EVALUASI DAYA CERNA PAKAN LIMBAH AZOLA

advertisement
EVALUASI DAYA CERNA PAKAN LIMBAH AZOLA PADA IKAN BAWAL
AIR TAWAR (Colossoma macropomum, CUVIER 1818) *)
Oleh
Kiki Haetami **)
ABSTRAK
Suatu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui nilai daya cerna limbah azola
dalam pakan buatan telah dilakukan selama dua bulan, mulai Mei sampai dengan Juli
2002. Penelitian dilakukan secara eksperimental menggunakan rancangan acak
lengkap dengan lima perlakuan pakan buatan yang terdiri dari campuran ransum basal
dan berbagai tingkat azolla (R0 = ransum basal = ransum tanpa tepung azola; R1 =
85% ransum basal + 15% tepung azola; R2 = 70% ransum basal + 30% tepung azola ;
R3 = 55% ransum basal + 45% tepung azola dan R4 = 40% ransum basal + 60%
tepung azola)), setiap perlakuan diulang empat kali. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penggunaan tepung azola pada tingkat 30%, 45%, dan 60% dalam ransum (R2,
R3 dan R4) nyata (P<0,05) menurunkan nilai daya cerna ransum dibandingkan dengan
perlakuan R0 dan R1. Antara rataan perlakuan R0 (tanpa azola) dan R1 (azola 15%)
tidak menujukkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap daya cerna ransum yang
diamati. Kesimpulan yang diperoleh bahwa tepung azola dapat diberikan 15% dalam
pakan buatan ikan bawal air tawar, yang ditunjang oleh data sebagai berikut: (1) Nilai
daya cerna bahan kering ransum = 67,90%, (2) Nilai daya cerna pakan azola =
67,81%.
Kata Kunci: Daya cerna, Tepung Azola, Ikan Bawal Air Tawar.
EVALUATION OF WASTE OF AZOLLA DIGESTIBILITY ON RED BELLY
FISH (Colossoma macropomum, CUVIER 1818) *)
Oleh
Kiki Haetami**)
ABSTRACT
A research to know dry matter digestibility value of waste of azolla on artificial
feed, was conducted for two months, from May to July 2002. This research used the
experimental method with Completelly Randomized Design with five treatments of
artificial feed containing basal ration which added of various levels of azolla (R0 =
basal ration without azolla; R1 = 85% basal ration + 15% azolla; R2 = 70% basal
ration + 30% azolla, R3 = 55% basal ration + 45% azolla and R4 = 40% basal ration +
60% azolla), each of treatments has four replicated. The result indicated that feeding
ration containing 30% , 45% dan 60% azolla (R2, R3 and R4) significant (P<0,05)
decreasing digestibility value of ration than R0 (basal ration) and R1 (!5% azolla).
There were no different effect between R0 and R1 on parameter observed. It can be
concluded that the waste of azolla can be utilized at the level of 15% on feed of red
belly fish, with the following data : (1) Digestibility value of dry matter ration =
67,90%, (2) Digestibility value of dry matter azolla = 67,81%.
Key words: Digestibility, Waste of Azolla, Red Belly Fish.
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Penyediaan pangan merupakan masalah yang terus-menerus diupayakan
pemecahannya untuk kesejahteraaan manusia, salah satunya melalui pembangunan
perikanan, yaitu melalui berbagai terobosan untuk mempertinggi hasil perikanan.
Salah satu jenis ikan konsumsi yang berpeluang untuk dibudidayakan adalah ikan
bawal air tawar (Colossoma macropomum, CUVIER 1818).
Pada fase benih ikan
bawal air tawar diperjualbelikan sebagai ikan hias, namun karena pertumbuhannya
cepat, selanjutnya ikan ini beralih fungsi menjadi ikan konsumsi.
Ikan bawal air tawar termasuk ikan omnivora dan rakus, sangat responsif
terhadap pellet buatan, bahkan terhadap hijauan sekalipun. Sumber protein utama
yang sering digunakan pada pembuatan pellet adalah tepung ikan dan kedele, yang
bersaing dengan pangan dan pakan ternak. Hijauan merupakan alternatif yang tepat
sebagai bahan baku pencampur dalam pembuatan pellet karena mudah disediakan,
murah dan banyak jenisnya, terutama yang berasal dari limbah pertanian. Salah satu
limbah perairan yang berpotensi digunakan sebagai pakan adalah tumbuhan sejenis
paku air (kayambang) yang disebut azola (Azolla pinnata). Menurut Singh (1979),
azola cukup potensial digunakan sebagai pakan karena banyak terdapat di perairan
tenang seperti danau, kolam, sungai, dan pesawahan. Selain itu pertumbuhannya
cepat karena dalam waktu 3-4 hari dapat memperbanyak diri menjadi dua kali lipat
dari berat segar. Kandungan protein azola tergolong tinggi yaitu 30%. Namun
komposisi protein yang tinggi tersebut belum dapat menggambarkan secara pasti nilai
gizi yang sebenarnya. Nilai gizi pakan tergantung kepada jumlah ketersediaan zat-zat
makanan yang digunakan oleh ikan, yang ditunjukkan dari bagian yang hilang setelah
pencernaan, penyerapan, dan metabolisme. Cara mengukur ketersediaan zat-zat
makanan bagi tubuh tersebut adalah melaui penentuan daya cerna (Cho, dkk, 1985).
Oleh sebab itu penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai Evaluasi Daya
Cerna Pakan Limbah Azola pada Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma Macropomum,
Cuvier 1818).
Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui pengaruh tingkat pemberian azola (Azolla pinnata) terhadap daya
cerna ransum ikan bawal air tawar.
2. Mengetahui nilai daya cerna pakan azola (Azolla pinnata) pada ikan bawal air
tawar.
Tinjauan Pustaka
Azola adalah sejenis tumbuhan paku air biasa ditemukan di perairan tenang
seperti danau, kolam, sungai, dan pesawahan. Para petani biasanya menganggap
azola sebagai gulma atau limbah pertanian. Azola termasuk ordo Salviniales, famili
Azollaceae, dan terdiri atas enam spesies, yaitu : A. filiculoides, A. caroliana, A.
mexicua, a. microphylla, A. pinnata, dan A. nilotica.
Spesies yang banyak di
Indonesia terutama di pulau Jawa adalah A. pinnata, dan biasa tumbuh bersama-sama
padi (Lumpkin dan Plucknett, 1982). Menurut Cho, dkk. (1982), azola dapat
digunakan sebagai salah satu sumber protein nabati penyusun ransum ikan, karena
mengandung protein yang cukup tinggi. Azola mengandung protein kasar 24-30%,
kalsium 0,4-1%, fosfor 2-4,5%, lemak 3-3,3%, serat kasar 9,1-12,7%, pati 6,5%, dan
tidak mengandung senyawa beracun.
Bawal air tawar dapat memanfaatkan pakan nabati 75-100% dan menghasilkan
pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan pakan nabati 50%
(Bittner,1989). Hal ini juga biasa dilakukan oleh para petani dalam memberi pakan
pada ikan bawal yang terdiri dari campuran
pellet dan hijauan segar
dengan
frekuaensi 3-5 kali sehari. Bittner (1989) menyatakan bahwa kebutuhan protein pada
ikan bawal air tawar berkisar 25-37%. Sedangkan menurut Pras (1993), pada ikan
bawal hasil pendederan kedua (ukuran 50 g), dapat diberikan pellet dengan
kandungan protein 27%.
Ditinjau dari karakteristik saluran pencernaannya, ikan bawal air tawar
mempunyai potensi tumbuh yang cukup tinggi, karena bagian organ pencernaannya
cukup lengkap.
Ikan ini mempunyai gigi yang berfungsi memotong dan
menghancurkan pakan, seperti halnya ikan grass carp dan piranha sehingga ikan ini
mampu beradaptasi terhadap segala jenis makanan, termasuk hijauan kasar seperti
daun-daunan.
Lambung ikan ini berbentuk U dengan kapasitas cukup besar.
Ususnya panjang, dan pada bagian anteriornya dilengkapi dengan piloric saeca yang
didalamnya terjadi proses pencernaan enzimatis seperti halnya pada usus dan
lambung. Bagian akhir dari usus terjadi diferensiasi usus yang lebih lebar yang
disebut rectum.
Pada bagian ini tidak lagi terjadi pencernaan, fungsinya selain
sebagai alat ekskresi, juga membantu osmoregulasi (Hoar, 1979).
Zat gizi pakan dan pertumbuhan ikan merupakan faktor pembatas dalam suatu
model pertumbuhan. Daya cerna adalah bagian pakan yang dikonsumsi dan tidak
dikeluarkan menjadi feses (Maynard, 1979). Kapasitas lambung dan laju pakan
dalam saluran cerna merupakan variabel dari daya cerna. Ikan yang berbobot lebih
kecil akan mengosongkan sejumlah pakan (% bobot tubuh per jam) dari dalam
lambungnya lebih cepat dibanding ikan yang berbobot lebih besar, sehingga jumlah
konsumsi pakan relatif (% bobot tubuh/hari semakin kecil) (Wooton, dkk., 1980).
Akan tetapi semakin besar ukuran ikan, daya cerna komponen serat semakin baik.
Selain faktor ukuran ikan, daya cerna dipengaruhi oleh komposisi pakan,
jumlah konsumsi pakan, status fisiologi, dan tata laksana pemberian pakan. Menurut
Rankin, dkk, (1993), frekuensi pemberian dua atau tiga kali sehari cukup untuk
menghasilkan konsumsi maksimum, sehingga dapat digunakan dalam penelitian daya
cerna.
Berbagai pendekatan telah digunakan para peneliti untuk meneliti daya cerna
pada ikan. Ada dua metode untuk meneliti daya cerna, yaitu metode koleksi feses
dan metode indikator (Maynard, dkk., 1979). Sangat sulit memisahkan feses dari air
dan sisa-sisa ransum. Oleh sebab itu pendekatan yang paling tepat untuk mengatasi
sulitnya pengukuran jumlah konsumsi dan pengumpulan feses adalah dengan metode
indikator (Maynard, dkk., 1979, Cho, dkk. 1985). Prosedur pengambilan feses
dengan metode ini dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan feses dari usus besar
setelah ikan dibunuh dan dibedah (Windell, 1978, Soares dan Kifer, 1971). Metode
pengumpulan feses dari usus besar ini dilakukan dengan asumsi bahwa pencernaan
dan penyerapan zat gizi terjadi pada usus halus dan bukan pada usus besar. Protein
mulai dicerna di lambung dan kemudian di duodenum, disedangkan penyerapannya
dimulai di duodenum dan berakhir di jejenum (Sklan dan Hurwitz, 1980).
Koefsien cerna tidak dapat dihitung dari total koleksi feses ikan seperti halnya
pada hewan yang digembalakan. Kriteria dari indikator yang ideal adalah : 1) harus
tidak dapat diabsorbsi. 2) harus tidak disamarkan oleh proses pencernaan. 3) harus
secara fisik sama atau bergabung dengan materi yang akan ditandai dan 4) metode
estimasi dalam sampel digesta harus spesifik dan sensitif (Maynard et al 1979).
Rumus perhitungan koefisien cerna dengan menggunakan metode dari Schneider
dan Flatt (1973) dan Ranjhan (1980) adalah sebagai berikut:
% indikator dlm ransum
Koefisien cerna : 100 -
100
% indikator dlm feses
% nutrien dlm feses
X
% nutrien dlm ransum
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan Rancangan Acak
Lengkap (5x4), yaitu berbagai tingkat penggunaan azola dalam pakan buatan (0%,
15%, 30%, 45% dan 60%.) dengan 5 macam perlakuan ransum dan masing-masing
diulang sebanyak 4 kali. Peubah yang diamati adalah daya cerna limbah azola dalam
pakan buatan. Data yang diperoleh dianalisis dengan Sidik ragam, dan setiap
perbedaan antar perlakuan diuji dengan menggunakan Uji Jarak Berganda Duncan.
Penelitian dilaksanakan di kolam percobaan indoor Ciparanje milik Jurusan
Perikanan Fakultas Pertanian UNPAD, mulai Bulan Mei sampai Juli 2002. Analisis
zat-zat makanan dan lignin dilakukan di Laboratorium nutrisi ternak Ruminansia dan
Industri Makanan ternak, Fakultas Peternakan UNPAD.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Wadah penelitian berupa bak fiber bervolume 1m3 sebanyak 15 buah untuk kolam
percobaan, yang masing-masing diisi air tawar ¾ bagiannya, dan kemudian diisi
ikan bawal air tawar dengan kepadatan 3 ekor per 200 L.
2. Satu buah blower dan 15 buah aerator untuk memasok udara dan Thermometer air
raksa untuk mengukur suhu air.
3. Timbangan analitik satu buah untuk mengukur berat badan ikan dan pakan uji dan
Timbangan O-haus untuk mengukur berat bahan baku penyusun pellet.
4. PH meter dan spektrofotometer “Milton Roy Spektronik”, Alat pencatat waktu
sarung tangan, lap, pinset, benang, dan pisau bedah untuk alat memotong ikan dan
memisahkan feses dari usus besar.
5. Oven dan alumunium foil untuk mengeringkan feses.
6. Instalasi penguji lignin dan penguji Protein cara Kjehdahl
7. Mesin pencetak pellet.
Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah :
1. Azola yang dikeringkan.
2. Dedak padi, tepung ikan, CMC, minyak ikan dan tepung kedele.
3. Bahan-bahan kimia untuk menguji kandungan lignin dan protein.
Ikan uji yang digunakan adalah ikan bawal air tawar sebanyak 40 ekor dengan bobot
tubuh 200 + 10 g. Bahan pakan penyusun ransum yang digunakan terdiri dari ransum
basal (Ro), yang terdiri dari tepung ikan (17%), tepung kedele (50%), dedak padi
(26%), minyak ikan (1%), CMC (5%), dan top mix (1%), serta tepung azola dengan
berbagai tingkat penambahan 15% (R0) 30 % (R1) 45% (R3), dan 60% (R4), dengan
kandungan protein ransum berkisar 25-27?%.
Penelitian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu :
a. Tahap adaptasi selama dua minggu yang bertujuan untuk :
-
membiasakan ikan terhadap pakan uji dan faktor lingkungan lain.
-
Mengamati lama pakan di dalam saluran pencernaan yang ditandai dengan
awal keluarnya feses, dan menentukan frekuensi pemberian pakan.
b. Tahap pengumpulan feses selama dua minggu, yang meliputi :
-
Pakan diberikan secara ad libitum dengan frekuensi tiga kali sehari (sesuai
tahap adaptasi).
-
Pada hari terakhir penelitian ikan dibedah dan diambil fesesnya.
c. Tahap analisis feses, yang meliputi : berat segar, berat kering jemur, dan kering
oven, analisis protein dan kandungan lignin pakan.
Cara Pengamatan
a. Pengambilan sampel feses.
Pengambilan sampel feses dilakukan satu kali pada jam ke-7. Sampel feses
diambil dari usus besar dan anus dengan cara pembedahan. Waktu pengambilan ikan
uji untuk diambil sampel fesesnya, disesuaikan dengan laju pelaluan pakan sejak
dikonsumsi sampai keluar menjadi feses. Laju pelaluan tersebut diamati setiap hari,
sebelum pengambilan sampel feses dilakukan.
b. Perhitungan daya cerna.
Data yang dikumpukan ; Lignin ransum (%), Bahan kering feses (%), Bahan
kerin ransum (%), Lignin feses (%)
Daya cerna : 100 -
100
% lignin pakan
% lignin feses
Schneider dan Flatt (1973) dan Ranjhan (1980)
X
% nutrien dlm feses
% nutrien dlm pakan
Selanjutnya, untuk menentukan daya cerna pakan azola, mempergunakan
persamaan dari Crampton dan Harris (1969) sebagai berikut:
Kbp = 100 (T – B) + B
S
Keterangan:
Kbp = Daya cerna bahan pakan
T
= Daya cerna ransum perlakuan
B = Daya cerna ransum basal
S
= Persentase bahan pakan dalam ransum
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Perlakuan terhadap Daya Cerna Bahan Kering Ransum
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap feses dan perhitungan daya cerna
bahan kering ransum, maka rataan daya cerna bahan kering ransum perlakuan dapat
ditelaah pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Rataan daya cerna bahan kering ransum perlakuan pada ikan bawal
air tawar
Ulangan
Perlakuan
R0
R1
R2
R3
R4
……………………………….(%)…………………………….
1
67,70
67,56
64,84
63,31
58,97
2
66,84
67,60
64,30
64,41
58,80
3
69,26
67,52
64,70
63,68
58,63
4
67,80
67,63
64,42
62,71
58,41
Jumlah
Rataan
271,60
67,90
270,31
67,58
258,31
64,58
254,11
63,53
234,81
58,70
Tabel 1 terlihat bahwa rataan daya cerna bahan kering tertinggi adalah pada
perlakuan R0, yaitu sebesar 67,90% dan terendah pada perlakuan R4, yaitu sebesar
58,70%. Untuk mengetahui sampai seberapa besar daya cerna bahan kering ransum
dipengaruhi oleh perlakuan, maka dilakukan analisis sidik ragam yang hasilnya
ditampilkan pada Lampiran 6. Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan
tepung azola dalam ransum memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap daya
cerna bahan kering ransum. Perbedaan antara rataan perlakuan terhadap daya cerna
bahan kering ransum, diketahui dengan menggunakan uji jarak berganda Duncan
yang hasilnya seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Uji jarak berganda duncan pengaruh perlakuan terhadap daya cerna bahan
kering ransum perlakuan pada ikan bawal air tawar
Perlakuan
Rataan daya cerna bahan kering
Signifikansi
Ransum
0,05
0,01
……………..……..(%)…………………
R0
67,90
A
A
R1
67,58
A
A
R2
64,58
B
B
R3
63,53
C
B
R4
58,70
D
C
Keterangan ; Huruf yang sama ke arah kolom menunjukkan tidak berbeda nyata.
Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa rataan daya cerna bahan kering ransum
ikan bawal air tawar yang diberi perlakuan R1 tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata dengan perlakuan R0 yang berarti bahwa penggunaan azola sampai 15% tidak
menurunkan daya cerna bahan kering ransum. Rataan daya cerna bahan kering
ransum ikan bawal air tawar yang diberi perlakuan R2 , R3 dan R4 nyata (P<0,05)
lebih rendah dibanding dengan perlakuan R0 maupun R1.
Rendahnya daya cerna bahan kering ransum yang mendapat perlakuan R2 , R3
dan R4 disebabkan oleh meningkatnya kandungan serat kasar dalam ransum (Tabel
2)_yang menyebabkan daya cerna zat-zat makanan lainnya menurun. Sejalan dengan
pendapat Ranjhan (1980) yang menjelaskan bahwa tipe dan kuantitas karbohidrat
dalam bahan atau penambahannya dalam ransum merefleksikan daya cerna zat-zat
makanan lainnya, terutama dengan meningkatnya kandungan serat kasar dalam
ransum, maka daya cerna zat-zat makanan lainnya akan menurun. Dinyatakan pula
bahwa tinggi rendahnya daya cerna zat-zat makanan dalam ransum dapat dipengaruhi
oleh laju perjalanan makanan di dalam saluran pencernaan serta kandungan zat-zat
makanan yang terdapat di dalam ransum tersebut.
Bahan kering merupakan cerminan dari besarnya karbohidrat yang terdapat di
dalam bahan pakan penyusun ransum, karena sekitar 50 - 80 % bahan kering tanaman
tersusun dari karbohidrat. Di dalam analisis proksimat, beberapa komponen dinding
sel, seperti hemiselulosa, selulosa, dan lignin, termasuk di dalam kelompok
karbohidrat (serat kasar dan BETN), sehingga ransum yang mengandung serat kasar
yang relatif berbeda maka daya cerna bahan keringnya relatif berbeda pula.
Faktor-faktor lain yang diduga ikut mempengaruhi nilai daya cerna bahan
kering ransum adalah (1) tingkat proporsi bahan pakan dalam ransum; (2) komposisi
kimia; (3) tingkat protein ransum; (4) persentase lemak; dan (5) mineral. Hal ini
ditunjukkan dengan data bahwa semakin tinggi kandungan lignin yang didapat pada
feses (Lampiran 5), ternyata nilai bahan kering ransum dapat dicerna semakin rendah.
Disamping itu, perbedaan nilai bahan kering dapat dicerna, mungkin disebabkan
karena adanya perbedaan pada sifat-sifat makanan yang diproses, termasuk
kesesuaiannya untuk dihidrolisis oleh enzim dan aktivitas substansi-substansi yang
terdapat di dalam pakan.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa penambahan tepung azola sampai tingkat
15% dalam ransum, memberikan pengaruh yang sama baiknya dengan ransum basal
(R0) terhadap nilai daya cerna bahan kering ransum. Akan tetapi, penambahan pada
tingkat 30%, 45%, dan 60% nyata menurunkan nilai daya cerna bahan kering ransum.
Daya Cerna Azola
Nilai daya cerna bahan keringazola hasil percobaan dapat dilihat pada Tabel 3
Tabel 3. Rataan daya cerna azola
Ulangan
1
2
3
4
5
6
7
8
Rataan
Daya cerna
Bahan Kering
…… (%)……
67,88
67,88
67,88
67,88
67,80
67,78
67,79
67,78
Ulangan
9
10
11
12
13
14
15
16
Daya cerna
Bahan Kering
…… (%)……
67,80
67,82
67,81
67,79
67,75
67,75
67,75
67,74
67,81
Tabel 3 menunjukkan bahwa rataan nilai daya cerna bahan kering azola yang
diuji secara biologis pada ikan bawal air tawar adalah 67,81%. Nilai tersebut
menunjukkan koefisien cerna zat-zat makanan azola.
Ikan yang diberi ransum (pakan) akan menghasilkan feses yang mengandung
residu dari ransum (pakan) yang tidak dicerna dan diabsorpsi, sisa mikroflora, dan
atau hasil ikutan dari metabolisme intermedier. Dalam hal, ini untuk menghitung
koefisien cerna dapat dianggap bahwa bagian yang dimakan dan tidak terdapat lagi
dalam feses, itulah yang dicerna. Perbedaan antara komponen yang dimakan dan
jumlah yang tidak ditemukan kembali di dalam feses dibagi dengan jumlah yang
dimakan, itulah koefisien cerna dari komponen dalam ransum (pakan) tersebut
(Wahju, 1997).
Data yang diperoleh menujukkan bahwa lignin tidak bermanfaat sebagai zat
makanan, bahkan mempunyai efek yang merugikan terhadap zat-zat makanan lain,
terutama mengenai ketersediaan zat-zat makanan tersebut untuk diabsorpsi. Dalam
kaitan ini, telah diketahui bahwa diantara spesies hewan dan termasuk juga ikan
berbeda kemampuannya dalam mencerna lignin, sehingga daya cerna menjadi tidak
tetap pada spesies hewan yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh populasi mikroflora
yang beragam pada spesies hewan baik dalam jumlah maupun komposisinya. Secara
nutrisi, lignin selalu dihubungkan dengan selulosa dan hemiselulosa. tetapi lignin
tidak termasuk ke dalam kelompok karbohidrat melainkan merupakan lapisan
protektif pada struktur selulosa dan hemiselulosa serta jaringan tanaman selama
pertumbuhan. Walaupun tanaman azola yang diketahui mengandung lignin yang
cukup tinggi, namun dapat dimanfaatkan sebagai pakan ikan. Hal ini berdasarkan
nilai daya cerna azola (67,81%) yang tidak berbeda jauh dengan daya cerna ransum
basal sebesar 67,90%. Namun dari hasil penelitian ini penggunaannya untuk pakan
ikan bawal air tawar perlu dibatasi sampai 15%, karena penggunaan 30% atau lebih
menurunkan daya cerna ransum.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penggunaan tepung azola pada tingkat 15% dalam ransum (R1) tidak
memberikan pengaruh negatif terhadap daya cerna bahan kering ransum. Hasil
tersebut didukung oleh data : nilai daya cerna bahan kering ransum = 67,90%; daya
cerna pakan azola = 67,81%. Penggunaan azola 30% atau lebih menurunkan daya
cerna.
Saran
Penggunaan tepung azola dalam ransum ikan bawal air tawar tidak lebih dari
15% ditinjau dari daya cernanya.
UCAPAN TERIMAKASIH
Kami mengucapkan terimakasih kepada DIK Suplemen UNPAD atas bantuan
keuangan sehingga penelitian ini dapat terlaksana. Ucapan terimakasih juga kepada
Dekan Fakultas Pertanian, Ketua Jurusan Perikanan, dan semua pihak atas segala
bantuannya.
DAFTAR PUSTAKA
Bittner, A. 1989. Budidaya Air. Yayasan Bogor Indonesia. Jakarta. 265 hal.
Cho, C.Y., C.B. Cowey, and R. Watanabe. 1985. Finfish Nutrition in Asia :
Methodological approaches research Centre. Ottawa. 154 pp.
Crampton, E.W. and L.E. Harris. 1969. Applied Animal Nutritions. W.H. Freeman
and Co., San Fransisco.
Hoar, W.S., D.J. Randall, and J.R. Brett. 1979. Fish Physiology. Vol. VIII.
Ed. Bioenergetic and growth. Academic Press. Inc. 786 pp.
Maynard et al. 1979. Animal Nutrition. Seventh Edition McGraw-Hill Book
Company, Philippine.
Pras, H. 1993. Colossoma macropomum si bawal Air Tawar. Dalam Techner No.
05.tahun 1.
Ranjhan, S.K. 1980. Animal Nutrition in the Tropics. Vikas Publishing Hause P&T
Ltd., New Delhi.
Schneider, B.H. and W.P. Flatt. 1975. The Evaluation of Feeds Through
Digestibility Experiment. The University of Georgia Press, New York.
Singh, P.K. 1979. Use of Azolla in rice production in India. In Nitrogen and Rice.
Int. Rice Rest. Inst. Los Banos. Philippines. p. 407-418.
Sklan, D. and S. Hurwitz. 1980. Protein Digestion and Absorption in Young Chich
and Turkey. Journal Nutrition. 110 : 139-144
Soares, J.H., and R.R. Kifer. 1971. Evaluation of protein based on residual amino
acid of the illecal contents of chick. Poultry Sci. Brazil. 117 pp.
Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Ternak. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Wooton, R.J., J.R.M. Allen, and S.J. Cole. 1980. Effect the body weight and
temperature on the maximum daily food consumption of Gasterosteus aculeatus L.
and Phoxinus phoxinus (L). Selecting and appropriate model. Journal of fish
biology, 17:695-705.
