total dan diferensiasi leukosit sapi pejantan unggul

advertisement
TOTAL DAN DIFERENSIASI LEUKOSIT SAPI PEJANTAN
UNGGUL DENGAN BODY CONDITION SCORING
(BCS) TINGGI
INTAN PANDINI RESTU MUKTI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Total dan Diferensiasi
Leukosit Sapi Pejantan Uggul dengan Body Condition Scoring (BCS) Tinggi
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2014
Intan Pandini Restu Mukti
NIM B04100004
ABSTRAK
INTAN PANDINI RESTU MUKTI. Total dan Diferensiasi Leukosit Sapi
Pejantan Unggul dengan Body Condition Scoring (BCS) Tinggi. Dibimbing oleh
CHUSNUL CHOLIQ.
Sapi pejantan unggul merupakan penghasil sperma yang digunakan untuk
inseminasi buatan. Data fisiologis seperti diferensiasi leukosit penting digunakan
sebagai data pendukung untuk evaluasi rutin kesehatan pada sapi pejantan unggul.
Tujuan penelitian ini untuk memperoleh gambaran leukosit total dan diferensiasinya
pada sapi pejantan yang memiliki BCS tinggi. Sebanyak 30 sample darah dari 3 ras
sapi (Simmental, Brahman, Friesian Holstein) dikoleksi dan dihitung dengan
microscope eye-piece camera. Sapi pejantan pada kelompok A (umur <5 tahun)
memiliki jumlah leukosit lebih tinggi dibandingkan dengan pejantan kelompok B
(umur >5 tahun). Jumlah rata-rata leukosit total, eosinofil, neutrofil, basofil,
limfosit, dan monosit dari sapi pejantan kelompok A secara berturut-turut adalah
7764 sel/µL, 411 sel/µL, 4150 sel/µL, 109 sel/µL, 2892 sel/µL, dan 204 sel/µL.
Sementara, jumlah rata-rata leukosit total, eosinofil, neutrofil, basofil, limfosit,
dan monosit dari sapi pejantan kelompok B secara berturut-turut adalah 6832
sel/µL, 437 sel/µL, 3771 sel/µL, 71 sel/µL, 2363 sel/µL, dan 192 sel/µL.
Morfologi leukosit di antara dua ras dan umur menunjukkan bentuk yang serupa.
Kata kunci: sapi pejantan unggul, diferensiasi leukosit, BCS tinggi
ABSTRACT
INTAN PANDINI RESTU MUKTI. Total and Differentiation of Leukocytes on
Bull with High-level Body Condition Scoring (BCS). Supervised by CHUSNUL
CHOLIQ.
Bull were sperm producer for artificial insemination. Physiological data
such as leukocytes differentiation were important for supporting routine health
monitoring. The objective of this study is to get the profile of leukocytes from
high-level body condition scoring (BCS) of bull. The 30 blood samples of 3 breed
bull (Simmental, Brahman, Friesian Holstein) were collected through coxygeal
vein and calculated using microscope eye-piece camera instrument. The results
showed that bull in A group (age <5 years) had higher total leukocytes than bull in
B group (age >5 years). Average value of total leukocytes, eosinophil, neutrophil,
basophil, lymphocyte, and monocyte of bull in A group were 7764 cell/µL, 411
cell/µL, 4150 cell/µL, 109 cell/µL, 2892 cell/µL, and 204 cell/µL consecutively.
While the average value of total leukocytes, eosinophil, neutrophil, basophil,
lymphocyte, and monocyte of bull in B group were 6832 cell/µL, 437 cell/µL,
3771 cell/µL, 71 cell/µL, 2363 cell/µL, and 192 cell/µL consecutively.
Leukocytes morphology between breed and ages also shown the similar shape.
Keywords: bull, leukocyte differentiation, high-level bcs
TOTAL DAN DIFERENSIASI LEUKOSIT SAPI PEJANTAN
UNGGUL DENGAN BODY CONDITION SCORING
(BCS) TINGGI
INTAN PANDINI RESTU MUKTI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Total dan Diferensiasi Leukosit Sapi Pejantan Unggul dengan Body
Condition Scoring (BCS) Tinggi
Nama
: Intan Pandini Restu Mukti
NIM
: B04100004
Disetujui oleh
Dr Drh Chusnul Choliq, MS MM
Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Drh Agus Setiyono, MS PhD APVet
Wakil Dekan FKH IPB
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT atas berkat, rahmat, dan
hidayahNya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul Total
dan Diferensiasi Leukosit Sapi Pejantan Unggul dengan Body Condition Scoring
(BCS) Tinggi. Skripsi ini merupakan prasyarat kelulusan jenjang sarjana di
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Dengan segala syukur dan berbahagia, penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada:
1. Dr Drh Chusnul Choliq, MS, MM selaku dosen pembimbing yang selalu
mengarahkan penulis dengan penuh kesabaran sehingga tulisan ini dapat
terselesaikan;
2. Balai Inseminasi Buatan Lembang Jawa Barat yang telah memberikan izin
dan kesempatan kepada penulis untuk pengambilan data penelitian;
3. Keluarga tercinta, bapak Sri Edy Mulyo, ibu Amini, tante Suhermi, serta
kakak-kakakku tersayang yang senantiasa memberikan rasa cinta dan
kasih sayang serta dukungan secara moril dan materiil selama penulis
melalui jenjang sarjana.
4. Drh Leni Maylina, MSi dan Drh Ida Zahidah Irfan, MSi yang selalu
bersedia memberikan saran kepada penulis.
5. Dr Drh Anita Esfandiari, MSi selaku dosen penilai dalam seminar skripsi
yang telah memberikan masukan sehingga karya ilmiah ini dapat tersusun.
6. Drh Risa Tiuria, MS, PhD dan Drh Wahono Esthi Prasetyaningtyas, MSi,
PAVet selaku dosen penguji ujian akhir sarjana kedokteran hewan yang
memberikan saran dan arahan dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Dr Drh Elok Budi Retnani, MS selaku dosen pembimbing akademik yang
selalu memberikan motivasi dan arahan selama penulis menjadi
mahasiswa di FKH IPB.
8. Moh Zaenal Abidin Mursyid yang selalu membantu, memberikan
semangat, dan doa kepada penulis.
9. Sahabat-sahabat terbaik Acromion FKH 47 Abel Jamaun, Dini
Nurwahyuni, Shine Rani Diansari, St. Khadijah Hardiyanti, Amanda
Talitha Prima Lia, Annisa Fithri Lubis, Kukuh Syirotol Ichsan, Novan Eko
Kurniawan, Zella Nofitri, Rahmad Arsy, Tri Apriyadi Hidayat, dan temanteman lain yang selalu memberikan semangat.
