BAB II - Repository IAIN Pekalongan

advertisement
BAB II
PERILAKU PERANTAU DAN MORALITAS REMAJA
A. Perilaku Perantau
Merantau masih merupakan persoalan penting untuk kota-kota di
Indonesia. Terdapat faktor pendorong dan penarik bagi terjadinya merantau. Pada
tahap-tahap tertentu gejala merantau kota dapat mengalami perkembangan
sampai pada gejala merantau yakni saat justru orang kota mencari aktivitas dan
tempat tinggal di daerah penyangganya. Merantau sering dianggap sumber
masalah bagi penataan kota. Padahal sebenarnya masalah yang cukup kompleks
di sekitar merantau adalah menyangkut kondisi desa dan kesiapan kota dalam
menampung kaum perantau.
Pada bab ini pertama-tama akan dibahas pengertian tentang pengertian
perilaku perantau, faktor terjadinya perilaku perantau dan dampak perilaku
perantau.
1. Pengertian Perilaku Perantau
Menurut Paulus Hariyono, perilaku perantau adalah suatu proses
terbentuknya ciri-ciri kota yang kompleks disebabkan karena perpindahan
penduduk (migrasi) dari suatu daerah yang bersifat homogen (dapat desa atau
kota kecil) menuju daerah yang lebih bersifat heterogen (kota).1
1
Paulus Hariyono, Sosiologi Kota Untuk Arsitek (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm. 92.
25
26
Menurut Wahyu Ms, perilaku perantau adalah orang yang melakukan
perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke kota.
Perpindahan yang
bersifat permanen biasanya mengikuti jalur dari desa ke kota kecil dan kota
kecil ke kota agak besar, tetapi di Indonesia banyak juga terjadi perpindahan
dari desa langsung ke kota besar, misalnya ke Jakarta. Kemungkinan besar
hal ini dibsebakna karena transportasinya mudah dan murah, dan juga karena
kota besar menyediakan kemungkinan mendapatkan pekerjaan yang lebih
menguntungkan.2
Menurut Moh. Ali, perilaku perantau diartikan sebagai proses
pembengkakan kota yang diakibatkan oleh peningkatan jumlah penduduk
yang sangat cepat. Peningkatan ini disebabkan oleh pertumbuhan alami
penduduk kota dan adanya perpindahan penduduk dari desa ke kota. Dari
pengertian ini sering diartikan bahwa merantau adalah perpindahan penduduk
dari desa ke kota.3
Menurut Bintarto, perilaku perantau adalah orang yang melakukan
perpindahan penduduk dari desa ke kota. Merantau adalah masalah yang
cukup serius bagi kita semua. Persebaran penduduk yang tidak merata antara
desa dengan kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial
kemasyarakatan. Jumlah peningkatan penduduk kota yang signifikan tanpa
didukung dan diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan, aparat penegak
hukum, perumahan, dan penyediaan pangan.4
2
Wahyu Ms, Wawawan Ilmu Sosial Dasar (Surabaya: Usaha Nasional, 2004), hlm. 142.
Moh. Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Jakarta: Lentera, 2005), hlm. 271.
4
Bintarto, Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004),
3
hlm. 3.
27
Menurut
Hartomo,
perilaku
perantau
adalah
suatu
proses
berpindahnya penududuk dari desa ke kota atau dapat pula dikatakan bahwa
merantau merupakan proses terjadinya masyarakat perkotaan.5
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
perilaku perantau adalah orang yang melakukan perpindahan dari kota ke
desa atau masyarakat tertentu yang beralih dari sifat homogen menjadi
heterogen, baik disebabkan karena perkembangan masyarakat dari kawan itu
sendiri maupun karena pengaruh proses migrasi dari daerah lain.
2. Faktor Terjadinya Perilaku Perantau
Untuk mendapatkan suatu niat untuk hijrah atau pergi ke kota dari
desa, seseorang biasanya harus mendapatkan pengaruh yang kuat dalam
bentuk ajakan, informasi media massa, impian pribadi, terdesak kebutuhan
ekonomi, dan lain sebagainya. Pengaruh-pengaruh tersebut bisa dalam bentuk
sesuatu yang mendorong, memaksa atau faktor pendorong seseorang untuk
merantau, maupun dalam bentuk yang menarik perhatian atau faktor penarik.
Berduyun-duyunnya orang meninggalkan daerah (desa atau kota kecil)
menuju kota lebih besar tentu disebabkan ada sesuatu yang lebih menarik dan
menguntungkan untuk tinggal di kota besar, sementara di desa atau daerah
tidak lagi menarik dan kurang menguntungkan untuk hidup.
5
Hartomo, Ilmu Sosial Dasar (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 248.
