USULAN PENELITIAN DOSEN MADYA PEMANFAATAN DAGING BIJI KEPAYANG (PANGIUM EDULE REINW) UNTUK PENGAWETAN IKAN Oleh : Anto Purwanto, S.KM., M.Kes (0410028201) Yuldan Faturahman MKes. (0413068102) FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS SILIWANGI JANAURI 2017 1 9,000,000,00 1 DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................i DAFTAR ISI...................................................................................................... ....ii RINGKASAN ......................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian ..............................................................................1 1.2.Perumusan Masalah .......................................................................................4 1.3.Tujuan Penelitian ...........................................................................................5 1.4. Target Luaran .................................................................................................5 1.5.Kegunaan Penelitian .......................................................................................5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Biji Kepayang. .............................................................................. 6 2.2.Bahan Tambahan Pangan.............. ..................................................................11 2.3.Ikan .......................................................................................................17 2.4.Bakteri 22 2.5.Kerangka Teori 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Tahapan Penelitian ........................................................................................27 3.2.Lokasi Penelitian ............................................................................................27 3.3.Perubahan .....................................................................................................27 3.4.Metode ........................................................................................................28 3.5.Rancangan Penelitian ................................................................................... 28 3.6.Pengumpulan Data ....................................................................................... 29 3.7.Analsisi Data 30 BAB IV BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN 4.1. Anggaran Biaya ..............................................................................................31 4.2. JadwalPenelitian .............................................................................................31 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN 2 RINGKASAN Pengawet adalah salah satu bahan tambahan yang dimasukan dalam makanan dengan tujuan untuk mengurangi atau mencegah pertumbuhan dan aktivitas pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri, kapang, kamir dan fungi.Dalam upaya untuk mengawetkan makanan, maka orang-orang mulai menambahkan garam terutama untuk ikan dan proses pengasapan yang sampai saat ini masih tetap dilakukan. Dengan berkembangnya waktu, maka berkembanglah metodemetode pengawetan yang lain, seperti penambahan rempah-rempah yang selain untuk mengawetkan tetapi juga mencegah terjadinya perubahan bau yang tidak sedap bagi manusia.Bahan pengawet juga tergolong bahan yang berbahaya dan tergolong bahan tambahan terlarang dalam makanan. Bahan pengawet adalah bahan-bahan yang seharusnya tidak dikonsumsi oleh manusia baik dalam jumlah kecil maupun besar. Bahan kimia yang terlarang dikenal dan sering dipakai masyarakat industri kecil pada umumnya formalin, borax dan perwarna tekstel rodamin B. Oleh Karena itu harus ada solusi untuk menggantikan pengawet tersebut yaitu Salah satu contohnya adalah penggunaanbiji kepayang (Pangium edule rienw) yang dapat diracik menjadi cacahan yang fungsinya sama dengan bahan pengawet lain (kimia) terutama dalam penggunaan dalam proses pengawetan ikan dan daging. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui berapa dosis yang di butuhkan untuk membuat ikan dapat bertahan lama denan metode eksperimen murni dengan jumlah sampel penelitian sebanyak 50 ikan 500 gram, Keyword : Ikan, Biji Kepayang,Pengawetan 3 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejarah menunjukan bahwa produksi hasil-hasil pertanian termasuk daging dan ikan berfluktuasi menurut kondisi cuaca, dimana ada waktuwaktu tertentu produksi makanan berlimpah tetapi pada waktu-waktu tertentu (musim kemarau panjang atau musim dingin) produk-produk pertanian dan peternakan berkurang dan terkadang tidak mencukupi kebutuhan masyarakat setempat. Bahan makanan merupakan media pertumbuhan mikroba, suatu mahluk kecil yang pertumbuhannya, membusukkan hanya jasad protein, dapat renik dilihat dengan mikroskop. ini bergantung kepada jenisnya, memfermentasikan karbohidrat dan Dalam dapat menjadikan lemak dan minyak berbau tengik. Penguraian protein, karbohidrat dan lemak melalui proses enzimatik dengan bantuan oksigen (proses aerobik) atau tanpa bantuan oksigen (proses anaerobik). Usaha peningkatan mutu kesehatan terhadap masyarakat yang sedang digalakkan pemerintah tidak selamanya dapat berjalan sesuai harapan. Berbagai masalah muncul dan menuntut penyelesaian yang cepat dari pihak yang terkait. Kebutuhan yang sehat dan hegienis mutlak diperlukan demi kelangsungan hidup. Salah satu kandungan bahan makanan yang perlu dicermati adalah penggunaan bahan tambahan contohnya bahan pengawet. Pengawet adalah salah satu bahan tambahan yang dimasukan dalam makanan dengan tujuan untuk mengurangi atau mencegah pertumbuhan dan aktivitas pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri, kapang, kamir dan fungi. (Habieb saleh, 2006). Dalam upaya untuk mengawetkan makanan, maka orang-orang mulai menambahkan garam terutama untuk ikan dan proses pengasapan yang sampai saat ini masih tetap dilakukan. Dengan berkembangnya waktu, 4 maka berkembanglah metode-metode pengawetan yang lain, seperti penambahan rempah-rempah yang selain untuk mengawetkan tetapi juga mencegah terjadinya perubahan bau yang tidak sedap bagi manusia. Bahan pengawet juga tergolong bahan yang berbahaya dan tergolong bahan tambahan terlarang dalam makanan. Bahan pengawet adalah bahanbahan yang seharusnya tidak dikonsumsi oleh manusia baik dalam jumlah kecil maupun besar. Bahan kimia yang terlarang dikenal dan sering dipakai masyarakat industri kecil pada umumnya formalin, borax dan perwarna tekstel rodamin B. (Habieb saleh, 2006). Penelitian Badan Pengawas Obat dan Makanan Indonesia (2010), penggunaan formalin pada ikan dan hasil laut menempati peringkat teratas. Yakni 66% dari total 786 sampel. Sementara mie basah menempati posisi kedua dengan 57%. Tahu dan bakso berada pada urutan berikutnya yakni 16% dan 15%. Penelitian yang dilakukan oleh Putut Hariyadi (2005:30), juga menunjukkan bukti penggunaan bahan makanan tambahan ilegal (formalin dan peroksida) pada penanganan dan pengolahan produk ikan segar dan ikan asin di 6 (enam) lokasi penelitian (Tegal, Pekalongan, Semarang, Pati, Rembang dan Bantul). Mengingat akan bahaya penggunaan formalin tersebut diatas maka perlu usaha untuk menemukan bahan pengawet dari bahan yang alami. Bahan pengawet alami yang telah ditemukan diantaranya adalah kitosan dan asap cair. Akan tetapi dewasa ini kedua jenis pengawet tersebut harganya relatif mahal sehingga perlu usaha untuk menemukan bahan pengawet alami lain yang lebih murah dan mudah pengaplikasiannya. Sedangkan metode pengasapan tradisional yang biasa diterapkan oleh masyarakat mempunyai kekurangan yaitu terbentuknya nitrosamin, merupakan zat yang bersifat karsinogenik (Purwani dan Muwakhidah, 2008). Permasalahan ini menjadi bahan perhatian karena berdampak langsung pada masyarakat. Sehingga dibutuhkan upaya untuk mengetahui bahan pengawet makanan lain yang tidak berdampak buruk pada masyarakat. Bahan pengawet lain juga tidak kalah kualitasnya dalam proses 5 pengawetan. Bahan pengawet ini dapat menggunakan bahan yang lebih alami namun tidak menimbulkan efek yang merusak bagi kesehatan. Masyarakat yang berada didaerah pedesaan dalam pengawetan ikan sering menggunakan tumbuhan sebagai pengawetnya. Makanan menjadi salah satu mata niaga yang paling utama dalam ekonomi suatu masyarakat. Didalam makanan sering tercemar seperti jamur, bakteri, kapang yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Banyak jenis ikan air tawar yang dikonsumsi masyarakat dan mudah diperoleh di Pasar, diantaranya ikan lele, mujair, nila, emas, kalper, bawal, gurame dll. Ikan yang digunakan dalam penelitian ini dipilih berdasarkan kemudahan diperoleh dalam keadaan segar dengan harga yang relatif murah dan memiliki ciri fisik yang hampir sama dengan ikan lain pada umumnya sehingga jenis ikan yang dipilih mewakili sebagai sampel. Salah satu contoh tumbuhan yang sering digunakan oleh masyarakat pedesaan dalam pengawetan ikan adalah dengan menggunakan biji kepayang (Pangium edule rienw) yang dapat diracik menjadi cacahan yang fungsinya sama dengan bahan pengawet lain (kimia) terutama dalam penggunaan dalam proses pengawetan