Konferensi Nasional Ilmu Sosial & Teknologi (KNiST) Maret 2015, pp. 265~268 265 KESAN DIGITAL : DAMPAK KOLABORASI MEDIA BARU DAN KEHUMASAN (Digital Image: Collaborating Effect Of New Media And Public Relation) 1 2 Veny Purba , Maya Retnasary , Dini Fitriawati 3 1 Universitas BSI Bandung e-mail: [email protected] 2 Universitas BSI Bandung e-mail: [email protected] 3 Universitas BSI Bandung e-mail: [email protected] Abstrak Peran dari praktisi kehumasan telah bergeser karena perkembangan teknologi. Publik saat ini tinggal di dunia digital dimana semua informasi sangat mudah dan cepat diakses. Perusahaan dan humas tidaka akan mampu bertahan jika hanya mengandalakan peran tradisional dari humas dalam membentuk citra atau mengelola krisi komunikasi. Humas harus berkembang untuk mengikuti kebutuhan publik terutama dalam panggung media baru. Citra kini tidak lahi menjadi hak istimewa dari humas saja namun telah berkembang menjadi salah satu bentuk kekuatan publik. Keywords : New Media, Public Relation, Internet, Cyber PR, Image Construct 1. Pendahuluan Teknologi semakin bergerak dengan dinamis. Berbagai macam industry telah berkembang kearah digitalisasi produk. Manusia dimanjakan dengan kehadiran teknologi digital ini, berbagai kemudahan yang membuat manusia menjadi mahluk digital. Semua ini tidak terlapas atas peran besar dari internet. Ia menjadi tonggak permulaan dari dunia digital. Internet menjadi solusi bagi masalah yang melibatkan jarak, ruang dan waktu bagi manusia. Komnikasi menjadi salah satu hal penting yang terdampak atas lahirnya internet ini. Ketika kita hanya mengenal komunikasi yang melibatkan pesan dari satu komunikator kepada banyak komunikan dengan sebutan komunikasi massa, maka dengan adanya internet, paradigm komunikasi massa pun bergeser dengan masuknya internet yang disebut sebgai new media tau media baru. Berbagai ranah dalam komunikasi pun bergeser dengan adanya new media ini. Salah satunya adalah bidang kehumasan atau public relation. Ranah praktis dari kehumasan juga berubah dengan media baru yang membawa penambahan substansial dalam kekuatan stakeholder melalui fasilitas komunikasi dalam kelompok stakeholder dan antara kelompok stakeholder yang berbeda (Van der Merwe, Pitt and Abratt, 2005). Hal ini menunjukan bahwa komunikasi antara stakeholder dari sebuah institusi kini tidak lagi eklusif namun telah bergeser menjadi komunikasi antara stakeholder yang sama maupun yang berbeda sehingga, target pasar tidak lagi terbatas. Dalam industry komunikasi pun berita menjadi komoditi yang penting bagi praktisi kehumasan. Berita mengenai institusi kini sangat mudah diakses oleh siapa saja. Berita saat ini hadir dengan luar biasa cepatnya dan berasal dari sumber yang luar biasa banyaknya (Stephens, 2007). Internet memberikan sebuah kesempatan unik bagi praktisi kehumasan untuk mengumpulkan informasi, mengawasi opini public dalam sebuah isu dan terlibat dalam dialog langsung dengan public mereka mengenai berbagai masalah (McAllister and Taylor, 2007). Jika sebelumnya kegiatan Public Relations mengandalkan pusaran informasi pada media-media konvensional seperti televisi dan surat kabar, maka semenjak kehadiran internet, kegiatan Public Relations beralih kepada jalur digital atau awam disebut sebagai Cyber Public Relations. Cyber Diterima 11 Januari 2015; Revisi 18 Februari 2015; Disetujui 15 Maret 2015 ISBN: 978-602-61242-3-4 Public Relations umum dilihat sebagai sebuah bentuk pengoperasian fungsi di dunia maya dalam praktik kerja public relations (Doherty, 1995:4). Kesan atau citra menjadi kebutuhan penting bagi praktisi kehumasan. Dunia digital telah merubah kesan yang dibuat oleh humas. Tidak lagi hanya berbicara kesan yang tampak maupun yang dirasakan saja namun telah berkembang dengan adanya kesan atau citra digital. Kesan yang hadir di dunia maya. 2. Pembahasan Cyber public relations menjadi sebuah kegiatan populer yang banyak digunakan oleh perusahaan maupun organisasi dalam melakukan engagement dengan publiknya Selain menjadi jalan keluar bagi kendala komunikasi, yaitu jarak dan waktu, cyber public relations memberikan keuntungan dibandingkan kegiatan public relations dengan menggunakan media konvensional antara lain, dapat membangun hubungan yang kuat antara perusahaan atau organisasi dengan publiknya karena komunikasi yang dilakukan merupakan komunikasi dua arah, sehingga interaksi di antara keduanya menjadi lebih personal. Hal tersebut tidak bisa dilakukan langsung oleh media seperti televisi dan surat kabar (Gita Aprinta, 2015). Media baru menjadi sebuah istilah yang dipilih untuk jangkauan dari praktisi media yang menggunakan teknologi digital dan computer