OPTIMALISASI KONSENTRASI LIMBAH DAN PERBANDINGAN WAKTU AEROB/ANAEROB PADA PEMBENTUKAN PLASTIK BIODEGRADABEL (POLIHIDROKSIALKANOAT) DARI LIMBAH TAPIOKA DENGAN MENGGUNAKAN SEQUENCING BATCH REAKTOR Wiharyanto Oktiawan, Dwi Handayani*), Atikah ABSTRACT Polyhydroxyalkanoates (PHAs) are polymers produced by microorganism and have been recognized as good candidates for biodegradable plastics. But their high price compared with conventional plastics has limited their use. The usage of organic wastewater as substrate to produce PHA from activated sludge, provide a potential inexpensive source of biodegradable plastics. Sequencing Batch Reactor (SBR) as one modification of activated sludge process is expected to be able to accumulating PHA. SBR was operated with artificial waste tapioca as carbon source. The purpose of this study to know blower-mixer duration in reaction phase and influent COD consentration to accumulating PHA. The SBRs were operated in a 9 hours, with 2 of filling time, the blower-mixer duration 2: 4 hours, 1 huor 45 minutes decanting time and 15 minutes idle time. As the result this research shows that the finest of accumulating is occurred in strategy of operational mixer-blower-mixer ( 3: 2 :1 ) hours and consentration of COD at ± 9000 mg/l 0.01031 g/g cell. The finest accumulating PHA is occurred on COD at ± 9000 mg/l and strategy of operational mixer-blower-mixer ( 3: 2 :1 ) hours. Keywords: Sequencing Batch Reactor (SBR), Polyhydroxyalkanoates (PHAs), blower-mixer duration, COD consentration PENDAHULUAN Plastik biodegradabel adalah plastik yang dapat digunakan layaknya seperti plastik konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme menjadi hasil akhir air dan gas karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang ke lingkungan. Karena sifatnya yang dapat kembali ke alam, plastik biodegradabel merupakan bahan plastik yang ramah terhadap lingkungan. Produksi PHA ini mengalami kendala terutama dari segi biaya produksi tinggi yang disebabkan oleh biaya bahan baku, yaitu glukosa dan biaya pengolahan (pengambilan PHA dari sel mikroorganisme). Upaya untuk mengurangi biaya produksi polihidroksialkanoat antara lain dilakukan dengan mencari bahan baku pengganti glukosa yang harganya relatif lebih murah. Salah satu bahan baku yang dapat digunakan adalah air limbah industri yang mempunyai kandungan organik yang relatif tinggi. Industri tapioka merupakan salah satu industri yang menghasilkan air limbah dengan kandungan senyawa organik yang tinggi (Yeoh ,1993). Produksi PHA yang telah banyak dilakukan menggunakan mikroorganisme kultur murni, tetapi hal ini mempertinggi biaya produksi. Penelitian Chua dkk. (1997) menunjukkan bahwa mikroorganisme dalam lumpur aktif dapat mengakumulasi PHA pada rasio C:N tertentu. Oleh karena itu dikembangkan penggunaan kultur campuran lumpur aktif sebagai pengganti kultur murni untuk memproduksi PHA. Polihidroksialkanoat telah diproduksi secara komersil dengan proses biosintesa menggunakan bahan baku glukosa. Pada kondisi aerobik, mikroorganisme lumpur aktif menggunakan karbon dari air limbah untuk pembentukan sel baru. Hal ini ditandai dengan penurunan chemical oxygen demand (COD) dalam air limbah. Ketika kondisi lingkungan berubah menjadi anaerobik, mikroorganisme mulai mengakumulasi PHA sebagai cadangan karbon dalam selnya. Penggunaan