795-800_wahyu pamungkas.pmd

advertisement
795
Uji kecernaan bungkil kelapa sawit yang ... (Wahyu Pamungkas)
UJI KECERNAAN BUNGKIL KEL APA SAWIT YANG DIHIDROLISIS DENGAN ENZIM
CAIRAN RUMEN DOMBA SEBAGAI PAKAN BENIH IKAN PATIN SIAM (Pangasius
hypophthalmus)
Wahyu Pamungkas*), Dedi Jusadi**), dan Nur Bambang Priyo Utomo **)
*)
**)
Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar
Jl. Raya Sukamandi No. 2, Subang, Jawa Barat
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
ABSTRAK
Penelitian dilakukan untuk mengetahui nilai kecernaan BKS yang telah dihidrolisis dengan enzim cairan
rumen domba sebagai pakan benih ikan patin siam. Pakan yang digunakan dalam penelitian adalah pakan
acuan (100% pakan komersil), pakan uji A (70% pakan komersil : 30% BKSe) dan B (70% pakan komersil : 30%
BKS) dengan 3 ulangan. Ikan yang digunakan 10 ekor benih ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) dengan
bobot rata-rata 20 g/ekor yang dipelihara dalam fiber dengan volume air 80 L. Pemberian pakan secara at
satiation dengan frekuensi pemberian 3 kali per hari. Feses dikumpulkan selama 15 hari pemeliharaan untuk
dianalisis kandungan nutrisinya. Analisis proksimat dilakukan pada pakan dan feses untuk diukur nilai
kecernaannya. Hasil analisis kecernaan menunjukkan bahwa nilai kecernaan pakan A (30% BKSe) lebih tinggi
dibandingkan pakan B (30% BKS). Nilai kecernaan bahan dari BKS yang dihidrolisis dengan enzim cairan
rumen domba lebih tinggi (57,57±0,489) dibandingkan BKS yang tanpa dihidrolisis (15,31±0,217).
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa BKS yang dihidrolisis dengan enzim cairan rumen
mempunyai nilai kecernaan yang lebih tinggi dibandingkan BKS yang tanpa dihidrolisis.
KATA KUNCI:
bungkil kelapa sawit, enzim cairan rumen domba, kecernaan, pakan ikan patin siam
PENDAHULUAN
Ketersediaan BKS di Indonesia cukup besar karena Indonesia merupakan salah satu negara produsen
crude palm oil (CPO) terbesar di dunia. Data yang diperoleh dari Departemen Pertanian, Komoditi
Perkebunan Kelapa Sawit (2010) menyatakan bahwa pada tahun 2009 produksi CPO di Indonesia
mencapai 19,4 juta ton per tahun. Adapun produksi bungkil kelapa sawit Indonesia pada tahun
2009 diperkirakan mencapai 2,1 juta ton (Handoko, 2010). Devendra (1998) diacu dalam Sinurat
(2003) menyatakan bahwa dari total produksi kelapa sawit menghasilkan 2,3% bungkil kelapa sawit.
Bungkil kelapa sawit yang merupakan limbah dari industri minyak sawit telah banyak digunakan
sebagai bahan pakan bagi hewan ternak. Analisis proksimat bungkil kelapa sawit menunjukkan bahwa
bungkil sawit mempunyai kandungan protein antara 13,6%-17,45% (Sundu et al., 2003; Mathius et
al., 2005; Orunmuyi et al., 2006; adadi et al., 2007), lemak kasar berkisar antara 17,1%-21,55% (Sundu
et al., 2003; Hadadi et al., 2007) dan serat kasar mencapai 18,33%-21,3% (Sundu et al., 2003; Orunmuyi
et al., 2006). Kandungan serat kasar yang tinggi pada bungkil sawit menyebabkan bahan baku tersebut
perlu diolah lagi agar dapat digunakan sebagai bahan baku pakan ikan. Hal tersebut disebabkan
adanya keterbatasan ikan dalam mencerna serat kasar. Serat diperlukan dalam jumlah yang terbatas
dalam tubuh ikan yaitu maksimal 7% dalam pakan (Robinson et al., 2001). Lebih lanjut dinyatakan
bahwa untuk ikan-ikan catfish serat dapat digunakan dalam pakan pada level antara 3% sampai 6%.
