NILAI KECERNAAN SERAT KASAR DAN - E

advertisement
Nilai Kecernaan Serat Kasar dan Produksi Gas Jerami Padi (Secara In
Vitro) dengan Introduksi Bakteri Selulolitik
In Vitro Crude Fiber Digestibility and Gas Production of Rice Straw with
Cellulolytic Bacteria Introduction
Listiari Hendraningsih
Fakultas Peternakan-Perikanan Universitas Muhammadiyah Malang
Email: [email protected]
ABSTRACT
Background: Increasing of crude fiber digestibility and volatile fatty acid as energy source
for ruminants can be achieved by rumen fermentation manipulation. Introduction of
cellulolytic bacteria as fiber degrader is expected for the purpose. The research has been
conducted to evaluate the digestibility of crude fiber and in vitro gas production in cellulolytic
bacteria addition.
Methods: One hundred milligram rice straw meal were used as the substrate, 10 ml Mc
Dougal’s solution as buffer solution and 5 ml cattle rumen fluids as an innoculum source..
Young culture (24 hours) of three species of cellulolytic bacteria that isolated from previous
study and its combination were added as treatments there were (1): without introduction as
control, (2): introduction bacteria A, (3): bacteria B, (4): bacteria C, (5): combination of
bacteria AB, (6): combination of bacteria AC, (7): combination of bacteria BC, and (8):
combination of bacteria ABC. Each treatment was replicated three times.
Result: The result showed that only the combiantion of AB treatment gave the significant
effect (P<0.05) to crude fiber digestibility and highly significant (P<0.01) influence to gas
production.
Keywords :
in vitro, crude fiber digestibility, gas production, cellulolytic bacteria
ABSTRAK
Latar Belakang: Salah satu usaha untuk meningkatkan kecernaan serat kasar dan asam lemak
terbang dari fermentasi karbohidrat yang merupakan sumber energi bagi ternak inang adalah
manipulasi proses fermentasi yang terjadi dalam rumen. Introduksi bakteri selulolitik sebagai
kelompok bakteri pencerna serat diharapkan dapat meningkatkan hal tersebut.
Metode: Percobaan in vitro dilakukan dengan menggunakan substrat jerami padi sebanyak
100 mg, 10 ml larutan Mc Dougal, dan 5 ml cairan rumen sapi yang berasal dari Rumah
Potong Hewan. Tiga jenis bakteri selulolitik telah diisolasi dari cairan rumen pada penelitian
sebelumnya. Delapan perlakuan, yaitu introduksi kultur bakteri selulolitik muda (12 jam)
secara tunggal atau kombinasi ditambahkan pada tabung reaksi sebanyak 10% dari volume
total. Perlakuan yang diberikan adalah : (1) fermentasi tanpa introduksi bakteri selulolitik
(kontrol) , (2) introduksi bakteri A , (3) introduksi bakteri B, (4) introduksi bakteri C, (5)
introduksi bakteri AB, (6) introduksi bakteri AC, (7) introduksi bakteri BC,
dan (8)
introduksi bakteri ABC. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Inkubasi dilakukan pada
suhu 39oC selama 72 jam. Kecernaan serat kasar dan produksi gas diukur pada akhir
penelitian
Hasil: Hasil penelitian menunjukan bahwa hanya introduksi kombinasi bakteri AB yang
secara nyata (P<0.05) meningkatkan kecernaan serat kasar dan sangat nyata (P<0.01)
meningkatkan produksi gas dibandingkan kontrol
Kata kunci :
in vitro, kecernaan serat kasar, produksi gas, bakteri selulolitik
PENDAHULUAN
Tujuan akhir suatu usaha peternakan adalah untuk memperoleh produksi seoptimal
mungkin, baik produk itu berupa susu, telur, ataupun daging. Proses pembentukan produk
yang diharapkan dari ternak tidak dapat dilepaskan dari kemampuan ternak tersebut dalam
memanfaatkan zat-zat makanan dari pakan yang dikonsumsinya.
Pada ternak ruminansia, kemampuan untuk memanfaatkan zat-zat makanan dari pakan
yang dikonsumsi sangat bergantung pada kondisi ekologis rumen. Rumen merupakan habitat
istimewa sebagai alat pencernaan fermentatif mikroorganisma, didalamnya terdapat kondisi
yang sangat baik untuk pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisma dengan didukung
suhu, pH, dan kelembaban yang relatif konstan. Suhu rumen berkisar antara 38oC – 42oC
dengan pH 6 – 7 (Atlas dan Bartha, 1987).
