Totemisme, apa itu?

advertisement
Totemisme, apa itu?
Written by Mudjia Rahardjo
Sunday, 21 February 2010 02:54 - Last Updated Sunday, 21 February 2010 03:08
Pernahkah anda mendengar atau mungkin mengetahui bahwa nama-nama hewan seperti gude
l
(anak kerbau),
pedet
(anak sapi), kancil,
beluk
(anak kuda) dan sebagainya dijadikan nama diri atau nama panggilan seseorang? Bagi orang
yang hidup di masyarakat modern, pemberian nama hewan sebagai nama diri tentu sangat
aneh sepertinya
kok
tidak ada lagi nama lain yang lebih baik. Padahal, nama itu sangat penting karena menyangkut
identitas, jati diri dan bahkan harga diri seseorang. Islam bahkan mengajarkan agar kita
memberi nama yang baik kepada anak keturunan kita. Harapannya adalah agar kelak si anak
akan menjadi orang baik, sebaik nama yang disandang.
Kendati pujangga kenamaan Inggris William Shakespeare mengatakan “What is in a name?
(Apalah arti sebuah nama?), menurut saya persoalan nama bukan masalah sepele. Buktinya,
orang bisa marah ketika namanya dilecehkan, dicemarkan atau dibuat permainan. Tidak
percaya? Silakan mencoba. Saya yakin anda akan berurusan dengan aparat penegak hukum
jika orang yang kita lecehkan namanya tidak terima. Lihat saja itu Dr. Chusnul Mariyah, anggota
KPU, saat ini sedang berurusan dengan aparat penegak hukum karena dianggap melecehkan
nama baik seseorang.
Kadang-kadang tidak saja nama hewan yang dipakai sebagai nama diri, tetapi juga nama-nama
wayang, tanaman (tumbuhan), dan benda tertentu. Saya mempunyai tetangga yang anaknya
dipanggil Pedhet. Anehnya, anak tersebut juag menerima saja dengan panggilan tersebut.
Bahkan ada juga kerabat saya yang bernama Bagong. Ketika saya masih kecil, saya takut
untuk memanggil namanya Pak Bagong. Saya mengira itu bukan nama sebenarnya atau
mungkin penggilan akrab bagi orang sebaya. Ternyata saya salah. “Bagong” adalah nama dia
sejak lahir. Padahal, orangnya tinggi besar, sama sekali tidak sama dengan Bagong yang ada
dalam pewayangan,
gendhut dan cebol. Saya tidak tahu mengapa
orangtuanya memberi nama dia Bagong. Mungkin saja ketika hamil, ibunya sangat suka
wayang, khususnya Bagong atau
nyi
dam
wayang Bagong.
He he! Opo yo ono?
Nama Bagong ternyata juga dapat kita temukan di tempat lain. Anda yang sering bepergian
1/4
Totemisme, apa itu?
Written by Mudjia Rahardjo
Sunday, 21 February 2010 02:54 - Last Updated Sunday, 21 February 2010 03:08
Malang-Blitar pasti pernah tahu ada bus yang diberi nama “Bagong”. Menurut cerita teman
saya, nama pemilik bus itu memang Pak Bagong. Kalau begitu, dia pasti orang kaya. Kalau
tidak kaya, tidak mungkin dia memiliki beberapa bus. Realitasnya Pak Bagong ini sama sekali
tidak sama dengan gambaran wayang Bagong, sebagai salah satu anggota punokawan, yang
merepresentasikan rakyat jelata yang miskin bersama Semar, Petruk, Gareng, dan Limbuk..
Selain Bagong, nama Gareng juga sering kita jumpai di masyarakat. Bahkan di Ponorogo ada
penjual nasi tahu lonthong tradisional di tengah kota, langganan saya, bernama mbah Gareng.
Nasinya lumayan enak dan bisa membuat kita
tuman. Alasan saya
semula membeli nasi tahu
lonthong
di tempat itu karena saya penasaran dengan nama penjualnya. Seperti apa sih mbah Gareng
itu? Jadi tidak karena ingin merasakan seperti apa rasanya nasi tahu
lonthong
nya. Ternyata orangnya cukup gagah, bahkan lebih gagah ketimbang saya.
He he
! Anak saya yang paling kecil pernah
nyelethuk
“orangnya gagah begitu, tapi
kok
bernama mbah Gareng ya Pak? Kalau di pewayangan Gareng kan kecil ya pak? “. Tanpa saya
duga ternyata mbah Gareng mendengar
celethukan
anak saya tersebut. Tetapi mbah Gareng, yang ketika itu banyak pembeli yang dilayani, sama
sekali tidak marah dan malah senyum-senyum saja mendengar bisik-bisik anak saya itu.
Mungkin dia berpikir mengapa dahulu orangtuanya memberi nama dia Gareng. Atau dia berpikir
walaupun namanya Gareng yang penting warung nasinya besar dan banyak duitnya daripada
namanya mentereng, tapi gak punya duit.
He he
! .
Lho, kita tidak usah jauh-jauh bahas mbah Gareng yang di Ponorogo atau Pak Bagong yang
punya bus jurusan Malang-Blitar. Warga besar Universitas ini kan pernah punya Ketua BEM
bernama Obeng ! Dia punya nama asli yang cukup baik. Tetapi di setiap kesempatan, dia selalu
mengenalkan diri dengan nama Obeng. Suatu kali saya pernah membuktikan bagaimana dia
mengenalkan diri di depan publik. Ternyata benar. Dengan sangat percaya diri dia menyebut
namanya Obeng.
2/4
Totemisme, apa itu?
