17 BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teori 1. Tinjauan tentang

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Tinjauan tentang Pendidikan Kewarganegaraan
Dalam tinjauan mengenai Pendidikan Kewarganegaraan akan
dijelaskan beberapa pengertian mengenai Pendidikan Kewarganegaraan,
sejarah Pendidikan Kewarganegaraan, tujuan pendidikan Kewarganegaraan,
ruang lingkup Pendidikan Kewarganegaraan, pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan, strategi dan metode pembelajaran dalam Pendidikan
Kewarganegaraan, serta Pendidikan Kewarganegaraan dalam pembentukan
karakter
kebangsaan.
Penjelasan
mengenai
pengertian
Pendidikan
Kewarganegaraan diuraikan sebagai berikut:
a.
Pengertian Pendidikan Kewarganegraan
Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) merupakan salah
satu bidang kajian yang mengemban misi nasional untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa Indonesia melalui koridor “value-based education”
(Sunarso, dkk, 2006: 1). Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan
menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
adalah mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan karakter
warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan
kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas,
terampil dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD
1945.
17
18
Secara konseptual Pendidikan Kewarganegaraan diartikan sebagai
penyiapan generasi muda (siswa) untuk menjadi warga negara yang
memiliki pengetahuan, kecakapan dan nilai-nilai yang diperlukan untuk
berpartisipasi aktif dalam masyarakat (Samsuri, 2011: 28). Selanjutnya
Nu‟man Sumantri mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian
PKn, yaitu Pkn adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi
politik, yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya,
positive influence pendidikan sekolah, masyarakat, orang tua, yang
kesemuanya itu diproses untuk melatih pelajar-palajar berpikir kritis,
analitis, dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup
demokrasi dengan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 (Cholisin,
2000: 1.8).
Dari pendapat-pendapat di atas penulis sepakat dengan pendapat
Nu‟man Sumantri yang mana pada intinya PKn adalah suatu mata
pelajaran yang berisi pendidikan politik, yang diperluas dengan sumbersumber pengetahuan lainnya, positive influence pendidikan sekolah,
masyarakat, orang tua, yang kesemuanya itu diproses untuk melatih
peserta didik berpikir kritis, analitis, dan bertindak demokratis dalam
mempersiapkan hidup demokratis dengan berlandaskan Pancasila dan
UUD 1945.
19
b. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan
Tujuan dari Pendidikan Kewarganegaraan diatur dalam Lampiran
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah. Tujuannya adalah agar peserta didik
memiliki kemampuan sebagai berikut.
1) Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu
kewarganegaraan
2) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak
secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, serta anti-korupsi
3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat
hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.
4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia
secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi.
Sementara itu, Ahmad Sanusi mengemukakan konsep-konsep
pokok yang lazimnya merupakan tujuan Civic Education pada umumnya
adalah sebagai berikut ( Cholisin (2000: 1.17).
1) Kehidupan kita di dalam jaminan-jamnan konstitusi.
2) Pembinaan bangsa menurut syarat-syarat konstitusi.
3) Kesadaran warga negara melalui pendidikan dan komunikasi
politik.
4) Pendidikan untuk (ke arah) warga negara yang betanggung jawab.
5) Latihan-latihan berdemokrasi.
6) Turut serta secara aktif dalam urusan-urusan politik.
7) Sekolah sebagai laboratorium demokrasi.
8) Prosedur dalam pengambilan keputusan.
9) Latihan-latihan kepemimpinan.
10) Pengawasan demokrasi terhadap lembaga-lembaga eksekutif dan
legislatif.
11) Menumbuhkan pengertian dan kerja sama internasional.
Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil benang merahnya
(inti) dan keterkaitannya satu sama lain dari tujuan PKn itu sendiri yaitu
20
untuk membentuk warga negara yang baik tentunya warga negara yang
baik di sini yang memahami dan mampu melaksanakan peranannya
sebagai warga negara untuk ikut serta membangun negara yang
demokratis, berkemanusiaan dan berkeadilan sosial atau yang dalam istilah
reformasi adalah warga negara yang mampu ikut serta dalam membangun
masyarakat madani (civil society) sebagai karakter masyarakat Indonesia
baru yang berpedoman dengan Pancasila dan UUD 1945.
c. Ruang Lingkup PKn
Cakupan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang digagas
dalam satuan kurikulum nasional dalam lampiran Permendiknas No. 22
tahun 2006 meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
1) Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam
perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia,
Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Partisipasi dalam pembelaan Negara, Sikap positif terhadap Negara
Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan
2) Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan
keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat,
Peraturan-peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, Sistem hukum dan peradilan nasional,
Hukum dan peradilan internasional
3) Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan
kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional
HAM, Pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM
4) Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri
sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan
mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri,
Persamaan kedudukan warga Negara
5) Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi
yang pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di
Indonesia, Hubungan dasar negara dengan konstitusi
6) Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan,
Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan
sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat
madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi
21
7) Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan
ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara,
Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari,
Pancasila sebagai ideologi terbuka
8) Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri
Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan
internasional dan organisasi internasional, dan Mengevaluasi
globalisasi.
Dari pemaparan di atas dapat dikemukakan bahwa ruang lingkup
PKn tidak hanya memuat aspek kognitif semata, tetapi juga memuat aspek
afektif dan psikomotorik. Materi pokok PKn selalu berkaitan dengan nilainilai dasar sebagai syarat untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang
dicita-citakan, yang menyadari akan hak dan kewajiban sebagai warga
negara yang demokratis. Misalnya ideologi, hak-hak asasi manusia, hak
dan kewajiban warga negara, proses pemerintahan sendiri, nilai-nilai masa
lampau yang dianggap luhur dan nilai-nilai yang dibutuhkan untuk
mempersiapkan warga negara untuk masa depan. Dan nilai-nilai dasar itu
dikembangkan dari tingkat individual, keluarga, lokal, regional, nasional
sampai internasional. Kesemuanya ini tidak hanya melibatkan substansi
pengetahuan semata, tetapi keterampilan dan karakter kewarganegaraan
juga diikutsertakan.
d. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan Kewarganegaraan diartikan sebagai mata pelajaran
yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami
dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya untuk
menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter
yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
22
Kecenderungan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang
hanya berorientasi pada pemahaman tentang civic knowledge yang
sebatas
mengajarkan
konsep-konsep
ilmuan
Pendidikan
Kewarganegaraan yang sifatnya hafalan. Oleh karena itu, orientasi pada
civic knowledge harus dilanjutkan pada pengembangan sub ranah civic
skills sebab pada dasarnya civic skills siswa tidak dapat dipisahkan
dengan civic knowledge. Ada asumsi bahwa dengan mengembangkan
pemahaman civic knowledge, maka pengembangan civic skills akan
berkembang juga, namun tidak demikian termasuk juga dalam
pengembangan pemahaman civic disposition (Winarno, 2013: 166).
Dalam mengembangkan ketiga komponen Pendidikan Kewarganegaraan
tersebut diperlukan desain pembelajaran khusus yang di dalamnya tetap
memperhatikan ranah kognitif, psikomotorik dan afektif.
