BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada umumnya suatu perusahaan didirikan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan, hal mana sejalan dengan pengertian perusahaan menurut Undang-undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, yaitu: Setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam Wilayah Negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba.1 Namun di tengah persaingan dunia usaha yang semakin ketat, tujuan tersebut tidak mudah dicapai tanpa adanya usaha maksimal. Bahkan dalam perjalanan sebuah perusahaan pada tahap-tahap tertentu diperlukan adanya penataan seluruh mata rantai bisnis perusahaan agar mampu menghadapi persaingan. Penataan seluruh mata rantai bisnis perusahaan dengan tujuan terciptanya daya saing dan kompetisi dikenal sebagai restrukturisasi.2 Kondisi ini telah disikapi oleh pemerintah dengan mengakomodir ke dalam peraturan perundang-undangan, sebagaimana dikemukakan oleh Nasution,3 bahwa Undang-undang Pasar Modal, Undang-undang Perseroan Terbatas, Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas telah 1 Pasal 1 huruf b Undang-undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan. Ridwan Khairandy, 2009, Perseroan Terbatas, Doktrin Peraturan Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Kreasi Total Media, Yogyakarta, hlm. 279. 3 Bismar Nasution, 2001, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Program Pasca Sarjana, hlm.157. 2 1 2 mengatur restrukturisasi perusahaan. Menurut Kairupan,4 beberapa bentuk restrukturisasi yang dikenal dalam Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas antara lain penggabungan usaha (merger), peleburan (consolidation), pemisahan (spin off) dan debt to equity swap. Dari sudut pandang tersebut, sangatlah jelas bahwa penggabungan (merger) merupakan salah satu bentuk dari restrukturisasi, senada dengan apa yang dikemukakan oleh Fuady,5 penggabungan (merger) sebenarnya hanyalah salah satu metode untuk melakukan restrukturisasi perusahaan, di samping bentuk-bentuk restrukturisasi lainnya. Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT/1995”) merupakan tonggak sejarah hukum tentang penggabungan (merger), hal ini disebabkan oleh karena UUPT/1995 tersebutlah yang memulai mengatur penggabungan (merger) secara komprehensif di tingkat undang-undang, sungguhpun sebelumnya ada pengaturan penggabungan (merger), hal tersebut baru bersifat sektoral dan level pengaturannyapun masih pada tingkat di bawah undangundang.6 Meskipun demikian, oleh Pasal 109 UUPT/1995 diamanatkan agar ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan (merger), peleburan dan pengambilalihan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, dan berdasarkan ketentuan Pasal 109 UUPT/1995 tersebut kemudian dikeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 27 Tahun 1998, tanggal 24 Pebruari 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas (”PP 4 David Kairupan, 2013, Aspek Hukum Penanaman Modal Asing di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm.163-164. 5 Munir Fuady, 2008, Hukum Tentang Merger, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 5. 6 Ibid., hlm. 19. 3 No. 27/1998”). Selanjutnya dengan diundangkanya Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pada tanggal 16 Agustus 2007 (“UUPT”), UUPT/1995 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Namun dalam Pasal 159 UUPT, ditegaskan bahwa peraturan pelaksanaan dari UUPT/1995 dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan UUPT. Penggabungan (merger) menurut Pasal 1 angka 9 UUPT didefinisikan sebagai: Perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. Sedangkan dalam Pasal 122 ayat (1), (2) dan (3) UUPT, dikatakan bahwa: Penggabungan dan Peleburan mengakibatkan Perseroan menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena hukum. yang Berakhirnya Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi tanpa dilakukan likuidasi terlebih dahulu. Dalam hal berakhirnya Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2): a. aktiva dan pasiva Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima Penggabungan atau Perseroan hasil Peleburan; b. pemegang saham Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri karena hukum menjadi pemegang saham Perseroan yang menerima Penggabungan atau Perseroan hasil Peleburan; dan c. Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena hukum terhitung sejak tanggal Penggabungan atau Peleburan mulai berlaku. Jika dicermati pengertian penggabungan (merger) menurut UUPT tersebut 4 di atas, maka penggabungan (merger) hanya bisa dilakukan oleh sedikit-dikitnya 2 (dua) perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (”Perseroan”), bukan antara Perseroan dengan perusahaan selain Perseroan, sebagaimana halnya dikemukakan oleh Khairandy,7 Perseroan hanya dapat melakukan penggabungan (merger) dengan sesama Perseroan, Perseroan tidak bisa melakukan penggabungan (merger) dengan koperasi. Berdasarkan pandangan tersebut, maka penggabungan (merger) akan dapat dilakukan oleh Perseroan yang berstatus Penanaman Modal Asing (“PT PMA”) dengan Perseroan yang telah melakukan penawaran umum atas sahamsahamnya kepada masyarakat melalui pasar modal dengan status non PMA (“Emiten non PMA”). Dalam Pasal 1 angka 3 UU Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (”UU Penanaman Modal”), Penanaman Modal Asing didefinisikan sebagai kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya, maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Selanjutnya modal asing dalam Pasal 1 angka 8 UU Penanaman Modal, didefinisikan sebagai modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, badan hukum asing dan/atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing. Menurut Pasal 5 ayat (2) UU Penanaman Modal, penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain 7 Ridwan Khairandi, Op. cit., hlm. 282. 5 oleh undang-undang. Hal inilah mengakibatkan perusahaan yang di dalamnya terdapat unsur modal asing memiliki status sebagai perusahaan Penanaman Modal Asing (“PMA”).8 Dengan merujuk pada ketentuan UUPT khususnya akibat penggabungan (merger) yang diatur dalam Pasal 12 ayat (3) huruf b yang pada pokoknya ditegaskan bahwa pemegang saham Perseroan yang menggabungkan diri karena hukum menjadi pemegang saham Perseroan yang menerima Penggabungan, maka apabila PT PMA sebagai perusahaan yang akan melakukan penggabungan (merging company), menggabungkan diri ke dalam Emiten non PMA sebagai perusahaan yang akan menerima penggabungan (surviving company), maka pemegang saham PT PMA (merging company) karena hukum menjadi pemegang saham pada Emiten non PMA (surviving company). Selanjutnya apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1 angka 8 dan Pasal 5 ayat (2) UU Penanaman Modal tersebut di atas, oleh karena pemegang saham PT PMA (merging company) ada unsur asingnya, maka Emiten non PMA (surviving company) menjadi berstatus PMA. Padahal sebelum penggabungan (merger) dilaksanakan, yakni ketika Emiten non PMA menawarkan saham-sahamnya kepada masyarakat melalui pasar modal, maka saat itu pula pihak asing sudah bisa menjadi pemegang saham Emiten non PMA, dan selanjutnya bebas memperjualbelikan saham-sahamnya kepada pihak lain. Hal tersebut sejalan dengan konteks penanaman modal, bahwa karakteristik utama dari pasar modal adalah likuiditas perdagangan saham, di mana saham dari suatu emiten harus dapat 8 David Kairupan, Op.cit., hlm. 24-25. 6 diperjualbelikan secara mudah, cepat dan tanpa hambatan administratif.9 Sementara, bagi perusahaan yang berstatus PMA, setiap perubahan kepemilikan saham wajib memperoleh izin prinsip terlebih dahulu dari BKPM.10 Berdasarkan uraian di atas, dengan mengingat Perseroan yang melakukan penggabungan (merger) atau Perseroan peserta penggabungan (merger) memiliki status yang berbeda yakni antara PT PMA dengan Emiten non PMA, maka pelaksanaan penggabungan (merger) PT PMA yang selalu dikaitkan dengan penanaman modal secara langsung (direct investment) dan tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal ke dalam Emiten non PMA yang selalu dikaitkan dengan penanaman modal secara tidak langsung (indirect investment) atau portofolio (portfolio investment) dan tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal, akan mempertautkan bidang hukum pasar modal dan bidang hukum penanaman modal, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penulisan tesis ini dengan judul ‘‘Konsekuensi Yuridis Pelaksanaan Penggabungan (merger) Perusahaan Penanaman Modal Asing (PT PMA) Ke Dalam Perusahaan Yang Telah Melakukan Penawaran Umum (Emiten Non PMA)”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut, penulis mengemukakan 2 (dua) permasalahan, 9 Sri Indrastuti Hadiputranto dan Pramudya A.Oktavinanda, “Penanaman Modal Asing Melalui Pasar Modal:Ketidakpastian Hukum Yang Belum Tuntas Terjawab”, Jurnal Hukum Bisnis Volume V Edisi 7 Desember 2013-April 2014, hlm. 24. 10 Pasal 25 ayat (1) Perka BKPM No. 14/2015. 7 yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimanakah konsekuensi yuridis atas status Emiten non PMA yang menerima penggabungan (surviving company) setelah efektifnya penggabungan (merger) PT PMA (merging company) ke dalam Emiten non PMA (surviving company)? 