PERUBAHAN KARAKTERISTIK SURIMI

advertisement
PERUBAHAN KARAKTERISTIK SURIMI KOMPOSISI
IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DENGAN
IKAN NILA HITAM (Oreochromis niloticus) SELAMA
PENYIMPANAN SUHU DINGIN
CHORIDATUL JANNAH
C34052465
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
75
RINGKASAN
CHORIDATUL JANNAH. C34052465.
Perubahan Karakteristik Surimi
Komposisi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dengan Ikan Nila Hitam
(Oreochromis niloticus) Selama Penyimpanan Suhu Dingin. Dibimbing oleh
JOKO SANTOSO dan DJOKO POERNOMO.
Surimi merupakan konsentrat protein miofibril yang diperoleh melalui
pemisahan tulang dari daging ikan yang mengalami pencucian dengan air dingin.
Dalam bentuk surimi ini, daging ikan disiapkan untuk mudah digunakan dalam
berbagai produk olahan yang memiliki nilai tambah, memiliki warna yang putih,
mudah disimpan dan mempunyai nilai gizi tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan ikan budidaya air tawar
dalam pembuatan surimi berbasis multi-spesies melalui metode pengkomposisian
dan untuk mengkaji perubahan karakteristiknya selama penyimpanan pada suhu
dingin. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan
dan utama. Tahap penelitian pendahuluan dilakukan analisis karakteristik fisikakimia bahan baku, penentuan frekuensi pencucian terbaik dan penentuan
komposisi terbaik terhadap kedua surimi (ikan lele dumbo dan ikan nila hitam).
Tahap penelitian utama dilakukan penyimpanan surimi hasil pengkomposisian
terbaik pada suhu dingin untuk dipelajari perubahan karakteristik fisika, kimia dan
mikrobiologi selama penyimpanan.
Hasil penelitian pendahuluan diperoleh nilai rendemen daging ikan nila
yang cukup besar yaitu 40,73%, sedangkan ikan lele dumbo sebesar 36,18%.
Kedua jenis ikan yang digunakan dalam penelitian ini termasuk jenis ikan yang
memiliki protein cukup tinggi (protein ikan nila sebesar 13,88 % dan ikan lele
dumbo 12,97 %) dan lemak rendah (lemak ikan nila sebesar 0,30 % dan ikan lele
dumbo sebesar 0,70 %).
Frekuensi pencucian 1 kali menghasilkan surimi ikan nila dengan ikan lele
dumbo dengan kekuatan gel tertinggi masing-masing sebesar 792 g cm dan 540 g
cm. Hasil penelitian tahap berikutnya, diketahui bahwa komposisi surimi N1L1
(nila : lele = 1:1) mampu menghasilkan nilai kekuatan gel tertinggi dengan nilai
sebesar 612 g cm dibandingkan dengan komposisi surimi N1L2 dan N2L1.
Selama 10 hari penyimpanan pada suhu dingin, surimi komposisi N1L1
mengalami penurunan mutu sehingga berpengaruh terhadap nilai pH, TVBN, TPC
dan PLG yang selanjutnya mempengaruhi kekuatan gel dan derajat putih dari
surimi yang dihasilkan. Salah satu kriteria mutu surimi yang baik terletak pada
faktor kekuatan gel. Tahap penelitian ini, kekuatan gel tertinggi didapatkan pada
penyimpanan hari ke-0 sebesar 1096 g cm, sedangkan terendah pada penyimpanan
hari ke-10, yaitu sebesar 78 g cm. Bila nilai kekuatan gel ini dibandingkan dengan
hasil pada uji-uji yang lain seperti protein larut garam (PLG), uji daya ikat air
(WHC) dan uji derajat putih maka didapatkan korelasi yang positif. Nilai derajat
putih dari surimi yang dihasilkan, yaitu dari 33,38 % pada penyimpanan hari ke-0
turun menjadi 27,29 % pada penyimpanan hari ke-10. Nilai pH dan PLG tertinggi
terjadi pada penyimpanan hari ke-0, yaitu sebesar 7,38 dan 4,64 %. Adapun nilai
TVBN dan TPC menghasilkan nilai terendah pada penyimpanan hari ke-0,
masing-masing sebesar 5,32 mg N/100 g dan 0,66 x 105 koloni/g.
76
PERUBAHAN KARAKTERISTIK SURIMI KOMPOSISI
IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DENGAN
IKAN NILA HITAM (Oreochromis niloticus) SELAMA
PENYIMPANAN SUHU DINGIN
Oleh :
CHORIDATUL JANNAH
C34052465
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada Departemen Teknologi Hasil Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
77
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul:
PERUBAHAN KARAKTERISTIK SURIMI KOMPOSISI IKAN LELE
DUMBO (Clarias gariepinus) DENGAN IKAN NILA HITAM
(Oreochromis niloticus) SELAMA PENYIMPANAN SUHU DINGIN
adalah benar merupakan hasil karya yang belum pernah diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2010
Choridatul Jannah
C34052465
78
LEMBAR PENGESAHAN
Judul
: PERUBAHAN KARAKTERISTIK SURIMI KOMPOSISI
IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DENGAN
IKAN NILA HITAM (Oreochromis niloticus) SELAMA
PENYIMPANAN SUHU DINGIN
Nama
:
Choridatul Jannah
Nrp
:
C34052465
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si
NIP. 19670922 1992 03 1 003
Ir. Djoko Poernomo, B.Sc
NIP. 19580419 1983 03 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil
NIP. 19580511 1985 03 1 002
Tanggal disetujui
:
79
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT berkat rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam
selalu tercurahkan kepada Baginda mulia Rasulullah SAW dan para sahabat atas
perjuangannya untuk kemuliaan Dienul Islam.
Dalam skripsi ini penulis mengambil judul “Perubahan Karakteristik
Surimi Komposisi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dengan Ikan Nila Hitam
(Oreochromis niloticus) Selama Penyimpanan Suhu Dingin” yang merupakan
salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Perikanan di Departemen
Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si dan Ir. Djoko Poernomo, B. Sc selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam
penyusunan skripsi ini serta pembelajaran hidup yang telah diberikan.
2. DP2M Dikti melalui proyek hibah kompetitif penelitian yang telah membiayai
penelitian ini.
3. Ibu Dra. Pipih Suptijah, MBA dan Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.Biol
selaku dosen penguji yang telah memberikan pengarahan dan saran konstruktif
untuk kesempurnaan penyusunan skripsi ini.
4. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil selaku Ketua Departemen
Teknologi Hasil Perairan, FPIK-IPB.
5. Ibu Chairita di BBP2HP, Muara Baru-Jakarta Utara, atas doa dan waktunya
untuk sharing.
6. Ayahanda Maksudi Yazid dan Ibunda Kulsum (Almh) serta keluargaku
tercinta yang selalu setia dalam suka dan duka (Kang Yayah, Kang Ali, Kang
Opah, seluruh kakak iparku; Kang Asa, Yu Dillah, Mas Dirga, dan ponakanku
tersayang Mba Iik, Mas Ayat, Dede Hafidz) yang tak pernah lelah untuk
memberikan dorongan dan doa yang begitu tulus serta atas segala bantuan
baik materil maupun spirituil kepada penulis hingga akhirnya menjadi S.Pi.
80
7. Adindaku tercinta di Jeddah, atas support dan doa tulus yang luar biasa untuk
Anguda. Temani bintang kejora itu, Dik. Kita masih punya mimpi untuk
Mandut-Mindut (Almh).
8. Untuk Ehsyat, terima kasih atas semuanya “UliUmi”, untuk kesetiaannya,
kesabarannya, pengertiannya dan pengorbanannya. Jazakillah ya, Dik.
9. Keluargaku di Tangerang (Bapak Mu’min Imanuddin dan Ibu Sopiah, Kanda,
Ansoy, Mas Wahyu, Dede kecil Jiank) atas doa dan dukungannya yang sangat
berharga.
10. Tim surimi (Erna, Dini dan mba Ulin) atas kerjasamanya untuk melalui dan
memulai semua ini.
11. Laboran THP (Ibu Emma, Kak Jacky, Dek Rita, Bang Ipul) dan Staff TU THP
(Bang Mail, Pak Ade, Mba Hani) atas segala bantuannya.
12. Ukhti Sari, jazakillah khairan katsiran atas bantuan dan semangatnya.
13. Sohib-sohibku terkompak di Tim asisten TITL 2009; Prilz, Ifa dan Rodhie,
atas kebersamaan dan doa yang begitu tulus.
14. Teman-teman THP 42 tercinta (Doranggi Dorayaki, Ita, Evi, Rivalku
“Danker”, Sena, Fuad, Bayu, Ale, Seno, Miftah, Mirza, Martca, Niken, Dewi
Manu, Ulie, Ulfa, Sugara, Adho, Jeng Sofie, Phite, Pus, Febri, Ozy, Tyas,
Si Kembar) atas kekompakannya dan segala bantuan yang diberikan untuk
penulis. Dan juga Adik-adikku THP 43 dan 44, atas bantuannya.
15. Penghuni Kilimanjaro; Ukhti Deway (Jazakillah atas doanya dan tetaplah
tersenyum), Kepsek abadi Hida (Jazakillah untuk printer-nya), Cucunda Sita
(Jazakillah untuk perhatian dan yang selalu menghibur dan manja ke
Omanda), Dek Gita-ku yang chabby (untuk pengertian dan teriakannya yang
membuat mba tersenyum), Ponakanku Nida (“simbol kesombongan”, Tante
sayang
Nida),
Mba
Vinan
(Jazakillah
atas
kekhawatirannya
dan
tumpangannya), dan Dek D2 (Jazakillah untuk riasannya).
16. Guruku Uni Emilda, Teh Lia di Bandung, Mba Leli, Musy Nindira, Teh Nauli,
Teh Nengky, Mba Maria, Teh Noneng dan Teh Deni di Gunung Putri, atas
doanya.
17. Teman-teman DeBu 42; CinDien (Jazakillah atas kedatangannya), Izzah,
Yeni, Isni, Mulya, Dian, Rinay.
81
18. Saudara-saudaraku seperjuangan di LDF MT Al-Marjan FPIK IPB, khususnya
Tim nissa deputi MT (Dewi, Uchi, Ade Willy dan Dek Eka), Jazakumullah.
19. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang telah ikhlas
membantu penulis selama penelitian.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih ada kekurangan.
Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat
diharapkan.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang
memerlukannya.
Bogor, Februari 2010
Penulis
82
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Choridatul Jannah. Penulis
adalah anak keempat dari lima bersaudara yang dilahirkan di
kota Indramayu pada tanggal 2 Oktober 1987 dari pasangan
Maksudi Yazid dan Kulsum (Almh).
Pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh penulis
adalah SD Negeri Singaraja 1-Indramayu pada tahun 1999.
Penulis melanjutkan pendidikan sekolah menengah pertama di
MTsN Wotbogor-Indramayu pada tahun 1999 dan selesai pada tahun 2002. Pada
tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan menengah atas di SMAN 1
Indramayu dan selesai pada tahun 2005. Pada tahun 2005, penulis diterima di
Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan
tahun 2006 tercatat sebagai mahasiswa Departemen Teknologi Hasil Perairan,
FPIK IPB. Penulis pernah aktif sebagai asisten mata kuliah Sosiologi Umum
(2007-2008), Ketua Departemen Keputrian LDF MT Al-Marjan FPIK IPB (20082009), anggota Koalisi Gaul Sehat (KOGASE) IPB (2008-2009), Pengurus LDK
BKIM IPB (2005-2007), anggota rohis THP 42 (2007), editor Fisheries Study
Club Himasilkan (2007), Divisi Litbang Organisasi Mahasiswa Daerah Indramayu
IKADA (2006-2007), SC PPSDM Organisasi Mahasiswa Daerah Indramayu
IKADA (2009), Koordinator asisten praktikum Teknologi Industri Tumbuhan
Laut (2009) dan asisten praktikum Surimi S2 THP, FPIK-IPB (2009). Pada tahun
2009 penulis melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT Kerupuk Cap Dua
Gajah-Indramayu selama 1 bulan. Penulis pernah menerima beasiswa dari Pemda
Indramayu (2005-2006), TANOTO foundation (2006-2008) dan beasiswa
Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) IPB (2009).
Penulis melakukan penelitian dengan judul “Perubahan Karakteristik
Surimi Komposisi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dengan Ikan Nila Hitam
(Oreochromis
niloticus)
Selama
Penyimpanan
Suhu
Dingin”.
Dalam
menyelesaikan penelitian ini penulis dibimbing oleh Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si
dan Ir. Djoko Poernomo, B.Sc.
83
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xiii
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Tujuan ............................................................................................... 4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Lele .................................................... 5
2.2 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Nila .................................................... 7
2.3 Komposisi Kimia Ikan ....................................................................... 9
2.3.1 Protein ikan .............................................................................
a) Protein miofibril .................................................................
b) Protein sarkoplasma ...........................................................
c) Protein stroma ....................................................................
2.3.2 Lemak ikan ..............................................................................
2.3.3 Komponen volatil ....................................................................
9
10
11
11
11
12
2.4 Pengaruh Penyimpanan Suhu Dingin terhadap Mutu Ikan .................. 13
2.5 Surimi ................................................................................................ 14
2.5.1 Pengertian dan karakteristik surimi ..........................................
2.5.2 Syarat mutu surimi beku ..........................................................
2.5.3 Bahan tambahan dalam pembuatan surimi ...............................
a) Garam ................................................................................
b) Cryoprotectant ...................................................................
2.5.4 Mekanisme pembentukan gel ...................................................
15
17
17
18
19
20
3. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................. 23
3.2 Alat dan Bahan .................................................................................. 23
3.3 Tahapan Penelitian ............................................................................. 24
3.3.1 Penelitian pendahuluan ............................................................ 24
3.3.2 Penelitian utama ...................................................................... 28
3.4 Prosedur Analisis ................................................................................ 29
3.4.1 Uji fisik ................................................................................... 29
84
a)
b)
c)
d)
Rendemen (SNI-19-1705-2000) ..........................................
Uji lipat (folding test) (Suzuki 1981) ..................................
Uji gigit (teeth cutting test) (Suzuki 1981) .........................
Water Holding Capacity (WHC)
(Grau dan Hamm 1972 dalam Faridah et al. 2006) .............
e) Kekuatan gel (Shimizu et al. 1992 dalam Yasin 2005) ....
f) Derajat putih (Kett electric Laboratory 1981
dalam Yasin 2005) .............................................................
3.4.2 Uji kimia .................................................................................
a) Nilai pH (Suzuki 1981) ......................................................
b) Protein larut garam (PLG)
(Saffle dan Galbraeth 1964 dalam Nauli 2009) .................
c) Uji kadar air (Apriyantono et al. 1989) ............................
d) Uji kadar abu total (Apriyantono et al. 1989) .....................
e) Uji kadar protein (Apriyantono et al. 1989) .....................
f) Uji kadar lemak (Apriyantono et al. 1989) .........................
g) Uji Total volatile base nitrogen (TVBN) (AOAC 1995) ...
29
29
30
30
31
32
32
32
32
33
33
34
35
35
3.4.3 Uji mikrobiologi (perhitungan total mikroba) (Fardiaz 1992) ... 36
3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ............................................ 38
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penelitian Pendahuluan ...................................................................... 41
4.1.1
4.1.2
4.1.3
4.1.4
Rendemen daging ikan nila dan ikan lele .................................
Komposisi proksimat daging lumat ikan nila dan ikan lele .......
Penentuan frekuensi pencucian terbaik .....................................
Penentuan komposisi surimi terbaik .........................................
41
41
43
46
4.2 Penelitian Utama ............................................................................... 47
4.2.1 Karakteristik fisik ....................................................................
a) Kekuatan gel (gel strength) ................................................
b) Derajat putih .......................................................................
c) Water Holding Capacity (WHC) .........................................
d) Uji lipat (folding test) ..........................................................
e) Uji gigit (teeth cutting test) .................................................
4.2.2 Karakteristik kimia dan mikrobiologi ........................................
a) Derajat keasaman (pH)........................................................
b) Total Volatile Base Nitrogen (TVBN) .................................
c) Protein Larut Garam (PLG).................................................
d) Total Plate Count (TPC) .....................................................
47
47
50
52
54
56
57
58
60
62
64
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ........................................................................................ 67
5.2 Saran ................................................................................................. 67
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 68
LAMPIRAN ............................................................................................... 74
85
DAFTAR TABEL
Halaman
1.
Komposisi kimia ikan lele (Clarias sp.) ................................................. 7
2.
Komposisi kimia ikan nila (Oreochromis sp.) ........................................ 8
3.
Penggolongan protein daging ikan berdasarkan kelarutan ...................... 9
4.
Syarat mutu surimi beku (SNI 01-2693-1992)........................................ 18
5.
Rasio pengkomposisian surimi terbaik ikan nila dan ikan lele ................ 25
6.
Kriteria mutu uji lipat ............................................................................ 29
7.
Kriteria mutu uji gigit ............................................................................ 30
8.
Komposisi kimia daging lumat ikan nila hitam dan ikan lele dumbo ...... 42
9.
Hubungan antara frekuensi pencucian dengan nilai protein larut
garam (PLG), kekuatan gel dan pH ........................................................ 43
10. Nilai uji lipat dan uji gigit pada setiap frekuensi pencucian .................... 45
11. Nilai kekuatan gel surimi dari masing-masing variasi komposisi............ 46
86
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) .................................................... 6
2.
Ikan nila hitam (Oreochromis niloticus) ................................................ 8
3.
Pembentukan gel surimi dan proteolisis protein miofibril....................... 22
4.
Diagram alir penelitian pendahuluan ...................................................... 26
5.
Diagram alir pengkomposisian surimi .................................................... 27
6.
Diagram alir penelitian utama ............................................................... 28
7.
Nilai kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1)
selama penyimpanan dingin ................................................................... 48
8.
Regresi linier kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian nila-lele
(N1L1) selama penyimpanan suhu dingin .............................................. 49
9.
Nilai derajat putih surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1)
selama penyimpanan dingin .................................................................. 50
10. Regresi linier derajat putih surimi hasil pengkomposisian nila-lele
(N1L1) selama penyimpanan dingin ...................................................... 51
11. Nilai daya ikat air (WHC) surimi hasil pengkomposisian nila-lele
(N1L1) selama penyimpanan dingin ...................................................... 52
12. Regresi linier WHC surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1)
selama penyimpanan dingin .................................................................. 53
13. Nilai uji lipat surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1)
selama penyimpanan dingin ................................................................... 54
14. Regresi linier uji lipat surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1)
selama penyimpanan dingin ................................................................... 55
15. Nilai uji gigit surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1)
selama penyimpanan dingin .................................................................. 56
16. Regresi linier nilai uji gigit surimi hasil pengkomposisian nila-lele
(N1L1) selama penyimpanan dingin ...................................................... 57
17. Nilai derajat keasaman (pH) surimi hasil pengkomposisian
nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ......................................... 58
18. Regresi linier derajat keasaman (pH) surimi hasil pengkomposisian
nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ........................................ 59
19. Nilai TVBN surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama
penyimpanan dingin............................................................................... 61
20. Regresi linier ln TVBN surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1)
selama penyimpanan dingin ................................................................... 62
87
21. Nilai protein larut garam (PLG) surimi hasil pengkomposisian nila-lele
(N1L1) selama penyimpanan dingin ..................................................... 63
22. Regresi linier protein larut garam (PLG) surimi hasil pengkomposisian
nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ......................................... 64
23. Nilai log total plate count (TPC) surimi hasil pengkomposisian
nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ......................................... 65
24. Regresi linier log total plate count (TPC) surimi hasil
pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ............ 66
88
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
Lembar penilaian organoleptik uji lipat dan uji gigit surimi hasil
pengkomposisian nila-lele (N1L1) ......................................................... 75
2.
Nilai PLG surimi ikan nila dari setiap frekuensi pencucian .................... 76
3.
Analisis ragam PLG surimi ikan nila dari setiap frekuensi
pencucian .............................................................................................. 76
4.
Nilai PLG surimi ikan lele dumbo dari setiap frekuensi pencucian ......... 76
5.
Analisis ragam PLG surimi ikan lele dumbo dari setiap frekuensi
pencucian .............................................................................................. 76
6.
Nilai pH surimi ikan lele dumbo dari setiap frekuensi pencucian ........... 77
7.
Analisis ragam pH surimi ikan lele dumbo dari setiap frekuensi
pencucian .............................................................................................. 77
8.
Nilai kekuataan gel surimi ikan lele dumbo dari setiap frekuensi
pencucian .............................................................................................. 77
9.
Analisis ragam kekuatan gel surimi ikan lele dumbo dari setiap
frekuensi pencucian ............................................................................... 77
10. Nilai pH surimi ikan nila dari setiap frekuensi pencucian ....................... 78
11. Analisis ragam pH surimi ikan nila dari setiap frekuensi
pencucian .............................................................................................. 78
12. Nilai kekuatan gel surimi ikan nila dari setiap frekuensi
pencucian .............................................................................................. 78
13. Analisis ragam kekuatan gel surimi ikan nila dari setiap frekuensi
pencucian .............................................................................................. 78
14. Data uji lipat ikan lele dumbo setiap frekuensi pencucian ...................... 79
15. Data uji gigit ikan lele dumbo setiap frekuensi pencucian ...................... 79
16. Data uji lipat ikan nila setiap frekuensi pencucian .................................. 80
17. Data uji gigit ikan nila setiap frekuensi pencucian.................................. 80
18. Nilai kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1)
selama penyimpanan suhu dingin ........................................................... 81
19. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey kekuatan gel surimi hasil
pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ..... 81
20. Nilai derajat putih surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1)
selama penyimpanan suhu dingin ........................................................... 82
89
21. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey derajat putih surimi hasil
pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ..... 82
22. Nilai WHC surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama
penyimpanan suhu dingin ...................................................................... 82
23. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey WHC surimi hasil pengkomposisian nilalele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ........................................ 82
24. Data uji lipat gel ikan surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1)
selama penyimpanan suhu dingin ........................................................... 85
25. Analisis ragam dan uji lanjut multiple comparison uji lipat surimi hasil
pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ..... 85
26. Data uji gigit gel ikan surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama
penyimpanan suhu dingin ...................................................................... 87
27. Analisis ragam dan uji lanjut multiple comparison uji gigit surimi hasil
pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ..... 87
28. Nilai pH surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama
penyimpanan suhu dingin ...................................................................... 89
29. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey pH surimi hasil pengkomposisian
nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin................................. 89
30. Nilai TVBN surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama
penyimpanan suhu dingin ...................................................................... 89
31. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey TVBN surimi hasil pengkomposisian
nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin................................. 89
32. Nilai PLG surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama
penyimpanan suhu dingin ...................................................................... 92
33. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey PLG surimi hasil pengkomposisian
nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin................................. 92
34. Nilai TPC surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama
penyimpanan suhu dingin ...................................................................... 92
35. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey TPC surimi hasil pengkomposisian
nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin................................. 92
90
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan sektor perikanan dalam arti luas ditujukan untuk
pemanfaatan
potensi
sumberdaya
perairan,
menghasilkan
produk-produk
unggulan, menyediakan bahan baku bagi keperluan industri dan memperluas
kesempatan kerja.
Produk-produk tersebut berbasiskan pada agroindustri dan
ekonomi perikanan yang tangguh yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi,
efektivitas dan nilai tambah.
Agroindustri yang dipandang strategis untuk
dikembangkan diantaranya adalah industri pengolahan makanan.
Perairan Indonesia yang merupakan 70 persen dari wilayah Nusantara,
mempunyai garis pantai lebih dari 81.000 km dengan 13.667 pulau, memiliki
potensi perikanan yang cukup besar. Sebagai penyedia protein yang murah dan
mudah di Indonesia, produk dari sektor perikanan ini masih sangat mungkin untuk
terus ditingkatkan. Saat ini produksi ikan di Indonesia masih didominasi dari
sektor penangkapan yang mencapai 70 % dari total produksi perikanan di
Indonesia. Dalam kurun waktu tahun 2004-2007, produksi perikanan budidaya
dan perikanan tangkap mengalami peningkatan dengan total produksi 6,12 juta ton
– 8,03 juta ton. Produksi perikanan budidaya Indonesia pada tahun 2004-2007
sebesar 1,47 juta ton – 3,09 juta ton, sedangkan peningkatan produksi perikanan
tangkap adalah sebesar 4,65 juta ton – 4,94 juta ton (BPS DKP 2008).
Masalah utama yang dihadapi adalah masih belum tersedianya jaringan
pasok ikan yang memadai dan belum tumbuhnya kebiasaan makan ikan di
sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama di daerah yang jauh dari pusat
perikanan. Dengan kondisi ini, tidak mudah mengubah pola makan dari non-ikan
ke pola makan dengan ikan. Masalah lain yang dihadapi adalah masih sangat
terbatasnya bentuk-bentuk olahan ikan yang ada, sehingga pilihan pun terbatas.
Umumnya ikan diolah secara tradisional seperti ikan asin, peda, pindang dan
olahan tradisional lain yang umumnya mempergunakan garam tinggi. Dengan
bentuk olahan yang berkadar garam tinggi tersebut, daya konsumsi konsumen
terhadap ikan terbatas dan ikan lebih berfungsi sebagai pengikat selera makan.
Pengembangan aneka produk olahan dari ikan atau yang mengandung ikan dapat
91
dijadikan alternatif jitu yang multifungsi. Selain memperbanyak pilihan bagi
konsumen sesuai selera, pengembangan aneka produk juga dapat dijadikan upaya
untuk menumbuhkan kebiasaan makan ikan sejak dini.
