasi. Data penelitian yang terkumpul dianalisis dengan (a) reduksi
data, (b) penyajian data, dan (c) penarikan kesimpulan serta verifikas. Pembelajaran matematika pada
anak usia 1 – 2 tahun dapat dilakukan pada rutinitas orang tua dengan anaknya, dengan bermain dengan
mengelompokkan mana bersadarkan fungsinya, ukuran dan bntuknya. Orang tua mengenlkan konsep
bilangan dengan bernyanyi dengan lagu yang mengandung unsur angka. Dengan bermain konsep matematika
dapat tertanam dalam pikiran anak dan dengan permainan, pembelajaran tidak terkesan memaksa anak
untuk belajar matematika. Dengan dmikian anak akan menyukai matematika.Berdasarkan hasil wawancara
dengan orang tua, mereka sangat tertarik dengan pembelajaran matematika pada anak usia 1 – 2 tahun.
Orang tua baru menyadari bahwa degan bermain dan beryanyi dilakukan dengan anaknya merupakan
pembelajaran yang dapat menanamkan konsep matematika.
Kata kunci: Pembelajaran matematika, anak usia 1 – 2 tahun
matika. Pada dasarnya matematika dapat
diajarkan kepada anak sejak anak usia dini
Matematika merupakan mata pelajaran
bahkan usia bayi. Degan kegiatan yang dilakuyang tidak disukai oleh anak. Anak sering kali
kan orang tua dengan anakya, konsep matemamerasa kesulitan dalam belajar matematika.
tika dapat ditanamkan. Belajar matematika bisa
Kesulitan tersebut disebabkan karena anak baru
dilakukan sambil bermain bersama ibu
mengenal konsep matematika saat anak duduk
sehingga anak akan senang dengan pelajaran
dibangku sekolah. Dalam dalam belajar matematematika.
matika anak sering hanya menghafal konsep
Pada anak-anak usia 1 – 2 tahun, konsep
matematika, padahal konsep matematika tidak
matematika ditemukan setiap hari melalui
perlu di hafal tetapi harus dipahani oleh anak.
rutinitas setiap hari dan pengalaman bermain
Sulitnya menghitung hingga menghafal tak
anak dengan orang tua. Bermain bukan asal
jarang membuat anak enggan belajar mate-
PENDAHULUAN
132
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
bersenang-senang, tapi juga harus ada manfaat
yang didapat. Dengan bermain anak dapat
mengenal konsep matemata melaui mainan
yang dimainkannya. Sambil bermain orang tua
dapat mengasah kecerdasan otak.Banyak cara
untuk menstimulasi anak usia 1 – 2 tahun, salah
satunya dengan cara bermain. Karena pada usia
tersebut merupakan masa emas pertumbuhan
otak, di mana stimulasi, perkembangan kognisi,
sosial dan emosi anak mencapai tahap optimal.
Apa fungsi bermain, sehingga dikatakan
penting untuk anak. (Lestari, 2011:6). Permainan matematika membutuhkan suasana menyenangkan dan memberi kebebasan pada anak
untuk belajar. Untuk itu diperlukan alat peraga/
media yang sesuai dengan tujuan, menarik, dan
bervariasi, mudah digunakan dan tidak membahayakan. Orang tua bisa menggunkan media
yang ada disekitar kehidupan anak sehingga
anak bisa langsung menerapkan matematika
dalam keidupan anak.Dengan demikian, anak
akan termotivasi untuk belajar karena apa yang
mereka pelajari bermanfaat dalam kehidupannya.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Landreth (dalam Rizal, 2009) yang menyatakan
bermain adalah bagian integral dari masa
kanak-kanak, membutuhkan suatu media yang
unik untuk memfasilitasi perkembangan ekspresi bahasa, keterampilan komunikasi, perkembangan emosi, keterampilan sosial, keterampilan pengambilan keputusan, dan perkembangan kognitif pada anak-anak. Sedangkan
permainan adalah semua media yang dipakai
oleh anak untuk melakukan kegiatan bermainnya.Dalam permainan matematika anak
dapat di kelompokkan sesuai tahap penguasaan
berhitung yaitu tahap konsep, masa transisi dan
lambang. Dalam mengevaluasi hasil perkembangan anak harus dimulai dari awal sampai
akhir kegiatan (Milafaila, 2011).
Dengan diadakan penelitian ini diharapkan orang tua mengetahui cara-cara atau
metode-metode pembelajaran apada anak usia
1 – 2 tahun serta otang tua bahwa pembelajaran
matematika dapat dilakukan pada usia dini.
Orang tua dapat menerapkan pembelajaran
matematika kepada anaknya melalui kegiatan
sehari-hari terutama pada saat bermain. Orang
tua akan selalu mendampingi anaknya saat
bermain dan akan selalu menstimulus anak
dalam beberapa permainan, serta membiarkan
anak menemukan sendiri konsep-konsep
matematika dengan cara atau metode anak
sendiri. Dalam mendampingi bermain anak
diharapkan orang tua mampu mengarahkan
anak jika permainan yang dilakukan keluar dari
konsep yang sebenarnya. Dengan diadakannya
penelitian ini diharapkan orang tua dapat
menanamkan konsep matematika pada anak se
dini mungkin sehingga pemikiran matematika
yang sulit dan menyeramkan bisa hilang dari
pikiran anak jika anak sudah duduk di bangku
sekolah.
Pembelajaran matematika pada anak usia
1 – 2 t ahun dapat dilakukan dengan
mengenalkan konsep angka. Mengembangkan
konsep angka pada anak usia 1 – 2 tahun.
Beberapa contoh kegiatan yang bisa dilakukan
orang tua dalam mengembangkan konsep angka
pada anak usia 1 – 2 tahun, yaitu:
1. Ajaklah anak bernyanyi lagu satu satu,
balonku, dll, yang mengandung angka
sambil bergerak mengikuti irama.
2. Ajaklah anak untuk membantu memasukan
setiap kuas lukis ke masing-masing wadah
cat.
3. Mintalah anak untuk memasukan bola
plastik ke keranjang, kemudian ajaklah
anak untuk menghitung bersama-sama
jumlah bola yang ada di keranjang.
4. Berikan gagasan agar anak boleh meminta
lagi playdough bila bungkahan playdough
yang diberikan masih kurang
Mengenalkan konsep pola dan hubungan
orang tua dapat melakukannya pada anak usia
1 – 2 tahun, dengan beberapa kegiatan berikut
ini:
1. Sediakan alat musik gendang atau bisa
dibuat dari kaleng bekas biskuit atau susu
ditutup karet balon. Ajak anak agar mau
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
133
memukul gendang tersebut. Berikan beberapa contoh irama pukulan gendang untuk
ditiru anak.
2. Sediakan air dalam baskom berukuran
sedang, cangkir plastik, dan botol aqua
bekas. Berikan gagasan agar anak menuang
air dengan cangkir ke botol.
3. Ketika membacakan buku cerita, ucapkan
kalimat yang diulang-ulang pada beberapa
halaman berikutnya, misalnya: “Nah,
kucing yang tadi warna bulunya putih.
Kalau kucing yang ini warna bulunya
hitam. “
4. Ketika membacakan buku cerita, sambil
menunjuk ke gambar ucapkan “ Kelinci
mana yang lebih besar ?” Amati jawaban
anak.
tersebut seperti barisan balok berdasarkan
pola warna merah.
METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian merupakan tempat
diadakannya penelitian yaitu di Posyandu Jeruk
01 Dusun Semboro Lor, Desa Semboro, Kec
Semboro, Kabupaten Jember.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pembelajaran matematika pada anak
usia 1 – 2 tahun. Pendekatan yang dilakukan
dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif karena (1) peneliti bertindak sebagai
instrumen utama, karena disamping sebagai
pengumpul data dan penganalisis data, peneliti
juga terlibat langsung dalam proses penelitian,
(2) mempunyai latar alami (natural setting),
data yang diteliti dan dihasilkan akan dipaparMengenalkan Konsep Hubungan Geokan sesuai dengan yang terjadi dilapangan, (3)
metri dan Ruang pada anak dapat dilakukan
hasil penelitian bersifat deskriptif, karena data
dengan kegiatan mengenalkan konsep hubuyang dikumpulkan bukan berupa angka-angka
ngan geometri dan ruang yang bisa dilakukan
melainkan berupa kata-kata dan kalimat, (4)
orang tua pada anak usia 1 – 2 tahun,adalah:
lebih mementingkan proses dari pada hasil, (5)
1. Sediakan boneka dan kotak yang ukuranadanya batas masalah yang ditemukan dalam
nya lebih kecil dari boneka tersebut.
fokus penelitian, dan (6) analisis data cenderung
Berikan gagasan agar anak mau mencoba
bersifat induktif.
memasukan boneka ke kotak. Setelah anak
Penelitian ini memakai rancangan kuamengerti bahwa kota terlalu kecil maka
litatif. Penelitian kualitatif memiliki beberapa
ambil kotak lain yang lebih besar, birakan
karakteristik, di antaranya berlatar alamiah,
anak memasukan boneka ke kotak tersebut.
deskriptif dan manusia sebagai alat (instrumen).
2. Sediakan kotak yang permukaannya
Penelitian kualitatif memiliki karakteristik
terdapat beberapa lubang berbentuk segiberlatar alamiah maksudnya di dalam penelitian
tiga, persegi, lingkaran, segiempat. Biarkan
kualitatif, peneliti memasuki, berhadapan
anak memasukan keping segitiga, persegi,
langsung dengan objek penelitian dan hasil
lingkaran dan segiempat ke kotak tersebut.
penelitiannya adalah alamiah, sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya tanpa rekayasa.
Untuk mengenalkan konsep Memilih dan
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan
Mengelompokanpada anak usia 1 – 2 tahun.
pembelajaran matematika pada anak usia 1 – 2
Beberapa contoh kegiatan yang bisa dilakukan
tahun.
orang tua adalah
Hasil penelitian ini merupakan data asli,
1. Memberikan sebuah gambar kucing pada
alamiah, sesuai dengan keadaan yang sebenaranak. Biarkan anak menyebutkan nama
nya, sesuai dengan data yang diperoleh saat
binatang tersebut.
melakukan pembelajaran, tanpa adanya reka2. Sediakan 5 buah balok lunak warna merah.
yasa. Pendekatan kualitatif merupakan prosudur
Ajak anak untuk membariskan balok-balok
penelitian yang menghasilkan data deskriptif
134
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
yang berupa aktivitas dan respon anak usia 1 –
2 tahun saat diberi konsep matematika serta
respon orang tua terhadap pembelajaran matematika pada anak usia 1- 2 tahun.
Teknik pengumpulan data adalah teknik
atau cara-cara yang dapat digu-nakan oleh
peneliti untuk mengumpulkan data.Teknik atau
cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti
untuk mengumpulkan data disebut metode
pengumpulan data. Dalam penelitian ini metode
yang digunakan ialah metode wawancara,
dokumentasi dan metode tes.
Moleong (2002:190) menyatakan bahwa
proses analisis data dimulai dengan menelaah
seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber
yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah
dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen
pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan
sebagainya. Data penelitian yang terkumpul
dianalisis dengan model alir (flow model)
Milles dan Hubermen (1992:16) yang meliputi
tahap: (a) reduksi data, (b) penyajian data, dan
(c) penarikan kesimpulan serta verifikasi.
Keabsahan data merupakan hal yang
terpenting dalam penelitian. Untuk mengecek
keabsahan data akan digunakan teknik
pengecekan keabsahan data. teknik pengecekan
keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah (a) triangulasi, (b) ketekunan
pengamatan, dan (c) pemeriksaan sejawat
(Moleong, 2002:175)
HASIL PENELITAIN
Kegiatan yang dilakukan orang tua dalam
mengembangkan konsep angka adalah:
1. Mengajak anak bernyanyi lagu satu satu,
balonku, dll, yang mengandung angka
sambil bergerak mengikuti irama.
2. Mengajak anak untuk membantu
membereskanmainanjikasudahselesaibermain.
3. meminta anak untuk memasukan bola
plastik ke keranjang, sambil menghitung
jumlah bola.
Respon anak saat bermain bersama orang tua adalah
1. Anak mengikuti ibu bernyanyi dengan
kata-kata yang kurang jelas, tetapi maksudnya sudah mengarah pada lagu tersebut
2. Anak membantu ibu membereskan mainan,
tetapi anak belum dapat mengelompokkan
mainan sesuai dengan kelompoknya
3. Anak memasukkan bola dalam keranjang
dengan menghitung, tetapi bola yang
dimasukkan warnanya bermacam-macam,
tidak satu warna.
Kegiatan yang dilakukan orang tua untuk
mengenalkan konsep pola dan hubungan adalah
sebagai berikut
1. menyediakan alat musik gendang atau bisa
dibuat dari kaleng bekas biskuit atau susu
ditutup karet balon. Memberi contoh pada
anak dalam memainkan gendangnya dan
meminta anak untuk mirukan
2. mengucapakan kailmat dengan berulangulang saat membacakan buku cerita.
3. Menunjuk gambar-gambar yang ada
dibuku cerita saat mmbacakan ceita pada
anak.
Kegiatan mengenalkan konsep hubungan
geometri dan ruang yang dilakukan orang tua
adalah:
1. memberi anak wadah kecil dan meminta
anak untuk mengisi wadah-wadah tersebut
dengan air.
2. Menyediakan boneka dan kotak yang
ukurannya lebih kecil dari boneka tersebut.
Memberi gagasan pada anak agar mau
mencoba memasukan boneka ke kotak.
Setelah anak mengerti bahwa kota terlalu
kecil maka ambil kotak lain yang lebih
besar, birakan anak memasukan boneka ke
kotak tersebut.
3. Sediakan kotak yang permukaannya
terdapat beberapa lubang berbentuk
segitiga, persegi, lingkaran, segiempat.
Biarkan anak memasukan keping segitiga,
persegi, lingkaran dan segiempat ke kotak
tersebut.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
135
Respon anak saat bermain bersama orang tua adalah
1. Anak memasukkan air kedalam wadah
kecil dengan tumpah-tumpah
2. Anak terlihat bingung saat boneka tidak
dapat dimasukkan ke dalam kotak dan terus
mencoba memasukkannya. Setelah diberi
arahan untuk mengambil kotak yang lain,
anak mencoba mengambil kotak lain dan
anak merasa senang saat dapat memasukkan lingkaran pada kotak.
3. Anak merasa bingung karna banyak pilihan
yang harus dimasukkan, tetapi setleah
beberapa kali mencoba, akhirnya anak
dapat meyelesaikannya dengan baik.
Kegiatan yang dilakukan orang tua untuk
mengenalkan konsep Memilih dan Mengelompokan pada anak usia 1 – 2 tahunadalah
1. Memberikan sebuah gambar pada anak dan
meminta anak untuk menyebutkan nama
binatang tersebut.
2. Menyediakan 5 buah balok lunak dengan
warna yang sama. Kemudian mengajak
anak untuk membariskan balok-balok
tersebut seperti barisan balok berdasarkan
pola warna merah.
HasilObservasi
Dari hasl observasi yang dilakukan oleh
observer, terhadap aktivitas orang tua saat
bermain dengan anak dapat disimpulkan
sebagai berikut
1. Anak merasa senang bernyanyi dengan orang tua dan meminta mengulang lagi lagulagu yang dinyanyikan.
2. Anak sanat antusias saat bermain dengan
orang tua, anak selalu bertanya nama
mainan yang belum ia ketahui. Saat selesai
bermain, anak berusaha membereskan
mainannya walaupun tidak sesuai dengan
kelompok mainannya.
3. Anak merasa senang saat memukul-mukul
gendang dan mecoba memukul gendang
yang lain.
136
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
4. Saat bermain bola, anak bersaha menghitung bola walaupun warnaya acak.
5. Anak sangat senang bermain air walaupun
bajunya basah dan kedinginan, anak enggan
untuk berhenti bernain.
6. Saat dibacakan buku cerita, anak bertanya
pada orangtua nama gambar yang ada
dalam buku cerita.
7. Anak terlihat bingung saat diberi beberapa
bentuk geometri. Anak berusaha memasukkan bentuk geometri kedalam kotak
walaupun awalnya merasa kesulitan.
8. Saat melihat gambar binatang, anak
berusaha menyebutkan nama binatang
walapun bahasanya tidak tepat.
9. Anak berusaha menyusun balok-balok
yang ada dengan bentuk yg tidak teratur
secara vertikal dan horizontal
HasilWawancara
Dari hasil wawancara dengan orang tua
yang memiliki anak usia 1 – 2 tahun, mereka
merasa senang dengan diadakannya penelitian
ini karena selama ini orang tua tidak pernah
mendampingi anaknya dalam bermain karena
tidak tahu bahwa pembelajaran matematika
dapat dilakukan dengan bermain. Dengan
permainan, pembelajaran dapat dilakukan
secara alamiah. Setelah diadakan penelitian ini,
orang tua sadar pentingnya pembelajaran
matematika sejak anak usia 1 tahun karena jika
konsep matematika diberikan sejak anak
berusia 1 tahun, maka anak akan mudah mempelajari matematika saat anak dduk dibangku
sekolah.
KESIMPULAN
Pembelajaran matematika pada anak usia
1 – 2 tahun dapat dilakukan dengan (1)
mengenalkan konsep angka, (2) Mengenalkan
konsep pola dan hubungan (3) mengenalkan
konsep hubungan geometri dan ruang, (4)
mengenalkan konsep Memilih dan Mengelompokan. Untuk mengenalkan konsep angka pada
anak usia 1 – 2 tahun dapat dilakukan melalui
tiga tahap, yaitu: membilang, mencocokkan dan
membandingkan. Untuk mengenalkan konsep
pola dan hubungan anak perlu diberi banyak
kesempatan untuk meng­gali dan memanipulasi
benda dan mencatat persamaan dan perbedaanya.
Sedangkan untuk mengenalkan konsep
hubungan geometri dan ruang adalah dengan
anak mengenal bent uk-bentuk geomet ri
(segitiga, segi empat, persegi, lingkaran) yang
sama dan posisi dirinya dalam suatu ruang. Hal
ini dapat orang tua lakukan dengan meminta
anak untuk memasukkan benda-benda dalam
suatu wadah yang lebih kecil atau yang lebih
besar.Tahapan diatas dapat dilakukan orang tua
melalui rutinitas sehari-hari dengan anaknya.
Sehingga pembelajaran tidak terkesan memaksa anak untuk belajar matematika dan
konsep matematika yang tertaman dalam
memori anak akan dapat dipanggil saat anak
duduk dibangku sekolah.Belajar memilih dan
mengelompokan merupakan kemampuan
mengamati dan mencatat persamaan dan
perbedaan benda. Untuk dapat memilih dan
mengelompokkan anak belajar melalui memperhatikan, mendengar, menyentuh, merasakan,
mencium bau benda-benda yang dimainkannya,
sehingga mengetahui benda-benda yang sama
dan yang berbeda.
REFERENSI
Adityasari, Anggraini. 2013. Main Matematika
Yuk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta
: Rineka Cipta
Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini. 2007.
Kerangka Dasar Kurikulum. Depdiknas
Pendidikan Anak Usia Dini. Universitas
Negeri Jakarta: Jakarta.
Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara
Kahfi, M.S. 1996. Geometri Sekolah Dasar dan
Pengajarannya: Sutu Pola Berdasarkan
Teori Piaget dan Teori Van Hiele. Jurnal
Ilmu Pendidikan. No. 4. 262 – 278.
Malang: IKIP Malang
Lestari, KW. 2011. Konsep Matematika Untuk
Anak Usia Dini. Direktorat Pembinaan
Pendidikan Anak Usia Dini. Direktorat
Jenderal PAUDI Pendidikan Nasional.
Moleong, L. J. 2002. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda
Karya
Miles, M. B. & Hubermen, A. M. Analisa Data
Kualitatif. (terjemahan Tjetjep Rohendi
Rohidi). Jakarta: Universitas Indonesia
Press
Rizal, M, 2009. Permainan Yang Mencerdaskan.Seminar Smart Parent Conference.24-26 Juli 2009.JHCC.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Christine W. Suryaningrum
Di lahikan di Jember pada tanggal 17
Februari 1983. Pendidikan TK di tempuh pada
tahun 1986 – 1988 di TK RAUDHATUL
ASHAR IV. Pendidikan SD di tempuh pada
tahun 1988 – 1994 di SD Negeri V Semboro.
Pendidikan SMP di tempuh pada tahun 1994 –
1997 di SMP Negeri 4Tanggul.Pendidikan
SMA di tempuh pada tahun 1997 – 2000 di
SMA Negeri 1 Jenggawah. Pendidikan S1 di
tempuh pada tahun 2000 – 2004 di Program
Studi Pendidikan Matematika Universitas
Muhammadiyah Malang. Sedangkan gelar
Magister diperoleh setelah menyelesaikan
pendidikan di Program Pascasarjana Univeritas
Negeri Malang pada Prodi Studi Pendidikan
Matematika tahun 2005 – 2007. Karirnya
dimulai pada tahun 2007 sampai dengan sekarang sebagai Dosen di Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah
Jember dengan menampu mata kuliah Aljabar
Linier, Matematika Diskrit, Teori Bilangan, dan
Teori Himpunan.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
137
Literasi Keuangan
MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR
KRITIS MAHASISWA
DALAM MENGELOLA KEUANGAN
Anis Dwiastanti
ABSTRAK
Artikel ini berusaha memberikan pemahaman tentang pentingnya pembelajaran Literasi Keuangan kepada
mahasiswa agar mereka dapat mengelola sumber daya keuangannya di masa depan untuk mencapai
kesejahteraan. Selain itu, melalui pengetahuan Literasi Keuangan diharapkan mahasiswa dapat
meningkatkan pengetahuannya dalam memahami kondisi keuangan serta konsep-konsep keuangan, untuk
merubah pengetahuan tersebut secara tepat ke dalam perilaku. Oleh karena itu Perguruan Tinggi perlu
menyusun kurikulum yang dapat mendukung peningkatan pengetahuan mahasiswa tentang Literasi
Keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu menggandeng Perguruan Tinggi dalam melakukan edukasi dibidang
keuangan, khususnya kepada mahasiswa agar dapat mengelola keuangan secara cerdas, supaya rendahnya
pengetahuan tentang industri keuangan dapat diatasi dan masyarakat tidak mudah tertipu oleh produkproduk investasi yang menawarkan keuntungan tinggi dalam jangka pendek tanpa mempertimbangkan
resikonya.
Banyak hasil penelitian yang telah dilakukan dan memberikan rekomendasi tentang pentingnya memberikan
pemahaman Literasi Keuangan terhadap masyarakat, baik melalui pendidikan formal maupun non formal.
OJK sebagai lembaga independen yang paling gencar memberikan edukasi kepada masyarakat, dan bekerja
sama dengan Asosiasi Lembaga Jasa Keuangan (LJK) telah meluncurkan program Strategi Nasional Literasi
Keuangan untuk meningkatkan indeks pengetahuan keuangan masyarakat yang saat ini masih rendah, dan
diharapkan dapat tumbuh 2% per tahun.
Untuk mendukung program Literasi Keuangan yang digalakkan oleh OJK, Perguruan Tinggi dapat
mengembangkan kurikulum Pengetahuan Keuangan yang dapat memberikan pengetahuan kepada
mahasiswa, agar dapat menjadi pribadi yang dapat mengambil keputusan keuangan secara cerdas, dan
pengetahuan yang dimiliki dapat menjadi sumber informasi untuk meningkatkan pengetahuan keuangan
bagi dirinya, keluarga, masyarakat dan lingkungan di sekitarnya.
Kata Kunci : Literasi Keuangan dan Pengetahuan Keuangan
dan kemampuan yang membuat orang tersebut
mampu memanfaatkan sumber daya yang ada
Mengelola uang yang sehat membutuhuntuk mencapai tujuan.
kan beberapa faktor fundamentalyang perlu
Huston (2010) menyatakan bahwa pengeditingkatkan, dan salah satunya adalah literasi
tahuan keuangan merupakan dimensi yang
keuangan. Pendefinisian literasi keuangan bertidak terpisahkan dari literasi keuangan, namun
variasi, sebagaimana diungkapkan oleh Chen
belum dapat menggambarkan literasi keuangan.
dan Volpe (1998) yang mengartikan literasi
Tidak jauh berbeda, The Presidents Advisory
keuangan sebagai kemampuan mengelola
Council on Financial Literacy (PACFL, 2008)
keuangan (financial litercy is money managedalam Hung (2009) mendefinisikan literasi
ment knowledge). Literasi keuangan terjadi
keuangan sebagai the ability to use knowledge
ketika individu memiliki sekumpulan keahlian
PENDAHULUAN
138
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
and skills to manage financial resources effectively for a lifetime of financial well-being
(literasi keuangan sebagai kemampuan untuk
menggunakan pengetahuan serta keahlian
untuk mengelola sumber daya keuangan untuk
mencapai kesejahteraan). Literasi finansial
merupakan pengetahuan tentang keuangan dan
kemampuan untuk menggunakan pengetahuan
tersebut (mengaplikasikannya) untuk mencapai
kesejahteraan.
Dalam beberapa tahun terakhir, isu
mengenai literasi (pengetahuan) keuangan telah
menjadi salah satu fokus kebijakan pemerintah
dan lembaga keuangan di Indonesia.Terdapat
kekhawatiran bahwa konsumen cenderung
kurang memahami konsep keuangan dan tidak
memiliki pengetahuan untuk membuat keputusan keuangan.Dengan adanya peningkatan
literasi keuangan diharapkan dapat memberikan
kontribusi kepada kestabilan sistem keuangan
dan mengurangi kerentanan dalam sistem
keuangan. Terdapat beberapa bukti yang menunjukkan bahwa t ingkat akses keuangan
masyarakat Indonesia relatif rendah. Sebagaimana diungkapkan Agus Sugiharto (2014),
bahwa tingkat literasi keuangan masyarakat
Indonesia pada tahun 2013 hanya sebesar
21,8% atau sebanyak 78,2% belum memiliki
pemahaman mengenai produk atau jasa
keuangan, sehingga investasi di dalam negeri
masih didominasi oleh investor asing. Oleh
sebab itu, OJK akanterus berupaya meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap
pentingnya investasi di lembaga jasa keuangan
formal. Sementara penggunaan produk layanan
keuangan hanya dinikmati oleh 40,3%
masyarakat Indonesia, dan sisanya sebanyak
59,7% belum mengakses layanan lembaga
keuangan formal.
Tingkatliterasi keuangan masyarakat
terhadap lembaga jasa keuangan, kebanyakan
didominasi oleh industri perbankan, disusul
asuransi, pegadaian, perusahaan pembiayaan,
dana pensiunan, dan perusahaan sekuritas atau
pasar modal. Urutan tersebut disusun dari yang
tertinggi ke terendah dalam pemahaman
masyarakat akan lembaga Jasa Keuangan
(LJK). Selain tingkat pemahaman yang rendah,
investasi keuangan yang ada saat ini juga belum
merata. Penduduk Indonesia di usia 15-54 tahun
tergolong pada tingkat pengeluaran dengan
literasi keuangan dan penggunaan cukup tinggi.
Di usia-usia tersebut didominasi oleh pekerja
di sektor formal, seperti karyawan dan kalangan
profesional
Literasi keuangan atau melek keuangan
mengacu pada kemampuan atau tingkat
pemahaman seseorang atau masyarakat tentang
bagaimana uang bekerja. Sebagaimana diungkapkan Kusumaningtuti (2014) mengutip
survei nasional literasi keuangan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) pada 2013 di 20 provinsi
dengan 8000 responden, secara umum tingkat
literasi keuangan masyarakat Indonesia baru
21,8 persen. Sektor perbankan mendominasi
tingkat literasi tersebut.Data Bank Dunia
menyebutkan, tingkat literasi keuangan Indonesia terendah di kawasan Asia Tenggara.
Tingkat literasi masyarakat Filipina 27 persen,
Malaysia 67 persen, dan Thailand 73 persen
(Koestanto, 2014).
Pendidikan sangat berperan penting
dalam pembentukan literasi finansial baik
pendidikan informal di lingkungan keluarga
maupun pendidikan formal di lingkungan
perguruan tinggi.Dalamlingkungan keluarga,
tingkat literasi finansial ditentukan olehperan
orang tua dalam memberikan dukungan berupa
pendidikan keuangan dalam keluarga.Melalui
pendidikan keluarga, dengan cara-cara yang
sederhana anak dibawa ke suatu sistem nilai
atau sikap hidup yang diinginkan dan disertai
teladan orang tua yang secara tidak langsung
sudah membawa anak kepada pandangan dan
kebiasaan tertentu. Jorgensen (2007) menyatakan “Students who reported they learned either
some or a lot about managing their money from
parents had higher financial knowledge, attitude, and behavior scores than students who
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
139
reported learning none or not much about managing their money from their parents.”
Pendidikan pengelolaan keuangan di dalam
keluarga dipengaruhi oleh status sosial ekonomi
orang tua.Perbedaan status sosial ekonomi orang tua membawa perbedaan yang besar dalam
pengasuhan anak.Anak-anak dikondisikan oleh
posisi subkultur dan kelas sosial ekonomi yang
pada gilirannya mempengaruhi kognisi dan
perilaku mereka.
Pembelajaran di perguruan tinggi juga
berperan penting dalam proses pembentukan
literasi finansial mahasiswa. Mahasiswa tinggal
di lingkungan ekonomi yang beragam dan
kompleks sehingga peningkatan kebutuhan
pendidikan keuangan sangat diperlukan.
Beberapa negara telah mengakui perlunya
literasi finansial diajarkan di dalam kelas.
Pembelajaran yang efektif dan efisien akan
membantu mahasiswa memiliki kemampuan
memahami, menilai, dan bertindak dalam
kepentingan keuangan mereka. Gutter (2008)
dalam penelitiannya menyat akan bahwa
pendidikan keuangan berpengaruh positif
terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku
keuangan. Diperkuat oleh penelitian Lutfi dan
Iramani (2008) yang menyatakan bahwa
pendidikan manajemen keuangan secara
signifikan berpengaruh terhadap literasi
finansial.Untuk itulah diperlukan pembekalan
yang matang agar mahasiswa dapat mengelola
keuangannya secara smart.
Sebagaimana diungkapkan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud)
Anies Baswedan pendidikan tentang keuangan
sangat penting untuk membantu generasi muda
dalam penyelesaikan persoalan dunia keuangan. Sebab persoalan keuangan sudah
menjadi hal yang sangat mendasar bagi
kehidupan. Melalui pendidikan tentang keuangan yang matang diharapkan masyarakat
semakin melek keuangan, sehingga dapat
meminimalisir tindakan-tindakan penipuan
yang mengat asnamakan produk-produk
investasi yang menawarkan keuntungan tinggi
140
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
dalam jangka pendek tanpa mempertimbangkan
resikonya.
Tujuan penulisan artikel ini adalah
menyusun
kurikulum
pembelajaran
pengetahuan keuangan untuk meningkatkan
kemampuan mahasiswa dalam mengelola
sumber daya keuangan guna mencapai
kesejahteraan.
KAJIAN TEORITIS
Kristen M. Rosacker dan Srini Ragothaman (2009) melakukan penelitian dengan
temaFinancial Literacy Of Freshmen Business
Shcool Students. Penelitian ini menjelaskan
hasil lokakarya pelatihan literasi keuangan yang
dilakukan oleh jurusan akuntansi. Fokus
utamapelatihan adalah pendidikan mahasiswa
pada konsep-konsep pokok tentang pentingnya
penggunaan utangyang tepatdan manajemen
keuangan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa
pelatihan pengetahuan t entang masalah
keuangan memberikan manfaat terhadap
mahasiswa-mahasiswa baru jurusan bisnis.
Hasil penelitian juga menunjukkan perlunya
usahaterus-menerus untuk meningkatkan
penget ahuan tentang masalah keuangan
mahasiswa. Sebuahkonsep yang luasdan mendalam tentang penelitian pendidikan keuangan
akan membantu pembuat kebijakan, serta
penyedia layanan sektorpublik dan swastabagi
pendidikankeuangan, untuk meningkatkan
efektivitaskerjamereka terutama pengetahuan
tentang masalah keuangan.
Hasil penelitian juga memberikan
rekomendasi bahwauntuk meningkat kan
pengetahuan keuangan mahasiswa di masa
mendatang. Pelatihanpengetahuan tentang
masalah keuangan masa depan dan
penelitianharus diarahkanpadaaudiens yang
lebih luaslagi. Khususnyaupayamasa depan
harusdiarahkanpadasemua jurusan(bukan
hanya bisnis) dansemua tingkatsiswa(bukan
hanya mahasiswa baru). Selain itu, upayadi
masa depan untuk meningkatkan tingkat
pengetahuan tentang masalah keuanganharus
mencakupsiswauntuk beberapauniversitas.
Para mahasiswadan dosenakandigunakan
sebagai subyek penelitian untuk meningkatkan
upaya pelatihan keuangan mereka di masa
depan.Demikian juga, universitas laindapat
mendukung langkah dan upaya ini.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Krishna, Sari dan Rofaida (2009), memberikan
rekomendasi bahwa untuk meningkatkan
literasi finansial di kalangan mahasiswa, sudah
saatnya pendidikan Personal Finance, masuk
ke dalam kurikulum akademik sebagai bagian
dari sistem pendidikan di Perguruan Tinggi,
baik untuk Program Studi Ekonomi maupun
Non Ekonomi sehingga pendidikan ekonomi
yang diberikan selain untuk membekali
mahasiswa dengan ketrampilan pengetahuan
untuk mendapatkan pekerjaan juga untuk
meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam
mengelola keuangan pribadinya sebagai salah
satu modal yang dapat meningkatkan kualitas
hidup mereka di masa yang akan datang.
Konsep Pengembangan
Literasi Keuangan
Model
Model literasi keuangan telah dikembangkan oleh Lindsey (2011) melalui penelitiannya yang berjudul A Review of Howard
University’s Financial Litercy Curriculum.
Dalam penelitian ini, Lindsey menunjukkan
kesulitan finansial dari individu dan keluarga
dapat mempengaruhi kesehatan keuangan
masyarakat lokal dan ekonomi regional secara
radikal. (Kingsley, TG, Smith, R., & Price, 2009
& United Way, 2010) bagaimana pengetahuan
orang-orang Amerika tentang pengelolan
keuangan pribadi mereka (Mandell, 2009;
Lusardi, 2008; Volpe, Chen & Liu, 2006; &
Chen & Volpe, 1998).Pertanyaan biasanya
terfokus pada konsep-konsep keuangan seperti
bagaimana mendapatkan laporan kredit,
mengetahui nilai kredit perorangan, dan
membedakan berbagai jenis kredit.
Studi Jumpstart (Mandell, 2008) mendefinisikan pengetahuan tentang masalah
keuangan sebagai kemampuan untuk menggunakan pengetahuan dan keterampilanuntuk
mengelolasumber daya keuangansecara
efektifuntukmeningkatkan kesejahteraan di
masa yang akan datang. Definisi ini mencakup
pengetahuandankemampuan’dengan hasil yang
diharapkan(yaitu, keamanan finansialseumur
hidup/kesejahteraan).
Universitas Howard memandang
kurikulum pendidikan keuangan sebagai
langkah untuk meningkatkan pengetahuan
keuangan siswa, dan bagaimana manusia
menggunakan modal dalam pengelolaan
keuangan, keterampilan, dan pengalaman. Universitas Howardmenyimpulkan bahwa membangun pengetahuan keuanganakan berpengaruh terhadap perilaku pendidikan keuangan
pribadi.
Sebagaimana dikemukakan oleh Angela
A. Hung dkk (2009) dalam Working Paper yang
berjudul Defining and Measuring Financial
Literacy, bahwa definisi literasi keuangan
sebagian besar terletak pada kemampuan untuk
menggunakan pengetahuan dan keterampilan
untuk mencapai kesejahteraan keuangan, dan
oleh karenanya diperlukan perilaku yang cukup
untuk mendasarinya. Mereka berpendapat
bahwa pengetahuan keuangan, keterampilan,
dan perilaku, serta hubungan timbal balik
diantaranya, harus dipertimbangkan dalam
konsep literasi keuangan secara menyeluruh.
Sandra J. Huston (2009) mengatakan
bahwa literasi keuangan merupakan pengukuran seberapa baik seorang individu dapat
memahami dan menggunakan informasi yang
terkait dengan keuangan. Literasi keuangan
bukan hanya membutuhkan dimensi pengetahuan tetapi juga membutuhkan dimensi
tambahan yakni dimensi pengaplikasian yang
mengharuskan seseorang memiliki kemampuan
dan kepercayaan diri at as pengetahuan
keuangan yang dimilikinya untuk digunakan
dalam pengambilan keputusan keuangan.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
141
PEMBAHASAN
Manajemen Keuangan dan Literasi
Keuangan
Salah satu bentuk aplikasi dari Manajemen Keuangan adalah Manajemen Keuangan
Pribadi (Personal Finance) yang merupakan
proses perencanaan dan pengendalian keuangan
dari unit individu dan keluarga. Personal
Financemeliputi : (1) Money Management, (2)
Spending and Credit dan (3) Saving and Investment (Krishna, 2008)
Di dalam Personal Finance, diperlukan
literasi keuangan. Literasi keuangan terjadi
manakala seorang individu yang cakap (liter-
ate) memiliki sekumpulan kemampuan yang
membuat orang tersebut mampu memanfaatkan
sumberdaya yang ada untuk mencapai tujuan.
Kecakapan (literacy) merupakan hal penting
yang harus dimiliki untuk mewujudkan tujuantujuannya.Memahami implikasi dari literasi
finansial yang ditimbulkan dari keputusan
keuangan merupakan hal yang utama.
Keputusan yang berdasarkan informasi diakui
sebagai instrumen untuk mencapai outcome
yang diharapkan.
Dari uraian diatas, maka komsep yang
dibangun dalam penyajian makalah ini nampak
dalam bagan berikut :
FINANCIAL KNOWLEDGE
MANAJ. KEUANGAN
LITERASI KEUANGAN
PERENCANAAN, ANALISIS
& PENGENDALIAN
KEGIATAN KEUANGAN
PERENCANAAN, ANALISIS
& PENGENDALIAN
KEGIATAN KEUANGAN
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
PERUSAHAAN BARANG
DAN JASA
MANAJ. KEU. PRIBADI
PENGEL. & KREDIT
TABUNGAN &INVEST
FINANCIAL SKI LL
PERCEIVED
KNOWLEDGE
FINANCIAL BEHAVIOR
142
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Pengembangan Kurikulum Literasi Keuangan untuk Mahasiswa
Pengembangan potensi yang diharapkan
dari proses pembelajaran di Program Studi
Manajamen adalah penyelenggaraan pendidikan jenjang Sarjana (S1) bagi masyarakat
melalui pengamalan ilmu pengetahuan di
bidang bisnis dan manajemen dengan senantiasa menjunjung tinggi etika dan kebebasan
akademik untuk menghasilkan sarjana di
bidang manajemen yang memiliki semangat
untuk melayani masyarakat secara benar dan
demi kebenaran, mampu memahami, menganalisis, dan memecahkan masalah manajerial
serta berupaya mengembangkan diri sebagai
manajer dan wirausaha yang berintelektual dan
berintegritas dalam lingkungan lokal dan global. Hal ini dapat dicapai melalui proses
pembelajaran yang menggabungkan metode
kelas dan pelatihan praktis di lapangan.
Secara umum kompetensi lulusan Program Studi Manajemen adalah menghasilkan
lulusan dengan kemampuan sebagai tenaga
profesional yang beretika tinggi, mampu
mengintegrasikan teoritis konseptual dan
menerapkannya secara praktis dalam bidang
ilmu ekonomi.Sementara kompetensi pendukungnya adalah menghasilkan lulusan dengan
kemampuan berkomunikasi, menjalin kerjasama, menggunakan teknologi informasi dan
mengembangkan diri secara baik dan efektif.
Kompetensi lainnya adalah keterampilan dalam
menyampaikan ide/pendapat ditempat kerja
maupun di masyarakat umum.
Atas dasar kebutuhan dalam pengembangan kurikulum Prodi Manajemen, maka
dirasa perlu untuk memasukkan mata kuliah
Pengetahuan Keuangan (Financial Knowledge)
dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan
tentang pengelolaan keuangan pribadi dan
keluarga kepada mahasiswa agar mereka dapat
mengelola keuangannya dengan baik di masa
mendatang untuk mencapai kesejahteraan. Hal
ini juga diperlukan untuk membentuk sikap dan
perilaku dalam mengelola keuangannya agar
dapat memanfaatkan sumber daya yang dimiliki
demi masa depannya.
Untuk memastikan pemahaman masyarakat tentang produk dan layanan yang
ditawarkan oleh lembaga jasa keuangan, OJK
mengeluarkan program Strategi Nasional
Literasi Keuangan yang mencanangkan tiga
pilar utama.Pertama, mengedepankan program
edukasi dan kampanye nasional literasi
keuangan.Kedua, membentuk penguatan
infrastruktur literasi keuangan.Ketiga, berbicara
tentang pengembangan produk dan layanan jasa
keuangan yang terjangkau.Penerapan ketiga
pilar tersebut diharapkan dapat mewujudkan
masyarakat Indonesia yang memiliki tingkat
literasi keuangan yang tinggi sehingga masyarakat dapat memilih dan memanfaatkan produk
jasa keuangan guna meningkatkan kesejahteraan.
Guna mendukung Strategi Nasional
Literasi Keuangan, maka sudah seyogyanya
Perguruan Tinggi mengambil peran aktif
dengan mengembangkan Literasi Keuangan
dalam kurikulum pendidikan tinggi, Berikut
materi sajian Satuan Acara Perkuliahan (SAP)
yang dapat dirancang untuk mendukung mata
kuliah Pengetahuan Keuangan (Literasi
Keuangan).
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
143
Tabel 1 Satuan Acara Perkuliahan: Pengetahuan Keuangan (Financial Knowledge) yang diusulkan
Pertemuan
1.
Pokok Bahasan
Pengelolaan Keuangan
2.
Manajemen Uang
3.
Manajemen Kredit dan Utang
4.
Tabungan
5.
Investasi
6.
Manajemen Resiko
7.
Perbankan dan Asuransi
8.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
9.
Pegadaian
pembiayaan
10.
Pasar Modal
11.
Reksadana
12.