30
Jurnal Akuakultur Indonesia 9 (1), 30–37 (2010)
Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai
http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id
Evaluasi nilai nutrisi tepung daun lamtoro gung (Leucaena leucophala)
terhidrolisis dengan ekstrak enzim cairan rumen domba (Ovis aries)
terhadap kinerja pertumbuhan ikan nila (Oreochromis niloticus)
Evaluation of the nutritional value of Leucaena leucophala leaf meal
hydrolyzed by sheep rumen liquor enzyme extract
on the growth performance of Nile tilapia (Oreochromis niloticus)
I. Fitriliyani
Jurusan Budidaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Lambung Mangkurat
Jln. A. Yani KM. 36 Simpang Empat Banjarbaru, Kalimantan Selatan
Email: [email protected]
ABSTRACT
This experiment was conducted to evaluatee the nutritional value of Leucaena leucocephala leaf meal (LLM)
with supplementation of sheep rumen liquor crude enzyme on the growth of Nile tilapia. Fish were fed
isonitrogenous (± 32% crude protein and C/P ± 9.25 ccal/kg) diets for 50 days. Six diets were formulated to
contain hydrolyzed LLM at level 10%, 15%, 20%, 25% and 30% (Diet A, B, C, D and E respectively) and one
diet acting as a control (Diet K, 0% LLM). All diets were isonitrogenous and isoenergy. A seven week feeding
trial was carried out on triplicate groups of eight fish (9.38 ± 0.41) in 18 aquarium with a recirculating system.
Fish were fed twice daily at satiation. Results of the present study indicated that the fish fed diet contained
0%, 10% and 15% of lamtoro leaf meal had significantly higher in specific growth rate (SGR) than other
groups (p<0.05). The amount of feed consumed was no significant different in all groups and have tendency
decreasing the amount of feed consumed with the increasing of Leucaena leaf meal hydrolyzed content in the
feed. Feed efficiency in treatment 10% LLM has significantly difference with treatment 0, 20, 25, 30% LLM.
(p<0.05) and there was no significantly difference with treatment 15% LLM in feed. Protein and fat retentions
were not significantly (p<0.05) effected by different LLM content in feed.
Key words: Nile tilapia, Leucaena leaf meal, growth, feed effiency
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi nilai nutrisi tepung daun lamtoro gung Leucaena leucephala
terhidrolisi dengan ekstrak enzim cairan rumen domba terhadap kinerja pertumbuhan ikan nila (Oreochromis
niloticus). Ikan diberi pakan isonitrogenus (kadar protein ± 32% , C/P ± 9,25 kkal/kg) selama 50 hari. Enam
jenis formulasi pakan dengan tepung daun lamtoro gung tanpa perlakuan dan dengan perlakuan enzim
(inkubasi dengan ekstrak enzim dari cairan rumen) dengan kadar 10%, 15%, 20%, 25%, 30% dan 0% sebagai
kontrol. Pakan uji kemudian diberikan satiasi kepada ikan nila yang dipelihara dalam akuarium dengan
kepadatan 8 ekor/akuarium (3 ulangan per perlakuan) dengan bobot awal rata-rata 9,38 ± 0,41g. Hasil
penelitian mengindikasikan bahwa ikan yang diberi pakan dengan kadar tepung daun lamtoro gung sebanyak
0%, 10%, dan 15% secara siginifikan memiliki laju pertumbuhan spesifik lebih tinggi daripada perlakuan lain
(p<0,05). Jumlah pakan yang dikonsumsi tidak berbeda nyata untuk semua perlakuan dengan kecenderungan
menurun seiring dengan peningkatan kadar daun lamtoro gung dalam pakan. Efisiensi pakan perlakuan 10 %
TDL berbeda nyata dengan perlakuan penggunaan 0, 20, 25 dan 30% TDL (p<0,05) dan tidak ada perbedaan
yang nyata dengan perlakuan 15% TDL dalam pakan. Retensi protein dan lemak nyata (p<0,05) dipengaruhi
oleh perbedaan kandungan TDL dalam pakan.
Kata kunci: Ikan nila, tepung daun lamtoro, pertumbuhan, efisiensi pakan
PENDAHULUAN
Sumber protein utama dalam bahan baku
pakan buatan untuk ikan adalah tepung ikan.
Penelitian penggantian tepung ikan dengan
berbagai bahan alternatif berprotein tinggi
dilakukan untuk menekan harga produksi
pakan. Bahan yang umum untuk mengganti
I. Fitriliyani / Jurnal Akuakultur Indonesia 9 (1), 30–37 (2010)
tepung ikan adalah tepung bungkil kedelai
(SBM/soy bean meal) (Suprayudi et al.,1999;
Pebriyadi, 2004; Elangovan dan Shim, 2000).
Ketersediaan SBM masih tergantung impor
dan volume impor SBM pada periode Januari
-September 2008 mencapai 28.405.448
milyar ton dan harga mencapai Rp7.5008.000,00 per kg. Sumber protein nabati dari
tumbuhan menjadi alternatif pilihan karena
Indonesia adalah negara tropis dengan
kekayaan keragaman sumber daya hayati.
Tepung daun lamtoro gung (TDL)
merupakan sumberdaya hayati lokal yang
dengan kandungan proteinnya yang tinggi
yaitu 25-30% (NAS, 1994) dan total
karbohidrat (18,6%), gula tereduksi (4,2%),
sukrosa oligosakarida (1,2%), rafinosa
(0,6%), stacyosa (1,0%), oligosakarida total
(2,8%) dan (1%) (Kale, 1987).
Keterbatasan dalam komposisi asam
amino esensial dapat diatasi dengan
menambahkan asam amino esensial yang
menjadi pembatas (Santiago dan Lovell,
1988), dan untuk mengatasi mimosin telah
dilaporkan beberapa metode yang berhasil
mereduksi mimosin seperti perendaman dan
pemanasan (Wee dan Wang, 1987).
Penelitian pengunaan TDL dalam pakan
ikan sebagai sumber protein pakan
memberikan kesimpulan yang berbeda-beda.
Kemampuan ikan nila memanfaatkan
berbagai bahan legume termasuk TDL
dilaporkan oleh El Sayed (1999). Pakan ikan
nila yang menggunakan TDL dilaporkan
dapat meningkatkan pertumbuhan (Pantastico
dan Baldia, 1980). Dilaporkan pula
penurunan pertumbuhan dengan pakan
mengandung TDL pada Java tilapia (Jackson
et al., 1982) dan Nile tilapia (Santiago et al.,
1988). Penggunaan TDL sebagai bahan baku
pakan dibatasi dengan kandungan yang tinggi
dari komponen neutral detergent fiber (NDF)
39,5% dan acid detergent fiber (ADF)
35,10% (Gracia et al., 1996), bahkan pada
level tertentu dapat menghambat pertumbuhan ikan (Penaflorida et al., 1992).
Keterbatasan ikan nila dalam memanfaatkan
serat berkaitan dengan ketersediaan enzim
pencernaan khususnya enzim selulitik
Dilaporkan oleh Saha dan Ray (1998), bahwa
ikan tidak memiliki enzim selulose dan
kemungkinan adanya populasi mikroba
31
selulotik di saluran percernaan ikan juga
masih menjadi kontroversi di kalangan
peneliti.
Pada penelitian ini digunakan pendekatan
penggunaan suplementasi enzim untuk
membantu kecernaan ikan nila dengan pakan
yang dicampurkan TDL. Cairan rumen
domba merupakan salah satu sumber bahan
alternatif
yang
murah
dan
dapat
dimanfaatkan dengan mudah sebagai sumber
enzim hidrolase (Moharrey dan Tirta, 2002).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengevaluasi penggunaan enzim hidrolisis
dari cairan rumen domba pada pakan ikan
nila dengan campuran tepung daun lamtoro
gung (TDL).
BAHAN DAN METODE
Isolasi dan produksi enzim
Enzim yang diambil dari rumen domba
secara manual dipisahkan dari padatan yang
ada dalam rumen. Cairan yang didapat
selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan
12.000 rpm selama 20 menit pada suhu -4 C,
kemudian cairan (supernatan) yang terbentuk
dapat diambil sebagai sumber enzim. Untuk
mempertahankan aktivitas enzim, seluruh
proses produksi enzim diusahakan selalu
dalam kondisi dingin.
Pakan uji yang digunakan
Tepung daun lamtoro gung (TDL) yang
akan diujicobakan sebelumnya direndam
dalam air selama 24 jam kemudian
dihaluskan dan dikeringkan dalam oven suhu
60oC selama 6 jam. TDL selanjutnya siap
diinkubasi dengan dengan enzim dari cairan
rumen domba sebanyak 1 ml/g selama 24
jam.
Pakan uji yang digunakan selama
penelitian ini berbentuk pellet dengan
kandungan protein dan energi yang sama tetapi
komposisi komponen penyusun pakan yang
berbeda. Perlakuan yang diberikan adalah
kandungan persentase TDL terhidrolisis yang
berbeda dalam pakan formulasi, yaitu K (0%
TDLt); A (10% TDLt); B (15% TDLt); C (20%
TDLt); D (25% TDLt) dan E (30% TDLt).
Tabel 1. Komposisi bahan baku dan kimia pakan
perlakuan.
I. Fitriliyani / Jurnal Akuakultur Indonesia 9 (1), 30–37 (2010)
32
Jenis bahan baku
(%)
Tepung Ikan
Perlakuan
(% TDLt)
K (0)
15,00
A (10)
15,00
B (15)
15,00
C (20)
15,00
D (25)
15,00
E (30)
15,00
T.lamtoro gung
T. Bungkil Kedelai
DDGS1
Tepung Pollard
Tepung Sagu
Minya k Jagung
0,00
23,00
24,00
28,03
2,00
1,00
10,00
22,60
20,00
22,43
2,00
1,00
15,00
20,60
19,00
20,43
2,00
1,00
20,00
19,60
17,00
18,43
2,00
1,00
25,00
16,60
15,00
18,43
2,00
1,00
30,00
13,60
15,00
16,43
2,00
1,00
Minyak Ikan
Vit .Mix (tanpa vit c)
Mineral Mix 4
Kromium-ragi
V it C
Choline chloride
2,00
0,20
0,20
3,00
1,00
0,50
2,00
0,20
0,20
3,00
1,00
0,50
2,00
0,20
0,20
3,00
1,00
0,50
2,00
0,20
0,20
3,00
1,00
0,50
2,00
0,20
0,20
3,00
1,00
0,50
2,00
0,20
0,20
3,00
1,00
0,50
0,07
0,07
0,07
0,07
0,07
0,07
L ysin+metionin (1:1)
GE (kkal/g )2
3897,34 3869,97
C/P (kkal/g )3
13,68
13,39
3853,78 3837,54
13,44
13,40
3814,92 3759,33
13,64
13,47
1
Dried Distillers Grains with Solubles.
GE (Gross energy) adalah energi yang terkandung
dalam bahan pakan berdasarkan nilai ekuivalen
untuk Karbohidrat 4.1 kcal/g (17.2 kJ/g), lemak
9.5 kcal/g (39.8 kJ/g), dan protein 5.6 kcal/g (23.4
kJ/g).
3
C/P adalah kkal GE per gram protein.
4
Komposisi vit dan mineral mix (dalam 1 kg
premix) Vit.A 4.000.000 IU; Vit D3 800.000 IU;
Vit.E 4.500 Mg; Vit. K3 450 Mg; Vit. B1 450
Mg; Vit. B 1.350 Mg; Vit. B6 480 Mg; Vit B12 6
Mg; Ca-d panthothenate 2.400 Mg; Folic Acid
270 Mg; Nicotinic acid 7.200 Mg; Choline
chloride 28.000 Mg; Ferros 8.500 Mg; Copper
700 Mg; Manganese 18.500 Mg; Zinc 14.000 Mg;
Cobalt 50 Mg; Iodine 70 Mg; Selenium 35 Mg.
2
Eksperimen
Penelitian dilakukan di Laboratorium
Nutrisi Ikan, Fakultas Perikanan dan
Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Benih
ikan nila sebanyak 400 ekor bobot tubuh 710 g dipelihara dalam tanki ukuran 200 liter
untuk aklimatisasi. Selama masa aklimatisasi
ikan diberikan pakan komersil. Setelah 1
minggu, sebanyak 144 ekor ikan yang
relatif seragam dibagi dalam 18 akuarium
berukuran 50x35x40 cm yang terhubung
dengan sistem resirkulasi, dengan padat tebar
8 ekor/akuarium dan bobot awal rata-rata
9,38 ± 0,41 gram. Aerasi diberikan pada
setiap akuarium serta tandon, sedangkan
heater hanya dipasang pada tandon. Sebelum
perlakuan, ikan dipuasakan terlebih dahulu
selama 24 jam dengan tujuan menghilangkan
sisa pakan dalam saluran pencernaan selama
masa aklimatisasi.
Ikan dipelihara selama 50 hari dan diberi
pakan secara satiasi dengan frekuensi 3 kali
sehari. Untuk menjaga kualitas air, dilakukan
penyifonan dan penggantian air. Faktor
kualitas air yang diperhatikan adalah suhu
yang diamati setiap pagi hari sebelum
pemberian pakan serta pengukuran pH,
alkalinitas, kesadahan, TAN dan DO di awal
dan 2 kali selama periode pemeliharaan.
Analisis kimia pakan perlakuan
Analisis proksimat dilakukan terhadap
bahan dan pakan perlakuan yang meliputi
kadar protein kasar dilakukan dengan metode
Kjeldahl, kadar lemak kering dengan metode
Soxhlet, kadar lemak basah dengan metode
Folch, kadar abu dengan pemanasan sampel
dalam tanur bersuhu 600°C, serat kasar
menggunakan metode pelarutan sampel
dengan asam dan basa kuat serta pemanasan
dan kadar air dengan metode pemanasan
dalam oven bersuhu 105-110°C (Takeuchi
1988). Hasil analisa proksimat pakan perlakuan disajikan pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Komposisi proksimat pakan perlakuan.
Pakan perlakuan(% TDLt)
Komposisi
proksimat (%)
K (0)
A (10)
B (15)
C (20)
D (25)
E (30)
Protein
31,12
29,43
32,90
34,03
32,29
29,60
Lemak
8,79
8,21
9,38
9,26
9,35
9,55
Abu
9,73
9,82
9,71
9,05
10,13
8,91
Serat Kasar
6,03
5,97
5,56
4,78
5,81
5,83
36,08
39,38
33,39
34, 35
33,09
37,12
GE (kkal/ g ) 2
4061,53
4042,61
4102,49
4193,73
C/P (kkal/g ) 3
13,02
13,74
12,47
12,32
BETN 1
4053,18 4086,77
12,55
13,81
Parameter yang diamati dalam penelitian
ini adalah:
1. Laju Pertumbuhan Harian:
WO = Berat rata-rata ikan pada awal
penelitian (g)
Wt = Berat rata-rata ikan pada waktu t (g)
t = Lama waktu pemeliharaan (hari).
2. Efisiensi pakan
EP = (Wt + WQ)-W0 x 100
F
EP
W0
Wt
Wa
F
=
=
=
=
=
Efisiensi pakan
Berat ikan pada awal penelitian (g)
Berat ikan pada waktu t (g)
Berat ikan mati selama penelitian (g)
Bobot pakan yang dikonsumsi
I. Fitriliyani / Jurnal Akuakultur Indonesia 9 (1), 30–37 (2010)
3. Kecernaan pakan
(%) = (1 - a'/a x b'/b) x 100
a' = Nutrien dalam feses (%)
a = Nutrien dalam pakan (%)
b1= Indikator dalam feses (%)
b = Indikator dalam pakan (%);
4. Retensi protein dan lemak
Pu atau Lu
RP / RL =
x 100
Pe atau Le
RP/RL = Retensi protein/retensi lemak
Pu/Lu = Bobot protein/lemak yang
disimpan dalam tubuh (g)
Pe/Le = Bobot protein/lemak yang
dikonsumsi oleh ikan (g)
Pu/Lu = Po–Pt atau Lo–Lt
Po/Lo = Bobot protein/lemak tubuh
ikan pada waktu 0
Pt/Lt = Bobot protein/lemak dalam
tubuh ikan pada waktu t
Analisis statistik
Seluruh perlakuan pada penelitian ini
dilakukan pada keadaan yang homogen yakni
pada satu set sistem resirkulasi sehingga
rancangan percobaan yang digunakan adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
enam faktor peubah dan tiga ulangan. Data
yang diperoleh kemudian ditabulasi dan
dianalisis menggunakan program Exel MS.
Office 2007 dan SPSS 15.0 dengan
menggunakan uji lanjut Duncan. Untuk
mengetahui keeratan hubungan antara
parameter dilakukan pula uji regresi.
HASIL
Data rata-rata parameter uji hasil
penelitian, yaitu daya kelangsungan hidup/
survival rate (SR), laju pertumbuhan harian
(LPH), efisiensi pemberian pakan (EP),
jumlah konsumsi pakan (JKP), retensi
protein (RP) dan retensi lemak (RL)
disajikan pada Tabel 2.
Data SR menunjukkan tidak ada pengaruh
perbedaan persentase TDL terhidrolisis yang
dicampurkan ke dalam pakan terhadap nilai
SR. Nilai laju pertumbuhan harian perlakuan
TDL terhidrolisis nyata (p<0,05) dipengaruhi
oleh perbedaan persentase penggunaan
33
TDL terhidrolisis di dalam pakan. Nilai ratarata laju pertumbuhan harian (LPH) tertinggi
yaitu 2,77% dicapai oleh perlakuan tanpa
pemakaian TDL terhidrolisis yang tidak
berbeda nyata dengan nilai LPH pada
pemakaian TDL terhidrolisis 10 dan 15%
dalam pakan. Sedangkan nilai LPH
perlakuan
dengan
pemakaian
TDL
terhidrolisis 20, 25 dan 30% dalam pakan
nyata lebih rendah dari perlakuan kontrol dan
perlakuan dengan penggunaan 10 dan 15%
TDL terhidrolisis dalam pakan. Nilai
terendah yaitu 1,47% dicapai oleh perlakuan
dengan penggunaan TDL terhidrolisis
terbanyak yaitu sebesar 30%. Persentase
penggunaan TDL terhidrolisis dalam pakan
nyata (p>0,05) tidak berpengaruh pada
jumlah pakan yang dikonsumsi ikan uji.
Perlakuan TDL terhidrolisis menunjukkan
nilai efisiensi pakan tertinggi yaitu 70,52%
dicapai oleh perlakuan 10% TDL terhidrolisis. Nilai efisiensi pakan tertinggi ini
tidak berbeda nyata dengan yang dicapai
perlakuan 15% TDL terhidrolisis yaitu
60,10%. Nilai efisiensi pakan terendah yaitu
30,71 dicapai oleh perlakuan 25% TDL
terhidrolisis, dimana nilai ini tidak berbeda
nyata dengan nilai efisiensi pakan perlakuan
kontrol, 20% dan 30% TDL terhidrolisis
dengan nilai efisiensi pakan berturut-turut
sebesar 47, 65, 31, 05 dan 43,90%.
Persentase penggunaan TDL terhidrolisis
dalam pakan nyata (p<0,05) berpengaruh
pada nilai retensi protein. Nilai retensi
protein tertinggi sebesar 40,70% pada
perlakuan 15% TDL terhidrolisis dalam
pakan berbeda nyata dengan semua
perlakuan lainnya. Perlakuan 25% TDL
terhidrolisis menghasilkan nilai retensi
protein terendah sebesar 16,7% yang tidak
berbeda nyata dengan perlakuan kontrol, 10,
20 dan 30% TDL dalam pakan. Persentase
penggunaan TDL terhidrolisis dalam pakan
nyata (p<0,05) berpengaruh pada retensi
lemak. Perlakuan kontrol (tanpa penggunaan
TDL terhidrolisis) menghasilkan nilai retensi
lemak yang tertinggi yaitu 33,73% yang tidak
berbeda nyata dengan perlakuan dengan
penggunaan 10% TDL terhidrolisis dalam
pakan dengan nilai retensi lemak sebesar
33,15%. Sedangkan nilai retensi lemak
terendah terdapat pada perlakuan 30% TDL
I. Fitriliyani / Jurnal Akuakultur Indonesia 9 (1), 30–37 (2010)
34
terhidrolisis yaitu sebesar 14,40% yang tidak
berbeda nyata dengan perlakuan 20% TDL
terhidrolisis dalam pakan dengan nilai retensi
lemak sebesar 14,95%. Nilai retensi lemak
pada perlakuan yang menggunakan TDL terhidrolisis menghasilkan nilai yang cenderung
menurun dengan meningkatnya kandungan
TDL di dalam pakan.
PEMBAHASAN
Pertumbuhan dan daya kelangsungan
hidup ikan uji yang digambarkan dengan
nilai LPH dan SR (Tabel 2) menunjukkan
hasil yang terus menurun dengan meningkatnya
penggunaan kandungan TDL
terhidrolisis dalam pakan. Kerja enzim-enzim
hidrolisis yang terkandung dalam cairan
rumen yang digunakan untuk menghidrolisis
TDL berpengaruh terhadap komposisi
nutrient yang terkandung dalam TDL. Lee et
al. (2002) memetakan enzim-enzim dalam
cairan rumen domba. Enzim-enzim yang terdapat
dalam cairan rumen domba antara lain adalah
enzim-enzim selulolitik terdiri atas beta-Dendoglukanase, beta-D-exoglukanase, beta -Dglukosidase, dan beta-D-fucosida fuco-hydrolase,
enzim-enzim xylanolitik terdiri atas beta-Dxylanase, beta-D-xylosidase, acetyl esterase, dan
alfa-L-arabinofuranosidase, enzim-enzim pektinolitik terdiri atas polygalacturonase, pectate
lyase dan pectin lyase, dan enzim-enzim lain
yang terdiri atas beta-amilase, endo-arabilase, betaD-gluanase (laminarinase), beta-D-glucanase
(Lichenase), beta-D-glucanase (Pechimanase) dan
protease.
Cairan rumen yang digunakan dalam
penelitian ini didapat dari domba yang
dipelihara dengan pakan hijauan. Fitriliyani
(tidak dipublikasi) mengemukakan bahwa
aktivitas enzim selulase dari cairan rumen
domba yang dipelihara dengan pakan hijauan
adalah sebesar 80,852 µmol glukosa/
menit/ml. TDL dengan kandungan komponen
neutral detergent fiber (NDF) 39,5% dan
acid detergent fiber (ADF) 35,10% (Gracia
et al., 1996) merupakan media yang sangat
sesuai untuk kerja enzim selulase. Fitriliyani
(2010, tidak dipublikasikan) mengemukakan
bahwa terjadi peningkatan glukosa terlarut
dan penurunan total gula TDL seiring dengan
peningkatan volumen cairan rumen yang
digunakan untuk menghidrolisis TDL.
Sehingga peningkatan penggunaan TDL
terhidrolisis dalam pakan akan meningkatkan
pula kandungan monosakarida yaitu glukosa
akibat kerja enzim selulosa yang terkandung
dalam rumen.
Lin dan Shiau (1995) serta Hsieh dan
Siau (2000) mengemukakan bahwa ikan nila
yang mendapat sumber karbohidrat yang
berasal
dari
glukosa
menghasilkan
pertambahan bobot tubuh yang lebih kecil
dibandingkan dengan penggunaan disakarida
dan starch. Hal ini sesuai pula dengan
pendapat yang menyatakan bahwa ikan
omnivora mempunyai pertumbuhan yang
lebih baik dengan pakan yang mengandung
polisakarida (Furuichi dan Yone, 1982; Shiau
dan Peng, 1993; Erfanullah dan Jafri, 1995;
Lin dan Shiau, 1995; Hutchins et al., 1998;
Lee et al., 2003; Lee and Lee, 2004; Tan et
al., 2006). Wilson dan Poe (1987)
melaporkan bahwa pertumbuhan dan pemanfaatan pakan ikan nila lebih tinggi dengan
kandungan 33% polisakarida (dextrin dan
corn starch) dalam pakan dibandingkan
dengan pakan yang mengandung monodisakarida.
Tabel 3. Data hasil parameter kinerja pertumbuhan ikan nila yang diberi pakan perlakuan enam jenis
komposisi pakan: K (TDL 0%); A (TDL 10%); B (TDL 15%); C (20%); D (25%) dan E (30%).
Parameter
SR
LPH
JKP
EP
K
70,83 ± 7,22a
2,77 ± 0,40b
223,20 ± 55,21a
54,17 ± 2,51ab
A
75,00 ± 0,00a
2,68 ± 0,05b
197,43 ± 13,33a
70,52 ± 15,96c
a
b
a
B
79,17 ± 7,21
2,38 ± 0,32
173,35± 20,15
60,10 ± 16,11bc
a
a
a
C
70,83 ± 14,43
1,79 ± 0,20
191,80 ± 33,69
34,28 ± 1,00a
a
a
a
D
79,17 ± 19,09
1,80 ± 0,46
180,93 ± 15,00
36,06 ± 8,13a
a
a
a
E
87,50 ± 0,00
1,47 ± 0,18
169,64 ± 50,75
37,46 ± 6,62ab
Keterangan: huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata
(p>0,05).
Perlakuan
I. Fitriliyani et al./ Jurnal Akuakultur Indonesia, 9 (1): 30–37 (2010)
35
Gambar 1. Nilai retensi lemak (kiri) dan protein (kanan) pada ikan nila yang diberi pakan perlakuan enam jenis
komposisi pakan: K (TDL 0%); A (TDL 10%); B (TDL 15%); C (20%); D (25%) dan E (30%).
Konsumsi pakan tertinggi adalah pakan
perlakuan K dengan TDL 0% (Tabel 3).
Perlakuan ini juga menghasilkan pertumbuhan tertinggi dibandingkan dengan lima
perlakuan lainnya. Jumlah konsumsi pakan
cenderung menurun dengan me-ningkatnya
persentase kandungan TDL terhidrolisis
dalam pakan. Hal ini dimungkinkan karena
peningkatan persentase penggunaan TDL
terhidrolisis dalam pakan meningkatkan pula
kandungan serat pakan perlakuan. Serat kasar
merupakan komponen karbohidrat yang kaya
akan lignin dan selulosa yang bersifat sukar
dicerna. Selulosa merupakan kerangka sel
tanaman yang terdiri dari rantai -D-Glukosa
dengan derajat polimerasi sebesar lebih
kurang 14.000 (Kennedy, 1988). Serat
makanan akan tinggal dalam saluran
pencernaan dalam waktu relatif singkat
sehingga absorpsi zat makanan berkurang.
