Produksi Polihidroksi Alkanoat dalam Lumpur Aktif

advertisement
BioSMART
Volume 6, Nomor 1
Halaman: 1-5
ISSN: 1411-321X
April 2004
Produksi Polihidroksi Alkanoat dalam Lumpur Aktif
Production of polyhydroxyalkanoate in activated sludge
I MADE SUDIANA
Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor 16122
Diterima: 27 September 2003. Disetujui: 5 Desember 2003.
ABSTRACT
Intensive research on microbial polyhydroxyalkanoates (PHAs) has been stimulated by the fact that PHAs are potential for biodegradable plastics synthesis. Activated sludges from wastewater treatment plant treating domestic waste aclimated with glucose and acetate as
the main carbon sources, under anaerobic-aerobic condition produced polyhydroxyalkanoates (PHAs). When acetate was used as the
main carbon sources polyhydroxybutirate was found to be the major component of PHAs. Anaerobic-aerobic activated sludge processes
appear to be effective method to produce PHAs and it could be used for reducing organic substances in wastewater effluent.
Keywords: polyhydroxyalkanoates (PHAs) synthesis, anaerobic-aerobic activated sludge process.
PENDAHULUAN
Peran mikroba pengakumulasi PHA (MPP) makin
populer, karena PHA merupakan bahan dasar dari plastik
tahan panas yang dapat terombak oleh mikroba
(biodegradable thermoplastics) (Sudesh et al., 2002).
Penemuan komunitas MPP memacu penelitian yang
mengarah kepada produksi bahan baku plastik yang murah
dan ramah lingkungan (Sudesh et al., 2002). Pada
prinsipnya metabolisme sintesis PHA sangat komplek,
melibatkan beberapa metabolit sel (Sudesh et al., 2002).
Sintesis PHA pada kondisi anaerobik-aerobik diduga
melibatkan proses glikolisis, dimana dihasilkan asam
piruvat, asetil ko-A dan selanjutnya melibatkan beberapa
enzim yang berperan dalam proses polimerisasi asetil ko-A
sampai terbentuknya PHA. Banyak dilaporkan jasad renik
yang mampu mengakumulasi PHA di dalam selnya.
Dengan modifikasi komponen genetik, beberapa bakteri
dilaporkan mampu mengakumulasi sampai 80% PHA di
dalam sel. Metabolit sel, seperti PHA, yang diakumulasi
oleh mikroba pengakumulasi polifosfat (MPF) menentukan
kemampuan adaptasi mikroba pada ekosistem anaerobikaerobik fosfat (Comeau et al., 1986; Sudiana et al., 1999).
Komunitas MPP mampu mengabsorpsi senyawa organik
(substrat) pada kondisi anaerobik, sedangkan komunitas
mikroba yang lain tidak mampu (Cech dan Hartman, 1990).
Dengan keuntungan tersebut komunitas jasad renik MPP
menjadi dominan pada lingkungan yang menerapkan
sistem anaerobik-aerobik (Sudiana et al., 1999). Hal
♥ Alamat korespondensi:
Jl. Juanda 18 Bogor 16122, Indonesia,
Tel. +62-251-324006, Fax. +62-251-325854
e-mail: [email protected]
tersebut disebabkan karena MPP mendapatkan substrat
organik dengan mudah (Ohtake et al., 1985; Lotter dan
Murphy, 1998; Sudiana et al., 1998). Belum diketahui
secara pasti karakteristik metabolisme MPP sehingga
mampu mengabsorpsi substrat pada kondisi anaerobik,
mengingat siklus Kreb yang merupakan sumber utama
pemasok energi (ATP) untuk absorpsi substrat tidak dapat
berfungsi pada kondisi anaerobik (Marais et al., 1983;
Satoh et al., 1992). Mino et al. (1995) menduga bahwa
energi yang digunakan oleh MPP untuk absorpsi substrat
pada kondisi anaerobik berasal dari hidrolisis polifosfat.
