12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Ruang Lingkup Lansia 2.1.1 Definisi Lansia Menurut pasal 1 ayat (2), (3), dan (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia, menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. Kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh World Health Organization (WHO), lansia dibagi menjadi empat kriteria: usia pertengahan (middle age) ialah 45 – 59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60 – 74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75 – 90 tahun, usia sangat tua ialah di atas 90 tahun. Lansia bukan merupakan suatu penyakit, namun lansia adalah tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk berdaptasi dengan stres lingkungan (Maryam dkk, 2008). 13 2.1.2 Karakteristik Lansia Lansia memiliki beberapa karakteristik yang perlu dipahami untuk mengetahui keberadaan masalah kesehatan lansia sebagai berikut (Maryam dkk, 2008): 1. Jenis Kelamin Jumlah lansia lebih didominasi oleh kaum perempuan. Selain itu, terdapat perbedaan kebutuhan dan masalah kesehatan yang dihadapi antara lansia laki-laki dan lansia perempuan. Misalnya, lansia laki-laki banyak menderita hipertropi prostat, sementara lansia wanita banyak menderita osteoporosis. 2. Status Perkawinan Status perkawinan berpasangan lengkap atau hidup sendiri mempengaruhi (duda/janda) kondisi maupun psikologis lansia. kesehatan sangat fisik 14 3. Living arrangement Living arrangement merupakan kondisi tanggungan keluarga. Misalnya, lansia masih harus menanggung anak atau keluarga, tempat tinggal bersama anak, atau tinggal sendiri. Saat ini kebanyakan lansia masih hidup sebagai bagian keluarganya, baik lansia sebagai kepala keluarga atau bagian dari keluarga kecenderungan anaknya. bahwa Namun, lansia ada akan ditinggalkan oleh keluarganya dalam rumah yang berbeda. 4. Kondisi Kesehatan Kondisi umum yaitu keadaan dimana lansia mampu untuk tidak tergantung kepada orang lain dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi, buang air kecil dan buang air besar. Frekuensi sakit yaitu frekuensi yang tinggi terhadap kondisi sakit dan menyebabkan mereka tidak lagi produktif dan mulai bergantung pada orang lain. Sebagian 15 lansia memerlukan perawatan khusus karena penyakit kronis yang diderita. 5. Keadaan Ekonomi Sumber pendapatan resmi Sumber pendapatan lansia biasanya berasal dari pensiunan dan ditambah sumber pendapatan lain, jika lansia masih dapat bekerja dengan aktif. Sumber pendapatan keluarga Para lansia biasanya mendapat bantuan keuangan dari anak atau keluarga lainnya, namun ada juga lansia masih berperan dalam yang memenuhi kebutuhan anggota keluarganya. Kemampuan pendapatan Biaya yang dibutuhkan lansia semakin tinggi sementara pendapatan semakin menurun. 16 2.1.3 Perkembangan Lansia Setiap mahkluk atau organisme di dunia ini mengalami sebuah siklus rutin yang disebut dengan perkembangan. Menurut Syamsu (2002), perkembangan adalah perubahanperubahan yang dialami oleh individu atau organisme menuju tingkat kedewasaan atau kematangan yang berlangsung secara sistematis, progresif dan berkesinambungan menyangkut fisik maupun psikis. Perkembangan pada lansia mencirikan tahap akhir dari proses penuaan. Semua orang akan mengalami proses penuaan. Pada masa tersebut, seorang mengalami penurunan dan kemunduran fisik, psikis, dan sosial sedikit demi sedikit sehingga tidak dapat lagi melakukan tugas sehari-hari. Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada mahkluk hidup, termasuk tubuh, jaringan dan sel yang mengalami penurunan kapasitas secara fungsional (Desmita, 2005). Lansia harus menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik yang terjadi seiring dengan proses penuaan yang dialami. Perubahan ini tidak dihubungkan dengan penyakit, namun merupakan perubahan secara fisiologis yang normal terjadi pada semua manusia. Penyakit yang dialami lansia dapat 17 mengubah waktu timbulnya perubahan atau berdampak pula terhadap kehidupan sehari-hari (Desmita, 2005). Dalam upaya menghadapi perubahan yang dialami, sejalan dengan proses penuaan, maka lansia memiliki tugas dan perkembangan. Adapun tugas perkembangan lansia diantaranya, beradaptasi terhadap penurunan kondisi kesehatan dan kondisi fisik, beradaptasi terhadap kematian pasangan, menerima diri sebagai individu yang menua, mempertahankan kehidupan yang memuaskan, menetapkan kembali hubungan dengan anak yang telah dewasa, dan menemukan cara untuk mempertahankan kualitas hidup (Potter & Perry, 2005). 2.1.4 Penurunan Kondisi Pada Lansia Menurut Maryam (2008), seseorang yang berada pada tahap lansia akan mengalami penurunan berbagai organ atau sistem tubuh, baik dari segi anatomi maupun fungsional. Beberapa penurunan yang terjadi pada lansia adalah sebagai berikut: 1. Penurunan Fisik Secara umum, lansia mengalami penurunan kekuatan, kualitas dan fungsi fisik, seiring bertambahnya usia. 18 Penurunan ini bisa berlangsung secara perlahan bahkan bisa terjadi secara cepat tergantung dari kebiasaan hidup pada masa usia muda (Stanley & Beare, 2006). Pada lansia perubahan fisik yang terjadi dan dialami meliputi: Lansia tidak tahan terhadap temperatur yang sangat panas atau sangat dingin. Hal ini disebabkan oleh menurunnya fungsi pembuluh darah kulit. Kemampuan visual lansia mengalami kemunduran dalam hal ketajaman dan luas pandangan. Mata kurang peka dalam melihat cahaya dengan intensitas terlalu tinggi, lansia lebih sensitif menyilaukan terhadap serta sesuatu kurang yang mampu membedakan warna. Kemampuan mengalami pendengaran kesulitan dalam pada lansia menangkap frekuensi percakapan yang kecil atau besar di waktu bersamaan. Kemampuan indera perasa lansia menjadi kurang peka akan perubahan suhu, rasa dan bau. 19 Lansia mengalami penurunan fungsi sistem motorik (otot dan rangka) antara lain, berkurangnya daya tumbuh dan regenerasi, menurunnya kemampuan mobilitas dan kontrol fisik, semakin lambatnya gerakan tubuh, sering terjadi getaran otot (tremor), dan persendian serta pengeroposan tulang mengalami (osteoporosis) dikarenakan proses degenerasi. Kulit tubuh menjadi berkerut karena kehilangan elastisitas dan mudah luka apabila tergores benda yang cukup tajam. Kulit tubuh menjadi lebih kering dan tipis. Semakin tua usia seseorang, tingkat kecerdasannya semakin menurun, memori berkurang, kesulitan berkonsentrasi, dan lambatnya kemampuan kognitif dan kerja saraf. 20 2. Penurunan psikologis Penurunan psikologis yang umum terjadi pada lansia mengarah pada fungsi-fungsi kognitif, afektif, konatif dan kepribadian lansia secara optimal. Hal ini juga meliputi sikap-sikap lansia menghadapi proses menua. Berbagai penurunan psikologis yang dialami lansia adalah sebagai berikut: Demensia adalah intelektual/daya ingat suatu gangguan yang sering terjadi pada orang yang berusia >60 tahun. Gangguan depresi merupakan hal yang terpenting dalam permasalahan pada lansia. Usia bukan merupakan faktor untuk menjadi penyebab terjadinya depresi namun keadaan penyakit kronis dan masalah-masalah yang dihadapi lansia dapat membuat mereka mengalami depresi. Gejala depresi pada lansia adalah kehilangan minat, berkurangnya energi (mudah lelah), konsentrasi dan perhatian berkurang, kurang percaya diri, sering merasa bersalah, pesimis, gangguan pada tidur, dan gangguan nafsu makan. 