BAB II MAKNA DAN TEORI-TEORI TENTANG PEMAKAIAN KATA KOMU, KONZATSU, MAN-IN, DAN IPPAI 2.1 Pengertian Makna Ada pendapat yang mengatakan bahwa setiap jenis penelitian yang berhubungan dengan bahasa, apakah struktur kalimat, kosakata, ataupun bunyibunyian bahasa, pada hakikatnya tidak terlepas dari makna (Sutedi, 2003:103). Di dalam semantik, pengertian makna (sense) dibedakan dengan arti (meaning). Menurut Djajasudarma (1999:5) makna adalah pertautan yang ada diantara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata) sedangkan arti adalah pengertian suatu kata sebagai unsur yang dihubungkan. Lyons (1977:204) berpendapat bahwa mengkaji makna suatu kata adalah memahami kajian kata tersebut yang berkenaan dengan hubungan-hubungan makna yang membuat kata tersebut berbeda dari kata lain. Di dalam buku The Meaning (Ogden dan Richards, 1972:186-187) telah dikumpulkan tidak kurang dari 22 batasan mengenai makna. Bagi orang awam, untuk memahami makna kata tertentu ia dapat mencari kamus sebab di dalam kamus terdapat makna yang disebut makna leksikal. Dalam kehidupan sehari-hari orang sulit menerapkan makna yang terdapat di dalam kamus, sebab makna sebuah kata sering bergeser jika berada dalam satuan kalimat. Dengan kata lain setiap kata kadang-kadang mempunyai makna luas. Itu sebabnya kadang-kadang orang tidak puas dengan makna kata yang tertera di dalam kamus. Hal-hal ini Universitas Sumatera Utara muncul jika orang bertemu atau berhadapan dengan idiom, gaya bahasa, metafora, peribahasa, dan ungkapan. Telah disinggung bahwa inti persoalan yang dikaji di dalam semantik, ialah makna. Lyonsn(1977:400) mengatakan, ” Semantics may be defined, initially and provisionally, as the study of meaning.” – ilmu yang mengkaji makna. Untuk itu setelah dibahas tentang istilah makna, ada baiknya dikemukakan batasan makna. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2005:619) kata makna diartikan: (i) arti: ia memperhatikan makna setiap kata yang terdapat dalam tulisan kuno itu, (ii) maksud pembicara atau penulis, (iii) pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Telah diketahui bahwa kalau seseorang memperkatakan sesuatu, terdapat tiga hal yang oleh Ullmann (1972:57) diusulkan istilah: name, sense, dan thing. Soal makna terdapat dalam sense, dan ada hubungan timbal balik antara nama dengan pengertian sense. Apabila seseorang mendengar kata tertentu, ia dapat membayangkan bendanya atau sesuatu yang diacu, dan apabila seseorang membayangkan sesuatu, ia segera dapat mengatakan pengertiannya itu. Hubungan antara nama dengan pengertian, itulah yang disebut makna. Acuan tidak disebut-sebut oleh karena menurut Ullmann (1972:57), acuan berada diluar jangkauan linguis. Jika seseorang menafsirkan makna sebuah lambang, berarti ia memikirkan sebagaimana mestinya tentang lambang tersebut; yakni suatu keinginan untuk menghasilkan jawaban tertentu dengan kondisi-kondisi tertentu pula. Dengan Universitas Sumatera Utara mengetahui makna kata, baik pembicara, pendengar, penulis, maupun pembaca yang menggunakan, mendengar atau membaca lambang-lambang berdasarkan sistem bahasa tertentu, percaya tentang apa yang dibicarakan, didengar, atau dibaca. (Stevenson dalam Chaer,2003:52) Menurut Sutedi (2003:103) menyatakan bahwa dalam tata bahasa Jepang, makna sebagai objek kajian semantik antara lain makna kata (go no imi), relasi makna (go no imi kankei) antar satu kata dengan kata yang lainnya, makna frase dalam suatu idiom (ka no imi) dan makna kalimat (bun no imi). 