PERUBAHAN KARAKTERISTIK SURIMI KOMPOSISI IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DENGAN IKAN NILA HITAM (Oreochromis niloticus) SELAMA PENYIMPANAN SUHU DINGIN CHORIDATUL JANNAH C34052465 DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 75 RINGKASAN CHORIDATUL JANNAH. C34052465. Perubahan Karakteristik Surimi Komposisi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dengan Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus) Selama Penyimpanan Suhu Dingin. Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan DJOKO POERNOMO. Surimi merupakan konsentrat protein miofibril yang diperoleh melalui pemisahan tulang dari daging ikan yang mengalami pencucian dengan air dingin. Dalam bentuk surimi ini, daging ikan disiapkan untuk mudah digunakan dalam berbagai produk olahan yang memiliki nilai tambah, memiliki warna yang putih, mudah disimpan dan mempunyai nilai gizi tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan ikan budidaya air tawar dalam pembuatan surimi berbasis multi-spesies melalui metode pengkomposisian dan untuk mengkaji perubahan karakteristiknya selama penyimpanan pada suhu dingin. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan utama. Tahap penelitian pendahuluan dilakukan analisis karakteristik fisikakimia bahan baku, penentuan frekuensi pencucian terbaik dan penentuan komposisi terbaik terhadap kedua surimi (ikan lele dumbo dan ikan nila hitam). Tahap penelitian utama dilakukan penyimpanan surimi hasil pengkomposisian terbaik pada suhu dingin untuk dipelajari perubahan karakteristik fisika, kimia dan mikrobiologi selama penyimpanan. Hasil penelitian pendahuluan diperoleh nilai rendemen daging ikan nila yang cukup besar yaitu 40,73%, sedangkan ikan lele dumbo sebesar 36,18%. Kedua jenis ikan yang digunakan dalam penelitian ini termasuk jenis ikan yang memiliki protein cukup tinggi (protein ikan nila sebesar 13,88 % dan ikan lele dumbo 12,97 %) dan lemak rendah (lemak ikan nila sebesar 0,30 % dan ikan lele dumbo sebesar 0,70 %). Frekuensi pencucian 1 kali menghasilkan surimi ikan nila dengan ikan lele dumbo dengan kekuatan gel tertinggi masing-masing sebesar 792 g cm dan 540 g cm. Hasil penelitian tahap berikutnya, diketahui bahwa komposisi surimi N1L1 (nila : lele = 1:1) mampu menghasilkan nilai kekuatan gel tertinggi dengan nilai sebesar 612 g cm dibandingkan dengan komposisi surimi N1L2 dan N2L1. Selama 10 hari penyimpanan pada suhu dingin, surimi komposisi N1L1 mengalami penurunan mutu sehingga berpengaruh terhadap nilai pH, TVBN, TPC dan PLG yang selanjutnya mempengaruhi kekuatan gel dan derajat putih dari surimi yang dihasilkan. Salah satu kriteria mutu surimi yang baik terletak pada faktor kekuatan gel. Tahap penelitian ini, kekuatan gel tertinggi didapatkan pada penyimpanan hari ke-0 sebesar 1096 g cm, sedangkan terendah pada penyimpanan hari ke-10, yaitu sebesar 78 g cm. Bila nilai kekuatan gel ini dibandingkan dengan hasil pada uji-uji yang lain seperti protein larut garam (PLG), uji daya ikat air (WHC) dan uji derajat putih maka didapatkan korelasi yang positif. Nilai derajat putih dari surimi yang dihasilkan, yaitu dari 33,38 % pada penyimpanan hari ke-0 turun menjadi 27,29 % pada penyimpanan hari ke-10. Nilai pH dan PLG tertinggi terjadi pada penyimpanan hari ke-0, yaitu sebesar 7,38 dan 4,64 %. Adapun nilai TVBN dan TPC menghasilkan nilai terendah pada penyimpanan hari ke-0, masing-masing sebesar 5,32 mg N/100 g dan 0,66 x 105 koloni/g. 76 PERUBAHAN KARAKTERISTIK SURIMI KOMPOSISI IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DENGAN IKAN NILA HITAM (Oreochromis niloticus) SELAMA PENYIMPANAN SUHU DINGIN Oleh : CHORIDATUL JANNAH C34052465 SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 77 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul: PERUBAHAN KARAKTERISTIK SURIMI KOMPOSISI IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DENGAN IKAN NILA HITAM (Oreochromis niloticus) SELAMA PENYIMPANAN SUHU DINGIN adalah benar merupakan hasil karya yang belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Februari 2010 Choridatul Jannah C34052465 78 LEMBAR PENGESAHAN Judul : PERUBAHAN KARAKTERISTIK SURIMI KOMPOSISI IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DENGAN IKAN NILA HITAM (Oreochromis niloticus) SELAMA PENYIMPANAN SUHU DINGIN Nama : Choridatul Jannah Nrp : C34052465 Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si NIP. 19670922 1992 03 1 003 Ir. Djoko Poernomo, B.Sc NIP. 19580419 1983 03 1 001 Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil NIP. 19580511 1985 03 1 002 Tanggal disetujui : 79 KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT berkat rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada Baginda mulia Rasulullah SAW dan para sahabat atas perjuangannya untuk kemuliaan Dienul Islam. Dalam skripsi ini penulis mengambil judul “Perubahan Karakteristik Surimi Komposisi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dengan Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus) Selama Penyimpanan Suhu Dingin” yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Perikanan di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si dan Ir. Djoko Poernomo, B. Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini serta pembelajaran hidup yang telah diberikan. 2. DP2M Dikti melalui proyek hibah kompetitif penelitian yang telah membiayai penelitian ini. 3. Ibu Dra. Pipih Suptijah, MBA dan Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.Biol selaku dosen penguji yang telah memberikan pengarahan dan saran konstruktif untuk kesempurnaan penyusunan skripsi ini. 4. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK-IPB. 5. Ibu Chairita di BBP2HP, Muara Baru-Jakarta Utara, atas doa dan waktunya untuk sharing. 6. Ayahanda Maksudi Yazid dan Ibunda Kulsum (Almh) serta keluargaku tercinta yang selalu setia dalam suka dan duka (Kang Yayah, Kang Ali, Kang Opah, seluruh kakak iparku; Kang Asa, Yu Dillah, Mas Dirga, dan ponakanku tersayang Mba Iik, Mas Ayat, Dede Hafidz) yang tak pernah lelah untuk memberikan dorongan dan doa yang begitu tulus serta atas segala bantuan baik materil maupun spirituil kepada penulis hingga akhirnya menjadi S.Pi. 80 7. Adindaku tercinta di Jeddah, atas support dan doa tulus yang luar biasa untuk Anguda. Temani bintang kejora itu, Dik. Kita masih punya mimpi untuk Mandut-Mindut (Almh). 8. Untuk Ehsyat, terima kasih atas semuanya “UliUmi”, untuk kesetiaannya, kesabarannya, pengertiannya dan pengorbanannya. Jazakillah ya, Dik. 9. Keluargaku di Tangerang (Bapak Mu’min Imanuddin dan Ibu Sopiah, Kanda, Ansoy, Mas Wahyu, Dede kecil Jiank) atas doa dan dukungannya yang sangat berharga. 10. Tim surimi (Erna, Dini dan mba Ulin) atas kerjasamanya untuk melalui dan memulai semua ini. 11. Laboran THP (Ibu Emma, Kak Jacky, Dek Rita, Bang Ipul) dan Staff TU THP (Bang Mail, Pak Ade, Mba Hani) atas segala bantuannya. 12. Ukhti Sari, jazakillah khairan katsiran atas bantuan dan semangatnya. 13. Sohib-sohibku terkompak di Tim asisten TITL 2009; Prilz, Ifa dan Rodhie, atas kebersamaan dan doa yang begitu tulus. 14. Teman-teman THP 42 tercinta (Doranggi Dorayaki, Ita, Evi, Rivalku “Danker”, Sena, Fuad, Bayu, Ale, Seno, Miftah, Mirza, Martca, Niken, Dewi Manu, Ulie, Ulfa, Sugara, Adho, Jeng Sofie, Phite, Pus, Febri, Ozy, Tyas, Si Kembar) atas kekompakannya dan segala bantuan yang diberikan untuk penulis. Dan juga Adik-adikku THP 43 dan 44, atas bantuannya. 15. Penghuni Kilimanjaro; Ukhti Deway (Jazakillah atas doanya dan tetaplah tersenyum), Kepsek abadi Hida (Jazakillah untuk printer-nya), Cucunda Sita (Jazakillah untuk perhatian dan yang selalu menghibur dan manja ke Omanda), Dek Gita-ku yang chabby (untuk pengertian dan teriakannya yang membuat mba tersenyum), Ponakanku Nida (“simbol kesombongan”, Tante sayang Nida), Mba Vinan (Jazakillah atas kekhawatirannya dan tumpangannya), dan Dek D2 (Jazakillah untuk riasannya). 16. Guruku Uni Emilda, Teh Lia di Bandung, Mba Leli, Musy Nindira, Teh Nauli, Teh Nengky, Mba Maria, Teh Noneng dan Teh Deni di Gunung Putri, atas doanya. 17. Teman-teman DeBu 42; CinDien (Jazakillah atas kedatangannya), Izzah, Yeni, Isni, Mulya, Dian, Rinay. 81 18. Saudara-saudaraku seperjuangan di LDF MT Al-Marjan FPIK IPB, khususnya Tim nissa deputi MT (Dewi, Uchi, Ade Willy dan Dek Eka), Jazakumullah. 19. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang telah ikhlas membantu penulis selama penelitian. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih ada kekurangan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Bogor, Februari 2010 Penulis 82 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Choridatul Jannah. Penulis adalah anak keempat dari lima bersaudara yang dilahirkan di kota Indramayu pada tanggal 2 Oktober 1987 dari pasangan Maksudi Yazid dan Kulsum (Almh). Pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh penulis adalah SD Negeri Singaraja 1-Indramayu pada tahun 1999. Penulis melanjutkan pendidikan sekolah menengah pertama di MTsN Wotbogor-Indramayu pada tahun 1999 dan selesai pada tahun 2002. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan menengah atas di SMAN 1 Indramayu dan selesai pada tahun 2005. Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan tahun 2006 tercatat sebagai mahasiswa Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK IPB. Penulis pernah aktif sebagai asisten mata kuliah Sosiologi Umum (2007-2008), Ketua Departemen Keputrian LDF MT Al-Marjan FPIK IPB (20082009), anggota Koalisi Gaul Sehat (KOGASE) IPB (2008-2009), Pengurus LDK BKIM IPB (2005-2007), anggota rohis THP 42 (2007), editor Fisheries Study Club Himasilkan (2007), Divisi Litbang Organisasi Mahasiswa Daerah Indramayu IKADA (2006-2007), SC PPSDM Organisasi Mahasiswa Daerah Indramayu IKADA (2009), Koordinator asisten praktikum Teknologi Industri Tumbuhan Laut (2009) dan asisten praktikum Surimi S2 THP, FPIK-IPB (2009). Pada tahun 2009 penulis melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT Kerupuk Cap Dua Gajah-Indramayu selama 1 bulan. Penulis pernah menerima beasiswa dari Pemda Indramayu (2005-2006), TANOTO foundation (2006-2008) dan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) IPB (2009). Penulis melakukan penelitian dengan judul “Perubahan Karakteristik Surimi Komposisi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dengan Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus) Selama Penyimpanan Suhu Dingin”. Dalam menyelesaikan penelitian ini penulis dibimbing oleh Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si dan Ir. Djoko Poernomo, B.Sc. 83 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xii DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xiii 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1 1.2 Tujuan ............................................................................................... 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Lele .................................................... 5 2.2 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Nila .................................................... 7 2.3 Komposisi Kimia Ikan ....................................................................... 9 2.3.1 Protein ikan ............................................................................. a) Protein miofibril ................................................................. b) Protein sarkoplasma ........................................................... c) Protein stroma .................................................................... 2.3.2 Lemak ikan .............................................................................. 2.3.3 Komponen volatil .................................................................... 9 10 11 11 11 12 2.4 Pengaruh Penyimpanan Suhu Dingin terhadap Mutu Ikan .................. 13 2.5 Surimi ................................................................................................ 14 2.5.1 Pengertian dan karakteristik surimi .......................................... 2.5.2 Syarat mutu surimi beku .......................................................... 2.5.3 Bahan tambahan dalam pembuatan surimi ............................... a) Garam ................................................................................ b) Cryoprotectant ................................................................... 2.5.4 Mekanisme pembentukan gel ................................................... 15 17 17 18 19 20 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................. 23 3.2 Alat dan Bahan .................................................................................. 23 3.3 Tahapan Penelitian ............................................................................. 24 3.3.1 Penelitian pendahuluan ............................................................ 24 3.3.2 Penelitian utama ...................................................................... 28 3.4 Prosedur Analisis ................................................................................ 29 3.4.1 Uji fisik ................................................................................... 29 84 a) b) c) d) Rendemen (SNI-19-1705-2000) .......................................... Uji lipat (folding test) (Suzuki 1981) .................................. Uji gigit (teeth cutting test) (Suzuki 1981) ......................... Water Holding Capacity (WHC) (Grau dan Hamm 1972 dalam Faridah et al. 2006) ............. e) Kekuatan gel (Shimizu et al. 1992 dalam Yasin 2005) .... f) Derajat putih (Kett electric Laboratory 1981 dalam Yasin 2005) ............................................................. 3.4.2 Uji kimia ................................................................................. a) Nilai pH (Suzuki 1981) ...................................................... b) Protein larut garam (PLG) (Saffle dan Galbraeth 1964 dalam Nauli 2009) ................. c) Uji kadar air (Apriyantono et al. 1989) ............................ d) Uji kadar abu total (Apriyantono et al. 1989) ..................... e) Uji kadar protein (Apriyantono et al. 1989) ..................... f) Uji kadar lemak (Apriyantono et al. 1989) ......................... g) Uji Total volatile base nitrogen (TVBN) (AOAC 1995) ... 29 29 30 30 31 32 32 32 32 33 33 34 35 35 3.4.3 Uji mikrobiologi (perhitungan total mikroba) (Fardiaz 1992) ... 36 3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ............................................ 38 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan ...................................................................... 41 4.1.1 4.1.2 4.1.3 4.1.4 Rendemen daging ikan nila dan ikan lele ................................. Komposisi proksimat daging lumat ikan nila dan ikan lele ....... Penentuan frekuensi pencucian terbaik ..................................... Penentuan komposisi surimi terbaik ......................................... 41 41 43 46 4.2 Penelitian Utama ............................................................................... 47 4.2.1 Karakteristik fisik .................................................................... a) Kekuatan gel (gel strength) ................................................ b) Derajat putih ....................................................................... c) Water Holding Capacity (WHC) ......................................... d) Uji lipat (folding test) .......................................................... e) Uji gigit (teeth cutting test) ................................................. 4.2.2 Karakteristik kimia dan mikrobiologi ........................................ a) Derajat keasaman (pH)........................................................ b) Total Volatile Base Nitrogen (TVBN) ................................. c) Protein Larut Garam (PLG)................................................. d) Total Plate Count (TPC) ..................................................... 47 47 50 52 54 56 57 58 60 62 64 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ........................................................................................ 67 5.2 Saran ................................................................................................. 67 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 68 LAMPIRAN ............................................................................................... 74 85 DAFTAR TABEL Halaman 1. Komposisi kimia ikan lele (Clarias sp.) ................................................. 7 2. Komposisi kimia ikan nila (Oreochromis sp.) ........................................ 8 3. Penggolongan protein daging ikan berdasarkan kelarutan ...................... 9 4. Syarat mutu surimi beku (SNI 01-2693-1992)........................................ 18 5. Rasio pengkomposisian surimi terbaik ikan nila dan ikan lele ................ 25 6. Kriteria mutu uji lipat ............................................................................ 29 7. Kriteria mutu uji gigit ............................................................................ 30 8. Komposisi kimia daging lumat ikan nila hitam dan ikan lele dumbo ...... 42 9. Hubungan antara frekuensi pencucian dengan nilai protein larut garam (PLG), kekuatan gel dan pH ........................................................ 43 10. Nilai uji lipat dan uji gigit pada setiap frekuensi pencucian .................... 45 11. Nilai kekuatan gel surimi dari masing-masing variasi komposisi............ 46 86 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) .................................................... 6 2. Ikan nila hitam (Oreochromis niloticus) ................................................ 8 3. Pembentukan gel surimi dan proteolisis protein miofibril....................... 22 4. Diagram alir penelitian pendahuluan ...................................................... 26 5. Diagram alir pengkomposisian surimi .................................................... 27 6. Diagram alir penelitian utama ............................................................... 28 7. Nilai kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ................................................................... 48 8. Regresi linier kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin .............................................. 49 9. Nilai derajat putih surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin .................................................................. 50 10. Regresi linier derajat putih surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ...................................................... 51 11. Nilai daya ikat air (WHC) surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ...................................................... 52 12. Regresi linier WHC surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin .................................................................. 53 13. Nilai uji lipat surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ................................................................... 54 14. Regresi linier uji lipat surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ................................................................... 55 15. Nilai uji gigit surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin .................................................................. 56 16. Regresi linier nilai uji gigit surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ...................................................... 57 17. Nilai derajat keasaman (pH) surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ......................................... 58 18. Regresi linier derajat keasaman (pH) surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ........................................ 59 19. Nilai TVBN surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin............................................................................... 61 20. Regresi linier ln TVBN surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ................................................................... 62 87 21. Nilai protein larut garam (PLG) surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ..................................................... 63 22. Regresi linier protein larut garam (PLG) surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ......................................... 64 23. Nilai log total plate count (TPC) surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ......................................... 65 24. Regresi linier log total plate count (TPC) surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ............ 66 88 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Lembar penilaian organoleptik uji lipat dan uji gigit surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) ......................................................... 75 2. Nilai PLG surimi ikan nila dari setiap frekuensi pencucian .................... 76 3. Analisis ragam PLG surimi ikan nila dari setiap frekuensi pencucian .............................................................................................. 76 4. Nilai PLG surimi ikan lele dumbo dari setiap frekuensi pencucian ......... 76 5. Analisis ragam PLG surimi ikan lele dumbo dari setiap frekuensi pencucian .............................................................................................. 76 6. Nilai pH surimi ikan lele dumbo dari setiap frekuensi pencucian ........... 77 7. Analisis ragam pH surimi ikan lele dumbo dari setiap frekuensi pencucian .............................................................................................. 