28
Menurut Paulus Hariyono, faktor terjadinya merantau adalah:6
a. Daya tarik kota (pull factors)
Daya tarik kota awal mula terjadi ketika proses industrialisasi di
kota terjadi. Dunia industri membutuhkan berbagai macam ragam tenaga
kerja terampil sampai dengan tenaga kerja kasar. Penghasilan yang lebihh
mudah diperoleh melalui partisipasi di sector industri ini berakibat
derasnya arus merantau. Keuntungan menjadi tenaga kerja di kota yaitu
biasanya telah ada standard penghasilan untuk setiap jenis ketermapilan
dengan pengalaman kerja dan masa kerja tertentu. Keuntungan yang lain
yaitu biasanya terdapat suatu perserikatan kerja yang melindungi tenaga
kerja dari kemungkinan kerugian seperti persoalan besar upah dan
tunjangan
kesejahteraan.
Biasanya
peserikatan
ini
memberikan
perjuangan yang menguntungkan bagi tenaga kerja. Standar gaji minimun
biasanya tidak mungkin turun, demikian pula jenis dan besar tunjangna
kesejahteraan.
b. Daya dorong desa (push factors)
Di negara berkembang arus penduduk dari desa ke kota
tampaknya lebihh banyak disebabkan daya dorong desa daripada daya
tarik kota. Kenyataan menunjukkan bahwa desa biasanya mengandalkan
tanah atau sawah sebagai sumber penghasilan penduduknya. Kelemahan
dari sumber natural ini adalah bahwa tanah tidak bias berkembang atau
meluas, bahkan akan menyempit apabihla dibagi waris kepada anak cucu.
6
Paulus Hariyono, op.cit., hlm. 101.
29
Oleh karena itu, dapat dikatakan desa tidak dapat memberi banyak
peluang kerja yang mendatangkan penghasilan secara cukup. Sementara
intensifikasi pertanian atau revolusi hijau seringkali hanya mampu
dilakukan oleh pemilik tanah yang luas. Dengan tanah yang luas mereka
mampu melakukan percobaan bagi intensifikasi pertanian, sementara
teknik penanaman secara tradisional tetapi dilakukan di lahan yang lain
sehingga penghasilan dan hidupnya masih dapat terjamin apabila
percobaan intensifikasi pertanian gagal.
Dengan demikian, kondisi desa yang memberikan alternatif secara
terbatas akan mendorong pemudanya untuk meninggalkan desa. Lahan
pertanian yang terbatas, jenis lapangan pekerjaan yang terbatas, serta
besar pendapatan yang terbatas mendorong penduduknya mencari
alternatif pekerjaan yang lebih beragam yang lebih menjanjikan di kota
besar.7
Menurut Wahyu Ms, pada umumnuya gerakan pindah ke kota tidak
dikehendaki oleh pemerintah kota di Indonesia, sebabnya lebih banyak
mendatangkan kerugian bagi kota daripada menguntungkan. Para merantau
secara untung-untungan datang ke kota untuk mendapatkan lapangan
pekerjaan dan karena mereka kurang memiliki keterampilan khusus
(spesialis), kurang berjiwa wiraswasta, kebanyakan mereka menjadi
”pengangguran” yang hidup sebagai gelandangan, tidak mempunyai tempat
tinggal, bahkan mereka secara tidak langsung mengotori lingkungan kota dan
7
Ibid., hlm. 102.
30
sekitarnya. Merantau ialah migrasi dorong-tarik (push-pull) gerak manusia
tersebut akibat dorongan atau tarikan, atau kominasi kedua-duanya. Merantau
di negara maju terutama bersifat tarikan, kota menarik orang-orang pedesaan
kaerna dibutuhkan tenaga dan keterampilan mereka didalam kegiatan kota
yang selalu berkembang. Mereka memperoleh keuntungan finnasial dan
disambut baik di kota. Sebaliknya migrasi desa-kota di negara berkembang
seperti Indonesia lebih bersifat mendorong. Desa mendorong atua mengusir
mereka ke luar desa, karena pedesaan tidak mempunyai cukup lapangan
pekerjaan. Jadi merantau ini merupakan gejala sosial yang buruk,
menandakan bahwa des sudah mengalami tekanan penduduk, sudah
kelebihan penduduk. 8
Menurut Hartomo, apabila hendak ditinjau sebab merantau, maka
harus diperhatikan dua sudut yaitu:
a. Faktor yang mendorong penduduk desa untuk meninggalkan daerah
kediamannya (push factors)
Sebab-sebab pendorong orang desa meninggalkan tempat
tinggalnya secara umum adalah sebagai berikut:9
1) Di desa lapangan pekerjaan umumnya berkurang, yang dapat
dikerjakan adalah terutama kesemuanya berhubungan dengan
kesulitan di bidang irigasi serta areal tanah yang kemudian secara
paralel disertai gejala kebanyakan penduduk.
8
9
Wahyu Ms, op.cit., hlm. 147.
Hartomo, op.cit., hlm. 250.
31
2) Penduduk desa, terutama kaum muda-mudi, merasa tertekan oleh
adat-istiadat yang ketat yang mengakibatkan suatu cara hidup yang
monoton. Untuk mengembangkan pertumbuhan jiwanya, banyak yang
muda-mudi yang pergi ke kota.