Dana Pensiun
dan
Lembaga
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Sub Pokok Bahasan
Pengetahuan dasar tentang keuangan pribadi
Tingkat bunga
Inflasi
Opportunity Cost
Time value of money
Likuiditas aset
Menyusun anggaran
Membuat skala prioritas
Menilai ketercapaian anggaran
Faktor-faktor kelayakan kredit
Pertimbangan dalam melakukan pinjaman
Karakteristik kredit konsumen
Penggunaan kredit dan utang secara bijaksana
Tingkat pengembalian
Pajak terkait dengan tabungan
Likuiditas
Keamanan
Pembatasan-pembatasan dan fee (berkaitan dengan pembayaran
bunga dan penarikan deposito)
Jenis investasi
Pendapatan investasi
Pertumbuhan investasi
Likuiditas investasi
Resiko personal
Eksposur resiko
Dampak keuangan dengan resiko yang dihadapi
Cara yang tepat untuk menghadapi resiko
Resiko aset
Resiko kewajiban
Bank Indonesia
Bank Umum
Bank Syariah
Bidang tugas dan tanggung jawab OJK
OJK dan Literasi Keuangan
Langkah/upaya OJK dalam meningkatkan literasi keuangan
masyarakat
Finansial Eksklusif
Finansial Inklusif
Strategi Nasional Literasi Keuangan
Bidang Usaha Pegadaian
Bidang Usaha lembaga Pembiayaan
Sewa Guna usaha (Leasing)
Anjak Piutang (Factoring)
Usaha Kartu Kredit (Credit Card)
Pembiayaan Konsumen (Cosumer’s Finance)
Sejarah dan Pengertian Pasar Modal
Instrumen Pasar Modal
Pelaku Pasar Modal
Lembaga-lemba ga di Pasar Modal
Pasar Perdana
Bentuk Hukum Reksadana
Karakteristik Reksadana
Jenis Reksadana
Manfaat Reksadana
Resiko Investasi Reksadana
Prinsip dan Azas Penyelenggaraan Dana Pensiun
Pendanaan Dana Pensiun
Manfaat Dana Pensiun
Kekayaan dan Investasi Dana Pensiun
Manajemen dan Operasional Dana Pensiun
Kepesertaan Dana Pensiun
Sumber : disarikan dari berbagai literatur
144
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Melalui pengembangan kurikulum
Pengetahuan Keuangan diharapkan mahasiswa
dapat menjadi pribadi yang dapat mengambil
keputusan keuangan dengan benar di masa
mendatang, dan pengetahuan yang dimiliki
dapat menjadi sumber informasi untuk meningkatkan pengetahuan keuangan bagi dirinya dan
lingkungan di sekitarnya.
DAFTAR RUJUKAN
Agus Sugiharto, 2014, OJK Edukasi dan
Sosialisasi Produk dan Jasa Keuangan
Untuk Wanita dan UMKM, ht tp://
ift . c o . id / p o st s / o jk- e d u ka s i- da nsosialisasi-produk-dan-jasa-keuanganu n t u k - w a n i t a - d a n umkm,diaksesPeb,25,2015
Byrne, A., 2007, Investment employees saving
and investment decisions in defined contribution pension plans: survey evidence
from the UK, Financial Services Review,
Vol. 16, pp. 19-40.
Chen, H. & Volpe, R. P. 1998.An Analysis of
Personal Financial Literacy Among College Students. Financial services review
7(2): 107-128.
Debby Lindsey, Kelly dan Brent, 2011,A Review Of Howard University’s Financial
Literacy Curriculum, American Journal
Of Business Education, October 2011; 4,
10, ProQuest Education Journals, pg 73.
Garland Sina, Peter dan Arnold Nggili, 2011,
Apakah Kamu Yakin Memiliki Literasi
Keuangan Yang Tinggi?,
Hung, A.A., Parker, A.M., & Yoong, J.K., 2009
Defining and Measuring Financial Literacy, Rand Labor And Population.
Diambil dari http://www.rand.org
Jorgensen, B. L. (2007). Financial literacy of
college students: parental and peer influences. 89 Retrieved from http://scholar.
li b. vt . e d u / t he s e s / a v a i la bl e / e t d 1 0 1 6 2 0 0 7 - 1 4 3 6 2 7 / u nr e s t r ic t e d /
Thesis_BJ2.pdf.
Krishna, A., Sari,M., & Rofaida, R. (2009)
“Analisis Tingkat Literasi Keuangan di
Kalangan Mahasiswa dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhinya: Survey pada
Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia”. Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education;
Join Conference UPI & UPSI Bandung,
Indonesia, 8-10 November 2010. Hal
552-560
Kristen M. Rosacker dan Srini Ragothaman,
2009, Financial Literacy Of Freshmen
Business Shcool Students. College Student Journal, Jun 2009; 43, 2, ProQuest,
pg 391.
Kusumaningtuti, 2014, Akses ke Lembaga
Keuangan Minim, Ekonomi Terhambat,
http://www.tempo.co/read/news/2014/
12/20/087629904/Akses-ke-LembagaKeuangan-Minim-Eko no miTerhambat;diaksesFeb,26,2015
Lusardi, A & Mitchell, O.S. (2007) “Baby
Boomer Retirement Security: The Roles
of Planning, Financial Literacy, and
Housing Wealth”. Journal of Monetary
Economics, 54(1), 205-224.
Lutfi dan Iramani, 2008, Financial Literacy
Among University Student and Its Implications to the teaching Method. Jurnal
ekonomi Bisnis dan Akuntansi Ventura
Volume 11 No.3
Maria Rio Rita, 2014, Apakah Mahasiswa
Sudah Melek Keuangan?, Dinamika
Akuntansi, Keuangan dan Perbankan,
Mei 2014, Volume 3 Nomor 1, Halaman
58-65.
Nidar, S.R. & Bestari, S, 2012, Personal Financial Literacy Among University Students
(Case Study at Padjadjaran University
Students, Bandung, Indonesia). World
Journal of Social Sciences 2 (4). July
Otoritas Jasa Keuangan, 2013, Buku Seri
Literasi Keuangan Indonesia, www.ojk.
go.id
Sandra J. Huston, 2009, Measuring Financial
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
145
Literacy, A later version of this paper was
published in The Journal of Consumer
Affairs, Summer 2010, Volume 44(2),
pages 296-316.
Sari dan Rofaida (2009) Analisis Tingkat
Literasi Keuangan di Kalangan
Mahasiswa dan Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhinya (Survey pada
Mahasiswa Universitas Pendididkan Indonesia)
146
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Widayati, Irin, 2012, Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Literasi Finansial
Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya, ASSET: Jurnal
Akuntansi dan Pendidikan, Volume 1,
Nomor 1, Oktober 2012, Halaman 89-99.
Yunhyung Chung dan Youngkyun Park, 2014,
The Effect of Financial Education and
Network’s on Business Students’ Financial Literacy,American Journal Of Business Education, Third Quarter 2014;
Volume 7 Number 3; Page 229-236.
Pengembangan Buku Ajar Bahasa Indonesia
Berbasis Jender sebagai Upaya Demokratisasi
Pendidikan
Oleh:
Lilik Wahyuni
IKIP Budi Utomo Malang, Jl. Simpang Arjuno 14B Malang
Jl. S. Supriyadi VIII/28 Malang, HP 085232195607
Email: [email protected]
Abstrak: Demokratisasi pendidikan merupakan hal penting dalam pendidikan. Akan tetapi, fakta
menunjukkan masih adanya diskriminasi dalam bidang pendidikan. Hal itu harus diatasi dengan
pengembangan buku ajar bahasa Indonesia berbasis jender. Masalah yang dibahas dalam makalah ini
adalah (1) dasar pengembangan buku ajar bahasa indonesia berbasis jender dan (2) sikap demokratis yang
dibentuk melalui Buku Ajar Bahasa Indonesia Berbasis Jender. Hasil kajian dalam makalah ini adalah
pertama, sebagai mata pelajaran wajib, pembelajaran bahasa harus mengajari siswa belajar cara
mengemukakan sesuatu kepada siapa dan kapan, siswa belajar berinteraksi dengan siswa yang lain. Kedua,
melalui buku ajar bahasa Indonesia berbasis jender diharapkan dapat mengkonstruk siswa yang (1) rasa
hormat terhadap harkat sesama manusia, (2) memiliki arah pikiran yang sehat, dan (3) rela berbakti pada
kepentingan/kesejahteraan bersama.
Key Word: pengembangan, buku ajar bahasa Indonesia berbasis jender, demokratisasi pendidikan
Pendidikan memegang peran penting
dalam mencerdaskan manusia secera intelektual. Akan tetapi, peran pendidikan yang paling penting adalah untuk membentuk siswa
menjadi diri yang berkarakter yang bisa
menghargai orang lain tanpa ada diskriminasi.
Perlakuan diskriminasi sangat bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945
beserta amandemennya. Sebagaimana tertuang
dalam Undang-undang Republik Indonesia No.
40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis ayat (b) yang berbunyi
“segala tindakan diskriminasi ras dan etnis bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dan Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia”. Selain itu, Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 pasal 1 ayat 3 tentang
Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa
pengertian diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tak langsung didasarkan pada
perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras,
etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan
politik, yang berakibat pengangguran, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik,
ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek
kehidupan lainnya.
Akan tetapi, fakta yang dihadapi adalah
masih adanya diskriminasi dalam bidang
pendidikan. Demokratisasi pendidikan di Indonesia masih rendah. Hal itu dapat dilihat dari
masih adanya kesenjangan tingkat pendidikan,
fasilitas pelayanan pendidikan belum tersedia
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
147
secara merata, kualitas pendidikan relatif masih
rendah, pembangunan pendidikan belum dapat
meningkatkan kemampuan lulusan, pendidikan
tinggi masih mengahadapi kendala pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
manajemen pendidikan belum berjalan secara
efektif dan anggaran pembangunan pendidikan
belum memadai. Kesenjangan tersebut salah
satunya terjadi pada perempuan dan anak-anak.
Sebagaimana dapat dilihat pada data Susenas
2003 menunjukkan bahwa, penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang tidak/belum
pernah sekolah jumlahnya dua kali lipat
penduduk laki-laki (11,56 persen berbanding
5,43 persen). Penduduk perempuan yang buta
huruf sekit ar 12,28 persen, sedangkan
penduduk laki-laki yang buta huruf sekitar 5,84
persen.
Fakta di atas harus diatasi dengan
peningkatan akses dan perluasan kesempatan
belajar bagi anak-anak perempuan dan laki-laki
usia sekolah, salah satunya melalui kegiatan
pembelajaran. Pembelajaran yang dilakukan di
sekolah harus memperhatikan pengarus
utamaan jender, responsif, dan antisipatif serta
dapat membantu pencapaian tujuan sosial yang
dapat menjamin akses dan kesetaraan peserta
didik.
Cara lainnya adalah melalui pengembangan buku ajar bahasa Indonesia berbasis
jender. Sebagaimana dinyat akan dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran
bahwa buku (teks) pelajaran adalah buku acuan
wajib untuk digunakan di sekolah yang memuat
materi pembelajaran dalam rangka peningkatan
keimanan dan ketakwaan, budi pekerti dan
kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan
kemampuan estetis, potensi fisik, dan kesehatan
yang disusun berdasarkan standar nasional
pendidikan. Dari pengertian tersebut dapat
dikatakan bahwa melalui buku ajar dapat
dikonstruk siswa yang berkarakter dan saling
menghargai antara satu dengan yang lain.
148
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Bidang studi yang digunakan untuk
membentuk demokratisasi pendidikan adalah
bidang studi bahasa Indonesia. Sebagaimana
dikatakan Putri (2013) bahwa dalam kurikulum
2013 yang berdasarkan pendekatan scientific
(ilmiah), yaitu mengamati, menanya, menalar,
menyaji dan mencipta, pendekatannya telah
diturunkan melalui metode pembelajaran
bahasa Indonesia yang berbasis teks. Seperti
yang disampaikan dalam kata pengantar buku
bahasa Indonesia untuk kelas VII dan kelas X
kurikulum 2013 yang diterbitkan oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
tahun 2013, dikatakan bahwa pembelajaran
bahasa Indonesia dilaksanakan dengan
menerapkan 4 prinsip yaitu (1) bahasa
hendaknya dipandang sebagai teks, bukan
semata kumpulan kata-kata atau kaidah-kaidah
kebahasaan, (2) penggunaan bahasa merupakan
proses pemilihan bentuk-bentuk kebahasaan
yang mengungkapkan makna, (3) bahasa
bersifat fungsional, yaitu penggunaan bahasa
yang tidak pernah dapat dilepaskan dari konteks
karena dalam bentuk bahasa yang digunakan
itu tercermin ide, sikap, nilai, dan ideologi
penggunanya, (4) bahasa juga merupakan
sarana kemampuan berpikir manusia.
Melalui buku ajar bahasa Indonesia
berbasis jender diharapkan akan terbentuk sifat
demokratis siswa. Sebagaimana dikatakan oleh
Ihsan (2008) bahwa demokrasi pendidikan
secara luas mengandung tiga hal, yaitu (1) rasa
hormat terhadap harkat sesame manusia, (2)
setiap manusia memililiki perubahan ke arah
pikiran yang sehat, dan (3) rela berbakti pada
kepentingan/ kesejahteraan bersama. Dengan
begitu akan terjadi pembelajaran yang melibatkan laki-laki dan perempuan sebagai agen
perubahan, bukan sekedar penerima pasif program-program pembelajaran.
Dasar Pengembangan Buku Ajar Bahasa
Indonesia Berbasis Jender
Sebagai mata pelajaran wajib, bahasa Indonesia selama ini kurang menarik perhatian
siswa. Permbelajaran terkesan monoton dan
membosankan. Materi pembelajaran yang
diberikan kurang bersifat kontekstual. Padahal,
sebagai praktik sosial, bahasa tidak bisa boleh
lepas dengan situasi tempat bahasa tersebut
diujarkan dan dari fenomena-fenomena yang
dimaksud dengannya. Sebagaimana dinyatakan
oleh Austin (1976) bahwa bahasa tidak bisa
lepas dari konteks ujarannya. Dengan menggunakan ungkapan ‘what to say when” Austin
mengunkapkan bahwa unsur bahasa dalam
suatu ujaran “what” tidak dapat dipisahkan dan
sama pentingnya dengan fenomena-fenomena
“when”.
Dalam melakukan pembelajaran di
sekolah, guru hanya memenuhi kewajiban tatap
muka di kelas dan ketuntasan kurikulum. Guru
kurang kreativitas dalam melakukan pembelajaran. Pembelajaran hanya bersifat teks book.
Padahal, menurut Bourdieu dalam Rusdiarti
(2003:33), bahasa sebagai praktik sosial merupakan hasil dinamika dialektis antara internalisasi eksterior dengan eksternalisasi interior,
atau dinamika dialektis antara internalisasi
segala sesuatu yang dialami dan diamati dari
luar diri pelaku sosial dengan pengungkapan
dari segala sesuatu yang telah terinternalisasi
dan menjadi bagian dari diri pelaku sosial
dengan pengungkapan dari segala sesuatu yang
telah terinternalisasi dan menjadi bagian dari
pelaku sosial. Selanjutnya Bourdieu (1994:37)
juga mengatakan bahwa setiap tindak tutur
merupakan pertemuan serangkaian sebab yang
berkaitan.
Pembelajaran bahasa Indonesia menjadi
semakin membosankan ketika guru hanya
mengajarkan belajar pola dan kaidah bahasa.
Para guru seolah-olah akan menjadikan murid
sebagai ahli bahasa. Padahal, dalam belajar
bahasa, siswa tidak dituntut agar mampu
memikirkan bahasa Indonesia agar tetap eksis
dan tetap dipelajari di sekolah. Kemampuan
siswa dalam menggunakan bahasa Indonesia
yang sesuai dengan keperluannya sendiri adalah
tujuan siswa belajar bahasa Indonesia. Siswa
perlu diberi kesempatan untuk menambah
“pengalaman” berbahasa yang dilakukannya
sendiri. Siswa membutuhkan ruang untuk
membaca, mendengar, menuliskan, dan membicarakan yang lebih banyak di kelas melalui
bahasa Indonesia. Pengetahuan dan pengalaman siswa harus mampu dikomunikasikan
dalam bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar harus dialami
siswa secara nyata, bukan hanya sebatas citacita dan slogan semata.
Untuk itu, pembelajaran bahasa harus
menyenangkan. Sebagaimana dinyatakan
dalam teori praktik Bourdieu bahwa ekspresi
linguistik dipengaruhi oleh pandangan Wittgenstein dengan teorinyanya language game.
Dengan menggunakan istilah family resemblance Wittgenstein memandang bahwa dalam
kegiatan berbahasa, makna sebuah kata tidak
selalu sama bila digunakan di arena atau “pasar”
yang berbeda. Makna berhubungan erat dengan
konteks sosial ketika ujaran disampaikan dan
efektivitasnya bergantung pada kapasitas
kapital linguistik pelaku sosial dan cara pelaku
sosial tersebut memahami aturan main yang
berlaku. Karena itu Kaelan (2004:252)
menyimpulkan dari pendapat Wittgenstein
bahwa bahasa tidak hanya dikaji dari aspek
struktural formal belaka melainkan berdasarkan
fungsi hakikinya dalam kehidupan manusia.
Belajar bahasa harus mengajari siswa
belajar cara mengemukakan sesuatu kepada
siapa dan kapan, siswa belajar berinteraksi
dengan siswa yang lain. Dalam belajar bahasa,
siswa harus belajar ‘mengalami”, dengan
berbuat sesuatu karena bahasa, melakukan
sesuatu secara langsung. Artinya, siswa harus
berhadapan dengan teks yang tujuan dan isinya
berguna bagi siswa. Oleh karena it u,
pembelajaran bahasa Indonesia harus mampu
mengajak siswa untuk memahami ‘teks” secara
keseluruhan, bukan “penggalan” unsur-unsur
dalam bahasa itu sendiri. Bahasa adalah
keutuhan teks yang dialami siswa. Kondisi
pembelajaran bahasa Indonesia semacam ini
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
149
sangat dipengaruhi oleh problematika makro
yang dihadapi bahasa Indonesia.
Pembelajaran bahasa Indonesia yang
sesuai dengan tujuan tersebut tidak mudah
dilaksanakan. Salah satunya adalah karena
kurangnya buku ajar yang membantu praktik
pembelajaran. Sebagaimana diungkapkan
dalam RPJMN 2004-2009 bab 26 tentang
Peningkatan Akses Masyarakat terhadap
Pendidikan yang Lebih Berkualitas bahwa
terbatasnya ketersediaan buku juga merupakan
salah satu faktor terpenting penyelenggaraan
pembelajaran yang berkualitas. Namun
demikian berbagai sumber data termasuk
SUSENAS 2003 mengungkapkan bahwa tidak
semua peserta didik dapat mengakses buku
pelajaran baik dengan membeli sendiri
maupun disediakan oleh sekolah. Keterbatasan
buku tersebut secara langsung berdampak pada
sulitnya anak menguasai ilmu pengetahuan
yang dipelajari. Kecenderungan sekolah untuk
mengganti buku setiap tahun ajaran baru selain
semakin memberatkan orangtua juga menyebabkan inefisiensi karena buku-buku yang
dimiliki sekolah tidak dapat lagi dimanfaatkan
oleh siswa.
Dengan argumen di atas maka diperlukan
buku ajar yang bisa mengembangkan sikap
demokratis siswa. Hal itu untuk mendukung
salah satu program/kegiatan pokok RPJM
2004—2006 adalah penyediaan materi pendidikan, media pengajaran dan teknologi pendidikan termasuk peralatan peraga pendidikan,
buku pelajaran, buku bacaan dan buku ilmu
pengetahuan dan teknologi serta materi
pelajaran yang berbasis teknologi informasi dan
komunikasi termasuk internet dan alam sekitar
guna meningkatkan pemahaman peserta didik
terhadap ilmu pengetahuan yang dipelajarinya
Sikap Demokratis yang Dibentuk melalui
Buku Ajar Bahasa Indonesia Berbasis
Jender
Demokrasi pendidikan dimaksudkan
untuk membentuk siswa yang mempunyai rasa
150
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
cinta dan kasih sayang terhadap sesama.
Melalui buku ajar bahasa Indonesia berbasis
jender diharapkan dapat mengkonstruk siswa
yang (1) rasa hormat terhadap harkat sesama
manusia, (2) memiliki arah pikiran yang sehat,
dan (3) rela berbakti pada kepentingan/
kesejahteraan bersama. Ketiga hal tersebut
dapat diuraikan sebagai berikut.
Rasa Hormat terhadap Harkat Sesama
Manusia
Manusia merupakan makhluk yang paling baik. Secara religi dapat dilihat pada AlQuran surat At-Tin ayat (4) yang berbunyi
“sesungguhnya telah kami ciptakan manusia itu
atas sebagi-baiknya pendirian”. Berdasarkan
ayat tersebut dapat dilihat bahwa manusia
merupakan makhluk yang baik yang harus
dihargai harkat dan martabatnya.
Tingginya harkat dan martabat manusia
tersebut juga dinyatakan dalam pasal 27 ayat 2
UUD 1945 yang berbunyi “tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan”. Dari pasal di
atas bahwa setiap manusia memiliki hak dan
kewajiban untuk mendapatkan penghidupan
yang layak. Akan tetapi, fakta menunjukkan
bahwa banyak warga negara yang masih
terdiskriminasi dalam menjalani kehidupannya.
Dampaknya adalah kesenjangan sosial akan
menjadi berkepanjangan.
Salah satu cara untuk mengurangi kesenjangan sosial adalah melalui buku ajar bahasa
Indonesia. Dalam pengertian ini, bahasa tidak
sekedar dipahami secara struktural akan tetapi
harus dipahami sebagai praktik sosial.
Sebagaimana dinyatakan oleh Austin bahwa
penggunaan bahasa tidak boleh lepas dengan
situasi tempat bahasa tersebut diujarkan dan
dari fenomena-fenomena yang dimaksud
dengannya. Ia senantiasa melontarkan pertanyaan ilmiah dalam hubungan dengan bahasa
sehari-hari, yang berbunyi ‘what to say when”.
Ungkapan ini dimaksudkan unsur bahasa dalam
suatu ujaran “what” tidak dapat dipisahkan dan
sama pentingnya dengan fenomena-fenomena
“when”.
Sebagai praktik sosial, bahasa harus
disikapi sebagai satu kesatuan (whole language). Whole language merupakan suatu
pendekatan pembelajaran bahasa yang didasari
oleh paham konstruktivisme. Dalam whole language bahasa diajarkan secara utuh, tidak
terpisah-pisah; menyimak, berbicara, membaca,
dan menulis diajarkan secara terpadu (integrated) sehingga siswa dapat melihat bahasa
sebagai suatu kesatuan. Dengan begitu, siswa
akan membentuk sendiri pengetahuannya
melalui peran aktifnya dalam belajar secara
utuh (whole ) dan terpadu (integrated). Melalui
pembelajaran whole language, anak termotivasi
untuk belajar jika mereka melihat bahwa yang
dipelajarinya memang bermakna bagi mereka.
Orang dewasa, dalam hal ini guru, berkewajiban untuk menyediakan lingkungan yang
menunjang untuk siswa dapat belajar dengan
baik.
Memiliki Arah Pikiran yang Sehat
Bahasa merupakan alat membentuk
pikiran. Dalam kegiatan berbahasa, penutur
mengkonstruk sebuah makna berdasarkan
ujaran yang disampaikan mitratuturnya. Makna
tersebut selanjutnya diinternalisasimenjadi
pikiran penutur. Pikiran tersebut selanjurnya
dijadikan acuan dasar oleh penutur dalam
melakukan tindakan. Hal itu sejalan dengan
pendapat Bourdieu dalam Rusdiarti (2003:33)
bahwa praktik sosial merupakan hasil dinamika
dialektis antara internalisasi eksterior dengan
eksternalisasi interior, atau dinamika dialektis
antara internalisasi segala sesuatu yang dialami
dan diamati dari luar diri pelaku sosial dengan
pengungkapan dari segala sesuatu yang telah
terinternalisasi dan menjadi bagian dari diri
pelaku sosial dengan pengungkapan dari segala
sesuatu yang telah terinternalisasi dan menjadi
bagian dari pelaku sosial.
Pikiran tersebut merupakan keyakinan,
nilai, harapan, sikap, kebiasaan, keputusan, dan
pendapat penutur tentang diri dan orang lain
berdasarkan hasil internalisasi eksterior dan
eksternalisasi interior. Karena itu, pikiran tidak
bersifat otonom karena merupakan produk
interaksi antara pelaku sosial dan struktur
sosial, produk interaksi dialektis antara sesuatu
yang ada dalam diri dan sesuatu yang diamati
dari luar.
Dalam bertindak, siswa mendekati,
bereaksi, dan menciptakan dunia berdasarkan
pola pikir individualnya. Pola pikir tersebut
menjadi dasar dalam menjalankan kehidupan
dan mengatur benar tidaknya perilaku penutur.
Sebagaimana dapat dilihat pada (QS al-Isra’
[17]:84) bahwa orang berbuat menurut
keadaannya masing-masing. Karena itu, jika
siswa selalu dihadapkan pada keadaan yang
sehat, maka dia akan selalu berpikiran sehat.
Dengan kata lain, pajanan yang diterima oleh
siswa mengkonstruk pikiran siswa. Jika siswa
selalu dihadapkan pada pajanan yang selalu
menghadirkan kesetaraan maka siswa akan
menjadi diri yang selalu memperhatikan
kesetaraan. Dengan begitu, perilaku siswa akan
menjadi perilaku yang memperhatikan
kesetaraan.
Rela Berbakti pada Kepentingan/Kesejahteraan Bersama
Menurut Wittgenstein dalam Kaelan
(2004) mengatakan bahwa bahasa merupakan
sebuah permainan. Setiap bahasa memiliki
aturan-aturan permainan sendiri. Aturan
permainan satu tidak bisa dipakai untuk aturan
bagi permainan yang lain. Dengan demikian
dalam bahasa tidak ada aturan yang universal,
ataupun gramatika yang universal mencakup
semua bahasa. Setiap bahasa harus dipahami
dengan gramatikanya masing-masing dan
dipahami persamaan-persamaannya.
Secara ontologis, hakikat permainan
bahasa menunjuk pada hakikat kehidupan
manusia dalam hubungannya dengan diri
sendiri, orang lain, masyarakat, alam, serta
terhadap Tuhan. Berdasarkan hakikat
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
151
permainan bahasa tersebut dapat disimpulkan
bahwa Wittgenstein mengembangkan prinsip
pluralitas bahasa. Oleh karena itu dalam kajian
bahasa tidak lagi berupaya untuk mencari
hukum-hukum melainkan mendeskripsikan
permainan bahasa dalan kehidupan manusia,
karena hal inilah yang merupakan fungsi hakiki
bahasa bagi manusia.
Dengan menggunakan istilah family resemblance Wittgenstein memandang bahwa
dalam kegiatan berbahasa, makna sebuah kata
tidak selalu sama bila digunakan di arena atau
“pasar” yang berbeda. Makna berhubungan erat
dengan konteks sosial ketika ujaran disampaikan dan efektivitasnya bergantung pada
kapasitas kapital linguistik pelaku sosial dan
cara pelaku sosial tersebut memahami aturan
main yang berlaku. Karena itu Kaelan (2004)
menyimpulkan dari pendapat Wittgenstein
bahwa bahasa tidak hanya dikaji dari aspek
struktural formal belaka melainkan berdasarkan
fungsi hakikinya dalam kehidupan manusia.
Dari pengertian di atas dapat dikatakan
bahwa bahasa akan mampu menghasilkan diri
yang rela berbakti untuk kepentingan bersama.
Maksudnya yaitu, dalam berbahasa, penutur
akan menjaga mitra tuturnya agar tidak
kehilangan mukan. Sebagaimana dikatakan
oleh Brown dan Levinson (1987: 61) bahwa
muka merupakan image diri yang dimiliki oleh
setiap individu. Muka dibedakan menjadi muka
positif dan muka negatif. muka positif merupakan keinginan setiap individu untuk dimengerti sedangkan muka negatif merupakan
keinginan setiap individu untuk bebas dari
gangguan. Karena itu, melalui buku ajar bahasa
Indonesia, siswa akan menjadi diri yang mampu
menjaga muka mitra tutur, baik muka positif
maupun muka negatif.
siapa dan kapan serta belajar berinteraksi
dengan siswa yang lain. Untuk itu diperlukan buku ajar yang bisa mengembangkan sikap demokratis siswa
(2) Sikap demokratis yang dibentuk melalui
buku ajar bahasa Indonesia berbasis jender
yaitu (a) hormat terhadap harkat sesama
manusia, (b) memiliki arah pikiran yang
sehat, dan (3) rela berbakt i pada
kepentingan/kesejahteraan bersama.
Daftar Rujukan
Austin, J.L. 1976. How to Do Things with
Words. Great Britain: J.W. Arrow Smith
Ltd.
Bourdieu, Pierre. 1994. Language and Symbolic Power. Cambridge, Massachusetts:
Harvard University Press.
Brown, F dan Levinson, S. 1987. Politeness,
Some Universals of Language Usage.
London: Cambridge University Press.
Depdiknas. 2003. Standar Kompetensi Mata
Pelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta:
Departemen pendidikan Nasional.
Ihsan, Fuad. 2008. Dasar-dasar Kependidikan.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Kaelan, M.S. 2004. “Filsafat Analitis menurut
Ludwig Wittgenstein: Relevansinya bagi
Pengembangan Pragmatik” dalam Jurnal
Humaniora, Volume 16, No. 2, Juni 2004:
133 – 146. Yogyakarta: Universitas
GadjahmadaPeraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 11 Tahun 2005
tentang Buku Teks Pelajaran.
Putri, Yuni Eka. 2013. Peran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013. [https://
mia5smanssa.wordpress.com/2013/12/
04/peran-bahasa-indonesia-dalamkurikulum-2013-yunia-eka-putri29/.
Penutup
Rusdiarti, S. R. 2003. Bahasa, Pertarungan
Simbolik dan Kekuasaan, dalam BASIS
(1) Karena kurang kontekstual, pembelajaran
No. 11—12 Desember 2003.
bahasa Indonesia selama ini kurang
menarik perhatian siswa. Padahal, melalui Wibowo, A. 2012. Pendidikan Karakter
“Strategi Membangun Karakter Bangsa
pembelajaran bahasa Indonesia, siswa
Berperadaban”. Yogyakarta: Pustaka
belajar cara mengemukakan sesuatu kepada
Pelajar.
152
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
MANAJEMEN PENDIDIKAN HUMAS PADA
SEKOLAH INKLUSI
DI SMPN 1 DAN SMP DWIJENDRA DI
KOTA MATARAM (Studi Multikasus)
Oleh:
Siti Zaenab
Dosen STAHN Gde Pudja Mataram, Jln Pancaka No 7B Mataram
[email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang manajemen pendidikan humas pada sekolah inklusi di
SMPN 1 dan SMP Dwijendra Mataram. Sekolah inklusif juga membuktikan bahwa anak-anak inklusif
juga berhak mendapatkan status dan kedudukan yang sama dengan anak-anak pada umumnya, dan dapat
memperoleh pendidikan yang sama. Kita sebagai peneliti harus dapat mensosialaisasikan adanya sekolah
inklusif dan dapat menambah minat masyarakat terhadap sekolah inklusif. Upaya untuk menguraikan
penelitian ini dengan menggunakan pendekatan fenomenologis etnografi dengan rancangan studi multikasus.
Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa Sekolah inklusi pada dasarnya merangkul semua siswa
berbagai latar belakang dan kondisi dalam satu sistem sekolah dan mencoba untuk menemukan dan
mengembangkan potensi siswa yang majemuk tersebut. Dalam mengembangkan potensi siswa tidak hanya
diterapkan kepada siswa special need tetapi juga siswa yang lain yang bukan special need. Pada dasarnya
setiap siswa memiliki potensi, Cuma kadang yang menjadi masalah adalah sekolah kurang jeli melihat
potensi tiap-tiap siswa dan tidak ada progam individual untuk mengembangkan potensi masing-masing
siswa tersebut. Sekolah inklusi juga melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah mulai dari
pendanaan, manajemen, pembelajaran siswa dan sosialisasi informasi tentang pendidikan inklusi siswa
ABK. Proses manajemen pendidikan humas pada sekolah inklusi meliputi perencanaan, pelaksanaan dan
sampai evaluasi untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai.
Kata Kunci: manajemen, hubungan masyarakat, sekolah inklusi
Pendidikan di Nusa Tenggara Barat saat
ini kita dihadapkan dengan sebuah fenomenologi dimana masyarakat di tuntut untuk
Education for All dan di lain pihak masyaralkat
di tuntut untuk meningkatkan sumber daya
manusia, namun itu sebuah drama turki,
demikianlah sebuah adegium yang akrab
ditelinga kita. Sayangnya upaya tersebut
menyisakan persoalan yang besar. Sekolah Luar
Biasa justru membangun tembok eksklusivisme
dalam diri siswa berkebutuhan khusus (ABK)
sehingga mereka menjadi sebuah kelompok
yang tereliminasi dan mengalami krisis kepercayaan diri dalam hidup bermasyarakat. Sementara Program Integrasi secara tidak disadari
mereduksi hak siswa yang berkebutuhan khusus
sebagai siswa penuh dalam sebuah kelas
(Skjorten, 2001:36).
Untuk memecahkan permasalah itu,
dicetuskanlah program Pendidikan Inklusi yang
mengakomodasi dengan baik, kebutuhan semua
siswa baik siswa ABK maupun siswa non ABK.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
153
Implementasi pendidikan inklusi itu dapat
terwujud, jika ada kerjasama antara berbagai
pihak. Namun, banyak masyarakat masih
menolak kehadiran siswa ABK dan pendidikan
inklusi. Penolakan ini terjadi karena tidak
adanya sosialisasi kepada masyarakat tentang
siswa ABK dan pendidikan inklusi yang tidak
merata. Untuk itu, masyarakat perlu didekati
dan diberikan berbagai informasi mengenai
siswa ABK dan pendidikan inklusi agar mereka
mengerti, menerima serta mendukung pendidikan inklusi.
Sekolah inklusi pada dasarnya bertujuan
merangkul semua siswa berbagai latar belakang
dan kondisi dalam satu sistem sekolah dan
mencoba untuk menemukan dan mengembangkan potensi siswa yang majemuk tersebut.
Dalam mengembangkan potensi siswa tidak
hanya diterapkan kepada siswa special need
tetapi juga siswa yang lain yang bukan special
need. Pada dasarnya setipa siswa memiliki
potensi, Cuma kadang yang menajdi masalah
adalah sekolah kurang jeli melihat potensi tiaptiap siswa dan tidak ada progam individual
untuk mengembangkan potensi masing-masing
siswa tersebut. Dalam multiple intelligences
oleh Howard Gardner di jelaskan bahwa kecerdasan atau potensi seseorang tidak bertumpu
pada kecerdasan intelektual saja, tetapi ada
banyak kecerdasan yang lain, misalnya kecerdasan logis matematis yaitu berpikir dengan
penalaran, mendudukan masalah secara logis,
ilmiah dan kemampuan matematik. Ada
kecerdasan linguistik verbal yaitu kemahiran
dalam berbahasa untuk berbicara, menulis,
membaca, menghubungkan dan menafsirkan.
Ada juga kecerdasan musikal ritmik misalnya
menyanyi, irama, melodi dan alat musik. Ada
kecerdasan interpersonal yaitu keterampilan
manusia dalam berinteraksi dan berkomunikasi
dengan manusia lain, misalnya dalam organisasi, memimpin, berpidato, bersosialisasi.
Seseorang yang pandai menari, berolah raga,
bermain drama merupakan seseorang yang
memiliki kecerdasan kinestetik. Ada juga
154
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
seseorang yang memiliki kecerdasan spacial
visual misalnya seorang desainer, illustrator,
peluksi. Selain itu ada juga kecerdasan naturalis
dan intrapersonal. Setiap manusia pasti memiliki kedelapan kecerdasan diatas walaupun kuat
disatu sisi dan lemah disisi lain.
Bertolak dari hal di atas, peneliti merasa
perlu untuk meneliti manajemen pendidikan
humas sekolah inklusi pada SMPN 1 dan SMP
Dwijendra Mataram sehingga kehadiran siswa
ABK dan sekolah inklusi telah dipahami dan
diterima masyarakat. Karena itu, tim peneliti
merumuskan fokus penelitian yang terdiri dari:
(1) Perencanaan pendidikan humas pada
sekolah inklusi. (2) Pelaksanaan pendidikan
humas pada sekolah inklusi. (3) Evaluasi pendidikan humas pada sekolah inklusi.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif fenomenologis etnografi dengan
rancangan penelitian studi multikasus pada dua
sekolah yakni SMPN 1 dan SMP Dwijendra
Mataram. Kedua sekolah yang menjadi sampel
penelitian ini ditentukan menggunakan teknik
purposive sampling.
Demi memperlancar penelitian ini
peneliti menggunakan metode mengumpulkan
data pada kedua kasus tersebut digunakan
metode sebagaimana yang digagas Mantja
(2007:57) yakni: observasi, wawancara studi
dokumentasi (study of document). Analisis
dengan cara menelaah, menata, mengelompokkan, mensintesis, mencari pola, menemukan apa yang bermakna dan apa yang akan
diteliti dan dilaporkan kepada pihak lain secara
sistematis (Sonhadji, 1996). Pengumpulan data
(Mantja, 2007) sementara sesudah pengumpulan data peneliti melakukan kategori pengkodean (coding categories) untuk mengorganisasi
data berdasarkan pola dan topik sesuai fokus
penelitian (Zaenab, 2015:52).
4. Melibatkan orangtua dalam pendanaan,
melibatkan para guru bidang studi dan
Pada bagian ini, disajikan data hasil
siswa dalam proses pembelajaran siswa
temuan pada kedua kasus.
ABK di kelas saat tidak ada GPK dalam
Pertama, perencanaan. Beberapa fenoproses asesmen, melibatkan komite sekolah
mena yang muncul adalah:
dalam pendampingan belajar menjelang
1. Adanya penolakan dari para guru, siswa
ujian, melibatkan komite dalam bersoreguler serta orangtua siswa terhadap kebesialisasi tentang siswa berkebutuhan
radaan siswa ABK; adanya kebingungan
khusus.
para guru bidang studi saat menghadapi
5. Kepala sekolah memberikan ruang gerak
siswa ABK; adanya hambatan komunikasi
yang luas bagi para GPK unt uk
antara sekolah dan masyarakat jika ketua
bereksplorasi dan berkreativitas mengenai
komite sekolah diambil dari pihak di luar
pendidikan inklusi, koordinator GPK yang
yayasan; adanya shock pada para guru baru,
selalu menekankan kerukunan, semangat
dan sekolah belum diakui sebagai sekolah
kekeluargaan, ketulusan, kesabaran dan
inklusi oleh Dinas Pendidikan kota
jiwa suka menolong.
Mataram.
6. Pihak sekolah bersikap ramah, akrab, sabar,
2. Pihak sekolah mengadakan rapat, formal
dan murah senyum dan menata ruang yang
dan nonformal, serta konsultasi untuk
tepat sehingga membuat para tamu tersapa
merumuskan tujuan program humas pada
dan merasa disambut.
sekolah inklusi, menentukan strategi
7. Mengadakan rapat koordinasi setiap tiga
pemecahan masalah dan mencegah terjabulan dan akhir semester dengan
dinya masalah baru serta pembuatan promelibatkan paguyuban orangtua, komite
gram.
sekolah dan yayasan serta asrama.
8. Kepala sekolah atau yayasan dan komite
Kedua, pelaksanaan program humas pada
memberikan pengarahan melalui konsultasi
sekolah inklusi. Beberapa fenomena yang
dan wawancara kepada GPK, manajer
nampak pada SMPN 1 dan SMP Dwijendra
inklusi dan anggota lainnya.
adalah:
1. Pihak sekolah mensosialisasikan kepada
Ketiga, evaluasi program humas pada
para guru dan orangtua tentang siswa ABK
sekolah inklusi. Evaluasi program humas, pada
melalui pertemuan, buku penghubung,
SMPN 1 dan SMP Dwijendra nampak dalam
telepon dan Handphone, internet, dan
beberapa fenomena berikut.
melakukan kunjungan CBR ke masyarakat.
1. Adanya pengawasan formal yang dilakukan
2. Kepala Sekolah menjelaskan bahwa siswa
oleh kepala sekolah serta pengawasan inABK adalah kehendak Allah dan medorong
formal oleh para orangtua dan para praktisi
para praktisi untuk melakukan tugas humas
humas lainnya.
berdasarkan visi misi sekolah yakni untuk
2. Adanya evaluasi individual dari kepala
melayani Tuhan dalam diri orang terlantar,
sekolah terhadap para GPK, dari guru
cacat dan miskin.
bidang studi terhadap GPK. Di samping itu,
3. Sekolah membuktikan kepada masyarakat
ada juga evaluasi semi formal melalui sharbahwa siswa ABK memiliki potensi untuk
ing bersama di antara para GPK serta
dikembangkan dengan cara menampilkan
adanya evaluasi formal dalam rapat atau
siswanya dalam berbagai pementasan dan
pleno pada pada tengah dan akhir semeslomba seperti: pragawati, model, menyanyi
ter pendekatan rohani melalui pengadaan
dan menampilkan karya siswa.
retret tahunan.
HASIL dan pembahasan
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
155
3. Adanya tindaklanjut hasil evaluasi dengan
mengakomodasi hasil evaluasi, mempertahankan program yang sudah dijalankan,
mengaggendakan ulang program yang
belum terlaksana, melakukan rolling
personil atau ketua komite sekolah.
