1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistem Kesehatan Nasional adalah bentuk dan cara penyelenggaraan
pembangunan kesehatan yang melibatkan seluruh komponen bangsa dalam
mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Pedoman pelaksanaan
dan penyelenggaraan pembangunan kesehatan disusun sesuai amanat UndangUndang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Jangka Panjang
Pembangunan Nasional
(RPJP-N) Tahun 2005-2025.1
Prinsip
dasar
penyelenggaraan pembangunan kesehatan berdasarkan perikemanusiaan,
pemberdayaan dan kemandirian, adil dan merata, serta pengutamaan dan
manfaat.2 Prinsip perikemanusiaan mengandung makna bahwa tenaga
kesehatan perlu berbudi luhur, memegang teguh etika profesi, dan selalu
menerapkan prinsip perikemanusiaan. Pembangunan kesehatan berdasarkan
prinsip pemberdayaan dan kemandirian harus mampu membangkitkan dan
mendorong peran aktif masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan bersama Pemerintah, yang dilaksanakan berlandaskan pada
kepercayaan atas kemampuan dan kekuatan sendiri serta semangat solidaritas
kegotong-royongan. Prinsip adil dan merata menjelaskan makna hak yang
1
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional.
RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia
yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dalam bentuk rumusan visi,
misi dan arah Pembangunan Nasional.
2
Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional.
1
2
sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya tanpa
memandang suku, golongan, agama, dan status sosial ekonomi. Prinsip
pengutamaan dan manfaat mengedepankan pelaksanaan pembangunan
kesehatan atas kepentingan umum, dengan memanfaatkan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta harus lebih mengutamakan pendekatan
peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit.3
Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyebutkan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Pasal tersebut di atas
memberikan kewajiban kepada Pemerintah untuk memenuhi hak asasi
manusia yaitu hak atas pemeliharaan kesehatan (the right to health care).
Upaya pemenuhan hak atas pemeliharaan kesehatan pada era Jaminan
Kesehatan Nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional mengenalkan gatekeeper concept4,
yang antara lain bertujuan meningkatkan kepuasan peserta5 dengan
memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Pusat kesehatan
masyarakat (puskesmas) merupakan salah satu pelaksana gatekeeper,
mempunyai empat fungsi pokok sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama
3
Departemen Kesehatan RI, 2009, Sistem Kesehatan Nasional, Depkes RI, Jakarta, hlm. 15-17.
BPJS Kesehatan, “Panduan Praktis
–
Gate Keeper Concept” [e-book],
http://www.bkkbn.go.id/Documents/JKN/15-Gate%20Keeper%20Concept.pdf, hlm 6-7
“Gatekeeper Concept” adalah konsep sistem pelayanan kesehatan di mana fasilitas kesehatan
tingkat pertama yang berperan sebagai pemberi pelayanan kesehatan dasar berfungsi optimal
sesuai standar kompetensinya dan memberikan pelayanan kesehatan sesuai standar pelayanan
medik
5
Pasal 1 butir 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;
Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di
Indonesia, yang telah membayar iuran.
4
3
yaitu kontak pertama pelayanan, pelayanan berkelanjutan, pelayanan
paripurna, dan koordinasi pelayanan.6 Layanan puskesmas menempatkan
dokter sebagai sumber daya yang paling utama. Dokter sebagai salah satu
tenaga kesehatan7 harus bekerja sesuai standar profesi, standar pelayanan,
standar prosedur operasional, etika profesi, menghormati hak pasien, serta
mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien dengan memperhatikan
keselamatan dan kesehatan dirinya dalam bekerja8.
Hubungan antara dokter dan pasien, menurut hukum sebagai suatu
perjanjian yang objeknya berupa pelayanan medis atau upaya penyembuhan
yang dikenal sebagai transaksi terapeutik.9 Kesepakatan atas upaya
pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan merupakan upaya maksimal
dalam rangka penyembuhan dan pemulihan kesehatan10. Upaya maksimal
dalam perikatan yang timbul dari transaksi terapeutik itu disebut
inspanningverbintenis yaitu suatu perikatan yang harus dilakukan dengan hatihati dan usaha keras (met zorg en inspanning).11 Hasil yang belum pasti dari
perjanjian upaya ini memberikan risiko pada kedua belah pihak. Hubungan
6
BPJS Kesehatan, Op.cit, hlm. 8-9
Pasal 16 ayat (3) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 Tentang Pusat Kesehatan
Masyarakat
Jenis tenaga kesehatan Puskesmas terdiri atas : dokter atau dokter layanan primer; dokter gigi;
perawat; bidan; tenaga kesehatan masyarakat; tenaga kesehatan lingkungan; ahli teknologi
laboatorium medik; tenaga gizi; dan tenaga kefarmasiaan.