2.2 Jenis-jenis Makna dalam Semantik Menurut Chaer (2003:289) karena bahasa itu digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan dalam kehidupan bermasyarakat maka makna bahasa itupun menjadi bermacam-macam bila dilihat dari segi dan pandangan yang berbeda. Selanjutnya menurut Chaer (2003:294) bahwa setiap kata atau leksem memiliki makna. Awalnya makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna denotatif, dan makna koseptual. Namun dalam penggunaannya makna kata itu baru jelas kalau kita sudah berada dalam kalimatnya atau konteks situasinya. Menurut Chaer (2003:289) pembagian tipe makna berdasarkan beberapa kriterianya antara lain: a. Berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata atau leksem, dapat dibedakan menjadi makna referensial da makna non referensial. Universitas Sumatera Utara b. Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata atau leksem, dapat dibedakan menjadi makna denotatif dan makna konotatif. c. Berdasarkan ketepatan maknanya, makna dapat dibedakan menjadi makna kata dan makna istilah. d. Berdasarkan kriteria atau sudut pandang lain, dibedakan menjadi makna asosiatif, idiomatik, kolokatif dan sebagainya. 1. Makna Leksikal Menurut Chaer (1995:59) disamping pembagian makna di atas masih ada lagi 2 tipe makna berdasarkan jenis semantiknya, yaitu makna leksikal dan makna gramatikal. Menurut Chaer (1995:59) makna leksikal adalah makna kata ketika kata itu berdiri sendiri, entah dalam bentuk leksem atau bentuk berimbuhan yang maknanya kurang lebih tetap, yang sesuai dengan referennya, seperti yang dapat dibaca dalam kamus bahasa tertentu. Kemudian, Djajasudarma berpendapat (1999:13) makna leksikal (lexical meaning, semantic meaning, external meaning) adalah makna unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa da lain-lain. Sejalan dengan itu, menurut Sutedi (2003:106) bahwa makna leksikal adalah makna kata yang sesungguhnya sesuai dengan referensinya sebagai hasil pengamatan indera dan terlepas dari unsur gramatikalnya. Makna leksikal dalam bahasa Jepang disebut dengan jishoteki-imi atau goiteki-imi. Dalam bahasa Jepang contohnya kata neko dan kata uchi memiliki makna leksikal ’kucing’ dan ’rumah’. Dari makna tersebut kata neko dan uchi mengacu pada makna tertentu. Yang diacu dinamai ’referen’ yakni Universitas Sumatera Utara hewan berkaki empat berkumis dan suka mencuri ikan dan bangunan tempat tinggal. Sudah jelas bahwa referensi adalah berhubungan erat dengan makna, jadi referensi merupakan salah satu sifat makna leksikal. 1. Makna Gramatikal Menurut Chaer (1995:60) makna gramatikal (gramatical meaning), makna fungsional (fungsional meaning; structural meaning) adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata dalam kalimat. Dan menurut Sutedi (2003:107) makna gramatikal dalam bahasa Jepang disebut ’bunpoo teki imi’. Sedangkan menurut Djadjasudarma (1999:13) makna gramatikal adalah makna yang menyangkut hubungan intrabahasa, atau makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata dalam kalimat. Makna gramatikal timbul karena terjadi proses gramatikal seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi. Kata mata mengandung makna leksikal alat atau indra yang terdapat dikepala yang berfungsi untuk melihat. Namun setelah kata mata ditempatkan dalam kalimat, misalnya, ”Hei, mana matamu?” Kata mata tidak mengacu lagi pada makna alat untuk melihat atau tidak menunjuk pada indra untuk melihat, tetapi menunjuk pada cara bekerja, cara bekerja yang hasilnya kotor, tidak baik. Belum lagi kata mata digabungkan dengan kata lain yang menghasilkan urutan kata: air mata, mata air, mata duitan, mata keranjang, mata pisau, telur mata sapi, yang semuanya mengandung makna yang sudah lain dengan makna kata mata. Dengan contoh ini Universitas Sumatera Utara terlihat bahwa maksud kata mata bergeser. Makna inilah yang disebut makna gramatikal. Dalam gramatika bahasa Jepang, ’joshi’ dan ’jodoshi’ tidak memiliki makna leksikal, tetapi memiliki makna gramatikal, sebab baru jelas maknanya jika digunakan dalam kalimat. Sedangkan verba dan adjektiva memiliki kedua jenis makna tersebut. Contoh pada kata isogashii dan taberu bermakna leksikal ’sibuk’ dan ’makan’. Sedangka partikel ’de’ secara leksikal tidak jelas maknanya, tetapi baru jelas kalau digunaka dalam kalimat, misalnya ’byooki de gakko o yasumimashita’ (karena sakit tidak masuk sekolah). 