Secara umum desain pembelajaran tersebut memuat, pertama,
merumuskan tujuan yang ingin dicapai; kedua, merumuskan materi
Pendidikan Kewarganegaraan yang nantinya akan dijadikan bahan
belajar; ketiga, merumuskan model sekaligus didalamnya metode
pembelajaran
yang
sesuai;
keempat,
mengembangkan
media
pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi dan mengarah pada
pencapaian tujuan; dan kelima, mengembangkan alat evaluasi yang
mampu mengembangkan civic skills dan civic disposition (Winarno,
2013: 167-168).
23
Permasalahan klasik yang dihadapi dalam pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan adalah guru yang sulit untuk melepaskan diri dari
metode ceramah, ekspositori, dan metode yang berbau indoktrinatif.
Selain karena metode ini mudah dijalankan, bahan ajar Pendidikan
Kewarganegaraan pada umumnya lebih bersifat hafalan dan lebih
menekankan pada pengetahuan kewarganegaraan (Winarno, 2013: 85).
Pembelajaran dalam Pendidikan Kewarganegaraan merupakan
proses dan upaya dengan menggunakan pendekatan belajar kontekstual
untuk mengembangkan dan meningkatkan kecerdasan, ketrampilan, dan
karakter warga negara Indonesia. Pendekatan belajar kontekstual ini
antara lain dengan metode seperti kooperatif, penemuan, inquiry,
interaktif, eksploratif, berpikir kritis, dan pemecahan masalah (Winarno,
2013: 92). Metode-metode tersebut merupakan metode yang sesuai
dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang menekankan
pada ranah civic knowledge, civic skills, dan civic disposition.
Hasil belajar menurut Bloom (1976) mencakup prestasi belajar,
kecepatan belajar, dan hasil efektif. Tipikal berpikir berkaitan dengan
ranah kognitif, tipikal berbuat berkaitan dengan ranah psikomotor, dan
tipikal perasaan berkaitan dengan ranah afektif. Kemudian sikap
merupakan salah satu ranah amat menentukan keberhasilan seseorang
dalam belajar. Untuk itu semua dalam merancang program pembelajaran,
satuan pendidikan harus memperhatikan ranah afektif (Winarno, 2013:
194).
24
Pada pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan terdapat model
pembelajaran yang dilihat dari pendekatan dalam pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan. Adapun pendekatan yang mendukung
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah sebagai berikut:
1) Pendekatan Berbasis Nilai
Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia berlandaskan pada nilainilai dasar yang diyakini bangsa Indonesia dalam hal ini adalah
Pancasila yang turunannya ada dalam UUD 1945. Pendidikan yang
berbasis
nilai
cenderung
individualis
dan
liberalis
karena
pengembangan itu nantinya akan selalu diharapkan mendasarkan pada
nilai-nilai dasar Pancasila dan UUD 1945, muatan materi dalam
Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan dikaitakan dengan nilai-nilai
Pancasila (Winarno, 2013: 97)
2) Pendekatan Berpikir Kritis
Karakteristik
berpikir
kritis
diupayakan
dalam
pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan dimaksudkan agar terwujud warga
negara yang partisipatif dan bertanggungjawab dalam negara
demokrasi.
Berpikir
kritis
termasuk
dalam
keterampilan
kewarganegaraan (civic skill), misalnya kemampuan mengidentifikasi,
keterampilan berargumen, dan keterampilan mengambil posisi. Untuk
melatih berpikir kritis Pendidikan Kewarganegaraan dihadirkan
melalui kasus dan pengalaman-pengalaman nyata, tidak dibuat-buat,
dan tidak berisi kebohongan. Kenyataan sosial akan membangkitkan
25
kemampuan berpikir kritis yang pada gilirannya akan mampu
memberikan kontribusi berharga bagi pemecahan masalah (Winarno,
2013: 97-98).
3) Pendekatan Inquiry
Melalui pendekatan Inquiry diharapkan guru dapat menciptakan
pembelajaran yang menantang, sehingga melahirkan interaksi antara
gagasan yang diyakini siswa sebelumnya dengan suatu bukti baru
untuk mencapai pemahaman barau yang lebih scientific melalui proses
eksplorasi atau pengujian gagasan baru. Pendekatan ini melibatkan
beragam sikap ilmiah seperti, menghargai gagasan orang lain, terbuka
terhadap gagasan baru, berpikir kritis, jujur, kreatif, dan berpikir
lateral (berpikir yang tak lazim, di luar kebiasaan, atau yang mungkin
dianggap anah) (Winarno, 2013: 99).
4) Pendekatan Kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang dilakukan pada
kelompok kecil, siswa belajar dan bekerja sama untuk sampai pada
pengalaman belajar yang optimal baik pengalaman individu maupun
pengalaman kelompok. Esensi pembelajaran kooperatif itu adalah
tanggung jawab individu dan tanggung jawab kelompok. Pada
pembelajaran kooperatif terdapat saling ketergantungan positif antar
anggota kelompok. Siswa saling bekerja sama untuk mendapatkan
hasil belajar yang lebih baik. Keberhasilan kelompok dalam mencapai
26
tujuan tergantung pada kerja sama yang kompak dan serasi dalam
kelompok itu (Winarno, 2013: 99-100).
Setelah selesainya proses pembelajaran diperlukan penilaian untuk
mengetahui
keberhasilan
Kewarganegaraan.
Kewarganegaraan
Penilaian
memiliki
hasil
pembelajaran
dalam
kekhasan
pembelajaran
yang
Pendidikan
Pendidikan
berkenaan
dengan
karakteristik Pendidikan Kewarganegaraan yaitu sebagai “value based
education”. Pendidikan Kearganegaraan merupakan mata pelajaran
kewarganegaraan dan kepribadian (Winarno, 2013: 219).
Berkenaan dengan hal tersebut maka penilaian dalam Pendidikan
Kewarganegaraan
dinyatakan
kepribadian. Penilaian
dan
kepribadian
diarahkan
sebagai
penilaian
yang merupakan perwujudan
kesadaran dan tanggung jawab sebagai warga masyarakat dan warga
negara yang baik, sesuai dengan norma dan nilai-nilai luhur yang berlaku
dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa adalah bagaian dari
penilaian kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian
oleh guru Pendidikan Kewarganegaraan (Winarno, 2013: 220).
Ada berbagai 7 (tujuh) teknik penilaian yang berbasis kelas yang
dapat digunakan, yaitu penilaian unjuk kerja, penilaian sikap, penilaian
tertulis, penilaian proyek, penilaian produk, penggunaan porto folio, dan
penilaian diri (Puskur, 2006). Berdasarkan ketujuh teknik penilaian
tersebut, teknik penilaian
sikap tampaknya lebih dekat dengan
27
karakteristik dari Pendidikan Kewarganegaraan sebagai value based
education (Winarno, 2013: 223).
e. Strategi
dan
Model
pembelajaran
dalam
Pendidikan
Kewarganegaraan
Made Wena
menyatakan bahawa strategi pembelajaran
didefinisikan sebagai cara dan seni untuk menggunakan semua sumber
belajar dalam upaya membelajarkan siswa (Winarno, 2013: 73).
Sedangkan medel pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk
pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan
khas oleh guru (Winarno, 2013: 75).