8
Pasal 17 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 Tentang Pusat Kesehatan
Masyarakat
9
Veronica Komalawati, 1989, Hukum Dan Etika Dalam Praktek Kedokteran, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, hlm. 84
10
Pasal 13 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1419/ Menkes/ Per/ X/ 2005
tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi
11
Veronica Komalawati, Loc.cit
7
4
hukum antara para pihak dalam transaksi terapeutik, mempunyai dua segi
yang isinya di satu pihak berupa hak, sedang di pihak lain kewajiban. Hak dan
kewajiban merupakan kewenangan yang diberikan pada seseorang oleh
hukum.12
Hak dan kewajiban yang timbul karena hukum terjadi dengan
perantaraan peristiwa hukum, yang oleh hukum dihubungkan sebagai akibat.13
Kesepakatan antara pihak dokter dan pasien, dalam hukum perjanjian
dikenal asas konsesualisme yang berarti sudah setuju atau bersepakat
mengenai sesuatu hal14. Hubungan ini melahirkan aspek hukum horizontal
kontraktual antara dua subyek hukum (dokter dan pasien) yang berkedudukan
sederajat.15 Pasal 45 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran secara
khusus mengatur proses persetujuan tersebut dapat terlaksana dan bermakna
secara hukum.
Proses pemberian informasi untuk persetujuan tindakan
kedokteran ini adalah sebuah kesempatan bagi dokter untuk mengurangi
kecemasan pasien, menjembatani jarak antara ketidaktahuan pasien dan
„kekuasaan‟ dokter, dan menghilangkan keraguan.16
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan kemudahan
akses atas informasi, diduga berakibat pula pada pergeseran pola hubungan
12
Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum – Suatu Pengantar (edisi Revisi), Cahaya Atma
Pustaka,Yogyakarta, hlm. 52
13
Ibid, hlm. 61
14
Subekti, 2005, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hlm. 15
15
Endang Kusuma Astuti, “Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien Dalam Upaya
Pelayanan Medis”, http://ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/292/304, diakses
tanggal 30 April 2014, hlm. 4
16
Beth Huntington and Nettie Kuhn, 2003, “Communication gaffes: a root cause of malpractice
claims” Journal, Dallas USA,BUMC proceedings, Vol. 16, No. 2 : pg. 158,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1201002/ , diakses tanggal 6 Oktober 2014
5
hukum antara dokter dengan pasien. Profesi kedokteran dalam pelayanannya
menjadi sorotan masyarakat. Munculnya berbagai kritik terhadap profesi
dokter merupakan “puncak suatu gunung es”, yang menggambarkan bahwa
masyarakat belum puas dengan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh
dokter, dengan kata lain terdapat kesenjangan antara harapan dan kenyataan
yang didapatkan oleh pasien.17 Kegelisahan ini kiranya dapat dihindari ketika
dokter menyadari dalam memberikan pelayanan kesehatan, ada hubungan
yang tidak sederajat dalam hal keilmuan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan penyakit dan proses penyembuhannya. Kondisi ini
mewajibkan dokter untuk berkomunikasi, dengan penjelasan secara lengkap
sebelum pasien mengambil keputusan dan melaksanakan persetujuan.