Hal tersebut diindikasikan oleh meningkatnya fosfat
terlarut (ortofosfat) pada kondisi anaerobik pada unit
pengolahan limbah (UPL) yang menggunakan sistem
anaerobik-aerobik. Kemudian banyak pertanyaan yang
muncul mengenai bagaimana cara sel mengatur energi,
termasuk menjaga kondisi potensial redoks yang imbang di
dalam sel. Dalam metabolisme yang normal, diketahui
senyawa organik yang diabsorpsi oleh sel akan mengalami
proses oksidasi dan reduksi. Kemudian Mino et al., (1987)
dan Satoh et al., (1992) mengemukakan bahwa senyawa
organik yang diabsorpsi pada kondisi anaerobik akan
diubah menjadi polihidroksialkanoat (PHA). Untuk sintesis
1 mol PHA diperlukan 2 mol ATP dan 2 mol NADH yang
berasal dari hidrolisis glikogen menjadi asam piruvat
(Sudiana, 1998; Jenkins dan Tandoi, 1999). Jadi, absorpsi
senyawa organik oleh MPP melibatkan beberapa metabolit
sel seperti glikogen dan PHA (Mino et al., 1995).
Komunitas MPP banyak dipelajari di negara sub-tropis
(Sudiana, 1998). Penelitian ini bertujuan mengetahui
komunitas MPP yang berasal dari UPL yang menerapkan
sistem anaerobik-aerobik, serta mempelajari karakteristik
absorpsi senyawa organik terutama asam asetat dan
glukosa dalam pembentukan komunitas MPP.
 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
B i o S M A R T Vol. 6, No. 1, April 2004, hal. 1-5
2
BAHAN DAN METODE
Sumber lumpur aktif
Lumpur aktif diambil dari UPL yang mengolah air
untuk pembuatan air minum di Tokyo yang menerapkan
sistem anaerobik-aerobik. Lumpur aktif yang diambil
berasal dari akhir fase aerobik.
Penyiapan anaerobik-aerobik SBR (sequential batch reactor)
Anaerobik-aerobik SBR adalah sistem yang
menerapkan kondisi anaerobik-aerobik pada satu tangki.
Reaktor seperti ini mempunyai keuntungan mudah
dioperasikan. Reaktor terbuat dari Tabung polyethylene
dengan total volume 2 l, dan volume kerja 1,8 l. Kondisi
anerobik dibuat dengan mengalirkan gas N2 pada awal fase
anaerobik kemudian reaktor ditutup untuk menghindari
kontak dengan udara luar. Kondisi aerobik dibuat dengan
mengalirkan udara ke dalam reaktor dengan menggunakan
pompa udara. Untuk mengatur kondisi substrat homogen,
lumpur aktif diaduk dengan menggunakan stirer. Pada
akhir fase aerobik stirer dimatikan untuk memudahkan
terjadinya pengendapan lumpur aktif. Sekitar 900 ml
supernatan pada akhir fase sedimentasi dibuang dan diganti
dengan air yang baru. Skema operasi reaktor tertera pada
Tabel 1. RUN-1, 2 dan 3 dimaksudkan untuk mengetahui
pengaruh glukosa, asetat dan periode anerobik-aerobik
terhadap produksi PHA.
Tabel 1. Kondisi operasi reaktor pada RUN-1, RUN-2, dan RUN3.
No.
Uraian
RUN-1
RUN-2
RUN-3
1
Anaerobik
3 jam
4 jam
6 jam
2
Aerobik
6 jam
8 jam
10 jam
3
Sedimentasi
1 jam
1 jam
1 jam
4
Beban
senyawa
organik
Sumber
karbon utama
0,52 kg.m3
. hari-1
0,52 kg.m3
. hari-1
50%
glukosa dan
50% asetat
10%
glukosa dan
90% asetat
0,52
kg.m-3.
hari-1
100%
asam
asetat
5.
Komposisi air limbah sintetik terdiri dari 50-100%
CH3COONa, (8-15%)% CH3COOH dan 10-50% C6H12O6
(Tabel 1). Senyawa penyangga terdiri dari 1,2% KH2PO4,
0,8% K2HPO4, 1,2% CaSO4, dan 0,6% MgSO4. Sumber N
berupa pepton sebesar 10%.
Penentuan MLSS (Mixed Liquor Suspended Soild)
Filter dikeringkan selama 4 jam pada suhu 105°C,
disimpan dalam eksikator, dan ditimbang bobotnya.
Sebanyak 15 ml sampel disaring dengan menggunakan
bantuan pompa hampa. Setelah itu filter dimasukkan
kedalam oven selama 4 jam pada suhu 105ºC, kemudian
dihitung MLSS dengan mencari selisih antara berat kering
filter sebelum dan setelah diberi Lumpur aktif, dibagi
dengan volume sampel (APHA, 1992).
