Studi Kasus Pembelajaran Menulis Teks Anekdot pada Kurikulum

advertisement
Aksara, Vol. 2 No. 1
January 2017
Studi Kasus Pembelajaran Menulis Teks Anekdot
pada Kurikulum 2013 di SMA Negeri 1 Surakarta
Tahun Pelajaran 2016/2017/ A Case Study of Anecdote Writing under the 2013 National
Curriculum at SMA 1 Negeri Surakarta in the 2016/2017 Academic Year
Indri Kusuma Wardani
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia
Retno Winarni
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia
St.Y. Slamet
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia
Abstract
Writing is an important but complex language skill. For this reason, the 2013
Indonesian National Curriculum has a strong focus on literary mastery as part of
the study of Indonesian. This language study is text-based and includes anecdotes
as one type of text students are required to understand. Nonetheless, many
problems have been noted in achieving the required level of mastery among
students. This study discusses the process used for teaching writing as well as the
student learning process at SMA Negeri 1 Surakarta. The study was carried out
from September to December 2016 and combined observational and interview
data. The lessons, based on the movie Sentilan Sentilun, were found to be studentcentered and made use of authentic evaluation, but it was noted that student mastery
still showed gaps in basic competencies related to the writing of anecdotes.
Pendahuluan
Menulis merupakan salah satu jenis komponen keterampilan berbahasa yang harus dikuasai
peserta didik, di samping menyimak, berbicara, dan membaca. Menulis diyakini sebagai
keterampilan berbahasa tingkat tinggi karena penulis harus menuangkan ide, gagasan, dan
maksud kepada pembaca melalui media tulisan. Slamet (2009: 98) menyatakan bahwa menulis
memerlukan keterampilan karena diperlukan latihan-latihan yang berkelanjutan, terus menerus
dan sungguh-sungguh. Oleh karena itu, Tarigan (2013: 4) menyatakan bahwa keterampilan
menulis merupakan suatu ciri dari orang yang terpelajar atau bangsa yang terpelajar. Hal ini
berarti bahwa seseorang yang memiliki keterampilan menulis disebut orang yang terpelajar.
Untuk menjawab tantangan zaman dan arus globalisasi, Kurikulum 2013 menjunjung tinggi
budaya literasi. Terbukti dengan konsep pembelajaran bahasa Indonesia yang tidak hanya
mengajarkan materi bahasa dan sastra kepada peserta didik. Kemendikbud (2016: 1)
menyatakan bahwa lingkup materi mata pelajaran bahasa Indonesia meliputi bahasa
(pengetahuan tentang Bahasa Indonesia); sastra (pemahaman, apresiasi, tanggapan, analisis,
dan penciptaan karya sastra); dan literasi (perluasan kompetensi berbahasa Indonesia dalam
berbagai tujuan khususnya yang berkaitan dengan membaca dan menulis). Oleh karena itu,
guru harus memberi perhatian lebih untuk keterampilan menulis bagi siswa.
ISSN – 2206-0596 (Online)
45
Wardani, Winarni & Slamet
Seturut dengan pendekatan pengembangan kurikulum bahasa yang digunakan negara-negara
maju, Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan genre-based, genre pedagogy, dan content
language integrated learning (CLIL). Secara singkat, pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan berbasis genre. Genre merupakan pengelompokan dari suatu peristiwa komunikasi.
Setiap peristiwa komunikasi memiliki tujuan komunikatif yang khas dalam wujud
komunikasinya. Kemendikbud (2016: 2) menyimpulkan bahwa genre merupakan makna dan
tujuan sosial, tipe teks adalah bentuk fisiknya, maka pendekatan berbasis genre juga terkadang
disebut berbasis teks. Menurut Mahsun (2013) yang dimaksud pembelajaran berbasis teks
adalah siswa menggunakan bahasa tidak saja hanya dijadikan sebagai sarana komunikasi, tetapi
sebagai sarana mengembangkan kemampuan berpikir. Pembelajaran berbasis teks dapat
dinyatakan pembelajaran yang menjadikan teks sebagai dasar, asas, pangkal, dan tumpuan.
Sudah banyak dibicarakan mengenai ketidakseimbangan materi bahasa dan sastra dalam
pelajaran bahasa Indonesia di semua jenjang sekolah. Seperti halnya muatan materi bahasa
Indonesia pada kelas X berikut ini. Muatan materi pelajaran bahasa Indonesia pada kelas X
Sekolah Menengah Atas (SMA) meliputi: 1) Laporan Hasil Observasi; 2) Teks Eksposisi; 3)
Anekdot; 4) Hikayat; 5) Ikhtisar Buku; 6) Teks Negosiasi; 7) Debat; 8) Cerita Ulang (Biografi);
9) Puisi; 10) Resensi Buku. Pada level kelas X ini, terdapat 3 materi sastra, yakni anekdot,
hikayat, dan puisi. Persentase muatan materi sastra yang tidak seimbang ini disayangkan karena
di dalam teks sastra terkandung nilai-nilai kehidupan, serta dapat membangun wawasan serta
memacu siswa memunculkan sikap berdasarkan nilai, moral, dan etika.
Teks anekdot merupakan sebuah cerita singkat, namun lucu dan isinya berupa sindiran
(Priyatni, 2014: 92). Teks ini diklaim para pendidik sebagai materi sastra baru karena dalam
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan tidak tercantum. Fatimah (2015: 216-217) menjelaskan
bahwa dalam dunia pembelajaran bahasa, istilah anekdot telah muncul dalam pembelajaran
bahasa Inggris Kurikulum 2004. Sementara itu munculnya teks anekdot sebagai teks yang
diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia baru disampaikan secara tersurat dalam
Kurikulum 2013. Sesuai dengan prinsip pembelajaran bahasa Indonesia dalam kurikulum
tersebut yakni berbasis teks, maka teks anekdot menjadi salah satu teks yang wajib dipelajari
siswa. Hanya saja teks anekdot tidak diperkenalkan sejak SMP, tetapi baru dikenalkan mulai
SMA/ MA.
