BAB II PERILAKU PERANTAU DAN MORALITAS REMAJA A. Perilaku Perantau Merantau masih merupakan persoalan penting untuk kota-kota di Indonesia. Terdapat faktor pendorong dan penarik bagi terjadinya merantau. Pada tahap-tahap tertentu gejala merantau kota dapat mengalami perkembangan sampai pada gejala merantau yakni saat justru orang kota mencari aktivitas dan tempat tinggal di daerah penyangganya. Merantau sering dianggap sumber masalah bagi penataan kota. Padahal sebenarnya masalah yang cukup kompleks di sekitar merantau adalah menyangkut kondisi desa dan kesiapan kota dalam menampung kaum perantau. Pada bab ini pertama-tama akan dibahas pengertian tentang pengertian perilaku perantau, faktor terjadinya perilaku perantau dan dampak perilaku perantau. 1. Pengertian Perilaku Perantau Menurut Paulus Hariyono, perilaku perantau adalah suatu proses terbentuknya ciri-ciri kota yang kompleks disebabkan karena perpindahan penduduk (migrasi) dari suatu daerah yang bersifat homogen (dapat desa atau kota kecil) menuju daerah yang lebih bersifat heterogen (kota).1 1 Paulus Hariyono, Sosiologi Kota Untuk Arsitek (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm. 92. 25 26 Menurut Wahyu Ms, perilaku perantau adalah orang yang melakukan perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke kota. Perpindahan yang bersifat permanen biasanya mengikuti jalur dari desa ke kota kecil dan kota kecil ke kota agak besar, tetapi di Indonesia banyak juga terjadi perpindahan dari desa langsung ke kota besar, misalnya ke Jakarta. Kemungkinan besar hal ini dibsebakna karena transportasinya mudah dan murah, dan juga karena kota besar menyediakan kemungkinan mendapatkan pekerjaan yang lebih menguntungkan.2 Menurut Moh. Ali, perilaku perantau diartikan sebagai proses pembengkakan kota yang diakibatkan oleh peningkatan jumlah penduduk yang sangat cepat. Peningkatan ini disebabkan oleh pertumbuhan alami penduduk kota dan adanya perpindahan penduduk dari desa ke kota. Dari pengertian ini sering diartikan bahwa merantau adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota.3 Menurut Bintarto, perilaku perantau adalah orang yang melakukan perpindahan penduduk dari desa ke kota. Merantau adalah masalah yang cukup serius bagi kita semua. Persebaran penduduk yang tidak merata antara desa dengan kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan. Jumlah peningkatan penduduk kota yang signifikan tanpa didukung dan diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan, aparat penegak hukum, perumahan, dan penyediaan pangan.4 2 Wahyu Ms, Wawawan Ilmu Sosial Dasar (Surabaya: Usaha Nasional, 2004), hlm. 142. Moh. Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Jakarta: Lentera, 2005), hlm. 271. 4 Bintarto, Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), 3 hlm. 3. 27 Menurut Hartomo, perilaku perantau adalah suatu proses berpindahnya penududuk dari desa ke kota atau dapat pula dikatakan bahwa merantau merupakan proses terjadinya masyarakat perkotaan.5 Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku perantau adalah orang yang melakukan perpindahan dari kota ke desa atau masyarakat tertentu yang beralih dari sifat homogen menjadi heterogen, baik disebabkan karena perkembangan masyarakat dari kawan itu sendiri maupun karena pengaruh proses migrasi dari daerah lain. 2. Faktor Terjadinya Perilaku Perantau Untuk mendapatkan suatu niat untuk hijrah atau pergi ke kota dari desa, seseorang biasanya harus mendapatkan pengaruh yang kuat dalam bentuk ajakan, informasi media massa, impian pribadi, terdesak kebutuhan ekonomi, dan lain sebagainya. Pengaruh-pengaruh tersebut bisa dalam bentuk sesuatu yang mendorong, memaksa atau faktor pendorong seseorang untuk merantau, maupun dalam bentuk yang menarik perhatian atau faktor penarik. Berduyun-duyunnya orang meninggalkan daerah (desa atau kota kecil) menuju kota lebih besar tentu disebabkan ada sesuatu yang lebih menarik dan menguntungkan untuk tinggal di kota besar, sementara di desa atau daerah tidak lagi menarik dan kurang menguntungkan untuk hidup. 5 Hartomo, Ilmu Sosial Dasar (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 248. 