Monitoring aktivitas reaktor
Aktivitas lumpur aktif dalam absorpsi senyawa organik
diikuti dengan mengukur senyawa organik total dengan
TOC 4100 Hitachi (Mino et al., 1995), yang dilakukan
pada saat awal fase anaerobik, akhir fase anaerobik serta
pada akhir fase aerobik. Aktivitas sintesis PHA di ukur
pada akhir fase anaerobik. Metode analisis mengikuti
Sudiana et al., 1998.
Percobaan curah
Percobaan curah dilakukan untuk mengetahui secara
akurat dinamika senyawa organik dan fosfat pada kondisi
anaerobik-aerobik, dan mengetahui secara akurat
komponen dari PHA yang terbentuk. Prosedur dan metode
pengukuran mengikuti Sudiana et al., 1998.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Terjadi absorpsi glukosa selama aklimasi lumpur aktif.
Absorpsi terbesar terjadi pada fase anaerobik. Perubahan
komposisi substrat tidak signifikan mengubah pola absorpsi
substrat (Gambar 1). Hal ini menunjukkan bahwa glukosa
dan asetat dapat dengan mudah digunakan oleh komunitas
mikroba lumpur aktif yang menggunakan sistem anaerobikaerobik. Di dalam unit pengolahan limbah domestik yang
merupakan asal dari lumpur aktif tersebut terdapat
bermacam-macam senyawa organik baik yang merupakan
hasil hidrolisis senyawa polimer maupun produk fermentasi
yang terjadi selama limbah di alirkan melalui saluran
penerimaan air buangan (sewerage system). Efektivitas
sistem anaerobik-aerobik dalam penanggulangan limbah
organik telah banyak dilaporkan, dan merupakan sistem
yang populer di Eropa dan Amerika dalam proses
pengolahan limbah domestik (Sudiana et al., 1998), namun
masih banyak yang belum diketahui untuk mengoptimasi
proses tersebut (Kortstee et al., 1994).
Senyawa organik yang telah diabsorpsi ke dalam sel
akan dikonversi lebih lanjut menjadi metabolit sekunder
seperti polihidroksialkanoat dan glikogen (Satoh et al.,
1992). Proses absorpsi senyawa organik pada kondisi
anaerobik merupakan proses metabolisme yang belum
banyak diketahui, karena pada proses ini melibatkan
beberapa metabolit sel yang saling berhubungan. Proses
anabolisme dan katabolisme di dalam sel merupakan
ekspresi yang tergantung dari karakteristik genetik mikroba
tersebut. Mikroba yang tumbuh pada kondisi anaerobikaerobik mampu melakukan proses respirasi yang berbeda
yaitu fermentasi pada kondisi anaerobik dan respirasi
dengan menggunakan oksigen sebagai akseptor elektron
terakhir pada kondisi aerobik (Mino, 1994). Respirasi
seperti tersebut diatas biasanya ditemukan pada khamir,
akan tetapi banyak bakteri yang mampu melakukan proses
fermentasi. Proses fermentasi tersebut digunakan untuk
mengoksidasi NADH yang terbentuk akibat proses
glikolisis (Satoh et al., 1992).
Sintesis PHA
Absorpsi substrat glukosa dan asetat pada fase
anaerobik sebagian besar diubah menjadi PHA (Gambar 2).
SUDIANA – Produksi PHA dalam lumpur aktif
Total karbon organik (mg/L)
RUN-1
RUN-2
RUN-3
500
400
300
200
100
0
0
20
40
Anaerobik-awal
60
80
Waktu aklimasi (hari)
Anaerobik-akhir
% PHA (mg PHA/mg berat
kering sel)
Gambar 1. Profil absorpsi senyawa organik selama aklimasi.
RUN-1
10
RUN-2
8
6
4
2
0
1
14
28
42
54
68
78
Waktu aklimasi (hari)
Biomassa (mg/L)
Gambar 2. Profil PHA selama waktu aklimasi.
RUN-1
3150
3100
3050
3000
2950
2900
2850
2800
0
25
RUN-2
50
3
75
Waktu aklimasi (hari)
Gambar 3. Profil biomassa selama proses aklimasi.