ikan dan daging. Penelitian yang dilakukan oleh Yunika Sari, 2013 melakukan pengawetan ikan nila dengan memberikan perlakuan sebesar sepuluh gram, 20 gr, dan 30 gr cacahan daging biji kepayang terhadap 200 gr ikan nila. Hasil akhir yang diperoleh adalah bahwa ikan nila sebesar 200 gr yang diberikan penambahan cacahan daging biji kepayang sebesar sepuluh gram masih bisa dikonsumsi setelah mengalami pengawetan selama empat hari. Sedangkan untuk ikan dengan penambahan cacahan daging biji kepayang sebesar 20 gr dan 30 gr tidak bisa untuk dikonsumsi karena kadar HCN (Asam Sianida) didalam ikan nila melebihi nilai ambang batas. Sehingga peneliti memiliki asumsi untuk penelitan yang dilakukan adalah maksimal dengan menggunakan sepuluh gram cacahan daging biji kepayang. Penelitian yang dilakukan Yunika Sari (2013), sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Indriyati (1987) yang menyatakan bahwa 3% 6 (b/b) cacahan daging biji kepayang telah mampu menghambat keempat bakteri pembusuk ikan yaitu Bacillus sp, Micrococcus sp, Pseudomonas sp, dan Koliform. Sedangkan 5% (b/b) cacahan daging biji kepayang sudah bersifat Bakterisidal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Indriyati 1987 dan Yunika Sari 2013, peneliti memiliki dasar dalam penentuan jumlah gram (gr) dari cacahan daging biji kepayang yang digunakan sebagai bahan dalam pengawetan ikan nila. Diperoleh hasil 3%, 4%, dan 5% (b/b) yang digunakan untuk pengawetan ikan nila atau dikonfersikan dalam bentuk Gram yaitu sebesar 6 gr, 8 gr, dan 10 gr. Ikan yang telah dibersihkan sisik dan diambil insangnya tidak bertahan lama tanpa di berikan perlakuan khusus dalam upaya pengawetan. Dengan mengambil batas maksimal yang masih bisa dikonsumsi dari hasil penelitian Yunika sari (2013). Kondisi tersebut bissa memanfaatkan manfaat biji kepayang supaya bisa menjadi pengawet alami alternatif untuk menggantikan pengawet kimiawi. 1.2. Permasalahan Konsentrasi dari rumusan masalah pada penelitian adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kekuatan daya tahan ikan ketika di beri pengawet alami 2. Berapa dosis yang mesti di berikan untuk pengawetan tersebut 3. Seberapa lama ikan dapat bertahan dengan biji kepayang. 1.3. Tujuan 1. Mengkaji dosis yang di gunakan 2. Mengetahui berapa lama ikan tersebut dapat bertahan dengan pengawet alami. 7 1.4. Luaran Penelitian 1. Terdapatnya data dasar mengenai dosis yang digunakan dan kekuatan bertahan ikan dengan menggunakan biji kepayang. 2. Hasil penelitian dipublikasikan pada jurnal ilmiah nasional bidang kesehatan lingkungan. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Terdapatnya informasi mengenai dosis pengawetan 2. Mengetahui seberapa Lama ikan dapat bertahan 8 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA A. Biji Kepayang Biji kepayang memiliki nama botani Pangium edule Reinw, termasuk tanaman berkeping ganda (dicotiledon) dari divisi Spermatophyta dengan subdivisi Angiospremae, ordo Parietals, famili Flacourtiaceae, genus Pangium dan spesies Pangium edule (Koswara Sutrisno, 2009). Biji kepayang sering pula disebut pakem (di Bali, Jawa, Kalimantan), pacung atau kepayang (Sunda), pucung atau kluwak (Jawa), gempani atau hapesong (Toba), kayu tuba buah (Lampung), jeho (Enggano), kapenceung, kapecong atau simaung (Minangkabau), kuam (Kalimantan), pangi (Minahasa, Ambon), kalowa (Subawa, Makasar), ngafu (Tanimbar), calloi, lioja (Seram), kapait (Buru, Aru) dan awaran (Manokwari) (Koswara Sutrisno, 2009), dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut ini : Gambar 2.1 Biji Kepayang atau Klewek Tanaman biji kepayang tumbuh liar di hutan maupun tempat lain yang dekat air, sampai ketinggian 100 meter diatas permukaan laut dan ada juga yang sengaja ditanam orang. Tumbuhan ini berbatang besar dan tinggi. Diameter batang bisa mencapai 2,5 meter dan tingginya dapat mencapai 40 meter. Pohon biji kepayang berbuah sejak berumur 15 tahun secara terus menerus sepanjang musim. Buahnya agak tidak simetris, berbentuk bulat telur dengan kedua ujung tumpul. Ukuran buah bervariasi dengan panjang 17 - 30 cm dan lebar 9 7 - 10 cm atau lebih. Tangkai buah berukuran panjang 8 - 15 cm dengan diameter 7 - 12 mm. (Koswara Sutrisno, 2009) Didalam buah kepayang terdapat banyak biji besar, berwarna kelabu, berbentuk telur limas dan keras. Dalam biji terdapat daging biji yang banyak mengandung lemak. Didalam buah kepayang terdapat 20 - 30 biji yang berbentuk segitiga dengan panjang 5 cm. Kulit biji kasar dengan perikarp setebal 6-10 mm, berkayu dan beralur. Biji-biji tersebut tertutup oleh daging buah yang berwarna putih apabila masih segar dan kehitaman jika sudah lama disimpan. Daging biji kepayang sebagian besar terdiri atas, air, lemak, karbohidrat, protein, sebagian kecil mineral dan vitamin dengan jumlah di Tabel 2.1 dibawah ini, Tabel 2.1 Komposisi Kimia Daging Biji Kepayang 100 Gr No Komponen Satuan Jumlah 1 Kalori g 237,0 2 Protein g 10,0 3 Lemak g 24,0 4 Karbohidrat mg 13,0 5 Kalsium mg 40,0 6 Fosfor mg 100,0 7 Besi mg 2,0 8 Vit B1 mg 0,15 9 Vit C mg 30,0 10 Air g 51,0 Daftar Komposisi Bahan Makanan, Dir. Gizi Depkes (1979) Biji kepayang juga banyak mengandung asam sianida dan tanin. Keistimewaan senyawa-senyawa tersebut adalah kemampuannya untuk mengobati lepra, kudis dan beberapa penyakit sejenis dan juga mempunyai peranan dala pengawetan ikan karena bersifat antibakteri. (Koswara Sutrisno, 2009) 10 Asam lemak yang terkandung dalam minyak kluwak antara lain asam oleat, asam linoleat dan asam palmitat. Trigliserida minyak biji kepayang terfermentasi terdiri dari OLO, OLL, PLO, dan OOO. (Koswara Sutrisno, 2009) Biji kepayang merupakan tanaman yang banyak mengandung ginokardin glukosida yang mudah melepaskan asam sianida dengan bantuan enzim ginokardase. Pelepasan asam sianida tersebut dapat dicegah dengan pemanasan yang menghancurkan enzim ginokardase. (Koswara Sutrisno, 2009) Penghilangan racun pada biji kepayang dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut : 1) Biji kepayang dikupas dan direbus, kemudian direndam sehari dalam air mengalir, selanjutnya direbus lagi. Hasilnya dikenal sebagai nama “dage”, 2) Seperti cara pertama dan setelah perebusan kedua dibiarkan kurang lebih satu minggu supaya terjadi fermentasi, 3) Merendam biji kepayang yang telah direbus dan dibungkus dengan abu, dibiarkan kurang lebih 40 hari supaya terjadi fermentasi. Cara ini menghasilkan cita rasa terbaik yang dikenal dengan “kluwak”, 4) Seperti cara ketiga, tetapi hari ke-15 direbus dan direndam dalam air mengalir dan akhirnya dibiarkan terjadi fermentasi lebih lanjut, yaitu kurang lebih dari 4 hari. (Koswara Sutrisno, 2009) Selama ini, tanaman kepayang lebih banyak digunakan sebagai obatobatan tradisional. Penggunaan tersebut antara lain daun dan biji setelah diseduh dapat digunakan sebagai desinfektan, kulit dan daun kepayang digunakan sebagai racun ikan, minyak dagin kepayang digunakan untuk membuat ekstrak yang dipakai untuk obat reumatik dan penyakit kulit, daging biji segar dilarutkan dalam air dapat digunakan untuk obat pembasmi kutu. (Koswara Sutrisno, 2009) Biji kepayang sebagai bahan baku dari kluwak telah diteliti dan ternyata biji kepayang mempunyai manfaat lain selain dapat dikonsumi setelah dihilangkan racunnya. Penelitian Indriyati (1987) melaporkan bahwa biji kepayang segar mempunyai aktivitas antibakteri pemusuk ikan yaitu Bacillus sp, Micrococcus sp, Pseudomonas sp, dan Koliform yang tumbuh pada ikan mas yang membusuk. Bakteri yang paling sensitive adalah Micrococcus sp dan yang paling resisten adalah Koliform. Ekstrak biji kepayang sebanyak 3% (b/v) mampu menghambat 11 keembat bakteri tersebut, sedangkan konsentrasi ekstrak biji kepayang lebih bersifat bakterisidal. Kluwak merupakan suatu produk pangan berupa biji keras berwarna kelabu dengan daging licin berlemak dan berwarna kehitaman. Kluwak dibuat dengan cara merendam biji kepayang yang telah direbus dan dibungkus dengan abu, kemudian dibiarkan selama kurang lebih 40 hari terjadi fermentasi. Kluwak yang mempunyai flavor khas, di daerah Jawa Timur digunakan sebagai rempahrempah untuk masakan rawon dan di Jawa Barat digunakan untuk membuat sambal. (Koswara Sutrisno, 2009) Pada proses pembuatan kluwak, biji kepayang segar yang telah dicuci kemudian direbus sekitar 3 jam, salah satu tujuan perebusan yaitu untuk mencegah germinasi biji kepayang, karena jika biji kepayang dikubur dalam tanah tanpa perebusan terlebih dulu akan tumbuh tunas baru tanaman kepayang. Tahap perebusan ini merupakan tahap yang penting selama pembuatan kluwak, karena dengan pemanasan akan berpengaruh terhadap komposisi biji kepayang, terutama terjadinya degradasi beberapa komponen utama yaitu lemak, karbohidrat dan protein. (Koswara Sutrisno, 2009) Sebelum dikubur dalam tanah, biji kepayang yang ditiriskan diselimuti dengan abu dapur dan daun cariyang (Homalomena Javanica). Abu dapur berfungsi untuk melindungi biji selama pemeraman dari peneterasi kelembaban udara, karena abu dapur bersifat higroskopis. Penggunaan daun cariyang belum diketahui fungsinya secara