Keberhasilan peserta didik memiliki keterampilan menulis anekdot ditentukan oleh berbagai
komponen yang saling berkaitan dalam sistem pembelajaran. Komponen-komponen tersebut
meliputi tujuan pembelajaran, isi/materi, metode, media, dan evaluasi (Sanjaya, 2011: 59).
Dengan karakteristik kelas X IS 2 yang sangat aktif serta memiliki rasa ingin tahu yang tinggi,
guru perlu menggunakan pendekatan pembelajaran yang tepat supaya dapat memenuhi
kebutuhan pengetahuan peserta didik serta memberi kesempatan untuk mengembangkan
kreativitas mereka secara berkelompok. Selain itu, peserta didik membutuhkan media yang
menarik supaya tidak jenuh dan kehilangan motivasi untuk mengikuti pembelajaran menulis
teks anekdot.
SMA Negeri 1 Surakarta merupakan sekolah pilihan yang pada tahun 2013 ditetapkan sebagai
pilot project pemerintah pusat untuk pengimplementasian Kurikulum 2013. Hingga saat ini,
Kurikulum 2013 senantiasa mengalami perubahan. Penyempurnaan kurikulum 2013 disertai
permasalahan baru. Oleh karena itu, peneliti tertarik meneliti pembelajaran menulis teks
anekdot di SMA Negeri 1 Surakarta. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1)
Bagaimana proses perencanaan pembelajaran menulis teks anekdot di SMA Negeri 1
Surakarta?; (2) Bagaimana proses pelaksanaan pembelajaran menulis teks anekdot di SMA
ISSN – 2206-0596 (Online)
46
Aksara, Vol. 2 No. 1
January 2017
Negeri 1 Surakarta?; (3) Bagaimana proses penilaian dalam pembelajaran menulis teks
anekdot di SMA Negeri 1 Surakarta?; (4) Apa saja kendala dalam pembelajaran menulis teks
anekdot di SMA Negeri 1 Surakarta? (5) Bagaimana solusi yang tepat untuk mengatasi masalah
dalam pembelajaran menulis teks anekdot pada SMA Negeri 1 Surakarta.
Kurikulum 2013
Kurikulum menurut Undang-Undang Nomor 20 Pasal 1 Butir 9 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional disebutkan bahwa “kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran secara serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”
(dalam Indriyanto, 2010: 27). Berdasarkan definisi kurikulum tersebut, kita dapat mengetahui
pengertian sekaligus komponen pembangun kurikulum. Subandiyah menambahkan bahwa
komponen utama kurikulum meliputi tujuan pendidikan, isi/materi, organisasi/strategi, media,
proses belajar mengajar, sedangkan komponen penunjangnya adalah sistem administrasi,
bimbingan dan penyuluhan, dan sistem evaluasi (Suparlan, 2011).
Suparlan (2011) menjabarkan macam-macam kurikulum yang ditinjau dari proses
penyusunannya meliputi kurikulum nasional, negara bagian, dan sekolah. Kurikulum nasional
(national kurikulum), yakni kurikulum yang disusun oleh tim pengembang tingkat nasional dan
digunakan secara nasional; kurikulum negara bagian (state curriculum), yakni kurikulum yang
disusun oleh masing-masing negara bagian, misalnya di masing-masing Negara bagian di
Amerika Serikat, dan digunakan oleh masing-masing negara bagian itu; sedangkan kurikulum
sekolah (school curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh satuan pendidikan sekolah.
Kurikulum sekolah lahir dari keinginan untuk melakukan diferensiasi dalam kurikulum.
Kurikulum yang berlaku di Indonesia termasuk jenis kurikulum nasional, tetapi sekolah diberi
wewenang untuk mengembangkan kurikulum nasional tersebut disesuaikan dengan sumber
daya yang dimiliki.
Kurikulum 2013 merupakan kurikulum ke-XI yang pernah berlaku di Indonesia. Berikut ini
urutan kurikulum yang pernah berlaku di Indonesia, (1) Kurikulum tahun 1947 yang disebut
Rencana Pelajaran Dirinci Dalam Rencana Pelajaran Terurai (17 tahun); (2) Kurikulum tahun
1964 Rencana Pendidikan Dasar (4 tahun); (3) Kurikulum tahun 1968 Kurikulum Sekolah
Dasar (6 tahun); (4) Kurikulum tahun 1974 Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan
(1 tahun); (5) Kurikulum tahun 1975 Kurikulum Sekolah Dasar (9 tahun); (6) Kurikulum Cara
Belajar Siswa Aktif (KCBSA) 1984 (10 tahun); (7) Kurikulum 1994 (3 tahun); (8) Kurikulum
tahun 1997 Revisi Kurikulum 1994 (7 tahun); (9) Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
2004 (2 tahun); (10) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTPS) 2006 (7 tahun); (11)
Kurikulum tahun 2013 yang mulai diberlakukan pada bulan Juli 2013 (Anonim, 2013).