sequencing batch reactor (SBR) dapat menjamin tercapainya kondisi-kondisi ini, karena pada SBR pengontrolan kondisi operasi dapat dilakukan dengan lebih mudah. Beberapa penelitian Purnama (2001), Sondjaja dkk. (2001), Harimawan dan Wibawa (2002) dan Damajanti (2003)) telah dilakukan di laboratorium Mikrobiologi dan Teknologi Bioproses FTI-ITB untuk memproduksi PHA dengan menggunakan SBR dan limbah sintetik tapioka sebagai substrat. Penelitian-penelitian ini dilakukan dengan membuat variasi siklus *) Program Studi Teknik LingkunganFT Undip Jl. Prof. Sudarto, SH Tembalang Semarang 1 pengolahan, lamanya periode aerob:anaerob, serta waktu pengumpanan substrat ke dalam reaktor. Penelitian kali ini bertujuan mengamati kandungan PHA yang dapat diakumulasi oleh mikroorganisme lumpur aktif dalam pengolahan air limbah industri tapioka menggunakan sequencing batch reactor (SBR). Dengan memvariasikan konsentrasi COD limbah cair dan perbandingan waktu pengadukan menggunakan 2 jenis pengaduk yang berbeda yaitu menggunakan mixer dan blower TUJUAN Penelitian yang akan dilakukan ini mempunyai beberapa tujuan khusus, sebagai berikut : 1. Mengetahui kemampuan sequencing batch reactor (SBR) untuk proses produksi PHA. 2. Mengetahui aktifitas mikroba dalam lumpur aktif industri tekstil untuk mengkonversi limbah cair tapioka menjadi polihidroksislkanoat (PHA). 3. Optimalisasi konsentrasi COD limbah dan strategi operasional perbandingan waktu pengadukan menggunakan 2 jenis pengaduk yang berbeda yaitu menggunakan mixer dan blower terhadap produktifitas PHA. RUANG LINGKUP Adapun ruang lingkup dalam penelitian tugas akhir ini, yaitu : 1. Lumpur aktif yang digunakan berasal dari limbah tekstil PT. APAC INTI CORPORA di Ungaran. 2. Air limbah tapioka yang digunakan dalam percobaan merupakan air limbah tapioka sintesis. 3. Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah pH, MLSS, COD, BOD, TKN, zat organik dan kandungan PHA. 4. Proses yang digunakan dalam penelitian adalah sistem sequencing batch reactor (SBR). METODOLOGI Penelitian dilakukan pada skala laboratorium dimulai dengan tahap persiapan yang berupa desain dan pembuatan reaktor yang digunakan, persiapan alat dan bahan yang digunakan untuk penelitian, dan persiapan peralatan dan reagen yang digunakan untuk analisis kandungan zat organik, BOD, PHA, COD, MLSS, TKN, pH dan temperatur. Tahap selanjutnya adalah aklimatisasi lumpur yang dilakukan dengan menjalankan reaktor. Pada awal pembuatan limbah cair dilakukan pengambilan sampel untuk pengukuran COD, dan pada awal siklus dilakukan pengambilan sampel untuk pengukuran zat organik. *) Program Studi Teknik LingkunganFT Undip Jl. Prof. Sudarto, SH Tembalang Semarang Aklimatisasi dikatakan berhasil jika efisiensi penurunan zat organik konstan (kondisi steady state) dengan perbedaan kurang dari 10%. Setelah lumpur siap kemudian dilakukan proses running. Limbah yang digunakan merupakan limbah buatan, seperti yang digunakan pada Sondjaja, 2001. Sampel diambil pada ujung pipa marriote untuk zat organik, COD, BOD, dan TKN influen. Pada akhir draw dilakukan pengambilan sampel outlet, parameter yang diukur yaitu zat organik, COD, BOD, dan TKN. Untuk MLSS pengambilan sampel dilakukan pada awal react dan akhir react. Pengambilan sampel untuk analisa PHA dilakukan setelah fase draw selesai.Sedangkan data penunjang lainnya