795 Uji kecernaan bungkil kelapa sawit yang ... (Wahyu Pamungkas) UJI KECERNAAN BUNGKIL KEL APA SAWIT YANG DIHIDROLISIS DENGAN ENZIM CAIRAN RUMEN DOMBA SEBAGAI PAKAN BENIH IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypophthalmus) Wahyu Pamungkas*), Dedi Jusadi**), dan Nur Bambang Priyo Utomo **) *) **) Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar Jl. Raya Sukamandi No. 2, Subang, Jawa Barat Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Penelitian dilakukan untuk mengetahui nilai kecernaan BKS yang telah dihidrolisis dengan enzim cairan rumen domba sebagai pakan benih ikan patin siam. Pakan yang digunakan dalam penelitian adalah pakan acuan (100% pakan komersil), pakan uji A (70% pakan komersil : 30% BKSe) dan B (70% pakan komersil : 30% BKS) dengan 3 ulangan. Ikan yang digunakan 10 ekor benih ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) dengan bobot rata-rata 20 g/ekor yang dipelihara dalam fiber dengan volume air 80 L. Pemberian pakan secara at satiation dengan frekuensi pemberian 3 kali per hari. Feses dikumpulkan selama 15 hari pemeliharaan untuk dianalisis kandungan nutrisinya. Analisis proksimat dilakukan pada pakan dan feses untuk diukur nilai kecernaannya. Hasil analisis kecernaan menunjukkan bahwa nilai kecernaan pakan A (30% BKSe) lebih tinggi dibandingkan pakan B (30% BKS). Nilai kecernaan bahan dari BKS yang dihidrolisis dengan enzim cairan rumen domba lebih tinggi (57,57±0,489) dibandingkan BKS yang tanpa dihidrolisis (15,31±0,217). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa BKS yang dihidrolisis dengan enzim cairan rumen mempunyai nilai kecernaan yang lebih tinggi dibandingkan BKS yang tanpa dihidrolisis. KATA KUNCI: bungkil kelapa sawit, enzim cairan rumen domba, kecernaan, pakan ikan patin siam PENDAHULUAN Ketersediaan BKS di Indonesia cukup besar karena Indonesia merupakan salah satu negara produsen crude palm oil (CPO) terbesar di dunia. Data yang diperoleh dari Departemen Pertanian, Komoditi Perkebunan Kelapa Sawit (2010) menyatakan bahwa pada tahun 2009 produksi CPO di Indonesia mencapai 19,4 juta ton per tahun. Adapun produksi bungkil kelapa sawit Indonesia pada tahun 2009 diperkirakan mencapai 2,1 juta ton (Handoko, 2010). Devendra (1998) diacu dalam Sinurat (2003) menyatakan bahwa dari total produksi kelapa sawit menghasilkan 2,3% bungkil kelapa sawit. Bungkil kelapa sawit yang merupakan limbah dari industri minyak sawit telah banyak digunakan sebagai bahan pakan bagi hewan ternak. Analisis proksimat bungkil kelapa sawit menunjukkan bahwa bungkil sawit mempunyai kandungan protein antara 13,6%-17,45% (Sundu et al., 2003; Mathius et al., 2005; Orunmuyi et al., 2006; adadi et al., 2007), lemak kasar berkisar antara 17,1%-21,55% (Sundu et al., 2003; Hadadi et al., 2007) dan serat kasar mencapai 18,33%-21,3% (Sundu et al., 2003; Orunmuyi et al., 2006). Kandungan serat kasar yang tinggi pada bungkil sawit menyebabkan bahan baku tersebut perlu diolah lagi agar dapat digunakan sebagai bahan baku pakan ikan. Hal tersebut disebabkan adanya keterbatasan ikan dalam mencerna serat kasar. Serat diperlukan dalam jumlah yang terbatas dalam tubuh ikan yaitu maksimal 7% dalam pakan (Robinson et al., 2001). Lebih lanjut dinyatakan bahwa untuk ikan-ikan catfish serat dapat digunakan dalam pakan pada level antara 3% sampai 6%. Kandungan serat kasar yang tinggi dalam pakan akan meningkatkan jumlah limbah yang berada dalam perairan karena rendahnya tingkat kecernaan pakan. Salah satu upaya pengolahan terhadap bahan pakan berserat tinggi yang telah berkembang di bidang peternakan adalah pemanfaatan cairan rumen untuk menurunkan kandungan serat kasar bahan pakan. Cairan rumen domba merupakan salah satu sumber bahan alternatif yang murah dan dapat dimanfaatkan dengan mudah sebagai sumber enzim hidrolase (Moharrery & Das, 2002). Cairan rumen yang diperoleh dari rumah potong hewan kaya akan kandungan