BioSMART Volume 6, Nomor 1 Halaman: 1-5 ISSN: 1411-321X April 2004 Produksi Polihidroksi Alkanoat dalam Lumpur Aktif Production of polyhydroxyalkanoate in activated sludge I MADE SUDIANA Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor 16122 Diterima: 27 September 2003. Disetujui: 5 Desember 2003. ABSTRACT Intensive research on microbial polyhydroxyalkanoates (PHAs) has been stimulated by the fact that PHAs are potential for biodegradable plastics synthesis. Activated sludges from wastewater treatment plant treating domestic waste aclimated with glucose and acetate as the main carbon sources, under anaerobic-aerobic condition produced polyhydroxyalkanoates (PHAs). When acetate was used as the main carbon sources polyhydroxybutirate was found to be the major component of PHAs. Anaerobic-aerobic activated sludge processes appear to be effective method to produce PHAs and it could be used for reducing organic substances in wastewater effluent. Keywords: polyhydroxyalkanoates (PHAs) synthesis, anaerobic-aerobic activated sludge process. PENDAHULUAN Peran mikroba pengakumulasi PHA (MPP) makin populer, karena PHA merupakan bahan dasar dari plastik tahan panas yang dapat terombak oleh mikroba (biodegradable thermoplastics) (Sudesh et al., 2002). Penemuan komunitas MPP memacu penelitian yang mengarah kepada produksi bahan baku plastik yang murah dan ramah lingkungan (Sudesh et al., 2002). Pada prinsipnya metabolisme sintesis PHA sangat komplek, melibatkan beberapa metabolit sel (Sudesh et al., 2002). Sintesis PHA pada kondisi anaerobik-aerobik diduga melibatkan proses glikolisis, dimana dihasilkan asam piruvat, asetil ko-A dan selanjutnya melibatkan beberapa enzim yang berperan dalam proses polimerisasi asetil ko-A sampai terbentuknya PHA. Banyak dilaporkan jasad renik yang mampu mengakumulasi PHA di dalam selnya. Dengan modifikasi komponen genetik, beberapa bakteri dilaporkan mampu mengakumulasi sampai 80% PHA di dalam sel. Metabolit sel, seperti PHA, yang diakumulasi oleh mikroba pengakumulasi polifosfat (MPF) menentukan kemampuan adaptasi mikroba pada ekosistem anaerobikaerobik fosfat (Comeau et al., 1986; Sudiana et al., 1999). Komunitas MPP mampu mengabsorpsi senyawa organik (substrat) pada kondisi anaerobik, sedangkan komunitas mikroba yang lain tidak mampu (Cech dan Hartman, 1990). Dengan keuntungan tersebut komunitas jasad renik MPP menjadi dominan pada lingkungan yang menerapkan sistem anaerobik-aerobik (Sudiana et al., 1999). Hal ♥ Alamat korespondensi: Jl. Juanda 18 Bogor 16122, Indonesia, Tel. +62-251-324006, Fax. +62-251-325854 e-mail: [email protected] tersebut disebabkan karena MPP mendapatkan substrat organik dengan mudah (Ohtake et al., 1985; Lotter dan Murphy, 1998; Sudiana et al., 1998). Belum diketahui secara pasti karakteristik metabolisme MPP sehingga mampu mengabsorpsi substrat pada kondisi anaerobik, mengingat siklus Kreb yang merupakan sumber utama pemasok energi (ATP) untuk absorpsi substrat tidak dapat berfungsi pada kondisi anaerobik (Marais et al., 1983; Satoh et al., 1992). Mino et al. (1995) menduga bahwa energi yang digunakan oleh MPP untuk absorpsi substrat pada kondisi anaerobik berasal dari hidrolisis polifosfat. Hal tersebut diindikasikan oleh meningkatnya fosfat terlarut (ortofosfat) pada kondisi anaerobik pada unit pengolahan limbah (UPL) yang menggunakan sistem