2.3 Relasi Makna Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya (Chaer, 2003:297). Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya lagi. Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonim), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna (homonimi), kelebihan makna (redundansi), dan sebagainya. 2.3.1. Sinonim Universitas Sumatera Utara Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satuan ujaran dengan satuan ujaran lainya. (Chaer,2003:297) Secara etimologi kata sinonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti ’nama’ dan syn yang berarti ’dengan’. Maka arti harfiah dari sinonim berarti ’nama lain untuk benda atau hal yang sama’. Pada definisi di atas ada dikatakan ”maknanya kurang lebih sama” Ini berarti, dua buah kata yang bersinonim itu; kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja, kesamaannya tidak bersifat mutlak (Ullman 1972:141). Ada prinsip umum semantik yang mengatakan apabila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda, walaupun perbedaannya hanya sedikit. Demikian juga kata-kata yang bersinonim; karena bentuknya berbeda maka maknanya pun tidak persis sama. 2.3.2. Antonim Antonim adalah hubungan semantik antara dua buah ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan atau kontras antara satu dengan yang lainnya (Chaer,2003:299) Kata antonim berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya ’nama’, dan anti yang artinya ’melawan’. Maka secara harfiah antonim berarti ’nama lain untuk benda lain pula’. Secara semantik didefinisikan sebagai: ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Universitas Sumatera Utara Hubungan makna antara dua buah kata yang berantonim bersifat dua arah. Jadi, kalau kata bagus berantonim dengan kata buruk, maka kata buruk juga berantonim dengan kata bagus. Sama halnya dengan sinonim, antonim pun tidak bersifat mutlak. Verhaar menyatakan ”...yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain”. Jadi, hanya dianggap kebalikan. Bukan mutlak berlawanan. 2.3.3. Homonim Homonim adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya kebetulan sama,maknanya berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan (Chaer,2003:302). Kata homonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onama yang artinya ’nama’ dan homo yang artinya sama. Secara harfiah homonim dapat diartikan sebagai ”nama sama untuk benda atau hal lain”. Secara semantik, didefinisikan homonim sebagai ungkapan (berupa kata, frase, atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama. Umpamanya antara kata bisa yang berarti ’racun ular’ dan kata bisa yang berarti ’sanggup, dapat’. Ada dua kemungkinan sebab terjadinya homonim ini. Pertama, bentuk-bentuk yang berhomonim itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan. Misalnya kata asal yang berarti ’pangkal, permulaan’ berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata asal yang berarti ’kalau’ berasal dari dialek Jakarta. Universitas Sumatera Utara Kedua, bentuk-bentuk yang berhomonim itu terjadi sebagai hasil proses morfologi. Umpamanya kata mengukur dalam kalimat Ibu sedang mengukur kelapa di dapur adalah berhomonim dengan kata mengukur dalam kalimat petugas agraria itu mengukur luasnya kebun kami. Jelas, kata mengukur yang pertama terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata kukur (me+kukur=mengukur); sedangkan kata mengukur yang kedua terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me+ukur=mengukur). Sama halnya dengan sinonim dan antonim, homonim ini pun dapat terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat. 2.3.4. Hiponim Hiponim adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain (Chaer,2003:305) Kata hiponim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma bararti ’nama’ dan hypo berarti ’di bawah’. Jadi, secara harfiah