Sedangkan proses evaluasi terjadi dalam
bentuk pengawasan formal oleh atasan dan
pengawasan informal oleh orangtua dan para
pelaksana hubungan masyarakat lainnya; proses
evaluasi yang terjadi secara individual
nonformal pada saat konsultasi, home visit, dan
dalam percakapan serta secara formal dalam
Dari data di atas, dapat dikatakan bahwa rapat; evaluasi akhirnya ditindaklanjuti dengan
proses perencanaan humas meliputi identifikasi perbaikan program, rolling pengurus dan
dan pengenalan permasalahan, perumusan mengagendakan program yang belum
tujuan program humas yakni memberikan terlaksana dalam periode berikutnya.
informasi tentang siswa ABK dan pendidikan
inklusi agar masyarakat menerima siswa ABK, PEMBAHASAN
mendukung dan mau bekerjasama demi
Pada bagian ini, berbagai temuan
tercapainya tujuan pendidikan inklusi serta
penelitian di atas akan dikonfrontasikan dengan
mengadakan rapat untuk menentukan strategi
teori-teori para ahli. Pertama, perencanaan
penyelesasian masalah, dan menyusun program
humas pada sekolah inklusi. Sudah dikatakan
kerja sekolah yang merupakan produk
bahwa perencanaan pada SMPN 1 dan SMP
perencanaan.
Dwijendra Mataram terjadi dalam beberapa
Harapanya akan banyak tumbuh sekolah
aktivitas seperti identifikasi permasalahan,
inklusi tanpa harus terbebani dengan segala
perumusan tujuan, penetapan st rategi
defenisinya. Sekolah inklusi merupakan sebuah
pemecahan masalah dan penyusunan program.
prinsip persamaan hak manusia, dan juga
Pola perencanaan tersebut sejajar dengan
jawaban dari perbedaan kita sebagai manusia.
gagasan Arikunto &Yuliana (2008) yang
Nyatanya tak ada manusia yang sama. Karena
menerangkan bahwa perencanaan meliputi
“semua warga negara mempunyai hak yang
aktivitas seperti identifikasi masalah,
sama terhadap pendidikan, t ermasuk di
perumusan tujuan penentuan, analisis strategi
dalamnya adalah anak berkebutuhan khusus”
dan penyusunan program.
demikian salah satu inti yang tercantum dalam
Dalam sist em pendidikan nasional
UUD 1945 Pasal 31.
diadakan pengaturan pendidikan khusus yang
Sementara pelaksanaan humas pada
diselenggarakan untuk peserta didik yang
sekolah inklusi meliputi aktivitas menjalin
menyandang kelainan fisik dan atau mental.
komunikasi dua arah yang berkelanjutan
Peserta didik yang menyandang kelainan
dengan masyarakat; melibatkan masyarakat
demikian juga memperoleh pendidikan yang
dalam penyelenggaraan sekolah; terlibat dalam
layak, sebagaimana diamanatkan dalam
berbagai kegiatan di masyarakat; bersikap
Undang-Undang Dasar 1945 yang dalam hal
ramah; menggunakan berbagai media; memini menyatakan dengan singkat dan jelas bahwa
bentuk paguyuban orangtua; membuktikan
“Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan
bahwa anak yang berkebutuhan khusus juga
pengajaran” yang ditegaskan dalam Undangmemiliki potensi untuk dikembangkan; memUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
berikan teladan dan motivasi bagi para guru dan
Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa
masyarakat melalui pendekatan moral religius
“Warga Negara yang memiliki kelainan fisik,
humanis; melakukan koordinasi melalui rapat
emosional, mental, intelektual, dan atau sosial
rutin; mengarahkan pelaksana humas melalui
berhak memperoleh pendidikan khusus”.
wawancara dan konsultasi.
156
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Pengamatan pribadi dilakukan untuk
mengumpulkan fakta tentang program humas
baik pada lingkungan internal (para guru bidang
studi dan siswa regular) maupun lingkungan
eksternal sekolah (orangtua, masyarakat dan
lembaga). Identifikasi masalah humas pada
lingkungan internal dan eksternal ini tepat
seperti yang digagas Stellar & Kowalski
(2004:158) yakni bahwa unsur penting dalam
mendefinisikan masalah adalah melakukan
analisis SWOT.
Setelah strategi ditetapkan, disusunan
program. Penyusunan program terjadi dalam
rapat formal dan rapat semi formal. Dalam rapat
itu ditentukan kapan waktu pelaksanaan program, siapa yang bertanggungjawab, biaya yang
dibutuhkan dan berbagai hal teknis lainnya
seperti apa yang akan dikomunikasikan (Stellar & Kowalski, 2004:160-161). Produk dari
perencanaan adalah program kerja sekolah yang
biasanya berjangka waktu setahun atau semester (Nasution, 2009).
Kedua, pelaksanaan program humas pada
sekolah inklusi. Pelaksanaan program humas
pada SMPN 1 dan SMP Dwijendra Mataram
dilakukan dengan menjalin komunikasi dua
arah dengan pihak yang berkepentingan.
Sekolah mengkomunikasikan apa yang menjadi
kebutuhannya kepada masyarakat dan
mengakomodasi harapan dan kebutuhan
masyarakat. Kenyataan adanya komunikasi dua
arah yang simetris antara sekolah inklusi
dengan masyarakat itu sejajar dengan gagasan
Kowalski (2004:9) tentang two way simetrycal
communication.
Sekolah inklusi juga melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah mulai
dari pendanaan, manajemen, pembelajaran
siswa dan sosialisasi informasi t entang
pendidikan inklusi siswa ABK. Pihak yang
terlibat dalam penyelengaraan pendidikan
inklusi itu adalah para guru bidang studi, pihak
yayasan, tenaga ahli dan therapist dari segi
keagamaan STAHN Gde Pudja Mataram,
komite sekolah, dan siswa regular pihak
konselor yang ada di Kota Mataram. Hal itu
sejajar dengan gagasan Stellar & Kowalski
(2004:167) bahwa satu strategi dalam
pelaksanaan program humas adalah mendorong
partisipasi masyarakat dalam kegiatan sekolah
agar masyarakat mempunyai rasa memiliki
sekolah inklusi. Singkatnya, Kowalski
menyatakan Participation foster ownership
(Kowalski, 2004:213).
Pelaksanaan pendidikan humas meliputi
juga bagaimana atasan mendukungan dan
memotivasi dengan cara meneguhkan, menjaga
keharmonisan, melayani siswa dengan besar
hati, tulus (Zaenab Siti, 2014). Dalam kaitan
dengan hal ini, harus dikatakan bahwa di Kota
Mataram pada khususnya dan Indonesia
umumnya yang menganut budaya timur ini,
pendekatan moral religius humanis dalam
mengkomunikasikan dan mensosialisasikan
kehadiran siswa ABK dan pendidikan inklusi
merupakan sebuah pendekatan yang sangat
efektif.
Penggunaan media seperti: surat, buku
penghubung, telepon, hand phone, internet,
radio dan televisi, sebagaimana yang terjadi
pada SMPN 1 dan SMP Dwijendra Mataram
menjadi sebuah hal yang sangat penting. Pentingnya penggunaan media dalam pelaksanaan
progran humas hal dinyatakan oleh Gorton
(1976:370) dalam Kowalski (2004) bahwa
penggunaan berbagai media dalam komunikasi
antara sekolah dan masyarakat merupakan hal
yang mutlak perlu. Hal ini sejajar dengan
gagasan Stellar & Kowalski (2004:163),
tentang pentingnya membentuk sebuah divisi
humas.
Dalam bentuk pelaksanaan program
pendidikan humas pada SMPN 1 dan SMP
Dwijendra Mataram juga efektif dilakukan
dengan cara membuktikan kepada masyarakat
melalui alumni sambil bersosialisasi bahwa
anak yang berkebutuhan khusus juga memiliki
potensi untuk dikembangkan. Sosialisasi dan
pembuktian itu dilakukan dengan mengikutkan
siswa ABK dalam berbagai pameran
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
157
pendidikan, kunjungan, dan berbagai lombalomba. Dengan melakukan hal itu, masyarakat
semakin menyadari bahwa anak berkebutuhan
khususpun memiliki potensi untuk dikembangkan. Mereka akhirnya lebih terbuka untuk
menerima dan menghargai siswa ABK dan mau
mendukukung pendidikan inklusi (Kowalski,
2004:213).
Proses pelaksanaan hubungan masyarakat pada SMPN 1 dan SMP Dwijendra juga
dilakukan dalam bentuk kepemimpinan kepala
sekolah yang mau memberikan kebebasan dan
ruang gerak bawahannya untuk bereksplorasi
dan berkreasi. Hal ini merupakan sebuah gaya
kepemimpinan non direktif (Zaenab, 2014).
Hal penting lain dalam pelaksanaan
adalah kepala sekolah mengikutkan para guru
dalam berbagai seminar dan pelatihan. Di sana
para guru mendapat pengarahan, sharing
mengenai bagaimana mengkomunikasikan
siswa ABK kepada masyarakat yang sebagian
besar menolak mereka. Hal ini sejajar dengan
gagasan Nasution (2009) yang mengatakan
bahwa pengarahan merupakan aktivitas penting
dalam pelaksanaan program humas agar para
anggota dapat melakukan tugasnya sesuai jalur
yang telah ditentukan.
Pelaksanaan humas pada SMPN 1 dan
SMP Dwijendra Mataram juga mencakup
kebiasaan sekolah dalam melakukan koordinasi
melalui wawancara dengan bawahan, melalui
rapat setiap tiga bulan. Koordinasi menjadi
penting karena merupakan salah satu bentuk
koordinasi yang paling efektif dalam proses
manajemen Sumber Daya Manusia (Zaenab
Siti, 2014).
Ketiga, evaluasi program humas pada
sekolah inklusi. Evaluasi program humas pada
sekolah inklusi SMPN 1 dan SMP Dwijendra
Mataram terjadi dalam bentuk pengawasan,
aktivitas evaluasi dan tindaklanjut. Pengawasan
secara formal diserahkan kepada kepala sekolah
dan manajer inklusi serta koordinator GPK.
Namun secara nonformal, fungsi pengawasan
dilakukan oleh orangtua dan semua guru.
Dalam pengawasan kepala sekolah dan manajer
158
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
inklusi serta GPK memperhatikan perilaku para
anggotanya, apakah mereka berperilaku sesuai
dengan apa yang telah mereka sepakati dalam
perencanaan atau tidak (Nasution, 2009).
Evaluasi pada SMPN 1 dan SMP
Dwijendra Mataram juga juga terjadi secara
individual nonformal seperti evaluasi dari guru
bidang studi pada para GPK, evaluasi dari para
orangtua terhadap para GPK dan sebaliknya
dalam evaluasi kepala sekolah terhadap para
guru. Namun juga evaluasi dapat dilakukan
secara formal dalam pleno atau rapat bersama.
Hal lain yang penting dalam proses
evaluasi hubungan masyarakat adalah tindak
lanjut. Pada SMPN 1 dan SMP Dwijendra
Mataram, aktivitas itu terjadi dalam bentuk:
membuat perbaikan, rolling t ugas dan
tanggungjawab.
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari penelitian yang
sudah dilakukan ini adalah sebagai berikut:
1. Perencanaan humas pada di SMPN 1 dan
SMP Dwijendra Mataram meliputi identifikasi permasalahan, penentuan tujuan
program humas, penentuan st rategi
penyelesaian masalah dan pembuatan program kerja.
2. Pelaksanaan program humas dalam sekolah
inklusi dilakukan dengan mengadakan
pembagian tugas, melakukan koordinasi,
pengarahan, kepemimpinan, memotivasi
dan bersosialisasi tentang ABK dengan
pendekatan moral religius dan menjalin
komunikasi dua arah simetris yang
berkelanjutan dengan masyarakat dengan
menggunakan berbagai media.
3. Evaluasi program humas dalam pendidikan
inklusi meliputi aktivitas pengawasan,
evaluasi formal dan individual serta follow
up melalui perbaikan, me-reprogram
agenda yang tertunda dan melakukan rolling pengurus humas.
4. pendidikan inklusif terbuka untuk umum
tidak hanya untuk anak berkebutuhan
khusus saja tetapi siapa saja yang ingin
bersekolah di sekolah inklusif seperti anak
penyandang cacat, tunawisma, dan lainlain. dengan adanya sekolah inklusif anakanak berkebutuhan khusus mempunyai
wadah untuk menyalurkan keinginan
mereka, bakat dan minat mereka. sekolah
inklusif juga membuktikan bahwa anakanak inklusif juga berhak mendapatkan status dan kedudukan yang sama dengan anakanak pada umumnya, dan dapat
memperoleh pendidikan yang sama. Kita
sebagai mahasiswa harus dapat
mensosialaisasikan adanya sekolah inklusif
dan dapat menambah minat masyarakat
terhadap sekolah inklusif.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian tersebut,
beberapa saran yang dapat diberikan adalah:
1. Dinas Pendidikan kota Mataram perlu
terlibat dan memberikan perhatian khusus
pada sosialisasi siswa berkebutuhan khusus
dan pendidikan inklusi khususnya pada
sekolah-sekolah konvensional yang sudah
ada.
2. Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan sekolah inklusif sehingga anak
yang berkebutuhan khusus yang berbakat
dapat menyakurkan bakat mereka, masyarakat tidak lagi meremehkan sekolah
inklusif bahwa anak-anak inklusif juga bisa
berprestasi layaknya anak normal.
3. SMPN 1 dan SMP Dwijendra Mataram
perlu terus membuka diri dan memelihara
komunikasi dua arah yang simetris dengan
stakeholders dengan menggunakan
pendekatan moral religius.
4. Orangtua sebaiknya tidak merasa malu
menyekolahkan anaknya pada sekolah
inklusi. Melainkan terbuka dan menerima
kehadiran ABK serta mencari informasi
pada sekolah inklusi mengenai bagaimana
berhadapan dengan ABK.
5. Mengingat penelitian dalam substansi
manajemen pendidikan inklusi masih
sangat terbatas, maka peneliti lain perlu
melakukan penelitian pada substansi
manajemen lainnya agar bisa menjadi
sumber informasi bagi sekolah yang ingin
membuka program inklusi.
DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, S & Yuliana, L. 2008. Manajemen
Pendidikan. Yogyakarta: Aditya Media
Furchan, H. 1996. Desain Penelitian Kualitatif.
Dalam Arifin, Imron (Ed.). Penelitian
Kualitatif dalam Ilmu Sosial dan
Keagamaan (hlm. 40-48). Malang:
Kalimasahada Press.
Kowalski, T. 2004. School Public Relations. A
New Agenda. Dalam Kowalski, T. (Ed.).
Public Relations in School (hlm.4-29).
New Jersey: Pearson Merill Pretince Hall.
Mantja, W. 2007. Etnografi. Desain Penelitian
Kualitatif Pendidikan dan Manajeman
Pendidikan. Malang: Elang Mas.
Nasution, Z. 2009. Manajemen Hubungan
masyarakat di Lembaga Pendidikan.
Konsep, Fenomena dan Aplikasinya.
Malang: UMM Press.
Skjørten, M. 2001. Menuju Inklusi dan
Pengayaan, (Online), (www. idp-europe.
org\indonesia\ buku-inklusi-14k, diakses
25 Mei 2009).
Spaulding, A & O’Hair, M. 2004. Public Relation in a Communication Context:
Listning, Nonverbal, and Conflict Resolution Skills. Dalam Kowalski, T. (Ed.).
Public Relations in School (hlm.96-121).
New Jersey: Pearson Merill Pretince Hall.
Stellar, A. & Kowalski, T. 2004. Effective Programing at the Distric Level. Dalam
Kowalski, T. (Ed.). Public Relations in
School (hlm.151-173). New Jersey:
Pearson Merill Pretince Hall.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
159
Zaenab Siti. 2014. Buku Ajar dan Hand Out
Manajemen pendidikan Humas, tidak
diterbitkan. STAHN Gde Pudja Mataram.
Zaenab Siti, 2015. Metodologi Penelitian
Pendidikan Kualitatif perspektif
Kekinian. Penerbit Selaras Malang Jawa
Timur.
160
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
PENERAPAN PEMBELAJARAN
KOOPERATIF MODEL SNOWBALL
THROWING
PADA MATA PELAJARAN IPS
DI SEKOLAH DASAR
Murtiningsih
Email: [email protected]
Abstrak: Pemilihan model yang tepat dapat mendukung tercapainya suatu tujuan pengajaran. Dalam
pembelajaran IPS diperlukan suatu model yang dapat membantu siswa dalam mengembangkan aktivitas
dan kreativitas berfikir. Salah satu metode yang efektif untuk pengajaran IPS di Sekolah Dasar yang dapat
mengembangkan aktivitas dan kreatif berpikir salah satunya adalah model pembelajaranSnowball Throwing. Karena model pembelajaran ini dapat menciptakan keaktifan siswa dalam memperoleh ketrampilan
intelektual, sikap, dan ketrampilan motorik. Selain itu dapat menimbulkan respon yang positif, dapat
menghubungkan hubungan yang lebih baik sesama teman, selain itu dapat menanamkan sikap percaya diri
dan tanggung jawab. Pengajaran IPS dengan modelpembelajaran Snowball Throwing memberikan
kesempatan pada siswa untuk melatih tanggung jawab, memecahkan masalah,membuat analisa,
mengemukakan pendapat serta bersikap mandiri dan menyenangkan. Model pembelajaran Snowball
Throwingdilaksanakan pada pengajaran IPS di kelas III sampai dengan kelas VI SD.
Kata-kata kunci: pembelajaran kooperatif, model snowball throwing, IPS SD.
Masalah pendidikan di Indonesia yang
banyak dibicarakan para ahli pada saat ini selain
rendahnya mutu pendidikan, juga berkaitan
dengan strategi pembelajaran yang dilakasanakan yaitu pendekatan dalam pembelajaran
yang masih terlalu didominasi peran guru
(teacher centered), sehingga keterlibatan
peserta didik dalam proses pembelajaran masih
kurang. Guru lebih menerapkan peserta didik
sebagai obyek pengajaran dan bukan sebagai
subyek belajar. Pendidikan kita kurang memberikan kesepatan kepada siswa dalam berbagai
mata pelajaran untuk mengembangkan kemampuan berfikir holistik (menyeluruh), kreatif,
obyektif, logis, belum memanfaatkan model
snowball throwing sebagai salah satu paradigma menarik dalam pembelajaran, serta
kurang memperhatikan ketuntasan belajar
siswa secara individual. Dari ungkapan di atas
dapat dilihat bahwa dalam proses belajarmengajar di kelas yang pada umumnya lebih
menekankan pada aspek kognitif, dimana
kemampuan mental yang dipelajari sebagian
besar berpusat pada pemahaman bahan
pengetahuan dan ingatan. Dalam situasi yang
demikian, biasanya dituntut untuk menerima
apa-apa yang dianggap penting oleh guru dan
menghafalnya. Guru terkadang kurang menyenangi situasi dimana siswa banyak bertanya
mengenai hal-hal yang berada di luar konteks
yang dibicarakannya, kondisi yang demikian
mengakibatkan aktivitas dan kreatifitas siswa
tidak dapat berkembang secara optimal. Dengan
demikian belajar-mengajar terfokus pada guru
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
161
dan kurang terfokus pada siswa, maka pada
masa sekarang sebaiknya pembelajaran
terfokus pada siswa. Berdasarkan masalah yang
ada maka guru perlu menggunakan strategi
pembelajaran yang dapat melibatkan siswa
secara langsung. Salah satunya dengan menggunakan model pembelajaran snowball throwing. Dengan suasana pembelajaran tersebut
diharapkan dapat mengembangkan pola pikir
siswa lebih kritis dan kreatif. Dalam kegiatan
pembelajaran di SD, termasuk pembelajaran
IPS perlu menggunakan model snowball
throwingkarena model pembelajaran ini dapat
meningkatkan berpikir kritis, kreatif, tanggung
jawab, percaya diri, menghargai sesama teman
karena mereka saling tergantung sehingga hal
ini dapat memunculkan respon yang positif dan
dapat membentuk siswa bersikap mandiri.
Konsep Dasar Model Pembelajaran
Kooperatif
Menurut Slavin (1995:4) metode pembelajaran kooperatif adalah suatu teknik
pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja
dalam kelompok-kelompok kecil secara
kolaboratif yang anggotanya terdiri atas 4-6
orang, dan struktur kelompok heterogen.
Metodepembelajaran kooperatif merupakan
suatu bentuk kolaborasi dalam kelompok kecil,
dimana siswa bekerja bersama untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. (Tinzman, dkk
dalam Adnyana, 2004). Selanjutnya David,
1990; Kagan, 1992 (dalam Jacob, 1999)
memberikan batasan tentang pembelajaran
kooperatif yaitu metode pembelajaran
kelompok yang terdiri dari kelompok kecil (56 orang), dimana siswa bekerjasama dan saling
membantu dalam menyelasaikan tugas-tugas
akademik. Metode pembelajaran kooperatif
merupakan strategi-strategi yang mendorong
kelompok-kelompok kecil/pasangan siswa
untuk bekerjasama dan berinteraksi bersama
guna membangun pengetahuan dan menyelesaikan tugas (Teo, 2003:108).
162
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Berdasarkan beberapa pendapat diatas,
metode pembelajaran kooperatif menekan pada
kerjasama, saling memberikan pendapat (sharing ideas), dalam kelompok-kelompok kecil
yang berkarakteristik heterogen. Dengan sifat
kelompoknya yang heterogen metode pembelajaran kooperatif akan dapat memberikan
peluang pada siswa dengan latar belakang yang
beragam untuk saling membantu dan menghormati.
Berkaitan dengan belajar mata pelajaran
IPS metode pembelajaran kooperatif dapat
diterapkan dalam rangka meningkatkan keberanian siswa dalam berpendapat, meningkatkan
rasa percaya diri serta tanggung jawab. Belajar
IPS sering kali siswa dihadapkan pada materimateri yang berhubungan dengan fakta, konsep,
generalisasi yang membutuhkan deskripsi,
analisis dan terkadang demonstrasi. Oleh sebab
itu metode pembelajaran kooperatif dinilai
sangat tepat untuk diterapkan, sebab siswa akan
terlibat dan berusaha melibatkan diri secara
aktif dalam proses pembelajaran. Kondisi ini
akan memberikan dampak yang positif terhadap
kualitas interaksi dan komunikasi yang pada
akhirnya dapat meningkatkan prestasi belajar
siswa.
Ciri metode pembelajaran kooperatif: (1)
setiap anggota memiliki peranan, (2) terjadi
interaksi antar siswa, (3) setiap anggota
kelompok bertanggungjawab atas belajarnya
dan juga teman-temnan sekelompoknya, (4)
guru membangkit siswa untuk mengembangkan
ketrampilan-ketrampilan interpersonal kelompok, dan (5) guru hanya berinteraksi dengan
saat diperlukan (Karin, 1993).
Unsur-unsur penting model pembelajaran kooperatif.
Pembelajaran kooperatif adalah suatu
sistem yang didalamnya terdapat unsur-unsur
yang saling terkait. Adapun unsur yang terdapat
dalam pembelajaran koperatif adalah: (1) saling
ketergantungan positif, (2) interaksi tatap muka,
(3) akuntabilitas individual, (4) ketrampilan
untuk menjalin hubungan antar pribadi/
kelompok sosial yang secara sengaja diajarkan,
(5) proses kelompok (Johson & johson dkk,
1998:100).
Langkah-langkah pembelajaran kooperatif. Terdapat variasi dalam langkah-langkah
pembelajaran kooperatif sesuai dengan
pembelajaran kooperatif yang dikembangkan
(Arends, 2004:374) menemukan bahwa ada 6
langkah dalam pembelajaran kooperatif dimulai
dengan guru menyampaikan tujuan pembelajaran, memotivasi siswa untuk belajar dan
penyajian informasi lainnya secara umum
melalui ceramah (verbal), dan secara menyeluruh 6 langkah metode pembelajaran kooperatif dapat disajikan pada tabel berikut ini.
kelas atau pembelajaran dalam tutorial (Trianto,
2007).Pengertian model pembelajaran menurut
Suprijono (2009) menyatakan bahwa model
pembelajaran dapat didefinisikan sebagai
kerangka konseptual yang melukiskan prosedur
sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar.
Model pembelajaran Snowball Trowing
terdiri dari kata Snowball artinya bola salju,
sedangkan Throwing artnya melempar. Secara
keseluruhan, snowballthrowing dapat diartikan
melempar bola salju. Maksudnya yaitu siswa
membuat bola yang terbuat dari kertas atau
menempel kertas pada bola yang berisi
pertanyaan tentang materi yang dibahas oleh
guru kemudian memberikannya pada teman
Tabel langkah-langkah model pembelajaran kooperatif
1.
2.
3.
4.
5.
Fase
Menyampaikan tujuan dan
menyiapkan perangkat
pembelajaran
Menyajikan informasi
Mengorganisasi siswa
dalam membentuk
kelompok belajar
Membantu kerja kelompok
selama belajar
Melakukan evaluasi
6. Memberikan penghargaan
Kegiatan Guru (teacher behavior)
Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran dan
menyiapkan perangkat pembelajaran.
Guru menyajikan informasi dengan peragaan (demontrasi)/teks.
Guru mendemontrasikan pada siswa bagaimana caranya
membentuk kelompok dan membantu setiap kelompok agar
melakukan transisi secara efisien.
Guru membantu tim-tim belajar pada saat mereka mengerjakan
tugas.
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah
dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan
hasil belajar.
Guru mencari cara-cara untuk menghargai, baik upaya maupun
hasil belajar individu dan kelompok.
Pembelajaran kooperatif antara lain meliputimodel :Student Teams Achievement Division (STAD), Jigsaw, Group Investigation (GI),
Numbered Heads Together (NHT), Snowball
Throwing dan Think Pair Share (TPS).
Konsep Dasar Pembelajaran Kooperatif Model Snowball Throwing
Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai
pedoman dalam merencanakan pembelajaran di
yang lain pada proses pembelajaran yang
sedang berlangsung (Supandi, 2007).
Model pembelajaran snowball throwing
merupakan salah satu model dalam pembelajaran kooperatif, dimana cara pembelajaran
dengan cara diskusi kelompok dengan permainan yang terdiri 4-6 siswa. Dalam model ini
siswa dituntut untuk berpikir, mengajukan
pertanyaan, dan menjawab pertanyaan yang
dikaitkan dengan pengetahuan umum siswa itu
sendiri dengan buku paket atau sumber lain
serta LKS yang mendorong siswa berdiskusi
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
163
kelompok secara aktif sehingga pembelajaran
akan terasa lebih menyenangkan dan menimbulkan keaktifan siswa dalam kelas.
Tujuan Model Pembelajaran Snowball Throwing
Model pembelajaran Snowball Throwing
memiliki beberapa tujuan dalam penerapannya,
tujuan pembelajaran, Snowball Throwing yaitu
melatih murid untuk mendengarkan pendapat
orang lain, melatih kreatifitas dan imajinasi
murid dalam membuat pertanyaan, serta memacu murid untuk bekerjasama, saling membantu,
serta aktif dalam pembelajaran (dalam http://
muhaammanshari9.blogspot.com/2013/10/
model-pembelajaran-snowball-throwing.html).
Pencapaian tujuan tersebut didasarkan pada
langkah-langkah penerapan model pembelajaran Snowball Throwing. Selain itu, melalui
penerapan model pembelajaran Snowball
Throwing juga dapat melatih murid untuk lebih
tanggap menerima pesan dari orang lain, dan
menyampaikan pesan tersebut kepada temannya dalam satu kelompok.
siswa mendapatkan satu bola/satu pertanyaan
lalu diberikan kesempatan kepada siswa untuk
menjawab pertanyaan yang tertulis dalam kertas
berbentuk bola tersebut secara bergantian, (g)
evaluasi, (h) penutup (Komalasari, 2010).
Kelebihan dan Kekurangan Model
Pembelajaran Snowball Throwing
Suatu model pembelajaran pasti memiliki
kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihan
model Snowball Throwing sebagai berikut: (1)
Melatih kesiapan dalam berpikir siswa, (2)
Saling memberikan pengetahuan, (3) Siswa
menjadi lebih semangat belajar, (4) Dapat
menumbuhkan sikap-sikap dalam diri siswa.
Sedangkan kelemahan model snowball throwing adalah (1) Pengetahuan tidak luas, hanya
berkutat pada pengetahuan sekitar siswa, (2)
Dapat menimbulkan gaduh di kelas. Untuk poin
2 tentang kelemahan snowball throwing
menurut Rahayu di atas, dapat dikatakan bukanlah kelemahan jika kegaduhan tersebut memang
timbul karena proses pembelajaran sedang
berlangsung. Rahayu (2009)
Untuk mengatasi kekurangan dan memLangkah-langkah Model Pembela- perlancar proses pembelajaran model snowball
throwing, maka dilakukan modifikasi atau
jaran Snowball Throwing
pengembangan pada proses langkah-langkah
Terdapat langkah-langkah yang perlu pembelajaran yang dapat dijelaskan sebagai
diperhatikan dalam penerapan model Snowball berikut. (Rahayu, 2009): (a) Guru menyampaiThrowing, diantaranya (a) guru menyampaikan kan materi secara garis besar terlebih dahulu
materi yang akan disajikan, (b) guru mem- dan bertanya jawab menggunakan media bola,
bentuk kelompok-kelompok dan memanggil di mana siswa yang mendapat bola harus
masing-masing ketua kelompok untuk mem- menjawab materi yang disampaikan, (b) Guru
berikan penjelasan tentang materi, (c) masing- membentuk kelompok-kelompok dan memangmasing ketua kelompok kembali ke kelom- gil masing-masing ketua kelompok dan
poknya masing-masing, kemudian menjelaskan menjelaskan masing-masing tugas; (c) Masingmateri yang disampaikan guru kepada teman- masing ketua kelompok kembali ke kelomnya, (d) kemudian masing-masing sisa diberi- poknya untuk menjelaskan tugas yang diberikan
kan satu lembar kerja, untuk menuliskan satu guru tentang materi yang diberikan, (d) Masingpertanyaan apa saja yang menyangkut materi masing kelompok diberikan satu lembar kertas
yang sudah dijelaskan oleh ketua kelompok, (e) kerja saja untuk menuliskan 3 pertanyaan yang
kemudian kertas yang berisi pertanyaan tersebut akan dijawab oleh kelompok lain, (e) Kertas
dibuat seperti bola dan dilempar dari satu siswa tersebut diuwel-uwel dibentuk seperti bola dan
ke siswa yang lain selama ± 15 menit, (f) setelah dilempar dari satu kelompok ke kelompok yang
164
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
lain selama kurang lebih 5 menit, (f) Kemudian
tiap kelompok mendapat satu bola salju yang
didalamnya terdapat beberapa pertanyaan yang
harus dijawab, (g) Guru mengatur sebuah
kompetisi bagi kelompok dengan memberikan
nilai bintang bagi kelompok yang lebih dahulu
menyelesaikan tugas dengan benar, (h) Setelah
masing-masing kelompok menjawab pertanyaan dengan memprentasikan hasil jawabannya, maka siswa dibimbing guru menyimpulkan
materi yang telah dipelajari, (i) Untuk mengetahui tingkat keberhasilan proses belajar
mengajar yang berlangsung, yaitu dengan
menggunakan lembar observasi aktivitas siswa
dan tes tulis (evaluasi) pada akhir pembelajaran;
dan (j) Tahap penutup, guru merefleksikan
pembelajaran yang telah berlangsung.
Penerapan Pembelajaran Kooperatif
Model Snowball Throwing dalam
Pembelajaran IPS Di Sekolah Dasar
Tujuan pembelajaran IPS menurut NCSS
(National Council For Social Studies) adalah
membantu generasi muda dalam : (1) mengembangkan kemampuannya untuk menjadi
manusia yang berpengatahuan; (2) mengembangkan kecerdasan dalam mengambil keputusan untuk kebaikan masyarakat sebagai warga
yang didalamnya terdapat kultur, dan (3)
menjadi warga masyarakat demokratis dalam
suatu dunia yang saling memiliki ketergantungan (Rochmadi, 2008:9).
Materi pelajaran IPS di SD diajarkan dari
kelas I sampai kelas VI, sedangkan penerapan
pembelajaran kooperatif model snowball
throwing dapat digunakan di kelas III, IV, V,
dan VI. Model ini melatih siswa untuk berpikir
logis dan kritis dalam kehidupan sehari-hari.
Penerapan model snowball throwing
dalam pembelajaran IPS dapat diterapkan di
kelas III, IV, V dan VI Sekolah Dasar sesuai
dengan langkah-langkah tersebut di atas.
Contoh penerapan pada kelas III pembelajaran kooperatif model snowball throwing
dapat diterapkan pada Standar Kompetensi: 2.
Memahami jenis pekerjaan dan penggunaan
uang. Kompetensi Dasar: 2.1 mengenal jenisjenis pekerjaan. Sedangkan indikatornya: (1)
Mengidentifikasi jenis-jenis pekerjaan di
lingkungan tempat tinggal siswa yang menghasilkan barang dan jasa. (2) Membuat daftar
pekerjaan orang tua siswa yang menghasilkan
barang dan jasa.
Langkah-langkahnya yaitu (a) guru
menyampaikan materi yang akan disajikan, (b)
guru membentuk kelompok-kelompok dan
memanggil masing-masing ketua kelompok
untuk memberikan penjelasan tentang materi,
(c) masing-masing ketua kelompok kembali ke
kelompoknya masing-masing, kemudian
menjelaskan materi yang disampaikan guru
kepada temannya, (d) kemudian masing-masing
sisa diberikan sat u lembar kerja, unt uk
menuliskan satu pertanyaan apa saja yang
menyangkut materi yang sudah dijelaskan oleh
ketua kelompok, (e) kemudian kertas yang
berisi pertanyaan tersebut dibuat seperti bola
dan dilempar dari satu siswa ke siswa yang lain
selama ± 15 menit, (f) setelah siswa mendapatkan satu bola/satu pertanyaan lalu diberikan kesempatan kepada siswa untuk menjawab
pertanyaan yang tertulis dalam kertas berbentuk
bola tersebut secara bergantian, (g) evaluasi, (h)
penutup.
Tujuan pembelajaran dari kegiatan
tersebut adalah untuk melatih siswa bersikap
aktif, kreatif, berpikir kritis, berani mengemukakan pendapat, saling hormat dan menghargai
serta membentuk sikap mandiri, bertanggung
jawab dan membuat suasana yang menggembirakan di dalam kelas.Pada pembelajaran ini
guru hendaknya bersikap arif, bijaksana serta
mampu menciptakan suasana kelas yang
nyaman dan menyenangkan.
Pada kelas IVpembelajaran kooperatif
teknik snowball throwing dapat diterapkan pada
Standar Kompetensi: 2. Mengenal SDA,
kegiatan ekonomi, kemajuan teknologi di lingkungan kabupeten/kota dan provinsi. Kotensi
Dasar: 2.1 Mengenal aktivitas ekonomi yang
berkaitan dengan Sumber Daya Alam dan
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
165
potensi lain di daerahnya. Indikator: (1)
Mengidentifikasi jenis-jenis SDA dan potensi
lain di daerahnya, (2) Menjelaskan manfaat
SDA dan potensi lain di daerahnya, (3)
Mengenal aktivitas ekonomi yang berkaitan
dengan SDA dan potensi lain di daerahnya, (4)
Menjelaskan perlunya menjaga kelestarian
SDA dan potensi lain di daerahnya.
Langkah-langkahnya (a) guru menyampaikan materi yang akan disajikan, (b) guru
membentuk kelompok-kelompok dan memanggil masing-masing ketua kelompok untuk
memberikan penjelasan tentang materi, (c)
masing-masing ketua kelompok kembali ke
kelompoknya masing-masing, kemudian menjelaskan materi yang disampaikan guru kepada
temannya, (d) kemudian masing-masing sisa
diberikan satu lembar kerja, untuk menuliskan
satu pertanyaan apa saja yang menyangkut
materi yang sudah dijelaskan oleh ketua
kelompok, (e) kemudian kertas yang berisi
pertanyaan tersebut dibuat seperti bola dan
dilempar dari satu siswa ke siswa yang lain
selama ± 15 menit, (f) setelah siswa mendapatkan satu bola/satu pertanyaan lalu
diberikan kesempatan kepada siswa untuk
menjawab pertanyaan yang tertulis dalam kertas
berbentuk bola tersebut secara bergantian, (g)
evaluasi, (h) penutup.
Tujuan pembelajaran dari kegiatan tersebut adalah untuk melatih siswa bersikap aktif,
kreatif, berpikir kritis, berani mengemukakan
pendapat, saling hormat dan menghargai serta
membentuk sikap mandiri, bertanggung jawab
dan membuat suasana yang menggembirakan
di dalam kelas.Pada pembelajaran ini guru
hendaknya bersikap arif, bijaksana serta mampu
menciptakan suasana kelas yang nyaman dan
menyenangkan.
Penutup
Pembelajaran kooperatif model snowball
throwing adalah salah satu model yang dapat
diterapkan dalam pembelajaran IPS di SD.
Dalam pembelajaran IPS pembelajaran
166
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
kooperatif model snowball throwingdapat
menciptakan aktivitas dan kreativitas berfikir,
juga menimbulkan siswa percaya diri, sehingga
mereka senang untuk belajar IPS. Model
pembelajaran kooperatif model snowball
throwing memberikan kemungkinan kepada
siswa untuk belajar mandiri, selain itu metode
ini melatih siswa untuk berani mengemukakan
pendapat, melatih siswa untuk bertanggungjawab.
Sedangkan peranan guru dalam model
pembelajaran kooperatif model snowball
throwing sebagai pengelola interaksi belajar
mengajar dikelas, bukan sebagai penyampai
informasi. Hal ini sangat sesuai jika pembelajaran kooperatif model snowball throwing
diterapkan pada kurikulum KTSP, karena
kegiatan-kegiatan dalam pembelajaran ini
langsung melibatkan siswa.
DAFTAR RUJUKAN
Arends, RI, 2004, Learning to teach (6th ed.),
New York: Mc.Graw-Hill Companies.
Anshari, Muhammad. 2013. http://muhaam
manshari9.blogspot .com/2013/10/
mo d e l- p e mbe la ja r a n- sn o w ba llthrowing.html).diakses 21 Desember
2013.
Carin, A.A, 1993, Teaching Modern Science (6th
ed). New York, Oxford: Maxwell
Macmillan International.
Depdiknas, 2006, Kurikulum Tingkat Satuan
Pembelajaran (KTSP) Sekolah Dasar,
Jakarta: Deppenn
Jacob, G.M., Lee, GS, & Ball, J., 1999, Learning Cooperative Via Cooperative Learning: A Source Book Of Lesson Plan For
Teacher Education In Cooperative
Learning, Singapore: Seamed Regional
Lenguage Centre.
Komalasari, Kokom. 2010. Pembelajaran
Kontekstual. Bandung: Refika Aditama.
Rahayu, Puji. 2009. Penerapan Pembelajaran
Kooperatif Model Snowball Throwing
Materi Sumber Daya Alam untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Geografi
Siswa Kelas XI IPS Semester I SMA
Negeri Patianworo Kabupaten Nganjuk.
Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.
Rocmadi, Nur Wahyu, 2008, Naskah IPS SD.
Pendidikan dan Latihan Profesi Guru
Rayon 15 Universitas Negeri Malang.
Panitia Sertifikasi Guru UMS.
Slavin, R., 1995, Cooperative Learning (2nd ed),
Boston, USA: Allyn and Bacon.
Suprijono, Agus. 2011. Cooperative Learning
Teori dan Aplikasi Paikem. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Teo, N., 2003, A Handbook For Science Teachers In Primary Schools, Singapore: Times
Media Private Limited.
Tianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu.
Jakarta: Prestasi Pustaka.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
167
PENERAPAN PROBLEM SOLVING
DALAM PEMBELAJARAN IPS
DI SEKOLAH DASAR
Sri Sugiharti
Universitas Negeri Malang
KSDP FIP
Alamat Rumah: Jln. Sigura-gura V Malang, HP: 081234465979
E-mail: [email protected]
Abstrak: Sekolah Dasar atau SD merupakan lembaga pertama peserta didik untuk belajar membaca,
menulis, berhitung dan memahami permasalahan yang ada dalam pembelajaran khususnya IPS yang bersifat
membosankan, IPS dianggap pelajaran yang mudah. Problem solving (pemecahan masalah) merupakan
salah satu alternatif pembelajaran IPS di Sekolah Dasar. Kegiatan pembelajaran akan lebih bermakna
apabila terjadi dalam latar yang realistis, diacukan ke arah problem solving/pemecahan masalah aktual
yang dihadapi oleh siswa/peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Ada 5 langkah-langkah problem
solving yang dapat diajarkan di Sekolah Dasar: (1) Merumuskan masalah. Dalam merumuskan masalah
kemampuan yang diperlukan adalah kemampuan mengetahui dan merumuskan suatu masalah. (2) Menelaah
masalah. Dalam menelaah masalah kemampuan yang diperlukan adalah menganalisis dan merinci masalah
yang diteliti dari berbagai sudut. (3) Menghimpun dan mengelompokkan data sebagai bahan pembuktian
hipotesis. Menghimpun dan mengelompokkan data adalah memperagakan data dalam bentuk bagan, gambar,
dan lain-lain sebagai bahan pembuktian hipotesis. (4) Pembuktian hipotesis. Dalam pembuktian hipotesis
kemampuan yang diperlukan adalah kecakapan menelaah dan membahas data yang telah terkumpul. (5)
Menentukan pilihan pemecahan masalah dan keputusan. Dalam menentukan pilihan pemecahan masalah
dan keputusan kemampuan yang diperlukan adalah kecakapan membuat alternatif pemecahan, memilih
alternatif pemecahan dan keterampilan mengambil keputusan. Aplikasi atau penerapan problem solving
dalam pembelajaran IPS pemecahan masalah dapat diterapkan di kelas III, IV, V dan VI Sekolah Dasar
sesuai dengan langkah-langkah problem solving dilengkapi dengan media dan metode pembelajaran
sehingga dapat mengatasi permasalahan pembelajaran di SD.
Kata kunci: penerapan, problem solving, pembelajaran, IPS, sekolah dasar.
Pengertian Ilmu Pengetahuan Sosial
Menurut Winoyo (dalam Mashudi,
2009:50) IPS adalah program pendidikan atau
bidang studi dalam kurikulum sekolah yang
mempelajari kehidupan manusia dalam masyarakat serta perhubungan atau interaksi antara
manusia dengan lingkungannya (sosial dan
fisik). Mashudi (2009:50) menjelaskan:
“IPS merupakan integrasi dari berbagai
cabang ilmu sosial, seperti sejarah, geografi,
168
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi
sosial, tatanegara, hukum humaniora dan ilmuilmu lain yang terkait, yang mempelajari
kehidupan manusia dalam masyarakat serta
interaksi antara manusia dengan lingkungannya, digunakan untuk kepentingan pendidikan”.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa IPS adalah suatu program pembelajaran
yang utuh terintegrasi, tidak terpisah-pisah
dalam kotak-kotak disiplin ilmu yang membangunnya. IPS merupakan suatu keseluruhan
persoalan, interaksi manusia dengan lingkungannya, baik fisik maupun lingkungan sosialnya yang bahannya merupakan perpaduan dari
berbagai ilmu sosial, seperti sejarah, geografi,
ekonomi, antropologi, sosiologi, ilmu politik,
dan psikologi.
