BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Sebelumnya (State Of Art) Bab ini berisi mengenai penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh peneliti lain baik secara nasional dan internasional yang berhubungan dengan peran Komisi Penyiaran dalam mengawasi program–program siaran, serta penelitian yang penulis lakukan. Dalam bab ini saya selaku peneliti dan para peneliti terdahulu mencoba menjelaskan mengenai fokus penelitian, tujuan penelitian, teori, dan hasil dari penelitian yang dilakukan agar dapat dijadikan sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya Penelitian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya terkait dengan peran KPI meliputi Penelitian selanjutnya mengenai. “Peranan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat terhadap tayangan infotaiment di televisi” menghasilkan kesimpulan bahwa bahwa KPI mendapat aduan dari masyarakat mengenai tayangan infotaiment. KPI menetapkan bahwa tayangan infotaiment merupakan program nonfaktual. Penelitian mengenai “Peranan KPI dalam mengawasi tayangan sinetron religi muslimah di Indosiar” menggunakan studi kasus pada sinetron Inayah, Mualaf dan Muslimah periode bulan Juli–Agustus 2009 memiliki kesimpulan bahwa peranan KPI sudah mulai berjalan dengan baik. Hanya saja KPI harus lebih tegas lagi dalam memberikan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran agar tidak dianggap sebelah mata oleh lembaga penyiaran, Penelitian mengenai “Sikap Komisi Penyiaran Indonesia Terhadap Klasifikasi Program Siaran” menggunakan Studi Kasus Tayangan Indonesia Lawak Klub Trans7 Periode AprilMei 2014 menghasilkan sikap dari KPI dalam mengklasifikasi siaran ILK di bulan April dan Mei dalam meninjau bentuk pelanggaran yang terjadi dalam program tersebut, hasil tersebut didapati dari tim pemantauan langsung yang dilakukan tim KPI yang diverifikasikan kepada informan dalam hasil wawancara. Penelitian mengenai “The use of social science evidence by the Federal Communications Commission in the construction and enforcement of media ownership policy by Terry” menghasilkan bahwa kurangnya bukti yang mendukung bukan masalah baru, juga memiliki lembaga yang mengambil langkah yang diperlukan untuk mengevaluasi efek dari implementasi kebijakan. Penelitian mengenai “The role of the Federal Communications Commission, Congress and the courts in the battle 7 8 between commercial broadcasters and cable television operators: Must-carry, the digital transition and beyond by Deeley” mendapatkan hasil bahwa untuk mengidentifikasi pelajaran yang bisa dipelajari dari hubungan yang kompleks dan berkembang ini. Disertasi ini juga menjajaki tantangan menerapkan kebijakan yang dirancang untuk infrastruktur telekomunikasi analog ke digital yang muncul di dunia didominasi yang menggantikannya. Untuk lebih jelasnya, berikut dipaparkan perbedaan masing – masing penelitian dalam table penelitian terdahulu. Tabel 2.1 Penelitian Sebelumnya (State of the Art ) NO ASPEK DEVI RAHAYU / Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta / 2010 ADE SURYANI / Universitas Mercu Buana / 2009 AJI KARYADI / Universitas Bina Nusantara / 2014 1 Judul Peranan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat terhadap tayangan infotaiment di televisi. Peranan KPI dalam mengawasi tayangan sinetron religi muslimah di Indosiar (Studi Kasus Pada Sinetron Inayah, Mualaf dan Muslimah Periode Bulan Juli – Agustus 2009) Sikap Komisi Penyiaran Indonesia Terhadap Klasifikasi Program Siaran (Studi Kasus Tayangan Indonesia Lawak Klub Trans7 Periode April – Mei 2014) 2 Fokus Penelitian Penelitian ini berfokus pada bagaimana Peranan Komisi Penelitian ini berfokus pada bagaimana Peranan KPI Penelitian ini berfokus pada bagaimana Sikap Komisi CHRISTOPHE R ROBERT, Ph.D., / The University of Wisconsin – Madison / 2012 The use of social science evidence by the Federal Communicatio ns Commission in the construction and enforcement of media ownership policy by Terry DAVIS JOSEPH, Ph.D., / University Of Florida / 2009 SRI KAYUNISARI NINGSIH/ Universitas Bina Nusantara / 2015 The role of the Federal Communications Commission, Congress and the courts in the battle between commercial broadcasters and cable television operators: Must carry, the digital transition and beyond by Deeley Peran KPI Terhadap Dalam Menangani Muatan Kekerasan Terhadap Program Sinetron (Studi Kasus Pada Sinetron GantengGanteng Serigala) Sifat kompetitif dari hubungan antara siaran televisi komersial Fokus pada penelitian ini adalah bagaimana 9 10 3 Tujuan Penelitian Penyiaran Indonesia Pusat terhadap tayangan infotaiment di televisi? dalam mengawasi tayangan sinetron religi muslimah di Indosiar? Penyiaran Indonesia terhadap klasifikasi program siaran Indonesia Lawak Klub Trans7? Tujuan penelitian ini terbagi menjadi tujuan secara umum dan khusus yaitu : 1. Secara umum ingin memberikan kontribusi kepada khalayak berupa tulisan dan teori mengenai KPI Tujuan dari penelitian ini adalah bagaimana Peranan Komisi Penyiaran Indonesia terhadap pengawasan tayangan sinetron religi muslimah di Indosiar Pada tujuan penelitian dibagi menjadi tujuan umum dan tujuan khusus, yaitu: Tujuan Umum Penelitian ini merupakan sebuah studi kualitatif mengenai peranan KPI dalam mengklarifikasi dan televisi kabel (CATV) dan bagaimana mengelola dan mengendalikan itu telah menjadi fokus dari Kongres, Federal Communications Commission (FCC), dan pengadilan selama lebih dari lima puluh tahun? Disertasi ini Studi ini meneliti membahas sejarah ini sejarah hubungan hubungan peraturan penting kepemilikan antara pemerintah keanekaragama federal, penyiaran n, dimulai dan operator dengan FCC CATV. Ia 1975 larangan mencoba untuk Koranmengidentifikasi Broadcast pelajaran yang bisa Lintas dipelajari dari Kepemilikan, hubungan yang dan melacak kompleks dan perkembangan berkembang ini peran KPI terhadap pengawasan Program Sinetron yang mengandung unsur kekerasan? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai bagaimana peran Komisi Penyiaran Indonesia terhadap Program Sinetron Yang Bermuatan Kekerasan. Pusat. Serta mengetahui peranan Komisi Penyiaran Indonesia Pusat terhadap tayangan televisi. 2. Secara khusus, peneliti ingin memperoleh wawasan dan pengetahuan mengenai Komisi Penyiaran Indonesia ( Pusat ) yang merupakan lembaga independen dan mengetahui ketentuan yang ditentukan KPI dalam bentuk siaran program ILK di Trans7. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sikap KPI dalam klasifikasi siaran program ILK. Tujuan Khusus Tujuan khusus dalam penelitian ini yakni: 1. Diketahuinya hubungan berkesinamb ungan antara regulasi penyiaran yang dibentuk KPI dengan literasi media untuk mengklasifik kebijakan kepemilikan media melalui perubahan industri penyiaran yang dimulai setelah berlalunya 1996 Telekomunikas i UndangUndang. 1039 keputusan individu pada kepemilikan media dianalisis untuk bukti bahwa badan tersebut telah dinilai efek kepemilikan terhadap keanekaragama n sudut pandang. 11 12 memberikan batasan terhadap suatu tayangan. 4 Metodologi Metode yang digunakan deskriptif analisis, yaitu dengan menggambarkan peranan KPI Pusat terhadap tayangan infotaimen di televisi. asikan sebuah program tayangan guna kepentingan masyarakat. 2. Diketahuinya klasifikasi tayangan ILK oleh KPI. Metode Penelitian ini penelitian ini menggunakan bersifat pendekatan deskriptif kualitatif dengan metode dengan desain studi kasus, deskriptif pengumpulan kualitatif, yaitu data dilakukan dengan melalui menggambarka wawancara n peranan KPI mendalam Pusat dalam dengan pengklarifikasia narasumber n tayangan yang dinilai Indonesia mempunyai Lawak Klub kemampuan (ILK) di serta kapabilitas Trans7. sesuai dengan Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pembahasan tentang metode kualitatif subjektif secara mendalam, teknik pengumpulan melalui wawancara dengan informan dan teknik keabsahan data bidangnya masing-masing. 5 Teori Teori yang digunakan adalah teori peran, selain dari psikologi teori peran juga lahir dari sosiologi dan antropologi. Teori penelitian ini mengunakan teori komunikasi massa, televisi sebagai media massa, dan KPI. 6 Hasil Penelitian ini menemukan bahwa KPI mendapat aduan dari masyarakat mengenai tayangan infotaiment. KPI Hasil penelitian ini menunjukan bahwa peranan KPI sudah mulai berjalan dengan baik. Hanya saja KPI harus lebih Teori yang digunakan adalah teori komunikasi massa dan teori komunikasi sikap dan teori khusus yang digunakan adalah teori regulasi penyiaran dan teori literasi media Penulis mendapatkan temuan, sikap dari KPI dalam mengklasifikasi siaran ILK di bulan April dan Mei dalam yang didapat selama penelitian dianalisa melalui wawancara dan analisa data. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah ;teori komunikasi massa, teori komunikasi organisasi, Teori Etika Komunikasi Kekerasan Penulis menyimpulkan bahwa kurangnya bukti yang mendukung bukan masalah baru, juga Peneliti mencoba menyimpulkan bahwa untuk mengidentifikasi pelajaran yang bisa dipelajari dari hubungan yang kompleks dan Hasil Penelitian ini menunjukan bahwa Peranan KPI dalam menangani muatan kekerasan 13 14 menetapkan bahwa tayangan infotaiment merupakan program nonfaktual. tegas lagi dalam memberikan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran agar tidak dianggap sebelah mata oleh lembaga penyiaran. meninjau bentuk pelanggaran yang terjadi dalam program tersebut, hasil tersebut didapati dari tim pemantauan langsung yang dilakukan tim KPI yang diverifikasikan kepada informan dalam hasil wawancara. memiliki lembaga yang mengambil langkah yang diperlukan untuk mengevaluasi efek dari implementasi kebijakan. berkembang ini. Disertasi ini juga menjajaki tantangan menerapkan kebijakan yang dirancang untuk infrastruktur telekomunikasi analog ke digital yang muncul di dunia didominasi yang menggantikannya. terhadap program sinetron GantengGanteng Serigala sudah dilakukan dengan baik. 15 2.2 Landasan Konseptual 2.2.1 Pengertian Komunikasi 2.2.1.1 Definisi Komunikasi Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari kata Latin communis yang berarti “sama”, communico,communication, atau communicare yang berarti “membuat sama” (to make common). Komunikasi adalah topik yang amat sering diperbincangkan, bukan hanya di kalangan ilmuwan komunikasi, melainkan juga di kalangan awam, sehingga kata komunikasi itu sendiri memiliki terlalu banyak arti yang berlainan. Komunikasi adalah proses sosial dimana individu – individu menggunakan simbol – simbol untuk menciptakan dan mengintrepretasikan makna dalam lingkungan mereka. Dalam buku yang ditulis oleh Deddy Mulyana (2007) terdapat beberapa definisi tentang komunikasi dari beberapa ahli, yaitu sebagai berikut : 1. Menurut Bernard Berelson dan Gary A. Steiner : “Komunikasi: transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya, dengan menggunakan simbol – simbol, kata – kata, gambar, figur, grafik, dan sebagainya. Tindakan atau proses transmisi itulah yang biasanya disebut komunikasi.