Nilai Kecernaan Serat Kasar dan Produksi Gas Jerami Padi (Secara In Vitro) dengan Introduksi Bakteri Selulolitik In Vitro Crude Fiber Digestibility and Gas Production of Rice Straw with Cellulolytic Bacteria Introduction Listiari Hendraningsih Fakultas Peternakan-Perikanan Universitas Muhammadiyah Malang Email: [email protected] ABSTRACT Background: Increasing of crude fiber digestibility and volatile fatty acid as energy source for ruminants can be achieved by rumen fermentation manipulation. Introduction of cellulolytic bacteria as fiber degrader is expected for the purpose. The research has been conducted to evaluate the digestibility of crude fiber and in vitro gas production in cellulolytic bacteria addition. Methods: One hundred milligram rice straw meal were used as the substrate, 10 ml Mc Dougal’s solution as buffer solution and 5 ml cattle rumen fluids as an innoculum source.. Young culture (24 hours) of three species of cellulolytic bacteria that isolated from previous study and its combination were added as treatments there were (1): without introduction as control, (2): introduction bacteria A, (3): bacteria B, (4): bacteria C, (5): combination of bacteria AB, (6): combination of bacteria AC, (7): combination of bacteria BC, and (8): combination of bacteria ABC. Each treatment was replicated three times. Result: The result showed that only the combiantion of AB treatment gave the significant effect (P<0.05) to crude fiber digestibility and highly significant (P<0.01) influence to gas production. Keywords : in vitro, crude fiber digestibility, gas production, cellulolytic bacteria ABSTRAK Latar Belakang: Salah satu usaha untuk meningkatkan kecernaan serat kasar dan asam lemak terbang dari fermentasi karbohidrat yang merupakan sumber energi bagi ternak inang adalah manipulasi proses fermentasi yang terjadi dalam rumen. Introduksi bakteri selulolitik sebagai kelompok bakteri pencerna serat diharapkan dapat meningkatkan hal tersebut. Metode: Percobaan in vitro dilakukan dengan menggunakan substrat jerami padi sebanyak 100 mg, 10 ml larutan Mc Dougal, dan 5 ml cairan rumen sapi yang berasal dari Rumah Potong Hewan. Tiga jenis bakteri selulolitik telah diisolasi dari cairan rumen pada penelitian sebelumnya. Delapan perlakuan, yaitu introduksi kultur bakteri selulolitik muda (12 jam) secara tunggal atau kombinasi ditambahkan pada tabung reaksi sebanyak 10% dari volume total. Perlakuan yang diberikan adalah : (1) fermentasi tanpa introduksi bakteri selulolitik (kontrol) , (2) introduksi bakteri A , (3) introduksi bakteri B, (4) introduksi bakteri C, (5) introduksi bakteri AB, (6) introduksi bakteri AC, (7) introduksi bakteri BC, dan (8) introduksi bakteri ABC. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Inkubasi dilakukan pada suhu 39oC selama 72 jam. Kecernaan serat kasar dan produksi gas diukur pada akhir penelitian Hasil: Hasil penelitian menunjukan bahwa hanya introduksi kombinasi bakteri AB yang secara nyata (P<0.05) meningkatkan kecernaan serat kasar dan sangat nyata (P<0.01) meningkatkan produksi gas dibandingkan kontrol Kata kunci : in vitro, kecernaan serat kasar, produksi gas, bakteri selulolitik PENDAHULUAN Tujuan akhir suatu usaha peternakan adalah untuk memperoleh produksi seoptimal mungkin, baik produk itu berupa susu, telur, ataupun daging. Proses pembentukan produk yang diharapkan dari ternak tidak dapat dilepaskan dari kemampuan ternak tersebut dalam memanfaatkan zat-zat makanan dari pakan yang dikonsumsinya. Pada ternak ruminansia, kemampuan untuk memanfaatkan zat-zat makanan dari pakan yang dikonsumsi sangat bergantung pada kondisi ekologis rumen. Rumen merupakan habitat istimewa sebagai alat pencernaan fermentatif mikroorganisma, didalamnya terdapat kondisi yang