pasti tapi ada kemungkinan digunakan sebagai bahan yang mempertahankan kondisi luar biji kepayang. Lama waktu pemeramannya kurang lebih 40 hari. (Koswara Sutrisno, 2009) Kluwak hasil fermentasi mengalami perubahan fisik seperti warna, flavor dan teksturnya. Timbulnya warna coklat pada daging biji kepayang disebabkan oleh reaksi Maillard selama perebusan dan fermentasi biji kepayang. Flavor khas dari kluwak diduga berasal dari Asam Glutamato, yang merupakan asam amino dominant dalam Kluwak, sedangkan teksturnya yang lunak atau berbentuk bubur disebabkan oleh aktivasi β-glukosidase yang mempunyai kemampuan sebagai enzim pektinase. (Koswara Sutrisno, 2009) 12 Beberapa penelitian tentang kluwak juga telah dilakukan antara lain mengenai kandungan antioksidan dan kandungan lemaknya. Aktivitas antioksidan biji kepayang fermentasi memperlihatkan peningkatan mulai hari ke-0 sampai hari ke-40 (kluwak) dan penambahan ekstrak biji kepayang dalam methanol sebelum dan sesudah fermeentasi dapat mengurangi penurunan intentitas warna dari emulsi asam linoleat-β-carotene serta nilai TBA pada ikan mujair (Tilapia mozambca). Ekstrak methanol biji kepayang yang sudah difermentasi mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibanding ekstrak methanol dari biji kepayang segar dan terjadi perubahan kadar lemak selama fermentassi biji kepayang, dimana kadar lemak menurun mulai hari ke-0 sampai hari ke-14, setelah itu meningkat sampai hari ke-21 sekitar 50% dan kemudian mengalami penurunan sampai hari ke-42. Selama proses fermentasi kandungan lipid dan asam lemaknya menurun, akan tetapi asam lemak dominannya yaitu asam oleat dan asam linoleat, tidak berubah selama fermentasi. Kandungan total karbohidrat dan NDF (neutral detergent fiber) menurun, sementara gula pereduksinya meningkat. Kandungan protein terlarrutnya menurun sedangkan protein tak larutnya meningkt dan komposisi asam aminonya tidak berubah selama fermentasi. (Koswara Sutrisno, 2009) Pohon kepayang atau kluwak banyak tersebar diseluruh nusantara. Selain sebagi bumbu masak dapur, biji buah kepayang juga bisa dimanfaatkan sebagai pengawet alami ikan segar. Pemanfaatan biji buah kepayang sudah dikenal lama nelayan di Banten. Mereka melumuri ikan hasil tangkapannya dengan cacahan biji buah kepayang. Setelah penyimpanan 6 hari ikan tersebut dapat langsung dimasak tanpa penambahan bumbu.Mekanismenya sederhana, pertama pengupasan biji kepayang, kedua dilakukan pencacahan daging biji kepayang, ketiga pencampuran kepayang dengan garam, keempat pelumuran (campuran kepayang dan garam pada ikan kembung segar), kelima pengemasan (dalam ember plastik tertutup, setiap hari dibuka selama 5 menit), keenam penyimpanan dalam suhu kamar. (Koswara Sutrisno, 2009) Seorang nelayan untuk mempertahankan mutu ikan hasil tangkapannya membutuhkan es batu minimal 1 : 1 berat ikan segar. Jika ikan yang ditangkap 13 sebanyak 50 kg, maka nelayan membutuhkan es batu minimal 50 kg juga. Namun dengan memanfaatkan cacahan biji buah kepayang, nelayan hanya membutuhkan 1 kg cacahan biji buah kepayang untuk 50 kg ikan segar. Di pasaran 1 kg buah kepayang sekitar Rp. 3.000 sampai Rp. 4.000. (Koswara Sutrisno, 2009) B. Bahan Tambahan Pangan Secara sederhana dan umum bahan tambahan pangan (BTP) adalah bahan kimia yang secara sengaja ditambahkan dalam makanan atau minuman, baik secara alami ataupun buatan. Bahan tambahan makanan adalah bahan yang ditambahkan dengan sengaja kedalam makanan dalam jumlah kecil, dengan tujuan untuk memperbaiki penampakan, cita rasa, tekstur, rasa dan memperanjang daya simpan serta dapat meningkatkan nilai gizi seperti protein, mineral dan vitamin (BPOM Lampung, 2006). Bahan pengawet merupakan bahan tambahan pangan yang digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian yang disebabkan menggunakannya oleh pada mikroba. pangan Akan yang tetapi, relatif awet tidak jarang dengan produsen tujuan untuk memperpanjang masa simpan atau memperbaiki tekstur. (Cahyadi Wisnu, 2012) Pengawet yang banyak dijual dipasaran dan digunakan untuk mengawetkan berbagai bahan pangan adalah benzoat, yang umumnya terdapat dalam bentuk natrium benzoat atau kalium benzoat yang bersifat lebih mudah larut. Benzoat sering digunakan untuk mengawetkan berbagai pangan dan minuman, seperti sari buah, minuman ringan, saus tomat, saus sambal, selai, jeli, manisan, kecap, dan lain-lain. (Cahyadi Wisnu, 2012) Undang-undang makanan, obat dan kosmetik (Food, Drug, and Cosmetic Act., FD&C Art) Amerika Serikat menyatakan bahwa makanan yang dikonsumsi secara tradisional adalah aman apabila makanan tersebut bebas dari kontaminasi, tetapi bagi Administrasi Makanan dan Obat Amerika Serikat (US FDA) menyatakan bahwa untuk melarang makanan, harus memiliki fakta yang jelas dimana kematian atau kesakitan dapat diikuti karena mengkonsumsi makanan 14 tertentu.FD & C Art mengizinkan penambahan suatu senyawa dalam makanan untuk mendapatkan suatu pengaruh teknikal yang spesifik bahwa senyawa tersebut dapat ditentukan secara umum dan diketahui aman (Generally Recognized As Safe). (Sembel Dantje, 2015) Penggunaan bahan pengawet dari satu sisi menguntungkan karena dengan bahan pengawet, bahan pangan dapat dibebaskan dari kehidupan mikroba, baik yang bersifat patogen yang dapat menyebabkan keracunan atau gangguan kesehatan lainnya meupun mikrobial yang non patogen yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan, misalnya pembusukan. Namun dari sisi lain, bahan pengawet pada dasarnya adalah senyawa kimia yang merupakan bahan asing yang masuk bersama bahan pangan yang dikonsumsi.Apabila pemakaian bahan pangan dan dosisnya tidak diatur dan diawasi, kemungkinan besar akan menimbulkan kerugian bagi pemakainya, baik yang bersifat langsung misalnya keracunan, maupun yang bersifat tidak langsung atau komulatif. (Cahyadi Wisnu, 2012) Penggunaan pengawet dalam pangan harus tepat, baik jenis maupun dosisnya. Suatu bahan pengawet mungkin efektif untuk mengawetkan pangan tertentu, tetapi tidak efektif untuk mengawetakan pangan lalinnya karena pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda sehingga mikroba perusak yang akan dihambat pertumbuhannya juga berbeda. Pada saat ini, masih banyak ditemukan penggunaan bahan-bahan pengawet yang dilarang untuk digunakan dalam pangan dan berbahaya bagi kesehatan, seperti boraks dan formalin. (Cahyadi Wisnu, 2012) Dewasa ini banyak laporan melalui media tulis dan elektronik tentang penyalahgunaan bahan pengawet yang tidak diizinkan, seperti boraks dan formalin. Formalin digunakan orang untuk pengawet ikan, mie basah, tahu dan daging mentah (ayam, sapi). Sedangkan boraks digunakan untuk bakso, mie basah, mie telur, ikan asin, siomay, lontong, ketupat dan lain-lain. Formalin murah dan mudah didapat, tetapi sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. (Sembel Dantje, 2015) Formalin dan boraks adalah dua zat pengawet yang berbahaya bagi manusia, sehingga dilarang penggunaannya untuk penambah bahan pangan. 15 Bahaya penggunaan formalin dan boraks sebagai bahan tambahan makanan diuraikan oleh (Rahmawati, 2012 : Adriani & Wirjadmadi 2012) sebagai berikut : 1. Formalin bagi tubuh manusia diketahui sebagai zat beracun, karsinogenik yang menyebabkan kanker, mutagen, korosif dan iritatif. Paparan kronik formalin dapat menyebabkan sakit kepala, radang hidung kronis, mualmual gangguan pernapasan baik batuk kronis atau sesak napas kronis. Gangguan pada persyarafan berupa susah tidur, sensitive, mudah lupa, sulit konsentrasi. Pada perempuan gangguan menstruasi dan infertilitas. Penggunaan formalin dalam jangka panjang dapat menyebabkan kanker mulut dan tenggorokan. 2. Boraks bersifat akumulatif terhadap kesehatan (terkumpul sedikit demi sedikit dalam otak, hati dan testis). Kalau dosis tinggi biasa timbul pusingpusing, muntah, mencret, kram perut, bahkan kematian. 1. Jenis Bahan Pengawet a. Zat Pengawet Anorganik Zat pengawet anorganik yang masih sering dipakai adalah sulfit, hidrogen peroksida, nitrat, dan nitrit. Sulfit digunakan dalam bentuk gas SO2, garam Na atau K Sulfit, bisulfit, dan metabisulfit. Bentuk efektifnya sebagai pengawet adalah asam sulfit yang tidak terdisosiasi dan terutama terbentuk pH dibawah 3. Molekul sulfit lebih mudah menembus dinding sel mikroba bereaksi dengan asetaldehid membentuk senyawa yang tidak dapat difermentasi oleh enzim mikroba, mereduksi ikatan disulfida enzim, dan bereaksi dengan keton membentuk hidroksisulfonat yang dapat menghambat mekanisme pernapasan. (Cahyadi Wisnu, 2012) Selain menjadi pengawet, sulfit dapat berinteraksi dengan gugus karbonil. Hasil reaksi itu akan mengikat melanoidin sehingga mencegah timbulnya warna coklat. Sulfur dioksida juga dapat berfungsi sebagai antioksidan dan meningkatkan daya kembang terigu. (Cahyadi Wisnu, 2012) Garam nitrat dan nitrit umumnya digunakan para proses curing daging untuk memperoleh warna yang baik dan mencegah pertumbuhan 16 mikroba seperti Clostridium botulinum, suatu bakteri yang dapat memproduksi racun yang mematikan. Akhirnya, nitrat dan nitrit banyak digunakan sebagai bahan pengawet tidak saja pada produk-produk daging, tetapi juga pada ikan dan keju. (Cahyadi Wisnu, 2012) Penggunaan bahan ini semakin luas karena manfaat nitrit dalam pengolahan daging (seperti sosis, kornet, ham, dan hamburger) selain sebagai pembentuk warna dan bahan pengawet antimikroba, juga berfungsi sebagai pembentuk faktor sensori lain, yaitu aroma dan cita rasa. (Cahyadi Wisnu, 2012) Penggunaan Na-nitrit sebagai pengawet untuk mempertahankan warna daging atau ikan ternyata menimbulkan efek yang membahayakan. Nitrit dapat berikan dengan amino atau amida dan membentuk turunan nitrosamin yang bersifat toksik. (Cahyadi Wisnu, 2012) b. Zat Pengawet Organik Zat pengawet organik lebih banyak dipakai daripada yang anorganik karena bahan ini lebih mudah dibuat. Bahan organik digunakan baik dalam bentuk asam maupun dalam bentuk garamnya. (Cahyadi Wisnu, 2012) 2. Sifat Antimikroba Bahan Pengawet Bahan pengawet kimia mempunyai pengaruh terhadap aktivitas mikroba. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas mikroba oleh bahan pengawet kimia meliputi beberapa hal, antara lain jenis bahan kimia dan konsentrasinya, banyaknya mikroorganisme, komposisi bahan pangan, keasaman bahan pangan, dan suhu penyimpanan. (Cahyadi Wisnu, 2012) Spora bakteri paling tahan terhadap pengawet, sedangkan spora kapang lebih tahan daripada sel vegetatifnya. Dalam beberapa kasus penghambatan, kapang lebih mudah diserang daripada khamir. Pertumbuhan kultur mikroba secara aktif mudah diserang oleh bahan pengawet. Semakin tua umur bakteri dan 17 menjadi semakin aktif, maka sel-sel cenderung menjadi lebih tahan terhadap kondisi pengawet. Beberapa bahan pengawet, aktivitasnya akan naik dalam bahan yang bersifat asam, misalnya asam benzoat dalam minuman sari buah jeruk. (Cahyadi Wisnu, 2012) Dalam aksinya sebagai antimikroba, bahan pengawet ini mempunyai mekanisme kerja untuk menghambat pertumbuhan mikroba bahkan mematikannya, diantaranya sebagai berikut : a. Gangguan sistem genetik Dala hal ini bahan kimia masuk kedalam sel. Beberapa bahan kimia dapat berkombinasi atau menyerang ribosoma dan menghambat sintesa protein. Jika gen-gen dipengaruhi oleh bahan kimia maka sintesa enzim yang mengontrol gen akan dihambat. b. Menghambat sintesa dinding sel atau membran Bahan kimia tidak perlu masuk kedalam sel untuk menghambat pertumbuhan, reaksi yang terjadi pada dinding sel atau membran dapat mengubah permeabillitas sel. Hal ini dapat mengganggu atau menghalangi jalannya nutrien masuk kedalam sel, dan mengganggu keluarnya zat-zat penyusun sel dan metabolit dari dalam sel. c. Penghambat enzym Perubahan pH yang mencolok, pH naik turun, akan menghambat kerja enzim dan mencegah perkembangbiakan mikroorganisme. d. Pengikatan nutrien esensial Mikroorganisme mempunyai kebutuhan nutrien yang berbeda-beda, karena itu pengikatan nutrien tertentu akan mempengaruhi organisme yang berbeda pula. Apabila suatu organisme membutuhkan hanya sedikit nutrien dan apabila nutrien tersebut diikat, akan lebih sedikit berpengaruh pada organisme dibanding dengan organisme lain yang memerlukan nutrien tersebut dalam jumlah banyak. (Cahyadi Wisnu, 2012) 3. Mekanisme Kerja Bahan Pengawet 18 Mekanisme kerja senyawa antimikroba berbeda-beda antara senyawa yang satu dengan yang lain, meskipun tujuan akhirnya sama yaitu menghambat atau menghentikan pertumbuhan mikroba. Larutan garam NaCl dan gula yang digunakan sebagai bahan pengawet seharusnya lebih pekat daripada sitoplasma dalam sel mikroorganisme. Oleh sebab itu, air akan keluar dalam sel dan sel menjadi kering atau mengalami dehidrasi. (Cahyadi Wisnu, 2012) Kerja asam sebagai bahan pengawet tergantung pada pengaruhnya terhadap perumbuhan mikroorganisme seperti bakteri, khamir, dan kapang yang tumbuh pada bahan pangan. Penambahan asam berarti menurunkan pH yang disertai dengan naiknya konsentrasi ion hidrogen dan dijumpai bahwa pH rendah lebih besar penghambatnya pada pertumbuhan mikroorganisme. (Cahyadi Wisnu, 2012) 4. Tujuan Penggunaan Bahan Pengawet Bahan pengawet merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang paling tua penggunaannya. Pada permulaan peradaban manusia, asap telah digunakan untuk mengawetkan daging, ikan, dan jagung. Demikian pula pengawetan dengan menggunakan garam, asam, dan gula telah dikenal sejak dulu kala. Kemudian dikenal penggunaan bahan pengawet untuk mempertahankan pangan dari gangguan mikroba sehingga pangan tetap awet seperti semula. (Cahyadi Wisnu, 2012) Secara ideal, bahan pengawet akan menghambat atau membunuh mikroba yang penting dan kemudian memecah senyawa berbahaya menjadi tidak berbahaya dan tidak toksik. Bahan pengawet akan mempengaruhi dan menyeleksi jenis mikroba yang dapat hidup pada kondisi tersebut. Derajat penghambatan terhadap kerusakan bahan pangan oleh mikroba bervariasi dengan jenis bahan pengawet yang digunakan dan besarnya penghambatan ditentukan oleh konsentrasi bahan pengawet yang digunakan. (Cahyadi Wisnu, 2012) Secara umum penambahan bahan pengawet pada pangan bertujuan sebagai berikut : a. Menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk pada pangan baik yang bersifat patogen maupun yang tidak patogen ; 19 b. Memperpanjang umur simpan pangan ; c. Tidak menurunkan kualitas gizi, warna, cita rasa, dan bau bahan pangan yang diawetkan ; d. Tidak untuk menyembunyikan keadaan pangan yang berkualitas rendah ; e. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau tidak memenuhi persayaratan ; f. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan. (Cahyadi Wisnu, 2012) C. Ikan Ikan termasuk pangan perishabel, kaya protein dengan kadar asam amino bebas yang tinggi. Mikroba memetabolisme asam amino tersebut dan menghasilkan NH3 , amina biogenik seperti putresin, histamin, dan kadaverin, asam organik, keton, dan komponen bersulfur (Baixas-Nogueras, et al.,2005;Dalgaard, et al.,2005;Emborg, et al.,2005;Olafsdottir, et al.,2005). Degradasi lipid pada lemak ikan menghassilkan aroma ransid (Haugen dan Undeland, 2003). Setelah itu ikan laut dan ikan air tawar mengandung trimetilamin osida yang didegradasi oleh beberapa bakteri menjadi trimetalimin (TMA). Komponen ini dapat menyebabkan ikan berbau busuk karena pengikatan besi (Gram dan Dalgaard, 2002). Kondisi penyimpanan dan pengolahan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba. Pseudomonas dan Shewanella merupakan species bakteri yang mendominasi pada ikan mentah yang disimpan dingin pada kondisi aerobik (Fonnesbech, et al.,2005;Hozbor, et al.,2006). Ikan yang dikemas dengan kondisi karbon dioksida dan penambahan natrium klorida dengan konsentrasi rendah, cocok untuk pertumbuhan bakteri asam laktat dan Photobacterium phosphareum (Ellin, 2007). Ikan asin sangat cocok untuk pertumbuhan khamir dan kapang. Pasteurisasi dapat mematikan vegetatif bakteri, tetapi spora Clostridium dan Bacillus dapat bertahan hidup dan dapat tumbuh, khususnya pada ikan yang tidak diberi garam (Gram dan Dalgaard, 2002). 20 Ikan yang dipanen dari air tawar dan laut mudah mengalami kerusakan karena aktivitas auotolik enzim, oksidasi asam lemak tak jenuh, dan pertumbuhan mikroba. Hidrolisis protein oleh enzim autolitik (proteinase) mendominasi kerusakan ikan yang organ dalamnya belum dikeluarkan. Tingkat oksidasi asam lemak tak jenuh pada lemak ikan juga tinggi. Kerusakan ikan oleh mikroba ditentukan oleh jenis dan jumlah mikroba, lingkungan tempat ikan, jenis ikan, cara panen, dan penanganan setelah panen. Jaringan ikan mempunyai kadar komponen NPN, seperti asam amino bebas, trimetilamin oksida, dan kreatinin, serta peptida yang tinggi, tetapi hampir tidak mengandung karbohidrat dengan pH secara umum diatas 6,0. Bakteri gram negatif aerobik berbentuk batang, seperti Pseudomonas Sp., Acinetobacter, Moraxella, dan Flavobacterium, serta bakteri fakultatif anaerobik berbentuk batang seperti Shewanella, Alcaligenes, Vibrio, dan Koliform merupakan bakteri penyebab utama kerusakan pada ikan (Vandderzant, 1992). Bakteri psikrofilik Pseudomonas Sp. Mendominasi pertumbuhan bakteri pada ikan yang disimpan pada suhu refrigerasi atau ruang dalam keadaan aerobik, karena mempunyai waktu generasi yang relatif pendek. Bakteri asam laktat, termasuk Enterococcus mendominasi pertumbuhan bakteri pada ikan yang disimpan dalam kemasan hampa udara atau CO 2 . (Sopandi tatang & Wardah, 2014) Bakteri gram negatif berbentuk batang, pada awalnya mengoksidasi komponen NPN yang diikuti oleh pembusukan karena produksi dari berbagai komponen yang mudah menguap seperti NH3 . (Sopandi tatang & Wardah, 2014) Species bakteri proteolitik juga memproduksi enzim proteinase ekstra seluler, yang menghidrolisis protein ikan menghasilkan peptida dan asam amino untuk dimetabolisme lebih lanjut oleh bakteri. Komponen volatil menyebabkan berbagai aroma yang tidak menyenangkan, seperti bau apek dan busuk. Pertumbuhan bakteri juga berkaitan dengan produksi lendir, perubahan warna pada insang dan mata ikan, serta tekstur otot ikan yang lunak karena proteolisis. (Sopandi tatang & Wardah, 2014) 21 Secara umum, ikan dan kerang kaya akan protein dan nonprotein