10. Drh Mira Fatmawati, MSi yang senantiasa memberikan motivasi dan
masukan.
Bogor, Desember 2014
Intan Pandini Restu Mukti
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
VIII
DAFTAR GAMBAR
VIII
DAFTAR LAMPIRAN
VIII
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
1
TINJAUAN PUSTAKA
2
Sapi Pejantan Unggul
2
Body Condition Scoring (BCS)
3
Leukosit
4
Diferensiasi Leukosit
5
METODE
7
Waktu dan Tempat Penelitian
7
Bahan dan Alat
7
Pelaksanaan Penelitian
7
Prosedur Analisis Data
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
9
Total Leukosit
9
Total Eosinofil
10
Total Neutrofil
11
Total Basofil
13
Total Limfosit
14
Total Monosit
15
SIMPULAN DAN SARAN
17
Simpulan
17
Saran
17
DAFTAR PUSTAKA
17
RIWAYAT HIDUP
21
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
Total leukosit sapi pejantan unggul BCS tinggi
Total eosinofil sapi pejantan unggul BCS tinggi
Total neutrofil sapi pejantan unggul BCS tinggi
Rata-rata indeks stres sapi pejantan unggul BCS tinggi
Total basofil sapi pejantan unggul BCS tinggi
Jumlah limfosit sapi pejantan unggul BCS tinggi
Jumlah monosit sapi pejantan unggul BCS tinggi
10
10
11
12
13
15
16
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
0
1
1
1
2
Titik orientasi penentuan BCS (mofisikasi Parish 2008)
Level BCS (modifikasi Parish 2008)
Morfologi eosinofil (Harvey 2001)
Morfologi basofil (Harvey 2001)
Morfologi neutrofil: A= neutrofil muda; B= neutrofil dewasa
(Harvey 2001)
Morfologi leukosit A= limfosit; B= monosit
(Harvey 2001)
Pengambilan sampel darah dari vena coxygea
Morfologi eosinofil pejantan BCS tinggi pada perbesaran
10x100
Morfologi neutrofil pejantan BCS tinggi pada perbesaran
10x100
Morfologi basofil pejantan BCS tinggi pada perbesaran
10x100
Morfologi limfosit pejantan BCS tinggi pada perbesaran
10x100
Morfologi monosit pejantan BCS tinggi pada perbesaran
10x100
3
4
5
6
6
7
8
1
1
1
3
1
4
1
5
1
6
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berbagai strategi dilakukan untuk mendukung program ketahanan pangan
asal hewan melalui pengembangan sentra pembibitan dan penggemukan sapi.
Peningkatan jumlah produksi dilakukan dengan cara meningkatkan performa sapisapi pejantan unggul yang ada di berbagai Balai Inseminasi Buatan (BIB) di
Indonesia. Sapi pejantan di BIB dipacu produksinya secara maksimal sehingga
diperlukan manajemen pemeliharaan khusus. Manajemen pemeliharaan mencakup
pengawasan kesehatan sapi secara rutin baik pemeriksaan fisik atau pemeriksaan
laboratorium. Pemeriksaan laboratorium rutin yang perlu dilakukan adalah
pemeriksaan darah karena secara cepat dan nyata dapat memperlihatkan status
fisiologis maupun patologis.
Gambaran darah dapat berupa gambaran sel darah merah (eritrosit) dan sel
darah putih (leukosit). Gambaran eritrosit menunjukkan jumlah dan morfologi sel
yang berhubungan dengan status anemia pada sapi dan status eritropoiesis
sedangkan total dan diferensiasi leukositdapat menggambarkan status fisiologis
bahkan patologis. Manifestasi respon leukosit dapat berupa penurunan atau
peningkatan satu atau beberapa jenis sel leukosit. Informasi ini dapat memberikan
petunjuk terhadap kehadiran suatu penyakit dan membantu dalam diagnosa
penyakit yang diakibatkan oleh agen tertentu (Jain 1993). Secara uji lanjut bahkan
gambaran leukosit dapat memberikan informasi perjalanan penyakit baik secara
akut atau kronis. Dasar inilah yang menjadi landasan peneliti dalam melakukan
penelitian ini.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, rumusan masalah yang
mendasari penelitian ini adalah:
1. Apakah terdapat perbedaan total sel leukosit pada sapi pejantan BCS tinggi
umur kurang dari 5 tahun dan umur lebih dari 5 tahun di BIB Lembang?
2. Apakah terdapat perbedaan diferensiasi sel leukosit pada sapi pejantan BCS
tinggi umur kurang dari 5 tahun dan umur lebih dari 5 tahun di BIB Lembang?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran total sel leukosit dan
diferensiasi sel leukosit sapi-sapi pejantan yang memiliki BCS tinggi pada
kelompok A (umur <5 tahun) dan kelompok B (umur >5 tahun).
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan hematologi klinik
berupa gambaran diferensiasi total leukosit sapi-sapi pejantan unggul pada
2
berbagai tingkatan umur di BIB Lembang sehingga dapat dijadikan dasar
penentuan status kesehatan sapi pejantan unggul.
TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Pejantan Unggul
Sapi pejantan unggul merupakan sapi yang memenuhi persyaratan teknis,
reproduktif maupun kesehatan untuk dapat ditampung semennya dan diproses
menjadi semen beku. Persyaratan teknis tersebut meliputi ras yang jelas, bebas
dari segala cacat fisik, testis yang simetris, mempunyai sifat genetik unggul dan
memberikan semen yang berkualitas, sedangkan persyaratan reproduksi meliputi
libido yang tinggi, serving ability (kesanggupan mengawini), serving capability
(kemampuan mengawini), warna semen putih susu kekuningan, lingkar scrotum
yang ideal, serta persentase motilitas sperma lebih dari 60 % dan persentase
spermatozoa yang bergerak progresif lebih dari 2+. Sedangkan persyaratan
kesehatan yang telah dipenuhi oleh pejantan unggul adalah bebas dari penyakit
parasit, spongioform encephalopaty, surra, antrak, malignant catarrhal fever,
babesiosis, blue tongue yang telah dilakukan pengujian secara laboratoris dan
dinyatakan sehat oleh Balai Besar Veteriner (Direktorat Jenderal Peernakan dan
Kesehatan Hewan 2006).
Friesian Holstein (FH)
Sapi FH berasal dari nenek moyang sapi liar Bos taurus, Typicus
primigenius yang tidak berpunuk dan ditemukan di provinsi North Holland dan
West Friesland, Belanda (Schmidt dan Vleck 1974). Sapi FH memiliki ciri-ciri
berwarna belang hitam putih, pada dahi umumnya terdapat warna putih berbentuk
persegi, warna rambut pada bagian bawah kaki dan ekor berwarna putih, tidak
tahan panas, dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan (French 1996).