21 Delusi dapat diartikan sebagai ekspresi ketidakpercayaan yang muncul dalam kehidupan seperti merasa dirinya nyata diracun oleh orang lain, tidak dicintai, ditipu, merasa dirinya sakit atau disakiti. Gangguan kecemasan merupakan gangguan psikologis berupa wajar/phobia. ketakutan Kecemasan yang yang tidak tersering pada lansia adalah tentang kematiannya. Usia lanjut adalah faktor tunggal yang paling sering berhubungan dengan peningkatan kejadian gangguan tidur. Gangguan tidur dapat terjadi di malam hari, sering terbangun pada dini hari, dan sering merasa mengantuk terutama di siang hari. 3. Penurunan Sosial Penurunan fungsi sosial lansia diakibatkan berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik, dan juga akibat penurunan produktivitas kerja yang berakhir pada masa pensiun. Masa pensiun menyebabkan lansia sering merasa ada sesuatu yang hilang dari hidupnya sehingga menimbulkan perasaan kehilangan status dan kedudukan, kehilangan 22 pertemanan, dan kehilangan gaya hidup yang biasa dijalaninya, dan banyak lansia yang merasa kesepian atau merasa terisolasi dari lingkungan sekitarnya, antara lain karena jarang tersedia pelayanan kendaraan umum khusus bagi lansia ataupun dikarenakan tingginya tingkat kejahatan di sekitar lingkungan tempat tinggal. 2.2 Sistem Muskuloskeletal Pada Lansia Pada lansia muskuloskeletal terjadi perubahan pada sistem meliputi perubahan pada jaringan penghubung, kartilago, tulang, otot, dan sendi (Maryam dkk, 2008). 2.2.1 Jaringan penghubung (kolagen dan elastin) Kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit, tendon, tulang, kartilago dan jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan tidak teratur. Bentangan yang tidak teratur dan penurunan hubungan tarikan linear pada jaringan kolagen merupakan salah satu alasan penurunan mobilitas pada jaringan tubuh. Kolagen sendi dan jaringan sekitar akan mengerut. Setelah kolagen mencapai puncak fungsi atau daya mekaniknya karena penuaan, daya elastisitas dan kekakuan dari kolagen 23 menurun karena mengalami perubahan kualitatif dan kuantitatif sesuai penuaan (Timiraz & Navazio, 2007). Kontraktur/kaku sendi akan menghalangi pergerakan sendi dan mobilisasi pasif yang memperburuk kondisi kontraktur. Perubahan pada kolagen dapat mengakibatkan penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kekuatan otot dan penurunan rentang gerak sendi yang mengakibatkan terjadinya hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (Maryam dkk, 2008). 2.2.2 Kartilago Jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan mengalami perubahan struktur dan akhirnya menjadi rata, sehingga kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung ke arah progresif. Proteoglikan yang merupakan komponen dasar matriks kartilago berkurang atau hilang secara bertahap. Kartilago mengalami klasifikasi di berbagai tempat persendian, sehingga fungsinya sebagai peredam kejut dan permukaan sendi yang berpelumas menurun dengan konsekuensi kartilago pada persendian rentan 24 terhadap gesekan. Akibat perubahan tersebut sendi dapat mengalami kekakuan, peradangan, nyeri, dan keterbatasan gerak (Sri Surini & Budi Utomo, 2003). 2.2.3 Tulang Secara fisiologis kepadatan tulang berkurang seiring bertambahnya usia, berkurangnya kepadatan tulang secara keseluruhan dapat mempengaruhi kekakuan dan penurunan mengakibat kekuatannya, terjadinya hal kerapuhan ini dapat pada tulang, mengakibatkan nyeri, keterbatasan gerak hingga patah tulang (fraktur) (Timiraz & Navazio, 2008). 2.2.4 Otot Pada lansia terjadi perubahan struktur otot yang bervariasi. Terjadi penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, penurunan masa otot pada serabut otot, dan pembesaran otot pada beberapa serabut otot yang lain, peningkatan jaringan lemak dan jaringan penghubung dan lain-lain mengakibatkan efek negatif berupa penurunan kekuatan dan fleksibiltas. Pada lansia, proses penuaan mengakibatkan terjadinya perubahan morfologis yaitu berkurangnya 30% masa otot terutama otot tipe II (fast twitch), peningkatan jaringan lemak dan jaringan 25 penghubung, penurunan jumlah serabut otot (Bonder & Wagner, 1994). 