PEMANFAATAN DAGING BIJI KEPAYANG - Simpemaus

advertisement
PEMANFAATAN DAGING BIJI KEPAYANG (PANGIUM EDULE
REINW) UNTUK PENGAWETAN IKAN
Anto Purwanto, S.KM., M.Kes, Yuldan Faturahman Mkes
[email protected]
[email protected]
ABSTRAK
Pengawet adalah salah satu bahan tambahan yang dimasukan dalam makanan
dengan tujuan untuk mengurangi atau mencegah pertumbuhan dan aktivitas
pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri, kapang, kamir dan fungi. Dalam
upaya untuk mengawetkan makanan, maka orang-orang mulai menambahkan
garam terutama untuk ikan dan proses pengasapan yang sampai saat ini masih
tetap dilakukan. Dengan berkembangnya waktu, maka berkembanglah metodemetode pengawetan yang lain, seperti penambahan rempah-rempah yang selain
untuk mengawetkan tetapi juga mencegah terjadinya perubahan bau yang tidak
sedap bagi manusia. Bahan pengawet juga tergolong bahan yang berbahaya dan
tergolong bahan tambahan terlarang dalam makanan. Bahan pengawet adalah
bahan-bahan yang seharusnya tidak dikonsumsi oleh manusia baik dalam jumlah
kecil maupun besar. Bahan kimia yang terlarang dikenal dan sering dipakai
masyarakat industri kecil pada umumnya formalin, borax dan perwarna tekstel
rodamin B. Oleh Karena itu harus ada solusi untuk menggantikan pengawet
tersebut yaitu Salah satu contohnya adalah penggunaanbiji kepayang (Pangium
edule rienw) yang dapat diracik menjadi cacahan yang fungsinya sama dengan
bahan pengawet lain (kimia) terutama dalam penggunaan dalam proses
pengawetan ikan dan daging. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
berapa dosis yang di butuhkan untuk membuat ikan dapat bertahan lama denan
metode eksperimen murni dengan jumlah sampel penelitian sebanyak 25 ikan 500
gram,
Keyword : Ikan, Biji Kepayang,Pengawetan
PENDAHULUAN
Bahan makanan merupakan media pertumbuhan mikroba, suatu mahluk
kecil yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop. Usaha peningkatan mutu
kesehatan terhadap masyarakat yang sedang digalakkan pemerintah tidak
selamanya dapat berjalan sesuai harapan. Salah satu kandungan bahan makanan
yang perlu dicermati adalah penggunaan bahan tambahan contohnya bahan
pengawet. Bahan pengawet adalah bahan-bahan yang seharusnya tidak
dikonsumsi oleh manusia baik dalam jumlah kecil maupun besar. Bahan kimia
yang terlarang dikenal dan sering dipakai masyarakat industri kecil pada
umumnya formalin, borax dan perwarna tekstel rodamin B. (Habieb saleh, 2006).
Penelitian Badan Pengawas Obat dan Makanan Indonesia (2010),
penggunaan formalin pada ikan dan hasil laut menempati peringkat teratas.
Mengingat akan bahaya penggunaan formalin tersebut diatas maka perlu usaha
1
untuk menemukan bahan pengawet dari bahan yang alami. Bahan pengawet alami
yang telah ditemukan diantaranya adalah kitosan dan asap cair. Akan tetapi
dewasa ini kedua jenis pengawet tersebut harganya relatif mahal sehingga perlu
usaha untuk menemukan bahan pengawet alami lain yang lebih murah dan mudah
pengaplikasiannya. Bahan pengawet ini dapat menggunakan bahan yang lebih
alami namun tidak menimbulkan efek yang merusak bagi kesehatan.Salah satu
contoh tumbuhan yang sering digunakan oleh masyarakat pedesaan dalam
pengawetan ikan adalah dengan menggunakan biji kepayang (Pangium edule
rienw) yang dapat diracik menjadi cacahan yang fungsinya sama dengan bahan
pengawet lain (kimia) terutama dalam penggunaan dalam proses pengawetan ikan
dan daging.