Selain itu makanan yang mengandung serat
yang relatif tinggi akan memberikan rasa
kenyang karena komposisi karbohidrat
komplek yang menghentikan nafsu makan
sehingga mengakibatkan turunnya konsumsi
makanan. Makanan dengan kandungan serat
kasar yang tinggi juga dilaporkan dapat
mengurangi bobot badan ikan (Hemre et al.,
2002). Pernyataan tersebut bersesuaian
dengan hasil penelitian ini, dimana semakin
banyak TDL yang digunakan pada perlakuan
A, B, C, D, E dan F, maka nilai JKP akan
menurun. Penurunan nilai JKP akan
mengakibatkan menurunnya pula asupan
protein yang dikonsumsi sehingga terlihat
nila laju pertumbuhan harian juga mengalami
penurunan.
Nilai retensi protein dan retensi lemak yang
didapat pada penelitian ini dengan TDL
terhidrolisis lebih baik dari nilai retensi protein
yang dilaporkan oleh Abdel Hakim et al.
(2008) pada ikan nila dengan bobot tubuh 30 ±
0.46 g. Dengan pengantian 30% bungkil
kedelai dalam pakan dengan isi rumen yang
dikeringkan; sunflower meal; dan sesame
seed cake didapatkan nilai retensi protein
sebesar 19,02; 19,63; 20,45%. dan nilai
retensi lemak 9,02; 10,15; dan 11,51.
Sedangkan Gonzales (2007) menggunakan
tumbuhan sebagai dasar penyusun pakan
larva ikan nila hanya mendapatkan nilai
retensi protein 31,9%. Ali et al. (2003) pada
pakan ikan nila menggunakan alfafa leaf
meal pada taraf 5, 10, 15 dan 20%
didapatkan nilai retensi protein berturut-turut
35,30; 31,80; 29,81 dan 27,74%. Perbedaan nilai komposisi asam amino esensial
serta jumlah karbohidrat sederhana yang
berlebih diduga menjadi penyebab perbedaan
nilai retensi protein ini.
Terhambatnya absorbsi asam amino
dalam saluran pencernaan oleh glukosa yang
berlebih pada saluran pencernaan ikan
dengan pakan mengandung 30% TDL
terhidrolisis selain mempengaruhi nilai
retensi protein juga akan berpengaruh pada
nilai retensi lemak. Dimana pada perlakuan
30% TDL terhidrolisis di dalam pakan,
didapatkan nilai retensi protein sebesar
20,92% dan nilai retensi lemak sebesar
14,40%. Ketersediaan energi yang terbatas
36
I. Fitriliyani / Jurnal Akuakultur Indonesia 9 (1), 30–37 (2010)
dalam bentuk protein pada perlakuan ini,
mengakibatkan ikan berusaha memanfaatkan
sumber energi yang lain yaitu lemak
sehingga retensi lemaknya menjadi turun
drastis dibandingkan perlakuan lain dengan
TDL terhidrolisis.
KESIMPULAN
Hasil penelitian mengindikasikan bahwa
ikan yang diberi pakan dengan kadar tepung
daun lamtoro gung sebanyak 0%, 10%, dan
15% secara siginifikan memiliki laju
pertumbuhan spesifik, efisiensi pakan yang
lebih tinggi daripada perlakuan lain dengan
jumlah pakan yang dikonsumsi tidak berbeda
nyata untuk semua perlakuan dengan
kecenderungan menurun seiring dengan
peningkatan kadar daun lamtoro gung dalam
pakan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdel Hakim, N.F., Lashin, N.F.M., AlAzab, A., Nazmi, H.M., 2008. Effect of
replacing soybean meal with other plant
protein source on protein and energy
utilization and carcass composition of
Nile tilapia (Oreochromis niloticus), p.
979-996. In 8th International Symposium
on Tilapia in Aquaculture. Department of
Animal
Production,
Faculty
of
Agriculture, Al-Azhar University.
Ali, A., Al Asgah, N.A., Al-Ogail, S.M., Ali,
S. 2003. Effect of feeding different levels
of alfalfa meal on the growth performance
and body composition of Nile tilapia
(Oreochromis niloticus) fingerlings. Asian
Fisheries Science, 16, 59-67.
Elangovan, A., Shim, K.F. 2000. The
influence of replacing fish meal partially
in the diet with soybean meal on growth
and body compositition of juvenile tin foil
barb (barbodews altus). Aquaculture 189,
133-134.
El Sayed, A. F. 1999. Alternative dietary
protein sources for farmed tilapia,
Oreochromis spp. Aquaculture 179, 149168.
Erfanullah, Jafri, A.K. 1995. Protein-sparing
effect of dietary carbohydrate in diets for
fingerling Labeo rohita. Aquaculture 136,
331–339.
Furuichi, M., Yone, Y. 1982. Availability of
carbohydrate in nutrition of carp and red
sea bream. Bull Jpn Soc Sci Fish 48, 945–
948
Gonzales, J.M., Alison, H., Megan, E.R.,
Todd, F.P., Paul, B. 2007. Evaluation of
fish meal-free diets for first feeding Nile
tilapia (Oreochromis niloticus). Journal of
Applied Aquaculture. 19 (3), 69-98.
Gracia, G.W., Ferguson, T.U., Neckles, F.A.,
Archibald, K.A.E. 1996. The nutritive value
and forage productivity of Leucaena
leucocephala. Anim. Feed. Sci. Technol. 60,
29-41.
Hemre, G.I., Mommsen, T.P., Krogdahl, A.,
2002. Carbohydrates in fish nutrition:
effects on growth, glucose metabolism
and hepatic enzymes. Aquacult. Nutr. 8,
175–194.
Hsieh, S.L., Shiau, S.Y., 2000. Effects of
diets containing different carbohydrates
on starved condition in juvenile tilapia
Oreochromis niloticus >< O. aureus.
Fisheries Science 66, 32–37.
Hutchins, C.G., Rawles, S.D., Gatlin, D.M.
1998. Effects of dietary carbohydrate kind
and level on growth, body composition
and glycemic response of juvenile
sunshine bass (Morone chrysops· M.
saxatilisx). Aquaculture 161, 187–199.
Jackson, A.J., Capper, B.S., Matty, A.J.,
1982. Evaluation of some plant protein in
complete
diets
for
the
tilapia,
Sarotherodon mossambicus. Aquaculture
27, 97-109.
Kale, A.U., 1987. Nutritive value of
Leucaena
leucocephala
(subabul).
[Thesis] University of Bombay.
Kennedy,
J.F.,
1988.
Carbohydrate
Chemistry. Oxford University Press.
Lee, S.M., Kim, K.D., Lall, S.P., 2003.
Utilization of glucose, maltose, dextrin
and cellulose by juvenile flounder
(Paralichthys olivaceus). Aquaculture
221, 427–438
Lee, S.M., Lee, J.H., 2004. Effect of dietary
glucose, dextrin and starch on growth and
body composition of juvenile starry
flounder Platichthys stellatus. Fisheries
Science 70, 53–58
I. Fitriliyani et al./ Jurnal Akuakultur Indonesia, 9 (1): 30–37 (2010)
Lee, S.S., Kim, C.H., Ha, J.K., Moon, Y.H.,
Choi, N.J., Cheng, K.J., 2002. Distribution
and activities of hydrolytic enzymes in the
rumen compartments of hereford bulls fed
alfalfa based diet. Asian-Aust. J. Anim. Sci.
15 (12), 1725-1731.
Lin, J.H., Shiau, S.Y., 1995 Hepatic enzyme
adaptation to different dietary carbohydrates in juvenile tilapia (Oreochromis
niloticus x O. aureus). Fish Physiol.
Biochem. 14, 165–170.
Moharrery, A., Tirta, K.D., 2002. Correlation
between microbial enzyme activities in the
rumen fluid of sheep under different
treatments. Reprod. Nutr. Dev. 41, 513529.
NAS, 1994. Leucaena: Promising forage and tree
crop for the Tropics. Second Edition. National
Academy of Sciences. Washington.
Pantastico, J.B., Baldia, J.P., 1980. Lip-lip leaf
meal as supplement feed for Tilapia nilotica
in cages. Fish. Res. J. Philipp. 5 (2), 63-68.
Penaflorida, V.D., Pascual, F.P., Tabbu, N.S.,
1992. A practical methods for extracting
mimosine from ipil-ipil (Leucaena leucocephala) leaves and its effect on survival and
growth of Penaus monodon juveniles. Israeli
Journal of Aquaculture 44 (1), 24-31.
Pebriyadi, B., 2004. Penambahan metionina
dan triptofan dalam pakan benih ikan nila
Mystus nemurus CV yang mengandung
tepung bungkil kedelai. [Thesis] Bogor: IPB
74 hal.
Saha, A., Ray, A.K., 1998. Cellulase activity
in rohu fingerlings. Aquaculture International 6 (4), 281-291.
37
Santiago, C.B., Lovell, R.T., 1988. Amino acid
requirement for growth of Nile tilapia.
Journal of Nutrition 118, 1540-1546.
Santiago, C.B., Aldaba, M.B., Reyes, O.S.,
Laron,
M.A., 1988.
Reproductive
performance and growth of nile tilapia
(Oreochromis niloticus) broodstock fed
diets containing Leucaena leucocephala
leaf meal. Aquaculture 70, 53-61.
Shiau, S.Y., Peng, C.Y., 1993. Proteinsparing effect by carbohydrates in diets
for tilapia, Oreochromis niloticus and
O.aureus. Aquaculture 117, 327–334
Suprayudi, M.A., Bintang, M., Takeuchi, T.,
Mokoginta, I., Toha, S., 1999. Defatted
soybean meal as an alternative source to
substitute fish meal in the feed of giant
gouramy Osphronemus gouramy Lac.
Suisanzozhoku 47 (4), 551-557.
Tan, Q., Xie, S., Zhu, X., Lei, W., Yang, Y.,
2006. Effect of dietary carbohydrate
sources on growth performance and
utilization for gibel carp (Carassius
auratus gibelio) and Chinese longsnout
catfish (Leiocassis longirostris Gunther).
Aquac. Nutr. 12, 61–70.
Wee, K.L., Wang, S.S., 1987. Nutritive value of
leucaena leaf meal in pelleted feed for nile
tilapia. Aquaculture 62 (2), 97 - 108.
Wilson, R.P., Poe, W.E., 1987. Apparent
inability of channel catfish to utilize
dietary monosaccharides and disaccharides as energy-sources. J. Nutr. 117,
280–285.
OPTIMALISASI SUBSTITUSI TEPUNG AZOLLA
TERFERMENTASI PADA PAKAN IKAN UNTUK
MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS IKAN NILA GIFT
HANY HANDAJANI
Jurusan Perikanan Universitas Muhammadiyah Malang
Jl. Raya Tlogomas 246 Malang 65144
HP: 08123317258
Email : [email protected]
ABSTRACT
The research has been conducted to evaluate the fermented azolla flour substitutions that
optimize the growth rate and digestibility in Tilapia. The research was based on Completely
Randomized Design (CRD) with three replications. Four levels of substitution of soy meal with
fermented azolla flour were: P0 (100%:0%), P1 (85%:15%), P2 (70%:30%), and P3 (55%:45%).
The main parameters were absolute growth rate, feed conversion, and digestibility of Tilapia
(Oreochiomis sp.). The result showed that the substitution of soy meal with fermented azolla
flour has significant effect into growth rate and digestibility parameters. The P1 treatment gave
the best result with growth absolute rate 0,81 gram, feed conversion 3,14 and 67,68% digestibility.
Key words : Fish feed, Fermented azolla flour, Tilapia
PENDAHULUAN
Usaha budidaya ikan sangat dipengaruhi oleh
ketersediaan pakan yang cukup dalam jumlah
dan kualitasnya untuk mendukung kualitas
yang maksimal. Faktor pakan menentukan
biaya produksi mencapai 60% - 70% dalam usaha
budidaya ikan. Sehingga perlu pengelolaan yang
efektif dan efisien. Beberapa syarat bahan pakan
yang baik untuk diberikan adalah memenuhi
kandungan gizi (protein, lemak, karbohidrat,
vitamin dan mineral) yang tinggi, tidak beracun,
mudah diperoleh, mudah diolah dan bukan sebagai
makanan pokok manusia. Sampai saat ini sumber
protein nabati yang digunakan dalam pakan
ikan adalah tepung kedelai. Harga kedelai terus
meningkat, saat ini harga kedelai mencapai Rp.
4500/kg. Ada beberapa alternatif bahan pakan
yang dapat dimanfaatkan dalam penyusunan
pakan salah satunya adalah tepung Azolla.
Tanaman azolla merupakan gulma air yang tidak
termanfaatkan, tetapi tanaman Azolla memiliki
kandungan protein yang cukup tinggi 28,12% berat
kering (Handajani, 2000), sedangkan Lumpkin dan
Plucknet (1982) menyatakan kandungan protein
pada Azolla sp sebesar 23,42% berat kering dengan
komposisi asam amino esensial yang lengkap.
Sehingga tanaman azolla sangat berpotensi
sebagai bahan penyusun pakan ikan sebagai
sumber protein nabati pengganti tepung kedelai.
Hasil penelitian Handajani (2006) kandungan
serat kasar tepung azolla sebesar 23,06%.
Tepung Azolla dimanfaatkan sebagai salah satu
penyusun pakan ikan Nila Gift dengan hasil daya
cerna protein ikan berkisar 55,51% - 67,68%.
Disamping itu dari hasil penelitian Haetami dan
Sastrawibawa (2005) nilai daya cerna ikan Gurami
terhadap pakan yang menggunakan tepung azolla
berkisar 58,70% - 67,90%. Nilai daya cerna ini
belum maksimal karena pakan yang diberikan
tidak tercerna dengan baik, hal ini disebabkan
kandungan serat kasar yang cukup tinggi pada
tepung azolla. Selanjutnya Handajani (2007a)
mencoba meningkatkan nilai gizi tepung azolla
melalui proses fermentasi dan didapatkan hasil
fermentasi tepung azolla dengan Rhizophus sp
memberikan hasil yang terbaik dari beberapa
fermentor, terbukti dapat menurunkan kandungan
serat kasar tepung azolla dari 23,06% menjadi
14,62%.
Dari beberapa hasil penelitian tersebut
perlu dilakukan pengujian untuk memanfaatkan
tepung azolla terfermentasi dalam pakan ikan
Nila Gift. Hasil penelitian diharapkan tepung
Azolla terfermentasi dapat mensubstitusi tepung
kedelai dalam penyusunan pakan ikan. Sehingga
dapat meningkatkan produksi ikan Nila serta
menekan biaya produksi, karena tepung Azolla
terfermentasi yang digunakan sebagai substitusi
tepung kedelai mempunyai nilai ekonomis yang
rendah sebesar Rp.1000/kg
178
METODE
Materi
Materi yang digunakan adalah ikan uji
berupa benih ikan Nila yang berukuran 5 – 7 cm
dengan berat rata-rata 1,3 gram. Media percobaan
yang digunakan berupa air tawar yang berasal
dari air sumur. Air ditempatkan pada aquarium
percobaan yang berjumlah 16 buah dengan volume
masing-masing 20 liter. Kualitas air diusahakan
optimal bagi pertumbuhan ikan uji.
Pada penelitian ini akan digunakan empat
macam pakan percobaan dengan kandungan
protein 25% dengan energi 360 kkal/g pakan.
Protein terdiri dari tepung ikan sebagai protein
hewani dan tepung Azolla sebagai bahan substitusi
protein tepung kedelai untuk protein nabati. Alatalat penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah aquarium, aerator, selang, serok, batu
aerasi, blender, timbangan, tissue, pipet ukur,
thermometer, peralatan analisis proksimat, dan
peralatan kualitas air.
Bahan-bahan pakan yang akan digunakan
sebagai penyusun pakan dianalisis proksimat,
komposisi nutrisi bahan pakan dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi nutrisi bahan pakan ikan Nila Gift (Oreochromis, sp)
Protein
(%)
Lemak
(%)
Serat
Kasar (%)
Abu
(%)
BETN
DE (kkal/g)
Tepung ikan
50,07
4,9
8,68
26,93
9,42
282,06
Tepung kedelai
37,58
18,28
9,56
4,43
30,15
435,44
Tepung Azolla
19,54
8,8
23,06
12,48
36,12
307,28
Tepung Azolla Fermentasi
20.05
6,42
14,62
12,83
37,05
368.27
Bekatul
10,79
10,56
12,86
Tepung tapioka
3,34
0,55
0,53
Bahan
411.24
0,58
95,00
398,31
(Hasil analisis laboratorium Nutrisi Fapetrik 2008 - UMM )
Tabel 2. Formulasi Pakan ikan Nila Gift
Bahan
Perbandingan Tepung Kedelai dengan Tepung Azolla Fermentasi
P0 = 100 : 0
P1 = 85 : 15
P2 = 70 : 30
P3= 55 : 45
Tepung ikan
22,5
22,5
22,5
22,5
Tepung kedelai
Bekatul
29,5
22,75
25,07
22,75
20,65
18,5
16,22
18,5
Tepung Tapioka
19,25
19,25
13,5
13,5
Tepung Azolla Fermentasi
0
4,43
8,85
13,27
Minyak kelapa
0
0
0,58
0,61
Mineral Mix
2
2
2
2
Vitamin Mix
2
2
2
2
0,5
0,5
0,5
0,5
Jumlah
100
100
100
100
Protein (%)
27,83
24,96
23,62
22,93
Energi (kkal/g)
417,59
376,57
381,41
379,28
Cr2O3
179
Jurnal Teknik Industri Vol. 12, No. 2 Agustus 2011: 178-184
Tabel 3. Hasil Proksimat Pakan Uji
Kandungan
P0
P1
P2
P3
Berat kering (%)
88,57
89,15
88,04
87,47
Protein (%)
24,52
24,75
24,94
24,66
Lemak (%)
9,38
7,5
6,65
7,80
Serat kasar (%)
4,53
6,24
9,045
13,58
Abu (%)
13,24
14,23
12,76
16,72
BETN
36.9
36,43
34,65
24,71
METODE
Metode penelitian yang digunakan adalah
metode eksperimen. Penelitian ini menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan
ditentukan/didapatkan dari hasil penyusunan
formulasi pakan, masing-masing perlakuan
diulang sebanyak 3 kali.
Variabel uji yang diamati adalah pertumbuhan
mutlak (Effendi, 1997), Daya cerna protein (D)
Metode Chromix Oxide (Zonneveld, 1991), dan
Rasio konversi pakan (Zonneveld, 1991). Data
yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan
sidik ragam (anova). Apabila hasil analisis
menunjukkan perbedaan akan dilanjutkan dengan
Uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan
Pola pertumbuhan ikan nila gift (Oreochiomis
sp.) adalah eksponensial. Dengan menggunakan
pola ini, maka diperoleh data pertumbuhan mutlak
untuk tiap-tiap perlakuan seperti tertera pada
Gambar 1.
Pertumbuhan Mutlak ( gr )
Grafik Hubungan Perlakuan dengan Pertumbuhan
Mutlak
0.90
0.80
0.70
0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
P0
P1
P2
P3
Perlakuan
Gambar 1. Grafik rata-rata pertumbuhan mutlak ikan nila gift tiap-tiap perlakuan selama penelitian.
Keterangan:
P0 = tepung azolla terfermentasi 0% tepung kedelai 100%
P1= tepung azolla terfermentasi 15% tepung kedelai 85%
P2= tepung azolla terfermentasi 30% tepung kedelai 70%
P3= tepung azolla terfermentasi 45% tepung kedelai 55%
Hasil perhitungan sidik ragam menunjukkan
bahwa, perlakuan pemanfaatan tepung azolla
terfermentasi sebagai substitusi protein tepung
kedelai dalam ransum memberikan pengaruh yang
berbeda terhadap pertumbuhan mutlak pada ikan
nila gift (Oreochiomis sp.).
Hasil penelitian di atas menunjukkan
adanya perbedaan pada substitusi tepung azolla
terfermentasi terhadap tepung kedelai, hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan tepung azolla
terfermentasi dapat digunakan sebagai substitusi
tepung kedelai sebesar 15%. Hasil subtitusi tepung
Hany Handajani : Optimalisasi substitusi tepung azolla terfermentasi pada pakan ikan
180
Azolla terfermentasi sebesar 15% dengan tepung
kedelai 85%, menghasilkan pertumbuhan mutlak
lebih tinggi (0,81) dibandingkan dengan pakan
yang mengandung tepung kedelai 100% (0,57).
Hal ini disebabkan oleh kandungan asam-asam
amino dari subtitusi tepung azolla terfermentasi
(15%) dan tepung kedelai (85%) lebih tinggi
dibandingkan pada pakan yang 100% tepung
kedelai. Sehingga apabila pakan yang diberikan
mempunyai nilai nutrisi yang baik, maka dapat
mempercepat laju pertumbuhan, karena zat
tersebut akan dipergunakan untuk menghasilkan
energi mengganti sel-sel tubuh yang rusak. Zat-zat
nutrisi yang dibutuhkan adalah protein, lemak,
karbohidrat, vitamin, mineral (Handajani dan
Widodo, 2010).
Pada penelitian ini jumlah pakan yang
diberikan disesuaikan dengan kebutuhan ikan
yaitu 5 persen dari berat tubuh ikan perhari,
disamping itu komposisi pakan yang diberikan
terutama pada kandungan protein sudah berada
pada kisaran optimum yaitu sebesar ±25 persen.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ahmad
dan Tawwab (2010), bahwa umumnya ikan
membutuhkan pakan yang kandungan proteinnya
20 – 60 persen sedangkan optimumnya adalah
berkisar antara 30 – 60 persen.
Dari data tersebut diketahui bahwa perlakuan
yang memberikan laju pertumbuhan mutlak
tertinggi dicapai pada pakan dengan tingkat
substitusi 15% memiliki rata-rata pertumbuhan
mutlak sebesar 0,81, kemudian pakan dengan
tingkat substitusi 0% memiliki rata-rata
pertumbuhan mutlak sebesar 0,57, selanjutnya
pakan dengan tingkat substitusi 30% memiliki
rata-rata pertumbuhan mutlak sebesar 0,55,
kemudian pakan dengan tingkat substitusi
45% memiliki rata-rata pertumbuhan mutlak
sebesar 0,44. Sehingga syarat utama yang harus
diperhatikan dalam pembuatan pakan ikan antara
lain: kandungan nutrisi suatu bahan pakan harus
cukup sesuai dengan kebutuhan ikan, disukai
oleh ikan, mudah dicerna dan jika dilihat dari
nilai ekonominya pakan yang dihasilkan dari
pemanfaatan tepung azolla mempunyai harga
yang relatif lebih murah jika dibanding dengan
penggunaan tepung kedelai, sehingga dengan
pemanfaatan tepung azolla dapat menekan biaya
produksi pakan.
Rasio Konversi Pakan (Feed Convertion
Ratio).
Rasio konversi pakan merupakan salah
satu parameter efisiensi pemberian pakan. Data
perhitungan rasio konversi pakan pada ikan nila
gift (Oreochiomis sp.) untuk tiap-tiap perlakuan
selama penelitian pada Gambar 2
FCR
Grafik Hubungan antara Perlakuan dengan FCR
6,00
5,00
4,00
3,00
2,00
1,00
P0
P1
P2
P3
Perlakuan
Gambar 2. Grafik Rata-rata Rasio Konversi Pakan (FCR) Ikan Nila Gift (Oreochiomis sp.) Tiap-tiap
Perlakuan Selama Penelitian.
Hasil perhitungan sidik ragam menunjukkan
bahwa perlakuan pemanfaatan tepung azolla
terfermentasi sebagai substitusi protein tepung
kedelai dalam ransum memberikan pengaruh yang
berbeda terhadap rasio konversi pakan pada ikan
nila gift (Oreochiomis sp.).
181
Tingkat efisiensi penggunaan pakan pada
ikan nila gift (Oreochiomis sp.) ditentukan oleh
pertumbuhan dan jumlah pakan yang diberikan.
Keefisienan penggunaan pakan menunjukkan nilai
pakan yang dapat merubah menjadi pertambahan
pada berat badan ikan (Uktolseja, 2008).
Jurnal Teknik Industri Vol. 12, No. 2 Agustus 2011: 178-184
Efisiensi pakan dapat dilihat dari beberapa
faktor dimana salah satunya adalah rasio konversi
pakan. Nilai rasio konversi pakan pada penelitian ini
berdasarkan perhitungan statistik menunjukkan
bahwa pemanfaatan tepung azolla sebagai bahan
substitusi protein tepung kedelai dalam ransum
berpengaruh nyata terhadap rasio konversi pakan.
Hal ini dipengaruhi oleh pertumbuhan dan nilai
kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan,
selanjutnya juga dipengaruhi oleh adanya tingkat
konversi pakan dengan bertambahnya berat badan
ikan sehingga semakin tinggi berat badan ikan
maka semakin tinggi pula konversi pakan yang
dimanfaatkan.
Menurut Hariati (1989) bahwa tingkat
efisiensi penggunaan pakan yang terbaik akan
dicapai pada nilai perhitungan konversi pakan
terendah, dimana pada perlakuan tersebut
kondisi kualitas pakan lebih baik dari perlakuan
yang lain. Kondisi kualitas pakan yang baik
mengakibatkan energi yang diperoleh pada ikan
nila gift (Oreochiomis sp.) lebih banyak untuk
pertumbuhan, sehingga ikan nila gift (Oreochiomis
sp.) dengan pemberian pakan yang sedikit
diharapkan laju pertumbuhan meningkat.
Daya Cerna Ikan Nila GIFT (Oreochiomis sp.)
Daya cerna adalah kemampuan untuk
mencerna suatu bahan, sedangkan bahan yang
tercerna adalah bagian dari pakan yang tidak
diekresikan dalam feses. Nilai nutrisi dari suatu
makanan bagi ikan bergantung pada sejauh
mana ikan tersebut mampu mencerna makanan
tersebut, untuk mengetahui besarnya daya cerna
ikan terhadap makanan dapat dilakukan dengan
menggunakan Chromix Oxide (Cr 2O3) sebagai
indikator, selanjutnya feses yang mengandung
Cr2O3 dikumpulkan dan dianalisis kandungan zat
tersebut. Perbandingan Cr2O3 dalam pakan dan
feses dapat memberikan perkiraan daya cerna
pakan (Tilman, et. al., 1996). Dari hasil penelitian
didapatkan data daya cerna protein yang disajikan
pada Gambar 3
Gambar 3. Grafik Daya Cerna Pada Ikan Nila GIFT (Oreochiomis sp.) Tiap-Tiap Perlakuan Selama Penelitian.
Daya cerna protein yang tinggi menunjukkan
bahwa pakan tersebut baik dan nutrien pakan
dapat dimanfaatkan secara efisien oleh ikan nila
GIFT (Oreochiomis sp.) untuk menyusun produksi
tubuhnya.
