Judul : Penatalaksanaan Nyeri Pada Kanker Disusun oleh : Nina

advertisement
Judul
: Penatalaksanaan Nyeri Pada Kanker
Disusun oleh : Nina Mariana
Pembimbing : dr Sulistia Gan, SpFK
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny Sri utami
Tempat tanggal lahir : 6 des 1966
Umur
: 47 th
Status
: menikah dengan dua anak
Pekerjaan
: tidak bekerja
Masuk RS
: 24-6-2013
ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri seluruh tubuh sejak 3 hari SMRS
Riwayat penyakit Sekarang: keluhan utama saat datang ke igd adalah nyeri seluruh tubuh. Sejak
2 minggu smrs pasien mulai merasa nyeri seluruh tubuh dan mulai memberat sejak 1 minggu
smrs, disertai mual dan muntah. Asupan makanan baik, buang air besar dan buang air kecil
normal tidak ada keluhan, batuk disangkal.
2 tahun smrs teraba benjolan di leher kanan I buah dan leher kiri 3 buah sebesar kuran lebih 4
cm, tidak nyeri, kemerahan, keras, tidak mudah digerakan dari dasarnya.
1,5 tahun smrs benjolan semakin membesar, sulit mengangkat lengan kanan karena nyeri.
Dilakukan biopsy di RSUD Bekasi oleh spesialis bedah hasilnya limfadenopati, benjolan tidak
nyeri, tanpa tanda radang, ulang biopsi oleh spesialis THT dari hidung hasilnya Ca nasofaring,
rujuk RSCM
1 tahun 2 bulan smrs di RSCM dilakukan biopsy ulang oleh spesialis THT dari rongga hidung,
didapat karsinoma nasofaring(KNF), dilakukan staging lengkap, menjalani pemeriksaan ct scan
nasofaring, usg abdomen, bone scan didapatkan penyebaran ke vertebra L4 T12. Selama rawat
jalan ( 1 tahun smrs) benjolan dikedua leher semakin membesar, pecah, mengeluarkan darah dan
1
terasa nyeri (Vas 7-8). Lengan kanan semakin sulit diangkat karena nyeri. Terdapat nyeri
didaerah punggung bawah, terutama saa duduk. Nyeri tidak menjalar ke tungkai bawah, tidak
ada baal maupun kesemutan.
Mulai kemoterapi November 2012 (± 10 bulan smrs) injeksi cisplastin 5 Fu sampai dengan 3
siklus, terakhir Februari 2013 (± 5 bulan smrs) dilanjutkan evaluasi. Benjolan dirasakan
mengecil, luka mengering, karena alasan pembiayaan pasien tidak kontrol lagi. Saat ini benjolan
makin besar dan terdapat luka basah kembali.
Pasien menderita DM sejak lebih 10 tahun lalu, mendapat nouvorapid 3 x 10U sc dan lantas 1 x
100 sc, terakhir dipakai 5 bulan lalu(Februari 2013). Setelah itu pasien tidak kontrol lagi.
Keluhan mata kabur, kaki tangan kesemutan/baal ada, nyeri dada disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu: hipertensi (-), Diabetes Melitus (+)
Riwayat Penyakit Keluarga: Diabetes Melitus (+), hipertensi (-), alergi (-), asam (-), kakak
pasien menderita tumor kandungan
Riwayat Sosial: Pasien seorang ibu rumah tangga, dengan dua anak, tidak bekerja. Biaya
pengobatan jamkesmas
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keluhan utama: tampak sakit sedang
 TD (kanan& kiri) :134/93 mmHg Nadi: 102x/menit, RR:35 x/mnt Suhu:36,6°C
 VAS : 7-8
 Kepala : normochepal
 Mata: konjungtiva tidak anemis,sklera tidak ikterik.
 THT : discharge (-), KGB retroaurikuler tidak teraba
 Leher : Leher : terdapat benjolan a/r colli dekstra diameter ±10 cm et sinistra diameter ±
7 cm. Keras, terfixir, dengan pus dan nyeri
 Toraks : simetris
 Jantung : BJ I-II (reguler), murmur tidak ada
 Paru : Vesikuler+/+ rhonki -/-, wheezing -/-
2
 Abdomen: datar, BU (+) Normal.
 Ekstremitas: akral hangat, pitting edema a/r brachii dan antebracii dextra
Status neurologi
 GCS E4M6V5=15
 Pupil : bulat, isokor diameter 3 mm/3mm, Refleks cahaya langsung +/+ dan refleks
cahaya tidak langsung +/+
 Tanda Rangsang Meningen: kaku kuduk tidak dilakukan. Kernig > 135/>135, laseque
>70/>70 patrick +/+ contrapatrick +/+
 Nervus Cranial: tidak ada paresis
 Motorik :
XXXX/5555
X= nyeri
4+4+4+4+/4+4+4+4+
 Atropi / tungkai bawah
 Refleks Fisiologis : Biseps +2|+2

Patella +1| +1
Trisep
+1|+1
Achilles +1| +1
 Refleks Patologis : babinski negatif
 Sensorik :hipestesi segmental th12-L2 kanan dan kiri
 Otonom : baik
Pemeriksaan Penunjang
Funduskopi:
◦
ODS : papil bulat, batas tegas, cupping (+), A/V 2: 3, perdarahan dot (+), exudat
(+)
◦
Kesan : retinopati DM ODS
Hasil Pemeriksaan KHS pada tangan kanan, tungkai kanan dan kiri (26 Juli 2012):

Sesuai dengan polineuropati motorik dan sensorik
3
Hasil PA dari sediaan nasofaring ( 01-08-2012):
 Karsinoma nasofaring, tidak berkeratin, tidak berdiferensiasi (WHO-3). Tipe A, derajat
keganasan menengah (WF)
Radiologi Toraks (12 Juni 2013): tidak tampak kelainan jantung d an pulmo
Radiologi vertebrae thorakal dan lumbal (17 Juni 2013) : Sesuai gambaran metastasis pada
vertebrae Th 12 dan L4
MRI Torakal & Lumbosakral (28 Juni 2013):
sugestif gambaran metastasis dengan fraktur kompresi pada korpus vertebra th 12
Spondiloartrosis thorakolumbal dengan HNP L2-3, L3-4 dan L5-S tanpa penekanan
radiks
CT Nasofaring dengan kontras (2/7/2013):