nitrogen, dengan kandungan lemak bergantung pada jenis dan musim. Ikan dan kerang kecuali moluska mempunyai kadar karbohidrat yang rendah, dengan kandungan glukosa sekitar 3%. Populasi mikroba pada produk pangan tersebut sangan bervariasi dan dipengaruhi oleh tingkat polusi dan suhu air. Berbagai jenis bakteri, virus, parasit, dan protozoa dapat berada dalam ikan dan kerang mentah. (Leksono dan Syahrul, 2001) Daging ikan dan kerang adalah steril, tetapi sisik, insang, dan intestinal merupakan tempat hidup dan tumbuh mikroorganisme. Ikan dan krustasea depat mengandung bakteri sebanyak 103-8 sel/gr. Hewan dari lingkungan laut dapat mengandung bakteri halofilik vibrio, Pseudomonas, Alteromonas, Flavobacterium, Enterococcus, Micrococcus, Koliforms, dan patogen seperti V. Parahaemolyticus, V. Vulnificus, dan C. Botulinum type E. Ikan dan kerang yang dipanen dari air yang tercemar kotoran hewan dan manusia dapat mengandung salmonella, shigella, virus hepatitis A, dan virus norwalk. (Leksono dan Syahrul, 2001) Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan ikan air tawar yang diminati oleh berbagai kalangan serta termasuk salah satu produk ekspor Indonesia. Proses berkembangnya bakteri pembusuk pada ikan nila menjadi salah satu faktor penyebab utama cepatnya kemunduran mutu ikan, oleh karena itu perlu dikaji penghambatan terhadap bakteri pembusuk pada ikan. (Leksono dan Syahrul, 2001) Ikan nila merupakan salah satu jenis ikan budidaya air tawar yang mempunyai prospek cukup baik untuk dikembangkan. Ikan nila banyak digemari oleh masyarakat karena dagingnya cukup tebal dan rasanya gurih, kandungan proteinnya tinggi sehingga dapat dijadikan sebagai sumber protein. Ikan nila memiliki kandungan gizi yang lebih baik bila dibandingkan dengan ikan air tawar yang lain seperti ikan lele. Kandungan protein ikan nila sebesar 43,76%; lemak 7,01%, kadar abu 6,80% per 100 gram berat ikan, sedangkan ikan lele memiliki kandungan protein 40,28%; lemak 11,28%; kadar abu 5,52 (Leksono dan Syahrul, 2001). 22 Ciri yang diamati yaitu sisik pada permukaan tubuhnya, sirip punggung yang durinya keras, dan ketebalan daging. Ikan yang sisiknya lebih besar akan lebih mudah dibersihkan sehingga mudah diamati setiap perubahan fisik yang terjadi misalnya perubahan warna kulit dan munculnya lendir ketika ikan sudah mengalami kemunduran fisik. Ikan yang mempunyai sirip punggung dengan duri yang keras mampu bertahan hidup lebih lama dari pada ikan yang tidak memiliki sirip punggung. Jika diamati berdasarkan bentuk fisiknya, ketebalan daging ikan mempengaruhi daya simpan ikan tersebut, semakin tebal daging ikan maka proses penurunan mutu ikan akan lebih lama dibandingkan ikan dengan daging yang lebih tipis, hal ini disebabkan karena lendir yang keluar pada permukaan kulit saat ikan mulai mengalami kemunduran fisik akan masuk ke daging ikan, sedangkan lendir merupakan media tumbuhnya bakteri dan menyebabkan bau busuk. Maka dari itu, ikan yang dagingnya lebih tipis akan lebih mudah busuk dibandingkan yang lebih tebal, sehingga yang digunakan sebagai sampel adalah ikan dengan daging yang lebih tipis. Ikan nila merupakan bahan pangan yang cepat mengalami kerusakan dan pembusukan (persihable food). Ikan nila mulai mengalami penurunan kualitas fisik setelah 2 jam kematian, kerusakan ini dapat terjadi secara biokimia maupun mikrobiologi, hal ini disebabkan oleh beberapa hal seperti kondisi lingkungan yang sangat sesuai untuk pertumbuhan mikroba pembusuk yang diakibatkan bakteri, khamir, maupun jamur. Untuk memperpanjang daya simpan ikan nila lebih awet, selain kadar air yang harus diturunkan maka perlu adanya suatu pengawetan pada ikan nila. (Leksono dan Syahrul, 2001) Ikan yang baik adalah ikan yang masih segar. Ikan segar adalah ikan yang masih mempunyai sifat sama seperti ikan hidup, baik rupa, bau, rasa, maupun teksturnya. (Adawyah Rabiatul, 2014) Parameter untuk menentukan kesegaran ikan terdiri atas faktor-faktor fisikawi, sensori/organoleptik/kimiawi, dan mikrobiologi. Kesegaran ikan dapat dilihat dengan metode yang sederhana dan lebih mudah dibandingkan dengan metode lainnya dengan melihat kondisi fisik yaitu sebagai berikut : 1. Keadaan Mata 23 Parameter ini merupakan yang paling mudah untuk dilihat. Perubahan kesegaran ikan akan menyebabkan perubahan yang nyata pada kecerahan matanya. Ikan segar memiliki mata tampak terang, jernih, menonjol, dan cembung. Sedangkan ikan mulai membusuk memiliki kondisi mata tampak suram, tenggelam, dan berkerut. 2. Bau Parameter ini juga merupakan paling mudah untuk membedakan ikan segar dengan ikan yang sudah membusuk. Ikan segar tidak berbau. Sedangkan ikan yang telah membusuk, memiliki bau yang cukup menyengat dari Hydrogen Sulfida didalam tubuh ikan. 3. Keadaan Daging Kualitas ikan ditentukan oleh dagingnya. Ikan yang masih segar, berdaging kenyal, jika ditekan dengan telunjuk atau ibu jari maka bekasnya akan segera kembali. Daging ikan yang belum kehilangan cairan daging kelihatan basah dan pada permukaan tubuh belum terdapat lendir yang menyebabkan kenampakan ikan menjadi suram/kusam. Setelah ikan mati, beberapa jam kemudian daging ikan menjadi kaku. Karena kerusakan pada jaringan dagingnya, maka semakin lama kesegarannya akan hilang, timbul cairan sebagai tetes-tetes air yang mengalir keluar, dan daging kehilangan kekenyalan teksturnya. (Adawyah Rabiatul, 2014) D. Bakteri 1. Pengertian Bakteri Bakteri adalah mikroorganisme bersel tunggal yang tidak terlihat oleh mata, tetapi dengan bantuan mikroskop, mikroorganisme tersebut akan nampak. Bahan – bahan makanan yang biasanya mudah tercemar bakteri antara lain meliputi kue – kue yang mengandung saus, susu, daging cincang dan daging panggang, ikan, unggas yang diperdagangkan. (Anasuryawa, 2015) Bakteri merupakan salah satu kelompok jasad renik yang sangat penting yang berhubungan dengan bahan pangan, jenis bakteri beraneka ragam, terdapat 24 secara kosmopolit yaitu secara luas di alam bebas, dan berhubungan dengan air, udara, tanah, hewan dan tumbuh - tumbuhan. (Anasuryawa, 2015) Sebagian bakteri dalam bahan pangan dapat menguntungkan, misalnya untuk kelangsungan merugikan karena proses dapat fermentasi, menyebabkan sedangkan gangguan sebagian lainnya kesehatan dapat (patogenik). (Anasuryawa, 2015) 2. Sumber Pencemar Bakteri merupakan kelompok organisme yang sangat omnivora (memakan segalanya). Mereka mampu melaksanakan proses-proses metabolisme dengan memanfatkan segala macam sumber bahan makanan, mulai substrat anorganik sampai bahan organik yang sangat kompleks. Umumnya bakteri berkembangbiak secara amitosis dengan membelah menjadi dua bagian (pembelahan biner). Waktu di antara dua pembelahan sel disebut generation time dan inti berlainan untuk tiap jenis bakteri, 3 bervariasi antara 20 menit sampai 15 jam. Bakteri dalam bahan makanan yang perlu diperhatikan adalah : a. Bakteri yang dapat menyebabkan penyakit disebut pathogen atau bakteri penyakit atau “food borne illness” ; b. Bakteri yang dapat menyebabkan pembusukan bahan makanan ; c. Bakteri yang digunakan untuk produksi makanan. (Anasuryawa, 2015) 3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Bakteri Pertumbuhan bakteri pada pangan dipengaruhi oleh berbagai faktor dan setiap bakteri membutuhkan kondisi pertumbuhan yang berbeda, oleh karena itu jenis dan jumlah bakteri yang dapat tumbuh kemudian menjadi dominan pada setiap pangan juga berbeda, tergantung dari jenis pangan tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri meliputi : a. Kandungan Gizi 25 Seperti halnya makhluk hidup lainnya, bakteri juga membutuhkan zat gizi untuk pertumbuhannya, bahan makanan yang akan menjadimsumber energi dan menyediakan unsur-unsur kimia dasar untuk pertumbuhan sel. b. Waktu Waktu antara masing-masing pembelahan sel berbeda-beda, tergantung dari spesies dan lingkungannya, tapi untuk kebanyakan bakteri berkisar antara 10 - 60 menit. Dikenal empat fase pertumbuhan, selama pertumbuhan populasi mikroorganisme atau kultur, yaitu : 1) Fase Lambat atau penyesuaian diri (Lag Phase) Fase Suatu periode awal di mana tidak terjadi pembelahan berkembangbiak, material inti bila kondisi lingkungan menguntungkan, ukuran sel, dan jumlah sistem enzim meningkat tetapi aktifitas metabolismenya sangat tinggi. Merupakan persiapan dan penyesuaian diri dengan kondisi pertumbuhan dan lingkungan yang baru. Waktu penyesuaian ini umumnya berlangsung selama 2 jam. (Anasuryawa, 2015) 2) Fase pembelahan (Log Phase) Dalam fase ini jumlah bakteri meningkat dan tumbuh dengan laju pertumbuhan yang konstan selama beberapa saat karena berkurangnya pembelahan sel atau adanya keseimbangan antara laju perbanyakan sel dengan laju kematian adanya setelah beradaptasi sel-sel ini akan tumbuh dan membelah diri secara eksponensial sampai jumlah maksimum yang dapat dibantu olehkondisi lingkungan yang dicapaipada sebagian besar bakteri fase ini berlangsung 18 - 24 jam. (Anasuryawa, 2015) 3) Fase Tetap (Stationary Phase) Pertumbuhan populasi bakteri dibatasi oleh habisnya bahan gizi yang tersedia atau penimbunan zat racun sebagai hasil