2.2.5 Sendi Sendi adalah hubungan diantara tulang. Setiap sendi diklasifikasikan sesuai dengan struktur dan tingkat mobilisasinya. Ada empat klasifikasi sendi (Potter & Perry, 2005) yaitu: Sendi Sinostotik Sendi sinostotik mengacu pada ikatan tulang dengan tulang. Tidak ada pergerakan pada tipe sendi ini, dan jaringan tulang yang dibentuk di antara tulang mendukung kekuatan dan stabilitas. Contoh klasik tipe sendi ini adalah sakrum (tulang pinggul) dan pada sendi vertebra (tulang belakang). Sendi Kartilaginus Sendi kartilaginus, atau sendi sinkondrodial, memiliki sedikit pergerakan, tetapi elastis dan menggunakan kartilago untuk menyatukan permukaannya. ditemukan penekanan Sendi ketika yang kartilago tulang konstan, dapat mengalami seperti sendi 26 kostosternal antara sternum(tulang dada) dan tulang iga. Sendi Fibrosa Sendi fibrosa atau sendi sindesmodial, adalah sendi tempat kedua permukaan tulang, disatukan dengan ligamen atau membran. Serat atau ligamennya fleksibel dan dapat diregangkan, dapat bergerak dengan jumlah terbatas. Misalnya sepasang tulang pada ekstremitas bawah (tibia dan fibula) adalah sendi sindesmotik. Sendi Sinovial Sendi sinovial adalah sendi tubuh yang paling banyak, serbaguna, dan mampu bergerak dengan bebas. Jenis ini dapat bekerja dengan baik selama puluhan tahun, jika sering digunakan dengan baik dan tidak berlebihan. Sendi sinovial dibungkus oleh penutup pelindung luar kapsul sendi. Lapisan dalam sendi sinovial menghasilkan cairan yang licin menyerupai oli dan melumasi sendi, hanya sedikit bergesekan dan rusak. Terdapat 27 sekitar 230 sendi sinovial di seluruh tubuh. Sendi sinovial atau sendi yang sebenarnya adalah sendi yang dapat digerakkan secara bebas karena permukaan tulang yang berdekatan dilapisi oleh kartilago artikular dan dihubungkan oleh ligamen sejajar dengan membran sinovial. Salah satunya adalah sendi engsel. Sendi engsel memiliki permukaan cembung dari sebuah tulang masuk ke dalam permukaan cekung tulang lain untuk membentuk sendi engsel. Sendi ini memberikan gerakan bolak-balik di satu bidang. Siku memiliki sendi engsel yang termodifikasi: perputaran radius dan ulna di lengan bawah terhadap humerus dan menghasilkan perputaran terbatas. 2.3. Sendi siku (Articulatio cubiti) Sendi siku merupakan artikulasiokomposita (sendi yang tersusun oleh lebih dari dua tulang). Pada sumbu ini bertemu humerus (tulang lengan atas) , ulna dan radius (tulang lengan bawah). Sedangkan menurut faalnya, sendi 28 ini merupakan sendi engsel dengan tiga bagian (Syaiffudin, 2012): Gambar 2.3 Sendi Siku (Articulatio cubiti) Art. Humeroulnaris. Sendi antara trokhlea humeri dan insisura semilunaris ulnae (sendi antara tulang lengan atas dan tulang ulna pada lengan bawah). Kedua permukaan sendi mempunyai bidang pertemuan yang terlebar pada sikap lengan yang sedikit diketulkan sehingga merupakan sikap terbaik bagi lengan untuk menerima tumpuan lengan. Art. Humeroradialis. Sendi kapitulum humeri dengan fovea kapitulum radi (sendi antara tulang lengan atas dan tulang radius lengan bawah). Art. Radioulnaris proksimal. Sendi antara sirkumferensia artikularis radii dan insisura radialis 29 ulna (sendi antara dua tulang lengan bawah yaitu radius dan ulna). Humerus, radius, dan ulna dihubungkan kartilago dan ligamen membentuk sendi engsel. Otot-otot utama yang juga memilki pengaruh dalam rentang gerak sendi siku adalah bisep brakhii, brakhialis, brakhioradialis (pada gerakan fleksi) dan trisep brakhii (pada gerakan ekstensi). Tipe gerakan yang dapat dilakukan pada sendi siku adalah fleksi dan ekstensi dengan rentang gerak normal 140°-150°, hiperekstensi dengan rentang gerak normal 180°, pronasi dan supinasi dengan rentang gerak normal 70° -90° (Potter & Perry, 2009). 