Tujuan Ilmu Pengetahuan Sosial
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional No. 22 tahun 2006. Mata pelajaran
IPS bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut.
a. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan
dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya
b. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir
logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri,
memecahkan masalah, dan keterampilan
dalam kehidupan sosial
c. Memiliki komit men dan kesadaran
terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
d. Memiliki kemampuan berkomunikasi,
bekerjasama dan berkompetisi dalam
masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal,
nasional, dan global.
Tujuan Pendidikan IPS adalah untuk
mendidik dan memberi bekal kemampuan dasar
kepada anak untuk mengembangkan diri sesuai
bakat, minat, kemampuan dan lingkungannya,
serta berbagai bekal bagi siswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
(Solihatin, 2009:15). Menurut Wright (dalam
Konsorium Program PJJ S1 PGSD, 2008:106)
menyebutkan bahwa tujuan IPS ialah mendorong anak untuk mengembangkan kualitas
personal melalui proses mengetahui, menggali,
menghayati/merefleksi dan menilai. Serta yang
tidak kalah penting ialah mendorong agar
berkembang kemauan untuk berpartisipasi
secara positif baik dalam lingkup masyarakat
lokal, nasional, maupun global.
Sejalan dengan pendapat di atas Gross
(dalam Solihatin 2009:14) menyebutkan bahwa
tujuan pendidikan IPS adalah untuk mem-
persiapkan peserta didik menjadi warga Negara
yang baik dalam kehidupan bermasyarakat.
Berbagai tujuan yang dikemukakan oleh para
ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran IPS di sekolah dasar mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hal ini diharapkan peserta didik di
sekolah dasar mampu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dasar yang berguna
bagi kehidupan sehari-hari.
Karakteristik Pembelajaran IPS di
SD
Untuk mencapai tujuan pembelajaran IPS
di SD, perlu memperhat ikan corak dan
karakteristik pembelajaran IPS di SD menurut
Rochmadi (dalam Mashudi 2009:73) sebagai
berikut :
1. Harus lebih ditekankan pada pengenalan
kehidupan pada dirinya sebagai makhluk
sosial.
2. Dalam kedudukannya sebagai makhluk
sosial anak didik harus tahu tentang dirinya,
dan lingkungan alam sekitarnya (sosial,
budaya dan juga fisik).
3. Lingkungan alam, fisik, dan sosial budaya
dapat menjadikan yang bersangkutan
menjadi aktif dan bisa mengembangkan
diri.
4. Proses belajar mengajar memiliki nuansa
yang cooperative, inquiry, dan bersifat
pragmatis praktis.
Pembelajaran IPS di SD bersifat pragmatis menyangkut dunia diri dan kehidupan
peserta didik sesuai dengan tingkat perkembangan usia dan kemampuan berpikirnya, serta
sesuai dengan persoalan atau permasalahan
masyarakat sekitar peserta didik, baik sebagai
sumber belajar maupun sebagai media belajar.
Pembelajaran di SD bersifat pengetahuan bukan
keilmuan. Artinya bahwa yang diajarkan dalam
matapelajaran IPS adalah hal-hal yang praktis
yang berguna bagi diri peserta didik dan
kehidupannya kini maupun kelak di kemudian
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
169
hari dalam berbagai lingkungan serta aspek
Senada dengan pendapat diatas Sanjaya
kehidupan. Jadi bukan mengajarkan teori – teori (2006:214) menyatakan pada metode pemesosial atau ilmu sosial Djahiri, K (dalam cahan masalah, materi pelajaran tidak terbatas
Mashudi, 2009 : 74).
pada buku saja tetapi juga bersumber dari
peristiwa-peristiwa tertentu sesuai dengan
Ruang Lingkup Pembelajaran IPS di kurikulum yang berlaku. Ada beberapa kriteria
pemilihan bahan pelajaran untuk metode
SD
pemecahan masalah (problem solving) yaitu:
Ruang lingkup mata pelajaran IPS dalam a) Mengandung isu-isu yang mengandung
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
konflik bisa dari berita, rekaman video dan
22 tahun 2006 meliputi aspek-aspek sebagai
lain- lain
berikut: (1) manusia, tempat dan lingkungan; b) Bersifat familiar dengan siswa
(2) waktu, keberlanjutan dan perubahan; (3) c) Berhubungan dengan kepentingan orang
sistem sosial dan budaya; (4) perilaku ekonomi
banyak
dan kesejahteraan.
d) Mendukung tujuan atau kompetensi yang
harus dimiliki siswa sesuai kurikulum yang
Pengertian Problem Solving
berlaku
e) Sesuai dengan minat siswa sehingga siswa
Metode pemecahan masalah (problem
merasa perlu untuk mempelajari
solving) adalah penggunaan metode dalam
kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih
Dalam pelaksanaan pembelajaran seharisiswa menghadapi berbagai masalah baik itu
masalah pribadi atau perorangan maupun hari metode pemecahan masalah banyak digumasalah kelompok untuk dipecahkan sendiri nakan guru bersama dengan penggunaan
metode lainnya. Dengan metode ini guru tidak
atau secara bersama-sama.
Penyelesaian masalah merupakan proses memberikan informasi dulu tetapi informasi
dari menerima tantangan dan usaha-usaha diperoleh siswa setelah memecahkan masalahuntuk menyelesaikannya sampai menemukan nya. Pembelajaran pemecahan masalah berangpenyelesaiannya. menurut Syaiful Bahri kat dari masalah yang harus dipecahkan melalui
Djamara (2006:103) bahwa: Metode problem permasalahan pembelajaran yang kurang optisolving (metode pemecahan masalah) bukan mal.
hanya sekedar metode mengajar tetapi juga
Pembelajaran problem solving merupamerupakan suatu metode berfikir, sebab dalam kan bagian dari pembelajaran berbasis masalah
problem solving dapat menggunakan metode (PBL). Menurut Arends (2008:45) pembelalain yang dimulai dari mencari data sampai jaran berdasarkan masalah merupakan suatu
kepada menarik kesimpulan.
pendekatan pembelajaran di mana siswa meMenurut N.Sudirman (1987:146) metode ngerjakan permasalahan yang otentik dengan
problem solving adalah cara penyajian bahan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka
pelajaran dengan menjadikan masalah sebagai sendiri.
titik tolak pembahasan untuk dianalisis dan
Pada pembelajaran berbasis masalah
disintesis dalam usaha untuk mencari peme- siswa dituntut untuk melakukan pemecahan
cahan atau jawabannya oleh siswa. Sedangkan masalah-masalah yang disajikan dengan cara
menurut Gulo (2002:111) menyatakan bahwa menggali informasi sebanyak-banyaknya,
problem solving adalah metode yang mengakemudian dianalisis dan dicari solusi dari
jarkan penyelesaian masalah dengan memberipermasalahan yang ada. Solusi dari permasalakan penekanan pada terselesaikannya suatu
han tersebut tidak mutlak mempunyai satu
masalah secara menalar.
170
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
jawaban yang benar artinya siswa dituntut pula
untuk belajar secara kritis. Siswa diharapkan
menjadi individu yang berwawasan luas serta
mampu melihat hubungan pembelajaran
dengan aspek-aspek yang ada di lingkungannya.
Berdasarkan pendapat di atas dapat
disimpulkan metode pembelajaran problem
solving adalah suatu penyajian materi pelajaran
yang menghadapkan siswa pada persoalan yang
harus dipecahkan atau diselesaikan untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Dalam pembelajaran ini siswa di haruskan melakukan
penyelidikan otentik untuk mencari penyelesaian terhadap masalah yang diberikan.
Mereka menganalisis dan mengidentifikasikan
masalah, mengembangkan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis informasi dan membuat kesimpulan.
Manfaat dan Tujuan dari Problem
Solving (Pemecahan Masalah)
Manfaat dari penggunaan metode problem solving pada proses belajar mengajar untuk
mengembangkan pembelajaran yang lebih
menarik. Menurut Djahiri (1983:133) metode
problem solving memberikan beberapa manfaat
antara lain :
a) Mengembangkan sikap keterampilan siswa
dalam memecahkan permasalahan, serta
dalam mengambil keputusan secara
objektif dan mandiri
b) Mengembangkan kemampuan berpikir
Tahap – Tahap
1) Merumuskan masalah
2) Menelaah masalah
para siswa, anggapan yang menyatakan
bahwa kemampuan berpikir akan lahir bila
pengetahuan makin bertambah
c) Melalui inkuiri atau problem solving
kemampuan berpikir tadi diproses dalam
situasi atau keadaan yang benar-benar
dihayati, diminati siswa serta dalam
berbagai macam ragam altenatif
d) Membina pengembangan sikap perasaan
(ingin tahu lebih jauh) dan cara berpikir
objektif-mandiri, krisis-analisis baik secara
individual maupun kelompok
Berhasil tidaknya suatu pengajaran
bergantung kepada suatu tujuan yang hendak
dicapai. Tujuan dari pembelajaran problem
solving adalah sebagai berikut.
1) Siswa menjadi terampil menyeleksi informasi yang relevan kemudian menganalisisnya dan akhirnya meneliti kembali
hasilnya.
2) Kepuasan intelektual akan timbul dari
dalam sebagai hadiah intrinsik bagi siswa.
3) Potensi intelektual siswa meningkat.
4) Siswa belajar bagaimana melakukan penemuan dengan melalui proses melakukan
penemuan.
Langkah – Langkah Problem Solving
(Pemecahan Masalah)
Penyelesaian masalah menurut J.Dewey
dalam bukunya W.Gulo (2002:115) dapat
dilakukan melalui enam tahap yaitu:
Kemampuan yang diperlukan
Mengetahui dan merumuskan masalah secara jelas
Menggunakan pengetahuan untuk memperinci menganalisa
masalah dari berbagai sudut
3) Merumuskan hipotesis
Berimajinasi dan menghayati ruang lingkup, sebab-akibat
dan alternative penyelesaian
4) Mengumpulkan dan mengelompokkan
Kecakapan mencari dan menyusun data menyajikan data
data sebagai bahan pembuktian hipotesis
dalam bentuk diagram,gambar dan tabel
5) Pembuktian hipotesis
Kecakapan menelaah dan membahas data, kecakapan
menghubung- hubu ngkan dan menghitung
Ketrampilan mengambil keputusan dan kesimpulan
6) Menentukan pilihan penyelesaian
Kecakapan membuat altenatif penyelesaian kecakapan
dengan memperhitungkan akibat yang terjadi pada setiap
pilihan
Sumber: J.Dewey dalam bukunya W.Gulo (2002:115)
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 171
Penyelesaian masalah Menurut David
Johnson dan Johnson dapat dilakukan melalui
kelompok dengan prosedur penyelesaiannya
dilakukan sebagai berikut (W.Gulo 2002:117):
1. Mendifinisikan Masalah
a) Kemukakan kepada siswa peristiwa
yang bermasalah, baik melalui bahan
tertulis maupun secara lisan, kemudian
minta pada siswa untuk merumuskan
masalahnya dalam satu kalimat sederhana (brain stroming). Tampunglah
setiap pendapat mereka dengan menulisnya dipapan tulis tanpa mempersoalkan tepat atau tidaknya, benar atau
salah pendapat tersebut.
b) Setiap pendapat yang ditinjau dengan
permintaan penjelasan dari siswa yang
bersangkutan. Dengan demikian dapat
dicoret beberapa rumusan yang kurang
relevan. Dipilih rumusan yang tepat,
atau dirumuskan kembali (rephrase,
restate) perumusan- perumusan yang
kurang tepat. akhirnya di kelas memilih
satu rumusan yang paling tepat dipakai
oleh semua.
2. Mendiagnosis masalah. Setelah berhasil
merumuskan masalah langkah berikutnya
ialah membentuk kelompok kecil, kelompok ini yang akan mendiskusikan sebabsebab timbulnya masalah.
3. Merumuskan Altenatif Strategi. Pada
tahap ini kelompok mencari dan menemukan berbagai altenatif tentang cara
penyelesaikan masalah. Untuk itu kelompok harus kreatif, berpikir divergen,
memahami pertentangan diantara berbagai
ide, dan memiliki daya temu yang tinggi.
4. Menentukan dan menerapkan Strategi.
Setelah berbagai altenatif ditemukan
kelompok, maka dipilih altenatif mana
yang akan dipakai. Dalam tahap ini
kelompok menggunakan pertimbanganpertimbangan yang cukup cukup kritis,
selektif, dengan berpikir kovergen.
172
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
5. Mengevaluasi Keberhasilan Strategi.
Dalam langkah terakhir ini kelompok
mempelajari :
(1) Apakah strategi itu berhasil (evaluasi
proses)?
(2) Apakah akibat dari penerapan strategi
itu (evaluasi hasil) ?
Berdasarkan pendapat para ahli, maka
dapat disimpulkan langkah-langkah yang harus
diperhatikan oleh guru dalam memberikan
pembelajaran problem solving sebagai berikut:
1. Merumuskan masalah. Dalam merumuskan masalah kemampuan yang diperlukan
adalah kemampuan mengetahui dan
merumuskan suatu masalah.
2. Menelaah masalah. Dalam menelaah masalah kemampuan yang diperlukan adalah
menganalisis dan merinci masalah yang
diteliti dari berbagai sudut.
3. Menghimpun dan mengelompokkan data
sebagai bahan pembuktian hipotesis.
Menghimpun dan mengelompokkan data
adalah memperagakan data dalam bentuk
bagan, gambar, dan lain-lain sebagai bahan
pembuktian hipotesis.
4. Pembuktian hipotesis. Dalam pembuktian
hipotesis kemampuan yang diperlukan
adalah kecakapan menelaah dan membahas
data yang telah terkumpul.
5. Menentukan pilihan pemecahan masalah
dan keputusan. Dalam menentukan pilihan
pemecahan masalah dan keputusan kemampuan yang diperlukan adalah kecakapan membuat alternatif pemecahan,
memilih alternatif pemecahan dan
keterampilan mengambil keputusan.
Kelebihan Problem Solving Method (Pemecahan Masalah)
Pembelajaran problem solving ini
memiliki keunggulan. Adapun keunggulan
model pembelajaran problem solving diantaranya yaitu melatih siswa untuk mendesain
suatu penemuan, berpikir dan bertindak kreatif,
memecahkan masalah yang di hadapi secara
realistis, mengidentifikasi dan melakukan
penyelidikan, menafsirkan dan mengevaluasi
hasil pengamatan, merangsang perkembangan
kemajuan berpikir siswa untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapi dengan tepat, serta dapat
membuat pendidikan sekolah lebih relevan
dengan kehidupan khususnya dunia kerja.
Kelemahan Problem Solving Method (Pemecahan Masalah)
Kelemahan model pembelajaran problem
solving itu sendiri seperti beberapa pokok
bahasan sangat sulit untuk menerapkan metode
ini. Misalnya terbatasnya alat-alat laboratorium
menyulitkan siswa untuk melihat dan mengamati serta akhirnya dapat menyimpulkan
kejadian atau konsep tersebut. Dalam pembelajaran problem solving ini memerlukan alokasi
waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan
metode pembelajaran yang lain.
Penerapan Problem Solving dalam Pembelajaran IPS
Penerapannya dalam pembelajaran
disesuaikan dengan langkah-langkah yang
harus diperhatikan oleh guru dalam memberikan pembelajaran problem solving yaitu:
merumuskan masalah. Dalam merumuskan
masalah kemampuan yang diperlukan adalah
kemampuan mengetahui dan merumuskan
suatu masalah, menelaah masalah. Dalam
menelaah masalah kemampuan yang diperlukan adalah menganalisis dan merinci masalah
yang diteliti dari berbagai sudut, menghimpun
dan mengelompokkan data sebagai bahan
pembuktian hipotesis. Menghimpun dan
mengelompokkan data adalah memperagakan
data dalam bentuk bagan, gambar, dan lain-lain.
Untuk menerapkan pembelajaran problem solving diperlukan beberapa perangkat
terutama :
a. Software, yang mengaitkan metode, setiap
pembelajaran seorang guru tidak dilepas-
kan dari peranan metode, akan tetapi tak
semua metode yang guru pakai dapat
menghasilkan output yang baik, dan guru
mengajar dengan metode dapat menemukan dan membimbing anak ke arah
pemecahan masalah tetapi tidak semua
metode dapat digunakan sebagi proses
problem solving paling tidak metode
tersebut mempunyai nilai-nilai: keaktifan
terhadap peserta didik dan kreativitas.
b. Hardware
Untuk perangkat yang kedua ialah hardware yang terkait dengan teknik pembelajaran, sebelum kita memahami hardware pembelajaran kita harus paham
dengan pengertian teknik pembelajaran,
teknik pembelajaran ialah jalan, alat, atau
media yang digunakan oleh guru dalam
rangka mendidik muridnya guna mencapai
tujuan pembelajaran (Garlach dan Ely,
1980)
Aplikasi atau penerapan problem solving
dalam pembelajaran IPS pemecahan
masalah dapat diterapkan di kelas III, IV,
V dan VI Sekolah Dasar sesuai dengan
langkah-langkah problem solving tersebut
di atas.
Kesimpulan
Dalam menentukan pilihan pemecahan
masalah dan keputusan kemampuan yang
diperlukan adalah kecakapan membuat alternatif pemecahan, memilih alternatif pemecahan
dan keterampilan mengambil keputusan.
Aplikasi atau penerapan problem solving dalam
pembelajaran IPS pemecahan masalah dapat
diterapkan di kelas III, IV, V dan VI Sekolah
Dasar sesuai dengan langkah-langkah problem
solving dilengkapi dengan media dan metode
pembelajaran sehingga dapat mengatasi
permasalahan pembelajaran di SD dapat
meningkatkan aktivitas belajar siswa dan
meningkatkan hasil belajar .
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
173
Daftar Pustaka
Arends, Richard I. (2008) . Learning to Teach
Belajar untuk Mengajar. (Edisi Ketujuh/
Buku Dua). Terjemahan Helly Pajitno
Soetjipto & Sri Mulyantini Soetjipto.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Gulo, W. (2002). Strategi Belajar Mengajar.
Jakarta : PT. Grasindo
Mashudi, Toha. 2009. Startegi Belajar
Mengajar IPS. Malang : PHK S1 PGSDA
Permen Diknas Nomor 22 tahun 2006 Tentang
Standar Isi untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas
174
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Permen Diknas Nomor 41 tahun 2007 Tentang
Standar Proses untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas
Solihatin, Etin dan Raharjo. 2009. Cooperatif
Learning Analisis Model Pembelajaran
IPS.Jakarta : Bumi Aksara.
Sardiman. (1996). Interaksi dan Motivasi
Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Grafindo.
Sudirman,dkk.(1987.)Ilmu Pendidikan.
Bandung: Remadja Karya
Syaiful Bahri Djamara dan Drs Aswan Zain .
(2006) Strategi Belajar Mengajar,
Jakarta : Rineka Cipta.
KETERAMPILAN SOSIAL DAN
KESETARAAN GENDER
DALAM PEMBELAJARAN IPS
DI SEKOLAH DASAR
Ruminiati
Universitas Negeri Malang
[email protected]
Abstrak: Mata pelajaran IPS di sekolah dasar (SD) merupakan keterpaduan konsep pendidikan sejarah,
geografi, ekonomi, sosiologi yang bertujuan untuk membentuk warga negara yang memiliki kemampuan
sosial dan kemampuan hidup, untuk menjadikan warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Ruang
lingkup IPS antara lain mencakup sistem sosial dan budaya, yang di dalamnya membahas keberadaan
gender dalam masyarakat. Berdasarkan penelitian penulis (2005), ditemukan bahwa pembelajaran IPS di
sekolah dasar cenderung kurang berorientasi pada upaya untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa
dan kesetaraan gender dalam budaya patriarkhi. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman tentang
pentingnya keterampilan sosial, kesetaraan gender dan budaya bagi siswa usia SD. Keterampilan sosial
merupakan perilaku yang memungkinkan untuk berfungsinya peran seseorang dalam interaksi sosial secara
efektif. Keterampilan sosial adalah kemampuan berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial dengan
cara-cara khusus yang diterima oleh lingkungannya. Keterampilan sosial diajarkan melalui Tri Pusat
Pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Penerapannya diawali sejak anak tumbuh dan
berkembang dalam keluarga, melakukan pembelajaran formal maupun informal di sekolah, serta pendidikan
non formal di lingkungannya. Di era globalisasi, pengembangan keterampilan sosial perlu memperhatikan
kesetaraan gender. Tujuan pendidikan IPS pada dasarnya diarahkan pada proses pengembangan potensi
siswa agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap
berbagai persoalan di masyarakat, serta terampil mengatasi setiap masalah, baik yang menimpa diri sendiri
maupun masyarakat.
Kata Kunci: ketrampilan sosial, kesetaraan gender, pembelajaran IPS, SD
IPS berasal dari Amerika Serikat, yang
disebut Social Studies. Masuk Indonesia sejak
tahun 1975. Tujuan pendidikan IPS dikembangkan berdasarkan pemikiran bahwa
pendidikan IPS merupakan disiplin ilmu. Oleh
karena itu harus mengacu pada tujuan pendidikan nasional. Tujuan utama pembelajaran IPS
unt uk membentuk dan mengembangkan
kepribadian warga negara yang good citizenship (Susanto, 2014)
“Social studies is the integrated study of
the social science and humanities to pro-
mote civic competence. Within the program, social studies provide coordinated,
systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, archeology,
economics, geography, history, law philosophy, political science, psychology,
religion, and sociology, as all as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social studies is to help
young people develop the ability to make
informed and reason decision for the pubProsiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
175
lic good as citizens of a culturally diverse,
democratic society in an interdependent
world” (NCSS dalam Ruminiati, 2010).
budaya, dan peradaban global; serta (5) perilaku
ekonomi dan kesejahteraan (Ruminiati, 2010).
Kelima hal tersebut menjadi batasan rentang
Ilmu Sosial disampaikan secara formal keleluasaan peneliti dalam mengkaji bidang
kepada masyarakat melalui mata pelajaran Ilmu IPS. Salah satu kajian dalam ruang lingkup
Pengetahuan Sosial (IPS) yang diberikan sejak sistem sosial dan budaya adalah keberadaan
seseorang duduk di bangku SD hingga SMA. gender dalam masyarakat. Dan salah satu kajian
Bahkan, di beberapa perguruan tinggi, IPS dari gender dalam masyarakat tersebut adalah
masih juga diajarkan melalui matakuliah umum kesetaraan gender dalam budaya patriakhi.
Ilmu Sosial Dasar (ISD). Dalam makalah ini
selanjutnya disampaikan keberadaan mata Kesetaraan Gender di Indonesia
pelajaran IPS dan pembelajaran IPS di SD, serta
Menurut Ruminiati (2005), diyakini
upaya pengembangan keterampilan sosial yang bahwa kesetaraan gender sulit diwujudkan
dilakukan kepada siswa SD.
dalam budaya patriakhi. Image ‘perempuan
berada di belakang laki-laki’ melekat kuat
Matapelajaran IPS dan Pembela- dalam pandangan hidup masyarakat dalam
budaya patriarkhi. Pandangan ini cenderung
jaran IPS di SD
menempatkan perempuan pada posisi yang
Matapelajaran IPS di SD adalah bahan dirugikan karena tidak memiliki kesempatan
kajian yang terpadu dari konsep keterampilan untuk mengembangkan diri di dunia publik
sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi. Adapun sebagaimana laki-laki. Kemampuan perempuan
tujuan pembelajaran IPS di SD adalah untuk yang mungkin lebih baik daripada laki-laki
membentuk warga negara yang berkemampuan tidak memperoleh kesempatan yang cukup
sosial, dan mampu hidup untuk menjadikan untuk diakomodasi dalam pekerjaan-pekerjaan
warga negara yang baik dan bertanggung jawab. di publik.
Sedangkan Ilmu Sosial bertujuan menciptakan
Hal seperti tersebut di atas ditemukan
tenaga ahli ilmu sosial (Gunawan, 2014). Hal juga dalam pembelajaran IPS di SD. Bersenada juga dikatakan oleh Ruminiati (2008) dasarkan hasil riset Ruminiati (2005 dan 2010),
bahwa pengertian warganegara yang baik ditemukan bahwa pembelajaran IPS di SD
adalah warganegara yang mau, tahu, sadar akan cenderung kurang berorientasi pada upaya
hak dan kewajibannya. Lebih lanjut Ruminiati untuk meningkatkan keterampilan sosial dan
(2015) menyatakan bahwa karakter IPS SD kesetaraan gender dalam budaya patriakhi. Hal
merupakan keterpaduan dari empat ilmu-ilmu ini disebabkan kurangnya pemahaman tentang
sosial, yaitu pendidikan sejarah, geografi, pentingnya keterampilan sosial dan pemahaman
ekonomi, dan sosiologi. Hal ini perlu ditambah tentang pentingnya kesetaraan gender dan
lagi, pendidikan antropologi, karena secara riil budaya bagi siswa sejak usia SD. Seharusnya,
dalam buku IPS SD juga membahas masalah pembelajaran IPS di sekolah dasar bisa lebih
budaya, sepert i patung dan candi, yang menekankan pada kemampuan siswa di bidang
merupakan paduan dari aspek sejarah dan keterampilan sosial dan kesetaraan gender di
SD secara lebih optimal lagi.
antropologi.
Ruang Lingkup IPS ada lima macam
yaitu (1) manusia, tempat, dan lingkungan; (2) Pentingnya Keterampilan Sosial
sistem sosial dan budaya; (3) waktu dalam Pembelajaran IPS SD
berkelanjutan dan perubahan; (4) pendidikan
Keterampilan sosial adalah bagian dari
global yang mendidik aneka ragam bangsa, kompetensi sosial untuk memelihara hubungan
176
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
sosial yang baik dengan teman sepermainannya
baik di rumah, di sekolah, maupun dalam
lingkungannya. Oleh karena itu, supaya
seseorang bisa berinteraksi sosial dengan baik,
pengaturan, emosi, dan perilaku yang tampak
dalam pergaulanya sehari-hari dengan menyenangkan. Hal tersebut tidak hanya untuk
memahami pikiran, emosi diri sendiri saja,
melainkan juga maksud dari pikiran orang lain.
Hal tersebut bisa dilakukan menggunakan
berbagai cara melalui pembicaraan dengan orang lain. Tidak hanya itu saja, yang lebih
penting lagi mampu mengakhirinya dengan cara
baik dan menyenangkan sehingga kedua belah
pihak merasa nyaman. Keterampilan sosial
perlu ditunjang dengan memiliki keterampilan
berkomunikasi baik secara lisan maupun tulis,
serta mampu memahami, menghargai, dan
bekerja sama dengan orang lain yang beraneka
ragam. Selain itu juga menuntut seseorang
mampu mentranformasikan kemampuan
akademik dan beradaptasi dengan perkembangan masyarakat global seperti saat ini.
Keterampilan Sosial dalam Pembelajaran IPS SD
Siswa akan mampu berinteraksi sosial
dengan baik apabila: (1) ada partisipasi dan
upaya untuk meneliti sesuatu yang dibutuhkan,
(2) membuat rencana bersama orang lain, (3)
menjawab pertanyaan orang lain dengan sopan,
(4) ketika berdiskusi kelompok mampu berpartisipasi dengan baik dan produktif, (5) suka
menolong teman/orang lain, (6) bertanggung
jawab dalam semua tindakannya, serta (7)
dibiasakan memimpin diskusi kelompok
dengan baik karena pembentukan kelompok
dalam kelas sangat dibutuhkan. Hal ini penting
dilakukan untuk membentuk watak siswa
dalam membangun keterampilan sosial yang
baik dan harmonis dengan sesama teman.
Kondisi tersebut bisa dibentuk melalui Tri Pusat
Pendidikan, yang diawali sejak anak tumbuh
dan berkembang dalam keluarga, sekolah,
maupun masyarakat sekitar sebagai lingkungan
sosialnya. Keterampilan sosial sangat penting
bagi anak tingkat SD, bahkan pra SD, karena
anak kelak akan mudah bergaul dengan orang
lain dalam masyarakat.
Keterampilan sosial siswa perlu dibiasakan dengan menolong teman yang memerlukan pertolongan, bekerjasama antarteman
dalam kelompok dengan baik dan menyenangkan, sehingga anak bisa akrab dan merasa
senasib dan sepenanggungan dengan teman
sekelompoknya,ikut kerja bakti di sekolah,
dengan membiasakan diri bekerja sama sesame
teman, menyelamatkan lingkungan, sehingga
siswa mampu membentuk lingkungan yang
bersih dan nyaman, serta dilatih mengambil
keputusan dengan tepat, berani, dan bijak
sehingga bermanfaat unt uk kepent ingan
bersama.
Faktor penting yang dapat mempengaruhi
terbentuknya keterampilan sosial anak usia SD
adalah faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal di antaranya mencakup terjadinya perubahan afektif, kognitif, psikomotor/
perilaku, regulasi emosi, jenis kelamin dan
lebih tampak lagi perubahan fisik/ badan pada
anak. Hal tersebut berasal dari dalam diri anak
sendiri secara individu. Adapun faktor eksternal
di antaranya disebabkan dengan adanya
pengaruh faktor lingkungan anak tinggal
(nonformal), faktor sesama teman sebaya di
sekolah (informal), faktor utama dan pertama
kondisi anak dalam keluarga sehari hari (informal).
Kesetaraan Gender dalam Pembelajaran IPS di SD
Gender di SD masih belum setara
(Ruminiati, 2005). Dari 7 SD lokasi penelitian
dit emukan 74% gambar pahlawan yang
dipajang di dinding sekolah didominasi lakilaki. Alasan dari guru kelas tersebut bervariasi,
antara lain: (1) RA Kartini bukan pahlawan
karena tidak ikut berperang secara fisik
melawan penjajah, (2) Cut Nyak’Dien, meski
ikut berperang secara fisik tetapi tetap bukan
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
177
pahlawan, sebab adat budaya Aceh menganggap keberadaan perempuan sebagai pemimpin
peran merupakan hal yang tidak lazim dan
bahkan berdosa.
Ditemukan juga 12% sekolah yang
memasang pahlawan perempuan. Namun, guru
mengatakan bahwa hal itu dilakukan dalam
rangka menyambut Hari Kartini saja. Dalam
kesehariannya gambar tersebut tidak dipajang
sebab sebagian besar masyarakat masih belum
dapat menerima keberadaan pahlawan perempuan. Temuan lain, ada 14% sekolah yang
ruang-ruang kelasnya memajang tidak hanya
gambar pahlawan laki-laki tetapi juga perempuan.
Kepala sekolah dan sebagian besar guru
di sekolah tersebut relatif masih muda. Kaum
muda identik dengan pembaharuan. Kaum
muda banyak mengakses informasi dunia luar
melalui dunia maya di televisi atau internet.
Tanpa disadari mereka telah menyerap berbagai
informasi budaya di luar sehingga mereka
memiliki wawasan budaya yang relatif lebih
luas daripada sekedar budaya di lingkungan
sekitarnya. Hal itu berdampak pada terjadinya
perbedaan cara pandang kaum muda terhadap
budaya patriakhi. Sedikit demi sedikit terjadi
pelanggaran terhadap adat budaya patriakhi dan
pengakuan terhadap eksistensi perempuan di
publik.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa
budaya patriakhi akan terkikis oleh generasi
penerus yang pendidikanya sudah tinggi,
sehingga perlahan-lahan kesetaraan gender pun
akan terwujud. Generasi muda dan berpendidikan tinggi cenderung berpola pikir lebih
rasional karena dibesarkan dalam situasi dan
kondisi yang budaya patriarkhinya sudah mulai
luntur. Sementara itu, generasi tua umumnya
masih bias gender karena selain mereka
dibesarkan dalam kondisi budaya patriakhi
yang masih kental. Oleh karena itu sekolah yang
para guru dan kepala sekolahnya semua
berpendidikan tinggi, dan hidup dalam kondisi
budaya patriarkhi sudah menipis, bahkan sudah
178
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
maju, sehingga sadar bahwa pahlawan perempuan sudah waktunya diangkat harkat martabatnya, sehingga gambar pahlawan perempuan
perlu diangkat dalam publik dengan dipasang
di dinding sekolahnya.
Diharapkan hal seperti ini diikuti sekolah
lain, yaitu kepala sekolah yang dulu didominasi
laki-laki kini mulai banyak dijabat perempuan,
terutama ditingkat SD. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian Ruminiati (2010) yang dalam
temuannya menyebutkan kepala sekolah di SD
tidak hanya sabar dan rapi, tetapi juga memiliki
perhatian lebih kepada siswa-siswinya.
Ketidakadilan gender yang terjadi pada
pendidikan formal di sekolah seringkali tidak
disadari oleh para pendidik yaitu para guru,
orang tua dan murid-murid. Pada umumnya
para guru merasa telah memperlakukan semua
murid perempuan dan laki-laki secara adil.
Mereka tidak mengetahui dan tidak memperhatikan apakah buku-buku pelajaran yang
mereka pakai dan diwajibkan dipakai benarbenar tidak bias gender. Apakah kurikulum
yang diterapkan termasuk ekstra kurikuler juga
tidak bias gender. Pembedaan perlakuan antara
siswa laki-laki dengan siswa perempuan dengan
juga terjadi pada upacara-upacara yang digelar
di sekolah. Siswa laki-laki karena tegap dan
suaranya lantang selalu dipilih sebagai
pemimpin upacara, mereka tidak menyadari
bahwa siswa perempuan juga ada yang bersuara
latang dan tegap dan layak menjadi pemimpin
upacara.
Terjadinya pembedaan perlakuan tersebut
dianggap wajar, sehingga akses menjadi
pemimpin upacara yang tidak diberikan pun
tidak dipedulikan karena dianggap yang pantas
menjadi pimpinan upacara adalah siswa lakilaki. Isu kesenjangan gender dalam pendidikan
yang paling menonjol: (1) semakin tinggi
jenjang pendidikan makin lebar kesenjangan
gendernya; (2) kurangnya keterwakilan perempuan dalam pengambilan kebijakan dan terbatasnya pemahaman para pengelola dan
pelaksana pendidikan akan pentingnya kese-
taraan gender; (3) masih terjadi gejala segregasi
gender (gender segregation) dalam pemilihan
jurusan atau program studi di Sekolah Menengah Umum, Sekolah Menengah Kejuruan; (4)
di daerah pedesaan anak perempuan didorong
untuk menikah dan meninggalkan sekolah.
Keseteraan gender di dalam bidang
pendidikan sangat penting mengingat sektor
pendidikan merupakan sektor yang sangat
strategis untuk memperjuangkan kesetaraan
gender. Saat ini di Indonesia sudah banyak
kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang
pendidikan yang mengarah pada terciptanya
kesetaraan gender. Kesempatan untuk meningkatkan potensi sumber daya manusia
(SDM) Indonesia baik laki-laki maupun perempuan tidak dibedakan. Upaya pemerintah dalam
mengembangkan SDM melalui pendidikan di
Indonesia terus ilakukan, tetapi mengalami
hambatan pada saat krisis ekonomi melanda
Indonesia. Krisis ekonomi ini tidak saja berdampak pada daya beli masyarakat tetapi juga
pada kemampuan orangtua untuk membiayai
sekolah anak-anaknya.
Saat ini di Indonesia sudah tidak ada
kebijakan yang bias gender terkait dengan
kesempatan untuk mendapatkan pendidikan
mulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga
Perguruan Tinggi (PT). Jika terjadi perbedaan
jumlah siswa laki-laki dan siswa perempuan
pada jurusan-jurusan tertentu baik di SMA,
SMK, maupun di PT disebabkan adanya asumsi
perbedaan kemampuan intelektual dan
keterampilan antara siswa laki-laki dan siswa
perempuan. Kondisi tersebut disebabkan adanya kekurangan informasi untuk menentukan
pilihan jurusan atau program studi, juga adanya
faktor keluarga dengan berbagai persepsinya
yang sudah bias gender. Peran orang tua di
dalam pemilihan jurusan masih sangat dominan, para siswa masih banyak yang mendapat
intervensi dari orang tua mereka, padahal
jurusan yang dipilih di sekolah akan berakibat
lanjutan kepada kesempatan meneruskan
pendidikan atau memilih pekerjaan.
Namun demikian bahan ajar yang
digunakan serta proses pengelolaan pendidikan
masih bias gender, yaitu memuat pemilahan
antara laki-laki dan perempuan. Ayah
digambarkan bekerja di sektor publik seperti
bekerja di kantor, kebun dan sejenisnya,
sedangkan para ibu digambarkan bekerja di
sektor domestik, seperti di dapur, memasak,
mencuci, mengasuh anak, dan sejenisnya.
Penanaman posisi bias gender tersebut dianggap sebagai hal yang wajar oleh para peserta
didik perempuan (siswi, mahasiswi) maupun
laki-laki (siswa, mahasiswa).
Gender dan Pembelajaran
Sosialisasi kepekaan gender melalui jalur
struktural yang dipandang lebih efektif adalah
melalui pendidikan, yakni dengan mengintegrasikan ke dalam manajemen pendidikan
yang responsif gender dan didukung oleh
kebijakan pendidikan yang responsif gender.
Kegiatan pembelajaran lazimnya melibatkan berbagai komponen yang saling
berinteraksi, seperti metode, kurikulum, guru,
siswa dan sarana. Metode, dalam proses
pendidikan mempunyai kedudukan sangat
penting dalam upaya pencapaian tujuan, karena
menjadi sarana dalam menyampaikan materi
pelajaran yang tersusun dalam kurikulum
pendidikan, sehingga dapat dipahami dan
diserap oleh peserta didik. Pemilihan suatu
metode mengajar disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu tujuan; karakteristik siswa; situasi
dan kondisi; perbedaan pribadi atau gender dan
kemampuan guru; dan sarana dan prasarana
(Usman, 2002:73).
Kurikulum merupakan salah satu faktor
yang penting dalam proses pembelajaran.
Implementasi kurikulum berbasis gender adalah
merupakan model implementasi kurikulum
yang memberikan kesempatan kepada semua
peserta didik tanpa diskriminasi dalam memperoleh kesempatan belajar sebagaimana tertera
dalam kurikulum yang berlaku. Setiap peserta
didik diberi hak, tanggung jawab, kesempatan,
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
179
perlakuan, dan penilaian yang sama dalam
proses pembelajaran. Adapun ciri-ciri implementasi kurikulum berbasis kesetaraan gender,
yaitu: (1) semua peserta didik memperoleh
kesempatan belajar sebagaimana tertera dalam
kurikulum yang berlaku; (2) materi pembelajarannya dikembangkan dari berbagai sumber
dan tidak bias gender, dan (3) menekankan pada
partisipasi yang sama semua peserta didik
dalam proses belajar di sekolah.
Guru memegang peranan utama sebagai
pemegang kendali dalam aktivitas pembelajaran, dan memiliki pemahaman yang mendalam tentang beberapa konsep dasar materi,
pembelajaran dan psikologi perkembangan
peserta didik. Pemahaman guru dan siswa
tentang konsep keseteraan gender dalam
aktivitas pembelajaran adalah; terimplementasi
pada tujuan pembelajaran yang mengarah pada
kesadaran kesamaan tugas manusia di muka
bumi ini dan untuk mengarahkan pada upaya
menghargai perbedaan gender, penggunaan
metode pembelajaran yang berbasis pada
metode teacher and student centered, metode
pembelajaran yang mengembangkan keterampilan sosial, kognitif, dan mosional, dan metode
yang memadukan kemandirian dan kerjasama
siswa (Rahmawati, 2008). Selain itu berimplikasi pula pada pengelolaan aktivitas pembelajaran yang mencakup keaktifan subjek belajar
(guru dan siswa/lakilaki dan perempuan) di
kelas, pembelajaran berpusat pada kompetensi
dan pluralitas siswa (perbedaan gender), guru
sebagai fasilitator dan motivator yang sensitif
gender, dan adanya kerjasama yang harmonis
di antara subjek belajar.
Sarana dan prasarana, merupakan segala
sesuatu yang diperlukan untuk dapat mendukung dan memperlancar kegiatan pembelajaran. Sarana dan prasarana yang ada di
sekolah diupayakan tidak bias gender. Penggunaan sarana dan prasarana harus dapat
dilakukan dengan memanfatkan sumber daya
180
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
sekolah dan sumber daya di lingkungan sekolah, seperti: pemanfaatan media ruang kelas
dengan banyak dipajang gambar laki-laki dan
perempuan dan sejumlah buku teks yang
digunakan sebagai media pembelajaran. Guru
dapat dikatakan memiliki sensitivitas gender
yang tinggi jika menyeimbangkan keaktifan
siswa (laki-laki dan perempuan) di kelas,
menciptakan iklim belajar yang kondusif, dan
mengupayakan perpustakaan sekolah dengan
menyediakan buku-buku yang memadai
sebagai bahan referensi yang tidak bias gender.
Kesimpulan dan Saran
Pelaksanaan pembelajaran IPS di SD
belum menekankan pada aspek keterampilan
sosial, juga belum responsive gender. Oleh
karena itu, disarankan melalui makalah inpara
pembaca dan pengguna supaya dalam pembelajaran IPS di SD lebih meningkatkan keterampilan sosial dan kesetaraan gender.
Daftar Rujukan
Gunawan. 2014. Pendidikan IPS SD Filosofi,
Konsep dn Aplikasi. Bandung: Penerbit
Alfabetas
Ruminiati, 2005. Promosi Jabatan kepala
Sekolah di Sekolah Dasar Ditinjau dari
Prespektif Gender. Surabaya Unair
Ruminiati, 2008. Pengembangan Pembelajaran PKn SD. Jakarta: Dikti
Ruminiati, 2010. Implikasi Teori Sosiobiologis
dan Budaya Patriarkhi dalam Pembelajaran IPS di SD Berbasis Gender.