Untuk pengembangan produk-produk perikanan diperlukan bahan baku ikan
yang bermutu tinggi. Salah satunya adalah dalam bentuk surimi. Menurut Suzuki
(1981), surimi merupakan produk antara (intermediate product) yang terbuat dari
daging ikan yang dilumatkan setelah mengalami proses penggilingan dan
pencucian.
Dalam bentuk surimi ini, daging ikan disiapkan untuk mudah
digunakan dalam berbagai aneka olahan berbasis ikan maupun untuk fortifikasi,
mudah disimpan, tahan lama dalam bentuk mirip daging ikan segar, mempunyai
nilai gizi yang menyehatkan (Guenneugues dan Morrissey 2005 dalam MartinSanchez et al. 2009) dan memiliki sifat spesifik yang diperlukan untuk berbagai
pengembangan produk, terutama yang menuntut sifat elastisitas pada produk
akhir. Secara teknis semua jenis ikan dapat dijadikan surimi. Namun, ikan yang
berdaging putih, tidak berbau lumpur dan tidak terlalu amis serta mempunyai
kemampuan membentuk gel yang bagus akan memberikan hasil (surimi) yang
lebih baik. Beberapa jenis ikan yang baik untuk dijadikan surimi antara lain ikan
cunang/ remang, tenggiri, kakap, tigawaja, beloso, cucut dan lain-lain. Ikan air
tawar seperti lele, tawes, nilam dan lain-lain juga dapat diolah menjadi surimi.
Biasanya untuk jenis-jenis ikan air tawar, sebelum diolah ikan-ikan ini terlebih
dahulu dilakukan pemberokan agar bau lumpur pada produk akhir dapat
dikurangi. Mutu kesegaran ikan yang digunakan harus benar-benar sangat segar.
Penggunaan ikan yang kurang segar maupun ikan yang telah dibekukan akan
menurunkan mutu surimi.
Demikian pula ikan yang berdaging merah akan
menghasilkan surimi yang lebih berat dan baunya lebih amis, sehingga hanya
dapat digunakan untuk produk yang warnanya tidak harus putih. Daging merah
biasanya mengandung lemak lebih banyak dibandingkan daging putih, sehingga
surimi dan produk surimi yang dihasilkan lebih cepat tengik (Paranginangin et al.
1999).
Peningkatan konsumsi dunia akan produk-produk yang berbasiskan surimi
memberikan pangsa pasar yang besar. Permintaan surimi terbesar terdapat di
negara-negara yang kaya, seperti Amerika Serikat, Jepang dan beberapa negara
92
Eropa. Eropa telah mampu mengimpor bahan baku pada beberapa tahun terakhir
sekitar 40 hingga 50.000 ton dan impor produk-produk akhir sebesar 70.000 ton
per tahun. Konsumsi surimi sebagian besar juga terdapat di negara-negara sekitar
Laut Tengah, Kerajaan Inggris dan daerah Baltic (Catarci 2007; Vidal-Giraud dan
Chateau 2007 dalam Martin-Sanchez et al. 2009).
Indonesia adalah salah satu negara beriklim tropis, mempunyai
sumberdaya hayati perairan yang sangat beragam. Hasil panen ikan budidaya
beragam pada daerah yang berbeda terutama dari segi kuantitas.
Hal ini
merupakan salah satu kendala bila nantinya hanya dikembangkan industri surimi
berbasis single-species. Salah satu alternatif yang perlu diupayakan adalah
pengolahan dalam memanfaatkan ikan budidaya menjadi surimi berbasis multispesies. Pola pemanfaatan seperti ini akan menjamin ketersediaan bahan baku
karena ketidaktergantungan industri terhadap satu jenis ikan budidaya air tawar.
Namun, yang menjadi titik perhatian adalah pengontrolan terhadap kualitas mutu
surimi multi-spesies agar dapat dihasilkan kualitas surimi sebaik dari surimi
single-species.
Saat ini pembuatan surimi masih difokuskan pada ikan-ikan berdaging
putih yang masing-masing dilakukan secara tunggal.
Mengingat potensi
perikanan Indonesia baik perikanan air tawar maupun air laut mempunyai
keragaman spesies yang tinggi dengan jumlah tiap spesiesnya tidak terlalu
banyak, maka surimi yang cocok untuk dikembangkan adalah surimi berbasis
multi-spesies
melalui
metode
pengkomposisian.
Penelitian
tentang
pengkomposisian surimi dalam jumlah terbatas pernah dilakukan oleh Santoso
et al. (2008).
Pada penelitian tersebut membuktikan bahwa melalui metode
pengkomposisian antara ikan pari dan ikan cucut yang keduanya termasuk ikan
berdaging putih, menghasilkan surimi dengan nilai kekuatan gel yang lebih baik
dibandingkan dengan surimi yang dibuat secara terpisah. Cornellia et al. (2008)
dalam Santoso et al. (2009) berhasil melakukan pengkomposisian surimi ikan
cucut dengan ikan kembung, yaitu kelompok ikan berdaging putih dan merah juga
menghasilkan kemampuan pembentukan gel yang lebih baik dibandingkan dengan
surimi tunggal.
93
Pada penelitian ini digunakan ikan budidaya air tawar (lele dan nila) yang
merupakan komoditas unggulan daerah Bogor untuk diproduksi menjadi surimi
berbasis multi-spesies melalui metode pengkomposisian. Ikan-ikan ini memiliki
rasa yang gurih dan khas, daging yang tebal, harga terjangkau, duri yang sedikit
dan mudah dalam pengolahannya, sehingga menjadi kegemaran masyarakat luas.
Besarnya peluang untuk membuat surimi multi-spesies dari ikan budidaya
air tawar dan prospek pengembangan pengolahan surimi yang tinggi, dimana
permintaan akan surimi di dunia terus mengalami peningkatan, maka hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif solusi terhadap potensi
komoditas unggulan daerah Bogor untuk dimanfaatkan lebih optimal. Baik untuk
pemenuhan kebutuhan lokal maupun nasional dan internasional (ekspor).
1.2 Tujuan
Tujuan umum yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah pemanfaatan
ikan budidaya air tawar untuk dibuat surimi berbasis multi-spesies melalui metode
pengkomposisian, sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai meliputi :
(1) Membuat surimi berbasis multi-spesies dari ikan air tawar (ikan nila hitam
dan lele dumbo) sesuai dengan standar SNI, dengan perlakuan faktor
pengulangan pencucian dan pengkomposisian.
(2) Mengevaluasi karakteristik fisik, kimia dan mikrobiologi surimi berbasis
multi-spesies dari ikan nila hitam dan lele dumbo selama penyimpanan suhu
dingin.
94
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Lele
Klasifikasi ikan lele menurut Beaufort (1965) dalam Suyanto (1999)
adalah sebagai berikut:
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Subkelas
: Teleostei
Ordo
: Ostariophysi
Subordo
: Siluroidea
Famili
: Clariidae
Genus
: Clarias
Ikan lele merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan tubuh
memanjang dan kulit licin. Ikan lele dapat hidup pada suhu 20 °C, dengan suhu
optimal antara 25-28 °C.
Untuk pertumbuhan larva diperlukan kisaran suhu
antara 26-30 °C dan untuk pemijahan 24-28 °C. Apabila suhu tempat hidupnya
terlalu dingin, misalnya di bawah 20
o
C, pertumbuhannya agak lambat.
Di Indonesia, ada beberapa jenis (spesies) ikan lele, yaitu Clarias batrachus dan
Clarias gariepinus, jenis ini yang paling banyak dijumpai dan umumnya
dibudayakan, disamping terdapat di alam; Clarias leiacanthus; Clarias nieuwhofi;
Clarias teesmanii. Ketiga jenis ini terdapat di perairan Indonesia tetapi jarang
ditemukan dan diduga sudah langka (Suyanto 1999).
Ikan lele bersifat nokturnal, artinya aktif pada malam hari atau lebih
menyukai tempat yang gelap. Pada siang hari yang cerah, ikan lele lebih suka
berdiam di dalam lubang-lubang atau tempat yang tenang dan aliran air yang tidak
terlalu deras. Habitat atau lingkungan hidup ikan lele ialah semua perairan air
tawar. Di sungai yang airnya tidak terlalu deras atau di perairan yang tenang
seperti danau, waduk, telaga, rawa serta genangan-genangan kecil seperti kolam,
merupakan lingkungan hidup ikan lele (Suyanto 1999).
Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan jenis ikan yang termasuk
dalam famili Claridae dan genus Clarias. Ikan lele dumbo ini merupakan ikan air
95
tawar yang menyenangi air tenang. Spesies ini merupakan saudara dekat lele
lokal (Clarias batrachus) yang selama ini dikenal, sehingga ciri-ciri morfologinya
hampir sama. Ikan ini merupakan hasil perkawinan silang antara lele Afrika dan
lele Taiwan (Khairuman dan Amri 2002 dalam Margolang 2009).
Ikan lele
dumbo memiliki kecepatan tumbuh yang relatif cepat yaitu pada umur 3 bulan
pemeliharaan sudah layak untuk panen, rasanya enak dan kandungan gizinya
cukup tinggi. Ikan lele dumbo meskipun badannya besar, patilnya tidak memiliki
racun tidak seperti lele lokal. Foto ikan lele dumbo dapat dilihat pada Gambar 1.
Sumber: www. cdserver2.ru.ac
Gambar 1. Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
Bentuk tubuh memanjang, agak bulat, kepala gepeng, tidak bersisik,
mempunyai 4 pasang kumis, mulut besar, warna kelabu sampai hitam. Lele
dumbo banyak ditemukan di rawa-rawa dan sungai di Afrika, terutama di dataran
rendah sampai sedikit payau. Ikan ini mempunyai alat pernapasan tambahan yang
disebut abrorescent, sehingga mampu hidup dalam air yang oksigennya rendah.
Lele dumbo termasuk ikan karnivora, namun pada usia benih lebih bersifat
omnivora. Induk lele dumbo sudah dapat dipijahkan setelah berumur 2 tahun dan
dapat memijah sepanjang tahun (Margolang 2009).
Menurut Suyanto (1999), ikan lele tahan hidup di perairan yang airnya
mengandung sedikit oksigen. Ikan lele ini relatif tahan terhadap pencemaran
bahan-bahan organik.
airnya kotor.
Oleh karena itu, ikan lele tahan hidup di comberan yang
Ikan lele hidup dengan baik di dataran rendah sampai daerah
perbukitan yang tidak terlalu tinggi. Di daerah pegunungan dengan ketinggian
96
diatas 700 meter, pertumbuhan lele kurang begitu baik.
Lele tidak pernah
ditemukan hidup di air payau atau asin. Komposisi kimia ikan lele dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia ikan lele (Clarias sp.)
Senyawa kimia
Jumlah (%)
Air
Protein
Karbohidrat
Lemak
Mineral
Sumber: Vaas (1956) dalam Astawan (2008)
76
17,7
0,3
4,8
1,2
2.2 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Nila
Ikan nila merupakan jenis ikan yang diintroduksi dari luar negeri. Bibit ini
didatangkan ke Indonesia secara resmi oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar
pada tahun 1969. Melalui beberapa penelitian dan masa adaptasi, barulah ikan ini
disebarluaskan kepada petani di seluruh Indonesia. Klasifikasi ikan nila menurut
Trewavas (1982) dalam Suyanto (1994) adalah sebagai berikut:
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Osteichtyes
Subkelas
: Acanthopterigii
Ordo
: Percomorphi
Famili
: Cichlidae
Genus
: Oreochromis
Spesies
: Oreochromis niloticus
Ikan nila hitam merupakan jenis ikan air tawar yang mudah
dikembangbiakan dan memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan lingkungan
serta mudah dalam pemeliharaannya.
Karena memiliki berbagai kelebihan
dibanding jenis ikan lainnya, menjadikan ikan nila hitam mudah sekali diterima
masyarakat. Selain kelebihan tersebut, ikan nila hitam relatif tahan dari serangan
penyakit serta ikan ini termasuk hewan pemakan segala (omnivora) (Margolang
2009). Foto ikan Nila Hitam ditunjukkan pada Gambar 2.
97
Sumber: www.globefish.org
Gambar 2. Ikan nila hitam (Oreochromis niloticus)
Ikan nila mempunyai sirip punggung, sirip dubur dan sirip perut yang
masing-masing mempunyai jari-jari keras dan jari-jari lunak yang tajam seperti
duri. Sirip punggung mempunyai lima belas jari-jari keras dan sepuluh jari-jari
lunak, sedangkan sirip ekor mempunyai dua jari-jari keras dan enam jari-jari
lunak. Sirip punggung berwarna hitam dan sirip
sirip dada menghitam, sirip pada ekor
terdapat enam buah jari-jari tegak. Komposisi kimia ikan nila dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi kimia ikan nila (Oreochromis sp.)
Senyawa kimia
Air
Protein
Karbohidrat
Lemak
Abu
Sumber: Suyanto (1994)
Jumlah (%)
79,44
12,52
4,21
2,57
1,26
Ikan nila hidup di sungai, rawa, danau, waduk dan sawah. Pada daerah
tropis ikan nila dapat hidup dan tumbuh dengan baik sepanjang tahun pada lokasi
sampai ketinggian 500 m diatas permukaan laut. Ikan nila dipelihara dengan
kepadatan yang lebih tinggi dibandingkan ikan-ikan dari golongan cyprinidae
seperti ikan mas (Direktorat Jenderal Perikanan 1991).
98
Keunggulan yang dimiliki oleh ikan nila antara lain: toleran terhadap
lingkungan (hidup di air tawar dan payau pada kisaran pH 5-11), pertumbuhannya
cepat yaitu dalam jangka waktu 6 bulan benih berukuran 30 g dapat tumbuh
mencapai berat 300-500 g, dapat dipijahkan setelah umur 5-6 bulan dan dapat
dipijahkan kembali setelah 1-1,5 bulan kemudian, serta tahan terhadap
kekurangan oksigen dalam air (Suyanto 1994).
2.3 Komposisi Kimia Ikan
Ikan mempunyai kandungan gizi yang tinggi, komponen kimia ikan secara
umum mengandung: 15-24 % protein; 0,1-22 % lemak; 1-3 % karbohidrat;
0,8-2 % substansi anorganik dan 66-84 % air (Suzuki 1981). Priestley (1979)
menyebutkan bahwa protein ikan terdiri dari tiga tipe, yaitu: miofibril,
sarkoplasma dan jaringan ikat (stroma). Persentase protein stroma dalam daging
ikan lebih sedikit dibandingkan protein ikan lainnya.
Hal inilah yang
menyebabkan daging ikan lebih lembut dibandingkan daging lainnya.
2.3.1 Protein ikan
Menurut deMan (1997), protein daging ikan dapat dibagi menjadi tiga
golongan berdasarkan kelarutannya. Otot kerangka ikan terdiri atas serat pendek
disusun di antara lembaran-lembaran jaringan ikat, meskipun jumlah jaringan ikat
dalam otot ikan lebih kecil daripada jumlah jaringan ikat dalam mamalia dan
seratnya lebih pendek. Tabel 3 menunjukkan penggolongan protein daging ikan
berdasarkan kelarutan.
Tabel 3. Penggolongan protein daging ikan berdasarkan kelarutan
Kekuatan ion pada saat
Nama golongan
pelarutan
Sama dengan atau lebih ’Myogen’ mudah larut
besar dari nol
Lebih besar dari sekitar ’Struktur’ kurang larut
0,3
Tidak larut
’Stroma’
Sumber: deMan (1997)
Lokasi
Terutama
sarkoplasma
cairan sel otot
Terutama
myiofibril,
unsur kontraktil
Terutama jaringan ikat,
dinding sel, dsb.
99
Komponen utama dari protein adalah aktin dan miosin, yang berfungsi
untuk kontraksi dan relaksasi otot. Protein dibentuk oleh satuan-satuan asam
amino yang membentuk polimer sehingga merupakan senyawa yang panjang.
Molekul asam amino mempunyai gugus amino (NH2) yang bersifat basa dan
gugus karboksil (COOH) yang bersifat asam. Keadaan tersebut memungkinkan
asam amino dapat bereaksi dengan asam dan basa serta pereaksi lainnya (Winarno
et al. 1980).
a) Protein miofibril
Protein miofibril ini berperan penting dalam penggumpalan dan
pembentukan gel pada saat pengolahan. Protein ini terdiri dari miosin, aktin dan
protein regulasi (tropomiosin, troponin, dan aktinin) (Suzuki 1981).
Penyusun terbesar protein miofibril ikan adalah miosin, yaitu 50-60 %,
(miosin merupakan komponen miofibril terbanyak di dalam jaringan otot) dan
penyusun kedua terbesar adalah aktin. Aktin tersusun hampir 20 % dari total
miofibril dan merupakan filamen tipis. Protein ini mempunyai dua bentuk, yaitu
globular (G-aktin) dan fibrous (F-aktin). Gabungan aktin dan miosin membentuk
aktomiosin. Protein miofibril sangat berperan dalam pembentukan gel, terutama
dari fraksi aktomiosin (Suzuki 1981).
Menurut Nakai dan Modler (1999), protein miofibril meliputi 11 % dari
total berat otot dan sekitar 55 % dari total protein otot. Secara fisiologis dan
struktur ikatan, protein miofibril dibagi menjadi 3 subkelompok:
1. Protein kontraktil, mencakup tropomiosin dan aktin yang bertanggung jawab
secara langsung untuk kontraksi otot dan merupakan bagian terpenting dari
miofibril.
2. Protein pengatur, mencakup tropomiosin, kompleks troponin dan beberapa
protein pelengkap lainnya, yang dilibatkan di dalam inisiasi dan mengontrol
kontraksi.
3. Sitoskletal atau protein scaffold, mencakup connectin, C-protein, desmin dan
sejumlah komponen pelengkap lainnya yang berfungsi memberi dukungan
dan memelihara struktur miofibril.
100
b) Protein sarkoplasma
Protein sarkoplasma mengandung berbagai macam protein larut air yang
disebut sebagai miogen.
Protein tersebut terdiri dari mioglobin, enzim dan
albumin lainnya. Kandungan protein sarkoplasma pada daging ikan bervariasi
berdasarkan spesies ikan, tetapi terdapat dalam jumlah besar pada ikan-ikan
pelagis seperti pada sardine dan mackerel, serta terdapat dalam jumlah kecil pada
ikan-ikan demersal (Suzuki 1981). Protein sarkoplasma merupakan protein yang
larut dalam air, secara normal ditemukan dalam plasma sel dan berperan sebagai
enzim yang diperlukan untuk metabolisme anaerob sel otot. Protein sarkoplasma
meliputi 30 % dari total protein otot (Mackie 1992).
Protein sarkoplasma menghambat pembentukan gel surimi.
Menurut
Smith (1991) yang dikutip oleh Haard et al. (1994) bahwa protein sarkoplasma
akan mengganggu cross-linking miosin selama pembentukan matriks gel karena
protein ini tidak dapat membentuk gel dan mempunyai kapasitas pengikatan air
rendah.
c) Protein stroma
Menurut Suzuki (1981), protein stroma adalah bagian protein otot yang
paling sedikit, membentuk jaringan ikat dan tidak dapat diekstrak dengan air,
larutan asam, larutan alkali atau larutan garam netral pada konsentrasi 0,01-0,1 M.
Protein stroma merupakan protein yang terdapat pada bagian luar sel otot.
Protein stroma ini tidak dapat diekstrak menggunakan larutan asam, alkali
atau garam berkekuatan ion tinggi. Pada pengolahan surimi, protein stroma tidak
dihilangkan karena mudah larut oleh panas dan merupakan komponen netral (Hall
dan Ahmad 1992).
2.3.2 Lemak ikan
Kandungan lemak ikan umumnya merupakan asam-asam lemak esensial
yaitu asam lemak linoleat dan linolenat. Lemak ikan banyak terdapat asam lemak
dengan rantai C20-C22 dengan 5 dan 6 ikatan rangkap yang termasuk ke dalam
101
kelompok asam lemak omega 3.
Eicosa Pentaenoic Acid (EPA), Docosa
Hexaenoic Acid (DHA) dan asam α-linoleat merupakan jenis asam lemak yang
termasuk ke dalam kelompok asam lemak omega 3. Jumlah asam lemak tidak
jenuh sebesar 79-83 % dan asam lemak jenuh sebesar 17-21 % dari seluruh asam
lemak yang terdapat pada daging ikan (Hadiwiyoto 1993). Menurut Priestley
(1979), lemak pada ikan adalah lemak tidak jenuh, yaitu fosfolipida dan
trigliserida
yang mengandung sejumlah
besar asam lemak
tak jenuh
Polyunsaturated Fatty Acid (PUFA) yang mudah teroksidasi oleh oksigen selama
penanganan
dan
proses
pengolahan.
Proses
oksidasi
menghasilkan
hidroperoksida dan akan pecah menjadi karbonil yang menyebabkan bau busuk
dan rasa tengik.
Irawan (1995) menyatakan bahwa pengaruh musim biasanya yang paling
banyak mempengaruhi kandungan air dan lemak pada daging ikan. Pada musim
dimana sulit mendapatkan makanan, kandungan lemak menurun, sedangkan
kandungan air meningkat, juga sebaliknya.
2.3.3 Komponen volatil
Cita rasa adalah gabungan antara rasa dan aroma. Di dalam mulut, rasa
dapat dikenali jika senyawa-senyawa dapat larut dalam air liur, sedangkan aroma
dapat dikenali jika senyawa-senyawa penyusunnya berbentuk uap dan molekulmolekul komponen bau tersebut harus menyentuh silia sel olfaktori (Winarno
et al. 1980).
Menurut Whistler dan Daniel (1985), aroma dikaitkan dengan
gabungan dari beberapa komponen volatil. Komponen volatil ini mengandung
sejumlah gugus karbonil (aldehida dan keton) dan turunan asam karboksilik,
terutama ester.
Aroma yang ditimbulkan oleh bahan pangan sebelum diolah
sudah terdapat dari awal (dalam bahan baku), sedangkan lainnya terbentuk selama
pengolahan dan penyimpanan makanan.
Pada waktu proses pembusukan ikan terjadi umumnya komponenkomponen penyusun aroma ikan akan hilang. Pada saat pembusukan ini, amonia
lebih banyak dibentuk sehingga baunya akan mendominasi.
hampir seluruhnya terdiri atas amonia.
Volatil nitrogen
Pada ikan-ikan air tawar, kandungan
trimetilamin oksida (TMAO) sedikit sekali atau bahkan tidak ada, sedangkan pada
102
ikan-ikan laut kandungan TMAO berfungsi sebagai bagian dari sisi buffer.
Trimetilamin ini dikenal sebagai salah satu komponen pembentuk bau ikan dan
sudah dapat dideteksi pada ikan yang masih segar. Pengukuran Total Volatile
Base Nitrogen (TVBN) menentukan jumlah seluruh volatil amin terutama amonia
dan trimetilamin.
Ikan dapat dikatakan segar bila memiliki kadar TVBN
20-30 mg N/100 g dan dikatakan busuk bila memiliki kadar TVBN > 30 mg
N/100 g (Ozogul dan Ozogul 2000).
2.4 Pengaruh Penyimpanan Suhu Dingin terhadap Mutu Ikan
Pada produk pangan yang cepat membusuk seperti ikan basah, mutu ikan
selalu identik dengan kesegaran. Kualitas dari bahan baku hingga memasuki
proses pengolahan adalah faktor yang sangat penting bagi konsumen.
Oleh
karena itu, ikan harus ditangani dengan serius untuk mempertahankan daya tahan
ikan tersebut.
Ikan yang disimpan dingin (chilled) setelah ditangkap dan
ditangani dengan benar akan memiliki daya tahan selama 15 hari penyimpanan
dingin pada supermarket (Alasalvar et al. 2002).
Eskin (1990) menyatakan bahwa segera setelah ikan mati akan mengalami
perubahan-perubahan yang mengarah pada pembusukan yang disebabkan oleh
aktivitas biokimia dan fisikokimia. Proses yang terjadi pada kondisi ini dapat
dibagi menjadi 3 tahap, yaitu prerigor, rigormortis dan postrigor. Pada tahap
prerigor, tubuh ikan menjadi lunak melalui karakterisasi biokimia yang ditandai
dengan turunnya ATP dan kandungan creatine phosphate yang dikenal dengan
glikolisis.
Pada tahap rigormortis, kondisi tubuh ikan menjadi kaku, dimana
rigormortis terjadi sekitar 1-7 jam setelah ikan mati, tergantung dari banyak faktor
yang mempengaruhi, dan tahap terakhir adalah postrigor dimana ikan berada
dalam kondisi lembek.
Penguraian tingkat lanjut oleh enzim terjadi setelah proses rigormortis
selesai yang dimulai dengan meningkatnya nilai pH (Connell 1980). Menurut
Amlacher (1961) dalam Santoso et al. (2008), nilai pH bagi ikan segar berada
pada kisaran pH di bawah netral hingga pH netral dan enzim proteolisis aktif
setelah proses rigor terjadi. Enzim ini akan menguraikan protein. Beberapa
enzim yang terlibat dalam proses ini antara lain: katepsin (dalam daging), tripsin,
103
kimotripsin
dan
pepsin
(dalam
organ
pencernaan)
mikroorganisme yang terdapat dalam tubuh ikan.
serta
enzim
dari
Enzim-enzim yang dapat
menguraikan protein berperan penting dalam proses penurunan mutu ikan
(Moeljanto 1992). Tingkat akhir dari hasil penguraian ini adalah terbentuknya
senyawa amonia.