Model pembelajaran dalam civic education menurut Murray Print
yaitu mengkonseptualisasikan model pembelajaran ke dalam empat
kategori utama yang terbagi dalam dua dimensi. Dimensi pertama
adalah tingkat orientasi aktivitas pelajar, yaitu antara aktif partisipasi
dan pasif kognitif. Dimensi kedua adalah cerminan dari konteks
pembelajaran yang dilakukan oleh guru, yaitu antara pembelajaran di
dalam kelas dan pembelajaran di luar kelas (Winarno, 2013: 85-86).
Menurut Murry Print jika dua dimensi dihubungkan satu sama
lain, maka tersaji adanya empat strategi (Winarno, 2013: 86-87).
a) Class based-passive cognitive pedagoggies. Dalam model ini
dicirikan dengan adanya pelajar yang pasif. Guru merencanakan
pelajaran yang bersifat mendorong siswa menjalankan keterampilan
kognitif. Di dalam kelas, strategi ini menekankan pada pembelajaran
28
tradisional, dan adanya ekspositori dari guru. Contoh-contoh model
dalam kategori ini mencakup ekspositori, analisis dokumen, studi
kasus, diskusi, presentasi video dan film. Strategi ini lebih bersifat
teacher centered, menekankan pada mengalirnya pengetahuan dari
guru kepada pelajar (siswa). Dalam tradisi sosial studies, kategori ini
diberi
label
sebagai
pendekatan
“transmission”.
Dalam
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan terjadi “citizenship
transmission” (Winarno, 2013: 86).
b) School based, passive cognitive pedagogies. Kategori ini masih
dicirikan dengan orientasi yang bersifat kognitif dan pelajar yang
pasif.
Bedanya
bahwa
pembelajaran
menekankan
pada
pengelompokkan siswa tidak sebatas dalam ruang kelas, tetapi
kelompok kelompok dalam satu tahun. Misalnya, menyambut hari
Kemerdekaan Nasional, siswa kelas VIII mendengarkan ceramah
umum dari seorang mantan pejuang bangsa. Dalam strategi ini, siswa
masih bersifat pasif, menerima dan aktivitas belajarnya masih dalam
pengertian tradisional. Meskipun demikian, strategi ini telah
membelajarkan siswa untuk menyatu sebagai komunitas. Hal ini
tentu saja merupakan kebaikan bagi siswa (Winarno, 2013: 86).
c) Class based-participative active pedagogies. Menekankan pada
participatory activities seperti simulasi, debat, role play, dan
pembelajaran kooperatif. Ciri-ciri mendasar dari strategi ini di dalam
kelas adalah guru menyeleksi aktivitas dan merancangnya sehingga
29
siswa bisa berpartisipasi aktif, tugas dirancang sebagai masalah
untuk dipecahkan, siswa bekerja sama untuk menemukan dan
memecahkan masalah, dan aktivitas yang dijalankan kelas di bawah
pengawasan guru (Winarno, 2013: 87).
d) School based-participative active pedagogies. Sebagai strategi
pedagogi yang menekankan pada partisipasi aktif dari siswa dalam
konteks yang lebih luas, tidak hanya dalam kelas. Misalnya,
mengajak siswa melakukan perjalanan ke gedung parlemen. Strategi
ini juga dicirikan dari adanya partisipasi siswa dalam jumlah yang
lebih besar. Kegiatan ekstrakurikuler juga bisa ditemukan dalam
strategi ini. Strategi ini tidak lagi dominan dari seorang guru, tetapi
telah menjadi dominan kegiatan sekolah (Winarno, 2013: 87).
f. Pendidikan
Kewarganegaraan
dalam
Pembentukan
Karakter
Kebangsaan
Salah satu misi yang diemban Pendidikan Kewarganegaraan adalah
sebagai pendidikan karakter. Misi lainnya adalah sebagai pendidikan
politik/ pendidikan demokrasi, pendidikan bela negara, pendidikan HAM,
pendidikan multikultural, pendidikan lingkungan hidup, pendidikan
hukum, dan pendidikan anti-korupsi (Winarno, 2013: 22).
Sebagai
pendidikan politik/pendidikan demokrasi, Pendidikan Kewarganegaraan
bertujuan untuk membentuk karakter demokratis warga negara. Hal ini
tersirat dalam kalimat-kalimat sebagai berikut.
“Indonesia harus menghindari sistem pemerintahan otoriter yang
memasung hak-hak warga negara untuk menjalankan prinsip-prinsip
30
demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
benegara.”
Kehidupan yang demokratis di dalam kehidupan sehari-hari di
lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, pemerintahan, dan
organisasi-organisasi non-pemerintah perlu dikenal, dipahami,
diinternalisasi, dan diterapkan demi terwujudnya pelaksanaan
prinsip-prinsip demokrasi.” (Bagian Pendahuluan bidang studi PKn
dalam lampiran Permendiknas No. 22 Tahun 2006)
Artinya dalam hal ini, Pendidikan Kewarganegaraan sebagai
pendidikan demokrasi esensinya adalah untuk meningkatkan kemampuan
partisipasi warga negara dalam memelihara dan mengembangkan sistem
politik demokrasi Pancasila. Selanjutnya Winarno (2013: 22) menyatakan
bahwa kehidupan demokrasi akan tumbuh kuat tidak hanya oleh bentuk
pemerintahan yang demokratis, tetapi juga didukung oleh kehidupan
demokratis dalam diri warga negara. Kehidupan demokratis ini hanya bisa
dilakukan
melalui
pendidikan
yang
mampu
menanamkan
dan
menyampaikan nilai-nilai demokratis dalam diri setiap warga negara.
Pendidikan akan pentingnya demokrasi ini dapat dilakukan melalui mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata
pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang
memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk
menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter
yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Dalam hal ini,
pembentukan warga negara yang dimaksud sesuai dengan ketiga
komponen yang termuat dalam Pendidikan Kewarganegaraan, yaitu
pengetahuan
kewarganegaraan
(civic
knowledge),
keterampilan
31
kewarganegaraan (civic skills), dan sikap kewarganegaraan (civic
disposition).
Ketiga komponen Pendidikan Kewarganegaraan tersebut berkaitan
erat dengan sasaran pembentukan karakter pribadi warga negara. Warga
negara yang memiliki pengetahuan akan menjadi warga negara yang
cerdas, warga negara yang memiliki keterampilan kewarganegaraan akan
menjadi warga negara yang partisipatif, warga negara yang memiliki sikap
kewarganegaraan akan menjadi warga negara yang bertanggung jawab,
dan pada akhirnya warga negara yang memiliki pengetahuan, sikap dan
keterampilan kewarganegaraan akan menjadi warga negara yang cerdas
dan baik (smart and good citizenship). Pembentukan karakter pribadi
warga negara yang demokratis (partisipatif) , cerdas, mandiri, bertanggung
jawab, mampu, serta berkomitmen inilah yang merupakan nilai-nilai
karakter kebangsaan warga negara Indonesia, yang dari karakter
kebangsaan ini dapat dijadikan sebagai identitas nasional suatu bangsa.