3) Di desa tidak banyak kesempatan untuk menambah pengetahuan.
Oleh sebab itu, banyak orang yang ingin maju kemudian
meninggalkan desanya untuk menambah pengetahuan di kota.
4) Rekreasi yang merupakan salah satu faktor penting di bidang spiritual
kurang sekali dan kalau juga ada, perkembangannya sangat lambat.
5) Bagi penduduk desa yang mempunyai keahlian lain daripada bertnai
seperti misalnya kerajinan tangan, tentu menginginkan pasaran yang
lebih luas lagi hasil produksinya, ini tidak mungkin didapatkan di
desa.
b. Faktor yang ada di kota yang menarik penduduk desa untuk pindah dan
menetap di kota (pull factors).
Ada beberapa faktor penarik dari kota, antara lain:
1) Penduduk desa yang kebanyakan mempunyai anggapan bahwa di kota
banyak pekerjaan serta banyak penghasilan (uang). Oleh kaern
sirkulasi uang di kota jauh lebih cepat, lebih besar dan lebih banyak,
maka secara relatif lebih mudah untuk mendapatkan uang daripada di
desa.
32
2) Di kota lebih banyak kesempatan untuk mendirikan perusahaan
industri dan lain-lain. Hal ini disebabkan oleh karena lebih mudahnya
didapatkan izin dan terutama kredit dari bank.
3) Kelebihan modal di kota lebih banyak daripada di desa.
4) Pendidikan lebih banyak di kota dan dengan sendirinya lebih mudah
didapat.
5) Kota merupakan suatu tempat yang lebih mengutnungkan untuk
mengembangkan jiwa dengan sebaik-baiknya dan seluas-luasnya.
6) Kota dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dan
merupakan tempat pergaulan dengan segala macam orang dari segala
lapisan.10
Menurut Bintarto, secara rinci ada beberapa sebab yang mendorong
terjadinya merantau, antara lain:
a. Jumlah penduduk di desa terus bertambah, sementara tanah pertanian
tetap dan pengolahannya belum dapat diintensifkan.
b. Di desa kesempatan menambah pengetahuan dan keterampilan terbatas,
sebab fasilitas pendidikan di desa tersedia sangat terbatas. Oleh karena itu
banyak pemudah masyarakat desa yang meninggalkan desanya untuk
meningkatkan pendidikannya ke kota.
c. Pergaulan di kota lebih luas dan lancar, sehingga dapat menciptakan
cakrawala pandangan yang lebih luas pula. Sedang komunikasi pergaulan
10
Ibid., hlm. 251.
33
di desa sangat terbtas dan tidak lancar, sehingga membuat anggota
masyarakat yang monoton sulit untuk berkembang.
d. Tempat rekreasi dan kesenian sangat terbatas sedang di kota tempattempat hiburan dan rekreasi cukup memadai. Oleh karena itu para
pemuda atau masyarakat desa lebih terdoron guntuk hidup di kota dengan
meninggalkan desanya.
e. Di masyarakat pedesaan ikatan sosial berlaku sangat kuat dan kaku, yaitu
ikatan nilai-nilai dan norma adat terhadap semua anggota masyarakat atua
warganya. Maka dari itu banyak pemuda yang mengembangkan pola
berpikir baru dengan melepaskan ikatan dan peninggalan nilai-nilai yang
ada di desanya dengan jalan merantau.11
3. Dampak Perilaku Perantau
Menurut Paulus Hariyono akibat terjadinya merantau tidak saja
penduduk kota mengumpul di pusat kota, tetapi selanjutnya terjadi kejenuhan
tinggal di pusat kota yang berakibat penduduk (khususnya sbeagian golongan
masyarakat kelas menengah dan atas) mengalihkan tempat tinggalnya di
pinggir kota. Pada tahap tertentu dengan kondisi yang berbeda mereka
kembali lagi ke pusat kota dengan gejala kota dipenuhi dengan apartemen,
perumahan ekslusif, rumah took, dan rumah susun. Pada tahap selanjutnya
masyarakat kelas atas dan kaum elite dengan tingkat kemakmuran yang lebih
tinggi, memiliki orientasi tinggal di luar kota sebagai suatu rekreasi pada saat
tertentu beserta aktivitas tertentu yang menyertainya. Gejala ini dapat dilihat
11
Bintarto, op.cit., hlm. 5.