Sikorski dan Pan (1994) menyatakan bahwa kualitas daging ikan yang
disimpan pada suhu dingin secara umum dipengaruhi oleh degradasi senyawa
kimia dan biokimia yang dipengaruhi oleh aktivitas mikrobiologis dan enzimatis
yang secara alami terjadi sesaat setelah ikan mati. Selain itu, karakteristik biologi,
kondisi ikan saat ditangkap dan penanganan ikan setelah ditangkap juga dapat
mempengaruhi laju kemunduran mutu ikan selama penyimpanan suhu dingin.
Menurut Ilyas (1993), teknik penurunan suhu ikan melalui cara pendinginan dan
pembekuan
dilakukan
menghablurkan
untuk
komponen
air,
menghilangkan
memperlambat
panas
laju
dari
tubuh
denaturasi
ikan,
protein,
menghambat laju oksidasi lemak ikan dan memperlambat penguraian enzimatis
oleh enzim tubuh ikan dan enzim bakteri.
Menurut Clucas dan Ward (1996), pada suhu di bawah 4 ºC proses
kemunduran mutu ikan dapat dihambat. Pada suhu tersebut penguraian tubuh
ikan oleh mikroorganisme dan enzim berlangsung dengan lambat. Kemunduran
mutu ikan akan menyebabkan perubahan mutu terhadap flavor, aroma, warna dan
penampakan daging ikan yang dapat mempengaruhi daya terima menjadi rendah.
Pernyataan tersebut didukung oleh Karvinen et al. (1982) dalam Sikorski dan
Anna (1990), kecepatan perubahan bervariasi tergantung dari cara penanganan
dan cara pengesan. Ikan yang disimpan terlalu lama dalam suhu rendah, setelah
mengalami pemasakan akan menjadi liat, elastis, alot, berserabut dan fibrous. Hal
ini berkaitan dengan hilangnya karaktersitik fungsional dari protein otot, terutama
kelarutan, kandungan air, kemampuan pembentukan gel dan sifat pengemulsi
lemak.
2.5 Surimi
Kata surimi berasal dari Jepang yang telah diterima secara internasional
untuk menggambarkan hancuran daging ikan yang telah mengalami berbagai
104
proses yang diperlukan untuk mengawetkannya.
Salah satu keunggulan dari
surimi adalah kemampuannya untuk diolah menjadi berbagai macam variasi
produk-produk lanjutannya dalam berbagai bentuk dan ukuran (Okada 1992) dan
kandungan nilai gizi yang menyehatkan (Guenneugues dan Morrissey 2005 dalam
Martin-Sanchez et al. 2009).
2.5.1 Pengertian dan karakteristik surimi
Menurut Suzuki (1981), surimi merupakan produk antara yang terbuat dari
daging ikan yang dilumatkan setelah mengalami proses penggilingan dan
pencucian.
Kriteria paling penting untuk menentukan kualitas surimi adalah
kekuatan gel yang dibentuknya. Kekuatan gel ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain jenis ikan, tingkat kesegaran, pH dan kadar air, pencucian, umur,
tingkat kematangan gonad, konsentrasi dan jenis penambahan zat antidenaturasi
serta suhu dan waktu pemasakan.
Secara teknis semua jenis ikan dapat dijadikan surimi. Namun, ikan yang
berdaging putih, tidak berbau lumpur dan tidak terlalu amis serta mempunyai
kemampuan membentuk gel yang bagus akan memberikan hasil (surimi) yang
lebih baik. Beberapa jenis ikan yang baik untuk dijadikan surimi antara lain ikan
Cunang/ Remang, Tenggiri, Kakap, Tigawaja, Beloso, Cucut dan lain-lain. Ikan
air tawar seperti Lele, Tawes, Nilam dan lain-lain juga dapat diolah menjadi
surimi. Biasanya untuk jenis-jenis ikan air tawar, sebelum diolah ikan-ikan ini
terlebih dahulu dilakukan pemberokan agar bau lumpur pada produk akhir dapat
dikurangi. Mutu kesegaran ikan yang digunakan harus benar-benar sangat segar.
Penggunaan ikan yang kurang segar maupun ikan yang telah dibekukan akan
menurunkan mutu surimi.
Demikian pula ikan yang berdaging merah akan
menghasilkan surimi yang lebih berat dan baunya lebih amis, sehingga hanya
dapat digunakan untuk produk yang warnanya tidak harus putih. Daging merah
biasanya mengandung lemak lebih banyak dibandingkan daging putih, sehingga
surimi dan produk surimi yang dihasilkan lebih cepat tengik (Paranginangin et al.
1999).
Berdasarkan kandungan garamnya, surimi beku dibedakan menjadi dua
yaitu mu-en surimi (surimi tanpa garam) dan ka-en surimi (surimi dengan garam).
105
Mu-en surimi dibuat dengan penggilingan daging lumat yang sudah dicuci dengan
air, dicampur dengan gula dan polyphosphate. Ka-en surimi diolah dengan cara
yang sama dengan penambahan garam dan gula ke dalam daging lumat. Selain
surimi beku, jenis lain dari surimi yang telah dihasilkan walaupun dalam skala
terbatas diberi nama “surimi na-ma” (surimi mentah) (Suzuki 1981).
Kualitas dari surimi beku dinilai dari kekuatan gelnya dan warna dari
surimi tersebut. Menurut Winarno (1993), kualitas surimi yang baik adalah yang
berwarna putih kuat dan dapat membentuk gel.
Kesegaran dari bahan baku
merupakan prasyarat yang paling penting dalam pengolahan surimi, dan untuk
memperoleh mutu produk yang tinggi maka proses pembusukan pasca kematian
ikan harus diperkecil (Wasson 1992; Seymour et al. 1994; Choi et al. 2005;
Martin-Sanchez et al. 2009). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hilangnya
kesegaran ikan adalah denaturasi protein miofibril, tingkat proteolisis dan pH
(Hamann dan MacDonald 1992 dalam Martin-Sanchez et al. 2009). Tingkat
kesegaran juga menentukan kemampuan pembentukan gel dan daya ikat air dari
surimi yang dihasilkan (Hall dan Ahmad 1997; Carvajal et al. 2005; MartinSanchez et al. 2009).
Lee (1984) menyatakan bahwa faktor penting yang mempengaruhi proses
pembuatan surimi yang berkualitas baik antara lain: cara penyiangan (pemotongan
kepala, fillet), besarnya partikel dari daging lumat, kualitas air, temperatur ikan,
peralatan yang digunakan dan cara pencucian. Menurut Bertak dan Karahadian
(1995), faktor utama yang harus diperhatikan selama proses pembuatan surimi
adalah suhu air pencuci dan suhu pada saat penggilingan daging ikan. Suhu air
yang lebih tinggi akan lebih banyak melarutkan protein larut garam. Kekuatan gel
terbaik diperoleh jika daging ikan dicuci dengan air yang bersuhu 10-15 ºC.
Pencucian adalah tahap kritis dalam proses pembuatan surimi. Pencucian
dapat menghilangkan materi yang dapat larut air seperti darah, protein
sarkoplasma, enzim pencernaan, garam inorganik dan senyawa organik
bermolekul rendah seperti trimetilamin oksida (Benjakul et al. 1996). Menurut
Lee dan Kim (1986), pencucian juga dapat meningkatkan kualitas warna dan
aroma, serta meningkatkan kekuatan gel surimi. Komponen utama yang larut
dalam air akan hilang dalam jumlah yang banyak pada siklus pencucian pertama
106
kali. Secara umum agitasi selama lima menit dalam setiap kali pencucian untuk
pencucian sebanyak dua kali dengan rasio air dan daging 3:1 telah dinilai cukup.
Lin et al. (1996) dalam Benjakul et al. (1996) melaporkan bahwa 27 % dan 38 %
protein hilang berturut-turut pada pencucian sebanyak dua kali dan tiga kali dalam
proses pengolahan surimi.
2.5.2 Syarat mutu surimi beku
Mutu bahan baku yang digunakan dalam pembuatan surimi yaitu bahan
baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas
dari tanda komposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat
menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan. Secara organoleptik,
bahan baku harus mempunyai karakteristik kesegaran menurut SNI 01-2694-1992
sekurang-kurangnya sebagai berikut:
(a) rupa dan warna
: bersih, warna daging spesifik jenis ikan
(b) aroma
: segar spesifik jenis
(c) daging
: elastis, padat dan kompak
(d) rasa
: netral agak manis
Untuk mempertahankan mutu surimi beku, bahan baku harus segera
diolah. Apabila harus terpaksa menunggu proses lebih lanjut maka ikan harus
disimpan dengan es atau air dingin (0-5 ºC), kondisi saniter dan higienis
(SNI 01-2694-1992). Tabel 4 menunjukkan syarat mutu surimi beku berdasarkan
SNI 01-2693-1992.
2.5.3 Bahan tambahan dalam pembuatan surimi
Bahan tambahan adalah bahan yang sengaja ditambahkan dengan tujuan
tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi nilai gizi, cita rasa,
mengendalikan keasaman dan kebasaan serta bentuk, tekstur dan rupa produk
(Winarno et al. 1980). Dalam proses pembuatan surimi sering digunakan bahanbahan tambahan tertentu.
Bahan tambahan yang ditambahkan dalam proses
pembuatan surimi bertujuan untuk meningkatkan kualitas surimi.
Bahan
tambahan yang digunakan dalam pembuatan surimi antara lain adalah garam dan
cryoprotectant (gula dan polifosfat).
107
Tabel 4. Syarat mutu surimi beku (SNI 01-2693-1992)
Jenis Uji
1) Organoleptik
− Nilai min
2) Cemaran mikroba
− ALT, maks
− Escherichia coli
− Coliform
− Salmonella *)
− Vibrio cholerae *)
3) Cemaran kimia
− Abu total, maks
− Lemak, maks
− Protein, min
4) Fisika
− Suhu pusat, maks
− Uji lipat, min
− Elastisitas, min
Satuan
Persyaratan Mutu
7
koloni/g
AMP/g
per 25 g
per 25 g
5 x 105
<3
3
negatif
negatif
% b/b
% b/b
% b/b
1
0,5
15
°C
-18
grade A
300
g/cm2
*) jika diperlukan
Keterangan: ALT = Alat Lempeng Total, AMP = Angka Paling memungkinkan
a) Garam
Garam merupakan bahan pengawet yang utama. Penambahan garam pada
pembuatan surimi berfungsi sebagai pengawet karena dapat mencegah kerusakan
dan meningkatkan daya simpan. Peranan garam NaCl adalah pada konsentrasi
yang rendah sebagai pembentuk rasa, sedangkan pada konsentrasi yang tinggi
berperanan sebagai pencegah terhadap pertumbuhan bakteri (bakteriostatik). Pada
konsentrasi 2-5 % yang dikombinasikan pada suhu rendah, dapat mencegah
pertumbuhan mikroorganisme, sedangkan pada konsentrasi 10-15 % sebagian
besar bakteri terbunuh (kecuali beberapa bakteri halofilik) (Damayanthi dan
Mudjajanto 1994).
Menurut Damayanthi dan Mudjajanto (1994), garam mempunyai sifat
higroskopis sehingga menarik air keluar jaringan akibatnya aw akan menjadi
rendah dan garam juga mempunyai tekanan osmotik yang tinggi sehingga
memecahkan (plasmolisis) membran sel mikroba. Vaclavik dan Christian (2000)
108
menyatakan bahwa beberapa peran garam pada makanan yaitu berfungsi sebagai
pemisah untuk mencegah pembentukan saus tepung, mengurangi gelatinisasi
tepung, menstabilkan busa putih telur, dan meningkatkan suhu koagulasi
pencampuran protein.
b) Cryoprotectant
Bahan umum yang biasa digunakan sebagai cryoprotectant adalah jenis
gula, misalnya sukrosa. Pada tahap awal ditambahkan 8 % sukrosa. Akan tetapi,
penambahan ini menjadikan surimi terasa manis dan warna berubah selama
pembekuan. Oleh karena itu, sukrosa yang ditambahkan pada tahap awal diubah
menjadi 4 % sukrosa dan 4 % sorbitol.
Penambahan cryoprotectant dapat
meningkatkan kadar N-aktomiosin dari 350 mg % menjadi 520 mg % dan
meningkatkan kekuatan gel dari 400 g menjadi 489 g, artinya sama dengan
meningkatkan nilai pelipatan (folding score) (Peranginangin et al. 1999).
Cryoprotectant adalah bahan yang biasa ditambahkan dalam pembuatan
surimi yang tidak langsung diolah menjadi produk lanjutan, melainkan akan
disimpan terlebih dahulu pada suhu beku dalam waktu yang lama.
cryoprotectant adalah sebagai zat antidenaturasi.
Fungsi
Penyimpanan surimi dalam
waktu yang lama bertujuan untuk menjaga stok daging ikan di pasaran.
Penambahan cryoprotectant dalam pembuatan surimi dapat mencegah denaturasi
protein selama masa pembekuan (Nielsen dan Piegott 1994). Sukrosa dan sorbitol
sering digunakan bersamaan dengan 0,3 % sodium tripolifosfat, masing-masing
dengan konsentrasi 4 % dan 4-5 % (Pipattasatayanuwong et al. 1995).
Polifosfat akan memisahkan aktomiosin dan berikatan dengan miosin.
Miosin dan polifosfat akan berikatan dengan air dan menahan mineral dan
vitamin. Pada proses pemasakan, miosin akan membentuk gel dan polifosfat
membantu menahan air dengan menutup pori-pori mikroskopis dan kapiler.
Polifosfat dapat menambah nilai kelembutan dan memperbaiki sifat surimi,
terutama sifat elastisitas dan kelembutan. Polifosfat dapat memperbaiki daya ikat
air (water holding capacity) dan memberikan sifat pasta yang lebih lembut pada
produk-produk olahan surimi (Peranginangin et al. 1999).
Matsumoto dan
Noguchi (1992) melaporkan dari beberapa studi bahwa aktivitas utama polifosfat
109
adalah untuk meningkatkan efek cryoprotective dari gula, dengan efek buffer dari
polifosfat pada pH otot dan dengan mengkelatkan ion metal.
Nielsen dan Piegott (1994) menyatakan bahwa gula mempunyai grup
polihidroksi yang dapat bereaksi dengan molekul air oleh ikatan hidrogen,
sehingga dapat meningkatkan tegangan permukaan dan mencegah keluarnya
molekul air dari protein dan stabilitas protein tetap terjaga. Dalam pembuatan
surimi digunakan sukrosa sebagai pelindung protein karena dapat mencegah
denaturasi protein selama masa pembekuan.
2.5.4 Mekanisme pembentukan gel
Ada empat tipe ikatan utama yang berkontribusi terhadap pembentukan
struktur jaringan selama proses gelasi dari pasta surimi yaitu ikatan garam, ikatan
hidrogen, ikatan disulfida dan interaksi hidrofobik. Asam-asam amino tirosin,
serin, hidroksiprolin dan treonin tergabung dalam grup hidroksil dan prolin serta
hidroksiprolin yang tergabung dalam grup imino, keduanya bertindak sebagai
donor dan akseptor proton, sedangkan glutamin dan aspargin yang keduanya
mengandung grup karbonil bertindak sebagai akseptor proton.
Ikatan
intermolekul hidrogen terbentuk diantara grup imino dan karbonil. Ikatan garam
bertanggung jawab terhadap peningkatan energi yang memisahkan molekul air.
Ikatan hidrogen akan melemah ketika dipanaskan (Niwa 1992).
Menurut Hudson (1992), proses gelasi terbagi menjadi tiga bagian yang
diawali dengan proses denaturasi protein utuh dari bentuk berlipat menjadi tidak
berlipat.
Tahap pertama adalah pembentukan turbiditas yang terjadi pada
3-10 menit pemanasan pertama.
Pada tahap ini terjadi interaksi hidrofobik.
Menurut Niwa (1992), ketika suhu naik, maka ikatan hidrogen menjadi tidak
stabil dan interaksi hidrofobik akan berlangsung lebih kuat.
Pembentukan
interaksi hidrofobik diketahui sebagai akibat keberadaan beberapa poliol dan asam
amino, seperti gliserin, sukrosa, sorbitol, asam glutamat dan lisin.
Interaksi
hidrofobik terjadi ketika tahap inkubasi surimi pada suhu mendekati 40 ºC.
Menurut Jaczynski dan Park (2004), interaksi hidrofobik berfungsi untuk
melepaskan energi bebas yang dapat menstabilisasikan sistem protein.
110
Tahap kedua adalah oksidasi sulfhidril. Pada tahap ini pasta surimi akan
mengeras, dimana ikatan intermolekul disulfida (SS) terbentuk melalui oksidasi
dari dua residu sistein. Ikatan disulfida lebih intensif terjadi pada suhu pemanasan
yang lebih tinggi (di atas 80 ºC) (Niwa 1992). Tahap ketiga adalah peningkatan
elastisitas gel yang terjadi ketika pendinginan. Peningkatan elastisitas ini terjadi
karena pembentukan ikatan hidrogen kembali yang menyebabkan peningkatan
terhadap kekerasan gel (Hudson 1992).
Apabila daging ikan mentah digiling dan dilakukan penambahan garam,
maka miosin (aktomiosin, miosin dan aktin) akan larut dalam larutan garam,
larutan yang keluar dari daging ikan akan membentuk “sol” yang sangat adhesif.
Jika “sol” dipanaskan akan terbentuk “gel” dengan konstruksi jaringan seperti jala
dan memberikan sifat elastis pada daging ikan. Daging ikan yang terkoagulasi
karena panas ini disebut pasta ikan (kamoboko). Sifat elastis pasta ikan disebut
“ashi”.
Kekuatan “ashi” berbeda untuk setiap jenis ikan dan penambahan
berbagai faktor (Tanikawa 1985).
Tanikawa (1985) menyatakan bahwa bila daging ikan giling yang
ditambahkan garam (untuk melarutkan miosin) dibiarkan pada suhu kamar tanpa
pemanasan, maka daging ikan giling tersebut akan menjadi jelly yang elastis tetapi
kehilangan daya rekatnya.
Fenomena seperti ini disebut “suwari” (setting).
Fenomena “suwari” ini disebabkan oleh perubahan formasi konstruksi jaringan
seperti pada fenomena “ashi”. Lanier (1992) menyatakan bahwa setting time
adalah waktu yang diperlukan untuk membentuk gel sejak ditambahkan bahanbahan pembentuk gel. Kecepatan pembentukan gel mempengaruhi mutu gel. Bila
gel telah terbentuk sebelum penambahan komponen, maka akan terbentuk gel
yang tidak rata. Setting dapat terjadi pada suhu rendah, sedang dan tinggi. Setting
pada suhu rendah terjadi pada suhu 0-4 ºC (selama 12-18 jam), pada suhu sedang
(25 ºC) selama 3 jam atau pada suhu 40 ºC selama 30 menit. Setting pada suhu
tinggi akan menghasilkan gel yang memiliki tekstur yang kuat jika dibandingkan
dengan pemasakan langsung dalam keadaan mentah. Suwari dapat terjadi dengan
cepat, atau dapat lambat atau bahkan tidak terjadi sama sekali tergantung pada
spesies ikan.
111
Lebih lanjut Tanikawa (1985) melaporkan bahwa konstruksi jala dapat
terbentuk dari konjugasi molekul-molekul protein yang diikat oleh suatu jembatan
seperti garam, atau ikatan antara karbonil dengan radikal amino pada peptida oleh
hidrogen atau oleh radikal disulfida yang terbentuk dari radikal sulfhidril.
Apabila pasta ikan dibiarkan pada suhu kamar dalam waktu lama, maka sifat
elastis akan hilang dan daging menjadi mudah patah dan fenomena ini dikenal
dengan modori. Fenomena modori ini juga dapat terjadi apabila daging
dipanaskan pada suhu rendah dalam jangka waktu lama. Pembentukan gel surimi
dan proteolisis protein miofibril ditunjukkan pada Gambar 3.
Proteolisis
gelasi
gelasi
Protein miofibril
Tempat interaksi protein
Sumber: Venugopal (2005)
Gambar 3. Pembentukan gel surimi dan proteolisis protein miofibril
112
3. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan September
2009. Pembuatan surimi dilakukan di Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan
Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan (BBP2HP)
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Muara Baru-Jakarta Utara; uji lipat
dan uji gigit gel ikan bertempat di Laboratorium Organoleptik; pengujian pH,
analisis total volatile base nitrogen (TVBN), analisis proksimat dan protein larut
garam (PLG) bertempat di Laboratorium Biokimia Hasil Perikanan; pengujian
total plate count (TPC) surimi bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Hasil
Perikanan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, IPB. Pengujian kekuatan gel, derajat putih dan water holding capacity
(WHC) bertempat di Laboratorium Biokimia Pangan, Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
3.2 Alat dan Bahan
Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi
peralatan yang digunakan untuk membuat surimi dan peralatan untuk analisis.
Peralatan yang digunakan untuk membuat surimi antara lain: cool box, wadah air
(teris), pisau, talenan, mesin pemisah daging-tulang (meat-bone separator),
pelumat daging (grinder) elektrik, food processor, press hydraulic, saringan kain
kasa, plastik poliethylene (PE), termokopel digital, timbangan digital dan water
bath. Peralatan yang digunakan untuk analisis mutu surimi antara lain: kjeltec
system, oven, tanur, desikator, pH-meter digital, cawan conway, sentrifuse dingin,
Rheoner jenis RE-3305, pengepres hidraulik, whiteness meter, timbangan analitik
dan peralatan gelas lainnya.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi:
bahan-bahan untuk pembuatan surimi dan analisis karakteristik surimi. Bahanbahan yang digunakan untuk pembuatan surimi adalah: ikan lele dan ikan nila,
garam, sukrosa, sorbitol, NaHCO3, air dan es curai. Bahan-bahan kimia yang
digunakan untuk analisis karakteristik surimi meliputi bahan-bahan kimia yang
113
diperlukan untuk analisis proksimat, total volatile base nitrogen (TVBN), total
plate count (TPC), pH dan protein larut garam (PLG). Bahan-bahan kimia yang
digunakan adalah: K2SO4, CuSO4, H2SO4, H3BO3, H2O2, kloroform, indikator
(bromchresol green, methyl red, bromthymol blue), NaOH, HCl, NaCl, buffer
pH 4 dan 7, TCA, K2CO3, garam fisiologis dan PCA.
3.3 Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan, yaitu:
1) Penelitian pendahuluan: analisis karakteristik fisika-kimia bahan baku
(rendemen daging lumat, proksimat, pH dan kadar TVBN),
penentuan
frekuensi pencucian untuk mendapatkan surimi terbaik dan dilakukan
pengkomposisian terhadap kedua surimi (ikan lele dumbo dan ikan nila
hitam) terbaik untuk mendapatkan komposisi surimi dengan nilai kekuatan
gel tertinggi.
2) Penelitian utama: penyimpanan surimi hasil pengkomposisian terbaik pada
suhu dingin (chilling) untuk dipelajari perubahan karakteristik fisika, kimia
dan mikrobiologi selama penyimpanan.
3.3.1 Penelitian pendahuluan
Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik
fisika dan kimia bahan baku, mencari jumlah pencucian daging lumat untuk
menghasilkan mutu surimi yang terbaik, serta mencari kombinasi komposisi
pencampuran surimi terbaik antara ikan lele dumbo dan ikan nila hitam. Hasil
dari penelitian pendahuluan ini digunakan pada tahap penelitian utama.
Dalam penelitian ini digunakan dua jenis ikan air tawar yaitu ikan lele
dumbo dan ikan nila hitam. Ikan-ikan tersebut diperoleh dari pembudidaya di
Kabupaten Bogor. Ikan dalam keadaan hidup dibawa ke Laboratorium
Pengolahan Hasil Perikanan BBP2HP Departemen Kelautan dan Perikanan Muara
Baru-Jakarta
Utara.
Ikan-ikan
tersebut
masing-masing
ditimbang
untuk
mengetahui berat utuh ikan tersebut, kemudian disiangi untuk membersihkan
kulit, kepala dan isi perut. Selanjutnya daging ikan tersebut dicuci dengan air
dingin untuk menghilangkan darah dan kotoran. Kemudian daging ikan tersebut
114
dimasukkan kedalam mesin meat-bone separator secara bergantian untuk
memisahkan daging dengan tulang, yang akhirnya didapatkan daging lumat ikan
lele dumbo dan ikan nila hitam dari hasil pemisahan tersebut. Dalam mesin meatbone separator, daging ikan akan terjepit diantara sabuk berjalan (belt conveyor)
dan silinder berpori. Daging ikan hancur (menjadi daging lumat) karena terjepit
dan masuk kedalam pori-pori, sedangkan kulit dan tulang terpisah dan dibuang
melalui pembuangan. Dihitung nilai rendemen berat daging lumat dari kedua
jenis ikan yang digunakan. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap
karakteristik kimia daging lumat dari kedua jenis ikan tersebut. Pengamatan yang
dilakukan adalah analisis proksimat (kadar air, abu, lemak dan protein kasar) dan
analisis kesegaran (nilai pH dan kadar TVBN).