Dari Gambar 3 diatas dapat diketahui
bahwa nilai daya cerna portein merupakan hal
yang sangat penting untuk mengetahui efesiensi
pakan yang diberikan pada ikan. Pada Gambar
6.3 dapat dilihat perlakuan P0 (0% tepung
azolla terfermentasi) daya cernanya 77,50%,
kemudian diikuti perlakuan P1 (15% tepung
azolla terfermentasi) daya cernanya 67,68%, P2
(30% tepung azolla terfermentasi) daya cernanya
62,19% dan P3 (45% tepung azolla terfermentasi)
daya cernanya 55,51%. Hal ini disebabkan oleh
protein dalam pakan telah dipecah menjadi asamasam amino yang lebih mudah diserap oleh ikan
dan kebutuhan nutriennya sudah terpenuhi. Indek
asam amino esensial maisng-masing pakan telah
Hany Handajani : Optimalisasi substitusi tepung azolla terfermentasi pada pakan ikan
182
memenuhi jumlah optimal asam amino esensial
yang dibutuhkan ikan nila, sehingga penambahan
tepung azolla pada pakan layak digunakan.
Penurunan daya cerna protein ini disebabkan
kemampuan ikan mencerna protein pakan hanya
sampai pada batas tertentu, salah satu diantaranya
adalah kandungan serat kasar pada bahan pakan
tersebut. Pada perlakuan P0 memberikan nilai
daya cerna protein sebesar 77,50% dengan serat
kasar 4,53%, perlakuan P1 memberikan nilai
daya cerna protein sebesar 67,68% dengan serat
kasar 7,5%, perlakuan P2 memberikan nilai daya
cerna protein sebesar 62,19% dengan serat kasar
6,65%, dan perlakuan P3 memberikan nilai daya
cerna protein sebesar 55,51% dengan serat kasar
13,58%. Dari keempat perlakuan didapatkan
pada perlakuan P3 yang mengandung serat
kasar tertinggi sebesar 13,58% dengan tingginya
kandungan serat kasar ini pakan akan sulit
dicerna oleh ikan sehingga pertumbuhan ikan juga
akan lambat. Menurut Handajani (2007b), bahwa
penggunaan kadar serat kasar lebih dari 10 persen
tidak diperlukan pada pakan ikan-ikan Tilapia dan
juga penggunaan serat kasar yang tinggi dalam
pakan dapat menurunkan pertumbuhan sebagai
akibat dari berkurangnya waktu pengosongan usus
dan daya cerna pakan.
Daya cerna protein erat kaitannya dengan
komposisi pakan terutama kandungan protein
yang ada dalam pakan yang diberikan pada
ikan, sebab protein merupakan unsur utama
yang dibutuhkan oleh ikan untuk pertumbuhan.
Dalam penelitian ini digunakan pakan buatan
yang kandungan proteinnya sudah berada dalam
kisaran yang dibutuhkan oleh ikan nila GIFT
yaitu ± 25%. Seperti yang telah dikemukakan
oleh Handajani dan Widodo (2010), bahwa pada
umumnya ikan membutuhkan pakan yang
kandungan proteinnya 20-25%. Kebutuhan protein
berbeda pada setiap spesies ikan, dimana pada
ikan kornivora kebutuhan protein lebih tinggi bila
dibandingkan dengan ikan herbivora.
Dari hasil analisis sidik ragam diperoleh
sidik ragam seperti terlihat pada Tabel 4, sidik
ragam tersebut menunjukkan bahwa perlakuan
memberikan pengaruh tidak berbeda nyata
terhadap daya cerna protein pad aikan nila GIFT
(Oreochiomis sp.).
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan
bahwa perlakuan memberikan pengaruh nyata
terhadap daya cerna protein ikan nila GIFT
(Oreochiomis sp.). Dilihat dari kandungan serat
183
kasar pada 3 perlakuan (P0, P1, P2) menunjukkan
kurang dari 10 persen, karena lebih dari 10 persen
akan menyebabkan pertumbuhan menurun
terhadap ikan-ikan Tilapia. Pada perlakuan P0
dengan kandungan serat kasar terendah (4,53%)
memberikan daya cerna yang tertinggi (77,50%)
sedangkan perlakuan P3 dengan kandungan serat
kasar tertinggi (13,58%) memberikan daya cerna
yang terendah (55,51%).
SIMPULAN
Substitusi tepung azolla terfermentasi
sebesar 15% pada pakan ikan dapat meningkatkan
produktivitas ikan Nila dengan hasil pertumbuhan
mutlak sebesar 0,81 gram, rasio konversi pakan
3,14 dan daya cerna protein sebesar 67,68%.
Penggunaan substitusi tepung azolla terfermentasi
15% dalam pakan ikan dapat menekan biaya
produksi sebesar 15% jika dibandingkan
penggunaan tepung kedelai tanpa substitusi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, M.A and Tawwab, M. 2010. The use of
caraway seed meal as a feed additive in fish
diets: Growth performance, feed utilization, and
whole-body composition of Nile tilapia,
Oreochromis niloticus (L.) fingerlings.
J.Aquaculture, Vol 314, Issue 1-4, $ april 2010,
Pages 110-114
Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Penerbit
Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta.
163 hal.
Haetami dan Sastrawibawa, 2005. Evaluasi
Kecernaan Tepung Azolla dalam Ransum
Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma
macropomum). Jurnal Bionatura, Vol 7, No 3,
November 2005 : 225 – 233.
Handajani, 2000. Peningkatan kadar protein
tanaman Azolla microphylla dengan
mikrosimbion Anabaena azollae dalam
berbagai konsentrasi N dan P yang berbeda
pada media tumbuh. Tesis. Progran Pasca
Sarjana IPB. Bogor
Handajani, 2006. Pemanfaatan Tepung Azolla
Sebagai Penyusun Pakan Ikan Terhadap
Pertumbuhan dan Daya Cerna Ikan Nila Gift
(Oreochiomis sp). Jurnal Penelitian Gamma
Vol 1 no 2, 2006
Handajani, 2007a. Peningkatan Nilai Nutrisi
Tepung Azolla Melalui Fermentasi. Laporan
Penelitian. Lembaga Penelitian UMM. Malang
Handajani, 2007b. Pengaruh pemberian Bekatul
Jurnal Teknik Industri Vol. 12, No. 2 Agustus 2011: 178-184
Terfermentasi dengan Rhizophus sp sebagai
Penyusun Pakan Ikan Terhadap Daya Cerna
dan Pertumbuhan Ikan Nila Gift. Prosiding
Seminar Nasional Hasil Penelitian Perikanan
dan Kelautan UGM (ISBN: 978-979-99781-2-7)
Handajani dan Widodo, 2010. Nutrisi Ikan. UMM
Press. Malang
Hariati, A.M. 1989. Makanan Ikan. LUW/UNIBRAW/
Fish Fisheries Project Malang. 99 hal.
Lumpkin, T.A and D.L. Plucknet, 1982. Azolla
a green manure: Use abd Management in Crop
Production. Westview Tropical Agriculture
Series
Tillman, D. Hariartadi, R. Soedomo, P. Soeharto
dan D. Soekamto, 1984. Ilmu Makanan Ternak
Dasar. Universitas Gajah Mada. 422 hal.
Uktolseja, J.L.A. 2008. Deposisi Nutrisi Ikan Lele
Dumbo (Clarias gariepinus, Burchell) Sebagai
akibat Penambahan L-Karnitin Pada Dua taraf
Lisin dan Lemak. Jurnal Penelitian Perikanan,
Vol 11, No.2 Desember 2008. Hal:150-155.
Zonneveld, N. E.A. Huinsman dan J.H. Boon. 1991.
Prinsip-prinsip Budaya Ikan. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta. 318 hal.
Hany Handajani : Optimalisasi substitusi tepung azolla terfermentasi pada pakan ikan
184
PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA
AKUAKULTUR BERBASIS TROPHIC LEVEL: PEMANFAATAN
LIMBAH BUDIDAYA IKAN LELE Clarias sp. OLEH IKAN NILA
Oreochromis niloticus MELALUI PENAMBAHAN MOLASE
BIDANG KEGIATAN :
PKM-AI
Diusulkan oleh :
Rezi Hidayat
C14052808
2005
M. Fuadi
C14051516
2005
Darmawan Setia Budi C14063519
2006
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul Kegiatan
: Akuakultur Berbasis Trophic Level: Pemanfaatan Limbah
Budidaya Ikan Lele Clarias sp. oleh Ikan Nila
Oreochromis niloticus Melalui Penambahan Molase
2. Bidang Kegiatan
3. Ketua Pelaksana Program
a. Nama Lengkap
b. NIM
c. Jurusan
d. Universitas/Institut/Politeknik
e. Alamat Rumah dan No Tel/HP
f. Alamat Email
4. Anggota Pelaksana Kegiatan/Penulis
5. Dosen Pendamping
a. Nama Lengkap dan Gelar
b. NIP
c. Alamat Rumah dan No Tel/HP
d. No. Telp/HP
: (√) PKM-AI
: Rezi Hidayat
: C14052808
: Budidaya Perairan
: Institut Pertanian Bogor
: Wisma Aria Jl. Babakan Raya 3
No. 67B Dramaga Bogor 16680
no.HP 08567830318
: [email protected]
: 2 Orang
: Ir. Harton Arfah, M. Si
: 131953484
: Jl. Belimbing 5 blok B-17 no 65,
Taman Pagelaran, Ciomas, Bogor
: (0251) 8628755 / 08128061555
Bogor, 22 Maret 2009
Menyetujui,
Kepala Departemen
Budidaya Perairan
Dr. Odang Carman
NIP. 131 578 847
Wakil Rektor
Bidang Akademik dan Kemahasiswaan,
Prof. Dr. Ir. H. Yonny Koesmaryono
NIP. 131 473 999
Ketua Pelaksana Kegiatan,
Rezi Hidayat
NRP. C14052808
Dosen Pembimbing,
Ir. Harton Arfah, M.Si
NIP. 131 953 484
AKUAKULTUR BERBASIS TROPHIC LEVEL: PEMANFAATAN
LIMBAH BUDIDAYA IKAN LELE Clarias sp. OLEH IKAN NILA
Oreochromis niloticus MELALUI PENAMBAHAN MOLASE
Rezi Hidayat, M. Fuadi, Darmawan Setia Budi
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor, Bogor
ABSTRAK
Akumulasi limbah perairan budidaya ikan merupakan faktor yang dapat
menyebabkan turunnya tingkat produksi terkait dengan kualitas air yang
memburuk. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu proses yang dapat menjadi solusi
dari permasalahan tersebut. Makalah ini mengangkat tentang pamanfaatan
limbah yang dihasilkan pada budidaya ikan lele (Clarias sp.) oleh ikan nila
(Oreochromis niloticus) melalui penambahan molase menggunakan konsep C/N
ratio. Beberapa parameter yang diamati yaitu tingkat kelangsungan hidup, laju
pertumbuhan spesifik, laju pertumbuhan harian, dan efisiensi pakan. Kegiatan
dilakukan dengan penyiapan wadah budidaya, penebaran ikan, pemberian pakan
dan molase, pengukuran kualitas air, sampling pertumbuhan, dan pemanenan.
Dari percobaan, dihasilkan tingkat kelangsungan hidup ikan lele dan ikan nila
yang dipelihara selama 46 hari masing-masing sebesar 94,625 % dan 98 %. Laju
pertumbuhan spesifik ikan lele dan ikan nila tertinggi masing-masing sebesar
7,16 % dan 3,79% terjadi pada minggu ke-4. Sedangkan laju pertumbuhan harian
ikan lele dan ikan nila tertinggi masing-masing sebesar 1,77 g/hari pada minggu
ke-6 dan 0.39 g/hari pada minggu ke-4. Efisiensi pakan ikan lele adalah sebesar
85,8 %.
Kata Kunci : ikan lele, ikan nila, molase, C/N ratio
PENDAHULUAN
Budidaya lele saat ini banyak dilakukan di kolam, baik kolam tanah,
kolam tembok atau kolam yang dindingnya tembok dan dasarnya tanah dengan
sistem intensif. Intensifikasi dicirikan dengan adanya peningkatan kepadatan ikan
dan pakan tambahan. Masalah yang kemudian selalu muncul dalam budidaya
secara intensif yaitu terjadinya penurunan kualitas air pada media budidaya yang
disebabkan meningkatnya produk metabolit. Pada budidaya dengan sistem air
yang tergenang, peningkatan kepadatan ikan dan pakan tambahan merupakan
masalah yang membatasi produksi budidaya. Hal ini dapat menyebabkan
menurunya pertumbuhan ikan (Helper dan Pruginin, 1990)
Meningkatnya hasil buangan metabolisme ikan akhirnya dapat
meningkatkan amoniak dalam air. Amoniak merupakan salah satu bentuk Nanorganik yang berbahaya bagi ikan. Menurut Boyd (1990), keberadaan amoniak
mempengaruhi pertumbuhan karena mereduksi masukan oksigen akibat rusaknya
insang, menambah energi untuk detoksifikasi, menggangu osmeregulasi dan
mengakibatkan kerusakan fisik pada jaringan. Oleh sebab itu, pada budidaya yang
tidak dilakukan pergantian air, perlu dilakukan upaya untuk menangani limbah
nitrogen ini, sehingga limbah tidak menjadi toksik bahkan bermanfaat dan
menghasilkan sistem dan teknolgi budidaya yang lebih efisien, terutama dalam
menciptakan sistem yang bersifat zero waste.
Rasio C/N merupakan salah satu cara untuk perbaikan sistem budidaya
intensif dan penerapan teknologi yang murah serta aplikatif dalam pengelolaan
limbah budidaya. Penerapan teknologi pada rasio C/N berupa bioteknologi karena
mengaktifkan kerja mikroba heteretrof. Hubungan rasio C/N dengan mekanisme
kerja bakteri yaitu bakteri memperoleh makanan melalui substrat karbon dan
nitrogen dengan perbandingan tertentu. Dengan demikian, bakteri dapat bekerja
dengan optimal untuk mengubah N-anorganik yang toksik menjadi N-anorganik
yang tidak toksik sehingga kualitas air dapat dipertahankan dan biomas bakteri
berguna sebagai sumber protein bagi ikan. Mekanisme inilah yang berperan pada
peningkatan efisiensi pakan. Secara umum, rasio C/N yang dikehendaki dari suatu
sistem perairan adalah rasio C/N lebih dari 15 (Avnimelech et al., 1994).
Penerapan sistem ini dilakukan dengan memelihara organisme yang
memiliki trophic level lebih rendah dari ikan yang dibudidayakan. Dalam hal ini,
ikan nila yang diyakini termasuk organisme pemakan bakteri dan plankton yang
berasal dari limbah budidaya. Sumber nutrien utama bagi ikan bertropik level
rendah dalam sistem ini adalah green alga dan mikroba atau bakteri. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan untuk mendukung keberadaan bakteri sebagai nutrien
alternatif dalam sistem ini yaitu penambahan karbon dalam media budidaya.
Molase adalah salah satu sumber karbon yang dapat digunakan untuk
mempercepat penurunan konsentarasi N-anorganik di dalam air. Molase
mengandung senyawa nitrogen, trace element dan kandungan gula yang cukup
tinggi terutama sukrosa sekitar 34% dan kandungan total karbon sekitar 37%.
Molase berbentuk cair bewarna coklat seperti kecap dengan aroma yang khas.
(Suastuti,1998 dalam Najjamuddin, 2008). Oleh karena itu, penambahan molase
ke dalam media budidaya diharapkan mampu menurunkan amoniak dan
peningkatan pertumbuhan ikan sehingga dapat meningkatkan produksi.
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 23 Oktober 2008 hingga 25
Nopember 2008, bertempat di Laboratorium Lapangan Departemen Budidaya
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan adalah waring, patok bambu, tali, ember,
penggaris, timbangan, seser, pH meter, DO meter, tabung erlenmeyer. Bahan yang
digunakan adalah benih ikan lele dengan bobot rata-rata 5 gram (rata-rata panjang
3 inch per ekor) sebanyak 1600 ekor, benih ikan nila dengan bobot rata-rata 6
gram per ekor sebanyak 600 ekor, molase, kotoran puyuh, TSP, kapur dan pakan
ikan.
Metode Kerja
Pemasangan Jaring
Waring yang digunakan adalah waring yang berukuran 5 m x 5 m x 2 m.
Waring dipasang di bagian tengah kolam dengan cara diikatkan pada patok yang
dipasang pada empat sisi kolam. Ikatan tali pada patok harus dipastikan kuat agar
tali tidak mudah terlepas.
Penebaran Ikan
Sebelum ikan di tebar, kolam diberi kapur dengan dosis 100 g/m2 yang
bertujuan untuk meningkatkan pH di tanah dan dilakukan pemberian pupuk urea
15 g/m2, TSP 10 g/m2, pupuk kandang berupa kotoran puyuh 500 g/m2.
Pemberian pupuk bertujuan untuk menumbuhkan pakan alami. Setelah itu benih
di tebar. Benih ikan yang di tebar pertama kali adalah ikan lele di dalam waring
setelah itu ikan nila di luar waring. Sebelum ditebar ikan harus diaklimatisasi agar
ikan tidak mengalami stres karena perbedaan kondisi lingkungan diperairan.
Pemberian Pakan dan Molase
Pemberian pakan diberikan sebanyak tiga kali sehari yaitu pada pagi hari,
siang hari dan sore hari. Pemberian pakan didasarkan pada nilai FR (feeding rate)
dari biomassa ikan lele tiap minggunya. Nilai FR yang digunakan selama
pemeliharaan berturut-turut pada adalah sebesar 12%, 10%, 7%, 6%, 6%, dan 5%.
Sedangkan pemberian molase diberikan sekali sehari dengan cara disebar secara
merata pada media pemeliharaan ikan nila. Molase yang diberikan sebanyak 0,44
dari jumlah pakan harian, berdasarkan perhitungan C/N ratio (lampiran).
Pengukuran Kualitas Air dan Penghitungan Plankton
Kualitas air yang dihitung adalah suhu, DO, pH, alkalinitas, kesadahan dan
kadar amoniak. Penghitungan suhu, DO dan PH menggunakan DO meter.
Penghitungan plankton bertujuan untuk mengetahui kepadatan plankton
dalam perairan. Plankton diambil menggunakan plankton net. Kemudian,
plankton ditempatkan pada wadah dan diambil untuk dihitung jumlahnya di atas
haemocytometer.
Sampling Pertumbuhan
Pengukuran pertumbuhan ikan meliputi pengukuran panjang dan bobot.
Pengukuran panjang dan bobot ikan dilakukan seminggu sekali dengan sampel
sebanyak 30 ekor ikan. Hasil pengukuran bobot ikan digunakan dalam estimasi
banyaknya pakan yang akan diberikan (FR).
Pemanenan
Pemanenan dilakukan dengan cara memindahkan wadah pemeliharaan lele
ke pinggir kolam. Ikan diambil dengan menggunakan jaring kemudian
dipindahkan ke dalam tandon kemudian sortir untuk dijual.
Analisis Data
Data dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan berbagai parameter
yaitu:
- Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate/SR)
Untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup (survival rate/SR)
digunakan Persamaan:
SR =
Nt
× 100 %
No
Keterangan: SR
: Kelangsungan hidup/Survival Rate (%)
Nt
: Jumlah benih ikan akhir/panen (ekor)
No
: Jumlah benih ikan awaL/penebaran (ekor).
(Sumber: Effendi, 2004)
- Laju Pertumbuhan Spesifik (Spesific Growth Rate)
Untuk mengetahui laju pertumbuhan spesifik digunakan persamaan :
⎡ Wt
⎤
− 1⎥ x100%
SGR = ⎢t
⎣ Wo ⎦
Keterangan : SGR
: Laju pertumbuhan spesifik (Spesific Growth Rate)
(%/hari)
Wt
: Bobot rata-rata ikan pada saat akhir (gram)
W0
: Bobot rata-rata ikan pada saat awal (gram)
t
: Masa pemeliharaan (hari)
(Sumber: Effendi, 2004)
- Laju Pertumbuhan Harian
Untuk mengetahui laju pertumbuhan harian digunakan persamaan :
Wt − Wo
GR =
t
Ket : GR
: Laju pertumbuhan harian (Growth Rate)
Wt
: Bobot ikan saat pengukuran t waktu
Wo
: Bobot ikan saat pengukuran di awal
t
: Waktu pengukuran saat sampling
(Sumber: Effendi, 2004)
- Efisiensi Pakan
Rumus dari Efisiensi Pakan (EP) adalah sebagai berikut:
Pertambahan Bobot Tubuh (g/Kg)
EP =
Banyak Pakan yang Dimakan (g/Kg)
(Sumber: Lovell, 1989)
HASIL DAN PEMBAHASAN
101
100
99
SR ikan
lele
SR (%)
98
97
96
SR ikan
nila
95
94
93
92
91
0
1
2
3
4
5
6
Waktu Sampling (minggu)
(a)
8
7
SGR ikan
lele
SGR(%)
5
4
SGR ikan
nila
3
2
1
0
GR(gr/ hari)
6
2
1.8
1.6
1.4
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
GR ikan lele
GR ikan nila
1
1
2
3
4
5
6
2
3
4
5
6
waktu sampling (minggu/ per 7 hari)
waktu sampling (minggu)
(b)
(c)
Gambar 1. (a) Grafik Tingkat Kelangsungan (SR), (b) Grafik Laju Pertumbuhan
Spesifik, dan (c) Grafik Laju Pertumbuhan Harian Ikan Lele dan ikan
Nila
Budidaya ikan berbasis pellet atau yang lebih dikenal dengan budidaya
ikan intensif merupakan kegiatan usaha yang efisien secara mikro tetapi inefisien
secara makro, terutama apabila ditinjau dari segi dampaknya terhadap lingkungan.
Sistem budidaya seperti ini akan menghasilkan total beban limbah pakan yang
lebih banyak daripada yang teretensi menjadi daging ikan. Limbah budidaya yang
dimaksud merupakan akumulasi dari residu organik yang berasal dari pakan yang
tidak termakan, ekskresi amoniak, feces dan partikel-partikel pakan (Avnimelech
et al., 1994). Hal tersebut akan berdampak pada rendahnya efisiensi pakan yang
dihasilkan. Oleh karena itu, kelimpahan bakteri sebagai single cell protein perlu
ditingkatkan agar dapat mengurangi limbah N dengan cara memanipulasi
lingkungan melalui C/N rasio. Selanjutnya, ikan filter feeder seperti ikan nila
diharapkan mampu memanfaatkan single cell protein sebagai sumber pakan
alternatif sehingga efisinsi pakan untuk usaha budidaya bisa dioptimalkan.
Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa kelangsungan hidup ikan lele dan
ikan nila yang dipelihara selama 46 hari masing-masing sebesar 94,625 % dan 98
%. Dari setiap sampling terjadi penurunan jumlah ikan. Penurunan drastis terjadi
pada minggu pertama untuk ikan nila sedangkan pada ikan lele terjadi penurunan
di minggu kedua. Hal ini disebabkan terjadinya stres pada ikan yang selanjutnya
ikan menjadi rentan terhadap penyakit. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Sulistyowati (2002) dalam Fitriah (2004), bahwa stres dianggap sebagai faktor
utama penyebab penyakit karena stres akan mengganggu mekanisme sistem imun
yaitu mekanisme fisiologis ikan untuk bertahan dalam kondisi lingkungan yang
menguntungkan, sehingga dapat mengurangi resistensi ikan. Di samping itu,
penurunan SR pada ikan lele disebabkan terjadinya kanibalisme.
Laju pertumbuhan spesifik (SGR) pada ikan lele dan ikan nila berfluktuatif
pada setiap minggunya. SGR ikan lele pada awal pemeliharaan (minggu ke-1)
sebesar 2 % dengan nilai tertinggi pada minggu ke-4 sebesar 7,16 % dan nilai
terendah pada minggu ke-5 sebesar 6,76 %. SGR ikan nila pada awal
pemeliharaan (minggu ke-1) sebesar 2,27 % dengan nilai tertinggi pada minggu
ke-4 sebesar 3,79% dan nilai terendah pada minggu ke-3 sebesar 1,18%. Ikan lele
pada minggu ke-4 telah mencapai titik Critical Standing Crop (CSC) dimana
ketika pemeliharaan dilanjutkan pertumbuhan akan mengalami penurunan. Hal ini
dikarenakan pakan yang diberikan telah digunakan untuk pertahanan hidupnya
(maintenance) bukan lagi untuk pertumbuhan. Sedangkan ikan nila mengalami
fluktuatif nilai SGR karena diduga jumlah molase yang diberikan tidak tersebar
secara merata sehingga nitrogen yang berasal dari amoniak limbah ikan lele tidak
semuanya terikat oleh karbon dari molase. Ketidaksempurnaan karbon dalam
mengikat nitrogen tersebut akan mempengaruhi kerja bakteri heterotrof di media
pemeliharaan, dimana sebagian besar bakteri heterotrof memanfaatkan karbon
yang berasal dari substrat molase.
Laju pertumbuhan harian (GR) pada ikan lele terus meningkat dan pada
ikan nila berfluktuatif pada setiap minggunya. GR ikan lele pada awal
pemeliharaan (minggu ke-1) sebesar 0,09g/hari dengan nilai tertinggi pada
minggu ke-6 sebesar 1,77 g/hari. GR ikan nila pada awal pemeliharaan (minggu
ke-1) sebesar 0,14 g/hari dengan nilai tertinggi pada minggu ke-4 sebesar
0.39g/hari dan nilai terendah pada minggu ke-3 sebesar 0,08 g/hari. Laju
pertumbuhan harian (GR) ikan lele meningkat karena pakan yang diberikan
memenuhi pertumbuhan yang optimal, sehingga GR selalu meningkat setiap
minggunya. Sedangkan pada ikan nila tidak dilakukan pemberian pakan namun
tetap terjadi pertumbuhan. Faktor utama penyebab pertumbuhan adalah
ketersediaan bakteri dan tingkat konsumsi ikan nila. Ketersediaan bakteri ini tidak
terlepas dari penambahan molase.
Nilai efisiensi pemberian pakan menunjukkan jumlah pakan yang
menghasilkan energi dan dapat dimanfaatkan oleh ikan untuk kebutuhan
kelangsungan hidup atau maintenance dan sisanya untuk pertumbuhan (Watanabe,
2002). Tingkat efisiensi pakan ikan lele sebesar 85,8% sedangkan tingkat efisiensi
pakan untuk ikan nila tidak ada karena menggunakan pakan alami dan tidak diberi
pakan tambahan dari luar. Hal ini diduga adanya peranan tambahan dari mikroba
yang tumbuh akibat penambahan molase ke dalam media pemeliharaan seperti
yang dinyatakan oleh Avnimelech (1994), bahwa bakteri dan mikroorganisme
lainnya memanfaatkan karbohidrat sebagai pakan untuk menghasilkan energi dan
sumber karbon dan bersama dengan N di air memproduksi protein sel baru.