enzim pendegradasi serat, Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011 796 mengandung enzim á-amilase, galaktosidase, hemisellulase, sellulase, dan xilanase (Williams & Withers, 1992). Hasil penelitian pendahuluan diperoleh hasil bahwa penambahan enzim cairan rumen domba dapat menurunkan kandungan serat kasar bungkil kelapa sawit sampai 56,97%. Perkembangan teknologi pemanfaatan cairan rumen pada pakan ternak yang sudah jauh berkembang memberi inspirasi kepada pelaku budidaya ikan untuk mengembangkan teknologi tersebut pada pakan ikan. Salah satu komoditas perikanan air tawar yang potensial dan telah banyak dikembangkan oleh masyarakat adalah ikan patin siam. Informasi kecernaan bahan pakan berserat tinggi pada ikan patin siam belum banyak diperoleh. Bertolak dari hal-hal tersebut di atas maka dilakukan penelitian uji kecernaan bungkil kelapa sawit yang dihidrolisis dengan enzim cairan rumen sebagai pakan benih ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus). BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan untuk menguji kecernaan BKS yang telah dihidrolisis dengan enzim cairan rumen sebagai pakan benih ikan patin siam. Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan hatcheri Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi. Uji kecernaan bahan pakan dilakukan berdasarkan metode kecernaan bahan yang dikemukan oleh Watanabe (1988), yaitu pakan acuan (references diet) yang terdiri atas 100% pakan komersil dan pakan uji (test diet) yang terdiri atas 70% pakan komersil dan 30% bahan pakan yang akan diuji kecernaannya. Komposisi pakan perlakuan dan komposisi proksimat pakan disajikan pada Tabel 1 dan 2. Sepuluh ekor ikan patin dengan bobot awal rata-rata 20 g/ekor dipelihara selama 15 hari dalam fiber yang bervolume 80 L dilengkapi dengan sistem aerasi dan heater dengan suhu 30°C serta diberikan pakan uji yang mengandung indikator Cr2O3. Pemberian pakan dilakukan secara at satiation (sampai kenyang) dengan frekuensi pemberian pakan sebanyak tiga kali per hari (Watanabe, 1988). Pengumpulan feses dilakukan selama masa pemeliharaan dan feses yang telah terkumpul kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven bersuhu 110°C selama 4-6 jam. Selanjutnya dilakukan analisis kandungan protein, kalsium, fosfor, energi, dan Cr2O3 pada pakan uji dan feses yang sudah dikeringkan untuk dihitung daya cernanya berdasarkan prosedur Takeuchi (1988). Rancangan yang digunakan pada penelitian uji kecernaan bahan pakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan. Parameter yang diukur adalah jumlah konsumsi pakan (JKP), kecernaan total, kecernaan energi, daya cerna nutrien, kecernaan bahan, dan survival rate. Untuk mengetahui pengaruh pakan Tabel 1. Komposisi pakan acuan dan pakan uji (%) Pakan Komposisi Acuan (100% komersil) A (30% BKSe) B (30% BKS) Pakan komersil BKSe BKS CMC Cr2O3 Total 96,5 0 0 3 0,5 100 66,5 30 0 3 0,5 100 66,5 0 30 3 0,5 100 BKS BKSe CMC = = = bungkil kelapa sawit tanpa dihidrolisis dengan enzim cairan rumen domba bungkil kelapa sawit yang telah dihidrolisis dengan enzim cairan rumen domba Carboxy Methyl Cellulosa 797 Uji kecernaan bungkil kelapa sawit yang ... (Wahyu Pamungkas) Tabel 2. Komposisi proksimat pakan acuan, pakan uji BKSe dan pakan uji BKS (dalam bobot kering) Pakan Komposisi proksimat Protein Lemak Abu Serat kasar BETN GE (kkal/100 g pakan)* C/P** BETN *GE = **C = P = Acuan (100% komersil) A (30% BKSe) B (30% BKS) 28,83 7,12 12,59 4,66 46,8 423,85 14,703 25,2 6,97 12,45 5,36 50,02 414,94 16,466 24,43 7,72 10,69 8,36 48,8 412,67 16,892 = Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen Gross energy Energi; Protein uji terhadap setiap peubah yang diukur tersebut digunakan analisis ragam (uji F) dan dilanjutkan dengan Uji Duncan (Steel & Torrie, 1993). HASIL DAN BAHASAN Hasil pengamatan terhadap jumlah konsumsi pakan (JKP), nilai kecernaan (total, protein, energi, bahan) dan