anaerobik-aerobik. Kemudian banyak pertanyaan yang muncul mengenai bagaimana cara sel mengatur energi, termasuk menjaga kondisi potensial redoks yang imbang di dalam sel. Dalam metabolisme yang normal, diketahui senyawa organik yang diabsorpsi oleh sel akan mengalami proses oksidasi dan reduksi. Kemudian Mino et al., (1987) dan Satoh et al., (1992) mengemukakan bahwa senyawa organik yang diabsorpsi pada kondisi anaerobik akan diubah menjadi polihidroksialkanoat (PHA). Untuk sintesis 1 mol PHA diperlukan 2 mol ATP dan 2 mol NADH yang berasal dari hidrolisis glikogen menjadi asam piruvat (Sudiana, 1998; Jenkins dan Tandoi, 1999). Jadi, absorpsi senyawa organik oleh MPP melibatkan beberapa metabolit sel seperti glikogen dan PHA (Mino et al., 1995). Komunitas MPP banyak dipelajari di negara sub-tropis (Sudiana, 1998). Penelitian ini bertujuan mengetahui komunitas MPP yang berasal dari UPL yang menerapkan sistem anaerobik-aerobik, serta mempelajari karakteristik absorpsi senyawa organik terutama asam asetat dan glukosa dalam pembentukan komunitas MPP. 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta B i o S M A R T Vol. 6, No. 1, April 2004, hal. 1-5 2 BAHAN DAN METODE Sumber lumpur aktif Lumpur aktif diambil dari UPL yang mengolah air untuk pembuatan air minum di Tokyo yang menerapkan sistem anaerobik-aerobik. Lumpur aktif yang diambil berasal dari akhir fase aerobik. Penyiapan anaerobik-aerobik SBR (sequential batch reactor) Anaerobik-aerobik SBR adalah sistem yang menerapkan kondisi anaerobik-aerobik pada satu tangki. Reaktor seperti ini mempunyai keuntungan mudah dioperasikan. Reaktor terbuat dari Tabung polyethylene dengan total volume 2 l, dan volume kerja 1,8 l. Kondisi anerobik dibuat dengan mengalirkan gas N2 pada awal fase anaerobik kemudian reaktor ditutup untuk menghindari kontak dengan udara luar. Kondisi aerobik dibuat dengan mengalirkan udara ke dalam reaktor dengan menggunakan pompa udara. Untuk mengatur kondisi substrat homogen, lumpur aktif diaduk dengan menggunakan stirer. Pada akhir fase aerobik stirer dimatikan untuk memudahkan terjadinya pengendapan lumpur aktif. Sekitar 900 ml supernatan pada akhir fase sedimentasi dibuang dan diganti dengan air yang baru. Skema operasi reaktor tertera pada Tabel 1. RUN-1, 2 dan 3 dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh glukosa, asetat dan periode anerobik-aerobik terhadap produksi PHA. Tabel 1. Kondisi operasi reaktor pada RUN-1, RUN-2, dan RUN3. No. Uraian RUN-1 RUN-2 RUN-3 1 Anaerobik 3 jam 4 jam 6 jam 2 Aerobik 6 jam 8 jam 10 jam 3 Sedimentasi 1 jam 1 jam 1 jam 4 Beban senyawa organik Sumber karbon utama 0,52 kg.m3 . hari-1 0,52 kg.m3 . hari-1 50% glukosa dan 50% asetat 10% glukosa dan 90% asetat 0,52 kg.m-3. hari-1 100% asam asetat 5. Komposisi air limbah sintetik terdiri dari 50-100% CH3COONa, (8-15%)% CH3COOH dan 10-50% C6H12O6 (Tabel 1). Senyawa penyangga terdiri dari 1,2% KH2PO4, 0,8% K2HPO4, 1,2% CaSO4, dan 0,6% MgSO4. Sumber N berupa pepton sebesar 10%. Penentuan MLSS (Mixed Liquor Suspended Soild) Filter dikeringkan selama 4 jam pada suhu 105°C, disimpan dalam eksikator, dan ditimbang bobotnya. Sebanyak 15 ml sampel disaring dengan menggunakan bantuan pompa hampa. Setelah itu filter dimasukkan kedalam oven selama 4 jam pada suhu 105ºC, kemudian dihitung MLSS dengan mencari selisih antara berat kering filter