Judul Buku : Catholicism at the Crossroads. How

advertisement
RESENSI BUKU
Judul Buku
Pengarang
Penerbit
Halaman
:
:
:
:
Catholicism at the Crossroads. How the Laity can save the Church
Paul Lakeland
Continuum, London-New York, 2007
164 hlm.
Pada tahun 1950an Yves Congar menerbitkan buku besar yang boleh
disebut “teologi awam” pertama dengan judul Lay People in the Church atau
“Kaum Awam Dalam Gereja”. Pemikiran Congar dalam buku ini sangat
membantu refleksi para bapa Konsili Vatikan II untuk menemukan kembali
identitas Gereja sebagai komunitas Injili. Gereja bukanlah semata-mata sebuah
organisasi hirarkis-piramidal, dibebani oleh klerikalisme yang gaungnya tetap
ada misalnya dalam pastorsentrisme. Gereja adalah umat Allah yang disatukan
secara mendasar dalam sakramen pembaptisan dalam Kristus, Sang Pewarta
kabar Gembira dari Allah. Dalam arus usaha “kembali kepada Injil” yang
kentara sekali dalam Gereja Vatikan II inilah, Paul Lakeland menuliskan
gagas an-gagasannya tentang “teologi awam”. Perbedaannya terletak pada
titik berangkatnya. Sementara Congar mengkritisi ekklesiologi pra-Vatikan
II, Lakeland berangkat dari pengamatan dan telaah terhadap Gereja pascaVatikan II yang dipandangnya condong meragukan Insight konsili Vatikan
II. Ditambah lagi peristiwa gerejani akhir-akhir ini, seperti pencabutan ekskomunikasi 4 uskup yang ditahbiskan oleh uskup agung Levebvre tahun
1988,mengindikasikan semakin kembalinya praktek-praktek dan cara pikir praVatikan II dan soal “pembatasan legal/teologis” peranan kaum awam dalam
hidup dan perutusan Gereja di tengah dunia.
Lakeland menerbitkan Catholicism at the Crossroads dengan maksud utama
menyapa pembaca lebih luas yang belum banyak mendapatkan training dalam
bidang teologi. Buku kecil ini tidak dapat dipisahkan dari bukunya yang lebih
besar tentang teologi awam, yaitu yang berjudul The Liberation of the Laity (2003).
Sebagai catatan buku dari tahun 2003 inilah yang membuat Lakeland dikenal
sebagai pencetus terpenting tentang teologi awam sesudah Yves Congar tersebut
atau John Henry Newman. Buku ini kemudian mendapatkan penghargaan dari
Catholic Press Association’s 2005 Award sebagai pemenang pertama. Buku-buku
Lakeland ini memuat usulan konstruktif tentang sebuah ekklesiologi yang lebih
serius berdialog dengan sekularitas yang menjadi konteks hidup nyata kaum
awam katolik dan perjuangannya mengemban misi Gereja berhadapan dengan
kapitalisme global. Jelas baginya bahwa dalam konteks yang tidak bisa ditarik
kembali inilah, kaum awam termasuk kaum perempuan dan keluarga-keluarga
akan menjadi ujung tombak bagi misi Gereja. Yang dikritiknya adalah model
Resensi Buku
— 97
“karier-karier” dalam Gereja sebagaimana dalam klerikalisme yang beruratberakat dalam Gereja Katolik.