Amanat yang dijadikan pedoman dalam pembentukan kepribadian
warga negara Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu
pembentukan karakter kebangsaan dalam Pendidikan Kewarganegaraan
bersumber pada lima sila karakter luhur bangsa Indonesia yang mencakup
unsur
transendensi
(kemanusiaan
yang
(Ketuhanan
adil
dan
Yang
beradab),
Maha
Esa),
humanisasi
kebhinekaan
(persatuan),
demokratisasi (kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan/
perwakilan), keadilan (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).
32
Mengacu pada pengertian Pendidikan Kewarganegaraan menurut
Standar Isi, Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan karakter
memiliki tujuan untuk membentuk karakter bangsa yang sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 (nation and character building).
Pendidikan
Kewarganegaraan
sebagai
pendidikan
karakter
dalam
membentuk karakter kebangsaan juga dijelaskan dalam bagian penjelasan
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
sebagai pengganti UUSPN No. 2 Tahun 1989 dinyatakan bahwa
pendidikan kewarganegaraan sebagai sesuatu yang wajib dalam kurikulum
pendidikan nasional dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi
manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air (Penjelasan
atas pasal 37).
Oleh karena itu, Pendidikan Kewarganegaraan dimaksudkan untuk
membentuk karakter kebangsaan yang nantinya dapat mengajarkan kepada
peseta didik untuk menunjukkan sikap cinta dan rasa bangga terhadap
bangsa, negara, dan tanah air Indonesia yang cerdas, mampu, mandiri,
serta bertanggung jawab. Menyimak lebih jauh pada bagian Pendahuluan
Standar Isi Pendidikan Kewarganegaraan dalam Lampiran Permendiknas
No. 22 Tahun 2006 maka Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sekolah
memiliki misi sebagai pendidikan kebangsaan Indonesia. Hal ini seperti
terlihat dari kalimat-kalimat sebagai berikut.
Pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta
didik menjadi warga negara yang memiliki komitmen kuat dan
konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.”
33
Komitmen yang kuat dan konsisten terhadap prinsip dan semangat
kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, perlu ditingkatkan terus menerus untuk memberikan
pemahaman yang mendalam tentang Negara Kesatuan republik
Indonesia..” (Bagian pendahuluan bidang studi PKn dalam Lampiran
Permendiknas No. 22 Tahun 2006).
Dari rumusan-rumusan dalam bagian pendahuluan tersebut secara
jelas mengamanatkan pentingnya peserta didik sebagai generasi muda
memiliki komitmen kuat terhadap negara kebangsaan modern Indonesia
serta prinsip dan semangat kebangsaan yang kuat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sebab negara Indonesia sebagai negara
kebangsaan
modern
merupakan
konsensus
bersama
yang
perlu
dipertahankan dan pengalaman bersama pula telah banyak berbagai
peristiwa yang mengancam keutuhan bangsa. Sikap dan komitmen
kebangsaan itu dapat ditumbuhkembangkan melalui mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan.
2. Tinjauan tentang Pembentukan Karakter Kebangsaan
Untuk memahami tentang pembentukan karakter kebangsaan berikut
akan diuraikan pengertian tentang karakter kebangsaan, nilai-nilai
pembentukan karakter kebangsaan, pilar-pilar pembentukan karakter
keabangsaan, dan faktor-faktor pembentukan karakter kebangsaan, serta
langkah-langkah pembentukan karakter kebangsaan.
a. Pengertian Karakter Kebangsaan
Karakter di sini berasal dari bahasa Yunani dan Latin character
yang berasal dari kata charassein yang artinya „mengukir corak yang
34
tetap dan tidak terhapuskan‟. Watak atau karakter merupakan perpaduan
dari segala tabiat manusia yang bersifat tetap sehingga menjadi tanda
khusus untuk membedakan orang yang satu dengan yang lain (Daryanto,
2013: 9).
Lebih lanjut lagi Lickona (2013: 81-82) menjabarkan bahwa
karakter terdiri dari nilai operatif, nilai dalam tindakan. Kita berproses
dalam karakter kita, seiring suatu nilai menjadi suatu kebaikan, suatu
disposisi batin yang dapat diandalkan untuk menanggapi situasi dengan
cara yang menurut moral itu baik. Karakter yang terasa demikian
memiliki tiga bagian yang saling berhubungan: pengetahuan moral,
perasaan moral, dan perilaku moral. Karakter yang baik terdiri dari
mengetahui hal yang baik, menginginkan hal yang baik, dan melakukan
hal yang baik-kebiasaan dalam cara berpikir, kebiasaan dalam hati, dan
kebiasaan dalam tindakan.
Dari pendapat-pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
karakter merupakan kepribadian seseorang yang menggambarkan
kualitas moral tiap-tiap individu yang tercermin dalam setiap tingkah
lakunya yang menjadi ciri khasnya masing-masing dalam bersikap dan
berperilaku.
Sedangkan pengertian Kebangsaan/Nasionalisme adalah cinta
tanah air, nasionalisme adalah semangat pemujaan dan kesetian kepada
tanah
air
nusa
dan
bangsa.
Nasionalisme
adalah
patriotisme.
Nasionalisme adalah doktrin ideologis untuk mengutamakan kepentingan
35
nasional. Nasionalisme adalah suatu gerakan untuk meraih atau
mempertahankan
kemerdekaan,
independency
dan
kemandirian.
Nasionalisme adalah kesadaran kebangsaan, harga diri, dan identitas diri
sebagai suatu bangsa (Swasono, 2012: 9).
Kebangsaan/nasionalisme di sini bukan seperti nasionalisme ala
eropa. Yang mana menurut Soekarno menulis di Suluh Indonesia, 12
Agustus 1928 dalam Latif ( 2011: 68) menyatakan bahwa pembeda
antara nasionalisme ala Eropa dan Indonesia adalah sebagai berikut.
Nasionalisme kita ialah nasionalisme ke-timuran dan sekali-kali
bukanlah nasionalisme ke-baratan yang menurut perkataan C. R.
Das adalah suatu nasionalisme yang menyerang-nyerang, suatu
nasionalisme yang mengejar keperluannya sendiri. Suatu
nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi.
Selanjutnya Soekarno menyatakan bahwa Kebangsaan yang
dimaksud di sini bukan kebangsaan yang menyendiri (chauvinism)
melainkan kebangsaan yang menuju kepada kekeluargaan bangsa-bangsa
(internasionalisme) (Latif, 2011: 126). Kekeluargaan di sini menurut Sri
Edi Swasono (Cholisin, 2013: 102) maksudnya yaitu watak sosial
Indonesia tidak bertolak dari makna kedaulatan rakyat paham Barat ala
Rousseau yang berdasar pada individualisme. Watak sosial Indonesia
menolak individualisme ini. watak sosial kita berdasar rasa bersama
(kolektiviteit) dan mutualisme. Oleh karena itu, lebih mengutamakan
konsensus sosial yang mencerminkan kesepakatan sebagai inti persatuan.
Jadi watak sosial bukan „watak dermawan‟, tetapi watak mengutamakan
kepentingan publik.
