partisipasi perempuan dalam politik dan

advertisement
PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM POLITIK
DAN PEMBANGUNAN DI BANTEN
Listyaningsih
Email : [email protected]
Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Jl. Raya Jakarta KM 4 Serang
Abstract : Humans as a citizen is a subject at once the object of
development in Indonesia. However, at the regional level is not the
case, especially in villages far from urban civilization. The
presence of women has not been evident in every movement of
development in Banten. Thus attracting researchers to conduct
more in-depth study on women's participation in politics and
development in Banten. The research was conducted using
qualitative methods with a view to facilitate researchers in
capturing qualitative data in the form of exploration. Results
showed that women's participation in politics and development is
still lagging behind by men that is caused by two factors: structural
factors and cultural factors surrounding the social, cultural and
political
situation
in
Banten
Province.
Keywords: women’s participation, politics, development
Pembangunan sebuah negara
menentukan
berhasil
tidaknya
pada hakekatnya bertujuan untuk
program-program pemerintah yang
meningkatkan
taraf
dijalankan. Peran serta masyarakat
masyarakat
berbangsa
kehidupan
dan
dapat berbentuk sumbangsih pikiran,
bernegara. Dalam pelaksanaannya,
tenaga
masyarakat tidak lagi menjadi obyek
ternyata,
pembangunan, tetapi sudah menjadi
dalam pembangunan di Indonesia
subyek
tidak seperti yang diharapkan kita
peran
pembangunan.
serta
masyarakat
Sehingga
sangat
bersama.
143
atau
keduanya.
partisipasi
Namun
masyarakat
Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No 2, Desember 2010
partisipasi
perempuan dalam lembaga-lembaga
pembangunan
politik formal yang sering digunakan
Rendahnya
perempuan
dalam
daerah merupakan salah satu tema
sebagai
besar yang selalu muncul dalam
pentingnya penguatan peran mereka
diskursus mengenai reposisi peran
melalui kebijakan-kebijakan yang
perempuan dalam pembangunan dan
besifat affirmatif terhadap potensi
politik. Salah satu aspek yang selalu
yang
muncul dalam diskursus ini adalah
tersebut. Angka
persoalan
kaum
meningkat di tahun 2009 yaitu
perempuan dalam struktur politik
sebesar 11 % di pusat dan 18,8 % di
nasional maupun daerah, termasuk
tingkat Provinsi Banten, serta pada
pula keterlibatan perempuan dalam
tingkat kabupaten dan kota rata-rata
proses perumusan kebijakan publik
13,7 %. (Bappeda Prov. Banten,
di
2010)
pusat
representasi
hingga
daerah
yang
dasar
dimiliki
kaum
perempuan
tersebut
Menurut
dirasakan belum cukup memadai.
argumentasi
sedikit
sumber
Persoalan ini muncul terutama bila
Kepegawaian
membandingkannya
secara
Banten (2009), diperoleh gambaran
dikotomis dengan eksistensi kaum
mengenai jumlah perempuan yang
perempuan dalam konteks kuantitatif
menjadi
yang rata-rata sebanding dengan
(PNS)di lembaga pemerintahan di
setengah populasi nasional maupun
lingkungan Provinsi Banten hampir
daerah.
50 % dari jumlah pegawai laki-laki
kaum
Daerah
Badan
Pegawai
Provinsi
Negeri
Sipil
Realitas partisipasi politik
(1079:2202). Namun sangat sedikit
perempuan
pegawai perempun yang menduduki
di
lembaga
legislatif sejak tahun 1999 hingga
jabatan
2004 yang baru berkisar pada angka
kepegawaian provinsi Banten tahun
8,8% di tingkat pusat, 6,6% di
2009 menunjukkan bahwa hanya 148
tingkat Provinsi, dan 2% di tingkat
dari 1079 pegawai yang menduduki
Kabupaten/kota,
merupakan
eselon I,II,III dan IV. Sementara
partisipasi
jumlah laki-laki jauh lebih banyak
gambaran
nyata
144
struktural.
Dari
data
Partisipasi Perempuan Dalam Politik Dan Pembangunan Di Banten (Listyaningsih)
yaitu sebesar 710 dari 2202 orang
tahun
yang
Banten 2010)
menduduki
jabatan
eselon
2009.
(Bappeda
Kondisi
I,II,III,dan IV.
Dalam konteks politik di
kemudian
Provinsi Banten, berdasarkan hasil
prasangka
Pemilihan
ketimpangan
Umum
tahun
2009
inilah
sering
Provinsi
yang
menimbulkan
sosial
adanya
gender
dalam
diperoleh gambaran yang kurang
pembangunan, yang direfleksikan
lebih sama dengan realitas di atas,
dari realitas keterwakilan perempuan
dimana
kenyataan
secara fisik dalam lembaga legislatif
proporsi anggota DPRD laki-laki
yang sangat minim, yang kemudian
jauh
bila
berpeluang pada tidak terwakilinya
jumlah
aspirasi kaum perempuan dalam
perempuan yang hanya berkisar pada
proses perumusan kebijakan publik
angka 17,7%. Demikian juga pada
yang sensitif gender atau berpihak
kabupaten/kota yang ada di wilayah
pada
provinsi Banten. Di
maupun
ditemukan
lebih
besar
dibandingkan
(82,4%)
dengan
Kabupaten
kepentingan
isu-isu
perempuan
yang
terkait
Pandeglang perempuan yang duduk
langsung dengan kehidupan dan
dalam
hanya
hak-hak kaum perempuan. Isu-isu
sebesar 10%, Kabupaten Tangerang
ini yang kemudian dikenal dengan
sebesar 8%, Kota Tangerang sebesar
isu-isu
12%, Kota Cilegon sebesar 20%,
conventional politics, yang dianggap
Kabupaten Lebak sebesar 16%, Kota
menjadi domain kaum perempuan
Serang sebesar 17,8%,
Kabupaten
dan hanya dapat dipahami dan
Serang sekitar 8%, dan Tangerang
diempati oleh kaum perempuan. Isu-
Selatan sebesar 15,6 %. Jumlah ini
isu
tentu sangat ironis bila dibandingkan
seringkali dianggap bukan sebagai
dengan jumlah pemilih perempuan
isu politik sehingga nyaris tidak
yang hampir setara dengan pemilih
masuk dalam ranah kehidupan dan
laki-laki (49,46% dan 50,54%) pada
cara berpikir politik kaum laki-laki,
lembaga
legislatif
yang
145
ini
soft-politics
secara
antara
politik
lain
atau
memang
menyangkut
Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No 2, Desember 2010
masalah-masalah:
perempuan dalam bidang politik dan
kesejahteraan
pembangunan.