Berbagai pertimbangan mempengaruhi perubahan dan pergantian kurikulum dari masa ke
masa, begitu pula dengan pergantian kurikulum dari KTSP menuju Kurikulum 2013. Faktorfaktor yang berpengaruh terhadap pergantian kurikulum dapat berupa faktor politik, sosial,
budaya, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Namun, bagaimanapun hasil pertimbangan
dan pengaruh faktor-faktor tersebut diharapkan tetap dalam tekad mewujudkan cita-cita dan
tujuan pendidikan nasional. Seperti pendapat Mulyasa (2013: 3) yang mengungkapkan bahwa
perubahan apapun yang dilakukan dalam bidang pendidikan, harus tetap dilandasi oleh
semangat membentuk nilai-nilai karakter bangsa. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No.
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, salah satu dari tujuan nasional pendidikan
adalah mewujudkan akhlak mulia (dalam Raharjo, 2007).
ISSN – 2206-0596 (Online)
47
Wardani, Winarni & Slamet
Pada kurikulum KTSP, konsep pembelajaran menitikberatkan pada kecakapan kognitif baru
kemudian afektif dan psikomotorik. Memang, banyak siswa berprestasi baik dalam bidang
akademik atau nonakademik tetapi terdapat penurunan kualitas proses belajar siswa. Banyak
ditemukan fenomena tentang kemerosotan moral peserta didik, seperti mencontek hingga
tindakan plagiarisme. Peristiwa-peristiwa ini lah yang menjadi alasan dan mengawali
disusunnya Kurikulum 2013.
Berlandaskan pada kenyataan tersebut, pemerintah melalui Kemendikbud berusaha untuk
mewujudkan kondisi ideal tersebut dengan menyempurnakan pola pikir perumusan Kurikulum
2013 terlebih dahulu, yakni: (1) Standar Kompetensi Lulusan diturunkan dari kebutuhan; (2)
Standar Isi diturunkan dari Standar Kompetensi Lulusan melalui Kompetensi Inti yang bebas
mata pelajaran; (3) Semua mata pelajaran harus berkontribusi terhadap pembentukan sikap,
keterampilan, dan pengetahuan (Mulyasa, 2013: 63).
Kurikulum 2013 yang berbasis karakter dan kompetensi ini diharapkan dapat menghasilkan
manusia yang produktif, kreatif, inovatif, dan berkarakter. Oleh karena itu, tema yang diusung
Kurikulum 2013 adalah menghasilkan insan yang produktif, kreatif, inovatif, afektif; melalui
penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi (Mulyasa, 2013: 99).
Adapun indikator-indikator perubahan yang menyatakan keberhasilan implementasi
Kurikulum 2013 menurut Mulyasa (2013: 11) adalah (1) adanya lulusan yang berkualitas,
produktif, kreatif, dan mandiri; (2) adanya peningkatan mutu pembelajaran; (3) adanya
peningkatan efisiensi dan efektivitas pengelolaan dan pendayagunaan sumber belajar; (4)
Adanya peningkatan perhatian serta partisipasi masyarakat; (5) adanya peningkatan tanggung
jawab sekolah; (6) Tumbuhnya sikap, keterampilan, dan pengetahuan secara utuh di kalangan
peserta didik; (7) Terwujudnya pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan
(PAKEM); (8) terciptanya iklim yang aman, nyaman, dan tertib, sehingga pembelajaran dapat
berlangsung dengan tenang dan menyenangkan (joyfull learning); (9) adanya proses evaluasi
dan perbaikan secara berkelanjutan (continuous quality improvement).
Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa revitalisasi kurikulum merupakan
upaya pemerintah mewujudkan kondisi ideal pembelajaran. Kurikulum 2013 berbasis
kompetensi dan karakter yang mulai diimplementasikan di Indonesia pada Juni 2013
diharapkan dapat menyiapkan peserta didik tidak hanya cakap dalam ranah kognitif, tetapi juga
afektif dan psikomotoriknya sehingga mampu bersaing di dunia kerja dan era globalisasi.
Proses Pembelajaran Menulis Teks Anekdot pada Kurikulum 2013: Hakikat Proses
Pembelajaran
Gagne (dalam Dahar, 2011: 2) menyatakan bahwa belajar merupakan proses perubahan tingkah
laku suatu organisasi sebagai akibat pengalaman. Pendapat ini menjelaskan bahwa suatu
organisasi yang dalam hal ini adalah siswa disebut belajar apabila mengalami sebuah proses
pembelajaran. Proses pembelajaran yang dialami siswa disebut pengalaman belajar. Proses
pembelajaran yang berhasil akan membuat siswa mengalami perubahan sikap dan tingkah laku
baik itu saat pembelajaran berlangsung atau setalahnya. Slavin (dalam Trianto, 2010)
menambahkan bahwa belajar merupakan proses perubahan perilaku tetap dari belum tahu
menjadi tahu, dari tidak paham menjadi paham, dari kurang terampil menjadi terampil, dan
dari kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru, serta bermanfaat bagi lingkungan maupun
individu.
ISSN – 2206-0596 (Online)
48
Aksara, Vol. 2 No. 1
January 2017
Robbins (dalam Trianto, 2010) menyatakan bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam dimensi
belajar yaitu penciptaan hubungan, pengetahuan yang sudah dipahami, dan pengetahuan yang
baru. Dapat dijelaskan bahwa belajar merupakan keterkaitan dari dua pengetahuan yang sudah
ada dengan pengetahuan baru, bukan berangkat dari sesuatu yang benar-benar belum diketahui
(nol). Dapat dijelaskan juga bahwa siswa merupakan subjek belajar, siswa dituntut aktif
mencari, menambah, dan mengembangkan informasi bukan objek belajar yang hanya
menerima materi yang disampaikan guru. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Oemar
Hamalik (dalam Suardi, 2012: 21) yang menyatakan bahwa pembelajaran berfungsi
menyiapkan peserta didik untuk memasuki kehidupan nyata. Siswa pada hakikatnya belum siap
atau sebenarnya memiliki kompetensi tetapi belum maksimal, bukan tidak memiliki
kompetensi sama sekali sehingga perlu disiapkan dan sedang menyiapkan dirinya sendiri.