Pada awal aklimasi hanya sedikit PHA yang terbentuk,
kemudian setelah satu minggu aklimasi PHA yang
terbentuk makin tinggi. Maksimum produksi PHA sekitar
7.8%. Produksi ini cukup tinggi. Produksi PHA maksimum
oleh Synechocystis sp. dengan menggunakan asetat sebagai
sumber karbon utama adalah sekitar 10%. Kemampuan
produksi PHA tergantung jenis mikroba yang digunakan,
proses kultivasi, dan nutrien yang digunakan (Sudesh et al.,
2002). Manipulasi genetik juga telah dilakukan untuk
mendapatkan biakan unggul yang mampu memproduksi
PHA yang tinggi dengan
nutrien
yang
minimal.
Penggunaan biakan unggul
tersebut diharapkan dapat
mengurangi biaya produksi
PHA sebagai bahan dasar bioplastik yang ramah lingkungan
(Sudesh et al. 2002). Untuk itu
telah dicoba memproduksi
PHA dengan menggunakan
100
120
jasad renik yang mampu
melakukan
fotosintesis
sehingga
biaya
produksi
Aerobik-akhir
menjadi lebih rendah. Akan
tetapi produksi PHA oleh
jasad renik fotosintetik masih
lebih rendah dibandingkan
dengan
jasad
renik
heterotrofik. Ada usaha untuk
mengurangi biaya produksi
PHA dengan menggunakan
RUN-3
rekayasa
genetika
dari
tanaman. Dengan rekayasa
tersebut diharapkan tanaman
dengan mudah memproduksi
PHA dengan masa yang cukup
besar, sehingga biaya produksi
PHA dapat ditekan.
Profil sintesis biomassa
90
98
110
124
PHA pada sistem anaerobikaerobik relatif stabil. Terjadi
variasi sintesis yang tidak
begitu
signifikan
selama
aklimasi, terutama pada RUN2. Hal tersebut mungkin
disebabkan
oleh
variasi
metabolisme
yang
mengRUN-3
arahkan kepada sintesis PHA.
Perubahan dari substrat asetat
dan glukosa dengan porsi yang
sama ke media dengan
komposisi
utama
asetat
menyebabkan sedikit variasi
pada
sintesis
glikogen
(Sudiana et al., 1998).
Komponen utama dari PHA
100
125
adalah
polihidroksibutirat
(Tabel 2). Persentase dari PHB
tergantung dari sumber karbon
utama.
Persentase
PHB
tertinggi adalah ketika asetat
digunakan sebagai sumber karbon utama (Tabel 2).
Profil biomassa MPP
Terjadi peningkatan biomassa lumpur aktif selama
aklimasi (Gambar 3). Hal tersebut disebabkan oleh
peningkatan beban senyawa organik. Sebagian besar
biomassa yang terbentuk merupakan komunitas MPP,
seperti ditunjukkan oleh makin meningkatnya absorpsi
substrat pada kondisi anaerobik.
B i o S M A R T Vol. 6, No. 1, April 2004, hal. 1-5
4
Tabel 2. Komponen dari PHA selama aklimasi.
350
Percobaan curah
Setelah hari ke-35, ke-78 dan 124 hari (RUN-1, RUN-2
dan RUN-3) dilakukan percobaan curah untuk mempelajari
kinetika absorpsi substrat oleh lumpur aktif dan
karakteristik sintesis PHA oleh lumpur aktif. Glukosa dan
asetat dapat digunakan dengan cepat oleh komunitas MPP
(Gambar 4). Absorpsi yang optimum terjadi pada awal
waktu inkubasi. Hampir 90% glukosa dan asetat yang
ditambahkan diserap pada awal waktu aklimasi.
Total karbon organik (mg/L)
Karakteristik sintesis PHA
Sintesis PHA sangat cepat pada awal fase anaerobik
(Gambar 5).