34
dengan tumbuhnya villa-villa dan tempat peristirahatan di daerah penyangga
kota. Upaya untuk mengurangi ledakan penduduk di kota dapat dilakukan
dengan mengurangi arus merantau, mengurangi kesenjangan antara desa dan
kota dan menerapkan konsep agropolitan. 12
Menurut Wahyu Ms, urbansiasi mengakibatkan pertumbuhan
penduduk kota bertmabah banyak, hal ini dirasakan akibatnya oleh
pemerintah kota. Pertambahan jumlah penduduk kota akan menimbulkan
kejadian-kejadian seperti kepadatan penduduk di kota besar, meningkatnya
jumlah pengangguran yang akan berujung kepada meningkatnya jumlah
kriminalitas di kota besar. 13
Menurut Hartomo, perantau yang tidak teratur mengakibatkan
beberapa keadaan yang merugikan bagi kota. Penduduk desa yang
berbondong-bondong mencari pekerjaan di kota menjumpai kekecewaan
yang besar karena besarnya jumlah mereka yang mencari pekerjaan, maka
timbul persaingan antara mereka sendiri yang ditambah pula dengan
persaingan yang datang dari penduduk kota sendiri. Orang-orang desa tidak
mengerti bahwa mereka harus berjuang sendiri di kota tidak akan ada orang
lain yang mau membantunya. Cita-cita yang muluk akhirnya terhambat lalu
timbullah pengangguran yang pada akhirnya mengakibatkan meningkatnya
tuna karya.14
12
Paulus Hariyono, op.cit., hlm. 107.
Wahyu Ms, op.cit., hlm. 146.
14
Hartomo, op.cit., hlm. 253.
13
35
Menurut Bintarto, dampak dari merantau antara lain:
a. Memoderenisasikan dan menambah pengetahuan warga desa
b. Menjalin kerja sama yang baik antarwarga suatu daerah
c. Mengimbangi masyarakat kota dengan masyarakat desa
d. Terbentuknya suburb tempat-tempat pemukiman baru dipinggiran kota
e. Makin meningkatnya orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap
f. Masalah perumahan yg sempit dan tidak memenuhi persyaratan kesehatan
g. Lingkungan hidup tidak sehat, timbulkan kerawanan sosial dan
kriminal.15
B. Moralitas Remaja
1. Pengertian Moralitas Remaja
Istilah moral berasal dari kata Latin mores yang artinya tata cara
dalam kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan. Moral pada dasarnya
merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus
dipatuhi. Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur
perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan
masyarakat. Moral merupakan standar baik dan buruk yang ditentukan
individu oleh nilai-nilai sosial budaya dimana individu sebagai anggota
sosial.16 Untuk lebih memahami persoalan di seputar istilah etika dan moral,
dan untuk kepentingan kajian lebih lanjut, perlu kiranya dikemukakan sebuah
15
Bintarto, op.cit., hlm. 6.
Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik
(Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005), hlm. 136.
16
36
definisi tentang kedua masalah tersebut.
17
Etika disepadankan dengan kata
moral atau dalam bahasa latin, mos yang bentuk jamaknya mores, yang
berarti adab, kesusilaan, sopan santun, dan tradisi.18
Moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan,
akhlak, kewajiban dan sebagainya. Dalam moral diatur segala perbuatan yang
dinilai baik dan perlu dilakukan, dan suatu perbautan yang dinilai tidak baik
dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan
antara perbuatan yang benar dan salah. Dengan demikian, moral merupakan
kendali dalam bertingkah laku.19
Moral dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sama dengan
sesuainya tindakan manusa dengan ide-ide umum yang diterima, mana yang
baik dan wajar baik yang datang dari Tuhan maupun manusia.20 Sedangkan
moral dalam bahasa Arab merupakan terjemahan dari kata akhlak yang
artinya tabiat, perangai, adat istiadat dan perilaku.21 Secara etimologis moral
diartikan dekat dengan etika. Moral berasal dari bahasa latin “mores”, yang
berarti akhlak, tabiat, kelakuan, cara hidup, adat istiadat yang baik dan dari
kata itu terbentuk kata “moralis” yang artinya berkaitan dengan akhlak,
tabiat, dan kelakuan. Kemudian dari kata ”moralis” turun kata ”moral” yang
digunakan untuk menyebut baik-buruknya manusia sebagai manusia dalam
17
K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 4
Muhammad AR. Pendidikan di Alaf Baru; Rekonstruksi atas Moralitas Pendidikan
(Yogyakarta: Prisma Sophie Press, 2003), hlm. 74
19
Sunarto dan Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2002), hlm. 169.
20
WJS. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001),
hlm. 654.
21
Ahmad Ta’rifin dan Moh. Yasin Abidin, Demokratisasi dan Paradigma Baru Pendidikan
(Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2007), hlm. 5.