seperti pH, DO, dan temperatur pengambilan dilakukan pada fase react. Mulai Persiapan Penelitian a. Pembuatan Limbah Artifisial b. Persiapan Alat dan Reagen - untuk analisis COD - untuk analisis MLSS - untuk analisis TKN - untuk analisis BOD - untuk analisis zat organik - analisa kandungan PHA c. Persiapan Lumpur Desain Reaktor SBR Skala Laboratorium Parameter Kontrol - suhu (25 - 270C) - pH (6,5 - 8) - SRT (15-20 hari) - COD (5000-15000 mg/ L) Parameter Terukur - Organik Aklimatisasi Tidak (zat organik>10%) Efisiensi penyisihan Zat organik konstan dengan toleransi < 10% Ya (zat organik<10%) Penelitian Siap Dilaksanakan (Running) Variasi Konsentrasi limbah sintetis dan variasi waktu pengadukan dengan mixer dan blower Sampling dan Analisis Parameter Terukur (zat organik, BOD, COD, TKN, MLSS, PHA) Sistem Operasional SBR - 1 siklus 9 jam - 2 jam pengadukan dengan blower , 4 jam pengadukan dengan mixer, - 2 jam pengendapan, 45 menit dekantasi, 15 menit iddle Variasi Konsentrasi Limbah - Konsentrasi Limbah (COD±6000 mg/L) - Konsentrasi Limbah (COD± 9000 mg/L) - Konsentrasi Limbah (COD±12000 mg/L) Variasi strategi operasional waktu aerob dan anaerob - Mixer - blower- Mixer 2 jam : 2 jam : 2 jam - Mixer - blower- Mixer - blower- Mixer 2 jam : 1 jam : 1 jam : 1 jam : 1 jam - Mixer-blower- Mixer 3 jam : 2 jam : 1 jam Kesimpulan dan Saran Selesai Gambar 1. Diagram Alir Penelitian Sumber : hasil Analisis, 2010 2 HASIL DAN PEMBAHASAN Aklimatisasi Sebelum penelitian dimulai terlebih dahulu dilakukan aklimatisasi terhadap lumpur. Aklimatisasi lumpur bertujuan untuk mengkondisikan mikroorganisme agar dapat hidup dan melakukan adaptasi dengan limbah yang akan diolah dan untuk menyisihkan senyawa organik. Temperatur, pH, dan umur lumpur digunakan sebagai variabel kontrol selama aklimatisasi. Lumpur yang digunakan selama penelitian berasal dari unit pengolahan biologi PT. APAC INTICORPORA Ungaran, Semarang. Pada tahap aklimatisasi digunakan limbah artifisial dengan komposisi tepung tapioka dengan merek Gunung Agung, diammonium sulfat {(NH4)2SO4}, kalium dihidrogen {KH2PO4}, feero klorida heksahidrat {FeCl3.6H2O}, magnesium sulfat heptahidrat {MgSO4.7H2O}, mangan sulfat heksahidrat {MnSO4.6H2O}, kalsium klorida dihidrat {CaCl2.2H2O}. Grafik Effluent Organik dan Efisiensi Penyisihan Organik Reaktor 1 Organik Eff (mg/l KMnO4) Organik Eff (mg/l KMnO4) efisiensi 100 90 2500 80 70 2000 60 50 1500 40 1000 30 20 500 Efisiensi Organik (%) Organik Eff (mg/l KMnO4) 3000 10 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 Siklus ke- Gambar 2 Grafik Effluent Organik dan efisiensi Penyisihan Organik Reaktor 1 Sumber : Hasil analisis, 2010 120 100 2000.0000 80 1500.0000 60 1000.0000 40 500.0000 20 0.0000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 1213 14 1516 17 1819 20 21 2223 24 2526 27 2829 30 31 3233 34 3536 37 3839 40 41 4243 44 4546 47 4849 50 Siklus keOrganik Eff (mg/l KMnO4) Efisiensi (%) Gambar 3 Grafik Effluent Organik dan efisiensi Penyisihan Organik Reaktor 2 Sumber : Hasil analisis, 2010 *) Program Studi Teknik LingkunganFT Undip Jl. Prof. Sudarto, SH Tembalang Semarang 3 Efisiensi (%) Organik Eff (mg/ l KMnO4) 2500.0000 120 100 2000 80 Efisiensi (%) Organik Eff (mg/l KMnO4) 2500 1500 60 1000 40 500 20 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 Siklus keOrganik Eff (mg/l KMnO4) Efisiensi (%) Gambar 4 Grafik Effluent Organik dan efisiensi Penyisihan Organik Reaktor 3 Sumber : Hasil analisis, 2010 Percobaan Utama PHA (g/g sel) 0.008 0.007 0.006 0.005 0.004 0.003 0.002 0.001 0 1 2 3 4 5 6 Siklus keSeries2 Gambar 5 Grafik Konsentrasi PHA Variasi COD 12000 Sumber : Hasil analisis, 2010 0.012 PHA (g / g sel) Pada percobaan ini digunakan asumsi bahwa PHA yang terbentuk merupakan kopolimer dari P(HB-ko-HV). Hal ini didasarkan pada penelitian Chua dan Yu (1999), yang menyatakan bahwa kopolimer tersebut diakumulasi oleh bakteri lumpur aktif. Pernyataan ini juga didukung dengan hasil pengamatan terhadap titik leleh PHA yang diperoleh. Titik leleh PHB standar adalah 177 oC, sedangkan titik leleh PHV standar adalah 100 oC (Wong dkk., 2000). Hasil pengamatan terhadap titik leleh PHA yang diperoleh pada percobaan ini menunjukkan temperatur di antara titik leleh standar PHB dan PHV, maka dapat dinyatakan bahwa polimer yang terbentuk merupakan gabungan keduanya atau berbentuk kopolimer . Jadi apabila titik leleh PHA yang diamati makin rendah, maka dapat dinyatakan bahwa kandungan HV makin besar, dengan kata lain kandungan HB makin kecil. Hasil pengamatan titik leleh PHA dan konsentrasi PHA berdasarkan perbandingan waktu pengadukan dengan menggunakan blower dan mixer adalah sebagai berikut : 0.01 0.008 0.006 0.004 0.002 0 1 2 3 4 5 6 Siklus kePHA (g / g sel) Gambar 6 Grafik Konsentrasi PHA Variasi COD 9000 Sumber : Hasil analisis, 2010 *) Program Studi Teknik LingkunganFT Undip Jl. Prof. Sudarto, SH Tembalang Semarang 4 Tabel 2 Perolehan PHA Berdasarkan Variasi COD 0.006 PHA (g/g sel) 0.005 0.004 0.003 Siklus Ke- 0.002 0.001 0 1 2 3 4 Siklus ke- 5 6 PHA (g/g sel) Gambar 7 Grafik Konsentrasi PHA Variasi COD 6000 Sumber : Hasil analisis, 2010 Kandungan PHA tertinggi diperoleh pada reaktor 2 dengan strategi operasional mixer-blower- mixer( 3: 2 :1 ) jam yaitu sebesar 0.01031 g / g sel. Kandungan PHA terendah juga terjadi pada reaktor ini dengan strategi operasional mixer-blower- mixer ( 2: 2 :2) jam yaitu sebesar 0.00096 g /g sel. Kandungan PHA tertinggi pada reaktor 1 sebesar 0.00704 g /g sel pada strategi operasional mixer-blowermixer ( 3: 2 :1 ) jam. Kandungan PHA tertinggi pada reaktor 3 juga didapat pada strategi operasional mixer-blower- mixer ( 3: 2 :1 ) jam yaitu sebesar 0.00535 g /g sel. Dari data diatas dapat dilihat pada reaktor 2 dan 3 dengan strategi operasional mixer-blower- mixer ( 3: 2 :1 ) jam didapat kandungan PHA tertinggi untuk reaktor 2 dan 3, namun hal ini tidak terjadi pada reaktor 1. Dilihat dari segi strategi operasional anerob-aerob dapat ditarik kesimpulan bahwa perolehan PHA optimal terjadi pada strategi operasional mixer-blower- mixer ( 3: 2 :1) jam. Hasil pengamatan titik leleh PHA dan konsentrasi PHA berdasarkan konsentrasi COD adalah sebagai berikut : *) Program Studi Teknik LingkunganFT Undip Jl. Prof. Sudarto, SH Tembalang Semarang Variasi COD PHA (g/g sel) Titik Leleh (0 C) 1 12000 0.00221 156 2 12000 0.00120 156 3 12000 0.00153 156 4 12000 0.00121 156 5 12000 6 12000 0.00704 156 7 9000 0.01031 156 8 9000 9 9000 10 9000 11 9000 0.00469 156 12 9000 156 13 6000 0.00096 0.00259 14 6000 0.00535 156 15 6000 0.00440 156 16 6000 17 6000 - 110 0.00133 - 156 0.00190 156 18 6000 0.00291 Sumber : Hasil analisis, 2010 156 5 0.0126 12000 0.0105 10000 0.0084 8000 0.0063 6000 