Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka (Upaya Peningkatan Bahan Pustaka di Tengah Canggihnya Teknologi Informasi) i Membudayakan Menulis Tingkat Dunia Untuk Membangun Kualitas Pustaka Editor Lilik Wahyuni Umi Salamah PurWiyanto Cover Design: Yudhista Layout : Dayat Penerbit Surya Pena Gemilang Anggota IKAPI Jatim Jln. Rajawali Tutut Arjowinangun 12 Malang - Jawa Timur Tlp. 082140357082 Fax. (0341) 751205 e-mail: [email protected] Jumlah: vi + 226 hlm. Ukuran: 20 x 28 cm Juni 2015 ISBN: 978-602-17895-8-4 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit. ii Kata Pengantar Segala puja dan puji syukur senantiasa saya panjatkan kepada Allah swt., Tuhan Yang Maha Esa pengayom segenap alam yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga Seminar Internasional yang bertema Membudayakan Menulis Tingkat Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka ini bisa terselenggara. Kegiatan ini diselenggarakan dalam upaya peningkatan kompetensi menulis masyarakat sehingga dapat meningkatkan kualitas pustaka. Untuk bisa “duduk bersanding” bersama negara-negara dengan tradisi menulis kelas dunia, semua masyarakat bangsa harus mampu menulis bahan pustaka kelas dunia. Dengan kata lain, tulisan yang dibuat harus sejalan dengan budaya dan tatacara tulisan kelas dunia. Ada pepatah mengatakan “dekat dengan penjual minyak wangi akan bau minyak wangi”. Pepatah tersebut dapat diterapkan dalam kegiatan menulis. Kalau ingin bisa menulis karya sastra, mendekatlah dengan sastrawan. Kalau ingin bisa menulis artikel, mendekatlah dengan penulis artikel. Kalau ingin mempunyai tulisan yang diterbitkan, mendekatlah dengan penerbit. Kalau ingin mempunyai tulisan dimuat dalam jurnal internasional, mendekatlah dengan pengelola jurnal internasional. Kalau ingin mempunyai tulisan ditaruh di perpustakaan, mendekatlah dengan pustakawan. Bertolak dari latar belakang di muka, para “bidan” yang ikut melahirkan Jurnal Ilmiah SINAR (Berkontemplasi dan Bernalar) merasa terpanggil dan bertanggung jawab untuk ikut menyadarkan arti penting pembentukan budaya menulis demi meningkatkan koleksi bahan pustaka berkualitas. Oleh sebab itu, melalui penyelenggaraan seminar internasioanl ini diharapkan akan terbentuk komunitas menulis tingkat dunia. Dengan begitu, tulisan yang dihasilkan dapat dipublikasikan dan tidak saja dibaca oleh masyarakat Indonesia tetapi juga masyarakat dunia. Malang, Juni 2015 Panita, iii iv Daftar Isi Kata Pengantar ................................................................................................................. Daftar Isi .................................................................................................................. iii v 1. Needed Writing Achievement untuk Menjadi Produktif dalam Menulis ...................... 1 2. Paradigma Riset Ilmu Sosial: Peruntukan Publikasi Berorientasi ‘Rigorous’ dan ‘Internasional’ ........................................................................................................ 9 3. Bahasa Uzbek dan Sistem Pengajarannya Di Uzbekistan............................................ 27 4. Kealpaan Berpikir Ilmiah dalam Karya Ilmiah ............................................................ 31 5. Strategi PIA Susi dalam Penumbuhan Budaya Menulis Siswa .................................... 37 6. Menulis sebagai Arena Konstruksi Diri Siswa Secara Harmonis ................................ 43 7. Sistem Penulisan Morfologi dalam Bahasa Jawa ........................................................ 50 8. Kiat Mudah Menulis: Optimalisasi Potensi Berbahasa, Tanpa Terbelenggu Frame Bahasa Baku ................................................................................................................. 55 9. Training Of Scientific Writing For Efl Teachers In Papua: Writing A Classroom Action Research Proposal ............................................................................................ 62 10. Upaya Meningkatkan Kemampuan Menulis Matematis Siswa dalam Pembelajaran Matematika .................................................................................................................. 67 11. Penggunaan Mind Mapping untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Laporan Pengamatan Siswa Kelas V SD Inpres Perumnas I Jayapura....................................... 73 12. Karya Sastra sebagai Stimulus dalam Kompetensi Menulis Fiksi di Era Globalisasi Berbasis K3 .................................................................................................................. 84 13. Memahami Struktur Naratif Ruth Finnegan dalam Aplikasi Cerita Jaka Kandung ..... 90 14. Pengembangan Minat Keterampilan Menulis di SDN Kauman 3 Sebagai Upaya Peningkatan Daya Kritis dan Kreativitas Siswa........................................................... 99 15. Menumbuhkembangkan Karakter Siswa Sekolah Dasar Melalui Penerapan Media Pembelajaran Film Bertema Cinta Tanah Air .............................................................. 104 16. Lad: Piranti Reseptif dan Produktif yang Luar Biasa................................................... 109 17. Strategi Pembelajaran Menulis Kreatif untuk Anak..................................................... 113 18. Lagu dan Cerpengram: Strategi Efektif dan Menyenangkan Bagi Siswa dalam Menulis Cerpen ............................................................................................................ 120 19. Abstrak Pengembangan Perangkat Pembelajaran Segi Empat dengan Pendekatan Open-ended di Kelas VII Sekolah Menengah Pertama ................................................ 126 20. Pembelajaran Matematika pada Anak Usia 1 – 2 Tahun.............................................. 132 21. Literasi Keuangan Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa dalam Mengelola Keuangan ................................................................................................... 138 22. Pengembangan Buku Ajar Bahasa Indonesia Berbasis Jender Sebagai Upaya Demokratisasi Pendidikan ........................................................................................... 147 23. Manajemen Pendidikan Humas pada Sekolah Inklusi di SMPN 1 dan SMP Dwijendra di Kota Mataram (Studi Multikasus) .......................................................................... 153 24. Penerapan Pembelajaran Kooperatif Model Snowball Throwing pada Mata Pelajaran IPS di Sekolah Dasar.................................................................................................... 161 25. Penerapan Problem Solving dalam Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar ..................... 168 v 26. Keterampilan Sosial dan Kesetaraan Gender Dalam Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar .......................................................................................................... 27. Menulis, Wujud Eksistensi dan Ekspresi Diri*) .......................................................... 28. Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Spiritual terhadap Kepemimpinan Transformasional Serta Implikasinya terhadap Kinerja Karyawan pada Yayasan Pembinaan Anak Cacat di Jawa Timur ............................................................................ 29. Dari Mana Menulis dan Bagaimana Pengembangan Model Pembelajarannya? ................. 30. Pentingnya Bahasa Santun untuk Meningkatkan Etika Bahasa Tulis .................................. 31. Analisis Kritis Pentingnya Mengetahui Gaya Belajar Siswa sebagai Upaya Meningkatkan Pembelajaran Menulis .................................................................................................... 32. Makalah Berprakmatik, Etika Berkomunikasi ................................................................. 33. Pemanfaatan Lagu Berita Kepada Kawan Karya Ebiet G. Ade untuk Menulis Puisi di Smp .................................................................................................................. 34. Pemanfaatan Video Perawatan Jenazah untuk Pembelajaran Fiqih di Madrasah Tsanawiyah ................................................................................................ vi 175 181 182 188 195 201 211 216 222 NEEDED WRITING ACHIEVEMENT UNTUK MENJADI PRODUKTIF DALAM MENULIS Oleh Wahyudi Siswanto Apa untungnya menjadi penulis? Itulah pertanyaan yang sering disampaikan orang tentang seorang penulis. Kalau kita mau sedikit teliti kita akan mendapatkan data bahwa dengan menulis orang bisa kaya dan terkenal. Berikut ini beberapa contohnya. J.K. Rowling memiliki kekayaan bersih $1 milliar atau Rp 11,9 triliun. Ia penulis terkaya di dunia. J.K. Rowling adalah penulis seri Harry Potter yang diadaptasi menjadi sebuah film. Novel pertamanya, Harry Potter and the Philosopher’s Stone yang diterbitkan pada tahun 1997 berhasil meraih kesuksesan dalam singkat. Pada tahun 2007, Harry Potter and The Deathly Hallows, menjadi buku paling cepat terjual sepanjang masa yaitu 15 juta copy terjual dalam waktu 24 jam. Stephen King memiliki kekayaan bersih $400 juta atau Rp 4,76 triliun. Ia memiliki blibliografi yang luas dan banyak menerima penghormatan dari kalangan sastra. Novel-novelnya pada umumnya bergenre horor, fiksi ilmiah, dan fantasi. Novel The Dark Tower dianggap sebagai karya terbaik Stephen King. Danielle Steel memiliki kekayaan bersih $375 juta atau Rp 4,46 triliun. Dia dapat dikatakan sebagai penulis paling sukses di dunia terkait jumlah buku karyanya yang sudah terjual. Sejak tahun 1978 Danielle sudah menjual novel sebanyak 800 juta copy. Biasanya setiap tahun Danielle menerbitkan novel barunya. James Patterson mampu mengumpulkan kekayaan bersih $310 juta atau Rp 3,69 triliun. Tom Clancy memunyai kekayaan bersih $300 juta atau Rp 3,57 triliun. John Grisham memiliki kekayaan bersih $200 juta atau Rp 2,83 triliun. Jackie Collins memunyai kekayaan bersih $180 juta atau Rp 2,14 triliun. Nora Roberts mendapatkan kekayaan bersih $150 juta atau Rp 1,78 triliun. Dean Koontz memiliki kekayaan bersih $145 juta atau Rp 1,72 triliun. Stephenie Meyer mendapatkan kekayaan bersih $125 juta atau Rp 1.48 triliun. Semuanya dari kegiatan menulis. (http://www.wowmenariknya.com/2014/07/10-penulis-paling-kaya-raya-di-muka-bumi.html). Mengapa mereka bisa menjadi penulis yang hebat? Tulisan ini akan mencoba memberikan uraian secara singkat, mulai dari dorongan menulis, bekal menulis, hingga dorongan spiritual dalam menulis. Dorongan Menulis Apa yang mendorong seseorang untuk menulis? Jawaban terhadap pertanyaan ini bisa dicari pada dorongan hidup manusia. Menurut Murray Banks (dalam Elfiky, 2011:246) ada empat kebutuhan dasar manusia. Keempat kebutuhan itu adalah kebutuhan untuk: hidup, mencintai dan dicintai, merasa penting, dan mengalami keberagaman. Menurut Elfiky (2011:247) ada lima kebutuhan dasar manusia. Kelima kebutuhan dasar manusia itu adalah kebutuhan fisiologis, emosional, psikologis, mental, dan spiritual. Kebutuhan fisiologis mencakup kebutuhan untuk bertahan hidup, seperti makanan, air, udara, kehangatan tubuh, tidur, keamanan, dan kenyamanan. Kebutuhan emosional berkaitan dengan kebutuhan cinta. Setelah itu berangsur angsur kita memerlukan terpenuhinya kebutuhan psikologis, mental, dan spiritual. Menurut Koentjoroningrat (1989: 109— 110) ada tujuh macam dorongan naluri, yaitu (1) dorongan untuk mempertahankan diri, (2) dorongan seks, (3) dorongan untuk mencari Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 1 makan (4) dorongan untuk bergaul atau berinteraksi dengan sesama manusia, (5) dorongan untuk meniru tingkah laku sesamanya, (6) dorongan untuk berbakti, dan (7) dorongan akan keindahan. Ada satu dorongan yang jarang dibicarakan, yaitu dorongan berprestasi. McClelland mempertanyakan, mengapa ada bangsa bangsa tertentu yang rakyatnya bekerja keras untuk maju, dan ada yang tidak. Dia memperbandingkan bangsa Inggris dan Spanyol, yang pada abad ke 16 merupakan dua negara raksasa yang kaya raya, namun sejak itu Inggris terus berkembang menjadi makin besar, sedangkan Spanyol menurun menjadi negara yang lemah. Setelah semua diperiksa, dan dia tidak juga menemukan penyebabnya, dia mulai memperhatikan hal lain: cerita dan dongeng anak anak yang terdapat di dua negeri itu. Di sini dia menemukan jawaban yang dicarinya (Marahimin, 2003). Kelihatannya, dongeng dan cerita anak­­ anak di Inggris pada awal abad ke 16 itu mengandung semacam ‘virus’ yang menyebabkan pendengar atau pembacanya terjangkiti penyakit butuh berprestasi’, the need for achievement, yang kemudian disimbolkan dengan ‘n Ach’, yang menjadi sangat terkenal. Sedangkan cerita anak dan dongeng yang di Spanyol justru menina­bobokkan, tidak me­ ngandung ‘virus’ tersebut (Marahimin, 2003). Kebutuhan akan berprestasi melalui menulis inilah yang tampaknya begitu menonjol pada penulis dunia. Tidak heran bila karya mereka sering menjadi karya best seller sepanjang masa. Charles Dickens dikenal karena karya-karya besarnya. Sebuah ‘Kisah Dua Kota “adalah karyanya yang menjadi buku terlaris di seluruh dunia. Ini novel sejarah yang ditulis pada masa Revolusi Perancis dengan latar belakang London, Paris, Inggris dan Perancis. The Lord of the Rings adalah sebuah novel fantasi yang sangat luas dan terdiri atas tiga bagian. Karya JRR Tolkien ini telah dibuat menjadi film . Agatha Christie dikenal sebagai 2 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka pengarang fiksi detektif. Karyanya Dan Kemudian Apakah Ada Tidak Ada dikenal dunia sebagai salah satu buku terlaris dari jenis ini. The Da Vinci Code karya penulis Dan Brown adalah salah satu novel misteri yang paling populer dan dibuat film dengan judul yang sama. Anne of Green Gables karya Lucy Maud Montgomery awalnya dimaksudkan untuk semua umur, tetapi akhirnya disebut sebagai buku anak-anak. Ia menulis buku ini terinspirasi oleh cerita yang ia tulis selama masa kecilnya. Banyak tempat wisata dikembangkan dengan berdasarkan cerita ini. Black Beauty karya Anna Sewell merupakan otobiografi kuda yg berketurunan baik dan kisah hidupnya. The Alchemist karyaPaulo Coelho. Cerita ini tentang seorang anak bernama Santiago yang memiliki mimpi tentang harta karun. Harry Potter karya JK Rowling mengungkap kisah tentang seorang penyihir muda bernama Harry Potter dan seri petualangan dengan teman-teman, Ron Weasley dan Hermoine Granger. Novel ini juga dibuat film. To Kill a Mockingbird karya Harper Lee yang membahas banyak masalah dengan sentuhan humor halus telah memenangkan penghargaan Pulitzer dan difilmkan dengan meraih piala Oscar. Gone with the Wind karya Margaret Mitchell dan telah memenangkan penghargaan Pulitzer. Demikian juga dengan Rich Dad Poor Dad, The Wind in the Willows ditulis Kenneth Grahame, Godfather karya Mario Puzo, Charlie and the Chocolate Factory karya Roald Dahl, Winnie-the-Pooh ditulis oleh AA Milne, Chicken Soup for Soul ini, James Bond Seri, dan Guinness World Records, The Kite Runner, The Sidney Sheldon, Danielle Steel, The Pelican Brief, The Count Monte Cristo, Anna Karenina (Leo Tolstoy), The Picture of Dorian Gray, Pride and Prejudice (karya Jane Austen), A Midsummer Night’s Dream, Romeo dan Juliet, Hamlet, Macbeth (karya William Shakespeare) merupakan contohcontoh buku yang menjadi buku best seller. (https://adilesmana.wordpress.com/2011/01/ 04/buku-best-seller-sepanjang). Bagaimana dengan penulis Indonesia? Kita cukup bangga dengan perkembangan penulis Indonesia. Seorang anak dari Belitong, Andrea Hirata, tiba-tiba saja namanya melambung. Mengapa? Karena tulisannya! Melalui novelnya, ia menjadi dikenal di seluruh Indonesia. Ia sering tampil di TV dan diundang oleh berbagai pihak untuk mengungkapkan pengalamannya. Melalui royalti dari novelnya, ia mampu menyumbangkan milyaran rupiah untuk kemajuan pendidikan di Belitong. Andrea Hirata sukses menulis novel bergenre biografi dan ilmiah berupa novel tetralogi: Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov. Laskar Pelangi saja mampu terjual lebih dari 600.000 buah. Hal ini ditambahan dengan menjual karyanya untuk difilmkan: Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Habiburrahman El Shirazy mencoba menawarkan novel bergenre novel religi. Hampir semua karya Habiburrahman menjadi best seller. Ayat-Ayat Cinta dicetak ulang puluhan kali lalu difilmkan dan disaksikan oleh 3,5 juta orang. Novel yang lain Ketika Cinta Bertasbih juga diterima menyamai Ayat-ayat Cinta. Novel Bumi Cinta juga menjadi best seller. Bonus tambahan yang ia dapatkan dari novelnya yang diangkat ke layar lebar yaitu Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih dan Migrab Cinta. Mira W. merupakan sastrawan yang produktif. Dengan menulis karya sastra menempatkan penulis yang juga dokter umum ini berada di peringkat ketiga penulis terkaya di Indonesia. Mira W. melahirkan lebih dari 20 novel best seller. Dewi Lestari atau sering disebut Dee mencoba memperkenalkan novel yang bermuatan filsafat. Novelnya Supernova Putri, Ksatria dan Bintang Jatuh, Supernova Petir, dan Supernova Akar mampu menyaingi novel-novel teenlit dan Chiklit. Perahu Kertas adalah novel terbaru Dee. Sebelum itu, Dee mengeluarkan kumpulan tulisannya dalam Rectoverso. Penulis Indonesia lain yang bukunya menjadi best seller adalah Agnes Davonar, Raditya Dika, Agnes Jessica, Asma Nadia ( http://www.jurukunci.net/2011/12/8penulis-fenomenal-dengan-pendapatan.html). Bila kita masuk toko buku, banyak penulis yang buku-bukunya selalu menjadi best seller seperti buku Ippho Santosa, Ary Ginanjar, Mario Teguh, Andy Nagoyan, Abdullah Gymnastiar, dan Yusuf Mansyur. Yang juga menggembirakan adalah munculnya karya anak anak dan remaja yang berupa cerpen, novel, motivasi, kisah perjalanan, kecantikan, perjalanan, atau buku lainnya. Saya sering bertemu guru dan siswa di berbagai daerah di Indonesia. Mereka sering mengeluh sulit menulis. Mungkin saja mereka tidak tahu bagaimana caranya menulis, tidak mampu menulis, atau tidak mau menulis. Ini merupakan tantangan yang harus dihadapi. Buat golongan ini kita perlu mendorong mereka agar menulis. Memberitahukan kepada mereka bahwa menulis itu mudah dan menyenangkan. Persoalan lain yang perlu ditangani adalah meningkatkan kualitas dan prestasi penulis agar mereka menjadi penulis dunia. Untuk menjadi penulis, Siswanto (2014) memberikan idenya sebagai bekal untuk menulis. Bekal itu adalah keberanian, kemauan, kepekaan, pengetahuan, kreativitas, kerja keras, cerdas, tuntas, dan ikhlas. Bekal Menulis Sebelum Anda belajar tentang bagaimana teknik menulis, marilah kita persiapkan perbekalan sebelum menulis. Apa saja bekalnya? Bekal utama menulis yang paling mudah adalah alat tulis dan kertas atau laptop. Langkah yang paling mudah untuk menulis adalah langsung menulis apa saja yang ingin Anda tulis! Bagaimana kalau masih belum bisa menulis? Pokoknya tulis apa saja! Jangan memperdulikan apakah tulisan Anda bagus ataukah tidak, bermutu ataukah tidak, karena ini urusan kedua. Yang penting Anda harus menulis dahulu. Tapi seandainya Anda ingin lebih dari itu, Anda bisa membaca bagian berikut ini! Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 3 Kemauan Kemauan merupakan salah satu modal utama bagi Anda yang ingin menulis. Kemauanlah yang mampu membangkitkan semangat pantang menyerah untuk mengatasi segala kendala dalam menulis. Kepekaan Dalam dunia tulis-menulis, kalau kita mempunyai kepekaan, semua yang kita lihat, dengar, rasa, alami akan menjadi ide tulisan. Anda bisa melatih rasa kepekaan ini dengan berjalan-jalan dan mengamati berbagai aktivitas orang-orang di sekitar Anda. Kemudian, munculkan pertanyaan bagaimana jika aku menjadi dia? Apa yang saya lakukan jika menjadi dia? Apa yang saya rasakan jika menjadi dia? Serentetan pertanyaan tersebut bisa melatih kepekaan untuk memahami dunia orang lain. Misalnya, Anda bertemu dengan para pengamen cilik di bus, bayangkan jika itu adalah Anda. Apa yang kamu rasakan? Jawaban-jawaban yang muncul bisa menjadi ide tulisan. Selain itu, Anda juga bisa menghayati kehidupan keseharian Anda. Misalnya, Anda seorang murid. Apa yang Anda rasakan selama menjadi seorang murid? Andrea Hirata begitu menghayati kehidupan masa kecilnya sehingga lahirlah novel Laskar Pelangi. Sebuah novel yang menggambarkan betapa pekanya sosok Andrea Hirata memotret keadaan pendidikan di tempat tinggalnya. dan pembelajarannya. Bila ia diminta untuk menulis makalah, duduk sebentar sudah jadi satu makalah. Memang, penulis yang pengetahuannya banyak, dia akan mudah untuk mendapatkan dan menuangkan ide tulisan. Ide tulisan tersebut bisa dikembangkan menjadi satu tulisan yang utuh. Salah satu cara yang bisa Anda lakukan untuk mendapatkan pengetahuan adalah melalui membaca. Gola Gong mendapatkan ide tulisannya melalui membaca. Dari membaca itulah, ia mendapatkan serangkaian pengetahuan. Pengetahuan yang lebih luas memberikan pilihan yang lebih banyak; ini membentuk pribadi yang kuat. Sebelum menciptakan karya sastra, Budi Darma terlebih dahulu memperkaya diri dengan membaca apa saja, menonton apa saja, mendengarkan apa saja, dan berjalanjalan, dan memperkaya pengalaman. Oleh karena itu, sebelum menulis karya sastra, akan baik bila kita melakukan kegiatan memperkaya pengetahuan. Cara yang mudah untuk mencari gagasan bisa dengan membaca (buku, koran, majalah, artikel, dsb.), mendengarkan (musik, dongeng, orang bercerita, orang berpendapat, dsb.) melihat (pemandangan, peristiwa, dsb.), mengalami (naik perahu, naik pesawat terbang, mendaki gunung, menyusuri goa, berbelanja, berdagang, menjadi ketua regu, dsb.). Kegiatan eksplorasi ini bisa dipilih salah satu atau digabungkan dengan topik yang sama (misalnya membaca berita tentang yatim piatu yang berprestasi, berkunjung ke panti asuhan, dan mewawancarai anak yatim piatu). Pengetahuan Orang yang tahu banyak akan bisa berbuat banyak. Saya mempunyai seorang teman yang suka membaca. Setiap saya bertemu dengannya, ia selalu membawa buku baru. Setiap saya lihat, buku yang ia bawa selalu berbeda dengan yang ia bawa sebelumnya. Koleksi bukunya demikian banyak. Buku apa saja ia baca, terutama yang berhubungan dengan bidang yang ia tekuni: bahasa, sastra, 4 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Menemukan Ide Kalau Anda mencari, Anda akan bertemu. Kegiatan penemuan berupa penemuan topik atau tema yang dijadikan karya sastra, penemuan kata-kata atau ungkapan yang menjadi pemicu diciptakannya karya sastra. Kegiatan eksplorasi juga bisa berupa kegiatan penjabaran ide. Hal ini bisa dilakukan dengan kegiatan (1) curah pendapat (brainstorming), (2) pengelompokan, dan (3) menulis cepat. Kegiatan ini diakhiri dengan kegiatan penciptaan karya sastra. Bila Anda sudah menemukan ide, jangan tunda untuk ditulis, paling tidak judul, topik, atau garis besar ceritanya. Ada baiknya bila Anda membawa buku kecil dan alat tulis. Bisa juga ide ini Anda tulis di HP atau laptop. Kreativitas Apa yang membuat penulis mampu menulis? Kreativitas! Apa kreativitas itu? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kreativitas diartikan sebagai (1) kemampuan untuk mencipta; daya cipta; (2) perihal berkreasi. Fisher (1993) mengemukakan hasil penelitian yang menghubungkan kemampuan ini pada satu atau empat aspek kreativitas: (1) ide atau produk kreatif, (2) proses kreatif, (3) orang kreatif, dan (4) lingkungan kreatif. Dengan demikian, kreativitas adalah sesuatu pada orang kreatif yang digunakan untuk menghasilkan produk kreatif. Ide atau produk kreatif adalah ide atau produk yang asli. Produk kreatif mencakup karya seni, sain, juga ide imajinatif. Kreativitas juga kumpulan sikap dan kemampuan yang membimbing seseorang untuk menghasilkan pikiran, ide, atau imajinasi kreatif. Kreativitas oleh Fisher dikatakan berhubungan dengan berpikir kritis, terdapat pada semua bidang, perlu usaha keras, tidak ada kaitannya dengan tingginya tingkat IQ. Kreativitas adalah penemuan sambil berjalan. Kreativitas adalah obsesi. Kreativitas berhubungan dengan masalah estetika, intelektualisme, dan intuisi. Intuisi adalah bakat. Pendidikan atau latihan hanya bersifat menambah ketajaman intuisi. (Darma, 1995: 57—61). Yang lebih perlu adalah proses yang dapat melahirkan kreativitas. Seniman harus bekerja keras, tidak diam atau hidup tidak keruan. Selain semuanya bergantung pada bakat, Budi Darma juga setuju bahwa untuk mencapai sesuatu, orang memerlukan satu persen inspirasi dan sembilan puluh sembilan persen perspirasi alias kerja keras. Dia bekerja keras menjadi intelektual, yang selalu ingin tahu, menambah ketajaman pandangannya, dan menambah ketajaman otaknya. Pengarang sebaiknya juga seorang peneliti yaitu selalu mencari, mengkaji, dan hidup dengan baik. (Darma, 1984: 13, 19—20). Menurut Fisher (1993:39) ada beberapa tahap yang dilalui dalam proses kreatif. Tahap itu secara ringkas adalah (1) stimulus, (2) eksplorasi, (3) perencanaan, (4) aktivitas, (5) review. Ada beberapa lat ihan yang bisa dilakukan untuk melatih kreativitas. Latihan itu bisa berupa (1) kelancaran, (2) keluwesan, (3) elaborasi, (4) gambar, (5) cerita, (6) brainstorming, dan (7) menggambar (Fisher, 1993). Kerja Keras, Cerdas, dan Tuntas Pada tahun 1990-an, kondisi Cina hampir sama dengan Indonesia—kecuali jumlah penduduknya yang lebih banyak. Cina mempunyai satu kota besar seperti Jakarta. Berkat kerja kerasnya, sepuluh tahun kemudian hampir di semua provinsi di Cina mempunyai kota sebesar Jakarta. Sekitar lima tahun yang lalu, perekonomian Cina mampu mengalahkan seluruh negara Eropa. Tiga tahun yang lalu, Jepang mampu dikalahkan. Damien Dematra, selama 2 tahun menulis 80 atau 81 novel. Dalam 4 hari, ia mampu menyelesaikan satu novel. Buku After Life setebal 1.500 halaman ditulis dalam 7 hari. Ia mendapatkan 9 rekor dunia. Ini tidak akan dicapai kalau dia tidak bekerja keras. Oleh karena itu, kalau Anda ingin menulis, saya sarankan agar Anda mau bekerja keras. Apakah hanya cukup bekerja keras? Menurut saya perlu ditambah dengan kerja cerdas. Kerja cerdas dalam menulis bisa Anda lakukan dengan belajar menulis dari sastrawansastrawan yang telah terkenal. Apa yang bisa dipelajari? Anda bisa belajar apa saja, mulai dari bagaimana mereka meimilih tema, menyampaikan pesan, mengungkapkannya Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 5 hu­bungan sosial, ekonomi, teknologi, politik, dan bahkan merasuk ke dalam krisis moral, intelektual, dan krisis spiritual. Fenomena krisis manusia tersebut sebenarnya berasal dan bermuara pada “krisis spiritual” yang bercokol dalam diri kita. Hipotesisnya adalah bahwa nilai nilai moral itu me­rupakan buah dari agama. Logikanya, bila merebak krisis moral, berarti itulah buah dari krisis spiritual keagamaan dalam diri kita. Kita sudah terjangkit penyakit spiritual atau krisis spiritual. Carl Gustav Jung, me­nyebut krisis spiritual sebagai penyakit eksistensial (exis­tential illness), di mana eksistensi diri kita mengalami penyakit alienasi (keterasingan diri), baik dari diri sen­diri, lingkungan sosial, maupun teralienasi dari Tu­hannya. Kondisi psikologis seperti itu dirumuskan oleh Zohar dan Marshall sebagai bentuk keterputusan diri, baik dari diri sendiri (cut off from myself), dari orang lain di sekelilingnya (from others around me), dan Kebutuhan Berprestasi di Bidang bahkan dari Tuhannya (from God) (Sukidi, 2004). Spiritual dalam Menulis Itulah sebabnya, orang ingin mengetahui Selama bertahun tahun, kita telah ter- jawaban sebab penyakit spiritual itu. Tahun pesona dengan penemuan Barat tentang IQ (In- 2000 orang mengungkapkan adanya kecerdasan telligence Quotient). Bahwa orang yang cerdas spiritual. Kecerdasan spiritual (SQ), yang meruadalah mereka yang memiliki nilai intelektual pakan temuan terkini secara ilmiah, pertama tinggi yang dapat diukur secara kuantitatif kali digagas oleh Danah Zolhar dan Ian melalui berbagai test. IQ telah menjadi mitos Marshall, masing masing dari Harvard Universebagai satu satunya alat ukur atau parameter sity dan Oxford University melalui riset yang kecerdasan manusia, sampai akhirnya Daniel sangat komprehensif. Pembuktian ilmiah Goleman memperkenalkan EQ (Emotional In- tentang kecerdasan spiritual yang dipaparkan telligence) dengan menunjukkan bukti empiris Zohar dan Marshall dalam SQ:, Spiritual Quodari penelitiannya bahwa orang orang yang IQ tient, The Ultimate Intelligence (Lon­don, tinggi tidak menjamin untuk sukses. Sebalik- 2000). Dua di antaranya adalah: Pertama, riset nya, orang yang memiliki EQ, banyak yang ahli psikologi/syaraf, Michael Persinger pada menempati posisi kunci di dunia eksekutif awal tahun 1990 an, dan lebih mutakhir lagi (Tasmara, 2001; Satiadarma dan Waruwu, tahun 1997 oleh ahli syaraf V.S. Rarnachandran 2003). dan timnya dari California University, yang Posisi sukses ini ternyata dianggap semu. menemukan eksistensi God Spot dalam otak Orang banyak mengalami krisis. Krisis ini manusia. Ini sudah built in sebagai pusat spiribersifat global. Krisis global yang kom­pleks tual (spiritual center) yang terletak di antara dan multidimensional ini, sudah merambah jaringan syaraf dan otak. Sedangkan bukti setiap sudut kehidupan kita mulai dari kese- kedua adalah riset ahli syaraf Austria, Wolf hatan, mata pencaharian, kualitas lingkungan, Singer pada era 1990 an atas The Binding Probdalam gaya dan teknik penulisan, mengembangkan tokoh, watak, penokohan, perwatakan, memilih latar, atau mungkin mengembangkan urutan peristiwa. Anda bisa juga belajar cerdas dengan mempelajari cara menulis cerita seperti buku ini. Bekerja tuntas dalam menulis cerita menantang Anda untuk menulis cerita hingga selesai. Banyak penulis yang berbakat. Sayangnya, setelah menulis cerita, mereka kehabisan minat atau tenaga untuk menyelesaikannya. Dalam konteks seperti ini, cerita yang baik adalah cerita yang selesai. Sebaik apa pun sebuah cerita, bila belum selesai, belum bisa dikatakan sebuah cerita. Ini seperti halnya seorang pelari, ia harus menyentuh garis finis. Mungkin saja jarak untuk menyentuh garis finis itu tinggal satu langkah. Untuk itu, Anda harus sabar, siapa tahu untuk menyelesaikan cerita Anda memang tinggal satu langkah saja. 6 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka lem, yang menunjukkan ada proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan syaraf yang secara literal “mengikat” pengalaman kita secara bersama untuk “hidup lebih bermakna”. Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam (Agustian,2005). Secara terminologi, kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan pokok yang dengannya dapat memecahkan masalah masalah makna dan nilai, menempatkan tindakan atau suatu jalan hidup dalam konteks yang lebih luas, kaya, dan bermakna. (Zohar dan Marshall, 2002). Kecerdasan spiritual lebih merupakan sebuah konsep yang berhubungan dengan bagaimana seseorang cerdas dalam mengelola dan mendayagunakan makna makna, nilai nilai, dan kualitas kualitas kehidupan spiritualnya. Kehidupan spiritual meliputi hasrat untuk bermakna (the will to meaning) yang memotivasi kehidupan seseorang untuk senantiasa mencari makna hidup (the meaning of life) dan mendambakan hidup bermakna (the meaningful life) (Mujib dan Mudzakir, 2001:324). Akan tetapi SQ dari barat itu, atau Spiritual Intellegent tersebut belum atau bahkan tidak menjangkau ketuhanan. Pembahasannya baru sebatas tataran biologi atau psikologi semata, tidak bersifat transendental. Akibatnya kita masih merasakan adanya “kebuntuan” (Agustian,2005; Tasmara, 2001). Oleh karena itu, Agustian (2005) menyempurnakannya dengan menambahkan dan menggabungkan dengan kecerdasan emosional sehingga menjadi ESQ (Emotional Spiritual Quotient) dan Tasmara (2001) menyempurnakannya dengan sebutan Kecerdasan Ruhani. Dalam tulisan ini Kecerdasan Spiritual seseorang merujuk pada kemampuan seseorang yang memiliki kecakapan t ransenden, kesadaran yang tinggi untuk menjalani kehidupan, menggunakan sumber sumber spiritual untuk memecahkan permasalahan hidup, dan berbudi luhur. Ia mampu berhubungan dengan baik dengan Tuhan, manusia, alam dan dirinya sendiri. Dengan dorongan ini membuat seorang penulis tidak pernah memperhitungkan apakah ia nanti akan terkenal, dapat uang banyak, atau tujuan praktis lainnya. Ia berkarya untuk mengabdi pada Tuhan. Ia sadar bahwa tangannya bisa bergerak menulis karena ada yang menggerakkan. Apakah kita tidak boleh menerima honor dari tulisan kita? Tentu saja boleh! Bahkan ada beberapa pengarang yang kaya karena karya sastranya. Apakah kita tidak boleh menjadi terkenal? Tentu saja boleh, karena ada banyak orang terkenal yang berasal dari sastrawan. Menurut saya, dorongan ini merupakan kekuatan dasyat yang bisa mengalahkan popularitas dan kekayaan. Dengan dorongan spiritual ini, banyak penulis yang bukunya dibaca oleh jutaan orang dan dibaca sepanjang masa. Sayang hal ini tidak pernah diberitakan. Coba saja kita cermati karya mereka. Imam Syafi‘ie menulis kitab Ar-Risalah. Karyanya ini menjadi kitab rujukan utama bagi para ulama dalam ilmu ushul fiqih sampai hari ini. Di samping itu, beliau juga menulis kitab Musnad As-Syafi‘ie , berupa kumpulan hadits Nabi shallallahu alaihi wa alihi wasallam yang diriwayatkan oleh beliau; dan kitab Al-Um berupa kumpulan keterangan beliau dalam masalah fiqih. Imam Malik (Malik bin Anas Abi Amir al Ashbahi) menyusun kitab Al Muwaththa selama 40 tahun yang menghimpun 100.000 hadits. Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabiin dan 600 dari tabiin tabiin. Imam Al Bukhari (Muhammad bin Ismail bin Ibrahim) menyusun kitab besar AlJami’ ash Shahih yang merupakan kitab paling shahih. Hadits yang ia dengar sendiri dari gurunya lebih dari 70.000 buah, ia dengan tekun mengumpulkannya selama 16 tahun. Al Bukhari mempunyai banyak kitab, antara lain, Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 7 At-Tawarikh ats Tsalatsah al-Kabir wal Ausath wash Shaghir (Tiga Tarikh: Besar, sedang, dan Kecil), Al-Kuna, Al-Wuhdan,Al-AdabAlMufrad, dan Adl-Dlu’afa. Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir alQurasyi al-Bushrawi ad-Dimasyqi, lebih dikenal dengan nama Ibnu Katsir. Berkat kegigihan belajarnya, beliau menjadi ahli tafsir ternama, ahli hadits, sejarawan serta ahli fiqih besar abad ke-8 H. Kitab beliau dalam bidang tafsir yaitu Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim menjadi kitab tafsir terbesar dan tershahih hingga saat ini. Selain Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, beliau juga menulis kitab-kitab lain yang berkualitas dan menjadi rujukan bagi generasi sesudahnya, di antaranya adalah al-Bidayah Wa an-Nihayah yang berisi kisah para nabi dan umat-umat terdahulu, Jami’ Al Masanid yang berisi 8 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka kumpulan hadits, Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits tentang ilmu hadits, Risalah Fi al-Jihad tentang jihad. Di Indonesia, kita mengenal Hamka. Sewaktu dipenjara oleh pemerintah pada Januari 1964 hingga Mei 1966, Hamka mampu menulis Tafsir Al Azhar sebanyak 30 buku. Buku ini merupakan tafsir Alquran. Menyimak ini, meskipun tanpa pemberitaan besar-besaran, tulisan orang-orang yang berkarya dengan dorongan spiritual dibaca oeh jutaan orang dan sepanjang masa. Jika kita mau berbesar hati, seharusnya karya mereka inilah yang harus disebutkan terlebih dahulu saat orang berbicara masalah tulisan tingkat dunia. Semoga penulis dari Indonesia mampu menyumbangkan tulisannya yang berguna bagi umat dan mampu mendunia. Paradigma Riset Ilmu Sosial: Peruntukan Publikasi Berorientasi ‘Rigorous’ dan ‘Internasional’ Eko Ganis Sukoharsono Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Pendahuluan Filsafat Paradigma Riset Filsafat Paradigma ‘Konvensional’ Penyeleksian Paradigma Riset Ilmu Sosial Strategi dan Teknik Riset Hasil Riset Untuk Siapa? Daftar Rujukan Lampiran 1: Editor Policy of IJABS Lampiran 2: Revised paper Policy of IJABS Pendahuluan Judul diatas sengaja ditulis dengan menempatkan kata ‘paradigma’ di depan kata yang lain dengan maksud bahwa menulis hasil riset sangat diperlukan perspektif apa yang melatar belakangi. Banyak publikasi ilmiah kering akan pemahaman perspektif yang ditulis.Tidak jarang tulisan ilmiah tersebut tanpa kejelasan perspektif. Sering peneliti tidak memahami dengan baik dan serius makna perspektif dalam meneliti. Kesulitan ini membawa akibat sulitnya hasil penelitian tersebut dipetakan. Perlu dicermati bahwa perkembangan dunia riset ilmu sosial telah tumbuh dengan menggembirakan, khususnya di negara-negara maju seperti Australia, Canada, Amerika Serikat dan Inggris. Dunia riset menjadi sarana wacana sosial untuk menumbuh kembangkan disiplin ilmu sosial dan menjadi landasan dalam aplikasi kehidupan sehari-hari. Hasil riset di negara-negara tersebut telah dijadikan elemen dasar untuk proses dan penerapan dalam kehidupan mereka (Sukoharsono, 1996 dan Creswell, 1994). Tidak jarang kemudian mereka selalu menumpukan harapan dalam perubahan perilaku dan praktek ilmu sosial melalui hasil riset nya.Misra (1989) membenarkan apa yang mereka katakan dalam ungkapan (r)esearch is a process and a means to acquire knowledge about any natural or human phenomena. Rapid social, economic and technological changes of modern times are causes as well as effects of new discoveries, inventions and findings in various walks of life. It is often said that research is one of the biggest industries of modern times ... (Misra, 1989:1) Makalah ini diperuntukan bahan bacaan dan presentasi Seminar Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka, Malang 13-14 Juni 2015. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 9 Apa yang dikatakan Misra ini bukan tanpa alasan. Dia berpendapat bahwa apa yang sedang diperbuat manusia modern ini adalah hasil temuan dan kajian riset. Dalam kehidupan modern sekarang ini, manusia selalu dijastifikasi kebenarannya dengan alat pembenaran hasil riset. Tanpa hasil riset, pernyataan dan ungkapan hanya akan dijadikan sebagai bahan yang tanpa mempunyai signifikansi nilai. Tak heran kemudian, riset benar-benar menjadi tulang punggung kehidupan dunia dan dijadikan sebagai alat pembenaran. Sekalipun fenomena masyarakat modern sudah dibiasakan dengan aktivitas ‘riset’, tidak jarang masyarakat sendiri kurang memahami makna yang terkandung didalam istilah tersebut. Masih banyak kalangan pemakai jasa riset dan mungkin bahkan dari kalangan akademiawan masih samar-samar akan makna nya. What is research? Who is a researcher? Where do research problem originate? How should the researcher go about solving the problem? Where should he/ she go for his information and How does he/ she know if and when he has solved his problem? Pertanyaan ini mempunyai implikasi yang sangat luas dan tidak mudah untuk dijawab. Jawabnya pun sulit sekali dapat memuaskan semua orang dalam memahami pertanyaan ini. Bahkan, jawaban yang tersaji dapat menimbulkan perdebatan yang sangat panjang. Mengapa demikian? perlu disadari bahwa untuk memahami dan mengeksplorasi riset diperlukan paradigma. Berawal dari paradigma ini, setiap individu akan mempunyai pandangan yang berbeda dengan yang lain. Hirschman (1992) mengemukakan bahwa tidak mudah memahami permasalahan paradigma setiap individu dan bahkan dia sendiri memberikan antisipasi pemahaman paradigma dari posisi positivistik ke postmodern. Ini menandakan bahwa kompleksitas memahami paradigma sulit untuk dipecahkan, masing-masing mempunyai dasar ontologi dan epistemologi yang berbeda. Filsafat Paradigma Riset Perlu difahami bahwa dalam pelaksanaan awal riset diperlukan penyeleksian terhadap topik bahasan dan paradigma. Paradigma ini adalah satu usaha untuk membantu memahami fenomena sosial yang akan diriset (Firestone [1978], Gioia and Pitre [1990] dan Kuhn [1970]). Kuhn secara tegas mengkonseptualkan paradigma dengan terdiri dari teori-teori dan metode. Sekalipun banyak para ilmuwan yang berbeda pendapat dengan Kuhn (1970), tetapi popularitas pembahasan”paradigma Kuhnian ini sulit untuk ditandingi (Phillips, 1987). Di dalam ilmu sosial banyak para ahli mengkarakteristikan tentang paradigma riset. Burell dan Morgan (1994) mengkatagoriskan paradigma didalam ilmu sosial ada empat, yaitu paradigma fungsionalis, interpretive, radical humanist dan radical structuralis. Dari empat paradigma ini, masing-masing mempunyai konsekuensi yang berbeda dalam penelaahan riset. Dan dapat dipastikan bahwa setiap paradigma akan mempunyai penekanan dalam membahas/ meneliti suatu masalah/ fenomena yang akan diriset. Dari ke empat paradigma ini bersumber pada mekanisme asumsi yang bersumber pada dua dimensi ekstrem, yaitu dimensi subjective dan objective (Burrell and Morgan, 1994:3). The Subjective - Objective Dimension The Subjectivist Approach to Social Science The Objectivist Approach to Social Science 10 Nominalism Ontology Realism Anti-positivism Epistemology Positivism Voluntarism Human Nature Determinism Ideographic Methodology Nomothetic Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Pandangan paradigma riset Burrell dan Morgan diatas berlandaskan pada asumsi bahwa ‘semua teori-teori organisasi bersumber pada filsafat ilmu dan teori kemasyarakatan. Yang sangat menarik dari cara pandang Burrell dan Morgan ini adalah memberikan asumsi filsafat ilmu sosial dengan berlandaskan pada empat dimensi, yaitu dimensi ontology, epistemology, human nature dan methodology (Burrell dan Morgan, 1994: 1). Ke empat dimensi ini adalah central tesis dari mereka yang menggambarkan tentang kompleksitas fissafat ilmw dan asumsi yang membatasinya. Dimensi ini telah dipakai oleh banyak peneliti dalam membahas kasanah methodologi dan cara pandang sebuah ilmu untuk memecahkan masalah yang muncul (lihat, Morgan and Smircich, 1980). Pada disiplin ilmu sosial, kerangka dimensi Burrell dan Morgan tidak asing, khususnya pada bahasan riset yang selalu mengedepankan hakekat filsafat ilmu sebelum melakukan riset lebih jauh. Kebiasaan ini jarang ditemukan (kalau tidak ingin dikatakan ‘tidak ada’) di Indonesia. Kebiasaan riset di Indonesia lebih bertumpu pada penelaahan masalah dan pemecahan masalah tanpa harus menelusuri kembali hakekat sesungguhnya filsafat ilmu. Tidak jarang kemudian adopsi yang ‘membabi buta’ akan methodologi riset dilakukan, tanpa melihat makna yang sesungguhnya. Sehingga, muncul anggapan bahwa ‘kebenaran’ yang muncul hanya ‘semu’ dan bahkan sering ‘mengada-ada’. Dilard (1994) memberikan argumentasi terhadap kerangka dimensi Burrell dan Morgan sebagai alternatif yang sangat baik untuk dikembangkan pada disiplin ilmu sosial. Dia dengan sengaja mengadopsi kerangka tersebut sebagai bahan kajian untuk menjelaskan fenomena dalam menjelaskan ruang lingkup filsafat ilmu. Dilard tenyata bukan orang pertama yang mengenal kerangka dimensi Burrell dan Morgan tersebut, Chua (1986) adalah satu dari beberapa ahli ilmu sosial dunia yang pertama kali menyajikan bahasan khusus tentang methodologi akuntansi dengan judul ‘Radical Development of Accounting’ yang diterbitkan Accounting Review. Sekalipun Chua (1986) tidak secara seratus persen mengadopsi kerangka Burrell dan Morgan (1979), tapi dia melakukan modifikasi atas kerangka tersebut yang disesuaikan dengan pemahamannya tentang gejala-gejala sosial terhadap cara melakukan riset. Sekalipun demikian, Chua (1986) memberikan bahasan khusus pula tentang kerangka dimensi Burrell dan Morgan untuk akuntansi. Kembali pada bahasan ‘the subjective objective dimension’ diatas, Burrell dan Morgan memberikan asumsi bahwa dalam dunia riset, semua ilmuwan sosial melakukan pendekatan terhadap fenomena yang akan diinvestigasi dengan mendekatkan subject-nya kepada asumsi eksplisit dan implisit tentang perilaku dunia sosial. Pertama, asumsi filsafat yang melandasi adalah ontologi. Asumsi ini memberikan perhatian terhadap hakekat realitas fenomena yang akan diinvestigasi/ riset. Sebagaimana Burrell dan Morgan mengatakan, there are assumptions of an ontological nature - assumptions which concern the very essense of the phenomena under investigation. Social scientists, for example, are faced with a basic ontological question: wherher the ‘reality’ to be investigated is external to the individual - imposing itself on invidual conciousness from without - or the product of individual conciousness: whether ‘reality’ is of an ‘objective’ nature, or the product of individual cognition; whether ‘reality’ is a given ‘out there’ in the world, or product of one’s mind (Burrell and Morgan, 1994: 1). Filsafat realitas ini memberikan arahan tentang keberadaan fenomena yang akan diinvestigasi atas keberadaannya. Fenomena tersebut apakah ‘ada’ karena campur tangan manusia secara sadar atau secara objective ‘ada’ karena diluar ‘kuasa’ manusia atau sosial. Filsafat realitas ini secara hakekat akan Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 11 membawa penjelasan yang rinci unt uk ‘keberadaan’ disiplin ilmu sosial. Apakah disiplin ilmu sosial ‘ada’ dan fenomena yang akan diinvestigasi ‘ada’ karena ‘kuasa’ manusia atau tidak. Secara singkat dapat dijelaskan disini bahwa disiplin ilmu sosial tidak dapat ‘tidak’ mempunyai kaitan erat dengan ‘kuasa’ manusia untuk merekayasa fenomena sosial dan menjadikannya sebagai pengaruh dalam kehidupan modern. Kedua adalah asumsi filsafat tentang sifat epistemogi. Penekanan terhadap istilah epistemology ini adalah tentang grounds of knowledge, yaitu untuk memberikan penjelasan tentang bagaimana seseorang memahami ilmu pengetahuan. Epistemologi ini memberikan berhatian terhadap bagaimana kita menyerap knowledge dan dikomunikasikan untuk kepentingan manusia. Upaya untuk menjastifikasi ‘kebenaran’ dalam ilmu pengetahuan juga menjadi ciri utama dari$epistemologi. Apa yang difahami dengan menggunakan pendekatan subjectivist (anti-positivism), memberikan penekanan bahwa knowledge adalah sangat subjective, spiritual atau bersifat transcendental yang didasarkan atas pengalaman dan pandangan dari manusia. Hal berbeda dengan pendekatan objectivist (positivism) yang selalu berpandangan bahwa knowledge itu adalah dalam bent uk t angible (yang biasanya diilustrasikan seperti hard, real, dan capable of being transmitted to others) (Burrell and Morgan, 1994: 1). Pandangan dari asumsi filsafat yang ketiga adalah human nature (manusia). Burrell dan Morgan (1994) memandang bahwa filsafat ilmu juga harus mampu melihat keterkaitan antara human beings dan environment. Pendekatan voluntarism memberikan penekanan pada esensi manusia ‘berada’ di dunia ini untuk memecahkan fenomena sosial sebagai ‘free will and choice’. Manusia pada sisi ini dilihat sebagai ‘creator ’ dan mempunyai perspektif untuk menciptakan fenomena sosial dengan daya kreatifitasnya. Sebaliknya, 12 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka pendekatan determinism mempunyai corak lain yang esensinya manusia ditempatkan pada sisi ‘dikendalikan’. Hal ini mempunyai misi bahwa manusia tidak mempunyai ‘will of choices’. Dimensi asumsi filsafat yang keempat adalah melengkapi ketiga asumsi sebelumnya, ontology, epistemology, dan human nature, yang dinamakan methodology. Each one has important consequences for the way in which one attempts to investigate and obtain ‘knowledge’ about the social world. Different ontologies, epistemologies dan models of human nature are likely to incline social scientists toward different metodologies (Burrell and Morgan, 1994: 2). Asumsi filsafat ini memberikan arti bahwa penentuan methodology tidak lain adalah sebagai akibat dari penetapan tiga asumsi filsafat yang terdahulu. Methodologi difahami sebagai cara untuk menjastifikasi dan menentukan teknik yang tepat untuk memperoleh knowledge. Satu sisi ektrim pendekatan atas methodologi disebut pendekatan ideographic. Pendekatan ideographic yang mempunyai unsur utama subjectivism melandaskan pada pandangan bahwa sesorang akan dapat memahami dunia sosial (the social world) dan fenomena yang diinvestigasi, bila ia memperolehnya atas dasar first-hand knowledge. Pandangan ini tidak lain memberikan gambaran terhadap ‘daya-dekat’ manusia dan fenomena yang diinvestigasi. Hal ini memberikan penekanan bahwa analisa subjectivitas dan keterlibatan dalam kehidupan akan mempunyai validitas yang tinggi dalam memecahkan permasalahan sosial. Sebaliknya, pendekatan nomothetic mempunyai sistem yang baku untuk melakukan penyelidikan/ riset yang biasanya disebut dengan systematic protocol dan technique. Sistematika ini sering dijumpai dalam penelaahan dan melakukan riset di dunia ilmu pasti (natural sciences). Filsafat Paradigma ‘Konvensional’ Filsafat paradigma yang dikemukakan Burrell dan Morgan adalah merupakan alternatif yang relatif ‘kompleks’ untuk difahami. Sekalipun demikian, Filsafat Burrell dan Morgan telah memberikan peluang untuk mengembangkan paradigma-paradigma kontemporer yang dalam dekade terakhir ini bermunculan. Dan Burrell dan Morgan dapat mengakomodasi perkembangan tersebut, tanpa harus mereduksi bahasan dari esensi ilmiah dan makna yang terkandung. Filsafat paradigma tidak hanya satu. Ada beberapa pandangan dan pendekatan tentang filsafat paradigma dalam ilmu pengetahuan. Chalmers (1988) memberikan pandangan tentang paradigma di ilmu pengetahuan yang antara lain rationalism versus relativism, invidualism versus objectivism dan ada beberapa yang lain. Dalam bahasan ini akan didiskusikan tentang filsafat paradigma yang dikemukakan oleh Creswell (1994). Filsafat paradigma Creswell ini telah mendominasi cara berfikir para ilmuwan yang beranggapan adanya dichotomi dalam kehidupan manusia. Dia memberikan dichotomi antara qualitative dan quantitative. Dua paradigma ini, qualitative dan quantitative, sangat populer dikalangan para peneliti pada awal abad ke 20-an. Kemudian paradigma ini terkenal dengan sebutan filsafat paradigma abad ke 20. Istilah ini sering pula disebut sebagai istilah konvenskonal dan lasim dipakai untuk melakukan kajian terhadap pemecahan permasalahan sosial. Paradigma qualitative berlandaskan pada pemahaman t entang pendekatan-pendekatan kontemporer seperti pendekatan constructivist atau naturalistc (Lincoln and Guba, 1985), pendekatan interpreta- tive (Smith, 1983), post-positivist (Quantz, 1992) dan Post-modernist (Smart, 1985, Sukoharsono, 1993b). Dan paradigma ini juga sekaligus sebagai ‘countermovement’ keberadaan paradigma positivist. Sementara, paradigma qualitative secara sederhana diistilahkan dengan traditional, positivist, experimental, atau empiricist. Pemikiran ini berlandaskan pada faham yang dikembangkan oleh para pendahuluan sebagai tradisi yaitu Comte, Mill, Durkheim, Newton dan Locke ( Smith, 1983). Secara prinsip pendekat an yang dilakukan dengan menggunakan label qualitative dan quantitative ini adalah relatif sama dengan apa yang dikemukakan pada bahasan sebelumnya dari Burrell dan Morgan. Tetapi, paradigma ini mempunyai penjelasan yang secara spesifik dan karakteristik yang tidak dijelaskan secara detail oleh Burrell dan Morgan (1994) yaitu tentang axiology dan rethoric. Asumsi filsafat axiology memberikan perhatian pada peran nilai (role of value) dalam riset. Pada paradigma quantitative peran peneliti dan nilai yang termuat dalam makna riset terdapat ‘jarak’. Laporan hasil riset sedapat mungkin menghindari personal statement dan sangat menekankan dengan pengungkapan ‘impersonal language’. Quantitative dalam bahan ini tidak lain mempunyai makna yang relatif sama dengan Paradigma Objectivist nya Burrell dan Morgan. Filsafat axiology dalam paradigma qualitative mempunyai makna bahwa peneliti membawa nilai-nilai sosial yang diletakkan dalam menjastifikasi fenomena yang diinvestigasi. ‘Bias’ dan pengalaman peneliti menjadi unsur penting dalam pemecahan masalah atas fenomena yang diteliti. Dibawah ini adalah asumsi-asumsi filsafat yang melatar-belakangi paradigma qualitative dan quantitative. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 13 Asumsi-asumsi Filsafat paradigma qualitative dan quantitative Adpted from Firestone (1987), Guba & Lincoln (1988) and McCracken (1988). Asumsi-asumsi filsafat diatas mempunyai kemiripan dengan apa yang telah didiskusikan sebelumnya dari Burrell dan Morgan (1994). Hal ini tampak dari asumsi yang dipakai oleh keduanya mirip. Ontology, epistemology dan Methodology mempunyai bahasan yang sama. Asumsi filsafat axiology dan rhetorica pada paradigma qualitative dan quantitative adalah sebagai pengganti human nature (sifat manusia) pada paradigma subjectivist dan objectivist. Perlu dicermati disini adalah manusia sebagai makluh sosial mempunyai unsur akan pemahaman nilai (role of value) dan rhetorica. Kedua hal ini sebagai unsur filsafat ilmu yang melekat dalam rangka wacana sosial dan kehidupan yang saling bergantung satu dan indivisu yang lain. 14 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Penyeleksian Paradigma Riset Ilmu Sosial Banyak para peneliti ilmu sosial tidak menyadari akan pvoses pemilihan paradigma. Kebiasaan yang muncul riset dilakukan tanpa mengenal akan filsafat jastifikasi ‘kebenaran’ (‘truth’). Ketidak-sadaran peneliti akan hal ini akan membawa dampak bahwa hasil riset mereka tanpa mempunyai proses pegangan ilmiah yang ‘sadar’ akan keberadaannya. Riset dilakukan semata-mata hanya untuk memperoleh hasil atau solusi, tanpa mengenal dan memahami proses pembenaran secara ilmiah dapat dipertanggungjawakan. Tidak heran kemudian banyak hasil penelitian ilmu sosial ‘sulit’ (kalau tidak ingin dikatakan ‘tidak dapat’) diaplikasikan dalam real world. Pertanyaan ini pernah dilontarkan oleh banyak ahli (eg., Burchell et al, 1980 and 1985). Gaffikin dalam pandangannya tentang ‘keharusan memahami’ paradigma, ... it is important for those working in any discipline to know the basis on which they rest their claims to knowledge. (lihat, Sukoharsono, 1995). Pernyataan ini mempunyai makna bahwa paradigma riset harus diketahui terlebih dahulu sebelum riset dilakukan. Bila hal ini tidak dilakukan, akibat yang akan muncul adalah dalam bahasa jawa disebut ‘ngebo bingung’, yang akan membawa arti ‘tidak tahu’ claim pembenaran hasil riset. Seyogyanya, penelahaan paradigma riset harus dilakukan secara dini untuk memberikan fondasi dan pilar jastifikasi riset atas fenomena social yang akan diinvestigasi. Dibawah ini akan diungkapkan beberapa kriteria yang dapat dipakai sebagai arahan dalam menentukan paradigma apa yang harus ditetapkan dan apa konsekuensi atas paradigma tersebut. Pada kriteria perspektif peneliti, dimaksudkan peneliti untuk mendefinisikan asumsi filsafat yang melatar-belakangi pelaksanaan riset dan mendefinisikan realitas sosial yang ingin dicapai. Pada kriteria ini, pendefinisian ontology, epistemology, axiology dan rhetorica sangat diperlukan. Sebagai contoh, pada kriteria ini peneliti dapat menentukan realitas disiplin dan fenomena yang akan diinvestigasi. Jika, peneliti mempunyai persepsi bahwa realitas sosial adalah subjectif dan berkeinginan untuk berinteraksi lebih dekat dengan sumber masalah riset, mereka harus melakukan dan menentukan paradigma riset subjectivist. Atau mungkin peneliti yang lain ingin menggunakan paradigma objectivism yang menggunakan teknik riset experimental instrumen atau survey dengan menggunakan kuestioner. Dalam penentuan kriteria ini sangat mempunyai keterkaitan dengan kriteria kedua yaitu experiment dan skill peneliti. Kritevia kedua ini menyangkut masalah teknis pelaksanaan yang antara lain teknis penulisan, scientific kriteria, program statistic computer, dan wacana logis. Kesemua ini menjadi syarat dalam penentuan paradigma yang akan dipilih. Ketidak tahuan akan contoh diatas mengakibatkan ‘kurang bermanfaat’ hasil riset yang diperoleh. Creswell (1994) mengingatkan bahwa kriteria kedua ini mempunyai daya Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 15 dukung yang cukup besar untuk keberhasilan pelaksanaan riset dan makna hasil yang diperoleh. Kriteria ketiga dan keempat mempunyai spesifikasi akan metode yang dipakai untuk menginvestigasi. Pengadopsian paradigma quantitative, misalnya, harus difahami ‘general rules’ yang biasanya dilakukan sehingga tidak menyimpang dari apa yang disebut dengan ‘scientific approach’. Paradigma ini harus mentaati kaidah umum yang berlaku untuk melakukan riset yang antara lain tentang pemisahan kasanah teori dengan fenomena yang diinvestigasi. Teori, menurut pandangan ini, sebagai suatu yang terpisah dan dilaporkan dalam kumpulan yang disebut dengan tinjauan pustaka. Begitu juga dalam kaitannya dengan kriteria yang keempat, harus menjelaskan secara gamblang variabel-variabel apa saja yang akan dijadikan obyek bahasan dan bila mungkin akan dilakukan uji tes untuk melihat ‘kebenaran’ yang ada. Tidak jarang (dan hampir keseluruhan laporan hasil riset dengan menggunakan paradigma quantitative) selalu akan muncul hipothesa uji. Perbedaan dengan paradigma objectivism, subjectivism lebih melihat akan esensi keterlibatan peneliti dalam nuanwa rkset. Tidak mengenal prosedur dan hukum yang baku untuk pelaksanaan riset. Daya kreativitas peneliti dan self-jastifikasi keperluan sangat mendominasi kebijaksanaan riset. Tidak juga mengenal variable-variable yang dinyatakan secara eksplisit dan tidak juga dilakukan tes untuk mengkonfirmasi validitas variable tersebut. Hipothesa ada, tetapi tidak dinyatakan secara eksplisit untuk melihat pengaruhnya. Hipothesa lebih mempunyai makna, bilamana peneliti melakukan partisipasi aktif dalam proses menjawab hipothesa tersebut. Kriteria kelima yaitu ‘audience for the study’ adalah upaya untuk mengantisipasi pemakai dari laporan ilmiah tersebut. Perbedaan dalam menset audience/ pembaca dapat mengakibatkan perbedaan dalam membuat laporan ilmiah. Penyajian untuk jurnal editor 16 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka akan mempunyai pengaruh terhadap hasil riset bilamana dilaporkan dalam bentuk ‘long’ format. Begitu pula, setting untuk penyajian program doktor akan mempunyai nuansa yang berbeda dengan format yang lain. Kesemua ini memberikan acuan bahwa kehidupan sosial ini penuh dengan dinamika dan proses pembaharuan. Waktu adalah perubahan, ini bermakna bahwa dinamika perbedaan merupakan hal yang lazim dalam kehidupan bersosial. Strategi dan Teknik Riset Untuk mengawali bahasan ini, sebuah meta-level research harus didefiniskan. Pehaman tentang riset kadangkala membuat peneliti lupa akan hakekat maknanya. Riset adalah proses untuk mencari ‘kebenaran’ yang dilakukan dengan penuh pertimbangan dan kehatihatian. Secara operasional riset mensaratkan minimal 6 (enam) hal yang harus dipertimbangkan; (1) an orderly investigation of a defined problem (2) appropriate scientific methods used (3) adequate and representative evidence gathered (4) logical, (5) demonstrated the reasonableness or validity of the conclusions (6) cumulative results of research in a given area yield general principles or laws that may be applied with confidence under similar conditions in the future (Buckley et al, 1976 and Pattillo, 1980). Murdick (1966) menklarifikasi definisi riset dengan memberikan contoh tentang yang tidak disebut sebagai riset. Aneh kedengarnya. Memang demikian, dia mempunyai alasan yang berbeda dengan yang lain. Dia membeberkan “intuition, creativity, and speculation” yang sering berperan secara luas dalam memberikan masukkan dan arahan riset, hal ini tidak dapat disebut sebagai riset. Buckley et al (1976) memberikan kriteria yang bukan riset antara lain, Research is not simply gathering and classifying facts, it is not an exercise in the application of a technique or toll; it is not the study in which no conclusions are drawn (Buckle et al., 1976: 28). Research is an intrinsic aspect of science and interacts with the basic building blocks for advancing science and solving significant problems (Murdick, 1966: 15-16). Dari apa yang dikatakan oleh Murdick ini memberikan pengertian bahwa riset dan science (ilmu) mempunyai hubungan yang erat. Riset dilakukan untuk menjembatani dan menguji gap antara ‘fantasy’ dengan ‘fakta’. Kedua hal ini perlu ada klarifikasi sehingga riset mempunyai kemampuan untuk menjelaskan fakta dan/ atau fenomena sosial. Dalam pelaksanaan riset dikenal berbagai fungsi yang tergantung kepada siapa dan untuk apa riset dilakukan. Sebagai ilustrasi untuk melakukan strategi riset apa yang akan dilakukan akan dijelaskan dibawah ini tentang peran peneliti dan orientasi peneliti sebagai berikut: Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 17 18 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Hasil Riset Untuk Siapa? Penjelasan diatas menunjukkan bagaimana riset mempunyai kompleksitas. Tidak begitu saja riset dibangun dengan masalah yang dimunculkan tetapi perlu pula diketahui paradigma apa yang dipakai untuk mendekatkan masalah yang akan diriset. Belum lagi persoalan metodologi dan sifat dari pengetahuan memerlukan perhatian khusus. Pada sub bahasan ini akan didiskusikan terkait dengan kepada siapa riset tersebut diperuntukan. Peruntukkan hasil riset adalah penting untuk diketahui. Masingmasing peruntukan mempunyai karakteristik yang berbeda format dan model diskusi tu dituangkan dalam hasil riset. Tidaklah jauh berbeda dengan pemahaman terhadap jenis laporan antara skripsi, tesis dan disertasi. Ketiga bentuk ini mempunyai karakteristik yang berbeda dalam format kedalaman isi diskusi dan metodologi. Berikut ini adalah hasil riset dengan berbagai peruntukannya: Dari ke 6 peruntukan diatas, dapat menggambarkan keberagaman standar hasil penelitian yang masing-masing mempunyai standar yang berbeda. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 19 Daftar Rujukan Buckley, JW. et al. 1976. Research Methodology & Business Decisions. NAA & SIAC. Burchell, S., C. Clubb, A.G. Howood, J. Hughes, and J. Nahapiet. 1980. The Roles of Accounting in Organizations and Society. Accounting, Organizations and Society. pp.5-27. Burchell, S., C. Clubb, A.G. Howood. 1985. Accounting in Its Social Context: Towards a History of Value Added in the UK. Accounting, Organizations and Society, Vol 10. No 4. pp.381-413. Firestone, WA. 1987. Meaning in Method: The Rhetoric of Quantitative and Qualitative Research. Educational Researcher. 16(7). 16-21. Capra, Fritjof. 2000. The Tao of Physics. 4th Edition. Terjemahan. 2005. Jalasutra. Yogyakarta. Guba, EG., and Y. Lincoln. 1988. Do Inquiry Paradigms Imply Inquiry Methodolodies? In DM. Fetterman (Eds.). Qualitative Approaches to Evaluation in Education. New York: Praeger. pp. 89-115. Lincoln, YS., and EG. Guba. 1985. Naturalistic Inquiry. Beverly Hills, CA: Sage. McCracken, G. 1988. The Long Interview. Newbury Park, CA: Sage. Murdick, RF. 1966. Business Research: Concept and Practice. Scranto: International Textbook Company. Pattillo, JW. 1980. The Role of Applied Research in Accounting. In Jk Courtis (Eds). Research and Methodology in Accounting and Financial Management. AFM Exploratoy Series No.9. Quantz, RA. 1992. On Critical Ethnography (with some postmodern considerations). In M.D. LeCompte, WL. Millroy and J. Preissle (Eds). The Handbook of Qualitative Research in Education. New York: Academic Press. Smart, B. 1985. Michel Foucault. England: Ellis Horwood Ltd. 20 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Smith, JK. 1983. Quantitative and Qualitative Research: An Attempt to Clarify the Issue. Educational Researcher. pp. 6-13. Sukoharsono E.G., and M.J.R. Gaffikin. 1993a. “The Genesis of Accounting in Indonesia: The Dutch Colonialism in the Early 17th Century.” The Indonesian Journal of Accounting and Business Society. Vol 1. No 1. Sukoharsono, EG. 1995. A Power and Knowledge Analysis of Indonesian Accounting Though. PhD Dissertation. University of Wollongong. Sukoharsono, EG., and MJR. Gaffikin. 1993b. Power and Knowledge in Accounting: Some Analyses and Thoughts on Social, Political, and Economic Forces in Accounting and Profession in Indonesia 1800 - 1950s. Working Papers Series No. 4. University of Wollongong. Sukoharsono, Eko Ganis. 2000. Bookeeping to Professional Accounting: A University Power in Indonesia, International Journal of Accounting and Business Society, Vol 8, No 1 Sukoharsono, Eko Ganis. 2004a. How Fast Tobacco Can Be: The Logistical Process At Rothmans Of Pall Mall Indonesia In The 1997 Indonesian Economic Crisis (Joint Research with R.J.E. van der Heijden and B.G. Wagner of the Fontys University), International Journal of Accounting and Business Society, Vol 12, No 1 Sukoharsono, Eko Ganis. 2004b. The Internal Management of UPT Bidang Studi Pusat Bahasa The University of Jember. TPSDP Grant Sukoharsono, Eko Ganis and Gaffikin, Michael. 2005a. The Genesis of Accounting in Indonesia: Dutch Colonialism in the Early 17th Century. Critical and Historical Studies in Accounting. W. Funnell and R. Williams (Ed). London: Prentice Hall Inc. Sukoharsono, Eko Ganis.2005b (Forthcoming). Alt ernatif Riset Kualit atif Sains Akuntansi: Biografi, Phenomenologi, Grounded Theory, Critical Ethnografi dan Case Study. Fakultas Ekonomi. Universitas Brawijaya Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 21 22 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 23 24 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 25 26 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Bahasa Uzbek Dan sistem pengajarannya Di Uzbekistan Markhabo Djumanova Uzbekistan [email protected] Artikel ini memberikan informasi dalam mengajar bahasa Uzbek sesudah Uzbekistan menjadi negara merdeka. Bahasa Uzbek merupakan satu-satunya bahasa resmi di negara Uzbekistan dan sejak tahun 1992 resmi ditulis dalam abjad Latin. Semua orang ketika berkeliling Uzbekistan dapat mendengar secara jelas bahasa Uzbek Sound. Uzbek adalah bahasa resmi Uzbekistan, yang merupakan bahasa Turki Timur dan mirip dengan Bahasa Turki lainnya sebagai Kazakhstan, Kyrgyzstan, Turkmenistan, Azerbaijan dengan sekitar 23,5 juta penutur terutama di Uzbekistan, tetapi juga di Australia, Cina, Jerman, Israel, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Rusia, Tajikistan, Turki (Asia), Turkmenistan, Ukraina dan Amerika Serikat. Artikel ini terutama menunjukkan bahasa Uzbek di tempat-tempat pendidikan sebagai alat komunikasi utama dalam pengajaran. Pendahuluan Nama “Uzbek” kemungkinan besar berasal dari nama penguasa Muslim Oz Beg Khan, yakni pemimpin Golden Horde, kelompok kuat suku Turki, 1212-1341.Seri kata Uzbek Altaimerupakan rumpun bahasa bahasa Turki yang mampu membedakan dengan bahasa lain. Hukum negara diadopsi pada 21 oktober 1989.21 desember 1995. Kemerdekaan Republik Uzbekistan menjadikan orang asing tertarikpada bahasa uzbekdan sejarah budaya dalam studi monumen kuno. Pada beberapa tahun terakhir ini, tingkat ketertarikan orang asing terhadap bahasa Usbek semakin meningkat. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 27 Penulisan baikdalam bentuk lisan maupun sebagai upaya Pada awalnya, secara historis bahasa pembentukan dan pengembangan keterampilan Uzbekdigunakan untuk menulis huruf. Pada berbahasa. Pada perkembangannya, Presiden tahun 1928 orang-orang berpendidikan dalam Kesembilan Oily Majlis Republic Uzbekistan, berbicara masih menggunakan tulisan Arab. menekankan bahwa tujuan utama pengajaran Selanjutnya, dari tahun 1928 sampai dengan bahasa Usbek di sekolah untuk melatih siswa 1940 digunakan aksara Latin.Pada tahun 1940 menjadi kreatif, berpikir independen, mampu sampai dengan tahun 1992dalam menulis berpidato sesuai dengan kondisi, baik dalam digunakan huruf Cyrillic. Pada perkembangan bentuk lisan maupun tertulis sesuai dengan terakhirnya, tahun 1993 di Uzbekistan secara kondisi yang dimasuki sebagai upaya pembenresmi mulai digunakan penulisan huruf latin tukan dan pengembangan keterampilan. Dalam lagi. Pada saat ini, di lingkungan pendidikan pidatonya, Presiden Kesembilan Oliy Majlis Republik Uzbekistan berbicara tentang refordigunakan di aksaralatin. Di lingkungan pendidikan Usbekistan, masi pendidikan yang isinya secara ringkas unt uk memasyarakatkan bahasa Usbek menyatakan bahwa sangat diperhatikan mutu digunakan berbagai langkah. Pada awalnya, di lulusan, pendidikan sekolah, dan pelatihan bagi lingkungan sekolah, untuk mengenalkan masyarakat. Dalam pidato ini, ditekankan pula hukum-hukum bahasa Usbekdiajarkan konsep- pentingnya pindidikan anak-anak dalam suatu konsep bahasa.Selanjutnya, pada awal tahun lingkungan masyarakat demokratis. Lebih-lebih kemerdekaan, yaitu pada tanggal 15 oktober bagi seorang pria harus mempunyai pandangan 1993 bahasa Usbek disetujui oleh Departemen hidup yang luas sebagai perwujudan pemikiran Pendidikan Nasional Republik Uzbekistan bebas. Untuk melatih berpikir anak-anak secara sebagai bahasa resmi. Ada berbagai tujuan efektif tersebut, tidak bisa dilepaskan dari dunia utama dengan pengajaran bahasa usbek di sekolah, di antaranya melatih kreativitas, pendidikan. Untuk itu perlu diselaraskanantara berpikir independen, belajar berpidat o, bahasa resmi pendidikan dan bahasa ibu. 28 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Adapan tujuan utama penyelarasan bahasa di lingkungan pendidikan, bahasa pengajaran, bahasa dalam masyarakat semata-mata untuk melaksanakan peran dan tanggung jawab sosial. Adapun tujuan penyelarasan bahasa untuk beberapa ribu tahun ke depan, di antaranya sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat dan menangkal gangguan, mendokumentasikan hasil pemikiran dan ide-ide seseorang, baik secara lisan maupun tertulis, sebagai sarana untuk mengungkapkan perasaan batin masyarakat. Sebaliknya, bahasa ibu berfungsi melatih memahami pikiran orang laindan produk.Artinya, untuk mengajarkan pengembangan literasi komunikatif. Untuk ini diperlukan pengembangan bahasa ibu secara utuh dengan melibatkan orang berpendidikan. Buku Pembelajaran Bahasa Ibudan Program Ilmu Pengetahuan Dirancang untuk siswa SMA “bahasa” program pendidikan selama pendidikan lima tahun mengacu pada siswa kelas 5-9 untuk mempelajari materi. Murid sekolah di semua bidang departemen sastra Uzbek, diberikan informasi tentang bagian-bagian yang selama ini belum tersedia. Namun, terlepas dari pelajaran bahasa linguistik tersebut, siswa merupakan bagian ut ama dari bahasa Uzbekyang harus diberikan materi fonetik, kosakata, tata bahasa, pengucapanyang benar dan ejaan aturan,punktuasidan teknik.Di samping itu, juga perlu diberikan kamus ilmu pengetahuan umum. Dari kamus ini, semua bahan bisa digunakan untuk memahami aspek kehidupan sehari-hari, seperti mengenal hukum, seni, ilmu pengetahuan, sastra, politik. Dari sini pula dapat dijelaskan masalah keterampilan dan keterampilan praktis.Pada akhirnya, semuanya merupakan tugas secara komprehensif dari insan yang berpendidikan. Secara sederhana, urutan pelatihan belajar berbahasa didasarkan pada konten yang terkait. Oleh karena itu, sintaksis diberikan pada di kelas 5 kelas kuartal pertama. Materi itu, seperti konsep yang diperlukan, fakta sederhana dan sendi di dengah kata, kalimat ekstrak.Pada level ini, materi dikhususkan untuk pengembangan tanda baca. Pada awal belajar leksikalogi dan morfologi konsep penting yang diberikan berkisar pada arti dan makna, sinonim, danlawan kata. Pada saat ini, siswa kelas 6 dan kelas 5 diberikan “bahasa ibu” yang sedikit berbeda dari buku teks untuk pelajaran morfologi. Metode Ilmu Mengajar Met ode pengajaran bahasa Inggris merupakansalah satu pedagogi Ilmu di Universitas Pedagogi Fakultas Filologi dari Fanlari. Metode ini dianggap sebagai tujuan kursus, konten, alat, metode, bentuk organisasi penelitian. Di antara mata pelajaran dalam kurikulum di sekolah menengah, bahasa memainkan peran penting. Untuk tugas pertama metode pengajaran bahasa ibu dengan dasar-dasar dan sastra metodologis. Awal pembelajaran bahasa ibu di perguruan tinggi terjadi sejak tahun 1930. Buku pembelajaran dan manualnya dibuat sejak tahun 1940. Sebelumnya, dunia pendidikan menggunakan metode o’zo’qitish dalam pembelajarannya. Metode tersebut mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Selanjutnya, metode pemelajaran”bahasa ibu”secara modern dikembangkan pada tahun 1940. Munculnya buku, SA Fessalonitskiyning (1940), merupakan tonggak pembaharuan metodologi pengajaran bahasa Uzbek modern. Buku tersebut mempunyai peran khusus dalam sejarah teori dan VCR. Dalam manual pembelajaran bahasa ibu diuraikanberbagai skema, tabel, tata bahasa, serta orfografisebagai panduaan penggunaan bahasa. Perhatian utama difokuskan pada pengembangan metode pidato, “kasus Prediksi priyomlar”, “meningkatkan citra pidato”, “pidato tertulis”, “tulisan”. Sejak tahun 1950 mulai muncul sejumlah manual. Pada tahun Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 29 1960 dan tahun-tahun berikutnya mulai banyaklingkup pekerjaan di bidang metodologi penelitian ilmiah. Para guru mulai meninggalkan berbagai edisi khusus: “Sekolah Soviet” (sekarang disebut “Bahasa dan Sastra Pendidikan”) dan “surat kabar Guru” (sekarang disebut “Pencerahan”). Pembelajaran bahasa Uzbek dilakukan melalui pembelajaran di dalam kelas. Setelah lulus dari sekolah tinggi, mereka begas untuk berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Uzbek dalam berbagai bidang ekonomi dan sosial budaya hidup. Tujuan dan sasaran dari metode REFERENSI pengajaran bahasa asli 1. I. Karimov Tinggi spiritualitas - kekuatan Tujuan utama dari metodologi pengajaran bahasa Inggris adalah siswa berani berbahasa secara bebas, benar, dan tepat, meningkatan keterampilan, mempunyai kesadaran komunikatif, sehingga meningkat kan budaya nasional dan budaya oriental. Dengan demikian, kelas bahasa mampu mendidik anak-anak menjadi kreatif, berpikir independen,fasih berbicara secara lisan dan tulis secara ekspresif. Tugas utama dari metode pengajaran bahasa asli Uzbek bagi siswa adalah agar mereka mampu menggunakan bahasa sastra Uzbek secara standar. Selain itu, siswa mampu menguasai orfografi dan pungtuasi dalam menulis. Selain itu, mereka akan dapat mematuhi norma-norma bahasa sast ra dan pengucapan lisan dan tulisan melalui berbagai latihan. Simpulan Bahasa Uzbek diawali dari rumpun bahasa Turki. Sejalan dengan perkembanga bangsa, bahasa Uzbek menggunakan format penulisan latin. Hal itu dilakukan agar bahasa mereka dapat beradaptasi dengan sistem pendidikan. Sejalan dengan perkembangan sosial-ekonomi, bahasa Uzbek mulai penggunaan teknologi informasi canggih dalam mengajar di dalam kelas. 30 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka yang tak terkalahkan. -: Spiritualitas, 2008. - 173 p. 2. harmonis dikembangkan mimpi generasi. Tashkent: Universitas keadaan penerbitan ilmiah, 2000. - 245 p. 3. Undang-Undang Republik Uzbekistan. Pendidikan. Dalam pendidikan tinggi. Peraturan dan metodologis dokumen. Tashkent: “kemerdekaan” penerbitan anak kepala editorial 2004. Halaman 3-8. 4. Bahasa aturan ejaan bahasa Inggris. Bahasa Uzbek di Cyrillic dan abjad Latin, ejaan kamus. Tashkent: “Shark” editorial, 2004. pp 8-48. II. Literatur ilmiah: 1. Abdurahmonov GD. Shukurov Sh Turki tata bahasa sejarah. Tashkent: Guru 1973. 2. Bahasa Akhmedova H. Inggris mengajar teknologi modern. - T: “kecerdasan”, 2012.. 3. Pekerjaan penyiapan kualifikasi, pendaftaran dan perlindungan. Pengembangan Jumaboyev A. Tukhvatulin FX, Yakubov AA - Samarkand: SSU 2011. Kealpaan Berpikir Ilmiah Dalam Karya Ilmiah Fitri Amilia Universitas Muhammadiyah Jember [email protected] Abstrak Kata kunci: kealpaan, kekeliruan, kaidah, karya ilmiah Menulis karya ilmiah merupakan kegiatan menyampaikan gagasan secara jelas, tepat, logis, sistematis dan koheren dalam bahasa tulis. Ketiadaan kejelasan, ketepatan, kelogisan, kesistematisan, dan kekoherenan disebut kealpaan. Kealpaan juga diartikan sebagai bentuk kelalaian dalam menaati kaidah berpikir dan aturan yang ditetapkan. Kealpaan tersebut menyebabkan kehilangan esensi ilmiah pada karya ilmiah. Dari kelima ciri tersebut, kelogisan merupakan ciri utama dalam karya ilmiah karena kebenaran gagasan disampaikan dengan bukti-bukti yang tepat. Pelanggaran pada kaidah ilmiah akan menyebabkan kegagalan transfer gagasan dari penulis kepada pembaca. Pelanggaran tersebut disebut kealpaan berpikir ilmiah. Ada beberapa bentuk kealpaan yang sering ditemukan dalam karya ilmiah, yaitu kekeliruan bahasa dan ambiguitas. Kekeliruan penggunaan bahasa dan ambiguitas akan menyebabkan kekacauan makna gagasan. Untuk menghindari kealpaan, diperlukan ketelitian dan ketekunan dalam penerapan kaidah berpikir dan berbahasa. Ketelitian dan ketekunan merupakan modal utama dalam mengoptimalkan kemampuan berpikir ilmiah. Ketelitian merupakan usaha untuk menerapkan kaidah ilmiah secara konsisten. Ketekunan berarti kemauan kuat untuk bisa menaati kaidah ilmiah. Pendahuluan Kegiatan menulis merupakan keterampilan berbahasa yang biasanya dikuasai setelah ketiga keterampilan berbahasa lainnya. Menulis bukan menyalin tulisan, namun, menyampaikan ide atau gagasan dengan bahasa tulis untuk dapat dipahami orang lain. Dengan demikian, menulis merupakan keterampilan berbahasa yang menuntut seseorang untuk dapat menggunakan kalimat efektif agar ide dan gagasan dapat dipahami dengan baik dan benar. Banyak bentuk kegiatan menulis seperti menulis sastra dan menulis bahasa. Menulis sastra dan menulis bahasa memiliki karakteristik yang berbeda. Karakteristik tersebut berupa penggunaan bahasa, tujuan penulisan, ide dan gagasan yang berbeda. Karakteristik menulis sastra lebih menekankan pada unsur estetis penuangan gagasan dan ide kreatif dengan tujuan rekreasi jiwa. Selain itu, produk yang dihasilkan bertujuan untuk menciptakan khatarsis dalam diri manusia. Untuk itu, daya imaji dalam tulisan harus bisa membuat pembaca ikut merasakan setiap kejadian dalam tulisan. Dengan demikian, menulis sastra lebih mementingkan unsur keindahan dan kemanfaatan karya yang dihasilkan. Berbeda dengan menulis sastra, menulis bahasa lebih menekankan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta sesuai dengan kaidah Ejaan yang Disempurnakan. Tujuan menulis bahasa adalah untuk mentransfer ide atau gagasan untuk bisa saling memahami dan menemukan solusi sari sebuah permasalahan. Berdasarkan tujuan tersebut, Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 31 menulis bahasa akan memungsikan kaidah berpikir logis untuk dapat mencapai tujuan penulisan. Berdasarkan uraian perbedaan karakteristik tersebut, kegiatan menulis bahasa lebih menuntut seseorang menggunakan dan menerapkan kaidah berpikir ilmiah. Kaidah berpikir ilmiah tersebut berupa penataan kaidah logika dalam berpikir. Kemampuan berpikir secara ilmiah merupakan salah satu bentuk anugerah Allah kepada manusia. Kemampuan berpikir berada dalam otak manusia yang dilengkapi dengan seperangkat piranti lunak. Piranti lunak tersebut disebut sebagai LAD atau language acquicition device. Selain piranti tersebut, otak manusia disebut sebagai bukti pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya. Dengan otak tersebut manusia dapat membedakan setiap fenomena dengan baik. Dilihat dari segi kemampuan berpikir kebahasaan, Jackendoff (2002: 130) menyatakan otak manusia adalah penyimpan bahasa dalam kapasitas yang besar dan dalam waktu yang relatif lama, meliputi kata, frasa dan kalimat. Otak manusia diciptakan dengan kemampuan yang berbeda. Dardjowidjojo (2014:202) menyatakan otak manusia berbeda dengan otak binatang. Perbedaan tersebut terletak pada kemampuan berpikir dan kemampuan menggunakan bahasa. Meskipun secara ukuran dan bobot, ada beberapa otak binatang yang lebih berat dan lebih besar daripada otak manusia seperti otak gajah dan binatang dengan ukuran besar lainnya. Kemampuan tersebut menjadi ciri utama manusia yang dapat disebut sebagai keutamaan manusia dibandingkan makhluk lainnya. Dilihat dari keutamaan manusia dibandingkan makhluk lainnya, setiap manusia memiliki kesempatan dan kemampuan berpikir tersebut. Namun, yang membedakan kualitas kemampuan tersebut adalah kemampuan berpikir secara genetik dan kemauan untuk mengasah kemampuan tersebut. Kemampuan secara genetik dapat diturunkan oleh orang tua 32 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka terhadap anaknya. Namun, yang lebih utama dari kemampuan secara genetik adalah kemauan untuk mengasah dan meningkatkan kemampuan tersebut. Kemauan yang kuat akan mengantarkan seseorang memiliki kemampuan. Dalam konteks ini adalah kemampuan berpikir secara ilmiah. Disadari atau tidak, pada hakikatnya Allah telah memberikan modal untuk bisa berpikir. Namun, tidak semua orang memiliki kesadaran untuk mau memiliki kemampuan berpikir yang baik. Banyak faktor yang mengindikasi kan adanya ketidakmampuan berpikir. Faktor utama adalah kelengahan dalam mengoptimalkan kemampuan berpikir yang ada dalam diri setiap manusia, ketidakmauan berlatih untuk menerapkan kaidah berpikir dalam kegiatan menulis. Kedua faktor tersebut merupakan penyebab adanya kealpaan berpikir dalam diri seseorang, khususnya dalam menulis karya ilmiah. Berdasarkan observasi, ditemukan kedua faktor tersebut dakan diri mahasiswa. Kelengahan dapat berbentuk ketidaktelitian dalam menulis, ketidakopmtimalan target, gagasan dalam tulisan, ketidakteraturan konsep tulisan. Ketidakmauan berlatih tampak dari kemalasan, ketidaksemangatan, dan keengganan untuk mengoptimalkan gagasan dalam bentuk tulisan yang baik. Berdasarkan kondisi tersebut, ditemukan beberapa bentuk kealpaan berpikir dalam karya ilmiah yang ditulis oleh mahasiswa. Bentukbentuk kealpaan tersebut akan diuraikan dalam pembahasan. Pembahasan Karya ilmiah merupakan tulisan yang berisi gagasan atau ide yang disusun secara sistematis berdasarkan kaidah tertentu yang menekankan pada pengajian secara induktif untuk mendeskripsikan fenomena, menguji teori, mendukung teori atau bahkan menemukan teori baru. Oleh sebab itu, Pat eda (Rohmadi, dkk: 2008: 51) menyatakan karya ilmiah identik dengan hasil pemikiran ilmiah yang disusun secara sistematis dengan bahasa yang baik dan benar. Untuk itu, dalam menulis karya ilmiah diperlukan bahasa yang efektif agar gagasan dapat dipahami oleh pembaca. Ada beberapa ciri bahasa efektif dalam karya ilmiah yaitu singkat, jelas, tepat, logis, dan koheren (Indriati, 2001: 34). Komaidi (2008: 143) menambahkan kaidah sistematis dan objektif sebagai ciri karya ilmiah. Makna jelas dalam karya ilmiah adalah tidak ambigu atau tidak menimbulkan tafsiran ganda. Untuk itu, kejelasan tampak pada ketegasan gagasan dan penggunaan kata yang tepat. Dengan demikian, kejelasan bahasa dalam karya ilmiah akan tampak pada kejelasan ide dan gagasan pembicaraan melalui pilihan kata yang tepat. Makna tepat adalah penggunaan kata sesuai dengan makna yang diinginkan. Ketepatan ini akan tampak pada penggunaan bahasa standar dan bahasa ilmiah. Keraf (2007: 104-105) menyatakan bahasa standar adalah dialek bahasa yang menunjukkan kelas sosial atas, seperti ilmuwan; sedangkan bahasa ilmiah adalah bahasa standar ilmuwan dalam menulis karya ilmiah. Bahasa ilmiah atau bahasa standar dalam karya ilmiah identik dengan bahasa baku. Sumarsono ( 2007: 27) menyatakan bahasa baku mengacu pada tolok ukur yang berlaku untuk kuantitas dan kualitas dan ditetapkan berdasarkan kesepakatan. Istilah baku mengacu pada ragam bahasa yang “bermutu”. Makna logis berart i lancar dalam mengemukakan pendapat disertai bukti-bukti dan simpulan sesuai dengan kaidah pengajian secara induktif. Selain itu, kelogisan juga dibuktikan dengan sikap objektif terhadap fenomena. Makna koheren berarti ada kesatuan ide dalam tiap-tiap paragraf, sehingga antar paragraf terdapat kesatuan dan kesalinghubungan. Kesatuan dan kesalinghubungan gagasan antar paragraf dapat menggunakan alat bantu berupa kerangka berpikir sebagai pedo- man dalam penyusunan paragraf. Untuk menaati kaidah tersebut, dibutuhkan ketelitian dan ketekunan berpikir. Ketelitian dan ketekunan menjadi pengasah dalam menghindari kealpaan berpikir. Dengan kedua hal tersebut, gagasan dalam karya ilmiah akan dipahami pembaca. Hal ini sesuai dengan tujuan penulisan karya ilmiah yaitu menyampaikan gagasan kepada orang lain (Indriati, 2001: 34). Penulis yang gagal menyampaikan gagasan ditandai dengan kegagalan pembaca dalam memahami esensi gagsan dalam karya ilmiahnya. Oleh sebab itu, peranan bahasa yang efektif sangat berpengaruh dalam kesuksesan menulis karya ilmiah. Mundiri (2012: 211-224) menyatakan ada tiga bentuk kekeliruan berpikir, yaitu kekeliruan formal, informal dan kekeliruan bahasa. Kekeliruan bahasa merupakan bentuk kelalaian yang paling sering dijumpai pada penulis pemula. Ada lima bentuk kekeliruan berbahasa, yaitu kekeliruan komposisi, kekeliruan pembagian, kekeliruan tekanan, kekeliruan amfiboli dan kekeliruan penggunaan kata. Kekeliruan penggunaan kata disebut sebagai ambiguitas. Aminudin (2001: 151) menggunakan istilah kekaburan makna untuk ambiguitas. Kekaburan makna dibedakan menjadi ekuivokasi, amfiboli, aksentualitas, komposisi, dan devisi. Kelima istilah tersebut memiliki kesamaan konsep dengan kelima bentuk kekeliruan berbahasa yang diungkap oleh Mundiri. Berdasarkan uraian tersebut, ambiguitas melanggar asas ketepatan dalam penulisan karya ilmiah. Ada dua bentuk kealpaan berpikir ilmiah yang dominan dalam penulisan karya ilmiah, yaitu kekeliruan penggunaan bahasa dan ambiguitas. Kekeliruan penggunaan bahasa merupakan kealpaan berpikir berupa ketidaksesuaian ragam bahasa. Telah dijelaskan sebelumnya, karya ilmiah menggunakan bahasa standar, bahasa ilmiah dan ragam bahasa tulis. Kekeliruan penggunaan bahasa ini menunjukkan ketidaktelitian penulis. Ketidaktelitian menunjukkan sikap inkonsistensi penulis Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 33 terhadap kaidah ilmiah. Mundiri (2012: 214) menyatakan inkonsistensi merupakan kekeliruan berpikir karena tidak konsisten dalam menerapkan kaidah penulisan. Bahasa Indonesia memiliki beberapa ragam sesuai dengan tujuan dan pemakaiannya (Chaer, dkk: 2010: 68) . Dilihat dari sarananya, bahasa dibedakan antara ragam tulis dan ragam lisan. Pembagian ragam tersebut harus digunakan sesuai dengan pemakaian, fungsi, gaya, tingkat keformalan dan sarana penggunaan. Kekeliruan penggunaan bahasa ditemukan dalam bentuk penggunaan bahasa lisan. Bentuk bahasa lisan adalah penggunaan kalimat subjektif, kalimat tanya dan kalimat ajakan. Penggunaan bahasa lisan subjektif terdapat pada penggunaan kata saya, kita, kami. Berikut data bahasa lisan subjektif yang ditemukan. (1) Saya telah melakukan observasi bahwa ... (A.L. 1) (2) Mari kita amati kurikulum di sekolah ... (A.L.2) (3) Telah kita ketahui bersama ... (A.L.3) dan tepat sesuai dengan kaidah bahasa tulis ilmiah. Bentuk kekeliruan penggunaan bahasa yang kedua adalah penggunaan kalimat tanya. Pada hakikat nya, kalimat t anya bisanya digunakan untuk mendapatkan informasi. Penggunaan kalimat tanya dalam latar belakang penelitian merupakan kealpaan berpikir secara tepat. Selain kalimat tanya, kalimat ajakan atau seruan juga merupakan bentuk kekeliruan penggunaan bahasa. Berikut data yang ditemukan: (4) apakah kalian telah mengaji ketepatan kurilum bahasa Indonesia ? (A.T. 1) (5) Sudahkah kalian pahami? (A.T. 2) (6) Mari, kita amati aktivitas belajar siswa... (A.S.1) (7) Hendaknya kita meneliti permasalahan ini ... (A.S.2) Kalimat (4) dan (5) merupakan kalimat tanya yang ditemukan di latar belakang penelitian, sedangkan kalimat (6) dan (7) adalah kalimat seruan atau ajakan. Latar belakang berisi uraian urgensi Ketiga kalimat tersebut menunjukkan penelitian. Urgensi tersebut meliputi kadar unsur subjektivitas dalam penuangan gagasan. kualitas penelitian, manfaat penelitian, dan tarDalam bahasa Indonesia baku terdapat kaidah get dalam penyempurnaan teori. Penggunaan ketegasan dan objektivitas. Penggunaan kata kalimat tanya pada data (4) dan (5) dan kalimat saya dan kita menunjukkan penegasan pada ajakan (6) dan (7) merupakan bentuk kelalaian subjek pelaku penelitian atau peneliti. Peneliti berpikir dan kelalaian berbahasa baku. Pengbukan merupakan unsur yang diutamakan atau gunaan dua klaimat tersebut akan menggangu ditegaskan. Unsur yang ditegaskan adalah kaidah ilmiah pada kejelasan dan ketepatan gagasan peneliti. Dengan demikian, perlu ada bahasa yang digunakan. penggantian penegasan pada kalimat tersebut. Bentuk kealpaan kedua adalah ambiKalimat (1) dapat diperbaiki menjadi: guitas. Ambiguitas akan menyebabkan adanya (1a) berdasarkan observasi, ditemukan tafsiran ganda terhadap gagasan. Tafsiran ganda bahwa ... merupakan bentuk kegagalan transfer gagasan Kalimat (1a) menunjukkan adanya unsur dari penulis kepada pembaca. Kegagalan transobjektivitas bahasa. Penegasan gagasan dalam fer gagasan ditandai dengan adanya perbedaan kalimat tersebut adalah observasi, bukan saya. pemahaman. Kata observasi merupakan gagasan yang ingin Berikut beberapa data ambiguitas. disampaikan. Penegasan gagasan dalam karya (8) Kebutuhan siswa yang tidak terpenuhi tulis yang objektif merupakan ciri dari ragam (A.A. 1) baku atau ragam ilmiah. Begitu pula pada (9) Penelitian ini ingin meneliti penggunaan kalimat (2) dan (3), perlu penataan yang baik bahasa (A.A.2) 34 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Kalimat (8) dapat menimbulkan tafsiran ganda berupa ketidakjelasan makna kebutuhan siswa. Makna kebutuhan siswa dapat mengacu pada kondisi belajar yang efektif, media yang sesuai, metode pembelajaran yang menyenangkan dan lainnya. Penulisan kebutuhan siswa tidak dapat dipahami pembaca dengan baik karena penulis tidak menggunakan kata yang tepat sesuai dengan makna yang diinginkan. Terdapat pengulangan makna pada kalimat (9), penelitian dan meneliti. Pengulangan makna dengan bentuk kata yang berbeda ini juga akan menyababkan kesalahan pemahaman pembaca pada gagasan penulis. Pembaca (mungkin) akan memahami adanya penelitian yang tidak meneliti. Data ambiguitas juga terdapat dalam data berikut. (10) Menurut pendapat Guru Bahasa Indonesia sulit untuk memahami karya sastra (A.A.3) Data (10) menunjukkan adanya ketiadaan gagasan yang disampaikan. Pembaca sulit memahami maksud kalimat tersebut, siapa yang sulit memahami karya sastra, guru atau siswa. Berdasarkan uraian tersebut, ada dua bentuk kealpaan berpikir yaitu kekeliruan penggunaan bahasa dan ambiguitas. Kekeliruan penggunaan bahasa berupa penggunaan bahasa lisan, penggunaan kalimat tanya dan seruan. Ambiguitas merupakan kekaburan makna akibat ketidakjelasan konsep gagasan. Dua bentuk kealpaan tersebut terjadi akibat ketidaktelitian dan ketidaktekunan dalam menerapkan kaidah berpikir ilmiah dalam kegiatan menulis ilmiah. Penutupan Kealpaan berpikir ilmiah dapat dihindari dengan cara berlatih secara konsisten. Berlatih secara konsisten merupakan bentuk dari ketekunan untuk mengoptimalkan kemampuan berpikir. Ketekunan yang terus menerus akan menghasilkan ketelitian dalam menerapkan kaidah berpikir. Dengan ketelitian dan ketekunan tersebut, dapat dipastikan adanya peningkatan kemampuan berpikir ilmiah. Daftar Rujukan Aminuddin. 