2.4 Hambatan Mobilitas Fisik Salah satu akibat kemunduran fungsi fisiologis (penurunan kualitas otot, kontraktur sendi dan penurunan luas gerak sendi) pada lansia mengakibatkan terjadinya hambatan mobilitas fisik pada lansia tersebut. Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keadaan ketika individu mengalami dan berisiko mengalami keterbatasan gerak fisik. Perubahan dalam tingkat mobilitas fisik dapat mengakibatkan instruksi pembatasan gerak dalam bentuk tirah baring, pembatasan gerak fisik selama penggunaan alat bantu ekstrernal (gips 30 atau traksi rangka), pembatasan gerak volunter, atau kehilangan fungsi motorik. Pengaruh imobilisasi pada sistem muskuloskeletal meliputi gangguan mobilisasi permanen. Keterbatasan mobilisasi mempengaruhi otot dan rangka. Pada otot terjadi penurunan massa otot akibat metabolisme dan tidak digunakan. Jika imobilisasi berlanjut dan otot tidak dilatih, maka akan terjadi penurunan massa otot yang berkelanjutan. Imobilisasi juga mempengaruhi rangka (skelet). Perubahan yang terjadi pada rangka yaitu gangguan metabolisme kalsium dan penurunan luas gerak sendi, selain itu dapat terjadi kontraktur sendi yaitu kondisi abnormal dan biasanya permanen yang ditandai oleh sendi fleksi dan terfiksasi (tertekuk dan tidak dapat dikembalikan ke posisi semula). Hal ini disebabkan oleh tidak digunakannya otot, atrofi, dan pemendekan serat otot. Jika terjadi kontraktur maka sendi tidak dapat mempertahankan rentang gerak dengan penuh (Potter & Perry, 2006). 2.5 Ruang Lingkup Latihan Rentang Gerak Sendi 2.5.1 Latihan Rentang Gerak Sendi (Range Of Motion Exercises) Latihan adalah aktivitas fisik untuk membuat kondisi tubuh berada dalam kondisi sehat jasmani, selain itu 31 latihan didefinisikan memperbaiki sebagai deformitas atau terapi untuk mengembalikan seluruh tubuh ke status kesehatan maksimal. Jika seseorang melakukan latihan, maka akan terjadi perubahan fisiologis dalam sistem tubuh (sistem kardiovaskuler, respiratori, metabolik dan muskuloskeletal). Rentang gerak sendi merupakan jumlah maksimum gerakan yang mungkin dilakukan sendi pada salah satu dari tiga potongan tubuh: sagital, frontal dan tranversal. Latihan rentang gerak sendi (Range Of Motion Exercises) adalah salah satu tindakan keperawatan dasar yang dapat dilakukan oleh seseorang secara mandiri atau dengan bantuan perawat. Rentang pergerakan sendi bervariasi pada tiap-tiap individu, hal tersebut ditentukan oleh jenis kelamin, usia, ada atau tidaknya penyakit, dan jumlah aktivitas fisik yang normalnya dilakukan seseorang (Kozier dkk, 2010). 2.5.2 Klasifikasi Latihan ROM (Range Of Motion Exercises) Latihan rentang gerak sendi, terbagi atas dua yaitu: latihan rentang gerak sendi aktif dan latihan rentang 32 gerak sendi pasif (ROM Aktif dan ROM Pasif). Latihan ROM aktif adalah latihan yang dilakukan sendiri oleh pasien tanpa bantuan perawat. Indikasi latihan ROM aktif adalah semua pasien yang dirawat namun mampu melakukan latihan rentang gerak sendi secara mandiri dan kooperatif, sedangkan latihan ROM pasif adalah latihan rentang gerak sendi yang dilakukan pasien dengan bantuan perawat pada setiap gerakan (Suratun dkk, 2008). 2.5.3 Latihan ROM Pasif (Passive Range Of Motion Exercises) Latihan ROM Pasif adalah latihan rentang gerak sendi yang dilakukan pasien dengan bantuan perawat pada setiap gerakan. Indikasi ROM pasif adalah pasien semikoma dan tidak sadar, pasien dengan tirah baring dan pasien-pasien dengan hambatan mobilitas fisik (Suratun dkk, 2008). 