survival rate (SR) dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis ragam terhadap JKP dan survival rate menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata. Sedangkan hasil analisis ragam terhadap nilai kecernaan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata dimana perlakuan menggunakan pakan A dengan penambahan 30% BKSe (100 mL/kg), 24 jam masa inkubasi) mempunyai nilai kecernaan lebih tinggi dibandingkan dengan pakan B yang menggunakan 30% BKS. Perbedaan tersebut juga terjadi pada nilai dari energi yang dicerna (DE), di mana perlakuan berpengaruh nyata terhadap nilai DE. Tabel 3. Jumlah konsumsi pakan, kecernaan total, kecernaan protein, kecernaan energi, DE, dan survival rate Pakan Parameter uji Acuan (100% pakan komersil) A (30% BKSe) B (30% BKS) JKP (g) Kecernaan (%) Total Protein Energi DE (kcal/100 g) SR (%) 134,14±2,30ns 137,63±0,03ns 133,74±2,36ns 75,23±0,49a 91,63±0,40a 83,39±0,17a 353,4±0,73a 100,00±0,00ns 69,93±0,33b 87,86±0,57b 72,72±0,14b 300,5±0,16b 100,00±0,00ns 57,26±0,35c 83,66±0,84c 60,59±0,02c 263,9±0,36c 100,00±0,00ns Notasi yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (P<0,05) Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011 798 Jumlah konsumsi pakan pada penelitian tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa pakan yang diberikan mempunyai pallatabilitas yang baik dan cenderung sama. Faktor- faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan antara lain kandungan nutrisi, palatabilitas, suhu, umur, bobot badan, dan kapasitas lambung. Adapun palatabilitas pakan ditentukan oleh rasa, bau, dan warna yang merupakan faktor fisik dan kimia pakan (Parakkasi, 1990). Perlakuan pakan pada penelitian ini juga tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap survival rate pada ikan patin siam. Nilai kecernaan menggambarkan kemampuan ikan dalam mencerna suatu pakan dan kualitas pakan yang dikonsumsi. Kecernaan menggambarkan fraksi nutrien atau energi dalam pakan yang dicerna dan tidak dikeluarkan dalam bentuk feses (NRC, 1993). Pada penelitian ini diperoleh nilai kecernaan pakan yang mengandung BKS yang telah dihidrolisis dengan enzim cairan rumen (BKSe) yang lebih tinggi dibandingkan pakan dengan BKS tanpa dihidrolisis dengan enzim cairan rumen (BKS). Mokoginta (1999) menyatakan bahwa perbedaan komposisi bahan dan zat makanan dalam pakan mempengaruhi kecernaan protein dan kecernaan total pakan. Berdasarkan hasil analisis kandungan nutrien pakan, diketahui bahwa kandungan serat kasar pakan B (30% BKS) lebih tinggi (8,36%) dibandingkan pakan acuan dan pakan A (4,66% dan 5,36%). Halver (1989) menyatakan bahwa ikan kurang mampu mencerna serat kasar karena usus ikan tidak terdapat mikroba yang dapat memproduksi enzim selulase. Kandungan serat kasar yang tinggi di dalam pakan ikan akan mempengaruhi daya cerna dan penyerapan zat-zat makanan di dalam alat pencernaan ikan. Kecernaan protein pada penelitian ini untuk semua perlakuan menunjukkan nilai kecernaan lebih dari 80%. Menurut Ranjhan (1980), kecernaan protein kasar tergantung pada kandungan protein di dalam pakan. Pakan yang mempunyai kandungan protein yang rendah umumnya mempunyai kecernaan yang rendah pula dan sebaliknya. Tinggi rendahnya kecernaan protein tergantung pada kandungan protein bahan pakan dan banyaknya protein yang masuk dalam saluran pencernaan (Tilman et al., 1991). Semakin tinggi tingkat protein di dalam bahan pakan, maka konsumsi protein makin tinggi pula, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap nilai kecernaan bahan pakan tersebut (Wahju, 1997). Hertrampf & Pascual (2000) menyatakan bahwa nilai kecernaan energi pada ayam yang diberi pakan dengan BKS adalah 78,9%; kecernaan protein 59,8%; dan kecernaan serat kasar 24,4%. Hertrampf & Pascual juga merekomendasikan penggunaan BKS dalam pakan sebesar 5% sampai 10% untuk ikan-ikan herbivora dan omnivora serta 3% sampai 8% untuk