28 Menurut Paulus Hariyono, faktor terjadinya merantau adalah:6 a. Daya tarik kota (pull factors) Daya tarik kota awal mula terjadi ketika proses industrialisasi di kota terjadi. Dunia industri membutuhkan berbagai macam ragam tenaga kerja terampil sampai dengan tenaga kerja kasar. Penghasilan yang lebihh mudah diperoleh melalui partisipasi di sector industri ini berakibat derasnya arus merantau. Keuntungan menjadi tenaga kerja di kota yaitu biasanya telah ada standard penghasilan untuk setiap jenis ketermapilan dengan pengalaman kerja dan masa kerja tertentu. Keuntungan yang lain yaitu biasanya terdapat suatu perserikatan kerja yang melindungi tenaga kerja dari kemungkinan kerugian seperti persoalan besar upah dan tunjangan kesejahteraan. Biasanya peserikatan ini memberikan perjuangan yang menguntungkan bagi tenaga kerja. Standar gaji minimun biasanya tidak mungkin turun, demikian pula jenis dan besar tunjangna kesejahteraan. b. Daya dorong desa (push factors) Di negara berkembang arus penduduk dari desa ke kota tampaknya lebihh banyak disebabkan daya dorong desa daripada daya tarik kota. Kenyataan menunjukkan bahwa desa biasanya mengandalkan tanah atau sawah sebagai sumber penghasilan penduduknya. Kelemahan dari sumber natural ini adalah bahwa tanah tidak bias berkembang atau meluas, bahkan akan menyempit apabihla dibagi waris kepada anak cucu. 6 Paulus Hariyono, op.cit., hlm. 101. 29 Oleh karena itu, dapat dikatakan desa tidak dapat memberi banyak peluang kerja yang mendatangkan penghasilan secara cukup. Sementara intensifikasi pertanian atau revolusi hijau seringkali hanya mampu dilakukan oleh pemilik tanah yang luas. Dengan tanah yang luas mereka mampu melakukan percobaan bagi intensifikasi pertanian, sementara teknik penanaman secara tradisional tetapi dilakukan di lahan yang lain sehingga penghasilan dan hidupnya masih dapat terjamin apabila percobaan intensifikasi pertanian gagal. Dengan demikian, kondisi desa yang memberikan alternatif secara terbatas akan mendorong pemudanya untuk meninggalkan desa. Lahan pertanian yang terbatas, jenis lapangan pekerjaan yang terbatas, serta besar pendapatan yang terbatas mendorong penduduknya mencari alternatif pekerjaan yang lebih beragam yang lebih menjanjikan di kota besar.7 Menurut Wahyu Ms, pada umumnuya gerakan pindah ke kota tidak dikehendaki oleh pemerintah kota di Indonesia, sebabnya lebih banyak mendatangkan kerugian bagi kota daripada menguntungkan. Para merantau secara untung-untungan datang ke kota untuk mendapatkan lapangan pekerjaan dan karena mereka kurang memiliki keterampilan khusus (spesialis), kurang berjiwa wiraswasta, kebanyakan mereka menjadi ”pengangguran” yang hidup sebagai gelandangan, tidak mempunyai tempat tinggal, bahkan mereka secara tidak langsung mengotori lingkungan kota dan 7 Ibid., hlm. 102. 30 sekitarnya. Merantau ialah migrasi dorong-tarik (push-pull) gerak manusia tersebut akibat dorongan atau tarikan, atau kominasi kedua-duanya. Merantau di negara maju terutama bersifat tarikan, kota menarik orang-orang pedesaan kaerna dibutuhkan tenaga dan keterampilan mereka didalam kegiatan kota yang selalu berkembang. Mereka memperoleh keuntungan finnasial dan disambut baik di kota. Sebaliknya migrasi desa-kota di negara berkembang seperti Indonesia lebih bersifat mendorong. Desa mendorong atua mengusir mereka ke luar desa, karena pedesaan tidak mempunyai cukup lapangan pekerjaan. Jadi merantau ini merupakan gejala sosial yang buruk, menandakan bahwa des sudah mengalami tekanan penduduk, sudah kelebihan penduduk. 8 Menurut Hartomo, apabila hendak ditinjau sebab merantau, maka harus diperhatikan dua sudut yaitu: a. Faktor yang mendorong penduduk desa untuk meninggalkan daerah kediamannya (push factors) Sebab-sebab pendorong orang desa meninggalkan tempat tinggalnya secara umum adalah sebagai berikut:9 1) Di desa lapangan pekerjaan umumnya berkurang, yang dapat dikerjakan adalah terutama kesemuanya berhubungan dengan kesulitan di bidang irigasi serta areal tanah yang kemudian secara paralel disertai gejala kebanyakan penduduk. 8 9 Wahyu Ms, op.cit., hlm. 147. Hartomo, op.cit., hlm. 250. 