Kandungan serat kasar yang tinggi dalam pakan akan meningkatkan jumlah limbah yang berada
dalam perairan karena rendahnya tingkat kecernaan pakan.
Salah satu upaya pengolahan terhadap bahan pakan berserat tinggi yang telah berkembang di
bidang peternakan adalah pemanfaatan cairan rumen untuk menurunkan kandungan serat kasar
bahan pakan. Cairan rumen domba merupakan salah satu sumber bahan alternatif yang murah dan
dapat dimanfaatkan dengan mudah sebagai sumber enzim hidrolase (Moharrery & Das, 2002). Cairan
rumen yang diperoleh dari rumah potong hewan kaya akan kandungan enzim pendegradasi serat,
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
796
mengandung enzim á-amilase, galaktosidase, hemisellulase, sellulase, dan xilanase (Williams &
Withers, 1992). Hasil penelitian pendahuluan diperoleh hasil bahwa penambahan enzim cairan rumen
domba dapat menurunkan kandungan serat kasar bungkil kelapa sawit sampai 56,97%.
Perkembangan teknologi pemanfaatan cairan rumen pada pakan ternak yang sudah jauh
berkembang memberi inspirasi kepada pelaku budidaya ikan untuk mengembangkan teknologi
tersebut pada pakan ikan. Salah satu komoditas perikanan air tawar yang potensial dan telah banyak
dikembangkan oleh masyarakat adalah ikan patin siam. Informasi kecernaan bahan pakan berserat
tinggi pada ikan patin siam belum banyak diperoleh.
Bertolak dari hal-hal tersebut di atas maka dilakukan penelitian uji kecernaan bungkil kelapa
sawit yang dihidrolisis dengan enzim cairan rumen sebagai pakan benih ikan patin siam (Pangasius
hypopthalmus).
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan untuk menguji kecernaan BKS yang telah dihidrolisis dengan enzim cairan
rumen sebagai pakan benih ikan patin siam. Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan hatcheri
Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi.
Uji kecernaan bahan pakan dilakukan berdasarkan metode kecernaan bahan yang dikemukan
oleh Watanabe (1988), yaitu pakan acuan (references diet) yang terdiri atas 100% pakan komersil dan
pakan uji (test diet) yang terdiri atas 70% pakan komersil dan 30% bahan pakan yang akan diuji
kecernaannya. Komposisi pakan perlakuan dan komposisi proksimat pakan disajikan pada Tabel 1
dan 2.
Sepuluh ekor ikan patin dengan bobot awal rata-rata 20 g/ekor dipelihara selama 15 hari dalam
fiber yang bervolume 80 L dilengkapi dengan sistem aerasi dan heater dengan suhu 30°C serta
diberikan pakan uji yang mengandung indikator Cr2O3. Pemberian pakan dilakukan secara at satiation
(sampai kenyang) dengan frekuensi pemberian pakan sebanyak tiga kali per hari (Watanabe, 1988).
Pengumpulan feses dilakukan selama masa pemeliharaan dan feses yang telah terkumpul kemudian
dikeringkan dengan menggunakan oven bersuhu 110°C selama 4-6 jam. Selanjutnya dilakukan analisis
kandungan protein, kalsium, fosfor, energi, dan Cr2O3 pada pakan uji dan feses yang sudah dikeringkan
untuk dihitung daya cernanya berdasarkan prosedur Takeuchi (1988). Rancangan yang digunakan
pada penelitian uji kecernaan bahan pakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 3 perlakuan dan
3 ulangan. Parameter yang diukur adalah jumlah konsumsi pakan (JKP), kecernaan total, kecernaan
energi, daya cerna nutrien, kecernaan bahan, dan survival rate. Untuk mengetahui pengaruh pakan
Tabel 1. Komposisi pakan acuan dan pakan uji (%)
Pakan
Komposisi
Acuan
(100% komersil)
A
(30% BKSe)
B
(30% BKS)
Pakan komersil
BKSe
BKS
CMC
Cr2O3
Total
96,5
0
0
3
0,5
100
66,5
30
0
3
0,5
100
66,5
0
30
3
0,5
100
BKS
BKSe
CMC
=
=
=
bungkil kelapa sawit tanpa dihidrolisis dengan enzim cairan rumen domba
bungkil kelapa sawit yang telah dihidrolisis dengan enzim cairan rumen domba
Carboxy Methyl Cellulosa
797
Uji kecernaan bungkil kelapa sawit yang ... (Wahyu Pamungkas)
Tabel 2.