Massa maligna pada regio colli bilateral, sugestif melibatkan kelenjar parotis. Penebalan
nasofaring sisi kiri. Masih mungkin limfadenopati retrofaring
Bone scan (4 Juli 2013) :
 Tampak peningkatan aktifitas patologis pada vertebrae Th12 dan L4
 Tampak tangkapan aktivitas pada regio colli bilateral (soft tissue)
 Tampak pula tangkapan aktivitas di regio sinus paranasal (DD/ sinusitis)
 Aktivitas pada tulang-tulang lainnya tampak merata dan simetris
 Dibandingkan bone scan 28 Agustus 2012 gambaran metastasis pada tulang relatif stqa
Vertebrae thorakal dan lumbosakral (10-7-2013):
 Dibandingkan radiografi vertebra lumbal tanggal 17/6/2013 saat ini :
◦
Sklerotik pedikel T12 kanan kiri stqa
◦
Pedikel L4 kiri suram
◦
Spondilosis lumbalis
◦
Sesuai gambaran metastasis tulang pada T12
4
Hasil Lab mikrobiologi (18-6-2013):
Pulasan gram (Pus): batang gram (-): jarang. Leukosit: 2-3/lpb. Epitel : 10-1/lpb
Biakan: isolate 1: enterobacter aerogenes. Isolate 2: pseudomonas aeruginosa
Ceftazidine isolate 1 dan 2 : sensitive
Hasil Laboratorium darah (24-7-2013):
Pemeriksaan
Hb
Ht
Leukosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
LED
PT
APTT
D-dimer
Hasil
8,28 g/dl
23,4
15.000
868.000
11,5/12,2
38,9/33,6
500
Normal
13-16
40-48
5000-10000
150-400.000
82-92
27-31
32-36
Pemeriksaan
SGOT
SGPT
Natrium
Kalium
Calcium
Ureum
Kreatinin
Diff count
GDS
Albumin
Fibrinogen
Hasil
13
15
138
6,4
102
15
1,9
Normal
10-35
<10-36
132-147
3,3-5,4
310
2,96
346,1
70-140
Daftar masalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
KNF T1N3M1 metastase tulang dengan cancer pain
Paraparesis LMN, hipestesi segmen Th 12-L2 ec susp HNP dd/metastasis
DM tipe 2 on GD belum terkontrol
Massa colibilateral terinfeksi dengan hipercoagulable state
Anemia
Hipertensi grade I
Trombosit reaktif
Hipoalbuminemia ec susp wound loss dd/ nefropati dm (renal loss)
5
<50
0,8-1,3
136-384
Terapi:
◦
O2 3 lpm
◦
Pain management:
duragesic pain 50 mcg/72 jam
MST 2 x 15mg po
Ketorolac 3 x 30mg k/p (iv)
◦
Ivfd nacl o,9 % 500 cc/12 jam
◦
Laxadin 3x 15 cc
◦
Ceftazidine 3 x 1 gram (iv)
◦
Captopril 3 x 25 mg po
◦
Ondancentron 3x 8 mg (iv)
◦
Ascardia 1 x 80 mg po
◦
Simvastatin 1x 20 mg po
◦
Novorapid 3 x 6 unit
◦
Domperidon 3 x 10mg (iv) kp
◦
Omeprazole 1x 40 mg (iv)
◦
Diet protein
◦
Kemoterapi (setelah radioterapi selesai): protokol Docetaxel, Cisplastin, 5FU
6
FOLLOW UP
1/7/13
S Mual Muntah + , demam -,
nyeri +
O TD: 140/80 N: 85x/m
T: 36,9c
RR: 20 x/m
PF: stq
VAS 72
2/7/13
Muntah- , mual ±, demam-,
nyeri +
3/7/13
Nyeri pada massa
leher,demam -, muntahTD:160/80
N: 92x/m
T: 36,7c
RR: 20x/m
PF:stq
VAS 5
A Stqa
P 02 3 lpm nasal kanul
Duragesic patch 50mcg/3hr
MST 2 x 20g po
Paracetamol 3 x 1000mg
Profenid supp100mg kp
Ceftazidine 3x 1g (H+8)
Heparin 10000 unit/24jam
Radiologi paliatif
Kemoterapi TPF(setelah
radioterapi selesai)
Insulin 3 x 6 U
KGDH senin-rabu-jumat
Ondansentron 3x 8mg
Domperidone 3x10mg(jk
mual)
Omeprazol 1 x 40 mg iv
Ascardia 1x80mg
Simvastatin 1 x 20mg
Captropil 2 x 12,5mg
stqa
02 3 lpm nasal kanul
Duragesic patch 50 mcg/3hr
MST 2 x 20g po
Paracetamol 3 x 1000mg
Profenid supp100mg kp
Ceftazidine 3x 1g (H+9)
Heparin 10000 unit/24jam
Radiologi paliatif
Kemoterapi TPF(setelah
radioterapi selesai)
Insulin 3 x 6 U
KGDH senin-rabu-jumat
Ondansentron 3x 8mg
Domperidone 3x10mg(jk
mual)
Omeprazol 1 x 40 mg iv
Ascardia 1x80mg
Simvastatin 1 x 20mg
Captropil 2 x 12,5mg
stqa
02 3 lpm nasal kanul
Duragesic patch 50 mcg/3hr
MST 2 x 20g po
Paracetamol 3 x 1000mg
Profenid supp100mg kp
Ceftazidine 3x 1g (H+10)
Heparin 10000 unit/24jam
Radiologi paliatif
Kemoterapi TPF(setelah
radioterapi selesai)
Insulin 3 x 6 U
KGDH senin-rabu-jumat
Ondansentron 3x 8mg
Domperidone 3x10mg(jk
mual)
Omeprazol 1 x 40 mg iv
Ascardia 1x80mg
Simvastatin 1 x 20mg
Captropil 2 x 12,5mg
7
4/7/13
S Nyeri leher (+)
O VAS 3
A Stqa
P 02 3lpm nasal kanul
Durogesic patch
50mcg/3hr
MST 2x 20mg po
Paracetamol 3 x
1000mg
Profenid supp 100mg
kp
Ceftazidine 3 x1gr
(H+11)
5/7/13
Nyeri leher (+)
stqa
02 3 lpm nasal kanul
Durogesic patch
50mcg/72jam
MST 2 x 20gpo
Paracetamol 3 x 1000mg
Profenid supp100mg kp
Ceftazidine 3x 1g (H+12)
Heparin 10000 unit/24jam
Radiologi paliatif ke-8
Kemoterapi TPF(stlh
radioterapi selesai)
Insulin 3 x 6 U
KGDH senin-rabu-jumat
Ondansentron 3x 8mg
Domperidone 3x10mg(jk
mual)
Omeprazol 1 x 40 mg iv
Ascardia 1x80mg
Simvastatin 1 x 20mg
Captropil 2 x 12,5mg
8
6/7/13
Nyeri leher(+)
VAS 3
stqa
02 3 lpm nasal kanul
Durogesic patch 50
mcg/72jam
MST 2 x 20g
Paracetamol 3 x 1000mg
Profenid supp100mg kp
Ceftazidine 3x 1g (H+13)
Heparin 10000 unit/24jam
Radiologi paliatif(kurang 2x)
Kemoterapi TPF(setelah
radioterapi selesai)
Insulin 3 x 6 U
KGDH senin-rabu-jumat
Ondansentron 3x 8mg
Domperidone 3x10mg(jk
mual)
Omeprazol 1 x 40 mg iv
Transfusi PRC 300cc
cekDPL seriaL
Ascardia 1x80mg
Simvastatin 1 x 20mg
Captropil 2 x 12,5mg
7/7/13
Nyeri leher (+)