Simmental
Sapi Simmental termasuk dalam bangsa Bos taurus yang berasal dari
lembah Simme di Swiss. Sapi ini banyak tersebar di daerah Eropa Tengah dan
Eropa Timur. Sapi Simmental memiliki wajah putih dengan tubuh gelap, memiliki
tubuh yang besar dengan bobot jantan dewasa mencapai 1.043–1.179 kg
sedangkan betina dewasa di kisaran 658–816 kg. Sapi ini tidak hanya berfungsi
sebagai sapi dwiguna (penghasil daging dan susu) tetapi juga triguna karena dapat
berfungsi sebagai sapi pekerja.
Brahman
Ciri fisik Brahman ditandai dengan adanya kelasa yang cukup besar
melampaui bahu, kulit yang menggantung di bawah kerongkongan dan gelambir
panjang, kaki panjang, dan telinga menggantung. Keunggulan sapi ini adalah daya
adaptasi yang kuat di iklim Indonesia. Dahulu Sapi Brahman banyak digunakan
sebagai sapi pekerja dan sekarang telah dikembangkan sebagai sapi penghasil
daging.
3
Body Condition Scoring (BCS)
Body condition scoring (BCS) merupakan metode penilaian secara subyektif
melalui teknik penglihatan untuk menduga cadangan lemak tubuh. Penilaian BCS
diterima sebagai metode praktis dan murah dalam pendugaan lemak tubuh untuk
kepentingan penelitian maupun komersial (Otto et al. 1991). BCS juga dijadikan
sebagai alat untuk menjelaskan status nutrisi ternak melalui evaluasi cadangan
lemak hasil metabolisme, pertumbuhan, laktasi, dan aktivitas harian (Wright dan
Russel 1984). Edmonson et al (1989) menciptakan teknik pengukuran BCS
dengan diagram skala 1–5. Nilai 1 mempunyai arti tubuh sapi sangat kurus, nilai 2
mempunyai arti kurus, nilai 3 mempunyai arti sedang, nilai 4 mempunyai arti
gemuk, dan nilai 5 mempunyai arti sangat gemuk.
Penilaian kondisi tubuh dilakukan dengan pengamatan terhadap deposit
lemak pada bagian tubuh ternak, yaitu pada bagian punggung dan seperempat
bagian belakang, seperti pada bagian processus spinosus, processus spinosus ke
processus transversus, processus transversus, legok lapar, tuber coxae (hooks),
antara tuber coxae dan tuber ischiadicus (pins), antara tuber coxae kanan dan kiri,
serta pangkal ekor ke tuber ischiadicus (Edmonson et al. 1989). Bagian-bagian
tubuh ternak untuk menduga menilai BCS terdapat pada Gambar 1. Secara detil
penilaian BCS skala 1–5 dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 1 Titik orientasi penentuan BCS (modifisikasi Parish 2008)
4
Gambar 2 Level BCS pada sapi (modifikasi Parish 2008)
Leukosit
Leukosit berasal dari bahasa Yunani yaitu leukos yang berarti putih dan
kytos yang berarti sel. Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan
tubuh yang sebagian dibentuk di sumsum tulang (granulosit dan monosit serta
sedikit limfosit) dan sebagian lagi di jaringan limfe (limfosit dan sel-sel plasma)
(Guyton 2008). Setelah dibentuk, sel-sel ini diangkut dalam darah menuju
berbagai bagian tubuh untuk digunakan sebagai pertahanan tubuh melawan benda
asing yang masuk ke dalam tubuh.
Respon leukosit muncul pada keadaan fisiologis normal dan patologis.
Manifestasi respon leukosit berupa penurunan atau peningkatan satu atau
beberapa jenis sel leukosit. Informasi ini dapat memberikan petunjuk terhadap
5
kehadiran suatu penyakit dan membantu dalam diagnosa penyakit yang
diakibatkan oleh agen tertentu (Jain 1993).
Diferensiasi Leukosit
Pemeriksaan preparat ulas darah memberikan informasi lebih lanjut
mengenai morfologi sel eritrosit, leukosit, dan trombosit (Mills 1998).
Berdasarkan ada atau tidaknya granula dalam sitoplasma hasil pewarnaan,
leukosit dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu granulosit dan agranulosit
(Colville dan Bassert 2008). Leukosit granulosit bergranula khas dan jelas dalam
sitoplasma sedangkan agranulosit tidak bergranul khas dalam sitoplasma
(Junqueira dan Caneiro 2005).
Eosinofil
Jumlah eosinofil berkisar antara 3–9% dari total leukosit. Inti sel memilki 2
sampai 3 segmen. Eosinofil memiliki granul yang bersifat eosinofilik sehingga
ciri ini masih menjadi karakter morfologi untuk membedakan eosinofil dengan
jenis leukosit yang lain (Dellmann dan Eurell 1998). Fungsi utama eosinofil
adalah detoksifikasi terhadap protein asing yang masuk ke dalam tubuh. Eosinofil
sangat penting dalam respon terhadap penyakit parasitik dan alergi. Pelepasan isi
granula ke patogen yang lebih besar membantu dekstruksi dan fagositosis
berikutnya (Hoffbrand 2006). Eosinofilia pada hewan domestik merupakan
peningkatan jumlah eosinofil dalam darah. Eosinofilia dapat terjadi karena infeksi
parasit, reaksi alergi, dan kompleks antigen-antibodi setelah proses imun
(Frandson 1992). Morfologi eosinofil dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Morfologi eosinofil (Harvey 2001)
Basofil
Basofil adalah jenis leukosit yang paling sedikit ditemukan di dalam darah,
yaitu sekitar 0–3% dari jumlah total leukosit. Basofil memiliki nukleus yang
bervariasi, misalnya pada satu contoh memiliki segmen yang jelas namun pada
contoh lain memiliki dua lobus yang sederhana (Samuelson 2007). Jumlah basofil
di dalam sirkulasi darah relatif sedikit. Pada permukaan sel basofil terdapat
reseptor antibodi atau imunoglobulin (IgE). Pada reaksi imun, antigen akan
berikatan dengan antibodi tersebut pada permukaan sel basofil. Hal ini akan
mengakibatkan granula sel basofil pecah dan menyekresikan bahan aktif yang
berfungsi meningkatkan permeabilitas dan vasodilatasi pembuluh darah.
Penurunan jumlah sel basofil dalam sirkulasi darah atau basopenia dapat terjadi
karena suntikan kortikosteroid pada stadium kebuntingan (Frandson 1992).
