Model Penduga Berat Bayi Lahir Berdasarkan

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Kehamilan dan Pertambahan Berat Bayi Lahir
Kehamilan melalui proses konsepsi yaitu pertemuan sel telur dengan sel
mani; nidasi yaitu, menempelnya hasil konsepsi di dalam ruang rahim, tempat
janin akan tumbuh dan berkembang. Sesuai dengan tingkat pertumbuhan janin
dalam kandungan, berbagai nama diberikan; dari umur 0-2 minggu setelah
konsepsi disebut ovum, umur 3-5 minggu disebut embrio, umur di atas 5 minggu
disebut fetus (janin) yang sudah mempunyai bentuk manusia (Obsgin FK Unpad
1983).
Lamanya kehamilan mulai dari ovulasi sampai kelahiran kurang lebih 280
hari (40 minggu) dan tidak leb ih dari 300 hari (43 minggu), dihitung dari hari
pertama haid terakhir. Kehamilan 40 minggu ini disebut kehamilan mature atau
aterm (lahir cukup bulan). Bila kehamilan lebih dari 43 minggu maka kehamilan
disebut kehamilan postmature. Kehamilan antara 28-36 minggu disebut
kehamilan preterm atau lahir kurang bulan (Husaini 1990).
Dalam praktik sehari-hari, umur kehamilan dihitung dari haid terakhir
dalam hitungan bulan (setiap bulan dihitung empat minggu) sehingga kehamilan 3
bulan sama dengan kehamilan 12 minggu. Sebagai gambaran ditampilkan
pertumbuhan janin pada akhir tiap -tiap bulan berdasarkan panjang (cm) dan berat
janin (gram) pada Tabel 1.
Tabel 1. P anjang dan berat janin menurut umur
Umur (bulan)
Panjang (cm)
1
12 = 1
2
22 = 4
3
32 = 9
4
4 2 = 16
5
5 2 = 25
6
6 x 5 = 30
7
7 x 5 = 35
8
8 x 5 = 40
9
9 x 5 = 45
10
10 x 5 = 50
Sumber : Obsgin FK Unpad, 1983
Berat (g)
1,1
14,2
108
316
630
1045
1680
2478
3405
Masa kehamilan dibagi dalam tiga tahap umur kehamilan, yaitu trimester
pertama, trimester kedua, dan trimester ketiga. Trimester pertama merupakan
masa penyesuaian ibu terhadap kehamilannya. Pertumbuhan janin masih
5
berlangsung lambat sehin gga kebutuhan gizi untuk pertumbuhan janin juga belum
begitu besar. Dapat dikatakan bahwa kebutuhan gizi ibu hamil pada tahap ini
masih sama dengan kebutuhan gizi wanita dewasa dalam mempertahankan
kesehatannya. Pada tahap ini terjadi penurunan selera makan yang diakib atkan
perubahan hormonal dan faktor emosi.
Pada trimester kedua, pertumbuhan janin berlangsung cepat, separuh
pertambahan berat badan ibu selama kehamilan terjadi pada masa ini. Selera
makan menjadi normal kembali bahkan semakin meningkat. Kemampuan
mencerna pada tahap ini semakin baik. Akibat yang mungkin ditimbulkan karena
kekurangan gizi pada tahap ini adalah bobot bayi lahir di bawah normal. Husaini
dan Husaini (1986) dalam penelitiannya di Bogor mendapatkan bahwa rata-rata
pertambahan berat badan ibu hamil pada akhir trimester kedua sebesar 4 kg.
Pada trimester ketiga pertumbuhan bayi tidak secepat tahap sebelumnya.
Namun kekurangan gizi pada tahap ini menyebabkan bayi lahir kecil, kurang
sehat dan ibu lemah sehingga tidak mampu melaksan akan persalinan dengan
sempurna. Rata-rata pertambahan berat badan yang dicapai pada akhir trimester
ketiga pada penelitian di Bogor didapatkan seb esar 3.8 kg (Husaini & Husaini
1986).
Sebelum 1961 istilah premature baby digunakan sebagai sebutan bagi
semua bayi yang lahir <2500 gram. Sejak 1961 WHO mengganti istilah tersebut
dengan Low Birth Weight baby (LBW). Hal ini karena tidak semua bayi dengan
berat <2500 gram pada waktu lahir adalah premature baby. Dengan demikian,
bayi dengan berat <2500 gram dapat dibedakan menurut umur kehamilan.
Prematuritas murni yaitu bayi yang dilahirkan kurang bulan tetapi memiliki berat
badan yang sesuai dengan umur kehamilan. Sedangkan bayi kecil untuk masa
kehamilan (KMK) yaitu bayi yang dilahirkan cukup bulan tetapi memiliki berat
badan <2500 gram (Prawirohardjo 1996).
Bayi dengan berat lahir 2000 sampai 2499 gram memiliki risiko kematian
perinatal sebesar empat kali lipat
dibandingkan dengan bayi yang dilahirkan
dengan berat 2500-2999 gram, dan sepuluh kali lipat dibandingkan dengan
mereka yang lahir dengan berat 3000-3499 gram (Ashworth 1998). Jika bayi
BBLR bertahan, mereka memiliki angka kesakitan yang lebih besar dan
6
perkembangan syaraf yang kurang baik (pengelihatan lemah, penurunan
pencapaian prestasi, tuli, dan autisme). Kerusakan pada sistem syaraf meningkat
sejalan dengan turunnya berat lahir (Hackey Hospital 1991).
Identifikasi faktor risiko dilakukan melalui pengkajian terhadap riwayat
kehamilan sebelumnya seperti kesulitan dalam kehamilan dan persalinan.
Pemeriksaan fisik yang penting selama kehamilan meliputi : pengukuran tinggi
badan, berat badan, dan lingkar lengan atas (LLA). Bila didapatkan hasil tinggi
badan kurang dari 145 cm atau LLA kurang dari 23.5 cm yang berarti ibu berisiko
menderita kekurangan energi kronis yang dapat berpengaruh terhadap kehamilan
(Depkes 2001).
Pertambahan Berat Badan Ibu Hamil dan Berat Bayi Lahir
Berat badan ibu sebelum hamil, status gizi, dan pertambahan berat badan
selama hamil merupakan indikator berat bayi lahir (Kramer 1987). WHO
merekomendasikan pertambahan berat badan wanita hamil di negara-negara
berkembang minimal 1 kg per bulan selama trimester kedua dan ketiga
(ACC/SCN 2000). Pertambahan berat badan ibu hamil yang rendah berkaitan
dengan peningkatan risiko retardasi pertumbuhan uterus (IUGR) dan kematian
perinatal, sedangkan pertambahan berat badan yang tinggi dihubungkan dengan
berat bayi lahir yang tinggi (Ziegler & Filer 1996).
Waktu pertambahan berat badan selama hamil juga penting diperhatikan.
Banyak peneliti berpendapat bahwa pertambahan berat badan pada trimester
kedua dan ketiga lebih penting untuk memastikan pertumbuhan fetus
dibandingkan pertambahan berat badan pada trimester pertama (ACC/SCN 2000).
