I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reproduksi

advertisement
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Reproduksi merupakan bagian utama dalam rangkaian proses
pelestarian jenis sampai populasi, tergolong kebutuhan utama sebagai basic
instinct pada hewan. Faktor pada sistem reproduksi hewan adalah faktor
internal seperti genetik dan hormonal, juga oleh faktor eksternal meliputi
suhu, cahaya, kelembaban dan pakan yang secara langsung dapat memberikan
efek pada fungsi organ reproduksi. Faktor eksternal dan internal saling bekerja
sama satu untuk melakukan proses metabolisme dan menghasilkan kondisi
yang sesuai untuk kehidupan normal (Bligh et al., 1976).
Organisme yang sukses mampu beradaptasi secara temporal terhadap
perubahan lingkungan. Siklus terang-gelap oleh cahaya harian berkaitan
dengan metabolisme, fisiologi, dan perilaku. Pada berbagai spesies hewan
yang tanggap terhadap fotoperiode, aktivitasnya disesuaikan dengan
perubahan tahunan yang disebabkan oleh iklim. Berdasarkan durasi
pencahayaaan terdapat kelompok hewan nokturnal yang beraktivitas ketika
periode gelap berlangsung, dan sebaliknya pada periode terang digunakan
oleh kelompok hewan diurnal untuk beraktivitas (Butler et.al., 2009).
Regulasi ritme sirkadian tersebut dilakukan oleh sepasang kumpulan saraf di
hipotalamus yang dikenal sebagai SCN (suprachiasmatic nucleus). SCN
menggunakan informasi fotoperiode untuk menyeimbangkan proses faal
internal tubuh dengan kondisi lingkungan eksternal hewan (Welsh et al.,
2010).
Fotoperiode merupakan variabel lingkungan utama yang digunakan
oleh kebanyakan mammal untuk menentukan waktu reproduksi musiman
(Bertoni et al., 1992 dalam Mulyati, 1995). Apabila lama pencahayaan dalam
irama sirkadian lebih dari 12 jam diartikan sebagai fotoperiode panjang,
sementara bila kurang dari 12 jam dikatakan sebagai fotoperiode pendek
(Bertoni et al., 1992 dalam Sarto dan Moeljono, 2000).
Cahaya dapat mempengaruhi musim kawin hewan dengan cara
memberi sinyal dalam sinkronisasi irama endogen, dan cahaya merupakan
stimulus bagi sistem neuroendokrin (Van Tienhoven, 1983). Terutama pada
mammal, cahaya menjadi stimulus terhadap sistem reproduksi melalui aksis
neuroendokrin (aksis fotoseksual) yang melibatkan mata, hipotalamus,
hipofisis dan perkembangan gonad. Cahaya yang diterima oleh reseptor pada
retina mata akan diteruskan oleh neurotransmitter menuju ke kelenjar pineal.
Kelenjar pineal dinyatakan sebagai fotoneuroendokrin transduser yang
mengubah stimulus neural menjadi stimulus endokrin yang berlanjut pada
sintesis dan pelepasan melatonin (Hadley dan Levine, 2007).
Kadar melatonin dapat meningkat seiring dengan munculnya periode
gelap di malam hari dan menurun di siang hari (Horton et.al., 1992), sehingga
adanya cahaya diduga menjadi hambatan terhadap sintesis melatonin oleh
kelenjar pineal (Hadley, 1996 dalam Mulyati, 1995). Melatonin memiliki efek
antigonad dan dalam jumlah tertentu menghambat fungsi gonad, bahkan dapat
menghambat sinstesis gonadotropin dalam adenohipofisis. Pada individu
jantan, FSH berperan dalam merangsang proliferasi sel-sel spermatogenik
dalam spermatogenesis, sedangkan LH merangsang sel Leydig untuk
mensintesis testosteron. Testosteron bekerja sama dengan FSH memacu
spermatogenesis, serta mempertahankan struktur dan fungsi sistem reproduksi
secara umum (Hadley, 1996 dalam Mulyati, 1995).
Perkembangan teknologi telah menyebabkan 62% penduduk bumi
terpapar cahaya buatan pada malam hari. Bahkan untuk populasi di Amerika
Serikat dan Eropa telah terpapar cahaya buatan tersebut sekitar 99% (Cinzano,
et al., 2001). Studi menurut Pauley (2004) menjelaskan, spektrum aksi untuk
regulasi melatonin pada manusia menunjukkan bahwa paparan lampu pijar
kurang dari 1 jam dapat mengakibatkan penurunan 50% di tingkat sirkulasi
melatonin. Sementara manusia lebih sering terpapar oleh cahaya penerangan
listrik, pada hewan sepenuhnya tergantung pada respon terhadap perubahan
alam sepanjang hari. Navara dan Nelson (2007) menyebutkan bahwa
peningkatan paparan cahaya pada malam hari dapat mengubah siklus cahaya
alami sehingga dapat meningkatkan resiko gangguan metabolisme, gangguan
fungsi neuroendokrin serta gangguan fungsi reproduksi. Sejalan dengan
munculnya perubahan siklus cahaya juga dapat mempengaruhi pola tingkah
laku terutama ketika fungsi reproduksi tidak berjalan optimal akan
menginisiasi pola perilaku seksual yang berbeda-beda. Diduga hal ini
disebabkan terhambatnya aktivitas testis oleh hormon melatonin yang
memiliki efek anti-gonad (Pauley, 2004).
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji perkembangan testis tikus
putih terhadap fotoperiode (pencahayaan) pendek dengan durasi yang
berbeda.
Perkembangan
testis
tersebut
dapat
dilihat
dari
aktivitas
spermatogenesis, indeks gonadosomatik, berat kelenjar asesoris, dan kualitas
spermatozoa.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diangkat permasalahan
dalam penelitian ini yaitu :
1. Bagaimana pengaruh fotoperiode pendek terhadap aktivitas
spermatogenesis tikus putih?
2. Bagaimana pengaruh fotoperiode pendek terhadap aktivitas testis
tikus putih ditinjau dari indeks gonadosomatik, berat kelenjar
asesoris, kualitas dan kuantitas spermatozoa?
C. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1.
Pengaruh fotoperiode pendek terhadap aktivitas spermatogenesis
testis tikus putih.
2.
Pengaruh fotoperiode pendek terhadap aktivitas testis tikus
ditinjau dari indeks gonadosomatik, berat kelenjar asesoris,
kualitas dan kuantitas spermatozoa.
D. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat :
1.
Mendukung informasi ilmiah dibidang endokrinologi dan
reproduksi mengenai aktivitas testis tikus putih (Rattus
norvegicus, Berkenhout 1769) pada fotoperiode pendek.
2.
Memperkaya informasi berkenaan dengan penelitian yang
menggunakan hewan coba berupa tikus putih galur Wistar
(Rattus norvegicus, Berkenhout 1769)
3.
Memberikan bahan pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut
tentang pengaruh fotoperiode terhadap fungsi reproduksi.
Download