77 8. Nilai kekuataan gel surimi ikan lele dumbo dari setiap frekuensi pencucian .............................................................................................. 77 9. Analisis ragam kekuatan gel surimi ikan lele dumbo dari setiap frekuensi pencucian ............................................................................... 77 10. Nilai pH surimi ikan nila dari setiap frekuensi pencucian ....................... 78 11. Analisis ragam pH surimi ikan nila dari setiap frekuensi pencucian .............................................................................................. 78 12. Nilai kekuatan gel surimi ikan nila dari setiap frekuensi pencucian .............................................................................................. 78 13. Analisis ragam kekuatan gel surimi ikan nila dari setiap frekuensi pencucian .............................................................................................. 78 14. Data uji lipat ikan lele dumbo setiap frekuensi pencucian ...................... 79 15. Data uji gigit ikan lele dumbo setiap frekuensi pencucian ...................... 79 16. Data uji lipat ikan nila setiap frekuensi pencucian .................................. 80 17. Data uji gigit ikan nila setiap frekuensi pencucian.................................. 80 18. Nilai kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ........................................................... 81 19. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ..... 81 20. Nilai derajat putih surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ........................................................... 82 89 21. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey derajat putih surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ..... 82 22. Nilai WHC surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ...................................................................... 82 23. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey WHC surimi hasil pengkomposisian nilalele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ........................................ 82 24. Data uji lipat gel ikan surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ........................................................... 85 25. Analisis ragam dan uji lanjut multiple comparison uji lipat surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ..... 85 26. Data uji gigit gel ikan surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ...................................................................... 87 27. Analisis ragam dan uji lanjut multiple comparison uji gigit surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ..... 87 28. Nilai pH surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ...................................................................... 89 29. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey pH surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin................................. 89 30. Nilai TVBN surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ...................................................................... 89 31. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey TVBN surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin................................. 89 32. Nilai PLG surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ...................................................................... 92 33. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey PLG surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin................................. 92 34. Nilai TPC surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ...................................................................... 92 35. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey TPC surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin................................. 92 90 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sektor perikanan dalam arti luas ditujukan untuk pemanfaatan potensi sumberdaya perairan, menghasilkan produk-produk unggulan, menyediakan bahan baku bagi keperluan industri dan memperluas kesempatan kerja. Produk-produk tersebut berbasiskan pada agroindustri dan ekonomi perikanan yang tangguh yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan nilai tambah. Agroindustri yang dipandang strategis untuk dikembangkan diantaranya adalah industri pengolahan makanan. Perairan Indonesia yang merupakan 70 persen dari wilayah Nusantara, mempunyai garis pantai lebih dari 81.000 km dengan 13.667 pulau, memiliki potensi perikanan yang cukup besar. Sebagai penyedia protein yang murah dan mudah di Indonesia, produk dari sektor perikanan ini masih sangat mungkin untuk terus ditingkatkan. Saat ini produksi ikan di Indonesia masih didominasi dari sektor penangkapan yang mencapai 70 % dari total produksi perikanan di Indonesia. Dalam kurun waktu tahun 2004-2007, produksi perikanan budidaya dan perikanan tangkap mengalami peningkatan dengan total produksi 6,12 juta ton – 8,03 juta ton. Produksi perikanan budidaya Indonesia pada tahun 2004-2007 sebesar 1,47 juta ton – 3,09 juta ton, sedangkan peningkatan produksi perikanan tangkap adalah sebesar 4,65 juta ton – 4,94 juta ton (BPS DKP 2008). Masalah utama yang dihadapi adalah masih belum tersedianya jaringan pasok ikan yang memadai dan belum tumbuhnya kebiasaan makan ikan di sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama di daerah yang jauh dari pusat perikanan. Dengan kondisi ini, tidak mudah mengubah pola makan dari non-ikan ke pola makan dengan ikan. Masalah lain yang dihadapi adalah masih sangat terbatasnya bentuk-bentuk olahan ikan yang ada, sehingga pilihan pun terbatas. Umumnya ikan diolah secara tradisional seperti ikan asin, peda, pindang dan olahan tradisional lain yang umumnya mempergunakan garam tinggi. Dengan bentuk olahan yang berkadar garam tinggi tersebut, daya konsumsi konsumen terhadap ikan terbatas dan ikan lebih berfungsi sebagai pengikat selera makan. Pengembangan aneka produk olahan dari ikan atau yang mengandung ikan dapat 91 dijadikan alternatif jitu yang multifungsi. Selain memperbanyak pilihan bagi konsumen sesuai selera, pengembangan aneka produk juga dapat dijadikan upaya untuk menumbuhkan kebiasaan makan ikan sejak dini. Untuk pengembangan produk-produk perikanan diperlukan bahan baku ikan yang bermutu tinggi. Salah satunya adalah dalam bentuk surimi. Menurut Suzuki (1981), surimi merupakan produk antara (intermediate product) yang terbuat dari daging ikan yang dilumatkan setelah mengalami proses penggilingan dan pencucian. Dalam bentuk surimi ini, daging ikan disiapkan untuk mudah digunakan dalam berbagai aneka olahan berbasis ikan maupun untuk fortifikasi, mudah disimpan, tahan lama dalam bentuk mirip daging ikan segar, mempunyai nilai gizi yang menyehatkan (Guenneugues dan Morrissey 2005 dalam MartinSanchez et al. 2009) dan memiliki sifat spesifik yang diperlukan untuk berbagai pengembangan produk, terutama yang menuntut sifat elastisitas pada produk akhir. Secara teknis semua jenis ikan dapat dijadikan surimi. Namun, ikan yang berdaging putih, tidak berbau lumpur dan tidak terlalu amis serta mempunyai kemampuan membentuk gel yang bagus akan memberikan hasil (surimi) yang lebih baik. Beberapa jenis ikan yang baik untuk dijadikan surimi antara lain ikan cunang/ remang, tenggiri, kakap, tigawaja, beloso, cucut dan lain-lain. Ikan air tawar seperti lele, tawes, nilam dan lain-lain juga dapat diolah menjadi surimi. Biasanya untuk jenis-jenis ikan air tawar, sebelum diolah ikan-ikan ini terlebih dahulu dilakukan pemberokan agar bau lumpur pada produk akhir dapat dikurangi. Mutu kesegaran ikan yang digunakan harus benar-benar sangat segar. Penggunaan ikan yang kurang segar maupun ikan yang telah dibekukan akan menurunkan mutu surimi. Demikian pula ikan yang berdaging merah akan menghasilkan surimi yang lebih berat dan baunya lebih amis, sehingga hanya dapat digunakan untuk produk yang warnanya tidak harus putih. Daging merah biasanya mengandung lemak lebih banyak dibandingkan daging putih, sehingga surimi dan produk surimi yang dihasilkan lebih cepat tengik (Paranginangin et al. 1999). Peningkatan konsumsi dunia akan produk-produk yang berbasiskan surimi memberikan pangsa pasar yang besar. Permintaan surimi terbesar terdapat di negara-negara yang kaya, seperti Amerika Serikat, Jepang dan beberapa negara 92 Eropa. Eropa telah mampu mengimpor bahan baku pada beberapa tahun terakhir sekitar 40 hingga 50.000 ton dan impor produk-produk akhir sebesar 70.000 ton per tahun. Konsumsi surimi sebagian besar juga terdapat di negara-negara sekitar Laut Tengah, Kerajaan Inggris dan daerah Baltic (Catarci 2007; Vidal-Giraud dan Chateau 2007 dalam Martin-Sanchez et al. 2009). Indonesia adalah salah satu negara beriklim tropis, mempunyai sumberdaya hayati perairan yang sangat beragam. Hasil panen ikan budidaya beragam pada daerah yang berbeda terutama dari segi kuantitas. Hal ini merupakan salah satu kendala bila nantinya hanya dikembangkan industri surimi berbasis single-species. Salah satu alternatif yang perlu diupayakan adalah pengolahan dalam memanfaatkan ikan budidaya menjadi surimi berbasis multispesies. Pola pemanfaatan seperti ini akan menjamin ketersediaan bahan baku karena ketidaktergantungan industri terhadap satu jenis ikan budidaya air tawar. Namun, yang menjadi titik perhatian adalah pengontrolan terhadap kualitas mutu surimi multi-spesies agar dapat dihasilkan kualitas surimi sebaik dari surimi single-species. Saat ini pembuatan surimi masih difokuskan pada ikan-ikan berdaging putih yang masing-masing dilakukan secara tunggal. Mengingat potensi perikanan Indonesia baik perikanan air tawar maupun air laut mempunyai keragaman spesies yang tinggi dengan jumlah tiap spesiesnya tidak terlalu banyak, maka surimi yang cocok untuk dikembangkan adalah surimi berbasis multi-spesies melalui metode pengkomposisian. Penelitian tentang pengkomposisian surimi dalam jumlah terbatas pernah dilakukan oleh Santoso et al. (2008). Pada penelitian tersebut membuktikan bahwa melalui metode pengkomposisian antara ikan pari dan ikan cucut yang keduanya termasuk ikan berdaging putih, menghasilkan surimi dengan nilai kekuatan gel yang lebih baik dibandingkan dengan surimi yang dibuat secara terpisah. Cornellia et al. (2008) dalam Santoso et al. (2009) berhasil melakukan pengkomposisian surimi ikan cucut dengan ikan kembung, yaitu kelompok ikan berdaging putih dan merah juga menghasilkan kemampuan pembentukan gel yang lebih baik dibandingkan dengan surimi tunggal. 93 Pada penelitian ini digunakan ikan budidaya air tawar (lele dan nila) yang merupakan komoditas unggulan daerah Bogor untuk diproduksi menjadi surimi berbasis multi-spesies melalui metode pengkomposisian. Ikan-ikan ini memiliki rasa yang gurih dan khas, daging yang tebal, harga terjangkau, duri yang sedikit dan mudah dalam pengolahannya, sehingga menjadi kegemaran masyarakat luas. Besarnya peluang untuk membuat surimi multi-spesies dari ikan budidaya air tawar dan prospek pengembangan pengolahan surimi yang tinggi, dimana permintaan akan surimi di dunia terus mengalami peningkatan, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif solusi terhadap potensi komoditas unggulan daerah Bogor untuk dimanfaatkan lebih optimal. Baik untuk pemenuhan kebutuhan lokal maupun nasional dan internasional (ekspor). 1.2 Tujuan Tujuan umum yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah pemanfaatan ikan budidaya air tawar untuk dibuat surimi berbasis multi-spesies melalui metode pengkomposisian, sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai meliputi : (1) Membuat surimi berbasis multi-spesies dari ikan air tawar (ikan nila hitam dan lele dumbo) sesuai dengan standar SNI, dengan perlakuan faktor pengulangan pencucian dan pengkomposisian. (2) Mengevaluasi karakteristik fisik, kimia dan mikrobiologi surimi berbasis multi-spesies dari ikan nila hitam dan lele dumbo selama penyimpanan suhu dingin. 94 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Lele Klasifikasi ikan lele menurut Beaufort (1965) dalam Suyanto (1999) adalah sebagai berikut: Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Ostariophysi Subordo : Siluroidea Famili : Clariidae Genus : Clarias Ikan lele merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan tubuh memanjang dan kulit licin. Ikan lele dapat hidup pada suhu 20 °C, dengan suhu optimal antara 25-28 °C. Untuk pertumbuhan larva diperlukan kisaran suhu antara 26-30 °C dan untuk pemijahan 24-28 °C. Apabila suhu tempat hidupnya terlalu dingin, misalnya di bawah 20 o C, pertumbuhannya agak lambat. Di Indonesia, ada beberapa jenis (spesies) ikan lele, yaitu Clarias batrachus dan Clarias gariepinus, jenis ini yang paling banyak dijumpai dan umumnya dibudayakan, disamping terdapat di alam; Clarias leiacanthus; Clarias nieuwhofi; Clarias teesmanii. Ketiga jenis ini terdapat di perairan Indonesia tetapi jarang ditemukan dan diduga sudah langka (Suyanto 1999). Ikan lele bersifat nokturnal, artinya aktif pada malam hari atau lebih menyukai tempat yang gelap. Pada siang hari yang cerah, ikan lele lebih suka berdiam di dalam lubang-lubang atau tempat yang tenang dan aliran air yang tidak terlalu deras. Habitat atau lingkungan hidup ikan lele ialah semua perairan air tawar. Di sungai yang airnya tidak terlalu deras atau di perairan yang tenang seperti danau, waduk, telaga, rawa serta genangan-genangan kecil seperti kolam, merupakan lingkungan hidup ikan lele (Suyanto 1999). Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan jenis ikan yang termasuk dalam famili Claridae dan genus Clarias. Ikan lele dumbo ini merupakan ikan air 95 tawar yang menyenangi air tenang. Spesies ini merupakan saudara dekat lele lokal (Clarias batrachus) yang selama ini dikenal, sehingga ciri-ciri morfologinya hampir sama. Ikan ini merupakan hasil perkawinan silang antara lele Afrika dan lele Taiwan (Khairuman dan Amri 2002 dalam Margolang 2009). Ikan lele dumbo memiliki kecepatan tumbuh yang relatif cepat yaitu pada umur 3 bulan pemeliharaan sudah layak untuk panen, rasanya enak dan kandungan gizinya cukup tinggi. Ikan lele dumbo meskipun badannya besar, patilnya tidak memiliki racun tidak seperti lele lokal. Foto ikan lele dumbo dapat dilihat pada Gambar 1. Sumber: www. cdserver2.ru.ac Gambar 1. Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Bentuk tubuh memanjang, agak bulat, kepala gepeng, tidak bersisik, mempunyai 4 pasang kumis, mulut besar, warna kelabu sampai hitam. Lele dumbo banyak ditemukan di rawa-rawa dan sungai di Afrika, terutama di dataran rendah sampai sedikit payau. Ikan ini mempunyai alat pernapasan tambahan yang disebut abrorescent, sehingga mampu hidup dalam air yang oksigennya rendah. Lele dumbo termasuk ikan karnivora, namun pada usia benih lebih bersifat omnivora. Induk lele dumbo sudah dapat dipijahkan setelah berumur 2 tahun dan dapat memijah sepanjang tahun (Margolang 2009). Menurut Suyanto (1999), ikan lele tahan hidup di perairan yang airnya mengandung sedikit oksigen. Ikan lele ini relatif tahan terhadap pencemaran bahan-bahan organik. airnya kotor. Oleh karena itu, ikan lele tahan hidup di comberan yang Ikan lele hidup dengan baik di dataran rendah sampai daerah perbukitan yang tidak terlalu tinggi. Di daerah pegunungan dengan ketinggian 96 diatas 700 meter, pertumbuhan lele kurang begitu baik. Lele tidak pernah ditemukan hidup di air payau atau asin. Komposisi kimia ikan lele dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia ikan lele (Clarias sp.) Senyawa kimia Jumlah (%) Air Protein Karbohidrat Lemak Mineral Sumber: Vaas (1956) dalam Astawan (2008) 76 17,7 0,3 4,8 1,2 2.2 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Nila Ikan nila merupakan jenis ikan yang diintroduksi dari luar negeri. Bibit ini didatangkan ke Indonesia secara resmi oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar pada tahun 1969. Melalui beberapa penelitian dan masa adaptasi, barulah ikan ini disebarluaskan kepada petani di seluruh Indonesia. Klasifikasi ikan nila menurut Trewavas (1982) dalam Suyanto (1994) adalah sebagai berikut: Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Osteichtyes Subkelas : Acanthopterigii Ordo : Percomorphi Famili : Cichlidae Genus : Oreochromis Spesies : Oreochromis niloticus Ikan nila hitam merupakan jenis ikan air tawar yang mudah dikembangbiakan dan memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan lingkungan serta mudah dalam pemeliharaannya. Karena memiliki berbagai kelebihan dibanding jenis ikan lainnya, menjadikan ikan nila hitam mudah sekali diterima masyarakat. Selain kelebihan tersebut, ikan nila hitam relatif tahan dari serangan penyakit serta ikan ini termasuk hewan pemakan segala (omnivora) (Margolang 2009). Foto ikan Nila Hitam ditunjukkan pada Gambar 2. 97 Sumber: www.globefish.org Gambar 2. Ikan nila hitam (Oreochromis niloticus) Ikan nila mempunyai sirip punggung, sirip dubur dan sirip perut yang masing-masing mempunyai jari-jari keras dan jari-jari lunak yang tajam seperti duri. Sirip punggung mempunyai lima belas jari-jari keras dan sepuluh jari-jari lunak, sedangkan sirip ekor mempunyai dua jari-jari keras dan enam jari-jari lunak. Sirip punggung berwarna hitam dan sirip sirip dada menghitam, sirip pada ekor terdapat enam buah jari-jari tegak. Komposisi kimia ikan nila dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi kimia ikan nila (Oreochromis sp.) Senyawa kimia Air Protein Karbohidrat Lemak Abu Sumber: Suyanto (1994) Jumlah (%) 79,44 12,52 4,21 2,57 1,26 Ikan nila hidup di sungai, rawa, danau, waduk dan sawah. Pada daerah tropis ikan nila dapat hidup dan tumbuh dengan baik sepanjang tahun pada lokasi sampai ketinggian 500 m diatas permukaan laut. Ikan nila dipelihara dengan kepadatan yang lebih tinggi dibandingkan ikan-ikan dari golongan cyprinidae seperti ikan mas (Direktorat Jenderal Perikanan 1991). 98 Keunggulan yang dimiliki oleh ikan nila antara lain: toleran terhadap lingkungan (hidup di air tawar dan payau pada kisaran pH 5-11), pertumbuhannya cepat yaitu dalam jangka waktu 6 bulan benih berukuran 30 g dapat tumbuh mencapai berat 300-500 g, dapat dipijahkan setelah umur 5-6 bulan dan dapat dipijahkan kembali setelah 1-1,5 bulan kemudian, serta tahan terhadap kekurangan oksigen dalam air (Suyanto 1994). 2.3 Komposisi Kimia Ikan Ikan mempunyai kandungan gizi yang tinggi, komponen kimia ikan secara umum mengandung: 15-24 % protein; 0,1-22 % lemak; 1-3 % karbohidrat; 0,8-2 % substansi anorganik dan 66-84 % air (Suzuki 1981). Priestley (1979) menyebutkan bahwa protein ikan terdiri dari tiga tipe, yaitu: miofibril, sarkoplasma dan jaringan ikat (stroma). Persentase protein stroma dalam daging ikan lebih sedikit dibandingkan protein ikan lainnya. Hal inilah yang menyebabkan daging ikan lebih lembut dibandingkan daging lainnya. 2.3.1 Protein ikan Menurut deMan (1997), protein daging ikan dapat dibagi menjadi tiga golongan berdasarkan kelarutannya. Otot kerangka ikan terdiri atas serat pendek disusun di antara lembaran-lembaran jaringan ikat, meskipun jumlah jaringan ikat dalam otot ikan lebih kecil daripada jumlah jaringan ikat dalam mamalia dan seratnya lebih pendek. Tabel 3 menunjukkan penggolongan protein daging ikan berdasarkan kelarutan. Tabel 3. Penggolongan protein daging ikan berdasarkan kelarutan Kekuatan ion pada saat Nama golongan pelarutan Sama dengan atau lebih ’Myogen’ mudah larut besar dari nol Lebih besar dari sekitar ’Struktur’ kurang larut 0,3 Tidak larut ’Stroma’ Sumber: deMan (1997) Lokasi Terutama sarkoplasma cairan sel otot Terutama myiofibril, unsur kontraktil Terutama jaringan ikat, dinding sel, dsb. 99 Komponen utama dari protein adalah aktin dan miosin, yang berfungsi untuk kontraksi dan relaksasi otot. Protein dibentuk oleh satuan-satuan asam amino yang membentuk polimer sehingga merupakan senyawa yang panjang. Molekul asam amino mempunyai gugus amino (NH2) yang bersifat basa dan gugus karboksil (COOH) yang bersifat asam. Keadaan tersebut memungkinkan asam amino dapat bereaksi dengan asam dan basa serta pereaksi lainnya (Winarno et al. 1980). a) Protein miofibril Protein miofibril ini berperan penting dalam penggumpalan dan pembentukan gel pada saat pengolahan. Protein ini terdiri dari miosin, aktin dan protein regulasi (tropomiosin, troponin, dan aktinin) (Suzuki 1981). Penyusun terbesar protein miofibril ikan adalah miosin, yaitu 50-60 %, (miosin merupakan komponen miofibril terbanyak di dalam jaringan otot) dan penyusun kedua terbesar adalah aktin. Aktin tersusun hampir 20 % dari total miofibril dan merupakan filamen tipis. Protein ini mempunyai dua bentuk, yaitu globular (G-aktin) dan fibrous (F-aktin). Gabungan aktin dan miosin membentuk aktomiosin. Protein miofibril sangat berperan dalam pembentukan gel, terutama dari fraksi aktomiosin (Suzuki 1981). Menurut Nakai dan Modler (1999), protein miofibril meliputi 11 % dari total berat otot dan sekitar 55 % dari total protein otot. Secara fisiologis dan struktur ikatan, protein miofibril dibagi menjadi 3 subkelompok: 1. Protein kontraktil, mencakup tropomiosin dan aktin yang bertanggung jawab secara langsung untuk kontraksi otot dan merupakan bagian terpenting dari miofibril. 2. Protein pengatur, mencakup tropomiosin, kompleks troponin dan beberapa protein pelengkap lainnya, yang dilibatkan di dalam inisiasi dan mengontrol kontraksi. 3. Sitoskletal atau protein scaffold, mencakup connectin, C-protein, desmin dan sejumlah komponen pelengkap lainnya yang berfungsi memberi dukungan dan memelihara struktur miofibril. 