PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM POLITIK DAN PEMBANGUNAN DI BANTEN Listyaningsih Email : [email protected] Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jl. Raya Jakarta KM 4 Serang Abstract : Humans as a citizen is a subject at once the object of development in Indonesia. However, at the regional level is not the case, especially in villages far from urban civilization. The presence of women has not been evident in every movement of development in Banten. Thus attracting researchers to conduct more in-depth study on women's participation in politics and development in Banten. The research was conducted using qualitative methods with a view to facilitate researchers in capturing qualitative data in the form of exploration. Results showed that women's participation in politics and development is still lagging behind by men that is caused by two factors: structural factors and cultural factors surrounding the social, cultural and political situation in Banten Province. Keywords: women’s participation, politics, development Pembangunan sebuah negara menentukan berhasil tidaknya pada hakekatnya bertujuan untuk program-program pemerintah yang meningkatkan taraf dijalankan. Peran serta masyarakat masyarakat berbangsa kehidupan dan dapat berbentuk sumbangsih pikiran, bernegara. Dalam pelaksanaannya, tenaga masyarakat tidak lagi menjadi obyek ternyata, pembangunan, tetapi sudah menjadi dalam pembangunan di Indonesia subyek tidak seperti yang diharapkan kita peran pembangunan. serta masyarakat Sehingga sangat bersama. 143 atau keduanya. partisipasi Namun masyarakat Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No 2, Desember 2010 partisipasi perempuan dalam lembaga-lembaga pembangunan politik formal yang sering digunakan Rendahnya perempuan dalam daerah merupakan salah satu tema sebagai besar yang selalu muncul dalam pentingnya penguatan peran mereka diskursus mengenai reposisi peran melalui kebijakan-kebijakan yang perempuan dalam pembangunan dan besifat affirmatif terhadap potensi politik. Salah satu aspek yang selalu yang muncul dalam diskursus ini adalah tersebut. Angka persoalan kaum meningkat di tahun 2009 yaitu perempuan dalam struktur politik sebesar 11 % di pusat dan 18,8 % di nasional maupun daerah, termasuk tingkat Provinsi Banten, serta pada pula keterlibatan perempuan dalam tingkat kabupaten dan kota rata-rata proses perumusan kebijakan publik 13,7 %. (Bappeda Prov. Banten, di 2010) pusat representasi hingga daerah yang dasar dimiliki kaum perempuan tersebut Menurut dirasakan belum cukup memadai. argumentasi sedikit sumber Persoalan ini muncul terutama bila Kepegawaian membandingkannya secara Banten (2009), diperoleh gambaran dikotomis dengan eksistensi kaum mengenai jumlah perempuan yang perempuan dalam konteks kuantitatif menjadi yang rata-rata sebanding dengan (PNS)di lembaga pemerintahan di setengah populasi nasional maupun lingkungan Provinsi Banten hampir daerah. 50 % dari jumlah pegawai laki-laki kaum Daerah Badan Pegawai Provinsi Negeri Sipil Realitas partisipasi politik (1079:2202). Namun sangat sedikit perempuan pegawai perempun yang menduduki di lembaga legislatif sejak tahun 1999 hingga jabatan 2004 yang baru berkisar pada angka kepegawaian provinsi Banten tahun 8,8% di tingkat pusat, 6,6% di 2009 menunjukkan bahwa hanya 148 tingkat Provinsi, dan 2% di tingkat dari 1079 pegawai yang menduduki Kabupaten/kota, merupakan eselon I,II,III dan IV. Sementara partisipasi jumlah laki-laki jauh lebih banyak gambaran nyata 144 struktural. Dari data Partisipasi Perempuan Dalam Politik Dan Pembangunan Di Banten (Listyaningsih) yaitu sebesar 710 dari 2202 orang tahun yang Banten 2010) menduduki jabatan eselon 2009. (Bappeda Kondisi I,II,III,dan IV. Dalam konteks politik di kemudian Provinsi Banten, berdasarkan hasil prasangka Pemilihan ketimpangan Umum tahun 2009 inilah sering Provinsi yang menimbulkan sosial adanya gender dalam diperoleh gambaran yang kurang pembangunan, yang direfleksikan lebih sama dengan realitas di atas, dari realitas keterwakilan perempuan dimana kenyataan secara fisik dalam lembaga legislatif proporsi anggota DPRD laki-laki yang sangat minim, yang kemudian jauh bila berpeluang pada tidak terwakilinya jumlah aspirasi kaum perempuan dalam perempuan yang hanya berkisar pada proses perumusan kebijakan publik angka 17,7%. Demikian juga pada yang sensitif gender atau berpihak kabupaten/kota yang ada di wilayah pada provinsi Banten. Di maupun ditemukan lebih besar dibandingkan (82,4%) dengan Kabupaten kepentingan isu-isu perempuan yang terkait Pandeglang perempuan yang duduk langsung dengan kehidupan dan dalam hanya hak-hak kaum perempuan. Isu-isu sebesar 10%, Kabupaten Tangerang ini yang kemudian dikenal dengan sebesar 8%, Kota Tangerang sebesar isu-isu 12%, Kota Cilegon sebesar 20%, conventional politics, yang dianggap Kabupaten Lebak sebesar 16%, Kota menjadi domain kaum perempuan Serang sebesar 17,8%, Kabupaten dan hanya dapat dipahami dan Serang sekitar 8%, dan Tangerang diempati oleh kaum perempuan. Isu- Selatan sebesar 15,6 %. Jumlah ini isu tentu sangat ironis bila dibandingkan seringkali dianggap bukan sebagai dengan jumlah pemilih perempuan isu politik sehingga nyaris tidak yang hampir setara dengan pemilih masuk dalam ranah kehidupan dan laki-laki (49,46% dan 50,54%) pada cara berpikir politik kaum laki-laki, lembaga legislatif yang 145 ini soft-politics secara antara politik lain atau memang menyangkut Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No 2, Desember 2010 masalah-masalah: perempuan dalam bidang politik dan kesejahteraan