S
O
A Stqa
P 02 3 lpm nasal kanul
Duragesic patch 50
mcg/3hr
MST 2 x 20g po
Paracetamol 3 x 1000mg
Profenid supp100mg kp
Ceftazidine 3x 1g (H+14)
Heparin 10000 unit/24jam
Radiologi paliatif
Kemoterapi TPF(setelah
radioterapi selesai)
Insulin 3 x 6 U
KGDH senin-rabu-jumat
Ondansentron 3x 8mg
Domperidone 3x10mg(jk
mual)
Omeprazol 1 x 40 mg iv
Ascardia 1x80mg
Simvastatin 1 x 20mg
Captropil 2 x 12,5mg
Kultur pus /minggu
8/7/13
Nyeri leher (+)
9/7/13
Nyeri leher (+)
stqa
02 3 lpm nasal kanul
Duragesic patch 50
mcg/3hr
MST 2 x 20g po
Paracetamol 3 x 1000mg
Profenid supp100mg kp
Ceftazidine 3x 1g (H+15)
Heparin 10000 unit/24jam
Radiologi paliatif
Kemoterapi TPF(setelah
radioterapi selesai)
Insulin 3 x 6 U
KGDH senin-rabu-jumat
Ondansentron 3x 8mg
Domperidone 3x10mg(jk
mual)
Omeprazol 1 x 40 mg iv
Ascardia 1x80mg
Simvastatin 1 x 20mg
Captropil 2 x 12,5mg
stqa
02 3 lpm nasal kanul
Duragesic patch 50
mcg/3hr
MST 2 x 20g
Paracetamol 3 x 1000mg
Profenid supp100mg kp
Ceftazidine 3x 1g (H+16)
Heparin 10000 unit/24jam
Radiologi paliatif
Kemoterapi TPF(setelah
radioterapi selesai)
Insulin 3 x 6 U
KGDH senin-rabu-jumat
Ondansentron 3x 8mg
Domperidone
3x10mg(jkmual)
Omeprazol 1 x 40 mg iv
Ascardia 1x80mg
Simvastatin 1 x 20mg
Captropil 2 x 12,5mg
9
S
10/7/13
Nyeri
11/7/13
Badan nyer i+
O
VAS 5
A Stqa
P 02 3 lpm nasal kanul
Duragesic patch
50mcg/3hr
MST 2 x 20g
Paracetamol 3 x 1000mg
Profenid supp100mg kp
Ceftazidine 3x 1g (H+17)
Heparin 10000 unit/24jam
Radiologi paliatif
Kemoterapi TPF(setelah
radioterapi selesai)
Diet DM 1900
Insulin 3 x 6 U
KGDH senin-rabu-jumat
Ondansentron 3x 8mg
Domperidone 3x10mg(jk
mual)
Omeprazol 1 x 40 mg iv
Ascardia 1x80mg
Simvastatin 1 x 20mg
Diet protein
Captropil 2 x 12,5mg
stqa
02 3 lpm nasal kanul
Duragesic patch 50
mcg/3hr
MST 2 x 20g
Paracetamol 3 x 1000mg
Profenid supp100mg kp
Ceftazidine 3x 1g (H+18)
Heparin 10000 unit/24jam
Radiologi paliatif
Kemoterapi TPF(setelah
radioterapi selesai)
Diet DM 1900
Insulin 3 x 6 U
KGDH senin-rabu-jumat
Ondansentron 3x 8mg
Domperidone 3x10mg(jk
mual)
Omeprazol 1 x 40 mg iv
Ascardia 1x80mg
Simvastatin 1 x 20mg
Diet protein
Captropil 2 x 12,5mg
10
12/7/13
Demam-, muntah mual-,
makan baik
TD:130/80 N:94
T: 36c
RR: 20x/m
stqa
02 3 lpm nasal kanul
Duragesic patch 50
mcg/3hr
MST 2 x 20g
Paracetamol 3 x 1000mg
Profenid supp100mg kp
Ceftazidine 3x 1g (H+19)
Heparin 10000 unit/24jam
CCT ulang bila baik
resep cisplatin 5 FU
Diet DM 1900
Insulin 3 x 6 U
KGDH senin-rabu-jumat
Ondansentron 3x 8mg
Domperidone 3x10mg(jk
mual)
Omeprazol 1 x 40 mg iv
Ascardia 1x80mg
Simvastatin 1 x 20mg
Diet protein
Captropil 2 x 12,5mg
16/7/13
S Nyeri +, makan habis
O TD: 150/80 N: 95x/m
T:afebris
RR: 20x/m
Lab:
Hb/Ht/leu: 10,5/31,1/2310
A Stqa
P Gabapentin 3 x 300mg
po
Duragesic patch 50
mcg/3hr
MST 2 x 30g pomg
Paracetamol 3 x 500 mg
Profenid supp100mg kp
Th/ lain teruskan
S
19/7/13
Nyeri vas 7-8 (pagi)
setelah minum obat vas
5
17/7/13
Nyeri +
Vas 5
18/7/13
Nyeri +
Vas 3-4
stqa
Gabapentin 3 x 300 mg po
MST 2 x 30mg
Durogesic patch 50mcg /72
jam
Paracetamol 3 x 500mg
Profenid supp100mg kp
Th/ lain teruskan
stqa
Gabapentin 3 x 300mg po
MST 2 x 30mg
Durogesic patch 50mcg/72
jam
Paracetamol 3 x 500mg
Profenid supp100mg kp
Th/ lain terukan
20/7/13
Nyeri leher hilang timbul
O TD:130/80 N:94
T: 36c
RR: 20x/m
TD: 140/80
T: afebris
N:80 x/m
A Stqa
P Gabapentin 3 x 300mg
MST 2 x 30mg
Durogesic patch
50mg/72 jam
Paracetamol 3 x 500mg
Terapi lain teruskan
stqa
Gabapentin 3 x 300mg
MST 2 x 30mg
Durogesic patch 50mg/72 jam
Paracetamol 3 x 500mg
Profenid supp
Kemoterapi sesuai protocol
Ceftazidine 3 x 1gr
Laxadin 3 x 15ml
11
21/7/13
Nyeri daerah leher+,
rencana kemoterapi hari ini
ditunda karena akses
perenteral bocor(konsul
aneastesi)
TD:130/80 N:94
T: 36c
RR: 20x/m
VAS 5-6
stqa
Gabapentin 3 x 300mg
MST 2 x 30mg
Durogesic patch 50mg/72
jam
Profenid supp
Terapi lain teruskan
Laxadin 3 x 15 ml
22/7/13
S Nyeri berkurang. Akses
belum terpasang
O TD: 130/80
N: 80x/m
T: afebris
RR:
20x/m
Lab: PT:10,2/11,8
Fibrinogen 346,1
Dmer: 500
Ur/cr: 24/0,80
23/7/13
Nyeri leher
A Stqa
P MST 2 x 30mg
Durogesic patch
50mcg/72jam
Paracetamol 3 x 500mg
Gabapentin 3 x 300mg
Th/protocol kemo bisa
terlaksna
Th/lain teruskan
stqa
MST 2 x 30mg
Durogesic patch 50mcg/72
jm
Paracetamol 3 x 500mg
Gabapentin 3 x 300mg
Profenid k/p
Th/protocol kemo bisa
terlaksna
Th/lain teruskan
TD: 130/80
T:afebris
x/m
25/7/13
Kontak baik, nyeri
berkurang
O TD:130/80 N:94
T: 36c
RR: 18x/m
VAS 3-4
N: 80x/m
RR:20
26/7/13
Kontak baik, nyeri berkurang
setelah minum obat
Lab: DPL: 9,6/29,1/264/9,66
Albumin: 3,28
Elektrolit: Na/K/Cl:
40/3,61/99,1
A Stqa
stqa
P Gabapentin 3 x 300mg
Gabapentin 3 x 300mg
Durogesic patch
Durogesic patch 50mcg/72
50mcg/72 am
jam
MST 2 x 30mg
MST 2 x 30mg
Th/ lain teruskan
Th/lain teruskan
Beberapa hari kemudian, pasien diperbolehkan rawat jalan.
