UNIVERSITAS INDONESIA Ketaksaan pada Lelucon Anak-anak dalam Buku Kidsweek-moppenboek (2011): Telaah leksikal dan Struktural Ringkasan Skripsi Melati Salamatunnisa Oktaviani 1006765684 Pembimbing Munif Yusuf, S.S., M.Hum. 197005092009121001 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Program Studi Belanda Depok Januari 2015 Ketaksaan pada lelucon ..., Melati Salamatunnisa, FIB UI, 2014 Ketaksaan pada lelucon ..., Melati Salamatunnisa, FIB UI, 2014 Ketaksaan pada lelucon ..., Melati Salamatunnisa, FIB UI, 2014 Ketaksaan pada lelucon ..., Melati Salamatunnisa, FIB UI, 2014 Ketaksaan pada Lelucon Anak-anak dalam Buku Kidsweek-moppenboek (2011): Telaah Leksikal dan Struktural Melati Salamatunnisa Oktaviani Program Studi Belanda, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia Email: [email protected] Abstrak Humor adalah segala sesuatu yang membuat kelucuan. Salah satu aspek penyampaian kelucuan yang sering kali muncul pada teks-teks humor ialah ketaksaan. Penelitian ini membahas ketaksaan pada teks lelucon anak-anak berbahasa Belanda dalam buku Kidsweek-moppenboek (2011). Tujuan dalam penelitian ini antara lain untuk memaparkan proses ketaksaan hingga menghasilkan kelucuan, menemukan jenis ketaksaan yang paling dominan, dan menemukan pola kelucuan. Jenis ketaksaan yang terdapat dalam penelitian ini adalah ketaksaan leksikal seperti homonimi, polisemi, dan idiom dan struktural (morfologis dan sintaktis). Hasil penelitian menunjukkan bahwa humor disampaikan dengan membentuk dua pola kelucuan, yaitu kesalahpahaman antar tokoh dan interpretasi oleh pembaca. Kata kunci: humor; ketaksaan; leksikal; lelucon; struktural Ambiguity on Kids’ Joke in Kidsweek-moppenboek book (2011): Lexical and Structural Study Abstract Humor is a funny or amusing quality. One particular aspect to deliver humor frequently used in humor texts would be ambiguity. This study analyzes the ambiguity on kids’ joke in Kidsweek-moppenboek book (2011). The study aims to explain the process of ambiguity in order to produce humor, to find the most dominant type of ambiguity, and to find its pattern of humor. Ambiguities used in this study are lexical ambiguity (homonymy, polysemy, and idioms) and structural ambiguity (morphological and syntactic structure). The results shows that humor is delivered in two patterns, namely misunderstanding among characters and readers’ interpretation. Keywords: humor; ambiguity; lexical; joke; structural Pendahuluan Dalam bahasa Belanda, dikenal pepatah “lachen is gezond”, yakni ‘tertawa itu sehat’. Tertawa sangat esensial untuk kesehatan karena tertawa mampu mengurangi stres dan ketegangan. Tawa merupakan ungkapan perasaan manusia akibat sesuatu yang bersifat lucu dan menggelitik, contohnya humor. Humor adalah segala sesuatu yang membuat kelucuan. Humor merupakan permainan dari elemen-elemen yang berselisih, antara apa yang biasa dan yang tidak biasa, antara keberterimaan dan pelanggaran, yang diharapkan dan yang tidak diharapkan, antara apa yang dikatakan dan yang dimaksud (Van Coillie, 1999). Ketaksaan pada lelucon ..., Melati Salamatunnisa, FIB UI, 2014 Humor dapat berupa media kreativitas manusia. Humor sering kali diciptakan dengan memanfaatkan aspek-aspek verbal dalam bahasa, seperti memelesetkan kata atau bunyi, melanggar aturan kerja sama percakapan, dan memainkan unsur ketaksaan. “Ketaksaan adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda” (Chaer, 2007:307). Ketaksaan kerap kali diperlihatkan pada teks-teks humor, salah satunya pada teks lelucon anak-anak dalam buku Kidsweek-moppenboek (2011). Kidsweekmoppenboek merupakan buku lelucon anak-anak berdasarkan hasil penyeleksian dari Kidsweek, yakni surat kabar anak-anak di Belanda yang memuat berbagai macam artikel serta lelucon anak-anak. Buku tersebut memuat lebih dari 200 buah lelucon dan teka-teki terbaik karya para pembaca (Van Holkema & Warendorf, 2011). Menurut James Danandjaja (1988:15), “lelucon adalah kisah fiktif lucu dari anggota suatu kelompok (folk), seperti suku bangsa, golongan, dan ras.” Lelucon yang memuat ketaksaan menjadi sangat populer di kalangan anak-anak sekolah dasar sebab kesadaran mengenai ketaksaan meningkat pada usia anak-anak itu (Van Coillie, 1999). Dengan demikian, penelitian ini membahas tentang ketaksaan pada lelucon anak-anak dalam buku Kidsweek-moppenboek (2011). Tinjauan Teoretis Pada bagian ini, dibahas pengertian tentang makna tanda bahasa, makna leksikal dan makna gramatikal, serta pengertian ketaksaan. 1. Makna Tanda Bahasa Kajian makna tanda bahasa diperkenalkan oleh Ogden dan Richards pada tahun 1923 dengan “teori segitiga semantik”. Teori segitiga semantik mengidentifikasi makna tanda bahasa dengan mengaitkan simbol bunyi, konsep, dan referen yang mewakilinya. Kaitan tersebut lebih jelasnya diurai dalam bagan berikut: Konsep Simbol bunyi [ɑpəәl] Referen Gambar 1. Segitiga Semantik Ketaksaan pada lelucon ..., Melati Salamatunnisa, FIB UI, 2014 Jika kita mendengar bunyi [ɑpəәl], maka referennya adalah benda yang tertera pada gambar di atas. Bunyi [ɑpəәl] dan referennya tidak berhubungan langsung, melainkan melewati konsep tentang apel yang tersimpan di dalam pikiran kita. Konsep adalah makna yang timbul dari pengalaman-pengalaman non linguistis (Keraf, 2001). Oleh karena itu, hubungan antara bunyi dan referen digambarkan dengan garis putus-putus untuk menunjukkan ketidaklangsungannya. 2. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal Makna leksikal adalah makna sebenarnya yang tidak disertai dengan konteks apa pun. “Makna leksikal dalam deskripsi linguistik lazimnya dimarkahi dengan tanda petik tunggal; misalnya, kita mengatakan bahwa kata rumah memiliki makna ‘rumah’ (Verhaar, 1996:388). Verhaar (1996) menyatakan bahwa pemakaian makna leksikal dibedakan menjadi dua, yaitu pemakaian kanonik (harfiah) dan pemakaian nonkanonik (kiasan). Sementara itu, makna gramatikal hadir setelah proses gramatikal, seperti proses morfologis dan sintaktis. Dalam konteks proses morfologis, morfem terikatlah yang membawa makna gramatikal. Contohnya, prefiks on- pada kata ondiep merupakan makna negasi untuk adjektiva diep ‘dalam’. Contoh lainnya, dalam analisis secara sintaktis, komponen-komponen pada kalimat hij speelt gitaar ‘ia bermain gitar’ menduduki fungsinya masing-masing, yakni hij ‘ia’ sebagai subjek, speelt ‘bermain’ sebagai predikat, dan gitaar ‘gitar’ sebagai objek. 3. Ketaksaan Ketaksaan merupakan kegandaan makna dalam suatu ungkapan. Suatu kata atau kalimat disebut taksa apabila kata atau kalimat tersebut memiliki lebih dari satu interpretasi. Ketaksaan patut dihindari pada beberapa hal yang bersifat resmi atau formal, namun ketaksaan justru bermanfaat pada penyampaian humor. Menurut Fromkin, et al. (2011), kalimat-kalimat yang memperlihatkan ketaksaan sering kali menghasilkan humor. Ketaksaan menuntun kita kepada suatu makna, namun mengejutkannya dengan makna yang lain (Pinker, 1997). Hurford, et al. (2007:137) mengemukakan bahwa kalimat tertentu yang mengandung ketaksaan kata termasuk taksa sementara kalimat lainnya tidak, dan kalimat tertentu yang tidak mengandung ketaksaan kata termasuk taksa sementara kalimat lainnya tidak. Berdasarkan pernyataan tersebut, Hurford, et al. (2007) kemudian membedakan dua jenis ketaksaan, yaitu ketaksaan leksikal dan struktural. Ketaksaan pada lelucon ..., Melati Salamatunnisa, FIB UI, 2014 3.1 Ketaksaan Leksikal Ketaksaan leksikal terjadi apabila suatu kata memiliki lebih dari satu makna. Hurford, et al. (2007) mengungkapkan bahwa ketaksaan leksikal timbul akibat adanya dua atau lebih sinonimi pada suatu kata, tetapi sinonimi-sinonimi itu tidak bersinonimi satu sama lain. Sinonimi adalah kata-kata yang bermakna sama atau hampir sama (Fromkin, et al., 2011). Ketaksaan leksikal disebabkan oleh relasi makna. Chiaro (1992) menyatakan tiga wujud relasi makna yang berhubungan erat dengan permainan bahasa, yakni: homofoni, homonimi, dan polisemi. Pada subbab ini, pengertian homofoni termasuk dalam homonimi dan diterangkan pula pengertian idiom. 3.1.1 Homonimi Homonimi adalah kata-kata yang bentuknya sama, contohnya kata bank ‘institusi keuangan’ dan bank ‘tempat duduk’. Verhaar (1996:395) memberi definisi homonimi sebagai “hubungan di antara dua kata (atau lebih) sedemikian rupa sehingga bentuknya sama dan maknanya berbeda.” Homonimi pun dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni homofoni dan homografi. Homofoni adalah kata-kata yang bunyi atau pelafalannya sama tetapi berbeda tulisannya, contohnya leiden [lԑidǝn] ‘memimpin’ dan lijden [lԑidǝn] ‘menderita’. Sebaliknya, homografi adalah kata-kata yang tulisannya sama tetapi pelafalannya berlainan, misalnya appel [ɑpəәl] ‘buah apel’ dan appel [ɑpɛl] ‘naik banding’. 3.1.2 Polisemi Polisemi adalah satu kata dengan beberapa makna. Beberapa makna itu sedikit berbeda, tetapi makna-makna itu berkaitan (Fromkin et al., 2011). Contohnya, kata muis bermakna ‘tikus’ dan ‘mouse (komputer)’. Dalam hal ini, hubungan tersebut berdasar pada kesamaan bentuk (Booij dan Van Santen, 1998:126). Polisemi sering kali disalahpahami sebagai homonimi, begitu pula sebaliknya. Sebenarnya, jika kita tidak yakin apakah suatu kata termasuk polisemi atau homonimi, kita dapat memeriksanya melalui kamus. Apabila suatu kata memiliki lebih dari satu makna (misalnya, polisemi), maka akan ada satu entri dengan daftar nomor yang menunjukkan makna-makna yang berlainan dari kata itu, sedangkan apabila dua kata berlaku sebagai homonimi, kata-kata itu secara khusus akan ditunjukkan dengan dua entri yang terpisah (Yule, 2006). Ketaksaan pada lelucon ..., Melati Salamatunnisa, FIB UI, 2014 Polisemi juga membentuk berbagai mekanisme makna, antara lain metonymie ‘metonimia’ dan metaforiek ‘metafora’ (Booij dan Van Santen, 1998). Metonimia adalah makna bukan sebenarnya yang terbentuk karena pertautan yang sangat dekat (Keraf, 2001). Pertautan itu dapat berdasarkan hubungan wadah-isi atau keseluruhan-sebagian, seperti botolair atau mobil-roda (Yule, 2006). Metonimia juga menggunakan nama merek untuk mengasosiasikan sebuah benda yang sangat dikenal dengan merek tersebut. Sementara itu, metafora terbentuk atas dasar kesamaan antara dua hal (Booij & Van Santen, 1998). Verhaar (1996:393) mengutarakan bahwa “dasar untuk pemakaian metaforis adalah kemiripan.” Contohnya, het schip der woestijn ‘kapal padang pasir’ sebenarnya bermakna ‘hewan unta’. Unta dibandingkan dengan kapal karena kesamaan fungsi sebagai pengangkut dan kemiripan cara berjalan mereka yang berayun-ayun. 3.1.3 Idiom Idiom adalah kelompok kata bermakna kiasan. Pengertian idiom biasanya disejajarkan dengan peribahasa dalam bahasa Indonesia, namun sebenarnya lebih dari itu (Keraf, 2001). “Idiom merupakan ungkapan bahasa yang artinya tidak secara langsung dapat dijabarkan dari arti unsur-unsurnya” (Anton M. Moeliono, 1989:177). Walaupun tidak menentukan makna idiom, unsur pembentuk idiom biasanya masih memiliki makna leksikalnya sendiri. Contoh idiom dalam bahasa Belanda adalah water bij de wijn doen ‘berkompromi dengan sedikit mengalah’ dan dweilen met de kraan open ‘menangani permasalahan tidak pada sumber penyebabnya’. 