Judul : Penatalaksanaan Nyeri Pada Kanker Disusun oleh : Nina Mariana Pembimbing : dr Sulistia Gan, SpFK IDENTITAS PASIEN Nama : Ny Sri utami Tempat tanggal lahir : 6 des 1966 Umur : 47 th Status : menikah dengan dua anak Pekerjaan : tidak bekerja Masuk RS : 24-6-2013 ANAMNESIS Keluhan Utama : Nyeri seluruh tubuh sejak 3 hari SMRS Riwayat penyakit Sekarang: keluhan utama saat datang ke igd adalah nyeri seluruh tubuh. Sejak 2 minggu smrs pasien mulai merasa nyeri seluruh tubuh dan mulai memberat sejak 1 minggu smrs, disertai mual dan muntah. Asupan makanan baik, buang air besar dan buang air kecil normal tidak ada keluhan, batuk disangkal. 2 tahun smrs teraba benjolan di leher kanan I buah dan leher kiri 3 buah sebesar kuran lebih 4 cm, tidak nyeri, kemerahan, keras, tidak mudah digerakan dari dasarnya. 1,5 tahun smrs benjolan semakin membesar, sulit mengangkat lengan kanan karena nyeri. Dilakukan biopsy di RSUD Bekasi oleh spesialis bedah hasilnya limfadenopati, benjolan tidak nyeri, tanpa tanda radang, ulang biopsi oleh spesialis THT dari hidung hasilnya Ca nasofaring, rujuk RSCM 1 tahun 2 bulan smrs di RSCM dilakukan biopsy ulang oleh spesialis THT dari rongga hidung, didapat karsinoma nasofaring(KNF), dilakukan staging lengkap, menjalani pemeriksaan ct scan nasofaring, usg abdomen, bone scan didapatkan penyebaran ke vertebra L4 T12. Selama rawat jalan ( 1 tahun smrs) benjolan dikedua leher semakin membesar, pecah, mengeluarkan darah dan 1 terasa nyeri (Vas 7-8). Lengan kanan semakin sulit diangkat karena nyeri. Terdapat nyeri didaerah punggung bawah, terutama saa duduk. Nyeri tidak menjalar ke tungkai bawah, tidak ada baal maupun kesemutan. Mulai kemoterapi November 2012 (± 10 bulan smrs) injeksi cisplastin 5 Fu sampai dengan 3 siklus, terakhir Februari 2013 (± 5 bulan smrs) dilanjutkan evaluasi. Benjolan dirasakan mengecil, luka mengering, karena alasan pembiayaan pasien tidak kontrol lagi. Saat ini benjolan makin besar dan terdapat luka basah kembali. Pasien menderita DM sejak lebih 10 tahun lalu, mendapat nouvorapid 3 x 10U sc dan lantas 1 x 100 sc, terakhir dipakai 5 bulan lalu(Februari 2013). Setelah itu pasien tidak kontrol lagi. Keluhan mata kabur, kaki tangan kesemutan/baal ada, nyeri dada disangkal. Riwayat Penyakit Dahulu: hipertensi (-), Diabetes Melitus (+) Riwayat Penyakit Keluarga: Diabetes Melitus (+), hipertensi (-), alergi (-), asam (-), kakak pasien menderita tumor kandungan Riwayat Sosial: Pasien seorang ibu rumah tangga, dengan dua anak, tidak bekerja. Biaya pengobatan jamkesmas Pemeriksaan Fisik Status Generalis Keluhan utama: tampak sakit sedang TD (kanan& kiri) :134/93 mmHg Nadi: 102x/menit, RR:35 x/mnt Suhu:36,6°C VAS : 7-8 Kepala : normochepal Mata: konjungtiva tidak anemis,sklera tidak ikterik. THT : discharge (-), KGB retroaurikuler tidak teraba Leher : Leher : terdapat benjolan a/r colli dekstra diameter ±10 cm et sinistra diameter ± 7 cm. Keras, terfixir, dengan pus dan nyeri Toraks : simetris Jantung : BJ I-II (reguler), murmur tidak ada Paru : Vesikuler+/+ rhonki -/-, wheezing -/- 2 Abdomen: datar, BU (+) Normal. Ekstremitas: akral hangat, pitting edema a/r brachii dan antebracii dextra Status neurologi GCS E4M6V5=15 Pupil : bulat, isokor diameter 3 mm/3mm, Refleks cahaya langsung +/+ dan refleks cahaya tidak langsung +/+ Tanda Rangsang Meningen: kaku kuduk tidak dilakukan. Kernig > 135/>135, laseque >70/>70 patrick +/+ contrapatrick +/+ Nervus Cranial: tidak ada paresis Motorik : XXXX/5555 X= nyeri 4+4+4+4+/4+4+4+4+ Atropi / tungkai bawah Refleks Fisiologis : Biseps +2|+2 Patella +1| +1 Trisep +1|+1 Achilles +1| +1 Refleks Patologis : babinski negatif Sensorik :hipestesi segmental th12-L2 kanan dan kiri Otonom : baik Pemeriksaan Penunjang Funduskopi: ◦ ODS : papil bulat, batas tegas, cupping (+), A/V 2: 3, perdarahan dot (+), exudat (+) ◦ Kesan : retinopati DM ODS Hasil Pemeriksaan KHS pada tangan kanan, tungkai kanan dan kiri (26 Juli 2012): Sesuai dengan polineuropati motorik dan sensorik 3 Hasil PA dari sediaan nasofaring ( 01-08-2012): Karsinoma nasofaring, tidak berkeratin, tidak berdiferensiasi (WHO-3). Tipe A, derajat keganasan menengah (WF) Radiologi Toraks (12 Juni 2013): tidak tampak kelainan jantung d an pulmo Radiologi vertebrae thorakal dan lumbal (17 Juni 2013) : Sesuai gambaran metastasis pada vertebrae Th 12 dan L4 MRI Torakal & Lumbosakral (28 Juni 2013): sugestif gambaran metastasis dengan fraktur kompresi pada korpus vertebra th 12 Spondiloartrosis thorakolumbal dengan HNP L2-3, L3-4 dan L5-S tanpa penekanan radiks CT Nasofaring dengan kontras (2/7/2013): Massa maligna pada regio colli bilateral, sugestif melibatkan kelenjar parotis. Penebalan nasofaring sisi kiri. Masih mungkin limfadenopati retrofaring Bone scan (4 Juli 2013) : Tampak peningkatan aktifitas patologis pada vertebrae Th12 dan L4 Tampak tangkapan aktivitas pada regio colli bilateral (soft tissue) Tampak pula tangkapan aktivitas di regio sinus paranasal (DD/ sinusitis) Aktivitas pada tulang-tulang lainnya tampak merata dan simetris Dibandingkan bone scan 28 Agustus 2012 gambaran metastasis pada tulang relatif stqa Vertebrae thorakal dan lumbosakral (10-7-2013): Dibandingkan radiografi vertebra lumbal tanggal 17/6/2013 saat ini : ◦ Sklerotik pedikel T12 kanan kiri stqa ◦ Pedikel L4 kiri suram ◦ Spondilosis lumbalis ◦ Sesuai gambaran metastasis tulang pada T12 4 Hasil Lab mikrobiologi (18-6-2013): Pulasan gram (Pus): batang gram (-): jarang. Leukosit: 2-3/lpb. Epitel : 10-1/lpb Biakan: isolate 