Tabel 2. Pertambahan berat badan ibu hamil per trimester
Trimester
I
II
III
Sumber : Pudjiadi, 1990
Pertambahan berat badan (kg)
<1
3
6
Pudjiadi (1990) menyatakan bahwa pertambahan berat badan ibu hamil
mula-mula agak lambat pada trimester pertama, meningkat pada trimester kedua,
setelah itu meningkat pesat pada trimester ketiga. Trimester ketiga adalah masa
7
yang paling kritis karena pertambahan berat badan ibu dan pertumbuhan janin
paling cepat (Tabel 2). Kalau pada saat ini kebutuhan gizi tidak terpenuhi,
pertambahan berat-badan ibu hamil kurang baik dan diikuti dengan bayi lahir
dengan BBLR serta kurang gizi.
Pada trimester pertama pertambahan berat badan tidak lebih dari 1 kg,
pada trimester kedua kurang lebih 3 kg, dan pada trimester ketiga sekitar 6 kg.
Pada trimester kedua sekitar 50% dan pada trimester ketiga sekitar 90% dari
pertambahan berat badan ibu hamil merupakan komponen pertambahan janin, ariari dan bertambahny a air ketuban (Pudjiadi 1990). Husaini dan Husaini (1986)
pada penelitiannya di Bogor mendapatkan rata-rata pertambahan berat badan ibu
hamil pada akhir trimester pertama sebesar 1,0 kg.
Suhardjo (1989) menyatakan bahwa masa pertumbuhan yang paling cepat
dalam siklus kehidupan manusia adalah pada masa kanak-kanak, terlebih pada
waktu masih dalam kandungan (janin). Untuk mendukung pertumbuhan dan
perkembangan yang cepat ini menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan yang
besar pada tubuh ibu yang mengandungnya. Dalam kondisi normal, berat ibu
hamil bertambah dengan kira-kira 20% selama masa mengandung. Di berbagai
negara maju, ibu-ibu hamil yang sehat selama masa hamil rata-rata berat
badannya bertambah sebanyak 12.5 kg. Pertambahan berat ini terdiri dari bagianbagian sebagaimana tercantum pada Tabel 3.
Tabel 3. Distribusi pertambahan berat badan ibu hamil pada k ehamilan 40 minggu
Distribusi pertambahan berat badan
Fetus
Plasenta
Volume darah
Uterus dan Payudara
Cairan Amniotik
Simpanan lemak & cairan retensi lainnya
Total
Berat (g)
3000-3500
650
1300
1300
800
4200-6000
11.550-13.550
Sumber : Watson & Wall, 2002.
Beberapa faktor yang mempengaruhi pertambahan berat badan ibu hamil
adalah sebagai berikut : (a) berat badan ibu sebelum hamil, pertambahan berat
badan ibu hamil optimal kira-kira 20% dari berat badan sebelum hamil; (b)
masukan gizi selama hamil, makin baik masukan gizi makin baik pertambahan
8
berat badan ibu hamil; (c) penyakit-penyakit kronis yang diderita ibu hamil, bila
ibu hamil menderita penyakit kronis seperti tuberculosis, cacingan, dan lain-lain,
walaupun masukan gizi cukup baik, pertambahan berat badan ibu hamil tidak
seperti ibu hamil yang sehat; (d) sirkulasi antara rahim dengan ari-ari, bila
sirkulasi ini terganggu akan menyebabkan pertumbuhan janin terganggu, secara
tidak langsung juga mempengaruhi pertambahan berat badan ibu hamil (Kardjati
1985; Hakimi 1990).
Tafari (1981) menjelaskan hubungan antara pertambahan berat badan ibu
selama hamil dengan pertambahan berat janin. Sampai dengan usia kehamilan 30
minggu sebanyak 44% pertambahan berat ibu diperuntukkan bagi kepentingan ibu
(pembentukan plasenta, p embesaran payudara dan uterus, dan cairan ketuban) dan
hanya 18% diperuntukkan bagi pertumbuhan janin. Selanjutnya hampir seluruh
pertambahan berat badan ibu pada usia kehamilan 30 minggu sampai dengan 40
minggu diperuntukkan bagi pertumbuhan janin.
Ada hubungan yang sangat erat antara kecukupan gizi ibu selama hamil
dengan pertambahan berat badan ibu hamil, gizi bayi dan berat bayi yang
dilahirkan. Makin besar pertambahan berat badan ibu, makin besar berat badan
bayi yang dilahirkan. Korelasi ini hanya tampak nyata pada ibu hamil yang
berbadan kurus dan korelasi menjadi kurang nyata pada ibu hamil yang lebih
gemuk. Pada ibu yang gemuk, tidak ada hubungan antara pertambahan berat
badan ibu hamil dengan berat bayi lahir. Hal ini barangkali karena pada ibu yan g
gemuk, janin mendapatkan cukup zat-zat gizi dari simpanan di dalam badan ibu,
sedangkan dari ibu yang kurus, janin lebih tergantung dari zat-zat gizi yang
dikonsumsi ibu selama hamil (Husaini 1985).
National Academy of Scienses (1970) menganjurkan pertambahan berat
badan sekitar 9-11.3 kg. Pada tahun 1983 usu lan ini diubah menjadi 10-12.2 kg,
dan tahun 1990 bersama dengan Institue of Medicine angka tersebut diperbaiki
11.3-15.9 kg (bagi wanita yang berat terhadap tinggi badannya normal).
Laju pertambahan berat badan selama hamil merupakan petunjuk sama
pentingnya dengan pertambahan berat itu sendiri. Karena itu disarankan untuk
mematok besaran pertambahan berat badan sampai kehamilan berakhir sekaligus
memantau prosesnya untuk kemudian dicatat dalam KMS Ibu Hamil. Selama
9
trimester pertama, kisaran pertambahan berat badan sebaiknya 1-2 kg (350-400
g/mg); sementara trimester kedua dan ketiga sekitar 0.34 -0.50 kg tiap minggu.
Pertambahan yang berlebihan setelah minggu ke-20 menyiratkan terjadinya
retensi air, sekaligus bertalian dengan janin besar dan risiko penyulit Disproporsi
Kepala-Pinggul (DKP). Retensi berlebihan juga merupakan tanda awal
preeklamsi. Sebaliknya, pertambahan berat <1 kg selama trimester kedua, apalagi
trimester ketiga, jelas tidak cukup, dan sekaligus meninggikan risiko kelahiran
berat badan rendah, peemunduran pertumbuhan dalam janin, serta kematian
perinatal (Arisman 2002).
Tabel 4. Pertambahan berat badan berdasarkan IMT sebelum hamil
Nilai BMI (kg/m2)
Kurang ( < 19,8)
Normal (19.8 - 26)
Lebih (26.1 – 29.0)
Obes ( > 29.0)
Pertambahan Berat Badan (kg)
12.5 - 18
11.5 - 16
7.0 – 11.5
6.0
Sumber : IOM (1990)
Namun demikian, masih ada pengecualian dalam penggunaan patokan
umum di atas, karena pada hakikatnya tujuan pertambahan berat kumulatif itu
didasarkan pada berat dan tinggi badan ibu sebelum hamil. Meskipun begitu,
pertambahan berat badan kumulatif wanita pendek (150 cm) cukup sekitar 8.8 13.6 kg. Mereka yang hamil kembar dibatasi sekitar 15.44 – 20.4 kg. Bagi mereka
dengan berat berlebih, pertambahan berat diperlambat sampai 0.3 kg/minggu
(Arisman 2002).
Jumlah Kehamilan dan Paritas
Jumlah kehamilan, paritas, dan umur ibu umumnya saling berkaitan
sebagai faktor resiko pertumbuhan dan perkembangan anak. Landers (1984)
dalam Satoto (1990) menemukan bahwa sampai dengan kehamilan ketiga, jumlah
kehamilan berhubungan dengan berat bayi lahir rendah. Sedangkan setelah
kehamilan ketiga, hubungan tersebut tidak lagi nyata. Mata dan Wyat (1971)
dalam Satoto (1990) menganalisis bahwa paritas pada umumnya menggambarkan
jarak dua kehamilan, yang manifestasinya nyata pada persediaan energi dan zat
10
gizi ibu dan kemampuan ibu untuk memelihara kehamilan dan memberikan ASI
setelah kelahiran anak.
Depkes RI (1990) menyatakan faktor-faktor resiko kehamilan diantaranya
adalah ibu hamil dengan paritas tinggi , yaitu ibu yang melahirkan 5 kali atau
lebih yang mempunyai risiko lebih besar untuk mengalami pendarahan. Hasil
penelitian Sutaryanto (2002) menunjukkan bahwa 36.4% contoh merupakan
kehamilan yang berisiko dengan rata-rata jumlah kelahiran 3.89 kali.
Umur Kehamilan
Cunningham et al. (1995) menyatakan suatu kelahiran yang tidak tepat
waktu (<260 hari atau 37 minggu) merupakan salah satu dari risiko kesehatan bagi
manusia. Sebagian besar orang yang dilembagakan secara permanen adalah
mereka yang terganggu mental atau fisiknya karena lahir kurang bulan. Hal ini
mungkin berkaitan dengan kematangan fetus. Bayi yang lahir cukup bulan berarti
semua fungsi organ sudah berfungsi dengan baik sehingga memiliki risiko
kesehatan yang rendah. Depkes RI (1990) menyatakan bahwa bayi yang lahir
secara prematur punya risiko kematian lebih tinggi yang sering terjadi pada ibu
muda < 20 tahun, hamil ganda, hipertensi dan penyakit ginjal.
Gangguan Selama Kehamilan
Beberapa wanita yang menyatakan dirinya hamil menggambarkan
perasaan letih, pusing dan bahkan sakit kepala yang umum terjadi selama bulan
pertama kehamilan. Gejala ini mungkin disebabkan oleh meningkatnya hormon
progesteron. Tanda-tanda tersebut juga mungkin dis ebabkan oleh depresi mental
(Hamilton 1995).
Lebih dari separuh wanita hamil menderita mual dan muntah. Kondisi ini
lebih umum pada kehamilan pertama dibandingkan kehamilan berikutnya. Hal ini
merupakan gejala dini. Kadang -kadang timbul segera dalam dua minggu setelah
terlambatnya mesntruasi yang semestinya, dan keadaan ini berlangsung sampai
minggu ke-12 dan ke-14. istilah morning sickness sebenarnya tidak tepat karena
hampir seluruh wanita hamil mengalami hal ini pada saat kapanpun, tidak hanya
pagi hari. Pada wanita normal, muntah pada awal kehamilan biasanya tidak
11
menimbulkan gangguan metabolisme dan sedikit gangguan dalam aktivitas seharihari. Mual datang dengan cepat dan setelah muntah biasanya akan merasa lebih
enak selama beberapa waktu (Chamberlain & Dewhurst 1994).
Rasa mual dan muntah adalah tanda-tanda baik kehamilan. Perasaan mual
yang tidak berat biasanya dapat diatasi dengan memberikan ketenangan dan
mengatur makanan. Pemberian makanan dengan cara sedikit demi sedikit tetapi
sering dapat membantu mencegah dehidrasi dan hipoglikemia (Rayburn & Carey
2001).
Ukuran Antropometri Ibu Hamil dalam Kaitannya dengan Berat Bayi Lahir
As’ad (2002) menyebutkan bahwa indikator untuk status gizi secara
antropometri pada ibu hamil yaitu berat badan dan lingkar lengan atas. Rata-rata
berat badan yang diperoleh oleh primigravida sehat yang makan tanpa batasan
adalah 12.5 kg. Berat badan perolehan ini menunjukkan dua komponen utama,
yaitu:
a. Produk konsepsi : fetus, cairan amniotik dan plasenta
b. Tambahan jaringan maternal : ekspansi darah dan cairan ekstraseluler,
pembesaran uterus dan payudara, serta jaringan lemak.
Berat badan rendah dikaitkan dengan meningkatnya risiko IUGR dan
mortalitas perinatal. Berat badan yang besar dikaitkan dengan bayi lahir dengan
berat badan yang besar, utamanya berkaitan dengan risiko peningkatan komplikasi
yang
berhubungan
dengan
disproporsi
kepala
pinggul
(DKP),
yaitu
ketidaksesuaian antara ukuran kepala bayi dengan ukuran pinggul sehingga terjadi
kesulitan persalinan (Arisman 2002 ). Bukti epidemiologi dari keadaan ini
menunjukkan secara lebih meyakinkan bahwa berat badan ibu sebelum hamil
maupun tingginya merupakan penentu pertumbuhan fetus. Oleh karena berat
badan yang lebih pada bayi yang baru lahir menunjukkan risiko yang lebih rendah
maka rekomendasi bagi perolehan berat badan selama kehamilan lebih tinggi
kepada wanita yang kurus dibandingkan dengan wanita dengan berat badan
normal dan lebih rendah pada wanita dengan berat badan berlebih dan wanita
obesitas (As’ad 2002).
12
Indikator antropometri dapat menggambarkan kejadian masa lampau,
memprediksi kejadian yang akan datang, atau indikasi status gizi saat ini.
Penilaian status ibu selama kehamilan umumnya berdasarkan pada berat badan,
tinggi badan, lingkar lengan atas, dan berbagai pengukuran tebal lipatan kulit.
Selain itu pertambahan berat badan selama hamil dan tinggi fundus dapat
merefleksikan status pertumbuhan fetus (WHO 1995).
Lingkar Pinggang dan Lingkar Pinggul
Lingkar pinggang saat ini digunakan sebagai pengukuran yang praktis
untuk menilai distribusi jaringan lemak. Pengukuran lingkar pinggang seringkali
digunakan untuk menilai hubungan dengan adanya penyakit seperti hipertensi,
obesitas, diabetes, dan penyakit jantung. Indeks lingkar pinggang dan lingkar
pinggul juga seringkali digunakan. Brown et al. (1996) menggunakan pengukuran
lingkar pinggang dan lingkar pinggul sebagai penduga berat bayi lahir.
Peningkatan 0.1 unit rasio lingkar pinggang dan pinggul menduga berat bayi lahir
120 gram lebih besar, 0.2 inci lebih panjang dan 0.3 cm lebih besar lingkar
kepalanya. Wang (2003) merekomendasikan pengukuran lingkar pinggang
sebagai bagian dari pengukuran antropometri karena mudah dilakukan, murah dan
reliabel. Kelemahan pengukuran lingkar pinggang adalah ketelitiannya tergantung
pada ketrampilan peneliti. Kesalahan pengukuran yang mungkin terjadi adalah
menentukan posisi yang tepat untuk mengukur lingkar pinggang. Wang (2003)
merekomendasikan empat posisi lingkar pinggang pada orang dewasa, yaitu (1)
tepat di bawah tulang iga, (2) lingkar pinggang terpendek, (3) tepat di tengah
antara tulang iga dan tulang pinggul, dan (4) tepat di atas tulang pinggul.
Tinggi Fundus
Tinggi fundus biasa digunakan untuk menilai umur kehamilan dan sebagai
indikator pertumbuhan fetus. Tinggi uterus dapat merefleksik an seluruh ukuran
yang akhirnya merefleksikan ukuran dari isi uterus. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa tinggi fundus merupakan variabel yang dapat digunakan
untuk memprediksi berat bayi lahir rendah (WHO 1995). Mochtar (1998)
menyatakan bahwa umur kehamilan dapat diperkirakan dengan jalan mengukur
tinggi fundus uteri dari simfisis, seperti disajikan dalam Tabel 5.
13
Tabel 5. Usia kehamilan dan tinggi fundus
Usia Kehamilan (minggu)
22 - 28
28
30
32
34
36
38
40
Tinggi Fundus (cm)
24-25
26.7
29.5 – 30
29.5 – 30
31
32
33
37.7
Sumber : Mochtar (1998)
Berdasarkan ukuran tinggi fundus, berat badan janin dalam kandungan
dapat diduga dengan menggunakan rumus Johnson-Toshack (Mochtar 1998) :
BBJ = (TF – 12) x 155 gram
BBJ = berat badan janin dalam gram
TF = tinggi fundus dalam cm
Tinggi Badan
Tinggi badan orang dewasa mencerminkan interaksi potensi genetik bagi
pertumbuhan dan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi potensi tersebut.
Di berbagai negara berkembang, potensi genetik merupakan penentu utama tinggi
badan, karena lingkungan membatasi, seperti penyakit akut dan kronis, malnutrisi,
dan kondisi sosial ekonomi yang minim selama masa pertumbuhan linier. Pada
negara-negara maju, sebaliknya, kebanyakan tinggi badan orang dewasa adalah
akibat dari pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan linier, terutama pada
tahun-tahun pertama kehidupan. Penggunaan tinggi badan ibu sebagai indikator
kesehatan dan status gizi harus memperhitungkan lingkungan dimana ia tumbuh
(WHO 1995).
Tinggi badan ibu, meskipun juga menyumbang terhadap massa total ibu,
memiliki nilai yang lemah dalam menilai adanya IUGR dibandingkan berat badan
atau BMI. Tinggi badan yang rendah merupakan indikator komplikasi seperti
gangguan kelahiran yang memerlukan penanganan khusus (WHO 1995).
Tinggi badan wanita dewasa merupakan salah satu determinan berat bayi
yang dilahirkan (Dougherty & Jones 1982). Di samping itu, tinggi badan wanita
dewasa dapat menggambarkan riwayat kesehatan dan gizinya pada masa tumbuh
kembang. Tinggi badan rata-rata wanita dewasa di Jawa Barat adalah 148 cm,
14
dengan berat badan 43.5 kg pada awal dekade empat puluhan (Postmus & Veen
1949).
Berat Badan
Berat badan yang diukur pada berbagai waktu selama kehamilan telah
biasa digunakan untuk menilai status kesehatan ibu. Karena berat badan berubah
dengan cepat selama kehamilan, perubahan berat badan pada setiap umur
kehamilan secara rutin dipantau sebagai bagian dari perawatan prenatal (WHO
1995).
Berat badan sebelum hamil dapat digunakan untuk memprediksi berat bayi
lahir rendah (BBLR), yaitu kurang dari 2500 gram. Penelitian di Amerika
menunjukkan bahwa wanita dengan berat badan sebelum hamil kurang dari 59 kg
memiliki risiko 2 kali lebih besar untuk melahirkan bayi BBLR dibandingkan
dengan wanita dengan berat bad an sebelum hamil lebih dari 59 kg (Taffel 1980).
Dalam sebuah studi meta analisis antropometri ibu hamil dengan berat bayi lahir,
disepakati bahwa berat badan sebelum hamil dapat memprediksi BBLR dengan
baik, di samping pertambahan berat badan pada bulan ke-5, 7 dan 9 kehamilan
yang juga merupakan prediktor BBLR yang baik (SCN 1994).
Table 6. Rata-rata tinggi badan dan berat badan sebelum hamil pada wanita di
Amerika dan negara-negara b erkembang
Negara
Banglades
Indonesia
Nigeria
Senegal
Brazil
Guatemala
Amerika Serikat
Jumlah
Contoh
2161
634
360
2088
85
576
NA
Tinggi
Badan (cm)
147.9
149.0
159.0
162.0
153.0
148.9
163.7
Berat
Badan (kg)
40.4
42.4
52.1
58.3
57.0
49.0
56.6
Sumber
Huffman et al. 1985
Kardjati et al. 1982
Morley et al. 1968
Briend 1985
Desai et al. 1980
Lechtig et al. 1975; 1978
WHO 1983
Catatan : Wanita dari negara berkembang pada penelitian ini berasal dari kelas sosial ekonomi
rendah, sementara wanita Amerika berasal dari kelas sosial ekonomi menengah.
Sumber : SCN 1994.
Hasil penelitian lain menemukan bahwa berat badan ibu sebelum hamil
yang kurang dari 40 Kg dapat digunakan untuk memprediksi BBLR. Tripathi et
al. (1987) menyebutkan bahwa 60% bayi Indian dengan berat lahir rendah
menurut umur kehamilan dilahirkan oleh ibu-ibu dengan berat badan sebelum
hamil kurang dari 40 kg dan pertambahan berat badannya kurang dari 5 kg.
15
Lingkar Lengan Atas (LLA)
Lingkar lengan atas merupakan salah satu parameter status gizi, cara
pengukurannya mudah dilakukan dan alat pengukurnya mudah digunakan.
Penggunaan parameter LLA harus mendapat perhatian jika digunakan sebagai
parameter tunggal. LLA juga dapat mencerminkan status gizi masa lampau dan
saat ini, tetapi kurang responsif dibandingkan berat badan yan g berubah dengan
cepat sesuai kondisi kesehatan dan status gizi. LLA relatif stabil selama
kehamilan dan bahkan ketika diukur pada akhir masa kehamilan, mungkin lebih
reflektif dibandingkan berat badan sebelum hamil (WHO 1995).
Penggunaan LLA sebagai indikator status gizi ibu hamil mendapat
perhatian lebih. Hal ini karena kemampuannya memprediksi berbagai outcome
kehamilan dan kepraktisan penggunaannya dibandingkan dengan antropometri
lainnya. Husaini (1986) menemukan bahwa LLA wanita di Bogor selama hamil
hampir konstan, sekitar 23.7 cm. Angka ini lebih rendah dari hasil penelitian di
Indramayu, sekitar 24.3 cm (Achadi 1992). Sedangkan Kardjati et al. (1978)
dalam penelitiannya di Jawa Timur melaporkan rata-rata LLA ibu hamil sekitar
22.9 cm.
Ambang batas LLA pada wanita usia subur di Indonesia adalah 23.5 cm
(Depkes 1995). Apabila ukuran LLA kurang dari 23.5 cm atau di bagian merah
pita LLA, artinya wanita tersebut mempunyai risiko kekurangan energi kronis dan
diperkirakan akan melahirkan berat bayi lahir rendah. BBLR mempunyai risiko
kematian, gizi kurang, gangguan pertumbuhan dan gangguan perkembangan anak
(Supariasa, Bakri, dan Fajar 2001).
Indeks Massa Tubuh (IMT)
Indeks Massa Tubuh didefinisikan sebagai berat badan (kg) dibandingkan
dengan tinggi badan kuadrat (m2). IMT ibu lebih merefleksikan timbunan lemak
daripada massa jaringan, yang tentunya berhubungan kuat dengan berat badan.
Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara IMT ibu pada saat konsepsi,
pertambahan berat badan selama hamil dan berat bayi lahir. Wanita Indonesia di
daerah pedesaan relatif pendek dengan tinggi badan rata-rata 150 cm dan berat
badan rata-rata sebelum hamil sekitar 42 kg dengan rata-rata IMT sekitar 17.4
16
kg/m 2. IMT ini lebih rendah dari angka minimal yang dianjurkan, yaitu 18.5
kg/m 2 (Allen 2001).
Ibu hamil dengan IMT yang rendah dan tidak mencapai pertambahan berat
badan yang cukup berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (IOM
1990). Pertambahan berat badan memiliki pengaruh yang kuat terhadap
pertumbuhan fetus pada ibu hamil yang kurus dibandingkan dengan ibu hamil
yang gemuk. Ibu hamil dengan IMT yang tinggi akan melahirkan bayi yang lebih
berat. Penelitian di Meksiko dan Kenya menunjukkan adanya hubungan antara
IMT ibu hamil pada trimester pertama dengan berat bayi lahir. Semua bayi BBLR
di Kenya lahir dari ibu dengan IMT kurang dari 21 kg/m2. IMT juga berhubungan
dengan panjang bayi lahir di Kenya, tetapi hubungan tersebut tidak terjadi di
Meksiko (Allen, Lung’aho, Shaheen, Harrison, Neumann & Kirksey (1992).
Meskipun demikian, IMT ibu yang rendah merupakan penduga gangguan
pertumbuhan fetus (IUGR) yang lemah dibandingkan berat badan ibu sebelum
hamil atau pencapaian berat badan selama hamil. Kelemahan lain dari IMT
sebagai indikator risiko IUGR adalah timbunan lemak atau kegemukan yang
mempengaruhi adaptasi terhadap ketersediaan energi selama kehamilan (Allen
2001).
Rekomendasi pertambahan berat badan di Amerika dan Eropa berbanding
terbalik dengan IMT saat konsepsi. Di Jawa Timur, Indonesia, Pakistan, Taip eh,
Cina dan Meksiko, pertambahan berat badan tertinggi tejadi pada ibu hamil yang
kurus. Interaksi antara IMT sebelum hamil dan pertambahan berat badan selama
hamil dapat dijelaskan dengan bukti bahwa laju metabolisme ibu hamil meningkat
secara nyata selama hamil, oleh karena itu konsumsi energi yang lebih banyak dan
menuju pada pencapaian berat badan yang lebih rendah (King, Butte, Bronstein,
Kopp, & Lindquist 1994). Sebaliknya, laju metabolisme pada ibu hamil yang
kurus dapat turun pada awal kehamilan (Lawrence, Coward, Cole, & Whitehead
1987). Penggunaan energi selama hamil menjadi jauh lebih rendah dan
pertambahan berat badan dapat menjadi lebih tinggi dibandingkan pada ibu yang
gemuk (Allen 2001).
Respon fisiologis ini terhadap IMT ibu kemungkinan dipengaruhi oleh
hormon leptin. Konsentrasi serum leptin berhubungan kuat dengan IMT ibu
17
terutama pada kehamilan trimester kedua. Kadar leptin yang tinggi biasanya
berhubungan dengan tingginya laju metabolisme. Sebaliknya, ibu hamil yang
kurus menjadi lebih efisien dalam menggunakan energi untuk pertambahan berat
badan selama hamil. Hal ini terutama terjadi jika konsumsi energi dari diet rendah
(Lawrence et.al. 1987). Berdasarkan pertimbangan ini, tampaknya penggunaan
IMT yang rendah sebagai indikator risiko IUGR menjadi kurang tepat
dibandingkan dengan berat badan rendah sebelum hamil atau pencapaian berat
badan. Rendahnya massa jaringan memprediksi IUGR lebih baik dibandingkan
rendahnya massa lemak (Allen 2001).
Faktor Risiko yang Berpengaruh terhadap Berat Bayi Lahir
Peristiwa-peristiwa tertentu yang timbul selama masa prenatal (kehamilan)
dan intrapartum (persalinan) dapat memberi pengaruh kurang baik terhadap bayi
dalam perkembangan selanjutnya (Hobel et.al. 1973). Faktor-faktor yang
mempengaruhi janin dalam kandungan dapat berasal dari unsur-unsur yang
terdapat pada ibu, interaksi ibu-janin dan unsur-unsur yang terdapat pada janin
(Karyadi 1987; Penrose 1961). Faktor-faktor tersebut dapat dilihat pada Tabel 7 .
Tabel 7. Faktor-faktor yang mempengaruhi p erkembangan janin dalam kandungan
Unsur Ibu
Unsur genetik
Status gizi saat ini
Status gizi sebelumnya
Tinggi badan
Kenaikan berat badan selama
hamil
Umur
Paritas
Jarak kehamilan terakhir
Keadaan kesehatan
Adaptasi terhadap lingkungan
Interaksi Ibu-Janin
Perokok
Polusi
Ketinggian (altitude)
Suhu
Infeksi
Diabetes
Toksemia
Aktifitas fisik ibu
Struktur plasenta
Unsur Janin
Jenis kelamin
Ras
Umur kehamilan
Kembar
Ketidakcocokan ibu-janin
Sumber : Penrose, L.S. ed. 1961
Thomson (1973) menyatakan bahwa hasil kehamilan yang dipengaruhi
oleh berbagai faktor tersebut ternyata unsur-unsur yang terdapat pada ibu yang
mempunyai pengaruh yang sangat besar. Wanita adalah produk dari suatu
hereditas (keturunan) dan lingkungannya, oleh karena itu perikehidupan wanita
18
hamil perlu dipelajari. Perikehidupan tersebut mencakup tingkat pendidikan,
kepribadian dan latar belakang keluarganya. Selain itu juga perlu diperhatikan
pekerjaannya, pekerjaan suaminya, serta status kesehatan sebelum dan selama
kehamilan.
Keadaan gizi sebelum dan selama kehamilan dan menyusui akan
mempengaruhi perkembangan janin dan perkembangan bayi selanjutnya.
Binatang percobaan sering digunakan untuk mengetahui pengaruh makanan pada
waktu hamil terhadap perkembangan janin dan hasil kehamilan. Hasil dari
penemuan pada binatang percobaan memberikan gambaran yang mungkin dapat
dianalogikan terjadi pula pada wanita hamil (Nat. Acad. of Sciences 1970).
Sudah dilakukan banyak penelitian terhadap berbagai faktor risiko pada
ibu hamil yang berhubungan dengan berat bayi lahir pada negara-negara maju.
Faktor-faktor tersebut dapat berupa indikator klinik, fisiologik, biokimia, maupun
cairan amniotik. Selain itu digunakan pula indikator pertumbuhan berat badan,
status sosial ekonomi, dan lain-lain (Jelliffe & Jelliffe 1982).
Husaini (1990) menyebutkan faktor-faktor risiko dalam kehamilan yang
dibagi menjadi tiga, yaitu risiko sosio demografi, risiko mediko obstetrik, dan
riwayat kesehatan selama kehamilan.
Risiko sosio demografi dibagi dalam sub-sub bagian: (1) umur ibu dan
nomor urut anak yang dilahirkan, (2) pendidikan, (3) status ibu, (4) status
ekonomi, (5) perokok berat atau pecandu narkotika.
Risiko mediko obstetrik dibagi menjadi sub-sub bagian : (1) riwayat
kesehatan yang diketahui pada kunjungan pertama ke tempat pemeriksaan, (2)
riwayat kesehatan selama kehamilan, (3) keadaan pada waktu melahirkan, dan (4)
keadaan gizi ibu.
Riwayat kesehatan selama kehamilan meliputi : (1) pernah menderita sakit
kuning, TBC, Tifus, atau ginjal kronis sebelum hamil, (2) pernah aborsi atau
keguguran, (3) pernah melahirkan bayi kurang bulan (preterm baby), (4) pernah
melahirkan bayi BBLR, (5) eklamsi, (6) jarak kehamilan < 6 bulan, (7) sering
melahirkan.
19
Konsumsi Pangan dan Gizi Ibu Hamil
Wanita hamil harus betusl-betul mendapat perhatian susunan dietnya,
terutama mengenai jumlah energi dan protein yang berguna untuk pertumbuhan
janin dan kesehatan ibu. Kekurangan gizi sebelum dan selama kehamilan dapat
menyebabkan anemia, abortus, partus prematurus, pendarahan pasca persalin an,
dan lain-lain. Sedangkan makan berlebihan, karena dianggap untuk 2 orang (ibu
dan janin) dapat mengakibatkan komplikasi seperti kegemukan, pre eklamsi, janin
besar, dan sebagainya. Zat-zat gizi yang diperlukan oleh wanita hamil adalah
energi, protein, k arbohidrat, lemak, mineral terutama kalsium, fosfor, dan zat besi,
serta vitamin dan air (Mochtar 1998).
Konsumsi pangan adalah jumlah pangan tunggal atau beragam yang
dimakan seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu. Tujuan
konsumsi pangan adalah memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan oleh tubuh
(Hardinsyah & Martianto 1989). Kebiasaan mengkonsumsi pangan yang baik
akan menghasilkan status gizi yang baik pula. Status gizi yang baik hanya akan
terjadi jika ada keseimbangan antara banyaknya jenis -jenis zat gizi yang
dikonsumsi dengan jumlah zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh (S uhardjo 1990).
Pada masa kehamilan kebutuhan zat gizi ibu meningkat. Hal ini karena
metabolisme tubuh meningkat dan konsumsi pangan juga meningkat untuk
kebutuhan ibu, bayi yang dikandung dan persiapan ASI. Berbagai cara dapat
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan menambah frekuensi
makan atau meningkatkan kualitas makanan.
Sebaiknya seorang ibu hamil mendapatkan asupan makanan yang baik,
baik sebelum maupun selama kehamilan. Makanan yang baik mengandung
sejumlah kalori, protein, vitamin dan mineral yang cukup. Gizi yang baik sebelum
kehamilan lebih penting karena akan menentukan masa depan bayi dalam jangka
panjang, sebagai anak, dewasa, maupun pada usia tua. Selama kehamilan berat
badan dan asupan makanan perlu diperhatikan (Eastwood 2003).
Konsumsi pangan yang cukup untuk ibu hamil adalah jika setiap hari
dapat memenuhi kebutuhan zat-zat gizi dalam kuantitas maupun kualitasnya.
Kualitas makanan menunjukkan adanya semua zat-zat gizi yang diperlukan tubuh
20
dalam menu makanan. Kuantitas menunjukkan jumlah masing-masing zat gizi
terhadap kebutuhan tubuh (Sediaoetama 1993).
Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan secara kuantitatif maupun
kualitatif. Penilaian secara kualitatif dapat menunjukkan aspek-aspek yang
berhubungan dengan kebiasaan makan seperti frekuensi makan dalam periode
waktu tertentu, frekuensi menurut jenis makanan yang dikonsumsi maupun cara
memperoleh makanan. Penilaian kuantitatif menitikberatkan pada jumlah
makanan yang dikonsumsi. Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan baik pada
tingkat individu, keluarga, maupun masyarakat. Penilaian konsumsi pangan pada
tingkat individu dapat menggunakan metode seperti penimbangan (weighed
method), metode mengingat-ingat (recall), riwayat makan (dietay history)
frekuensi pangan (food frequency) dan metode kombinasi (Kusharto & Sutandi
2004).
Kebutuhan dan Kecukupan Gizi Ibu Hamil
Selama kehamilan kebutuhan energi lebih besar karena meningkatnya
semua faktor-faktor yang berhubungan dengan total energi ekspenditur. Energi
yang lebih besar diperlukan untuk pembentukan sel-sel baru dan jaringan pada ibu
hamil dan fetus (Rosso 1990). Angka kecukupan energi bagi ibu hamil menurut
WNPG (2004) adalah 2150 Kal per hari.
Kehamilan merupakan masa meningkatnya kebutuhan protein. Tambahan
protein dperlukan oleh ibu hamil dan plasenta bagi pertumbuhan fetus. Protein
makanan menyediakan asam amino untuk mensintesis protein tubuh dan berbagai
substansi lainnya. Sembilan asam amino esensial, yaitu histidin, isoleusin, leusin,
lisin, metionin, fenilalanin, treonin, triptofan, dan valin, yang tidak dapat disintesa
oleh jaringan tubuh mamalia harus tersedia dari diet. Kebutuhan protein juga
dipengaruhi oleh kadar asupan energi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
keseimbangan nitrogen berubah sekitar 0.25 g nitrogen dari setiap 100 Kal energi
yang ditambahkan dari diet (Rosso 1990). Angka kecukupan prote in pada ibu
hamil berdasarkan WNPG (2004) adalah 67 gram per hari.
21
Kebiasaan Makan Ibu Hamil
Selama 12 minggu usia kehamilan, konsumsi pangan ibu hamil adalah
seperti pada waktu sebelum hamil, tetapi kebanyakan wanita justru selera
makannya meningkat, dan jumlah pangan yang dimakan lebih banyak
dibandingkan sebelum hamil. Faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan ibu
selama hamil adalah hormon, plasenta, penggunaan zat gizi oleh janin, energi
yang dikeluarkan untuk pertumbuhan berat badan dan pengurangan aktivitas fisik
(Rosso 1990).
Wanita hamil juga mengalami perubahan selera makan. Beberapa wanita
sangat suka pada makanan tertentu atau sebaliknya dengan alasan yang tidak jelas.
Sejumlah pangan yang sangat disukai terutama pada saat ”ngidam” yaitu makanan
yang lebih sedap dan asin dibandingkan biasanya (Rosso 1990). Akibat mengidam
dan pantang terhadap pangan tertentu terhadap ibu maupun bayinya belum
diketahui. Namun tampaknya masalah ini tidak begitu serius terhadap perubahan
pola makan yang akan merugikan. Sebagian wanita hamil juga mengalami
gangguan makan akibat mual dan muntah pada awal kehamilan. Gangguan
kehamilan seperti mual dan muntah pada awal kehamilan mempengaruhi 50– 90%
wanita hamil (Eastwood 2003).
Banyak wanita hamil berpendapat bahwa selagi hamil makan dikurangi,
karena takut janin menjadi besar sehingga sulit melahirkan. Pendapat ini tidak
mempunyai dasar, sebenarnya ibu hamil memerlukan tambahan beberapa zat -zat
gizi untuk pertumbuhan janinnya agar sehat, dan ini hanya bisa diperoleh dari
makanan (Mochtar 1998).
Gizi Ibu Hamil dan Berat Bayi Lahir
Berat bayi lahir dipengaruhi oleh asupan energi protein selama hamil.
Kekurangan energi protein pada masa ini dapat mempengaruhi perkembangan
bayi selanjutnya. Pada trimester kedua, jaringan lemak ibu menurun untuk
persiapan kebutuhan fetus selanjutnya. Pada trimester ketiga pertambahan berat
badan ibu mempengaruhi berat bayi lahir. Berat bayi lahir dari ibu dengan gizi
baik rata-rata lebih tinggi dibandingkan ibu dengan gizi kurang. Jika berat badan
ibu kurang dari 40 kg, maka bayi beresiko berat lahir rendah. Ketika bayi lahir
22
dengan berat kurang dari 2500 gram maka kesempatan untuk bertahan hidup
menurun. Bayi-bayi yang dilahirkan kurang bulan (preterm) juga sangat rentan.
Bayi-bayi yang lahir sebelum 22 minggu kehamilan jarang yang bisa bertahan.
Selain itu, 27% dari bayi-bayi yang lahir pada 23 hingga 28 minggu kehamilan
menderita cacat (Eastwood 2003).
Di negara-negara berkembang, defisiensi zat besi dan iodium merupakan
bahaya terbesar dalam kehamilan. Hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat
pendidikan, kemiskinan, sanitasi yang buruk, dan gangguan gizi (Eastwood 2003).
Malnutrisi pada ibu hamil berhubungan dengan malnutrisi pada janin.
Meskipun hubungannya telah diketahui antara malnutrisi pada ibu hamil, volume
plasenta, dan berat bayi lahir, kemungkinan hubungannya adalah multifaktor.
BBLR berhubungan dengan asupan ibu hamil yang kekurangan sayuran berdaun
hijau, tingginya pengeluaran energi pada ibu hamil serta beban kerja. Tingginya
angka malnutrisi pada ibu hamil dan BBLR dapat juga berhubungan dengan
tingginya angka penyakit tidak menular pada masa dewasa kelak, seperti penyakit
jantung koroner, hipertensi, dan diabetes (Bhutta, Gupta, Silva, Manandhar, &
Awasthi 2004).
Status Gizi Bayi dan Pengukurannya
Pengukuran pertumbuhan bayi sebagai manifestasi pertumbuhan dalam
kandungan adalah ukuran bayi saat lahir, yaitu berat badan, panjang badan, dan
lingkar kepala (Barker et al. (1993). Selain itu juga dapat dinilai berdasarkan skorZ dengan menggunakan indeks berat badan menurut umur (BB/U) dan panjang
badan menurut umur (PB/U) (WHO 1995). Berat badan merupakan ukuran
antropometri terpenting dan palig sering digunakan pada bayi baru lahir. Berat
badan digunakan untuk mendiagnosa bayi normal atau BBLR. Dikatakan bayi
normal apabila berat bayi lahir lebih d ari atau sama dengan 2500 gram dan BBLR
bila kurang dari 2500 gram (Dewa, Bakri, & Fajar 2001).
Besar Keluarga
Hubungan antara jumlah anggota keluarga dan kurang gizi sangat nyata
pada masing-masing keluarga. Terutama pada keluarga yang penghasilannya
23
rendah. Pemenuhan kebutuhan makanan akan lebih mudah jika yang harus diberi
makan jumlahnya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar
mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga
tersebut. Keadaan yang demikian jelas tidak cukup untuk mencegah timbulnya
gangguan gizi pada keluarga besar (Suhardjo 1989b). Semakin banyak jumlah
anggota keluarga, maka pengaturan pengeluaran untuk pangan sehari-hari relatif
semakin sulit. Hal ini menyebabkan kuantitas dan kualitas pangan yang dapat
diperoleh semakin tidak mencukupi kebutuhan masing -masing anggota keluarga,
termasuk ibu hamil yang rentan terhadap kekurangn gizi (Sediaoetama 1993).
Pendapatan Keluarga
Kebutuhan dasar seperti pangan, sandang dan kesehatan harus dipenuhi
agar manusia dapat mempertahankan hidupnya. Pemenuhan kebutuhan pangan
tergantung pada tersedianya pangan dan pendapatan riil keluarga, dimana pangan
merupakan kebutuhan dasar kehidupan manusia dan komoditas yang paling
penting bagi masyarakat berpendapatan rendah (Erwidodo, Syafaat, Hendiarto &
Suhaeti, 1998). Semakin tinggi daya beli (pendapatan riil) keluarga, maka akan
semakin beragam pangan yang dikonsumsi dan semakin baik pula kualitas
pangannya (Mangkuprawira, 1988).
Tarwotjo dan Husaini (1984) mengungkapkan bahwa pendapatan yang
rendah merupakan salah satu penyebab konsumsi pangan yang rendah. Konsumsi
pangan yang rendah dalam waktu yang lama akan dapat menimbulkan 4
konsekuensi umum, yaitu menurunnya kecerdasan, meningkatnya frekuensi
terkena infeksi, meningkatnya angka kesakitan dan kematian serta menurunnya
produktivitas kerja.
Tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan terhadap
kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Pendapatan yang rendah akan
menurunkan daya beli sehingga tidak mampu membeli pangan dalam jumlah dan
kualitas yang baik sehingga berakibat pada keadaan status gizi yang menurun
(Berg 1986). Meskipun demikian, pengeluaran uang yang lebih besar untuk
pangan tidak menjami lebih beragamnya jenis pangan yang dikonsumsi. Berg
(1986) juga menyatakan bahwa peningkatan pendapatan tidak selalu membawa
24
perbaikan pada pola konsumsi pangan. Karena meskipun banyak pengeluaran
untuk pangan, namun belum tentu kualitas pangan yang dibeli lebih baik. Selain
itu, peningkatan pendapatan walaupun akan meningkatkan pengeluaran, belum
tentu pengeluaran itu digunakan untuk pangan.
Modeling dan Aplikasinya
Sebuah model adalah suatu abstraksi atau penyederhanaan dari suatu
sistem dan pembuatan model (modeling) adalah perluasan dari analisis ilmiah
melalui sarana-sarana lain. Model akan lebih sederhana dibandingkan dengan
keadaan aslinya. Sebuah model harus memiliki sifat-sifat fungsional penting dari
sistem yang nyata. Jelas dalam model tidak dapat memiliki semua sifat kecuali
jika model tersebut merupakan suatu sistem yang nyata. Modeling dilakukan
untuk membantu konseptualisasi dan pengukuran sistem-sistem yang kompleks
dan kadang-kadang untuk menduga konsekuensi dari suatu tindakan yang bisa
jadi mahal, sukar, atau merusak jika dilakukan terhad ap sistem yang
sesungguhnya (Hall & Day 1976).
Modeling diperlukan untuk memahami tentang alam karena kekomplekan
alam seringkali berlebihan. Namun model-model tersebut harus seringkali diuji
terhadap dunia nyata untuk menjamin bahwa perwakilan model-model dari dunia
nyata tersebut akurat, atau paling tidak cara-cara yang tidak akurat kita sadari.
Pada dasarnya cara penggunaan model-model bersamaan dengan ilmu empiris
telah berjasa dalam memahami sistem yang lebih besar dibandingkan dengan
proses-proses lain yang berdiri sendiri (Hall & Day 1976).
Pendekatan permodelan
Ada dua tipe utama dari model-model yang dapat dikelompokkan sebagai
model-model analitik dan simulasi. Meskipun dalam teori kedua pendekatan
tersebut diarahkan pada peningkatan pemahaman dan prediksi kita terhadap
sistem-sistem yang terjadi di alam dan komponen-komponennya, dalam
prakteknya kedua metode tersebut umumnya digunakan untuk pertanyaan pertanyaan yang sepenuhnya berbeda, dan keduanya menggunakan pendekatan
matematis yang sepenuhnya berbeda. Pembuatan metode analitik umumnya
25
dicirikan dengan penggunaan pensil, kertas dan matematika yang relatif rumit.
Pembuatan model simulasi cenderung dicirikan dengan penggunaan matematika
yang lebih sederhana bersama-sama dengan penggunaan matematika yang lebih
sederhana bersama-sama dengan penggunaan komputer (Hall & Day 1976).
Pendugaan
Pendugaan atau prediksi merupakan suatu proyeksi masa depan atau
pernyataan hipotesis yang belum terjadi dalam dunia nyata, paling tidak saat kita
mengadakan pengukuran. Hal ini berhubungan dengan simulasi dari suatu sistem
yang ada sebagaimana kegiatan eksplorasi yang berhubungan dengan interpolasi,
yaitu berlangsung di luar ikatan-ikatan lingkungan yang dikenal. Jadi modelmodel tersebut tidak hanya membantu pemahaman tentang sistem-sistem yang
kompleks namun juga memungkinkan kita mempelajari sistem-sistem yang
kompleks di bawah kondisi-kondisi yang belum mampu kita amati atau
menciptakannya dalam dunia nyata. Penggunaan lain yang agak berbeda dari
pembuatan model prediktif adalah dalam prediksi beberapa sifat sistem yang
secara aktual kita ukur untuk melihat apakah proyeksi-proyeksi komputer sesuai
dengan data lapangan (Hall & Day 1976).
Model Regresi
Untuk membangun suatu model regresi, data yang dimiliki harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Neter, Wasserman & Kuter 1990) :
1. Data sesuai dengan model linier
2. Menghasilkan sisaan yang homogen
3. Data merupakan pengamatan yang bebas satu sama lainnya
4. Berasal dari populasi normal
5. Tidak mengandung pencilan
6. Peubah yang akan dimasukkan ke dalam model sudah lengkap
Kelayakan data untuk membangun suatu model dapat diketahui
berdasarkan kriteria uji sebagai berikut :
1. Koefisien determinasi (R 2)
Koefisien determinasi (R 2) adalah perbandingan antara jumlah kuadrat
regresi (JKR) dengan jumlah kuadrat total yang terkoreksi oleh nilai
tengahnya (JKT). Sehingga R2 = JKR/KKT biasanya dinyatakan dalam
26
persen (%). Besarnya koefisien ini mengukur besarnya bagian dari
keragaman total terhadap nilai tengah peubah tidak bebasnya yang dapat
diterangkan oleh regresi. Apabila nilainya besar maka data antara peubah
yang dibandingkan memiliki korelasi yang sangat tinggi, artinya data
peubah penduga (X) memiliki kemampuan yang tinggi untuk menentukan
nilai peubah terduga (Y). R 2 maksimum adalah 100% akan tercapai pada
saat semua titik pengamatan terletak pada garis yang dibuat oleh persamaan
regresinya.
2. Nilai standar deviasi (S)
Nilai standar deviasi (S) merupakan akar dari varian (S 2). Varian diukur
berdasarkan tingkat keragaman data. Model yang terpilih adalah model yang
memiliki nilai standar deviasi terkecil dibandingkan model-model lainnya.
Pemilihan model penduga terbaik ditentukan berdasarkan kriteria nilai
sisaan baku memiliki nilai homogen, koefisien determinasi (R 2) yang terbesar dan
nilai standar deviasi (S) yang terkecil.
Berbagai penelitian di bidang kesehatan telah menggunakan modelling,
antara lain model penduga protein tubuh total pada anak-anak dan remaja (Wang,
Heshka, Wang dan Heymsfield 2006), pendugaan kurva pertumbuhan longitudinal
tinggi badan dan berat badan pada anak-anak (Black & Krishnakumar 1999),
pendugaan berat janin dengan ultrasonografi (Predanic, Cho, Ingrid, & Pellettieri
2002), antropometri sebagai penentu berat bayi lahir (Winikoff & Debrovner
1981), pendugaan lemak tubuh dengan menggunakan BMI dan lingkar pinggang
(Janssen, Heymsfield, Allison, Kotler & Ross 2002), serta pendugaan berat fetus :
keakuratan antara USG dengan pemeriksaan klinis (Watson, Soisson, & Harlass
1988).
Winikoff & Debrovner (1981) menemukan bahwa berat badan ibu dapat
menjelaskan berat bayi lahir dengan baik jika d ikelompokkan menjadi berat badan
per tinggi badan. Ibu dengan berat badan per tinggi badan yang rendah
menunjukkan bahwa peningkatan berat badan selama kehamilan berhubungan
positif nyata dengan berat bayi lahir (p<0.01).
WHO (1995a) menganalisa hasil studi dari berbagai negara mengenai
antropometri pada ibu hamil. Antropometri digunakan sebagai indikator BBLR,
27
baik yang disebabkan oleh IUGR atau oleh pretermbirth . Hasilnya menunjukkan
bahwa tinggi badan ibu dan LLA merupakan indikator BBLR yang lemah.
Sedangkan berat badan sebelum hamil dan kenaikan berat badan pada bulan ke-5,
7 dan 9 dapat menjadi indikator BBLR yang baik.
Download