“ 2. Menurut Carl I. Hovland : “Komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang (komunikator) menyampaikan rangsangan (biasanya lambang–lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang lain (komunikate)“ 3. Menurut Everett M. Rogers : “Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka” 4. Menurut Harold Lasswell : “(Cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut) Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect ? Atau Siapa Mengatakan Apa Dengan Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Pengaruh Bagaimana?” Berdasarkan definisi Lasswell diatas dapat dijelaskan mengenai 5 unsur yang terdapat dalam proses komunikasi, yaitu: 16 a. Sumber atau Komunikator (Who Says) Sumber adalah pihak yang berinisiatif atau mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi. Sumber boleh jadi seorang individu, kelompok, organisasi, perusahaan atau bahkan suatu negara. b. Pesan (What) Pesan adalah apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima. Pesan merupakan seperangkat simbol verbal dan atau nonverbal yang mewakili perasaan, nilai, gagasan, atau maksud sumber tadi. Pesan mempunyai 3 komponen: makna, symbol yang digunakan untuk menyampaikan makna, dan bentuk atau organisasi pesan c. Media atau Saluran (In Which Channel) Saluran atau media, yakni alat atau wahana yang digunakan sumber untuk menyampaikan pesannya kepada penerima. d. Penerima (To Whom) Penerima (receiver), sering juga disebut sasaran/tujuan (destination), komunikate (communicate), penyandi balik (decoder ) atau khalayak (audience), pendengar (listener), penafsir (interpreter), yakni orang yang menerima pesan dari sumber. e. Efek (With What Effect) Efek yaitu apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan tersebut, misalnya penambahan pengetahuan (dari tidak tahu menjadi tahu), terhibur, perubahan sikap (dari tidak setuju menjadi setuju), perubahan keyakinan dan perubahan perilaku (dari tidak bersedia membeli barang yang ditawarkan menjadi bersedia membelinya), dan sebagainya 17 Gambar 2.2 Landasan Konseptual Sebenarnya, dalam peristiwa komunikasi begitu banyak unsur yang terlibat. Semua unsur itu saling bergantungan dan atau tumpang tindih, namun diasumsikan terdapat unsur-unsur utama yang dapat diidentifikasi dan dimasukan kedalam suatu model. 2.2.1.2 Konsep Komunikasi 2.2.2 Komunikasi Massa 2.2.2.1 Definisi Komunikasi Massa Menurut buku yang ditulis oleh Nurudin (2007) Komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa (media cetak dan elektronik). Menurut Jay Black dan Frederick C. Whitney (1988) disebutkan, “Komunikasi massa adalah sebuah proses dimana pesan–pesan yang diproduksi 18 secara massal/tidak sedikit itu disebarkan kepada massa penerima pesan yang luas, anonym, dan heterogen“. 2.2.2.2 Fungsi – Fungsi Komunikasi Massa Dalam membicarakan fungsi – fungsi komunikasi massa, ada suatu hal yang perlu disepakati terlebih dahulu. Ketika kita membicarakan fungsi komunikasi massa yang harus ada dalam benak kita adalah kita juga sedang membicarakan fungsi media massa. Mengapa? Karena komunikasi massa berarti komunikasi lewat media massa. Ini berarti, komunikasi massa tidak akan ditemukan maknanya tanpa menyertakan media massa sebagai elemen terpenting dalam komunikasi massa. Sebab, tidak ada komunikasi massa tanpa ada media massa. Dalam buku yang ditulis oleh Nurudin (2007), Fungsi komunikasi massa menurut Jay Black dan Frederick C. Whitney (1988) antara lain: (1) to inform (menginformasikan), (2) to entertain (memberi hiburan), (3) to persuade (membujuk), dan (4) transmission of the culture (transmisi budaya). Sementara itu, fungsi komunikasi massa menurut John Vivian dalam bukunya The Media of Mass Communication (1991) disebutkan; (1) providing information, (2) providing entertainment, (3) helping to persuade, dan (4) contributing to social cohesion (mendorong kohesi sosial). Ada pula fungsi komunikasi massa yang pernah dikemukakan oleh Harold D. Laswell yakni, (1) surveillance of the environment (fungsi pengawasan), (2) correlation of the part of society in responding to the environment (fungsi korelasi), (3) transmission of the social heritage from one generation to the next (fungsi pewarisan social). Sama seperti pendapat Laswell, Charles Robert Wright (1988) menambah fungsi entertainment (hiburan) dalam fungsi komunikasi massa. Alexis S. Tan(1981) fungsi komunikasi bisa beroperasi dalam 4 hal. Meskipun secara eksplisit ia tidak mengatakan fungsi komunikasi massa, tetapi ketika ia menyebut bahwa penerima pesan dalam komunikasi bisa merupakan kumpulan orang (a group of persons) atau ia menyebutnya mass audience, sedangkan pengirim pesan atau komunikatornya termasuk kelompok orang atau media massa, itu sudah dapat dijadikan bukti bahwa fungsi yang dimaksud adalah fungsi komunikasi massa. (Nurudin,2007) 19 2.2.2.3 Ciri – Ciri Komunikasi Massa Ciri – ciri komunikasi massa adalah sebagai berikut : 1. Komunikator dalam komunikasi massa melembaga Komunikator dalam komunikasi massa bukan satu orang, tetapi kumpulan orang. Artinya, gabungan antar berbagai macam unsur dan bekerja satu sama lain dalam sebuah lembaga. Lembaga yang dimaksud di sini menyerupai sebuah sistem. Di dalam sebuah sistem ada interpendensi, artinya komponen– komponen itu saling berkaitan, berinteraksi, dan berinterpendensi secara keseluruhan. Eksistensi kesatuan (totalitas) dipengaruhi oleh komponen– komponennya, sebaliknya eksistensi masing–masing komponen dipengaruhi oleh kesatuannya. Di dalam komunikasi massa, komunikator merupakan lembaga media massa itu sendiri. Itu artinya, komunikatornya bukan orang per orang seperti seorang wartawan misalnya. Menurut Alexis S. Tan (1981) komunikator dalam komunikasi massa adalah organisasi sosial yang mampu memproduksi pesan dan mengirimkannya secara serempak ke sejumlah khalayak yang banyak dan terpisah. Komunikator dalam komunikasi massa biasanya adalah media massa (surat kabar, jaringan televisi, stasiun radio, majalah, atau penerbit buku). Media massa ini bisa disebut organisasi sosial karena merupakan kumpulan beberapa individu yang bertanggung jawab dalam proses komunikasi massa tersebut. Menurut Gamble dan Gamble, (1986)Sumber atau komunikator dalam komunikasi massa terutama berisi organisasi formal seperti jaringan ikatan atau kumpulan/kesatuan. Komunikasi massa bukan produk seseorang, tetapi produk kelompok. Biasanya “birokrasi“ yang berusaha untuk mendapatkan keuntungan Komunikator dalam komunikasi massa merupakan lembaga karena elemen utama komunikasi massa adalah media massa. Media massa hanya bisa muncul karena gabungan kerja sama dengan beberapa orang. Dengan demikian, komunikator dalam komunikasi massa setidak –tidaknya mempunyai ciri sebagai berikut: 1) kumpulan individu, 2) 20 dalam berkomunikasi individu–individu itu terbatasi perannya dengan sistem dalam media massa, 3) pesan yang disebarkan atas nama media yang bersangkutan dan bukan atas nama pribadi unsur–unsur yang terlibat, 4) apa yang dikemukakan oleh komunikator biasanya untuk mencapai keuntungan atau mendapatkan laba secara ekonomis. 