pembangunan. anak, perlindungan terhadap hak reproduksi perempuan dan sebagainya. Dalam konteks inilah keyakinan terhadap keterlibatan METODE perempuan secara lebih luas dalam Dalam penelitian ini metode politik menjadi sangat penting guna penelitian yang dilakukan adalah mengurangi kesenjangan antara isu- melalui isu conventional politics dan hard Artinya politics. Hal ini cukup beralasan bukan mengingat bahwa sikap politik kaum melainkan data tersebut berasal dari perempuan lebih naskah wawancara, catatan lapangan, isu-isu dokumen pribadi, catatan memo, dan conventional politics daripada hard dokumen resmi lainnya. Sehingga politics. Sehingga sangat diperlukan yang menjadi tujuan dari penelitian sebuah kualitatif cenderung umumnya mementingkan kajian ilmiah mengenai pendekatan data yang dikumpulkan berupa ini kualitatif. angka-angka, adalah ingin partisipasi perempuan dalam politik menggambarkan realita empirik di dan pembangunan di Banten. balik fenomena secara mendalam, rinci dan tuntas. Oleh karena itu Dari latar belakang di atas kemudian menarik peneliti untuk penggunaan lebih dalam penelitian ini adalah dengan dalam mengkaji tentang dengan teori yang berlaku dengan dalam politik dan pembangunan di menggunakan metode deskriptif. Banten. Adapun tujuan penelitian pertama adalah Dilihat mengetahui penelitian partisipasi perempuan dalam politik dan pembangunan Banten. Sedangkan di instrument Propinsi yang digunakan kedua dari yang pendekatan digunakan, penelitian untuk yang mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah mengetahui hambatan yang mempengaruhi kualitatif mencocokkan antara realitas empirik bagaimana partisipasi perempuan ini, pendekatan adalah peneliti sendiri. Oleh karena itu partisipasi peneliti sebagai instrumen juga harus 146 Partisipasi Perempuan Dalam Politik Dan Pembangunan Di Banten (Listyaningsih) “divalidasi” seberapa jauh peneliti alat yang berbeda dalam metode siap kualitatif melakukan selanjutnya penelitian terjun yang Dalam kelapangan. (Moleong,1990:175). penelitian ini metode Validasi terhadap peneliti sebagai triangulasi dilakukan peneliti dengan instrumen meliputi validasi terhadap cara mengecek data melalui hasil pemahaman penelitian wawancara dengan sumber pelitian wawasan yaitu : ibu rumah tangga, anggota diteliti, DPRD yang perempuan, dan tokoh kualitatif, metode penguasaan terhadap bidang yang masyarakat di lokasi penelitian. kesiapan peneliti untuk memasuki obyek penelitian akademik baik maupun secara logistik HASIL DAN PEMBAHASAN (Sugiono,2008:1). Posisi Perempuan dalam Adapun data yang digunakan Pembangunan dan Pemerintahan untuk analisis adalah pertama, data Sebuah tata pemerintahan primer yang diperoleh melalui yang kegiatan wawancara adanya interaksi seluruh elemen dan dan demokratis observasi. Dan kedua, data sekunder dalam yang diperoleh melalui dokumentasi kepemerintahan. dan kajian pustaka. konstruktif data, masyarakat meniscayakan dalam proses Interaksi yang tersebut harus Untuk memastikan keabsahan diakomodir oleh sistem politik tanpa penelitian ini menggunakan diskriminasi, baik berdasarkan ras, metode triangulasi triangulasi. merupakan Metode agama, suku, status sosial-ekonomi teknik maupun gender. Ada kesamaan hak pemeriksaan keabsahan data yang dan kesempatan untuk setiap warga memanfaatkan sesuatu yang lain untuk berpartisipasi dalam proses- diluar data itu, untuk keperluan pengecekan atau proses politik yang terjadi dalam pembanding sistem politik yang demokratis. terhadap data itu. Hal ini berarti Umumnya keterlibatan warga membandingkan dan mengecek baik dalam pengambilan keputusan publik derajat kepercayaan suatu informasi sangat tergantung pada kemampuan yang diperoleh melalui waktu dan 147 Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No 2, Desember 2010 suatu sistem politik memberikan tersebut untuk tentu membuat posisi perempuan menjadi terpinggirkan. ruang-ruang Rendahnya kesempatan bagi setiap warganya keterlibatan dalam menyampaikan aspirasi tanpa perempuan mengenal batas ruang dan waktu, pemerintahan telah terjadi sejak di dan tanpa rasa takut. Kondisi ini tingkat paling rendah dalam strata tentu tidak akan dapat kita temukan pemerintahan yang ada, yaitu di dalam sangat tingkat RT, RW dan Desa. Sebagai diwarnai oleh budaya patriarkhis, bagian dari warga masyarakat di yang menempatkan nilai laki-laki lingkungan pada posisi super-ordinate sehingga umumnya para informan menyoroti secara sengaja maupun tidak, dan persoalan keterbatasan kesempatan langsung telah kaum perempuan dalam masyarakat maupun yang tidak, mendiskriminasikan dalam proses tempat perempuan tinggalnya, untuk forum-forum terlibat publik di lingkungannya, di samping secara dalam proses politik. Masalah pembagian peran teknis juga diakui kungkungan peran sosiologis yang dikotomis antara domestik yang dialami oleh mereka laki-laki dan perempuan, dimana di peran domestik distigmakan pada berperan besar dalam membatasi jenis kelamin perempuan sementara peran eksternal mereka, sehingga peran publik distigmakan pada jenis peran-peran kelamin Kegiatan diserahkan sepenuhnya pada laki-laki merupakan bagian sebagai kepala rumah tangga. Namun dari peran publik yang menurut demikian, disamping kendala teknis sebagian tersebut, pemerintahan “disunahkan” perempuan. laki-laki. besar sebagai Adanya masyarakat urusan dalam umumnya rumah tangga tersebut para otomatis informan sependapat turut pun bahwa komitmen kesungguhan para pelaku pembagian peran sosiologis yang rigid antara kebijakan untuk melibatkan peran publik dan peran domestik perempuan memang tidak dimiliki oleh para pimpinan di tingkat