Penelitian yang dilakukan oleh Yunika Sari, 2013 melakukan pengawetan
ikan nila dengan memberikan perlakuan sebesar sepuluh gram, 20 gr, dan 30 gr
cacahan daging biji kepayang terhadap 200 gr ikan nila. Hasil akhir yang
diperoleh adalah bahwa ikan nila sebesar 200 gr yang diberikan penambahan
cacahan daging biji kepayang sebesar sepuluh gram masih bisa dikonsumsi
setelah mengalami pengawetan selama empat hari. Sedangkan untuk ikan dengan
penambahan cacahan daging biji kepayang sebesar 20 gr dan 30 gr tidak bisa
untuk dikonsumsi karena kadar HCN (Asam Sianida) didalam ikan nila melebihi
nilai ambang batas. Sehingga peneliti memiliki asumsi untuk penelitan yang
dilakukan adalah maksimal dengan menggunakan sepuluh gram cacahan daging
biji kepayang.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Indriyati 1987 dan Yunika Sari
2013, peneliti memiliki dasar dalam penentuan jumlah gram (gr) dari cacahan
daging biji kepayang yang digunakan sebagai bahan dalam pengawetan ikan nila.
Diperoleh hasil 3%, 4%, dan 5% (b/b) yang digunakan untuk pengawetan ikan
nila atau dikonfersikan dalam bentuk Gram yaitu sebesar 6 gr, 8 gr, dan 10 gr.
Ikan yang telah dibersihkan sisik dan diambil insangnya tidak bertahan lama
tanpa di berikan perlakuan khusus dalam upaya pengawetan. Dengan mengambil
batas maksimal yang masih bisa dikonsumsi dari hasil penelitian Yunika sari
(2013). Kondisi tersebut bissa memanfaatkan manfaat biji kepayang supaya bisa
menjadi pengawet alami alternatif untuk menggantikan pengawet kimiawi.
METODE PENELITIAN
Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah Eksperimen
Posttest-only control group design, dengan melakukan pengukuran atau observasi
setelah sample diberikan perlakuan.
R
R
X
O
O
Gambar diatas menunjukan bahwa terdapat dua kelompok sampel
(Treatment and control group) yang dipilih secara random. Kedua kelompok
tersebut sama-sama dilakukan pengukuran tetapi hanya sesudah perlakuan.
Namun hanya kelompok treatment saja yang diberikan perlakuan.
2
3.1.Rancangan penelitian dan instrumen Penelitian
Daging Biji Kepayang
Pengawetan Ikan Nila
VARIABEL PENGGANGGU
*Kandungan Gizi
*Waktu
*Aktifitas Air
*Ketersediaan Oksigen
** Suhu
**pH
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.
Analisis Univariat
Analisis univariat mendeskripsikan subjek penelitian serta memberikan
gambaran dari frekuensi variabel yang diteliti.
a. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Berat Daging Biji Kepayang
Distribusi frekuensi berdasarkan berat daging biji kepayang dapat
dilihat dalam tabel 4.1 sebagai berikut :
Tabel 5.1
Distribusi Sampel Berdasarkan Berat Daging Biji Kepayang
Statistik
Frekuensi
Max
10
Min
0
Mean
6
Median
7
Std. Deviasi
3.822
Berdasarkan tabel 4.1, diketahui sampel yang paling rendah adalah
sebesar nol gram, untuk sampel yang paling tinggi adalah sebesar sepuluh
gram, dengan rata-rata berat sampel daging biji kepayang adalah enam
gram. Nilai median sebesar 7, sedangkan nilai standar deviasinya adalah
3.822.
Peneliti melakukan observasi terhadap setiap ikan yang akan dibersihkan
yaitu dengan memperhatikan ciri-ciri ikan segar yang tertuang dalam buku
3
Pengolahan Dan Pengawetan Ikan, 2006 yang berisi ikan segar itu memiliki
warna kulit terang dan jernih, kulit masih kuat membungkuss tubuh ikan, sisik
menempel kuat pada tubuh sehigga sulit untuk dilepas, mata ikan tampak terang,
jernih, menonjol dan cembung, insang berwarna merah sampai merah tua, insang
tertutup oleh lendir berwarna terang dan berbau segar seperti bau ikan, tekstur
daging kenyal, dan daging yang ditekan oleh jari tidak tampak bekas lekukan.
Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa sampel daging biji kepayang
dengan berat paling rendah adalah nol gram atau sebesar 25% dari total sampel.
Sedangkan sampel dengan berat paling tinggi sebesar sepuluh gram atau 25% dari
total sampel yang diteliti.
Sampel dengan berat minimal nol gram dan berat maksimal sepuluh gram
dari total sampel sebanyak 24 merupakan murni cacahan daging biji kepayang.
Dasar pengambilan berat daging biji kepayang ini adalah pendapat yang
diutarakan oleh Yunika Sari, 2013 yang menyatakan bahwa untuk setiap 200 gr
ikan hanya memerlukan sepuluh gram cacahan daging biji kepayang, sedangkan
pengambilan dasar terendah adalah untuk kontrol dari sampel yang diteliti yaitu
sebesar nol gram.