Sehingga adanya penambahan molase ke dalam media pemeliharaan
menyebabkan tumbuhnya pakan alami bagi ikan nila dan ikan lele.
Tingkat efisiensi pakan berhubungan dengan feed convertion ratio (FCR)
dimana saat tingkat efisiensi pakan tinggi, FCR yang dihasilkan rendah.
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh data FCR ikan lele sebesar 1,17. Hal ini
menunjukkan bahwa pakan yang diberikan dimanfaatkan oleh ikan lele secara
optimal untuk mendukung pertumbuhan terutama dalam produksi daging. Selain
itu, faktor kualitas air yang mendukung (khususnya amonia dan nitrit) juga sangat
berpengaruh terhadap FCR yang diperoleh. Kualitas air yang mendukung ini
disebabkan adanya penambahan molase sehingga amonia yang dihasilkan ikan
lele akan diikat oleh karbon dari molase dengan bantuan bakteri heterotrof.
Secara umum kondisi kualitas air yang meliputi parameter suhu,
kandungan oksigen terlarut, pH, amonia, alkalinitas dan kesadahan masih berada
pada kisaran normal selama masa pemeliharaan dan masih mendukung terjadinya
pertumbuhan. Hal ini disebabkan karena kerja dari bakteri heterotrof yang
berperan penting untuk menjaga keseimbangan kualitas air (Sugita et al, 1985
dalam Najamuddin, 2008).
KESIMPULAN
Ikan nila dalam sistem budidaya berbasis trophic level dapat
memanfaatkan limbah budidaya ikan lele melalui penambahan molase pada media
pemeliharaan. Hasil yang diperoleh yaitu tingkat kelangsungan hidup, efisiensi
pakan, dan FCR pada ikan lele masing-masing sebesar 94,625 %, 85,8 %, dan
1,17. Sedangkan pada ikan nila tingkat kelangsungan hidup sebesar 98 %.
DAFTAR PUSTAKA
Avnimiech, Y., M. Kochva and Shaker. 1994. Development of Controlled Intensif
Aquaculture Systems with A Limited Water Exchange and Adjusted
Carbon to Nitrogen Ratio. Bamidgeh. 46 (3): 1999-131.
Boyd, C. E. 1990. Water Quality Management in Aquaculture and Fisheries
Science. Elsevier Scientific Publishing Company Amsterdam. 3125p.
Effendi, Irzal. 2004. Dasar-Dasar Akuakultur. Jakarta: Penebar Swadaya.
Fitriah, Husnul. 2004. Pengaruh Penambahan Dosis Karbon Berbeda pada Media
Pemeliharaan terhadap Produksi Benih Lele Dumbo (Clarias sp.)
Skripsi. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Hepher, B. And Prugnin. Y. 1990. Nutrition of Pond Fishes. Cambrige. University
Press. 388 pp.
Lovell, T. 1989. Nutrition and Feeding of Fish. An A VI Book. Published by Van
Nonstrand Reinhold. New York. 260pp.
Najamuddin, Musyawarah. 2008. Pengaruh Penambahan Dosis Karbon yang
Berbeda terhadap Produksi Benih Ikan Patin (Pangasius sp.) pada
Sistem Pendederan Intensif. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Watanabe, T. 2002. Effect of dietary protein levels and feeding period before
spawning on chemical components of eggs produced by red sea bream
broodstock. Bull. Jpn. Soc. Sci. Fish. 51 (9) : 1501-1509.
Lampiran-Lampiran
(a)
(b)
Gambar 2. (a). Proses Pemanenan dan (b) Ikan Lele Hasil Panen
Tabel 1. Nilai SR, GR, SGR, Efisiensi Pakan dan FCR dari ikan lele dan ikan nila
Sampli
ng ke-
SR lele
(%)
SR nila
(%)
0
1
2
3
4
5
6
100
98.8125
95.5
95.3125
95.125
94.75
94.625
100
98.125
98.125
98.125
98.125
98.125
98
GR
lele
(g/hari
)
0.09
0.54
0.75
1.06
1.27
1.77
Tabel 2. Kelimpahan Fitoplankton
Sampling
5
6
Jumlah
1,03 x 1016 individu
1,06 x 1016 individu
GR
nila
(g/hari
)
0.14
0.21
0.08
0.39
0.28
0.30
SGR
lele
(%)
SGR
nila
(%)
Efisiensi
Pakan
ikan lele
FCR
ikan
lele
2.00
6.80
7.00
7.16
6.76
6.80
2.27
2.94
1.18
3.79
2.78
2.70
85,8%
1,17
Tabel 3. Data Kualitas Air
pH
6.39
6.39
6.39
7.7
6.98
6.27
6.12
Suhu
27.1
27.1
27.5
30.4
29.6
27.65
29
DO (mg/l)
5.09
5.09
1.4
4.25
5.34
3.35
4.85
Perhitungan C/N ratio:
- Estimasi FCR pakan = 1,4
- Pakan pellet = 28% protein
-
Nitrit
0.053
0.053
0.047
0.816
0.061
0.054
0.054
Amonia
0.08
0.08
0.12
0.066
0.617
0.029
0.029
Alkalinitas
202.582
202.582
55.72
169.15
212.532
133.33
99.5
EP = 1/1,4 = 0,71 = 71%
N dalam protein = 6,25
N dalam pellet = 0,28/6,25 = 0,0448
Mollase mengandung 37% C
C/N bakteri = 5/1
Daya konversi C oleh bakteri = 40%
M = Pt x B x Np x C/N bakteri x 1/dc x 1/% C mollase
Keterangan:
M = jumlah mollase yang dibutuhkan (gr)
Pt = protein pakan pellet yang terbuang (%)
B = jumlah pakan harian (gr)
Np = Nitrogen dalam pellet (%)
dc = daya konversi karbon oleh bakteri (%)
M = Pt x B x Np x C/N bakteri x 1/dc x 1/% C mollase
= (1-0,71) x B x 0,045 x 5 x 1/0,4 x 1/0,37
= 0,44 B
Jadi, mollase diberikan sebanyak 0,44 kali dari jumlah pakan harian.
PEMBERIAN TEPUNG LIMBAH UDANG YANG DIFERMENTASI
DALAM RANSUM PAKAN BUATAN TERHADAP LAJU
PERTUMBUHAN, RASIO KONVERSI PAKAN
DAN KELANGSUNGAN HIDUP BENIH
IKAN NILA (Oreochromis niloticus)
Muhammad Hadi, Agustono dan Yudi Cahyoko, 2009. 14 hal.
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian
tepung limbah udang yang difermentasi terhadap pertumbuhan ikan nila
(Oreochromis niloicus). Perlakuan pada penelitian ini adalah pemberian tepung
limbah udang yang difermentasi dalam pakan buatan yaitu 0%, 2,5%, 5%, 7,5%,
10%. Tiap perlakuan diulang sebanyak 4 kali. Komposisi pakan di susun secara
isoprotein. Bobot ikan rata-rata 6,1 - 6,8 g. Ikan dipelihara dengan kepadatan 3
ekor per 20 liter air dan ikan dipelihara selama 40 hari.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL). Peubah yang diamati adalah pertambahan bobot tubuh, rasio konversi
pakan dan kelangsungan hidup. Analisis data menggunakan analisis ragam
Analysis of Variance (ANOVA) untuk mempengaruhi pengaruh perlakuan dan
apabila terdapat perbedaan, maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan tertinggi dicapai
pada pakan yang mengandung tepung limbah udang yang difermentasi sebesar
10%. Rasio konversi pakan terbaik dicapai pada perlakuan yang mengandung
tepung limbah udang yang difermentasi sebesar 10%.
Kata kunci : Ikan Nila, Tepung limbah udang yang difermentasi, laju
pertumbuhan
The Given Fermentation the Prawn Waste Flour in Artificial feed on
Growth, feed Convertion Ratio and Survival Rate of Black
Nile Tilapia (Oreochromis niloticus).
Muhammad Hadi, Agustono dan Yudi Cahyoko, 2009. 14 P.
Abstract
The aim of this research was to find out optimum percentage of given
fermentation the prawn waste flour in artificial feed on growth of black nile
tilapia. The treatment of this research was giving fermentation the prawn waste
flour in artificial feed i.e. 0%, 2,5%, 5%, 7,5%, 10%. Each treatment was repeated
4 times. Feed compositon was made of isoprotein. Fishes weight were about 6.1 –
6.8 g. Fishes were cultured with stocking rate 3 fish per 20 liter water and the
fishes were reared for 40 days.
Feed amount that consumed by fishes was measured every day to calculate
feed conversion ratio. The calculation of fishes amount was done in beginning and
end of research to count survival rate of fishes. Water quality was measured on
beginning, middle and end of research. The design of this research was
Completely Randomized Design. Data analysis used Analysis of Variance
(ANOVA) to know the effect of the treatment and that difference among the
treatment used Duncan’s Multiple Range Test (DMRT).
The result of the research showed that the highest growrth rate were attained
on feed containing 10% of fermented prawn waste flour. The best Feed Convertio
Ratio were attained on feed containing 10% of fermented prawn waste flour.
Key word : Nile Tilapia, Fermentation the Prawn Waste Flour, Growth
Pendahuluan
Latar Belakang
Budidaya ikan nila (Oreochromis niloticus) mempunyai prospek yang bagus
untuk dikembangkan di Indonesia, karena budidayanya dapat dilakukan di tambak
dan Karamba Jaring Apung (KJA) di perairan umum. Ikan nila (Oreochromis
nilolicus) mudah berkembang biak, pertumbuhannya cepat, ukuran badan relatif
besar, tahan terhadap penyakit, mudah beradaptasi dengan lingkungan, harganya
relatif murah dan mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi sebagai sumber protein
hewani. Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan jenis ikan omnivore, artinya
dapat memakan tumbuhan maupun hewan (Wardoyo, 2005). Kendala yang
dihadapi pembudidaya ikan saat ini adalah tingginya harga pakan komersil yang
mengakibatkan keuntungan yang diperoleh pembudidaya ikan rendah.
Penyusunan ransum ikan sebaiknya digunakan protein yang berasal dari
sumber nabati dan hewani secara bersama-sama untuk mencapai keseimbangan
nutrisi dengan harga relatif murah (Mudjiman, 2002). Pakan yang diberikan pada
ikan hendaknya bermutu baik sesuai dengan kebutuhan ikan, tersedia setiap saat,
dapat menjamin kesehatan dan harganya murah (Amri, 2006). Salah satu bahan
pakan alternatif sebagai sumber protein hewani adalah limbah udang yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pakan ikan.
Widjaja (1993) dalam Poultry Indonesia (2007) menyatakan salah satu
pilihan sumber protein adalah tepung limbah udang. Tepung limbah udang
merupakan limbah industri pengolahan udang yang terdiri dari kepala dan kulit
udang. Hasil analisis berdasarkan bahan kering bahwa tepung limbah udang
mengandung 45,29% protein kasar, 17,59% serat kasar, 6,62% lemak, 18,65%
abu, 13,16 BETN (Poultry Indonesia, 2007). Tepung limbah udang yang
digunakan dalam ransum pakan buatan hanya sebesar 10% dan bila dipakai
sebagai pengganti tepung ikan, maka tepung limbah udang mempunyai
kelemahan, yaitu serat kasar tinggi dan mempunyai khitin.
Berdasarkan hasil analisis ini terlihat bahwa kandungan protein kasar dari
tepung limbah udang cukup baik dijadikan sebagai bahan pakan ikan. Tingginya
kandungan
serat
kasar
tepung limbah udang
menjadi kendala
dalam
penggunaannya. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengolahan tepung limbah
udang dengan cara fermentasi. Al-Arif dan Setyono (2005) menyatakan
fermentasi bisa digunakan untuk mengolah bahan pakan yang sulit dicerna
menjadi lebih mudah dicerna.
Perumusan Masalah
Apakah pemberian tepung limbah udang yang difermentasi dalam ransum
pakan buatan akan memberikan pertumbuhan yang berbeda pada ikan nila
(Oreochromis niloicus)?
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian
tepung limbah udang yang difermentasi terhadap pertumbuhan ikan nila
(Oreochromis niloicus).
Kegunaan
Kegunaan penelitian ini adalah memberikan informasi ilmiah bagi ilmuwan,
mahasiswa dan para pembudidaya tentang kegunaan tepung limbah udang yang
difermentasi terhadap pertumbuhan ikan nila.
Metodologi Penelitian
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan selama 18 Pebruari 2009– 29 Maret 2009 di
Laboratorium Pendidikan Perikanan Fakultas Perikanan dan Kelautan dan
pembuatan pakan dilakukan di Laboratorium Makanan Ternak Fakultas
Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah bak plastik dengan tinggi 20
cm dan berdiameter 40 cm sebanyak 20 buah, selang aerasi dan batu aerasi, selang
sifon, timbangan, ayakan, penggiling tepung, seser, panci pengukus, seser,
timbangan dan penggaris, kertas lakmus, termometer, beker glass, ammonia testkit, botol winkler, pipet, labu erlenmeyer (volume 250-300 ml) serta oven.
Bahan Penelitian
Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Ikan uji
yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih ikan nila (Oreochromis
niloticus) dengan berat rata – rata 6 gram sebanyak seratus ekor yang diperoleh
dari petani ikan Desa Jambangan, Surabaya, tepung limbah udang yang
difermentasi, tepung ikan, tepung jagung, tepung kedelai, mineral mix, vitamin
mix, tepung terigu, tetes tebu dan tepung bekicot.
Metode Penelitian
Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metoda eksperimen, menggunakan
Rancangan acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan
tersebut adalah perlakuan A adalah ransum mengandung 0% tepung limbah udang
difermentasi. Perlakuan B adalah ransum mengandung 2,5% tepung limbah udang
difermentasi. Pelakuan C adalah ransum mengandung 5% tepung limbah udang
difermentasi. Perlakuan D adalah ransum mengandung 7,5% tepung limbah udang
difermentasi. Perlakuan E adalah ransum mengandung 10% tepung limbah udang
difermentasi.
Prosedur Kerja
Pembuatan Pakan
Bahan pakan yang akan digunakan, dianalisis proksimat untuk mengetahui
kandungan nutrisinya, Kemudian, ditentukan komposisi pakan antar perlakuan
yang dihitung dengan metode uji coba. Pakan buatan kering sebelum digunakan
dianalisis proksimat untuk mengetahui nilai nutrisinya. Pakan berupa pellet
ukurannya disesuaikan dengan bukaan mulut ikan dengan cara ditumbuk terlebih
dahulu.
Persiapan Ikan Uji.
Ikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan nila (Oreochromis
niloticus) yang berbobot rata-rata 6 gram dengan panjang ± 6-7 cm. Ikan nila yang
digunakan dalam penelitian ini adalah ikan yang sehat, tidak terserang penyakit
dan homogen. Setiap bak diisi 3 benih ikan nila yang diadaptasikan terlebih
dahulu.
Persiapan Bak dan Air Media Pemeliharaan.
Bak plastik yang digunakan berukuran tinggi 20 cm dan berdiameter 40 cm.
Bak yang digunakan sebelumnya dibersihkan dan disterilisasi terlebih dahulu agar
terhindar dari penyakit. Sebelum digunakan, bak penelitian dicuci menggunakan
sabun detergen dan dibilas sampai bersih selanjutnya bak dikeringkan.
Media pemeliharaan adalah air tawar yang sebelumnya diaerasi selama
satu hari. Air tersebut ditempatkan di dalam bak plastik berbentuk silinder yang
berjumlah 20 buah dan dilengkapi dengan aerator. Masing-masing bak diisi satu
ekor / 6,5 liter (Arie. 2007). Suhu air media pemeliharaan dipertahankan berkisar
antara 25-27oC dan pH 6-8.
Pemeliharaan Benih Ikan Nila
Selama pemeliharaan air diganti setiap hari sebanyak 50 % agar kualitas air
tetap baik. Penyifonan kotoran sisa pakan dan feses dilakukan setiap hari. Setiap
sepuluh hari sekali air diganti total bersamaan dengan waktu penimbangan ikan.
Parameter kualitas air yang diukur selama penelitian meliputi oksigen, suhu, pH
dan ammonia yang diukur pada awal, pertengahan dan akhir penelitian.
Cara Penimbangan Ikan
Sebelum ditimbang ikan dipuasakan dahulu selama satu hari, setelah itu
ikan ditimbang dengan cara mengambil wadah kecil yang berbentuk tabung yang
mempunyai tinggi 9 cm dan diameter 10 cm yang telah diberi air tawar dan
ditimbang terlebih dahulu, setelah itu baru ikan dimasukan ke dalam wadah dan
ditimbang lagi. Hasil berat ikan yang didapat yaitu berat timbangan akhir
dikurangi dengan berat timbangan awal.
Parameter Penelitian
Parameter uji utama pada penelitian ini adalah pertumbuhan ikan nila, rasio
konversi pakan dan kelangsungan hidup ikan nila. Pertumbuhan yang diukur
adalah berat ikan. Penghitungan laju pertumbuhan harian dirumuskan oleh
Huismann (1976) sebagai berikut :
Wt = Wo (1 + 0,01 α)t
Keterangan :
Wt
Wo
α
t
= Bobot rata-rata individu ikan pada waktu t (g)
= Bobot rata-rata individu ikan pada waktu t = 0 (g)
= Laju pertumbuhan harian individu (%)
= Waktu (hari)
Rasio konversi pakan dihitung berdasarkan pendapat Djarijah (1995)
sebagai berikut :
FCR =
Keterangan :
F______
(Wt + D) – W0
FCR
F
Wt
Wo
D
= Rasio konversi pakan
= Jumlah pakan yang dikonsumsi (g)
= Berat akhir penelitian (g)
= Berat awal penelitian (g)
= Bobot ikan yang mati selama penelitian (g)
Kelangsungan hidup dapat dirumuskan (Mudjiman, 2002) sebagai berikut:
SR = Nt x 100%
No
Keterangan: SR = Kelangsungan hidup (%)
Nt = Jumlah ikan yang hidup pada akhir penelitian (ekor)
No = Jumlah ikan yang hidup pada awal penelitian (ekor)
Parameter uji penunjang pada penelitian ini adalah kualitas air yaitu: suhu,
derajat keasaman (pH), oksigen terlarut dan ammonia (NH3).
Analisis Data
Data dianalisis dengan menggunakan ANOVA (Analysis of Variance) untuk
mengetahui pengaruh perlakuan. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar
perlakuan dilakukan Uji Jarak Berganda Duncan dengan derajat kepercayaan
95% (Rochiman, 1989).
Hasil dan Pembahasan
Hasil
Laju Pertumbuhan Harian
Data biomassa dan bobot rata – rata ikan nila terdapat pada Lampiran 1.
Laju pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Laju Pertumbuhan harian rata – rata (%) ikan nila pada setiap perlakuan
selama penelitian 40 hari.
Perlakuan
Laju Pertumbuhan Harian ± SD
Transformasi √Y ± SD
A
0,56 ± 0,02
0,75d ± 0,01
B
0,66 ± 0,01
0,82c± 0,01
C
0,71 ± 0,04
0,84 bc ± 0,03
D
0,75 ± 0,03
0,87b ± 0,02
E
1,05 ± 0,04
1,03a ± 0,02
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan Perbedaan (P<0.05%)
Data pada tabel 1 menunjukkan bahwa bobot ikan tertinggi dicapai pada
pakan yang mengandung tepung limbah udang yang difermentasi sebesar 10%
dan berturut-turut diikuti oleh pakan yang mengandung tepung limbah udang yang
difermentasi 7,5%, 5%, 2,5% dan 0%. Rata-rata pertumbuhan semakin meningkat
dengan bertambahnya waktu pemeliharaan. Laju pertumbuhan tertinggi didapat
pada perlakuan E (1,05%) dan laju pertumbuhan terendah didapat pada perlakuan
A (0,56%).
Rasio Konversi Pakan
Rata-rata rasio konversi pakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel
2.
Tabel 2. Rasio Konversi Pakan rata – rata ikan nila pada setiap perlakuan
selama penelitian 40 hari
.
Perlakuan
Rasio konversi pakan ± SD
A
8,46 a ± 0,29
B
7,63b± 0,52
C
6,84 c ± 0,46
D
6,56 c ± 0,54
E
4,53d ± 0,11
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan Perbedaan (P<0.05%)
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perbedaan persentase tepung limbah
udang yang difermentasi dan diberikan dalam pakan sebesar 0%, 2,5%, 5%, 7,5%
dan 10% menghasilkan rasio konversi pakan yang berbeda (P<0,05). Rasio
konversi pakan tertinggi didapat pada perlakuan A (8,46) dan rasio konversi
pakan terendah pada perlakuan E (4,53). Semakin tinggi rasio konversi pakan
menunjukkan bahwa pakan yang dikonsumsi memiliki kualitas kurang bagus dan
efisiensi pakan jelek.
Kelangsungan Hidup
Data kelangsungan hidup dapat dilihat pada Tabel 3. Data kelangsungan
hidup selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil uji statistik (Lampiran 8)
menunjukkan bahwa persentase tepung limbah udang yang difermentasi dalam
pakan sebesar 0%, 2,5%, 5%, 7,5% dan 10% menghasilkan kelangsungan hidup
yang sama (P>0.05).
Tabel 3. Kelangsungan hidup rata – rata (%) ikan nila pada setiap perlakuan
selama penelitian 40 hari
Perlakuan
Kelangsungan Hidup ± SD
Transformasi arcsin√Y ± SD
A
67 ± 0
54.74 ± 0
B
75 ± 16,5
63.1 ± 16,72
C
67 ± 0
54.74 ± 0
D
67 ± 0
54.74a ± 0
E
67 ± 0
54.74 ± 0
a
a
a
a
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan Perbedaan (P>0.05%)
Kualitas Air
Data nilai kisaran kualitas air selama penelitian selama 40 hari dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4. Nilai kisaran kualitas air selama penelitian.
Parameter Kualitas Air
Suhu
Nilai Kisaran
27°– 28° C
pH
7 – 7,5
Oksigen Terlarut
Ammonia
5 – 6 mg/L
0,006 – 0,02 mg/L
Pembahasan
Pertambahan bobot atau panjang tubuh pada waktu tertentu disebut
pertumbuhan mutlak (Effendi, 1997). Rata-rata pertumbuhan ikan pada penelitian
ini mengalami peningktan seiring dengan bertambahnya waktu pemeliharaan.
Laju pertumbuhan berkaitan erat dengan pertambahan bobot yang berasal dari
penggunaan protein, lemak, karbohidrat dari pakan yang dikonsumsi ikan
(Bardach et al., 1972). Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan
tertinggi didapat pada perlakuan pakan yang mengandung tepung limbah udang
yang difermentasi sebanyak 10%. Kualitas tepung ikan secara umum lebih baik
dari tepung limbah udang, namun tepung ikan menghasilkan laju pertumbuhan
yang rendah. Tepung ikan yang dipakai diduga mempunyai kualitas protein dan
komposisi asam amino rendah yang disebabkan oleh cara penyimpanan, cara
pembuatan maupun adanya subalan.
Peningkatan laju pertumbuhan ini diduga karena tepung limbah udang yang
difermentasi mengambil peranan asam amino yang dikandung oleh tepung ikan.
Protein dalam pakan yang diberikan dapat dicerna dengan baik oleh ikan serta
kandungan asam amino dalam pakan tersebut dapat menunjang dalam
pertumbuhan ikan nila.
Asam amino esesnsial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan adalah arginin,
lisin dan histidin. Arginin merupakan asam amino yang sangat diperlukan bagi
pertumbuhan optimal ikan muda. Di samping berperan dalam sintesia protein,
arginin juga berperan dalam biosintesis urea. Histidin merupakan asam amino
esensial bagi pertumbuhan larva dan anak-anak ikan. Histidin diperlukan untuk
menjaga keseimbangan nitrogen dalam tubuh.
Tacon (1986) dalam Haetami dkk. (2006) menjelaskan bahwa serat kasar
bukan merupakan zat gizi bagi benih ikan karena tidak dapat dicerna oleh benih
ikan. Toleransi serat kasar benih ikan nila hanya empat persen Sedangkan
menurut Mudjiman (1994), batasan serat yang terkandung dalam pakan ikan
adalah delapan persen. Serat kasar yang terkandung dalam limbah udang diduga
terdegradasi karena proses fermentasi. Fermentasi yang dilakukan oleh bakteri,
mengakibatkan perubahan kimia dari suatu senyawa yang bersifat kompleks
menjadi senyawa yang sederhana, sehingga dapat memberikan efek positif
(Haetami, 2006). Serat kasar yang terkandung dalam pakan perlakuan E masih
bisa ditolerir.
Rasio konversi pakan merupakan perbandingan antara jumlah pakan yang
dikonsumsi dengan pertambahan berat badan yang dihasilkan.
Rasio konversi pakan dalam penelitian ini secara statistik menunjukkan
perbedaan yang nyata. Rasio konversi pakan pada perlakuan E (10%) adalah 4,53,
sedangkan pada perlakuan A (0%) adalah 8,46. Semakin tinggi rasio konversi
pakan menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan semakin tidak efektif dan
efisien. Nilai konversi terbaik dicapai pada perlakuan E (10%) karena pakan dapat
menghasilkan pertumbuhan tertinggi.
Pakan yang mengandung 10% tepung limbah udang yang difermentasi
dapat menghasilkan pertumbuhan tertinggi, hal ini menunjukkan bahwa tepung
limbah udang yang difermentasi dapat dimanfaatkan oleh ikan nila. Pertumbuhan
tertinggi akan menghasilkan rasio konversi pakan yang lebih baik dibandingkan
perlakuan yang lain. Kandungan khitin yang terkandung dalm tepung limbah
udang yang difermentasi diduga dapat dipecah menjadi bentuk yang sederhana
sehingga dapat dicerna. Shiau dan Yu (1999) dalam Jatomea et al. (2002)
menjelaskan bahwa khitin mempunyai dampak yang kurang baik terhadap
pertumbuhan dan rasio konversi pakan pada ikan nila. Fox et al. (1999) dalam
Jatomea et al. (2002) menjelaskan bahwa dampak dari khitin dapat dihindari
dengan proses fermentasi yang dapat memecah khitin
Poesponegoro (1975) dalam Amri (2007) menyatakan hasil fermentasi
diantaranya akan mempunyai nilai gizi yang tinggi, yaitu mengubah bahan
makanan yang mengandung protein, lemak dan karbohidrat yang sulit dicerna
menjadi mudah dicerna dan menghasilkan aroma dan flavor yang khas.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perbedaan persentase pemberian
tepung limbah udang yang difermentasi dalam pakan menghasilkan kelangsungan
hidup yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Pada perlakuan E (10%) sebesar 67%
dan perlakuan A (0%) sebesar 67%. Kematian ikan yang terjadi selama penelitian
diduga adanya beberapa faktor diantaranya penangganan ikan yang kurang hatihati. Pengambilan dan penimbangan ikan, pemindahan ke bak-bak percobaan pada
awal penelitian yang kurang hati-hati dapat menyebabakan ikan berontak dan
terluka menyebabkan bakteri masuk sehingga dapat menimbulkan kematian.