sangat baik untuk pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisma dengan didukung suhu, pH, dan kelembaban yang relatif konstan. Suhu rumen berkisar antara 38oC – 42oC dengan pH 6 – 7 (Atlas dan Bartha, 1987). Proses fermentasi yang terjadi dalam rumen akan mengubah komponen-komponen pakan yang kompleks menjadi produk-produk yang lebih sederhana dan berguna bagi ternak. Pakan utama ternak ruminansia, hijauan atau limbah pertanian seperti jerami padi, memiliki kadar serat kasar yang tinggi. Komponen terbesar dari serat kasar adalah berupa dinding sel yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin (Church and Pond, 1988). Produk akhir dari aktivitas mikroba dalam mendegradasi substrat dinding sel tanaman adalah berupa asam lemak terbang (VFA). Komponen VFA yang utama adalah asam asetat, asam propionat, asam butirat, dan sejumlah kecil asam valerat. Selain menghasilkan asam lemak rantai pendek (short-chain fatty acid-SCFA), fermentasi karbohidrat dalam rumen akan menghasilkan sejumlah gas dan sel mikroba. Asam lemak terbang yang dihasilkan dari fermentasi karbohidrat merupakan sumber energi bagi ternak inang. Pada proses fermentasi ini juga dihasilkan produk-produk yang tidak berguna bagi ternak seperti CH4, ammonia, dan nitrat. Usaha-usaha peningkatan efisiensi penggunaan energi dari pakan telah banyak dan terus dilakukan. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan cara manipulasi proses fermentasi yang terjadi dalam rumen dalam cara mengubah ekologi rumen yang pada akhirnya bertujuan meningkatkan produk fermentasi yang diharapkan dan dapat menekan hasil fermentasi yang kurang bermanfaat. Proses manipulasi rumen yang telah dilakukan antara lain dengan perubahan pemberian pakan ataupun pemberian antibiotik monensin. Introduksi bakteri selulolitik yang memiliki keunggulan dalam mencerna serat, diharapkan dapat meningkatkan kecernaan serat kasar pakan yang pada gilirannya diikuti oleh peningkatan produksi asam lemak terbang sebagai hasil akhir fermentasi serat. Bakteri selulolitik diisolasi dari cairan rumen, sehingga tidak menimbulakn dampak sampingan bagi ternak. Isolasi dan identifikasi bakteri selulolitik yang berasal dari probiotik yoghurt sapi menghasilkan 3 spesies bakteri selulolitik yang dominan yaitu R. albus, B. fibrisolvens, dan F. succinogenes. Pemberian probiotik yoghurt sapi pada DEG secara in vitro terbukti dapat meningkatkan kecernaan serat kasar, selulosa, dan hemiselulosa (Listiari, 2004). Namun belum dapat menjelaskan secara spesifik mekanisme dan spesies bakteri yang paling berperan. Percobaan dengan menggunakan tehnik in vitro dapat digunakan sebagai pengganti percobaan dengan menggunakan ternak karena lebih murah, cepat dengan hasil akurat. Tehnik in vitro pada ternak ruminansia dapat digunakan untuk menentukan degradasi bahan organik, jumlah bahan organik yang difermentasi, dan menentukan degadasi kinetik rumen (Cone, 1998). Dari penjelasan di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: apakah introduksi bakteri selulolitik dapat meningkatkan kecernaan serat kasar dan produksi gas jerami padi secara in vitro? dan spesies bakteri selulolitik atau kombinasi spesies bakteri selulolitik yang mana yang dapat meningkatkan kecernaan serat kasar dan produksi gas jerami padi secara in vitro? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan bakteri selulolitik yang berbeda terhadap kecernaan serat pakan dan produksi gas secara in vitro dan spesies atau kombinasi bakteri selulolitik yang dapat meningkatkan kecernaan serat kasar dan produksi gas jerami padi secara in vitro. MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak serta Laboratorium Mikrobiologi Dasar Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan metode percobaan menggunakan rancangan percobaan : Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 8 perlakuan dan 3 ulangan. Model matematika dari rancangan tersebut adalah : Yij = µ + αi + €ij Perlakuan Perlakuan yang digunakan adalah introduksi isolat bakteri selulolitik pada media fermentasi berbasis feces sapi perah. Adapun 8 perlakuan tersebut adalah : F1: Fermentasi jerami tanpa introduksi isolat bakteri F2: Fermentasi jerami + introduksi bakteri A F3: Fermentasi jerami + introduksi bakteri B F4: Fermentasi jerami + introduksi bakteri C F5: Fermentasi jerami + introduksi bakteri A & B F6: Fermentasi jerami + introduksi bakteri A & C F7: Fermentasi jerami + introduksi bakteri B & C F8:Fermentasi jerami + introduksi bakteri A, B & C Setiap perlakuan diulang tiga kali dimana bakteri A : Butyrifibrio fibrisolvens B : Fibrobacter succinogenes C : Ruminococcus albus Pelaksanaan Penelitian Persiapan kultur bakteri selulolitik yaitu Kultur bakteri selulolitik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ruminococcus albus, Butyrivibrio fibrisolvens, dan Fibrobacter succinogenes dan sebelum diintroduksikan pada media in vitro, isolat ditumbuhakan pada media pertumbuhan cair MRS dan diamati berdasarkan optical density (OD) pada spektrofotometer dengan tingkat absorban: 650 nm. Persiapan substrat Substrat jerami dipotong-potong dan disaring. Penetapan kadar serat kasar ditrntukan dengan cara: sampel dimasukkan ke dalam bekerglass + 20 ml H2SO4 0.255 N dididihkan selama 30 menit kemudian disaring, sampel yang telah disaring dimasukkan lagi kedalam bekerglass + NaOH 0.313 N sebanyak 200 ml dididihkan selama 30 menit, saring dengan menggunakan kertas saring yang telah diketahui beratnya, di oven dengan suhu 80oC selama 2 jam. Rumus = Kertas saring Sampel - kertas saring 100% Berat awal (2 gr) Percobaan in vitro Setelah kultur bakteri selulolitik, inokulum, dan substrat siap maka dilakukan percobaan in vitro, sebagai berikut: tabung diisi substrat sebanyak 100 mg, kemudian tambahkan 5 ml larutan inokulum dan 10 ml larutan McDougall yang berfungsi sebagai larutan penyangga, kedalam tabung ditambahkan bakteri selulolitik tunggal atau sesuai kombinasinya sebanyak 10%, suasana anaerob penelitian dipertahankan dengan penambahan gas CO2 dan aseptis. Sebelum inkubasi dilakukan, pH masing-masing tabung diperiksa dan inkubasi dilakukan pada suhu 7oC selama 72 jam sesuai tata letak percobaan. Pengocokan tabung dilakukan 3 kali sehari. Penetapan Produksi Gas Produksi gas dihitung dari jumlah penurunan volume air pada tabung reaksi yang dihubungkan dengan tabung fermentasi anaerob. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan Terhadap Penurunan Kandungan Serat Kasar Serat kasar adalah semua zat organik yang tidak larut dalam H2SO4 0.3 N dan naOH 1.5 N yang berturut-turut dimasak selama 30 menit (Anggorodi, 1990). Kecernaan serat kasar adalah kemampuan ternak untuk mencerna serat kasar dalam bahan pakan (Chuzaemi dan Hartutik, 1990). Tabel 1 Data Rataan Penurunan Kandungan Serat Kasar Jerami (%) Perlakuan F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 1 64,93 65,77 60,57 73,31 74,24 63,59 68,37 61,41 Ulangan 2 65,18 64,35 57,63 59,56 72,57 59,56 57,97 59,89 3 69,77 62,58 65,69 78,19 61,83 63,51 71,73 69,77 Total Perlakuan 192,02 199,89 180,78 198,56 225,00 184,98 189,85 193,03 Rataan 64,01a 66,63a 60,26a 66,19a 75,00b 61,66a 63,28a 64,34a Kecernaan serat kasar pakan sangat ditentukan oleh aktivitas mikroba rumen, dan bakteri selulolitik merupakan kelompok bakteri pencerna serat (Kuswandi, 1993). Hasil analisi variansi dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) untuk mengetahui perbedaan antara perlakuan. Hasil uji beda nyata dari data diatas ditampilkan pada tabel dibawah ini : Hasil