berarti ’nama yang termasuk di bawah nama lain’. Secara semantik Verhaar (1981:137) menyatakan hiponim adalah ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga berupa frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain. Umpamanya kata tongkol adalah hiponim terhadap kata ikan sebab makna tongkol berada atau termasuk dalam makna kata ikan. Tongkol memang ikan tetapi ikan bukan hanya tongkol melainkan juga termasuk bandeng, tenggiri, teri, mujair, cakalang, dan sebagainya. Universitas Sumatera Utara Kalau relasi antara dua buah kata yang bersinonim, berantonim, dan berhomonim bersifat dua arah, maka relasi antara dua buah kata yang berhiponim ini adalah searah. Jadi kata tongkol berhiponim terhadap kata ikan; tetapi kata ikan tidak berhiponim terhadap kata tongkol, sebab makna ikan meliputi seluruh jenis ikan. Dalam hal ini relasi antara ikan dengan tongkol (atau jenis ikan lainnya) disebut hipernim. Jadi, kalau tongkol berhiponim terhadap ikan, maka ikan berhipernim terhadap tongkol. 2.3.5. Polisemi Polisemi diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu (Chaer,2003:301) Umpamanya, kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna (1) bagian tubuh dari leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan; (2) bagian dari suatu yang terletak di sebelah atas atau depan dan merupakan hal penting seperti pada kepala meja dan kepala kereta api; (3) bagian dari sesuatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala paku dan kepala jarum; (4) pemimpin atau ketua seperti pada kepala sekolah dan kepala kantor; (5) jiwa atau orang seperti dalam kalimat, setiap kepala menerima bantuan Rp 50.000; dan (6) akal budi seperti dalam kalimat, badannya besar tetapi kepalanya kosong. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam bahasa Indonesia kata kepala setidaknya mengacu kepada enam buah konsep/makna. Padahal menurut pembicaraan terdahulu setiap kata hanya memiliki satu makna, yakni yang disebut makna leksikal atau makna yang sesuai dengan referennya. Umpamanya Universitas Sumatera Utara makna leksikal kata kepala di atas adalah ’bagian tubuh manusia atau hewan dari leher ke atas’. Makna leksikal ini yang sesuai dengan referennya (lazim disebut orang makna asal, atau makna sebenarnya) mempunyai banyak unsur atau komponen makna. Kata kepala di atas, antara lain memiliki komponen makna: • Terletak di sebelah atas atau depan • Merupakan bagian yang penting (tanpa kepala manusia tidak bisa hidup, tetapi tanpa kaki atau lengan masih bisa hidup) • Berbentuk bulat 2.3.6. Ambiguitas Ambiguitas atau ketaksaan diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti (Chaer,2003:308). Kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar dari kata, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang yang berbeda. Umpamanya, frase buku sejarah baru dapat ditafsirkan sebagai (1) buku sejarah itu baru terbit, atau (2) buku itu berisi sejarah zaman baru. Ambiguitas hanya terjadi pada satuan frase dan kalimat saja, tidak dapat terjadi pada semua satuan gramatikal. 2.3.7. Redundansi Redundansi diartikan sebagai ’berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran’ (Chaer,2003:310). Universitas Sumatera Utara Umpamanya kalimat Bola ditendang Si Udin, maknanya tidak akan berubah bila dikatakan Bola ditendang oleh Si Udin. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua dianggap sebagai sesuatu yang redundansi, yang berlebih-lebihan, dan yang sebenarnya tidak perlu. Secara semantik masalah redundansi sebetulnya tidak ada, sebab salah satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda. Jadi, kalimat Bola ditendang Si Udin berbeda maknanya dengan kalimat Bola ditendang Oleh Si Udin. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua akan lebih menonjolkan makna pelaku (agentif) daripada kalimat pertama yang tanpa kata oleh. Sesungguhnya pernyataan yang mengatakan pemakaian kata oleh pada kalimat kedua adalah sesuatu yang redundans, karena makna kalimat itu tidak berbeda dengan kalimat yang pertama, adalah pernyataan yang mengelirukan atau mengacaukan pengertian makna dan informasi. Makna adalah suatu fenomena dalam ujaran (utterance-internal) sedangkan informasi adalah sesuatu yang luar ujaran (utterence-external). Jadi yang sama antara kalimat pertama dan kalimat kedua di atas bukan maknanya melainkan informasinya. 2.4 Asal Usul (Etimologi) Kata dan Makna Berdasarkan asal usulnya, kosakata bahasa Jepang dapat dibagi menjadi tiga macam yakni wago, kango, dan gairaigo. Namun selain ketiga macam kosakata tersebut ada sebuah jenis kosakata yang disebut konshugo yaitu katakata yang merupakan gabungan dari beberapa kata dari sumber yang berbeda Universitas Sumatera Utara misalnya gabungan wago dengan kango, wago dengan gairaigo, atau kango dengan gairaigo. Klasifikasi kata berdasarkan asal-usulnya seperti ini disebut goshu (Iwabuchi dalam Sudjianto,2007:99). 1. Wago Wago adalah kata-kata bahasa Jepang asli yang sudah ada sebelum kango dan gaikokugo (bahasa asing) masuk ke Jepang (Sudjianto, 2007:99). Semua joshi dan jodooshi, dan sebagian besar adjektiva, konjungsi, dan interjeksi adalah wago. Namun diantara kata-kata yang tergolong wago, ada juga wago yang berasal dari bahasa lain. Misalnya kata uma, saga, zeni berasal dari bahasa Cina, kata tera, kasa, dan mura berasal dari bahasa Korea. Selain itu, kata ama, kawara, dan sebagainya berasal dari bahasa India klasik. Saito Michiaki (dalam Sudjianto, 2007:100) mengatakan bahwa wago mengacu pada bahasa Jepang asli yaitu bahasa yang dibuat di Jepang yang biasa disebut juga yamato kotoba. Di dalamnya terdapat juga kata-kata yang dikatakan pada zaman dulu masuk ke dalam bahasa Jepang yang berasal dari bahasa Cina atau dari bahasa Korea. Tetapi karena kurangnya bukti-bukti dan hampir tidak ada kesadaran bahwa katakata itu sebagai kata serapan, maka pada umumnya dianggap termasuk pada wago. Wago memiliki karakteristik sebagai berikut (Ishida, dalam Sudjianto, 2007:100). 1. Banyak kata yang terdiri dari satu atau dua mora. 2. Terlihat adanya perubahan bunyi pada kata yang digabungkan, seperti : ame amagasa Universitas Sumatera Utara ki kodachi sake sakamori 3. Tidak ada kata yang memiliki silabel dakuon dan ragyoo’on (bunyi silabel ra, ri, ru, re, ro) pada awal katanya. 4. Banyak kata-kata yang secara simbolik mengambil tiruan bunyi terutama gitaigo seperti ussura, honnori, daraari, dan sebagainya. 5. Tersebar pada semua kelas kata, terutama kelas kata verba sebagian besar wago. 6. Banyak kata-kata yang menyatakan benda konkrit, sedangkan katakata abstrak sedikit. 7. Banyak kata-kata yang menyatakan hujan, tumbuhan, binatang, serangga, dan sebagainya. 8. Merupakan kata-kata yang biasa dipakai sehari-hari. 9. Tidak mempunyai kekuatan untuk menyatakan sesuatu secara tepat. Oleh karena itu ada kata-kata yang memiliki cara baca yang sama tetapi mempunyai bentuk kanji yang berbeda. 2. Kango Kango merupakan kata-kata yang menyerap secara mendalam di dalam kehidupan orang Jepang dengan melewati waktu yang panjang (Sudjianto, 2007:101). Di dalam ragam tulisan, kango ditulis dengan huruf kanji (yang dibaca dengan cara on’yomi) atau dengan huruf hiragana. Tanimitsu (dalam Sudjianto, 2007:101) menyebutkan bahwa pada mulanya kango disampaikan dari Universitas Sumatera Utara Cina, lalu bangsa Jepang memakainya sebagai bahasanya sendiri, namun tidak jelas pada zaman apa itu terjadi. Tetapi diketahui bahwa pada zaman Nara kango sudah dipakai, pada zaman Heian banyak kango yang terlihat pada karya-karya sastra seperti monogatari ’cerita’. Dengan demikian, kango merupakan kata-kata yang menyerap secara mendalam di dalam kehidupan orang Jepang dengan melewati waktu yang panjang. Apabila melihat asal-usulnya, kango tampaknya tidak berbeda dengan gairaigo karena sama-sama berasal dari bahasa asing. Tetapi karena kango memiliki karakteristik tertentu yang berbeda dengan gairaigo maka kango menjadi jenis kosakata tersendiri. Ishida Toshiko (dalam Sudjianto, 2007:103) menyebutkan karakteristik kango sebagai berikut. 