anak, perlindungan terhadap hak
reproduksi
perempuan
dan
sebagainya. Dalam konteks inilah
keyakinan
terhadap
keterlibatan
METODE
perempuan secara lebih luas dalam
Dalam penelitian ini metode
politik menjadi sangat penting guna
penelitian yang dilakukan adalah
mengurangi kesenjangan antara isu-
melalui
isu conventional politics dan hard
Artinya
politics. Hal ini cukup beralasan
bukan
mengingat bahwa sikap politik kaum
melainkan data tersebut berasal dari
perempuan
lebih
naskah wawancara, catatan lapangan,
isu-isu
dokumen pribadi, catatan memo, dan
conventional politics daripada hard
dokumen resmi lainnya. Sehingga
politics. Sehingga sangat diperlukan
yang menjadi tujuan dari penelitian
sebuah
kualitatif
cenderung
umumnya
mementingkan
kajian
ilmiah
mengenai
pendekatan
data
yang
dikumpulkan
berupa
ini
kualitatif.
angka-angka,
adalah
ingin
partisipasi perempuan dalam politik
menggambarkan realita empirik di
dan pembangunan di Banten.
balik fenomena secara mendalam,
rinci dan tuntas. Oleh karena itu
Dari latar belakang di atas
kemudian menarik peneliti untuk
penggunaan
lebih
dalam penelitian ini adalah dengan
dalam
mengkaji
tentang
dengan teori yang berlaku dengan
dalam politik dan pembangunan di
menggunakan metode deskriptif.
Banten. Adapun tujuan penelitian
pertama
adalah
Dilihat
mengetahui
penelitian
partisipasi perempuan dalam politik
dan
pembangunan
Banten.
Sedangkan
di
instrument
Propinsi
yang
digunakan
kedua
dari
yang
pendekatan
digunakan,
penelitian
untuk
yang
mengumpulkan
data dalam penelitian ini
adalah mengetahui hambatan yang
mempengaruhi
kualitatif
mencocokkan antara realitas empirik
bagaimana partisipasi perempuan
ini,
pendekatan
adalah
peneliti sendiri. Oleh karena itu
partisipasi
peneliti sebagai instrumen juga harus
146
Partisipasi Perempuan Dalam Politik Dan Pembangunan Di Banten (Listyaningsih)
“divalidasi” seberapa jauh peneliti
alat yang berbeda dalam metode
siap
kualitatif
melakukan
selanjutnya
penelitian
terjun
yang
Dalam
kelapangan.
(Moleong,1990:175).
penelitian
ini
metode
Validasi terhadap peneliti sebagai
triangulasi dilakukan peneliti dengan
instrumen meliputi validasi terhadap
cara mengecek data melalui hasil
pemahaman
penelitian
wawancara dengan sumber pelitian
wawasan
yaitu : ibu rumah tangga, anggota
diteliti,
DPRD yang perempuan, dan tokoh
kualitatif,
metode
penguasaan
terhadap
bidang
yang
masyarakat di lokasi penelitian.
kesiapan peneliti untuk memasuki
obyek
penelitian
akademik
baik
maupun
secara
logistik
HASIL DAN PEMBAHASAN
(Sugiono,2008:1).
Posisi Perempuan dalam
Adapun data yang digunakan
Pembangunan dan Pemerintahan
untuk analisis adalah pertama, data
Sebuah
tata
pemerintahan
primer
yang diperoleh melalui
yang
kegiatan
wawancara
adanya interaksi seluruh elemen
dan
dan
demokratis
observasi. Dan kedua, data sekunder
dalam
yang diperoleh melalui dokumentasi
kepemerintahan.
dan kajian pustaka.
konstruktif
data,
masyarakat
meniscayakan
dalam
proses
Interaksi
yang
tersebut
harus
Untuk memastikan keabsahan
diakomodir oleh sistem politik tanpa
penelitian ini menggunakan
diskriminasi, baik berdasarkan ras,
metode
triangulasi
triangulasi.
merupakan
Metode
agama, suku, status sosial-ekonomi
teknik
maupun gender. Ada kesamaan hak
pemeriksaan keabsahan data yang
dan kesempatan untuk setiap warga
memanfaatkan sesuatu yang lain
untuk berpartisipasi dalam proses-
diluar data itu, untuk keperluan
pengecekan
atau
proses politik yang terjadi dalam
pembanding
sistem politik yang demokratis.
terhadap data itu. Hal ini berarti
Umumnya keterlibatan warga
membandingkan dan mengecek baik
dalam pengambilan keputusan publik
derajat kepercayaan suatu informasi
sangat tergantung pada kemampuan
yang diperoleh melalui waktu dan
147
Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No 2, Desember 2010
suatu
sistem
politik
memberikan
tersebut
untuk
tentu
membuat
posisi
perempuan menjadi terpinggirkan.
ruang-ruang
Rendahnya
kesempatan bagi setiap warganya
keterlibatan
dalam menyampaikan aspirasi tanpa
perempuan
mengenal batas ruang dan waktu,
pemerintahan telah terjadi sejak di
dan tanpa rasa takut. Kondisi ini
tingkat paling rendah dalam strata
tentu tidak akan dapat kita temukan
pemerintahan yang ada, yaitu di
dalam
sangat
tingkat RT, RW dan Desa. Sebagai
diwarnai oleh budaya patriarkhis,
bagian dari warga masyarakat di
yang menempatkan nilai laki-laki
lingkungan
pada posisi super-ordinate sehingga
umumnya para informan menyoroti
secara sengaja maupun tidak, dan
persoalan keterbatasan kesempatan
langsung
telah
kaum
perempuan
dalam
masyarakat
maupun
yang
tidak,
mendiskriminasikan
dalam
proses
tempat
perempuan
tinggalnya,
untuk
forum-forum
terlibat
publik
di
lingkungannya, di samping secara
dalam proses politik.
Masalah pembagian peran
teknis juga diakui kungkungan peran
sosiologis yang dikotomis antara
domestik yang dialami oleh mereka
laki-laki dan perempuan, dimana
di
peran domestik distigmakan pada
berperan besar dalam membatasi
jenis kelamin perempuan sementara
peran eksternal mereka, sehingga
peran publik distigmakan pada jenis
peran-peran
kelamin
Kegiatan
diserahkan sepenuhnya pada laki-laki
merupakan bagian
sebagai kepala rumah tangga. Namun
dari peran publik yang menurut
demikian, disamping kendala teknis
sebagian
tersebut,
pemerintahan
“disunahkan”
perempuan.
laki-laki.
besar
sebagai
Adanya
masyarakat
urusan
dalam
umumnya
rumah
tangga
tersebut
para
otomatis
informan
sependapat
turut
pun
bahwa
komitmen kesungguhan para pelaku
pembagian
peran sosiologis yang rigid antara
kebijakan
untuk
melibatkan
peran publik dan peran domestik
perempuan memang tidak dimiliki
oleh para pimpinan di tingkat RT,
148
Partisipasi Perempuan Dalam Politik Dan Pembangunan Di Banten (Listyaningsih)
RW dan Desa. Gambaran tentang
senantiasa diberi peran di ruang
rendahnya
tersebut
publik yang dinilai lebih penting
termanifestasi dalam surat undangan
daripada peran domestik. Dikotomi
yang
berbunyi
peran inilah yang kemudian pada
“Kepada Yth., Bapak Roni ” atau
akhirnya memposisikan perempuan
“Kepada Yth., Bapak Ahmad”, di
menjadi tidak terlibat dan atau tidak
samping penggunaan sebutan “Ibu
dilibatkan
Yatno”
publik tersebut.