2001. Semantik Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar Baru Algesindo Chaer. 2006. Bahasa Indonesia dalam Masyarakat Telaah Semantik. Jakarta: Rineka Cipta Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta Dardjowidjojo, Soenjono. 2013. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia Indriati, Etty. 2001. Menulis Karya Ilmiah. Online. https://books.google.co.id/ books?hl=i d&lr=&id=2GwcodeGTw4C & o i = f n d & p g = P R 7& dq= de finisi+ka r ya +ilmiah &ots=8J6Y1DY55v&sig=_tD3ZyZqKpF eI YTMcN4DnqE r yK0&r edir _ esc=y#v=one page&q=definisi%20 karya%20ilmiah&f=false (diakses 28 Mei 2015) Jackendoff . 2002. Fondations of Language, Brain, Meaning, Grammar, Evolution. Online. https://books.google.co.id/ bo o ks?hl=id&lr=&id =d9O9w1c1j4C&oi=fnd&pg=PP5&d q=Jackendoff+&ots=6nihaL_EDg&sig= 9 b0 3 5 w B C U t 4 N fu k _ 4 B Q q 8 Q iV F I & r e d i r _ e s c = y# v = o n e p a g e & q=Jackendoff&f=false (diakses 28 Mei 2015) Keraf, Gorys. 2007. Diksi dan Gaya Bahasa. Online. https://books.google.co.id/ books?hl=id&lr=&id=2zm9pAbUHP8C&oi= fnd&pg=PR5&dq=keraf+argumentasi +da n+na r asi&o t s =KznT bKWCgg Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 35 &sig=IcK86pzkfvZ07PevwJNOgDmX ZkQ&redir_esc=y#v=onepage&q=keraf% 20argumentasi%20dan%20narasi&f=false (diakses tanggal 28 Mei 2015) Komaidi. 2008. Aku Bisa Menulis. Yogyakarta: Sabda Media Mundiri. 2012. Logika. Jakarta: Raja Grafindo Persada Rohmadi,Muhammad, dkk. 2008. Teori dan Aplikasi Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Surakarta: Penerbitan dan Percetakan UNS Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dalam nama tersebut, orang tua saya memiliki harapan agar saya selalu memiliki cinta-cita yang suci, orang yang selalu memiliki kemauan yang suci. Suci adalah makna dari kata Fitri. Dengan menulis artikel ini, saya ingin menyampaikan bahwa saya percaya pada anugerah Allah dalam setiap hambanya. Kepandaian bukan hanya dipengaruhi oleh unsur genetis. Kepandaian itu berasal dari kemauan yang kuat untuk menjadi tahu, paham, dan mau berbagi ilmu dengan sesama. Pandangan tersebut, tidak langsung hadir begitu saja. Pandangan tersebut sesuai dengan pengalaman saya dalam menjalani kehidupan. Di SD, saya termasuk siswa yang tidak pandai, bahkan tidak memiliki kepercayaan diri yang baik. Di SMP, saya mulai tertantang. Kemauan Tentang Penulis saya untuk belajar terinspirasi seorang teman. Saya dilahirkan dari keluarga petani di Dari SMP ini, saya mulai memiliki prestasi sebuah desa, pinggiran kota Jember. Lahir dari belajar, dan begitu pun ketika masuk MA. keluarga yang tidak sempat mengenyam Di jenjang pendidikan tinggi, kemauan pendidikan, karena kondisi ekonomi dan dan pandangan tentang kepandaian saya terasah ketidaktersediaan sarana pendidikan pada tahun dengan baik. Bahwa saya bisa pandai jika saya 60-an. Hal tersebut menjadi salah satu motivasi mau dan berusaha, bukan hanya saya, semua untuk bisa memiliki kesempatan menikmati orang yang mau dan berusaha untuk bisa, Alpendidikan yang sama dan setara dengan lah akan menjawab ikhtiyar setiap hamba-Nya. teman-teman lainnya. Hingga hari ini, saya masih percaya, Saya Fitri Amilia. Nama tersebut bahwa kemampuan, kepandaian dan kecerdirangkai karena saya dilahirkan di bulan dasan adalah anugerah Allah untuk setiap syawal bertepatan dengan hari raya ketupat hamba-Nya. Hanya butuh usaha untuk bisa pada tanggal 7 syawal, 31 tahun hijriyah lalu. memilikinya. Namun, setelah saya memahami makna kata 36 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka STRATEGI PIA SUSI DALAM PENUMBUHAN BUDAYA MENULIS SISWA Oleh: Elfy Rachmanita Email: [email protected] Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Sastra dan Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang ABSTRAK Menulis merupakan kegiatan menyampaikan ide, gagasan atau pesan dengan menggunakan tulisan sebagai media. Saat ini budaya menulis siswa telah banyak ditinggalkan dan digantikan dengan kegiatan lain, seperti bermain game dan gadghet. Budaya menulis harus dibiasakan mulai dari anak-anak. Pembiasaan menulis dapat dilakukan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah sebagai dasar budaya menulis siswa di masa yang akan datang. Pembelajaran menulis di sekolah dapat dilakukan dengan strategi dan inovasi pembelajaran yang membuat siswa aktif dan bersemangat, tetapisaat ini pembelajaran menulis di sekolah kurang diminati oleh siswa karena dianggap membosankan. Oleh sebab itu, tulisan ini akan menjelaskan tentang strategi Pia Susi (Pilih Ambil Susun Kreasi) sebagai salah satu alternatif strategi pembelajaran menulis.Tujuan tulisan iniadalahmenjelaskan (1) struktur strategi Pia Susi dalam pembelajaran menulis dan (2) desain strategi Pia Susi. Nama strategi Pia Susi diambil dari singkatan langkah-langkah menulis, yakni pilih (memilih gambar), ambil (mengambil kata yang sesuai dengan gambar yang dipilih), susun (menyusun kalimat dari kata yang dipilih), kreasi (mengkreasikan kalimat menjadi sebuah wacana utuh). Strategi Pia Susi dapat digunakan sebagai alternatif pilihan strategi untuk pembelajaran menulis. Tulisan ini dapat dimanfaatkan oleh guru dalam proses belajar mengajar menulis diberbagai tingkat pendidikan dan untuk siswa tulisan ini dapat dijadikan sarana untuk meningkatkan keterampilan menulis, baik menulis ilmiah ataupun menulis fiksi. Kata Kunci: budaya menulis siswa, pembelajaran menulis, strategi Pia Susi 1. PENDAHULUAN Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa orang Indonesia minim akan budaya menulis. Budaya menulis seakan menjadi budaya langka di negeri ini. Menulis yang dimaksud di sini adalah menulis sesuatu yang bermutu, positif, bermanfaat dan bisa menginspirasi orang-orang dalam hal ini para pembaca untuk melakukan sesuatu yang positif. Dari hal itu bisa menjadikan masyarakat sejahtera yang diperoleh dari kegiatan membaca dan menulis tersebut. Menulis merupakan kegiatan menyampaikan pesan dengan menggunakan tulisan sebagai media. Pesan yang dimaksud berupa isi atau muatan yang terkandung dalam suatu tulisan. Adapun tulisan merupakan sistem komunikasi antarmanusia yang menggunakan simbol atau lambang bahasa tulis yang dapat dilihat dan disepakati pemakainya. Dengan Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 37 demikian, paling tidak menulis mengandung empat unsur. Keempat unsur itu meliputi penulis sebagai penyaji pesan, pesan atau isi tulisan, saluran atau medium tulisan, dan pembaca sebagai penerima pesan. Budaya menulis harus dibiasakan mulai dari anak-anak, salah satunya adalah dalam proses pembelajaran. Buadaya menulis dapat dimasukkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah sebagai dasar budaya menulis seseorang di masa yang akan datang, mulai dari menulis fiksi sampai menuli non fiksi. Keterampilan menulis yang baik diperoleh dengan latihan yang berulang-ulang dan memerlukan waktu yang tidak sebentar, mengingat kegiatan menulis sangat komplek dalam arti melibatkan berbagai keterampilan untuk mengungkapkan ide, pikiran, pengetahuan, dan pengalaman-pengalaman hidup dalam bahasa tulis yang jelas, runtut, ekspresif, dan mudah dipahami. Dalam kegiatan pembelajaran menulis, siswa diarahkan untuk mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tulis, anak didik diharapkan mampu menuangkan gagasan atau idenya secara runtut dengan diksi yang tepat, struktur yang benar sesuai dengan konteksnya. Menulis salah satu kegiatan yang harus dihadapi siswa dalam proses pembelajaran, terutama untuk mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Melalui kegiatan menulis diharapkan siswa dapat menuangkan ide-ide atau gagasan baik yang bersifat ilmiah maupun imajinatif. Oleh karena itu, sekolah tempat mengenyam pendidikan diharapkan dapat memberikan pembelajaran tentang menulis dengan baik melalui metode yang t epat sehingga potensi dan daya kreatifitas siswa dapat tersalurkan. Pembelajaran menulis sudah sejak lama dilaksanakan dengan berbagai metode namun sampai sekarang belum ada hasil yang optimal. Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh Sutama dkk. (1998 dalam Nurhayati 2000:13) “siswa belum dapat dikatakan mampu berbahasa Indonesia secara baik dan benar, baik 38 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka lisan maupun tulisan, mulai Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Umum”. Siswa masih bingung dan mengalami kesulitan ketika harus menulis. Fenomena tersebut memunculkan upaya sebagai bentuk solusi mengatasi permasalahan tersebut. Tarigan (1986:3) sebagai ahli yang menyebutkan bahwa menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain. Sementara menurut Gie (2002:3) mengarang atau menulis adalah segenap rangkaian kegiatan seseorang mengungkapkan gagasan dan menyampaikannya melalui bahasa tulis kepada masyarakat pembaca untuk dipahami. Melalui bahasa tulis, penulis atau pengarang berusaha mengungkapkan ide-idenya agar dipahami pembaca. Wiyanto (2004:1-2) mengemukakan bahwa menulis mempunyai dua kegiatan ut ama. Kegiatan yang pert ama adalah mengubah bunyi yang dapat didengar menjadi tanda-tanda yang dapat dilihat, sedangkan yang kedua kegiatan mengungkapkan gagasan secara tertulis. Orang yang melakukan kegiatan ini dinamakan penulis dan hasil kegiatannya berupa tulisan. Hal ini dapat disimpulkan menulis merupakan kegiatan mengubah bunyi menjadi tulisan sebagai upaya untuk mengungkapkan gagasan untuk mengungkapkan gagasan menjadi bahasa tulis memerlukan sejumlah potensi pendukung yang untuk mencapainya dibutuhkan kesungguhan, kemauan keras, bahkan belajar dengan sungguh-sungguh (Nursisto 1999:4). Dengan demikian, wajar menurut Nursisto bila dikatakan menciptakan iklim budaya tulis-menulis atau mengarang akan mendorong seseorang untuk lebih aktif, kreatif, dan cerdas. Untuk menciptakan budaya menulis memerlukan waktu yang tidak sebentar. Menurut Keraf (1995:6) tujuan umum menulis dipengaruhi oleh kebutuhan dasar manusia, yaitu: 1) keinginan untuk memberi informasi kepada orang lain dan mendapatkan informasi dari orang lain mengenai suatu hal, 2) keinginan untuk menyakinkan seseorang menganai suatu kebenaran akan suatu hal, dan lebih jauh mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain, 3) keinginan untuk menggambarkan atau menceritakan bagaimana bentuk atau wujud suatu barang atau objek, atau mendeskripsikan cita rasa suatu benda, hal, atau bunyi, dan 4) keinginan untuk menceritakan kepada orang lain tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang terjadi, baik yang dialami maupun yang didengar dari orang lain. Seorang tergerak menulis karena memiliki tujuan objektif yang bisa dipertanggungjawabkan dihadapan publik pembacanya. Karena tulisan pada dasarnya adalah sarana untuk menyampaikan pendapat atau gagasan agar dapat dipahami dan diterima orang lain. Tulisan dengan demikian menjadi salah satu sarana berkomunikasi yang cukup efektif dan efesien untuk menjangkau khalayak masa yang luas. Atas dasar pemikiran inilah, maka tujuan menulis dapat dirunut dari tujuan-tujuan komunikasi yang cukup mendasar dalam konteks pengembangan peradapan dan kebudayaan mesyarakat itu sendiri. Adapun tujuan penulisan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, menginformasikan segala sesuatu, baik itu fakta, data maupun peristiwa termasuk pendapat dan pandangan terhadap fakta, data dan peristiwa agar khalayak pembaca memperoleh pengetahuan dan pemahaman baru tentang berbagai hal yangdapat maupun yang terjadi di muka bumi ini. Kedua, membujuk; melalui t ulisan seorang penulis mengharapkan pula pembaca dapat menentukan sikap, apakah menyetujui atau mendukung yang dikemukakan. Penulis harus mampu membujuk dan meyakinkan pembaca dengan menggunakan gaya bahasa yang persuasif. Oleh karena itu, fungsi persuasi dari sebuah tulisan akan dapat menghasilkan apabila penulis mampu menyajikan dengan gaya bahasa yang menarik, akrab, bersahabat, dan mudah dicerna. Ketiga, mendidik adalah salah satu tujuan dari komunikasi melalui tulisan. Melalui membaca hasil tulisan wawasan pengetahuan seseorang akan terus bertambah, kecerdasan terus diasah, yang pada akhirnya akan menentukan perilaku seseorang. Orang-orang yang berpendidikan misalnya, cenderung lebih terbuka dan penuh toleransi, lebih menghargai pendapat orang lain, dan tentu saja cenderung lebih rasional. Terakhir, menghibur; fungsi dan tujuan menghibur dalam komunikasi, bukan monopoli media massa, radio, televisi, namun media cetak dapat pula berperan dalam menghibur khalayak pembacanya. Tulisan-tulisan atau bacaan-bacaan “ringan” yang kaya dengan anekdot, cerita dan pengalaman lucu bisa pula menjadi bacaan penglipur lara atau untuk melepaskan ketegangan setelah seharian sibuk beraktifitas (Syarif, Zulkarnaini, dan Sumarmo, 2009:6). Observasi yang dilakukan penulis menemukan bahwa keterampilan menulis yang diajarkan di sekolah selama ini menggunakan metode klasikal atau metode konvensional, yakni ceramah tanpa disertai upaya-upaya dari guru guna menarik perhatian siswa. Dengan metode tersebut seringkali menimbulkan kebosanan bagi siswa sehingga karya yang dihasilkan tidak maksimal. Metode ceramah yang menarik dapat juga membantu siswa antusias dalam mengikuti pelajaran misalnya membuat contoh yang sedang marak dibicarakan. Yang sering penulis temui pada saat obsevasi metode ceramah yang digunakan monoton, contoh yang digunakan sama dengan yang ada pada buku acuan. Metode klasikal ini kurang membantu menumbuhkan minat belajar siswa.Oleh karena itu, dalam tulisan ini, penulis ingin mengembangkan strategi menulis yaqng dapat diterapkan dalam proses pembelajaran menulis di sekolah yang diberi nama strategi PIA SUSI (Pilih Ambil susun Kreasi). Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 39 2. STRUKTUR STRATEGI PIA bagaimana melakukan sesuat u (Syarif, SUSI DALAM PEMBELAJA- Zulkarnaini, dan Sumarmo, 2009:15). Dalam metode langsung, terdapat lima RAN MENULIS Kegiatan pembelajaran menulis dirancang untuk memberikan pengalaman belajar menulis yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antarpeserta didik, peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian kompetensi dasar menulis. Pengalaman belajar yang dimaksud dapat terwujud melalui penggunaan pendekatan pembelajaran yang bervariasi dan berpusat pada peserta didik. Pengalaman belajar memuat kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik. Adapun strategi meliputi pendekatan, metode, dan teknik. Pendekatan adalah konsep dasar yang melingkupi metode dengan cakupan teoritis tertentu. Metode merupakan jabaran dari pendekatan. Satu pendekatan dapat dijabarkan ke dalam berbagai metode. Metode adalah prosedur pembelajaran yang dapat yang fokuskan kepada pencapaian tujuan. Dari metode, teknik pembelajaran diturunkan secara aplikasi. Satu metode dapat diaplikasikan melalui berbagai teknik pembelajaran metode dan teknik pembelajaran menulis (Syarif, Zulkarnaini, dan Sumarmo, 2009:14). Dalam pembelajaran menulis dengan strategiPIA SUSI (Pilih Ambil susun Kreasi) ini menggunakan pendekatan SCL (Student Centre Learning) di mana siswa menjadi pusat pembelajaran. Siswa melakukan proses pembelajaran secara mandiri dan aktif. Metode yang digunakan dalam pembelajaran menulis ini adalah metode langsung. Metode pengajaran langsung dirancang secara khusus untuk mengembangkan belajar siswa tentang pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif yang terstruktur dengan baik dan dapat dipelajari selangkah demi selangkah. Metode tersebut didasari anggapan bahwa pada umumnya pengetahuan dibagi dua, yakni pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural. Deklaratif berarti pengetahuan tentang 40 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka fase yang sangat penting. Guru mengawali dengan penjelasan tentang tujuan dan latar belakang pembelajaran serta mempersiapkan siswa untuk menerima penjelasan guru. Hal itu disebut fase persiapan dan motivasi. Fase berikutnya adalah fase demontrasi, pembimbingan, pengecekan, dan pelatihan lanjutan. Pada metode langsung bisa dikembangkan dengan teknik pembelajaran menulis dari gambar atau menulis objek langsung dan atau perbandingan objek langsung. Teknik menulis dari gambar atau menulis objek langsung bertujuan agar siswa dapat menulis dengan cepat berdasarkan gambar yang dilihat. Misalnya, guru menunjukkan gambar kebakaran yang melanda sebuah desa atau melihat langsung kejadian kebakaran sebuah desa, Dari gambar tersebut siswa dapat membuat tulisan secara runtut dan logis berdasarkan gambar. Teknik yang digunakan yakni teknik pelaksanaan di kelas secara operasional yakni dengan pembelajaran mandiri. Guru hanya menjadi fasilitator dalam pembelajaran menulis. Strategi yang digunakan dalam pembelajaran menulis ini adalah strategiPIA SUSI (Pilih Ambil Susun Kreasi) yang lebih lanjut akan dijelaskan pada bagian desain strategiPIA SUSI (Pilih Ambil Susun Kreasi). 3. DESAIN STRATEGI PIA SUSI DALAM PEMBELAJARAN MENULIS Strategi PIA SUSI (Pilih Ambil Susun Kreasi)merupakan strategi yang dikembangkan oleh penulis yang diambil dari proses pembelajaran menulis. Dalam pembelajaran dengan menggunakan strategi ini, guru diharapkan hanya menjadi fasilitator dan motivator untuk siswa dalam mengembangkan kreatifitasnya dalam kegiatan menulis. Pertama,Pilihmemilih gambar yang sesuai dengan tema yang akan dijadikan ide atau perangsang ide penulisan. Kurangnya ide atau tidak tergalinya ide memang dapat membuat seseorang menemui kebuntuan saat menulis. Tidak hanya pada penulis pemula, pada penulis profesional pun sering mengutarakan betapa mereka sering hehilangan minat menulis ketika kekurangan data atau mengalami kebuntuan ide (Winarno, 2012:66). Oleh karena itu, salah satu cara untuk merangsang ide adalah dengan cara melihat gambar yang sesuai dengan tema atau topik yang dipilih. Kedua, Ambilyakni mengambil kata yang sesuai dengan gambar yang akan dijadikan dasar pengembangan penulisan. Pada bagian ini, siswa diharapkan menjadi pribadi yang inisiatif. Inisiatif merupakan kekayaan dasar yang harus dimiliki oleh penulis. Tidak semua orang memiliki kemampuan dan keberanian untuk berinisiatif mengemukakan ide-idenya yang terpendam. Ide-ide cemerlang merupakan awal yang baik untuk memulai kebiasaan menulis yang baik. Inisiatif ini dapat diwujudkan dengan pengambilan kata-kata dalam gambar yang digunakan sebagai rangsangan ide. Ketiga, Susunyakni menyusun kalimat menggunakan kata yang telah diambil dari gambar sehingga menghasilkan kalimat utama untuk dikembangkan menjadi paragraf. Untuk meyusun kalimat dalam bagian ini dibutuhkan kebebasan mengungkapkan isi hati dalam tulisan. Dari bagian ini diharapkan, siswa menjadi pribadi yang kritis, karena apa yang dituangkan penulis dalam tulisannya merupakan uneg-unegatau isi hati yang dipertajam oleh sikap kritis penulis yang menjadikan tulisan diminati oleh pembaca. Terakhir, Kraesiyakni mengkreasikan kalimat utama menjadi paragraf yang utuh yang disempurnakan dengan kalimat penjelas dan kata hubung yang menghasilkan paragraf utuh yang sesuai dengan tema dan jenis paragraf yang diinginkan. Strategi ini dapat digunakan untuk pembelajaran menulis berbagai jenis tulisan, baik fiksi maupun non fiksi, sastra maupun karya ilmiah.Tulisan fiksi yang dapat dihasilkan misalnya saja puisi, cerpen, novel, dan lain-lain. Pembelajaran menulis karya non fiksi juga dapat dilaksanakan menggunakan strategi PIA SUSIini. Diharapkan setelah menggunakan strategi PIA SUSI (Pilih Ambil Susun Kreasi)dalam pembelajaran menulis, siswa terbiasa memakai strategi ini untuk menulis berbagai tulisan baik dalam pembelajaran menulis maupun menulis untuk hiburan semata, sehingga menulis dapat menjadi budaya. 4. SIMPULAN DAN SARAN Menulis tidak lagi menjadi hal yang disukai oleh seseorang. Bahkan, menulissudah merupakan kegiatan yang langka dilakukan. Untuk melatih kebiasaan tersebut dapat dilakukan dalam pembelajaran di sekolah, terutama pembelajaran bahasa Indonesia. Strategi PIA SUSI (Pilih Ambil Susun Kreasi) dapat dijadikan salah satu alternatif strategi pembelajaran menulis, baik menulis fiksi maupun non fiksi. Tulisan ini dapat dimanfaatkan oleh guru dalam proses belajar mengajar menulis di berbagai tingkat pendidikan dan untuk siswa tulisan ini dapat dijadikan sarana untuk meningkatkan keterampilan menulis, baik menulis ilmiah ataupun menulis fiksi. DAFTAR PUSTAKA Gie, The Liang. 2002. Terampil Mengarang. Yogyakarta: Andi Yogyakarta. Keraf, Gorys. 2004. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Nurhayati. 2000. Pembelajaran Menulis. Jurnal Ilmiah. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Nursisto.1999. Penuntun Mengarang. Yogyakarta: Adicita. Syarif, Elina., Zulkarnaini, dan Sumarmo. 2009. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 41 Pembelajaran Menulis. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bahasa. Tarigan, Henry Guntur. 1986. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Winanro. 2012. Kiat Sukses Menjadi Penulis. Jakarta: Platinum. Wiyanto, Asnul. 2004. Menulis Paragraf. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. 42 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Biografi Penulis Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang Prodi Magister Pendidikan Sastra Dan Bahasa Indonesia. Penulis juga seorang Guru SMA Negeri 1 Singosari Kabupaten Malang. penulis lahir di Kota Malang pada tanggal 7 Maret 1992. Pendidikan terakhirnya adalah sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Negeri Malang. Penulis berkosentrasi pada bidang Pendidikan dan Pembelajaran Bahasa Indonesia karena keinginannya untuk membuat pembelajaran Bahasa Indonesia disenangi dan diminati oleh siswa yang merupakan generasi penerus yang nantinya akan memakai dan menjaga Bahasa Indonesia. Menulis sebagai Arena Konstruksi Diri Siswa secara Harmonis Oleh: Nurcholis Sunuyeko Lilik Wahyuni Ahmad Lani IKIP Budi Utomo Malang, Jl. Simpang Arjuno 14B Malang Abstrak: Pembelajaran yang lebih menekankan pada transfer of knowledge berdampak pada hubungan siswa dengan sekolah dan guru cenderung bersifat mekanis. Keadaan tersebut menimbulkan ketidakharmonisan hubungan guru dan siswa. Hal tersebut bisa diatasi dengan dengan interaksi yang efektif melalui pembelajaran menulis. Fokus kajian ini meliputi (1) kedudukan menulis dalam Kurikulum 2013, (2) menulis sebagai arena konstruksi ideologi, dan (3) menulis sebagai arena penyampai struktur kognitif. Hasil kajiannya adalah pertama, dalam kurikulum 2013, siswa mempelajari menulis prosedur kompleks, narasi, deskripsi, argumentasi, dan persuasi agar bisa menjelaskan suatu urutan kejadian sehingga menambah pengetahuan pembaca. Kedua, menulis merupakan kegiatan konstruksi ideologi. Ketiga, menulis merupakan praktik penyampaian struktur kognitif penuturnya melalui interaksi aktif dengan mitra tuturnya. Key word: menulis, arena, konstruksi habitus, Harmonis Pembelajaran di sekolah selama ini lebih menekankan pada transfer of knowledge mengkonstuk diri siswa yang cenderung hanya mengembangkan kecerdasan otak. Para guru dan juga orang tua merasa puas jika siswa mendapatkan nilai baik pada hasil ulangannya. Mereka jarang, atau bahkan tidak pernah, memikirkan bagaimana proses untuk mendapatkan nilai tersebut. Kecerdasan emosional dan spiritual selama ini kurang diperhatikan dengan serius. Fakta pembelajaran tersebut berdampak pada hubungan siswa dengan sekolah dan guru cenderung bersifat mekanis. Di antara mereka tidak ada rasa saling memiliki dan menyayangi. Siswa sering bertindak anarkis, bahkan melakukan perusakan sekolah dan pengeroyokan guru. Sebagaimana dapat dilihat pada hari Kamis, 06 Pebruari 2014, siswa kelas 10 dan 11 di SMA Negeri 6 Makassar, Sulsel melakukan perusakan terhadap 27 ruang kelas dan fasilitas sekolah lainnya dirusak dan menuntut pencopotan kepala sekolah SMA Negeri 6 Makassar yang diduga menyelewengkan dana perbaikan fasilitas sekolah (http:/ /www.tribunnews.com/ images/regional/view/ 1010222/siswa-sma-negeri-6-makassarmerusak-sekolahnya). Selain itu, SMPN 1 Telagasari, Karawang dikeroyok oleh sekelompok pemuda mabuk, yang di dalamnya terdapat muridnya (http://www.radar-karawang.com/ 2014/ 11/ guru- babak- belur- diker oyo kmurid.html). Di sisi lain, seorang siswa kelas VIII SMPN 1 Pondidaha, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, Kevin, harus dirawat di rumah sakit jiwa setelah dipukul dua orang guru dan enam teman Kevin (http://regional.kompas. com/r ead/2013/ 04/ 02/ 18483956/ Diker o yo k . G u r u . d a n. Te ma n. . S i s w a . S M P. Masuk.RSJ). Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 43 Kasus di atas menunjukkan bahwa pembelajaran yang hanya menekankan transfer of knowledge dapat menimbulkan ketidakharmonisan hubungan guru dan siswa. Siswa seolah-olah hanya membutuhkan pengetahuan saja dari sekolah. Padahal tujuan esensial pembelajaran adalah membina siswa secara holistik, baik aspek kognitif, psikomotorik, maupun aspek afektif. Sebagaimana dikatakan oleh Armstrong dalam Fierros (2004) bahwa kurikulum tidak hanya menyediakan guru dengan kemampuan untuk melakukan pendidikan secara personal terhadap siswa, akan tetapi juga untuk membantu menumbuhkan gairah hidup dan untuk kepentingan karir. Dengan begitu, guru harus mampu melakukan pembelajaran secara harmonis. Hubungan harmonis bisa diciptakan guru melalui interaksi yang efektif. Dalam proses pembelajaran, siswa harus mendengarkan penuh perhatian, berdebat secara baik, menghormati orang yang sedang berbicara. Keadaan tersebut diantisipasi oleh kurikulum 2013 melalui pembelajaran otentik dan penempatan bahasa Indonesia sebagai penghela mata pelajaran lainnya. Melalui pembelajaran bahasa, salah satunya keterampilan menulis, siswa diharapkan mampu melakukan pembelajaran secara cepat dan menyenangkan. Sebagaimana dikatakan oleh Hasani (2005:2) bahwa keterampilan menulis merupakan keterampilan yang bersifat mekanistis. Keterampilan menulis tidak mungkin dikuasai hanya melalui teori saja, tetapi harus dilaksanakan melalui latihan dan praktik yang teratur sehingga menghasilkan tulisan yang tersusun dengan baik. Kejelasan organisasi tulisan bergantung pada cara berpikir, penyusunan yang tepat, dan struktur kalimat yang baik. Melalui pembelajaran menulis, guru melatih siswa untuk berpikir secara sistematis rasional dan ilmiah, sehingga diharapkan dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa. Melalui menulis siswa dilatih untuk mengorganisasikan ide, gagasan, pendapat, atau tanggapan. Dengan 44 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka begitu akan tercipta hubungan kausal yang tinggi. Sebagaimana dikatakan oleh Keraf (1999:74) bahwa agar memiliki kepekaan yang tinggi terhadap permasalahan yang ada di lingkungannya diperlukan sikap kritis dengan sering melakukan pengamatan yang jeli atau melakukan analisis kausal yang dikaitkan dengan analisis sebab akibat. Analisis kausal atau sebab akibat adalah hubungan yang melibatkan suatu objek atau lebih yang dianggap menjadi timbulnya atau terjadinya hal yang lain. Untuk melihat peran menulis sebagai arena konstruksi diri secara harmonis, berikut dilakukan kajian yang difokuskan pada (1) kedudukan menulis dalam Kurikulum 2013, (2) menulis sebagai arena konstruksi ideologi, dan (3) menulis sebagai arena penyampai struktur kognitif. Kedudukan Menulis dalam Kurikulum 2013 Dalam Kurikulum 2013, mata pelajaran bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat strategis. Mata pelajaran bahasa Indonesia ditempatkan sebagai penghela mata pelajaran lain. Peran mata pelajaran bahasa Indonesia tersebut menjadi sangat dominan, yaitu sebagai saluran untuk mengantarkan kandungan materi dari semua sumber kompetensi kepada siswa. Kandungan materi mata pelajaran lain dijadikan sebagai isi dalam penggunaan jenis teks yang sesuai dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Sebagaimana dikatakan oleh Bilash (2011) bahwa salah satu tujuan utama dari guru bahasa adalah untuk memberi siswa alat untuk bisa menjadi komunikator yang efektif. Ketika siswa mengerjakan proyek dan tugas, siswa sering kurang kemampuan praktis untuk menghasilkan bahasa yang aktual sehingga jelas. Dalam kasus ini, siswa mungkin mempunyai pengetahuan yang baik yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas, tapi mungkin mereka tidak mampu mengungkapkan dengan bahasa yang komunikatif. Karena itu, guru seharusnya perlu melakukan pembelajaran bahasa dengan mempertimbangkan pendekatan komunikatif, berfokus pada fungsi bahasa, untuk membekali siswa untuk menyelesaikan tugas yang diberikan secara benar. Hal ini sejalan dengan orientasi kurikulum 2013 yang menempatkan mata pelajaran lain menyatu dengan mata pelajaran bahasa. Dalam kurikulum 2013, pembelajaran bahasa Indonesia digunakan untuk mengantarkan pemahaman terhadap pengetahuan lain. Sebagai contoh dapat dilihat pada kurikulum SMA/MA kelas X, KD 2.1 yang berbunyi “2.1 Menunjukkan sikap tanggung jawab, peduli, responsif, dan santun dalam menggunakan bahasa Indonesia untuk membuat anekdot mengenai permasalahan sosial, lingkungan, dan kebijakan publik”. Dari KD tersebut dapat dilihat bahwa pembelajaran bahasa Indonesia, guru dapat digunakan untuk menyajikan mata pelajaran IPS yakni tentang permasalahan sosial, lingkungan, dan kebijakan publik. Dalam kurikulum SD/MI, KD 4.1 yang berbunyi “4.1 Mengamati dan menirukan teks deskriptif tentang anggota tubuh dan pancaindra, wujud dan sifat benda, serta peristiwa siang dan malam secara mandiri dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis yang dapat diisi dengan kosakata bahasa daerah untuk membantu penyajian” dapat dilihat bahwa melalui pembelajaran bahasa Indonesia, guru dapat mengajarkan materi IPA. Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa materi pembelajaran dalam kurikulum 2013, pembelajaran bahasa Indonesia lebih bersifat kontekstual jika dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya. Melalui pembelajaran bahasa Indonesia yang kontekstual, kompetensi siswa dapat dikembangkan secara lebih lengkap secara logis dan sistematis. Salah satu aspek pembelajaran yang ditekankan dalam kurikulum 2013 yaitu keterampilan menulis. Keterampilan menulis yang dipelajari dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah menulis prosedur kompleks, narasi, deskripsi, argumentasi, dan persuasi. Melalui menulis, siswa bisa menjelaskan suatu urutan kejadian sehingga menambah pengetahuan pembaca. Dari semua ket erampilan berbasa, menulis merupakan keterampilan yang paling sulit karena dalam keterampilan menulis dibutuhkan penguasaan terhadap bahasa, kognitif, dan kompetensi sosial budaya. Sebagaimana dikatakan oleh Barkaoui (2007) bahwa melalui kegiatan menulis, siswa diharapkan mempunyai kemampuan untuk menghasilkan teks panjang yang memiliki fitur metadiscourse yang sesuai (misalnya, contohnya, hubungannya, dan batasanya) dan bervariasi, canggih kosa kata dan struktur sintaksisnya, untuk menggunakan pola yang berbeda dari berbagai jenis teks (misalnya, deskripsi, narasi, argumentasi), dan untuk menggabungkan ide-ide dan teks lain dalam tulisan mereka sendiri secara efektif. Karena pentingnya kegiatan menulis, peran guru sangat diperlukan dalam kegiatan menulis. Guru harus menggunakan pendekatan yang tepat agar siswa mau berjuang keras untuk menulis. Sebegaimana dikatakan oleh Graham (2009) bahwa mengingat kompleksnya kegiatan menulis, sampai saat ini belum ada model atau teori penulisan yang sepenuhnya atau cukup mampu mengajarkan semua kegiatan secara sempurna. Salah satu pendekatan konseptual yang ada untuk belajar menulis hanya difokuskan pada penulis individu dan lebih berkonsentrasi pada pemahaman kognitif dan lebih ditekankan pada proses motivasional dalam penyusunan. Pendekatan motivasional merupakan contoh model yang berpengaruh dalam pembelajaran menulis yang dikembangkan oleh Hayes pada tahun 1996. Model ini memperhitungkan, setidaknya sebagian, interaksi antara lingkungan tugas menulis dan kemampuan internal penulis. Lingkungan tugas meliputi komponen sosial (misalnya, penonton, teks-teks lain yang dibaca ketika menulis, dan kolaborator) serta komponen fisik (misalnya, Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 45 teks yang telah dibaca selama ini dan media menulis, seperti pengolah kata). Model motivasional tersebut dapat dijadikan secagai acuan dalam pembelajaran bahasa, khususnya keterampilan menulis. Melalui pembelajaran motivasional, siswa akan mampu melakukan pembelajaran secara otentik. Pembelajaran bahasa akan betul-betul arena untuk mempelajari mata pelajaran lainnya. Sebagaimana dikatakan oleh Abidin (2012: 6) bahwa dalam konteks persekolahan, bahasa digunakan siswa bukan hanya untuk kepentingan pembelajaran bahasa, melainkan untuk mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan yang dibelajarkan di sekolah. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa harus haromonis, bermutu, dan bermartabat. Haromonis berarti guru dan siswa bekerja secara efektif sesuai dengan peran masing-masing. Di sini guru berperan sebagai mediator, fasilitator, motivator, dan semacamnya; siswa berperan sebagai subyek aktif yang membentuk keterampilan dan pengalaman berlandaskan kinerja konstruktivis. Bermutu berarti pembelajaran berorientasi pada pencapaian tujuan utama sambil tetap memperhatikan secara cermat dampak pengiring melalui penggunaan prinsip, pendekatan/strategi, metode, dan teknik yang memadai. Bermartabat berarti pembelajaran mencerminkan nilai-nilai sosiokultural yang melingkupi kehidupan siswa. Melalui kegiatan menulis, penulis mengungkapkan apa yang dipikir dan dirasakannya. Sebagaimana dikatakan oleh Donovan (2012) bahwa dalam menulis, penulis menggabungkan pengalaman batin kita dan perasaan dengan apa yang dirasakan di dunia luar dan memasukkannya ke dalam kata-kata. Ketika penulis mampu menyampaikan peristiwa yang terjadi di dunia luar dan persepsi dirinya secara seimbang, maka akan terjadi “sweet spot”. Titik indah yang mampu menghubungkan fakta dengan pembaca http://www.writingforward. com/creative-writing/self-expression-in-creative-writing. Dalam kegiatan menulis, penulis mempergunakan kata-katanya untuk mempengaruhi dan mengubah pola pikir pembacaranya. Penulis menyusun kalimat yang koheren dan paragraf utuh dan padu untuk membentuk koherensi, kepaduan, dan keutuhan pola pikir pembacanya. Sebagaimana dikatakan oleh lubis (2010) bahwa penulis membuat pembacanya hanyut dan larut baik lewat rasa maupun pikiran. Berkutat serta berperang di dalam batin serta nalar. “Kemasukan” roh tulisan yang “diisi” oleh sang penulisnya. Istilah “kemasukan” roh tulisan di atas sejalan dengan pengertian fungsi politis komuniasi menurut Bourdieau. Melalui kegiatan menulis, penulis mengutarakan maksudnya kepada pembaca. Penulis melakukan kegiatan Menulis sebagai arena Konstruksi politis, yakni mempengaruhi pembaca dengan memasukkan roh tulisan agar bisa membuat Ideologi pembaca dengan sukarela mengikuti keinginanMenulis merupakan kegiatan mengeks- nya. Sebagaimana dikatakan oleh Bourdieu presikan diri. Dalam kegiatan menulis, penulis (1994:168) bahwa dalam proses komunikasi menginternalisasi dunia luar (internalisasi selalu terdapat maksud-maksud yang tersemeksterior) dan mengeksternalisasi pikiran dan bunyi di balik simbol-simbol yang digunakan. perasaannya (eksternalisasi interior) (lihat Simbol-simbol yang digunakan penut ur Bourdieau, 1994). Dalam konteks ini, menulis tersebut mempunyai fungsi politis, yaitu sebamenjadi jantung dari komunikasi. Sebagaimana gai instrumen untuk memenuhi hasrat untuk dikatakan oleh Donovan (2012) bahwa ekspresi menguasai orang lain. Penulis dengan segala diri merupakan jantung dan jiwa dari segala dominasinya akan menyebarkan pengaruhbentuk penulisan kreatif http://www.writing- pengaruh ideologis dengan melegitimasi forward.com/creative-writing/self-expression- kebenaran dirinya. in-creative-writing. 46 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Praktik legitimasi dilakukan dengan praktik negosiasi, dalam hal ini penulis tetap memperhatikan pemaham dan perbedaan konseptual-fundamental. Sebagaimana dikatakan oleh (Simmel, 1910) bahwa dalam interaksi terdapat pemahaman dan perbedaan konseptual-fundamental antara aku (I) dan kamu (you), dan di sinilah terjadi negosiasi antara diri (self) dan yang lain (others). Perbedaan antara aku (I) dan kamu (you), dibangun dalam tindakan interaksi serta interpretasi yang didasarkan pada landasan a priori. Dengan begitu akan tercipta kehidupan yang harmonis. Idologi dalam diri individu dibentuk, dinegosiasikan, dan dibentuk kembali dalam tulisan. Jiwa dan diri merupakan sesuatu yang dikonstruk melalui internalisasi dialog-dialog tulisan. Sebagaimana dikatakan Bakhtin bahwa pemikiran merupakan dialog internal, yang berasal dari internalisasi perdebatan publik (Bakhtin, 1981). Dialog-dialog sosial yang membentuk dasar “diri” terdiri atas wacanawacana dan naratif-naratif kultural yang memposisikan individu dalam kategori sosial. Anak-anak mengembangkan rasa dirinya dengan cara menginternalisasikan posisi mereka pada kategori-kategori yang terdapat dalam wacana-wacana yang berbeda. Dengan menyimak uraian tentang dunia, anak-anak mempelajari cara-cara yang tepat dalam membicarakan dirinya sendiri dan orang lain, termasuk pikiran dan emosinya. Selain itu, melalui cerita-cerita yang disampaikannya sendiri, anak-anak meggambarkan, mencobakan, dan menegosiasikan aspek-aspek dirinya (Wetherell dan Maybin, 1996). Melalui menulis terjadi proses pengkonstruksian diri dan sosial secara terus menerus sepanjang kehidupan individu.. Menulis sebagai arena penyampai struktur kognitif Sebagai bagian dari kegiatan berbahasa, menulis merupakan praktik penyampaian struktur kognitif penuturnya. Dalam menulis, penulis melakukan interaksi aktif dengan mitra tuturnya. Sebagaimana dikatakan oleh Bourdieu (1994) bahwa bahasa sebagai praktik sosial merupakan hasil interaksi aktif antara struktur sosial (arena) yang objektif dengan habitus linguistik yang dimiliki pelaku sosial. Pandangan Bourdieu tersebut dipengaruhi oleh Wittgenstein dengan teorinyanya language game dan form of life yang berpandangan bahwa dalam sebuah permainan, aturan permainan satu tidak bisa dipakai untuk aturan bagi permainan yang lain. Dengan demikian dalam bahasa tidak ada aturan yang universal, ataupun gramatika yang universal mencakup semua bahasa. Setiap bahasa harus dipahami dengan gramatikanya masing-masing dan dipahami persamaan-persamaannya. Menulis merupakan jaringan relasi yang terstruktur mengatur posisi-posisi individu, dalam hal ini penulis, dan dunia sosial. Dalam menulis, penulis menggunakan strategi yang cerdik dalam menata ujarannya. Penulis tidak sekedar menghasilkan rangkaian kalimatkalimat yang secara gramatikal terbentuk dengan baik, melainkan sebaliknya penulis mengungkapkan kapasitas untuk menghasilkan ungkapan-ungkapan yang tepat bagi situasisituasi tertentu, yakni kapasitas unt uk memproduksi ungkapan-ungkapan (lihat Bourdieu, 1994, Foucault, 2002). Karena itu, menulis dapat dikatakan sebagai alat mengkarakteristikkan jenis kompetensi yang dimiliki oleh penutur sebenarnya. Sebagaimana dikatakan oleh Bourdieu (1994) bahwa penutur aktual memiliki kompetensi praktis/‘rasa praktis’, yang dengannya mereka mampu memproduksi ujaran-ujaran yang tepat sesuai dengan lingkungan/situasi yang membentuknya. Ketika menulis, penulis tidak berangkat dengan kondisi kosong akan tetapi dengan membawa modal, baik modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik. Sebagaimana dikatakan Bourdieu dalam Haryatmoko (2003:12) menjelaskan yang termasuk modal budaya ialah ijazah, pengetahuan yang sudah diperoleh, cara berbicara, kemampuan menulis, Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 47 cara pembawaan, sopan santun, cara bergaul, dan sebagainya yang berperan di dalam penent uan dan reproduksi kedudukankedudukan sosial. Yang termasuk modal sosial ialah hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan sosial. Yang termasuk modal simbolik yaitu kekuasaan yang memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi, berkat akibat khusus suatu mobilisasi. Modal simbolik bisa berupa kantor yang luas di daerah mahal, mobil dengan sopirnya, namun bisa juga petunjuk-petunjuk yang tidak mencolok mata yang menunjukkan stratus tinggi pemiliknya: misalnya gelar pendidikan yang dicantumkan di kartu nama, cara bagaimana membuat tamu menanti, cara mengafirmasi otoritasnya. Semakin banyak modal yang dimiliki, penulis akan semakin mampu menciptakan strategi pembentukan orientasi pembaca. Kata-kata dibebani dengan beban yang tidak sama bergantung pada siapa yang menuturkannya dan bagaimana mereka bertutur. Beberapa kata yang diujarkan dalam keadaan tertentu mempunyai daya dan keyakinan yang tidak sama dengan jika diujarkan pada tempat yang berbeda. Sejalan dengan pemikiran Bourdieu, Thomson dalam Bourdieu (1994:1) mengatakan bahwa penutur mempunyai keahlian dalam menyusun strategi secara cerdik dalam menggunakan kata-kata sebagai alat kekerasan dan pemaksaan, sebagai alat intimidasi dan menyiksa, sebagai tanda sopan santun, sikap rendah diri, dan mencela. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tulisan yang diproduksi bukan sekedar wacana diharapkan dapat dipahami oleh penerima. Tulisan merupakan kumpulan tanda atau simbol yang bertujuan untuk dinilai dan diapresiasi atau bertujuan untuk dipatuhi dan dipercaya oleh pembaca. Otoritas ini adalah bentuk kekuasaan tertinggi, yaitu kekuasaan simbolik. Kekuatan kata atau ucapan bukan 48 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka hanya terletak pada kata dan ucapan itu sendiri akan tetapi juga pada siapa yang mengucapkannya. Karena itu, dengan melalui kegiatan menulis, siswa dapat dilatih untuk memproduksi rasa percaya diri dan otoritasnya. Penutup 1. Keterampilan menulis merupakan salah satu aspek pembelajaran yang ditekankan dalam kurikulum 2013. Keterampilan menulis yang dipelajari dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah menulis prosedur kompleks, narasi, deskripsi, argumentasi, dan persuasi. 2. Menulis merupakan kegiatan konstruksi ideologi melalui kegiatan internalisasi dunia luar (internalisasi eksterior) dan eksternalisasi pikiran dan perasaannya (eksternalisasi interior) 3. Sebagai bagian dari kegiatan berbahasa, menulis merupakan praktik penyampaian struktur kognitif penuturnya. Dalam menulis, penulis melakukan interaksi aktif dengan mitra tuturnya. Daftar Rujukan Abidin, 2012. Pembelajaran Membaca Berbasis Pendidikan Karakter. Bandung: PT Refika Aditamo. Bakhtin, M.M. 1981. The Dialogic Imagination: Four Essays. Ed. Michael Holquist. Austin and London: University of Texas Press. Barkaoui, Khaled. 2007. Teaching Writing to Second Language Learners: Insights from Theory and Research. https://ojs.lib. byu.edu/spc/index.php/TESL/article/ viewFile/32304/30503. Diunduh tanggal 24 Maret 2015. Pukul 21.57. Bilash, O. 2011. Function of Language. http:// www.educ.ualberta.ca/staff/olenka. bila sh/be st % 20 o f% 2 0bila sh/ funct ionsof%20lang.ht ml.Diunduh tanggal 24 Maret 2015. Pukul 21.35. Bourdieu, Pierre. 1994. Language and Symbolic Power. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press. Donovan, M. 2012. Self-Expression in Creative Writing. http://www.writingforward.com/ creative-writing/self-expression-in-creative-writing. Diunduh tanggal 24 Maret 2015. Pukul 22.57. Fierros, Edward Garcia. 2004. How Multiple Intelligences Theory Can Guide Teachers’ Practices:Ensuring Success for Students with Disabilities. http://www. ur banscho ols.o rg/pdf/ onPOI NT S. multiple.intelligences. DOCUMENT. style.LETTERSIZE.pdf. Diunduh tanggal 24 Maret 2015. Pukul 22.07. Graham, Steve. 2009. Learning and Teaching Writing. http://www.education.com/reference/article/ learning-and-teaching-writing/. Diunduh tanggal 24 Maret 2015. Pukul 22.23. Haryatmoko. 2003. Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa dalam BASIS No. 11— 12, Desember 2003. Hasani, A. 2005. Ikhwal Menulis. Serang: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Press. Keraf, G. 1999. Eksposisi: Komposisi Lanjutan II. Jakarta: PT Grasindo. Lubis, M. 2010. Tulisan yang Berpengaruh. https://bilikml.wordpress.com/2010/08/ 16/tulisan-yang-berpengaruh/ Diunduh tanggal Pebruari 2015. Pukul 21.07. Simmel Georg. 1910. How is Society Possible, dalam American Journal of Sociology Vol. 16. Dalam Simmel Home Page. Wetherell, M and Maybin, J. 1996. The distributed self: A social construcionist perspective. In: Stevens, Richard ed. Understanding the Self. London: Sage. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 49 SISTEM PENULISAN MORFOLOGI DALAM BAHASA JAWA Heny Sulistyowati STKIP PGRI Jombang heny.sulistyowati @gmail.com Abstrak Bahasa Jawa memiliki kombinasi tertentu dalam penulisan sistem morfologi. Perbedaan penulisan sistem morfologi berakibat pada makna yang dihasilkan oleh setiap kata. Bahasa Jawa sangat beragam dan keragaman itu ditemulan baik dalam bentuk tuturan lisan maupun melalui dokumentasi tertulis. Dalam hal ini bahasa Jawa juga mengalami proses morfologi seperti bahasa lain seperti afiksasi, reduplikasi dan komposisi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Wujud data penelitian berupa tuturan yang diperoleh melalui teknik perekaman. Data dianalisis dengan menggunakan kajian distribusional. Prosedur analisis data dilakukan melalui empat tahap kegiatan, yaitu (1) pengumpulan data, (2) pereduksian data, (3) penyajian data, dan (4) penyimpulan temuan penelitian dan verifikasi. Hasil penelitian hasil penelitian sistem penulisan morfolologi dalam bahasa Jawa dapat disimpulkan ada beberapa bentuk, yaitu, (1) bentuk dasar, (2) bentuk dasar + nasalisasi (m, n, ng, dan ny), dan (3) perulangan. Kata kunci: sistem morfologi, bahasa Jawa Morphological Writing System In Javanese Language Javanese language has a certain combination of morphological writing system. The differences of morphological writing system affected to meanings generated by every single word. Javanese language is very diverse and that diversity can be both in the form of speech (orally) and written documentation. In this case the Javanese language also undergoes morphological processes as other languages such as affixation, reduplication and composition. The approach used in this study is a qualitative approach. Data was obtained in the form of speech through recording techniques. Data were analyzed using distributional studies. Data analysis procedures carried out through four stages of activity, namely (1) data collection, (2) data reduction, (3) presentation of data, and (4) the conclusion of the research findings and verification. The results of the research study can be concluded that there is some form, namely, (1) the basic shape, (2) form the basis + nasalization (m, n, ng, and ny), and (3) iteration. Keywords: morphological system, Java language A. PENDAHULUAN Telah diketahui bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur susunan morfologis, fonetis dalam setiap bahasa. Begitu juga dalam bahasa Jawa, ada kombinasi tertentu dalam penulisan yang sering tidak memperhatikan kaidah penulisan. Perbedaan penulisan bentuk yang 50 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka ditemukan seperti dalam bahasa Jawa berakibat pada perbedaan makna yang dihasilkan. Bahasa Jawa sangat beragam dan keragaman ini masih terpelihara sampai sekarang, baik karena dituturkan maupun melalui dokumentasi tertulis. Bahasa yang digunakan masyarakat sangat beragam, artinya meskipun sebuah bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu digunakan oleh penutur yang heterogen yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda maka bahasa itu menjadi beragam baik dalam tataran fonologi, morfologi, sintaksis, maupun dalam tataran leksikon.. Setiap bahasa termasuk bahasa Jawa memiliki kemiripan dan perbedaan dengan bahasa lain dalam hal pembentukan kata. Dalam hal ini bahasa Jawa juga mengalami proses morfologi layaknya bahasa lain seperti dalam afiksasi. Misalnya, penambahan prefik (ater-ater) /ma-/ + gawe = magawe ‘bekerja’; penambahan infiks (seselan) /-um/ + ayu = kumayu ‘merasa cantik’. B. Morfologi Secara etomologi kata morfologi berasal dari kata morf yang berarti bentuk dari kata logi yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah kata morfologi berarti ilmu mengenai bentuk dan di dalam kajian linguistik morfologi berarti ilmu mengenai bentuk-bentuk dan pembentukan kata sedangkan di dalam kajian biologi morfologi berarti ilmu yang mempelajari bentuk-bentuk sel-sel tumbuhan atau jasad-jasad hidup. Menurut Verhaar (1089:11) morfologi menyangkut struktur “internal” kata. Morfologi adalah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau mempelajari selukseluk bentuk kata serta pengaruh perubahanperubahan bentuk kata terhadap golongan dari arti kata, atau bentuk kata. Pandangan serupa diberikan oleh Uhlenbeck (1982:13) menyatakan bahwa d idalam kata ada dua jenis morfem, yaitu morfem leksikal yang makna dan bentuknya sedikit banyak sama dengan leksem dan morfem gramatikal, yaitu satuan pembentuk kata yang sedikit banyak menyebabkan leksem itu mempunyai makna gramatikal. Uraian tersebut berlaku bagi proses pembentukan kata sebagai satuan sintaksis, karena bahan dasar kata ialah leksem dan proses ini menyangkut pembentukan kata maka subsistem ini disebut morfologi leksikal atau morfologi derivative. Dengan demikian, pengertian morfologi dapat disimpulkan sebagai bagian dari tata bahasa yang membicarakan bentuk kata atau juga bisa dikatakan bahwa morfologi adalah cabang ilmu bahasa yang membicarakan atau mempelajari tentang bentuk kata dan morfem. Afiksasi Dalam istilah linguistik dikenal bermacam-macam afiks dalam proses pembentukan kata. Menurut Chaer (2008:23) afiksasi dibagi menjadi enam yaitu: 1. Prefiks adalah afiks yang dibubuhkan di awal atau di kiri bentuk dasar, yaitu prefiks ber-, prefiks me-, prefiks per-, prefiks di-, prefiks ter-, prefiks se-, dan prefiks ke-. 2. Infik ialah fiks yang dibubuhkan di tengah kata, biasanya di tengah kata, biasanya pada suku awal kata, yaitu infiks –el-, infiks – em-, dan infiks –er. 3. Sufik ialah afiks yang dibubuhkan di akhir atau di kanan bentuk dasar, yaitu sufiks – kan, sufiks –i, sufiks –an, dan sufiks –nya 4. Konfiks ialah afiks yang dibubuhkan di kiri dan di kanan bentuk dasar secara bersamaan karena konfiks ini merupakan satu kesatuan afiks. Konfiks yang ada dalam Bahasa Indonesia adalah: ke-an, beran, pe-an, per-an, dan se-nya. 5. Simulfiks ialah kata yang dibubuhi afiks pada kiri dan kanannya tetapi pembubuhannya tidak sekaligus, melainkan bertahap, misalnya: memper-, memper-kan, memper-i, diper-kan, diper-i, terper-kan. 6. Nasalisasi Dalam bahasa Indonesia ada empat macam tipe verba dalam kaitannya dengan proses nasalisasi. Keempat verba itu adalah a) verba berprefiks me- (termasuk me-kan dan me-i); b) verba berprefiks me- dengan pangkal per , per-kan, dan per-i; c) verba berprefiks ber; dan d) verba dasar (tanpa afiks apapun). Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 51 Afiksasi Bahasa Jawa Menurut Palguno dan Rahayu (2013:79) afiksasi dalam bahasa Jawa dibedakan atas awalan (ater-ater), akhiran (penambang), dan sisipan (seselan) yaitu: a. Ater-ater (awalan) 1. Ater-ater: a (ma) a + kudhung —> akudhung a + tulis —> anulis a + karya —> akarya —> makarya 2 Ater-ater: ka ka + gawa —> kagawa ka + tuku —> katuku 3. Ater-ater: dak, ko, di dak + suwek —> daksuwek ko + suwek —> kosuwek di + suwek —> disuwek 4. Ater-ater: n, ny, ng, m n +tandur —> nandur ny + sapu —> nyapu ng + ombe —> ngombe m + pundhut —> mundhut 5. Ater-ater: sa, pa, pi, pra, pari, tar sa + wengi —> sawengi pa + mudha —> pamudha tar + kadhang —> tarkadhang 6. Ater-ater: kuma, kapi, kami kami + gila (n) —> kamigilan kapi + tuna (n) —> kapitunan 7. Panambang (akhiran) i. Panambang: ku, mu, e buku + ku —> bukuku radhio + e —> radhione (bukan radhioe) sega + e —> segane (bukan segae) ii. Panambang: an turu + an —> turon (bukan turuan) lali + an —> lalen (bukan lalian) gawa + an —> gawan (bukan gawaan) iii. Panambang: i suwek + i —> suweki ombe + i —> ombeni (bukan ombei) tuku + i —> tukoni (bukan tukui) iv. Panambang: a, na, ana, en 52 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka jupuk + a —> jupuka sapu + a —> (ny) sapu + a —> nyapua sapu + na —> sapokna (bukan sapuna) v. Panambang: ake tulis + ake —> tulisake tali + ake —> talekake (bukan taliake) ombe + ake —> ombekake (bukan ombeake) vi. Panambang: ne, ing laku + ne —> lakune bapak + ne —> bapake — > bapakne abang + ing —> abanging — > abange jero + ing —> jeroning — > jerone 8. Seselan (sisipan) i. Seselan: in sigar + in —> sinigar ii. Seselan: um tindak + um —> tumindak iii. Seselan: l, r siwer + l —> sliwer centhel + r —> crenthel 3. METODE dan TEKNIK PENELITIAN Berdasarkan teknik penelitian ini dirancang dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Hal ini seperti dikatakan Bogdan dan Biklen (1982:2) bahwa penelitian kualitatif (qualitative research) sebagai payung memiliki beberapa karakteristik tertentu. Sumber data: penutur bahasa Jawa di kabupaten Jombang. Wujud data penelitian ini adalah kosa kata bahasa Jawa yang digunakan dalam komunikasi. Data dianalisis dengan menggunakan kajian distribusional. Prosedur analisis data dilakukan melalui empat tahap kegiatan, yaitu (1) pengumpulan data, (2) pereduksian data, (3) penyajian data, dan (4) penyimpulan temuan penelitian dan verifikasi. 4. HASIL PENELITIAN No. A. Bentuk Morfologi Kosa Kata di Kabupaten Jombang No. Kosakata 1. Bekerja 2. Berbaring 3. Berbicara 4. 5. Berenang Berjalan Kosakata 6. Melempar 7. Berjatuhan Bentuk Morfologi Bahasa Jawa nyambut ny + sambut (Nsl ny-) glendang ng + glendang (Prf ng-) ng + omong (Prf ng-) Makna Bahasa Jawa nyambut gawe 8. Marah 9. Membakar lumah-lumah 10. Membawa bluron (BD) mlaku m + laku (Prf m-) bluron (BD) Mlaku m + laku (Prf m-) omong-omong Berdasarkan data 1 kata nyambut merupakan bentuk morfologi yang mengalami proses morfologi nasalisasi dari kata dasar sambut mendapat imbuhan nasal ny- bertemu fonem /s/ melebur menjadi /ny/ menjadi nyambut. (Data 2) berbaring : ng+ glendang —> ngglendang Pada data 2, kata ngglendang merupakan bentuk morfologi yang mengalami proses nasalisasi dari kata dasar /glendang/ mendapat imbuhan nasal /ng-/ bertemu fonem /g/ menjadi ngglendang, (Data 3) berbicara : ng+omong ’! ngomong Data 3, kata /ngomong/ merupakan bentuk morfologi yang mengalami proses nasalisasi dari kata dasar /omong/ mendapat imbuhan nasal /ng/- bertemu fonem /o/ menjadi ngomong. (Data 4) berenang : bluron ’! bluron Berdasarkan data 4, kata bluron, merupakan bentuk dasar yang tidak mengalami proses morfologi. (Data 5) berjalan : m + laku ’! mlaku Pada data (5) kata mlaku merupakan bentuk morfologi yang mengalami proses morfologi dari kata dasar/ laku/ mendapat imbuhan nasal /m/ menjadi /mlaku/ Bentuk Morfologi nyawat ny + sawat (Nsl ny-) rutuh (BD) Makna Bahasa Jawa nyawat tiba (BD) muring-muring srengen (BD) muring (Red Ut) ngobong ngobong ng + obong (Nsl ng-) nggowo nggowo ng + gowo (Nsl ng-) Data (6) melempar : ny + sawat ’! nyawat Kata/ nyawat/ merupakan bent uk morfologi yang mengalami proses morfologi nasalisasi dari kata dasar /sawat/ mendapat imbuhan nasal/ ny/- bertemu fonem /s/ melebur menjadi /ny/ menjadi nyawat Data (7) berjatuhan : rutuh ’! rutuh Kata /rutuh/ merupakan bentuk dasar yang tidak mengalami proses morfologi. Data (8) marah-marah : muring – muring ’! muring-muring Kata /muring-muring/ merupakan bentuk morfologi yang mengalami proses reduplikasi yaitu jenis reduplikasi sejati. Data (9) membakar : ng+ obong ’! ngobong Kata/ ngobong/ merupakan bentuk morfologi yang mengalami proses morfologi dari kata dasar /obong / mendapat imbuhan nasal /ng/- menjadi /ngobong/. Data (10) membawa : n g + gowo ’! nggowo Kata /nggowo/ merupakan bentuk morfologi yang mengalami proses morfologi yaitu dari kata dasar /gowo / mendapat imbuhan nasal /ng-/ menjadi /nggowo/. 5. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian sistem penulisan morfolologi dalam bahasa Jawa dapat disimpulkan ada beberapa bentuk, yaitu, (1) bentuk dasar, (2) bentuk dasar + nasalisasi (m, n, ng, dan ny), dan (3) perulangan. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 53 DAFTAR PUSTAKA Anomin. 1992. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Bogdan, R.C. dan Biklen, S.K. 1998. Qualitative Research in Education: An Introduction to Theory and Method. USA: Allyn Bacon Chaer, Abdul. 2006. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Uhlenbeck, E,M. 1982. Kajian Morfologi Bahasa Jawa. Jakarta: Djambatan. 54 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Sumadi dkk. 1995. Sistem Morfemis Adjektiva Bahasa Jawa-Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Verhaar, J.M.W. 19989. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press KIAT MUDAH MENULIS: OPTIMALISASI POTENSI BERBAHASA,TANPA TERBELENGGU FRAME BAHASA BAKU Oleh: Umi Salamah IKIP Budi Utomo Malang Abstrak: Tulisan yang disajikan dalam makalah ini akan berbagi tentang bagaimana seharusnya menulis itu menjadi kebiasaan dan kebutuhan.Suatu kondisi yangcukup memprihatinkan bahwa menulis masih merupakan keterampilan yang sulit bagi sebagian besar pelajar, mahasiswa, guru, bahkan dosen di Indonesia. Ironisnya, para penulis besartermasuk para sastrawan besar tidak lahir dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Editorhebat juga tidak lahir dari Jurusan Bahasa Indonesia.Padahal tulisan yang diedit menggunakan bahasa Indonesia.Adaapa dengan pembelajaran bahasa Indonesia di negeriini.Anehnya, orang asing yang belajar bahasa Indonesia selama dua tahun saja sudah pandai menulis dengan bahasa Indonesia.Makalah ini akanberbagi pengalaman menulis denganmengoptimalisasi kemampuan berbahasa untuk menulis, baik menulis karya ilmiah maupun karya sastra. Dengan demikian, para pengguna bahasadapat mengembangkan potensi di bidangnya secarakreatif-produktiftanpa terbelengguframebahasa baku terlebih dahulu Kata kunci: Kiat, menulis itu mudah, terbelenggu bahasa baku A. Pendahuluan Tulisan yang disajikan dalam makalah ini akanberbagi tentang bagaimana seharusnya menulis itu menjadi kebiasaan dan kebutuhan. Tentu saja bukan dengan cara merusak bahasa, tetapi menggunakan bahasa dalam wacana yang lebih luas,lebih fungsional, dan lebih dinamis tidak dalam frame struktur bahasa yang sangat sempit dan kaku.Bahasa baku memang sangat penting untuk dipelajari tetapi lebih penting lagi apabila dapat menggunakan secara tepat sesuai dengan konteks dan proses penulisan. Bahasa Indonesia sebagaimana bahasabahasa lainnya merupakan diskursus yang sangat luas.Ia bisa sebagai sumber pengetahuan, alat komunikasi, alat interaksi, alat menjalin relasi, media ekspresi, dan lain-lain. Jadi sangat naif jika penggunaan bahasa Indonesia hanya Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 55 dipandang dari sudut pandang struktur bahasa atau penilaian benar dan salah dari satu kaidah saja. Kadang-kadang terbersit dalam pikiran, mengapa penulis besar tidak lahir dari mahasiswa atau alumni Jurusan/Prodi bahasa dan sastra Indonesia?Kalau pun ada jumlahnya sangat kecil (sangat tidak presentatif) dibanding dengan jumlah lulusan prodi bahasa dan sastra Indonesia di seluruh Indonesia.Apa yang dilakukan oleh dosen, guru, dan sarjana Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia saat ini? Apakah yang menjadi “momok” sehingga mereka kurang berani menulis. Di sisilain, kondisi yang juga cukup memprihatinkan adalah sangat terbatasnya jumlah jurnal ilmiah di perguruan tinggi yang sudah terakreditasi dan jumlah buku sastra yang cocok untuk pembelajaran di sekolah, terutama untuk anak-anak SD, SMP, dan SMA. Tidak dapat dibayangkan jika siswa SD dan SMP disuguhi karya-karya seperti Saman Ayu Utami dan Wajah VaginaJenar Maesa Ayu. Untuk itu jelas masih diperlukan banyak pengarang yang memiliki kepedulian menulis cerita yang cocok dengan karakter anak usiasekolah dasar dan menengah. Tanggung jawab siapakah ini?Para sarjana bahasa dan sastra Indonesia, pengambil kebijakan di bidang pendidikan, para guru, ataukah kita semua. Saya menduga ‘kegagalan’ pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah tidak hanya disebabkan oleh guru yang tidak mengajarkan bahasa dan sastra kepada siswasesuai dengan pendekatan kurikulum, tetapi juga terbatasnya bahan bacaan yang cocok untuk siswa sesuai dengan tingkatan umur dan pendidikan karakter siswa. Ini sebenarnya merupakan peluang besar bagi para guru, mahasiswa, dan penulis lainnya untuk berkontribusi kepada bangsa dan negara sekaligus menambah memperkuat eksistensi sebagai intelektual. Apalah artinya pandai, cerdas, apabila tidak memiliki karya tulis. Pabila menulis sudah menjadi kebiasaan dan kebutuhan, maka karya sastra makin 56 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka berkembang dan makin memenuhi toko buku dan perpustakaan diIndonesia. Karya Ilmiah makin meningkat jumlah dan kualitasnya. Guru dan siswa tidak lagi kesulitan mencari literatur sastra, baik buku cerita maupun puisi maupun literatur ilmiah berbahasa Indonesia.Bahkan apabila Guru menugasi siswa membaca lima novel atau kumpulan puisi yang sesuai dengan tingkatan umur dan pendidikan karakter siswa, maka akan mudah didapatkan. Apa yang kita impikan bersama, yaknikebiasaan membaca sejak dini akan terwujud jika semua pihak memiliki kemauan baik untuk melakukannya. Selain itu, yang cukup memprihatinkan adalah sulitnya mempublikasikan karya tulis yang sudah dibuat, baik dalam bentuk karya sastra maupun artikel ilmiah. Kesulitan ini disebabkan oleh minimnya informasi, jaringan, atau sangat sedikitnya jurnal ilmiah yang sudah terakreditasi, serta penerbit yang sudah tersertifikasi.Kesulitan itu juga dapat menjadi pemicu melemahnya semangat para penulis untuk mewujudkan karyanya. Dalam forum ini kita akan berbagi bagaimana kiat mudah menerbitkan karya kita pada jurnal ilmiah maupun penerbit. Marilah merenung sejenak, apa yang salah dengan pembelajaran menulis mulai dari SD sampai Perguruan tinggi. Apakah kebiasaan menulis sudah dirumuskan dalam target yang jelas dan kongkret dalam setiap jenjangnya sehingga menjadi suatu kebutuhan. Ataukah para guru dan dosen hanya berbicara masalah teori tanpa mampu memberi contoh implementasi tulisan dalam bentuk karya nyata. Apakah sudah terjalin komunikasi yang baik antara para penulis dengan para penerbit maupun mengelola jurnal? B. Hakikat Menulis Beberapa pakar juga turut andil untuk memberikan definisi terkait menulis.Menurut Tarigan (1995) menulis berarti mengekspresikan secara tertulis gagasan, ide, pendapat, atau pikiran dan perasaan.Sarana mewujudkan hal itu adalah bahasa. Isi ekspresi melalui bahasa itu akan dimengerti orang lain atau pembaca bila dituangkan dalam bahasa yang teratur, sistematis, sederhana, dan mudah dimengerti. Pendapat Tarigan tersebut menegaskan bahwa terjadi hubungan yang sangat erat antara bahasa sebagai sarana dan pikiran sebagai substansi tulisan. Mana yang lebih dahulu ada, substansinya atau sarananya? Subst ansinya diadakan terlebih dahulu, baru ditata dengan sarana bahasa yang sesuai konteksnya. Sementara itu, Byrne (1988) berpendapat bahwa menulis tidak hanya membuat satu kalimat atau hanya beberapa hal yang tidak berhubungan, tetapi menghasilkan serangkaian hal yang teratur, yang berhubungan satu dengan yang lain, dan dalam gaya tertentu. Rangkaian kalimat itu bisa pendek, mungkin hanya dua atau tiga kalimat, tetapi kalimat itu diletakkan secara teratur dan berhubungan satu dengan yang lain, dan membentuk kesatuan yang masuk akal. Pendapat Byrne secara tersirat juga mengedepankan substansi. Tulisan itu harus memuat gagasan yang utuh, bukan kalimatkalimat lepas yang tidak membangun kesatuan gagasan. Lebih lanjut, menurut Syafie’ie (1988), tujuan menulis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (1) mengubah keyakinan pembaca, (2) menanamkan pemahaman sesuatu terhadap pembaca,(3) merangsang proses berpikir pembaca,(4) menyenangkan atau menghibur pembaca; (5) memberitahu pembaca, dan (6) memotivasi pembaca. Pendapat tersebut menegaskan betapa penting substansi suatu tulisan dan sarana yang membangunnya. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disederhanakan bahwa menulis hakikatnya adalah kemampuan dan keterampilan seseorang dalam mengemukakan gagasanpikiran, perasaan, dan sikap kepada orang lain dengan dengan media tulisan, sehingga maksud penulis bisa diketahui banyak orang orang melalui tulisannya. Sebagai kemampuan, menulis dapat dipelajari, dan sebagai keterampilan menulis dapat dilatih. C. Menulis itu Mudah Sebagian besar penulis mengatakan, menulis itu mudah, mulailah menulis, dengan rangkaian kata-kata yang kita miliki meskipun sangat sederhana.Mindsetkita tentang menulis akan mempengaruhi semangat dan keberanian kita untuk menulis. Apabiladalam mindsetkita menulis itu susah, maka kita akan malas dan takut menulis, sebaliknya jika mindsetkita menulis itu mudah maka kita akan berani dan senang menulis.Untuk itu, mulai sekarang, marilah kita mengubah mindsetkita dari menulis itu susah, menjadi menulis itu mudah, maka kita akan gemar menulis, dan menulis akan menjadi kebiasaan dan kebutuhan kita sehari-hari. Mulailah menulis dengan tema yang sederhana, dengan kata-kata sederhana, kalimat demi kalimat sederhana, ungkapkan apa saja yang ingin disampaikan tanpa takut salah. Apa yang ada dalam pikiran, yang ada dalam perasaan, dan yang ada dalam imajinasi/ bayangan, tuangkan saja dengan bahasa kita kuasai tanpa terbelenggu oleh frame struktur bahasa baku terlebih dulu. Biarkan mengalir dengan bahasa apa saja yang kita miliki. Keberhasilan menulis adalah being (proses menjadi). Tidak ada penulis besar, yang terjadi secara isntan atau sekali menulis langsung bagus.Chairil Anwar pernah memikirkan untuk memilih satu kata saja sampai berbulan-bulan.Jadi mulailah sekarang untuk berani penulis. Keberanian menulis merupakan modal utama bagi seorang menulis untuk mewujutkan karyanya. Langkah awal untuk menjadi penulis adalah bagaimana membangkitkan semangat dan keberanian dalam menulis. Selanjutnya bila menulis sudah menjadi kebiasaantinggal membenahi bahasa yang akan dituangkan dalam tulisan.Salah satu cara memperbaiki runtutan bahasa dan aturan-aturan baku menulis adalah dengan membaca. Biasakan membaca buku berkualitas, terutama dari pengarang yang mampu merangkai kata menjadi t ulisan Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 57 sederhana tapi menarik, bahasa-bahasa yang terangkai dalam pikiran otomatis menyensor kejanggalan bahasa yang telah tertulis(ini yang disebut proses editing). Proses editorial tulisan akan mengoreksi bagaimana penulisan kata, pemenggalan kata, efektifitas penggunaan kata (diksi), ejaan, dan efektifitas penggunaan kalimat dalam setiap paragraf. Menyeleksi kata yang tidak perlu, memperbaiki rangkaian kata yang terkesan panjang dan berbelit-belit. Otomatisasi ini akan selalu berlangsung setiap saat sehingga setelah beberapa lama menekuni dunia tulis-menulis sensor otak akan secara refleks mengedit hal-hal yang tidak seharusnya ditulis.Selanjutnya kita tinggal memilih bentuk tulisan. Sesuaikan bentuk tulisan dengan cara penulisan masing-masing bentuk yang kita tentukan/pilih. Menyit ir pengalaman menarik dari seorang penulis kompasianer IGN Joko Dwiatmoko. Iamerasa lebih nyaman menuliskan segala unek-unek daripada berteriak-teriak dan mengumpat secara spontan. Menulis dapat menjadi terapi yang efektif untuk meredam emosi yang meletup-letup. Dengan menulis detak jantung menjadi lebih teratur karena fokus pada pikiran dan memori-memori yang dialirkan ke tangan.Sampai saat ini ia masih belajar bagaimana merangkai kata, menciptakan tulisan yang mampu menghipnotis pembaca larut dalam tulisannya. Dalam proses pencariannya, iasering membaca tulisan Gunawan Mohammad (dengan Catatan Pinggirnya), Seno Gumira Aji Darma, Radhar Panca Dahana, Arswendo Admowiloto, F. Rahadi, Romo Mangun, Sindhunata, sampai tulisan Pramudya Ananta Tour pernah. Tulisan Pengarang Ernest Hemingway, Karl May dibacanya (http://www.kompasiana.com/dwiatmoko/ category/prosa/2/dwiatmo-ko). Berdasarkan uraian dan pengalaman salah satu kompasianer di atas, maka untuk memulai menulis dibutuhkan keberanian dan semangat.Segera melakukan dengan hal-hal yang sederhana dengan dengan bahasa yang 58 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka sederhana.Kita bisa memulai dengan mengkreasikan cerita yang sudah ada. Indonesia yang dulu disebut sebagai Nusantara sangat kaya akan cerita. Ambil saja satu contoh cerita yang sangat akrab di telinga orang Indonesia, yaitu cerita si Kancil.Saya yakin, kita semua sudah sangat mengenal karakter Kancil yang kaya strategi namun licik.Bagaimana mengubah karakter Kancil sesuai dengan visi pendidikan karakter bangsa Indonesia yang pemberani, semangat, inovatif, kaya strategi, namun juga bermanfaat bagi orang di lingkungannya.Cerita semacam ini sangat diperlukan untuk membangun karakter di tingkat Pendidikan Dasar. Apabila seluruh pikiran, perasaan, dan imajinasi sudah tertuang dalam tulisan, proses selanjutnya adalah menyunting, baik isi maupun bahasa yang digunakan. Isi maupun bahasa tulisan dapat dimatangkan dengan menimba pengalaman dari buku-buku bacaan yang sesuai, berdiskusi dengan teman sejawat, terbuka menerima kritik dan saran, serta bergegas membenahi tulisan. D. LANGKAH-LANGKAH PENULISAN Berikut beberapa langkah praktis untuk membuat tulisan. 1. Menentukan topik Sebelum melangkah ke tahap menulis, pertama-tama yang harus dilakukan adalah menentukan topik yang akan ditulis. Topik adalah hal yang akan dibicarakan dalam sebuah tulisan. Apa saja bisa menjadi topik tulisan. Yang penting seorang calon penulis harus menguasai masalah dan topiknya menarik bagi yang bersangkutan.Topik yang menarik adalah topik yang jelas arahnya (fokus) sedang hangathangatnya dibicarakan atau mejadi isu terkini, bermanfaat, dan mudah mencari bahannya. 2. Identifikasi topik Identifikasi topik adalah menjelaskan apa saja yang bisa dijelaskan dari topik yang sudah dipilih menjadi subtopik-subtopik. Identifikasi sebanyak mungkin yang dapat dilakukan untuk menjelaskan topik. 3. Batasan topik Apabila identifikasi topik sudah dilakukan, langkah selanjutnya adalah membuat batasan terhadap topik tersebut agar tulisan yang akan dikembangkan menjadi lebih jelas dan fokus dari sudut pandang calon penulis. Batasan topik dilakukan untuk menyortir/ menyeleksi hasil identifikasi topik. Pertimbangannya adalah relevansi subtopik dengan topik yang sudah ditentukan, kemudahan mencari bahan, dan kemenarikan bagi pembaca. Di dalam karya ilmiah batasan topik ini selanjutnya dirumuskan menjadi rumusan masalah, sedang di dalam karya sastra akan mejadi kerangka penulisan yang akan dikembangkan menjadi tubuh tulisan. Beberapa tips praktis dalam memilih topik adalah sebagai berikut. a) Pilihah topik yang menyangkut masalah yang tengah dihadapi masyarakat luas. Misalnya, ketika masyarakat saat ini sedang kesulitan mendapatkan beras murah maka dengan membuat tulisan tentang “makanan pokok alternatif yang murah, sehat, dan bergizi” akan menarik banyak pembaca. b) Pilihlah topik yang bersifat how to. Ketika memilih menulis tentang makanan pokok alternatif yang murah, sehat, dan bergizi, maka isinya sebaiknya tidak hanya tentang apa itu makanan pokok alternatif yang murah, sehat, dan bergizi, namun juga bagaimana membuat dan mendapatkannya. c) Pilihlah topik yang terkait orang-orang ternama atau peristiwa yang menjadi perbincangan. Usahakan apa yang diulas adalah sesuatu yang spektakuler yang belum pernah diulas sebelumnya. Seperti trending topik di televisi, di Indonesia terjadi kasus imporberas plastik. Tulis tentang cara mengenali dan bahanya konsumsi beras plastik. 4. Mengumpulkan bahan sesuai dengan topik Setelah topik sudah ditentukan dan sudut pandang sudah jelas, maka langkah selanjutnya adalah mengumpulkan bahan sesuai dengan topik tersebut.Pengumpulan bahan dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya merunut buku-buku yang membicarakan masalah tersebut (studi literatur), membaca jurnal atau tulisan ilmiah yang pernah diterbitkan, membaca hasil penelitian, melakukan pengamatan, wawancara dengan nara sumber, mencari informasi dari surat kabar atau internet, dan majalah. 5. Menuangkan topik menjadi tulisan Proses penulisan dapat dilakukan dengan cara menuliskan pembukaan terlebih dahulu, dilanjutkan dengan penjelasan masalah sesuai rumusan masalah, dilanjutkan analisis-analisis yang diperlukan, dan penutup (simpulan dan saran). Proses penulisan dengan model ini biasa terlihat pada penulisan buku atau karya ilmiah lain. Sementara itu untuk proses penulisan yang lebih sederhana cukup mencakup: pendahuluan, isi, dan penutup. Pertanyaan yang sering menjadi hambatan bagi penulis pemula adalah dari mana memulai menulis pendahuluan? Jawabannya gampang: bisa dari mana saja, bisa dimulai dari isu terkini, pendapat ahli atau teori, hasil riset, bahkan bisa dimulai dari pertanyaan retorik. Apabila pendahuluan dimulai dari isu terkini yang sedang berkembang, dapat dikaitkan dengan pendapat ahli dan hasil riset/penelitian. Selanjutnya dijelaskan objek yang dikaji, cara menkaji, dan manfaat hasil kajian bagi pembaca. Untuk karya sastra dapat dimulai dari awal peristiwa yang akan diceritakan atau dideskripsikan sampai peristiwa itu selesai. Selanjutnya tulislah apa saja yang terlintas di pikiran, dan biarkan mengalir sampai semuanya tuntas. Jangan dipusingkan masalah urutan maupun bahasanya. Gunakan bahasa apa saja yang penting apa yang terlintas dipikiran bisa dituangkan. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 59 6. Penyuntingan/Editing Setelah yang dipahami dan diinginkan calon penulis sudah dituangkan dalam bentuk tulisan, langkah selanjutnya yaitu membaca kembali tulisan sekaligus mengedit dan merapikan sajian agar urutannya lebih runtut dan logis. Urutan sajian ini penting, karena apabila tulisan tidak runtut atau melompat-lompat, maka orang lain mengalami kesulitan untuk memahami tulisan. Dengan demikian tujuan untuk menyampaikan informasi kepada pembaca tidak akan tercapai. Penyuntingan/ editing dimulai dari menata ulang tulisan sesuai dengan urutan yang diinginkan, menyesuaikan format tulisan, dan bahasa yang digunakan. Adapun caranya adalah dengan membaca kembali semua yang sudah dituliskan, kemudian mengurutkan tulisan sesuai dengan rumusan masalah (jika itu karya ilmiah), kelogisan (dari yang sudah diketahui ke yang belum diketahui, dari yang sederhana ke yang kompleks atau yang canggih).Setelah isi tulisan lengkap dan urut, langkah selanjutnya memasukkan ke dalam format atau sistematika tulisan dengan cara memberi penomoran/ pengkodean sesuai dengan sistem yang dipilih (menggunakan sistem digit atau huruf). Hal terakhir yang dilakukan dalam proses penyuntingan adalah menyunting bahasa. Membaca kembali tulisan, untuk menyelaraskan pengetikan (akar tidak terjadi salah ketik), ejaan, tata bahasa, pilihan kata, keefektifan kalimat, dan pengembangan paragraf. Bahkan kalau perlu juga mengedit kalimatnya, atau urut an paragrafnya.Dengan demikian setelah diteliti kembali, tulisan menjadi lebih baik dan tentu saja mudah ditangkap informasi yang ingin disampaikan kepada pembaca. PENUTUP Menulis sebenarnya sangat mudah, hanya membutuhkan kemauan, keberanian, dankomitmen untuk duduk dan menulis.Peka terhadap isu terkini merupakan modal yang sangat bermakna. Membiasakan mencatat topik meru60 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka pakan modal untuk menjadi penulis besar. Banyak membaca dapat memperkaya topik, kosakata, pengetahuan, dan wawasan menulis yang baik. Meluangkan waktu untuk menulis. Banyak orang memiliki waktu luang hanya digunakan untuk hal-hal yang kurang bahkan tidak bermanfaat. Menggunakan waktuuntuk menulis merupakan cara yang tepat untuk menjadi penulis. Memilih waktu untuk menulis adalah satu cara untuk bisa melahirkan suatu tulisan. Penulis yang berhasil, sebagian besar adalah orang yang mampu memaksa dirinya untuk duduk dan menulis satu-dua kalimat menjadi satu—dua halaman setiap hari. Dari satu-dua halaman itulah nantinya dapat menjadi ratusan halaman dalam beberapa waktu ke depan. Menulis itu harus memiliki kemauan dan keberanian, terutama keberanian untuk memulai.Mari kita mulai sekarang. Bahan Bacaan Brown, Thomas. “Writing the Novel û Setting”.dalamhttp://www.suite101.com/ Dwiatmoko, IGN Joko. ht tp://edukasi. kompasiana.com/2010/05/21/proseskreatif-menulis/. Pasaribu, Truly Almendo.http://pelitaku. sabda.org/proses_ kreatif_menulis_novel Salamah, Umi. 2014. Menulis Kreatif. Malang: Anak Ceria Kreatif Production. Saukah, Ali (Ed). 2009. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang: Universitas Negeri Malang. Tarigan, HG. 1988. Menulis. Jakarta: Gramedia ht t p: //idkf.bo gor.net /yuesbi/ e-DU.KU/ edukasi.net/Peng.Pop/Kiat.Belajar/ Menulis.Mudah/all.htm. http://writingcenter.unc.edu/handouts/sciences/ http://www.writersdigest.com/editor-blogs/ there-are-no-rules/keep-it-simple-keysto-realistic-dialogue-part-ii http://www.lifehack.org/articles/communication/a-guide-to-becoming-a-bett erwriter-15-practical-tips.html https://www.insidehighered.com/news/2013/ 08/29/study-finds-too-many-adjectivesand-adverbs-detract-academic-writing ht t p : / / w w w. flo g g in g t he q u ill. c o m/ flo g g ing _ t he _ q uill/ 2 0 0 6/ w e ek 6 / index.html http://literarydevices.net/cliche/ http://writingcenter.unc.edu/handouts/cliches/ http://www.shmoop.com/news/2010/07/13/ b e s t - o p e n in g - lin e s - lit e r a t u r e / Shmoop.com h t t p s : / / w w w. e s s e x . a c . u k / m y s k i l l s / How_to_improve_your_academic_writing.pdf http://spinsucks.com/entrepreneur/reading-fiction-helps-your-career/ Spinsucks https://www.themuse.com/advice/10-simpleways-to-become-a-better-writer https://www.themuse.com/advice/10-simpleways-to-become-a-better-writer Moto Kita tidak harus hebat saat memulai Tetapi kita bisa memulai utuk menjadi hebat Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 61 Training of Scientific Writing for EFL Teachers in Papua: Writing A Classroom Action Research Proposal LaluSuhirman Abstract The aims of this paper are: (1) to enhance EFL Teachers’ competence and skill in writing scientific paper of investigation result, (2) to produce scientific articles of EFL teachers’ investigation (minimally produce an action research proposal).This training was given to PLPG teachers’ group of certification. There were 33 EFL teachers active in this training activity. The contents of the materials are how to discovery theme and the topic, how to write a proposal of classroom action research, and how to arrange a report of classroom action research, then how to create it into a scientific article. By having these skills, it is expected that they are able to arrange their own action research and change it into scientific article so that raise their position and prosperity. The training activities took 10 hours and at the end of the training the participants were obliged to submit a classroom action research proposal. The instructor of this training offers them a complete assistance for those who want to conduct real classroom action research. After evaluated each proposal project submitted by the EFL teachers, all of them had misconception of deciding research design, 45,45% EFL teachers were able to identify the research problems, themes, topics well, 30,30% of them described the frame of research theory, quoted and paraphrased expert’s ideas or sentences well and only 7 or 21,21% of them used and stated references 20 or more than 20 titles. Key Words: training, scientific writing, classroom action research, article, paper Law is to establish a good quality national teaching power, proûcient in the four key comAround the world, there has been an inpetency domains, namely pedagogical, profescreasing shift away from concern with access sional, personal and social. to a concern with quality in the educational Arguably, the new policy is the culminasystems of developing countries. If Indonesia tion of several previous attempts to improve is to keep up with global trends in this regard, the quality of teachers as a means to improving it must actively campaign to improve the qualthe overall quality of education, following a ity of its teachers, with the poor performance number of preceding policies and strategies of Indonesian students attributed to the general initiated to improve the quality and competency inadequacies of its teachers, Jalal et al, 2009). of teachers (Jalal et al, 2009). These policies To address this issue, the government enacted and strategies were established in response to the Teacher and Lecturer Law (The Law No. the situation and dynamics of the education 14 Year 2005, hereafter called Teacher Law) in sector at particular points in time. We know, order to provide a much-needed incentive for there were changes brought by the Teacher Law teachers to improve their qualiûcations and pro14/2005, the teacher certification program is a fessional skills. The rationale of the Teacher Introduction 62 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka culmination of several attempts to improve teacher quality. Learning from past experiences, the government designed the new program to tackle various aspects for improvement, including competency, academic qualiûcation, certiûcation, welfare, and status and reward systems for teachers. Given the complexity of teachers’ problems in Indonesia, the key challenge is how to implement suitable policy and strategy in line with the context of the environment (Jalal et al, 2009). The Teacher Law 14/2005 has been the most comprehensive strategy yet adopted for overall teacher quality improvement. Its design has directed a signiûcant number of interrelated strategies and activities towards teacher quality improvement. Its chance of success is therefore greater than in the past. Still on the Teacher Law, it mandates a package of reforms to improve teacher quality and applies these equitably to the whole teaching service. This is the ûrst time such a comprehensive and uniûed strategy has been adopted. Essentially, the teacher certiûcation program attempts to improve on the previous teaching license program. According to the Teacher Law, teachers are required to meet two conditions. First, all teachers are required to have a minimum academic qualiûcation of at least four years of post-secondary education (S1 or D4). Second, having achieved this academic qualiûcation, in-service teachers have to pass a portfolio test. Pre-service teachers have to undertake one or two semesters of professional training in order to obtain training credits and pass a certiûcation examination before they can enter the teaching profession. To provide suûcient incentive for teachers to conform with the Teacher Law, certiûed teachers will receive the professional allowance, which will essentially double their base salary as a civil servant. In addition to that, certiûed teachers, who are assigned to remote or disadvantaged areas, will receive a special allowance which is also equal to their base sal- ary. Therefore, certiûed teachers who are deployed in a remote and disadvantage areas, can earn up to three times the salary of their noncertiûed counterparts. It is important, however, to ensure that the monetary incentive really improves teacher classroom performance. It is also important to complement this monetary incentive with other incentives in order to ensure that there will be sustained professional development among teachers. Certified teachers are admitted as professional teachers who have mastered four teachers’ competencies as stated in Teacher Law, namely pedagogical, professional, personal and social. One of important professional development for teacher is writing scientific paper which is triggered on enhancing instructional quality through classroom action research, (Hendaryana, 2010, Kemendikbud, 2012). Based on the Ministry of PAN and RB regulation No. 16 year 2009 about teacher’s functional post ant its credit points indicated the types of activity for teacher’s continuous professional development (CPD) includes personal development (training and education), scientific publication (research result or innovative ideas on field of formal education, and instructional textbooks, reinforcement textbooks and teacher’s book guide), innovative work (finding effective technology, finding or create art work, create and modify instructional media), and take part on composing test standard, (Kemendikbud, 2012). Indeed, theactivities ofteacher certificationin the formPLPG(Education and Training Professional Teacher) listedone of thetraining materialsis about classroom action researchandwriting scientific paper. Number oftraining hoursfor this subject matter listed 10hours, divided into twoforms ofactivities, 4hours for classroom lecturing and discussingand the rest6hoursused topracticewriting proposalsin dividually. Within 6hoursisused by participantstothe consultationandassistance toitsCAR (Classroom Action Research)proposalfor betProsiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 63 ter result. At theend of the programparticipantsare required tosubmit aresearch proposal ofclassroomaction research. The participants of this training were EFL teachers who had nominated and registered PLPG participants at LPMP (Educational Quality Assurance Institution)in Papua. They were 33 EFL teachers, 25 of them were Secondary High School teachers and the rest, 8 of them were Senior High School teachers. All of them were graduations of S-1. Beforetraining onwriting scientific papersandCARunderway, the instructorconductedFGD(Focus Group Discussion) to find outhow manyof theparticipantswho have experiencein writingscientific papers. FGD results, noneof the33English teacherswhoparticipatedin PLPG(Education and Training Teacher ’s Profession) has experienceon writingscientific papers. When the instructor askedabout thescientific activitiesthat have been attended by the participants, such asseminars of researchresults, theyalsoclaimed that theynever participated. If thelatestpromotionrule isapplied, it will be manyteachersface difficultyfor the higher promotionbecause they do nothave scientific articles. Therefore, it seemsthat necessary to conduct anactivitythat can improvethe understandingandskills of teachersin the field ofprofessional development work, especiall ywritingscientificarticlesand research results. This will be donethroughPLPG activity. Problems Considering the teachers’ understanding and skill that are lacking on writing scientific paper, therefore the teachers consider it necessary to hold this activity immediately. Identification and formulation problems based on the teachers’ information in FGD, then some of the problems were identified as follows: (1) the teachers do not have any experience, knowledge and skill about writing scientific papers, (2) the performance of teachers in conducting scientific activities are still lacking. 64 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Objectives The aims of this paper are: (1) to enhance EFL Teachers’ competence and skill in writing scientific paper of investigation result. (2) produce scientific articles of EFL teachers’ investigation (minimally produce an action research proposal). Significance The significance of this activity is to (1) deliver the template of writing scientific article, and (2) contribute direct experiences to EFL teachers about the procedure of writing scientific article, therefore the EFL teachers are able to produce scientific article which is possibly ready to be published on accredited journal. Methods Training activity was conducted by using various methods including FGD (Focus Group Discussion) which asked participants’ experiences in writing scientific papers or attending scientific forums and found out the reasons in accordance with the experience of writing scientific papers/ research or attending other scientific forums (seminar, symposium, conference). Furthermore, ice breaking as the beginning of this activity was to encourage the participants began to focus on training activity of writing scientific articles and CAR (Classroom Action Research) only. In addition, the method used is a tutorial or lecture, dialogue, and practice. In the tutorial session, participants was presented how the systematic of scientific writing and CAR was, as well as how to transform research results into reports of scientific articles for publication in the journal. At the end of the activity, participants were given the opportunity individually to practice their writing scientific papers in the form of classroom action research proposal. Trainees are given the freedom to determine the topics and titles of scientific papers each, but must be related to the theme of EFL instruction. CAR proposal made by the participants corrected and evaluatedby the instructor. Then, each proposal returned back to the owner/writer with some corrections as feedback, finally the writers can revise their own proposal and they are able to conduct CAR at their own school. As long as theyconduct classroom action research, they aregiven the opportunity toconsulttheirresearch reportsviamentor’s/instructor’s email address. Results and Discussions Evaluation ofthe resultsas describedin themethodology above, training ofscientific thesiswas divided intotwo stages, namely thelearning phase or lecturing in the classroom todiscuss thetheoryandsystematic of writingscientific papersand the second stagewasthe practice ofwritingscientific papers. At this stage ofthe practice ofwritingscientific workwas focusedonhowto writea research proposalin a classroom action researchin accordance with thesystematicsdescribed inthe lecturephase. SystematicsCARproposalbeginsby revealing theidealconditionsthatmust be achieved inthe learning process. Then it was continued with the identificat ion ofproblemsthat come fromstudents, teachers, facilities and infrastructure andthe environment. After that, presentedsolutions offeredinclude sexcessandrationaleapproach, method, techniqueormedia offered. Training analysis in the form of quality was aimed at threethings, namely thelecturing, practicewritingscientific papers, and paperproductsin the form ofCARproposal. It could be concludedthat this activitywas going well. It was basedon the observationsduringthe training process. Whatwas observedwasthat participantstook partina seriousbut relaxedandenergetic. During thetraining processtook place, boththe first sessionandthe second session, the participants wereaskeda lot to dowith the writing processand theelements thatshould be writtenin theCARproposal. Allparticipants continued tofollowthe entire processuntil theactivityends. Almost nosignifican tobstac leforthe implementation ofthese activities. The participants were veryenthusiasticto ask questionsandwrote downtheir CAR proposals. On the stage ofthe practice ofwriting scientific papers(CAR proposal), theywroteserio uslyandeachparticipantgeneratedaCAR proposal because they rememberedtheenactment oflegislationof the Ministryof Admini stra tiveand Bureaucratic Reform16in year 2009 about the Teacher’s functional position and credit point states that one ofteachers’ professional developmentthroughscientific papershad to becarried outby teacherssince takingrankIII/ b. Problems in the field showe dthatteache rsinthese groupsexperience barriersin the preparation ofscientific workasone of there quirements inthe promotion/ position on higherlevel. These obstaclesare possible becauseof teacher competencein writing scientific papersare still notin accordancewith the requirements. Interview andfocus group discussions withparticipantsindicatedthatall thepar ticipan tsclaimed that they did not experiences of writing scientific papers. Althoughthey weregra duations of S-1buttheywere notwriting a thesisorpaper. Thenthe results ofthe evaluation ofproduct in form CAR proposalt hatall participantssubmitted them.After evaluatingthe content ofthe participants’ CAR proposals, It was foundthat15 (45.45%) of participants composed CARproposalwassuitablewith the systematic ofrealCARproposal, whiletherest 18 (54.54%) of participantscomposeduntidy. On thebackground ofthe problem,15(45.45%) participants could describe completely, while 54.54% participants incomplete. All participants had misconception of deciding research design, whereas the characteristic of CAR is cyclic step (Norton, 2009, Mertler, 2009). It was found that there 15 (45,45%) EFL teachers were able to identify the research problems, themes, topics well. 10 (30,30%) of them described the frame of reProsiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 65 search theory, quoted and paraphrased expert’s ideas or sentences well, while the rest 23 (69,70%) were not clear. In the usage of reference, only 7 (21,21%) participants utilized references 20 or more than 20 titles, 5 (15,15%) used 10 titles of books, while the rest 21 (36,37%) used references less than 10 titles of books. Conclusions It can be concludedthat this activitywas going well. It was basedon the observations duringthe trainingprocess. The participantstook partintraining activity seriouslybut relaxe dandenergetic. During thetraining processtook place, boththe first sessionandthe second session, the participants wereaskeda lot to dowith the writing processand theelements thatshould be writtenin theCARproposal. Allparticipants continued tofollowthe entire processuntil theactivityends. Almost nosignifican tobsta cleforthe implementation ofthese activities. The participants were veryenthusiasticto ask question sandwrote downtheir CAR proposals.On the stage ofthe practice ofwritingscientific papers (CAR proposal), theyw rote seriouslyan deachparticipantgeneratedaCAR proposal. Recommendations The activity of scientific writing possibly programed well by the stakeholders to give much opportunity for teachers to hone their writing skills and also the product of their writing or other form of scientific activities will be useful for teachers’ future position. 66 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka References Hendaryana . 2010. Penguatan Kemitraan Kelembagaan antara Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dengan PemerintahProvinsiJawa Barat. UPI Jalal, F., Samani,M., Chang, M.C., Stevenson, R., Ragatz, A.B., Negara, S.D., 2009. Teacher Certiûcation in Indonesia: A Strategy for Teacher Quality Improvement. Jakarta: Ministry of National Education, Directorate General of Higher Education. Kemendikbud. 2012. Kebijakan Pengembanagan Profesi Guru: Materi Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mertler, C.A., 2009. Action Research: Teachers as Researchers in the Classroom. (2Ed.) Singapore: Sage. Norton, L.S., 2009. Action Research: in Teaching and Learning. New York: Routledge UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Yuniawatika ([email protected]) Harti Kartini([email protected]) Jurusan KSDP Prodi PGSD Universitas Negeri Malang ABSTRAK Permasalahan dalam tulisan ini adalah kemampuan menulis siswa masih rendah. Kemampuan menulis merupakan salah satu aspek dari kemampuan komunikasi matematis yang perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Kemampuan menulis matematis dapat dilakukan melalui representasi matematis, yaitu (a) aspek drawing, yakni memunculkan model konsep, seperti gambar, diagram, tabel, dan grafik; (b) aspek mathematical expressions, yakni membentuk model matematis; dan (c) aspek written text, yakni argumentasi verbal yang didasarkan pada gambar dan konsep-konsep formal.Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai alternatif strategi pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan menulis matematis pada pembelajaran matematika yaitu strategi Writing from a Prompt dan Writing in Performace Tasks (WPWT) dan Think Talk Write (TTW). Kata Kunci: kemampuan menulis matematis, Writing from a Prompt dan Writing in Performace Tasks(WPWT), Think Talk Write (TTW). A. Pendahuluan National Council of Teacher Mathematics (2000)menetapkan bahwa terdapat 5 keterampilan proses yang perlu dimiliki siswa melalui pembelajaran matematika yang tercakup dalam standar proses, yaitu: (1) pemecahan masalah (problem solving); (2) Penalaran dan pembuktian (reasoning and proof); (3) Komunikasi (communication); (4) Koneksi (connection); dan (5) Representasi (representation). Keterampilan-keterampilan tersebut termasuk pada berpikir matematika tingkat tinggi (high order mathematical thinking) yang harus dikembangkan dalam proses pembelajaran matematika. Kemampuan-kemampuan matematis di atas khususnya kemampuan siswa dalam komunikasi matematik sangat diperlukan. Kemampuan komunikasi matematik merupakan salah satu kompetensi dasar yang harus dimiliki siswa dalam pembelajaran matematika yang mencakup kegiatan siswa dalam menyampaikan laporan, gagasan dan ide, baik secara lisan maupun tulisan(yuniawatika, 2011:4). Baroody (Ansari, 2003) menyebutkan sedikitnya ada dua alasan pent ing mengapa komunikasi dalam pembelajaran matematika perlu ditumbuhkembangkan. Pertama, mathematics as language, artinya matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir, alat untuk menemukan pola, menyelesaikan masalah atau mengambil kesimpulan, tetapi matematika juga digunakan sebagai alat untuk menyampaikan ide atau gagasan secara jelas, ringkas, dan tepat. Kedua, mathematics learning as social activity, artinya sebagai aktivitas sosial dalam pembelajaran matematika, matematika juga sebagai wahana interaksi antar siswa, dan juga komunikasi antara guru dan siswa. Hal ini Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 67 merupakan bagian penting untuk memelihara potensi matematis siswa. Pentingnya kemampuan komunikasi matematis diungkapkan oleh NCTM (2000) yang menyatakan bahwa komunikasi adalah proses penting dalam belajar matematika, melalui komunikasi siswa dapat merenungkan dan memperjelas ide-ide matematika dan menghubungkan antar konsep matematika sehingga siswa menjadi jelas, meyakinkan dan tepat dalam menggunakan bahasa matematika. Baroody (Ansari, 2003:21) menyatakan bahwa ada lima aspek dalam kegiatan komunikasi matematis, yaitu (a) representing, (b) listening, (c) reading, (d) discussing dan (e) writing. Mengacu pada pandangan di atas, dapat dikatakan bahwa menulis merupakan salah satu dari aspek komunikasi matematis yang perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Kemampuan menulis tidak saja diperlukan untuk bahasa Indonesia, matematikapun memerlukan kemampuan menulis matematis. Dengan menulis siswa dapat mengungkapkan atau merefleksikan gagasan dan ide-idenya lewat tulisan dan dari tulisan matematis dapat diketahui sejauhmana siswa dapat mengungkapkan pemahaman matematisnya dan kemampuan menuliskan apa yang dipahaminya tersebut secara tertulis. Banyak orang mampu mengungkapkan ide atau gagasan dalam bentuk komunikasi lisan namun ketika diungkapkan dalam bentuk tulisan tidak semua orang mampu melakukannya. Pada tulisan ini akan dibahas mengenai alternatif strategi pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan menulis matematis pada pembelajaran matematika. B. Kemampuan Menulis Matematis Menurut KBBI, pengertian menulis adalah melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang, membuat surat) dengan tulisan.Menulis berarti menuangkan isi hati dan pikiran penulis ke dalam bentuk tulisan, sehingga maksud dari penulis bisa diketahui 68 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka banyak orang melalui tulisan yang dituliskan. Aktivitas menuangkan ide-ide atau gagasan secara tertulis yang berkaitan dengan matematika merupakan bagian dari menulis mat emat is.Aktivitas menulis mat emat is merupakan representasi dari ide/gagasan matematis seseorang yang divisualisasikan dalam bentuk simbol-simbol grafis maupun simbol-simbol matematis. Wujud representasi yang sering digunakan dalam mengomunikasikan matematika dalam bentuk tulisan antara lain tabel (tables), gambar (drawing), grafik (graph), ekspresi atau notasi matematis (mathematical expressions), serta menulis dengan bahasa sendiri baik formal maupun informal (written text). Beberapa hal berikut ini perlu diperhatikan dalam menulis matematis. Knuth (Junaedi, 2007:28) menyatakan bahwa dalam menulis matematis seharusnya mengikuti cara berikut ini. 1. Memisahkan simbol-simbol yang berbeda dari kata Kurang Baik : Perhatikan Sq, q < p Baik : Perhatikan Sq, dengan q < p 2. Tidak memulai kalimat dengan simbol Kurang Baik : xn – a, dengan n ‘“ 0 Baik : suku banyak xn – a, dengan n ‘“ 0 3. Tidak menggunakan simbol-simbol Û, Þ, $, \, ‘, “, dan lain-lain di awal teks kalimat, kecuali digunakan pada logika 4. Menulis kalimat atau teorema secara lengkap Kurang Baik : h kontinu Baik : fungsi h merupakan fungsi yang kontinu terhadap x Tokoh yang lain mencoba mengklasifikasi konsep menulis. Menurut Sipka (Junaedi, 2007:29) menulis matematis dibagi dalam dua kategori yaitu kategori informal dan formal. Menulis matematis yang termasuk dalam kategori informal meliputi: (a) in-class writing; (b) math autobiographies; (c) reading logs; (d) journals; dan (e) letters. Yang termasuk dalam kategori menulis matematis formal meliputi (a) proof; (b) process papers; (c) summaries of journal articles; (d) solution of journal problems; (e) research papers; dan (f) lecture/learning notes. Tipe menulis in-class writing dibagi menjadi dua yakni focused writing dan free writing. Pembelajaran menulis melalui focused writing dit andai dengan terlebih dahulu menentukan topik-topik atau tugas-tugas matematis. Penentuan pemilihan topik atau tugas dapat dilakukan oleh guru maupun oleh siswa. Kemampuan menulis matematis dapat dikembangkan dengan cara pemberian tugas seperti: menyelesaikan soal uraian, membuat rangkuman (summary), menuliskan hasil diskusi mengidentifikasi atau menentukan langkah-langkah menyelesaikan suatu soal, tugas-tugas matematis, atau mendiskusikan topik-topik tertentu. Untuk mengungkap kemampuan menulis matematis dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan memberikan tugastugas matematis. Tugas-tugas tersebut tentunya harus disesuikan dengan tingkat perkembangan mental siswa. Misalnya dalam memberikan tugas menulis pada siswa yang berada pada tahap operasi konkrit, siswa dapat dibantu dengan gambar atau alat peraga yang memudahkan siswa dalam menuangkan gagasan atau ide-idenya. Tugas-tugas menulis matematis dapat membantu guru dalam memantau kinerja dan pemahaman siswa. Dengan menulis guru dapat melihat proses maupun hasil dari apa yang siswa pikirkan dan pahami yang kemudian dituangkan melalui tulisan. Aktivitas menulis matematis tersebut dapat dilakukan melalui representasi matematis (Ansari, 2004). Ada tiga kategori dalam representasi matematis, yaitu (a) aspek drawing, yakni memunculkan model konsep, seperti gambar, diagram, tabel, dan grafik; (b) aspek mathematical expressions, yakni membentuk model matematis; dan (c) aspek written text, yakni argumentasi verbal yang didasarkan pada gambar dan konsep-konsep formal.Secara lengkap bentuk-bent uk operasional dari representasi matematik dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 1. Bentuk-bentuk Operasional Representasi Matematik No Representasi 1 Representasi Visual: a. Diagram, grafik atau tabel 2 3 ï‚· b. Gambar ï‚· ï‚· ï‚· Persamaan atau ekspresi matematik ï‚· Kata-kata atau teks tertulis ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· Bentuk-bentuk Operasional (Indikator) Menyajikan kembali data atau informasi dari suatu representasi ke representasi diagram, grafik, atau tabel Menggunakan representasi visual untuk menyelesaikan masalah Membuat gambar pola-pola geometri Membuat gambar bangun geo metri untuk memperjelas masalah dan memfasilitasi penyelesaiannya Membuat persamaan atau model matematika dari representasi lain yang diberikan Membuat konjektur dari suatu pola bilangan Penyelesaian masalah dengan melibatkan ekspresi matematika Membuat situasi masalah berdasarkan data atau representasi yang diberikan Menuliskan interpretasi dari suatu representasi Menuliskan langkah-langkah penyelesaian masalah matematika dengan kata-kata Menyusun cerita yang sesuai dengan sesuatu representasi yang disajikan Menjawab soal dengan menggunakan kata-kata atau teks tertulis Sumber: Yuniawatika, 2011:26 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 69 C. Pembahasan Keterampilan menulis (kemahiran menulis) tidak datang dengan sendirinya. Trianto (Junaedi, 2007:22) menyatakan bahwa kemahiran menggunakan bahasa tulis adalah kemahiran yang diperoleh melalui pengajaran, pembelajaran, dan pelatihan, yang dilakukan secara bertahap. Salah satu Pembelajaran matematika yang dapat meningkatkan kemampuan menulis matematis adalah pembelajaran dengan strategi Writing from a Prompt dan Writing in Performace Tasks(WPWT) dan Think Talk Write (TTW). 1. Strategi Writing from a Prompt dan Writing in Performace Tasks (WPWT) Strategi pembelajaran Writing from a Prompt dan Writing in Performace Tasks (WPWT)ini dirancang untuk membantu siswa menjelaskan pemahaman-pemahaman matematis siswa yang telah dipelajari melalui tugas. Tugas-tugas menulis matematis diupayakan memuat urutan-urutan atau prosedur kerja sehingga tujuan yang hendak dicapai menjadi jelas. Berikut salah satu cara untuk meningkatkan kualitas menulis matematis: (a) tulis solusi dari suatu masalah sehingga pembaca mengetahui permasalahannya; (b) tunjukkan semua pekerjaan atau proses solusinya, termasuk perhitungan; (c) tulisan diorganisir ke dalam tahap demi tahap, buatlah diagram atau tabel sehingga mudah dibaca; (d) baca kembali apa-apa yang telah dikerjakan termasuk katakata dan perhitungannya; dan (e) tampilkan pekerjaan yang terbaik, rapi, dan mudah untuk dibaca (NCTM, 2000). Penerapan strategi Writing from a Prompt dan Writing in Performace Tasks (WPWT) dilakukan denganlangkah-langkah pembelajaran sebagai berikut ini (Aryani, 2010:38). a. Guru sebelum pembelajaran dimulai terlebih dahulu menentukan tujuan pembelajaran dan menyampaikan hasil yang diharapkan set elah pembelajaran ini dilakukan. Misalnya diakhir pembelajaran 70 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka b. c. d. e. f. g. siswa harus dapat membuat kesimpulan atau rangkuman materi pembelajaran secara tertulis. Sebelum pembelajaran dimulai terlebih dahulu ditentukan apakah pembelajaran akan dilakukan secara klasikal at au kelompok kecil (4-5 orang). Guru menyediakan dan memberikan tugastugas matematis kepada siswa. Tugas-tugas ini dirancang dengan disertai beberapa alternatif prompt. Siswa diminta menyelesaikan tugas dengan terlebih dahulu diberi kesempatan mengerjakan tugas tanpa memperoleh bantuan prompt, baik pembelajaran secara klasikal maupun secara kelompok kecil. Respon siswa terhadap suatu tugas dilakukan secara tertulis Bila siswa gagal menyelesaikan tugas, maka guru memberikan bantuan berupa prompt. Untuk pembelajaran dengan kelompok kecil prompt diberikan secara kelompok, demikian juga untuk pembelajaran secara klasikal prompt diberikan secara klasikal atau individual Setelah siswa memperoleh prompt, siswa diminta untuk menyelesaikan tugas kembali Hasil kerja siswa disajikan secara tertulis. Untuk siswa yang bekerja secara berkelompok maupun klasikal tetap diminta untuk menuliskan hasil secara individual. Semua hasil karya siswa didokumentasikan sebagai bagian tugas-tugas menulis matematis dan dinilai perkembangannya oleh guru Melalui strategi ini, secara bertahap siswa akan terbiasa menuliskan konsep matematis dengan bahsa sendiri. Dengan demikian, strategi ini dirasa tepat dan sangat mendukung dalam upaya peningkatan kemampuan menulis matematis. 2. Strategi Think Talk Write (TTW) Strategi pembelajaran TTW ini pada intinya yaitu proses pembelajaran matematika yang dimulai dengan berpikir, berbicara, dan diakhiri dengan menulis. Secara umum, proses pembelajaran TTW ini dimulai dengan aktivitas siswa untuk berpikir (think) setelah diberikan permasalahan matematika yang dapat diberikan dalam bentuk LAS (lembar aktivitas siswa). Pada tahapan ini, siswa memikirkan kemungkinan solusi dari permasalahan matematika yang diberikan. Tahap kedua yaitu berbicara (talk) atau mendiskusikan bersama kelompoknya yang heterogen mengenai permasalahan matematika yang sudah dipikirkan sebelumnya oleh tiaptiap individu. Pada tahapan ini siswa menggunakan bahasa untuk menyajikan ide kepada temannya, membangun teori bersama, berbagi strategi solusi, dan membuat definisi, proses tersebut dapat melatih kemampuan komunikasi lisan siswa. Selanjutnya, siswa diminta menjelaskan ide-ide yang diperolehnya dari tahap pertama dan kedua dalam bentuk tulisan (write). Aktivitas siswa pada tahap write ini menurut Ansari (2003), adalah: a. menulis solusi terhadap masalah/pertanyaan yang diberikan termasuk perhitungan, b. mengorganisasikan semua pekerjaan langkah-demi-langkah. Baik penyelesaiannya ada yang menggunakan diagram, grafik, ataupun tabel agar mudah dibaca dan ditindaklanjuti, c. Mengoreksi semua pekerjaan sehingga yakin t idak ada pekerjaan ataupun perhitungan yang ketinggalan, dan d. meyakini bahwa pekerjaannya yang terbaik yaitu lengkap, mudah dibaca dan terjamin keasliannya. Strategi dirasa tepat dan sangat mendukung dalam upaya peningkatan kemampuan menulis matematis. Dalam TTW, terdapat tiga strategi yang harus diterapkan dalam pem- belajaran, yaitu: Think(berpikir), Talk (berbicara), dan Write (menulis). Dalam tiga strategi tersebut terlihat bahwa strategi ini dapat membantu merangsang untuk meningkatkan kemampuan menulis matematis siswa. Pada tahap pertama yaitu think, siswa diminta untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan solusi dari permasalahan yang diberikan oleh guru. Pada strategi ini menuntut guru untuk dapat memberikan permasalahan-permasalahan yang memungkinkan siswa terlibat secara aktif berpikir seperti soal-soal yang mempunyai jawaban divergen atau open ended task serta permasalahan-permasalahan yang kemungkinan solusinya dapat dituliskan dalam berbagai bentuk, misalnya tabel, gambar, notasi-notasi matematis maupun dalam bentuk kata-kata. Dari penjelasan diatas terlihat bahwa strategi think dapat memfasilitasi kegiatan siswa dalam proses menulis matematis. Strategi yang kedua yaitu Talk, siswa dapat saling berbagi pendapat dan membandingkan pendapat yang ia punya dan dapatkan dari tahap pertama dengan temanteman kelasnya di kelompok kecil yang heterogen. Pada tahap ini, membuat siswa menyatukan berbagai pendapat menjadi satu kesimpulan logis terhadap konsep yang sedang dipelajari.Pemberian kesempatan untuk berdiskusi dengan teman sebayanya ini membuat proses belajar mengajar menjadi lebih mudah dan menyenangkan, karena pemahaman masalah dan penjelasan solusi dari masalah dengan menggunakan bahasa mereka sendiri. Proses diskusi yang terjadi akan membantu siswa untuk mengevaluasi kebenaran jawaban yang telah diperoleh untuk kemudian dapat dijelaskan didepan teman-teman kelasnya. Hal ini mengasah keberanian dan kepercayadirian siswa untuk mengungkapkan apa yang mereka pahami serta meningkatkan kemampuan komunikasi lisan siswa. Guru memonitor, menilai, dan mendorong siswa untuk berpartisipasi secara aktif. Kemampuan menulis matematis siswa diasah dalam strategi write ini, dimana kemungkinan solusi yang didapatkan dari think Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 71 dan talkdirepresentasikan dalam bentuk tulisan. Melalui penjabaran di atas dapat terlihat bahwa st rategi TTW dapat mempengaruhi dan mengasah kemampuan menulis matematis siswa. Diharapkan dari strategi ini dapat meningkatkan kemampuan menulis matematis siswa. Aryani, K. (2010). Peningkatan Kemampuan Menulis dan Pemahaman Konsep Matematika Melalui Pembelajaran dengan Strategi Writing From A Prompt dan Writing In Performance Tasks Pada Siswa SMP. Tesis PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan. Hudiono, B. (2005). Peran Pembelajaran Diskursus Multi Representasi terhadap D. Penutup Pengembangan Kemampuan Matematik Kemampuan menulis matematis dapat Siswa SLTP. Disertasi Pada Program dilakukan melalui representasi matematis, yaitu Pasca Sarjana UPI Bandung: tidak (a) aspek drawing, yakni memunculkan model diterbitkan. konsep, seperti gambar, diagram, tabel, dan Junaedi, I. (2007). Pembelajaran Matematika grafik; (b) aspek mathematical expressions, dengan Strategi Writing In Performance yakni membentuk model matematis; dan (c) Tasks (Wipt) Untuk Meningkatkan aspek written text, yakni argumentasi verbal Kemampuan Menulis Matematis. http:// yang didasarkan pada gambar dan konsepdownload.portalgaruda.org/art icle. konsep formal. php?article=136803&val=5678. [online] Alternatif pembelajaran matematika yang [23 Mei 2015]. dapat meningkatkan kemampuan menulis Junaedi, I. (2007). Meningkatkan Kemampuan matematis yaitu pembelajaran dengan strategi Menulis dan Pemahaman Matematis Writing from a Prompt and Writing in Melalui Pembelajaran dengan Strategi Performace Tasks (WPWT) dan Think Talk Writing From a Prompt and Writing In Write (TTW). Adapun rekomendasi yang dapat Performance Tasks pada Siswa diajukan dalam artikel ini yaitu diperlukan Madrasah Ibtidaiyah. Disertasi Pada Prokajian yang mendalam (penelitian) yang gram Pasca Sarjana UPI Bandung: tidak berkaitan dengan impelementasi strategi Writditerbitkan ing from a Prompt and Writing in Performace National Council of Teacher of Mathematics. Tasks (WPWT) dan Think Talk Write (TTW). (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston: NCTM. Yuniawatika. (2008). Penerapan Metode ThinkBIBLIOGRAFI ing Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) untuk Meningkatkan Kemampuan Ansari, B.I. (2003). Menumbuhkan KemamKomunikasi Matematik Siswa SMP. puan Pemahaman dan Komunikasi Siswa SKripsi Sarjana UPI Bandung: tidak SMU Melalui Strategi Think-Talk-Write. diterbitkan. Disertasi PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan. 72 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka PENGGUNAAN MIND MAPPING UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS LAPORAN PENGAMATAN SISWA KELAS V SD INPRES PERUMNAS I JAYAPURA Oleh: Ribut Kusmiwati ABSTRAK Kusmiwati, Ribut (2011) Penggunaan Model Mind Mapping untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Laporan Pengamatan Siswa Kelas V SD Inpres Perumnas I – Jayapura. Kata Kunci: Mind Mapping, Menulis Laporan Pengamatan. Rendahnya kemampuan siswa dalam menulis atau mengarang diindikasi adanya perlakuan yang kurang tepat pada proses pembelajaran. Guru masih melakukan pembelajaran tradisional dan mendominasi pembicaraan. Sedangkan siswa menjadi pendengar dan penerima materi pembelajaran. Penelitian ini dilakukan untuk melihat tingkat keberhasilan pembelajaran dan pengaruhnya terhadap kemampuan siswa dalam menulis laporan pengamatan dengan menggunakan metode mind mapping. Mind mapping dicetuskan oleh Tony Buzan, merupakan peta pikiran yang membantu mempermudah mengingat informasi. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan peningkatan keterampilan menulis laporan pengamatan siswa kelas V SDN Inpres Perumnas I-Jayapura, dengan menggunakan metode mind mapping;(2) mengembangkan kemampuan berpikir siswa guna melaporkan pengamatan siswa kelas V SDN Inpres Perumnas IJayapura, secara sinergis sesuai model mind mapping, dan (3) mengetahui apakah penggunaan metode mind mapping dapat meningkatkan keterampilan menulis siswa kelas V SDN Inpres Perumnas I-Jayapura. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas yang dilaksanakan dalam tiga siklus, berdasarkan skematik penelitian Suyadi dengan adaptasi model Arikunto yang mengikuti empat langkah, yaitu (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi. Penelitian ini melibatkan peneliti, teman sejawat, kepala sekolah, pengawas sekolah, dan dosen pembimbing untuk menentukan perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi pada setiap siklusnya. Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap tahun pembelajaran 2011-2012. Subjek penelitian adalah siswa kelas V SD Inpres Perumnas I sebanyak 31 siswa. Keberhasilan dan kekurangberhasilan tindakan berdasarkan hasil tulisan siswa yang berupa laporan pengamatan yang dilakukan pada setiap siklusnya. Peningkatan kemampuan Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 73 siswa dapat dilihat dari nilai rata-rata yang dihasilkan siswa sejak prasiklus sebesar 56,74 dengan kriteria kurang berhasil, pada siklus I sebesar 62,03 masih dalam kriteria kurang berhasil, siklus II sebesar 71,35 dengan kriteria cukup berhasil, dan siklus III sebesar 77,65 dengan kriteria berhasil. Berdasarkan hasil penelitian, disarankan kepada para guru untuk menggunakan metode mind mapping dalam pembelajaran. A. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap manusia dibekali dengan kemampuan dasar. Kemampuan dasar ini tumbuh dan berkembang apabila dibina dan dilatih. Dalam proses pembelajaran di sekolah, siswa dibina dan dilatih oleh guru untuk mengembangkan kemampuan dasar tersebut, agar menjadi keterampilan secara intelektual, sosial, maupun fisik. Siswa tidak hanya tahu ‘apa yang harus dipelajari’ tetapi lebih penting siswa harus menyadari ‘bagaimana cara mempelajarinya’. Menurut Abdillah (2002) dalam Aunurrahman (2009:35) belajar merupakan “Suatu usaha sadar yang dilakukan oleh individu dalam perubahan tingkah laku baik melalui pelatihan dan pengalaman yang menyangkut aspek-aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik untuk memperoleh tujuan tertentu.” Kecerdasan merupakan alat untuk belajar, menyelesaikan masalah, dan menciptakan semua hal yang bisa digunakan oleh manusia. Gardner dalam As’adi Muhammad (2010:78) mengatakan: “Kecerdasan linguistik adalah kemampuan untuk menyusun pikiran dengan jelas dan mampu menggunakan bahasa secara kompeten melalui kata-kata, seperti bicara, membaca, dan menulis.” Semua bidang kajian ilmu senantiasa berawal dari bahasa. Oleh karena itu, pengetahuan tent ang bahasa merupakan bekal yang sangat penting bagi siswa dalam meningkatkan kemampuan dasarnya. Pembelajaran bahasa Indonesia di 74 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka sekolah meliputi empat keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh siswa, yaitu keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Keempat keterampilan berbahasa tersebut saling berkaitan dan melalui urutan yang teratur. Umumnya keterampilan menyimak mendahului oleh keterampilan berbicara, kemudian keterampilan membaca, dan terakhir keterampilan menulis. Keterampilan menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang memegang peranan penting dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang harus dikuasai oleh setiap siswa di sekolah. Seperti yang dikemukakan oleh Suparno & Mohamad Yunus (2007: 1.7) bahwa: “Menulis dan membaca adalah kegiatan berbahasa tulis. Pesan yang disampaikan penulis dan diterima oleh pembaca dijembatani melalui lambang bahasa yang dituliskan.” Menulis merupakan kegiatan yang dilakukan seseorang untuk menghasilkan sebuah tulisan. Kemampuan menulis merupakan kemampuan yang sangat kompleks, karena dalam menulis atau mengarang dituntut untuk mampu menggunakan ejaan yang benar, kosa kata yang tepat, kalimat yang efektif, serta penggunaan kerangka karangan yang baik. Siswa dapat mengembangkan daya nalar dan menyusun kerangka karangan dengan mudah apabila kemampuan berpikirnya dikembangkan seluas-luasnya. Untuk itu mind mapping diperlukan karena dapat membantu otak untuk belajar dan berpikir secara kreatif. Dengan memahami cara kerja otak, maka kita akan semakin mudah melakukan kinerja yang sangat baik. mind mapping merupakan suatu sistem pembelajaran yang dapat membantu menggunakan kemampuan berpikir dan belajar dengan mengoptimalkan daya pikir otak, sehingga siswa akan dapat menuangkannya dalam bentuk tulisan. Telah banyak penelitian tentang menulis dengan memaksimalkan kinerja otak yang dilakukan oleh peneliti terdahulu. Hasilnya antara lain: Menurut Erna Febru (2008:3), bahwa proses dan hasil peningkatan keterampilan menulis deskripsi siswa kelas IV SD Islam Sabilillah Malang melalui strategi roulette writing mengalami peningkatan pada aspek-aspek: (1) penuangan ide, (2) pengorganisasian ide, (3) pemilihan dan penggunaan kosakata, serta (4) penerapan unsur mekanik. Hal ini mendukung pendapat Admin (2010:9) dalam penelitiannya pada siswa SDN Tanjakan kelas VA Cicadas-Bandung dalam menulis karangan prosa dengan menggunakan media gambar. Penggunaan media gambar dapat meningkatkan pengembangan model pembelajaran secara nyata. Hal ini dapat dilihat dari pola interaksi guru dan siswa yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan minat, partisipasi aktif dan kreativitas siswa selama mengikuti pembelajaran. Begitu pula hasil penelitian Rini Mulyani (2008:11) pada siswa kelas V SDN Kencana 3 Kota Bogor, mengatakan bahwa “Metode mind map dapat membantu anak unt uk mempermudah dalam menulis karangan prosa yang dibantu dengan media gambar yang disesuaikan dengan materi pelajaran yang disampaikan.” Sejalan dengan pandangan Rini Mulyani, Kusmellyati (2010) mengatakan bahwa “Penerapan metode mind mapping dapat meningkatkan kemampuan siswa kelas VII A SMP Negeri Ambunten Kabupaten Sumenep dalam menarasikan teks hasil wawancara pada matapelajaran Bahasa Indonesia. Penelitian-penelit ian di atas dapat dijadikan acuan dalam penggunaan metode mind mapping untuk menulis laporan hasil pengamatan. Dengan Penggunaan mind mapping dapat membantu siswa untuk memetakan pikirannya terhadap objek yang diamati agar dapat dideskripsikan dalam sebuah tulisan. 1.2. Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian adalah untuk meningkatkan keterampilan menulis laporan hasil pengamatan melalui pendekatan mind mapping. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mendeskripsikan penggunaan model mind mapping dalam peningkat an ket erampilan menulis laporan hasil pengamatan siswa kelas V SDN Inpres Perumnas I-Jayapura. (2) Unt uk mengembangkan kemampuan berpikir siswa guna melaporkan hasil pengamatan siswa kelas V SDN Inpres Perumnas I-Jayapura, secara sinergis sesuai model mind mapping. (3) Untuk mengetahui apakah penggunaan mind mapping dapat meningkatkan keterampilan menulis siswa kelas V SDN Inpres Perumnas I-Jayapura. 1.3. Manfaat Penelitian Berdasarkan judul penelitian “Peningkatan Keterampilan Menulis Melalui Mind Mapping Siswa Kelas VA SDN Inpres Perumnas I”, sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi siswa, guru, dan sekolah. (1) Bagi siswa, melalui proses pembelajaran dengan menggunakan mind mapping diharapkan dapat mengembangkan daya nalar dan memberikan motivasi untuk lebih mengembangkan keterampilan menulis. Di samping itu, penelitian ini diharapkan dapat menciptakan konsep kerjasama dan menumbuhkan kecintaan siswa untuk belajar. (2) Bagi guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan, meningkatkan strategi pembelajaran, serta mendapatkan data siswa-siswi yang memiliki bakat kecerdasan linguistik, yang selanjutnya akan digunakan untuk membina dan mengarahkan siswa, agar dapat mengembangkan bakat atau kecerdasannya secara maksimal. (3) Bagi sekolah, hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan keterampilan menulis para siswa, sehingga dapat Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 75 meningkatkan mutu lulusan yang akan membawa nama baik sekolah dan akan menjadikan sekolah unggulan di mata masyarakat. diatur agar siswa duduk berhadapan, sehingga memudahkan siswa untuk berdiskusi dan mengerjakan tugas kelompok. Cara pengaturan ruang kelas ini berbeda pada pertemuan kedua. Pada pertemuan kedua pengaturan meja tetap secara berkelompok tetapi dengan bentuk memanjang. Hal ini dimaksudkan agar tidak B. PEMBAHASAN PENELITIAN terjadi diskusi atau saling menyontek pekerjaan 2.1 Paparan Data Penelitian teman dan siswa pun bisa lebih berkonsentrasi Penelitian dengan judul “Penggunaan dalam menulis laporan hasil pengamatannya. Selain mengajar, selama proses pemModel Mind Mapping Untuk Meningkatkan Ket erampilan Menulis Laporan Hasil belajaran guru juga melakukan observasi Pengamatan Siswa Kelas V SDN Inpres terhadap keaktifan siswa dalam mengikuti Perumnas I – Jayapura” ini dilaksanakan dalam pelajaran. Hasil observasi digunakan oleh guru tiga siklus berpangkal pada nilai siswa saat pra untuk memperoleh informasi reaksi siswa siklus. Setiap siklus dilaksanakan sebanyak dua terhadap model pembelajaran, selain itu inforkali pertemuan, pertemuan pertama dilaksana- masi juga diperoleh melalui lembar wawancara kan selama tiga jam pelajaran dan pertemuan yang dilakukan setelah proses pembelajaran di kedua selama dua jam pelajaran. Materi siklus luar jam belajar. Guru menggali informasi melalui peI adalah ’Tempat yang Berhubungan dengan Pengobatan’, siklus II ’Pasar Swalayan’, dan ngamat/observer untuk mengetahui bagaimana siklus III ’Kegiatan yang ada di Lingkungan kesan siswa selama pembelajaran menulis Sekolah’. Data dipaparkan secara sistematis laporan hasil pengamatan dengan mengdari data awal, data siklus I , data siklus II, dan gunakan metode mind mapping. Selain itu data siklus III dengan menggunakan metode untuk mengetahui kekurangan yang telah penelitian deskriptif. Teknik persentase digu- dilakukan selama proses pembelajaran nakan untuk mengukur peningkatan kualitas sehingga dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran menulis laporan hasil penga- refleksi untuk melakukan perbaikan pada siklus berikutnya. matan. Sebelum melaksanakan tindakan pembeSebelum melaksanakan tindakan pembelajaran, guru menyusun RPP pada setiap siklus. lajaran, guru menyusun RPP pada setiap siklus. Kompetensi dasar yang dipilih adalah menulis Kompetensi dasar yang dipilih adalah menulis laporan pengamatan atau kunjungan berdasar- laporan pengamatan atau kunjungan berdasarkan tahapan (catatan, konsep awal. perbaikan, kan tahapan (catatan, konsep awal. perbaikan, dengan memperhatikan penggunaan ejaan. dengan memperhatikan penggunaan ejaan. Selain itu guru mempersiapkan lembar LKS Selain itu guru mempersiapkan lembar LKS dengan mengumpulkan foto-foto yang diambil dengan mengumpulkan foto-foto yang diambil dari tempat-tempat yang berhubungan dengan dari tempat-tempat yang berhubungan dengan pengobatan, misalnya di rumah sakit, Pus- pengobatan, misalnya di rumah sakit, Puskesmas, Apotek, dan klinik terdekat. Foto-foto kesmas, Apotek, dan klinik terdekat. Foto-foto yang sudah diambil selanjutnya disortir sesuai yang sudah diambil selanjutnya disortir sesuai dengan tugas yang diberikan pada tiap dengan tugas yang diberikan pada tiap kelompok. kelompok. Agar proses pembelajaran lebih inovatif, Agar proses pembelajaran lebih inovatif, maka pada pertemuan pertama ruang kelas maka pada pertemuan pertama ruang kelas 76 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka diatur agar siswa duduk berhadapan, sehingga memudahkan siswa untuk berdiskusi dan mengerjakan tugas kelompok. Cara pengaturan ruang kelas ini berbeda pada pertemuan kedua. Pada pertemuan kedua pengaturan meja tetap secara berkelompok tetapi dengan bentuk memanjang. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi diskusi atau saling menyontek pekerjaan teman dan siswa pun bisa lebih berkonsentrasi dalam menulis laporan hasil pengamatannya. Selain mengajar, selama proses pembelajaran guru juga melakukan observasi terhadap keaktifan siswa dalam mengikuti pelajaran. Hasil observasi digunakan oleh guru untuk memperoleh informasi reaksi siswa terhadap model pembelajaran, selain itu informasi juga diperoleh melalui lembar wawancara yang dilakukan setelah proses pembelajaran di luar jam belajar. Guru menggali informasi melalui pengamat/observer untuk mengetahui bagaimana kesan siswa selama pembelajaran menulis laporan hasil pengamatan dengan menggunakan metode mind mapping. Selain itu untuk mengetahui kekurangan yang telah dilakukan selama proses pembelajaran sehingga dapat digunakan sebagai bahan refleksi untuk melakukan perbaikan pada siklus berikutnya. 2.2.1 Pelaksanaan Tindakan Pembelajaran Siklus I Langkah pertama sebelum persiapan pembelajaran adalah membagi siswa menjadi enam kelompok. Pada siklus I ini, t iap kelompok ditugaskan untuk mengamati tempattempat yang berhubungan dengan pengobatan. Tugas ini dilakukan di luar jam pelajaran dan setiap kelompok mendapatkan tugas yang berbeda tempat pengamatannya. Pembentukan kelompok didasarkan gaya belajar siswa. Setiap kelompok diwakili oleh siswa yang bertipe auditorial, visual, dan kinestik. Anggota setiap kelompok terdiri dari laki-laki dan perempuan yang berjumlah 5-6 orang siswa, yang digabung antara siswa yang berkemampuan kurang, sedang, dan pandai. Sebelum dimulai proses pembelajaran, terlebih dulu dipersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran dengan menggunakan model mind mapping. Setelah segala sesuatunya siap, dilakukan apersepsi melalui tanya jawab dengan siswa mengenai hal-hal yang berhubungan dengan materi yang akan dipelajari. Setelah itu barulah disampaikan materi pelajaran, serta tujuan setelah proses pembelajaran selesai. Pada saat proses pembelajaran, siswa ditunt un untuk membuat mind mapping berdasarkan gambar rumah sakit yang ditempel di tengah selembar kertas manila, kemudian dilakukan tanya jawab dengan siswa mengenai gambar tersebut. Jawaban siswa akan ditulis pada cabang-cabang yang memancar dari gambar sentral dengan menggunakan spidol warna-warni sehingga membentuk peta pikiran. Tujuan penggunaan spidol warna-warni agar menarik dan merangsang daya nalar siswa pada saat proses pengamatan terhadap gambar tersebut. Setelah pembuatan mind mapping selesai dilaksanakan, siswa dituntun untuk menyusun kerangka karangan berdasarkan mind mapping tersebut. Setelah diketahui langkah-langkah pembuatan mind mapping, kemudian dibagikan LKS berisi foto yang berbeda kepada setiap kelompok sesuai tugas yang telah diberikan sebelum proses pembelajaran, dan masing-masing kelompok diberi tugas untuk membuat mind mapping melalui foto yang sudah dipasang di lembar LKS. Selanjutnya siswa menyusun kerangka karangan berdasarkan model mind mapping yang telah dibuat dalam kelompok. Pada pertemuan pertama, kegiatan hanya sampai penyusunan kerangka karangan. Pertemuan kedua kegiatan dilanjutkan dengan membuat laporan hasil penelitian secara mandiri dengan menggunakan kerangka karangan yang telah disusun serta tetap memperhatikan model mind mapping yang telah dibuat bersama teman sekelompok. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 77 Setelah selesai menulis, siswa diminta untuk menukarkan hasil laporannya dengan kelompok lain agar mendapatkan koreksi dari teman. Pada saat memeriksa ini siswa berusaha mencari kesalahan tanda-tanda baca, penulisan huruf yang tidak sesuai dengan EYD, atau penggunaan diksi yang kurang tepat. Setelah pekerjaannya selesai diperiksa oleh teman, kemudian siswa memperbaikinya agar hasilnya lebih sempurna. Pembelajaran ditutup dengan melakukan refleksi bersama siswa. Refleksi pembelajaran dilakukan dengan mengulang materi pembelajaran melalui tanya jawab. Pemberian penghargaan dilakukan oleh guru dengan menentukan kelompok terbaik dan mengajak semua siswa bertepuk tangan. Semua siswa diberi semangat untuk selalu belajar dan rajin membaca agar mempunyai perbendaharaan kosa kata yang semakin banyak, sehingga lebih mudah menuangkan pikirannya ke dalam tulisan. 2.2.2 Analisis Keberhasilan Tindakan Pada Siklus I Pada tahap ini keterlibatan siswa sudah mulai tampak, tetapi tidak semuanya. Hal ini disebabkan masih ada siswa yang belum konsentrasi dalam mengerjakan tugas yang diberikan, ada siswa yang masih terlihat canggung untuk mengerjakan tugas yang diberikan, sedangkan siswa yang lain terlihat masih ada yang tidak mau membantu teman dalam kelompok. Suasana kelas yang menarik penuh dengan tantangan dirasakan oleh siswa. Kelas terasa hidup, suasana santai dan penuh kerjasama menambah semangat siswa dalam mengerjakan tugas-tugas. Pembelajaran yang penuh dengan t antangan dan kerjasama kelompok ini berdampak pada peningkatan kemampuan siswa. Keberhasilan dapat dilihat dari perbedaan nilai yang diperoleh siswa sebelum pelaksanaan tindakan dan sesudah proses pembelajaran berlangsung. 78 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Pada siklus I ini kriteria “berhasil” dicapai oleh 3 siswa atau sebesar 9,68%. Perolehan akhir siswa dalam pembelajaran siklus I dapat dilihat pada table berikut. Tabel 1 Nilai Laporan Pengamatan Siklus I Rentang Nilai 92 - 100 Frekuensi 0 Presentase (%) 0 Keterangan Sangat Berhasil 82 - 91,9 0 0 Berhasil Sekali 72 - 81,9 3 9,68 Berhasil 62 - 71,9 10 32,26 Cukup Berhasil 52 – 61,9 17 54,84 Kurang Berhasil 42 – 51,9 1 3,22 Belum Berhasil Tabel di atas menunjukkan perolehan nilai siswa berdasarkan sebaran nilai. Jumlah siswa dalam sebaran nilai 72 – 81,9 sebanyak 3 siswa, 10 siswa dalam sebaran nilai 62 – 71,9, dan 17 siswa dalam sebaran nilai 52 – 61,9, serta sebanyak 1 siswa dalam sebaran nilai 42 – 51,9. 2.3.1 Pelaksanaan Tindakan Pembelajaran Siklus II Tindakan siklus II merupakan perbaikan proses pembelajaran pada siklus I. Tema yang diangkat pada siklus II adalah Pasar swalayan. Berdasarkan rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah disusun, guru menyampaikan pembelajaran dengan menggunakan peralatan LCD untuk menayangkan rekaman video yang telah dipersiapkan. Penggunaan LCD akan menarik perhatian siswa untuk ingin tahu lebih banyak, sehingga siswa lebih antusias dalam mengikuti proses pembelajaran. Sebelum pelaksanaan proses pembelajaran, terlebih dahulu guru memeriksa kesiapan kelas, memeriksa kehadiran siswa, dan menyiapkan media pembelajaran. Setelah itu guru melakukan apersepsi dengan menggiring siswa pada materi pelajaran melalui tanya jawab yang berkaitan dengan tema pelajaran. Setelah itu guru menginformasikan materi pembelajaran dan tujuan pembelajaran kepada siswa. Pembelajaran diawali dengan penayangan rekaman video tentang pasar tradisional. Setelah menonton tayangan film, guru mengajak siswa untuk membuat mind mapping bersama-sama dan menyusunnya sampai menjadi sebuah kerangka karangan. Pada kegiatan ini siswa dilibatkan secara aktif untuk menuangkan peta pikirannya pada cabangcabang mind mapping yang dibuat di papan tulis. Sebagai tayangan untuk tugas yang akan dikerjakan oleh siswa, guru menampilkan rekaman video pasar swalayan. Siswa diminta untuk membuat mind mapping dan menyusun kerangka karangan bersama teman sekelompoknya. Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan pada siklus II pertemuan pertama. Pada pertemuan kedua siswa menulis karangan berdasarkan kerangka karangan yang sudah disusun, kemudian menukarkan hasil pekerjaannya dengan teman lain unt uk dikoreksi, setelah itu memperbaiki tulisannya berdasarkan koreksi dari teman. Pada akhir kegiatan pembelajaran, siswa diajak untuk menyimpulkan kegiatan pembelajaran yang sudah terlaksana pada pertemuan hari itu, selain itu guru bersama-sama dengan siswa merefleksi proses pembelajaran yang sudah berlangsung, dan sebagai penguatan guru memberi tugas kepada siswa untuk banyakbanyak membaca buku apa pun, karena buku adalah sumber pengetahuan, sehingga siswa akan memiliki kosa kata yang semakin banyak. Hasil observasi pembelajaran pada siklus II melalui lembar pengamatan yang dilakukan di sela-sela proses pembelajaran menunjukkan bahwa reaksi belajar siswa semakin menunjukkan adanya peningkatan. Selain dengan lembar pengamatan, guru juga memperoleh informasi melalui lembar wawancara yang dilakukan setelah proses pembelajaran di luar jam belajar. Dari hasil pengamatan para pengamat, guru dapat menggali informasi yang lebih banyak untuk mengetahui bagaimana kesan siswa selama pembelajaran menulis laporan hasil pengamatan dengan menggunakan model mind mapping. Selain itu, guru juga mendapatkan beberapa masukan untuk mengetahui kekurangan yang telah dilakukan selama proses pembelajaran sehingga dapat digunakan sebagai bahan refleksi untuk melakukan perbaikan pada siklus berikutnya. 2.3.2 Analisis Keberhasilan Tindakan Pada saat proses pembelajaran sedang berlangsung, semua siswa tampak sudah terlibat secara aktif. Suasana kelas yang menarik penuh dengan tantangan dirasakan oleh siswa. Kelas terasa hidup, suasana santai dan penuh kerjasama menambah semangat siswa dalam mengerjakan tugas-tugas. Pembelajaran yang penuh dengan t antangan dan kerjasama kelompok ini berdampak pada peningkatan kemampuan siswa. Hasil penilaian proses pada siklus II menunjukkan adanya kemajuan dibandingkan pada siklus I Rata-rata siswa mengikuti pembelajaran dengan semangat. Ada suasana kompetisi antar kelompok. Hasil yang dicapai pada siklus II lebih meningkat. Ratarata perolehan nilai 71,35 dengan kriteria cukup berhasil. Jumlah siswa yang berhasil sebanyak 15 siswa atau 48,39 %. Berikut adalah data perolehan nilai yang diperoleh pada siklus II. Tabel 4.2 Nilai Laporan Pengamatan Siklus II Rentang Nilai Frekuensi Presentase (%) Keterangan 92 - 100 0 0 Sangat Berhasil 82 - 91,9 0 0 Berhasil Sekali 72 - 81,9 15 48,39 Berhasil 62 - 71,9 14 45,16 Cukup Berhasil 52 – 61,9 2 6,45 Kurang Berhasil 42 – 51,9 0 0 Belum Berhasil Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 79 Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa jumlah siswa dalam sebaran nilai 72 81,9 sebanyak 15 siswa, 14 siswa dalam sebaran nilai 62 - 71,9, dan 2 siswa dalam sebaran nilai 52 – 61,9, serta tidak ada siswa dalam sebaran nilai 40 – 52,5. 2.4.1 Pelaksanaan Tindakan Pembelajaran Siklus III Tindakan siklus III merupakan perbaikan proses pembelajaran pada siklus II. Tema yang diangkat adalah lingkungan sekitar sekolah. Berdasarkan rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah disusun, guru menyampaikan pembelajaran dengan menggunakan peralatan LCD untuk menayangkan film karton yang telah dipersiapkan. Sebelum pelaksanaan proses pembelajaran, terlebih dahulu guru memeriksa kesiapan kelas, memeriksa kehadiran siswa, dan menyiapkan media pembelajaran. Setelah itu guru melakukan apersepsi dengan mengajak siswa menyanyikan lagu ’Bangun Tidur ’ dilanjutkan dengan tanya jawab yang mengantar siswa pada kegiatan yang ada di rumah. Hal ini berhasil membuat siswa penuh perhatian secara fisik dan mental, sehingga siswa akan lebih berantusias dalam mengikuti pelajaran. Setelah guru menyampaikan tujuan pembelajaran. Guru menayangkan film karton tentang kegiatan rutin yang dilakukan oleh sebuah keluarga yang memiliki dua orang anak dan mengerjakan semua pekerjaan secara bergotong-royong. Setelah menonton tayangan film tersebut, guru mengajak siswa untuk membuat mind mapping bersama-sama dengan membuat gambar di tengah papan tulis dan meminta siswa untuk menuliskan kata-kata kunci pada cabang-cabang dan anak-anak cabang mind mapping. Pada kegiatan ini siswa dilibatkan secara aktif untuk menuangkan pikirannya pada cabang-cabang mind mapping yang dibuat di papan tulis. Setelah menyusun kerangka karangan, guru menayangkan contoh kerangka 80 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka karangan yang dinarasikan dalam sebuah karangan. Kegiatan berikutnya adalah pemberian tugas pengamatan kepada siswa. Sebelum siswa melaksanakan tugasnya, terlebih dahulu guru menjelaskan teknis pelaksanaan tugas. Setelah siswa memahami tugas yang dijelaskan oleh guru, guru pun meniup peluit dan para siswa segera keluar kelas untuk memulai pengamatan terhadap lingkungan sekitar sekolah. Setelah kurang lebih sepuluh menit siswa mengamati, guru meniup peluit untuk kedua kalinya sebagai tanda pengamatan telah selesai dan saatnya siswa untuk mengerjakan tugas berikutnya. Setelah itu siswa diminta untuk membuat mind mapping secara berkelompok. Siswa berkumpul di kelompoknya masing-masing dan mendiskusikan hasil pengamatannya, kemudian menuangkannya dalam peta pikiran model mind mapping. Setelah mind mapping terbentuk, barulah siswa menyusun kerangka karangan agar pada pertemuan berikutnya dapat diuraikan dalam laporan hasil pengamatannya. Pada pertemuan berikutnya siswa menulis karangan berdasarkan kerangka karangan yang sudah disusun, kemudian menukarkan hasil pekerjaannya dengan teman di kelompok lain untuk mendapatkan koreksi. Setelah hasil pekerjaannya dikembalikan, kemudian setiap siswa memperbaiki tulisannya berdasarkan koreksi dari teman. Pada akhir kegiatan pembelajaran, siswa diajak untuk menyimpulkan kegiatan pembelajaran yang sudah terlaksana pada pertemuan hari itu. Selain itu, guru bersama-sama dengan siswa merefleksi proses pembelajaran yang sudah berlangsung dengan mengadakan kuis yang dilaksanakan dengan menyanyi lagu ’Potong Bebek Angsa’ sambil bergantian memegang kotak soal. Barang siapa memegang kotak pada saat lagu dihentikan, maka dia harus mengeluarkan satu soal kemudian membacakan soal tersebut dan menjawabnya. Sebagai penguatan guru memberi tugas kepada siswa untuk menerapkan pembuatan mind mapping pada pelajaran apa pun karena dapat membantu mempermudah mengingat pelajaran yang sudah disampaikan oleh guru. Agar pengetahuan semakin luas, maka siswa harus banyak membaca buku apa pun karena buku adalah sumber pengetahuan. Guru melakukan pengamatan terhadap siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Hal ini dilakukan untuk mengetahui keaktifan siswa dalam mengikuti pelajaran. Hasil observasi pembelajaran yang dilakukan pada siklus III melalui lembar pengamatan yang dilakukan di sela-sela proses ini pembelajaran menunjukkan bahwa reaksi belajar siswa semakin meningkat. Hal ini juga ditunjukkan oleh hasil yang diperoleh siswa semakin menunjukkan adanya peningkatan yang cukup signifikan. Hasil pengamatan, guru dapat menggali informasi yang lebih banyak untuk mengetahui bagaimana kesan siswa selama pembelajaran menulis laporan hasil pengamatan dengan menggunakan metode mind mapping. Selain itu guru juga mendapatkan beberapa masukan untuk mengetahui kekurangan yang telah dilakukan selama proses pembelajaran, sehingga dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk melakukan peningkatan pada kegiatan pembelajaran berikutnya. 2.4.2 Analisis Keberhasilan Tindakan Pada Siklus III Seperti halnya pada siklus-siklus sebelumnya, analisis dan keberhasilan tindakan dilakukan selama dan sesudah pelaksanaan pembelajaran. Pengamat dan kolaborator mengamati perilaku siswa dan guru dengan menggunakan lembar observasi. Fokus pengamatan terhadap siswa mencakup keterlibatan siswa dari awal hingga akhir pelajaran. Kelas terasa hangat dengan adanya nyanyian dan permainan, yang membuat siswa lebih bersemangat untuk belajar, Suasana santai dan penuh kerjasama menambah semangat siswa dalam mengerjakan tugas-tugas. Pembelajaran yang penuh dengan tantangan dan kerjasama kelompok ini berdampak pada peningkatan kemampuan siswa. Antusias siswa menonjol, terutama saat menjawab pertanyaan atau pun menyampaikan ide yang ada dalam pikirannya. Pencapaian hasil pada siklus III lebih meningkat dibanding hasil pada siklus II. Rata-rata perolehan nilai adalah 77,65 dengan kriteria berhasil. Jumlah siswa yang berhasil sekali sebanyak 2 siswa atau 6,45 %. Berikut adalah data perolehan nilai yang berhasil dikumpulkan pada siklus III. Tabel 4.3 Nilai Laporan Pengamatan Siklus III Rentang Nilai Frekue nsi Presentase ( %) Keterangan 92 - 100 0 0 Sangat Berhasil 82 - 91,9 2 6,45 Berhasil Sekali 72 - 81,9 27 87,10 Berhasil 62 - 71,9 2 6,45 Cukup Berhasil 52 – 61,9 0 0 Kurang Berhasil 42 – 51,9 0 0 Belum Berhasil Berdasarkan tabel di atas, dapat dijelaskan bahwa jumlah siswa dalam sebaran nilai 82 – 91,9 sebanyak 2 siswa, dan 27 siswa dalam sebaran 72 - 81,9, serta 2 siswa dalam sebaran nilai 62 – 71,9. Tidak ada lagi siswa yang mendapatkan nilai dalam sebaran 52 – 61,9 dan 42 – 51,9. Peningkatan siswa pada siklus III cukup tajam. Hal ini disebabkan pengamatan siswa yang tidak lagi melalui media gambar atau rekaman video, tetapi langsung pada objek yang diteliti. Perbedaan hasil yang dicapai siswa sejak masa pra siklus, Siklus I, Siklus II, dan Siklus III dapat dilihat pada grafik berikut. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 81 C. PENUTUP 3.1 Simpulan Berdasarkan tujuan penelitian, analisis data, dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut: (1) Keterampilan menulis laporan hasil pengamatan bagi siswa kelas V SD Inpres Perumnas I Jayapura dapat ditingkatkan Grafik 4.4 Perbandingan Nilai Prasiklus, Siklus I, dengan menggunakan metode mind mapSiklus II, dan Siklus III ping. Cabang-cabang mind mapping dapat memacu daya pikir siswa agar semakin berBerdasarkan grafik di atas dapat dilihat kembang luas ke anak-anak cabang, dengan hasil penilaian sejak pra penelitian hingga siklus penggunaan warna-warni yang membantu III menunjukkan adanya kenaikan. Siswa dalam daya imajinasi siswa untuk mengingat lebih kategori ’berhasil’ menunjukkan adanya pebanyak tentang apa yang dipikirkannya. ningkatan sebanyak 52,38%, sedang siswa yang Perumnas I Jayapura, dalam kategori ’cukup berhasil’ menunjukkan (2) Untuk melaporkan hasil pengamatannya, penurunan yang cukup tajam (45,23%), dapat dilihat dari hasil tulisan siswa yang sehingga siswa yang dikategorikan ’kurang semakin meningkat dari siklus I, siklus II, berhasil’ pun sudah tidak tampak lagi, hal ini hingga siklus III. berarti menurun sebesar 7,15%. Pada siklus III (3) Dengan menggunakan metode mind mapini sudah tidak ada siswa yang dimasukkan ping prestasi siswa dalam menulis laporan dalam kategori ’kurang berhasil’ dan ’tidak hasil pengamatan semakin menunjukkan berhasil,’ sehingga penggunaan metode mind adanya peningkatan. Hal ini terbukti dari mapping dalam menulis laporan hasil pengahasil olah nilai yang diperoleh siswa setelah matan ini dapat dikatakan brazil. proses pembelajaran dari siklus I, siklus II, Keberhasilan siswa selama mengikuti hingga siklus III. Sebelum dilakukan pembelajaran dengan menggunakan model penelitian prestasi rata-rata siswa kelas V mind mapping, ialah siswa dapat mengemSD Negeri Inpres 5.81 Perumnas I Waena - kota Jayapura hanya 56,74. Pada siklus I bangkan daya pikirnya secara tertulis dengan prestasi siswa meningkat sebesar 5,27, membuat peta pikir model mind mapping. sehingga menjadi 62,03. Pada siklus II Menurut Tony Buzan (2010:4) Mind map prestasi rata-rata siswa meningkat lagi adalah cara termudah untuk menempatkan sebesar 9,32, sehingga menjadi 71,35. Pada informasi ke dalam otak yang diambil dari luar siklus III meningkat lagi sebesar 6,30, otak, mind map adalah cara mencatat kreatif, sehingga menjadi 77,65. efektif, dan secara harfiah yang akan memetakan pikiran-pikiran kita. Dengan membuat peta pikir model mid map, siswa akan dapat 3.2 Saran-saran mengembangkannya sehingga menjadi kerangBerdasarkan keberhasilan yang dicapai ka karangan yang padu. Berdasarkan kerangka dan simpulan-simpilan yang disajikan, maka karangan yang padu itulah, siswa akan dapat guru dapat memberikan beberapa saran yang menulis sebuah karangan yang berbentuk berkaitan dengan pengembangan model pembelaporan hasil pengamatan. lajaran yang menyenangkan bagi siswa, antara lain: 82 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka (1) Setiap guru hendaknya memiliki kemauan untuk meningkatkan wawasan, pengetahuan, dan keterampilan dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran di kelas. Peningkatan kualitas guru dalam pembelajaran akan berdampak pada keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran, sehingga siswa mendapat tambahan ilmu, pengetahuan, keterampilan, dan dapat mengembangkan bakat melalui proses yang menyenangkan dan bermakna. (2) Setiap guru hendaknya memahami metode mind mapping, sehingga dapat menerapkan metode ini dalam proses pembelajaran, terutama untuk melaporkan hasil pengamatan siswa terhadap suatu objek. (3) Metode mind mapping juga dapat diterapkan pada mata pelajaran lain. Dengan menuangkan materi pelajaran yang telah dipelajari pada cabang-cabang mind mapping, siswa dapat menghemat waktu belajar dan mengingat lebih banyak apa yang telah dipelajarinya. Buku yang tebal bisa dipelajari dalam satu lembar atau beberapa lembar kertas saja. (4) Mind mapping juga dapat digunakan oleh para guru untuk merencanakan semua kegiatan yang akan dilakukannya, sehingga tidak akan ada hal yang terlewatkan dan pekerjaan dapat dilaksanakan dengan rapi dan tuntas. (5) Para peneliti selanjutnya diharapkan agar dapat melakukan penelitian yang lebih variatif untuk memperoleh hasil yang lebih baik pada kompetensi dasar yang lain, sehingga dapat diketahui keunggulan model mind mapping dan mendapat solusi pemecahan atas kelemahannya. DAFTAR PUSTAKA Admin. 2010. Penggunaan Media Gambar Untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Karangan Prosa (On Line). Tesis tidak diterbitkan Bandung: Pasca- sarjana UPI (http://ind.sps.upi.edu/ ?p=144, diakses 15 Oktober 2010). Aunurrahman. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Buzan, Tony. 2010. Buku Pintar Mind map. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Buzan, Tony. 2008. Buku Pintar Mind map untuk Anak Agar Mudah Menghafal dan Berkonsentrasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Buzan, Tony. 2008. Buku Pintar Mind map untuk Anak Agar Anak Lulus ujian dengan Nilai Bagus. Jakart a: PT Gramedia Pustaka Utama. Buzan, Tony. 2010. Super Learning Cemter Official Buzan Licenced Instructor Mind map Super memory, Mind map, Speed Reading (On Line). (mindmapcenter@ymail. com, diakses 14 Agustus 2010) Febru, Erna. 2008. Meningkatkan Keterampilan Menulis Deskripsi Siswa Kelas IV Sekolah Dasar Islam Sabilillah Malang melalui Strategi Roulette Writing (On Line). Malang: Disertasi dan Tesis Program Pascasarjana. (http://karya-ilmiah. um.ac.id/index.php/disertasi/article/ view/857, diakses 15 Desember 2010). Kusmellyati, Um. 2010. Peningkatan Kemampuan Menarasikan Teks Hasil Wawancara dengan Menggunakan Metode Mind mapping Siswa Kelas VII- A SMPN 1 Ambunten (On Line), Skripsi UM tidak diterbitkan (http://karya-ilmiah.um.ac.id/ index.php/sastra-indonesia/article/ view/ 8207, diakses 29 Desember 2010). Muhammad, As’Adi. 2010. Misteri Otak Tengah Manusia. Yogyakarta: Buku Biru. Mulyani, Rini. 2010. Upaya Peningkatan Keterampilan Menulis Karangan Prosa Melalui Metode Pembelajaran Mind map (On Line). PTK tidak diterbitkan. (http:/ / r inimu lya nibu k it c ima ngg u villa . blogspot.com/2008/05/mind-mapping. html, diakses 15 Desember 2010.). Suparno, Yunus, Mohammad. 2002. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: Universitas Terbuka. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 83 KARYA SASTRA SEBAGAI STIMULUS DALAM KOMPETENSI MENULIS FIKSI DI ERA GLOBALISASI BERBASIS K3 Arditiya Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang [email protected] Abstrak Globalisasi menjadi perhatian dari berbagai kalangan disiplin ilmu. Penemuan dan penggunaan teknologi mutakhir menjadi identitas kehidupan era globalisasi. Kemajuan era globalisasi dari berbagai aspek telah menghasilkan masyarakat menjadi praktis dan konsumtif dalam menjalani aktivitas kehidupannya. Kebergantungan terhadap teknologi informasi menghasilkan keprihatinan terhadap eksistensi para penulis. Keprihatinan ini dilihat dari bergesernya penilaian mengenai kualitas bahan bacaan jika dibandingkan dengan teknologi informasi yang lebih inovatif. Kemampuan penciptaan bahan bacaan berkualitas dalam menjawab fenomena era globalisasi merupakan perhatian utama. Melalui apresiasi sastra dengan berbagai substansi filosofis di dalamnya, dihasilkan stimulus untuk mengajarkan cara berpikir yang kritis, kreatif, dan kompeten (K3) dalam menghasilkan bahan bacaan yang baik oleh penulis. Karya sastra dalam berbagai genre memunculkan kesan kritis dari isu-isu sosial dan kemanusiaan yang terdapat di dalamnya, sehingga menimbulkan stimulus kepada pembaca hasil apresiasi karya sastra untuk membuat tulisan yang bersifat lebih kreatif dari karya sastra yang dibaca dan menghasilkan tulisan yang lebih berkualitas. Karya sastra dengan nilai logika, etika dan estetika sebagai konstruksinya, dinilai mampu untuk melahirkan para pengapresiasi yang dapat melanjutkan topik-topik aktual dalam membuat tulisan yang lebih bernilai, sehingga mampu menjawab kebutuhan era globalisasi. Menulis secara imajinatif dengan pola kritis, kreatif dan kompeten dengan strategi apresiasi sastra dinilai lebih memiliki kekuatan yang bersifat universal dalam memandang lemahnya aktivitas penulisan di era globalisasi. Kata kunci: karya sastra, k3, globalisasi, menulis fiksi A. PENDAHULUAN ketertinggalan dari berbagai bidang. Kreativitas Goerge Ritzer (2012:980) menyatakan merupakan hal yang diharapkan mampu menbahwa globalisasi adalah pandangan bahwa jawab aktivitas globalisasi dengan menghasildunia di dominasi oleh perihal ekonomi dan kan berbagai produk sebagai bentuk masyarakat bahwa kita sedang menyaksikan kemunculan yang siap dan aktif menyongsong globalisasi. Berbagai kreativitas yang diharapkan hegemoni pasar dunia kapitalis dan ideologi neoliberal yang menyangganya. Dalam akti- mampu menjawab aktivitas globalisasi dinilai vitasnya, globalisasi menuntut masyarakat perlu untuk terus dikembangkan. Menghasilkan berperilaku aktif dan represif dalam mengawasi karya tulis dengan pendekatan menulis fiksi perjalanan globalisasi dalam aktivitas sosialnya. merupakan bentuk kreativitas masyarakat Kecenderungan masyarakat hanya menjadi dalam mencapai upaya meningkatkan kualitas penonton dalam era globalisasi menyebabkan individu dan bangsa. 84 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Menulis fiksi merupakan perwujudan perilaku kreatif dalam mengaplikasikan kemampuan menjawab fenomena-fenomena yang terdapat dalam aktivitas masyarakat. Pujiharto (2012:14) menyatakan bahwa selain sebagai manifestasi pengalaman estetis, karya fiksi dimaksud juga merupakan manifestasi pengalaman kemanusiaan pengarang yang unik dan universal. Dalam hal ini menulis fiksi memiliki peran dalam upaya menjawab fenomenafenomena globalisasi dengan isu kemanusian sebagai topiknya. Dalam membaca karya sastra sebagai pemicunya, secara khusus terdapat efek yang dialami oleh pembaca sebagai bentuk sublimasi dan katarsis dalam proses apresiasinya. Kemampuan karya sastra dalam menjernihkan batin pembaca dari segala kompleksitas batin setelah pembaca melaksanakan kegiatan apresiasi secara akrab dan sungguh-sungguh dinilai penting, sehingga terjadi semacam peleburan antara pembaca dan dunia-dunia yang diciptakan pengarangnya, hal ini adalah bentuk dari katarsis. Bentuk realitas yang diciptakan pengarang mampu menjadi semacam pengganti atau memberikan kepuasan dan kesegaran baru bagi pembaca merupakan bentuk dari sublimasi. Kedua efek ini merupakan representasi dari nilai kritis, kreatif dan kompeten dari karya sastra dalam perwujudannya. Dalam membaca hasil apresiasi karya sastra, dalam tahap membaca kreatif, kecenderungan karya sastra pada perwujudannya dapat menerapkan pemahaman dari kegiatannya sebagai bentuk pengaplikasian dari berbagai kegiatan lanjutannya. Aminuddin (2013:21) menyatakan bahwa membaca kreatif yakni kegiatan membaca yang dilatari tujuan menerapkan perolehan pemahaman dari membaca untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang bersifat aplikatif. Dalam tahap ini tanpa disadari karya sastra telah memberikan stimulus/rangsangan kepada pembaca dalam mengaplikasikan kegiatan membaca dalam berbagai bentuk seperti menulis fiksi. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah (a) nilai kritis, kreatif dan kompeten yang melatari karya sastra (b) berbagai temuan mengenai stimulus karya sastra dalam pembentukan kompetensi menulis fiksi. B. KAJIAN PUSTAKA Studi penelitian ini berjudul “Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra” (Nyoman Kutha Ratna, 2011) yang menggambarkan mengenai keberadaan sastra dengan perspektif globalisasi sebagai objek penelitian. Karya sastra dalam perwujudannya menggambarkan gejala sosial yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra dengan bermacam-macam struktur pembangunnya sebagai respresentasi dari bentuk kritis, kreatif dan kompetensi pengarang. Dalam pandangan “Pengantar Apresiasi Sastra” (Aminuddin, 2013) menyatakan bahwa dalam cipta sastra mengandung berbagai macam unsur yang sangat kompleks, antara lain (1) unsur keindahan, (2) unsur kontemplatif yang berhubungan dengan nilai-nilai atau renungan tentang keagamaan, filsafat, politik, serta berbagai macam kompleksitas permasalahan kehidupan, (3) media pemaparan , baik berupa media kebahasaan maupun struktur wacana, serta (4) unsur-unsur interinsik yang berhubungan dengan ciri karakteristik cipta sastra itu sendiri sebagi suatu teks. Dalam hal ini kemampuan karya sastra pada proses apresiasi secara substansif memberikan stimulus berupa pemahaman mengenai konstruksi karya sastra dalam perwujudannya terhadap bentuk apapun. Ditinjau dari aktivitas menulis fiksi, terdapat dua jenis terkait hasil yang diciptakan dalam teori fiksi, yaitu karya fiksi serius dan karya fiksi popular. Dalam struktur karya fiksi serius dan popular pada dasarnya memiliki tingkat persamaan yang melandasi keduanya, hanya saja pada bagian tertentu fiksi serius dan poluler dikatakan memiliki perbedaan. Pendapat lain menyatakan bahwa fiksi popular Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 85 mudah dibaca karena benar-benar ‘mengisahkan sesuatu’ sedangkan fiksi serius lebih sukar karena mengandung dua elemen tambahan; tema atau gagasan utama yang harus digali pembaca dan sarana-sarana artistik yang harus diketahui dan dihargai olehnya (Robert Stanton, 2012:4). C. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Data dikumpulkan melalui proses pembacaan karya sastra dan penandaan terhadap satuan-satuan cerita atau unit unit motivasional yang memuat ide dasar cerita yang mendasari tema. Analisis data menggunakan pendekatan sosiopsikologis karya sastra yang menekankan pada pencarian amanat cerita. Hasil analisis dipaparkan dalam uraian deskriptif-argumentatif. Sumber data penelitian berupa novel Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer,2011), puisi Aku (Chairil Anwar, 1943) dan naskah drama Topeng- topeng (Rachman Sabur,1988). D. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Nilai kritis, kreatif dan kompeten yang melatari karya sastra. 1) Novel Bumi Manusia mengisahkan tokoh Minke, seorang pemuda pribumi yang berpendidikan tinggi lulusan H.B.S yang hidup dalam belenggu hegemoni kolonial. Sosok Minke mencoba membuktikan bahwa keberadaan masyarakat pribumi pada masa it u ternyata mampu unt uk bersaing dan memiliki status sama di tengah keberadaan feodalisme kolonial. Penerapan paham otoritarianisme dan kapitalisme penguasa pada zaman itu merupakan tantangan yang harus dihadapi masyarakat pribumi dengan penggambaran tokoh Minke yang dihadirkan oleh Pramoedya Ananta Toer sebagai pengarang. Masyarakat 86 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka pribumi sebagai bagian yang tersubordinasikan atas tanah kelahiran mereka mencoba bertahan at as kekuasaan kolonial belanda dengan selalu memperjuangkan hak-hak atas berbagai aspek kehidupan mereka. Nilai kritis yang dihadirkan oleh pengarang dapat dilihat dari penggambaran Minke yang dihadapkan dari berbagai konflik dalam novel tersebut. Pengarang telah membuktikan bahwa novel Bumi Manusia merupakan wujud kreativitas yang dibingkai dengan baik sekalipun masalah yang dihadirkan dalam novel tersebut cukup kompleks. Pada akhirnya pengarang membuktikan bahwa kompetensi karya sastra yang dihasilkan telah mampu menggungah khalayak untuk mampu bersikap sebagaimana seharusnya. 2) Puisi Aku menceritakan mengenai seorang pengarang yang menyembunyikan kegelisahan tentang keadaan masyarakat yang terbelenggu dengan sistem-sistem yang memarginalkan rakyat Indonesia dalam kuasa kolonial Jepang. Ungkapan dalam puisi “Aku” bersifat mendarah daging dengan kiasan-kiasan, sehingga gambaran keadaan memang menjadi sangat konkrit, citra-citra yang dapat diindra, kemudian menjadi nyata dan seolah dapat dilihat, serta dirasakan sakitnya. Untuk menyatakan semangat yang nyala-nyala dan sebagai bentuk perlawanan keras, digunakan kiasan ”Aku mau hidup seribu tahun lagi”. Dapat dilihat bahwa gambaran si aku penuh vetalitas mau mereguk kebebasan dengan bertahan selamalamanya. Jadi berdasarkan dasar konteks itu harus ditafsirkan bahwa Chairil Anwar dalam puisi “aku” dapat didefinisikan sebagai bentuk pemetaforaan bahasa atau kiasan bahwa yang hidup seribu tahun adalah semangat untuk keluar dari sistem hegemoni kolonial Jepang dan bukan berbicara mengenai fisik. Pengarang telah menghadirkan bentuk kritis atas keadaan masyarakat dalam rezim militerianisme Jepang pada saat itu. Kreativitas pengarang dilihat dalam penngunaan kata-kata yang bersifat metafor sebagai alat penyampai pesan di balik karyanya. Kompetensi pengarang t erbukti dengan pemanfaatan puisi ini dalam media pembelajaran terkait nilai historis perjuangan bangsa melawan penjajahan pada masa itu. 3) Naskah drama Topeng-topeng mengisahkan tentang kehidupan Waska, sesorang yang hidup dalam kesakitan dan perjuangan tanpa henti untuk berdiri di atas kepentingan orang banyak. Sekalipun dalam perjalanan cerita, nama Waska sering digunakan sebagai topeng atau tameng seseorang dalam menjalankan aktivitas yang bersebrangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Anak panggung dalam naskah drama tersebut menggambarkan keadaan Waska yang tersiksa batin dan jiwanya karena kemampuan dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan sudah sangat susah. Musuh yang dihadapi Waska adalah para penguasa yang berusaha mencitrakan dirinya baik dengan meminjam nama Waska dalam usahanya, namun pada perilaku di kehidupannya para penguasa itu telah menyengsarakan orang banyak. Rachman Sabur sebagai pengarang telah menggambarkan suatu keadaan kritis yang menempatkan pada pencitraan seorang penguasa sebagai pemimpin suatu bangsa dengan berbagai kejahatan yang berada di balik sikap baiknya di hadapan banyak or- ang. Kreativitas pengarang dapat dilihat dalam alur atau plot yang menjadi struktur naskah drama Topengtopeng. Susunan alur yang destruktif membuat naskah drama ini terlihat menarik dengan tujuan bahwa pembaca disarankan jangan terlalu cepat menyimpulkan mengenai status tokoh yang berada dalam naskah drama ini. kompetensi pengarang tergambarkan dengan berbagai penghargaan yang didapat sebagai pengakuan pada karyakarya yang mampu bersanding di tingkat dunia, termasuk naskah drama ini. b. Temuan yang Terkait mengenai stimulus karya sastra dalam pembentukan kompetensi menulis fiksi. Berdasarkan hasil analisis terhadap ketiga karya sastra dapat ditemukan nilai kritis, kreatif dan kompeten. Secara umum nilai yang ditemukan adalah (1) Pengarang menyampaikan mengenai makna sebuah perjuangan yang harus dilakukan oleh siapa saja dalam menjalankan aktivitas kehidupannya. Belenggu penguasa dalam aktivitas sosial masyarakat tidak terlepas pada sistem kapitalisme yang akan menyengsarakan masyarakat banyak. Melawan sebuah sistem yang bersebrangan dengan nilai kemanusiaan dilakukan melalui karya sastra sebagai gambaran bahwa sastra secara hakikatnya merupakan representasi dari gejala yang terdapat dalam masyarakat. (2) Pengarang dalam ketiga genre karya sastra ini, memiliki kepiawaian dalam membingkai kompleksitas cerita, sehingga gambaran perlawanan atas nilai-nilai kemanusiaan yang diperjuangkan oleh pengarang dalam karyanya dapat terus ada di tengah-tengah masyarakat sebagai media dalam proses pembelajaran. Sekalipun Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 87 pengarang novel dan puisi ini hudup di masa yang cukup menyulitkan dan kecenderungan pengasingan jika melawan sistem yang berlaku, tetapi keteguhan sebagai pengarang yang memiliki prinsip ternyata mampu melahirkan karya yang dikenang hingga sepanjang masa. (3) Penerbitan ketiga genre karya sastra ini beragam. Pada penerbitan novel, terdapat beragam kendala sebagai bentuk penentangan pada karya-karya yang mengindikasikan pergolakan sosialis pada era kolonial hingga era orde baru. Penerbitan puisi pada saat itu juga memperoleh tekanan dari penguasa kolonial jepang sebagai bentuk perlawanan atas gerakangerakan yang dapat mengancam pemerintahan jepang saat menduduki Indonesia, sekalipun pada saat ini kumpulan puisi dari pengarang telah disatukan menjadi antologi. Pada penerbitan naskah drama, proses yang dihadapi tidak seperti kedua genre karya sastra dengan berbagai penentangan atas penerbitannya. Secara histori naskah drama ini dihasilkan pada era orde baru sebagai bentuk penentangan pengarang pada sistem yang diterapkan pada saat itu, namun karena pada masa itu telah bergerak menuju era modern, dengan bentuk penjajahan gaya modern maka terdapat variasi mengenai kendala yang dihadapi sebagaimana kedua genre karya sastra yang lain. Namun atmosfer yang dirasakan dalam penggambaran naskah drama ini tetaplah sama dalam menjunjung nilai kemanusiaan. c. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1) Nilai kritis, kreatif dan kompeten yang didapatkan dalam ketiga genre karya sastra meliputi kemampuan pengarang 88 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka dalam menangkap gejala sosial yang dihadapi sebagai pertarungan ideologis dengan nilai-nilai kemanusian sebagai gambaran pemikiran kritis. Kepiawaian pengarang dalam membingkai kompleksitas cerita dan berbagai unsure dalam bangunan karya sastra, merupakan gambaran kreativitas yang dihasilkan oleh pengarang. Karya sastra yang dihasilkan pengarang ternyata mampu dijadikan sebagai bahan pembelajaran kepada siapapun terkait dari nilai-nilai perjuangan yang dinilai relevan ketika dihadapkan pada masa ini, sekalipun objek perlawanannya bukan lagi kolonial, melainkan penguasa bangsa sendiri. 2) Temuan penelitian menunjukkan bahwa ketiga genre karya sastra ini termasuk pada karya sastra fiksi serius. Kecenderungan ketiga karya sastra ini dijadikan sebagai bahan dalam pembelajaran sastra sangat memungkinkan, karena dapat melatih nilai kritis pada proses pembacaannya dan penemuan maknanya, nilai kreatif pada identifikasi struktur dan gaya bahasanya, dan nilai kompeten jika dilihat dari kemampuan karya sastra ini dalam mewakili keadaan masyarakat dalam berbagai perspektif pada konteks sosialnya. E. DAFTAR PUSTAKA Aminuddin. 2013. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Anwar, Chairil. 