Belajar merupakan proses, maka untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, dan tingkah laku
peserta didik pasti melalui tahapan demi tahapan. Gagne (dalam Dahar, 2011:124)
mengemukakan delapan fase dalam satu tindakan belajar (learning act), yaitu (1) fase motivasi,
(2) fase pengenalan, (3) fase perolehan, (4) fase retensi, (5) fase pemanggilan, (6) fase
generalisasi, (7) fase penampilan, dan (8) fase umpan balik. Proses pembelajaran di dalam kelas
atau Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) hendaknya juga mencakup tahapan-tahapan tersebut,
mulai dari siswa membangun dan mencari informasi sendiri, memperoleh informasi dari guru,
mengolah dan mengingat materi, mengalami perubahan penampilan (sikap dan tingkah laku)
hingga mendapat konfirmasi dan refleksi dari guru.
Siswa disebut belajar apabila mengalami perubahan pengetahuan, perubahan sikap, dan
perubahan tingkah laku. Hal ini sesuai dengan pendapat Surjadi (1989:4) yang mengatakan
bahwa belajar berlangsung apabila terjadi perubahan pada diri peserta didik. Perubahan itu
meliputi penambahan informasi, pengembangan atau peningkatan pengertian, penerimaan
sikap-sikap baru, perolehan penghargaan baru, dan pengerjaan sesuatu dengan
mempergunakan apa yang telah dipelajari. Lebih lanjut Harsey dan Blanchard (dalam Raharjo,
2007: 235) menjelaskan bahwa terdapat empat level perubahan dalam diri peserta didik, yakni
perubahan pengetahuan, perubahan sikap, perubahan perilaku, dan perubahan prestasi
kelompok atau organisasi.
Meskipun banyak sekali faktor yang mempengaruhi kesuksesan proses pembelajaran, tetapi
terdapat komponen penting yang selalu ada di dalam proses pembelajaran di kelas yaitu guru
dan siswa. Sanjaya (2006) menyatakan bahwa pembelajaran merupakan kegiatan yang
bertujuan untuk membelajarkan peserta didik. Hal ini didukung oleh pernyataan Uno (2008:
84), bahwa hakikat pembelajaran adalah perencanaan atau perancangan (desain) sebagai upaya
untuk membelajarkan peserta didik. Trianto (2010:17) juga menyatakan bahwa pembelajaran
merupakan usaha sadar dari seorang guru untuk membelajarkan peserta didiknya
(mengarahkan interaksi peserta didik dengan sumber belajar lainnya) dalam rangka mencapai
tujuan yang diharapkan.
Berdasarkan pendapat-pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa titik fokus dalam proses
pembelajaran adalah siswa. Pihak yang harus mengalami proses belajar, mengalami perubahan
pengetahuan, sikap, dan tingkah laku adalah siswa. Untuk dapat mengoptimalkan dan
meningkatkan kualitas pembelajaran, diperlukan faktor-faktor pendukung yang salah satunya
adalah guru. Selain itu, Sanjaya (2006) menyatakan bahwa komponen yang dapat membentuk
dan mempengaruhi proses pembelajaran meliputi tujuan, isi/materi, metode, media, dan
evaluasi
ISSN – 2206-0596 (Online)
49
Wardani, Winarni & Slamet
Berbagai komponen pembelajaran tersebut terintegrasi dalam tahapan proses pembelajaran.
Tahapan proses pembelajaran menurut Standar Proses meliputi perencanaan, pelaksanaan,
dan. evaluasi pembelajaran.
Keterampilan Menulis Teks Anekdot
Manusia memiliki empat jenis keterampilan berbahasa yang keempatnya merupakan satu
kesatuan atau disebut catur-tunggal. Menurut Tarigan (2013: 1), keterampilan berbahasa
mempunyai empat komponen, yaitu: (1) keterampilan menyimak (listening skill); (2)
keterampilan berbicara (speaking skill); (3) keterampilan membaca (reading skill); dan (4)
keterampilan menulis (writing skill). Keterampilan hanya dapat diperoleh dan dikuasai dengan
jalan praktik dan banyak pelatihan. Melatih keterampilan berbahasa berarti pula melatih
keterampilan berpikir seseorang.
Hamalik (2008) menyatakan bahwa menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang
dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak bertatap muka dengan orang
lain. Menulis merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif. Menulis adalah
menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa
yang dipahami oleh seseorang, sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik
tersebut kalau mereka memahami bahasa dan gambaran grafik itu.
Menurut McCrimmon (dalam Slamet, 2012: 169), menulis merupakan kegiatan menggali
pikiran dan perasaan mengenai suatu subjek, memilih hal-hal yang ditulis, menentukan cara
menuliskannya sehingga pembaca dapat memahaminya dengan mudah dan jelas. Pendapat ini
senada dengan pendapat Mary Lawrence (dalam Slamet, 2012: 171), menulis adalah
mengomunikasikan apa dan bagaimana pikiran penulis. Slamet (2012: 171) menyatakan bahwa
menulis merupakan serangkaian aktivitas (kegiatan) yang terjadi dan melibatkan beberapa fase
(tahap), yaitu fase pramenulis (persiapan), penulisan (pengembangan isi karangan), dan
pascapenulisan (telaah dan revisi atau penyempurnaan tulisan).