Pada kedua jenis daging ikan tersebut dilakukan proses pencucian
sebanyak tiga kali (1, 2 dan 3). Perbandingan air dan daging yang digunakan
adalah 4:1, dilakukan selama 10 menit, suhu dingin (suhu < 10 ºC) dan dengan
agitasi. Pencucian pertama untuk ikan lele dumbo dilakukan penambahan natrium
bikarbonat (NaHCO3) sebanyak 0,5 % dan diaduk selama ±10 menit. Setelah itu,
daging disaring dengan kain kasa dan dipress menggunakan press hydraulic untuk
mengeluarkan airnya, kemudian daging ditimbang. Selanjutnya dilakukan
pengamatan terhadap nilai protein larut garam, pH dan kekuatan gel. Diagram alir
penelitian pendahuluan ditunjukkan pada Gambar 4.
Setelah mengetahui frekuensi pencucian terbaik, maka surimi terbaik dari
ikan lele dumbo dan ikan nila hitam dikomposisikan dengan jumlah
pengkomposisian yang telah ditetapkan pada Tabel 5. Pengkomposisian terhadap
kedua jenis surimi dilakukan dengan menggunakan food processor sehingga
dihasilkan pasta surimi yang homogen.
Tabel 5. Rasio pengkomposisian surimi terbaik ikan nila dan ikan lele
Rasio
Pengkomposisian
N1L1
Surimi Ikan Nila
Surimi Ikan Lele
1
1
N1L2
1
2
N2L1
2
1
115
Ikan nila hitam
Ikan lele dumbo
Penimbangan
Penimbangan
Preparasi (pembuangan sisik,
sirip, ekor, jeroan dan kepala)
Preparasi (pembuangan sisik,
sirip, ekor, jeroan dan kepala)
Pemisahan daging dan tulang
dengan meat bone separator
Pemisahan daging dan tulang
Pencucian
Pelumatan
Daging lumat
Analisis TVBN, pH,
dan proksimat
Penimbangan
Pencucian dengan air dingin
(1:4)
Frekuensi 1, 2, 3 kali
Penambahan 0,5% NaHCO3
pada pencucian pertama daging
lumat ikan lele dan dilakukan
agitasi ± 10 menit
Penyaringan dan
pengepresan
Surimi
Analisis protein larut
garam, pH dan
kekuatan gel
Gambar 4. Diagram alir penelitian pendahuluan
(Modifikasi metode Nauli 2008)
116
Surimi hasil pengkomposisian selanjutnya dilakukan analisis kekuatan
gelnya, yaitu dibuat dalam bentuk kamaboko dengan tahapan proses sebagai
berikut: pertama-tama daging ditambahkan 2,5 % NaCl dan ditambahkan sedikit
air dingin, kemudian dilakukan pemanasan (setting) pada suhu 40 oC selama
20 menit, kemudian perebusan (cooking) pada suhu 90 oC selama 20 menit.
Kombinasi komposisi terpilih akan digunakan pada tahap penelitian utama.
Diagram alir proses pengkomposisian surimi dapat dilihat pada Gambar 5.
Surimi ikan nila
hitam terbaik
Surimi ikan lele
dumbo terbaik
Pencampuran menggunakan food processor
nila : lele
( 1:1 )
nila : lele
( 1:2 )
nila : lele
( 2:1 )
Surimi komposisi
terbaik
Penambahan 2,5% NaCl (b/b)
Pencampuran
Pencetakan dalam selongsong
Perebusan pada suhu 40 ºC
(20 menit) dan 90 ºC (20 menit)
Kamaboko
Analisis kekuatan gel
Gambar 5. Diagram alir pengkomposisian surimi
(Modifikasi metode Yasin 2005)
117
3.3.2 Penelitian utama
Pada tahap ini dilakukan penyimpanan surimi, yaitu surimi terbaik hasil
pengkomposisian pada suhu dingin (4-5 oC).
Penyimpanan surimi dilakukan
dengan tahapan sebagai berikut: surimi yang akan disimpan, ditimbang sebanyak
200 g ditambahkan cryoprotectant (4% sukrosa, 4% sorbitol dan 0,2-0,3% STPP)
(Zhou et al. 2006), kemudian dimasukkan kedalam plastik poliethylene (PE) dan
ditutup rapat.
Diagram alir penyimpanan dingin pada penelitian utama
ditunjukkan pada Gambar 6.
Surimi komposisi
terbaik (200 g)
Penambahan cryoprotectan (campuran 4%
sukrosa, 4% sorbitol, dan 0,2-0,3% STPP)
Pemasukan dalam plastik poliethylene
(PE) dan ditutup rapat
Penyimpanan suhu dingin
(suhu 4-5 °C) selama 10 hari
Surimi
penyimpanan
Pengamatan
pada hari
ke-0
Pengamatan
pada hari
ke-2
Pengamatan
pada hari
ke-4
Pengamatan
pada hari
ke-6
Analisis derajat putih, kekuatan gel,
WHC, uji lipat dan uji gigit, PLG,
TVBN, pH, total plate count (TPC)
Gambar 6. Diagram alir penelitian utama
(Modifikasi metode Yasin 2005)
Pengamatan
pada hari
ke-8
Pengamatan
pada hari
ke-10
118
Selanjutnya surimi tersebut disimpan pada suhu dingin (suhu 4-5 °C)
selama (10) sepuluh hari. Pengamatan terhadap perubahan karakteristik surimi
dilakukan pada penyimpanan hari ke 0, 2, 4, 6, 8 dan 10 hari. Parameter yang
dianalisis meliputi: nilai total volatile base nitrogen (TVBN), nilai pH, kadar air,
kadar PLG, total mikroba, derajat putih, water holding capacity (WHC), kekuatan
gel, uji lipat dan uji gigit.
3.4 Prosedur Analisis
3.4.1 Uji fisik
Uji fisik yang dilakukan meliputi nilai rendemen, uji lipat, uji gigit, WHC
(Water Holding Capacity), kekuatan gel dan derajat putih.
(a) Rendemen (SNI 01-2346-2000)
Rendemen adalah persentase bobot bagian tubuh ikan yang diambil
dibandingkan dengan bobot ikan awal. Perhitungan rendemen adalah:
Rendemen (%) =
berat daging lumat (g)
× 100%
bobot ikan utuh (g)
(b) Uji lipat (folding test) (Suzuki 1981)
Uji lipat dilakukan terhadap gel ikan dengan cara sampel diiris setebal
3-5 mm, kemudian ditekan diantara ibu jari dan telunjuk dengan menggunakan
panelis semi terlatih. Selanjutnya sampel tersebut dilipat untuk diamati adanya
kerekatan gel. Kriteria mutu uji lipat disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Kriteria mutu uji lipat
Mutu
5 (AA)
4 (A)
3 (B)
2 (C)
1 (D)
Sumber: Suzuki (1981)
Kondisi Sampel
Tidak retak setelah dua kali pelipatan
Tidak retak setelah pelipatan pertama
Retak berangsur-angsur saat pelipatan pertama
Retak segera setelah pelipatan pertama
Retak saat ditekan dengan jari
119
(c) Uji gigit (teeth cutting test) (Suzuki 1981)
Uji gigit dilakukan terhadap gel ikan dengan cara sampel diiris 5 mm.
Pengujian dilakukan dengan menggigit sampel antara gigi seri atas dan gigi seri
bawah. Kriteria mutu uji gigit disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Kriteria mutu uji gigit
Nilai
Sifat kekenyalan (springness)
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
Amat sangat kuat
Sangat kuat
Kuat
Cukup kuat
Dapat diterima
Dapat diterima, sedikit kuat
Lemah
Cukup lemah
Sangat lemah
Tekstur seperti bubur tidak ada kekuatan
Sumber: Suzuki (1981)
(d) Water holding capacity (WHC) (Grau dan Hamm 1972 dalam Faridah et al.
2006)
Prinsip pengujian daya ikat air (WHC) adalah pengepresan pada tekanan
tertentu, air bebas yang terdapat pada daging atau bahan dilepaskan ke kertas
saring yang digunakan untuk pengepresan.
Cairan yang terpisah membentuk
lingkaran pada kertas saring antara air yang terikat dengan air bebas yang
dilepaskan akibat perlakuan pengepresan, berbanding terbalik dengan kemampuan
bahan untuk mengikat air bebas sebagai akibat dari perlakuan pengepresan atau
berbanding terbalik dengan WHC atau daya ikat airnya.
Sampel sebanyak 0,3 g diambil dan ditempatkan di atas kertas saring dan
ditutup dengan penutupnya. Setelah itu diletakkan pada alat pengepres hidrolik
dan ditekan sampai 200 bar atau 200 kg/cm2 selama 5 menit. Luasan lingkaran
dari daging diukur, begitu pula luasan lingkaran luar yang terbentuk oleh air.
Luasan lingkaran yang terbentuk oleh air bebas merupakan pengurangan dari
luasan lingkaran luar dengan luasan lingkaran dalam.
120
Kriteria umum yang digunakan adalah jika luasan lebih kecil dari 6 cm2,
maka hanya sekitar 25 % air bebas yang dilepaskan pada waktu pengepresan yang
berarti daya ikat airnya tinggi, jika luasannya 6-8 cm2 maka daya ikat airnya
sedang dan jika luasan air bebasnya lebih dari 8 cm2 maka daya ikat airnya
rendah. Perhitungan luasan air bebas adalah sebagai berikut:
Jumlah air bebas (mg) =
Luas lingkaran air bebas (cm 2 )
−8
0,0948
Jumlah air sampel = kadar air (%) x berat sampel (mg)
WHC dihitung menggunakan rumus:
WHC (%) =
Jumlah air sampel - jumlah air bebas
x 100%
jumlah air sampel
(e) Kekuatan gel (Shimizu et al. 1992 yang dimodifikasi dalam Yasin 2005)
Sejumlah 90 g surimi ditambahkan NaCl sebesar 2,5 % (b/b) dari berat
surimi.
Adonan tersebut diaduk hingga merata pada food processor, sampai
dihasilkan pasta surimi. Kemudian dimasukkan ke dalam stuffle dan dicetak pada
selongsong dengan diameter 25-35 mm dan tinggi 45 mm untuk direbus dengan
dua tahap perebusan yaitu tahap pertama pada suhu 40 °C selama 30 menit dan
tahap kedua pada suhu 90 °C selama 30 menit. Selanjutnya sampel didinginkan
pada suhu dingin (4-5 °C) selama 5 menit lalu didiamkan pada suhu ruang (30 °C)
selama 12-24 jam sebelum diuji, dengan maksud untuk mendapatkan suhu yang
sama dengan suhu ruang karena pengujian kekuatan gel dilakukan pada
suhu ruang.
Kekuatan gel (gel strength) diukur dengan menggunakan alat Rheoner
jenis RE-3305. Sampel dengan panjang 2,5 cm diukur nilai kekuatan gelnya
dengan menggunakan probe yang berdiameter 5 mm yang terbuat dari bahan
plastik dan kecepatan pengukuran sebesar 0,5 mm/s. Dengan alat ini, kekuatan
gel ditetapkan dalam g cm dan dihitung dengan menggunakan rumus:
Kekuatan gel (g cm) = {jumlah kotak (grafik) x 25} x jarak (cm)
121
(f) Derajat putih (Kett electric Laboratory 1981 dalam Yasin 2005)
Uji derajat putih surimi berbasis multi-spesies ini menggunakan alat
dengan sistem hunter. Produk yang akan diukur derajat putihnya dicari warna
dasarnya terlebih dahulu dengan cara mencocokkan warna sampel dengan atribut
warna yang ada pada alat Whiteness Meter. Setelah diketahui nilai kecerahannya,
kemudian sampel produk diletakkan pada alat penembak. Dengan cara menekan
tombol pada penembak, maka akan terlihat notasi angka yang menggambarkan
penyerapan warna dasar produk yang dianalisis.
Prinsip kerjanya adalah pantulan sinar lampu yang difilter kemudian
mengenai sampel dan dipantulkan ke fotometer yang dihubungkan dengan
monitor skala (0-100 %). Banyaknya pantulan sinar lampu yang dapat diteruskan
ke fotometer dibaca pada skala sebagai persentase derajat putih.
3.4.2 Uji kimia
Uji kimia yang dilakukan terhadap daging lumat dan surimi ikan lele
dumbo dan nila adalah kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, nilai pH,
protein larut garam (PLG) dan total volatile base nitrogen (TVBN).
(a) Nilai pH (Suzuki 1981)
Sebelum melakukan pengukuran, pH meter harus dikalibrasi terlebih
dahulu, dengan cara mencelupkan batang probe pada buffer pH 4 lalu dicelupkan
kembali pada buffer pH 7. Analisis sampel dilakukan dengan cara menimbang 5 g
sampel kemudian dihomogenkan dalam 45 ml akuades dingin. Setelah homogen
diukur pH-nya dengan pH meter. Pengukuran menggunakan pH meter digital
merk inoLAB. Pengujian dilakukan sebanyak dua kali ulangan.
(b) Protein Larut Garam (PLG) (Saffle dan Galbraeth 1964 dalam Nauli 2009)
Sampel sebanyak 5 gram ditambahkan 50 ml larutan NaCl 5% kemudian
dihomogenkan dengan waring blender selama 2-3 menit, suhu dijaga agar tetap
rendah. Setelah itu disentrifugasi pada 3400 x G selama 30 menit dengan suhu
sebesar 10 °C. Selanjutnya disaring menggunakan kertas saring Whatman no 1.
Filtrat ditampung dalam erlenmeyer, disimpan pada suhu 4 °C. Sebanyak 25 ml
122
filtrat dianalisis kandungan proteinnya dengan menggunakan metode semimikro
Kjeldahl. Perhitungan kadar protein larut garam adalah:
Kadar PLG (%) =
(A - B) x N HCl x 14,007 x FP x 6,25
× 100%
W (g) x 1000
Keterangan:
A = ml titrasi HCl sampel
B = ml titrasi HCl blanko
W = berat sampel (g)
(c) Uji kadar air (Apriyantono et al. 1989)
Pengukuran
kadar
air
dilakukan
menggunakan
oven
pada
suhu 100 - 102 °C. Cawan kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven selama
15 menit dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sampel yang
sudah homogen ditimbang dengan cepat kurang lebih 5 gram dalam cawan. Tutup
cawan diangkat dan cawan berisi isi dan tutupnya ditempatkan dalam oven selama
6 jam. Kontak antara cawan dengan dinding oven dihindari. Selanjutnya, cawan
didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
Perhitungan kadar air dilakukan sebagai berikut:
Kadar air (% bb) =
W3
× 100%
W1
Keterangan:
Berat sampel (gram) = W1
Berat sampel setelah dikeringkan (gram) = W2
Kehilangan berat (gram) W3 = (W1-W2)
(d) Uji kadar abu total (Apriyantono et al. 1989)
Abu dalam bahan pangan ditetapkan dengan menimbang sisa mineral hasil
pembakaran bahan organik pada suhu sekitar 550 °C.
Cawan pengabuan
disiapkan, kemudian dibakar dalam tanur, didinginkan dalam desikator dan
ditimbang.
Sampel sebanyak 3-5 gram ditimbang dalam cawan, kemudian
diletakkan dalam tanur pengabuan, dibakar sampai abu berwarna abu-abu atau
sampai beratnya tetap. Sebelum masuk tanur, sampel yang ada dalam cawan
dibakar dahulu pada pembakar gas sampai asapnya habis. Pengabuan dilakukan
123
dalam 2 tahap: pertama pada suhu sekitar 400 °C dan kedua pada suhu 550 °C.
Setelah didapat berat yang tetap, abu dalam cawan didinginkan dalam desikator
dan ditimbang. Perhitungan kadar abu dilakukan sebagai berikut:
Kadar abu (%) =
Berat abu (gram)
× 100%
Berat sampel (gram)
(e) Uji kadar protein (Apriyantono et al. 1989)
Penentuan kadar protein dilakukan berdasarkan metode Kjeldahl. Prinsip
analisis protein dengan metode Kjeldahl meliputi destruksi, destilasi dan titrasi.
Pada tahap destruksi, sampel ditimbang sebanyak 0,5-1 gram kemudian satu buah
tablet kjelteb dimasukkan ke dalam tabung tersebut. Selanjutnya ditambahkan
larutan H2SO4 pekat (98%) sebanyak 2 ml.
Tabung berisi larutan tersebut
diletakkan pada alat pemanas dengan suhu 430 °C. Destruksi dilakukan hingga
larutan menjadi bening. Hasil destruksi didinginkan dan diencerkan dengan 15 ml
akuades.
Tahap destilasi dimulai dengan persiapan alat kjeltec system. Persiapan
dilakukan dengan menyalakan kran air dan melakukan pengecekan terhadap alkali
dan air dalam tangki. Tabung dan erlenmeyer yang berisi akuades diletakkan
pada tempatnya dan dihubungkan dengan selang, selanjutnya pintu pengaman
tabung ditutup rapat. Kemudian tombol alkali ditekan sampai lampu berhenti
menyala kemudian tombol steam ditekan.
Sampel yang telah didestruksi
ditambahkan 8-10 ml NaOH pekat. Destilasi dilakukan sampai volume larutan
dalam erlenmeyer mencapai 200 ml yang berisi larutan H3BO3 25 ml dan
indikator bromchresol green dan methyl red.
Titrasi dilakukan pada sampel yang telah didestilasi dengan meneteskan
HCl 0,1 N dari buret. Titrasi dilakukan hingga warna larutan sampel berubah
menjadi abu-abu.
Volume HCl yang digunakan dicatat.
protein dilakukan sebagai berikut:
Kadar protein (%) = N (%) x faktor konversi
N (%) =
(A - B) x N HCl x 14
× 100%
mg sampel
Perhitungan kadar
124
Keterangan :
A = ml titrasi sampel
B = ml titrasi blanko
Faktor konversi = 6,25
(f) Uji kadar lemak (Apriyantono et al. 1989)
Kadar lemak ditentukan dengan metode ekstraksi Soxhlet.
Prinsipnya
lemak diekstrak dengan pelarut dietil eter. Setelah pelarutnya diuapkan, lemaknya
dapat ditimbang dan dihitung persentasenya.
Labu lemak yang ukurannya sesuai dengan alat ekstraksi Soxhlet yang
akan digunakan, dikeringkan dalam oven, didinginkan dalam desikator dan
ditimbang. Sampel yang sudah dihomogenkan ditimbang sebanyak 5 gram.
Dibungkus dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak.
Selongsong sampel ditutup dengan kapas bebas lemak.
Pelarut dietil eter dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya, sesuai
dengan ukuran Soxhlet yang digunakan. Refluks dilakukan selama minimal 5 jam
sampai pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang
ada dalam labu lemak didestilasi dan ditampung pelarutnya. Selanjutnya labu
lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105 °C.
Setelah didapatkan berat yang tetap, lemak dalam labu tersebut
didinginkan dalam desikator. Selanjutnya lemak beserta labunya ditimbang dan
dihitung kadar lemaknya. Perhitungan kadar lemak dilakukan sebagai berikut:
Kadar lemak (%) =
Berat lemak (gram)
× 100%
Berat sampel (gram)
(g) Uji Total Volatile Base Nitrogen (TVBN) (AOAC 1995)
Prinsip dari pengujian terhadap kadar TVBN contoh adalah senyawa basa
volatil (amonia, mono-, di-, trimetilamin dan lain-lain) yang terdapat pada sampel
yang bersifat basa diuapkan, senyawa-senyawa tersebut diikat oleh asam borat dan
dititrasi dengan HCl 0,02 N.
Penentuan TVBN dilakukan menggunakan metode conway, pertama-tama
ditimbang 25 gram sampel ikan kemudian dihancurkan dengan blender dan
125
ditambahkan 75 ml larutan TCA 7 % lalu diaduk sampai homogen dan disaring
untuk mendapatkan filtrat yang bening.
Sebanyak 2 ml H3BO3 2 % dimasukkan ke dalam inner chamber cawan
conway dan 1 ml filtrat ke outer chamber sehingga kedua macam larutan
bercampur di outer chamber.
Sebelum cawan ditutup, pinggir cawan diolesi
vaselin agar penutupan sempurna. Pada posisi hampir menutup ditambahkan
K2CO3 1:1 (b/v) ke dalam outer chamber sebanyak 1 ml kemudian cawan conway
segera ditutup.
Blanko dikerjakan dengan mengganti filtrat dengan 7 % TCA dengan
prosedur yang sama seperti diatas. Setelah itu, diinkubasi pada suhu 35 ºC selama
24 jam, selanjutnya larutan asam borat yang mengandung sampel atau tidak
(blanko) ditetesi 2 tetes indikator (methyl red 0,1 % dan bronthymol blue 0,1 %
dengan perbandingan 2:1). Kemudian dititrasi dengan larutan HCl sambil diaduk
sehingga warnanya menjadi pink. Kadar TVBN dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
Kadar TVBN (mg N/100g) =
(i - j) x NHCl x 14,007 x FP x 100
Berat sampel
Keterangan:
i
= ml titrasi blanko
j
= ml titrasi contoh
FP
= Faktor pengenceran
NHCl = Normalitas larutan HCl
14,007 = Bobot atom hidrogen
3.4.3 Uji mikrobiologi (perhitungan total mikroba) (Fardiaz 1992)
Sampel sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam 90 ml larutan garam
fisiologis (pengenceran 10-1) secara aseptis. Selanjutnya untuk pengenceran 10-2,
suspensi sampel dari pengenceran sebelumnya dipipet 1 ml dan dimasukkan ke
dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml garam fisiologis. Pengenceran dilakukan
dengan cara yang sama sampai 10-5.
Selanjutnya dari masing-masing
pengenceran dipipet sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri,
kemudian ke dalam cawan petri dituangkan agar steril (PDA) yang telah
didinginkan sampai 50 ºC sebanyak kira-kira 15 ml. Setelah agar memadat,
126
cawan petri diinkubasi di dalam inkubator selama 3-5 hari pada suhu 27-30 ºC
dengan posisi terbalik.
Setelah masa inkubasi selesai, koloni yang terbentuk
dihitung dengan menggunakan Standart Plate Count.
Cara perhitungan total mikroba antara lain cawan yang dipilih dan
dihitung jumlah mikroba adalah cawan yang mengandung koloni antara 30-300.
Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari 2 angka, yaitu angka pertama (satuan)
dan angka kedua (desimal), apabila angka ketiga sama dengan atau lebih besar
dari 5, harus dibulatkan satu angka lebih tinggi pada angka kedua.
Jika semua pengenceran menghasilkan koloni kurang dari 30, berarti
pengenceran yang dilakukan terlalu tinggi. Oleh karena itu, jumlah koloni yang
dihitung hanya pada pengenceran terendah. Hasilnya dilaporkan sebagai kurang
dari 30 dikalikan dengan besarnya pengenceran, tetapi jumlah yang sebenarnya
harus dicantumkan di dalam tanda kurung.
Jika semua pengenceran dihasilkan lebih dari 300 koloni pada cawan petri,
berarti pengenceran yang dilakukan terlalu rendah. Oleh karena itu, jumlah koloni
pada pengenceran tertinggi yang dihitung. Hasilnya dilaporkan sebagai lebih dari
300 dikali dengan besarnya pengenceran, tetapi jumlah yang sebenarnya harus
dicantumkan di dalam tanda kurung.
Jika cawan dari dua tingkat pengenceran menghasilkan koloni antara
30-300 koloni dan perbandingan hasil tertinggi dan terendah dari kedua
pengenceran tersebut lebih kecil dari atau sama dengan dua, maka kedua nilai
tersebut dirata-ratakan dengan memperhitungkan pengencerannya.
Jika
perbandingan antara hasil tertinggi dan terendah dari kedua pengenceran lebih
besar atau sama dengan dua maka yang dilaporkan hanya hasil dari pengenceran
yang terkecil.
Jika digunakan dua cawan petri (duplo) per pengenceran maka data yang
diambil adalah dari kedua cawan petri tersebut, tidak boleh diambil salah satu.
Untuk menghitung jumlah koloni digunakan rumus sebagai berikut:
Jumlah koloni per gram = Jumlah koloni per cawan x
1
Faktor pengenceran
127
3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan yang digunakan pada pembuatan surimi adalah Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor, yaitu: faktor frekuensi pencucian yang
terdiri dari 3 taraf (1, 2, 3 kali), masing-masing dilakukan 2 (dua) kali
pengulangan. Rumus yang digunakan menurut Steel dan Torrie (1983) adalah
sebagai berikut:
Yij = µ + Ai + εij
Keterangan:
Yij = nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-j pada perlakuan faktor A taraf
ke-i
µ = nilai tengah populasi (nilai rata-rata sesungguhnya)
Ai = pengaruh frekuensi pencucian pada taraf ke-i (i = 1, 2, 3)
εij = faktor galat
Pada pengkomposisian surimi juga menggunakan rancangan acak lengkap
satu faktor, yaitu: faktor komposisi surimi yang terdiri dari 3 taraf (komposisi 1, 2,
3), masing-masing dilakukan 2 (dua) kali pengulangan.
Model matematika
rancangan percobaannya menurut Steel dan Torrie (1983) adalah sebagai berikut:
Yij = µ + Ai + εij
Keterangan:
Yij = nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-j pada perlakuan faktor A taraf
ke-i
µ = nilai tengah populasi (nilai rata-rata sesungguhnya)
Ai = pengaruh pengkomposisian surimi pada taraf ke-i (i = 1, 2, 3)
εij = faktor galat
Pada penyimpanan surimi juga menggunakan rancangan acak lengkap satu
faktor, yaitu: faktor lama penyimpanan dingin surimi yang terdiri dari 6 taraf
(0, 2, 4, 6, 8, 10 hari), yang masing-masing dilakukan 2 (dua) kali pengulangan.