RT, 148 Partisipasi Perempuan Dalam Politik Dan Pembangunan Di Banten (Listyaningsih) RW dan Desa. Gambaran tentang senantiasa diberi peran di ruang rendahnya tersebut publik yang dinilai lebih penting termanifestasi dalam surat undangan daripada peran domestik. Dikotomi yang berbunyi peran inilah yang kemudian pada “Kepada Yth., Bapak Roni ” atau akhirnya memposisikan perempuan “Kepada Yth., Bapak Ahmad”, di menjadi tidak terlibat dan atau tidak samping penggunaan sebutan “Ibu dilibatkan Yatno” publik tersebut. komitmen hampir atau selalu “Ibu RW” untuk dalam proses-proses Kendati beberapa perempuan menggambarkan istri Bapak Yatno dan istri Bapak Ketua RW, bukan mencoba menyebut eksistensi diri individu peran-peran publik, namun tetap saja yang kebanyakan bersangkutan, seperti “Ibu muncul hanya menjalankan ditempatkan Romlah” sebagai nama istri Bapak sebagai pelengkap semata. Situasi Yatno, atau “Ibu Rodiah” sebagai rapat yang sangat melelaki, lengkap nama istri Bapak Ketua RW. dengan berbagai humor selera laki- Dalam informan, tersebut pandangan fakta-fakta yang kebanyakan mengeksploitasi sosiologis seksualitas wujud dari perempuan, secara psikologis masyarakat akan kebanyakan membuat perempuan merupakan ketidakpahaman laki para kesamaan hak perempuan dalam tidak betah berlama-lama dalam pemerintahan yang kemudian sangat forum-forum berdampak pada marginalisasi peran perempuan kendati sudah masuk perempuan pemerintahan, sektor publik, tetap saja masih seolah surat undangan itu memang menjalankan peran-peran yang masih hanya buat Bapak dan Ibu tidak terkait dengan peran domestiknya, termasuk didalamnya. Fenomena ini misalnya sebagai MC, penerima tidak terlepas dari kerangka budaya tamu, patriarkhi yang telah menjadi mind- sebagainya. dalam set bagi sebagian besar masyarakat khususnya laki-laki. seksi tersebut. Walhasil konsumsi, dan Kemudian masalah-masalah seputar perempuan dan kesejahteraan Laki-laki 149 Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No 2, Desember 2010 keluarga di dalam ruang tertutup oleh siapapun dan dengan alasan yang ‘tidak boleh’ mengemuka pada apapun. ruang publik, sehingga seringkali menyedihkan lagi adalah bahwa menempatkan masalah-masalah ternyata - menurut para informan - tersebut sebagai kepentingan yang pemahaman tersebut juga ternyata sekunder, jauh dari hingar bingar dianut oleh sebagian besar kaum pembahasan yang perempuan di menjadi urusan laki-laki. Masalah khususnya kaum kekerasan wilayah dalam dalam misalnya, rapat rumah masalah tangga Dan yang lebih Provinsi Banten, perempuan perdesaan di yang persentasenya mencapai 80% dari kesehatan reproduksi, beban kerja dalam rumah populasi perempuan. tangga yang dialami perempuan, Lebih jauh lagi, pendidikan anak, dan sebagainya konteks dianggap bukan hal yang urgen terhadap kaum perempuan untuk dibicarakan dalam forum- terlibat dalam kegiatan-kegiatan forum rapat. Beberapa isu bahkan sosial, menurut dianggap mengandung nilai tabu terdapat adanya persepsi publik yang didalamnya yang tidak boleh dibahas menggejala di ranah publik, kendati masyarakat perempuan pada umumnya memahami bahwa hukumnya bagi perempuan untuk ada bentuk-bentuk kekerasan yang terlibat terjadi di lingkungannya. Karena sosial seperti: PKK, Posyandu, dan kondisi inilah pada akhirnya nyaris majelis taklim, termasuk pula arisan. tidak dapat dilakukan advokasi yang Persepsi ini menjadi semacam nilai- memadai banyak nilai baru yang mentradisi, dan itu kekerasan terhadap perempuan dan dipahami sebagai obligative duty, anak dalam rumah tangga. Semua bahwa istri kepala desa misalnya, masalah itu dianggap merupakan harus otomatis harus menjadi ketua urusan intern “dalam negeri” yang tim penggerak PKK. Demikian pula sama sekali tidak boleh dicampuri dengan ketika terjadi 150 toleransi dalam para luas bahwa dalam masyarakat yang informan dikalangan seolah wajib kegiatan-kegiatan perangkat-perangkat desa Partisipasi Perempuan Dalam Politik Dan Pembangunan Di Banten (Listyaningsih) hingga tingkat RT/RW. maka umumnya keterlibatan mereka Di lingkungan pekerjaan, istri seorang dalam kegiatan-kegiatan kepala kantor otomatis harus menjadi dianggap sebagi rutinitas, kebutuhan, ketua Dharma Wanita, demikian pula dan dengan istri-istri pegawai negeri Namun bagi sebagian perempuan biasa. lainnya, yang umumnya keluarga- sekaligus tersebut tanggung jawab. Karena persepsi “keharusan” keluarga muda, keterlibatan mereka inilah maka dalam bidang kegiatan- dalam kegiatan-kegiatan sosial di kegiatan sosial semacam ini memang desa bukan karena keinginan pribadi harus dan karena kebutuhan mereka namun diakui partisipasi kaum perempuan cukup tinggi, kendati lebih menurut para informan baru pada sosial (expected role) yang berlaku di aspek kuantitasnya saja. Artinya bila lingkungan masyarakatnya. Bahwa melihat jumlah perempuan yang misalnya: ibu-ibu harus ikut arisan, terlibat PKK, atau majelis taklim misalnya. dalam kegiatan sosial merupakan tuntutan peran Terpolanya bentuk partisipasi semacam itu, nampaknya nyaris semua kaum perempuan, khususnya kaum di perdesaan, terlibat cukup intens ranah dalam dipaparkan di atas menggambarkan kegiatan-kegiatan tersebut. perempuan sesuai urusannya sebagaimana Namun bila melihat kualitasnya, kembali keterlibatan tersebut belum tentu masyarakat diiringi dengan pemahaman yang peran perempuan untuk menjauh dari benar seringkali urusan-urusan publik. Dalam bidang didalamnya politik, berkembang persepsi publik tidak memberikan nilai tambah yang dalam masyarakat – khususnya kaum berarti bagi peningkatan kualitas diri, perempuan kehidupannya, dan juga kehidupan