100 b) Protein sarkoplasma Protein sarkoplasma mengandung berbagai macam protein larut air yang disebut sebagai miogen. Protein tersebut terdiri dari mioglobin, enzim dan albumin lainnya. Kandungan protein sarkoplasma pada daging ikan bervariasi berdasarkan spesies ikan, tetapi terdapat dalam jumlah besar pada ikan-ikan pelagis seperti pada sardine dan mackerel, serta terdapat dalam jumlah kecil pada ikan-ikan demersal (Suzuki 1981). Protein sarkoplasma merupakan protein yang larut dalam air, secara normal ditemukan dalam plasma sel dan berperan sebagai enzim yang diperlukan untuk metabolisme anaerob sel otot. Protein sarkoplasma meliputi 30 % dari total protein otot (Mackie 1992). Protein sarkoplasma menghambat pembentukan gel surimi. Menurut Smith (1991) yang dikutip oleh Haard et al. (1994) bahwa protein sarkoplasma akan mengganggu cross-linking miosin selama pembentukan matriks gel karena protein ini tidak dapat membentuk gel dan mempunyai kapasitas pengikatan air rendah. c) Protein stroma Menurut Suzuki (1981), protein stroma adalah bagian protein otot yang paling sedikit, membentuk jaringan ikat dan tidak dapat diekstrak dengan air, larutan asam, larutan alkali atau larutan garam netral pada konsentrasi 0,01-0,1 M. Protein stroma merupakan protein yang terdapat pada bagian luar sel otot. Protein stroma ini tidak dapat diekstrak menggunakan larutan asam, alkali atau garam berkekuatan ion tinggi. Pada pengolahan surimi, protein stroma tidak dihilangkan karena mudah larut oleh panas dan merupakan komponen netral (Hall dan Ahmad 1992). 2.3.2 Lemak ikan Kandungan lemak ikan umumnya merupakan asam-asam lemak esensial yaitu asam lemak linoleat dan linolenat. Lemak ikan banyak terdapat asam lemak dengan rantai C20-C22 dengan 5 dan 6 ikatan rangkap yang termasuk ke dalam 101 kelompok asam lemak omega 3. Eicosa Pentaenoic Acid (EPA), Docosa Hexaenoic Acid (DHA) dan asam α-linoleat merupakan jenis asam lemak yang termasuk ke dalam kelompok asam lemak omega 3. Jumlah asam lemak tidak jenuh sebesar 79-83 % dan asam lemak jenuh sebesar 17-21 % dari seluruh asam lemak yang terdapat pada daging ikan (Hadiwiyoto 1993). Menurut Priestley (1979), lemak pada ikan adalah lemak tidak jenuh, yaitu fosfolipida dan trigliserida yang mengandung sejumlah besar asam lemak tak jenuh Polyunsaturated Fatty Acid (PUFA) yang mudah teroksidasi oleh oksigen selama penanganan dan proses pengolahan. Proses oksidasi menghasilkan hidroperoksida dan akan pecah menjadi karbonil yang menyebabkan bau busuk dan rasa tengik. Irawan (1995) menyatakan bahwa pengaruh musim biasanya yang paling banyak mempengaruhi kandungan air dan lemak pada daging ikan. Pada musim dimana sulit mendapatkan makanan, kandungan lemak menurun, sedangkan kandungan air meningkat, juga sebaliknya. 2.3.3 Komponen volatil Cita rasa adalah gabungan antara rasa dan aroma. Di dalam mulut, rasa dapat dikenali jika senyawa-senyawa dapat larut dalam air liur, sedangkan aroma dapat dikenali jika senyawa-senyawa penyusunnya berbentuk uap dan molekulmolekul komponen bau tersebut harus menyentuh silia sel olfaktori (Winarno et al. 1980). Menurut Whistler dan Daniel (1985), aroma dikaitkan dengan gabungan dari beberapa komponen volatil. Komponen volatil ini mengandung sejumlah gugus karbonil (aldehida dan keton) dan turunan asam karboksilik, terutama ester. Aroma yang ditimbulkan oleh bahan pangan sebelum diolah sudah terdapat dari awal (dalam bahan baku), sedangkan lainnya terbentuk selama pengolahan dan penyimpanan makanan. Pada waktu proses pembusukan ikan terjadi umumnya komponenkomponen penyusun aroma ikan akan hilang. Pada saat pembusukan ini, amonia lebih banyak dibentuk sehingga baunya akan mendominasi. hampir seluruhnya terdiri atas amonia. Volatil nitrogen Pada ikan-ikan air tawar, kandungan trimetilamin oksida (TMAO) sedikit sekali atau bahkan tidak ada, sedangkan pada 102 ikan-ikan laut kandungan TMAO berfungsi sebagai bagian dari sisi buffer. Trimetilamin ini dikenal sebagai salah satu komponen pembentuk bau ikan dan sudah dapat dideteksi pada ikan yang masih segar. Pengukuran Total Volatile Base Nitrogen (TVBN) menentukan jumlah seluruh volatil amin terutama amonia dan trimetilamin. Ikan dapat dikatakan segar bila memiliki kadar TVBN 20-30 mg N/100 g dan dikatakan busuk bila memiliki kadar TVBN > 30 mg N/100 g (Ozogul dan Ozogul 2000). 2.4 Pengaruh Penyimpanan Suhu Dingin terhadap Mutu Ikan Pada produk pangan yang cepat membusuk seperti ikan basah, mutu ikan selalu identik dengan kesegaran. Kualitas dari bahan baku hingga memasuki proses pengolahan adalah faktor yang sangat penting bagi konsumen. Oleh karena itu, ikan harus ditangani dengan serius untuk mempertahankan daya tahan ikan tersebut. Ikan yang disimpan dingin (chilled) setelah ditangkap dan ditangani dengan benar akan memiliki daya tahan selama 15 hari penyimpanan dingin pada supermarket (Alasalvar et al. 2002). Eskin (1990) menyatakan bahwa segera setelah ikan mati akan mengalami perubahan-perubahan yang mengarah pada pembusukan yang disebabkan oleh aktivitas biokimia dan fisikokimia. Proses yang terjadi pada kondisi ini dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu prerigor, rigormortis dan postrigor. Pada tahap prerigor, tubuh ikan menjadi lunak melalui karakterisasi biokimia yang ditandai dengan turunnya ATP dan kandungan creatine phosphate yang dikenal dengan glikolisis. Pada tahap rigormortis, kondisi tubuh ikan menjadi kaku, dimana rigormortis terjadi sekitar 1-7 jam setelah ikan mati, tergantung dari banyak faktor yang mempengaruhi, dan tahap terakhir adalah postrigor dimana ikan berada dalam kondisi lembek. Penguraian tingkat lanjut oleh enzim terjadi setelah proses rigormortis selesai yang dimulai dengan meningkatnya nilai pH (Connell 1980). Menurut Amlacher (1961) dalam Santoso et al. (2008), nilai pH bagi ikan segar berada pada kisaran pH di bawah netral hingga pH netral dan enzim proteolisis aktif setelah proses rigor terjadi. Enzim ini akan menguraikan protein. Beberapa enzim yang terlibat dalam proses ini antara lain: katepsin (dalam daging), tripsin, 103 kimotripsin dan pepsin (dalam organ pencernaan) mikroorganisme yang terdapat dalam tubuh ikan. serta enzim dari Enzim-enzim yang dapat menguraikan protein berperan penting dalam proses penurunan mutu ikan (Moeljanto 1992). Tingkat akhir dari hasil penguraian ini adalah terbentuknya senyawa amonia. Sikorski dan Pan (1994) menyatakan bahwa kualitas daging ikan yang disimpan pada suhu dingin secara umum dipengaruhi oleh degradasi senyawa kimia dan biokimia yang dipengaruhi oleh aktivitas mikrobiologis dan enzimatis yang secara alami terjadi sesaat setelah ikan mati. Selain itu, karakteristik biologi, kondisi ikan saat ditangkap dan penanganan ikan setelah ditangkap juga dapat mempengaruhi laju kemunduran mutu ikan selama penyimpanan suhu dingin. Menurut Ilyas (1993), teknik penurunan suhu ikan melalui cara pendinginan dan pembekuan dilakukan menghablurkan untuk komponen air, menghilangkan memperlambat panas laju dari tubuh denaturasi ikan, protein, menghambat laju oksidasi lemak ikan dan memperlambat penguraian enzimatis oleh enzim tubuh ikan dan enzim bakteri. Menurut Clucas dan Ward (1996), pada suhu di bawah 4 ºC proses kemunduran mutu ikan dapat dihambat. Pada suhu tersebut penguraian tubuh ikan oleh mikroorganisme dan enzim berlangsung dengan lambat. Kemunduran mutu ikan akan menyebabkan perubahan mutu terhadap flavor, aroma, warna dan penampakan daging ikan yang dapat mempengaruhi daya terima menjadi rendah. Pernyataan tersebut didukung oleh Karvinen et al. (1982) dalam Sikorski dan Anna (1990), kecepatan perubahan bervariasi tergantung dari cara penanganan dan cara pengesan. Ikan yang disimpan terlalu lama dalam suhu rendah, setelah mengalami pemasakan akan menjadi liat, elastis, alot, berserabut dan fibrous. Hal ini berkaitan dengan hilangnya karaktersitik fungsional dari protein otot, terutama kelarutan, kandungan air, kemampuan pembentukan gel dan sifat pengemulsi lemak. 2.5 Surimi Kata surimi berasal dari Jepang yang telah diterima secara internasional untuk menggambarkan hancuran daging ikan yang telah mengalami berbagai 104 proses yang diperlukan untuk mengawetkannya. Salah satu keunggulan dari surimi adalah kemampuannya untuk diolah menjadi berbagai macam variasi produk-produk lanjutannya dalam berbagai bentuk dan ukuran (Okada 1992) dan kandungan nilai gizi yang menyehatkan (Guenneugues dan Morrissey 2005 dalam Martin-Sanchez et al. 2009). 2.5.1 Pengertian dan karakteristik surimi Menurut Suzuki (1981), surimi merupakan produk antara yang terbuat dari daging ikan yang dilumatkan setelah mengalami proses penggilingan dan pencucian. Kriteria paling penting untuk menentukan kualitas surimi adalah kekuatan gel yang dibentuknya. Kekuatan gel ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis ikan, tingkat kesegaran, pH dan kadar air, pencucian, umur, tingkat kematangan gonad, konsentrasi dan jenis penambahan zat antidenaturasi serta suhu dan waktu pemasakan. Secara teknis semua jenis ikan dapat dijadikan surimi. Namun, ikan yang berdaging putih, tidak berbau lumpur dan tidak terlalu amis serta mempunyai kemampuan membentuk gel yang bagus akan memberikan hasil (surimi) yang lebih baik. Beberapa jenis ikan yang baik untuk dijadikan surimi antara lain ikan Cunang/ Remang, Tenggiri, Kakap, Tigawaja, Beloso, Cucut dan lain-lain. Ikan air tawar seperti Lele, Tawes, Nilam dan lain-lain juga dapat diolah menjadi surimi. Biasanya untuk jenis-jenis ikan air tawar, sebelum diolah ikan-ikan ini terlebih dahulu dilakukan pemberokan agar bau lumpur pada produk akhir dapat dikurangi. Mutu kesegaran ikan yang digunakan harus benar-benar sangat segar. Penggunaan ikan yang kurang segar maupun ikan yang telah dibekukan akan menurunkan mutu surimi. Demikian pula ikan yang berdaging merah akan menghasilkan surimi yang lebih berat dan baunya lebih amis, sehingga hanya dapat digunakan untuk produk yang warnanya tidak harus putih. Daging merah biasanya mengandung lemak lebih banyak dibandingkan daging putih, sehingga surimi dan produk surimi yang dihasilkan lebih cepat tengik (Paranginangin et al. 1999). Berdasarkan kandungan garamnya, surimi beku dibedakan menjadi dua yaitu mu-en surimi (surimi tanpa garam) dan ka-en surimi (surimi dengan garam). 105 Mu-en surimi dibuat dengan penggilingan daging lumat yang sudah dicuci dengan air, dicampur dengan gula dan polyphosphate. Ka-en surimi diolah dengan cara yang sama dengan penambahan garam dan gula ke dalam daging lumat. Selain surimi beku, jenis lain dari surimi yang telah dihasilkan walaupun dalam skala terbatas diberi nama “surimi na-ma” (surimi mentah) (Suzuki 1981). Kualitas dari surimi beku dinilai dari kekuatan gelnya dan warna dari surimi tersebut. Menurut Winarno (1993), kualitas surimi yang baik adalah yang berwarna putih kuat dan dapat membentuk gel. Kesegaran dari bahan baku merupakan prasyarat yang paling penting dalam pengolahan surimi, dan untuk memperoleh mutu produk yang tinggi maka proses pembusukan pasca kematian ikan harus diperkecil (Wasson 1992; Seymour et al. 1994; Choi et al. 2005; Martin-Sanchez et al. 2009). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hilangnya kesegaran ikan adalah denaturasi protein miofibril, tingkat proteolisis dan pH (Hamann dan MacDonald 1992 dalam Martin-Sanchez et al. 2009). Tingkat kesegaran juga menentukan kemampuan pembentukan gel dan daya ikat air dari surimi yang dihasilkan (Hall dan Ahmad 1997; Carvajal et al. 2005; MartinSanchez et al. 2009). Lee (1984) menyatakan bahwa faktor penting yang mempengaruhi proses pembuatan surimi yang berkualitas baik antara lain: cara penyiangan (pemotongan kepala, fillet), besarnya partikel dari daging lumat, kualitas air, temperatur ikan, peralatan yang digunakan dan cara pencucian. Menurut Bertak dan Karahadian (1995), faktor utama yang harus diperhatikan selama proses pembuatan surimi adalah suhu air pencuci dan suhu pada saat penggilingan daging ikan. Suhu air yang lebih tinggi akan lebih banyak melarutkan protein larut garam. Kekuatan gel terbaik diperoleh jika daging ikan dicuci dengan air yang bersuhu 10-15 ºC. Pencucian adalah tahap kritis dalam proses pembuatan surimi. Pencucian dapat menghilangkan materi yang dapat larut air seperti darah, protein sarkoplasma, enzim pencernaan, garam inorganik dan senyawa organik bermolekul rendah seperti trimetilamin oksida (Benjakul et al. 1996). Menurut Lee dan Kim (1986), pencucian juga dapat meningkatkan kualitas warna dan aroma, serta meningkatkan kekuatan gel surimi. Komponen utama yang larut dalam air akan hilang dalam jumlah yang banyak pada siklus pencucian pertama 106 kali. Secara umum agitasi selama lima menit dalam setiap kali pencucian untuk pencucian sebanyak dua kali dengan rasio air dan daging 3:1 telah dinilai cukup. Lin et al. (1996) dalam Benjakul et al. (1996) melaporkan bahwa 27 % dan 38 % protein hilang berturut-turut pada pencucian sebanyak dua kali dan tiga kali dalam proses pengolahan surimi. 2.5.2 Syarat mutu surimi beku Mutu bahan baku yang digunakan dalam pembuatan surimi yaitu bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda komposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan. Secara organoleptik, bahan baku harus mempunyai karakteristik kesegaran menurut SNI 01-2694-1992 sekurang-kurangnya sebagai berikut: (a) rupa dan warna : bersih, warna daging spesifik jenis ikan (b) aroma : segar spesifik jenis (c) daging : elastis, padat dan kompak (d) rasa : netral agak manis Untuk mempertahankan mutu surimi beku, bahan baku harus segera diolah. Apabila harus terpaksa menunggu proses lebih lanjut maka ikan harus disimpan dengan es atau air dingin (0-5 ºC), kondisi saniter dan higienis (SNI 01-2694-1992). Tabel 4 menunjukkan syarat mutu surimi beku berdasarkan SNI 01-2693-1992. 2.5.3 Bahan tambahan dalam pembuatan surimi Bahan tambahan adalah bahan yang sengaja ditambahkan dengan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman dan kebasaan serta bentuk, tekstur dan rupa produk (Winarno et al. 1980). Dalam proses pembuatan surimi sering digunakan bahanbahan tambahan tertentu. Bahan tambahan yang ditambahkan dalam proses pembuatan surimi bertujuan untuk meningkatkan kualitas surimi. Bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan surimi antara lain adalah garam dan cryoprotectant (gula dan polifosfat). 107 Tabel 4. Syarat mutu surimi beku (SNI 01-2693-1992) Jenis Uji 1) Organoleptik − Nilai min 2) Cemaran mikroba − ALT, maks − Escherichia coli − Coliform − Salmonella *) − Vibrio cholerae *) 3) Cemaran kimia − Abu total, maks − Lemak, maks − Protein, min 4) Fisika − Suhu pusat, maks − Uji lipat, min − Elastisitas, min Satuan Persyaratan Mutu 7 koloni/g AMP/g per 25 g per 25 g 5 x 105 <3 3 negatif negatif % b/b % b/b % b/b 1 0,5 15 °C -18 grade A 300 g/cm2 *) jika diperlukan Keterangan: ALT = Alat Lempeng Total, AMP = Angka Paling memungkinkan a) Garam Garam merupakan bahan pengawet yang utama. Penambahan garam pada pembuatan surimi berfungsi sebagai pengawet karena dapat mencegah kerusakan dan meningkatkan daya simpan. Peranan garam NaCl adalah pada konsentrasi yang rendah sebagai pembentuk rasa, sedangkan pada konsentrasi yang tinggi berperanan sebagai pencegah terhadap pertumbuhan bakteri (bakteriostatik). Pada konsentrasi 2-5 % yang dikombinasikan pada suhu rendah, dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme, sedangkan pada konsentrasi 10-15 % sebagian besar bakteri terbunuh (kecuali beberapa bakteri halofilik) (Damayanthi dan Mudjajanto 1994). Menurut Damayanthi dan Mudjajanto (1994), garam mempunyai sifat higroskopis sehingga menarik air keluar jaringan akibatnya aw akan menjadi rendah dan garam juga mempunyai tekanan osmotik yang tinggi sehingga memecahkan (plasmolisis) membran sel mikroba. Vaclavik dan Christian (2000) 108 menyatakan bahwa beberapa peran garam pada makanan yaitu berfungsi sebagai pemisah untuk mencegah pembentukan saus tepung, mengurangi gelatinisasi tepung, menstabilkan busa putih telur, dan meningkatkan suhu koagulasi pencampuran protein. b) Cryoprotectant Bahan umum yang biasa digunakan sebagai cryoprotectant adalah jenis gula, misalnya sukrosa. Pada tahap awal ditambahkan 8 % sukrosa. Akan tetapi, penambahan ini menjadikan surimi terasa manis dan warna berubah selama pembekuan. Oleh karena itu, sukrosa yang ditambahkan pada tahap awal diubah menjadi 4 % sukrosa dan 4 % sorbitol. Penambahan cryoprotectant dapat meningkatkan kadar N-aktomiosin dari 350 mg % menjadi 520 mg % dan meningkatkan kekuatan gel dari 400 g menjadi 489 g, artinya sama dengan meningkatkan nilai pelipatan (folding score) (Peranginangin et al. 1999). Cryoprotectant adalah bahan yang biasa ditambahkan dalam pembuatan surimi yang tidak langsung diolah menjadi produk lanjutan, melainkan akan disimpan terlebih dahulu pada suhu beku dalam waktu yang lama. cryoprotectant adalah sebagai zat antidenaturasi. Fungsi Penyimpanan surimi dalam waktu yang lama bertujuan untuk menjaga stok daging ikan di pasaran. Penambahan cryoprotectant dalam pembuatan surimi dapat mencegah denaturasi protein selama masa pembekuan (Nielsen dan Piegott 1994). Sukrosa dan sorbitol sering digunakan bersamaan dengan 0,3 % sodium tripolifosfat, masing-masing dengan konsentrasi 4 % dan 4-5 % (Pipattasatayanuwong et al. 1995). Polifosfat akan memisahkan aktomiosin dan berikatan dengan miosin. Miosin dan polifosfat akan berikatan dengan air dan menahan mineral dan vitamin. Pada proses pemasakan, miosin akan membentuk gel dan polifosfat membantu menahan air dengan menutup pori-pori mikroskopis dan kapiler. Polifosfat dapat menambah nilai kelembutan dan memperbaiki sifat surimi, terutama sifat elastisitas dan kelembutan. Polifosfat dapat memperbaiki daya ikat air (water holding capacity) dan memberikan sifat pasta yang lebih lembut pada produk-produk olahan surimi (Peranginangin et al. 1999). Matsumoto dan Noguchi (1992) melaporkan dari beberapa studi bahwa aktivitas utama polifosfat 109 adalah untuk meningkatkan efek cryoprotective dari gula, dengan efek buffer dari polifosfat pada pH otot dan dengan mengkelatkan ion metal. Nielsen dan Piegott (1994) menyatakan bahwa gula mempunyai grup polihidroksi yang dapat bereaksi dengan molekul air oleh ikatan hidrogen, sehingga dapat meningkatkan tegangan permukaan dan mencegah keluarnya molekul air dari protein dan stabilitas protein tetap terjaga. Dalam pembuatan surimi digunakan sukrosa sebagai pelindung protein karena dapat mencegah denaturasi protein selama masa pembekuan. 2.5.4 Mekanisme pembentukan gel Ada empat tipe ikatan utama yang berkontribusi terhadap pembentukan struktur jaringan selama proses gelasi dari pasta surimi yaitu ikatan garam, ikatan hidrogen, ikatan disulfida dan interaksi hidrofobik. Asam-asam amino tirosin, serin, hidroksiprolin dan treonin tergabung dalam grup hidroksil dan prolin serta hidroksiprolin yang tergabung dalam grup imino, keduanya bertindak sebagai donor dan akseptor proton, sedangkan glutamin dan aspargin yang keduanya mengandung grup karbonil bertindak sebagai akseptor proton. Ikatan intermolekul hidrogen terbentuk diantara grup imino dan karbonil. Ikatan garam bertanggung jawab terhadap peningkatan energi yang memisahkan molekul air. Ikatan hidrogen akan melemah ketika dipanaskan (Niwa 1992). Menurut Hudson (1992), proses gelasi terbagi menjadi tiga bagian yang diawali dengan proses denaturasi protein utuh dari bentuk berlipat menjadi tidak berlipat. Tahap pertama adalah pembentukan turbiditas yang terjadi pada 3-10 menit pemanasan pertama. Pada tahap ini terjadi interaksi hidrofobik. Menurut Niwa (1992), ketika suhu naik, maka ikatan hidrogen menjadi tidak stabil dan interaksi hidrofobik akan berlangsung lebih kuat. Pembentukan interaksi hidrofobik diketahui sebagai akibat keberadaan beberapa poliol dan asam amino, seperti gliserin, sukrosa, sorbitol, asam glutamat dan lisin. Interaksi hidrofobik terjadi ketika tahap inkubasi surimi pada suhu mendekati 40 ºC. Menurut Jaczynski dan Park (2004), interaksi hidrofobik berfungsi untuk melepaskan energi bebas yang dapat menstabilisasikan sistem protein. 