sebelum dan setelah diberi Lumpur aktif, dibagi dengan volume sampel (APHA, 1992). Monitoring aktivitas reaktor Aktivitas lumpur aktif dalam absorpsi senyawa organik diikuti dengan mengukur senyawa organik total dengan TOC 4100 Hitachi (Mino et al., 1995), yang dilakukan pada saat awal fase anaerobik, akhir fase anaerobik serta pada akhir fase aerobik. Aktivitas sintesis PHA di ukur pada akhir fase anaerobik. Metode analisis mengikuti Sudiana et al., 1998. Percobaan curah Percobaan curah dilakukan untuk mengetahui secara akurat dinamika senyawa organik dan fosfat pada kondisi anaerobik-aerobik, dan mengetahui secara akurat komponen dari PHA yang terbentuk. Prosedur dan metode pengukuran mengikuti Sudiana et al., 1998. HASIL DAN PEMBAHASAN Terjadi absorpsi glukosa selama aklimasi lumpur aktif. Absorpsi terbesar terjadi pada fase anaerobik. Perubahan komposisi substrat tidak signifikan mengubah pola absorpsi substrat (Gambar 1). Hal ini menunjukkan bahwa glukosa dan asetat dapat dengan mudah digunakan oleh komunitas mikroba lumpur aktif yang menggunakan sistem anaerobikaerobik. Di dalam unit pengolahan limbah domestik yang merupakan asal dari lumpur aktif tersebut terdapat bermacam-macam senyawa organik baik yang merupakan hasil hidrolisis senyawa polimer maupun produk fermentasi yang terjadi selama limbah di alirkan melalui saluran penerimaan air buangan (sewerage system). Efektivitas sistem anaerobik-aerobik dalam penanggulangan limbah organik telah banyak dilaporkan, dan merupakan sistem yang populer di Eropa dan Amerika dalam proses pengolahan limbah domestik (Sudiana et al., 1998), namun masih banyak yang belum diketahui untuk mengoptimasi proses tersebut (Kortstee et al., 1994). Senyawa organik yang telah diabsorpsi ke dalam sel akan dikonversi lebih lanjut menjadi metabolit sekunder seperti polihidroksialkanoat dan glikogen (Satoh et al., 1992). Proses absorpsi senyawa organik pada kondisi anaerobik merupakan proses metabolisme yang belum banyak diketahui, karena pada proses ini melibatkan beberapa metabolit sel yang saling berhubungan. Proses anabolisme dan katabolisme di dalam sel merupakan ekspresi yang tergantung dari karakteristik genetik mikroba tersebut. Mikroba yang tumbuh pada kondisi anaerobikaerobik mampu melakukan proses respirasi yang berbeda yaitu fermentasi pada kondisi anaerobik dan respirasi dengan menggunakan oksigen sebagai akseptor elektron terakhir pada kondisi aerobik (Mino, 1994). Respirasi seperti tersebut diatas biasanya ditemukan pada khamir, akan tetapi banyak bakteri yang mampu melakukan proses fermentasi. Proses fermentasi tersebut digunakan untuk mengoksidasi NADH yang terbentuk akibat proses glikolisis (Satoh et al., 1992). Sintesis PHA Absorpsi substrat glukosa dan asetat pada fase anaerobik sebagian besar diubah menjadi PHA (Gambar 2). SUDIANA – Produksi PHA dalam lumpur aktif Total karbon organik (mg/L) RUN-1 RUN-2 RUN-3 500 400 300 200 100 0 0 20 40 Anaerobik-awal 60 80 Waktu aklimasi (hari) Anaerobik-akhir % PHA (mg PHA/mg berat kering sel) Gambar 1. Profil absorpsi senyawa organik selama aklimasi. RUN-1 10 RUN-2 8 6 4 2 0 1 14 28 42 54 68 78 Waktu aklimasi (hari) Biomassa (mg/L) Gambar 2. Profil PHA selama waktu aklimasi. RUN-1 3150 3100 3050 3000 2950 2900 2850 2800 0 25 RUN-2 50 3 75 Waktu aklimasi (hari) Gambar 3. Profil biomassa selama proses