komitmen
hampir
atau
selalu
“Ibu
RW”
untuk
dalam
proses-proses
Kendati beberapa perempuan
menggambarkan istri Bapak Yatno
dan istri Bapak Ketua RW, bukan
mencoba
menyebut eksistensi diri individu
peran-peran publik, namun tetap saja
yang
kebanyakan
bersangkutan,
seperti
“Ibu
muncul
hanya
menjalankan
ditempatkan
Romlah” sebagai nama istri Bapak
sebagai pelengkap semata. Situasi
Yatno, atau “Ibu Rodiah” sebagai
rapat yang sangat melelaki, lengkap
nama istri Bapak Ketua RW.
dengan berbagai humor selera laki-
Dalam
informan,
tersebut
pandangan
fakta-fakta
yang
kebanyakan
mengeksploitasi
sosiologis
seksualitas
wujud
dari
perempuan,
secara
psikologis
masyarakat
akan
kebanyakan
membuat
perempuan
merupakan
ketidakpahaman
laki
para
kesamaan hak perempuan dalam
tidak betah berlama-lama dalam
pemerintahan yang kemudian sangat
forum-forum
berdampak pada marginalisasi peran
perempuan kendati sudah masuk
perempuan
pemerintahan,
sektor publik, tetap saja masih
seolah surat undangan itu memang
menjalankan peran-peran yang masih
hanya buat Bapak dan Ibu tidak
terkait dengan peran domestiknya,
termasuk didalamnya. Fenomena ini
misalnya sebagai MC, penerima
tidak terlepas dari kerangka budaya
tamu,
patriarkhi yang telah menjadi mind-
sebagainya.
dalam
set bagi sebagian besar masyarakat
khususnya
laki-laki.
seksi
tersebut.
Walhasil
konsumsi,
dan
Kemudian masalah-masalah
seputar perempuan dan kesejahteraan
Laki-laki
149
Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No 2, Desember 2010
keluarga di dalam ruang tertutup
oleh siapapun dan dengan alasan
yang ‘tidak boleh’ mengemuka pada
apapun.
ruang publik, sehingga seringkali
menyedihkan lagi adalah bahwa
menempatkan
masalah-masalah
ternyata - menurut para informan -
tersebut sebagai kepentingan yang
pemahaman tersebut juga ternyata
sekunder, jauh dari hingar bingar
dianut oleh sebagian besar kaum
pembahasan
yang
perempuan
di
menjadi urusan laki-laki. Masalah
khususnya
kaum
kekerasan
wilayah
dalam
dalam
misalnya,
rapat
rumah
masalah
tangga
Dan
yang
lebih
Provinsi
Banten,
perempuan
perdesaan
di
yang
persentasenya mencapai 80% dari
kesehatan
reproduksi, beban kerja dalam rumah
populasi perempuan.
tangga yang dialami perempuan,
Lebih
jauh
lagi,
pendidikan anak, dan sebagainya
konteks
dianggap bukan hal yang urgen
terhadap
kaum
perempuan
untuk dibicarakan dalam forum-
terlibat
dalam
kegiatan-kegiatan
forum rapat. Beberapa isu bahkan
sosial,
menurut
dianggap mengandung nilai tabu
terdapat adanya persepsi publik yang
didalamnya yang tidak boleh dibahas
menggejala
di ranah publik, kendati masyarakat
perempuan
pada umumnya memahami bahwa
hukumnya bagi perempuan untuk
ada bentuk-bentuk kekerasan yang
terlibat
terjadi di lingkungannya. Karena
sosial seperti: PKK, Posyandu, dan
kondisi inilah pada akhirnya nyaris
majelis taklim, termasuk pula arisan.
tidak dapat dilakukan advokasi yang
Persepsi ini menjadi semacam nilai-
memadai
banyak
nilai baru yang mentradisi, dan itu
kekerasan terhadap perempuan dan
dipahami sebagai obligative duty,
anak dalam rumah tangga. Semua
bahwa istri kepala desa misalnya,
masalah itu
dianggap merupakan
harus otomatis harus menjadi ketua
urusan intern “dalam negeri” yang
tim penggerak PKK. Demikian pula
sama sekali tidak boleh dicampuri
dengan
ketika
terjadi
150
toleransi
dalam
para
luas
bahwa
dalam
masyarakat
yang
informan
dikalangan
seolah
wajib
kegiatan-kegiatan
perangkat-perangkat
desa
Partisipasi Perempuan Dalam Politik Dan Pembangunan Di Banten (Listyaningsih)
hingga
tingkat
RT/RW.
maka umumnya keterlibatan mereka
Di
lingkungan pekerjaan, istri seorang
dalam
kegiatan-kegiatan
kepala kantor otomatis harus menjadi
dianggap sebagi rutinitas, kebutuhan,
ketua Dharma Wanita, demikian pula
dan
dengan istri-istri pegawai negeri
Namun bagi sebagian perempuan
biasa.
lainnya, yang umumnya keluarga-
sekaligus
tersebut
tanggung
jawab.
Karena persepsi “keharusan”
keluarga muda, keterlibatan mereka
inilah maka dalam bidang kegiatan-
dalam kegiatan-kegiatan sosial di
kegiatan sosial semacam ini memang
desa bukan karena keinginan pribadi
harus
dan karena kebutuhan mereka namun
diakui
partisipasi
kaum
perempuan cukup tinggi, kendati
lebih
menurut para informan baru pada
sosial (expected role) yang berlaku di
aspek kuantitasnya saja. Artinya bila
lingkungan masyarakatnya. Bahwa
melihat jumlah perempuan yang
misalnya: ibu-ibu harus ikut arisan,
terlibat
PKK, atau majelis taklim misalnya.
dalam
kegiatan
sosial
merupakan
tuntutan
peran
Terpolanya bentuk partisipasi
semacam itu, nampaknya nyaris
semua kaum perempuan, khususnya
kaum
di perdesaan, terlibat cukup intens
ranah
dalam
dipaparkan di atas menggambarkan
kegiatan-kegiatan
tersebut.
perempuan
sesuai
urusannya
sebagaimana
Namun bila melihat kualitasnya,
kembali
keterlibatan tersebut belum tentu
masyarakat
diiringi dengan pemahaman yang
peran perempuan untuk menjauh dari
benar
seringkali
urusan-urusan publik. Dalam bidang
didalamnya
politik, berkembang persepsi publik
tidak memberikan nilai tambah yang
dalam masyarakat – khususnya kaum
berarti bagi peningkatan kualitas diri,
perempuan
kehidupannya, dan juga kehidupan
bahwa masalah politik bukanlah
keluarganya. Bagi sebagian kaum
masalah atau tanggung jawab /
perempuan
terbiasa
kewajiban perempuan, seperti halnya
mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut
masalah kewajiban mencari nafkah
keterlibatan
sehingga
mereka
yang
telah
151
kuatnya
dengan
yang
-
yang
nilai-nilai
menempatkan
memandang
Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No 2, Desember 2010
dalam keluarga yang bukan menjadi
karena peran sosial yang melekat
kewajiban
perempuan
melainkan
pada diri suaminya masing-masing.
kewajiban
laki-laki.