2.5.4 Gerakan-Gerakan Pada Latihan ROM Pada latihan ROM terdapat gerakan-gerakan tertentu seperti fleksi, ekstensi, adduksi, abduksi, rotasi, pronasi, supinasi, gerakan menekuk inversi, eversi. persendian, Fleksi adalah ekstensi adalah 33 gerakan meluruskan persendian, abduksi adalah gerakan salah satau anggota tubuh mendekati aksis tubuh, adduksi adalah gerakan salah satu anggota tubuh ke arah menjauhi aksis tubuh, rotasi adalah gerakan memutar atau menggerakan satu bagian melingkari aksis tubuh, pronasi adalah gerakan memutar kebawah, supinasi adalah gerakan memutar keatas, inversi yaitu gerakan kedalam dan eversi atau gerakan memutar ke luar (Suratun dkk, 2008). 2.5.5 Tujuan Latihan ROM Latihan rentang gerak sendi bertujuan untuk memelihara dan mempertahankan kekuatan otot, memelihara mobilitas persendian, merangsang sirkulasi darah dan mencegah terjadinya kelainan pada struktur tulang maupun otot (Suratun dkk, 2008). 2.5.6 Kontraindikasi Latihan ROM Kontraindikasi latihan ROM adalah adanya trombus dan emboli serta peradangan pada pembuluh darah, kelainan sendi dan tulang, klien fase imobilisasi karena kasus penyakit (jantung), trauma baru dengan kemungkinan ada fraktur yang tersembunyi atau luka dalam, pasien dengan nyeri berat, dan pasien yang 34 mengalami kekakuan sendi atau tidak dapat bergerak (Suratun dkk, 2008). 2.5.7 Prinsip Dasar Latihan ROM Dalam menerapkan latihan rentang gerak sendi ada beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan oleh seorang perawat, antara lain: ROM harus dilakukan sekitar 8 kali pengulangan, dan dikerjakan minimal 1 – 2 kali sehari, ROM dilakukan dengan perlahan dan hati-hati sehingga tidak melelahkan maupun mencelakakan pasien, dalam merencanakan latihan ROM perlu diperhatikan (umur pasien, diagnosis, tanda vital, dan lamanya tirah baring). Bagian tubuh yang dapat diberikan latihan ROM adalah (leher, jari, lengan, siku, bahu, pinggul, kaki, dan pergelangan kaki), ROM dapat dilakukan pada persendian sinovial atau pada sendi yang dicurigai beresiko mengalami gangguan sebagai akibat proses penyakit. Dalam melakukan latihan ROM perlu mempertimbangkan waktu, misalnya seusai mandi atau perawatan rutin telah dilakukan (Suratun dkk, 2008). 35 2.5.8 Pengaruh Latihan Gerak Sendi terhadap peningkatan Luas Gerak Sendi Studi yang dilakukan oleh Feland, dkk (2001) menyatakan bahwa 60 detik peregangan yang di ulang 4 kali, sekali per hari dan 5 kali per minggu selama 6 minggu, dapat meningkatkan perbaikan dalam ekstensi lutut lansia, sedangkan studi yang dilakukan Uliya, Soepomo, dan Kushartanti (2007), menyatakan bahwa fleksibilitas sendi yang mengalami gangguan gerak meningkat setelah dilakukan latihan ROM selama 3 minggu sebesar 31,87° dan selama 6 minggu meningkat sebesar 35°. Latihan ROM harus dilakukan minimal 3 minggu secara berturut-turut, 5 kali dalam seminggu dengan pengulangan pergerakan sebanyak 7 kali untuk setiap gerakan. Luas gerak sendi (LGS) merupakan luas gerak yang dapat dilakukan suatu sendi Luas gerak sendi dapat diukur menggunakan goniometer. Goniometer adalah suatu busur derajat yang dirancang khusus untuk mengevaluasi gerakan sendi. Tujuan pengukuran LGS adalah untuk mengetahui LGS suatu sendi dan membandingkannya dengan LGS sendi 36 yang normal. Hasil pengukuran LGS dapat digunakan untuk menentukan tujuan dan rencana terapi dalam mengatasi gangguan LGS. (Muttaqin, 2011). 