Morfologi basofil dapat dilihat pada Gambar 4.
6
Gambar 4 Morfologi basofil (Harvey 2001)
Neutrofil
Neutrofil merupakan komponen terbanyak dari leukosit. Jumlah neutrofil
bervariasi pada setiap spesies hewan. Jumlah neutrofil pada hewan dapat
mencapai 40% hingga 70% (Dellmann dan Eurell 1998). Neutrofil merupakan
leukosit darah perifer yang paling banyak. Sel ini memiliki masa hidup singkat,
sekitar 10 jam dalam sirkulasi. Sekitar 50% neutrofil dalam darah perifer
menempel pada dinding pembuluh darah. Neutrofil memasuki jaringan dengan
cara bermigrasi sebagai respon terhadap kemotaktik (Hoffbrand 2006). Neutrofil
memiliki fungsi dalam proses fagositosis infeksi agen patogen seperti bakteri atau
zat asing (Latifynia et al. 2009). Setiap material asing yang difagosit akan
didegradasi oleh granula neutrofil yang mengandung enzim lisosim dan
mieloperoksidase (Lee et al. 2003). Neutrofil dikenal sebagai leukosit dengan
aktivitas amoeboid dan fagositosis yang tinggi karena daya tarik dan aktivasi
bahan kemotaksis. Apabila terjadi peradangan maka neutrofil mampu keluar dari
pembuluh darah menuju tempat infeksi untuk memfagosit mikroorganisme
(Hiremath et al. 2010). Morfologi neutrofil dapat dilihat pada Gambar 5.
A.
B.
Gambar 5 Morfologi neutrofil: A= neutrofil muda; B= neutrofil dewasa (Harvey 2001)
Limfosit
Limfosit pada mamalia memiliki jumlah sebesar 20–30% dari jumlah total
leukosit. Limfosit dapat dibedakan dalam limfosit B dan limfosit T. Limfosit B
berfungsi dalam kekebalan humoral yaitu akan berdiferensiasi menjadi sel plasma
untuk membentuk antibodi sedangkan limfosit T berperan dalam kekebalan
seluler yaitu akan membentuk limfokin (Guyton dan Hall 2008). Gambaran
morfologi limfosit dapat dilihat pada Gambar 6.
7
Monosit
Monosit berjumlah sekitar 6% dari total leukosit dan memiliki peran yang
unik dalam sistem pertahanan, memilik inti berbentuk menyerupai ginjal dan tidak
bergranula (Hiremath et al. 2010). Monosit dapat mencapai tingkat dewasa pada
saat monosit telah berubah menjadi makrofag. Monosit akan berubah menjadi
makrofag apabila terjadi infeksi yang menyebabkan monosit bermigrasi keluar
dari pembuluh darah dan masuk ke dalam jaringan. Gambaran morfologi monosit
dapat dilihat pada Gambar 6.
A.
B.
Gambar 6 Morfologi leukosit A= limfosit; B= monosit (Harvey 2001)
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 19–23 Juli 2013 di Balai
Inseminasi Buatan Lembang Bandung Jawa Barat, Laboratorium Klinik Andir
Bandung, serta dilanjutkan di Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran
Hewan IPB pada tanggal 25–30 Juli 2013 dan 11–14 Juli 2014.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah darah yang berasal dari 30 ekor sapi pejantan
unggul berumur antara 3 sampai 8 tahun yang terdiri atas tiga ras sapi, yaitu 10
ekor sapi Brahman, 10 ekor sapi Simmental, dan 10 ekor sapi FH. Bahan yang
digunakan adalah alkohol 70%, etanol, pewarna giemsa, larutan turk, minyak
emersi, dan xylol. Alat yang digunakan adalah disposible syringes, venoject tube,
jarum ukuran 18G, tabung etilendiaminatetraasetat (EDTA), gelas obyek, cover
glass, pipet tetes, counting chamber Neubauer, mikroskop binokuler Yazumi®,
counter, pulpen, papan jalan, buku tulis, ice box, dan kamera Canon IXUS 240
HS®.
Pelaksanaan Penelitian
Penentuan Sampel
Populasi target penelitian ini adalah sapi pejantan unggul dengan umur
kurang dari 5 tahun sebagai kelompok A dan lebih dari 5 tahun sebagai kelompok
B yang memiliki BCS 4–5 di Balai Inseminasi Buatan Lembang yang dinyatakan
8
sehat secara klinis dengan memperhatikan keadaan fisiologis hewan melalui
pemeriksaan fisik yang meliputi pemeriksaan frekuensi napas, pulsus nadi, dan
suhu tubuh. Penentuan kategori kelompok A (kurang dari 5 tahun) dan ketegori B
(lebih dari 5 tahun) didasari oleh pernyataan Hafez (2000) bahwa, sapi pejantan
unggul akan mengalami peningkatan jumlah sperma pada hingga umur 5 tahun
dan akan mengalami stagnasi yang dilanjutkan dengan peningkatan kualitas
sperma hingga umur 7 tahun.
Sapi pejantan yang digunakan adalah ras Simmental, Brahman, dan Friesian
Holstein (FH) dengan jumlah individu per satu kelompok ras sejumlah 10 ekor.
Penentuan BCS pada masing-masing sapi pejantan unggul dilakukan dengan cara
melihat secara visual dan diperkuat dengan foto tubuh sapi. Pengambilan foto
dilakukan pada bagian depan, bagian belakang, samping kiri dan kanan, serta
bagian punggung dengan menggunakan kamera Canon IXUS 240 HS®.
Pengambilan Darah
Pengambilan darah didahului dengan mencari vena coxygea yang berada di
pangkal ekor bagian bawah. Setelah vena coxygea ditemukan maka bagian yang
akan ditusuk disucihamakan dengan alkohol 70%. Lalu darah diambil sebanyak ±
10 ml dengan venoject dan jarum no. 18G yang disambungkan ke tabung EDTA
(Gambar 7).
Gambar 7 Pengambilan sampel darah dari vena coxygea
Penghitungan Jumlah Sel Darah Putih
Darah dihisap dengan pipet leukosit dan aspiratornya sampai batas garis 0.5
kemudian dilanjutkan dengan penambahan larutan pengencer Turk sampai batas
garis 1.01. Campuran dalam pipet ini kemudian dihomogenkan dengan memutar
pipet membentuk angka 8. Campuran di ujung pipet yang tidak ikut
terhomogenkan dibuang terlebih dahulu. Campuran yang sudah homogen tersebut
diteteskan kedalam kamar hitung dengan cara menempelkan ujung pipet pada
pertemuan antara dasar kamar hitung yang ditutup dengan cover glass.