31 2) Penduduk desa, terutama kaum muda-mudi, merasa tertekan oleh adat-istiadat yang ketat yang mengakibatkan suatu cara hidup yang monoton. Untuk mengembangkan pertumbuhan jiwanya, banyak yang muda-mudi yang pergi ke kota. 3) Di desa tidak banyak kesempatan untuk menambah pengetahuan. Oleh sebab itu, banyak orang yang ingin maju kemudian meninggalkan desanya untuk menambah pengetahuan di kota. 4) Rekreasi yang merupakan salah satu faktor penting di bidang spiritual kurang sekali dan kalau juga ada, perkembangannya sangat lambat. 5) Bagi penduduk desa yang mempunyai keahlian lain daripada bertnai seperti misalnya kerajinan tangan, tentu menginginkan pasaran yang lebih luas lagi hasil produksinya, ini tidak mungkin didapatkan di desa. b. Faktor yang ada di kota yang menarik penduduk desa untuk pindah dan menetap di kota (pull factors). Ada beberapa faktor penarik dari kota, antara lain: 1) Penduduk desa yang kebanyakan mempunyai anggapan bahwa di kota banyak pekerjaan serta banyak penghasilan (uang). Oleh kaern sirkulasi uang di kota jauh lebih cepat, lebih besar dan lebih banyak, maka secara relatif lebih mudah untuk mendapatkan uang daripada di desa. 32 2) Di kota lebih banyak kesempatan untuk mendirikan perusahaan industri dan lain-lain. Hal ini disebabkan oleh karena lebih mudahnya didapatkan izin dan terutama kredit dari bank. 3) Kelebihan modal di kota lebih banyak daripada di desa. 4) Pendidikan lebih banyak di kota dan dengan sendirinya lebih mudah didapat. 5) Kota merupakan suatu tempat yang lebih mengutnungkan untuk mengembangkan jiwa dengan sebaik-baiknya dan seluas-luasnya. 6) Kota dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dan merupakan tempat pergaulan dengan segala macam orang dari segala lapisan.10 Menurut Bintarto, secara rinci ada beberapa sebab yang mendorong terjadinya merantau, antara lain: a. Jumlah penduduk di desa terus bertambah, sementara tanah pertanian tetap dan pengolahannya belum dapat diintensifkan. b. Di desa kesempatan menambah pengetahuan dan keterampilan terbatas, sebab fasilitas pendidikan di desa tersedia sangat terbatas. Oleh karena itu banyak pemudah masyarakat desa yang meninggalkan desanya untuk meningkatkan pendidikannya ke kota. c. Pergaulan di kota lebih luas dan lancar, sehingga dapat menciptakan cakrawala pandangan yang lebih luas pula. Sedang komunikasi pergaulan 10 Ibid., hlm. 251. 33 di desa sangat terbtas dan tidak lancar, sehingga membuat anggota masyarakat yang monoton sulit untuk berkembang. d. Tempat rekreasi dan kesenian sangat terbatas sedang di kota tempattempat hiburan dan rekreasi cukup memadai. Oleh karena itu para pemuda atau masyarakat desa lebih terdoron guntuk hidup di kota dengan meninggalkan desanya. e. Di masyarakat pedesaan ikatan sosial berlaku sangat kuat dan kaku, yaitu ikatan nilai-nilai dan norma adat terhadap semua anggota masyarakat atua warganya. Maka dari itu banyak pemuda yang mengembangkan pola berpikir baru dengan melepaskan ikatan dan peninggalan nilai-nilai yang ada di desanya dengan jalan merantau.11 3. Dampak Perilaku Perantau Menurut Paulus Hariyono akibat terjadinya merantau tidak saja penduduk kota mengumpul di pusat kota, tetapi selanjutnya terjadi kejenuhan tinggal di pusat kota yang berakibat penduduk (khususnya sbeagian golongan masyarakat kelas menengah dan atas) mengalihkan tempat tinggalnya di pinggir kota. Pada tahap tertentu dengan kondisi yang berbeda mereka kembali lagi ke pusat kota dengan gejala kota dipenuhi dengan apartemen, perumahan ekslusif, rumah took, dan rumah susun. Pada tahap selanjutnya masyarakat kelas atas dan kaum elite dengan tingkat kemakmuran yang lebih tinggi, memiliki orientasi tinggal di luar kota sebagai suatu rekreasi pada saat tertentu beserta aktivitas tertentu yang menyertainya. Gejala ini dapat dilihat 11 Bintarto, op.cit., hlm. 5. 34 dengan tumbuhnya villa-villa dan tempat peristirahatan di daerah penyangga kota. Upaya untuk mengurangi ledakan penduduk di kota dapat dilakukan dengan mengurangi arus merantau, mengurangi kesenjangan antara desa dan kota dan menerapkan konsep agropolitan. 12 Menurut Wahyu Ms, urbansiasi mengakibatkan pertumbuhan penduduk kota bertmabah banyak, hal ini dirasakan akibatnya oleh pemerintah kota. Pertambahan jumlah penduduk kota akan menimbulkan kejadian-kejadian seperti kepadatan penduduk di kota besar, meningkatnya jumlah pengangguran yang akan berujung kepada meningkatnya jumlah kriminalitas di kota besar. 