2.5.9 Prosedur Latihan ROM Pasif (Passive Range of Motion Exercises) pada Sendi Siku Latihan ROM pasif (Passive Range Of Motion Exercises) diterapkan pada pasien yang memiliki mobilitas sendi yang terbatas, misalnya karena penyakit atau trauma dan dengan bantuan perawat. Latihan ini dilakukan untuk menjaga fungsi sendi serta memelihara dan mempertahankan kekuatan otot. Pada sendi siku, jenis gerakan yang dapat dilatih secara pasif adalah fleksi, ekstensi, hiperekstensi, pronasi dan supinasi. Sebelum prosedur kerja peneliti menjelaskan tujuan dan manfaat serta kemungkinan resiko yang terjadi saat pasien diberikan latihan ROM pasif, setelah itu pasien diberikan kesempatan untuk bertanya tentang tindakan ROM pasif yang akan dilakukan. Jika pasien sudah siap, pemberi latihan memberikan arahan pada pasien untuk berbaring di tempat tidur ataupun duduk ditempat yang telah disediakan. Jika posisi pasien berbaring, instruksikan 37 pasien berbaring dengan posisi supinasi (terlentang). Sedangkan apabila pasien dalam posisi duduk, posisi pemberi latihan adalah disamping sendi siku pasien yang akan diberikan pergerakan pasif. Dalam melakukan ROM pasif pada sendi siku untuk gerak fleksi ekstensi, dan hiperekstensi (1) atur lengan pasien sehingga posisinya menjauhi sisi tubuh dengan telapak tangan mengarah ke tubuh, (2) tahan bagian lengan diatas siku pasien dengan satu tangan dan pegang telapak tangan pasien dengan tangan yang lain. (3) tekuk siku pasien sehingga telapak tangannya mendekati bahu dengan rentang normal 140°-150° untuk rentang gerak fleksi. Lalu, kembalikan ke posisi semula dengan rentang normal 140°-150° untuk rentang gerak ekstensi hingga hiperekstensi dengan retang gerak normal 180° (Lyndon, 2013). 38 2.6 Kerangka Konsep Pre Test Perlakuan LUAS GERAK SENDI SIKU LANSIA LATIHAN RENTANG GERAK SENDI PASIF Post Test LUAS GERAK SENDI SIKU LANSIA Gambar 2.6 Kerangka Konseptual Keterangan: : Variabel yang diteliti : Hubungan yang mempengaruhi 2.7 Hipotesis Hipotesis merupakan pernyataan sementara yang perlu diuji kebenarannya yang merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pernyataan (Sugiyono, 2011). Hipotesis dalam penelitian ini meliputi: 2.7.1 Hipotesis Nol (H0) Hipotesis nol adalah hipotesis yang menyatakan tidak ada hubungan antara variabel satu dengan variabel yang lain atau hipotesis yang menyatakan tidak ada perbedaan 39 suatu kejadian antara dua kelompok (Sugiyono, 2011). Hipotesis Nol (H0) dalam penelitian ini adalah: Tidak ada pengaruh latihan rentang gerak sendi pasif terhadap peningkatan luas gerak sendi siku ekstensi pada lansia dengan hambatan mobilitas fisik di Panti Sosial Menara Kasih Salatiga. Tidak ada pengaruh latihan rentang gerak sendi pasif terhadap peningkatan luas gerak sendi siku fleksi pada lansia dengan hambatan mobilitas fisik di Panti Sosial Menara Kasih Salatiga. Tidak ada pengaruh latihan rentang gerak sendi pasif terhadap peningkatan luas gerak sendi siku hiperekstensi pada lansia dengan hambatan mobilitas fisik di Panti Sosial Menara Kasih Salatiga. 2.7.2 Hipotesis Alternatif (Ha) Hipotesis alternatif dapat langsung dirumuskan apabila pada suatu penelitian, hipotesis nol ditolak. Hipotesis ini merupakan hipotesis yang menyatakan ada hubungan antara variabel satu dengan variabel yang lain (Sugiyono, 2011). Hipotesis alternatif (Ha) dalam penelitian ini adalah: 40 Ada pengaruh latihan rentang gerak sendi pasif terhadap peningkatan luas gerak sendi siku ekstensi pada lansia dengan hambatan mobilitas fisik di Panti Sosial Menara Kasih Salatiga. Ada pengaruh latihan rentang gerak sendi pasif terhadap peningkatan luas gerak sendi siku fleksi pada lansia dengan hambatan mobilitas fisik di Panti Sosial Menara Kasih Salatiga. Ada pengaruh latihan rentang gerak sendi pasif terhadap peningkatan luas gerak sendi siku hiperekstensi pada lansia dengan hambatan mobilitas fisik di Panti Sosial Menara Kasih Salatiga.