18
37
hal sikap, perilaku, tindak tanduk dan perbuatannya. ”Moralitas” merupakan
kata benda dari kata moral yang mengacu pada mutu baik-buruknya manusia
sebagai manusia.22
Sejalan dengan pengertian di atas, Poespopodjo berpendapat moralitas
adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa
perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup tentang
baik-buruknya perbuatan manusia.23 Moralitas memberi manusia aturan dan
petunjuk kongkrit tentang bagaimana manusia harus hidup, bagaimana
manusia harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik dan
bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik.24
Sementara Bertens, mengartikan moralitas sebagai sikap hati orang
yang terungkap dalam tindakan lahiriah (mengingat bahwa tindakan
merupakan ungkapan sepenuhnya dari sikap hati). Moralitas terdapat apabila
orang mengambil yang baik karena ia sadar akan kewajibannya dan
tanggungjawabnya, sehingga moralitas adalah sikap dan perbuatan yang
betul-betul tanpa pamrih.25
Lebih lanjut Sudarwan Danim mengatakan secara universal dan
hakiki, moralitas merupakan aturan, kaidah baik dan buruk, simpati atas
fenomena kehidupan dan penghidupan orang lain dan keadilan dalam
bertindak. Manusia bermoral berarti manusia yang menjadi pribadi utuh
22
A. Mangun Harjana, Isme-isme dalam Etika dari A-Z (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm.
158
23
W. Poespopodjo, Filsafat Moral (Bandung: Pustaka Grafita, 2005), hlm. 118.
Burhanudin Salam, Etika Sosia: Asas Moral dalam Kehidupan Manusia (Jakarta: Rineka
Cipta, 2007), hlm. 3.
25
K. Bertens, op.cit., hlm. 7.
24
38
secara jasmani dan rohani, serta mengetahui bagaimana seharusnya dia
bertindak untuk menjadi pribadi yang ideal di mata masyarakat. Dengan
demikian tingkah laku yang bijak atau arif akan membawa seseorang ke
dalam kehidupan yang baik sebagai individu atau masyarakat di mana dia
berada. Mereka inilah orang-orang yang keseharian hidupnya bermaslahat
bagi individu dan anggota masyarakat pada umumnya. 26
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa moralitas adalah penafsiran
dari nilai dan ajaran yang dikandung dalam anggapan-anggapan moral
tersebut.27 Ajaran moral yang dimaksud di sini adalah ajaran-ajaran yang
berasal dari nilai-nilai agama yang belum tertuang ke dalam penafsiran atau
bisa jadi ajaran moral itu berupa ajaran yang diketemukan dari konsepkonsep. Karena itu, dalam pengertian ini, moralitas lebih universal dari pada
etika.
Dengan melihat beberapa asumsi di atas, maka ada empat hal yang
dapat di kemukakan mengenai moralitas dalam konteks penamaanya dalam
kehidupan manusia:28 Pertama moralitas adalah suatu ajaran hidup. Kedua
yang dapat diartikan sebagai seperangkat atau instrument moral yang berisi
aturan-aturan yang diikuti atau yang lebih lazim disebut dengan kode moral.
Ketiga, keterangan-keterangan tentang jalan-jalan bagi kehidupan dan aturanaturan yang di ikuti. Dan yang keempat adalah yang berkaitan dengan tujuan
hidup manusia dalam menjalani kehidupan di dunia.
26
Sudarwan Danim, Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003), hlm. 65.
27
Farnz Magries Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritik (Yogyakarta: Kanisius, 2008) hlm. 31
28
Heru Santoso Landasan Etika Bagi Perkembangan Teknologi (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2000), hlm. 9
39
Sebagai sebuah hasil refleksi filsafat, disiplin ilmu pengetahuan dan
gaya hidup. Moralitas tidak selalu identik dengan ajaran-ajaran baik yang
bagaimana dalam mengorientasikan hidup kepada hal-hal yang mulia, sebab
pada kenyataannya dilihat dari bagian-bagiannya (macam-macamnya), dan
secara umum moralitas juga mempunyai potensi mengajak manusia untuk
bertindak dan berbuat yang menafikan nilai-nilai kemanusiaan.
Diskusi
mengenai
moralitas
dalam
pengertian
yang
umum
mempunyai beberapa pengertian yaitu, sebagai tingkah laku dan prinsip
tindakan moral. Dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, moralitas adalah
cabang filsafat yang membahas teori tentang tindakan arah, serta tujuan
tindakan, ilmu yang berkaitan dengan nilai-nilai dan ide-ide. Ilmu yang
menyelidiki perbuatan baik dan buruk dan ilmu baik dan buruk serta
menyatakan tujuan yang harus dituju manusia dalam perbuatan mereka dan
menunjukkan jalan untuk melakukan perbuatan mereka.29
2. Landasan Moralitas Remaja
Dalam sejarah dan dalam kenyataan moralitas selalu diasumsikan
sebagai sekumpulan asas-asas yang tertuang dalam aturan formal spesifik
sebagaimana yang dikenal dalam undang-undang fiqih yang lambat laun hal
ini dapat berakibat pada kesan yang miring dan kurang sehat terhadap agama
Islam itu sendiri. Kesan miring itu dapat dilihat dari beberapa prasangka yang
29
Abdul Basir Solisso, “Etika Otoniom”, Upaya Memahami Etika Islam, dalam Jurnal Ilmuilmu Ushuluddin Esensia. Vol. 21 No.I (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2001), hlm.102-103.