Dananjaja (1997: 11) berpendapat bahwa anekdot adalah kisah fiktif lucu pribadi seorang
tokoh atau beberapa tokoh yang benar-benar ada. Hal tersebut senada dengan (Muthiah:
2012) yang menyatakan bahwa anekdot adalah sebuah teks yang berisi pengalaman seseorang
yang tidak biasa. Pengalaman yang tidak biasa tersebut disampaikan kepada orang lain dengan
tujuan untuk menghibur si pembaca. Teks Anekdot sering juga disebut dengan cerita jenaka
karena kelucuannya. Hal ini senada dengan Martin (2003) yang menerangjelaskan bahwa
anekdot merupakan salah satu jenis humor bahkan anekdot sering dianggap sebagai humor itu
sendiri. Istilah humor muncul pada abad ke-18 seiring dengan dimulainya masa pendekatan
humanistic. Istilah humor digunakan untuk membedakan perilaku tertawa yang disebabkan
hal-hal kurang positif seperti saling ledek(comedy), celaan (sarcasm), sindiran (satire), dan
keanehan yang terjadi pada orang lain (ridicule).
Berbeda dengan penjelasan Danandjaja maupun Muthiah, beberapa ahli memaknai secara lebih
luas tentang teks anekdot. Graham dalam Fatimah (2013: 218) menyatakan bahwa kata anekdot
digunakan untuk memaknai kata “joke” dari bahasa Inggris yang bermakna suatu narasi atau
percakapan yang lucu (humorous). Senada dengan berbagai pandangan terakhir, Wijana
(1995: 24) menjelaskan bahwa teks humor adalah teks atau wacana bermuatan humor untuk
bersendau gurau, menyindir, atau mengkritik secara tidak langsung segala macam
kepincangan atau ketidak beresan yang tengah terjadi di masyarakat penciptanya.
ISSN – 2206-0596 (Online)
50
Aksara, Vol. 2 No. 1
January 2017
Priyatni (2015: 92) menjelaskan bahwa teks anekdot merupakan sebuah cerita singkat, namun
lucu dan isinya berupa sindiran. Teks yang memaparkan cerita singkat yang menarik karena
lucu dan mengesankan yang isinya berupa kritik atau sindiran terhadap kebijakan, layanan
publik, perilaku penguasa, atau suatu fenomena/kejadian ini disebut teks anekdot. Tujuan teks
anekdot adalah memberikan sindiran/kritik terhadap kebijakan, layanan publik, perilaku
penguasa, atau suatu fenomena/kejadian dengan cara yang lebih menghibur dan menarik (lucu
dan mengesankan). Gerot dan Wignell (dalam Wachidah, 2004: 10) menyatakan bahwa teks
anekdot pada umumnya terdiri atas lima bagian atau struktur generik, yaitu abstract,
orientation, crisis, reaction, dan coda.
.
Metode Penelitian
Penelitian tentang pembelajaran menulis teks anekdot pada Kurikulum 2013 dilakukan di SMA
Negeri 1 Surakarta yang beralamat di Jalan Monginsidi Nomor 40, Kelurahan Gilingan,
Kecamatan Banjarsari pada tahun ajaran 2016/2017. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan,
mulai dari bulan September hingga Desember 2017.
Pendekatan penelitian pada penelitian ini adalah kualitatif deskripstif melalui metode studi
kasus. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Sumber data
berasal dari peristiwa proses pembelajaran, informan (guru dan siswa), dan dokumen. Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara mendalam, dan analisis dokumen.
Validitas data diperoleh melalui triangulasi sumber data, triangulasi metode, dan review
informan. Teknik analisis data menggunakan model interaktif, yaitu pengumpulan data,
reduksi data, display data (penyajian data), dan penarikan kesimpulan.
Hasil dan Pembahasan
Cartono dan Toto (2006: 1) menyatakan bahwa kurikulum, proses pembelajaran, dan penilaian
merupakan tiga dimensi yang saling berkaitan, kurikulum merupakan penjabaran dari tujuan
pendidikan yang menjadi landasan program pembelajaran, proses pembelajaran merupakan
upaya yang dilakukan guru untuk mencapai tujuan yang dirumuskan dalam kurikulum.
Sedangkan penilaian merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan untuk mengukur dan
menilai tingkat pencapaian kurikulum dan berhasil tidaknya proses pembelajaran yang
dilakukan guru. Oleh karena itu, untuk mengetahui tingkat keberhasilan pembelajaran menulis
teks anekdot di SMA Negeri 1 Surakarta, maka perlu diamati dan dianalisis proses
perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi.
Perencanaan Pembelajaran Menulis Teks Anekdot di SMA Negeri 1 Surakarta pada
Kurikulum 2013
Perencanaan pembelajaran atau disebut desain pembelajaran yang merupakan tahapan awal
proses pembelajaran. Morrison, dkk (dalam Gafur, 2012: 3) menyatakan “Instructional design
is a strategic planning of a course. It is a blueprint that you design and follow. It helps us
connect all the dots to form a clear picture of teaching and learning events”. Desain
pembelajaran merupakan pola atau rancangan pembelajaran yang disusun secara sistematis
sehingga proses pembelajaran berlangsung secara optimal dalam arti tujuan pembelajaran
tercapai sesuai dengan yang diharapkan.
ISSN – 2206-0596 (Online)
51
Wardani, Winarni & Slamet
Perencanaan pembelajaran yang dilakukan guru bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Surakarta
adalah mengkaji silabus dan menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Departemen Pendidikan Nasional mendefinisikan silabus sebagai rencana pembelajaran pada
satu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi,
kompetensi dasar, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian
kompetensi, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar (Akbar, 2013: 7).
Terdapat perubahan yang signifikan mengenai penyusunan silabus pada Kurikulum 2013.