3.2 Ketaksaan Struktural Perbedaan interpretasi pada ketaksaan strukural disebabkan oleh dua (atau lebih) struktur morfologis dan sintaksis dalam kalimat tersebut. Proses morfologis mengidentifikasikan morfem sebagai satuan gramatikal, sedangkan sintaksis meninjau hubungan gramatikal antarkata dalam kalimat (Verhaar, 1996). Dengan demikian, dalam mengidentifikasi ketaksaan struktural, penting untuk mengetahui urutan struktur gramatikalnya. 3.2.1 Proses Morfologis Ketaksaan struktural pada suatu kata dapat disebabkan oleh dua proses morfologis, yaitu proses afleiding ‘derivasi’ dan proses samenstelling ‘komposita’. Derivasi adalah proses pembentukan kata turunan. Salah satu anggota pada katanya adalah morfem terikat (Booij & Van Santen, 1998). “Derivasi adalah suatu perubahan morfemis yang menghasilkan kata dengan identitas morfemis yang lain” (Verhaar, 1996:143). Derivasi yang memicu ketaksaan Ketaksaan pada lelucon ..., Melati Salamatunnisa, FIB UI, 2014 misalnya diperlihatkan oleh kata gepraat [ge[praat]V]N ‘pembicaraan yang terus-menerus’ dan gepraat [ge–[praat]V–t]V ‘berbicara (kala lampau)’. Di sisi lain, komposita adalah proses pembentukan kata dari penggabungan dua morfem bebas atau komponen. Verhaar (1996:154) mengungkapkan bahwa “komposita adalah proses morfemis yang menggabungkan dua morfem dasar (atau pradasar) menjadi satu kata.” Komposita yang mengakibatkan ketaksaan contohnya ditunjukkan pada kata kurkdroog [[kurk]N[droog]A]A ‘sangat kering seperti gabus’ dan ‘kering kerontang’ (Van Dort-Slijper, 1998). Selain itu, ketaksaan juga dapat muncul pada komposita tiga komponen yang komponen dasar atau komponen spesifiknya juga merupakan hasil dari proses komposita. Komposita ini dinamakan complexe samenstelling dalam bahasa Belanda. Complexe samenstelling kadang kala dapat dianalisis dengan dua cara (Van Dort-Slijper, 1998). Nomina winterslaapzak, contohnya, dapat dipecah menjadi (1) winter dan slaapzak [[winter]N[[slaap]V[zak]N]N]N ‘kantung tidur yang digunakan di musim dingin’, dan (2) winterslaap dan zak [[winter]N[[slaap]V[zak]N]N]N ‘kantung yang digunakan seekor hewan untuk tidur musim dingin’ (Van Dort-Slijper, 1998). Berikut ini keterangannya dalam bentuk pohon struktur: (1) (2) [[winter]N [[slaap]V[zak]N]N]N [[[winter]N[slaap]V]V [zak]N]N Gambar 2. Pohon Struktur kata “winterslaapzak” 3.2.2 Proses Sintaksis Pada dasarnya, ketaksaan secara sintaksis disebabkan oleh kegandaan konstituen. Konstituen adalah kata-kata yang secara fungsional dapat berdiri sendiri atau kombinasi dari kata-kata yang fungsinya menentukan makna suatu kalimat (Appel, et al., 1992). Kegandaan konstituen pada suatu kalimat menyebabkan kalimat tersebut memiliki parafrasa yang berbeda. Menurut Hurford, et al. (2007), ketaksaan pada suatu kalimat disebabkan oleh adanya dua (atau lebih) parafrasa, namun parafrasa-parafrasa itu tidak saling berparafrasa. Parafrasa adalah suatu kalimat yang mengungkapkan makna yang sama dengan kalimat lainnya (Hurford, et al., 2007). Misalnya, “hij sloeg de man met de stok” merupakan kalimat taksa karena kalimat itu memparafrasakan (1) [met de stok] sloeg hij [de man] ‘[dengan tongkat] dia memukul Ketaksaan pada lelucon ..., Melati Salamatunnisa, FIB UI, 2014 [seorang lelaki]’ dan (2) hij sloeg [de man met de stok] ‘dia memukul [seorang lelaki dengan tongkat]’, namun parafrasa (1) tidak berparafrasa dengan parafrasa (2), begitu pula sebaliknya. Dua parafrasa itu muncul akibat adanya dua kemungkinan konstituen, yakni: (1) de man dan met de stok merupakan dua konstituen yang terpisah; (2) de man met de stok merupakan kesatuan konstituen (Appel, et al., 1992). Perihal ketaksaan kalimat “hij sloeg de man met de stok” dipaparkan pada pohon struktur berikut ini: (1) S (2) S VP VP VP NP Hij V NP NP PP sloeg de man met de stok NP V NP PP Hij sloeg de man met de stok Gambar 3. Pohon Struktur kalimat “hij sloeg de man met de stok” Metode Penelitian Data yang digunakan sebagai korpus penelitian adalah lelucon anak-anak yang terdapat pada buku Kidsweek-moppenboek (2011). Total lelucon anak-anak pada buku tersebut berjumlah 293 buah lelucon. Namun, tidak semua lelucon tersebut dianalisis. Lelucon yang menjadi data dalam penelitian ini berjumlah 10 buah lelucon, yakni lelucon yang mengandung ketaksaan dan dianggap mewakili tiap kategori ketaksaan berdasarkan tinjauan teoretis. Setelah dipilah, 10 buah lelucon disalin berikut judulnya. Satu per satu lelucon dianalisis berdasarkan kategori ketaksaannya. Untuk mengetahui kategori ketaksaan pada suatu kata, digunakan kamus Van Dale Groot Woordenboek van de Nederlandse Taal oleh Boon & Geeraerts (2005). Kamus tersebut juga digunakan untuk mencari asal mula pembentukan kata dan makna kiasan dalam suatu kalimat. Pada bagian simpulan, hasil analisis dikelompokkan dan dijabarkan sesuai dengan kategori ketaksaan. Pembahasan Bagian pembahasan ini berisi pemaparan analisis ketaksaan pada teks-teks lelucon dalam buku Kidsweek-moppenboek (2011). Suatu kata dan kalimat yang mengandung ketaksaan ditunjukkan dengan tanda garis bawah dalam teks terjemahan lelucon, sedangkan kata-kata Ketaksaan pada lelucon ..., Melati Salamatunnisa, FIB UI, 2014 yang bercetak tebal di bawah teks terjemahan lelucon menunjukkan kategori ketaksaan. Pada bagian analisis, kegandaan makna disimbolkan dengan M1 (Makna1) dan M2 (Makna2). M2 merupakan makna yang muncul kemudian, yaitu makna yang membuat kelucuan. 