BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Setiap manusia hidup

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Setiap manusia hidup dalam suatu lingkaran sosial budaya tertentu.
Dimana dalam lingkungan sosial budaya itu senantiasa memberlakukan
nilai-nilai sosial budaya yang diacu oleh warga masyarakat penghuninya.
Melalui suatu proses belajar secara berkesinambungan, setiap manusia
akan menganut suatu nilai yang diperoleh dari lingkungannya. Nilai-nilai
itu diadopsi dan kemudian diimplementasikan dalam suatu bentuk
“kebiasaan” ialah pola sikap,dan perilaku sehari-hari. Dengan demikian,
pola perilaku seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain, akan
dipengaruhi oleh nilai-nilai yang diperoleh dari lingkungan sosial budaya.
Kekuatan nilai-nilai maupun segala sumberdaya sosial budaya membentuk
dan mempengaruhi pola tingkah laku individu. Oleh karena itu, setiap
individu memiliki lingkungan sosial budaya yang saling berbeda dengan
yang lain. Situasi ini lalu menghasilkan karakter sosial budaya setiap
individu bersifat unik, khusus, dan berbeda dengan orang lain (Suranto
Aw,2010:27- 28).
Di tengah kehidupan pada zaman sekarang, yang mana banyak terjadi
perubahan dan pergeseran akibat pesatnya pertumbuhan dalam bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi ini, masih terdapat kelompok masyarakat
yang terus mempertahankan kebudayaan lama. Bahkan kebudayaan yang
dipertahankan tersebut menjadi daya tarik tersendiri yang diyakini akan
dapat memberikan makna dalam kehidupan mereka. Hal ini dilakukan oleh
masyarakat-masyarakat tradisional.
Pada masyarakat tradisional, seluruh kehidupan mereka sangat
besar bertolak daripikiran yang masih bersifat irasional. Dengan kata lain
bisa dikatakan bahwa masyarakat tradisional merupakan masyarakat
tertutup (monolitik). Artinya bahwa, terdapat seperangkat pemikiran dan
nilai-nilai dari suatu bidang kehidupan yang meresapi, mengatur,
menguasai, menyatukan semua bidang kehidupan yang ada. Semua sikap
dan pola pikir dalam kehidupan mereka sangat besar berdasarkan budaya
yang dianut, terutama dibentuk dari faktor-faktor adat istiadat sehingga
masyarakat tradisional sangat sulit menerima ide-ide baru yang berguna
sesuai perkembangan zaman dan amat sangat sulit untuk mengalami suatu
perubahan (Aw dkk, 2004:200).
Kelompok masyarakat yang sifatnya tradisional masih dapat
dijumpai dalam kehidupan suku-suku yang berada di propinsi NTT,
khususnya di Kabupaten Ngada. Secara historis, suku-suku yang berada di
dalam wilayah NTT memiliki bahasa dan perkembangannya masingmasing. Semua penduduk yang mendiami pulau ini berasal dari
kebudayaan yang berbeda. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa propinsi
NTT kaya akan budaya dan adat istiadat. Hasil-hasil kebudayaan pun
berbeda-beda, tergantung kemampuan, dan pengetahuan serta letak
geografis.
Masyarakat Kabupaten Ngada merupakan salah satu suku yang
memiliki ciri khas budaya yang berbeda dengan masyarakat suku lainnya.
Hasil kebudayaannya pun berbeda seperti, kerajinan tangan yaitu kain
tenun motif Ngada, upacara Adat Reba, seni musik dan seni tari seperti
Ja’i (perpaduan gerak dengan suara), dan lain sebagainya. Keaslian dari
ciri khas hasil budaya orang Ngada seperti ini belum banyak mengalami
perubahan terlebih dalam upacara Adat Reba. Nilai dan makna budaya
yang dianut oleh masyarakat Ngada berupa upacara adat Reba, masih
tersusun rapi dalam aktifitas kehidupan masyarakat Kabupaten Ngada
khususnya Desa Be’a Pawe, Kecamatan Golewa Barat. Sistem kebudayaan
upacara Reba ini merupakan wujud budaya asli yang memiliki nilai dan
makna historis. Hal ini dilihat dari susunan pada saat upacara adat reba
berlangsung.