2. Komunikan dalam komunikasi massa bersifat heterogen Komunikan dalam komunikasi massa sifatnya heterogen/beragam. Artinya, penonton televisi beragam pendidikan, umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi, memiliki jabatan yang beragam, memiliki agama atau kepercayaan yang tidak sama pula. Herbert Blumer pernah memberikan ciri tentang karakteristik audience/komunikan sebagai berikut. a) Audience dalam komunikasi massa sangatlah heterogen. Artinya, ia mempunyai heterogenitas komposisi atau susunan. Jika ditinjau dari asalnya, mereka berasal dari berbagai kelompok dalam masyarakat b) Berisi individu–individu yang tidak tahu atau mengenal satu sama lain. Di samping itu, antar individu itu tidak berinteraksi satu sama lain secara langsung. c) Mereka tidak mempunyai kepemimpinan atau organisasi formal. Antar komunikan tidak berinteraksi satu sama lain juga tidak harus diartikan secara khusus pula. Tidak terkecuali dengan ciri bahwa antarindividu tidak ada organisasi formal yang melingkupinya. 3. Pesannya bersifat umum Pesan–pesan dalam komunikasi massa tidak ditujukan kepada satu orang atau satu kelompok masyarakat tertentu. Dengan kata lain, pesan– pesannya ditujukan pada khalayak yang plural. Oleh karena itu, pesan– pesan yang dikemukakannya pun tidak boleh bersifat khusus. Kita bisa melihat televisi, misalnya. Karena televisi ditujukan untuk dinikmati oleh orang banyak, pesannya harus bersifat umum. Meskipun di dalam televisi dikhususkan untuk kalangan tertentu (misalnya program acaranya), televisi perlu menyediakan acara lain yang sifatnya lebih umum. Ini penting agar televisi tidak kehilangan ciri khasnya sebagai saluran komunikasi massa. 21 4. Komunikasinya berlangsung satu arah Ketika anda membaca Koran tersebut komunikasi yang berlangsung hanya satu arah, yakni dari media massa (koran tersebut) ke anda dan tidak sebaliknya. Dalam media cetak seperti koran, komunikasi hanya berjalan satu arah. Kita tidak bisa langsung memberikan respons kepada komunikatornya (media massa yang bersangkutan). Kalaupun bisa, sifatnya tertunda. Misalnya, kita mengirimkan ketidaksetujuan pada berita itu melalui rubrik surat pembaca. Jadi, komunikasi yang hanya berjalan satu arah akan memberi konsekuensi umpan balik (feedback) yang sifatnya tertunda atau tidak langsung (delayed feedback). 5. Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper Gatekeeper atau yang sering disebut penapis informasi/palang pintu/penjaga gawang, adalah orang yang sangat berperan dalam penyebaran informasi melalui media massa. Gatekeeper ini berfungsi sebagai orang yang ikut menambah atau mengurangi, agar semua informasi yang disebarkan lebih mudah dipahami. 2.2.2.4 Gangguan Komunikasi Massa Gangguan dalam komunikasi terbagi menjadi 2, yakni : 1. Gangguan saluran Gangguan dalam saluran komunikasi massa biasanya selalu ada. Di dalam media gangguan berupa suatu hal, seperti kesalahan cetak, kata yang hilang, atau paragraf yang dihilangkan dari surat kabar. Gangguan juga bisa disebabkan oleh faktor luar. Misalnya sepanjang menonton acara televisi atau membaca koran ada dua pasang anak – anak yang sedang berkelahi. Salah satu solusi untuk mengatasi adanya gangguan terhadap saluran (misalnya) adalah pengulangan acara yang disajikan. Loyalitas kita pada stasiun televisi tertentu merupakan salah satu usaha mengatasi gangguan. Pengulangan kadang – kadang memakai hukum law of diminishing return (hukum hasil yang semakin berkurang). Artinya, ketika seorang pendengar itu baru membunyikan radio dan 22 mendengarkan siaran pada waktu pengulangan, ada kemungkinan ia akan kehilangan pesan yang seharusnya diterima kalau saja dia mendengarkan sejak awal. Bahkan, ketika pengulangan dilakukan oleh banyak orang, kemungkinan pesan yang diterima akan berkurang atau bahkan hilang. Cara lain untuk mengatasi gangguan adalah dengan mempertajam saluran komunikasi massa. Misalnya, menghindari munculnya gangguan gelombang pada radio dengan meningkatkan kualitas teknologi yang digunakannya, memperpanjang “daya hidup“ baterai, mengoreksi secara detail kesalahan cetak paragraf pada surat kabar sebelum dicetak atau membersihkan kotoran pada layar televisi. 2. Gangguan semantik Gangguan yang berhubungan dengan saluran mungkin ada di mana–mana dan menjadi penghambat dalam komunikasi massa, tetapi tidak demikian halnya dengan gangguan semantic (kata). Semantik bisa diartikan sebagai ilmu bahasa yang mempelajari tentang tata kalimat. Oleh karena itu, gangguan semantic berarti gangguan yng berhubungan dengan bahasa. Gangguan semantic lebih rumit, kompleks, dan sering kali muncul. Bisa dikatakan, gangguan semantik adalah gangguan dalam proses komunikasi yang diakibatkan oleh pengirim atau penerima pesan itu sendiri. Di dalam komunikasi antarpersona, kita telah mengetahui gangguan semantic seperti kendala bahasa, perbedaan pendidikan, status sosial ekonomi, tempat tinggal, jabatan, umur, pengalaman, dan minat. Hambatan semantik dalam komunikasi massa berbeda, baik secara kuantitatif maupun kualitatif dari hambatan yang terjadi pada komunikasi antarpersona. Fakta yang paling penting dan menarik hati ditempatkan di awal tulisan atau paragraph awal sebagai perhatian pembaca. 