40
salah satunya adalah image dan persepsi berupa statemen bahwa Islam tidak
punya sistem moralitas.30
Dalam moralitas agama, termasuk Islam atau lebih umum dikenal
dengan moralitas religius tidak lepas dari istilah-istilah bahasa interpretative
yang terdapat dalam kategori-kategori moral yang terdapat dalam kitab-kitab
ajaran atau yang lainnya.31 Al-Qur’an sebagai kitab suci bukanlah kitab
dokumen yang berisi kumpulan aturan formal spesifik, dan harus diakui pula
bahwa ia bukanlah buku yang berisi teori-teori moralitas dalam arti yang
baku, akan tetapi ia adalah kitab yang melibatkan seluruh kehidupan moral,
keagamaan dan sosial umat Islam. Harus diakui pula bahwa al-Qur’anlah
yang telah membentuk keseluruhan etos dari umat Islam.
Pengertian moralitas dipakai untuk membahasakan pembahasan
tentang rumusan-rumasan perangkat nilai yang sudah jadi dan siap pakai.
Sistem moralitas dalam Islam mempunyai sistem dan elemen yang dalam
beberapa segi berbeda dengan sistem moralitas kontemporer. Dalam sistem
sebagaimana yang ditunjukan al-Qur’an bahwa konsep mengenai moralitas
adalah sama dengan al-Qur’an. Al-Qur’an adalah agama Islam itu sendiri,
artinya bahwa moralitas adalah agama itu sendiri. Begitu eratnya antara
moralitas dan agama itu hingga keduanya tidak bisa dipisahkan karena di atas
moralitaslah agama separuhnya dibangun. Sedangkan ajaran yang merupakan
ajaran pertama kali dari Islam adalah keimanan terhadap Tuhan Yang Maha
30
Endang Daruni Asdi, Imperatif Kategoris Dalam Filsafat Moral Immanuel Kant
(Yogyakarta: Likma Ofcet, 2007), hlm.12.
31
Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius Dalam Al-Qur’an, terj. Agus Fahri
Husein dan A.E. priyono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm.15
41
Esa, yaitu ajaran yang secara sendirinya melahirkan tata nilai yang
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa (Rabbaniyah).32
Kedudukan agama dalam moralitas tidak hanya relevan sebagai satu
sistem yang mengatur tingkah laku manusia, tetapi juga agama dapat
dijadikan sebagai komponen metafisika dari kajian moralitas dalam proses
derivasinya dalam kehidupan manusia.33
Agama dapat berfungsi sebagai
sandaran apriori yang tidak hanya demi keharusan universalnya, tapi juga
untuk menjaga sakralitas yang dikandung dalam norma moralitasnya.
Pada akhirnya untuk menemukan sistem yang benar religius itu
sebagaimana yang dicantumkan dalam al-Qur’an bahwa manusia harus
kembali kepada tugas dan primordialnya sesuai dengan yang telah
disepakatinya sebelum ia diciptakan bahwa manusia diciptakan dengan cara
moralitas Ilahi dan dengan tugas Ilahi yaitu sebagai wakil untuk menjadi
kholifah, maka oleh sebab itu ia harus berlaku dengan citra tersebut demi
realisasi pesan kekholifahan itu.
Singkatnya dalam Islam moralitas adalah Islam itu sendiri dan Islam
adalah al-Qur'an. Artinya ajaran-ajaran yang ada dalam al-Qur’anlah pada
tingkat yang paling militan dan ekstrim yang seharusnya menjadi sistem
moralitas dan yang paling absah untuk dilaksanakan.
32
Rabbaniyah yaitu tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup dan seluruh realitas
yang ada dalam tata ruang kosmos ini berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan. Nurcholish
Masjid, “Islam Doktri dan Peradaban”, Sebuah telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan,
Kemanusian dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 45
33
Ahmad Mahmud Shubhi, Filasafat Etika Tanggapan Kawan Rasional dan Intuisional
Islam, terj. Yunan Askaruz-zaman Ahmad (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), hlm. 27
42
3. Kegunaan Moralitas Remaja
Akhir-akhir ini masih sering sekali dalam media informasi yang
menunjukkan merosotnya moralitas masyarakat dan disuguhi peristiwa
tawuran pemuda antar kampung ataupun desa, peristiwa ini sudah merambah
keberbagai penjuru negara khususnya di Indonesia. Kalau dilihat memang
banyak faktor yang menjadi penyebab bobroknya moralitas banga yang
akhirnya menyebabkan krisis multidimensional, yang seharusnya dilakukan
adalah kesadaran introspeksi, evaluasi, kemudian mencari terapi atau jalan
keluarnya dari semua aspek dan bagian.
Dalam aplikasi dan kegunaannya moralitas pada tingkat pelajar, para
ahli dan praktisi pendidikan tampaknya sepakat bahwa pendidikan budi
pekerti atau moralitas sangat penting dan mestinya segera terwujud. Maka di
sini perlu ditekankan bagaimana sebenarnya kegunaan moralitas dalam
kehidupan ini khususnya dalam pendidikan.