S
24/7/13
Nyeri masih sering hilang
timbul dileher
TD:120/80 N: 86x/m
Suhu: afebris
RR: 20x/m
VAS 4-5
stqa
MST 2 x 30mg
Durogesic patch 50 mcg/72
jam
Gabapentin 3 x 300mg
Paracetamol k/p
Profenid k/p
Th/protocol kemo bisa
terlaksna
29/7/13
Nyeri berkurang, bisa
angkat tangan kanan
VAS 2-3
stqa
Gabapentin 3 x 300mg
Durogesic patch 50mg/72
jam
MST 2 x 30mg
Th/lain teruskan
DAFTAR SINGKATAN
KHS : Kecepatan Hantar Saraf
MST : Morfin Sustained Release
KNF : Kanker nasofaring
TPF : Docetaxel Cisplatin 5-Fluorouracil
KGDH : Kurva Gula Darah Harian
12
TINJAUAN PUSTAKA
PENDAHULUAN
Kanker merupakan salah satu penyakit yang mengancam jiwa. Data epidemiologi
menyebutkan sekitar 80 -90 % penderita kanker stadium lanjut mengalami nyeri. Nyeri
merupakan gejala yang paling sering berkaitan dengan kanker dan faktor penting quality of
life (QOL) pasien kanker. Penatalaksanaan nyeri yang cepat dan efektif dapat mencegah
penderitaan pasien kanker, dan meningkatkan kualitas hidup mereka, serta secara potensial
menghindarkan perasaan kurang bahagia dan keputusasaan.1
PATOFISIOLOGI NYERI
Kerusakan jaringan tubuh termasuk jaringan saraf oleh berbagai penyebab akan
menimbulkan nyeri. Tubuh dalam menyikapi kerusakan jaringan akan mengeluarkan
berbagai mediator dan neurotransmitter yang pada dasarnya sebagai reaksi bertujuan untuk
memproteksi tubuh terhadap kerusakan tadi. Namun efek mediator dan neurotransmitter ini
terhadap noniseptor menimbulkan rasa nyeri.2,3
Rasa nyeri dapat dikategorikan berdasarkan durasi (akut, kronik), mekanisme
patofisiologi (fisiologis, noniseptif, neuropatik, campuran), serta konteks klinisnya (contoh:
post operatif, keganasan, neuropatik atau degenerative).2,3
Nyeri noniseptif
Noniseptor adalah reseptor neuron di ujung saraf aferan yang sensitive terhadap
stimulus noksius (stimulus yang merusak). Noksius ini bisa berupa mekanik, kimia, termis,
infeksi dan tumor. Noniseptor di perifer berfungsi sebagai alat proteksi terhadap kerusakan
jaringan tubuh melalui sistem jaringan saraf. Jaringan ini terdiri dari jaringan sensorik perifer
(aferen primer) yang berkomunikasi dengan multiple traktus spinalis areal otak. Jaringan
sensorik akan mentransduksi dan mentransmisikan sensasi nyeri dari seluruh tubuh sebagai
reaksi terhadap jaringan Aδ yang berakhir di lamina I dan V, memberikan rasa nyeri yang
13
tajam, dan jaringan tidak bermielin yakni jaringan C yang berakhir di lamina II di kornu
dorsalis penyebab nyeri tumpul. Input noniseptif di kornu dorsalis akan diteruskan ke otak
melalui
beberapa
jaras
asending
sekunder
seperti
traktus
spinotalamikus,
jaras
spinoretikularis dan jaras spinomesensefalik. Asenden dari neuron sekunder yang berada di
kornu dorsalis akan berlanjut ke traktus spinotalamikus secara kolateral dan diproyeksikan ke
thalamus dan formasio retikularis .Selanjutnya mealui traktus spinotalamikus informasi
noniseptif akan disampaikan ke nucleus di thalamus.2,3
Nyeri noniseptif secara patologik terjadi akibat kerusakan atau cedera sel jaringan, yang
berperan sebagai stimulasi terhadap sekresi mediator inflamasi. Mediator inflamasi ini
selanjutnya akan menstimulasi reseptor serabut Aδ dan serabut saraf C polimodal yang
berlokasi di kulit, tulang, jaringan ikat otot dan organ visera.2
Nyeri noniseptif dapat dibedakan menjadi nyeri somatik (berasal dari kulit, tulang,
tendon, ligamentum, otot atau jaringan tissue) dan nyeri viseral ( berasal dari organ lebih
dalam lagi seperti usus besar atau pankreas. Karakter kedua nyeri berbeda. Nyeri somatik
dapat dilokalisasi dengan baik dan biasanya berlangsung tidak terlalu lama. Nyeri viseral
biasanya berlangsung lebih lama, sangat sulit untuk dilokalisir, muncul sebagai nyeri somatik
di tempat lain (referred pain).2,3
Beberapa contoh nyeri noiseptif yang juga sering disebut sebagai nyeri tipe akut ini
yaitu nyeri post operatif, nyeri akibat trauma dan nyeri punggung bawah, nyeri akibat
prosedur medik. Nyeri akut umumnya berhubungan dengan respon neuroendokrin yang
proporsional dengan intensitas nyeri yang dialami. Operasi minor maupun superfisial
biasanya hanya menghasilkan respon stress yang tidak besar, sedangkan operasi mayor pada
daerah torakal dan abdomen biasanya menimbulkan respon stress yang besar. Nyeri akut
dengan intensitas sedang dan berat, darimanapun lokasi nyerinya, dapat mempengaruhi
hampir semua fungsi organ.2,3
Nyeri Neuropatik
Nyeri neuropatik adalah salah satu dari kelompok keluhan nyeri yang mempunyai
karakteristik seperti nyeri kronik dan penderita beberapa penyakit metabolik, termasuk
diabetes. Nyeri neuropatik terjadi akibat kerusakan jaringan saraf atau neuritis lokal baik di
14
perifer ataupun di sentral sehingga menyebabkan lesi atau diskoneksi dengan bagian jaringan
saraf lainnya. Kerusakan ini mengakibatkan perubahan aktivitas potensial akson dalam
bentuk signal. Berbeda dengan nyeri nosiseptif, nyeri neuropatik memperlihatkan tandatanda gangguan sensorik berupa alodinia atau hiperalgesia dengan lokasi yang kurang jelas
atau tidak pada daerah terluka saja. Nyeri neuropati muncul spontan seperti disestesia,
tusukan, rasa terbakar dll. 2,3
Nyeri campuran
Nyeri campuran merupakan nyeri yang bukan hanya diakibatkan oleh nosiseptif
(akut) akan tetapi juga mengalami keluhan nyeri neuropatik (kronik) yang timbul akibat
kerusakan atau disfungsi sistim saraf. Beberapa contoh yang sering ditemukan kombinasi
kedua nyeri ini adalah nyeri punggung bawah dengan radikulopati, nyeri leher dengan
radikulopati, nyeri kanker, nyeri sindroma terowongan karpal, nyeri arthritis dll.2
Tipe nyeri kanker meliputi nyeri kronik dan akut dengan berbagai penyebab, antara lain:
(1) Nyeri akibat penyakit itu sendiri, melalui berbagai mekanisme keadaan seperti invasi