Perempuan
Misalnya,
bila
suami
kebetulan
terlibat
menjadi aktivis atau pengurus partai
distigmakan
politik, maka umumnya istri secara
‘kotor’, dan hanya laki-laki yang
otomatis ikut menjadi aktivis dan/
boleh berurusan dengan yang ‘kotor-
atau paling tidak menjadi pendukung
kotor’
suami
dianggap
dalam
kurang
politik
pantas
yang
agar
perempuan
yang
sebagai
pengurus
partai
berperan sebagai ibu dan orang yang
politik. Dukungan dan keikutsertaan
terdekat
tidak
istri terhadap aktivitas suaminya
terkontaminasi dengan hal-hal yang
tersebut pada suatu ketika akan
dianggap kotor tersebut.
berubah menjadi sangat aktif yang
dengan
anak
Berbicara
keterlibatan
akhirnya membuka peluang bagi istri
mengenai
perempuan
untuk
dalam
secara
definitif
wilayah publik, umumnya informan
mendedikasikan
berpendapat
pengurus partai politik, dan bahkan
bahwa
keterlibatan
perempuan dalam wilayah publik
membangun
tidak
Beberapa
muncul
secara
otonom,
diri
karir
contoh
politiknya.
kepala
desa
melainkan
dipengaruhi
oleh
perempuan
lingkungan
terdekatnya,
yang
suaminya yang dulu menjadi kepala
umumnya peranan itu dilakukan oleh
desa, atau perempuan yang menjadi
suami. Informasi ini muncul ketika
aktivis
ditanyakan tentang motivasi awal
suaminya menjadi pengurus partai
kaum perempuan terlibat memasuki
politik tersebut, serta perempuan
wilayah-wilayah
seperti
yang menjadi pengusaha karena
terlibat dalam partai politik dan
beberapa usaha suaminya tidak lagi
sejenisnya.
informan
dapat dikelola sendiri sehingga perlu
berpendapat bahwa keterlibatan itu
melibatkan istri dan atau keluarganya
bukan
dan
yang lain, merupakan contoh faktual
kesadaran, melainkan ‘keterpaksaan’
untuk menggambarkan keterlibatan
publik
Umumnya
karena
kesengajaan
152
yang
sebagai
partai
menggantikan
politik
karena
Partisipasi Perempuan Dalam Politik Dan Pembangunan Di Banten (Listyaningsih)
kaum perempuan dalam ranah publik
seluruh
informan
yang tidak otonom sebagaimana
mengakui bahwa fenomena ini mulai
dipaparkan di atas.
agak
berubah
setuju
pada
dan
pelaksanaan
Berkaca dari Pemilu 2009
Pemilihan Presiden tahun lalu, yang
yang belum lama berlalu diperoleh
menurut mereka mengindikasikan
informasi bahwa kendati partisipasi
adanya
politik
Pemilu
terhadap
tinggi,
namun
kendati itu dilakukan secara tertutup.
perempuan
dalam
Kecenderungan ibu-ibu dan kaum
pemilu ini diakui karena mengikuti
perempuan umumnya memilih calon
pilihan
yang
mereka
terbilang
keikutsertaan
dalam
keluarga
(suami),
hanya
“perlawanan
pilihan
perempuan”
suami
populer
dan
mereka,
memiliki
dilandasi
penampilan fisik paling menarik,
motivasi kesengajaan secara sadar
merupakan fakta mulai bekerjanya
untuk terlibat dalam Pemilu karena
pilihan otonom kaum perempuan,
menganggap ‘tos wayahna’, menjadi
kendati itu masih sangat jauh di
kebiasaan masyarakat yang seolah
bawah nilai pilihan kritis yang ideal.
beberapa
saja
yang
harus diikuti dan dimaknai sebagai
hal
yang
menentukan
dalam
Persepsi tentang Partisipasi Politik
kehidupannya sebagai warga negara
dan Pembangunan
serta sebagai peluang bagi adanya
Persepsi memainkan peranan
perubahan bagi perbaikan nasib diri
yang
dan masyarakatnya.
menentukan
Demikian pula dalam konteks
pilihan
politik
sangat
penting
kualitas
dalam
partisipasi
politik seseorang. Persepsi yang baik
perempuan
yang
cenderung akan melahirkan sikap-
muncul
secara
sikap simpati hingga empati yang
otonom karena kesadaran kritisnya
kemudian berkorelasi dengan tipe
terhadap pilihan-pilihan yang ada,
partisipasi yang muncul. Sementara
melainkan dipengaruhi oleh cara
persepsi yang buruk cenderung akan
pandang dan pilihan suami mereka
melahirkan sikap antipati hingga
masing-masing.
apatisme. Untuk kepentingan praktis,
umumnya
tidak
Namun
demikian
153
Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No 2, Desember 2010
telaahan mengenai persepsi juga
kewajiban
maupun
tanggung
penting dilakukan dalam rangka
jawabnya,
seperti:
masalah
mengidentifikasi
pemerintahan, pembangunan, politik,
bagaimana
dan
memetakan
gambaran
partisipasi
dan
lain-lain.
Dalam
konteks
perempuan sebagaimana dipaparkan
masalah politik misalnya, politik
di muka.
umumnya dipersepsikan oleh kaum
Persepsi,
perempuan sebagai dunia yang kotor,
- sebagaimana
akan
penuh konspirasi dan intrik, keras,
berpengaruh terhadap cara seseorang
dan penuh tipu daya. Mengingat
berperilaku dan bersikap terhadap
persepsi ini secara umum juga
suatu masalah atau isu. Demikian
dipahami oleh kaum perempuan pada
halnya persepsi perempuan terhadap
umumnya
partisipasi kaumnya dalam ranah
semacam
publik,
terhadap
membentuk
dalam
perempuan
dijelaskan
di
muka
serta
persepsi
peran-peran
masyarakat,
-
gendernya
akan
maka
ia
referensi
menjadi
sosial
mind-set
untuk
yang
kaum
kemudian
menjauhi hal-hal tersebut. Akibatnya
mempengaruhi
pula bagaimana mereka melakukan
memang
aktivitas keseharian mereka. Hal ini
perempuan
dapat
persepsi
proses-proses politik yang masih
muncul dari seperangkat nilai yang
dalam hitungan jari, baik di tingkat
terkristalisasi dalam diri seseorang
yang terendah seperti rapat-rapat
melalui berbagai proses interaksi
RT/RW dan desa, hingga tingkat
sosial
transmisi
yang lebih tinggi seperti pengurus
(pendidikan) nilai yang berlangsung
partai politik di tingkat anak cabang,
di lingkungan masyarakatnya.
cabang,
dipahami
sebagai
karena
wahana
Umumnya
memiliki
pandangan
perempuan
yang
menyedihkan,
yang
terlibat
daerah/wilayah,
jumlah
dalam
hingga
nasional.