Sudah tidak bisa dihindari lagi bahwa kita harus mengkaji ulang
pemahaman ajaran al-Qur’an dan prakteknya di tengah-tengah masyarakat
yang berkaitan dengan moralitas atau akhlak yang juga harus mencakup
moralitas sosial. Maka dari sinilah adanya keharusan untuk kembali pada
ajaran agama, sehingga mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang
baik dan selamat di dunia dan akhirat.34 Maka Perbuatan-perbuatan yang
tercela haruslah dihindari, terlebih pada perbuatan yang akan merugikan
orang lain dan masyarakat pada umumnya.
34
Ahmad Mahmud Shubhi, Op.cit, hal. 28.
43
Dengan kata lain, suatu tindakan akan dinilai etis ketika perbuatan itu
bermanfaat kepada orang lain termasuk kepada dirinya sendiri dan mampu
menghindarkan kemudaratan. Sebaliknya tindakan disebut tidak etis jika
memang akan merugikan atau membahayakan orang lain.35
Ketika sains akan dibawa dalam dataran sebagai sebuah konsep untuk
moralitas lingkungan hidup, maka yang perlu ditegaskan lagi bahwa sains
atau ilmu adalah suatu bentuk aktivitas manusia yang dengan melakukannya
manusia memperoleh suatu perubahan dan pemahaman yang senantiasa lebih
lengkap dan lebih cermat tentang pengalaman untuk menyesuaikan dirinya
dengan lingkungan yang ada.
Dari sini moralitas sangat dibutuhkan, karena moralitas akan
memberikan arah untuk kita capai, hal ini yang mendasari adalah fenomenafenomena yang terjadi akhir-akhir ini tentang isu globalisasi. Sehingga
moralitas akan menjadi wacana dalam moralitas lingkungan hidup dengan
dasar sains apakah itu perspektif ekologi, ilmu lingkungan, bioetika dan yang
lainnya. Moralitas dalam hal ini dipandang sebagai sebuah aturan yang
digunakan sebagai rambu-rambu dalam aktivitas manusia di dunia ini. Dalam
aktivitasnya, manusia harus mempu mengaplikasikan ilmu yang didasari pada
nilai-nilai moral dan bisa menentukan mana yang baik dan mana yang buruk,
sehingga visi yang diemban bisa tercapai dengan baik dan sempurna.
35
Ibid, hlm. 29.
44
Dalam bukunya Etika Dasar karya Franz Magis Suseno mengatakan,
sekurang-kurangnya ada empat alasan, mengapa moralitas pada waktu
sekarang semakin diperlukan: 36
a. Kita hidup dalam masyarakat yang semakin Pluralistik, juga dalam
bidang moralitas. Tiap hari kita bertemu orang-orang dari suku, daerah,
agama yang berbeda-beda. Kesatuan tatanan normatif sudah tidak ada
lagi, kita berhadapan dengan sekian banyak pandangan moral yang saling
bertentangan dan semua mengajukan klaim mereka pada kita.
b. Kita hidup dalam masa transformasi masyarakat yang tanpa tanding
perubahan itu terjadi di bawah hantaman kekuatan yang mengenai semua
segi kehidupan kita yaitu gelombang modernisasi. Tidak perlu kita
mencoba untuk mendefinikan di sini apa yang dimaksud dengan
modernisasi. Jelaslah bahwa modernisasi itu telah sampai ke segala
penjuru tanah air, sampai ke pelosok-pelosok yang paling terpencil. Tidak
ada dimensi kehidupan yang terlena. Dalam era globalisasi dampak dari
perkembangan IPTEK sangat banyak, baik yang bermanfaat maupun yang
merugikan, untuk itu dalam mengeliminir dampak tersebut maka
sebaiknya dimulai dari bidang pendidikan.37
c. Tidak mengherankan bahwa proses perubahan sosial budaya dan moral
yang akan kita alami ini dipergunakan oleh pelbagai pihak untuk
memancing dalam air keruh. Mereka menawarkan ideologi-ideologi
mereka sebagai obat penyelamat. Moralitas dapat membantu kita sanggup
36
Franz Magis Suseno, Etika Dasar; Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta;
Kanisius, 2007), hlm. 15.
37
Ibid, hlm. 223
45
untuk menghadapi ideologi-ideologi itu dengan krisis dan obyek dan
untuk membentuk penilaian sendiri, agar kita tidak terlalu mudah
terpancing. Moralitas juga membantu agar kita jangan naif atau ekstrim.
Kita jangan cepat-cepat memeluk segala pandangan yang baru tetapi juga
jangan menolak nilai-nilai hanya karena baru dan belum biasa.
d. Moralitas juga diperlukan oleh kaum agama yang disatu fihak
menemukan dasar kemantapan mereka dalam iman kepercayaan mereka,
dilain fihak sekaligus mau berpartisipasi tanpa takut-takut dan dengan
tidak menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang
sedang berubah itu.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Moralitas Remaja
Menurut Frans Magnis Suseno, moral seseorang dipengaruhi oleh 4
hal, yaitu:
a. Kebiasaan
Seseorang yang terbiasa hidup di lingkungan yang baik, maka ia
akan menyesuaikan dirinya dalam lingkungan tersebut sehingga sikap
yang dihasilkan adalah sikap yang bermoral. Namun sebaliknya, apabila
seseorang terbiasa berada dalam lingkungan yang keras maka sikap yang
dihasilkan adalah sikap yang tidak baik (tidak bermoral).