Lakeland ingin menggerakkan orang-orang Katolik dewasa demi terbangunnya Gereja yang dewasa. Komunitas Yesus (Gereja) bukan sekedar soal
keanggotaan, melainkan cara berelasi dan cara bertindak orang kristiani yang
semakin didasarkan pada Injil. Akuntabilitasnya perlu juga diuji dengan prinsip organisasi kemasyarakatan yang dapat dipertanggungjawabkan, misalnya
semacam “demokrasi” yang dialami umat kristiani di Amerika Serikat, negara
asal pengarang. Pengandaiannya bahwa tradisi bukanlah “harga mati”,
melainkan senantiasa perlu diterangi dan ditransformasikan oleh Injil. Lembaga gerejani perlu senantiasa diuji baik berkaitan dengan dasar teologisnya
dan berkaitan dengan mekanisme kelembagaannya misalnya dengan fungsi
kelembagaan “sekular” sejauh didasarkan pertanggungjawaban rasional dan
Injili; bahwa struktur kepemimpinan gerejani yang biasanya dilegitimasikan
secara teologis perlu terbuka pada perkembangan teologi dan kesadaran
manusia yang terbuka pada wahyu Allah di setiap zaman; bahwa semangat
pembaruan konsili Vatikan II perlu diperjuangkan terus menerus dalam terang
pergulatan jemaat perdana untuk setia pada visi (komunitas) Yesus berhadapan
dengan aneka kemapanan tradisional seperti Yudaisme ketat, ritualisme atau
logika keagamaan yang menindas dari zaman ke zaman; bahwa dalam Gereja
katolik, gereja sebagai umat Allah perlu lebih diwujudnyatakan khususnya oleh
kaum awam yang mayoritas hidup dalam suasana Gereja yang tetap klerikal,
pastorsentris dan condong bias secara teologis.
Maka Lakeland mulai dengan bab tentang doa, pertimbangan rohani
secara dewasa (discernment) dan hal-hal yang berseberangan. Bab 1 ini diawali
dengan penjelasan situasi, orientasi teologis dan tujuan penulisan buku kecil
ini. Adakah perbedaan antara cara pandang seorang katolik dewasa terhadap
tanggungjawab sekularnya dengan tanggungjawabnya dalam hidup menggereja?
Bagaimana mengupayakan agar semua orang katolik, yang konservatif dan
yang liberal, bergandeng tangan dalam pembangunan Gereja yang lebih baik
dan lebih dewasa? Manakah peran penting forum menguji pandangan dan
pendapat serta forum doa tulus demi persatuan Gereja? Bab 2 menjelaskan
tentang peran kaum awam: siapakah dan dimanakah mereka, peran dan
pergulatannya? Bagaimana kita kembali kepada Gereja atas dasar pembaptisan
(bukan tahbisan) dan bersama berbagi tanggungjawab mengemban misi gereja
yang bersifat imami? Mungkinkah kita mengatasi istilah “imam”atau “awam”
dan mulai saja bicara soal aneka pelayanan yang berbeda dan berpikir dalam
kesatuan bahwa komunitas mengemban misi Yesus atau pelayanan Injili?
Bab 3 dan bab 4 membicarakan soal pentingnya pertanggungjawaban yang
transparan (akuntabilitas) sebagai pengandaian dasar setiap kelompok, organisasi
atau lembaga di zaman ini. Adakah dinamika dalam Gereja yang melemahkan
98 —
ORIENTASI BARU, VOL. 18, NO. 1, APRIL 2009
atau menghalangi pertanggungjawaban transparan dan dewasa? Apakah
dinamika paroki atau keuskupan hanya terus mengikuti metafora “orangtuaanak”? Apakah para klerus memahami tugasnya sebagai tanggungjawab
orangtua terhadap anak-anaknya, yaitu umat? Sebaliknya apakah maum awan
memang lebih senang diperlakukan sebagai anak-anak? Dalam hal ini, teologi
Allah Tritunggal mengajarkan apa? Struktur Gereja macam apakah yang akan
memungkinkan kaum awam berpartisipasi berdasarkan “prinsip konsensus”
sebagaimana dijelaskan Yves Congar? Bab 5 mendiskusikan kasus-kasus yang
memukul Gereja saat ini, khususnya soal pelecehan seksual yang dilakukan
oleh para imam Gereja katolik. Pemahaman masalah pelecehan seksual dan
tali temalinya, penanganan dan antisipasinya menunjukkan adanya sesuatu
yang “tidak jalan” dengan Gereja (klerikal) seperti sekarang ini. Bagaimana
kita memahami hubungan Yesus dan Gereja? Apakah kita sungguh belajar dari
sejarah dan teologi secara serius? Gereja terkenal sebagai pembela kebebasan
manusia; tetapi bagaimana tempat kebebasan sendiri dalam Gereja?