Namun
sama
demikian,
bahwa persepsi perempuan terhadap
ditanyakan
segala kegiatan atau urusan dalam
perempuan
ranah
tersebut sebagai sesuatu yang lumrah
publik
bukan
merupakan
154
apakah
ketika
yang
keterlibatan
sangat
minim
Partisipasi Perempuan Dalam Politik Dan Pembangunan Di Banten (Listyaningsih)
atau wajar,
terkait
yang terjadi secara
dengan
tanggungjawab
alamiah, sebagian besar informan
mereka dalam bidang ekonomi untuk
menganggap hal tersebut sebagai
menghasilkan uang dan meringankan
kewajaran mengingat pada umumnya
beban ekonomi keluarga; dan (3)
kaum perempuan di perdesaan sudah
peran sosial yaitu tanggungjawab
sangat tesita waktu dan perhatiannya
untuk melakukan kegiatan-kegiatan
terhadap masalah-masalah keluarga
sosial
sehingga
keluarga, seperti berorganisasi dan
kualitas
dan
intensitas
kemasyarakatan
mewakili
keterlibatannya dalam ranah publik
berkumpul
umumnya
secara
masyarakat yang lain, kegiatan PKK,
alamiah. Dalam kaitan dengan itu,
arisan, pengajian, posyandu, serta
menurut
pengajian/ majelis taklim.
terpinggirkan
para
informan,
peran
dengan
kelompok
perempuan sebenarnya jauh lebih
Secara umum ada pengakuan
berat karena ternyata perempuan
dari para informan bahwa peran-
tidak hanya menjalankan peran-peran
peran domestik yang inheren dalam
domestik seperti yang selama ini
diri keperempuanan mereka secara
dipahami, bahkan 3 peran sekaligus
alamiah tersebut diberi nilai yang
sebenarnya telah mereka jalankan.
Iebih rendah oleh laki-laki dan
Artinya bila ada perempuan yang
bahkan dianggap sebagai kewajiban
mampu eksis di ranah publik tanpa
semata,
mengabaikan
peran-peran
sosial dan produktif yang dilakukan
alamiahnya berarti perempuan itu
perempuan harus selalu disesuaikan
adalah perempuan luar biasa.
dengan stereoripe perempuan, dan
sementara
peran-peran
tentu harus pula selalu berkorelasi
Ketiga peran yang dimaksud
di atas yaitu: (1) peran domestik
dengan
peran-peran
yang terkait dengan tanggung jawab
tersebut.
Maka
mereka
kegiatan tidak berkait dengan hal itu,
terhadap
urusan-urusan
domestik
manakala
suatu
memasak,
seperti politik dan pemerintahan
mengasuh anak, melayam suami dan
misalnya, maka otomatis kegiatan
lain-lain; (2) peran produktif yang
itu harus dijauhi oleh mereka, tidak
rumah
tangga
seperti
155
Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No 2, Desember 2010
diperbolehkan
dianggap
oleh
tidak
suami,
patut
di
dan
dan
anak,
kekerasan
terhadap
perempuan (seperti istri ditinggal
mata
masyarakat.
menikah lagi, suami menikah tanpa
Peran-peran domestik (reproduktif)
sepengetahuan
yang dinilai Iebih rendah dari nilai-
kekerasan fisik maupun psikis –
nilai produktif ini tentu berdampak
kebetulan para informan mengaku
pada terjadinya domestikasi peran
belum pernah mengalaminya), hak-
perempuan
peran
hak reproduksi, dan sebagainya,
perempuan dari arus politik yang
mereka menganggapnya bukan hal
sebenarnya tidak harus dan tidak ada
yang khusus dan lebih penting dari
kaitan sama sekali dengan soal-soal
hal-hal yang disebutkan di atas.
publik di atas. Dan karena peran-
Kalaupun
peran
sebagai
mereka terjadi karena ada masalah
kewajiban semata maka peran-peran
dalam keluarga mereka baik sosial
publiknya tidak dianggap penting,
dan umumnya ekonomi, sehingga
sekunder
bukan masalah yang berdiri sendiri
ini
menjauhkan
dianggap
bahkan
tertier,
dan
istri,
itu
dan
penting,
menurut
fakultatif karena hanya berfungsi
melainkan
untuk mengisi waktu luang atau
sejumlah masalah yang dialami oleh
membantu
keluarga.
keluarga
atau
suami.
efek
bentuk
Suami
samping
menikah
dari
lagi
Domestikasi peran perempuan ini
menurut mereka, umumnya karena
berdampak pada lemahnya posisi
ekonomi
tawar perempuan di wilayah publik,
mapan bahkan berlebih, sementara
khususnya
komunikasi sosial dalam keluarga
dalam
pengambilan
keluarga
telah
cukup
yang
tidak berjalan dengan sebagaimana
mengarusutamakan gender hingga
mestinya. Suami berperilaku ringan
akhirnya
tangan
kebijakan-kebijakan
politik
perempuan
menjadi
karena
kurang memadai, istri tidak dapat
Dan ketika disinggung soal
seperti
terjadi
ekonomi keluarga dalam kondisi
tersubordinasi dalam masyarakat.
kasus
umumnya
pentingnya
membantu,
dan
secara
sosial
komunikasi dalam keluarga juga
perlindungan terhadap perempuan
156
Partisipasi Perempuan Dalam Politik Dan Pembangunan Di Banten (Listyaningsih)
tidak harmonis. Semua dianggap
nampak
sebagai masalah yang memang ada
kehidupan sosial masyarakat yang
namun berada dalam wilayah privat
cenderung
yang wajar sebagai akibat dari
perempuan dalam posisi marginal
sejumlah
faktor
dengan melegitimasi peran domestik
eksternal lain, kendati mereka secara
serta stereotipenya, yang muncul
emosional
dalam bentuk adagium: “3 (tiga)
persoalan
atau
umumnya
menjawab
dari
berbagai
praktek
menempatkan
posisi
...ur”, yaitu: dapur, sumur, kasur.
tidak rela kalau suaminya kawin lagi
Persepsi publik perempuan
atau main tangan walau tidak bisa
berbuat apa-apa bila itu terjadi pada
yang
minor
mereka.
jawabnya dalam ranah publik pun
kemudian
terhadap
tanggung
menyebabkan
makin
Faktor-faktor dan Masalah yang
menjauhnya perempuan pada bidang-
Menghambat
bidang yang terkait dalam ranah
Realitas
keterlibatan
aktivitas
publik
rendahnya
perempuan
publik
tersebut.