13 Menurut Hartomo, perantau yang tidak teratur mengakibatkan beberapa keadaan yang merugikan bagi kota. Penduduk desa yang berbondong-bondong mencari pekerjaan di kota menjumpai kekecewaan yang besar karena besarnya jumlah mereka yang mencari pekerjaan, maka timbul persaingan antara mereka sendiri yang ditambah pula dengan persaingan yang datang dari penduduk kota sendiri. Orang-orang desa tidak mengerti bahwa mereka harus berjuang sendiri di kota tidak akan ada orang lain yang mau membantunya. Cita-cita yang muluk akhirnya terhambat lalu timbullah pengangguran yang pada akhirnya mengakibatkan meningkatnya tuna karya.14 12 Paulus Hariyono, op.cit., hlm. 107. Wahyu Ms, op.cit., hlm. 146. 14 Hartomo, op.cit., hlm. 253. 13 35 Menurut Bintarto, dampak dari merantau antara lain: a. Memoderenisasikan dan menambah pengetahuan warga desa b. Menjalin kerja sama yang baik antarwarga suatu daerah c. Mengimbangi masyarakat kota dengan masyarakat desa d. Terbentuknya suburb tempat-tempat pemukiman baru dipinggiran kota e. Makin meningkatnya orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap f. Masalah perumahan yg sempit dan tidak memenuhi persyaratan kesehatan g. Lingkungan hidup tidak sehat, timbulkan kerawanan sosial dan kriminal.15 B. Moralitas Remaja 1. Pengertian Moralitas Remaja Istilah moral berasal dari kata Latin mores yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan. Moral pada dasarnya merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi. Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Moral merupakan standar baik dan buruk yang ditentukan individu oleh nilai-nilai sosial budaya dimana individu sebagai anggota sosial.16 Untuk lebih memahami persoalan di seputar istilah etika dan moral, dan untuk kepentingan kajian lebih lanjut, perlu kiranya dikemukakan sebuah 15 Bintarto, op.cit., hlm. 6. Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005), hlm. 136. 16 36 definisi tentang kedua masalah tersebut. 17 Etika disepadankan dengan kata moral atau dalam bahasa latin, mos yang bentuk jamaknya mores, yang berarti adab, kesusilaan, sopan santun, dan tradisi.18 Moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban dan sebagainya. Dalam moral diatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, dan suatu perbautan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan salah. Dengan demikian, moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.19 Moral dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sama dengan sesuainya tindakan manusa dengan ide-ide umum yang diterima, mana yang baik dan wajar baik yang datang dari Tuhan maupun manusia.20 Sedangkan moral dalam bahasa Arab merupakan terjemahan dari kata akhlak yang artinya tabiat, perangai, adat istiadat dan perilaku.21 Secara etimologis moral diartikan dekat dengan etika. Moral berasal dari bahasa latin “mores”, yang berarti akhlak, tabiat, kelakuan, cara hidup, adat istiadat yang baik dan dari kata itu terbentuk kata “moralis” yang artinya berkaitan dengan akhlak, tabiat, dan kelakuan. Kemudian dari kata ”moralis” turun kata ”moral” yang digunakan untuk menyebut baik-buruknya manusia sebagai manusia dalam 17 K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 4 Muhammad AR. Pendidikan di Alaf Baru; Rekonstruksi atas Moralitas Pendidikan (Yogyakarta: Prisma Sophie Press, 2003), hlm. 74 19 Sunarto dan Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), hlm. 169. 20 WJS. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 654. 21 Ahmad Ta’rifin dan Moh. Yasin Abidin, Demokratisasi dan Paradigma Baru Pendidikan (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2007), hlm. 5. 18 37 hal sikap, perilaku, tindak tanduk dan perbuatannya. ”Moralitas” merupakan kata benda dari kata moral yang mengacu pada mutu baik-buruknya manusia sebagai manusia.22 Sejalan dengan pengertian di atas, Poespopodjo berpendapat moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup tentang baik-buruknya perbuatan manusia.23 Moralitas memberi manusia aturan dan petunjuk kongkrit tentang bagaimana manusia harus hidup, bagaimana manusia harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik.24 Sementara Bertens, mengartikan moralitas sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahiriah (mengingat bahwa tindakan merupakan