Penelitian yang dilakukan oleh Yunika Sari, 2013 melakukan pengawetan
ikan nila dengan memberikan perlakuan sebesar sepuluh gram, 20 gr, dan 30 gr
cacahan daging biji kepayang terhadap 200 gr ikan nila. Hasil akhir yang
diperoleh adalah bahwa ikan nila sebesar 200 gr yang diberikan penambahan
cacahan daging biji kepayang sebesar sepuluh gram masih bisa dikonsumsi
setelah mengalami pengawetan selama empat hari. Sedangkan untuk ikan dengan
penambahan cacahan daging biji kepayang sebesar 20 gr dan 30 gr tidak bisa
untuk dikonsumsi karena kadar HCN (Asam Sianida) didalam ikan nila melebihi
nilai ambang batas. Sehingga peneliti memiliki asumsi untuk penelitan yang
dilakukan adalah maksimal dengan menggunakan sepuluh gram cacahan daging
biji kepayang.
Penelitian yang dilakukan Yunika Sari 2013, sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Indriyati 1987 yang menyatakan bahwa 3% (b/b) cacahan
daging biji kepayang telah mampu menghambat keempat bakteri pembusuk ikan
yaitu Bacillus sp, Micrococcus sp, Pseudomonas sp, dan Koliform. Sedangkan 5%
(b/b) cacahan daging biji kepayang sudah bersifat Bakterisidal.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Indriyati 1987 dan Yunika Sari 2013,
peneliti memiliki dasar dalam penentuan jumlah gram (gr) dari cacahan daging
biji kepayang yang digunakan sebagai bahan dalam pengawetan ikan nila.
Diperoleh hasil 3%, 4%, dan 5% (b/b) yang digunakan untuk pengawetan ikan
nila atau dikonfersikan dalam bentuk Gram yaitu sebesar enam gr, delapan gr, dan
sepuluh gr.
4
2.
Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui adakah perbedaan antara
variabel bebas dengan variabel terikat yaitu perbedaan pemberian daging biji
kepayang dengan lama ikan nila terawetkan.
Sebelum melakukan analisis bivariat, terlebih dahulu dilakukan penilaian
terhadap kesegaran ikan dengan tabel dibawah ini :
Tabel 4.2
Penilaian Kesegaran Ikan
Para Pengul
PERLAKUAN
mangan
6 gr
8 gr
10 gr
0 gr
eter
1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
Hari
1
Mata
Bau
Tekst
ur
Dagin
g
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + - - - - - -
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
+
+
-
+
+
-
+
+
-
+
+
-
+
+
-
+
+
-
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
-
-
-
Keterangan :
+ = Menandakan kesegaran Ikan
- = Menandakan ikan sudah tidak segar
Perbedaan tersebut diuraikan sebagai berikut :
No
1
2
3
4
Tabel 4.3
Perbedaan Pemberian Daging Biji Kepayang
Dalam Pengawetan Ikan Nila
Berat Daging
Lama
N
Mean
Biji Kepayang Terawetkan
Rank
(gr)
(hari)
6
2
6
9.50
8
3
6
15.50
10
4
6
21.50
0
1
6
3.50
Berdasarkan tabel 4.3 diatas, diketahui bahwa jumlah ikan nila yang
diberikan perlakuan dengan penambahan enam gram, delapan gram, dan sepuluh
5
-
gram daging biji kepayang sebanyak enam ekor ikan yang terdistribusi masingmasing sama.
Enam ekor ikan nila atau sebesar 25% sample yang diberikan perlakuan
enam gram cacahan daging biji kepayang setiap satu ekor ikan nila dapat
mempertahankan kualitas kesegaran ikan nila hingga dua hari. Enam ekor ikan
nila atau sebesar 25% sampel yang diberikan perlakuan delapan gram cacahan
daging biji kepayang setiap satu ekor ikan nila dapat mempertahankan kualitas
kesegaran ikan nila hingga tiga hari. Enam ekor ikan nila atau sebesar 25%
sampel yang diberikan perlakuan sepuluh graam cacahan daging biji kepayang
setiap satu ekor ikan nila dapat mempertahankan kualitas kesegaran ikan nila
hingga empat hari.
Jika dilihat dari Mean Rank, untuk keempat perlakuan berbeda, menunjukan
hasil adanya perbedaan yang jauh berbeda. Hal ini menjadi dasar pembuktian
adanya perbedaan yang signifikan terhadap terawetkannya ikan nila dengan
diberikan perlakuan yang berbeda-beda.