110 Tahap kedua adalah oksidasi sulfhidril. Pada tahap ini pasta surimi akan mengeras, dimana ikatan intermolekul disulfida (SS) terbentuk melalui oksidasi dari dua residu sistein. Ikatan disulfida lebih intensif terjadi pada suhu pemanasan yang lebih tinggi (di atas 80 ºC) (Niwa 1992). Tahap ketiga adalah peningkatan elastisitas gel yang terjadi ketika pendinginan. Peningkatan elastisitas ini terjadi karena pembentukan ikatan hidrogen kembali yang menyebabkan peningkatan terhadap kekerasan gel (Hudson 1992). Apabila daging ikan mentah digiling dan dilakukan penambahan garam, maka miosin (aktomiosin, miosin dan aktin) akan larut dalam larutan garam, larutan yang keluar dari daging ikan akan membentuk “sol” yang sangat adhesif. Jika “sol” dipanaskan akan terbentuk “gel” dengan konstruksi jaringan seperti jala dan memberikan sifat elastis pada daging ikan. Daging ikan yang terkoagulasi karena panas ini disebut pasta ikan (kamoboko). Sifat elastis pasta ikan disebut “ashi”. Kekuatan “ashi” berbeda untuk setiap jenis ikan dan penambahan berbagai faktor (Tanikawa 1985). Tanikawa (1985) menyatakan bahwa bila daging ikan giling yang ditambahkan garam (untuk melarutkan miosin) dibiarkan pada suhu kamar tanpa pemanasan, maka daging ikan giling tersebut akan menjadi jelly yang elastis tetapi kehilangan daya rekatnya. Fenomena seperti ini disebut “suwari” (setting). Fenomena “suwari” ini disebabkan oleh perubahan formasi konstruksi jaringan seperti pada fenomena “ashi”. Lanier (1992) menyatakan bahwa setting time adalah waktu yang diperlukan untuk membentuk gel sejak ditambahkan bahanbahan pembentuk gel. Kecepatan pembentukan gel mempengaruhi mutu gel. Bila gel telah terbentuk sebelum penambahan komponen, maka akan terbentuk gel yang tidak rata. Setting dapat terjadi pada suhu rendah, sedang dan tinggi. Setting pada suhu rendah terjadi pada suhu 0-4 ºC (selama 12-18 jam), pada suhu sedang (25 ºC) selama 3 jam atau pada suhu 40 ºC selama 30 menit. Setting pada suhu tinggi akan menghasilkan gel yang memiliki tekstur yang kuat jika dibandingkan dengan pemasakan langsung dalam keadaan mentah. Suwari dapat terjadi dengan cepat, atau dapat lambat atau bahkan tidak terjadi sama sekali tergantung pada spesies ikan. 111 Lebih lanjut Tanikawa (1985) melaporkan bahwa konstruksi jala dapat terbentuk dari konjugasi molekul-molekul protein yang diikat oleh suatu jembatan seperti garam, atau ikatan antara karbonil dengan radikal amino pada peptida oleh hidrogen atau oleh radikal disulfida yang terbentuk dari radikal sulfhidril. Apabila pasta ikan dibiarkan pada suhu kamar dalam waktu lama, maka sifat elastis akan hilang dan daging menjadi mudah patah dan fenomena ini dikenal dengan modori. Fenomena modori ini juga dapat terjadi apabila daging dipanaskan pada suhu rendah dalam jangka waktu lama. Pembentukan gel surimi dan proteolisis protein miofibril ditunjukkan pada Gambar 3. Proteolisis gelasi gelasi Protein miofibril Tempat interaksi protein Sumber: Venugopal (2005) Gambar 3. Pembentukan gel surimi dan proteolisis protein miofibril 112 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan September 2009. Pembuatan surimi dilakukan di Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan (BBP2HP) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Muara Baru-Jakarta Utara; uji lipat dan uji gigit gel ikan bertempat di Laboratorium Organoleptik; pengujian pH, analisis total volatile base nitrogen (TVBN), analisis proksimat dan protein larut garam (PLG) bertempat di Laboratorium Biokimia Hasil Perikanan; pengujian total plate count (TPC) surimi bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perikanan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Pengujian kekuatan gel, derajat putih dan water holding capacity (WHC) bertempat di Laboratorium Biokimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. 3.2 Alat dan Bahan Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi peralatan yang digunakan untuk membuat surimi dan peralatan untuk analisis. Peralatan yang digunakan untuk membuat surimi antara lain: cool box, wadah air (teris), pisau, talenan, mesin pemisah daging-tulang (meat-bone separator), pelumat daging (grinder) elektrik, food processor, press hydraulic, saringan kain kasa, plastik poliethylene (PE), termokopel digital, timbangan digital dan water bath. Peralatan yang digunakan untuk analisis mutu surimi antara lain: kjeltec system, oven, tanur, desikator, pH-meter digital, cawan conway, sentrifuse dingin, Rheoner jenis RE-3305, pengepres hidraulik, whiteness meter, timbangan analitik dan peralatan gelas lainnya. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi: bahan-bahan untuk pembuatan surimi dan analisis karakteristik surimi. Bahanbahan yang digunakan untuk pembuatan surimi adalah: ikan lele dan ikan nila, garam, sukrosa, sorbitol, NaHCO3, air dan es curai. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis karakteristik surimi meliputi bahan-bahan kimia yang 113 diperlukan untuk analisis proksimat, total volatile base nitrogen (TVBN), total plate count (TPC), pH dan protein larut garam (PLG). Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah: K2SO4, CuSO4, H2SO4, H3BO3, H2O2, kloroform, indikator (bromchresol green, methyl red, bromthymol blue), NaOH, HCl, NaCl, buffer pH 4 dan 7, TCA, K2CO3, garam fisiologis dan PCA. 3.3 Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan, yaitu: 1) Penelitian pendahuluan: analisis karakteristik fisika-kimia bahan baku (rendemen daging lumat, proksimat, pH dan kadar TVBN), penentuan frekuensi pencucian untuk mendapatkan surimi terbaik dan dilakukan pengkomposisian terhadap kedua surimi (ikan lele dumbo dan ikan nila hitam) terbaik untuk mendapatkan komposisi surimi dengan nilai kekuatan gel tertinggi. 2) Penelitian utama: penyimpanan surimi hasil pengkomposisian terbaik pada suhu dingin (chilling) untuk dipelajari perubahan karakteristik fisika, kimia dan mikrobiologi selama penyimpanan. 3.3.1 Penelitian pendahuluan Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik fisika dan kimia bahan baku, mencari jumlah pencucian daging lumat untuk menghasilkan mutu surimi yang terbaik, serta mencari kombinasi komposisi pencampuran surimi terbaik antara ikan lele dumbo dan ikan nila hitam. Hasil dari penelitian pendahuluan ini digunakan pada tahap penelitian utama. Dalam penelitian ini digunakan dua jenis ikan air tawar yaitu ikan lele dumbo dan ikan nila hitam. Ikan-ikan tersebut diperoleh dari pembudidaya di Kabupaten Bogor. Ikan dalam keadaan hidup dibawa ke Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan BBP2HP Departemen Kelautan dan Perikanan Muara Baru-Jakarta Utara. Ikan-ikan tersebut masing-masing ditimbang untuk mengetahui berat utuh ikan tersebut, kemudian disiangi untuk membersihkan kulit, kepala dan isi perut. Selanjutnya daging ikan tersebut dicuci dengan air dingin untuk menghilangkan darah dan kotoran. Kemudian daging ikan tersebut 114 dimasukkan kedalam mesin meat-bone separator secara bergantian untuk memisahkan daging dengan tulang, yang akhirnya didapatkan daging lumat ikan lele dumbo dan ikan nila hitam dari hasil pemisahan tersebut. Dalam mesin meatbone separator, daging ikan akan terjepit diantara sabuk berjalan (belt conveyor) dan silinder berpori. Daging ikan hancur (menjadi daging lumat) karena terjepit dan masuk kedalam pori-pori, sedangkan kulit dan tulang terpisah dan dibuang melalui pembuangan. Dihitung nilai rendemen berat daging lumat dari kedua jenis ikan yang digunakan. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap karakteristik kimia daging lumat dari kedua jenis ikan tersebut. Pengamatan yang dilakukan adalah analisis proksimat (kadar air, abu, lemak dan protein kasar) dan analisis kesegaran (nilai pH dan kadar TVBN). Pada kedua jenis daging ikan tersebut dilakukan proses pencucian sebanyak tiga kali (1, 2 dan 3). Perbandingan air dan daging yang digunakan adalah 4:1, dilakukan selama 10 menit, suhu dingin (suhu < 10 ºC) dan dengan agitasi. Pencucian pertama untuk ikan lele dumbo dilakukan penambahan natrium bikarbonat (NaHCO3) sebanyak 0,5 % dan diaduk selama ±10 menit. Setelah itu, daging disaring dengan kain kasa dan dipress menggunakan press hydraulic untuk mengeluarkan airnya, kemudian daging ditimbang. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap nilai protein larut garam, pH dan kekuatan gel. Diagram alir penelitian pendahuluan ditunjukkan pada Gambar 4. Setelah mengetahui frekuensi pencucian terbaik, maka surimi terbaik dari ikan lele dumbo dan ikan nila hitam dikomposisikan dengan jumlah pengkomposisian yang telah ditetapkan pada Tabel 5. Pengkomposisian terhadap kedua jenis surimi dilakukan dengan menggunakan food processor sehingga dihasilkan pasta surimi yang homogen. Tabel 5. Rasio pengkomposisian surimi terbaik ikan nila dan ikan lele Rasio Pengkomposisian N1L1 Surimi Ikan Nila Surimi Ikan Lele 1 1 N1L2 1 2 N2L1 2 1 115 Ikan nila hitam Ikan lele dumbo Penimbangan Penimbangan Preparasi (pembuangan sisik, sirip, ekor, jeroan dan kepala) Preparasi (pembuangan sisik, sirip, ekor, jeroan dan kepala) Pemisahan daging dan tulang dengan meat bone separator Pemisahan daging dan tulang Pencucian Pelumatan Daging lumat Analisis TVBN, pH, dan proksimat Penimbangan Pencucian dengan air dingin (1:4) Frekuensi 1, 2, 3 kali Penambahan 0,5% NaHCO3 pada pencucian pertama daging lumat ikan lele dan dilakukan agitasi ± 10 menit Penyaringan dan pengepresan Surimi Analisis protein larut garam, pH dan kekuatan gel Gambar 4. Diagram alir penelitian pendahuluan (Modifikasi metode Nauli 2008) 116 Surimi hasil pengkomposisian selanjutnya dilakukan analisis kekuatan gelnya, yaitu dibuat dalam bentuk kamaboko dengan tahapan proses sebagai berikut: pertama-tama daging ditambahkan 2,5 % NaCl dan ditambahkan sedikit air dingin, kemudian dilakukan pemanasan (setting) pada suhu 40 oC selama 20 menit, kemudian perebusan (cooking) pada suhu 90 oC selama 20 menit. Kombinasi komposisi terpilih akan digunakan pada tahap penelitian utama. Diagram alir proses pengkomposisian surimi dapat dilihat pada Gambar 5. Surimi ikan nila hitam terbaik Surimi ikan lele dumbo terbaik Pencampuran menggunakan food processor nila : lele ( 1:1 ) nila : lele ( 1:2 ) nila : lele ( 2:1 ) Surimi komposisi terbaik Penambahan 2,5% NaCl (b/b) Pencampuran Pencetakan dalam selongsong Perebusan pada suhu 40 ºC (20 menit) dan 90 ºC (20 menit) Kamaboko Analisis kekuatan gel Gambar 5. Diagram alir pengkomposisian surimi (Modifikasi metode Yasin 2005) 117 3.3.2 Penelitian utama Pada tahap ini dilakukan penyimpanan surimi, yaitu surimi terbaik hasil pengkomposisian pada suhu dingin (4-5 oC). Penyimpanan surimi dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: surimi yang akan disimpan, ditimbang sebanyak 200 g ditambahkan cryoprotectant (4% sukrosa, 4% sorbitol dan 0,2-0,3% STPP) (Zhou et al. 2006), kemudian dimasukkan kedalam plastik poliethylene (PE) dan ditutup rapat. Diagram alir penyimpanan dingin pada penelitian utama ditunjukkan pada Gambar 6. Surimi komposisi terbaik (200 g) Penambahan cryoprotectan (campuran 4% sukrosa, 4% sorbitol, dan 0,2-0,3% STPP) Pemasukan dalam plastik poliethylene (PE) dan ditutup rapat Penyimpanan suhu dingin (suhu 4-5 °C) selama 10 hari Surimi penyimpanan Pengamatan pada hari ke-0 Pengamatan pada hari ke-2 Pengamatan pada hari ke-4 Pengamatan pada hari ke-6 Analisis derajat putih, kekuatan gel, WHC, uji lipat dan uji gigit, PLG, TVBN, pH, total plate count (TPC) Gambar 6. Diagram alir penelitian utama (Modifikasi metode Yasin 2005) Pengamatan pada hari ke-8 Pengamatan pada hari ke-10 118 Selanjutnya surimi tersebut disimpan pada suhu dingin (suhu 4-5 °C) selama (10) sepuluh hari. Pengamatan terhadap perubahan karakteristik surimi dilakukan pada penyimpanan hari ke 0, 2, 4, 6, 8 dan 10 hari. Parameter yang dianalisis meliputi: nilai total volatile base nitrogen (TVBN), nilai pH, kadar air, kadar PLG, total mikroba, derajat putih, water holding capacity (WHC), kekuatan gel, uji lipat dan uji gigit. 3.4 Prosedur Analisis 3.4.1 Uji fisik Uji fisik yang dilakukan meliputi nilai rendemen, uji lipat, uji gigit, WHC (Water Holding Capacity), kekuatan gel dan derajat putih. (a) Rendemen (SNI 01-2346-2000) Rendemen adalah persentase bobot bagian tubuh ikan yang diambil dibandingkan dengan bobot ikan awal. Perhitungan rendemen adalah: Rendemen (%) = berat daging lumat (g) × 100% bobot ikan utuh (g) (b) Uji lipat (folding test) (Suzuki 1981) Uji lipat dilakukan terhadap gel ikan dengan cara sampel diiris setebal 3-5 mm, kemudian ditekan diantara ibu jari dan telunjuk dengan menggunakan panelis semi terlatih. Selanjutnya sampel tersebut dilipat untuk diamati adanya kerekatan gel. Kriteria mutu uji lipat disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Kriteria mutu uji lipat Mutu 5 (AA) 4 (A) 3 (B) 2 (C) 1 (D) Sumber: Suzuki (1981) Kondisi Sampel Tidak retak setelah dua kali pelipatan Tidak retak setelah pelipatan pertama Retak berangsur-angsur saat pelipatan pertama Retak segera setelah pelipatan pertama Retak saat ditekan dengan jari 119 (c) Uji gigit (teeth cutting test) (Suzuki 1981) Uji gigit dilakukan terhadap gel ikan dengan cara sampel diiris 5 mm. Pengujian dilakukan dengan menggigit sampel antara gigi seri atas dan gigi seri bawah. Kriteria mutu uji gigit disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Kriteria mutu uji gigit Nilai Sifat kekenyalan (springness) 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 Amat sangat kuat Sangat kuat Kuat Cukup kuat Dapat diterima Dapat diterima, sedikit kuat Lemah Cukup lemah Sangat lemah Tekstur seperti bubur tidak ada kekuatan Sumber: Suzuki (1981) (d) Water holding capacity (WHC) (Grau dan Hamm 1972 dalam Faridah et al. 2006) Prinsip pengujian daya ikat air (WHC) adalah pengepresan pada tekanan tertentu, air bebas yang terdapat pada daging atau bahan dilepaskan ke kertas saring yang digunakan untuk pengepresan. Cairan yang terpisah membentuk lingkaran pada kertas saring antara air yang terikat dengan air bebas yang dilepaskan akibat perlakuan pengepresan, berbanding terbalik dengan kemampuan bahan untuk mengikat air bebas sebagai akibat dari perlakuan pengepresan atau berbanding terbalik dengan WHC atau daya ikat airnya. Sampel sebanyak 0,3 g diambil dan ditempatkan di atas kertas saring dan ditutup dengan penutupnya. Setelah itu diletakkan pada alat pengepres hidrolik dan ditekan sampai 200 bar atau 200 kg/cm2 selama 5 menit. Luasan lingkaran dari daging diukur, begitu pula luasan lingkaran luar yang terbentuk oleh air. Luasan lingkaran yang terbentuk oleh air bebas merupakan pengurangan dari luasan lingkaran luar dengan luasan lingkaran dalam. 120 Kriteria umum yang digunakan adalah jika luasan lebih kecil dari 6 cm2, maka hanya sekitar 25 % air bebas yang dilepaskan pada waktu pengepresan yang berarti daya ikat airnya tinggi, jika luasannya 6-8 cm2 maka daya ikat airnya sedang dan jika luasan air bebasnya lebih dari 8 cm2 maka daya ikat airnya rendah. Perhitungan luasan air bebas adalah sebagai berikut: Jumlah air bebas (mg) = Luas lingkaran air bebas (cm 2 ) −8 0,0948 Jumlah air sampel = kadar air (%) x berat sampel (mg) WHC dihitung menggunakan rumus: WHC (%) = Jumlah air sampel - jumlah air bebas x 100% jumlah air sampel (e) Kekuatan gel (Shimizu et al. 1992 yang dimodifikasi dalam Yasin 2005) Sejumlah 90 g surimi ditambahkan NaCl sebesar 2,5 % (b/b) dari berat surimi. Adonan tersebut diaduk hingga merata pada food processor, sampai dihasilkan pasta surimi. Kemudian dimasukkan ke dalam stuffle dan dicetak pada selongsong dengan diameter 25-35 mm dan tinggi 45 mm untuk direbus dengan dua tahap perebusan yaitu tahap pertama pada suhu 40 °C selama 30 menit dan tahap kedua pada suhu 90 °C selama 30 menit. Selanjutnya sampel didinginkan pada suhu dingin (4-5 °C) selama 5 menit lalu didiamkan pada suhu ruang (30 °C) selama 12-24 jam sebelum diuji, dengan maksud untuk mendapatkan suhu yang sama dengan suhu ruang karena pengujian kekuatan gel dilakukan pada suhu ruang. Kekuatan gel (gel strength) diukur dengan menggunakan alat Rheoner jenis RE-3305. Sampel dengan panjang 2,5 cm diukur nilai kekuatan gelnya dengan menggunakan probe yang berdiameter 5 mm yang terbuat dari bahan plastik dan kecepatan pengukuran sebesar 0,5 mm/s. Dengan alat ini, kekuatan gel ditetapkan dalam g cm dan dihitung dengan menggunakan rumus: Kekuatan gel (g cm) = {jumlah kotak (grafik) x 25} x jarak (cm) 121 (f) Derajat putih (Kett electric Laboratory 1981 dalam Yasin 2005) Uji derajat putih surimi berbasis multi-spesies ini menggunakan alat dengan sistem hunter. Produk yang akan diukur derajat putihnya dicari warna dasarnya terlebih dahulu dengan cara mencocokkan warna sampel dengan atribut warna yang ada pada alat Whiteness Meter. Setelah diketahui nilai kecerahannya, kemudian sampel produk diletakkan pada alat penembak. Dengan cara menekan tombol pada penembak, maka akan terlihat notasi angka yang menggambarkan penyerapan warna dasar produk yang dianalisis. Prinsip kerjanya adalah pantulan sinar lampu yang difilter kemudian mengenai sampel dan dipantulkan ke fotometer yang dihubungkan dengan monitor skala (0-100 %). Banyaknya pantulan sinar lampu yang dapat diteruskan ke fotometer dibaca pada skala sebagai persentase derajat putih. 3.4.2 Uji kimia Uji kimia yang dilakukan terhadap daging lumat dan surimi ikan lele dumbo dan nila adalah kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, nilai pH, protein larut garam (PLG) dan total volatile base nitrogen (TVBN). (a) Nilai pH (Suzuki 1981) Sebelum melakukan pengukuran, pH meter harus dikalibrasi terlebih dahulu, dengan cara mencelupkan batang probe pada buffer pH 4 lalu dicelupkan kembali pada buffer pH 7. Analisis sampel dilakukan dengan cara menimbang 5 g sampel kemudian dihomogenkan dalam 45 ml akuades dingin. Setelah homogen diukur pH-nya dengan pH meter. Pengukuran menggunakan pH meter digital merk inoLAB. Pengujian dilakukan sebanyak dua kali ulangan. (b) Protein Larut Garam (PLG) (Saffle dan Galbraeth 1964 dalam Nauli 2009) Sampel sebanyak 5 gram ditambahkan 50 ml larutan NaCl 5% kemudian dihomogenkan dengan waring blender selama 2-3 menit, suhu dijaga agar tetap rendah. Setelah itu disentrifugasi pada 3400 x G selama 30 menit dengan suhu sebesar 10 °C. Selanjutnya disaring menggunakan kertas saring Whatman no 1. Filtrat ditampung dalam erlenmeyer, disimpan pada suhu 4 °C. Sebanyak 25 ml 122 filtrat dianalisis kandungan proteinnya dengan menggunakan metode semimikro Kjeldahl. Perhitungan kadar protein larut garam adalah: Kadar PLG (%) = (A - B) x N HCl x 14,007 x FP x 6,25 × 100% W (g) x 1000 Keterangan: A = ml titrasi HCl sampel B = ml titrasi HCl blanko W = berat sampel (g) (c) Uji kadar air (Apriyantono et al. 1989) Pengukuran kadar air dilakukan menggunakan oven pada suhu 100 - 102 °C. Cawan kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sampel yang sudah homogen ditimbang dengan cepat kurang lebih 5 gram dalam cawan. Tutup cawan diangkat dan cawan berisi isi dan tutupnya ditempatkan dalam oven selama 6 jam. Kontak antara cawan dengan dinding oven dihindari. Selanjutnya, cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perhitungan kadar air dilakukan sebagai berikut: Kadar air (% bb) = W3 × 100% W1 Keterangan: Berat sampel (gram) = W1 Berat sampel setelah dikeringkan (gram) = W2 Kehilangan berat (gram) W3 = (W1-W2) (d) Uji kadar abu total (Apriyantono et al. 1989) Abu dalam bahan pangan ditetapkan dengan menimbang sisa mineral hasil pembakaran bahan organik pada suhu sekitar 550 °C. Cawan pengabuan disiapkan, kemudian dibakar dalam tanur, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel sebanyak 3-5 gram ditimbang dalam cawan, kemudian diletakkan dalam tanur pengabuan, dibakar sampai abu berwarna abu-abu atau sampai beratnya tetap. Sebelum masuk tanur, sampel yang ada dalam cawan dibakar dahulu pada pembakar gas sampai asapnya habis. Pengabuan dilakukan 123 dalam 2 tahap: pertama pada suhu sekitar 400 °C dan kedua pada suhu 550 °C. Setelah didapat berat yang tetap, abu dalam cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perhitungan kadar abu dilakukan sebagai berikut: Kadar abu (%) = Berat abu (gram) × 100% Berat sampel (gram) (e) Uji kadar protein (Apriyantono et al. 1989) Penentuan kadar protein dilakukan berdasarkan metode Kjeldahl. Prinsip analisis protein dengan metode Kjeldahl meliputi destruksi, destilasi dan titrasi. Pada tahap destruksi, sampel ditimbang sebanyak 0,5-1 gram kemudian satu buah tablet kjelteb dimasukkan ke dalam tabung tersebut. Selanjutnya ditambahkan larutan H2SO4 pekat (98%) sebanyak 2 ml. Tabung berisi larutan tersebut diletakkan pada alat pemanas dengan suhu 430 °C. Destruksi dilakukan hingga larutan menjadi bening. Hasil destruksi didinginkan dan diencerkan dengan 15 ml akuades. Tahap destilasi dimulai dengan persiapan alat kjeltec system. Persiapan dilakukan dengan menyalakan kran air dan melakukan pengecekan terhadap alkali dan air dalam tangki. Tabung dan erlenmeyer yang berisi akuades diletakkan pada tempatnya dan dihubungkan dengan selang, selanjutnya pintu pengaman tabung ditutup rapat. Kemudian tombol alkali ditekan sampai lampu berhenti menyala kemudian tombol steam ditekan. Sampel yang telah didestruksi ditambahkan 8-10 ml NaOH pekat. Destilasi dilakukan sampai volume larutan dalam erlenmeyer mencapai 200 ml yang berisi larutan H3BO3 25 ml dan indikator bromchresol green dan methyl red. Titrasi dilakukan pada sampel yang telah didestilasi dengan meneteskan HCl 0,1 N dari buret. Titrasi dilakukan hingga warna larutan sampel berubah menjadi abu-abu. Volume HCl yang digunakan dicatat. protein dilakukan sebagai berikut: Kadar protein (%) = N (%) x faktor konversi N (%) = (A - B) x N HCl x 14 × 100% mg sampel Perhitungan kadar 124 Keterangan : A = ml titrasi sampel B = ml titrasi blanko Faktor konversi = 6,25 (f) Uji kadar lemak (Apriyantono et al. 1989) Kadar lemak ditentukan dengan metode ekstraksi Soxhlet. Prinsipnya lemak diekstrak dengan pelarut dietil eter. Setelah pelarutnya diuapkan, lemaknya dapat ditimbang dan dihitung persentasenya. Labu lemak yang ukurannya sesuai dengan alat ekstraksi Soxhlet yang akan digunakan, dikeringkan dalam oven, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel yang sudah dihomogenkan ditimbang sebanyak 5 gram. Dibungkus dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak. Selongsong sampel ditutup dengan kapas bebas lemak. Pelarut dietil eter dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya, sesuai dengan ukuran Soxhlet yang digunakan. Refluks dilakukan selama minimal 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi dan ditampung pelarutnya. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105 °C. Setelah didapatkan berat yang tetap, lemak dalam labu tersebut didinginkan dalam desikator. Selanjutnya lemak beserta labunya ditimbang dan dihitung kadar lemaknya. Perhitungan kadar lemak dilakukan sebagai berikut: Kadar lemak (%) = Berat lemak (gram) × 100% Berat sampel (gram) (g) Uji Total Volatile Base Nitrogen (TVBN) (AOAC 1995) Prinsip dari pengujian terhadap kadar TVBN contoh adalah senyawa basa volatil (amonia, mono-, di-, trimetilamin dan lain-lain) yang terdapat pada sampel yang bersifat basa diuapkan, senyawa-senyawa tersebut diikat oleh asam borat dan dititrasi dengan HCl 0,02 N. Penentuan TVBN dilakukan menggunakan metode conway, pertama-tama ditimbang 25 gram sampel ikan kemudian dihancurkan dengan blender dan 125 ditambahkan 75 ml larutan TCA 7 % lalu diaduk sampai homogen dan disaring untuk mendapatkan filtrat yang bening. Sebanyak 2 ml H3BO3 2 % dimasukkan ke dalam inner chamber cawan conway dan 1 ml filtrat ke outer chamber sehingga kedua macam larutan bercampur di outer chamber. Sebelum cawan ditutup, pinggir cawan diolesi vaselin agar penutupan sempurna. Pada posisi hampir menutup ditambahkan K2CO3 1:1 (b/v) ke dalam outer chamber sebanyak 1 ml kemudian cawan conway segera ditutup. Blanko dikerjakan dengan mengganti filtrat dengan 7 % TCA dengan prosedur yang sama seperti diatas. Setelah itu, diinkubasi pada suhu 35 ºC selama 24 jam, selanjutnya larutan asam borat yang mengandung sampel atau tidak (blanko) ditetesi 2 tetes indikator (methyl red 0,1 % dan bronthymol blue 0,1 % dengan perbandingan 2:1). Kemudian dititrasi dengan larutan HCl sambil diaduk sehingga warnanya menjadi pink. Kadar TVBN dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Kadar TVBN (mg N/100g) = (i - j) x NHCl x 14,007 x FP x 100 Berat sampel Keterangan: i = ml titrasi blanko j = ml titrasi contoh FP = Faktor pengenceran NHCl = Normalitas larutan HCl 14,007 = Bobot atom hidrogen 3.4.3 Uji mikrobiologi (perhitungan total mikroba) (Fardiaz 1992) Sampel sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam 90 ml larutan garam fisiologis (pengenceran 10-1) secara aseptis. Selanjutnya untuk pengenceran 10-2, suspensi sampel dari pengenceran sebelumnya dipipet 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml garam fisiologis. Pengenceran dilakukan dengan cara yang sama sampai 10-5. Selanjutnya dari masing-masing pengenceran dipipet sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri, kemudian ke dalam cawan petri dituangkan agar steril (PDA) yang telah didinginkan sampai 50 ºC sebanyak kira-kira 15 ml. Setelah agar memadat, 126 cawan petri diinkubasi di dalam inkubator selama 3-5 hari pada suhu 27-30 ºC dengan posisi terbalik. Setelah masa inkubasi selesai, koloni yang terbentuk dihitung dengan menggunakan Standart Plate Count. Cara perhitungan total mikroba antara lain cawan yang dipilih dan dihitung jumlah mikroba adalah cawan yang mengandung koloni antara 30-300. Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari 2 angka, yaitu angka pertama (satuan) dan angka kedua (desimal), apabila angka ketiga sama dengan atau lebih besar dari 5, harus dibulatkan satu angka lebih tinggi pada angka kedua. Jika semua pengenceran menghasilkan koloni kurang dari 30, berarti pengenceran yang dilakukan terlalu tinggi. Oleh karena itu, jumlah koloni yang dihitung hanya pada pengenceran terendah. Hasilnya dilaporkan sebagai kurang dari 30 dikalikan dengan besarnya pengenceran, tetapi jumlah yang sebenarnya harus dicantumkan di dalam tanda kurung. Jika semua pengenceran dihasilkan lebih dari 300 koloni pada cawan petri, berarti pengenceran yang dilakukan terlalu rendah. Oleh karena itu, jumlah koloni pada pengenceran tertinggi yang dihitung. Hasilnya dilaporkan sebagai lebih dari 300 dikali dengan besarnya pengenceran, tetapi jumlah yang sebenarnya harus dicantumkan di dalam tanda kurung. Jika cawan dari dua tingkat pengenceran menghasilkan koloni antara 30-300 koloni dan perbandingan hasil tertinggi dan terendah dari kedua pengenceran tersebut lebih kecil dari atau sama dengan dua, maka kedua nilai tersebut dirata-ratakan dengan memperhitungkan pengencerannya. Jika perbandingan antara hasil tertinggi dan terendah dari kedua pengenceran lebih besar atau sama dengan dua maka yang dilaporkan hanya hasil dari pengenceran yang terkecil. Jika digunakan dua cawan petri (duplo) per pengenceran maka data yang diambil adalah dari kedua cawan petri tersebut, tidak boleh diambil salah satu. Untuk menghitung jumlah koloni digunakan rumus sebagai berikut: Jumlah koloni per gram = Jumlah koloni per cawan x 1 Faktor pengenceran 127 3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan yang digunakan pada pembuatan surimi adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor, yaitu: faktor frekuensi pencucian yang terdiri dari 3 taraf (1, 2, 3 kali), masing-masing dilakukan 2 (dua) kali pengulangan. Rumus yang digunakan menurut Steel dan Torrie (1983) adalah sebagai berikut: Yij = µ + Ai + εij Keterangan: Yij = nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-j pada perlakuan faktor A taraf ke-i µ = nilai tengah populasi (nilai rata-rata sesungguhnya) Ai = pengaruh frekuensi pencucian pada taraf ke-i (i = 1, 2, 3) εij = faktor galat Pada pengkomposisian surimi juga menggunakan rancangan acak lengkap satu faktor, yaitu: faktor komposisi surimi yang terdiri dari 3 taraf (komposisi 1, 2, 3), masing-masing dilakukan 2 (dua) kali pengulangan. Model matematika rancangan percobaannya menurut Steel dan Torrie (1983) adalah sebagai berikut: Yij = µ + Ai + εij Keterangan: Yij = nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-j pada perlakuan faktor A taraf ke-i µ = nilai tengah populasi (nilai rata-rata sesungguhnya) Ai = pengaruh pengkomposisian surimi pada taraf ke-i (i = 1, 2, 3) εij = faktor galat Pada penyimpanan surimi juga menggunakan rancangan acak lengkap satu faktor, yaitu: faktor lama penyimpanan dingin surimi yang terdiri dari 6 taraf (0, 2, 4, 6, 8, 10 hari), yang masing-masing dilakukan 2 (dua) kali pengulangan. Model matematika rancangan percobaannya menurut Steel dan Torrie (1983) adalah sebagai berikut: Yij = µ + Ai + εij 128 Keterangan: Yij = nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-j pada perlakuan faktor A taraf ke-i µ = nilai tengah populasi (nilai rata-rata sesungguhnya) Ai = pengaruh penyimpanan dingin surimi pada taraf ke-i (i = 1, 2, 3, 4, 5, 6) εij = faktor galat Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (anova). Hasil analisis ragam yang menunjukkan perbedaan nyata akan diuji lanjut dengan menggunakan uji lanjut beda nyata jujur (BNJ). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: S2 r BNJα = q ( p, dbs ) Keterangan: BNJα α q p dbs S2 r = Nilai beda nyata jujur pada selang kepercayaan α = Selang kepercayaan 95% = Nilai tabel q = Banyaknya perlakuan = Derajat bebas sisa = Nilai kuadrat tengah sisa = Banyaknya ulangan Analisis data non-parametrik yaitu data organoleptik menggunakan uji Kruskal Wallis yang dilanjutkan dengan uji lanjut Multiple comparison untuk melihat perbedaan dan hubungan antar perlakuan. Model matematika uji Kruskal Wallis adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie 1983): 2 R ∑ i -3 (n + 1) n ∑T Pembagi = 1 - 12 H= x n( n + 1) i (n − 1) n(n + 1) T = (t - 1)(t + 1) H’ = H Pembagi 129 Keterangan: n ni Ri2 T H H’ t = jumlah total data = banyaknya pengamatan dalam perlakuan ke-i = jumlah ranking dalam perlakuan ke-i = banyaknya pengamatan seri dalam kelompok = simpangan baku = H terkoreksi = banyaknya pengamatan seri Bila data hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan beda nyata, maka dilakukan uji lanjut perbandingan berganda (Multiple comparison) dengan rumus sebagai berikut: Ri − Rj >Zα/2p Keterangan: Ri = rata - rata ranking perlakuan ke - i Rj = rata - rata ranking perlakuan ke - j k = banyaknya ulangan n = jumlah tot al data k (n + 1) 6 130 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik fisika dan kimia bahan baku, mencari jumlah pencucian daging lumat untuk menghasilkan mutu surimi yang terbaik, serta mencari kombinasi komposisi pencampuran surimi terbaik antara ikan nila dan ikan lele dumbo. 4.1.1 Rendemen daging ikan nila dan ikan lele dumbo Rendemen ikan adalah perbandingan berat antara daging dengan ikan utuh (Hadiwiyoto 1993). Tujuan perhitungan rendemen daging adalah untuk memperkirakan jumlah bagian dari ikan yang dapat digunakan sebagai bahan pangan. Dari perhitungan diperoleh rendemen daging ikan nila cukup besar, yaitu 40,73%, sedangkan rendemen daging ikan lele dumbo adalah sebesar 36,18%. Perbedaan tersebut disebabkan kedua ikan ini memiliki bentuk tubuh yang berbeda. Bentuk tubuh ikan nila lebih tebal dan berisi dibandingkan dengan bentuk tubuh ikan lele dumbo , sehingga jumlah daging yang mengisi tubuhnya juga lebih banyak. Ikan lele dumbo memiliki bentuk tubuh memanjang, agak bulat, kepala gepeng dan tidak bersisik, sedangkan ikan nila mempunyai ciri bentuk tubuh pipih meruncing. Ikan nila yang digunakan berukuran ± 350 g/ekor, sedangkan ukuran ikan lele dumbo yang digunakan yaitu ± 400 g/ekor. 4.1.2 Komposisi proksimat daging lumat ikan nila dan ikan lele dumbo Parameter kimia yang dianalisis terhadap daging lumat ikan nila dan ikan lele dumbo meliputi analisis proksimat (kadar air, abu, lemak dan protein), pH dan TVBN. Kedua jenis ikan yang digunakan dalam penelitian ini termasuk jenis ikan berprotein cukup tinggi dan lemak rendah. Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa kadar protein ikan nila hitam lebih besar dibandingkan ikan lele dumbo, dengan nilai berturut-turut sebesar 13,80 % dan 12,97 %, dan kadar lemak untuk kedua jenis ikan tersebut adalah 0,30 % dan 0,70 %. Hasil analisis terhadap parameter kimia selengkapnya disajikan pada Tabel 8. 131 Tabel 8. Komposisi kimia daging lumat ikan nila hitam dan ikan lele dumbo Parameter Analisis Ikan Nila Hitam Ikan Lele Dumbo 81,80 ± 0,28a 79,50 ± 0,14 a a 1,20 ± 0,28 1,10 ± 0,14 a a 0,30 ± 0,14 0,70 ± 0,14 a a 13,88 ± 2,06 12,97 ± 0,25a a 6,75 ± 0,00 6,67 ± 0,02a 12,15 ± 0,55 a 12,54 ± 0,00 a Keterangan: Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti huruf superscripts yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05) Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar lemak (%) Kadar protein (%) pH TVBN (mg N/100 g) Menurut Stansby dan Olcott (1963), ikan yang tergolong berlemak rendah dan berprotein tinggi memiliki kandungan protein 15-20 % dan kandungan lemak lebih kecil dari 5 %. Jenis ikan ini sangat cocok untuk diolah menjadi surimi karena tingginya kadar protein dan rendahnya kadar lemak yang diharapkan mampu menghasilkan kekuatan gel terbaik. Kekuatan gel berkorelasi positif dengan kandungan protein, terutama protein miofibril (aktin dan miosin) yang merupakan faktor utama penentu kekuatan gel. Selain itu, lemak adalah salah satu faktor penghalang komponen pembentuk gel dalam daging, dimana dengan rendahnya kandungan lemak, maka nilai kekuatan gel yang dihasilkan akan tinggi. Ikan nila dan ikan lele dumbo yang digunakan dalam penelitian ini termasuk kedalam kelompok ikan yang masih segar. Rupa dan warna daging dari kedua jenis ikan ini masih cemerlang, berwarna putih kemerahan. Belum tercium bau amonia pada kedua ikan ini. Tekstur daging kedua ikan ini terlihat masih kompak dan elastis. Berdasarkan hasil perhitungan terhadap analisis kesegaran ikan (pH dan TVBN) menunjukkan nilai yang masih rendah (berada di bawah ambang kebusukan). Hal tersebut menandakan bahwa belum terjadi adanya penguraian daging ikan yang menyebabkan terbentuknya senyawa basa volatil yang dapat meningkatkan nilai pH dan TVBN. Menurut Ozogul dan Ozogul (2000), indeks kebusukan ikan untuk nilai TVBN adalah > 30 mg N/100 g. Hal ini merupakan indikasi penting jaringan enzim selama kemunduran mutu post mortem (Yeh et al. 1978 dalam Martinez-Alvarez et al. 2009). Nilai pH yang menandakan bahwa ikan segar berada dalam kondisi rigormortis pada kisaran pH dibawah netral hingga pH netral (Amlacher 1961 dalam Santoso et al. 2008). 132 4.1.3 Penentuan frekuensi pencucian terbaik Pencucian adalah salah satu tahap kritis dalam pembuatan surimi. Pencucian bertujuan untuk meningkatkan kekuatan gel dilihat dari meningkatnya kandungan protein miofibril dan menurunnya protein sarkoplasma. Pencucian juga dapat meningkatkan kualitas warna dan aroma surimi. Pengaruh frekuensi pencucian dalam hubungannya dengan nilai protein larut garam (PLG), kekuatan gel dan pH disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Hubungan antara frekuensi pencucian dengan nilai protein larut garam (PLG), kekuatan gel dan pH Parameter PLG (%) pH Kekuatan gel (g cm) Frekuensi pencucian 1 2 3 1 2 3 1 2 3 Jenis Ikan Ikan Nila Ikan Lele Hitam Dumbo 4,72 ± 0,15c 5,90 ± 0,28c 3,48 ± 0,39b 1,54 ± 0,07b a 1,60 ± 0,04 1,06 ± 0,05a 6,34 ± 0,00b 7,56 ± 0,13b b 6,62 ± 0,03 7,02 ± 0,01ab a 6,61 ± 0,04 6,48 ± 0,37a c 792 ± 0,00 540 ± 33,94b 240 ± 16,97b 96 ± 0,00a a 108 ± 16,97 42 ± 8,48a Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama pada masing-masing parameter yang diikuti huruf superscripts berbeda (a, b, c) menunjukkan beda nyata (p<0,05) Dari Tabel 9 terlihat bahwa frekuensi pencucian memberikan nilai PLG yang bervariasi dan dapat menurunkan kekuatan gel dari kedua jenis surimi ikan tersebut. Nilai PLG ikan nila hitam dan ikan lele dumbo tertinggi didapatkan pada frekuensi pencucian 1 kali yaitu masing-masing sebesar 5,90 % dan 4,72 %. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa frekuensi pencucian memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap nilai PLG yang dihasilkan (Lampiran 2b dan 3b). Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa frekuensi pencucian 1 kali memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap frekuensi pencucian yang lainnya. Kadar PLG yang diperoleh berbanding lurus dengan nilai kekuatan gel yang dihasilkan. Kekuatan gel surimi ikan nila tertinggi terdapat pada frekuensi 133 pencucian 1 kali sebesar 792 g cm, diikuti oleh frekuensi pencucian 2 dan 3 kali. Hal ini pun sama untuk ikan lele dumbo, dimana pada frekuensi pencucian 1 kali menunjukkan nilai kekuatan gel terbesar yaitu sebesar 540 g cm. Hasil analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi terhadap kekuatan gel memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 5b dan 7b). Menurut Reynolds et al. (2002), menurunnya konsentrasi protein larut garam akan menyebabkan menurunnya ketegangan dan kemampuan untuk membentuk gel. Lebih lanjut Nielsen dan Pigott (1994) menyatakan bahwa pada proses pembuatan surimi, pencucian merupakan tahapan yang paling penting, khususnya untuk ikan-ikan yang mempunyai kemampuan membentuk gel yang rendah serta ikan yang berdaging merah. Pencucian surimi bertujuan untuk melarutkan lemak, darah, enzim dan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel. Pada Tabel 9 menunjukkan bahwa nilai pH ikan nila berkisar antara 6,34-6,62, sedangkan ikan lele dumbo berkisar antara 6,48-7,56. Suzuki (1981) menyatakan bahwa pH berpengaruh terhadap kelarutan dari PLG. Kisaran nilai pH 6-7 merupakan nilai pH yang optimum bagi kelarutan PLG. Bila pH kurang dari 6 maka akan mengakibatkan sifat hidrofilik ikan meningkat sehingga terjadi pengembangan dan gel ikan tidak terbentuk, sebaliknya apabila pH lebih dari 7 maka penyerapan air akan meningkat, sehingga akan kesulitan dalam pembuangan airnya. Pencucian merupakan tahap yang penting untuk mutu surimi, tidak hanya untuk mengurangi lemak dan bahan yang tidak diperlukan seperti darah, pigmen, bau (odor) tetapi juga untuk meningkatkan protein miofibril, yang merupakan komponen yang berperan dalam pembentukan gel (Chaijan et al. 2004 dalam Balange dan Benjakul 2009). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa frekuensi pencucian memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap pH surimi yang dihasilkan (Lampiran 4b dan 6b). Menurut Suzuki (1981), aktomiosin relatif stabil pada kisaran pH 6-8 dan lebih stabil pada pH 7. Stabilnya aktomiosin akan membantu proses pembentukan gel. Pengujian sifat fisik surimi juga dilakukan secara subyektif yaitu dengan melakukan uji lipat dan uji gigit dengan melibatkan 10 panelis. Uji lipat dilakukan terhadap produk untuk mengetahui kualitas kekuatan gel secara 134 subyektif. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 10 menunjukkan bahwa nilai rata-rata uji lipat tertinggi untuk ikan lele dumbo terdapat pada frekuensi pencucian 1 kali sebesar 4,00 yang berarti tidak retak jika dilipat setengah lingkaran, sedangkan nilai uji lipat terendah terdapat pada frekuensi pencucian 3 kali sebesar 1,40 yang berarti putus menjadi dua jika dilipat setengah lingkaran. Nilai rata-rata uji lipat tertinggi untuk ikan nila terdapat pada frekuensi pencucian 1 kali dan terendah pada frekuensi pencucian 3 kali yaitu masing-masing sebesar 4,30 dan 3,20. Hasil uji lipat dan uji gigit pada setiap frekuensi pencucian terdapat pada Tabel 10. Tabel 10. Nilai uji lipat dan uji gigit pada setiap frekuensi pencucian Frekuensi pencucian 1 2 3 Uji lipat Ikan Nila Hitam 4,30 ± 1,34a 3,50 ± 1,27a 3,20 ± 1,14a Ikan Lele Dumbo 4,00 ± 1,15b 3,00 ± 1,63b 1,40 ± 1,26a Uji gigit Ikan Nila Hitam 7,90 ± 1,28b 5,40 ± 2,07a 4,50 ± 2,07a Ikan Lele Dumbo 7,30 ± 1,64b 3,70 ± 1,70a 2,50 ± 2,01a Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf superscripts berbeda (a, b) menunjukkan beda nyata (p<0,05) Nilai rata-rata uji gigit tertinggi ikan lele dumbo terdapat pada frekuensi pencucian 1 kali sebesar 7,30 yang berarti daya lenting agak kuat, sedangkan nilai uji gigit terendah terdapat pada frekuensi pencucian 3 kali sebesar 2,50 yang berarti daya lenting lemah. Adapun nilai rata-rata uji gigit tertinggi ikan nila hitam terdapat pada frekuensi pencucian 1 kali sebesar 7,90 dan terendah terdapat pada frekuensi pencucian 3 kali sebesar 4,50. Berdasarkan data pada Tabel 9 dan 10 dapat disimpulkan bahwa frekuensi pencucian 1 kali memiliki kekuatan gel tertinggi. Uji lipat dan uji gigit ikan nila hitam dan ikan lele dumbo pada frekuensi pencucian 1 kali juga menghasilkan nilai tertinggi diantara frekuensi pencucian yang lainnya, sehingga frekuensi pencucian surimi 1 kali merupakan frekuensi pencucian terbaik yang digunakan pada tahap penelitian selanjutnya. 135 4.1.4 Penentuan komposisi surimi terbaik Surimi terbaik hasil pengkomposisian ditentukan berdasarkan parameter kekuatan gel. Nilai kekuatan gel ketiga jenis variasi komposisi surimi ikan nila hitam dan ikan lele dumbo disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Nilai kekuatan gel surimi dari masing-masing variasi komposisi Perlakuan komposisi Kekuatan gel (g cm) N1L1 = (nila : lele = 1:1) N1L2 = (nila : lele = 1:2) N2L1 = (nila : lele = 2:1) 612a 528a 600a Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf superscripts sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05) Dapat dilihat pada Tabel 11 bahwa ketiga komposisi dari ikan nila hitam dan ikan lele dumbo tersebut memberikan nilai kekuatan gel yang beragam yaitu berkisar antara 528-612 g cm. Perlakuan pencampuran dua jenis ikan terbukti mampu meningkatkan nilai kekuatan gel. Hal ini serupa juga dilaporkan oleh Yasin (2005) pada ikan cucut dan ikan pari. Komposisi N1L1 menghasilkan nilai kekuatan gel tertinggi. Hal ini diduga karena kekuatan gel yang dihasilkan dipengaruhi oleh pH. Nilai pH dari ikan nila dan ikan lele dumbo mendekati pH netral yaitu masing-masing sebesar 6,75 dan 6,68. Menurut Suzuki (1981), rendahnya pH menyebabkan konsentrasi garam meningkat. Konsentrasi garam yang tinggi menyebabkan protein tidak akan larut, yang akan mencegah terbentuknya gel kamaboko. Menurut Suzuki (1981), aktomiosin relatif stabil pada kisaran pH 6-8 dan lebih stabil pada pH 7. Stabilnya aktomiosin akan membantu proses pembentukan gel. Kristinsson dan Hultin (2003) dalam Ingadottir et al. (2010) melaporkan bahwa pH bertanggung jawab dalam memperbaiki fungsi pembentukan gel, emulsifikasi dan kelarutan. Berdasarkan hasil tersebut, maka dipilih komposisi N1L1 sebagai komposisi surimi terbaik yang akan dilihat pengaruh penyimpanan dingin terhadap perubahan karakteristik fisika, kimia dan mikrobiologi yang dihasilkan. Tingginya nilai kekuatan gel surimi diharapkan dapat menghasilkan kualitas surimi yang baik. 136 4.2 Penelitian Utama Frekuensi pencucian dan komposisi surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) yang diperoleh dari penelitian pendahuluan digunakan dalam pembuatan surimi pada penelitian utama. Pada penelitian utama dilakukan penyimpanan surimi pada suhu dingin (suhu 4-5 °C) selama 10 hari dengan selang waktu pengamatan tiap 2 hari penyimpanan yaitu hari ke-0, 2, 4, 6, 8 dan 10. Pada masing-masing pengamatan dilakukan analisis fisik surimi yang meliputi kekuatan gel, derajat putih, water holding capacity (WHC), uji lipat dan uji gigit, dan analisis kimia surimi yang meliputi nilai derajat keasaman (pH), nilai total volatile base nitrogen (TVBN), kadar protein larut garam (PLG) serta analisis mikrobiologi, yaitu perhitungan total plate count (TPC). 4.2.1 Karakteristik fisik Karakteristik fisik yang dilakukan pada surimi adalah kekuatan gel, derajat putih, water holding capacity (WHC), uji lipat dan uji gigit. Kekuatan gel diukur secara obyektif dengan alat pengukur textur analyzer yaitu Rheoner jenis RE-3305 dan secara subyektif dengan uji lipat (folding test) dan uji gigit (teeth cutting test). a) Kekuatan gel (gel strength) Kualitas surimi yang baik secara umum ditentukan oleh kemampuan daging untuk membentuk gel. Kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian nilalele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin dapat dilihat pada Gambar 7. Pada Gambar 7 terlihat bahwa nilai rata-rata kekuatan gel surimi selama penyimpanan dingin berkisar antara 78 - 1096 g cm. Kekuatan gel tertinggi terdapat pada surimi dengan lama penyimpanan 0 hari sebesar 1096 g cm, sedangkan kekuatan gel terendah terdapat pada surimi dengan lama penyimpanan 10 hari yaitu sebesar 78 g cm. Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) menurun selama penyimpanan. 