ungkapan sepenuhnya dari sikap hati). Moralitas terdapat apabila orang mengambil yang baik karena ia sadar akan kewajibannya dan tanggungjawabnya, sehingga moralitas adalah sikap dan perbuatan yang betul-betul tanpa pamrih.25 Lebih lanjut Sudarwan Danim mengatakan secara universal dan hakiki, moralitas merupakan aturan, kaidah baik dan buruk, simpati atas fenomena kehidupan dan penghidupan orang lain dan keadilan dalam bertindak. Manusia bermoral berarti manusia yang menjadi pribadi utuh 22 A. Mangun Harjana, Isme-isme dalam Etika dari A-Z (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 158 23 W. Poespopodjo, Filsafat Moral (Bandung: Pustaka Grafita, 2005), hlm. 118. Burhanudin Salam, Etika Sosia: Asas Moral dalam Kehidupan Manusia (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 3. 25 K. Bertens, op.cit., hlm. 7. 24 38 secara jasmani dan rohani, serta mengetahui bagaimana seharusnya dia bertindak untuk menjadi pribadi yang ideal di mata masyarakat. Dengan demikian tingkah laku yang bijak atau arif akan membawa seseorang ke dalam kehidupan yang baik sebagai individu atau masyarakat di mana dia berada. Mereka inilah orang-orang yang keseharian hidupnya bermaslahat bagi individu dan anggota masyarakat pada umumnya. 26 Dengan demikian bisa dikatakan bahwa moralitas adalah penafsiran dari nilai dan ajaran yang dikandung dalam anggapan-anggapan moral tersebut.27 Ajaran moral yang dimaksud di sini adalah ajaran-ajaran yang berasal dari nilai-nilai agama yang belum tertuang ke dalam penafsiran atau bisa jadi ajaran moral itu berupa ajaran yang diketemukan dari konsepkonsep. Karena itu, dalam pengertian ini, moralitas lebih universal dari pada etika. Dengan melihat beberapa asumsi di atas, maka ada empat hal yang dapat di kemukakan mengenai moralitas dalam konteks penamaanya dalam kehidupan manusia:28 Pertama moralitas adalah suatu ajaran hidup. Kedua yang dapat diartikan sebagai seperangkat atau instrument moral yang berisi aturan-aturan yang diikuti atau yang lebih lazim disebut dengan kode moral. Ketiga, keterangan-keterangan tentang jalan-jalan bagi kehidupan dan aturanaturan yang di ikuti. Dan yang keempat adalah yang berkaitan dengan tujuan hidup manusia dalam menjalani kehidupan di dunia. 26 Sudarwan Danim, Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 65. 27 Farnz Magries Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritik (Yogyakarta: Kanisius, 2008) hlm. 31 28 Heru Santoso Landasan Etika Bagi Perkembangan Teknologi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hlm. 9 39 Sebagai sebuah hasil refleksi filsafat, disiplin ilmu pengetahuan dan gaya hidup. Moralitas tidak selalu identik dengan ajaran-ajaran baik yang bagaimana dalam mengorientasikan hidup kepada hal-hal yang mulia, sebab pada kenyataannya dilihat dari bagian-bagiannya (macam-macamnya), dan secara umum moralitas juga mempunyai potensi mengajak manusia untuk bertindak dan berbuat yang menafikan nilai-nilai kemanusiaan. Diskusi mengenai moralitas dalam pengertian yang umum mempunyai beberapa pengertian yaitu, sebagai tingkah laku dan prinsip tindakan moral. Dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, moralitas adalah cabang filsafat yang membahas teori tentang tindakan arah, serta tujuan tindakan, ilmu yang berkaitan dengan nilai-nilai dan ide-ide. Ilmu yang menyelidiki perbuatan baik dan buruk dan ilmu baik dan buruk serta menyatakan tujuan yang harus dituju manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan perbuatan mereka.29 2. Landasan Moralitas Remaja Dalam sejarah dan dalam kenyataan moralitas selalu diasumsikan sebagai sekumpulan asas-asas yang tertuang dalam aturan formal spesifik sebagaimana yang dikenal dalam undang-undang fiqih yang lambat laun hal ini dapat berakibat pada kesan yang miring dan kurang sehat terhadap agama Islam itu sendiri. Kesan miring itu dapat dilihat dari beberapa prasangka yang 29 Abdul Basir Solisso, “Etika Otoniom”, Upaya Memahami Etika Islam, dalam Jurnal Ilmuilmu Ushuluddin Esensia. Vol. 21 No.I (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2001), hlm.102-103. 