Komposisi proksimat pakan acuan, pakan uji BKSe dan
pakan uji BKS (dalam bobot kering)
Pakan
Komposisi proksimat
Protein
Lemak
Abu
Serat kasar
BETN
GE (kkal/100 g pakan)*
C/P**
BETN
*GE =
**C =
P =
Acuan
(100% komersil)
A
(30% BKSe)
B
(30% BKS)
28,83
7,12
12,59
4,66
46,8
423,85
14,703
25,2
6,97
12,45
5,36
50,02
414,94
16,466
24,43
7,72
10,69
8,36
48,8
412,67
16,892
=
Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen
Gross energy
Energi;
Protein
uji terhadap setiap peubah yang diukur tersebut digunakan analisis ragam (uji F) dan dilanjutkan
dengan Uji Duncan (Steel & Torrie, 1993).
HASIL DAN BAHASAN
Hasil pengamatan terhadap jumlah konsumsi pakan (JKP), nilai kecernaan (total, protein, energi,
bahan) dan survival rate (SR) dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis ragam terhadap JKP dan survival
rate menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata. Sedangkan hasil analisis ragam terhadap nilai
kecernaan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata dimana perlakuan menggunakan pakan A
dengan penambahan 30% BKSe (100 mL/kg), 24 jam masa inkubasi) mempunyai nilai kecernaan lebih
tinggi dibandingkan dengan pakan B yang menggunakan 30% BKS. Perbedaan tersebut juga terjadi
pada nilai dari energi yang dicerna (DE), di mana perlakuan berpengaruh nyata terhadap nilai DE.
Tabel 3.
Jumlah konsumsi pakan, kecernaan total, kecernaan protein,
kecernaan energi, DE, dan survival rate
Pakan
Parameter uji
Acuan
(100% pakan komersil)
A
(30% BKSe)
B
(30% BKS)
JKP (g)
Kecernaan (%)
Total
Protein
Energi
DE (kcal/100 g)
SR (%)
134,14±2,30ns
137,63±0,03ns
133,74±2,36ns
75,23±0,49a
91,63±0,40a
83,39±0,17a
353,4±0,73a
100,00±0,00ns
69,93±0,33b
87,86±0,57b
72,72±0,14b
300,5±0,16b
100,00±0,00ns
57,26±0,35c
83,66±0,84c
60,59±0,02c
263,9±0,36c
100,00±0,00ns
Notasi yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh perlakuan yang
berbeda nyata (P<0,05)
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
798
Jumlah konsumsi pakan pada penelitian tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan.
Hal ini menunjukkan bahwa pakan yang diberikan mempunyai pallatabilitas yang baik dan cenderung
sama. Faktor- faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan antara lain kandungan nutrisi, palatabilitas,
suhu, umur, bobot badan, dan kapasitas lambung. Adapun palatabilitas pakan ditentukan oleh rasa,
bau, dan warna yang merupakan faktor fisik dan kimia pakan (Parakkasi, 1990). Perlakuan pakan
pada penelitian ini juga tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap survival rate pada ikan
patin siam.