5W + 1H disebut pada awal tulisan. Kepentingan data semakin berkurang seperti yang dikenal dengan piramida terbalik. Kata – kata yang digunakan juga lebih sederhana dan denotative, struktur kalimat tidak terbelit – belit dan dengan paragraph yang singkat. Gangguan semantic sangat terasa sekali dalam media elektronik. Misalnya, salah ucap yang dilakukan reporter di lapangan. Termasuk 23 juga kata – kata yang diucapkannya terlalu cepat. Tak terkecuali perbedaan kultur ikut memengaruhi munculnya gangguan semantic 2.2.3 Komunikasi Organisasi 2.2.3.1 Definisi Komunikasi Organisasi Komunikasi organisasi secara fungsional dapat didefinisikan sebagai pertunjukkan dan penafsiran pesan di antara unit – unit komunikasi yang merupakan bagian dari suatu organisasi tertentu. Definisi tradisional (fungsionalis dan objektif) komunikasi organisasi cenderung menekankan kegiatan penanganan – pesan yang terkandung dalam suatu “batas organisasional (organizational boundary)“. Komunikasi Organisasi, dipandang dari suatu perspektif interpretif (subjektif) adalah proses penciptaan makna atas interaksi yang merupakan organisasi. Proses interaksi tidak mencerminkn organisasi; ia adalah organisasi. Komunikasi organisasi adalah “perilaku pengorganisasian “yang terjadi dan bagaimana mereka yang terlibat dalam proses itu bertransaksi dan memberi makna atas apa yang sedang terjadi. Lebih jelasnya, komunikasi organisasi adalah proses penciptaan makna atas interaksi yang menciptakan, memelihara, dan mengubah organisasi. Pandangan “objektif“ atas organisasi menekankan “struktur“, sementara oganisasi berdasarkan pandangan “subjektif“ menekankan “proses“. Komunikasi lebih daripada sekedar alat, ia adalah cara berpikir. Konsep “makna“ adalah relevan dan penting untuk membedakan antara perspektif fungsionalis (objektif) dan perspektif interpretif (subjektif) mengenai komunikasi organisasi. Dalam pembahasan terdahulu, dapat ditekankan bahwa suatu citra komunikasi yang menempatkan “makna“ dalam pesan akan menimbulkan perilaku yang mengabaikan “orang“ Ditunjukkan bahwa makna suatu pesan ada pada penerima. Suatu citra lain komunikasi (subjektif) menunjukkan bahwa makna pesan dinegosiasikan antara para peserta. Makna muncul dan berkembang dalam interaksi yang berlangsung. Hubungan antara para peserta, juga konteksnya, akan menentukan apa makna kata–kata yang bersangkutan. Fokus perhatiannya adalah pada transaksi verbal dan nonverbal yang sedang terjadi. Stewart dan Thomas (1990) menyebut proses tersebut sebagai “memahat makna bersama”. “Perspektif interpretif (subjektif) menekankan peranan “orang–orang“ dan “proses“ dalam menciptakan makna. Makna tersebut tidak hanya pada orang, namun juga dalam “transaksi“ itu sendiri. 24 2.2.3.2 Iklim Komunikasi Organisasi Iklim komunikasi merupakan gabungan dari persepsi– persepsi suatu evaluasi makro mengenai peristiwa komunikasi, perilaku manusia, respons pegawai terhadap pegawai lainnya, harapan –harapan, konflik–konflik antarpersona, dan kesempatan bagi pertumbuhan dalam organisasi tersebut. Iklim komunikasi sebuah organisasi mempengaruhi cara hidup kita: kepada siapa kita bicara, siapa yang kita sukai, bagaimana perasaan kita, bagaimana kegiatan kerja kita, bagaimana perkembangan kita, apa yang ingin kita capai, dan bagaimana cara kita menyesuaikan diri dengan organisasi. Redding (1972) menyatakan bahwa “iklim (komunikasi) organisasi jauh lebih penting daripada keterampilan atau teknik–teknik komunikasi semata–mata dalam menciptakan suatu organisasi yang efektif “. Menurut Poole, 1985 Iklim komunikasi penting karena mengaitkan konteks organisasi dengan konsep–konsep, perasaan–perasaan dan harapan–harapan anggota organisasi dan membantu menjelaskan perilaku anggota organisasi (R.Wayne pace; Don f. Faules2008). Dengan mengetahui sesuatu tentang iklim suatu organisasi, kita dapat memahami lebih baik apa yang mendorong anggota organisasi untuk bersikap dengan cara – cara tertentu. Iklim komunikasi organisasi merupakan fungsi kegiatan yang terdapat dalam organisasi untuk menunjukkan kepada anggota organisasi bahwa organisasi tersebut mempercayai mereka dan memberi mereka kebebasan dalam mengambil risiko; mendorong mereka dan memberi mereka tanggung jawab dalam mengerjakan tugas– tugas mereka; menyediakan informasi yang terbuka dan cukup tentang organisasi; mendengarkan dengan penuh perhatian serta memperoleh informasi yang dapat dipercayai dan terus terang dari anggota organisasi; secara aktif memberi penyuluhan kepada para anggota organisasi sehingga mereka dapat melihat bahwa keterlibatan mereka penting bagi keputusan–keputusan dalam organisasi; dan menaruh perhatian pada pekerjaan yang bermutu tinggi dan memberi tantangan. Menurut Poole, 1985 Telah ditunjukkan bahwa iklim memiliki sifat–sifat yang membuatnya tampak bertumpang tindih dengan konsep budaya. menjelaskan bahwa secara keseluruhan, tampaknya iklim lebih merupakan sifat budaya daripada merupakan suatu pengganti budaya (R.Wayne pace; Don f. Faules2008). Beberapa ahli dalam komunikasi organisasi juga berpendapat bahwa konsep “iklim“ merupakan salah satu “gagasan paling kaya dalam teori organisasi, secara 25 umum, dan dalam komunikasi organisasi secara khusus“Disebut “kaya“ karena iklim telah mendapat perhatian besar dalam literatur teoretis dan empiris; iklim juga seakan – akan sederhana dan rumit pada saat yang sama, dan memiliki daya penjelas yang cakupannya luas. Falcione et al., 1987 berkata Pendekatan iklim komunikasi organisasi adalah bahwa iklim komunikasi merupakan suatu citra makro, abstrak dan gabungan dari suatu fenomena global yang disebut komunikasi organisasi. Kita mengasumsikan bahwa iklim berkembang dari interaksi antara sifat–sifat suatu organisasi dan persepsi individu atas sifat – sifat itu. Iklim dipandang sebagai suatu kualitas pengalaman subjektif yang berasal dari persepsi atas karakter – karakter yang relative langgeng pada organisasi Falcione et al., 1987 (R.Wayne pace; Don f. Faules2008). 