40 salah satunya adalah image dan persepsi berupa statemen bahwa Islam tidak punya sistem moralitas.30 Dalam moralitas agama, termasuk Islam atau lebih umum dikenal dengan moralitas religius tidak lepas dari istilah-istilah bahasa interpretative yang terdapat dalam kategori-kategori moral yang terdapat dalam kitab-kitab ajaran atau yang lainnya.31 Al-Qur’an sebagai kitab suci bukanlah kitab dokumen yang berisi kumpulan aturan formal spesifik, dan harus diakui pula bahwa ia bukanlah buku yang berisi teori-teori moralitas dalam arti yang baku, akan tetapi ia adalah kitab yang melibatkan seluruh kehidupan moral, keagamaan dan sosial umat Islam. Harus diakui pula bahwa al-Qur’anlah yang telah membentuk keseluruhan etos dari umat Islam. Pengertian moralitas dipakai untuk membahasakan pembahasan tentang rumusan-rumasan perangkat nilai yang sudah jadi dan siap pakai. Sistem moralitas dalam Islam mempunyai sistem dan elemen yang dalam beberapa segi berbeda dengan sistem moralitas kontemporer. Dalam sistem sebagaimana yang ditunjukan al-Qur’an bahwa konsep mengenai moralitas adalah sama dengan al-Qur’an. Al-Qur’an adalah agama Islam itu sendiri, artinya bahwa moralitas adalah agama itu sendiri. Begitu eratnya antara moralitas dan agama itu hingga keduanya tidak bisa dipisahkan karena di atas moralitaslah agama separuhnya dibangun. Sedangkan ajaran yang merupakan ajaran pertama kali dari Islam adalah keimanan terhadap Tuhan Yang Maha 30 Endang Daruni Asdi, Imperatif Kategoris Dalam Filsafat Moral Immanuel Kant (Yogyakarta: Likma Ofcet, 2007), hlm.12. 31 Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius Dalam Al-Qur’an, terj. Agus Fahri Husein dan A.E. priyono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm.15 41 Esa, yaitu ajaran yang secara sendirinya melahirkan tata nilai yang berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa (Rabbaniyah).32 Kedudukan agama dalam moralitas tidak hanya relevan sebagai satu sistem yang mengatur tingkah laku manusia, tetapi juga agama dapat dijadikan sebagai komponen metafisika dari kajian moralitas dalam proses derivasinya dalam kehidupan manusia.33 Agama dapat berfungsi sebagai sandaran apriori yang tidak hanya demi keharusan universalnya, tapi juga untuk menjaga sakralitas yang dikandung dalam norma moralitasnya. Pada akhirnya untuk menemukan sistem yang benar religius itu sebagaimana yang dicantumkan dalam al-Qur’an bahwa manusia harus kembali kepada tugas dan primordialnya sesuai dengan yang telah disepakatinya sebelum ia diciptakan bahwa manusia diciptakan dengan cara moralitas Ilahi dan dengan tugas Ilahi yaitu sebagai wakil untuk menjadi kholifah, maka oleh sebab itu ia harus berlaku dengan citra tersebut demi realisasi pesan kekholifahan itu. Singkatnya dalam Islam moralitas adalah Islam itu sendiri dan Islam adalah al-Qur'an. Artinya ajaran-ajaran yang ada dalam al-Qur’anlah pada tingkat yang paling militan dan ekstrim yang seharusnya menjadi sistem moralitas dan yang paling absah untuk dilaksanakan. 32 Rabbaniyah yaitu tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup dan seluruh realitas yang ada dalam tata ruang kosmos ini berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan. Nurcholish Masjid, “Islam Doktri dan Peradaban”, Sebuah telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusian dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 45 33 Ahmad Mahmud Shubhi, Filasafat Etika Tanggapan Kawan Rasional dan Intuisional Islam, terj. Yunan Askaruz-zaman Ahmad (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), hlm. 27 42 3. Kegunaan Moralitas Remaja Akhir-akhir ini masih sering sekali dalam media informasi yang menunjukkan merosotnya moralitas masyarakat dan disuguhi peristiwa tawuran pemuda antar kampung ataupun desa, peristiwa ini sudah merambah keberbagai penjuru negara khususnya di Indonesia. Kalau dilihat memang banyak faktor yang menjadi penyebab bobroknya moralitas banga yang akhirnya menyebabkan krisis multidimensional, yang seharusnya dilakukan adalah kesadaran introspeksi, evaluasi, kemudian mencari terapi atau jalan keluarnya dari semua aspek dan bagian. Dalam aplikasi dan kegunaannya moralitas pada tingkat pelajar, para ahli dan praktisi pendidikan tampaknya sepakat bahwa pendidikan budi pekerti atau moralitas sangat penting dan mestinya segera terwujud. Maka di sini perlu ditekankan bagaimana sebenarnya kegunaan moralitas dalam kehidupan ini khususnya dalam pendidikan. Sudah tidak bisa dihindari lagi bahwa kita harus mengkaji ulang pemahaman ajaran al-Qur’an dan prakteknya di tengah-tengah masyarakat yang berkaitan dengan moralitas atau akhlak yang juga harus mencakup moralitas sosial. Maka dari sinilah adanya keharusan untuk kembali pada ajaran agama, sehingga mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang baik dan selamat di dunia dan akhirat.34 Maka Perbuatan-perbuatan yang tercela haruslah dihindari, terlebih pada perbuatan yang akan merugikan orang lain dan masyarakat pada umumnya. 