tumor ke tulang, infiltrasi atau penekanan terhadap jaringan saraf, pengaruh langsung
terhadap organ yangterkena,ulserasi jaringan dan peningkatan tekanan intracranial atau
obstruksi organ; (2) Nyeri akibat terapi seperti kemoterapi (neuropati perifer, nekrosis tulang
aseptic, neuralgia pascainfeksi), radiasi, bedah insisi; (3) Nyeri akibat prosedur diagnostik
seperti biopsy.3,4
Penatalaksanaan Nyeri Akibat Kanker
Nyeri pada kanker harus diobati secara agresif dan sering membutuhkan pendekatan
multidisiplin sehingga tatalaksana menjadi efektif. Kondisi-kondisi seperti ini memerlukan
penggunaan analgesic opioid kuat secara kontinu dan berkaitan dengan derajat toleransi dan
ketergantungan. Tetapi, hal tersebut tidak menjadi penghalang untuk memberikan terapi dan
kualitas hidup yang terbaik bagi pasien. Suatu penelitian menyatakan bahwa pemberian
terapi opioid dalam interval yang tetap (yakni, dosis yang teratur dan waktu pemberian yang
terjadwal) lebih efektif meredakan nyeri daripada pemberian terapi menurut permintaan
pasien (dosing on demand). 4,5
15
Penatalaksanaan nyeri secara umum difokuskan pada kelompok nyeri noniseptif dan
nyeri neuropatik. Penanganan nyeri dilakukan sesuai dengan berat ringannya nyeri dengan
menggunakan metode yang direkomendasikan WHO dalam Three-Step Analgesic Ladder
atau tiga langkah pendekatan terapi farmakologis , merupakan target terapi untuk nyeri
kanker.5,6
The Three- step analgesic ladder :4.5,6
Langkah 1. Mild to moderate pain :
Non opioid (asetaminofen, NSAID dapat digunakan kecuali ada kontraindikasi) ±
adjuvant agent
Langkah 2. Mild to moderate pain atau nyeri tidak terkontrol setelah langkah 1:
Opioid kerja cepat ± Nonopioid (around the clock) ± adjuvant agent
Langkah 3. Moderate to severe atau nyeri tidak terkontrol setelah langkah 2:
Opioid lepas lambat/kerja panjang (around the clock) atau infuse kontinu + opioid
kerja cepat jika dibutuhkan ± Nonopioid ± adjuvant agent
Pada Three-Step Analgesic Ladder tersebut mendorong penggunaan terapi yang lebih
konservatif dahulu sebelum memulai terapi opioid. Namun penggunaan opioid pada nyeri
hebat harus diberikan opioid segera. Penting dan sangat ditekankan untuk menilai ulang dan
melakukan titrasi selama penatalaksaan nyeri.4,6
Secara umum penggunaan kombinasi obat dengan profil farmakokinetik yang sama
tidak disarankan, juga apabila reseptor target obat tumpang tindih (overllaping) atau
mengantagonis reseptor salah satu obat tersebut (contohnya kombinasi agonis reseptor
morpin dengan agonis yang sama atau antagonisnya). Kepustakaan lain menyebutkan opioid
tertentu berguna sebagai tambahan. Contohnya, pada nyeri kronik dengan kejadian periodik
atau breakthrough pain, pasien yang mendapat morpin dengan formulasi lepas lambat dan
nyeri akutnya dapat diberikan morpin yang aksi cepat atau kerja singkat seperti fentanyl
secara buccal.3,7
Pada nyeri noniseptif atau nyeri akibat inflamasi direkomendasikan kombinasi
opioid dengan NSAID atau asetaminopen. Pada nyeri neuropatik, golongan obat lain berguna
sebagai kombinasi dengan opioid, seperti antidepressant (amitriptilin, duloxetin) dan
antikonvulsan (gabapentin). 6
16
OPIOID
Perkembangan obat sintetik dengan zat-zat mirip morfin telah mengarahkan pada
penggunaan istilah opioid mewakili semua zat-zat eksogen, alami, dan sintetik, yang
berikatan khusus pada sejumlah jenis reseptor opioid dan menghasilkan sekurang-kurangnya
beberapa efek agonis yang mirip morfin. Suatu klasifikasi yang sesuai dari opioid antara lain
opioid agonis kuat ( Morfin, hidromorfon, oksimorfon, metadon, meperidin, fentanyl); opioid
agonis lemah sampai sedang ( kodein, oksikodon, hirokodon, profoksifen, difenoksilat);
Campuran agonis-antagonis ( nalbufin, bupremorfin, butorfanol, pentazosin); opioid
antagonis (nalorfin, nalokson).8,9
Opioid digunakan dalam penatalaksanaan nyeri akut dan kanker yang dikaitkan
dengan nyeri kronik, opioid juga efektif untuk penatalaksanaan nyeri kronik bukan kanker,
walaupun masih controversial. Pemilihan opioid harus berdasarkan respon pasien, efektivitas
analgetiknya, farmakokinetik, farmakodinamik dan profil efek sampingnya.3
Farmakologi aktivitas opioid tergantung pada afinitas di reseptor opioid. Tiap
agen opioid berbeda afinitas dan efek sampingnya antara satu dengan yang lainnya karena
variasi subtype reseptor. Ada 3 jenis utama reseptor opioid yaitu mu(μ), delta (δ), dan kappa
(К). Ketiga jenis reseptor termasuk pada jenis reseptor yang berpasangan dengan protein G,
dan memiliki subtype : mu1, mu2, delta1, delta 2,kappa1, kappa2, dan kappa3. Sehingga
memiliki efek farmakologi yang beragam. Seperti kodein merupakan agonis lemah pada
reseptor μ dan δ, morfin merupakan agonis kuat pada reseptor μ tetapi agonis lemah pada
reseptor δ dan К. Metadon, meperidin dan fentanyl merupakan agonis pada reseptor μ.6,8,9
Reseptor μ memperantai efek analgetik mirip morfin, depresi nafas, miosis,
berkurangnya motilitas saluran cerna. Reseptor kappa diduga memperantarai analgesia
seperti yang ditimbulkan pantazosin, sedasi serta miosis dan depresi napas yang tidak sekuat
agonis μ. Selain itu disusunan saraf pusat juga didapat reseptor delta memegang peranan
dalam menimbulkan depresi pernapasan yang ditimbulkan opioid. 6,8,9
Efek analgetik yang ditimbulkan oleh opioid terutama terjadi sebagai akibat kerja
opioid pada resptor μ. Reseptor δ dan К dapat juga berperan dalam menimbulkan analgesia
17
terutama pada tingkat spinal. Reseptor opioid yang terutama didapatkan di SSP dan medulla
spinalis yang berperan pada transmisi dan modulasi nyeri. Ketiga jenis reseptor utama yaitu
μ,δ,К banyak didapatkan pada kornu dorsalis medulla spinalis. Reseptor didapatkan baik
saraf transmisi nyeri di medulla spinalis maupun pada aferen primer yang melerai nyeri.