Model matematika rancangan percobaannya menurut Steel dan Torrie (1983)
adalah sebagai berikut:
Yij = µ + Ai + εij
128
Keterangan:
Yij = nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-j pada perlakuan faktor A taraf
ke-i
µ = nilai tengah populasi (nilai rata-rata sesungguhnya)
Ai = pengaruh penyimpanan dingin surimi pada taraf ke-i (i = 1, 2, 3, 4, 5, 6)
εij = faktor galat
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (anova). Hasil analisis
ragam yang menunjukkan perbedaan nyata akan diuji lanjut dengan menggunakan
uji lanjut beda nyata jujur (BNJ). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
S2
r
BNJα = q ( p, dbs )
Keterangan:
BNJα
α
q
p
dbs
S2
r
= Nilai beda nyata jujur pada selang kepercayaan α
= Selang kepercayaan 95%
= Nilai tabel q
= Banyaknya perlakuan
= Derajat bebas sisa
= Nilai kuadrat tengah sisa
= Banyaknya ulangan
Analisis data non-parametrik yaitu data organoleptik menggunakan uji
Kruskal Wallis yang dilanjutkan dengan uji lanjut Multiple comparison untuk
melihat perbedaan dan hubungan antar perlakuan. Model matematika uji Kruskal
Wallis adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie 1983):
2
R
∑ i -3 (n + 1)
n
∑T
Pembagi = 1 -
12
H=
x
n( n + 1)
i
(n − 1) n(n + 1)
T = (t - 1)(t + 1)
H’ =
H
Pembagi
129
Keterangan:
n
ni
Ri2
T
H
H’
t
= jumlah total data
= banyaknya pengamatan dalam perlakuan ke-i
= jumlah ranking dalam perlakuan ke-i
= banyaknya pengamatan seri dalam kelompok
= simpangan baku
= H terkoreksi
= banyaknya pengamatan seri
Bila data hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan beda nyata, maka
dilakukan uji lanjut perbandingan berganda (Multiple comparison) dengan rumus
sebagai berikut:
Ri − Rj >Zα/2p
Keterangan:
Ri = rata - rata ranking perlakuan ke - i
Rj = rata - rata ranking perlakuan ke - j
k = banyaknya ulangan
n = jumlah tot al data
k (n + 1)
6
130
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik
fisika dan kimia bahan baku, mencari jumlah pencucian daging lumat untuk
menghasilkan mutu surimi yang terbaik, serta mencari kombinasi komposisi
pencampuran surimi terbaik antara ikan nila dan ikan lele dumbo.
4.1.1 Rendemen daging ikan nila dan ikan lele dumbo
Rendemen ikan adalah perbandingan berat antara daging dengan ikan utuh
(Hadiwiyoto 1993). Tujuan perhitungan rendemen daging adalah untuk
memperkirakan jumlah bagian dari ikan yang dapat digunakan sebagai bahan
pangan.
Dari perhitungan diperoleh rendemen daging ikan nila cukup besar, yaitu
40,73%, sedangkan rendemen daging ikan lele dumbo adalah sebesar 36,18%.
Perbedaan tersebut disebabkan kedua ikan ini memiliki bentuk tubuh yang
berbeda. Bentuk tubuh ikan nila lebih tebal dan berisi dibandingkan dengan
bentuk tubuh ikan lele dumbo , sehingga jumlah daging yang mengisi tubuhnya
juga lebih banyak. Ikan lele dumbo memiliki bentuk tubuh memanjang, agak
bulat, kepala gepeng dan tidak bersisik, sedangkan ikan nila mempunyai ciri
bentuk tubuh pipih meruncing. Ikan nila yang digunakan berukuran ± 350 g/ekor,
sedangkan ukuran ikan lele dumbo yang digunakan yaitu ± 400 g/ekor.
4.1.2 Komposisi proksimat daging lumat ikan nila dan ikan lele dumbo
Parameter kimia yang dianalisis terhadap daging lumat ikan nila dan ikan
lele dumbo meliputi analisis proksimat (kadar air, abu, lemak dan protein), pH dan
TVBN. Kedua jenis ikan yang digunakan dalam penelitian ini termasuk jenis ikan
berprotein cukup tinggi dan lemak rendah. Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa
kadar protein ikan nila hitam lebih besar dibandingkan ikan lele dumbo, dengan
nilai berturut-turut sebesar 13,80 % dan 12,97 %, dan kadar lemak untuk kedua
jenis ikan tersebut adalah 0,30 % dan 0,70 %. Hasil analisis terhadap parameter
kimia selengkapnya disajikan pada Tabel 8.
131
Tabel 8. Komposisi kimia daging lumat ikan nila hitam dan ikan lele dumbo
Parameter Analisis
Ikan Nila Hitam
Ikan Lele Dumbo
81,80 ± 0,28a
79,50 ± 0,14 a
a
1,20 ± 0,28
1,10 ± 0,14 a
a
0,30 ± 0,14
0,70 ± 0,14 a
a
13,88 ± 2,06
12,97 ± 0,25a
a
6,75 ± 0,00
6,67 ± 0,02a
12,15 ± 0,55 a
12,54 ± 0,00 a
Keterangan: Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti huruf superscripts yang
sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05)
Kadar air (%)
Kadar abu (%)
Kadar lemak (%)
Kadar protein (%)
pH
TVBN (mg N/100 g)
Menurut Stansby dan Olcott (1963), ikan yang tergolong berlemak rendah
dan berprotein tinggi memiliki kandungan protein 15-20 % dan kandungan lemak
lebih kecil dari 5 %. Jenis ikan ini sangat cocok untuk diolah menjadi surimi
karena tingginya kadar protein dan rendahnya kadar lemak yang diharapkan
mampu menghasilkan kekuatan gel terbaik.
Kekuatan gel berkorelasi positif
dengan kandungan protein, terutama protein miofibril (aktin dan miosin) yang
merupakan faktor utama penentu kekuatan gel. Selain itu, lemak adalah salah satu
faktor penghalang komponen pembentuk gel dalam daging, dimana dengan
rendahnya kandungan lemak, maka nilai kekuatan gel yang dihasilkan akan tinggi.
Ikan nila dan ikan lele dumbo yang digunakan dalam penelitian ini
termasuk kedalam kelompok ikan yang masih segar. Rupa dan warna daging dari
kedua jenis ikan ini masih cemerlang, berwarna putih kemerahan. Belum tercium
bau amonia pada kedua ikan ini. Tekstur daging kedua ikan ini terlihat masih
kompak dan elastis. Berdasarkan hasil perhitungan terhadap analisis kesegaran
ikan (pH dan TVBN) menunjukkan nilai yang masih rendah (berada di bawah
ambang kebusukan).
Hal tersebut menandakan bahwa belum terjadi adanya
penguraian daging ikan yang menyebabkan terbentuknya senyawa basa volatil
yang dapat meningkatkan nilai pH dan TVBN.
Menurut Ozogul dan Ozogul
(2000), indeks kebusukan ikan untuk nilai TVBN adalah > 30 mg N/100 g. Hal
ini merupakan indikasi penting jaringan enzim selama kemunduran mutu post
mortem (Yeh et al. 1978 dalam Martinez-Alvarez et al. 2009). Nilai pH yang
menandakan bahwa ikan segar berada dalam kondisi rigormortis pada kisaran pH
dibawah netral hingga pH netral (Amlacher 1961 dalam Santoso et al. 2008).
132
4.1.3 Penentuan frekuensi pencucian terbaik
Pencucian adalah salah satu tahap kritis dalam pembuatan surimi.
Pencucian bertujuan untuk meningkatkan kekuatan gel dilihat dari meningkatnya
kandungan protein miofibril dan menurunnya protein sarkoplasma. Pencucian
juga dapat meningkatkan kualitas warna dan aroma surimi. Pengaruh frekuensi
pencucian dalam hubungannya dengan nilai protein larut garam (PLG), kekuatan
gel dan pH disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Hubungan antara frekuensi pencucian dengan nilai protein larut
garam (PLG), kekuatan gel dan pH
Parameter
PLG (%)
pH
Kekuatan gel
(g cm)
Frekuensi
pencucian
1
2
3
1
2
3
1
2
3
Jenis Ikan
Ikan Nila
Ikan Lele
Hitam
Dumbo
4,72 ± 0,15c
5,90 ± 0,28c
3,48 ± 0,39b
1,54 ± 0,07b
a
1,60 ± 0,04
1,06 ± 0,05a
6,34 ± 0,00b
7,56 ± 0,13b
b
6,62 ± 0,03
7,02 ± 0,01ab
a
6,61 ± 0,04
6,48 ± 0,37a
c
792 ± 0,00
540 ± 33,94b
240 ± 16,97b
96 ± 0,00a
a
108 ± 16,97
42 ± 8,48a
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama pada masing-masing parameter
yang diikuti huruf superscripts berbeda (a, b, c) menunjukkan beda
nyata (p<0,05)
Dari Tabel 9 terlihat bahwa frekuensi pencucian memberikan nilai PLG
yang bervariasi dan dapat menurunkan kekuatan gel dari kedua jenis surimi ikan
tersebut. Nilai PLG ikan nila hitam dan ikan lele dumbo tertinggi didapatkan
pada frekuensi pencucian 1 kali yaitu masing-masing sebesar 5,90 % dan 4,72 %.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa frekuensi pencucian memberikan
pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap nilai PLG yang dihasilkan
(Lampiran 2b dan 3b). Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa frekuensi pencucian
1 kali memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap frekuensi pencucian
yang lainnya.
Kadar PLG yang diperoleh berbanding lurus dengan nilai kekuatan gel
yang dihasilkan. Kekuatan gel surimi ikan nila tertinggi terdapat pada frekuensi
133
pencucian 1 kali sebesar 792 g cm, diikuti oleh frekuensi pencucian 2 dan 3 kali.
Hal ini pun sama untuk ikan lele dumbo, dimana pada frekuensi pencucian 1 kali
menunjukkan nilai kekuatan gel terbesar yaitu sebesar 540 g cm. Hasil analisis
ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi terhadap kekuatan gel memberikan
pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 5b dan 7b). Menurut Reynolds
et al. (2002), menurunnya konsentrasi protein larut garam akan menyebabkan
menurunnya ketegangan dan kemampuan untuk membentuk gel.
Lebih lanjut Nielsen dan Pigott (1994) menyatakan bahwa pada proses
pembuatan surimi, pencucian merupakan tahapan yang paling penting, khususnya
untuk ikan-ikan yang mempunyai kemampuan membentuk gel yang rendah serta
ikan yang berdaging merah. Pencucian surimi bertujuan untuk melarutkan lemak,
darah, enzim dan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel.
Pada Tabel 9 menunjukkan bahwa nilai pH ikan nila berkisar antara
6,34-6,62, sedangkan ikan lele dumbo berkisar antara 6,48-7,56. Suzuki (1981)
menyatakan bahwa pH berpengaruh terhadap kelarutan dari PLG. Kisaran nilai
pH 6-7 merupakan nilai pH yang optimum bagi kelarutan PLG. Bila pH kurang
dari 6 maka akan mengakibatkan sifat hidrofilik ikan meningkat sehingga terjadi
pengembangan dan gel ikan tidak terbentuk, sebaliknya apabila pH lebih dari 7
maka penyerapan air akan meningkat, sehingga akan kesulitan dalam pembuangan
airnya. Pencucian merupakan tahap yang penting untuk mutu surimi, tidak hanya
untuk mengurangi lemak dan bahan yang tidak diperlukan seperti darah, pigmen,
bau (odor) tetapi juga untuk meningkatkan protein miofibril, yang merupakan
komponen yang berperan dalam pembentukan gel (Chaijan et al. 2004 dalam
Balange dan Benjakul 2009).
Hasil
analisis
ragam
menunjukkan
bahwa
frekuensi
pencucian
memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap pH surimi yang
dihasilkan (Lampiran 4b dan 6b). Menurut Suzuki (1981), aktomiosin relatif
stabil pada kisaran pH 6-8 dan lebih stabil pada pH 7. Stabilnya aktomiosin akan
membantu proses pembentukan gel.
Pengujian sifat fisik surimi juga dilakukan secara subyektif yaitu dengan
melakukan uji lipat dan uji gigit dengan melibatkan 10 panelis.
Uji lipat
dilakukan terhadap produk untuk mengetahui kualitas kekuatan gel secara
134
subyektif. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 10 menunjukkan bahwa
nilai rata-rata uji lipat tertinggi untuk ikan lele dumbo terdapat pada frekuensi
pencucian 1 kali sebesar 4,00 yang berarti tidak retak jika dilipat setengah
lingkaran, sedangkan nilai uji lipat terendah terdapat pada frekuensi pencucian
3 kali sebesar 1,40 yang berarti putus menjadi dua jika dilipat setengah lingkaran.
Nilai rata-rata uji lipat tertinggi untuk ikan nila terdapat pada frekuensi pencucian
1 kali dan terendah pada frekuensi pencucian 3 kali yaitu masing-masing sebesar
4,30 dan 3,20.
Hasil uji lipat dan uji gigit pada setiap frekuensi pencucian
terdapat pada Tabel 10.
Tabel 10. Nilai uji lipat dan uji gigit pada setiap frekuensi pencucian
Frekuensi
pencucian
1
2
3
Uji lipat
Ikan Nila
Hitam
4,30 ± 1,34a
3,50 ± 1,27a
3,20 ± 1,14a
Ikan Lele
Dumbo
4,00 ± 1,15b
3,00 ± 1,63b
1,40 ± 1,26a
Uji gigit
Ikan Nila
Hitam
7,90 ± 1,28b
5,40 ± 2,07a
4,50 ± 2,07a
Ikan Lele
Dumbo
7,30 ± 1,64b
3,70 ± 1,70a
2,50 ± 2,01a
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf superscripts berbeda
(a, b) menunjukkan beda nyata (p<0,05)
Nilai rata-rata uji gigit tertinggi ikan lele dumbo terdapat pada frekuensi
pencucian 1 kali sebesar 7,30 yang berarti daya lenting agak kuat, sedangkan nilai
uji gigit terendah terdapat pada frekuensi pencucian 3 kali sebesar 2,50 yang
berarti daya lenting lemah. Adapun nilai rata-rata uji gigit tertinggi ikan nila
hitam terdapat pada frekuensi pencucian 1 kali sebesar 7,90 dan terendah terdapat
pada frekuensi pencucian 3 kali sebesar 4,50.
Berdasarkan data pada Tabel 9 dan 10 dapat disimpulkan bahwa frekuensi
pencucian 1 kali memiliki kekuatan gel tertinggi. Uji lipat dan uji gigit ikan nila
hitam dan ikan lele dumbo pada frekuensi pencucian 1 kali juga menghasilkan
nilai tertinggi diantara frekuensi pencucian yang lainnya, sehingga frekuensi
pencucian surimi 1 kali merupakan frekuensi pencucian terbaik yang digunakan
pada tahap penelitian selanjutnya.
135
4.1.4 Penentuan komposisi surimi terbaik
Surimi terbaik hasil pengkomposisian ditentukan berdasarkan parameter
kekuatan gel. Nilai kekuatan gel ketiga jenis variasi komposisi surimi ikan nila
hitam dan ikan lele dumbo disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Nilai kekuatan gel surimi dari masing-masing variasi komposisi
Perlakuan komposisi
Kekuatan gel (g cm)
N1L1 = (nila : lele = 1:1)
N1L2 = (nila : lele = 1:2)
N2L1 = (nila : lele = 2:1)
612a
528a
600a
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf superscripts
sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05)
Dapat dilihat pada Tabel 11 bahwa ketiga komposisi dari ikan nila hitam
dan ikan lele dumbo tersebut memberikan nilai kekuatan gel yang beragam yaitu
berkisar antara 528-612 g cm. Perlakuan pencampuran dua jenis ikan terbukti
mampu meningkatkan nilai kekuatan gel. Hal ini serupa juga dilaporkan oleh
Yasin (2005) pada ikan cucut dan ikan pari.
Komposisi N1L1 menghasilkan nilai kekuatan gel tertinggi.
Hal ini
diduga karena kekuatan gel yang dihasilkan dipengaruhi oleh pH. Nilai pH dari
ikan nila dan ikan lele dumbo mendekati pH netral yaitu masing-masing sebesar
6,75 dan 6,68. Menurut Suzuki (1981), rendahnya pH menyebabkan konsentrasi
garam meningkat. Konsentrasi garam yang tinggi menyebabkan protein tidak
akan larut, yang akan mencegah terbentuknya gel kamaboko. Menurut Suzuki
(1981), aktomiosin relatif stabil pada kisaran pH 6-8 dan lebih stabil pada pH 7.
Stabilnya aktomiosin akan membantu proses pembentukan gel. Kristinsson dan
Hultin (2003) dalam Ingadottir et al. (2010) melaporkan bahwa pH bertanggung
jawab dalam memperbaiki fungsi pembentukan gel, emulsifikasi dan kelarutan.
Berdasarkan hasil tersebut, maka dipilih komposisi N1L1 sebagai
komposisi surimi terbaik yang akan dilihat pengaruh penyimpanan dingin
terhadap perubahan karakteristik fisika, kimia dan mikrobiologi yang dihasilkan.
Tingginya nilai kekuatan gel surimi diharapkan dapat menghasilkan kualitas
surimi yang baik.
136
4.2 Penelitian Utama
Frekuensi pencucian dan komposisi surimi hasil pengkomposisian nila-lele
(N1L1) yang diperoleh dari penelitian pendahuluan digunakan dalam pembuatan
surimi pada penelitian utama. Pada penelitian utama dilakukan penyimpanan
surimi pada suhu dingin (suhu 4-5 °C) selama 10 hari dengan selang waktu
pengamatan tiap 2 hari penyimpanan yaitu hari ke-0, 2, 4, 6, 8 dan 10. Pada
masing-masing pengamatan dilakukan analisis fisik surimi yang meliputi
kekuatan gel, derajat putih, water holding capacity (WHC), uji lipat dan uji gigit,
dan analisis kimia surimi yang meliputi nilai derajat keasaman (pH), nilai total
volatile base nitrogen (TVBN), kadar protein larut garam (PLG) serta analisis
mikrobiologi, yaitu perhitungan total plate count (TPC).
4.2.1 Karakteristik fisik
Karakteristik fisik yang dilakukan pada surimi adalah kekuatan gel, derajat
putih, water holding capacity (WHC), uji lipat dan uji gigit. Kekuatan gel diukur
secara obyektif dengan alat pengukur textur analyzer yaitu Rheoner jenis
RE-3305 dan secara subyektif dengan uji lipat (folding test) dan uji gigit (teeth
cutting test).
a) Kekuatan gel (gel strength)
Kualitas surimi yang baik secara umum ditentukan oleh kemampuan
daging untuk membentuk gel. Kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian nilalele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin dapat dilihat pada Gambar 7.
Pada Gambar 7 terlihat bahwa nilai rata-rata kekuatan gel surimi selama
penyimpanan dingin berkisar antara 78 - 1096 g cm. Kekuatan gel tertinggi
terdapat pada surimi dengan lama penyimpanan 0 hari sebesar 1096 g cm,
sedangkan kekuatan gel terendah terdapat pada surimi dengan lama penyimpanan
10 hari yaitu sebesar 78 g cm. Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa kekuatan
gel surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) menurun selama penyimpanan.
137
1200
1096c
Kekuatan Gel (gr cm)
1000
800
678b
540b
600
486b
216a
400
200
78a
0
0
2
4
6
8
10
Lama Penyimpanan (hari)
Keterangan:
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscripts
berbeda (a, b, c) menunjukkan beda nyata (p<0,05)
Gambar 7. Nilai kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1)
selama penyimpanan dingin
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penyimpanan dingin 10 hari
memberikan pengaruh nyata (p<0,05) (Lampiran 10b) terhadap kekuatan gel
surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1).
Hasil uji lanjut Tukey
menunjukkan kekuatan gel pada penyimpanan hari ke-0 berbeda nyata dengan
kekuatan gel pada penyimpanan hari ke-2, 4, 6, 8 dan 10.
Menurut Lanier (1992), faktor penyimpanan pada suhu chilling dapat
mempercepat tingkat kerusakan kekuatan gel karena terjadi proses perombakan
aktomiosin (komponen yang bertanggung jawab dalam pembentukan gel) menjadi
senyawa-senyawa yang lebih sederhana.
Selama penyimpanan, kerja enzim
seperti enzim lipase tetap berlangsung sehingga turut mempercepat kerusakan gel.
Komponen yang berperan dalam pembentukan gel adalah protein miofibril yang
dapat diekstrak dengan larutan garam netral. Kristinsson et al. (2005) dalam
Rawdkuen et al. (2009) melaporkan bahwa kemampuan pembentukan gel surimi
bervariasi yang ditentukan oleh fungsi protein miofibril.
Faktor pencucian pada daging lumat berpengaruh pada kekuatan gel yang
terbentuk. Dengan pencucian, sarkoplasma dalam daging ikan dapat diminimalkan
sehingga konsentrasi miofibril akan meningkat dan berdampak positif pada
138
peningkatan kekuatan gel.
Proses pencucian pada surimi akan menghasilkan
kekuatan gel yang stabil dan aktivitas ATP-ase yang terjadi akan semakin rendah.
Hal ini diyakini dapat memperpanjang masa simpan surimi.
Namun, harus
diperhatikan terkait air yang digunakan dalam proses pencucian (baik daging
lumat maupun surimi) yaitu harus bebas dari garam-garam pengotor seperti CaCl2
dan MgCl2, karena jenis garam ini akan mempercepat proses denaturasi protein
bahan (Lanier 1992). Faktor lain yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan
surimi dengan kekuatan gel yang optimal adalah penggunaan suhu rendah. Pada
Gambar 9 terlihat bahwa kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian nila-lele
(N1L1) mengalami penurunan dengan model linier y = 1168 – 186,50x yang
berarti bahwa dengan bertambahnya waktu penyimpanan akan menurunkan
kekuatan gel sebesar 981,50 satuan per hari.
1200
Kekuatan Gel (g cm)
1000
800
600
y = 1168 - 186,50x
R² = 0,94
400
200
0
0
2
4
6
8
10
Lama Penyimpanan (hari)
Gambar 8. Regresi linier kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian nila-lele
(N1L1) selama penyimpanan dingin
Suzuki (1981) menyatakan bahwa pH mempengaruhi kelarutan dari
protein larut garam, yang akan mempengaruhi kemampuan pembentukan gel.
Nilai pH antara 6-7 memberikan kekuatan gel yang optimum. Nilai pH lebih dari
7 dapat melemahkan gel karena terjadi hidrasi protein, sedangkan pada pH kurang
dari 6 menyebabkan ketidakstabilan protein larut garam atau protein miofibril
dalam daging dan mengindikasikan penurunan kemampuan pembentukan gel.
139
b) Derajat putih
Uji derajat putih pada penelitian ini dilakukan pada surimi hasil
pengkomposisian nila-lele (N1L1) yang disimpan pada suhu dingin.
Terjadi
penurunan nilai derajat putih pada surimi hingga masa penyimpanan hari ke-10.
Pada penyimpanan hari ke-0, nilai derajat putih surimi hasil pengkomposisian
nila-lele (N1L1) adalah 33,38 %. Hingga hari terakhir, nilai tersebut berturutturut menjadi 32,31 %, 32,26 %, 28,91 %, 28,53 % dan 27,29 %. Hasil evaluasi
nilai derajat putih surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) dapat dilihat
pada Gambar 9.
40
Derajat Putih (%)
35
33,38d
32,31cd
32,26c
30
28,91b
28,53b
27,29a
6
8
10
25
20
15
10
5
0
0
2
4
Lama Penyimpanan (hari)
Keterangan:
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscripts
berbeda (a, b, c, d) menunjukkan beda nyata (p<0,05)
Gambar 9. Nilai derajat putih surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1)
selama penyimpanan dingin
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penyimpanan dingin 10 hari
memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 11b) terhadap
derajat putih surimi. Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa penyimpanan hari
ke-0 berbeda nyata dengan penyimpanan pada hari ke-2, 4, 6, 8 dan 10.
Penyimpanan pada hari ke-0 memiliki nilai derajat putih tertinggi.
Berdasarkan hasil analisis tersebut menunjukkan terjadinya mekanisme reaksi
pencoklatan pada surimi dalam penelitian ini. Nilai derajat putih surimi hasil
pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin terus mengalami
140
penurunan seiring lamanya waktu penyimpanan. Seperti penelitian yang dilakukan
Santoso et al. (2008) dalam pembuatan surimi multi-spesies daging lumat dari
ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa melaporkan bahwa selama proses
penyimpanan dingin, diduga telah terjadi oksidasi terhadap senyawa lemak.
Oksidasi terhadap senyawa lemak ini dapat memacu laju penguraian protein, yang
pada akhirnya menyebabkan reaksi pencoklatan. Tingkat pencoklatan surimi
dipengaruhi oleh waktu penyimpanan daging lumat, yang berarti bahwa dengan
semakin lamanya waktu penyimpanan maka proses oksidasi semakin hebat dan
warna coklat yang terbentuk akan semakin nyata.
Faktor yang menyebabkan nilai derajat putih surimi yang semakin turun
seiring lamanya waktu penyimpanan dalam penelitian ini adalah sukrosa yang
ditambahkan bereaksi dengan gugus amino dari protein yang akan membentuk
senyawa melanoidin yang berwarna coklat. Gambar 10 menunjukkan regresi
linier rata-rata nilai derajat putih surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1)
selama penyimpanan dingin dengan model linier y = 34,96 – 1,29x yang berarti
bahwa dengan bertambahnya waktu penyimpanan akan menurunkan derajat putih
sebesar 33,67 satuan per hari.