bahwa masalah politik bukanlah keluarganya. Bagi sebagian kaum masalah atau tanggung jawab / perempuan terbiasa kewajiban perempuan, seperti halnya mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut masalah kewajiban mencari nafkah keterlibatan sehingga mereka yang telah 151 kuatnya dengan yang - yang nilai-nilai menempatkan memandang Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No 2, Desember 2010 dalam keluarga yang bukan menjadi karena peran sosial yang melekat kewajiban perempuan melainkan pada diri suaminya masing-masing. kewajiban laki-laki. Perempuan Misalnya, bila suami kebetulan terlibat menjadi aktivis atau pengurus partai distigmakan politik, maka umumnya istri secara ‘kotor’, dan hanya laki-laki yang otomatis ikut menjadi aktivis dan/ boleh berurusan dengan yang ‘kotor- atau paling tidak menjadi pendukung kotor’ suami dianggap dalam kurang politik pantas yang agar perempuan yang sebagai pengurus partai berperan sebagai ibu dan orang yang politik. Dukungan dan keikutsertaan terdekat tidak istri terhadap aktivitas suaminya terkontaminasi dengan hal-hal yang tersebut pada suatu ketika akan dianggap kotor tersebut. berubah menjadi sangat aktif yang dengan anak Berbicara keterlibatan akhirnya membuka peluang bagi istri mengenai perempuan untuk dalam secara definitif wilayah publik, umumnya informan mendedikasikan berpendapat pengurus partai politik, dan bahkan bahwa keterlibatan perempuan dalam wilayah publik membangun tidak Beberapa muncul secara otonom, diri karir contoh politiknya. kepala desa melainkan dipengaruhi oleh perempuan lingkungan terdekatnya, yang suaminya yang dulu menjadi kepala umumnya peranan itu dilakukan oleh desa, atau perempuan yang menjadi suami. Informasi ini muncul ketika aktivis ditanyakan tentang motivasi awal suaminya menjadi pengurus partai kaum perempuan terlibat memasuki politik tersebut, serta perempuan wilayah-wilayah seperti yang menjadi pengusaha karena terlibat dalam partai politik dan beberapa usaha suaminya tidak lagi sejenisnya. informan dapat dikelola sendiri sehingga perlu berpendapat bahwa keterlibatan itu melibatkan istri dan atau keluarganya bukan dan yang lain, merupakan contoh faktual kesadaran, melainkan ‘keterpaksaan’ untuk menggambarkan keterlibatan publik Umumnya karena kesengajaan 152 yang sebagai partai menggantikan politik karena Partisipasi Perempuan Dalam Politik Dan Pembangunan Di Banten (Listyaningsih) kaum perempuan dalam ranah publik seluruh informan yang tidak otonom sebagaimana mengakui bahwa fenomena ini mulai dipaparkan di atas. agak berubah setuju pada dan pelaksanaan Berkaca dari Pemilu 2009 Pemilihan Presiden tahun lalu, yang yang belum lama berlalu diperoleh menurut mereka mengindikasikan informasi bahwa kendati partisipasi adanya politik Pemilu terhadap tinggi, namun kendati itu dilakukan secara tertutup. perempuan dalam Kecenderungan ibu-ibu dan kaum pemilu ini diakui karena mengikuti perempuan umumnya memilih calon pilihan yang mereka terbilang keikutsertaan dalam keluarga (suami), hanya “perlawanan pilihan perempuan” suami populer dan mereka, memiliki dilandasi penampilan fisik paling menarik, motivasi kesengajaan secara sadar merupakan fakta mulai bekerjanya untuk terlibat dalam Pemilu karena pilihan otonom kaum perempuan, menganggap ‘tos wayahna’, menjadi kendati itu masih sangat jauh di kebiasaan masyarakat yang seolah bawah nilai pilihan kritis yang ideal. beberapa saja yang harus diikuti dan dimaknai sebagai hal yang menentukan dalam Persepsi tentang Partisipasi Politik kehidupannya sebagai warga negara dan Pembangunan serta sebagai peluang bagi adanya Persepsi memainkan peranan perubahan bagi perbaikan nasib diri yang dan masyarakatnya. menentukan Demikian pula dalam konteks pilihan politik sangat penting kualitas dalam partisipasi politik seseorang. Persepsi yang baik perempuan yang cenderung akan melahirkan sikap- muncul secara sikap simpati hingga empati yang otonom karena kesadaran kritisnya kemudian berkorelasi dengan tipe terhadap pilihan-pilihan yang ada, partisipasi yang muncul. Sementara melainkan dipengaruhi oleh cara persepsi yang buruk cenderung akan pandang dan pilihan suami mereka melahirkan sikap antipati hingga masing-masing. apatisme. Untuk kepentingan praktis, umumnya tidak Namun demikian 153 Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No 2, Desember 2010 telaahan mengenai persepsi juga kewajiban maupun tanggung penting dilakukan dalam rangka jawabnya, seperti: masalah mengidentifikasi pemerintahan, pembangunan, politik, bagaimana dan memetakan gambaran partisipasi dan lain-lain. Dalam konteks perempuan sebagaimana dipaparkan masalah politik misalnya, politik di muka. umumnya dipersepsikan oleh kaum Persepsi, perempuan sebagai dunia yang kotor, - sebagaimana akan penuh konspirasi dan intrik, keras, berpengaruh terhadap cara seseorang dan penuh tipu daya. Mengingat berperilaku dan bersikap terhadap persepsi ini secara umum juga suatu masalah atau isu. Demikian dipahami oleh kaum perempuan pada halnya persepsi perempuan terhadap umumnya partisipasi kaumnya dalam ranah semacam publik, terhadap membentuk dalam perempuan dijelaskan di muka serta persepsi peran-peran masyarakat, - gendernya akan maka ia referensi menjadi sosial mind-set untuk yang kaum kemudian menjauhi hal-hal tersebut. Akibatnya mempengaruhi pula bagaimana mereka melakukan memang aktivitas keseharian mereka. Hal ini perempuan dapat persepsi proses-proses politik yang masih muncul dari seperangkat nilai yang dalam hitungan jari, baik di tingkat terkristalisasi dalam diri seseorang yang terendah seperti rapat-rapat melalui