Nilai kecernaan menggambarkan kemampuan ikan dalam mencerna suatu pakan dan kualitas
pakan yang dikonsumsi. Kecernaan menggambarkan fraksi nutrien atau energi dalam pakan yang
dicerna dan tidak dikeluarkan dalam bentuk feses (NRC, 1993). Pada penelitian ini diperoleh nilai
kecernaan pakan yang mengandung BKS yang telah dihidrolisis dengan enzim cairan rumen (BKSe)
yang lebih tinggi dibandingkan pakan dengan BKS tanpa dihidrolisis dengan enzim cairan rumen
(BKS). Mokoginta (1999) menyatakan bahwa perbedaan komposisi bahan dan zat makanan dalam
pakan mempengaruhi kecernaan protein dan kecernaan total pakan. Berdasarkan hasil analisis
kandungan nutrien pakan, diketahui bahwa kandungan serat kasar pakan B (30% BKS) lebih tinggi
(8,36%) dibandingkan pakan acuan dan pakan A (4,66% dan 5,36%). Halver (1989) menyatakan bahwa
ikan kurang mampu mencerna serat kasar karena usus ikan tidak terdapat mikroba yang dapat
memproduksi enzim selulase. Kandungan serat kasar yang tinggi di dalam pakan ikan akan
mempengaruhi daya cerna dan penyerapan zat-zat makanan di dalam alat pencernaan ikan.
Kecernaan protein pada penelitian ini untuk semua perlakuan menunjukkan nilai kecernaan lebih
dari 80%. Menurut Ranjhan (1980), kecernaan protein kasar tergantung pada kandungan protein di
dalam pakan. Pakan yang mempunyai kandungan protein yang rendah umumnya mempunyai
kecernaan yang rendah pula dan sebaliknya. Tinggi rendahnya kecernaan protein tergantung pada
kandungan protein bahan pakan dan banyaknya protein yang masuk dalam saluran pencernaan
(Tilman et al., 1991). Semakin tinggi tingkat protein di dalam bahan pakan, maka konsumsi protein
makin tinggi pula, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap nilai kecernaan bahan pakan tersebut
(Wahju, 1997). Hertrampf & Pascual (2000) menyatakan bahwa nilai kecernaan energi pada ayam
yang diberi pakan dengan BKS adalah 78,9%; kecernaan protein 59,8%; dan kecernaan serat kasar
24,4%. Hertrampf & Pascual juga merekomendasikan penggunaan BKS dalam pakan sebesar 5% sampai
10% untuk ikan-ikan herbivora dan omnivora serta 3% sampai 8% untuk ikan-ikan karnivora.
Menurut NRC (1993) serat kasar dapat mempengaruhi kecernaan nutrien lainnya. Kecernaan energi
pakan A (30% BKSe) memberikan nilai kecernaan energi yang lebih tinggi yaitu 72,72% dibandingkan
pakan B (30% BKS) yaitu 60,59%. Apabila dilihat dari nilai DE (Tabel 3) pakan A mempunyai nilai DE
yang juga lebih tinggi dari pakan B. Hal ini dapat terjadi disebabkan pakan A yang mengadung BKS
yang telah dihidrolisis mempunyai nilai nutrisi yang lebih baik dari pakan B. Kandungan serat kasar
yang lebih rendah merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pakan A lebih baik dari pakan B.
Penelitian Ng & Chong (2002) melaporkan bahwa penggunaan BKS dalam pakan ikan tilapia sebesar
20% memberikan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap nilai konversi pakan, rasio efisiensi protein,
Tabel 4. Kecernaan bahan uji
Bahan uji Kecernaan bahan (%)
BKSe
BKS
57,57±0,489
15,31±0,217
BKSe : Bungkil kelapa sawit yang
telah dihidrolisis dengan
enzim cairan rumen
domba 100 mL/kg bahan
selama 24 jam
BKS : Bungkil kelapa sawit
tanpa dihidrolisis
799
Uji kecernaan bungkil kelapa sawit yang ... (Wahyu Pamungkas)
dan performa pertumbuhan dibandingkan dengan pakan kontrol namun menunjukkan nilai koefisien
kecernaan bahan kering, protein, lemak, dan energi yang lebih rendah dari pakan kontrol. Lebih
lanjut dinyatakan bahwa penambahan enzim dalam BKS nyata meningkatkan koefisien kecernaan
bahan kering dan energi dengan penggunaan BKS sebesar 40% dalam pakan dan tidak memberikan
pengaruh yang berarti terhadap pertumbuhan dan efisiensi pemanfaatan pakan oleh ikan tilapia.