aklimasi. Pada awal aklimasi hanya sedikit PHA yang terbentuk, kemudian setelah satu minggu aklimasi PHA yang terbentuk makin tinggi. Maksimum produksi PHA sekitar 7.8%. Produksi ini cukup tinggi. Produksi PHA maksimum oleh Synechocystis sp. dengan menggunakan asetat sebagai sumber karbon utama adalah sekitar 10%. Kemampuan produksi PHA tergantung jenis mikroba yang digunakan, proses kultivasi, dan nutrien yang digunakan (Sudesh et al., 2002). Manipulasi genetik juga telah dilakukan untuk mendapatkan biakan unggul yang mampu memproduksi PHA yang tinggi dengan nutrien yang minimal. Penggunaan biakan unggul tersebut diharapkan dapat mengurangi biaya produksi PHA sebagai bahan dasar bioplastik yang ramah lingkungan (Sudesh et al. 2002). Untuk itu telah dicoba memproduksi PHA dengan menggunakan 100 120 jasad renik yang mampu melakukan fotosintesis sehingga biaya produksi Aerobik-akhir menjadi lebih rendah. Akan tetapi produksi PHA oleh jasad renik fotosintetik masih lebih rendah dibandingkan dengan jasad renik heterotrofik. Ada usaha untuk mengurangi biaya produksi PHA dengan menggunakan RUN-3 rekayasa genetika dari tanaman. Dengan rekayasa tersebut diharapkan tanaman dengan mudah memproduksi PHA dengan masa yang cukup besar, sehingga biaya produksi PHA dapat ditekan. Profil sintesis biomassa 90 98 110 124 PHA pada sistem anaerobikaerobik relatif stabil. Terjadi variasi sintesis yang tidak begitu signifikan selama aklimasi, terutama pada RUN2. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh variasi metabolisme yang mengRUN-3 arahkan kepada sintesis PHA. Perubahan dari substrat asetat dan glukosa dengan porsi yang sama ke media dengan komposisi utama asetat menyebabkan sedikit variasi pada sintesis glikogen (Sudiana et al., 1998). Komponen utama dari PHA 100 125 adalah polihidroksibutirat (Tabel 2). Persentase dari PHB tergantung dari sumber karbon utama. Persentase PHB tertinggi adalah ketika asetat digunakan sebagai sumber karbon utama (Tabel 2). Profil biomassa MPP Terjadi peningkatan biomassa lumpur aktif selama aklimasi (Gambar 3). Hal tersebut disebabkan oleh peningkatan beban senyawa organik. Sebagian besar biomassa yang terbentuk merupakan komunitas MPP, seperti ditunjukkan oleh makin meningkatnya absorpsi substrat pada kondisi anaerobik. B i o S M A R T Vol. 6, No. 1, April 2004, hal. 1-5 4 Tabel 2. Komponen dari PHA selama aklimasi. 350 Percobaan curah Setelah hari ke-35, ke-78 dan 124 hari (RUN-1, RUN-2 dan RUN-3) dilakukan percobaan curah untuk mempelajari kinetika absorpsi substrat oleh lumpur aktif dan karakteristik sintesis PHA oleh lumpur aktif. Glukosa dan asetat dapat digunakan dengan cepat oleh komunitas MPP (Gambar 4). Absorpsi yang optimum terjadi pada awal waktu inkubasi. Hampir 90% glukosa dan asetat yang ditambahkan diserap pada awal waktu aklimasi. Total karbon organik (mg/L) Karakteristik sintesis PHA Sintesis PHA sangat cepat pada awal fase anaerobik (Gambar 5). 