36
Bagi Soekarno bangsa, kebangsaan atau nasionalisme dan tanah
air merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan (Abidin 2013:
51-52). Nasionalisme Soekarno dapat dinyatakan sebagai nasionalisme
yang kompleks, yaitu nasionalisme yang dapat beriringan dengan
Islamisme yang pada hakekatnya relaitf bergerak secara leluasa di
dataran marginalitas yang mengesampingkan pada intrik ras dan etnisitas.
Dalam memandang masalah kebangsaan, M. Hatta menunjuk
teori-teori Sarjana Barat Ernest Renan, Otto Bauer dan Lothrop Stoddard.
Menurut Hatta dikatakan bahwa memang sulit memperoleh kriteria yang
tepat apa yang menentukan bangsa. Bangsa bukanlah didasarkan pada
kesamaan asal, persamaan bahasa, dan persamaan agama. Menurut Hatta
“bangsa ditentukan oleh sebuah keinsyafan sebagai suatu persekutuan
yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang terbit karena percaya atas
persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan yang bertambah besar oleh
karena sama seperuntungan, malang yang sama diderita, mujur yang
sama didapat, oleh karena jasa bersama, kesengsaraan bersama,
pendeknya oleh karena peringatan kepada riwayat bersama yang
tertanam dalam hati dan otak” (Abidin, 2013: 54).
Dari berbagai pendapat di atas penulis sepakat dengan pendapat
Soekarno, di mana pada intinya kebangsaan yang dimaksud di sini bukan
kebangsaan
yang
menyendiri,
kebangsaan
yang
menuju
bukan
kepada
“chauvinisme”,
kekeluargaan
melainkan
bangsa-bangsa
(internasionalisme), yang tidak jauh berbeda dengan pendapat Hatta yang
37
menyatakan bahwa kebangsaan menurut beliau adalah kebangsaan yang
tidak membenci bangsa lain. Semua bangsa hendaknya menjalin
persaudaraan. Artinya, kebangsaan di sini adalah kebangsaan yang tidak
saling serang-meyerang, melainkan kebangsaan yang timbul karena
adanya persamaan nasib dan tujuan yang mempererat rasa kekeluargaan
dan gotong royong sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai
persatuan dan kesatuan Pancasila dan UUD 1945.
Oleh karena itu, dari berbagai pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa karakter kebangsaan merupakan kesadaran dan
semangat kecintaan terhadap tanah air. Artinya, semua komponen dari
bangsa tersebut harus sepakat melalui kesadaran diri sendiri untuk
menginternalisasikan nilai-nilai kebangsaan dan ideologi kebangsaan ke
dalam mindset masing-masing individu atau kelompok. Setiap individu
dan kelompok harus bersikap proaktif untuk memperkaya kepribadian
masing-masing
dengan
nilai-nilai
ideologi
negara
dan
filosofi
kebangsaan. Termasuk, cerdas menghapus nilai-nilai kehidupan yang
berpotensi merusak karakter kebangsaan, sehingga dalam hal ini karakter
kebangsaan merupakan karakter yang menceminkan perilaku yang khasbaik, yang tercermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, serta
olah raga seseorang atau sekelompok orang dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Melalui penyadaran akan wawasan nusantara dan
wawasan kebangsaan yang dipadukan dengan pendidikan karakter
kebangsaan secara berkelanjutan, maka jati diri dan kebajikan yang
38
terkandung dalam nilai-nilai Pancasila bisa dinampakkan dalam
kehidupan sehari-hari berupa kerakter kebangsaan.
b. Nilai-Nilai Pembentukan Karakter Kebangsaan
Nilai-nilai pembentukan karakter kebangsaan yang berlandaskan
pada Pancasila dapat dijabarkan melalui sila-sila Pancasila. Menurut
Soekarno negara Indonesia memiliki landasan moralitas dan haluan
kebangsaan yang jelas dan visioner. Sebagai basis moralitas dan haluan
kenegaraaan-kenegaraan,
Pancasila
memiliki
landasan
ontologis,
epistimologi, dan aksiologis yang kuat. Setiap sila memiliki justifikasi
historitas, rasionalitas, dan aktualitasnya, yang jika dipahami, ditaati,
dipercayai, dan diamalkan secara konsisten dapat menopang pencapaianpencapaian agung peradaban bangsa (Latif , 2011: 42-46). Pokok-pokok
moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan menurut alam Pancasila
dapat dilukiskan sebagai berikut.
Pertama, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai ketuhanan
(religiusitas) sebagai sumber etika dan spiritualitas (yang bersifat
vertikal-transendental)
dianggap
penting
sebagai
fundamen
etik
kehidupan bernegara. Dalam kaitan ini, Indonesia bukanlah negara
sekuler yang ekstrem, yang memisahkan “agama” dan “negara” dan
berpretensi untuk menyudutkan peran agama ke ruang privat/komunitas.
Negara menurut alam Pancasila bahkan diharapkan dapat melindungi dan
mengembangkan kehidupan beragama; sementara agama diharapkan bisa
memainkan peran publik yang berkaitan dengan penguatan etika sosial.
39
Tetapi saat yang sama, Indonesia juga bukan “negara agama”, yang
hanya merepresentasikan salah satu (unsur) agama dan memungkinkan
agama untuk mendikte negara (Latif, 2011: 42-43).
Kedua, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai kemanusiaan
universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat
sosial manusia (yang bersifat horizontal) dianggap penting sebagai
fundamen etik-politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia.
Prinsip kebangsaan yang luas yang mengarah pada persaudaraan dunia
itu dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi. Keluar,
bangsa Indonesia menggunakan segenap daya dan khazanah yang
dimilikinya untuk bebas-aktif “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Ke
dalam, bangsa Indonesia mengaku dan memuliakan hak-hak dasar warga
dan penduduk negeri. Landasan etik sebagai prasyarat persaudaraan
universal ini adalah “adil” dan “beradab”( Latif, 2011: 43).
Ketiga, menurut alam Pancasila, aktualisasi nilai-nilai etis
kemanusiaan itu terlebih dahulu harus mengakar luat dalam lingkungan
pergaulan kebangsaan yang lebih dekat sebelum menjangkau pergaulan
dunia yang lebih jauh. Dalam internalisasi nilai-nilai persaudaraan
kemanusiaan ini, Indonesia adalah negara persatuan kebangsaan yang
mengatasi
paham
golongan
dan
perseorangan.
Persatuan
dari
kebhinekaan masyarakat Indonesia dikelola berdasarkan konsepsi
kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman, dan
40
keragaman dalam persatuan, yang dalam slogan negara dinyatakan
dengan ungkapan “Bhineka Tunggal Ika”. Di satu sisi, ada wawasan
kosmopolitanisme yang berusaha mencari titik temu dari segala
kebhinekaan yang terkristalisasikan dalam dasar negara (Pancasila),
UUD, dan segala turunan perundang-undangannya, negara persatuan,
bahasa persatuan, dan simbol-simbol kenegaraan lainnya. Di sisi lain, ada
wawasan pluralisme yang menerima dan memberi ruang hidup bagi
aneka perbedaan, seperti aneka agama/keyakinan, budaya dan bahasa
daerah, dan unit-unit politik tertentu sebagai warisan tradisi budaya
(Latif, 2011: 44).