Penghitungan butir-butir darah putih dilakukan pada kelima kotak yang terletak
diagonal pada 4 bujur sangkar besar di sudut kamar hitung dan hasilnya x 50
butir/mm3 darah (Eggen et al. 2001).
Pembuatan Sediaan Apus Darah dan Diferensiasi Leukosit
Darah diteteskan pada ujung gelas obyek yang telah disediakan kemudian
diulas dengan gelas obyek lain. Setelah kering dilanjutkan dengan fiksasi selama 5
menit dalam metanol. Setelah difiksasi, gelas objek direndam dalam zat warna
Giemsa selama 30 menit dan dicuci dengan air mengalir secara perlahan untuk
9
menghilangkan sisa zat warna yang tidak ikut mewarnai sediaan, sediaan apus
darah kemudian dikeringkan.
Sediaan apus darah yang telah diberi pewarnaan kemudian diamati di bawah
mikroskop dengan perbesaran obyektif 100x dan okuler 10x untuk menghitung
jumlah diferensiasi leukosit hingga jumlah total yang teramati mencapai jumlah
100. Setelah dilakukan persentase diferensiasi leukosit, nilai absolut dari masingmasing jenis leukosit ditentukan dengan cara mengalikan persentase tersebut
dengan jumlah total leukosit (Eggen et al. 2001). Selama proses diferensiasi, butir
darah dari kelompok A dan kelompok B difoto dengan menggunakan microscope
eye piece camera Dino-Eye® yang terhubung secara langsung dengan Laptop
Asus X45U®.
Prosedur Analisis Data
Data yang diperoleh dinyatakan dalam rataan dan simpangan baku masingmasing ras pada kelompok A dan Kelompok B. Data diolah menggunakan IBM
SPSS 21® dan Microsoft Excel 2013®. Data dianalisis secara statistik
menggunakan metode One-Way Analyse of variant (ANOVA), kemudian
dilanjutkan dengan uji Duncan pada selang kepercayaan 95% apabila hasil
menunjukkan berbeda nyata (nilai p<0.05).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Total Leukosit
Total leukosit sapi pejantan kelompok B adalah 6572–7080 sel/µL
sedangkan pada sapi pejantan kelompok A tahun sebesar 7167–8180 sel/µL
(Tabel 1). Jumlah tersebut masih dalam rentang normal yakni 4000–12000 sel/µL
(Latimer et al. 2011). Kedua data tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P
>0.05). Perbedaan jumlah rata-rata leukosit dapat disebabkan oleh beberapa faktor
yakni umur, jenis kelamin, status reproduksi, iklim, cara kekang, dan penyakit
(Weiss dan Wardrop 2010).
Penelitian Knowles et al. (2000) menunjukkan bahwa sapi pada umur muda
memiliki total leukosit lebih tinggi dibandingkan dengan sapi umur tua, namun
demikian ada pula laporan yang menyatakan bahwa jumlah leukosit total pada
sapi muda dan sapi dewasa relatif sama. Hal ini disebabkan karena sapi muda
memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi dewasa
sehingga terjadi pelepasan kortisol yang menyebabkan jumlah neutrofil yang
tinggi di dalam sirkulasi.
10
Tabel 1 Total leukosit sapi pejantan unggul BCS tinggi
Ras
Simmental
Brahman
Frisian Holstein
Rata-rata
Nilai normal
Kelompok
A (n= 19)
B (n= 11)
(sel/µL)
(sel/µL)
8180±1759 x
7080±2424x
7667±803x
6915±830x
x
7167±1564
6572±814x
7764±1432
6832±1343
4000–12000 sel/µLa
a
Sumber: Latimer et al. 2011
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
x
Total Eosinofil
Total eosinofil berkisar 287–652 sel/µL pada sapi pejantan kelompok A dan
251–591 sel/µL pada sapi pejantan kelompok B. Keduanya masih dalam rentang
normal yaitu 0–2400 sel/µL (Latimer et al. 2011) dan menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata. Rata-rata total eosinofil pada sapi pejantan kelompok A lebih
rendah dibandingkan dengan sapi pejantan kelompok B, yaitu 411 sel/µL pada
umur muda dan 437 sel/µL pada umur tua. Data total eosinofil tertera pada Tabel
2.
Eosinofil mengekspresikan beberapa protein membran dan reseptor. Adanya
berbagai reseptor tersebut membuat eosinofil mampu untuk mengenali dan
mengikat partikel antigen (Terr 2001). Eosinofil yang teraktivasi dapat
memfagosit berbagai partikel secara in vitro (termasuk bakteri, cendawan,
mikoplasma, dan kompleks antigen-antibodi), tetapi fungsinya sebagai fagosit
secara in vivo masih belum pasti (Terr 2001). Eosinofil dapat melepaskan DNA
mitokondria, yang berfungsi sebagai perangkap ekstraseluler untuk bakteri.
Fungsi granula protein eosinofil dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi parasit
dengan membentuk pori-pori membran luar yang mematikan bagi parasit
(Rothenberg 2009).
Tabel 2 Total eosinofil sapi pejantan unggul BCS tinggi
Kelompok
Ras
Simmental
Brahman
Frisian Holstein
Rata-rata
Nilai Normal
A (n= 19)
(sel/µL)
342±243x
287±121x
652±184x
411±241
B (n= 11)
(sel/µL)
480±689x
591±419x
251±148x
437±441
0–2400 sel/µLa
a
Sumber: Latimer et al. 2011
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
x
Secara umum ciri khas sel eosinofil mamalia yaitu memiliki granula
berwarna jingga yang mirip dengan eritrosit, inti bergelambir dua, sitoplasma
11
dikelilingi butir-butir asidofil yang cukup besar, dengan jangka waktu hidup
dalam peredaran darah berkisar antara tiga sampai lima hari (Junqueira dan
Caneiro 2005). Hasil pada penelitian ini diperoleh gambaran eosinofil sapi
pejantan unggul kelompok A dan kelompok B berdasarkan ras yang berbentuk
bulat dengan inti bergelambir dua dengan bentuk yang khas seperti kacamata
dengan warna yang cenderung mengambil warna eosin (merah) dan tidak ada
perbedaan morfologi antara kedua kategori tersebut. Morfologi eosinofil dapat
dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Morfologi eosinofil pejantan BCS tinggi pada perbesaran 10x100, bar= 5 µm.