600 500 400 RUN-1 300 RUN-2 200 RUN-3 100 0 0 100 200 Waktu (menit) Gambar 4. Absorpsi asetat dan glukosa pada kondisi anaerobik 300 PHA (mg/L) Komposisi (mol%) Sumber Kandungan Waktu 34 3 karbon PHA (%) hidroksi hidroksi hidroksi aklimasi utama butirat butirat valerat 1 1,2 72 18 10 50% 7 2,3 70 20 10 glukosa 14 3,9 73 21 5 + 50% 21 5,2 71 20 9 asetat 28 4,8 71 21 8 35 5,6 72 18 10 42 6,2 79 11 10 10% 49 7,1 81 12 7 glukosa 54 7,4 83 10 7 + 90% 62 7,8 83 11 6 asetat 68 7,1 84 11 4 72 6,8 85 10 5 78 5,9 85 13 2 82 6,2 87 12 1 90 7,2 91 7 1 94 7,5 92 7 1 98 7,6 93 7 0 asetat 102 6,8 94 6 0 110 6,9 95 4 1 117 7,1 99 1 0 124 7,2 100 0 0 250 RUN-1 RUN-2 RUN-3 200 150 100 50 0 0 100 200 Waktu (menit) Gambar 5. Profil sintesis PHA pada percobaan curah Keberhasilan sistem anaerobik-aerobik dapat ditentukan dengan kemampuan lumpur aktif mengabsorpsi substrat organik pada kondisi anaerobik. Pada SBR yang dicoba pada penelitian ini, lumpur aktif efektif menyerap glukosa dan asetat pada kondisi anaerobik. Ada dua komunitas mikroba yang mampu menggunakan senyawa organik pada kondisi anaerobik di dalam unit pengolahan limbah yaitu kelompok mikroba MPP, dengan PHA sebagai metabolit utama, dan kelompok mikroba pengakumulasi glikogen (Sudiana 1998). Kedua kelompok mikroba tersebut berpacu dalam sistem anaerobik-aerobik untuk mendapatkan substrat. Keberhasilan pembentukan komunitas MPP sering juga berhubungan dengan pembentukan komunitas mikroba pengakumulasi polifosfat (MPF). Kedua komunitas tersebut menggunakan PHA sebagai salah satu metabolit sel yang paling penting di dalam sel. Kemampuan sel mengakumulasi PHA dipengaruhi oleh status nutrisi di dalam media. Diketahui media yang kekurangan nitrogen memacu terbentuknya PHA (Sudesh et al., 2002). Metabolisme MPP dalam penyerapan senyawa organik belum diketahui secara pasti. Analisis metabolisme komunitas mikroba yang terbentuk dalam sistem anaerobik-aerobik memperlihatkan meningkatnya kandungan polihidroksi alkanoat (PHA) pada fase anaerobik. Hal tersebut disebabkan oleh konversi senyawa organik seperti glukosa dan asetat di dalam sel menjadi PHA. Untuk sintesis PHA diperlukan donor elektron dan energi dalam bentuk NADH dan ATP. Metabolisme komunitas MPP serupa dengan MPF. Yang menarik adalah pada fase anaerobik terjadi penurunan glikogen di dalam sel. Satoh et al. (1992), mengungkapkan bahwa kemungkinan hidrolisis glikogen menjadi asam piruvat akan menghasilkan dua molekul ATP dan dua molekul NADH. Kedua metabolit tersebut akan digunakan oleh sel untuk memproduksi 1 mol PHA. Metabolisme hidrolisis glikogen dan sintesis PHA merupakan mekanisme sel mempertahankan nilai reduksioksidasi potensial di dalam sel (Mino et al., 1995). Pada penelitian ini diketahui bahwa glukosa dan asetat dapat digunakan dengan cepat. Kemungkinan kedua senyawa tersebut diubah menjadi PHA. Dengan demikian MPF dan MPP merupakan mikroba yang mampu mengakumulasi PHA secara efisien. Untuk dapat mengontrol akumulasi SUDIANA – Produksi PHA dalam lumpur aktif PHA di dalam air limbah lebih efektif maka diperlukan pengetahuan mengenai metabolisme MPP yang lebih detil terutama bagaimana kontrol sintesis PHA dan hidrolisis glikogen. KESIMPULAN Polihidroksialkanoat dapat diproduksi dengan menggunakan proses anaerobik-aerobik yang dapat menghasilkan PHA sekitar 8%. Asetat dan glukosa merupakan sumber karbon yang baik, dan komposisi sumber karbon menentukan komponen PHA. Penggunaan asetat sebagai sumber karbon utama dapat membentuk PHA dengan polihidroksi butirat sebagai komponen utama. Penggunaan sistem anaerobik-aerobik pada unit pengolahan limbah mempunyai dua keuntungan yaitu dapat menurunkan kandungan senyawa organik pada air limbah buangan dan lumpur aktif yang digunakan dapat digunakan sebagai bahan pembuatan bio-plastik. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Prof. Dr. Takashi Mino dan Dr. Hiroyashu Satoh dari University of Tokyo Japan atas bimbingan dan fasilitas penelitian yang diberikan. DAFTAR PUSTAKA APHA. 1992. Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater. 18th Ed. Washington D.C.: American Public Health Association. Cech, J.S., and P. Hartman. 1990. Glucose induced breakdown of enhanced biological phosphorus removal. Environmental Technology 11 (2): 651-656. Comeau, Y., K.J. Hall, R.E.W. Hancock, and W.K. Oldham. 1986. Biochemical model for enhanced biological phosphorus removal. 5 Water Research 20 (12): 1511-1521. Jenkins, D. and V. Tandoi. 1999. The applied microbiology of enhanced biological phosphate removal, accomplishment and needs. Water Research 25 (12): 1471-1478. Kortstee, G. J. J., K. J. Appledoorn, C. F. C. Bonting, E. W. J. v. Niel, and H.W. van Veen. 1994. Biology of polyphosphate accumulating bacteria involved in enhanced biological phosphorus removal. FEMS Microbiology Review 15: 137-153. Lotter, L. H. and M. Murphy. 1998. Microscopic evaluation of carbon and phosphorus accumulation in nutrient removal activated sludge plants. Water Science Technology 20, 4/5: 37- 49. Marais, G. van R., R.E. Leowenthal, and I.P. Siebritz. 1983. Observations supporting phosphate removal by biological excess uptake-a review. Water Science Technology 15: 15-41. Mino, T. 1994. Biological Phosphorus Removal Technology, Contemporary Studies in Urban Planning and Environmental Management in Japan, Department of Urban Engineering & The University of Tokyo, Japan. Tokyo: Kajima Institute Publisher. Mino, T., H. Satoh, and T. Matsuo. 1995. Metabolism of different bacterial populations in enhanced biological phosphate removal Processes. Water Science Technology 29 (7): 67-70. Mino, T., V. Arun, Y. Tsuzuki, dan T. Matsuo. 1987. Effect of phosphorus accumulation on acetate metabolism in biological phosphorus removal process. Water Science Technology 23: 567- 576 Ohtake, H., K. Takahashi, Y. Tsusuki, and K. Toda. 1985. Uptake and release of phosphate by a pure culture of Acinetobacter calcoaceticus. Water Research 19: 1587-1594. Satoh, H., T. Mino, and T. Matsuo. 1992. Uptake of organic substrate and accumulation of polyhydroxyalkanoate granule in Acinetobacter spp. isolated from activated sludge. FEMS Microbiology Letter 94: 171174. Sudesh, K., K. Taguchi, and Y. Doi. 2002. Effect of increased PHA synthase activity on polhydroxyalkanoates biosynthesis in Synechocystis sp. PCC6803. International Journal of Biological Macromolecules 30: 97-104. Sudiana, I.M., 1998. Metabolic characteristic and morphology of glycogen accumulating organism in enhanced biological phosphorous removal sludge. Prosiding Temu Ilmiah VII Perhimpunan Pelajar Indonesia di Jepang. Hiroshima, 5-6 September 1998. hal: 180-184. Sudiana, I.M., T. Mino, H. Satoh, and T. Matsuo. 1998. Morphology, insitu identification with rRNA targetted probe and respiratory quinone profile of enhanced biological phosphorous removal sludge. Water Science Technology 8-9: 69-76. Sudiana, I.M., T. Mino, H. Satoh, K. Nakamura, and T. Matsuo. 1999. Metabolism of enhanced biological phosphorous removal and nonenhanced biological phosphorous removal sludge with acetate and glucose as carbon sources. Water Science Technology 39: 29-35.