akhir metabolisme, sehingga kecepatan pertumbuhan menurun, mulai ada yang mati, pembelahan terhambat pada suatu saat terjadi jumlah bakteri tetap sama. (Anasuryawa, 2015) 4) Fase Menurun (Deccline od Death Phase) 26 Fase penurunan pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa kondisi seperti menjadi habisnya persediaan nutrien esensial, akumulasi hasil metabolik asam dan pengaruh proses reservasi tertentu. Selsel yang berada dalam fase tetap akhirnya akan tidak mati bila dipindahkan ke media segar lainya. Dalam bentuk logiritmik fase menurun atau kematian merupakan penurunan secara garis besar lurus yang digambarkan oleh jumlah sel-sel yang hidup terhadap waktu. Jumlah bakteri hidup berkurang dan menurun. Kecepatan kematian berbeda-beda tergantung spesies dan lingkunganya. (Anasuryawa, 2015) c. Suhu Suhu merupakan faktor fisika yang sangat penting pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan kegiatan bakteri. Berdasarkan pada kisaran suhu pertumbuhannya, bakteri dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu : 1) Psikrofil Suhu pertumbuhan minimum -5˚C - 0˚C, pertumbuhan optimum 5˚C15˚C, suhu maksimum 15˚C- 20˚C. (Anasuryawa, 2015) 2) Mesofil Suhu pertumbuhan minimum 10˚ C - 20˚C, suhu maksimum 40˚ C-45˚ C. (Anasuryawa, 2015) 3) Termofil Suhu pertumbuhan minimum 25˚C - 45˚C, pertumbuhan optimal 45˚ C 55˚ C, suhu pertumbuhan maksimumnya 60˚C- 80˚C. (Anasuryawa, 2015) d. Nilai pH Kebanyakan mikroorganisme tumbuh pada pH netral sekitar pH 5,0-8,0. Pada pH dibawah 5,0 dan diatas 8,5 bakteri tidak dapat tumbuh dengan baik. (Anasuryawa, 2015) e. Aktivitas Air Aktivitas air (aw) menunjukkan jumlah air di dalam pangan yang dapat digunakan oleh bakteri untuk pertumbuhannya. Bakteri mempunyai kebutuhan aw yang berbeda-beda untuk pertumbuhannya. aw berperan dalam 27 metabolik dalam sel dan merupakan alat pengangkut zat-zat gizi. (Anasuryawa, 2015) f. Ketersediaan Oksigen Bakteri mempunyai kebutuhan oksigen yang berbeda-beda untukpertumbuhannya. Beberapa kelompok bakteri dapat dibedakan sabagai berikut : 1) Organisme aerobik, dimana tersedianya oksigen dan penggunaannya dibutuhkan untuk pertumbuhan ; 2) Organisme anaerobik, tidak dapat tumbuh dengan adanya oksigen ini dan bahkan oksigen ini dapat merupakan racun bagi organisme tersebut ; 3) Organisme anaerobik fakultatif, dimana oksigen akan digunakan apabila tersedianya, apabila oksigen tidak tersedia organisme akan tetap tumbuh dalam keadaan anaerobik ; 4) Organisme mikroaerofilik, yaitu mikroorganisme yang lebih dapat tumbuh pada kadar oksigen yang lebih rendah daripada kadar oksigen dalam atmosfer. (Anasuryawa, 2015) 28 E. Kerangka Teori Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan, maka dapat disusun kerangka teori sebagai berikut : Mekanisme Kerja Pengawet Upaya Pengawetan Kimia : - Formalin - Boraks Alami : Daging Biji Kepayang (Klewek) - Mengganggu Sistem Genetik - Menghambat Sintesa Dinding Sel - Penghambat Enzym - Pengikatan nutrien essensial Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri : Ikan Terawetkan - Kandungan Gizi Waktu Suhu Nilai PH Aktifitas Air Ketersediaan Oksigen Sumber : Anasuryawa (2015) dan Cahyadi Wisnu (2012) 29 BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1.Tahapan Penelitian 1. Survei Lapangan 2. Pengambilan biji kepayang 3. Pembuatan Dosis 4. Pembelian Ikan 5. Perlakuan 6. Pemeriksaaan Di tempat penelitian 3.2.Lokasi Penlitian Penelitian di lapangan dilakukan di dalam laboratorium 3.3.Perubahan Yang diamati Pada penelitian ini, dilakukan dengan prosedur sebagai berikut : 1. ikan dibuang isi perut dan insangnya ; 2. kemudian dicuci dan dilumuri daging biji kepayang ; 3. lalu ditempatkan dalam wadah terbuka ; 4. Disimpan pada suhu kamar. Variasi perlakuan merupakan kombinasi campuran daging biji kepayang sebanyak enam gr, delapan gr dan 10 gr. Kombinasi campuran daging biji kepayang dipilih sebagai perlakuan untuk mengikuti praktek yang dilakukan pengolah tradisional. Pada penelitian ini, pengamatan kesegaran ikan nilla dilakukan terhadap ikan setiap hari yaitu dengan melihat kondisi mata, bau, dan tekstur daging. Penilaian ini bisa dilakukan oleh penelitidalam menentukan kesegaran ikan sebanyak 2 orang. 3.4.Metode yang digunakan Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah Eksperimen Posttest-only control group design, dengan melakukan pengukuran atau observasi setelah sample diberikan perlakuan. R R X O O 30 Gambar diatas menunjukan bahwa terdapat dua kelompok sampel (Treatment and control group) yang dipilih secara random. Kedua kelompok tersebut sama-sama dilakukan pengukuran tetapi hanya sesudah perlakuan. Namun hanya kelompok treatment saja yang diberikan perlakuan. 3.5.Rancangan penelitian dan instrumen Penelitian Daging Biji Kepayang Pengawetan Ikan Nila VARIABEL PENGGANGGU *Kandungan Gizi *Waktu *Aktifitas Air *Ketersediaan Oksigen ** Suhu **pH Keterangan : * : Kandungan gizi, waktu, aktifitas air, ketersediaan oksigen, tidak diteliti karena merupakan keterbatasan dalam penelitian ini ** : Suhu dan pH diukur tapi tidak dianalisis 31 2.5.1 Instrumen penelitian Dalam penelitian ini, digunakan beberapa instrumen yaitu Neraca Analitik. Neraca analitik ini digunakan untuk mengukur seberapa berat daging biji kepayang yang digunakan dalam proses pengawetan ikan nila dan mengukur berapa besaran ikan nila yang diawetkan dengan daging biji kepayang. Selain neraca analitik, yang digunakan dalam proses pengawetan hingga diperoleh hasil akhir dengan rincian instrumen penelitian sebagai berikut : 1. 24 sample ikan Nila 2. Wadah penyimpanan ikan nila 3. Neraca analitik 4. Termometer ruangan 5. pH meter 6. Balpoint 3.6.Pengumpuan data 1. Data Primer Pengukuran yang dilakukan secara langsung seperti hasil pemeriksaan ikan 2. Data Sekunder Data yang dilakukan pada data yang sudah tersedia seperti jumlah produksi ikan Kota Tasikmalaya. 3.7 Analisis data Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Seperangkat komputer + printer + scanner untuk pengolahan data lapangan dan data laboratorium serta untuk pengetikan laporan. 2. Perangkat alat laboratorium untuk analisis sampel 3. Kamera digital. 32 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Analisis Univariat Analisis univariat mendeskripsikan subjek penelitian serta memberikan gambaran dari frekuensi variabel yang diteliti. a. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Berat Daging Biji Kepayang Distribusi frekuensi berdasarkan berat daging biji kepayang dapat dilihat dalam tabel 4.1 sebagai berikut : Tabel 5.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Berat Daging Biji Kepayang Statistik Frekuensi Max 10 Min 0 Mean 6 Median 7 Std. Deviasi 3.822 Berdasarkan tabel 4.1, diketahui sampel yang paling rendah adalah sebesar nol gram, untuk sampel yang paling tinggi adalah sebesar sepuluh gram, dengan rata-rata berat sampel daging biji kepayang adalah enam gram. Nilai median sebesar 7, sedangkan nilai standar deviasinya adalah 3.822. Peneliti melakukan observasi terhadap setiap ikan yang akan dibersihkan yaitu dengan memperhatikan ciri-ciri ikan segar yang tertuang dalam buku Pengolahan Dan Pengawetan Ikan, 2006 yang berisi ikan segar itu memiliki warna kulit terang dan jernih, kulit masih kuat membungkuss tubuh ikan, sisik menempel kuat pada tubuh sehigga sulit untuk dilepas, mata ikan tampak terang, jernih, menonjol dan cembung, insang berwarna merah sampai merah tua, insang tertutup oleh lendir berwarna terang dan berbau segar seperti bau ikan, tekstur daging kenyal, dan daging yang ditekan oleh jari tidak tampak bekas lekukan. Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa sampel daging biji kepayang dengan berat paling rendah adalah nol gram atau sebesar 25% dari total sampel. Sedangkan sampel dengan berat paling tinggi sebesar sepuluh gram atau 25% dari total sampel yang diteliti. 33 Sampel dengan berat minimal nol gram dan berat maksimal sepuluh gram dari total sampel sebanyak 24 merupakan murni cacahan daging biji kepayang. Dasar pengambilan berat daging biji kepayang ini adalah pendapat yang diutarakan oleh Yunika Sari, 2013 yang menyatakan bahwa untuk setiap 200 gr ikan hanya memerlukan sepuluh gram cacahan daging biji kepayang, sedangkan pengambilan dasar terendah adalah untuk kontrol dari sampel yang diteliti yaitu sebesar nol gram. Penelitian yang dilakukan oleh Yunika Sari, 2013 melakukan pengawetan ikan nila dengan memberikan perlakuan sebesar sepuluh gram, 20 gr, dan 30 gr cacahan daging biji kepayang terhadap 200 gr ikan nila. Hasil akhir yang diperoleh adalah bahwa ikan nila sebesar 200 gr yang diberikan penambahan cacahan daging biji kepayang sebesar sepuluh gram masih bisa dikonsumsi setelah mengalami pengawetan selama empat hari. Sedangkan untuk ikan dengan penambahan cacahan daging biji kepayang sebesar 20 gr dan 30 gr tidak bisa untuk dikonsumsi karena kadar HCN (Asam Sianida) didalam ikan nila melebihi nilai ambang batas. Sehingga peneliti memiliki asumsi untuk penelitan yang dilakukan adalah maksimal dengan menggunakan sepuluh gram cacahan daging biji kepayang. Penelitian yang dilakukan Yunika Sari 2013, sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Indriyati 1987 yang menyatakan bahwa 3% (b/b) cacahan daging biji kepayang telah mampu menghambat keempat bakteri pembusuk ikan yaitu Bacillus sp, Micrococcus sp, Pseudomonas sp, dan Koliform. Sedangkan 5% (b/b) cacahan daging biji kepayang sudah bersifat Bakterisidal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Indriyati 1987 dan Yunika Sari 2013, peneliti memiliki dasar dalam penentuan jumlah gram (gr) dari cacahan daging biji kepayang yang digunakan sebagai bahan dalam pengawetan ikan nila. Diperoleh hasil 3%, 4%, dan 5% (b/b) yang digunakan untuk pengawetan ikan nila atau dikonfersikan dalam bentuk Gram yaitu sebesar enam gr, delapan gr, dan sepuluh gr. 34 2. Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui adakah perbedaan antara variabel bebas dengan variabel terikat yaitu perbedaan pemberian daging biji kepayang dengan lama ikan nila terawetkan. Sebelum melakukan analisis bivariat, terlebih dahulu dilakukan penilaian terhadap kesegaran ikan dengan tabel dibawah ini : Parameter Pengula ngan Tabel 4.2 Penilaian Kesegaran Ikan PERLAKUAN 6 gr 8 gr 10 gr 0 gr 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 Hari Mata Bau Tekstur Daging 1 + + + + + + + + + + + + + + + + + + - - - - - - 2 - - - - - - + + + + + + + + + + + + - - - - - - 3 - - - - - - - - - - - - + + + + + + - - - - - - 4 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 1 + + + + + + + + + + + + + + + + + + - - - - - - 2 - - - - - - + + + + + + + + + + + + - - - - - - 3 - - - - - - - - - - - - + + + + + + - - - - - - 4 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 1 + + + + + + + + + + + + + + + + + + - - - - - - 2 - - - - - - + + + + + + + + + + + + - - - - - - 3 - - - - - - - - - - - - + + + + + + - - - - - - 4 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Keterangan : + = Menandakan kesegaran Ikan - = Menandakan ikan sudah tidak segar Perbedaan tersebut diuraikan sebagai berikut : 35 No 1 2 3 4 Tabel 4.3 Perbedaan Pemberian Daging Biji Kepayang Dalam Pengawetan Ikan Nila Berat Daging Lama N Mean Biji Kepayang Terawetkan Rank (gr) (hari) 6 2 6 9.50 8 3 6 15.50 10 4 6 21.50 0 1 6 3.50 Berdasarkan tabel 4.3 diatas, diketahui bahwa jumlah ikan nila yang diberikan perlakuan dengan penambahan enam gram, delapan gram, dan sepuluh gram daging biji kepayang sebanyak enam ekor ikan yang terdistribusi masing-masing sama. Enam ekor ikan nila atau sebesar 25% sample yang diberikan perlakuan enam gram cacahan daging biji kepayang setiap satu ekor ikan nila dapat mempertahankan kualitas kesegaran ikan nila hingga dua hari. Enam ekor ikan nila atau sebesar 25% sampel yang diberikan perlakuan delapan gram cacahan daging biji kepayang setiap satu ekor ikan nila dapat mempertahankan kualitas kesegaran ikan nila hingga tiga hari. Enam ekor ikan nila atau sebesar 25% sampel yang diberikan perlakuan sepuluh graam cacahan daging biji kepayang setiap satu ekor ikan nila dapat mempertahankan kualitas kesegaran ikan nila hingga empat hari. Jika dilihat dari Mean Rank, untuk keempat perlakuan berbeda, menunjukan hasil adanya perbedaan yang jauh berbeda. Hal ini menjadi dasar pembuktian adanya perbedaan yang signifikan terhadap terawetkannya ikan nila dengan diberikan perlakuan yang berbeda-beda. Untuk menggunakan pengambilan Uji keputusan, Kruskal-Wallis. dilakukan Dalam test penelitian ini, statistik dengan diperoleh hasil signifikansinya sebesar 0.0001 yang jauh dibawah 0.5. Hal ini menunjukan bahwa adanya perbedaan yang jelas antaara pemberian daging biji kepayang sebesar enam gram, delapan gram, dan sepuluh gram terhadap lama pengawetan ikan nila. Berdasarkan tabel 4.3 peneliti memperoleh data hasil perbedaaan pemberian daging biji kepayang dalam pengawetan ikan nila. Diketahui bahwa jumlah sampel sebanyak 24 ekor nila diberikan perlakuan penambahan daging 36 biji kepayang sebanyak enam gr, delapan gr, dan sepuluh gr, yang terdistribusi rata terhadap enam ekor ikan masing-masingnya. Jika dilihat dari Mean Rank untuk keempat perlakuan berbeda, menunjukan hasil adanya perbedaan yang jauh berbeda. Hal ini menjadi dasar pembuktian adanya perbedaan yang signifikan terhadap terawetkannya ikan nila dengan diberikan perlakuan yang berbeda-beda. Ikan nila yang diawetkan dengan ditambahkan cacahan daging biji kepayang sebesar enam gr, delapan gr, dan sepuluh gr dapat bertahan selama dua, tiga, sampai empat hari. Untuk ikan yang diberikan penambahan daging biji kepayang sebesar enam gr dapat bertahan lama selama dua hari dalam suhu ruang. Untuk ikan yang diberikan penambahan cacahan daging biji kepayang sebesar delapan gr dapat bertahan selama tiga hari dalam suhu ruang. Sedangkan untuk ikan yang ditambahkan cacahan daging biji kepayang sebesar 10 gr dapat bertahan selama empat hari dalam suhu ruang. Semua sampel ikan tidak diberikan perlakuan lain selain hanya ditambahkan cacahan daging kepayang saja untuk dilihat berapa lama bisa mempertahankan mutu kesegaran ikan setelah dibersihkan sisik dan dibersihkan isi perutnya. Proses pembusukan ikan diawali dengan tahap Hyperaemia, yaitu terlepasnya lendir dari kelenjar didalam kulit, membentuk lapisan bening yang tebal disekeliling tubuh ikan. Tahap selanjutnya adalah Rigor Mortis, yaitu mengejangnya tubuh ikan setelah mati atau bisa juga dikatakan keadaan kaku setelah mati yang disebabkan karena otot-otot yang berkontraksi akibat reaksi kimia yang dipengaruhi oleh enzim. Tahap berikutnya adalah Autolysis, yaitu melemasnya kembali tubuh ikan setelah mengalami Rigor. Daging menjadi lembek karena kegiatan enzim meningkat. Sedangkan tahap terakhir dari proses pembusukan ikan adalah tahap Bacterial Decomposition, yaitu tahap dimana bakteri telah terdapat dalam jumlah yang banyak. Telah diketahui bahwa pembusukan ikan terutama disebabkan oleh enzim dan bakteri. Oleh karena itu, untuk mencegah pembusukan, akan sangat efektif bila kedua penyebab utama itu dihindari dari ikan, dibunuh, dan dicegah kedatangan penyebab lain yang berasal dari luar. Bakteri terdapat pada bagian kulit dan terutama sekali pada insang dan isi perutnya. Sedangkan enzim pada daging dan sebagian besar pada perutnya. Jika setelah ditangkap dibuang isi perut dan insangnya, serta kemudian dicuci 37 bersih, dihilangkan lendirnya maka berarti sebagian besar bakteri dan enzim telah dibuang. Dalam upaya membunuh sisa-sisa bakteri dan enzim atau sekurangnya menghambat kegiatannya, maka dilakukan upaya penggunaan zat antibakteri yaitu dengan penambahan daging biji kepayang sebagai media alami yang bisa dimanfaatkan dalam proses penghambatan bahkan membunuh sisasisa bakteri yang terdapat dalam tubuh ikan nila. Penelitian yang dilakukan Yunika Sari, 2013 ikan nila yang telah diberikan tambahan bahan pengawet berupa cacahan daging biji kepayang bisa mempertahankan mutu kesegaran ikan hingga empat sampai tujuh hari. Sedangkan hal yang sama dilakukan oleh peneliti ikan yang diberikan penambahan sekitar 10 gr cacahan daging biji kepayang yang layak untuk dikonsumsi hanya empat hari. 38 DAFTAR PUSTAKA Adawyah Rabiatul. 2014. Pengolahan Dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara Andriani, M. Dan B. Wirjadmadi. 2012. Pengantar Gizi Masyarakat. Jakarta. Kencana. Davidson, P.M.(1997). Chemical Preservatives and Natural Antimicrobila Compounds. In Food Microbiology. Fundamentals and Frontier, Ed. M.P. Doyle, L.R. Beuchat and T.J. Montville, Pp.520-556. Anwar, E. 1992. Isolasi Antioksidan dari Biji Picung(Pangium edule Reinw) Terfermentasi. SkripsiJurusan Teknologi Pangan dan Gizi, FakultasTeknologi Pertanian, IPB, Bogor. 67 pp AOAC. 1999. Official Methods of Analysis. 13rded. Association Analytical Chemists. WashingtonDC. 311 pp of Official Baixas-Nogueras. S., S.Bover-Cid, M.T. Veciana-Nogues, A. Marine-Font, and M.C. Vidal-caraou. 2005. Biogenic Amine Index For Freshness Evaluation in Iced Mediterranean Hake (Merluccius merluccius). J Food Prot. 68:24332438. BPOM Lampung. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Bradbury, MG., Egan, S.V. and Lynch, M.J.1999. Analysisof cyanide in Cassava using acid hydrolysis of cyanogenic glucosides. J. Food Sci Agric. 55: 277– 290 Cahyadi Wisnu. 2012. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Hal 7-11. Jakarta: Bumi Aksara. Crews, P., Rodriguez, J. And Jaspars, M 1998, Organic structure Analysis. University Of California, Santa Cruz. Oxford University Press Egan, S. V., H.H. Yeoh, and J. H. Bradburry. 1998. Simple Picrate Paper Kit fior Determination of the Sianogenic Potensial of Cassava Flour,J. Sci Food Agric., 75, 258-262. Ellin, M.D. 2007. Microbial Food Spoilage: Losses and Control Strategies. FRI BRIEFINGS. 1-16. Gram, L and P. Dalgaard. 2002. Fish Spoilage Bacteria Problems and Solutions. Curr Opin Biotechnol. 13:262-266 Habib saleh. Picung, Pengawet Alami Ikan Segar. http://www,suaramerdeka.com/cybernews. 7 Februari 2006. (diakses 20 September 2016) Heruwati, ES., Pengawetan Ikan Segar Menggunakan biji picung, Jurnal Bioteknologi kelatan dan perikanan Vol 2 No 1 Tagun 2007 Hozbor, M.C., A.L. Saiz, M.I. Yeannes, and R. Fritz. 