40
Derajat Putih (%)
35
30
25
y = 34,96 -1,29x
R² = 0,93
20
15
10
5
0
0
2
4
6
8
10
Lama Penyimpanan (hari)
Gambar 10. Regresi linier nilai derajat putih surimi hasil pengkomposisian
nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin
141
c) Water holding capacity (WHC)
Daya ikat air atau Water Holding Capacity (WHC) didefinisikan sebagai
kemampuan daging untuk mengikat air, baik yang berasal dari daging itu sendiri
maupun yang berasal dari luar daging. Menurut Wahyuni (1992), daya ikat air
sangat berpengaruh pada kemampuan protein untuk membentuk gel selama proses
pengolahan, besarnya viskositas dan kemampuan untuk mengembang. Selama
proses pembentukan gel, air diikat oleh matriks protein, yang akan diikat
bersamaan dengan ikatan hidrogen dan ikatan hidrofobik (Venugopal 1992).
Hasil pengamatan terhadap nilai WHC surimi hasil pengkomposisian nila-lele
(N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ditunjukkan pada Gambar 11.
90
80
77,63c
70
59,09b
WHC (%)
60
51,02ab
50
47,79a
45,89a
40,83a
40
30
20
10
0
0
2
4
6
8
10
Lama Penyimpanan (hari)
Keterangan: Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscripts berbeda
(a, b, c) menunjukkan beda nyata (p<0,05)
Gambar 11. Nilai daya ikat air (WHC) surimi hasil pengkomposisian nila-lele
(N1L1) selama penyimpanan dingin
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penyimpanan dingin 10 hari
memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 12b) terhadap nilai
WHC surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1). Uji lanjut Tukey
menunjukkan bahwa penyimpanan hari ke-0 berbeda nyata dengan penyimpanan
hari ke-2, 4, 6, 8 dan 10, sedangkan penyimpanan hari ke-6 dan 8 tidak berbeda
nyata dengan penyimpanan hari ke-10. Seiring dengan lamanya penyimpanan
menyebabkan menurunnya kadar WHC yang akan berpengaruh terhadap kekuatan
142
gel dari surimi. Penurunan kadar WHC menyebabkan kandungan air bebas pada
surimi mengalami kenaikan sehingga kekuatan gel semakin menurun. Menurut
Santoso et al. (2008), selama penyimpanan dingin, protein miofibril akan semakin
terdegradasi.
Degradasi dari protein miofibril tersebut menyebabkan ruang
diantara jaringan akan semakin sempit sehingga jumlah air yang terikat akan
semakin berkurang. Regresi linier nilai WHC surimi hasil pengkomposisian nilalele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ditunjukkan pada Gambar 12.
90
80
70
WHC (%)
60
50
40
y = 76,39 - 6,48x
R² = 0,84
30
20
10
0
0
2
4
6
8
10
Lama Penyimpanan (hari)
Gambar 12. Regresi linier WHC surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1)
selama penyimpanan dingin
Gambar 12 menunjukkan bahwa WHC surimi hasil pengkomposisian nilalele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin mengalami penurunan dengan
model linier y = 76,39 - 6,48x yang berarti bahwa dengan bertambahnya waktu
penyimpanan akan menurunkan daya ikat air (WHC) sebesar 69,91 satuan per
hari. Turunnya nilai WHC surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) akibat
proses kemunduran mutu miofibril daging lumat menyebabkan kekuatan gel
surimi ikut menurun. Hal ini disebabkan karena dalam proses pembentukan gel,
reaksi antara protein-air akan semakin berkurang seiring dengan lamanya
penyimpanan yang menyebabkan kualitas gel semakin memburuk. Menurut
Zayas (1997), pembentukan gel disebabkan karena reaksi antara protein-protein
143
dan protein-air. Apabila reaksi antara protein-protein yang terjadi lebih banyak
dibandingkan dengan protein-air, maka akan menghasilkan gel yang rapuh.
Selain itu, daya ikat air selama penyimpanan ini juga tergantung pada konsentrasi
dan jenis garam yang dipakai, semakin besar konsentrasi garam yang ditambahkan
maka semakin menurun pula kemampuan bahan dalam mengikat air. Hal ini
disebabkan kemampuan bahan tergantikan oleh garam yang berikatan dengan air.
Semakin kuat jenis kation yang digunakan pada garam, semakin lambat pula
penurunan kemampuan mengikat air oleh bahan.
d) Uji lipat (folding test)
Uji lipat adalah penilaian sensori terhadap kekuatan gel. Uji lipat cocok
untuk memisahkan gel yang bermutu tinggi dan bermutu rendah, tetapi tidak bisa
membedakan antara gel yang bermutu baik dan bermutu sangat baik
(Lanier 1992). Rata-rata uji lipat surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1)
pada penyimpanan suhu dingin dapat dilihat pada Gambar 13.
6
4,80d
4,50d
5
3,80bc
3,30b
2,80b
Skor
4
3
1,30a
2
1
0
0
2
4
6
8
10
Lama Penyimpanan (hari)
Keterangan: Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscripts
berbeda (a, b, c,d) menunjukkan beda nyata (p<0,05)
Gambar 13. Nilai uji lipat surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama
penyimpanan dingin
144
Pada
Gambar
13
terlihat
bahwa
nilai
uji
lipat
surimi
hasil
pengkomposisian nila-lele (N1L1) semakin menurun seiring bertambahnya waktu
penyimpanan dan berkisar antara 1,30-4,80 dan termasuk kriteria putus menjadi
dua bagian jika dilipat setengah lingkaran sampai tidak retak jika dilipat
seperempat lingkaran. Uji lipat pada hari penyimpanan terakhir berbeda nyata
dengan nilai uji lipat pada penyimpanan hari ke-0, 2, 4, 6 dan 8. Hasil uji lanjut
multiple comparison
menunjukkan bahwa rata-rata nilai uji lipat surimi
komposisi N1L1 memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap uji lipat gel
yang dihasilkan (p<0,05) (Lampiran 13b). Berdasarkan syarat mutu SNI (SNI 012693-1992) surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) masih diperbolehkan
hingga hari ke-2 penyimpanan dingin. Surimi yang diizinkan untuk diproduksi
berdasarkan syarat mutu SNI adalah surimi dengan grade A. Pada Gambar 14
menunjukkan nilai regresi linier uji lipat surimi hasil pengkomposisian nila-lele
(N1L1) selama penyimpanan dingin. Penurunan nilai uji lipat dari surimi
sebanding dengan penurunan nilai kekuatan gel.
6
Nilai uji lipat
5
y = 5,73 - 0,66x
R² = 0,94
4
3
2
1
0
0
2
4
6
8
10
Lama Penyimpanan (hari)
Gambar 14. Regresi linier uji lipat surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1)
selama penyimpanan dingin
Pada Gambar 14 terlihat bahwa uji lipat surimi hasil pengkomposisian
nila-lele (N1L1) mengalami penurunan dengan model linier y = 5,73 - 0,66x. Hal
ini berarti bahwa dengan bertambahnya waktu penyimpanan akan menurunkan uji
lipat sebesar 5,07 satuan per hari.
145
e) Uji gigit (teeth cutting test)
Uji gigit adalah uji sensori yang dilakukan terhadap kekenyalan surimi.
Uji gigit dilakukan dengan cara menggigit gel antara gigi seri atas dengan gigi seri
bawah. Nilai rata-rata uji gigit surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1)
selama penyimpanan suhu dingin dapat dilihat pada Gambar 15.
Pada Gambar 15 terlihat bahwa nilai rata-rata uji gigit selama
penyimpanan dingin berkisar antara 1,20-9,10. Nilai uji gigit tertinggi terdapat
pada surimi penyimpanan ke-0, sedangkan nilai uji gigit terendah terdapat pada
surimi dengan lama penyimpanan hari ke-10. Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa perlakuan penyimpanan dingin surimi hasil pengkomposisian nila-lele
(N1L1) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap uji gigit yang
dihasilkan (p<0,05) (Lampiran 14b).
Hasil uji lanjut multiple comparison
menunjukkan bahwa penyimpanan surimi pada suhu dingin selama 0 hari berbeda
nyata dengan surimi pada penyimpanan hari ke-2, 4, 6, 8 dan 10 hari.
12
10
9,10d
7,40c
Skor
8
6,40c
6
3,40b
4
2,60ab
1,20a
2
0
0
2
4
6
8
10
Lama Penyimpanan (hari)
Keterangan: Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscripts berbeda
(a, b, c, d) menunjukkan beda nyata (p<0,05)
Gambar 15. Nilai uji gigit surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama
penyimpanan dingin
146
Pada Gambar 15 terlihat bahwa uji gigit surimi hasil pengkomposisian
nila-lele
(N1L1)
mengalami
penurunan
seiring
bertambahnya
waktu
penyimpanan. Penurunan nilai uji gigit selama penyimpanan dingin menunjukkan
berkurangnya tingkat kelentingan atau keelastisan surimi yang dihasilkan. Hal ini
erat kaitannya dengan kekuatan gel dari surimi tersebut. Nilai regresi linier uji
gigit surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin
ditunjukkan pada Gambar 16.
10
9
Nilai uji gigit
8
7
6
5
y = 10,70 -1,63x
R² = 0,98
4
3
2
1
0
0
2
4
6
8
10
Lama Penyimpanan (hari)
Gambar 16. Regresi linier uji gigit surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1)
selama penyimpanan dingin
Surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) mengalami penurunan
dalam uji gigit dengan model linier y = 10,70 - 1,63x. Hal ini berarti bahwa
dengan bertambahnya waktu penyimpanan akan menurunkan uji gigit sebesar
9,07 satuan per hari.
4.2.2 Karakteristik kimia dan mikrobiologi
Karakteristik kimia yang dilakukan meliputi: nilai derajat keasaman (pH),
nilai total volatile base nitrogen (TVBN) dan kadar protein larut garam (PLG).
Analisis mikrobiologi yang dilakukan adalah pengujian jumlah mikroorganisme
menggunakan metode total plate count (TPC).
147
a) Derajat keasaman (pH)
Kekuatan gel dari surimi dipengaruhi oleh derajat keasaman atau pH.
Protein miosin mudah larut pada kisaran pH daging antara 6-7, yang memberikan
kekuatan gel yang optimum. Nilai pH lebih dari 7 dapat melemahkan gel karena
terjadi hidrasi protein, sedangkan pada pH kurang dari 6 menyebabkan
ketidakstabilan protein larut garam atau protein miofibril dalam daging dan
mengindikasikan penurunan kemampuan pembentukan gel (Suzuki 1981). Nilai
pH dari surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan
dingin ditunjukkan pada Gambar 17.
8
7,38c
6,99c
7
5,95b
6
5,21ab
pH
5
4,57a
4,45a
8
10
4
3
2
1
0
0
2
4
6
Lama Penyimpanan (hari)
Keterangan: Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscripts
berbeda (a, b, c) menunjukkan beda nyata (p<0,05)
Gambar 17. Nilai derajat keasaman (pH) surimi hasil pengkomposisian nila-lele
(N1L1) selama penyimpanan dingin
Pada Gambar 17 terlihat bahwa nilai pH surimi hasil pengkomposisian
nila-lele (N1L1) pada penyimpanan dingin berkisar antara 4,45-7,38. Nilai pH
pada penyimpanan hari ke-0 sebesar 7,38, sedangkan pada penyimpanan hari
ke-10 sebesar 4,45. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan
penyimpanan dingin surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) memberikan
pengaruh yang berbeda nyata terhadap pH surimi (p<0,05) (Lampiran 15b).
Hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa nilai pH pada penyimpanan
surimi 0 hari berbeda nyata dengan penyimpanan surimi 4, 6, 8 dan 10 hari, tetapi
148
tidak berbeda nyata terhadap nilai pH pada hari penyimpanan ke-2. Penyimpanan
hari ke-8 dan 10 memiliki nilai rata-rata pH yang hampir sama yaitu 4,57 dan
4,45. Regresi linier rata-rata pH surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1)
selama penyimpanan suhu dingin ditunjukkan pada Gambar 18.
8
7
6
pH
5
4
y = 8,02 - 0,65x
R² = 0,96
3
2
1
0
0
2
4
6
8
10
Lama Penyimpanan (hari)
Gambar 18. Regresi linier derajat keasaman (pH) surimi hasil pengkomposisian
nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin
Pada Gambar 18 terlihat bahwa pH komposisi surimi terbaik hasil
pengkomposisian nila-lele (N1L1) mengalami penurunan selama penyimpanan
suhu dingin (chilling) dengan model linier y = 8,02-0,65x, yang berarti bahwa
dengan bertambahnya waktu penyimpanan akan menurunkan pH surimi sebesar
7,37 satuan per hari. Pada kondisi alkali kekuatan gel menjadi lemah.
Secara umum, miosin lebih mudah larut pada pH 6,5-7. Nilai pH yang
mendekati pH netral menyebabkan kelarutan protein menjadi tinggi dan
aktomiosin menjadi lebih stabil, sehingga diharapkan menghasilkan produk yang
memiliki kekuatan gel yang tinggi (Tanikawa 1985). Nilai pH, ATP dan creatin
phosphate turun sebagai akibat dari terjadinya proses glikolisis (glikogen menjadi
asam laktat) pada saat respirasi terhenti. Karena ketika ikan mati, sirkulasi darah
terhenti sehingga suplai oksigen gagal. Turunnya nilai pH menyebabkan aktifnya
enzim katepsin yang mengakibatkan terjadinya peristiwa proteolisis (Eskin 1990).
149
Mempertahankan nilai pH ikan penting untuk dilakukan karena kamaboko
dengan kekuatan gel tinggi hanya mungkin diperoleh pada pH sekitar 6,5-7,0
(OFCF 1987). Apabila pH daging lumat lebih dari 7,0 (ikan sudah mulai busuk)
akan menghasilkan campuran gel yang rapuh dan kurang lentur.
b) Total Volatile Base Nitrogen (TVBN)
Analisis TVBN merupakan salah satu metode pengujian kimia yang
digunakan untuk menghitung nilai total dari senyawa volatil basa dimana pada
umumnya mengandung ammonia, trimetilamin (TMA) dan dimetilamin (DMA),
dimana uji ini dilakukan untuk menentukan derajat kesegaran. Semakin tinggi
nilai TVBN bahan yang didapat, maka semakin rusak pula bahan tersebut. Ikan
dapat dikatakan segar bila memiliki kadar TVBN 20-30 mg N/100 g dan
dikatakan busuk serta merupakan batas kelayakan ikan untuk dikonsumsi bila
memiliki kadar TVBN > 30 mg N/100 g (Ozogul dan Ozogul 2000).
Nilai TVBN berkaitan dengan bau atau aroma yang tercium oleh indera.
Bau tersebut merupakan kombinasi dari asam lemak, basa volatil, komponen
sulfur dan aldehida. Bau tersebut juga ditimbulkan oleh meningkatnya jumlah
bakteri yang dapat memecah protein dan lemak serta terjadinya proses oksidasi
yang menghasilkan bau yang tidak enak (Ketaren 1986).
Pada Gambar 19 terlihat bahwa terjadi peningkatan kadar TVBN dari
surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama
penyimpanan dingin.
Nilai TVBN surimi campuran nila dengan lele dumbo pada penyimpanan hari ke0 sebesar 5,32 mg N/100 g. Dalam kondisi segar (hari ke-0) kadar TVBN sudah
terdeteksi. Hal ini adalah wajar karena basa volatil nitrogen itu terdapat pada
setiap jenis ikan walaupun dalam kondisi segar sekalipun (Ozogul dan Ozogul
2000).
Pada penyimpanan hari ke-2 hingga hari ke-10 nilai TVBN surimi
masing-masing adalah 6,81; 8,80; 10,01; 23,93 dan 35,94 mg N/100 g. Pada
penyimpanan hari ke-10 surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) sudah
dapat dikategorikan sebagai daging ikan yang sudah tidak layak untuk dikonsumsi
lagi karena nilai TVBN sudah berada diatas nilai maksimum yang ditetapkan
(30 mg N/100 g). Nilai TVBN surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1)
selama penyimpanan dingin ditunjukkan pada Gambar 19.
150
40
35,94f
TVBN (mg N/100 g)
35
30
23,93e
25
20
15
10
5,32a
6,81b
8,80c
10,01d
4
6
5
0
0
2
8
10
Lama Penyimpanan (hari)
Keterangan: Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscripts
berbeda (a, b, c, d, e, f) menunjukkan beda nyata (p<0,05)
Gambar 19. Nilai TVBN surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama
penyimpanan dingin
Hasil analisis ragam hubungan penyimpanan pada suhu dingin dan nilai
TVBN memberikan pengaruh nyata (p<0,05) (Lampiran 16b). Uji lanjut Tukey
menunjukkan bahwa hampir semua nilai TVBN dipengaruhi secara nyata oleh
lama penyimpanan dan mengalami kenaikan dengan model linier
y
= 1,13 + 0,38x yang berarti bahwa dengan bertambahnya waktu penyimpanan
akan meningkatkan nilai ln TVBN surimi sebesar 1,51 satuan per hari. Hal ini
mengindikasikan bahwa selama penyimpanan chilling terus terjadi peristiwa
kemunduran mutu terutama pada jaringan daging lumat ikan dengan
kecenderungan yang terus meningkat.
Adanya peningkatan kadar TVBN selama penyimpanan dapat terjadi
karena degradasi protein dan derivatnya oleh mikroorganisme yang menghasilkan
sejumlah basa yang mudah menguap (TMA, amonia). Selama penyimpanan,
jumlah mikroba meningkat sehingga enzim akan mempengaruhi pembentukan
senyawa penghasil bau tidak enak yang terdiri atas indol, skatol, hidrogen sulfida,
metal amin, asam propionat, butirat, laktat dan asam-asam lemak menguap
lainnya (Ketaren 1986). Menurut Astawan et al. (1996), aktivitas mikroba tidak
151
dapat dihentikan begitu saja walaupun produk disimpan pada suhu dingin,
sehingga kadar TVBN masih bisa berlanjut walau dengan laju yang lebih lambat.
Regresi linier rata-rata ln TVBN surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1)
selama penyimpanan suhu dingin ditunjukkan pada Gambar 20.
Ln TVBN (mg N/100 g)
4
3
2
y = 1,13 + 0,38x
R² = 0,93
1
0
0
2
4
6
8
10
Lama Penyimpanan (hari)
Gambar 20. Regresi linier ln TVBN surimi hasil pengkomposisian nila-lele
(N1L1) selama penyimpanan dingin
c) Protein larut garam (PLG)
Protein larut garam yaitu protein miofibril yang terdiri dari aktin, miosin,
dan protein regulasi (tropomiosin, troponin dan aktinin). Gabungan aktin dan
miosin membentuk aktomiosin yang sangat berperan dalam pembentukan gel.
Pengukuran jumlah protein larut garam dilakukan untuk mengetahui kandungan
protein miofibril dalam surimi yang berperan dalam pembentukan gel yang
diakibatkan oleh terjadinya agregasi antara aktin dan miosin pada saat diekstrak
(Suzuki 1981).
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Gambar 21, nilai rata-rata PLG
tertinggi didapatkan pada hari penyimpanan ke-0 yaitu sebesar 4,64 %, sedangkan
nilai rata-rata PLG terendah didapatkan pada hari penyimpanan ke-10 yaitu
sebesar 0,73 %. Nilai rata-rata PLG yang didapat selama penyimpanan dingin
cenderung mengalami penurunan.
Kandungan PLG hasil pengkomposisian
nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin dapat dilihat pada Gambar 21.
152
5
4,64e
4,44e
3,84d
PLG (%)
4
3
2,56c
2
1,46b
0,73a
1
0
0
2
4
6
8
10
Lama Penyimpanan (hari)
Keterangan: Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscripts
berbeda (a, b, c, d, e) menunjukkan beda nyata (p<0,05)
Gambar 21. Nilai protein larut garam (PLG) surimi hasil pengkomposisian nilalele (N1L1) selama penyimpanan dingin
Penurunan kadar PLG selama penyimpanan dingin disebabkan oleh
banyak faktor. Enzim proteinase adalah faktor utama yang menyebabkan protein
terdegradasi. Enzim tersebut banyak terdapat pada protein sarkoplasma daging
ikan (Sikorski 1999). Benjakul et al. (1996) menyatakan bahwa enzim proteinase
yang terdapat dalam jaringan otot ikan meliputi katepsin D, kalpain dan alkali
proteinase. Lin et al. (1980) dalam Kim et al. (1996) pencucian daging lumat
tidak dapat menghilangkan semua enzim proteinase, tetapi hanya menurunkan
jumlahnya saja. Penguraian yang terjadi pada senyawa PLG menyebabkan tingkat
kelarutannya akan semakin menurun hingga hari terakhir penyimpanan dingin.
Zayas et al. (2004) dalam Rawdkuen et al. (2009) melaporkan bahwa penurunan
daya larut protein merupakan hasil dari terjadinya proses denaturasi protein,
kemudian meningkatnya interaksi hidrofobik. Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa penyimpanan pada suhu dingin memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap nilai PLG (p<0,05) (Lampiran 17b). Uji lanjut Tukey menunjukkan
bahwa hampir semua nilai PLG dipengaruhi secara nyata terhadap lama
penyimpanan dan mengalami penurunan dengan model linier yaitu
y=
5,92 – 0,85x yang berarti bahwa dengan bertambahnya waktu penyimpanan akan
153
menurunkan PLG surimi sebesar 5,07 satuan per hari. Regresi linier rata-rata
PLG surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu
dingin ditunjukkan pada Gambar 22.
6
5
PLG (%)
4
y = 5,92-0,85x
R² = 0,96
3
2
1
0
0
2
4
6
8
10
Lama Penyimpanan (hari)
Gambar
22.
Regresi linier protein larut garam (PLG) surimi hasil
pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin
d) Total plate count (TPC)
Kandungan TPC dalam daging ikan merupakan salah satu parameter
mikrobiologis untuk menentukan tingkat kemunduran mutu ikan. Nilai TPC dari
surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin
dapat dilihat pada Gambar 23.
Pada Gambar 23 dapat dilihat bahwa nilai TPC surimi hasil
pengkomposisian nila-lele (N1L1) meningkat seiring dengan lamanya waktu
penyimpanan pada suhu dingin. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
penyimpanan dingin memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai
TPC (p<0,05) (Lampiran 18b). Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa nilai TPC
pada penyimpanan hari
ke-10 berbeda nyata terhadap nilai TPC pada
penyimpanan hari ke-0, 2, 4 dan 6, tetapi tidak berbeda nyata dengan
penyimpanan hari ke-8.
154
8
6,97c
7,30c
8
10
Log TPC (koloni/ g)
7
6
5
4,81a
4,91a
0
2
5,80b
5,99b
4
6
4
3
2
1
0
Lama Penyimpanan (hari)
Keterangan: Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscripts
berbeda (a, b, c) menunjukkan beda nyata (p<0,05)
Gambar 23. Nilai log total plate count (TPC) surimi hasil pengkomposisian
nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin
Kandungan TPC pada penyimpanan hari ke-0 dapat terdeteksi, hal ini
disebabkan oleh adanya aktivitas mikroorganisme yang ada pada tubuh ikan sejak
awal.
Kualitas daging ikan yang disimpan pada suhu dingin secara umum
dipengaruhi oleh degradasi senyawa kimia dan biokimia yang dipengaruhi oleh
aktivitas mikrobiologis dan enzimatis yang secara alami terjadi sesaat setelah ikan
mati. Faktor lainnya yaitu karakteristik biologi ikan, seperti kondisi ikan saat
ditangkap dan penanganan ikan setelah ditangkap juga dapat mempengaruhi
laju kemunduran mutu ikan selama penyimpanan dingin (Sikorski dan Pan 1994).
Menurut Ilyas (1993), teknik penurunan suhu ikan melalui cara pendinginan dan
pembekuan adalah digunakan untuk menghilangkan panas dari tubuh ikan,
memperlambat laju denaturasi protein, menghambat laju oksidasi lemak ikan dan
memperlambat penguraian enzimatis oleh enzim tubuh ikan dan enzim bakteri.
Pada suhu dibawah 4 oC proses kemunduran mutu ikan dapat dihambat.
Pada suhu tersebut penguraian tubuh ikan oleh mikroorganisme dan enzim
berlangsung dengan lambat. Nilai rata-rata TPC pada penyimpanan hari ke-0 dan
hari
ke-2
masih
memenuhi
batas
maksimum
bakteri
berdasarkan
155
SNI 01-2693-1992 yaitu sebesar 5 x 105 koloni/g, sedangkan pada penyimpanan
hari ke 4, 6, 8, dan 10 nilai TPC yang diperoleh diatas batas maksimum. Regresi
linier nilai rata-rata TPC komposisi surimi hasil pengkomposisian nila-lele
(N1L1) selama penyimpanan dingin ditunjukkan pada Gambar 24.
8
7
Log TPC (koloni/g)
6
y = 4,09 + 0,54x
R² = 0,96
5
4
3
2
1
0
0
2
4
6
8
10
Lama Penyimpanan (hari)
Gambar 24. Regresi linier log total plate count (TPC) surimi hasil
pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin
Dari Gambar 24 dapat dilihat bahwa kurva pertumbuhan mikroorganisme
berada pada fase logaritmik dengan model linier y = 4,09 + 0,54x yang berarti
bahwa dengan bertambahnya waktu penyimpanan akan meningkatkan nilai TPC
surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) sebesar 4,63 satuan per hari.