0.0042 4000 PHA ( g/g sel) Variasi COD (mg/l) 14000 0.0021 2000 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Siklus keVariasi COD PHA (g/g sel) Gambar 8 Grafik Perolehan PHA Berdasarkan Variasi COD Sumber : Hasil analisis, 2010 Kandungan PHA tertinggi pada reaktor 1 dengan variasi konsentrasi COD ± 12000 mg/l sebesar 0.00704 g / g sel, pada reaktor 2 dengan variasi konsentrasi COD ± 9000 mg/l sebesar 0.01031 g / g sel, sedangkan pada pada reaktor 3 dengan variasi konsentrasi COD ± 6000 mg/l didapat kandungan PHA sebesar 0.00535 g / g sel. Jika dilihat dari nilai tertinggi kandungan PHA tiap variasi konsentrasi COD, dapat dilihat bahwa konsentrasi PHA naik seiring dengan naiknya COD, namun pada konsentrasi yang tinggi mengalami penurunan. Pada setiap siklus, PHA yang didapatkan mempunyai titik leleh sama . Hal ini disebabkan oleh pelet PHA yang dihasilkan cukup sedikit dan tidak cukup untuk pengukuran titik leleh setiap siklus. Pada percobaan ini hanya didapat 2 titik leleh yaitu 156 0 C dan 110 0 C. Perbedaan titik leleh ini menunjukkan perbedaan kandungan HB dan HV. Periode anaerob yang lebih panjang menyebabkan hambatan terhadap siklus TCA yang semakin besar, sehingga asetil-koA dan propionil-koA yang tersedia semakin banyak. Mino dkk. (1998) menyatakan bahwa semakin lama periode anaerob maka kemungkinan pembentukan kopolimer HV semakin besar. Satuan HV terbentuk dari ikatan asetil-KoA *) Program Studi Teknik LingkunganFT Undip Jl. Prof. Sudarto, SH Tembalang Semarang dengan propionil-KoA. Kedua prekursor ini dihasilkan dari jalur yang berbeda, yaitu jalur glikolisis yang berlangsung pada kondisi aerob menghasilkan asetil-KoA dan jalur suksinatpropionat yang berlangsung pada kondisi anaerob menghasilkan propionil-KoA. Ikatan antara asetil-koA dan propionil-koA akan membentuk 3-ketovaleril-koA yang pada akhirnya membentuk 3- hidroksivalerat. Pada percobaan kali ini digunakan perbandingan waktu pengadukan mixer dan blower yang sama, dan didapatkan 2 titik leleh yang cukup berbeda. Tetapi kedua nilai titik leleh PHA ini sulit untuk dibandingkan karena terdiri dari beberapa sampel pelet PHA dengan variasi yang berbeda-beda. Kandungan PHA yang diperoleh ternyata tidak ditemukan suatu nilai yang konstan, hal ini dikarenakan untuk memproduksi PHA sangat tergantung pada jenis mikroorganisme yang ada dalam lumpur aktif hasil satu siklus SBR. Jenis mikroorganisme yang mampu bertahan hidup dalam satu silkus SBR sangat tergantung pada variasi yang ditetapkan dan sumber senyawa organik yang diberikan kepada mikroorganisme sebagai nutrisinya. 6 Beberapa hal yang diduga menjadi penyebab turunnya perolehan PHA pada percobaan kali ini yaitu : Turunnya pH Penurunan pH terjadi setelah air limbah masuk kedalam reaktor, pH turun hingga 45, hal ini mengakibatkan kurang optimalnya pertumbuhan dan akumulasi PHA dalam tubuh bakteri. Penurunan pH juga terjadi pada penelitian Sonjaja dkk. (2001) yang mencapai nilai pH 4-5. Menurut Benefield dan Randall (1980), dinyatakan bahwa pH optimum pertumbuhan bakteri sekitar 6.57.5. Nilai pH yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat menjadi racun bagi bakteri. Denitrifikasi Denitrifikasi adalah proses produksi nitrat menjadi gas nitrogen ( N2) dalam kondisi anoxic (tanp aoksigen). Denitrifikasi dapat terjadi pada kondisi anaerob yang cukup lama. Proses