Penelitian lainnya menunjukkan bahwa penggunaan BKS yang optimal untuk pakan ikan nila tilapia
dapat mencapai 30% (Lim et al., 2001), yuwana patin jambal dapat mencapai 27% (Afifah, 2006).
Hertrampf & Pascual (2000) merekomendasikan penggunaan BKS dalam pakan sebesar 3% sampai 8%
untuk ikan karnivora sedangkan untuk herbivora 5% sampai 10%.
Hasil pengukuran nilai kecernaan bahan uji BKS yang telah dihidrolisis dengan enzim cairan rumen
100 mL/kg bahan selama 24 jam (BKSe) dan BKS yang tidak dihidrolisis dengan enzim cairan rumen
(BKS) menunjukkan bahwa BKSe mempunyai nilai kecernaan bahan lebih tinggi (57,57%) dibanding
BKS (15,31%). Nilai kecernaan bahan (BKSe dan BKS) disajikan pada Tabel 4.
Hasil pengukuran kecernaan bahan pada penelitian menunjukkan adanya peningkatan kecernaan
BKS yang telah dihidrolisis dengan enzim cairan rumen domba sebagai bahan pakan ikan patin siam
sebesar 73,4% dibandingkan BKS tanpa dihidrolisis. Tingginya tingkat kandungan komponen serat
kasar akan memperlambat laju alir nutrien dalam saluran pencernaan (Stensig et al., 1992). Lawal et
al. (2010) melaporkan bahwa penggunaan multienzim yang diekstrak dari jenis fungi untuk
mendegradasi BKS menurunkan kandungan fraksi serat dan memberikan nilai kecernaan bahan kering
BKS pada broiler yang lebih besar dibanding BKS yang tidak ditambah enzim yaitu sekitar 3% sampai
8 %.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa nilai kecernaan bungkil kelapa sawit yang
dihidrolisis dengan enzim cairan rumen domba mempunyai nilai kecernaan yang lebih tinggi
dibandingkan bungkil kelapa sawit yang tidak dihidrolisis.
DAFTAR ACUAN
Afifah, R. 2006. Pemanfaatan Bungkil Kelapa Sawit dalam Pakan Juvenil Ikan Patin Jambal (Pangasius djambal).
Skripsi. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Departemen Pertanian [Deptan]. 2010. Pusat Data dan Informasi Pertanian: Komoditi Perkebunan;
KelapaSawit. [terhubung berkala]. http://database.go.id/bdsp/newkom.asp. [4 Feb 2010].
Hadadi, A., Setyorini, H., Surahman, A., & Ridwan, E. 2007. Pemanfaatan limbah sawit untuk bahan
pakan ikan. J. Budidaya Air Tawar, 4(1): 11-18.
Halver, J.E. 1989. Fish Nutrition. Second Edition. Academy Press Inc, New York.
Handoko. 2010. Isolasi dan karakterisasi enzim pendegradasi serat peningkat kualitas bungkil inti sawit
untuk pakan ayam pedaging. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Hertrampf, J.W. & Pascual, P.F. 2000. Handbook on Ingrediants for Aquaculture Feeds. Published by :
Kluwer Academic Publisher, p. 119-381.
Lawal, T.E., Iyayi, E.A., Adeniyi,B.A., & Adaramoye, O.A. 2010. Biodegradation of Palm Kernel Cake
with Multienzyme Complexes from Fungi and its Feeding Value for Broilers. Int. J. of Poultry Science,
9(7): 695-701.