Keempat, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai ketuhanan, nilai
kemanusiaan, dan nilai-nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam
aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam
semangat permusyaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan.
Dalam visi demokrasi permusyawaratan, demokrasi memperoleh
kesejatiannya dalam penguatan daulat rakyat, ketika kebebasan politik
berkeadilan dengan kesetaraan ekonomi, yang menghidupkan semangat
persaudaraan dalam kerangka “musyawarah-mufakat”. Dalam prinsip
musyawarah-mufakat, keputusan tidak didekte oleh golongan mayoritas
(mayorokrasi) atau kekuatan minoritas elit politik dan pengusaha
(minorokrassi), melainkan dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan yang
memuliakan daya-daya rasionalitas deliberatif dan kearifan setiap warga
tanpa pandang bulu (Latif, 2011: 45).
41
Kelima, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai ketuhanan, nilai
kemanusiaan,
nilai
dan
cita
kebangsaan,
serta
demokrasi
permusyawaratan itu memperoleh kepenuhan artinya sejauh dapat
mewujudkan keadilan sosial. Di satu sisi, perwujudan keadilan sosial itu
harus mencerminkan imperatif etis keempat sila lainnya. Di sisi lain,
otentitas pengalaman sila-sila Pancasila bisa ditakar dari perwujudan
keadilan sosial dalam perikehidupan kebangsaan. Dalam visi keadilan
sosial menurut Pancasila, yang dikehendaki adalah keseimbangan antara
pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani, keseimbangan antara peran
manusia sebagai makhluk individu (yang terlembaga dalam pasar) dan
peran manusia sebagai makhluk sosial (yang terlembaga dalam negara),
juga keseimbangan antara pemenuhan hak sipil dan politik dengan hak
ekonomi, sosial, dan budaya (Latif, 2011: 45-46).
Demikianlah, para pendiri bangsa ini telah mewariskan kepada kita
suatu dasar falsafah dan pandangan hidup negara-yang menjiwai
penyusunan UUD-yang begitu visioner dan tahan banting (durable).
Suatu dasar yang memiliki landasan ontologis, epistimologis, dan
aksiologis yang kuat, yang jika dipahami secara mendalam, diyakini
secara teguh, dan diamalkan secara konsisten dapat mendekati
perwujudan “Negara Paripurna”. Kemudian dari sila-sila Pancasila ini
dapat dijadikan pedoman dalam menanamkan nilai-nilai karakter,
sehingga nantinya dapat membentuk karakter kebangsaan yang sesuai
dengan kondisi dan alam negara Indonesia (Latif, 2011: 46-47).
42
Dari pandangan Soekarno itulah banyak memberikan pencerahan
kepada tokoh-tokoh perjuangan yang sampai saat ini masih terus dipakai
sebagai landasan dan arah pendidikan nasional kita. Seperti nilai-nilai
pembentukan karakter secara umum yang dijelaskan oleh Narwati (2011:
27-28) yang mengemukakan ada beberapa nilai pembentuk (integrasi)
karakter yang utuh yaitu menghargai, berkreasi, memiliki keimanan,
memiliki dasar keilmuan, melakukan sintesa dan melakukan sesuai etika.
Selain itu juga pada dasarnya pendidikan karakter itu bersifat ubiquitous,
karena pertama melekat kepada pola asuh dalam sebuah keluarga. Kedua
tidak pada prosesnya harus mengalami proses pembelajaran di sekolah.
Ketiga setelah melalui proses pertama dan kedua baru biasa terbentuk
pendidikan karakter pada masyarakat bahkan pemerintahan.
Nilai-nilai pembentukan karakter yang dijelaskan oleh Narwati
tersebut secara lebih rinci sudah termuat dalam Panduan Pelaksanaan
Pendidikan Karakter, Pusat Kurikulum dan Perbukuan (2011: 7-8) satuan
pendidikan yang sebenarnya selama ini sudah mengembangkan dan
melaksanakan
nilai-nilai
pembentuk
karakter
melalui
program
operasional satuan pendidikan masing-masing. Dalam rangka lebih
memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter pada satuan pendidikan
telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila,
budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3)
Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8)
Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta
43
Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14)
Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli
Sosial, (18) Tanggung Jawab (Sumber: Pusat Kurikulum. Pengembangan
dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009:
9-10).
Tabel 1. Nilai-nilai pembentuk karakter dijabarakan dalam tabel
berikut:
No.
Nilai
1.
Religius
2.
Jujur
3.
Toleransi
4.
Disiplin
5.
Kerja Keras
6.
Kreatif
7.
Mandiri
8.
Demokratis
9.
Rasa Ingin Tahu
Deskripsi
Sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama yang dianutnya,
toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama
lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama
lain.
Perilaku yang dilaksanakan pada upaya
menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu
dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan
pekerjaan.
Sikap dan tindakan yang menghargai
perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap,
dan tindakan orang lain yang berbeda dari
dirinya.
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib
dan patuh pada berbagai ketentuan dan
peraturan.
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguhsungguh dalam mengatasi berbagai hambatan
belajat dan tugas, serta menyelesaikan tugas
dengan sebaik-baiknya.
Berfikir dan melakukan sesuatu untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu
yang telah dimiliki.
Sikap dan perilaku yang tidak mudah
tergantung
pada
orang
lain
dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang
menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan
orang lain.
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari
sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan
44
didengar.
Cara berfikir, bertindak, dan berwawasan yang
10. Semangat Kebangsaan menempatkan kepentingan bangsa dan negara
di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan
11.
Cinta Tanah Air
penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan
politik bangsa.
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya
untuk menghasilkan sesuai yang berguna bagi
12.
Menghargai Prestasi
masyarakat, dan mengakui, serta menghormati
keberhasilam orang lain.
Tindakan yang memperhatikan rasa senang
Bersahabat/Komunika
13.
berbicara, bergaul. Dan bekerja sama dengan
tif
orang lain.
Sikap, perkataan, dan tindakan menyebabkan
14.
Cinta Damai
orang lain merasa senang dan aman atas
kehadiran dirinya.
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca
15.
Gemar Membaca
berbagai bacaan yang memberikan kebajikan
bagi dirinya.
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
mencegah kerusakan lingkungan alam di
16.
Peduli Lingkungan
sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya
untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah
terjadi.
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi
17.
Peduli sosial
bantuan pada orang lain dan masyarakt yang
membutuhkan.
Sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang
18.
Tanggung jawab
seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri,
masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan
budaya), negara, dan Tuhan Yang Maha Esa.
(Sumber Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan
Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009: 9-10).
Meskipun telah dirumuskan 18 nilai pembentuk karakter bangsa,
namun satuan pendidikan dapat menentukan prioritas pengembangannya
untuk melanjutkan nilai-nilai pra-kondisi yang telah dikembangkan.
Pemilihan nilai-nilai tersebut beranjak dari kepentingan dan kondisi
45
satuan pendidikan masing-masing, yang dilakukan melalui analisis
konteks, sehingga dalam implementasinya dimungkinkan terdapat
perbedaan jenis nilai karakter yang dikembangkan antara satu sekolah
dan atau daerah yang satu dengan lainnya. Implementasi nilai-nilai
karakter yang akan dikembangkan dapat dimulai dari nilai-nilai yang
esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan, seperti: bersih, rapi,
nyaman, disiplin, sopan dan santun.