600
500
400
RUN-1
300
RUN-2
200
RUN-3
100
0
0
100
200
Waktu (menit)
Gambar 4. Absorpsi asetat dan glukosa pada kondisi anaerobik
300
PHA (mg/L)
Komposisi (mol%)
Sumber
Kandungan
Waktu
34
3
karbon
PHA (%) hidroksi hidroksi hidroksi
aklimasi
utama
butirat butirat valerat
1
1,2
72
18
10
50%
7
2,3
70
20
10
glukosa
14
3,9
73
21
5
+ 50%
21
5,2
71
20
9
asetat
28
4,8
71
21
8
35
5,6
72
18
10
42
6,2
79
11
10
10%
49
7,1
81
12
7
glukosa
54
7,4
83
10
7
+ 90%
62
7,8
83
11
6
asetat
68
7,1
84
11
4
72
6,8
85
10
5
78
5,9
85
13
2
82
6,2
87
12
1
90
7,2
91
7
1
94
7,5
92
7
1
98
7,6
93
7
0
asetat
102
6,8
94
6
0
110
6,9
95
4
1
117
7,1
99
1
0
124
7,2
100
0
0
250
RUN-1
RUN-2
RUN-3
200
150
100
50
0
0
100
200
Waktu (menit)
Gambar 5. Profil sintesis PHA pada percobaan curah
Keberhasilan sistem anaerobik-aerobik dapat ditentukan
dengan kemampuan lumpur aktif mengabsorpsi substrat
organik pada kondisi anaerobik. Pada SBR yang dicoba
pada penelitian ini, lumpur aktif efektif menyerap glukosa
dan asetat pada kondisi anaerobik. Ada dua komunitas
mikroba yang mampu menggunakan senyawa organik pada
kondisi anaerobik di dalam unit pengolahan limbah yaitu
kelompok mikroba MPP, dengan PHA sebagai metabolit
utama, dan kelompok mikroba pengakumulasi glikogen
(Sudiana 1998). Kedua kelompok mikroba tersebut berpacu
dalam sistem anaerobik-aerobik untuk mendapatkan
substrat. Keberhasilan pembentukan komunitas MPP sering
juga berhubungan dengan pembentukan komunitas
mikroba pengakumulasi polifosfat (MPF). Kedua
komunitas tersebut menggunakan PHA sebagai salah satu
metabolit sel yang paling penting di dalam sel.
Kemampuan sel mengakumulasi PHA dipengaruhi oleh
status nutrisi di dalam media. Diketahui media yang
kekurangan nitrogen memacu terbentuknya PHA (Sudesh
et al., 2002). Metabolisme MPP dalam penyerapan
senyawa organik belum diketahui secara pasti. Analisis
metabolisme komunitas mikroba yang terbentuk dalam
sistem anaerobik-aerobik memperlihatkan meningkatnya
kandungan polihidroksi alkanoat (PHA) pada fase
anaerobik. Hal tersebut disebabkan oleh konversi senyawa
organik seperti glukosa dan asetat di dalam sel menjadi
PHA. Untuk sintesis PHA diperlukan donor elektron dan
energi dalam bentuk NADH dan ATP.
Metabolisme komunitas MPP serupa dengan MPF.
Yang menarik adalah pada fase anaerobik terjadi
penurunan glikogen di dalam sel. Satoh et al. (1992),
mengungkapkan bahwa kemungkinan hidrolisis glikogen
menjadi asam piruvat akan menghasilkan dua molekul ATP
dan dua molekul NADH. Kedua metabolit tersebut akan
digunakan oleh sel untuk memproduksi 1 mol PHA.
Metabolisme hidrolisis glikogen dan sintesis PHA
merupakan mekanisme sel mempertahankan nilai reduksioksidasi potensial di dalam sel (Mino et al., 1995). Pada
penelitian ini diketahui bahwa glukosa dan asetat dapat
digunakan dengan cepat. Kemungkinan kedua senyawa
tersebut diubah menjadi PHA. Dengan demikian MPF dan
MPP merupakan mikroba yang mampu mengakumulasi
PHA secara efisien. Untuk dapat mengontrol akumulasi
SUDIANA – Produksi PHA dalam lumpur aktif
PHA di dalam air limbah lebih efektif maka diperlukan
pengetahuan mengenai metabolisme MPP yang lebih detil
terutama bagaimana kontrol sintesis PHA dan hidrolisis
glikogen.
KESIMPULAN
Polihidroksialkanoat dapat diproduksi dengan menggunakan
proses
anaerobik-aerobik
yang
dapat
menghasilkan PHA sekitar 8%. Asetat dan glukosa
merupakan sumber karbon yang baik, dan komposisi
sumber karbon menentukan komponen PHA. Penggunaan
asetat sebagai sumber karbon utama dapat membentuk
PHA dengan polihidroksi butirat sebagai komponen utama.