dengan berbagai cara (Dewdney and Ride, 2006). Definisi media baru tetap cair dan terus berkembang, dengan beberapa definisi yang menitik beratkan pada teknologi computer dan produksi konten digital, di lain pihak ada juga yang menitik beratkan pada bentuk budaya dan konteks dimana teknologi digunakan (Dewdney and Ride, 2006). Pola komunikasi yang terjadi dalam praktek kehumasan dengan menggunakan media digital mengalami perubahan yang signifikan. Ruang dan waktu tidak lagi menjadi pembatas antara humas dan publiknya, informasi yang dibuat dan disampaikan oleh humas mampu dinikmati seketika itu juga oleh publiknya. Dialog yang terjadi pun tidak lagi hanya orang ke orang namun bisa menjadi orang ke masyarakat pada saat yang bersamaan serta timbal balik yang mampu ditangkap pada saat itu juga. Teknologi digital pun memberikan tantangan yang signifikan terhadap perkembangan kehumasan dalam institusi. Teknologi yang terus berkembang tanpa henti membuat para praktisi kehumasan pun harus selalu memperbaharui setiap rencana kegiatan kehumasan yang akan atau sedang dilakukan. Teknologi digital digabung dengan teknologi mobile, menuntut para praktisi kehumasan bekerja lebih keras dalam berhubungan dengan pasarnya. Bahkan dalam konteks tertentu, public lebih cepat dalam mendapatkan informasi atau mengunggah informasi yang berkaitan dengan perusahaan dibandingkan dengan praktisi kehumasan itu sendiri. Ini terjadi karena public berada dalam era serba cepat, atau dengan kata lain public tengah berada dalam era serba ‘instan’. Praktisi kehumasan harus sadar bahwa ‘transkript, laporan dan anggaran secara teratur diunggah kedalam web baik oleh perusahaan itu sendiri maupun oleh public yang mencoba untuk terlibat dalam kegiatan organisasi tersebut’ (Stephen, 2007). Pendapat diatas memperlihatkan bahwa tidak hanya perusahaan, dalam hal ini diwakili oleh praktisi kehumasannya, yag memberikan informasi namun masyarakat baik yang terlibat secara langsung maupun tidak juga ikut berpartisipasi dalam penyebaran informasi. Ini merupakan salah satu dampak dari era ‘instan’ dimana masyarakat ingin mendaptkan informasi dengan cepat terhadap segala sesuatunya. Mereka tidak lagi menunggu mendapatkan informasi namun mereka dengan aktif mencari informasi bahkan membuat informasi tersebut. Era instan ini mampu membuat para praktisi kehumasan berhadapan dengan pemberian informasi yang cepat dan juga akurat. Tidak hanya infomasi baru yang harus hadir, praktisi kehumasan tetap dituntut untuk memberikan informasi yang akurat, informasi yang sesuai yang bisa diunggah kedalam dunia digital bagi publiknya. Hal ini mendorong tidak hanya keahlian dalam mengemas informasi dengan baik dan cepat namun juga kemampuan untuk menggunakan teknologi dengan tepat bagi praktisi kehumasan dalam memberikan informasi bagi public. Apakah itu penggunaan teknologi replika atau argumented dalam penyampaian informasi atau hanya sekedar mengunakan aplikasi presentasi pun menjadi sebuah keahlian wajib bagi praktisi kehumasan. Selain penguasaan teknologi dan cara penyampaian informasi, keahlian untuk mengetahui media baru mana yang digunakan oeh publiknya menjadi salah satu keahlian yang harus dimiliki oleh praktisi KNiST, 30 Maret 2015 266 ISBN: 978-602-61242-3-4 kehumasan saat ini. Berbagai platform dari media baru terus bermunculan dan hal ini pun membagi publik dalam karakteristik yang berbeda pula. Praktisi humas harus mampu mengetahui dan memilih media mana yang memadai sebagai tempat penyebaran informasi yang efektif bagi organisasinya. Mereka harus memahami dimana publiknya berada dalam dunia digital dan pilihan media apa yang digunakannya. Peran tradisional praktisi kehumasan pun harus berkembang menjadi peran digital kehumasan. Mereka harus mampu mengkonfersi peran tradisional kehumasan seperti penyebaran informasi publik, hubungan stakeholder, hubungan media, komunikasi pemasaran, hubungan dengan investor, manajemen reputasi, dan manajemen krisis dan isu. Krisis dan isu kehumasan saat ini menjadi sebuah hal yang penting bagi keberlangsungan hidup sebuah perusahaan atau organisasi. Ketika sebuah organisasi mengalami isu dan krisis kepercayaan dari konsumen, saat ini praktisi kehumasan telah dimudahkan dengan kehadiran teknologi digital untuk memeberikan klarifikasi. Taylor dan Kent (2007) menyatakan bahwa penggunaan internet dalam krisis komunikasi merupakan hal yang logis dimana halaman web merupakan saluran yang dapat diatur dimana organisasi dapat berkomunikasi langsung dengan media dan publiknya. Melalui halaman web, subuah organisasi dapat bercerita mengenai ‘sisi ceritanya, mengurangi ketidakpastian konsumen, menyapa