2011. Aku ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Budi Wurianto, Arif. 2015. Pergeseran Nilai Dan Pesan Humanisme Sastra Penerbitan Novel Mutakhir (Studi Terhadap Novel Queer). Yogykarata: Prosiding SPKIK. Pujihart o. 2012. Pengantar Teori Fiksi. Yogyakarta: Ombak. Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogykarata: Pustaka Pelajar Sabur, Rachman.1988. Topeng-t openg. Bandung: Payung Hitam Stanton, Robert. 2012. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Toer, Pramoedya Ananta.2011. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 89 Memahami Struktur Naratif Ruth Finnegan dalam Aplikasi Cerita Jaka Kandung oleh: Rokhyanto ABSTRAK Penyusunan cerita bisa melalui bukti-bukti yang sudah ada, bisa berupa peninggalan batu, kedung, bukit, alat-alat zaman dahulu, atau sesuatu yang dikeramatkan. Cerita Jaka Kandung ini, pada mulanya cerita itu tidak begitu dikenal oleh masyarakat Blitar, karena faktor ketidaktahuan terhadap cerita. Hanya saja, sebagian kecil masyarakat mengetahui tokoh Nilo Suwarno, seorang adipati di Blitar, tetapi secara struktur cerita yang sebenarnya tidak mengetahui keberadaannya. Berdasarkan sumber informasi yang diperoleh, legenda Jaka Kandung ini tidak bisa disebut secara tepat kronologis waktunya, karena prasasti babad kota Blitar masih samar-samar. Dalam cerita Jaka Kandung yang terdengar di masyarakat itu akhirnya oleh kelompok pecinta seni yaitu Siswa Budoyo untuk dipentaskan agar masyarakat Blitar, Tulungagung, dan Kediri mengetahui keberadaan cerita tersebut. Setelah Dewi Kemuning melahirkan seorang bayi lelaki yang kemudian diberi nama Jaka. Nama Kandung di wilayah Tulungagung, merupakan tempat bermain Jaka, ketika masih anak-anak. Oleh karena, desa itu bernama Kandung maka sebagai pelengkap nama anak Dewi Kemuning itu diberi nama tambahan Jaka Kandung. Di desa Kepatihan digunakan untuk bertahannya para punggawa Arya Blitar I gelar dari Nilo Suwarno, dan para prajuritnya saat menghindari kejaran prajurit Ki Ageng Sengguruh dan desa kepatihan tempat mengadakan perundingan dan rencana penyerbuhan kembali dari kekuasaan Ki Ageng Sengguruh. Ada rasa kepenasaran dalam hati Jaka Kandung, dia segera menemui paman patih untuk memintanya agar mengantarkannya ke tempat di mana ayahnya berada. Mereka segera berangkat ke kedung Gayaran, di mana Nilo Suwarno pernah meninggal. Sesampainya di sana dia mendapat bisikan gaib dari ayahnya setelah meditasi, agar segera merebut kembali kadipaten Blitar dari tangan Ki Ageng Sengguruh. Setelah itu, Jaka Kadung berunding dengan paman patih Kalambung menyarankan agar untuk sementara waktu sambil menunggu Jaka Kandung menjadi dewasa, maka dia mengabdi dulu kepada Ki Ageng Sengguruh. Pengabdian itu dengan tujuan untuk memudahkan penyerangan. Sesuai dengan rencana, Jaka Kandung berhasil membunuh Ki Ageng Sengguruh dengan menggunakan sebilah keris milik ayahnya yang bernama Kyai Panjer dan tewasnya Ki Ageng Sengguruh itu, maka Jaka Kandung berhak menduduki tahta adipati, sebagai pewaris tunggal yang sah dan dia dinobatkan sebagai Arya Blitar ke II. Kata kunci: struktur, naratif, aplikasi, cerita PENDAHULUAN Cerita rakyat adalah cerita dari zaman dahulu yang berkembang dan hidup di kalangan masyarakat secara turun-temurun yang disampaikan secara lisan. Cerita rakyat yang berkembang secara lisan akan mengakibatkan cerita tersebut mengalami pergeseran dari aslinya bahkan bias jadi hilang. Oleh karena 90 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka itu, perlu adanya upaya untuk menyelamatkan. Salah satu cara yakni dengan menginventarisasi ke dalam bentuk tulisan yang kemudian dibukukan. Cerita rakyat adalah cerita pada masa lampau yang menjadi ciri khas setiap bangsa yang memiliki kultur budaya yang beraneka ragam mencakup kekayaan budaya dan sejarah yang dimiliki masing-masing bangsa. Cerita rakyat merupakan salah satu karya sastra yang hidup di masyarakat secara turun-temurun. Cerita rakyat hampir dimiliki oleh setiap daerah bahkan negara, baik dalam jumlah besar maupun sedikit, tergantung pada peran dan peristiwa yang dimiliki daerah atau negara tersebut pada awal perkembangan atau sejarah dari budaya manusia yang hidup di negara itu. Jika dilihat, diamati, dan dipahami secara lebih mendalam cerita rakyat, khususnya yang berkembang di Indonesia, sangatlah banyak jumlahnya. Hal itu karena adanya pengaruh peran dan peristiwa yang terjadi di Indonesia, yang beraneka ragam jumlahnya. Peran di sini dapat diartikan keikutsertaan orang-orang manca negara yang datang ke negara ini (Indonesia) baik sebagai pedagang maupun sebagai penjajah yang pernah berkesempatan menikmati kekayaan alam ini, ternyata juga meninggalkan banyak cerita-cerita yang tidak sedikit dan juga cerita yang ditinggalkan ternyata sangat menarik. Peristiwa itu berhubungan dengan kejadian-kejadian atau partisipasinya orang luar dalam membuat sejarah atau mengukir peristiwa yang terjadi di suatu tempat (Indonesia). Cerita-cerita ini biasanya bisa terkontaminasi dari sumber aslinya dengan tempat-tempat yang ada di daerah atau wilayah cerita itu disampaikan oleh para pendatang (penjajah dan pedagang) tersebut. Pentingnya mengkaji nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat, karena cerita rakyat itu memiliki fungsi kultural. Lahirnya suatu cerita rakyat bukan semata-mata di dorong oleh keinginan penutur untuk menghibur masyarakatnya melainkan dengan penuh kesabaran ia ingin menyampaikan nilai-nilai luhur kepada generasi penerusnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Djamaris (2002:15) cerita rakyat adalah golongan cerita yang hidup dan berkembang secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Disebut cerita rakyat karena cerita ini hidup di kalangan rakyat dan hampir semua lapisan masyarakat mengenal cerita itu. Cerita rakyat milik masyarakat bukan milik seseorang. Cerita rakyat biasanya disampaikan secara lisan oleh tukang cerita yang hafal alur ceritanya. Itulah sebabnya cerita rakyat disebut sastra lisan. Cerita disampaikan oleh tukang cerita sambil duduk-duduk di suatu tempat kepada siapa saja, anak-anak dan orang dewasa (Djamaris, 2002:6). Cerita rakyat ini bagian dari folklor lisan yang memang murni, sedangkan pengertian folklore yaitu sebagian kebudayaan suatu kolektif macam apa saja. Secara tradisional dalam versi yang berbeda bahwa dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerakan isyarat atau alat pembantu pengingat. Disisi lain pengertian dan fungsi cerita rakyat dalam bukunya yang berjudul Sastra lisan sebagai cerita rakyat adalah suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat itu yang diwarisi secara lisan sebagai milik bersama. Cerita rakyat tidak hanya berfungsi sebagai alat hiburan, pengisi waktu senggang serta penyalur perasaan bagi penuturnya serta pendengarnya, melainkan juga sebagai pencerminan sikap dan angan-angan kelompok, alat pendidikan, alat pengesahan pranata, dan lembaga kebudayaan serta pemeliharaan norma masyarakat. Sementara itu, menurut Gaffar (1991:3) cerita rakyat adalah salah satu bentuk tradisi lisan yang memakai media bahasa. Pengertian ini akan kabur bila mana diperhadapkan dengan bentuk sastra lisan yang juga memakai media bahasa seperti teka-teki dan ungkapan. Salah satu bentuk cerita rakyat yang menarik untuk diteliti adalah cerita rakyat yang berkenaan dengan asal-usul penamaan suatu tempat. Cerita rakyat t ersebut apabila dikelompokkan, termasuk pada genre cerita rakyat legenda setempat (local legends). Penamaan suatu tempat tidak muncul begitu saja, tetapi berkaitan dengan berbagai hal yang pada intinya menyangkut kebudayaan suatu masyarakat. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 91 Cerita rakyat tidak sekedar hidup dan tersebar dalam masyarakat, namun juga memiliki arti penting dan fungsi-fungsi tertentu bagi kolektif pemiliknya. Pengkajian terhadap cerita rakyat bisa dijadikan sarana yang tepat untuk penamaan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat yang kini sudah banyak dilupakan, selain untuk perkembangan sastra lisan itu sendiri. Usaha untuk menggali, memperkenalkan, menghidupi dan mengembangkan budaya tradisional yang bernilai positif itu sangat perlu dan tidak hanya untuk tradisi itu sendiri, tetapi lebih luas juga berguna dalam menunjang pembangunan nasional. Cerita rakyat Jaka Kandung salah satu dari bentuk cerita rakyat. Dengan memperhatikan beberapa hal di atas, timbul ketertarikan penulis untuk mengetahui secara mendalam mengenai cerita rakyat yang berkaitan dengan asal-usul Jaka Kandung dan penyebarannya yang terdapat dalam cerita rakyat tersebut. Atas dasar itulah penulis melakukan penelusuran terhadap cerita rakyat di Kota Blitar tersebut. Menurut Finnegan (Imran, 1999:12), ada tiga pokok permasalahan dalam sastra lisan, yaitu: komposisi (takaran atau ukuran), performance (dipertunjukkan), dan transmisi (penyebaran). Transmisi masih dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu resepsi dan intertekstual. KOMPOSISI Komposisi yaitu bagaimana cerita itu disusun dengan baik dan layak disajikan serta dihidupkan kembali agar masyarakat dapat menikmatinya. Penyusunan cerita atau penggalian cerita bisa melalui bukti-bukti yang sudah ada, bisa berupa peninggalan batu, kedung, bukit, alat-alat zaman dahulu, atau sesuatu yang dikeramatkan. Bila sudah menemukan bukti, hal itu bisa ditanyakan kepada penduduk setempat ada cerita apa dengan keberadaan bukti tersebut atau bisa ditanyakan kepada tokoh yang dianggap mengetahui atau tokoh yang dianggap paling 92 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka tua di daerah itu. Bisa juga penyusunan cerita it u memang sudah ada lalu kita menghimpunnya kembali menjadi satu kesatuan agar tidak bercerai-berai kemudian disajikan kepada masyarakat. Berhubungan dengan cerita Jaka Kandung ini, pada mulanya cerita itu tidak begitu dikenal oleh masyarakat Blitar, karena faktor ketidaktahuan terhadap cerita. Hanya saja, sebagian kecil masyarakat mengetahui tokoh Nilo Suwarno, seorang adipati di Blitar, tetapi secara struktur cerita yang sebenarnya tidak mengetahui keberadaannya. Cerita itu mulai berkembang di masyarakat, dengan waktu yang sangat lambat. Cerita itu dituturkan hanya dari mulut ke mulut, dari seseorang kepada kelompok masyarakat kecil, dari sekelompok masyarakat kecil hingga kelompok masyarakat luas. Berdasarkan sumber informasi yang diperoleh, legenda Jaka Kandung ini tidak bisa disebut secara tepat kronologis waktunya, karena prasasti babad kota Blitar dan bukti keris pun kurang jelas. Hal itu dikarenakan sering adanya lahar dari letusan gunung Kelud dan perlu diketahui juga bahwa cerita itu di dalamnya berkaitan dengan beberapa desa sebagai tempat kejadian. Yang oleh masyarakat dipercaya berhubungan dengan struktur cerita tersebut. Adapun tempat-tempat itu, antara lain: desa Lodoyo, kedung Gayaran, desa Srengat, desa Kandung, desa Kepatihan, desa Pakunden, dan gunung Pegat. Cerita Jaka Kandung tidak dimiliki oleh siapa-siapa, pemiliknya adalah masyarakat Blitar, tetapi kini kelompok kesenian Siswo Budoyo yang sering mementaskan cerita tersebut. Cerita tersebut belum pernah dibukukan dan belum pernah juga ada yang berusaha membukukan. Hanya saja mungkin oleh kelompok ketoprak Siswo Budoyo di Tulungagung mempunyai garis-garis besar struktur cerita, karena kelompok kesenian tersebut yang meresepsi dari cerita di masyarakat. PERFORMANCE Suatu cara perilaku komunikasi dan tipe peristiwa komunikasi yang memiliki dimensi proses komunikasi yang bermuatan sosiokultural dan estetik sebagai tindakan komunikasi, pertunjukkan memiliki mode tindakan dengan tanda tertentu yang dapat ditafsirkan sehingga tindakan komunikasi dapat dipahami. Tindakan komunikasi diperagakan; diperkenalkan dengan obyek luar dan dibangun dari lingkungan kontekstualnya. Pemirsa dan pendengar pertunjukan diberi kesempatan untuk memahami dan menelitinya dengan cermat. Pertunjukkan budaya merupakan konteks pertunjukan yang paling menonjol dalam suasana komunikasi dan memiliki ciriciri yang sama yaitu (a) pertunjukan tersebut dijadwalkan, disusun, dan dipersiapkan, (b) peristiwa dalam pertunjukan dibatasi oleh ruang dan waktu (kapan diadakan, berapa lama, dan di mana tempatnya). Ceita Jaka Kandung yang dipertunjukkan itu, baik melalui pertujukkan ketoprak sampai sekarang masih digunakan sebagai media komunikasi untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu kepada masyarakat. Pesan yang disampaikan itu berkaitan dengan unsur kepahlawanan, pendidikan, dan ketabahan hati seseorang. Pertujukan cerita Jaka Kandung ini biasanya dipentaskan di halaman alun-alun kabupaten Blitar. Pementasan cerita Jaka Kandung biasanya ditempatkan pada awal atau akhir jadwal pertunjukkan (1–31 Agustus), bila cerita Jaka Kandung dipentaskan pada awal cerita (1 Agustus) maka biasanya pada akhir pertunjukkan (31 Agustus) sudah tidak dipentaskan lagi. Hal Ini berarti selama pertunjukkan yang memakan waktu 30 hari hanya cerita Jaka Kandung dipentaskan selama 1 kali saja. Sebelum pementasan dimulai tentu saja ada upacara sesajen yang dilakukan oleh kelompok kesenian tersebut. Sudah menjadi tradisi bahwa sebelum mementaskan lakon cerita itu terlebih dahulu para anggota ketoprak mendatangi makan Jaka Kandung yang ada di desa Pakunden Blitar, untuk menyekar (tabur bunga) sekaligus memohon izin untuk mementaskan cerita tersebut. Pada sore hari, menjelang petang, tepatnya sebelum pentas dimulai diadakan pembakaran dupa ratus atau kemenyan untuk suguh (permisi) kepada para dayang yang mbaurekso (menguasai) daerah sekitar tempat pertunjukkan. Prosesi seperti itu dilakukan hanya satu kali selama satu bulan saja, khususnya bila mau mementaskan cerita Jaka Kandung saja. Pertunjukkan Jaka Kandung melalui melalui ketoprak membutuhkan waktu kurang lebih 3 atau 4 jam. Pertunjukkan itu biasanya pada malam hari mulai pukul 20.30-01.00 WIB. Dalam hal pertunjukkan itu diiringi seperangkat bebunyian lengkap, seperti gender, barong penerus, bonang penerung, kendang, kenongkempol, gong, saron, siter, slentem, dhemung, peking, rebab, dan keplak. Tembang-tembang yang dinyanyikan untuk mengiringi ketoprak, seperti pangkur, soran, puji rahayu, sinom, dan pucung. Kelompok ketoprak biasanya beranggotakan sekitar 75 orang dengan rincian sebagai berikut. Pimpinan dan wakil 2 orang, para penabuk (wiyogo) 15 orang, para pemain 49 orang, tukang karcis, tukang dekor, tukang panggung, humas, perlengkapan, dan lain-lain berjumlah 10 orang. Pertunjukkan ketoprak secara garis besar tidak terikat adanya pakem tertentu seperti wayang. Pertunjukkan ketoprak agak sedikit bebas, karena yang dipentingkan unsur dramatiknya. Hanya saja biasanya pertunjukkan ketoprak ada dialog di dalam taman keputren, pasewakan, adanya humor atau pelawak, taritarian, peperangan, perebutan putri atau perebutan kekuasaan, dan penutup bisa happy end atau bisa sad end. Adapun pakaian atau kostum yang digunakan oleh para pemain seniman, disesuaikan dengan lakon ketoprak (ludruk) tersebut, bila seorang raja, patih, bupati, dan Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 93 panglima tentu pakaian yang dikenakan berupa pakaian kebesaran kerajaan, bila prajurit tentu pakaian yang dikenakan berupa seragam prajurit, demikian juga pakaian emban dan pesuruh keraton pakaian yang digunakan berupa pakian sehari-hari. TRANSMISI Ada dua hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan transmisi (penyebaran) cerita itu. Pada transmisi ini, bagaimana penyebaran cerita dikemas, disampaikan atau ditunjukkan agar sampai pada masyarakat, hal itu bisa berupa: (1) resepsi atau tanggapan dari masyarakat; (2) intertekstualitas, ada hubungan cerita satu dengan cerita yang lain atau adanya kesamaan cerita tetapi berbeda versinya. Resepsi Adanya penyebaran, penurunan yang terkadang tidak sama dengan aslinya. Banyak mengalami pergeseran, pergantian karena disesuaiakan dengan resepsi masyarakat setempat, adanya respon dari masyarakat setempat. Menurut Steiner (1982:110), resepsi sastra bisa juga dikatakan sebagai usaha untuk meneliti teks sastra berdasarkan pada tanggapan yang diberikan pembaca tentang teks tersebut. Sebuah karya sastra selalu berubah di bawah perubahan kondisi waktu, tempat, masyarakat, dan bahkan individu. Problem resepsi sastra yang terpenting adalah studi konkretasinya. Keragaman interpretasi dari penikmat karya sastra bisa menjadikan pemahaman, pembacaan, dan penilaiannya yang berbeda-beda. Menurut Vodicka (Matejka, 1972:197), kebebasan pembaca jauh lebih besar. Masyarakat pembacalah yang menikmati, menafsirkan, mengevaluasi secara estetis karya tersebut sehingga mencapai realisasinya sebagai obyek estetik. Dalam cerit a Jaka Kandung yang terdengar di masyarakat itu akhirnya oleh kelompok pecinta seni yaitu Siswa Budoyo 94 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka dibuat garis-garis besar struktur cerita. Seringkali kelompok ini meresepsi cerita untuk dipentaskan agar masyarakat Blitar, Tulungagung, dan Kediri mengetahui keberadaan cerita tersebut. Ketika pertunjukkan ketoprak di kota Blitar, masyarakat sangat menyenangi dan antusias mengikuti jalannya cerita tersebut. Dari pementasan cerita itu, akhirnya masyarakat yang tidak mengetahui menjadi tahu dan paham bahwa di kotanya mempunyai kisah salah satu tokoh adipati yang bernama Nilo Suwarno dibunuh secara kejam oleh Ki Ageng Sengguruh dari Malang. Ada juga masyarakat yang merekam melalui kaset pribadi dari cerita Jaka Kandung itu untuk didengarkan ulang di rumah masingmasing, bila kelompok kesenian Siswo Budoyo sedang mengadakan pertunjukkan di Blitar. Intertekstualitas Dalam sastra lisan ada unsur intertekstual dalam proses transmisinya. Ada hubungan antarteks, ada kemiripan, pengambilan sebagian tertentu dari suatu karya ke dalam karya lain. Menurut Julia Kristeva (Culler, 1977:139), intertekstualitas sebagai ringkasan pengetahuan yang memungkinkan teks mempunyai arti; sekali kita berpendapat tentang arti teks sebagai tergantung pada teks lain yang diserap, ditransformasi, maka di situ pula intersubyektif terpasang, yaitu intertekstualitas. Setiap teks merupakan mozaik, serapan, sitiran, dan transformasi dari teks terdahulu, merupakan jumlah pengetahuan yang memungkinkan teks itu bermakna. Maksud dari pernyataan Julia Kristiva (Imran T.A., 1994:159) itu, setiap teks itu mengambil hal-hal yang baik dari teks lain berdasarkan respon-responnya dan diolah kembali dalam karyanya atau ditulis setelah melihat, meresapi, menyerap hal yang menarik baik secara sadar maupun tidak sadar. Setelah menanggapi teks lain dan menyerap konvensi sastra, konsep estetik atau pikiranpikirannya kemudian ditransformasikan ke dalam karya sendiri dengan ide dan konsep estetik sendiri sehingga terjadi perpaduan baru. Konvensi dan ide yang diserap itu dapat dikenalin apabila kita membandingkan teks yang menjadi hypogramnya dengan teks baru itu. Misalnya: dalam cerita rakyat Jaka Kandung, nama Jaka pada umumnya sebuah nama yang diberikan kepada anak laki-laki, yang ada di daerah Jawa. Nama Jaka merupakan nama kebanggaan orang tua, khususnya bila anak itu lahir pertama laki-laki. Anak lakilaki di daerah Jawa biasa dikudang-kudang (disanjung-sanjung) agar mikul dhuwur lan mendhem jero artinya bisa mengangkat setinggi-tingginya dan menanam sedalamdalamnya diharapkan bisa memuliakan dan membuat nama orang tua menjadi baik serta terangkat derajatnya. Nama Jaka banyak dimasyarakat khususnya di daerah Jawa karena nama suatu kebanggaan tersendiri bagi orangtua pada zaman dahulu. Sudah menjadi hal yang biasa bila nama itu ada kesamaan (ada intertekstual) seperti Jaka Kendil, kanon menurut cerita berbadan hitam, perutnya gendut karena kebanyakan makandan tidur. Jadi, seperti kendil bulat dan jelek. Nama Jaka Umbaran kanon menurut cerita jejaka ini tidak terurus (terlalu diumbar) oleh orangtuanya sehingga dia hidup di luar rumah dan kurang pendidikan orangtuanya. Tidak ketinggalan pula, nama Jaka Tinggkir, yang menurut cerita seorang anak muda itu lahir di desa Tingkir. Jaka Tarub, anak muda itu karena anak seorang panembahan bernama Ki Ageng Tarub, setelah meninggal nama Tarub ditambahkan kepada anaknya. Di samping itu, ada intertekstualitas dengan yang lain, yaitu adanya kesamaan alur cerita Jaka Kandung dengan cerita yang lain, membuktikan bahwa pada zaman dahulu para pencerita sedikit banyak berpatokan pada cerita yang sudah pernah ada. Contoh, kesamaan itu bisa dilihat pada cerita Damarwulan dan Jaka Kandung, di mana dalam cerita tersebut sama- sama terjadi suatu kelicikan, yang dilakukan pada tokoh antagonis. Pada cerita Damarwulan kelicikan dilakukan Layang Seta dan Layang Kumitir terhadap Damarwulan, sementara itu pada cerita Jaka Kandung kelicikan dilakukan oleh Ki Ageng Sengguruh kepada Nilo Suwarno. Pada cerita Damarwulan sang tokoh tidak mengalami kematian, hanya mengalami kesulitan saja, yaitu tidak bisa membawa bukti kepala Adipati Minakjingga kehadapan Sang Prabu Kenya Kencanawungu. Akan tetapi, pada cerita Jaka Kandung tokoh utama (Nilo Suwarno) mengalami kematian yang anggapan masyarakat menghilang dengan raganya. UNSUR KESEJARAHAN TOKOH DAN LATAR Menurut struktur cerita Dewi Kemuning (Sri Wulan) istrinya Nilo Suwarno, yang sedang hamil itu mengidam ikan Baderbang Sisik Kencana. Sebetulnya nama ikan itu tidak ada hanya saja untuk memunculkan permasalahan atau untuk menyulitkan pada sang tokoh si empunya cerita memberi permasalahan seperti itu. Untuk memenuhi keinginan istrinya itu, Nilo Suwarno membuat sayembara “barang siapa yang bisa menunjukkan di mana adanya ikan Baderbang Sisik Kencana, maka akan diberi hadiah yang sangat besar.” Ki Ageng Sengguruh, tokoh sebuah padepokan yang berada di Malang mendengar akan hal tersebut dan memang dia sudah lama mempunya keinginan menjadi adipati di kadipaten Blitar. Dia segera pergi menunjukkan tempat adanya ikan tersebut yang hanya ada di kedung Gayaran (kini bernama Bendungan Wlingi, yang digunakan untuk PLTA). Setelah mendengar hal itu Nila Suwarna dan abdi dalem langsung pergi menuju ke tempat tersebut. Akan tetapi, apa yang ditemukan di sana?, ternyata dia dihujani batu dan kerikil oleh anak buah Ki Ageng Sengguruh, dengan tujuan agar Nilo Suwarno tewas dengan cara yang tidak mencolok (halus). Akan tetapi, Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 95 diluar dugaannya Nilo Suwarno ternyata masih bisa berlindung di dalam gua yang ada di bagian dalam kedung itu, untuk menghindari hujan kerikil dan batu tersebut. Kedung itu bernama Gayaran di desa Lodoyo, sekarang sudah dibangun bendungan PLTA. Sementara itu, abdinya Nilo Suwarno bermaksud segera pulang ke kadipaten untuk melaporkan kejadian yang menimpa atasannya itu, dengan membawa pakaian dan keris Kyai Panjer milik adipati Nilo Suwarno. Namun, keris itu berhasil di rebut oleh anak buah Ki Ageng Sengguruh. Setelah kejadian itu Nilo Suwarno tidak bisa ditemukan oleh anak buah Ki Ageng Sengguruh, sehingga dianggap dia telah musnah bersama raganya. Oleh karena itu, Ki Ageng Sengguruh segera meninggalkan tempat tersebut untuk menduduki kadipaten Blitar, menggantikan Nilo Suwarno. Sementara itu, abdi dalem yang sudah sampai lebih dahulu di kadipaten segera membawa Dewi Kemuning mengungsi di gunung Pegat, untuk menghindari pencarian Ki Ageng Sengguruh dan anak buahnya. Adapun gunung Pegat di desa Srengat memiliki cerita yang unik, konon kalau ada sepasang mudamudi yang sedang menjalin cinta dan mendatangi tempat tersebut, maka kemungkinan akan putus hubungan mereka. Setelah beberapa waktu berlalu, Dewi Kemuning melahirkan anaknya yang pertama, seorang bayi lelaki yang kemudian diberi nama Jaka. Nama Kandung sebuah nama desa di wilayah Tulungagung, menurut cerita para sesepuh pada zaman dahulu merupakan tempat bermainnya Jaka, ketika masih anak-anak. Desa itu memang bernama Kandung. Oleh karena, desa itu bernama Kandung maka sebagai pelengkap nama anak Dewi Kemuning itu diberi nama tambahan Jaka Kandung. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan pun berganti tahun, Jaka Kandung sudah tumbuh menjadi seorang perjaka yang gagah dan tampan. Jaka Kandung pun sudah tidak tinggal lagi dengan ibunya. Para prajurit 96 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka yang masih sisa sebagian tersebar di manamana untuk mencari informasi demi merebut kembali tahta kadipaten Blitar. Ada sebagian lagi di desa kepatihan, desa itu juga digunakan untuk bertahannya para punggawa Arya Blitar I gelar dari Nilo Suwarno, dan para prajuritnya saat menghindari kejaran prajurit Ki Ageng Sengguruh. Di desa kepatihan tempat mengadakan perundingan dan rencana penyerbuhan kembali dari kekuasaan Ki Ageng Sengguruh. Sampai sekarang desa tersebut masih ada, letaknya sebelah barat kadipaten Blitar. Cukup jauh juga dari kadipaten Blitar, makanya para prajurit pun bersembunyi dan merencanakan penyerbuan dari sana. Pada suatu hari, ketika bertandang ke desa tetangga ia diberi tahu temannya bahwa, paman abdi yang membesarkannya itu bukanlah ayahnya. Oleh karena itu, sesampainya di rumah ia segera menanyakan kebenaran cerita itu kepada ibunya. Pertanyaan tersebut ternyata menimbulkan kesedihan di hati Dewi Kemuning, hingga ia meneteskan air matanya, tetapi ia mau memberi tahu siapa yang bisa menunjukkan di mana ayahnya berada. Begitu mendapat jawaban dari ibunya, Jaka Kandung segera menemui paman patih untuk menanyakan hal tersebut dan meminta paman patih agar mengantarkannya ke tempat di mana ayahnya berada. Maka dari itu, mereka segera berangkat ke kedung Gayaran, di mana Nilo Suwarno pernah meninggal. Sesampainya di sana Jaka Kandung menyatukan pikiran dengan Sang Hyang Tunggal, lalu dia mendapat bisikan gaib dari ayahnya agar segera merebut kembali kadipaten Blitar dari tangan Ki Ageng Sengguruh. Setelah Jaka Kadung musyawarah dengan paman patih dan beberapa prajurit lain yang masih setia. Dalam musyawarah itu paman patih memberikan beberapa saran sebagai persiapan merebut kembali tahta adipati. Untuk itu segera dipersiapan segala sesuatunya agar penyerangan tersebut bisa segera terlaksana dan berhasil dengan baik. Sebagai salah satu usaha untuk melaksankan tujuannya, paman patih Kalambung menyarankan agar untuk sementara waktu sambil menunggu Jaka Kandung menjadi dewasa, maka sebaiknya dia mengabdi dulu kepada Ki Ageng Sengguruh. Pengabdian itu dengan tujuan untuk memudahkan penyerangan. Ternyata akhirnya Ki Ageng Sengguruh terlena dengan perangai Jaka Kandung, yang sesungguhnya berpura-pura menjadi anak yang baik dan penurut. Sesuai dengan rencana Jaka Kandung berhasil membunuh Ki Ageng Sengguruh dengan menggunakan sebilah keris milik ayahnya yang bernama Kyai Panjer, yang tersimpan di museum, lalu dicurinya. Dengan tewasnya Ki Ageng Sengguruh itu, maka Jaka Kandung berhak menduduki tahta adipati, sebagai pewaris tunggal yang sah setelah ayahanda meninggal, lalu dia dinobatkan sebagai Arya Blitar ke II. PENUTUP Cerita Jaka Kandung termasuk dalam legenda perseorangan karena sang tokoh tidak memberi nama-nama tempat sepanjang cerita atau alur itu berkembang. Hanya saja masyarakat menghubungkan cerita tersebut dengan keberadaan tempat-tempat tersebut. Penyebaran cerita Jaka Kandung melalui masyarakat dari orang-seorang, lalu dari kelompok kecil ke kelompok besar dan akhirnya menyebar ke wilayah Blitar dan sekitarnya. Dari cerita masyarakat tersebut, lalu diresepsi oleh kelompok kesenian, yaitu ketoprak untuk ditampilkan atau dipentaskan agar masyarakat mengetahui struktur yang jelas keberadaan kisah dan legitimasi kisah tersebut. Di samping itu, cerita tersebut merupakan salah satu aset atau kekayaan budaya daerah. Dalam pementaskan lakon Jaka Kandung tampak masyarakat sangat responsif dan apresiatif, terbukti apabila ada pertunjukkan ketoprak di kabupaten Blitar, masya- rakat di wilayah Blitar melalui Bapak Camat meminta kepada ketua rombongan untuk mementaskan cerita Jaka Kandung. Cerita tersebut ada intertekstualnya dengan cerita lain. Tokoh antagonis yang menggunakan kelicikan, seperti tokoh Layang Seta dan Layang Kumitir menyingkirkan Damarwulan, sedangkan Ki Ageng Sengguruh menyingkirkan Jaka Kandung. Di samping itu, ada juga tempattempat yang sekarang masih bisa dilihat, seperti kedung Gayaran kini menjadi bendungan Wlingi untuk PLTA, gunung Pegat kini tempat rekreasi bagi masyarakat setempat, desa Patihan, desa Kandung di wilayah Tulungagung. DAFTAR RUJUKAN Abdullah, Imran, T. 1999. Suplemen Penyebaran Ilmu Kesusastraan dan Penerapannya. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Culler, Jonathan. 1977. Structuralist Poetics. London: Methuen & Co. Ltd. Djamaris, Edwar. 2002. Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Danandjaja, James. 1986. Folklor Indonesia, ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Grafiti Pers. Finnegan, Ruth. 1984. Oral Traditions and The Verbal Arts, a guide to research practices. London and New York: Routledge. Gaffar, Zainal Abidin. 1991. Sastra Lisan Kayu Agung. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Imran, T.A. 1994. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia Universitas Ahmad Dahlan. Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: PT. Gramedia Wawancara dengan pimpinan ketoprak, yaitu Bapak Suhari, pada bulan Desember 2000, di desa Bangsri II, Nglegok, Blitar. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 97 Biografi Penulis Rokhyanto lahir di desa Kedungmiri Batang (Jateng), pada 17 April 1964. Menyelesaikan pendidikan SD, SMP, dan SMEA di Kotanya, kemudian melanjutkan S-1 IKIP Bandung 1984-1989, S-2 UGM 98 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Yogyakarta 2000-2003, dan kini berstatus menjadi mhs. pascasarjana Univ. Islam Malang (Pend. Bhs. Ind). Mulai tahun 1990 s.d sekarang masih membantu teman-teman yang kerepotan mengajar di IKIP-BU Malang. Pengembangan Minat Keterampilan Menulis di SDN Kauman dan sebagai Upaya Peningkatan Daya Kritis dan Kreativitas Siswa Mukhamad Hermanto Mahasiswa PPs Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang [email protected] Abstrak Menulis merupakan keterampilan dalam Pendidikan Bahasa Indonesia. Dalam menulis siswa lebih bisa membuka pikiran. Siswa lebih bisa berimajinasi dan berekspresi untuk menuangkan ide-ide yang ada dalam pemikirannya. Canggihnya teknologi membuat siswa malas atau tidak mau menulis, karena mereka menganggap menulis itu sesuatu yang kuno dan sulit. Siswa Sekolah Dasar sekarang lebih suka dengan teknologi yang ada pada dewasa ini. Mereka lebih suka dengan SMS, BBM, Facebook, dan WA itu semua aplikasi yang sangat disenangi oleh siswa terutama pada tingkat Sekolah Dasar. Menulis dianggap sulit dan tidak ada gunanya bagi siswa sekolah dasar. Guru berperan aktif dalam hal ini, dimana siswa bisa menyukai dan mencintai keterampilan menulis. Keterampilan menulis pada siswa sekolah dasar bisa diaplikasikan pada menulis cerita pendek (cerpen). Siswa sebetulnya mempunyai segudang ide untuk dituangkan dalam tulisan, tetapi dalam hal ini tidak ada yang membimbing. Pengembangan minat siswa dalam keterampilan bisa menggunakan cara pembiasaan. Pembiasaan yang dimaksud siswa sekolah dasar kelas 5 terutama pada SDN Kauman 3, setiap pagi diberi waktu sepuluh menit untuk menulis dua atau tiga kalimat. Sebelum siswa mengarah kesana, siswa diberi pengarahan dalam tata cara menulis sederhana. Siswa dilatih menulis dua atau tiga kalimat yang mengandung daya kritis dan kreatifitas siswa. Kegiatan seperti ini bisa dilakukan selama satu bulan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif denganmetodedeskriptif. Tujuan penelitian ini adalah untuk menumbuhkan keterampilan siswa dalam menulis, guru sekolah dasar supaya lebih bisa berinovasi. Pengembangan minat keterampilan menulis ini juga bisa menumbuhkan rasa percaya siswa dalam mengungkapkan semua ide yang ada dalam pikirannya. Kata kunci : Pengembangan Minat, Menulis, SDN Kauman 3 A. PENDAHULUAN Menulis merupakan salah satu keterampilan di dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Menulis dapat dilakukan dengan berbagai cara, pada pembelajaran kegiatan menulis banyak sekali dilakukan. Kegiatan menulis dalam pembelajaran antara lain menulis puisi, pidato, karangan, dan menulis cerpen. Pada era kemajuan teknologi kegiatan menulis harus lebih maju bukan mundur, tetapi dalam kenyataannya kegiatan menulis ini mundur terutama dalam kegiatan pembelajaran. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia kegiatan menulis tidak lagi ditekankan, kebanyakan siswa diarahkan untuk mendengarkan dan menyimak. Hal, ini terlihat pada pendidikan dasar atau SD. Pada Sekolah Dasar kegiatan menulis tidak pernah dilakukan. Siswa mempunyai minat dan bakat dalam menulis tetapi hal ini tidak pernah digali oleh guru dan siswa. Minat dan bakat siswa ini perlu digali lagi supaya siswa dapat menghasilkan sebuah karya kecil. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 99 Minat menulis pada siswa sekolah dasar perlu dikembangkan. Menulis yang diajarkan pada siswa sekolah dasar harus mengandung daya kristis dan kreativitas siswa. Pada Sekolah Negeri Kauman 3 kegiatan menulis sangatlah kurang, siswa tidak pernah diajari bagaimana menulis yang baik dan benar. Maka, daya pikir seorang siswa menjadi kurang karena tidak pernah diajari menulis yang kreatif dan kritis. Keterampilan menulis yang baik diperoleh dengan latihan yang berulang-ulang dan memerlukan waktu yang tidak sebentar, mengingat kegiatan menulis sangat komplek dalam arti melibatkan berbagai keterampilan untuk mengungkapkan ide, pikiran, pengetahuan, dan pengalaman-pengalaman hidup dalam bahasa tulis yang jelas, runtut, ekspresif, dan mudah dipahami. Dalam kegiatan pembelajaran menulis, siswa diarahkan untuk mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tulis, anak didik diharapkan mampu menuangkan gagasan atau idenya secara runtut dengan diksi yang tepat, struktur yang benar sesuai dengan konteksnya. Menurut Keraf (1995:6) tujuan umum menulis dipengaruhi oleh kebutuhan dasar manusia, yaitu: 1) keinginan untuk memberi informasi kepada orang lain dan mendapatkan informasi dari orang lain mengenai suatu hal, 2) keinginan untuk menyakinkan seseorang menganai suatu kebenaran akan suatu hal, dan lebih jauh mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain, 3) keinginan untuk menggambarkan atau menceritakan bagaimana bentuk atau wujud suatu barang atau objek, atau mendeskripsikan cita rasa suatu benda, hal, atau bunyi, dan 4) keinginan untuk menceritakan kepada orang lain tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang terjadi, baik yang dialami maupun yang didengar dari orang lain. Keterampilan menulis sudah sejak lama dilaksanakan dengan berbagai metode namun sampai sekarang belum ada hasil yang optimal. Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh Sutama dkk. (1998 dalam Nurhayati 2000:13) 100 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka “siswa belum dapat dikatakan mampu berbahasa Indonesia secara baik dan benar, baik lisan maupun tulisan, mulai Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Umum”. Siswa masih bingung dan mengalami kesulitan ketika harus menulis. Fenomena tersebut memunculkan upaya sebagai bentuk solusi mengatasi permasalahan tersebut. Tarigan (1986:3) sebagai ahli yang menyebutkan bahwa menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain. Sementara menurut Gie (2002:3) mengarang atau menulis adalah segenap rangkaian kegiatan seseorang mengungkapkan gagasan dan menyampaikannya melalui bahasa tulis kepada masyarakat pembaca untuk dipahami. Melalui bahasa tulis, penulis atau pengarang berusaha mengungkapkan ide-idenya agar dipahami pembaca. Menurut Keraf (1995:6) tujuan umum menulis dipengaruhi oleh kebutuhan dasar manusia, yaitu: 1) keinginan untuk memberi informasi kepada orang lain dan mendapatkan informasi dari orang lain mengenai suatu hal, 2) keinginan untuk menyakinkan seseorang menganai suatu kebenaran akan suatu hal, dan lebih jauh mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain, 3) keinginan untuk menggambarkan atau menceritakan bagaimana bentuk atau wujud suatu barang atau objek, atau mendeskripsikan cita rasa suatu benda, hal, atau bunyi, dan 4) keinginan untuk menceritakan kepada orang lain tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang terjadi, baik yang dialami maupun yang didengar dari orang lain. Menulis merupakan bentuk perwujudan imajinasi yang tertulis. Siswa selalu diajak untuk berimajinasi dalam melakukan pekerjaan menulis. Siswa SDN Kauman 3 dalam hal harus ditumbuhkan rasa menulis yang tinggi untuk meningkatkan daya imajinasi siswa. B. KAJIAN PUSTAKA Studi pendahuluan penelitian ini berjudul Pengembangan Minat Keterampilan Menulis di SDN Kauman 3 sebagai Upaya Peningkatan Daya Kritis dan Kreatifitas Siswa. Siswa akan di asah daya pikir dan kreativnya dalam pembelajaran menulis. Siswa harus mempunyai tujuan dalm pembelajaran menulis. Tujuan menulis menurut Syarif, Zulkarnaini, dan Sumarmo, (2009:6) adalah sebagai berikut. Pertama, menginformasikan segala sesuatu, baik itu fakta, data maupun peristiwa termasuk pendapat dan pandangan terhadap fakta, data dan peristiwa agar khalayak pembaca memperoleh pengetahuan dan pemahaman baru tentang berbagai hal yangdapat maupun yang terjadi di muka bumi ini. Kedua, membujuk; melalui t ulisan seorang penulis mengharapkan pula pembaca dapat menentukan sikap, apakah menyetujui atau mendukung yang dikemukakan. Penulis harus mampu membujuk dan meyakinkan pembaca dengan menggunakan gaya bahasa yang persuasif. Oleh karena itu, fungsi persuasi dari sebuah tulisan akan dapat menghasilkan apabila penulis mampu menyajikan dengan gaya bahasa yang menarik, akrab, bersahabat, dan mudah dicerna. Ketiga, mendidik adalah salah satu tujuan dari komunikasi melalui tulisan. Melalui membaca hasil tulisan wawasan pengetahuan seseorang akan terus bertambah, kecerdasan terus diasah, yang pada akhirnya akan menentukan perilaku seseorang. Orang-orang yang berpendidikan misalnya, cenderung lebih terbuka dan penuh toleransi, lebih menghargai pendapat orang lain, dan tentu saja cenderung lebih rasional. Terakhir, menghibur; fungsi dan tujuan menghibur dalam komunikasi, bukan monopoli media massa, radio, televisi, namun media cetak dapat pula berperan dalam menghibur khalayak pembacanya. Tulisan-tulisan atau bacaan-bacaan “ringan” yang kaya dengan anekdot, cerita dan pengalaman lucu bisa pula menjadi bacaan penglipur lara atau untuk melepaskan ketegangan setelah seharian sibuk beraktifitas . Dari t ujuan-tujuan di atas siswa diharapkan mampu untuk menulis terutama menulis cerpen untuk mengembangkan daya pikir yang kritis dan kreatif. Murujuk pada tujuan penulisan di atas siswa SDN Kauman 3 diharapkan bisa mengahsilkan sebuah karya dalam menulis. C. METODE PENELITIAN Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Data dikumpulkan melalui proses penulisan sebuah cerpen yang dilakukan siswa kelas lima SDN Kauman 3 sebelum kegiatan pembelajaran dimulai. Pengumpulan data ini dilakukan selama sepuluh menit dengan menuliskan dua sampai tiga kalimat setiap hari. Menggunakan metode ini, sangat diharapkan siswa bisa menulis sebuah cerita pendek. Hasil penulisan siswa akan dikumpulan setiap harinya untuk dirangkai menjadi sebuah tulisan yang menarik. Hal ini perlu dilakukan agar imajinasi siswa untuk menulis selalu terasah dan terpacu dalam pembelajaran menulis untuk menghasilkan sebuah karya. D. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengembangan minat keterampilan menulis di SDN Kauman 3 sebagai upaya peningkatan daya kritis siswa dengan menggunakan metode pengumpulan dua sampai dengan tiga kalimat sebelum pembelajaran dimulai sangat efektif. Guru dan siswa dalam hal ini harus berperan aktif. Siswa dalam melakukan kegiatan menulis setiap pagi selalu didampingi oleh guru. Kegiatan menulis yang dikerjakan oleh siswa selalu dilakukan pada alam terbuka yang ada di Sekolah Dasar Negeri Kauman 3. Hal ini dilakukan bertujuan untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas siswa dalam menulis. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 101 Menggunakan metode dua tiga sepuluh setiap hari siswa selalu mendapatkan ide dalam melanjutkan cerita yang ditulis. Siswa merasa senang dengan metode ini. Hasil pekerjaan siswa sudah bisa memberikan berbagai judul karya cerita pendek yang siswa tulis. Hasil tulisan siswa sudah memberikan karya yang kreatif, beberapa judul karya siswa Sekolah Dasar Negeri Kauman 3 adalah sebagai berikut, (1) Franky, judul ini mengisah seorang siswa yang pintar tetapi usianya hanya seumur jagung. (2) Si Pemarah, judul ini juga ditulis oleh siswa SDN Kauman 3 tokoh dalam Si Pemarah adalah salah satu teman dari Aini yang selalu marah tetapi sangat baik hati. Si Pemarah merupakan tulisan yang dibuat oleh siswa dari kehidupan di sekolah. (3) Sahi dan Kemalasan,cerpen dengan judul ini mengisahkan seorang siswa yang begitu malas dalam belajar dan sekolah sehingga tokoh Sahi tidak bisa mengikuti pelajaran, sampai pada waktunya Sahi terkena masalah yang besar. (4) Miskin,judul yang menarik bagi siswa kelas lima sekolah dasar, cerpen ini mengisahkan kemiskinan seorang temannya di kehidupan sekolah. Tokoh dalam cerpen Miskin mempunyai watak yang begitu gigih dan semangat dalam sekolah. (5) Indahnya Kejujuran,judul ini juga mengisahkan siswa SDN Kauman 3 yang mempunyai sikap yang jujur dalam kehidupan pribadinya, dimana tokoh dalam cerita menjadi contoh untuk teman-temannya karena selalu bersikap jujur. (6) Surat untuk Bunda, cerpen ini mengisahkan anak yang merindukan sosok seorang ibu, tokoh yang ditulis oleh siswa kelas lima ini sangat memilukan. Seorang anak yang ditinggal ibunya bekerja jauh demi biaya anaknya untuk bersekolah. (7) Menggapai Impian, mengisahkan cita-cita seorang siswa yang berharap bisa menggapai cita-cita yang diharapkan dengan keterbatasan fisik. Tokoh dalam judul ini memiliki keterbatasan fisik, melainkan memiliki keinginan yang sangat tinggi dalam menggapai cita-cita. (8) Duka Hari Senin, mengisahkan seorang siswa kelas enam yang 102 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka selalu terlambat datang ke sekolah dengan berbagai alasan. Tokoh dalam cerita selalu menyembunyikan kehidupan pribadinya dari guru kelasnya, sampai suatu ketika guru kelas berkunjung ke rumah si tokoh. (9) Mutiara Terpendam, judul ini juga ditulis oleh siswa SDN Kauman 3. Cerita yang ditulis adalah mengisahkan soerang penjaga sekolah yang memiliki kepribadian yang gigih dalam bekerja dan selalu menolong siswa yang kesusahan pada waktu sekolah dalam hal kebaikan. (10) Kebohongan menjadi Petaka, judul ini juga sangat menarik yang ditulis oleh siswa kelas lima, judul ini mengisahkan tentang temannya yang selalu berbohong dalam segala hal, sampai pada suatu ket ika tokoh dalam cerita mendapatkan petaka dalam kebohongannya sendiri. Hasil dari metode dua tiga sepuluh menghasilkan beberapa judul cerita pendek karya siswa SDN Kauman 3, dari pengembangan minat keterampilan menulis sebagai upaya peningkatan daya kritis dan kreavitasnya. Judul di atas merupakan hasil metode yang harus dilakukan secara berkelanjutan dan tidak boleh terputus untuk mendapatkan hasil yang maksimal. E. SIMPULAN Keterampilan menulis sangat dibutuhkan dalam dewasa ini. Seoarang siswa kalau tidak dilatih sejak dini dalam bidang keterampilan menulis maka tidak akan pernah bisa menulis. Metode dua tiga sepuluh adalah salah satu bentuk metode yang harus dilaksanakan untuk melatih siswa bisa menulis. Kegiatan menulis sangatlah sulit, dari kesulitan itu harus dilakukan untuk menjadi sesuatu hal yang mudah. Berdadarkan metode dua tiga sepuluh sudah bisa melatih siswa untuk belajar menulis, dari metode ini siswa bisa menulis dengan beberapa judul. Analisis judul pada hasil dan pembahasan, sudah bisa menunjukan siswa bisa menulis dengan metode dua tiga sepuluh untuk meningkatkan daya kritis dan kreativitas siswa. F. DAFTAR PUSTAKA Keraf, Gorys. 2004. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Nurhayati. 2000. Pembelajaran Menulis. Jurnal Ilmiah. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Syarif, Elina., Zulkarnaini, dan Sumarmo. 2009. Pembelajaran Menulis. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bahasa. Tarigan, Henry Guntur. 1986. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 103 Menumbuhkembangkan Karakter Siswa Sekolah Dasar Melalui Penerapan Media Pembelajaran Film Bertema Cinta Tanah Air” Oleh: Anggi Fridianto (STKIP PGRI JOMBANG) Novia Hardiyanti (STKIP PGRI JOMBANG) Muyasaroh (STKIP PGRI JOMBANG) Wahyu Linda Sari (STKIP PGRI JOMBANG) Dr. Ninik Sudarwati, M.M. (STKIP PGRI JOMBANG) Abstrak: Pendidikan merupakan alat untuk mengembangkan potensi yang ada dalm manusia agar menjadi insan yang lebih baik. Sebagaimana hal itu telah tertuang dalam UURI No.20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS Pasal 1 : 65 bahwa pendidikan dilaksankan agar peserta didik mampu mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia yang mana kelak akan berguna bagi bangsa dan Negara. Terdapat 4 pilar pendidikan agar sebuah roda pendidikan berjalan dengan baik yakni; guru sebagai pengajar, siswa sebagai peserta didik, pemerintah sebagai penyedia dana serta sapras dan peran serta masyrakat yang mendukung proses berjalanya pendidikan. Di dalam era globalisasi ini, peran teknlogi juga berpengaruh dalam proses pendidikan di Indonesia. Peran teknologi memberikan dampak positif dan negatif dalam proses pemebelajaran. Peran positif contohnya teknologi sebagai penunjang proses pembelajaran, sebagai media yang mampu mendukung proses belajar mengajar yang dapat memberikan kemudahan untuk mengakses informasi yang lebih cepat, tetapi teknologi juga dapat memberikan peran negatif apabila seorang peserta didik mendapatkan perhatian yang kurang dari pihak yang lebih dewasa seperti guru, kepala sekolah ataupun orang tua. Peranan negatif seperti hal nya menggunakan hand phone saat kegiatan belajar mengajar ataupun menggunakan teknologi penunjang lainya dalam KBM akan memberikan dampak negatif seperti malas belajar, berkurangnya rasa ingin tau, selalu mengandalkan teknologi dan sering mengacuhkan guru saat pembelajaran. Beranjak dari permasalahan tersebut, peneliti telah melakukan penelitian pendidikan dalam hal penumbuhkembangan karakter siswa sekolah dasar dengan menerapkan film bertema nasionalisme sebagai media pembelajran. Penelitian ini diterpakan pada siswa sekolah dasar kelas 5 di SDN Pulo Lor 2 dengan menggunakan metode one group pre-tes post-test design sebagi metode penelitian. Instrument dalam penelitian ini adalah angket untuk mengukur nilai karakter siswa. Hasil dari penelitian ini yakni menunjukan peningkatan nilai karakter pada siswa sebgaimana hasil hipotesis diterima. Kata kunci: karakter, siswa sekolah dasar, pembelajaran, praktek siswa dengan pebelajaran media film bertema cinta tanah air yang berisikan tentang seorang Karakter siswa sekolah dasar dapat disiswa SD yang semangat belajar, berhemat, tumbuhkan dengan pembelajaran menggunaberbakti kepada orang tua dan peduli terhadap kan media Film cinta bertema tanah air sebagai lingkungan. Hasil total skor terjadi peningkatan sarana untuk merubah perilaku atau karakter karakter siswa dan hasil uji beda meunujkkn siswa menjadi lebih baik. Kegiatan eksperimen PENDAHULUAN 104 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka terdapat perbedaan karakteer siswa sebelum pembelajaran menggunakan film dan setelah pembelajaran menggunkan film. dampaknya siswa menjadi lebih semangat dalam belajar, peduli terhadap lingkungan ddan berbakti kepada orang tua. Pemerintah Indonesia menggalakkan pendidikan karakter sejak tahun 2010 yang menanamkan pendidikan karakter pada siswa. Pada tahun tersebut Kementrian pendidikan Nasional indonesia telah memperkenalkan bahwa pendidikan karakter merupakan suatu tonggak dasar demi berdirinya sutu bangsa yang kokoh. Pendidikan karakter secara umum sesuai dengan tujuan bangsa indonesia yang tercantum dalam GBHN yaitu menuju bangsa yang mengembangkan nilai-niali budaya dan juga menuju bangsa yang berakhlak mulia, berkarakter baik dan berbudi pekerti luhur serta diperjelas dalam undng-undang NO.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta perdaban bangsa yang bermartabat dalam rangka menceraskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembngkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada tuhan yang maha esa, berahklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Proses globalisasi telah berjalan yang membawa dampak positif dan negatif. Dampak positif globalisasi antara lain kompetisi, kerjasama, intregasi antar negara. Sedangkan dampak negatif globalisasi melalui sarana internet, koran, handphone antara lain lahirnya generasi instan (generai sekarang, langsung bisa menikmati keinginan tanpa proses perjuangan dan kerja keras), dekadensi moral berupa cara berpakaian, cara etika berinteraksi tidak sesuai dengan adat ketimuran. Begitu permasalahan pada siswa sebagai generasi muda sering terjadi perkelaian antar remaja kurang peduli sosial, kurang tangguh terhadap tantangan kerja, bersikap instan dan mudah putus asa. Sehingga untuk membentuk karakter siswa yang lebih baik diperlukan pendidikan karakter sejak dini didalam pendidikan formal. Salah satu solusi mengurangi dampak negative globalisasi dan terdinya penuunan karakter bangsa dari bangsa dari generesai muda dengan cara menuimbuhkemmbangkan pendidikan karakter dlam lingkup pendidikan formal anatara lain proses pembelajaran yang berbasi karakter.kegiatan menumbuhkan pendidkkan karatek bdalam pbm sangat dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu peran guru yang maksimal, bahan ajar yang variatif, media pemebelajaran yang sesuai dengan perkembangan teknologi dan tututan siswa, fasilitas dan sarana pembelajaran yang menunjang pendidikan karakter siswa. Permasalahn dalam media pembelajaran untuk meningkatkan pendidikan karakter masig sangat terbatas dan memerlukn inovasi inovasi baru yang dapat menarik minat belajar siswa dan dapat menumbuhkembangkan karakter siswa.erdasarkan latar belakang diats maka diperlukan media film cinta tanah air sebagai sarana untuk menumbuhkembangkan karakter siswa dalam proses pembelajaran dikelas. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini jenis penelitian eksperimen pada objek tunggal, dengan pendeketan kuantitatif menggunakan uji beda atau uji t, untuk mengukur efektifitas eksperimen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan perubahan karakter pada siswa sekolah dasar kelas 5 sebelum dan sesudah diberikan pembelajaran dengan menerapkan film bertema nasionalisme, Obyek penelitian dilakukan pada 35 siswa SD negeri pulo Lor 2 Jombang, variabel dalam penelitian ini adalah Variabel X1: hasil skor karakter siswa sebelum penerapan media pembelajaran berbasis film; 2) Variabel X2: hasil skor karakter siswa sesudah penerapan media pembelajaran berbasis film Hipotesis yang diajukan: Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 105 H0 = tidak ada “perbedaan dari hasil pada penerapan menggunkan media bertema cinta tanah air pada siswa tingkat sekolah dasar” Ha = ada “perbedaan “perbedaan dari hasil pada penerapan menggunkan media bertema cinta tanah air pada siswa tingkat sekolah dasar” Indikator hasil skor pada siswa, adalah: (1) Karakter individu: religious, jujur, disiplin, Kerja keras, kreatif dan mandiri, (2) Karakter sosial: toleransi, rasa ingin tahu, peduli lingkungan dan peduli social, (3) Karakter kepemimpinan: tanggung jawab, demokratis. Metode untuk pengumpulan data dengan metode questioner dengan instrument angket untuk memperoleh informasi karakter siswa. Proses dalam pengumpulan data ini berlangsung setelah diterapkanya proses belajar mengajar menggunkan media bertema film cinta tanah air. Metode wawancara dengan instrument lembar observasi terstruktur kepada guru tentang pelaksanaan penerapan media pembelajaran berbasis film. Skala pengukuran menggunakan menggunakan skala likert, setiap masing-masing jawaban diberi penilaian sesuai dengan ketentuan 4 (empat) tipe ini dimasukkan untuk memberikan beberapa alternative jawaban responden yaitu : Jawaban nomor 4 skor = 4; Jawaban nomor 3, skor = 3; Jawaban nomor 2, skor = 2; Jawaban nomor 1, skor = 1. Keterangan skor diatas menunjukkan alternatif jawaban dari responden skor 4 adalah Sangat baik dengan keterangan Selalu, Skor 3 kadang kadang, skor 2 jarang dan skor 1 berarti tidak pernah sama sekali dan negatif. Teknik analisis data menggunakan pengujian perbedaan rata-rata dengan teknik T tes dua sampel besar yang satu sama lain saling berhubungan. Dengan rumus sebagai berikut: M1 - M2 t0 = SEM1-M2 (Montgomery, 2001) Keterangan : SEM1-M2 = Standart error perbedaan mean antara sampel I dan sampel II. 106 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka M1 - M2 = Perbedaan variabel sebelum(X1) dengan mean variabel sesudah (X2) Uji hipotesis diuji signifikansinya dengan membandingkan hasil perhitungan uji beda atau uji t “t” hitung dan “t ” tabel dengan memperhatikan pada derajat kebebasan (df) = 35+35-2=68. Nilai t tabel dan diperoleh dengan taraf signifikan 0, 05. HASIL PENELITIAN Untuk membandingkan karakter siswa dalam pembelajaran antara menggunakan media film dan sebelum penerapan media film. Peneliti menyajikan data tersebut melalui angket yang berhubungan dengan karakter siswa. Angket akan dibagikan dua kali yaitu sebelum penerapan media dan sesudah penerapan media berjumlah 35 siswa. Peneliti menyiapkan 20 soal angket untuk menguji karakteristik siswa sebelum pembelajaran ( pre test ) dan sesudah pembelajaran ( post test ). Setelah data terkumpul, peneleti akan mulai menganalisis data dari hasil pre test dan dilanjutkan analisis hasil post test. Analisis terakhir dari penelitian ini adalah uji hipotesis yang digunakan untuk mengetahui kebenaran hipotesis yang telah direncanakan A. Analis hasil pre-test (Tabel 1 Hasil Pre test Siswa) No 1 2 3 4 Code Siswa Selalu A-1 A-2 A-3 A-4 10 4 10 4 34 A-34 35 A-35 Jumlah Prosentase 10 3 195 27,86% Respon Siswa KadangJarang kadang 5 4 3 10 4 3 5 9 Tidak pernah 1 2 3 2 4 4 159 22.71% 1 1 72 10.29% 5 12 274 39.14% Dari hasil analisis tabel pre-test di atas dapat disimpulan bahwa dari jumlah seluruh siswa yaitu 35 siswa menunjukan prosentase tertinggi dengan jawaban jarang lalu diikuti jawaban selalu, kemudian diikuti oleh jawaban kadang-kadang dan terakhir jawaban paling sedikit yaitu tidak pernah. Dari hasil interpretasi diatas dapat dikatakan bahwa nilai karakter pada siswasiswi SDN Pulo Lor 2 masih dalam kategori “kurang baik”dalam hal aspek 3 karakter yaitu karakter kepribadian, karakter sosial dan karakter tanggung jawab. analisa yang kedua yaitu membuktikan hasil uji hipotesis. Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan statistik infrensial dengan statistik parametrik, karena data yang akan dianalisis berdistrbusi normal dan homogen. Uji hipotesis penelitian dilakukan berdasarkan data peningkatan nilai karakter siswa, yaitu data selisih hasil dari pre-test dan post test. Berikut uji hipotesis dengan rumus t test. Di ketahui data dari hasil penelitian X1 = 76,75 Varian1 = 21,5 X2= 67,04 Varian2= 42,01 n1= 35 n2=35 B. Analis hasil pre-test (Tabel 2 Hasil Posttest Siswa) No 1 2 3 4 Code Siswa Selalu A-1 A-2 A-3 A-4 3 8 9 9 34 A-34 35 A-35 Jumlah Prosentase Respon Siswa KadangJarang kadang 5 10 4 7 6 5 4 6 10 9 3 06 43,71% 5 5 172 24,57% 5 4 187 26,71% Tidak pernah 2 1 0 1 0 2 35 5% Dari hasil analisis tabel post-test di atas dapat disimpulan bahwa dari jumlah seluruh siswa yaitu 35 siswa menunjukan prosentase tertinggi dengan jawaban “selalu” lalu diikuti jawaban “jarang”, kemudian diikuti oleh jawaban “kadang-kadang” dan terakhir jawaban paling sedikit yaitu tidak pernah. Dari hasil interpretasi diatas dapat dikatakan bahwa nilai karakter pada siswasiswi SDN Pulo Lor 2 sudah dalam kategori “sangat baik”dalam hal aspek 3 karakter yaitu karakter kepribadian, karakter sosial dan karakter tanggung jawab PEMBAHASAN Setelah diketahui bahwa terdapat hasil perbedaan pada hasil pre dan post-test maka Hasil t tabel adalah sebesar 1,67 dengan signifikan 0,05%. Dan derajat kebebasan 35+35-2=68. Sedangkan dari hasil t-hitung adalah sebesar 1,27. Jadi hipotesis diterima karena hasil t hitung < hasil t-tabel Dari hasil di atas, dapat dilihat bahwa ada perbedaan skor dari hasil pada pre-test dan post test. Sehingga dapat dapat diinterpretasikan bahwa media film dapat menumbuhkembangkan nilai karakter pada siswa sekolah dasar. KESIMPULAN Dari hasil uji analisa diatas dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran dengan menggunakan media film dengan tema cinta tanah air di SDN Pulo Lor 2 Jombang berhasil karna uji hipotesis diterima dan dapat dikatakan bahwa nilai karakter pada siswa bekembang khusunya dalam mata pelajaran kewargaProsiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 107 negaraan dan umumnya pada 3 karakter peserta didik yakni karakter kepribadian, sosial dan karakter tanggung jawab. SARAN Terdapat beberapa saran yang menjadi tinjauan kedepan dalam penelitin ini; 1. Sebagai guru pengajar pada tingkat sekolah dasar Penerapan media sangatlah mendukung, sebab di masa era globalisasi ini peranan media dapat menjadi salah satu minat siswa guna meningkatkan prestasi mereka. 2. Dalam era modern atau globalisasi ini, peranan orang tua terhadap perkembangan anak sangat di utamakan, karena orang tua sebagai fasilitator utama di rumah. Pembatasan penggunaan media elektronik dirumah sangant penting demi masa depan dan karakter mereka di usia dewasa. 108 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka DAFTAR PUSTAKA Montgomery, D. C., 2001, Design And Analysis Of Experiments, Fifth Edition, by Jhon Wiley & Sons, Inc., New York, the United States of America. Slavin, R.E., 2005, Cooperative Learning: theory, research and practice, Allyn and Bacon London. UU No.15 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen Dan UU RI No.20 Tahun 2003.Tentang Sistem Pendidikan Nasional,Jakarta. Tirta Raharja,Umar dan La Sula.2005. Pengantar Pendidikan.Jakarta: Rineka Cipta. Wardiyatmoko.K. 2006.Geografi Unt uk SMA.Jakarta : Erlangga. Mulyasa E.2002.Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. LAD: PIRANTI RESEPTIF DAN PRODUKTIF YANG LUAR BIASA Astri Widyaruli Anggraeni Universitas Muhammadiyah Jember Email: [email protected] ABSTRAK LAD (Language Acquisition Device) sebagai proses pemerolehan bahasa memiliki kemampuan untuk dapat mengorganisir sebuah ‘data kebahasaan’ menjadi beberapa unit bahasa dan dapat pula melakukan penilaian yang konstan terhadap sistem kebahasaan yang akan terus berkembang agar dapat membangun sistem bahasa yang sederhana. Hal itulah yang membuat seseorang mampu mengembangkan keterampilan berbahasa, dimana keterampilan berbahasa tersebut seharusnya dimulai melalui masukan (input) bukan keluaran (output) atau adalah berasal dari sebuah pemahaman, bukan hasil keterampilan berbahasa tersebut. Proses penerimaan bahasa yang baik akan secara tidak langsung ‘terprogram’ dalam diri seseorang yang nantinya akan memengaruhi keterampilan berbahasa mereka. Kosakata, pemaknaan, konsep bahasa, pemahaman yang tersimpan rapi dalam proses pemerolehan bahasa dapat diperkuat melalui keterampilan membaca dan menulis. Hakikatnya adalah untuk dapat ‘mengaktifkan’ keterampilan menulis, mulailah dengan membaca.Ringkasnya belajar menulis melalui membaca.Kegiatan reseptif dan produktif ini tidak dapat dipisahkan. Kedua piranti ini bersama-sama dengan pemerolehan bahasa akan membentuk ‘kotakkotak intelektual’ yang nantinya akan menjadi pemicu berkembangnya kemahiran berbahasa. Melalui membaca untuk mencari sebuah pemaknaan, pemahaman, dan informasi baru, penulis dapat menyimpan banyak kosakata yang telah didapatkan, dapat mengembangkan kemampuan dan memahami pengembangan kalimat dan paragraf, serta gaya penulisan bahasa yang nantinya dapat dikembangkan. Pelestarian budaya baca-tulis sebagai ‘tameng’ dari sebuah krisis kemampuan baca-tulis untuk menghadapi tuntutan masyarakat modern yang kompleks saat ini. Key words: LAD, reseptif, produktif PENDAHULUAN Chomsky memiliki pendapat bahwa pemerolehan bahasa itu berdasarkan pada nature karena menurutnya ketika anak dilahirkan ia telah dibekali dengan sebuah alat tertentu yang membuatnya mampu memelajari suatu bahasa. Alat tersebut dikenal dengan sebutan Piranti Pemerolehan Bahasa (PPB) atau Language Acquisition Device (LAD) yang bersifat universal yang dibuktikan oleh adanya kesamaan pada anak-anak dalam proses pemerolehan bahasa mereka (Dardjowidjojo, 2003:235-236). Adanya hipotesis mengenai LAD ini semakin memperkuat pandangan para ahli di bidang pemerolehan bahasa, bahwa kanak-kanak sejak lahir telah diberi kemampuan untuk memperoleh bahasa ibunya. Buktinya, meskipun masukan yang berupa ucapan-ucapan penuh dengan kalimat-kalimat yang salah, tidak lengkap, dan dengan struktur yang tidak gramatikal, namun ternyata kanakkanak dapat saja menguasai bahasa ibunya itu. Tampaknya bahasa ibu dapat saja diperoleh oleh kanak-kanak dalam keadaan yang beragamragam dan dengan corak yang bagaimana pun (Chaer, 2009:170). Berawal dari hipotesis ini jika dihubungkan dalam keterampilan berbahasa, pemerolehan bahasa ini menjadi jalan utama dalam Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 109 proses kemampuan bahasa dan berbahasa pada manusia. Kosakata, pemaknaan, konsep bahasa, struktur bahasa, pemahaman yang tersimpan rapi dalam proses pemerolehan bahasa dapat diperkuat melalui keterampilan berbahasa, yaitu pada kegiatan membaca (reseptif) dan menulis (produktif). Membaca dan menulis merupakan suatu kegiatan yang menjadikan penulis sebagai pembaca dan pembaca sebagai penulis. Seseorang akan mampu menulis setelah membaca karya orang lain atau secara tidak langsung akan membaca karangannya sendiri. Ketika seseorang membaca karangan orang lain ia akan berperan juga seperti penulis, ia akan menemukan topik dan tujuan, gagasan, serta mengorganisasikan bacaan dari karangan yang dibaca (Suparno dan Yunus, 2008: 1.4-1.5). Menurut hemat penulis, dalam kegiatan berbahasa peranan ‘perasaan’ linguistik tidak boleh kita abaikan, artinya ‘perasaan’mengenai pemakaian kata-kata yang tepat dalam suatu kalimat, sehingga kalimat tersebut benar, tidak bermakna ganda dan logis.Disinilah peran LAD yang sangat luar biasa berhubungan dengan kemampuan berbahasa seseorang. KETERIKATAN MEMBACA DAN MENULIS Riset dengan jelas menunjukkan bahwa kita belajar menulis lewat membaca. Untuk lebih tepatnya, kita memperoleh gaya tulisan, bahasa khusus penulisan dengan membaca. Kita sudah melihat banyak bukti yang menegaskan hal ini: Anak-anak yang berpartisipasi dalam program membaca-bebas, menulis dengan lebih baik (misalnya, Elley dan Mangubhai, 1983; McNeil dalam Fader, 1976) dan mereka yang melaporkan bahwa semakin banyak mereka membaca semakin baik tulisannya (misalnya, Kimberling et al., 1988 sebagaimana dilaporkan dalam Krashen 1978, 1984; Applebee, 1978; Alexander, 1986; Salyer, 1987; Janopoulus, 1986; Kaplan dan Palhinda, 1981; Applebee et al., 1990 dalam Hernowo: 2003: 105-116). 110 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Dalam proses membaca, proses yang dapat terjadi adalah bagaimana seseorang yang membaca mampu meretrif kata, kalimat, makna tersebut dalam pemahamannya. Stimulus yang terdapat pada proses membaca, harus dapat diproses menjadi makna kata yang terkait dengan referennya, bebas dari sifat ambiguitas, sampai pada kelogisan bahasa dan makna. Selain itu, pembaca juga harus memiliki kemampuan untuk ‘mereka-reka’istilah yang baru pada bahan bacaan, kata baru atau kata yang pemakaiannya tidak sama dengan apa yang selalu kita pikirkan atau kita gunakan sebelumnya. Kemampuan dari aspek awal dalam membaca tersebut, nantinya dapat diterapkan pada aspek produktif (menulis), dimana menulis memerlukan runtutangagasan– gagasan yang tersusun secara logis, diekspresikan dalam bentuk tulisan dengan jelas dan menarik, yang nantinya dapat membantu pengembangan dalam hal pengembangan kalimat, bentuk dan gaya penulisan bahasa. Secara singkat, penulis merumuskan hubungan membaca dan menulis dalam kemampuan berbahasa: RUMUS BACA A + B = AB KREASI PRODUKTIF A + B1+2 AB12 A2 + B1 AB12 dst.. Tabel hubungan keterampilan reseptif dan produktif Piranti reseptif dan produktif ini bersama membentukkemahiran berbahasa seseorang. Proses membaca untuk mencari sebuah pemaknaan, pemahaman, dan informasi baru, sehingga nantinya dapat menyimpan banyak kosakata yang telah diperoleh agar dapat memahami dan mengembangkannya secara logis, efektif dan berterima. MENULIS DENGAN BEKAL LAD DAN MEMBACA Menulis ilmiah setidaknya tidak bisa lepas dari struktur kalimat yang hemat, siste- matis, logis, pararel, padu, dan padan.Misalnya, kita sudah mampu meretrifal kata minyak goreng dalam benak kita sebagai bahan penghantar panas, penambah citarasa makanan, dan digunakan untuk memasak. Ketika diterapkan dalam kalimatutuh, dari kata minyak goreng misalnya dapat menjadi kalimat: (1) Minyak goreng sebagai media penghantar panas. (2) Konsumsi minyak goreng meningkat dalam 5 tahun terakhir ini sebanyak 80%. Kalimat (1) dan (2) dapat berterima, sesuai dengan struktur dan makna kalimat. Konstituen dalam kalimat tersebut merupakan realita psikologis bahasa, bukan manasuka kita menggabungkannya..Pemaknaan pada kata minyak goreng dipahami sebagai bentuk bahan sebagai penghantar panas, penambah citarasa makanan dan pemakaian minyak goreng semakin meningkat. Bekal awal dalam membaca inilah yang akan dipahami, sebelum akhirnya dapat menuliskan dalam bentuk kalimat yang berterima. Konsep minyak goreng sebagai konsep awal yang dipahami pembaca menjadi pedoman makna dalam keberterimaan kalimat tersebut. Kelogisan, kehematan, dan keefektifan, sehingga kalimat tersebut berterima sebagai konstituen yang utuh juga harus diperhitungkan dalam menulis. Misalnya pada kalimat (1) kita ubah menjadi: (1a) Minyak goreng adalah bahan untuk mengisi bahan bakar pada kompor. Kalimat (1a) tersebut tidak melanggar aturan gramatikal apa pun, tapi jika kita mengirimnya dalam kotak semantik, kalimat tersebut akan diteliti kembali, apakah sesuai makna dalam kalimat tersebut? Minyak goreng memang memiliki fitur makna sebagai bahan untuk penghantar panas, digunakan dalam proses memasak, namun kalimat selanjutnya tidak menjelaskan demikian. Kerancuan makna pada fungsi minyak goreng sebagai bahan untuk mengisi bahan bakar kompor menjadi tidak berterima dan tidak logis. Ketika membaca, pembaca harus dapat memahami makna dari setiap kat a yang dibacanya, sehingga dapat mengembangkan kata yang dibacanya dalam aktivitas menulis selanjutnya.Pemahaman minyak goreng dalam contoh di atas merupakan hasil dari pemahaman membaca kata tersebut terlebih dahulu, pemahaman makna minyak goreng yang telah lolos dari interpretasi leksikon, namun masih tertahan pada tahap makna. Maka, pembaca (a) dapat menolak kata tersebut sebagai acuan yang bertentangan dengan maknanya atau (b) mencari perbedaan kata dengan kalimat yang sebenarnya akan dituliskan. Misalnya pada kasus kalimat (1a), konstituen kata minyak goreng dapat diubah menjadi kalimat Minyak tanah adalah bahan untuk mengisi bahan bakar pada kompor.Hal ini dikarenakan penggunaan minyak tanah lebih tepat untuk menginterpretasikan makna yang tertulis pada kalimat bahan untuk mengisi bahan bakar pada kompor. Dalam menentukan kelas kata, secara intuisi pembaca dapat menentukan kelas kata yang terdapat pada kalimat tersebut.Sebagai contoh, konstituen kata goreng ketika berdiri sendiri merupakan bentuk verba (V), tapi saat bergabung dengan kat a minyak goreng berbentuk frasa nomina (FN).Hal ini tidak menjadi permasalahan serius, saat kita mengetahui makna dalam pemakaian kalimat tersebut.Dengan adanya LAD sebagai dasar pembentukan dan pemerolehan bahasa menjadi ‘penguat’ dalam penguasaan berbahasa. Pemahaman awal tersebut menjadi dasar agar penulis mampu mengembangkan lebih lanjut dalam paragraf, menentukan gaya penulisannya dan menjadikannya sebuah tulisan yang menarik.Kemampuan ini tidak dapat lepas dari adanya LAD sebagai dasar kemahiran berbahasa.Intuisi pembaca menentukan pembentukan konstituen yang terhubung dari “kotakkotak intelektual” manusia. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 111 Pendidikan TK di Sangata-Kalimantan Timur, SD YPPSBKalimantan Timur. SMPN Membaca dan menulis merupakan proses 13 Mataram, SMAN 2 Mataram Nusa Tenggara yang kompleks karena menyangkut berbagai Barat (NTB) membuat saya mengenal betapa kemampuan linguistik dan pengetahuan ekstraindahnya bahasa daerah, selain bahasa Indonelinguistik yang memanfaatkan LAD sebagai sia sebagai kecintaan saya tentunya. Berbekal anugerah yang tiada duanya. Aktivitas menulis penguasaan bahasa Indonesia sejak kecil, dan sama seperti halnya belajar berenang. Seperti bentuk kecintaan terhadap bahasa Indonesia, belajar berenang; untuk dapat berenang kita saya memutuskan untuk menempuh pendidikan harus betul-betul praktik berenang dengan di Sastra Indonesia, Jember mengambil konresiko tenggelam.Penulis yang baik pasti adalah sentrasi linguistik.Menjadi bagian dari keluarga pembaca yang rajin. besar Fakultas Sastra Universitas Jember semakin membuat saya jatuh cinta pada Indonesia, khususnya linguistik bahasa Indonesia. DAFTAR RUJUKAN Kembali saya mendalami linguistik bahasa InChaer, 2009.Psikolinguistik Kajian Teoretik. donesia di Universitas Gadjah Mada yang membuat saya semakin kagum dengan bahasa Jakarta:PT. Rineka Cipta Hernowo. 2003. Quantum Writing. Bandung: Indonesia yang luar biasa. Saat ini, saya mengabdi di programstudi Pendidikan Bahasa, MLC Dalman. 2012. Keterampilan Menulis. Jakarta: Sastra Indonesia dan Daerah FKIPUniversitas Muhammadiyah Jember sejak tahun 2011 PT. Raja Grafindo Persada Dardjowidjojo, Soenjono.2003. denganmengampu mata kuliah Linguistik Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman (Psikolinguistik, SintaksisBahasa Indonesia, Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Semantik Bahasa Indonesia, dan Pragmatik). Jika orang lain melirik sebelah mata pada Indonesia kajian bahasa Indonesia, saya mengamatinya Suparno dan Yunus, M. 2008.Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta:Universitas untuk menemukan kekuatan yang tersimpan dalam bahasa. Kekuatan itu bernama LAD Terbuka (Language Acquicition Device). Tanpa LAD, manusia tidak bisa mengaji ilmu pengetahuan, karena LAD adalah kunci dan pintu utama TENTANG PENULIS masuknya ilmu pengetahuan dalam diri Nama saya Astri Widyaruli Anggraeni. manusia. Lahir pada 10 Januari 1986, di keluarga yang Artikel ini mengaji kekuatan LAD, selalu berpindah-pindah tempat tinggal, sebagai piranti reseptif dan produktif.LAD ini menjadi latar belakang penggunaan bahasa In- tidak hanya berfungsi pada kajian bahasa, tetapi donesia sebagai bahasa ibu. Meski ayah ibu juga pada pemahaman dan peregenerasian ilmu berbahasa Jawa, tapi, saya dilatih dan dikenal- pengetahuan.Dengan LAD ini, dipastikan kan dengan bahasa Indonesia.Wajar, saya tidak semua orang memiliki kemampuan untuk bisa menguasai bahasa Jawa dengan baik.Saya memahami dan menuangkan ide dalam bentuk biasa dipanggil ACI (Aku Cinta Indonesia) kegiatan tulis menulis. menjadi kebanggaan dalam setiap guyonan bersama teman-teman. PENUTUP 112 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka STRATEGI PEMBELAJARAN MENULIS KREATIF UNTUK ANAK Nurhidayati Jurusan Sastra Arab Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang Email:[email protected] Abstrak Pembelajaran menulis kreatif adalah suatu upaya yang berkenaan dengan bagaimana cara mendorong siswa untuk menggunakan secara penuh apa yang ada dalam diri mereka berupa ide, kesan, perasaan, harapan, imajinasi dengan menggunakan bahasa yang dikuasai.Dalam proses belajar berbahasa di sekolah, siswa mengembangkan kemahiran berbahasa secara vertikal, bukan secara horizontal. Maksudnya mereka sudah dapat mengungkapkan pesan secara lengkap meskipun belum sempurna.Semakin lama kemahiran tersebut menjadi semakin sempurna, dalam arti strukturnya menjadi semakin benar, pilihan katanya semakin tepat, dan kalimat-kalimatnya semakin bervariasi.Manfaat yang diperoleh siswa dengan menulis kreatif ini adalah sebagai (1) alat untuk mengekspresikan diri, (2) alat untuk membangun kepuasan pribadi, kebanggaan dan harga diri, (3) alat untuk meningkatkan kesadaran dan persepsi lingkungan seseorang, (4) alat untuk melibatkan seseorang menjadi aktif, dan (5) alat untuk menciptakan pemahaman dan kemampuan untuk menggunakan bahasa Kata Kunci: Strategi Pembelajaran, menulis kreatif, anak PENDAHULUAN Untuk mengukur kecakapan dan kemajuan belajar sekolah-sekolah di Indonesia mempunyai kebiasaan dengan menggunakan tes prestasi belajar dalam berbagai bentuk. Kebiasaan tersebut akan mengurangi perhatian kita pada aspek kreatifitas. Guilford merupakan tokoh yang sangat besar jasanya dalam menyatakan konsep kreatifitas dengan membedakan kemampuan berpikir konfergen dan divergen. Pemikiran konfergen adalah kegiatan pemikiran yang mempunyai tujuan pada suatu jawaban yang benar, dan merupakan proses yang mendasari tes intelegensi tradisional. Sedang pemikiran divergen adalah pemikiran yang menghasilkan bermacam-macam gagasan, dan ini merupakan indikator yang paling nyata dari aspek kreatif. Pembelajaran bahasa untuk anak, khususnya untuk anak seusia TK dan MI/SD tahap awal yaitu kelas 1, 2, dan 3 masih didominasi oleh model pembelajaran dengan strategi pemerolehan yang difokuskan pada tingkat bentuk, sedang model pembelajaran bahasa untuk anak pada tahap lanjut yaitu untuk kelas 4, 5, dan 6 MI/SD dilakukan model pembelajaran dengan strategi pembelajaran bahasa yang juga sebagian besar difokuskan pada tingkat bentuk dan sebagian kecil waktu bisa dimasukkan materi yang berfokus pada aspek makna. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Murdibyono (1988) bahwa pada tingkat pemula pembelajaran bahasa perlu diprioritaskan pada tingkat bentuk, sedang pada tingkat menengah dan lanjut pengajaran berfokus pada makna. Adapun sumber media yang dapat menarik perhatian dalam pembelajaran bahasa untuk Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 113 anak adalah sebagaimana dikemukakan oleh Kasbollah (2004) adalah gambar, dongeng, dan permainan. Dalam proses belajar berbahasa di sekolah, siswa mengembangkan kemahiran berbahasa secara vertikal, bukan secara horizontal. Maksudnya mereka sudah dapat mengungkapkan pesan secara lengkap meskipun belum sempurna.Semakin lama kemahiran tersebut menjadi semakin sempurna, dalam arti strukturnya menjadi semakin benar, pilihan katanya semakin tepat, dan kalimat-kalimatnya semakin bervariasi (Rofi’uddin, 2002:75). Berkaitan dengan keterampilan menulis kreatif Ellis (1989:182) menyatakan bahwa menulis kreatif adalah eksplorasi diri dan mengekspresikannya dalam komunikasi. Sedang Percy (1981:1) menyatakan bahwa pembelajaran menulis kreatif adalah suatu upaya yang berkenaan dengan bagaimana cara mendorong siswa untuk menggunakan secara penuh apa yang ada dalam diri mereka berupa ide, kesan, perasaan, harapan, imajinasi dengan menggunakan bahasa yang dikuasai. Dengan demikian mengajar menulis kreatif adalah mengajar siswa untuk berpikir. Manfaat yang diperoleh siswa dengan menulis kreatif ini adalah sebagai (1) alat untuk mengekspresikan diri, (2) alat untuk membangun kepuasan pribadi, kebanggaan dan harga diri, (3) alat untuk meningkatkan kesadaran dan persepsi lingkungan seseorang, (4) alat untuk melibatkan seseorang menjadi aktif, dan (5) alat untuk menciptakan pemahaman dan kemampuan untuk menggunakan bahasa (Percy, 1981). perbuatan yang dapat diamati, yang juga memungkinkan mencakup tindakan kognitif yang tidak bisa diamati.Oxford (2002:124) menyatakan bahwa strategi belajar bahasa merupakan tindakan khusus, tingkah laku, tahapan, atau teknik yang digunakan pembelajar untuk meningkatkan kemajuan dalam pengembangan keterampilan berbahasa. Strategi-strategi tersebut dapat digunakan untuk pemrosesan (internalitation), penyimpanan (starage), pengambilan (retrival), dan penggunaan bahasa yang baru dipelajari.Strategistrategi tersebut juga merupakan seperangkat alat untuk mengarahkan diri sendiri untuk mengembangkan kemampuan komunikasi. Choudron dalam (Irhamni, 2002:3) mendefinisikan strategi pembelajaran sebagai kesadaran kognitif yang diaplikasikan dalam pembelajaran, yang dikelompokkan ke dalam (1) strategi alam, dan (2) strategi budaya. Strategi alam merupakan inti pengembangan strategi budaya. Strategi alam bersifat induk, primordial, azali, menjadi rujukan, statis, dan inspiratif, sedangkan strategi kultur bersifat pengembangan, kreatif, bergerak, adaptif, dan tidak mempunyai kemapanan konseptual. Pembelajaran dengan strategi alam dapat terwujud antara laindalam teknik pembelajaran dengan peniruan (imitation), dan pembelajaran gramitika dalam pendekatan komunikatif yang menolak rekayasa pembelajaran semisal drill. Adapun yang dimaksud strategi kultur atau budaya adalah pembelajaran yang berbasis pada pengolahan peristiwa pembelajaran bahasa ibu dan bahasa asing. Strategi ini akan melahirkan analisis kesalahan (error analysis), lab bahasa, hafalan teks percakapan, urutan STRATEGI BELAJAR DAN pemerolehan bahasa, teks-teks kaidah berbahasa, dan sebagainya. PEMBELAJARAN BAHASA Brown (dalam Huda, 1999:144) menePengertian strategi belajar bahasa seba- kankan konsep strategi belajar sebagai tingkah gaimana dikemukakan oleh Oxford (1989:235) laku yang tidak teramati di dalam diri pemadalah tingkah laku atau tindakan yang dipakai belajar. Brown membedakan antara strategi oleh pembelajar, agar pembelajaran bahasa belajar (learning strategy) dan strategi komulebih berhasil, terarah, dan menyenangkan. Dari nikasi (Communication Strategy). Strategi pengertian tersebut strategi belajar merupakan belajar berkaitan dengan pemrosesan, 114 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka penyimpanan, dan pengambilan masukan pemerolehan bahasa, sedangkan strategi komunikasi berkenaan dengan keluaran pemerolehan bahasa. Strategi belajar merupakan hal yang sangat penting dalam belajar bahasa, karena ia merupakan sarana untuk mengaktifkan diri siswa, pengarah diri untuk berkembang, khususnya mengembangkan kompetensi komunikasi berbahasa (Oxford, 1991:1). Nur (2004:6) menyebutkan strategi belajar mengacu pada prilaku dan proses-proses berfikir yang digunakan oleh siswa yang mempengaruhi apa yang dipelajari, termasuk proses memori dan metakognitif .Pressley (1991) menyebutkan bahwa strategi belajar adalah operator-operator kognitif meliputi dan di atas proses-proses yang secara langsung terlibat dalam menyelesaikan suatu tugas belajar.Strategi-strategi tersebut merupakan strategi-strategi yang digunakan siswa untuk memecahkan masalah belajar tertentu. Sebagai contoh ketika siswa ditugasi untuk mengerjakan tugas-tugas belajar tertentu misalnya mengisi suatu lembar kerja dalam pembelajaran membaca misalnya, maka untuk menyelesaikan tugas-tugas belajar ini memerlukan keterlibatan dalam proses-proses berfikir dan prilaku tertentu, seperti menskim atau membaca sepintas judul-judul utama, meringkas, dan membuat catatan, serta memonitor jalan berfikir diri sendiri. Dengan berpijak pada pengertian strategi belajar sebagaimana dipaparkan maka dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran merupakan rencana, metode, siasat, dan teknik yang digunakan guru untuk mengaktifkan siswa, dan mengembangkan diri untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.Strategi pembelajaran adalah strategi yang digunakan guru untuk menjadikan siswa belajar dengan menggunakaan strategi belajar tertentu. Konsep Menulis Menulis merupakan aktivitas pengekspresian ide, gagasan, pikiran, atau perasaan ke dalam lambang-lambang kebahasaan.Kegiatan menulis melibatkan aspek penggunaan tanda baca dan ejaan, penggunaan diksi dan kosakata, penataan kalimat, pengembangan paragraf, pengolahan gagasan, serta pengembangan model karangan.Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kegiatan menulis melibatkan aspek isi dan aspek bahasa.Aspek isi atau topik berkenaan dengan masalah pengembangan topik ke dalam ide-ide atau pikiran-pikiran yang relevan serta pengorganisasiannya.Aspek bahasa berkenaan dengan penggunaan tatabahasa, kosakata, serta ejaan untuk mewadahi topik.Kelly (dalam Read, 1991) menyatakan bahwa kegiatan menulis merupakan upaya menghasilkan ide dan bahasa sebagai sarana pengekspresiannya. Pengertian Kreatif Kata kreatif berasal dari bahasa latin Create yang artinya mencipta, melahirkan, dan mencapai. Reilly dan Lewis (1983) membedakan istilah kreatif ke dalam dua kategori, yaitu Traits Approach dan Learned Behavior Approach.Traits Approach memandang bahwa kreatif itu merupakan suatu karakteristik dan kecenderungan tertentu dari individu. Hal itu berarti bahwa sikap kreatif itu merupakan aspek bawaan dan lingkungan berfungsi sebagai alat bantu untuk menunjang kreatifitas yang ada. Terkait dengan ketrampilan menulis kreatif, Edward, dkk (2003:vii) mengartikan kreatif sebagai proses mengekspresikan ide dan mengeksplorasi imajinasi dengan menggunakan berbagai bentuk tulisan baik fiksi, nonfiksi, maupun puisi. Adapun yang dimaksud dengan learned behavior approach adalah pendekatan yang memandang bahwa aspek kreatif merupakan akibat atau hasil dari pengalaman yang berbentuk keahlian dan perilaku pada setiap individu. Dengan demikian setiap individu secara potensial kreatif, dan lingkungan yang mempengaruhi perbedaan kreatifitas seseorang. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 115 Munandar (1988) memandang aspek kreatif dari segi pribadi, pendorong, produk dan proses, dan ia menyatakan bahwa lingkungan yang dapat mendorong munculnya tingkah laku kreatif meliputi lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, dan lingkungan kebudayaan. Dari segi proses Munandar menyatakan bahwa pengertian kreatif sama dengan kemampuan berpikir kreatif. Adapun ciri-ciri berpikir kreatif adalah terampil berpikir orisinil, memperinci/ mengelaborasi, dan menilai. Sedang dilihat dari segi produk sikap kreatif merupakan produk kreatif yang oleh Vernan (1982) dinyatakan bahwa produk kreatif mempunyai kriteria (1) produk itu harus nyata, (2) produk itu harus baru, dan (3) produk itu adalah hasil dari kualitas unik individu dalam interaksi dengan lingkungannya. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kreatifitas seseorang dapat ditingkat kan melalui pengelolaan lingkungan sebagaimana dinyatakan oleh Clark (1983) bahwa bila faktor lingkungan mendorong, maka bakat berkembang, tetapi bila lingkungan menghambat maka bakat itu akan menciut. Dengan demikian pengembangan kreatifitas anak dapat dilaksanakan melalui pembelajaran kreatif. Startegi Pembelajaran Kreatif Pembelajaran kreatif menurut Semiawan (1988) adalah pembelajaran yang memungkinkan meningkatnya perilaku kreatif pebelajar. Pembelajaran kreatif ini memungkinkan pebelajar belajar kreatif, yaitu belajar yang mengasyikkan, yang mengerahkan potensi kreatifitas, dan menimbulkan berbagai getaran penemuan terhadap hal-hal yang sebelumnya belum diketahui, dikenal atau dipahaminya. Pengembangan kemampuan kreatif berhubungan erat dengan strategi pembelajaran. Dalam situasi pembelajaran yang menaruh kepercayaan terhadap kemampuan anak untuk berpikir dan berani mengemukakan gagasan baru, dan ketika siswa diberi kesempatan untuk 116 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka bekerja sesuai dengan minat dan kebutuhannya maka kemampuan kreatif dapat tumbuh dengan subur. Clark (1983) mengatakan bahwa strategi pembelajaran yang berhasil mengembangkan aspek kreatifitas adalah yang mempunyai ciriciri sebagai berikut. 1) Lebih banyak melakukan aktivitas-aktivitas berpikir. 2) Menggunakan lebih sedikit akt ivitas ingatan. 3) Memberikan kesempatan untuk mempergunakan pengetahuan secara kreatif. 4) Menggunakan evaluasi untuk diagnosis. 5) Mendorong ekspresi spontan. 6) Memberikan suasana penerimaan. 7) Memberikan stimulasi yang kaya dan bervariasi. 8) Mengajukan pertanyaan-pertanyaan profokatif. 9) Tidak menolak ide siswa yang baru dan mendorongnya untuk menguji sendiri ideide barunya. 10) Memberikan latihan dan percobaan yang tidak dievaluasi. 11) Mengajar keterampilan berpikir kreatif seperti orisinalitas, kelancaran, keluwesan, elaborasi, menemukan ide secara sengaja, penilaian yang ditunda, berpikir alternatif, dan menyusun hipotesis. 12) Mengajar keterampilan meneliti, seperti inisiatif mengeksplorasi, mengobservasi, mengklasifikasi, bertanya, menyusun, dan menggunakan informasi, mencatat, menerjemahkan, menyimpulkan, menguji kesimpulan, menyajikan kembali pengalaman dan observasi, mengkomunikasikan, menggeneralisasi, dan menyederhanakan. Prinsip Pembelajaran Menulis Kreatif Prinsip- prinsip pembelajaran menulis kreatif menurut Ellis (1989:182-183) adalah: (1) melakukan observasi dan menulis, (2) mengasosiasikan kata, (3) menemukan informasi, (4) menemukan cara alternatif untuk melihat sesuatu, (5) menulis apa yang dilihat, jangan menceritakan secara lisan, (6) membuat kalimat yang biasa menjadi luar biasa, (7) memilih kata yang tepat, dan (8) menulis metafora/analogi. 1) Melakukan Observasi dan Menulis Kegiatan ini dapat dimulai dengan mengamati objek atau benda misalnya buahbuahan, mainan, atau bisa juga anak diminta untuk membawa majalah untuk melakukan pengamatan pada gambar-gambar yang ada pada majalah. Kemudian guru atau siswa lain mengajukan pertanyaan terhadap objek yang diobservasi tersebut. Jawaban-jawaban dari pertanyaan tersebut ditulis untuk disusun menjadi puisi atau prosa deskripsi. 