A= Brahman kelompok A; B= Brahman kelompok B; C= FH kelompok A;
D= FH kelompok B; E= Simmental kelompok A; F= Simmental kelompok B
Total Neutrofil
Neutrofil merupakan jenis leukosit dengan jumlah terbanyak di dalam
peredaran darah. Neutrofil berfungsi sebagai garis pertahanan pertama (first line
of defence) terhadap adanya benda asing yang masuk ke jaringan tubuh (Junqueira
dan Caneiro 2005). Data penelitian yang didapat nilai rata-rata total neutrofil pada
sapi pejantan kelompok A melebihi ambang batas normal, yaitu 600–4100 sel/µL
(Latimer et al. 2011) karena terjadi peningkatan nilai yang signifikan pada sapi
pejantan kelompok A ras Simmental, yakni 4687 sel/µL (Tabel 3).
Tabel 3 Total neutrofil sapi pejantan unggul BCS tinggi
Kelompok
Ras
Simmental
Brahman
Frisian Holstein
Rata-rata
Nilai normal
a
Sumber: Latimer et al. 2011
A (n= 19)
(sel/µL)
4687±926x
3456±369x
3948±1251x
4150±992
B (n= 11)
(sel/µL)
3784±2088x
3469±723x
4063±1260x
3771±1320
600–4100 sel/µLa
12
x
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Data kemudian diuji lanjut menggunakan uji Duncan dan menghasilkan data
yang tidak berbeda nyata (P <0.05). Peningkatan total neutrofil pada ras
Simmental kelompok A dapat disebabkan oleh stres yang dialami sapi saat
pengambilan darah. Hal ini dikarenakan sapi-sapi yang berada di BIB Lembang
dikondisikan di lingkungan yang tenang dan setiap sapi dirawat oleh satu petugas
kandang. Perhitungan tingkat stres sapi pejantan unggul dilakukan dengan melihat
rasio neutrofil dan limfositnya dengan perhitungan (N/L). Menurut Kannan et al
(2000) hewan yang mengalami stres memiliki rasio N/L diatas 1.5. Data tersebut
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Rata-rata indeks stres sapi pejantan unggul BCS tinggi
Ras
Simmental
Brahman
Frisian Holstein
Rata-rata
Nilai normal
A (n= 19)
1.83x
1.30x
2.03x
1.72
Kelompok
Kelompok B (n= 11)
1.34x
0.94x
1.40x
1.22
<1.5a
a
Sumber: Kannan et al 2000
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
x
Foster et al. (2008) menyatakan bahwa neutrofilia dapat terjadi karena
faktor fisiologis, adanya infeksi bakteri, stress (dipengaruhi oleh kortikosteroid),
dan infeksi akut. Saat stres tubuh merangsang hipotalamus untuk menyekresikan
corticotrophin releasing hormone (CRH). Pelepasan CRH merangsang hipofise
anterior untuk menyekresikan adrenocorticotropic hormone (ACTH). Pelepasan
ACTH kemudian merangsang korteks adrenal untuk mengeluarkan glukokortikoid
berupa kortisol dan kortikosteron. Peningkatan glukokortikoid dapat
menyebabkan destruksi kelenjar limfoid (timus) (Butcher dan Lord 2004).
Perubahan ini mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah neutrofil di dalam
sirkulasi darah (Kim et al. 2005).
Neutrofil merupakan sel polimorfonuklear karena inti memiliki berbagai
bentuk dan bersegmen. Neutrofil dewasa yang berada dalam peredaran darah
perifer memiliki bentuk inti yang terdiri dari dua sampai lima segmen, sedangkan
neutrofil yang belum dewasa (neutrofil band) memiliki bentuk inti seperti ladam
kuda (Colville dan Bassert 2008). Hasil pada penelitian ini diperoleh morfologi
eosinofil sapi pejantan kelompok A dan kelompok B berdasarkan ras yang
berbentuk memiliki bentuk inti yang terdiri dari dua sampai lima segmen
mengambil warna eosin (merah). Morfologi neutrofil dapat dilihat pada Gambar
9.
13
Gambar 9 Morfologi neutrofil pejantan BCS tinggi pada perbesaran 10x100, bar= 5 µm.
A= Brahman kelompok A; B= Brahman kelompok B; C= FH kelompok A;
D= FH kelompok B; E= Simmental kelompok A; F= Simmental kelompok B
Total Basofil
Basofil memiliki peran penting dalam reaksi hipersensitivitas. Basofil akan
memasuki jaringan yang mengalami peradangan. Basofil memiliki fungsi serupa
dengan sel mast, yang memiliki kemampuan untuk memfagositosis agen
penyebab hipersensitivitas (Weiss dan Wardrop 2010).
Total basofil sapi pejantan kelompok A adalah 96–125 sel/µL dengan ratarata 109 sel/µL dan 62–82 sel/µL pada sapi pejantan kelompok B dengan rata-rata
71 sel/µL. Data tersebut masih berada dalam rentang normal yakni 0–200 sel/µL
(Latimer et al. 2011). Dengan menggunakan uji lanjut Duncan, tidak ditemukan
data yang berbeda nyata pada jumlah basofil yang terjadi pada sapi ras pejantan
unggul di antara kedua kelompok, jumlah basofil dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Total basofil sapi pejantan unggul BCS tinggi
Kelompok
Ras
Simmental
Brahman
Frisian Holstein
Rata-rata
Nilai normal
A (n= 19)
(sel/µL)
96±77x
125±36x
115±32x
109±55
B (n= 11)
(sel/µL)
82±29x
62±52x
73±54x
71±46
0–200 sel/µLa
a
Sumber: Latimer et al. 2011
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
x
Peningkatan jumlah basofil dalam peredaran darah (basofilia) akan terjadi
sebagai respon terhadap infeksi parasit dan hipersensitivitas. Basofilia telah
dilaporkan pada sapi dengan infestasi caplak, dan pada kambing yang terinfeksi
nematoda secara eksperimental, basofil masuk dari pembuluh darah menuju
jaringan tempat peradangan tersebut terjadi (Ennis 2010; Ohnmacht dan
14
Voehringer 2009). Menurut Jones dan Allison (2007), basofil hanya berada pada
peredaran darah tepi dalam jumlah yang sangat sedikit atau bahkan tidak ada. Hal
in dikuatkan dengan pernyataan Rothwell et al. (1994) bahwa, penurunan basofil
dalam peredaran darah (basopenia) sangat jarang dilaporkan karena jumlah basofil
dalam sirkulasi pada ruminansia yang normal sangat rendah.
Basofil memiliki nukleus bersegmen, dan bentuk bervariasi tergantung
spesies. Permukaan sel basofil pada sapi tertutupi oleh granula ungu gelap karena
terhimpit oleh banyaknya jumlah granula (Thrall et al. 2004). Morfologi basofil
dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Morfologi basofil pejantan BCS tinggi pada perbesaran 10x100, bar= 5 µm.