1: enterobacter aerogenes. Isolate 2: pseudomonas aeruginosa Ceftazidine isolate 1 dan 2 : sensitive Hasil Laboratorium darah (24-7-2013): Pemeriksaan Hb Ht Leukosit Trombosit MCV MCH MCHC LED PT APTT D-dimer Hasil 8,28 g/dl 23,4 15.000 868.000 11,5/12,2 38,9/33,6 500 Normal 13-16 40-48 5000-10000 150-400.000 82-92 27-31 32-36 Pemeriksaan SGOT SGPT Natrium Kalium Calcium Ureum Kreatinin Diff count GDS Albumin Fibrinogen Hasil 13 15 138 6,4 102 15 1,9 Normal 10-35 <10-36 132-147 3,3-5,4 310 2,96 346,1 70-140 Daftar masalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. KNF T1N3M1 metastase tulang dengan cancer pain Paraparesis LMN, hipestesi segmen Th 12-L2 ec susp HNP dd/metastasis DM tipe 2 on GD belum terkontrol Massa colibilateral terinfeksi dengan hipercoagulable state Anemia Hipertensi grade I Trombosit reaktif Hipoalbuminemia ec susp wound loss dd/ nefropati dm (renal loss) 5 <50 0,8-1,3 136-384 Terapi: ◦ O2 3 lpm ◦ Pain management: duragesic pain 50 mcg/72 jam MST 2 x 15mg po Ketorolac 3 x 30mg k/p (iv) ◦ Ivfd nacl o,9 % 500 cc/12 jam ◦ Laxadin 3x 15 cc ◦ Ceftazidine 3 x 1 gram (iv) ◦ Captopril 3 x 25 mg po ◦ Ondancentron 3x 8 mg (iv) ◦ Ascardia 1 x 80 mg po ◦ Simvastatin 1x 20 mg po ◦ Novorapid 3 x 6 unit ◦ Domperidon 3 x 10mg (iv) kp ◦ Omeprazole 1x 40 mg (iv) ◦ Diet protein ◦ Kemoterapi (setelah radioterapi selesai): protokol Docetaxel, Cisplastin, 5FU 6 FOLLOW UP 1/7/13 S Mual Muntah + , demam -, nyeri + O TD: 140/80 N: 85x/m T: 36,9c RR: 20 x/m PF: stq VAS 72 2/7/13 Muntah- , mual ±, demam-, nyeri + 3/7/13 Nyeri pada massa leher,demam -, muntahTD:160/80 N: 92x/m T: 36,7c RR: 20x/m PF:stq VAS 5 A Stqa P 02 3 lpm nasal kanul Duragesic patch 50mcg/3hr MST 2 x 20g po Paracetamol 3 x 1000mg Profenid supp100mg kp Ceftazidine 3x 1g (H+8) Heparin 10000 unit/24jam Radiologi paliatif Kemoterapi TPF(setelah radioterapi selesai) Insulin 3 x 6 U KGDH senin-rabu-jumat Ondansentron 3x 8mg Domperidone 3x10mg(jk mual) Omeprazol 1 x 40 mg iv Ascardia 1x80mg Simvastatin 1 x 20mg Captropil 2 x 12,5mg stqa 02 3 lpm nasal kanul Duragesic patch 50 mcg/3hr MST 2 x 20g po Paracetamol 3 x 1000mg Profenid supp100mg kp Ceftazidine 3x 1g (H+9) Heparin 10000 unit/24jam Radiologi paliatif Kemoterapi TPF(setelah radioterapi selesai) Insulin 3 x 6 U KGDH senin-rabu-jumat Ondansentron 3x 8mg Domperidone 3x10mg(jk mual) Omeprazol 1 x 40 mg iv Ascardia 1x80mg Simvastatin 1 x 20mg Captropil 2 x 12,5mg stqa 02 3 lpm nasal kanul Duragesic patch 50 mcg/3hr MST 2 x 20g po Paracetamol 3 x 1000mg Profenid supp100mg kp Ceftazidine 3x 1g (H+10) Heparin 10000 unit/24jam Radiologi paliatif Kemoterapi TPF(setelah radioterapi selesai) Insulin 3 x 6 U KGDH senin-rabu-jumat Ondansentron 3x 8mg Domperidone 3x10mg(jk mual) Omeprazol 1 x 40 mg iv Ascardia 1x80mg Simvastatin 1 x 20mg Captropil 2 x 12,5mg 7 4/7/13 S Nyeri leher (+) O VAS 3 A Stqa P 02 3lpm nasal kanul Durogesic patch 50mcg/3hr MST 2x 20mg po Paracetamol 3 x 1000mg Profenid supp 100mg kp Ceftazidine 3 x1gr (H+11) 5/7/13 Nyeri leher (+) stqa 02 3 lpm nasal kanul Durogesic patch 50mcg/72jam MST 2 x 20gpo Paracetamol 3 x 1000mg Profenid supp100mg kp Ceftazidine 3x 1g (H+12) Heparin 10000 unit/24jam Radiologi paliatif ke-8 Kemoterapi TPF(stlh radioterapi selesai) Insulin 3 x 6 U KGDH senin-rabu-jumat Ondansentron 3x 8mg Domperidone 3x10mg(jk mual) Omeprazol 1 x 40 mg iv Ascardia 1x80mg Simvastatin 1 x 20mg Captropil 2 x 12,5mg 8 6/7/13 Nyeri leher(+) VAS 3 stqa 02 3 lpm nasal kanul Durogesic patch 50 mcg/72jam MST 2 x 20g Paracetamol 3 x 1000mg Profenid supp100mg kp Ceftazidine 3x 1g (H+13) Heparin 10000 unit/24jam Radiologi paliatif(kurang 2x) Kemoterapi TPF(setelah radioterapi selesai) Insulin 3 x 6 U KGDH senin-rabu-jumat Ondansentron 3x 8mg Domperidone 3x10mg(jk mual) Omeprazol 1 x 40 mg iv Transfusi PRC 300cc cekDPL seriaL Ascardia 1x80mg Simvastatin 1 x 20mg Captropil 2 x 12,5mg 7/7/13 Nyeri leher (+) S O A Stqa P 02 3 lpm nasal kanul Duragesic patch 50 mcg/3hr MST 2 x 20g po Paracetamol 3 x 1000mg Profenid supp100mg kp Ceftazidine 3x 1g (H+14) Heparin 10000 unit/24jam Radiologi paliatif Kemoterapi TPF(setelah radioterapi selesai) Insulin 3 x 6 U KGDH senin-rabu-jumat Ondansentron 3x 8mg Domperidone 3x10mg(jk mual) Omeprazol 1 x 40 mg iv Ascardia 1x80mg Simvastatin 1 x 20mg Captropil 2 x 12,5mg Kultur pus /minggu 8/7/13 Nyeri leher (+) 9/7/13 Nyeri leher (+) stqa 02 3 lpm nasal kanul Duragesic patch 50 mcg/3hr MST 2 x 20g po Paracetamol 3 x 1000mg Profenid supp100mg kp Ceftazidine 3x 1g (H+15) Heparin 10000 unit/24jam Radiologi paliatif Kemoterapi TPF(setelah radioterapi selesai) Insulin 3 x 6 U KGDH senin-rabu-jumat Ondansentron 3x 8mg Domperidone 3x10mg(jk mual) Omeprazol 1 x 40 mg iv Ascardia 1x80mg Simvastatin 1 x 20mg Captropil 2 x 12,5mg stqa 02 3 lpm nasal kanul Duragesic patch 50 mcg/3hr MST 2 x 20g Paracetamol 3 x 1000mg Profenid supp100mg kp Ceftazidine 3x 1g (H+16) Heparin 10000 unit/24jam Radiologi paliatif Kemoterapi TPF(setelah radioterapi selesai) Insulin 3 x 6 U KGDH senin-rabu-jumat Ondansentron 3x 8mg Domperidone 3x10mg(jkmual) Omeprazol 1 x 40 mg iv Ascardia 1x80mg Simvastatin 1 x 20mg Captropil 2 x 12,5mg 9 S 10/7/13 Nyeri 11/7/13 Badan nyer i+ O VAS 5 A Stqa P 02 3 lpm nasal kanul Duragesic patch 50mcg/3hr MST 2 x 20g Paracetamol 3 x 1000mg Profenid supp100mg kp Ceftazidine 3x 1g (H+17) Heparin 10000 unit/24jam Radiologi paliatif Kemoterapi TPF(setelah radioterapi selesai) Diet DM 1900 Insulin 3 x 6 U KGDH senin-rabu-jumat Ondansentron 3x 8mg Domperidone 