2.2.3.3 Unsur – unsur Dasar Organisasi Suatu iklim komunikasi berkembang dalam konteks organisasi. Unsur – unsur dasar yang membentuk suatu organisasi dapat diringkaskan menjadi 5 kategori besar : 1. Anggota organisasi Di pusat organisasi terdapat orang–orang yang melaksanakan pekerjaan organisasi. Orang-orang yang membentuk organisasi terlibat dalam beberapa kegiatan primer. Mereka terlibat dalam kegiatan–kegiatan pemikiran yang meliputi konsep-konsep, penggunaan bahasa, pemecahan masalah, dan pembentukan gagasan. Mereka terlibat dalam kegiatan– kegiatan perasaan yang mencakup emosi, keinginan, dan aspek–aspek perilaku manusia lainnyayang bukan aspek intelektual. Mereka terlibat dalam kegiatan–kegiatan self–moving yang mencakup kegiatan fisik yang besar maupun terbatas. Terakhir, mereka terlibat dalam kegiatan–kegiatan elektrokimia ysng mencakup brain synaps, kegiatan jantung, dan proses– proses metabolisme. Keempat kegiatan ini memungkinkan orang–orang melaksanakan keterampilan mereka, memahami simbol–simbol, dan memperhatikan dunia serta menjalaninya. 26 2. Pekerjaan dalam organisasi Menurut Gibson, Ivancevich, dan Donnelly(1991) pekerjaan yang dilakukan anggota organisasi terdiri dari tugas–tugas formal dan informal. Tugas–tugas ini menghasilkan produk dan memberikan pelayanan organisasi. Pekerjaan ini ditandai oleh tiga dimensi universal: isi, keperluan, dan konteks (R.Wayne pace; Don f. Faules2008). a. Isi terdiri dari apa yang dilakukan anggota organisasi dalam hubungannya dengan bahan, orang–orang, dan tugas–tugas lainnya dengan mempertimbangkan metode–metode serta teknik–teknik yang digunakan, mesin–mesin, perkakas, dan peralatan yang dipakai, dan bahan, barang-barang, informasi, dan pelayanan yang diciptakan. b. Keperluan merujuk kepada pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dianggap sesuai bagi seseorang agar mampu melaksanakan pekerjaan tersebut, meliputi pendidikan, pengalaman, lisensi, dan sifat – sifat pribadi. c. Konteks berkaitan dengan kebutuhan–kebutuhan fisik dan kondisi– kondisi lokasi pekerjaan, jenis pertanggungjawaban dan tanggung jawab dalam kaitannya dengan pekerjaan, jumlah pengawasan yang diperlukan, dan lingkungan umum tempat pekerjaan dilaksanakan. 3. Praktik–praktik pengelolaan Menurut MacKenzie, 1969 tujuan primer pegawai manajerial adalah menyelesaikan pekerjaan melalui usaha orang lainnya. Manajer membuat keputusan mengenai bagaimana orang–orang lainnya, biasanya bawahan mereka, menggunakan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaaan mereka. Kegiatan seorang manager telah dijelaskan dalam berbagai cara. Pertama, telah dicapai beberapa konsensus di sekitar gagasan bahwa para manajer melaksanakan 5 fungsi utama: perencanaan, pengorganisasian, penyusunan kepegawaian, pengarahan dan pengendalian. Kedua, beberapa bukti menyatakan bahwa manajer melaksanakan sekitar sepuluh peranan dasar yang terbagi menjadi 3 kelompok dasar: (1) peranan antarpersona (pemimpin figur, pemimpin, penghubung), (2) peranan yang berhubungan dengan informasi (pengawas, penyuluh, juru bicara), dan (3) peranan yang memerlukan ketegasan 27 (wiraswasta, menangani gangguan, mengalokasikan sumber daya, dan melakukan perundingan). 4. Struktur organisasi Struktur organisasi merujuk kepada hubungan–hubungan antara “tugas–tugas yang dilaksanakan oleh anggota–anggota organisasi“Struktur organisasi ditentukan oleh 3 variabel kunci : kompleksitas, formalisasi, dan sentralisasi a. Formalisasi merujuk kepada derajat standarisasi dan tugas-tugas. Bila suatu pekerjaan sangat diformalisasikan, keleluasaan pekerja megenai di mana, kapan, dan bagaimana pekerjaan dilakukan amat sedikit. Formalisasi terjadi bila tugas–tugas pekerjaan ditentukan oleh hukum– hukum dan aturan–aturan, apakah dinyatakan secara langsung atau dimengerti begitu saja oleh para pegawai. b. Kompleksitas merupakan fungsi 3 faktor: (1) tingkat yang di dalamnya terdapat perbedaan – perbedaan antara unit – unit (diferensiasi horisontal). (2) Jumlah tingkat otoritas antara para pegawai dan para eksekutif puncak (diferensiasi vertikal). (3) Derajat ketersebaran lokasi fasilitas dan personel organisasi secara geografis (diferensiasi spasial). c. Sentralisasi merujuk kepada derajat keterkonsentrasian pembuatan keputusan pada satu jabatan dalam organisasi. Disentralisasi, sebaliknya, merujuk kepada sejauh mana otoritas pembuatan keputusan tersebar di seluruh organisasi. Jumlah otoritas formal yang diberikan kepada para anggota organisasi untuk membuat keputusan yang berpengaruh atas kegiatan kerja mereka merupakan ukuran sentralisasi. Kebijaksanaan yang membatasi pembuatan keputusan, cenderung menggeser organisasi kearah sentralisasi. 5. Pedoman organisasi Pedoman organisasi adalah serangkaian pernyataan yang mempengaruhi, mengendalikan, dan memberi arahan bagi anggota organisasi dalam mengambil keputusan dan tindakan. 2.2.3.4 Arah Aliran Informasi Dalam komunikasi organisasi kita berbicara tentang informasi yang berpindah secara formal dari seseorang yang otoritasnya lebih tinggi kepada orang 28 lain yang otoritasnya lebih rendah–komunikasi ke bawah; informasi yang bergerak dari suatu jabatan yang otoritasnya lebih rendah kepada orang yang otoritasnya lebih tinggi–komunikasi ke atas; informasi yang bergerak di antara orang–orang dan jabatan–jabatan yang sama tingkat otoritasnya–komunikasi horizontal; atau informasi yang bergerak di antara orang–orang dan jabatan– jabatan yang tidak menjadi atasan ataupun bawahan satu dengan yang lainnya dan mereka menempati bagian fungsional yang berbeda–komunikasi lintas– saluran. 