Malang: Universitas Negeri Malang
Ruminiati & Mahanai Putri. 2015. Pendidikan
JPS SD. Malang: Gunung Samodera
Susanto, Ahmad. 2014. Pengembangan
Pembelajaran IPS SD. Jakarta: Prenada
Media Group
Menulis, Wujud Eksistensi dan
Ekspresi Diri*)
Oleh : Titien Agustina
STIMI Banjarmasin
A. PENDAHULUAN
Ketertarikan saya pada persoalan dunia
tulis menulis, diawali sejak baru mengenal baca
tulis. Ketika dipinjami Majalah Si Kuncung,
itulah awal minat dan ketertarikan saya pada
dunia tulis-menulis. Walau gagal dan gagal, tak
menyurutkan minat dan keinginan saya untuk
terus belajar menulis dan menulis, hingga menjajal setiap ada lomba karya tulis baik regional
maupun nasional.
Koran/surat kabar adalah pilihan saya,
karenahasil karya tulis yang saya hasilkan lebih
kepada opini/feature. Menulis opini/featuretetap harus mengikuti aturan-aturan ilmiah juga.
Tidak boleh lepas dari data dan fakta. Walaupun
tidak seketat dalam menulis karya ilmiah
(murni).
Kata kunci: menulis, tema, opini, feature, data/fakta,
eksistensi dan ekspresi diri.
tian kita, sekaligus apa yang tengah hangat di
publik.
C. TEKNIK MEMULAI TULISAN
DAN MEMELIHARA IDEA
Banyak orang, sulit dalam memulai
menulis. Padahal intinya adalah tulis, tulis dan
tulis saja apa yang ada dalam benak/kepala.
Proses waktu akan menuntun membentuk suatu
pola tulisan dan awal tulisan yang baik hingga
menjadi style kita.
Untuk memelihara idea/gagasanadalah
dengan selalu rajin membaca, mengikuti berita/
informasi, lalu menganalisisnya. Hasil analisis
menimbulkan buah pikiran “baru”, maka
tuangkan dalam tulisan. Selain itu juga rajin
mencatat apapun yang terlintas dan muncul
dalam pikiran, kapan dan dimana saja. Saya
menyebutnya dengan “buku saku idea”.
B. MENEMUKAN DAN MEMILIH
D. PENUTUP
TEMA OPINI
Tema tulisan, haruslah yang sedang
hangat menjadi perbincangan di masyarakat.
Bisa juga “berbeda” tetapi urgen, itu bisa menjadi salah satu pertimbangan redaksi.
Gampang menemukan tema tulisan.
Hanya perlu melatih kepekaan terhadap sekitar.
Kemudian dalam memilih tema tulisan, ikuti
saja apa yang sedang menjadi minat dan perha-
Semaju apapun jaman dan peradaban
manusia. Secanggih apapun teknologinya.
Dunia tulis menulis tidak akan pernah usang
dan aus, bahkan pudar dari peradaban manusia.
Namun ia akan tetap eksis, berkembang dalam
bentuk dan modifikasi yang berbeda, sesuai
jamannya. Intinya tetap satu, mewujudkan/
mengembangkanbuah pikiran dan hasil perasaan dalam bentuk karya (tulis) apapun.
————————
*) Disajikan pada Seminar Internasional di UNMER Malang, 13-14 Juni 2015
**) Penulis adalah Dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Indonesia (STIMI) Banjarmasin dan saat ini sedang menempuh
Program Doktor Ilmu Ekonomi di Pascasarjana Unmer Malang.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
181
Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kecerdasan
Spiritual Terhadap Kepemimpinan
Transformasional Serta Implikasinya Terhadap
Kinerja Karyawan Padayayasan Pembinaan
anak Cacat Di Jawa Timur
Oleh: Kasribening Menik – Dosen STIE Indocakti Malang
transformasional. Peran kepemimpinan transformasional dari seorang pimpinan akan
A. Latar Belakang Masalah
mempengaruhi dan meningkatkan kinerja
Sumberdaya yang unggul akan dapat organisasi.
meningkatkan kinerja pegawai yang pada
Penelitian dari Duckett dan Macfariane
akhirnya akan mampu untuk meningkatkan (2005) yang mengkaji hubungan antara
kinerja organisasi secara keseluruhan. Aspek kecerdasan emosional dengan kepemimpinan
yang perlu diperhatikan guna pembenahan dan transformasional hasil dari penelitian ini dapat
pembinaan sumberdaya manusia secara terus disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
menerus adalah peningkatan mutu manajemen posotif antara kecerdasan emosional pimpinan
organisasi. Keterampilan dan keahlian sangat terhadap model kepemimpinan. Pemimpin
diperlukan demi suksesnya organisasi, selain yang semakin cerdas secara emosional maka
itu faktor leadership skill (keahlian dalam model kepemimpinannya cenderung lebih
memimpin) para bawahan atau karyawan transformasional.
sangat diperlukan. Robbins (2006) mengatakan
Sementara itu Bycio, Allen dan Hacket
bahwa suksesnya suatu organisasi sangat (1995) melakukan penelitian tentang hubungan
tergantung pada kwalitas kepemimpinan.
antara gaya kepemimpinan transaksional dan
Pemimpin yang efektif harus berhubu- transformasional dengan efektivitas dan kinerja.
ngan dengan individu-individu, kelompok Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa
dalam organisasi. Seorang pemimpin mempu- model kepemimpinan transformasional berhunyai perilaku yang disesuaikan dengan situasi bungan positif terhadap peningkatan kepuasan
dan kondisi organisasi serta mampu untuk dan kinerja organisasi.
memberikan arahan dan dorongan serta semaKesuksesan seorang pemimpin sangat
ngat pada bawahannya.
dipengaruhi oleh tiga macam kecerdasan yaitu,
Brown, Bryant dan Reilly (2006) meneliti (1) kecerdasan intelektual ( intelligence quotentang hubungan kecerdasan emosional tient ) dibuktikan dengan prestasi akademik, (2)
dengan kepemimpinan, hasil penelitian ini kecerdasan emosional ( emotional quotient )
dapat disimpulkan seorang pemimpin akan yang dapat dibuktikan dengan perilaku sosial
mempengaruhi model kepemimpinannya. yang baik dan berempati, (3) kecerdasan spiriSemakin cerdas emosional seorang pemimpin, tual ( spiritual quotient ) yang dapat dilihat dari
maka model kepemimpinannya akan semakin perilaku keagamaan individu atau kesolehan
I. PENDAHULUAN
182
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
individu dan kesolehan sosial kemasyarakatan.
Keseimbangan penggunaan ketiga intelektualitas ini yaitu intelligence quotient ( IQ ),
emotional quotient ( EQ ), dan spiritual quotient ( SQ ) dalam pekerjaan tidak hanya membuat seseorang sukses, tetapi juga bahagia
(Ginanjar,2007).
Pengelolaan organisasi pada Yayasan
Pembinaan Anak Cacat (YPAC) membutuhkan
figur kepemimpinan yang dapat mengarahkan
dan memberikan dukungan penuh terhadap
pembentukan kehandalan karyawan. Kepemimpinan yang handal akan memberikan dampak
bagi peningkatan kinerja. Kepemimpinan
sangat penting dalam menggerakkan organisasi.
Seorang pemimpin dalam strata apapun mempunyai cirri khas dalam memimpin. Kepemimpinan yang tepat diharapkan bagi semua
komponen, sehingga bisa mengakomodasikan
secara maksimal serta dapat memberikan hasil
yang optimal melalui kinerja karyawan.
Kepemimpinan yang baik akan sangat
berpengaruh terhadap perubahandan kinerja
perusahaan. Organisasi yang baik pada dasarnya dipengaruhi olehorang-orang yang memimpin di organisasi tersebut. Kepemimpinan
seorangpemimpin dipengaruhi oleh kecerdasan
emosionalnya. Pemimpin yangmempunyai
derajat emosional yang baik, maka dapat diperkirakan modelkepemimpinannya cenderung
bersifat transformasional. Sebaliknya apabila
derajat emosionalnya rendah, maka model
kepemimpinannya akan cenderungbersifat
transaksional. Kepemimpinan transformasional
sangat diperlukan olehorganisasi perusahaan
untuk dapat mencapai tujuan organisasi. Dalam
banyakhal kepemimpinan akan berpengaruh
terhadap kinerja pegawainya.
Kepemimpinan yang baik akan sangat
berpengaruh terhadap perubahan dan kinerja
perusahaan. Penilaian kinerja dapat diartikan
sebagai suatu proses komunikasi yang berarti
bahwa penilaian kinerja akan memberikan
informasi kepada individu dan organisasi
tentang kinerja karyawan dan organisasi secara
menyeluruh.
Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC)
termasuk penyelenggara pelayanan bagi
penyandang cacat (difabel) bagi masyarakat
khususnya di JawaTimur dengan pelayanan
pendidikan dan kesehatan. Secara efektif YPAC
ini berfungsi sebagai panti swadana yang
melayani masyarakat umum. Penyelenggaraan
diarahkan kepada peningkatan mutu, efisiensi
dan pendapatan. Kegiatan pokok diarahkan
pada peningkatan sumberdaya manusia, customer oriented, reorganisasi pelayanan dalam
upaya optimalisasi tenaga kerja pada unit kerja,
peningkatan manajemen, pengembangan sistem
informasi, pengembangan sistem informasi,
standarisasi pelayanan dan peningkatan dan
pengembangan sarana,prasarana dan peralatan.
Oleh sebab itu diperlukan kinerja karyawan
dalam rangka peningkatan pendapatan yang
berdampak kepada peningkatan mutu pelayanan
Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu
dilakukan penelitian untuk mengkaji secara
mendalam, bagaimana mengatasi permasalahan
dalam rangka mencapai tujuan yakni meningkatkan kinerja karyawan melalui kepemimpinan transformasional.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang diangkat dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana deskripsi kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, kepemimpinan
transformasional dan kinerja karyawan ?
2. Bagaimana pengaruh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual terhadap
kepemimpinan transformasional ?
3. Bagaimana pengaruh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual terhadap
kinerja karyawan?
4. Bagaimana pengaruh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual terhadap
kinerja karyawan melalui kepemimpinan
transformasional ?
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
183
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui deskripsi kecerdasan
emosional, kecerdasan spiritual, kepemimpinan transformasional dan kinerja
karyawan
2. Untuk menganalisis pengaruh kecerdasan
emosional dan kecerdasan spiritual terhadap kepemimpinan transformasional.
3. Untuk menganalisis pengaruh kecerdasan
emosional dan kecerdasan spiritual terhadap kinerja karyawan.
4. Untuk menganalisis pengaruh kecerdasan
emosional dan kecerdasan spiritual terhadap kinerja karyawan melalui kepemimpinan transformasional.
untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman
yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan
bagaimana mengerjakannya.
2. Kecerdasan Emosional
Definisi yang luas tentang kecerdasan
emosional (emotional intelligence)adalah
merupakan sebuah kemampuan untuk memonitor perasaan dan emosidirinya dan orang lain,
kemampuan untuk dapat membedakan antara
keduanya,dan menggunakan informasi tersebut
untuk mengarahkan pikiran dan tindakan
seseorang (Salovey & Mayer, 1997).
3. Kecerdasan Spiritual
Sinetar dan Khalil (dalam Zohar dan
D. Kegunaan Penelitian
Marshall, 2007) mendefinisikan kecerdasan
1. Untuk mengembangkan teori sumberdaya spiritual sebagai pikiran yang mendapatkan
manusia yang berkaitan dengan kepemim- inspirasi, dorongan, danefektifitas yang terinspinan yang berimplikasi terhadap kinerja. pirasi, theisness atau kepercayaan Tuhan.
2. Sebagai bahan acuan bagi pihak yang Pengertian inimengandung makna di dalam
berkepentingan dalam hal pengambilan dimensi diri manusia terdapat roh, yang karena
keimanannya terhadap yang maha kuasa, terus
kebijakan atau keputusan.
3. Untuk memberikan masukan yang ber- terasah yang membuat manusiabisa mengarahmanfaat bagi para peneliti yang akan kan segala perbuatannya dalam kehidupan.
Bila kecerdasan spiritual (spiritual quodatang.
tient) telah berkembang dengan baik, maka
gambaran atau ciri – ciri orang yang memiliki
KAJIAN PUSTAKA
kecerdasan spiritual(spiritual quotient) tinggi,
A. Tinjauan Teori
menurut Zohar dan Marshall (2007) adalah
sebagaiberikut :
1. Kinerja
1). Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif
Bernardin dan Russel (1993), yang
secara spontan dan aktif),
mengatakan bahwa kinerja adalah catatan2). Tingkat kesadaran tinggi,
catatan perolehan yang dihasilkan dari fungsi
3). Kemampuan mengadaptasi dan memansuatu pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu
faatkan penderitaan,
selama periode waktu tertentu. Jadi kinerja
4). Kemampuan menghadapi dan melampaui
berkenaan dengan hasil pekerjaan yang telah
rasa sakit,
dicapai karyawan dalam periode tertentu.
5). Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan
Sementara itu Hersey dan Blancard
misi,
(1993), mengatakan bahwa kinerja merupakan
6). Keengganan untuk menyebabkan kerugian
suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan.
yang tidak perlu,
Untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan,
7). Kecenderungan untuk melihat keterkaitan
seseorang harus memiliki derajat kesediaan dan
antara berbagai hal(berpendangan holisitingkat kemampuan tertentu. Ketersediaan dan
tik),
ketrampilan seseorang tidaklah cukup efektif
184
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
8). Kecenderungan nyata untuk bertanya, untuk
mencari jawaban mendasar,
9). Pemimpin yang penuh pengabdian dan
bertanggung jawab.
4. Kepemimpinan Transformasional
Pengertian Kepemimpinan Transformasional
Bass and Avolio (2003) mengartikan
Kepemimpinan Transformasional adalah para
pemimpintransformasional yang sesungguhnya
yakni ketika mereka memberikankesadaran
tentang apa itu benar, baik, indah, ketika mereka
membantumeninggikan kebutuhan dari para
bawahan dalam mencapai apa yang diinginkandan dalam mencapai aktualisasi, para
pemimpin membantu dalam mencapaitingkat
kedewasaan moral yang lebih tinggi dan ketika
para pemimpin itu mampumenggerakkan para
bawahannya untuk melepaskan kepentingan
diri merekasendiri untuk kebaikan group,
organisasi, maupun masyarakat.
Leadership style
The volume of research on leadership has
increased rapidly. The research has given rise
to various models, among which the foremost
is a model that identifies three types
ofleadership: transformational, transactional
and laissez-faire leadership (Bass, 2003).
Transformational leadership
“Leaders transform the needs, values,
preferences and aspirations of followers from
selfinterest to collective interests. Further, they
cause followers to become highly committed
tothe leader’s mission, to make significant personal sacrifices in the interest of the mission,
andto perform above and beyond the call of
duty” (Shamir et al., 1993).
The transformational leadership style is
considered the most effective one (Bass, 1997).
Rouche et al. (1989) defined transformational leadership in terms of the ability of a
leader to influence the values, attitudes, beliefs,
and behaviors of others by working with and
through them in order to accomplish the
organization’s mission and purpose.
The theory of transforming leadership
was developed primarily by Burns in 1978. He
defined a transforming leader as someone who
“looks for potential motives in followers, seeking to satisfy higher needs, and engages the full
person of the follower” (Burns, 1978).
Based on the work of Burns (1978), Bass
(1990) developed a model of transformationaland transactional leadership and established four clear components of transformational leadership:
• Idealised influence (charisma): Leaders display conviction, emphasise trust, take
stands on difficult issues, present their most
important values, and emphasise the importance of purpose, commitment, and the
ethical consequences of decisions. Such
leaders are admired as role models generating pride, loyalty, confidence, and alignment around a shared purpose.
• Inspirational motivation: Leaders articulate
an appealing vision of the future, challenge
followers with high standards, talk optimistically with enthusiasm, and provide encouragement and meaning for what needs
to be done.
• Intellectual stimulation: Leaders question
old assumptions, traditions, and beliefs,
stimulate new perspectives and ways of
doing things, and encourage the expression
of ideas and reasons in others.
• Individualised consideration: Leaders deal
with others as individuals, consider their
individual needs, abilities, and aspirations,
listen attentively, further their development,
advice, teach and coach.
B. Tinjauan Penelitian Terdahulu
1. Penelitian oleh Chcok San Lam dan
Elcanor O’Higgins (2013)dengan judul “
Emotional Intelligence and Leadership
Styles in China”.Penelitian ini mengeksplorasi tingkat kecerdasan emosional dan
gaya kepemimpinan manajer di China
dibandingkan dengan konteks di Barat.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
185
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di
China hubungan antara Kecerdasan Emosional dan gaya kepemimpinan Transformasional berkorelasi positif.
2. Penelitian oleh Muhammad Ibrahim Khan,
Muhammad Aslam Khan, tahir Saeed,
Muhammad Suleman Khan dan Sanaullah
(2011) dengan judul : “Linking Emotional
Intelligence and Transformational Leadership : Services Sector of Pakistan “ Hasil
penelitian menyimpulkan bahwa adanya
hubungan antara Kecerdasan Emosional
(EQ) dan Kepemimpinan Transformasional
untuk manajer dan supervisor di Pakistan
di organisasi sektor jasa.
3. Penelitian oleh Louis W. Fry dan Melanie
P. Cohen (2009) dengan judul : “Spiritual
Leadership as a Paradigm for Organizational Transformation and Recovery from
Extended Work Hours Cultures”. Hasil
penelitian ini menjelaskan bahwa kepemimpinan Spiritual sebagai paradigma
untuk Transformasi Organisasi untuk
pemulihan dari aspek-aspek negatif, untuk
meningkatkan kinerja karyawan, dan
tanggung jawab sosial perusahaan.
4. Penelitian oleh Donald P. Moynihan,
Sanjay K. Pandey, Bradley E. Wright
(2011) dengan judul “ How Transformational Leadership Fosters Performance in-
186
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
formation Use” Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional mempengaruhi pelaksanaan
Kinerja.
KERANGKA KONSEPTUAL DAN
HIPOTESIS
A. Kerangka Konseptual
1. Kinerja sebagai variabel endogen kedua
(Y2) diukur dengan menggunakan instrumen : 1) Kualitas 2) Kuantitas 3) Ketepatan
waktu 4) Efektifitas Biaya 5) Kebutuhan
supervisi 6) Hubungan pribadi.
2. Kepemimpinan Transformasional sebagai
variabel (Y1) diukur dengan menggunakan
instrumen : 1) Kharisma 2) Inspirasi 3)
Stimulasi Intelekt ual 4) Konsiderasi
Individu.
3. Kecerdasan emosional sebagai variabel
eksogen (X1) diukur dengan menggunakan
instrumen : 1) Intrapersonal Skill 2) Interpersonal Skill 3) Tegas 4) Kepuasan dalam
hidup5) Harga diri 6) Aktualisasi diri.
4. Kecerdasan spiritual sebagai variabel (X2)
diukur dengan menggunakan instrumen :
1) Bersikap Flexibel 2) Tingkat Kesadaran
Tinggi 3) Kemampuan menghadapi
kegagalan 4) Kualitas Hidup 5) Berpandangan Luas 6) Penuh Pengabdian dan
Tanggung Jawab.
X1 =KECERDASAN
EMOSIONAL
X1.1 = Intrapersonal Skill
X1.2 = Interpersonal Skill
X1.3 = Tegas
X1.3 = Kepuasan Hidup
X1.5 = Harga diri
X1.6 = Aktualisasi diri
(Mayer dan Salovey,1997)
X2 =KECERDASAN
SPIRITUAL
X2.1 = Bersikap fleksibel
X 2.2 = Tingkat kesadaran tinggi
X 2.3 = Kemampuan menghadapi
Kegagalan
X 2.4 = Kualitas hidup yang
Diilhami Visi dan Misi
X 2.5 = Berpandangan luas
X 2.6 = Penuh pengabdian dan
Tanggung jawab
(Zohar dan Marshall, 2007)
Y2= KINERJA
Y1 = KEPEMIMPINAN
TRANSFORMASIONA
L
Y 1.1 = Kharisma
Y 1. 2 = Inspirasi
Y 1. 3 = Stimulasi
Intelektual
Y 1. 4 = Konsiderasi
Individu
(Bass dan Avolio,2003)
B. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini berdasarkan pada
kerangka konseptual dan juga hasil- hasil
penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Rumusan hipotesis dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
1. Kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kepemimpinan transformasional.
Y2 .1 =Kualitas
Y 2. 2 =Kuantitas
Y 2. 3 = Ketepatan
waktu
Y 2. 4 = Efektivitas
biaya
Y 2. 5 = Kebutuhan
Supervisi
Y 2. 6= Hubungan
pribadi
(Benardin dan
Russel, 1993)
2. Kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kinerja karyawan.
3. Kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kinerja karyawan melalui kepemimpinan spiritual.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
187
DARI MANA MENULIS
DAN BAGAIMANA PENGEMBANGAN
MODEL PEMBELAJARANNYA?
Oleh
Alif Mudiono
Universitas Negeri Malang
Alamat rumah: Jalan Jawa 14 Blitar; HP. 08125251484
E-mail: [email protected]
Abstract: Writing is one of the aspects of the language most valued after speaking activities, reading and
listening. Writing requires practice, stable and sustainable. Without training on an ongoing basis will be
difficult for a person to choose and define the vocabulary, sentence structuring, as well as in developing
alenia. Writing can be done by (1) writing directly and the theory afterwards; (2) starting from wherever
allowed; (3) start learning nonlinear. Writing activities can be developed using a model (1) a personal
journal; (2) the field trip; (3) audio-visual media; (4) probing - prompting. In the following description
presented about where someone is doing writing activities and how teachers in developing its learning
models?
Keywords: writing, models, learning
Abstrak: Menulis merupakan salah satu aspek kegiatan berbahasa yang paling tinggi nilainya setelah
kegiatan berbicara, membaca, dan menyimak. Menulis memerlukan latihan, keajegan, dan berkelanjutan.
Tanpa latihan secara berkelanjutan akan menyulitkan seseorang dalam memilih dan menentukan kosa
kata, menyusun struktur kalimat, maupun dalam mengembangkan alenia. Menulis dapat dilakukan dengan
cara (1) langsung menulis teori belakangan; (2) dimulai dari manapun boleh; dan (4) melalui pembelajaran
nonlinier. Kegiatan menulis dapat dikembangkan dengan menggunakan model (1) jurnal pribadi; (4) karya
wisata; (6) media audio visual; dan (4) probing-prompting. Pada uraian berikut dipaparkan tentang dari
mana seseorang melakukan kegiatan menulis dan bagaimana cara guru dalam mengembangkan modelmodel pembelajarannya?
Kata kunci: menulis, model, pembelajaran
Menulis sebagai salah satu keterampilan
berbahasa diakui oleh umum. Menulis merupakan
keterampilan yang mensyaratkan penguasaan
bahasa yang baik. Dalam belajar bahasa, menulis merupakan kemahiran tingkat lanjut. Dalam
hal ini, Semi (2007:5) berpendapat bahwa pembelajaran menulis merupakan dasar untuk keterampilan menulis. Penulis sendiri berpandangan
bahwa untuk menulis, pembelajar harus me-
188
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
nguasai kosakata kaidah tata tulis, yakni ejaan,
dan kaidah tata bahasa, morfologi dan sintaksis.
Menulis sebagaimana berbicara, merupakan keterampilan yang produktif dan ekspresif.
Perbedaannya, menulis merupakan komunikasi
tidak bertatap muka (tidak langsung), sedangkan berbicara merupakan komunikasi tatap muka
(Tarigan, 2008:2). Menurut Alwasilah (2010:
128), keterampilan menulis berhubungan erat
dengan membaca. Hal ini diakui pula oleh Semi
(2007: 5). Semakin banyak siswa membaca,
semakin cenderung memiliki kelancaran membaca dan menulis.
Sebuah tulisan dikatakan baik apabila
memiliki ciri, di antaranya bermakna, jelas/lugas,
merupakan satu kesatuan, singkat dan padat,
serta memenuhi kaidah kebahasaan. Di samping
itu tulisan yang baik harus bersifat komunikatif.
Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kemampuan menulis merupakan kemampuan
yang kompleks, yang menuntut sejumlah pengetahuan dan keterampilan sekaligus. Untuk menulis sebuah karangan yang sederhana pun
secara teknis sudah dituntut untuk memenuhi
persyaratan sebagaimana yang diatur dalam
persyaratan kegiataan menulis.
Menulis sebagai proses kreatif memindahkan gagasan ke dalam lambang-lambang
tulisan. Menulis juga diartikan sebagai suatau
kegiatan penyampaian pean dengan menggunakan bahasa tulisan atau medianya (Suparno dan
Yunus, 2007:21). Menulis merupakan salah satu
kemapuan berbahasa yang perlu dimiliki seseorang. Dengan demikian, ada empat unsur yang
terlibat, yakni (1) penulis yang bertindak sebagai penyampai pesan, (2) pesan atau isi yang
terkandung di dalam tulisan, (3) media yang
berupa tulisan, dan (4) pembaca sebagai penerima pesan.
Menulis memiliki manfaat baik untuk
penulis maupun pembaca. Menulis mempunyai
manfaat (1) meningkatkan kecerdasan, (2)
mengembangkan inisiatif dan kreativitas, (3)
menumbuhkan keberanian, dan (4) mendorong
kemauan dan kemampuan mengumpulkan informasi. Dalam hal ini, Graves (dalam Suparno,
2006:14) menyatakan bahwa seseorang tidak
akan menulis karena tidak taahu apa yang
ditulis, dan merasa tidak tahu bagaimana harus
menulis. Atas dsar ini, peran guru sangatlah
diperlukan dalam pembelajaran menulis. Tujuannya agar siswa termotivasi dan terangsang
minat menulis. Dalam hal ini, untuk menghasilkan karya tulis, kemudian dapat digunakan
sebagai bahan pembelajaran atau diserahkana
kepada seseorang sebagai bukti karya ilmiah,
kemudian dinilai, menuntut seorang penulis
memahami betul arti kata menulis. Seorang
yang memahami dengan baik makna kata menulis akan betu-betul pedulu terhadap kejelasan
apa yang ditulis, kekuatan tulisan dalam mempengaruhi orang lain, keaslian pikiran yang
dituangkan dalam tulisan, kepiawaian penulis
dalam memilih kata-kata dan mengolah katakata maupun kalimat (Santoso dkk., 2008:6.14).
Dilihat dari prosesnya, pembelajaran menulis menuntut kerja keras guru agar kegiatan
menulis menjadi kegiatan yang menyenangkan,
sehingga siswa tidak merasa dipaksa untuk
menyusun sebuah tulisan. Sebaliknya siswa
merasa senang karena diajak oleg guru untuk
melakukan kegiatan menulis. Beberapa cara
yang ditempuh guru dalam melakukan kegiatan
agar menulis itu kegiatan yang menyenangkan
bagi siswa.
DIMULAI DARI MANA MENULIS?
Menulis sebagai suatu proses menurut
Santoso dkk., (2008) dapat dilakukan melalui
langkah-langkah (1) langsung menulis teori
belakangan; (2) mulai dari manapun boleh; (3)
menulis sambil bercanda; dan (4) pembelajaran
menulis nonlinier. Pertama, dalam proses langsung teori belakangan, menulis dipahami sebagai suatu keterampilan, bukan sebagai ilmu.
Keterampilan menulis merupakan salah satu
aspek keterampilan berbahasa yang paling tinggi
nilainya setelah keketerampilan berbicara. Sebagai suatu keterampilan, menulis membutuhkan latihan uang inten, dan berkelanjutan. Sebagai ilmu komposisi, menulis akan mengajarkan berbagai jenis paragraf, kohesi dan koherensi, jenis wacana (deskripsi, eksposisi, narasi,
argumentasi, persuasi). Kesemuanya ini akan
membuat siswa tidak bisa menulis. Semakin
banyak aturan dalam menulis, akan membuat
siswa enggan dan tidak menulis. Dalam hal ini,
menulis dapat dimulai tanpa harus mengetahui
teori-teori menulis. Jika ingin menulis sebaiknya
langsung terjun ke dalam kegiaatan menulis
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
189
yang sebenarnya, tanpa mempedulikan apakah
tulisannya memenuhi aturan sebagaimana yang
diatur dalam peraturan menulis.
Kedua, dimulai dari manapun boleh.
Menulis dapat dimulai dari bagian mana yang
paling disenangi. Guru dapat mengajak siswa
dengan cara mendeskripsikan benda-benda di
sekitarnya, menulis cerita, menulis puisi dengan
bantuan media yang menarik, maupun kegiatan
lainnya. Dalam hal ini, yang perlu diingat bahwa
kata kunci pembelajaran menulis adalah mengajak siswa menulis, bukan mengajarkan menulis.
Dengan menggunakan kata kunci, siswa dapat
dibawa ke dalam situasi kegiatan menulis yang
menyenangkan. Misalnya, ketika siswa diperdengarkan menyimak tentang “Benda-benda di
Lingkungan Sekitar” tentunya mereka memiliki
pengalaman bermcam-macam pengalaman yang
menarik dan jawabannya beragam. Dari berbagai pengalaman ini , siswa dapat menceritakan
pengalman mereka secara tertulis. Setelah selesai
menulis dengan menggunakan bahasa mereka
sesuai dengan pengalamannya, mereka dapat
mengembangkan daya imaginasinya. Dengan
demikian, kesan yang tertanam dalam diri mereka
bahwa menulis itu mudah.
Ketiga, pembelajaran menulis nonlinier.
Tidak semuakegiatan menulis perlu diajarakan
kepada siswa. Akan tetapi yang penting adalah
penanaman kebiasaan dan kecintaan menulis.
Dalam kegiatan menulis, guru tidak perlu mentargetkan semua kegiatan menulis sebagaimana
terdapat dalam kurikulum. Akan tetapi, guru
mentargetkan tiga kegiatan menulis yang pasti
dalam setiap semester yang sudah diprogram
dalam penilaian portofolio. Di dalam kegiatan
ini, guru menginformasikan kepada siswa menulis kisah perjalanan, pengalaman yang tidak
terlupakan, melanjutkan cerita yang belum
selesai, mendeskripsikan sesuatu ataupun yang
lain. Dalam hal ini, siswa bebas menentukan
pilihannya dan mengembangkannya sesuai
dengan kemampuan imaginasinya tanpa diikat
dengan kalimat topik yang sama. Selama kegiatan awal menulis, guru menyampaikan kepada siswa bahwa menulis jangan takut salah,
190
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
yang paling penting senang melakukan kegiatan
menulis. Guru memberikan komentar-komentar
setelah siswa menyelesaikan tulisannya. Pada
akhir kegiatan, guru menginformasikan kepada
siswa untuk menyalin karangannya dengan
memberikan pesan agar tulisan disalin di kertas
yang baik dan diupayakan tulisannya bersih dan
tidak ada coretan. Selanjutnya, semua hasil tulisan/karangannya dipajangkan di ruangan kelas
sebagai hasil penilaian portofolio.
PENGEMBANGAN MODEL
PEMBELAJARAN MENULIS
Model pembelajaran diartikan sebagai
prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai
tujuan belajar yang digunakan dalam pembelajaran. Kaitannya dengan kegiatan menulis di
sekolah, pembelajaran menulis dapat dikembangkan melalui model (1) example non example; (2) pemodelan; (3) jurnal pribadi; (4)
karya wisata; (5) kancing gemericing (Talking
Chips); (6) media audio visual; dan (7) probing-prompting. Penjelasan masing-masing
dipaparkan sebagai berkut.
Menulis Sederhana Melalui Model Jurnal
Pribadi
Terdapat banyak cara untuk mengkategorikan bentuk tulisan. Penggolongan tulisan
secara tradisional adalah narasi, deskripsi dan
persuasi. Meskipun penggolongan tersebut
nampaknya teoritis tetapi siswa menggunakannya untuk berbagai tujuan antara lain untuk
mengekspresikan pendapat, memberikan informasi dan kesenangan (Tomkins, 1991; 187).
Berbagai macam strategis dapat digunakan dalam pembelajaran menulis, baik menulis
dalam bentuk dormal maupun menulis dalam
bentuk informal. Guru diharapkan mampu berkreativitas dalam memadukan strategi-strategi
pembelajaran sehingga dapat menciptakan pembelajaran yang menarik. Tomkins (1991:187)
membuat cerita, menulis informasi dan menulis
puisi. Jika dikaitkan dengan bentuk jurnal atau
catatan maka Tomkins mengkategorikan jurnal
sebagaibentuk tulisan tidak resmi (informasi
writing). Pembelajaran menulis informal dilaksanakan agar tulisan siswa berkembang dengan
lancar dan dapat membuat sisw belajar. Faris
(1993: 206) menyatakan bahwa tulisan jurnal
pribadi merupakan bentuk tulisan tidak formal
dan sering tidak berstruktur.
Tulisan jurnal pribadi merupakan bentuk
tulisan tidak resmi. Oleh sebab itu strategi yang
digunakan dalam pembelajaran menulisjurnal
pribadi juga menggunakan strategi tidak resmi.
Pembelajaran menulis jurnal pribadi dilaksanakan untuk mengembangkan keterampilan
siswa dalam mencurahkan gagasan. Tomkins
(1991:187). menyatakan proses belajar mengajar
dalam pembelajaran menulis catatan pribadi
menggunakan strategi informal yang meliputi
(1) curah pendapat lisan, (2) demonstrasi guru,
(3) temu pendapat lisan, (4) pembelajaran mini,
dan (5) berbagi hasil kerja.
Menulis sebuah jurnal adalah sebuah
langkah penting bagi seorang anak untuk menjadi penulis di kemudian hari. Menulis jurnal
setiap hari menjadi kebiasaan positif bagi siswa
untuk menuangkan ide, gagasan, pikiran ke
dalam bentuk nyata berupa rangkaian kata dan
kalimat. Kebiasaan ini akan mengarahkan siswa
untuk terbiasa menulis tanpa beban. Menulis
bukan hal yang menakutkan atau menyebalkan
lagi, karena menulis jurnal belum disosialisasikan disekolah. Padahal kebiasaan menulis
jurnal mempunyai sisi positif dalam dunia
pengajaran serta perkembangan jiwa para siswa
(Alwasilah, 2010).
Rangkaian cerita dalam menulis jurnal
pribadi harus dilakukan secara berurutan dan
sistematis. Hal ini tampak pada sebuah karangan dalam bentuk sederhana mengurutkan
kejadian secara ilmiah (natural order) atau
mengurutkan proses suatu peristiwa dalam
urutan waktu kejadiannya (kronologis). Dalam
kenyataan, menulis jurnal pribadi didasarkan
pada suatu rangkaian kejadian yang bertalian
dengan urutan waktu. Dengan demikian, orga-
nisasi perincian utamanya akan bersifat kronologis atau menurut urutan waktu alamiah.
Dalam menulis jurnal pribadi juga diperhatikan pengembangan gagasan. Pengembangan gagasan inilah yang dapat menyatukan
ide secara utuh dan padu untuk disampaikan
secara tertulis. Sebaiknya gagasan yang akan
disampaikan dalam bentuk tulisan menggunakan bahasa yang menarik dan komunikatif agar
terjalin hubungan erat antara penulis dan pembaca.
Menulis Narasi Melalui Model Karya Wisata
Karya wisata (field trip) adalah pesiar
(ekskursi) yang dilakukan oleh siswa untuk
melengkapi pengalaman belajar tertentu. Dengan
karya wisata sebagai metode belajar mengajar,
siswa dibawah bimbingan guru mengunjungi
tempat-tempat tertentu dengan maksud untuk
belajar. Menurut Rusyan (1993:82) banyak
memiliki nilai non akademis, tetapi tujuan umum
pendidikan dapat dicapai, terutama mengenai
wawasan dan pengalaman tentang dunia luar
seperti kunjungan ketempat-ketempat situs
bersejarah, museum, peternakan yang sistematis,
dan sebagainya.
Kabaikan dari metode karya wisata adalah:
(1) siswa dapat mengamati kenyataan yang
beraneka ragam dari dekat, (2) siswa dapat
menghayati pengalaman baru dengan mencoba
ikut serta di dalam suatu kegiatan, (3) siswa dapat
menjawab masalah-masalah atau pertanyaanpertanyaan dengan melihat, mendengar, mencoba
dan membuktikan secara langsung, (4) siswa
dapat memperoleh informasi dengan jalan
mengadakan wawancara atau mendengarkan
ceramah yang diberikan on the spot, dan (5) siswa
dapat mempelajari sesuatu secara integral dan
komprehensif (Sagala, 2009: 215)
Adapaun kelemahan-kelemahan dari
metode karya wisata adalah: (1) memerlukan
persiapan yang melibatkan banyak pihak, (2) jika
karya wisata sering dilakukan akan mengganggu
kelancaran rencana pembelajaran, apabila jika
tempat yang dikunjungi jauh dari sekolah, (3)
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
191
kadang-kadang mendapat kesulitan dalam
bidang pengangkutan, (4) jika tempat yang
dikunjungi itu sukar diamati, akibatnya siswa
menjadi bingung dan tidak akan mencapai tujuan
yang diharapkan. Misalnya untuk mempelajari
proses kimia yang dikerjakan oleh mesin yang
diamati, (5) memerlukan pengawasan yang ketat,
dan (6) memerlukan biaya yang relatif tinggi
(Sagala, 2009: 215).
Keberhasilan karya wisata sangat tergantung pada tujuan perencanaan yang dibuat.
Komponen perencanaan menurut beberapa ahli
hampir sama, yang berbeda hanya penekanannya
saja. (Morgan et al, 1976) menekankan penjadwalan yang detail harus sudah selesai pada awal
perencanaan. Mardikanto, 1993) menekankan
agar tempat tujuan dipilih yang mempunyai
kaitan dengan masalah, petensi dan peluang yang
sedang akan dihaadapi sasaran. (Flores dkk,
1983) mengingatkan jangan mengunjungi terlalu
banyak objek dalam satu hari, lebih baik dipilih
beberapa objek yang benar-benar tepat.
Kunjungan karya wisata akan lebih mudah
dilaksanakan jika perencanaan telah disusun
secara cermat, kemudian dilaksanakan dengan
baik. Sering kali sulit untuk menjaga agar kelompok selalu bersama-sama dan menjaga perhatian
mereka ketika berada dilapangan atau lokasi.
Sebaiknya guru harus selalu memantau siswanya
dalam lokasi, sehingga kegiatan karya wisata
dapat berjalan sesuai dengan rencana. Pelaksanakan kunjungan karya wisata menurut Morgan
(1976) sebagai berikut. (1) pengenalan terhadap
maksud dan tujuan serta objek yang akan diamati,
(2) menjaga minat kelompok peserta, (3) mempertahankan partisipasi perserta dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan, (4)
pengaturan kenyamanan fisik, pengakhiran
kunjungan, serta (5) tindak lanjut dan evaluasi.
Menulis Literasi Fokus Narasi Melalui
Model Probing-Prompting
Istilah literasi yang dalam bahasa Inggrisnya Literacy berasal dari bahasa Latin littera
(huruf) yang pengertiannya melibatkan pengua192
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
saan sistem-sistem tulisan dan konvensi-konvensi yang menyertainya. Kendatipun demikian,
literasi utamanya berhubungan dengan bahasa
dan bagaimana bahasa itu digunakan. Adapun
sistem bahasa tulis itu sifatnya sekunder. Manakala berbicara mengenai bahasa, tentunya tidak
lepas dari pembicaraan mengenai budaya karena
bahasa itu sendiri merupakan bagian dari budaya.
Sehingga, pendefinisian istilah literasi tentunya
harus mencakup unsur yang melingkupi bahasa
itu sendiri, yakni situasi sosial budayanya.
Literasi didefinisikan penggunaan praktikpraktik situasi sosial, dan historis, serta kultural
dalam menciptakan dan menginterpretasikan
makna melalui teks. Literasi memerlukan setidaknya sebuah kepekaan yang tak terucap tentang hubungan-hubungan antara konvensi-konvensi tekstual dan konteks penggunaanya serta
idealnya kemampuan untuk berefleksi secara
kritis tentang hubungan-hubungan itu. Karena
peka dengan maksud/tujuan, literasi itu bersifat
dinamis – tidak statis – dan dapat bervariasi di
antara dan di dalam komunitas dan kultur diskursus/ wacana.
Literasi memerlukan serangkaian kemampuan kognitif, pengetahuan bahasa tulis
dan lisan, pengetahuan tentang genre, dan
pengetahuan kultural). Yang dimaksud dengan
teks di atas adalah mencakup teks tulis dan teks
lisan. Adapun pengetahuan tentang genre
adalah pengetahuan tentang jenis-jenis teks
yang berlaku/digunakan dalam komunitas
wacana misalnya, teks naratif, eksposisi, deskripsi dan lain-lain. Dengan demikian, pembelajaran literasi adalah proses belajar yang mempelajari tentang kemampuan berkomunikasi
lisan dan tulisan. Pembelajaran literasi dalam
Standar Isi ditunjukkan dengan materi pokok
pembelajaran Bahasa Indonesia yang terbagi ke
dalam empat standar kompetensi, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Istilah Probing Prompting berasal dari
kata Probing dan kata Prompting. Probing
menurut arti katanya adalah penyelidikan,
pemeriksaan dan prompting adalah mendorong
atau menuntun. Penyelidikan atau pemeriksaan
disini bertujuan untuk memperoleh sejumlah
informasi yang telah ada pada diri siswa agar
dapat digunakan untuk memahami pengetahuan
atau konsep baru. Dorongan atau tuntunan
diberikan oleh guru dalam menggali pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki oleh
siswa.
Model Pembelajaran probing prompting
adalah suatu cara untuk melaksanakan kegiatan
pembelajaran dengan cara guru menyajikan serangkaian pertanyaan yang sifatnya menuntun,
membimbimbing, dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan pengetahuan tiap siswa dan pengalamannya dengan
pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Selanjutnya siswa mengkonstruksi konsep-prinsip
dan aturan menjadi pengetahuan baru, dengan
demikian pengetahuan baru tidak diberitahukan.
Pembelajaran probing prompting sangat
erat kaitannya dengan pertanyaan. Pertanyaanpertanyaan yang dilontarkan pada saat pembelajaran ini disebut probing question. Probing
question adalah pertanyaan yang bersifat menggali untuk mendapatkan jawaban lebih lanjut
dari siswa yang bermaksud untuk mengembangkan kualitas jawaban, sehingga jawaban
berikutnya lebih jelas, akurat serta beralasan.