Penjelasan tersebut sekurang-kurangnya mencakup diagnosis dan tata cara
tindakan kedokteran, tujuan tindakan kedokteran yang akan dilakukan,
alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin
terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan, perkiraan
pembiayaan18. Hal ini berkaitan dengan adanya faktor predisposisi di luar
kekuasaan dokter yang dapat mempengaruhi hasil perjanjian upaya yang
maksimal (inspanningverbintenis); seperti kondisi fisik, daya tahan tubuh,
kualitas obat, dan juga kepatuhan pasien atas nasihat dokter19 sehingga perlu
17
Endang Kusuma A. , Op. cit hlm. 1-2
Pasal 7 ayat (3) Peraturan Menteri Kesehatan Republik
290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
19
Endang Kusuma A., Op.cit hlm. 2
18
Indonesia
Nomor
6
adanya suatu kepercayaan (fiduciary) dalam persetujuan (consensual,
agreement) yang menjadi ciri hubungan dokter dan pasien.20
Perubahan pola untuk mengkritisi hal yang dianggap merugikan karena
adanya suatu peristiwa yang negatif (negative outcome) memunculkan dugaan
malpraktik medis (alleged medical malpractice).21 Diduga salah satu
penyebab seringnya terjadi tuntutan kasus malpraktik dalam pelayanan
kesehatan adalah pola komunikasi dokter dan pasien yang cenderung satu
arah. Budaya paternalistik yang masih ada pada sebagian masyarakat
membuat pasien enggan atau malas bertanya pada dokter. Terjadinya
kesalahpahaman dalam menangkap makna dalam dunia kedokteran akan
berakibat fatal, karena menyangkut nyawa sehingga komunikasi dokter-pasien
menjadi bagian yang sangat vital dalam proses diagnosis penyakit.22
Salah satu kasus yang pernah terjadi pada Februari 2014 di Kabupaten
Pali23, seorang bayi meninggal akibat komunikasi yang kurang baik dan posisi
paternalistik masih membudaya. Hal ini tergambar dari beberapa kutipan
pernyataan dokter puskesmas, ”Dak usah rawat inap, aku lebih mengerti, aku
ini dokter”, “Masalah apakah bayi itu dirawat atau tidak tergantung hasil
pemeriksaannya. Pada saat itu menurut hasil pemeriksaan saya bayi itu cukup
dilakukan rawat jalan tidak perlu rawat inap”. Di sisi yang lain, keluarga
20
J. Guwandi, 2007, Dokter, Pasien, Dan Hukum, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta, hlm. 19
21
Ibid, hlm. 8
22
Alfitri, “Komunikasi Dokter-Pasien” Jurnal, Jakarta, Mediator, Vol.7 No.1, Juni 2006 (online),
hlm. 15, http://eprints.unsri.ac.id/723/, diakses tanggal 14 Juni 2014.
23
Lukman,
“Batuk
dan
Diare,
Bayi
Meninggal”,
http://palembangpos.com/index.php?option=com_content&view=article&id=24658:batuk-dan-diare-bayimeninggal&catid=36:berita-utama&Itemid=53, diakses tanggal 20 Mei 2014
7
pasien menyatakan penyesalan kenapa dokter puskesmas tidak mau merawat
inap dan beranggapan bahwa jika dokter mau merawat inap pasien bayi
tersebut maka kemungkinan tidak meninggal dunia. Faktor di luar hubungan
dokter dan pasien atau keluarga adalah lambatnya pemeriksaan pertama kali
dilakukan karena dokter harus memimpin rapat terlebih dahulu selama lebih
kurang 2 jam dikarenakan kewajiban sebagai kepala puskesmas. Kondisi
penyakit yang telah dialami lebih kurang dua minggu oleh bayi merupakan
faktor yang tidak bisa dikesampingkan dan dapat mempengaruhi hasil
komunikasi dokter dan pasien tersebut. Kasus ini berakibat pula pada reaksi
masyarakat yang meminta Bupati melepas jabatan kepala puskesmas agar
fokus melayani pasien, bahkan mengganti dokter yang bersangkutan.
Perihal pentingnya komunikasi efektif antara dokter dan pasien terlihat
pada pernyataan Thabrany sebagai berikut :
“Tidak kompetitifnya pelayanan kesehatan di Indonesia lebih besar
dipengaruhi oleh kemampuan komunikasi daripada kemampuan klinik.