analisis menunjukan bahwa perlakuan F5 yaitu introduksi bakter selulolitik berpengaruh nyata terhadap penurunan kandungan serat kasar jerami. Didalam cairan rumen terdapat empat species bakteri selulolitik yang dominan, yaitu: Fibrobacter succinogenes, Butyrivibrio fibrisolvens, Ruminococcus albus, dan R. flavvfaciens. Introduksi bakteri Fibrobacter succinogenes dan Butyrifibrio fibrisolvens meningkatkan kecernaan serat kasar dibandingkan perlakuan kontrol dan introduksi bakteri selulolitik lain. Butyrifibrio fibriosolvens merupakan bakteri rumen pencerna serat terbentuk batang dan gram positif. Hasil fermentasi katbohidrat oleh B. fibriosolvens meliputi asetat, format, laktat, butirat, H2 dan CO2. B. fibrisolvens termasuk kelompok bakteri mesophyl, yang dapat tumbuh dengan baik pada suhu 25o – 40oC. Bakteri ini memiliki flagela, sehingga bersifat motil. Populasi B. fibrisolvens cenderung meningkat bila proporsi konsentrat pakan juga meningkat (Varrel and Dehority, 1989). Populasi B. fibrisolvens pada sapi lebih tinggi dibandingkan pada bison dengan kondisi pakan yang sama. Perubahan populasi dari B. fibrisolvens dan bakteri selulolitik lainnya didalam rumen juga diikuti dengan perubahan tingkat kecernaan serat kasar; hemiselulosa dan selulosa (Varel and Dehority, 1989). Hal ini sesuai dengan pendapat Robinson, 1989 yang menyatakan bahwa pemberian pakan campuran yang (hijauan dan konstanta) akan menyediakan nutrisi yang lengkap bagi bakteri rumen. Butyrifibrio fibrisolvens walaupun menghasilkan enzym selulase seringkali dianggap sebagai bakteri selulolitik yang paling lemah, peranan B. firbisolvens lebih dominan pada hidrolisis hemiselulosa. Fibrobacter succinogenes merupakan salah satu bakteri selulolitik rumen berbentuk basil dan bersifat gram negatif. Seperti halnya bakteri rumen lainnya, F. succinogenes membutuhkan kondisi anaerob untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. F. succinogenes termasuk kelompok bakteri mesophyl yang memiliki kisaran suhu optimum 25o – 40oC, bakteri ini tidak mampu membentuk spora bila kondisi lingkungan tidak sesuai lysis pada umumnya terjadi pada fase stationer dimana bakteri membutuhkan nutrisi lebih banyak, tetapi F. succinogenes mengalami lysis lebih cepat. Pada kondisi stress, peptidoglycan dideposit pada permukaan terdalam dan tertua, permukaan luar kemudian dipotong oleh enzym otolitik. Proses sintesis dan degradasi yang terus-menerus menyebabkan stress ditransfer ke bagian-bagian yang baru saja mensintesis peptidogylcan (Wells and Russel, 1996). Didalam rumen hasil fermentasi karbohidrat oleh F. succinogenes adalah suksinat, asetat dan format (Brock and Madiggan, 1991). Glykosida yang berada pada membran luar Cellulosa Bindily Protein (CBP) dari F. succinogenes akan menstimulasi cellobiosidase, yang memegang peranan penting pada pelekatan dengan selulosa (Miron et.al., 2001). Populasi F. succinogenes tidak banyak dipengaruhi oleh konsentrasi amonia atau asam amino yang disebabkan oleh perbedaan persentase protein pakan, sebaliknya populasi F. succinogenes lebih tinggi pada sapi yang mengkonsumsi serat kasar tinggi dibandingkan pakan dengan serat kasar rendah (Weimer, et.al., 1999). F. succinogenes berinteraksi secara sinergis dengan bakteri-bakteri non selulolitik selama mencerna hijauan. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya kecernaan hemiselulosa dan pectin orchard grass bila pada kultur terdapat Prerotella ruminocola, dan F. succinogenes secara bersama, dibandingkan bila hanya mengandung F. succinogenes (Varga, dan Kolver, 1997). Asetat, format, H2 dan CO2 merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat oleh Ruminococcus albus. Seperti halnya F. succinogenes, R. albus merupakan bakteri gram negatif. Ruminococcus memproduksi sejumlah besar enzym selulase (> 2.000.000 berat molekul) yang diekskresikan kedalam rumen untuk mendegradasi selulosa (Brock and Medigan, 1991). Bertolak belakang dengan B. fibrisolvens, populasi R. albus pada rumen sapi akan menurun seiring dengan meningkatnya proporsi konsentrat pada pakan (Varel and Dehority, 1989). R. albus paling tidak memiliki 2 mekanisme dalam pelekatan dengan selulosa; mekanisme selulosomal, dan mekanisme Cellulose Binding Protein Complex (Mixon et.al., 2001). Pada kondisi substrat selulosa yang terbatas, R. albus merupakan mikroba selulolitik dengan populasi terendah dibandingkan R. flavefaciens dan F. succinogenes (Shi and Weimer, 1995). Introduksi kombinasi bakteri selulolitik tidak selalu diikuti dengan peningkatan kecernaan serat kasar dibandingkan introduksi bakteri tunggal. Hal ini menunjukan adanya kompetisi antara bakteri dalam penggunaan substrat. Hal ini dapt dilihat pada perlakuan F6 yaitu introduksi bakteri selulolitik Butyrifibrio fibrisolvens dan Ruminococcus albus yang justru menurunkan kecernaan serat dibandingkan bila introduksi dilakukan secara tunggal. Introduksi tiga bakteri selulolitik secara bersamaan juga tidak memberikan peningkatan nyata bila diandingkan dengan tanpa introduksi. Pengaruh Perlakuan Terhadap Produksi Gas Fermentasi Jerami. Gas yang dihasilkan merupakan salah satu gambaran dari jumlah serat kasar yang didegradasi. Gas yang dihasilkan sebagian besar terdapat dalam bentuk CO2 dan CH4 Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diukur dilakukan analisis sidik ragam, dan hasilnya ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Data Rataan Produksi Gas dari Fermentasi Jerami (ml/gr) Perlakuan F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 1 22,12 23,72 20,34 29,54 32,18 21,43 24,56 20,77 Ulangan 2 23,15 24,35 19,36 19,23 30,21 22,98 25.12 23,43 3 22,65 24,87 22,16 28.18 34,28 24,56 22,24 21,44 Total Perlakuan 67,92 72,94 61,86 76,87 96,67 68,97 71,92 65,64 Rataan 22,64a 24,13a 20,62a 25,62a 32,22b 22,99a 23,97a 21,88a Hasil analisis menunjukan bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap produksi gas. Hasil analisis sidik ragam kemudian dilanjutlkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) untuk mengetahui perbedaan antara perlakuan. Hasil uji beda nyata terkecil menunjukkan bahwa pola produksi gas memiliki pola yang sama dengan kecernaan serat kasar. Hal ini sesuai dengan pendapat Owen dan Goetsch, 1988 yang menyatakan bahwa produksi gas setara dengan degradasi substrat yang terjadi pada proses fermentasi. Penggunaan jerami padi yang memiliki kandungan serat kasar tinggi akan menghasilkan asam asetat yang domonan dibandingkan dengan asam propionat. Hal ini dijelaskan oleh Church (1976) yang menyatakan bahwa proporsi asam lemak terbang yang diproduksi sangat dipengaruhi oleh jenis karbohidrat pakan. Introduksi bakteri Ruminococcus albus secara tunggal menghasilkan produksi gas tertinggi dibandingkan dua bakteri selulolitik lainnya. Hal ini dijelaskan oleh Weimer, 1996, yang menyatakan bahwa R. Albus dominan pada substrat dengan kandungan selulosa tinggi. Sebaliknya, Butyrifibrio fibrisolvens lebih dominan pada substrat kaya hemiselulosa dan Fibrobacter succinogenes yang meningkat populasinya pada sapi yang mengkonsumsi serat kasar rendah. Bakteri Butyrifibrio fibrisolvens dan Fibrobacter succinogenes yang diintroduksikan secara bersamaan menunjukan sinergi yang paling baik dalam meningkatkan kecernaan serat kasar pakan dan hal ini juga dapat dilihat dari produksi gas yang dihasilkan. Sinergi terjadi karena ke dua bakteri tidak bekerja secara bersamaan dan menggunakan substrat yang sama. F. succinogenes diduga terlebih dahulu melepaskan ikatan hemiselulosa yang kemudian