Probing question ini dapat memotivasi siswa
untuk memahami lebih mendalam suatu masalah hingga mencapai suatu jawaban yang dituju.
Proses pencarian dan penemuan jawaban atas
masalah tersebut siswa berusaha menghubungkan pengetahuan dan pengalaman yang telah
dimilikinya dengan pertanyaan yang akan dijawabnya (Ayu, 2010)
Dengan model pembelajaran ini proses
tanya jawab dilakukan dengan menunjuk siswa
secara acak sehingga setiap siswa mau tidak
mau harus berpartisipasi aktif, siswa tidak bisa
menghindar dari proses pembelajaran, setiap
saat siswa bisa dilibatkan dalam proses tanya
jawab. Kemungkinan akan terjadi suasana tegang, namun demikian bisa dibiasakan untuk
mengurangi kondisi tersebut dengan cara guru
hendaknya memberi serangkaian pertanyaan
disertai dengan wajah ramah, suara menyejukkan, dan nada yang lembut. Ada canda, senyum
dan tertawa sehingga menjadi nyaman, menyenangkan dan ceria. Perlu diingat bahwa jawaban
siswa yang salah harus dihargai karena salah
adalah ciri siswa sedang belajar dan telah berpartisipasi.
Terdapat dua aktivitas siswa yang saling
berhubungan dalam pembelajaran probing
prompting, yaitu aktivitas siswa yang meliputi
aktivitas berpikir dan aktivitas fisik yang berusaha
membangun pengetahuannya, serta aktivitas
guru yang berusaha membimbing siswa dengan
menggunakan sejumlah pertanyaan yang memerlukan pemikiran tingkat rendah sampai pemikiran tingkat tinggi. Aktivitas secara fisik
yang diharapkan terjadi dengan teknik probing
adalah siswa menjawab pertanyaan, mengajukan pertanyaan, atau memberikan sanggahan,
sedangkan aktivitas berpikirnya adalah pembentukan pengetahuan baru.
Pembelajaran literasi fokus menulis narasi melalui model probing prompting dilakukan dengan cara (1) menghadapkan siswa
pada situasi baru, misalnya dengan menunjukkan gambar, cerita, alat pembelajaran, objek,
gejala yang dapat memunculkan teka-teki atau
permasalahan; (2) memberi waktu tunggu
beberapa saat (3-5 detik) atau sesuai keperluan
agar siswa melakukan pengamatan sekaligus
siswa melakukan diskusi dalam kelompoknya
untuk merumuskan pertanyaan sesuai indikator
yang akan dicapai dengan bimbingan guru; (3)
mengajukan pertanyaan sesuai indikator atau
kompetensi yang ingin dicapai siswa; (4) memberi waktu tunggu beberapa saat (2-4 detik)
untuk memberikan kesempatan siswa merumuskan jawabannya dengan melakukan diskusi; (5) meminta seorang siswa untuk menjawab pertanyaan yang telah diajukan; (6) jika
jawaban yang diberikan siswa benar atau
relevan dilanjutkan dengan siswa lain, untuk
meyakinkan bahwa semua siswa terlibat dalam
kegiatan yang sedang berlangsung serta memberi pujian atas jawaban benar. Jika jawaban
keliru atau tidak relevan, diajukan pertanyaan
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
193
susulan yang berhubungan dengan respon pertama, dimulai dari pertanyaan yang bersifat
observasional kemudian dilanjutkan dengan
pertanyaan yang menuntut siswa berpikir lebih
tinggi menuju pertanyaan indikator ketercapaian kompetensi dasar sampai siswa dapat
menjawab pertanyaan yang baru diajukan; (7)
pertanyaan yang diajukan pada tahap 6 (enam)
ini sebaiknya diajukan atau diinteraksikan juga
pada siswa lain agar seluruh siswa terlibat dalam
kegiatan probing; dan (8) mengajukan pertanyaan akhir pada siswa lain untuk lebih menegaskan bahwa kompetensi dasar yang dituju
sudah tercapai.
KAJIAN PUSTAKA
Alwasilah, S. S. 2010. Mengajarkan Menulis
pada Anak. http://alwasilah. multipli.com/
lournal/item/29/mengajarkan_menulis
_pada _anal
Arsyad, Azhar. 1995. Media Pembelajaran.
Jakarta: PT Raja Grasindo Persada
Ayu. 2010. Pembelajaran Probing Prompting.
(Online), (http://ayuface.wordpress.com/
2010/12/25/pembelajaran-probingprompting/, diakses tanggal 10 Maret
2011).
Farris, J. 1993. Language Art’s A Proccess
Aproach. Madison: Brown & Benemark
Publisher..
194
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Flores,dkk.1983. Handbook for Exention Work.
College Laguna, Philippines: Soutteast
As ian Regional Center for Graduat Stufy
and Research in Agriculture
Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan
Pertanian Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Morgan, B.et al.1976. Methods in Adult Education. Danville, Illinois: The Interste P
& Publisher, Inc.rinters.
Rusyan, A.T.1993. Proses Bealajar Mengajar
yang Efektif Tingkat Pendidikan Dasar.
Bandung: Bina Budhaya.
Suparno dan Yunus, M. 2007. Keterampilan
Dasar Menulis. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Suparno dkk. 2006. Keterampilan Dasar
Menulis. Jakarta: Universitas Terbuka.
Santoso dkk., 2004. Materi dan Pmbelajaran
Bahasa Indonesia SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
Semi, Atar. 2007. Dasar-dasar Keterampilan
Menulis. Bandung: PT Angkasa.
Tarigan, Henry Guntur. 2008. Menulis sebagai
Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung:
Angkasa.
Tomkins, G.E. 1991. Language Art’s Contens and
Teaching Strategies. New York: Macmilan
College Publishing Company.
PENTINGNYA BAHASA SANTUN
UNTUK MENINGKATKAN
ETIKA BAHASA TULIS
Oleh: Hendry Budiman
UNIVERSITAS MADURA
Absrak: Bahasa merupakan suatu sistem simbol yang bebas yang dipergunakan oleh anggota masyarakat
untuk berinteraksi. Perilaku berbahasa yang dilakukan masyarakat dipengaruhi oleh adanya kebudayaan
pada masyarakat itu sendiri yang dalam arti luas mencakup sifat dan sikap yang dimiliki oleh penutur.
Bahasa santun tidak terlepas dari budaya masyarakat pengguna bahasa itu sendiri. Artinya, penggunaan
bahasa yang santun dipengaruhi oleh budaya masyarakat penutur. Etika berbahasa menjadi penting dalam
interaksi komunikasi. Karena etika berbahasa ini berkaitan dengan norma-norma sosial, pemilihan kode
bahasa. Dari norma-norma sosial dan pemilihan kode bahasa inilah akan terbentuk sistem budaya yang
berlaku dalam suatu masyarakat. Ragam bahasa tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan
tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya. Dalam ragam tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan
(ejaan) di samping aspek tata bahasa dan kosa kata.Bahasa santun dalam etika bahasa tulis menjadi bagian
penting bagi seorang penulis. Hal ini disebabkan oleh isi dari tulisan yang bisa memiliki dampak hasil
tulisan terhadap pembaca. Bahasa santun pada etika bahasa tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan
memanfaatkan tulisan dan huruf sebagai unsur dasarnya yang sesuai dengan etika berbahasa yang dalam
hal ini adalah bahasa tulis. Beberapa hal yang perlu diperhatikan padapenggunaan bahasa santun untuk
meningkatkan etika bahasa tulis: (1) kaidah tata tulis, yakni ejaan; (2) kaidah tata bahasa, morfologi dan
sintaksis; (3) penguasaan kosakata. Berdasarkan unsur fisik dan psikologis, keberadaan kesantunan bahasa
tulis perlu memperhatikan: (1) Jenis huruf; (2) Ukuran huruf: (3) Warna tulisan.
Kata kunci: Bahasa santun, Bahasa tulis,Etika Bahasa
A. PENDAHULUAN
Menulis berarti menyampaikan pikiran,
perasaan, atau pertimbangan melalui tulisan.
Menurut Akhadiah dkk (1998:3) menulis adalah
suatu aktivitas bahasa yang menggunakan tulisan
sebagai mediumnya. Tulisan itu sendiri atas
rangkaian huruf yang bermakna dengan segala
kelengkapan lambang tulisan seperti ejaan dan
pungtuasi. Sebagai salah satu bentuk komunikasi verbal (bahasa), menulis juga dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan penyampaian
pesan dengan menggunakan tulisan sebagai
mediumnya. Pesan adalah isi atau muatan yang
terkandung dalam suatu tulisan.
Kegiatan menulis merupakan keterampilan mekanis yang dapat dipahami dan dipelajari. Menulis sebagai suatu proses terdiri atas
beberapa tahapan. Tompkins (1994) dan Ellis
dkk. (1989) menguraikan lima tahapan menulis,
yaitu pra-menulis, pengedrafan, perbaikan,
penyuntingan, dan publikasi. Pada pramenulis,
penulis diberi kesempatan menentukan apa
yang akan ditulis, tujuan menulis, dan kerangka
tulisan. Setelah penulis menentukan apa yang
akan ditulis dan sistematika tulisan, penulis
mengumpulkan bahan-bahan tulisan dengan
menggunakan buku-buku dan sumber lainnya
untuk memudahkan dalam penulisan.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
195
Dampak utama yang diharapkan penulis
adalah hasil tulisannya dapat diterima dan
dipahami oleh pembaca, namun kaitannya dengan
bahasa santun untuk meningkatkan etika bahasa
tulis adalah dapat memberikan dampak psikologis
bagi pembaca terhadap penulis. Dampak yang
dimaksud berupa kesan yang menyenangkan atau
yang bisa membenci penulis oleh pembaca.
Adanya dampak dari tulisan inilah, menulis
akan menjadi lebih menarik apabila dampaknya
menyenangkan dan akan menjadi tidak menarik
jika berakibat tidak menyenangkan bagi penulis.
Untuk mengkaji dampak yang dimaksud dapat
memanfaatkan kajian ilmu psikolinguistik dan
linguistik itu sendiri.
Memahami bahasa santun tentu menjadi
penting dalam meningkatkan etika bahasa tulis
bagi penulis. Fungsi bahasa sebagai sarana
untuk berkomunikasi dalam kehidupan bersosial mengharuskan penulis memahami pula
norma-norma yang berlaku dalam budaya masyarakat sebagai upaya pendekatan kepada
pembaca.
Secara umum tentu penulis berharap supaya tulisannya bisa diterima dengan baik oleh
para pembaca, terlepas dari akibat yang muncul
dari isi tulisan. Oleh karena itu, menjadi penting
bagi penulis untuk memperhatikan bahasa santun dalam meningkatkanetika bahasa tulis.
B. KEBUDAYAAN DAN BAHASA
SANTUN
Bahasa merupakan suatu sistem simbol
yang bebas yang dipergunakan oleh anggota
masyarakat untuk berinteraksi. Dalam fungsinya
sebagai alat berinteraksi, bahasa merupakan alat
yang paling baik melebihi alat penghubung lain,
tanpa bantuan bahasa, hubungan antara anggota
masyarakat yang satu dengan yang lainnya akan
menjadi sulit. Namun bahasa bukan pula satusatunya alat penghubung, sebab masih ada alat
penghubung lain selain bahasa.
Berbicara bahasa tidak terlepas dari apa
yang disebut kebudayaan. Menurut Taylor (dalam
Aslinda dan Leni, 2010:93) kebudayaan adalah
196
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
suatu keseluruhan rumit yang mencakup bidangbidang pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
hukum, moral, adat istiadat, serta kebiasaan dan
kemampuan lain yang diperoleh oleh seseorang
sebagai anggota masyarakat.
Nababan (dalam Chaer dan Leonie,
2010:163) mengungkapkan pengelompokan
definisi-definisi kebudayaan yang menjelaskan
bahwa kebudayaan itu meliputi segala aspek
dan unsur kehidupan manusia. Pengelompokan
definisi kebudayaan yang dimaksud mencakup
empat golongan, yaitu: (1) definisi yang melihat
kebudayaan sebagai pengatur dan pengikat
masyarakat; (2) definisi yang melihat kebudayaan sebagai hal-hal yang diperoleh manusia
melalui belajar atau pendidikan (nurture); (3)
definisi yang melihat kebudayaan sebagai kebiasaan dan perilaku manusia; dan (4) definisi
yang melihat kebudayaan sebagai sistem komunikasi yang dipakai masyarakat untuk memeroleh
kerja sama, kesatuan, dan kelangsungan hidup
masyarakat manusia.
Koentjaraningrat mengungkapkan bahwa
kebudayaan hanya dimiliki oleh manusia dan
tumbuh bersama dengan berkembangnya masyarakat manusia. Koentjaraningrat menggunakan sesuatu yang disebut “kerangka kebudayaan” yang dimiliki dua aspek, yakni: 1) wujud
kebudayaan dan 2) isi kebudayaan. Dalam hal
ini, wujud kebudayaan dapat dijelaskan adanya:
a) wujud gagasan yaitu sistem budaya yang
bersifat abstrak; b) perilaku yaitu sistem sosial
yang bersifat konkret; dan c) fisik atau benda
yaitu kebudayaan fisik bersifat konkret.
Bahkan lebih rinci dijelaskan bahwa isi
kebudayaan terdiri dari tujuh unsur yang terdapat
dalam setiap masyarakat kebudayaan manusia
yang ada di dunia atau yang disebut bersifat universal. Ketujuh unsur yang dimaksud adalah:
1) bahasa,
2) sistem teknologi,
3) sistem mata pencarian hidup atau ekonomi,
4) organisasi sosial,
5) sistem pengetahuan,
6) sistem religi, dan
7) kesenian.
Mengacu dari apa yang dijelaskan oleh
Koentjaraningrat, jelas bahwa bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Dengan kata
lain bahwa bahasa menjadi salah satu bagian
yang membentuk sebuah kebudayaan dalam
suatu masyarakat. Perilaku berbahasa yang
dilakukan masyarakat dipengaruhi oleh adanya
kebudayaan pada masyarakat itu sendiri yang
dalam arti luas mencakup sifat dan sikap yang
dimiliki oleh penutur.
Setiap masyarakat bahasa pasti memiliki
kebudayaan masing-masing. Hal ini tidak terlepas dari kebiasaan yang dilakukan masyarakat
dalam berinteraksi. Dalam menjalin hubungan
dengan sosialnya, masyarakat membutuhkan
bahasa untuk berkomunikasi.
Bahasa santun tidak terlepas dari budaya
masyarakat pengguna bahasa itu sendiri. Artinya,
penggunaan bahasa yang santun dipengaruhi
oleh budaya masyarakat penutur. Interaksi berbahasa yang dilakukan bisa dijadikan gambaran
terhadap budaya masyarakat penutur.
Menurut Chaer dan Agustina (dalam
Aslinda dan Leni, 2010:92) ada pelbagai teori
mengenai hubungan bahasa dengan kebudayaan. Ada yang mengatakan, bahasa merupakan
bagian dari kebudayaan. Namun, ada pula yang
mengatakan, bahwa bahasa dan kebudayaan
merupakandua hal yang berbeda, tetapi mempunyai hubungan yang sangat erat sehingga
tidak dapat dipisahkan. Ada pula yang berpendapat, bahwa bahasa sangat dipengaruhi oleh
kebudayaan sehingga segala hal yang ada dalam
kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa.
Sebaliknya, ada juga yang mengatakan, bahwa
bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan, cara
berpikir manusia, dan masyarakat penuturnya.
Menggunakan bahasa santun perlu memperhatikan dan mengikuti etika berbahasa sesuai budaya yang berlaku saat berlangsungnya
interaksi komunikasi. Hal ini berkaitan dengan
fungsi sistem bahasa sebagai sarana berlangsungnya suatu interaksi manusia dalam masyarakat. Segala tindak laku berbahasa harus
disertai norma yang berlaku di dalam budaya itu.
Etika berbahasa menjadi penting dalam
interaksi komunikasi. Karena etika berbahasa
ini berkaitan dengan norma-norma sosial, pemilihan kode bahasa. Dari norma-norma sosial
dan pemilihan kode bahasa inilah akan terbentuk sistem budaya yang berlaku dalam suatu
masyarakat.
Menurut Chaer (2010:7) etika berbahasa
mengatur kita dalam beberapa hal: (a) apa yang
harus dikatakan kepada seorang lawan tutur
pada waktu dan keadaan tertentu berkenaan
dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat itu; (b) ragam bahasa yang paling wajar
digunakan dalam waktu dan budaya tertentu;
(c) kapan dan bagaimana kita menggunakan
giliran berbicara kita dalam menyela atau
menginterupsi pembicaraan orang lain; (d) kapan
kita harus diam, mendengar tuturan orang; (e)
bagaimana kualitas suara dan sikap fisik kita
dalam berbicara. Seseorang baru dapat disebut
pandai berbahasa apabila sudah menguasai tata
cara atau etika berbahasa itu.
Membahas tentang etika berbahasa tidak
terlepas dari apa yang disebut dengan psikolinguistik. Psikolinguistik menurut Lado
(dalam Tarigan, 2009:3) adalah pendekatan
gabungan antara psikologi dan linguistik bagi
telaah atau studi bahasa, bahasa dalam pemakaian, perubahan bahasa, dan hal-hal yang ada
kaitannya dengan itu, yang tidak mudah dicapai
atau didekati dengan salah satu dari kedua ilmu
tersebut secara terpisah atau sendiri-sendiri.
Kaitan psikolinguistik dengan etika berbahasa adalah dari aspek pemanfaatan bahasa
itu sendiri yang tidak terlepas dari norma-norma
yang berlaku dalam budaya masyarakat bahasa.
Hal ini untuk menghindari apa yang disebut
“salah paham” dalam penggunaan bahasa.
Pengguna bahasa harus bisa memilih bahasa
yang tepat sesuai dengan etika berbahasa dalam
budaya masyarakat pengguna bahasa itu sendiri.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat
disimpulkan bahwa bahasa santun merupakan
bahasa yang sesuai dengan etika berbahasa
dengan memperhatikan aspek psikolinguistik
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
197
bahasa. Bahasa santun akan terwujud apabila
memperhatikan etika berbahasa dan sesuai
dengan norma-norma sosial dengan memperhatikan pemilihan kode bahasa yang tepat pula.
C. BAHASA TULIS
Tidak dapat dipungkiri, bahwa semua
bahasa mempunyai ragam tulis dan ragam lisan.
Sebagian orang ada yang berpendapat bahwa
ragam tulis adalah pengalihan ragam lisan
kedalam ragam tulis (huruf). Tentu pendapat
ini tidak dapat dibenarkan sepenuhnya sebab
tidak semua ragam lisan dapat dituliskan.
Sebaliknya, tidak semua ragam tulis dapat pula
dilisankan. Bahasa lisan akan lebih mudah
untuk di ungkapkan dibandingkan dengan
bahasa tulis. Sedangkan kaidah atau aturan yang
berlaku bagi ragam lisan belum tentu berlaku
bagi ragam tulis.(Arifin, 2008:18)
Terkadang bahasa tulis lebih sulit dibandingkan dengan bahasa lisan, karena bahasa
tulis harus menggunakan simbol atau kode –
kode tertentu. Bahkan terkadang seseorang
merasa sulit dalam mengawali tentang apa yang
akan ditulis. Sebaliknya, bahasa tulis dan bahasa lisan terkadang ada seseorang yang hanya
mampu menggunakan bahasa tulis saja. Hal ini
biasanya terjadi pada orang yang memiliki
keterbatasan alat ucapnya atau gangguan psikologis, sehingga akan merasa nyaman bila
mengungkapkan dengan tulisan. Namun ada
pula seseorang yang mampu menggunakan
bahasa kedua-duanya (tulis dan lisan).
Dalam pembahasan kali ini akan lebih
fokus pada ragam bahasa tulis. Ragam bahasa
tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan
memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai
unsur dasarnya. Dalam ragam tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan) di
samping aspek tata bahasa dan kosa kata.
Dengan kata lain dalam ragam bahasa tulis, kita
dituntut adanya kelengkapan unsur tata bahasa
seperti bentuk kata ataupun susunan kalimat,
ketepatan pilihan kata, kebenaran penggunaan
198
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
ejaan, dan penggunaan tanda baca dalam mengungkapkan ide (http://intl.feedfury.com/content/
15241462-ragam-bahasa.html).
Ragam bahasa tulis tidak terkait ruang
dan waktu sehingga diperlukan kelengkapan
struktur sampai pada sasaran secara visual atau
bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan
tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya.
Penulis berurusan dengan tata cara penulisan
dan kosakata. Sehingga penulis harus menguasai kaidah tata tulis, yakni ejaan, dan kaidah
tata bahasa, morfologi dan sintaksis. Selain itu,
penguasaan kosakata yang banyak diperlukan
pula.
Penggunaan ragam bahasa tulis, makna
kalimat yang diungkapkannya tidak ditunjang
oleh situasi pemakaian, Oleh karena itu, dalam
penggunaan ragam bahasa baku tulis diperlukan
kecermatan dan ketepatan di dalam pemilihan
kata, penerapan kaidah ejaan, struktur bentuk
kata dan struktur kalimat, serta kelengkapan
unsur-unsur bahasa di dalam struktur kalimat.
Contoh dari ragam bahasa tulis adalah
surat, karya ilmiah, surat kabar, dll. Dalam
ragam bahasa tulis perlu memperhatikan ejaan
bahasa Indonesia yang baik dan benar. Terutama dalam pembuatan karya-karya ilmiah.
Ciri Ragam Bahasa Tulis:
1. Tidak memerlukan kehadiran orang lain.
2. Tidak terikat ruang dan waktu
3. Kosa kata yang digunakan dipilih secara
cermat
4. Pembentukan kata dilakukan secara sempurna,
5. Kalimat dibentuk dengan struktur yang
lengkap
6. Paragraf dikembangkan secara lengkap dan
padu.
7. Berlangsung lambat
8. Memerlukan alat bantu
Contoh bahasa tulis:
- Ariani mengatakan bahwa kita harus belajar.
- Saya sudah membaca buku itu.
- Rasanya masih terlalu muda bagi saya, Pak.
Ragam bahasa tulis memiliki kelemahan
dan kelebihan. Adapun kelebihan dari ragam
bahasa tulis diantaranya:
1. Penulis bisa memilih gagasan, pikiran,
ataupun pesan yang menarik atau menyenangkan untuk pembaca,
2. Dapat dijadikan sebagai sarana memperkaya kosakata.
4. Dapat digunakan untuk menyampaikan
gagasan, pikiran, ataupun pesan.
5. Adanya penggunaan tanda baca dalam
mengungkapkan ide
6. Tidak terkait dengan kondisi dan waktu
seperti ragam bahasa lisan.
7. Menghindari gesekan langsung antara penulis dengan pembaca.
Sedangkan kelemahan dari ragam bahasa
tulis siantaranya sebagai berikut:
1. Penulisan harus disusun sempurna, karena
tidak ada alat atau sarana yang memperjelas pengertian seperti bahasa lisan.
2. Dapat terjadi salah pengertian karena keterbatasan penjelasan
3. Apabila harus mengikuti kaidah-kaidah
bahasa yang cenderung miskin daya pikat
dan nilai jual, sehingga tidak mampu menyajikan informasi yang lugas, dan jujur.
4. Perlu pemahaman atau kesepakatan pemikiran yang samadengan pembaca.
5. Butuh ketelitian yang lebih karena yang
tidak ada dalam bahasa tulisan tidak dapat
diperjelas.
6. Tidak dapat bertemu secara langsung antara
penulis dengan pembaca.
D. PENTINGNYA BAHASA
SANTUN DALAM ETIKA
BAHASA TULIS.
Kesantunan bahasa tulis menjadi bagian
penting bagi seorang penulis. Hal ini disebabkan oleh isi dari tulisan yang bisa memiliki
akibat hasil tulisan terhadap pembaca. Akibat
yang dimaksud tentu bisa berdampak positif
maupun negatif.Karena dari hasil membaca
tulisan, penulis bisa mempengaruhi pembaca.
Sejenak mengingat kembali tentang bahasa santun yaitu bahasa yang sesuai dengan
etika berbahasa. Etika berbahasa akan terwujud
apabila sesuai dengan norma-norma sosial dan
memperhatikan pemilihan kode bahasa yang
tepat pula.
Sedangkan bahasa tulis merupakan bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan
tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya.
Hal ini melibatkan tata cara penulisan (ejaan)
di samping aspek tata bahasa dan kosa kata.
Dengan kata lain dalam ragam bahasa tulis, kita
dituntut adanya kelengkapan unsur tata bahasa
seperti bentuk kata ataupun susunan kalimat,
ketepatan pilihan kata, kebenaran penggunaan
ejaan, dan penggunaan tanda baca dalam mengungkapkan ide.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahasa santun
padayang sesuai dengan etika bahasa tulis adalah penggunaan bahasa yang dihasilkan dengan
memanfaatkan tulisan dan huruf sebagai unsur
dasarnyayang sesuai denganetika bahasa tulis.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam etika bahasa tulis:
1. kaidah tata tulis, yakni ejaan,
2. kaidah tata bahasa, morfologi dan sintaksis,
3. penguasaan kosakata yang banyak diperlukan pula.
Apabila dilihat dari unsur fisik dan
psikologis, keberadaan etika bahasa tulis perlu
memperhatikan:
1. Jenis huruf
2. Ukuran huruf
3. Warna tulisan
Tentu ada perbedaan antara etika bahasa
tulis dengan kesantunan berbahasa. Adapun
perbedaan antara kesantunan bahasa tulis
dengan kesantunan berbahasa:
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
199
ETIKA BAHASA TULIS
- Perlu memperhatikan struktur
kalimat
- Tidak memerlukan ekspresi/
mimik wajah
KESANTUNAN BERBAHASA
- Tidak perlu struktur kalimat
- Menjaga ekspresi/ mimik wajah
- Menjaga sikap/ perilaku
- Menjaga intonasi suara
- Tidak perlu menjaga sikap/ perilaku
- Menjaga karakter suara
- Intonasi dengan tanda baca
- Peristiwa tutur
- Tidak memerlukan karakter suara
- Tidak perlu bentuk, ukuran,
- Tidak mengenal peristiwa tutur
warna huruf
- Perlu bentuk, ukuran, warna huruf
Sedangkan persamaan antara etika bahasa
tulis dengan kesantunan berbahasa adalah
sama-sama perlu memperhatikan:
1. penggunaan kode bahasa,
2. jenis pilihan kata yang tepat,
3. kesepahaman pemikiran,
4. etika bahasa.
Bahasa santun menjadi penting penggunaannya dalam etika bahasa tulis. hal ini dapat
dilihat dari manfaatnya:
1. mengurangi salah paham antara pembaca
dengan penulis.
2. mempermudah pembaca dalam memahami
isi bacaan
3. menimbulkan rasa senang pembaca terhadap penulis
4. menimbulkan sikap positif terhadap hasil
tulisan (buku)
Dengan demikian, penggunaan bahasa
santun akan menjadi penting penggunaannya
dalam meningkatkan etika bahasa tulis. Karena
dapat memberikan manfaat baik bagi penulis
maupun bagi pembaca.
E. PENUTUP
Bahasa santun pada etika bahasa tulis
adalah bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dan huruf sebagai unsur
dasarnya yang sesuai dengan etika berbahasa.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
etika bahasa tulis: (1) kaidah tata tulis, yakni
200
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
ejaan; (2) kaidah tata bahasa, morfologi dan
sintaksis; (3) penguasaan kosakata. Berdasarkan unsur fisik dan psikologis, keberadaan etika
bahasa tulis perlu memperhatikan: (1) Jenis
huruf; (2) Ukuran huruf: (3) Warna tulisan.
Dengan adanya bahasa santun dalam
etika bahasa tulis ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif kepada para penulis
untuk menghasilkan karya tulis terbaiknya.
Kontribusi yang dimaksud adalah penulis diharapkan bukan hanya mementingkan tujuannya
dalam menulis, namun juga penulis dapat
berupaya memahami kondisi secara fisik
maupun psikologis dari calon pembacanya.
Disisi lain, bahasa santun dalam etika
bahasa tulis dapat menambah wawasan bagi
para pembaca untuk menghadirkan pemahaman
terhadap karya tulis dengan memunculkan
kesepemahaman pikiran antara pembaca
dengan penulis. Selain itu, diharapkan dapat
mempermudah pembaca dalam memahami
karya tulis.
DAFTAR RUJUKAN
Akhadiah, S., Maidar, G.A., dan Sakura, H.R.
1989. Pembinaan Kemampuan Menu-lis
Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Arifin, Zaenal E dkk. 2008. “Cermat barbahasa
Indonesia”untuk perguruan tinggi.
Jakarta: AKAPRES edisi revisi.
Aslinda dan Leni Syafyahya. 2010. Sintaksis
Bahasa Indonesia.Bandung: PT Refika
Aditama.
Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan berbahasa.
Jakarta: PT Asdi Mahasatya.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010.
Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta:
PT Rineka Cipta.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Psikolinguistik.
Bandung: CV Angkasa.
http://intl.feedfury.com/content/15241462ragam-bahasa.html
ANALISIS KRITIS PENTINGNYA
MENGETAHUI GAYA BELAJAR SISWA
SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN
PEMBELAJARAN MENULIS
Abstrak
Oleh:
Elly Yunariyati, M.Pd
Ceramah menjadi metode mengajar yang paling favorit. Itu berarti, mengajar lebih disikapi sebagai
pekerjaan rutin yang tidak pernah ada inovasi. Setiap gaya dalam aktivitas mencerminkan gaya belajar
seseorang, oleh karena itu, kita selaku pendidik, harus bisa memahami atau menganalisis tingkah laku
siswa dalam kesehariannya untuk dapat merumuskan gaya belajar apa yang cocok dengan mereka.
Gaya belajar siswa atau studentlearning style dapat diartikan sebagai karakteristik kognitif, afektif, dan
perilaku psikologis seorang siswa tentang bagaimana dia memahami sesuatu, berinteraksi dan merespons
lingkungan belajarnya, yang bersifat unik dan relatif stabil atau lebih singkatnya SLS adalah suatu
karakteristik yang mengacu pada cara mereka mendapatknan dan memproses atau mengolah informasi.
Cara menganalisis gaya belajar bisa dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu ditentukan dengan
pertimbangan genetic atau biologis, dominasi otak kanan/ kiri, modalitas indrawi, kebutuhan fisik,
lingkungan, pengelompokan sosial, dan sikap.
Salah satu bidang garapan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah yang memegang peranan
penting ialah pengajaran menulis. Tanpa memiliki kemampuan menulis yang memadai sejak dini, anak
akan mengalami kesulitan belajar dikemudian hari. Menulis merupakan salah satu dari keterampilan
berbahasa yang harus dikuasai dengan baik oleh siswa.
Gaya belajar sangat penting terhadap perkembangan pendidikan, gaya belajar dapat berperan sebagai
dongkrak untuk meningkatkan kemampuan pembelajaran menulis karena gaya belajar mempengaruhi
keefektifan belajar dan pembelajaran.. Dengan gaya belajar yang tepat maka kemampuan siswa dalam
menerima dan mengolah informasi akan menjadi lebih baik yang akan berdampak meningkanya kemampuan
menulis.
Key Word: pembelajaran, gaya belajar, menulis
A. LATAR BELAKANG
Mengajar adalah seni (Teaching is art),
pemahaman yang telah mengakar berpuluh
tahun itu, pada dasarnya menyimpan makna
yang dalam. Seni dalam menata kawasan dan
runtutnya kompetensi, seni dalam mendiskripsikan tujuan yang hendak dicapai, seni dalam
memilih dan menerapkan pendekatan, strategi,
model,metode, dan tehnik pembelajaran, seni
dalam mendesaian dan memanfaatkan media,
seni dalam memilih dan memanfaatkan sumber
belajar, dan seni dalam mengevaluasi. Seni
dalam mengelola berbagaia komponen system
pembelajaran tersebut tidak bisa dimiliki seseorang tanpa menggali secara konseptual untuk
dapat menggunakannya secara proporsional.
Perlu usaha terus menerus untuk memahaminya. Dalam praktik keseharian, kebanyakan
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
201
para pengabdi di arena pengajaran lebih memahami pekerjaan mengajar sebagai pekerjaan
yang didasarkan pada kesesuaian minat masingmasing pengajar, tanpa peduli bahwa mengajar
pada dasarnya membelajarkan siswa. Akibatnya, pilihan yang paling sesuai adalah yang
cocok dan tidak merepotkan para pengajar itu
sendiri.Ceramah menjadi metode yang paling
favorit. Itu berarti, mengajar lebih disikapi sebagai pekerjaan rutin yang tidak pernah ada
inovasi.
Selama ini, pernahkah anda mengamati
tingkah laku siswa? Mereka yang mengetukngetuk meja dengan pulpennya saat kegiatan
belajar mengajar sedang berlangsung, mereka
yang diam terpaku pada papan tulis, atau mereka yang sering kali izin ke kamar mandi untuk
membasuh wajahnya? Setiap individu terlahir
berbeda dengan individu yang lain, sekalipun
dengan kembarannya sendiri. Sekalipun terdapat kesamaan dan terbentuk suatu kelompok
hobi atau yang lainnya, pastilah terdapat celah
perbedaan diantara mereka. Ya, kita semua
beragam, kita semua memiliki gaya yang khas
masing-masing, termasuk siswa-siswa kita.
Dan taukah anda bahwa setiap gaya dalam
aktivitas mencerminkan gaya belajar seseorang? Oleh karena itu, kita selaku pendidik,
harus bisa memahami atau menganalisis tingkah laku siswa dalam kesehariannya untuk
dapat merumuskan gaya belajar apa yang cocok
dengan mereka.
Salah satu bidang garapan pembelajaran
bahasa dan sastra Indonesia di sekolah yang
memegang peranan penting ialah pengajaran
menulis. Tanpa memiliki kemampuan menulis
yang memadai sejak dini, anak akan mengalami
kesulitan belajar dikemudian hari (depdikbud,
1993:1). Hal ini dikarenakan menulis merupakan suatu kompunen berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang
lain. Menulis merupakan salah satu dari keterampilan berbahasa yang harus dikuasai dengan
baik oleh siswa.
202
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Saking berpengaruhnya gaya belajar terhadap perkembangan pendidikan, gaya belajar
dikaitkan sebagai dongkrak kemampuan menulis karangan siswa. Kenapa bisa dikatakan
seperti itu? Karena gaya belajar mempengaruhi
ke-efektif-an belajar dan pembelajaran. Ketika
seseorang dengan gaya belajar A dipaksakan
mengikuti gaya belajar yang berbeda dengan
gaya belajar yang dimilikinya, siswa merasa
tertekan, dan menyebabkan kekurangnyamanan
dalam pembelajaran. Itu berimplikasi pada
kegiatan belajar mengajar yang tidak sempurna.
Penyerapan materi yang harusnya bisa mencapai progresss8 86% bisa jadi hanya 30-40%.
Oleh karena itu, sebagai guru yang ingin memajukan/meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia yang menggunakan pendidikan formal
‘kaku’, kita wajib mempelajari sekaligus mencari hal yang bisa merelasikan gaya belajar siswa, agar guru lebih mendalami berbagai model,
metode, dan tehnik yang nantinya dapat diterapkan di kelas masing-masing yang pada gilirannya pembelajaran yang dikelolanya lebih
menarik dan menyenangkan siswa.
Upaya mencapai tujuan pembelajaran
menulis dilakukan dengan menggunakan metodemetode mengajar yang sesuai dengan materi
pelajaran bahasa. Dengan demikian, melalui
sebuah kajian teoritis ini, penulis mengangap
begitu pentingnya sebagai tenaga pendidik untuk
mengetahui apa saja gaya belajar siswa sekaligus
kaitannya dengan upaya peningkatan pembelajaran menulis.
B. TEORI ANALISIS GAYA
BELAJAR
Gaya Belajar siswa atau studentlearning
style dapat diartikan sebagai karakteristik
kognitif, afektif, dan perilaku psikologis seorang siswa tentang bagaimana dia memahami
sesuatu, berinteraksi dan merespons lingkungan
belajarnya, yang bersifat unik dan relatif stabil
atau lebih singkatnya suatu karakteristik yang
mengacu pada cara mereka mendapatknan dan
memproses atau mengolah informasi.
Pembuktian akan gaya yang berbeda
dapat kita ketahui dari beberapa kasus, tentang
kecenderungan sifat berikut. Contohnya murid
yang suka dengan hal fakta, data, atau teka-teki,
dengan siswa yang cenderung belajar aktif dan
interaktif, dan lain-lain.
Cara menganalisis gaya belajar bisa dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu ditentukan dengan pertimbangan genetic atau biologis,
dominasi otak kanan/ kiri, modalitas indrawi,
kebutuhan fisik, lingkungan, pengelompokan
sosial, dan sikap. Seperti yang dilakukan LSAlearning style analysis (analisis gaya belajar).
Dominasi otak kanan/ kiri, menunjukkan
strategi pemrosesan otak secara berurutan, atau
simultan gaya berfikir yang reflektif (merenung)
atau impulsive dan kereluruhan gaya belajar
analitis atau holistis. (Prashing Barbara, 2004:97).
Modal indrawi, melibatkan auditori (mendengar berbicara, dialog ‘batin’), visual (membaca, melihat, membuat visualisasi), taktil (memanipulasi, memegang), dan prefensi-prefensi
kinestatik (melakukan merasakan) (Prashing
Barbara, 2004:97).
Kebutuhan Fisik, mengidentifikasi kebutuhan akan mobilitas (prefensi untuk bergerak
atau diam ditempat), asupan makanan (makan,
menggigit, mengunyah, merokok), dan prefensi
pada waktu-waktu tertentu (bioritme pribadi).
(Prashing Barbara, 2004:97)
Lingkungan, memperlihatkan prefensi
pada suara (memerlukan music/suara atau
menginginkan suasana sunyi), cahaya (memerlukan pencahayaan yang terang atau redup),
suhu (memerlukan lingkungan yang sejuk atau
hangat), dan wilayah kerja (menginginkan
penataan formal atau tidak formal dan penataan
perabotan yang nyaman). (Prashing Barbara,
2004:99)
Pengelompokkan sosial, melibatkan prefensi untuk bekerja sendiri, berpasangan, dengan
teman sebaya, atau dalam sebuah tim, dan
otoritas (menginginkan belajar dengan guru dan
atau orang tua atau tanpa mereka). (Prashing Barbara, 2004:99)
Sikap, memperlihatkan motivasi (termotivasi secara internal atau eksternal untuk kegiatan belajar), ketekunan (tinggi, naik-turun/
berfluktusi atau rendah), penyesuaian (menyesuaikan atau tidak menyesuaikan/ pemberontak), struktur (mengarahkan diri sendiri atau
memerlukan arahan, bimbingan dari orang
lain), variasi (membutuhkan rutinitas/ konsistensi atau berorientasi perubahan/ membutuhkan variasi). (Prashing Barbara, 2004:979)
Gaya-gaya Belajar menurut para ahli:
•
(MODALITAS) Bandler-Grinder (NLP)
memilah gaya belajar menjadi 3, yakni,
Visual, Auditori, dan Kinestetik (Haptik).
Thomas memberikan penjelasan untuk
setiap gaya belajar. Untuk mereka yang
menganut gaya belajar visual, mereka
sangat peka dengan apa yang mereka lihat.
Mereka bisa melihat suatu hal yang unik
dari gambar, video, film atau apapun aplikasi yang dilihatnya lewat bola matanya.
Jadi, bagi pengajar, disarankan ketika
kegiatan KBM membuat suatu perantara,
misalnya dengan menggunakan LCD, atau
membagikan peta konsep yang menarik
bagi penganut gaya belajar ini. Bagi mereka yang tergolong penganut gaya belajar
auditori, mereka tertarik dengan stimulasi
yang memancing pendengaran mereka.
misalnya mereka bisa cepat menangkap
materi yang diberikan ketika mendengarkan musik. Supaya dapat merengsang otak,
musik yang digunakan tidak boleh sembarang music, tempo yang baik untuk
merangsang otak adalah tempo dengan 4060 ketukan/ menit untuk tempo cepat, dan
60-80 ketukan permenit atau 80-120 ketukan permenit untuk membangkitkan semangat. Gaya belajar kinestetik/ haptik
merupakan gaya belajar yang dianut seorang siswa yang suka bergerak. Ciricirinya adalah, siswa ini dapat menangkap
pelajaran yang diberikan apabila Ia menyentuh benda. Contoh, orang ini menggerak-gerakkan pensil saat kegiatan belajar
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
203
mengajar, mengetuk-ketuk meja, sulit berdiam diri, Suka menggunakan objek yang
nyata sebagai alat bantu belajar. Untuk
memberikan pengetahuan supaya bisa
diserap dengan baik, hendaknya pendidik
membuat sesuatu yang memberikan informasi tertentu agar ia bisa mengingatnya.
•
204
(SPEKTRUM) David Kolb, salah seorang
ahli pendidikan dari Amerika Serikat, mengklasifikasi gaya belajar ke dalam 4 kecenderungan pertama yaitu, Concrete Experience
(CE), Abstract Conceptualization (AC), Reflective Observation (RO), Active Experimentation (AE).
Concrete experience, merupakan Siswa
yang belajar melalui perasaan (feeling),
dengan menekankan segi-segi pengalaman
kongkret, lebih mementingkan relasi dengan
sesama dan sensitivitas terhadap perasaan
orang lain. Siswa melibatkan diri sepenuhnya melalui pengalaman baru, dan siswa
cenderung lebih terbuka dan mampu beradaptasi terhadap perubahan yang dihadapinya.
Abstract Conceptualization, merupakan
Siswa yang belajar melalui pemikiran
(thinking) dan lebih terfokus pada analisis
logis dari ide-ide, perencanaan sistematis,
dan pemahaman intelektual dari situasi atau
perkara yang dihadapi. Siswa menciptakan
konsep-konsep yang mengintegrasikan
observasinya menjadi teori yang sehat,
dengan mengandalkan pada perencanaan
yang sistematis.
