Marshanda: Tamparan Hukum untuk Psikiater atau

advertisement
Publish by. http://psikologi.uin-malang.ac.id
Marshanda: Tamparan Hukum untuk Psikiater atau Psikolog?
Dunia selebritas memang penuh berita kontroversial, mulai dari perceraian, perselingkungan, narkoba,
kriminal sampai kasus terakhir tentang Marshanda. Selain berita perceraian plus bumbu perselingkuhan,
pertengkaran dengan keluarga, kontroversial melepas hijab sampai perjuangan hak asuh seorang dengan
bipolar. Kasus ini menarik dari perspektif saya, karena melibatkan tiga disiplin ilmu dan profesi yang
berbeda, kedokteran jiwa (psikiater), psikologi (psikolog) dan hukum (pengacara). Kasus ini juga secara
kritis akan mengevaluasi sejauh mana perundang-undangan republik ini mengatur tentang kesehatan
kejiwaan.
Kasus ini mulai mencuat ketika Marsyanda memilih keluar dari ruang pengobatan dan melaporkan ibunya
karena menganggap pengobatan yang dijalaninya sebagai sebuah pemasungan (Okezone.com, 04
Agustus 2014 dan Tribunnews.com, 5 Agustus 2014). Istilah pemasungan ini bagi saya menjadi polemik
yang menarik. Apakah benar seorang ibu memasung anaknya? Benarkah ibu setega itu?
Di Indonesia sendiri pasung merupakan istilah yang digunakan untuk mengekang secara fisik atau
mengurung individu yang dianggap gila, jahat dan juga membahayakan orang lain (Minas dan Diatri, 2008).
Selanjutnya dalam penelitiannya, Minas dan Diatri menyebutkan bahwa minimal terdapat tiga faktor yang
menyebabkan seseorang dengan gangguan kejiwaan dipasung, pertama adalah motivasi keluarga untuk
mencegah hal buruk/kerugian bagi subjek pasung dan bagi orang lain. Kedua, lebih dari separuh subjek
pasung merupakan mereka yang sebelumnya dirawat dengan berbagai cara dan tidak berhasil, ada faktor
kesulitan finansial dan jarang tersedia pengobatan yang terjangkau. Ketiga adalah faktor bahwa
pemerintah Indonesia belum memperhatikan dengan serius infrastruktur dan juga tenaga perawat medis
sampai pada level pedesaan. Hasil penelitian yang kurang lebih sama dengan Puteh, Marthoenis dan
Minas (2011) dia Aceh. Kebanyakan keluarga memasung dikarenakan kekurangan finansial untuk
perawatan. Mereka menyebutkan 79,% kasus pemasungan disebabkan oleh kekhawatiran perilaku agresif
subjek pasung, 20,% adalah kekhawatiran keluarga tentang keselamatan subjek pasung (menggelandang,
Publish by. http://psikologi.uin-malang.ac.id
hilang dari rumah dan lainnya) serta sedikit lainnya tidak memberikan alasan yang jelas. Pasung dilakukan
dengan banyak cara, mulai mengikat kaki dan atau tangan dengan berbagai alat, sampai mengurung
subjek pasung dalam ruangan yang terisolasi dengan fasilitas yang seadanya.
Dua penelitian pasung tersebut cukup kiranya untuk membaca kasus Marsyanda. Caca bukan dari
keluarga yang kurang secara finansial dan dekat dengan fasilitas kesehatan jiwa (karena hidup di Jakarta).
Meskipun banyak berita masih simpang siur, saya merasa kok rasanya aneh sebuah rumah sakit
kenamaan Abdi Waluyo di Jakarta akan menggunakan sarana kayu atau rantai untuk mengekang fisik
chacha. Lebih aneh lagi jika rumah sakit tersebut dianggap memiliki fasilitas yang sederhana layaknya
fenomena dalam dua penelitian diatas. Jadi istilah pasung saya rasa kurang tepat untuk kasus ini.
Mengenai penjaga yang disewa ibunda chacha yang katanya berpakaian preman, sampai sekarang pihak
keluarga belum memberikan klarifikasinya.
Kita menuju runtutan kasus selanjutnya, chacha diberitakan sudah melaporkan ibunya ke polisi. Saya
melihat fenomena tersebut bukan hanya konflik yang melibatkan orang tua dan anak saja, melainkan juga
sekaligus melibatkan minimal dua (mungkin) sampai tiga lembaga profesi. Konflik orang tua dan anak
kandung saja sudah lumayan aneh, ini ditambah dengan pelibatan profesi dokter jiwa (psikiater dibawah
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia), pengacara (Advokad dibawah Perhimpunan
Advokat Indonesia) serta mungkin psikolog (Psikolog Forensik dibawah Himpunan Psikologi Indonesia).
Tindakan chacha dan pengacaranya (OC Kaligis) memberontak dan keluar dari rumah sakit serta
melaporkan Ibunda ke Polisi merupakan hal yang bukan saja berimplikasi pada keluarga chacha, namun
juga tindakan tersebut secara terbuka dan berdalih hukum mementahkan diagnosa psikiater tentang
kejiwaan chacha. Secara gamblang saya mengistilahkan ini sebagai penamparan oleh pihak chacha
kepada psikiater. Diagnosa kejiwaan, tidak sama dengan diagnosa fisik yang hanya membutuhkan waktu
singkat. Diagnosa kejiwaan melewati tahapan asesmen yang rumit dengan etika profesi yang diatur ketat,
sehingga sangat mengejutkan jika OC Kaligis mengatakan bahwa “Dokter bilang dia (Chacha) bipolar.