Susunan upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Desa Be’a
Pawe masih seperti yang dulu, yaitu adanya kobe dheke Reba, kobe o uwi,
dan kobe dhoi. Ketiga upacara adat tersebut merupakan upacara adat yang
sangat penting dalam upacara adat reba, dan masih terbawah sampai saat
ini. Namun seiring dengan perkembangan jaman, terjadi sedikit perubahan
pada upacara adar Reba. Perubahan tersebut dapat dilihat dari susuna
upacara adat reba yang dulunya tidak diawali dengan misa syukur, namun
dengan masuknya Agama Khatolik di Desa Be’a Pawe, masyarakat Desa
Be’a Pawe selalu mengawali upacara adat Reba dengan misa syukur yang
dipimpin oleh pemimpin agama, sebelum memulai ritus-ritus upacara adat
reba yang lain. Hal ini dilakukan sebagai lambang ucapan syukur pada
Tuhan atas rahmat yang diberikan, serta semakin pudarnya kepercayaan
masyarakat Desa Be’a Pawe tentang adanya Dewa lain selain Tuhan.
Masyarakat Kabupaten Ngada khususnya Desa Be’a Pawe,
Kecamatan Golewa Barat, memiliki pandangan tentang upacara adat Reba
yang melekat pada ingatan mereka sejak dari nenek moyang hingga
sekarang. Menurut mereka Reba merupakan bentuk ucapan syukur atas
hasil panen, yang memiliki nilai pendidikan serta persatuan. Dikatakan
demikian, karena dengan melakukan upacara adat Reba, merupakan suatu
wujud luapan kegembiraan atas suatu kemenangan atuapun keberhasilan
pada hasil panen masyarakat Ngada. Reba merupakan upacara adat yang
bertujuan untuk melakukan penghormatan dan ucapan rasa terima kasih
terhadap jasa-jasa para leluhur masyarakat Ngada.
Upacara ini juga digunakan untuk mengevaluasi segala hal tentang
kehidupan masyarakat pada tahun sebelumnya yang telah dijalani oleh
masyarakat Ngada. Melalui upacara ini, keluarga dan masyarakat meminta
petunjuk kepada tokoh agama dan tokoh adat untuk dapatmenjalani hidup
lebih baik pada tahun yang baru. Upacara Adat Reba merupakan salah satu
bentuk rasa syukur masyarakat Ngada terhadap leluhurnya.Dalam
penelitian ini, penulis lebih fokus atau ingin mendalami tentang nilai yang
terkandung dalam upacara adat Reba (Daeng H,1997: 24-26).
Di tengah perkembangan dunia dewasa Pesta Reba merupakan
kesempatan untuk bertemu, namun bukan sekedar temu kangen. Pada
masyarakat Desa Be’a Pawe, upacara adat reba dilakukan oleh seluruh
masyarakat desa Be’a Pawe untuk mengucap syukur kepada Tuhan, lewat
perantaraan nenek moyang atau arwah para leluhur atas hasil panen pade
tahun ini,dan mohon berkat untuk tahun berikutnya. Pesta Reba juga
merupakan kesempatan untuk bersyukur kepada Tuhan atas anugerah
kasih-Nya sambil melihat kembali hal-hal mana yang perlu dibenahi oleh
masyarakat desa Be’a Pawe. Hal-hal ini bisa jadi relasi personal dengan
Allah, sesama dan seluruh alam semesta. Semua hal yang kurang berkenan
perlu dibenahi agar harmoni dapat terwujud dalam hidup. Tanpa harmoni
hidup tentu serba kacau, dan memprihatinkan.
Pesta Reba merupakan kesempatan berahmat untuk memulihkan
semua kenyataan yang kurang berkenan di hadapan Allah, sesama dan
seluruh alam ciptaan dengan penuh rasa syukur. Selanjutnya, mereka
makan dan minum bersama dalam suasana kasih persaudaraan. Upacara
adat reba pada masyarakat Desa Be’a Pawe terdapat banyak sekali ritusritus adat yang mengandung nilai-nilai komunikasi didalamya. Salah satu
ritus adat yang mengandung nilai magis,dan historis adalah, pada saat su’a
dan o’uwi.
Berdasarkan uraian di atas dan fenomena yang yang terjadi di Desa
Be’a Pawe, Kecamatan Golewa Barat, Kabupatan Ngada, maka penulis
terdorong untuk melakukan penenlitian dengan judul:
“Nilai-Nilai
Komunikasi
dalam
Upacara
Adat
Reba,
(Studi
Interpretasi pada Masyarakat Desa Be’a Pawe, Kecamatan Golewa
Barat, Kabupaten Ngada)”
1.2.Rumusan Masalah
Sesuai dengan uraian pada latar belakang di atas maka masalah yang
diangkat dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana Tanggapan MasyarakatDesa Be’a Pawe terhadap nilainilai yang terkandung dalam upacara adat Reba pada kampung Be’a,
Kecamatan Golewa Barat, Kabupaten Ngada ?