b. Pendidikan
Pendidikan akan membawa dan membina mental seseorang
menjadi baik, cerdas dan bermoral. Namun apabila pendidikan yang
diberikan hanya bersifat transfer of knowledge tanpa memperhatikan
46
aspek budi pekerti, maka hasil yang diperoleh adalah manusia yang tidak
bermoral.38
c. Agama
Agama mempunyai peranan yang penting dalam pembinaan
moral, karena nilai-nilai moral yang datang dari agama bersifat tetap,
tidak berubah-ubah oleh waktu dan tempat.39 Seseorang yang sejak kecil
telah ditanamkan pengelaman-pengalaman tentang ajaran agama, maka ia
akan terbiasa hidup dengan nilai-nilai moral yang terdapat pada ajaran
agama. Namun sebaliknya, apabila pengalaman-pengalama tentang ajaran
agama, tidak pernah didapat oleh seseorang, maka kebiasaan hidupnya
akan sarat dengan ajaran-ajaran agama.
d. Kesadaran
Kesadaran jiwa timbul sebagai akibat hasil pengalaman,
pertimbangan akal/kecerdasan yang dikuatkan oleh kemauan. Seseorang
yang mengoreksi dan menyeleksi perbuatannya akan memiliki kesadaran
untuk melakukan suatu perbuatan yang dinilai baik dan meninggalkan
suatu perbuatan yang bernilai buruk, serta terbuka pada pembenaran dan
penyangkalan yang dapat dipertanggung jawabkan dengan argumentasi
yang masuk akal.40
e. Merantau
Terjadinya merantau tidak saja penduduk kota mengumpul di
pusat kota, tetapi selanjutnya terjadi kejenuhan tinggal di pusat kota yang
38
Frans Magnis Suseno, op.cit., hlm. 141.
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama,Cet, ke-15 (Jakarta: Bulan Bintang, 2006), hlm. 83.
40
Frans Magnis Suseno, op.cit., hlm. 141.
39
47
berakibat penduduk (khususnya sbeagian golongan masyarakat kelas
menengah dan atas) mengalihkan tempat tinggalnya di pinggir kota. Pada
tahap tertentu dengan kondisi yang berbeda mereka kembali lagi ke pusat
kota dengan gejala kota dipenuhi dengan apartemen, perumahan ekslusif,
rumah took, dan rumah susun. Pada tahap selanjutnya masyarakat kelas
atas dan kaum elite dengan tingkat kemakmuran yang lebih tinggi,
memiliki orientasi tinggal di luar kota sebagai suatu rekreasi pada saat
tertentu beserta aktivitas tertentu yang menyertainya. Gejala ini dapat
dilihat dengan tumbuhnya villa-villa dan tempat peristirahatan di daerah
penyangga kota. Upaya untuk mengurangi ledakan penduduk di kota
dapat dilakukan dengan mengurangi arus merantau, mengurangi
kesenjangan antara desa dan kota dan menerapkan konsep agropolitan. 41
5. Indikator Moralitas Remaja
Manusia yang memiliki moralitas tinggi akan memiliki ciri-ciri:
a. Kesadaran moral
Kesadaran moral adalah suatu keharusan yang dibebankan pada
diri untuk memenuhi atau memikulnya dengan rasa tanggungjawab untuk
berkorban demi kepentingan orang lain. Kesadaran moral ini mencakup
kesadaran moral di lingkungan masyarakat, lingkungan sekolah dan
lingkungan keluarga.
41
Paulus Hariyono, Sosiologi Kota Untuk Arsitek (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm. 107.
48
b. Tanggung jawab Moral
Tanggung jawab moral berarti suatu kesanggupan untuk
menetapkan sikap terhadap suatu perbuatan. Tanggung jawab moral
didukung oleh tiga hal:
1) Kesadaran, yaitu mengerti dan dapat mempertimbangkan akibat
terhadap suatu pekerjaan yang dihadapi sehingga dapat dimintai
pertanggungjawaban.
2) Kecintaan, yaitu timbulnya rasa kepatuhan dan kerelaan untuk
berkorban bagi orang lain.
3) Keberanian, yaitu berani bertanggungjawab atas apa yang dilakukan
yang disadari oleh rasa ikhlas, tidak ragu-ragu dan takut terhadap
segala macam rintangan yang timbul kemudian sebagai konsekuensi
dari perbuatan.
c. Kepribadian moral
Kepribadian moral adalah suatu sikap atau perbuatan yang
mencerminkan adanya sikap yang baik sebagai dasar hubungan dengan
siapa saja. Sikap tersebut adalah: Kejujuran dan Kerendahan hati42
42
Bambang Daraeso, Dasar dan Konsep Pendidikan Moral Pancasila (Semarang: Aneka
Ilmu, 2007), hlm. 22.
Download