2006. Microbiological Changes and Its Correlation With Quality Indices During Aerobic Iced 39 Storage of Sea Salmon (Psedopercis Semifasciata). Lwt-Food Sci Technol. 39:99-104. Koorders, S. H. & TH. Valeton. Bijragen tit de kennis der Boomsorten op Java, jilid I-XIII (1894-1914). Dikutip sebagai: K & V. (Teysmannia, 1896 halaman 505 Koswara Sutrisno. 2009. Pengawet Alami Untuk Produk Dan Bahan Pangan. eBookPangan.com Kristikasari, E. 2000. Mempelajari Sifat Antimikroba BijiPicung (Pangium edule Reinw) Segar danTerfermentasi terhadap Bakteri Patogen dan PerusakMakanan. Skripsi Jurusan Teknologi Pangan danGizi, Fak Teknologi Pertanian, IPB. 57 pp. Mahandri, C., Kajian Awal Biji Buah Kepayang sebagai Bahan Baku Minyak Nabati Kasar, Seminar Nasional UGM 2011 Mora, E., Isolasi senyawa daun kepayang dan uji aktivitas anti bakteri, Farmasais Vol 2 No 3 April 2014 Nuraida, L., Andarwulan, N. dan Kristikasari, E. 2000.Antimicrobial activity of fresh and fermented picung(Pangium eduleReinw) seed againts pathogenic andfood spoilage bacteria. J. Food Technology and Industry. 4(2): 18–26 Sembel Dantje T. 2015. Toksikologi Lingkungan. Hal 221. Yogyakarta: CV.Andi Offset. 40 REALISASI ANGGARAN 70% No 1 2 3 4 5 6 Waktu 3 Juli 2017 3 Juli 2017 3 Juli 2017 3 Juli 2017 3 Juli 2017 4 Juli 2017 7 5 Juli 2017 8 7 Juli 2017 9 8 Juli 2017 10 12 Juli 2017 Item Belanja SPPD Pembelian Ikan SPPD Pembelian Ikan Pembelian Ikan Pembelian Biji Kepayang Pembelian Pulsa Sewa tempat Penelitian Sirung Singaparna Pembelian Flas dish, kertas HVS dan tinta Printer SPPD pemebelian benda habis pakai Pembayaran Honor Enumerator 2 Peneliti tahap 1 Pembayaran Honor Enumerator 2 Peneliti tahap 2 JUMLAH No Bukti PPM/2017/01 PPM/2017/02 PPM/2017/03 PPM/2017/04 PPM/2017/05 PPM/2017/06 Biaya 430.000 430.000 1.000.000 200.000 204.000 1.000.000 PPM/2017/07 550.000 PPM/2017/08 155.000 PPM/2017/09 1.165.500 PPM/2017/10 1.165.500 Rp.6.300.000 41 Lampiran 2 Dokumentasi Penelitian 42 Penimbangan Daging Biji Kepayang Pengambilan Sampel Ikan Penimbangan Berat Ikan Eksperimen Hari Pertama 43 Eksperimen Hari Kedua Eksperimen Hari Ketiga Kontrol Setelah 1 hari Sudah Tidak Segar Eksperimen Hari Keempat Ikan Dengan 6 gr Tahan 2 Hari Ikan Dengan 8 Gr Tahan 3 Hari 44 Ikan Dengan 10 Gr Tahan 4 Hari LAMPIRAN 2 SUSUNAN ORGANISASI TIM PENELITI DAN PEMBAGIAN TUGAS 1. Susunan Organisasi Tim Peneliti Ketua Peneliti : Anto Purwanto, MKes Anggota Peneliti : Yuldan faturahman MKes 2. Pembagian Tugas Nama / Instansi NIDN Asal Bidang Ilmu Alokasi Uraian Tugas Waktu 45 (J/Mg) Ketua Tim Yuldan faturahman Mkes UNSIL • Kesehatan 5 1. Melakukan koordinasi pekerjaan, target, dan Kerja tujuan kegiatan.. 2. Koordinator tim survei 3. Monitoring jalannya penelitian • Anto Purwanto UNSIL MKes Anggota Kesehatan Lingkung an 5 1. Melakukan observasi Lapangan 2. Membantu melakukan pencatatan kegiatan hasil penelitian. 3. Membantu melakukan analisa data pengukuran. 4. Pengolahan data hasil survey Lampiran 3. Biodata Peneliti A. Identitas Diri Ketua 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Nama Lengkap Jenis Kelamin Jabatan Fungsional NIK NIDN Tempat dan Tanggal Lahir Email Nomor Hp Alamat Kantor Lulusan yang telah dihasilkan Yuldan Faturahman SKM.,Mkes L Lektor 411205240 04-1306-8102 Tasikmalaya, 13 Juni 1981 [email protected] 082121200420 Jl. Siliwangi Nomor 24 Tasikmalaya 46115 S1 = 30 orang 46 11 Mata Kuliah yang Diampu 1. Dasar Kesehatan dan Keselamatan Kerja 2. Program K3 3. Penyakit Akibat Kerja A. Riwayat Pendidikan S1 Nama Perguruan Universitas Siliwangi Tinggi Tasikmalaya Bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat/Kesling Tahun Masuk-Lulus 2000-2004 Judul Perbedaan Kualitas Air Skripsi/Disertasi Sebelum dan Sesudah Pada PDAM Tirta Sukapura Terhadap Ecoli Nama Pembimbing Dr. Onny Setiani Phs Andik Setiyono.,SKM.,Mkes S2 Universitas Diponegoro Kesehatan Masyarakat/Kesling 2009-2012 Hubungan Antara Perilaku Pengelolaan Pestisida Dengan Kejadian Abortus Spontan Pada Petani Wanita Di Desa Cibeureum Kecamatan Sukamantri Kabupaten Ciamis DR.dr.Suhartono, Mkes Budiyono.,SKM.,Mkes B. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir (Bukan Skripsi, Tesis, maupun Disertasi) Pendanaan No. Tahun 1 2009 Judul Penelitian Efektivitas berbagai dosis MBiO dalam menurunkan kadar Crom 209 Sumber* Jml (Juta Rp) Universitas 1,5 C. Pengalaman Melaksanakan Pengabdian Masyarakat No Tahun Judul Pengabdian Kepada Masyarakat Pendanaan Sumber* 1 2010 Sosialisasi penggunaan Mbio di Sukaregang garut Dikti 2 2010 Sosialisasi penggunaan air yang bersih Mandiri Jumlah 2,5 47 3 2013 Revitalisasi perankader di masyarakat terhadap kesehatanlingkungan Universitas 4 2015 Pembentukan kader siaga kesehatan Universitas 5 2015 Pemberdayaan masyarakat pada masyarakat yang mengalami TBC Universitas 6 2015 Pelatihan pada pekerja labolatorium kesehatan daerah Universitas 7 2014 Pelatihan penggunaan APD pada pedagang di sekitar UNSIL Universitas 8 2016 Pelatihan kepada masyarakat penambang emas dalam memperlakukan zat kimiawi Internal 2,5 10,250,000 E. Pengalaman Penulisan Artikel Ilmiah di Jurnal No. 1 Judul Artikel Ilmiah Efektivitas berbagai dosis MBiO dalam menurunkan kadar Crom 209 Vol. Tahun Nama Jurnal Vol.5 No.2 Januari 209 ISSN: 16939654-8453 Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima risikonya. Tasikmalaya, 1 Februari 2017 KetuaPeneliti, Yuldan Faturahman, SKM MKes NIDN.0413068102 48 B. Identitas Anggota Peneliti 1 Nama : Anto Purwanto, SKM., Mkes 2 Jenis Kelamin : Laki-laki 3 Jabatan Fungsional Akademik : Lektor 4 NIP/NIK : 198202102015041001 5 NIDN : 0410028201 6 Tempat dan Tanggal Lahir : Tasikmalaya, 10-02-1982 7 Alamat e-mail : [email protected] 8 Nomor Telepon/HP : 085 315 205 269 9 Alamat Kantor Jl. Siliwangi No 24. Kota tasikmalaya 10 No Telepon/Faks 0265-323537/ 0265-323537 11 Lulusan yang Telah Dihasilkan : 12 Mata Kuliah yang Telah DI ampu : 1. 2. 3. 4. Lulisan yang dihasilkan Tahun Lulus Perempuan Dasar Kesehatan Lingkungan Epid berbasis Lingkungan Surveilans Kesmasy Kewirausahaan S1= 30 S1 S2 Universitas Siliwangi Universitas Diponegoro Semarang Kesehatan Masyarakat Kesehatan Lingkungan Kesehatan Masyarakat Kesehatan Lingkungan Tahun Masuk-Lulus 2000-2004 2009-2011 Judul Skripsi/Tesis Hubungan usia peralatan dengan kandungan kadar Coliform pada DAMIU di Tasikmalaya Nama Pembimbing Dr. Ony Setiyani., PhD Nama Perguruan Tinggi Bidang Ilmu Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Filariasis di Kabupaten Tasikmalaya DR. Dr. Suhartono MKes 49 A. Pengalaman Penelitian dalam 5 tahun terakhir Pendanaan No 1 2 Tahun 2011 2012 Judul Penelitian Sumber Dana Jml (juta Rp) Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Penyakit TB Di Wilayah UPT Puskesmas Majenang Tahun 2009 Internal 1.500.000 Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Rumah Yang Berhubungan Dengan Kejadian Kusta Di Kabupaten Cilacap Internal 1.500.000 Internal 1.500.000 3 2012 Pengaruh Perilaku Pencegahan Trhadap Kejadian Filariasis Di Kabupaten Tasikmalaya 4 2015 Identifikasi air sungai terhadap kandungan mercuri di Cineam Intermal 10,250,000 5 2016 Identifikasi air sumur gali terhadap kandungan mercuri di Cineam Intermal 10,000,000 B. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 tahun terakhir Pendanaan No Tahun Pelatihan Sumber Jml (Juta Rp) 2013 Sosialisasi efek rumah sakit terhadap warga sekitar lingkungan pembangunan rumah sakit Konsultan 10.000.000 2014 Sosialisasi lingkungan sehat dalam pemberdayaan sumber daya alam berupa danau Konsultan 10.000.000 1 2 50 3 2014 Revitalisasi Posyandu Dalam Dalam Upaya Meningkatkan Kemitraan Dan Pemberdayaan Masyarakatrefreshing Kader Di Puskesmas Cigeureung Internal 5.000.000 2016 Pelatihan kepada masyarakat penambang emas dalam memperlakukan zat kimiawi Internal 10,250,000 4 C. Publikasi Karya Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 tahun terakhir No Nama Jurnal Volume Nomor/ tahun Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Penyakit TB Di Wilayah UPT Puskesmas Majenang Tahun 2009 Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol 7, No 2, September 2011 2 Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Rumah Yang Berhubungan Dengan Kejadian Kusta Di Kabupaten Cilacap Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol 8, No 1, Maret 2012 3 Pengaruh Perilaku Pencegahan Trhadap Kejadian Filariasis Di Kabupaten Tasikmalaya Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia 1 Judul Artikel Ilmiah Vol 8, No 2, September 2012 D. Organisasi Profesi/Ilmiah Tahun Organisasi Jabatan 2012 Ikatan Akhli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Anggota 2013 Forum Kota Sehat Kota Tasikmalaya Anggota Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila dikemudian hari ternyata dijumpai ketidak-sesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi.Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengabdian pada masyarakat Tahun 2017 Tasikmalaya, 1 Februari 2017 51 Anto Purwanto, SKM Mkes NIP. 198202102015041001 52 53