1. Kango adalah kata-kata yang dibaca dengan cara on’yomi yang terdiri dari satu buah huruf kanji atau yang merupakan gabungan dua buah huruf kanji atau lebih. 2. Oleh karena di dalam cara membaca on’yomi juga ada go’on (cara pelafalan pada waktu dinasti Wu), kan’on (cara pelafalan pada waktu dinasti Han), dan too’on (cara pelafalan pada waktu dinasti Tang), maka terdapat berbagai macam cara baca. 3. Pada awal kata banyak yang memakai silabel dakuon, namun tidak ada yang memakai silabel handakuon. 4. Banyak bunyi yoo’on dan choo’on. 5. Dapat membuat kata-kata panjang dengan cara menggabungkan berbagai kango. Sebaliknya kata yang terlalu panjang dapat disingkat. Universitas Sumatera Utara 6. Banyak kelas kata nomina terutama kata-kata mengenai aktifitas manusia dan nomina abstrak. 7.Bersifat bunshoogo ’bahasa tulisan/sastra’. 7. Dipakai secara rinci atau detail berdasarkan objek. 8. Banyak doo’ongo dan ruigigo. 9. Bertambah secara drastis setelah zaman Meiji. 3. Gairaigo Sudjianto (2007:104) menyatakan bahwa Gairaigo adalah kata-kata yang berasal dari bahasa asing (gaikokugo) lalu dipakai sebagai bahasa nasional (kokugo). Kata-kata yang termasuk gairaigo bahasa Jepang pada umumnya adalah kata-kata yang berasal dari bahasa negara-negara Eropa tidak termasuk kango yang terlebih dahulu dipakai dalam bahasa Jepang sejak zaman dahulu kala. Oleh karena gairaigo sudah dijepangkan, maka kata-kata yang termasuk gairaigo berbeda dengan gaikokugo (bahasa asing). Kata-kata yang diambil dari bahasa asing yang sudah dimasukkan ke dalam sistem bahasa Jepang disebut gairaigo atau shakuyoogo. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gairaigo adalah salah satu jenis kosakata bahasa Jepang yang berasal dari bahasa asing yang telah disesuaikan dengan aturan-aturan dalam bahasa Jepang. Banyak hal yang menjadi ciri khas gairaigo yang membedakannya dengan wago, kango, dan konshugo. Ciri-ciri khusus tersebut antara lain (1) gairaigo ditulis dengan huruf katakana, (2) terlihat kecenderungan pamakaian gairaigo pada bidang dan lapisan masyarakat yang cukup terbatas, frekuensi Universitas Sumatera Utara pemakaiannya juga rendah, (3) nomina konkrit relatif banyak, (4) ada juga gairaigo buatan Jepang, (5) banyak kata yang dimulai dengan bunyi dakuon (Ishida, dalam Sudjianto, 2007:105). 4. Konshugo Konshugo adalah kelompok kosakata yang terbentuk sebagai gabungan dari dua buah kata yang memiliki asal-usul yang berbeda (Sudjianto, 2007:108). Pada dasarnya konshugo terdiri atas tiga macam gabungan sebagai berikut. 1. Wago dengan kango Misalnya :Nimotsu, fumidai, mizu shoobai, bangumi, honbako 2. Kango dengan gairaigo Misalnya :Ikamera, gyaku koosu, tennen gasu Taunshi, 3. Wago dengan gairaigo Misalnya :Uchigeba, tsukiroketto, oogata purejekuto Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kata komu dan termasuk ke dalam kosakata jenis wago. Sesuai dengan karakteristik wago, kata komu adalah kata yang terdiri dari dua mora, tidak termasuk kata yang memiliki silabel dakuon dan ragyoo’on pada awal katanya, dibaca dengan cara kun’yomi, dan merupakan kata-kata yang biasa dipakai sehari-hari. Sedangkan kata man’in, konzatsu, dan ippai termasuk ke dalam kosakata jenis kango. Sesuai dengan aturan-aturan dan karakteristik kango, kata man’in, konzatsu, dan ippai adalah kata-kata yang dibaca dengan cara on’yomi yang merupakan gabungan dua buah Universitas Sumatera Utara huruf kanji, pada awal kata tidak memakai silabel handakuon, dan termasuk kelas kata nomina mengenai aktifitas manusia. 2.5 Teori-teori Tentang Pemakaian Kata Komu, Konzatsu, Man-in, dan Ippai 2.5.1 Komu a. Dalam buku Effective Japanese Usage Dictionary, Shoji dan Hirotase mengatakan bahwa : 込む:店、建物、電車などある公の場所が、自由に動けない ほどいっぱいになることです。