1.3.Batasan Masalah
Mengingat luasnya bahasan mengenai masyarakat Desa Be’a Pawe,
dan banyaknya upacara-upacara adat pada masyarakat Desa Be’a
Pawe,maka penulis membatasi penelitian ini hanya pada nilai-nilai
komunikasi dalam upacara adat Reba Desa Be’a Pawe, Kecamatan Golewa
Barat, Kabupaten Ngada yaitu nilai Magis, dan nilai Historis.
1.4.Maksud dan Tujuan Penelitian
1.4.1. Maksud Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui nilai-nilai
komunikasi dalam upacara adat Reba pada masyarakat Desa Be’a Pawe,
Kecamatan Golewa Barat, Kabupaten Ngada.
1.4.2. Tujuan Penelitian
Berdasarkan maksud penelitian diatas maka tujuan penelitian ini
adalah untuk memperoleh pengetahuan tentang nilai-nilai komunikasi dalam
upacara adat Reba pada masyarakat Desa Be’a Pawe, Kecamatan Golewa
Barat, Kabupaten Ngada.
1.5.Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis
Adapun kegunaan teoritis dari penelitian ini, yaitu:
1. Mengembangkan studi tentang kamunikasi budaya.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi akademik bagi
peneliti lainnya di Program studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik pada Universitas Katolik Widya Mandira
khususnya dalam melakukan penelitian tentang interpretasi nilai-nilai
komunikasi dalam budaya.
1.5.2. Manfaat Praktis
Kegunaaan praktis dari penelitian ini adalah:
1. Bagi almamater, hasil penelitian ini dapat berguna dalam melengkapi
referensi kepustakaan pada FISIP Unwira khususnya Program Studi
Ilmu Komunikasi.
2. Bagi masyarakat khususnya masyarakat Desa Be’a Pawe, hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dalam
memberi tanggapan terhadap Reba.
3. Bagi Dinas Pariwisata Kabupaten Ngada, hasil penelitian ini dapat
berguna sebagai bahan refrensi tentang kebudayaan Ngada.
1.6.Kerangka Pemikiran
Kerangka pikiran penelitian ini adalah sebuah penalaran yang
dikembangkan dalam menyelesaikan masalah penelitian ini. Kerangka
pikiran pada dasarnya mengembangkan pikiran dan landasan rasional dari
pelaksanaan penelitian tentang nilai-nilai komunikasi dalam upacara Adat
Reba pada masyarakat Desa Be’a Pawe, Kecamatan Golewa Barat,
Kabupaten Ngada.
Upacara adat Reba pada masyarakat Kabupaten Ngada, khususnya
Desa Be’a Pawe, Kecamatan Golewa Barat, diyakini sebagai salah satu
bentuk luapan kegembiraan atau salah satu wujud ucapan rasa syukur
(religi) atas hasil panen. Reba merupakan perpaduan antara masyarakat,
dengan leluhur. Upacara adat Reba dilakukan untuk memberi makan
terhadap para leluhur, dan dilanjutkan dengan O Uwi. Sesuai dengan
pemahaman konseptual yang diuraikan di atas, maka kerangka pikiran
penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1.1: Kerangka Pemikiran Penelitian
Masyarakat Desa
Be’a Pawe
Upacara Adat Reba
Nilai-Nilai Komunikasi
 Magis
 Historis
1.7.Asumsi Penelitian
Asumsi merupakan dugaan yang diterima sebagai dasar, landasan
berpikir karena dianggap benar. Asumsi peneilitian merupakan anggapan
dasar yang digunakan untuk menggambarkan secara cepat fenomena yang
hendak diteliti atau proposisi dalam penalaran yang tersirat dalam
kerangka pikiran yang dijadikan sebagai pegangan peneliti untuk sampai
kepada kesimpulan peneliti (Arikunto, 2010: 109).
Dengan demikian asumsi yang dapat dibangun pada penelitian ini adalah
upacara adat Reba menurut masyarakat Desa Be’a Pawe memiliki nilainilai komunikasi yang menjadi pesan hidup terhadap pribadi.
1.8.Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara atas pandangan penelitian
yang akan dilakukan. Dengan kata lain suatu pendapat yang digunakan
untuk mengetahui kenyataan yang sebenarnya dari suatu hal yang belum
terbukti kebenarannya (Darus,2009:34).
Dalam penelitian ini, hipotesis yang menjadi pegangan penulis yaitu:
masyarakat Desa Be’a Pawe, Kecamatan Golewa Barat, Kabupaten Ngada
memiliki ritual upacara adat Reba.
Download