berbagai proses interaksi RT/RW dan desa, hingga tingkat sosial transmisi yang lebih tinggi seperti pengurus (pendidikan) nilai yang berlangsung partai politik di tingkat anak cabang, di lingkungan masyarakatnya. cabang, dipahami sebagai karena wahana Umumnya memiliki pandangan perempuan yang menyedihkan, yang terlibat daerah/wilayah, jumlah dalam hingga nasional. Namun sama demikian, bahwa persepsi perempuan terhadap ditanyakan segala kegiatan atau urusan dalam perempuan ranah tersebut sebagai sesuatu yang lumrah publik bukan merupakan 154 apakah ketika yang keterlibatan sangat minim Partisipasi Perempuan Dalam Politik Dan Pembangunan Di Banten (Listyaningsih) atau wajar, terkait yang terjadi secara dengan tanggungjawab alamiah, sebagian besar informan mereka dalam bidang ekonomi untuk menganggap hal tersebut sebagai menghasilkan uang dan meringankan kewajaran mengingat pada umumnya beban ekonomi keluarga; dan (3) kaum perempuan di perdesaan sudah peran sosial yaitu tanggungjawab sangat tesita waktu dan perhatiannya untuk melakukan kegiatan-kegiatan terhadap masalah-masalah keluarga sosial sehingga keluarga, seperti berorganisasi dan kualitas dan intensitas kemasyarakatan mewakili keterlibatannya dalam ranah publik berkumpul umumnya secara masyarakat yang lain, kegiatan PKK, alamiah. Dalam kaitan dengan itu, arisan, pengajian, posyandu, serta menurut pengajian/ majelis taklim. terpinggirkan para informan, peran dengan kelompok perempuan sebenarnya jauh lebih Secara umum ada pengakuan berat karena ternyata perempuan dari para informan bahwa peran- tidak hanya menjalankan peran-peran peran domestik yang inheren dalam domestik seperti yang selama ini diri keperempuanan mereka secara dipahami, bahkan 3 peran sekaligus alamiah tersebut diberi nilai yang sebenarnya telah mereka jalankan. Iebih rendah oleh laki-laki dan Artinya bila ada perempuan yang bahkan dianggap sebagai kewajiban mampu eksis di ranah publik tanpa semata, mengabaikan peran-peran sosial dan produktif yang dilakukan alamiahnya berarti perempuan itu perempuan harus selalu disesuaikan adalah perempuan luar biasa. dengan stereoripe perempuan, dan sementara peran-peran tentu harus pula selalu berkorelasi Ketiga peran yang dimaksud di atas yaitu: (1) peran domestik dengan peran-peran yang terkait dengan tanggung jawab tersebut. Maka mereka kegiatan tidak berkait dengan hal itu, terhadap urusan-urusan domestik manakala suatu memasak, seperti politik dan pemerintahan mengasuh anak, melayam suami dan misalnya, maka otomatis kegiatan lain-lain; (2) peran produktif yang itu harus dijauhi oleh mereka, tidak rumah tangga seperti 155 Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No 2, Desember 2010 diperbolehkan dianggap oleh tidak suami, patut di dan dan anak, kekerasan terhadap perempuan (seperti istri ditinggal mata masyarakat. menikah lagi, suami menikah tanpa Peran-peran domestik (reproduktif) sepengetahuan yang dinilai Iebih rendah dari nilai- kekerasan fisik maupun psikis – nilai produktif ini tentu berdampak kebetulan para informan mengaku pada terjadinya domestikasi peran belum pernah mengalaminya), hak- perempuan peran hak reproduksi, dan sebagainya, perempuan dari arus politik yang mereka menganggapnya bukan hal sebenarnya tidak harus dan tidak ada yang khusus dan lebih penting dari kaitan sama sekali dengan soal-soal hal-hal yang disebutkan di atas. publik di atas. Dan karena peran- Kalaupun peran sebagai mereka terjadi karena ada masalah kewajiban semata maka peran-peran dalam keluarga mereka baik sosial publiknya tidak dianggap penting, dan umumnya ekonomi, sehingga sekunder bukan masalah yang berdiri sendiri ini menjauhkan dianggap bahkan tertier, dan istri, itu dan penting, menurut fakultatif karena hanya berfungsi melainkan untuk mengisi waktu luang atau sejumlah masalah yang dialami oleh membantu keluarga. keluarga atau suami. efek bentuk Suami samping menikah dari lagi Domestikasi peran perempuan ini menurut mereka, umumnya karena berdampak pada lemahnya posisi ekonomi tawar perempuan di wilayah publik, mapan bahkan berlebih, sementara khususnya komunikasi sosial dalam keluarga dalam pengambilan keluarga telah cukup yang tidak berjalan dengan sebagaimana mengarusutamakan gender hingga mestinya. Suami berperilaku ringan akhirnya tangan kebijakan-kebijakan politik perempuan menjadi karena kurang memadai, istri tidak dapat Dan ketika disinggung soal seperti terjadi ekonomi keluarga dalam kondisi tersubordinasi dalam masyarakat. kasus umumnya pentingnya membantu, dan secara sosial komunikasi dalam keluarga juga perlindungan terhadap perempuan 156 Partisipasi Perempuan Dalam Politik Dan Pembangunan Di Banten (Listyaningsih) tidak harmonis. Semua dianggap nampak sebagai masalah yang memang ada kehidupan sosial masyarakat yang namun berada dalam wilayah privat cenderung yang wajar sebagai akibat dari perempuan dalam posisi marginal sejumlah faktor dengan melegitimasi peran domestik eksternal lain, kendati mereka secara serta stereotipenya, yang muncul emosional dalam bentuk adagium: “3 (tiga) persoalan atau umumnya menjawab dari berbagai praktek menempatkan posisi ...ur”, yaitu: dapur, sumur, kasur. tidak rela kalau suaminya kawin lagi Persepsi publik perempuan atau main tangan walau tidak bisa berbuat apa-apa bila itu terjadi pada yang minor mereka. jawabnya dalam ranah publik pun kemudian terhadap tanggung menyebabkan makin Faktor-faktor dan Masalah yang menjauhnya perempuan pada bidang- Menghambat bidang yang terkait dalam ranah Realitas keterlibatan aktivitas publik rendahnya perempuan publik tersebut. Politik dan pemerintahan misalnya, umumnya