[道(道路)が込む]のように車 に乗っているときにも使います。 Komu adalah keadaan penuh sesak hingga tidak dapat bergerak dengan bebas seperti di tempat-tempat umum, pertokoan, kereta api dan lain-lain. Digunakan juga ketika menggambarkan situasi jalan yang penuh olah kendaraan (2001:304). Contoh : 休みあけの銀行は込む。 Bank-bank akan penuh sesak setelah hari-hari libur. b. Izuhara Shoji dalam buku Ruigigo Tsukaiwake Jiten, mengatakan bahwa komu adalah : 限られた空間に、人、車などが多すぎて、動きのとらない ほどの状態. Universitas Sumatera Utara Situasi penuh sesak ketika seolah-olah tidak ada tempat untuk bergerak dan terlalu banyak orang, kendaraan, dan sebagainya di ruang yang terbatas (2001:347). contoh:混雑したホムに込んだ電車が入って,駅の構内は混乱はじめ た. Di stasiun kereta api, saat-saat dimulainya kekacauan adalah ketika kereta api yang penuh sesak masuk ke peron yang telah dipenuhi oleh orang-orang. c. Nomoto dalam Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar edisi Bahasa Indonesia, mengatakan bahwa komu adalah hal yang menyatakan keadaan penuh sesak sehingga tidak dapat bergerak secara bebas;tinggi derajat kepadatannya (ttg barang);[penuh] <ragam lisan> (1988:585) Contoh : 電車がきょうも込んでいる。 Kereta api hari ini pun penuh sesak. d. Seiichiro dalam Dictionary of Basic Japanese Usage menyatakan bahwa komu adalah: 建物や乗り物などの中に人がたくさん集まる.こみあう. Di dalam bangunan, kendaraan, dan lain-lain berkumpul banyak orang. Penuh sesak.(1950:302) Contoh:日曜日に展覧会ヘ行ったら,とてもこんでいて,ゆっくり見ら れませんでした. Universitas Sumatera Utara Kalau pergi ke pameran pada hari minggu, tidak dapat melihatlihat dengan leluasa, karena sangat penuh sesak oleh pengunjung lain. 2.5.2 Konzatsu a. Dalam buku Effective Japanese Usage Dictionary, Shoji dan Hirotase mengatakan bahwa konzatsu adalah: ある公の場所に、自由に動けないほどたくさんひとが集まって ようすを表します。こむよりも、せいぜんとしていない。こ うせいや秩序がとれない状態です。こむと同様に車も使いま す. Situasi yang menyatakan bahwa ada banyak orang berkumpul di tempat umum yang tidak memungkinkan untuk bergerak bebas. Mirip artinya dengan komu tapi situasinya dianggap lebih buruk.seperti komu, konzatsu boleh digunakan ketika membicarakan tentang kendaraan.(2001:305) Contoh:駅の改札口は混雑する から、待ち合わせないは向かな い。 Tempat pengguntingan karcis di stasiun kereta api yang penuh sesak, bukan tempat yang cocok untuk bertemu seseorang. b. Nomoto dalam Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar edisi Bahasa Indonesia, mengatakan bahwa konzatsu adalah hal menjadi tidak bisa Universitas Sumatera Utara bergerak dengan sekehendak hati karena orang, kendaraan dan sebagainya berkumpul di suatu tempat keterbitan. (kekacauan, kerusuhan, keruwetan). (1988:591) Contoh : 朝タのラッシュ時は道路の混雑が激しい。 Pada jam sibuk pagi dan sore kemacetan jalan sangat hebat. c. Shotaku dalam Kokugo Jiten Shinteiban menyatakan bahwa konzatsu adalah: Hal penuh sesak dan berkumpulnya orang dan barang pada suatu tempat dengan tidak teratur. Hal mendapat bermacam kesukaran. (1988:502) Contoh : depaato no omochauriba no konzatsu no naka de, kodomo to hagurete taihendatta. Sangat menyedihkan, aku terpisah dengan anakku di tengah penuh sesaknya di bagian penjualan boneka. d. Ichiharuko dalam Kokugo Dai Jiten menyatakan bahwa konzatsu adalah: 多くの人や物がしつじょなくいりまじってこみあうこと. ごっ たがえすこと. Hal yang menyatakan bahwa orang-orang banyak dan benda, penuh sesak berkumpul dengan tidak teratur. (1978:725) Universitas Sumatera Utara Contoh:幕間に散歩する人達で帝国劇場のろかはどこもかしこも 押合うような混雑. lobi teater kekaisaran penuh sesak oleh orang-orang yang berjalan-jalan pada selang waktu dua adegan. 