BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah pertanian yang termasuk ke dalam ordo Vertisol dan tanah-tanah lainnya yang memiliki sifat vertik memiliki potensi untuk dimanfaatkan secara lebih intensif. Khusus Vertisol, penyebarannya cukup luas sekitar 2,1 juta hektar tersebar di pulau Jawa, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi (Subagyo et al., 2000). Tanah bersifat vertik dicirikan oleh adanya retakan-retakan besar disertai dengan konsistensi tanah yang sangat keras pada musim kemarau. Pada musim hujan, tanah ini akan mengembang, retakan-retakan tanahnya segera menghilang dan konsistensi tanah berubah menjadi sangat lekat dan sangat plastis. Dari sisi sifat kimia, tanah ini memiliki kapasitas tukar kation dan persentase kejenuhan basa yang tinggi, namun memiliki daya fiksasi yang tinggi terhadap kalium yang menyebabkan pemborosan dalam pemupukan (Borchardt, 1989). Pada tanah Vertisol umumnya sifat-sifat fisik lebih merupakan kendala dibanding sifat-sifat kimianya. Kendala utama untuk tanaman adalah tekstur liat yang berat, sifat mengembang dan mengkerut, kecepatan infiltrasi air yang rendah, serta drainase yang lambat (Mukanda dan Mapiki, 2001 dalam Prasetyo, 2007). Pengolahan tanah yang diperlukan untuk persiapan budidaya tanaman disesuaikan dengan ketersedian air yang biasanya tersedia pada musim hujan sehingga dalam setahun hanya dilakukan satu kali kegiatan penanaman. Berbagai cara telah disarankan dalam mengurangi kendala fisik pada tanah Vertisol antara lain dengan menggunakan bahan organik dan pengapuran. Bahan organik dimaksudkan untuk meningkatkan aerasi, meningkatkan stabilitas agregat, dan meningkatkan permeabilitas tanah, namun demikian terkendala oleh ketersediaannya yang terbatas. Tujuan pengapuran ini bukan untuk meningkatkan pH tanah namun mengurangi daya mengembang-mengkerut dari tanah. Langkah inipun masih kurang efektif disebabkan tanah Vertisol di Indonesia sudah banyak mengandung basa-basa ditandai dengan kejenuhan basa yang tinggi (Prasetyo, 2007), terutama oleh kalsium dan magnesium (sebagai bahan kapur) namun demikian kemampuan mengembang-mengkerut tanah masih terlihat nyata. 111 Untuk memperbaiki kualitas sifat fisik dan kimia tanah ini, aplikasi Polimer Hidroksi Aluminium (PHA) bisa menjadi salah satu yang diharapkan. PHA adalah molekul-molekul aluminium berukuran besar dengan muatan yang besar pula. Bila diberikan ke tanah, ion aluminium ini akan diikat lebih kuat daripada ion lainnya oleh liat yang dapat mengembang. PHA mempunyai struktur berupa lempengan yang dapat menjadi agen penyemen yang sangat baik. Hasil penelitian Djusar (1995) menunjukkan aplikasi PHA pada dosis maksimal 4 mmol Al/kg liat secara nyata menurunkan bobot isi tanah, cenderung menurunkan nilai COLE dan kadar air tersedia, cenderung meningkatkan stabilitas agregat dan meningkatkan permeabilitas tanah dengan sangat nyata meskipun belum menghasilkan dosis yang optimum. Hal ini memberi harapan untuk dilakukannya penelitian lanjutan dengan dosis pemberian PHA yang lebih tinggi. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh aplikasi beberapa taraf dosis Polimer Hidroksi Aluminium (PHA) terhadap beberapa sifat kimia tanah Vertisol dari Cirebon yaitu kemasaman (pH), kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa (% KB), dan pertumbuhan jagung sebagai tanaman indikator. 1.3 Hipotesis Semakin tinggi dosis PHA yang digunakan maka akan semakin baik sifat fisik tanah namun diikuti semakin menurunnya beberapa sifat kimia tanah seperti KTK dan kejenuhan basa. Senyawa PHA dapat meningkatkan kemasaman potensial tanah sehingga dapat menurunkan pH tanah pada akhirnya. Aplikasi PHA akan memberikan hasil positif pada meningkatnya tinggi, jumlah daun, bobot basah dan bobot kering tanaman jagung. 12 2