Proses fermentasi yang terjadi dalam rumen akan mengubah komponen-komponen
pakan yang kompleks menjadi produk-produk yang lebih sederhana dan berguna bagi ternak.
Pakan utama ternak ruminansia, hijauan atau limbah pertanian seperti jerami padi, memiliki
kadar serat kasar yang tinggi. Komponen terbesar dari serat kasar adalah berupa dinding sel
yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin (Church and Pond, 1988). Produk akhir
dari aktivitas mikroba dalam mendegradasi substrat dinding sel tanaman adalah berupa asam
lemak terbang (VFA). Komponen VFA yang utama adalah asam asetat, asam propionat, asam
butirat, dan sejumlah kecil asam valerat. Selain menghasilkan asam lemak rantai pendek
(short-chain fatty acid-SCFA), fermentasi karbohidrat dalam rumen akan menghasilkan
sejumlah gas dan sel mikroba.
Asam lemak terbang yang dihasilkan dari fermentasi karbohidrat merupakan sumber
energi bagi ternak inang. Pada proses fermentasi ini juga dihasilkan produk-produk yang tidak
berguna bagi ternak seperti CH4, ammonia, dan nitrat. Usaha-usaha peningkatan efisiensi
penggunaan
energi
dari
pakan
telah
banyak
dan
terus
dilakukan.
Salah
satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan cara manipulasi proses fermentasi yang terjadi
dalam rumen dalam cara mengubah ekologi rumen yang pada akhirnya bertujuan
meningkatkan produk fermentasi yang diharapkan dan dapat menekan hasil fermentasi yang
kurang bermanfaat. Proses manipulasi rumen yang telah dilakukan antara lain dengan
perubahan pemberian pakan ataupun pemberian antibiotik monensin.
Introduksi bakteri selulolitik yang memiliki
keunggulan dalam mencerna serat,
diharapkan dapat meningkatkan kecernaan serat kasar pakan yang pada gilirannya diikuti oleh
peningkatan produksi asam lemak terbang sebagai hasil akhir fermentasi serat. Bakteri
selulolitik diisolasi dari cairan rumen, sehingga tidak menimbulakn dampak sampingan bagi
ternak.
Isolasi dan identifikasi bakteri selulolitik yang berasal dari probiotik yoghurt sapi
menghasilkan 3 spesies bakteri selulolitik yang dominan yaitu R. albus, B. fibrisolvens, dan F.
succinogenes. Pemberian probiotik yoghurt sapi pada DEG secara in vitro terbukti dapat
meningkatkan kecernaan serat kasar, selulosa, dan hemiselulosa (Listiari, 2004). Namun
belum dapat menjelaskan secara spesifik mekanisme dan spesies bakteri yang paling
berperan.
Percobaan dengan menggunakan tehnik in vitro dapat digunakan sebagai pengganti
percobaan dengan menggunakan ternak karena lebih murah, cepat dengan hasil akurat. Tehnik
in vitro pada ternak ruminansia dapat digunakan untuk menentukan degradasi bahan organik,
jumlah bahan organik yang difermentasi, dan menentukan degadasi kinetik rumen (Cone,
1998).
Dari penjelasan di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: apakah introduksi
bakteri selulolitik dapat meningkatkan kecernaan serat kasar dan produksi gas jerami padi
secara in vitro? dan spesies bakteri selulolitik atau kombinasi spesies bakteri selulolitik yang
mana yang dapat meningkatkan kecernaan serat kasar dan produksi gas jerami padi secara in
vitro?
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan bakteri
selulolitik yang berbeda terhadap kecernaan serat pakan dan produksi gas secara in vitro dan
spesies atau kombinasi bakteri selulolitik yang dapat meningkatkan kecernaan serat kasar dan
produksi gas jerami padi secara in vitro.
MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak serta
Laboratorium Mikrobiologi Dasar Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode percobaan menggunakan rancangan percobaan :
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 8 perlakuan dan 3 ulangan.