Subagyo dkk (1998) menyatakan bahwa kemungkinan penyebab rendahnya
kelangsungan hidup ikan karena ikan dalam keadaan lemah sebagai akibat
seringnya dilakukan pengambilan contoh (sampling).
Selama penelitian, suhu air berkisar antara 27 o-28 oC. Pada kisaran suhu
tersebut, benih ikan nila dapat hidup dengan baik nafsu makannya tinggi. Santoso
(1996)
menyatakan
bahwa
suhu
optimum
untuk
pertumbuhan
dan
perkembangbiakan ikan nila sebesar 25-30 o C. Selama penelitian berlangsung pH
air berkisar antara 7-7,5. Lovell (1989) menyatakan bahwa ikan nila mampu
mentolelir pH air antara 5-11.
Oksigen
terlarut
dalam
media
penelitian
mempengaruhi
tingkat
kelangsungan hidup benih. Konsentrasi oksigen terlarut dalam penelitian ini
berkisar antara 5-6 mg/L. Boyd (1990) memberikan kisaran oksigen yang baik
bagi kehidupan ikan nila yaitu lebih dari 5 mg/L. Konsentrasi ammonia selama
penelitian berkisar antara 0,006-0,02 mg/L.
Simpulan dan Saran
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
a) Dosis tepung limbah udang yang difermentasi sebanyak 10 % yang
diberikan dalam ransum pakan buatan dapat meningkatkan laju
pertumbuhan pada pemeliharaan benih ikan nila.
b) Pemberian tepung limbah udang yang difermentasi pada ransum pakan
buatan memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap rasio konversi
pakan.
c) Pemberian tepung limbah udang yang difermentasi pada ransum pakan
buatan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap tingkat
kelangsungan hidup.
Saran
Perlu adanya penelitian lanjutan untuk menentukan batas pemakaian
tepung limbah udang yang difermentasi dalam pakan untuk mengetahui
pertumbuhan ikan nila.
Daftar Pustaka
Al-Arif, M. A dan H. Setyono. 2005. Pengolahan Bahan Pakan Ternak.
Universitas Airlangga. hal. 31.
Amri, M. 2006. Pengaruh Penggunaan Bungkil Inti Sawit Dalam Pakan Terhadap
Performa Ikan Mas (Cyprinus Carpio L). Universitas Bung Hatta. hal. 1-5.
Amri, M. 2007. Pengaruh Bungkil Inti Sawit Dalam Pakan Terhadap
Pertumbuhan Ikan Mas (Cyprinus carpio). Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian
Indonesia, ( 9 ) : 71-76.
Arie, U. 2007. Pembenihan dan Pembesaran Nila Gift. Penebar Swadaya. Jakarta.
hal. 7-10.
Bardach, J. E., J. H. Ryther and W. C. McLarney. 1972. Aquaculture. Willey
Inter-Science. New York. p 98-105.
Boyd, C. E. 1990. Water Quality in Pond for Aquaculture. Alabama Agricultural
Experiment Station Auburn University. Birmingham Publishing Co.
Alabama. p 75-88.
Djarijah, A. S. 1995. Pakan Ikan Alami. Kanisius. Yogyakarta. 86 hal.
Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.
hal. 92-105
Haetami, K., I. Susangka dan I. Maulina. 2006. Suplementasi Asam Amino
Pada Pelet yang Mengandung Silase Ampas Tahu Dan Implikasinya
Terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus).
Skripsi. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Universitas Padjadjaran.
Bandung. 33 hal.
Huismann, E.A. 1976. Food Conversion Efficiencies at Maintenance and
Production Level for Carp, Ciprinus carpio L. and Rainbow Trout, Salmo
gairdneri Richardson. Aquaculture, 9 : 259 – 273.
Jatomea, M. P., M. A. O. Novoa., J. L. A. Figueroa., G. M. Hall and K. Shirai.
2002. Feasibility of Fishmeal Replecment by Shrimp Head Silage Protein
Hydrolysate in Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) Diets. Journal of The
Science of Food and Agriculture, 82 : 753 – 759.
Lovell, T. 1989. Nutrition & Feeding of Fish. Published by Van National
Reinhold. NewYork. p 77-79.
Mudjiman, A. 1994. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta. hal. 98-120.
Mudjiman, A. 2002. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta. hal. 100 - 151.
Poultry Indonesia. 2007. Limbah Udang Pengganti Tepung Ikan.
http://www.poutryindonesia.com/ 5 / 09 /2008. 1 hal.
Rochiman, K. 1989. Dasar Perancangan Percobaan dan Rancangan Acak
Lengkap. Universitas Airlangga. Surabaya. hal. 53-104
Santoso. 1996. Budidaya Nila. Kanisius. Yogyakarta. hal. 21.
Subagyo, S. Asih, Idris, dan Z, Jangkari. 1992. Pengujian Hormon Dalam Tablet
Pengalihan Kelamin Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Buletin Penilitian
Perikanan Darat. Volume 11 No.2, Juni 1992. Badan dan Pengembangan
Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Balai Penelitian
Perikanan Air Tawar. Bogor. hal. 65-73.
Suyanto, 2002. Nila. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 1- 6.
r
Jurnal lktiologi Indonesia, Volunte 3, Nomor l, Juni 2003
PENGARUH PEMBERIAN SELULOSA DALAM PAKAN TERHADAP
KONDISI BIOLOGIS BENIH IKAN GURAMI (Osphronemus gouramiLac)
[Effect of sellulose in dietary on the biological condition
of giant gouramy fry (Osphronemus goarami Lac)l
Zulfa Yandest, Ridwan Affandi2 dan Ing Mokogintaz
t
Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Hazairin, Bengkulu
2
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor
ABSTRAK
Percobaan dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari pemberian selulosa dalam pakan terhadap kondisi biologis yaitu aktivitas endoenzim
(protease) di usus dan lambung (APU dan APL), intestine somatik indek (lSI), hepato somatik indek (HSI), rasio panjang usus/panjang
tubuh (PU/PT), rasio berat larnbung/berat tubuh (BL/BT), laju pertumbuhan harian (DGR) dan kornposisi kimia tubuh benih ikan gurami.
Dua macam pakan yang digunakan yaitu yang mengandung protein dan energi yang relatif sama yaitu berturut-turut 4l .8842.25Yo dan
3084.9-3l28.9kkal/kgpakan,dengankandunganselulosayangdigunakandalampakanmasing-masingadalah2,6%odan19,3Vo.
lktli, di
pelihara dalam akuarium dengan menggunakan sistem resirkulasi. Masing-masing akuarium diisi ikan sebanyak 50 ekor dengan bobot awal
0.6-0.8gram. Selamapemeliharaanikandiberipakansampai kenyang. Ikandiberipakan tigakalisehari yaitupukul 8pagi, l2siangdan4
sore. Setelah 60 hari pemeliharaan (pada akhir percobaan) dilakukan evaluasi pengaruh selulosa terhadap kondisi biologis benih ikan
gurami yaitu APU dan APL, ISI, HSI, PU/PT, BL/BT, DGR dan komposisi kimia tubuh.
Hasil percobaan menunjukan bahwa penambahan selulosa sebesar 19,37o dalam pakan memberi pengaruh terhadap APU, APL, ISl,
HSI, PU/PT, dan BL/BT (P<0.05), namun tidak meningkatkan laju perhrmbuhan benih ikan gurami (P>0.05).
Kata kunci: Selulosa, benih ikan Gurami Osphronemus gouramiLac.
ABSTRACT
An experiment was conducted to evaluate the effect of different dietary level of cellulose on the biological condition such as protease
activity in intestine (APU) and stomach (APL), intestine somatic index (ISI), intestine-body length ratio (PU/PT), the chemical composition
of giant gourilny fry stomach-body weigh ratio (BL/BT), and growth rate (DGR), and of giant gouramy fry. Two isonitrogenous (41.942.2Yo crude protein) and isocaloric (3084.9-3128.9 kcal digestible energy/kg of feed) practical diets contained either 2.6Vo and 19.3Vo
cellulose/kg of feed respectively, were fed to giant gouramy to giant gouramy fry. Types were fed on the experimental diet at satiation, three
times daily for 60 days- Fish fry were placed in each aquarium (60 x 40 x 30 cm in size).
The result showed that feed containing 19.3% ofcellulose affected in proease activity in intestine (APU) and stomach (APL), intestine
somatic index (ISI), intestine-body length ratio (PU/PT), stomach-body rveigh ratio (BL/BT) (p<0.05) but it did not affect the specific
growth rate (DGR) (p>0 05).
Key words: Sellulose, giant gouramy fry Osphronemus gouramiLac.
PENDAHULUAN
informasi yang diperoleh dapat dijadikan landasan
Ikan Gurami dianggap sebagai ikan yang
pertumbuhannya lambat, namun karena banyak
untuk memacu pertumbuhan ikan ini sehingga masa
yang menyukainya, maka ikan ini
konsumsi relatif sama dengan ikan-ikan konsumsi
banyak
dibudidayakan.
ikan dari benih hingga
ukuran
lainnya.
Upaya untuk memacu laju pertumbuhan ikan
ini telah banyak dilakukan melalui
pemeliharaan
Pada kondisi lingkungan yang
optimal
berbagai
pertumbuhan ikan ditentukan oleh jumlah dan mutu
pendekatan antara lain melalui pelacakan potensi
pelacakan kebutuhan nutrisi (Mokoginta dkk, 1994).
pakan yang dikonsumsi. Pakan yang dikonsumsi
untuk dapat digunakan dalam proses biosintesis
yang menghasilkan peftumbuhan harus melalui
proses pencemaan dan penyerapan pada saluran
Walaupun demikian, penelitian-penelitian yang
lebih mendalam masih perlu dilakukan agar
pencernaan terlebih dahulu. Dengan demikian
kondisi saluran pencernaan memegang peranan
fumbuh (Rachmawati, 1999), optimalisasi suhu
media budidaya (Hermanto, 2000) dan melalui
27
Yandes, et al - Pengaruh Pemberian Selulosa dalam Pakan Terhadap Kondisi Biologis Benih Ikan Gurami
air
selama penelitian adalah
29 -
penting dalam mengubah pakan (senyawa komplek)
Suhu
menjadi nutrien (senyawa sederhana) sebagai bahan
(optimal untuk perfumbuhan).
baku dalam proses biosintesis tersebut.
Dua macam pakan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pakan buatan iso protein dan
iso energi (kering) dengan kadar protein 40%o dan
Adanya fakta bahwa proses pencernaan dan
penyerapan berkaitan dengan panjang usus dan
30oC
panjang usus pada ikan berkaitan dengan kondisi
pakan (khususnya kandungan komponen yang sulit
rasio energi protein 7.5 k:kal DE/gram protein.
dicema) maka telah dilakukan penelitian dengan
pertambahan rasio panjang usus/panjang tubuh dan
lkan dipelihara selama 60 hari, Setiap 15 hari
sekali dilakukan pengukuran bobot dan panjang
ikan, Selama pemeliharaan ikan diberi pakan tiga
kali sehari yaitu pukul 8 pagi, 12 siang dan 4 sore,
aktivitas enzim proteasenya. Dengan bertambah
panjangnya usus dan meningkatnya aktivitas
ikan diberi makan sampai kenyang, Setelah 60 hari
pemeliharaan (pada akhir penelitian) dilakukan
protease ikan gurami dibandingkan dengan kondisi
pengukuran panjang dan bobot tubuh, panjang usus,
normal, diharapkan jumlah pakan yang
dicerna dan diserap menjadi lebih banyak, sehingga
bobot usus, bobot lambung, bobot hati, aktivitas
endoenzim (protease) pada lambung, usus dan
dapat meningkatkan efisiensi pakan dan laju
komposisi kimiawi tubuh.
tujuan untuk mengetahui pengaruh selulosa terhadap
kondisi biologis benih ikan gurami, khususnya
dapat
pertumbuhan.
taraf perlakuan yaitu penambahan
15
0%o
selulosa dan
selulosa dalam pakan dengan 9 ulangan.
Pemeliharaan Ikan dan Pengumpulan Data
Ikan uji yang digunakan adalah benih ikan
gurami berumur 42 hari dengan ukuran bobot 0.6 0.8 gram, diperoleh dari hasil penetasan telur yang
Bahan pakan
(%o)
Selulosa dalam pakan (7o)
2,6
19,3
25,s0
25,50
Tepung ikan
30,42
30,42
Dekstrin
Minyak jagung
25,85
4,06
3,37
6,09
5,06
9.13
Tepung udang
Minyak ikan
Vitamin mix
Mineral mix
Kolin klorida
1,50
1,50
5,80
5,80
0,50
0,50
Carboxy methyl
cellulose
2,0
2,0
Selulosa
0,0
15,0
Komposisi Proksimat
(% bobot kering)
Protein
41,88
42,25
berasal dari satu ekor induk yang dipelihara selama
Lemak
10,05
18,26
42 hari. Selama pemeliharaan diberi pakan alami
Abu
13,23
tJ,J/
(artemia dan cacing sutra). Padat penebaran yang
Serat kasar
2,64
19,28
digunakan adalah 50 ekor/akuarium.
BETN
Wadah penelitian berupa akuarium ( 60 x 40 x
30 cm
3)
yang diisi air sebanyak 60 liter. Setiap hari
dilakukan pergantian
air
sebanyak
+
70oh dafi
volume air dan setiap tiga hari dilakukan pergantian
air
secara total. Penyiponan dilakukan tiga kali
setiap hari. Air diaerasi selama penelitian. Tandon
air pada sistim resirkulasi dilengkapi dengan heater.
28
l.
Tabel 1. Komposisi pakan percobaan
METODOLOGI
Penelitian dilaksanakan dari bulan April
hingga bulan Juli 2002, beftempat di Laboratorium
Fisiologi Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian
berupa eksperimental dengan menggunakan
rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari dua
0/o
Komposisi pakan percobaan disajikan pada Tabel
32,20
6.84
DE (klial/kg pakan)
3084,9
3128,9
C/P (kkal/gprotein)
7,37
7,41
Keterangan:
BETN :
bahan ekstrak tanpa nitrogen DE :
digestible energy yang diperhitungkan dari:
I g protein: 3,5 kcal; I g lemak: 8,1 kcal;
1 g karbohidrat = 2,5 kcal G\fRC, 1983)
tJurnal lktiologi Indonesia, l/olume 3, Nomor
Analisis Kimia
],
Juni 2003
lambung per bobot tubuh, aktivitas enzim protease
dan laju pertumbuhan harian.
Analisis aktivitas endoenzim (protease)
dilakukan pada segmen lambung dan usus ikan uji,
Prosedur analisis dilakukan menurut Fengxie (1988)
dalam Wijayanti (1993). Sedangkan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data mengenai kondisi biologis benih ikan
gurami setelah 60 hari pemeliharaan dapat dilihat
analisis
proksimat dilakukan terhadap bahan pakan, pakan
percobaan, dan sampel tubuh ikan pada akhir
pada Tabel 2. Berdasarkan tabel
penelitian. Analisis dilakukan menurut Takeuchi
(1e88).
pemberian
selulosa dalam pakan dilakukan uji F dengan
parameter yang diuji adalah rasio panjang usus
terhadap panjang tubuh ikan, Intestino Somatik
Indeks (bobot usus per bobot tubuh), Hepato
(p>0,05), Sedangkan kelangsungan hidup (SR) ikan
selama percobaan adalah sama (100%), Tabel 3
kimiawi
memperlihatkan komposisi
(proksimat)
tubuh ikan pada akhir percobaan.
Somatik Indeks (bobot hati per bobot tubuh), bobot
Tabel2. Rasio panjang usus terhadap panjang tubuh (PU/PT), bobot
:
dapat diketahui
HSI, BL/BT, APL dan APU lebih tinggi dari
perlakuan 2,6 o/o selulosa (p<0,05) namun DGR
lebih rendah dari perlakuan 2,6 % selulosa
Analisis Statistik
Untuk mengevaluasi pengaruh
2
bahwa pemberian 19,3 % selulosa dalam pakan
benih ikan gurami menghasilkan nilai PU/PT, ISI,
usus per bobot tubuh (Intestino Somatik
: HSI), bobot lambung per bobot
tubuh (BL/BT), Aktivitas protease pada lambung (APL) dan pada usus (APU), laju pertumbuhan
harian (Daily Growth Rate : DGR) dan survival rate (SR) dari setiap percobaan masing-masing
Indeks
ISI), bobot hati per bobot tubuh (Hepato Somatik Indeks
perlakuan.
Selulosa Dalam Pakan (7o)
Parameter
PU/PT
ISI
HSI
2,6
I 0,01b
1,47 + 0,01^
,86 + 0, l2b
2,50 + 0,20^
1,24
1
19,3
1,56
r
0,08b
I
,84
r
0, 15"
BLlBT
2,00 + 0,06b
2,38 + 0,07"
APL
1,24 + 0,25b
2,27 + 0,24^
APU
2,31 + 0,3 1"
DGR
I ,05 + 0,1 8b
5,71 + 0,14^
sR (%)
100
100
5,50 + 0,08b
Keterangan: Huruf yang berbeda menyatakan ada perbedaan antar perlakuan (p < 0,05)
Tabel 3, Komposisi kimiawi (proksimat) tubuh rata-rata ikan uji pada akhir percobaan.
Proksimat tubuh (%)
2,6%
Perlakuan
19,3%
Protein
55,48
56,79
Lemak
27,65
29,03
Abu
12,61
12,49
Serat Kasar
0,12
0,l9
BETN
4,14
I,55
29
I
Yandes, et al - Pengaruh Pemberian Selulosa dalam Pakan Terhadap Kondisi Biologis Benih lkan Gurami
Dari Tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa kadar
usus dengan panjang tubuh dari tiga golongan ikan
protein dan lemak tubuh ikan pada akhir percobaan
(herbivor, omnivor dan karnivor) mencerminkan
pada perlakuan 19,3oh selulosa sedikit lebih tinggi
penyesuaian dari usus terhadap tingkat kompleksitas
o/o
selulosa. Sedangkan
pakan yang dimakan. Effendie (1997) menyatakan
untuk kadar abu relatif sama. Sebaran bobot
individu ikan dari perlakuan 2,6%o dan 19,3o
selulosa dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar
bahwa keadaan usus yang panjang pada ikan
herbivor berfungsi sebagai penahan pakan dalam
dibandingkan perlakuan 2,6
jumlah yang besar dalam waktu yang
lama.
tersebut memperlihatkan bahwa frekuensi sebaran
Selanjutnya dikatakan bahwa panjang usus sebagai
bobot individu ikan tertinggi pada akhir percobaan
gambaran dari spesialisasi penyesuaian
untuk perlakuan 2,60/o dicapai pada kisaran bobot
yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan 19,3%
ekologi kebiasaan pakan. Affandi, (1993)juga telah
selulosa.
PU/PT, ISI, HSI, BL/BT, APL dan APU
di
dalam
meneliti rasio panjang usus dengan panjang tubuh
ikan gurami dari berbagai ukuran. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa saluran pencernaan
perlakuan 19,3o2 selulosa lebih tinggi dibandingkan
ikan gurami masih mengalami
perlakuan 2,60 selulosa (Tabel 2), Adanya
kandungan l9,3Vo selulosa dalam pakan yang
merupakan bahan yang yang sulit dicerna telah
menyebabkan terjadinya respon berupa adaptasi
walaupun strukturnya telah sempurna (memiliki
segmen-segmen yang lengkap). Dengan demikian
selama pertumbuhannya, ikan gurami mengalami
biologis atau penyesuaian alat pencernaan (usus dan
terhadap panjang tubuh, dari karakter ikan karnivor
lambung) terhadap pakan yang mengandung serat
tinggi (selulosa) tersebut dengan cara memper-
ke karakter ikan omnivor atau herbivor. Selanjutnya
panjang usus dan peningkatan bobot lambung.
perubahan dalam
perkembangan
hal perbandingan panjang
usus
dikatakan bahwa adanya perubahan nilai PU/PT
pada ikan gurami yang berhubungan dengan
Peningkatan panjang usus tersebut menyebabkan
perubahan ukuran dan perubahan komposisi pakan
bobot usus juga meningkat (ISI meningkat).
Opuszyushi dan Shireman (1995) menyatakan
juga sesuai dengan hasil penelitian Kapoor et al,
(1e75).
bahwa adanya perbedaan perbandingan panjang
35
30
25
ito
Ia
115
L
10
5
0
sf
".?t
'.t| "o?t ""f
...P
^-t
^ordft
Bobot (g)
"nd
oo/u
individu ikan uji (g) pada masingmasing perlakuan Q.6o/o dan 19.3% selulosa) pada akhir percobaan.
Gambar 1. Histogram sebaran bobot
30
Jurnal lktiologi Indonesia, Volume 3, Nomor I, Juni 2003
Selanjutnya bertarnbah panjangnya usus
tersebut diduga telah meningkatkan jumlah sel
enterosite, meningkatkan lama kontak pakan dengan
enzim dan meningkatkan jumlah sel sekretori.
Peningkatan jumlah sel enterosite akan menyebab-
sehingga produksi enzim meningkat seperti yang
telah dikemukakan di atas.
Laju
pertumbuhan harian pada perlakuan
19,3% selulosa lebih rendah dibandingkan perlakuan 2,6oh selulosa (Tabel 2). Begitu juga dengan
kan jumlah nutrien yang diserap meningkat
sehingga HSI meningkat. Peningkatan HSI ini
kisaran bobot individu ikan pada akhir penelitian
menunjukkan bahwa dengan meningkatnya jumlah
an 19,3Yo selulosa lebih rendah dibanding perlakuan
nutrien yang diserap menyebabkan jumlah nutrien
yang terakumulasi pada hati meningkat. Pening-
2,6Yo selulosa (Gambar
katan lama kontak pakan dengan enzim akan
menyebabkan peningkatan proses pencernaan
yang mengandung 19,3%o selulosa dengan jalan
memperpanjang usus yang membutuhkan energi
sehingga ketersediaan zat tercema akan meningkat.
ekstra. Hal ini menyebabkan kebutuhan energi untuk
peningkatan jumlah sel sekretori
memperlihatkan bahwa pertumbuhan
ikan perlaku-
l). Hal tersebut
terjadi
karena adanya respon adaptasi usus terhadap pakan
akan
perlakuan 19,3o selulosa lebih banyak dari
menyebabkan jumlah produksi enzim meningkat
perlakuan 2,6%o selulosa. Sedangkan pakan yang
sehingga APL dan APU meningkat. Hepher (1988)
menyatakan kecemaan pakan dipengaruhi oleh;
diberikan untuk kedua perlakuan kandungan protein
Sedangkan
keberadaan enzim dalam saluran pencemaan,
tingkat aktivitas enzim-enzim pencernaan dan
lamanya pakan yang dimakan bereaksi dengan
enzim pencernaan.
Wijayanti (1993) telah melakukan penelitian
tentang aktivitas protease pada benih ikan gurami.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa aktivitas
protease (AP) meningkat dengan bertambahnya
umur benih ikan gurami (perbedaan umur mempengaruhi AP). Dikatakan juga bahwa hal tersebut
sesuai dengan hasil penelitian Lauff, M. dan R.
Hofer (1984). Suryanti (2002) juga melakukan
dan energinya relatif sama. Dengan demikian
meskipun dengan bertambah panjangnya usus akan
meningkatkan jumlah nutrien yang diserap tetapi
karena kebutuhan energi untuk metabolisme standar
(sda) meningkat maka jumlah nutrien yang
dikatabolisme juga akan meningkat sehingga
pertumbuhan akan terhambat yang terlihat dari
rendahnya pertumbuhan pada ikan yang diberi
pakan mengandung 19,3% selulosa.
Pertumbuhan terjadi apabila ada kelebihan
energi setelah energi yang tersedia digunakan untuk
metabolisme standar, energi untuk pencernaan dan
penelitian tentang aktivitas enzim pencernaan pada
energi untuk aktivitas. Page dan Andrews (1973)
menyatakan, apabila terjadi kekurangan energi,
larva ikan baung. Hasil
penelitiannya juga
protein tubuh akan dibakar untuk menghasilkan
menunjukkan bahwa aktivitas protease dan lipase
meningkat sesuai perkembangan umur ikan. Arlia
(1994) dalam Suryanti (2002) menyatakan bahwa
energi bebas. Sebaliknya apabila kandungan energi
peningkatan aktivitas enzim ada kaitannya dengan
relatif tinggi maka tingkat konsumsi pakan akan
menurun, sehingga intake nutrien lainnya seperti
protein akan turun. Hal ini akan mengakibatkan
perkembangan alat pencernaan. Dengan demikian
pertumbuhan terhambat. Effendie (1997) menyata-
dapat dikatakan bahwa peningkatan aktivitas enzim
kan bahwa perhrmbuhan terjadi apabila ada
ini
disebabkan oleh semakin sempurnanya alat
Hal ini erat kaitannya dengan
jumlah sel sekretori (sel penghasil enzim). Dari hasil
kelebihan input energi dan asam amino (protein)
pencernaan ikan.
berasal dari pakan. Untuk dapat tumbuh ikan
memerlukan energi. Sebelum digunakan untuk
penelitian tersebut mungkin dapat juga dipakai
perh.rn-rbuhan,
sebagai dasar bahwa dengan bertambah panjangnya
untuk memenuhi seluruh altivitas dan pemeliharaan
usus akan meningkatkan jumlah sel sekretori
tubuh melalui proses metabolisme (NRC, 1993).
energi terlebih dahulu digunakan
3l
Yantles'etal.PengaruhPemberianSelulosadalamPakanTerhadapKondisiBiologisBenihlkanGurami
19,30lo
Hennanto, 2000. Optimalisasi suhu media pada
selulosa masih dapat ditolerir oleh benih ikan
Gurami, hal ini terlihat dari tidak adanya ikan yang
o/o) dan pada kadar
mati selama penelitian (SR 100
pemeliharan benih ikan gurami (Osphronemus
gouramy Lac.). Tesis. Program Pascasarjana'
IPB. Bogor. 63 Hal.