Bab 6 dan bab 7 merupakan upaya menggagas lebih jauh tentang Gereja
yang lebih dewasa dan terbuka, dilengkapi dengan penjelasan 10 langkah
untuk merealisasikannya. Ciri-ciri Gereja-umat Allah yang dewasa adalah
berpengetahuan (tidak masa bodoh), inklusif dan melihat ke depan, berorientasi
pada pelayanan (bukan karier). Oleh karena itu pula penting mengenal realitas
dunia saat ini sampai kepada wajah kemiskinan yang semakin buruk, sikap
dewasa dari semua pihak dan mengaktifkan peran deliberatif-konsultatif kaum
awam dalam hidup gereja, perlunya belajar sejarah tradisi katolik dengan serius,
memahami sakramen baptis sebagai dasar semua pelayanan gerejani, menseriusi
implikasi perayaan ekaristi dalam hidup dan struktur Gereja, menyadari sumber
pengetahuan dan pembaruan yang ada di dunia perguruan tinggi dan kolese
katolik lain yang membantu gereja untuk berpikir, serta pentingnya peran dan
sumbangan kaum perempuan bagi pembangunan dunia yang bermasa depan.
Maka bab 8 mengkhususkan pembahasan tentang kaum awam, kepemimpinan
keuskupan dan perutusan Gereja di dunia masa kini.
Buku ini ditutup dengan sharing pengalaman dan pencerahan menjadi orang
katolik di Amerika Serikat dengan identitas dan dinamika negaranya yang khas
di dunia sekarang, termasuk sikap dan pertimbangan orang katolik di tengah
kebudayaan Amerika Serikat yang dominan serta menimbulkan aneka reaksi
dan perasaan dari yang pro sampai yang kontra. Lakeland menyatakan bahwa:
“Para ahli tentang Gereja pada umumnya setuju bahwa 500 tahun pertama dalam
sejarahnya, Gereja lebih terbuka terhadap aneka macam partisipasi. Sebagian besar
atau bisa dikatakan semua dari mereka setuju bahwa ketika gereja semakin
memisahkan awam dari klerus, Gereja kehilangan lebih banyak daripada memperoleh sesuatu darinya. Kesepahaman para ahli demikian ini semakin jelas
menunjukkan pentingnya reformasi Gereja…” (hlm. 10). (Hartono Budi)
Resensi Buku
— 99
Judul Buku
Pengarang
Penerbit
Halaman
:
:
:
:
The Oxford History of Christian Worship
G. Wainwright dan K.B.W. Tucker (editor)
Oxford University Press, New York, 2006
xx + 916
Kita mengenal banyak buku mengenai sejarah liturgi dan ibadat Gereja.
Tetapi kiranya tidak terlalu banyak literatur yang tersedia, yang memuat
sejarah liturgi dan ibadat Gereja dalam satu “compendium” yang berisi tulisan
tentang sejarah liturgi dari berbagai komunitas Gereja sekaligus. Dari yang tidak
banyak itu, terbit buku The Oxford History of Christian Worship yang sungguh
memberikan sumbangan yang tinggi terhadap informasi mengenai sejarah
peribadatan Gereja lintas waktu, lintas tempat dan lintas kepercayaan. Buku
setebal 916 halaman ini diedit oleh ahli teologi dan liturgi yang tersohor, yakni
Geoffrey Wainwright, seorang teolog liturgis dari Gereja Metodis di Inggris, dan
Karen BN. Westerfield Tucker, seorang Profesor Ibadat di Universitas Boston
dan ketua Dewan Redaksi jurnal ilmiah Studia Liturgica. Buku ini berupa bunga
rampai tulisan begitu banyak ahli teologi dan liturgi di seluruh dunia. Ada
hampir 36 ahli selain kedua editor di atas yang menyumbangkan tulisannya
di seputar sejarah liturgi dan ibadat Gereja. Yang sangat menarik ialah para
kontributor karangan dalam buku ini mencakup para ahli dari berbagai
komunitas Gereja, seperti Gereja Katolik Roma, Gereja Ortodoks, Gereja
Lutheran, Gereja Baptis, Gereja Menonit, Gereja Metodis, Gereja Presbyteran,
Gereja Pentakosta dan denominasi lainnya. Para pengarang juga berasal dari
berbagai tempat yang bahkan mencakup ke lima benua sekaligus dan dari
berbagai bahasa (seperti Perancis, Jerman, Portugis, Belandan, Swedia dan
Korea) yang dalam buku sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris. Pantaslah
kalau kita menyebut buku The Oxford History of Christian Worship ini sebagai
sumbangan yang sangat berharga bagi studi sejarah liturgi dan peribadatan
pada awal abad ke-21 ini, terutama karena pendekatannya yang lintas batas
tempat, waktu, budaya, bahasa dan komunitas Gereja.