1. Homonimi Kippenmop Er zaten eens twee kippen op stok. Zegt de een tegen de ander: ‘Hoe gaat het met jouw kinderen?’ zegt de ander: ‘Heel goed. De een is nu uitsmijter en de ander advocaat.’ ‘Ada dua ekor ayam di dalam kandang. Salah satunya berkata pada ayam yang lain: ‘Apa kabarnya anak-anakmu?’ ayam yang lain berkata: ‘Sangat baik. Yang satu sekarang menjadi uitsmijter dan satunya lagi advocaat.’ Taksa secara Homonimi (Uitsmijter). M1 = ‘penjaga diskotek’ M2 = ‘hidangan roti dengan telur mata sapi’ Taksa secara Homonimi (Advocaat). M1 = ‘pengacara’ M2 = ‘sejenis minuman anggur yang dibuat dari telur’ Kata “uitsmijter” dapat bermakna ‘penjaga diskotek’ (M1) dan ‘hidangan roti dengan telur mata sapi’ (M2), sedangkan “advocaat” dapat bermakna ‘pengacara’ (M1) dan ‘sejenis minuman anggur yang dibuat dari telur’ (M2). Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kedua M1 dari kata “uitsmijter” dan “advocaat” merupakan lingkup dari suatu profesi, sementara kedua M2 dari kata “uitsmijter” dan “advocaat” termasuk dalam kategori makanan dan minuman. Pada lelucon di atas, keganjilan muncul dari jawaban “uitsmijter” dan “advocaat” yang diberikan oleh ayam yang satunya lagi. Apabila referen dari “uitsmijter” dan “advocaat” adalah M1 dari kedua kata tersebut, maka artinya anak-anak ayam itu sangat baik karena mereka sudah bekerja. Namun, jika maksudnya adalah M2 dari “uitsmijter” dan “advocaat”, maka artinya anak-anak ayam itu sudah mati. Dengan kata lain, saat masih menjadi telur, anak-anak ayam itu diambil dan diolah untuk dijadikan santapan makanan dan minuman. Ketaksaan pada lelucon ini diakibatkan oleh M1 dan M2 pada kata “uitsmijter” dan “advocaat”. Menurut kamus Van Dale (2005), “uitsmijter” termasuk polisemi dan “advocaat” adalah homonimi. Namun, secara pribadi saya berpendapat bahwa M1 dan M2 pada kata “uitsmijter” merupakan homonimi sebab makna-makna tersebut tidak berkaitan satu sama Ketaksaan pada lelucon ..., Melati Salamatunnisa, FIB UI, 2014 lain, sama halnya dengan M1 dan M2 pada kata “advocaat” yang merupakan homonimi. Secara keseluruhan, kelucuan pada lelucon berjudul Kippenmop ini terjadi karena kedua makna kata “uitsmijter” dan “advocaat” sama-sama dapat disambungkan dengan konteks cerita lelucon. 2. Homofoni Vissen Twee vissen komen elkaar tegen. De ene vis zeggen tegen de andere: ‘Haai!’ De andere vis roept verschikt: ‘Waar?!’ ‘Dua ekor ikan berpapasan. Salah satu ikan menyapa ikan yang lain: ‘Haai!’ Ikan yang lain itu terperanjat dan berteriak: ‘Di mana?!’ Bentuk fonetis: Hai - Haai [haj]. Taksa secara Homofoni. M1 = ‘hai (sapaan)’ M2 = ‘ikan hiu’ Kata “haai” secara fonetis berbunyi [haj]. Bunyi [haj] dapat dimaknai sebagai sapaan ‘hai!’ (M1). ‘Hai!’ merupakan interjeksi yang digunakan untuk memanggil atau menarik perhatian seseorang ketika bertemu satu sama lain. Sementara itu, bunyi [haj] juga dapat bermakna ‘ikan hiu’ (M2). Lelucon di atas menunjukkan bahwa seekor ikan berniat untuk menyapa ikan lain yang ditemuinya lalu memanggilnya dengan sapaan ‘hai’. Akan tetapi, kesamaan bunyi [haj] antara “haai” ‘hai’ dan “haai” ‘ikan hiu’ membuat ikan yang disapa menjadi salah paham. Ia menginterpretasikan bunyi [haj] dengan M2 karena ia mengira bahwa ikan yang sesungguhnya menyapanya itu berseru bahwa ada hiu yang ingin memangsa mereka. Akibat kesalahpahaman tersebut, ikan itu otomatis takut dan kaget. Pada lelucon ini, ketaksaan ditimbulkan oleh homofoni [haj] antara ‘hai (sapaan)’ dan ‘ikan hiu’. Ketaksaan tersebut mengakibatkan kesalahan penafsiran antara bunyi [haj] yang dimaksud seekor ikan dan bunyi [haj] yang ditangkap ikan lain sehingga lelucon berjudul Vissen ini menjadi lucu. 3. Homografi Dief Een boef rent een kookwinkel uit met een pan. Een agent houdt hem aan. Hij zegt: ‘Waarom ren jij weg zonder te betalen?’ ‘Nou’, zegt de boef, ‘het is een steelpan!’ ‘Seorang pencuri kabur dari toko peralatan memasak dengan membawa sebuah panci. Seorang polisi menangkapnya. Ia berkata: ‘Mengapa kamu kabur dengan tanpa membayar?’ ‘Yah’, kata pencuri itu, ‘ini ‘kan steelpan!’ Ketaksaan pada lelucon ..., Melati Salamatunnisa, FIB UI, 2014 Taksa secara Homografi. M1 = ‘panci baja’ M2 = ‘panci curian’ “Steelpan” secara fonetis dilafalkan dengan [stilpɑn]. Kata steel yang berbunyi [stil] dalam kata steelpan merupakan kata dalam bahasa Inggris dan bermakna ‘baja’. Pada lelucon di atas, “steelpan” memicu kejanggalan karena jawaban “steelpan” tidak selaras dengan apa yang ditanyakan polisi. “Steelpan” adalah ‘panci baja’ (M1), yaitu panci yang terbuat dari baja. Panci baja bukanlah alasan kaburnya pencuri tersebut tanpa membayar barang yang diambilnya. Dengan demikian, jawaban “steelpan” tidak bereferensi pada M1. Sementara itu, terdapat bentuk kata steel lainnya, yaitu steel dalam bahasa Belanda yang bermakna ‘mencuri’. Oleh karena itu, “steelpan” juga dapat bermakna ‘panci curian’ (M2). “Steelpan” ‘panci curian’ secara fonetis dilafalkan dengan [stelpɑn] karena verba steel dalam bahasa Belanda berbunyi [stel]. Oleh karena itu, jawaban “steelpan” yang diutarakan pencuri tersebut sebenarnya bereferensi pada M2, dengan maksud bahwa sudah sewajarnya ia membawa kabur sebuah panci tanpa membayarnya karena namanya saja panci curian. Ketaksaan pada lelucon ini terdapat pada kata “steelpan”, yaitu pemanfaatan makna verba steel ‘mencuri’ dalam kata “steelpan” berdasarkan homografi “steelpan” [stilpɑn] ‘panci baja’ dan “steelpan” [stelpɑn] ‘panci curian’ untuk membentuk M2. Dengan demikian, lelucon berjudul Dief ini menjadi lucu karena M2 yang direferensikan “steelpan” selaras dengan pertanyaan polisi. 