Hepher, B. 1988. Nutrition of pond fishes'
Pemberian pakan yang mengandung
tersebut (pertumbuhan tidak begitu berbeda dengan
perlakuan 2,60 ). Hal ini berarti bahwa pemberian
pakan yang mengandung selulosa tinggi asalkan
kandungan protein dan energinyatetap tinggi maka
selulosa tersebut tidak akan terlalu berpengaruh
terhadap penurunan pertumbuhan. Dengan demikian
melalui perancangan pakan yang tepat, memacu
pemanjangan usus dapat dilakukan tanpa mengganggu pertumbuhan. Dengan bertambah panjangnya
usus dan meningkatnya aktivitas enzim protease
ikan gurami dibandingkan kondisi nonnal, diharapkan pada pembesaran ikan gurami selanjutnya yakni
dengan pemberian pakan yang optimal (sesuai
kebutuhan), diharapkan jumlah pakan yang dapat
dicerna dan diserap menjadi lebih banyak sehingga
dapat meningkatkan efisiensi pakan dan laju
pertumbuhan.
Cambridge University Press. New York' 388
pp.
Kapoor, B. G., Smith, T dan I. A. Verighina.l9T5'
The alimentary canal and digestion in teleosts,
Adv. Mar. Biol., 13 : 110-211.
Lauff, M and Hofer. 1984
Mokoginta, I; M. A. Suprayudi dan
M. Setiawati'
1994. Kebutuhan nutrisi ikan gurami
(Osphronemus gzuramY Lac.) untuk
pertumbuhan
dan reproduksi.
Laporan
penelitian hibah bersaing lI/2 perguruan tinggi
tahun anggaran 199411995- Direktorat
Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Pada
Masyasarakat. Dirjen Pendidikan Tinggi
Depdikbud. Fakultas Perikanan. Institut
Pertanian Bogor.
National Research Council. 1993. Nutrient
requirements of hsh. National Academic of
Science, Washington, D.C. 115
PP.
K dan J. V.
KESIMPULANDAN SARAN
Pemberian pakan dengan kandungan selulosa
l9,3Yo dapat meningkatkan rasio panjang usus/
panjang tubuh (PU/PT), intestin somatik indek (ISI)'
hepato somatik indek (HSI), berat lambun! betat
tubuh (BL/BT) dan aktivitas protease di lambung
(APL) dan di usus (APU) benih ikan Gurami'
Namun pemberian pakan dengan kandungan
selulosa l9,3Yo menyebabkan laju pertumbuhan
lebih rendah.
Untuk mengetahui dampak lanjut
dari
pemanjangan melalui pemberian pakan berselulosa
tinggi perlu dilakukan penelitian lebih lanjut'
DAFTARPUSTAKA
Affandi, R. 1993. Studi kebiasaan makanan ikan
gurami Osphronemus gouramy' J' Ilmu-ilmu
Perairan dan Perikanan Indonesia 1 (2) : 5657.
M. I. 1997. Biologi perikanan' Penerbit
Yayasan Pustaka Nusatama' Yogyakarta' 163
Effendie,
hal.
32
Shireman. 1995'
Opuszynski,
use for weed
and
Herbivorous fihes. Culture
management. Departmen of Fisheries and
Aquatic Sciences Institut of Food Agricultural
Sciences, Universityof Florida' CRC Press'
223 pp.
Page, J. W. and J. W. Andrews. 1973. Interactions
of dietary level of protein and energy on
channel catfish. Jour' Nutr. 103: 1339-1346"
Rachmawaty, lgg9. Karateristik fenotipik dan
potensi tumbuh ikan gurame Osphronemus
goramy Lacepede. Tesis. Program Pascasarjan
lnstitut Pertanian Bogor.
Suryanti, 2002. Perkembangan aktivitas enzim
pencernaan
dan hubungannya dengan
kemampuan pemanfaatan pakan buatan pada
ikan baung (Mystus nemurus C.V.)' Tesis'
Program Pascasarjan Institut Pertanian Bogor'
46 Hal.
Takeuchi, T. 1988. Laboratory work chemical
evaluation of dietary nutrient. p- 179-232'In:T'
Watanabe. ed. Fish nutrition and mariculture'
Kanagawa Fisheries Training Centre; Japan
International Cooperation Agency, Tokyo'
Jurnal Iktiologi Indonesia, Volume 3, Nomor l, Juni 2003
Wijayanti, 1993. Studi aktivitas protease pada benih
ikan gurame (Osphronemus gouramy Lac)
dengan perbedaan awal pemberian pakan
buatan. Skripsi. Fakultas Perikanan, Institut
Pertanian Bogor. 47 Hal.
33
PENGARUH TINGKAT SUBSTITUSI TEPUNG IKAN DENGAN TEPUNG
MAGGOT TERHADAP RETENSI DAN EFISIENSI PEMANFAATAN
NUTRISI PADA TUBUH IKAN BANDENG
(Chanos chanos Forsskål)
Haryati, Edison Saade, Agus Pranata
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat subtitusi tepung ikan dengan tepung
maggot sebagai sumber protein yang dapat menghasilkan efisiensi dan retensi nutrisi yang baik
untuk ikan bandeng. Dengan dapat dimanfaatkannya tepung maggot sebagai pengganti tepung
ikan, diharapkan harga pakan dapat lebih murah sehingga akan mengurangi biaya produksi
dalam kegiatan budidaya.
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan
tiga kali ulangan. Perlakuan yang akan dicobakan yaitu tingkat subtitusi tepung ikan dengan
tepung maggot sebanyak 0%, 25%, 50%, 75%, dan 100%, sehingga diperoleh lima belas unit
percobaan. Parameter yang diukur pada penelitian ini adalah retensi protein, retensi lemak,
retensi energi dan efisiensi pemanfaatan pakan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis
dengan menggunakan analisis ragam.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pada ikan Bandeng C. chanos Forsskal yang diberi
pakan berbagai tingkat substitust tepung ikan dengan tepung maggot memberikan pengaruh
yang sama terhadap retensi protein, retensi lemak, retensi energi dan efisiensi pemanfaatan
pakan, sehingga dapat disimulkan bahwa tepung maggot dapat menggantikan peranan tepung
ikan hingga 100 % dalam pembuatan pakan untuk budidaya ikan Bandeng C. chanos
Forsskal.
Kata kunci : Maggot, Efisiensi Pemanfaatan Pakan, Retensi Nutrisi
ABSTRACT: Effect of substitution level of fish meal with maggot meal on the Efficiency
and Retention of Nutrients in the Body of Fish Milkfish (Chanos chanos Forsskål).
This study aims to determine the extent of substitution of fish meal with maggot meal as
a protein source that can produce efficiencies and retention of good nutrition for fish. Maggots
can be exploited with flour as a substitute for fish meal, feed prices are expected to be cheaper
so that it will reduce production costs in farming activities.
This study used a complete randomized design (CRD) with five treatments and three
replications. Treatment to be tested is the substitution of fish meal with maggot meal as much
as 0%, 25%, 50%, 75%, and 100%, thus acquired fifteen experimental units. Parameters
measured in this study is the retention of protein, fat retention, energy retention and efficiency of
feed utilization. The data obtained and analyzed using various analysis.
The results of these studies show that in fish Milkfish C. chanos Forsskal fed varying
levels of fish meal with flour substitute Maggot gives the same effect on protein retention, fat
retention, energy retention and efficiency of feed utilization, so it can be concluded that Maggot
meal can replace the role of fish meal up to 100% in the manufacture of feed for aquaculture
Fish Milkfish C. Chanos Forsskal.
Key words: Maggot, Efficiency of Feed Utilization, Retention Nutrition
PENDAHULUAN
Ikan bandeng (Chanos chanos Forsskal) merupakan salah satu komoditas unggulan
Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini didukung oleh rasa daging yang enak dan nilai gizi yang
tinggi sehingga memiliki tingkat konsumsi yang tinggi. Selain sebagai ikan konsumsi ikan
bandeng juga dipakai sebagai ikan umpan hidup pada usaha penangkapan ikan tuna
(Syamsuddin, 2010).
Pada tahun 2013, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan
mentargetkan peningkatan produksi ikan bandeng sekitar 71.147 ton dari produksi saat ini ratarata 55.000 ton per tahun (Anonim, 2010). Setiap tahun
permintaan ikan bandeng selalu
mengalami peningkatan, baik untuk konsumsi lokal, ikan umpan bagi industri perikanan tuna,
maupun untuk pasar ekspor. Kebutuhan bandeng untuk ekspor yang cenderung meningkat
merupakan peluang usaha yang positif. Namun, peluang tersebut belum dapat terpenuhi karena
terbatasnya produksi dan diikuti tingginya konsumsi lokal.
Ikan bandeng sebagai komoditas ekspor harus mempunyai standar tertentu, yaitu ukuran
sekitar 400 g/ekor, sisik bersih dan mengkilat (penampilan fisik), tidak berbau lumpur (rasa),
dan dengan kandungan asam lemak omega-3 relatif tinggi. Kriteria-kriteria yang dipersyaratkan
tersebut terutama penampilan fisik, tidak berbau lumpur, dan kandungan asam lemak omega-3
yang tinggi dapat dipenuhi dari hasil budidaya bandeng secara intensif dalam keramba jaring
apung di laut (Anonim, 2010).
Budidaya ikan bandeng dalam keramba jaring apung (KJA) telah banyak dilakukan oleh
masyarakat. Namun, harga pakan yang relatif masih mahal membuat budidaya ikan bandeng di
KJA kurang berkembang. Pengkajian lanjutan yang lebih intensif, khususnya bagaimana
memanfaatkan bahan baku lokal yang tersedia dalam jumlah yang memadai sebagai bahan
pakan harus dilakukan, guna menekan biaya pakan yang diperkirakan dapat mencapai 60-80%
dari total biaya produksi (Priyadi, 2008). Harga bahan baku pakan akan berpengaruh terhadap
harga pakan yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap biaya produksi. Khususnya di
Indonesia, sebagian besar bahan baku pakan berasal dari impor, yaitu sebesar 70-80%
(Hadadi, dkk., 2007).
Bahan baku utama dalam penyusunan ransum pakan ikan adalah tepung ikan, karena
tepung ikan merupakan bahan baku utama sumber protein dalam pakan ikan. Namun, saat ini
produksi tepung ikan lokal baru dapat memenuhi 60-70% dari kebutuhan dengan kualitas dan
kuantitas yang berfluktuatif. Oleh karena itu diperlukan penelitian yang mendalam terhadap
berbagai bahan baku alternatif pengganti tepung ikan. Suatu bahan yang dapat digunakan
sebagai bahan baku pakan harus memenuhi persyaratan tertentu, yaitu mempunyai nilai gizi
yang tinggi, tersedia dalam jumlah melimpah dan kontinyu dan secara ekonomi tidak
menjadikan harga pakan tinggi (Mudjiman, 2004).
Tepung maggot atau tepung larva lalat hijau (Calliphora sp.) merupakan salah satu
bahan baku alternatif yang bisa menggantikan tepung ikan sebagai sumber utama protein
dalam pakan ikan, karena telah memenuhi persyaratan tersebut, antara lain memiliki
kandungan gizi yang cukup tinggi, tersedia dalam jumlah yang banyak sehingga bisa diproduksi
secara massal, dan harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan tepung ikan, yaitu hanya
Rp.1.500/kg dibandingkan dengan tepung ikan impor yang harganya mencapai Rp.15.000/kg
dan tepung ikan lokal Rp. 12.000/kg serta mempunyai kandungan protein sekitar 45,01%
(Hadadi, dkk., 2007).
Khususnya pada ikan-ikan air tawar, penelitian tentang pemanfaatan tepung maggot
sebagai pengganti tepung ikan telah dilakukan pada beberapa jenis ikan, yaitu benih ikan nila
(Oreochromis niloticus) (Retnosari, 2007), ikan lele (Hadadi, dkk., 2007) dan ikan hias
balashark (Balanthiocheilus melanopterus Bleeker) (Priyadi, 2008), dimana tingkat pemanfaatan
tepung maggot sebagai pengganti tepung ikan berbeda-beda dengan hasil yang cukup
memuaskan. Sedangkan informasi tentang kemungkinan dapat dimanfaatkannya tepung
maggot sebagai pengganti sumber protein asal tepung ikan pada budidaya ikan bandeng
sampai saat ini belum ada dilakukan penelitian. Hal inilah yang melatarbelakangi perlunya
dilakukan penelitian ini.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat subtitusi tepung ikan dengan tepung
maggot sebagai sumber protein yang dapat menghasilkan efisiensi dan retensi nutrisi yang baik
untuk ikan bandeng. Kegunaan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang
tingkat subtitusi tepung maggot terhadap tepung ikan yang dapat memberikan respon terbaik
khususnya pada efisiensi dan retensi nutirsi dalam pemeliharaan ikan bandeng. Dengan dapat
dimanfaatkannya tepung maggot sebagai pengganti tepung ikan, diharapkan harga pakan
dapat lebih murah sehingga akan mengurangi biaya produksi dalam kegiatan budidaya.
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan November 2010 sampai Desember 2010 di Unit
Hatchery Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Makassar. Sedangkan analisis proksimat
pakan dan hewan uji dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Fakultas Peternakan Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Materi Penelitian
1. Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelondongan bandeng yaitu
berukuran antara 0.84 – 0.87 g/ekor. Padat penebaran yang digunakan yaitu 15 ekor/ 45 L air
media (Rahmansyah, 2004).
2. Wadah Percobaan
Wadah percobaan yang digunakan adalah akuarium sistem resirkulasi dengan ukuran
40 x 50 x 35 cm sebanyak 15 buah, tiap wadah diisi air media sebanyak 45 liter. Air media yang
digunakan salinitasnya adalah 30 ppt, mewakili kondisi salinitas air laut, sehingga hasil
penelitian ini dapat diterapkan untuk kegiatan budidaya di laut dengan menggunakan keramba
jaring apung maupun untuk kegiatan budidaya di tambak secara intensif.
3. Pakan Uji
Pakan yang digunakan berbentuk pellet dengan komposisi bahan baku seperti terlihat
pada Tabel 4, dari komposisi bahan baku tersebut kandungan protein pakan yang akan
digunakan sekitar 30%.
Tabel 4. Komposisi Bahan Baku Penyusun Pakan pada Setiap Perlakuan
Perlakuan
Bahan Baku (%)
A
B
C
D
E
Tepung Ikan
28
21
14
7
0
Tepung Maggot
0
7
14
21
28
Tepung Kedelai
30
30
30
30
30
Tepung Dedak
20
20
20
20
20
Tepung Terigu
18
18
18
18
18
Minyak Ikan
1
1
1
1
1
(1)
2
2
2
2
2
(2)
1
1
1
1
1
Vitamin mix
Mineral mix
Keterangan : (1) Vit A, D3, E, K3, B1, B2, B6, B12, C, Folyc Acid, Nicotid Acid, dan Biotin
(2) Ca, P, Sc, Mn, I2, Cu, Zn, Vit12 dan Vit B3
Ikan diberi pakan sebanyak 10% dari biomassa ikan per hari, pemberian pakan
dilakukan tiga kali per hari yaitu pada pukul 07.00, 12.00, dan 17.00.
4. Rancangan Percobaan
Rancangan percoban yang digunakan adalah acak lengkap (RAL) dengan lima
perlakuan dan tiga kali ulangan. Perlakuan yang dicobakan yaitu tingkat subtitusi tepung ikan
dengan tepung maggot sebanyak 0%, 25%, 50%, 75%, dan 100%, sehingga diperoleh lima
belas unit percobaan.
Penempatan setiap satuan percobaan dilakukan secara acak
(Gasperz, 1991),
sehingga tata letak satuan percobaan setelah pengacakan disajikan pada Gambar 3.
5. Parameter
a. Retensi nutrisi
Retensi protein, lemak, dan energi dihitung berdasarkan formula Jouncey dan Ross
(1988) sebagai berikut:
Jumlah nutrisi yang disimpan dalam tubuh
Retensi Nutrisi (%) (1) =
x 100
Jumlah nutrisi yang dikonsumsi ikan
Keterangan: (1) Protein (g), Lemak (g), dan Energi (kkal)
b. Efisiensi pemanfaatan nutrisi
Rasio efisiensi pakan dihitung dengan menggunakan formula Jouncey dan Ross (1988)
sebagai berikut:
Bt – B0
Efisiensi pemanfaatan nutrisi =
F
Dimana: Bt = Biomassa ikan pada akhir penelitian (g)
B0 = Biomassa ikan pada awal penelitian (g)
F = Jumlah pakan yang diberikan selama penelitian (g)
c. Kualitas air
Kelayakan kualitas air media dievaluasi berdasarkan sifat fisik dan kimia air media. Sifat
fisik air media yang diukur yaitu suhu dan salinitas. Suhu air diukur setiap hari dua kali per hari
yaitu jan 07.00 dan 14.00 WITA. Salinitas juga diukur setiap hari. Sifat kimia air media
dievaluasi berdasarkan kandungan oksigen terlarut, pH, dan ammonia, pengukuran dilakukan
pada awal penelitian, selanjutnya setiap sepuluh hari sekali sebelum penggantian air.
6. Analisis Data
Data dianalisis dengan menggunakan analisis ragam. Dari hasil data yang diperoleh
tidak memenuhi tiga asumsi pokok (uji normalitas, homogenitas dan aditivitas) sehingga
dilakukan transformasi data dengan menggunakan trasformasi Arcsin. Hasil analisis tersebut
terbukti bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap parameter yang diuji, sehingga
tidak dilanjutkan dengan uji W Tukey untuk menentukan tingkat subtitusi tepung ikan dengan
tepung maggot yang menghasilkan respon terbaik. Kualitas air media dianalisis secara
diskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Retensi Protein
Retensi protein merupakan gambaran dari banyaknya protein yang diberikan, yang
dapat diserap dan dimanfaatkan untuk membangun ataupun memperbaiki sel-sel tubuh yang
sudah rusak, serta dimanfaatkan tubuh ikan bagi metabolism sehari-hari (Afrianto dan
Liviawaty, 2005). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai pengaruh tingkat
subtitusi tepung ikan dengan tepung maggot dalam pakan terhadap retensi protein ikan
bandeng C. chanos disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Rata-rata Retensi Protein (%) pada Ikan Bandeng C. Chanos yang Diberi Pakan
Berbagai Tingkat SubtitusiTepung Ikan dengan Tepung Maggot Selama
Penelitian.
Perlakuan
Tingkat Subtitusi
% Rata-rata Retensi
Protein ± SD
A
(Tepung Ikan 100 %; Tepung Maggot 0%)
23.30 ± 9.47 a
B
(Tepung Ikan 75%; Tepung Maggot 25%)
17.87 ± 3.50 a
C
(Tepung Ikan 50%; Tepung Maggot 50%)
18.16 ± 4.48a
D
(Tepung Ikan 25%; Tepung Maggot 75%)
16.41 ± 5.97a
E
(Tepung Maggot 100%; Tepung Ikan 0%)
28.99 ± 9.58a
Keterangan : Nilai rata-rata ± standar deviasi. n = 3
Huruf yang sama menunjukan tidak berpengaruh nyata
Pada tabel di atas terlihat bahwa nilai rata-rata retensi protein pada perlakuan A, B, C,
D, dan E adalah masing-masing 23.30%; 17.87%; 18.16%; 16.41%; dan 28.99%. Hasil analisis
ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap retensi protein pada
taraf 5 %. Hal ini dikarenakan setiap perlakuan memiliki tingkat retensi protein yang relatif
sama, sehingga memberikan respon yang sama pula terhadap hewan uji. Hal ini diduga karena
kadar protein yang dihasilkan masih dalam rentang layak untuk kebutuhan benih ikan bandeng.
Hal ini sesuai dengan pendapat Lovell (1988) bahwa penggunaan dua atau lebih sumber
protein dalam ransum akan lebih baik dari pada satu sumber. Walaupun konsumsi pakan D
paling tinggi, namun jumlah protein yang teretensi lebih tinggi pakan E. Hal ini diduga karena
protein tepung maggot lebih mudah dicerna dibandingkan tepung ikan.
Tingkat retensi protein yang sama pada semua perlakuan didukung pula oleh
kandungan protein pakan uji yang relatif sama pada masing-masing perlakuan. Menurut Lan
dan Pan (1993) apabila protein dalam pakan berlebih, ikan akan mengalami ’excessive protein
syndrome’, sehingga protein tersebut tidak digunakan untuk pertumbuhan tetapi akan dibuang
dalam bentuk amonia. Sedangkan menurut Buwono (2000), apabila kandungan protein dalam
pakan terlalu tinggi, hanya sebagian yang akan diserap (diretensi) dan digunakan untuk
membentuk ataupun memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak, sementara sisanya akan diubah
menjadi energi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tepung maggot ini dapat mengganti tepung
ikan sebagai sumber protein pakan sampai 100%, karena tepung maggot memiliki kandungan
protein yang cukup tinggi dan masih sesuai untuk kebutuhan ikan bandeng. Selain kandungan
protein yang cukup tinggi, tepung maggot juga memiliki berbagai kandungan asam-asam amino
esensial yang relatif lengkap dan masih sesuai dengan kebutuhan ikan bandeng, baik untuk
pertumbuhan maupun memperbaiki sel-sel tubuh yang sudah rusak.
Retensi Lemak
Retensi
lemak
menggambarkan
kemampuan
ikan
dalam
menyimpan
dan
memanfaatkan lemak pakan. Pengaruh tingkat subtitusi tepung ikan dengan tepung maggot
dalam pakan terhadap retensi lemak ikan bandeng C. chanos disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Rata-rata Retensi Lemak (%) pada Ikan Bandeng C. Chanos yang Diberi Pakan
Berbagai Tingkat SubtitusiTepung Ikan dengan Tepung Maggot Selama
Penelitian.
Perlakuan
Tingkat Subtitusi
% Rata-rata Retensi
Lemak ± SD
A
(Tepung Ikan 100 %; Tepung Maggot 0%)
22.67 ± 13.02 a
B
(Tepung Ikan 75%; Tepung Maggot 25%)
16.91 ± 4.15 a
C
(Tepung Ikan 50%; Tepung Maggot 50%)
18.35 ± 8.33 a
D
(Tepung Ikan 25%; Tepung Maggot 75%)
18.38 ± 4.57 a
E
(Tepung Maggot 100%; Tepung Ikan 0%)
22.56 ± 2.53 a
Keterangan : Nilai rata-rata ± standar deviasi. n = 3
Huruf yang sama menunjukan tidak berpengaruh nyata
Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa pakan A memiliki retensi lemak sebesar
22.67%, pakan B memiliki retensi lemak sebesar 16.91%, pakan C memiliki retensi lemak
sebesar 18.35%, pakan D memiliki retensi lemak sebesar 18.38%, dan pakan E memiliki retensi
lemak sebesar 22.56%. Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak
berpengaruh nyata terhadap retensi lemak pada taraf 5 %. Hal ini menunjukkan bahwa lemak
yang teretensi pada semua perlakuan relatif sama.
Komposisi lemak tubuh sangat dipengaruhi oleh pakan ikan yang mengandung lemak
(Gusrina, 2008). Tingginya lemak yang dikonsumsi ikan dan yang tidak digunakan sebagai
sumber energi kemudian disimpan sebagai lemak tubuh. Tingkat retensi lemak yang relatif
sama diduga karena kandungan lemak yang ada di dalam pakan masih dalam kisaran yang
sesuai dan cukup untuk memenuhi kebutuhan lemak hewan uji.
Walaupun nilai retensi lemak tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun nilai
retensi lemak cenderung meningkat dengan bertambahnya kadar tepung maggot. Hal ini
dikarenakan tingginya kadar lemak tepung maggot sehingga kadar lemak dalam pakan dan
lemak tubuh juga cenderung meningkat. Tingginya kadar lemak lemak ini bisa disimpan atau
dimanfaatkan sebagai sumber energi. Hal ini sesuai dengan pendapat Aslamyah (2008) yang
mengatakan bahwa salah satu fungsi dari lemak atau lipid adalah sebagai penghasil energi, tiap
gram lipid menghasilkan sekitar 9 – 9,3 kalori, energi yang berlebihan dalam tubuh disimpan
dalam jaringan adiposa sebagai energi potensial.
Retensi Energi
Retensi energi adalah besarnya energi pakan yang dikonsumsi ikan yang dapat
disimpan di dalam tubuh. Hasil perhitungan retensi energi (Lampiran 10) hewan uji yang diberi
pakan dengan berbagai tingkat subtitusi tepung ikan dengan tepung maggot selama penelitian
disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Rata-rata Retensi Energi (%) pada Ikan Bandeng C. Chanos yang Diberi Pakan
Berbagai Tingkat SubtitusiTepung Ikan dengan Tepung Maggot Selama
Penelitian.
Perlakuan
Tingkat Subtitusi
% Rata-rata Retensi
Energi ± SD
A
(Tepung Ikan 100 %; Tepung Maggot 0%)
17.98 ± 7.17 a
B
(Tepung Ikan 75%; Tepung Maggot 25%)
13.57 ± 3.07 a
C
(Tepung Ikan 50%; Tepung Maggot 50%)
12.02 ± 3.36 a
D
(Tepung Ikan 25%; Tepung Maggot 75%)
10.63 ± 3.20 a
E
(Tepung Maggot 100%; Tepung Ikan 0%)
20.14 ± 4.23 a
Keterangan : Nilai rata-rata ± standar deviasi. n = 3
Huruf yang sama menunjukan tidak berpengaruh nyata
Retensi energi pada perlakuan A, B, C, D, dan E masing-masing adalah
17.98%, 13.57%, 12.02%, 10.63% dan 20.14%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap retensi energi pada taraf 5 %. Hal ini disebabkan
karena kandungan energi yang teretensi relatif sama pada semua perlakuan. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa tepung maggot dapat menggantikan tepung ikan 100% sebagai salah
satu sumber utama protein dalam pembuatan pakan ikan bandeng.