Buku The Oxford History of Christian Worship terutama mengupas tematema liturgi dan ibadat Gereja sebagaimana dirayakan oleh umat di gereja
Katedral atau paroki, termasuk juga di komunitas-komunitas biara. Tema-tema
liturgi yang dikupas terutama berhubungan dengan perayaan liturgi atau
ibadat pada hari Minggu, pesta atau peringatan tertentu, upacara inisiasi,
ritus sakramental, upacara perkawinan dan pemakaman, atau doa-doa yangb
sudah menjadi tradisi dalam Gereja-Gereja. Menilik karangan-karangan dalam
buku ini, tampak bahwa buku ini menggunakan alur gagasan kronologis
meskipun perkembangan alurnya tidak selalu lancar menurut urutan kronologis
mengingat tema kupasannya mencakup berbagai kelompok Gereja dan daerah.
Dengan membaca buku ini kita memang akan memperoleh sebuah panorama
100 —
ORIENTASI BARU, VOL. 18, NO. 1, APRIL 2009
cakupan tema sejarah liturgi dan ibadat yang luas, bahkan luas sekali, sekaligus
bahasan tema-tema liturgis yang sangat bervariasi.
Hal yang pantas dipuji adalah usaha editor untuk memberi kerangka
pada seluruh karangan yang aslinya tersebar-sebar dan tidak langsung berhubungan satu sama lain itu. G. Wainwright memberikan landasan awal
yang kuat dan mempersatukan: yakni kupasan dasar biblis Ibadat Kristen dan
kerangka teologis seluruh ibadat Kristen (hlm. 1-31). Pada akhir atau epilog
buku ini (hlm. 858-865), kedua editor yakni G. Wainwrigrht dan Karen B.
Westerfield Tucker menyampaikan Retrospect dan Prospect atau tinjauan kembali
dan harapan, yang intinya mau memberi sentuhan terakhir sebagai semacam
rangkuman umum dan harapan akan perjalanan liturgi dan ibadat di masa
depan. Liturgi dan ibadat Kristen berpangkal tolak dari satu iman yang sama
yakni kepada Tuhan Yesus Kristus. Perayaan iman pada Kristus yang satu dan
sama ini ternyata dilaksanakan dalam berbagai bentuk dan cara, tradisi dan
budaya sepanjang sejarah. Sudah sejak zaman abad-abad pertama kekristenan,
muncul berbagai bentuk dan gaya perayaan liturgi dan ibadat di jemaat-jemaat
Kristen. Praktek ibadat orang-orang Kristen ternyata tidak seragam, tidak sama
saja, melainkan berbeda-beda dengan variasi yang sangat besar antar jemaat
yang satu dan jemaat lainnya. Tulisan Hyppolytus (+ th 215) yang berjudul
The Apostolic Tradition (Latin: Traditio Apostolica), yang juga dijadikan sebagai
judul karangan nomer dua dari buku The Oxford History of Christian Worship
ini (hlm.32), aslinya juga sebuah tulisan yang ingin menyampaikan tata liturgi
Gereja yang dipandang resmi dan asli berasal dari para Rasul, berhubung
adanya kebingungan umat terhadap praktek liturgi dan ibadat yang begitu
bervariasi antara tempat satu dan tempat lainnya. Nyatanya, sejarah Gereja
terus bergulir dan sejarah juga mencatat bahwa Gereja Kristus terbagi-bagi
menjadi begitu banyak Gereja dengan sejarah munculnya yang masing-masing
dan tentu juga tata ibadatnya yang masing-masing pula. Ada banyak faktor
mengapa Gereja terbagi-bagi begini. Namun tentusaja orientasi buku ini tidak
mau mengupas faktor-faktor historis – teologis munculnya Gereja-Gereja ini.