1. Komunikasi ke bawah Menurut Katz & Kahn, (1966) komunikasi ke bawah dalam sebuah organisasi berarti bahwa informasi mengalir dari jabatan berotoritas lebih tinggi kepada mereka yang berotoritas lebih rendah. Ada 5 jenis informasi yang biasa dikomunikasikan dari atasan kepada bawahan :(1) informasi mengenai bagaimana melakukan pekerjaan, (2) informasi mengenai dasar pemikiran untuk melakukan pekerjaan, (3) informasi mengenai kebijakan dan praktik – praktik organisasi, (4) informasi mengenai kinerja pegawai, dan (5) informasi untuk mengembangkan rasa memiliki tugas ( sense of mission ). 2. Komunikasi ke atas Komunikasi ke atas dalam sebuah organisasi berarti bahwa informasi mengalir dari tingkat yang lebih rendah (bawahan) ke tingkat yang lebih tinggi (penyelia) 3. Komunikasi horizontal Komunikasi horisontal terdiri dari penyampaian informasi di antara rekan– rekan sejawat dalam unit kerja yang sama. Unit kerja meliputi individu– individu yang ditempatkan pada tingkat otoritas yang sama dalam organisasi dan mempunyai atasan yang sama. 4. Komunikasi lintas–saluran Dalam kebanyakan organisasi, muncul keinginan pegawai untuk berbagi informasi melewati batas–batas fungsional dengan individu yang tidak menduduki posisi atasan maupun bawahan mereka. 2.2.4 Definisi Peran Peran merupakan aspek dinamis kedudukan (status), apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan. Dari hal diatas lebih lanjut kita lihat pendapat lain 29 tentang peran yang telah ditetapkan sebelumnya disebut sebagai peranan normatif. Sebagai peran normatif dalam hubungannya dengan tugas dan kewajiban dinas perhubungan dalam penegakan hukum mempunyai arti penegakan hokum secara total enforcement yaitu penegakan hukum penuh Soejono Soekanto, (1987:220). Dalam hal ini kepribadian seseorang juga mempengaruhi bagaimana peran itu harus dijalankan. Peran yang dimainkan hakekatnya tidak ada perbedaan, baik yang dimainkan/diperankan oleh pempinan tingkat atas, menegah maupun bawah akan mempunyai peran yang sama bila ia menduduki peran tertentu. Peran adalah suatu rangkaian yang teratur yang ditimbulkan karena suatu jabatan. Manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki kecenderungan untuk hidup berkelompok. Dalam kehdupan berkelompok tadi akan terjadi antara anggota masyrakat yang satu dengan anggota masyrakat yang lainnya. Timbulnya interaksi diantara mereka saling ketergantungan. Dalam kehidupan bermasyrakat itu munculah apa yang dinamakan peran (role). Peran merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan seseorang, apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka orang yang bersangkutan menjalankan suatu peranan. Untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas ada baiknya terlebih dahulu kita pahami tentang pengertian peran. Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa peran adalah suatu sikap atau perilaku yang diharapkan oleh banyak orang atau sekelompok orang terhadap seseorang yang memiliki status atau kedudukan tertentu. Berdasarkan hal-hal di atas dapat diartikan bahwa apabila dihubungkan dengan produser, peran tidak berarti sebagai hak dan kewajiban individu, melainkan merupakan tugas dan wewenang produser itu sendiri. 2.2.5 Teori Peran Menurut Kozier Barbara peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan besifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seseorang pada situasi sosial tertentu. Peran adalah deskripsi sosial tentang siapa kita dan kita siapa. Peran menjadi bermakna ketika dikaitkan dengan orang lain, komonitas sosial atau politik. 30 Role theory (teori peran) mendefinisikan bahwa teori peran ini meberikan suatu kerangka konseptual dalam studi perilaku di dalam organisasi. Dougherty & Pritchard (1985) dalam Bauer (2003:55). Strategi dan struktur organisasi juga terbukti mempengaruhi peran dan persepsi peran.(Kahn, et al., 1964;Oswald, Mossholder, & Harris dalam Bauer, 2003: 58)secara umum peran dapat didefinisikan sebagai “expectations about appropriate behavior in a job position” Ada dua jenis perilaku yang diharapkan dalam suatu pekerjaan yaitu : 1. Role Perception : persepsi seseorang mengenai cara orang itu diharapkan berperilaku, atau dengan kata lain adalah pemahaman atau kesadaran mengenai pola perilaku atau fungsi yang diharapkan dari orang tersebut. 2. Role Expectation : cara orang menerima perilaku seseorang dalam situasi tertentu. Dengan peran yang dimainkan seseorang dalam organisasi, akan terbentuk suatu komponen penting dalam identitas dan kemampuan orang itu bekerja. 2.2.6 Etika Komunikasi Kekerasan Menurut P. Lardellier,(2003) dijelaskan bahwa Kekerasan bisa didefinisikan sebagai prinsip tindakan yang mendasari diri pada kekuatan untuk memaksa pihak lain tanpa persetujuan Dalam kekerasan terkandung unsur dominasi terhadap pihak lain dalam berbagai bentuknya: fisik, verbal, psikologis, atau melalui gambar. Penggunaan kekuatan, manupulasi, fitnah, pemberitaan yang tidak benar, pengkondisian yang tidak benar, kata-kata yang memojokkan, dan penghinaan merupakan ungkapan nyata kekerasan. Menurut S. Jehel,(2003) Logika kekerasan merupakan logika kematian karena bisa melukai tubuh, melukai secara psikologis, merugikan, dan bisa menjadi ancaman terhadap integritas pribadi. (Dr. Haryatmoko 2007) Pemahaman lain tentang kekerasan ditawarkan oleh Francois chirpaz: “kekerasan adalah kekuatan yang sedemikian rupa dan tanpa aturan yang memukul dan melukai baik jiwa maupun badan, kekerasan juga mematikan entah dengan memisahkan orang dari kehidupannya atau dengan menghancurkan dasar kehidupannya. Melalui penderitaan atau kesengsaraan yang diakibatkannya, kekerasan tampak sebagai representasi kejahatan yang diderita manusia, tetapi bisa juga ia lakukan terhadap orang lain.” 31 Jadi kekerasan tidak harus dalam bentuk fisik, tetapi bisa menghancurkan dasar kehidupan seseorang. Sasarannya bisa psikologis seseorang, bisa cara berpikirnya, dan bisa afeksinya. 