Penggunaan sistem anaerobik-aerobik pada unit
pengolahan limbah mempunyai dua keuntungan yaitu dapat
menurunkan kandungan senyawa organik pada air limbah
buangan dan lumpur aktif yang digunakan dapat digunakan
sebagai bahan pembuatan bio-plastik.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Prof.
Dr. Takashi Mino dan Dr. Hiroyashu Satoh dari University
of Tokyo Japan atas bimbingan dan fasilitas penelitian yang
diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
APHA. 1992. Standard Methods for The Examination of Water and
Wastewater. 18th Ed. Washington D.C.: American Public Health
Association.
Cech, J.S., and P. Hartman. 1990. Glucose induced breakdown of
enhanced biological phosphorus removal. Environmental Technology
11 (2): 651-656.
Comeau, Y., K.J. Hall, R.E.W. Hancock, and W.K. Oldham. 1986.
Biochemical model for enhanced biological phosphorus removal.
5
Water Research 20 (12): 1511-1521.
Jenkins, D. and V. Tandoi. 1999. The applied microbiology of enhanced
biological phosphate removal, accomplishment and needs. Water
Research 25 (12): 1471-1478.
Kortstee, G. J. J., K. J. Appledoorn, C. F. C. Bonting, E. W. J. v. Niel, and
H.W. van Veen. 1994. Biology of polyphosphate accumulating
bacteria involved in enhanced biological phosphorus removal. FEMS
Microbiology Review 15: 137-153.
Lotter, L. H. and M. Murphy. 1998. Microscopic evaluation of carbon and
phosphorus accumulation in nutrient removal activated sludge plants.
Water Science Technology 20, 4/5: 37- 49.
Marais, G. van R., R.E. Leowenthal, and I.P. Siebritz. 1983. Observations
supporting phosphate removal by biological excess uptake-a review.
Water Science Technology 15: 15-41.
Mino, T. 1994. Biological Phosphorus Removal Technology,
Contemporary Studies in Urban Planning and Environmental
Management in Japan, Department of Urban Engineering & The
University of Tokyo, Japan. Tokyo: Kajima Institute Publisher.
Mino, T., H. Satoh, and T. Matsuo. 1995. Metabolism of different
bacterial populations in enhanced biological phosphate removal
Processes. Water Science Technology 29 (7): 67-70.
Mino, T., V. Arun, Y. Tsuzuki, dan T. Matsuo. 1987. Effect of
phosphorus accumulation on acetate metabolism in biological
phosphorus removal process. Water Science Technology 23: 567- 576
Ohtake, H., K. Takahashi, Y. Tsusuki, and K. Toda. 1985. Uptake and
release of phosphate by a pure culture of Acinetobacter calcoaceticus.
Water Research 19: 1587-1594.
Satoh, H., T. Mino, and T. Matsuo. 1992. Uptake of organic substrate and
accumulation of polyhydroxyalkanoate granule in Acinetobacter spp.
isolated from activated sludge. FEMS Microbiology Letter 94: 171174.
Sudesh, K., K. Taguchi, and Y. Doi. 2002. Effect of increased PHA
synthase activity on polhydroxyalkanoates biosynthesis in
Synechocystis sp. PCC6803. International Journal of Biological
Macromolecules 30: 97-104.
Sudiana, I.M., 1998. Metabolic characteristic and morphology of glycogen
accumulating organism in enhanced biological phosphorous removal
sludge. Prosiding Temu Ilmiah VII Perhimpunan Pelajar Indonesia di
Jepang. Hiroshima, 5-6 September 1998. hal: 180-184.
Sudiana, I.M., T. Mino, H. Satoh, and T. Matsuo. 1998. Morphology, insitu identification with rRNA targetted probe and respiratory quinone
profile of enhanced biological phosphorous removal sludge. Water
Science Technology 8-9: 69-76.
Sudiana, I.M., T. Mino, H. Satoh, K. Nakamura, and T. Matsuo. 1999.
Metabolism of enhanced biological phosphorous removal and nonenhanced biological phosphorous removal sludge with acetate and
glucose as carbon sources. Water Science Technology 39: 29-35.
Download