Buku ini mau menyajikan sejarah ibadat Gereja-Gereja Kristus yang macammacam itu. Tampak sekali bahwa setiap liturgi atau ibadat Gereja memiliki
kekayaan tradisinya masing-masing. Kekayaan liturgi atau ibadat Gereja Katolik
Roma, Ortodoks dan Gereja-Gereja Timur lainnya, Gereja-Gereja Protestan dan
Reformasi dapat dibaca melalui panorama yang disajikan oleh buku The Oxford
History of Christian Worship ini.
Salah satu hal yang menarik ialah kupasan usaha inkulturasi yang dilaksanakan di Asia dan Afrika (hlm. 661-677 dan 678-695). Anscar J. Chupungco,
seorang ahli liturgi dan inkulturasi dari Filipina, menyampaikan gagasan prinsip-prinsip inkulturasi liturgi dan contoh-contoh usaha inkulturasi di India,
Cina dan Filipina. Begitu pula, inkulturasi di Afrika juga merupakan usaha
Resensi Buku
— 101
yang sangat digiatkan. Nwaka Christ Egbulem menyampaikan tantangantantangan inkulturasi liturgi di Afrika dan memberikan contoh Tata Perayaan
Ekaristi Ritus Congo (dahulu: Zaire). Meskipun sebagian besar karangan buku
ini berisi deskripsi tata peribadatan macam-macam denominasi Gereja dengan
latar belakang historisnya, buku The Oxford History of Christian Worship ini juga
menyampaikan tulisan yang sifatnya umum dan terfokus pada topik-topik
liturgi seperti perempuan dalam liturgi (hlm. 755-768), musik liturgi (hlm.
769-792), tata ruang (hlm. 793-816), seni dalam liturgi (hl,.817-840), busana dan
perlengkapan ibadat (hlm. 841-857).
Buku The Oxford History of Christian Worship ini merupakan sebuah buku
studi liturgi dan sejarah liturgi yang sangat kaya dan baik. Nyatanya, para ahli
meyakini bahwa studi terhadap sejarah liturgi dan peribadatan Gereja praktis
sama saja merupakan studi atas sejarah kekristenan itu sendiri. Bagaimanapun
juga apa yang diimani tampak dan terungkap dalam apa yang didoakan, lex
orandi lex credendi. Buku ini cukup mudah dibaca dan dipelajari, apalagi buku
ini dilengkapi oleh banyak gambar dan lukisan, serta bagan/skema peribadatan,
sehingga para pembaca akan sangat terbantu memahami topik yang sedang
dibaca. Namun harus diakui, sebagai sebuah bunga rampai, buku ini memiliki
kelemahan pada kesatuan alur atau plot-nya. Banyaknya pengarang pada buku
ini tentu membuat ide gagasan keseluruhan sebagai satu kesatuan dari buku
ini tidak sungguh jelas dan tidak padu. Setiap pengarang tentu memiliki cara
pandang dan gaya bahasa yang berbeda, sehingga sulit ditemukan satu alur
yang terjaga dari awal hingga akhir. Meskipun begitu, buku ini sangat layak
untuk dibaca dan dipelajari, khususnya oleh para pemimpin jemaat dan peminat
liturgi yang ingin memperdalam ilmu dan wawasannya. (E. Martasudjita).
Judul Buku
Pengarang
Penerbit
Tahun
Halaman
:
:
:
:
The Risk of Discipleship, Imamat Bukan Sekadar Selibat
Roderick Strange
Kanisius
2007
376
Status imamat tidak jarang menimbulkan kebingungan dalam berelasi, baik
bagi imamnya sendiri maupun bagi umat khususnya bagi yang perempuan.
Mengapa? Jawabannya: karena imam hidup selibat. Hidup tidak menikah –
meski bukan inti paling penting – adalah perkara yang menjadi tantangan
terberat dalam hidup imamat. Itulah situasinya, setidaknya, menurut penulis
buku terjemahan yang aslinya berjudul The Risk of Discipleship: The Catholic
Priest Today ini.