34 Ahmad Mahmud Shubhi, Op.cit, hal. 28. 43 Dengan kata lain, suatu tindakan akan dinilai etis ketika perbuatan itu bermanfaat kepada orang lain termasuk kepada dirinya sendiri dan mampu menghindarkan kemudaratan. Sebaliknya tindakan disebut tidak etis jika memang akan merugikan atau membahayakan orang lain.35 Ketika sains akan dibawa dalam dataran sebagai sebuah konsep untuk moralitas lingkungan hidup, maka yang perlu ditegaskan lagi bahwa sains atau ilmu adalah suatu bentuk aktivitas manusia yang dengan melakukannya manusia memperoleh suatu perubahan dan pemahaman yang senantiasa lebih lengkap dan lebih cermat tentang pengalaman untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan yang ada. Dari sini moralitas sangat dibutuhkan, karena moralitas akan memberikan arah untuk kita capai, hal ini yang mendasari adalah fenomenafenomena yang terjadi akhir-akhir ini tentang isu globalisasi. Sehingga moralitas akan menjadi wacana dalam moralitas lingkungan hidup dengan dasar sains apakah itu perspektif ekologi, ilmu lingkungan, bioetika dan yang lainnya. Moralitas dalam hal ini dipandang sebagai sebuah aturan yang digunakan sebagai rambu-rambu dalam aktivitas manusia di dunia ini. Dalam aktivitasnya, manusia harus mempu mengaplikasikan ilmu yang didasari pada nilai-nilai moral dan bisa menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga visi yang diemban bisa tercapai dengan baik dan sempurna. 35 Ibid, hlm. 29. 44 Dalam bukunya Etika Dasar karya Franz Magis Suseno mengatakan, sekurang-kurangnya ada empat alasan, mengapa moralitas pada waktu sekarang semakin diperlukan: 36 a. Kita hidup dalam masyarakat yang semakin Pluralistik, juga dalam bidang moralitas. Tiap hari kita bertemu orang-orang dari suku, daerah, agama yang berbeda-beda. Kesatuan tatanan normatif sudah tidak ada lagi, kita berhadapan dengan sekian banyak pandangan moral yang saling bertentangan dan semua mengajukan klaim mereka pada kita. b. Kita hidup dalam masa transformasi masyarakat yang tanpa tanding perubahan itu terjadi di bawah hantaman kekuatan yang mengenai semua segi kehidupan kita yaitu gelombang modernisasi. Tidak perlu kita mencoba untuk mendefinikan di sini apa yang dimaksud dengan modernisasi. Jelaslah bahwa modernisasi itu telah sampai ke segala penjuru tanah air, sampai ke pelosok-pelosok yang paling terpencil. Tidak ada dimensi kehidupan yang terlena. Dalam era globalisasi dampak dari perkembangan IPTEK sangat banyak, baik yang bermanfaat maupun yang merugikan, untuk itu dalam mengeliminir dampak tersebut maka sebaiknya dimulai dari bidang pendidikan.37 c. Tidak mengherankan bahwa proses perubahan sosial budaya dan moral yang akan kita alami ini dipergunakan oleh pelbagai pihak untuk memancing dalam air keruh. Mereka menawarkan ideologi-ideologi mereka sebagai obat penyelamat. Moralitas dapat membantu kita sanggup 36 Franz Magis Suseno, Etika Dasar; Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta; Kanisius, 2007), hlm. 15. 37 Ibid, hlm. 223 45 untuk menghadapi ideologi-ideologi itu dengan krisis dan obyek dan untuk membentuk penilaian sendiri, agar kita tidak terlalu mudah terpancing. Moralitas juga membantu agar kita jangan naif atau ekstrim. Kita jangan cepat-cepat memeluk segala pandangan yang baru tetapi juga jangan menolak nilai-nilai hanya karena baru dan belum biasa. d. Moralitas juga diperlukan oleh kaum agama yang disatu fihak menemukan dasar kemantapan mereka dalam iman kepercayaan mereka, dilain fihak sekaligus mau berpartisipasi tanpa takut-takut dan dengan tidak menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah itu. 4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Moralitas Remaja Menurut