Mulyasa (2013: 80) menyatakan bahwa dalam Kurikulum 2013, pengembangan silabus tidak
lagi oleh guru, tetapi sudah disiapkan oleh tim pengembang kurikulum, baik di tingkat pusat
maupun wilayah. Hal ini sesuai dengan Permendikbud No. 81 A Tahun 2013 pada lampiran IV
menyatakan bahwa tahap pertama dalam pembelajaran menurut standar proses yaitu
perencanaan pembelajaran yang diwujudkan dengan kegiatan penyusunan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rencana yang menggambarkan prosedur dan
manajemen pembelajaran untuk mencapai satu atau lebih kompetensi dasar yang ditetapkan
dalam Standar Isi dan dijabarkan dalam silabus. (Mulyasa, 2007: 212). Berdasarkan
Permendikbud No.81 A Tahun 2013, RPP paling sedikit harus memuat tujuan pembelajaran,
materi pembelajaran, metode pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian. Komponenkomponen tersebut secara operasional diwujudkan dalam format berikut: (a) identitas RPP
yang meliputi sekolah, mata pelajaran, kelas/semester, materi pokok, alokasi waktu; (b) tubuh
RPP yang meliputi Kompetensi Inti, Kompetensi Dasar dan Indikator, tujuan pembelajaran,
materi pembelajaran, metode pembelajaran, media, alat, dan sumber pembelajaran, langkahlangkah kegiatan pembelajaran, dan penilaian; (c) penutup RPP yang meliputi pengesahan dan
lampiran.
Komponen RPP yang disusun oleh guru-guru bahasa Indonesia SMA Negeri 1 Surakarta
memiliki format yang sama dan lengkap, tidak adanya lampiran karena lampiran penilaian dan
materi dicantumkan dalam tubuh RPP.
Selain kelengkapan komponen, perlu diperhatikan juga bobot isi dan unsur bahasa RPP karena
semakin jelas RPP akan semakin mudah dipahami dan dilaksanakan oleh guru. Bobot isi RPP
dapat dilihat dari ketepatan, kejelasan, dan kelengkapan setiap komponen. Perumusan tujuan
pembelajaran pada RPP bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Surakarta telah mengandung unsur
audience dan behavior sesuai dengan Permendikbud No. 81 A Tahun 2013. Tiga dari empat
RPP yang dianalisis menggunakan pengorganisasian materi sesuai dengan pendapat Merril.
Merril (dalam Gafur, 2012: 66) bahwa isi (materi) pelajaran dibedakan menjadi empat macam,
yakni fakta, konsep, prinsip, dan prosedur (fact, concept, procedure, dan principle).
Metode pembelajaran yang digunakan adalah Contextual Teaching and Learning (CTL) yang
di dalamnya mencakup enam komponen belajar, yaitu konstruktivisme, inkuiri, questioning,
learning community, mdelling, authentic assessment. Media pembelajaran yang direncanakan
menggunakan video Sentilan Sentilun. Secara garis besar, RPP telah memiliki pedoman dan
prosedur penilaian yang lengkap. Penilaian yang dilakukan meliputi penilaian proses dan hasil.
Penilaian proses ditekankan pada motivasi belajar siswa saat mengikuti pembelajaran menulis
teks anekdot, sedangkan penilaian hasil berupa produk teks anekdot. Dalam RPP telah
tercantum rubrik penilaian untuk motivasi belajar serta rubrik menulis teks anekdot.
ISSN – 2206-0596 (Online)
52
Aksara, Vol. 2 No. 1
January 2017
Kesalahan unsur bahasa dalam RPP bahasa Indonesia SMA Negeri 1 Surakarta seharusnya
dapat diminimalisasi sehingga RPP jelas dan mudah dipahami. Guru dapat menggunakan
pedoman Ejaan yang Disempurnakan (EyD) untuk pedoman penulisan kata, kelompok kata,
ejaan, penulisan daftar pustaka, dan penomoran.
Pelaksanaan Pembelajaran Menulis Teks Anekdot di SMA Negeri 1 Surakarta pada
Kurikulum 2013
Paradigma konsep mengajar telah mengalami perubahan dari mengajar sebagai proses
menyampaikan materi pelajaran menjadi mengajar sebagai proses mengatur lingkungan.
Sanjaya (2006: 102) menyatakan bahwa paradigma konsep mengajar sebagai proses mengatur
lingkungan yang memiliki karakteristik: (a) mengajar berpusat pada siswa; (b) siswa sebagai
subjek belajar; (c) proses pembelajaran berlangsung di mana saja; (d) pembelajaran
berorientasi pada pencapaian tujuan.
Mulyasa (2013: 125) menyatakan bahwa pada umumnya, kegiatan pembelajaran mencakup
kegiatan awal atau pembukaan, kegiatan inti atau pembentukan kompetensi dan karakter, serta
kegiatan akhir atau penutup, pernyataan ini sesuai dengan Permendikbud No. 81 A Tahun
2013. Mulyasa (2013: 125) menyatakan bahwa kegiatan awal atau pembukaan pembelajaran
berbasis kompetensi dalam menyukseskan implementasi Kurikulum 2013 mencakup
pembinaan keakraban dan pretes. Berdasarkan hasil observasi, guru bahasa Indonesia SMA
Negeri 1 Surakarta telah melakukan pembinaan keakraban dan pretes pada pembukaan
pembelajaran.