Politik
dan
pemerintahan misalnya, umumnya
dalam
perempuan
sebagaimana
“alergi”
terhadap
bahasan
aktivitas politik dalam pengertian
sebelumnya terjadi karena banyak
partai politik. Mereka memandang
faktor yang saling berkait. Mengutip
politik sebagai aktivitas ‘kotor’ dan
beberapa
beberapa
menjadi domain laki-laki sehingga
dengan
politik menjadi sangat maskulin.
dipaparkan
sumber
pada
teori
yang
fenomena
dalam
dikaitkan
yang
ditemukan
Persepsi
di
ini
paling tidak
dapat
lapangan paling tidak terdapat dua
disimpulkan sebagai realitas kultural
aspek hambatan yang mempengaruhi
yang kurang akomodatif terhadap
kualitas dan intensitas partisipasi
adanya partisipasi perempuan secara
perempuan
lebih
dalam
pembangunan,
luas
dalam
pembangunan.
baik aspek daya akomodasi kultural
Perempuan dianggap tidak pantas
maupun daya dukung struktural.
dalam jabatan-jabatan publik dan
Hambatan-hambatan
politik karena sifat-sifatnya yang
tersebut
157
Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No 2, Desember 2010
halus
dan
memiliki
tugas-tugas
Faktor Kultural
khusus di rumah. Bahkan tidak
Rendahnya tingkat partisipasi
jarang larangan berpolitik ini muncul
perempuan
juga karena alasan kemampuan dan
daerah sebagaimana tergambarkan
intelegensia
pada paparan sebelumnya paling
perempuan
yang
dalam
pembangunan
dipersepsi selalu dibawah laki-laki,
tidak
maupun alasan-alasan agama yang
faktor, diantaranva adalah faktor
bersifat doktriner. Hal-hal itulah
kultural,
yang
konstruk tradisi yang berlaku di
kemudian
menghegemoni
disebabkan
yang
oleh
beberapa
berkaitan
partisipasi sebagai domain laki-laki,
dalam
sebagai manifestasi dari akar budaya
hambatan
patriarkhi yang masih tersisa kuat
mengemuka
dalam kehidupan masyarakat kita.
wawancara yang dilakukan dengan
Masalah-masalah
sebagaimana
merupakan
disebutkan
faktor
masyarakat.
dengan
yang
kultural
Persepsi
sejumlah
informan
diklasifikasi
yang
teridentifikasi
dalam
sejumlah
dimuka
Beberapa
sebagai
perempuan
dapat
berikut:
1)
umumnya
menghambat keterlibatan perempuan
terhadap sifat aktivitas politik yang
di dalam pembangunan. Sementara
identik
pada aspek yang berbeda, kebijakan
rapat di malam hari, kompetisi yang
yang kurang peka gender yang
ketat dan cenderung kotor serta
diputuskan oleh pengambil kebijakan
menghalalkan segala cara, paradigma
yang tidak melibatkan perempuan, di
kalah-menang dalam politik, dan
samping merupakan produk kultur
lain-lain,
yang berkembang dalam masyarakat,
dengan nilai yang berlaku di dalam
secara
kendala
masyarakat. Dan bagi perempuan hal
semakin
ini bertentangan dengan “kodrat”-
faktual
struktural
menjadi
yang
dengan
mempersempit partisipasi perempuan
nya;
2)
dalam pembangunan.
dimaknai
kegiatan-kegiatan
dianggap
Peran
menyebabkan
bertentangan
domestik
secara
yang
fatalistik
berkurangnya
kesempatan bagi perempuan untuk
158
Partisipasi Perempuan Dalam Politik Dan Pembangunan Di Banten (Listyaningsih)
terlibat dalam sektor-sektor publik.
perempuan
dalam
organisasi-
Apalagi di tambah dengan kenyataan
organisasi politik tersebut.
bahwa sebenarnya peran perempuan
tidak
hanya
merupakan
peran
Faktor Struktural
domestik karena dalam banyak kasus
perempuan
justru
menjadi
Di
mitra
kultural
samping
di
atas,
faktor-faktor
terdapat
pula
kerja bagi suami dalam membantu
mekanisme struktural yang menjadi
perekonomian
subordinatif
susunan
keluarga.
Posisi
kendala bagi keterlibatan perempuan
perempuan
dalam
secara
keluarga
tampak
dari
lebih
pembangunan.
luas
dalam
Dalam
konteks
kewajiban istri untuk tunduk patuh
Pemilu 2009 lalu sebagai bagian dari
dan
pelengkap
pembangunan
kepatuhan
kendala
sebatas
jabatan
sebagai
suami,
atau
politik
struktural
misalnya,
dalam
sistem
terhadap ketentuan suami atas peran
rekrutmen politik di tingkat partai
publiknya; 3) Pandangan agama
politik yang tidak peka gender makin
yang dimaknai cenderung membatasi
memperkecil
peran
kandidat calon legislatif perempuan.
perempuan dalam politik
karena dianggap sudah terwakili oleh
Fakta
suami
perempuan
yang
merupakan
kepala
peluang
tampilnya
kurangnya
pada
kandidat
sebagian
besar
keluarga. Pandangan yang didasari
partai politik merupakan indikasi
oleh
ini
kuat kendala struktural ini. Ditambah
keterlibatan
dengan sistem kaderisasi partai yang
keyakinan
agama
menyebabkan
perempuan dalam aktivitas politik
kurang
bukan lagi didasari keinginan untuk
perempuan untuk menduduki posisi-
melakukan
terhadap
posisi strategis di dalam partai
realitas sosial, namun lebih pada
politik, yang makin memperkecil
ibadah dan pengabdian, sehingga
peluang peremuan untuk berkiprah
jarang sekali muncul tindakan yang
di dalamnya. Kondisi tersebut tentu
bermakna untuk memperbaiki posisi
saja
perubahan
membuka
paradoksal
akses
dengan
bagi
jumlah
perempuan yang mencapai separuh
159
Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No 2, Desember 2010
jumlah penduduk Provinsi Banten,
terlibat dalam wilayah publik dan
yang
pembangunan daerah.
tentu
karena
ketidakterwakilinya
perempuan
Kecenderungan seragamnya
secara fisik di lembaga legislatif
persepsi ini muncul ketika diskusi
tersebut
diarahkan
berpeluang
tidak
terwakilinya pula aspirasi kaum
aktivis
perempuan
lembaga
kebijakan
dalam
pembuatan
publik
yang
pada kecilnya
perempuan,
jumlah
baik
swadaya
dalam
masyarakat,
organisasi massa, maupun partai
sensitif
politik
gender.
di
semua
tingkatan
kepengurusan. Kebanyakan informan
Secara umum faktor eksternal
yang banyak ditemukan sebagai
berpendapat
kelemahan di bidang sosial ekonomi
mendapatkan kader perempuan yang
yang juga memperkecil kesempatan
berkualitas
dan
kaum
walaupun
menurut
perempuan
untuk
terlibat
bahwa
sulit
berpendidikan,
mereka
juga
dalam pembangunan pada umumnya.