3x10mg(jk mual) Omeprazol 1 x 40 mg iv Ascardia 1x80mg Simvastatin 1 x 20mg Diet protein Captropil 2 x 12,5mg stqa 02 3 lpm nasal kanul Duragesic patch 50 mcg/3hr MST 2 x 20g Paracetamol 3 x 1000mg Profenid supp100mg kp Ceftazidine 3x 1g (H+18) Heparin 10000 unit/24jam Radiologi paliatif Kemoterapi TPF(setelah radioterapi selesai) Diet DM 1900 Insulin 3 x 6 U KGDH senin-rabu-jumat Ondansentron 3x 8mg Domperidone 3x10mg(jk mual) Omeprazol 1 x 40 mg iv Ascardia 1x80mg Simvastatin 1 x 20mg Diet protein Captropil 2 x 12,5mg 10 12/7/13 Demam-, muntah mual-, makan baik TD:130/80 N:94 T: 36c RR: 20x/m stqa 02 3 lpm nasal kanul Duragesic patch 50 mcg/3hr MST 2 x 20g Paracetamol 3 x 1000mg Profenid supp100mg kp Ceftazidine 3x 1g (H+19) Heparin 10000 unit/24jam CCT ulang bila baik resep cisplatin 5 FU Diet DM 1900 Insulin 3 x 6 U KGDH senin-rabu-jumat Ondansentron 3x 8mg Domperidone 3x10mg(jk mual) Omeprazol 1 x 40 mg iv Ascardia 1x80mg Simvastatin 1 x 20mg Diet protein Captropil 2 x 12,5mg 16/7/13 S Nyeri +, makan habis O TD: 150/80 N: 95x/m T:afebris RR: 20x/m Lab: Hb/Ht/leu: 10,5/31,1/2310 A Stqa P Gabapentin 3 x 300mg po Duragesic patch 50 mcg/3hr MST 2 x 30g pomg Paracetamol 3 x 500 mg Profenid supp100mg kp Th/ lain teruskan S 19/7/13 Nyeri vas 7-8 (pagi) setelah minum obat vas 5 17/7/13 Nyeri + Vas 5 18/7/13 Nyeri + Vas 3-4 stqa Gabapentin 3 x 300 mg po MST 2 x 30mg Durogesic patch 50mcg /72 jam Paracetamol 3 x 500mg Profenid supp100mg kp Th/ lain teruskan stqa Gabapentin 3 x 300mg po MST 2 x 30mg Durogesic patch 50mcg/72 jam Paracetamol 3 x 500mg Profenid supp100mg kp Th/ lain terukan 20/7/13 Nyeri leher hilang timbul O TD:130/80 N:94 T: 36c RR: 20x/m TD: 140/80 T: afebris N:80 x/m A Stqa P Gabapentin 3 x 300mg MST 2 x 30mg Durogesic patch 50mg/72 jam Paracetamol 3 x 500mg Terapi lain teruskan stqa Gabapentin 3 x 300mg MST 2 x 30mg Durogesic patch 50mg/72 jam Paracetamol 3 x 500mg Profenid supp Kemoterapi sesuai protocol Ceftazidine 3 x 1gr Laxadin 3 x 15ml 11 21/7/13 Nyeri daerah leher+, rencana kemoterapi hari ini ditunda karena akses perenteral bocor(konsul aneastesi) TD:130/80 N:94 T: 36c RR: 20x/m VAS 5-6 stqa Gabapentin 3 x 300mg MST 2 x 30mg Durogesic patch 50mg/72 jam Profenid supp Terapi lain teruskan Laxadin 3 x 15 ml 22/7/13 S Nyeri berkurang. Akses belum terpasang O TD: 130/80 N: 80x/m T: afebris RR: 20x/m Lab: PT:10,2/11,8 Fibrinogen 346,1 Dmer: 500 Ur/cr: 24/0,80 23/7/13 Nyeri leher A Stqa P MST 2 x 30mg Durogesic patch 50mcg/72jam Paracetamol 3 x 500mg Gabapentin 3 x 300mg Th/protocol kemo bisa terlaksna Th/lain teruskan stqa MST 2 x 30mg Durogesic patch 50mcg/72 jm Paracetamol 3 x 500mg Gabapentin 3 x 300mg Profenid k/p Th/protocol kemo bisa terlaksna Th/lain teruskan TD: 130/80 T:afebris x/m 25/7/13 Kontak baik, nyeri berkurang O TD:130/80 N:94 T: 36c RR: 18x/m VAS 3-4 N: 80x/m RR:20 26/7/13 Kontak baik, nyeri berkurang setelah minum obat Lab: DPL: 9,6/29,1/264/9,66 Albumin: 3,28 Elektrolit: Na/K/Cl: 40/3,61/99,1 A Stqa stqa P Gabapentin 3 x 300mg Gabapentin 3 x 300mg Durogesic patch Durogesic patch 50mcg/72 50mcg/72 am jam MST 2 x 30mg MST 2 x 30mg Th/ lain teruskan Th/lain teruskan Beberapa hari kemudian, pasien diperbolehkan rawat jalan. S 24/7/13 Nyeri masih sering hilang timbul dileher TD:120/80 N: 86x/m Suhu: afebris RR: 20x/m VAS 4-5 stqa MST 2 x 30mg Durogesic patch 50 mcg/72 jam Gabapentin 3 x 300mg Paracetamol k/p Profenid k/p Th/protocol kemo bisa terlaksna 29/7/13 Nyeri berkurang, bisa angkat tangan kanan VAS 2-3 stqa Gabapentin 3 x 300mg Durogesic patch 50mg/72 jam MST 2 x 30mg Th/lain teruskan DAFTAR SINGKATAN KHS : Kecepatan Hantar Saraf MST : Morfin Sustained Release KNF : Kanker nasofaring TPF : Docetaxel Cisplatin 5-Fluorouracil KGDH : Kurva Gula Darah Harian 12 TINJAUAN PUSTAKA PENDAHULUAN Kanker merupakan salah satu penyakit yang mengancam jiwa. Data epidemiologi menyebutkan sekitar 80 -90 % penderita kanker stadium lanjut mengalami nyeri. Nyeri merupakan gejala yang paling sering berkaitan dengan kanker dan faktor penting quality of life (QOL) pasien kanker. Penatalaksanaan nyeri yang cepat dan efektif dapat mencegah penderitaan pasien kanker, dan meningkatkan kualitas hidup mereka, serta secara potensial menghindarkan perasaan kurang bahagia dan keputusasaan.1 PATOFISIOLOGI NYERI Kerusakan jaringan tubuh termasuk jaringan saraf oleh berbagai penyebab akan menimbulkan nyeri. Tubuh dalam menyikapi kerusakan jaringan akan mengeluarkan berbagai mediator dan neurotransmitter yang pada dasarnya sebagai reaksi bertujuan untuk memproteksi tubuh terhadap kerusakan tadi. Namun efek mediator dan neurotransmitter ini terhadap noniseptor menimbulkan rasa nyeri.2,3 Rasa nyeri dapat dikategorikan berdasarkan durasi (akut, kronik), mekanisme patofisiologi (fisiologis, noniseptif, neuropatik, campuran), serta konteks klinisnya (contoh: post operatif, keganasan, neuropatik atau degenerative).2,3 Nyeri noniseptif Noniseptor adalah reseptor neuron di ujung saraf aferan yang sensitive terhadap stimulus noksius (stimulus yang merusak). Noksius ini bisa berupa mekanik, kimia, termis, infeksi dan tumor. Noniseptor di perifer berfungsi sebagai alat proteksi terhadap kerusakan jaringan tubuh melalui sistem jaringan saraf. Jaringan ini terdiri dari jaringan sensorik perifer (aferen primer) yang berkomunikasi dengan multiple traktus spinalis areal otak. Jaringan sensorik akan mentransduksi dan mentransmisikan sensasi nyeri dari seluruh tubuh sebagai reaksi terhadap jaringan Aδ yang berakhir di lamina I