ini mengakibatkan terdegradasinya PHA yang telah terbentuk, yang digunakan sebagai substrat padat. Pemanfaatan PHA dalam peristiwa denitrifikasi dinamakan dengan denitrifikasi fasa padat (solid phase denitrification). Dari penelitian yang dilakukan oleh Hiraishi dan Khan (2003) diketahui bahwa diantara beberapa biopolimer yang pernah digunakan, PHA merupakan substrat padat yang paling sesuai. PHA sendiri adalah material cadangan mikroba, sehingga mudah termetanolisasi oleh mikroorganisme denitrifikasi. Salah satu faktor yang mempengaruhi proses denitrifikasi jenis ini dalah kristalinitas polimer. PHA yang bersifat amorf lebih mudah terbiodegradasi daripada PHA yang bersifat kristalin. PHA bentuk amorf berada dalam tubuh bakteri (intraseluler), sedangkan produk PHA yang telah diekstraksi (ekstraseluler) berbentuk kristalin. Faktor lain yang mempengaruhi efisiensi degradasi adalah kandungan hidroksivalerat (HV). Mergaert, dkk (1995) melaporkan bahwa PHBV lebih cepat terdegradasi dibanding PHB dalam lingkungan berair. Fase Anaerob tidak terjadi secara optimal Pada pengadukan menggunakan mixer diharapkan kondisi reaktor menjadi anoxic (tanpa oksigen), namun pada kenyataannya kondisi anoxic terjadi hanya pada bagian bawah reaktor. Pada bagian atas permukaan reaktor masih dapat kontak dengan udara sehingga kondisi anoxic tidak tercapai. Karena tidak terjadi kondisi anoxic secara optimal maka produksi propionilKoA terhambat. Sedangkan Ikatan antara *) Program Studi Teknik LingkunganFT Undip Jl. Prof. Sudarto, SH Tembalang Semarang asetil-koA dan propionil-koA akan membentuk 3-ketovaleril-koA yang pada akhirnya membentuk 3- hidroksivalerat. Pembuatan Limbah Cair Kurang Tepat Pembuatan limbah cair tapioka dilakukan dengan cara melarutkan tepung tapioka dalam keadaan panas, dan membuat tepung tapioka terlarut. Sedangkan limbah cair tapioka yang sesungguhnya berasal dari sisa pencucian bahan baku, dan sisa endapan tepung tapioka. Terdapat ketidaksesuaian antara limbah buatan dan limbah tapioka yang sesungguhnya, terdapat kemungkinan hal ini juga berkontribusi dalam kecilnya produksi PHA. Lumpur tidak langsung diekstraksi Faktor lain yang menyebabakan rendahnya PHA yang dihasilkan yaitu lumpur tidak langsung diekstraksi menggunakan kloroform dan natrium hipoklorit. Lumpur disimpan terlebih dahulu di lemari pendingin sebelum diekstraksi. Hal ini dapat merubah konsentrasi awal PHA yang terkandung dalam tubuh bakteri, dan bakteri dapat memanfaatkan granula PHA dalam tubuhnya untuk bertahan hidup Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil adalah : 1. Sequencing batch reactor (SBR) mampu menghasilkan PHA, walaupun dalam penelitian ini belum didapatkan perolehan PHA yang diinginkan. 2. Bakteri dalam lumpur aktif dari industri tekstil mengandung bakteri-bakteri yang mampu mengakumulasi PHA dalam tubuhnya pada kondisi anaerob, melalui siklus TCA. 3. Perolehan PHA tertinggi pada penelitian ini yaitu pada konsentrasi COD 9000 mg/l yaitu sebesar 0.01031 g/g sel, dan pada kondisi srtategi operasional mixer-blower- mixer ( 3: 2 :1 ) jam. Saran Saran yang dapat disampaikan adalah : 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan agar mendapatkan perolehan PHA yang lebih besar, dan jenis PHA yang dihasilkan. Diantaranya dengan menggunakan limbah tapioka yang sebenarnya, memfariasikan perbandingan waktu aerob/anaerob. DAFTAR PUSTAKA American Public Health Association, 1992, Standard Method for the Examination of Water and Wastewater, 18th ed., APHA, Washington USA. 7 Benefield, Larry D., Clifford, W. Randall. 