2) Mengasosiasikan Kata Guru meminta siswa untuk mengasosiasikan kata-kata tertentu, dan guru atau siswa lain dapat membantu dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan. Hasil jawaban siswa disusun menjadi karya tulis kreatif. 3) Menemukan Informasi Siswa diberi kesempatan untuk menemukan informasi dari apa yang dirasakan dan dipikirkan, dan menuangkannya dalam bentuk tulisan. 4) Menemukan Cara Alternatif untuk Melihat Sesuatu Yaitu dengan meminta siswa untuk mengungkapkan kesenangan dan keinginan yang mendalam. 5) Menulis Apa yang Dilihat Guru mengajak siswa melihat sesuatu objek, kemudian siswa diberi kesempatan untuk mendeskripsikan apa yang dilihat menurut versi sendiri. 6) Membuat Hal-Hal yang Biasa Menjadi Luar Biasa Guru menajak siswa membaca sebuah cerita kemudian siswa diminta untuk mengubah perwatakan tokoh dalam cerita, konflik, dan sebagainya sesuai dengan kreativitas masingmasing siswa. 7) Menggunakan Metafora Yaitu meminta siswa menggunakan ungkapan perbandingan, perumpamaan, bahasa majas atau kiasan dalam karangan mereka. Menulis kreatif menurut Edwards, dkk. (2003:vii) adalah kegiatan mengekspresikan ide dan mengeksplorasi imajinasi dengan menggunakan berbagai bentuk tulisan misalnya fiksi, nonfiksi, atau puisi.Melalui kegiatan menulis fiksi seorang anak dapat menuangkan imajinasinya secara bebas yang dapat berbetuk cerita pendek maupun narasi secara umum. Melaluikegiatan menulis nonfiksi pebelajar dilatih untuk melakukan kegiatan menulis tentang laporan cuaca, laporan kegiatan out bond, rekreasi, kegiatan ekstra kurikuler, dan seterusnya.Elalui kegiatan menulis puisi pebelajar berlatih mengekspresikan imejinasinya terkait dengan ungkapan kata frasa dan kalimat yang sesuai dengan aturan penulisan puisi. Beberapa kegiatan kreatif yang dapat menunjang kegiatan menulis kreatif menurut Edwards, dkk.(2003:14-16) adalah kegiatan menjadi kolektor kata dan menjadi detektif bahasa. Sebagai kolektor kata pebelajar dimotivasi untuk selalu menambah kosakata yang dimiliki melalui kegiatan (1) membuat kartu kata, (2) kartu bergambar, (3) lembaran kamus, (4) kamus elektronik,(5) papan siap tulis dan hapus, (6) keranjang atau kotak kata, atau amplop kata, (7) daftar kata berdasar alpahabet atau kategori sukukata tertentu. Sebagai detektif bahasa pebelajar diarahkan untuk melakukan kegiatan berikut. (1) Memilih beberapa kata yang mempunya sukukata awal sama, (2) memilih kata kata yang mempunyai akar kata sama, (3) memisahkan kata kata dari gabungannya, (4) mengelompokkan kata kata yang mempunyai kesamaan bentuk, (5) mengubah kata menjadi berbagai variasi bentuk kata, (6) menyusun kalimat dengan bantuan kata Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 117 tertentu, dan (7) membuat daftar arti kata yang diperoleh dari teks lisan maupun tulis. Munandar, S.C.U. 1987. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Jakarta: PT Gramedia. Munandar, S.C.U. 1988. Memupuk Kreativitas Anak Usia Pra Sekolah. Dalam: S.C. Daftar Rujukan Utami Munandar (Ed) Kreativitas Clark, B. 1983.Growing up Gifted. Colombus: Sepanjang Masa. Jakarta: Pustaka Sinar Merril Publication. CO. Harapan. Edwards, Sharon A.; Maloy, Robert W.; Murdibyono, A. W. 1995. Bahasa Inggris untuk O’Loughlin, Rut h Ellen Verock. Sekolah Dasar: Tujuan Pengembangan 2003.Ways of Writing with Young Kids: dan Karakteristik Pembelajar. Dalam: Teaching Creativity andConventions Bahasa dan Seni. Tahun 23.No. 2. Unconventionally. Boston: Pearson EduNur, M. & Wihandari, P.R. 2000. Pengajaran cation, Inc. Berpusat kepada Siswa dan Pendekatan Effendy, A. F. 1993. Lagu dan Permainan Konstruktivis dalam Pengajaran. sebagai Media Pengajaran Bahasa Arab Surabaya: Pusat Sains dan Matematika di Madrasah Ibtidaiyah. Majalah Nadi Sekolah Unesa: University Press. Tahun II No: 1 Oxford, R.L. 1989. Use of Learning Strategies: Effendy, A.F. 2004. Strategi pembelajaran a Synthesis of Studies with Implications Duru:s Arabiyyah Muktsafah (DAM). for Strategy Training. Dalam: System, 12, Makalah disampaikan pada Konsultasi 2: 235-247. tenaga ahli pembelajaran bahasa Arab di Oxford, R. L. 1990. Language Learning StratJurusan Sastra Arab Fakultas Sastra Uniegies. What Every Teacher Should Know. versitas Negeri Maaalang. USA: Newbury House Publishers. Ellis, A. , Pumau, J. , Standal T., dan Rummel, Oxford, R.L. 2002.Language Learning StrateM. K. 1989. Elementary Language Arts gies in a Nutshell: Update and Instruction. New Jersey: Prentice Hall. ESLSuggestions. Dalam: Methodology in Everet, W. 1987. Apopular Song as A Teaching Language Teaching. Richards J. C. & Instrumen.Forum, Vol XXV. Renandya W.A. (Eds). Cambridge: UniHuda, N. 1999. Pengajaran Bahasa Kedua versity Press. Berbasis St rategi Belajar. Dalam: Percy, B. 1981.The Power of Creative Writing. Bahasadan Seni. Tahun: 27, 2: 143-145. London: Prentice Hall International, Inc. Irhamni. 2002. Strategi Pembelajaran ALA. Read, John. 1991. The Validity of Writing Test Makalah disajikan dalam seminar Tasks. Dalam Sarinee Anivan (ed), CurPelatihan Pembelajaran bahasa Arab rent Developments in Language Testing. untuk Anak (ALA) di Jurusan Sastra Arab Singapore: SEAMEO RELC. Fakultas Sastra Universitas Negeri Reilly, R.R. dan E.L. Lewis. 1983. Educational Malang. Psychology Aplications for Classroom Kasbolah, K. 2004. Pengajaran Bahasa Inggris Learning and Instruction. New York: MC di Sekolah Dasar: Kebijakan, Millan Publishing.Co. Implementasi, dan Kenyataan. (Pidato Risakotta, I. 1990. Beberapa Contoh Permainan Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Unt uk Pengajaran Bahasa dalam Pengajaran Bahasa Inggris pada fakultas Kelompok Besar, dalam Learnen Und Sastra Universitas Negeri Malang, Lehren no. I Februari 1990. Disampaikan pada Tanggal 12 Januari Rofi’uddin, A. 2002. Teknik Peningkatan 2004). Kemampuan Berbicara untuk Murid 118 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Sekolah Dasar Kelas Tinggi. Dalam : Bahasa dan Seni. Tahun 30. No 1 Februari. Semiawan, C. 1988. Belajar Kreatif untuk Mengembangkan Bakat Kreatifitas pada Masa Usia Sekolah. Dalam SC. Utami Munandar (Ed) Kreativitas Sepanjang Masa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Ur, P. and Wright, A. 1992.Five Minutes Activities: A Reseurce Book of Short Activities. Cambridge University Press. Vernan, P.E. (Ed) 1982.Creativity. Baltimore: Penguin. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 119 LAGU DAN CERPENGRAM: STRATEGI EFEKTIF DAN MENYENANGKAN BAGI SISWA DALAM MENULIS CERPEN Oleh Aleda Mawene (PBS Universitas Cenderawasih) Menulis cerpen merupakan kegiatan kreatif yang sangat dipengaruhi oleh motif penulis. Motif mendorong seseorang untuk tetap fokus dalam menyelesaikan tulisannya. Namun, menulis cerpen bagi sebagian siswa dianggap sebagai ‘beban’ dalam belajar. Hal itu disebabkan siswa tidak tahu apa yang harus ditulis dan untuk apa ia menulis cerpen. Untuk membangkitkan motivasi siswa, guru dapat memanfaatkan lagu sebagai media pembelajaran. Media ini mampu merefleksi pengalaman siswa secara optimal dan menyenangkan serta membebaskan siswa dari situasi belajar yang monoton, kaku, dan berpusat pada guru. Melalui rekaman lagu, siswa dapat mengingat kembali pengalaman atau peristiwa yang pernah dialaminya tanpa beban. Guru berperan sebagai motivator yang membimbing siswa agar rekaman-rekaman pengalaman itu bersifat kronologis dan kausalitas. Dari segi substansi sastra, siswa telah menghimpun keseluruhan peristiwa (fabula) yang akan disampaikan secara teknis (sujet) kepada pembaca. Meskipun bersifat faktual, pengalaman itu berfungsi sebagai motif yang kuat bagi siswa untuk menulis cerpen.Realitas itu kemudian diubah menjadi realitas imajiner dengan metode cerpengram. Cerpengram merupakan serangkaian daftar berisi deskripsi tentang nama dan profil tokoh, penampilan fisik tokoh, anatomi cerpen, isi cerpen, dan foto atau gambar. Daftar ini dibuat oleh pengarang sebelum menulis cerpen. Dengan cerpengram, siswa dapat mengemas dunia realitas ke dalam dunia rekaan sesuai dengan kebutuhan tema cerpen. Teknik ini dianggap efektif membantu siswa dalam membangun dunia rekaan yang diinginkannya tanpa interfensi berlebihan dari guru. Guru dapat mengatur waktu belajar agar siswa dapat menyelesaikan kegiatan menulis di rumah sesuai dengan kemampuannya. Jadi, kolaborasi antara media lagu dan teknik cerpengram dapat membantu siswa memproduksi teks cerpen secara efektif dan menyenangkan. Kata Kunci: lagu, cerpengram, strategi, menulis cerpen. PENDAHULUAN Menulis sangat potensial bagi pengembangan diri. Ketika menulis, penulis berupaya menuangkan gagasan-gagasannya secara proporsional ke dalam tulisannya. Ide-ide kreatif itu disampaikan dengan diksi dan kalimat yang tepat agar dapat dipahami oleh pembaca. Ghazali (2010:335) menegaskan proses menulis mengharuskan siswa menerapkan beragam pengetahuan, seperti kemampuan berbahasa, aturan-aturan penulisan, topik 120 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka tulisan, tujuan penulisan, dan pembaca yang dituju oleh tulisan. Proses penyatuan ide dan bahasa memerlukan keterampilan yang terus diasah. Oleh sebab itu, orang yang sering menulis memiliki tingkat kreativitas yang tinggi. Mereka mampu mengaktualisasikan diri melalui tulisan-tulisan yang dibuatnya sehingga potensi dirinya berkembang secara optimal. Menulis cerpen merupakan kegiatan kreatif yang sangat dipengaruhi oleh motif menulis.Ada berbagai motif yang mendorong seseorang menulis cerpen, antara lain: untuk menyampaikan sesuatu kepada pembaca, berbagi pengalaman dengan pembaca, mengekspresikan diri, mencari kesenangan, dan mendapatkan honor (Peng, 2013:2-3).Motif yang baik dan jelas akan mendorong seseorang untuk tetap fokus dalam menyelesaikan tulisannya.Dengan motif yang jelas, penulis didorong untuk menulis dalam berbagai suasana hati, baik gembira maupun sedih. Pada kenyataannya menulis cerpen bagi sebagian siswa dianggap sebagai pelajaran yang membosankan. Bahkan cenderung menjadi ‘beban’ dalam belajar. Mereka belum memiliki motif yang jelas dalam hal menulis cerpen. Beberapa di antaranya mengakui tidak tahu apa yang harus ditulis dan untuk apa mereka menulis cerpen.Padahal, menulis cerpen merupakan salah satu kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa SMP dan SMA. Melalui menulis siswa dapat mengekspresikan ide-ide kreatifnya secara optimal. Dengan sendirinya keterampilan berbahasa siswa dapat diasah dan dikembangkan melalui aktivit as menulis cerpen.Oleh sebab itu, guru perlu mencari strategi pembelajaran yang efektif dan menyenangkan, yakni kolaborasi antara media belajar dan teknik menulis cerpen yang tepatagar siswa dapat memproduksi teks cerpen sesuai dengan target pembelajaran. PEMBAHASAN benak pendengarnya. Oleh sebab itu, sangat mudah bagisiswa untuk mengikuti alur kisah atau cerita dalam syair lagu dan menghayati isinya. Berkaitan dengan itu, lagu dapat dimanfaatkan sebagai media pembangkit motif siswa untuk menulis cerpen. Hasil observasi terhadap pembelajaran di beberapa sekolah menunjukkan bahwa lagu terbukti mampu meningkatkan kompetensi siswa dalam menulis cerpen. Hal ini diperkuat oleh penelitian Sugiyanti (2015) pada siswa SMP Negeri 3 Aimas Kabupaten Sorong. Hasil penelitian membuktikan bahwa media lagu mampu membangkitkan motivasi siswa dalam menulis sekaligus sebagai sumber inspirasi bagi siswa dalam menemukan ide-ide kreatif bagi tulisannya. Menurut Pranoto (2011:31) menulis kreatif diawali dengan kegiatan mencari ide, mengolah ide, dan proses menulis. Pada kenyataannya, setiap pengarang memiliki proses kreatif yang berbeda-beda dalam melahirkan karya-karyanya. Sebagai penulis pemula, siswa sering mengalami kesulitan untuk menemukan ide menulis cerpen. Untuk mengatasi hal tersebut, guru dapat menggunakan teks lagu sebagai bahanmenulis cerpen serta media untuk menemukan motif dan ide-ide penulisan. Meminjam konsep Hernowo ‘main-main dengan teks’ (2004:2) guru dapat menggunakan teks lagu dalam konteks menulis cerpen secara menyenangkan dan tidak memberatkan siswa. Lagu Sebagai Bahan dan Media Pembelajaran Menulis Cerpen Lagu atau nyanyian terdiri atas komposisi musik dan syair. Syair sebuah lagu pada dasarnya memiliki karakteristik puisi balada dan prosa liris. Sebuah lagu diciptakan melalui proses kontemplasi pengarang terhadap realitas yang ada. Lagu selalu dihadirkan bersama dengan notasi musiknya. Makna lagu menjadi semakin jelas ketika ditampilkan dengan musik pengiring yang harmonis. Keterpaduan itu menghasilkan nuansa makna yang khas dalam Lagu Sebagai Bahan Menulis Cerpen Guru dapat memanfaatkan lagu sebagai bahan untuk menulis cerpen. Untuk tujuan ini guru dapat memanfaatkan syair-syair lagu yang berisi kisah atau peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, seperti lagu-lagu ciptaan Ebiet G. Ade, Doel Sumbang, dan Franky Sahilatua. Cara ini dianggap tepat apabila siswa kesulitan menemukan ide-ide bagi karangannya. Dengan teknik parafrase, siswa dapat mengembangkan syair lagu menjadi sebuah cerita pendek sesuai dengan keinginannya. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 121 Dalam pandangan Laksana (2013:37) isi syair lagu diumpamakan batu, pasir, dan semen yang kemudian akan disusun menjadi sebuah bangunan. Ketika mendengarkan rekaman lagu, guru memandu siswa untuk mencatat dan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik cerita yang tercermin dalam syair lagu, misalnya struktur alur, tokoh dan karakter, latar, sudut pandang, dan amanat cerita. Guru dapat menggandakan syair lagu dan membagikan kepada siswa agar mempermudah mereka dalam melakukan identifikasi unsur-unsur cerita. Lagu yang digunakan sebaiknya liriknya disesuaikan dengan karakteristik siswa. Lirik lagu ciptaan Doel Sumbang berjudul “Martini” dianggap cocok digunakan pada pembelajaran menulis cerpen di SMA kelas X.Lagu ini mengisahkan tentang seorang anak laki-laki yang diberi nama Martini. Akibatnyaia selalu diolok-olok karena namanya itu. Sampai dewasa pun nama Martini masih menjadi bahan ejekan. Ia dianggap bencong, walaupun sebenarnya ia laki-laki. Merasa harga dirinya direndahkan, Martini berkelahi dengan orang yang mengejeknya. Perkelahian itu menyebabkan lawannyaterbunuh. Akhirnya, Martini ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Ayah Martini datang menjenguk anaknya di penjara. Ketika itulah Martini mengetahui alasan sang ayah memberi nama itu kepadanya. Berikut ini kutipan beberapa bait isi lagu tersebut. Pemanfaatan lirik lagu di atas sebagai bahan menulis cerpen dilakukan melalui langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut ini. 1) Guru membagikan teks lagu Martini ciptaan DoelSumbangkepada siswa dan memperdengarkan rekaman lagu tersebut. 2) Siswa menyimak secara cermat lirik lagu dan dapat mengikutinya dengan santai tapi tertib. 3) Siswa dipanduguru untukmenandaiunsurunsurceritadalamlagutersebut, yakni:tokoh, karakter,strukturalur, latar, dan sudut pandang. Guru memusatkan bimbingan pada identifikasi struktur alur yang akan berfungsi sebagai kerangka cerpen, yaitu: (1) tahap eksposisi/pengenalan, (2) tahap komplikasi/tahap timbulnya permasalahan, (3) tahapklimaks/puncakketegangan, (4) tahapantiklimaks/keteganganmenurun, dan (5) tahap konklusi/penyelesaian. 4) Setiap kelompok diminta untuk menyampaikan temuannya untuk menyamakan persepsi terhadap struktur alur cerita. 5) Siswa mengembangkan kerangka karangan menjadi sebuah cerpen dengan bimbingan guru. Setiap siswa dapat menggunakan gaya dan sudut pandang tertentu sesuai dengan keinginannya. Dengan cara ini, siswa diajak berkreasi denganalur yang sama, tetapidengancarapenyampaian yang berbeda-beda. Kuanggap ayah nekat sekali/dinamakannya aku Martini/padahal aku ini/ lelaki tulen// Nama Martini membuat repot/teman sekolah memanggil Tince /dan aku jengkel bercampur marah/emangnya perek// Aku tanyakan pada ayahku/apa sebabnya namaku Martini/jawab ayah nanti engkau paham/ anakku// Kemana-mana menanggung malu/ garagara namaku Martini/ aku benci tapi tak berdaya/ sungguh mati// Lagu Sebagai Media Pembelajaran Menulis Cerpen Media lagu mampu merefleksi pengalaman siswa secara optimal dan menyenangkan. Hal ini disebabkan irama dan musik dapat memberi kenyamanan bagi siswa. Guru dapat mengajak siswa bersenandung mengikuti lirik dan irama lagu. Dengan cara ini siswa dapat dituntunmenggali ide-ide secara optimal tanpa tekanan. Siswa juga terbebas dari situasi belajar yang monoton dan berpusat pada guru. 122 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Melalui rekaman lagu, siswa dapat mengingat kembali pengalaman atau peristiwa yang pernah dialaminya secara kronologis. Guru berperan sebagai motivator yang membimbing siswa agar rekaman-rekaman pengalaman mereka dapat mengalir tanpa beban. Dari segi substansi sastra, siswa telah menghimpun keseluruhan peristiwa (fabula) yang akan disampaikan secara teknis (sujet) kepada pembaca. Pengalaman tersebut bersifat faktual dan berfungsi sebagai motif yang akan memandu siswa dalam menulis cerpen. Lagu yang dipilih sebagai media pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan tingkat kognitif dan perkembangan bahasa siswa. Dalam hal ini guru dapat memilih lirik yang tepat sesuai dengan karakteristik siswanya. Lirik lagu yang bertema kasih sayang dalam keluarga merupakan pilihan yang tepat bagi siswa SMP. Pengalaman dan kenangan para siswa bersama keluarga masih begitu dekat sehingga lebih memudahkan mereka dalam mengekspresikan ide-idenya. Siswa tetap membutuhkan contoh teks cerpen yang tepat sebagai model menulis. Keterbatasan waktu pembelajaran di kelas menyebabkan siswa tidak dapat menulis efektif tanpa contoh atau model. Alangkah baiknya apabila guru telah menyiapkan satu contoh teks cerpen yang dikarang oleh guru sendiri. Dengan begitu, guru akan lebih efektif membimbing siswa menulis cerpen. Siswa pundapat lebih terarah mengembangkan karangan berdasarkan contoh yang ada. Berikut ini dikemukakan salah satu contoh penggunaan lirik lagu sebagai media pembelajaran menulis cerpen di SMP kelasVII. 1) Guru memancing siswa untuk menemukan ide-ide menulis cerpen dengan memutarkan lagu “Ayah” ciptaan Ebbiet G. Ade. Setelah itu, guru memandu siswa menggali isi cerita atau informasi dari lirik lagu tersebut. 2) Siswa mengidentifikasi tokoh, karakter, alur, latar, sudut pandang, dan amanat yang dapat digali dari lagu tersebut dengan panduan dan bimbingan guru. 3) Guru membagikan teks cerpen yang berjudul Ayah dan memint a siswa mencermatinya. 4) Untuk mempertegas relevansi isi cerpen dengan lirik lagu, guru memut arkan kembali rekaman lagu dan meminta siswa untuk mengaitkan isi teks cerpen dengan lirik lagu. 5) Siswa mengomentari relevansi isi teks cepren dan lirik lagu dan dilanjutkan dengan pemantapan dan motivasi oleh guru untuk membangkitkan motif siswa terhadap ide-ide yang akan dijadikan bahan cerpennya. 6) Guru memutarkanlagu yang berjudul Tabahlah Mama yang dinyanyikan oleh Yulius Sitanggang. 7) Siswa menyimaklagutersebut dan diizinkan untuk bersenandung mengikuti lirik dan irama lagu tersebut. 8) Siswa dibimbing oleh guru untuk menggali pengalamannya bersama ibunya. 9) Siswa menyusun rangkaian peristiwa (kerangka alur) dan kesan yang dialaminya bersama tokoh ibu secara logis-kronologis. Rangkaian peristiwa itu dianggap sebagai realitas faktual yang akan diubah menjadi realitas imajiner dengan metode cerpen gram. 10) Siswa mengembangkankerangka alur yang dibuatnya menjadi sebuah cerita utuh dengan menggunakan metode cerpengram. Metode Cerpengram dalam Penulisan Cerpen Cerpengram merupakan serangkaian daftar berisi deskripsi tentang nama dan profil tokoh, penampilan fisik tokoh, anatomi cerpen, isi cerpen, serta foto atau gambar yang dibuat oleh seorang pengarang sebelum menulis cerpen. Cerpengram merupakan metode menulis cerpen secara terstruktur dan sistematis sehingga memudahkan siapa saja mengarang cerpen secara kreatif (Peng, 2013). Dengan cerpengram, siswa dapat mengemas dunia Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 123 realitas ke dalam dunia rekaan sesuai dengan kebutuhan tema cerpen. Teknik ini dianggap efektif membantu siswa dalam membangun dunia rekaan yang diinginkannya tanpa interfensi guru. Guru dapat mengatur waktu belajar agar siswa dapat menyelesaikan kegiatan menulis di rumah sesuai dengan kemampuannya. Cerpengram dibuat oleh siswa beberapa hari sebelum pertemuan menulis cerpen. Guru dapat memandu siswa membuat cerpengram dengan beberapa tema sederhana yang telah direncanakan. Peng (2013) membagi cerpengram menjadi lima (5) subunit. 1) Cerpengram I: Nama dan Profil Tokoh Nama dan profil tokoh merupakan satu kendala dalam menulis cerpen. Kadangkadang seorang penulis merasa kurang puas dengan nama tokoh untuk cerita yang ditulisnya. Masalah ini sering membuat penulis berhenti menulis beberapa waktu. Oleh sebab itu, penulis perlu menyediakan sejumlah nama dan profil yang bisa dipilih menjadi tokoh cerpennya.Cerpengram I merupakan kumpulan tokoh fiktif hasil imajinasi penulis yang memudahkan penulis memberi nama para tokoh cerpen. Disarankan untuk menghindari nama dan profil tokoh yang nyata sebagaimana dikenal oleh penulis dan disesuaikan dengan latar sosial dan budaya cerpen yang ditulis. Contoh: NAMA PRIA Jez (Jehezkiel Maruanaya) Danny (Daniel Setiawan) NAMA WANITA Debby (Debora Maruanaya) Karin (Karina Margaretha) PROFIL Anak Guru Contoh: KULIT Putih hitam RAMBUT semir perak MATA sinis merah HIDUNG besar kecil ALIS hitam putih DAGU berlipat berjanggut MULUT lebar kecil BIBIR pucat merah KUMIS hitam putih 3) Cerpengram III: Anatomi Cerpen Cerpengram III berisi anatomi cerpen, meliputi: pembukaan, narasi, dan penutup. Anatomi cerpen merupakan garis besar cerpen, bukan detil cerpen. Daftar ini memudahkan penulis dalam memilih bagianbagian yang tepat untuk membuka cerita, membuat narasi, dan menutup cerita. Contoh: PEMBUKA T ak ada yang menarik p ada dirinya ketika aku p ertama kali melihatnya. Seorang anak perempuan b erumur tujuh tahun. Kurus. Kotor. Tidak mengenakan alas kaki. NARASI Tidak pernah kusangka bahwa aku bisa jatuh cinta pada kampus ini. Tidak sama sekali. Adalah suatu hal yang memalukan bagiku dulu jika harus menjadi mahasiswa Fakultas Sastra. PENUTUP B tidak boleh mengurung dirinya untuk selamanya di sini. Suatu hari dia harus kembali ke tengah-tengah keluarganya. Dan kalau dia pulang nanti, semoga keluarganya sudah cukup dewasa menerimanya. 4) Cerpengram IV: Isi Cerpen Cerpengram IV berisi daftar dialog, deskripsi, dan konflik yang dibuat oleh penulis berdasarkan hasil imajinasinya atau kreasi dari beberapa cerita yang pernah dibacanya. Tujuannya untuk memudahkan penulis menulis dialog, deskripsi, dan konflik dari cerita yang disusunnya. Contoh: DIALOG “Tap i kami punya anak, Dokter, “ keluhku b ingung. “Baru empat tahun.” “Sebaiknya anak Ibu minum obat untuk p encegahan. Ibu kan tahu, anak-anak daya tahannya masih lemah.” DESKRIPSI Burung-burung gereja beterbangan di antara dedaunan poho n akasia. Sesekali terdengar cicit mereka di sela-sela suara klakson dan deru kendaraan yang lalu lalang. KONFLIK Dada Rena sesak oleh sesal yang tertahan. Deadline skripsi berakhir hari ini. Sedang Kezia dengan santai menonton film kesayangannya. Tak peduli sanksi yang bakal diterima. Sia-sia berbicara pada Kezia. Keras kepala. 2) Cerpengram II: Penampilan Fisik Tokoh Cerpengram II merupakan daftar berisi ciri- 5) CerpengramV: Beranda Foto dan Gambar ciri at au penampilakn fisik tokoh. Cerpengram V berisidaftar beranda foto Cerpengram II sangat membantu penulis dan gambar yang dibuat oleh penulis untuk memilih penampilan fisik tokoh sesuai kepentingan dekripsi latar peristiwa dalam dengan karakter yang hendak dibangun. cerpen. Cerpengram V merupakan salah satu cara untuk melatih imajinasi penulis dalam mendeskripsikan suatu tempat atau 124 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka objek kejadian. Dengan gambar yang disediakan, penulis dapat berimajinasi membayangkan berbagai hal berkaitan dengan isi cerita yang ditulis. Bentuk cerpengram di atas dianggap cukup bermanfaat bagi penulis pemula. Namun, guru dapat menyederhanakannya sesuai dengan kebutuhan pembelajaran. Bimbingan dan arahan guru akan mempermudah siswa dalam merangkai alur cerita secara logis. Untuk mendapatkan hasil yang memadai, kegiatan menulis kreatif tidak dibatasi di dalam ruang kelas. Guru dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk melanjutkan kegiatan ini di rumah agar imajinasi siswa dapat berkembang dengan baik. Hasil karya siswa yang terbaik dapat dipajang atau diikutkan pada lomba-lomba menulis cerpen. Hal ini dapat memotivasi siswa dan temannya yang lain untuk aktif menulis cerpen. PENUTUP Pembelajaran menulis cerpen merupakan suatu momen penting untuk melatih keterampilan berbahasa siswa. Sebagai aktivitas kreatif, menulis cerpen memberikan kontribusi terhadapdaya kreativitas dan pengembangan diri siswa. Siswa dapat mengaktualisasikan diri melalui tulisan-tulisan yang dibuat. Aktivitas ini akan merangsang keingintahuan dan minat baca siswa terhadap masalah-masalah yang belum diketahuinya.Dengan demikian, potensi dirinya semakin berkembang secara optimal. Jika dirancang dengan baik, pembelajaran menulis dapat berlangsung lebih efektif dan menyenangkan. Untuk itu, diperlukan kreativitas guru dalam memilih strategi yang tepat dalam pembelajaran menulis cerpen. Salah satunya dengan memadukan media lagu dan metode cerpengram. Cerpengram merupakan salah satu metode yang inovatif sehingga diperlukan pemahaman yang baik agar guru dapat menerapkannya secara tepat. Sebaiknya guru dapat membekali diri melalui latihanlatihan yang intensif dengan metode ini sebelum memandu siswa menulis cerpen. Dengan cara ini, guru dapat membimbing siswa mengekspresikan ide-ide mereka dengan lebih bermakna. DAFTAR RUJUKAN Ghazali, Abdul Syukur. 2010. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa dengan Pendekatan Komunikatif-Interaktif. Bandung: PT Refika Aditama. Hernowo. 2004. Main-main dengan Teks Sembari Mengasah Potensi Kecerdasan Emosi.Bandung: Kaifa. Laksana, A.S. 2013. Creative Writing: Tips dan Strategi Menulis Cerpen dan Novel. Jakarta: Gagas Media. Peng, Kheng Shun. 2013. Cerpengram: Metode Mudah dan Menyenangkan Menulis Cerpen Bagi Pemula. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Pranoto, Naning. 2011. 24 Jam Memahami Creative Writing.Yogyakarta: Kanisius. Sugiyanti. 2015. Meningkatkan Kemampuan Menulis Cerpen dengan Model pembelajaran Kooperatif STAD dan Metode Latihan Terbimbing dengan Media Teks Lagu. TesisMagister Pendidikan Bahasa Indonesia. Jayapura: Universitas Cenderawasih. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 125 ABSTRAK PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN SEGI EMPAT DENGAN PENDEKATAN OPEN-ENDED DI KELAS VII SEKOLAH MENENGAH PERTAMA Asmedy FKIP Universitas Muhammadiyah Jember e-mai: [email protected] Perangkat pembelajaran yang menekankan pada kemampuan berpikir kreatif siswa salah satunya adalah dengan pendekatan open-ended, dan berdasarkan pengamatan peneliti, proses belajar mengajar yang menekankan tidak hanya pada hasil belajar saja tapi juga kemampuan berpikir kreatif siswa masih kurang. Pendekatan open-ended karena aktivitas pembelajaran di kelas penuh dengan ide-ide matematis. Selain itu, baik siswa yang mempunyai kemampuan yang lebih maupun yang kurang, dapat memaparkan ide-ide yang mereka pikirkan melalui pemecahan masalah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan proses pengembangan perangkat pembelajaran segi empat dengan pendekatan open-ended yang berkualitas baik dan menghasilkan perangkat pembelajaran segi empat dengan pendekatan open-ended yang berkualitas baik. Kriteria perangkat pembelajaran yang berkualitas baik adalah perangkat pembelajaran yang dikembangkan sesuai dengan prosedur pengembangan perangkat serta memenuhi lima dari enam kategorikategori berikut dengan catatan THB valid, reliabel, dan sensitif, serta ketuntasan belajar tercapai: (1) valid menurut penilaian pakar, (2) efektif untuk aktivitas siswa, (3) efektif untuk kemampuan guru mengelola pembelajaran, (4) positif untuk respon siswa terhadap pembelajaran, (5) valid, reliabel, dan sensitif untuk THB, dan (6) tuntas untuk hasil belajar. Jenis penelitian ini merupakan penelitian pengembangan perangkat pembelajaran segi empat dengan pendekatan open-ended di kelas VII SMP. Model pengembangan perangkat yang digunakan adalah “model 4-D Thiagarajan” yang telah dimodifikasi. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan yaitu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, Lembar Kegiatan Siswa, dan Tes Hasil Belajar. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Muhammadiyah 1 Rambipuji-Jember tahun ajaran 2014/2015 yang meliputi lima kelas paralel. Peneliti memilih satu kelas dari tiga kelas secara acak untuk dijadikan kelas uji coba, kelas yang dipilih adalah kelas VIIb. Berdasarkan hasil analisis deskriptif pada tahap pengembangan diperoleh kesimpulan bahwa perangkat pembelajaran segi empat dengan pendekatan open-ended berkualitas baik, karena memenuhi kategori: (1) valid berdasarkan penilaian ahli, (2) aktivitas siswa efektif, (3) kemampuan guru mengelola pembelajaran efektif, (4) respon siswa terhadap pembelajaran positif (5) valid, reliabel, dan sensitif untuk THB, dan (6) hasil belajar tuntas secara klasikal. Kata Kunci: Pengembangan Perangkat Pembelajaran, Model 4-D Thiagarajan, Segi Empat, Pendekatan Open-ended BAB I. PENDAHULUAN Pendidikan matematika seharusnya memperhatikan dua tujuan, yaitu (1) tujuan yang bersifat formal, yaitu menekankan pada 126 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka penataan nalar serta pembentukkan kepribadian, dan (2) tujuan yang bersifat material, yaitu menekankan pada penerapan matematika dan keterampilan matematika. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pengajaran mat emat ika yang dilakukan di sekolah, khususnya di SMP Muhammadiyah 1 Rambipuji Jember, masih berjalan secara konvensional; yaitu, mengikuti urutan sajian mulai diajarkan definisi, teorema, diberikan contoh, dan terakhir diberikan latihan menyelesaikan soal-soal. Cara penyajian seperti ini menimbulkan kesan bahwa guru cenderung mendominasi proses belajar mengajar, dan siswa kadang-kadang tidak memahami apa yang mereka pelajari. Yuwono (2001) menyebutkan bahwa pengajaran matematika secara konvensional mengakibatkan siswa hanya bekerja secara prosedural dan memahami matematika tanpa dituntut berpikir kreatif. Selain itu, salah satu keluhan yang sering ditemukan dalam dunia pendidikan matematika adalah kurangnya keterkaitan matematika di sekolah dengan dunia nyata dan kehidupan sehari-hari siswa. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, adapun masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana proses dan hasil pengembangan perangkat pembelajaran Segi Empat di kelas VII SMP Muhammadiyah Rambipuji-jember dengan pendekatan open-ended yang berkualitas baik?”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan proses pengembangan dan menghasilkan perangkat pembelajaran Segi Empat di kelas VII SMP Muhammadiyah Rambipuji-jember dengan pendekatan openended yang berkualitas baik. Menurut Shimada (1998), pembelajaran matematika merupakan rangkaian dari pengetahuan keterampilan, konsep, prinsip atau aturan yang diberikan kepada siswa biasanya melalui langkah demi langkah. Tentu saja, rangkaian ini tidak diajarkan secara terpisah atau saling lepas. Namun, harus disadari sebagai rangkaian yang terintegrasi dengan kemampuan dan sikap dari setiap siswa. Pembelajaran kooperatif dengan pendekatan open-ended merupakan model pembelajaran yang dikembangkan oleh Shimada (1997). Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan open-ended memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelidiki berbagai strategi dan cara yang diyakini sesuai dengan kemampuan mengelaborasi soal. Menurut Suherman dkk (2003) masalah yang diformulasikan memiliki multijawaban yang benar disebut masalah tak lengkap atau sering disebut open-ended problem atau soal terbuka. Siswa yang dihadapkan dengan soal terbuka, t ujuan ut amanya bukan unt uk mendapatkan jawaban, tetapi lebih menekankan pada bagaimana sampai pada suatu jawaban. Sehingga, siswa tidak terpaku pada jawaban yang harus dikumpulkan pada gurunya. Dengan demikian, dalam menyelesaikan masalah openended tidak hanya satu metode atau cara untuk mendapatkan jawaban. Namun, terdapat beberapa atau banyak cara. Sifat “keterbukaan” dari suatu masalah dikatakan hilang apabila hanya ada satu cara dalam menjawab permasalahan yang diberikan atau hanya ada satu jawaban yang mungkin untuk masalah tersebut. Pernyataan ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Shimada (1997) yaitu: … ‘open-ended approach,’ an ‘incomplete’ problem is presented first. The lesson then proceeds by using many correct answers to the given problem to provide experience in finding something new in the process. This can be done through combining students’ own knowledge, skills, or ways of thinking that have previously been learned. Yaniawati (2001) menyatakan bahwa, pendekatan open-ended adalah salah satu pendekatan yang membantu siswa melakukan pemecahan masalah dan menghargai keragaman berpikir selama proses pemecahan masalah. Sedangkan Khabibah (2006:15) menyatakan bahwa, soal terbuka dapat dibagi menjadi dua yaitu: hasil akhir ganda (openended) dan respon ganda (open respond). Pendapat ini bertolak dari pernyataan Billstein (dalam Khabibah, 2006:15) yang menyatakan bahwa “suatu soal terbuka mempunyai banyak penyelesaian dan banyak cara untuk mendapatkan suatu penyelesaian”. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 127 Tabel 2.1. Fase-fase Model Pembelajaran Matematika dengan pendekatan open-ended Fase-fase Aktivitas Guru Aktivitas Siswa 1. Orientasi Guru memotivasi sis wa dengan soal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari siswa, juga menjelaskan tujuan yang akan dicapai setelah pembelajaran. Siswa mendengar penjelasan guru, menjawab atau mengerjakan soal jika ada pertanyaan atau soal yang disampaikan oleh guru. 1. Pembekalan dan penyajian soal terbuka Guru memberikan penjelasan umum ten tang materi yang akan dipelajari siswa. Penjelasan umum ini dimaksudkan agar siswa dalam menyelesaikan soal yang bersifat terbuka yang akan diselesaikan pada fase berikutnya tidak dalam keadaan “kosong”. Apabila materi itu bukan materi baru, artinya siswa sudah mempunyai konsep-konsep dasar matematika, pembekalan bisa berupa permainan untuk membekali siswa dalam menyelesaikan soal terbuka yang akan diberikan. Guru menyampaikan tugas-tugas atau soal yang harus dikerjakan atau diselesaikan oleh siswa baik secara individu maupun kelompok. Siswa mendengarkan penjelasan guru dan mencatat soal yang diberikan atau menerima lembaran soal jika soal sudah dalam bentuk lembaran. 2. Pengerjaan soal terbuka secara individu Guru mengambil hasil pekerjaan siswa setelah habis waktu yang diberikan, Siswa secara individu mengerjakan soal harus mereka selesaikan. Untuk menyelesaika soal, siswa dibagikan lembar jawaban dan buram yang nantinya baik lembar jawaban maup un buram harus dikumpulkan. 3. Diskusi kelompok tentang soal terbuka Guru meminta siswa bergabung dengan kelompok untuk berdiskusi menyelesaikan tugas kelompok. (soal yang didiskusikan dalam kelompok sama dengan tugas individu pada fase sebelumnya). Siswa secara kelompok berdiskusi untuk menyelesaikan tugas kelompok. 4. Presentasi hasil diskusi kelompok Guru menunjuk salah seorang dari ang gota kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompok. - Siswa mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya. - Siswa yang lain dari tiap kelompok harus menanggapi atau bertanya kepada siswa yang presentasi. 6. Penutup Guru bersama siswa menyimpulkan ide atau Siswa mencatat konsep yang telah diperoleh pada hari itu. yang diperoleh. Teknik yang digunakan seperti guru memberikan pertanyaan-pertanyaan yang merangsang siswa untuk memperoleh poinpoin penting yang diharapkan. Dikutip dari Khabibah (2006). 128 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka kesimpulan Prosedur Pengembangan Pengembangan perangkat dalam penelitian ini menggunakan Model 4-D, Prosedur pengembangan perangkat pembelajaran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1 (diadaptasi dari Thiagarajan, semmel dan semmel, 1974) berikut ini: BAB II. PEMBAHASAN Rancangan Penelitian Penelitian ini digolongkan ke dalam jenis penelitian pengembangan. Adapun yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah perangkat pembelajaran dan instrumen. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan meliputi: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, Lembar Kerja Siswa, dan Tes Hasil Belajar untuk materi segi empat dengan pendekatan open-ended di kelas VII SMP yang bertujuan untuk menuntaskan hasil belajar siswa. Analisis awal akh ir Analisis materi An alisis siswa Spesifikasi tujuan pembelajaran Pemilihan media Analisis tugas P emilih an format ya Peranc awal Draft I Valid as i/p enilaian Valid ? tidak Draft II Uji keterb acaan Data Revis i Draft 1 Analis is uji keterbacaan Uji coba Analisis Baik ? Revisi (jika p erlu) Draft III tidak Revisi ya Perangkat final keterangan: : Jenis kegiatan : Garis siklus : Hasil kegiatan : Garis pelaksana : Pengambilan keputusan : Define : Design : Develop Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 129 1. Tahap Pendefinisian Tahap ini bertujuan untuk menentukan dan mendefinisikan syarat-syarat yang dibutuhkan dalam pembelajaran. Adapun kegiatankegiatan yang dilakukan pada tahap pendefinisian adalah analisis awal-akhir, analisis siswa, analisis konsep, analisis tugas, dan spesifikasi tujuan pembelajaran. 2. Tahap Perancangan Tahap ini dilakukan untuk merancang perangkat pembelajaran sehingga diperoleh prototype (perangkat pembelajaran dan instrumen), kegiatan ini meliputi: (a) pemilihan media, (b) pemilihan format, (c) perancangan awal. 3. Tahap Pengembangan Tujuan tahap pengembangan adalah untuk menghasilkan draft perangkat pembelajaran yang telah direvisi berdasarkan masukan para ahli dan data yang diperoleh dari uji coba. Kegiatan yang dilakukan pada tahap pengembangan terdiri dari: validasi ahli, revisi hasil validasi, uji keterbacaan, revisi hasil uji keterbacaan, uji coba, revisi hasil uji coba, dan pelaporan. draft II. Sebelum draft II diimplementasikan atau diujicobakan di lapangan terlebih dahulu dilakukan uji keterbacaan. Uji keterbacaan dilakukan dengan cara memberikan draft II (meliputi LKS dan THB) kepada 3 orang siswa kelas VII SMP Muhammadyah Rambipuji Jember yang memiliki kemampuan akademik tinggi, sedang, dan rendah (masing-masing satu orang). Hasil uji keterbacaan menunjukkan bahwa LKS dan THB perlu diperbaiki. Perbaikan tersebut dilakukan agar LKS dan THB lebih mudah dipahami oleh siswa. Hasil revisi draft II yang telah dinyatakan valid dinamakan draft III yang akan digunakan untuk uji coba. 1) Hasil penilaian kemampuan guru mengelola pembelajaran Berdasarkan kategori kemampuan guru mengelola pembelajaran mengindikasikan bahwa pembelajaran efektif. Hasil ini diperoleh karena rata-rata skor setiap aspek kemampuan guru mengelola pembelajaran yang dinilai pada setiap RPP mencapai kategori minimal “baik”. 2) Hasil pengamatan aktivitas siswa selama pembelajaran Jumlah siswa yang diamati 4 orang, yaitu HASIL PENELITIAN 1 orang dari kelompok atas, 2 orang dari Hasil Validasi Perangkat kelompok tengah, dan 1 orang dari kelompok bawah. Pengamatan dilakukan Hasil Validasi Rencana Pelaksanaan oleh satu orang. Hasil pengamatan terhadap Pembelajaran (RPP) Secara umum, validator aktivitas siswa dapat dilihat pada Tabel menyatakan bahwa RPP bernilai sangat baik 4.12. Berdasarkan kriteria keefektifan dan dapat digunakan dengan revisi kecil, aktivitas siswa yang telah diuraikan pada Lembar Kegiatan Siswa (LKS), hasil penilaian Bab III, Tabel 4.12 menunjukkan bahwa uji secara umum terhadap LKS menunjukkan coba ini dikategorikan efektif. Hal ini bahwa LKS berkualitas sangat baik. Sehingga dikarenakan hasil pengamatan menunjukdapat digunakan dengan sedikit revisi, Tes Hasil kan bahwa setiap aspek aktivitas siswa Belajar (THB), Hasil penilaian secara umum untuk semua rencana pelaksanaan pemterhadap THB yang menunjukkan bahwa THB belajaran (RPP) berada pada interval berkualitas sangat baik sehingga dapat kriteria batas toleransi waktu ideal. digunakan dengan sedikit revisi. 3) Hasil angket respon siswa Angket respon siswa dibagikan kepada Uji Keterbacaan siswa setelah pembelajaran matematika Perangkat pembelajaran yang telah dengan pendekatan open-ended selesai. diperoleh berdasarkan hasil validasi dinamakan 130 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Adapun rekapitulasi hasil angket respon siswa dapat dilihat pada Tabel 4.13. Tabel 4.13 menunjukkan bahwa respon siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan open-ended lebih dari 70% siswa memberikan respon dengan kategori positif. 4) Hasil uji coba tes hasil belajar (THB) Berdasarkan hasil analisis validitas butir tes, reliabilitas tes, dan sensitivitas butir tes. Maka, THB dapat dikategorikan baik. 5) Hasil Belajar dan Ketuntasan belajar Postes Uji coba Banyaknya siswa yang tuntas secara individu 23 siswa atau 85% Banyaknya siswa yang tidak tuntas secara individu 3 siswa atau 15% Ketuntasan belajar secara klasikal BAB III. Tuntas PENUTUP Berdasarkan tujuan dan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Prosedur pengembangan perangkat pembelajaran segi empat dengan pendekatan open-ended menggunakan model 4-D yang dimodifikasi menjadi tiga tahap sesuai dengan tujuan penelitian; yaitu: (1) Tahap Pendefinisian. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini adalah analisis awal-akhir, analisis siswa, analisis konsep, analisis tugas, dan spesifikasi tujuan pembelajaran; (2) Tahap Perancangan. Hasil kegiatan pada tahap ini yaitu rancangan awal perangkat pembelajaran berupa RPP, LKS, dan THB; (3) Tahap Pengembangan. Hasil kegiatan pada tahap ini yaitu Draft II, uji keterbacaan menghasilkan Draft III, dan kegiatan akhir yaitu uji coba Draft III, data hasil uji coba dianalisis dan dapat disimpulkan bahwa, perangkat pembelajaran berada pada kategori “baik”. 2. Berdasarkan hasil analisis deskriptif, perangkat pembelajaran segi empat dengan pendekatan open-ended diketegorikan baik. Karena keenam kriteria perangkat pembelajaran yang baik terpenuhi, yaitu: (1) Valid menurut validator, (2) Efektif untuk kemampuan guru mengelola pembelajaran, (3) Efektif untuk aktivitas siswa dalam pembelajaran, (4) Positif untuk respon siswa terhadap pembelajaran, (5) Valid, reliabel, dan sensitif untuk THB, dan (6) Ketuntasan belajar secara klasikal tercapai. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 2005. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan Matematika. Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara. Hudojo, H. 2003. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Edisi Revisi. Technical Cooperation Project for Development of Science and Mathematics Teaching For Primary and Secondary Education In Indonesia (IMSTEP). Khabibah, Siti. 2006. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika dengan Soal Terbuka untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa Sekolah Dasar. Disertasi. Surabaya: Program Pascasarjana UNESA. Ratumanan, Tanwey G, dan Laurens, Theresia. 2003. Evaluasi Hasil Belajar yang Relevan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi. YP3IT dan Unesa University Press. Sawada, Toshio. 1997. Developing Lesson Plan. Bahan Kuliah Pembelajaran Matematika IB. Shimada, Shigeru. 1977. The Open-Ended Approach: A New Proposal for Teaching Mathematics. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). Virginia. Thiagarajan, S., Semmel, D.S., dan Semmel, M.I. 1974. Instructional Development for Training Teacher of Exceptional Children. Minnesota: University of Minnesota. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 131 PEMBELAJARAN MATEMATIKA PADA ANAK USIA 1 – 2 TAHUN Christine Wulandari 1) 1) Program Studi Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jember, Jalan Karimata 49 Jember Kode Pos 68121 E-mail: [email protected] Abstrak: Matematika sering dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit, menyeramkan dan membebani, sehinnga banyak orang yang tidak menyukai matematika. Ilmu matematika digunakan manuasi sejak lahir sampai akhir hayat. Mengingat patingnya matematika dalam kehidupan sehari-hari. Maka matematika hendaknya diajarkan mulai usia dini. Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mendeskripsikan model pembelajaran matematika pada anak usia 1 – 2 tahun, (2) Untuk mengetahui respon orang tua terhadap pembelajaran matematika pada anak usia 1 – 2 tahun.Lokasi penelitian merupakan tempat diadakannya penelitian yaitu di Posyandu Jeruk 01 Dusun Semboro Lor, Desa Semboro, Kec Semboro, Kabupaten Jember. Pendekatan Penelitian adalah deskriptif dengan rancangan kualitatif. Metode pengumpulan data adalah metode wawancara,, observasi dan dokumentasi. Data penelitian yang terkumpul dianalisis dengan (a) reduksi data, (b) penyajian data, dan (c) penarikan kesimpulan serta verifikas. Pembelajaran matematika pada anak usia 1 – 2 tahun dapat dilakukan pada rutinitas orang tua dengan anaknya, dengan bermain dengan mengelompokkan mana bersadarkan fungsinya, ukuran dan bntuknya. Orang tua mengenlkan konsep bilangan dengan bernyanyi dengan lagu yang mengandung unsur angka. Dengan bermain konsep matematika dapat tertanam dalam pikiran anak dan dengan permainan, pembelajaran tidak terkesan memaksa anak untuk belajar matematika. Dengan dmikian anak akan menyukai matematika.Berdasarkan hasil wawancara dengan orang tua, mereka sangat tertarik dengan pembelajaran matematika pada anak usia 1 – 2 tahun. Orang tua baru menyadari bahwa degan bermain dan beryanyi dilakukan dengan anaknya merupakan pembelajaran yang dapat menanamkan konsep matematika. Kata kunci: Pembelajaran matematika, anak usia 1 – 2 tahun matika. Pada dasarnya matematika dapat diajarkan kepada anak sejak anak usia dini Matematika merupakan mata pelajaran bahkan usia bayi. Degan kegiatan yang dilakuyang tidak disukai oleh anak. Anak sering kali kan orang tua dengan anakya, konsep matemamerasa kesulitan dalam belajar matematika. tika dapat ditanamkan. Belajar matematika bisa Kesulitan tersebut disebabkan karena anak baru dilakukan sambil bermain bersama ibu mengenal konsep matematika saat anak duduk sehingga anak akan senang dengan pelajaran dibangku sekolah. Dalam dalam belajar matematematika. matika anak sering hanya menghafal konsep Pada anak-anak usia 1 – 2 tahun, konsep matematika, padahal konsep matematika tidak matematika ditemukan setiap hari melalui perlu di hafal tetapi harus dipahani oleh anak. rutinitas setiap hari dan pengalaman bermain Sulitnya menghitung hingga menghafal tak anak dengan orang tua. Bermain bukan asal jarang membuat anak enggan belajar mate- PENDAHULUAN 132 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka bersenang-senang, tapi juga harus ada manfaat yang didapat. Dengan bermain anak dapat mengenal konsep matemata melaui mainan yang dimainkannya. Sambil bermain orang tua dapat mengasah kecerdasan otak.Banyak cara untuk menstimulasi anak usia 1 – 2 tahun, salah satunya dengan cara bermain. Karena pada usia tersebut merupakan masa emas pertumbuhan otak, di mana stimulasi, perkembangan kognisi, sosial dan emosi anak mencapai tahap optimal. Apa fungsi bermain, sehingga dikatakan penting untuk anak. (Lestari, 2011:6). Permainan matematika membutuhkan suasana menyenangkan dan memberi kebebasan pada anak untuk belajar. Untuk itu diperlukan alat peraga/ media yang sesuai dengan tujuan, menarik, dan bervariasi, mudah digunakan dan tidak membahayakan. Orang tua bisa menggunkan media yang ada disekitar kehidupan anak sehingga anak bisa langsung menerapkan matematika dalam keidupan anak.Dengan demikian, anak akan termotivasi untuk belajar karena apa yang mereka pelajari bermanfaat dalam kehidupannya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Landreth (dalam Rizal, 2009) yang menyatakan bermain adalah bagian integral dari masa kanak-kanak, membutuhkan suatu media yang unik untuk memfasilitasi perkembangan ekspresi bahasa, keterampilan komunikasi, perkembangan emosi, keterampilan sosial, keterampilan pengambilan keputusan, dan perkembangan kognitif pada anak-anak. Sedangkan permainan adalah semua media yang dipakai oleh anak untuk melakukan kegiatan bermainnya.Dalam permainan matematika anak dapat di kelompokkan sesuai tahap penguasaan berhitung yaitu tahap konsep, masa transisi dan lambang. Dalam mengevaluasi hasil perkembangan anak harus dimulai dari awal sampai akhir kegiatan (Milafaila, 2011). Dengan diadakan penelitian ini diharapkan orang tua mengetahui cara-cara atau metode-metode pembelajaran apada anak usia 1 – 2 tahun serta otang tua bahwa pembelajaran matematika dapat dilakukan pada usia dini. Orang tua dapat menerapkan pembelajaran matematika kepada anaknya melalui kegiatan sehari-hari terutama pada saat bermain. Orang tua akan selalu mendampingi anaknya saat bermain dan akan selalu menstimulus anak dalam beberapa permainan, serta membiarkan anak menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan cara atau metode anak sendiri. Dalam mendampingi bermain anak diharapkan orang tua mampu mengarahkan anak jika permainan yang dilakukan keluar dari konsep yang sebenarnya. Dengan diadakannya penelitian ini diharapkan orang tua dapat menanamkan konsep matematika pada anak se dini mungkin sehingga pemikiran matematika yang sulit dan menyeramkan bisa hilang dari pikiran anak jika anak sudah duduk di bangku sekolah. Pembelajaran matematika pada anak usia 1 – 2 t ahun dapat dilakukan dengan mengenalkan konsep angka. Mengembangkan konsep angka pada anak usia 1 – 2 tahun. Beberapa contoh kegiatan yang bisa dilakukan orang tua dalam mengembangkan konsep angka pada anak usia 1 – 2 tahun, yaitu: 1. Ajaklah anak bernyanyi lagu satu satu, balonku, dll, yang mengandung angka sambil bergerak mengikuti irama. 2. Ajaklah anak untuk membantu memasukan setiap kuas lukis ke masing-masing wadah cat. 3. Mintalah anak untuk memasukan bola plastik ke keranjang, kemudian ajaklah anak untuk menghitung bersama-sama jumlah bola yang ada di keranjang. 4. Berikan gagasan agar anak boleh meminta lagi playdough bila bungkahan playdough yang diberikan masih kurang Mengenalkan konsep pola dan hubungan orang tua dapat melakukannya pada anak usia 1 – 2 tahun, dengan beberapa kegiatan berikut ini: 1. Sediakan alat musik gendang atau bisa dibuat dari kaleng bekas biskuit atau susu ditutup karet balon. Ajak anak agar mau Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 133 memukul gendang tersebut. Berikan beberapa contoh irama pukulan gendang untuk ditiru anak. 2. Sediakan air dalam baskom berukuran sedang, cangkir plastik, dan botol aqua bekas. Berikan gagasan agar anak menuang air dengan cangkir ke botol. 3. Ketika membacakan buku cerita, ucapkan kalimat yang diulang-ulang pada beberapa halaman berikutnya, misalnya: “Nah, kucing yang tadi warna bulunya putih. Kalau kucing yang ini warna bulunya hitam. “ 4. Ketika membacakan buku cerita, sambil menunjuk ke gambar ucapkan “ Kelinci mana yang lebih besar ?” Amati jawaban anak. tersebut seperti barisan balok berdasarkan pola warna merah. METODE PENELITIAN Lokasi penelitian merupakan tempat diadakannya penelitian yaitu di Posyandu Jeruk 01 Dusun Semboro Lor, Desa Semboro, Kec Semboro, Kabupaten Jember. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pembelajaran matematika pada anak usia 1 – 2 tahun. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif karena (1) peneliti bertindak sebagai instrumen utama, karena disamping sebagai pengumpul data dan penganalisis data, peneliti juga terlibat langsung dalam proses penelitian, (2) mempunyai latar alami (natural setting), data yang diteliti dan dihasilkan akan dipaparMengenalkan Konsep Hubungan Geokan sesuai dengan yang terjadi dilapangan, (3) metri dan Ruang pada anak dapat dilakukan hasil penelitian bersifat deskriptif, karena data dengan kegiatan mengenalkan konsep hubuyang dikumpulkan bukan berupa angka-angka ngan geometri dan ruang yang bisa dilakukan melainkan berupa kata-kata dan kalimat, (4) orang tua pada anak usia 1 – 2 tahun,adalah: lebih mementingkan proses dari pada hasil, (5) 1. Sediakan boneka dan kotak yang ukuranadanya batas masalah yang ditemukan dalam nya lebih kecil dari boneka tersebut. fokus penelitian, dan (6) analisis data cenderung Berikan gagasan agar anak mau mencoba bersifat induktif. memasukan boneka ke kotak. Setelah anak Penelitian ini memakai rancangan kuamengerti bahwa kota terlalu kecil maka litatif. Penelitian kualitatif memiliki beberapa ambil kotak lain yang lebih besar, birakan karakteristik, di antaranya berlatar alamiah, anak memasukan boneka ke kotak tersebut. deskriptif dan manusia sebagai alat (instrumen). 2. Sediakan kotak yang permukaannya Penelitian kualitatif memiliki karakteristik terdapat beberapa lubang berbentuk segiberlatar alamiah maksudnya di dalam penelitian tiga, persegi, lingkaran, segiempat. Biarkan kualitatif, peneliti memasuki, berhadapan anak memasukan keping segitiga, persegi, langsung dengan objek penelitian dan hasil lingkaran dan segiempat ke kotak tersebut. penelitiannya adalah alamiah, sesuai dengan keadaan yang sebenarnya tanpa rekayasa. Untuk mengenalkan konsep Memilih dan Dalam penelitian ini, peneliti melakukan Mengelompokanpada anak usia 1 – 2 tahun. pembelajaran matematika pada anak usia 1 – 2 Beberapa contoh kegiatan yang bisa dilakukan tahun. orang tua adalah Hasil penelitian ini merupakan data asli, 1. Memberikan sebuah gambar kucing pada alamiah, sesuai dengan keadaan yang sebenaranak. Biarkan anak menyebutkan nama nya, sesuai dengan data yang diperoleh saat binatang tersebut. melakukan pembelajaran, tanpa adanya reka2. Sediakan 5 buah balok lunak warna merah. yasa. Pendekatan kualitatif merupakan prosudur Ajak anak untuk membariskan balok-balok penelitian yang menghasilkan data deskriptif 134 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka yang berupa aktivitas dan respon anak usia 1 – 2 tahun saat diberi konsep matematika serta respon orang tua terhadap pembelajaran matematika pada anak usia 1- 2 tahun. Teknik pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat digu-nakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data.Teknik atau cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data disebut metode pengumpulan data. Dalam penelitian ini metode yang digunakan ialah metode wawancara, dokumentasi dan metode tes. Moleong (2002:190) menyatakan bahwa proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya. Data penelitian yang terkumpul dianalisis dengan model alir (flow model) Milles dan Hubermen (1992:16) yang meliputi tahap: (a) reduksi data, (b) penyajian data, dan (c) penarikan kesimpulan serta verifikasi. Keabsahan data merupakan hal yang terpenting dalam penelitian. Untuk mengecek keabsahan data akan digunakan teknik pengecekan keabsahan data. teknik pengecekan keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah (a) triangulasi, (b) ketekunan pengamatan, dan (c) pemeriksaan sejawat (Moleong, 2002:175) HASIL PENELITAIN Kegiatan yang dilakukan orang tua dalam mengembangkan konsep angka adalah: 1. Mengajak anak bernyanyi lagu satu satu, balonku, dll, yang mengandung angka sambil bergerak mengikuti irama. 2. Mengajak anak untuk membantu membereskanmainanjikasudahselesaibermain. 3. meminta anak untuk memasukan bola plastik ke keranjang, sambil menghitung jumlah bola. Respon anak saat bermain bersama orang tua adalah 1. Anak mengikuti ibu bernyanyi dengan kata-kata yang kurang jelas, tetapi maksudnya sudah mengarah pada lagu tersebut 2. Anak membantu ibu membereskan mainan, tetapi anak belum dapat mengelompokkan mainan sesuai dengan kelompoknya 3. Anak memasukkan bola dalam keranjang dengan menghitung, tetapi bola yang dimasukkan warnanya bermacam-macam, tidak satu warna. Kegiatan yang dilakukan orang tua untuk mengenalkan konsep pola dan hubungan adalah sebagai berikut 1. menyediakan alat musik gendang atau bisa dibuat dari kaleng bekas biskuit atau susu ditutup karet balon. Memberi contoh pada anak dalam memainkan gendangnya dan meminta anak untuk mirukan 2. mengucapakan kailmat dengan berulangulang saat membacakan buku cerita. 3. Menunjuk gambar-gambar yang ada dibuku cerita saat mmbacakan ceita pada anak. Kegiatan mengenalkan konsep hubungan geometri dan ruang yang dilakukan orang tua adalah: 1. memberi anak wadah kecil dan meminta anak untuk mengisi wadah-wadah tersebut dengan air. 2. Menyediakan boneka dan kotak yang ukurannya lebih kecil dari boneka tersebut. Memberi gagasan pada anak agar mau mencoba memasukan boneka ke kotak. Setelah anak mengerti bahwa kota terlalu kecil maka ambil kotak lain yang lebih besar, birakan anak memasukan boneka ke kotak tersebut. 3. Sediakan kotak yang permukaannya terdapat beberapa lubang berbentuk segitiga, persegi, lingkaran, segiempat. Biarkan anak memasukan keping segitiga, persegi, lingkaran dan segiempat ke kotak tersebut. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 135 Respon anak saat bermain bersama orang tua adalah 1. Anak memasukkan air kedalam wadah kecil dengan tumpah-tumpah 2. Anak terlihat bingung saat boneka tidak dapat dimasukkan ke dalam kotak dan terus mencoba memasukkannya. Setelah diberi arahan untuk mengambil kotak yang lain, anak mencoba mengambil kotak lain dan anak merasa senang saat dapat memasukkan lingkaran pada kotak. 3. Anak merasa bingung karna banyak pilihan yang harus dimasukkan, tetapi setleah beberapa kali mencoba, akhirnya anak dapat meyelesaikannya dengan baik. Kegiatan yang dilakukan orang tua untuk mengenalkan konsep Memilih dan Mengelompokan pada anak usia 1 – 2 tahunadalah 1. Memberikan sebuah gambar pada anak dan meminta anak untuk menyebutkan nama binatang tersebut. 2. Menyediakan 5 buah balok lunak dengan warna yang sama. Kemudian mengajak anak untuk membariskan balok-balok tersebut seperti barisan balok berdasarkan pola warna merah. HasilObservasi Dari hasl observasi yang dilakukan oleh observer, terhadap aktivitas orang tua saat bermain dengan anak dapat disimpulkan sebagai berikut 1. Anak merasa senang bernyanyi dengan orang tua dan meminta mengulang lagi lagulagu yang dinyanyikan. 2. Anak sanat antusias saat bermain dengan orang tua, anak selalu bertanya nama mainan yang belum ia ketahui. Saat selesai bermain, anak berusaha membereskan mainannya walaupun tidak sesuai dengan kelompok mainannya. 3. Anak merasa senang saat memukul-mukul gendang dan mecoba memukul gendang yang lain. 136 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 4. Saat bermain bola, anak bersaha menghitung bola walaupun warnaya acak. 5. Anak sangat senang bermain air walaupun bajunya basah dan kedinginan, anak enggan untuk berhenti bernain. 6. Saat dibacakan buku cerita, anak bertanya pada orangtua nama gambar yang ada dalam buku cerita. 7. Anak terlihat bingung saat diberi beberapa bentuk geometri. Anak berusaha memasukkan bentuk geometri kedalam kotak walaupun awalnya merasa kesulitan. 8. Saat melihat gambar binatang, anak berusaha menyebutkan nama binatang walapun bahasanya tidak tepat. 9. Anak berusaha menyusun balok-balok yang ada dengan bentuk yg tidak teratur secara vertikal dan horizontal HasilWawancara Dari hasil wawancara dengan orang tua yang memiliki anak usia 1 – 2 tahun, mereka merasa senang dengan diadakannya penelitian ini karena selama ini orang tua tidak pernah mendampingi anaknya dalam bermain karena tidak tahu bahwa pembelajaran matematika dapat dilakukan dengan bermain. Dengan permainan, pembelajaran dapat dilakukan secara alamiah. Setelah diadakan penelitian ini, orang tua sadar pentingnya pembelajaran matematika sejak anak usia 1 tahun karena jika konsep matematika diberikan sejak anak berusia 1 tahun, maka anak akan mudah mempelajari matematika saat anak dduk dibangku sekolah. KESIMPULAN Pembelajaran matematika pada anak usia 1 – 2 tahun dapat dilakukan dengan (1) mengenalkan konsep angka, (2) Mengenalkan konsep pola dan hubungan (3) mengenalkan konsep hubungan geometri dan ruang, (4) mengenalkan konsep Memilih dan Mengelompokan. Untuk mengenalkan konsep angka pada anak usia 1 – 2 tahun dapat dilakukan melalui tiga tahap, yaitu: membilang, mencocokkan dan membandingkan. Untuk mengenalkan konsep pola dan hubungan anak perlu diberi banyak kesempatan untuk meng­gali dan memanipulasi benda dan mencatat persamaan dan perbedaanya. Sedangkan untuk mengenalkan konsep hubungan geometri dan ruang adalah dengan anak mengenal bent uk-bentuk geomet ri (segitiga, segi empat, persegi, lingkaran) yang sama dan posisi dirinya dalam suatu ruang. Hal ini dapat orang tua lakukan dengan meminta anak untuk memasukkan benda-benda dalam suatu wadah yang lebih kecil atau yang lebih besar.Tahapan diatas dapat dilakukan orang tua melalui rutinitas sehari-hari dengan anaknya. Sehingga pembelajaran tidak terkesan memaksa anak untuk belajar matematika dan konsep matematika yang tertaman dalam memori anak akan dapat dipanggil saat anak duduk dibangku sekolah.Belajar memilih dan mengelompokan merupakan kemampuan mengamati dan mencatat persamaan dan perbedaan benda. Untuk dapat memilih dan mengelompokkan anak belajar melalui memperhatikan, mendengar, menyentuh, merasakan, mencium bau benda-benda yang dimainkannya, sehingga mengetahui benda-benda yang sama dan yang berbeda. REFERENSI Adityasari, Anggraini. 2013. Main Matematika Yuk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini. 2007. Kerangka Dasar Kurikulum. Depdiknas Pendidikan Anak Usia Dini. Universitas Negeri Jakarta: Jakarta. Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara Kahfi, M.S. 1996. Geometri Sekolah Dasar dan Pengajarannya: Sutu Pola Berdasarkan Teori Piaget dan Teori Van Hiele. Jurnal Ilmu Pendidikan. No. 4. 262 – 278. Malang: IKIP Malang Lestari, KW. 2011. Konsep Matematika Untuk Anak Usia Dini. Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini. Direktorat Jenderal PAUDI Pendidikan Nasional. Moleong, L. J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya Miles, M. B. & Hubermen, A. M. Analisa Data Kualitatif. (terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta: Universitas Indonesia Press Rizal, M, 2009. Permainan Yang Mencerdaskan.Seminar Smart Parent Conference.24-26 Juli 2009.JHCC. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Christine W. Suryaningrum Di lahikan di Jember pada tanggal 17 Februari 1983. Pendidikan TK di tempuh pada tahun 1986 – 1988 di TK RAUDHATUL ASHAR IV. Pendidikan SD di tempuh pada tahun 1988 – 1994 di SD Negeri V Semboro. Pendidikan SMP di tempuh pada tahun 1994 – 1997 di SMP Negeri 4Tanggul.Pendidikan SMA di tempuh pada tahun 1997 – 2000 di SMA Negeri 1 Jenggawah. Pendidikan S1 di tempuh pada tahun 2000 – 2004 di Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Malang. Sedangkan gelar Magister diperoleh setelah menyelesaikan pendidikan di Program Pascasarjana Univeritas Negeri Malang pada Prodi Studi Pendidikan Matematika tahun 2005 – 2007. Karirnya dimulai pada tahun 2007 sampai dengan sekarang sebagai Dosen di Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Jember dengan menampu mata kuliah Aljabar Linier, Matematika Diskrit, Teori Bilangan, dan Teori Himpunan. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 137 Literasi Keuangan MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MAHASISWA DALAM MENGELOLA KEUANGAN Anis Dwiastanti ABSTRAK Artikel ini berusaha memberikan pemahaman tentang pentingnya pembelajaran Literasi Keuangan kepada mahasiswa agar mereka dapat mengelola sumber daya keuangannya di masa depan untuk mencapai kesejahteraan. Selain itu, melalui pengetahuan Literasi Keuangan diharapkan mahasiswa dapat meningkatkan pengetahuannya dalam memahami kondisi keuangan serta konsep-konsep keuangan, untuk merubah pengetahuan tersebut secara tepat ke dalam perilaku. Oleh karena itu Perguruan Tinggi perlu menyusun kurikulum yang dapat mendukung peningkatan pengetahuan mahasiswa tentang Literasi Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu menggandeng Perguruan Tinggi dalam melakukan edukasi dibidang keuangan, khususnya kepada mahasiswa agar dapat mengelola keuangan secara cerdas, supaya rendahnya pengetahuan tentang industri keuangan dapat diatasi dan masyarakat tidak mudah tertipu oleh produkproduk investasi yang menawarkan keuntungan tinggi dalam jangka pendek tanpa mempertimbangkan resikonya. Banyak hasil penelitian yang telah dilakukan dan memberikan rekomendasi tentang pentingnya memberikan pemahaman Literasi Keuangan terhadap masyarakat, baik melalui pendidikan formal maupun non formal. OJK sebagai lembaga independen yang paling gencar memberikan edukasi kepada masyarakat, dan bekerja sama dengan Asosiasi Lembaga Jasa Keuangan (LJK) telah meluncurkan program Strategi Nasional Literasi Keuangan untuk meningkatkan indeks pengetahuan keuangan masyarakat yang saat ini masih rendah, dan diharapkan dapat tumbuh 2% per tahun. Untuk mendukung program Literasi Keuangan yang digalakkan oleh OJK, Perguruan Tinggi dapat mengembangkan kurikulum Pengetahuan Keuangan yang dapat memberikan pengetahuan kepada mahasiswa, agar dapat menjadi pribadi yang dapat mengambil keputusan keuangan secara cerdas, dan pengetahuan yang dimiliki dapat menjadi sumber informasi untuk meningkatkan pengetahuan keuangan bagi dirinya, keluarga, masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Kata Kunci : Literasi Keuangan dan Pengetahuan Keuangan dan kemampuan yang membuat orang tersebut mampu memanfaatkan sumber daya yang ada Mengelola uang yang sehat membutuhuntuk mencapai tujuan. kan beberapa faktor fundamentalyang perlu Huston (2010) menyatakan bahwa pengeditingkatkan, dan salah satunya adalah literasi tahuan keuangan merupakan dimensi yang keuangan. Pendefinisian literasi keuangan bertidak terpisahkan dari literasi keuangan, namun variasi, sebagaimana diungkapkan oleh Chen belum dapat menggambarkan literasi keuangan. dan Volpe (1998) yang mengartikan literasi Tidak jauh berbeda, The Presidents Advisory keuangan sebagai kemampuan mengelola Council on Financial Literacy (PACFL, 2008) keuangan (financial litercy is money managedalam Hung (2009) mendefinisikan literasi ment knowledge). Literasi keuangan terjadi keuangan sebagai the ability to use knowledge ketika individu memiliki sekumpulan keahlian PENDAHULUAN 138 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka and skills to manage financial resources effectively for a lifetime of financial well-being (literasi keuangan sebagai kemampuan untuk menggunakan pengetahuan serta keahlian untuk mengelola sumber daya keuangan untuk mencapai kesejahteraan). Literasi finansial merupakan pengetahuan tentang keuangan dan kemampuan untuk menggunakan pengetahuan tersebut (mengaplikasikannya) untuk mencapai kesejahteraan. Dalam beberapa tahun terakhir, isu mengenai literasi (pengetahuan) keuangan telah menjadi salah satu fokus kebijakan pemerintah dan lembaga keuangan di Indonesia.Terdapat kekhawatiran bahwa konsumen cenderung kurang memahami konsep keuangan dan tidak memiliki pengetahuan untuk membuat keputusan keuangan.Dengan adanya peningkatan literasi keuangan diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada kestabilan sistem keuangan dan mengurangi kerentanan dalam sistem keuangan. Terdapat beberapa bukti yang menunjukkan bahwa t ingkat akses keuangan masyarakat Indonesia relatif rendah. Sebagaimana diungkapkan Agus Sugiharto (2014), bahwa tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia pada tahun 2013 hanya sebesar 21,8% atau sebanyak 78,2% belum memiliki pemahaman mengenai produk atau jasa keuangan, sehingga investasi di dalam negeri masih didominasi oleh investor asing. Oleh sebab itu, OJK akanterus berupaya meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pentingnya investasi di lembaga jasa keuangan formal. Sementara penggunaan produk layanan keuangan hanya dinikmati oleh 40,3% masyarakat Indonesia, dan sisanya sebanyak 59,7% belum mengakses layanan lembaga keuangan formal. Tingkatliterasi keuangan masyarakat terhadap lembaga jasa keuangan, kebanyakan didominasi oleh industri perbankan, disusul asuransi, pegadaian, perusahaan pembiayaan, dana pensiunan, dan perusahaan sekuritas atau pasar modal. Urutan tersebut disusun dari yang tertinggi ke terendah dalam pemahaman masyarakat akan lembaga Jasa Keuangan (LJK). Selain tingkat pemahaman yang rendah, investasi keuangan yang ada saat ini juga belum merata. Penduduk Indonesia di usia 15-54 tahun tergolong pada tingkat pengeluaran dengan literasi keuangan dan penggunaan cukup tinggi. Di usia-usia tersebut didominasi oleh pekerja di sektor formal, seperti karyawan dan kalangan profesional Literasi keuangan atau melek keuangan mengacu pada kemampuan atau tingkat pemahaman seseorang atau masyarakat tentang bagaimana uang bekerja. Sebagaimana diungkapkan Kusumaningtuti (2014) mengutip survei nasional literasi keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2013 di 20 provinsi dengan 8000 responden, secara umum tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia baru 21,8 persen. Sektor perbankan mendominasi tingkat literasi tersebut.Data Bank Dunia menyebutkan, tingkat literasi keuangan Indonesia terendah di kawasan Asia Tenggara. Tingkat literasi masyarakat Filipina 27 persen, Malaysia 67 persen, dan Thailand 73 persen (Koestanto, 2014). Pendidikan sangat berperan penting dalam pembentukan literasi finansial baik pendidikan informal di lingkungan keluarga maupun pendidikan formal di lingkungan perguruan tinggi.Dalamlingkungan keluarga, tingkat literasi finansial ditentukan olehperan orang tua dalam memberikan dukungan berupa pendidikan keuangan dalam keluarga.Melalui pendidikan keluarga, dengan cara-cara yang sederhana anak dibawa ke suatu sistem nilai atau sikap hidup yang diinginkan dan disertai teladan orang tua yang secara tidak langsung sudah membawa anak kepada pandangan dan kebiasaan tertentu. Jorgensen (2007) menyatakan “Students who reported they learned either some or a lot about managing their money from parents had higher financial knowledge, attitude, and behavior scores than students who Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 139 reported learning none or not much about managing their money from their parents.” Pendidikan pengelolaan keuangan di dalam keluarga dipengaruhi oleh status sosial ekonomi orang tua.Perbedaan status sosial ekonomi orang tua membawa perbedaan yang besar dalam pengasuhan anak.Anak-anak dikondisikan oleh posisi subkultur dan kelas sosial ekonomi yang pada gilirannya mempengaruhi kognisi dan perilaku mereka. Pembelajaran di perguruan tinggi juga berperan penting dalam proses pembentukan literasi finansial mahasiswa. Mahasiswa tinggal di lingkungan ekonomi yang beragam dan kompleks sehingga peningkatan kebutuhan pendidikan keuangan sangat diperlukan. Beberapa negara telah mengakui perlunya literasi finansial diajarkan di dalam kelas. Pembelajaran yang efektif dan efisien akan membantu mahasiswa memiliki kemampuan memahami, menilai, dan bertindak dalam kepentingan keuangan mereka. Gutter (2008) dalam penelitiannya menyat akan bahwa pendidikan keuangan berpengaruh positif terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku keuangan. Diperkuat oleh penelitian Lutfi dan Iramani (2008) yang menyatakan bahwa pendidikan manajemen keuangan secara signifikan berpengaruh terhadap literasi finansial.Untuk itulah diperlukan pembekalan yang matang agar mahasiswa dapat mengelola keuangannya secara smart. Sebagaimana diungkapkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan pendidikan tentang keuangan sangat penting untuk membantu generasi muda dalam penyelesaikan persoalan dunia keuangan. Sebab persoalan keuangan sudah menjadi hal yang sangat mendasar bagi kehidupan. Melalui pendidikan tentang keuangan yang matang diharapkan masyarakat semakin melek keuangan, sehingga dapat meminimalisir tindakan-tindakan penipuan yang mengat asnamakan produk-produk investasi yang menawarkan keuntungan tinggi 140 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka dalam jangka pendek tanpa mempertimbangkan resikonya. Tujuan penulisan artikel ini adalah menyusun kurikulum pembelajaran pengetahuan keuangan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam mengelola sumber daya keuangan guna mencapai kesejahteraan. KAJIAN TEORITIS Kristen M. Rosacker dan Srini Ragothaman (2009) melakukan penelitian dengan temaFinancial Literacy Of Freshmen Business Shcool Students. Penelitian ini menjelaskan hasil lokakarya pelatihan literasi keuangan yang dilakukan oleh jurusan akuntansi. Fokus utamapelatihan adalah pendidikan mahasiswa pada konsep-konsep pokok tentang pentingnya penggunaan utangyang tepatdan manajemen keuangan. Hasil analisis menunjukkan bahwa pelatihan pengetahuan t entang masalah keuangan memberikan manfaat terhadap mahasiswa-mahasiswa baru jurusan bisnis. Hasil penelitian juga menunjukkan perlunya usahaterus-menerus untuk meningkatkan penget ahuan tentang masalah keuangan mahasiswa. Sebuahkonsep yang luasdan mendalam tentang penelitian pendidikan keuangan akan membantu pembuat kebijakan, serta penyedia layanan sektorpublik dan swastabagi pendidikankeuangan, untuk meningkatkan efektivitaskerjamereka terutama pengetahuan tentang masalah keuangan. Hasil penelitian juga memberikan rekomendasi bahwauntuk meningkat kan pengetahuan keuangan mahasiswa di masa mendatang. Pelatihanpengetahuan tentang masalah keuangan masa depan dan penelitianharus diarahkanpadaaudiens yang lebih luaslagi. Khususnyaupayamasa depan harusdiarahkanpadasemua jurusan(bukan hanya bisnis) dansemua tingkatsiswa(bukan hanya mahasiswa baru). Selain itu, upayadi masa depan untuk meningkatkan tingkat pengetahuan tentang masalah keuanganharus mencakupsiswauntuk beberapauniversitas. Para mahasiswadan dosenakandigunakan sebagai subyek penelitian untuk meningkatkan upaya pelatihan keuangan mereka di masa depan.Demikian juga, universitas laindapat mendukung langkah dan upaya ini. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Krishna, Sari dan Rofaida (2009), memberikan rekomendasi bahwa untuk meningkatkan literasi finansial di kalangan mahasiswa, sudah saatnya pendidikan Personal Finance, masuk ke dalam kurikulum akademik sebagai bagian dari sistem pendidikan di Perguruan Tinggi, baik untuk Program Studi Ekonomi maupun Non Ekonomi sehingga pendidikan ekonomi yang diberikan selain untuk membekali mahasiswa dengan ketrampilan pengetahuan untuk mendapatkan pekerjaan juga untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam mengelola keuangan pribadinya sebagai salah satu modal yang dapat meningkatkan kualitas hidup mereka di masa yang akan datang. Konsep Pengembangan Literasi Keuangan Model Model literasi keuangan telah dikembangkan oleh Lindsey (2011) melalui penelitiannya yang berjudul A Review of Howard University’s Financial Litercy Curriculum. Dalam penelitian ini, Lindsey menunjukkan kesulitan finansial dari individu dan keluarga dapat mempengaruhi kesehatan keuangan masyarakat lokal dan ekonomi regional secara radikal. (Kingsley, TG, Smith, R., & Price, 2009 & United Way, 2010) bagaimana pengetahuan orang-orang Amerika tentang pengelolan keuangan pribadi mereka (Mandell, 2009; Lusardi, 2008; Volpe, Chen & Liu, 2006; & Chen & Volpe, 1998).Pertanyaan biasanya terfokus pada konsep-konsep keuangan seperti bagaimana mendapatkan laporan kredit, mengetahui nilai kredit perorangan, dan membedakan berbagai jenis kredit. Studi Jumpstart (Mandell, 2008) mendefinisikan pengetahuan tentang masalah keuangan sebagai kemampuan untuk menggunakan pengetahuan dan keterampilanuntuk mengelolasumber daya keuangansecara efektifuntukmeningkatkan kesejahteraan di masa yang akan datang. Definisi ini mencakup pengetahuandankemampuan’dengan hasil yang diharapkan(yaitu, keamanan finansialseumur hidup/kesejahteraan). Universitas Howard memandang kurikulum pendidikan keuangan sebagai langkah untuk meningkatkan pengetahuan keuangan siswa, dan bagaimana manusia menggunakan modal dalam pengelolaan keuangan, keterampilan, dan pengalaman. Universitas Howardmenyimpulkan bahwa membangun pengetahuan keuanganakan berpengaruh terhadap perilaku pendidikan keuangan pribadi. Sebagaimana dikemukakan oleh Angela A. Hung dkk (2009) dalam Working Paper yang berjudul Defining and Measuring Financial Literacy, bahwa definisi literasi keuangan sebagian besar terletak pada kemampuan untuk menggunakan pengetahuan dan keterampilan untuk mencapai kesejahteraan keuangan, dan oleh karenanya diperlukan perilaku yang cukup untuk mendasarinya. Mereka berpendapat bahwa pengetahuan keuangan, keterampilan, dan perilaku, serta hubungan timbal balik diantaranya, harus dipertimbangkan dalam konsep literasi keuangan secara menyeluruh. Sandra J. Huston (2009) mengatakan bahwa literasi keuangan merupakan pengukuran seberapa baik seorang individu dapat memahami dan menggunakan informasi yang terkait dengan keuangan. Literasi keuangan bukan hanya membutuhkan dimensi pengetahuan tetapi juga membutuhkan dimensi tambahan yakni dimensi pengaplikasian yang mengharuskan seseorang memiliki kemampuan dan kepercayaan diri at as pengetahuan keuangan yang dimilikinya untuk digunakan dalam pengambilan keputusan keuangan. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 141 PEMBAHASAN Manajemen Keuangan dan Literasi Keuangan Salah satu bentuk aplikasi dari Manajemen Keuangan adalah Manajemen Keuangan Pribadi (Personal Finance) yang merupakan proses perencanaan dan pengendalian keuangan dari unit individu dan keluarga. Personal Financemeliputi : (1) Money Management, (2) Spending and Credit dan (3) Saving and Investment (Krishna, 2008) Di dalam Personal Finance, diperlukan literasi keuangan. Literasi keuangan terjadi manakala seorang individu yang cakap (liter- ate) memiliki sekumpulan kemampuan yang membuat orang tersebut mampu memanfaatkan sumberdaya yang ada untuk mencapai tujuan. Kecakapan (literacy) merupakan hal penting yang harus dimiliki untuk mewujudkan tujuantujuannya.Memahami implikasi dari literasi finansial yang ditimbulkan dari keputusan keuangan merupakan hal yang utama. Keputusan yang berdasarkan informasi diakui sebagai instrumen untuk mencapai outcome yang diharapkan. Dari uraian diatas, maka komsep yang dibangun dalam penyajian makalah ini nampak dalam bagan berikut : FINANCIAL KNOWLEDGE MANAJ. KEUANGAN LITERASI KEUANGAN PERENCANAAN, ANALISIS & PENGENDALIAN KEGIATAN KEUANGAN PERENCANAAN, ANALISIS & PENGENDALIAN KEGIATAN KEUANGAN ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· PERUSAHAAN BARANG DAN JASA MANAJ. KEU. PRIBADI PENGEL. & KREDIT TABUNGAN &INVEST FINANCIAL SKI LL PERCEIVED KNOWLEDGE FINANCIAL BEHAVIOR 142 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Pengembangan Kurikulum Literasi Keuangan untuk Mahasiswa Pengembangan potensi yang diharapkan dari proses pembelajaran di Program Studi Manajamen adalah penyelenggaraan pendidikan jenjang Sarjana (S1) bagi masyarakat melalui pengamalan ilmu pengetahuan di bidang bisnis dan manajemen dengan senantiasa menjunjung tinggi etika dan kebebasan akademik untuk menghasilkan sarjana di bidang manajemen yang memiliki semangat untuk melayani masyarakat secara benar dan demi kebenaran, mampu memahami, menganalisis, dan memecahkan masalah manajerial serta berupaya mengembangkan diri sebagai manajer dan wirausaha yang berintelektual dan berintegritas dalam lingkungan lokal dan global. Hal ini dapat dicapai melalui proses pembelajaran yang menggabungkan metode kelas dan pelatihan praktis di lapangan. Secara umum kompetensi lulusan Program Studi Manajemen adalah menghasilkan lulusan dengan kemampuan sebagai tenaga profesional yang beretika tinggi, mampu mengintegrasikan teoritis konseptual dan menerapkannya secara praktis dalam bidang ilmu ekonomi.Sementara kompetensi pendukungnya adalah menghasilkan lulusan dengan kemampuan berkomunikasi, menjalin kerjasama, menggunakan teknologi informasi dan mengembangkan diri secara baik dan efektif. Kompetensi lainnya adalah keterampilan dalam menyampaikan ide/pendapat ditempat kerja maupun di masyarakat umum. Atas dasar kebutuhan dalam pengembangan kurikulum Prodi Manajemen, maka dirasa perlu untuk memasukkan mata kuliah Pengetahuan Keuangan (Financial Knowledge) dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan tentang pengelolaan keuangan pribadi dan keluarga kepada mahasiswa agar mereka dapat mengelola keuangannya dengan baik di masa mendatang untuk mencapai kesejahteraan. Hal ini juga diperlukan untuk membentuk sikap dan perilaku dalam mengelola keuangannya agar dapat memanfaatkan sumber daya yang dimiliki demi masa depannya. Untuk memastikan pemahaman masyarakat tentang produk dan layanan yang ditawarkan oleh lembaga jasa keuangan, OJK mengeluarkan program Strategi Nasional Literasi Keuangan yang mencanangkan tiga pilar utama.Pertama, mengedepankan program edukasi dan kampanye nasional literasi keuangan.Kedua, membentuk penguatan infrastruktur literasi keuangan.Ketiga, berbicara tentang pengembangan produk dan layanan jasa keuangan yang terjangkau.Penerapan ketiga pilar tersebut diharapkan dapat mewujudkan masyarakat Indonesia yang memiliki tingkat literasi keuangan yang tinggi sehingga masyarakat dapat memilih dan memanfaatkan produk jasa keuangan guna meningkatkan kesejahteraan. Guna mendukung Strategi Nasional Literasi Keuangan, maka sudah seyogyanya Perguruan Tinggi mengambil peran aktif dengan mengembangkan Literasi Keuangan dalam kurikulum pendidikan tinggi, Berikut materi sajian Satuan Acara Perkuliahan (SAP) yang dapat dirancang untuk mendukung mata kuliah Pengetahuan Keuangan (Literasi Keuangan). Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 143 Tabel 1 Satuan Acara Perkuliahan: Pengetahuan Keuangan (Financial Knowledge) yang diusulkan Pertemuan 1. Pokok Bahasan Pengelolaan Keuangan 2. Manajemen Uang 3. Manajemen Kredit dan Utang 4. Tabungan 5. Investasi 6. Manajemen Resiko 7. Perbankan dan Asuransi 8. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 9. Pegadaian pembiayaan 10. Pasar Modal 11. Reksadana 12. Dana Pensiun dan Lembaga ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· Sub Pokok Bahasan Pengetahuan dasar tentang keuangan pribadi Tingkat bunga Inflasi Opportunity Cost Time value of money Likuiditas aset Menyusun anggaran Membuat skala prioritas Menilai ketercapaian anggaran Faktor-faktor kelayakan kredit Pertimbangan dalam melakukan pinjaman Karakteristik kredit konsumen Penggunaan kredit dan utang secara bijaksana Tingkat pengembalian Pajak terkait dengan tabungan Likuiditas Keamanan Pembatasan-pembatasan dan fee (berkaitan dengan pembayaran bunga dan penarikan deposito) Jenis investasi Pendapatan investasi Pertumbuhan investasi Likuiditas investasi Resiko personal Eksposur resiko Dampak keuangan dengan resiko yang dihadapi Cara yang tepat untuk menghadapi resiko Resiko aset Resiko kewajiban Bank Indonesia Bank Umum Bank Syariah Bidang tugas dan tanggung jawab OJK OJK dan Literasi Keuangan Langkah/upaya OJK dalam meningkatkan literasi keuangan masyarakat Finansial Eksklusif Finansial Inklusif Strategi Nasional Literasi Keuangan Bidang Usaha Pegadaian Bidang Usaha lembaga Pembiayaan Sewa Guna usaha (Leasing) Anjak Piutang (Factoring) Usaha Kartu Kredit (Credit Card) Pembiayaan Konsumen (Cosumer’s Finance) Sejarah dan Pengertian Pasar Modal Instrumen Pasar Modal Pelaku Pasar Modal Lembaga-lemba ga di Pasar Modal Pasar Perdana Bentuk Hukum Reksadana Karakteristik Reksadana Jenis Reksadana Manfaat Reksadana Resiko Investasi Reksadana Prinsip dan Azas Penyelenggaraan Dana Pensiun Pendanaan Dana Pensiun Manfaat Dana Pensiun Kekayaan dan Investasi Dana Pensiun Manajemen dan Operasional Dana Pensiun Kepesertaan Dana Pensiun Sumber : disarikan dari berbagai literatur 144 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Melalui pengembangan kurikulum Pengetahuan Keuangan diharapkan mahasiswa dapat menjadi pribadi yang dapat mengambil keputusan keuangan dengan benar di masa mendatang, dan pengetahuan yang dimiliki dapat menjadi sumber informasi untuk meningkatkan pengetahuan keuangan bagi dirinya dan lingkungan di sekitarnya. DAFTAR RUJUKAN Agus Sugiharto, 2014, OJK Edukasi dan Sosialisasi Produk dan Jasa Keuangan Untuk Wanita dan UMKM, ht tp:// ift . c o . id / p o st s / o jk- e d u ka s i- da nsosialisasi-produk-dan-jasa-keuanganu n t u k - w a n i t a - d a n umkm,diaksesPeb,25,2015 Byrne, A., 2007, Investment employees saving and investment decisions in defined contribution pension plans: survey evidence from the UK, Financial Services Review, Vol. 16, pp. 19-40. Chen, H. & Volpe, R. P. 1998.An Analysis of Personal Financial Literacy Among College Students. Financial services review 7(2): 107-128. Debby Lindsey, Kelly dan Brent, 2011,A Review Of Howard University’s Financial Literacy Curriculum, American Journal Of Business Education, October 2011; 4, 10, ProQuest Education Journals, pg 73. Garland Sina, Peter dan Arnold Nggili, 2011, Apakah Kamu Yakin Memiliki Literasi Keuangan Yang Tinggi?, Hung, A.A., Parker, A.M., & Yoong, J.K., 2009 Defining and Measuring Financial Literacy, Rand Labor And Population. Diambil dari http://www.rand.org Jorgensen, B. L. (2007). Financial literacy of college students: parental and peer influences. 89 Retrieved from http://scholar. li b. vt . e d u / t he s e s / a v a i la bl e / e t d 1 0 1 6 2 0 0 7 - 1 4 3 6 2 7 / u nr e s t r ic t e d / Thesis_BJ2.pdf. Krishna, A., Sari,M., & Rofaida, R. (2009) “Analisis Tingkat Literasi Keuangan di Kalangan Mahasiswa dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya: Survey pada Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia”. Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI Bandung, Indonesia, 8-10 November 2010. Hal 552-560 Kristen M. Rosacker dan Srini Ragothaman, 2009, Financial Literacy Of Freshmen Business Shcool Students. College Student Journal, Jun 2009; 43, 2, ProQuest, pg 391. Kusumaningtuti, 2014, Akses ke Lembaga Keuangan Minim, Ekonomi Terhambat, http://www.tempo.co/read/news/2014/ 12/20/087629904/Akses-ke-LembagaKeuangan-Minim-Eko no miTerhambat;diaksesFeb,26,2015 Lusardi, A & Mitchell, O.S. (2007) “Baby Boomer Retirement Security: The Roles of Planning, Financial Literacy, and Housing Wealth”. Journal of Monetary Economics, 54(1), 205-224. Lutfi dan Iramani, 2008, Financial Literacy Among University Student and Its Implications to the teaching Method. Jurnal ekonomi Bisnis dan Akuntansi Ventura Volume 11 No.3 Maria Rio Rita, 2014, Apakah Mahasiswa Sudah Melek Keuangan?, Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Mei 2014, Volume 3 Nomor 1, Halaman 58-65. Nidar, S.R. & Bestari, S, 2012, Personal Financial Literacy Among University Students (Case Study at Padjadjaran University Students, Bandung, Indonesia). World Journal of Social Sciences 2 (4). July Otoritas Jasa Keuangan, 2013, Buku Seri Literasi Keuangan Indonesia, www.ojk. go.id Sandra J. Huston, 2009, Measuring Financial Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 145 Literacy, A later version of this paper was published in The Journal of Consumer Affairs, Summer 2010, Volume 44(2), pages 296-316. Sari dan Rofaida (2009) Analisis Tingkat Literasi Keuangan di Kalangan Mahasiswa dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya (Survey pada Mahasiswa Universitas Pendididkan Indonesia) 146 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Widayati, Irin, 2012, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Literasi Finansial Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, ASSET: Jurnal Akuntansi dan Pendidikan, Volume 1, Nomor 1, Oktober 2012, Halaman 89-99. Yunhyung Chung dan Youngkyun Park, 2014, The Effect of Financial Education and Network’s on Business Students’ Financial Literacy,American Journal Of Business Education, Third Quarter 2014; Volume 7 Number 3; Page 229-236. Pengembangan Buku Ajar Bahasa Indonesia Berbasis Jender sebagai Upaya Demokratisasi Pendidikan Oleh: Lilik Wahyuni IKIP Budi Utomo Malang, Jl. Simpang Arjuno 14B Malang Jl. S. Supriyadi VIII/28 Malang, HP 085232195607 Email: [email protected] Abstrak: Demokratisasi pendidikan merupakan hal penting dalam pendidikan. Akan tetapi, fakta menunjukkan masih adanya diskriminasi dalam bidang pendidikan. Hal itu harus diatasi dengan pengembangan buku ajar bahasa Indonesia berbasis jender. Masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah (1) dasar pengembangan buku ajar bahasa indonesia berbasis jender dan (2) sikap demokratis yang dibentuk melalui Buku Ajar Bahasa Indonesia Berbasis Jender. Hasil kajian dalam makalah ini adalah pertama, sebagai mata pelajaran wajib, pembelajaran bahasa harus mengajari siswa belajar cara mengemukakan sesuatu kepada siapa dan kapan, siswa belajar berinteraksi dengan siswa yang lain. Kedua, melalui buku ajar bahasa Indonesia berbasis jender diharapkan dapat mengkonstruk siswa yang (1) rasa hormat terhadap harkat sesama manusia, (2) memiliki arah pikiran yang sehat, dan (3) rela berbakti pada kepentingan/kesejahteraan bersama. Key Word: pengembangan, buku ajar bahasa Indonesia berbasis jender, demokratisasi pendidikan Pendidikan memegang peran penting dalam mencerdaskan manusia secera intelektual. Akan tetapi, peran pendidikan yang paling penting adalah untuk membentuk siswa menjadi diri yang berkarakter yang bisa menghargai orang lain tanpa ada diskriminasi. Perlakuan diskriminasi sangat bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 beserta amandemennya. Sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis ayat (b) yang berbunyi “segala tindakan diskriminasi ras dan etnis bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia”. Selain itu, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 pasal 1 ayat 3 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa pengertian diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tak langsung didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengangguran, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Akan tetapi, fakta yang dihadapi adalah masih adanya diskriminasi dalam bidang pendidikan. Demokratisasi pendidikan di Indonesia masih rendah. Hal itu dapat dilihat dari masih adanya kesenjangan tingkat pendidikan, fasilitas pelayanan pendidikan belum tersedia Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 147 secara merata, kualitas pendidikan relatif masih rendah, pembangunan pendidikan belum dapat meningkatkan kemampuan lulusan, pendidikan tinggi masih mengahadapi kendala pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, manajemen pendidikan belum berjalan secara efektif dan anggaran pembangunan pendidikan belum memadai. Kesenjangan tersebut salah satunya terjadi pada perempuan dan anak-anak. Sebagaimana dapat dilihat pada data Susenas 2003 menunjukkan bahwa, penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah jumlahnya dua kali lipat penduduk laki-laki (11,56 persen berbanding 5,43 persen). Penduduk perempuan yang buta huruf sekit ar 12,28 persen, sedangkan penduduk laki-laki yang buta huruf sekitar 5,84 persen. Fakta di atas harus diatasi dengan peningkatan akses dan perluasan kesempatan belajar bagi anak-anak perempuan dan laki-laki usia sekolah, salah satunya melalui kegiatan pembelajaran. Pembelajaran yang dilakukan di sekolah harus memperhatikan pengarus utamaan jender, responsif, dan antisipatif serta dapat membantu pencapaian tujuan sosial yang dapat menjamin akses dan kesetaraan peserta didik. Cara lainnya adalah melalui pengembangan buku ajar bahasa Indonesia berbasis jender. Sebagaimana dinyat akan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran bahwa buku (teks) pelajaran adalah buku acuan wajib untuk digunakan di sekolah yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan kemampuan estetis, potensi fisik, dan kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa melalui buku ajar dapat dikonstruk siswa yang berkarakter dan saling menghargai antara satu dengan yang lain. 148 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Bidang studi yang digunakan untuk membentuk demokratisasi pendidikan adalah bidang studi bahasa Indonesia. Sebagaimana dikatakan Putri (2013) bahwa dalam kurikulum 2013 yang berdasarkan pendekatan scientific (ilmiah), yaitu mengamati, menanya, menalar, menyaji dan mencipta, pendekatannya telah diturunkan melalui metode pembelajaran bahasa Indonesia yang berbasis teks. Seperti yang disampaikan dalam kata pengantar buku bahasa Indonesia untuk kelas VII dan kelas X kurikulum 2013 yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2013, dikatakan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia dilaksanakan dengan menerapkan 4 prinsip yaitu (1) bahasa hendaknya dipandang sebagai teks, bukan semata kumpulan kata-kata atau kaidah-kaidah kebahasaan, (2) penggunaan bahasa merupakan proses pemilihan bentuk-bentuk kebahasaan yang mengungkapkan makna, (3) bahasa bersifat fungsional, yaitu penggunaan bahasa yang tidak pernah dapat dilepaskan dari konteks karena dalam bentuk bahasa yang digunakan itu tercermin ide, sikap, nilai, dan ideologi penggunanya, (4) bahasa juga merupakan sarana kemampuan berpikir manusia. Melalui buku ajar bahasa Indonesia berbasis jender diharapkan akan terbentuk sifat demokratis siswa. Sebagaimana dikatakan oleh Ihsan (2008) bahwa demokrasi pendidikan secara luas mengandung tiga hal, yaitu (1) rasa hormat terhadap harkat sesame manusia, (2) setiap manusia memililiki perubahan ke arah pikiran yang sehat, dan (3) rela berbakti pada kepentingan/ kesejahteraan bersama. Dengan begitu akan terjadi pembelajaran yang melibatkan laki-laki dan perempuan sebagai agen perubahan, bukan sekedar penerima pasif program-program pembelajaran. Dasar Pengembangan Buku Ajar Bahasa Indonesia Berbasis Jender Sebagai mata pelajaran wajib, bahasa Indonesia selama ini kurang menarik perhatian siswa. Permbelajaran terkesan monoton dan membosankan. Materi pembelajaran yang diberikan kurang bersifat kontekstual. Padahal, sebagai praktik sosial, bahasa tidak bisa boleh lepas dengan situasi tempat bahasa tersebut diujarkan dan dari fenomena-fenomena yang dimaksud dengannya. Sebagaimana dinyatakan oleh Austin (1976) bahwa bahasa tidak bisa lepas dari konteks ujarannya. Dengan menggunakan ungkapan ‘what to say when” Austin mengunkapkan bahwa unsur bahasa dalam suatu ujaran “what” tidak dapat dipisahkan dan sama pentingnya dengan fenomena-fenomena “when”. Dalam melakukan pembelajaran di sekolah, guru hanya memenuhi kewajiban tatap muka di kelas dan ketuntasan kurikulum. Guru kurang kreativitas dalam melakukan pembelajaran. Pembelajaran hanya bersifat teks book. Padahal, menurut Bourdieu dalam Rusdiarti (2003:33), bahasa sebagai praktik sosial merupakan hasil dinamika dialektis antara internalisasi eksterior dengan eksternalisasi interior, atau dinamika dialektis antara internalisasi segala sesuatu yang dialami dan diamati dari luar diri pelaku sosial dengan pengungkapan dari segala sesuatu yang telah terinternalisasi dan menjadi bagian dari diri pelaku sosial dengan pengungkapan dari segala sesuatu yang telah terinternalisasi dan menjadi bagian dari pelaku sosial. Selanjutnya Bourdieu (1994:37) juga mengatakan bahwa setiap tindak tutur merupakan pertemuan serangkaian sebab yang berkaitan. Pembelajaran bahasa Indonesia menjadi semakin membosankan ketika guru hanya mengajarkan belajar pola dan kaidah bahasa. Para guru seolah-olah akan menjadikan murid sebagai ahli bahasa. Padahal, dalam belajar bahasa, siswa tidak dituntut agar mampu memikirkan bahasa Indonesia agar tetap eksis dan tetap dipelajari di sekolah. Kemampuan siswa dalam menggunakan bahasa Indonesia yang sesuai dengan keperluannya sendiri adalah tujuan siswa belajar bahasa Indonesia. Siswa perlu diberi kesempatan untuk menambah “pengalaman” berbahasa yang dilakukannya sendiri. Siswa membutuhkan ruang untuk membaca, mendengar, menuliskan, dan membicarakan yang lebih banyak di kelas melalui bahasa Indonesia. Pengetahuan dan pengalaman siswa harus mampu dikomunikasikan dalam bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar harus dialami siswa secara nyata, bukan hanya sebatas citacita dan slogan semata. Untuk itu, pembelajaran bahasa harus menyenangkan. Sebagaimana dinyatakan dalam teori praktik Bourdieu bahwa ekspresi linguistik dipengaruhi oleh pandangan Wittgenstein dengan teorinyanya language game. Dengan menggunakan istilah family resemblance Wittgenstein memandang bahwa dalam kegiatan berbahasa, makna sebuah kata tidak selalu sama bila digunakan di arena atau “pasar” yang berbeda. Makna berhubungan erat dengan konteks sosial ketika ujaran disampaikan dan efektivitasnya bergantung pada kapasitas kapital linguistik pelaku sosial dan cara pelaku sosial tersebut memahami aturan main yang berlaku. Karena itu Kaelan (2004:252) menyimpulkan dari pendapat Wittgenstein bahwa bahasa tidak hanya dikaji dari aspek struktural formal belaka melainkan berdasarkan fungsi hakikinya dalam kehidupan manusia. Belajar bahasa harus mengajari siswa belajar cara mengemukakan sesuatu kepada siapa dan kapan, siswa belajar berinteraksi dengan siswa yang lain. Dalam belajar bahasa, siswa harus belajar ‘mengalami”, dengan berbuat sesuatu karena bahasa, melakukan sesuatu secara langsung. Artinya, siswa harus berhadapan dengan teks yang tujuan dan isinya berguna bagi siswa. Oleh karena it u, pembelajaran bahasa Indonesia harus mampu mengajak siswa untuk memahami ‘teks” secara keseluruhan, bukan “penggalan” unsur-unsur dalam bahasa itu sendiri. Bahasa adalah keutuhan teks yang dialami siswa. Kondisi pembelajaran bahasa Indonesia semacam ini Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 149 sangat dipengaruhi oleh problematika makro yang dihadapi bahasa Indonesia. Pembelajaran bahasa Indonesia yang sesuai dengan tujuan tersebut tidak mudah dilaksanakan. Salah satunya adalah karena kurangnya buku ajar yang membantu praktik pembelajaran. Sebagaimana diungkapkan dalam RPJMN 2004-2009 bab 26 tentang Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Pendidikan yang Lebih Berkualitas bahwa terbatasnya ketersediaan buku juga merupakan salah satu faktor terpenting penyelenggaraan pembelajaran yang berkualitas. Namun demikian berbagai sumber data termasuk SUSENAS 2003 mengungkapkan bahwa tidak semua peserta didik dapat mengakses buku pelajaran baik dengan membeli sendiri maupun disediakan oleh sekolah. Keterbatasan buku tersebut secara langsung berdampak pada sulitnya anak menguasai ilmu pengetahuan yang dipelajari. Kecenderungan sekolah untuk mengganti buku setiap tahun ajaran baru selain semakin memberatkan orangtua juga menyebabkan inefisiensi karena buku-buku yang dimiliki sekolah tidak dapat lagi dimanfaatkan oleh siswa. Dengan argumen di atas maka diperlukan buku ajar yang bisa mengembangkan sikap demokratis siswa. Hal itu untuk mendukung salah satu program/kegiatan pokok RPJM 2004—2006 adalah penyediaan materi pendidikan, media pengajaran dan teknologi pendidikan termasuk peralatan peraga pendidikan, buku pelajaran, buku bacaan dan buku ilmu pengetahuan dan teknologi serta materi pelajaran yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi termasuk internet dan alam sekitar guna meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap ilmu pengetahuan yang dipelajarinya Sikap Demokratis yang Dibentuk melalui Buku Ajar Bahasa Indonesia Berbasis Jender Demokrasi pendidikan dimaksudkan untuk membentuk siswa yang mempunyai rasa 150 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka cinta dan kasih sayang terhadap sesama. Melalui buku ajar bahasa Indonesia berbasis jender diharapkan dapat mengkonstruk siswa yang (1) rasa hormat terhadap harkat sesama manusia, (2) memiliki arah pikiran yang sehat, dan (3) rela berbakti pada kepentingan/ kesejahteraan bersama. Ketiga hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Rasa Hormat terhadap Harkat Sesama Manusia Manusia merupakan makhluk yang paling baik. Secara religi dapat dilihat pada AlQuran surat At-Tin ayat (4) yang berbunyi “sesungguhnya telah kami ciptakan manusia itu atas sebagi-baiknya pendirian”. Berdasarkan ayat tersebut dapat dilihat bahwa manusia merupakan makhluk yang baik yang harus dihargai harkat dan martabatnya. Tingginya harkat dan martabat manusia tersebut juga dinyatakan dalam pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Dari pasal di atas bahwa setiap manusia memiliki hak dan kewajiban untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa banyak warga negara yang masih terdiskriminasi dalam menjalani kehidupannya. Dampaknya adalah kesenjangan sosial akan menjadi berkepanjangan. Salah satu cara untuk mengurangi kesenjangan sosial adalah melalui buku ajar bahasa Indonesia. Dalam pengertian ini, bahasa tidak sekedar dipahami secara struktural akan tetapi harus dipahami sebagai praktik sosial. Sebagaimana dinyatakan oleh Austin bahwa penggunaan bahasa tidak boleh lepas dengan situasi tempat bahasa tersebut diujarkan dan dari fenomena-fenomena yang dimaksud dengannya. Ia senantiasa melontarkan pertanyaan ilmiah dalam hubungan dengan bahasa sehari-hari, yang berbunyi ‘what to say when”. Ungkapan ini dimaksudkan unsur bahasa dalam suatu ujaran “what” tidak dapat dipisahkan dan sama pentingnya dengan fenomena-fenomena “when”. Sebagai praktik sosial, bahasa harus disikapi sebagai satu kesatuan (whole language). Whole language merupakan suatu pendekatan pembelajaran bahasa yang didasari oleh paham konstruktivisme. Dalam whole language bahasa diajarkan secara utuh, tidak terpisah-pisah; menyimak, berbicara, membaca, dan menulis diajarkan secara terpadu (integrated) sehingga siswa dapat melihat bahasa sebagai suatu kesatuan. Dengan begitu, siswa akan membentuk sendiri pengetahuannya melalui peran aktifnya dalam belajar secara utuh (whole ) dan terpadu (integrated). Melalui pembelajaran whole language, anak termotivasi untuk belajar jika mereka melihat bahwa yang dipelajarinya memang bermakna bagi mereka. Orang dewasa, dalam hal ini guru, berkewajiban untuk menyediakan lingkungan yang menunjang untuk siswa dapat belajar dengan baik. Memiliki Arah Pikiran yang Sehat Bahasa merupakan alat membentuk pikiran. Dalam kegiatan berbahasa, penutur mengkonstruk sebuah makna berdasarkan ujaran yang disampaikan mitratuturnya. Makna tersebut selanjutnya diinternalisasimenjadi pikiran penutur. Pikiran tersebut selanjurnya dijadikan acuan dasar oleh penutur dalam melakukan tindakan. Hal itu sejalan dengan pendapat Bourdieu dalam Rusdiarti (2003:33) bahwa praktik sosial merupakan hasil dinamika dialektis antara internalisasi eksterior dengan eksternalisasi interior, atau dinamika dialektis antara internalisasi segala sesuatu yang dialami dan diamati dari luar diri pelaku sosial dengan pengungkapan dari segala sesuatu yang telah terinternalisasi dan menjadi bagian dari diri pelaku sosial dengan pengungkapan dari segala sesuatu yang telah terinternalisasi dan menjadi bagian dari pelaku sosial. Pikiran tersebut merupakan keyakinan, nilai, harapan, sikap, kebiasaan, keputusan, dan pendapat penutur tentang diri dan orang lain berdasarkan hasil internalisasi eksterior dan eksternalisasi interior. Karena itu, pikiran tidak bersifat otonom karena merupakan produk interaksi antara pelaku sosial dan struktur sosial, produk interaksi dialektis antara sesuatu yang ada dalam diri dan sesuatu yang diamati dari luar. Dalam bertindak, siswa mendekati, bereaksi, dan menciptakan dunia berdasarkan pola pikir individualnya. Pola pikir tersebut menjadi dasar dalam menjalankan kehidupan dan mengatur benar tidaknya perilaku penutur. Sebagaimana dapat dilihat pada (QS al-Isra’ [17]:84) bahwa orang berbuat menurut keadaannya masing-masing. Karena itu, jika siswa selalu dihadapkan pada keadaan yang sehat, maka dia akan selalu berpikiran sehat. Dengan kata lain, pajanan yang diterima oleh siswa mengkonstruk pikiran siswa. Jika siswa selalu dihadapkan pada pajanan yang selalu menghadirkan kesetaraan maka siswa akan menjadi diri yang selalu memperhatikan kesetaraan. Dengan begitu, perilaku siswa akan menjadi perilaku yang memperhatikan kesetaraan. Rela Berbakti pada Kepentingan/Kesejahteraan Bersama Menurut Wittgenstein dalam Kaelan (2004) mengatakan bahwa bahasa merupakan sebuah permainan. Setiap bahasa memiliki aturan-aturan permainan sendiri. Aturan permainan satu tidak bisa dipakai untuk aturan bagi permainan yang lain. Dengan demikian dalam bahasa tidak ada aturan yang universal, ataupun gramatika yang universal mencakup semua bahasa. Setiap bahasa harus dipahami dengan gramatikanya masing-masing dan dipahami persamaan-persamaannya. Secara ontologis, hakikat permainan bahasa menunjuk pada hakikat kehidupan manusia dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, alam, serta terhadap Tuhan. Berdasarkan hakikat Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 151 permainan bahasa tersebut dapat disimpulkan bahwa Wittgenstein mengembangkan prinsip pluralitas bahasa. Oleh karena itu dalam kajian bahasa tidak lagi berupaya untuk mencari hukum-hukum melainkan mendeskripsikan permainan bahasa dalan kehidupan manusia, karena hal inilah yang merupakan fungsi hakiki bahasa bagi manusia. Dengan menggunakan istilah family resemblance Wittgenstein memandang bahwa dalam kegiatan berbahasa, makna sebuah kata tidak selalu sama bila digunakan di arena atau “pasar” yang berbeda. Makna berhubungan erat dengan konteks sosial ketika ujaran disampaikan dan efektivitasnya bergantung pada kapasitas kapital linguistik pelaku sosial dan cara pelaku sosial tersebut memahami aturan main yang berlaku. Karena itu Kaelan (2004) menyimpulkan dari pendapat Wittgenstein bahwa bahasa tidak hanya dikaji dari aspek struktural formal belaka melainkan berdasarkan fungsi hakikinya dalam kehidupan manusia. Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa bahasa akan mampu menghasilkan diri yang rela berbakti untuk kepentingan bersama. Maksudnya yaitu, dalam berbahasa, penutur akan menjaga mitra tuturnya agar tidak kehilangan mukan. Sebagaimana dikatakan oleh Brown dan Levinson (1987: 61) bahwa muka merupakan image diri yang dimiliki oleh setiap individu. Muka dibedakan menjadi muka positif dan muka negatif. muka positif merupakan keinginan setiap individu untuk dimengerti sedangkan muka negatif merupakan keinginan setiap individu untuk bebas dari gangguan. Karena itu, melalui buku ajar bahasa Indonesia, siswa akan menjadi diri yang mampu menjaga muka mitra tutur, baik muka positif maupun muka negatif. siapa dan kapan serta belajar berinteraksi dengan siswa yang lain. Untuk itu diperlukan buku ajar yang bisa mengembangkan sikap demokratis siswa (2) Sikap demokratis yang dibentuk melalui buku ajar bahasa Indonesia berbasis jender yaitu (a) hormat terhadap harkat sesama manusia, (b) memiliki arah pikiran yang sehat, dan (3) rela berbakt i pada kepentingan/kesejahteraan bersama. Daftar Rujukan Austin, J.L. 1976. How to Do Things with Words. Great Britain: J.W. Arrow Smith Ltd. Bourdieu, Pierre. 1994. Language and Symbolic Power. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press. Brown, F dan Levinson, S. 1987. Politeness, Some Universals of Language Usage. London: Cambridge University Press. Depdiknas. 2003. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen pendidikan Nasional. Ihsan, Fuad. 2008. Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Kaelan, M.S. 2004. “Filsafat Analitis menurut Ludwig Wittgenstein: Relevansinya bagi Pengembangan Pragmatik” dalam Jurnal Humaniora, Volume 16, No. 2, Juni 2004: 133 – 146. Yogyakarta: Universitas GadjahmadaPeraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran. Putri, Yuni Eka. 2013. Peran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013. [https:// mia5smanssa.wordpress.com/2013/12/ 04/peran-bahasa-indonesia-dalamkurikulum-2013-yunia-eka-putri29/. Penutup Rusdiarti, S. R. 2003. Bahasa, Pertarungan Simbolik dan Kekuasaan, dalam BASIS (1) Karena kurang kontekstual, pembelajaran No. 11—12 Desember 2003. bahasa Indonesia selama ini kurang menarik perhatian siswa. Padahal, melalui Wibowo, A. 2012. Pendidikan Karakter “Strategi Membangun Karakter Bangsa pembelajaran bahasa Indonesia, siswa Berperadaban”. Yogyakarta: Pustaka belajar cara mengemukakan sesuatu kepada Pelajar. 152 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka MANAJEMEN PENDIDIKAN HUMAS PADA SEKOLAH INKLUSI DI SMPN 1 DAN SMP DWIJENDRA DI KOTA MATARAM (Studi Multikasus) Oleh: Siti Zaenab Dosen STAHN Gde Pudja Mataram, Jln Pancaka No 7B Mataram [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang manajemen pendidikan humas pada sekolah inklusi di SMPN 1 dan SMP Dwijendra Mataram. Sekolah inklusif juga membuktikan bahwa anak-anak inklusif juga berhak mendapatkan status dan kedudukan yang sama dengan anak-anak pada umumnya, dan dapat memperoleh pendidikan yang sama. Kita sebagai peneliti harus dapat mensosialaisasikan adanya sekolah inklusif dan dapat menambah minat masyarakat terhadap sekolah inklusif. Upaya untuk menguraikan penelitian ini dengan menggunakan pendekatan fenomenologis etnografi dengan rancangan studi multikasus. Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa Sekolah inklusi pada dasarnya merangkul semua siswa berbagai latar belakang dan kondisi dalam satu sistem sekolah dan mencoba untuk menemukan dan mengembangkan potensi siswa yang majemuk tersebut. Dalam mengembangkan potensi siswa tidak hanya diterapkan kepada siswa special need tetapi juga siswa yang lain yang bukan special need. Pada dasarnya setiap siswa memiliki potensi, Cuma kadang yang menjadi masalah adalah sekolah kurang jeli melihat potensi tiap-tiap siswa dan tidak ada progam individual untuk mengembangkan potensi masing-masing siswa tersebut. Sekolah inklusi juga melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah mulai dari pendanaan, manajemen, pembelajaran siswa dan sosialisasi informasi tentang pendidikan inklusi siswa ABK. Proses manajemen pendidikan humas pada sekolah inklusi meliputi perencanaan, pelaksanaan dan sampai evaluasi untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Kata Kunci: manajemen, hubungan masyarakat, sekolah inklusi Pendidikan di Nusa Tenggara Barat saat ini kita dihadapkan dengan sebuah fenomenologi dimana masyarakat di tuntut untuk Education for All dan di lain pihak masyaralkat di tuntut untuk meningkatkan sumber daya manusia, namun itu sebuah drama turki, demikianlah sebuah adegium yang akrab ditelinga kita. Sayangnya upaya tersebut menyisakan persoalan yang besar. Sekolah Luar Biasa justru membangun tembok eksklusivisme dalam diri siswa berkebutuhan khusus (ABK) sehingga mereka menjadi sebuah kelompok yang tereliminasi dan mengalami krisis kepercayaan diri dalam hidup bermasyarakat. Sementara Program Integrasi secara tidak disadari mereduksi hak siswa yang berkebutuhan khusus sebagai siswa penuh dalam sebuah kelas (Skjorten, 2001:36). Untuk memecahkan permasalah itu, dicetuskanlah program Pendidikan Inklusi yang mengakomodasi dengan baik, kebutuhan semua siswa baik siswa ABK maupun siswa non ABK. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 153 Implementasi pendidikan inklusi itu dapat terwujud, jika ada kerjasama antara berbagai pihak. Namun, banyak masyarakat masih menolak kehadiran siswa ABK dan pendidikan inklusi. Penolakan ini terjadi karena tidak adanya sosialisasi kepada masyarakat tentang siswa ABK dan pendidikan inklusi yang tidak merata. Untuk itu, masyarakat perlu didekati dan diberikan berbagai informasi mengenai siswa ABK dan pendidikan inklusi agar mereka mengerti, menerima serta mendukung pendidikan inklusi. Sekolah inklusi pada dasarnya bertujuan merangkul semua siswa berbagai latar belakang dan kondisi dalam satu sistem sekolah dan mencoba untuk menemukan dan mengembangkan potensi siswa yang majemuk tersebut. Dalam mengembangkan potensi siswa tidak hanya diterapkan kepada siswa special need tetapi juga siswa yang lain yang bukan special need. Pada dasarnya setipa siswa memiliki potensi, Cuma kadang yang menajdi masalah adalah sekolah kurang jeli melihat potensi tiaptiap siswa dan tidak ada progam individual untuk mengembangkan potensi masing-masing siswa tersebut. Dalam multiple intelligences oleh Howard Gardner di jelaskan bahwa kecerdasan atau potensi seseorang tidak bertumpu pada kecerdasan intelektual saja, tetapi ada banyak kecerdasan yang lain, misalnya kecerdasan logis matematis yaitu berpikir dengan penalaran, mendudukan masalah secara logis, ilmiah dan kemampuan matematik. Ada kecerdasan linguistik verbal yaitu kemahiran dalam berbahasa untuk berbicara, menulis, membaca, menghubungkan dan menafsirkan. Ada juga kecerdasan musikal ritmik misalnya menyanyi, irama, melodi dan alat musik. Ada kecerdasan interpersonal yaitu keterampilan manusia dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan manusia lain, misalnya dalam organisasi, memimpin, berpidato, bersosialisasi. Seseorang yang pandai menari, berolah raga, bermain drama merupakan seseorang yang memiliki kecerdasan kinestetik. Ada juga 154 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka seseorang yang memiliki kecerdasan spacial visual misalnya seorang desainer, illustrator, peluksi. Selain itu ada juga kecerdasan naturalis dan intrapersonal. Setiap manusia pasti memiliki kedelapan kecerdasan diatas walaupun kuat disatu sisi dan lemah disisi lain. Bertolak dari hal di atas, peneliti merasa perlu untuk meneliti manajemen pendidikan humas sekolah inklusi pada SMPN 1 dan SMP Dwijendra Mataram sehingga kehadiran siswa ABK dan sekolah inklusi telah dipahami dan diterima masyarakat. Karena itu, tim peneliti merumuskan fokus penelitian yang terdiri dari: (1) Perencanaan pendidikan humas pada sekolah inklusi. (2) Pelaksanaan pendidikan humas pada sekolah inklusi. (3) Evaluasi pendidikan humas pada sekolah inklusi. METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis etnografi dengan rancangan penelitian studi multikasus pada dua sekolah yakni SMPN 1 dan SMP Dwijendra Mataram. Kedua sekolah yang menjadi sampel penelitian ini ditentukan menggunakan teknik purposive sampling. Demi memperlancar penelitian ini peneliti menggunakan metode mengumpulkan data pada kedua kasus tersebut digunakan metode sebagaimana yang digagas Mantja (2007:57) yakni: observasi, wawancara studi dokumentasi (study of document). Analisis dengan cara menelaah, menata, mengelompokkan, mensintesis, mencari pola, menemukan apa yang bermakna dan apa yang akan diteliti dan dilaporkan kepada pihak lain secara sistematis (Sonhadji, 1996). Pengumpulan data (Mantja, 2007) sementara sesudah pengumpulan data peneliti melakukan kategori pengkodean (coding categories) untuk mengorganisasi data berdasarkan pola dan topik sesuai fokus penelitian (Zaenab, 2015:52). 4. Melibatkan orangtua dalam pendanaan, melibatkan para guru bidang studi dan Pada bagian ini, disajikan data hasil siswa dalam proses pembelajaran siswa temuan pada kedua kasus. ABK di kelas saat tidak ada GPK dalam Pertama, perencanaan. Beberapa fenoproses asesmen, melibatkan komite sekolah mena yang muncul adalah: dalam pendampingan belajar menjelang 1. Adanya penolakan dari para guru, siswa ujian, melibatkan komite dalam bersoreguler serta orangtua siswa terhadap kebesialisasi tentang siswa berkebutuhan radaan siswa ABK; adanya kebingungan khusus. para guru bidang studi saat menghadapi 5. Kepala sekolah memberikan ruang gerak siswa ABK; adanya hambatan komunikasi yang luas bagi para GPK unt uk antara sekolah dan masyarakat jika ketua bereksplorasi dan berkreativitas mengenai komite sekolah diambil dari pihak di luar pendidikan inklusi, koordinator GPK yang yayasan; adanya shock pada para guru baru, selalu menekankan kerukunan, semangat dan sekolah belum diakui sebagai sekolah kekeluargaan, ketulusan, kesabaran dan inklusi oleh Dinas Pendidikan kota jiwa suka menolong. Mataram. 6. Pihak sekolah bersikap ramah, akrab, sabar, 2. Pihak sekolah mengadakan rapat, formal dan murah senyum dan menata ruang yang dan nonformal, serta konsultasi untuk tepat sehingga membuat para tamu tersapa merumuskan tujuan program humas pada dan merasa disambut. sekolah inklusi, menentukan strategi 7. Mengadakan rapat koordinasi setiap tiga pemecahan masalah dan mencegah terjabulan dan akhir semester dengan dinya masalah baru serta pembuatan promelibatkan paguyuban orangtua, komite gram. sekolah dan yayasan serta asrama. 8. Kepala sekolah atau yayasan dan komite Kedua, pelaksanaan program humas pada memberikan pengarahan melalui konsultasi sekolah inklusi. Beberapa fenomena yang dan wawancara kepada GPK, manajer nampak pada SMPN 1 dan SMP Dwijendra inklusi dan anggota lainnya. adalah: 1. Pihak sekolah mensosialisasikan kepada Ketiga, evaluasi program humas pada para guru dan orangtua tentang siswa ABK sekolah inklusi. Evaluasi program humas, pada melalui pertemuan, buku penghubung, SMPN 1 dan SMP Dwijendra nampak dalam telepon dan Handphone, internet, dan beberapa fenomena berikut. melakukan kunjungan CBR ke masyarakat. 1. Adanya pengawasan formal yang dilakukan 2. Kepala Sekolah menjelaskan bahwa siswa oleh kepala sekolah serta pengawasan inABK adalah kehendak Allah dan medorong formal oleh para orangtua dan para praktisi para praktisi untuk melakukan tugas humas humas lainnya. berdasarkan visi misi sekolah yakni untuk 2. Adanya evaluasi individual dari kepala melayani Tuhan dalam diri orang terlantar, sekolah terhadap para GPK, dari guru cacat dan miskin. bidang studi terhadap GPK. Di samping itu, 3. Sekolah membuktikan kepada masyarakat ada juga evaluasi semi formal melalui sharbahwa siswa ABK memiliki potensi untuk ing bersama di antara para GPK serta dikembangkan dengan cara menampilkan adanya evaluasi formal dalam rapat atau siswanya dalam berbagai pementasan dan pleno pada pada tengah dan akhir semeslomba seperti: pragawati, model, menyanyi ter pendekatan rohani melalui pengadaan dan menampilkan karya siswa. retret tahunan. HASIL dan pembahasan Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 155 3. Adanya tindaklanjut hasil evaluasi dengan mengakomodasi hasil evaluasi, mempertahankan program yang sudah dijalankan, mengaggendakan ulang program yang belum terlaksana, melakukan rolling personil atau ketua komite sekolah. Sedangkan proses evaluasi terjadi dalam bentuk pengawasan formal oleh atasan dan pengawasan informal oleh orangtua dan para pelaksana hubungan masyarakat lainnya; proses evaluasi yang terjadi secara individual nonformal pada saat konsultasi, home visit, dan dalam percakapan serta secara formal dalam Dari data di atas, dapat dikatakan bahwa rapat; evaluasi akhirnya ditindaklanjuti dengan proses perencanaan humas meliputi identifikasi perbaikan program, rolling pengurus dan dan pengenalan permasalahan, perumusan mengagendakan program yang belum tujuan program humas yakni memberikan terlaksana dalam periode berikutnya. informasi tentang siswa ABK dan pendidikan inklusi agar masyarakat menerima siswa ABK, PEMBAHASAN mendukung dan mau bekerjasama demi Pada bagian ini, berbagai temuan tercapainya tujuan pendidikan inklusi serta penelitian di atas akan dikonfrontasikan dengan mengadakan rapat untuk menentukan strategi teori-teori para ahli. Pertama, perencanaan penyelesasian masalah, dan menyusun program humas pada sekolah inklusi. Sudah dikatakan kerja sekolah yang merupakan produk bahwa perencanaan pada SMPN 1 dan SMP perencanaan. Dwijendra Mataram terjadi dalam beberapa Harapanya akan banyak tumbuh sekolah aktivitas seperti identifikasi permasalahan, inklusi tanpa harus terbebani dengan segala perumusan tujuan, penetapan st rategi defenisinya. Sekolah inklusi merupakan sebuah pemecahan masalah dan penyusunan program. prinsip persamaan hak manusia, dan juga Pola perencanaan tersebut sejajar dengan jawaban dari perbedaan kita sebagai manusia. gagasan Arikunto &Yuliana (2008) yang Nyatanya tak ada manusia yang sama. Karena menerangkan bahwa perencanaan meliputi “semua warga negara mempunyai hak yang aktivitas seperti identifikasi masalah, sama terhadap pendidikan, t ermasuk di perumusan tujuan penentuan, analisis strategi dalamnya adalah anak berkebutuhan khusus” dan penyusunan program. demikian salah satu inti yang tercantum dalam Dalam sist em pendidikan nasional UUD 1945 Pasal 31. diadakan pengaturan pendidikan khusus yang Sementara pelaksanaan humas pada diselenggarakan untuk peserta didik yang sekolah inklusi meliputi aktivitas menjalin menyandang kelainan fisik dan atau mental. komunikasi dua arah yang berkelanjutan Peserta didik yang menyandang kelainan dengan masyarakat; melibatkan masyarakat demikian juga memperoleh pendidikan yang dalam penyelenggaraan sekolah; terlibat dalam layak, sebagaimana diamanatkan dalam berbagai kegiatan di masyarakat; bersikap Undang-Undang Dasar 1945 yang dalam hal ramah; menggunakan berbagai media; memini menyatakan dengan singkat dan jelas bahwa bentuk paguyuban orangtua; membuktikan “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan bahwa anak yang berkebutuhan khusus juga pengajaran” yang ditegaskan dalam Undangmemiliki potensi untuk dikembangkan; memUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem berikan teladan dan motivasi bagi para guru dan Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa masyarakat melalui pendekatan moral religius “Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, humanis; melakukan koordinasi melalui rapat emosional, mental, intelektual, dan atau sosial rutin; mengarahkan pelaksana humas melalui berhak memperoleh pendidikan khusus”. wawancara dan konsultasi. 156 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Pengamatan pribadi dilakukan untuk mengumpulkan fakta tentang program humas baik pada lingkungan internal (para guru bidang studi dan siswa regular) maupun lingkungan eksternal sekolah (orangtua, masyarakat dan lembaga). Identifikasi masalah humas pada lingkungan internal dan eksternal ini tepat seperti yang digagas Stellar & Kowalski (2004:158) yakni bahwa unsur penting dalam mendefinisikan masalah adalah melakukan analisis SWOT. Setelah strategi ditetapkan, disusunan program. Penyusunan program terjadi dalam rapat formal dan rapat semi formal. Dalam rapat itu ditentukan kapan waktu pelaksanaan program, siapa yang bertanggungjawab, biaya yang dibutuhkan dan berbagai hal teknis lainnya seperti apa yang akan dikomunikasikan (Stellar & Kowalski, 2004:160-161). Produk dari perencanaan adalah program kerja sekolah yang biasanya berjangka waktu setahun atau semester (Nasution, 2009). Kedua, pelaksanaan program humas pada sekolah inklusi. Pelaksanaan program humas pada SMPN 1 dan SMP Dwijendra Mataram dilakukan dengan menjalin komunikasi dua arah dengan pihak yang berkepentingan. Sekolah mengkomunikasikan apa yang menjadi kebutuhannya kepada masyarakat dan mengakomodasi harapan dan kebutuhan masyarakat. Kenyataan adanya komunikasi dua arah yang simetris antara sekolah inklusi dengan masyarakat itu sejajar dengan gagasan Kowalski (2004:9) tentang two way simetrycal communication. Sekolah inklusi juga melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah mulai dari pendanaan, manajemen, pembelajaran siswa dan sosialisasi informasi t entang pendidikan inklusi siswa ABK. Pihak yang terlibat dalam penyelengaraan pendidikan inklusi itu adalah para guru bidang studi, pihak yayasan, tenaga ahli dan therapist dari segi keagamaan STAHN Gde Pudja Mataram, komite sekolah, dan siswa regular pihak konselor yang ada di Kota Mataram. Hal itu sejajar dengan gagasan Stellar & Kowalski (2004:167) bahwa satu strategi dalam pelaksanaan program humas adalah mendorong partisipasi masyarakat dalam kegiatan sekolah agar masyarakat mempunyai rasa memiliki sekolah inklusi. Singkatnya, Kowalski menyatakan Participation foster ownership (Kowalski, 2004:213). Pelaksanaan pendidikan humas meliputi juga bagaimana atasan mendukungan dan memotivasi dengan cara meneguhkan, menjaga keharmonisan, melayani siswa dengan besar hati, tulus (Zaenab Siti, 2014). Dalam kaitan dengan hal ini, harus dikatakan bahwa di Kota Mataram pada khususnya dan Indonesia umumnya yang menganut budaya timur ini, pendekatan moral religius humanis dalam mengkomunikasikan dan mensosialisasikan kehadiran siswa ABK dan pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang sangat efektif. Penggunaan media seperti: surat, buku penghubung, telepon, hand phone, internet, radio dan televisi, sebagaimana yang terjadi pada SMPN 1 dan SMP Dwijendra Mataram menjadi sebuah hal yang sangat penting. Pentingnya penggunaan media dalam pelaksanaan progran humas hal dinyatakan oleh Gorton (1976:370) dalam Kowalski (2004) bahwa penggunaan berbagai media dalam komunikasi antara sekolah dan masyarakat merupakan hal yang mutlak perlu. Hal ini sejajar dengan gagasan Stellar & Kowalski (2004:163), tentang pentingnya membentuk sebuah divisi humas. Dalam bentuk pelaksanaan program pendidikan humas pada SMPN 1 dan SMP Dwijendra Mataram juga efektif dilakukan dengan cara membuktikan kepada masyarakat melalui alumni sambil bersosialisasi bahwa anak yang berkebutuhan khusus juga memiliki potensi untuk dikembangkan. Sosialisasi dan pembuktian itu dilakukan dengan mengikutkan siswa ABK dalam berbagai pameran Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 157 pendidikan, kunjungan, dan berbagai lombalomba. Dengan melakukan hal itu, masyarakat semakin menyadari bahwa anak berkebutuhan khususpun memiliki potensi untuk dikembangkan. Mereka akhirnya lebih terbuka untuk menerima dan menghargai siswa ABK dan mau mendukukung pendidikan inklusi (Kowalski, 2004:213). Proses pelaksanaan hubungan masyarakat pada SMPN 1 dan SMP Dwijendra juga dilakukan dalam bentuk kepemimpinan kepala sekolah yang mau memberikan kebebasan dan ruang gerak bawahannya untuk bereksplorasi dan berkreasi. Hal ini merupakan sebuah gaya kepemimpinan non direktif (Zaenab, 2014). Hal penting lain dalam pelaksanaan adalah kepala sekolah mengikutkan para guru dalam berbagai seminar dan pelatihan. Di sana para guru mendapat pengarahan, sharing mengenai bagaimana mengkomunikasikan siswa ABK kepada masyarakat yang sebagian besar menolak mereka. Hal ini sejajar dengan gagasan Nasution (2009) yang mengatakan bahwa pengarahan merupakan aktivitas penting dalam pelaksanaan program humas agar para anggota dapat melakukan tugasnya sesuai jalur yang telah ditentukan. Pelaksanaan humas pada SMPN 1 dan SMP Dwijendra Mataram juga mencakup kebiasaan sekolah dalam melakukan koordinasi melalui wawancara dengan bawahan, melalui rapat setiap tiga bulan. Koordinasi menjadi penting karena merupakan salah satu bentuk koordinasi yang paling efektif dalam proses manajemen Sumber Daya Manusia (Zaenab Siti, 2014). Ketiga, evaluasi program humas pada sekolah inklusi. Evaluasi program humas pada sekolah inklusi SMPN 1 dan SMP Dwijendra Mataram terjadi dalam bentuk pengawasan, aktivitas evaluasi dan tindaklanjut. Pengawasan secara formal diserahkan kepada kepala sekolah dan manajer inklusi serta koordinator GPK. Namun secara nonformal, fungsi pengawasan dilakukan oleh orangtua dan semua guru. Dalam pengawasan kepala sekolah dan manajer 158 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka inklusi serta GPK memperhatikan perilaku para anggotanya, apakah mereka berperilaku sesuai dengan apa yang telah mereka sepakati dalam perencanaan atau tidak (Nasution, 2009). Evaluasi pada SMPN 1 dan SMP Dwijendra Mataram juga juga terjadi secara individual nonformal seperti evaluasi dari guru bidang studi pada para GPK, evaluasi dari para orangtua terhadap para GPK dan sebaliknya dalam evaluasi kepala sekolah terhadap para guru. Namun juga evaluasi dapat dilakukan secara formal dalam pleno atau rapat bersama. Hal lain yang penting dalam proses evaluasi hubungan masyarakat adalah tindak lanjut. Pada SMPN 1 dan SMP Dwijendra Mataram, aktivitas itu terjadi dalam bentuk: membuat perbaikan, rolling t ugas dan tanggungjawab. KESIMPULAN Adapun kesimpulan dari penelitian yang sudah dilakukan ini adalah sebagai berikut: 1. Perencanaan humas pada di SMPN 1 dan SMP Dwijendra Mataram meliputi identifikasi permasalahan, penentuan tujuan program humas, penentuan st rategi penyelesaian masalah dan pembuatan program kerja. 2. Pelaksanaan program humas dalam sekolah inklusi dilakukan dengan mengadakan pembagian tugas, melakukan koordinasi, pengarahan, kepemimpinan, memotivasi dan bersosialisasi tentang ABK dengan pendekatan moral religius dan menjalin komunikasi dua arah simetris yang berkelanjutan dengan masyarakat dengan menggunakan berbagai media. 3. Evaluasi program humas dalam pendidikan inklusi meliputi aktivitas pengawasan, evaluasi formal dan individual serta follow up melalui perbaikan, me-reprogram agenda yang tertunda dan melakukan rolling pengurus humas. 4. pendidikan inklusif terbuka untuk umum tidak hanya untuk anak berkebutuhan khusus saja tetapi siapa saja yang ingin bersekolah di sekolah inklusif seperti anak penyandang cacat, tunawisma, dan lainlain. dengan adanya sekolah inklusif anakanak berkebutuhan khusus mempunyai wadah untuk menyalurkan keinginan mereka, bakat dan minat mereka. sekolah inklusif juga membuktikan bahwa anakanak inklusif juga berhak mendapatkan status dan kedudukan yang sama dengan anakanak pada umumnya, dan dapat memperoleh pendidikan yang sama. Kita sebagai mahasiswa harus dapat mensosialaisasikan adanya sekolah inklusif dan dapat menambah minat masyarakat terhadap sekolah inklusif. SARAN Berdasarkan hasil penelitian tersebut, beberapa saran yang dapat diberikan adalah: 1. Dinas Pendidikan kota Mataram perlu terlibat dan memberikan perhatian khusus pada sosialisasi siswa berkebutuhan khusus dan pendidikan inklusi khususnya pada sekolah-sekolah konvensional yang sudah ada. 2. Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan sekolah inklusif sehingga anak yang berkebutuhan khusus yang berbakat dapat menyakurkan bakat mereka, masyarakat tidak lagi meremehkan sekolah inklusif bahwa anak-anak inklusif juga bisa berprestasi layaknya anak normal. 3. SMPN 1 dan SMP Dwijendra Mataram perlu terus membuka diri dan memelihara komunikasi dua arah yang simetris dengan stakeholders dengan menggunakan pendekatan moral religius. 4. Orangtua sebaiknya tidak merasa malu menyekolahkan anaknya pada sekolah inklusi. Melainkan terbuka dan menerima kehadiran ABK serta mencari informasi pada sekolah inklusi mengenai bagaimana berhadapan dengan ABK. 5. Mengingat penelitian dalam substansi manajemen pendidikan inklusi masih sangat terbatas, maka peneliti lain perlu melakukan penelitian pada substansi manajemen lainnya agar bisa menjadi sumber informasi bagi sekolah yang ingin membuka program inklusi. DAFTAR RUJUKAN Arikunto, S & Yuliana, L. 2008. Manajemen Pendidikan. Yogyakarta: Aditya Media Furchan, H. 1996. Desain Penelitian Kualitatif. Dalam Arifin, Imron (Ed.). Penelitian Kualitatif dalam Ilmu Sosial dan Keagamaan (hlm. 40-48). Malang: Kalimasahada Press. Kowalski, T. 2004. School Public Relations. A New Agenda. Dalam Kowalski, T. (Ed.). Public Relations in School (hlm.4-29). New Jersey: Pearson Merill Pretince Hall. Mantja, W. 2007. Etnografi. Desain Penelitian Kualitatif Pendidikan dan Manajeman Pendidikan. Malang: Elang Mas. Nasution, Z. 2009. Manajemen Hubungan masyarakat di Lembaga Pendidikan. Konsep, Fenomena dan Aplikasinya. Malang: UMM Press. Skjørten, M. 2001. Menuju Inklusi dan Pengayaan, (Online), (www. idp-europe. org\indonesia\ buku-inklusi-14k, diakses 25 Mei 2009). Spaulding, A & O’Hair, M. 2004. Public Relation in a Communication Context: Listning, Nonverbal, and Conflict Resolution Skills. Dalam Kowalski, T. (Ed.). Public Relations in School (hlm.96-121). New Jersey: Pearson Merill Pretince Hall. Stellar, A. & Kowalski, T. 2004. Effective Programing at the Distric Level. Dalam Kowalski, T. (Ed.). Public Relations in School (hlm.151-173). New Jersey: Pearson Merill Pretince Hall. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 159 Zaenab Siti. 2014. Buku Ajar dan Hand Out Manajemen pendidikan Humas, tidak diterbitkan. STAHN Gde Pudja Mataram. Zaenab Siti, 2015. Metodologi Penelitian Pendidikan Kualitatif perspektif Kekinian. Penerbit Selaras Malang Jawa Timur. 160 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF MODEL SNOWBALL THROWING PADA MATA PELAJARAN IPS DI SEKOLAH DASAR Murtiningsih Email: [email protected] Abstrak: Pemilihan model yang tepat dapat mendukung tercapainya suatu tujuan pengajaran. Dalam pembelajaran IPS diperlukan suatu model yang dapat membantu siswa dalam mengembangkan aktivitas dan kreativitas berfikir. Salah satu metode yang efektif untuk pengajaran IPS di Sekolah Dasar yang dapat mengembangkan aktivitas dan kreatif berpikir salah satunya adalah model pembelajaranSnowball Throwing. Karena model pembelajaran ini dapat menciptakan keaktifan siswa dalam memperoleh ketrampilan intelektual, sikap, dan ketrampilan motorik. Selain itu dapat menimbulkan respon yang positif, dapat menghubungkan hubungan yang lebih baik sesama teman, selain itu dapat menanamkan sikap percaya diri dan tanggung jawab. Pengajaran IPS dengan modelpembelajaran Snowball Throwing memberikan kesempatan pada siswa untuk melatih tanggung jawab, memecahkan masalah,membuat analisa, mengemukakan pendapat serta bersikap mandiri dan menyenangkan. Model pembelajaran Snowball Throwingdilaksanakan pada pengajaran IPS di kelas III sampai dengan kelas VI SD. Kata-kata kunci: pembelajaran kooperatif, model snowball throwing, IPS SD. Masalah pendidikan di Indonesia yang banyak dibicarakan para ahli pada saat ini selain rendahnya mutu pendidikan, juga berkaitan dengan strategi pembelajaran yang dilakasanakan yaitu pendekatan dalam pembelajaran yang masih terlalu didominasi peran guru (teacher centered), sehingga keterlibatan peserta didik dalam proses pembelajaran masih kurang. Guru lebih menerapkan peserta didik sebagai obyek pengajaran dan bukan sebagai subyek belajar. Pendidikan kita kurang memberikan kesepatan kepada siswa dalam berbagai mata pelajaran untuk mengembangkan kemampuan berfikir holistik (menyeluruh), kreatif, obyektif, logis, belum memanfaatkan model snowball throwing sebagai salah satu paradigma menarik dalam pembelajaran, serta kurang memperhatikan ketuntasan belajar siswa secara individual. Dari ungkapan di atas dapat dilihat bahwa dalam proses belajarmengajar di kelas yang pada umumnya lebih menekankan pada aspek kognitif, dimana kemampuan mental yang dipelajari sebagian besar berpusat pada pemahaman bahan pengetahuan dan ingatan. Dalam situasi yang demikian, biasanya dituntut untuk menerima apa-apa yang dianggap penting oleh guru dan menghafalnya. Guru terkadang kurang menyenangi situasi dimana siswa banyak bertanya mengenai hal-hal yang berada di luar konteks yang dibicarakannya, kondisi yang demikian mengakibatkan aktivitas dan kreatifitas siswa tidak dapat berkembang secara optimal. Dengan demikian belajar-mengajar terfokus pada guru Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 161 dan kurang terfokus pada siswa, maka pada masa sekarang sebaiknya pembelajaran terfokus pada siswa. Berdasarkan masalah yang ada maka guru perlu menggunakan strategi pembelajaran yang dapat melibatkan siswa secara langsung. Salah satunya dengan menggunakan model pembelajaran snowball throwing. Dengan suasana pembelajaran tersebut diharapkan dapat mengembangkan pola pikir siswa lebih kritis dan kreatif. Dalam kegiatan pembelajaran di SD, termasuk pembelajaran IPS perlu menggunakan model snowball throwingkarena model pembelajaran ini dapat meningkatkan berpikir kritis, kreatif, tanggung jawab, percaya diri, menghargai sesama teman karena mereka saling tergantung sehingga hal ini dapat memunculkan respon yang positif dan dapat membentuk siswa bersikap mandiri. Konsep Dasar Model Pembelajaran Kooperatif Menurut Slavin (1995:4) metode pembelajaran kooperatif adalah suatu teknik pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri atas 4-6 orang, dan struktur kelompok heterogen. Metodepembelajaran kooperatif merupakan suatu bentuk kolaborasi dalam kelompok kecil, dimana siswa bekerja bersama untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. (Tinzman, dkk dalam Adnyana, 2004). Selanjutnya David, 1990; Kagan, 1992 (dalam Jacob, 1999) memberikan batasan tentang pembelajaran kooperatif yaitu metode pembelajaran kelompok yang terdiri dari kelompok kecil (56 orang), dimana siswa bekerjasama dan saling membantu dalam menyelasaikan tugas-tugas akademik. Metode pembelajaran kooperatif merupakan strategi-strategi yang mendorong kelompok-kelompok kecil/pasangan siswa untuk bekerjasama dan berinteraksi bersama guna membangun pengetahuan dan menyelesaikan tugas (Teo, 2003:108). 162 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Berdasarkan beberapa pendapat diatas, metode pembelajaran kooperatif menekan pada kerjasama, saling memberikan pendapat (sharing ideas), dalam kelompok-kelompok kecil yang berkarakteristik heterogen. Dengan sifat kelompoknya yang heterogen metode pembelajaran kooperatif akan dapat memberikan peluang pada siswa dengan latar belakang yang beragam untuk saling membantu dan menghormati. Berkaitan dengan belajar mata pelajaran IPS metode pembelajaran kooperatif dapat diterapkan dalam rangka meningkatkan keberanian siswa dalam berpendapat, meningkatkan rasa percaya diri serta tanggung jawab. Belajar IPS sering kali siswa dihadapkan pada materimateri yang berhubungan dengan fakta, konsep, generalisasi yang membutuhkan deskripsi, analisis dan terkadang demonstrasi. Oleh sebab itu metode pembelajaran kooperatif dinilai sangat tepat untuk diterapkan, sebab siswa akan terlibat dan berusaha melibatkan diri secara aktif dalam proses pembelajaran. Kondisi ini akan memberikan dampak yang positif terhadap kualitas interaksi dan komunikasi yang pada akhirnya dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Ciri metode pembelajaran kooperatif: (1) setiap anggota memiliki peranan, (2) terjadi interaksi antar siswa, (3) setiap anggota kelompok bertanggungjawab atas belajarnya dan juga teman-temnan sekelompoknya, (4) guru membangkit siswa untuk mengembangkan ketrampilan-ketrampilan interpersonal kelompok, dan (5) guru hanya berinteraksi dengan saat diperlukan (Karin, 1993). Unsur-unsur penting model pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem yang didalamnya terdapat unsur-unsur yang saling terkait. Adapun unsur yang terdapat dalam pembelajaran koperatif adalah: (1) saling ketergantungan positif, (2) interaksi tatap muka, (3) akuntabilitas individual, (4) ketrampilan untuk menjalin hubungan antar pribadi/ kelompok sosial yang secara sengaja diajarkan, (5) proses kelompok (Johson & johson dkk, 1998:100). Langkah-langkah pembelajaran kooperatif. Terdapat variasi dalam langkah-langkah pembelajaran kooperatif sesuai dengan pembelajaran kooperatif yang dikembangkan (Arends, 2004:374) menemukan bahwa ada 6 langkah dalam pembelajaran kooperatif dimulai dengan guru menyampaikan tujuan pembelajaran, memotivasi siswa untuk belajar dan penyajian informasi lainnya secara umum melalui ceramah (verbal), dan secara menyeluruh 6 langkah metode pembelajaran kooperatif dapat disajikan pada tabel berikut ini. kelas atau pembelajaran dalam tutorial (Trianto, 2007).Pengertian model pembelajaran menurut Suprijono (2009) menyatakan bahwa model pembelajaran dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Model pembelajaran Snowball Trowing terdiri dari kata Snowball artinya bola salju, sedangkan Throwing artnya melempar. Secara keseluruhan, snowballthrowing dapat diartikan melempar bola salju. Maksudnya yaitu siswa membuat bola yang terbuat dari kertas atau menempel kertas pada bola yang berisi pertanyaan tentang materi yang dibahas oleh guru kemudian memberikannya pada teman Tabel langkah-langkah model pembelajaran kooperatif 1. 2. 3. 4. 5. Fase Menyampaikan tujuan dan menyiapkan perangkat pembelajaran Menyajikan informasi Mengorganisasi siswa dalam membentuk kelompok belajar Membantu kerja kelompok selama belajar Melakukan evaluasi 6. Memberikan penghargaan Kegiatan Guru (teacher behavior) Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran dan menyiapkan perangkat pembelajaran. Guru menyajikan informasi dengan peragaan (demontrasi)/teks. Guru mendemontrasikan pada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien. Guru membantu tim-tim belajar pada saat mereka mengerjakan tugas. Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil belajar. Guru mencari cara-cara untuk menghargai, baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok. Pembelajaran kooperatif antara lain meliputimodel :Student Teams Achievement Division (STAD), Jigsaw, Group Investigation (GI), Numbered Heads Together (NHT), Snowball Throwing dan Think Pair Share (TPS). Konsep Dasar Pembelajaran Kooperatif Model Snowball Throwing Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di yang lain pada proses pembelajaran yang sedang berlangsung (Supandi, 2007). Model pembelajaran snowball throwing merupakan salah satu model dalam pembelajaran kooperatif, dimana cara pembelajaran dengan cara diskusi kelompok dengan permainan yang terdiri 4-6 siswa. Dalam model ini siswa dituntut untuk berpikir, mengajukan pertanyaan, dan menjawab pertanyaan yang dikaitkan dengan pengetahuan umum siswa itu sendiri dengan buku paket atau sumber lain serta LKS yang mendorong siswa berdiskusi Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 163 kelompok secara aktif sehingga pembelajaran akan terasa lebih menyenangkan dan menimbulkan keaktifan siswa dalam kelas. Tujuan Model Pembelajaran Snowball Throwing Model pembelajaran Snowball Throwing memiliki beberapa tujuan dalam penerapannya, tujuan pembelajaran, Snowball Throwing yaitu melatih murid untuk mendengarkan pendapat orang lain, melatih kreatifitas dan imajinasi murid dalam membuat pertanyaan, serta memacu murid untuk bekerjasama, saling membantu, serta aktif dalam pembelajaran (dalam http:// muhaammanshari9.blogspot.com/2013/10/ model-pembelajaran-snowball-throwing.html). Pencapaian tujuan tersebut didasarkan pada langkah-langkah penerapan model pembelajaran Snowball Throwing. Selain itu, melalui penerapan model pembelajaran Snowball Throwing juga dapat melatih murid untuk lebih tanggap menerima pesan dari orang lain, dan menyampaikan pesan tersebut kepada temannya dalam satu kelompok. siswa mendapatkan satu bola/satu pertanyaan lalu diberikan kesempatan kepada siswa untuk menjawab pertanyaan yang tertulis dalam kertas berbentuk bola tersebut secara bergantian, (g) evaluasi, (h) penutup (Komalasari, 2010). Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Snowball Throwing Suatu model pembelajaran pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihan model Snowball Throwing sebagai berikut: (1) Melatih kesiapan dalam berpikir siswa, (2) Saling memberikan pengetahuan, (3) Siswa menjadi lebih semangat belajar, (4) Dapat menumbuhkan sikap-sikap dalam diri siswa. Sedangkan kelemahan model snowball throwing adalah (1) Pengetahuan tidak luas, hanya berkutat pada pengetahuan sekitar siswa, (2) Dapat menimbulkan gaduh di kelas. Untuk poin 2 tentang kelemahan snowball throwing menurut Rahayu di atas, dapat dikatakan bukanlah kelemahan jika kegaduhan tersebut memang timbul karena proses pembelajaran sedang berlangsung. Rahayu (2009) Untuk mengatasi kekurangan dan memLangkah-langkah Model Pembela- perlancar proses pembelajaran model snowball throwing, maka dilakukan modifikasi atau jaran Snowball Throwing pengembangan pada proses langkah-langkah Terdapat langkah-langkah yang perlu pembelajaran yang dapat dijelaskan sebagai diperhatikan dalam penerapan model Snowball berikut. (Rahayu, 2009): (a) Guru menyampaiThrowing, diantaranya (a) guru menyampaikan kan materi secara garis besar terlebih dahulu materi yang akan disajikan, (b) guru mem- dan bertanya jawab menggunakan media bola, bentuk kelompok-kelompok dan memanggil di mana siswa yang mendapat bola harus masing-masing ketua kelompok untuk mem- menjawab materi yang disampaikan, (b) Guru berikan penjelasan tentang materi, (c) masing- membentuk kelompok-kelompok dan memangmasing ketua kelompok kembali ke kelom- gil masing-masing ketua kelompok dan poknya masing-masing, kemudian menjelaskan menjelaskan masing-masing tugas; (c) Masingmateri yang disampaikan guru kepada teman- masing ketua kelompok kembali ke kelomnya, (d) kemudian masing-masing sisa diberi- poknya untuk menjelaskan tugas yang diberikan kan satu lembar kerja, untuk menuliskan satu guru tentang materi yang diberikan, (d) Masingpertanyaan apa saja yang menyangkut materi masing kelompok diberikan satu lembar kertas yang sudah dijelaskan oleh ketua kelompok, (e) kerja saja untuk menuliskan 3 pertanyaan yang kemudian kertas yang berisi pertanyaan tersebut akan dijawab oleh kelompok lain, (e) Kertas dibuat seperti bola dan dilempar dari satu siswa tersebut diuwel-uwel dibentuk seperti bola dan ke siswa yang lain selama ± 15 menit, (f) setelah dilempar dari satu kelompok ke kelompok yang 164 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka lain selama kurang lebih 5 menit, (f) Kemudian tiap kelompok mendapat satu bola salju yang didalamnya terdapat beberapa pertanyaan yang harus dijawab, (g) Guru mengatur sebuah kompetisi bagi kelompok dengan memberikan nilai bintang bagi kelompok yang lebih dahulu menyelesaikan tugas dengan benar, (h) Setelah masing-masing kelompok menjawab pertanyaan dengan memprentasikan hasil jawabannya, maka siswa dibimbing guru menyimpulkan materi yang telah dipelajari, (i) Untuk mengetahui tingkat keberhasilan proses belajar mengajar yang berlangsung, yaitu dengan menggunakan lembar observasi aktivitas siswa dan tes tulis (evaluasi) pada akhir pembelajaran; dan (j) Tahap penutup, guru merefleksikan pembelajaran yang telah berlangsung. Penerapan Pembelajaran Kooperatif Model Snowball Throwing dalam Pembelajaran IPS Di Sekolah Dasar Tujuan pembelajaran IPS menurut NCSS (National Council For Social Studies) adalah membantu generasi muda dalam : (1) mengembangkan kemampuannya untuk menjadi manusia yang berpengatahuan; (2) mengembangkan kecerdasan dalam mengambil keputusan untuk kebaikan masyarakat sebagai warga yang didalamnya terdapat kultur, dan (3) menjadi warga masyarakat demokratis dalam suatu dunia yang saling memiliki ketergantungan (Rochmadi, 2008:9). Materi pelajaran IPS di SD diajarkan dari kelas I sampai kelas VI, sedangkan penerapan pembelajaran kooperatif model snowball throwing dapat digunakan di kelas III, IV, V, dan VI. Model ini melatih siswa untuk berpikir logis dan kritis dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan model snowball throwing dalam pembelajaran IPS dapat diterapkan di kelas III, IV, V dan VI Sekolah Dasar sesuai dengan langkah-langkah tersebut di atas. Contoh penerapan pada kelas III pembelajaran kooperatif model snowball throwing dapat diterapkan pada Standar Kompetensi: 2. Memahami jenis pekerjaan dan penggunaan uang. Kompetensi Dasar: 2.1 mengenal jenisjenis pekerjaan. Sedangkan indikatornya: (1) Mengidentifikasi jenis-jenis pekerjaan di lingkungan tempat tinggal siswa yang menghasilkan barang dan jasa. (2) Membuat daftar pekerjaan orang tua siswa yang menghasilkan barang dan jasa. Langkah-langkahnya yaitu (a) guru menyampaikan materi yang akan disajikan, (b) guru membentuk kelompok-kelompok dan memanggil masing-masing ketua kelompok untuk memberikan penjelasan tentang materi, (c) masing-masing ketua kelompok kembali ke kelompoknya masing-masing, kemudian menjelaskan materi yang disampaikan guru kepada temannya, (d) kemudian masing-masing sisa diberikan sat u lembar kerja, unt uk menuliskan satu pertanyaan apa saja yang menyangkut materi yang sudah dijelaskan oleh ketua kelompok, (e) kemudian kertas yang berisi pertanyaan tersebut dibuat seperti bola dan dilempar dari satu siswa ke siswa yang lain selama ± 15 menit, (f) setelah siswa mendapatkan satu bola/satu pertanyaan lalu diberikan kesempatan kepada siswa untuk menjawab pertanyaan yang tertulis dalam kertas berbentuk bola tersebut secara bergantian, (g) evaluasi, (h) penutup. Tujuan pembelajaran dari kegiatan tersebut adalah untuk melatih siswa bersikap aktif, kreatif, berpikir kritis, berani mengemukakan pendapat, saling hormat dan menghargai serta membentuk sikap mandiri, bertanggung jawab dan membuat suasana yang menggembirakan di dalam kelas.Pada pembelajaran ini guru hendaknya bersikap arif, bijaksana serta mampu menciptakan suasana kelas yang nyaman dan menyenangkan. Pada kelas IVpembelajaran kooperatif teknik snowball throwing dapat diterapkan pada Standar Kompetensi: 2. Mengenal SDA, kegiatan ekonomi, kemajuan teknologi di lingkungan kabupeten/kota dan provinsi. Kotensi Dasar: 2.1 Mengenal aktivitas ekonomi yang berkaitan dengan Sumber Daya Alam dan Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 165 potensi lain di daerahnya. Indikator: (1) Mengidentifikasi jenis-jenis SDA dan potensi lain di daerahnya, (2) Menjelaskan manfaat SDA dan potensi lain di daerahnya, (3) Mengenal aktivitas ekonomi yang berkaitan dengan SDA dan potensi lain di daerahnya, (4) Menjelaskan perlunya menjaga kelestarian SDA dan potensi lain di daerahnya. Langkah-langkahnya (a) guru menyampaikan materi yang akan disajikan, (b) guru membentuk kelompok-kelompok dan memanggil masing-masing ketua kelompok untuk memberikan penjelasan tentang materi, (c) masing-masing ketua kelompok kembali ke kelompoknya masing-masing, kemudian menjelaskan materi yang disampaikan guru kepada temannya, (d) kemudian masing-masing sisa diberikan satu lembar kerja, untuk menuliskan satu pertanyaan apa saja yang menyangkut materi yang sudah dijelaskan oleh ketua kelompok, (e) kemudian kertas yang berisi pertanyaan tersebut dibuat seperti bola dan dilempar dari satu siswa ke siswa yang lain selama ± 15 menit, (f) setelah siswa mendapatkan satu bola/satu pertanyaan lalu diberikan kesempatan kepada siswa untuk menjawab pertanyaan yang tertulis dalam kertas berbentuk bola tersebut secara bergantian, (g) evaluasi, (h) penutup. Tujuan pembelajaran dari kegiatan tersebut adalah untuk melatih siswa bersikap aktif, kreatif, berpikir kritis, berani mengemukakan pendapat, saling hormat dan menghargai serta membentuk sikap mandiri, bertanggung jawab dan membuat suasana yang menggembirakan di dalam kelas.Pada pembelajaran ini guru hendaknya bersikap arif, bijaksana serta mampu menciptakan suasana kelas yang nyaman dan menyenangkan. Penutup Pembelajaran kooperatif model snowball throwing adalah salah satu model yang dapat diterapkan dalam pembelajaran IPS di SD. Dalam pembelajaran IPS pembelajaran 166 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka kooperatif model snowball throwingdapat menciptakan aktivitas dan kreativitas berfikir, juga menimbulkan siswa percaya diri, sehingga mereka senang untuk belajar IPS. Model pembelajaran kooperatif model snowball throwing memberikan kemungkinan kepada siswa untuk belajar mandiri, selain itu metode ini melatih siswa untuk berani mengemukakan pendapat, melatih siswa untuk bertanggungjawab. Sedangkan peranan guru dalam model pembelajaran kooperatif model snowball throwing sebagai pengelola interaksi belajar mengajar dikelas, bukan sebagai penyampai informasi. Hal ini sangat sesuai jika pembelajaran kooperatif model snowball throwing diterapkan pada kurikulum KTSP, karena kegiatan-kegiatan dalam pembelajaran ini langsung melibatkan siswa. DAFTAR RUJUKAN Arends, RI, 2004, Learning to teach (6th ed.), New York: Mc.Graw-Hill Companies. Anshari, Muhammad. 2013. http://muhaam manshari9.blogspot .com/2013/10/ mo d e l- p e mbe la ja r a n- sn o w ba llthrowing.html).diakses 21 Desember 2013. Carin, A.A, 1993, Teaching Modern Science (6th ed). New York, Oxford: Maxwell Macmillan International. Depdiknas, 2006, Kurikulum Tingkat Satuan Pembelajaran (KTSP) Sekolah Dasar, Jakarta: Deppenn Jacob, G.M., Lee, GS, & Ball, J., 1999, Learning Cooperative Via Cooperative Learning: A Source Book Of Lesson Plan For Teacher Education In Cooperative Learning, Singapore: Seamed Regional Lenguage Centre. Komalasari, Kokom. 2010. Pembelajaran Kontekstual. Bandung: Refika Aditama. Rahayu, Puji. 2009. Penerapan Pembelajaran Kooperatif Model Snowball Throwing Materi Sumber Daya Alam untuk Meningkatkan Hasil Belajar Geografi Siswa Kelas XI IPS Semester I SMA Negeri Patianworo Kabupaten Nganjuk. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. Rocmadi, Nur Wahyu, 2008, Naskah IPS SD. Pendidikan dan Latihan Profesi Guru Rayon 15 Universitas Negeri Malang. Panitia Sertifikasi Guru UMS. Slavin, R., 1995, Cooperative Learning (2nd ed), Boston, USA: Allyn and Bacon. Suprijono, Agus. 2011. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi Paikem. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Teo, N., 2003, A Handbook For Science Teachers In Primary Schools, Singapore: Times Media Private Limited. Tianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Prestasi Pustaka. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 167 PENERAPAN PROBLEM SOLVING DALAM PEMBELAJARAN IPS DI SEKOLAH DASAR Sri Sugiharti Universitas Negeri Malang KSDP FIP Alamat Rumah: Jln. Sigura-gura V Malang, HP: 081234465979 E-mail: [email protected] Abstrak: Sekolah Dasar atau SD merupakan lembaga pertama peserta didik untuk belajar membaca, menulis, berhitung dan memahami permasalahan yang ada dalam pembelajaran khususnya IPS yang bersifat membosankan, IPS dianggap pelajaran yang mudah. Problem solving (pemecahan masalah) merupakan salah satu alternatif pembelajaran IPS di Sekolah Dasar. Kegiatan pembelajaran akan lebih bermakna apabila terjadi dalam latar yang realistis, diacukan ke arah problem solving/pemecahan masalah aktual yang dihadapi oleh siswa/peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Ada 5 langkah-langkah problem solving yang dapat diajarkan di Sekolah Dasar: (1) Merumuskan masalah. Dalam merumuskan masalah kemampuan yang diperlukan adalah kemampuan mengetahui dan merumuskan suatu masalah. (2) Menelaah masalah. Dalam menelaah masalah kemampuan yang diperlukan adalah menganalisis dan merinci masalah yang diteliti dari berbagai sudut. (3) Menghimpun dan mengelompokkan data sebagai bahan pembuktian hipotesis. Menghimpun dan mengelompokkan data adalah memperagakan data dalam bentuk bagan, gambar, dan lain-lain sebagai bahan pembuktian hipotesis. (4) Pembuktian hipotesis. Dalam pembuktian hipotesis kemampuan yang diperlukan adalah kecakapan menelaah dan membahas data yang telah terkumpul. (5) Menentukan pilihan pemecahan masalah dan keputusan. Dalam menentukan pilihan pemecahan masalah dan keputusan kemampuan yang diperlukan adalah kecakapan membuat alternatif pemecahan, memilih alternatif pemecahan dan keterampilan mengambil keputusan. Aplikasi atau penerapan problem solving dalam pembelajaran IPS pemecahan masalah dapat diterapkan di kelas III, IV, V dan VI Sekolah Dasar sesuai dengan langkah-langkah problem solving dilengkapi dengan media dan metode pembelajaran sehingga dapat mengatasi permasalahan pembelajaran di SD. Kata kunci: penerapan, problem solving, pembelajaran, IPS, sekolah dasar. Pengertian Ilmu Pengetahuan Sosial Menurut Winoyo (dalam Mashudi, 2009:50) IPS adalah program pendidikan atau bidang studi dalam kurikulum sekolah yang mempelajari kehidupan manusia dalam masyarakat serta perhubungan atau interaksi antara manusia dengan lingkungannya (sosial dan fisik). Mashudi (2009:50) menjelaskan: “IPS merupakan integrasi dari berbagai cabang ilmu sosial, seperti sejarah, geografi, 168 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi sosial, tatanegara, hukum humaniora dan ilmuilmu lain yang terkait, yang mempelajari kehidupan manusia dalam masyarakat serta interaksi antara manusia dengan lingkungannya, digunakan untuk kepentingan pendidikan”. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa IPS adalah suatu program pembelajaran yang utuh terintegrasi, tidak terpisah-pisah dalam kotak-kotak disiplin ilmu yang membangunnya. IPS merupakan suatu keseluruhan persoalan, interaksi manusia dengan lingkungannya, baik fisik maupun lingkungan sosialnya yang bahannya merupakan perpaduan dari berbagai ilmu sosial, seperti sejarah, geografi, ekonomi, antropologi, sosiologi, ilmu politik, dan psikologi. Tujuan Ilmu Pengetahuan Sosial Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 tahun 2006. Mata pelajaran IPS bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. a. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya b. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial c. Memiliki komit men dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan d. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global. Tujuan Pendidikan IPS adalah untuk mendidik dan memberi bekal kemampuan dasar kepada anak untuk mengembangkan diri sesuai bakat, minat, kemampuan dan lingkungannya, serta berbagai bekal bagi siswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (Solihatin, 2009:15). Menurut Wright (dalam Konsorium Program PJJ S1 PGSD, 2008:106) menyebutkan bahwa tujuan IPS ialah mendorong anak untuk mengembangkan kualitas personal melalui proses mengetahui, menggali, menghayati/merefleksi dan menilai. Serta yang tidak kalah penting ialah mendorong agar berkembang kemauan untuk berpartisipasi secara positif baik dalam lingkup masyarakat lokal, nasional, maupun global. Sejalan dengan pendapat di atas Gross (dalam Solihatin 2009:14) menyebutkan bahwa tujuan pendidikan IPS adalah untuk mem- persiapkan peserta didik menjadi warga Negara yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Berbagai tujuan yang dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran IPS di sekolah dasar mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hal ini diharapkan peserta didik di sekolah dasar mampu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dasar yang berguna bagi kehidupan sehari-hari. Karakteristik Pembelajaran IPS di SD Untuk mencapai tujuan pembelajaran IPS di SD, perlu memperhat ikan corak dan karakteristik pembelajaran IPS di SD menurut Rochmadi (dalam Mashudi 2009:73) sebagai berikut : 1. Harus lebih ditekankan pada pengenalan kehidupan pada dirinya sebagai makhluk sosial. 2. Dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial anak didik harus tahu tentang dirinya, dan lingkungan alam sekitarnya (sosial, budaya dan juga fisik). 3. Lingkungan alam, fisik, dan sosial budaya dapat menjadikan yang bersangkutan menjadi aktif dan bisa mengembangkan diri. 4. Proses belajar mengajar memiliki nuansa yang cooperative, inquiry, dan bersifat pragmatis praktis. Pembelajaran IPS di SD bersifat pragmatis menyangkut dunia diri dan kehidupan peserta didik sesuai dengan tingkat perkembangan usia dan kemampuan berpikirnya, serta sesuai dengan persoalan atau permasalahan masyarakat sekitar peserta didik, baik sebagai sumber belajar maupun sebagai media belajar. Pembelajaran di SD bersifat pengetahuan bukan keilmuan. Artinya bahwa yang diajarkan dalam matapelajaran IPS adalah hal-hal yang praktis yang berguna bagi diri peserta didik dan kehidupannya kini maupun kelak di kemudian Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 169 hari dalam berbagai lingkungan serta aspek Senada dengan pendapat diatas Sanjaya kehidupan. Jadi bukan mengajarkan teori – teori (2006:214) menyatakan pada metode pemesosial atau ilmu sosial Djahiri, K (dalam cahan masalah, materi pelajaran tidak terbatas Mashudi, 2009 : 74). pada buku saja tetapi juga bersumber dari peristiwa-peristiwa tertentu sesuai dengan Ruang Lingkup Pembelajaran IPS di kurikulum yang berlaku. Ada beberapa kriteria pemilihan bahan pelajaran untuk metode SD pemecahan masalah (problem solving) yaitu: Ruang lingkup mata pelajaran IPS dalam a) Mengandung isu-isu yang mengandung Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor konflik bisa dari berita, rekaman video dan 22 tahun 2006 meliputi aspek-aspek sebagai lain- lain berikut: (1) manusia, tempat dan lingkungan; b) Bersifat familiar dengan siswa (2) waktu, keberlanjutan dan perubahan; (3) c) Berhubungan dengan kepentingan orang sistem sosial dan budaya; (4) perilaku ekonomi banyak dan kesejahteraan. d) Mendukung tujuan atau kompetensi yang harus dimiliki siswa sesuai kurikulum yang Pengertian Problem Solving berlaku e) Sesuai dengan minat siswa sehingga siswa Metode pemecahan masalah (problem merasa perlu untuk mempelajari solving) adalah penggunaan metode dalam kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih Dalam pelaksanaan pembelajaran seharisiswa menghadapi berbagai masalah baik itu masalah pribadi atau perorangan maupun hari metode pemecahan masalah banyak digumasalah kelompok untuk dipecahkan sendiri nakan guru bersama dengan penggunaan metode lainnya. Dengan metode ini guru tidak atau secara bersama-sama. Penyelesaian masalah merupakan proses memberikan informasi dulu tetapi informasi dari menerima tantangan dan usaha-usaha diperoleh siswa setelah memecahkan masalahuntuk menyelesaikannya sampai menemukan nya. Pembelajaran pemecahan masalah berangpenyelesaiannya. menurut Syaiful Bahri kat dari masalah yang harus dipecahkan melalui Djamara (2006:103) bahwa: Metode problem permasalahan pembelajaran yang kurang optisolving (metode pemecahan masalah) bukan mal. hanya sekedar metode mengajar tetapi juga Pembelajaran problem solving merupamerupakan suatu metode berfikir, sebab dalam kan bagian dari pembelajaran berbasis masalah problem solving dapat menggunakan metode (PBL). Menurut Arends (2008:45) pembelalain yang dimulai dari mencari data sampai jaran berdasarkan masalah merupakan suatu kepada menarik kesimpulan. pendekatan pembelajaran di mana siswa meMenurut N.Sudirman (1987:146) metode ngerjakan permasalahan yang otentik dengan problem solving adalah cara penyajian bahan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka pelajaran dengan menjadikan masalah sebagai sendiri. titik tolak pembahasan untuk dianalisis dan Pada pembelajaran berbasis masalah disintesis dalam usaha untuk mencari peme- siswa dituntut untuk melakukan pemecahan cahan atau jawabannya oleh siswa. Sedangkan masalah-masalah yang disajikan dengan cara menurut Gulo (2002:111) menyatakan bahwa menggali informasi sebanyak-banyaknya, problem solving adalah metode yang mengakemudian dianalisis dan dicari solusi dari jarkan penyelesaian masalah dengan memberipermasalahan yang ada. Solusi dari permasalakan penekanan pada terselesaikannya suatu han tersebut tidak mutlak mempunyai satu masalah secara menalar. 170 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka jawaban yang benar artinya siswa dituntut pula untuk belajar secara kritis. Siswa diharapkan menjadi individu yang berwawasan luas serta mampu melihat hubungan pembelajaran dengan aspek-aspek yang ada di lingkungannya. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan metode pembelajaran problem solving adalah suatu penyajian materi pelajaran yang menghadapkan siswa pada persoalan yang harus dipecahkan atau diselesaikan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dalam pembelajaran ini siswa di haruskan melakukan penyelidikan otentik untuk mencari penyelesaian terhadap masalah yang diberikan. Mereka menganalisis dan mengidentifikasikan masalah, mengembangkan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis informasi dan membuat kesimpulan. Manfaat dan Tujuan dari Problem Solving (Pemecahan Masalah) Manfaat dari penggunaan metode problem solving pada proses belajar mengajar untuk mengembangkan pembelajaran yang lebih menarik. Menurut Djahiri (1983:133) metode problem solving memberikan beberapa manfaat antara lain : a) Mengembangkan sikap keterampilan siswa dalam memecahkan permasalahan, serta dalam mengambil keputusan secara objektif dan mandiri b) Mengembangkan kemampuan berpikir Tahap – Tahap 1) Merumuskan masalah 2) Menelaah masalah para siswa, anggapan yang menyatakan bahwa kemampuan berpikir akan lahir bila pengetahuan makin bertambah c) Melalui inkuiri atau problem solving kemampuan berpikir tadi diproses dalam situasi atau keadaan yang benar-benar dihayati, diminati siswa serta dalam berbagai macam ragam altenatif d) Membina pengembangan sikap perasaan (ingin tahu lebih jauh) dan cara berpikir objektif-mandiri, krisis-analisis baik secara individual maupun kelompok Berhasil tidaknya suatu pengajaran bergantung kepada suatu tujuan yang hendak dicapai. Tujuan dari pembelajaran problem solving adalah sebagai berikut. 1) Siswa menjadi terampil menyeleksi informasi yang relevan kemudian menganalisisnya dan akhirnya meneliti kembali hasilnya. 2) Kepuasan intelektual akan timbul dari dalam sebagai hadiah intrinsik bagi siswa. 3) Potensi intelektual siswa meningkat. 4) Siswa belajar bagaimana melakukan penemuan dengan melalui proses melakukan penemuan. Langkah – Langkah Problem Solving (Pemecahan Masalah) Penyelesaian masalah menurut J.Dewey dalam bukunya W.Gulo (2002:115) dapat dilakukan melalui enam tahap yaitu: Kemampuan yang diperlukan Mengetahui dan merumuskan masalah secara jelas Menggunakan pengetahuan untuk memperinci menganalisa masalah dari berbagai sudut 3) Merumuskan hipotesis Berimajinasi dan menghayati ruang lingkup, sebab-akibat dan alternative penyelesaian 4) Mengumpulkan dan mengelompokkan Kecakapan mencari dan menyusun data menyajikan data data sebagai bahan pembuktian hipotesis dalam bentuk diagram,gambar dan tabel 5) Pembuktian hipotesis Kecakapan menelaah dan membahas data, kecakapan menghubung- hubu ngkan dan menghitung Ketrampilan mengambil keputusan dan kesimpulan 6) Menentukan pilihan penyelesaian Kecakapan membuat altenatif penyelesaian kecakapan dengan memperhitungkan akibat yang terjadi pada setiap pilihan Sumber: J.Dewey dalam bukunya W.Gulo (2002:115) Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 171 Penyelesaian masalah Menurut David Johnson dan Johnson dapat dilakukan melalui kelompok dengan prosedur penyelesaiannya dilakukan sebagai berikut (W.Gulo 2002:117): 1. Mendifinisikan Masalah a) Kemukakan kepada siswa peristiwa yang bermasalah, baik melalui bahan tertulis maupun secara lisan, kemudian minta pada siswa untuk merumuskan masalahnya dalam satu kalimat sederhana (brain stroming). Tampunglah setiap pendapat mereka dengan menulisnya dipapan tulis tanpa mempersoalkan tepat atau tidaknya, benar atau salah pendapat tersebut. b) Setiap pendapat yang ditinjau dengan permintaan penjelasan dari siswa yang bersangkutan. Dengan demikian dapat dicoret beberapa rumusan yang kurang relevan. Dipilih rumusan yang tepat, atau dirumuskan kembali (rephrase, restate) perumusan- perumusan yang kurang tepat. akhirnya di kelas memilih satu rumusan yang paling tepat dipakai oleh semua. 2. Mendiagnosis masalah. Setelah berhasil merumuskan masalah langkah berikutnya ialah membentuk kelompok kecil, kelompok ini yang akan mendiskusikan sebabsebab timbulnya masalah. 3. Merumuskan Altenatif Strategi. Pada tahap ini kelompok mencari dan menemukan berbagai altenatif tentang cara penyelesaikan masalah. Untuk itu kelompok harus kreatif, berpikir divergen, memahami pertentangan diantara berbagai ide, dan memiliki daya temu yang tinggi. 4. Menentukan dan menerapkan Strategi. Setelah berbagai altenatif ditemukan kelompok, maka dipilih altenatif mana yang akan dipakai. Dalam tahap ini kelompok menggunakan pertimbanganpertimbangan yang cukup cukup kritis, selektif, dengan berpikir kovergen. 172 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 5. Mengevaluasi Keberhasilan Strategi. Dalam langkah terakhir ini kelompok mempelajari : (1) Apakah strategi itu berhasil (evaluasi proses)? (2) Apakah akibat dari penerapan strategi itu (evaluasi hasil) ? Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan langkah-langkah yang harus diperhatikan oleh guru dalam memberikan pembelajaran problem solving sebagai berikut: 1. Merumuskan masalah. Dalam merumuskan masalah kemampuan yang diperlukan adalah kemampuan mengetahui dan merumuskan suatu masalah. 2. Menelaah masalah. Dalam menelaah masalah kemampuan yang diperlukan adalah menganalisis dan merinci masalah yang diteliti dari berbagai sudut. 3. Menghimpun dan mengelompokkan data sebagai bahan pembuktian hipotesis. Menghimpun dan mengelompokkan data adalah memperagakan data dalam bentuk bagan, gambar, dan lain-lain sebagai bahan pembuktian hipotesis. 4. Pembuktian hipotesis. Dalam pembuktian hipotesis kemampuan yang diperlukan adalah kecakapan menelaah dan membahas data yang telah terkumpul. 5. Menentukan pilihan pemecahan masalah dan keputusan. Dalam menentukan pilihan pemecahan masalah dan keputusan kemampuan yang diperlukan adalah kecakapan membuat alternatif pemecahan, memilih alternatif pemecahan dan keterampilan mengambil keputusan. Kelebihan Problem Solving Method (Pemecahan Masalah) Pembelajaran problem solving ini memiliki keunggulan. Adapun keunggulan model pembelajaran problem solving diantaranya yaitu melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan, berpikir dan bertindak kreatif, memecahkan masalah yang di hadapi secara realistis, mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan, menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan, merangsang perkembangan kemajuan berpikir siswa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat, serta dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan khususnya dunia kerja. Kelemahan Problem Solving Method (Pemecahan Masalah) Kelemahan model pembelajaran problem solving itu sendiri seperti beberapa pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan metode ini. Misalnya terbatasnya alat-alat laboratorium menyulitkan siswa untuk melihat dan mengamati serta akhirnya dapat menyimpulkan kejadian atau konsep tersebut. Dalam pembelajaran problem solving ini memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan metode pembelajaran yang lain. Penerapan Problem Solving dalam Pembelajaran IPS Penerapannya dalam pembelajaran disesuaikan dengan langkah-langkah yang harus diperhatikan oleh guru dalam memberikan pembelajaran problem solving yaitu: merumuskan masalah. Dalam merumuskan masalah kemampuan yang diperlukan adalah kemampuan mengetahui dan merumuskan suatu masalah, menelaah masalah. Dalam menelaah masalah kemampuan yang diperlukan adalah menganalisis dan merinci masalah yang diteliti dari berbagai sudut, menghimpun dan mengelompokkan data sebagai bahan pembuktian hipotesis. Menghimpun dan mengelompokkan data adalah memperagakan data dalam bentuk bagan, gambar, dan lain-lain. Untuk menerapkan pembelajaran problem solving diperlukan beberapa perangkat terutama : a. Software, yang mengaitkan metode, setiap pembelajaran seorang guru tidak dilepas- kan dari peranan metode, akan tetapi tak semua metode yang guru pakai dapat menghasilkan output yang baik, dan guru mengajar dengan metode dapat menemukan dan membimbing anak ke arah pemecahan masalah tetapi tidak semua metode dapat digunakan sebagi proses problem solving paling tidak metode tersebut mempunyai nilai-nilai: keaktifan terhadap peserta didik dan kreativitas. b. Hardware Untuk perangkat yang kedua ialah hardware yang terkait dengan teknik pembelajaran, sebelum kita memahami hardware pembelajaran kita harus paham dengan pengertian teknik pembelajaran, teknik pembelajaran ialah jalan, alat, atau media yang digunakan oleh guru dalam rangka mendidik muridnya guna mencapai tujuan pembelajaran (Garlach dan Ely, 1980) Aplikasi atau penerapan problem solving dalam pembelajaran IPS pemecahan masalah dapat diterapkan di kelas III, IV, V dan VI Sekolah Dasar sesuai dengan langkah-langkah problem solving tersebut di atas. Kesimpulan Dalam menentukan pilihan pemecahan masalah dan keputusan kemampuan yang diperlukan adalah kecakapan membuat alternatif pemecahan, memilih alternatif pemecahan dan keterampilan mengambil keputusan. Aplikasi atau penerapan problem solving dalam pembelajaran IPS pemecahan masalah dapat diterapkan di kelas III, IV, V dan VI Sekolah Dasar sesuai dengan langkah-langkah problem solving dilengkapi dengan media dan metode pembelajaran sehingga dapat mengatasi permasalahan pembelajaran di SD dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa dan meningkatkan hasil belajar . Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 173 Daftar Pustaka Arends, Richard I. (2008) . Learning to Teach Belajar untuk Mengajar. (Edisi Ketujuh/ Buku Dua). Terjemahan Helly Pajitno Soetjipto & Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Gulo, W. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : PT. Grasindo Mashudi, Toha. 2009. Startegi Belajar Mengajar IPS. Malang : PHK S1 PGSDA Permen Diknas Nomor 22 tahun 2006 Tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas 174 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Permen Diknas Nomor 41 tahun 2007 Tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas Solihatin, Etin dan Raharjo. 2009. Cooperatif Learning Analisis Model Pembelajaran IPS.Jakarta : Bumi Aksara. Sardiman. (1996). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Grafindo. Sudirman,dkk.(1987.)Ilmu Pendidikan. Bandung: Remadja Karya Syaiful Bahri Djamara dan Drs Aswan Zain . (2006) Strategi Belajar Mengajar, Jakarta : Rineka Cipta. KETERAMPILAN SOSIAL DAN KESETARAAN GENDER DALAM PEMBELAJARAN IPS DI SEKOLAH DASAR Ruminiati Universitas Negeri Malang [email protected] Abstrak: Mata pelajaran IPS di sekolah dasar (SD) merupakan keterpaduan konsep pendidikan sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi yang bertujuan untuk membentuk warga negara yang memiliki kemampuan sosial dan kemampuan hidup, untuk menjadikan warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Ruang lingkup IPS antara lain mencakup sistem sosial dan budaya, yang di dalamnya membahas keberadaan gender dalam masyarakat. Berdasarkan penelitian penulis (2005), ditemukan bahwa pembelajaran IPS di sekolah dasar cenderung kurang berorientasi pada upaya untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa dan kesetaraan gender dalam budaya patriarkhi. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman tentang pentingnya keterampilan sosial, kesetaraan gender dan budaya bagi siswa usia SD. Keterampilan sosial merupakan perilaku yang memungkinkan untuk berfungsinya peran seseorang dalam interaksi sosial secara efektif. Keterampilan sosial adalah kemampuan berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial dengan cara-cara khusus yang diterima oleh lingkungannya. Keterampilan sosial diajarkan melalui Tri Pusat Pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Penerapannya diawali sejak anak tumbuh dan berkembang dalam keluarga, melakukan pembelajaran formal maupun informal di sekolah, serta pendidikan non formal di lingkungannya. Di era globalisasi, pengembangan keterampilan sosial perlu memperhatikan kesetaraan gender. Tujuan pendidikan IPS pada dasarnya diarahkan pada proses pengembangan potensi siswa agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap berbagai persoalan di masyarakat, serta terampil mengatasi setiap masalah, baik yang menimpa diri sendiri maupun masyarakat. Kata Kunci: ketrampilan sosial, kesetaraan gender, pembelajaran IPS, SD IPS berasal dari Amerika Serikat, yang disebut Social Studies. Masuk Indonesia sejak tahun 1975. Tujuan pendidikan IPS dikembangkan berdasarkan pemikiran bahwa pendidikan IPS merupakan disiplin ilmu. Oleh karena itu harus mengacu pada tujuan pendidikan nasional. Tujuan utama pembelajaran IPS unt uk membentuk dan mengembangkan kepribadian warga negara yang good citizenship (Susanto, 2014) “Social studies is the integrated study of the social science and humanities to pro- mote civic competence. Within the program, social studies provide coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, archeology, economics, geography, history, law philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as all as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young people develop the ability to make informed and reason decision for the pubProsiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 175 lic good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world” (NCSS dalam Ruminiati, 2010). budaya, dan peradaban global; serta (5) perilaku ekonomi dan kesejahteraan (Ruminiati, 2010). Kelima hal tersebut menjadi batasan rentang Ilmu Sosial disampaikan secara formal keleluasaan peneliti dalam mengkaji bidang kepada masyarakat melalui mata pelajaran Ilmu IPS. Salah satu kajian dalam ruang lingkup Pengetahuan Sosial (IPS) yang diberikan sejak sistem sosial dan budaya adalah keberadaan seseorang duduk di bangku SD hingga SMA. gender dalam masyarakat. Dan salah satu kajian Bahkan, di beberapa perguruan tinggi, IPS dari gender dalam masyarakat tersebut adalah masih juga diajarkan melalui matakuliah umum kesetaraan gender dalam budaya patriakhi. Ilmu Sosial Dasar (ISD). Dalam makalah ini selanjutnya disampaikan keberadaan mata Kesetaraan Gender di Indonesia pelajaran IPS dan pembelajaran IPS di SD, serta Menurut Ruminiati (2005), diyakini upaya pengembangan keterampilan sosial yang bahwa kesetaraan gender sulit diwujudkan dilakukan kepada siswa SD. dalam budaya patriakhi. Image ‘perempuan berada di belakang laki-laki’ melekat kuat Matapelajaran IPS dan Pembela- dalam pandangan hidup masyarakat dalam budaya patriarkhi. Pandangan ini cenderung jaran IPS di SD menempatkan perempuan pada posisi yang Matapelajaran IPS di SD adalah bahan dirugikan karena tidak memiliki kesempatan kajian yang terpadu dari konsep keterampilan untuk mengembangkan diri di dunia publik sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi. Adapun sebagaimana laki-laki. Kemampuan perempuan tujuan pembelajaran IPS di SD adalah untuk yang mungkin lebih baik daripada laki-laki membentuk warga negara yang berkemampuan tidak memperoleh kesempatan yang cukup sosial, dan mampu hidup untuk menjadikan untuk diakomodasi dalam pekerjaan-pekerjaan warga negara yang baik dan bertanggung jawab. di publik. Sedangkan Ilmu Sosial bertujuan menciptakan Hal seperti tersebut di atas ditemukan tenaga ahli ilmu sosial (Gunawan, 2014). Hal juga dalam pembelajaran IPS di SD. Bersenada juga dikatakan oleh Ruminiati (2008) dasarkan hasil riset Ruminiati (2005 dan 2010), bahwa pengertian warganegara yang baik ditemukan bahwa pembelajaran IPS di SD adalah warganegara yang mau, tahu, sadar akan cenderung kurang berorientasi pada upaya hak dan kewajibannya. Lebih lanjut Ruminiati untuk meningkatkan keterampilan sosial dan (2015) menyatakan bahwa karakter IPS SD kesetaraan gender dalam budaya patriakhi. Hal merupakan keterpaduan dari empat ilmu-ilmu ini disebabkan kurangnya pemahaman tentang sosial, yaitu pendidikan sejarah, geografi, pentingnya keterampilan sosial dan pemahaman ekonomi, dan sosiologi. Hal ini perlu ditambah tentang pentingnya kesetaraan gender dan lagi, pendidikan antropologi, karena secara riil budaya bagi siswa sejak usia SD. Seharusnya, dalam buku IPS SD juga membahas masalah pembelajaran IPS di sekolah dasar bisa lebih budaya, sepert i patung dan candi, yang menekankan pada kemampuan siswa di bidang merupakan paduan dari aspek sejarah dan keterampilan sosial dan kesetaraan gender di SD secara lebih optimal lagi. antropologi. Ruang Lingkup IPS ada lima macam yaitu (1) manusia, tempat, dan lingkungan; (2) Pentingnya Keterampilan Sosial sistem sosial dan budaya; (3) waktu dalam Pembelajaran IPS SD berkelanjutan dan perubahan; (4) pendidikan Keterampilan sosial adalah bagian dari global yang mendidik aneka ragam bangsa, kompetensi sosial untuk memelihara hubungan 176 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka sosial yang baik dengan teman sepermainannya baik di rumah, di sekolah, maupun dalam lingkungannya. Oleh karena itu, supaya seseorang bisa berinteraksi sosial dengan baik, pengaturan, emosi, dan perilaku yang tampak dalam pergaulanya sehari-hari dengan menyenangkan. Hal tersebut tidak hanya untuk memahami pikiran, emosi diri sendiri saja, melainkan juga maksud dari pikiran orang lain. Hal tersebut bisa dilakukan menggunakan berbagai cara melalui pembicaraan dengan orang lain. Tidak hanya itu saja, yang lebih penting lagi mampu mengakhirinya dengan cara baik dan menyenangkan sehingga kedua belah pihak merasa nyaman. Keterampilan sosial perlu ditunjang dengan memiliki keterampilan berkomunikasi baik secara lisan maupun tulis, serta mampu memahami, menghargai, dan bekerja sama dengan orang lain yang beraneka ragam. Selain itu juga menuntut seseorang mampu mentranformasikan kemampuan akademik dan beradaptasi dengan perkembangan masyarakat global seperti saat ini. Keterampilan Sosial dalam Pembelajaran IPS SD Siswa akan mampu berinteraksi sosial dengan baik apabila: (1) ada partisipasi dan upaya untuk meneliti sesuatu yang dibutuhkan, (2) membuat rencana bersama orang lain, (3) menjawab pertanyaan orang lain dengan sopan, (4) ketika berdiskusi kelompok mampu berpartisipasi dengan baik dan produktif, (5) suka menolong teman/orang lain, (6) bertanggung jawab dalam semua tindakannya, serta (7) dibiasakan memimpin diskusi kelompok dengan baik karena pembentukan kelompok dalam kelas sangat dibutuhkan. Hal ini penting dilakukan untuk membentuk watak siswa dalam membangun keterampilan sosial yang baik dan harmonis dengan sesama teman. Kondisi tersebut bisa dibentuk melalui Tri Pusat Pendidikan, yang diawali sejak anak tumbuh dan berkembang dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat sekitar sebagai lingkungan sosialnya. Keterampilan sosial sangat penting bagi anak tingkat SD, bahkan pra SD, karena anak kelak akan mudah bergaul dengan orang lain dalam masyarakat. Keterampilan sosial siswa perlu dibiasakan dengan menolong teman yang memerlukan pertolongan, bekerjasama antarteman dalam kelompok dengan baik dan menyenangkan, sehingga anak bisa akrab dan merasa senasib dan sepenanggungan dengan teman sekelompoknya,ikut kerja bakti di sekolah, dengan membiasakan diri bekerja sama sesame teman, menyelamatkan lingkungan, sehingga siswa mampu membentuk lingkungan yang bersih dan nyaman, serta dilatih mengambil keputusan dengan tepat, berani, dan bijak sehingga bermanfaat unt uk kepent ingan bersama. Faktor penting yang dapat mempengaruhi terbentuknya keterampilan sosial anak usia SD adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal di antaranya mencakup terjadinya perubahan afektif, kognitif, psikomotor/ perilaku, regulasi emosi, jenis kelamin dan lebih tampak lagi perubahan fisik/ badan pada anak. Hal tersebut berasal dari dalam diri anak sendiri secara individu. Adapun faktor eksternal di antaranya disebabkan dengan adanya pengaruh faktor lingkungan anak tinggal (nonformal), faktor sesama teman sebaya di sekolah (informal), faktor utama dan pertama kondisi anak dalam keluarga sehari hari (informal). Kesetaraan Gender dalam Pembelajaran IPS di SD Gender di SD masih belum setara (Ruminiati, 2005). Dari 7 SD lokasi penelitian dit emukan 74% gambar pahlawan yang dipajang di dinding sekolah didominasi lakilaki. Alasan dari guru kelas tersebut bervariasi, antara lain: (1) RA Kartini bukan pahlawan karena tidak ikut berperang secara fisik melawan penjajah, (2) Cut Nyak’Dien, meski ikut berperang secara fisik tetapi tetap bukan Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 177 pahlawan, sebab adat budaya Aceh menganggap keberadaan perempuan sebagai pemimpin peran merupakan hal yang tidak lazim dan bahkan berdosa. Ditemukan juga 12% sekolah yang memasang pahlawan perempuan. Namun, guru mengatakan bahwa hal itu dilakukan dalam rangka menyambut Hari Kartini saja. Dalam kesehariannya gambar tersebut tidak dipajang sebab sebagian besar masyarakat masih belum dapat menerima keberadaan pahlawan perempuan. Temuan lain, ada 14% sekolah yang ruang-ruang kelasnya memajang tidak hanya gambar pahlawan laki-laki tetapi juga perempuan. Kepala sekolah dan sebagian besar guru di sekolah tersebut relatif masih muda. Kaum muda identik dengan pembaharuan. Kaum muda banyak mengakses informasi dunia luar melalui dunia maya di televisi atau internet. Tanpa disadari mereka telah menyerap berbagai informasi budaya di luar sehingga mereka memiliki wawasan budaya yang relatif lebih luas daripada sekedar budaya di lingkungan sekitarnya. Hal itu berdampak pada terjadinya perbedaan cara pandang kaum muda terhadap budaya patriakhi. Sedikit demi sedikit terjadi pelanggaran terhadap adat budaya patriakhi dan pengakuan terhadap eksistensi perempuan di publik. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa budaya patriakhi akan terkikis oleh generasi penerus yang pendidikanya sudah tinggi, sehingga perlahan-lahan kesetaraan gender pun akan terwujud. Generasi muda dan berpendidikan tinggi cenderung berpola pikir lebih rasional karena dibesarkan dalam situasi dan kondisi yang budaya patriarkhinya sudah mulai luntur. Sementara itu, generasi tua umumnya masih bias gender karena selain mereka dibesarkan dalam kondisi budaya patriakhi yang masih kental. Oleh karena itu sekolah yang para guru dan kepala sekolahnya semua berpendidikan tinggi, dan hidup dalam kondisi budaya patriarkhi sudah menipis, bahkan sudah 178 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka maju, sehingga sadar bahwa pahlawan perempuan sudah waktunya diangkat harkat martabatnya, sehingga gambar pahlawan perempuan perlu diangkat dalam publik dengan dipasang di dinding sekolahnya. Diharapkan hal seperti ini diikuti sekolah lain, yaitu kepala sekolah yang dulu didominasi laki-laki kini mulai banyak dijabat perempuan, terutama ditingkat SD. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ruminiati (2010) yang dalam temuannya menyebutkan kepala sekolah di SD tidak hanya sabar dan rapi, tetapi juga memiliki perhatian lebih kepada siswa-siswinya. Ketidakadilan gender yang terjadi pada pendidikan formal di sekolah seringkali tidak disadari oleh para pendidik yaitu para guru, orang tua dan murid-murid. Pada umumnya para guru merasa telah memperlakukan semua murid perempuan dan laki-laki secara adil. Mereka tidak mengetahui dan tidak memperhatikan apakah buku-buku pelajaran yang mereka pakai dan diwajibkan dipakai benarbenar tidak bias gender. Apakah kurikulum yang diterapkan termasuk ekstra kurikuler juga tidak bias gender. Pembedaan perlakuan antara siswa laki-laki dengan siswa perempuan dengan juga terjadi pada upacara-upacara yang digelar di sekolah. Siswa laki-laki karena tegap dan suaranya lantang selalu dipilih sebagai pemimpin upacara, mereka tidak menyadari bahwa siswa perempuan juga ada yang bersuara latang dan tegap dan layak menjadi pemimpin upacara. Terjadinya pembedaan perlakuan tersebut dianggap wajar, sehingga akses menjadi pemimpin upacara yang tidak diberikan pun tidak dipedulikan karena dianggap yang pantas menjadi pimpinan upacara adalah siswa lakilaki. Isu kesenjangan gender dalam pendidikan yang paling menonjol: (1) semakin tinggi jenjang pendidikan makin lebar kesenjangan gendernya; (2) kurangnya keterwakilan perempuan dalam pengambilan kebijakan dan terbatasnya pemahaman para pengelola dan pelaksana pendidikan akan pentingnya kese- taraan gender; (3) masih terjadi gejala segregasi gender (gender segregation) dalam pemilihan jurusan atau program studi di Sekolah Menengah Umum, Sekolah Menengah Kejuruan; (4) di daerah pedesaan anak perempuan didorong untuk menikah dan meninggalkan sekolah. Keseteraan gender di dalam bidang pendidikan sangat penting mengingat sektor pendidikan merupakan sektor yang sangat strategis untuk memperjuangkan kesetaraan gender. Saat ini di Indonesia sudah banyak kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan yang mengarah pada terciptanya kesetaraan gender. Kesempatan untuk meningkatkan potensi sumber daya manusia (SDM) Indonesia baik laki-laki maupun perempuan tidak dibedakan. Upaya pemerintah dalam mengembangkan SDM melalui pendidikan di Indonesia terus ilakukan, tetapi mengalami hambatan pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia. Krisis ekonomi ini tidak saja berdampak pada daya beli masyarakat tetapi juga pada kemampuan orangtua untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Saat ini di Indonesia sudah tidak ada kebijakan yang bias gender terkait dengan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan mulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT). Jika terjadi perbedaan jumlah siswa laki-laki dan siswa perempuan pada jurusan-jurusan tertentu baik di SMA, SMK, maupun di PT disebabkan adanya asumsi perbedaan kemampuan intelektual dan keterampilan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan. Kondisi tersebut disebabkan adanya kekurangan informasi untuk menentukan pilihan jurusan atau program studi, juga adanya faktor keluarga dengan berbagai persepsinya yang sudah bias gender. Peran orang tua di dalam pemilihan jurusan masih sangat dominan, para siswa masih banyak yang mendapat intervensi dari orang tua mereka, padahal jurusan yang dipilih di sekolah akan berakibat lanjutan kepada kesempatan meneruskan pendidikan atau memilih pekerjaan. Namun demikian bahan ajar yang digunakan serta proses pengelolaan pendidikan masih bias gender, yaitu memuat pemilahan antara laki-laki dan perempuan. Ayah digambarkan bekerja di sektor publik seperti bekerja di kantor, kebun dan sejenisnya, sedangkan para ibu digambarkan bekerja di sektor domestik, seperti di dapur, memasak, mencuci, mengasuh anak, dan sejenisnya. Penanaman posisi bias gender tersebut dianggap sebagai hal yang wajar oleh para peserta didik perempuan (siswi, mahasiswi) maupun laki-laki (siswa, mahasiswa). Gender dan Pembelajaran Sosialisasi kepekaan gender melalui jalur struktural yang dipandang lebih efektif adalah melalui pendidikan, yakni dengan mengintegrasikan ke dalam manajemen pendidikan yang responsif gender dan didukung oleh kebijakan pendidikan yang responsif gender. Kegiatan pembelajaran lazimnya melibatkan berbagai komponen yang saling berinteraksi, seperti metode, kurikulum, guru, siswa dan sarana. Metode, dalam proses pendidikan mempunyai kedudukan sangat penting dalam upaya pencapaian tujuan, karena menjadi sarana dalam menyampaikan materi pelajaran yang tersusun dalam kurikulum pendidikan, sehingga dapat dipahami dan diserap oleh peserta didik. Pemilihan suatu metode mengajar disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu tujuan; karakteristik siswa; situasi dan kondisi; perbedaan pribadi atau gender dan kemampuan guru; dan sarana dan prasarana (Usman, 2002:73). Kurikulum merupakan salah satu faktor yang penting dalam proses pembelajaran. Implementasi kurikulum berbasis gender adalah merupakan model implementasi kurikulum yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik tanpa diskriminasi dalam memperoleh kesempatan belajar sebagaimana tertera dalam kurikulum yang berlaku. Setiap peserta didik diberi hak, tanggung jawab, kesempatan, Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 179 perlakuan, dan penilaian yang sama dalam proses pembelajaran. Adapun ciri-ciri implementasi kurikulum berbasis kesetaraan gender, yaitu: (1) semua peserta didik memperoleh kesempatan belajar sebagaimana tertera dalam kurikulum yang berlaku; (2) materi pembelajarannya dikembangkan dari berbagai sumber dan tidak bias gender, dan (3) menekankan pada partisipasi yang sama semua peserta didik dalam proses belajar di sekolah. Guru memegang peranan utama sebagai pemegang kendali dalam aktivitas pembelajaran, dan memiliki pemahaman yang mendalam tentang beberapa konsep dasar materi, pembelajaran dan psikologi perkembangan peserta didik. Pemahaman guru dan siswa tentang konsep keseteraan gender dalam aktivitas pembelajaran adalah; terimplementasi pada tujuan pembelajaran yang mengarah pada kesadaran kesamaan tugas manusia di muka bumi ini dan untuk mengarahkan pada upaya menghargai perbedaan gender, penggunaan metode pembelajaran yang berbasis pada metode teacher and student centered, metode pembelajaran yang mengembangkan keterampilan sosial, kognitif, dan mosional, dan metode yang memadukan kemandirian dan kerjasama siswa (Rahmawati, 2008). Selain itu berimplikasi pula pada pengelolaan aktivitas pembelajaran yang mencakup keaktifan subjek belajar (guru dan siswa/lakilaki dan perempuan) di kelas, pembelajaran berpusat pada kompetensi dan pluralitas siswa (perbedaan gender), guru sebagai fasilitator dan motivator yang sensitif gender, dan adanya kerjasama yang harmonis di antara subjek belajar. Sarana dan prasarana, merupakan segala sesuatu yang diperlukan untuk dapat mendukung dan memperlancar kegiatan pembelajaran. Sarana dan prasarana yang ada di sekolah diupayakan tidak bias gender. Penggunaan sarana dan prasarana harus dapat dilakukan dengan memanfatkan sumber daya 180 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka sekolah dan sumber daya di lingkungan sekolah, seperti: pemanfaatan media ruang kelas dengan banyak dipajang gambar laki-laki dan perempuan dan sejumlah buku teks yang digunakan sebagai media pembelajaran. Guru dapat dikatakan memiliki sensitivitas gender yang tinggi jika menyeimbangkan keaktifan siswa (laki-laki dan perempuan) di kelas, menciptakan iklim belajar yang kondusif, dan mengupayakan perpustakaan sekolah dengan menyediakan buku-buku yang memadai sebagai bahan referensi yang tidak bias gender. Kesimpulan dan Saran Pelaksanaan pembelajaran IPS di SD belum menekankan pada aspek keterampilan sosial, juga belum responsive gender. Oleh karena itu, disarankan melalui makalah inpara pembaca dan pengguna supaya dalam pembelajaran IPS di SD lebih meningkatkan keterampilan sosial dan kesetaraan gender. Daftar Rujukan Gunawan. 2014. Pendidikan IPS SD Filosofi, Konsep dn Aplikasi. Bandung: Penerbit Alfabetas Ruminiati, 2005. Promosi Jabatan kepala Sekolah di Sekolah Dasar Ditinjau dari Prespektif Gender. Surabaya Unair Ruminiati, 2008. Pengembangan Pembelajaran PKn SD. Jakarta: Dikti Ruminiati, 2010. Implikasi Teori Sosiobiologis dan Budaya Patriarkhi dalam Pembelajaran IPS di SD Berbasis Gender. Malang: Universitas Negeri Malang Ruminiati & Mahanai Putri. 2015. Pendidikan JPS SD. Malang: Gunung Samodera Susanto, Ahmad. 2014. Pengembangan Pembelajaran IPS SD. Jakarta: Prenada Media Group Menulis, Wujud Eksistensi dan Ekspresi Diri*) Oleh : Titien Agustina STIMI Banjarmasin A. PENDAHULUAN Ketertarikan saya pada persoalan dunia tulis menulis, diawali sejak baru mengenal baca tulis. Ketika dipinjami Majalah Si Kuncung, itulah awal minat dan ketertarikan saya pada dunia tulis-menulis. Walau gagal dan gagal, tak menyurutkan minat dan keinginan saya untuk terus belajar menulis dan menulis, hingga menjajal setiap ada lomba karya tulis baik regional maupun nasional. Koran/surat kabar adalah pilihan saya, karenahasil karya tulis yang saya hasilkan lebih kepada opini/feature. Menulis opini/featuretetap harus mengikuti aturan-aturan ilmiah juga. Tidak boleh lepas dari data dan fakta. Walaupun tidak seketat dalam menulis karya ilmiah (murni). Kata kunci: menulis, tema, opini, feature, data/fakta, eksistensi dan ekspresi diri. tian kita, sekaligus apa yang tengah hangat di publik. C. TEKNIK MEMULAI TULISAN DAN MEMELIHARA IDEA Banyak orang, sulit dalam memulai menulis. Padahal intinya adalah tulis, tulis dan tulis saja apa yang ada dalam benak/kepala. Proses waktu akan menuntun membentuk suatu pola tulisan dan awal tulisan yang baik hingga menjadi style kita. Untuk memelihara idea/gagasanadalah dengan selalu rajin membaca, mengikuti berita/ informasi, lalu menganalisisnya. Hasil analisis menimbulkan buah pikiran “baru”, maka tuangkan dalam tulisan. Selain itu juga rajin mencatat apapun yang terlintas dan muncul dalam pikiran, kapan dan dimana saja. Saya menyebutnya dengan “buku saku idea”. B. MENEMUKAN DAN MEMILIH D. PENUTUP TEMA OPINI Tema tulisan, haruslah yang sedang hangat menjadi perbincangan di masyarakat. Bisa juga “berbeda” tetapi urgen, itu bisa menjadi salah satu pertimbangan redaksi. Gampang menemukan tema tulisan. Hanya perlu melatih kepekaan terhadap sekitar. Kemudian dalam memilih tema tulisan, ikuti saja apa yang sedang menjadi minat dan perha- Semaju apapun jaman dan peradaban manusia. Secanggih apapun teknologinya. Dunia tulis menulis tidak akan pernah usang dan aus, bahkan pudar dari peradaban manusia. Namun ia akan tetap eksis, berkembang dalam bentuk dan modifikasi yang berbeda, sesuai jamannya. Intinya tetap satu, mewujudkan/ mengembangkanbuah pikiran dan hasil perasaan dalam bentuk karya (tulis) apapun. ———————— *) Disajikan pada Seminar Internasional di UNMER Malang, 13-14 Juni 2015 **) Penulis adalah Dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Indonesia (STIMI) Banjarmasin dan saat ini sedang menempuh Program Doktor Ilmu Ekonomi di Pascasarjana Unmer Malang. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 181 Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Spiritual Terhadap Kepemimpinan Transformasional Serta Implikasinya Terhadap Kinerja Karyawan Padayayasan Pembinaan anak Cacat Di Jawa Timur Oleh: Kasribening Menik – Dosen STIE Indocakti Malang transformasional. Peran kepemimpinan transformasional dari seorang pimpinan akan A. Latar Belakang Masalah mempengaruhi dan meningkatkan kinerja Sumberdaya yang unggul akan dapat organisasi. meningkatkan kinerja pegawai yang pada Penelitian dari Duckett dan Macfariane akhirnya akan mampu untuk meningkatkan (2005) yang mengkaji hubungan antara kinerja organisasi secara keseluruhan. Aspek kecerdasan emosional dengan kepemimpinan yang perlu diperhatikan guna pembenahan dan transformasional hasil dari penelitian ini dapat pembinaan sumberdaya manusia secara terus disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang menerus adalah peningkatan mutu manajemen posotif antara kecerdasan emosional pimpinan organisasi. Keterampilan dan keahlian sangat terhadap model kepemimpinan. Pemimpin diperlukan demi suksesnya organisasi, selain yang semakin cerdas secara emosional maka itu faktor leadership skill (keahlian dalam model kepemimpinannya cenderung lebih memimpin) para bawahan atau karyawan transformasional. sangat diperlukan. Robbins (2006) mengatakan Sementara itu Bycio, Allen dan Hacket bahwa suksesnya suatu organisasi sangat (1995) melakukan penelitian tentang hubungan tergantung pada kwalitas kepemimpinan. antara gaya kepemimpinan transaksional dan Pemimpin yang efektif harus berhubu- transformasional dengan efektivitas dan kinerja. ngan dengan individu-individu, kelompok Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dalam organisasi. Seorang pemimpin mempu- model kepemimpinan transformasional berhunyai perilaku yang disesuaikan dengan situasi bungan positif terhadap peningkatan kepuasan dan kondisi organisasi serta mampu untuk dan kinerja organisasi. memberikan arahan dan dorongan serta semaKesuksesan seorang pemimpin sangat ngat pada bawahannya. dipengaruhi oleh tiga macam kecerdasan yaitu, Brown, Bryant dan Reilly (2006) meneliti (1) kecerdasan intelektual ( intelligence quotentang hubungan kecerdasan emosional tient ) dibuktikan dengan prestasi akademik, (2) dengan kepemimpinan, hasil penelitian ini kecerdasan emosional ( emotional quotient ) dapat disimpulkan seorang pemimpin akan yang dapat dibuktikan dengan perilaku sosial mempengaruhi model kepemimpinannya. yang baik dan berempati, (3) kecerdasan spiriSemakin cerdas emosional seorang pemimpin, tual ( spiritual quotient ) yang dapat dilihat dari maka model kepemimpinannya akan semakin perilaku keagamaan individu atau kesolehan I. PENDAHULUAN 182 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka individu dan kesolehan sosial kemasyarakatan. Keseimbangan penggunaan ketiga intelektualitas ini yaitu intelligence quotient ( IQ ), emotional quotient ( EQ ), dan spiritual quotient ( SQ ) dalam pekerjaan tidak hanya membuat seseorang sukses, tetapi juga bahagia (Ginanjar,2007). Pengelolaan organisasi pada Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) membutuhkan figur kepemimpinan yang dapat mengarahkan dan memberikan dukungan penuh terhadap pembentukan kehandalan karyawan. Kepemimpinan yang handal akan memberikan dampak bagi peningkatan kinerja. Kepemimpinan sangat penting dalam menggerakkan organisasi. Seorang pemimpin dalam strata apapun mempunyai cirri khas dalam memimpin. Kepemimpinan yang tepat diharapkan bagi semua komponen, sehingga bisa mengakomodasikan secara maksimal serta dapat memberikan hasil yang optimal melalui kinerja karyawan. Kepemimpinan yang baik akan sangat berpengaruh terhadap perubahandan kinerja perusahaan. Organisasi yang baik pada dasarnya dipengaruhi olehorang-orang yang memimpin di organisasi tersebut. Kepemimpinan seorangpemimpin dipengaruhi oleh kecerdasan emosionalnya. Pemimpin yangmempunyai derajat emosional yang baik, maka dapat diperkirakan modelkepemimpinannya cenderung bersifat transformasional. Sebaliknya apabila derajat emosionalnya rendah, maka model kepemimpinannya akan cenderungbersifat transaksional. Kepemimpinan transformasional sangat diperlukan olehorganisasi perusahaan untuk dapat mencapai tujuan organisasi. Dalam banyakhal kepemimpinan akan berpengaruh terhadap kinerja pegawainya. Kepemimpinan yang baik akan sangat berpengaruh terhadap perubahan dan kinerja perusahaan. Penilaian kinerja dapat diartikan sebagai suatu proses komunikasi yang berarti bahwa penilaian kinerja akan memberikan informasi kepada individu dan organisasi tentang kinerja karyawan dan organisasi secara menyeluruh. Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) termasuk penyelenggara pelayanan bagi penyandang cacat (difabel) bagi masyarakat khususnya di JawaTimur dengan pelayanan pendidikan dan kesehatan. Secara efektif YPAC ini berfungsi sebagai panti swadana yang melayani masyarakat umum. Penyelenggaraan diarahkan kepada peningkatan mutu, efisiensi dan pendapatan. Kegiatan pokok diarahkan pada peningkatan sumberdaya manusia, customer oriented, reorganisasi pelayanan dalam upaya optimalisasi tenaga kerja pada unit kerja, peningkatan manajemen, pengembangan sistem informasi, pengembangan sistem informasi, standarisasi pelayanan dan peningkatan dan pengembangan sarana,prasarana dan peralatan. Oleh sebab itu diperlukan kinerja karyawan dalam rangka peningkatan pendapatan yang berdampak kepada peningkatan mutu pelayanan Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji secara mendalam, bagaimana mengatasi permasalahan dalam rangka mencapai tujuan yakni meningkatkan kinerja karyawan melalui kepemimpinan transformasional. B. Rumusan Masalah Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana deskripsi kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, kepemimpinan transformasional dan kinerja karyawan ? 2. Bagaimana pengaruh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual terhadap kepemimpinan transformasional ? 3. Bagaimana pengaruh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual terhadap kinerja karyawan? 4. Bagaimana pengaruh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual terhadap kinerja karyawan melalui kepemimpinan transformasional ? Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 183 C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui deskripsi kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, kepemimpinan transformasional dan kinerja karyawan 2. Untuk menganalisis pengaruh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual terhadap kepemimpinan transformasional. 3. Untuk menganalisis pengaruh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual terhadap kinerja karyawan. 4. Untuk menganalisis pengaruh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual terhadap kinerja karyawan melalui kepemimpinan transformasional. untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. 2. Kecerdasan Emosional Definisi yang luas tentang kecerdasan emosional (emotional intelligence)adalah merupakan sebuah kemampuan untuk memonitor perasaan dan emosidirinya dan orang lain, kemampuan untuk dapat membedakan antara keduanya,dan menggunakan informasi tersebut untuk mengarahkan pikiran dan tindakan seseorang (Salovey & Mayer, 1997). 3. Kecerdasan Spiritual Sinetar dan Khalil (dalam Zohar dan D. Kegunaan Penelitian Marshall, 2007) mendefinisikan kecerdasan 1. Untuk mengembangkan teori sumberdaya spiritual sebagai pikiran yang mendapatkan manusia yang berkaitan dengan kepemim- inspirasi, dorongan, danefektifitas yang terinspinan yang berimplikasi terhadap kinerja. pirasi, theisness atau kepercayaan Tuhan. 2. Sebagai bahan acuan bagi pihak yang Pengertian inimengandung makna di dalam berkepentingan dalam hal pengambilan dimensi diri manusia terdapat roh, yang karena keimanannya terhadap yang maha kuasa, terus kebijakan atau keputusan. 3. Untuk memberikan masukan yang ber- terasah yang membuat manusiabisa mengarahmanfaat bagi para peneliti yang akan kan segala perbuatannya dalam kehidupan. Bila kecerdasan spiritual (spiritual quodatang. tient) telah berkembang dengan baik, maka gambaran atau ciri – ciri orang yang memiliki KAJIAN PUSTAKA kecerdasan spiritual(spiritual quotient) tinggi, A. Tinjauan Teori menurut Zohar dan Marshall (2007) adalah sebagaiberikut : 1. Kinerja 1). Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif Bernardin dan Russel (1993), yang secara spontan dan aktif), mengatakan bahwa kinerja adalah catatan2). Tingkat kesadaran tinggi, catatan perolehan yang dihasilkan dari fungsi 3). Kemampuan mengadaptasi dan memansuatu pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu faatkan penderitaan, selama periode waktu tertentu. Jadi kinerja 4). Kemampuan menghadapi dan melampaui berkenaan dengan hasil pekerjaan yang telah rasa sakit, dicapai karyawan dalam periode tertentu. 5). Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan Sementara itu Hersey dan Blancard misi, (1993), mengatakan bahwa kinerja merupakan 6). Keengganan untuk menyebabkan kerugian suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan. yang tidak perlu, Untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan, 7). Kecenderungan untuk melihat keterkaitan seseorang harus memiliki derajat kesediaan dan antara berbagai hal(berpendangan holisitingkat kemampuan tertentu. Ketersediaan dan tik), ketrampilan seseorang tidaklah cukup efektif 184 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 8). Kecenderungan nyata untuk bertanya, untuk mencari jawaban mendasar, 9). Pemimpin yang penuh pengabdian dan bertanggung jawab. 4. Kepemimpinan Transformasional Pengertian Kepemimpinan Transformasional Bass and Avolio (2003) mengartikan Kepemimpinan Transformasional adalah para pemimpintransformasional yang sesungguhnya yakni ketika mereka memberikankesadaran tentang apa itu benar, baik, indah, ketika mereka membantumeninggikan kebutuhan dari para bawahan dalam mencapai apa yang diinginkandan dalam mencapai aktualisasi, para pemimpin membantu dalam mencapaitingkat kedewasaan moral yang lebih tinggi dan ketika para pemimpin itu mampumenggerakkan para bawahannya untuk melepaskan kepentingan diri merekasendiri untuk kebaikan group, organisasi, maupun masyarakat. Leadership style The volume of research on leadership has increased rapidly. The research has given rise to various models, among which the foremost is a model that identifies three types ofleadership: transformational, transactional and laissez-faire leadership (Bass, 2003). Transformational leadership “Leaders transform the needs, values, preferences and aspirations of followers from selfinterest to collective interests. Further, they cause followers to become highly committed tothe leader’s mission, to make significant personal sacrifices in the interest of the mission, andto perform above and beyond the call of duty” (Shamir et al., 1993). The transformational leadership style is considered the most effective one (Bass, 1997). Rouche et al. (1989) defined transformational leadership in terms of the ability of a leader to influence the values, attitudes, beliefs, and behaviors of others by working with and through them in order to accomplish the organization’s mission and purpose. The theory of transforming leadership was developed primarily by Burns in 1978. He defined a transforming leader as someone who “looks for potential motives in followers, seeking to satisfy higher needs, and engages the full person of the follower” (Burns, 1978). Based on the work of Burns (1978), Bass (1990) developed a model of transformationaland transactional leadership and established four clear components of transformational leadership: • Idealised influence (charisma): Leaders display conviction, emphasise trust, take stands on difficult issues, present their most important values, and emphasise the importance of purpose, commitment, and the ethical consequences of decisions. Such leaders are admired as role models generating pride, loyalty, confidence, and alignment around a shared purpose. • Inspirational motivation: Leaders articulate an appealing vision of the future, challenge followers with high standards, talk optimistically with enthusiasm, and provide encouragement and meaning for what needs to be done. • Intellectual stimulation: Leaders question old assumptions, traditions, and beliefs, stimulate new perspectives and ways of doing things, and encourage the expression of ideas and reasons in others. • Individualised consideration: Leaders deal with others as individuals, consider their individual needs, abilities, and aspirations, listen attentively, further their development, advice, teach and coach. B. Tinjauan Penelitian Terdahulu 1. Penelitian oleh Chcok San Lam dan Elcanor O’Higgins (2013)dengan judul “ Emotional Intelligence and Leadership Styles in China”.Penelitian ini mengeksplorasi tingkat kecerdasan emosional dan gaya kepemimpinan manajer di China dibandingkan dengan konteks di Barat. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 185 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di China hubungan antara Kecerdasan Emosional dan gaya kepemimpinan Transformasional berkorelasi positif. 2. Penelitian oleh Muhammad Ibrahim Khan, Muhammad Aslam Khan, tahir Saeed, Muhammad Suleman Khan dan Sanaullah (2011) dengan judul : “Linking Emotional Intelligence and Transformational Leadership : Services Sector of Pakistan “ Hasil penelitian menyimpulkan bahwa adanya hubungan antara Kecerdasan Emosional (EQ) dan Kepemimpinan Transformasional untuk manajer dan supervisor di Pakistan di organisasi sektor jasa. 3. Penelitian oleh Louis W. Fry dan Melanie P. Cohen (2009) dengan judul : “Spiritual Leadership as a Paradigm for Organizational Transformation and Recovery from Extended Work Hours Cultures”. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa kepemimpinan Spiritual sebagai paradigma untuk Transformasi Organisasi untuk pemulihan dari aspek-aspek negatif, untuk meningkatkan kinerja karyawan, dan tanggung jawab sosial perusahaan. 4. Penelitian oleh Donald P. Moynihan, Sanjay K. Pandey, Bradley E. Wright (2011) dengan judul “ How Transformational Leadership Fosters Performance in- 186 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka formation Use” Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional mempengaruhi pelaksanaan Kinerja. KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS A. Kerangka Konseptual 1. Kinerja sebagai variabel endogen kedua (Y2) diukur dengan menggunakan instrumen : 1) Kualitas 2) Kuantitas 3) Ketepatan waktu 4) Efektifitas Biaya 5) Kebutuhan supervisi 6) Hubungan pribadi. 2. Kepemimpinan Transformasional sebagai variabel (Y1) diukur dengan menggunakan instrumen : 1) Kharisma 2) Inspirasi 3) Stimulasi Intelekt ual 4) Konsiderasi Individu. 3. Kecerdasan emosional sebagai variabel eksogen (X1) diukur dengan menggunakan instrumen : 1) Intrapersonal Skill 2) Interpersonal Skill 3) Tegas 4) Kepuasan dalam hidup5) Harga diri 6) Aktualisasi diri. 4. Kecerdasan spiritual sebagai variabel (X2) diukur dengan menggunakan instrumen : 1) Bersikap Flexibel 2) Tingkat Kesadaran Tinggi 3) Kemampuan menghadapi kegagalan 4) Kualitas Hidup 5) Berpandangan Luas 6) Penuh Pengabdian dan Tanggung Jawab. X1 =KECERDASAN EMOSIONAL X1.1 = Intrapersonal Skill X1.2 = Interpersonal Skill X1.3 = Tegas X1.3 = Kepuasan Hidup X1.5 = Harga diri X1.6 = Aktualisasi diri (Mayer dan Salovey,1997) X2 =KECERDASAN SPIRITUAL X2.1 = Bersikap fleksibel X 2.2 = Tingkat kesadaran tinggi X 2.3 = Kemampuan menghadapi Kegagalan X 2.4 = Kualitas hidup yang Diilhami Visi dan Misi X 2.5 = Berpandangan luas X 2.6 = Penuh pengabdian dan Tanggung jawab (Zohar dan Marshall, 2007) Y2= KINERJA Y1 = KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONA L Y 1.1 = Kharisma Y 1. 2 = Inspirasi Y 1. 3 = Stimulasi Intelektual Y 1. 4 = Konsiderasi Individu (Bass dan Avolio,2003) B. Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini berdasarkan pada kerangka konseptual dan juga hasil- hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Rumusan hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepemimpinan transformasional. Y2 .1 =Kualitas Y 2. 2 =Kuantitas Y 2. 3 = Ketepatan waktu Y 2. 4 = Efektivitas biaya Y 2. 5 = Kebutuhan Supervisi Y 2. 6= Hubungan pribadi (Benardin dan Russel, 1993) 2. Kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. 3. Kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan melalui kepemimpinan spiritual. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 187 DARI MANA MENULIS DAN BAGAIMANA PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARANNYA? Oleh Alif Mudiono Universitas Negeri Malang Alamat rumah: Jalan Jawa 14 Blitar; HP. 08125251484 E-mail: [email protected] Abstract: Writing is one of the aspects of the language most valued after speaking activities, reading and listening. Writing requires practice, stable and sustainable. Without training on an ongoing basis will be difficult for a person to choose and define the vocabulary, sentence structuring, as well as in developing alenia. Writing can be done by (1) writing directly and the theory afterwards; (2) starting from wherever allowed; (3) start learning nonlinear. Writing activities can be developed using a model (1) a personal journal; (2) the field trip; (3) audio-visual media; (4) probing - prompting. In the following description presented about where someone is doing writing activities and how teachers in developing its learning models? Keywords: writing, models, learning Abstrak: Menulis merupakan salah satu aspek kegiatan berbahasa yang paling tinggi nilainya setelah kegiatan berbicara, membaca, dan menyimak. Menulis memerlukan latihan, keajegan, dan berkelanjutan. Tanpa latihan secara berkelanjutan akan menyulitkan seseorang dalam memilih dan menentukan kosa kata, menyusun struktur kalimat, maupun dalam mengembangkan alenia. Menulis dapat dilakukan dengan cara (1) langsung menulis teori belakangan; (2) dimulai dari manapun boleh; dan (4) melalui pembelajaran nonlinier. Kegiatan menulis dapat dikembangkan dengan menggunakan model (1) jurnal pribadi; (4) karya wisata; (6) media audio visual; dan (4) probing-prompting. Pada uraian berikut dipaparkan tentang dari mana seseorang melakukan kegiatan menulis dan bagaimana cara guru dalam mengembangkan modelmodel pembelajarannya? Kata kunci: menulis, model, pembelajaran Menulis sebagai salah satu keterampilan berbahasa diakui oleh umum. Menulis merupakan keterampilan yang mensyaratkan penguasaan bahasa yang baik. Dalam belajar bahasa, menulis merupakan kemahiran tingkat lanjut. Dalam hal ini, Semi (2007:5) berpendapat bahwa pembelajaran menulis merupakan dasar untuk keterampilan menulis. Penulis sendiri berpandangan bahwa untuk menulis, pembelajar harus me- 188 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka nguasai kosakata kaidah tata tulis, yakni ejaan, dan kaidah tata bahasa, morfologi dan sintaksis. Menulis sebagaimana berbicara, merupakan keterampilan yang produktif dan ekspresif. Perbedaannya, menulis merupakan komunikasi tidak bertatap muka (tidak langsung), sedangkan berbicara merupakan komunikasi tatap muka (Tarigan, 2008:2). Menurut Alwasilah (2010: 128), keterampilan menulis berhubungan erat dengan membaca. Hal ini diakui pula oleh Semi (2007: 5). Semakin banyak siswa membaca, semakin cenderung memiliki kelancaran membaca dan menulis. Sebuah tulisan dikatakan baik apabila memiliki ciri, di antaranya bermakna, jelas/lugas, merupakan satu kesatuan, singkat dan padat, serta memenuhi kaidah kebahasaan. Di samping itu tulisan yang baik harus bersifat komunikatif. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kemampuan menulis merupakan kemampuan yang kompleks, yang menuntut sejumlah pengetahuan dan keterampilan sekaligus. Untuk menulis sebuah karangan yang sederhana pun secara teknis sudah dituntut untuk memenuhi persyaratan sebagaimana yang diatur dalam persyaratan kegiataan menulis. Menulis sebagai proses kreatif memindahkan gagasan ke dalam lambang-lambang tulisan. Menulis juga diartikan sebagai suatau kegiatan penyampaian pean dengan menggunakan bahasa tulisan atau medianya (Suparno dan Yunus, 2007:21). Menulis merupakan salah satu kemapuan berbahasa yang perlu dimiliki seseorang. Dengan demikian, ada empat unsur yang terlibat, yakni (1) penulis yang bertindak sebagai penyampai pesan, (2) pesan atau isi yang terkandung di dalam tulisan, (3) media yang berupa tulisan, dan (4) pembaca sebagai penerima pesan. Menulis memiliki manfaat baik untuk penulis maupun pembaca. Menulis mempunyai manfaat (1) meningkatkan kecerdasan, (2) mengembangkan inisiatif dan kreativitas, (3) menumbuhkan keberanian, dan (4) mendorong kemauan dan kemampuan mengumpulkan informasi. Dalam hal ini, Graves (dalam Suparno, 2006:14) menyatakan bahwa seseorang tidak akan menulis karena tidak taahu apa yang ditulis, dan merasa tidak tahu bagaimana harus menulis. Atas dsar ini, peran guru sangatlah diperlukan dalam pembelajaran menulis. Tujuannya agar siswa termotivasi dan terangsang minat menulis. Dalam hal ini, untuk menghasilkan karya tulis, kemudian dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran atau diserahkana kepada seseorang sebagai bukti karya ilmiah, kemudian dinilai, menuntut seorang penulis memahami betul arti kata menulis. Seorang yang memahami dengan baik makna kata menulis akan betu-betul pedulu terhadap kejelasan apa yang ditulis, kekuatan tulisan dalam mempengaruhi orang lain, keaslian pikiran yang dituangkan dalam tulisan, kepiawaian penulis dalam memilih kata-kata dan mengolah katakata maupun kalimat (Santoso dkk., 2008:6.14). Dilihat dari prosesnya, pembelajaran menulis menuntut kerja keras guru agar kegiatan menulis menjadi kegiatan yang menyenangkan, sehingga siswa tidak merasa dipaksa untuk menyusun sebuah tulisan. Sebaliknya siswa merasa senang karena diajak oleg guru untuk melakukan kegiatan menulis. Beberapa cara yang ditempuh guru dalam melakukan kegiatan agar menulis itu kegiatan yang menyenangkan bagi siswa. DIMULAI DARI MANA MENULIS? Menulis sebagai suatu proses menurut Santoso dkk., (2008) dapat dilakukan melalui langkah-langkah (1) langsung menulis teori belakangan; (2) mulai dari manapun boleh; (3) menulis sambil bercanda; dan (4) pembelajaran menulis nonlinier. Pertama, dalam proses langsung teori belakangan, menulis dipahami sebagai suatu keterampilan, bukan sebagai ilmu. Keterampilan menulis merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa yang paling tinggi nilainya setelah keketerampilan berbicara. Sebagai suatu keterampilan, menulis membutuhkan latihan uang inten, dan berkelanjutan. Sebagai ilmu komposisi, menulis akan mengajarkan berbagai jenis paragraf, kohesi dan koherensi, jenis wacana (deskripsi, eksposisi, narasi, argumentasi, persuasi). Kesemuanya ini akan membuat siswa tidak bisa menulis. Semakin banyak aturan dalam menulis, akan membuat siswa enggan dan tidak menulis. Dalam hal ini, menulis dapat dimulai tanpa harus mengetahui teori-teori menulis. Jika ingin menulis sebaiknya langsung terjun ke dalam kegiaatan menulis Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 189 yang sebenarnya, tanpa mempedulikan apakah tulisannya memenuhi aturan sebagaimana yang diatur dalam peraturan menulis. Kedua, dimulai dari manapun boleh. Menulis dapat dimulai dari bagian mana yang paling disenangi. Guru dapat mengajak siswa dengan cara mendeskripsikan benda-benda di sekitarnya, menulis cerita, menulis puisi dengan bantuan media yang menarik, maupun kegiatan lainnya. Dalam hal ini, yang perlu diingat bahwa kata kunci pembelajaran menulis adalah mengajak siswa menulis, bukan mengajarkan menulis. Dengan menggunakan kata kunci, siswa dapat dibawa ke dalam situasi kegiatan menulis yang menyenangkan. Misalnya, ketika siswa diperdengarkan menyimak tentang “Benda-benda di Lingkungan Sekitar” tentunya mereka memiliki pengalaman bermcam-macam pengalaman yang menarik dan jawabannya beragam. Dari berbagai pengalaman ini , siswa dapat menceritakan pengalman mereka secara tertulis. Setelah selesai menulis dengan menggunakan bahasa mereka sesuai dengan pengalamannya, mereka dapat mengembangkan daya imaginasinya. Dengan demikian, kesan yang tertanam dalam diri mereka bahwa menulis itu mudah. Ketiga, pembelajaran menulis nonlinier. Tidak semuakegiatan menulis perlu diajarakan kepada siswa. Akan tetapi yang penting adalah penanaman kebiasaan dan kecintaan menulis. Dalam kegiatan menulis, guru tidak perlu mentargetkan semua kegiatan menulis sebagaimana terdapat dalam kurikulum. Akan tetapi, guru mentargetkan tiga kegiatan menulis yang pasti dalam setiap semester yang sudah diprogram dalam penilaian portofolio. Di dalam kegiatan ini, guru menginformasikan kepada siswa menulis kisah perjalanan, pengalaman yang tidak terlupakan, melanjutkan cerita yang belum selesai, mendeskripsikan sesuatu ataupun yang lain. Dalam hal ini, siswa bebas menentukan pilihannya dan mengembangkannya sesuai dengan kemampuan imaginasinya tanpa diikat dengan kalimat topik yang sama. Selama kegiatan awal menulis, guru menyampaikan kepada siswa bahwa menulis jangan takut salah, 190 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka yang paling penting senang melakukan kegiatan menulis. Guru memberikan komentar-komentar setelah siswa menyelesaikan tulisannya. Pada akhir kegiatan, guru menginformasikan kepada siswa untuk menyalin karangannya dengan memberikan pesan agar tulisan disalin di kertas yang baik dan diupayakan tulisannya bersih dan tidak ada coretan. Selanjutnya, semua hasil tulisan/karangannya dipajangkan di ruangan kelas sebagai hasil penilaian portofolio. PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN MENULIS Model pembelajaran diartikan sebagai prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar yang digunakan dalam pembelajaran. Kaitannya dengan kegiatan menulis di sekolah, pembelajaran menulis dapat dikembangkan melalui model (1) example non example; (2) pemodelan; (3) jurnal pribadi; (4) karya wisata; (5) kancing gemericing (Talking Chips); (6) media audio visual; dan (7) probing-prompting. Penjelasan masing-masing dipaparkan sebagai berkut. Menulis Sederhana Melalui Model Jurnal Pribadi Terdapat banyak cara untuk mengkategorikan bentuk tulisan. Penggolongan tulisan secara tradisional adalah narasi, deskripsi dan persuasi. Meskipun penggolongan tersebut nampaknya teoritis tetapi siswa menggunakannya untuk berbagai tujuan antara lain untuk mengekspresikan pendapat, memberikan informasi dan kesenangan (Tomkins, 1991; 187). Berbagai macam strategis dapat digunakan dalam pembelajaran menulis, baik menulis dalam bentuk dormal maupun menulis dalam bentuk informal. Guru diharapkan mampu berkreativitas dalam memadukan strategi-strategi pembelajaran sehingga dapat menciptakan pembelajaran yang menarik. Tomkins (1991:187) membuat cerita, menulis informasi dan menulis puisi. Jika dikaitkan dengan bentuk jurnal atau catatan maka Tomkins mengkategorikan jurnal sebagaibentuk tulisan tidak resmi (informasi writing). Pembelajaran menulis informal dilaksanakan agar tulisan siswa berkembang dengan lancar dan dapat membuat sisw belajar. Faris (1993: 206) menyatakan bahwa tulisan jurnal pribadi merupakan bentuk tulisan tidak formal dan sering tidak berstruktur. Tulisan jurnal pribadi merupakan bentuk tulisan tidak resmi. Oleh sebab itu strategi yang digunakan dalam pembelajaran menulisjurnal pribadi juga menggunakan strategi tidak resmi. Pembelajaran menulis jurnal pribadi dilaksanakan untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam mencurahkan gagasan. Tomkins (1991:187). menyatakan proses belajar mengajar dalam pembelajaran menulis catatan pribadi menggunakan strategi informal yang meliputi (1) curah pendapat lisan, (2) demonstrasi guru, (3) temu pendapat lisan, (4) pembelajaran mini, dan (5) berbagi hasil kerja. Menulis sebuah jurnal adalah sebuah langkah penting bagi seorang anak untuk menjadi penulis di kemudian hari. Menulis jurnal setiap hari menjadi kebiasaan positif bagi siswa untuk menuangkan ide, gagasan, pikiran ke dalam bentuk nyata berupa rangkaian kata dan kalimat. Kebiasaan ini akan mengarahkan siswa untuk terbiasa menulis tanpa beban. Menulis bukan hal yang menakutkan atau menyebalkan lagi, karena menulis jurnal belum disosialisasikan disekolah. Padahal kebiasaan menulis jurnal mempunyai sisi positif dalam dunia pengajaran serta perkembangan jiwa para siswa (Alwasilah, 2010). Rangkaian cerita dalam menulis jurnal pribadi harus dilakukan secara berurutan dan sistematis. Hal ini tampak pada sebuah karangan dalam bentuk sederhana mengurutkan kejadian secara ilmiah (natural order) atau mengurutkan proses suatu peristiwa dalam urutan waktu kejadiannya (kronologis). Dalam kenyataan, menulis jurnal pribadi didasarkan pada suatu rangkaian kejadian yang bertalian dengan urutan waktu. Dengan demikian, orga- nisasi perincian utamanya akan bersifat kronologis atau menurut urutan waktu alamiah. Dalam menulis jurnal pribadi juga diperhatikan pengembangan gagasan. Pengembangan gagasan inilah yang dapat menyatukan ide secara utuh dan padu untuk disampaikan secara tertulis. Sebaiknya gagasan yang akan disampaikan dalam bentuk tulisan menggunakan bahasa yang menarik dan komunikatif agar terjalin hubungan erat antara penulis dan pembaca. Menulis Narasi Melalui Model Karya Wisata Karya wisata (field trip) adalah pesiar (ekskursi) yang dilakukan oleh siswa untuk melengkapi pengalaman belajar tertentu. Dengan karya wisata sebagai metode belajar mengajar, siswa dibawah bimbingan guru mengunjungi tempat-tempat tertentu dengan maksud untuk belajar. Menurut Rusyan (1993:82) banyak memiliki nilai non akademis, tetapi tujuan umum pendidikan dapat dicapai, terutama mengenai wawasan dan pengalaman tentang dunia luar seperti kunjungan ketempat-ketempat situs bersejarah, museum, peternakan yang sistematis, dan sebagainya. Kabaikan dari metode karya wisata adalah: (1) siswa dapat mengamati kenyataan yang beraneka ragam dari dekat, (2) siswa dapat menghayati pengalaman baru dengan mencoba ikut serta di dalam suatu kegiatan, (3) siswa dapat menjawab masalah-masalah atau pertanyaanpertanyaan dengan melihat, mendengar, mencoba dan membuktikan secara langsung, (4) siswa dapat memperoleh informasi dengan jalan mengadakan wawancara atau mendengarkan ceramah yang diberikan on the spot, dan (5) siswa dapat mempelajari sesuatu secara integral dan komprehensif (Sagala, 2009: 215) Adapaun kelemahan-kelemahan dari metode karya wisata adalah: (1) memerlukan persiapan yang melibatkan banyak pihak, (2) jika karya wisata sering dilakukan akan mengganggu kelancaran rencana pembelajaran, apabila jika tempat yang dikunjungi jauh dari sekolah, (3) Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 191 kadang-kadang mendapat kesulitan dalam bidang pengangkutan, (4) jika tempat yang dikunjungi itu sukar diamati, akibatnya siswa menjadi bingung dan tidak akan mencapai tujuan yang diharapkan. Misalnya untuk mempelajari proses kimia yang dikerjakan oleh mesin yang diamati, (5) memerlukan pengawasan yang ketat, dan (6) memerlukan biaya yang relatif tinggi (Sagala, 2009: 215). Keberhasilan karya wisata sangat tergantung pada tujuan perencanaan yang dibuat. Komponen perencanaan menurut beberapa ahli hampir sama, yang berbeda hanya penekanannya saja. (Morgan et al, 1976) menekankan penjadwalan yang detail harus sudah selesai pada awal perencanaan. Mardikanto, 1993) menekankan agar tempat tujuan dipilih yang mempunyai kaitan dengan masalah, petensi dan peluang yang sedang akan dihaadapi sasaran. (Flores dkk, 1983) mengingatkan jangan mengunjungi terlalu banyak objek dalam satu hari, lebih baik dipilih beberapa objek yang benar-benar tepat. Kunjungan karya wisata akan lebih mudah dilaksanakan jika perencanaan telah disusun secara cermat, kemudian dilaksanakan dengan baik. Sering kali sulit untuk menjaga agar kelompok selalu bersama-sama dan menjaga perhatian mereka ketika berada dilapangan atau lokasi. Sebaiknya guru harus selalu memantau siswanya dalam lokasi, sehingga kegiatan karya wisata dapat berjalan sesuai dengan rencana. Pelaksanakan kunjungan karya wisata menurut Morgan (1976) sebagai berikut. (1) pengenalan terhadap maksud dan tujuan serta objek yang akan diamati, (2) menjaga minat kelompok peserta, (3) mempertahankan partisipasi perserta dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan, (4) pengaturan kenyamanan fisik, pengakhiran kunjungan, serta (5) tindak lanjut dan evaluasi. Menulis Literasi Fokus Narasi Melalui Model Probing-Prompting Istilah literasi yang dalam bahasa Inggrisnya Literacy berasal dari bahasa Latin littera (huruf) yang pengertiannya melibatkan pengua192 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka saan sistem-sistem tulisan dan konvensi-konvensi yang menyertainya. Kendatipun demikian, literasi utamanya berhubungan dengan bahasa dan bagaimana bahasa itu digunakan. Adapun sistem bahasa tulis itu sifatnya sekunder. Manakala berbicara mengenai bahasa, tentunya tidak lepas dari pembicaraan mengenai budaya karena bahasa itu sendiri merupakan bagian dari budaya. Sehingga, pendefinisian istilah literasi tentunya harus mencakup unsur yang melingkupi bahasa itu sendiri, yakni situasi sosial budayanya. Literasi didefinisikan penggunaan praktikpraktik situasi sosial, dan historis, serta kultural dalam menciptakan dan menginterpretasikan makna melalui teks. Literasi memerlukan setidaknya sebuah kepekaan yang tak terucap tentang hubungan-hubungan antara konvensi-konvensi tekstual dan konteks penggunaanya serta idealnya kemampuan untuk berefleksi secara kritis tentang hubungan-hubungan itu. Karena peka dengan maksud/tujuan, literasi itu bersifat dinamis – tidak statis – dan dapat bervariasi di antara dan di dalam komunitas dan kultur diskursus/ wacana. Literasi memerlukan serangkaian kemampuan kognitif, pengetahuan bahasa tulis dan lisan, pengetahuan tentang genre, dan pengetahuan kultural). Yang dimaksud dengan teks di atas adalah mencakup teks tulis dan teks lisan. Adapun pengetahuan tentang genre adalah pengetahuan tentang jenis-jenis teks yang berlaku/digunakan dalam komunitas wacana misalnya, teks naratif, eksposisi, deskripsi dan lain-lain. Dengan demikian, pembelajaran literasi adalah proses belajar yang mempelajari tentang kemampuan berkomunikasi lisan dan tulisan. Pembelajaran literasi dalam Standar Isi ditunjukkan dengan materi pokok pembelajaran Bahasa Indonesia yang terbagi ke dalam empat standar kompetensi, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Istilah Probing Prompting berasal dari kata Probing dan kata Prompting. Probing menurut arti katanya adalah penyelidikan, pemeriksaan dan prompting adalah mendorong atau menuntun. Penyelidikan atau pemeriksaan disini bertujuan untuk memperoleh sejumlah informasi yang telah ada pada diri siswa agar dapat digunakan untuk memahami pengetahuan atau konsep baru. Dorongan atau tuntunan diberikan oleh guru dalam menggali pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa. Model Pembelajaran probing prompting adalah suatu cara untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan cara guru menyajikan serangkaian pertanyaan yang sifatnya menuntun, membimbimbing, dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan pengetahuan tiap siswa dan pengalamannya dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Selanjutnya siswa mengkonstruksi konsep-prinsip dan aturan menjadi pengetahuan baru, dengan demikian pengetahuan baru tidak diberitahukan. Pembelajaran probing prompting sangat erat kaitannya dengan pertanyaan. Pertanyaanpertanyaan yang dilontarkan pada saat pembelajaran ini disebut probing question. Probing question adalah pertanyaan yang bersifat menggali untuk mendapatkan jawaban lebih lanjut dari siswa yang bermaksud untuk mengembangkan kualitas jawaban, sehingga jawaban berikutnya lebih jelas, akurat serta beralasan. Probing question ini dapat memotivasi siswa untuk memahami lebih mendalam suatu masalah hingga mencapai suatu jawaban yang dituju. Proses pencarian dan penemuan jawaban atas masalah tersebut siswa berusaha menghubungkan pengetahuan dan pengalaman yang telah dimilikinya dengan pertanyaan yang akan dijawabnya (Ayu, 2010) Dengan model pembelajaran ini proses tanya jawab dilakukan dengan menunjuk siswa secara acak sehingga setiap siswa mau tidak mau harus berpartisipasi aktif, siswa tidak bisa menghindar dari proses pembelajaran, setiap saat siswa bisa dilibatkan dalam proses tanya jawab. Kemungkinan akan terjadi suasana tegang, namun demikian bisa dibiasakan untuk mengurangi kondisi tersebut dengan cara guru hendaknya memberi serangkaian pertanyaan disertai dengan wajah ramah, suara menyejukkan, dan nada yang lembut. Ada canda, senyum dan tertawa sehingga menjadi nyaman, menyenangkan dan ceria. Perlu diingat bahwa jawaban siswa yang salah harus dihargai karena salah adalah ciri siswa sedang belajar dan telah berpartisipasi. Terdapat dua aktivitas siswa yang saling berhubungan dalam pembelajaran probing prompting, yaitu aktivitas siswa yang meliputi aktivitas berpikir dan aktivitas fisik yang berusaha membangun pengetahuannya, serta aktivitas guru yang berusaha membimbing siswa dengan menggunakan sejumlah pertanyaan yang memerlukan pemikiran tingkat rendah sampai pemikiran tingkat tinggi. Aktivitas secara fisik yang diharapkan terjadi dengan teknik probing adalah siswa menjawab pertanyaan, mengajukan pertanyaan, atau memberikan sanggahan, sedangkan aktivitas berpikirnya adalah pembentukan pengetahuan baru. Pembelajaran literasi fokus menulis narasi melalui model probing prompting dilakukan dengan cara (1) menghadapkan siswa pada situasi baru, misalnya dengan menunjukkan gambar, cerita, alat pembelajaran, objek, gejala yang dapat memunculkan teka-teki atau permasalahan; (2) memberi waktu tunggu beberapa saat (3-5 detik) atau sesuai keperluan agar siswa melakukan pengamatan sekaligus siswa melakukan diskusi dalam kelompoknya untuk merumuskan pertanyaan sesuai indikator yang akan dicapai dengan bimbingan guru; (3) mengajukan pertanyaan sesuai indikator atau kompetensi yang ingin dicapai siswa; (4) memberi waktu tunggu beberapa saat (2-4 detik) untuk memberikan kesempatan siswa merumuskan jawabannya dengan melakukan diskusi; (5) meminta seorang siswa untuk menjawab pertanyaan yang telah diajukan; (6) jika jawaban yang diberikan siswa benar atau relevan dilanjutkan dengan siswa lain, untuk meyakinkan bahwa semua siswa terlibat dalam kegiatan yang sedang berlangsung serta memberi pujian atas jawaban benar. Jika jawaban keliru atau tidak relevan, diajukan pertanyaan Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 193 susulan yang berhubungan dengan respon pertama, dimulai dari pertanyaan yang bersifat observasional kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan yang menuntut siswa berpikir lebih tinggi menuju pertanyaan indikator ketercapaian kompetensi dasar sampai siswa dapat menjawab pertanyaan yang baru diajukan; (7) pertanyaan yang diajukan pada tahap 6 (enam) ini sebaiknya diajukan atau diinteraksikan juga pada siswa lain agar seluruh siswa terlibat dalam kegiatan probing; dan (8) mengajukan pertanyaan akhir pada siswa lain untuk lebih menegaskan bahwa kompetensi dasar yang dituju sudah tercapai. KAJIAN PUSTAKA Alwasilah, S. S. 2010. Mengajarkan Menulis pada Anak. http://alwasilah. multipli.com/ lournal/item/29/mengajarkan_menulis _pada _anal Arsyad, Azhar. 1995. Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grasindo Persada Ayu. 2010. Pembelajaran Probing Prompting. (Online), (http://ayuface.wordpress.com/ 2010/12/25/pembelajaran-probingprompting/, diakses tanggal 10 Maret 2011). Farris, J. 1993. Language Art’s A Proccess Aproach. Madison: Brown & Benemark Publisher.. 194 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Flores,dkk.1983. Handbook for Exention Work. College Laguna, Philippines: Soutteast As ian Regional Center for Graduat Stufy and Research in Agriculture Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian Surakarta: Sebelas Maret University Press. Morgan, B.et al.1976. Methods in Adult Education. Danville, Illinois: The Interste P & Publisher, Inc.rinters. Rusyan, A.T.1993. Proses Bealajar Mengajar yang Efektif Tingkat Pendidikan Dasar. Bandung: Bina Budhaya. Suparno dan Yunus, M. 2007. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: Universitas Terbuka. Suparno dkk. 2006. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: Universitas Terbuka. Santoso dkk., 2004. Materi dan Pmbelajaran Bahasa Indonesia SD. Jakarta: Universitas Terbuka. Semi, Atar. 2007. Dasar-dasar Keterampilan Menulis. Bandung: PT Angkasa. Tarigan, Henry Guntur. 2008. Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Tomkins, G.E. 1991. Language Art’s Contens and Teaching Strategies. New York: Macmilan College Publishing Company. PENTINGNYA BAHASA SANTUN UNTUK MENINGKATKAN ETIKA BAHASA TULIS Oleh: Hendry Budiman UNIVERSITAS MADURA Absrak: Bahasa merupakan suatu sistem simbol yang bebas yang dipergunakan oleh anggota masyarakat untuk berinteraksi. Perilaku berbahasa yang dilakukan masyarakat dipengaruhi oleh adanya kebudayaan pada masyarakat itu sendiri yang dalam arti luas mencakup sifat dan sikap yang dimiliki oleh penutur. Bahasa santun tidak terlepas dari budaya masyarakat pengguna bahasa itu sendiri. Artinya, penggunaan bahasa yang santun dipengaruhi oleh budaya masyarakat penutur. Etika berbahasa menjadi penting dalam interaksi komunikasi. Karena etika berbahasa ini berkaitan dengan norma-norma sosial, pemilihan kode bahasa. Dari norma-norma sosial dan pemilihan kode bahasa inilah akan terbentuk sistem budaya yang berlaku dalam suatu masyarakat. Ragam bahasa tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya. Dalam ragam tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan) di samping aspek tata bahasa dan kosa kata.Bahasa santun dalam etika bahasa tulis menjadi bagian penting bagi seorang penulis. Hal ini disebabkan oleh isi dari tulisan yang bisa memiliki dampak hasil tulisan terhadap pembaca. Bahasa santun pada etika bahasa tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dan huruf sebagai unsur dasarnya yang sesuai dengan etika berbahasa yang dalam hal ini adalah bahasa tulis. Beberapa hal yang perlu diperhatikan padapenggunaan bahasa santun untuk meningkatkan etika bahasa tulis: (1) kaidah tata tulis, yakni ejaan; (2) kaidah tata bahasa, morfologi dan sintaksis; (3) penguasaan kosakata. Berdasarkan unsur fisik dan psikologis, keberadaan kesantunan bahasa tulis perlu memperhatikan: (1) Jenis huruf; (2) Ukuran huruf: (3) Warna tulisan. Kata kunci: Bahasa santun, Bahasa tulis,Etika Bahasa A. PENDAHULUAN Menulis berarti menyampaikan pikiran, perasaan, atau pertimbangan melalui tulisan. Menurut Akhadiah dkk (1998:3) menulis adalah suatu aktivitas bahasa yang menggunakan tulisan sebagai mediumnya. Tulisan itu sendiri atas rangkaian huruf yang bermakna dengan segala kelengkapan lambang tulisan seperti ejaan dan pungtuasi. Sebagai salah satu bentuk komunikasi verbal (bahasa), menulis juga dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan penyampaian pesan dengan menggunakan tulisan sebagai mediumnya. Pesan adalah isi atau muatan yang terkandung dalam suatu tulisan. Kegiatan menulis merupakan keterampilan mekanis yang dapat dipahami dan dipelajari. Menulis sebagai suatu proses terdiri atas beberapa tahapan. Tompkins (1994) dan Ellis dkk. (1989) menguraikan lima tahapan menulis, yaitu pra-menulis, pengedrafan, perbaikan, penyuntingan, dan publikasi. Pada pramenulis, penulis diberi kesempatan menentukan apa yang akan ditulis, tujuan menulis, dan kerangka tulisan. Setelah penulis menentukan apa yang akan ditulis dan sistematika tulisan, penulis mengumpulkan bahan-bahan tulisan dengan menggunakan buku-buku dan sumber lainnya untuk memudahkan dalam penulisan. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 195 Dampak utama yang diharapkan penulis adalah hasil tulisannya dapat diterima dan dipahami oleh pembaca, namun kaitannya dengan bahasa santun untuk meningkatkan etika bahasa tulis adalah dapat memberikan dampak psikologis bagi pembaca terhadap penulis. Dampak yang dimaksud berupa kesan yang menyenangkan atau yang bisa membenci penulis oleh pembaca. Adanya dampak dari tulisan inilah, menulis akan menjadi lebih menarik apabila dampaknya menyenangkan dan akan menjadi tidak menarik jika berakibat tidak menyenangkan bagi penulis. Untuk mengkaji dampak yang dimaksud dapat memanfaatkan kajian ilmu psikolinguistik dan linguistik itu sendiri. Memahami bahasa santun tentu menjadi penting dalam meningkatkan etika bahasa tulis bagi penulis. Fungsi bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi dalam kehidupan bersosial mengharuskan penulis memahami pula norma-norma yang berlaku dalam budaya masyarakat sebagai upaya pendekatan kepada pembaca. Secara umum tentu penulis berharap supaya tulisannya bisa diterima dengan baik oleh para pembaca, terlepas dari akibat yang muncul dari isi tulisan. Oleh karena itu, menjadi penting bagi penulis untuk memperhatikan bahasa santun dalam meningkatkanetika bahasa tulis. B. KEBUDAYAAN DAN BAHASA SANTUN Bahasa merupakan suatu sistem simbol yang bebas yang dipergunakan oleh anggota masyarakat untuk berinteraksi. Dalam fungsinya sebagai alat berinteraksi, bahasa merupakan alat yang paling baik melebihi alat penghubung lain, tanpa bantuan bahasa, hubungan antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya akan menjadi sulit. Namun bahasa bukan pula satusatunya alat penghubung, sebab masih ada alat penghubung lain selain bahasa. Berbicara bahasa tidak terlepas dari apa yang disebut kebudayaan. Menurut Taylor (dalam Aslinda dan Leni, 2010:93) kebudayaan adalah 196 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka suatu keseluruhan rumit yang mencakup bidangbidang pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat istiadat, serta kebiasaan dan kemampuan lain yang diperoleh oleh seseorang sebagai anggota masyarakat. Nababan (dalam Chaer dan Leonie, 2010:163) mengungkapkan pengelompokan definisi-definisi kebudayaan yang menjelaskan bahwa kebudayaan itu meliputi segala aspek dan unsur kehidupan manusia. Pengelompokan definisi kebudayaan yang dimaksud mencakup empat golongan, yaitu: (1) definisi yang melihat kebudayaan sebagai pengatur dan pengikat masyarakat; (2) definisi yang melihat kebudayaan sebagai hal-hal yang diperoleh manusia melalui belajar atau pendidikan (nurture); (3) definisi yang melihat kebudayaan sebagai kebiasaan dan perilaku manusia; dan (4) definisi yang melihat kebudayaan sebagai sistem komunikasi yang dipakai masyarakat untuk memeroleh kerja sama, kesatuan, dan kelangsungan hidup masyarakat manusia. Koentjaraningrat mengungkapkan bahwa kebudayaan hanya dimiliki oleh manusia dan tumbuh bersama dengan berkembangnya masyarakat manusia. Koentjaraningrat menggunakan sesuatu yang disebut “kerangka kebudayaan” yang dimiliki dua aspek, yakni: 1) wujud kebudayaan dan 2) isi kebudayaan. Dalam hal ini, wujud kebudayaan dapat dijelaskan adanya: a) wujud gagasan yaitu sistem budaya yang bersifat abstrak; b) perilaku yaitu sistem sosial yang bersifat konkret; dan c) fisik atau benda yaitu kebudayaan fisik bersifat konkret. Bahkan lebih rinci dijelaskan bahwa isi kebudayaan terdiri dari tujuh unsur yang terdapat dalam setiap masyarakat kebudayaan manusia yang ada di dunia atau yang disebut bersifat universal. Ketujuh unsur yang dimaksud adalah: 1) bahasa, 2) sistem teknologi, 3) sistem mata pencarian hidup atau ekonomi, 4) organisasi sosial, 5) sistem pengetahuan, 6) sistem religi, dan 7) kesenian. Mengacu dari apa yang dijelaskan oleh Koentjaraningrat, jelas bahwa bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Dengan kata lain bahwa bahasa menjadi salah satu bagian yang membentuk sebuah kebudayaan dalam suatu masyarakat. Perilaku berbahasa yang dilakukan masyarakat dipengaruhi oleh adanya kebudayaan pada masyarakat itu sendiri yang dalam arti luas mencakup sifat dan sikap yang dimiliki oleh penutur. Setiap masyarakat bahasa pasti memiliki kebudayaan masing-masing. Hal ini tidak terlepas dari kebiasaan yang dilakukan masyarakat dalam berinteraksi. Dalam menjalin hubungan dengan sosialnya, masyarakat membutuhkan bahasa untuk berkomunikasi. Bahasa santun tidak terlepas dari budaya masyarakat pengguna bahasa itu sendiri. Artinya, penggunaan bahasa yang santun dipengaruhi oleh budaya masyarakat penutur. Interaksi berbahasa yang dilakukan bisa dijadikan gambaran terhadap budaya masyarakat penutur. Menurut Chaer dan Agustina (dalam Aslinda dan Leni, 2010:92) ada pelbagai teori mengenai hubungan bahasa dengan kebudayaan. Ada yang mengatakan, bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Namun, ada pula yang mengatakan, bahwa bahasa dan kebudayaan merupakandua hal yang berbeda, tetapi mempunyai hubungan yang sangat erat sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada pula yang berpendapat, bahwa bahasa sangat dipengaruhi oleh kebudayaan sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang mengatakan, bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan, cara berpikir manusia, dan masyarakat penuturnya. Menggunakan bahasa santun perlu memperhatikan dan mengikuti etika berbahasa sesuai budaya yang berlaku saat berlangsungnya interaksi komunikasi. Hal ini berkaitan dengan fungsi sistem bahasa sebagai sarana berlangsungnya suatu interaksi manusia dalam masyarakat. Segala tindak laku berbahasa harus disertai norma yang berlaku di dalam budaya itu. Etika berbahasa menjadi penting dalam interaksi komunikasi. Karena etika berbahasa ini berkaitan dengan norma-norma sosial, pemilihan kode bahasa. Dari norma-norma sosial dan pemilihan kode bahasa inilah akan terbentuk sistem budaya yang berlaku dalam suatu masyarakat. Menurut Chaer (2010:7) etika berbahasa mengatur kita dalam beberapa hal: (a) apa yang harus dikatakan kepada seorang lawan tutur pada waktu dan keadaan tertentu berkenaan dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat itu; (b) ragam bahasa yang paling wajar digunakan dalam waktu dan budaya tertentu; (c) kapan dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita dalam menyela atau menginterupsi pembicaraan orang lain; (d) kapan kita harus diam, mendengar tuturan orang; (e) bagaimana kualitas suara dan sikap fisik kita dalam berbicara. Seseorang baru dapat disebut pandai berbahasa apabila sudah menguasai tata cara atau etika berbahasa itu. Membahas tentang etika berbahasa tidak terlepas dari apa yang disebut dengan psikolinguistik. Psikolinguistik menurut Lado (dalam Tarigan, 2009:3) adalah pendekatan gabungan antara psikologi dan linguistik bagi telaah atau studi bahasa, bahasa dalam pemakaian, perubahan bahasa, dan hal-hal yang ada kaitannya dengan itu, yang tidak mudah dicapai atau didekati dengan salah satu dari kedua ilmu tersebut secara terpisah atau sendiri-sendiri. Kaitan psikolinguistik dengan etika berbahasa adalah dari aspek pemanfaatan bahasa itu sendiri yang tidak terlepas dari norma-norma yang berlaku dalam budaya masyarakat bahasa. Hal ini untuk menghindari apa yang disebut “salah paham” dalam penggunaan bahasa. Pengguna bahasa harus bisa memilih bahasa yang tepat sesuai dengan etika berbahasa dalam budaya masyarakat pengguna bahasa itu sendiri. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa santun merupakan bahasa yang sesuai dengan etika berbahasa dengan memperhatikan aspek psikolinguistik Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 197 bahasa. Bahasa santun akan terwujud apabila memperhatikan etika berbahasa dan sesuai dengan norma-norma sosial dengan memperhatikan pemilihan kode bahasa yang tepat pula. C. BAHASA TULIS Tidak dapat dipungkiri, bahwa semua bahasa mempunyai ragam tulis dan ragam lisan. Sebagian orang ada yang berpendapat bahwa ragam tulis adalah pengalihan ragam lisan kedalam ragam tulis (huruf). Tentu pendapat ini tidak dapat dibenarkan sepenuhnya sebab tidak semua ragam lisan dapat dituliskan. Sebaliknya, tidak semua ragam tulis dapat pula dilisankan. Bahasa lisan akan lebih mudah untuk di ungkapkan dibandingkan dengan bahasa tulis. Sedangkan kaidah atau aturan yang berlaku bagi ragam lisan belum tentu berlaku bagi ragam tulis.(Arifin, 2008:18) Terkadang bahasa tulis lebih sulit dibandingkan dengan bahasa lisan, karena bahasa tulis harus menggunakan simbol atau kode – kode tertentu. Bahkan terkadang seseorang merasa sulit dalam mengawali tentang apa yang akan ditulis. Sebaliknya, bahasa tulis dan bahasa lisan terkadang ada seseorang yang hanya mampu menggunakan bahasa tulis saja. Hal ini biasanya terjadi pada orang yang memiliki keterbatasan alat ucapnya atau gangguan psikologis, sehingga akan merasa nyaman bila mengungkapkan dengan tulisan. Namun ada pula seseorang yang mampu menggunakan bahasa kedua-duanya (tulis dan lisan). Dalam pembahasan kali ini akan lebih fokus pada ragam bahasa tulis. Ragam bahasa tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya. Dalam ragam tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan) di samping aspek tata bahasa dan kosa kata. Dengan kata lain dalam ragam bahasa tulis, kita dituntut adanya kelengkapan unsur tata bahasa seperti bentuk kata ataupun susunan kalimat, ketepatan pilihan kata, kebenaran penggunaan 198 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka ejaan, dan penggunaan tanda baca dalam mengungkapkan ide (http://intl.feedfury.com/content/ 15241462-ragam-bahasa.html). Ragam bahasa tulis tidak terkait ruang dan waktu sehingga diperlukan kelengkapan struktur sampai pada sasaran secara visual atau bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya. Penulis berurusan dengan tata cara penulisan dan kosakata. Sehingga penulis harus menguasai kaidah tata tulis, yakni ejaan, dan kaidah tata bahasa, morfologi dan sintaksis. Selain itu, penguasaan kosakata yang banyak diperlukan pula. Penggunaan ragam bahasa tulis, makna kalimat yang diungkapkannya tidak ditunjang oleh situasi pemakaian, Oleh karena itu, dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis diperlukan kecermatan dan ketepatan di dalam pemilihan kata, penerapan kaidah ejaan, struktur bentuk kata dan struktur kalimat, serta kelengkapan unsur-unsur bahasa di dalam struktur kalimat. Contoh dari ragam bahasa tulis adalah surat, karya ilmiah, surat kabar, dll. Dalam ragam bahasa tulis perlu memperhatikan ejaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Terutama dalam pembuatan karya-karya ilmiah. Ciri Ragam Bahasa Tulis: 1. Tidak memerlukan kehadiran orang lain. 2. Tidak terikat ruang dan waktu 3. Kosa kata yang digunakan dipilih secara cermat 4. Pembentukan kata dilakukan secara sempurna, 5. Kalimat dibentuk dengan struktur yang lengkap 6. Paragraf dikembangkan secara lengkap dan padu. 7. Berlangsung lambat 8. Memerlukan alat bantu Contoh bahasa tulis: - Ariani mengatakan bahwa kita harus belajar. - Saya sudah membaca buku itu. - Rasanya masih terlalu muda bagi saya, Pak. Ragam bahasa tulis memiliki kelemahan dan kelebihan. Adapun kelebihan dari ragam bahasa tulis diantaranya: 1. Penulis bisa memilih gagasan, pikiran, ataupun pesan yang menarik atau menyenangkan untuk pembaca, 2. Dapat dijadikan sebagai sarana memperkaya kosakata. 4. Dapat digunakan untuk menyampaikan gagasan, pikiran, ataupun pesan. 5. Adanya penggunaan tanda baca dalam mengungkapkan ide 6. Tidak terkait dengan kondisi dan waktu seperti ragam bahasa lisan. 7. Menghindari gesekan langsung antara penulis dengan pembaca. Sedangkan kelemahan dari ragam bahasa tulis siantaranya sebagai berikut: 1. Penulisan harus disusun sempurna, karena tidak ada alat atau sarana yang memperjelas pengertian seperti bahasa lisan. 2. Dapat terjadi salah pengertian karena keterbatasan penjelasan 3. Apabila harus mengikuti kaidah-kaidah bahasa yang cenderung miskin daya pikat dan nilai jual, sehingga tidak mampu menyajikan informasi yang lugas, dan jujur. 4. Perlu pemahaman atau kesepakatan pemikiran yang samadengan pembaca. 5. Butuh ketelitian yang lebih karena yang tidak ada dalam bahasa tulisan tidak dapat diperjelas. 6. Tidak dapat bertemu secara langsung antara penulis dengan pembaca. D. PENTINGNYA BAHASA SANTUN DALAM ETIKA BAHASA TULIS. Kesantunan bahasa tulis menjadi bagian penting bagi seorang penulis. Hal ini disebabkan oleh isi dari tulisan yang bisa memiliki akibat hasil tulisan terhadap pembaca. Akibat yang dimaksud tentu bisa berdampak positif maupun negatif.Karena dari hasil membaca tulisan, penulis bisa mempengaruhi pembaca. Sejenak mengingat kembali tentang bahasa santun yaitu bahasa yang sesuai dengan etika berbahasa. Etika berbahasa akan terwujud apabila sesuai dengan norma-norma sosial dan memperhatikan pemilihan kode bahasa yang tepat pula. Sedangkan bahasa tulis merupakan bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya. Hal ini melibatkan tata cara penulisan (ejaan) di samping aspek tata bahasa dan kosa kata. Dengan kata lain dalam ragam bahasa tulis, kita dituntut adanya kelengkapan unsur tata bahasa seperti bentuk kata ataupun susunan kalimat, ketepatan pilihan kata, kebenaran penggunaan ejaan, dan penggunaan tanda baca dalam mengungkapkan ide. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahasa santun padayang sesuai dengan etika bahasa tulis adalah penggunaan bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dan huruf sebagai unsur dasarnyayang sesuai denganetika bahasa tulis. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam etika bahasa tulis: 1. kaidah tata tulis, yakni ejaan, 2. kaidah tata bahasa, morfologi dan sintaksis, 3. penguasaan kosakata yang banyak diperlukan pula. Apabila dilihat dari unsur fisik dan psikologis, keberadaan etika bahasa tulis perlu memperhatikan: 1. Jenis huruf 2. Ukuran huruf 3. Warna tulisan Tentu ada perbedaan antara etika bahasa tulis dengan kesantunan berbahasa. Adapun perbedaan antara kesantunan bahasa tulis dengan kesantunan berbahasa: Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 199 ETIKA BAHASA TULIS - Perlu memperhatikan struktur kalimat - Tidak memerlukan ekspresi/ mimik wajah KESANTUNAN BERBAHASA - Tidak perlu struktur kalimat - Menjaga ekspresi/ mimik wajah - Menjaga sikap/ perilaku - Menjaga intonasi suara - Tidak perlu menjaga sikap/ perilaku - Menjaga karakter suara - Intonasi dengan tanda baca - Peristiwa tutur - Tidak memerlukan karakter suara - Tidak perlu bentuk, ukuran, - Tidak mengenal peristiwa tutur warna huruf - Perlu bentuk, ukuran, warna huruf Sedangkan persamaan antara etika bahasa tulis dengan kesantunan berbahasa adalah sama-sama perlu memperhatikan: 1. penggunaan kode bahasa, 2. jenis pilihan kata yang tepat, 3. kesepahaman pemikiran, 4. etika bahasa. Bahasa santun menjadi penting penggunaannya dalam etika bahasa tulis. hal ini dapat dilihat dari manfaatnya: 1. mengurangi salah paham antara pembaca dengan penulis. 2. mempermudah pembaca dalam memahami isi bacaan 3. menimbulkan rasa senang pembaca terhadap penulis 4. menimbulkan sikap positif terhadap hasil tulisan (buku) Dengan demikian, penggunaan bahasa santun akan menjadi penting penggunaannya dalam meningkatkan etika bahasa tulis. Karena dapat memberikan manfaat baik bagi penulis maupun bagi pembaca. E. PENUTUP Bahasa santun pada etika bahasa tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dan huruf sebagai unsur dasarnya yang sesuai dengan etika berbahasa. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam etika bahasa tulis: (1) kaidah tata tulis, yakni 200 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka ejaan; (2) kaidah tata bahasa, morfologi dan sintaksis; (3) penguasaan kosakata. Berdasarkan unsur fisik dan psikologis, keberadaan etika bahasa tulis perlu memperhatikan: (1) Jenis huruf; (2) Ukuran huruf: (3) Warna tulisan. Dengan adanya bahasa santun dalam etika bahasa tulis ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif kepada para penulis untuk menghasilkan karya tulis terbaiknya. Kontribusi yang dimaksud adalah penulis diharapkan bukan hanya mementingkan tujuannya dalam menulis, namun juga penulis dapat berupaya memahami kondisi secara fisik maupun psikologis dari calon pembacanya. Disisi lain, bahasa santun dalam etika bahasa tulis dapat menambah wawasan bagi para pembaca untuk menghadirkan pemahaman terhadap karya tulis dengan memunculkan kesepemahaman pikiran antara pembaca dengan penulis. Selain itu, diharapkan dapat mempermudah pembaca dalam memahami karya tulis. DAFTAR RUJUKAN Akhadiah, S., Maidar, G.A., dan Sakura, H.R. 1989. Pembinaan Kemampuan Menu-lis Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Arifin, Zaenal E dkk. 2008. “Cermat barbahasa Indonesia”untuk perguruan tinggi. Jakarta: AKAPRES edisi revisi. Aslinda dan Leni Syafyahya. 