2.5.3 Man-in a. Nomoto dalam Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar edisi Bahasa Indonesia, mengatakan bahwa man-in adalah keadaan suatu tempat atau kendaraan yang sudah penuh, sehingga lebih dari itu orang tidak bisa masuk lagi. (1988:685) contoh : この電車は満員だから次のにしよう. Karena trem ini telah penuh mari kita naik yang berikutnya. b. Seiichiro dalam Dictionary of Basic Japanese Usage menyatakan bahwa: 乗り物や会場などに人がいっぱいはいって,それ以上はいれな いこと Hal yang menyatakan bahwa di dalam ruangan, kendaraan, dan lainlain telah dipenuhi oleh orang-orang, lebih dari itu tidak dapat masuk. (1950:967) Contoh :バスが来たが, 満員でのれませんでした. Busnya telah datang, tetapi tidak dapat naik karena telah penuh sesak. Universitas Sumatera Utara c. Ishiguro dan Nakazawa dalam buku Shogaku Kokugo menyatakan bahwa man-in adalah: 決められた定員になること. Hal tentang jumlah orang atau anggota yang telah ditetapkan. Contoh: 席は満員です. Kursinya sudah penuh. 2.5.4 Ippai a. Nomoto dalam Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar edisi Bahasa Indonesia menyatakan ippai adalah keadaan penuh, sampai batasnya. (bahasa santai atau kanak-kanak).(1988:380) contoh : びんの口までいっぱいに水を入れる。 Bin no kuchi made ippai ni mizu o ireru. Mengisikan air ke dalam botol sampai penuh. b. Izuhara Shoji dalam buku Ruigigo Tsukaiwake Jiten, mengatakan bahwa ippai adalah keadaan dimana benda padat , cair, atau gas yang memenuhi suatu tempat. Benda atau materi yang tak terkira banyaknya.(2001:94) Contoh :図書館に行けば読みたい本がいっぱいある. Kalau pergi ke perpustakaan, ada banyak buku yang ingin dibaca. Universitas Sumatera Utara c. Seiichiro dalam Dictionary of Basic Japanese Usage menyatakan bahwa ippai adalah: ある物の中にとてもたくさん何かがあること.この意味のとき漢 字は使わない. Hal tentang ada sesuatu yang sangat banyak di dalam suatu barang atau tempat.(1950:78) Contoh: この本には漢字がいっぱいあるから,なかなか読めませ ん. Dalam buku ini ada banyak huruf kanji, hampir-hampir tidak dapat di baca. 2.6 Pilihan Bahasa Pilihan bahasa merupakan suatu perwujudan dari penggunaan sebuah bahasa tertentu oleh seorang dwibahasawan setelah ia memutuskan untuk memilih salah satu bahasa untuk menanggapi kejadian tertentu. Dalam Pemilihan bahasa, banyak faktor yang mempengaruhinya. Beberapa diantaranya adalah faktor partisipan, situasi, domain, topik pembicaraan, tempat, bahasa yang dikuasai, bentuk bahasa dan lain-lain. Jika seseorang menggunakan lebih dari satu bahasa saat berkomunikasi dengan lainnya, mereka selalu memilih salah satu bahasa untuk tujuan-tujuan tertentu, orang tertentu dan menggunakan bahasa yang lain untuk tujuan lain, tempat lain dan orang lain. Dalam menjelaskan perilaku pemilihan bahasa pada masyarakat bilingual, Siregar (1998:50) mengemukakan beberapa hal seperti bahasa apa yang selalu Universitas Sumatera Utara digunakan dalam interaksi keluarga, atau interaksi intra kelompok etnik sendiri. Kemudian bahasa yang mana digunakan dalam interaksi inter kelompok etnik yang berbeda, lalu ciri apa yang dapat digunakan untuk menentukan pemilihan bahasa dalam situasi dan menentukan pemilihan bahasa dalam situasi lainnya. Fissman (1968) seperti yang diuraikan oleh Appel (1988:23) mengatakan : “When speakers use two languages, they will obviously not use both inculturasi all circumstances : in certain situations they will use one, in others, the other.” Maksudnya : Bila orang dapat menggunakan dua bahasa pada kenyataannya mereka tidak menggunakan kedua-dua bahasa itu dalam semua situasi. Pada situasi-situasi tertentu mereka akan menggunakan bahasa yang satu dan menggunakan yang satu lagi pada situasi yang lain. Untuk batasan pemilihan bahasa ini Fishman merangkai sebuah pertanyaan : “Siapa yang berbicara, bahasa apa, kepada siapa dan kapan?”. Dengan demikian bahwa pemilihan bahasa ini sangat bergantung kepada situasi, tempat, pembicara, mitra bicara, status sosial, jenis kelamin, dan latar belakang etnis. Menurut Rusyana (1989:34) banyak faktor yang mempengaruhi pemilihan bahasa dalam masyarakat bilingual yaitu partisipan, situasi, isi pembicaraan dan fungsi serta tujuan interaksi. Berdasarkan konsep dari pilihan bahasa di atas, bahwa kaitannya penulis membahas pemakaian kata komu,konzatsu, man’in, dan ippai yang merupakan Universitas Sumatera Utara salah satu kata yang termasuk ke dalam pilihan bahasa terutama dalam pemilihan katanya yang sesuai dengan kontekstualnya. Universitas Sumatera Utara