Kemendikbud Indonesia mengusung pendekatan scientific dan pembelajaran berorientasi pada
keaktifan peserta didik (student centered learning). Permendikbud No. 81 A Tahun 2013
menyatakan bahwa kegiatan inti dijabarkan lebih lanjut menjadi rincian dari kegiatan
eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi, yakni mengamati, menanya, mengumpulkan informasi,
mengasosiasikan, dan mengomunikasikan. Guru bahasa Indonesia SMA Negeri 1 Surakarta
telah berusaha menerapkan pendekatan saintifik dengan melaksanakan urutan kegiatan dari
mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasikan, dan mengomunikasikan.
Selain itu, guru telah menerapkan metode yang mampu menarik antusiasme siswa sehingga
guru tidak mendominasi pembelajaran, yakni dengan menerapkan pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL). Guru juga menyisipkan penanaman pendidikan karakter secara
tidak langsung pada setiap kegiatan belajar.
Tahap terakhir pada pelaksanaan pembelajaran adalah kegiatan penutup. Mulyasa (2013: 129)
menyatakan bahwa kegiatan akhir pembelajaran atau penutup dapat dilakukan dengan
memberikan tugas dan post test. Pada kegiatan penutup, guru bahasa Indonesia SMA Negeri 1
Surakarta melakukan post test, menyimpulkan pembelajaran bersama siswa, memberikan
umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran, dan memberikan tugas. Tugas akhir yang
diberikan adalah menulis menulis teks anekdot dengan tema pendidikan, budaya, politik, dan
sosial. Siswa diberi kebebasan untuk memilih tema tersebut.
Penilaian Pembelajaran Menulis Teks Anekdot di SMA Negeri 1 Surakarta pada
Kurikulum 2013
Arifin (2012: 178) menyatakan bahwa model penilaian yang digunakan dalam kurikulum 2004
adalah Penilaian Berbasis Kelas (classroom-based assessment). Kita ketahui bahwa Kurikulum
2013 merupakan penyempurnaan kurikulum berbasis kompetensi maka Penilaian Berbasis
ISSN – 2206-0596 (Online)
53
Wardani, Winarni & Slamet
Kelas (PBK) masih berlaku. Akbar (2013: 91) menjelaskan bahwa penilaian berbasis kelas
merupakan penilaian menyeluruh dan terpadu mencakup proses dan hasil belajar siswa.
Jihad dan Abdul (2013: 94) menyatakan bahwa penilaian kelas dilaksanakan melalui berbagai
cara, seperti penilaian untuk kerja (performance), penilaian sikap, penilaian tertulis, penilaian
proyek, penilaian produk, penilaian melalui kumpulan hasil kerja/karya peserta didik
(portofolio), dan penilaian diri. Melalui berbagai cara penilaian terhadap peserta didik maka
dapat dihasilkan hasil penilaian yang otentik. Sesuai dengan Permendikbud No. 81 A Tahun
2013, untuk melaksanakan penilaian dengan acuan kriteria yang jelas maka guru harus
mengembangkan penilaian otentik berkelanjutan yang menjamin pencapaian dan penguasaan
kompetensi.
Guru telah mengupayakan pelaksanaan evaluasi pembelajaran secara maksimal dengan
melakukan penilaian pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pada pembelajaran
menulis teks anekdot, guru melakukan penilaian proses dan penilaian hasil. Penilaian proses
yang menekankan pada motivasi belajar siswa dinilai dengan lima indikator, yaitu tekun, ulet,
minat, prestasi, dan mandiri. Sedangkan penilaian keterampilan menulis dilihat dari produk
teks anekdot yang disusun siswa, dinilai dengan kriteria isi, struktur, diksi, kalimat, dan
mekanik. Sebagai gambaran riil, peneliti melakukan observasi di salah satu kelas, yakni X IS
2 SMA Negeri 1 Surakarta. Berdasarkan hasil observasi dan analisis dokumen, dapat diketahui
bahwa motivasi belajar siswa dan keterampilan menulis teks anekdot siswa kelas X IS 2 cukup
baik.
Lima aspek yang menjadi indikator penilaian motivasi belajar, yakni tekun, ulet, minat,
prestasi, dan mandiri. Aspek tekun sebesar 84,05%, aspek ulet sebesar 78,26%, aspek minat
sebesar 79,71%, aspek prestasi sebesar 75,36%, dan aspek mandiri sebesar 75,36%. Sedangkan
lima aspek yang menjadi indikator penilaian keterampilan menulis meliputi isi, struktur, diksi,
kalimat, dan mekanik. Aspek isi sebesar 94,2%, aspek struktur sebesar 94,78%, aspek diksi
sebesar 85,22%, aspek kalimat sebesar 82,51%, dan aspek mekanik sebesar 71,3%.
Hambatan dan Solusi yang Dilakukan Guru untuk Mengatasi Hambatan Pembelajaran
Menulis Teks Anekdot di SMA Negeri 1 Surakarta pada Kurikulum 2013
Hambatan yang dihadapi guru dalam pembelajaran menulis teks anekdot di SMA Negeri 1
Surakarta adalah: (1) penjelasan mengenai teks anekdot dalam buku teks bahasa Indonesia
terbitan pemerintah terbatas. Pemaparan didominasi dengan contoh teks anekdot dan latihanlatihan soal; (2) sumber teori mengenai teks anekdot terbatas bahkan cenderung kurang
sehingga menghambat kreativitas guru dalam mengembangkan bahan ajar; (3) peserta didik
lebih menyukai membaca dan bermain peran dalam pembelajaran teks anekdot dibandingkan
dengan menulis teks anekot. Padahal Kompetensi Dasar mengonversi teks anekdot menjadi
jenis teks lain, seperti teks drama telah dihapus dalam silabus terbaru; (4) memang teks anekdot
bernuansa humor dan bertujuan untuk mengkritik orang lain, namun terdapat peserta didik yang
menonjolkan kritikan mereka bagi pemerintah dengan tajam dan melupakan muatan humornya.