4. Polisemi Kanarie De meester vraagt aan Jantje: ‘Kun jij een uitgestorven dier noemen?’ Jantje: ‘Ja hoor, de kanarie.’ Vraagt de meester verbaasd: ‘De kanarie? Die is toch helemaal niet uitgestorven?’ Jantje: Jawel, hoor, de kat van de buren heeft hem gisteren opgegeten!’ ‘Pak guru bertanya kepada Jantje: ‘Bisakah kamu menyebutkan salah satu binatang uitgestorven?’ Jantje: ‘Tentu saja, burung kenari.’ Dengan kaget pak guru bertanya: ‘Burung kenari? Itu ‘kan tidak benar-benar uitgestorven?’ Jantje: ‘Betul kok, kucing milik tetangga telah memakannya kemarin!’ Taksa secara Polisemi. M1 = ‘punah’ M2 = ‘mati’ Ketaksaan pada lelucon ..., Melati Salamatunnisa, FIB UI, 2014 Menurut kamus Van Dale (2005), makna kata “uitgestorven” adalah ‘mati’ (M2), tetapi jika “uitgestorven” mengacu pada seekor hewan (uitgestorven diersoorten), maka “uitgestorven” bermakna ‘punah’ (M1). Pada lelucon di atas, dapat diketahui bahwa bapak guru bermaksud memerintahkan Jantje untuk menyebutkan salah satu hewan yang telah punah. Akan tetapi, keganjilan timbul karena Jantje menjawab burung kenari. Burung kenari adalah salah satu jenis burung yang saat ini masih dapat ditemukan sehingga burung kenari tidak termasuk hewan yang sudah punah. Keadaan kemudian menjadi jelas saat Jantje beralasan bahwa burung kenari miliknya diterkam oleh seekor kucing. Anggapan itu menunjukkan bahwa burung kenari miliknya telah mati karena telah dimakan kucing tersebut. Dengan demikian, Jantje menyalahpahami maksud “uitgestorven” yang dikatakan bapak guru dan menafsirkannya dengan M2. Ketaksaan pada kata “uitgestorven” diakibatkan oleh polisemi makna ‘punah’ (M1) dan ‘mati’ (M2) pada kata tersebut. Hal inilah yang mengantar kesalahpahaman Jantje terhadap maksud bapak guru dan membuat lelucon berjudul Kanarie ini menjadi lucu. 5. Metonimia Theeleeltjes Dokter: ‘Weet u dat we tijdens de operatie dertig theelepeltjes in uw maag gevonden hebben?’ Patiënt: ‘Natuurlijk, dat was uw recept. Tien dagen lang drie keer één theelepel!’ ‘Dokter: ‘Tahukah Anda bahwa kami menemukan tiga puluh sendok makan di dalam lambungmu?’ Pasien: ‘Tentu saja, itu kan resep Anda. Tiga kali één theelepel selama sepuluh hari! Taksa karena Metonimia. M1 = ‘volume cairan obat dalam satu sendok teh’ M2 = ‘satu sendok teh’ Tien dagen lang drie keer één theelepel ‘tiga kali satu sendok teh selama sepuluh hari’ merupakan ungkapan yang digunakan pada petunjuk pemakaian obat. Pada lelucon di atas, “één theelepel” pada ungkapan tersebut sesungguhnya bereferensi pada ‘volume cairan obat dalam satu sendok teh’ (M1). Dengan begitu, satu sendok teh dimaksudkan sebagai takarannya. Seorang pasien pada lelucon di atas dioperasi karena salah menafsirkan maksud dari “één theelepel” sebagai petunjuk pemakaian obat yang disarankan oleh dokter. Ia menangkap “één theelepel” dengan makna harfiah, yakni ‘satu sendok teh’ (M2). Karena Ketaksaan pada lelucon ..., Melati Salamatunnisa, FIB UI, 2014 kesalahpahaman itu, ia menelan satu buah sendok teh begitu saja sebanyak tiga kali dalam sehari. Sendok merupakan material padat yang terbuat dari logam. Karena tidak dapat dicerna, sendok teh itu ditemukan sebanyak tiga puluh buah di dalam lambung pasien tersebut setelah sepuluh hari. Pemaknaan secara harfiah dari “één theelepel” yang sesungguhnya merupakan bentuk metonimia berdasarkan benda/isi menimbulkan ketaksaan dalam ungkapan tien dagen lang drie keer één theelepel. Ketaksaan yang membuat pasien menelan tiga puluh buah sendok teh karena salah menafsirkan maksud dokter tersebut membuat lelucon berjudul Theelepeltjes menjadi lucu. 6. Metafora Ezel Wat is het verschil tussen een paard en een ezel? Antwoord: Een paard staat in de wei en een ezel dat ben jij! ‘Apakah perbedaan antara kuda dan ezel? Jawaban: Kuda berada di padang rumput dan ezel itu adalah kamu!’ Taksa karena Metafora. M1 = ‘keledai’ M2 = ‘orang dungu’ Kata “ezel” bermakna leksikal ‘keledai’ (M1). Keledai sejak lama identik dengan hewan yang bodoh sehingga menimbulkan makna negatif yang kemudian berkembang menjadi julukan untuk ‘orang dungu’ (M2). Sesungguhnya, pertanyaan yang diajukan pada teka-teki di atas bertujuan untuk mengetahui perbedaan antara kuda dan keledai karena keledai merupakan hewan yang secara fisik mirip dengan kuda. Namun, kejanggalan mulai terasa ketika jawaban dari teka-teki tersebut tidak menjawab apa yang ditanyakan. Pernyataan “een paard staat in de wei” ‘kuda berada di padang rumput’ tidak selaras dengan “een ezel dat ben jij” ‘keledai itu adalah kamu’. “Ezel” ‘keledai’ seharusnya juga menyatakan tempat yang didiaminya untuk mencari makan, seperti halnya paard ‘kuda’ di padang rumput. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa “ezel” pada jawaban tersebut tidak bereferensi pada M1. Di sisi lain, kata jij ‘kamu’ seakan mengacu kepada pembaca teka-teki ini yang tidak lain merupakan seorang manusia. Kata “ezel” tersebut seperti disengaja untuk mengolok-olok para pembaca dengan mengejek mereka sebagai orang dungu. Ketaksaan pada lelucon ini diakibatkan oleh penggunaan metafora kata “ezel” untuk membandingkan jij yakni para pembaca dengan orang dungu, padahal “ezel” pada soal teka-teki dimaksudkan untuk ‘keledai’ (M1) yang merupakan Ketaksaan pada lelucon ..., Melati Salamatunnisa, FIB UI, 2014 makna secara harfiah. Akan tetapi, jawaban teka-teki sengaja menyalahartikan “ezel” dengan M2 yang merupakan makna kiasan untuk mengejek para pembaca. Selain itu, pemilihan kata jij ‘kamu’ digunakan untuk membentuk keserasian bunyi dengan kata wei ‘padang rumput’. Keserasian bunyi tersebut adalah rima asonansi, yaitu persamaan pada bunyi vokal [ɛi]. Dengan demikian, bantuan rima juga berperan untuk memperjelas perbedaan antara wei sebagai sebuah tempat dan jij sebagai manusia sehingga hal tersebut dapat memperjelas metafora. Metafora yang dibuat seperti salah tafsir inilah yang menyebabkan lelucon berjudul Ezel menjadi lucu. 7. Idiom Verdrietig Jantje ziet niet zo knappe vrouw huilend op een bankje zitten. Hij krijgt medelijden en loopt naar haar toe. ‘Mevrouw, wat is er?’, vraagt hij beleefd. ‘Niemand ziet me staan’, zegt ze snikkend. Jantje: ‘Maar dat is toch logisch mevrouw? U staat namelijk niet!’ ‘Jantje melihat seorang wanita yang tidak begitu cantik duduk di sebuah bangku sambil menangis. Ia merasa iba dan berjalan ke arahnya. ‘Apa yang terjadi, nyonya?’, tanyanya sopan. ‘Niemand ziet me staan’, ujarnya tersedu-sedu. Jantje: ‘Tapi, bukankah itu masuk akal, nyonya? Kau ‘kan tidak berdiri!’ Iemand niet zien staan adalah idiom yang bermakna ‘tidak mengacuhkan seseorang’. Taksa karena Idiom. M1 = ‘tidak ada seseorang yang mengacuhkanku’ M2 = ‘tidak ada seseorang yang melihatku berdiri’ Dalam bahasa Belanda, terdapat idiom iemand niet zien staan yang bermakna ‘tidak mengacuhkan seseorang’. Kalimat “niemand ziet me staan” yang dilontarkan oleh wanita pada lelucon di atas pada dasarnya bersumber pada idiom iemand niet zien staan. Dengan begitu, “niemand ziet me staan” bermakna ‘tidak ada seseorang yang mengacuhkanku’ (M1). Ungkapan tersebut disampaikan karena wanita tersebut bermaksud memberi tahu Jantje bahwa ia merasa sedih karena tidak ada seorang pun yang memedulikannya akibat rupa wajahnya yang tidak terlalu cantik. Akan tetapi, kejanggalan kemudian timbul karena Jantje memandang logis terhadap hal tersebut. Ia lalu memperjelas tanggapannya dengan berkata, “U staat namelijk niet!” ‘Anda ‘kan tidak berdiri!’. Rupanya, “niemand ziet me staan” ditafsir Jantje dengan makna ‘tidak ada seseorang yang melihatku berdiri’ (M2) yang merupakan makna harfiah dari ungkapan tersebut. Pemaknaan M2 itu diakibatkan karena wanita tersebut Ketaksaan pada lelucon ..., Melati Salamatunnisa, FIB UI, 2014 sedang dalam posisi duduk dan tidak berdiri. Penggunaan makna harfiah yang dimanfaatkan pada ungkapan “niemand ziet me staan” membuat ungkapan tersebut menjadi taksa. Oleh sebab itu, Jantje, sebagai anak kecil yang belum mengerti makna kiasan, memaknai ungkapan tersebut secara harfiah. Kelucuan pada lelucon berjudul Verdrietig ini secara garis besar terjadi karena kesalahan penafsiran antara maksud wanita tersebut dan makna yang ditangkap oleh Jantje. 8. Struktur Morfologis Neus Cora zit op school. Ze peutert de hele tijd in haar neus. De juf vraagt streng: ‘Cora, waarom peuter je in je neus?’ Waarop Cora antwoord: ‘Dit is toch de peuterschool!’ ‘Cora berada di sekolah. Ia mengorek-ngorek lubang hidungnya terus-menerus. Bu guru bertanya dengan tegas: ‘Cora, mengapa kamu mengorek-ngorek lubang hidungmu?’ Cora menjawab: ‘Ini ‘kan peuterschool!’ Struktur morfologis: [[peuter]N[school]N]N menjadi [[peuter]V[school]N]N. Taksa secara Morfologis. M1 = ‘sekolah kelompok bermain’ M2 = ‘sekolah mengupil’ “Peuterschool” atau peuterspeelzaal adalah ‘suatu lembaga anak-anak supaya mereka dapat bermain di bawah pengawasan’. “Peuterschool” merupakan program pendidikan pra sekolah di Belanda yang ditujukan untuk balita. Dengan demikian, “peuterschool” dapat disejajarkan dengan playgroup ‘sekolah kelompok bermain’ (M1). Kata “peuterschool” pada dasarnya diciptakan dari nomina peuter ‘balita’ yang dikompositakan dengan nomina school ‘sekolah’ [[peuter]N[school]N]N. Akan tetapi, keganjilan pada lelucon di atas timbul ketika Cora berpendapat bahwa ia layak mengupil karena ia berada di “peuterschool”. Makna “peuterschool” ‘sekolah kelompok bermain’ tidak memiliki korelasi dengan mengupil sehingga mengundang ketidakwajaran. Rupanya, “peuterschool” yang dimaksud oleh Cora adalah ‘sekolah mengupil’ (M2), yaitu makna yang terwujud dari proses komposita antara sebuah verba dasar peuter ‘mengupil’ dan school ‘sekolah’ [[peuter]V[school]N]N. Oleh karena itu, Cora merasa pantas untuk mengorek-ngorek hidungnya terus menerus sebab pikirnya, ia berada di sekolah mengupil. Pemelesetan struktur [[peuter]N[school]N]N menjadi [[peuter]V[school]N]N membuat kata “peuterschool” menjadi taksa. Struktur itu dipelesetkan untuk membentuk M2 supaya maknanya mendukung tingkah Cora yang terus-menerus Ketaksaan pada lelucon ..., Melati Salamatunnisa, FIB UI, 2014 mengupil. Pemaknaan M2 dan tingkah Cora yang mengesalkan itulah yang membuat lelucon berjudul Neus ini menjadi lucu. 9. Morfologis Appelraadsel Wat krijgt je als je een appel in de grond stopt? Antwoord: Een aardappel. ‘Apa yang kamu dapatkan jika kamu menanam buah apel di dalam tanah? Jawaban: Sebuah Aardappel.’ Struktur morfologis: [[aard]N[appel]N]N. Taksa secara Morfologis. M1 = ‘kentang’ M2 = ‘apel yang ditanam di ladang’ “Aardappel” secara leksikal bermakna ‘kentang’ (M1), yaitu sejenis umbi-umbian yang dapat dimakan. Pada lelucon di atas, dikemukakan bahwa “aardappel” adalah sesuatu yang didapatkan jika seseorang menanam buah apel di dalam tanah. Hal tersebut mengundang keganjilan karena umbi kentang tidak dihasilkan dari buah apel, melainkan dari bibit kentang yang di tanam. Selain itu, buah apel yang ditanam di tanah tidak akan menjadi apapun selain buah apel tersebut yang akan membusuk. Di sisi lain, kata “aardappel” pada dasarnya dibentuk dari proses komposita antara aard dan appel [[aard]N[appel]N]N. Apabila masingmasing makna dari kedua kata tersebut dikompositakan, “aardappel” menjadi bermakna ‘apel yang ditanam di ladang’ (M2). Makna inilah yang sebenarnya dimaksud oleh jawaban “aardappel” pada teka-teki di atas. Dengan demikian, hal yang disampaikan pada teka-teki itu ialah seseorang akan mendapatkan apel yang ditanam di ladang jika ia menanam buah apel di dalam tanah, mengingat ladang merupakan tanah untuk bertanam. Pada lelucon ini, ketaksaan muncul akibat pemanfaatan proses komposita kata “aardappel” untuk menyatukan makna kata aard dan appel. Penyatuan makna-makna tersebut bertujuan untuk membentuk M2 supaya jawaban teka-teki cocok dengan pertanyaannya. Pemaknaan M2 inilah yang menyebabkan lelucon berjudul Appelraadsel ini menjadi lucu. Ketaksaan pada lelucon ..., Melati Salamatunnisa, FIB UI, 2014 10. Proses Sintaksis De Bus Jantje staat op de bus te wachten. Zegt de bus-chauffeur: ‘He zeg, ga daar onmiddelijk van af!’ ‘Jantje staat op de bus te wachten. Kata sopir bus: ‘Hei, ayo segera turun dari sana!’ Taksa secara Sintaktis. M1 = ‘Jantje berdiri menunggu bus’ M2 = ‘Jantje berdiri di atas bus sementara ia menunggu’ Dalam bahasa Belanda, terdapat frasa verbal tertentu yang sekaligus menunjukkan posisi dari subjeknya, salah satunya adalah te wachten staan. Frasa verbal te wachten staan sebenarnya memiliki makna yang sama dengan verba wachten ‘menunggu’, namun te wachten staan juga mengungkapkan bahwa subjeknya berada dalam posisi staan ‘berdiri’. Dengan begitu, dapat diketahui bahwa “Jantje staat op de bus te wachten” pada lelucon di atas sebenarnya bermakna ‘Jantje berdiri menunggu bus’ (M1). Kalimat “Jantje staat op de bus te wachten” pada dasarnya memiliki anak kalimat dengan jenis beknopte bijzin, yaitu anak kalimat yang tidak memiliki subjek. Apabila dijabarkan menjadi kalimat biasa, struktur kalimat tersebut dapat menjadi: [Jantje wacht op de bus] terwijl hij staat. ‘[Jantje menunggu bus] sementara ia berdiri.’ Penjabaran seperti itu memudahkan kita untuk melihat bagian-bagian yang memperlihatkan induk kalimat dan anak kalimat pada kalimat yang mengandung anak kalimat tanpa subjek. Uraian struktur kalimat tersebut juga menunjukkan bahwa “Jantje wacht op de bus” merupakan kesatuan konstituen sehingga menentukan makna induk kalimat ‘Jantje menunggu bus’. Konstituen itu didapat berdasarkan kesesuaian antara verba dan preposisi wachten op ‘menunggu (sesuatu)’. Akan tetapi, kejanggalan kemudian timbul akibat reaksi supir bus yang menjadi marah. Kejadian itu pun semakin janggal saat ia memerintahkan Jantje untuk segera turun. Perintah supir bus agar Jantje segera turun itu memberi petunjuk bahwa Jantje berada di atas suatu tempat. Rupanya, Jantje berdiri di atas bus. Hal tersebut terjadi karena kalimat “Jantje staat op de bus te wachten” maknanya dipelintir menjadi ‘Jantje berdiri di atas bus sementara ia menunggu’ (M2). Dengan demikian, kalimat “Jantje staat op Ketaksaan pada lelucon ..., Melati Salamatunnisa, FIB UI, 2014 de bus te wachten” sebenarnya tidak bereferensi pada M1, melainkan pada M2. Kemunculan M2 ini dapat dibuktikan dengan penjabaran struktur kalimat berikut: [Jantje staat op de bus] terwijl hij wacht. ‘[Jantje berdiri di atas bus] sementara ia menunggu.’ Pada penjabaran di atas, konstituen yang menjelaskan induk kalimat ditunjukkan oleh kalimat “Jantje staat op de bus” ‘Jantje berdiri di atas bus’. Hal tersebut disebabkan oleh verba staan yang berkesesuaian dengan preposisi op, yaitu staan op ‘berdiri di atas (sesuatu)’. Karena kesamaan preposisi, verba dasar wacht dan staat menjadi rancu karena op de bus dapat berkonstituen dengan kedua verba tersebut. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika supir bus marah dan memerintahkan Jantje untuk turun karena berdiri di atas bus adalah tingkah yang berbahaya. Kerancuan preposisi dalam menentukan konstituen, yaitu wachten op dan staan op, mengakibatkan ketaksaan terhadap kalimat “Jantje staat op de bus te wachten.” Selain itu, M2 yang direferensikannya menunjukkan bahwa ulah Jantje tersebut sangat usil. M2 inilah yang membuat lelucon berjudul De Bus ini menjadi lucu. Sebagai ringkasan berdasarkan paparan 10 buah lelucon di atas, terlampir tabel jenis dan kategori ketaksaan serta tabel pola kelucuan. Tabel 1. Jenis dan Kategori Ketaksaan Ketaksaan Leksikal No. Judul Lelucon Homonimi Ketaksaan Struktural Polisemi Homonimi Homofoni Homografi Polisemi Metonimia Metafora Idiom Morfologis Sintaktis 1. Kippenmop √ - - - - - - - - 2. Vissen - √ - - - - - - - 3. Dief - - √ - - - - - - 4. Kanarie - - - √ - - - - - 5. Theelepeltjes - - - - √ - - - - 6. Ezel - - - - - √ - - - 7. Verdrietig - - - - - - √ - - 8. Neus - - - - - - - √ - 9. Appelraadsel - - - - - - - √ - 10. De Bus - - - - - - - - √ Ketaksaan pada lelucon ..., Melati Salamatunnisa, FIB UI, 2014 Jumlah 1 1 1 1 1 1 1 2 1 Total Lelucon Berdasarkan 7 3 Jenis Ketaksaan Tabel 2. Pola Kelucuan Pola Kelucuan No. Judul Lelucon Kesalahpahaman Antar Interpretasi Oleh Pembaca Tokoh M1 dan M2 M2 1. Kippenmop - √ - 2. Vissen √ - - 3. Dief - - √ 4. Kanarie √ - - 5. Theelepeltjes √ - - 6. Ezel √ - - 7. Verdrietig √ - - 8. Neus - - √ 9. Appelraadsel - - √ 10. De Bus - - √ 5 1 4 Jumlah Total Lelucon Berdasarkan Pola Kelucuan 5 5 Kesimpulan Ketaksaan merupakan salah satu aspek yang dimanfaatkan untuk menyampaikan kelucuan pada lelucon anak-anak dalam buku Kidsweek-moppenboek (2011). Melalui ketaksaan, humor dibangkitkan dengan memainkan ketaksaan secara leksikal dan secara struktural. Dari 10 buah lelucon, ketaksaan leksikal ditemukan dalam 7 buah lelucon, yakni: 1 buah lelucon secara homonimi; 1 buah lelucon secara homofoni; 1 buah lelucon secara homografi; 1 buah lelucon secara polisemi; 1 buah lelucon karena metonimia; 1 buah lelucon karena metafora, dan 1 buah lelucon karena penggunaan idiom, serta ketaksaan struktural dalam 3 buah lelucon, yakni: 2 buah lelucon secara morfologis dan 1 buah lelucon secara sintaktis. Dengan Ketaksaan pada lelucon ..., Melati Salamatunnisa, FIB UI, 2014 demikian, ketaksaan leksikal merupakan jenis ketaksaan yang paling dominan dengan persentase 70%. Secara garis besar, humor disampaikan melalui ketaksaan dengan membentuk dua pola, yaitu kesalahpahaman antar tokoh (50%) dan interpretasi oleh pembaca (50%). Kesalahpahaman antar tokoh terjadi karena kesalahan penafsiran oleh tokoh satu terhadap ungkapan atau pertanyaan dari tokoh dua dan kesalahan penafsiran pada jawaban lelucon teka-teki terhadap soalnya. Kesalahan penafsiran tersebut ditunjukkan dengan M1 (Makna1) yang disalahtafsirkan menjadi M2 (Makna2). Sementara itu, interpretasi oleh pembaca adalah ungkapan ketaksaan yang interpretasinya diserahkan kepada para pembaca, berupa kata atau ungkapan salah satu tokoh, narasi di awal teks, dan berupa jawaban pada lelucon teka-teki. Interpretasi oleh pembaca juga dapat dibagi menjadi dua pola, yakni: M1 dan M2 yang samasama sesuai dengan konteks cerita dan M2 saja yang sesuai dengan konteks cerita. Penyampaian humor melalui ketaksaan secara homonimi dan homografi ditampilkan dengan pola interpretasi oleh pembaca, masing-masing yaitu M1 dan M2 yang sama-sama sesuai dengan konteks cerita dan M2 saja yang sesuai dengan konteks cerita. Sementara itu, ketaksaan secara homofoni, polisemi, metonimia, metafora, dan idiom ditampilkan dengan pola kesalahpahaman antar tokoh. Kesalahan penafsiran karena idiom dan metonimia diakibatkan oleh penafsiran makna harfiah dari ungkapan yang seharusnya bermakna kiasan, sedangkan kesalahan penafsiran karena metafora ditimbulkan oleh penafsiran makna kiasan dari ungkapan yang seharusnya bermakna harfiah. Kelucuan akibat ketaksaan secara morfologis hanya menampilkan pola interpretasi untuk pembaca dengan M2 saja yang sesuai dengan konteks cerita. Pada penelitian ini, proses morfologis yang berperan adalah komposita dua komponen. Komposita ini pun memiliki dua corak, yaitu: komposita yang membentuk M1 dan M2 dengan struktur yang sama yaitu pada lelucon berjudul Appelraadsel dan komposita yang membentuk M1 dan M2 dengan struktur yang berbeda pada lelucon berjudul Neus. Ketaksaan secara sintaktis pun juga hanya menampilkan pola interpretasi oleh pembaca dengan M2 saja yang sesuai dengan konteks cerita. Pustaka Acuan Abdul Chaer. (2007). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. Anton M. Moeliono. (1989). Kembara Bahasa: Kumpulan Karangan Tersebar. Jakarta: PT Gramedia. Ketaksaan pada lelucon ..., Melati Salamatunnisa, FIB UI, 2014 Appel, René, et al. (1992). Inleiding Algemene Taalwetenschap (ATW). Dordrecht: ICG Publications. Booij, Geert., & Ariane van Santen. (1998). Morfologie: De Woordstructuur van het Nederlands. Amsterdam: Amsterdam University Press. Boon, Ton den., & Dirk Geeraerts. (2005). Van Dale Groot Woordenboek van de Nederlandse Taal. Utrecht: Van Dale Lexicografie. Chiaro, Delia. (1992). The Language of Jokes: Analysing Verbal Play. London: Routledge. Coillie, Jan van. (1999). Leesbeesten en Boekenfeesten: Hoe Werken (met) Kinder-en Jeugdboeken? Leidschendam: NBD Biblion Publishers. Dort-Slijper, Marjolein van. (1998). Inleiding in de Morfologie van het Nederlands. Amsterdam: Nederlandse Taalkunde. Fromkin, Victoria., Robert Rodman., & Nina Hyams. (2011). An Introduction to Language (9th ed.). Boston: Wadsworth Cengage Learning. Holkema, van & Warendorf. (2011). Kidsweek-Moppenboek. Houten: Uitgeverij Uniboek. Hurford, J. R., Brendan Heasley, & M.B. Smith. (2007). Semantics: A Coursebook (2nd ed.). New York: Cambridge University Press. James Danandjaja. (1988). Humor Mahasiswa. Jakarta: Pustaka Sinar harapan. Keraf, Gorys. (2001). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia. Pinker, Steven. (1997). How The Mind Works. Middlesex: Penguin Books. Van Dale. Lihat Boon & Dirk Geeraerts (2005). Verhaar, J.W.M. (1996). Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Yule, George. (2006). The Study of Language (3rd ed.). New York: Cambridge University Press. Ketaksaan pada lelucon ..., Melati Salamatunnisa, FIB UI, 2014