Agonis opioid melalui reseptor-reseptor tersebut pada ujung prasinaps aferen primer
nosiseptif mengurangi penglepasan transmitter, dan selanjutnya menghambat saaraf yang
mentransmisi nyeri di kornu dorasalis medulla spinalis. Dengan demikian opioid mempunyai
efek analgetik yang kuat melalui pengaruh pada medulla spinalis. Sekain itu μ agonis juga
menimbulkan rfek inhibisi pascasipas melalui reseptor μ di otak. 6,8,9
Konsitipasi, sedasi, mual muntah merupakan efek samping yang sering terjadi , depresi
pernapasan jarang terjadi. Toleransi terhadap efek samping (kecuali konstipasi) sering terjadi
pada minggu pertama. Pertimbangan profil manfaat dan efek samping dalam memilih agen
yang paling sesuai.3,5,6
Toleransi, adiksi, abuse
Toleransi adalah berkurangnya efek obat dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari
paparan obat. Toleransi terjadi pada tingkat yang berbeda dan bervariasi tiap pasien.
Ketergantungan fisik adalah kebutuhan akan opioid karena faal dan biokimia tubuh tidak
berfungsi lagi tanpa opioid. Toleransi dan ketergantungan fisik tidak sama dengan adiksi.
Adiksi adalah perubahan psikis emosional sehingga pasien ketagihan akan obat. Ketika
opioid digunakan , perubahan psikis harus dievaluasi secara kontinu. Insiden timbulnya
adiksi bervariasi tergantung populasi pasien. Pada pasien tanpa riwayat adiksi, resiko adiksi
relative kecil. Paparan obat hanya salah satu faktor yang menimbulkan adiksi. Genetik,
sosial, faktor psikologi mungkin menjadi faktor penentu yang signifikan. Daya untuk
menimbulakan adiksi berbeda-beda untuk masing-masing obat. Telah terbukti bahwa
kemungkinan untuk penyalahgunaan opioid yang tergolong opioid agonis-antagonis lebih
kecil daripada opioid agonis μ. Demikian pula hanya dengan opioid yang bekerja selektif
sebagai agonis pada reseptor К karena kecil kemungkinannya untuk menimbulkan euphoria. 3
18
TINJAUAN OBAT
DUROGESIC PATCH (Fentanyl Patch)
Fentanyl mempunyai
cukup kelarutan lipid dan cairan untuk dapat penetrasi ke
kulit,stratum korneum epidermis. Lipofilik fentanyl tinggi sehingga menghasilkan difusi
yang cepat ke dalam lapisan lemak epidermis dikuti dengan gerakan lambat ke dalam lapisan
dermis yang penuh cairan (hidrofilik) dan masuk ke sirkulasi darah di subkutis, terdepositnya
fentanyl dalam lapisan keratin epidermis menyebabkan onset lambat dan efek transdermal
fentanyl ini memanjang. Anatomi posisi patch tidak mempengaruhi absorpsi. Cara ini cocok
untuk terapi nyeri pada kanker oleh karena mudah penggunaannya, lamanya durasi kerja dan
stabil konsentrasi darah. Fentanyl patch untuk pasien nyeri kronik, tidak prioritas untuk nyeri
akut. Efek analgetik penuh didapat setelah 72 jam dan butuh 12-24 jam untuk onset dan
lebih 6 hari untuk menjangkau steady state setelah dosis diberikan. Plasma level stabil setelah
dua kali patch diaplikasikan dan secara kinetic tidak menunjukan perubahan pada
pengulangannya. Efek samping patch yaitu gatal dan kemerahan. Fentanyl tersedia dalam
sediaan sustained release patch 12,5, 25,50,75,100 mcg, tidak memiliki sediaan immediate
release(IR) tablet, hanya sublingual (IR), dan parenteral 7,10,11
MST (Morphine slow relase)
MST adalah tablet lepas lambat yang di rancang untuk melepas morphin dengan lambat dan
kontinu lebih dari 12 jam dalam darah sehingga efek anti nyerinya bertahan lama. Tablet
diminum setiap 12 jam. Obat harus ditelan utuh dan tidak pecah, agar tidak menyebabkan
pelepasan dan absobsi yang cepat dan tidak menimbulkan dosis fatal morphine. Morfin
tersedia dalam sediaan Immediate release tablet(IR), sustained relase (ST)15,20, 30,
60,100,200 mg, juga rectal dan parenteral.6,7
19
PEMBAHASAN
Pasien wanita berumur 47 tahun menderita
kanker nasofaring (KNF) yang telah
bermetastase ke tulang. Stadium KNF yang diderita pasien adalah stadium IV berdasarkan
T1N3M1, yaitu T1 (tumor yang terdapat pada satu lokasi di nasofaring atau tumor yang
dapat dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi); N3 (terdapat pembesaran baik
homolateral, kontralateral atau bilateral, yang sudah melekat pada jaringan sekitar); M1
(terdapat metastase ke tulang). Kondisi pasien tersebut mempunyai prognosis yang buruk,
sehingga
dibutuhkan peningkatan kualitas hidup pasien, antara lain dengan usaha
penatalaksanaan nyeri yang adekuat. Maka, pembahasan kasus ini akan penulis fokuskan
pada penatalaksanaan nyeri pada pasien kanker.
Pasien datang ke RS dengan keluhan nyeri hebat seluruh tubuh. Nyeri hebat ini
bersumber dari beberapa faktor yaitu akibat kankernya (KNF) itu sendiri seperti terdapat
penekanan kanker ke tulang, penekanan terhadap jaringan saraf, pengaruh langsung terhadap
organ yang terkena adanya ulserasi jaringan, serta akibat penyakit penyerta lain yang dialami
pasien yaitu diabetes mellitus yang dapat memungkinkan timbulnya neuropati. Selama
perawatan di lantai 8 RSCM, pasien sudah menjalani radioterapi di daerah punggung
sebanyak 10 kali dari rencana 10 kali, dan kemoterapi terakhir 24 Juli 2013, nyeri juga dapat
bersumber dari terapi kanker seperti radioterapi dan kemoterapi.
Derajat nyeri yang dialami oleh pasien pengukurannya menggunakan visual analog scale
(VAS) numeric, dengan deskripsi yang berkisar dari tidak nyeri (0) sampai nyeri yang sangat
menyiksa (10).