dan V, memberikan rasa nyeri yang 13 tajam, dan jaringan tidak bermielin yakni jaringan C yang berakhir di lamina II di kornu dorsalis penyebab nyeri tumpul. Input noniseptif di kornu dorsalis akan diteruskan ke otak melalui beberapa jaras asending sekunder seperti traktus spinotalamikus, jaras spinoretikularis dan jaras spinomesensefalik. Asenden dari neuron sekunder yang berada di kornu dorsalis akan berlanjut ke traktus spinotalamikus secara kolateral dan diproyeksikan ke thalamus dan formasio retikularis .Selanjutnya mealui traktus spinotalamikus informasi noniseptif akan disampaikan ke nucleus di thalamus.2,3 Nyeri noniseptif secara patologik terjadi akibat kerusakan atau cedera sel jaringan, yang berperan sebagai stimulasi terhadap sekresi mediator inflamasi. Mediator inflamasi ini selanjutnya akan menstimulasi reseptor serabut Aδ dan serabut saraf C polimodal yang berlokasi di kulit, tulang, jaringan ikat otot dan organ visera.2 Nyeri noniseptif dapat dibedakan menjadi nyeri somatik (berasal dari kulit, tulang, tendon, ligamentum, otot atau jaringan tissue) dan nyeri viseral ( berasal dari organ lebih dalam lagi seperti usus besar atau pankreas. Karakter kedua nyeri berbeda. Nyeri somatik dapat dilokalisasi dengan baik dan biasanya berlangsung tidak terlalu lama. Nyeri viseral biasanya berlangsung lebih lama, sangat sulit untuk dilokalisir, muncul sebagai nyeri somatik di tempat lain (referred pain).2,3 Beberapa contoh nyeri noiseptif yang juga sering disebut sebagai nyeri tipe akut ini yaitu nyeri post operatif, nyeri akibat trauma dan nyeri punggung bawah, nyeri akibat prosedur medik. Nyeri akut umumnya berhubungan dengan respon neuroendokrin yang proporsional dengan intensitas nyeri yang dialami. Operasi minor maupun superfisial biasanya hanya menghasilkan respon stress yang tidak besar, sedangkan operasi mayor pada daerah torakal dan abdomen biasanya menimbulkan respon stress yang besar. Nyeri akut dengan intensitas sedang dan berat, darimanapun lokasi nyerinya, dapat mempengaruhi hampir semua fungsi organ.2,3 Nyeri Neuropatik Nyeri neuropatik adalah salah satu dari kelompok keluhan nyeri yang mempunyai karakteristik seperti nyeri kronik dan penderita beberapa penyakit metabolik, termasuk diabetes. Nyeri neuropatik terjadi akibat kerusakan jaringan saraf atau neuritis lokal baik di 14 perifer ataupun di sentral sehingga menyebabkan lesi atau diskoneksi dengan bagian jaringan saraf lainnya. Kerusakan ini mengakibatkan perubahan aktivitas potensial akson dalam bentuk signal. Berbeda dengan nyeri nosiseptif, nyeri neuropatik memperlihatkan tandatanda gangguan sensorik berupa alodinia atau hiperalgesia dengan lokasi yang kurang jelas atau tidak pada daerah terluka saja. Nyeri neuropati muncul spontan seperti disestesia, tusukan, rasa terbakar dll. 2,3 Nyeri campuran Nyeri campuran merupakan nyeri yang bukan hanya diakibatkan oleh nosiseptif (akut) akan tetapi juga mengalami keluhan nyeri neuropatik (kronik) yang timbul akibat kerusakan atau disfungsi sistim saraf. Beberapa contoh yang sering ditemukan kombinasi kedua nyeri ini adalah nyeri punggung bawah dengan radikulopati, nyeri leher dengan radikulopati, nyeri kanker, nyeri sindroma terowongan karpal, nyeri arthritis dll.2 Tipe nyeri kanker meliputi nyeri kronik dan akut dengan berbagai penyebab, antara lain: (1) Nyeri akibat penyakit itu sendiri, melalui berbagai mekanisme keadaan seperti invasi tumor ke tulang, infiltrasi atau penekanan terhadap jaringan saraf, pengaruh langsung terhadap organ yangterkena,ulserasi jaringan dan peningkatan tekanan intracranial atau obstruksi organ; (2) Nyeri akibat terapi seperti kemoterapi (neuropati perifer, nekrosis tulang aseptic, neuralgia pascainfeksi), radiasi, bedah insisi; (3) Nyeri akibat prosedur diagnostik seperti biopsy.3,4 Penatalaksanaan Nyeri Akibat Kanker Nyeri pada kanker harus diobati secara agresif dan sering membutuhkan pendekatan multidisiplin sehingga tatalaksana menjadi efektif. Kondisi-kondisi seperti ini memerlukan penggunaan analgesic opioid kuat secara kontinu dan berkaitan dengan derajat toleransi dan ketergantungan. Tetapi, hal tersebut tidak menjadi penghalang untuk memberikan terapi dan kualitas hidup yang terbaik bagi pasien. Suatu penelitian menyatakan bahwa pemberian terapi opioid dalam interval yang tetap (yakni, dosis yang teratur dan waktu pemberian yang terjadwal) lebih efektif meredakan nyeri daripada pemberian terapi menurut permintaan pasien (dosing on demand). 4,5 15 Penatalaksanaan nyeri secara umum difokuskan pada kelompok nyeri noniseptif dan nyeri neuropatik. Penanganan nyeri dilakukan sesuai dengan berat ringannya nyeri dengan menggunakan metode yang direkomendasikan WHO dalam Three-Step Analgesic Ladder atau tiga langkah pendekatan terapi farmakologis , merupakan target terapi untuk nyeri kanker.5,6 The Three- step analgesic ladder :4.5,6 Langkah 1. Mild to moderate pain : Non opioid (asetaminofen, NSAID dapat digunakan kecuali ada kontraindikasi) ± adjuvant agent Langkah 2. Mild to moderate pain atau nyeri tidak terkontrol setelah langkah 1: Opioid kerja cepat ± Nonopioid (around the clock) ± adjuvant agent Langkah 3. Moderate to severe atau nyeri tidak terkontrol setelah langkah 2: Opioid lepas lambat/kerja panjang (around the clock) atau infuse kontinu + opioid kerja cepat jika dibutuhkan ± Nonopioid ± adjuvant agent Pada Three-Step Analgesic Ladder tersebut mendorong penggunaan terapi yang lebih konservatif dahulu sebelum memulai terapi opioid. Namun penggunaan opioid pada nyeri hebat harus diberikan opioid segera. Penting dan sangat ditekankan untuk menilai ulang dan melakukan titrasi selama penatalaksaan nyeri.4,6 Secara umum penggunaan kombinasi obat dengan profil farmakokinetik yang sama tidak disarankan, juga apabila reseptor target obat tumpang tindih (overllaping) atau mengantagonis reseptor salah satu obat tersebut (contohnya kombinasi agonis reseptor morpin dengan agonis yang sama atau antagonisnya). Kepustakaan lain menyebutkan opioid tertentu berguna sebagai tambahan. Contohnya, pada nyeri kronik dengan kejadian periodik atau breakthrough pain, pasien yang mendapat morpin dengan formulasi lepas lambat dan nyeri akutnya dapat diberikan morpin yang aksi cepat atau kerja singkat seperti fentanyl secara buccal.3,7 Pada nyeri noniseptif atau nyeri akibat inflamasi direkomendasikan kombinasi opioid dengan NSAID atau asetaminopen. Pada nyeri neuropatik, golongan obat lain berguna sebagai kombinasi dengan opioid, seperti antidepressant (amitriptilin, duloxetin) dan antikonvulsan (gabapentin). 6 16 OPIOID Perkembangan obat sintetik dengan zat-zat mirip morfin telah mengarahkan pada penggunaan istilah opioid mewakili semua zat-zat eksogen, alami, dan sintetik, yang berikatan khusus pada sejumlah jenis reseptor opioid dan menghasilkan sekurang-kurangnya beberapa efek agonis yang mirip morfin. Suatu klasifikasi yang sesuai dari opioid antara lain opioid agonis kuat ( Morfin, hidromorfon, oksimorfon, metadon, meperidin, fentanyl); opioid agonis lemah sampai sedang ( kodein, oksikodon, hirokodon, profoksifen, difenoksilat); Campuran agonis-antagonis ( nalbufin, bupremorfin, butorfanol, pentazosin); opioid antagonis (nalorfin, nalokson).8,9 Opioid digunakan dalam penatalaksanaan nyeri akut dan kanker yang dikaitkan dengan nyeri kronik, opioid juga efektif untuk penatalaksanaan nyeri kronik bukan kanker, walaupun masih controversial. Pemilihan opioid harus berdasarkan respon pasien, efektivitas analgetiknya, farmakokinetik, farmakodinamik dan profil efek sampingnya.3 Farmakologi aktivitas opioid tergantung pada afinitas di reseptor opioid. Tiap agen opioid berbeda afinitas dan efek sampingnya antara satu dengan yang lainnya karena variasi subtype reseptor. Ada 3 jenis utama reseptor opioid yaitu mu(μ), delta (δ), dan kappa (К). Ketiga jenis reseptor termasuk pada jenis reseptor yang berpasangan dengan protein G, dan memiliki subtype : mu1, mu2, delta1, delta 2,kappa1, kappa2, dan kappa3. Sehingga memiliki efek farmakologi yang beragam. Seperti kodein merupakan agonis lemah pada reseptor μ dan δ, morfin merupakan agonis kuat pada reseptor μ tetapi agonis lemah pada reseptor δ dan К. Metadon, meperidin dan fentanyl merupakan agonis pada reseptor μ.6,8,9 Reseptor μ memperantai efek analgetik mirip morfin, depresi nafas, miosis, berkurangnya motilitas saluran cerna. Reseptor kappa diduga memperantarai analgesia seperti yang ditimbulkan pantazosin, sedasi serta miosis dan depresi napas yang tidak sekuat agonis μ. Selain itu disusunan saraf pusat juga didapat reseptor delta memegang peranan dalam menimbulkan depresi pernapasan yang ditimbulkan opioid. 6,8,9 Efek analgetik yang ditimbulkan oleh opioid terutama terjadi sebagai akibat kerja opioid pada resptor μ. Reseptor δ dan К dapat juga berperan dalam menimbulkan analgesia 17 terutama pada tingkat spinal. Reseptor opioid yang terutama didapatkan di SSP dan medulla spinalis yang berperan pada transmisi dan modulasi nyeri. Ketiga jenis reseptor utama yaitu μ,δ,К banyak didapatkan pada kornu dorsalis medulla spinalis. Reseptor didapatkan baik saraf transmisi nyeri di medulla spinalis maupun pada aferen primer yang melerai nyeri. Agonis opioid melalui reseptor-reseptor tersebut pada ujung prasinaps aferen primer nosiseptif mengurangi penglepasan transmitter, dan selanjutnya menghambat saaraf yang mentransmisi nyeri di kornu dorasalis medulla spinalis. Dengan demikian opioid mempunyai efek analgetik yang kuat melalui pengaruh pada medulla spinalis. Sekain itu μ agonis juga menimbulkan rfek inhibisi pascasipas melalui reseptor μ di otak. 6,8,9 Konsitipasi, sedasi, mual muntah merupakan efek samping yang sering terjadi , depresi pernapasan jarang terjadi. Toleransi terhadap efek samping (kecuali konstipasi) sering terjadi pada minggu pertama. Pertimbangan profil manfaat dan efek samping dalam memilih agen yang paling sesuai.3,5,6 Toleransi, adiksi, abuse Toleransi adalah berkurangnya efek obat dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari paparan obat. Toleransi terjadi pada tingkat yang berbeda dan bervariasi tiap pasien. Ketergantungan fisik adalah kebutuhan akan opioid karena faal dan biokimia tubuh tidak berfungsi lagi tanpa opioid. Toleransi dan ketergantungan fisik tidak sama dengan adiksi. Adiksi adalah perubahan psikis emosional sehingga pasien ketagihan akan obat. Ketika opioid digunakan , perubahan psikis harus dievaluasi secara kontinu. Insiden timbulnya adiksi bervariasi tergantung populasi pasien. Pada pasien tanpa riwayat adiksi, resiko adiksi relative kecil. Paparan obat hanya salah satu faktor yang menimbulkan adiksi. Genetik, sosial, faktor psikologi mungkin menjadi faktor penentu yang signifikan. Daya untuk menimbulakan adiksi berbeda-beda untuk masing-masing obat. Telah terbukti bahwa kemungkinan untuk penyalahgunaan opioid yang tergolong opioid agonis-antagonis lebih kecil daripada opioid agonis μ. Demikian pula hanya dengan opioid yang bekerja selektif sebagai agonis pada reseptor К karena kecil kemungkinannya untuk menimbulkan euphoria. 3 18 TINJAUAN OBAT DUROGESIC PATCH (Fentanyl Patch) Fentanyl mempunyai cukup kelarutan lipid dan cairan untuk dapat penetrasi ke kulit,stratum korneum epidermis. Lipofilik fentanyl tinggi sehingga menghasilkan difusi yang cepat ke dalam lapisan lemak epidermis dikuti dengan gerakan lambat ke dalam lapisan dermis yang penuh cairan (hidrofilik) dan masuk ke sirkulasi darah di subkutis, terdepositnya fentanyl dalam lapisan keratin epidermis menyebabkan onset lambat dan efek transdermal fentanyl ini memanjang. Anatomi posisi patch tidak mempengaruhi absorpsi. Cara ini cocok untuk terapi nyeri pada kanker oleh karena mudah penggunaannya, lamanya durasi kerja dan stabil konsentrasi darah. Fentanyl patch untuk pasien nyeri kronik, tidak prioritas untuk nyeri akut. Efek analgetik penuh didapat setelah 72 jam dan butuh 12-24 jam untuk onset dan lebih 6 hari untuk menjangkau steady state setelah dosis diberikan. Plasma level stabil setelah dua kali patch diaplikasikan dan secara kinetic tidak menunjukan perubahan pada pengulangannya. Efek samping patch yaitu gatal dan kemerahan. Fentanyl tersedia dalam sediaan sustained release patch 12,5, 25,50,75,100 mcg, tidak memiliki sediaan immediate release(IR) tablet, hanya sublingual (IR), dan parenteral 7,10,11 MST (Morphine slow relase) MST adalah tablet lepas lambat yang di rancang untuk melepas morphin dengan lambat dan kontinu lebih dari 12 jam dalam darah sehingga efek anti nyerinya bertahan lama. Tablet diminum setiap 12 jam. Obat harus ditelan utuh dan tidak pecah, agar tidak menyebabkan pelepasan dan absobsi yang cepat dan tidak menimbulkan dosis fatal morphine. Morfin tersedia dalam sediaan Immediate release tablet(IR), sustained relase (ST)15,20, 30, 60,100,200 mg, juga rectal dan parenteral.6,7 19 PEMBAHASAN Pasien wanita berumur 47 tahun menderita kanker nasofaring (KNF) yang telah bermetastase ke tulang. Stadium KNF yang diderita pasien adalah stadium IV berdasarkan T1N3M1, yaitu T1 (tumor yang terdapat pada satu lokasi di nasofaring atau tumor yang dapat dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi); N3 (terdapat pembesaran baik homolateral, kontralateral atau bilateral, yang sudah melekat pada jaringan sekitar); M1 (terdapat metastase ke tulang). Kondisi pasien tersebut mempunyai prognosis yang buruk, sehingga dibutuhkan peningkatan kualitas hidup pasien, antara lain dengan usaha penatalaksanaan nyeri yang adekuat. Maka, pembahasan kasus ini akan penulis fokuskan pada penatalaksanaan nyeri pada pasien kanker. Pasien datang ke RS dengan keluhan nyeri hebat seluruh tubuh. Nyeri hebat ini bersumber dari beberapa faktor yaitu akibat kankernya (KNF) itu sendiri seperti terdapat penekanan kanker ke tulang, penekanan terhadap jaringan saraf, pengaruh langsung terhadap organ yang terkena adanya ulserasi jaringan, serta akibat penyakit penyerta lain yang dialami pasien yaitu diabetes mellitus yang dapat memungkinkan timbulnya neuropati. Selama perawatan di lantai 8 RSCM, pasien sudah menjalani radioterapi di daerah punggung sebanyak 10 kali dari rencana 10 kali, dan kemoterapi terakhir 24 Juli 2013, nyeri juga dapat bersumber dari terapi kanker seperti radioterapi dan kemoterapi. Derajat nyeri yang dialami oleh pasien pengukurannya menggunakan visual analog scale (VAS) numeric, dengan deskripsi yang berkisar dari tidak nyeri (0) sampai nyeri yang sangat menyiksa (10). 4,7,12 Nyeri hebat (severe pain) dialami pasien ini, saat hari pertama masuk IGD dengan VAS 7- 8, penatalaksanaan farmakologi nyeri yang diterima pasien yaitu duragesic patch 50 mcg/72 jam, MST 2 x 15mg per oral dan Ketorolac 3 x 30mg intravena digunakan jika perlu (breakthrough pain). Kombinasi obat-obat tersebut kurang berespon baik terhadap pasien, pasien teridentifikasi nyeri hebat/ moderate/severe pain, yang perlu dipertimbangan kombinasi dengan nonopioid (NSAID) atau asetaminofen, serta dipertimbangkan pula adjuvant agent seperti antikonvulsan atau antidepresan dengan tujuan meningkatkan efek anlgetik, mengontrol efek samping opioid dan mengelola gejala yang dapat berkontribusi akibat nyeri yang dialami pasien (seperti ansietas, depresi atau 20 insomnia). Pemakaian ketorolac harus dipastikan pasien tidak mempunyai gangguan ginjal dan tidak mempunyai riwayat perdarahan saluran cerna.3,7,12 Perawatan di RS hari berikutnya hingga 2-3 minggu pertama, pasien masih mengalami nyeri hebat dengan VAS diatas 7, saat itu terapi nyeri yang diberikan duragesic patch 50 mcg/72 jam, MST dinaikkan menjadi 2 x 20 mg, penambahan parasetamol 3 x 1000mg, serta ibuprofen supp jika perlu. Penambahan paracetamol dapat dipertimbangkan, karena parasetamol sebagai analgetik dapat digunakan pada nyeri ringan hingga sedang. Parasetamol merupakan penghambat siklooksigenase-1 dan siklooksigenase-2 lemah pada jaringan perifer dan biasanya diberikan peroral 4 x 500 mg pada dewasa, perlu dipertimbangkan efek samping parasetamol yaitu peningkatan enzim transaminase dan hepatotoksis yang dapat terjadi pada dosis tinggi (namun pada pasien tidak terjadi peningkatan enzim tersebut). 8 Minggu berikutnya di RS (± 2 minggu kedua) pasien mendapat kombinasi terapi duragesic patch dosis tetap (50mcg/72 hari), dosis MST dinaikan 2 x 30mg, dosis parasetamol diturunkan 3 x 500mg, penambahan gabapentin dengan dosis 3 x 300mg. Dengan kombinasi tersebut pasien mengalami penurunan VAS, dibawah 5. Gabapentin merupakan obat yang digunakan sebagai tambahan untuk terapi kejang parsial dan kejang umum tonik klonik. Gabapentin juga terbukti efektif dalam terapi nyeri neuropatik, dengan dosis yang diindikasikan pada orang dewasa adalah 1800mg, dosis dapat terbagi 3 kali perhari dengan gradual titrasi setiap 3 hari atau setiap minggu dan dosis maksimal adalah 2400 mg. Efek samping gabapentin adalah somnolen, ataksia, nyeri kepala dan tremor. Pada pasien dengan gangguan ginjal, dosis perlu penyesuaian dan monitor. Pada pasien ini tidak ada gangguan ginjal sehingga penggunaannya aman. Suatu prospective study tahun 2009 menyebutkan, gabapentin efektif menjadi salah satu adjuvant pada penderita kanker yang mendapat morfin. 3,5,13 Minggu berikutnya (±2 minggu ketiga) setelah terjadi penurunan tingkat nyeri, kombinasi obat yang diterima pasien yaitu duragesic patch dosis masih tetap (50 mcg/72 hari), MST dosis tetap 2 x 30 mg, gabapentin 3 x 300mg, parasetamol di stop. Respon pasien membaik, dapat diambil kesimpulan dari VAS yang berkurang, dengan skor dibawah 3. Kombinasi obat yang memberi respon baik pada pasien dapat dipertahankan hingga satu 21 minggu. Setelah pemakaian opioid lebih 1 minggu, sebaiknya dosis dititrasi dengan penurunan 20 -30 % tiap 2- 3 hari untuk mencegah withdrawal syndrome.7 Namun, penatalaksanaan nyeri seperti tersebut diatas, terdapat pemberian dua opioid kuat sekaligus, yaitu morfin lepas lambat dan fentanyl patch. Kombinasi dua opioid tidak direkomendasikan, kecuali apabila dalam durasi waktu yang dibutuhkan, belum tercapai penurunan nyerinya. Opioid aksi lambat dapat ditambah opioid aksi cepat sesuai kebutuhan, atau dalam kondisi breakthrough pain. Mengingat efek samping yang dapat meningkat pada pemberian opioid dosis tinggi. Menurut WHO the 3 step ladder, opioid kuat dosis rendah disarankan untuk pemberian pertama pada pasien savere pain . Morfin sebagai opioid kuat sebagai pilihan pertama untuk penatalaksanaan moderate to severe pain, pemberian secara oral lebih disukai pada pasien yang tidak ada gangguan akses oral, dengan dosis awal rendah dan dinaikkan perlahan sesuai respon pasien, juga dengan jadwal pemberian yang tepat (around the clock) bukan berdasarkan kebutuhan pasien. Jika pemberian morfin setelah 24 jam belum adekuat, dosis harus dinaikkan, kenaikan dosis dapat diberikan hingga 50 % dari dosis awal. Sebaliknya, jika pemberian dosis awal, terlihat pasien sangat somnolen dan bebas dari rasa sakit, dosis berikutnya harus diturunkan 50 % lebih rendah Formula yang diberikan pada pasien ini berupa morpin lepas lambat (MST) dengan durasi efek analgetik sekitar 8-12 jam, bekerja baik dalam kontrol nyeri, dan lebih stabil, dengan frekuensi pemberian 2 kali perhari. Alternatif morfin formula lain adalah immediate release (IR) dengan durasi efek analgetik sekitar 4 – 5 jam, biasanya menjadi pilihan untuk pemberian awal terapi opioid, atau menjadi formula tambahan sebagai breakthrough pain, apabila pasien telah mendapat opioid lepas lambat. Pada pasien ini mendapat tambahan fentanyl patch. Fentanyl patch digunakan sebagai alternatif, ada kepustakaan yang menyebutkan sebagai second line . Fentanyl patch dipilih jika terdapat gangguan fungsi saluran cerna sehingga mencegah penggunaan morfin oral lepas lambat, sistem transdermal fentanil dapat digunakan untuk nyeri kronik, bukan nyeri akut. Fentanyl patch pada pasien ini dapat diberikan hanya sebagai alternatif pilihan selain morfin lepas lambat(MST) karena tidak dapat mengatasi breakthrough pain, dan munculnya 22 efek samping lebih meningkat akibat penggunaan kombinasi obat ini . Suatu penelitian terbaru melaporkan bahwa kejadian konstipasi, mual lebih sedikit pada pasien yang menggunakan fentanyl patch dibanding morfin lepas lambat. Efek samping dapat diatasi dengan penggunaan yang tepat antiemetic dan laxative.4,710,11 Suatu uji Fentanyl trandermal (duragesic patch) terbukti aman untuk pasien kanker dengan moderate/severe pain, dan terbukti meningkatkan kualitas hidup pasien. Fentanyl merupakan sintetik morpin, mempunyai berat molekul kecil, potensi tinggi, penyerapan bagus untuk pemakaian transdermal. Beberapa keuntungan dibanding oral, sublingual, parenteral yaitu antara lain cara pemakaiannya non invasif, efektif dan diterima baik pada pasien kanker yang mempunyai masalah gastrointestinal dan pasien yang mempunyai kesulitan secara oral, dikarenakan kanker itu sendiri atau karena efek samping oral atau parenteral. Fentanyl patch dapat mengendalikan nyeri secara kontinu, mengendalikan pengiriman sistemik hingga 72 jam.10,11 Efek samping yang timbul pada pasien adalah mual, muntah serta konstipasi. Mual muntah pada pasien timbul akibat penggunaan opioid dosis besar dan akibat kemoterapi yang dijalani pasien. Sehingga dapat mengaktifkan chemoreceptor trigger zone di batang otak yang dapat menimbulkan mual muntah. Mungkin juga terdapat komponen vestibular pada efek ini karena gerakan tubuh tampaknya meningkatkan insidens mual dan muntah. Mual dimediasi oleh beberapa neurotransmitter utama seperti serotonin (5HT3), dopamine (D2), asetilkolin dan histamine (H1). Suatu rekomendasi menyatakan pemberian antiemetik profilaksis sebagai pencegahan mual muntah pada pasien yang mendapat opioid dan menjalani kemoterapi.14 Beberapa pilihan antiemetic, pilihan pertamanya adalah metoclorpramide, alternative pilihan adalah ondansentron, suatu antagonis 5-HT3 yang sangat selektif yang dapat menekan mual dan muntah. Reseptor 5-HT3 terdapat pada chemoreceptor trigger zone, efek ekstrapiramidal lebih jarang dibading metoclorpramide.5,14 Selain sebagai profilaksis, apabila pasien yang mengalami mual muntah hebat yang tidak terkontrol dengan antiemetic spesifik, dapat dikombinasi dengan antiemetic golongan lain, namun harus di monitor penggunaannya.14 23 Pada pasien ini mendapat ondansentron dan domperidon, keduanya merupakan golongan berbeda. Namun, selama perawatan tidak terjadi mual muntah yang hebat pada pasien, sehingga dapat dicoba satu macam antiemetik saja misalnya ondansentron, dan dipertimbangan pemberian oral. Pemakaian antiemetic yang terus menerus pada pasien ini sebaiknya dihindari. Reevaluasi gejala mual muntah dan pemberian obat yang tetap walau dengan satu macam golongan obat, untuk menghindari toksisitas. Konstipasi merupakan salah satu efek samping yang sering ditemukan pada penggunaan opioid atau kemoterapi. Suatu kepustakaan menyebutkan bahwa pencegahan dapat dilakukan dengan mulai memberikan pencahar secara teratur untuk semua pasien yang memakai opioid.15 Suatu kepustakaan lain menyebutkan, pada penggunaan opioid jangka panjang, dosis opioid dapat diatur terlebih dahulu atau menggantinya, agar tidak timbul konstipasi. Pada pasien ini menggunakan pencahar rangsang (stimulant cathartics) sejak awal, gejala konstipasi mungkin muncul pada pasien, namun tidak jelas tercatat dalam rekam medik pasien. 8 Penggunaan pencahar rangsang sebaiknya digunakan sesuai kebutuhan pasien atau sesuai gejala konstipasi yang muncul, agar tidak terjadi penurunan sensitivitas mukosa pada penggunaan pencahar terus menerus, sehingga usus gagal bereaksi terhadap rangsang fisiologik. Selain itu dapat menyebabkan diare dengan akibat kehilangan air gangguan keseimbangan elektrolit (hipokalemia).8 Saran penulis untuk pemberian awal obat analgetik pada pasien ini: Morfin immediate release 15 mg setiap 4-5 jam (titrasi kenaikan dosis sesuai respon pasien dan pemberian sesuai around the clock); morpin (immediate release) tablet 10 mg tambahan jika terjadi breakhtrough pain, gabapentin 3 x 300mg (titrasi, sebagai neuropatik pain). Titrasi harus dilakukan berdasarkan monitor respon pasien pada 4 jam pertama, sampai dicapai dosis yang adekuat. Alternatif lain adalah: morfin lepas lambat (MST) tablet 2 x 15 mg, morfin (immediate release) tablet 10 mg sebagai tambahan jika terjadi breakhtrough pain. Penggunaan fentanyl patch dapat dipertimbangkan menjadi alternative pada nyeri kronik. Konversi oral morfin ke fentanyl patch atau sebaliknya dapat mungkin dilakukan sesuai equivalen dosis. 24 Pada akhirnya penilaian nyeri yang komprehensif adalah dasar dari penatalaksanaan nyeri, antara lain anamnesa pasien, pemeriksaan fisik, mereview obat-obat yang telah didapat, mereview psikososial pasien dan lingkungan fisiknya. Penilaian harus menentukan penyebabnya, manfaat dan dampak quality of life untuk pasien dan keluarga. Penilaian ulang nyeri merupakan hal yang amat penting, berkaitan dengan obat yang telah diberikan. Untuk pasien yang menderita nyeri hebat, pemberian analgesic opioid menjadi suatu hal penting yang patut direncanakan dengan baik agar mendapatkan respon pasien yang juga baik. Rencana pemberian opioid meliputi tentang jalur pemberian ( oral, parenteral, neuraksial), durasi kerja obat, efek ceiling ( aktivitas intrinsik maksimal), durasi terapi, potensi efek samping, dan riwayat penggunaan opioid pada pasien. Efektivitas terapi harus di reevaluasi dan jika perlu, rencana terapi harus diubah bila respon terhadap terapi berlebihan atau tidak adekuat. KESIMPULAN Pasien wanita berumur 47 tahun menderita kanker nasofaring (KNF) yang telah bermetastase ke tulang dan penyakit degenerative lain yang menyertai. Pasien membutuhkan peningkatan quality of life , antara lain penatalaksanaan nyeri yang optimal. Efektivitas terapi harus direevaluasi secara kontinu, respon pasien terhadap penatalaksanaan nyeri harus diperhatikan, termasuk efek samping atau interaksi yang mungkin terjadi terhadap obatobatan yang lain. 25 DAFTAR PUSTAKA 1. Yu-lin Zhu et al. Multicenter clinical study for evaluation of efficacy and safety of transdermal fentanyl matrix patch in treatment of moderate to severe cancer pain in 474 chinese cancer patients. Chin J Cancer Res 23(4):317-322,2011 2. Purba JS. Patofisiologi dan penatalaksanaan nyeri. BP FKUI Jakarta,2010 3. Dipiro JT et al. Pharmacotherapy a pathophysiologic approach, Pain management 7thEd. New York:Mc graw Hill 2008 4. WHO. Cancer pain relief with a guide to opioid availability.second edition,Geneva 1996 5. Bertam G katzung. Basic & Clinical Pharmacology 10thEd. San franscisco, 2010 6. Brunron L et al. Goodman&Gilman’s The Pharmacology basis of theurapetics 12 thEd. New York: mc graw Hill 2011 7. Fraser health. Principles of Opioid management. Hospice palliative care, Clinical Practice committee. November 24,2006 8. Gunawan SG, Setiabudy R. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta, 2011 9. Andrea MT et al. Opioid Pharmacology. Pain physician,2008 10. Lewis N, Robert S. Transdermal fentanyl: Pharmacology and toxicology. Journal of medical tocicology. Desember 2009. Vol 5 (4):23038 11. Tracy LS. Transdermal opioids for cancer pain. BioMedcentral. 2006 12. The British pain society’s. Cancer Pain Management. January 2010 13. Fallon MT,et al. neuropatic pain in cancer. Br J Anaesth. 2013 14. Fraser health. Symptom Guidelines nausea and vomiting. Hospice palliative care, Clinical Practice committee. November 24,2006. 15. Fraser health. Symptom Guidelines bowel care. Hospice palliative care, Clinical Practice committee. November 24,2006. 26 27