102 —
ORIENTASI BARU, VOL. 18, NO. 1, APRIL 2009
Zaman sekarang ”selibat memang tidak menjadi semakin mudah, bahkan
semakin sulit, tetapi saya semakin memahami makna selibat dengan baik dan
semakin dapat menghargainya. Bagi saya, kita perlu meletakkan persoalan
selibat pada sudut pandang yang tepat” (hlm. 163). Selibat adalah komitmen,
pilihan bebas sekaligus risiko kemuridan.
Risiko kemuridan dalam mengikuti Kristus itulah yang menjadi tema utama
buku ini. Roderick Strange, sang penulis, adalah seorang imam Keuskupan
Shrewbury Inggris yang berpengalaman bertahun-tahun sebagai rektor seminari.
Meskipun penulisnya berlatar belakang Eropa (Inggris), buku ini bagus untuk
dibaca dalam konteks Indonesia. Buku ini tidak memusatkan perhatian pada
masalah-masalah kontraversial seperti skandal seksual imam, perlakuan yang
tepat pada para imam yang kedapatan memiliki kecenderungan homoseksual
ataupun pro-kontra tahbisan imam perempuan. Berdasar pengalaman pribadi,
penulis pertama-tama dan terutama ingin merefleksikan imamat dalam Gereja
Katolik terutama aspek teologi dan spiritualitasnya.
Bicara tentang imam zaman ini, penulis mengajak pembaca – entah pemuda
yang sedang mempertimbangkan panggilan hidupnya, entah kaum awam yang
ingin lebih memahami panggilan imamat, ataupun kaum tertahbis yang ingin
menegaskan kembali komitmen imamatnya – untuk kembali ke jalan yang
benar. Berdasar pengalaman panggilan para murid pertama (Mrk 1:16-20; Yoh
1:37-51), tahbisan mesti dipahami sebagai sebuah jawaban atas panggilan Yesus,
Sang Guru. Tahbisan bukanlah inisiatif pribadi melainkan inisiatif Tuhan.
”Bukan kamu yang memilih Aku, melainkan Akulah yang telah memilihmu”
(Yoh 15:16). Seorang imam telah dipanggil dan ia telah menjawab panggilan
itu. Di saat itulah, di sini dan kini, ia mesti menjalani risiko atas jawaban itu
sekaligus membangun komitmen untuk tetap menerima apa pun yang diminta
darinya. Hidup imamat, idealnya, ibarat arus di dasar samudera yang semakin
dalam ketika ombak di permukaan terpecah menghantam pantai, adalah hidup
yang kian mendalam meski dalam ketidakpastian.
Bagaimana itu mungkin? Di sinilah penulis, sebelum panjang lebar
mengulas sejumlah aspek mendasar hidup imamat, lebih dahulu menampilkan
pribadi Yesus dari Nazareth sebagai model hidup imamat. Ia adalah guru,
sahabat dan saudara kita yang telah membuka risiko kemuridan dengan menerima wafat di salib karena taat kepada kehendak Allah, Bapa-Nya. Dengan
mengenal kembali panggilan dalam terang siapa dan apa yang telah dilakukan
Yesus, kita senyatanya semakin terbantu untuk merefleksikan lebih dalam
tentang apa yang dimaksud dengan menjadi imam. Sama seperti setiap orang
kristiani, oleh rahmat baptisan, seorang imam dipanggil untuk mengikuti
Kristus. Namun oleh rahmat tahbisan, secara istimewa, seorang imam dipanggil
untuk menyerupai pribadi Yesus. Konkretnya, yakni dengan meneladan sikap
Resensi Buku
— 103
penerimaan-Nya terhadap orang-orang, cara-Nya menggunakan situasi sebagai
kesempatan, kesediaan-Nya menolong orang untuk menyelesaikan persoalannya
sendiri, dan cara-Nya mendorong orang untuk berani bertanggung jawab. Lebih
dari itu, sebagaimana Yesus memanggul salib sebagai tanda cinta yang tidak
terbatas, demikian jugalah para imam dipanggil untuk ”memilih” memanggul
salib. ”Salah satu keutamaan hidup imam adalah sikap tidak mudah mengasihi
diri sendiri” (hlm. 361).