Komunikasinya masih jelek. Ini mungkin karena di masa lalu tidak
diajarkan untuk komunikasi. Idealnya tiap dokter menyediakan waktu
paling tidak 15 menit per pasien. Dalam waktu tersebut, pasien bisa
menanyakan segala hal baik tentang kondisi maupun pengobatannya.” 24
Menyadari ketidakseimbangan kedudukan disertai dengan budaya
paternalistik yang masih berkembang dalam masyarakat, terutama perihal
keilmuan. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 200425 disahkan dengan tujuan
untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada dokter dan
24
Ajeng Annastasia K., “Idealnya Tiap Dokter Punya Waktu 15 Menit untuk Konsultasi dengan
Pasien”,
http://health.detik.com/read/2014/05/20/190211/2587634/763/idealnya-tiap-dokterpunya-waktu-15-menit-untuk-konsultasi-dengan-pasien, diakses tanggal 29 Juni 2014
25
Pasal 3 huruf (a) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
8
pasien. Salah satunya diatur dalam hal terjadi kerugian atas tindakan dokter
maka dapat dilakukan pengaduan secara tertulis kepada Ketua Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) oleh setiap orang yang
mengetahui.26 Sifat pasif
dari tugas MKDKI yang diatur oleh Undang-
Undang menyebabkan penanganan kasus hanya berdasarkan atas pengaduan.
Jumlah pengaduan ke MKDKI sejak tahun 2006 sampai dengan awal Januari
2014 sebanyak 248 kasus27. Berdasarkan profesi medis terbanyak yang
diadukan yaitu dokter umum berjumlah 83 kasus. Berdasarkan sumber
pengaduan : masyarakat 233 kasus, instansi 9 kasus, tenaga kesehatan dokter
atau dokter gigi 6 kasus. Berdasarkan tempat kejadian terbanyak di Jakarta.
Berdasarkan permasalahan yang diadukan : komunikasi (7%), ingkar janji/
dishonesty/ fraud (6%), penelantaran (4%), pembiayaan (2%), standar
pelayanan (59%), rumah tangga (4%), kompetensi (18%).
Keputusan pasien untuk pergi berobat ke dokter memerlukan proses dalam
diri pasien sebagai pemilik tubuh yang sedang mengalami gangguan
kesehatan. Kemampuan dokter dalam berkomunikasi akan mempengaruhi
keputusan pasien untuk meneruskan obat atau memilih cara lain.28
Komunikasi
interpersonal (antar pribadi) dokter dan pasien yang dapat
berlangsung secara verbal dan non-verbal menghasilkan kesamaan makna
dalam transaksi terapeutik. Secara verbal melalui tatap muka dan percakapan,
26
Pasal 66 butir (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Sabir Alwy, “Penegakan Disiplin Dan Hukum Dalam Profesi Dokter” Makalah,
http://www.slideshare.net/alsalcunsoed/penegakan-disiplin-dan-hukum-profesi-dokter-dr-sabir,
diakses tanggal 19 Juni 2014.
28
Triloka H. Putri dan Achmad Fanani, 2013, Komunikasi Kesehatan, Merkid Press, Yogyakarta,
hlm. 77.
27
9
oleh Veronica dikatakan “jika komunikasi dalam wawancara pengobatan
dilakukan sesuai dengan standar profesinya, maka penandatanganan formulir
persetujuan hanya merupakan tindakan teknis administrasi”.29 Hippocrates
sekitar empat ratus tahun Sebelum Masehi pernah menulis, “Pasien, meskipun
sadar bahwa kondisinya membahayakan, mungkin pulih kembali hanya karena
puas dengan kebaikan dokter.”30 Komunikasi efektif yang selama ini dianggap
seni oleh dokter, justru merupakan obat paling mujarab bagi pasien.
Puskesmas sebagai salah satu jenis fasilitas pelayanan kesehatan memiliki
peran penting dalam sistem kesehatan nasional khususnya subsistem upaya
kesehatan.31 Paradigma sehat merupakan salah satu prinsip penyelenggaraan
puskesmas memerlukan komitmen semua pihak dalam upaya mencegah dan
mengurangi risiko kesehatan, baik terhadap individu maupun masyarakat.32
Beberapa faktor mungkin akan menjadi tantangan dalam mencapai tujuan
sistem kesehatan nasional yaitu terselenggaranya pembangunan kesehatan
yang berhasil guna dan berdaya guna, sehingga terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya.33
29
Veronica K, 1999, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik (Persetujuan Dalam
Hubungan Dokter Dan Pasien) Suatu Tinjauan Yuridis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.
181.
30
Triloka H. Putri dan Achmad Fanani, 2013, Op.cit, hlm. 26.
31
Menimbang, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan
Masyarakat.
32
Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan
Masyarakat.
33
Departemen Kesehatan RI, 2009, Op.cit, hlm. 21.
Download