4,7,12
Nyeri hebat (severe pain) dialami pasien ini, saat hari pertama masuk
IGD dengan VAS 7- 8, penatalaksanaan farmakologi nyeri yang diterima pasien yaitu
duragesic patch 50 mcg/72 jam, MST 2 x 15mg per oral dan Ketorolac 3 x 30mg
intravena digunakan jika perlu (breakthrough pain). Kombinasi obat-obat tersebut
kurang berespon baik terhadap pasien, pasien teridentifikasi nyeri hebat/ moderate/severe
pain, yang perlu dipertimbangan kombinasi dengan nonopioid (NSAID) atau asetaminofen,
serta dipertimbangkan pula adjuvant agent seperti antikonvulsan atau antidepresan dengan
tujuan meningkatkan efek anlgetik, mengontrol efek samping opioid dan mengelola gejala
yang dapat berkontribusi akibat nyeri yang dialami pasien (seperti ansietas, depresi atau
20
insomnia). Pemakaian ketorolac harus dipastikan pasien tidak mempunyai gangguan ginjal
dan tidak mempunyai riwayat perdarahan saluran cerna.3,7,12
Perawatan di RS hari berikutnya hingga 2-3 minggu pertama, pasien masih mengalami
nyeri hebat dengan VAS diatas 7, saat itu terapi nyeri yang diberikan duragesic patch 50
mcg/72 jam, MST dinaikkan menjadi 2 x 20 mg, penambahan parasetamol 3 x 1000mg,
serta ibuprofen supp jika perlu. Penambahan paracetamol dapat dipertimbangkan, karena
parasetamol sebagai analgetik dapat digunakan pada nyeri ringan hingga sedang. Parasetamol
merupakan penghambat siklooksigenase-1 dan siklooksigenase-2 lemah pada jaringan perifer
dan biasanya diberikan peroral 4 x 500 mg pada dewasa, perlu dipertimbangkan efek
samping parasetamol yaitu peningkatan enzim transaminase dan hepatotoksis yang dapat
terjadi pada dosis tinggi (namun pada pasien tidak terjadi peningkatan enzim tersebut). 8
Minggu berikutnya di RS (± 2 minggu kedua) pasien mendapat kombinasi terapi
duragesic patch dosis tetap (50mcg/72 hari), dosis MST dinaikan 2 x 30mg, dosis
parasetamol diturunkan 3 x 500mg, penambahan gabapentin dengan dosis 3 x 300mg.
Dengan kombinasi tersebut pasien mengalami penurunan VAS, dibawah 5.
Gabapentin merupakan obat yang digunakan sebagai tambahan untuk terapi kejang
parsial dan kejang umum tonik klonik. Gabapentin juga terbukti efektif dalam terapi nyeri
neuropatik, dengan dosis yang diindikasikan pada orang dewasa adalah 1800mg, dosis dapat
terbagi 3 kali perhari dengan gradual titrasi setiap 3 hari atau setiap minggu dan dosis
maksimal adalah 2400 mg. Efek samping gabapentin adalah somnolen, ataksia, nyeri kepala
dan tremor. Pada pasien dengan gangguan ginjal, dosis perlu penyesuaian dan monitor. Pada
pasien ini tidak ada gangguan ginjal sehingga penggunaannya aman. Suatu prospective study
tahun 2009 menyebutkan, gabapentin efektif menjadi salah satu adjuvant pada penderita
kanker yang mendapat morfin. 3,5,13
Minggu berikutnya (±2 minggu ketiga) setelah terjadi penurunan tingkat nyeri, kombinasi
obat yang diterima pasien yaitu duragesic patch dosis masih tetap (50 mcg/72 hari), MST
dosis tetap 2 x 30 mg, gabapentin 3 x 300mg, parasetamol di stop. Respon pasien
membaik, dapat diambil kesimpulan dari VAS yang berkurang, dengan skor dibawah 3.
Kombinasi obat yang memberi respon baik pada pasien dapat dipertahankan hingga satu
21
minggu. Setelah pemakaian opioid lebih 1 minggu, sebaiknya dosis dititrasi dengan
penurunan 20 -30 % tiap 2- 3 hari untuk mencegah withdrawal syndrome.7
Namun, penatalaksanaan nyeri seperti tersebut diatas, terdapat pemberian dua opioid
kuat sekaligus, yaitu morfin lepas lambat dan fentanyl patch. Kombinasi dua opioid tidak
direkomendasikan, kecuali apabila dalam durasi waktu yang dibutuhkan, belum tercapai
penurunan nyerinya. Opioid aksi lambat dapat ditambah opioid aksi cepat sesuai kebutuhan,
atau dalam kondisi breakthrough pain. Mengingat efek samping yang dapat meningkat pada
pemberian opioid dosis tinggi.
Menurut WHO the 3 step ladder, opioid kuat dosis rendah disarankan untuk pemberian
pertama pada pasien savere pain . Morfin sebagai opioid kuat sebagai pilihan pertama untuk
penatalaksanaan moderate to severe pain, pemberian secara oral lebih disukai pada pasien
yang tidak ada gangguan akses oral, dengan dosis awal rendah dan dinaikkan perlahan sesuai
respon pasien, juga dengan jadwal pemberian yang tepat (around the clock) bukan
berdasarkan kebutuhan pasien. Jika pemberian morfin setelah 24 jam belum adekuat, dosis
harus dinaikkan, kenaikan dosis dapat diberikan hingga 50 % dari dosis awal. Sebaliknya,
jika pemberian dosis awal, terlihat pasien sangat somnolen dan bebas dari rasa sakit, dosis
berikutnya harus diturunkan 50 % lebih rendah
Formula yang diberikan pada pasien ini berupa morpin lepas lambat (MST) dengan
durasi efek analgetik sekitar 8-12 jam, bekerja baik dalam kontrol nyeri, dan lebih stabil,
dengan frekuensi pemberian 2 kali perhari. Alternatif morfin formula lain adalah immediate
release (IR) dengan durasi efek analgetik sekitar 4 – 5 jam, biasanya menjadi pilihan untuk
pemberian awal terapi opioid, atau menjadi formula tambahan sebagai breakthrough pain,
apabila pasien telah mendapat opioid lepas lambat.
Pada pasien ini mendapat tambahan fentanyl patch. Fentanyl patch digunakan sebagai
alternatif, ada kepustakaan yang menyebutkan sebagai second line . Fentanyl patch dipilih
jika terdapat gangguan fungsi saluran cerna sehingga mencegah penggunaan morfin oral
lepas lambat, sistem transdermal fentanil dapat digunakan untuk nyeri kronik, bukan nyeri
akut. Fentanyl patch pada pasien ini dapat diberikan hanya sebagai alternatif pilihan selain
morfin lepas lambat(MST) karena tidak dapat mengatasi breakthrough pain, dan munculnya
22
efek samping lebih meningkat akibat penggunaan kombinasi obat ini . Suatu penelitian
terbaru melaporkan bahwa
kejadian konstipasi, mual
lebih sedikit pada pasien yang
menggunakan fentanyl patch dibanding morfin lepas lambat. Efek samping dapat diatasi
dengan penggunaan yang tepat antiemetic dan laxative.4,710,11
Suatu uji Fentanyl trandermal (duragesic patch) terbukti aman untuk pasien kanker
dengan moderate/severe pain, dan terbukti meningkatkan kualitas hidup pasien. Fentanyl
merupakan sintetik morpin, mempunyai berat molekul kecil, potensi tinggi, penyerapan
bagus untuk pemakaian transdermal. Beberapa keuntungan dibanding oral, sublingual,
parenteral yaitu antara lain cara pemakaiannya non invasif, efektif dan diterima baik pada
pasien kanker yang mempunyai masalah gastrointestinal dan pasien yang mempunyai
kesulitan secara oral, dikarenakan kanker itu sendiri atau karena efek samping oral atau
parenteral. Fentanyl patch dapat mengendalikan nyeri secara kontinu, mengendalikan
pengiriman sistemik hingga 72 jam.10,11
Efek samping yang timbul pada pasien adalah mual, muntah serta konstipasi. Mual
muntah pada pasien timbul akibat penggunaan opioid dosis besar dan akibat kemoterapi yang
dijalani pasien. Sehingga dapat mengaktifkan chemoreceptor trigger zone di batang otak
yang dapat menimbulkan mual muntah. Mungkin juga terdapat komponen vestibular pada
efek ini karena gerakan tubuh tampaknya meningkatkan insidens mual dan muntah. Mual
dimediasi oleh beberapa neurotransmitter utama seperti serotonin (5HT3), dopamine (D2),
asetilkolin dan histamine (H1).