ikan-ikan karnivora. Menurut NRC (1993) serat kasar dapat mempengaruhi kecernaan nutrien lainnya. Kecernaan energi pakan A (30% BKSe) memberikan nilai kecernaan energi yang lebih tinggi yaitu 72,72% dibandingkan pakan B (30% BKS) yaitu 60,59%. Apabila dilihat dari nilai DE (Tabel 3) pakan A mempunyai nilai DE yang juga lebih tinggi dari pakan B. Hal ini dapat terjadi disebabkan pakan A yang mengadung BKS yang telah dihidrolisis mempunyai nilai nutrisi yang lebih baik dari pakan B. Kandungan serat kasar yang lebih rendah merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pakan A lebih baik dari pakan B. Penelitian Ng & Chong (2002) melaporkan bahwa penggunaan BKS dalam pakan ikan tilapia sebesar 20% memberikan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap nilai konversi pakan, rasio efisiensi protein, Tabel 4. Kecernaan bahan uji Bahan uji Kecernaan bahan (%) BKSe BKS 57,57±0,489 15,31±0,217 BKSe : Bungkil kelapa sawit yang telah dihidrolisis dengan enzim cairan rumen domba 100 mL/kg bahan selama 24 jam BKS : Bungkil kelapa sawit tanpa dihidrolisis 799 Uji kecernaan bungkil kelapa sawit yang ... (Wahyu Pamungkas) dan performa pertumbuhan dibandingkan dengan pakan kontrol namun menunjukkan nilai koefisien kecernaan bahan kering, protein, lemak, dan energi yang lebih rendah dari pakan kontrol. Lebih lanjut dinyatakan bahwa penambahan enzim dalam BKS nyata meningkatkan koefisien kecernaan bahan kering dan energi dengan penggunaan BKS sebesar 40% dalam pakan dan tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap pertumbuhan dan efisiensi pemanfaatan pakan oleh ikan tilapia. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa penggunaan BKS yang optimal untuk pakan ikan nila tilapia dapat mencapai 30% (Lim et al., 2001), yuwana patin jambal dapat mencapai 27% (Afifah, 2006). Hertrampf & Pascual (2000) merekomendasikan penggunaan BKS dalam pakan sebesar 3% sampai 8% untuk ikan karnivora sedangkan untuk herbivora 5% sampai 10%. Hasil pengukuran nilai kecernaan bahan uji BKS yang telah dihidrolisis dengan enzim cairan rumen 100 mL/kg bahan selama 24 jam (BKSe) dan BKS yang tidak dihidrolisis dengan enzim cairan rumen (BKS) menunjukkan bahwa BKSe mempunyai nilai kecernaan bahan lebih tinggi (57,57%) dibanding BKS (15,31%). Nilai kecernaan bahan (BKSe dan BKS) disajikan pada Tabel 4. Hasil pengukuran kecernaan bahan pada penelitian menunjukkan adanya peningkatan kecernaan BKS yang telah dihidrolisis dengan enzim cairan rumen domba sebagai bahan pakan ikan patin siam sebesar 73,4% dibandingkan BKS tanpa dihidrolisis. Tingginya tingkat kandungan komponen serat kasar akan memperlambat laju alir nutrien dalam saluran pencernaan (Stensig et al., 1992). Lawal et al. (2010) melaporkan bahwa penggunaan multienzim yang diekstrak dari jenis fungi untuk mendegradasi BKS menurunkan kandungan fraksi serat dan memberikan nilai kecernaan bahan kering BKS pada broiler yang lebih besar dibanding BKS yang tidak ditambah enzim yaitu sekitar 3% sampai 8 %. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa nilai kecernaan bungkil kelapa sawit yang dihidrolisis dengan enzim cairan rumen domba mempunyai nilai kecernaan yang lebih tinggi dibandingkan bungkil kelapa sawit yang tidak dihidrolisis. DAFTAR ACUAN Afifah, R. 2006. Pemanfaatan Bungkil Kelapa Sawit dalam Pakan Juvenil Ikan Patin Jambal (Pangasius djambal). Skripsi. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Departemen Pertanian [Deptan]. 2010. Pusat Data dan Informasi Pertanian: Komoditi Perkebunan; KelapaSawit. [terhubung berkala]. http://database.go.id/bdsp/newkom.asp. [4 Feb 2010]. Hadadi, A., Setyorini, H., Surahman, A., & Ridwan, E. 2007. Pemanfaatan limbah sawit untuk bahan pakan ikan. J. Budidaya Air Tawar, 4(1): 11-18. Halver, J.E. 1989. Fish Nutrition. Second Edition. Academy Press Inc, New York. Handoko. 2010. Isolasi dan karakterisasi enzim pendegradasi serat peningkat kualitas bungkil inti sawit untuk pakan ayam pedaging. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Hertrampf, J.W. & Pascual, P.F. 2000. Handbook on Ingrediants for Aquaculture Feeds. Published by : Kluwer Academic Publisher, p. 119-381. Lawal, T.E., Iyayi, E.A., Adeniyi,B.A., & Adaramoye, O.A. 2010. Biodegradation of Palm Kernel Cake with Multienzyme Complexes from Fungi and its Feeding Value for Broilers. Int. J. of Poultry Science, 9(7): 695-701. Lim, H.A., Ng, W.K., Lim, S.L., & Ibrahim, C.O. 2001.Contamination of Palm Kernel Meal With Aspergillus flavus Affects its Nutritive Value in Pelleed Feed for Tilapia Oreochromis mossambicus. Aquaculture Research, 32: 895-905. Mathius, I.W., Sinurat, A.P., Manurung, B.P., & Sitompul, D.P.A. 2005. Pemanfaatan produk fermentasi lumpur bungkil sebagai bahan pakan sapi potong. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, hlm. 153-161. Moharrey, A. & Das Tirta, K. 2002. Correlation between microbial enzyme activities in the rumen fluid of sheep under different treatments. Reprod. Nutr. Dev., 41: 513-529. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011 800 Mokoginta, I., Takeuchi,.T., Suprayudi, A.M., Wiramiharja, Y., & Setiawati, M. 1999. Pengaruh sumber karbohidrat yang berbeda terhadap kecernaan pakan, efisiensi pakan dan pertumbuhan benih gurame (Osphronemus gouramy Lac). J. Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, VI(2): 13-19. National Research Council (NRC). 1993. Nutrient Requirements of Warm Water Fishes and Shellfishes. National Academy of Science Washington D.C., 102 pp. Ng, W.K. & Chong, K.2002. The Nutritive Value of Palm Kernel Meal and the Effect of Enzyme Supplementation in Practical Diets for Red Hybrid Tilapia (Oreochromis sp.). Asian Fisheries Society, Manila, Philippines. Asian Fisheries Science, 15: 167-176. Orunmuyi, M, Bawa, G.S., Adeyinka, F.D., Daudu, O.M., & Adeyinka, I.A. 2006. Pakistan J. of Nutrition, 5(1): 71-74. Parakkasi, A. 1990. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Monogastrik. Jakarta: UI-Press. Ranjhan, S.K. 1980. Animal Nutrition In The Trpoics. 3rd Edition. Published M. L Scott and Associates: Ithaca. New York. Robinson, E.H., Menghe, H.L., & Bruce, B.M. 2001. A practical guide to nutrition feeds, and feeding of Catfish. Bull. 1113. Mississippi Agricultural & Forestry Experiment Station. Mississippi State University. Sinurat, A.P. 2003. Pemanfaatan lumpur sawit untuk bahan pakan unggas. Wartazoa, 13: 39-47. Steel, R.G.D. & Torrie, T. 1993. Principles and Procedure of Statistic. McGraw Hill London. Stensig, T., Weisbjerg, M.R., Madson, J., & Hveppplund, T. 1994. Estimation of Voluntary Feed Intake from in-sacco Degradation and Rate of passage of DM and NDF. Livest. Prod. Sci., 39: 49-52. Sundu, B., Kumar, A., & Dingle, J.G. 2003. Perbandingan dua products enzyme komersial pencerna beta mannan pada ayam pedaging yang mengkonsumsi bungkil kelapa sawit dengan level yang berbeda. Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Berkelanjutan, p : 19-25 Takeuchi, T. 1988. Laboratory Work-Chemical Evaluation of Dietary Nutrients. In Watanabe T. (Ed.). Fish Nutrition and Mariculture. Tokyo. Departement of Aquatic Biosciences Tokyo Univercity of Fisheries. JICA, p. 179-233. Tillman, A.D., Hartadi, H., Reksohadiprodjo, S., Prawirokusumo, S., & Lebdosoekojo, S. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-5. Yogyakarta. Gadjah Mada Univ. Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ketiga. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Watanabe, T. 1988. Fish Nutrition and Mariculture. Department of Aquatic Bioscience. Tokyo University of Fisheries. JICA, p. 79-82. Williams, A.G. & Withers, S.E. 1992. Changes in the rumen microbial population and its activities during the refaunation period after the reintroduction of ciliate protozoa into the rumen of defaunated sheep. Canadian. J. Microbiology, 39: 61-69.