alasan ini tidak berdiri sendiri karena
Realitas kebanyakan perempuan di
yang
Banten
perempuan
yang
pada
umumnya
sulit
sebenarnya
yang
bukan
berpendidikan
berpendidikan rendah, hidup dalam
namun perempuan yang mau terjun
kemiskinan
secara
di partai politik. Sementara kalaupun
kendala
kemauan itu ada, terdapat sejumlah
ekonomi
struktural
atau
lemah
merupakan
perempuan
faktor
untuk
lain
yang
menghambat
berpartisipasi dalam pembangunan
tampilnya perempuan ke panggung
melalui organisasi-organisasi massa
politik, seperti soal senioritas dalam
maupun partai politik.
partai,
Kendala
rendahnya
struktural
tingkat
berupa
jenjang
kaderisasi
yang
subyektif, dan yang pasti adalah
pendidikan
kemampuan
ekonomi
perempuan
perempuan pada umumnya disinyalir
untuk memodali perannya dalam
oleh para informan sebagai faktor
politik. Faktor-faktor itu menurut
yang mempengaruhi kesiapan kaum
sebagian besar dari informasi saling
perempuan
terkait dan kompleks untuk kasus
secara
umum
untuk
160
Partisipasi Perempuan Dalam Politik Dan Pembangunan Di Banten (Listyaningsih)
perempuan, berbeda dengan laki-
membatasi
laki. Beberapa informan yang terlibat
Kendala kultural dimaksud sebagian
dalam
bahwa
telah dipaparkan di atas, lainnya
mereka dapat eksis dalam politik
misalnya kebiasaan yang berlaku
karena
tidak
dalam aktivitas dalam ranah publik
Pun
(termasuk politik) yang menurut
demikian dengan sebagian besar
mereka menuntut perhatian penuh
perempuan lainnya yang eksis dalam
dan seolah tidak bisa separuh-
wilayah-wilayah
separuh,
politik
mengakui
secara
bergantung
ekonomi
pada
suami.
publik,
seperti
peran
perempuan.
rapat-rapat
penting
pengurus asosiasi profesi, asosiasi
pengambilan keputusan yang hampir
pengusaha, dan sebagainya. Kendati
pasti dilakukan di malam hari, rapat-
mereka
bahwa
rapat yang pasti dipenuhi dengan
sebagian dari perempuan yang eksis
kepulan asap rokok dan wedang
tersebut dapat eksis karena awalnya
kopi,
mendapat dukungan (baca: modal)
kehadiran
awal dari suami mereka yang telah
penyegar
lebih dahulu eksis dalam bidangnya,
sebagainya merupakan bagian dari
dan beberapa mapan secara ekonomi
kultur
karena berasal dari keluarga (orang
memperkecil
tua)
perempuan. Pada tingkat yang paling
pun
yang
mengakui
juga
mapan
secara
rapat
yang
menghendaki
perempuan
rapat
aktivitas
semata,
politik
ruang
sebagai
dan
yang
gerak
kecil, pola ini pun diterapkan dalam
ekonomi.
Bila kemudian ditimbang-
rapat-rapat di tingkat RT/RW hingga
timbang antara faktor struktural dan
Desa, kendati ini dapat dimaklumi
kultural tersebut, umumnya informan
karena aktivitas pengurus RT/RW ini
berpendapat bahwa kendala kultural
yang memang baru bisa dilakukan di
memang secara substansial jauh
sore hingga malam hari setelah
lebih terasa sebagai penghambat,
seharian sibuk bekerja di kantornya
sementara kendala struktural hanya
masing-masing. Namun kebiasaan
menjadi pelengkap yang digunakan
rapat yang tidak efisien, berlama-
sebagai alasan yang terukur untuk
lama hingga larut malam bahkan tak
161
Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No 2, Desember 2010
jarang diselingi atau diikuti oleh
dalam pembangunan, walaupun kita
aktivitas yang tak perlu seperti main
tidak bisa menyimpulkan apakah ini
catur atau gaple, dan sebagainya;
sebuah
merupakan kultur laki-laki yang
budaya yang dikembangkan, ataukah
tidak
sesuatu yang taken for granted
akan
perempuan
bisa
diikuti
mengingat
oleh
kesengajaan
sebagai
pandangan
bagian
dari
desain
dari
warisan
sebagian besar masyarakat yang
kebudayaan masa lalu yang sudah
memposisikan
domestik
mencapai taraf puncak dan berlaku
sebagai kodrat perempuan yang tidak
universal. Penelitian lebih lanjut
bisa ditinggalkan.
diperlukan
Inilah
yang
dapat
peran
fakta-fakta
kita
menjawab
fenomena ini.
empiris
pahami
untuk
untuk
melihat realitas rendahnya partisipasi
KESIMPULAN DAN SARAN
perempuan di sektor-sektor publik.
Kesimpulan
Bisa jadi profil ini juga menjadi
Dari
profil
partisipasi
perempuan
eksplorasi
yang
di
dilakukan pada kedua fakta tersebut,
Provinsi Banten dan Indonesia pada
diperoleh beberapa simpulan yang
umumnya
mengingat
terkait dengan konteks penelitian ini
prakondisi
yang
beberapa
ditemukan
di
sebagai berikut : 1) adalah realitas
wilayah ini juga relevan dengan
yang
karakteristik
di
lainnya,
dibuktikan, bahwa tingkat partisipasi
bahkan
Indonesia
sekalipun.
atau keterlibatan perempuan dalam
di
daerah
Kerelaan
kaum
laki-laki
mengakui
kesamaan
hak
secara
kasat
mata
dapat
untuk
aktivitas publik mulai dari tingkat
kaum
RT,
RW,
desa,
organisasi
perempuan dalam politik ternyata
kemasyarakatan dan lain-lain masih
sangat mahal harganya. Maskulinitas
sangat jauh dari harapan. Realitas ini
yang mengakar kuat dalam kultur
terutama tampak dari kecenderungan
aktivitas publik merupakan gunung
adanya ‘domestikasi’ aktivitas publik
karang besar yang menghambat laju
kaum perempuan pada organisasi-
peningkaan partisipasi perempuan
organisasi
162
sosial
yang
memiliki
Partisipasi Perempuan Dalam Politik Dan Pembangunan Di Banten (Listyaningsih)
stereotipe sama dengan perempuan.
kapanpun
Keaktifan perempuan diarahkan pada
persaingan politik, semuanya seolah
organisasi yang bersifat sosial dan
menjadi momok yang menakutkan
seolah "diperuntukkan" khusus bagi
bagi perempuan untuk terlibat di
perempuan dengan kegiatan-kegiatan
dalamnya; 3) terdapat pula fakta
yang bersifat khas dan mewadahi
bahwa
seluruh
perempuan.