dalam perempuan sebagaimana “alergi” terhadap bahasan aktivitas politik dalam pengertian sebelumnya terjadi karena banyak partai politik. Mereka memandang faktor yang saling berkait. Mengutip politik sebagai aktivitas ‘kotor’ dan beberapa beberapa menjadi domain laki-laki sehingga dengan politik menjadi sangat maskulin. dipaparkan sumber pada teori yang fenomena dalam dikaitkan yang ditemukan Persepsi di ini paling tidak dapat lapangan paling tidak terdapat dua disimpulkan sebagai realitas kultural aspek hambatan yang mempengaruhi yang kurang akomodatif terhadap kualitas dan intensitas partisipasi adanya partisipasi perempuan secara perempuan lebih dalam pembangunan, luas dalam pembangunan. baik aspek daya akomodasi kultural Perempuan dianggap tidak pantas maupun daya dukung struktural. dalam jabatan-jabatan publik dan Hambatan-hambatan politik karena sifat-sifatnya yang tersebut 157 Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No 2, Desember 2010 halus dan memiliki tugas-tugas Faktor Kultural khusus di rumah. Bahkan tidak Rendahnya tingkat partisipasi jarang larangan berpolitik ini muncul perempuan juga karena alasan kemampuan dan daerah sebagaimana tergambarkan intelegensia pada paparan sebelumnya paling perempuan yang dalam pembangunan dipersepsi selalu dibawah laki-laki, tidak maupun alasan-alasan agama yang faktor, diantaranva adalah faktor bersifat doktriner. Hal-hal itulah kultural, yang konstruk tradisi yang berlaku di kemudian menghegemoni disebabkan yang oleh beberapa berkaitan partisipasi sebagai domain laki-laki, dalam sebagai manifestasi dari akar budaya hambatan patriarkhi yang masih tersisa kuat mengemuka dalam kehidupan masyarakat kita. wawancara yang dilakukan dengan Masalah-masalah sebagaimana merupakan disebutkan faktor masyarakat. dengan yang kultural Persepsi sejumlah informan diklasifikasi yang teridentifikasi dalam sejumlah dimuka Beberapa sebagai perempuan dapat berikut: 1) umumnya menghambat keterlibatan perempuan terhadap sifat aktivitas politik yang di dalam pembangunan. Sementara identik pada aspek yang berbeda, kebijakan rapat di malam hari, kompetisi yang yang kurang peka gender yang ketat dan cenderung kotor serta diputuskan oleh pengambil kebijakan menghalalkan segala cara, paradigma yang tidak melibatkan perempuan, di kalah-menang dalam politik, dan samping merupakan produk kultur lain-lain, yang berkembang dalam masyarakat, dengan nilai yang berlaku di dalam secara kendala masyarakat. Dan bagi perempuan hal semakin ini bertentangan dengan “kodrat”- faktual struktural menjadi yang dengan mempersempit partisipasi perempuan nya; 2) dalam pembangunan. dimaknai kegiatan-kegiatan dianggap Peran menyebabkan bertentangan domestik secara yang fatalistik berkurangnya kesempatan bagi perempuan untuk 158 Partisipasi Perempuan Dalam Politik Dan Pembangunan Di Banten (Listyaningsih) terlibat dalam sektor-sektor publik. perempuan dalam organisasi- Apalagi di tambah dengan kenyataan organisasi politik tersebut. bahwa sebenarnya peran perempuan tidak hanya merupakan peran Faktor Struktural domestik karena dalam banyak kasus perempuan justru menjadi Di mitra kultural samping di atas, faktor-faktor terdapat pula kerja bagi suami dalam membantu mekanisme struktural yang menjadi perekonomian subordinatif susunan keluarga. Posisi kendala bagi keterlibatan perempuan perempuan dalam secara keluarga tampak dari lebih pembangunan. luas dalam Dalam konteks kewajiban istri untuk tunduk patuh Pemilu 2009 lalu sebagai bagian dari dan pelengkap pembangunan kepatuhan kendala sebatas jabatan sebagai suami, atau politik struktural misalnya, dalam sistem terhadap ketentuan suami atas peran rekrutmen politik di tingkat partai publiknya; 3) Pandangan agama politik yang tidak peka gender makin yang dimaknai cenderung membatasi memperkecil peran kandidat calon legislatif perempuan. perempuan dalam politik karena dianggap sudah terwakili oleh Fakta suami perempuan yang merupakan kepala peluang tampilnya kurangnya pada kandidat sebagian besar keluarga. Pandangan yang didasari partai politik merupakan indikasi oleh ini kuat kendala struktural ini. Ditambah keterlibatan dengan sistem kaderisasi partai yang keyakinan agama menyebabkan perempuan dalam aktivitas politik kurang bukan lagi didasari keinginan untuk perempuan untuk menduduki posisi- melakukan terhadap posisi strategis di dalam partai realitas sosial, namun lebih pada politik, yang makin memperkecil ibadah dan pengabdian, sehingga peluang peremuan untuk berkiprah jarang sekali muncul tindakan yang di dalamnya. Kondisi tersebut tentu bermakna untuk memperbaiki posisi saja perubahan membuka paradoksal akses dengan bagi jumlah perempuan yang mencapai separuh 159 Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No 2, Desember 2010 jumlah penduduk Provinsi Banten, terlibat dalam wilayah publik dan yang pembangunan daerah. tentu karena ketidakterwakilinya perempuan Kecenderungan seragamnya secara fisik di lembaga legislatif persepsi ini muncul ketika diskusi tersebut diarahkan berpeluang tidak terwakilinya pula aspirasi kaum aktivis perempuan lembaga kebijakan dalam pembuatan publik yang pada kecilnya perempuan, jumlah baik swadaya dalam masyarakat, organisasi massa, maupun partai sensitif politik gender. di semua tingkatan kepengurusan. Kebanyakan informan Secara umum faktor eksternal yang banyak ditemukan sebagai berpendapat kelemahan di bidang sosial ekonomi mendapatkan kader perempuan yang yang juga memperkecil kesempatan berkualitas dan kaum walaupun menurut perempuan untuk terlibat bahwa sulit berpendidikan, mereka juga dalam pembangunan pada