Untuk pengambilan keputusan, dilakukan test statistik dengan menggunakan
Uji Kruskal-Wallis. Dalam penelitian ini, diperoleh hasil signifikansinya sebesar
0.0001 yang jauh dibawah 0.5. Hal ini menunjukan bahwa adanya perbedaan yang
jelas antaara pemberian daging biji kepayang sebesar enam gram, delapan gram,
dan sepuluh gram terhadap lama pengawetan ikan nila.
Berdasarkan tabel 4.3 peneliti memperoleh data hasil perbedaaan
pemberian daging biji kepayang dalam pengawetan ikan nila. Diketahui bahwa
jumlah sampel sebanyak 24 ekor nila diberikan perlakuan penambahan daging biji
kepayang sebanyak enam gr, delapan gr, dan sepuluh gr, yang terdistribusi rata
terhadap enam ekor ikan masing-masingnya.
Jika dilihat dari Mean Rank untuk keempat perlakuan berbeda,
menunjukan hasil adanya perbedaan yang jauh berbeda. Hal ini menjadi dasar
pembuktian adanya perbedaan yang signifikan terhadap terawetkannya ikan nila
dengan diberikan perlakuan yang berbeda-beda.
Ikan nila yang diawetkan dengan ditambahkan cacahan daging biji
kepayang sebesar enam gr, delapan gr, dan sepuluh gr dapat bertahan selama dua,
tiga, sampai empat hari. Untuk ikan yang diberikan penambahan daging biji
kepayang sebesar enam gr dapat bertahan lama selama dua hari dalam suhu ruang.
Untuk ikan yang diberikan penambahan cacahan daging biji kepayang sebesar
delapan gr dapat bertahan selama tiga hari dalam suhu ruang. Sedangkan untuk
ikan yang ditambahkan cacahan daging biji kepayang sebesar 10 gr dapat bertahan
selama empat hari dalam suhu ruang. Semua sampel ikan tidak diberikan
perlakuan lain selain hanya ditambahkan cacahan daging kepayang saja untuk
dilihat berapa lama bisa mempertahankan mutu kesegaran ikan setelah
dibersihkan sisik dan dibersihkan isi perutnya.
Proses pembusukan ikan diawali dengan tahap Hyperaemia, yaitu
terlepasnya lendir dari kelenjar didalam kulit, membentuk lapisan bening yang
tebal disekeliling tubuh ikan. Tahap selanjutnya adalah Rigor Mortis, yaitu
mengejangnya tubuh ikan setelah mati atau bisa juga dikatakan keadaan kaku
setelah mati yang disebabkan karena otot-otot yang berkontraksi akibat reaksi
kimia yang dipengaruhi oleh enzim. Tahap berikutnya adalah Autolysis, yaitu
6
melemasnya kembali tubuh ikan setelah mengalami Rigor. Daging menjadi
lembek karena kegiatan enzim meningkat. Sedangkan tahap terakhir dari proses
pembusukan ikan adalah tahap Bacterial Decomposition, yaitu tahap dimana
bakteri telah terdapat dalam jumlah yang banyak.
Telah diketahui bahwa pembusukan ikan terutama disebabkan oleh enzim
dan bakteri. Oleh karena itu, untuk mencegah pembusukan, akan sangat efektif
bila kedua penyebab utama itu dihindari dari ikan, dibunuh, dan dicegah
kedatangan penyebab lain yang berasal dari luar.
Bakteri terdapat pada bagian kulit dan terutama sekali pada insang dan isi
perutnya. Sedangkan enzim pada daging dan sebagian besar pada perutnya. Jika
setelah ditangkap dibuang isi perut dan insangnya, serta kemudian dicuci bersih,
dihilangkan lendirnya maka berarti sebagian besar bakteri dan enzim telah
dibuang. Dalam upaya membunuh sisa-sisa bakteri dan enzim atau sekurangnya
menghambat kegiatannya, maka dilakukan upaya penggunaan zat antibakteri yaitu
dengan penambahan daging biji kepayang sebagai media alami yang bisa
dimanfaatkan dalam proses penghambatan bahkan membunuh sisa-sisa bakteri
yang terdapat dalam tubuh ikan nila.
Penelitian yang dilakukan Yunika Sari, 2013 ikan nila yang telah diberikan
tambahan bahan pengawet berupa cacahan daging biji kepayang bisa
mempertahankan mutu kesegaran ikan hingga empat sampai tujuh hari.