Fardiaz (1987) menyatakan bahwa pada fase logaritmik ini jasad renik membelah
dengan cepat, pertambahan jumlahnya mengikuti fase logaritmik dan sangat
dipengaruhi oleh medium tempat tumbuhnya seperti pH, kandungan nutrien,
kondisi lingkungan dan kelembaban udara.
156
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Frekuensi pencucian 1 kali merupakan frekuensi pencucian terbaik dan
terpilih, yang mampu menghasilkan kandungan kekuatan gel tertinggi ikan nila
dan ikan lele dumbo berturut-turut sebesar 792 g cm dan 540 g cm. Dari hasil
pengamatan nilai kekuatan gel terhadap pengkomposisian surimi ikan nila dan lele
dumbo dengan tiga macam komposisi, yaitu: N1L1 (nila : lele = 1:1), N1L2 (nila :
lele = 1:2) dan N2L1 (nila : lele = 2:1), diperoleh hasil bahwa komposisi N1L1
memiliki nilai kekuatan gel tertinggi, yaitu sebesar 612 g cm. Pengkomposisian
dengan mencampurkan kedua daging ikan tersebut mampu meningkatkan
kekuatan gel-nya.
Selama 10 hari penyimpanan dingin surimi komposisi N1L1, telah terjadi
proses kemunduran mutu yang diindikasikan dengan semakin menurunnya nilai
PLG, kekuatan gel, derajat putih dan WHC serta semakin meningkatnya jumlah
mikroorganisme dan nilai TVBN. Masa penyimpanan yang baik pada suhu dingin
bagi surimi komposisi N1L1 adalah kurang dari 4 hari. Hal ini dikarenakan
selama penyimpanan tersebut masih memberikan karakteristik surimi yang sesuai
dengan ketentuan yang disyaratkan oleh SNI.
5.2 Saran
Dari hasil penelitian ini dapat disarankan adanya pengembangan produk
pangan ikani dari surimi multi-spesies yang terbaik dan terpilih untuk
diaplikasikan bagi masyarakat, seperti nugget ikan, bakso ikan dan pempek. Hal
ini perlu dilakukan sebagai upaya perbaikan ekonomi dan kesehatan masyarakat.
157
DAFTAR PUSTAKA
Alasalvar C, Garthwaite T, Oksuz A. 2002. Practical evaluation of fish quality.
Dalam Alasalvar C (Ed.). Seafood-Quality, Technology and
Neutraceutical Applications. Berlin: Springers.
Anonim. 2009. Clarias gariepinus. http://cdserver2.ru.ac. [26 Januari 2010].
[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1995. Official Methods of
Analysis. Ed ke-14. Washington DC Association of Official Analytical
Chemist Inc.
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989.
Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Astawan M, Wahyuni M, Santoso J, Sarifah S. 1996. Pemanfaatan ikan gurami
(Osphoronemus goramy Lac) dalam pembuatan gel ikan. Buletin
Teknologi dan Industri Pangan. VII(1): 9-15.
Astawan M. 2008. Lele Bantu Pertumbuhan Janin. http://aanbae.blogspot.com.
[26 Januari 2010].
Balange AK, Benjakul S. 2009. Effect of oxidiced tannic acid on the gel
properties of mackerel (Rastrelliger kanagurta) mince and surimi prepared
by different washing processes. Food Hydrocolloids. 23: 1693–1701.
Benjakul S, Seymour TA, Morrissey MT, Haejung AN. 1996. Proteinase in
pacific whiting surimi wash water: identification and characterization.
J. Food Sci. 61 (6): 1165-1170.
Bertak JA, Kahardian C. 1995. Surimi-based imitation crab characteristic affected
by heating method and end point temperature. J. Food Sci.
60 (2): 292-296.
[BPS DKP] Badan Pusat Statistik Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008.
Produksi Perikanan Budidaya dan Tangkap Indonesia 2004-2007.
http://tentangikan.wordpress.com. [21 Juli 2009].
Clucas IJ, Ward AR. 1996. Post-Harvest Fisheries Development: A Guide to
Handling, Preservation, Processing and Quality. London: Natural
Research Institute.
Connel JJ. 1980. Control of Fish Quality. 2nd edition. Famham: Fishing News
Book Ltd.
158
Damayanthi E, Mudjajanto ES. 1994. Teknologi Makanan. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
deMan JM. 1997. Kimia Makanan. Edisi ke-2. Padmawinata K, penerjemah.
Bandung: Penerbit ITB. Terjemahan dari: Food Chemistry.
Direktorat Jenderal Perikanan. 1991. Buku Pedoman Pengenalan Sumberdaya
Perikanan Laut. Jakarta: Departemen Pertanian.
Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Food. 2nd edition. San Diego, California:
Academic Press Inc.
Fardiaz S. 1987. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. Bogor: Lembaga
Sumberdaya Informasi, Institut Pertanian Bogor.
. 1992. Polusi Air dan Polusi Udara. Bogor: Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.
Faridah DN, Kusumaningrum HD, Wulandari N, Indrasti D. 2006. Penuntun
Praktikum Analisis Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan, Fakultas Teknologi pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Globefish. 2005. Ikan
[21 Juli 2009].
Lele
dan
Ikan
Nila.
http://www.globefish.org.
Haard NF, Simpson BK, Pan BS. 1994. Sarcoplasmic Protein and Other
Nitrogenous Compounds. Dalam Sikorski ZE (Ed.). Seafood Proteins.
New York: Chapman & Hall.
Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid I: Teknik
Pendinginan Ikan. Jakarta: CV. Paripurna.
Hall GM, Ahmad NH. 1992. Surimi and Fish Minced Product. Dalam Hall GM
(Ed.). Fish Processing and Technology. New York: Blackie Academic and
Professional.
Hudson BJF. 1992. Biochemistry of Food Proteins. London: Elsevier Applied Sci.
Ilyas S. 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan Jilid II: Teknik Pembekuan
Ikan. Jakarta: CV. Paripurna.
Ingadottir B, Hordur G, Kristinsson. 2010. Gelation of protein isolates extracted
from tilapia light muscle by pH shift processing. Food Chem.
118: 789–798.
Irawan AHSR. 1995. Pengawetan Ikan dan Hasil Perikanan. Solo: Aneka.
159
Jaczynski J, Park JW. 2004. Physicochemical changes in Alaska Pollock surimi
and surimi gel as affected by electron beam. J. Food Sci. 69 (1): C53-C57.
Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI
Press.
Kim JM, Liu CH, Eun JB, Park JW, Oshimi R, Hayashi K, Ott B, Aramaki T,
Sekine M, Horikita Y, Fujimoto K, Aikawa T, Welch L, Long R. 1996.
Surimi from fillet of channel catfish. J. Food Sci. 61 (2): 428-432.
Lanier TC. 1992. Measurement of surimi composition and functional properties.
Dalam Lanier TC, Lee CM (Eds.). Surimi Technology. New York: Marcell
Dekker Inc.
Lee CM. 1984. Surimi Process Technology. J Food Tech. 38 (11): 69.
Lee CM, Kim JM. 1986. Texture and Freeze-thaw Stability of Surimi Gel in
Relation to Inggradiend an Formulation. Dalam C.R. Martin and R,
Collete, (Eds.). Int. Sym. On Engineered Seafood Including Surimi.
Washington D.C: National Fisheries Institue.
Mackie IM. 1992. Surimi From Fish. Dalam Johnston DE, Knight MK, Ledwardd
DA (Eds). The Chemistry of Muscle-based Food. United Kingdom: Royal
Society of Chemistry.
Margolang A. 2009. Pembesaran Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus).
http://www. bbat-sukabumi.tripod.com. [7 Desember 2009].
. 2009. Anatomi dan Fisiologi Ikan
http://www. hobiikan.blogspot.com. [7 Desember 2009].
Nila
Hitam.
Martınez-Alvarez O, Lopez-Caballero ME, Gomez-Guillen MC, Montero P. 2009.
The effect of several cooking treatments on subsequent chilled storage of
thawed deepwater pink shrimp (Parapenaeus longirostris) treated with
different melanosis-inhibiting formulas. J. Food Sci. 42: 1335–1344.
Martin-Sanchez AM, Navarro C, Perez-Alvarez JA, Kuri V. 2009. Alternatives
for efficient and sustainable production of surimi: A review.
Comprehensive Review in Food Science and Food Safety. 8: 359-374.
Matsumoto JJ, Noguchi SF. 1991. Crystabilization of protein in surimi. Dalam
Lanier TC, Lee CM (Eds.). Surimi Technology. New York: Marcell
Dekker Inc.
Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta: Penebar
Swadaya.
160
Nakai S, Modler HW. 1999. Food Proteins, Processing Application. London:
Wiley-VHC.
Nauli DZ. 2008. Empek-empek instant berbahan dasar surimi ikan rucah [skripsi].
Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Nielsen RG, Piggot GM. 1994. Gel strength increased in low grade heat set surimi
with blended phosphates. J. Food Sci. 59(2): 285-298.
Niwa E. 1992. Chemistry of Surimi Gelation. Dalam Lanier TC, Lee CM (Eds).
Surimi Technology. New York: Marcell Dekker Inc.
[OFCF] Overseas Fisheries Coorporation Foundation. 1987. Handling of Fish.
Tokyo: Akasaka 2-chome Minatoku.
Okada M. 1992. History of surimi technology in Japan. Dalam Lanier TC, Lee
CM (Eds.). Surimi Technology. New York: Marcell Dekker Inc.
Ozogul F, Ozogul Y. 2000. Comparison of method used for determination of total
volatile base nitrogen (TVB-N) in Rainbow Trout (Oncorhyncus mykiss).
Turk J. Zool 24: 113-120.
Peranginangin R, Wibowo S, Fawzya YN. 1999. Teknologi Pengolahan Surimi.
Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut.
Pipatsattayanuwong S, Park JW, Morrissey MT. 1995. Functional properties and
shelf life of fresh surimi from pacific whitting, J. Food Sci. 60 (6): 12411244.
Priestley RJ. 1979. Effect of Heating Foodstuffs. London: Applied Science
Publishing.
Rawdkuen S, Sai-Ut S, Khamsorn S, Chaijan M, Benjakul S. 2009. Biochemical
and gelling properties of tilapia surimi and protein recovered using an
acid-alkaline process. Food Chem. 112: 112-119.
Reynolds J, Park JW, Choi YJ. 2002. Physicochemical properties of pacific
whiting surimi as affected by various freezing and storage conditions.
J. Food Sci. 67 (6): 2072-2078.
Santoso J, Yasin AWN, Santoso. 2008. Perubahan karakteristik surimi ikan cucut
dan ikan pari akibat pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan dingin
daging lumat. J. Teknol. Industri Pangan. 19 (1): 57-66.
161
Santoso J, Haetami RR, Uju, Sumaryanto H, Chairita. 2009. Perubahan
Karakteristik Surimi dari Ikan Daging Merah, Daging Putih dan Campuran
Keduanya Selama Penyimpanan Beku. Seminar Nasional Tahunan VI
Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan. Universitas Gajah Mada.
Sikorski ZE. 1999. Seafood: Resources,
Preservation. Florida: CRC Press.
Nutritional
Composition
and
Sikorski ZE, Anna K. 1990. Change in protein in frozen stored fish. Dalam
Shahidi F (Ed). Seafood Proteins. New York: Chapman and Hall.
Sikorski ZE, Pan BS. 1994. Preservation of Seafood Quality. Dalam Shahidi,
Botta JR (Eds). Seafood: Chemistry, Processing Technology and Quality.
London: Blackie Academic & Professional.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. Syarat Mutu Surimi Beku. SNI 01-26931992. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
. 1992. Syarat Mutu Bahan Baku Surimi. SNI
01-2694-1992. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
. 2000. Petunjuk Perhitungan Rendemen Ikan.
SNI 01-2346-2000. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Stansby ME, Olcott HS. 1963. Composition of fish. Dalam Stansby ME (Ed.)
Industrial Fisheries Technology. New York: Reinhold Publishing Co.
Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Soemantri B,
Penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Suyanto SR. 1994. Budidaya Ikan Nila. Cetakan ke-1. Jakarta: Penebar Swadaya.
__________. 1999. Budidaya Ikan Lele. Jakarta: Penebar Swadaya.
Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein in Processing Technology. London:
Applied Science Publishing. Ltd.
Tanikawa E. 1985. Marine Product in Japan. Tokyo: Koseisha Koseikaku
Co. Ltd.
Vaclavik VA, Christian EW. 2000. Sugar, sweeteners, and confections. Dalam
Hartel RW, Heldman HR, Heymann H, Hotchkiss JH, Jay JM, Lee K,
Marnott NG, Montecalvo J, Mulvaney SJ, Nielson SS, Torres JA (eds.).
Essentials of Food Science. Ed ke-2. New York: Plenum Publisher.
162
Venugopal V. 1992. Mince from low-cost fish species. Trend in Food Science
Technology. 3: 2-5.
. 2005. Seafood Processing: Adding Value Through Quick Freezing,
Retortable Packaging and Cook-Chilling. Boca Raton: CRC Press.
Wahyuni M. 1992. Sifat kimi dan fungsional ikan hiu lanyam (Carcharinus
limbatus) serta penggunaannya dalam pembuatan sosis [Tesis]. Bogor:
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Whistler RL, Daniel JR. 1985. Carbohydrate. Dalam Fennema RO (Ed.) Principle
of Food Science. New York: Marcell Dekker.
Winarno FG. 1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta:
Gramedia.
Yasin AWN. 2005. Pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan dingin daging
lumat ikan cucut pisang (Carcharinus falciformis) dan ikan pari kelapa
(Trygon sephen) terhadap karakteristik surimi yang dihasilkan [skripsi].
Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Zayas JF. 1997. Functionality of Protein in Food. Berlin: Springer Verlag.
Zhou A, Benjakul S, Pan K, Gong J, Liu X. 2006. Cryoprotective effects of
trehalose and sodium lactate on tilapia (Sarotherodon nilotica) surimi
during frozen storage. Food Chem. 96: 96-103.
163
LAMPIRAN
164
Lampiran 1. Lembar penilaian organoleptik uji lipat dan uji gigit surimi hasil
pengkomposisian nila-lele (N1L1)
Nama produk
Nama panelis
Tanggal
Jenis contoh
Instruksi
:
:
: 3 September 2009
8 September 2009
4 September 2009
10 September 2009
6 September 2009
12 September 2009
: Kamaboko
: Nyatakan penilaian anda dengan memberi tanda (√) pada
kolom yang sesuai dengan pilihan anda
Skor
163
245
863
163
245
863
5 = Tidak retak jika dilipat seperempat
lingkaran
4 = Tidak retak jika dilipat setengah lingkaran
3 = Retak jika dilipat setengah lingkaran
2 = Putus menjadi dua bagian jika dilipat
setengah lingkaran
1 = Pecah menjadi bagian-bagian kecil jika
ditekan dengan jari tangan
Skor
10 = daya lenting amat sangat kuat
9
= daya lenting amat kuat
8
= daya lenting kuat
7
= daya lenting agak kuat
6
= daya lenting diterima
5
= daya lenting agak diterima
4
= daya lenting agak lemah
3
= daya lenting lemah
2
= daya lenting amat lemah
1
= tidak ada daya lenting, seperti bubur
165
Lampiran 2a. Nilai PLG surimi ikan nila dari setiap frekuensi pencucian
Pencucian
PLG (%)
Rata-rata
1x
6.10
5.70
5.90
2x
3.75
3.20
3.48
3x
1.63
1.57
1.60
Lampiran 2b. Analisis ragam PLG surimi ikan nila dari setiap frekuensi pencucian
ANOVA
PLG
Sum of
Squares
Between Groups
Within Groups
Total
df
Mean Square
F
18.591
2
9.295
.233
3
.078
18.824
5
119.658
Sig.
.001
Lampiran 3a. Nilai PLG surimi ikan lele dumbo dari setiap frekuensi pencucian
Pencucian
PLG (%)
Rata-rata
1x
4.83
4.61
4.72
2x
1.59
1.49
1.54
3x
1.10
1.02
1.06
Lampiran 3b. Analisis ragam PLG surimi ikan lele dumbo dari setiap frekuensi
pencucian
ANOVA
PLG lele
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares
15,826
df
2
Mean Square
7,913
,032
3
,011
15,858
5
F
732,667
Sig.
,000
166
Lampiran 4a. Nilai pH surimi ikan lele dumbo dari setiap frekuensi pencucian
Pencucian
pH surimi
Rata-rata
1x
2x
3x
7,66
7,01
6,75
7,47
7,03
6,22
7,56
7,02
6,48
Lampiran 4b. Analisis ragam pH surimi ikan lele dumbo dari setiap frekuensi
pencucian
ANOVA
pH
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares
1.166
df
2
Mean Square
.583
.159
3
.053
1.325
5
F
11.025
Sig.
.041
Lampiran 5a. Nilai kekuatan gel surimi ikan lele dumbo dari setiap frekuensi
pencucian
Pencucian
1x
2x
3x
Kekuatan gel
(gr cm)
516
96
36
564
96
48
Rata-rata
540
96
42
Lampiran 5b. Analisis ragam kekuatan gel surimi ikan lele dumbo dari setiap
frekuensi pencucian
ANOVA
Kekuatan_gel
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares
298704.00
0
1224.000
299928.00
0
df
Mean Square
2
149352.000
3
408.000
5
F
366.059
Sig.
.000
167
Lampiran 6a. Nilai pH surimi ikan nila dari setiap frekuensi pencucian
Pencucian
pH surimi
Rata-rata
1x
2x
3x
6.34
6.6
6.58
6.34
6.64
6.64
6.34
6.62
6.61
Lampiran 6b. Analisis ragam pH surimi ikan nila dari setiap frekuensi pencucian
ANOVA
pH
Between Groups
Sum of
Squares
.102
df
2
Mean Square
.051
.001
Within Groups
.002
3
Total
.104
5
F
65.747
Sig.
.003
Lampiran 7a. Nilai kekuatan gel surimi ikan nila dari setiap frekuensi pencucian
Pencucian
1x
2x
3x
Kekuatan gel
(gr cm)
792
228
96
792
252
120
Rata-rata
792
240
108
Lampiran 7b. Analisis ragam kekuatan gel surimi ikan nila dari setiap frekuensi
pencucian
ANOVA
Kekuatan_gel
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares
526656.00
0
576.000
527232.00
0
df
Mean Square
2
263328.000
3
192.000
5
F
1371.500
Sig.
.000
168
Lampiran 8a. Data uji lipat ikan lele dumbo setiap frekuensi pencucian
Panelis
1x
2x
3x
1
4
5
5
2
1
1
1
3
5
5
1
4
4
4
1
5
4
2
1
6
5
2
1
7
4
3
1
8
5
5
1
9
4
1
1
10
4
2
1
Rata-rata
4
3
1.4
Lampiran 8b. Data uji gigit ikan lele dumbo setiap frekuensi pencucian
Panelis
1x
2x
3x
1
7
7
7
2
3
3
3
3
8
6
2
4
8
5
2
5
8
3
2
6
9
2
1
7
8
3
1
8
7
3
5
9
7
2
1
10
8
3
1
Rata-rata
7.3
3.7
2.5
169
Lampiran 9a. Data uji lipat ikan nila setiap frekuensi pencucian
Panelis
1x
2x
3x
1
5
5
4
2
1
1
1
3
5
5
4
4
4
3
3
5
5
4
4
6
5
4
2
7
5
3
3
8
3
2
5
9
5
4
3
10
5
4
3
Rata-rata
4.3
3.5
3.2
Lampiran 9b. Data uji gigit ikan nila setiap frekuensi pencucian
Panelis
1x
2x
3x
1
7
7
7
2
5
3
3
3
9
9
4
4
9
3
4
5
9
8
7
6
9
6
2
7
8
4
3
8
8
5
8
9
8
4
3
10
7
5
4
Rata-rata
7.9
5.4
4.5
170
Lampiran 10a. Nilai kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1)
selama penyimpanan suhu dingin
H0
H2
H4
H6
H8
H10
Kekuatan
gel (g cm)
1076
672
528
504
328
84
1116
684
552
468
104
72
R
1096
678
540
486
216
78
Lampiran 10b. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey kekuatan gel surimi hasil
pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu
dingin
ANOVA
Kekuatan_gel
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares
1291926.6
67
26968.000
1318894.6
67
df
Mean Square
5
258385.333
6
4494.667
F
57.487
Sig.
.000
11
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Kekuatan_gel
LSD
(I) Lama_penyimpanan
.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
(J) Lama_penyimpanan
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
.00
4.00
6.00
8.00
10.00
.00
2.00
6.00
8.00
10.00
.00
2.00
4.00
8.00
10.00
.00
2.00
4.00
6.00
10.00
.00
2.00
4.00
6.00
8.00
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Mean
Difference
(I-J)
418.00000*
556.00000*
610.00000*
880.00000*
1018.00000*
-418.00000*
138.00000
192.00000*
462.00000*
600.00000*
-556.00000*
-138.00000
54.00000
324.00000*
462.00000*
-610.00000*
-192.00000*
-54.00000
270.00000*
408.00000*
-880.00000*
-462.00000*
-324.00000*
-270.00000*
138.00000
-1018.0000*
-600.00000*
-462.00000*
-408.00000*
-138.00000
Std. Error
67.04228
67.04228
67.04228
67.04228
67.04228
67.04228
67.04228
67.04228
67.04228
67.04228
67.04228
67.04228
67.04228
67.04228
67.04228
67.04228
67.04228
67.04228
67.04228
67.04228
67.04228
67.04228
67.04228
67.04228
67.04228
67.04228
67.04228
67.04228
67.04228
67.04228
Sig.
.001
.000
.000
.000
.000
.001
.085
.029
.000
.000
.000
.085
.451
.003
.000
.000
.029
.451
.007
.001
.000
.000
.003
.007
.085
.000
.000
.000
.001
.085
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
253.9535
582.0465
391.9535
720.0465
445.9535
774.0465
715.9535
1044.0465
853.9535
1182.0465
-582.0465
-253.9535
-26.0465
302.0465
27.9535
356.0465
297.9535
626.0465
435.9535
764.0465
-720.0465
-391.9535
-302.0465
26.0465
-110.0465
218.0465
159.9535
488.0465
297.9535
626.0465
-774.0465
-445.9535
-356.0465
-27.9535
-218.0465
110.0465
105.9535
434.0465
243.9535
572.0465
-1044.0465
-715.9535
-626.0465
-297.9535
-488.0465
-159.9535
-434.0465
-105.9535
-26.0465
302.0465
-1182.0465
-853.9535
-764.0465
-435.9535
-626.0465
-297.9535
-572.0465
-243.9535
-302.0465
26.0465
171
Lampiran 11a. Nilai derajat putih surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1)
selama penyimpanan suhu dingin
H0
H2
H4
H6
H8
H10
Derajat
putih (%)
33.33
32.03
32.15
28.97
28.88
27.36
33.42
32.58
32.36
28.85
28.18
27.21
R
33.38
32.31
32.26
28.91
28.53
27.29
Lampiran 11b. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey derajat putih surimi hasil
pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu
dingin
ANOVA
Derajat_putih
Sum of
Squares
Between Groups
Within Groups
Total
Df
Mean Square
62.659
5
12.532
.441
6
.073
63.100
11
F
170.579
Sig.
.000
Lampiran 12a. Nilai WHC surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama
penyimpanan suhu dingin
H0
H2
H4
H6
H8
H10
WHC
(%)
78.21
62.29
50.28
45.8
44.38
39.24
77.04
55.89
51.75
49.77
47.39
42.42
R
77.63
59.09
51.02
47.79
45.89
40.83
Lampiran 12b. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey WHC surimi hasil
pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu
dingin
ANOVA
WHC
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares
1740.754
Df
5
Mean Square
348.151
39.769
6
6.628
1780.523
11
F
52.526
Sig.
.000
172
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Derajat_putih
Tukey HSD
(I) Lama
penyimpanan
.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
LSD
.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
(J) Lama
penyimpanan
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
.00
4.00
6.00
8.00
10.00
.00
2.00
6.00
8.00
10.00
.00
2.00
4.00
8.00
10.00
.00
2.00
4.00
6.00
10.00
.00
2.00
4.00
6.00
8.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
.00
4.00
6.00
8.00
10.00
.00
2.00
6.00
8.00
10.00
.00
2.00
4.00
8.00
10.00
.00
2.00
4.00
6.00
10.00
.00
2.00
4.00
6.00
8.00
Mean
Difference (I-J)
1.07000
1.12000(*)
4.46500(*)
4.84500(*)
6.09000(*)
-1.07000
.05000
3.39500(*)
3.77500(*)
5.02000(*)
-1.12000(*)
-.05000
3.34500(*)
3.72500(*)
4.97000(*)
-4.46500(*)
-3.39500(*)
-3.34500(*)
.38000
1.62500(*)
-4.84500(*)
-3.77500(*)
-3.72500(*)
-.38000
1.24500(*)
-6.09000(*)
-5.02000(*)
-4.97000(*)
-1.62500(*)
-1.24500(*)
1.07000(*)
1.12000(*)
4.46500(*)
4.84500(*)
6.09000(*)
-1.07000(*)
.05000
3.39500(*)
3.77500(*)
5.02000(*)
-1.12000(*)
-.05000
3.34500(*)
3.72500(*)
4.97000(*)
-4.46500(*)
-3.39500(*)
-3.34500(*)
.38000
1.62500(*)
-4.84500(*)
-3.77500(*)
-3.72500(*)
-.38000
1.24500(*)
-6.09000(*)
-5.02000(*)
-4.97000(*)
-1.62500(*)
-1.24500(*)
* The mean difference is significant at the .05 level.