umumnya. alasan ini tidak berdiri sendiri karena Realitas kebanyakan perempuan di yang Banten perempuan yang pada umumnya sulit sebenarnya yang bukan berpendidikan berpendidikan rendah, hidup dalam namun perempuan yang mau terjun kemiskinan secara di partai politik. Sementara kalaupun kendala kemauan itu ada, terdapat sejumlah ekonomi struktural atau lemah merupakan perempuan faktor untuk lain yang menghambat berpartisipasi dalam pembangunan tampilnya perempuan ke panggung melalui organisasi-organisasi massa politik, seperti soal senioritas dalam maupun partai politik. partai, Kendala rendahnya struktural tingkat berupa jenjang kaderisasi yang subyektif, dan yang pasti adalah pendidikan kemampuan ekonomi perempuan perempuan pada umumnya disinyalir untuk memodali perannya dalam oleh para informan sebagai faktor politik. Faktor-faktor itu menurut yang mempengaruhi kesiapan kaum sebagian besar dari informasi saling perempuan terkait dan kompleks untuk kasus secara umum untuk 160 Partisipasi Perempuan Dalam Politik Dan Pembangunan Di Banten (Listyaningsih) perempuan, berbeda dengan laki- membatasi laki. Beberapa informan yang terlibat Kendala kultural dimaksud sebagian dalam bahwa telah dipaparkan di atas, lainnya mereka dapat eksis dalam politik misalnya kebiasaan yang berlaku karena tidak dalam aktivitas dalam ranah publik Pun (termasuk politik) yang menurut demikian dengan sebagian besar mereka menuntut perhatian penuh perempuan lainnya yang eksis dalam dan seolah tidak bisa separuh- wilayah-wilayah separuh, politik mengakui secara bergantung ekonomi pada suami. publik, seperti peran perempuan. rapat-rapat penting pengurus asosiasi profesi, asosiasi pengambilan keputusan yang hampir pengusaha, dan sebagainya. Kendati pasti dilakukan di malam hari, rapat- mereka bahwa rapat yang pasti dipenuhi dengan sebagian dari perempuan yang eksis kepulan asap rokok dan wedang tersebut dapat eksis karena awalnya kopi, mendapat dukungan (baca: modal) kehadiran awal dari suami mereka yang telah penyegar lebih dahulu eksis dalam bidangnya, sebagainya merupakan bagian dari dan beberapa mapan secara ekonomi kultur karena berasal dari keluarga (orang memperkecil tua) perempuan. Pada tingkat yang paling pun yang mengakui juga mapan secara rapat yang menghendaki perempuan rapat aktivitas semata, politik ruang sebagai dan yang gerak kecil, pola ini pun diterapkan dalam ekonomi. Bila kemudian ditimbang- rapat-rapat di tingkat RT/RW hingga timbang antara faktor struktural dan Desa, kendati ini dapat dimaklumi kultural tersebut, umumnya informan karena aktivitas pengurus RT/RW ini berpendapat bahwa kendala kultural yang memang baru bisa dilakukan di memang secara substansial jauh sore hingga malam hari setelah lebih terasa sebagai penghambat, seharian sibuk bekerja di kantornya sementara kendala struktural hanya masing-masing. Namun kebiasaan menjadi pelengkap yang digunakan rapat yang tidak efisien, berlama- sebagai alasan yang terukur untuk lama hingga larut malam bahkan tak 161 Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No 2, Desember 2010 jarang diselingi atau diikuti oleh dalam pembangunan, walaupun kita aktivitas yang tak perlu seperti main tidak bisa menyimpulkan apakah ini catur atau gaple, dan sebagainya; sebuah merupakan kultur laki-laki yang budaya yang dikembangkan, ataukah tidak sesuatu yang taken for granted akan perempuan bisa diikuti mengingat oleh kesengajaan sebagai pandangan bagian dari desain dari warisan sebagian besar masyarakat yang kebudayaan masa lalu yang sudah memposisikan domestik mencapai taraf puncak dan berlaku sebagai kodrat perempuan yang tidak universal. Penelitian lebih lanjut bisa ditinggalkan. diperlukan Inilah yang dapat peran fakta-fakta kita menjawab fenomena ini. empiris pahami untuk untuk melihat realitas rendahnya partisipasi KESIMPULAN DAN SARAN perempuan di sektor-sektor publik. Kesimpulan Bisa jadi profil ini juga menjadi Dari profil partisipasi perempuan eksplorasi yang di dilakukan pada kedua fakta tersebut, Provinsi Banten dan Indonesia pada diperoleh beberapa simpulan yang umumnya mengingat terkait dengan konteks penelitian ini prakondisi yang beberapa ditemukan di sebagai berikut : 1) adalah realitas wilayah ini juga relevan dengan yang karakteristik di lainnya, dibuktikan, bahwa tingkat partisipasi bahkan Indonesia sekalipun. atau keterlibatan perempuan dalam di daerah Kerelaan kaum laki-laki mengakui kesamaan hak secara kasat mata dapat untuk aktivitas publik mulai dari tingkat kaum RT, RW, desa, organisasi perempuan dalam politik ternyata kemasyarakatan dan lain-lain masih sangat mahal harganya. Maskulinitas sangat jauh dari harapan. Realitas ini yang mengakar kuat dalam kultur terutama tampak dari kecenderungan aktivitas publik merupakan gunung adanya ‘domestikasi’ aktivitas publik karang besar yang menghambat laju kaum perempuan pada organisasi- peningkaan partisipasi perempuan organisasi 162 sosial yang memiliki Partisipasi Perempuan Dalam Politik Dan Pembangunan Di Banten (Listyaningsih) stereotipe sama dengan perempuan. kapanpun Keaktifan perempuan diarahkan pada persaingan politik, semuanya seolah organisasi yang bersifat sosial dan menjadi momok yang menakutkan seolah "diperuntukkan" khusus bagi bagi perempuan untuk terlibat di perempuan dengan kegiatan-kegiatan dalamnya; 3) terdapat pula fakta yang bersifat khas dan mewadahi bahwa seluruh perempuan. tentang partisipasinya pada sektor- dalam sektor publik masih relatif terbatas, hanya umumnya mereka kurang memahami stereotipe Akibatnya, organisasi aktivitas ini cenderung bisa terjadi pengetahuan perempuan makin menguatkan peran