1980. Biological Process Design for Wastewater Treatment. Prentice – Hall, Inc. USA. Damajanti, Neni, dan Tjandra Setiadi, 2003, Pengaruh Durasi Tahap Pengisian dan Siklus Pendek dalam Sequencing Batch Reactor (SBR) terhadap Pembentukan Polihidroksialkanoat (PHA), Seminar Nasional Perkembangan dan Aplikasi Teknologi Lingkungan dalam Menghadapi Era Global, ITS,Surabaya Mino, T., 1999, Microbial Selection of Polyphospate-Accumulating Bacteria in ActivatedSludge Wastewater Tretment Processes for Enhanced Biological Phospate Removal,Department of Environmental Studies, The University of Tokyo. Purnama, H., 2001, Kajian Awal Pembentukan Polihidroksialkanoat (PHA) pada Sistem Pengolah Limbah Lumpur Aktif dengan Sequencing Batch Reactor (SBR), Tesis Magister, Program Studi Teknik Kimia, Institut Teknologi Bandung. Rahayu, Driyanti. 2007. Produksi Polihidroksi Alkanoat Dari Limbah Industri Tapioka Dengan SBR. Fakultas Farmasi Uiversitas Padjadjaran. Satoh, H., T. Mino, dan T. Matsuo, 1999, PHA Production by Activated Sludge, Intl. Journal. of Biological Macromolecules, 25, hal. 105-109 Serafin, Luisa S. Serafim & Paulo C. Lemos & Maria G. E. Albuquerque & Maria A. M. Reis. 2008. Strategies For Pha Production By Mixed Cultures And Renewable Waste Materials. Appl Microbiol Biotechnol (2008) 81:615– 628. Received: 31 July 2008 / Revised: 9 October 2008 / Accepted: 18 October 2008 / Published online: 11 November 2008 # Springer-Verlag 2008 Setyawaty, Rety. 2005. Produksi Polihidroksialkanoat Dari Air Limbah Industri Tapioka : Konsistensi Produk, Pengaruh pH Dan Perbaikan Proses Pengambilan PHA. Tesis Magister, Program Studi Teknik Kimia, Institut Teknologi Bandung. Sidikmarsudi, 1997, Kajian Awal Pembentukan PHA oleh Bakteri Fotosintetik Rhodobacter spheroides (IFO 12203) pada Medium Asam Lemak Volatil. Bandung : Program Studi Teknik Kimia, Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung. Sondjaja, Herryanto R, Bambang Veriansyah, dan Tjandra Setiadi, 2001, Production of Polihidroksialkanoat (Biodeghradable Plastic) from Synthetic Wastewater Using Sequencing Batch Reactor. *) Program Studi Teknik LingkunganFT Undip Jl. Prof. Sudarto, SH Tembalang Semarang Prosiding Regional Symposium on Chemical Engineering 29 - 31 Oktober 2001.Bandung. Sundstrom, Donald W dan Herbert E Klei. 1979. Wastewater Treatment. Prentice-Hal. Inc. Englewood Cliffs USA Tchobanoglous, G. dan F.L Burton. 1991. Wastewater Engineering: Treatment, Disposal, and Reuse. 3rd Ed. McGrawHill.Inc. Singapore. Tchobanoglous, George dan F.L Burton. 2003. Wastewater Engineering: Treatment and Reuse. 4th Ed. McGraw-Hill.Inc. New York. Wong, A. L., H. Chua, W. H. Lo, dan P.H.F. Yu, 2000, Synthesis of Bioplastics from FoodIndustry Wastea with Activated Sludge Biomass, Water Science and TechnologyVol.41(12), hal. 55-59. Yu, P., H. Chua, A.L. Huang, W. Lo, dan C.Q. Chen, 1998, Conversion of Food IndustrialWaste into Bioplastics, Applied Biochemistry and Biotechnology , Vol. 70, hal. 603-614. 