Tapi, dokter yang bilang begitu adalah dokter ibunya” (Tabloidnova.com, 7 Agustus 2014). Dokter
merupakan profesi yang seharusnya taat dengan kode etik, bukan taat pada klien (ibu chacha). Artinya
ungkapan tersebut merupakan tuduhan serius kepada profesi kedokteran jiwa di Indonesia. Jika asesmen
dan diagnosa dilaksanakan dengan menaati kode etik yang berlaku, saya rasa hasilnya akan tetap sama
selama kondisinya juga tetap sama. Pengakuan pemasungan dan meragukan diagnosa dokter Richard
Budiman semakin aneh jika kita meniliki pernyataan Marsyanda di acara Just Alvin 10 Agustus 2014, “Kata
dokter Richard, saya menderita bipolar disorder tipe 2” (Liputan6.com, 18 Agustus 2014).
Pertanyaannya kemudian adalah apakah seorang dengan gangguan kejiwaan boleh menentukan model
treatmentnya sendiri? Pada Bab IV Pasal 56 ayat 1 UU Kesehatan dijelaskan bahwa seorang berhak
menerima dan menolak sebagian atau keseluruhan tindakan pertolongan yang diberikan setelah menerima
dan memahami informasi secara lengkap. Jika sampai ayat 1 ini saja, tindakan chacha dan pengacaranya
mungkin dapat dibenarkan. Namun jika menilik pada pasal 2, kemudian tindakan tersebut dapat menjadi
pro-kontra karena pasal tersebut mnyebutkan tindakan menerima dan menolak tidak berlaku pada
beberapa jenis penderita, termasuk penderita gangguan mental berat (ayat 2 poin c). Apakah gangguan
bipolar tipe 2 dapat dikategorikan gangguan mental berat?
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-Text Revision edisi ke-4 (DSM-IV-TR) sebagai kitab
utama gangguan psikologis menyebut bipolar sebagai gangguan mood yang terdiri dari paling sedikit satu
Publish by. http://psikologi.uin-malang.ac.id
episode manik, hipomanik atau campuran yang biasanya disertai dengan adanya riwayat episode depresi
mayor. Gangguan bipolar tipe II sendiri ditandai oleh terjadinya satu atau lebih episode depresi mayor yang
disertai oleh paling sedikit satu episode hipomanik. Depresi adalah suatu kondisi suasana perasaan yang
menetap sedih dalam jangka waktu panjang. Sedangkan pada kondisi manik atau hipomanik terdapat
suatu kondisi suasana perasaan yang berkebalikan dengan depresi di mana terdapat suatu suasana
perasaan yang gembira secara berlebih-lebihan, meluas, atau mudah menjadi marah. Kondisi mood yang
meningkat ini akan menyebabkan perubahan pada diri penderita meliputi peningkatan energi, gangguan
tidur, gangguan makan, rasa percaya diri yang berlebihan, waham kebesaran, kontrol impuls yang buruk,
hingga perilaku agresi dan tanpa perhitungan. Hipomanik adalah kondisi mood yang menyerupai manik
namun dalam derajat lebih ringan. Episode manik harus berlangsung sekurangnya 1 minggu, sedangkan
episode hipomanik berlangsung sekurangnya 4 hari. Artinya bipolar tipe II terdapat gejala-gejala hipomanik
dan depresi yang berganti-ganti secara cepat pada suatu periode waktu yang berlangsung sekurangnya 4
hari.
Pada kondisi tersebut, subjek bipolar saya rasa akan sulit mengontrol kesadarannya dan mengalami
kesulitan untuk berfikir jernih. Artinya dalam kasus chacha, pengacara terlalu berlebihan mengambil
tindakan mengeluarkan kliannya dari ruang perawatan bahkan menuntut pihak keluarga. Meskipun berdalih
mencari pendapat tandingan (second opinion), seharusnya tindakan tersebut tidak dilakukan sebelum
mendapatkan pendapat ahli lain yang mengatakan bahwa chacha memiliki hak untuk menolak
perawatannya. Disinilah peran psikolog dibutuhkan untuk menjadi saksi ahli kasus tersebut, khususnya
psikolog forensik. Psikolog forensik akn menilai secara objektif bagaimana kondisi kejiwaan chacha saat
sebelum dan pada masa perawatan. Pendapat psikolog forensik kemudian sangat bermanfaat bagi kedua
belah pihak tentang hak masing-masing. Siapa yang berhak menentukan perawatan dan siapa yang
sebenarnya melanggar hak asasi manusia akan terlihat dari hasil otopsi psikologis (visum et repertum
psikiatricum).
Kasus Marshanda akan tetap menjadi perhatian dan akan semakin meluas mengingat chacha masih akan
menghadapi sidang perceraian dan juga perebutan hak asuh anak semata wayangnya dengan suami.
Menarik untuk ditunggu apakah chacha berhasil mempertahankan haknya sebagai orang tua dengan
diagnosa bipolar yang disandangnya? Ranah ini juga sekaligus sebagai test case Undang Undang
kesehatan jiwa yang baru saja diketok 8 Juli 2014 terutama pasal 148 dan 150 yang mengatur hak hukum
penderita gangguan kejiwaan. Saya berharap kasus ini menjadi jalan pembuka bagi kesetaraan dalam
ranah hukum antara kesehatan fisik dan kesehatan jiwa sebagai dua dimensi manusia yang tidak akan
ungkin terpisahkan.
Penulis: Akhmad Mukhlis, MA
Download