Sedangkan hal yang sama dilakukan oleh peneliti ikan yang diberikan
penambahan sekitar 10 gr cacahan daging biji kepayang yang layak untuk
dikonsumsi hanya empat hari.
DAFTAR PUSTAKA
Adawyah Rabiatul. 2014. Pengolahan Dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi
Aksara
Andriani, M. Dan B. Wirjadmadi. 2012. Pengantar Gizi Masyarakat. Jakarta.
Kencana. Davidson, P.M.(1997). Chemical Preservatives and Natural
Antimicrobila Compounds. In Food Microbiology. Fundamentals and
Frontier, Ed. M.P. Doyle, L.R. Beuchat and T.J. Montville, Pp.520-556.
Anwar, E. 1992. Isolasi Antioksidan dari Biji Picung (Pangium edule Reinw)
Terfermentasi. Skripsi Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas
Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. 67 pp
AOAC. 1999. Official Methods of Analysis. 13 rded. Association of Official
Analytical Chemists. Washington DC. 311 pp
Baixas-Nogueras. S., S.Bover-Cid, M.T. Veciana-Nogues, A. Marine-Font, and
M.C. Vidal-caraou. 2005. Biogenic Amine Index For Freshness Evaluation in
Iced Mediterranean Hake (Merluccius merluccius). J Food Prot. 68:24332438.
BPOM Lampung. 2006. Bahan Tambahan Pangan.
Bradbury, MG., Egan, S.V. and Lynch, M.J.1999. Analysis of cyanide in
Cassava using acid hydrolysis of cyanogenic glucosides. J. Food Sci Agric.
55: 277–290
Cahyadi Wisnu. 2012. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan.
Hal 7-11. Jakarta: Bumi Aksara.
7
Crews, P., Rodriguez, J. And Jaspars, M 1998, Organic structure Analysis.
University Of California, Santa Cruz. Oxford University Press
Egan, S. V., H.H. Yeoh, and J. H. Bradburry. 1998. Simple Picrate Paper Kit fior
Determination of the Sianogenic Potensial of Cassava Flour,J. Sci Food
Agric., 75, 258-262.
Ellin, M.D. 2007. Microbial Food Spoilage: Losses and Control Strategies. FRI
BRIEFINGS. 1-16.
Gram, L and P. Dalgaard. 2002. Fish Spoilage Bacteria Problems and Solutions.
Curr Opin Biotechnol. 13:262-266
Habib
saleh.
Picung,
Pengawet
Alami
Ikan
Segar.
http://www,suaramerdeka.com/cybernews. 7 Februari 2006. (diakses 20
September 2016)
Heruwati, ES., Pengawetan Ikan Segar Menggunakan biji picung, Jurnal
Bioteknologi kelatan dan perikanan Vol 2 No 1 Tagun 2007
Hozbor, M.C., A.L. Saiz, M.I. Yeannes, and R. Fritz. 2006. Microbiological
Changes and Its Correlation With Quality Indices During Aerobic Iced
Storage of Sea Salmon (Psedopercis Semifasciata). Lwt-Food Sci Technol.
39:99-104.
Koorders, S. H. & TH. Valeton. Bijragen tit de kennis der Boomsorten op Java,
jilid I-XIII (1894-1914). Dikutip sebagai: K & V. (Teysmannia, 1896
halaman 505
Koswara Sutrisno. 2009. Pengawet Alami Untuk Produk Dan Bahan Pangan.
eBookPangan.com
Kristikasari, E. 2000. Mempelajari Sifat Antimikroba Biji Picung (Pangium
edule Reinw) Segar dan Terfermentasi terhadap Bakteri Patogen dan
Perusak Makanan. Skripsi Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fak
Teknologi Pertanian, IPB. 57 pp.
Mahandri, C., Kajian Awal Biji Buah Kepayang sebagai Bahan Baku Minyak
Nabati Kasar, Seminar Nasional UGM 2011
Mora, E., Isolasi senyawa daun kepayang dan uji aktivitas anti bakteri, Farmasais
Vol 2 No 3 April 2014
Nuraida, L., Andarwulan, N. dan Kristikasari, E. 2000.Antimicrobial activity
of fresh and fermented picung (Pangium eduleReinw) seed againts
pathogenic and food spoilage bacteria. J. Food Technology and Industry.
4(2): 18–26
Sembel Dantje T. 2015. Toksikologi Lingkungan. Hal 221. Yogyakarta: CV.Andi
Offset.
8
9
Download