Menurut Kumar dan Tembre (1997), retensi energi berhubungan dengan kadar protein
pakan, karena pakan selain mengandung karbohidrat dan lemak, juga mengandung protein
yang berguna sebagai sumber energi dan pertumbuhan. Hasil uji proksimat maggot
menunjukkan bahwa kandungan protein dalam tepung maggot cukup tinggi bila dibandingkan
dengan lemak, sehingga ikan dapat mengoptimalkan pertumbuhan dengan menggunakan
protein sebagai sumber energi utama. Hal ini juga didukung oleh pendapat Aslamyah (2008)
yang mengatakan bahwa protein merupakan sumber energi yang mahal baik ditinjau dari harga
maupun jumlah energi yang dibutuhkan untuk metabolisme energi. Semakin meningkatnya
penggunaan lemak dan karbohidrat sebagai sumber energi, maka protein pakan dapat lebih
diefisienkan dalam penggunaanya dan akan teretensi di dalam tubuh ikan untuk proses
metabolisme, penggantian sel atau jaringan yang rusak, aktifitas reproduksi, biosintesis dan
hilang dalam bentuk panas. Hal ini juga didukung oleh Yuwono dan Purnama (2001) yang
mengatakan bahwa sebagian besar energi yang dikonversi dari pakan yang dikonsumsi hilang
dalam bentuk panas dan hanya sekitar seperlima total energi dari pakan yang diperoleh dalam
bentuk pertumbuhan.
Efisiensi Pemanfaatan Nutrisi
Nilai efisiensi pemanfaatan nutrisi menentukan kualitas suatu pakan, semakin besar nilai
efisiensi pemanfaatan nutrisi, semakin tinggi kualitas pakannya. Sebaliknya, semakin kecil nilai
efisiensi pemanfaatan nutrisi, berarti semakin rendah kualitas pakannya. Nilai rata-rata efisiensi
pemanfaatan nutrisi pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel 8.
Tabel 5. Rata-rata Efisiensi Pemanfaatan Pakan (%) pada Ikan Bandeng C. Chanos yang
Diberi Pakan Berbagai Tingkat SubtitusiTepung Ikan dengan Tepung Maggot
Selama Penelitian.
Perlakuan
Tingkat Subtitusi
% Rata-rata Efisinsi
Pemanfaata Pakan ± SD
A
(Tepung Ikan 100 %; Tepung Maggot 0%)
27.10 ± 5.79 a
B
(Tepung Ikan 75%; Tepung Maggot 25%)
24.92 ± 4.68 a
C
(Tepung Ikan 50%; Tepung Maggot 50%)
23.48 ± 9.67 a
D
(Tepung Ikan 25%; Tepung Maggot 75%)
25.07 ± 6.39 a
E
(Tepung Maggot 100%; Tepung Ikan 0%)
31.67 ± 2.92 a
Keterangan : Nilai rata-rata ± standar deviasi. n = 3
Huruf yang sama menunjukan tidak berpengaruh nyata
Dari tabel diatas terlihat bahwa rata-rata efisiensi pemanfaatan pakan pada pakan A, B,
C, D, E berturut-turut adalah 27.10%; 24.92%; 23.48%; 25.07%; dan 31.67%. Hasil analisis
ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap efisiensi pemanfaatan
pakan pada taraf 5 %. Hal ini menunjukkan bahwa efektifitas pakan untuk semua perlakuan
relatif sama.
Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa walaupun nilai efisiensi pemanfaatan pakan
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun nilai efisiensi pemanfaatan pakan cenderung
meningkat dengan bertambahnya kadar tepung maggot di dalam pakan. Hal ini diduga karena
tepung maggot memiliki nilai nutrisi yang tinggi dan hampir sama dengan tepung ikan sehingga
sesuai dengan kebutuhan ikan bandeng. Hadadi dkk (2007) mengatakan bahwa tepung maggot
mengandung protein, lemak, serat kasar, dan BETN berturut-turut adalah 45.01%, 16.78%,
21.97% dan 0.15% dalam bobot kering. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pakan dengan
tepung maggot 100% memiliki efisiensi pakan yang baik dan mampu menggantikan tepung ikan
secara keseluruhan untuk pemeliharaan ikan bandeng.
Kualitas Air
Kisaran nilai parameter kualitas air yang diperoleh selama penelitian disajikan pada
Tabel 9.
Tabel 9. Kisaran Nilai Pengukuran Parameter Kualitas Air Selama Penelitian
Parameter
Perlakuan
A
B
C
D
E
25 - 27
25 - 27
25 - 27
25 - 27
25 - 27
6.62 - 8.42
6.69 - 8.42
6.73 - 8.42
6.76 - 8.42
6.80 - 8.42
DO (ppm)
4.2 - 5
4.8 - 5
3.5 - 5
4.5 - 5
3.8 - 5
NH3 (ppm)
0.002 - 0.02
0.003 - 0.02
0.004 - 0.02
0.014 - 0.02
0.007- 0.02
Suhu (0C)
pH
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa suhu selama penelitian berkisar antara
25-27 °C. Suhu ini masih dalam kisaran yang sesuai untuk pemeliharaan dan pertumbuhan ikan
bandeng. Menurut Zakaria (2010) mengatakan bahwa suhu yang baik untuk kehidupan dan
pertumbuhan ikan bandeng berkiasar antara 24-31 0C. Hal ini juga didukung oleh pendapat
Kordi dan Tancung (2005) bahwa suhu optimal untuk pemeliharaan ikan bandeng berkisar
antara 23-32°C.
Tingkat keasaman (pH) yang diperoleh yaitu berkisar antara 6.62-8.42, Kisaran ini
tergolong sangat layak untuk kehidupan dan pertumbuhan ikan bandeng. Hal ini sesuai dengan
pendapat Kordi (2009) yang mengatakan bahwa ikan bandeng masih dapat tumbuh optimal
pada 6.5-9.
Kandungan oksigen terlarut yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 3.5-5 ppm.
Kisaran ini masih sesuai untuk pemeliharaan ikan bandeng. Menrut Zakaria (2010), kandungan
oksigen yang sesuai untuk pemeliharaan ikan bandeng tidak kurang dari 3 ppt.
Kandungan amoniak yang diperoleh selama penelitian berkisar 0.002-0.02 ppm.
Kiasaran ini tergolong masih layak untuk pemeliharaan ikan bandeng. Hal ini sesuai dengan
pendapat Kordi dan Tancung (2005) mengatakan bahwa dalam pemeliharaan ikan bandeng,
kandungan amoniak tidak boleh lebih dan 0.1 ppm.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada ikan Bandeng
C.
chanos Forsskal yang diberi pakan berbagai tingkat subtitust tepung ikan dengan tepung
maggot memberikan pengaruh yang sama terhadap retensi protein, retensi lemak, retensi
energi dan efisiensi pemanfaatan pakan, sehingga tepung maggot dapat menggantikan
peranan tepung ikan hingga 100 % dalam pembuatan pakan untuk budidaya ikan Bandeng C.
chanos Forsskal.
Sebaiknya dilalukan penelitian lebih lanjut, pada parameter-parameter yang lain untuk
menentukan tingkat subtitust tepung ikan dengan tepung maggot yang tepat, dalam membuat
formulasi pakan ikan Bandeng C. chanos Forsskal.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E dan Liviawaty, E. 2005. Pakan Ikan. Kanisius. Yogyakarta
Anonim. 2010. Produksi Udang Sulswesi Selatan ditargetkan 21.498. Diakses dari
(http://www.kabarbisnis.com/aneka-bisnis/agribisnis/282203Produksi_udang_Sulsel_ditarget_21_498_ton.html)
Anonim. 2010. Ikan Bandeng Potensial Dibudidayakan Dalam KJA di Laut. Diakses dari
(http://ikanmania.wordpress.com/2007/12/31/ikan-bandeng-potensial-dibudidayakandalam-kja-di-laut/).
Anonim.
2010.
Maggot
Pakan
Alternatif.
Diakses
dari
(http://www.perikanan-
budidaya.dkp.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=113:maggot-pakanalternatif&catid=117:berita&Itemid=126.)
Aslamyah, S. 2008. Pembelajaran Berbasis SCL pada Mata Kuliah Biokimia Nutrisi. UNHAS.
Makassar.
Buwono I. D. 2000. Kebutuhan Asam Amino Esensial Dalam Ransum Ikan. Kanisius.
Yogyakarta.
Gusrina. 2008. Budidaya Ikan. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta
Hadadi, A., Herry, Setyorini, Surahman, A., Ridwan, E. 2007. Pemanfaatan Limbah Sawit untuk
Pakan Ikan.
Jouncey, K and Ross, B. 1988. A Guide to Tilapia Feeds and Feeding. Institute of Aquaculture
of Stirling Scotland.
Kumar, S dan M. Tembhre. 1997. Anathomy and Physiology of Fishes. Vikas Publishing House
PVT Ltd. New Delhi.
Lan, C.C. dan B.S. Pan. 1993. Invitro Ability Stimulating The Proteolysis of Feed
Protein in The Midgut Gland of Grass Shrimp (Pennaeus monodon).
Lovell, T., 1988, Fish Nutrition. Academic Press. London and New York.
Mudjiman, A. 2004. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Priyadi, A., Azwar, Z. I., Subamia, I.W., dan Hem, S. 2008. Pemanfaatan Maggot Sebagai
Pengganti Tepung
Ikan
Dalam Pakan
Buatan
Untuk Benih
Ikan Balashark
(Balanthiocheilus Melanopterus Bleeker).
Rachmansyah. 2004. Analisis Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Awarange Kabupaten
Barru, Sulawesi Selatan Bagi Pengembangan Budidaya Bandeng dalam Keramba
Jaring Apung. IPB. Bogor
Retnosari, D. 2007. Pengaruh Pengaruh Substitusi Tepung Ikan Oleh Tepung Belatung
Terhadap Pertmbuhan Benih Nila (Oreochromis niloticus) Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Universitas Panjadjaran, Jatinangor, Bandung.
Syamsuddin, R. 2010. Sektor Perikanan Kawasan Indonesia Timur: Potensi, Permasalahan,
dan Prospek. PT Perca, Jakarta
Yuwono, E dan Purnama, S. 2001. Fisiologi Hewan I. Fakultas Biologi Universitas Jendral
Soedirman. Purwokerto.
Zakaria.
2010.
Petunjuk
Tehnik
Budidaya
Ikan
Bandeng.
http://cvrahmat.blogspot.com/2011/04/budidaya-ikan-bandeng.html
Diakses
dari
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII
Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
POTENSI MAGGOT SEBAGAI SALAH SATU
SUMBER PROTEIN PAKAN IKAN
MELTA RINI FAHMI', SAURIN HEM 2
dan
I WAYAN SUBAMIAI
Loka Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar, Depok'
Jalan Perikanan No . 13 Kampung Baru, Depok 16436
2
Institut de Recherche pour le Developpement (IRD), Perancis
ABSTRAK
Penggunaan maggot sebagai sumber protein alternatif dalam pakan ikan telah dikaji di Loka Riset Budidaya Ikan
Hias Air Tawar (LRBIHAT) Depok . Maggot merupakan larva serangga Black soldier (Hermetia illusence) yang dapat
mengkonversi material organik menjadi biomasanya . Sebagai pakan ikan maggot memiliki dua fungsi yaitu sebagai
salah satu sumber protein yang dapat mensubtitusi tepung ikan dan sebagai pellet altematif yaitu maggot dapat langsung
diubah menjadi pellet. Produksi maggot dapat dilakukan secara tertutup dan terbuka . Cara tertutup untuk daerah yang
padat penduduk sedangkan cara terbuka dilakukan di daerah yang jarang penduduknya . Media yang digunakan untuk
produksi maggot adalah Palm kernel meal (PKM) atau bungkil kelapa sawit . Perbandingan jumlah maggot yang
diproduksi dengan jumlah PKM adalah 1 : 3 (1 kg maggot didapatkan dari 3 kg PKM) .
Kata kunci : Ikan, sumber protein, maggot
PENDAHULUAN
Akuakultur terus mengalami perkembangan
yang pesat, produksinya meningkat dari 13
hingga 36 juta ton selama 15 tahun terakhir (dari
tahun 1984 hingga tahun 2000) (FAO) . Seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk, akuakultur
juga memacu potensinya untuk eksis dan terus
maju dalam upaya memenuhi kebutuhan protein
masyarakat . Hal ini terlihat dari grafik pertumbuhan
akuakultur yang di keluarkan oleh FAO (Gambar
1) . Selanjutnya dengan adanya tuntutan untuk
peningkatan produksi secara otomatis akan
meningkatkan kebutuhan akan pakan ikan . Tepung
ikan sebagai salah satu sumber protein penting
dalam formulasi pakan ikan, mulai mengalami fase
stagnan yaitu kurang lebih 6,1 juta ton pertahun
semenjak tahun 90-an (Gambar 1) . Kondisi ini
tentu menjadi kendala yang cukup besar bagi
pertumbuhan budidaya perikanan .
Indonesia sebagai salah satu negara pengimport
tepung dan minyak ikan juga terkena dampak dari
kondisi global akuakultur ini, yaitu keterbatasan
jumlah tepung ikan sehingga harganya terus
melonjak . Hingga saat ini Indonesia menganggarkan
kurang lebih US$ 200 juta pertahun untuk impor
tepung dan minyak ikan . Hal ini menjadi perhatian
yang cukup serius sehingga perlu dilakukan upayaupaya untuk mengatasi permasalahan tersebut,
salah satunya adalah upaya mencari pengganti
tepung ikan (fishmeal replacement) sebagai salah
satu sumber protein penting dalam formulasi pakan
ikan (IRD, 2004) .
Penelitian tentang pengganti tepung ikan (fish
meal replacement) pun mulai banyak dilakukan,
seperti penggunaan tepung keong, bulu ayam, kedele,
bungkil kelapa sawit (Palm kernel meal/PKM) dan
lain-lain, namun masih menghadapi kendala yaitu
ketersediaannya yang terbatas . PKM merupakan
salah satu basil sampingan dalam industri minyak
sawit . PKM diketahui mengandung 16-17,9%
protein, 13-15% serat kasar dan anti nutrisi berupa
non starch polysaccharides (NSPs) (AGUNDIADE
et al., 1999 ; WING-KEONG NG, 2003) . Kandungan
serat yang tinggi menyebakan nilai kecernaan PKM
menjadi lebih rendah pada hewan monogastrik
(SWICK, 1999) . Untuk ikan pemberian PKM, ZAHARI
dan ALIMON (2005) merekomendasikan 10-20%,
AFIFAH (2006) merekomendasikan 11 % .
Salah satu cara untuk meningkatkan nilai
PKM dalam akuakultur adalah melalui proses
biokonversi . Konsep ini telah mulai di kembangan
oleh peneliti IRD (Institut de Recherche pour le
Developpment), Perancis dan LRBIHAT (Loka
Riset Budidaya Man Hias Air Tawar) Depok . Agen
biokonversi yang dilibatkan adalah larva Diptera,
(famili : Stratiomydae) .
125
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII
Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkm Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
so,*
0 produksi
o kebutuhan pakan
- ketersediaan tepung ikan
untuk kebutuhan global
C3 ketersediaan tepung ikan
untuk akuakultur
p perkiraan kebutuhan tep . ikan
(fishmeal replacement)
Gambar 1 . Perkembangan akuakultur secara global
BIOKONVERSI
Biokonversi didefinisikan sebagai perombakan sampah organik menjadi sumber energi
metan melalui proses fermentasi yang melibatkan
organisme hidup . Proses ini biasanya dikenal
sebagai penguraian secara anaerob . Umumnya
organisme yang berperan dalam proses biokonversi
ini adalah bakteri, jamur dan larva serangga
(family : Chaliforidae, Mucidae, Stratiomydae) .
Dalam kehidupan sehari-hari, proses ini sering
ditemukan, seperti pada proses pembuatan tempe
yang memanfaatkan jamur (ragi) sebagai organisme
perombak, proses pembusukan sampah organik
(pembuatan pupuk kompos) yang melibatkan
bakteri sebagai organisme perombak . Sedangkan
pada limbah hewani agen perombak yang sering
di temukan adalah larva serangga Diptera. Larva
serangga dari famili : Stratiomydae, Genus :
Hermetia, spesies : Hermetia illucens, banyak di
temukan pada limbah kelapa sawit . Larva Hermetia
1 26
illucens atau Black soldier (BS) Fly ini, lebih
dikenal dengan istilah maggot .
BIOLOGI MAGGOT
Istilah
"maggot" mulai dikenal pada
pertengahan tahun 2005, yang diperkenalkan oleh
tim Biokonversi IRD-Perancis dan Loka Riset
Budidaya Ikan Hias Air Tawar (LRBIHAT), Depok .
Maggot merupakan larva serangga (Diptera :
Stratiomydae, Genus Hermetia) yang hidup di
bungkil kelapa sawit (Palm kernel meal/PKM) .
PKM sebagai media tempat hidupnya akan dimakan
dan dicerna oleh maggot dan disimpan dalam organ
penyimpanan yang disebut trophocytes . Sekitar
33% dari berat tubuh serangga adalah trophocyters
(NAYAR et al., 1981) .
Siklus hidup Black soldier (BS) sama dengan
serangga Diptera lainnya yaitu mulai dari telur
menetas menjadi larva yang mengalami proses
metamorposa menjadi pupa dan serangga dewasa
(Gambar 2) .
Seminar Nasional Hari Pangan SeduniaXXG71
Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakal
Pupa
Maggot
Telur
Dewasa
Gambar 2 . Siklus hidup Black soldier (Hermetia illucens)
Telur BS berwarna kekuningan berbentuk
elips dengan panjang sekitar 1 mm . Warnanya
akan berubah menjadi kecoklatan/gelap menjelang
menetas dan setelah 24 jam pada suhu 30°C telur
BS akan menetas . Larva BS (maggot) berbentuk
elips warna kekuningan dan hitam di bagian
kepala. Setelah 20 hari panjangnya mencapai 2 cm,
pada fase ini maggot telah dapat di berikan pada
ikan sebagai pakan . Ukuran maksimum maggot
mencapai 2,5 cm dan setelah mencapai ukuran
tersebut maggot akan menyimpan makanan dalam
tubuhnya sebagai cadangan untuk persiapan proses
metamorfosa menjadi pupa. Mendekati fase pupa,
maggot akan bergerak menuju tempat yang agak
kering . Pupa ini mulai terbentuk pada maggot umur
1 bulan, dan kurang lebih I minggu kemudian pupa
akan menetas menjadi lalat . Lalat dewasa ini hanya
memakan madu atau sari bunga sehingga lebih
dikenal dengan serangga bunga . Setelah kawin lalat
BS akan menyimpan telurnya di serpihan-serpihan
dekat sumber makanan larva muda (Gambar 3) .
Hasil penelitian terhadap pertumbuhan maggot
dapat dilihat pada grafik Gambar 4 .
Serangga Hermetia illusence (Black soldier
fly) dapat ditemukan dimana saja, penyebarannya
hampir diseluruh wilayah . Namun tidak ditemukan
pada habitat dan makanan manusia, sehingga
maggot lebih higienis jika dibandingkan dengan
lalat rumah (Musca sp) atau lalat hijau (Challipora
sp) . Hingga saat ini maggot tidak terdeteksi sebagai
penyebab penyakit (NEWTON et al., 2005) .
Gambar 3 . Black soldier (BS) Fly (a) BS fly sedang kawin (b) tempat hidup BS fly umumnya di atas daun/bunga
127
Seminar Nasional Hari Pangan SeduniaXXL7I
Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
Btongbtc r .Iadonslbp belween length and
41p of eorty Hermlra dA 4+ens Irvao (In mm)
couesponrngto tho age of larvae (rn days) at the tsmprattna of 30 c
Gambar 4. Grafik pertumbuhan maggot pada suhu 30°C
Larva black soldier (BS) memiliki beberapa
karakter diantaranya : (1) bersifat dewatering
(menyerap air), dan berpotensi dalam pengelolaan
sampah organik, (2) dapat membuat Hang untuk
aerasi sampah, (3) toleran terhadap pH dan
temperatur, (4) melakukan migrasi mendekati fase
pupa, (5) higienis, sebagai kontrol lalat rumah, (6)
kandungan protein tinggi mencapai 45% . Semua
karakter tersebut menunjukkan potensi maggot
sebagai agen biokonversi dan sumber protein
alternatif pakan ikan .
Tabel 1 . Kandungan nutrisi maggot
Proksimat (%)
Kadar air
Protein
Lemak
12 8
2,38
44,26
29,65
Asam amino (%)
Serin
6,35
Glisin
3,80
Histidin
3,37
Arginin
12,95
Asam lemak (%)
Linoleat
Linolenat
Saturated
Monomer
0,70
2,24
20,00 mg/g
8,71
Mineral (%)
Mn
Zn
Fe
Cu
0,05 mg/g
0,09
0,68
0,01
Treonin
Alanin
Prolin
3,16
25,68
16,94
P
Ca
Mg
0,13
55,65
3,50
Tirosin
Valin
Sistin
Iso leusin
4,15
3,87
2,05
5,42
Na
K
13,71
10,00
Leusin
Lisin
Taurin
4,76
10,65
17,53
Sistein
NH3
Orn
2,05
4,33
0,51
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XVVII
Dukungan Tekuologi UlntukMeningkatkan Prnduk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
Kandungan nutrisi maggot
SHEPPARD et al. (2005) mengatakan bahwa
kandungan nutrisi maggot sangat potensial dij adikan
sebagai sumber protein alternatif pakan ikan . Nilai
nutrisi maggot dapat dilihat pada Tabel 1 .
Maggot sebagai pakan ikan
Maggot sebagai
pakan ikan memiliki
beberapa fungsi yaitu sebagai pengganti tepung
ikan (fishmeal replacement) dan sebagai pakan
alternatif. Fungsi maggot ini pada akhirnya akan
mempengaruhi bentuk pengolahannya. Sebagai
pengganti tepung ikan, maggot diolah dalam
l
bentuk tepung . Tepung maggot ini selanjutnya
dimasukkan dalam formulasi pakan sebagai salah
satu sumber protein menggantikan tepung ikan .
Sebagai pakan alternatif, maggot dapat diberikan
dalam bentuk fresh (segar) pada ikan, dapat juga
diberikan dalam bentuk pelet . Untuk pengolahan
menjadi pelet maggot terlebih dahulu dikeringkan
hingga kadar airnya mencapai 25%, setelah itu
langsung dimasukkan ke dalam mesin pelet untuk
dicetak .
Dari penelitian yang dilakukan, ikan-ikan
carnivora, seperti ikan Arwana, Betutu, Lele dan
Gabus sangat menyukai maggot fresh sebagai
pakannya . Sedangkan ikan-ikan yang berukuran
kecil lebih menyukai pelet magot .
(b)
Gambar 5 . (a) Maggot segar (fresh) siap diberikan sebagai pakan ikan, (b) pelet maggot
(a)
(b)
Gambar 6 . (a) Produksi maggot secara tertutup menggunakan kandang (b) Produksi maggot secara terbuka
menggunakan tong
1 29
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII
Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Heivani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
Tekhnologi produksi maggot
Black soldier ditemukan hampir di seluruh
wilayah, namun jumlah terbanyak ditemukan di
daerah-daerah yang jumlah penduduknya sedikit .
Di wilayah yang berpenduduk padat kehadiran
maggot akan berkompetisi dengan lalat rumah
(Mucidae) atau lalat hijau (Caliphoridae) . Kedua
kondisi wilayah ini akhimya mempengaruhi teknik
produksi maggot . Untuk wilayah yang berpenduduk
padat produksi maggot dilakukan dengan sistem
tertutup dengan menggunakan kandang . Sedangkan
pada sistem terbuka wadah yang digunakan adalah
tong-tong besi yang di tutup penutup tong diselangi
dengan kawat, fiber dan bambu .
Langkah/tahapan dalam produksi maggot
adalah sebagai berikut :
dalam bak pembesaran . Setelah 2 mingggu di bak
pembesaran maggot siap dipanen .
Untuk mendapatkan 1 kg maggot segar
dibutuhkan 3 kg PKM .
KESIMPULAN
Maggot dapat diproduksi secara massal dan
dapat mensubstitusi penggunaan tepung ikan dalam
formulasi pakan .
DAFTAR PUSTAKA
R . 2006. Pemanfaatan bungkil kelapa sawit
dalam pakan juvenile ikan patin jambal (Pangsius
jambal) . Him 19.
AFIFAH,
J . WISEMAN and D .J .A . COLE . 1999 .
Energi and nutrient use of palm kenels, palm kernel
meal and palm kernel oil in diets for growing pigs .
Animal feeds Science and Technologi 80 : 165-
AGUNBIADE, J .A .,
Persiapan wadah, alat dan bahan
1 . Wadah : tong besi (diameter 56 cm dan tinggi
50 cm) dan bak beton berukuran 5 x 10 x 0,5
m.
2 . Alat : tiang untuk tong berbentuk segitiga
dengan tinggi 60cm, kawat, fiber, bambu
dan tutup tong .
3 . Bahan : bungkil kelapa sawit, air dan daun
pisang
4 . Tong-tong yang akan digunakan ditempatkan
di semak-semak atau tempat-tempat yang
banyak potion
181 .
Prospective work result and plans
for feature program of bioconversion processing by
product from agro industries in Indonesia & their
vabrication via aquaculture : Application with palm
kernel meal . Annual report . Him 11 (Unpublished
IRD . SAURIN HEM . 2004 .
report) .
and DAVID, B .V.
General and Applied enthomology . McGraw
Pub. Co . Ltd . New Delhi : vii + 573 him .
NAYAR, K .K . ANANTHAKRISNAN, I .N .,
1981 .
L .,
and R .
NEWTON,
Kultur r , !,
{)t
Kultur maggot dilakukan d cara se'
ai
berikut : 3 kg bungkil kelapa
telah
is
5
dicampurkan dengan 6 1i'
,udian e
;k
secara merata, selanjui ~ . a campuran tei
kit
dimasukkan ke dalam t
dan ditempatkan
in
pisang diatasnya . Tong
telah berisi bungkil
ditutup dengah penutup
yang diselingi dengan
kawat, bambu dan fiber
elah 2 minggu akan
didapatkan maggot yang iiiasih muda di dalam
tong .
Tahap pembesaran
Tahap ini dimulai dari pemanenan semua
maggot dari tong selanjutnya dipindahkan ke
130
C . SHEPPARD, D .W. WATSON, G. BURTLE
DOVE . 2005 . Using the Black Soldier fly,
Hermetia illucens, as a value- added tool for the
management of swine manure . Report for The
Animal and Poultry waste Management Center. 17
III :
R .A. 1999 . Consid, lion in using protein meals
for poultry and swine . ASA Technical Bulletin 21 :
1-11 .
SWICK,
The pontential use of palm kernel
meal in aquaculture feeds . Aquaculture Asia 8(1) :
WING KEONG NG. 2003 .
38-39 .
M .W. and A.R . ALIMON . 2005 . Use of palm
kernel cake and oil palm by products in compund
feed . Palmas journal 26 (1) : 5-9 .
ZAHARI,
Download