didegradasi lebih lanjut oleh B. fibrisolvens. Sinergi tidak terjadi bila R. albus terlibat. Kombinasi R. albus, baik dengan B.fibrisolvens maupun F. succinogenes tidak meningkatkan kecernaan serat kasar dan juga produksi gas, hal ini dapat terjadi karena terjadinya kompetisi dalam penggunaan substrat oleh bakteri selulolitik tertentu. Produksi gas yang dihasilkan pada penelitian lebih rendah dibandingkan jhasil penelitian Paisley and Horn (1998) yang menggunakan hijauan pada musim dingin dengan penambahan ionophores. Hal ini dapat terjadi karena hijauan yang digunakan memiliki kandungan karbohidrat terlarut yang lebih tinggi dibandingkan jerami padi pada penelitian ini. Tingginya kandungan terlarut pada substrat akan menghasilkan asam lemak terbang dalam bentuk propionat dalam proporsi yang lebih tinggi. Produksi gas dari pembentukan asam propionat lebih tinggi dibandingkan asam asetat. Produksi gas terjadi secara langsung dari fermentasi karbohidrat dan secara tidak langsung dari proses buffering. Buffering yang diperlukan untuk menetralisir asam propionat akan menghasilkan gas yang lebih tinggi. (Blummel, 1998) KESIMPULAN Kesimpulan Hasil penelitian menunjukan bahwa: tidak semua introduksi bakteri selulolitik berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap peningkatan kecernaan serat kasar dan produksi gas jerami padi secara in vitro dan peningkatan kecernaan serat kasar dan produksi gas secara in vitro sangat nyata (P < 0.01) terjadi pada introduksi bakteri Butyrifibrio fibrisolvens dan Fibrobacter succinogenes. Saran Dari hasil penelitian dapat disarankan bahwa bakteri Butyrifibrio fibrisolvens dan Fibrobacter succinogenes dapat digunakan sebagai probiotik untuk ternak ruminansia dalam upaya untuk meningkatkan kecernaan serat kasar pakan. Pemberian probiotik yang mengandung ke dua bakteri tersebut terutama direkomendasikan bagi ternak dengan pakan pada saat menerima pakan dengan kualitas rendah. DAFTAR PUSTAKA Brock, T.D. and Michael T. Madigan. 1991. Biology of Microorganism. Sixt Edition. Prentice Hall. Englewood Cliffs. New Jersey. 07632 Chuzaemi S. dan Hartutik, 1990. Ilmu Makanan Ternak Khusus Ruminansia. NUFFIC. Universitas Brawijaya. Malang. Church, D.C. 1986. Livestock Feeds and Feeding. Third edition. Prentice Hall. International Edition. Cone, 1998. In vitro techniques predict digestion processes in the animal. Wageningen University, The Netherlands. Kuswandi, 1993. Kegiatan Mikroba Dalam Rumen dan Manipulasinya untuk Meningkatkan Efisiensi Produksi Ternak. Buletin Peternakan UNIBRAW Malang. Miron, J., D. Ben-Ghedalia and M. Morisson, 2001. Invited Review: Adhesion Mechanism of Rumen Cellulolytic Bacteria. Journal of Doing Science, Vol. 84, Issue 6. Shi, Y. and P.J. Weimer, 1995. Predicted Outcome of Competition Among Ruminal Cellulolytic Bacteria for Soluble Product of Cellulose Digestion. U.S Dairy Forage Research Center Research Summaries. Varga, G. A. and Erie S. Kolver. 1997. Microbial and Animal Limitation to Fiber Digestion and Utilization. The Journal of Nutrition Vol 127 No. 5. Varrel, V.H. and Burk A. Dehority. 1989. Ruminal Cellulolytic Bacteria and Protozoa From Bison, Cattle – Bisson Hybrids, and Cattle Feed Three Alfalfa – Coin Diets. Applied and Environmental Microbiology. Vol. 55 No. 1 Weimer P.J. et.al. 1996. Ruminal Cellulolytic Bacteria: Physiology, Ecology and Beyond. U.S. Dairy Forage Research Center. Informational Conference with Dairy and Forage Industries. Weimer P.J. et.al., 1999. Effect of Diet on Population of Three Species of Ruminal Cellulolytic Bacteria in Lactating Dairy Cows. Journal of Dairy Science. Vol. 82 Wells J. E and JB. Russel. 1996. The Lysis of Fibrobacter Succinogenes. V. S. Dainy Forage Research Center. Research Summaries.