Model matematika dari rancangan tersebut adalah :
Yij = µ + αi + €ij
Perlakuan
Perlakuan yang digunakan adalah introduksi isolat bakteri selulolitik pada media
fermentasi berbasis feces sapi perah. Adapun 8 perlakuan tersebut adalah :
F1: Fermentasi jerami tanpa introduksi isolat bakteri
F2: Fermentasi jerami + introduksi bakteri A
F3: Fermentasi jerami + introduksi bakteri B
F4: Fermentasi jerami + introduksi bakteri C
F5: Fermentasi jerami + introduksi bakteri A & B
F6: Fermentasi jerami + introduksi bakteri A & C
F7: Fermentasi jerami + introduksi bakteri B & C
F8:Fermentasi jerami + introduksi bakteri A, B & C
Setiap perlakuan diulang tiga kali
dimana bakteri A
: Butyrifibrio fibrisolvens
B
: Fibrobacter succinogenes
C
: Ruminococcus albus
Pelaksanaan Penelitian
Persiapan kultur bakteri selulolitik yaitu Kultur bakteri selulolitik yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Ruminococcus albus, Butyrivibrio fibrisolvens, dan Fibrobacter
succinogenes dan sebelum diintroduksikan pada media in vitro, isolat ditumbuhakan pada
media pertumbuhan cair MRS
dan diamati berdasarkan optical density (OD) pada
spektrofotometer dengan tingkat absorban: 650 nm.
Persiapan substrat
Substrat jerami dipotong-potong dan disaring. Penetapan kadar serat kasar ditrntukan
dengan cara: sampel dimasukkan ke dalam bekerglass + 20 ml H2SO4 0.255 N dididihkan
selama 30 menit kemudian disaring, sampel yang telah disaring dimasukkan lagi kedalam
bekerglass + NaOH 0.313 N sebanyak 200 ml dididihkan selama 30 menit, saring dengan
menggunakan kertas saring yang telah diketahui beratnya, di oven dengan suhu 80oC selama 2
jam.
Rumus =
Kertas saring  Sampel - kertas saring
 100%
Berat awal (2 gr)
Percobaan in vitro
Setelah kultur bakteri selulolitik, inokulum, dan substrat siap maka dilakukan percobaan
in vitro, sebagai berikut: tabung diisi substrat sebanyak 100 mg, kemudian tambahkan 5 ml
larutan inokulum dan 10 ml larutan McDougall yang berfungsi sebagai larutan penyangga,
kedalam tabung ditambahkan bakteri selulolitik tunggal atau sesuai kombinasinya sebanyak
10%, suasana anaerob penelitian dipertahankan dengan penambahan gas CO2 dan aseptis.
Sebelum inkubasi dilakukan, pH masing-masing tabung diperiksa dan inkubasi dilakukan
pada suhu 7oC selama 72 jam sesuai tata letak percobaan. Pengocokan tabung dilakukan 3 kali
sehari.
Penetapan Produksi Gas
Produksi gas dihitung dari jumlah penurunan volume air pada tabung reaksi yang
dihubungkan dengan tabung fermentasi anaerob.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Perlakuan Terhadap Penurunan Kandungan Serat Kasar
Serat kasar adalah semua zat organik yang tidak larut dalam H2SO4 0.3 N dan naOH
1.5 N yang berturut-turut dimasak selama 30 menit (Anggorodi, 1990). Kecernaan serat kasar
adalah kemampuan ternak untuk mencerna serat kasar dalam bahan pakan (Chuzaemi dan
Hartutik, 1990).
Tabel 1
Data Rataan Penurunan Kandungan Serat Kasar Jerami (%)
Perlakuan
F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7
F8
1
64,93
65,77
60,57
73,31
74,24
63,59
68,37
61,41
Ulangan
2
65,18
64,35
57,63
59,56
72,57
59,56
57,97
59,89
3
69,77
62,58
65,69
78,19
61,83
63,51
71,73
69,77
Total
Perlakuan
192,02
199,89
180,78
198,56
225,00
184,98
189,85
193,03
Rataan
64,01a
66,63a
60,26a
66,19a
75,00b
61,66a
63,28a
64,34a
Kecernaan serat kasar pakan sangat ditentukan oleh aktivitas mikroba rumen, dan
bakteri selulolitik merupakan kelompok bakteri pencerna serat (Kuswandi, 1993).
Hasil analisi variansi dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) untuk
mengetahui perbedaan antara perlakuan. Hasil uji beda nyata dari data diatas ditampilkan
pada tabel dibawah ini :
Hasil analisis menunjukan bahwa perlakuan F5 yaitu introduksi bakter selulolitik
berpengaruh nyata terhadap penurunan kandungan serat kasar jerami.
Didalam cairan rumen terdapat empat species bakteri selulolitik yang dominan, yaitu:
Fibrobacter
succinogenes,
Butyrivibrio
fibrisolvens,
Ruminococcus
albus, dan
R.
flavvfaciens. Introduksi bakteri Fibrobacter succinogenes dan Butyrifibrio fibrisolvens
meningkatkan kecernaan serat kasar dibandingkan perlakuan kontrol dan introduksi bakteri
selulolitik lain.
Butyrifibrio fibriosolvens merupakan bakteri rumen pencerna serat terbentuk batang
dan gram positif. Hasil fermentasi katbohidrat oleh B. fibriosolvens meliputi asetat, format,
laktat, butirat, H2 dan CO2. B. fibrisolvens termasuk kelompok bakteri mesophyl, yang dapat
tumbuh dengan baik pada suhu 25o – 40oC. Bakteri ini memiliki flagela, sehingga bersifat
motil. Populasi B. fibrisolvens cenderung meningkat bila proporsi konsentrat pakan juga
meningkat (Varrel and Dehority, 1989). Populasi B. fibrisolvens pada sapi lebih tinggi
dibandingkan pada bison dengan kondisi pakan yang sama.
Perubahan populasi dari B. fibrisolvens dan bakteri selulolitik lainnya didalam rumen
juga diikuti dengan perubahan tingkat kecernaan serat kasar; hemiselulosa dan selulosa (Varel
and Dehority, 1989). Hal ini sesuai dengan pendapat Robinson, 1989 yang menyatakan bahwa
pemberian pakan campuran yang (hijauan dan konstanta) akan menyediakan nutrisi yang
lengkap bagi bakteri rumen. Butyrifibrio fibrisolvens walaupun menghasilkan enzym selulase
seringkali dianggap sebagai bakteri selulolitik yang paling lemah, peranan B. firbisolvens
lebih dominan pada hidrolisis hemiselulosa.
Fibrobacter succinogenes merupakan salah satu bakteri selulolitik rumen berbentuk
basil dan bersifat gram negatif. Seperti halnya bakteri rumen lainnya, F. succinogenes
membutuhkan kondisi anaerob untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. F.
succinogenes termasuk kelompok bakteri mesophyl yang memiliki kisaran suhu optimum 25o
– 40oC, bakteri ini tidak mampu membentuk spora bila kondisi lingkungan tidak sesuai lysis
pada umumnya terjadi pada fase stationer dimana bakteri membutuhkan nutrisi lebih banyak,
tetapi F. succinogenes mengalami lysis lebih cepat. Pada kondisi stress, peptidoglycan
dideposit pada permukaan terdalam dan tertua, permukaan luar kemudian dipotong oleh
enzym otolitik. Proses sintesis dan degradasi yang terus-menerus menyebabkan stress
ditransfer ke bagian-bagian yang baru saja mensintesis peptidogylcan (Wells and Russel,
1996).
Didalam rumen hasil fermentasi karbohidrat oleh F. succinogenes adalah suksinat,
asetat dan format (Brock and Madiggan, 1991). Glykosida yang berada pada membran
luar Cellulosa Bindily Protein (CBP) dari F. succinogenes akan menstimulasi
cellobiosidase, yang memegang peranan penting pada pelekatan dengan selulosa (Miron
et.al., 2001).
Populasi F. succinogenes tidak banyak dipengaruhi oleh konsentrasi amonia atau
asam amino yang disebabkan oleh perbedaan persentase protein pakan, sebaliknya
populasi F. succinogenes lebih tinggi pada sapi yang mengkonsumsi serat kasar tinggi
dibandingkan pakan dengan serat kasar rendah (Weimer, et.al., 1999). F. succinogenes
berinteraksi secara sinergis dengan bakteri-bakteri non selulolitik selama mencerna
hijauan. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya kecernaan hemiselulosa dan pectin
orchard grass bila pada kultur terdapat Prerotella ruminocola, dan F. succinogenes secara
bersama, dibandingkan bila hanya mengandung F. succinogenes (Varga, dan Kolver,
1997).
Asetat, format, H2 dan CO2 merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat oleh
Ruminococcus albus. Seperti halnya F. succinogenes, R. albus merupakan bakteri gram
negatif. Ruminococcus memproduksi sejumlah besar enzym selulase (> 2.000.000 berat
molekul) yang diekskresikan kedalam rumen untuk mendegradasi selulosa (Brock and
Medigan, 1991). Bertolak belakang dengan B. fibrisolvens, populasi R. albus pada rumen
sapi akan menurun seiring dengan meningkatnya proporsi konsentrat pada pakan (Varel
and Dehority, 1989).
R. albus paling tidak memiliki 2 mekanisme dalam pelekatan dengan selulosa;
mekanisme selulosomal, dan mekanisme Cellulose Binding Protein Complex (Mixon
et.al., 2001). Pada kondisi substrat selulosa yang terbatas, R. albus merupakan mikroba
selulolitik dengan populasi terendah dibandingkan R. flavefaciens dan F. succinogenes
(Shi and Weimer, 1995).
Introduksi kombinasi bakteri selulolitik tidak selalu diikuti dengan peningkatan
kecernaan serat kasar dibandingkan introduksi bakteri tunggal. Hal ini menunjukan
adanya kompetisi antara bakteri dalam penggunaan substrat. Hal ini dapt dilihat pada
perlakuan F6 yaitu introduksi bakteri selulolitik Butyrifibrio fibrisolvens dan
Ruminococcus albus yang justru menurunkan kecernaan serat dibandingkan bila
introduksi dilakukan secara tunggal. Introduksi tiga bakteri selulolitik secara bersamaan
juga tidak memberikan peningkatan nyata bila diandingkan dengan tanpa introduksi.
Pengaruh Perlakuan Terhadap Produksi Gas Fermentasi Jerami.
Gas yang dihasilkan merupakan salah satu gambaran dari jumlah serat kasar yang
didegradasi. Gas yang dihasilkan sebagian besar terdapat dalam bentuk CO2 dan CH4
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diukur dilakukan
analisis sidik ragam, dan hasilnya ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Data Rataan Produksi Gas dari Fermentasi Jerami (ml/gr)
Perlakuan
F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7
F8
1
22,12
23,72
20,34
29,54
32,18
21,43
24,56
20,77
Ulangan
2
23,15
24,35
19,36
19,23
30,21
22,98
25.12
23,43
3
22,65
24,87
22,16
28.18
34,28
24,56
22,24
21,44
Total
Perlakuan
67,92
72,94
61,86
76,87
96,67
68,97
71,92
65,64
Rataan
22,64a
24,13a
20,62a
25,62a
32,22b
22,99a
23,97a
21,88a
Hasil analisis menunjukan bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap
produksi gas. Hasil analisis sidik ragam kemudian dilanjutlkan dengan uji beda nyata
terkecil (BNT) untuk mengetahui perbedaan antara perlakuan.
Hasil uji beda nyata terkecil menunjukkan bahwa pola produksi gas memiliki
pola yang sama dengan kecernaan serat kasar. Hal ini sesuai dengan pendapat Owen dan
Goetsch, 1988 yang menyatakan bahwa produksi gas setara dengan degradasi substrat
yang terjadi pada proses fermentasi.
Penggunaan jerami padi yang memiliki kandungan serat kasar tinggi akan
menghasilkan asam asetat yang domonan dibandingkan dengan asam propionat. Hal ini
dijelaskan oleh Church (1976) yang menyatakan bahwa proporsi asam lemak terbang
yang diproduksi sangat dipengaruhi oleh jenis karbohidrat pakan.
Introduksi bakteri Ruminococcus albus secara tunggal menghasilkan produksi gas
tertinggi dibandingkan dua bakteri selulolitik lainnya. Hal ini dijelaskan oleh Weimer,
1996, yang menyatakan bahwa R. Albus dominan pada substrat dengan kandungan
selulosa tinggi. Sebaliknya, Butyrifibrio fibrisolvens lebih dominan pada substrat kaya
hemiselulosa dan Fibrobacter succinogenes yang meningkat populasinya pada sapi yang
mengkonsumsi serat kasar rendah.
Bakteri
Butyrifibrio
fibrisolvens
dan
Fibrobacter
succinogenes
yang
diintroduksikan secara bersamaan menunjukan sinergi yang paling baik dalam
meningkatkan kecernaan serat kasar pakan dan hal ini juga dapat dilihat dari produksi gas
yang dihasilkan. Sinergi terjadi karena ke dua bakteri tidak bekerja secara bersamaan dan
menggunakan substrat yang sama. F. succinogenes diduga terlebih dahulu melepaskan
ikatan hemiselulosa yang kemudian didegradasi lebih lanjut oleh B. fibrisolvens.
