1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 . Latar Belakang Manusia adalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 . Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat, manusia
juga memiliki akal pikiran yang berkembang serta dapat dikembangkan. Sebagai
makhluk sosial, itu berarti manusia adalah makhluk yang tidak dapat melepaskan
diri
dari
pengaruh
manusia
lain
sepanjang
hidupnya.
Mereka
saling
mempengaruhi karna didasari oleh adanya kesamaan ciri serta adanya kepentingan
masing-masing. Manusia memiliki kebutuhan sosial, manusia hidup berkelompok
saling tolong menolong, menjaga dan melindungi. Tanpa adanya bantuan dari
manusia lain, manusia tidak mungkin bisa hidup dan berjalan sendiri.
Perilaku menolong (helping) dapat didefinisikan sebagai “an action that
has the consequences of providing some benefit to or improving the well-being of
another person” (Schroeder et.al., 1995). Menolong adalah sebuah tindakan yang
memberikan keuntungan bagi orang lain atau tindakan yang dilakukan untuk
meningkatkan kesejahteraan orang lain. Dalam istilah psikologi, perilaku
menolong dengan memberikan pengorbanan diri sendiri disebut dengan altruisme.
Feldman (1985) mendefinisikan altruism sebagai ”helping behavior that is
beneficial to others, but requires clear self-sacrifice on the pat of the helper”.
Altruisme adalah perilaku yang menguntungkan orang lain dimana untuk
1
2
melakukannya si penolong perlu mengorbankan dirinya. Pengorbanan tersebut
dapat berupa hal apapun termasuk harta, tenaga, pikiran, dan perhatian. Simpson
dan Willer (2008) menjelaskan bahwa orang yang altruis akan tetap menolong dan
tidak terpengaruh oleh ada atau tidaknya insentif untuk pekerjaan yang ia lakukan.
Altruisme
memiliki kata dasar alter yang artinya adalah orang lain,
berasal dari bahasa Latin. Altruisme memiliki arti sebagai kewajiban yang
ditujukan pada kebaikan orang lain. Pada altruisme salah satu
yang penting
adalah sifat empati atau merasakan perasaan orang lain di sekitar kita. Hanya
altruisme timbal balik yang mempunyai dasar biologis. Kerugian potensial dari
atruisme yang dialami individu diimbangi dengan kemungkinan menerima
pertolongan dari individu lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa altruisme
merupakan bagian dari sifat manusia yang ditentukan secara genetika, karena
keputusan untuk memberikan pertolongan melibatkan proses kognisi sosial
kompleks dalam mengambil keputusan yang rasional.
Sikap altruisme patut dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat
terutama di Indonesia. Altruisme (altruism) adalah kebalikan dari egoisme. Orang
yang altruistis peduli dan mau membantu meskipun jika tidak ada keuntungan
yagn ditawarkan atau tidak ada harapan ia akan mendapatkan kembali sesuatu.
Menurut Myers, G.D. (2012), altruisme adalah suatu motif untuk meningkatkan
kesejahteraan orang lain tanpa sadar untuk kepentingan pribadi seseorang.
Kepribadian individu untuk mau menolong orang lain dengan suka rela
tanpa mengharapkan imbalan dapat terbentuk dari pengalaman individu terhadap
3
lingkungan sekitarnya. Seperti pendapat yang dikemukakan oleh Alfred Adler
(dalam Suryabrata, S., 2008) bahwa manusia pertama-tama dimotivasikan oleh
dorongan-dorongan sosial karena pada dasarnya manusia adalah makluk sosial.
Kata sosial sepertinya sudah sangat akrab di telinga masyarakat, dimana kata
tersebut merujuk pada kehidupan berkelompok, saling bergantung dan
membentuk kerjasama dalam kehidupan sehari-hari. Kata sosial juga tidak hanya
menggambarkan dinamika masyarakat namun menerangkan juga kepada sikap
dan tindakan.
Pada dasarnya sikap altruisme ini dianjurkan oleh semua agama. Sebagai
contoh dalam ajaran agama Islam menyatakan bahwa sebaik-baiknya manusia
adalah yang berguna bagi orang lain. Artinya keberadaannya dibutuhkan oleh
orang lain, untuk dapat menjadi pencerah atau memberikan solusi bagi orangorang disekitarnya.
Di dalam pengembangan perilaku altruisme pada diri individu hal ini juga
berkaitan dengan masalah kebiasaan yang diterapkan dalam sebuah keluarga.
Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal
yang mempengaruhi berbagai aspek perkembangan anak. Pendidikan dianggap
berpengaruh terhadap munculnya sikap-sikap tertentu pada individu, dalam hal ini
keluarga sebagai lingkungan
terdekat individu untuk ditiru. Orang tua dapat
mengajarkan perilaku prososial dengan mengingat dua prinsip belajar umum
yang memiliki peran sangat penting yaitu anak belajar menolong melalui
penguatan (efek imbalan dan hukuman karena membantu), serta modeling
(mengamati orang lain yang memberi pertolongan) dalam (Papalia et.al., 2009).
4
Adakalanya orang tua bersikap atau bertindak sebagai patokan, sebagai contoh
untuk ditiru dan apa yang ditiru tersebut akan meresap dalam dirinya dan menjadi
bagian dari kebiasaaan bersikap dan bertingkah laku atau bagian dari
kepribadiannya. Seperti sebuah ucapan atau perintah senantiasa diberikan secara
langsung untuk menunjukkan apa yang seharusnya diperlihatkan atau dilakukan
anak.
Penerapan pendidikan yang baik bagi individu dalam sebuah keluarga
sangatlah penting, mengingat lebih banyak waktu yang dihabiskan dirumah
bersama keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil dalam sebuah bangsa dimana
keluarga terutama orang tua memiliki peranan yang amat penting bagi usaha
menanamkan dasar kepribadian, pembinaan dan pemberdayaan generasi muda
sebagai generasi penerus untuk membangun dan mewujudkan cita-cita bangsa dan
negara.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kartono, K (1992), “keluarga
merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat ia belajar dan
menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Dalam keluarga umumnya anak ada
dalam hubungan interaksi yang intim. Keluarga memberikan dasar pembentukan
tingkah laku, watak, moral, dan pendidikan anak”.
Kegiatan mengasuh dan membesarkan anak itu berarti memelihara
kehidupan dan kesehatannya serta mendidiknya dengan penuh ketulusan dan cinta
kasih. Secara umum tanggung jawab mengasuh anak adalah tugas kedua orang
tua.
Pengertian
mengasuh
anak
adalah
mendidik,
membimbing
dan
memeliharanya, mengurus makanan, minuman, pakaian, kebersihannya atau pada
5
segala perkara yang seharusnya diperlukannya sampai batas bilamana si anak
telah mampu melaksanakan keperluannya yang vital seperti makan, minum,
mandi dan berpakaian. (Hasyim, U., 1993).
Pada hakikatnya terdapat beberapa pola asuh orang tua yang mungkin
dapat menjadi stimultan bagi anak yang hidup dalam masa transisi modernisasi
seperti saat ini. Menurut Bandura (1986)
observasi memberikan jalan pada
manusia untuk belajar tanpa harus melakukan perilaku apapun. Bandura yakin
bahwa pembelajaran melalui observasi lebih efisien daripada belajar melalui
pengalaman langsung. Dengan mengobservasi orang lain, manusia tidak perlu
mengalami berbagai respons yang dapat berakibat pada hukuman atau tanpa
menghasilkan penguatan sama sekali. (dalam Feist & Feist, 2010). Oleh karna itu
orang tua dituntut untuk memberikan pola asuh serta contoh yang baik dan benar
dalam mendidik anak, sehingga anak mendapat pengalaman yang dapat diadaptasi
secara positif dan diharapkan dapat terhindar dari kemungkinan-kemungkinan lain
yang tidak diinginkan.
Menurut Baumrind (dalam Santrock, J., 2002) terdapat tiga jenis pola
pengasuhan orang tua terhadap anak-anaknya, yaitu otoriter, authoritative dan
permissive hal ini dapat berpengaruh dalam pembentukan kepribadian anak. Dari
beberapa pola asuh yang dikemukakan tersebut, kelak akan timbul suatu perilaku
baru yang muncul akibat diterapkannya pola asuh tertentu di dalam suatu
keluarga. Pola asuh orang tua inilah yang nantinya menjadi modal dasar
pembentukan kepribadian individu dalam merespon keadaan. Termasuk alasan
individu untuk menjadi relawan yang kompleks dan sering mengkombinasikan
6
altruisme dan kepentingan diri.
Keinginan
menolong orang
lain dan
mengekspresikan nilai yang dianut adalah alasan-alasan penting di balik kesediaan
menjadi relawan. Kesempatan untuk mendapat keterampilan baru, bertemu orang
baru dan menambah pengalaman juga bisa jadi alasan yang utama (Myers, G.D.,
2012).
Di Indonesia sendiri
terdapat suatu organisasi sosial yang kita kenal
dengan nama PMI (Palang Merah Indonesia).PMI pada awalnya didirikan oleh
pemerintah kolonial belanda pada tanggal 21 Oktober 1873 dengan nama
Nederlands Rode Kruis Afdeling Indie (Nerkai) dan sempat di bubarkan pada saat
pendudukan Jepang. Namun PMI berhasil dibentuk kembali atas perintah presiden
Soekarno pada tanggal 17 Septermber 1945. Kinerja PMI mendapatkan
pengakuan secara international pada tahun 1950 dengan menjadi anggota palang
merah international dan disahkan keberadaanya secara nasional melalui Keppres
No. 25 tahun 1959 dan kemudian diperkuat dengan Keppres No. 246 tahun 1963.
Para relawan PMI ini muncul akibat adanya kebutuhan pemenuhan
motivasi diri untuk dapat membantu masyarakat khususnya di bidang sosial
kemanusiaan. Dalam kamus Cambridge, relawan itu sendiri didefinisikan dalam 2
(dua) pengertian yaitu :
1. Seseorang yang melakukan sesuatu tanpa diminta atau ditunjuk dan sering
tanpa meminta atau menerima bayaran.
2. Seseorang yang melakukan sesuatu tanpa dipaksa, terutama menolong
sesama.
7
Relawan PMI cukup aktiv dalam aksi sosialnya membantu masyarakat
yang tertimpa musibah, contohnya seperti korban bencana alam, PMI membantu
mulai dari memberikan pertolongan pertama dengan mendirikan dan menyediakan
tempat pengungsian yang aman, mendirikan dapur umum, melakukan pencarian
dan pengurusan repatriasi, menyediakan layanan kesehatan, dan lain sebagainya
yang terbukti secara nyata sangat membantu masyarakat yang mengalami
musibah.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Ariani, R (2013), fakultas psikologi
Paramadina dengan judul “Pengaruh trait kepribadian agreeableness dan
extraversion terhadap altruisme relawan tzu chi”, menunjukkan adanya hubungan
yang signifikan.
Kepribadian itu sendiri dapat mempengaruhi orang tertentu
didalam bereaksi terhadap situasi-situasi tertentu (Carlo, G. et al., 2007).
Sedangkan kepribadian individu dapat terbentuk dari suatu pola pengasuhan
tertentu yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, untuk itu penulis
mengajukan skripsi dengan judul “HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA
DENGAN PERILAKU ALTRUISME PADA DIRI RELAWAN PMI (PALANG
MERAH INDONESIA) DKI JAKARTA”.
1.2. Rumusan masalah
Dari latar belakang masalah diatas, untuk membatasi pembahasan dan
mempermudah analisis penelitian, peneliti memberikan rumusan masalah sebagai
berikut :
8
Apakah ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan perilaku altruisme
pada diri relawan PMI DKI Jakarta ?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas peneliti membuat tujuan
penelitian sebagai berikut :
Untuk membuktikan adanya hubungan antara pola asuh orang tua dengan
perilaku altruisme para relawan PMI DKI Jakarta.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dan kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat teoritis
Dapat memberikan sumbangan dan informasi yang berarti khusus bagi
psikologi perkembangan dan psikologi sosial.
2. Manfaat praktis
Untuk menambah pengalaman dan wawasan dalam melakukan sebuah
penelitian, dan penerapan teori-teori yang ada dalam masalah yang
sebenarnya, serta diharapkan dapat membantu menginspirasi orang lain di
masyarakat dalam mengembangkan perilaku altruisme demi terciptanya
kesejahteraan sosial dalam bermasyarakat.
9
1.5. Definisi Operasional
1. Altruisme
Peneliti menggunakan definisi operasional altruisme menurut Sears et.al.,
(1985), adalah tindakan sukarela untuk menolong orang lain tanpa
mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun atau disebut juga sebagai
tindakan tanpa pamrih
2. Pola Asuh
Peneliti menggunakan definisi operasional pola asuh menurut Darling &
Steinberg (1993), pola asuh merupakan aktivitas kompleks yang
mencakup berbagai tingkah laku spesifik yang bekerja secara individual
dan serentak dalam mempengaruhi tingkah laku anak.
Download