2.2.7 Horor Regresif Mau merujuk pada selera publik atau seniman akan kekejaman, lebih-lebih yang menyeramkan atau tidak waras karena melampaui reaksi akal sehat. Perhatian yang ekstrem diarahkan pada yang riil, tetapi harus autentik. Bila dipresentasikan dalam gambar–fiksi, motifnya ialah karena digerakan oleh ketertarikan pada hal yang meneror atau membuat merinding. Misalnya,kasus Sumanto, gadis kecil Vientam yang menangis melarikan diri dari medan peperangan dalam keadaan telanjang, mutilasi, film Vampire, tawanan perang yang diinterogasi dengan digantung dan dijagai anjing Doberman (Dr. Haryatmoko 2007). 2.2.8 Menentukan Batas-Batas Kekerasan Kesulitan utama dalam regulasi ialah bagaimana menentukan batas-batas kekerasan dalam media yang masih bisa ditoleransi. Regulasi harus mempertimbangkan berbagai dimensinya. Dari dimensi persepsi, masalahnya terumus dalam pertanyaan sejauh mana terkait dengan visual, pendengaran dan interaktif. Perlu bisa menentukan sejauh mana batas tidak dapat dipresentasikan, dilihat, didengar atau disentuh. Dari dimensi afeksi, sejauh mana kekerasan dalam media bisa menyebabkan traumatisme, kekacauan kepribadian, stres, kegelisahan, dan rasa malu. Sedangkan dari dimensi estetika, bisakah ditentukan ukuran mana yang indah dan mana yang jelek atau kumuh. Akhirnya, dari dimensi moral dan keyakinan, mana yang bisa dipercaya, tidak bisa diterima, dan yang berpengaruh jahat. Kelemahan utama berhadapan dengan kekerasan dalam media yang membuat setiap upaya regulasi mendapat perlawanan ialah lemahnya argumen yang mendasari suatu regulasi. Kelemahan argumen ini karena sedikitnya penelitian serius yang dibuat terkait dengan berbagai dimensi diatas. Akibatnya, banyak pihak sebetulnya tidak tahu dampak emosi dan afeksi yang riil dialami atau diderita oleh pemirsa. Untuk bisa memahami kekerasan dalam media, orang perlu memahami bahwa dalam media dikenal setidaknya tiga tipe dunia, yaitu dunia riil, dunia fiksi, dan dunia virtual. Oleh karena itu, kekerasan juga perlu dibedakan sesuai dengan 32 pembedaan ketiga dunia itu. Jadi, ada tiga bentuk kekerasan, menurut Noel Nel, yaitu pertama, kekerasan-dokumen yang merupakan bagian dari dunia riil atau faktual; kedua, kekerasan-fiksi yang menunjukan kepemilikan pada dunia yang mungkin ada; misalnya dalam kisah fiksi, film, kartun, komik, dan iklan; serta ketiga, kekerasansimulasi yang berasal dari dunia virtual (2003:38-41), misalnya dalam permainanvideo, permainan on-line. Dalam menentukan batasan-batasan kekerasan, peneliti menekankan pada kekerasan fiksi dan kekerasan simulasi sesuai dengan studi kasus pada penelitian yang akan dilakukan. Kekerasan yang dibeberkan dalam kisah fiksi bukannya tanpa meninggalkan bekas luka pada pemirsa atau pembacanya, terutama pada anak bisa meninggalkan traumatisme dan perilaku agresif. Fiksi mampu memproyeksikan keluar dari yang riil dunia yang mungkin meski tidak ada dalam kenyataan. Biasanya meski jauh dari realitas, fiksi masih memiliki pijakan atau analogi dengan dunia riil. Oleh karena itu, kekerasan-fiksi menjadi berbahaya ketika justru memberi kemungkinan baru yang tidak ada dalam dunia riil. Kekerasan menjadi semakin menarik karena terlindung dari dunia normal, dari hukum yang mengatur sehingga hasrat bisa tampil dalam kebersamaan, bisa saling membagikan keinginan. Semua berlangsung dalam kerahasiaan. Kekerasan bisa ditampilkan semaunya. 2.2.9 Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia berpegang teguh terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) dimana di dalam P3SPS terdapat pasal-pasal yang mengatur penyiaran yang ada di Indonesia, dan juga membatasi konten yang ada didalam program siaran sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Termasuk di dalamnya terdapat pasal yang mengatur mengenai unsur kekerasan, seperti yang terdapat di P3SPS tentang peraturan penyiaran Indonesia tentang Standar Program Siaran (SPS) bab XIII mengenai pelanggaran dan pembatasan kekerasan Bagian Pertama Pelarangan Adegan Kekerasan pasal 23 yang mengatur bahwa program siaran yang memuat adegan kekerasan dilarang: a. menampilkan secara detail peristiwa kekerasan, seperti: tawuran, pengeroyokan, penyiksaan, perang, penusukan, penyembelihan, mutilasi, 33 terorisme, pengrusakan barang-barang secara kasar atau ganas, pembacokan, penembakan, dan/atau bunuh diri; b. menampilkan manusia atau bagian tubuh yang berdarah-darah, terpotongpotong dan/atau kondisi yang mengenaskan akibat dari peristiwa kekerasan; c. menampilkan peristiwa dan tindakan sadis terhadap manusia; d. menampilkan peristiwa dan tindakan sadis terhadap hewan; dan/atau e. menampilkan adegan memakan hewan dengan cara yang tidak lazim. 2.3 Kerangka Pemikiran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai Lembaga Independen Negara melakukan pengawasan program siaran televisi dengan berpegang teguh pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Apabila sebuah program melakukan pelanggaran, maka KPI berusaha untuk memberikan solusi agar stasiun televisi tidak melakukan kesalahan yang sama. Peneliti melakukan penelitian ini karena peneliti ingin menunjukkan peran KPI terhadap pengawasan program siaran agar stasiun televisi menghasilkan program–program yang berkualitas dan layak untuk ditonton serta dapat memberikan informasi, dan pengetahuan tambahan bagi khalayak luas 34 Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran