BioSMART Volume 6, Nomor 1 Halaman: 71-74 ISSN: 1411-321X April 2004 Pengaruh Suhu dan Fotoperiode terhadap Lama Stadia Telur Ulat Sutera Emas (Cricula trifenestrata Helf.) The effect of temperature and fotoperiods on egg stadia duration of golden silk worms (Cricula trifenestrata Helf.). INDRO HERI WIBOWO, OKID PARAMA ASTIRIN♥, AGUNG BUDIHARJO Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126. Diterima: 15 Nopember 2003. Disetujui: 5 Desember 2003. ABSTRACT The aims of the research were to find out the optimum temperature and the photoperiod which make the duration of C. trifenestrata eggs stadium more short and to find out the effect of combination between temperature and photoperiod toword the duration of C. trifenestrata eggs stadium. The reasearch was conducted in Sub Lab. Biology of Central Lab. MIPA UNS began on December 2002 until February 2003. The selection cocoon seed was obtained from settlement of Pertamina Yogyakarta.The treatment of temperature and photoperiod was treated for eleven days after the result of the eggs from imago breeding was obtained and it needed 130 eggs that was devided in to four groups of photoperiod, they were: photoperiod 8 light hours_16 light dark (8L_16D), 12L_12D, 16L_8D, 24L_ 0D and three groups of temperature, they were: temperature 26–27oC, 27-28oC, 28-29oC and one group of control. The research used factorial experiment design 4 x 3 arrange by method Complex Randomized Design (CRD) with 10 repetition. The observed parameter was the duration of eggs stadium. The Data was analyzed with ANOVA for fact difference test and regretion analyz to see the effect of temperature and photoperiod combination. The result showed that the temperature 28-29oC and 8L_16D make the duration of C. trifenestrata eggs stadium more short. The effect of combination temperature and photoperiod not seems significant (p<0,05) or combination treatment not effect the C. trifenestrata eggs stadium. Keywords: temperature, photoperiod, eggs stadium, C. trifenestrata. PENDAHULUAN Penelitian mengenai sutera pada awalnya berfokus pada pengembangan ulat sutera murbei sebagai penghasil bahan dasar tekstil. Seiring dengan perkembangan mode, peningkatan kebutuhan tekstil, serta diversifikasi bahan sandang, pemanfaatan potensi ulat sutera secara bertahap mulai muncul perhatian terhadap potensi ulat sutera liar sebagai alternatif yang menjanjikan. Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan beberapa keungulan ulat sutera liar dibandingkan ulat sutera murbei. Menurut Akai et al. (1997) sutera yang dihasilkan oleh ulat sutera liar lebih lembut, resisten terhadap bakteri, warna alaminya lebih nyata, tidak berbau, dan lentur. Ulat sutera liar yang pengelolaan dan pemanfaatannya berkembang pesat di Indonesia adalah Attacus atlas dan Cricula trifenestrata Helf. yang dikenal sebagai ulat sutera emas. Ulat ini memiliki kokon berwarna kuning keemasan dan di Indonesia banyak digunakan dalam produksi tas tangan wanita, dompet, sampul buku, serta hiasan dasi. Selain itu, pupa C. trifenestrata banyak dikonsumsi sebagai makanan ♥ Alamat korespondensi: Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126 Tel. & Fax.: +62-271-663375. e-mail: [email protected] tambahan yang berprotein tinggi. Usaha pembudidayaan sutera liar terkait erat dengan kegiatan metamorfosis ulat dalam upaya mempertahankan keturunan. Selama metamorfosis, C. trifenestrata sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Telur adalah salah satu fase yang cukup rentan terhadap perubahan lingkungan ini. Telur C. trifenestrata berkembang selama 10-11 hari. Suhu dan fotoperiode yang optimum C. trifenestrata diperkirakan dapat mempercepat proses penetasan atau memperpendek lama stadia telur. Dengan memperpendek lama stadia telur, maka proses budidaya ulat sutera menjadi lebih cepat, dan selanjutnya dapat meningkatkan produksi serat sutera yang dihasilkannya. Kontrol fisiologis perkembangan awal telur belum sepenuhnya dipelajari, tetapi beberapa faktor diketahui mempengaruhi perkembangan tubuh secara keseluruhan seperti suhu, fotoperiode, dan kelembaban. Perkembangan beberapa spesies tertentu dapat dipercepat dengan suhu tinggi, dan pada suhu rendah perkembangannya dapat tertahan (Wigglesworth, 1979). Fotoperiode berperan penting dalam mengontrol lama stadia telur pada sebagian besar spesies serangga. Fotoperiode mempengaruhi proses diapause pada beberapa spesies serangga di daerah tropis, dalam kondisi lingkungan yang berubah sepanjang harinya. Pada beberapa kelompok serangga, diapause dapat terjadi pada telur, larva, pupa atau dewasa (Stanley, 1980). 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta 72 B i o S M A R T Vol. 6, No. 1, April 2004, hal. 71-74 Cricula trifenestrata Helf adalah anggota famili Saturniidae dan tersebar di Indonesia serta negara-negara tetangga di Asia tenggara (Kato et al, 2000). Secara taksonomi Cricula diklasifikasikan ke dalam 12 spesies, yaitu: C. trifenestrata, C. andamanica, C. bornea, C. agria, C. ceylonica C. andrei, C. jordani, C. zubsiana, C.sumatrensis, C. elaezia, C. luzonica dan C.quinauefenestrata. Spesies C. trifenestrata sendiri dibagi dalam 6 subspesies, yaitu: C. trifenestrata trifenestrata, C.trifenestrata agroides, C. trifenestrata javana, C.trifenestrata serama, C. trifenestrata treadauayi dan C.trifenestrata kransi (Akai, 2000). Telur C. trifenestrata berwarna putih kekuningan dan menjadi putih kelabu menjelang menetas, berderet dalam 23 lapisan pada tepi permukaan bawah daun. Ukuran telur tidak sama seragam, berbentuk oval atau lonjong, berwarna putih kekuningan saat baru ditelurkan oleh induknya. Hari demi hari warna telur semakin berubah, yaitu: semakin gelap atau putih kelabu (Kalsho-ven, 1981; Mardinah, 1999). Pada mulanya larva hidup mengelompok, namun memasuki instar III dan IV mulai menyebar (Kalshoven, 1981). Warna ulat C. trifenestrata hitam dengan bercakbercak dan rambut-rambut putih, kepala dan abdomen merah cerah, panjang tubuh dewasa mencapai 60-80 mm dan membentuk kokon berwarna emas. Pada umumnya larva membuat kokon bergerombol atau berkelompok yang terangkai satu sama lain pada tangkai daun. Pupa berwarna coklat terdapat dalam kokon yang berwarna keemasan (Akai, 2000; Kalshoven, 1981; Wiratno dkk., 1992). Ngengat C. trifenestrata betina lebih besar dari pada ngengat jantan, bentangan sayapnya sekitarnya 75 mm. Ngengat jantan memiliki dua buah jendela kecil pada sayap depan, sedangkan ngengat betina memiliki tiga buah jendela kecil. Sayap depan berwarna cokelat kemerahan, sedangkan sayap belakang coklat kelabu, badan tertutup sisik tebal berwarna coklat. Ngengat ini tidak dapat terbang dengan baik, tetapi dapat bermigrasi ke tempat yang cukup jauh (Kalshoven, 1981). Secara umum serangga dapat bertahan hidup normal pada interval suhu 0-35oC. Di luar interval ini, serangga akan mengalami perubahan proses fisiologis. Di atas suhu 35oC, serangga akan mengalami estivasi, sedangkan di bawah 0oC akan mengalami hibernasi. Ulat sutera merupakan hewan dengan tipe suhu tubuh poikoliterm yang sangat dipengaruhi suhu lingkungan (Mardinah, 1999). Cahaya mendukung pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera liar, khususnya pada instar awal. Larva yang baru menetas bersifat fototaksis yang akan semakin berkurang pada instar yang terakhir. Sifat fototaksis ini cenderung lebih kuat pada awal instar dan lemah menjelang tahap moulting. Sifat fototaksis larva berbeda-beda dan umumnya cahaya matahari lebih disukai (Jolly et al., 1979). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: peranan suhu, fotoperiode, dan kombinasi keduanya dalam memperpendek waktu stadia telur C. trifenestrata. BAHAN DAN METODE Telur perlakuan diperoleh dari hasil rearing di laboratorium dengan bibit yang diperoleh dari Yogyakarta. Pengamatan dilakukan pada bulan Desember 2002 s.d. Februari 2003, di Sub Lab. Biologi, Laboratorium Pusat MIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pengamatan dimulai setelah didapatkan telur hasil perkawinan ngengat dalam kurungan serangga yang telah disterilkan, kemudian telur direndam dalam larutan formalin 3-4%. Apabila telah cukup waktu, telur dibilas dengan air mengalir. Perlakuan dimulai dengan menempatkan telur pada cawan petri, lalu diberi cahaya secara langsung dengan intensitas 200 lux dan ditempatkan pada 3 inkubator yang berbeda. Suhu dan fotoperiode yang diberikan dihentikan apabila telah muncul larva instar pertama. Intensitas suhu dan cahaya dikontrol tiap hari dari awal perlakuan sampai akhir perlakuan. Kelembaban tetap dijaga pada masingmasing perlakuan dengan memberikan kapas basah. Data yang diperoleh digunakan untuk melihat suhu, fotoperiode serta kombinasinya yang dapat memperpendek waktu stadia telur dan melihat pengaruh dari kombinasi tersebut. HASIL DAN PEMBAHASAN Beberapa faktor lingkungan diduga mempengaruhi lama stadia telur C. trifenestrata. Faktor lingkungan yang berpengaruh cukup kuat, antara lain suhu dan fotoperiode. Selain itu nutrisi dan kelembaban juga berpengaruh (Anonim, 1997). Perlakuan dengan variasi suhu menunjukkan adanya perbedaan rata-rata lama stadia telur (Tabel 1). Tabel 1. Rata-rata lama stadia telur C. trifenestrata Helf. karena perlakuan suhu. Suhu (oC) 26-27 27-28 28-29 Kontrol Persentase penetasan (%) Hari Hari Hari Hari ke-7 ke-8 ke-9 ke-10 0 0 7,5 0 27,5 10 62,5 10 65 82,5 30 50 7,5 7,5 0 40 Rata-rata lama stadia telur (hari) 8,80 8,98 8,23 9,30 Kelompok perlakuan suhu 28-29oC menunjukkan persentase penetasan tertinggi pada hari ke-8, yaitu: 62,5% dibandingkan kelompok perlakuan suhu lain. Suhu yang sesuai untuk semua fase pada ulat sutera murbei adalah suhu 10-40oC. Perkembangan telur ulat sutera murbei dalam kondisi ideal, yaitu: pada suhu 23-25oC akan menetas kira-kira 10 hari. Ketika suhu di atas 25oC akan menyebabkan peningkatan metabolisme dan perkembangan telur ulat sutera (Anonim, 1997). Suhu 28-29oC dapat menyebabkan proses metabolisme embrio dalam telur akan menjadi lebih cepat sehingga proses penetasannya pun menjadi cepat. Perlakuan dengan variasi fotoperiode menunjukkan perbedaan rata-rata lama stadia telur, yang dapat dilihat pada Tabel 2. Persentase penetasan telur pada kelompok perlakuan fotoperiode 8 jam terang_16 jam gelap (8T_16G) menunjukkan pengaruh yang dominan dengan lama waktu penetasan tersingkat, yaitu: pada hari ke-8, dimana 56,66% WIBOWO dkk. – Pengaruh suhu dan fotoperiode pada telur Cricula trifenestrata telur menetas. Hal ini dimungkinkan karena syaraf memberikan respon melalui pelepasan hormon. Hormon ekdison yang berperan dalam metamorfosis embrio (Kerkut dan Gilbert, 1985) dan hormon juvenil yang mengontrol proses pendewasan dapat mengambil peranan dalam memperpendek waktu stadia telur C. trifenestrata, selain itu respon lain dapat disebabkan aktifitas zat-zat tertentu dalam proses perkembangan telur C. trifenestrata. Tabel 2. Rata-rata lama stadia telur C. trifenestrata karena perlakuan fotoperiode. Fotoperiode Persentase penetasan (%) Hari Hari Hari Hari ke-7 ke-8 ke-9 ke-10 8T_16G 12T_12G 16T_ 8G 24T_ 0G Kontrol 3,33 0 0 6,66 0 56,66 26,66 26,66 23,33 10 36,66 69,99 66,66 63,33 50 Rata-rata lama stadia telur (hari) 3,33 3,33 6,66 6,66 40 8,40 8,77 8,80 8,70 9,30 Menurut Kerkut and Gilbert (1982) senyawa sorbitol dan gliserol dari glikogen dan senyawa esterase A pada telur yang mengalami masa istirahat dapat menjadi aktif kembali oleh adanya aktifitas senyawa ini. Sorbitol dan gliserol merupakan cadangan energi untuk embrio yang aktif berkembang sedangkan esterase A berperan dalam proses peluruhan membran sel kuning telur. Aktivasi senyawa-senyawa tersebut kemungkinan terjadi pada telur C. trifenestrata sehingga telur lebih cepat berkembang dan menetas pada kelompok perlakuan fotoperiode 8T_16G. Kombinasi suhu dan fotoperiode terhadap lama stadia telur C. trifenestrata dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Persentase penetasan telur C. trifenestrata karena kombinasi suhu dan fotoperiode. Persentase penetasan (%) Hari Hari Hari Hari ke-7 ke-8 ke-9 ke-10 Rata-rata lama stadia telur (hari) Suhu (oC) Fotoperiode 26-27 8T_16G 12T_12G 16T_ 8G 24T_ 0G 0 0 0 0 6,15 1,54 0 0,769 1,54 6,15 6,15 6,15 0 0 1,54 0.769 8,2 8,8 9,2 9 27-28 8T_16G 12T_12G 16T_ 8G 24T_ 0G 0 0 0 0 0,769 0 0,769 1,54 6,15 6,92 6,92 5,38 0,769 0,769 0 0,769 9 9,1 8,9 8,9 28-29 8T_16G 12T_12G 16T_ 8G 24T_ 0G 0,38 0 0 1,54 6,15 4,61 5,38 3,07 0,769 3,07 2,30 3,07 0 0 0 0 8 8,4 8,3 8,2 0 0,769 3,84 3,07 9,3 Kontrol Kontrol 73 Perlakuan dengan kombinasi suhu dan fotoperiode memperlihatkan perbedaan rata-rata lama stadia telur C. trifenestrata. Berdasarkan data yang didapat terlihat bahwa rata-rata lama stadia telur tercepat adalah kelompok perlakuan kombinasi suhu 28-29 oC dengan fotoperiode 8T_16G dengan persentase penetasan telur tertinggi pada hari ke-8, yaitu: 6,15%. Suhu 28-29 ini merupakan faktor yang lebih dominan terhadap proses perkembangan ulat sutera dibandingkan fotoperiode, karena suhu akan memiliki pengaruh yang dominan apabila fotoperiode tidak memberikan kontrol penuh terhadap