Dari berbagai pendapat di atas, nilai-nilai pembentukan karakter
kebangsaan yang dapat dijadikan landasan adalah nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila, di mana telah dijelaskan secara mendalam
oleh Soekarno bahwa Pancasila merupakan landasan moralitas yang kuat
bagi pembentukan karakter kebangsaan kita. Nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila inilah yang nantinya dapat dijadikan acuan bagi
pendidik dalam hal ini guru dalam membentuk karakter kebangsaan
peserta didiknya. Di mana nantinya dari pembentukan karakter
kebangsaan ini dapat mewujudkan negara kebangsaan yang demokratis.
c. Pilar-Pilar Pembentukan Karakter Kebangsaan
Menurut Indonesia Herigate Foundation ada banyak kualitas
karakter yang harus dikembangkan, namun ada 9 pilar karakter utama
yaitu:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
Cinta tuhan dan alam semesta beserta isinya
Tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian
Kejujuran
Hormat dan santun
Kasih sayang, kepedulain, dan kerjasama
Percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah
46
7) Keadilan dan kepemimpinan
8) Baik dan rendah hati
9) Toleransi, cinta damai, dan persatuan (Narwati, 2011: 25-26)
Berdasarkan sembilan (9) pilar karakter utama tersebut dapat
disimpulkan bahwa pilar-pilar pembentukan karakter kebangsaan yang
dimaksud di sini adalah dengan berpedoman Pancasila, UUD 1945,
NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Di mana ke sembilan (9) pilar karakter
utama tersebut sebenarnya sudah temuat dalam sila-sila Pancasila. Oleh
karena itu, pilar-pilar pembentukan karakter kebangsaan tidak lepas dari
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia ini sendiri. Sehingga
Pancasila menjadi landasan moral bagi setiap orang khususnya peserta
didik dalam mengembangkan sikap dan perilaku sebagai peserta didik
yang nantinya dapat mewujudkan masayarakat demokratis.
d. Faktor-Faktor Pembentukan Karakter Kebangsaan
Karakter
seseorang
dalam
proses
perkembangan
dan
pembentukannya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor lingkungan
(nurture) dan faktor bawaan (nature). Tinjauan teoretis perilaku
berkarakter secara psikologis merupakan perwujudan dari potensi
Intellegence Quotient (IQ), Emotional Quentient (EQ), Spritual Quotient
(SQ) dan Adverse Quotient (AQ) yang dimiliki oleh seseorang.
Sedangkan seseorang yang berkarakter menurut pandangan agama pada
dirinya terkandung potensi-potensi, yaitu: sidiq, amanah, fathonah, dan
tabligh. Berkarakter menurut teori pendidikan apabila seseorang
memiliki potensi kognitif, afektif, dan psikomotor yang teraktualisasi
47
dalam kehidupannya. Adapun
menurut teori sosial, seseorang yang
berkarakter mempunyai logika dan rasa dalam menjalin hubungan
intrapersonal,
dan
hubungan
interpersonal
dalam
kehidupan
bermasyarakat (Kemendiknas, 2010: 8).
Sedangkan menurut Dwiyanto (2012: 42-47) pihak-pihak yang
terlibat dalam pembentukan karakter seseorang meliputi keluarga, teman
sebaya, media masa, dan pendidikan forrmal. Pendidikan formal dalam
hal ini lembaga sekolah merupakan institusi pendidikan kedua setelah
keluarga, yang berperan besar dalam pembentukan dan pengembangan
pengetahuan keterampilan dan kepribadian bagi para siswa. Selain itu
menurut Sri Wening anak-anak menghabiskan sebagian waktunya di
sekolah sehingga apa yang didapatkan di sekolah akan mempengaruhi
pembentukan karakternya (Dwiyanto, 2012: 50).
Mengacu pada berbagai pendapat di atas, dapat dilihat bahwa
semua
komponen
yang
berperan
dalam
pembentukan
karakter
kebangsaan seseorang memerlukan benang merah untuk saling
menghubungkan dan untuk saling mengontrol atau mengawasi satu sama
lainnya. Hal ini dikarenakan pembentukan karakter kebangsaan
seseorang bukanlah sebuah proses yang instan, tetapi sebuah proses
panjang yang membutuhkan perhatian khusus dari semua pihak. Mulai
dari keluarga, sekolah, lingkungan, teman sebaya, bahkan media masa.
Menanamkan sikap cinta dan rasa bangga terhadap bangsa, negara dan
tanah air sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut di atas. Misalnya
48
dalam
lembaga
sekolah,
guru
merupakan
agen
utama
dalam
pembentukan karakter kebangsaan bagi peserta didiknya.
Pendidik/guru di sini menurut Ki Hajar Dewantara (KHD) adalah
Pamong (pembimbing) sekaligus pemimpin. Oleh sebab itu, ia harus
mampu memberi teladan: Ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi
teladan), Ing madya mbangun karsa (mampu memberi motivasi), dan Tut
wuri handayani (mampu memberi dorongan) (Dwiyanto, 2012: 24).
Oleh karena itu, dari keteladanan seorang Pamong dapat
memberikan contoh bagi peserta didiknya, di mana peserta didik
nantinya dapat melihat dan mempelajari bagaimana seorang Pamong
dalam bersikap dan berperilaku yang tugasnya adalah sebagai seorang
pembimbing. Kemudian dari tauladan ini diharapkan nantinya setiap
peserta didik dapat bangga karena memiliki seorang Pamong yang dapat
memberi contoh yang baik (demokratis), sehingga Pamong ini dapat
menanamkan sikap cinta dan bangga terhadap bangsa, negara dan tanah
air Indonesia dalam jiwa peserta didik.
49
e.
Langkah-Langkah Pembentukan Karakter Kebangsaan
Pendekatan pendidikan karakter menurut Kemendiknas (2010: 14)
disebutkan bahwa terdapat beberapa pendekatan dalam pendidikan
kewarganegaraan, yaitu:
1) Keteladanan
2) Pembelajaran
3) Pemberdayaan dan Pembudayaan
4) Penilaian
Pendidikan karakter yang dalam hal ini salah satu fungsinya adalah
sebagai pembentukan karakter itu sebaiknya diajarkan secara sistematis
dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the
good, feeling the good, dan action the good. Knowing the good bisa
mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah
knowing the good harus ditumbuhkan feeling the good, yakni bagaimana
merasakan dan mencintai kebjikan menjadi engine yang bisa membuat
orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan, sehingga tumbuh
kesadaran bahwa orang mau melakuakan perilaku kebajikan karena cinta
dengan perilaku kabajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan,
action the good itu akan berubah menjadi kebiasaan (Suyanto dalam
Darmiyati, 2011: 32)
Menurut Zulhan untuk mengimplementasikan metode pendidikan
karakter melalui knowing the good, feeling the good, dan action the good
50
dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut Darmiyati
(2011: 33).
1) Memasukkan pendidikan karakter dalam semua mata pelajaran
di sekolah, termasuk dalam pendidikan jasmani dan olahraga.