A= Brahman kelompok A; B= Brahman kelompok B; C= FH kelompok A;
D= FH kelompok B; E= Simmental kelompok A; F= Simmental kelompok B
Total Limfosit
Rataan yang didapatkan menunjukkan hasil pada pejantan muda memiliki
total limfosit yang lebih tinggi daripada pejantan tua namun masih berada pada
rataan normal. Ras Brahman muda menunjukkan hasil berbeda nyata namun juga
masih berada rentang normal (Tabel 8). Peningkatan total limfosit dapat
dikarenakan adanya infeksi virus, benda asing yang masuk kedalam tubuh
ataupun adanya infeksi bakteri. Peningkatan jumlah limfosit dalam perifer disebut
limositosis sementara penurunan jumlah limfosit dalam perifer disebut
limfositopenia. Penyebab paling umum limfopenia pada ruminansia adalah
kortikosteroid yang diinduksi oleh keadaan stres. Limfopenia juga dapat terjadi
pada fase akut infeksi virus, mikoplasma, infeksi bakteri, dan septikemia (Weiss
dan Wadrop 2010).
Limfosit memiliki nukleus yang bervariasi, dari yang berbentuk bulat
sampai lonjong, memiliki sitoplasma sangat sedikit dan hampir tidak terlihat.
Limfosit yang bersirkulasi pada umumnya memiliki diameter yang lebih kecil
dibandingkan dengan neutrofil. Limfosit pada sapi memiliki bentuk yang
bervariasi mulai dari nukleus yang bulat sampai oval, dan diameter yang hampir
sama dengan neutrofil (Thrall et al. 2004). Limfosit pada sapi pejantan unggul
15
memiliki inti yang berbentuk bulat (Gambar 11). Gambaran limfosit pejantan
unggul memiliki gambaran yang umum seperti limfosit pada ruminansia lainnya.
Tabel 6 Total limfosit sapi pejantan unggul BCS tinggi
Kelompok
Ras
Simmental
Brahman
Frisian Holstein
Rata-rata
Nilai normal
A (n= 19)
(sel/µL )
2558±408x
2651±819 x
1936±618 x
2363±709 x
B (n= 11)
(sel/µL )
2819±956x
3689±628y
2215±74x
2892±881x
2500–7500 sel/µLa
a
Sumber: Latimer et al. 2011
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan) dan yAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti
oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)
x
Gambar 11 Morfologi limfosit pejantan BCS tinggi pada perbesaran 10x100, bar= 5 µm.
A= Brahman kelompok A; B= Brahman kelompok B; C= FH kelompok A;
D= FH kelompok B; E= Simmental kelompok A; F= Simmental kelompok B
Total Monosit
Tabel 7 menunjukan data penelitian total monosit. Data monosit berkisar
131–238 sel/µL untuk sapi pejantan muda dengan rata-rata 204 sel/µL dan 143–
250 sel/µL pada sapi pejantan tua dengan rata-rata 192 sel/ µL. Data tersebut
masih berada dalam rentang normal yaitu 0–900 sel/µL (Latimer et al. 2011).
Menggunakan uji lanjut Duncan, tidak ditemukan data yang berbeda nyata pada
Total monosit yang terjadi pada sapi ras pejantan unggul umur tua dan muda.
Monosit berpartisipasi dalam respon peradangan. Monosit akan berpindah
ke jaringan, dan berubah menjadi makrofag. Sel mononuklear ini mampu
memfagosit bakteri, organisme yang lebih besar dan kompleks (seperti protozoa),
sel yang terinfeksi, sel debris, dan partikel asing (Thrall et al. 2004). Weiss dan
Wardrop (2010) menyatakan bahwa peningkatan jumlah monosit dari kisaran
normal (monositosis) dapat terjadi sebagai respon stres pada ruminansia, namun
16
demikian monositosis dapat juga terjadi pada kondisi peradangan. Monosit
merupakan jenis leukosit berukuran terbesar, berdiameter 15–20 μm, dengan
persentase berkisar antara 3–9% dari jumlah leukosit total. Sitoplasma monosit
berwarna biru abu-abu pucat dan berinti lonjong seperti ginjal atau tapal kuda
(Junqueira dan Caneiro 2005). Selain ciri khas yang disebutkan di atas, ciri lain
yang menandakan monosit yaitu adanya vakuol pada sitoplasma (Thrall et al.
2004). Hasil yang diperoleh dari preparat ulas, sel monosit memiliki bentuk inti
seperti ladam. Hasil yang diperoleh dari preparat ulas, sel monosit memiliki
bentuk inti seperti ladam (Gambar 12).
Tabel 7 Total monosit sapi pejantan unggul BCS tinggi
Kelompok
Ras
Simmental
Brahman
Frisian Holstein
Rata-rata
Nilai normal
A (n= 19)
(sel/µL)
238±252x
131±76 x
207±120 x
204±202 x
B (n= 11)
(sel/µL)
178±139 x
143±125 x
250±219 x
192±167 x
0–900 sel/µLa
a
Sumber: Latimer et al. 2011
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji
5% (uji selang berganda Duncan)
x
Gambar 12 Morfologi basofil pejantan BCS tinggi pada perbesaran 10x100, bar= 5 µm.
A= Brahman kelompok A; B= Brahman kelompok B; C= FH kelompok A;
D= FH kelompok B; E= Simmental kelompok A; F= Simmental kelompok B
17
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Rata-rata total leukosit, eosinofil, neutrofil, basofil, limfosit, dan monosit pada
sapi pejantan unggul pada kelompok A lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok B, namun masih dalam rentang normal.
2. Rata-rata indeks stres sapi pejantan unggul kelompok A melebihi angka normal
indeks stres, sementara pada sapi pejantan unggul kelompok B masih berada
pada rentang normal.
Saran
Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah pengamatan
sebaiknya dilakukan pada tiga tingkatan BCS yang berbeda, yakni BCS rendah,
BCS sedang, dan BCS tinggi sehingga dapat memberikan data yang lebih
beragam.
DAFTAR PUSTAKA
Butcher SK, Lord JM. 2004. Stress responses and innate immunity: aging as a
contributory
factor.
Blackwell
Publishing
Ltd.
pp151-160Doi:
10.1111/j.1474–9728
Colville T, Bassert JM. 2008. Clinical Anatomy & Physiology for Veterinary
Technician. Missouri (USA): Elsevier.
Dellmann HD, Eurell J. 1998. Text Book of Veterinary Histology. USA:
Lippincott
Williams & Wilkins.