Std.
Error
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
.27105
Sig.
.052
.043
.000
.000
.000
.052
1.000
.000
.000
.000
.043
1.000
.000
.000
.000
.000
.000
.000
.727
.007
.000
.000
.000
.727
.027
.000
.000
.000
.007
.027
.008
.006
.000
.000
.000
.008
.860
.000
.000
.000
.006
.860
.000
.000
.000
.000
.000
.000
.210
.001
.000
.000
.000
.210
.004
.000
.000
.000
.001
.004
95% Confidence Interval
Lower
Upper
Bound
Bound
-.0087
2.1487
.0413
2.1987
3.3863
5.5437
3.7663
5.9237
5.0113
7.1687
-2.1487
.0087
-1.0287
1.1287
2.3163
4.4737
2.6963
4.8537
3.9413
6.0987
-2.1987
-.0413
-1.1287
1.0287
2.2663
4.4237
2.6463
4.8037
3.8913
6.0487
-5.5437
-3.3863
-4.4737
-2.3163
-4.4237
-2.2663
-.6987
1.4587
.5463
2.7037
-5.9237
-3.7663
-4.8537
-2.6963
-4.8037
-2.6463
-1.4587
.6987
.1663
2.3237
-7.1687
-5.0113
-6.0987
-3.9413
-6.0487
-3.8913
-2.7037
-.5463
-2.3237
-.1663
.4068
1.7332
.4568
1.7832
3.8018
5.1282
4.1818
5.5082
5.4268
6.7532
-1.7332
-.4068
-.6132
.7132
2.7318
4.0582
3.1118
4.4382
4.3568
5.6832
-1.7832
-.4568
-.7132
.6132
2.6818
4.0082
3.0618
4.3882
4.3068
5.6332
-5.1282
-3.8018
-4.0582
-2.7318
-4.0082
-2.6818
-.2832
1.0432
.9618
2.2882
-5.5082
-4.1818
-4.4382
-3.1118
-4.3882
-3.0618
-1.0432
.2832
.5818
1.9082
-6.7532
-5.4268
-5.6832
-4.3568
-5.6332
-4.3068
-2.2882
-.9618
-1.9082
-.5818
173
Multiple Comparisons
Dependent Variable: WHC
Tukey HSD
(I) Lama
penyimpanan
.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
LSD
.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
(J) Lama
penyimpanan
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
.00
4.00
6.00
8.00
10.00
.00
2.00
6.00
8.00
10.00
.00
2.00
4.00
8.00
10.00
.00
2.00
4.00
6.00
10.00
.00
2.00
4.00
6.00
8.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
.00
4.00
6.00
8.00
10.00
.00
2.00
6.00
8.00
10.00
.00
2.00
4.00
8.00
10.00
.00
2.00
4.00
6.00
10.00
.00
2.00
4.00
6.00
8.00
Mean
Difference (I-J)
18.53500(*)
26.60750(*)
29.84000(*)
31.73750(*)
36.79750(*)
-18.53500(*)
8.07250
11.30500(*)
13.20250(*)
18.26250(*)
-26.60750(*)
-8.07250
3.23250
5.13000
10.19000
-29.84000(*)
-11.30500(*)
-3.23250
1.89750
6.95750
-31.73750(*)
-13.20250(*)
-5.13000
-1.89750
5.06000
-36.79750(*)
-18.26250(*)
-10.19000
-6.95750
-5.06000
18.53500(*)
26.60750(*)
29.84000(*)
31.73750(*)
36.79750(*)
-18.53500(*)
8.07250(*)
11.30500(*)
13.20250(*)
18.26250(*)
-26.60750(*)
-8.07250(*)
3.23250
5.13000
10.19000(*)
-29.84000(*)
-11.30500(*)
-3.23250
1.89750
6.95750(*)
-31.73750(*)
-13.20250(*)
-5.13000
-1.89750
5.06000
-36.79750(*)
-18.26250(*)
-10.19000(*)
-6.95750(*)
-5.06000
* The mean difference is significant at the .05 level.
Std.
Error
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
2.57453
Sig.
.003
.000
.000
.000
.000
.003
.126
.033
.016
.003
.000
.126
.798
.438
.051
.000
.033
.798
.969
.205
.000
.016
.438
.969
.449
.000
.003
.051
.205
.449
.000
.000
.000
.000
.000
.000
.020
.005
.002
.000
.000
.020
.256
.093
.007
.000
.005
.256
.489
.035
.000
.002
.093
.489
.097
.000
.000
.007
.035
.097
95% Confidence Interval
Lower
Upper
Bound
Bound
8.2888
28.7812
16.3613
36.8537
19.5938
40.0862
21.4913
41.9837
26.5513
47.0437
-28.7812
-8.2888
-2.1737
18.3187
1.0588
21.5512
2.9563
23.4487
8.0163
28.5087
-36.8537
-16.3613
-18.3187
2.1737
-7.0137
13.4787
-5.1162
15.3762
-.0562
20.4362
-40.0862
-19.5938
-21.5512
-1.0588
-13.4787
7.0137
-8.3487
12.1437
-3.2887
17.2037
-41.9837
-21.4913
-23.4487
-2.9563
-15.3762
5.1162
-12.1437
8.3487
-5.1862
15.3062
-47.0437
-26.5513
-28.5087
-8.0163
-20.4362
.0562
-17.2037
3.2887
-15.3062
5.1862
12.2353
24.8347
20.3078
32.9072
23.5403
36.1397
25.4378
38.0372
30.4978
43.0972
-24.8347
-12.2353
1.7728
14.3722
5.0053
17.6047
6.9028
19.5022
11.9628
24.5622
-32.9072
-20.3078
-14.3722
-1.7728
-3.0672
9.5322
-1.1697
11.4297
3.8903
16.4897
-36.1397
-23.5403
-17.6047
-5.0053
-9.5322
3.0672
-4.4022
8.1972
.6578
13.2572
-38.0372
-25.4378
-19.5022
-6.9028
-11.4297
1.1697
-8.1972
4.4022
-1.2397
11.3597
-43.0972
-30.4978
-24.5622
-11.9628
-16.4897
-3.8903
-13.2572
-.6578
-11.3597
1.2397
174
Lampiran 13a. Data uji lipat gel ikan surimi hasil pengkomposisian nila-lele
(N1L1) selama penyimpanan suhu dingin
Panelis
Lama Penyimpanan (hari)
0
2
4
6
8
10
1
5
5
4
2
4
2
2
5
5
3
5
3
1
3
5
5
5
3
3
1
4
5
3
4
2
2
2
5
5
5
4
3
1
1
6
5
5
3
5
4
1
7
5
4
4
2
4
2
8
5
4
3
5
2
1
9
3
5
4
3
3
1
10
5
4
4
3
2
1
Lampiran 13b. Analisis ragam dan uji lanjut multiple comparison uji lipat gel ikan
surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama
penyimpanan suhu dingin
ANOVA
uji_lipaT
Sum of
Squares
df
Mean Square
Between Groups
81.083
5
16.217
Within Groups
37.500
54
.694
118.583
59
Total
F
23.352
Sig.
.000
175
Multiple Comparisons
Dependent Variable: uji_lipaT
Tukey HSD
(I)
lama_penyimpanan
.00
2.00
Std.
Error
.37268
.37268
Sig.
.965
.095
Lower
Bound
-.8011
-.1011
Upper
Bound
1.4011
2.1011
6.00
1.50000(*)
.37268
.002
.3989
2.6011
8.00
2.00000(*)
.37268
.000
.8989
3.1011
10.00
3.50000(*)
.37268
.000
2.3989
4.6011
-.30000
.37268
.965
-1.4011
.8011
6.00
8.00
.70000
1.20000(*)
1.70000(*)
.37268
.37268
.37268
.426
.025
.000
-.4011
.0989
.5989
1.8011
2.3011
2.8011
10.00
(J)
lama_penyimpanan
2.00
4.00
.00
4.00
4.00
6.00
3.20000(*)
.37268
.000
2.0989
4.3011
.00
-1.00000
.37268
.095
-2.1011
.1011
2.00
-.70000
.37268
.426
-1.8011
.4011
6.00
.50000
.37268
.761
-.6011
1.6011
8.00
10.00
.00
1.00000
2.50000(*)
-1.50000(*)
.37268
.37268
.37268
.095
.000
.002
-.1011
1.3989
-2.6011
2.1011
3.6011
-.3989
2.00
-1.20000(*)
.37268
.025
-2.3011
-.0989
4.00
-.50000
.37268
.761
-1.6011
.6011
8.00
.50000
.37268
.761
-.6011
1.6011
2.00000(*)
.37268
.000
.8989
3.1011
2.00
4.00
-2.00000(*)
-1.70000(*)
-1.00000
.37268
.37268
.37268
.000
.000
.095
-3.1011
-2.8011
-2.1011
-.8989
-.5989
.1011
6.00
-.50000
.37268
.761
-1.6011
.6011
10.00
8.00
.00
10.00
10.00
95% Confidence Interval
Mean
Difference
(I-J)
.30000
1.00000
1.50000(*)
.37268
.002
.3989
2.6011
.00
-3.50000(*)
.37268
.000
-4.6011
-2.3989
2.00
-3.20000(*)
.37268
.000
-4.3011
-2.0989
4.00
-2.50000(*)
-2.00000(*)
-1.50000(*)
.37268
.37268
.37268
.000
.000
.002
-3.6011
-3.1011
-2.6011
-1.3989
-.8989
-.3989
6.00
8.00
* The mean difference is significant at the .05 level.
176
Lampiran 14a. Data uji gigit gel ikan surimi hasil pengkomposisian nila-lele
(N1L1) selama penyimpanan suhu dingin
Panelis
Lama Penyimpanan (hari)
0
2
4
6
8
10
1
10
10
5
3
2
1
2
10
5
6
5
2
1
3
10
5
7
3
3
1
4
8
6
7
6
3
2
5
9
8
7
2
3
1
6
8
8
7
3
2
1
7
8
6
7
3
3
2
8
10
8
7
1
3
1
9
8
9
6
3
3
1
10
10
9
5
5
2
1
Lampiran 14b. Analisis ragam dan uji lanjut multiple comparison uji gigit gel ikan
surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama
penyimpanan suhu dingin
ANOVA
Uji_gigit
Sum of
Squares
Between Groups
Within Groups
Total
df
Mean Square
472.883
5
94.577
68.100
54
1.261
540.983
59
F
74.995
Sig.
.000
177
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Uji_gigit
Tukey HSD
(I)
lama_penyimpanan
.00
2.00
Std.
Error
.50222
.50222
Sig.
.016
.000
Lower
Bound
.2162
1.2162
Upper
Bound
3.1838
4.1838
6.00
5.70000(*)
.50222
.000
4.2162
7.1838
8.00
6.50000(*)
.50222
.000
5.0162
7.9838
10.00
7.90000(*)
.50222
.000
6.4162
9.3838
.00
-1.70000(*)
.50222
.016
-3.1838
-.2162
4.00
1.00000
4.00000(*)
4.80000(*)
.50222
.50222
.50222
.361
.000
.000
-.4838
2.5162
3.3162
2.4838
5.4838
6.2838
(J)
lama_penyimpanan
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
4.00
6.00
6.20000(*)
.50222
.000
4.7162
7.6838
-2.70000(*)
.50222
.000
-4.1838
-1.2162
2.00
-1.00000
.50222
.361
-2.4838
.4838
6.00
3.00000(*)
.50222
.000
1.5162
4.4838
8.00
10.00
.00
3.80000(*)
5.20000(*)
-5.70000(*)
.50222
.50222
.50222
.000
.000
.000
2.3162
3.7162
-7.1838
5.2838
6.6838
-4.2162
2.00
-4.00000(*)
.50222
.000
-5.4838
-2.5162
4.00
-3.00000(*)
.50222
.000
-4.4838
-1.5162
8.00
.80000
.50222
.607
-.6838
2.2838
2.20000(*)
.50222
.001
.7162
3.6838
2.00
4.00
-6.50000(*)
-4.80000(*)
-3.80000(*)
.50222
.50222
.50222
.000
.000
.000
-7.9838
-6.2838
-5.2838
-5.0162
-3.3162
-2.3162
6.00
-.80000
.50222
.607
-2.2838
.6838
.00
10.00
8.00
.00
10.00
10.00
95% Confidence Interval
Mean
Difference
(I-J)
1.70000(*)
2.70000(*)
1.40000
.50222
.075
-.0838
2.8838
.00
-7.90000(*)
.50222
.000
-9.3838
-6.4162
2.00
-6.20000(*)
.50222
.000
-7.6838
-4.7162
4.00
-5.20000(*)
-2.20000(*)
-1.40000
.50222
.50222
.50222
.000
.001
.075
-6.6838
-3.6838
-2.8838
-3.7162
-.7162
.0838
6.00
8.00
* The mean difference is significant at the .05 level.
178
Lampiran 15a. Nilai pH surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama
penyimpanan suhu dingin
H0
pH
R
H2
H4
H6
H8
H10
7.37
6.94
5.96
5.72
4.63
4.46
7.4
7.05
5.95
4.69
4.52
4.43
7.38
6.99
5.95
5.21
4.57
4.45
Lampiran 15b. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey pH surimi hasil
pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu
dingin
ANOVA
pH
Sum of
Squares
Between Groups
Within Groups
Total
Df
Mean Square
15.291
5
3.058
.544
6
.091
15.834
11
F
Sig.
33.761
.000
Lampiran 16a. Nilai TVBN surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama
penyimpanan suhu dingin
H0
H2
H4
H6
H8
H10
5.08
6.40
8.80
9.61
23.94
35.94
(mg N/100 g)
5.56
7.21
8.80
10.41
23.91
35.94
R
5.32
6.81
8.80
10.01
23.93
35.94
TVBN
Lampiran 16b. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey TVBN surimi hasil
pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu
dingin
ANOVA
TVBN
Sum of
Squares
Between
1484.466
Groups
Within Groups
.764
Total
1485.230
Mean
Square
df
5
296.893
6
.127
11
F
2332.53
8
Sig.
.000
179
Multiple Comparisons
Dependent Variable: pH
LSD
(I) Lama
penyimpanan
.00
2.00
Std.
Error
.30097
.30097
Sig.
.243
.003
6.00
2.18000(*)
.30097
.000
1.4436
2.9164
8.00
2.81000(*)
.30097
.000
2.0736
3.5464
10.00
2.94000(*)
.30097
.000
2.2036
3.6764
-.39000
.30097
.243
-1.1264
.3464
1.04000(*)
1.79000(*)
2.42000(*)
.30097
.30097
.30097
.014
.001
.000
.3036
1.0536
1.6836
1.7764
2.5264
3.1564
(J) Lama
penyimpanan
2.00
4.00
.00
4.00
6.00
8.00
10.00
4.00
6.00
2.55000(*)
.30097
.000
1.8136
3.2864
.00
-1.43000(*)
.30097
.003
-2.1664
-.6936
2.00
-1.04000(*)
.30097
.014
-1.7764
-.3036
6.00
.75000(*)
.30097
.047
.0136
1.4864
8.00
10.00
.00
1.38000(*)
1.51000(*)
-2.18000(*)
.30097
.30097
.30097
.004
.002
.000
.6436
.7736
-2.9164
2.1164
2.2464
-1.4436
2.00
-1.79000(*)
.30097
.001
-2.5264
-1.0536
4.00
-.75000(*)
.30097
.047
-1.4864
-.0136
8.00
.63000
.30097
.081
-.1064
1.3664
10.00
8.00
10.00
95% Confidence
Interval
Lower
Upper
Bound
Bound
-.3464
1.1264
.6936
2.1664
Mean
Difference
(I-J)
.39000
1.43000(*)
.76000(*)
.30097
.045
.0236
1.4964
2.00
4.00
-2.81000(*)
-2.42000(*)
-1.38000(*)
.30097
.30097
.30097
.000
.000
.004
-3.5464
-3.1564
-2.1164
-2.0736
-1.6836
-.6436
6.00
-.63000
.30097
.081
-1.3664
.1064
10.00
.13000
.30097
.681
-.6064
.8664
.00
-2.94000(*)
.30097
.000
-3.6764
-2.2036
2.00
-2.55000(*)
.30097
.000
-3.2864
-1.8136
4.00
-1.51000(*)
-.76000(*)
-.13000
.30097
.30097
.30097
.002
.045
.681
-2.2464
-1.4964
-.8664
-.7736
-.0236
.6064
.00
6.00
8.00
* The mean difference is significant at the .05 level.
180
Multiple Comparisons
Dependent Variable: TVB
LSD
(I) Lama
penyimpanan
.00
2.00
Std.
Error
.35677
.35677
Sig.
.006
.000
6.00
-4.69000(*)
.35677
.000
-5.5630
-3.8170
8.00
-18.60500(*)
.35677
.000
-19.4780
-17.7320
10.00
-30.62000(*)
.35677
.000
-31.4930
-29.7470
(J) Lama
penyimpanan
2.00
4.00
.00
1.48500(*)
.35677
.006
.6120
2.3580
6.00
8.00
-1.99500(*)
-3.20500(*)
-17.12000(*)
.35677
.35677
.35677
.001
.000
.000
-2.8680
-4.0780
-17.9930
-1.1220
-2.3320
-16.2470
10.00
4.00
4.00
6.00
8.00
10.00
95% Confidence
Interval
Lower
Upper
Bound
Bound
-2.3580
-.6120
-4.3530
-2.6070
Mean
Difference
(I-J)
-1.48500(*)
-3.48000(*)
-29.13500(*)
.35677
.000
-30.0080
-28.2620
.00
3.48000(*)
.35677
.000
2.6070
4.3530
2.00
1.99500(*)
.35677
.001
1.1220
2.8680
6.00
-1.21000(*)
.35677
.015
-2.0830
-.3370
8.00
-15.12500(*)
-27.14000(*)
4.69000(*)
.35677
.35677
.35677
.000
.000
.000
-15.9980
-28.0130
3.8170
-14.2520
-26.2670
5.5630
2.00
3.20500(*)
.35677
.000
2.3320
4.0780
4.00
1.21000(*)
.35677
.015
.3370
2.0830
8.00
-13.91500(*)
.35677
.000
-14.7880
-13.0420
10.00
-25.93000(*)
.35677
.000
-26.8030
-25.0570
2.00
4.00
18.60500(*)
17.12000(*)
15.12500(*)
.35677
.35677
.35677
.000
.000
.000
17.7320
16.2470
14.2520
19.4780
17.9930
15.9980
6.00
13.91500(*)
.35677
.000
13.0420
14.7880
10.00
10.00
.00
.00
-12.01500(*)
.35677
.000
-12.8880
-11.1420
.00
30.62000(*)
.35677
.000
29.7470
31.4930
2.00
29.13500(*)
.35677
.000
28.2620
30.0080
4.00
27.14000(*)
25.93000(*)
12.01500(*)
.35677
.35677
.35677
.000
.000
.000
26.2670
25.0570
11.1420
28.0130
26.8030
12.8880
6.00
8.00
* The mean difference is significant at the .05 level.
181
Lampiran 17a. Nilai PLG surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama
penyimpanan suhu dingin
PLG (%)
R
H0
H2
H4
H6
H8
H10
4.67
4.38
3.65
2.56
1.46
0.73
4.61
4.49
4.02
2.56
1.46
0.73
4.64
4.44
3.84
2.56
1.46
0.73
Lampiran 17b. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey PLG surimi hasil
pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu
dingin
ANOVA
PLG
Between Groups
Sum of
Squares
26.290
Within Groups
Total
df
5
Mean Square
5.258
.076
6
.013
26.366
11
F
413.469
Sig.
.000
Lampiran 18a. Nilai TPC surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama
penyimpanan suhu dingin
Log TPC
Rata-rata
H0
H2
H4
H6
H8
H10
4.69
4.92
4.82
4.85
4.97
4.92
5.77
5.83
5.80
6.02
5.97
5.99
6.97
6.97
6.97
7.25
7.35
7.30
Lampiran 18b. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey TPC surimi hasil
pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu
dingin
ANOVA
TPC
Sum of
Squares
Between Groups
Within Groups
Total
df
Mean Square
65344.301
5
13068.860
1074.355
6
179.059
66418.656
11
F
72.986
Sig.
.000
182
Multiple Comparisons
Dependent Variable: PLG
LSD
(I) Lama
penyimpanan
.00
2.00
Std.
Error
.11277
.11277
Sig.
.119
.000
6.00
2.08000(*)
.11277
.000
1.8041
2.3559
8.00
3.18000(*)
.11277
.000
2.9041
3.4559
10.00
3.91000(*)
.11277
.000
3.6341
4.1859
(J) Lama
penyimpanan
2.00
4.00
.00
-.20500
.11277
.119
-.4809
.0709
6.00
8.00
.60000(*)
1.87500(*)
2.97500(*)
.11277
.11277
.11277
.002
.000
.000
.3241
1.5991
2.6991
.8759
2.1509
3.2509
10.00
3.70500(*)
.11277
.000
3.4291
3.9809
.00
-.80500(*)
.11277
.000
-1.0809
-.5291
2.00
-.60000(*)
.11277
.002
-.8759
-.3241
6.00
1.27500(*)
.11277
.000
.9991
1.5509
8.00
10.00
.00
2.37500(*)
3.10500(*)
-2.08000(*)
.11277
.11277
.11277
.000
.000
.000
2.0991
2.8291
-2.3559
2.6509
3.3809
-1.8041
2.00
-1.87500(*)
.11277
.000
-2.1509
-1.5991
4.00
-1.27500(*)
.11277
.000
-1.5509
-.9991
8.00
1.10000(*)
.11277
.000
.8241
1.3759
10.00
1.83000(*)
.11277
.000
1.5541
2.1059
2.00
4.00
-3.18000(*)
-2.97500(*)
-2.37500(*)
.11277
.11277
.11277
.000
.000
.000
-3.4559
-3.2509
-2.6509
-2.9041
-2.6991
-2.0991
6.00
-1.10000(*)
.11277
.000
-1.3759
-.8241
4.00
4.00
6.00
8.00
.00
10.00
10.00
95% Confidence
Interval
Lower
Upper
Bound
Bound
-.0709
.4809
.5291
1.0809
Mean
Difference
(I-J)
.20500
.80500(*)
.73000(*)
.11277
.001
.4541
1.0059
.00
-3.91000(*)
.11277
.000
-4.1859
-3.6341
2.00
-3.70500(*)
.11277
.000
-3.9809
-3.4291
4.00
-3.10500(*)
-1.83000(*)
-.73000(*)
.11277
.11277
.11277
.000
.000
.001
-3.3809
-2.1059
-1.0059
-2.8291
-1.5541
-.4541
6.00
8.00
* The mean difference is significant at the .05 level.
183
Multiple Comparisons
Dependent Variable: TPC
LSD
(I) Lama
penyimpanan
.00
2.00
Std. Error
13.38130
13.38130
Sig.
.990
.687
6.00
-9.21750
13.38130
.517
-41.9604
23.5254
8.00
-92.59250(*)
13.38130
.000
-125.3354
-59.8496
10.00
-199.17750(*)
13.38130
.000
-231.9204
-166.4346
.16750
13.38130
.990
-32.5754
32.9104
6.00
8.00
-5.50000
-9.05000
-92.42500(*)
13.38130
13.38130
13.38130
.695
.524
.000
-38.2429
-41.7929
-125.1679
27.2429
23.6929
-59.6821
10.00
-199.01000(*)
13.38130
.000
-231.7529
-166.2671
5.66750
13.38130
.687
-27.0754
38.4104
2.00
5.50000
13.38130
.695
-27.2429
38.2429
6.00
-3.55000
13.38130
.800
-36.2929
29.1929
8.00
-86.92500(*)
-193.51000(*)
9.21750
13.38130
13.38130
13.38130
.001
.000
.517
-119.6679
-226.2529
-23.5254
-54.1821
-160.7671
41.9604
2.00
9.05000
13.38130
.524
-23.6929
41.7929
4.00
3.55000
13.38130
.800
-29.1929
36.2929
8.00
-83.37500(*)
13.38130
.001
-116.1179
-50.6321
10.00
-189.96000(*)
13.38130
.000
-222.7029
-157.2171
92.59250(*)
92.42500(*)
86.92500(*)
13.38130
13.38130
13.38130
.000
.000
.001
59.8496
59.6821
54.1821
125.3354
125.1679
119.6679
116.1179
(J) Lama
penyimpanan
2.00
4.00
.00
4.00
4.00
6.00
8.00
95% Confidence Interval
Mean
Difference
(I-J)
-.16750
-5.66750
.00
10.00
.00
.00
2.00
4.00
6.00
Lower
Bound
-32.9104
-38.4104
Upper
Bound
32.5754
27.0754
83.37500(*)
13.38130
.001
50.6321
-106.58500(*)
13.38130
.000
-139.3279
-73.8421
.00
199.17750(*)
13.38130
.000
166.4346
231.9204
2.00
199.01000(*)
13.38130
.000
166.2671
231.7529
193.51000(*)
189.96000(*)
106.58500(*)
* The mean difference is significant at the .05 level.
13.38130
13.38130
13.38130
.000
.000
.000
160.7671
157.2171
73.8421
226.2529
222.7029
139.3279
10.00
10.00
4.00
6.00
8.00
Download