2) Membuat slogan atau yel-yel yang dapat menumbuhkan
kebiasaan semua masyarakat sekolah untuk bertingkah laku
yang baik, misalnya slogan yang berbunyi kebersihan bagian
dari iman, tolong menolonglah dalam kebaikan dan jangan
tolong menolong dalam kejelekan, katakan yang jujur walau itu
pahit, hormati guru sayangi teman, sesungguhnya Allah
bersama orang yang sabar, keselamatan manusia terletak pada
mulutnya, dan sebagainya.
3) Melakukan pemantauan secara kontinyu. Beberapa hal yang
perlu dipantau antara lain adalah kedisiplinan masuk
sekolah,kebiasaan saat makan di kantin, kebiasaan saat di kelas,
kebiasaan dalam berbicara.
Selanjutnya Bompa menyatakan bahwa setiap individu pasti akan
melakukan interaksi dengan individu lainnya, hal ini merupakan kodrat
manusia disamping sebagai makhluk sosial juga
sebagai makhluk
individu yang saling membutuhkan satu sama lainnya. Selama
berintekasi
dengan
berbagai
pihak
inilah
akan
terjadi
proses
pembentukan berbagai aspek seperti peningkatan fisik, penguasaan
teknik, penguasaan taktik, dan pembentukan mental termasuk di
dalamnya pembentukan karakter (Darmiyati, 2011: 33).
Pembentukan karakter tidak dapat dilakukan dengan waktu sekejap,
melainkan melalui proses yang lama dan kontinyu. Di sinilah peran guru
dituntut mampu mentransfer cara berpikir, bersikap, dan bertindak
dengan mendasarkan pada etika moral yang baik. Ucapan guru,
kedisiplinan guru, kasih sayang guru, dan petuah baik dari guru akan
51
diperhatikan dan ditiru oleh para siswa. Keteladanan guru akan menjadi
pondasi dasar dalam pembentukan karakter anak didiknya.
Lebih jauh lagi proses pembentukan karakter menurut Azra (2002:
174-175) yang menyatakan bahwa pembentukan dan pendidikan karakter
melalui sekolah merupakan usaha mulia yang mendesak untuk dilakukan.
Usaha pembentukan dan pendidikan karakter melalui sekolah menurut
beliau bisa dilakukan setidaknya melalui pendekatan sebagai berikut:
Pertama, menerapkan pendekatan modelling atau exemplary atau
uswah hasanah. Yakni mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan
sekolah untuk menghidupkan dan menegakkan nilai-nilai akhlak dan
moral yang benar melalui model atau teladan. Setiap guru dan tenaga
kependidikan lain di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi
uswah hasanah yang hidup (living exemplary) bagi setiap peserta didik.
Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta
didik tentang berbagai nilai yang baik tersebut (Azra, 2002: 174)
Kedua, menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik
secara terus-menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk.
Usaha ini bisa dibarengi pula dengan langkah-langkah; memberi
penghargaan (Prizing) dan menumbuhsuburkan (Cherising) nilai-nilai
yang baik, dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discouraging)
berlakunya nilai-nilai yang buruk; menegaskan nilai-nilai yang baik dan
buruk secara terbuka dan berkelanjutan; memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk memilih berbagai alternatif sikap dan tindakan
52
berdasarkan nilai; melakukan pilihan secara bebas setelah menimbang
dalam-dalam berbagai konsekuensi dari setiap pilihan dan tindakan;
membiasakan bersikap dan bertindak atas niat dan prasangka baik (husn
al-zhan) dan tujuan-tujuan ideal; membiasakan bersikap dan bertindak
dengan pola-pola yang baik yang diulangi secara terus-menerus dan
konsisten (Azra, 2002: 174-175)
Ketiga, menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (characterbased education). Hal ini bisa dilakukan dengan menerapkan karakter
character-based approach dalam setiap mata pelajaran yang ada
disamping mata pelajaran-mata pelajaran khusus untuk pendidikan
karakter, seperti pelajaran agama, sejarah, Pancasila, dan sebagainya.
Memandang kritik terhadap mata pelajaran-mata pelajaran terakhir ini,
maka perlu dilakukan reorientasi baik dari segi isi/muatan dan
pendekatan, sehingga mereka tidak hanya menjadi verbalisme dan
sekadar hafalan, tetapi betul-betul berhasil membantu pembentukan
karakter (Azra 2002: 175)
Oleh karena itu, pembentukan karakter kebangsaan peserta didik
merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya tanggung jawab guru
sebagai pendidik di sekolah, tetapi semua pihak yang terlibat dalam
proses pertumbuhan dan perkembangan pribadi peserta didik itu. Hal ini
dapat dilakukan dengan langkah menerapkan pendekatan modelling atau
exemplary atau uswah hasanah. menjelaskan atau mengklarifikasikan
kepada peserta didik secara terus-menerus tentang berbagai nilai yang
53
baik dan yang buruk. Kemudian menerapkan pendidikan berdasarkan
karakter (character-based education) yang mana hal ini bisa dilakukan
dengan menerapkan karakter character-based approach dalam setiap
mata
pelajaran
yang
ada
seperti
mata
pelajaran
Pendidikan
Kewarganegaraan, sehingga dapat membentuk karakter peserta didik
yang dapat diterapkan dalam kehisupan sehari-hari secara berulang-ulang
dan menjadi suatu pembiasaan nantinya.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Lysa Hapsari pada tahun 2013 yang
berjudul “Peran Pembelajaran PKn dan Kegiatan Kepramukaan dalam
Membentuk Karakter Siswa di MAN 1 Yogyakarta”. Hasil penelitian ini
menunjukkan peran pembelajaran PKn dalam membentuk karakter pada
siswa di MAN 1 Yogyakarta terletak pada strategi guru dalam
menciptakan berbagai metode pembelajaran yang interaktif antara lain
diskusi, ceramah bervariasi, membuat film dan bermain peran. Adapun
peran guru sebagai fasilitator, motivator, telan dan pendidik. Walaupun
belum sepenuhnya semua peran dapat dilaksankan dengan maksimal.
Kemudian peran kegiatan kepramukaan yang menggunakan metode
pendidikan kepramukaan antara lain kode kehormatan, learning by doing,
serta penghargaan berupa tanda kecakapan. Selanjutnya terkait hambatan
dan upaya yang dialami baik dari guru PKn maupun dari pembina
pramuka.
54
Persamaan penelitian yang dilakukan penulis adalah tema yang
diambil mengenai pembelajaran PKn dalam membentuk karakter siswa
yang dilihat dari tiga proses penting mulai dari Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP), pelaksanaan pembelajaran dan teknik evaluasi hasil
pembelajaran. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pemilihan lokasi
penelitian, kajian masalahnya di mana peneliti Lysa Hapsari tidak hanya
melalui pembelajaran PKn dalam membentuk karakter siswa tetapi dengan
menambahkan peran kegiatan kepramukaan dalam membentuk karakter
siswa. Perbedaan selanjutnya terletak pada pembentukan karakter yang
diteliti, jika Lysa Hapsari yang dilihat karakter secara umum sedangkan
penulis lebih di fokuskan dalam membentuk karakter kebangsaan siswa.
Download