137 1200 1096c Kekuatan Gel (gr cm) 1000 800 678b 540b 600 486b 216a 400 200 78a 0 0 2 4 6 8 10 Lama Penyimpanan (hari) Keterangan: Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscripts berbeda (a, b, c) menunjukkan beda nyata (p<0,05) Gambar 7. Nilai kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penyimpanan dingin 10 hari memberikan pengaruh nyata (p<0,05) (Lampiran 10b) terhadap kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1). Hasil uji lanjut Tukey menunjukkan kekuatan gel pada penyimpanan hari ke-0 berbeda nyata dengan kekuatan gel pada penyimpanan hari ke-2, 4, 6, 8 dan 10. Menurut Lanier (1992), faktor penyimpanan pada suhu chilling dapat mempercepat tingkat kerusakan kekuatan gel karena terjadi proses perombakan aktomiosin (komponen yang bertanggung jawab dalam pembentukan gel) menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Selama penyimpanan, kerja enzim seperti enzim lipase tetap berlangsung sehingga turut mempercepat kerusakan gel. Komponen yang berperan dalam pembentukan gel adalah protein miofibril yang dapat diekstrak dengan larutan garam netral. Kristinsson et al. (2005) dalam Rawdkuen et al. (2009) melaporkan bahwa kemampuan pembentukan gel surimi bervariasi yang ditentukan oleh fungsi protein miofibril. Faktor pencucian pada daging lumat berpengaruh pada kekuatan gel yang terbentuk. Dengan pencucian, sarkoplasma dalam daging ikan dapat diminimalkan sehingga konsentrasi miofibril akan meningkat dan berdampak positif pada 138 peningkatan kekuatan gel. Proses pencucian pada surimi akan menghasilkan kekuatan gel yang stabil dan aktivitas ATP-ase yang terjadi akan semakin rendah. Hal ini diyakini dapat memperpanjang masa simpan surimi. Namun, harus diperhatikan terkait air yang digunakan dalam proses pencucian (baik daging lumat maupun surimi) yaitu harus bebas dari garam-garam pengotor seperti CaCl2 dan MgCl2, karena jenis garam ini akan mempercepat proses denaturasi protein bahan (Lanier 1992). Faktor lain yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan surimi dengan kekuatan gel yang optimal adalah penggunaan suhu rendah. Pada Gambar 9 terlihat bahwa kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) mengalami penurunan dengan model linier y = 1168 – 186,50x yang berarti bahwa dengan bertambahnya waktu penyimpanan akan menurunkan kekuatan gel sebesar 981,50 satuan per hari. 1200 Kekuatan Gel (g cm) 1000 800 600 y = 1168 - 186,50x R² = 0,94 400 200 0 0 2 4 6 8 10 Lama Penyimpanan (hari) Gambar 8. Regresi linier kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin Suzuki (1981) menyatakan bahwa pH mempengaruhi kelarutan dari protein larut garam, yang akan mempengaruhi kemampuan pembentukan gel. Nilai pH antara 6-7 memberikan kekuatan gel yang optimum. Nilai pH lebih dari 7 dapat melemahkan gel karena terjadi hidrasi protein, sedangkan pada pH kurang dari 6 menyebabkan ketidakstabilan protein larut garam atau protein miofibril dalam daging dan mengindikasikan penurunan kemampuan pembentukan gel. 139 b) Derajat putih Uji derajat putih pada penelitian ini dilakukan pada surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) yang disimpan pada suhu dingin. Terjadi penurunan nilai derajat putih pada surimi hingga masa penyimpanan hari ke-10. Pada penyimpanan hari ke-0, nilai derajat putih surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) adalah 33,38 %. Hingga hari terakhir, nilai tersebut berturutturut menjadi 32,31 %, 32,26 %, 28,91 %, 28,53 % dan 27,29 %. Hasil evaluasi nilai derajat putih surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) dapat dilihat pada Gambar 9. 40 Derajat Putih (%) 35 33,38d 32,31cd 32,26c 30 28,91b 28,53b 27,29a 6 8 10 25 20 15 10 5 0 0 2 4 Lama Penyimpanan (hari) Keterangan: Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscripts berbeda (a, b, c, d) menunjukkan beda nyata (p<0,05) Gambar 9. Nilai derajat putih surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penyimpanan dingin 10 hari memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 11b) terhadap derajat putih surimi. Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa penyimpanan hari ke-0 berbeda nyata dengan penyimpanan pada hari ke-2, 4, 6, 8 dan 10. Penyimpanan pada hari ke-0 memiliki nilai derajat putih tertinggi. Berdasarkan hasil analisis tersebut menunjukkan terjadinya mekanisme reaksi pencoklatan pada surimi dalam penelitian ini. Nilai derajat putih surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin terus mengalami 140 penurunan seiring lamanya waktu penyimpanan. Seperti penelitian yang dilakukan Santoso et al. (2008) dalam pembuatan surimi multi-spesies daging lumat dari ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa melaporkan bahwa selama proses penyimpanan dingin, diduga telah terjadi oksidasi terhadap senyawa lemak. Oksidasi terhadap senyawa lemak ini dapat memacu laju penguraian protein, yang pada akhirnya menyebabkan reaksi pencoklatan. Tingkat pencoklatan surimi dipengaruhi oleh waktu penyimpanan daging lumat, yang berarti bahwa dengan semakin lamanya waktu penyimpanan maka proses oksidasi semakin hebat dan warna coklat yang terbentuk akan semakin nyata. Faktor yang menyebabkan nilai derajat putih surimi yang semakin turun seiring lamanya waktu penyimpanan dalam penelitian ini adalah sukrosa yang ditambahkan bereaksi dengan gugus amino dari protein yang akan membentuk senyawa melanoidin yang berwarna coklat. Gambar 10 menunjukkan regresi linier rata-rata nilai derajat putih surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin dengan model linier y = 34,96 – 1,29x yang berarti bahwa dengan bertambahnya waktu penyimpanan akan menurunkan derajat putih sebesar 33,67 satuan per hari. 40 Derajat Putih (%) 35 30 25 y = 34,96 -1,29x R² = 0,93 20 15 10 5 0 0 2 4 6 8 10 Lama Penyimpanan (hari) Gambar 10. Regresi linier nilai derajat putih surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin 141 c) Water holding capacity (WHC) Daya ikat air atau Water Holding Capacity (WHC) didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk mengikat air, baik yang berasal dari daging itu sendiri maupun yang berasal dari luar daging. Menurut Wahyuni (1992), daya ikat air sangat berpengaruh pada kemampuan protein untuk membentuk gel selama proses pengolahan, besarnya viskositas dan kemampuan untuk mengembang. Selama proses pembentukan gel, air diikat oleh matriks protein, yang akan diikat bersamaan dengan ikatan hidrogen dan ikatan hidrofobik (Venugopal 1992). Hasil pengamatan terhadap nilai WHC surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ditunjukkan pada Gambar 11. 90 80 77,63c 70 59,09b WHC (%) 60 51,02ab 50 47,79a 45,89a 40,83a 40 30 20 10 0 0 2 4 6 8 10 Lama Penyimpanan (hari) Keterangan: Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscripts berbeda (a, b, c) menunjukkan beda nyata (p<0,05) Gambar 11. Nilai daya ikat air (WHC) surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penyimpanan dingin 10 hari memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 12b) terhadap nilai WHC surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1). Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa penyimpanan hari ke-0 berbeda nyata dengan penyimpanan hari ke-2, 4, 6, 8 dan 10, sedangkan penyimpanan hari ke-6 dan 8 tidak berbeda nyata dengan penyimpanan hari ke-10. Seiring dengan lamanya penyimpanan menyebabkan menurunnya kadar WHC yang akan berpengaruh terhadap kekuatan 142 gel dari surimi. Penurunan kadar WHC menyebabkan kandungan air bebas pada surimi mengalami kenaikan sehingga kekuatan gel semakin menurun. Menurut Santoso et al. (2008), selama penyimpanan dingin, protein miofibril akan semakin terdegradasi. Degradasi dari protein miofibril tersebut menyebabkan ruang diantara jaringan akan semakin sempit sehingga jumlah air yang terikat akan semakin berkurang. Regresi linier nilai WHC surimi hasil pengkomposisian nilalele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ditunjukkan pada Gambar 12. 90 80 70 WHC (%) 60 50 40 y = 76,39 - 6,48x R² = 0,84 30 20 10 0 0 2 4 6 8 10 Lama Penyimpanan (hari) Gambar 12. Regresi linier WHC surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin Gambar 12 menunjukkan bahwa WHC surimi hasil pengkomposisian nilalele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin mengalami penurunan dengan model linier y = 76,39 - 6,48x yang berarti bahwa dengan bertambahnya waktu penyimpanan akan menurunkan daya ikat air (WHC) sebesar 69,91 satuan per hari. Turunnya nilai WHC surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) akibat proses kemunduran mutu miofibril daging lumat menyebabkan kekuatan gel surimi ikut menurun. Hal ini disebabkan karena dalam proses pembentukan gel, reaksi antara protein-air akan semakin berkurang seiring dengan lamanya penyimpanan yang menyebabkan kualitas gel semakin memburuk. Menurut Zayas (1997), pembentukan gel disebabkan karena reaksi antara protein-protein 143 dan protein-air. Apabila reaksi antara protein-protein yang terjadi lebih banyak dibandingkan dengan protein-air, maka akan menghasilkan gel yang rapuh. Selain itu, daya ikat air selama penyimpanan ini juga tergantung pada konsentrasi dan jenis garam yang dipakai, semakin besar konsentrasi garam yang ditambahkan maka semakin menurun pula kemampuan bahan dalam mengikat air. Hal ini disebabkan kemampuan bahan tergantikan oleh garam yang berikatan dengan air. Semakin kuat jenis kation yang digunakan pada garam, semakin lambat pula penurunan kemampuan mengikat air oleh bahan. d) Uji lipat (folding test) Uji lipat adalah penilaian sensori terhadap kekuatan gel. Uji lipat cocok untuk memisahkan gel yang bermutu tinggi dan bermutu rendah, tetapi tidak bisa membedakan antara gel yang bermutu baik dan bermutu sangat baik (Lanier 1992). Rata-rata uji lipat surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) pada penyimpanan suhu dingin dapat dilihat pada Gambar 13. 6 4,80d 4,50d 5 3,80bc 3,30b 2,80b Skor 4 3 1,30a 2 1 0 0 2 4 6 8 10 Lama Penyimpanan (hari) Keterangan: Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscripts berbeda (a, b, c,d) menunjukkan beda nyata (p<0,05) Gambar 13. Nilai uji lipat surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin 144 Pada Gambar 13 terlihat bahwa nilai uji lipat surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) semakin menurun seiring bertambahnya waktu penyimpanan dan berkisar antara 1,30-4,80 dan termasuk kriteria putus menjadi dua bagian jika dilipat setengah lingkaran sampai tidak retak jika dilipat seperempat lingkaran. Uji lipat pada hari penyimpanan terakhir berbeda nyata dengan nilai uji lipat pada penyimpanan hari ke-0, 2, 4, 6 dan 8. Hasil uji lanjut multiple comparison menunjukkan bahwa rata-rata nilai uji lipat surimi komposisi N1L1 memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap uji lipat gel yang dihasilkan (p<0,05) (Lampiran 13b). Berdasarkan syarat mutu SNI (SNI 012693-1992) surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) masih diperbolehkan hingga hari ke-2 penyimpanan dingin. Surimi yang diizinkan untuk diproduksi berdasarkan syarat mutu SNI adalah surimi dengan grade A. Pada Gambar 14 menunjukkan nilai regresi linier uji lipat surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin. Penurunan nilai uji lipat dari surimi sebanding dengan penurunan nilai kekuatan gel. 6 Nilai uji lipat 5 y = 5,73 - 0,66x R² = 0,94 4 3 2 1 0 0 2 4 6 8 10 Lama Penyimpanan (hari) Gambar 14. Regresi linier uji lipat surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin Pada Gambar 14 terlihat bahwa uji lipat surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) mengalami penurunan dengan model linier y = 5,73 - 0,66x. Hal ini berarti bahwa dengan bertambahnya waktu penyimpanan akan menurunkan uji lipat sebesar 5,07 satuan per hari. 145 e) Uji gigit (teeth cutting test) Uji gigit adalah uji sensori yang dilakukan terhadap kekenyalan surimi. Uji gigit dilakukan dengan cara menggigit gel antara gigi seri atas dengan gigi seri bawah. Nilai rata-rata uji gigit surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin dapat dilihat pada Gambar 15. Pada Gambar 15 terlihat bahwa nilai rata-rata uji gigit selama penyimpanan dingin berkisar antara 1,20-9,10. Nilai uji gigit tertinggi terdapat pada surimi penyimpanan ke-0, sedangkan nilai uji gigit terendah terdapat pada surimi dengan lama penyimpanan hari ke-10. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan penyimpanan dingin surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap uji gigit yang dihasilkan (p<0,05) (Lampiran 14b). Hasil uji lanjut multiple comparison menunjukkan bahwa penyimpanan surimi pada suhu dingin selama 0 hari berbeda nyata dengan surimi pada penyimpanan hari ke-2, 4, 6, 8 dan 10 hari. 12 10 9,10d 7,40c Skor 8 6,40c 6 3,40b 4 2,60ab 1,20a 2 0 0 2 4 6 8 10 Lama Penyimpanan (hari) Keterangan: Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscripts berbeda (a, b, c, d) menunjukkan beda nyata (p<0,05) Gambar 15. Nilai uji gigit surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin 146 Pada Gambar 15 terlihat bahwa uji gigit surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) mengalami penurunan seiring bertambahnya waktu penyimpanan. Penurunan nilai uji gigit selama penyimpanan dingin menunjukkan berkurangnya tingkat kelentingan atau keelastisan surimi yang dihasilkan. Hal ini erat kaitannya dengan kekuatan gel dari surimi tersebut. Nilai regresi linier uji gigit surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ditunjukkan pada Gambar 16. 10 9 Nilai uji gigit 8 7 6 5 y = 10,70 -1,63x R² = 0,98 4 3 2 1 0 0 2 4 6 8 10 Lama Penyimpanan (hari) Gambar 16. Regresi linier uji gigit surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin Surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) mengalami penurunan dalam uji gigit dengan model linier y = 10,70 - 1,63x. Hal ini berarti bahwa dengan bertambahnya waktu penyimpanan akan menurunkan uji gigit sebesar 9,07 satuan per hari. 4.2.2 Karakteristik kimia dan mikrobiologi Karakteristik kimia yang dilakukan meliputi: nilai derajat keasaman (pH), nilai total volatile base nitrogen (TVBN) dan kadar protein larut garam (PLG). Analisis mikrobiologi yang dilakukan adalah pengujian jumlah mikroorganisme menggunakan metode total plate count (TPC). 147 a) Derajat keasaman (pH) Kekuatan gel dari surimi dipengaruhi oleh derajat keasaman atau pH. Protein miosin mudah larut pada kisaran pH daging antara 6-7, yang memberikan kekuatan gel yang optimum. Nilai pH lebih dari 7 dapat melemahkan gel karena terjadi hidrasi protein, sedangkan pada pH kurang dari 6 menyebabkan ketidakstabilan protein larut garam atau protein miofibril dalam daging dan mengindikasikan penurunan kemampuan pembentukan gel (Suzuki 1981). Nilai pH dari surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ditunjukkan pada Gambar 17. 8 7,38c 6,99c 7 5,95b 6 5,21ab pH 5 4,57a 4,45a 8 10 4 3 2 1 0 0 2 4 6 Lama Penyimpanan (hari) Keterangan: Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscripts berbeda (a, b, c) menunjukkan beda nyata (p<0,05) Gambar 17. Nilai derajat keasaman (pH) surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin Pada Gambar 17 terlihat bahwa nilai pH surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) pada penyimpanan dingin berkisar antara 4,45-7,38. Nilai pH pada penyimpanan hari ke-0 sebesar 7,38, sedangkan pada penyimpanan hari ke-10 sebesar 4,45. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan penyimpanan dingin surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pH surimi (p<0,05) (Lampiran 15b). Hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa nilai pH pada penyimpanan surimi 0 hari berbeda nyata dengan penyimpanan surimi 4, 6, 8 dan 10 hari, tetapi 148 tidak berbeda nyata terhadap nilai pH pada hari penyimpanan ke-2. Penyimpanan hari ke-8 dan 10 memiliki nilai rata-rata pH yang hampir sama yaitu 4,57 dan 4,45. Regresi linier rata-rata pH surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ditunjukkan pada Gambar 18. 8 7 6 pH 5 4 y = 8,02 - 0,65x R² = 0,96 3 2 1 0 0 2 4 6 8 10 Lama Penyimpanan (hari) Gambar 18. Regresi linier derajat keasaman (pH) surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin Pada Gambar 18 terlihat bahwa pH komposisi surimi terbaik hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) mengalami penurunan selama penyimpanan suhu dingin (chilling) dengan model linier y = 8,02-0,65x, yang berarti bahwa dengan bertambahnya waktu penyimpanan akan menurunkan pH surimi sebesar 7,37 satuan per hari. Pada kondisi alkali kekuatan gel menjadi lemah. Secara umum, miosin lebih mudah larut pada pH 6,5-7. Nilai pH yang mendekati pH netral menyebabkan kelarutan protein menjadi tinggi dan aktomiosin menjadi lebih stabil, sehingga diharapkan menghasilkan produk yang memiliki kekuatan gel yang tinggi (Tanikawa 1985). Nilai pH, ATP dan creatin phosphate turun sebagai akibat dari terjadinya proses glikolisis (glikogen menjadi asam laktat) pada saat respirasi terhenti. Karena ketika ikan mati, sirkulasi darah terhenti sehingga suplai oksigen gagal. Turunnya nilai pH menyebabkan aktifnya enzim katepsin yang mengakibatkan terjadinya peristiwa proteolisis (Eskin 1990). 149 Mempertahankan nilai pH ikan penting untuk dilakukan karena kamaboko dengan kekuatan gel tinggi hanya mungkin diperoleh pada pH sekitar 6,5-7,0 (OFCF 1987). Apabila pH daging lumat lebih dari 7,0 (ikan sudah mulai busuk) akan menghasilkan campuran gel yang rapuh dan kurang lentur. b) Total Volatile Base Nitrogen (TVBN) Analisis TVBN merupakan salah satu metode pengujian kimia yang digunakan untuk menghitung nilai total dari senyawa volatil basa dimana pada umumnya mengandung ammonia, trimetilamin (TMA) dan dimetilamin (DMA), dimana uji ini dilakukan untuk menentukan derajat kesegaran. Semakin tinggi nilai TVBN bahan yang didapat, maka semakin rusak pula bahan tersebut. Ikan dapat dikatakan segar bila memiliki kadar TVBN 20-30 mg N/100 g dan dikatakan busuk serta merupakan batas kelayakan ikan untuk dikonsumsi bila memiliki kadar TVBN > 30 mg N/100 g (Ozogul dan Ozogul 2000). Nilai TVBN berkaitan dengan bau atau aroma yang tercium oleh indera. Bau tersebut merupakan kombinasi dari asam lemak, basa volatil, komponen sulfur dan aldehida. Bau tersebut juga ditimbulkan oleh meningkatnya jumlah bakteri yang dapat memecah protein dan lemak serta terjadinya proses oksidasi yang menghasilkan bau yang tidak enak (Ketaren 1986). Pada Gambar 19 terlihat bahwa terjadi peningkatan kadar TVBN dari surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin. Nilai TVBN surimi campuran nila dengan lele dumbo pada penyimpanan hari ke0 sebesar 5,32 mg N/100 g. Dalam kondisi segar (hari ke-0) kadar TVBN sudah terdeteksi. Hal ini adalah wajar karena basa volatil nitrogen itu terdapat pada setiap jenis ikan walaupun dalam kondisi segar sekalipun (Ozogul dan Ozogul 2000). Pada penyimpanan hari ke-2 hingga hari ke-10 nilai TVBN surimi masing-masing adalah 6,81; 8,80; 10,01; 23,93 dan 35,94 mg N/100 g. Pada penyimpanan hari ke-10 surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) sudah dapat dikategorikan sebagai daging ikan yang sudah tidak layak untuk dikonsumsi lagi karena nilai TVBN sudah berada diatas nilai maksimum yang ditetapkan (30 mg N/100 g). Nilai TVBN surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ditunjukkan pada Gambar 19. 150 40 35,94f TVBN (mg N/100 g) 35 30 23,93e 25 20 15 10 5,32a 6,81b 8,80c 10,01d 4 6 5 0 0 2 8 10 Lama Penyimpanan (hari) Keterangan: Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscripts berbeda (a, b, c, d, e, f) menunjukkan beda nyata (p<0,05) Gambar 19. Nilai TVBN surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin Hasil analisis ragam hubungan penyimpanan pada suhu dingin dan nilai TVBN memberikan pengaruh nyata (p<0,05) (Lampiran 16b). Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa hampir semua nilai TVBN dipengaruhi secara nyata oleh lama penyimpanan dan mengalami kenaikan dengan model linier y = 1,13 + 0,38x yang berarti bahwa dengan bertambahnya waktu penyimpanan akan meningkatkan nilai ln TVBN surimi sebesar 1,51 satuan per hari. Hal ini mengindikasikan bahwa selama penyimpanan chilling terus terjadi peristiwa kemunduran mutu terutama pada jaringan daging lumat ikan dengan kecenderungan yang terus meningkat. Adanya peningkatan kadar TVBN selama penyimpanan dapat terjadi karena degradasi protein dan derivatnya oleh mikroorganisme yang menghasilkan sejumlah basa yang mudah menguap (TMA, amonia). Selama penyimpanan, jumlah mikroba meningkat sehingga enzim akan mempengaruhi pembentukan senyawa penghasil bau tidak enak yang terdiri atas indol, skatol, hidrogen sulfida, metal amin, asam propionat, butirat, laktat dan asam-asam lemak menguap lainnya (Ketaren 1986). Menurut Astawan et al. (1996), aktivitas mikroba tidak 151 dapat dihentikan begitu saja walaupun produk disimpan pada suhu dingin, sehingga kadar TVBN masih bisa berlanjut walau dengan laju yang lebih lambat. Regresi linier rata-rata ln TVBN surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ditunjukkan pada Gambar 20. Ln TVBN (mg N/100 g) 4 3 2 y = 1,13 + 0,38x R² = 0,93 1 0 0 2 4 6 8 10 Lama Penyimpanan (hari) Gambar 20. Regresi linier ln TVBN surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin c) Protein larut garam (PLG) Protein larut garam yaitu protein miofibril yang terdiri dari aktin, miosin, dan protein regulasi (tropomiosin, troponin dan aktinin). Gabungan aktin dan miosin membentuk aktomiosin yang sangat berperan dalam pembentukan gel. Pengukuran jumlah protein larut garam dilakukan untuk mengetahui kandungan protein miofibril dalam surimi yang berperan dalam pembentukan gel yang diakibatkan oleh terjadinya agregasi antara aktin dan miosin pada saat diekstrak (Suzuki 1981). Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Gambar 21, nilai rata-rata PLG tertinggi didapatkan pada hari penyimpanan ke-0 yaitu sebesar 4,64 %, sedangkan nilai rata-rata PLG terendah didapatkan pada hari penyimpanan ke-10 yaitu sebesar 0,73 %. Nilai rata-rata PLG yang didapat selama penyimpanan dingin cenderung mengalami penurunan. Kandungan PLG hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin dapat dilihat pada Gambar 21. 152 5 4,64e 4,44e 3,84d PLG (%) 4 3 2,56c 2 1,46b 0,73a 1 0 0 2 4 6 8 10 Lama Penyimpanan (hari) Keterangan: Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscripts berbeda (a, b, c, d, e) menunjukkan beda nyata (p<0,05) Gambar 21. Nilai protein larut garam (PLG) surimi hasil pengkomposisian nilalele (N1L1) selama penyimpanan dingin Penurunan kadar PLG selama penyimpanan dingin disebabkan oleh banyak faktor. Enzim proteinase adalah faktor utama yang menyebabkan protein terdegradasi. Enzim tersebut banyak terdapat pada protein sarkoplasma daging ikan (Sikorski 1999). Benjakul et al. (1996) menyatakan bahwa enzim proteinase yang terdapat dalam jaringan otot ikan meliputi katepsin D, kalpain dan alkali proteinase. Lin et al. (1980) dalam Kim et al. (1996) pencucian daging lumat tidak dapat menghilangkan semua enzim proteinase, tetapi hanya menurunkan jumlahnya saja. Penguraian yang terjadi pada senyawa PLG menyebabkan tingkat kelarutannya akan semakin menurun hingga hari terakhir penyimpanan dingin. Zayas et al. (2004) dalam Rawdkuen et al. (2009) melaporkan bahwa penurunan daya larut protein merupakan hasil dari terjadinya proses denaturasi protein, kemudian meningkatnya interaksi hidrofobik. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu dingin memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai PLG (p<0,05) (Lampiran 17b). Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa hampir semua nilai PLG dipengaruhi secara nyata terhadap lama penyimpanan dan mengalami penurunan dengan model linier yaitu y= 5,92 – 0,85x yang berarti bahwa dengan bertambahnya waktu penyimpanan akan 153 menurunkan PLG surimi sebesar 5,07 satuan per hari. Regresi linier rata-rata PLG surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ditunjukkan pada Gambar 22. 6 5 PLG (%) 4 y = 5,92-0,85x R² = 0,96 3 2 1 0 0 2 4 6 8 10 Lama Penyimpanan (hari) Gambar 22. Regresi linier protein larut garam (PLG) surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin d) Total plate count (TPC) Kandungan TPC dalam daging ikan merupakan salah satu parameter mikrobiologis untuk menentukan tingkat kemunduran mutu ikan. Nilai TPC dari surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin dapat dilihat pada Gambar 23. Pada Gambar 23 dapat dilihat bahwa nilai TPC surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) meningkat seiring dengan lamanya waktu penyimpanan pada suhu dingin. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penyimpanan dingin memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai TPC (p<0,05) (Lampiran 18b). Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa nilai TPC pada penyimpanan hari ke-10 berbeda nyata terhadap nilai TPC pada penyimpanan hari ke-0, 2, 4 dan 6, tetapi tidak berbeda nyata dengan penyimpanan hari ke-8. 154 8 6,97c 7,30c 8 10 Log TPC (koloni/ g) 7 6 5 4,81a 4,91a 0 2 5,80b 5,99b 4 6 4 3 2 1 0 Lama Penyimpanan (hari) Keterangan: Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscripts berbeda (a, b, c) menunjukkan beda nyata (p<0,05) Gambar 23. Nilai log total plate count (TPC) surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin Kandungan TPC pada penyimpanan hari ke-0 dapat terdeteksi, hal ini disebabkan oleh adanya aktivitas mikroorganisme yang ada pada tubuh ikan sejak awal. Kualitas daging ikan yang disimpan pada suhu dingin secara umum dipengaruhi oleh degradasi senyawa kimia dan biokimia yang dipengaruhi oleh aktivitas mikrobiologis dan enzimatis yang secara alami terjadi sesaat setelah ikan mati. Faktor lainnya yaitu karakteristik biologi ikan, seperti kondisi ikan saat ditangkap dan penanganan ikan setelah ditangkap juga dapat mempengaruhi laju kemunduran mutu ikan selama penyimpanan dingin (Sikorski dan Pan 1994). Menurut Ilyas (1993), teknik penurunan suhu ikan melalui cara pendinginan dan pembekuan adalah digunakan untuk menghilangkan panas dari tubuh ikan, memperlambat laju denaturasi protein, menghambat laju oksidasi lemak ikan dan memperlambat penguraian enzimatis oleh enzim tubuh ikan dan enzim bakteri. Pada suhu dibawah 4 oC proses kemunduran mutu ikan dapat dihambat. Pada suhu tersebut penguraian tubuh ikan oleh mikroorganisme dan enzim berlangsung dengan lambat. Nilai rata-rata TPC pada penyimpanan hari ke-0 dan hari ke-2 masih memenuhi batas maksimum bakteri berdasarkan 155 SNI 01-2693-1992 yaitu sebesar 5 x 105 koloni/g, sedangkan pada penyimpanan hari ke 4, 6, 8, dan 10 nilai TPC yang diperoleh diatas batas maksimum. Regresi linier nilai rata-rata TPC komposisi surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ditunjukkan pada Gambar 24. 8 7 Log TPC (koloni/g) 6 y = 4,09 + 0,54x R² = 0,96 5 4 3 2 1 0 0 2 4 6 8 10 Lama Penyimpanan (hari) Gambar 24. Regresi linier log total plate count (TPC) surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin Dari Gambar 24 dapat dilihat bahwa kurva pertumbuhan mikroorganisme berada pada fase logaritmik dengan model linier y = 4,09 + 0,54x yang berarti bahwa dengan bertambahnya waktu penyimpanan akan meningkatkan nilai TPC surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) sebesar 4,63 satuan per hari. Fardiaz (1987) menyatakan bahwa pada fase logaritmik ini jasad renik membelah dengan cepat, pertambahan jumlahnya mengikuti fase logaritmik dan sangat dipengaruhi oleh medium tempat tumbuhnya seperti pH, kandungan nutrien, kondisi lingkungan dan kelembaban udara. 156 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Frekuensi pencucian 1 kali merupakan frekuensi pencucian terbaik dan terpilih, yang mampu menghasilkan kandungan kekuatan gel tertinggi ikan nila dan ikan lele dumbo berturut-turut sebesar 792 g cm dan 540 g cm. Dari hasil pengamatan nilai kekuatan gel terhadap pengkomposisian surimi ikan nila dan lele dumbo dengan tiga macam komposisi, yaitu: N1L1 (nila : lele = 1:1), N1L2 (nila : lele = 1:2) dan N2L1 (nila : lele = 2:1), diperoleh hasil bahwa komposisi N1L1 memiliki nilai kekuatan gel tertinggi, yaitu sebesar 612 g cm. Pengkomposisian dengan mencampurkan kedua daging ikan tersebut mampu meningkatkan kekuatan gel-nya. Selama 10 hari penyimpanan dingin surimi komposisi N1L1, telah terjadi proses kemunduran mutu yang diindikasikan dengan semakin menurunnya nilai PLG, kekuatan gel, derajat putih dan WHC serta semakin meningkatnya jumlah mikroorganisme dan nilai TVBN. Masa penyimpanan yang baik pada suhu dingin bagi surimi komposisi N1L1 adalah kurang dari 4 hari. Hal ini dikarenakan selama penyimpanan tersebut masih memberikan karakteristik surimi yang sesuai dengan ketentuan yang disyaratkan oleh SNI. 5.2 Saran Dari hasil penelitian ini dapat disarankan adanya pengembangan produk pangan ikani dari surimi multi-spesies yang terbaik dan terpilih untuk diaplikasikan bagi masyarakat, seperti nugget ikan, bakso ikan dan pempek. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya perbaikan ekonomi dan kesehatan masyarakat. 157 DAFTAR PUSTAKA Alasalvar C, Garthwaite T, Oksuz A. 2002. Practical evaluation of fish quality. Dalam Alasalvar C (Ed.). Seafood-Quality, Technology and Neutraceutical Applications. Berlin: Springers. Anonim. 2009. Clarias gariepinus. http://cdserver2.ru.ac. [26 Januari 2010]. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1995. Official Methods of Analysis. Ed ke-14. Washington DC Association of Official Analytical Chemist Inc. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Astawan M, Wahyuni M, Santoso J, Sarifah S. 1996. Pemanfaatan ikan gurami (Osphoronemus goramy Lac) dalam pembuatan gel ikan. Buletin Teknologi dan Industri Pangan. VII(1): 9-15. Astawan M. 2008. Lele Bantu Pertumbuhan Janin. http://aanbae.blogspot.com. [26 Januari 2010]. Balange AK, Benjakul S. 2009. Effect of oxidiced tannic acid on the gel properties of mackerel (Rastrelliger kanagurta) mince and surimi prepared by different washing processes. Food Hydrocolloids. 23: 1693–1701. Benjakul S, Seymour TA, Morrissey MT, Haejung AN. 1996. Proteinase in pacific whiting surimi wash water: identification and characterization. J. Food Sci. 61 (6): 1165-1170. Bertak JA, Kahardian C. 1995. Surimi-based imitation crab characteristic affected by heating method and end point temperature. J. Food Sci. 60 (2): 292-296. [BPS DKP] Badan Pusat Statistik Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Produksi Perikanan Budidaya dan Tangkap Indonesia 2004-2007. http://tentangikan.wordpress.com. [21 Juli 2009]. Clucas IJ, Ward AR. 1996. Post-Harvest Fisheries Development: A Guide to Handling, Preservation, Processing and Quality. London: Natural Research Institute. Connel JJ. 1980. Control of Fish Quality. 2nd edition. Famham: Fishing News Book Ltd. 158 Damayanthi E, Mudjajanto ES. 1994. Teknologi Makanan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. deMan JM. 1997. Kimia Makanan. Edisi ke-2. Padmawinata K, penerjemah. Bandung: Penerbit ITB. Terjemahan dari: Food Chemistry. Direktorat Jenderal Perikanan. 1991. Buku Pedoman Pengenalan Sumberdaya Perikanan Laut. Jakarta: Departemen Pertanian. Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Food. 2nd edition. San Diego, California: Academic Press Inc. Fardiaz S. 1987. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. Bogor: Lembaga Sumberdaya Informasi, Institut Pertanian Bogor. . 1992. Polusi Air dan Polusi Udara. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Faridah DN, Kusumaningrum HD, Wulandari N, Indrasti D. 2006. Penuntun Praktikum Analisis Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi pertanian, Institut Pertanian Bogor. Globefish. 2005. Ikan [21 Juli 2009]. Lele dan Ikan Nila. http://www.globefish.org. Haard NF, Simpson BK, Pan BS. 1994. Sarcoplasmic Protein and Other Nitrogenous Compounds. Dalam Sikorski ZE (Ed.). Seafood Proteins. New York: Chapman & Hall. Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid I: Teknik Pendinginan Ikan. Jakarta: CV. Paripurna. Hall GM, Ahmad NH. 1992. Surimi and Fish Minced Product. Dalam Hall GM (Ed.). Fish Processing and Technology. New York: Blackie Academic and Professional. Hudson BJF. 1992. Biochemistry of Food Proteins. London: Elsevier Applied Sci. Ilyas S. 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan Jilid II: Teknik Pembekuan Ikan. Jakarta: CV. Paripurna. Ingadottir B, Hordur G, Kristinsson. 2010. Gelation of protein isolates extracted from tilapia light muscle by pH shift processing. Food Chem. 118: 789–798. Irawan AHSR. 1995. Pengawetan Ikan dan Hasil Perikanan. Solo: Aneka. 159 Jaczynski J, Park JW. 2004. Physicochemical changes in Alaska Pollock surimi and surimi gel as affected by electron beam. J. Food Sci. 69 (1): C53-C57. Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press. Kim JM, Liu CH, Eun JB, Park JW, Oshimi R, Hayashi K, Ott B, Aramaki T, Sekine M, Horikita Y, Fujimoto K, Aikawa T, Welch L, Long R. 1996. Surimi from fillet of channel catfish. J. Food Sci. 61 (2): 428-432. Lanier TC. 1992. Measurement of surimi composition and functional properties. Dalam Lanier TC, Lee CM (Eds.). Surimi Technology. New York: Marcell Dekker Inc. Lee CM. 1984. Surimi Process Technology. J Food Tech. 38 (11): 69. Lee CM, Kim JM. 1986. Texture and Freeze-thaw Stability of Surimi Gel in Relation to Inggradiend an Formulation. Dalam C.R. Martin and R, Collete, (Eds.). Int. Sym. On Engineered Seafood Including Surimi. Washington D.C: National Fisheries Institue. Mackie IM. 1992. Surimi From Fish. Dalam Johnston DE, Knight MK, Ledwardd DA (Eds). The Chemistry of Muscle-based Food. United Kingdom: Royal Society of Chemistry. Margolang A. 2009. Pembesaran Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus). http://www. bbat-sukabumi.tripod.com. [7 Desember 2009]. . 2009. Anatomi dan Fisiologi Ikan http://www. hobiikan.blogspot.com. [7 Desember 2009]. Nila Hitam. Martınez-Alvarez O, Lopez-Caballero ME, Gomez-Guillen MC, Montero P. 2009. The effect of several cooking treatments on subsequent chilled storage of thawed deepwater pink shrimp (Parapenaeus longirostris) treated with different melanosis-inhibiting formulas. J. Food Sci. 42: 1335–1344. Martin-Sanchez AM, Navarro C, Perez-Alvarez JA, Kuri V. 2009. Alternatives for efficient and sustainable production of surimi: A review. Comprehensive Review in Food Science and Food Safety. 8: 359-374. Matsumoto JJ, Noguchi SF. 1991. Crystabilization of protein in surimi. Dalam Lanier TC, Lee CM (Eds.). Surimi Technology. New York: Marcell Dekker Inc. Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta: Penebar Swadaya. 160 Nakai S, Modler HW. 1999. Food Proteins, Processing Application. London: Wiley-VHC. Nauli DZ. 2008. Empek-empek instant berbahan dasar surimi ikan rucah [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Nielsen RG, Piggot GM. 1994. Gel strength increased in low grade heat set surimi with blended phosphates. J. Food Sci. 59(2): 285-298. Niwa E. 1992. Chemistry of Surimi Gelation. Dalam Lanier TC, Lee CM (Eds). Surimi Technology. New York: Marcell Dekker Inc. [OFCF] Overseas Fisheries Coorporation Foundation. 1987. Handling of Fish. Tokyo: Akasaka 2-chome Minatoku. Okada M. 1992. History of surimi technology in Japan. Dalam Lanier TC, Lee CM (Eds.). Surimi Technology. New York: Marcell Dekker Inc. Ozogul F, Ozogul Y. 2000. Comparison of method used for determination of total volatile base nitrogen (TVB-N) in Rainbow Trout (Oncorhyncus mykiss). Turk J. Zool 24: 113-120. Peranginangin R, Wibowo S, Fawzya YN. 1999. Teknologi Pengolahan Surimi. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut. Pipatsattayanuwong S, Park JW, Morrissey MT. 1995. Functional properties and shelf life of fresh surimi from pacific whitting, J. Food Sci. 60 (6): 12411244. Priestley RJ. 1979. Effect of Heating Foodstuffs. London: Applied Science Publishing. Rawdkuen S, Sai-Ut S, Khamsorn S, Chaijan M, Benjakul S. 2009. Biochemical and gelling properties of tilapia surimi and protein recovered using an acid-alkaline process. Food Chem. 112: 112-119. Reynolds J, Park JW, Choi YJ. 2002. Physicochemical properties of pacific whiting surimi as affected by various freezing and storage conditions. J. Food Sci. 67 (6): 2072-2078. Santoso J, Yasin AWN, Santoso. 2008. Perubahan karakteristik surimi ikan cucut dan ikan pari akibat pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan dingin daging lumat. J. Teknol. Industri Pangan. 19 (1): 57-66. 161 Santoso J, Haetami RR, Uju, Sumaryanto H, Chairita. 2009. Perubahan Karakteristik Surimi dari Ikan Daging Merah, Daging Putih dan Campuran Keduanya Selama Penyimpanan Beku. Seminar Nasional Tahunan VI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan. Universitas Gajah Mada. Sikorski ZE. 1999. Seafood: Resources, Preservation. Florida: CRC Press. Nutritional Composition and Sikorski ZE, Anna K. 1990. Change in protein in frozen stored fish. Dalam Shahidi F (Ed). Seafood Proteins. New York: Chapman and Hall. Sikorski ZE, Pan BS. 1994. Preservation of Seafood Quality. Dalam Shahidi, Botta JR (Eds). Seafood: Chemistry, Processing Technology and Quality. London: Blackie Academic & Professional. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. Syarat Mutu Surimi Beku. SNI 01-26931992. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. . 1992. Syarat Mutu Bahan Baku Surimi. SNI 01-2694-1992. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. . 2000. Petunjuk Perhitungan Rendemen Ikan. SNI 01-2346-2000. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Stansby ME, Olcott HS. 1963. Composition of fish. Dalam Stansby ME (Ed.) Industrial Fisheries Technology. New York: Reinhold Publishing Co. Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Soemantri B, Penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Suyanto SR. 1994. Budidaya Ikan Nila. Cetakan ke-1. Jakarta: Penebar Swadaya. __________. 1999. Budidaya Ikan Lele. Jakarta: Penebar Swadaya. Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein in Processing Technology. London: Applied Science Publishing. Ltd. Tanikawa E. 1985. Marine Product in Japan. Tokyo: Koseisha Koseikaku Co. Ltd. Vaclavik VA, Christian EW. 2000. Sugar, sweeteners, and confections. Dalam Hartel RW, Heldman HR, Heymann H, Hotchkiss JH, Jay JM, Lee K, Marnott NG, Montecalvo J, Mulvaney SJ, Nielson SS, Torres JA (eds.). Essentials of Food Science. Ed ke-2. New York: Plenum Publisher. 162 Venugopal V. 1992. Mince from low-cost fish species. Trend in Food Science Technology. 3: 2-5. . 2005. Seafood Processing: Adding Value Through Quick Freezing, Retortable Packaging and Cook-Chilling. Boca Raton: CRC Press. Wahyuni M. 1992. Sifat kimi dan fungsional ikan hiu lanyam (Carcharinus limbatus) serta penggunaannya dalam pembuatan sosis [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Whistler RL, Daniel JR. 1985. Carbohydrate. Dalam Fennema RO (Ed.) Principle of Food Science. New York: Marcell Dekker. Winarno FG. 1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: Gramedia. Yasin AWN. 2005. Pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan dingin daging lumat ikan cucut pisang (Carcharinus falciformis) dan ikan pari kelapa (Trygon sephen) terhadap karakteristik surimi yang dihasilkan [skripsi]. Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Zayas JF. 1997. Functionality of Protein in Food. Berlin: Springer Verlag. Zhou A, Benjakul S, Pan K, Gong J, Liu X. 2006. Cryoprotective effects of trehalose and sodium lactate on tilapia (Sarotherodon nilotica) surimi during frozen storage. Food Chem. 96: 96-103. 163 LAMPIRAN 164 Lampiran 1. Lembar penilaian organoleptik uji lipat dan uji gigit surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) Nama produk Nama panelis Tanggal Jenis contoh Instruksi : : : 3 September 2009 8 September 2009 4 September 2009 10 September 2009 6 September 2009 12 September 2009 : Kamaboko : Nyatakan penilaian anda dengan memberi tanda (√) pada kolom yang sesuai dengan pilihan anda Skor 163 245 863 163 245 863 5 = Tidak retak jika dilipat seperempat lingkaran 4 = Tidak retak jika dilipat setengah lingkaran 3 = Retak jika dilipat setengah lingkaran 2 = Putus menjadi dua bagian jika dilipat setengah lingkaran 1 = Pecah menjadi bagian-bagian kecil jika ditekan dengan jari tangan Skor 10 = daya lenting amat sangat kuat 9 = daya lenting amat kuat 8 = daya lenting kuat 7 = daya lenting agak kuat 6 = daya lenting diterima 5 = daya lenting agak diterima 4 = daya lenting agak lemah 3 = daya lenting lemah 2 = daya lenting amat lemah 1 = tidak ada daya lenting, seperti bubur 165 Lampiran 2a. Nilai PLG surimi ikan nila dari setiap frekuensi pencucian Pencucian PLG (%) Rata-rata 1x 6.10 5.70 5.90 2x 3.75 3.20 3.48 3x 1.63 1.57 1.60 Lampiran 2b. Analisis ragam PLG surimi ikan nila dari setiap frekuensi pencucian ANOVA PLG Sum of Squares Between Groups Within Groups Total df Mean Square F 18.591 2 9.295 .233 3 .078 18.824 5 119.658 Sig. .001 Lampiran 3a. Nilai PLG surimi ikan lele dumbo dari setiap frekuensi pencucian Pencucian PLG (%) Rata-rata 1x 4.83 4.61 4.72 2x 1.59 1.49 1.54 3x 1.10 1.02 1.06 Lampiran 3b. Analisis ragam PLG surimi ikan lele dumbo dari setiap frekuensi pencucian ANOVA PLG lele Between Groups Within Groups Total Sum of Squares 15,826 df 2 Mean Square 7,913 ,032 3 ,011 15,858 5 F 732,667 Sig. ,000 166 Lampiran 4a. Nilai pH surimi ikan lele dumbo dari setiap frekuensi pencucian Pencucian pH surimi Rata-rata 1x 2x 3x 7,66 7,01 6,75 7,47 7,03 6,22 7,56 7,02 6,48 Lampiran 4b. Analisis ragam pH surimi ikan lele dumbo dari setiap frekuensi pencucian ANOVA pH Between Groups Within Groups Total Sum of Squares 1.166 df 2 Mean Square .583 .159 3 .053 1.325 5 F 11.025 Sig. .041 Lampiran 5a. Nilai kekuatan gel surimi ikan lele dumbo dari setiap frekuensi pencucian Pencucian 1x 2x 3x Kekuatan gel (gr cm) 516 96 36 564 96 48 Rata-rata 540 96 42 Lampiran 5b. Analisis ragam kekuatan gel surimi ikan lele dumbo dari setiap frekuensi pencucian ANOVA Kekuatan_gel Between Groups Within Groups Total Sum of Squares 298704.00 0 1224.000 299928.00 0 df Mean Square 2 149352.000 3 408.000 5 F 366.059 Sig. .000 167 Lampiran 6a. Nilai pH surimi ikan nila dari setiap frekuensi pencucian Pencucian pH surimi Rata-rata 1x 2x 3x 6.34 6.6 6.58 6.34 6.64 6.64 6.34 6.62 6.61 Lampiran 6b. Analisis ragam pH surimi ikan nila dari setiap frekuensi pencucian ANOVA pH Between Groups Sum of Squares .102 df 2 Mean Square .051 .001 Within Groups .002 3 Total .104 5 F 65.747 Sig. .003 Lampiran 7a. Nilai kekuatan gel surimi ikan nila dari setiap frekuensi pencucian Pencucian 1x 2x 3x Kekuatan gel (gr cm) 792 228 96 792 252 120 Rata-rata 792 240 108 Lampiran 7b. Analisis ragam kekuatan gel surimi ikan nila dari setiap frekuensi pencucian ANOVA Kekuatan_gel Between Groups Within Groups Total Sum of Squares 526656.00 0 576.000 527232.00 0 df Mean Square 2 263328.000 3 192.000 5 F 1371.500 Sig. .000 168 Lampiran 8a. Data uji lipat ikan lele dumbo setiap frekuensi pencucian Panelis 1x 2x 3x 1 4 5 5 2 1 1 1 3 5 5 1 4 4 4 1 5 4 2 1 6 5 2 1 7 4 3 1 8 5 5 1 9 4 1 1 10 4 2 1 Rata-rata 4 3 1.4 Lampiran 8b. Data uji gigit ikan lele dumbo setiap frekuensi pencucian Panelis 1x 2x 3x 1 7 7 7 2 3 3 3 3 8 6 2 4 8 5 2 5 8 3 2 6 9 2 1 7 8 3 1 8 7 3 5 9 7 2 1 10 8 3 1 Rata-rata 7.3 3.7 2.5 169 Lampiran 9a. Data uji lipat ikan nila setiap frekuensi pencucian Panelis 1x 2x 3x 1 5 5 4 2 1 1 1 3 5 5 4 4 4 3 3 5 5 4 4 6 5 4 2 7 5 3 3 8 3 2 5 9 5 4 3 10 5 4 3 Rata-rata 4.3 3.5 3.2 Lampiran 9b. Data uji gigit ikan nila setiap frekuensi pencucian Panelis 1x 2x 3x 1 7 7 7 2 5 3 3 3 9 9 4 4 9 3 4 5 9 8 7 6 9 6 2 7 8 4 3 8 8 5 8 9 8 4 3 10 7 5 4 Rata-rata 7.9 5.4 4.5 170 Lampiran 10a. Nilai kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin H0 H2 H4 H6 H8 H10 Kekuatan gel (g cm) 1076 672 528 504 328 84 1116 684 552 468 104 72 R 1096 678 540 486 216 78 Lampiran 10b. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ANOVA Kekuatan_gel Between Groups Within Groups Total Sum of Squares 1291926.6 67 26968.000 1318894.6 67 df Mean Square 5 258385.333 6 4494.667 F 57.487 Sig. .000 11 Multiple Comparisons Dependent Variable: Kekuatan_gel LSD (I) Lama_penyimpanan .00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 (J) Lama_penyimpanan 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 .00 4.00 6.00 8.00 10.00 .00 2.00 6.00 8.00 10.00 .00 2.00 4.00 8.00 10.00 .00 2.00 4.00 6.00 10.00 .00 2.00 4.00 6.00 8.00 *. The mean difference is significant at the .05 level. Mean Difference (I-J) 418.00000* 556.00000* 610.00000* 880.00000* 1018.00000* -418.00000* 138.00000 192.00000* 462.00000* 600.00000* -556.00000* -138.00000 54.00000 324.00000* 462.00000* -610.00000* -192.00000* -54.00000 270.00000* 408.00000* -880.00000* -462.00000* -324.00000* -270.00000* 138.00000 -1018.0000* -600.00000* -462.00000* -408.00000* -138.00000 Std. Error 67.04228 67.04228 67.04228 67.04228 67.04228 67.04228 67.04228 67.04228 67.04228 67.04228 67.04228 67.04228 67.04228 67.04228 67.04228 67.04228 67.04228 67.04228 67.04228 67.04228 67.04228 67.04228 67.04228 67.04228 67.04228 67.04228 67.04228 67.04228 67.04228 67.04228 Sig. .001 .000 .000 .000 .000 .001 .085 .029 .000 .000 .000 .085 .451 .003 .000 .000 .029 .451 .007 .001 .000 .000 .003 .007 .085 .000 .000 .000 .001 .085 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound 253.9535 582.0465 391.9535 720.0465 445.9535 774.0465 715.9535 1044.0465 853.9535 1182.0465 -582.0465 -253.9535 -26.0465 302.0465 27.9535 356.0465 297.9535 626.0465 435.9535 764.0465 -720.0465 -391.9535 -302.0465 26.0465 -110.0465 218.0465 159.9535 488.0465 297.9535 626.0465 -774.0465 -445.9535 -356.0465 -27.9535 -218.0465 110.0465 105.9535 434.0465 243.9535 572.0465 -1044.0465 -715.9535 -626.0465 -297.9535 -488.0465 -159.9535 -434.0465 -105.9535 -26.0465 302.0465 -1182.0465 -853.9535 -764.0465 -435.9535 -626.0465 -297.9535 -572.0465 -243.9535 -302.0465 26.0465 171 Lampiran 11a. Nilai derajat putih surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin H0 H2 H4 H6 H8 H10 Derajat putih (%) 33.33 32.03 32.15 28.97 28.88 27.36 33.42 32.58 32.36 28.85 28.18 27.21 R 33.38 32.31 32.26 28.91 28.53 27.29 Lampiran 11b. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey derajat putih surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ANOVA Derajat_putih Sum of Squares Between Groups Within Groups Total Df Mean Square 62.659 5 12.532 .441 6 .073 63.100 11 F 170.579 Sig. .000 Lampiran 12a. Nilai WHC surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin H0 H2 H4 H6 H8 H10 WHC (%) 78.21 62.29 50.28 45.8 44.38 39.24 77.04 55.89 51.75 49.77 47.39 42.42 R 77.63 59.09 51.02 47.79 45.89 40.83 Lampiran 12b. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey WHC surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ANOVA WHC Between Groups Within Groups Total Sum of Squares 1740.754 Df 5 Mean Square 348.151 39.769 6 6.628 1780.523 11 F 52.526 Sig. .000 172 Multiple Comparisons Dependent Variable: Derajat_putih Tukey HSD (I) Lama penyimpanan .00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 LSD .00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 (J) Lama penyimpanan 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 .00 4.00 6.00 8.00 10.00 .00 2.00 6.00 8.00 10.00 .00 2.00 4.00 8.00 10.00 .00 2.00 4.00 6.00 10.00 .00 2.00 4.00 6.00 8.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 .00 4.00 6.00 8.00 10.00 .00 2.00 6.00 8.00 10.00 .00 2.00 4.00 8.00 10.00 .00 2.00 4.00 6.00 10.00 .00 2.00 4.00 6.00 8.00 Mean Difference (I-J) 1.07000 1.12000(*) 4.46500(*) 4.84500(*) 6.09000(*) -1.07000 .05000 3.39500(*) 3.77500(*) 5.02000(*) -1.12000(*) -.05000 3.34500(*) 3.72500(*) 4.97000(*) -4.46500(*) -3.39500(*) -3.34500(*) .38000 1.62500(*) -4.84500(*) -3.77500(*) -3.72500(*) -.38000 1.24500(*) -6.09000(*) -5.02000(*) -4.97000(*) -1.62500(*) -1.24500(*) 1.07000(*) 1.12000(*) 4.46500(*) 4.84500(*) 6.09000(*) -1.07000(*) .05000 3.39500(*) 3.77500(*) 5.02000(*) -1.12000(*) -.05000 3.34500(*) 3.72500(*) 4.97000(*) -4.46500(*) -3.39500(*) -3.34500(*) .38000 1.62500(*) -4.84500(*) -3.77500(*) -3.72500(*) -.38000 1.24500(*) -6.09000(*) -5.02000(*) -4.97000(*) -1.62500(*) -1.24500(*) * The mean difference is significant at the .05 level. Std. Error .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 .27105 Sig. .052 .043 .000 .000 .000 .052 1.000 .000 .000 .000 .043 1.000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .727 .007 .000 .000 .000 .727 .027 .000 .000 .000 .007 .027 .008 .006 .000 .000 .000 .008 .860 .000 .000 .000 .006 .860 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .210 .001 .000 .000 .000 .210 .004 .000 .000 .000 .001 .004 95% Confidence Interval Lower Upper Bound Bound -.0087 2.1487 .0413 2.1987 3.3863 5.5437 3.7663 5.9237 5.0113 7.1687 -2.1487 .0087 -1.0287 1.1287 2.3163 4.4737 2.6963 4.8537 3.9413 6.0987 -2.1987 -.0413 -1.1287 1.0287 2.2663 4.4237 2.6463 4.8037 3.8913 6.0487 -5.5437 -3.3863 -4.4737 -2.3163 -4.4237 -2.2663 -.6987 1.4587 .5463 2.7037 -5.9237 -3.7663 -4.8537 -2.6963 -4.8037 -2.6463 -1.4587 .6987 .1663 2.3237 -7.1687 -5.0113 -6.0987 -3.9413 -6.0487 -3.8913 -2.7037 -.5463 -2.3237 -.1663 .4068 1.7332 .4568 1.7832 3.8018 5.1282 4.1818 5.5082 5.4268 6.7532 -1.7332 -.4068 -.6132 .7132 2.7318 4.0582 3.1118 4.4382 4.3568 5.6832 -1.7832 -.4568 -.7132 .6132 2.6818 4.0082 3.0618 4.3882 4.3068 5.6332 -5.1282 -3.8018 -4.0582 -2.7318 -4.0082 -2.6818 -.2832 1.0432 .9618 2.2882 -5.5082 -4.1818 -4.4382 -3.1118 -4.3882 -3.0618 -1.0432 .2832 .5818 1.9082 -6.7532 -5.4268 -5.6832 -4.3568 -5.6332 -4.3068 -2.2882 -.9618 -1.9082 -.5818 173 Multiple Comparisons Dependent Variable: WHC Tukey HSD (I) Lama penyimpanan .00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 LSD .00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 (J) Lama penyimpanan 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 .00 4.00 6.00 8.00 10.00 .00 2.00 6.00 8.00 10.00 .00 2.00 4.00 8.00 10.00 .00 2.00 4.00 6.00 10.00 .00 2.00 4.00 6.00 8.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 .00 4.00 6.00 8.00 10.00 .00 2.00 6.00 8.00 10.00 .00 2.00 4.00 8.00 10.00 .00 2.00 4.00 6.00 10.00 .00 2.00 4.00 6.00 8.00 Mean Difference (I-J) 18.53500(*) 26.60750(*) 29.84000(*) 31.73750(*) 36.79750(*) -18.53500(*) 8.07250 11.30500(*) 13.20250(*) 18.26250(*) -26.60750(*) -8.07250 3.23250 5.13000 10.19000 -29.84000(*) -11.30500(*) -3.23250 1.89750 6.95750 -31.73750(*) -13.20250(*) -5.13000 -1.89750 5.06000 -36.79750(*) -18.26250(*) -10.19000 -6.95750 -5.06000 18.53500(*) 26.60750(*) 29.84000(*) 31.73750(*) 36.79750(*) -18.53500(*) 8.07250(*) 11.30500(*) 13.20250(*) 18.26250(*) -26.60750(*) -8.07250(*) 3.23250 5.13000 10.19000(*) -29.84000(*) -11.30500(*) -3.23250 1.89750 6.95750(*) -31.73750(*) -13.20250(*) -5.13000 -1.89750 5.06000 -36.79750(*) -18.26250(*) -10.19000(*) -6.95750(*) -5.06000 * The mean difference is significant at the .05 level. Std. Error 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 2.57453 Sig. .003 .000 .000 .000 .000 .003 .126 .033 .016 .003 .000 .126 .798 .438 .051 .000 .033 .798 .969 .205 .000 .016 .438 .969 .449 .000 .003 .051 .205 .449 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .020 .005 .002 .000 .000 .020 .256 .093 .007 .000 .005 .256 .489 .035 .000 .002 .093 .489 .097 .000 .000 .007 .035 .097 95% Confidence Interval Lower Upper Bound Bound 8.2888 28.7812 16.3613 36.8537 19.5938 40.0862 21.4913 41.9837 26.5513 47.0437 -28.7812 -8.2888 -2.1737 18.3187 1.0588 21.5512 2.9563 23.4487 8.0163 28.5087 -36.8537 -16.3613 -18.3187 2.1737 -7.0137 13.4787 -5.1162 15.3762 -.0562 20.4362 -40.0862 -19.5938 -21.5512 -1.0588 -13.4787 7.0137 -8.3487 12.1437 -3.2887 17.2037 -41.9837 -21.4913 -23.4487 -2.9563 -15.3762 5.1162 -12.1437 8.3487 -5.1862 15.3062 -47.0437 -26.5513 -28.5087 -8.0163 -20.4362 .0562 -17.2037 3.2887 -15.3062 5.1862 12.2353 24.8347 20.3078 32.9072 23.5403 36.1397 25.4378 38.0372 30.4978 43.0972 -24.8347 -12.2353 1.7728 14.3722 5.0053 17.6047 6.9028 19.5022 11.9628 24.5622 -32.9072 -20.3078 -14.3722 -1.7728 -3.0672 9.5322 -1.1697 11.4297 3.8903 16.4897 -36.1397 -23.5403 -17.6047 -5.0053 -9.5322 3.0672 -4.4022 8.1972 .6578 13.2572 -38.0372 -25.4378 -19.5022 -6.9028 -11.4297 1.1697 -8.1972 4.4022 -1.2397 11.3597 -43.0972 -30.4978 -24.5622 -11.9628 -16.4897 -3.8903 -13.2572 -.6578 -11.3597 1.2397 174 Lampiran 13a. Data uji lipat gel ikan surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin Panelis Lama Penyimpanan (hari) 0 2 4 6 8 10 1 5 5 4 2 4 2 2 5 5 3 5 3 1 3 5 5 5 3 3 1 4 5 3 4 2 2 2 5 5 5 4 3 1 1 6 5 5 3 5 4 1 7 5 4 4 2 4 2 8 5 4 3 5 2 1 9 3 5 4 3 3 1 10 5 4 4 3 2 1 Lampiran 13b. Analisis ragam dan uji lanjut multiple comparison uji lipat gel ikan surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ANOVA uji_lipaT Sum of Squares df Mean Square Between Groups 81.083 5 16.217 Within Groups 37.500 54 .694 118.583 59 Total F 23.352 Sig. .000 175 Multiple Comparisons Dependent Variable: uji_lipaT Tukey HSD (I) lama_penyimpanan .00 2.00 Std. Error .37268 .37268 Sig. .965 .095 Lower Bound -.8011 -.1011 Upper Bound 1.4011 2.1011 6.00 1.50000(*) .37268 .002 .3989 2.6011 8.00 2.00000(*) .37268 .000 .8989 3.1011 10.00 3.50000(*) .37268 .000 2.3989 4.6011 -.30000 .37268 .965 -1.4011 .8011 6.00 8.00 .70000 1.20000(*) 1.70000(*) .37268 .37268 .37268 .426 .025 .000 -.4011 .0989 .5989 1.8011 2.3011 2.8011 10.00 (J) lama_penyimpanan 2.00 4.00 .00 4.00 4.00 6.00 3.20000(*) .37268 .000 2.0989 4.3011 .00 -1.00000 .37268 .095 -2.1011 .1011 2.00 -.70000 .37268 .426 -1.8011 .4011 6.00 .50000 .37268 .761 -.6011 1.6011 8.00 10.00 .00 1.00000 2.50000(*) -1.50000(*) .37268 .37268 .37268 .095 .000 .002 -.1011 1.3989 -2.6011 2.1011 3.6011 -.3989 2.00 -1.20000(*) .37268 .025 -2.3011 -.0989 4.00 -.50000 .37268 .761 -1.6011 .6011 8.00 .50000 .37268 .761 -.6011 1.6011 2.00000(*) .37268 .000 .8989 3.1011 2.00 4.00 -2.00000(*) -1.70000(*) -1.00000 .37268 .37268 .37268 .000 .000 .095 -3.1011 -2.8011 -2.1011 -.8989 -.5989 .1011 6.00 -.50000 .37268 .761 -1.6011 .6011 10.00 8.00 .00 10.00 10.00 95% Confidence Interval Mean Difference (I-J) .30000 1.00000 1.50000(*) .37268 .002 .3989 2.6011 .00 -3.50000(*) .37268 .000 -4.6011 -2.3989 2.00 -3.20000(*) .37268 .000 -4.3011 -2.0989 4.00 -2.50000(*) -2.00000(*) -1.50000(*) .37268 .37268 .37268 .000 .000 .002 -3.6011 -3.1011 -2.6011 -1.3989 -.8989 -.3989 6.00 8.00 * The mean difference is significant at the .05 level. 176 Lampiran 14a. Data uji gigit gel ikan surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin Panelis Lama Penyimpanan (hari) 0 2 4 6 8 10 1 10 10 5 3 2 1 2 10 5 6 5 2 1 3 10 5 7 3 3 1 4 8 6 7 6 3 2 5 9 8 7 2 3 1 6 8 8 7 3 2 1 7 8 6 7 3 3 2 8 10 8 7 1 3 1 9 8 9 6 3 3 1 10 10 9 5 5 2 1 Lampiran 14b. Analisis ragam dan uji lanjut multiple comparison uji gigit gel ikan surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ANOVA Uji_gigit Sum of Squares Between Groups Within Groups Total df Mean Square 472.883 5 94.577 68.100 54 1.261 540.983 59 F 74.995 Sig. .000 177 Multiple Comparisons Dependent Variable: Uji_gigit Tukey HSD (I) lama_penyimpanan .00 2.00 Std. Error .50222 .50222 Sig. .016 .000 Lower Bound .2162 1.2162 Upper Bound 3.1838 4.1838 6.00 5.70000(*) .50222 .000 4.2162 7.1838 8.00 6.50000(*) .50222 .000 5.0162 7.9838 10.00 7.90000(*) .50222 .000 6.4162 9.3838 .00 -1.70000(*) .50222 .016 -3.1838 -.2162 4.00 1.00000 4.00000(*) 4.80000(*) .50222 .50222 .50222 .361 .000 .000 -.4838 2.5162 3.3162 2.4838 5.4838 6.2838 (J) lama_penyimpanan 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 4.00 6.00 6.20000(*) .50222 .000 4.7162 7.6838 -2.70000(*) .50222 .000 -4.1838 -1.2162 2.00 -1.00000 .50222 .361 -2.4838 .4838 6.00 3.00000(*) .50222 .000 1.5162 4.4838 8.00 10.00 .00 3.80000(*) 5.20000(*) -5.70000(*) .50222 .50222 .50222 .000 .000 .000 2.3162 3.7162 -7.1838 5.2838 6.6838 -4.2162 2.00 -4.00000(*) .50222 .000 -5.4838 -2.5162 4.00 -3.00000(*) .50222 .000 -4.4838 -1.5162 8.00 .80000 .50222 .607 -.6838 2.2838 2.20000(*) .50222 .001 .7162 3.6838 2.00 4.00 -6.50000(*) -4.80000(*) -3.80000(*) .50222 .50222 .50222 .000 .000 .000 -7.9838 -6.2838 -5.2838 -5.0162 -3.3162 -2.3162 6.00 -.80000 .50222 .607 -2.2838 .6838 .00 10.00 8.00 .00 10.00 10.00 95% Confidence Interval Mean Difference (I-J) 1.70000(*) 2.70000(*) 1.40000 .50222 .075 -.0838 2.8838 .00 -7.90000(*) .50222 .000 -9.3838 -6.4162 2.00 -6.20000(*) .50222 .000 -7.6838 -4.7162 4.00 -5.20000(*) -2.20000(*) -1.40000 .50222 .50222 .50222 .000 .001 .075 -6.6838 -3.6838 -2.8838 -3.7162 -.7162 .0838 6.00 8.00 * The mean difference is significant at the .05 level. 178 Lampiran 15a. Nilai pH surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin H0 pH R H2 H4 H6 H8 H10 7.37 6.94 5.96 5.72 4.63 4.46 7.4 7.05 5.95 4.69 4.52 4.43 7.38 6.99 5.95 5.21 4.57 4.45 Lampiran 15b. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey pH surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ANOVA pH Sum of Squares Between Groups Within Groups Total Df Mean Square 15.291 5 3.058 .544 6 .091 15.834 11 F Sig. 33.761 .000 Lampiran 16a. Nilai TVBN surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin H0 H2 H4 H6 H8 H10 5.08 6.40 8.80 9.61 23.94 35.94 (mg N/100 g) 5.56 7.21 8.80 10.41 23.91 35.94 R 5.32 6.81 8.80 10.01 23.93 35.94 TVBN Lampiran 16b. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey TVBN surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ANOVA TVBN Sum of Squares Between 1484.466 Groups Within Groups .764 Total 1485.230 Mean Square df 5 296.893 6 .127 11 F 2332.53 8 Sig. .000 179 Multiple Comparisons Dependent Variable: pH LSD (I) Lama penyimpanan .00 2.00 Std. Error .30097 .30097 Sig. .243 .003 6.00 2.18000(*) .30097 .000 1.4436 2.9164 8.00 2.81000(*) .30097 .000 2.0736 3.5464 10.00 2.94000(*) .30097 .000 2.2036 3.6764 -.39000 .30097 .243 -1.1264 .3464 1.04000(*) 1.79000(*) 2.42000(*) .30097 .30097 .30097 .014 .001 .000 .3036 1.0536 1.6836 1.7764 2.5264 3.1564 (J) Lama penyimpanan 2.00 4.00 .00 4.00 6.00 8.00 10.00 4.00 6.00 2.55000(*) .30097 .000 1.8136 3.2864 .00 -1.43000(*) .30097 .003 -2.1664 -.6936 2.00 -1.04000(*) .30097 .014 -1.7764 -.3036 6.00 .75000(*) .30097 .047 .0136 1.4864 8.00 10.00 .00 1.38000(*) 1.51000(*) -2.18000(*) .30097 .30097 .30097 .004 .002 .000 .6436 .7736 -2.9164 2.1164 2.2464 -1.4436 2.00 -1.79000(*) .30097 .001 -2.5264 -1.0536 4.00 -.75000(*) .30097 .047 -1.4864 -.0136 8.00 .63000 .30097 .081 -.1064 1.3664 10.00 8.00 10.00 95% Confidence Interval Lower Upper Bound Bound -.3464 1.1264 .6936 2.1664 Mean Difference (I-J) .39000 1.43000(*) .76000(*) .30097 .045 .0236 1.4964 2.00 4.00 -2.81000(*) -2.42000(*) -1.38000(*) .30097 .30097 .30097 .000 .000 .004 -3.5464 -3.1564 -2.1164 -2.0736 -1.6836 -.6436 6.00 -.63000 .30097 .081 -1.3664 .1064 10.00 .13000 .30097 .681 -.6064 .8664 .00 -2.94000(*) .30097 .000 -3.6764 -2.2036 2.00 -2.55000(*) .30097 .000 -3.2864 -1.8136 4.00 -1.51000(*) -.76000(*) -.13000 .30097 .30097 .30097 .002 .045 .681 -2.2464 -1.4964 -.8664 -.7736 -.0236 .6064 .00 6.00 8.00 * The mean difference is significant at the .05 level. 180 Multiple Comparisons Dependent Variable: TVB LSD (I) Lama penyimpanan .00 2.00 Std. Error .35677 .35677 Sig. .006 .000 6.00 -4.69000(*) .35677 .000 -5.5630 -3.8170 8.00 -18.60500(*) .35677 .000 -19.4780 -17.7320 10.00 -30.62000(*) .35677 .000 -31.4930 -29.7470 (J) Lama penyimpanan 2.00 4.00 .00 1.48500(*) .35677 .006 .6120 2.3580 6.00 8.00 -1.99500(*) -3.20500(*) -17.12000(*) .35677 .35677 .35677 .001 .000 .000 -2.8680 -4.0780 -17.9930 -1.1220 -2.3320 -16.2470 10.00 4.00 4.00 6.00 8.00 10.00 95% Confidence Interval Lower Upper Bound Bound -2.3580 -.6120 -4.3530 -2.6070 Mean Difference (I-J) -1.48500(*) -3.48000(*) -29.13500(*) .35677 .000 -30.0080 -28.2620 .00 3.48000(*) .35677 .000 2.6070 4.3530 2.00 1.99500(*) .35677 .001 1.1220 2.8680 6.00 -1.21000(*) .35677 .015 -2.0830 -.3370 8.00 -15.12500(*) -27.14000(*) 4.69000(*) .35677 .35677 .35677 .000 .000 .000 -15.9980 -28.0130 3.8170 -14.2520 -26.2670 5.5630 2.00 3.20500(*) .35677 .000 2.3320 4.0780 4.00 1.21000(*) .35677 .015 .3370 2.0830 8.00 -13.91500(*) .35677 .000 -14.7880 -13.0420 10.00 -25.93000(*) .35677 .000 -26.8030 -25.0570 2.00 4.00 18.60500(*) 17.12000(*) 15.12500(*) .35677 .35677 .35677 .000 .000 .000 17.7320 16.2470 14.2520 19.4780 17.9930 15.9980 6.00 13.91500(*) .35677 .000 13.0420 14.7880 10.00 10.00 .00 .00 -12.01500(*) .35677 .000 -12.8880 -11.1420 .00 30.62000(*) .35677 .000 29.7470 31.4930 2.00 29.13500(*) .35677 .000 28.2620 30.0080 4.00 27.14000(*) 25.93000(*) 12.01500(*) .35677 .35677 .35677 .000 .000 .000 26.2670 25.0570 11.1420 28.0130 26.8030 12.8880 6.00 8.00 * The mean difference is significant at the .05 level. 181 Lampiran 17a. Nilai PLG surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin PLG (%) R H0 H2 H4 H6 H8 H10 4.67 4.38 3.65 2.56 1.46 0.73 4.61 4.49 4.02 2.56 1.46 0.73 4.64 4.44 3.84 2.56 1.46 0.73 Lampiran 17b. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey PLG surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ANOVA PLG Between Groups Sum of Squares 26.290 Within Groups Total df 5 Mean Square 5.258 .076 6 .013 26.366 11 F 413.469 Sig. .000 Lampiran 18a. Nilai TPC surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin Log TPC Rata-rata H0 H2 H4 H6 H8 H10 4.69 4.92 4.82 4.85 4.97 4.92 5.77 5.83 5.80 6.02 5.97 5.99 6.97 6.97 6.97 7.25 7.35 7.30 Lampiran 18b. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey TPC surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ANOVA TPC Sum of Squares Between Groups Within Groups Total df Mean Square 65344.301 5 13068.860 1074.355 6 179.059 66418.656 11 F 72.986 Sig. .000 182 Multiple Comparisons Dependent Variable: PLG LSD (I) Lama penyimpanan .00 2.00 Std. Error .11277 .11277 Sig. .119 .000 6.00 2.08000(*) .11277 .000 1.8041 2.3559 8.00 3.18000(*) .11277 .000 2.9041 3.4559 10.00 3.91000(*) .11277 .000 3.6341 4.1859 (J) Lama penyimpanan 2.00 4.00 .00 -.20500 .11277 .119 -.4809 .0709 6.00 8.00 .60000(*) 1.87500(*) 2.97500(*) .11277 .11277 .11277 .002 .000 .000 .3241 1.5991 2.6991 .8759 2.1509 3.2509 10.00 3.70500(*) .11277 .000 3.4291 3.9809 .00 -.80500(*) .11277 .000 -1.0809 -.5291 2.00 -.60000(*) .11277 .002 -.8759 -.3241 6.00 1.27500(*) .11277 .000 .9991 1.5509 8.00 10.00 .00 2.37500(*) 3.10500(*) -2.08000(*) .11277 .11277 .11277 .000 .000 .000 2.0991 2.8291 -2.3559 2.6509 3.3809 -1.8041 2.00 -1.87500(*) .11277 .000 -2.1509 -1.5991 4.00 -1.27500(*) .11277 .000 -1.5509 -.9991 8.00 1.10000(*) .11277 .000 .8241 1.3759 10.00 1.83000(*) .11277 .000 1.5541 2.1059 2.00 4.00 -3.18000(*) -2.97500(*) -2.37500(*) .11277 .11277 .11277 .000 .000 .000 -3.4559 -3.2509 -2.6509 -2.9041 -2.6991 -2.0991 6.00 -1.10000(*) .11277 .000 -1.3759 -.8241 4.00 4.00 6.00 8.00 .00 10.00 10.00 95% Confidence Interval Lower Upper Bound Bound -.0709 .4809 .5291 1.0809 Mean Difference (I-J) .20500 .80500(*) .73000(*) .11277 .001 .4541 1.0059 .00 -3.91000(*) .11277 .000 -4.1859 -3.6341 2.00 -3.70500(*) .11277 .000 -3.9809 -3.4291 4.00 -3.10500(*) -1.83000(*) -.73000(*) .11277 .11277 .11277 .000 .000 .001 -3.3809 -2.1059 -1.0059 -2.8291 -1.5541 -.4541 6.00 8.00 * The mean difference is significant at the .05 level. 183 Multiple Comparisons Dependent Variable: TPC LSD (I) Lama penyimpanan .00 2.00 Std. Error 13.38130 13.38130 Sig. .990 .687 6.00 -9.21750 13.38130 .517 -41.9604 23.5254 8.00 -92.59250(*) 13.38130 .000 -125.3354 -59.8496 10.00 -199.17750(*) 13.38130 .000 -231.9204 -166.4346 .16750 13.38130 .990 -32.5754 32.9104 6.00 8.00 -5.50000 -9.05000 -92.42500(*) 13.38130 13.38130 13.38130 .695 .524 .000 -38.2429 -41.7929 -125.1679 27.2429 23.6929 -59.6821 10.00 -199.01000(*) 13.38130 .000 -231.7529 -166.2671 5.66750 13.38130 .687 -27.0754 38.4104 2.00 5.50000 13.38130 .695 -27.2429 38.2429 6.00 -3.55000 13.38130 .800 -36.2929 29.1929 8.00 -86.92500(*) -193.51000(*) 9.21750 13.38130 13.38130 13.38130 .001 .000 .517 -119.6679 -226.2529 -23.5254 -54.1821 -160.7671 41.9604 2.00 9.05000 13.38130 .524 -23.6929 41.7929 4.00 3.55000 13.38130 .800 -29.1929 36.2929 8.00 -83.37500(*) 13.38130 .001 -116.1179 -50.6321 10.00 -189.96000(*) 13.38130 .000 -222.7029 -157.2171 92.59250(*) 92.42500(*) 86.92500(*) 13.38130 13.38130 13.38130 .000 .000 .001 59.8496 59.6821 54.1821 125.3354 125.1679 119.6679 116.1179 (J) Lama penyimpanan 2.00 4.00 .00 4.00 4.00 6.00 8.00 95% Confidence Interval Mean Difference (I-J) -.16750 -5.66750 .00 10.00 .00 .00 2.00 4.00 6.00 Lower Bound -32.9104 -38.4104 Upper Bound 32.5754 27.0754 83.37500(*) 13.38130 .001 50.6321 -106.58500(*) 13.38130 .000 -139.3279 -73.8421 .00 199.17750(*) 13.38130 .000 166.4346 231.9204 2.00 199.01000(*) 13.38130 .000 166.2671 231.7529 193.51000(*) 189.96000(*) 106.58500(*) * The mean difference is significant at the .05 level. 13.38130 13.38130 13.38130 .000 .000 .000 160.7671 157.2171 73.8421 226.2529 222.7029 139.3279 10.00 10.00 4.00 6.00 8.00