8 (ekstraseluler) berbentuk kristalin. Faktor lain yang mempengaruhi efisiensi degradasi adalah kandungan hidroksivalerat (HV). Mergaert, dkk (1995) melaporkan bahwa PHBV lebih cepat terdegradasi dibanding PHB dalam lingkungan berair. Beberapa hal yang diduga menjadi penyebab turunnya perolehan PHA pada percobaan kali ini yaitu : Turunnya pH Penurunan pH terjadi setelah air limbah masuk kedalam reaktor, pH turun hingga 4-5, hal ini mengakibatkan kurang optimalnya pertumbuhan dan akumulasi PHA dalam tubuh bakteri. Penurunan pH juga terjadi pada penelitian Sonjaja dkk. (2001) yang mencapai nilai pH 4-5. Menurut Benefield dan Randall (1980), dinyatakan bahwa pH optimum pertumbuhan bakteri sekitar 6.5-7.5. Nilai pH yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat menjadi racun bagi bakteri. Denitrifikasi Denitrifikasi adalah proses produksi nitrat menjadi gas nitrogen ( N2) dalam kondisi anoxic (tanp aoksigen). Denitrifikasi dapat terjadi pada kondisi anaerob yang cukup lama. Proses ini mengakibatkan terdegradasinya PHA yang telah terbentuk, yang digunakan sebagai substrat padat. Pemanfaatan PHA dalam peristiwa denitrifikasi dinamakan dengan denitrifikasi fasa padat (solid phase denitrification). Dari penelitian yang dilakukan oleh Hiraishi dan Khan (2003) diketahui bahwa diantara beberapa biopolimer yang pernah digunakan, PHA merupakan substrat padat yang paling sesuai. PHA sendiri adalah material cadangan mikroba, sehingga mudah termetanolisasi oleh mikroorganisme denitrifikasi. Salah satu faktor yang mempengaruhi proses denitrifikasi jenis ini dalah kristalinitas polimer. PHA yang bersifat amorf lebih mudah terbiodegradasi daripada PHA yang bersifat kristalin. PHA bentuk amorf berada dalam tubuh bakteri (intraseluler), sedangkan produk PHA yang telah diekstraksi *) Program Studi Teknik LingkunganFT Undip Jl. Prof. Sudarto, SH Tembalang Semarang Fase Anaerob tidak terjadi secara optimal Pada pengadukan menggunakan mixer diharapkan kondisi reaktor menjadi anoxic (tanpa oksigen), namun pada kenyataannya kondisi anoxic terjadi hanya pada bagian bawah reaktor. Pada bagian atas permukaan reaktor masih dapat kontak dengan udara sehingga kondisi anoxic tidak tercapai. Karena tidak terjadi kondisi anoxic secara optimal maka produksi propionil-KoA terhambat. Sedangkan Ikatan antara asetil-koA dan propionilkoA akan membentuk 3-ketovaleril-koA yang pada akhirnya membentuk 3hidroksivalerat. Pembuatan Limbah Cair Kurang Tepat Pembuatan limbah cair tapioka dilakukan dengan cara melarutkan tepung tapioka dalam keadaan panas, dan membuat tepung tapioka terlarut. Sedangkan limbah cair tapioka yang sesungguhnya berasal dari sisa pencucian bahan baku, dan sisa endapan tepung tapioka. Terdapat ketidaksesuaian antara limbah buatan dan limbah tapioka yang sesungguhnya, terdapat kemungkinan hal ini juga berkontribusi dalam kecilnya produksi PHA. Lumpur tidak langsung diekstraksi Faktor lain yang menyebabakan rendahnya PHA yang dihasilkan yaitu lumpur tidak langsung diekstraksi menggunakan kloroform dan natrium hipoklorit. Lumpur disimpan terlebih dahulu di lemari pendingin sebelum diekstraksi. Hal ini dapat merubah konsentrasi awal PHA yang terkandung dalam tubuh bakteri, dan bakteri dapat memanfaatkan granula PHA dalam tubuhnya untuk bertahan hidup 9 Jam Run 1 Tabel 1. Variasi Waktu Aerasi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2 3 anaerob aerob *) Program Studi Teknik LingkunganFT Undip Jl. Prof. Sudarto, SH Tembalang Semarang 10