Langkah yang dapat dilakukan guru untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah: (1) bekerja
sama dengan peneliti untuk mencari buku-buku landasan teori tentang teks anekdot serta
bahan-bahan bacaaan berupa teks anekdot; (2) mengakses artikel-artikel jurnal untuk
memperluas wawasan; (3) menggunakan metode dan media pembelajaran yang inovatif untuk
menarik minat siswa dalam mengikuti pembelajaran menulis teks anekdot; (4) menegaskan
ISSN – 2206-0596 (Online)
54
Aksara, Vol. 2 No. 1
January 2017
hakikat teks anekdot kepada siswa sehingga bukan fokus pada kritik saja tetapi melupakan
muatan humor.
Simpulan dan Saran
Pada tahap perencanaan pembelajaran menulis teks anekdot, guru melakukan pengkajian
silabus serta pengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Guru SMA Negeri 1
Surakarta memiliki perangkat pembelajaran yang lengkap: (1) silabus dari pemerintah; (2) RPP
menulis teks anekdot dengan komponen yang lengkap dan berbobot, hanya masih terdapat
beberapa kesalahan ejaan.
Pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan guru adalah menerapkan pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL) serta mengunakan media video Sentilan Sentilun. Penilaian yang
dilakukan guru meliputi penilaian proses dan hasil. Penilaian proses menekankan pada
motivasi belajar siswa, sedangkan penilaian hasil diambil dari produk tulisan teks anekdot
siswa. Berdasarkan hasil observasi, tingkat motivasi belajar dan keterampilan menulis teks
anekdot di SMA Negeri 1 Surakarta baik.
Hambatan yang dihadapi guru adalah keterbatasan pemaparan materi pada buku teks,
keterbatasan buku referensi, siswa kurang berminat mengikuti pembelajaran menulis teks
ankekdot, siswa kurang memahami hakikat teks anekdot. Berdasarkan kondisi ini, guru
sebaiknya memiliki Focus Group Discussion (FGD), baik dengan guru lain atau peneliti dari
universitas; proaktif mencari bahan referensi tentang teks anekdot, baik buku maupun artikel
jurnal; menerapkan metode dan media pembelajaran yang menarik dan inovatif.
Referensi
Akbar, Sa’dun. 2013. Instrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung: PT Rema Rosdakarya.
Arifin, Zainal. 2012. Evaluasi Pembelajaran: Prinsp, Teknik, Prosedur. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Cartono dan Toto Sutarto G. Utari. 2006. Penilaian Hasil Belajar. Bandung: Prisma Press.
Dahar, Ratna Wilis. 2011. Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.
Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain- lain. Jakarta:
PT Pustaka Utama Grafiti.
Fatimah, Nuraini. 2013. “Teks Anekdot sebagai Sarana Pengembangan Kompetensi Bahasa
dan Karakter Siswa” dalam Prosiding Seminar Nasional: Teks Sebagai Sarana Pembelajaran
Menyongsong Kurikulum 2013. FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Gafur, Abdul. 2012. Desain Pembelajaran: Konsep, Model, dan Aplikasinya dalam
Perencanaan Pelaksanaan Pembelajaran. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Hamalik, Oemar. 2008. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta:
PT Bumi Aksara.
ISSN – 2206-0596 (Online)
55
Wardani, Winarni & Slamet
Indriyanto. 2012. “Pengembangan Kurikulum Sebagai Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu
Pendidikan” dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 18 (4): 440-452.
Jihad, Asep dan Abdul Haris. 2013. Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Multi Pressindo.
Kemendikbud. 2016. Silabus Mata Pelajaran Sekolah Menengah Atas/ Madrasah Aliyah/
Sekolah Menengah Kejuruan/ Madrasah Aliyah Kejuruan (SMA/MA/SMK/MAK). Jakarta:
Kemendikbud.
Martin, R. 2003. “Sense of humor”. Dalam S. J. Lopez& C.R. Snyder (Ed.), Positive
Psychological assessment A handbook of models and measures (pp. 313-316) Washington,
DC: American Psycological Association.
Mulyasa, E. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Mulyasa, E. 2013. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Priyatni, Endah Tri. 2014. Desain Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:
Kencana Prenada Media.
Sanjaya, Wina. 2011. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:
Kencana Prenada Media.
Sanjaya, Wina. 2015. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Prenadamedia Group.
Sardiman A.M. 2012. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Slamet, St. Y. & Khundharu Saddhono. 2012. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa
Indonesia: Teori dan Aplikasi. Karanganyar: CakraBooks.
Slamet, St. Y. 2009. Dasar-dasar Keterampilan Berbahasa Indonesia. Surakarta: UNS Press.
Suparlan. 2011. Tanya Jawab Pengembangan Kurikulum dan Materi Pembelajaran. Jakarta:
PT Bumi Aksara.
Tarigan, Henry Guntur. 2013. Menulis: Sebagai Sutau Keterampilan Berbahasa. Bandung: CV
Angkasa.
Trianto. 2010.
Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya
pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Uno, Hamzah B dan Satria Koni. 2008. Model Pembelajaran: Menciptakan Proses Belajar
Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara.
ISSN – 2206-0596 (Online)
56
Aksara, Vol. 2 No. 1
January 2017
Wachidah, Siti. 2004. Pembelajaran Teks Anekdot. Jakarta: Departemen Penddidikan
Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjut
Pertama.
Wijana, I dewa Putu. 1995. “Pemanfaatan Teks Humor dalam Pegajaran Aspek- Aspek
Kebahasaan”, II/1995. Halaman 23-30.
ISSN – 2206-0596 (Online)
57
Download