Written by Mudjia Rahardjo
Sunday, 21 February 2010 02:54 - Last Updated Sunday, 21 February 2010 03:08
Pembaca !
Bagaimana kita menjelaskan fenomena semacam itu dalam sebuah disiplin ilmu tertentu? Para
pakar antropologi menyebut fenomena di atas sebagai totemism atau totemisme. Mungkin tidak
banyak orang mengenal istilah
totemism
atau totemisme, apalagi memahami artinya. Sebab, ia adalah istilah teknis dalam antropologi.
Menurut The New Grolier Webster International Dictionary of the English Language- Volume II
(1974: 1040),
totemism adalah ”The practice of having totems; the system of tribal
division according to totems; belief in relationships between people or groups of people and
totems”.
Totem sendiri diartikan sebagai “Among
primitive culture, an object or thing in nature, often an animal, assumed as the token or emblem
of a clan, family, or related group; a representation of such an object serving as a distinctive
mark of the clan or group”.
Jika diartikan secara bebas totemisme adalah praktik penggunaan nama-nama hewan,
tanaman atau benda tertentu sebagai nama diri karena adanya pandangan tentang hubungan
personal yang bersifat sakral antara individu dalam masyarakat primitif dengan hewan, benda,
dan tumbuhan tertentu di sekitarnya. Jadi kata kuncinya adalah totemisme terjadi di masyarakat
primitif atau tradisional, di mana orang mempercayai bahwa hewan, tumbuhan, atau benda
tertentu memiliki nilai sakral. Oleh karena itu, nama-nama hewan, tumbuhan dan benda-benda
tertentu seperti pedhet, pecok, kancil, gareng dan sebagainya kita jumpai untuk dijadikan nama
diri agar pemakai nama tersebut selamat, banyak rezeki, hidupnya tenteram dan lain
sebagainya.
Belakangan fenomena totemisme tidak saja dikaji oleh para ahli atau peminat studi
antropologi, tetapi juga antropolinguistik dan sosiolinguistik. Dua kelompok pengkaji terakhir
berangkat dari tesis Sapir–Whorf, dua peneliti bahasa dan budaya yang menawarkan hipotesis
“language shapes culture”, yakni bahasa dapat menentukan sosok kebudayaan. Cara berpikir
adalah bagian dari kebudayaan. Jadi bahasa atau kata dapat membentuk sosok pikiran kita.
Hipotesis Sapir-Whorf berbeda dengan pandangan para teoretisi sebelumnya yang berasumsi
bahwa pikiranlah yang membentuk bahasa. Jadi bahasa terbentuk setelah pikiran ada, sebuah
asumsi yang terjadi bagi kebanyakan orang.
3/4
Totemisme, apa itu?
Written by Mudjia Rahardjo
Sunday, 21 February 2010 02:54 - Last Updated Sunday, 21 February 2010 03:08
Dapat diilustrasikan pula bagaimana jika seseorang diberi label “maling” di sebuah masyarakat.
Kata “maling” tersebut pasti melahirkan sederet definisi atau pandangan tentang orang
tersebut, seperti jahat, jelek, dihindari, diwaspadai dan sebagainya. Dengan kata lain, kata
“maling” sangat menyiksa dia. Dengan demikian, bahasa benar-benar telah menjadi penjara
bagi orang itu. “Language is a real prison”.
Dengan menggunakan hipotesis Sapir-Whorf tersebut, maka jika Pedhet dipakai sebagai nama
diri seseorang kita bisa membayangkan atau berpikir sosok manusia atau orang macam apa
pengguna nama
pedh
et
itu.
Begitu juga seterusnya untuk nama-nama tumbuhan, atau benda-benda tertentu yang lain.
Karena totemisme itu umumnya terjadi di masyarakat primitif atau tradisional, kendati istilah
primitif atau tradisional didefinisikan secara berbeda-beda oleh para sosiolog, maka untuk
membayangkan sosok pikiran macam apa yang terjadi pada pengguna totemisme tersebut
tampaknya kita perlu berempati dulu dengan anggota masyarakat primitif. Para penggagas
aliran fenomenologi menganjurkan untuk memahami dunia batin seseorang kita harus belajar
berempati dengan seseorang tersebut, kendati kita tidak harus menjadi dia. Sebab, meminjam
istilah Brian Fay dalam Contemporary Philosophy of Social Science (1998: 9) “We don’t have to
be one to know one”. Artinya, untuk memahami seseorang, kita tidak harus menjadi orang itu,
dan memang tidak mungkin.
Tetapi ketika saya sedang mencoba memahami fenomena totemisme secara komprehensif,
tiba-tiba dari benak saya muncul pkiran apa benar totemisme itu hanya terjadi di masyarakat
primitif atau tradisional, seperti di daerah-daerah pedesaan di Indonesia. Sebab, tidakkah di
masyarakat yang super maju seperti Amerika fenomena totemisme juga terjadi? Banyak orang
Barat bernama Mr. Hill, Mr. Can, Mr. Wood dan sebagainya. Bahkan, bukankah Presiden
Amerika Serikat saat ini bernama Bush, yang dalam bahasa Indonesia berarti semak? Dan,
semak adalah nama tumbuhan. Lalu dengan demikian apa kita bisa menyebut Amerika sebagai
masyarakat primitif atau tradisional?
Kalau begitu pembahasan tentang totemisme memang tidak akan selesai dalam tulisan Kolom
ini. Lebih baik kita bahas secara tuntas dalam diskusi di matakuliah antropologi,
antropolinguistik atau sosiolinguistik. Atau, di lain kesempatan jika waktu memungkinkan.
4/4
Download