Dalam rangka menjawab kebingungan relasional berkaitan status imamat,
buku ini pertama-tama berusaha menjernihkan perbedaan antara imamat umum
yang diterima setiap orang beriman dan imamat jabatan yang diterima kaum
tertahbis. Dari situlah, kemudian, buku ini mencoba menampilkan identitas
kaum tertahbis dalam komunitas dimana mereka hidup tanpa bermaksud
memisahkan mereka dari komunitas. Kaum imam berbeda dari kaum awam,
namun kaum imam tidak terpisah dari kaum awam. Mengutip kata-kata Paus
Yohanes Paulus II dalam Pastores Dabo Vobis: ”Para imam tidak melayani diri
mereka sendiri, tetapi Umat Allah” (PDV 78).
Demi pelayanan untuk Umat Allah itulah, dalam bagian-bagian selanjutnya,
penulis membahas aspek-aspek pokok dalam hidup imamat, seperti: hidup
dalam doa; hasrat untuk terus belajar demi mempertanggungjawabkan harapan
yang ada; totalitas dalam pelayanan sabda, merayakan misteri dan memimpin
jemaat. Menarik bahwa masing-masing aspek hidup imamat didalami oleh
penulis secara serius berdasar Kitab Suci, Tradisi dan Magisterium sekaligus
secara baru, bertolak dari pengalaman 30 tahun lebih sebagai imam.
Yang membuat buku ini layak untuk dibaca bahkan pantas menjadi buku
wajib di seminari-seminari adalah usulan-usulan konkretnya. Dalam mewartakan
Injil Allah sebagai tugas pertama kaum tertahbis, misalnya, penulis membagikan
resepnya bagaimana berkotbah dengan baik. Pertama, cobalah berusaha membuat
agar kotbah yang disampaikan menarik. Sebagai alat bantunya, cobalah
bertanya, ”Apakah saya akan tertarik jika saya menyampaikan kotbah dengan
cara demikian?” Kedua, berusahalah untuk berhati-hati dalam menggunakan
pilihan-pilihan kata. Konkretnya, jangan mencoba mengatakan segala macam
hal pada kesempatan itu juga. Ketiga, aturlah waktu bicara. Sering kali terjadi,
kotbah yang baik menjadi kacau ketika pengkotbah berbicara terlalu lama.
Keempat, kaitkanlah kotbah dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar
kita, termasuk kejadian-kejadian sederhana dan tidak terduga yang terjadi
saat misa (hlm. 272-279). Jelas, kotbah yang baik adalah kotbah yang sungguh
dipersiapkan. Untuk itulah diperlukan pengurbanan.
Meski hidup imamat bukan sekadar selibat, bagaimanapun, diakui bahwa
salah satu bentuk pengurbanan terbesar seorang imam adalah hidup tidak
menikah. Imam juga manusia. Imam juga bisa jatuh cinta. ”Mencintai dengan
104 —
ORIENTASI BARU, VOL. 18, NO. 1, APRIL 2009
perasaan mendalam, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk mengekspresikan
perasaan cinta itu, terlebih lagi harus berada dalam jarak yang cukup dengan
orang yang Anda cintai merupakan hal yang sangat berat” (hlm. 195). Satu
hal lagi yang membuat buku ini berharga adalah spiritualitas imamatnya yang
manusiawi, yang bertolak pada pandangan yang sehat tentang seksualitas.
Cinta tidak berlawanan dengan selibat. Seperti Yesus yang datang bukan untuk
mati tetapi untuk mencinta, kaum tertahbis pun dipanggil untuk mencinta.
Berbeda dengan perasaan cinta secara emosional, “cinta membutuhkan sebuah
keputusan. Kita mencintai karena kita memutuskan untuk mencintai. ... Cinta
yang sejati memperoleh dasarnya pada komitmen seseorang” (hlm. 184). Sambil
terus berproses dalam kedewasaan afektif, para imam menemukan dasar yang
kuat hidup selibat mereka dalam komitmen yang terus bertahan pada cinta
akan Kristus. (Y.B. Prasetyantha)
Resensi Buku
— 105
Download