2010. Sintaksis Bahasa Indonesia.Bandung: PT Refika Aditama. Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan berbahasa. Jakarta: PT Asdi Mahasatya. Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta. Tarigan, Henry Guntur. 2009. Psikolinguistik. Bandung: CV Angkasa. http://intl.feedfury.com/content/15241462ragam-bahasa.html ANALISIS KRITIS PENTINGNYA MENGETAHUI GAYA BELAJAR SISWA SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PEMBELAJARAN MENULIS Abstrak Oleh: Elly Yunariyati, M.Pd Ceramah menjadi metode mengajar yang paling favorit. Itu berarti, mengajar lebih disikapi sebagai pekerjaan rutin yang tidak pernah ada inovasi. Setiap gaya dalam aktivitas mencerminkan gaya belajar seseorang, oleh karena itu, kita selaku pendidik, harus bisa memahami atau menganalisis tingkah laku siswa dalam kesehariannya untuk dapat merumuskan gaya belajar apa yang cocok dengan mereka. Gaya belajar siswa atau studentlearning style dapat diartikan sebagai karakteristik kognitif, afektif, dan perilaku psikologis seorang siswa tentang bagaimana dia memahami sesuatu, berinteraksi dan merespons lingkungan belajarnya, yang bersifat unik dan relatif stabil atau lebih singkatnya SLS adalah suatu karakteristik yang mengacu pada cara mereka mendapatknan dan memproses atau mengolah informasi. Cara menganalisis gaya belajar bisa dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu ditentukan dengan pertimbangan genetic atau biologis, dominasi otak kanan/ kiri, modalitas indrawi, kebutuhan fisik, lingkungan, pengelompokan sosial, dan sikap. Salah satu bidang garapan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah yang memegang peranan penting ialah pengajaran menulis. Tanpa memiliki kemampuan menulis yang memadai sejak dini, anak akan mengalami kesulitan belajar dikemudian hari. Menulis merupakan salah satu dari keterampilan berbahasa yang harus dikuasai dengan baik oleh siswa. Gaya belajar sangat penting terhadap perkembangan pendidikan, gaya belajar dapat berperan sebagai dongkrak untuk meningkatkan kemampuan pembelajaran menulis karena gaya belajar mempengaruhi keefektifan belajar dan pembelajaran.. Dengan gaya belajar yang tepat maka kemampuan siswa dalam menerima dan mengolah informasi akan menjadi lebih baik yang akan berdampak meningkanya kemampuan menulis. Key Word: pembelajaran, gaya belajar, menulis A. LATAR BELAKANG Mengajar adalah seni (Teaching is art), pemahaman yang telah mengakar berpuluh tahun itu, pada dasarnya menyimpan makna yang dalam. Seni dalam menata kawasan dan runtutnya kompetensi, seni dalam mendiskripsikan tujuan yang hendak dicapai, seni dalam memilih dan menerapkan pendekatan, strategi, model,metode, dan tehnik pembelajaran, seni dalam mendesaian dan memanfaatkan media, seni dalam memilih dan memanfaatkan sumber belajar, dan seni dalam mengevaluasi. Seni dalam mengelola berbagaia komponen system pembelajaran tersebut tidak bisa dimiliki seseorang tanpa menggali secara konseptual untuk dapat menggunakannya secara proporsional. Perlu usaha terus menerus untuk memahaminya. Dalam praktik keseharian, kebanyakan Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 201 para pengabdi di arena pengajaran lebih memahami pekerjaan mengajar sebagai pekerjaan yang didasarkan pada kesesuaian minat masingmasing pengajar, tanpa peduli bahwa mengajar pada dasarnya membelajarkan siswa. Akibatnya, pilihan yang paling sesuai adalah yang cocok dan tidak merepotkan para pengajar itu sendiri.Ceramah menjadi metode yang paling favorit. Itu berarti, mengajar lebih disikapi sebagai pekerjaan rutin yang tidak pernah ada inovasi. Selama ini, pernahkah anda mengamati tingkah laku siswa? Mereka yang mengetukngetuk meja dengan pulpennya saat kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung, mereka yang diam terpaku pada papan tulis, atau mereka yang sering kali izin ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya? Setiap individu terlahir berbeda dengan individu yang lain, sekalipun dengan kembarannya sendiri. Sekalipun terdapat kesamaan dan terbentuk suatu kelompok hobi atau yang lainnya, pastilah terdapat celah perbedaan diantara mereka. Ya, kita semua beragam, kita semua memiliki gaya yang khas masing-masing, termasuk siswa-siswa kita. Dan taukah anda bahwa setiap gaya dalam aktivitas mencerminkan gaya belajar seseorang? Oleh karena itu, kita selaku pendidik, harus bisa memahami atau menganalisis tingkah laku siswa dalam kesehariannya untuk dapat merumuskan gaya belajar apa yang cocok dengan mereka. Salah satu bidang garapan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah yang memegang peranan penting ialah pengajaran menulis. Tanpa memiliki kemampuan menulis yang memadai sejak dini, anak akan mengalami kesulitan belajar dikemudian hari (depdikbud, 1993:1). Hal ini dikarenakan menulis merupakan suatu kompunen berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain. Menulis merupakan salah satu dari keterampilan berbahasa yang harus dikuasai dengan baik oleh siswa. 202 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Saking berpengaruhnya gaya belajar terhadap perkembangan pendidikan, gaya belajar dikaitkan sebagai dongkrak kemampuan menulis karangan siswa. Kenapa bisa dikatakan seperti itu? Karena gaya belajar mempengaruhi ke-efektif-an belajar dan pembelajaran. Ketika seseorang dengan gaya belajar A dipaksakan mengikuti gaya belajar yang berbeda dengan gaya belajar yang dimilikinya, siswa merasa tertekan, dan menyebabkan kekurangnyamanan dalam pembelajaran. Itu berimplikasi pada kegiatan belajar mengajar yang tidak sempurna. Penyerapan materi yang harusnya bisa mencapai progresss8 86% bisa jadi hanya 30-40%. Oleh karena itu, sebagai guru yang ingin memajukan/meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia yang menggunakan pendidikan formal ‘kaku’, kita wajib mempelajari sekaligus mencari hal yang bisa merelasikan gaya belajar siswa, agar guru lebih mendalami berbagai model, metode, dan tehnik yang nantinya dapat diterapkan di kelas masing-masing yang pada gilirannya pembelajaran yang dikelolanya lebih menarik dan menyenangkan siswa. Upaya mencapai tujuan pembelajaran menulis dilakukan dengan menggunakan metodemetode mengajar yang sesuai dengan materi pelajaran bahasa. Dengan demikian, melalui sebuah kajian teoritis ini, penulis mengangap begitu pentingnya sebagai tenaga pendidik untuk mengetahui apa saja gaya belajar siswa sekaligus kaitannya dengan upaya peningkatan pembelajaran menulis. B. TEORI ANALISIS GAYA BELAJAR Gaya Belajar siswa atau studentlearning style dapat diartikan sebagai karakteristik kognitif, afektif, dan perilaku psikologis seorang siswa tentang bagaimana dia memahami sesuatu, berinteraksi dan merespons lingkungan belajarnya, yang bersifat unik dan relatif stabil atau lebih singkatnya suatu karakteristik yang mengacu pada cara mereka mendapatknan dan memproses atau mengolah informasi. Pembuktian akan gaya yang berbeda dapat kita ketahui dari beberapa kasus, tentang kecenderungan sifat berikut. Contohnya murid yang suka dengan hal fakta, data, atau teka-teki, dengan siswa yang cenderung belajar aktif dan interaktif, dan lain-lain. Cara menganalisis gaya belajar bisa dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu ditentukan dengan pertimbangan genetic atau biologis, dominasi otak kanan/ kiri, modalitas indrawi, kebutuhan fisik, lingkungan, pengelompokan sosial, dan sikap. Seperti yang dilakukan LSAlearning style analysis (analisis gaya belajar). Dominasi otak kanan/ kiri, menunjukkan strategi pemrosesan otak secara berurutan, atau simultan gaya berfikir yang reflektif (merenung) atau impulsive dan kereluruhan gaya belajar analitis atau holistis. (Prashing Barbara, 2004:97). Modal indrawi, melibatkan auditori (mendengar berbicara, dialog ‘batin’), visual (membaca, melihat, membuat visualisasi), taktil (memanipulasi, memegang), dan prefensi-prefensi kinestatik (melakukan merasakan) (Prashing Barbara, 2004:97). Kebutuhan Fisik, mengidentifikasi kebutuhan akan mobilitas (prefensi untuk bergerak atau diam ditempat), asupan makanan (makan, menggigit, mengunyah, merokok), dan prefensi pada waktu-waktu tertentu (bioritme pribadi). (Prashing Barbara, 2004:97) Lingkungan, memperlihatkan prefensi pada suara (memerlukan music/suara atau menginginkan suasana sunyi), cahaya (memerlukan pencahayaan yang terang atau redup), suhu (memerlukan lingkungan yang sejuk atau hangat), dan wilayah kerja (menginginkan penataan formal atau tidak formal dan penataan perabotan yang nyaman). (Prashing Barbara, 2004:99) Pengelompokkan sosial, melibatkan prefensi untuk bekerja sendiri, berpasangan, dengan teman sebaya, atau dalam sebuah tim, dan otoritas (menginginkan belajar dengan guru dan atau orang tua atau tanpa mereka). (Prashing Barbara, 2004:99) Sikap, memperlihatkan motivasi (termotivasi secara internal atau eksternal untuk kegiatan belajar), ketekunan (tinggi, naik-turun/ berfluktusi atau rendah), penyesuaian (menyesuaikan atau tidak menyesuaikan/ pemberontak), struktur (mengarahkan diri sendiri atau memerlukan arahan, bimbingan dari orang lain), variasi (membutuhkan rutinitas/ konsistensi atau berorientasi perubahan/ membutuhkan variasi). (Prashing Barbara, 2004:979) Gaya-gaya Belajar menurut para ahli: • (MODALITAS) Bandler-Grinder (NLP) memilah gaya belajar menjadi 3, yakni, Visual, Auditori, dan Kinestetik (Haptik). Thomas memberikan penjelasan untuk setiap gaya belajar. Untuk mereka yang menganut gaya belajar visual, mereka sangat peka dengan apa yang mereka lihat. Mereka bisa melihat suatu hal yang unik dari gambar, video, film atau apapun aplikasi yang dilihatnya lewat bola matanya. Jadi, bagi pengajar, disarankan ketika kegiatan KBM membuat suatu perantara, misalnya dengan menggunakan LCD, atau membagikan peta konsep yang menarik bagi penganut gaya belajar ini. Bagi mereka yang tergolong penganut gaya belajar auditori, mereka tertarik dengan stimulasi yang memancing pendengaran mereka. misalnya mereka bisa cepat menangkap materi yang diberikan ketika mendengarkan musik. Supaya dapat merengsang otak, musik yang digunakan tidak boleh sembarang music, tempo yang baik untuk merangsang otak adalah tempo dengan 4060 ketukan/ menit untuk tempo cepat, dan 60-80 ketukan permenit atau 80-120 ketukan permenit untuk membangkitkan semangat. Gaya belajar kinestetik/ haptik merupakan gaya belajar yang dianut seorang siswa yang suka bergerak. Ciricirinya adalah, siswa ini dapat menangkap pelajaran yang diberikan apabila Ia menyentuh benda. Contoh, orang ini menggerak-gerakkan pensil saat kegiatan belajar Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 203 mengajar, mengetuk-ketuk meja, sulit berdiam diri, Suka menggunakan objek yang nyata sebagai alat bantu belajar. Untuk memberikan pengetahuan supaya bisa diserap dengan baik, hendaknya pendidik membuat sesuatu yang memberikan informasi tertentu agar ia bisa mengingatnya. • 204 (SPEKTRUM) David Kolb, salah seorang ahli pendidikan dari Amerika Serikat, mengklasifikasi gaya belajar ke dalam 4 kecenderungan pertama yaitu, Concrete Experience (CE), Abstract Conceptualization (AC), Reflective Observation (RO), Active Experimentation (AE). Concrete experience, merupakan Siswa yang belajar melalui perasaan (feeling), dengan menekankan segi-segi pengalaman kongkret, lebih mementingkan relasi dengan sesama dan sensitivitas terhadap perasaan orang lain. Siswa melibatkan diri sepenuhnya melalui pengalaman baru, dan siswa cenderung lebih terbuka dan mampu beradaptasi terhadap perubahan yang dihadapinya. Abstract Conceptualization, merupakan Siswa yang belajar melalui pemikiran (thinking) dan lebih terfokus pada analisis logis dari ide-ide, perencanaan sistematis, dan pemahaman intelektual dari situasi atau perkara yang dihadapi. Siswa menciptakan konsep-konsep yang mengintegrasikan observasinya menjadi teori yang sehat, dengan mengandalkan pada perencanaan yang sistematis. Reflective Observation, merupakan Siswa yang belajar melalui pengamatan (watching), penekanannya mengamati sebelum menilai, menyimak suatu perkara dari berbagai perspektif, dan selalu menyimak makna dari hal-hal yang diamati. Siswa akan menggunakan pikiran dan perasaannya untuk membentuk opini/pendapat, siswa mengobservasi dan merefleksi pengalamannya dari berbagai segi. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Active Experimentation, merupakan Siswa yang belajar melalui tindakan (doing), cenderung kuat dalam segi kemampuan melaksanakan tugas, berani mengambil resiko, dan mempengaruhi orang lain lewat perbuatannya. Siswa akan menghargai keberhasilannya dalam menyelesaikan pekerjaan, pengaruhnya pada orang lain, dan prestasinya. Siswa menggunakan teori untuk memecahkan masalah dan mengambil keputusan . Dari keempat kecenderungan diatas terlahirlah beberapa tipe belajar. Yakni, Diverger, Assimilator, Converger, Accomodator. Tipe Diverger, merupakan perpaduan antara Concrete Experience (CE) dan Reflective Observation (RO), atau dengan kata lain kombinasi dari perasaan (feeling) dan pengamatan (watching). Siswa dengan tipe Diverger memiliki keunggulan dalam kemampuan imajinasi dan melihat situasi kongkret dari banyak sudut pandang yang berbeda, kemudian menghubungkannya menjadi sesuatu yang bulat dan utuh. Pendekatannya pada setiap situasi adalah “mengamati” dan bukan “bertindak”. Tipe Assimilator, Tipe kedua ini merupakan perpaduan dari Abstract Conceptualization (AC) dan Reflective Observation (RO) atau dengan kata lain kombinasi dari pemikiran (thinking) dan pengamatan (watching). Siswa dengan tipe Assimilator memiliki keunggulan dalam memahami dan merespons berbagai sajian informasi serta mengorganisasikan merangkumkannya dalam suatu format yang logis, singkat, dan jelas. Biasanya siswa tipe ini cenderung lebih teoritis, lebih menyukai bekerja dengan ide serta konsep yang abstrak, daripada bekerja dengan orang. Tipe Converger, Tipe ini merupakan perpaduan dari Abstract Conceptualization (AC) dan Reflective Observation (RO) atau dengan kata lain kombinasi dari berfikir (thinking) dan berbuat (doing). Siswa mampu merespons terhadap berbagai peluang dan mampu bekerja secara aktif dalam setiap tugas yang terdefinisikan secara baik.Siswa dengan tipe Converger unggul dalam menemukan fungsi praktis dari berbagai ide dan teori. Biasanya mereka punya kemampuan yang baik dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Tipe Accomodator, Tipe ini merupakan perpaduan dariConcrete Experience (CE) dan Active Experimentation (AE) atau dengan kata lain kombinasi antara merasakan (feeling) dengan berbuat (doing). Siswa tipe ini senang mengaplikasikan materi pelajaran dalam berbagai situasi baru untuk memecahkan berbagai masalah nyata yang dihadapinya. Kelebihan siswa tipe ini memiliki kemampuan belajar yang baik dari hasil pengalaman nyata yang dilakukannya sendiri. • (GAYA TERIMA) Herman Witkin, melalui studi risetnya mengemukakan 2 macam karakteristik gaya belajar yang dimiliki seseorang, yaitu gaya belajar Global dan gaya belajar Analitik. Penganut Gaya belajar Global adalah Orang yang berpikir secara Global dan cenderung melihat segala sesuatu secara menyeluruh, dengan gambaran yang besar, namun demikian mereka dapat melihat hubungan antar satu bagian dengan bagian yang lain. Orang yang Global juga dapat melihat hal-hal yang tersirat, serta menjelaskan permasalahan dengan kata-katanya sendiri. Mereka dapat melihat adanya banyak pilihan dalam mengerjakan tugas dan dapat mengerjakan beberapa tugas sekaligus.Pikiran orang yang Global dominan tidak pernah bisa terfokus pada satu masalah, pikirannya dapat pergi ke banyak arah sepanjang waktu. Penganut Gaya Belajar Analitik, adalah Orang yang berpikir secara Analitik dalam memandang segala sesuatu cenderung lebih terperinci, spesifik, terorganisasi, dan teratur. Namun kurang bisa memahami masalah secara menyeluruh. Orang Analitik membutuhkan waktu yang cukup untuk menyelesaikan tugasnya, karena mereka tidak ingin ada satu bagian yang terlewat. Orang yang memiliki cara berpikir secara Analitik seringkali memikirkan sesuatu berdasarkan logika dan dominan dapat bekerja maksimal bila ada metode yang konsisten dan pasti dalam mengerjakan sesuatu, apalagi bila mereka bisa menciptakan sistem belajar sendiri. • Felder, membedakan gaya belajar siswa dengan mengklasifikasikannya kepada 2 jenis golongan yaitu aktif dan reflektif. Seorang pelajar aktif akan lebih memiliki greget dalam mencari informasi, mempraktekannya, atau mencari gagasan-gagasan/ inovasi baru. Siswa penganut gaya belajar aktif ini biasanya memiliki sifat yang tak pantang gagal, dan percaya diri. Untuk siswa penganut gaya belajar reflektif lebih banyak melakukan pemrosesam informasi melalui introspeksi, berfikir masak-masak sebelum mencoba melakukan (Felder, 1993) (Suparno, Prof. Dr. H, 2011:9-10). C. KONSEP MENULIS DAN PEMBELAJARAN MENULIS Pengertian Menulis Menulis arti pertamanya semula membuat huruf, angka, nama, dan sesuatu tanda kebahasaan apa pun dengan sesuatu alat tulis pada suatu halaman tertentu, Kini dalam pengertian yang luas menulis merupakan kata sepadan yang mempunyai arti sama dengan mengarang. Jadi “mengarang” adalah rangkaian kegiatan seseorang mengungkapkan gagasan dan menyampaikan melalui bahasa tulis kepada masyarak pembaca untuk dipahami.(The liang Gie. 2002: 3). Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 205 Para pakar banyak memberikan pendapat tentang kemampuan menulis. Donnn Byrne : 1988.1, mengemukakkan, Menulis bukan sesuatu yang diperoleh secara spontan, tetapi memerlukan usaha sadar “menuliskan” kalimat dan mempertimbangkan cara mengkomunikasikan dan mengatur. Menulis arti pertamanya semula membuat huruf, angka, nama, dan sesuatu tanda kebahasaan apa pun dengan sesuatu alat tulis pada suatu halaman tertentu, Kini dalam pengertian yang luas menulis merupakan kata sepadan yang mempunyai arti sama dengan mengarang. Jadi “mengarang” adalah rangkaian kegiatan seseorang mengungkapkan gagasan dan menyampaikan melalui bahasa tulis kepada masyarak pembaca untuk dipahami. (The liang Gie. 2002: 3). Menurut Jago Tarigan (1995: 117) menulis berarti mengekpreikan secara tertulis gagasan, ide, pendapat, atau pikiran dan perasaan. Sarana mewujudkan hal itu adalah bahasa. Isi ekspresi melalui bahasa itu akan dimegerti orang lain atau pembaca bila dituangkan dalam bahasa yang teratur, sistematis, sederhana, dan mudah dimengerti. Menulis adalah keterampilan menggunakan bahasa secara tertulis untuk menyampaikan informasi tentang sesuatu sehingga terjadi komunikasi secara tidak langsung. Menulis merupakan kegiatan yang produktif dan ekspresif (Taringan,1995:34). Tujuan Menulis Seorang tergerak menulis karena memiliki tujuan objektif yang bisa dipertanggungjawabkan dihadapan publik pembacanya. Karena tulisan pada dasarnya adalah sarana untuk menyampaikan pendapat atau gagasan agar dapat dipahami dan diterima orang lain. Tulisan dengan demikian menjadi salah satu sarana berkomunikasi yang cukup efektif dan efesien untuk menjangkau khalayak masa yang luas. Atas dasar pemikiran inilah, maka tujuan menulis dapat dirunut dari tujuan-tujuan ko206 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka munikasi yang cukup mendasar dalam konteks pengembangan peradapan dan kebudayaan mesyarakat itu sendiri. Adapun tujuan penulisan tersebut adalah sebagai berikut. a. Menginformasikan segala sesuatu, baik itu fakta, data maupun peristiwa termasuk pendapat dan pandangan terhadap fakta, data dan peristiwa agar khalayak pembaca memperoleh pengetahuan dan pemahaman baru tentang berbagai hal yang dapat maupun yang terjadi di muka bumi ini. b. Membujuk; melalui tulisan seorang penulis mengharapkan pula pembaca dapat menentukan sikap, apakah menyetujui atau mendukung yang dikemukakan. Penulis harus mampu membujuk dan meyakinkan pembaca dengan menggunakan gaya bahasa yang persuasif. Oleh karena itu, fungsi persuasi dari sebuah tulisan akan dapat menghasilkan apabila penulis mampu menyajikan dengan gaya bahasa yang menarik, akrab, bersahabat, dan mudah dicerna. c. Mendidik adalah salah satu tujuan dari komunikasi melalui tulisan. Melalui membaca hasil tulisan wawasan pengetahuan seseorang akan terus bertambah, kecerdasan terus diasah, yang pada akhirnya akan menentukan perilaku seseorang. Orang-orang yang berpendidikan misalnya, cenderung lebih terbuka dan penuh toleransi, lebih menghargai pendapat orang lain, dan tentu saja cenderung lebih rasional. d. Menghibur; fungsi dan tujuan menghibur dalam komunikasi, bukan monopoli media massa, radio, televisi, namun media cetak dapat pula berperan dalam menghibur khalayak pembacanya. Tulisan-tulisan atau bacaan-bacaan “ringan” yang kaya dengan anekdot, cerita dan pengalaman lucu bisa pula menjadi bacaan penglipur lara atau untuk melepaskan ketegangan setelah seharian sibuk beraktifitas. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Menulis Banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan menulis. Namun, pada prinsipnya dapat dikategorikan dalam dua faktor yakni faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal di antaranya belum tersedia fasilitas pendukung, berupa keterbatasan sarana untuk menulis. Faktor internal mencakup faktor psikologis dan faktor teknis. Yang tergolong faktor psikologis di antaranya Faktor kebiasaan atau pengalaman yang dimiliki. Semakin terbiasa menulis maka kemampuan dan kualitas tulisan akan semakin baik. Faktor lain yang tergolong faktor psikologis adalah faktor kebutuhan. Faktor kebutuhan kadang akan memaksa seseorang untuk menulis. Seseorang akan mencoba dan terus mencoba untuk menulis karena didorong oleh kebutuhannya. Faktor teknis meliputi penguasaan akan konsep dan penerapan teknik-teknik menulis. Konsep yang berkaitan dengan teori-teori menulis yang terbatas yang dimiliki seseorang turut berpengaruh. Faktor kedua dari faktor teknis yakni penerapan konsep. Kemampuan penerapan konsep dipengaruhi banyak sedikitnya bahan yang akan ditulis dan pengethuan cara menuliskan bahan yang diperolehnya. Keterampilan menulis banyak kaitannya dengan kemampuan membaca maka seseorang yang ingin memiliki kemampuan menulisnya lebih baik, dituntut untuk memiliki kemampuan membacanya lebih baik pula. Konsep Pembelajaran Menulis Dalam pembelajaran siswa hendaklah diarahkan pengembangan potensi diri sendiri. Segala masalah kebahasaan yang perlu dimainkan di sekolah haruslah juga sesuai dengan zamannya. Kata, kalimat, paragraf, bahkan tulisan harus bernuansa kekinian. Sumber bahasa yang digunakan oleh guru juga harus mengacu kepada minat dan harapan siswa. Dengan demikian siswa dapat tertarik dengan pembelajaran bahasa Indonesia. Siswa sudah semestinya dapat berpikir, berkreasi, dan berkomuikasi baik lisan maupun tulisan dengan bahasa Indonesia secara logis, langsung, dan lancar. Dengan begitu, suatu saat akan dihasilkan karya-karya besar dari orang Indonesia dengan bahasa yang mantap. Hal itu tentunya harus menjadi obsesi guru bahasa Indonesia. Guru berperan dalam menentukan pembelajaran bahasa Indonesia. Oleh karena itu, guru dituntut untuk menguasai bahasa Indonesia dan pembelajarannya sehingga menjadi mata pelajaran yang menarik bagi siswa. Kemenarikan ini akhirnya membawa siswa ke tingkat komunikasi yang lancar. Komunikasi yang didasari oleh minat yang kuat dari siswa. Guru berperan besar dalam hal itu. Peran tersebut didasari oleh kekuatan konsep dan kekuatan mengembangkan strategi pembelajaran. Dalam pembelajaran bahasa, banyak strategi pembelajaran yang tersedia. Namun, mengapa banyak guru bahasa Indonesia yang masih kesulitan dalam memvariasikan strategi pembelajaran bahasa Indonesia. Mereka banyak berkutat dengan ceramah, diskusi, dan penugasan. Padahal hal tersebut merupakan teknik pengelolaan kelas. Teknik adalah cara kongkret yang dipakai saat proses pembelajaran berlangsung. Guru dapat berganti teknik meskipun dalam koridor metode yang sama. Dengan mengacu pada gaya belajaar siswanya. Adapun strategi meliputi pendekatan, metode, dan teknik. Pendekatan adalah konsep dasar yang melingkupi metode dengan cakupan teoritis tertentu. Metode merupakan jabaran dari pendekatan. Satu pendekatan dapat dijabarkan ke dalam berbagai metode. Metode adalah prosedur pembelajaran yang dapat yang fokuskan kepada pencapaian tujuan. Dari metode, teknik pembelajaran diturunkan secara aplikasi. Satu metode dapat diaplikasikan melalui berbagai teknik pembelajaran. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 207 Metode Pembelajaran Menulis a. Metode Langsung Metode pengajaran langsung dirancang secara khusus untuk mengembangkan belajar siswa tentang pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif yang terstruktur dengan baik dan dapat dipelajari selangkah demi selangkah. Metode tersebut didasari anggapan bahwa pada umumnya pengetahuan dibagi dua, yakni pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural. Deklaratif berarti pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu. Dalam metode langsung, terdapat lima fase yang sangat penting. Guru mengawali dengan penjelasan tentang tujuan dan latar belakang pembelajaran serta mempersiapkan siswa untuk menerima penjelasan guru. Hal itu disebut fase persiapan dan motivasi. Fase berikutnya adalah fase demontrasi, pembimbingan, pengecekan, dan pelatihan lanjutan. Pada metode langsung bisa dikembangkan dengan teknik pembelajaran menulis dari gambar atau menulis objek langsung dan atau perbandingan objek langsung. Teknik menulis dari gambar atau menulis objek langsung bertujuan agar siswa dapat menulis dengan cepat berdasarkan gambar yang dilihat. Misalnya, guru menunjukkan gambar kebakaran yang melanda sebuah desa atau melihat langsung kejadian kebakaran sebuah desa, Dari gambar tersebut siswa dapat membuat tulisan secara runtut dan logis berdasarkan gambar. b. Metode Komunikatif Desain yang bermuatan metode komunikatif harus mencakup semua keterampilan berbahasa. Setiap tujuan diorganisasikan ke dalam pembelajaran. Setiap pembelajaran dispesifikkan ke dalam tujuan kongkret yang merupakan produk akhir. Sebuah produk di sini dimaksudkan sebagai sebuah informasi yang dapat dipahami, ditulis, diusahakan, atau disajikan ke dalam nonlinguistik. Sepucuk surat adalah sebuah produk. Demikian pula sebuah perintah, pesan, laporan atau peta juga merupakan produk yang dapat dilihat dan 208 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka diamati. Dengan begitu,produk-produk tersebut dihasilkan melalui penyelesaian tugas yang berhasil. c. Metode Integratif Integratif berarti menyatukan beberapa aspek ke dalam satu proses. Integratif terbagi menjadi interbidang studi dan antarbidang studi. Interbidang studi artinya beberapa aspek dalam satu bidang studi diintegrasikan. Misalnya, menyimak diintegrasikan dengan berbicara dan menulis. Menulis diintegrasikan dengan membaca dan berbicara. Materi kebahasaan diintegrasikan dengan keterampilan bahasa. Sedangkan antarbidang studi merupakan pengintegrasian bahan dari beberapa bidang studi. Misalnya; antarabahasa Indonesia dengan matematika atau dengan bidang studi lainnya. Pengintegrasiannya diaplikasikan sesuai dengan kompetensi dasar yang perlu dimiliki siswa. Materi tidak dipisah-pisahkan. Materi ajar justru merupakan kesatuan yang perlu dikemas secara menarik. d. Metode Tematik Dalam metode tematik, semua komponen materi pembelajaran diintegrasikan ke dalam tema yang sama dalam satu unit pertemuan. Yang perlu dipahami adalah tema bukanlah tujuan tetapi alat yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tema tersebut harus diolah dan disajikan secara kontekstualitas, kontemporer, kongkret, dan konseptual. e. Metode Konstruktivistik Asumsi sentral metode konstruktivistik adalah belajar itu menemukan. Artinya, meskipun guru menyampaikan sesuatu kepada siswa, mereka melakukan proses mental atau kerja otak atas informasi itu agar informasi tersebut masuk ke dalam pemahaman mereka. Konstuktivistik dimulai dari masalah (sering muncul dari siswa sendiri) dan selanjutnya membantu siswa menyelesaikan dan menemukan langkahlangkah pemecahan masalah tersebut. Metode konstruktivistik didasarkan pada teori belajar kognitif yang menekankan pada pembelajaran kooperatif, pembelajaran generatif strategi bertanya, inkuiri, atau menemukan dan keterampilan metakognitif lainnya (belajar bagaimana seharusnya belajar). f. Metode Kontekstual Pembelajaran kontekstual adalah konsepsi pembelajaran yang membantu guru menghubungkan mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan pembelajaran yang memotivasi siswa agar menghubungkan pengetahuan dan terapannya dengan kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Ardina, 2001). Pembelajaran dengan menggunakan metode ini akan mempermudah dalam pembelajaran menulis. Anak dimotivasi agar mampu menulis. D. MENGETAHUI GAYA BELAJAR SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS Dari gaya belajar yang telah disebutkan sebelumnya kita dapat pelajari betapa mendominasinya gaya belajar dalm keberhasilan pembelajaran. Selama ini kita hanya menerapkan gaya belajar formal, dengan terpaku pada papan tulis, mencatat bagian-bagian penting dalam catatan, mendengarkan guru, karena takut mendapatkan teguran. Itu sebabnya negara ini belum bisa maju dalam dunia pendidikan, karena tidak menemukan inovasi baru dalam pengajaran yang efektif. Dengan mempelajari teori ini kita dapat membedakan Siswa dengan gaya belajar yang mereka miliki, dengan begitu, kita bisa dapat dengan mudah memberikan pengetahuan baru dengan efektif karena mereka dapat dengan mudah mencernanya termasuk dalam pembelajaran menulis. Menurut hasil penelitian pembelajar yang gaya belajarnya sesuai dengan pendekatan atau model pembelajaran, cenderung menyimpan informasi lebihlama, menerapkan pengetahuan lebih efektif, dan memiliki sikap yang lebih positif terhadap bidang studi dibandingkan dengan mereka yang mengalami pendekatan atau model pembelajaran yang tidak gayut dengan gaya belajar mereka (Felder,1993) (Suparno, Prof. Dr. H, 2011:9-10). Gaya belajar yang diterapkan karena sesuai dengan karakteristik mereka akan membuat mereka merasa nyaman dan terpacu untuk bisa lebih baik. Di setiap sekolah perlu diadakan tes gaya belajar supaya dapat mengkelompokkan siswa-siswanya sesuai dengan gaya belajar yang mereka miliki. Ketika sudah berhasil menerapkan pengajaran jenis ini, kita dapat dengan mudah mendongkrak kemampuan menulis karangan siswa. Jadi, Berdasarkan kajian pustaka tersebut dapat disimpulkan bahwadengan menggolongkan siswa kedalam gaya belajar yang sesuai dengan karakteristiknya dapat memudahkan guru menetukan metode yang tepat dalam pemebelajaran menulis sehingga akan mampu meningktakan kemampuan siswa dalam mnulis. Keuntungan dengan mengetahui gaya belajar menurut karakteristik siswa: • Bagi guru: 1. Benar-benar memahami keragaman manusia di kelas. 2. Menyadari adanya perbedaan cara belajar di antara siswa laki-laki dan perempuan. 3. Mengerti kebutuhan biologis siswa dalam belajar. 4. Memperbaiki komunikasi dengan murid dan/orang tua. 5. Mengadakan kerja kelompok yang berhasil. 6. Lebih mampu mencocokkan gaya belajar dan mengajar. 7. Mengurangi stress yang timbul setiap hari dan pada situasi-situasi yang sulit. 8. Lebih berhasil menangani siswa-siswa yang berresiko. 9. Memperbaikki kinerja mengajar dan menambah kepuasan dalam bekerja. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 209 • • Bagi orang tua: 1. Memahami sejauh mana perbedaan kebutuhan anak-anak mereka. 2. Lebih berhasil mendukung mereka dalam upaya-upaya belajar. 3. Menerima kenyataan bahwa anak-anak mereka memiliki gaya belajar unik dan tersendiri. 4. Menyadari bahwa anak-anak mereka bukan replica dari diri mereka. Bagi siswa sendiri: 1. Memperoleh pengetahuan penting tentang dirinya sendiri. 2. Meningkatkan keterampilan belajar. 3. Meningkatkan motivasi belajar. 4. Meningkatkan kepercayaan diri. 5. Mencegah adanya kesalah pahaman antara siswa, guru dan orang tua. E. PENUTUP Gaya belajar dapat digolongkan menurut pertimbangan genetik atau biologis, dominasi otak kanan/ kiri, modalitas indrawi, kebutuhan fisik, lingkungan, pengelompokan sosial, dan sikap. Berbagai masukan dari karya tulis ini penting untuk ditindaklanjuti oleh berbagai pihak : 1. Bagi guru • Dapat melatih menulis sesuai dengan gaya belajarnya. • Mampu membuat alat peraga agar lebih dapat mendukung kegiatan belajar mengajar. • Jangan menyamakan siswa satu dengan yang lainnya, karena dari makalah yang kita bahas ini, kita tahu bahwa siswa satu dengan yang lainnya tidak sama. • Diharapkan lebih bersabar ketika menjumpai anak yang hiper-aktif. 2. Bagi Lembaga Diharapkan lembaga dapat mewadahi pengelompokkan siswa sesuai dengan gaya 210 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka belajarnya. Karena disisi lain, ketika anak tersebut bisa nyaman dalam belajar. Disitulah prestasi mulai bermunculan, lalu berimplikasi pada nama lembaga yang akan semakin harum. 3. Bagi siswa Setelah mengetahui cara belajar masingmasing, siswa diharapkan bisa lebih maksimal dalam belajar. Serta dapat mengasah potensi yang dimiliki, den menjadikan bangga atas apa yang telah dia punya, serta tidak minder dengan seseorang yang dilihatnya lebih dari dirinya sendiri. 4. Bagi orang tua Anak-anak bukanlah cloningan dari diri kita sendiri. Mereka memiliki sifat dan caranya masing-masing dalam menjalani kehidupan. Untuk itu, orang tua diharapkan bersifat ‘menerima’ tentang perbedaan yang ada. Dan tetap memfasilitasi anak-anaknya dalam pendidikan yang sesuai dengan gaya belajarnya. DAFTAR PUSTAKA Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993. Petunjuk Membaca dan menulis. Jakarta: P2M Muchtar,S.Pd, M.Si,dkk,2011, Modul Pengembangan Materi Umum Sekolah Dasar, Malang : UM Prashnig, Barbara. 2004. The Power Of Learning Style. Auckland: Creative Learning Centre, Willis, Ratna.2011. Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga. Suparno, Prof. Dr. H, dkk. 2011. Modul Pengembangan Profesionalitas Guru. Malang: UM. Mengamati Gaya Belajar Anak _ artikel islam _ Artikel Pustaka Nilna _ Kumpulan Artikel.htm Gaya Belajar Siswa Menurut David Kolb _ AKHMAD SUDRAJAT TENTANG PENDIDIKAN.htm http://imtelkom.ac.id MAKALAH BERPRAKMATIK, ETIKA BERKOMUNIKASI Oleh ERNAWATI Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak akan lepas dari komunikasi. Dari mulai kita bangun tidur sampai kemudian tertidur kembali, komunikasi selalu menjadi kegiatan utama kita entah itu komunikasi verbal atau non verbal, entah itu komunikasi antar pribadi atau komunikasi pribadi. Kemampuan seseorang dalam berkomunikasi merupakan suatu hal yang tidak bisa dipaksakan harus terjadi secara sempurna. Ketidaksempurnaan ini disebabkan oleh banyak sekali faktor. Di antara faktor-faktor penyebabnya adalah beragamnya profil kemampuan pragmatik yang dimiliki oleh komunikan dan komunikator. Salah komunikasi bisa terjadi karena berbagai faktor pragmatik tersebut. Ketika seseorang melakukan kesalahan dalam tindak komunikasi, maka dapat dipastikan akan terjadi berbagai macam interpretasi yang salah yang menimbulkan terputusnya komunikasi. Salah satu factor yang harus diperhatikan dalam tindak komunikasi adalah maksim sopan santun. Etika yang baik dianalisis bisa membawa keberhasilan dalam komunikasi. Kata Kunci: etika, komunikasi, pragmatik, bahasa, maksim, sopan santun Kemampuan pragmatik yang harus dikuasai oleh seorang yang menjalin komunikasi dapat dipilah sebagai berikut: (1) memiliki kemampuan komunikatif, (2) mampu menerapkan prinsip kerjasama, (3) memiliki pengetahuan berbahasa, dan (4) mampu menyusun retorika berbahasa. Ketika seseorang menguasai keempat kemampuan tersebut dan menerapkannya dalam sebuah tindak tutur, akan tercipta komunikasi yang berkualitas sebagaimana yang diharapkan. Tetapi tentu saja masih harus diperhatikan bahwa dalam tindak komunikasi lisan yang terjadi antara dua orang atau lebih penguasaan kemampuan pragmatik tersebut haruslah secara dua arah bukan hanya searah. Dalam bahasan ini akan kita bahas tentang tingkatan keberhasilan tindak tutur seseorang yang tidak pernah memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan kemampuan pragmatik tersebut. Sebagai sebuah contoh masalah adalah di bawah ini. Contoh I Seseorang yang senantiasa membuat lawan bicara tersinggung dan sakit hati ketika berkomunikasi. Kadang sulit dibedakan kalimat yang seharusnya dipergunakan untuk bergurau atau untuk mengungkapkan sesuatu yang sebenarnya sangat serius. Ironisnya justru ia tidak merasa kalau telah melakukan kesalahan besar dengan menyakiti hati lawan bicara. Jika dilakukan penelitian tentang opini publik, maka ia akan mendapat penilaian yang sangat jelek atau sama sekali tidak mendapatkan nilai. Jika dianalisis dari sisi psikologis, maka akan didapatkan bahwa kondisi psikologis orang yang bersangkutan benar-benar dalam keadaan sangat memprihatinkan. Tidak layak untuk mendapatkan apresiasi positif. Tetapi jika tinjauan didasarkan pada sisi pragmatik tampaknya akan didapatkan sesuatu yang cukup luar biasa. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 211 Kemampuan Retorika dalam Tindak Tutur Dalam sebuah tindak komunikasi, kemampuan retorika merupakan hal yang benarbenar mutlak harus diperhatikan sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang bersifat ambigu. Ambiguitas makna dalam komunikasi berdasarkan retorika bisa terjadi karena unsur gramatika, logika, etika, dan unsur retorika. Salah satu unsur retorika dalam tindak tutur yang harus diperhatikan adalah maksim sopan santun. Maksim sopan santun memberikan tuntunan kepada semua orang untuk bisa berkomunikasi dengan baik dan sempurna sebagaimana yang dikehendaki dalam tujuan interaksi. Maksim sopan santun berkenaan dengan hubungan antara dua orang yang melibatkan orang ketiga (yang hadir secara langsung atau tidak langsung dalam interaksi). Sebagaimana diuraikan oleh Geoffrey Leech (1993) maksim sopan santun cenderung berpasangan. Di antara yang termasuk ke dalam maksim sopan santun adalah maksim kearifan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim kerendahan hati, maksim kesepakatan, dan maksim simpati. Leech (1993: 206-207) memberikan contoh dan batasan-batasan untuk maksim-maksim sopan santun sebagaimana terurai di bawah ini: a. Karifan: Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin, dan buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. b. Kedermawanan: Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin, dan buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin. c. Pujian: Kecamlah orang lain sesedikit mungkin, dan pujilah orang lain sebanyak mungkin. d. Kerendahan Hati: Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin, dan kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin. e. Kesepakatan: Usahakan agar ketidaksepakatan antara diri dan orang lain terjadi sesedikit mungkin, dan usahakan agar 212 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka f. kesepakatan antara diri dan lain terjadi sebanyak mungkin. Simpati: Kurangilah rasa antipati antara diri dengan lain hingga sekecil mungkin, dan tingkatkan rasa simpati sebanyakbanyaknya antara diri dan orang lain. Berdasarkan uraian tersebut maka dikatakan bahwa tindak komunkasi yang telah terjadi berdasarkan contoh 1 di atas jelas-jelas menyimpang dari maksim sopan santun. Dalam contoh 1 tampak sekali bahwa maksim kerendahan hati dan maksim pujian telah dengan sangat sengaja ditinggalkan. Ketika salah satu dari keenam maksim di atas telah diabaikan maka sebenarnya telah terabaikan pula keenam maksim sopan santun tersebut. Pada akhirnya tanpa berpikir dengan logika yang berlebihan pun kita dapat menyatakan bahwa orang yang melakukan tindak tutur dalam contoh 1 tersebut benar-benar acuh dan tidak pernah memperhatikan kepentingan orang lain. Maksim kerendahan hati telah diingkari dengan hanya memperhatikan kepentingan diri sendiri, mengecam orang lain, dan senantiasa membenarkan diri sendiri. Sementara itu tampak sekali adanya pengingkaran terhadap maksim kearifan. Seseorang yang senantiasa berpikir dan bertindak dengan penuh kearifan akan berbicara dengan mempertimbangkan bagaimana orang lain mendapatkan keuntungan bukan kerugian dari tindak tutur yang terjadi bersamanya. Ketika lawan bicara merasa sangat terganggu dan merasa tidak nyaman dalam proses komunikasi maka sebenarnya telah terjadi pengingkaran secara sepihak terhadap maksim kearifan. Terjadinya pengingkaran ini bisa disebabkan karena faktor gramatika yang meliputi fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Dalam tindak komunikasi,penguasaan terhadap unsurunsur retorika berbahasa memang sangat diperlukan. Ketika unsur-unsur retorika tersebut bisa dipahami dan digunakan dalam tindak tutur, dipastikan akan terjadi proses komunikasi yang baik sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Kemampuan retorika yang menjadikan semua tindak komunikasi berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan aspek-aspek metalinguistik sopan santun. “Sopan santun tidak hanya terungkap dalam isi percakapan, tetapi juga dalam cara percakapan dikendalikan dan dipola oleh para pemeran sertanya. Misalnya, dalam percakapan, perilaku tertentu mengandung implikasi-implikasi tidak sopan, seperti berbicara pada saat yang keliru (menyela) atau diam pada saat yang keliru.Karena itu bila kita menuturkan sesuatu, kita kadang-kadang merasa perlu untukmenyebut tindak ujar yang sedang kita lakukan atau yang dilakukan oleh pemeran serta yang lain, supaya kita dapat memohon suatu jawaban, meminta izin untuk berbicara, meminta maaf atas katakata, dan sebagainya” (Leech, 1993: 219). Konsep di atas merupakan sebuah fenomena sosial yang telah membudaya pada masyarakat kita (Indonesia), bahwa budaya mendengar kita tertinggal sangat jauh jika dibandingkan dengan bangsa Amerika.Maka ketika sering terjadi interupsi atau pemotongan terhadap pembicaraan seseorang sudah menjadi sesuatu yang sangat wajar.Bahkan hal tersebut pun juga terjadi juga di forum-forum ilmiah dan forum-forum kenegaraan. Karena merasa bahwa dirinyalah yang paling benar, dengan penuh ambisi dan anarkis sekali seseorang memotong atau menyela seorang yang sedang berbicara. Kedudukan moderator sebagai seorang pemandu diskusi kadang tidak dipedulikan lagi. Inilah fenomena yang terjadi di negeri ini yang lebih mengedepankan kemampuan berbicara daripada kemampuan mendengarkan orang lain. Hal ini pulalah yang telah memicu terjadinya perlombaan besar-besaran untuk menjadikan diri sebagai orang hebat yang duduk di kursi legislatif. Mengapa seseorang bertutur dengan penuh antusias dan merasa bahwa dirinyalah yang paling benar? Kejadian ini jelas tidak bisa dilepaskan dari bagaimana seseorang mempergunakan kemampuan gramatika, logika, etika, dan retorika berbahasa. Unsur etika dan retorika inilah yang sangat berperan dalam masalah ini. Jika seseorang memperhatikan apakah yang telah ia bicarakan memenuhi unsur kesantunan, keberterimaan, dan kesesuaian, maka dipastikan unsur retorika yang meliputi gagasan, komposisi, dan bahasa akan secara otomatis mendukung pencapaian tujuan komunikasi. Bagaimana mungkin gagasan yang telah dirancang dengan komposisi dan bahasa yang baik bisa diterima oleh pendengar atau lawan bicara jika kita menyampaikan tanpa memperhatikan unsur-unsur etika di atas? Masalah yang senantiasa kita hadapi dalam tindak komunikasi adalah tidak adanya pola kerja sama yang baik antara pembicara dan pendengar. Komunikasi satu arah lebih sering terjadi daripada komunikasi dua arah yang lebih interaktif.Pada tataran komunikasi satu arah hanya terjadi perpindahan informasi tanpa ada tanggapan atau masukan baru bagi kita. Sementara itu, tataran komunikasi dua arah tidak sekedar terjadi perpindahan informasi, tetapi juga terjadi pertukaran informasi yang memungkinkan terjadinya proses stimulus respon dalam bentuk tanggapan. Pada contoh 2 di atas bisa saja terjadi dominasi komunikasi satu arah karena pembicara seakan-akan menguasai semua materi pembicaraan sehingga ingin menguasai proses komunkasi. Kondisi seperti ini tidak terdapat penerapan prinsip kerjasama sebagaimana diungkap pada bagian awal tulisan ini. Pendengar hanya dianggap sebagai seseorang yang hanya patut untuk menerima sesuatu tanpa melihat sisi lain bahwa pendengar juga mempunyai hak dan mampu menyampaikan sesuatu. Hal ini merupakan salah satu bentuk bentuk hambatan dalam tindak tutur yang interaktif. Lantas seperti apakah model komunikasi yang benar-benar mendasarkan penggunaan etika sebagai wujud pragmatik berbahasa? Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 213 Jawaban paling sederhana adalah ketika kita mencoba untuk mengerti apa yang dikehendaki oleh orang lain sebagai lawan bicara. Untuk bisa mengerti apa yang sebenarnya dikehendaki lawan bicara kita bisa mempergunakan maksimmaksim sopan santun, yaitu maksim kearifan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim kerendahan hati, maksim kesepakatan, dan maksim simpati. Kemampuan Berpragmatik Menunjukkan Kualitas Selama ini terjadi pemahaman yang salah tentang bagaimana menafsirkan pengertian pragmatik. Pragmatik dianggap hanya sebagai salah satu kemampuan atau keterampilan berbahasa. Ketika sudah terjadi pergeseran pemahaman dan pengetahuan linguistik, pada akhirnya kita menyadari betapa luasnya kajian pragmatik. Pragmatik menjadi salah satu master kelimuan dalam ketatabahasaan. Kemampuan berkomunikasi dalam segala macam bentuk dan sifatnya tidak bisa dilepaskan dari kajian pragmatik. Sebagai dasar dalam tindak komunikasi maka sudah seharusnya pengetahuan tentang pragmatik dan kemampuan berpragmatik menjadi bagian dari keilmuan atau pengetahuan semua orang terutama yang berprofesi terkait dengan penyampaian informasi kepada khalayak, seperi dosen, guru, dokter, resepsionis sebuah hotel, dan lain-lain. Beberapa masalah yang terjadi dalam eraglobal adalah rendahnya kualitas komunikasi yang menyebabkan terhambatnya perkembangan dan transfer keilmuan dan pengetahuan. Hal ini tentunya harus segera mendapat perhatian serius dari semua orang terutama para pakar komunikasi. Tentu saja penguasaan bahasa asing bukan satu-satunya penentu keberhasilan dalam era global ini. Bagaimana teknik berkomunikasi yang benar, dengan retorika yang tepat, dan memperhatikan prinsip-prinsip pragmatik berbahasa inilah yang menjadi dasar utama terbentuknya kualitas komunikasi yang diharapkan. 214 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Dalam keseharian kita sering bertutur kata tanpa memperhatikan ketepatan dan kebenaran tatabahasa yang kita pergunakan. Kadang terjadi kesalahan pemahaman terhadap sebuah konsep yang sering digunakan. Tetapi kesalahan pemahaman tersebut seakan tidak menjadikan sesuatu yang dianggap sebagai sebuah kesalahan. Hal ini sudah dianggap sebagai sebuah kewajaran yang tidak perlu diperdebatkan. Sebagai contoh adalah pemahaman terhadap konsep semantik dan sintaksis yang senantiasa menimbulkan kesalahan penafsiran makna (ambiguitas makna). Salah konsep ini sudah berkembang menjadi salah kaprah berbahasa yang diangap benar secara awam yang berdampak terhadap melemahnya kualitas komunikasi. Contoh 2 Seseorang yang senantiasa berbicara dengan memberikan penekanan yang berulang-ulang pada bagian yang dianggap penting. Penekanan tersebut dilakukan dengan jalan memakai gaya bahasa perulangan baik yang bersifat anafora, repetisi, maupun paralelisme. Keyakinan akan kebenaran konsep yang disampaikannya dengan gaya bahasa perulangan seakan menyiratkan bahwa konsep dirinyalah yang paling tepat. Secara logika memang dapat dikatakan bahwa konsep yang disampaikannya benar, tetapi jika ditinjau dari sudut pandang yang sedikit saja berbeda sebenarnya konsep tersebut belum menunjukkan adanya kajian ilmiah yang dapat dikatakan valid. Contoh 2 di atas menunjukkan betapa penguasaan terhadap prinsip-prinsip pragmatik berbahasa yang lemah. Apakah tujuan komunikasi akan tercapai? Tingginya frekuensi gaya bahasa perulangan ini justru akan melemahkan kualitas komunikasi karena kejenuhan dan kebosanan yang dialami lawan bicara. Lawan bicara atau orang lain tidak didudukan sebagai orang yang harus dipuji dan diuntungkan tetapi justru mendudukan orang lain sebagai orang yang tidak mengerti tentang sesuatu hal. Ini berarti prinsip keindak ujaran arifan dan prinsip pujian masih belum diperankan sebagimana mestinya. Semua hal di atas tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kaidah atau maksim sopan santun atau tatakrama berbahasa. Hal ini terkait dengan pendapat yang disampaikan oleh Leech di atas. Sementara itu Tarigan (1987: 89-90) menyatakan berdasarkan pengalaman seharihari kita mengetahui bahwa kesopansantunan bisa diwujudkan bukan hanya dalam isi percakapan, melainkan juga dalam cara mengelola percakapan serta strukturnya. Sebagai contoh adalah perilaku percakapan seperti berbicara pada saat yang salah (menginterupsi, menyela) atau diam tidak pada waktunya mempunyai implikasi-implikasi yang tidak sopan. Sebagai akibat kadang-kadang diperlukan acuan berupa keikutsertaan semua lawan bicara. Akhirnya sampai pada sebuah simpulan bahwa metalinguistik perlu kita pergunakan sebagai penyiasatan dalam tindak komunikasi agar tercipta suatu bentuk komunikasi yang sebagimana diharapkan. Dengan mempergunakan metaliguistik sebagaimana yang dimaksud dimungkinkan fleksibilitas akan menghasilkan suatu bentuk kebahasan yang lebih baik dan lebih bisa mewujudkan tujuan komunikasi. KEPUSTAKAAN Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia. Tarigan, Henry Guntur. 1987. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 215 PEMANFAATAN LAGU BERITA KEPADA KAWAN KARYA EBIET G. ADE UNTUK MENULIS PUISI DI SMP Ahmad Husin Universitas Kanjuruhan Malang email: [email protected] Abstrak: Pembelajaran kemampuan menulis puisi, sulit untuk memberikan penilaian terhadap puisi yang ditulis siswa, karena kombinasi dari permainan kata, bentuk-bentuk puitis, dan unsur-unsur puisi yang kreatif. Oleh sebab itu, pencapaian keberhasilan siswa yang diharapkan ialah siswa dapat menulis puisi sesuai dengan yang diajarkan kemudian menyajikan (membaca dan memajang) hasil karyanya. Kata Kunci: pembelajaran, menulis puisi, pemanfaatan lagu Pendahuluan Secara umum, siswa di SMP masih belum memiliki pengalaman dan bekal yang cukup untuk mewujudkan tulisan dalam bentuk puisi. Dapat dikatakan bahwa siswa pada SMP tersebut adalah penulis pemula. Bagi penulis pemula, bentuk puisi yang dapat dipilih sebagai bahan dalam penulisan puisi adalah puisi anak-anak. Puisi anak-anak tersebut menampilkan bentukbentuk yang sederhana dan dapat dijadikan wadah pengungkapan perasaan atau emosi siswa. Puisi anak-anak mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu bentuknya sederhana, kalimatkalimatnya lugas dan pendek, serta isinya tidak berbelit-belit dan mudah ditangkap. Puisi-puisi yang digemari anak-anak adalah puisi yang lucu, puisi yang berisi khayalan, dan sebagian besar lagi adalah puisi tentang pengalaman yang dikenal siswa. Kegiatan menulis puisi merupakan kegiatan yang bersifat produktif-kreatif. Kegiatan ini dilaksanakan melalui suatu proses yang dinamakan proses kreatif. Rampan (2001:11) menyatakan bahwa proses kreatif mengalir di dalam suasana kreatif 216 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka yang memungkinkan lahirnya karya-karya yang secara bahasa indah dan dari segi pemikiran cukup mendalam. Proses kreatif berkembang jika terdapat empat unsur terkait, seperti (1) pengenalan pribadi dan pengetahuan, (2) dorongan internal dan eksternal siswa, (3) kebermaknaan belajar, dan (4) hasil yang bernilai bagi orang lain. Dengan terpenuhinya keempat unsur kreatif tersebut, kegiatan pembelajaran menulis puisi akan mencapai hasil yang maksimal. Kegiatan menulis puisi, siswa perlu mendapat suatu arahan sehingga memudahkannya dalam proses pembelajaran. Kemampuan menulis puisi dapat dicapai dengan bimbingan yang sistematis serta latihan yang intensif. Siswa hendaknya diarahkan dan dibimbing tahap demi tahap tentang apa yang harus dilakukannya. Proses pelaksanaan menulis puisi sebaiknya memperhatikan tahap-tahap kreativitas menulis puisi, yaitu tahap preparasi, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi. Pada tahap preparasi dilaksanakan kegiatan pengumpulan data atau informasi yang akan dijadikan bahan penulisan. Tahap inkubasi dilakukan dalam usaha untuk mengendapkan atau mematangkan ide-ide yang telah dimunculkan pada tahap se- belumnya. Tahap iluminasi merupakan tahap pelahiran ide, gagasan, atau pengalaman ke dalam bentuk puisi. Tahap yang terakhir adalah verifikasi, yaitu kegiatan menilai puisi hasil karya sendiri. Selain melalui proses yang saling menunjang, pembelajaran menulis puisi juga sebaiknya mempertimbangkan karakteristik siswa. Kesesuaian karakteristik siswa tersebut berkaitan dengan perkembangan jiwa, kemampuan bahasa, dan lingkungan siswa. Ketiga aspek tersebut sebaiknya dijadikan pertimbangan guru dalam pelaksanaan pembelajaran menulis puisi. Pertimbangan tersebut bertujuan agar kegiatan pembelajaran menjadi sesuai dengan kebutuhan siswa sehingga membuatnya merasa senang dalam belajar. Dengan demikian, rasa senang itu membuat siswa memperoleh hasil yang optimal dalam belajar. Menulis puisi memberikan banyak manfaat bagi siswa. Melalui puisi siswa dapat mengekspresikan diri, melatih kepekaan, dan kekayaan bahasanya. Kebermanfaatan yang dikemukakan di atas membuat kegiatan menulis puisi perlu diajarkan kepada siswa. Menumbuhkembangkan kreativitas dalam pembelajaean berpuisi siswa SMP, memiliki beberapa alasan, seperti (1) menulis puisi memberikan kegembiraan yang murni dan menyenangkan, (2) menulis puisi dapat memberikan pengetahuan tentang konsep dunia sekitar siswa, (3) menulis puisi mendorong siswa untuk menghargai bahasa dan mengembangkan kosakata yang tepat dan bervariasi, (4) menulis puisi dapat membantu siswa mengidentifikasi orang-orang dan situasi tertentu, (5) menulis puisi dapat membantu siswa mengekspresikan suasana hati dan membantu siswa memahami perasaan mereka sendiri, dan (6) menulis puisi dapat membuka dan menumbuhkan kepekaan serta wawasan siswa terhadap lingkungan. Akan tetapi siswa mempunyai kendala dalam kegiatan menulis puisi, yaitu (1) siswa kesulitan menemukan ide, (2) siswa kesulitan menentukan kata-kata pertama dalam puisinya, (3) siswa kesulitan mengem- bangkan ide menjadi puisi karena minimnya penguasaan kosakata, dan (4) siswa kesulitan menulis puisi karena tidak terbiasa mengemukakan perasaan, pemikiran, dan imajinasinya ke dalam puisi. Kendala-kendala yang dihadapi siswa dalam menulis puisi tersebut disebabkan oleh pembelajaran menulis puisi yang belum dilaksanakan secara optimal. Pada saat pembelajaran, siswa lebih banyak diberikan ceramah tentang teori puisi sehingga waktu untuk menulis puisi menjadi berkurang. Kegiatan menulis puisi diberikan sebagai tugas yang harus diselesaikan di rumah. Dengan demikian, pembelajaran menulis puisi tersebut lebih berorientasi pada produk saja. Siswa belum diberi bimbingan dalam menulis puisi mulai dari tahap penentuan ide sampai pada tahap menuliskan puisi yang utuh. Akibatnya, kemampuan menulis puisi siswa masih rendah. Padahal pembelajaran menulis puisi perlu disikapi sebagai sebuah proses dan juga sebagai produk. Hal ini berarti bahwa kegiatan menulis puisi perlu diarahkan dan dilatih secara teratur dan terus menerus untuk sampai pada produk yang diinginkan, sehingga siswa mengalami sendiri proses penulisan puisi. Selain itu, kegiatan penghargaan dan pemublikasian puisi karya siswa belum pernah dilakukan oleh guru. Karya-karya puisi siswa hanya dikumpulkan, diberi nilai, kemudian dibagikan kembali kepada siswa. Siswa belum diberi kesempatan untuk menampilkan puisinya, baik melalui pembacaan di kelas atau pemajangan puisi di majalah dinding. Guru pun belum memberikan tanggapan dan penilaian atas kelebihan dan kekurangan puisi yang telah dibuat siswa. Kedua hal di atas menyebabkan siswa tidak terlalu antusias dalam menulis puisi. Padahal kegiatan penilaian, penghargaan, dan pemublikasian puisi dapat dijadikan sarana untuk memotivasi siswa dalam menulis puisi. Melihat kenyataan tentang pembelajaran menulis puisi yang belum memenuhi harapan tersebut, perlu ditempuh upaya-upaya untuk meningkatkan kegiatan pembelajaran menulis Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 217 puisi di kelas. Dalam hal ini, diperlukan suatu teknik yang dapat membantu siswa mengatasi permasalahan dalam menulis puisi. Teknik pembelajaran tersebut adalah teknik yang memenuhi beberapa karakteristik, yaitu (1) dapat mengarahkan siswa dalam menemukan ide puisi yang berasal dari dirinya sendiri atau halhal yang ada di sekitarnya, (2) dapat membantu siswa menemukan kata-kata pertama dalam menulis puisinya, (3) dapat membantu siswa memperkaya perbendaharaan kosakatanya, dan (4) membimbing siswa dalam melaksanakan tahap-tahap menulis puisi. Metode Melalui paparan di atas, dapat dikemukakan bahwa terdapat tiga ciri khusus penelitian. Ketiga ciri khusus penelitian tersebut, yaitu (1) adanya permasalahan penelitian yang berasal dari persoalan yang terdapat dalam pembelajaran, (2) adanya tindakan yang dilakukan untuk memperbaiki permasalahan, dan (3) adanya kolaborasi dengan guru selama penelitian berlangsung. Penelitian ini dengan ciri-ciri sebagai berikut (1) dilaksanakan oleh pendidik, (2) berangkat dari masalah faktual yang ada dalam pembelajaran, (3) adanya tindakantindakan yang perlu dilakukan untuk memperbaiki proses pembelajaran, dan (4) bersifat kolaboratif. Proses pelaksanaan penelitian bersifat kolaboratif dengan guru bidang studi yang dimulai dari mencari fakta pembelajaran secara berdaur ulang, yakni (1) menyusun perencanaan, (2) melaksanakan tindakan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan standar kompetensi, dipilih butir pembelajaran berupa menuliskan pengalaman pribadi yang paling menarik dalam bentuk puisi. Sedangkan kompetensi dasar yang hendak dicapai ada empat tahapan kegiatan pembelajaran, yaitu (1) tahap penemuan ide, (2) tahap penulisan, dan (3) tahap penyajian, 218 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka dan (4) tahap penilaian. Indikator pembelajaran yang ingin dicapai adalah siswa dapat (1) memilih salah satu pola penulisan puisi dari model-model puisi yang disajikan, (2) menyusun daftar deskripsi diri, (3) menemukan ide puisi dari daftar deskripsi diri yang dibuat, dan (4) menyusunan daftar kata yang sesuai dengan ide puisi. Langkah-langkah kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan pembelajaran pada tahap penemuan ide dilakukan melalui sepuluh langkah. Kesepuluh langkah tersebut adalah (1) pemberian pengarahan tentang kegiatan yang akan dilaksanakan, (2) membangkitkan minat dan skemata siswa tentang menulis puisi, (3) penyampaian tujuan pembelajaran, (4) mendengarkan lagu “Berita Kepada Kawan” karya Ebiet G. Ade, (5) menghubungkan pola lagu “ Berita Kepada kawan” karya Ebiet G. Ade dengan pola penulisan puisi, (6) mendiskusikan model-model puisi, (7) menentukan salah satu pola penulisan puisi, (8) membuat daftar deskripsi diri, (9) menemukan salah satu bagian dari daftar deskripsi diri untuk dijadikan ide puisi, dan (10) menyusun daftar kata yang sesuai dengan judul puisi yang akan ditulis. Pada tahap penulisan, langkah-langkah kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan berupa (1) mengadakan apersepsi dengan mengamati kembali pekerjaan yang telah dibuat pada pertemuan sebelumnya, (2) mengamati pemodelan cara mengembangkan ide menjadi puisi, (3) menulis puisi sesuai dengan ide yang dipilih dengan memanfaatkan daftar kata yang telah dibuat sebelumnya, (4) merevisi puisi secara individual, (5) melakukan revisi puisi karya teman, dan (6) menuliskan kembali puisi yang telah direvisi. Pada tahap penyajian langkahlangkah pembelajaran yang dilakukan berupa (1) menghubungkan kegiatan sebelumnya dengan kegiatan yang akan dilaksanakan, (2) mengamati model-model puisi yang berilustrasi, (3) memberikan ilustrasi yang sesuai dengan isi puisi, (4) membaca puisi di depan kelas, (5) memajang puisi di mading kelas, dan (6) men- diskusikan kelebihan dan kekurangan yang terdapat pada puisi yang dipajang. Materi pembelajaran yang digunakan pada pertemuan pertama adalah kata-kata kias, sinonim, dan antonim yang terdapat dalam lagu “Berita Kepada kawan” karya Ebiet G. Ade dan tipe-tipe penulisan puisi, serta unsur-unsur yang terdapat dalam puisi. Pada pertemuan kedua materi yang disajikan adalah pengembangan ide menjadi sebuah puisi dengan memanfaatkan daftar kata dan merevisi puisi dengan memperhatikan tipografi, diksi, dan kesesuaian isi dengan judul yang dipilih. Materi pembelajaran yang disajikan pada pertemuan ketiga adalah membaca puisi dengan memperhatikan intonasi, nada, tempo, ekspresi, dan gaya yang sesuai dengan isi dan ilustrasi yang sesuai dengan isi puisi. Media pembelajaran yang akan digunakan pada pertemuan pertama berupa (1) kaset lagu Ebiet G. Ade untuk didengakan, (2) modelmodel puisi, dan (3) Lembar Kerja Siswa. Berikut ini adalah tahap-tahap penyajiannya (1) tahap penemuan ide, (2) tahap penulisan, (3) tahap penyajian, dan (tahap penilaian. Tahap Penemuan Ide Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam pembelajaran puisi dengan pemanfaatan lagu “Berita kepada kawan” karya Ebiet G. Ade . Langkah-langkah tersebut adalah (1) guru memberikan apersepsi dengan cara memotivasi dan membangkitkan skemata siswa. Melalui kegiatan ini guru berusaha untuk membangkitkan daya khayal, imajinasi, dan kepekaan emosi tentang sesuatu yang dirasakan oleh siswa, (2) Memperkenalkan dan mendengarkan lagu “Berita Kepada Kawan” karya Ebiet G. Ade. Siswa mendengarkan lagu sehingga siswa mengenal bentuk-bentuk makna konotasi, sinonim, dan kata-kata puitis, (3) Siswa menuliskan hal-hal yang berhubungan dengan data pribadinya. Data tersebut dituliskannya pada lembar kerja. Guru sebaiknya menjaga kerahasiaan isi deskripsi diri tersebut, kecuali bila siswa tidak berkeberatan tulisannya dilihat orang lain, (3) Guru membimbing siswa untuk membuat rincian-rincian dari setiap data pribadi yang dibuatnya. (4) Dengan memperhatikan daftar deskripsi diri yang telah dibuat pada LKS, siswa mencoba memilih bagian yang paling menarik untuk dijadikan ide puisinya, (5) Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk membaca ulang daftar deskripsi diri dan ide yang dipilihnya, dan (6) Siswa mulai menyusun daftar kosakata yang mungkin akan digunakannya dalam menulis puisi akrostik. Kosakata tersebut sebaiknya mengandung unsur puitis. Tahap Penulisan Setelah menemukan ide, siswa diarahkan untuk mengembangkan ide tersebut menjadi puisi. Kegiatan pengembangan ide tersebut mengikuti langkah-langkah tertentu yang diuraikan di berikut ini, (1) Guru memberikan beberapa model puisi yang bervariasi. Siswa mengamati tiap model yang diberikan. Mereka mendiskusikan hal-hal yang berhubungan dengan bentuk-bentuk puisi. Dari hasil diskusi dan pengamatan, siswa memilih salah satu model puisi yang akan dijadikannya pola dalam pengembangan ide menjadi puisi, (2) Setelah menentukan salah satu model puisi yang akan ditulis, siswa dapat mulai menulis puisi. Guru harus membantu membimbing siswa dalam proses penulisan. Penulisan puisi ini lebih diutamakan kepada makna dibanding dengan unsur mekanik penulisan, (3) Guru membantu siswa mengadakan penyempurnaan puisi yang ditulisnya. Tahap Penyajian Tahap terakhir dalam penerapan pembelajaran menulis puisi adalah tahap penyajian. Pada tahap ini kegiatan ditekankan pada peningkatan motivasi siswa dengan cara memberi kesempatan untuk menyajikan puisinya. Kegiatan penyajian dilakukan dengan dua cara, yaitu pembacaan puisi karya siswa di depan kelas dan pemajangan puisi di majalah dinding Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 219 sekolah. Secara terinci tahap penyajian diuraikan pada bagian berikut ini, yaitu (1) guru membimbing siswa memberikan ilustrasi yang sesuai dengan puisinya. Ilustrasi yang diberikan dapat disesuaikan dengan isi yang ditulis. Selain memberikan ilustrasi berupa gambar, siswa juga menuliskan puisi dengan tulisan yang indah dan jelas, (2) setelah puisi ditulis dalam bentuk yang utuh, siswa diberi kesempatan untuk membacakannya di depan kelas. Siswa yang lain dapat memberikan komentar dan saran terhadap puisi yang dibacakan temannya, dan (3) siswa memajang puisi karyanya di mading kelas. Setiap puisi yang dipajang di mading diberi komentar tentang kelebihan dan kekurangannya. Tahap Penilaian Penilaian merupakan suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan pendidikan dan pengajaran secara umum. Semua kegiatan pendidikan yang dilakukan selalu diikuti dengan kegiatan penilaian (Nurgiyantoro, 2001:3). Penilaian merupakan suatu proses pengumpulan, pelaporan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa yang diperoleh melalui pengukuran untuk menganalisis atau menjelaskan unjuk kerja atau prestasi siswa dalam mengerjakan tugas-tugas terkait. Penilaian dapat dilaksanakan secara terpadu dengan kegiatan belajar mengajar serta dilakukan dengan pengumpulan-pengumpulan kerja siswa (portofolio) hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja (Performance), dan tertulis (paper and pencil) (Depdiknas, 2003:2). Berdasarkan hal ini, penilaian hasil dan proses belajar tidak boleh hanya dinilai dengan dengan menggunakan tes melainkan juga nontes. Alat-alat nontes dapat digunakan untuk menilai proses dan hasil belajar. Hal ini masih jarang dilaksanakan oleh guru. Guru hanya terpaku pada tes untuk menilai keberhasilan pembelajaran dengan alasan penggunaannya yang praktis dan mudah dalam pembuatannya. Akibatnya yang dinilai hanyalah yang berupa 220 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka produk dan mengabaikan proses terjadinya produk tersebut. Simpulan Pembelajaran menulis puisi dengan pemanfaatan lagu “ Berita Kepada Kawan” karya Ebiet G. Ade pada tahap penemuan ide dilaksanakan dengan lancar dan sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah dirancang. Pembelajaran menulis puisi dengan pemanfaatan lagu “ Berita Kepada Kawan” karya Ebiet G. Ade pada tahap penemuan ide dapat meningkatkan (1) motivasi siswa untuk mengikuti proses pembelajaran sehingga menjadi bersemangat dan aktif mengikuti setiap langkah kegiatan pembelajaran, (2) kreativitas dan keantusiasan siswa dalam pembelajaran menulis puisi (3) kemampuan siswa menemukan sendiri ide puisi yang bersumber dari dirinya, dan (4) kemampuan siswa mengumpulkan kata-kata yang akan digunakan dalam puisi dan juga memperkaya perbendaharaan kata. Pembelajaran menulis puisi dengan pemanfaatan lagu “ Berita Kepada Kawan” karya Ebiet G. Ade pada tahap penulisan berlangsung dengan baik sesuai dengan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Pembelajaran menulis puisi dengan pemanfaatan lagu “ Berita Kepada Kawan” karya Ebiet G. Ade pada tahap penulisan ini dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam (1) mengembangkan ide menjadi puisi dengan memanfaatkan daftar kata yang telah dibuat pada pertemuan sebelumnya dan (2) merevisi puisi dengan mempertimbangkan tipografi, diksi, dan kesesuaian isi dengan judul puisi. Pembelajaran menulis puisi dengan pemanfaatan lagu “ Berita Kepada Kawan” karya Ebiet G. Ade pada tahap penyajian berjalan dengan lancar sesuai dengan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Pembelajaran menulis puisi dengan pemanfaatan lagu “ Berita Kepada Kawan” karya Ebiet G. Ade pada tahap ini dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam (1) memberi ilustrasi sederhana yang sesuai dengan isi puisi yang dibuatnya, (2) membaca puisi di depan kelas, (3) memajang puisi di masing, dan (4) mengemukakan penilaiannya terhadap puisi teman yang telah dipajang. Daftar Rujukan Ahmadi, Muksin. 1990. Strategi BelajarMengajar Keterampilan Berbahasa & Apresiasi sastra. Malang: YA3 Malang. Akhadiah, S.,dkk. 1997. Menulis I. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka. Anderson, Ronald H. 1987. Pemilihan dan Pengembangan Media untuk Pembelajaran. Jakarta: Rajawali. Dagher, Josep P. 1976. Writing A Practical Guide. Boston: Houghton Miffin Company. Dahar, Ratna.Willis. 1988. Teori-teori Belajar. Jakarta: Depdikbud. Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004. Jakarta: Depdiknas. Ellis, Aarthur. dkk. 1989. Elementary Language Arts Instruction. New Jersey: Eanglewood Cliffs. Ghazali, A.S. 2002. Penerapan Paradigma Konstruktivisme Melalui Strategi Belajar Kooperatif dalam Pembelajaran Bahasa. Dalam Jurnal Sumber Belajar Kajian Teori dan Aplikasi. Nomor 1 tahun 9 September 2002. Hal 109-137. Hudelson, Sarah. 1989. Write on Children Writing in ESL. New Jersey: Englewood Cliffs. Keraf, Gorys. Komposisi. Ende-Plores: Nusa Indah. Kustiono. 1996. Intensitas Pemanfaatan Sumber Belajar Lingkungan Masyarakat Oleh Guru Sekolah dasar di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Jurnal Pendidikan Humaniora dan Sains. Tahun 2, Nomor 1&2, September 95 & 96. Lie, Anita. 2002. Cooperative Learning. Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: Grasindo. Maleong, Lexy.J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Marwoto Ms., dkk. 1985. Komposisi Praktis. Yokyakarta: Hadinata. Milles, Muberman B. & A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Penterjemah Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: Universitas Indonesia. Nurgiantoro, Burham. 1995. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yokyakarta: BPFE. Nurhadi. 2002. Pendekatan Kontekstual. Malang: Universitas Negeri Malang. Puskur Depdiknas. 2002. Penilaian Berbasis Kelas. Jakarta: Balitbang Depdiknas. Ramli, A. 1999. The Expanding Environment Approach in Elementary Social Studies Education. Dalam Jurnal Ilmu Pendidikan. Tahun 29 Nomor 1 Januari 1999. Hal 29-40. Rubin, Dorothy. 1995. Teaching Elementry Language Arts. An Integrated Approach. Boston: Allyn Bacan. Sadiman, Arief S. dkk. 1990. Media Pendidikan. Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: Rajawali Semi, M.Atar. 1990. Menulis Efektif. Padang: Angkasa Raya. Sujana, Nana 2001. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Syafi’ie, Imam. 1988. Retorika dalam Menulis. Jakarta: Depdikbud. Tarigan, Henri Guntur. 1982. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Tompkins, Gael E. 1994. Teaching Writing Balancing Process and Product. New York: Macmillan Publishing. Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 221 PEMANFAATAN VIDEO PERAWATAN JENAZAH UNTUK PEMBELAJARAN FIQIH DI MADRASAH TSANAWIYAH Dra. Roihanah, M.A. Institut Agama Islam “Al-Qolam” Gondanglegi Malang Abstrak: Kehidupan dewasa ini, kemampuan memahami isi bacaan tidak hanya dibutuhkan oleh masyarakat akademis, tetapi juga diperlukan oleh berbagai kalangan masyarakat yang ingin memperoleh informasi melalui media tulis maupun media elektronik terutama pemanfaatan video. Kemampuan pemahaman dapat dipandang sebagai keterampilan untuk memperoleh pengetahuan dan memperluas informasi sebagai hasil dari kegiatan membaca bahasa tulis. Penggunaan strategi belajar kelompok dalam pembelajaran di kelas mempunyai beberapa tujuan, antara lain meningkatkan partisipasi siswa, memberi pelajaran kepemimpinan, memberi pengalaman membuat keputusan kelompok, dan memberi kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan belajar dengan siswa lain yang berasal dari latar belakang budaya, jenis kelamin, serta kemampuan yang berbeda. Tujuan kelompok merupakan insentif dalam belajar kooperatif yang membantu menciptakan semangat kelompok dan mendorong siswa untuk saling membantu. Kata Kunci: pembelajaran Fiqih, merawat jenazah, pemanfaatan video Pendahuluan Harapan yang tertuang dalam Kurikulum KTSP pelajaran Fiqih, selanjutnya dijabarkan dalam berbagai tujuan dan bentuk sasaran pembelajaran membaca yang bernuansa pemahaman isi bacaan pada setiap tingkatan akademis siswa. Bagi siswa Madrasah Tsanawiyah, butir-butir pembelajaran Fiqih yang dapat dilaksanakan dengan pembelajaran membaca pemahaman meliputi (1) membaca dan menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits yang berkenaan dengan perawatan jenazah, (2) membaca dan menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits serta tata cara yang berkenaan dengan memandikan jenazah, (3) membaca dan menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits serta tata cara mengafani jenazah, (4) membaca dan menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits serta tata cara mensholati jenazah baik sendirian 222 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka maupun dengan berjamaah, (5) membaca dan menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits serta tata cara menguburkan jenazah. Berdasarkan tinjauan psikologi kognitif diketahui bahwa anak yang telah berusia 11 tahun ke atas sudah berada pada tingkat perkembangan intelektual operasi formal (Piaget, dalam Dahar 1988:152). Hal itu menunjukkan bahwa siswa setingkat Madrasah Tsanawiyah sudah dapat menerima dan melaksanakan tuntutan kurikulum tersebut. Menurut Piaget, anak pada usia itu sudah mampu berpikir dalam empat tingkatan, yaitu (1) berpikir hipotesis-deduktif, (2) berpikir proposisional, (3) berpikir kombinatorial, dan (4) berpikir refleksif. Butir-butir pembelajaran dalam Garisgaris Besar Program Pembelajaran di atas mengarahkan siswa untuk mengolah pikirannya semaksimal mungkin dalam kegiatan membaca. Siswa diarahkan pada aktivitas menanggapi, meresapi, meresepsi, menyusun pertanyaan, mencari hubungan, penyatakan pendirian, dan menyimpulkan isi tayangan video. Semua aktivitas itu sudah dapat dilakukan oleh seorang anak pada tingkat perkembangan operasi formal melalui empat tingkatan berpikir tersebut. Pada tingkatan berpikir hipotesis deduktif, siswa sudah dapat menanggapi masalah dan menyusun pertanyaan berkaitan dengan isi video. Pada tingkatan berpikir proposisional, siswa sudah dapat menanggapi, menyusun pertanyaan, dan mencari hubungan yang tersirat dalam bacaan. Selanjutnya, pada tingkatan berpikir kombinatorial dan tingkatan berpikir reflektif, siswa sudah dapat melakukan semua tuntutan kurikulum tersebut. Sementara itu, kemampuan mereka pada tingkatan pemahaman yang lebih tinggi masih rendah. Kesulitan-kesulitan mereka pada tingkatan pemahaman itu ditemui pada beberapa butir pembelajaran membaca dan memahami ayat-ayat Alqur’an dan Hadits, yaitu (1) membaca dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits, (2) menentukan bahan dan media perawatan jenazah untuk kegiatan praktek, (3) belum terbiasa siswa untuk perawatan jenazah, baik memandikan, mengafani, dan menshalati jenazah (4) ada anggapan bahwa perawata jenazah itu adalah kwajiban pak modin/tokoh agama setempat. Fakta-fakta itu menuntut dilakukannya tindakan-tindakan lain dalam pembelajaran perawatan jenazah. Adanya kesulitan-kesulitan yang dialami oleh siswa dalam memahami isi bacaan ayatayat Al-Qura’an dan Hadits tersebut diduga sebagai akibat dari pelaksanaan pembelajaran yang masih terikat dengan penggunaan strategi konvensional dalam pembelajaran perawatan jenazah. Dalam strategi itu, siswa diperlakukan secara klasikal pada saat pembelajaran berlangsung. Akibatnya, siswa tidak mengetahui keterbatasan kemampuannya dalam setiap sajian materi pembelajaran. Selain itu, siswa tidak mendapat kesempatan untuk saling berbagi pengalaman dan kemampuan antara sesama mereka dalam proses pembelajaran. Dalam pembelajaran tersebut, guru masih beranggapan bahwa kemampuan siswa berpikir secara individual dalam konteks pembelajaran yang bersifat klasikal merupakan faktor utama untuk mencapai keberhasilan pembelajaran. Guru belum memberdayakan kelompok kecil dalam kelas, siswa tidak diberi tanggung jawab sepenuhnya tentang tugas yang diberikan, dan belum pernah menerapkan teknik diskusi. Dengan demikian, siswa tidak terbiasa berpikir kritis, bekerja sama, atau saling mengajari dalam proses pembelajaran. Metode Penelitian ini berupaya mengungkapkan berbagai fenomena berkaitan dengan pembelajaran yang berlangsung secara alamiah di dalam kelas melalui pengumpulan sejumlah data yang dapat memberikan makna dan informasi. Data yang diperoleh dianalisis secara induktif. Selanjutnya, hasil analisis data disajikan dalam bentuk deskripsi fenomena, bukan dalam bentuk perhitungan angka-angka. Paparan tersebut mengandung pemikiran bahwa penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pemikiran itu sejalan dengan karakteristik penelitian kualitatif yang dikemukakan oleh Bogdan dan Biklen. Bogdan dan Biklen (1992:3930) mengemukakan lima karakteristik penelitian kualitatif, yaitu (1) latar penelitian sebagai sumber pengambilan data bersifat alamiah dan peneliti berperan sebagai instrumen kunci, (2) bersifat deskriptif, (3) di samping hasil, proses perlu diperhatikan, (4) analisis data dilakukan secara induktif, dan (5) pemaknaan menjadi perhatian utama. Hasil dan Pembahasan Paparan untuk setiap siklus mengikuti urutan sajian yang diawali dengan gambaran singkat tentang persiapan pelaksanaan tindakan. Setelah itu disajikan gambaran proses pelaksanaan tindakan dan kemajuan siswa Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 223 dalam proses itu, serta gambaran perkembangan kemampuan pemahaman siswa yang dinilai dari produk tindakan pada setiap tahapan. Urutan sajian terintegrasi dengan urutan tahapan pembelajaran perawatan jenazah, yaitu (1) tahap praperawatan jenazah (tahap dimana siswa mendengarkan video tentang perawatan jenazah, membaca literatur/referensi tentang perawatan jenazah, mengamati demonstrasi guru tentang perawatan jenazah), (2) tahap saat perawatan jenazah (tahap siswa menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits tentang perawaant jenazah, membuat bagan perawatan jenazah, secara bergantian tiap kelompok mempraktekkan perawatan jenazah dan yang lain memperhatikan dan mencatat pokok-pokok penting dari hasil pengamatan), dan (3) tahap pascaperawatan jenazah (tahap dimana siswa melaksanakan unjuk kerja bersama kelompok, mendemonstrasikan hasil kerja kelompok). Setiap tahapan pembelajaran perawatan jenazah terdapat fase-fase pembelajaran strategi belajar berkelompok yang teraplikasi di dalamnya. Fase-fase tersebut ialah (1) fase persiapan yang meliputi pembentukan skemata dan penjajakan tugas-tugas yang diberikan, (2) fase pengumpulan informasi, (3) fase pertemuan siswa ahli, (4) fase laporan kelompok, (5) fase pemberian tes, dan (6) fase penghargaan. Di sisi lain, sajian dari setiap tahapan perawatan jenazah selalu mengacu pada proses pelaksanaan dan produk tindakan pembelajaran. Artinya, pada setiap tahap pembelajaran perawatan jenazah, dua aspek selalu dipaparkan, yaitu proses pelaksanaan tindakan dan produk yang dihasilkan dari pelaksanaan tindakan. Aspek proses dan produk pembelajaran dipaparkan secara terpisah agar perkembangan yang terjadi dari penggunaan strategi belajar berkolompok pada kedua aspek tersebut dalam pembelajaran perawatan jenazah dapat diketahui secara detail. Paparan tentang proses dan produk tindakan pembelajaran perawatan jenazah menyajikan dua hal yang berbeda. Proses 224 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka pelaksanaan tindakan menyajikan perkembangan perilaku siswa selama tindakan pembelajaran berlangsung, baik secara individual maupun kelompok. Sementara itu, produk pembelajaran menyajikan perkembangan kemampuan pemahaman siswa pada setiap tahapan pembelajaran perawatan jenazah, baik berbentuk pemahaman perawatan jenazah kelompok maupun pemahaman merawat jenazah siswa secara individual. Baik proses pelaksanaan tindakan maupun produk yang dihasilkan, keduanya mengacu pada pencapaian sejumlah indikator yang telah ditetapkan. Indikator proses pelaksanaan tindakan berkaitan dengan keaktifan dan penguasaan siswa atas proses pembelajaran yang dilaksanakan dengan strategi belajar kelompok. Sementara itu, indikator produk tindakan berkaitan dengan ketepatan pemahaman siswa pada fokus keterampilan pemahaman perawatan jenazah yang dikaji dalam bacaan ayatayat Al-Qur’an dan Hadits serta tujuan pembelajaran yang diharapkan. Pada saat pelaksanaan tindakan di kelas, siswa dibagi menjadi delapan kelompok asal yang masing-masing dinamakan kelompok A, kelompok B, kelompok C, kelompok D, kelompok E, kelompok F, kelompok G, dan kelompok H. Setiap kelompok beranggotakan empat orang, kecuali kelompok H dengan jumlah anggota sebanyak 3 orang. Kelompokkelompok itu dibentuk secara cermat oleh guru dengan mempertimbangkan keragaman siswa. Setiap kelompok diupayakan beragam ditinjau dari aspek kemampuan, jenis kelamin, serta etnis siswa. Masalah keragaman siswa itu dipertimbangkan dalam pembentukan kelompok asal dengan tujuan untuk memunculkan kekhasan strategi belajar kelompok. Pengambilan data untuk setiap siklus dilaksanakan dengan cara mengamati secara langsung proses pembelajaran perawatan jenazah di kelas dan menganalisis produk pembelajaran perawatan jenazah yang dihasilkan oleh siswa dari setiap tindakan pembelajaran. Selama pengamatan berlangsung, dilakukan pencatatan secara cermat, baik mengenai fenomena yang terjadi maupun yang tidak terjadi dalam pembelajaran perawaant jenazah. Sasaran pengamatan terutama diarahkan pada perilaku dan tuturan siswa serta tindakan dan tuturan guru. Selanjutnya, datadata tersebut dianalisis dengan menggunakan rambu-rambu yang telah disiapkan untuk mendapatkan informasi yang berguna bagi penelitian. Tes akhir dilaksanakan dengan menggunakan instrumen pengumpulan data berupa lembar tes. Tes itu dilaksanakan setelah keseluruhan proses pembelajaran perawatan jenazah berakhir yang bertujuan untuk mengetahui perkembangan kemampuan pemahaman siswa secara individual dan klasikal dalam praktek perawatan jenazah. Baik proses pelaksanaan maupun hasil tes akhir, tidak dipaparkan secara detail karena kegiatan itu dilaksanakan hanya untuk memperkuat data yang diperoleh dalam pembelajaran perawatan jenazah dengan strategi belajar kelompok pada setiap siklus tindakan. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa strategi belajar kelompok dapat meningkatkan kemampuan pembelajaran Fiqih pada pokok bahasan perawatan jenazah. Peningkatan itu terjadi pada proses dan produk pembelajaran. Uraian lebih rinci ialah sebagai berikut. Pertama, strategi belajar kelompok dapat meningkatkan kemampuan pemahaman perawatan jenazah siswa Madrasah Tsanawiyah, pada tahap apersepsi dan eksplorasi. Peningkatan proses pembelajaran berupa (1) peningkatan keseriusan, keresponsipan, serta kerja sama siswa dalam proses pembentukan skemata, dan (2) peningkatan keseriusan, keresponsipan, serta kerja sama siswa dalam proses penjajakan tugas-tugas yang diberikan. Peningkatan produk pembelajaran berupa (1) peningkatan pemahaman siswa tentang video yang ditayangkan sebelum kegiatan perawatan jenazah dilaksanakan, dan (2) peningkatan pemahaman siswa tentang tugas-tugas yang akan mereka kerjakan. Kedua, strategi belajar kelompok dapat meningkatkan pemahaman perawatan jenazah siswa Madrasah Tsanawiyah, pada tahap elaborasi. Peningkatan proses pembelajaran berupa peningkatan keseriusan, keresponsipan, dan kerja sama siswa dalam melakukan kegiatan pengumpulan informasi dari bacaan. Peningkatan produk pembelajaran berupa (1) peningkatan pemahaman siswa tentang ayat-ayat dan tata cara memandikan jenazah, (2) peningkatan pemahaman siswa tentang ayat-ayat dan tata cara mengafani jenazah, (3) peningkatan pemahaman siswa tentang ayat-ayat dan tata cara menshalati jenazah, dan (4) peningkatan pemahaman siswa tentang ayat-ayat dan tata cara menguburkan jenazah baik secara kelompok ataupun secara individual. Ketiga, strategi belajar kelompok dapat meningkatkan kemampuan perawatan jenazah pada siswa Madrasah Tsanawiyah. Peningkatan proses pembelajaran berupa (1) peningkatan keseriusan, keresponsipan, serta kerja sama siswa dalam melakukan diskusi kelompok, dan (2) peningkatan keseriusan, keresponsipan, serta kerja sama siswa dalam kegiatan saling mengajari pada pelaksanaan laporan siswa. Daftar Rujukan: Bogdan, Robert C. & Biklen, Sari Knopp. 1982. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon. Depdikbud. 1999. Penelitian Tindakan (Action Research): Bahan Pelatihan. Jakarta: Dirjen Dikdasmen. Eanes, Robin. 1997. Content Area Literacy: Teaching For Today and Tomorrow. Albany: Delmar Publishers. Fachrurrazy. Pendekatan Konstruktivis untuk Pengajaran Reading Bahasa Inggris. Jurnal Sumber Belajar Kajian Teori dan Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka 225 Aplikasi. Nomor 1, 8 Oktober 2001. Malang:LP3 UM. Ghazali, A. Syukur. 2001. Strategi Belajar Kooperatif dalam Belajar Mengajar Kontekstual. Jurnal Sumber Belajar Kajian Teori dan Aplikasi. Nomor 1, 8 Oktober 2001. Malang:LP3 UM. Harris, Albert J & Sipay, Edward R. 1980. How to Increase Reading Ability. New York: Longman. Krashen, Stephen D. & Terrel, Tracy D. 1983. The Natural Approach: Language Acquisition in the Classroom. Oxford: Pergamon Press. Kemenag. 2006. Silabus Mata Pelajaran Fiqih untuk M.Ts. Jakarta: Kemenag. 226 Prosiding Seminar Internasional Membudayakan Menulis Kelas Dunia untuk Membangun Kualitas Pustaka Miles, Mtthew B. & Huberman, A. Michael. Qualitatif Data Analysis. (dialihbahasakan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi tahun 1992). Jakarta: Universitas Indonesia. Nur, Muhamad & Wikandari. 2000. Pengajaran Berpusat kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Surabaya: Unesa. Suyanto, Kasihani K. E. 2002. Penelitian Tindakan Kelas dan Refleksi Pengajaran Guru SLTP (Materi TOT CTL Mata pelajaran Bahasa Inggris SLTP). Malang: Fakultas Sastra UM. Wiryodijoyo, Suwaryono. 1989. Membaca: Strategi Pengantar dan Tekniknya. Jakarta: Depdikbud.