tentang partisipasinya pada sektor-
dalam
sektor publik masih relatif terbatas,
hanya
umumnya mereka kurang memahami
stereotipe
Akibatnya,
organisasi
aktivitas
ini
cenderung
bisa
terjadi
pengetahuan
perempuan
makin menguatkan peran domestik
eksistensi
perempuan
organisasi-
lembaga pemerintahan desa, tugas
organisasi publik yang justru banyak
dan mekanisme perannya, termasuk
memotivasi mereka untuk berperan
pula
lebih luas dalam ranah publik; 2)
kebijakan publik yang terkait dengan
tumbuhnya persepsi publik yang
kehidupannya; 4) umumnya pula,
meluas bahwa aktivitas peran-peran
terdapat
bahwa
peran
publik yang identik dengan politik,
domestik yang selama ini
di-titi
yang dilakukan kaum perempuan
kaum perempuan sebagai jalan hidup
bertentangan
kodrat
adalah sebuah keniscayaan yang
keperempuanan mereka. Aktivitas
harus dimaknai sebagai dedikasi
politik yang berstereotipe maskulin:
terhadap peran yang bersifat given
keras, penuh persaingan, penuh intrik
ini, bahkan ibadah yang bernilai
dan
transedental.
dalam
dengan
konspirasi,
bahkan
‘kotor’
dan
dalam
fungsi
berbagai
lembaga-
produk-produk
anggapan
Mereka
tidak
dianggap tidak sesuai dengan kodrat
memandang khusus dan penting
fisiologis
adanya perjuangan bagi kepentingan
maupun
psikologis
perempuan. Belum lagi praktek-
kaum
praktek dalam keseharian aktivitas
menganggapnya telah inheren dalam
politik yang semuanya melelaki,
perjuangan
seperti rapat-rapat malam, rapat dan
kesejahteraan
masyarakat,
asap
meningkatkan
aksesibilitas
rokok,
kekerasan
yang
163
perempuan
karena
memperbaiki
Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No 2, Desember 2010
pendidikan dan pelayanan kesehatan
aspek fisiologis dan psikologis kaum
dan lain-lain; 5) Terdapat beberapa
perempuan
faktor dan sejumlah masalah yang
mempengaruhi
partisipasi
kaum
Saran
perempuan dalam aktivitas publik.
Paparan fakta empiris di
Namun dari sejumlah kecenderungan
muka
pandangan
pemahaman baru mengenai realitas
para
sebagaimana
informan
dipaparkan
di
atas
menghantarkan
partisipasi
kita
perempuan
pada
dalam
menunjukkan faktor kultural dan
pembangunan daerah di Propinsi
masalah-masalah yang timbul di
Banten,
dalamnya merupakan faktor yang
dirumuskan
mempengaruhi
dominan
rekomendatif guna memperbaikinya
partisipasi
di masa yang akan datang. Beberapa
pembangunan
saran yang dapat peneliti rumuskan
terhadap
rendahnya
perempuan
daerah,
secara
dalam
antara
pertama,
lain
Faktor
menempatkan
misalnya:
religi
yang
perempuan
secara
untuk
kemudian
saran
yang
dapat
bersifat
adalah sebagai berikut: 1) Perlunya
dilakukan pendidikan politik yang
mengarusutamakan
gender secara
kodrati (wajib) dengan peran utama
benar melalui organisasi-organisasi
pada peran domestik, dan peran lain
yang banyak diminati oleh kaum
sebagai peran sekunder yang tidak
perempuan untuk beraktivitas di
harus
atau
wilayah tersebut, misalnya majelis
yang
taklim, organisasi-organisasi arisan,
terpenuhi untuk terlibat didalamnya ;
PKK, dan organisasi sosial lainnya;
kedua, Budaya masyarakat yang
2) Pendidikan politik yang sama
tercermin dari mind-set yang telah
perlu dilakukan terhadap laki-laki:
mentradisi bahwa aktivitas publik
kepala keluarga dan remaja putra
yang identik dengan politik adalah
guna
aktivitas laki-laki dengan stereotipe
pemahaman
maskulin, yang tidak cocok dengan
gender dan bias gender yang selama
(sunnah)
membutuhkan
dilakukan
prasyarat
ini
164
menjaga
terjadi
keseimbangan
tentang
dalam
kesetaraan
kehidupan
Partisipasi Perempuan Dalam Politik Dan Pembangunan Di Banten (Listyaningsih)
bermasyarakat
mereka;
3)
kebijakan
di
mendorong
dalam
DAFTAR RUJUKAN
lingkungan
Alfian. 1990. Masalah Dan Prospek
Pembangunan
Politik
Indonesia,
Jakarta:
Gramedia
adanya
praktek
tata
pemerintahan di desa untuk sensitif
gender,
dengan
tidak
Bappeda Provinsi Banten, 2010,
laporan tahun 2010.
mendikotomikan peran laki-laki dan
perempuan pada pembagian kerja di
CETRO
(Centre For Electoral
Reform). 2002. "Data dan
Fakta
Keterwakilan
Perempuan Indonesia di
Partai Politik dan Lembaga
Legislatif,
1999-2001"
(Ringkasan
Eksekutif),
Jakarta: Divisi Perempuan
dan Pemilu. 8 Maret ( tidak
diterbitkan).
Gaffar,
Affan.
2004.
Politik
Indonesia Transisi Menuju
Demokrasi, Jakarta: Pustaka
Pelajar.
unit-unit kerjanya; 4) dan dalam
jangka
panjang
perlu
adanya
rumusan yang tepat dalam kurikulum
pendidikan kita guna menanamkan
nilai-nilai kesetaraan gender dalam
diri generasi muda sehingga secara
perlahan dapat merubah mind-set
masyarakat yang telanjur kurang
berpihak
pada
perempuan,
khususnya
dalam
peran-peran
publik.
Pendidikan berwawasan
Hungtinton, Samuel P. dan Nelson, J.
1990. Partisipasi Politik di
Negara
Berkembang,
Jakarta:Rineka Cipta
gender harus dapat mewujudkan (a)
Menerima
perbedaan
kodrati
individu, laki-laki dan perempuan
Parawansa, Khofifah Indar. 2003.
Studi Kasus: Hambatan
terhadap Partisipasi Politik
Perempuan di Indonesia,
makalah
sebagai hikmah,sehingga berperilaku
adil dan tidak adanya pembedaan
perlakuan
antara
laki-laki
dan
perempuan baik di rumah, di tempat
Rush, Michael. dan Althoff. 1993.
Pengantar
Sosiologi
Politik.
Jakarta:
Raja
Grafindo Persada
kerja maupun di masyarakat (b)
Memahami kondisi hidup laki-laki
dan
perempuan
berbeda,
bahwa
perbedaan itu pada dasarnya karena
Saptari, Ratna. dan Holzner. 1997.
Perempuan, Kerja dan
fungsi kodrati.
165
Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No 2, Desember 2010
Perubahan Sosial, Jakarta:
Pustaka Utama Graffiti.
Sugiatri, dkk. 2003. Pembangunan
Dalam Perspektif Gender,
Malang: UMM Press.
Soekanto, Soerjono. dan Lestarini
Ratih.
1988.
Fungsionalisme dan Teori
Konflik
dalam
Perkembangan Sosiologi,
Jakarta: Sinar Grafika
Sugiyono,
2008,
Memahami
Penelitian
Kualitatif,
Bandung: Alfabeta
UNDP. 2003. Partisipasi Politik
Perempuan
Dan
Tata
Pemerintahan yang Baik:
Tantangan Abad 21, UNDP.
166
Download