[Ditjenakeswan] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2006.
Petunjuk Teknis Pengawasan Mutu Semen Beku Sapi dan Kerbau. Jakarta
(ID): Departemen Pertanian.
Edmonson AJ, Lean IJ, Weaver LD, Loid JW, Farver T, Webster G. 1989. A body
condition scoring chart for holstein dairy cows. J Dairy Sci. 72: 68–70.
Eggen JW, Schrijver JG, Bins M. 2001. WBC content of platelet concentrates
prepared by the buffy coat method using different processing procedures and
storage solutions. J. Tranfusion. 41: 1378–1383.
Ennis M. 2010. Basophil models of homeopathy: a sceptical view. J. Homeopathy
99: 51–56.
Foster R, Smith M, Hooly N. 2008. Complete blood count. [Terhubung berkala]:
http://www.peteducation.com. Diunduh pada :Jul 19 2014.
Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak Ed-4. Yogyakarta (ID):
Gadjah Mada University Pr:
Guyton AC, Hall JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed-11. Tengadi AK,
penerjemah. Jakarta(ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari:
Textbook of Medical Physiology.
18
Harvey JW. 2001. Atlas of Veterinary Hematology: Blood and Bone Marrow of
Domestic Animals. Philadelphia (USA): W.B. Saunders Company.
Hafez ESE. 2000. Semen Evaluation in Reproduction In Farm Animals. Ed ke-7.
Maryland (USA): Lippincott Wiliams and Wilkins.
Hiremath PS, Bannigidad P, Geeta S. 2010. Automated identification and
classification of white blood cells (leukocytes) in digital microscopic images.
Int. J. Comp. Appl. 2: 59–63.
Hoffbrand V. 2006. At a Glance Hematology. Jakarta (ID): EMS
Jain NC. 1993. Essential of Veterinary Hematology. Philadelphia (USA): Lea and
Febiger.
Jones ML, Allison RW. 2007. Evaluation of the ruminant complete blood cell
count. Vet. Clin. North Am. Food Anim. Pract. 23(3): 377–402
Junqueira LC, Caneiro J. 2005. Basic Histology Text & Atlas. Ed-11. Philadelphia
(USA): The Mc Graw-Hill Companies Inc.
Kannan G, Terrill TH, Kouakou B, Gazal OS, Gelaye S,Amoah EA, Samake S.
2000. Transportation of goat: effects on physiological stress responses and
live weight loss: J. Ani. Sci. 78: 1450–1457.
Kim CY, Han JS, Suzuki T, Han SS. 2005. Indirect indicator of transport stress in
hematological values in newly acquired cynomolgus monkeys. J Med
Primatol. 34:188–192
Knowles TG, Edwards JE, Bazeley KJ, Brown SN, Butterworth A, Warris PD.
2000. Changes in the blood biochemical and haematological profile of
neonatal calves with age. J. Vet Rec. 147: 593–598.
Latifynia A, Vojgani M, Gharagozlou MJ, Sharifian R. 2009. Neutrophil function
(innate immunity) during ramadan. J. Ayub Med Coll Abbottabad. 21(4):
111–115.
Latimer KS, Mahaffey EA, Prasse KW. 2011. Duncan and Prasse's Veterinary
Laboratory Medicine: Clinical Pathology. Ed ke-4. West Sussex (GB):
Wiley-Blackwell.
Lee WL, Harrison RE, Grinstein S. 2003. Phagocytosis by neutrophil. J. Microbes
and Infection. 5: 1299–1306.
Mills J. 1998. Interpreting blood smears (or what blood smears are trying to tell
you!). Aust Vet J. 76: 596–600.
Otto RL, Ferguson JD, Fox DG, Sniffen CJ. 1991. Relationship between body
condition score and compotition of ninth to eleven rib tissue in Holstein dairy
cows. J Dairy Sci. 74: 852–861.
Parish JA. 2008. Body Condition Scoring Beef Cattle. Mississippi (USA):
Mississippi State University.
Rothenberg, ME. 2009. Biology and Treatment of Eosinophilic Esophagitis. J.
Basic and Clin Gastroenterol. 137: 1238–1249.
Rothwell TL, Horsburgh BA, France MP, Windon RG. 1994. Basophil leucocytes
in responses to parasitic infection and some other stimuli in sheep. Res Vet
Sci 56: 319–324.
Schmidt GH, Vleck LDV. 1974. Principles of Dairy Science. Sanfrancisco
(USA): Cornell Univ. W.H. Freeman and Co.
Samuelson DA. 2007. Textbook of Veterinary Histology. China: Saunders, an
imprint of Elsevier Inc.
19
Terr AI. 2001. Inflamation. In : Parslow TG, Stites Daniel P, Terr Abba I, eds.
Lange Medical Immunology. Ed-10. New York (USA): Lange Medical
Books/Mc Graw-Hill.
Thrall MA, Baker DC, Lassen ED. 2004. Veterinary Hematology and Clinical
Chemistry. Philadelphia (USA): Lippincot Williams & Wilkins.
Weiss DJ, Wardrop KJ. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology. Ed-6. USA:
Blackwell Publishing Ltd.
Wright LA, Russel AJF. 1984. Partition of fat, body composition and body
condition score in matur.
21
RIWAYAT HIDUP
Penulis dengan nama Intan Pandini Restu Mukti ini lahir di Sukoharjo, 11
Oktober 1992. Penulis menempuh pendidikan di SMA Negeri 66 Jakarta
dilanjutkan di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur
USMI pada tahun 2010.
Penulis aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan di dalam kampus di
antaranya menjabat sebagai ketua divisi eksternal himpunan minat dan profesi
Ruminansia FKH-IPB (2012-2013), Pengurus PC IMAKHI Bogor (2013-2014),
anggota komunitas STERIL FKH IPB (2012), dan anggota KOPMA IPB (2010).
Penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan yang bersifat event organizer, antara
lain dalam seminar nasional himpro Ruminansa “Milk Day: Smart and Healthy
with Milk” sebagai ketua divisi sponsorship, studium generale himpro
ruminansia ”Peluang dan Tantangan Swasembada Daging 2014 serta Peran
Mahasiswa dalam Perwujudannya” sebagai bendahara, Posisi ketua divisi PDD
juga pernah dijabat penulis dalam acara Veterinery Unity in Harmony–Jazz The
Way You Are” FKH IPB. Editor juga pernah menjadi asisten praktikum Ilmu
Teknologi dan Reproduksi FKH IPB (2013), Asisten praktikum Patologi Klinik
FKH IPB (2013 dan 2014), serta Asisten praktikum Diagnostik Klinik FKH IPB
(2014).
Download