domestik eksistensi perempuan organisasi- lembaga pemerintahan desa, tugas organisasi publik yang justru banyak dan mekanisme perannya, termasuk memotivasi mereka untuk berperan pula lebih luas dalam ranah publik; 2) kebijakan publik yang terkait dengan tumbuhnya persepsi publik yang kehidupannya; 4) umumnya pula, meluas bahwa aktivitas peran-peran terdapat bahwa peran publik yang identik dengan politik, domestik yang selama ini di-titi yang dilakukan kaum perempuan kaum perempuan sebagai jalan hidup bertentangan kodrat adalah sebuah keniscayaan yang keperempuanan mereka. Aktivitas harus dimaknai sebagai dedikasi politik yang berstereotipe maskulin: terhadap peran yang bersifat given keras, penuh persaingan, penuh intrik ini, bahkan ibadah yang bernilai dan transedental. dalam dengan konspirasi, bahkan ‘kotor’ dan dalam fungsi berbagai lembaga- produk-produk anggapan Mereka tidak dianggap tidak sesuai dengan kodrat memandang khusus dan penting fisiologis adanya perjuangan bagi kepentingan maupun psikologis perempuan. Belum lagi praktek- kaum praktek dalam keseharian aktivitas menganggapnya telah inheren dalam politik yang semuanya melelaki, perjuangan seperti rapat-rapat malam, rapat dan kesejahteraan masyarakat, asap meningkatkan aksesibilitas rokok, kekerasan yang 163 perempuan karena memperbaiki Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No 2, Desember 2010 pendidikan dan pelayanan kesehatan aspek fisiologis dan psikologis kaum dan lain-lain; 5) Terdapat beberapa perempuan faktor dan sejumlah masalah yang mempengaruhi partisipasi kaum Saran perempuan dalam aktivitas publik. Paparan fakta empiris di Namun dari sejumlah kecenderungan muka pandangan pemahaman baru mengenai realitas para sebagaimana informan dipaparkan di atas menghantarkan partisipasi kita perempuan pada dalam menunjukkan faktor kultural dan pembangunan daerah di Propinsi masalah-masalah yang timbul di Banten, dalamnya merupakan faktor yang dirumuskan mempengaruhi dominan rekomendatif guna memperbaikinya partisipasi di masa yang akan datang. Beberapa pembangunan saran yang dapat peneliti rumuskan terhadap rendahnya perempuan daerah, secara dalam antara pertama, lain Faktor menempatkan misalnya: religi yang perempuan secara untuk kemudian saran yang dapat bersifat adalah sebagai berikut: 1) Perlunya dilakukan pendidikan politik yang mengarusutamakan gender secara kodrati (wajib) dengan peran utama benar melalui organisasi-organisasi pada peran domestik, dan peran lain yang banyak diminati oleh kaum sebagai peran sekunder yang tidak perempuan untuk beraktivitas di harus atau wilayah tersebut, misalnya majelis yang taklim, organisasi-organisasi arisan, terpenuhi untuk terlibat didalamnya ; PKK, dan organisasi sosial lainnya; kedua, Budaya masyarakat yang 2) Pendidikan politik yang sama tercermin dari mind-set yang telah perlu dilakukan terhadap laki-laki: mentradisi bahwa aktivitas publik kepala keluarga dan remaja putra yang identik dengan politik adalah guna aktivitas laki-laki dengan stereotipe pemahaman maskulin, yang tidak cocok dengan gender dan bias gender yang selama (sunnah) membutuhkan dilakukan prasyarat ini 164 menjaga terjadi keseimbangan tentang dalam kesetaraan kehidupan Partisipasi Perempuan Dalam Politik Dan Pembangunan Di Banten (Listyaningsih) bermasyarakat mereka; 3) kebijakan di mendorong dalam DAFTAR RUJUKAN lingkungan Alfian. 1990. Masalah Dan Prospek Pembangunan Politik Indonesia, Jakarta: Gramedia adanya praktek tata pemerintahan di desa untuk sensitif gender, dengan tidak Bappeda Provinsi Banten, 2010, laporan tahun 2010. mendikotomikan peran laki-laki dan perempuan pada pembagian kerja di CETRO (Centre For Electoral Reform). 2002. "Data dan Fakta Keterwakilan Perempuan Indonesia di Partai Politik dan Lembaga Legislatif, 1999-2001" (Ringkasan Eksekutif), Jakarta: Divisi Perempuan dan Pemilu. 8 Maret ( tidak diterbitkan). Gaffar, Affan. 2004. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Jakarta: Pustaka Pelajar. unit-unit kerjanya; 4) dan dalam jangka panjang perlu adanya rumusan yang tepat dalam kurikulum pendidikan kita guna menanamkan nilai-nilai kesetaraan gender dalam diri generasi muda sehingga secara perlahan dapat merubah mind-set masyarakat yang telanjur kurang berpihak pada perempuan, khususnya dalam peran-peran publik. Pendidikan berwawasan Hungtinton, Samuel P. dan Nelson, J. 1990. Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta:Rineka Cipta gender harus dapat mewujudkan (a) Menerima perbedaan kodrati individu, laki-laki dan perempuan Parawansa, Khofifah Indar. 2003. Studi Kasus: Hambatan terhadap Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia, makalah sebagai hikmah,sehingga berperilaku adil dan tidak adanya pembedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan baik di rumah, di tempat Rush, Michael. dan Althoff. 1993. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada kerja maupun di masyarakat (b) Memahami kondisi hidup laki-laki dan perempuan berbeda, bahwa perbedaan itu pada dasarnya karena Saptari, Ratna. dan Holzner. 1997. Perempuan, Kerja dan fungsi kodrati. 165 Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No 2, Desember 2010 Perubahan Sosial, Jakarta: Pustaka Utama Graffiti. Sugiatri, dkk. 2003. Pembangunan Dalam Perspektif Gender, Malang: UMM Press. Soekanto, Soerjono. dan Lestarini Ratih. 1988. Fungsionalisme dan Teori Konflik dalam Perkembangan Sosiologi, Jakarta: Sinar Grafika Sugiyono, 2008, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta UNDP. 2003. Partisipasi Politik Perempuan Dan Tata Pemerintahan yang Baik: Tantangan Abad 21, UNDP. 166