kebutuhan banyak stakeholder dan bekerjasama dengan agen pemerintah yang mengkhususnya pada keamanan publik’ (Taylor and Kent 146:2007). Citra tidak lagi menjadi sebuah daerah pribadi humas namun, citra sudah menjadi daerah umum bagi publik. Publik mampu membentuk citra sebuah organisasi terlepas apakah organisasi tersebut sudah mempunyai citra bentukan sendiri maupun tidak. Masyarakat mempunyai kekuasaan membentuk citra positif maupun negative dari sebuah organisasi. Citra kini telah berkembang menjadi citra digital hasil interaksi antara publik di dunia digital dan citra ini sangat besar pengaruhnya terhadap organisasi. Banyak sekali contoh yang bisa kita lihat dimana sebuah organisasi atau perusahaan yang sudah mapan, bisa hancur karena publik digital membentuk sebuah citra buruk terhadapnya. Kasus yang paling baru adalah tentang sebuah petisi online dimana seorang konsumen toko waralaba diperkarakan sampai ke pengadilan karena meminta transparansi dana sumbangan toko waralaba tersebut yang didapat dari uang kembalian konsumen. Sebagai salah satu toko waralaba terbesar di Indonesia, tidak dipungkiri bahwa perusahaan telah mempunyai citra positif di mata publik, namun karena adanya kasus ini citra yang ada mulai bergeser. Respon negative sangat banyak bermunculan melalui komentar publik di ranah digital terhadap petisi ini. Mulai dari yang mempertanyakan dasar perusahaan memperkarakan hal tersebut sampai banyak yang berkomentar tidak akan berbelanja kembali di toko waralaba tersebut. Pihak perusahaan pun sebenarnya telah melakukan klarifikasi terkait masalah tersebut, dalam klarifikasi mereka tidak menggugat secara langsung kepada konsumen tersebut namun lebih kepada Komisi Informasi Publik sebagai pihak yang menerima laporan dari konsumen dan memutuskan untuk membuka laporan keuangan dana sumbangan tersebut, hal ini bertentangan dengan undang-undang karena menurut perusahaan waralaba tersebut, pihaknya bukanlah sebuah perusahaan publik atau Negara atau menggunakan uang Negara dalam operasionalnya sehingga terjadi salah persepsi. Contoh ini sebenarnya lebih memfokuskan bukan pada siapa yang salah siapa yang benar namun, lebih kepada bagaimana citra yang dibentuk masyarakat khususnya masyarakat digital mampu mempengaruhi citra yang telah dibuat organisasi. Ketika perusahaan tersebut ternyata benar, citranya tidak akan pulih seperti sediakala kala telah ada citra digital baru yang melekat dalam benak publiknya dan akhirnya akan membutuhkan watu, tenaga dan biaya yang cukup besar untuk memperbaikinya. Citra kini tidak lagi hak khusus dari para praktisi kehumasan saja namun telah didistribusikan secara merata terhadap publik khususnya publik digital. Kolaborasi antara perkembangan teknologi yang menghasilkan media baru dengan peran praktisi kehumasan mampu membuat sebuah pemahaman baru mengenai citra itu sendiri. Citra digital saat ini memegang peranan penting selain dari citra bentukan perusahaan maupun citra yang dibuat oleh konsumen. Dengan kata lain perusahaan atau organisasi tidak hanya harus focus terhadap membentuk citranya di mata publik serta mengelola citra yang tertanam di benak publik namun juga mengelola citra yang terjadi di dunia digital karena publik KNiST, 30 Maret 2015 267 ISBN: 978-602-61242-3-4 sendiri sudah mempunyai rumah baru dalam interaksi yaitu dunia digital. 3. Simpulan Memberikan pernyataan bahwa apa yang Cabang pembahasan mengenai teknologi digital, media baru dan kehumasan masih sangat banyak perkembangannya, jauh melebihi bahasan ini, namun bahan ini diharapkan mampu untuk membuka pemahaman baru mengenai pembentukan citra yang akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi manusia. Perkembangan kehumasan pun akan terus berkembang, seperti arus sungai yang terus mengikuti perkembangan dari media yang digunakan oleh publik untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Kosep kehumasan harus mampu bergerak lebih dinamis dengan memanfaatkan sarana media baru sebagai saluran untuk membuat sebuah pengalam interaksi yang interaktif dengan publiknya. Pembangunan citra pun harus mampu bergerak seiring dengan kedinamisan tersebut. Dari hasil interaksi yang interaktif terhadap publik, praktisi kehumasan harus mampu untuk membuat interpretasi publik yang lebih baik untuk dapat membangun citra digital yang positif. Beberapa kelebihan dari kehumasan digital adalah, kemudahan untuk mendesain dan mengirimkan pesan, jauh lebih menantang untuk dapat membina hubungan dengan orang-orang yang terkoneksi dengan teknologi, sekaligur mengintensifkan dan mempercepat pencarian makna (Naisbitt J., Naisbitt, N. & Philips, 2001) . KNiST, 30 Maret 2015 268