Lim, H.A., Ng, W.K., Lim, S.L., & Ibrahim, C.O. 2001.Contamination of Palm Kernel Meal With Aspergillus
flavus Affects its Nutritive Value in Pelleed Feed for Tilapia Oreochromis mossambicus. Aquaculture
Research, 32: 895-905.
Mathius, I.W., Sinurat, A.P., Manurung, B.P., & Sitompul, D.P.A. 2005. Pemanfaatan produk fermentasi
lumpur bungkil sebagai bahan pakan sapi potong. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner,
hlm. 153-161.
Moharrey, A. & Das Tirta, K. 2002. Correlation between microbial enzyme activities in the rumen fluid
of sheep under different treatments. Reprod. Nutr. Dev., 41: 513-529.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
800
Mokoginta, I., Takeuchi,.T., Suprayudi, A.M., Wiramiharja, Y., & Setiawati, M. 1999. Pengaruh sumber
karbohidrat yang berbeda terhadap kecernaan pakan, efisiensi pakan dan pertumbuhan benih
gurame (Osphronemus gouramy Lac). J. Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, VI(2): 13-19.
National Research Council (NRC). 1993. Nutrient Requirements of Warm Water Fishes and Shellfishes.
National Academy of Science Washington D.C., 102 pp.
Ng, W.K. & Chong, K.2002. The Nutritive Value of Palm Kernel Meal and the Effect of Enzyme
Supplementation in Practical Diets for Red Hybrid Tilapia (Oreochromis sp.). Asian Fisheries Society, Manila, Philippines. Asian Fisheries Science, 15: 167-176.
Orunmuyi, M, Bawa, G.S., Adeyinka, F.D., Daudu, O.M., & Adeyinka, I.A. 2006. Pakistan J. of Nutrition,
5(1): 71-74.
Parakkasi, A. 1990. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Monogastrik. Jakarta: UI-Press.
Ranjhan, S.K. 1980. Animal Nutrition In The Trpoics. 3rd Edition. Published M. L Scott and Associates:
Ithaca. New York.
Robinson, E.H., Menghe, H.L., & Bruce, B.M. 2001. A practical guide to nutrition feeds, and feeding of
Catfish. Bull. 1113. Mississippi Agricultural & Forestry Experiment Station. Mississippi State
University.
Sinurat, A.P. 2003. Pemanfaatan lumpur sawit untuk bahan pakan unggas. Wartazoa, 13: 39-47.
Steel, R.G.D. & Torrie, T. 1993. Principles and Procedure of Statistic. McGraw Hill London.
Stensig, T., Weisbjerg, M.R., Madson, J., & Hveppplund, T. 1994. Estimation of Voluntary Feed Intake
from in-sacco Degradation and Rate of passage of DM and NDF. Livest. Prod. Sci., 39: 49-52.
Sundu, B., Kumar, A., & Dingle, J.G. 2003. Perbandingan dua products enzyme komersial pencerna
beta mannan pada ayam pedaging yang mengkonsumsi bungkil kelapa sawit dengan level yang
berbeda. Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Berkelanjutan, p : 19-25
Takeuchi, T. 1988. Laboratory Work-Chemical Evaluation of Dietary Nutrients. In Watanabe T. (Ed.).
Fish Nutrition and Mariculture. Tokyo. Departement of Aquatic Biosciences Tokyo Univercity of
Fisheries. JICA, p. 179-233.
Tillman, A.D., Hartadi, H., Reksohadiprodjo, S., Prawirokusumo, S., & Lebdosoekojo, S. 1991. Ilmu
Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-5. Yogyakarta. Gadjah Mada Univ.
Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ketiga. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Watanabe, T. 1988. Fish Nutrition and Mariculture. Department of Aquatic Bioscience. Tokyo University
of Fisheries. JICA, p. 79-82.
Williams, A.G. & Withers, S.E. 1992. Changes in the rumen microbial population and its activities
during the refaunation period after the reintroduction of ciliate protozoa into the rumen of
defaunated sheep. Canadian. J. Microbiology, 39: 61-69.
Download