Reflective Observation, merupakan Siswa
yang belajar melalui pengamatan (watching), penekanannya mengamati sebelum
menilai, menyimak suatu perkara dari berbagai perspektif, dan selalu menyimak
makna dari hal-hal yang diamati. Siswa
akan menggunakan pikiran dan perasaannya untuk membentuk opini/pendapat,
siswa mengobservasi dan merefleksi
pengalamannya dari berbagai segi.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Active Experimentation, merupakan Siswa
yang belajar melalui tindakan (doing),
cenderung kuat dalam segi kemampuan
melaksanakan tugas, berani mengambil
resiko, dan mempengaruhi orang lain lewat
perbuatannya. Siswa akan menghargai
keberhasilannya dalam menyelesaikan pekerjaan, pengaruhnya pada orang lain, dan
prestasinya. Siswa menggunakan teori
untuk memecahkan masalah dan mengambil keputusan .
Dari keempat kecenderungan diatas
terlahirlah beberapa tipe belajar. Yakni,
Diverger, Assimilator, Converger,
Accomodator.
Tipe Diverger, merupakan perpaduan
antara Concrete Experience (CE) dan Reflective Observation (RO), atau dengan
kata lain kombinasi dari perasaan (feeling)
dan pengamatan (watching). Siswa dengan
tipe Diverger memiliki keunggulan dalam
kemampuan imajinasi dan melihat situasi
kongkret dari banyak sudut pandang yang
berbeda, kemudian menghubungkannya
menjadi sesuatu yang bulat dan utuh. Pendekatannya pada setiap situasi adalah
“mengamati” dan bukan “bertindak”.
Tipe Assimilator, Tipe kedua ini merupakan perpaduan dari Abstract Conceptualization (AC) dan Reflective Observation (RO) atau dengan kata lain kombinasi dari pemikiran (thinking) dan
pengamatan (watching). Siswa dengan tipe
Assimilator memiliki keunggulan dalam
memahami dan merespons berbagai sajian
informasi serta mengorganisasikan merangkumkannya dalam suatu format yang
logis, singkat, dan jelas. Biasanya siswa
tipe ini cenderung lebih teoritis, lebih menyukai bekerja dengan ide serta konsep yang
abstrak, daripada bekerja dengan orang.
Tipe Converger, Tipe ini merupakan
perpaduan dari Abstract Conceptualization
(AC) dan Reflective Observation (RO) atau
dengan kata lain kombinasi dari berfikir
(thinking) dan berbuat (doing). Siswa
mampu merespons terhadap berbagai peluang dan mampu bekerja secara aktif dalam setiap tugas yang terdefinisikan secara
baik.Siswa dengan tipe Converger unggul
dalam menemukan fungsi praktis dari berbagai ide dan teori. Biasanya mereka punya
kemampuan yang baik dalam pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan.
Tipe Accomodator, Tipe ini merupakan
perpaduan dariConcrete Experience (CE)
dan Active Experimentation (AE) atau
dengan kata lain kombinasi antara merasakan (feeling) dengan berbuat (doing).
Siswa tipe ini senang mengaplikasikan
materi pelajaran dalam berbagai situasi
baru untuk memecahkan berbagai masalah
nyata yang dihadapinya. Kelebihan siswa
tipe ini memiliki kemampuan belajar yang
baik dari hasil pengalaman nyata yang dilakukannya sendiri.
•
(GAYA TERIMA) Herman Witkin, melalui studi risetnya mengemukakan 2 macam
karakteristik gaya belajar yang dimiliki
seseorang, yaitu gaya belajar Global dan
gaya belajar Analitik.
Penganut Gaya belajar Global adalah
Orang yang berpikir secara Global dan
cenderung melihat segala sesuatu secara
menyeluruh, dengan gambaran yang besar,
namun demikian mereka dapat melihat
hubungan antar satu bagian dengan bagian
yang lain. Orang yang Global juga dapat
melihat hal-hal yang tersirat, serta menjelaskan permasalahan dengan kata-katanya
sendiri. Mereka dapat melihat adanya
banyak pilihan dalam mengerjakan tugas
dan dapat mengerjakan beberapa tugas
sekaligus.Pikiran orang yang Global dominan tidak pernah bisa terfokus pada satu
masalah, pikirannya dapat pergi ke banyak
arah sepanjang waktu.
Penganut Gaya Belajar Analitik, adalah
Orang yang berpikir secara Analitik dalam
memandang segala sesuatu cenderung lebih
terperinci, spesifik, terorganisasi, dan
teratur. Namun kurang bisa memahami
masalah secara menyeluruh. Orang Analitik
membutuhkan waktu yang cukup untuk
menyelesaikan tugasnya, karena mereka
tidak ingin ada satu bagian yang terlewat.
Orang yang memiliki cara berpikir secara
Analitik seringkali memikirkan sesuatu
berdasarkan logika dan dominan dapat
bekerja maksimal bila ada metode yang
konsisten dan pasti dalam mengerjakan
sesuatu, apalagi bila mereka bisa
menciptakan sistem belajar sendiri.
•
Felder, membedakan gaya belajar siswa
dengan mengklasifikasikannya kepada 2
jenis golongan yaitu aktif dan reflektif.
Seorang pelajar aktif akan lebih memiliki
greget dalam mencari informasi, mempraktekannya, atau mencari gagasan-gagasan/
inovasi baru. Siswa penganut gaya belajar
aktif ini biasanya memiliki sifat yang tak
pantang gagal, dan percaya diri.
Untuk siswa penganut gaya belajar reflektif
lebih banyak melakukan pemrosesam
informasi melalui introspeksi, berfikir
masak-masak sebelum mencoba melakukan (Felder, 1993) (Suparno, Prof. Dr. H,
2011:9-10).
C. KONSEP MENULIS DAN
PEMBELAJARAN MENULIS
Pengertian Menulis
Menulis arti pertamanya semula membuat huruf, angka, nama, dan sesuatu tanda
kebahasaan apa pun dengan sesuatu alat tulis
pada suatu halaman tertentu, Kini dalam
pengertian yang luas menulis merupakan kata
sepadan yang mempunyai arti sama dengan
mengarang. Jadi “mengarang” adalah rangkaian
kegiatan seseorang mengungkapkan gagasan
dan menyampaikan melalui bahasa tulis kepada
masyarak pembaca untuk dipahami.(The liang
Gie. 2002: 3).
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
205
Para pakar banyak memberikan pendapat
tentang kemampuan menulis. Donnn Byrne :
1988.1, mengemukakkan, Menulis bukan sesuatu yang diperoleh secara spontan, tetapi
memerlukan usaha sadar “menuliskan” kalimat
dan mempertimbangkan cara mengkomunikasikan dan mengatur.
Menulis arti pertamanya semula membuat huruf, angka, nama, dan sesuatu tanda
kebahasaan apa pun dengan sesuatu alat tulis
pada suatu halaman tertentu, Kini dalam
pengertian yang luas menulis merupakan kata
sepadan yang mempunyai arti sama dengan
mengarang. Jadi “mengarang” adalah rangkaian
kegiatan seseorang mengungkapkan gagasan
dan menyampaikan melalui bahasa tulis kepada
masyarak pembaca untuk dipahami. (The liang
Gie. 2002: 3).
Menurut Jago Tarigan (1995: 117) menulis berarti mengekpreikan secara tertulis
gagasan, ide, pendapat, atau pikiran dan perasaan. Sarana mewujudkan hal itu adalah
bahasa. Isi ekspresi melalui bahasa itu akan
dimegerti orang lain atau pembaca bila dituangkan dalam bahasa yang teratur, sistematis,
sederhana, dan mudah dimengerti.
Menulis adalah keterampilan menggunakan bahasa secara tertulis untuk menyampaikan
informasi tentang sesuatu sehingga terjadi komunikasi secara tidak langsung. Menulis merupakan kegiatan yang produktif dan ekspresif
(Taringan,1995:34).
Tujuan Menulis
Seorang tergerak menulis karena memiliki tujuan objektif yang bisa dipertanggungjawabkan dihadapan publik pembacanya.
Karena tulisan pada dasarnya adalah sarana
untuk menyampaikan pendapat atau gagasan
agar dapat dipahami dan diterima orang lain.
Tulisan dengan demikian menjadi salah satu
sarana berkomunikasi yang cukup efektif dan
efesien untuk menjangkau khalayak masa yang
luas. Atas dasar pemikiran inilah, maka tujuan
menulis dapat dirunut dari tujuan-tujuan ko206
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
munikasi yang cukup mendasar dalam konteks
pengembangan peradapan dan kebudayaan
mesyarakat itu sendiri.
Adapun tujuan penulisan tersebut adalah
sebagai berikut.
a. Menginformasikan segala sesuatu, baik itu
fakta, data maupun peristiwa termasuk
pendapat dan pandangan terhadap fakta,
data dan peristiwa agar khalayak pembaca
memperoleh pengetahuan dan pemahaman
baru tentang berbagai hal yang dapat
maupun yang terjadi di muka bumi ini.
b. Membujuk; melalui tulisan seorang penulis
mengharapkan pula pembaca dapat menentukan sikap, apakah menyetujui atau
mendukung yang dikemukakan. Penulis
harus mampu membujuk dan meyakinkan
pembaca dengan menggunakan gaya bahasa yang persuasif. Oleh karena itu, fungsi
persuasi dari sebuah tulisan akan dapat
menghasilkan apabila penulis mampu
menyajikan dengan gaya bahasa yang
menarik, akrab, bersahabat, dan mudah
dicerna.
c. Mendidik adalah salah satu tujuan dari
komunikasi melalui tulisan. Melalui membaca hasil tulisan wawasan pengetahuan
seseorang akan terus bertambah, kecerdasan
terus diasah, yang pada akhirnya akan
menentukan perilaku seseorang. Orang-orang
yang berpendidikan misalnya, cenderung
lebih terbuka dan penuh toleransi, lebih
menghargai pendapat orang lain, dan tentu
saja cenderung lebih rasional.
d. Menghibur; fungsi dan tujuan menghibur
dalam komunikasi, bukan monopoli media
massa, radio, televisi, namun media cetak
dapat pula berperan dalam menghibur
khalayak pembacanya. Tulisan-tulisan atau
bacaan-bacaan “ringan” yang kaya dengan
anekdot, cerita dan pengalaman lucu bisa
pula menjadi bacaan penglipur lara atau
untuk melepaskan ketegangan setelah
seharian sibuk beraktifitas.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Menulis
Banyak faktor yang mempengaruhi
kemampuan menulis. Namun, pada prinsipnya
dapat dikategorikan dalam dua faktor yakni
faktor eksternal dan faktor internal. Faktor
eksternal di antaranya belum tersedia fasilitas
pendukung, berupa keterbatasan sarana untuk
menulis. Faktor internal mencakup faktor
psikologis dan faktor teknis.
Yang tergolong faktor psikologis di
antaranya Faktor kebiasaan atau pengalaman
yang dimiliki. Semakin terbiasa menulis maka
kemampuan dan kualitas tulisan akan semakin
baik. Faktor lain yang tergolong faktor
psikologis adalah faktor kebutuhan. Faktor
kebutuhan kadang akan memaksa seseorang
untuk menulis. Seseorang akan mencoba dan
terus mencoba untuk menulis karena didorong
oleh kebutuhannya.
Faktor teknis meliputi penguasaan akan
konsep dan penerapan teknik-teknik menulis.
Konsep yang berkaitan dengan teori-teori
menulis yang terbatas yang dimiliki seseorang
turut berpengaruh. Faktor kedua dari faktor
teknis yakni penerapan konsep. Kemampuan
penerapan konsep dipengaruhi banyak sedikitnya bahan yang akan ditulis dan pengethuan
cara menuliskan bahan yang diperolehnya.
Keterampilan menulis banyak kaitannya
dengan kemampuan membaca maka seseorang
yang ingin memiliki kemampuan menulisnya
lebih baik, dituntut untuk memiliki kemampuan
membacanya lebih baik pula.
Konsep Pembelajaran Menulis
Dalam pembelajaran siswa hendaklah
diarahkan pengembangan potensi diri sendiri.
Segala masalah kebahasaan yang perlu dimainkan di sekolah haruslah juga sesuai dengan
zamannya. Kata, kalimat, paragraf, bahkan
tulisan harus bernuansa kekinian. Sumber bahasa yang digunakan oleh guru juga harus
mengacu kepada minat dan harapan siswa.
Dengan demikian siswa dapat tertarik dengan
pembelajaran bahasa Indonesia.
Siswa sudah semestinya dapat berpikir,
berkreasi, dan berkomuikasi baik lisan maupun
tulisan dengan bahasa Indonesia secara logis,
langsung, dan lancar. Dengan begitu, suatu saat
akan dihasilkan karya-karya besar dari orang
Indonesia dengan bahasa yang mantap. Hal itu
tentunya harus menjadi obsesi guru bahasa Indonesia.
Guru berperan dalam menentukan pembelajaran bahasa Indonesia. Oleh karena itu,
guru dituntut untuk menguasai bahasa Indonesia dan pembelajarannya sehingga menjadi
mata pelajaran yang menarik bagi siswa. Kemenarikan ini akhirnya membawa siswa ke tingkat
komunikasi yang lancar. Komunikasi yang
didasari oleh minat yang kuat dari siswa. Guru
berperan besar dalam hal itu. Peran tersebut
didasari oleh kekuatan konsep dan kekuatan
mengembangkan strategi pembelajaran.
Dalam pembelajaran bahasa, banyak
strategi pembelajaran yang tersedia. Namun,
mengapa banyak guru bahasa Indonesia yang
masih kesulitan dalam memvariasikan strategi
pembelajaran bahasa Indonesia. Mereka banyak
berkutat dengan ceramah, diskusi, dan penugasan. Padahal hal tersebut merupakan teknik
pengelolaan kelas. Teknik adalah cara kongkret
yang dipakai saat proses pembelajaran berlangsung. Guru dapat berganti teknik meskipun
dalam koridor metode yang sama. Dengan
mengacu pada gaya belajaar siswanya.
Adapun strategi meliputi pendekatan,
metode, dan teknik. Pendekatan adalah konsep
dasar yang melingkupi metode dengan cakupan
teoritis tertentu. Metode merupakan jabaran
dari pendekatan. Satu pendekatan dapat dijabarkan ke dalam berbagai metode. Metode
adalah prosedur pembelajaran yang dapat yang
fokuskan kepada pencapaian tujuan. Dari metode,
teknik pembelajaran diturunkan secara aplikasi.
Satu metode dapat diaplikasikan melalui berbagai
teknik pembelajaran.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
207
Metode Pembelajaran Menulis
a. Metode Langsung
Metode pengajaran langsung dirancang
secara khusus untuk mengembangkan belajar
siswa tentang pengetahuan prosedural dan
pengetahuan deklaratif yang terstruktur dengan
baik dan dapat dipelajari selangkah demi selangkah. Metode tersebut didasari anggapan
bahwa pada umumnya pengetahuan dibagi dua,
yakni pengetahuan deklaratif dan pengetahuan
prosedural. Deklaratif berarti pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu.
Dalam metode langsung, terdapat lima
fase yang sangat penting. Guru mengawali
dengan penjelasan tentang tujuan dan latar
belakang pembelajaran serta mempersiapkan
siswa untuk menerima penjelasan guru. Hal itu
disebut fase persiapan dan motivasi. Fase berikutnya adalah fase demontrasi, pembimbingan,
pengecekan, dan pelatihan lanjutan.
Pada metode langsung bisa dikembangkan dengan teknik pembelajaran menulis dari
gambar atau menulis objek langsung dan atau
perbandingan objek langsung. Teknik menulis
dari gambar atau menulis objek langsung bertujuan agar siswa dapat menulis dengan cepat
berdasarkan gambar yang dilihat. Misalnya,
guru menunjukkan gambar kebakaran yang
melanda sebuah desa atau melihat langsung kejadian kebakaran sebuah desa, Dari gambar
tersebut siswa dapat membuat tulisan secara
runtut dan logis berdasarkan gambar.
b. Metode Komunikatif
Desain yang bermuatan metode komunikatif harus mencakup semua keterampilan
berbahasa. Setiap tujuan diorganisasikan ke
dalam pembelajaran. Setiap pembelajaran
dispesifikkan ke dalam tujuan kongkret yang
merupakan produk akhir. Sebuah produk di sini
dimaksudkan sebagai sebuah informasi yang
dapat dipahami, ditulis, diusahakan, atau
disajikan ke dalam nonlinguistik. Sepucuk surat
adalah sebuah produk. Demikian pula sebuah
perintah, pesan, laporan atau peta juga
merupakan produk yang dapat dilihat dan
208
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
diamati. Dengan begitu,produk-produk tersebut
dihasilkan melalui penyelesaian tugas yang
berhasil.
c. Metode Integratif
Integratif berarti menyatukan beberapa
aspek ke dalam satu proses. Integratif terbagi
menjadi interbidang studi dan antarbidang studi.
Interbidang studi artinya beberapa aspek dalam
satu bidang studi diintegrasikan. Misalnya,
menyimak diintegrasikan dengan berbicara dan
menulis. Menulis diintegrasikan dengan membaca dan berbicara. Materi kebahasaan diintegrasikan dengan keterampilan bahasa.
Sedangkan antarbidang studi merupakan
pengintegrasian bahan dari beberapa bidang
studi. Misalnya; antarabahasa Indonesia dengan
matematika atau dengan bidang studi lainnya.
Pengintegrasiannya diaplikasikan sesuai
dengan kompetensi dasar yang perlu dimiliki
siswa. Materi tidak dipisah-pisahkan. Materi
ajar justru merupakan kesatuan yang perlu
dikemas secara menarik.
d. Metode Tematik
Dalam metode tematik, semua komponen
materi pembelajaran diintegrasikan ke dalam
tema yang sama dalam satu unit pertemuan.
Yang perlu dipahami adalah tema bukanlah
tujuan tetapi alat yang digunakan untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Tema tersebut
harus diolah dan disajikan secara
kontekstualitas, kontemporer, kongkret, dan
konseptual.
e. Metode Konstruktivistik
Asumsi sentral metode konstruktivistik
adalah belajar itu menemukan. Artinya, meskipun guru menyampaikan sesuatu kepada siswa,
mereka melakukan proses mental atau kerja
otak atas informasi itu agar informasi tersebut
masuk ke dalam pemahaman mereka. Konstuktivistik dimulai dari masalah (sering muncul
dari siswa sendiri) dan selanjutnya membantu
siswa menyelesaikan dan menemukan langkahlangkah pemecahan masalah tersebut. Metode
konstruktivistik didasarkan pada teori belajar
kognitif yang menekankan pada pembelajaran
kooperatif, pembelajaran generatif strategi
bertanya, inkuiri, atau menemukan dan keterampilan metakognitif lainnya (belajar bagaimana seharusnya belajar).
f.
Metode Kontekstual
Pembelajaran kontekstual adalah konsepsi pembelajaran yang membantu guru
menghubungkan mata pelajaran dengan situasi
dunia nyata dan pembelajaran yang memotivasi
siswa agar menghubungkan pengetahuan dan
terapannya dengan kehidupan sehari-hari
sebagai anggota keluarga dan masyarakat
(Ardina, 2001). Pembelajaran dengan menggunakan metode ini akan mempermudah dalam
pembelajaran menulis. Anak dimotivasi agar
mampu menulis.
D. MENGETAHUI GAYA
BELAJAR SEBAGAI UPAYA
MENINGKATKAN
KEMAMPUAN MENULIS
Dari gaya belajar yang telah disebutkan
sebelumnya kita dapat pelajari betapa mendominasinya gaya belajar dalm keberhasilan
pembelajaran. Selama ini kita hanya menerapkan gaya belajar formal, dengan terpaku
pada papan tulis, mencatat bagian-bagian
penting dalam catatan, mendengarkan guru,
karena takut mendapatkan teguran. Itu sebabnya
negara ini belum bisa maju dalam dunia
pendidikan, karena tidak menemukan inovasi
baru dalam pengajaran yang efektif.
Dengan mempelajari teori ini kita dapat
membedakan Siswa dengan gaya belajar yang
mereka miliki, dengan begitu, kita bisa dapat
dengan mudah memberikan pengetahuan baru
dengan efektif karena mereka dapat dengan
mudah mencernanya termasuk dalam pembelajaran menulis.
Menurut hasil penelitian pembelajar yang
gaya belajarnya sesuai dengan pendekatan atau
model pembelajaran, cenderung menyimpan
informasi lebihlama, menerapkan pengetahuan
lebih efektif, dan memiliki sikap yang lebih
positif terhadap bidang studi dibandingkan
dengan mereka yang mengalami pendekatan
atau model pembelajaran yang tidak gayut
dengan gaya belajar mereka (Felder,1993)
(Suparno, Prof. Dr. H, 2011:9-10).
Gaya belajar yang diterapkan karena
sesuai dengan karakteristik mereka akan membuat mereka merasa nyaman dan terpacu untuk
bisa lebih baik. Di setiap sekolah perlu diadakan tes gaya belajar supaya dapat mengkelompokkan siswa-siswanya sesuai dengan gaya
belajar yang mereka miliki. Ketika sudah
berhasil menerapkan pengajaran jenis ini, kita
dapat dengan mudah mendongkrak kemampuan menulis karangan siswa. Jadi, Berdasarkan kajian pustaka tersebut dapat disimpulkan
bahwadengan menggolongkan siswa kedalam
gaya belajar yang sesuai dengan karakteristiknya dapat memudahkan guru menetukan
metode yang tepat dalam pemebelajaran
menulis sehingga akan mampu meningktakan
kemampuan siswa dalam mnulis.
Keuntungan dengan mengetahui gaya
belajar menurut karakteristik siswa:
• Bagi guru:
1. Benar-benar memahami keragaman
manusia di kelas.
2. Menyadari adanya perbedaan cara
belajar di antara siswa laki-laki dan
perempuan.
3. Mengerti kebutuhan biologis siswa
dalam belajar.
4. Memperbaiki komunikasi dengan murid dan/orang tua.
5. Mengadakan kerja kelompok yang
berhasil.
6. Lebih mampu mencocokkan gaya belajar dan mengajar.
7. Mengurangi stress yang timbul setiap
hari dan pada situasi-situasi yang sulit.
8. Lebih berhasil menangani siswa-siswa
yang berresiko.
9. Memperbaikki kinerja mengajar dan
menambah kepuasan dalam bekerja.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
209
•
•
Bagi orang tua:
1. Memahami sejauh mana perbedaan
kebutuhan anak-anak mereka.
2. Lebih berhasil mendukung mereka
dalam upaya-upaya belajar.
3. Menerima kenyataan bahwa anak-anak
mereka memiliki gaya belajar unik dan
tersendiri.
4. Menyadari bahwa anak-anak mereka
bukan replica dari diri mereka.
Bagi siswa sendiri:
1. Memperoleh pengetahuan penting tentang dirinya sendiri.
2. Meningkatkan keterampilan belajar.
3. Meningkatkan motivasi belajar.
4. Meningkatkan kepercayaan diri.
5. Mencegah adanya kesalah pahaman
antara siswa, guru dan orang tua.
E. PENUTUP
Gaya belajar dapat digolongkan menurut
pertimbangan genetik atau biologis, dominasi
otak kanan/ kiri, modalitas indrawi, kebutuhan
fisik, lingkungan, pengelompokan sosial, dan
sikap.
Berbagai masukan dari karya tulis ini
penting untuk ditindaklanjuti oleh berbagai
pihak :
1. Bagi guru
• Dapat melatih menulis sesuai dengan
gaya belajarnya.
• Mampu membuat alat peraga agar lebih
dapat mendukung kegiatan belajar
mengajar.
• Jangan menyamakan siswa satu dengan
yang lainnya, karena dari makalah yang
kita bahas ini, kita tahu bahwa siswa
satu dengan yang lainnya tidak sama.
• Diharapkan lebih bersabar ketika menjumpai anak yang hiper-aktif.
2. Bagi Lembaga
Diharapkan lembaga dapat mewadahi
pengelompokkan siswa sesuai dengan gaya
210
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
belajarnya. Karena disisi lain, ketika anak
tersebut bisa nyaman dalam belajar. Disitulah
prestasi mulai bermunculan, lalu berimplikasi
pada nama lembaga yang akan semakin harum.
3. Bagi siswa
Setelah mengetahui cara belajar masingmasing, siswa diharapkan bisa lebih maksimal
dalam belajar. Serta dapat mengasah potensi
yang dimiliki, den menjadikan bangga atas apa
yang telah dia punya, serta tidak minder dengan
seseorang yang dilihatnya lebih dari dirinya
sendiri.
4. Bagi orang tua
Anak-anak bukanlah cloningan dari diri
kita sendiri. Mereka memiliki sifat dan caranya
masing-masing dalam menjalani kehidupan.
Untuk itu, orang tua diharapkan bersifat ‘menerima’ tentang perbedaan yang ada. Dan tetap
memfasilitasi anak-anaknya dalam pendidikan
yang sesuai dengan gaya belajarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993.
Petunjuk Membaca dan menulis. Jakarta:
P2M
Muchtar,S.Pd, M.Si,dkk,2011, Modul Pengembangan Materi Umum Sekolah Dasar,
Malang : UM
Prashnig, Barbara. 2004. The Power Of Learning Style. Auckland: Creative Learning
Centre,
Willis, Ratna.2011. Teori-Teori Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.
Suparno, Prof. Dr. H, dkk. 2011. Modul
Pengembangan Profesionalitas Guru.
Malang: UM.
Mengamati Gaya Belajar Anak _ artikel islam
_ Artikel Pustaka Nilna _ Kumpulan
Artikel.htm
Gaya Belajar Siswa Menurut David Kolb _
AKHMAD SUDRAJAT TENTANG
PENDIDIKAN.htm
http://imtelkom.ac.id
MAKALAH BERPRAKMATIK,
ETIKA BERKOMUNIKASI
Oleh
ERNAWATI
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak akan lepas dari komunikasi. Dari mulai kita bangun tidur
sampai kemudian tertidur kembali, komunikasi selalu menjadi kegiatan utama kita entah itu komunikasi
verbal atau non verbal, entah itu komunikasi antar pribadi atau komunikasi pribadi.
Kemampuan seseorang dalam berkomunikasi merupakan suatu hal yang tidak bisa dipaksakan harus terjadi
secara sempurna. Ketidaksempurnaan ini disebabkan oleh banyak sekali faktor. Di antara faktor-faktor
penyebabnya adalah beragamnya profil kemampuan pragmatik yang dimiliki oleh komunikan dan
komunikator. Salah komunikasi bisa terjadi karena berbagai faktor pragmatik tersebut. Ketika seseorang
melakukan kesalahan dalam tindak komunikasi, maka dapat dipastikan akan terjadi berbagai macam
interpretasi yang salah yang menimbulkan terputusnya komunikasi. Salah satu factor yang harus diperhatikan
dalam tindak komunikasi adalah maksim sopan santun. Etika yang baik dianalisis bisa membawa
keberhasilan dalam komunikasi.
Kata Kunci: etika, komunikasi, pragmatik, bahasa, maksim, sopan santun
Kemampuan pragmatik yang harus dikuasai oleh seorang yang menjalin komunikasi
dapat dipilah sebagai berikut: (1) memiliki kemampuan komunikatif, (2) mampu menerapkan
prinsip kerjasama, (3) memiliki pengetahuan
berbahasa, dan (4) mampu menyusun retorika
berbahasa. Ketika seseorang menguasai keempat
kemampuan tersebut dan menerapkannya
dalam sebuah tindak tutur, akan tercipta komunikasi yang berkualitas sebagaimana yang
diharapkan. Tetapi tentu saja masih harus diperhatikan bahwa dalam tindak komunikasi
lisan yang terjadi antara dua orang atau lebih
penguasaan kemampuan pragmatik tersebut
haruslah secara dua arah bukan hanya searah.
Dalam bahasan ini akan kita bahas tentang
tingkatan keberhasilan tindak tutur seseorang
yang tidak pernah memperhatikan hal-hal yang
berhubungan dengan kemampuan pragmatik
tersebut. Sebagai sebuah contoh masalah adalah
di bawah ini.
Contoh I
Seseorang yang senantiasa membuat lawan bicara
tersinggung dan sakit hati ketika berkomunikasi.
Kadang sulit dibedakan kalimat yang seharusnya
dipergunakan untuk bergurau atau untuk mengungkapkan sesuatu yang sebenarnya sangat serius.
Ironisnya justru ia tidak merasa kalau telah melakukan kesalahan besar dengan menyakiti hati
lawan bicara. Jika dilakukan penelitian tentang
opini publik, maka ia akan mendapat penilaian
yang sangat jelek atau sama sekali tidak mendapatkan nilai.
Jika dianalisis dari sisi psikologis, maka
akan didapatkan bahwa kondisi psikologis orang
yang bersangkutan benar-benar dalam keadaan
sangat memprihatinkan. Tidak layak untuk
mendapatkan apresiasi positif. Tetapi jika
tinjauan didasarkan pada sisi pragmatik tampaknya akan didapatkan sesuatu yang cukup
luar biasa.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
211
Kemampuan Retorika dalam Tindak
Tutur
Dalam sebuah tindak komunikasi, kemampuan retorika merupakan hal yang benarbenar mutlak harus diperhatikan sehingga tidak
menimbulkan hal-hal yang bersifat ambigu.
Ambiguitas makna dalam komunikasi berdasarkan retorika bisa terjadi karena unsur gramatika, logika, etika, dan unsur retorika. Salah satu
unsur retorika dalam tindak tutur yang harus
diperhatikan adalah maksim sopan santun.
Maksim sopan santun memberikan tuntunan
kepada semua orang untuk bisa berkomunikasi
dengan baik dan sempurna sebagaimana yang
dikehendaki dalam tujuan interaksi. Maksim
sopan santun berkenaan dengan hubungan
antara dua orang yang melibatkan orang ketiga
(yang hadir secara langsung atau tidak langsung
dalam interaksi).
Sebagaimana diuraikan oleh Geoffrey
Leech (1993) maksim sopan santun cenderung
berpasangan. Di antara yang termasuk ke dalam
maksim sopan santun adalah maksim kearifan,
maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim
kerendahan hati, maksim kesepakatan, dan
maksim simpati. Leech (1993: 206-207) memberikan contoh dan batasan-batasan untuk
maksim-maksim sopan santun sebagaimana
terurai di bawah ini:
a. Karifan: Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin, dan buatlah keuntungan
orang lain sebesar mungkin.
b. Kedermawanan: Buatlah keuntungan diri
sendiri sekecil mungkin, dan buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin.
c. Pujian: Kecamlah orang lain sesedikit
mungkin, dan pujilah orang lain sebanyak
mungkin.
d. Kerendahan Hati: Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin, dan kecamlah diri sendiri
sebanyak mungkin.
e. Kesepakatan: Usahakan agar ketidaksepakatan antara diri dan orang lain terjadi
sesedikit mungkin, dan usahakan agar
212
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
f.
kesepakatan antara diri dan lain terjadi
sebanyak mungkin.
Simpati: Kurangilah rasa antipati antara diri
dengan lain hingga sekecil mungkin, dan
tingkatkan rasa simpati sebanyakbanyaknya antara diri dan orang lain.
Berdasarkan uraian tersebut maka dikatakan bahwa tindak komunkasi yang telah
terjadi berdasarkan contoh 1 di atas jelas-jelas
menyimpang dari maksim sopan santun. Dalam
contoh 1 tampak sekali bahwa maksim kerendahan hati dan maksim pujian telah dengan
sangat sengaja ditinggalkan. Ketika salah satu
dari keenam maksim di atas telah diabaikan
maka sebenarnya telah terabaikan pula keenam
maksim sopan santun tersebut. Pada akhirnya
tanpa berpikir dengan logika yang berlebihan
pun kita dapat menyatakan bahwa orang yang
melakukan tindak tutur dalam contoh 1 tersebut
benar-benar acuh dan tidak pernah memperhatikan kepentingan orang lain. Maksim kerendahan hati telah diingkari dengan hanya memperhatikan kepentingan diri sendiri, mengecam
orang lain, dan senantiasa membenarkan diri
sendiri.
Sementara itu tampak sekali adanya
pengingkaran terhadap maksim kearifan.
Seseorang yang senantiasa berpikir dan bertindak dengan penuh kearifan akan berbicara
dengan mempertimbangkan bagaimana orang
lain mendapatkan keuntungan bukan kerugian
dari tindak tutur yang terjadi bersamanya. Ketika lawan bicara merasa sangat terganggu dan
merasa tidak nyaman dalam proses komunikasi
maka sebenarnya telah terjadi pengingkaran
secara sepihak terhadap maksim kearifan. Terjadinya pengingkaran ini bisa disebabkan
karena faktor gramatika yang meliputi fonologi,
morfologi, sintaksis, dan semantik. Dalam
tindak komunikasi,penguasaan terhadap unsurunsur retorika berbahasa memang sangat diperlukan. Ketika unsur-unsur retorika tersebut bisa
dipahami dan digunakan dalam tindak tutur,
dipastikan akan terjadi proses komunikasi yang
baik sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Kemampuan retorika yang menjadikan semua
tindak komunikasi berjalan dengan baik sesuai
dengan tujuan tidak bisa dilepaskan kaitannya
dengan aspek-aspek metalinguistik sopan santun.
“Sopan santun tidak hanya terungkap
dalam isi percakapan, tetapi juga dalam
cara percakapan dikendalikan dan dipola
oleh para pemeran sertanya. Misalnya,
dalam percakapan, perilaku tertentu
mengandung implikasi-implikasi tidak
sopan, seperti berbicara pada saat yang
keliru (menyela) atau diam pada saat yang
keliru.Karena itu bila kita menuturkan
sesuatu, kita kadang-kadang merasa perlu
untukmenyebut tindak ujar yang sedang
kita lakukan atau yang dilakukan oleh
pemeran serta yang lain, supaya kita dapat
memohon suatu jawaban, meminta izin
untuk berbicara, meminta maaf atas katakata, dan sebagainya” (Leech, 1993: 219).
Konsep di atas merupakan sebuah fenomena sosial yang telah membudaya pada
masyarakat kita (Indonesia), bahwa budaya
mendengar kita tertinggal sangat jauh jika
dibandingkan dengan bangsa Amerika.Maka
ketika sering terjadi interupsi atau pemotongan
terhadap pembicaraan seseorang sudah menjadi
sesuatu yang sangat wajar.Bahkan hal tersebut
pun juga terjadi juga di forum-forum ilmiah dan
forum-forum kenegaraan. Karena merasa
bahwa dirinyalah yang paling benar, dengan
penuh ambisi dan anarkis sekali seseorang memotong atau menyela seorang yang sedang
berbicara. Kedudukan moderator sebagai seorang pemandu diskusi kadang tidak dipedulikan lagi. Inilah fenomena yang terjadi di negeri
ini yang lebih mengedepankan kemampuan
berbicara daripada kemampuan mendengarkan
orang lain. Hal ini pulalah yang telah memicu
terjadinya perlombaan besar-besaran untuk
menjadikan diri sebagai orang hebat yang duduk
di kursi legislatif.
Mengapa seseorang bertutur dengan penuh antusias dan merasa bahwa dirinyalah yang
paling benar? Kejadian ini jelas tidak bisa dilepaskan dari bagaimana seseorang mempergunakan kemampuan gramatika, logika, etika, dan
retorika berbahasa. Unsur etika dan retorika
inilah yang sangat berperan dalam masalah ini.
Jika seseorang memperhatikan apakah yang
telah ia bicarakan memenuhi unsur kesantunan,
keberterimaan, dan kesesuaian, maka dipastikan unsur retorika yang meliputi gagasan,
komposisi, dan bahasa akan secara otomatis
mendukung pencapaian tujuan komunikasi.
Bagaimana mungkin gagasan yang telah dirancang dengan komposisi dan bahasa yang baik
bisa diterima oleh pendengar atau lawan bicara
jika kita menyampaikan tanpa memperhatikan
unsur-unsur etika di atas?
Masalah yang senantiasa kita hadapi
dalam tindak komunikasi adalah tidak adanya
pola kerja sama yang baik antara pembicara dan
pendengar. Komunikasi satu arah lebih sering
terjadi daripada komunikasi dua arah yang lebih
interaktif.Pada tataran komunikasi satu arah
hanya terjadi perpindahan informasi tanpa ada
tanggapan atau masukan baru bagi kita.
Sementara itu, tataran komunikasi dua arah
tidak sekedar terjadi perpindahan informasi,
tetapi juga terjadi pertukaran informasi yang
memungkinkan terjadinya proses stimulus respon
dalam bentuk tanggapan. Pada contoh 2 di atas
bisa saja terjadi dominasi komunikasi satu arah
karena pembicara seakan-akan menguasai
semua materi pembicaraan sehingga ingin
menguasai proses komunkasi. Kondisi seperti
ini tidak terdapat penerapan prinsip kerjasama
sebagaimana diungkap pada bagian awal tulisan
ini. Pendengar hanya dianggap sebagai
seseorang yang hanya patut untuk menerima
sesuatu tanpa melihat sisi lain bahwa pendengar
juga mempunyai hak dan mampu menyampaikan sesuatu. Hal ini merupakan salah satu
bentuk bentuk hambatan dalam tindak tutur
yang interaktif.
Lantas seperti apakah model komunikasi
yang benar-benar mendasarkan penggunaan
etika sebagai wujud pragmatik berbahasa?
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
213
Jawaban paling sederhana adalah ketika kita
mencoba untuk mengerti apa yang dikehendaki
oleh orang lain sebagai lawan bicara. Untuk bisa
mengerti apa yang sebenarnya dikehendaki
lawan bicara kita bisa mempergunakan maksimmaksim sopan santun, yaitu maksim kearifan,
maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim
kerendahan hati, maksim kesepakatan, dan
maksim simpati.
Kemampuan Berpragmatik
Menunjukkan Kualitas
Selama ini terjadi pemahaman yang salah
tentang bagaimana menafsirkan pengertian
pragmatik. Pragmatik dianggap hanya sebagai
salah satu kemampuan atau keterampilan
berbahasa. Ketika sudah terjadi pergeseran
pemahaman dan pengetahuan linguistik, pada
akhirnya kita menyadari betapa luasnya kajian
pragmatik. Pragmatik menjadi salah satu master kelimuan dalam ketatabahasaan. Kemampuan berkomunikasi dalam segala macam
bentuk dan sifatnya tidak bisa dilepaskan dari
kajian pragmatik. Sebagai dasar dalam tindak
komunikasi maka sudah seharusnya pengetahuan tentang pragmatik dan kemampuan
berpragmatik menjadi bagian dari keilmuan
atau pengetahuan semua orang terutama yang
berprofesi terkait dengan penyampaian informasi kepada khalayak, seperi dosen, guru,
dokter, resepsionis sebuah hotel, dan lain-lain.
Beberapa masalah yang terjadi dalam
eraglobal adalah rendahnya kualitas komunikasi yang menyebabkan terhambatnya perkembangan dan transfer keilmuan dan pengetahuan.
Hal ini tentunya harus segera mendapat perhatian serius dari semua orang terutama para
pakar komunikasi. Tentu saja penguasaan bahasa asing bukan satu-satunya penentu keberhasilan dalam era global ini. Bagaimana teknik
berkomunikasi yang benar, dengan retorika
yang tepat, dan memperhatikan prinsip-prinsip
pragmatik berbahasa inilah yang menjadi dasar
utama terbentuknya kualitas komunikasi yang
diharapkan.
214
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Dalam keseharian kita sering bertutur kata
tanpa memperhatikan ketepatan dan kebenaran
tatabahasa yang kita pergunakan. Kadang terjadi kesalahan pemahaman terhadap sebuah
konsep yang sering digunakan. Tetapi kesalahan
pemahaman tersebut seakan tidak menjadikan
sesuatu yang dianggap sebagai sebuah
kesalahan. Hal ini sudah dianggap sebagai
sebuah kewajaran yang tidak perlu diperdebatkan. Sebagai contoh adalah pemahaman
terhadap konsep semantik dan sintaksis yang
senantiasa menimbulkan kesalahan penafsiran
makna (ambiguitas makna). Salah konsep ini
sudah berkembang menjadi salah kaprah berbahasa yang diangap benar secara awam yang
berdampak terhadap melemahnya kualitas komunikasi.
Contoh 2
Seseorang yang senantiasa berbicara dengan
memberikan penekanan yang berulang-ulang
pada bagian yang dianggap penting. Penekanan
tersebut dilakukan dengan jalan memakai gaya
bahasa perulangan baik yang bersifat anafora,
repetisi, maupun paralelisme. Keyakinan akan
kebenaran konsep yang disampaikannya dengan
gaya bahasa perulangan seakan menyiratkan
bahwa konsep dirinyalah yang paling tepat.
Secara logika memang dapat dikatakan bahwa
konsep yang disampaikannya benar, tetapi jika
ditinjau dari sudut pandang yang sedikit saja
berbeda sebenarnya konsep tersebut belum
menunjukkan adanya kajian ilmiah yang dapat
dikatakan valid.
Contoh 2 di atas menunjukkan betapa
penguasaan terhadap prinsip-prinsip pragmatik
berbahasa yang lemah. Apakah tujuan komunikasi akan tercapai? Tingginya frekuensi gaya
bahasa perulangan ini justru akan melemahkan
kualitas komunikasi karena kejenuhan dan
kebosanan yang dialami lawan bicara. Lawan
bicara atau orang lain tidak didudukan sebagai
orang yang harus dipuji dan diuntungkan tetapi
justru mendudukan orang lain sebagai orang
yang tidak mengerti tentang sesuatu hal. Ini
berarti prinsip keindak ujaran arifan dan prinsip
pujian masih belum diperankan sebagimana
mestinya.
Semua hal di atas tentu saja tidak bisa
dilepaskan dari kaidah atau maksim sopan
santun atau tatakrama berbahasa. Hal ini terkait
dengan pendapat yang disampaikan oleh Leech
di atas. Sementara itu Tarigan (1987: 89-90)
menyatakan berdasarkan pengalaman seharihari kita mengetahui bahwa kesopansantunan
bisa diwujudkan bukan hanya dalam isi percakapan, melainkan juga dalam cara mengelola
percakapan serta strukturnya. Sebagai contoh
adalah perilaku percakapan seperti berbicara
pada saat yang salah (menginterupsi, menyela)
atau diam tidak pada waktunya mempunyai
implikasi-implikasi yang tidak sopan. Sebagai
akibat kadang-kadang diperlukan acuan berupa
keikutsertaan semua lawan bicara.
Akhirnya sampai pada sebuah simpulan
bahwa metalinguistik perlu kita pergunakan
sebagai penyiasatan dalam tindak komunikasi
agar tercipta suatu bentuk komunikasi yang
sebagimana diharapkan. Dengan mempergunakan metaliguistik sebagaimana yang dimaksud
dimungkinkan fleksibilitas akan menghasilkan
suatu bentuk kebahasan yang lebih baik dan
lebih bisa mewujudkan tujuan komunikasi.
KEPUSTAKAAN
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik.
Jakarta: Universitas Indonesia.
Tarigan, Henry Guntur. 1987. Pengajaran
Pragmatik. Bandung: Angkasa
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
215
PEMANFAATAN LAGU
BERITA KEPADA KAWAN
KARYA EBIET G. ADE
UNTUK MENULIS PUISI DI SMP
Ahmad Husin Universitas Kanjuruhan Malang
email: [email protected]
Abstrak: Pembelajaran kemampuan menulis puisi, sulit untuk memberikan penilaian terhadap puisi
yang ditulis siswa, karena kombinasi dari permainan kata, bentuk-bentuk puitis, dan unsur-unsur puisi
yang kreatif. Oleh sebab itu, pencapaian keberhasilan siswa yang diharapkan ialah siswa dapat menulis
puisi sesuai dengan yang diajarkan kemudian menyajikan (membaca dan memajang) hasil karyanya.
Kata Kunci: pembelajaran, menulis puisi, pemanfaatan lagu
Pendahuluan
Secara umum, siswa di SMP masih belum
memiliki pengalaman dan bekal yang cukup
untuk mewujudkan tulisan dalam bentuk puisi.
Dapat dikatakan bahwa siswa pada SMP tersebut
adalah penulis pemula. Bagi penulis pemula,
bentuk puisi yang dapat dipilih sebagai bahan
dalam penulisan puisi adalah puisi anak-anak.
Puisi anak-anak tersebut menampilkan bentukbentuk yang sederhana dan dapat dijadikan
wadah pengungkapan perasaan atau emosi
siswa. Puisi anak-anak mempunyai ciri-ciri
khusus, yaitu bentuknya sederhana, kalimatkalimatnya lugas dan pendek, serta isinya tidak
berbelit-belit dan mudah ditangkap. Puisi-puisi
yang digemari anak-anak adalah puisi yang
lucu, puisi yang berisi khayalan, dan sebagian
besar lagi adalah puisi tentang pengalaman yang
dikenal siswa. Kegiatan menulis puisi merupakan kegiatan yang bersifat produktif-kreatif.
Kegiatan ini dilaksanakan melalui suatu proses
yang dinamakan proses kreatif.
Rampan (2001:11) menyatakan bahwa
proses kreatif mengalir di dalam suasana kreatif
216
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
yang memungkinkan lahirnya karya-karya yang
secara bahasa indah dan dari segi pemikiran cukup
mendalam. Proses kreatif berkembang jika terdapat
empat unsur terkait, seperti (1) pengenalan pribadi
dan pengetahuan, (2) dorongan internal dan
eksternal siswa, (3) kebermaknaan belajar, dan (4)
hasil yang bernilai bagi orang lain. Dengan
terpenuhinya keempat unsur kreatif tersebut,
kegiatan pembelajaran menulis puisi akan
mencapai hasil yang maksimal. Kegiatan menulis
puisi, siswa perlu mendapat suatu arahan sehingga
memudahkannya dalam proses pembelajaran.
Kemampuan menulis puisi dapat dicapai
dengan bimbingan yang sistematis serta latihan
yang intensif. Siswa hendaknya diarahkan dan
dibimbing tahap demi tahap tentang apa yang
harus dilakukannya. Proses pelaksanaan menulis puisi sebaiknya memperhatikan tahap-tahap
kreativitas menulis puisi, yaitu tahap preparasi,
inkubasi, iluminasi, dan verifikasi. Pada tahap
preparasi dilaksanakan kegiatan pengumpulan
data atau informasi yang akan dijadikan bahan
penulisan. Tahap inkubasi dilakukan dalam
usaha untuk mengendapkan atau mematangkan
ide-ide yang telah dimunculkan pada tahap se-
belumnya. Tahap iluminasi merupakan tahap
pelahiran ide, gagasan, atau pengalaman ke
dalam bentuk puisi. Tahap yang terakhir adalah
verifikasi, yaitu kegiatan menilai puisi hasil
karya sendiri.
Selain melalui proses yang saling menunjang, pembelajaran menulis puisi juga sebaiknya
mempertimbangkan karakteristik siswa. Kesesuaian karakteristik siswa tersebut berkaitan
dengan perkembangan jiwa, kemampuan bahasa, dan lingkungan siswa. Ketiga aspek
tersebut sebaiknya dijadikan pertimbangan guru
dalam pelaksanaan pembelajaran menulis puisi.
Pertimbangan tersebut bertujuan agar kegiatan
pembelajaran menjadi sesuai dengan kebutuhan
siswa sehingga membuatnya merasa senang
dalam belajar. Dengan demikian, rasa senang
itu membuat siswa memperoleh hasil yang optimal dalam belajar. Menulis puisi memberikan
banyak manfaat bagi siswa.
Melalui puisi siswa dapat mengekspresikan diri, melatih kepekaan, dan kekayaan bahasanya. Kebermanfaatan yang dikemukakan
di atas membuat kegiatan menulis puisi perlu
diajarkan kepada siswa. Menumbuhkembangkan kreativitas dalam pembelajaean berpuisi
siswa SMP, memiliki beberapa alasan, seperti
(1) menulis puisi memberikan kegembiraan
yang murni dan menyenangkan, (2) menulis
puisi dapat memberikan pengetahuan tentang
konsep dunia sekitar siswa, (3) menulis puisi
mendorong siswa untuk menghargai bahasa dan
mengembangkan kosakata yang tepat dan
bervariasi, (4) menulis puisi dapat membantu
siswa mengidentifikasi orang-orang dan situasi
tertentu, (5) menulis puisi dapat membantu
siswa mengekspresikan suasana hati dan membantu siswa memahami perasaan mereka sendiri, dan (6) menulis puisi dapat membuka dan
menumbuhkan kepekaan serta wawasan siswa
terhadap lingkungan. Akan tetapi siswa mempunyai kendala dalam kegiatan menulis puisi,
yaitu (1) siswa kesulitan menemukan ide, (2)
siswa kesulitan menentukan kata-kata pertama
dalam puisinya, (3) siswa kesulitan mengem-
bangkan ide menjadi puisi karena minimnya
penguasaan kosakata, dan (4) siswa kesulitan
menulis puisi karena tidak terbiasa mengemukakan perasaan, pemikiran, dan imajinasinya
ke dalam puisi. Kendala-kendala yang dihadapi
siswa dalam menulis puisi tersebut disebabkan
oleh pembelajaran menulis puisi yang belum
dilaksanakan secara optimal. Pada saat pembelajaran, siswa lebih banyak diberikan ceramah
tentang teori puisi sehingga waktu untuk menulis puisi menjadi berkurang. Kegiatan menulis
puisi diberikan sebagai tugas yang harus diselesaikan di rumah. Dengan demikian, pembelajaran menulis puisi tersebut lebih berorientasi
pada produk saja. Siswa belum diberi bimbingan dalam menulis puisi mulai dari tahap
penentuan ide sampai pada tahap menuliskan
puisi yang utuh. Akibatnya, kemampuan
menulis puisi siswa masih rendah. Padahal
pembelajaran menulis puisi perlu disikapi sebagai sebuah proses dan juga sebagai produk.
Hal ini berarti bahwa kegiatan menulis puisi
perlu diarahkan dan dilatih secara teratur dan
terus menerus untuk sampai pada produk yang
diinginkan, sehingga siswa mengalami sendiri
proses penulisan puisi. Selain itu, kegiatan
penghargaan dan pemublikasian puisi karya
siswa belum pernah dilakukan oleh guru.
Karya-karya puisi siswa hanya dikumpulkan,
diberi nilai, kemudian dibagikan kembali
kepada siswa. Siswa belum diberi kesempatan
untuk menampilkan puisinya, baik melalui
pembacaan di kelas atau pemajangan puisi di
majalah dinding. Guru pun belum memberikan
tanggapan dan penilaian atas kelebihan dan
kekurangan puisi yang telah dibuat siswa.
Kedua hal di atas menyebabkan siswa tidak
terlalu antusias dalam menulis puisi. Padahal
kegiatan penilaian, penghargaan, dan pemublikasian puisi dapat dijadikan sarana untuk
memotivasi siswa dalam menulis puisi.
Melihat kenyataan tentang pembelajaran
menulis puisi yang belum memenuhi harapan
tersebut, perlu ditempuh upaya-upaya untuk
meningkatkan kegiatan pembelajaran menulis
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
217
puisi di kelas. Dalam hal ini, diperlukan suatu
teknik yang dapat membantu siswa mengatasi
permasalahan dalam menulis puisi. Teknik
pembelajaran tersebut adalah teknik yang memenuhi beberapa karakteristik, yaitu (1) dapat
mengarahkan siswa dalam menemukan ide
puisi yang berasal dari dirinya sendiri atau halhal yang ada di sekitarnya, (2) dapat membantu
siswa menemukan kata-kata pertama dalam
menulis puisinya, (3) dapat membantu siswa
memperkaya perbendaharaan kosakatanya, dan
(4) membimbing siswa dalam melaksanakan
tahap-tahap menulis puisi.
Metode
Melalui paparan di atas, dapat dikemukakan bahwa terdapat tiga ciri khusus penelitian.
Ketiga ciri khusus penelitian tersebut, yaitu (1)
adanya permasalahan penelitian yang berasal
dari persoalan yang terdapat dalam pembelajaran, (2) adanya tindakan yang dilakukan untuk
memperbaiki permasalahan, dan (3) adanya
kolaborasi dengan guru selama penelitian
berlangsung. Penelitian ini dengan ciri-ciri
sebagai berikut (1) dilaksanakan oleh pendidik,
(2) berangkat dari masalah faktual yang ada
dalam pembelajaran, (3) adanya tindakantindakan yang perlu dilakukan untuk memperbaiki proses pembelajaran, dan (4) bersifat
kolaboratif. Proses pelaksanaan penelitian bersifat kolaboratif dengan guru bidang studi yang
dimulai dari mencari fakta pembelajaran secara
berdaur ulang, yakni (1) menyusun perencanaan,
(2) melaksanakan tindakan, (3) pengamatan,
dan (4) refleksi.
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan standar kompetensi, dipilih
butir pembelajaran berupa menuliskan pengalaman pribadi yang paling menarik dalam
bentuk puisi. Sedangkan kompetensi dasar yang
hendak dicapai ada empat tahapan kegiatan
pembelajaran, yaitu (1) tahap penemuan ide,
(2) tahap penulisan, dan (3) tahap penyajian,
218
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
dan (4) tahap penilaian. Indikator pembelajaran
yang ingin dicapai adalah siswa dapat (1)
memilih salah satu pola penulisan puisi dari
model-model puisi yang disajikan, (2) menyusun daftar deskripsi diri, (3) menemukan ide
puisi dari daftar deskripsi diri yang dibuat, dan
(4) menyusunan daftar kata yang sesuai dengan
ide puisi.
Langkah-langkah kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan pembelajaran pada
tahap penemuan ide dilakukan melalui sepuluh
langkah. Kesepuluh langkah tersebut adalah (1)
pemberian pengarahan tentang kegiatan yang
akan dilaksanakan, (2) membangkitkan minat
dan skemata siswa tentang menulis puisi, (3)
penyampaian tujuan pembelajaran, (4) mendengarkan lagu “Berita Kepada Kawan” karya
Ebiet G. Ade, (5) menghubungkan pola lagu “
Berita Kepada kawan” karya Ebiet G. Ade
dengan pola penulisan puisi, (6) mendiskusikan
model-model puisi, (7) menentukan salah satu
pola penulisan puisi, (8) membuat daftar deskripsi diri, (9) menemukan salah satu bagian
dari daftar deskripsi diri untuk dijadikan ide
puisi, dan (10) menyusun daftar kata yang
sesuai dengan judul puisi yang akan ditulis.
Pada tahap penulisan, langkah-langkah
kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan berupa
(1) mengadakan apersepsi dengan mengamati
kembali pekerjaan yang telah dibuat pada
pertemuan sebelumnya, (2) mengamati pemodelan cara mengembangkan ide menjadi puisi,
(3) menulis puisi sesuai dengan ide yang dipilih
dengan memanfaatkan daftar kata yang telah
dibuat sebelumnya, (4) merevisi puisi secara
individual, (5) melakukan revisi puisi karya
teman, dan (6) menuliskan kembali puisi yang
telah direvisi. Pada tahap penyajian langkahlangkah pembelajaran yang dilakukan berupa
(1) menghubungkan kegiatan sebelumnya
dengan kegiatan yang akan dilaksanakan, (2)
mengamati model-model puisi yang berilustrasi,
(3) memberikan ilustrasi yang sesuai dengan
isi puisi, (4) membaca puisi di depan kelas, (5)
memajang puisi di mading kelas, dan (6) men-
diskusikan kelebihan dan kekurangan yang
terdapat pada puisi yang dipajang.
Materi pembelajaran yang digunakan
pada pertemuan pertama adalah kata-kata kias,
sinonim, dan antonim yang terdapat dalam lagu
“Berita Kepada kawan” karya Ebiet G. Ade dan
tipe-tipe penulisan puisi, serta unsur-unsur yang
terdapat dalam puisi. Pada pertemuan kedua
materi yang disajikan adalah pengembangan ide
menjadi sebuah puisi dengan memanfaatkan
daftar kata dan merevisi puisi dengan memperhatikan tipografi, diksi, dan kesesuaian isi
dengan judul yang dipilih. Materi pembelajaran
yang disajikan pada pertemuan ketiga adalah
membaca puisi dengan memperhatikan intonasi,
nada, tempo, ekspresi, dan gaya yang sesuai
dengan isi dan ilustrasi yang sesuai dengan isi
puisi. Media pembelajaran yang akan digunakan pada pertemuan pertama berupa (1) kaset
lagu Ebiet G. Ade untuk didengakan, (2) modelmodel puisi, dan (3) Lembar Kerja Siswa.
Berikut ini adalah tahap-tahap penyajiannya (1)
tahap penemuan ide, (2) tahap penulisan, (3)
tahap penyajian, dan (tahap penilaian.
Tahap Penemuan Ide
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam pembelajaran puisi dengan pemanfaatan lagu “Berita kepada kawan” karya
Ebiet G. Ade . Langkah-langkah tersebut adalah
(1) guru memberikan apersepsi dengan cara
memotivasi dan membangkitkan skemata siswa.
Melalui kegiatan ini guru berusaha untuk
membangkitkan daya khayal, imajinasi, dan
kepekaan emosi tentang sesuatu yang dirasakan
oleh siswa, (2) Memperkenalkan dan mendengarkan lagu “Berita Kepada Kawan” karya
Ebiet G. Ade. Siswa mendengarkan lagu
sehingga siswa mengenal bentuk-bentuk makna
konotasi, sinonim, dan kata-kata puitis, (3)
Siswa menuliskan hal-hal yang berhubungan
dengan data pribadinya. Data tersebut dituliskannya pada lembar kerja.
Guru sebaiknya menjaga kerahasiaan isi
deskripsi diri tersebut, kecuali bila siswa tidak
berkeberatan tulisannya dilihat orang lain, (3)
Guru membimbing siswa untuk membuat
rincian-rincian dari setiap data pribadi yang
dibuatnya. (4) Dengan memperhatikan daftar
deskripsi diri yang telah dibuat pada LKS, siswa
mencoba memilih bagian yang paling menarik
untuk dijadikan ide puisinya, (5) Guru memberi
kesempatan kepada siswa untuk membaca
ulang daftar deskripsi diri dan ide yang
dipilihnya, dan (6) Siswa mulai menyusun
daftar kosakata yang mungkin akan digunakannya dalam menulis puisi akrostik. Kosakata
tersebut sebaiknya mengandung unsur puitis.
Tahap Penulisan
Setelah menemukan ide, siswa diarahkan
untuk mengembangkan ide tersebut menjadi
puisi. Kegiatan pengembangan ide tersebut
mengikuti langkah-langkah tertentu yang
diuraikan di berikut ini, (1) Guru memberikan
beberapa model puisi yang bervariasi. Siswa
mengamati tiap model yang diberikan. Mereka
mendiskusikan hal-hal yang berhubungan
dengan bentuk-bentuk puisi. Dari hasil diskusi
dan pengamatan, siswa memilih salah satu
model puisi yang akan dijadikannya pola dalam
pengembangan ide menjadi puisi, (2) Setelah
menentukan salah satu model puisi yang akan
ditulis, siswa dapat mulai menulis puisi. Guru
harus membantu membimbing siswa dalam
proses penulisan. Penulisan puisi ini lebih diutamakan kepada makna dibanding dengan
unsur mekanik penulisan, (3) Guru membantu
siswa mengadakan penyempurnaan puisi yang
ditulisnya.
Tahap Penyajian
Tahap terakhir dalam penerapan pembelajaran menulis puisi adalah tahap penyajian.
Pada tahap ini kegiatan ditekankan pada
peningkatan motivasi siswa dengan cara memberi kesempatan untuk menyajikan puisinya.
Kegiatan penyajian dilakukan dengan dua cara,
yaitu pembacaan puisi karya siswa di depan
kelas dan pemajangan puisi di majalah dinding
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
219
sekolah. Secara terinci tahap penyajian diuraikan pada bagian berikut ini, yaitu (1) guru
membimbing siswa memberikan ilustrasi yang
sesuai dengan puisinya. Ilustrasi yang diberikan
dapat disesuaikan dengan isi yang ditulis. Selain memberikan ilustrasi berupa gambar, siswa
juga menuliskan puisi dengan tulisan yang
indah dan jelas, (2) setelah puisi ditulis dalam
bentuk yang utuh, siswa diberi kesempatan
untuk membacakannya di depan kelas. Siswa
yang lain dapat memberikan komentar dan saran terhadap puisi yang dibacakan temannya,
dan (3) siswa memajang puisi karyanya di
mading kelas. Setiap puisi yang dipajang di
mading diberi komentar tentang kelebihan dan
kekurangannya.
Tahap Penilaian
Penilaian merupakan suatu kegiatan yang
tidak dapat dipisahkan dari kegiatan pendidikan
dan pengajaran secara umum. Semua kegiatan
pendidikan yang dilakukan selalu diikuti dengan
kegiatan penilaian (Nurgiyantoro, 2001:3).
Penilaian merupakan suatu proses pengumpulan, pelaporan, dan penggunaan informasi
tentang hasil belajar siswa yang diperoleh
melalui pengukuran untuk menganalisis atau
menjelaskan unjuk kerja atau prestasi siswa
dalam mengerjakan tugas-tugas terkait.
Penilaian dapat dilaksanakan secara terpadu dengan kegiatan belajar mengajar serta
dilakukan dengan pengumpulan-pengumpulan
kerja siswa (portofolio) hasil karya (produk),
penugasan (proyek), kinerja (Performance),
dan tertulis (paper and pencil) (Depdiknas,
2003:2). Berdasarkan hal ini, penilaian hasil
dan proses belajar tidak boleh hanya dinilai
dengan dengan menggunakan tes melainkan
juga nontes. Alat-alat nontes dapat digunakan
untuk menilai proses dan hasil belajar. Hal ini
masih jarang dilaksanakan oleh guru. Guru
hanya terpaku pada tes untuk menilai keberhasilan pembelajaran dengan alasan penggunaannya
yang praktis dan mudah dalam pembuatannya.
Akibatnya yang dinilai hanyalah yang berupa
220
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
produk dan mengabaikan proses terjadinya
produk tersebut.
Simpulan
Pembelajaran menulis puisi dengan pemanfaatan lagu “ Berita Kepada Kawan” karya
Ebiet G. Ade pada tahap penemuan ide dilaksanakan dengan lancar dan sesuai dengan rencana
pembelajaran yang telah dirancang. Pembelajaran menulis puisi dengan pemanfaatan lagu
“ Berita Kepada Kawan” karya Ebiet G. Ade
pada tahap penemuan ide dapat meningkatkan
(1) motivasi siswa untuk mengikuti proses
pembelajaran sehingga menjadi bersemangat
dan aktif mengikuti setiap langkah kegiatan
pembelajaran, (2) kreativitas dan keantusiasan
siswa dalam pembelajaran menulis puisi (3)
kemampuan siswa menemukan sendiri ide puisi
yang bersumber dari dirinya, dan (4)
kemampuan siswa mengumpulkan kata-kata
yang akan digunakan dalam puisi dan juga
memperkaya perbendaharaan kata.
Pembelajaran menulis puisi dengan pemanfaatan lagu “ Berita Kepada Kawan” karya
Ebiet G. Ade pada tahap penulisan berlangsung
dengan baik sesuai dengan tujuan pembelajaran
yang diharapkan. Pembelajaran menulis puisi
dengan pemanfaatan lagu “ Berita Kepada
Kawan” karya Ebiet G. Ade pada tahap penulisan ini dapat meningkatkan kemampuan siswa
dalam (1) mengembangkan ide menjadi puisi
dengan memanfaatkan daftar kata yang telah
dibuat pada pertemuan sebelumnya dan (2)
merevisi puisi dengan mempertimbangkan
tipografi, diksi, dan kesesuaian isi dengan judul
puisi. Pembelajaran menulis puisi dengan pemanfaatan lagu “ Berita Kepada Kawan” karya
Ebiet G. Ade pada tahap penyajian berjalan
dengan lancar sesuai dengan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Pembelajaran menulis
puisi dengan pemanfaatan lagu “ Berita Kepada
Kawan” karya Ebiet G. Ade pada tahap ini dapat
meningkatkan kemampuan siswa dalam (1)
memberi ilustrasi sederhana yang sesuai dengan
isi puisi yang dibuatnya, (2) membaca puisi di
depan kelas, (3) memajang puisi di masing, dan
(4) mengemukakan penilaiannya terhadap puisi
teman yang telah dipajang.
Daftar Rujukan
Ahmadi, Muksin. 1990. Strategi BelajarMengajar Keterampilan Berbahasa &
Apresiasi sastra. Malang: YA3 Malang.
Akhadiah, S.,dkk. 1997. Menulis I. Jakarta:
Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
Anderson, Ronald H. 1987. Pemilihan dan
Pengembangan Media untuk Pembelajaran. Jakarta: Rajawali.
Dagher, Josep P. 1976. Writing A Practical
Guide. Boston: Houghton Miffin Company.
Dahar, Ratna.Willis. 1988. Teori-teori Belajar.
Jakarta: Depdikbud.
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004. Jakarta:
Depdiknas.
Ellis, Aarthur. dkk. 1989. Elementary Language
Arts Instruction. New Jersey:
Eanglewood Cliffs.
Ghazali, A.S. 2002. Penerapan Paradigma
Konstruktivisme Melalui Strategi Belajar
Kooperatif dalam Pembelajaran Bahasa.
Dalam Jurnal Sumber Belajar Kajian
Teori dan Aplikasi. Nomor 1 tahun 9 September 2002. Hal 109-137.
Hudelson, Sarah. 1989. Write on Children Writing in ESL. New Jersey: Englewood
Cliffs.
Keraf, Gorys. Komposisi. Ende-Plores: Nusa
Indah.
Kustiono. 1996. Intensitas Pemanfaatan Sumber
Belajar Lingkungan Masyarakat Oleh
Guru Sekolah dasar di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Jurnal Pendidikan
Humaniora dan Sains. Tahun 2, Nomor
1&2, September 95 & 96.
Lie, Anita. 2002. Cooperative Learning.
Mempraktikkan Cooperative Learning di
Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: Grasindo.
Maleong, Lexy.J. 2002. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Marwoto Ms., dkk. 1985. Komposisi Praktis.
Yokyakarta: Hadinata.
Milles, Muberman B. & A. Michael Huberman.
1992. Analisis Data Kualitatif. Penterjemah Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Nurgiantoro, Burham. 1995. Penilaian dalam
Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yokyakarta: BPFE.
Nurhadi. 2002. Pendekatan Kontekstual.
Malang: Universitas Negeri Malang.
Puskur Depdiknas. 2002. Penilaian Berbasis
Kelas. Jakarta: Balitbang Depdiknas.
Ramli, A. 1999. The Expanding Environment
Approach in Elementary Social Studies
Education. Dalam Jurnal Ilmu Pendidikan. Tahun 29 Nomor 1 Januari 1999.
Hal 29-40.
Rubin, Dorothy. 1995. Teaching Elementry
Language Arts. An Integrated Approach.
Boston: Allyn Bacan.
Sadiman, Arief S. dkk. 1990. Media Pendidikan.
Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: Rajawali
Semi, M.Atar. 1990. Menulis Efektif. Padang:
Angkasa Raya.
Sujana, Nana 2001. Penilaian Hasil Proses
Belajar Mengajar. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Syafi’ie, Imam. 1988. Retorika dalam Menulis.
Jakarta: Depdikbud.
Tarigan, Henri Guntur. 1982. Menulis Sebagai
Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Tompkins, Gael E. 1994. Teaching Writing
Balancing Process and Product. New
York: Macmillan Publishing.
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
221
PEMANFAATAN VIDEO
PERAWATAN JENAZAH
UNTUK PEMBELAJARAN FIQIH DI
MADRASAH TSANAWIYAH
Dra. Roihanah, M.A. Institut Agama Islam “Al-Qolam” Gondanglegi Malang
Abstrak: Kehidupan dewasa ini, kemampuan memahami isi bacaan tidak hanya dibutuhkan oleh
masyarakat akademis, tetapi juga diperlukan oleh berbagai kalangan masyarakat yang ingin memperoleh
informasi melalui media tulis maupun media elektronik terutama pemanfaatan video. Kemampuan
pemahaman dapat dipandang sebagai keterampilan untuk memperoleh pengetahuan dan memperluas
informasi sebagai hasil dari kegiatan membaca bahasa tulis. Penggunaan strategi belajar kelompok
dalam pembelajaran di kelas mempunyai beberapa tujuan, antara lain meningkatkan partisipasi siswa,
memberi pelajaran kepemimpinan, memberi pengalaman membuat keputusan kelompok, dan memberi
kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan belajar dengan siswa lain yang berasal dari latar belakang
budaya, jenis kelamin, serta kemampuan yang berbeda. Tujuan kelompok merupakan insentif dalam
belajar kooperatif yang membantu menciptakan semangat kelompok dan mendorong siswa untuk saling
membantu.
Kata Kunci: pembelajaran Fiqih, merawat jenazah, pemanfaatan video
Pendahuluan
Harapan yang tertuang dalam Kurikulum
KTSP pelajaran Fiqih, selanjutnya dijabarkan
dalam berbagai tujuan dan bentuk sasaran pembelajaran membaca yang bernuansa pemahaman isi bacaan pada setiap tingkatan akademis siswa. Bagi siswa Madrasah Tsanawiyah,
butir-butir pembelajaran Fiqih yang dapat
dilaksanakan dengan pembelajaran membaca
pemahaman meliputi (1) membaca dan menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits yang
berkenaan dengan perawatan jenazah, (2) membaca dan menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an
dan Hadits serta tata cara yang berkenaan dengan
memandikan jenazah, (3) membaca dan menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits serta
tata cara mengafani jenazah, (4) membaca dan
menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits
serta tata cara mensholati jenazah baik sendirian
222
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
maupun dengan berjamaah, (5) membaca dan
menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits
serta tata cara menguburkan jenazah.
Berdasarkan tinjauan psikologi kognitif
diketahui bahwa anak yang telah berusia 11
tahun ke atas sudah berada pada tingkat perkembangan intelektual operasi formal (Piaget,
dalam Dahar 1988:152). Hal itu menunjukkan
bahwa siswa setingkat Madrasah Tsanawiyah
sudah dapat menerima dan melaksanakan tuntutan kurikulum tersebut. Menurut Piaget, anak
pada usia itu sudah mampu berpikir dalam empat
tingkatan, yaitu (1) berpikir hipotesis-deduktif,
(2) berpikir proposisional, (3) berpikir kombinatorial, dan (4) berpikir refleksif.
Butir-butir pembelajaran dalam Garisgaris Besar Program Pembelajaran di atas
mengarahkan siswa untuk mengolah pikirannya
semaksimal mungkin dalam kegiatan membaca.
Siswa diarahkan pada aktivitas menanggapi,
meresapi, meresepsi, menyusun pertanyaan,
mencari hubungan, penyatakan pendirian, dan
menyimpulkan isi tayangan video. Semua aktivitas itu sudah dapat dilakukan oleh seorang anak
pada tingkat perkembangan operasi formal
melalui empat tingkatan berpikir tersebut. Pada
tingkatan berpikir hipotesis deduktif, siswa
sudah dapat menanggapi masalah dan menyusun
pertanyaan berkaitan dengan isi video. Pada
tingkatan berpikir proposisional, siswa sudah
dapat menanggapi, menyusun pertanyaan, dan
mencari hubungan yang tersirat dalam bacaan.
Selanjutnya, pada tingkatan berpikir kombinatorial dan tingkatan berpikir reflektif, siswa
sudah dapat melakukan semua tuntutan kurikulum tersebut.
Sementara itu, kemampuan mereka pada
tingkatan pemahaman yang lebih tinggi masih
rendah. Kesulitan-kesulitan mereka pada tingkatan pemahaman itu ditemui pada beberapa
butir pembelajaran membaca dan memahami
ayat-ayat Alqur’an dan Hadits, yaitu (1) membaca dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan
Hadits, (2) menentukan bahan dan media perawatan jenazah untuk kegiatan praktek, (3)
belum terbiasa siswa untuk perawatan jenazah,
baik memandikan, mengafani, dan menshalati
jenazah (4) ada anggapan bahwa perawata
jenazah itu adalah kwajiban pak modin/tokoh
agama setempat. Fakta-fakta itu menuntut dilakukannya tindakan-tindakan lain dalam pembelajaran perawatan jenazah.
Adanya kesulitan-kesulitan yang dialami
oleh siswa dalam memahami isi bacaan ayatayat Al-Qura’an dan Hadits tersebut diduga
sebagai akibat dari pelaksanaan pembelajaran
yang masih terikat dengan penggunaan strategi
konvensional dalam pembelajaran perawatan
jenazah. Dalam strategi itu, siswa diperlakukan
secara klasikal pada saat pembelajaran berlangsung. Akibatnya, siswa tidak mengetahui
keterbatasan kemampuannya dalam setiap sajian materi pembelajaran. Selain itu, siswa tidak
mendapat kesempatan untuk saling berbagi
pengalaman dan kemampuan antara sesama
mereka dalam proses pembelajaran. Dalam
pembelajaran tersebut, guru masih beranggapan
bahwa kemampuan siswa berpikir secara individual dalam konteks pembelajaran yang bersifat klasikal merupakan faktor utama untuk
mencapai keberhasilan pembelajaran. Guru
belum memberdayakan kelompok kecil dalam
kelas, siswa tidak diberi tanggung jawab sepenuhnya tentang tugas yang diberikan, dan belum pernah menerapkan teknik diskusi. Dengan
demikian, siswa tidak terbiasa berpikir kritis,
bekerja sama, atau saling mengajari dalam
proses pembelajaran.
Metode
Penelitian ini berupaya mengungkapkan
berbagai fenomena berkaitan dengan pembelajaran yang berlangsung secara alamiah di
dalam kelas melalui pengumpulan sejumlah
data yang dapat memberikan makna dan informasi. Data yang diperoleh dianalisis secara
induktif. Selanjutnya, hasil analisis data disajikan dalam bentuk deskripsi fenomena, bukan
dalam bentuk perhitungan angka-angka. Paparan tersebut mengandung pemikiran bahwa
penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pemikiran itu sejalan dengan karakteristik penelitian kualitatif yang dikemukakan oleh
Bogdan dan Biklen. Bogdan dan Biklen (1992:3930) mengemukakan lima karakteristik penelitian
kualitatif, yaitu (1) latar penelitian sebagai sumber
pengambilan data bersifat alamiah dan peneliti
berperan sebagai instrumen kunci, (2) bersifat
deskriptif, (3) di samping hasil, proses perlu
diperhatikan, (4) analisis data dilakukan secara
induktif, dan (5) pemaknaan menjadi perhatian
utama.
Hasil dan Pembahasan
Paparan untuk setiap siklus mengikuti
urutan sajian yang diawali dengan gambaran
singkat tentang persiapan pelaksanaan tindakan. Setelah itu disajikan gambaran proses
pelaksanaan tindakan dan kemajuan siswa
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
223
dalam proses itu, serta gambaran perkembangan
kemampuan pemahaman siswa yang dinilai dari
produk tindakan pada setiap tahapan. Urutan
sajian terintegrasi dengan urutan tahapan
pembelajaran perawatan jenazah, yaitu (1)
tahap praperawatan jenazah (tahap dimana
siswa mendengarkan video tentang perawatan
jenazah, membaca literatur/referensi tentang
perawatan jenazah, mengamati demonstrasi
guru tentang perawatan jenazah), (2) tahap saat
perawatan jenazah (tahap siswa menghafalkan
ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits tentang
perawaant jenazah, membuat bagan perawatan
jenazah, secara bergantian tiap kelompok
mempraktekkan perawatan jenazah dan yang
lain memperhatikan dan mencatat pokok-pokok
penting dari hasil pengamatan), dan (3) tahap
pascaperawatan jenazah (tahap dimana siswa
melaksanakan unjuk kerja bersama kelompok,
mendemonstrasikan hasil kerja kelompok).
Setiap tahapan pembelajaran perawatan jenazah
terdapat fase-fase pembelajaran strategi belajar
berkelompok yang teraplikasi di dalamnya.
Fase-fase tersebut ialah (1) fase persiapan yang
meliputi pembentukan skemata dan penjajakan
tugas-tugas yang diberikan, (2) fase
pengumpulan informasi, (3) fase pertemuan
siswa ahli, (4) fase laporan kelompok, (5) fase
pemberian tes, dan (6) fase penghargaan.
Di sisi lain, sajian dari setiap tahapan
perawatan jenazah selalu mengacu pada proses
pelaksanaan dan produk tindakan pembelajaran. Artinya, pada setiap tahap pembelajaran
perawatan jenazah, dua aspek selalu dipaparkan, yaitu proses pelaksanaan tindakan dan
produk yang dihasilkan dari pelaksanaan tindakan. Aspek proses dan produk pembelajaran
dipaparkan secara terpisah agar perkembangan
yang terjadi dari penggunaan strategi belajar
berkolompok pada kedua aspek tersebut dalam
pembelajaran perawatan jenazah dapat diketahui secara detail.
Paparan tentang proses dan produk tindakan pembelajaran perawatan jenazah
menyajikan dua hal yang berbeda. Proses
224
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
pelaksanaan tindakan menyajikan perkembangan perilaku siswa selama tindakan pembelajaran berlangsung, baik secara individual
maupun kelompok. Sementara itu, produk
pembelajaran menyajikan perkembangan kemampuan pemahaman siswa pada setiap
tahapan pembelajaran perawatan jenazah, baik
berbentuk pemahaman perawatan jenazah
kelompok maupun pemahaman merawat
jenazah siswa secara individual.
Baik proses pelaksanaan tindakan maupun
produk yang dihasilkan, keduanya mengacu
pada pencapaian sejumlah indikator yang telah
ditetapkan. Indikator proses pelaksanaan
tindakan berkaitan dengan keaktifan dan
penguasaan siswa atas proses pembelajaran
yang dilaksanakan dengan strategi belajar
kelompok. Sementara itu, indikator produk
tindakan berkaitan dengan ketepatan pemahaman
siswa pada fokus keterampilan pemahaman
perawatan jenazah yang dikaji dalam bacaan ayatayat Al-Qur’an dan Hadits serta tujuan pembelajaran yang diharapkan.
Pada saat pelaksanaan tindakan di kelas,
siswa dibagi menjadi delapan kelompok asal
yang masing-masing dinamakan kelompok A,
kelompok B, kelompok C, kelompok D,
kelompok E, kelompok F, kelompok G, dan
kelompok H. Setiap kelompok beranggotakan
empat orang, kecuali kelompok H dengan
jumlah anggota sebanyak 3 orang. Kelompokkelompok itu dibentuk secara cermat oleh guru
dengan mempertimbangkan keragaman siswa.
Setiap kelompok diupayakan beragam ditinjau
dari aspek kemampuan, jenis kelamin, serta
etnis siswa. Masalah keragaman siswa itu
dipertimbangkan dalam pembentukan kelompok asal dengan tujuan untuk memunculkan
kekhasan strategi belajar kelompok.
Pengambilan data untuk setiap siklus
dilaksanakan dengan cara mengamati secara
langsung proses pembelajaran perawatan
jenazah di kelas dan menganalisis produk
pembelajaran perawatan jenazah yang
dihasilkan oleh siswa dari setiap tindakan
pembelajaran. Selama pengamatan berlangsung, dilakukan pencatatan secara cermat, baik
mengenai fenomena yang terjadi maupun yang
tidak terjadi dalam pembelajaran perawaant
jenazah. Sasaran pengamatan terutama
diarahkan pada perilaku dan tuturan siswa serta
tindakan dan tuturan guru. Selanjutnya, datadata tersebut dianalisis dengan menggunakan
rambu-rambu yang telah disiapkan untuk
mendapatkan informasi yang berguna bagi
penelitian.
Tes akhir dilaksanakan dengan menggunakan instrumen pengumpulan data berupa
lembar tes. Tes itu dilaksanakan setelah keseluruhan proses pembelajaran perawatan jenazah berakhir yang bertujuan untuk mengetahui
perkembangan kemampuan pemahaman siswa
secara individual dan klasikal dalam praktek
perawatan jenazah. Baik proses pelaksanaan
maupun hasil tes akhir, tidak dipaparkan secara
detail karena kegiatan itu dilaksanakan hanya
untuk memperkuat data yang diperoleh dalam
pembelajaran perawatan jenazah dengan
strategi belajar kelompok pada setiap siklus
tindakan.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa strategi belajar kelompok dapat
meningkatkan kemampuan pembelajaran Fiqih
pada pokok bahasan perawatan jenazah. Peningkatan itu terjadi pada proses dan produk
pembelajaran. Uraian lebih rinci ialah sebagai
berikut. Pertama, strategi belajar kelompok
dapat meningkatkan kemampuan pemahaman
perawatan jenazah siswa Madrasah Tsanawiyah, pada tahap apersepsi dan eksplorasi.
Peningkatan proses pembelajaran berupa (1)
peningkatan keseriusan, keresponsipan, serta
kerja sama siswa dalam proses pembentukan
skemata, dan (2) peningkatan keseriusan,
keresponsipan, serta kerja sama siswa dalam
proses penjajakan tugas-tugas yang diberikan.
Peningkatan produk pembelajaran berupa (1)
peningkatan pemahaman siswa tentang video
yang ditayangkan sebelum kegiatan perawatan
jenazah dilaksanakan, dan (2) peningkatan
pemahaman siswa tentang tugas-tugas yang
akan mereka kerjakan. Kedua, strategi belajar
kelompok dapat meningkatkan pemahaman
perawatan jenazah siswa Madrasah Tsanawiyah,
pada tahap elaborasi. Peningkatan proses
pembelajaran berupa peningkatan keseriusan,
keresponsipan, dan kerja sama siswa dalam
melakukan kegiatan pengumpulan informasi
dari bacaan. Peningkatan produk pembelajaran
berupa (1) peningkatan pemahaman siswa
tentang ayat-ayat dan tata cara memandikan
jenazah, (2) peningkatan pemahaman siswa
tentang ayat-ayat dan tata cara mengafani
jenazah, (3) peningkatan pemahaman siswa
tentang ayat-ayat dan tata cara menshalati
jenazah, dan (4) peningkatan pemahaman siswa
tentang ayat-ayat dan tata cara menguburkan
jenazah baik secara kelompok ataupun secara
individual. Ketiga, strategi belajar kelompok
dapat meningkatkan kemampuan perawatan
jenazah pada siswa Madrasah Tsanawiyah.
Peningkatan proses pembelajaran berupa (1)
peningkatan keseriusan, keresponsipan, serta
kerja sama siswa dalam melakukan diskusi
kelompok, dan (2) peningkatan keseriusan,
keresponsipan, serta kerja sama siswa dalam
kegiatan saling mengajari pada pelaksanaan
laporan siswa.
Daftar Rujukan:
Bogdan, Robert C. & Biklen, Sari Knopp. 1982.
Qualitative Research for Education: An
Introduction to Theory and Methods.
Boston: Allyn and Bacon.
Depdikbud. 1999. Penelitian Tindakan (Action
Research): Bahan Pelatihan. Jakarta:
Dirjen Dikdasmen.
Eanes, Robin. 1997. Content Area Literacy:
Teaching For Today and Tomorrow. Albany: Delmar Publishers.
Fachrurrazy. Pendekatan Konstruktivis untuk
Pengajaran Reading Bahasa Inggris.
Jurnal Sumber Belajar Kajian Teori dan
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
225
Aplikasi. Nomor 1, 8 Oktober 2001.
Malang:LP3 UM.
Ghazali, A. Syukur. 2001. Strategi Belajar
Kooperatif dalam Belajar Mengajar
Kontekstual. Jurnal Sumber Belajar
Kajian Teori dan Aplikasi. Nomor 1, 8
Oktober 2001. Malang:LP3 UM.
Harris, Albert J & Sipay, Edward R. 1980. How
to Increase Reading Ability. New York:
Longman.
Krashen, Stephen D. & Terrel, Tracy D. 1983.
The Natural Approach: Language Acquisition in the Classroom. Oxford:
Pergamon Press.
Kemenag. 2006. Silabus Mata Pelajaran Fiqih
untuk M.Ts. Jakarta: Kemenag.
226
Prosiding Seminar Internasional
Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka
Miles, Mtthew B. & Huberman, A. Michael.
Qualitatif Data Analysis. (dialihbahasakan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi
tahun 1992). Jakarta: Universitas Indonesia.
Nur, Muhamad & Wikandari. 2000. Pengajaran
Berpusat kepada Siswa dan Pendekatan
Konstruktivis dalam Pengajaran.
Surabaya: Unesa.
Suyanto, Kasihani K. E. 2002. Penelitian
Tindakan Kelas dan Refleksi Pengajaran
Guru SLTP (Materi TOT CTL Mata
pelajaran Bahasa Inggris SLTP). Malang:
Fakultas Sastra UM.
Wiryodijoyo, Suwaryono. 1989. Membaca:
Strategi Pengantar dan Tekniknya. Jakarta: Depdikbud.
Download