2. Hal-hal apa yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan penggabungan (merger) PT PMA (merging company) ke dalam Emiten non PMA (surviving company), khususnya dalam perspektif hukum penanaman modal dan hukum pasar modal? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada rumusan masalah sebagaimana tersebut di atas, tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui dan memahami konsekuensi yuridis atas status Emiten non PMA yang menerima penggabungan (surviving company) setelah efektifnya penggabungan (merger) PT PMA (merging company) ke dalam Emiten non PMA (surviving company). 2. Mengetahui dan memahami hal-hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan penggabungan (merger) PT PMA (merging company) ke dalam Emiten non PMA (surviving company), khususnya dalam perspektif hukum penanaman modal dan hukum pasar modal. 8 D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yakni sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis: Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam melakukan penelitian lainnya lebih lanjut di bidang hukum bisnis khususnya mengenai penggabungan (merger) PT PMA ke dalam Emiten non PMA. 2. Manfaat praktis: Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihakpihak yang memerlukan baik akademisi, praktisi hukum dan pihak-pihak lain. E. Keaslian Penelitian Penulis telah melakukan penelusuran terkait dengan penelitian dengan topik dan permasalahan yang sama dengan tesis ini. Hasil dari penelusuran tersebut, penulis tidak menemukan adanya penelitian dengan topik dan permasalahan yang sama dengan tesis ini, dan sepengetahuan penulis belum ada pihak yang melakukan penelitian tentang topik dan permasalahan sebagaimana diungkapkan dalam tesis ini. Sebagai perbandingan, penulis menemukan penelitian yang berkaitan dengan judul penelitian yang penulis lakukan, yakni penelitian hukum yang berjudul ”Akibat Hukum Penggabungan Perseroan” yang ditulis oleh Mardaleni Cahayawati, Program Magister Hukum Universitas Indonesia, Tahun 2005.11 11 Mardalena Cahayawati, 2005, Akibat Hukum Penggabungan Perseroan, Tesis, Program 9 Penelitian tesis tersebut, menganalisis dan menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Analisis: a. Mengapa tindakan penggabungan itu diambil oleh pelaku usaha; b. Persyaratan-persyaratan apa yang harus dipenuhi dalam melakukan tindakan penggabungan usaha; c. Bagaimana mengeliminir akibat hukum tersebut dapat mencapai tujuannya. 2. Kesimpulan: a. Segera setelah efektif berlakunya penggabungan, perusahaan yang akan bergabung ke PT Lippo Karawaci Tbk, di mana semua aktivitas, kegiatan usaha, operasi usaha, aktiva, pasiva, tagihan dan karyawan perusahaan yang bergabung demi hukum sepenuhnya dimungkinkan kepada oleh PT Lippo Karawaci perundang-undangan Tbk yang beralih sepanjang berlaku dan perusahaan yang bergabung akan bubar demi hukum tanpa dilakukan likuidasi terlebih dahulu. Dalam penggabungan tersebut, nama dan tempat kedudukan perusahaan hasil penggabungan tidak mengalami perubahan sebagai perusahaan hasil penggabungan adalah PT Lippo Karawaci Tbk; b. Syarat-syarat penggabungan telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1995 Pasal 53 sampai dengan 104 jo PP No. 27 Tahun 1998 Pasal 4 Magister Hukum Universitas Indonesia. 10 yang dapat disimpulkan bahwa penggabungan harus memperhatikan kepentingan perseroan, pemegang saham minoritas dan karyawan yang bersangkutan juga kepentingan masyarakat dan persaingan usaha tidak sehat. Penggabungan perusahaan PT Lippo Karawaci Tbk telah memenuhi syarat-syarat tersebut dan dilakukan dengan matang; c. Akibat hukum penggabungan perusahaan adalah perusahaan yang menggabungkan diri menjadi bubar baik dilakukan dengan atau tanpa terlebih dahulu melakukan likuidasi. Apabila dilakukan peningkatan jumlah saham, penggabungan bisa menimbulkan turunnya nilai saham, akibat lain yang mungkin juga timbul adanya pemekaran manajemen karena adanya perusahaan yang bergabung; d. Upaya-upaya yang diperlukan untuk mengeleminir akibat negatif penggabungan: i. Pelaksanaan penggabungan harus dilakukan transparan; ii. Memberilkan kesempatan kepada para pemegang saham minoritas untuk menjual sahamnya dengan harga wajar; iii. Mengumumkan secara tertulis kepada karyawan perusahaan mengenai penggabungan; iv. Pemerintah harus memperhatikan dengan cermat dan menentukan rambu-rambu untuk menghindari adanya persaingan tidak sehat.