Frans Magnis Suseno, moral seseorang dipengaruhi oleh 4 hal, yaitu: a. Kebiasaan Seseorang yang terbiasa hidup di lingkungan yang baik, maka ia akan menyesuaikan dirinya dalam lingkungan tersebut sehingga sikap yang dihasilkan adalah sikap yang bermoral. Namun sebaliknya, apabila seseorang terbiasa berada dalam lingkungan yang keras maka sikap yang dihasilkan adalah sikap yang tidak baik (tidak bermoral). b. Pendidikan Pendidikan akan membawa dan membina mental seseorang menjadi baik, cerdas dan bermoral. Namun apabila pendidikan yang diberikan hanya bersifat transfer of knowledge tanpa memperhatikan 46 aspek budi pekerti, maka hasil yang diperoleh adalah manusia yang tidak bermoral.38 c. Agama Agama mempunyai peranan yang penting dalam pembinaan moral, karena nilai-nilai moral yang datang dari agama bersifat tetap, tidak berubah-ubah oleh waktu dan tempat.39 Seseorang yang sejak kecil telah ditanamkan pengelaman-pengalaman tentang ajaran agama, maka ia akan terbiasa hidup dengan nilai-nilai moral yang terdapat pada ajaran agama. Namun sebaliknya, apabila pengalaman-pengalama tentang ajaran agama, tidak pernah didapat oleh seseorang, maka kebiasaan hidupnya akan sarat dengan ajaran-ajaran agama. d. Kesadaran Kesadaran jiwa timbul sebagai akibat hasil pengalaman, pertimbangan akal/kecerdasan yang dikuatkan oleh kemauan. Seseorang yang mengoreksi dan menyeleksi perbuatannya akan memiliki kesadaran untuk melakukan suatu perbuatan yang dinilai baik dan meninggalkan suatu perbuatan yang bernilai buruk, serta terbuka pada pembenaran dan penyangkalan yang dapat dipertanggung jawabkan dengan argumentasi yang masuk akal.40 e. Merantau Terjadinya merantau tidak saja penduduk kota mengumpul di pusat kota, tetapi selanjutnya terjadi kejenuhan tinggal di pusat kota yang 38 Frans Magnis Suseno, op.cit., hlm. 141. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama,Cet, ke-15 (Jakarta: Bulan Bintang, 2006), hlm. 83. 40 Frans Magnis Suseno, op.cit., hlm. 141. 39 47 berakibat penduduk (khususnya sbeagian golongan masyarakat kelas menengah dan atas) mengalihkan tempat tinggalnya di pinggir kota. Pada tahap tertentu dengan kondisi yang berbeda mereka kembali lagi ke pusat kota dengan gejala kota dipenuhi dengan apartemen, perumahan ekslusif, rumah took, dan rumah susun. Pada tahap selanjutnya masyarakat kelas atas dan kaum elite dengan tingkat kemakmuran yang lebih tinggi, memiliki orientasi tinggal di luar kota sebagai suatu rekreasi pada saat tertentu beserta aktivitas tertentu yang menyertainya. Gejala ini dapat dilihat dengan tumbuhnya villa-villa dan tempat peristirahatan di daerah penyangga kota. Upaya untuk mengurangi ledakan penduduk di kota dapat dilakukan dengan mengurangi arus merantau, mengurangi kesenjangan antara desa dan kota dan menerapkan konsep agropolitan. 41 5. Indikator Moralitas Remaja Manusia yang memiliki moralitas tinggi akan memiliki ciri-ciri: a. Kesadaran moral Kesadaran moral adalah suatu keharusan yang dibebankan pada diri untuk memenuhi atau memikulnya dengan rasa tanggungjawab untuk berkorban demi kepentingan orang lain. Kesadaran moral ini mencakup kesadaran moral di lingkungan masyarakat, lingkungan sekolah dan lingkungan keluarga. 41 Paulus Hariyono, Sosiologi Kota Untuk Arsitek (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm. 107. 48 b. Tanggung jawab Moral Tanggung jawab moral berarti suatu kesanggupan untuk menetapkan sikap terhadap suatu perbuatan. Tanggung jawab moral didukung oleh tiga hal: 1) Kesadaran, yaitu mengerti dan dapat mempertimbangkan akibat terhadap suatu pekerjaan yang dihadapi sehingga dapat dimintai pertanggungjawaban. 2) Kecintaan, yaitu timbulnya rasa kepatuhan dan kerelaan untuk berkorban bagi orang lain. 3) Keberanian, yaitu berani bertanggungjawab atas apa yang dilakukan yang disadari oleh rasa ikhlas, tidak ragu-ragu dan takut terhadap segala macam rintangan yang timbul kemudian sebagai konsekuensi dari perbuatan. c. Kepribadian moral Kepribadian moral adalah suatu sikap atau perbuatan yang mencerminkan adanya sikap yang baik sebagai dasar hubungan dengan siapa saja. Sikap tersebut adalah: Kejujuran dan Kerendahan hati42 42 Bambang Daraeso, Dasar dan Konsep Pendidikan Moral Pancasila (Semarang: Aneka Ilmu, 2007), hlm. 22.