perkembangan emrio ulat sutera (Stanley, 1980). Data uji regresi (p < 0,05) memperlihatkan bahwa kombinasi kelompok perlakuan suhu dengan fotoperiode tidak mempengaruhi lama stadia telur C. trifenestrata. Koefisien regresi memperlihatkan penambahan kombinasi suhu dan fotoperiode akan meningkatkan lama stadia telur C. trifenestrata, tetapi karena nilainya kecil maka pengaruh kombinasi dapat diabaikan. Menurut Saunders (1973) dalam Herbert, et al. (1982) bahwa kombinasi suhu dan fotoperiode memberikan pengaruh yang penting terhadap lama stadia telur, pada suhu rendah dan fotoperiode intensitas rendah perkembangan embrio ngengat Saturniidae juga sangat rendah (Wigglesworth, 1979). Apabila suhu dan fotoperiode tidak memberikan tekanan maka siklus biologis embrio di telur akan berjalan dengan normal (Stanley, 1980). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi suhu dan fotoperiode tidak berpengaruh terhadap lama stadia telur C. trifenestrata. Perlakuan kombinasi dimungkinkan tidak memberikan tekanan terhadap perkembangan embrio sehingga siklus biologis embrio C. trifenestrata berjalan normal. KESIMPULAN Suhu dan fotoperiode dapat membuat lama stadia telur C. trifenestrata menjadi lebih pendek. Suhu 28-29 oC dan fotoperiode 8 jam terang_16 jam gelap memperpendek waktu stadia telur C. trifenestrata. Kombinasi suhu 28-29 o C dan fotoperiode 8 jam terang_16 jam gelap memperlihatkan pengaruh yang dominan dalam membuat lama stadia telur C. trifenestrata menjadi lebih pendek dibanding perlakuan lain. Kombinasi suhu dan fotoperiode tidak mempengaruhi lama stadia telur C. trifenestrata. DAFTAR PUSTAKA Akai, H. 2000. A successful example of wild silk development from C. trifenestrata in Indonesia. International Journal of Wild Silkmoth & Silk 5: 91-97. Akai, H., R. Nakatomi, E. Kioko, and S.K. Raina. 1997. Fine structure of cocoon and cocoon filament from African gonometa silkmoth (Lasiocampidae). International Journal of Wild Silkmoth & Silk 3: 15-22. Anonim. 1997. Silkworm Egg Produktion. New York: Science Publishers, Inc. Herbert, H.H., A.R. Charles, and R.P.R. June.1982. Entomology. Fourth Edition. New York: John Wiley & Son. Jolly, M.S., K. Sen, T.N. Solwakar, and G.K. Prasad. 1979. Non-Mulberry Silk: FAO-Ayn Culture Service Bulletin 29: P-15. Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of Crops in Indonesia. Penerjemah: van der Laan, P.A. Jakarta: PT Ichtiar-Van Hoeve. Kato, Y., H. Yamada, and K. Tsubouchi. 2000. Why are cocoons of 74 B i o S M A R T Vol. 6, No. 1, April 2004, hal. 71-74 Cricula trifenestrata Golden? International Journal of Wild Silkmoth & Silk 5: 1-4 Kerkut, G.A., and L.I. Gilbert, 1985. Comprehensive Insect Physiology Biochemistry and Pharmacology. New York: Pergamon Press. Mardinah, T. 1999. Daur Hidup C. trifenestrata pada Tanaman Jambu Mete (Anacardium occidentale L.) di Lapangan. [Tesis]. Yogyakarta: Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Stanley, D.B. 1980. Insect Photoperiodism. Second edition. New York: Academic Press Inc. Wigglesworth, V.B. 1979. The Principles of Insect Physiology. Seventh edition. London: English Language Book Society and Chapman & Hall. Wiratno, E.A. Wikardi, dan I.M. Trisawa. 1992. Serangga perusak tanaman kayu manis. Littro 7 (1): 52-54.