Sinergi tidak terjadi bila R. albus terlibat. Kombinasi R. albus, baik dengan
B.fibrisolvens maupun F. succinogenes tidak meningkatkan kecernaan serat kasar dan
juga produksi gas, hal ini dapat terjadi karena terjadinya kompetisi dalam penggunaan
substrat oleh bakteri selulolitik tertentu.
Produksi gas yang dihasilkan pada penelitian lebih rendah dibandingkan jhasil
penelitian Paisley and Horn (1998) yang menggunakan hijauan pada musim dingin
dengan penambahan ionophores. Hal ini dapat terjadi karena hijauan yang digunakan
memiliki kandungan karbohidrat terlarut yang lebih tinggi dibandingkan jerami padi pada
penelitian ini.
Tingginya kandungan terlarut pada substrat akan menghasilkan asam lemak
terbang dalam bentuk propionat dalam proporsi yang lebih tinggi. Produksi gas dari
pembentukan asam propionat lebih tinggi dibandingkan asam asetat. Produksi gas terjadi
secara langsung dari fermentasi karbohidrat dan secara tidak langsung dari proses
buffering. Buffering yang diperlukan untuk menetralisir asam propionat akan
menghasilkan gas yang lebih tinggi. (Blummel, 1998)
KESIMPULAN
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukan bahwa: tidak semua introduksi bakteri selulolitik
berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap peningkatan kecernaan serat kasar dan produksi gas
jerami padi secara in vitro dan peningkatan kecernaan serat kasar dan produksi gas
secara in vitro sangat nyata (P < 0.01) terjadi pada introduksi bakteri Butyrifibrio
fibrisolvens dan Fibrobacter succinogenes.
Saran
Dari hasil penelitian dapat disarankan bahwa bakteri Butyrifibrio fibrisolvens dan
Fibrobacter succinogenes dapat digunakan sebagai probiotik untuk ternak ruminansia
dalam upaya untuk meningkatkan kecernaan serat kasar pakan. Pemberian probiotik yang
mengandung ke dua bakteri tersebut terutama direkomendasikan bagi ternak dengan
pakan pada saat menerima pakan dengan kualitas rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Brock, T.D. and Michael T. Madigan. 1991. Biology of Microorganism. Sixt Edition.
Prentice Hall. Englewood Cliffs. New Jersey. 07632
Chuzaemi S. dan Hartutik, 1990. Ilmu Makanan Ternak Khusus Ruminansia.
NUFFIC. Universitas Brawijaya. Malang.
Church, D.C. 1986. Livestock Feeds and Feeding. Third edition. Prentice Hall.
International Edition.
Cone, 1998. In vitro techniques predict digestion processes in the animal.
Wageningen University, The Netherlands.
Kuswandi, 1993. Kegiatan Mikroba Dalam Rumen dan Manipulasinya untuk
Meningkatkan Efisiensi Produksi Ternak. Buletin Peternakan UNIBRAW
Malang.
Miron, J., D. Ben-Ghedalia and M. Morisson, 2001. Invited Review: Adhesion
Mechanism of Rumen Cellulolytic Bacteria. Journal of Doing Science, Vol.
84, Issue 6.
Shi, Y. and P.J. Weimer, 1995. Predicted Outcome of Competition Among Ruminal
Cellulolytic Bacteria for Soluble Product of Cellulose Digestion. U.S
Dairy Forage Research Center Research Summaries.
Varga, G. A. and Erie S. Kolver. 1997. Microbial and Animal Limitation to Fiber
Digestion and Utilization. The Journal of Nutrition Vol 127 No. 5.
Varrel, V.H. and Burk A. Dehority. 1989. Ruminal Cellulolytic Bacteria and Protozoa
From Bison, Cattle – Bisson Hybrids, and Cattle Feed Three Alfalfa –
Coin Diets. Applied and Environmental Microbiology. Vol. 55 No. 1
Weimer P.J. et.al. 1996. Ruminal Cellulolytic Bacteria: Physiology, Ecology and
Beyond. U.S. Dairy Forage Research Center. Informational Conference with
Dairy and Forage Industries.
Weimer P.J. et.al., 1999. Effect of Diet on Population of Three Species of Ruminal
Cellulolytic Bacteria in Lactating Dairy Cows. Journal of Dairy Science.
Vol. 82
Wells J. E and JB. Russel. 1996. The Lysis of Fibrobacter Succinogenes. V. S. Dainy
Forage Research Center. Research Summaries.
Download