Suatu rekomendasi menyatakan pemberian antiemetik profilaksis sebagai pencegahan
mual muntah pada pasien yang mendapat opioid dan menjalani kemoterapi.14 Beberapa
pilihan antiemetic, pilihan pertamanya adalah metoclorpramide, alternative pilihan adalah
ondansentron, suatu antagonis 5-HT3 yang sangat selektif yang dapat menekan mual dan
muntah. Reseptor 5-HT3 terdapat pada chemoreceptor trigger zone, efek ekstrapiramidal
lebih jarang dibading metoclorpramide.5,14 Selain sebagai profilaksis, apabila pasien yang
mengalami mual muntah hebat yang tidak terkontrol dengan antiemetic spesifik, dapat
dikombinasi dengan antiemetic golongan lain, namun harus di monitor penggunaannya.14
23
Pada pasien ini mendapat ondansentron dan domperidon, keduanya merupakan golongan
berbeda. Namun, selama perawatan tidak terjadi mual muntah yang hebat pada pasien,
sehingga dapat dicoba satu macam antiemetik saja misalnya ondansentron, dan
dipertimbangan pemberian oral. Pemakaian antiemetic yang terus menerus pada pasien ini
sebaiknya dihindari. Reevaluasi gejala mual muntah dan pemberian obat yang tetap walau
dengan satu macam golongan obat, untuk menghindari toksisitas.
Konstipasi merupakan salah satu efek samping yang sering ditemukan pada penggunaan
opioid atau kemoterapi. Suatu kepustakaan menyebutkan bahwa pencegahan dapat dilakukan
dengan mulai memberikan pencahar secara teratur untuk semua pasien yang memakai
opioid.15 Suatu kepustakaan lain menyebutkan, pada penggunaan opioid jangka panjang,
dosis opioid dapat diatur terlebih dahulu atau menggantinya, agar tidak timbul konstipasi.
Pada pasien ini menggunakan pencahar rangsang (stimulant cathartics) sejak awal, gejala
konstipasi mungkin muncul pada pasien, namun tidak jelas tercatat dalam rekam medik
pasien. 8
Penggunaan pencahar rangsang sebaiknya digunakan sesuai kebutuhan pasien atau sesuai
gejala konstipasi yang muncul, agar tidak terjadi penurunan sensitivitas mukosa pada
penggunaan pencahar terus menerus, sehingga usus gagal bereaksi terhadap rangsang
fisiologik. Selain itu dapat menyebabkan diare dengan akibat kehilangan air gangguan
keseimbangan elektrolit (hipokalemia).8
Saran penulis untuk pemberian awal obat analgetik pada pasien ini: Morfin immediate
release 15 mg setiap 4-5 jam (titrasi kenaikan dosis sesuai respon pasien dan pemberian
sesuai around the clock); morpin (immediate release) tablet 10 mg tambahan jika terjadi
breakhtrough pain, gabapentin 3 x 300mg (titrasi, sebagai neuropatik pain). Titrasi harus
dilakukan berdasarkan monitor respon pasien pada 4 jam pertama, sampai dicapai dosis yang
adekuat. Alternatif lain adalah: morfin lepas lambat (MST) tablet 2 x 15 mg, morfin
(immediate release) tablet 10 mg sebagai tambahan jika terjadi breakhtrough pain.
Penggunaan fentanyl patch dapat dipertimbangkan menjadi alternative pada nyeri kronik.
Konversi oral morfin ke fentanyl patch atau sebaliknya dapat mungkin dilakukan sesuai
equivalen dosis.
24
Pada akhirnya penilaian nyeri yang komprehensif adalah dasar dari penatalaksanaan
nyeri, antara lain anamnesa pasien, pemeriksaan fisik, mereview obat-obat yang telah
didapat, mereview psikososial pasien dan lingkungan fisiknya. Penilaian harus menentukan
penyebabnya, manfaat dan dampak quality of life untuk pasien dan keluarga. Penilaian ulang
nyeri merupakan hal yang amat penting, berkaitan dengan obat yang telah diberikan. Untuk
pasien yang menderita nyeri hebat, pemberian analgesic opioid menjadi suatu hal penting
yang patut direncanakan dengan baik agar mendapatkan respon pasien yang juga baik.
Rencana pemberian opioid meliputi tentang jalur pemberian ( oral, parenteral, neuraksial),
durasi kerja obat, efek ceiling ( aktivitas intrinsik maksimal), durasi terapi, potensi efek
samping, dan riwayat penggunaan opioid pada pasien. Efektivitas terapi harus di reevaluasi
dan jika perlu, rencana terapi harus diubah bila respon terhadap terapi berlebihan atau tidak
adekuat.
KESIMPULAN
Pasien wanita berumur 47 tahun menderita kanker nasofaring (KNF) yang telah
bermetastase ke tulang dan penyakit degenerative lain yang menyertai. Pasien membutuhkan
peningkatan quality of life , antara lain penatalaksanaan nyeri yang optimal. Efektivitas terapi
harus direevaluasi secara kontinu, respon pasien terhadap penatalaksanaan nyeri harus
diperhatikan, termasuk efek samping atau interaksi yang mungkin terjadi terhadap obatobatan yang lain.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Yu-lin Zhu et al. Multicenter clinical study for evaluation of efficacy and safety of
transdermal fentanyl matrix patch in treatment of moderate to severe cancer pain in 474
chinese cancer patients. Chin J Cancer Res 23(4):317-322,2011
2. Purba JS. Patofisiologi dan penatalaksanaan nyeri. BP FKUI Jakarta,2010
3. Dipiro JT et al. Pharmacotherapy a pathophysiologic approach, Pain management 7thEd.
New York:Mc graw Hill 2008
4. WHO. Cancer pain relief with a guide to opioid availability.second edition,Geneva 1996
5. Bertam G katzung. Basic & Clinical Pharmacology 10thEd. San franscisco, 2010
6. Brunron L et al. Goodman&Gilman’s The Pharmacology basis of theurapetics 12 thEd.
New York: mc graw Hill 2011
7. Fraser health. Principles of Opioid management. Hospice palliative care, Clinical Practice
committee. November 24,2006
8. Gunawan SG, Setiabudy R. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta, 2011
9. Andrea MT et al. Opioid Pharmacology. Pain physician,2008
10. Lewis N, Robert S. Transdermal fentanyl: Pharmacology and toxicology. Journal of
medical tocicology. Desember 2009. Vol 5 (4):23038
11. Tracy LS. Transdermal opioids for cancer pain. BioMedcentral. 2006
12. The British pain society’s. Cancer Pain Management. January 2010
13. Fallon MT,et al. neuropatic pain in cancer. Br J Anaesth. 2013
14. Fraser health. Symptom Guidelines nausea and vomiting. Hospice palliative care,
Clinical Practice committee. November 24,2006.
15. Fraser health. Symptom Guidelines bowel care. Hospice palliative care, Clinical Practice
committee. November 24,2006.
26
27
Download